Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
menyusul mati, apakah kaukira kalian akan dapat berkumpul
seperti ketika di dunia" Anak yang baik, mengapa engkau
menjadi putus asa seperti ini" Tidak ada di dalam kehidupan ini
kesusahan yang tidak dapat diatasi. Kesusahan dan
kesenangan hanya permainan sementara saja dalam kehidupan
manusia." "Akan tetapi tidak ada gunanya lagi saya hidup! Suami dibunuh
orang, anak satu-satunya meninggalkan saya karena marah
mendengar bahwa ibunya, saya ini, adalah seorang bekas
pelacur. Hidup saya hanya akan mencemarkan nama baik anak
saya dan tidak ada orang yang sudi mengambil anak pelacur
menjadi mantu?nya. Ah, dosa saya yang saya lakukan di waktu
muda dulu kini akibatnya ditanggung oleh anak saya! Hanya
suami saya seorang yang menghargai saya, tidak memandang
rendah saya yang bekas pelacur. Maka saya ingin ikut dia, saya
" JILID 3 81 03.1. Penderitaan Seorang Anak Perempuan!
"Omitohud! Tidak ada manusia sempurna tanpa dosa di dunia
ini. Berbahagialah manusia yang menyadari akan dosa-dosanya,
bertaubat lahir batin tidak akan mengulang kesalahannya. Akan
tetapi sebaliknya celakalah orang yang merasa dirinya suci
sendiri, angkuh dan pongah, karena sewaktu-waktu dia dapat
terjeblos ke dalam jurang dosa yang lebih parah lagi." Kemudian
nikouw itu berkata dengan suara penuh wibawa. "Liang Hong Yi,
angkat mukamu dan lihat, siapa pin-ni (aku)?"
Liang Hong Yi terkejut dari heran mendengar nikouw itu
menyebut namanya. Ia mengangkat muka mengamati wajah
wanita itu dan matanya terbelalak melihat wajah yang tersenyum
itu, ingatannya melayang kembali keduapuluh lima tahun yang
lalu ketika ia bertemu dengan seorang nikouw yang kemudian
mengajar ilmu silat kepadanya.
"Subo (Ibu Guru)!" ia lalu merangkul kedua kaki nikouw itu dan
menangis. "Subo, teecu (murid) mohon ampun, Subo
!" "Omitohud! Hong Yi, orang yang mengakui dosanya dan mau
bertaubat, sudah pasti diberi ampun oleh Yang Maha
Pengampun. Semua yang terjadi menimpa dirimu bersumber
kepada dirimu sendiri, muridku. Karena itu, kalau benar engkau
mengakui dosa dan mohon ampun dari Yang Maha Kuasa,
terimalah segala yang terjadi padamu dengan hati ikhlas.
Anggaplah sebagai penebus dosamu yang dijatuhkan Yang
Maha Adil kepadamu. Tahukah engkau, bahwa keinginanmu
82 untuk mati itu pun merupakan sebuah dosa baru yang tidak
kalah buruknya?" "Aduh, Subo teecu tidak berani lagi, teecu mohon
agar Subo memenuhi sebuah permohonan terakhir dari
teecu " "Ahh, seorang guru sama dengan ayah ibu sendiri.
Permohonan murid pasti akan dipenuhi asalkan permohonan itu
masuk akal, pantas dan tidak melanggar kebenaran."
"Subo, teecu ingin menjadi biarawati. Biarlah teecu menebus
dosa dan mendekatkan hati kepada Yang Maha Suci agar kelak
teecu dapat membantu memberi petunjuk dan penerangan
kepada orang-orang yang berada dalam kegelapan seperti yang
teecu alami sekarang ini."
"Bangkit dan duduklah. Untuk menerimamu menjadi nikouw,
pinni harus mengetahui dulu keadaanmu, keluargamu dan apa
yang mendorongmu ingin menjadi nikouw. Duduklah dan
ceritakan keadaanmu."
Liang Hong Yi bangkit dan duduk di atas sebuah bangku
menghadapi Bian Hui Nikouw yang sudah duduk bersila di atas
pembaringan. Dulu, ketika ia dilatih ilmu silat oleh Bian Hui
Nikouw, pendeta wanita itu baru berusia hampir empatpuluh
tahun. Kini sudah berusia enampuluh tahun, akan tetapi
wajahnya masih segar seperti dulu, hanya ada garis?-garis
ketuaannya. 83 Setelah hatinya tenang terpengaruh oleh sikap gurunya yang
tenang penuh damai itu, Liang Hong Yi lalu menceritakan semua
pengalamannya, mulai dari ketika ia terpaksa menjadi pelacur
untuk membalas budi kepada bibinya sampai akhirnya ia
menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang kini
sudah dewasa. Ia menceritakan tentang perjuangannya ikut
suaminya membantu mendiang Jenderal Gak Hui, tentang
kehidupannya sebagai suami isteri terhormat. Lalu ia
menceritakan tentang Bi Lan yang diculik orang, sampai
akhirnya anak yang hilang dalam usia tujuh tahun itu kembali
setelah berusia sembilanbelas tahun. Akan tetapi kembalinya
terlambat karena suaminya dan ia terluka oleh dua orang murid
Ouw Kan yang membalas dendam atas kematian Pangeran Cu
Si dari Kerajaan Kin dalam perang.
"Demikianlah, Subo. Karena teecu amat berduka kematian
suami, maka teecu mengajak Bi Lan pergi ke kota raja untuk
menemui keluarga Panglima Kwee Gi yang dulu menjanjikan
akan menjodohkan putera mereka dengan Bi Lan. Akan tetapi
setibanya di rumah mereka keluarga Kwee telah mengetahui akan masa
lalu teecu sebagai seorang pelacur di kota Cin-koan dan mereka
tidak mau mengambil Bi Lan sebagai mantu yang sah, hanya
mau menerima Bi Lan untuk menjadi selir putera mereka. Teecu
merasa malu sekali, Subo dan terpaksa teecu mengaku kepada
Bi Lan, menceritakan semua itu kepada Bi Lan. Anak teecu itu
menjadi marah sekali dan tadinya hendak mengamuk kepada
keluarga Kwee akan tetapi teecu melarangnya. Ia lalu pergi
meninggalkan teecu, katanya hendak membalas dendam
84 kematian ayahnya. Teecu ditinggal seorang diri, suami dan anak
telah pergi, teecu merasa kehilangan, kesepian dan putus asa.
Teecu berjalan terus tanpa tujuan dan akhirnya, tidak kuat lagi
dan roboh di depan kuil. Begitulah riwayat teecu, Subo."
"Omitohud! Semoga saja penderitaanmu sebagai hukuman
ketika masih hidup ini akan meringankan perjalananmu, pulang
kelak, Hong Yi. Ternyata sampai sekarang, Toat-beng Coa-ong
Ouw Kan datuk utara itu masih belum sadar dari jalan sesat
yang ditempuhnya. Karena engkau kini hidup sebatang kara,
dan niatmu menjadi nikouw didasari keinginan untuk menebus
dosa, baiklah pinni menerima permintaanmu."
Liang Hong Yi menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih, Subo.
Subo telah membuka jalan ke arah kehidupan baru bagi teecu."
"Duduklah, Hong Yi dan sekarang ketahuilah bahwa pinni secara
kebetulan memang memimpin para nikouw yang berada di biara
(kuil) Kwan-im-bio (Kuil Dewi Kwan Im) ini. Sudah lima tahun
pinni tinggal di kuil ini dan menghentikan perantauan pinni.
Agaknya memang kita sudah berjodoh, Hong Yi sehingga
kebetulan pula engkau jatuh pingsan di luar kuil dan dibawa
masuk oleh para nikouw."
Demikianlah, mulai hari itu, Liang Hong Yi diberi pelajaran
tentang keagamaan, mempelajari kitab suci dan setelah
pengetahuannya tentang agama dirasa cukup, iapun menjalani
upacara cukur rambut sampai menjadi gundul dan menjadi
nikouw dan diberi nama biarawati Tiong Ceng Nikouw (Biarawati
Lurus Bersih), tinggal bersama limabelas orang nikouw yang
berusia dari tujuhbelas sampai limapuluh tahun, dipimpin Bian
85 Hui Nikouw. Karena Bian Hui Nikouw melihat bahwa Liang Hong
Yi atau yang sekarang bernama Tiong Ceng Nikouw memiliki
bakat besar dalam ilmu silat, maka ia menambahkan pelajaran
ilmu silat yang lebih tinggi sehingga murid itu dapat
memperdalam ilmu silatnya. Liang Hong Yi seolah sebuah
perahu yang tadinya diombang-ambingkan badai lautan dan
hampir tenggelam, kini telah menemukan pelabuhan yang aman
dan tenteram. Kwan-im-bio itu berdiri di lereng Bukit Awan, tak
jauh dari kota raja. "Y" Han Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali menuju kota Cinkoan. Selama dalam perjalanan itu, wajahnya sebentar pucat
sebentar merah, tanda bahwa hatinya dihimpit berbagai
perasaan yang mendatangkan perasaan marah besar, malu dan
juga kecewa. Seperti terngiang di kedua telinganya suara orangorang di sepanjang perjalanan itu meneriakinya.
"Anak pelacur! Anak pelacur! Anak pelacur hina!"
"Keparat! Jahanam! Setan busuk!" Ia memaki lalu berlari
kencang sekali bagaikan seekor kijang muda, melompat-lompat
sehingga mereka yang kebetulan lewat itu terbelalak keheranan
bercampur takjub melihat seorang gadis cantik berpakaian
merah lari seperti angin cepatnya!
Begitu memasuki kota Cin-koan yang cukup ramai, di mana
terdapat banyak toko penuh barang kebutuhan sehari-hari, toko
pakaian dan sebagainya. Juga terdapat rumah makan dan
losmen-losmen, gedung-gedung besar milik para hartawan dan
bangsawan. Ketika Bi Lan berjalan-jalan sepanjang jalan raya
86 yang ramai, dalam hatinya diam-diam merasa terharu karena
kota inilah tempat tinggal ibunya di waktu kecil sampai dewasa,
ia memperhatikan kanan kiri dan akhirnya ia menemukan apa
yang dicarinya. Sebuah rumah yang cukup besar, dicat merah
dan tampaknya terpelihara, bahkan pekarangannya bersih dan
rapi, terdapat pot-pot tanaman bunga. Di depan rumah itu ada
tulisan yang membuat ia berhenti melangkah dan
memperha?tikan. "Rumah Hiburan Bunga Merah" demikian bunyi tulisan itu. Inilah
yang dicarinya, pikir Bi Lan. Sebuah rumah hiburan, tentu rumah
seperti ini yang dimaksudkan sebagai rumah pelesir di mana
para pelacur menjajakan tubuhnya. Ia melihat banyak kuda yang
bagus ditambatkan di kebun samping rumah. Tentu itu kuda
tunggangan para tamu. Melihat kuda-kuda yang besar dan
bagus itu, Bi Lan dapat menduga bahwa pemiliknya tentu
golongan hartawan atau bangsawan. Tanpa ragu?ragu ia
memasuki pekarangan yang cukup luas itu.
Tiga orang tukang pukul penjaga rumah hiburan itu, tiga orang
laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh tahun, segera
menyambut kedatangan Bi Lan. Melihat yang datang seorang
gadis yang cantik jelita, tiga orang jagoan itu menjadi heran.
Apakah ini seorang "bunga" baru" Belum pernah mereka
melihatnya dan sebagai jagoan penjaga rumah hiburan di mana
terdapat banyak wanita cantik, mereka tidak biasa menggoda
wanita karena hal itu dilarang oleh pemilik rumah hiburan. Akan
tetapi mereka curiga kalau-kalau yang datang ini isteri seorang
"tamu" yang berada di rumah hiburan. Kalau benar demikian,
maka wanita ini dapat menimbulkan keributan di dalam.
87 "Tunggu dulu, Nona," kata seorang di antara mereka. "Siapakah
engkau dan ada keperluan apakah Nona masuk ke tempat ini"
Kami tidak biasa menerima tamu wanita, hanya menerima tamu
pria." Biarpun hatinya sedang gundah, namun karena ia datang untuk
mencari keterangan tentang ibunya, Han Bi Lan menahan
kesabaran dan menjawab singkat.
"Aku datang untuk bertemu dengan pemilik rumah hiburan ini.
Harap antarkan aku kepadanya atau laporkan kepadanya aku
ingin bertemu dengannya."
Tiga orang jagoan itu tersenyum. Hemm, agaknya seorang calon
"bunga" baru, pikir mereka. Hebat juga gadis ini. Kalau menjadi
bunga di situ, pasti dapat mengalahkan semua bunga yang
berada di situ! "Baik, tunggu sebentar, akan kulaporkan kepada Ciu-ma," kata
jagoan yang hidungnya pesek itu dan dia bergegas masuk ke
dalam. Dua jagoan yang menanti di luar bersama Bi Lan, memandang
gadis itu penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang
matanya agak juling bertanya, "Nona, siapakah namamu?"
"Aku hanya akan memperkenalkan namaku kepada pemilik
rumah ini," jawab Bi Lan dengan suara datar dan sambil lalu,
sama sekali tidak memandang orang itu.
"Hei, Nona engkau cantik sekali. Kalau engkau menjadi bunga di
sini, aku akan mencarikan seorang kongcu (tuan muda) yang
88 kaya raya. Akan tetapi jangan lupa memberi uang jasa
kepadaku." Bi Lan tidak mengerti jelas maksud kata-kata itu, akan tetapi ia
dapat mengira-ngira dan wajahnya sudah berubah merah.
Baiknya sebelum ia naik darah, penjaga pertama tadi muncul
dengan wajah menyeringai lebar.
"Nona dipanggil ke dalam. Ciu-ma menanti di serambi sebelah
kiri sana." Dia menuding ke samping bangunan di mana terdapat
serambi kecil. Ia mengangguk lalu berjalan menuju ke tempat itu.
Begitu ia memasuki serambi, seorang wanita berusia sekitar
limapuluh tahun, berpakaian mewah, berhiaskan emas permata
dan wajahnya berbedak dan bergincu tebal, keluar dari dalam.
Begitu melihat Bi Lan, matanya terbelalak, wajahnya berseri dan
senyumnya melebar dan ia tidak menyembunyikan kekagumannya. Pandang matanya yang berpengalaman itu
mengamati wajah dan bentuk tubuh Bi Lan seperti seorang
saudagar kuda meneliti seekor kuda yang akan dipilihnya.
Dalam hati ia mencatat bahwa dalam diri gadis yang kini berdiri
di depannya itu terdapat sumber uang yang deras mengalirkan
uang memasuki koceknya! Maka, dengan ramah ia lalu
menyambut gadis itu. "Ah, selamat datang, Nona. Silakan duduk, mari-mari !"
Bi Lan duduk berhadapan dengan wanita yang tubuhnya
gembrot dan sikapnya genit itu, yang kalau bicara mengangkatangkat sepasang alisnya yang dicukur kelimis lalu digambari
garis hitam kecil melengkung.
89 "Nona, siapakah engkau dan bantuan apakah yang dapat
kuberikan kepadamu?" Manis sekali ucapan itu, belum apa-apa
sudah menawarkan bantuan!
"Namaku Han Bi Lan. Apakah Bibi ini yang dipanggil Ciu-ma dan
pemilik rumah hiburan ini?"
"Betul, Nona. Akulah yang. dipanggil Ciu-ma, dan engkau pun
mulai sekarang boleh menyebut aku Ciu-ma. Nah, katakan, apa
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang engkau inginkan?"
"Sudah lamakah engkau mengusahakan rumah hiburan ini, Ciuma?"
"Eh" Mengapa engkau bertanya begitu, Nona jelita?" "Aku hanya
ingin tahu saja." "Tentu saja sudah lama. Semenjak aku tidak menjadi gadis
penghibur lagi, aku lalu menjadi penguasa rumah hiburan, sudah
lebih dari duapuluh tahun."
Girang rasa hati Bi Lan. Tentu orang ini akan mengetahui
dengan jelas keadaan dunia pelacuran pada duapuluh tahun
yang lalu. "Ciu-ma, aku ingin bertanya kepadamu. Apakah kurang Iebih
duapuluh tahun yang lalu di kota ini terdapat
seorang pelacur yang bernama Liang Hong Yi?"
"Duapuluh tahun yang lalu" Liang Hong Yi
, 90 Hemm, kaumaksudkan Liang Hong Yi yang kabarnya kini
menjadi isteri panglima perang di kota raja itu" Tentu saja aku
tahu! Siapa yang tidak mengenal Liang Hong Yi pada waktu itu"
Ia adalah ratunya bunga hiburan di kota Cin-koan ini!
Langganannya hanya terdiri dari para bangsawan dan hartawan!
Ia yang menjadi bintang di rumah hiburan Bunga Seruni yang
dipimpin Lu-ma, yang kabarnya sekarang ikut keponakannya,
Liang Hong Yi itu, tinggal di kota raja. Kenapa engkau
menanyakan ia, Nona manis" Ia memang pelacur pilihan, cantik
jelita dan jikalau seorang gadis seperti Nona ini suka, aku akan
dapat membuatmu menjadi bintang seperti Liang Hong Yi itu!"
Hati Bi Lan mulai panas, akan tetapi ia tahu bahwa wanita ini
tidak mempunyai kesalahan apapun, juga tidak ada sangkut
pautnya dengan ibunya. Hatinya panas karena kini ia yakin
bahwa ibunya benar-benar dahulu seorang pelacur tersohor di
kota ini! Melihat Bi Lan terdiam dan hanya menundukkan
mukanya, Ciu-ma mengira bahwa gadis itu mulai tertarik dengan
tawarannya. "Nona Han Bi Lan, engkau ingin melihat-lihat keadaan di dalam,
silakan. Kehidupan di rumah ini penuh dengan kegembiraan,
bergelimang kemewahan dan seorang gadis penghibur yang
cantik dapat berenang di lautan uang. Mari ikut aku!"
Dalam keadaan hati tertekan oleh kenyataan pahit itu, Bi Lan
menurut saja diajak masuk ke dalam oleh Ciu-ma. Ketika
mereka memasuki sebuah ruangan yang luas sekali di mana
terdapat banyak meja seperti di restoran besar, dan ada bangkubangku panjang terhias kain beraneka warna, lantainya juga
ditutupi permadani, perabot-perabotnya serba indah, terdapat
91 banyak orang. Bi Lan menyapu ruangan itu dengan pandang
matanya dan ia bergidik. Ada belasan orang gadis di situ, rata-rata cantik dan pesolek,
sikap mereka genit, dan mereka melayani belasan orang laki-laki
yang kesemuanya berpakaian indah. Ada yang masih muda, ada
pula yang setengah tua, akan tetapi kesemuanya jelas
menunjukkan bahwa mereka itu orang kaya atau bangsawan.
Suasana di dalam ruangan itu ramai dan meriah. Setiap orang
memiliki pasangan. Ada dua pasang sedang makan minum di
sebuah meja, tampaknya dua orang laki-laki muda itu sudah
mulai mabok dan tertawa-tawa, sedangkan dua orang
pasangannya dengan genit merayu mereka. Ada pula yang
duduk berpasang di atas bangku panjang sambil berpelukan dan
saling berbisik mesra. Ada pula empat pasangan yang sedang
bermain kartu di sebuah meja lain. Malah ada yang bercumbu di
bangku yang terletak di sudut. Ada beberapa yang memasuki
kamar yang banyak berderet di bagian belakang sambil
berangkulan dan tertawa-tawa. Melihat semua ini, Bi Lan
menjadi muak. "Hei, Ciu-ma! Barang barukah itu" Cantik nian!" Seru seorang
pria sambil menyeringai memandang Bi Lan. Semua orang
menoleh dan memandang Bi Lan yang melangkah masuk
dituntun Ciu-ma yang menyeringai lebar.
"Eh, Ciu-ma! Be!um pernah tersentuhkah ia" Kalau belum
pernah, berikan kepadaku. Aku mau membayar berapa saja
yang kauminta!"' seru seorang laki-laki berusia limapuluh tahun
yang bertubuh gendut sekali sehingga kelihatan pendek. Tentu
92 dia itu seorang yang kaya raya, melihat jari tangannya penuh
cincin emas dengan batu-batu permata indah dan mahal. Dia
sedang duduk dan memangku seorang gadis yang usianya
belum ada duapuluh tahun.
Tiba-tiba Bi Lan merasa kepalanya pening. Ia memandang
kepada gadis yang dipangku laki-laki gendut itu. Ia menggosokgosok kedua matanya dengan tangan akan tetapi tetap saja
yang dilihat dipangku dan dicumbu laki-laki gen-dut itu adalah
ibunya, Liang Hong Yi! 03.2. Kekejaman Ang I Mo-li
Tiba-tiba ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ibunya
dipangku dan dicumbu laki-laki gendut itu! Bi Lan mengeluarkan
pekik melengking dan tubuhnya sudah berkelebat, tahu-tahu
sudah berada di depan Si Gendut itu.
"Jahanam! Kamu sampah masyarakat!" Tangannya menampar.
"Prokkk !" Tubuh laki-laki gendut itu terpelanting
dan gadis yang dipangkunya juga terpental. Laki-laki itu
mengaduh-aduh sambil menutupi mukanya dengan kedua
tangan dan darah berlepotan di kedua tangannya karena bukit
hidungnya telah remuk kena ditampar Bi Lan sehingga darahnya
bercucuran. Bi Lan mendengar suara para gadis menjerit dan
ketika ia memutar tubuh memandang ke sekeliling, ia semakin
marah karena wajah para gadis itu berubah menjadi wajah
ibunya. Ibunya dipeluk, dicumbu, dipangku dan diajak
bersenang-senang oleh para pria di ruangan itu. Bi Lan
mengeluarkan pekik melengking berulang-ulang.
93 "Jahanam semua! Kalian ini laki-laki yang mengotori dunia!
Sudah sepatutnya laki-laki macam kalian ini dihajar!" Dan gadis
itu bergerak cepat sekali, tubuhnya berkelebatan dan berturutturut terdengar suara laki-laki mengaduh dan darah pun
muncrat. Ada yang bukit hidungnya hancur, ada yang daun telinganya
tercabut putus ada yang sebelah matanya buta karena biji
matanya tercokel keluar oleh jari tangan Bi Lan. Dalam waktu
beberapa detik saja, tigabelas orang laki-laki yang kesemuanya
adalah para bangsawan dan hartawan hidung belang yang
menjadi langganan rumah pelesir itu, tidak seorang pun terluput
dari hajaran Bi Lan. Muka mereka dibikin cacad dan dibiarkan
tidak ada yang dibunuh, namun mereka menjadi orang-orang
yang cacad mukanya untuk selama hidup. Para gadis pelacur itu
tidak diganggu oleh Bi Lan. Mereka menjerit-jerit ngeri, bahkan
Ciu-ma roboh pingsan. Setelah pria terakhir dihajarnya dan Bi Lan yang kedua
tangannya ternoda darah hendak melompat keluar, tiga orang
jagoan yang berada di pekarangan tadi, tergopoh-gopoh
memasuki ruangan itu karena mendengar jerit ketakutan para
gadis pelacur. Begitu memasuki ruangan dan melihat para tamu sudah roboh
malang-melintang sambil merintih-rintih dan muka mereka
berdarah, para jagoan itu terkejut bukan main. Melihat Bi Lan di
situ dan kedua tangan gadis itu berlepotan darah, tiga orang
jagoan ini segera dapat menduga apa yang terjadi. Gadis itu
telah membuat kekacauan dan menyerang para tamu pria! Tiga
orang jagoan cepat mencabut golok mereka dan tanpa banyak
94 cakap lagi mereka bertiga lalu maju menerjang Bi Lan dengan
bacokan golok mereka. Akan tetapi dengan sigap Bi Lan
berkelebat lenyap. Selagi tiga orang itu kebingungan, tahu-tahu
seorang dari mereka berteriak karena tiba-tiba tangan kanannya
lumpuh dan goloknya telah dirampas Bi Lan. Dua orang yang
lain cepat membalik dan menyerang.
"Trang-trang !" Golok dua orang jagoan itu terpental dan
terlepas dari pegangan mereka saking kuatnya Bi Lan
menangkis dengan golok rampasannya.
"Hemm, kalian suka bertindak sewenang-wenang dengan
tangan kanan kalian, maka tidak patut kalian mempunyai tangan
kanan lagi!" Tiga kali sinar golok berkelebat disusul teriakan tiga
orang itu dan ternyata lengan kanan mereka telah buntung
sebatas siku! Bi Lan membuang golok ke atas lantai lalu sekali
berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari rumah itu.
Tentu saja rumah hiburan Bunga Merah itu menjadi gempar.
Ketika berita tentang peristiwa mengerikan yang terjadi di rumah
hiburan Bunga Merah itu tersiar keluar, pada saat itu terdengar
pula berita bahwa di Rumah Hiburan Bunga Mawar dan Rumah
Hiburan Teratai juga terjadi keributan dan peristiwa yang sama.
Semua tamu pria dari kedua rumah hiburan itu, yang masingmasing jumlahnya belasan orang, terdiri dari laki-laki bangsawan
dan hartawan, telah dirusak mukanya sehingga cacad oleh
seorang gadis cantik jelita yang mengamuk seperti orang gila
tanpa alasan apapun! Tentu saja seluruh kota Cin-koan menjadi gempar. Para perwira
keamanan juga geger dan mereka cepat mengerahkan pasukan
95 keamanan untuk melakukan pengejaran hendak menangkap
gadis pengacau itu. Akan tetapi Bi Lan sudah jauh meninggalkan
kota Cin-koan. Berita ini mengejutkan sampai terdengar di kota
raja karena banyak laki-laki bangsawan yang menjadi korban.
Ketika berita itu sampai ke rumah keluarga Panglima Kwee Gi,
mereka menjadi terkejut sekali. Panglima Kwee Gi duduk
terhenyak di atas kursi, berhadapan dengan isteri dan
puteranya. Kwee-ciangkun menghela napas berulang-ulang, lalu
berkata, "Ah, tidak salah lagi. Berita itu menyebutkan bahwa
gadis cantik yang mengamuk itu berpakaian serba merah muda.
Siapa lagi kalau bukan Han Bi Lan" Agaknya ia pergi ke Cinkoan dan setelah mendapat berita tentang ibunya, ia marah
kepada semua laki-laki yang berkunjung ke rumah pelacuran
dan menghajar mereka dengan membikin cacad wajah mereka!
Tigapuluh orang lebih, hampir empatpuluh orang bangsawan
dan hartawan ia hajar. Betapa mengerikan!"
"Aih jangan-jangan ia akan mengamuk di sini!" kata Nyonya
Kwee dengan suara gemetar.
"Tidak mungkin ia mau melakukan itu karena ia tahu bahwa kita
tidak menuduh palsu, tahu bahwa kita tidak bersalah. Kasihan
gadis itu. Aku dapat merasakan betapa hancur hatinya,
mengetahui bahwa ia anak bekas pelacur. Maka ia mendendam
kepada semua pria yang berkunjung ke rumah pelacuran. Aih,
kalau tahu akan begini jadinya, pasti kularang engkau membuka
rahasia tentang Liang Hong Yi sehingga rahasia itu akan tetap
tertutup dan tidak diketahui Bi Lan."
96 Kwee Cun Ki diam saja, hanya menundukkan mukanya. Karena
dengan tegas Bi Lan sudah mengatakan bahwa gadis itu tidak
sudi menjadi selir atau isterinya yang sah sekalipun, maka dia
telah melepaskan perasaan cintanya terhadap gadis itu. Malah
diam-diam dia bersyukur bahwa ikatan perjodohan itu tidak jadi
karena biarpun dia sendiri seorang yang berjiwa pendekar,
mempertahankan keadilan dan kebenaran, namun hatinya
merasa ngeri juga mendengar sepak?terjang Bi Lan yang
dianggap terlalu sadis! Sementara itu, Bi Lan melarikan diri dari kota Cin-koan. Ia
berhenti di tepi hutan dan mencuci tangan yang ternoda darah
dengan air anak sungai. Di dalam hatinya terdapat kepuasan
telah menghajar para pria hidung belang itu.
"Akan kuhajar semua laki-laki di dunia yang menyebabkan ibuku
menjadi pelacur!" bisiknya kepada diri sendiri.
Kemudian, ia merasa lelah sekali, lelah karena tadi telah
mengumbar nafsu amarahnya. Lelah, lapar dan haus. Ia duduk
melamun di tepi anak sungai. Ia kini benar-benar sebatang kara,
kehilangan ayah dan kehilangan ibu. Ayahnya dibunuh orang dan ibunya
ah, ia tidak mau kembali kepada ibunya! Ia anggap ibunya sudah
mati, bersama ayahnya! Sejak kecil Bi Lan dididik oleh Jit Kong
Lhama, seorang pendeta Lhama dari Tibet yang memasuki
dunia sesat. Karena itu, Bi Lan tumbuh menjadi dewasa dengan
watak yang keras liar dan pemberani. Namun, karena pada
dasarnya ia bukan seorang yang berhati jahat, tidak mau
menuruti tarikan nafsu, apalagi setelah ia diaku sebagai murid
97 Kun-lun-pai, ia menyesuaikan dirinya dan meniru tindakan para
pendekar. Bi Lan mengepal tinju. Ia akan membalas dendam kematian
ayahnya. Akan dicarinya Ouw Kan dan kedua orang muridnya
yang bernama Bong Siu Lan dan Bouw Kiang itu dan ia akan
membunuh mereka bertiga. Ia akan membalas dendam ibunya
yang ia anggap sudah mati. Ibunya dirusak dan "dibunuh" oleh
para lelaki hidung belang. Ia akan memberi hajaran kepada
semua lelaki hidung belang. Ia anggap bahwa para lelaki hidung
belang itulah biang keladi pelacuran, karenanya semua harus
dihajar dan dibikin cacad mukanya!
Ia juga masih mempu?nyai musuh yang harus dihajarnya, yaitu
Souw Thian Liong! Kalau teringat betapa pemuda yang semula
dikaguminya dan yang menarik hatinya itu telah menghinanya
dan memukuli pinggulnya seperti seorang yang menghukum
anaknya yang nakal, hatinya menjadi panas sekali. Akan tetapi
untuk dapat membalas pemuda itu, ia harus memperdalam ilmu
silatnya karena Thian Liong merupakan lawan yang amat
tangguh! Ia hanya mempunyai sebungkus pakaian, tidak mempunyai uang
sedikit pun untuk membeli makanan dan minuman. Mudah,
pikirnya. Gurunya, Jit Kong Lhama, selalu mengatakan bahwa
kalau ia membutuhkan uang, ia boleh mencuri uang para
pembesar atau hartawan. Para pembesar itu mengumpulkan
uang dengan cara korupsi atau memeras rakyat. Adapun para
hartawan itu lupa bahwa di kanan kirinya banyak orang demikian
miskinnya sehingga untuk makan setiap hari saja tidak
mempunyai cukup uang! Mereka itu kebanyakan pelit, lupa
98 bahwa keuntungan banyak yang diperolehnya itu asalnya juga
dari uang rakyat! Apalagi sekarang, para bangsawan dan
hartawan itu yang lebih senang menghambur uang di rumah
pelacuran daripada menolong rakyat yang kelaparan. Sudah
sepatutnya kalau sebagian hartanya dikurangi, diambil untuk
keperluan biaya perjalanan hidupnya!
Demikianlah, mulai peristiwa yang terjadi di kota Cin-koan dan
yang menggegerkan itu, di dunia kang-ouw muncul seorang
tokoh baru dengan sebutan Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah).
Han Bi Lan disebut demikian karena ia dianggap sadis dan
kejam seperti iblis betina yang selalu merusak muka pria yang
melacur dan karena ia selalu berpakaian serba merah muda.
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejak nama ini muncul, rumah-rumah pelacuran di kota-kota
besar menjadi sepi. Para kongcu (tuan muda) hidung belang
merasa ngeri kalau-kalau Ang I Mo-li muncul sewaktu mereka
sedang berpelesir di rumah pelacuran. Adapun para hartawan
yang kecurian uangnya, tidak begitu acuh karena yang dicuri
hanya tidak seberapa baginya, walaupun bagi Bi Lan uang yang
diambilnya dari kamar seorang hartawan cukup untuk biaya
hidup selama tiga bulan! "Y" Mereka bertiga duduk di luar pondok yang berdiri di puncak bukit
itu. Pondok kayu, yang kokoh dan cukup besar, dengan
pekarangan yang cukup luas mengelilingi pondok. Di
pekarangan kanan kiri pondok ditanami pohon-pohon buah, dan
di pekarangan depan ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat
dipakai untuk pengobatan dan ada pula bunga-bunga beraneka
99 warna. Nyaman sekali duduk di depan pondok di waktu pagi itu.
Matahari tersenyum cerah, sinarnya menyengat, hanya
mendatangkan kehangatan yang membangkitkan semangat.
Pemandangan dari puncak Bukit Pelangi itu amat indah. Sebuah
di antara ratusan bukit yang terdapat di Pegunungan Gobi.
Orang menamakannya Bukit Pelangi karena seringkali tampak
pelangi di bukit. itu. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh dua
tahun. Wajahnya masih tampak segar dan jauh lebih muda dari
usianya. Rambutnya, sudah dihias uban namun terawat bersih
seperti juga tampak pada wajah, kaki tangan, dan pakaiannya
yang tampak terawat dan bersih. Sepasang alisnya hitam agak
tipis, sepasang matanya tajam berwibawa namun sinarnya
lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu menyungging
senyuman penuh pengertian. Wajah yang agak bulat itu tampak
masih tampan. Tubuhnya sedang namun berisi dan tegak
sehingga dia tampak gagah.
Wajah itu bersih tanpa kumis dan jenggot.
Pakaiannya yang bersih itu sederhana sekali, hanya kain kuning
yang melibat-libat tubuhnya seperti yang biasa dipakai para
pertapa. Sepatunya dari kain yang bawahnya berlapis besi.
Rambutnya yang dihias uban panjang dan diikat ke atas dengan
pita kain kuning pula. Dia amat dikenal oleh penduduk pedusunan di sekitar bukit
karena dia selalu mengulurkan tangan memberi pengobatan
kepada mereka yang sedang sakit. Obatnya yang dari daundaun dan rempa-rempa amat manjur sehingga dia dikenal
100 sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Di dunia kangouw dia terkenal dengan nama Tiong Lee Cin-jin. Namanya
dihor?mati dan disegani semua tokoh dan aliran silat di dunia
kang-ouw karena selain dia ahli pengobatan dan ahli silat yang
sakti, juga dia terkenal baik dan bersikap adil dan bersahabat
kepada semua golongan. Bahkan belasan tahun yang lalu dia pernah merantau jauh ke
dunia barat, melalui Pegunungan Himalaya, melalui Tibet untuk
memperdalam ilmu-ilmunya. Ketika dia merantau itulah dia bisa
mendapatkan kembali beberapa buah kitab milik perguruanperguruan silat terkenal seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan
Bu-tong?pai yang puluhan tahun lalu dicuri orang, dan dia
mengembalikan semua kitab-kitab ilmu silat itu kepada mereka
yang berhak. Dua orang gadis yang duduk berhadapan dengan Tiong Lee
Cin-jin itu berusia duapuluh tahun dan orang-orang tentu merasa
terpesona karena kagum dan juga heran apabila melihat mereka
bersama. Dua orang gadis itu cantik jelita dan mereka itu persis
sama, baik wajah maupun bentuk tubuh mereka. Wajah mereka
berbentuk bulat dengan dagu meruncing, kulitnya putih mulus
dan kulit wajah mereka itu dihias warna merah pada kedua pipi
bawah mata. Warna merah alami, bukan dengan alat
kecan?tikan sehingga tampak segar dan manis sekali seperti
bunga mawar yang sedang mekar. Mata mereka bersinar seperti
bintang, hidung mancung dan bibir mereka merah membasah
tanpa gincu. Bibir yang penuh berkulit tipis itu hidup, dapat
bergerak-gerak dengan lincah dan manis bukan main. Mata dan
mulut mereka itulah mengandung daya tarik yang amat kuat,
terutama bagi mata pria yang memandangnya.
101 Tak mungkin ada orang dapat membedakan di antara mereka
kalau saja mereka memakai pakaian dan menyanggul rambut
dengan bentuk yang sama. Akan tetapi mereka memang
sengaja tidak memakai pakaian yang sama, bahkan tatanan
rambut mereka berbeda. Mereka sebetulnya adalah dua orang
gadis kembar! Yang seorang adalah Puteri Moguhai, puteri dari Raja Kin beribu
seorang wanita pribumi Han yang bernama Tan Siang Lin dan
menjadi selir Raja Kin (bangsa Nuchen). Sejak kecil ia belajar
silat dan memiliki kepandaian tinggi sehingga di dunia persilatan
ia dikenal sebagai Pek Hong Niocu (Nona Burung Hong Putih).
Julukan ini ia dapatkan ka?rena puteri ini selalu mengenakan
hiasan rambut seekor burung Hong dari perak di rambutnya.
Juga pakaiannya terbuat dari sutera serba putih. Sabuknya dari
sutera merah itu juga menjadi senjata yang ampuh. Jubahnya
dihias dengan, bulu indah di bagian lehernya. Rambutnya yang
hitam panjang itu dikuncir tebal dengan ikatan pita merah
sehingga tampak lucu dan di atas kepalanya terhias burung
Hong perak itu. Di pinggangnya tampak sebatang pedang
bengkok dengan gagang dan sarung pedang terukir indah,
ukiran naga emas sebagai tanda Kerajaan Kin.
Adapun gadis yang kedua, yang lahir terakhir, adalah Thio Siang
In. Ia pun terkenal sebagai pendekar wanita yang lihai. Ayahnya
bernama Thio Ki dan ibunya adalah seorang puteri kepala suku
Uigur yang bernama Miyana. Karena sepak-terjangnya gadis ini
juga amat gagah perkasa dan ilmu silatnya juga lihai karena
sesungguhnya ia adalah murid datuk Suku Uigur yang terkenal,
yaitu Ouw Kan, maka namanya dikenal di dunia persilatan
sebagai Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah). Nama julukan ini
102 karena selain ia cantik seperti dewi, juga ia selalu memakai
setangkai bunga merah di rambutnya.
Kecantikannya sama persis dengan Puteri Moguhai, akan tetapi
sanggul rambutnya seperti sanggul wanita Han. Mungkin karena
ayahnya seorang pribumi Han, maka gadis ini juga berpakaian
seperti seorang gadis Han, hanya pakaiannya serba hijau.
Sebagai murid Ouw Kan, selain ilmu silat tinggi, juga Ang Hwa
Sian-li Thio Siang In menguasai ilmu tentang racun. Karena
gu?runya Ouw Kan, tingkat kepandaiannya masih di bawah
tingkat Paman Sie guru Puteri Moguhai, maka kepandaian Siang
In juga masih sedikit kalah tinggi dibandingkan tingkat
kepandaian Puteri Moguhai, yaitu sebelum mereka berdua
selama satu tahun digembleng oleh Tiong Lee Cin-jin di Puncak
Pelangi itu. Kini, tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya
kalau Puteri Moguhai memiliki ilmu silat yang bersih, karena
sejak dulu ia mempelajari ilmu-ilmu dari kitab pemberian Tiong
Lee Cin-jin. Sebetulnya, dua orang gadis ini ada?lah saudara kembar dan
ayah kandung mereka bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin
sendiri. Di waktu mudanya, Tiong Lee Cin-jin yang bernama Sie
Tiong Lee saling mencinta dengan Tan Siang Lin. Akan tetapi
karena dia seorang pemuda miskin, orang tua Tan Siang Lin
tidak mau menerimanya sebagai mantu, bahkan menyerahkan
Siang Lin menjadi selir Raja Kin!
Siang Lin tidak berdaya meno?lak kehendak orang tuanya, akan
tetapi karena ia sudah jatuh cinta benar kepada Sie Tiong Lee,
maka ia lalu menyerahkan diri kepada pemuda itu. Sie Tiong Lee
mula-mula menolak, akan tetapi karena Siang Lin mengancam
103 akan mem?bunuh diri kalau kekasihnya menolak, terpaksa Sie
Tiong Lee menanggapi. Dari hubungan inilah, Siang Lin
mengandung ketika ia diboyong ke istana Raja Kin. Ketika ia
melahirkan, maka yang terlahir adalah sepasang anak
perempuan kembar. Itulah Puteri Moguhai dan Thio Siang In.
Tentu saja Tan Siang Lin menjadi panik karena menurut
kepercayaan Raja Kin, anak kembar berarti akan mendatangkan
malapetaka dan mungkin kedua anak kembar itu akan
dibinasakan, maka Tan Siang Lin lalu menyerahkan seorang di
antara anak kembar itu kepada sahabat baiknya, yaitu puteri
kepala Suku Uigur bernama Miyana yang telah menjadi janda
muda tanpa anak. Miyana menerima dengan senang lalu
melarikan anak kembar kedua, setelah secara diam-diam ia
menyuruh bunuh bidan yang menolong kelahiran itu agar
rahasia itu tersimpan rapat. Miyana lalu membawa anak itu pergi
dan ia kemudian menikah dengan seorang Han bernama Thio Ki
yang dapat menerima anak itu sebagai anak tirinya dan
disayang seperti anak kandung. Anak itu lalu diberi nama Thio
Siang In, sedangkan anak kembar yang pertama menjadi puteri
Raja Kin dan diberi nama Puteri Moguhai!
Rahasia itu baru diketahui sepasang anak kembar itu setelah
Tiong Lee Cin-jin menceritakan kepada mereka.
Kemudian Tiong Lee Cin-jin membawa mereka berdua, yaitu
puteri kembarnya, ke Puncak Pelangi untuk digembleng dengan
ilmu-ilmu yang lebih tinggi, setelah dia memberi kabar kepada
Raja Kin dan kepada Thio Ki bahwa dia ingin mengajarkan
ilmunya kepada dua orang gadis itu. Raja Kin mau pun Thio Ki
104 rela saja mendengar bahwa tokoh besar yang terkenal sakti dan
dihormati semua orang itu menjadi guru anak mereka.
Demikianlah, selama setahun Tiong Lee Cin-jin menurunkan
ilmu-ilmunya kepada dua orang puterinya. Dia pun memberi
nama alias kepada Puteri Moguhai, yaitu Sie Pek Hong,
sedangkan Thio Siang In menjadi Sie Siang In. Akan tetapi
nama--nama ini hanya menjadi rahasia mereka karena di luar
mereka masih bernama Puteri Moguhai dan Thio Siang In, atau
lebih terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa
Sian-li. Setelah digembleng selama satu tahun, kini kedua orang
gadis kembar itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang
dan pada pagi hari itu, ayah dan dua orang puterinya itu
bercakap-cakap di depan pondok.
"Nah, kuulangi sekali lagi, Pek Hong dan Siang In. Kalian berdua
sudah selama satu tahun berada di sini memperdalam ilmu.
Sekarang tiba saatnya bagi kalian untuk kembali kepada orang
tua kalian masing-masing."
"Akan tetapi, Ayah. Berilah kami waktu untuk melayani Ayah di
hari tua Ayah sekarang ini!" kata Pek Hong Niocu.
"Hemm, Pek Hong, kau lihat sendiri, Ayahmu ini masih kuat
untuk mengurus diri sendiri, belum jompo, maka tidak perlu
engkau mengkhawatirkan diriku."
"Ayah adalah Ayah kandung kami dan budi kebaikan Ayah
sudah banyak sekali Ayah berikan kepada kami.
Kalau tidak sekarang kami diberi kesempatan untuk sedikit
membalas budi kebaikan Ayah dengan pelayanan kami, lalu
105 kapan" Kami tidak ingin menjadi anak-anak yang tidak berbakti,
Ayah!" bantah pula Ang Hwa Sian-li.
Mendengar bantahan adik kembarnya ini, Pek Hong Niocu
mengangguk-angguk membenarkan.
Tiong Lee Cin-jin tertawa. "Heh-he-he! Anak-anakku, ketahuilah
bahwa berbakti berarti menyenangkan hati orang tua, dan
menyenangkan hati orang tua berarti menaati semua perintah
dan pe?tunjuknya. Aku menghendaki kalian berdua kembali ke
rumah orang tua kalian masing-masing, kalau kalian tidak
menaati, berarti tidak membikin senang hatiku. Juga, orang tua
kalian masing-masing yang menyayang kalian akan menjadi
susah hatinya. Selama setahun di sini kalian sudah
memperdalam ilmu silat, juga telah memperluas wawasan dan
pandangan kalian tentang kehidupan. Nah, sekarang untuk yang
penghabisan kalinya, aku memberi kesempatan kepa?da kalian
untuk bertanya kepadaku apa yang kalian belum mengerti
tentang kehidupan ini."
"Ayah, mengapa dalam kehidupan manusia di dunia ini begitu
banyak terdapat kejahatan" Kalau Tuhan membenci kejahatan,
mengapa Tuhan dengan kekuasaanNya tidak membasmi saja
segala bentuk kejahatan itu?" tanya Pek Hong Niocu.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. "Sian-cai (damai) !
Jangan menggunakan akal pikiran kita yang terbatas dan
sempit, Pek Hong. Ketahuilah, segala sesuatu di alam semesta
ini adalah ciptaan Tuhan dan memang sudah menjadi
kehendaknya bahwa segala sesuatu itu ada dua sifat yang
saling bertentangan namun saling menunjang keberadaan
106 masing-masing. Bahkan perkembangan keadaan hasil ciptaan
itu diadakan karena kedua sifat itu bertemu dan bersatu. Semua
digerakkan oleh kekuasaan Tuhan yang disebut Im dan Yang
(Positive dan Negative). Karena itu, terdapatlah kebaikan dan
kejahatan, karena tanpa adanya yang satu, tidak akan ada pula
yang lain. Ke?adaan mereka saling menunjang walaupun sifat
keduanya saling bertentangan.
"Ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada pria ada
wanita, dan selanjutnya. Kepada manusia telah dikaruniai hati
akal pikiran dan kebebasan untuk menyesuaikan diri dan
memilih, karena itu manusia diberi pengetahuan baik dan buruk
untuk dapat menentukan pilihannya ini. Kalau malam gelap, kita
mempergunakan akal pikiran untuk mengatasi kegelapan, kalau
siang terang dan panas kita pun harus berupaya untuk
mengatasinya dengan menjaga agar jangan langsung menatap
matahari, kalau kepanasan kita berlindung kalau kehujanan kita
berteduh. "Demikian pula dengan adanya kejahatan. Kejahatan harus ada
kalau ada kebaikan, karena kalau tidak ada yang jahat, mana
mungkin ada yang baik" Kalau tidak ada perasaan susah, mana
bisa merasakan senang" Nah, kita diberi kebebasan untuk
memilih. Kalau kita melihat kejahatan dan kebaikan, mana yang
kita pilih" Engkau tentu tahu, Pek Hong, bahwa engkau memilih
kebaikan karena itu menentang kejahatan. Karena itu, kejahatan
itu bagi kita ada manfaatnya juga, yaitu kejahatanlah yang
membawa manusia berusaha untuk menjadi baik."
"Lalu bagaimana agar semua orang bersikap baik kepada kita,
Ayah?" tanya pula Pek Hong Niocu.
107 "Sebabnya keluar dari kita dan akibatnya akan kembali kepada
kita, Anakku. Menghormati, mengasihi, bersikap baik kepada
orang lain berarti menanam sesuatu yang baik dan buahnya
pasti baik pula dan menjadi bagian kita, karena orang lain tentu
akan menghormati, mengasihi dan bersikap baik juga kepada
kita. Kalau kita bersikap buruk kepada orang lain, tentu saja
akibatnya orang lain pun akan bersikap buruk kepada kita.
Melempar batu ke atas akan jatuh kembali kepada kita juga,
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menanam pohon kita mendapatkan buahnya sebaliknya
menanam semak belukar kita mendapatkan durinya."
"Ayah," kini Ang Hwa Sian-li berkata. "Saya melihat betapa
kehidupan dalam dunia ini amat tidak adil. Ada orang-orang
yang kaya raya ada pula yang miskin, ada pula pembesar yang
berkuasa, ada pula rakyat kecil yang tak berdaya. Di mana
adanya keadilan itu, Ayah?"
'Siang In, justeru keadaan itu menandakan adanya dua sifat Im
dan Yang tadi. Justeru adanya perbedaan yang bertentangan
itulah segalanya dapat berjalan baik. Coba bayangkan
bagaimana kalau semua rakyat ini kaya raya" Kita semua akan
kelaparan karena tidak ada yang mau bertani, tidak ada yang
mau bekerja, tidak ada yang berjualan bahan makanan. Kalau
semua orang kaya raya, maka kalau seseorang ingin makan dia
harus menanam padi sendiri, lalu menumbuknya sendiri,
memasaknya sendiri dan selanjutnya. Dapatkah kehidupan
berlangsung seperti itu" Sebaliknya kalau semua rakyat miskin,
kita semua akan menderita kekurangan dan kelaparan, karena
tidak ada uang sama sekali untuk membeli dan mendatangkan
segala keperluan hidup dari daerah lain.
108 03.3. Kasihan Ayah, Seorang Diri!
"Si kaya membutuhkan si miskin dan si miskin membutuhkan si
kaya. Si kaya sebagai pemilik modal memberi lapangan kerja
bagi mereka yang miskin, sebaliknya si miskin sebagai tenaga
kerja untuk melaksanakan terputarnya roda perusahaan si kaya.
Mereka saling membutuhkan karena itu harus dapat bekerja
sama yang baik karena kedua pihak saling menolong. Siapa
yang lebih seyogianya menolong yang kurang, atau tepatnya,
yang mendapat berkah yang berlebihan itu memang diadakan
untuk menyalurkan berkah dari Tuhan itu kepada mereka yang
membutuhkan. Tuhan yang menolong dan memberi kepada
mereka yang membutuhkan itu, dan si kaya hanya menjadi
perantara atau pembagi rejeki yang kesemuanya datang dari
Tuhan. "Adanya pembesar berkuasa atau kita sebut saja Raja yang
berkuasa dan rakyat jelata yang lemah, itu pun sudah
semestinya karena keduanya ada bukan untuk bertentangan,
melainkan untuk saling menunjang demi kebaikan semuanya.
Apa artinya Raja kalau tidak ada rakyatnya" Sebaliknya
bagaimana jadinya dengan rakyat kalau tidak ada yang
memimpin" Keduanya saling membutuhkan."
"Akan tetapi, Ayah. Saya melihat betapa banyaknya pembesar
melakukan kecurangan dan korupsi untuk memperkaya diri
sendiri, hampir semua pejabat kera?jaan melakukan hal buruk
itu, dari yang tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah.
Bagaimana caranya untuk mengatasi hal ini dan untuk
memberantas hal ini agar kerajaan menjadi kuat tidak digerogoti
109 para punggawanya sendiri sehingga kehidupan rakyat menjadi
makmur?" "Siang In, keadaan seperti itu memang selalu menjadi
kelemahan kerajaan ini," Tiong Lee Cin-jin menarik napas
panjang teringat akan mendiang Perdana Menteri Chin Kui dan
seluruh bawahannya yang melakukan korupsi besar-besaran.
"Sebetulnya mudah saja. Pertama sekali, yang berada paling
atas, yaitu Kaisar, haruslah membersihkan dirinya. Kalau Kaisar
bersih tidak korup, tentu dia berani menegur dan menghukum
para menterinya yang bertindak korup. Kemudian, Sang Menteri
yang sudah bersih juga menindak bawahannya yang korup.
Demikian seterusnya menurun ke bawah. Sang Atasan yang
bersih pasti berani menindak bawahan yang kotor sampai
kepada pejabat yang paling rendah kedudukannya. Kalau semua
pejabat dan pemimpin sudah benar-benar bersih, maka akan
mudah mengatur rakyatnya agar tertib dan makmur. Sebaliknya
kalau atasan kotor, bagaimana mungkin dapat menindak
bawahan yang kotor" Manusia membutuhkan tauladan, dan
tauladan harus dimulai dari yang paling atas, terus menurun ke
bawah." "Akan tetapi yang paling atas itu menaulad siapa?" Pek Hong
Niocu bertanya. "Tentu saja menaulad Yang Paling Atas yang telah memberi
petunjukNya melalui wahyuNya yang terdapat dalam kitab suci
agama-agama di dunia. Setiap orang manusia telah diberi
pengertian tentang perbuatan baik dan perbuatan jahat.
Perbuatan baik adalah perbuatan yang bermanfaat dan
membahagiakan orang-orang lain tanpa pamrih demi
110 keuntungan diri sendiri. Sebaliknya perbuatan jahat bersumber
kepada keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dengan
mencelakakan dan menyusahkan orang-orang lain.
"Sesungguhnya, anak-anakku, perbuatan baik atau jahat itu
hanyalah penyaluran dari keadaan dalam hati kita. Kalau kita
menyadari bahwa Tuhan menciptakan kita hidup di dunia ini
mempunyai kewajiban yang harus kita laksanakan, yaitu
berguna bagi manusia dan dunia, maka perbuatan baik itu
hanyalah pelaksanaan kewajiban itu, sedangkan perbuatan jahat
adalah pengingkaran diri dari kewajiban itu. Melakukan kebaikan
kepada orang lain berarti melaksanakan kewajiban manusia
hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Pengingkaran
terhadap kewajiban manusia hidup timbul dari kelemahan kita
sendiri yang menghambakan diri kepada nafsu-nafsu kita sendiri
yang dipergunakan Iblis untuk membujuk dan menjerat kita.
"Terserah kepada kita yang diberi kebebasan oleh Tuhan,
hendak menjadi alat Tuhan atau?kah menjadi alat iblis! Kalau
menjadi alat Tuhan berarti dalam hati ini penuh rasa kasih
sayang kepada sesama hidup dan buah daripada kasih sayang
itu pasti perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna bagi
sesama kita. Sebaliknya, menjadi alat Iblis berarti dalam hati ini
penuh dengan rasa cinta kepada diri sendi?ri, keinginan untuk
menyenangkan diri sendiri terlalu besar sehingga terkadang tega
mengorbankan dan mencelakai orang lain demi tercapainya
kesenangan yang diinginkannya."
"Ayah, ada satu hal lagi yang ingin saya ketahui. Sering sekali
saya mende?ngar orang berkata bahwa Thian (Tuhan) itu Maha
Adil. Akan tetapi kenapa saya melihat banyak orang yang jahat
111 keadaan hidupnya penuh kebahagiaan, kaya raya, terhormat
dan tidak pernah keku?rangan sesuatu, sebaliknya lebih banyak
lagi orang yang dalam hidupnya menjadi orang baik-baik, tidak
pernah melakukan kejahatan, akan tetapi hidupnya selalu
sengsara, miskin dan serba kekurangan, banyak menderita
kesusahan" Bukankah keadaan ini amat tidak adil, Ayah?"
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. "Pek Hong, mungkin
pertanyaanmu ini menjadi pertanyaan jutaan orang manusia
yang hidup di dunia ini dan yang merasa hidupnya serba
kekurangan. Camkan baik-baik, Pek Hong, dan engkau juga,
Siang In. Sudah menjadi anggapan umum yang salah bahwa
kebahagiaan dan kesengsa?raan hidup manusia ini dinilai dari
kekayaan dan kemiskinan. Kita menganggap bahwa orang yang
kaya itulah yang di berkahi Tuhan, sedangkan orang miskin
tidak! Benarkah bahwa berkah dari Tuhan itu yang terpenting
adalah harta kekayaan" Sehingga manusia mengukur berkah
Tuhan itu dari kaya dan miskinnya sese?orang"
"Anggapan itu sungguh picik dan bodoh sekali, anak-anakku.
Berkah Tuhan itu berlimpahan kepada semua orang, bahkan
semua mahluk yang hidup, berge?rak maupun tak bergerak,
semua itu sudah, sedang dan akan menerima berkah Tuhan,
Sumber Abadi segala berkah! Berlimpah dan bermacam-macam,
tak terhitung banyaknya! Dan ketahuilah, sadarlah bahwa harta
kekayaan itu hanya menjadi sebagian saja dari berkah yang tak
terhitung banyaknya. "Kita menganggap hanya orang kaya saja yang mendapat
berkah dan hidup senang karena hati kita sudah dibuat buta oleh
kemilaunya harta benda! Bagaimana kalau orang kaya itu
112 pendek umur" Tentu dia tidak mau karena di samping harta dia
membutuhkan umur panjang. Bagaimana kalau si kaya
menderita sakit berat" Hartanya tidak dapat menolong, berarti di
samping harta benda dia membutuhkan pula kesehatan! Bukan
hanya kese?hatan dirinya, melainkan kesehatan seluruh
keluarganya karena seorang saja di antara mereka sakit atau
mati, kese?nangannya karena memiliki harta benda takkan
terasa lagi. Apakah hanya harta benda, sehat walafiat dan
panjang umur saja yang bisa dianggap berkah. Apakah kalau
orang sudah memiliki ketiganya itu dapat hidup bahagia" Juga
tidak! "Di samping kaya, sehat dan panjang umur, masih ada
kebutuhan lain. Misalnya kerukunan rumah tangga, kerukunan
antar manusia. Apa artinya kaya raya dan sehat kalau setiap hari
suami cekcok dengan isterinya" Rumah gedung akan terasa
seperti neraka! Harta banyak hanya akan memusingkan saja!
Orang kaya raya akan rela mengorbankan seluruh kekayaannya
asalkan dia sembuh dari penyakit yang berat dan mengancam
nya?wanya. Orang sehat berani mengorban?kan kesehatannya
untuk mengejar sesuatu yang dikehendakinya. Karena itu, keliru
kalau dianggap bahwa kaya raya berarti berkah istimewa dari
Tuhan sehingga kalau ada orang jahat kaya dan orang baik-baik
miskin lalu dianggap bahwa Tuhan tidak adil! Keliru sama sekali.
Tuhan Maha Adil, akan tetapi ke?adilanNya tidak dapat diukur,
apalagi diukur dengan keadilan bagi manusia ka?rena setiap
orang manusia mengukur keadilan dari kepentingan diri sendiri.
Kalau menguntungkan aku, namanya adil dan baik, kalau
merugikan aku, adalah tidak adil dan buruk!"
113 "Wah, kalau direnungkan, kebenaran yang Ayah ungkapkan itu
tidak dapat dibantah lagi!" kata Siang In. "Kalau begitu,
kekayaan itu berkah, akan tetapi kesehatan juga berkah yang
tidak kalah nilainya! Akan tetapi, Ayah, mengapa pada umumnya
orang kaya menganggap orang miskin sengsara, sebaliknya
orang miskin menganggap orang kaya bahagia" Siapa yang
benar dalam anggapan ini?"
"Anggapan itu sama salahnya. Anggapan itu muncul karena hati
mereka telah dikuasai nafsu kebendaan sehingga kedua-duanya
mengagung-agungkan harta benda saja, atau kesehatan saja,
atau kerukunan saja. Ada yang mengagungkan kepandaian saja,
atau kedudukan saja, dan sebagainya. Padahal kesemuanya itu
hanya merupakan sebagian saja dari berkah Tuhan, hanya
manusia yang menerima segala macam keadaan sebagai
berkahNya dan bersyukur kepadaNya lalu menyalurkan segala
berkah itu kepada sesamanya, dialah yang berhak merasakan
apa sesungguhnya hidup tenteram, damai dan berbahagia itu."
"Menyalurkan segala berkah kepada sesama" Bagaimana
maksud Ayah?" "Segala berkah itu datang dari Thian, berarti segala sesuatu itu
milik Thian. Kita hidup sebagai manusia mempunyai kewajiban,
yaitu membawa kesejahteraan dalam dunia, khususnya
terhadap sesama manusia dan umumnya kepada segala mahluk
dan lingkungan. Kalau berkah harta yang dilimpahkan kepada
kita, kita sepatutnya bersyukur dengan cara menyalurkan berkah
itu kepada mereka yang benar-benar amat membutuhkan
sehingga yang kaya menolong yang miskin. Kalau berkah itu
berupa kepandaian yang berlebihan, sudah sepatutnya kita
114 bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka
yang memerlukannya sehingga yang pintar menolong yang
bodoh. Kalau berkah itu berupa kekuatan, sudah sepatutnya kita
menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin, yang
pintar menolong yang bodoh, yang kuat menolong yang lemah.
Demikianlah keadilan yang kiranya sesuai dengan kehendak
Thian. "Kami mengerti, Ayah," kata Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai
atau Pek Hong Niocu sambil memegang tangan kiri ayahnya
dengan sikap manja dan tatapan mata penuh hormat dan kasih
sayang. "Akan tetapi, Ayah pernah mengatakan bahwa manusia
hidup harus saling tolong, saling memberi. Lalu bagaimana
dengan dia yang miskin, bodoh dan lemah. Apakah dia itu hanya
tahunya minta saja tanpa mampu memberi apa pun" Apa yang
dapat dia berikan kepada sesama manusia kalau dia miskin,
bodoh dan lemah?" "Pertanyaan yang bagus! Dan jawabnya semoga dapat
menghilangkan rasa rendah diri dan rasa tiada guna bagi
mereka yang merasa miskin, bodoh dan lemah. Mereka ini pun
dapat memberi, bahkan memberi yang tidak kalah besar nilainya
dibandingkan pemberian yang lain tadi. Yaitu, mereka dapat
memberi kejujuran, kesetiaan, dan terutama sekali memberi
sikap ramah, manis budi bahasa, senyum yang tulus, yang
keluar dari hati penuh kasih kepada sesama manusia.
"Justeru pemberian ini merupakan kewajiban yang harus
dilakukan semua orang, kaya miskin, pintar bodoh, kuat lemah
tanpa kecuali. Andaikata engkau diberi harta kepandaian dan
tenaga akan tetapi semua itu diberikan oleh orang dengan muka
115 cemberut, dengan sikap menghina dan membenci, apakah
engkau dapat menerimanya dengan senang" Bu?kankah lebih
senang menerima tegur sapa yang ramah dan hormat, disertai
senyum yang tulus dari seorang yang tidak mampu memberi
harta dan sebagainya itu" Jadi, hati yang penuh kasih yang
membuahkan ketulusan, kejujuran, kesetiaan dan keramahan itu
bahkan jauh lebih tinggi nilainya daripada harta benda dan lainlain yang hanya menyenangkan badan namun tidak
mendatangkan kenyamanan di hati."
Dua orang gadis itu mendengarkan penuh perhatian sambil
memegang tangan ayah mereka. Pek Hong Niocu memegang
tangan kiri dan Ang Hwa Sian-li memegang tangan kanan.
"Ayah, saya ingin tinggal di sini, bersama Ayah saja!" kata Ang
Hwa Sian-li Thio Siang In atau sesungguhnya Sie Siang In
dengan suara gemetar karena ia terharu.
"Saya juga, Ayah! Rasanya hanya dekat Ayah saya dapat
merasa tenteram, penuh damai dan kehidupan terasa nyaman,
nikmat dan penuh kebahagiaan," kata pula Pek Hong Niocu Sie
Pek Hong atau Puteri Moguhai, juga ia merasa terharu dan
rasanya ingin menangis karena harus berpisah dari ayah
kandung yang mendatangkan kasih sayang amat mendalam di
hatinya, setelah selama setahun tinggal bersama ayahnya di
tempat sunyi itu. "Aih, marilah kita belajar jangan terlalu menurutkan keinginan
hati, akan te?tapi harus menggunakan pertimbangan demi
kebaikan semua pihak. Kalian merasa senang di sini, juga aku
akan merasa senang kalau berdekatan dengan kalian kedua
116
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak-anakku. Akan tetapi kese?nangan kita itu menyusahkan
hati kedua orang tua kalian! Aku sudah terbiasa merantau
seorang diri, maka jangan mengkhawatirkan tentang diriku. Juga
jangan lupa kalian sejak kecil telah bersusah payah mempelajari
ilmu silat. Apa artinya menguasai ilmu kalau tidak dipergunakan
dalam kehidupan" Maka, kalian harus kembali ke dunia ramai
dan mengamalkan kepandaian kalian, tentu saja jangan lupa,
mengamalkan demi kebaikan, membebaskan orang dari
penin?dasan, membela kebenaran dan keadilan, menentang
yang jahat. Nah, sekarang kalian pergilah, aku sendiri pun sudah
terlalu lama di sini dan ingin merantau lagi."
Akan tetapi dua orang gadis itu masih memegangi kedua tangan
ayah mereka, enggan melepaskannya.
"Ayah, saya belum ingin berpisah darimu!" kata Pek Hong Niocu.
"Kalau kita berpisah, kapan kita dapat saling bertemu kembali,
Ayah?" kata Ang Hwa Sian-li.
Tiong Lee Cin-jin tertawa. Hati ayah mana yang tidak merasa
senang melihat anak-anaknya demikian sayang kepadanya"
"Ha-ha-ha, kalian tidak boleh cengeng begini! Ada waktu
bertemu, ada waktu berkumpul, tentu akan diakhiri dengan
waktu berpisah! Akan tetapi, setelah berpisah, bukan hal yang
mustahil untuk bertemu kembali. Kita harus percaya bahwa ada
saatnya kita akan dapat saling bertemu kembali, anak-anakku.
Nah, sekarang berkemaslah. Kumpulkan pakaian kalian dan
bersiaplah untuk berangkat!"
Kini dua orang gadis itu menyadari betul bahwa mereka berdua
harus pergi meninggalkan ayah atau guru mereka, maka dengan
117 patuh mereka lalu memasuki pondok dan berkemas dalam
kamar mereka. Mereka membungkus pakaian mereka dengan
kain lalu menggendong bungkusan masing-masing dan keluar
dari pondok. Setibanya di beranda, mereka melihat ayah mereka sedang
duduk ber?samadhi dan mereka berdua tahu bahwa dalam
keadaan seperti itu ayah mereka tidak bisa diganggu karena apa
pun yang mereka lakukan tidak akan mampu mem-buat ayah
mereka terbangun! Mereka tahu bahwa ayah mereka tidak ingin
terpengaruh oleh perasaan sendiri karena perpisahan dengan
dua orang anaknya yang terkasih, maka sebelum mereka
berangkat dia sudah tenggelam ke dalam samadhi. Pek Hong
Niocu menahan isak, lalu merangkul leher ayahnya dan
men?cium kedua pipi ayahnya, baru melepaskannya. Perbuatan
ini ditiru oleh Ang Hwa Sian-li.
"Selamat tinggal, Ayah." Mereka ber?kata hampir berbareng, lalu
mereka melompat dari atas lantai beranda dan keluar. Demikian
cepat gerakan mereka sehingga mereka seolah pandai
menghilang! Kedua orang gadis ini ingin cepat meninggalkan
ayah mereka karena kalau berlama-lama, mereka tentu tidak
akan tega meninggalkan orang tua yang mereka kasihi itu.
Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti berlari dan memutar
tubuh, memandang ke arah Puncak Pelangi dan keduanya
menghela napas panjang. "Kasihan Ayah, di sana seorang diri, kesepian," Ang Hwa Sian-li
mengeluh. 118 "Ya, akan tetapi sudahlah. Kita tahu betapa bijaksana Ayah. Dia
benar, kita tidak mungkin tinggal di sana terus. Orang tua kita
pasti sudah amat menanti-nanti kita. Siang In, sekarang engkau
hendak ke mana?" "Tentu saja pulang, Pek Hong. Orang tuaku tinggal di kota Kangcun, di lembah Sungai Kuning. Dan engkau?"
"Aku juga akan pulang ke kota raja. Kalau begitu, kita samasama menuju ke timur. Kita dapat melakukan perja?lanan
bersama sampai ke kota Kang-cun, di mana engkau akan
berhenti dan aku melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Wah, bagus sekali. Kalau begitu, engkau harus singgah dulu di
rumah kami dan engkau akan kuperkenalkan kepada ayah
ibuku." JILID 4 04.1. Penjahat Berkedok Agama
"Ah, senang sekali!" kata Pek Hong Niocu. "Aku pun ingin sekali
bertemu dengan Ibumu. Bibi Miyana itu adalah sahabat baik
Ibuku, dan ialah yang menolong Ibu, bahkan menolong kita
karena kalau tidak ada ia yang memisahkan kita, mungkin kita
berdua sudah dibunuh oleh Kaisar Kin yang mempunyai
kepercayaan aneh tentang orang kembar!"
"Aku pun kelak akan mengunjungimu, Pek Hong. Aku juga ingin
dan rindu sekali untuk bertemu dengan
ibumu eh, ibu kandungku juga!"
119 "Ya, datanglah, Siang In!
membahagiakan kita semua!"
Pertemuan itu pasti akan Dua orang gadis itu sebentar saja sudah pulih lagi dalam sifat
mereka yang memang biasanya selalu cerah ceria, cerdik dan
lincah. Keharuan yang agak menyedihkan hati mereka karena
harus berpisah dari ayah mereka, hanya sebentar saja menjadi
mendung. Akan tetapi hanya mendung tipis yang mudah ditiup
pergi angin lalu. "Y" Souw Thian Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Akan tetapi
sebelum ia memasuki dusun itu, dia melihat puluhan penduduk
dusun, laki-laki dan perempuan, berbondong keluar dari dusun
menuju ke bukit yang berada tidak jauh dari dusun itu, hanya
sekitar dua lie (mil) jaraknya. Yang amat menarik hati Thian
Liong adalah ketika dia melihat dua orang gadis muda, berusia
sekitar enambelas tahun, berjalan di depan rombongan itu
sambil menangis. Dua orang gadis remaja itu mengenakan pakaian dari sutera
merah dan wajah mereka cukup cantik. Rambut mereka diberi
hiasan yang indah, mengingatkan Thian Liong akan pakaian
pengantin wanita. Apakah dua orang gadis itu pengantinpengantin yang sedang diantar rombongan itu menuju ke rumah
calon suami mereka di dusun lain" Akan tetapi tidak mungkin
kalau mereka itu hendak menikah karena selain dua orang gadis
itu di sepanjang perjalanan menangis sedih, juga wajah
rombongan yang terdiri dari sekitar empatpuluh orang itu semua
tampak muram dan murung. Bahkan ada beberapa orang wanita
120 dalam rombongan itu juga menangis! Rombongan itu lebih
pantas sedang mengiringkan jenazah yang akan dimakamkan
daripada mengiringkan pengantin wanita!
Tentu saja Thian Liong merasa tertarik sekali. Agaknya bukan
rombongan pengiring pengantin, pikirnya. Atau, kalau benar
mengiringkan pengantin, agaknya dua orang pengantin wanita
itu dipaksa menjadi pengantin dan para penduduk itu tidak
berani membantah. Apakah ada hartawan atau orang
berpangkat yang memaksa gadis-gadis itu agar diantarkan ke
rumahnya, mungkin di dusun atau kota lain, untuk dijadikan selirselirnya" Dan para penduduk dusun ini tidak berani menolak
paksaannya" Diam-diam Thian Liong membayangi, siap
menolong kalau dua orang gadis itu benar-benar dipaksa orang
untuk menikah di luar kehendak mereka. Siap pula untuk
menentang orang yang menggunakan kekuasaan untuk
memaksakan kehendaknya kepada para penduduk dusun!
Rombongan itu ternyata menuju ke bukit, lalu mendaki bukit itu
perlahan-lahan seolah merasa ragu atau takut. Dua orang gadis
remaja tetap menangis sambil melangkah perlahan-lahan.
Ketika rombongan itu tiba di lereng bukit, mereka berhenti di
depan sebuah kuil tua. Kuil itu agaknya kuil kuno yang tidak
terpelihara. Temboknya ditumbuhi lumut dan sebagian ada yang
retak, dan gentingnya juga banyak yang pecah. Thian Liong
yang membayangi dari belakang mengintai dari balik sebatang
pohon besar. Dia merasa semakin heran melihat betapa
rombongan itu semua berhenti di depan kuil, di pekarangan kuil
yang luas dan penuh daun kering. Dua orang gadis berpakaian
merah itu tidak menangis lagi, akan tetapi dengan muka pucat
121 dan mata terbelalak seperti dua ekor domba yang dibawa ke
depan tempat penjagalan mereka memandang ke arah pintu kuil
yang besar. Daun pintu kuil itu, dari kayu tebal yang pinggirnya
sudah lapuk, tertutup. Thian Liong juga memandang ke arah daun pintu yang tertutup
itu dengan hati tegang. Dia belum dapat menduga apa yang
akan dilakukan rombongan orang dusun itu dan mereka semua
tampak begitu ketakutan. Apa yang sudah, sedang dan akan
terjadi" Dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh,
Thian Liong menyelinap dari pohon ke pohon dan mendekati
mereka sehingga dia tidak hanya dapat melihat mereka, akan
tetapi juga akan dapat mendengarkan percakapan mereka. Akan
tetapi semua orang itu berdiam diri, tidak ada yang
mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan agaknya kebanyakan
dari mereka menahan napas!
Bunyi berderit pada daun pintu mengejutkan semua orang yang
segera memandang ke arah pintu. Daun pintu dibuka dari dalam
dan kini pintunya ternganga lebar. Thian Liong juga
meman?dang ke arah pintu dengan penuh perhatian. Tampak
remang-remang sebuah meja sembahyang besar dengan
hidangan sembahyang sebagai korban terdiri dari buah-buahan.
Di belakang meja itu terdapat sehelai kain putih yang digambari
seekor ular hitam besar dengan mata seolah bernyala
mencorong dan moncongnya terbuka mengeluarkan api! Akan
tetapi semua itu hanya tampak remang-remang karena ruangan
itu dipenuhi asap yang mengepul keluar dari banyak hio (dupa)
yang dibakar. Baunya harum-harum memusingkan, tercium
sampai di tempat di mana Thian Liong mengintai.
122 Kemudian muncullah tiga orang dari dalam kuil dan mereka
berdiri di depan pintu. Mereka adalah tiga orang laki-laki berusia
sekitar tigapuluh tahun. Rambut mereka semua diikat ke atas
dengan pita putih, akan tetapi pakaian mereka serba hitam. Di
bagian dada terdapat lingkaran besar dengan dasar putih dan di
tengah lingkaran terdapat gambar ular seperti yang dipasang di
belakang meja sembahyang. Sepatu mereka juga hitam dan di
punggung tiga orang itu tergantung sebatang pedang. Tubuh
mereka tinggi besar dan kokoh. Wajah mereka tampak kaku
menyeramkan, akan tetapi tampak serius seperti seorang yang
agaknya tidak acuh lagi terhadap urusan dunia!
Seorang laki-laki berusia enampuluh tahun yang menjadi wakil
penduduk karena dia adalah kepala dusun, melangkah maju dan
segera memberi hormat kepada tiga orang berpakaian, hitam itu
sambil membungkuk dalam. "Sam-wi To-tiang (Bapak Pendeta Bertiga), kami datang untuk
memenuhi perintah yang mulia Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam),
menyerahkan dua orang gadis kami untuk menjadi pengantin
Dewa Penjaga Bukit," kata kepala dusun dengan suara gemetar.
Seorang di antara tiga orang berpakaian hitam-hitam yang
disebut bapak pendeta itu berkata, suaranya tegas dan lantang.
"Pimpin dua calon pengantin untuk sembahyang, baru kita akan
mendengar sendiri dari Kauw-cu (ketua agama) Hek-coa-kauw
(Perkumpulan Agama Ular Hitam) apakah persembahan ini
dapat diterima oleh Hek-coa-sian ataukah tidak!"
"Baik, To-tiang. Mari, anak-anak, kita bersembahyang." 123 Kepala dusun itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis
remaja yang wajahnya menjadi pucat sekali, dituntunnya
memasuki pintu lebar setelah tiga orang pendeta perkumpulan
Ular Hitam itu mundur memasuki ruangan sembahyang kuil itu.
Para penduduk hanya melihat dari luar. Karena pintu itu
memang lebar sekali, maka mereka dapat melihat dengan jelas
apa yang terjadi di ruangan sembahyang. Bahkan Thian Liong
yang bersembunyi dan mengintai, juga dapat melihat ke dalam
ruangan asap itu. Dua orang gadis itu lalu disuruh bersembahyang,
mengacungkan hio-swa (dupa biting) yang ujungnya membara,
kemudian setelah dupa biting itu ditancapkan di hio-lou (tempat
abu dupa), mereka berdua disuruh berlutut dan pai-kwi
(menyembah dengan dahi menyentuh lantai) sampai delapan
kali. Setelah upacara sembahyang selesai, dua orang gadis itu dan si
kepala dusun diminta agar keluar kembali dan berdiri di depan
pintu seperti tadi. "Kalian tunggu di sini. Kami akan mengundang Ketua kami yang
akan memutuskan apakah Hek-coa-sian berkenan menerima
dua orang gadis korban ini atau tidak." Setelah berkata
demikian, tiga orang pendeta itu bersembahyang di depan meja
sembahyang dan membakar banyak dupa sehingga di ruangan
itu kini tertutup asap yang mengepul tebal. Terdengar seruan
mereka. "Kami mengundang, yang mulia Kauw-cu (Kepala Agama) untuk
datang dan memberi penjelasan dan perintah!"
124 Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan dan tampak asap hitam
mengepul di tengah asap putih. Lalu dari asap hitam itu muncul
seorang laki-laki yang tubuhnya seperti raksasa, matanya lebar
menco?rong. Tiga orang pendeta itu tampak kecil dibandingkan
raksasa ini. Mukanya hitam menakutkan dan dia pun
mengenakan pakaian hitam dengan tanda gambar ular hitam
seperti tiga orang anak buahnya. Akan tetapi ada seekor ular
hitam sebesar lengannya mengalungi leher dan tangan kirinya
memegang leher ular itu dan kepala ular itu menjulur ke depan,
moncongnya dan matanya kemerahan, lidahnya yang bercabang
itu keluar masuk moncong. Semua orang merasa ngeri dan
hampir tidak berani memandang raksasa hitam yang disebut
sebagai kauw-cu (kepala agama) dari Hek-coa-kauw (Agama
Ular Hitam) itu. Kemudian terdengar raksasa hitam itu bicara. Suaranya parau
dan besar, dengan logat asing. "Hek-coa-sian dapat menerima
korban dua orang gadis ini dan mau mengampuni semua
penduduk. Akan tetapi Hek-coa-sian minta agar mereka
menjalani dulu pembersihan diri dan berganti pakaian yang
sudah disediakan, baru kita semua akan mengantar mereka ke
puncak bukit. Kami minta dua orang wanita untuk memandikan
mereka. Air kembang sudah tersedia di dalam, dan setelah
dimandikan bersih, mereka harus diasapi dupa harum agar layak
berdekatan dengan Dewa Ular Hitam!"
Seorang wanita setengah tua disuruh maju oleh kepala dusun.
Dengan gemetar wanita itu menghampiri dua orang gadis. Akan
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi dua orang gadis itu tiba-tiba menjerit dan menangis
sehingga para penduduk menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka
takut kalau-kalau kerewelan dua orang gadis yang hendak
125 dikorbankan itu akan membuat sang dewa marah dan mereka
semua akan ditumpas binasa seperti yang telah diancamkan
kepada mereka. "Ah, diamlah kalian!" bentak kepala dusun, lalu dia memberi
hormat kepada Hek-coa-kauwcu. "Kauwcu, maafkan kami "
Laki-laki bertubuh raksasa dengan muka hitam itu tertawa dan
menghampiri dua orang gadis yang menangis tersedu-sedu.
Kepala ular itu terjulur mendekati dua orang gadis, moncongnya
agak terbuka dan lidahnya menjilat-jilat. Dua orang gadis
ketakutan. Kepala ular mulai bergerak terayun ke kanan kiri. Dua
orang gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mereka
berhenti menangis. Hanya air mata mereka saja yang masih
berlinang. "Heh, dua orang Nona pengantin! Kalian taat dan akan
melakukan segala perintah kami dengan senang hati. Mengerti?"
Aneh! Dua orang gadis itu mengangguk dan mereka tampak
begitu penurut ketika wanita setengah tua itu, atas petunjuk
seorang di antara tiga orang pendeta tadi menuntun mereka
masuk. Mereka berdua dimandikan dengan air kembang
kemudian diasapi dupa harum dan mereka taat dan sama sekali
tidak membantah, juga tidak menangis lagi! Setelah mandi dan
diasapi sehingga seluruh tubuh mereka selain bersih juga
berbau harum bunga dan dupa, mereka lalu disuruh
mengenakan pakaian dari sutera putih yang halus dan tembus
pandang. Ketika mereka dituntun keluar, semua orang
memandang dengan heran dan kagum. Dua orang gadis remaja
126 itu tampak seolah dewi dari kahyangan, dengan pakaian sutera
putih tipis itu. Ketua agama Hek-coa-kauw itu lalu menggandeng tangan kedua
orang gadis, di kanan kirinya, lalu mengajak mereka berdua
berjalan keluar dari kuil dan mendaki ke puncak bukit. Para
penduduk dusun diperbolehkan ikut untuk menyaksikan bahwa
benar-benar dua orang gadis itu dikorbankan kepada Dewa Ular
Hitam penjaga bukit. Berbondong-bondong semua orang
mengikuti Hek-coa-kauwcu yang menggandeng dua orang gadis
"pengantin" itu dengan kagum dan heran karena kini dua orang
gadis itu sama sekali tidak sedih dan takut, tidak menangis lagi
bahkan ada senyum berkembang di bibir mereka! Tiga orang
pendeta atau anggauta Hek-coa-kauwcu tadi tidak ikut mendaki
bukit. Semua orang mengira bahwa mereka bertiga bertugas di
kuil dan tidak ikut naik ke puncak.
Karena letak kuil itu memang sudah dekat puncak, maka
sebentar saja mereka sudah tiba di puncak. Semua orang
memandang ngeri ke sebuah lubang besar seperti sumur yang
dikelilingi batu-batu hitam. Itulah lubang yang oleh Hek-coakauwcu dinamakan pintu istana Dewa Ular Hitam! Sudah
beberapa kali selama tiga bulan ini mereka menyaksikan korban
dijatuhkan ke dalam lubang yang lebar itu. Bahkan kerbau pun
dapat dimasukkan lubang itu!
Setelah Hek-coa-kauwcu dan dua orang gadis berdiri di tepi
lubang dan dua orang gadis itu sama sekali tidak tampak takut,
Hek-coa-kauwcu lalu mengadakan upacara sembahyang
singkat. Dia membakar dupa sembahyang memberi hormat ke
arah lubang dan berseru lantang sekali. "Oh, Dewa Ular Hitam
127 yang mulia! Terimalah korban persembahan penduduk dusun ini
dan berkahi mereka semua!"
Setelah bersembahyang, raksasa muka hitam itu
menggunakan kedua tangannya yang besar, menangkap
dua orang gadis itu dan lalu melempar kedua orang gadis
itu dalam lubang! Terdengar suara menggelegar dari bawah,
suara yang bergema seperti guntur.
"Kami terima persembahan!"
Semua orang menundukkan muka. Ada yang berkemak-kemik
sembahyang. Hek-coa-kauwcu lalu melangkah menuruni puncak, diikuti oleh
semua penduduk yang merasa ngeri dan tidak berani berlamalama berada di puncak itu yang menjadi "istana" Dewa Ular
hitam! Akan tetapi kalau semua orang terburu-buru mengikuti Hek-coakauwcu menuruni puncak, ada dua orang wanita setengah tua
turun tertatih-tatih lemas sambil menangis mereka tertinggal jauh
sekali oleh orang-orang lain.
Tiba-tiba mereka berhenti melangkah dan terbelalak
memandang seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di depan
mereka. Pemuda ini adalah Thian Liong. Dia menyaksikan
semua yang terjadi. Sejak munculnya tiga orang pendeta tadi,
dia sudah merasa curiga sekali. Apalagi setelah muncul Hekcoa-kauwcu yang menggunakan asap hitam tebal untuk muncul
secara ajaib, lalu melihat betapa Hek-coa-kauwcu menggunakan
128 sihir untuk membuat dua orang gadis itu menjadi penurut,
hatinya sudah menduga bahwa dia berhadapan dengan orangorang jahat yang berkedok agama sesat. Akan tetapi dia tidak
segera turun tangan karena ingin melihat apa yang akan terjadi
selanjutnya. Ketika dia melihat dua orang gadis itu benar-benar dilempar ke
dalam sumur, dia terkejut. Tadinya dia mengira bahwa penjahatpenjahat itu akan mengambil dua orang gadis itu untuk mereka
sendiri. Tidak tahunya mereka dilempar ke dalam sumur yang
dinamakan "Pintu Istana Dewa Ular Hitam"! Dia menjadi raguragu dan melihat dua orang wanita setengah tua itu pergi
dengan lemas sambil menangis, dia cepat menghadang mereka.
"Jangan takut, Bibi!" katanya lembut melihat dua orang wanita itu
memandang kepadanya dengan wajah ketakutan. "Aku bukan
penduduk sini, akan tetapi aku berniat menolong. Ceritakanlah
mengapa kalian menangis?"
Melihat penampilan dan mendengar suara lembut Thian Liong,
dua orang wanita itu tidak takut dan ragu-ragu lagi. "Kami sedih
karena dua orang gadis yang dikorbankan itu adalah puteri
kami." "Hemm, mengapa puteri kalian yang dikorbankan?"
"Karena anak-anak kami berdua itu termasuk cantik, dan juga
karena kami sudah janda, maka kepala dusun dapat memaksa
kami dua orang janda yang tidak berdaya untuk merelakan anak
kami dijadikan korban."
129 "Akan tetapi apa yang terjadi" Siapakah Hek-coa-kauwcu itu dan
mengapa para penduduk dusun menyerahkan anak gadis kalian
sebakal korban kepada Dewa Ular Hitam" Siapa pula dewa itu?"
Secara bergantian, saling bantu dan saling melengkapi, dua
orang janda itu bercerita. Dimulainya pada tiga bulan yang lalu.
Tiga orang pendeta berpakaian hitam dengan gambar ular hitam
di dada itu memasuki dusun dan memperkenalkan agama baru
yang mereka namakan Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam)
kepada mereka. Para pendeta itu mengatakan bahwa mereka
menggunakan kuil tua di lereng bukit sebagai kuil mereka dan
mereka mengundang para penduduk untuk bersembahyang ke
kuil untuk mendapatkan bantuan berupa apa saja!
Penyembuhan orang sakit, memperbanyak rejeki, mempermudah datangnya jodoh, meramal nasib dan
sebagainya. Para penduduk percaya, apa lagi setelah kabarnya banyak
penduduk terkabul keinginan mereka. Dan yang lebih
mengesankan, mereka melihat kemunculan ketua agama, yaitu
Hek-coa-kauwcu secara gaib, melihat pula betapa ketua itu sakti
dan pandai, semua orang semakin percaya dan tunduk.
Kemudian mulailah Hek-coa-kauwcu, melalui tiga orang anak
buahnya, mengajukan permintaan yang bukan-bukan.
"Mula-mula mereka minta agar korban berupa emas dan perak
dihaturkan kepada Dewa Ular yang berdiam di puncak sebagai
penjaga bukit. Kemudian mereka minta korban berupa ternak
kerbau, kambing atau ayam, yang katanya perintah itu
datangnya dari Dewa Ular Hitam.
130 "Kami percaya karena semua korban itu dilempar ke dalam
sumur mengerikan itu!"
"Mengapa penduduk dusun menurut saja dan tidak menolak?"
tanya Thian Liong heran. 04.2. Penjelmaan Dewa Ular Hitam
"Mula-mula kami menolak, akan tetapi setiap kali ada satu
permintaan tidak dipenuhi, pasti ada seorang penduduk yang
tewas secara aneh, tanpa luka sedikit pun dan para pendeta itu
mengatakan bahwa itu adalah kutuk dari Dewa Ular Hitam!
Setelah ada lima orang yang tewas akibat penolakan kami,
semua orang tidak berani lagi menolak. Bahkan ketika ada
permintaan agar dikorbankan gadis-gadis cantik, tidak ada yang
bera?ni menolak. Sudah empat orang gadis dikorbankan, enam
orang termasuk anak kami tadi." Dua orang janda itu menangis
1agi. Thian Liong menekan hatinya agar jangan meledak
kemarahannya. Sungguh jahat para penjahat yang menggunakan kedok agama baru itu! Harta benda dan hewan
ternak para penduduk dusun yang hidupnya tak dapat dibilang
berlebihan itu mereka minta dengan paksaan, bahkan enam
orang gadis para penduduk dusun itu mereka ambil. Juga ada
beberapa orang mereka bunuh untuk membuat para penduduk
menjadi takut dan mulai menaati segala perintah para penjahat
itu, memenuhi segala tuntutannya.
"Pulanglah, Bibi. Aku akan membebaskan anak-anak kalian dan
membawa mereka pulang ke dusun kalian."
131 Setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh Thian Liong
sudah lenyap dari depan dua orang janda itu. Mereka terbelalak,
saling pandang, lalu menjatuhkan diri berlutut menghaturkan
terima kasih kepada Thian karena mereka merasa yakin bahwa
Tuhan yang mengutus seorang dewa penolong untuk
menyelamatkan dua orang anak mereka dan seluruh penduduk
dusun! Kemudian, setelah menghaturkan terima kasih, kedua orang
janda ini berlari secepatnya pulang ke dusun mereka dan
menceritakan kepada semua orang tentang pertemuan mereka
dengan seorang dewa yang berjanji akan menolong dan
memulangkan dua orang anak gadis mereka. Mendengar cerita
ini, kepala dusun, lalu beramai-ramai melakukan sembahyang, menghaturkan terima kasih kepada Thian
dan mendoakan semoga "pemuda dewa" yang akan menolong
mereka itu akan berhasil membasmi Hek-coa-kauw yang jahat
itu sehingga dusun mereka akan terbebas dari ancaman dan
pemerasan pendeta itu. Sementara itu, Thian Liong berlari cepat mendaki puncak itu dan
setelah tiba di puncak, dia menghampiri lubang yang disebut
sebagai pintu istana Dewa Ular Hitam! Dia melihat ke bawah.
Gelap dan tidak tampak sesuatu karena bayangan batu-batu
menutupi lubang itu sehingga gelap. Tadi, ketika dua orang
gadis itu dilempar ke dalam sumur ini, tidak terdengar bunyi
benda jatuh karena saat itu terdengar suara yang menggelegar
dari bawah sehingga tentu saja suara itu menutupi semua suara
lain yang keluar dari sumur itu.
132 Thian Liong mengambil sepotong batu dan melempar ke dalam
sumur sambil mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pendengarannya sangat peka dan terlatih. Dalam waktu pendek
dia mendengar suara, bukan berdebuknya suara batu jatuh di
tanah, akan tetapi suara batu itu jatuh di tempat yang lunak
karena yang tertangkap pendengarannya hanya suara "wutt!"
yang lemah. Mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah
tinggi tingkatnya, dia melayang ke dalam sumur sambil
mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Terbang) untuk
menjaga kalau kalau ada serangan menyambutnya. Akan tetapi
serangan itu tidak ada, dan kakinya menyentuh tali temali.
Cuaca di dasar sumur itu ternyata tidak terlalu gelap dan
remang-remang dia dapat melihat bahwa dia hinggap di dalam
kantung dari jala atau jaring terbuat dari tali yang kuat! Ah,
kedua orang gadis itu tadi tentu tidak terluka dan terjatuh ke
dalam jaring ini, pikirnya. Hemm, tidak salah dugaannya.
Pelemparan korban ke dalam sumur itu hanya tipuan saja untuk
mengelabuhi para penduduk dusun agar mereka percaya bahwa
yang minta disediakan korban-korban itu benar-benar Dewa Ular
Hitam penunggu bukit! Akan tetapi Thian Liong mendengar langkah kaki mendatangi
tempat itu. Ah, jaring ini pasti dihubungkan dengan suatu alat
yang menggerakkan sesuatu yang menimbulkan suara atau
tanda bahwa ada yang terjatuh ke dalam jaring. Dia
mendengarkan dan tahu bahwa yang datang ada tiga orang.
Dari langkah mereka itu dia dapat mengukur ilmu meringankan
tubuh mereka. Memang lebih dari orang biasa, namun tidak
berapa mengkhawatirkan bagi dia. Cepat dia menyarungkan
133 pedangnya lalu menyembunyikan pedang itu di balik bajunya,
diselipkan di balik baju di ikat pinggangnya. Dia ingin melihat apa
yang akan dilakukan penjahat-penjahat itu.
Bersama dengan datangnya tiga orang itu, tampak sinar
menerangi tempat itu. Ternyata seorang di antara mereka
bertiga membawa sebatang obor yang bernyala terang. Thian
Liong segera menge?nal tiga wajah pendeta-pendeta yang tadi
menyambut orang-orang dusun yang mengantar dua orang
gadis ke kuil. Tiga orang tinggi besar yang memakai pakaian
serba hitam dengan gambar ular hitam pada latar belakang
lingkaran putih di dada. Melihat bahwa yang terjatuh ke dalam jaring adalah seorang
pemuda yang tidak mereka kenal, tiga orang itu mengerutkan
alis dan dengan wajah beringas mereka mendekati Thian Liong
yang seperti seekor ikan besar dalam jaring itu.
"Hei, siapa engkau?" seorang dari mereka membentak.
"Aku ?" Thian Liong bersikap ketakutan. "Saya saya
dimasukkan pintu istana Dewa Ular Hitam oleh penduduk dusun,
dijadikan korban untuk menyenangkan hati Dewa yang mulia.
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barang kali Dewa Ular Hitam membutuhkan seorang laki-laki
sebagai pelayan." "Hemm, boleh juga. Kita memang membutuhkan pelayan untuk
disuruh-suruh," kata seorang dari mereka yang hidungnya besar
seperti disengat tawon sehingga membengkak, kepada dua
orang kawannya. 134 "Aaahh! Lebih baik kita bunuh saja orang lancang ini! Dia dapat
membocorkan rahasia kita!" kata orang kedua yang kepalanya
botak sehingga licin mengkilap ketika ditimpa sinar obor.
"Eh, kalian jangan tergesa-gesa mengambil keputusan
seenaknya sendiri. Yang berhak mengambil keputusan adalah
Gu-twako eh, Kauwcu. Mari kita bawa tawanan ini kepada Kauwcu, terserah kepadanya mau
diapakan bocah ini. Mau di jadikan pelayan, atau dibunuh, kita
tinggal melaksanakan. Kalau kita mendahului mengambil
keputusan di luar tahunya, dia akan marah dan celakalah kita."
Dua orang yang lain membenarkan ucapan orang ketiga yang
memakai jenggot pendek kaku seperti kawat dan matanya lebar.
Mereka lalu melepaskan ikatan jaring sehingga Thian Liong
terlepas dari jaring yang tergantung sekitar lima kaki (1,5 meter)
dari tanah itu. Thian Liong membiarkan dirinya lemas sehingga
dia jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat betapa pemuda itu
seorang lemah, maka tiga orang pendeta atau anak buah Hekcoa-kauw itu tidak merasa perlu untuk meringkus atau
membelenggunya. "Hayo jalan kau!" bentak Si Hidung Bengkak yang memegang
obor sambil mendorong Thian Liong dengan tangan kiri. Tenaga
dorongan itu cukup kuat dan tentu saja bagi Thian Liong tidak
ada artinya. Akan tetapi dia pura-pura huyung, lalu dia
melangkah maju memasuki terowongan yang jalannya menurun.
Diam-diam Thian Liong memperhitungkan. Terowongan itu
cukup jauh, merupakan terowongan yang tingginya sekitar dua
meter, lebarnya satu setengah meter. Hemm, kalau tidak salah
135 perkiraannya, terowongan itu terus menurun menuju ke arah
kuil! Setelah cukup jauh mereka berjalan, mereka tiba di sebuah
ruangan yang cukup luas dan Si Hidung Bengkak memadamkan
obornya karena ruangan itu terang, selain mendapat cahaya
matahari yang datang dari bagian atas yang berlubang-lubang
dan berbatu, juga di situ terdapat penerangan lampu-lampu
gantung yang cukup banyak.
Memasuki ruangan yang luas itu, segera Thian Liong
mendengar isak tertahan dari sebelah kiri. Dia menoleh dan
melihat sebuah kamar yang pintunya berterali (memakai kisi-kisi)
sehingga dia dapat melihat keadaan dalam kamar itu. Tampak
ada empat orang gadis muda duduk di atas sebuah
pembaringan dan keempatnya menangis tanpa suara, hanya
terisak-isak. Wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan
mereka kelihatan ketakutan dan berduka. Thian Liong teringat
akan cerita dua orang janda bahwa selain dua orang gadis anak
mereka, lebih dulu sudah ada empat orang gadis yang dijadikan
korban dilempar ke dalam pintu istana Dewa Ular Hitam itu.
Tentu inilah empat orang gadis yang dijadikan korban itu.
"Hayo jalan terus, jangan berhenti dan memandang ke manamana!" bentak Pendeta yang kepalanya botak sambil
mendorong punggung Thian Liong sehingga pemuda itu
terhuyung ke depan. Setelah melewati ruangan itu, mereka tiba
di sebuah ruangan lain dan dalam ruangan itu terdapat sebuah
meja besar, empat buah kursi dan sebuah pembaringan besar.
Di sudut terdapat dua buah bangku dan panaslah hati Thian
Liong melihat betapa di setiap bangku rebah telentang seorang
gadis yang kaki dan tangannya terikat pada bangku. Itulah dua
orang gadis remaja yang tadi dilempar ke dalam sumur! Dua
136 orang gadis itu juga menangis tanpa suara, tampak ketakutan
dan tidak berdaya. Thian Liong merasa lega karena dia dapat melihat bahwa dua
orang gadis remaja yang baru saja ditawan itu belum terganggu.
Kedatangannya tidak terlambat! Dia melihat seorang laki-laki
raksasa yang tadi mengaku sebagai Hek-coa-kauwcu, duduk
menghadapi meja yang besar di mana terhidang beberapa
mangkok masakan dan seguci arak dengan cawannya. Dan di
sudut ruangan itu Thian Liong melihat sebuah peti besar. Pasti
itu tempat penyimpanan harta benda yang mereka dapatkan dari
para penduduk, pikir Thian Liong.
"Hemm, bagaimana kalian dapat menangkap anjing ini?" Hekcoa-kauwcu itu bertanya sambil memandang rendah ke?pada
Thian Liong. "Dia terjatuh ke dalam jaring, Kauw-cu. Katanya dia memang
dijadikan korban agar menjadi pelayan di sini," kata Si Kepala
Botak. "Bohong! Tidak mungkin penduduk dusun memberikan sesuatu
yang tidak kita minta. Paksa dia untuk mengaku!" kata raksasa
bermuka hitam itu. "Berlutut kau!" bentak Si Hidung Besar sambil mendorong Thian
Liong agar berlutut menghadap raksasa muka hitam itu. Akan
tetapi sekarang setelah Thian Liong tahu bahwa gerombolan
penjahat itu hanya terdiri dari empat orang itu, dia segera
bertindak. Ketika Si Hidung Besar mendorongnya, tubuhnya
sama sekali tidak terguncang dan dia cepat membalik,
menangkap lengan orang yang mendorongnya dan sekali tarik
137 dengan pengerahan tenaga, Si Hidung Besar itu yang roboh
berlutut! Melihat ini, dua orang kawannya, yaitu Si Botak dan Si Mata
Lebar berjenggot menjadi marah. Tanpa berkata apa-apa lagi
mereka berdua menerjang Thian Liong sambil mencabut pedang
yang tergantung di pungung mereka. Thian Liong cepat
mengelak. Si Hidung Besar sudah bangkit pula dan dengan
pedang di tangan dia pun mengeroyok Thian Liong.
Pemuda ini tidak mau memberi hati lagi. Tubuhnya bergerak
cepat sekali sehingga yang tampak hanya bayangannya saja
berkelebat, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan
terdengar teriakan tiga orang pengeroyok itu dan satu demi satu
mereka roboh dengan tubuh terluka berdarah oleh pedang
mereka sendiri. Ternyata Thian Liong dapat menangkap
pergelangan tangan para pengeroyok yang memegang pedang
dan membalikkan ta?ngan itu sehingga pedangnya melukai si
pemegang sendiri. Ada yang pundaknya terbacok, ada yang
lengan kirinya terbacok, dan ada yang pedangnya meluncur ke
bawah melukai paha sendiri. Tiga orang itu terpelanting dan
mengaduh-aduh dengan bagian tubuh yang terluka itu
bercucuran darah. Hek-coa-kauwcu menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan
main. Dia bangkit berdiri dan membuka lingkaran ular hitam
yang melilit pinggangnya. Entah apa yang dilakukannya
terhadap ular hitam itu karena tiba?tiba ular hitam itu
mengangkat kepala tinggi-tinggi dan mengeluarkan suara
mendesis-desis marah dan dari moncongnya menyambar uap
kehitaman yang mengeluarkan bau amis!
138 Thian Liong maklum bahwa ular itu berbisa dan berbahaya
sekali, maka sekaIi kakinya mencuat, meja yang berada di
depan raksasa muka hitam itu ditendangnya sehingga meja itu
melayang ke arah Hek-coa-kauwcu, didahului oleh mangkokmangkok sayur, guci dan cawan arak! Akan tetapi ternyata
raksasa muka hitam itu, biarpun memiliki tubuh tinggi besar
dengan perut gendut, dapat bergerak dengan gesit sekali.
Tubuhnya sudah mencelat ke kiri sehingga serangan meja itu
tidak mengenai dirinya. "Anjing kecil, mampus kau!" bentaknya dan sinar hitam
menyambar leher Thian Liong. Itu adalah ular yang dipegang
ekornya oleh Hek-coa-kauwcu dan diayun menyerang Thian
Liong. Moncong ular itu terbuka siap menggigit leher pemuda itu.
Akan tetapi dengan mudah saja Thian Liong menghindar dengan
langkah kakinya, kemudian dari samping dia membalas dengan
serangan kakinya yang mencuat dalam sebuah tendangan kilat
yang mendatangkan angin dahsyat ke arah perut gendut lawan.
Hek-coa-kauwcu menggerakkan tangan kirinya yang besar dan
panjang, mengerahkan tenaga menangkis ke arah kaki yang
menyambar dengan maksud untuk memukul patah kaki lawan.
"Syuuuttt dukkk!!" Hebat sekali benturan antara
kaki dan lengan yang besarnya berimbang dengan kaki Thian
Liong. Seluruh ruangan itu seperti tergetar oleh pertemuan dua
tenaga dahsyat itu dan akibatnya, tubuh Hek-coa-kauwcu
terhuyung ke belakang dan lengannya yang menangkis terasa
panas dan nyeri! Hek-coa-kauwcu menjadi semakin marah, juga
dia menyadari bahwa pemuda itu bukanlah seorang korban
139 seperti pe?ngakuannya, melainkan seorang pendekar yang jelas
hendak menentangnya. Melihat bahaya mengancam dan tiga orang murid yang
membantunya dalam aksi kejahatan yang berkedok agama baru
Hek-coa-kauwcu itu kini telah terkapar dan terluka sehingga
tidak dapat membantunya lagi, dia menjadi nekat. Akan tetapi,
dia pun mencari jalan untuk dapat mempergunakan ilmu
sihirnya, maka setelah adu tenaga tadi, dia berseru.
"Tahan dulu! Orang muda, jelas bahwa engkau bukan seorang
penduduk dusun dan engkau sengaja datang hendak
mengganggu kami! Katakan, siapa engkau?"
"Namaku Souw Thian Liong. Jangan katakan bahwa aku datang
hendak mengganggu karena kalau bicara tentang gangguan,
engkau dan tiga pembantumulah yang mengganggu penduduk
dusun selama tiga bulan ini! Engkau dapat membodohi
penduduk dusun tentang Dewa Ular Hitam itu, akan tetapi aku
tahu bahwa engkau telah membohongi rakyat. Aku datang untuk
menghentikan kejahatanmu yang keji itu! Engkau bukan saja
memeras rakyat untuk menyerahkan harta benda dan ternak
mereka, akan tetapi juga mengganggu gadis-gadis mereka!"
Diam-diam Hek-coa-kauwcu membaca mantera, mengerahkan
kekuatan sihir dalam pandang matanya, lalu membentak. "Souw
Thian Liong! Aku tidak berbohong. Lihat baik-baik, aku adalah
penjelmaan Dewa Ular Hitam!"
Raksasa itu membuat gerakan dengan kedua tangannya ke arah
Thian Liong, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesisdesis dan mengalungkan ular hitamnya di leher. Kedua matanya
140 mencorong dan mengandung getaran tenaga sihir yang amat
kuat! Thian Liong kagum juga karena getaran tenaga sihir itu
sedemikian kuatnya sehingga mendadak dia melihat betapa
kepala laki-laki tinggi besar itu berubah menjadi kepala ular
raksasa yang amat mengerikan!
Akan tetapi Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin yang
sakti dan yang tahu akan segala macam ilmu sihir yang berasal
dari negara barat (India) dan tahu pula bagaimana untuk
mengatasinya. Maka, melihat perubahan kepala itu, Thian Liong
tersenyum tenang dan begitu dia mengerahkan kekuatan
batinnya, kepala raksasa itu pulih kembali seperti biasa.
Hek-coa-kauwcu tidak menyadari bahwa Thian Liong tidak
terpengaruh oleh sihirnya dan mengira bahwa pemuda itu telah
dapat dia pengaruhi, dia lalu berseru nyaring dengan suara
memerintah. "Souw Thian Liong, berlututlah engkau dan beri hormat kepada
Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam)!"
Thian Liong dapat merasakan getaran kuat menyerangnya dan
hendak memaksanya menjatuhkan dirinya berlutut. Akan tetapi
dengan pengerahan tenaga dalamnya dia dapat menangkis
serangan ini, bahkan dia tersenyum dan berkata suaranya
lembut namun mengandung wibawa yang kuat.
"Hek-coa-kwi (Setan Ular Hitam)! kalau engkau ingin berlutut,
berlututlah sendiri, tidak perlu mengajak aku!"
Tiba-tiba kedua kaki raksasa itu bertekuk lutut! Dia menjadi
terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa akan begi?ni
141 jadinya! Baru dia menyadari bahwa pemuda itu bukan saja tidak
terpengaruh sihirnya, akan tetapi bahkan dapat menyerang balik
sehingga dia sendiri yang berlutut. Akan tetapi dia dapat
menguasai dirinya dengan cepat dan dia sudah melompat berdiri
lalu melepaskan ular hitam itu dari lehernya, kemudian
menyerang Thian Liong dengan ularnya yang dia pergunakan
sebagai cambuk. Kepala ular itu menyambar dengan moncong
terbuka. Akan tetapi dengan mudah Thian Liong dapat
menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Ular itu menyambarnyambar, mengeluarkan suara mendesis?desis dan bercuitan
saking cepat dan kuatnya ular itu digerakkan tangan raksasa
muka hitam itu. Thian Liong bergerak dengan tenang, mengelak
ke sana-sini, berloncatan dan ketika dia mendapat kesempatan,
kaki kirinya menendang. "Bukk!" Perut gendut itu terkena tendangan. Raksasa yang nama
aselinya Gu Pang itu melindungi perutnya dengan kekebalan
sehingga tidak terluka dalam, namun tetap saja tubuh yang
tinggi besar dan amat berat itu terlempar oleh tendangan itu
sampai menabrak dinding! Gu Pang mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah.
Mukanya yang hitam menjadi semakin hitam karena darah telah
naik ke kepalanya. Dia tidak menderita rasa nyeri, hanya
kemarahan yang semakin berkobar. Dia bangkit berdiri dan kini
dia memutar-mutar ular hitam itu di atas kepalanya. Thian Liong
mengira bahwa Iawannya itu akan menyerangnya lagi dengan
Ular hitam itu sebagai senjata. Akan tetapi ternyata tidak Gu
Pang memutar-mutar ularnya, lalu tiba-tiba dia melepas ekor ular
yang dipegangnya sehingga ular itu meluncur seperti sebatang
tombak yang dilontarkan ke arah Thian Liong!
142 "Hemmm !" Thian Liong dengan tenang
menggeser kaki ke kanan, lalu ketika ular itu meluncur lewat, dia
menggerakkan tangan kanan yang miring, memukul ke arah
kepala ular itu. "Prakk!" Ular itu terlempar menabrak dinding dan jatuh
berkelojotan dengan kepala remuk.
Melihat ini, raksasa itu semakin kaget dan mulai gentar. Akan
tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dan tiga orang
pembantunya masih tidak berdaya, duduk dan merintih, dia
menjadi nekat. Dicabutnya pedang dari punggungnya dan
dengan lompatan buas dia menerjang ke arah Thian Liong,
pedangnya diputar, menjadi gulungan sinar yang menyambarnyambar!
Melihat gerakan pedang orang itu cukup cepat dan kuat
sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan
mengeluarkan suara berdesing, Thian Liong juga mengambil
pedang Thian-liong-kiam dari balik bajunya.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang seru. Sebetulnya,
bagi Thian Liong, tingkat kepandaian lawannya itu tidaklah
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berapa kuat dan kalau dia menghendaki, dalam sepuluh jurus
saja dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, Thian Liong
tidak ingin membunuh lawan. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin,
mengajarnya agar dia tidak membunuh lawannya, betapa jahat
pun lawan itu. Sedapat mungkin dia harus berusaha untuk
menyadarkan orang yang tersesat ke dalam jalan kebenaran.
Kalau perlu mengalahkannya dengan kekerasan dan memberi
hajaran agar bertaubat, akan tetapi dia dianjurkan oleh gurunya
143 agar tidak membunuh orang. Maka, kini pun Thian Liong tidak
mau membunuh Iawannya dan hanya ingin membuatnya tidak
berdaya tanpa melukainya dengan parah. Karena laki?laki
raksasa ini memang bukan lawan sembarangan, memiliki
te?naga yang amat besar, maka tidaklah amat mudah bagi
Thian Liong untuk merobohkannya tanpa melukainya dengan
berat. Setelah lewat tigapuluh jurus, barulah Thian Liong berhasil
mendapat kesempatan. "Hyaaaatttt !" Dia berseru dan ketika pedang
lawan menyambar, dia menangkis dan dengan penggunaan
tenaga sakti, dia membuat pedang lawan menempel pada
pedangnya dan pada saat Hek-coa-kauwcu Gu Pang itu
bersitegang mencoba untuk menarik lepas pedangnya, Thian
Liong sudah memukul dengan tangan kirinya, mengenai pundak
lawan. "Krek!" Tubuh Gu Pang terjengkang. Pedangnya terlepas dari
tangan kanan yang menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main
karena tulang pundak kanannya telah patah-patah oleh pukulan
tangan kiri Thian Liong! Raksasa itu hanya dapat bangkit duduk
sambil meringis dan merintih, memegang pundak kanan dengan
tangan kirinya. Rasa nyeri yang menusuk membuat dia tidak
mampu berdiri lagi. Thian Liong tidak memperdulikan empat orang penjahat itu. Dia
cepat membebaskan dua orang gadis remaja, juga membobol
daun pintu kamar di mana empat orang gadis lain dikurung.
Enam orang gadis remaja itu berkumpul dan mereka
menjatuhkan diri berlutut kepada Thian Liong, menghaturkan
144 terima kasih dengan suara gemetar dan tubuh menggigil
ketakutan. Tiba-tiba Thian Liong mendengar su?ara banyak orang di atas
ruangan itu. Thian Liong memandang kepada enam orang gadis
itu dan bertanya, "Di mana pintu jalan keluar tempat ini?"
Seorang di antara empat gadis yang sudah dua bulan dikurung
di situ, menuding ke atas dan berkata, "In-kong (Tuan
Penolong), mereka biasanya turun dari atas langit?langit itu
dapat dibuka dan ditutup."
Thian Liong melompat ke atas dan menggunakan tangan
memukul langit-langit ruangan itu yang tampak jelas terbuat dari
papan kayu. "Braakkkk !" langit-langit itu jebol dan ternyata
bahwa langit-langit itu, menembus sebuah bangunan dapur yang
menjadi bagian bangunan sebelah belakang dari kuil tua!
Kiranya inilah jalan rahasia para penjahat sehingga mereka
dapat keluar masuk ruangan bawah tanah itu melalui lantai
dapur yang dapat dibuka dan ditutup dengan menggunakan alat
rahasia yang kini menjadi rusak karena langit-langit dari papan
tebal itu dijebol dengan paksa oleh pukulan Thian Liong tadi!
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tampak banyak
kepala menjenguk ke bawah. Itu adalah kepala para penduduk
dusun yang ternyata telah berkumpul di kuil itu, seratus orang
lebih banyaknya. Tadi mereka, dipimpin oleh kepala dusun yang
mendengar laporan dua orang janda ibu dua orang gadis remaja
yang dijadikan korban bahwa ada seorang manusia sakti seperti
145 dewa hendak menolong, menjadi berani dan nekat. Berbondongbondong mereka mendekati kuil itu dan melihat kuil itu kosong,
mereka mengobrak-abrik kuil dan mencari-cari. Akan tetapi tiga
orang pendeta itu tidak dapat mereka temukan.
04.3. Perahu Tua Kakek Tolol! Selagi mereka mencari-cari di bagian belakang, mereka
mendengar suara pecahnya lantai dapur. Segera mereka
menyerbu masuk dan menjenguk ke bawah lantai yang sudah
jebol itu. Mereka melihat Thian Liong berdiri di situ bersama
enam orang gadis, dan melihat pula tiga orang pendeta dan
Hek-coa-kauwcu yang tinggi besar sudah duduk sambil merintih
dan terluka. Orang-orang itu bersorak dan berbondong mereka
turun menggunakan tali berebutan memasuki ruangan bawah
tanah. Melihat semua orang memasuki ru?angan itu dan dengan
beringas mereka itu menyerang empat orang penjahat dengan
berbagai senjata yang mereka bawa, Thian Liong berusaha
mencegah. Namun suaranya hilang ditelan suara begitu banyak
orang. Dia melihat betapa empat orang penjahat itu minta-minta
ampun, akan tetapi suara mereka segera berubah menjadi
teriakan kesakitan yang makin lama semakin melemah. Suara
mereka tertutup oleh suara orang-orang yang dengan geram
memaki-maki dan senjata mereka berdebukan menghantami
tubuh empat orang penjahat yang sudah tidak mampu melawan
itu. Thian Liong menghela napas. Dia tidak berdaya menolong
nyawa empat orang itu karena para penduduk dusun memenuhi
146 ruangan itu dan mereka seperti kesetanan menghujani tubuh
empat orang penjahat itu dengan hantaman bermacam senjata
yang mereka bawa dari rumah tadi. Ada yang menggunakan
golok, pisau, linggis, sekop, tongkat, bahkan ada yang
menggunakan cangkul untuk menghajar tubuh empat orang
penjahat itu. Karena tidak ada hal yang dapat dia kerjakan lagi dan dia tidak
ingin repot karena penduduk dusun itu pasti akan menyanjung
dan menghormatinya, Thian Liong menggunakan kesempatan
selagi mereka berpesta pora itu, dia melompat naik melalui
langit-langit yang sudah jebol lalu meninggalkan bukit itu dengan
cepat, melanjutkan perjalanannya.
Ketika dia melewati dusun yang dikacau oleh empat orang
penjahat yang menyamar sebagai pendeta Hek-coa-kauwcu itu,
dia sedang dalam perjalanan menuju ke dusun Kian-cung di
dekat Telaga Barat (See-ouw) karena dia ingin mengunjungi
suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang sudah
dikenalnya dengan baik. Dia harus menemui mereka, orang tua
Han Bi Lan itu, untuk menjelaskan mengapa dia sampai
menghajar Bi Lan dengan menampar pinggulnya selama
sepuluh kali. Dia harus menceritakan hal itu kepada mereka
untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman karena kalau Bi
Lan lebih dulu bercerita kepada mereka, tentu dia akan dianggap
kurang ajar, tidak sopan dan menghina seorang gadis!
Dengan melakukan perjalanan cepat, kurang lebih dua pekan
kemudian tibalah dia di See-ouw (Telaga Barat) dan langsung
saja dia memasuki dusun Kian-cung dan menuju ke rumah Han
Si Tiong yang pernah dia kunjungi bersama Puteri Moguhai.
147 Rumah itu tampak sunyi dan ketika Thian Liong menghampiri
pintu depan, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia
sekitar limapuluh tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang
mem?bungkuk dengan hormat, Thian Liong dapat menduga
bahwa orang itu tentu seorang pelayan keluarga Han itu.
"Paman, saya ingin bertemu dengan Paman Han Si Tiong dan
Bibi Liang Hong Yi. Tolong laporkan bahwa saya, Souw Thian
Liong, ingin bertemu."
"Maaf, Kongcu (Tuah Muda), rumah ini kosong, hanya ada saya
yang bertugas menjaga rumah ini."
"Bukankah ini rumah keluarga Han?" "Benar, Kongcu."
"Lalu ke mana perginya Paman Han Si Tiong?"
"Pendekar Han Si Tiong telah
telah meninggal dunia."
Thian Liong terkejut dan memandang penjaga rumah itu dengan
mata terbelalak. "Meninggal dunia" Apa apa maksudmu,
Paman?" Laki-laki itu dengan tajam mengamati wajah Thian Liong, lalu
bertanya, "Souw-kongcu (Tuan Muda Souw), apakah engkau
masih ada hubungan dengan mendiang Han-enghiong
(Pendekar Han)?" "Saya bukan keluarga, akan tetapi sahabat keluarga Han,
Paman, sahabat baik."
"Kalau begitu, masuk dan duduklah, Kongcu. Kita bicara di
dalam saja," ajak penjaga rumah itu.
148 Setelah mereka duduk di ruangan depan, menghadapi sebuah
meja kecil, penjaga rumah itu berkata. "Perkenalkan, Kongcu.
Saya biasa disebut A-siong, penduduk dusun ini semua
mengenal saya. Ketika Toanio (Nyonya) meninggalkan rumah ini
sebulan lebih yang lalu, ia menugaskan saya untuk menjaga
rumah ini." Thian Liong bertanya, tidak sabar lagi. "Paman A-siong, cepat
ceritakan apa yang telah terjadi" Bilakah Paman Han Si Tiong
meninggal dan apakah penyakitnya sehingga dia meninggal
dunia?" "Sebulan yang lalu, menurut kabar beberapa orang tetangga
dekat yang menyaksikan peristiwa itu sambil bersembunyi dan
mengintai dari rumah mereka, Han-enghiong dan Toanio
kedatangan dua orang muda, seorang pemuda dan seorang
gadis datang berkunjung. Lalu Han-enghiong dan isterinya
berkelahi melawan pemuda dan gadis itu. Para tetangga
ketakutan dan bersembunyi sambil mengintai."
"Mengapa mereka berkelahi, Paman?"
"Saya tidak tahu, Kongcu. Tidak ada orang yang tahu karena
tidak ada yang berani bertanya kepada Toanio. Keluarga Han
amat disegani dan dihormati di sini. Dalam perkelahian itu, Hanenghiong roboh terluka parah dan Toanio juga terluka. Setelah
Han-enghiong dan Toanio roboh, pemuda dan gadis itu
melarikan diri. Toanio yang terluka pundaknya berusaha
mengangkat tubuh Han-enghiong yang berlumuran darah,
dibantu oleh Bibi Ji, pelayan mereka yang kini sudah pulang ke
149 kampung semenjak Toanio pergi. Pada saat itu, datang seorang
gadis yang ternyata adalah puteri Han-enghiong."
"Han Bi Lan?" "Jadi Kongcu mengenalnya" Benar, Nona itu bernama Han Bi
Lan. Kemudian Han-enghiong meninggal dunia karena lukanya
yang parah, akan tetapi isterinya selamat. Beberapa hari
kemudian, Nona Han Bi Lan dan Ibunya memanggil saya dan
memberi tugas kepada saya untuk menjaga rumah mereka ini
dan mereka berdua lalu pergi."
"Pergi ke mana, Paman A-siong?"
"Kalau saya tidak salah ingat, Han-toanio (Nyonya Han) berkata
bahwa ia hendak pergi ke kota raja."
Thian Liong teringat akan peristiwa ketika dia bersama Puteri
Moguhai, Han Si Tiong, dan Liang Hong Yi, berada di rumah
Panglima Kwee Gi di kota raja. Ketika itu, Panglima Kwee dan
isterinya mengajukan usul kepada Han Si Tiong dan isterinya
untuk menjodohkan Han Bi Lan dengan putera mereka, Kwee
Cun Ki, dan ayah-bunda Bi Lan setuju. Akan tetapi ketika itu dia
sama sekali belum tahu bahwa Han Bi Lan adalah gadis yang
telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lunpai itu. Kalau dia mengetahui bahwa gadis pencuri kitab itu
puteri mereka, pasti dia tidak akan menghukum Bi Lan dengan
menampari pinggulnya sampai sepuluh kali.
Dan sekarang setelah Bi Lan kembali kepada orang tuanya, ia
mendapatkan ayah ibunya terluka dan ayahnya lalu tewas!
150 Sungguh kasihan gadis itu dan semakin menyesal rasa hatinya
bahwa dia telah menampari pinggul gadis itu!
Kini, Bi Lan diajak ibunya pergi ke kota raja. Dia dapat menduga
bahwa tentu mereka pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee
Gi. Dia sendiri tidak tahu apa sebabnya ketika berpikir sampai di
sini, hatinya terasa hampa. Bi Lan hendak dijodohkan dengan
Kwee Cun Ki! Hal itu baik sekali karena dia melihat bahwa Kwee
Cun Ki adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, putera
seorang panglima yang bijaksana, setia kepada Kaisar, dan
terhormat pula. Ditambah lagi keadaan keluarga Kwee itu kaya
raya. Bi Lan pasti akan hidup bahagia sebagai isteri Kwee Cun
Ki, sebagai mantu Panglima Kwee Gi. Mengapa ada perasaan
hampa dan perih dalam hatinya"
"Souw-kongcu, engkau tidak apa-apa?" tanya penjaga rumah itu
ketika melihat Thian Liong sejak tadi diam saja seperti orang
melamun dengan alis berkerut.
Thian Liong sadar dari lamunannya. "Aku terkejut dan sedih
mendengar akan kematian Paman Han Si Tiong karena dia itu
sahabatku yang baik sekali. Paman A?siong, di manakah
makamnya" Saya ingin mengunjungi makamnya."
"Oh, memang Han-enghiong seorang yang amat baik hati dan
sudah sepatutnya kalau dikenang dan dikasihi sahabatsahabatnya. Sayang ada juga yang memusuhinya sampai
membunuhnya. Mari kuantar mengunjungi makamnya, Souwkongcu."
Mereka keluar dan A-siong mengunci pintu depan, lalu
berangkatlah mereka ke tanah kuburan yang tidak jauh letaknya
151 dari dusun Kian Cung. Makam itu masih baru, karena belum ada
dua bulan jenazah Han Si Tiong dikubur di situ. Tadi dengan
petunjuk A-siong, Thian Liong telah membeli perlengkapan
sembahyang dan di depan makam itu dia melakukan
sembahyang dengan khidmat.
Sembahyangan itu dia lakukan bukan sekedar untuk memberi
hormat kepada almarhum sahabat baiknya yang sudah samasama dengan dia menghadapi ancaman maut ketika melawan
Perdana Menteri Chin Kui dan mereka ditahan dalam penjara
istana. Akan tetapi diam-diam Thian Liong mendoakan untuk
arwah Han Si Tiong semoga arwah pendekar itu akan
mendapatkan tempat yang baik di alam baka. Selain itu juga
diam-diam dia menceritakan tentang perlakuannya terhadap Bi
Lan dan menceritakan mengapa dia sampai memukuli pinggul
gadis itu! Setelah melakukan sembahyang, baru dia merasa lega
dalam hatinya. Setelah selesai sembahyang dan mengucapkan terima kasih
kepada A-siong, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Kiancung.
"Y" Ketika tiba di tepi Telaga Barat, pemandangan dari tempat agak
tinggi di mana dia berada, Thian Liong melihat pemandangan
alam yang amat indah. Matahari amat cerahnya, sinarnya
menimpa permukaan telaga sehingga berkilauan. Pohon-pohon
besar yang tumbuh di tepi telaga tampak terbalik di permukaan
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air, namun lebih hidup daripada aselinya karena kalau pohonpohon di darat itu diam tak bergerak karena tidak ada angin,
152 pohon-pohon terbalik di permukaan air telaga itu bergoyanggoyang seperti menari-nari.
Dari tempat itu Thian Liong melihat betapa di sebelah kiri sana
terdapat sebuah dusun di tepi telaga dan di dusun itulah tempat
para tamu yang berdatangan dari luar daerah dan dari kota-kota
besar berkumpul untuk pesiar di telaga yang terkenal itu. Banyak
terdapat perahu-perahu di situ dan para pelancong dapat
menyewa perahu. Perahu-perahu besar kecil yang di sewa
pelancong berluncuran di atas telaga.
Thian Liong teringat akan perjalanannya dahulu di tempat ini.
Dulu pernah dia dan Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai berdiri
pula di tempat dia berdiri sekarang dan menikmati keindahan
pemandangan di situ. Teringat akan ini membuat dia merasa
rindu kepada Puteri Moguhai. Puteri itu merupakan seorang
sahabat yang amat baik baginya, seorang sahabat yang akrab
dan kelincahan puteri itu membuat perjalanan bersamanya
menjadi gembira. Biarpun Puteri Moguhai seorang wanita yang
lincah jenaka dan pemberani, gagah perkasa dan cantik jelita,
seorang puteri bangsawan agung karena ia Puteri Raja Kin,
namun gadis itu memiliki watak yang baik sekali. Ia lebih pantas
menyandang gelar Pek Hong Niocu sebagai seorang pendekar
perkasa daripada sebagai seorang puteri raja. Terkenang akan
Pek Hong Niocu menyentuh perasaannya dan menimbulkan
kerinduannya untuk dapat bertemu dan bercakap-cakap lagi
dengan gadis itu. Seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan
bijaksana, dan biarpun wataknya bebas sehingga akan dianggap
agak liar oleh wanita pada umumnya, namun sesungguhnya
gadis itu menjaga kesusilaan; sopan dan tidak genit.
153 Kenangan manis dengan puteri Kerajaan Kin itu membuat 'Thian
Liong ingin mengulang kembali apa yang pernah dialaminya
bersama Pek Hong Niocu di Telaga See-ouw ini. Maka dia pun
menuruni tempat tinggi itu menuju ke dusun di tepi telaga yang
menjadi pusat perkumpulan para pelancong, di mana dulu dia
bersama Pek Hong Niocu juga datang dan berpelesir menyewa
perahu. Masih ingat dia dengan kagum betapa Pek Hong Niocu
pandai mendayung perahu. Puteri Raja itu agaknya serba bisa.
Tidak ada hal yang tidak dapat ia lakukan dengari baik!
"Niocu ," dia mengeluh dan makin merasa betapa
dia kesepian dan merasa ditinggalkan. Dia lalu mempercepat
langkahnya menuju ke dusun di tepi danau itu.
Dusun Kui-sek itu memanjang di tepi telaga. Biarpun
penduduknya hanya sekitar seratus rumah, namun melihat
keadaan rumahnya yang lumayan dan pakaiannya yang cukup
bersih dan utuh, dapat diduga bahwa kehidupan mereka tidaklah
semiskin para penduduk dusun lain. Memang para penduduk
dusun yang berada di tepi Telaga Barat memiliki mata pencarian
yang cukup. Sawah ladang di telaga itu subur sehingga mereka
Pendekar Panji Sakti 12 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Golok Bulan Sabit 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama