Ceritasilat Novel Online

Kabut Di Bumi Singosari 3

Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Bagian 3


Amping kepada Nariratih yang masih menggendong
Mahesa Muksa diatas Pendapa. "Kalian harus menurut
kepada bibi Nariratih", berkata kembali Mahesa Amping
kepada Adityawarman dan Jayanagara sambil mengusap
kepala kedua anak itu. "Mudah-mudahan Ayah tidak lama dan cepat kembali",
berkata Adityawarman kepada Ayahnya Mahesa Amping.
"Ayahmu memang akan cepat kembali", berkata Mahesa
Amping sambil memandang penuh senyum kepada
putranya itu. "Aku akan menjaga mereka", berkata Nariratih kepada
Mahesa Amping yang tengah menuruni tangga pendapa
Padepokan Pemecutan. Sementara itu di halaman Padepokan Pemecutan sudah
terlihat Arga Lanang, Pendeta Gunakara dan Empu
Dangka telah bersiap diatas kudanya masing-masing.
"Tetaplah kalian berlatih selama kami tidak ada. Kami
selalu berdoa untuk keselamatan kalian", berkata
Mahesa Amping diatas kudanya kepada para cantrik
yang mengantarnya sampai di regol pintu gerbang
Padepokan Pemecutan. "Semoga keselamatan selalu mengiringi kita", berkata
Empu Dangka sambil melambaikan tangannya ketika
langkah kaki kuda sudah mulai berjalan menjauhi regol
154 pintu gerbang Padepokan Pemecutan.
Para cantrik Padepokan Pemecutan masih berdiri di
depan regol pintu gerbang mengiringi kepergian empat
orang diatas kudanya hingga akhirnya menghilang
ditelan jalan yang menikung dan menurun.
"Sebelum matahari diatas puncaknya, kita sudah akan
sampai di Bukit Karang Gajah", berkata Mahesa Amping
kepada Pendeta Gunakara dan Arga Lanang.
"Ternyata perhitungan Tuan Senapati sangat teliti, pihak
lawan pasti memperhitungkan jarak tempuh sebagai
tempat yang baik mempersiapkan sebuah penyerangan",
berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
"Kita memang harus berpikir sebagai seorang musuh
berpikir", berkata Empu Dangka yang mengagumi arah
perhitungan Mahesa Amping memilih tempat Bukit
Karang Gajah. Maka menjelang matahari berada di atas kepala, mereka
sudah sampai di puncak Bukit Karang Gajah. Sebuah
dataran padang rumput yang cukup luas yang banyak
ditumbuhi disekitarnya batu karang yang besar. Sebuah
tempat yang baik untuk berteduh di saat panas matahari
menyengat, juga sebagai tempat yang baik pula untuk
bermalam menghindari angin malam yang dingin.
"Selamat datang Tuan Senapati", berkata seorang lelaki
yang sudah cukup berumur yang tidak lain ternyata
adalah Ki Bancak yang baru saja keluar dari
persembunyiannya di balik batu karang besar.
"Dimana pasukan kita?", bertanya Mahesa Amping yang
melihat Ki Bancak hanya seorang diri.
Ki Bancak tidak langsung menjawab, tapi memsukkan
dua buah jarinya diantara bibirnya. "suiiiiiiiiiiiit", terdengar
155 suara suitan panjang dari Ki Bancak.
Maka dari gundukan-gundukan karang yang besar
bermunculan beberapa orang yang ternyata adalah para
prajurit Singasari yang tidak memakai pertanda apapun,
mereka berpakaian orang biasa pada umumnya.
"Kami membawa dua puluh orang prajurit pilihan",
berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping ketika semua
prajurit yang bersembunyi sudah menampakkan dirinya
datang mendekat. "Apa yang kamu dapat saat ini tentang gerakan musuh",
berkata Mahesa Amping kepada orang kepercayaannya
itu, Ki Bancak. "Berita terakhir dari para delik sandi, mereka telah
bergerak dari Padepokan Teratai Putih. Perkiraan kami,
mereka baru akan sampai di Bukit Karang Gakah ini
disaat hari menjelang senja", berkata Ki Bancak kepada
Mahesa Amping. Mahesa Amping memberikan beberapa petunjuk kepada
dua puluh orang pasukannya apa yang harus mereka
lakukan termasuk didalamnya kesepakatan kata sandi
yang harus mereka ingat. "Kita akan mengejutkan musuh", berkata Mahesa Amping
menyampaikan beberapa siasatnya. "Masih ada banyak
waktu untuk beristirahat", berkata Mahesa Amping
kepada para pasukannya untuk beristirahat sejenak.
Maka terlihat para prajurit membuka bekal yang mereka
bawa sambil berteduh di sekitar batu karang yang
banyak tumbuh disekitar Bukit Karang Gajah.
Angin berhembus disekitar Bukit Karang Gajah hari itu
cukup deras. Segerumbul tanaman ilalang terlihat
merunduk ditiup angin yang tiada berhenti berhembus.
156 Sementara itu matahari di cakrawala langit diatas bukit
Karang Gajah sudah mulai tergelincir.
"Tarik semua pasukan untuk bersembuyi", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Bancak.
Maka Ki Bancak terlihat memberi perintah kepada semua
prajurit untuk bersembuyi dibeberapa tempat diantara
beberapa batu karang yang besar.
"Mari kita menunggu mereka datang", berkata Mahesa
Amping kepada Pendeta Gunakara, Arga Lanang dan
Empu Dangka. Terlihat Mahesa Amping dan ketiga
sahabatnya itu melangkah mendekati sebuah batu
karang yang cukup besar. Dari tempat itu mereka dapat
melihat disegala penjuru siapapun yang muncul datang
di Bukit Karang Gajah. Dalam sekejab, suasana diatas puncak Bukit Karang
Gajah menjadi begitu sunyi, tiada terlihat apapun selain
suara angin yang terus menderu. Dibalik kesunyian itu
menanti dengan tegangnya dua puluh pasang mata
prajurit Singasari dari balik bongkah-bongkah besar batu
karang. Mereka hanya menunggu sebuah isyarat
panjang. Namun menanti waktu senja datang diatas Bukit Karang
Gajah seperti menelusuri lorong panjang yang tidak
bertepi, begitu membosankan dan sangat menegangkan.
Terlihat sang mentari sepertinya begitu lambat bergeser
turun. Akhirnya sang senja telah turun juga menyelimuti puncak
bukit Karang Gajah dengan warna bening teduh, angin
perlahan surut. Perlahan kabut mulai turun menambah keremangan
warna senja, membatasi jarak pandang.
157 Dua puluh pasang mata dibalik bongkah-bongkah batu
karang di Bukit Karang Gajah sepertinya menahan setiap
kedipan matanya, takut kehilangan kesiagaannya.
Bahkan mereka menahan nafasnya yang semakin
memburu penuh ketegangan.
Hingga akhirnya diujung senja !!!
Yang mereka nantikan belum juga muncul. Namun para
prajurit Singasari tidak kehilangan kendali. Mereka masih
tetap mempertahankan kesiagaannya.
"Pihak musuh belum juga datang", berkata seorang
prajurit kepada kawannya disebuah persembunyiannya.
"Para petugas sandi tidak akan salah, hanya masalah
waktu. Kita harus tetap waspada", berkata kawannya itu
mengingatkan seorang prajurit kawannya yang
sepertinya sudah tidak sabaran lagi.
Sementara itu senjapun telah berganti, langit malam
mulai merata memayungi puncak bukit Karang Gajah.
"Mereka telah datang", berbisik seorang prajurit Singasari
kepada kawannya. Ternyata apa yang dilihat oleh prajurit itu adalah
sekumpulan orang yang mulai berdatangan muncul satu
persatu dari sebuah arah barat bukit Karang Gajah.
"Mereka hanya sedikit, tidak sebanyak yang dikatakan
oleh para delik sandi", berkata Mahesa Amping kepada
Empu Dangka yang berada didekatnya.
"Mereka sengaja memecah kekuatan", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping. "Kita jangan sampai
terjebak dengan permainan mereka", berkata kembali
Empu Dangka. "Kita menunggu sampai rombongan kedua datang?",
158 bertanya Mahesa Amping kepada Empu Dangka yang
menjawabnya dengan sebuah anggukan kepalanya.
Ternyata perkiraan Empu Dangka tidak meleset jauh,
karena berselang waktu yang cukup lama datanglah
rombongan kedua dengan jumlah yang hampir sama.
"Untungnya kita tidak langsung menyerang rombongan
pertama", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka sambil memperhatikan orang-orang yang baru
datang sebagai rombongan kedua.
Terlihat sekitar tiga puluh orang sudah berkumpul diatas
puncak bukit Karang Gajah. Sepertinya mereka akan
bermalam ditempat itu. "Mereka sangat cerdik, rombongan kedua sebagai
pengejut siapapun yang akan menyerang mereka",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ditempat
persembunyiannya. "Saatnya kita yang akan mengejutkan mereka", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka sambil membuat
sebuah pertanda kepada Ki Bancak yang tidak begitu
jauh dari tempat persembunyiannya.
Maka terdengarlah dua kali suitan dari Ki Bancak yang
didengar langsung oleh semua prajurit Singasari sebagai
tanda isyarat untuk melakukan sebuah penyerangan.
Bukan main terkejutnya orang-orang yang baru saja ingin
duduk duduk melepas kelelahannya, dari balik bongkahbongkah batu karang yang besar bermunculan seperti
bayangan hitam di kegelapan malam datang memburu
berlari kearah mereka. "Ada serangan!!", berkata beberapa orang yang langsung
berdiri mencabut senjatanya berupa senjata cakra.
Tapi beberapa orang lagi sudah terlambat, mereka sudah
159 diterjang oleh para prajurit yang datang begitu cepatnya.
Maka terlihat beberapa orang sudah terlempar tanpa
perlawanan sama sekali langsung terluka parah.
Sementara itu, beberapa orang yang sudah bersiaga
nasibnya tidak berbeda jauh. Mahesa Amping, Empu
Dangka, Arga lanang dan Pendeta Gunakara telah
menghempaskan mereka bergelimpangan saling tindih.
Luar biasa !!! Terjangan yang mengejutkan itu telah merubuhkan
sekitar dua puluh orang musuh mereka para sekutu dari
Padepokan Teratai Putih. Jumlah mereka langsung
berkurang banyak, menyisakan sepuluh orang yang
terdiri dari delapan orang berjubah hitam, mungkin para
pemimpin dari persekutuan para penyembah Dewa
Matahari yang tersebar di Balidwipa dan Jawadwipa.
Sementara itu kedua orang lainnya salah satunya sudah
kita kenali sebagai murid tertua di Padepokan Teratai
Putih. "Serangan licik!", berteriak salah seorang yang berjubah
hitam, wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam
karena menahan rasa marah yang sangat.
"Bukan serangan licik, tapi serangan pengejut", berkata
Empu Dangka yang datang menghapiri orang berjubah
hitam dan berwajah hitam itu.
"Apapun alasannya, tetap kukatakan serangan yang
licik", berkata orang itu kepada Empu Dangka penuh
kemarahan. "Salahkan sendiri pada orangmu yang kurang waspada",
berkata Empu Dangka sambil memegang ujung
cambuknya berdiri berhadapan dengan orang itu.
"Kamu pasti bukan Senapati Mahesa Amping, usiamu
160 sudah sangat tua", berkata orang berwajah hitam itu
sambil melihat cambuk ditangan Empu Dangka.
"Kami memang sama-sama bercambuk, namaku Empu
Dangka, begitulah orang menyebut namaku", berkata
Empu Dangka sambil melepas senyumnya kepada orang
berjubah dihadapannya. "Empu Dangka, orang bercambuk. Hanya itu yang
kukenang setelah membunuhmu", berkata orang
berjubah hitam itu kepada Empu Dangka dengan begitu
jumawanya. Tapi Empu Dangka tidak tersinggung marah mendengar
ucapan orang itu, dengan masih tersenyum Empu
Dangka balas bertanya."Apakah aku boleh mengenal
namamu?", berkata Empu Dangka kepada orang itu.
"Orang menyebutku sebagai Ki Bogakala dari lereng
Tengger, semoga hatimu tidak menciut mendengar
namaku", berkata orang berwajah hitam itu sambil
bertolak pinggang berharap Empu Dangka pernah
mendengar namanya. Empu Dangka yang sudah melanglang buana tersenyum
mendengar nama itu, pernah juga didengarnya nama itu
ketika mengembara disekitar pegunungan Tengger.
Sebuah nama yang sangat ditakuti oleh musuh dan
kawannya sekalipun, karena disamping mempunyai ilmu
yang cukup tinggi, juga dikenal berdarah dingin,
membunuh orang tanpa berkedip.
"Sayangnya hatiku tidak menciut ketika mendengar
namamu Ki Bogakala", berkata Empu Dangka pura-pura
tidak pernah mendengar nama Ki Bogakala.
Ternyata perkataan Empu Dangka seperti minyak
mendekati api panas yang sudah menyala besar.
161 "Cakra ini akan mengingatkanmu, bahwa hari ini kamu
akan menyesal tidak mengenal siapa aku", berkata Ki


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bogakala sambil langsung menerjang Empu Dangka
penuh kemarahan. Sementara itu di tempat dan waktu yang sama, seorang
berjubah hitam dengan rambut setengah botak telah
datang menghadang Mahesa Amping.
"Kamu pasti Senapati Mahesa Amping", berkata orang itu
sambil memperhatikan Mahesa Amping dan senjata
cambuknya. "Kisanak tidak salah menyebut nama", berkata Mahesa
Amping dengan gagahnya balas memandang orang yang
menghadangnya itu. Ada rasa jerih manakala orang itu
beradu pandang dengan Mahesa Amping. Orang itu
merasakan kilat cahaya mata Mahesa Amping begitu
tajam langsung mencengkeram jiwanya.
"Aku yang bodoh ini bernama Sandikala, hari ini aku
akan menuntut balas atas kematian sahabatku Ki
Karmapala", berkata orang itu yang menyebut dirinya
bernama Sandikala. "Ki Sandikala dari Gunung Wilis?", bertanya Mahesa
Amping yang pernah mendengar nama itu kepada Ki
Sandikala. "Ternyata pengetahuan Tuan Senapati sangat
luas", berkata Ki Sandikala yang merasa bangga
namanya dikenal oleh Mahesa Amping.
"Aku merasa tersanjung berkenalan
Sandikala", berkata Mahesa Amping
Sandikala. dengan kepada Ki Ki "Tuan Senapati tidak usah merendahkan diri, cahaya
mata tuan memberi isyarat bahwa tuan bukan orang
sembarangan", berkata Ki Sandikala kepada Mahesa
162 Amping dengan suara yang datar.
Diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikap dan
pembawaan Ki Sandikala yang penuh pertimbangan dan
kehati-hatiannya, "aku berhadapan dengan orang yang
punya banyak pertimbangan, pasti tidak mudah tertipu",
berkata dalam hati Mahesa Amping.
"Aku tidak sabar untuk mengenalmu anak muda, untuk
membuktikan apakah dirimu layak telah mengalahkan
sahabatku Ki Karmapala", berkata Ki Sandikala sambil
mengusap senjata cakra ditangannya. "Atau sahabatku
itu waktu itu dalam keadaan lengah?", berkata kembali Ki
Sandikala kepada Mahesa Amping.
"Hanya sebuah keberuntungan yang masih berpihak
padaku saat itu", berkata Mahesa Amping sambil
bersiap-siap diri. "Mari kita bermain-main, aku ingin tahu apakah
keberuntunganmu masih berlaku saat ini", berkata Ki
Sandikala kepada Mahesa Amping sambil langsung
menerjang membuat putaran cakra mirip sebuah bor
berputar menembus kearah dada Mahesa Amping.
Sementara itu di tempat yang sama Pendeta Gunakara
tengah bertempur dengan seorang yang berjubah hitam
lainnya. Sebuah pertempuran yang sangat seru, begitu
cepat dan sangat menegangkan.
Pendeta Gunakara dan lawannya ternyata begitu
bertemu muka langsung sudah saling menerjang dan
menyerang. Dan mereka nampaknya sudah langsung
mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatan
puncaknya. Sebuah pertempuran yang menggiriskan.
"Ternyata kemampuanmu cukup tinggi orang asing",
berkata orang berjubah hitam itu kepada Pendeta
163 Gunakara. "Kemampuanmu juga luar biasa, mudah-mudahan aku
dapat mengimbangimu", berkata pendeta Gunakara
kepada orang itu sambil melompat menghindari sebuah
sambaran cakra dan balas menyerang dengan
tongkatnya. Sementara itu di puncak Bukit Karang Gajah disisi yang
lain, adalagi pertempuran yang juga tidak kalah serunya.
Sebuah pertempuran yang berkelompok antara lima
orang berjubah hitam dan dua orang dari Padepokan
Teratai Putih melawan para prajurit Singasari.
Ternyata para prajurit Singasari ini sudah sangat
perpengalaman untuk melakukan penyerangan bersama.
Mereka sangat disiplin dan saling menjaga. Ki Bancak
dan Arga Lanang terlihat bersama para prajurit Singasari.
Ternyata Arga Lanang dapat mengikuti gerak para
prajurit. Bersama melakukan serangan-serangan yang
dapat mengimbangi delapan orang musuh mereka yang
terlihat secara perorangan mempunyai kemampuan yang
cukup tinggi, terutama kelima orang berjubah hitam itu.
Dalam sebuah serangan, Ki Bancak dapat mencuri
sedikit kelengahan salah seorang dari Padepokan
Teratai Putih. Craaaatt !! Sabetan pedang Ki Bancak telah membuat goresan
dalam di pangkal paha orang itu. Terlihat orang itu
tersungkur jatuh di tanah. Darah terlihat mengucur cukup
deras dari pangkal pahanya. Pertempuran masih terus
berlanjut meski pihak musuh telah berkurang satu orang.
Tapi sudah cukup sedikit mengurangi kemampuan
tekanan pihak musuh. 164 Aachhh !! Sebuah tendangan yang tidak terduga dapat dilakukan
oleh Arga Lanang dengan begitu cepatnya langsung
menyambar tulang betis kaki orang tertua dari
Padepokan Teratai Putih menjadikan dirinya sedikit
limbung. Dan seorang prajurit Singasari yang dekat
dengan Arga Lanang segera memanfaatkan keadaan itu
dengan menyabetkan pedangnya kearah pinggang orang
itu. Aachhh !! Kembali orang itu bersuara keras sambil memegang
pinggangnya yang terluka. Darah terlihat menetes dari
jemari tangannya yang memegang luka dipinggangnya.
Wajahnya terlihat pucat pasi penuh rasa cemas. Sambil
mundur terhuyung orang tertua dari Padepokan Teratai
Putih itu keluar dari pertempuran menjauh mencari
tempat yang aman. Tidak seorangpun yang mengejar
dirinya. Para prajurit Singasari bersama Ki Bancak dan Arga
Lanang terus melakukan tekanan kepada musuhnya
yang kembali berkurang satu. Saat itu hanya tinggal lima
orang berjubah hitam yang harus mereka hadapi.
Kekuatan para prajurit yang dipimpin oleh Ki Bancak
dibantu Arga Lanang ternyata mampu menekan
kekuatan kelima orang berjubah hitam itu. Para prajurit
itu tidak pernah lepas dari kesatuan mereka melakukan
serangan dan saling menjaga kawan. Itulah kekuatan
yang cukup merepotkan kelima orang berjubah hitam itu,
meski secara perorangan mereka dapat dikatakan lebih
tinggi dari kemampuan satu persatu prajurit itu.
"Menyebar!!!", berkata salah seorang yang berjubah
hitam itu kepada keempat kawannya.
165 Maka keempat kawannya itu dapat menangkap arah
perkataan salah seorang kawannya. Terlihat mereka
berlima sudah berpencar. Sebuah keputusan dan pilihan
yang cerdik, kelima orang berjubah hitam itu memang
bermaksud memecah kekuatan lawan menjadi lima
pertempuran yang terpisah.
Dengan sangat terpaksa kedua puluh orang prajurit
terpencar menjadi lima kelompok masing-masing
menghadapi seorang musuh.
Ki Bancak tidak segera bergabung, sebagai seorang
pemimpin kelompok mencoba menilai kelompok mana
yang perlu bantuannya. Maka Ki Bancak akhirnya dapat melihat salah satu
kelompoknya yang paling lemah. Dikelompok itulah
dirinya menggabungkan dirinya. Arga lanang ternyata
mengikuti apa yang dilakukan oleh Ki Bancak.
Dengan cepat dirinya bergabung kesalah satu kelompok
yang menurutnya perlu tambahan orang yang dapat
mengurangi kekuatan dan tekanan lawan.
Sementara itu malam diatas puncak Bukit Karang Gajah
sudah masuk dipertengahan malam. Suasana yang
remang padang itu menjadi suasana yang sangat
menegangkan karena dipenuhi hiruk pikuk suara denting
senjata beradu dan suara teriakan penuh ancaman.
Suasana pertempuran diatas puncak Bukit Karang Gajah
itu sepertinya tidak akan segera berakhir, masih terus
berlanjut tanpa dapat diketahui siapa yang akan
mengakhiri pertempuran itu, karena pertempuran dapat
dikatakan sangat berimbang.
"Aku harus menyelesaikan pertempuran ini", berkata
Mahesa Amping yang tengah bertempur dengan Ki
Sandikala namun masih dapat mengikuti semua
166 pertempuran yang ada di atas puncak Bukit Gunung
Karang. Kegelisahan Mahesa Amping terutama ditujukan
kepada para prajuritnya yang saat itu sudah terpecah
menjadi lima kelompok pertempuran yang terpisah.
Namun keinginan Mahesa Amping harus tertunda, Ki
Sandikala yang menjadi lawannya ternyata mempunyai
kemampuan ilmu yang cukup tinggi dan harus dihadapi
dengan sangat penuh perhatian yang kuat, sedikit
kelengahan akan membawa bencana. Karena serangan
Ki Sandikala bukan sebuah serangan biasa, sebuah
serangan yang cepat penuh tipu daya dan juga telah
dilambari dengan kekuatan hawa dingin yang sangat
menusuk tajam menyebar disetiap serangannya.
Ternyata apa yang dikhawatirkan Mahesa Amping juga
menjadi perhatian Empu Dangka. Diam-diam sambil
menghadapi Ki Bogakala dari Lereng Tengger, Empu
Dangka sempat melihat secara keseluruhan semua
pertempuran di atas bukit Karang Gajah.
"Kekuatan para prajurit sudah terpecah", berkata dalam
hati Empu Dangka. Bukan main kagetnya Ki Bogakala melihat serangan
balasan dari Empu Dangka, lebih cepat dari sebelumnya.
Ternyata kekhawatiran Empu Dangka atas para prajurit
Singasari telah mengubah cara bertempurnya dari
sebelumnya yang hanya berusaha mengimbangi
permainan lawannya Ki Bogakala. Dan saat itu Empu
Dangka tidak bermaksud main-main lagi, tapi secepatnya
melumpuhkan Ki Bogakala agar dapat membantu para
prajurit Singasari yang terlihat semakin tertekan
menghadapi seorang berjubah hitam yang memang
memiliki kemampuan yang tinggi.
Desss !!! 167 Sebuah lecutan yang dilambari oleh tenaga cadangan
yang sangat kuat telah berhasil menyambar dada Ki
Bogakala. Seketika itu juga Ki Bogakala ambruk ketanah
tidak bernafas lagi. Melihat lawannya sudah tidak bernyawa lagi, ada sedikit
penyesalan dihati Empu Dangka.
"Maafkan aku, akhirnya seperti yang kamu katakan
bahwa aku memang akan menyesal", berkata Empu
Dangka dalam hati penuh penyesalan melepaskan
puncak kemampuannya. Tapi penyesalan Empu Dangka akhirnya dibuang jauhjauh, pikirannya kembali kepada kekhawatirannya atas
para prajurit yang memang sedang berusaha keras terus
keluar dari tekanan para lawannya. Maka secepat kilat
Empu Dangka telah melompat mendekati salah satu
pertempuran. "Biar aku yang menghadapinya, bantulah kawankawanmu", berkata Empu Dangka kepada para prajurit
yang tengah bertempur dengan salah satu orang
berjubah hitam. Para prajurit yang sudah mengetahui kemampuan Empu
Dangka segera langsung berpindah lawan membantu
kawannya yang lain. Mendapat bantuan tambahan satu
orang prajurit memang belum berpengaruh banyak, tapi
setidaknya sedikit mengurangi tekanan yang dirasakan
oleh para prajurit selama dalam pertempuran itu.
"Aku menggantikan mereka", berkata Empu Dangka
kepada salah seorang yang berjubah hitam itu.
"Jangan kamu kira aku akan begitu mudah kamu
taklukan sebagaimana sahabatku itu", berkata orang
berjubah hitam yang melihat juga bagaimana Empu
168 Dangka mengakhiri nyawa sahabatnya.
Ternyata orang berjubah hitam itu tidak dapat menelan
ludahnya yang terlanjur terucap. Ketika menghadapi
Empu Dangka, dirinya mengakui bahwa orang tua yang
dihadapinya itu memang mempunyai kemampuan yang
sangat tinggi. Empu Dangka memang telah melepaskan kemampuan
tingkat tingginya. Dan orang berjubah hitam itu harus
menghindar kesana kemari menghindari cambuk Empu
Dangka yang terus mengejarnya.
Sementara itu disisi yang lain, Pendeta Gunakara terlihat
sudah menguasai lawannya. Meskipun lawannya telah
mengerahkan ilmu puncaknya, menebarkan hawa dingin
yang dapat membekukan tulang lawan, tapi terlihat
Pendeta Gunakara sepertinya tidak merasakan apapun,
tongkatnya masih terus menyambar-nyambar sangat
berbahaya. "Kekuatan hawa dinginku tidak berarti apapun", berkata
orang berjubah lawan Pendeta Gunakara itu merasa
penasaran setelah mengerahkan seluruh kemampuan
ilmunya. Ternyata selama pertempuran itu Pendeta Gunakara
masih menganggap sebuah permainan. Namun akhirnya


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat para prajurit yang terpecah ada rasa khawatirnya
sebagaimana Mahesa Amping dan Empu Dangka.
Maka terlihat Pendeta Gunakara telah memperlihatkan
jati dirinya, menyerang orang berjubah hitam lawannya
dengan kesungguhan hati untuk secepatnya mengakhiri
pertempurannya. Buk !! Buk !!! 169 Dua buah serangan yang cepat dari Pendeta Gunakara
langsung mengenai dada dan lutut belakang lawannya.
Terlihat orang berjubah hitam itu jatuh terjengkang
langsung pingsan untuk waktu yang lama.
Tanpa melihat keadaan lawannya, Pendeta Gunakara
sudah langsung mendekati sebuah pertempuran para
prajurit yang dianggapnya paling lemah.
"Lekas kalian bantu kawan kalian, serahkan lawanmu
kepadaku", berkata Pendeta Gunakara kepada salah
seorang prajurit yang tengah bertempur.
"Tapi orang ini sangat kuat", berkata prajurit itu yang
masih sangsi atas kemampuan Pendeta Gunakara
karena dirinya tidak memperhatikan bagaimana Pendeta
Gunakara menyelesaikan pertempurannya.
"Serahkan lawanmu kepadanya, percayalah aku",
berkata Empu Dangka yang bertempur tidak jauh dari
mereka dan melihat kesangsian para prajurit atas diri
Pendeta Gunakara. Mendengar teriakan Empu Dangka, para prajurit tidak
menjadi sangsi lagi. Mereka tahu betul siapa Empu
Dangka, maka langsung saja mereka melakukan apa
yang dikatakan oleh Pendeta Gunakara untuk melepas
lawannya, membantu kawan yang lain yang sedang dan
masih terus bertempur. Dengan kehadiran Pendeta Gunakara itu, suasana
pertempuran diatas puncak Bukit Karang Gajah menjadi
semakin berimbang. Para prajurit saat itu hanya menghadapi tiga orang
berjubah hitam. Setiap satu lawan harus menghadapi
tujuh orang prajurit Singasari yang sudah terbiasa
bertempur secara berkelompok. Apalagi saat itu mereka
170 dibantu oleh Arga Lanang dan Ki Bancak.
Sementara itu malam diatas puncak Bukit Karang Gajah
sudah semakin tua, semburat warna merah sudah mulai
muncul mengintip diujung timur bumi hadir bersama
cahaya gemerlap bintang kejora pagi.
Terdengar suara hentakan sendal pancing cambuk Empu
Dangka yang nyaris hanya dua jari dari dada lawannya.
Sebuah hentakan cambuk yang mengandung tekanan
kekuatan tenaga cadangan yang luar biasa. Meski ujung
cambuk itu tidak mengenai apapun, tetap saja
menyesakkan dada lawan Empu Dangka yang seketika
itu langsung memegang dadanya seperti berhenti
bernafas.. Maka kesempatan itu dipergunakan oleh
Empu Dangka dengan menyabetkan ujung cambuknya
ke arah pangkal paha orang itu.
Betttttt?"" Begitu cepatnya sabetan cambuk itu langsung melukai
pangkal paha orang berjubah hitam itu yang langsung
tersungkur tidak mampu menahan berat badannya hanya
dengan satu tungkai kaki.
Empu Dangka tidak mengejar dengan serangan
berikutnya, tapi terlihat meninggalkannya langsung
mendekati para prajurit yang sedang menghadapi
lawannya, yaitu orang berjubah hitam lainnya. Melihat
Empu Dangka datang menghampiri, para prajurit sudah
langsung tahu apa yang harus mereka lakukan, yaitu
melepaskan lawannya untuk diselesaikan oleh Empu
Dangka. Dengan kehadiran seorang Empu Dangka yang
menggantikan para prajurit Singasari menghadapi
lawannya, maka suasana pertempuran diatas puncak
bukit Karang Gajah menjadi semakin dapat ditebak siapa
171 yang akan menguasai medan pertempuran itu.
"Ikat mereka menjadi satu pertempuran", berkata Ki
Bancak memberi perintah kepada para prajurit Singasari
untuk bergabung menjadi kesatuan yang utuh
menghadapi dua orang lawan.
Mekipun kedua orang berjubah hitam itu mempunyai
kemampuan yang cukup tinggi, namun menghadapi dua
puluh orang prajurit yang terlatih adalah sebuah hal yang
sangat cukup berat. Sementara itu pertempuran antara Mahesa Amping
dengan Ki Sandikala masih terus berlangsung. Keduanya
terlihat masih terus menjajagi tingkat kemampuan lawan.
Dan masih belum berada di atas puncak tataran ilmunya
masing-masing. "Garis ilmunya sama dengan Ki Karmapala, tapi
serangannya kaya dengan segala tipu daya yang
membahayakan", berkata Mahesa Amping yang tengah
bertempur dengan Ki Sandikala.
Sebagaimana yang dilihat oleh Mahesa Amping, jalur
ilmu Ki Karmapala memang ada dalam satu jalur aliran
yang sama dengan Ki Sandikala. Hanya bedanya bahwa
Ki Sandikala sudah dapat menguasai ilmunya dengan
sempurna melebihi semua pimpinan aliran penyembah
matahari di Balidwipa dan Jawadwipa. Dan sampai saat
itu, setelah mereka saling bertempur ratusan jurus,
Mahesa Amping belum juga melihat batas puncak ilmu Ki
Sandikala. "Aku harus berhati-hati", berkata Mahesa Amping dalam
hati sambil mengelak sebuah serangan dari Ki Sandikala
dan balas menyerangnya dengan tidak kalah
berbahayanya. 172 Sementara itu di sisi yang lain kembali Pendeta
Gunakara menyelesaikan pertempurannya. Tongkat
kayunya berhasil menghantam pinggang lawannya.
Bukkk ?". "Awww?"?"", terdengar suara menahan rasa sakit
yang sangat seorang berjubah hitam lawan Pendeta
Gunakara yang terkena pukulan tongkatnya tepat
dipinggang. Orang itu langsung terpelanting jatuh ke
bumi, merasakan tulang rusuknya nyeri tak terkira.
Pendeta Gunakara tidak mengejarnya, membiarkan
orang itu yang sudah tidak mampu berdiri lagi
mengerang kesakitan. Pendeta Gunakara menyapu
sepanjang pandangannya keseluruh pertempuran.
Melihat pertempuran Empu Dangka yang sudah diatas
angin sedikit lagi pasti akan menyelesaikan pertempurannya. Pendeta Gunakara juga melihat dua
orang berjubah hitam yang tengah dikepung oleh para
prajurit Singasari, Pendeta Gunakara merasa yakin
hanya menunggu waktu kedua orang berjubah hitam itu
pasti akan kehabisan tenaga.
Ketika Pendeta Gunakara memandang kearah pertempuran antara Mahesa Amping dan Ki Sandikala,
terlihat dirinya menahan nafas penuh ketegangan.
"Sebuah pertempuran yang luar biasa", berkata Pendeta
Gunakara yang melihat pertempuran itu sebagai dua
orang raksasa kanuragan bertempur.
Apa yang dilihat oleh Pendeta Gunakara ternyata
memang sangat dahsyat dan luar biasa. Mahesa Amping
dan Ki Sandikala bertempur dengan kecepatan dan
kekuatan yang amat menggetarkan hati siapapun yang
melihatnya. Batu-batu karang yang besar kadang
menjadi sasaran yang lepas, hancur porak poranda
173 terkena senjata cakra Ki Sandikala atau cambuk Mahesa
Amping. Tanah disekitar mereka terlihat sudah rata,
rumput dan ilalang terlihat layu hangus terbakar. Sebuah
pemandangan yang sangat mendebarkan hati layaknya
dua raksasa kanuragan bertempur dengan kekuatan dan
kecepatan yang mumpuni tak terkatakan oleh kata-kata
karena begitu dahsyatnya.
Sementara itu pada pertempuran yang lain, Empu
Dangka kembali telah menyelesaikan pertempurannya.
Diam-diam Empu Dangka sambil bertempur juga sempat
memperhatikan jalannya pertempuran antara Mahesa
Amping dan Ki Sandikala yang sangat begitu
dahsyatnya. Maka melihat hal itulah dirinya segera
menyelesaikan pertempurannya.
"Beristirahatlah kamu", berkata Empu Dangka sambil
cambuknya menutuk dua kali didua pangkal paha
lawannya. Tarrr?".tarrrrr Dua kali sentakan cambuk dengan kekuatan yang tidak
begitu penuh langsung merubuhkan lawan Empu Dangka
yang tersungkur terlempar di dinding batu karang besar.
Orang itu terlihat sudah tidak ada kekuatan lagi untuk
bangkit, apalagi melanjutkan pertempurannya. Orang itu
nampaknya sudah merasa jerih, merasa jauh dibawah
kemampuan Empu Dangka yang tidak segera
menghampirinya, tapi langsung mendekati pertempuran
Mahesa Amping dan Ki Sandikala yang sangat
dikhawatirkan karena menurutnya Mahesa Amping kali
ini telah mendapatkan lawan yang setanding.
Sementara itu sebagaimana yang diperhitungkan oleh
Pendeta Gunakara, dua orang berjubah hitam yang
tengah di kepung dan diserang oleh para prajurit
174 Singasari nampaknya sudah kehabisan tenaga.
"Menyerahlah, kami akan mengampuni
berkata Ki Bancak kepada kedua orang itu.
nyawamu", "Aku akan mati bersamamu!!", berkata salah seorang
berjubah hitam itu yang kebetulan sangat dekat sekali
dengan Ki Bancak langsung menghimpun sisa
tenaganya menerjang Ki Bancak.
Tapi untungnya Ki Bancak sudah memperhitungkan
semua kemungkinan yang bisa terjadi. Maka dengan
sigap dan cepat Ki Bancak melenting kekiri menghindari
serangan senjata cakra dari orang itu. Bukan main
penasarannya orang itu melihat sasarannya dapat lolos
begitu cepatnya. Maka orang itu masih bermaksud
menyerang kembali Ki Bancak yang telah melenting
beberapa jarak darinya, namun antara keinginan dan
kemampuannya saat itu ternyata sudah jauh berbeda,
kekuatannya sudah terkuras pada serangan sebelumnya,
akibatnya gerakannya menjadi begitu lamban.
Srettttttt".. Pedang seorang prajurit berhasil merobek
samping kiri pinggangnya.
daging Dan bersamaan dengan itu sebuah tendangan keras dari
Arga Lanang berhasil melepas dan melempar senjata
cakra dari genggaman tangannya.
Jeppppp". Belati ditangan kanan Arga Lanang juga ikut beraksi,
menancap di atas pangkal paha orang itu dan dengan
cepat pula seketika mencabutnya.
Seketika itu juga darah segar keluar dari pangkal paha
orang itu, bersama darah merah merah yang merembes
dari pinggangnya. Terlihat orang itu limbung jatuh ke
175 bumi. Melihat kawannya sudah tidak berdaya, satu orang
berjubah hitam yang tersisa merasa cukup jerih juga
melihat para prajurit Singasari yang dengan mata perang
membakar dihampir semua mata para prajurit yang
tengah mengepungnya. "Menyerahlah, atau nasibmu akan sama dengan
kawanmu", berkata Ki Bancak kepada orang itu.
"Aku menyerah", berkata orang itu sambil melempar
senjata cakra ditangannya.
"Ikat orang itu", berkata Ki Bancak kepada salah seorang
prajurit didekatnya. Maka seketika itu juga beberapa
prajurit datang menghampiri orang itu dan mengikatnya
dengan tali yang kuat. Sementara itu suasana di atas puncak bukit Karang
Gajah sudah menjadi terang tanah, matahari pagi sudah
muncul diujung timur bumi menerangi semua pandangan.
Terlihat beberapa prajurit mendatangi beberapa orang
pihak musuh yang sudah tidak berdaya, sementara itu
yang lainnya dengan penuh kecemasan mendekati
pertempuran antara Mahesa Amping dan Ki Sandikala
yang masih terus berlangsung tanpa dapat dibaca siapa
diantara mereka yang akan memenangkan pertempuran
itu, karena keduanya terlihat masih penuh tenaga meski
pertempuran mereka sudah berlangsung hampir
sepanjang malam. Pertempuran Mahesa Amping dan Ki Sandikala memang
sudah menjadi begitu dahsyatnya. Kecepatan dan
kekuatan mereka bertempur memang sudah sangat luar
biasa. Mereka sudah seperti dua bayangan yang
berkelebat dan kadang melenting dengan cepat diiringi
176 hamburan batu, tanah dan bongkahan karang yang
terkena sasaran dan terjangan mereka.
"Ilmu ajian Teratai Putih!!", berkata Empu Dangka yang
merasakan sebuah getaran aneh keluar dari dalam tubuh
Ki Sandikala. Sebuah ilmu yang langka yang dapat


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengaburkan jalan pikiran lawan. Seorang lawan yang
terkena pengaruh ilmu ini akan menjadikan pikirannya
buntu untuk memutuskan segala sesuatu yang
berdampak kepada kebingungan. "Mahesa Amping
mempunyai kekuatan bathin yang tinggi", berkata Empu
Dangka dalam hati menenangkan dirinya sendiri.
Ternyata apa yang dikatakan oleh Empu Dangka
memang tengah dirasakan oleh Mahesa Amping, sekilas
dirasakan ada sebuah dorongan yang menutup jalan
pikirannya. Namun ternyata Ki Sandikala salah duga,
karena Mahesa Amping telah mempunyai kekuatan
bathin yang tinggi sehingga tidak lagi memutuskan
segala sesuatunya lewat jalan pikirannya, tapi selalu
bertumpu kepada petunjuk rasa yang tinggi, petunjuk dari
Gusti yang Maha Agung, Gusti Yang Maha Pengasih
yang tak putus memberi kasih, yang tak putus memberi
petunjuk. "Luar biasa anak muda ini", berkata Ki Sandikala dalam
hati yang telah menerapkan ajian Teratai Putihnya
namun tidak juga ada tanda-tanda bahwa Mahesa
Amping dapat terpengaruh atas ilmunya itu.
"Ilmumu tidak berpengaruh apapun", berkata Mahesa
Amping sambil balas menyerang Ki Sandikala.
"Jangan cepat puas diri, masih banyak yang belum
kuungkapkan", berkata Ki Sandikala kepada Mahesa
Amping sambil meniup pada tangannya yang terbuka
kearah Mahesa Amping. 177 "Ajian Megananda!!", berkata Empu Dangka dalam hati
yang melihat langsung pertempuran itu.
Ternyata apa yang dilihat oleh Empu Dangka memang
benar, Ki Sandikala telah melepas ilmu simpanannya,
sebuah ilmu yang bernama Ajian Megananda. Ilmu ini
memang sangat keji sekali, karena dapat menidurkan
lawan dalam seketika. Tapi ternyata Ki Sandikala salah langkah, lawannya
bukan orang sembarang dan bukan orang biasa.
Lawannya adalah Mahesa Amping yang mempunyai
berbagai kekebalan yang telah tumbuh sebagai kekuatan
yang kasat mata. Kekebalan didalam dirinya dengan dan
tanpa perintah apapun akan selalu menolak apapun yang
akan sekiranya membahayakan dirinya. Maka ajian
Megananda seperti kalis begitu saja dihadapan Mahesa
Amping. Ajian ilmu itu seperti tak beraksi apapun.
Tapi Mahesa Amping bukan hanya dapat menawarkan
serangan ilmu lawan yang tersembunyi, bahkan dapat
mengembalikan serangan tersembunyi itu kepada
tuannya. Senjata makan tuan !!! "Gila!!!", berkata Ki Sandikala kepada dirinya sendiri yang
tiba-tiba saja merasakan kantuk yang sangat.
Maka seketika itu juga Ki Sandikala tidak lagi
melepaskan ajian Meganandanya. Yang terlihat adalah
seketika itu juga dirinya berlompat sekitar sepuluh
langkah menjauh dari Mahesa Amping.
Terlihat Ki Sandikala masih menggenggam cakra
ditangan kanannya, sementara itu tangan kirinya telah
berada diatas dadanya membentuk tangan terbuka yang
tengah menyembah. 178 "Ajian Gelap Ngampar!!", berkata Empu Dangka dalam
hati dengan mata terperangah dengan perasaan
mencekam penuh ketegangan.
Belum habis Empu Dangka berucap, sebuah bola api
berwarna biru menyala sebesar setengah kepal tangan
tiba-tiba saja muncul didepan dada Ki Sandikala, dan
seperti dilontarkan dengan tenaga yang kuat bola api itu
melesat begitu cepatnya menyambar Mahesa Amping.
Untungnya Mahesa Amping memang sudah berjagajaga,
mengetahui bahwa Ki Sandikala akan mengeluarkan ilmu simpanannya.
Terlihat Mahesa Amping sudah melenting tinggi, sebuah
batu karang besar dibelakang Mahesa Amping langsung
hancur berkeping-keping terkena sambaran ajian gelap
ngampar yang dilontarkan oleh Ki Sandikala.
Para prajurit yang melihat kejadian itu langsung lari
menjauh, takut terkena sasaran ilmu Ki Sandikala yang
sangat dahsyat itu. Beberapa orang terpaksa berlindung
di balik batu karang besar sambil terus mengintip
jalannya pertempuran yang sangat menggetarkan hati.
Melihat lawannya berhasil luput dan dapat menghindar,
seketika Ki Sandikala bermaksud menghentakkan
serangannya kembali, namun secara tidak terduga,
masih dalam keadaan melenting diudara ternyata
Mahesa Amping telah melontarkan kekuatannya lewat
sorot matanya. Sebuah cahaya biru menyala melesat tertuju kearah Ki
Sandikala. Tapi ternyata Ki Sandikala juga dapat
bergerak lebih cepat dari sambaran cahaya lewat sorot
mata Mahesa Amping. Terlihat sebuah lobang tanah gosong terbakar sebasar
179 kepala gajah menganga terbuka persis dibawah kaki
tempat Ki Sandikala berpijak yang telah ditinggalkannya.
Ternyata Ki Sandikala tidak hanya sekedar bergeser,
dirinya sebelumnya sudah mempersiapkan sebuah
hentakan ilmu dahsyatnya.
Terlihat kembali sebuah bola api berwarna biru melesat
kearah Mahesa Amping yang masih belum sempat turun
menginjak bumi. Siapa yang dapat bergerak bila tubuh masih belum
sempat menginjak bumi", tapi Mahesa Amping ternyata
dapat melakukannya dengan cara menjatuhkan dirinya
kesamping dan langsung berputar dua kali beberapa
langkah. Bola api biru itu kembali menghantam sasaran kosong
menghantam gerumbul semak daun yang langsung
hangus terbakar. Mahesa Amping menyadari bahwa dirinya harus
langsung membalas serangan lawan agar tidak menjadi
bahan bulan-bulanan serangan lawannya.
Maka sambil bergerak Mahesa Amping telah
melontarkan sorot matanya langsung meluncur kearah Ki
Sandikala. Namun seperti sebelumnya, Ki Sandikala
dapat cepat berhindar. Demikianlah kedua orang berilmu tinggi itu telah saling
menyerang dan balas menyerang. Tanah sekitar
pertempuran sudah menjadi arang kerabang hancur
porak poranda sebagaimana bumi tertinggal angin putih
beliung menghamburkan apapun yang ada diatasnya.
Sementara itu mentari diatas langit puncak bukit Karang
Gajah sudah naik seperempat jalan hangat menerangi
sejauh pandangan. Dan pertempuran antara Mahesa
180 Amping dengan Ki Sandikala ikut semakin seru
menegangkan seiring sinar matahari pagi yang semakin
menghangat. Mahesa Amping mendapat sebuah firasat bahwa
semakin matahari meninggi semakin kuat daya lontar
ilmu Ki Sandikala. "Aku akan menutup sumber kekuatannya", berkata
Mahesa Amping dalam hati.
Maka sambil melakukan serangan balasan melayani ilmu
Ki Sandikala yang saling melontarkan sinar panas
kemasing-masing lawan, bersama itu pula Mahesa
Amping telah menerapkan kekuatan yang tersembunyi.
Semula kabut tipis menyelimuti diri Mahesa Amping.
Namun dalam waktu yang singkat kabut tipis itu telah
menyebar menutupi seluruh tanah puncak Bukit Karang
Gajah. Dan kabut tipis itu akhirnya menjadi begitu tebal
menutupi pandangan mata. Batas pandang mata menjadi begitu terbatas, hanya
sejauh dan sebatus tubuh. Semua orang yang berada
diatas puncak Bukit Karang Gajah itu sudah tidak dapat
melihat apapun karena terhalang kabut.
Ki Bancak dan Arga Lanang yang bersembunyi dibalik
bongkahan batu karang besar terlihat keluar untuk dapat
melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Tapi
pandangan mereka masih juga tidak melihat apapun.
Kabut yang pekat telah menutup jarak pandang mereka.
"Tuan Senapati ternyata manusia dewa, entah ilmu apa
lagi yang ada didalam diri anak muda ini", berkata
Pendeta Gunakara dalam hati yang telah melihat kabut
pekat menyelimuti seluruh pandangannya yang berasal
dari kekuatan ilmu Mahesa Amping.
181 Sementara itu Empu Dangka mempunyai pemikiran yang
lain. "Mahesa Amping dapat saja menghentakkan ilmu
cambuknya yang dapat memecahkan rongga dada
lawannya, tapi itu tidak dilakukannya. Pasti ada yang
diinginkan dari anak muda yang pengasih itu", berkata
Empu Dangka sambil terus memperhatikan jalannya
pertempuran meski kabut telah menutup pandangan
orang biasa, tapi tidak bagi ketajaman mata seorang
Empu Dangka. Namun ketajaman mata Mahesa Amping yang terlatih
dapat melihat jelas, Mahesa Amping juga dapat melihat
jelas apa yang terjadi pada diri Ki Sandikala.
Apa yang terjadi atas diri Ki Sandikala yang dilihat jelas
oleh Mahesa Amping" Jilid 03 Bagian 1 Mahesa Amping telah melihat bahwa Ki Sandikala tidak
mampu lagi melontarkan ilmu andalannya aji gelap
ngampar yang dahsyat itu.
"Aku sudah menutup sumber kekuatanmu Ki Sandikala",
berkata Mahesa Amping dengan suara bergema dan
bergetar menyesakkan dada Ki Sandikala.
"Kamu memang luar bisa anak muda, mengapa tidak
langsung saja menghentakkan ilmumu", aku bangga
mati ditanganmu", berkata Ki Sandikala sambil mencaricari sumber suara Mahesa Amping.
"Aku dapat saja menghancurkan tubuhmu setiap saat,
182 tapi aku bukan seorang pembunuh", berkata Mahesa
Amping melepaskan suaranya dengan kekuatan yang
bersumber dari tenaga cadangan yang tinggi terdengar
bergema dari berbagai penjuru menggetarkan hati
siapapun yang mendengarnya.
"Kamu punya hak untuk membunuhku, itulah yang akan
kulakukan kepada semua lawanku", berkata Ki Sandikala
sangat heran bahwa Mahesa Amping tidak langsung
melumatkan dirinya. "Aku dan siapapun tidak punya hak apapun atas jiwa
yang hidup", berkata Mahesa Amping masih dengan
suara yang dilambari kekuatan yang menggetarkan dada.
"Bukankah kamu sudah berada kemenangan?", berkata Ki Sandikala.
diambang "Gusti Yang Maha Tunggal yang punya hak atas segala
jiwa yang hidup", berkata Mahesa Amping.
"Sembahan kami adalah Dewa Matahari, kepadanyalah
kami hidup dan mati", berkata Ki Sandikala
"Apakah saat ini dewamu dapat menolongmu wahai Ki
Sandikala?", berkata Mahesa Amping.
Didalam kepekatan kabut yang membatasi pemandangan, Mahesa Amping masih dapat melihat
jelas Ki Sandikala seperti tengah tercenung dengan apa
yang dikatakan oleh Mahesa Amping.
"Gusti yang Maha Tunggal tidak dapat dibatasi oleh
apapun, kekuatan dan kekuasaannya tidak dapat
dihalangi oleh apapun", berkata kembali Mahesa Amping
yang melihat Ki Sandikala masih tercenung sepertinya
tengah menemukan sesuatu yang selama ini belum
pernah ditemuinya. "Apakah yang kamu maksud Dia Yang Maha melihat?",
183 bertanya Ki Sandikala "Benar, Gusti Yang Maha Tunggal Maha Melihat
segalanya", berkata Mahesa Amping dengan suara yang
masih penuh kekuatan menggetarkan dada
"Apakah yang kamu maksud Dia Yang Maha Pemelihara
penuh kasih?", bertanya Ki Sandikala
"Benar, Gusti Yang Maha Tunggal adalah Dia Yang
Maha memelihara penuh kasih", berkata Mahesa Amping
yang tidak lagi melepaskan suaranya dengan kekuatan
ilmunya. Mahesa Amping juga telah menarik ilmu kekuatan
kabutnya, perlahan kabut hitam di puncak bukit Karang
Gajah semakin menipis dan akhirnya hilang meninggalkan pemandangan yang bersih terang
benderang diterangi sinar matahari pagi yang penuh
bercahaya. Ketika kabut gelap menghilang sirna, ternyata Mahesa
Amping cuma sejarak sepuluh langkah dari Ki Sandikala.
"Ketika kabut pekat menutupi segala pandangku, aku


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kehadiranNYA. Ternyata selama ini aku salah
menempatkan antara diriku dan diriNYA. Aku merasa
ada didalam tiada. Sesaat dan selalu sesaat itu memberi
kenyamanan yang tak terhingga yang tidak pernah
kurasakan dan kualami sebelumnya. Ijinkan aku berguru
kepadamu, agar aku dapat mengenalNYA lebih dekat
lagi", berkata Ki Sandikala yang tidak terduga telah
menemukan sesuatu yang aneh didalam dirinya kepada
Mahesa Amping. "Yang Ki Sandikala lihat adalah Dia Yang Maha Tunggal,
yang mengendalikan matahari terbit dan terbenam. Yang
Maha Tunggal telah memperkenalkan dirinya kepada Ki
184 Sandikala. Dia Yang Maha Tunggal punya kekuasan
memilih siapapun yang ingin dipilihnya. Dialah Guru
sejati yang membimbing siapapun yang dikehendaki",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala.
"Tuntunlah aku untuk dapat selalu bersamaNYA", berkata
Ki Sandikala sambil merangkap kedua tangannya
didada. Terlihat Mahesa Amping datang mendekatinya. "Kita
berjodoh, tidak semua orang diperkenalkannya.
Kebetulan sekali aku lebih dulu mengenalNYA. Aku yang
muda bersedia menjadi penuntunmu", berkata Mahesa
Amping sambil menyentuh pundak Ki Sandikala.
"Terima kasih", berkata Ki Sandikala kepada Mahesa
Amping dengan senyum penuh rasa terima kasih,
sepertinya mereka bukan lagi sepasang musuh, tapi dua
orang sahabat lama yang saling mengasihi.
Sementara itu matahari diatas puncak Bukit Karang
Gajah sudah semakin naik ke puncaknya. Namun hawa
yang sejuk dan segar di atas puncak Bukit Karang Gajah
itu sepertinya meredam panasnya sinar matahari.
"Mari kita urus semua orang yang terlanjur terluka dan
gugur di Puncak Bukit Karang ini", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Sandikala.
"Semua ini adalah kesalahanku", berkata Ki Sandikala
sambil melihat beberapa mayat yang bergeletakan.
"Tidak perlu merasa bersalah, semua memang sudah
menjadi takdir dan garisNYA", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Sandikala. Demikianlah, pada saat itu terlihat beberapa prajurit
tengah membuat beberapa lobang kubur untuk
memakamkan orang-orang yang gugur di puncak Bukit
185 Karang Gajah itu. Sementara itu beberapa prajurit lagi
terlihat tengah mengurus orang-orang yang terluka.
"Kita harus menunggu beberapa hari disini, ada
beberapa orang perlu perawatan khusus sebelum dapat
berjalan sendiri kembali ketempatnya", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping
"Terima kasih, jiwa kalian seperti samudra", berkata Ki
Sandikala merasa terharu melihat perhatian yang besar
kepada orang yang sebelumnya menjadi musuh mereka.
Dua malam mereka harus tinggal di puncak bukit Karang
Gajah, beberapa orang yang terluka ringan sudah pulih
kembali. Sementara satu dua orang yang terluka cukup
berat masih harus mendapatkan perawatan yang khusus,
tapi sudah tidak membahayakan nyawanya.
Pagi itu di puncak Bukit Karang Gajah, dua rombongan
terlihat akan berpisah karena arah jalan mereka yang
berbeda. "Adikku Setyakala, kutitipkan Padepokan Gunung Wilis
kepadamu, aku akan mengikuti garis hidupku sendiri,
mengikuti penguasa sang waktu mengenal dan menguak
segala kebesaraannya. Bila berjodoh, kita pasti
berkumpul kembali bersama", berkata Ki Sandikala
kepada saudara mudanya bernama Setyakala yang akan
kembali kekediamannya di Padepokan Gunung Wilis di
Jawadwipa. "Tidak ada kuasa untuk adinda Setyakala menahan
keinginan kakanda Sandikala, aku hanya berdoa untuk
Kakanda Sandikala, doa adinda Setyakala selalu
menyertai langkah Kakanda Sandikala dalam menemukan pencerahan bathin menuju kebenaran
hakiki. Pada saatnya mungkin adinda Setyakala akan
menerima kebenaran yang kakanda Sandikala yakini
186 adalah sebuah kebenaran. Namun hari ini keyakinan
adinda masih menapak pada kebenaran yang telah
diajarkan oleh leluhur kita, ayahanda tercinta", berkata Ki
Setyakala kepada Ki Sandikala penuh keharuan sebagai
saudara kandung yang selama ini selalu bersama.
"Berjalanlah kembali wahai adikku Setyakala, kita saat ini
berada disimpang jalan kebenaran. Jalani apa yang
kamu yakini, karena kita tidak pernah memilih jalan
keyakinan kecuali dipilih oleh sang penguasa waktu,
pemilik kebenaran itu sendiri", berkata Ki Sandikala
penuh senyum kepada adiknya Ki Setyakala.
Sementara itu matahari pagi diatas puncak bukit Karang
Gajah sudah mulai merangkak naik, terlihat iring-iringan
Ki Setyakala bersama rombongannya telah menuruni
tanah Bukit Karang Gajah diantar dan diringi pandangan
mata Ki Sandikala, Mahesa Amping, Empu Dangka dan
Pendeta Gunakara. Iring-iringan Ki Setyakala dan rombongannya akhirnya
telah menghilang tak terlihat lagi dijalan berliku dan
menurun diantara belukar dan semak hutan yang gelap
disisi barat Bukit Karang Gajah.
Tidak lama kemudian Ki Bancak mewakili para prajurit
berpamit untuk kembali ketempat tugasnya masingmasing.
"Hamba mengiringi para prajurit mohon pamit diri,
beberapa hari lagi hamba seperti biasa akan menemui
tuan Senapati di Padepokan Pemecutan", berkata Ki
Bancak kepada Mahesa Amping.
"Terima kasih atas semua dan segalanya, aku akan
selalu menunggumu di Padepokan Pemecutan", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Bancak.
187 Matahari sudah mulai naik semakin keatas langit puncak
buki karang Gajah manakala rombongan Ki Bancak dan
para prajurit Singasari menuruni puncak bulit Karang
Gajah. "Akhirnya semua dapat diselesaikan, meski ada satu dua
korban", berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Mari kita kembali ke Padepokan Pemecutan", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
Sementara itu Matahari di langit diatas Bukit Karang
Gajah sudah mulai bergeser turun sedikit, panasnya tidak
begitu terik karena terhalang rimbunan pepohonan hutan.
Terlihat Mahesa Amping, Ki Sandikala, Empu Dangka,
Pendeta Gunakara dan Arga Lanang tengah menuruni
bukit Karang Gajah. Akhirnya, diujung senja mereka telah sampai di
Pedepokan Pemecutan, seluruh warga Padepokan
Pemecutan datang menyambut kedatangan mereka
dengan gembira dan penuh rasa syukur. Hari itu juga
mereka merayakan suasana gembira dengan sebuah
acara makan malam bersama hingga jauh malam.
*** Sementara itu jauh dari Balidwipa, di hari yang sama di
tanah Gelang-gelang. Terlihat seorang berkuda sudah
memasuki gerbang kota Gelang-gelang.
Rembulan muda di atas Kotaraja
bersembul dilangit malam dalam cahaya
beberapa bintang yang berkelip jauh.
sepertinya jauh dari kegembiraan
penunggang kuda itu. Gelang-gelang buram bersama Warna malam suasana hati Wajah orang itu dipenuh kesuraman, matanya terlihat
berkilat penuh kebencian. Kuda orang itu terlihat berhenti
188 di sebuah rumah besar di jalan Kotaraja Gelang-gelang
yang sudah begitu sepi, karena hari sudah jauh malam.
"Katakan kepada tuanmu, aku Wirondaya ingin
menemuinya", berkata orang itu yang ternyata adalah
Wirondaya. Seorang buronan Kotaraja Singasari
keponakan Adipati Wiraraja dari Sunginep.
"Hari sudah jauh malam, tidakkah tuan datang kembali
besok pagi?", berkata penjaga rumah itu kepada
Wirodaya. "Katakan kepada tuanmu, aku Wirondaya ingin
menemuinya", berkata kembali Wirondaya kepada
penjaga itu dengan suara yang lebih tegas.
Penjaga itu nampaknya sudah punya banyak
pengalaman, dapat membedakan orang biasa maupun
orang penting. Penjaga itu mendapat firasat bahwa orang
didepannya itu adalah "mungkin" seorang yang biasa
dilayani. Maka dirinya tidak ingin berurusan dengan halhal yang tidak mengenakkan, akhirnya dengan keraguan
yang dipaksakan penjaga itu masuk kedalam lewat pintu
butulan rumah itu. "Silahkan tuan naik ke Pendapa, Senapati Jaran Guyang
bersedia menerima tuan", berkata penjaga itu yang
sudah keluar kembali lewat pintu butulan mengabarkan
kepada Wirondaya yang menunggunya diregol pintu
gerbang rumah itu. "Terima kasih", berkata Wirondaya kepada penjaga itu
sambil langsung melangkah menuju pendapa rumah itu.
Bersamaan ketika Wirondaya menapakkan kakinya di
anak tangga pendapa, pintu utama terbuka dan terlihat
dari dalamnya keluar seorang yang bertubuh kekar
sebagai tanda ahli kanuragan yang terlatih. Wajahnya
189 yang keras cukup membawa kegentaran siapapun yang
menatapnya. "Ternyata sahabatku Wirondaya", berkata Senapati Jaran
Guyang menyambut penuh senyum kepada Wirondaya.
"Aku gembira, masih ada orang yang memanggilku
sebagai sahabat", berkata Wirondaya kepada Senapati
Jaran Guyang yang menyambutnya penuh keramahan.
"Sekali sahabat, tetap sebagai sahabat sepanjang
masa", berkata Senapati Jaran Goyang kepada
Wirondaya sambil mengajaknya duduk di pendapa
rumahnya. "Nasib ternyata telah membedakan kita, dulu kita samasama prajurit pengawal istana. Saat ini kamu sudah
menjadi seorang Senapati, sementara nasibku terpuruk
menjadi seorang buronan", berkata Wirondaya memulai
ceritanya. Demikianlah, kedua sahabat lama itu saling bercerita
tentang perjalanan masing-masing. Bercerita tentang
beberapa kenangan diantara mereka yang tidak pernah
terlupakan dan memang sangat berkesan.
"Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu saat ini.
Pasti ada sebuah berita penting hingga kamu datang ke
rumahku disaat gelap. Aku yakin kedatanganmu bukan
hanya sebatas kerinduan seorang sahabat lama",
bertanya Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
"Saat ini malam sudah menjadi pakaian hidupku, dengan
cara itu aku masih hidup sampai saat ini. Kedua aku
datang hanya sebagai seorang sahabat lama
mengunjungi seorang sahabatnya yang kini menjadi
tangan kanan penguasa Tanah Gelang-gelang. Terakhir
aku datang di Tanah Gelang-gelang ini hanya untuk
190 memberikan kesetiaanku kepada Raja Jayakatwang",
berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.
"Kesetiaan apa yang dapat kamu berikan untuk Baginda
Raja Jayakatwang?", bertanya Senapati Jaran Goyang
kepada Wirondaya. "Persekutuan antara Tanah Perdikan Sungenep dan
Penguasa Tanah Gelang-gelang", berkata Wirondaya
dengan suara meyakinkan. "Pamanku Adipati Wiraraja
merasa tersinggung atas pemecatanku dari Istana
Tumapel. Atas restunya jua aku datang menyampaikan
sebuah rencananya", berkata kembali Wirondaya dengan
suara penuh keyakinan siapapun tidak akan menduga
bahwa semua itu hanya sebuah kebohongan belaka.
"Pamanmu adalah seorang siasat perang yang mumpuni,
tiada tanding. Aku sangat senang mendengarnya",
berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
"Menurut perhitungan beliau, kekuatan Tumapel harus
dipancing untuk keluar dari sarangnya", berkata
Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.
"Benar, aku belum pernah berpikir kearah itu. Kemana
menurut Pamanmu memancing kekuatan Tumapel yang
besar itu?", bertanya kembali Senapati Jaran Goyang
penuh kegembiraan. Wirondaya tersenyum dalam hati, "kena kamu Senapati
bodoh", berkata Wirondaya dalam hati.
"Menurut Pamanku, di Selat Malaka ada persaingan
dagang antara para bangsawan Tumapel dengan para
pedagang Cina. Disanalah menurut pamanku menggiring
pasukan dan kekuatan Tumapel meninggalkan
sarangnya. Dan kita bersiap berpesta pora di sarang
istana mereka", berkata Wirondaya sambil 191 memperhatikan wajah Senapati Jaran Goyang.
Ternyata perkataan Wirondaya yang mengatasnamakan
pamannya Adipati Wiraraja sangat dibenarkan dan


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diakuinya sebagai siasat yang sangat hebat.
"Pamanmu sangat cakap menyusun siasat, besok aku
akan menyampaikannya kepada Baginda Raja
Jayakatwang", berkata Senapati Jaran Goyang kepada
Wirondaya. Bukan main senangnya Wirondaya mendengar
perkataan Jaran Goyang itu, sepertinya perasaan
dendam kesumatnya sebentar lagi akan terbayar lunas.
Sementara itu terdengar derit pintu utama terbuka,
terlihat seorang lelaki pelayan tua keluar dari pintu itu
sambil membawa minuman hangat dan beberapa potong
makanan. "Silahkan dinikmati makanan dan minumannya", berkata
Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
"Terima kasih", berkata Wirondaya sambil mengambil
minuman hangatnya. "Selama di Tanah Gelang-gelang ini, berdiamlah
dirumahku. Kamu berada ditempat yang paling aman",
berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
"Terima kasih sahabat", berkata Wirondaya tertawa
dalam hati mengagumi kepandaian diri sendiri yang
ternyata dapat mengelabui sahabatnya itu Senapati
Jaran Goyang. Tapi sebenarnya Senapati Jaran Goyang bukanlah orang
bodoh. Menurut perhitungannya apa yang di sampaikan
oleh Wirondaya yang mengatasnamakan pamannya
memang sebuah hal yang sangat cerdas. Ditambah lagi
bahwa siasat itu berasal dari seorang yang menurutnya
192 memang sangat mumpuni seperti Adipati Wiraraja yang
sangat dikaguminya itu. Bertambah percayalah Senapati
Jaran Goyang kepada Wirondaya.
Begitulah sebenarnya sifat dan prilaku manusia pada
umumnya, mereka terbiasa menilai siapa dan dari mana
sebuah pernyataan dibandingkan menilai apa isi dan
makna pernyataan itu sendiri. Ilmu yang sama akan
menjadi begitu berharga bila yang membawakannya
adalah seorang Empu. Dan Wirondaya ternyata sangat
ahli dan sangat mengenal watak sahabatnya Senapati
Jaran Goyang yang sangat mengagumi pamannya
Adipati Arya Wiraraja mantan pejabat istana Singasari
jaman dulu yang sangat mumpuni membuat dan
merencanakan sebuah siasat pertempuran. Seorang
pejabat istana yang pernah hidup bersama tiga serangkai
pahlawan istana Singasari, Mahesa Agni, Wiranta dan
Mahendra. "Beristirahatlah, besok aku ingin mendengar lagi apa
yang dikatakan oleh pamanmu", berkata Senapati Jaran
Goyang kepada Wirondaya. Malam di luar rumah Senapati Jaran Goyang memang
sudah jauh malam. Begitu sepi dan dingin. Maka tidak
lama berselang pendapa rumah Senapati jaran Goyang
terlihat sudah menjadi begitu lengang.
Pagi itu udara langit diatas Tanah Gelang-gelang begitu
cerah ditandai hiruk pikuk para pejalan kaki di jalan
Kotaraja Gelang-gelang yang cukup ramai.
"Aku akan menghadap Baginda Raja Jayakatwang,
pesan pamanmu Adipati Arya Wiraraja akan
kusampaikan kepada beliau", demikian Senapati Jaran
Goyang berkata kepada Wirondaya ketika akan
berangkat ke Istana Gelang-gelang. "Jangan kemana193
mana", berkata kembali Senapati Jaran Goyang kepada
Wirondaya ketika hendak melangkah menuruni tangga
pendapa rumahnya. Sepanjang hari Wirondaya memang tidak kemana-mana.
Kepada para pekerja di rumah Senapati Jaran Goyang
yang cukup luas dan megah itu ternyata Wirondaya
diperkenalkan sebagai saudara jauh dari Tanah Perdikan
Sunginep. Tidak seorang pun mengetahui bahwa
Wirondaya sebenarnya adalah seorang buronan yang
sedang dicari-cari oleh seluruh prajurit istana Singasari.
Ketika hari menjelang sore, matahari terlihat hangat dan
teduh. Senapati Jaran Goyang terlihat memasuki
rumahnya. "Baginda Raja Jayakatwang sangat tertarik ketika aku
menyampaikan pesan dari pamanmu", berkata Senapati
Jaran Guyang kepada Wirondaya di pendapa rumahnya.
"Apa yang dikatakan Baginda Raja Jayakatwang
mengenai pesan Pamandaku?", bertanya Wirondaya
seprti tidak sabaran. "Baginda Raja merasa gembira bahwa pamanmu
menarik diri sebagai persekutuannya", berkata Senapati
Jaran Goyang kepada Wirondaya. "juga mengenai pesan
siasat perangnya", berkata kembali Senapati Jaran
Goyang kepada Wirondaya. "Apa pendapat Baginda Raja Jayakatwang mengenai
siasat memancing kekuatan Tumapel di Selat Malaka?",
bertanya Wirondaya dengan wajah yang berbinar-binar.
"Besok Baginda Raja Jayakatwang akan mengundang
beberapa pejabat istana untuk membicarakannya, aku
juga termasuk yang akan menghadirinya", berkata
Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
194 "Pamandaku juga memberi saran agar Raden Ardharaja
yang saat ini sudah menjadi mantu keluarga istana
Tumapel dapat dipengaruhi", berkata Wirondaya kepada
Senapati Jaran Goyang. "Pamanmu memang punya pikiran segunung, aku akan
menyampaikannya dalam pembicaraan besok", berkata
Senapati Jaran Goyang dengan penuh gembira
membayangkan Raja Jayakatwang akan menganggapnya sebagai seorang yang cerdik, karna
akan dikatakan sebagai buah pikirannya sendiri tanpa
menyinggung sedikitpun kalau itu adalah pikiran dari
Adipati Arya Wiraraja. Diam-diam Wirondaya tersenyum sendiri dalam hati, tahu
betul apa yang ada dalam pikiran sahabatnya itu.
"Aku tidak sabar menunggu berita Baginda Raja
Jayakatwang untuk menugaskan beberapa petugas
kepercayaannya memancing kekeruhan di Selat Malaka",
berkata Wirondaya dengan wajah masih berbinar-binar
penuh kegembiraan membayangkan usulnya akan
menjadi kenyataan. Tidak terasa akhirnya senja telah datang turun di jalan
Kotaraja Gelang-gelang yang sudah menjadi semakin
sepi, ada satu dua orang yang terlihat melangkah cepat,
mungkin ingin segera sampai dirumahnya masingmasing. Sementara itu matahari sudah melenggut
diujung bibir bumi. Terlihat seorang lelaki tua pekerja di rumah Senapati
Jaran Goyang tengah menyalakan pelita malam di
pendapa rumah. Tidak ada angin yang berhembus,
halaman rumah senapati Jaran Goyang terlihat begitu
lengang. "Dengan mengikat Raden Ardharaja sebagai mantunya,
195 Maharaja Kertanegara menyangka telah mengikat Raja
Jayakatwang melupakan dendamnya", berkata Wirondaya memulai pembicaraannya kepada Senapati
Jaran Goyang ketika mereka duduk bersama di pendapa.
"Keinginan Baginda Raja Jayakatwang untuk merebut
kembali martabat leluhurnya yang terjajah tidak
tergoyahkan oleh ikatan apapun, meski sudah terikat
sebagai ipar dan besan sekalipun", berkata Senapati
Jaran Goyang menanggapi perkataan Wirondaya.
"Raja Jayakatwang mengetahui makna dibalik ikatan itu,
tahu apa yang ada dalam pikiran orang-orang Tumapel",
berkata Wirondaya memberi kayu api bermaksud
memanas-manasi perasaan Senapati Jaran Goyang.
"Baginda Raja Jayakatwang akan melepas ikatan itu
dengan api peperangan", berkata Senapati Jaran
Goyang. "Membakar sampai hangus istana Tumapel yang
sombong itu", berkata Wirondaya penuh berapi-api.
"Apakah ada siasat dari Adipati Arya Wiraraja yang
belum kudengar?", bertanya Senapati Jaran Goyang
kepada Wirondaya. "Pamandaku punya perhitungan atas kelicikan Maharaja
Singasari yang tidak akan sepenuhnya melepas
kekutannya, Pamandaku punya perhitungan tersendiri",
berkata Wirondaya sambil tersenyum memandang
Senapati Jaran Goyang yang menjadi penasaran dengan
pancingannya itu. "Ceritakanlah, aku ingin mendengar semuanya", berkata
Senapati jaran Goyang penuh penasaran.
"Saat ini berjumlah kita ketahui kekuatan sepuluh ribu prajurit prajurit Singasari yang kuat dan 196 berpengalaman dimana setengahnya berada dibawah
senapati muda Raden Wijaya", berkata Wirondaya
sengaja menghentikan perkataannya menunggu tanggapan dari Senapati Jaran Goyang.
"Teruskan", berkata Senapati Jaran Goyang seperti tidak
sabaran. "Menurut pamandaku Maharaja Singasari yang licik itu
pasti hanya melepaskan sekitar tiga ribu pasukannya ke
Selat Malaka menghadang pasukan Mongol di perang
lautan", berkata Wirondaya kembali menghentikan
perkataannya sambil berpikir keras menyampaikan
pikirannya sendiri. "Teruskan", berkata kembali Senapati Jaran Goyang
menjadi sangat penasaran.
"Masih ada kekuatan besar di Singasari yang harus
dipecahkan", berkata Wirondaya sambil memandang
wajah Senapati Jaran Goyang yang nyaris seperti bocah
kecil menikmati barang mainannya.
"Kita pecahkan dengan serangan pancingan yang lain",
berkata Senapati Jaran Goyang yang sudah mulai dapat
mengikuti alur permainan siasat buatan Wirondaya.
"Itulah yang pamandaku katakan", berkata Wirondaya
membenarkan ungkapan Senapati Jaran Goyang.
"Bagaimana menurut pamanmu tentang Kebo Arema
yang saat ini telah diangkat oleh Maharaja Singasari
sebagai Maha Patih?", bertanya Senapati Jaran Goyang
kepada Wirondaya. "Itulah yang Pamandaku sesalkan dengan keputusan
Maharaja Singasari yang bodoh itu, menarik orang
semacam Kebo Arema seperti mendudukkan macan
ompong ke istana. Sementara beberapa orang mudanya
197 telah dilepaskan ke luar Singasari sebagaimana Senapati
Mahesa Amping dan Mahesa Bungalan yang saat ini
bertugas di Balidwipa", berkata Wirondaya mengarang
kembali namun dengan perkataan yang sangat
meyakinkan sepertinya benar-benar perkataan pamannya Adipati Arya Wiraraja.
Terlihat Senapati Jaran Goyang manggut-mangut tanda
penuh kegembiraan. Dan Wirondaya tahu betul apa yang tengah dipikirkan
oleh sahabatnya itu, tidak lain akan menyampaikan
langsung kepada Raja Jayakatwang sebagai buah
pikirannya pribadi yang dibayangkannya adalah
kepercayaan Raja Jayakatwang kepada dirinya akan
semakin kuat. Sementara itu langit malam diatas rumah Senapati Jaran
Goyang sudah semakin gelap. Rembulan muda
terhalang awan gelap. Angin dingin semilir melewati
dinding kayu pendapa menggoyangkan pelita malam
yang tergantung disudut tiang pendapa. Warna suasana
halaman rumah itu terlihat sudah begitu lengang.
"Berapa kekuatan prajurit di tanah Gelang-gelang ini",
bertanya Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.
"Enam ribu Prajurit", berkata Senapati Jaran Goyang.
"Cukup untuk menghantam istana Tumapel yang telah
kosong", berkata Wirondaya sambil tertawa.
"Mengosongkan juga semua penghuni Taman Kaputrian", berkata Senapati Jaran Goyang menyambung perkataan Wirondaya dengan diiringi tawa
yang lebih keras dari tawa Wirondaya sepertinya merasa
yakin siasat mereka akan menjadi kenyataan.
"Jangan kamu habiskan semuanya, sisakan seorang
198 putri Maharaja Bodoh itu kepadaku", berkata Wirondaya
masih diiringi tawa yang berkepanjangan.
"Aku tidak akan melupakan sahabatku, satu putri
untukmu ditambah dengan lima orang selir", berkata
Senapati Jaran Goyang sambil mengambil kendi


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minuman yang sudah hampir tersisa setengahnya
langsung menuangkannya ke mangkuknya dan mangkuk
Wirondaya. Sampai jauh malam mereka saling bercakap-cakap
penuh kegembiraan. Keesokan harinya, terlihat Senapati Jaran Goyang sudah
bersiap untuk berangkat keistana Gelang-gelang.
"Aku akan kembali membawa berita dari istana", berkata
Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
"Berita tentang seorang putri dan lima orang selir",
berkata Wirondaya sambil tersenyum kepada Senapati
Jaran Goyang yang membalasnya dengan ikut tertawa
ingat apa saja yang telah mereka percakapkan tadi
malam. Seperti kemarinnya, hari itu Wirondaya memang tidak
kemana-mana selain hanya tidak lebih dari seputar
halaman rumah Senapati Jaran Goyang. Untuk jalanjalan ke luar dirinya masih belum berani, takut ada orang
yang mengenalnya. Sepanjang hari Wirondaya hanya duduk-duduk di
pendapa, atau terkadang menghampiri pengalasan yang
sudah cukup berumur untuk diajaknya berbicara. Pokok
pembicaraan pun tidak lebih dari macam kembang dan
tanaman buah. "Daun pucuk merah ini baru kupindahkan dari kebun
dirumahku", berkata pengalasan tua itu kepada
199 Wirondaya yang memang sepertinya sangat tertarik
dengan daun pucuk merah yang tengah disiramnya.
"Apakah kamu sudah minta ijin kepada Senapati Jaran
Goyang untuk menanan pohon ini dihalaman
rumahnya?", bertanya Wirondaya kepada pengalasan tua
itu. Pengalasan tua itu tidak langsung menjawab, hanya
sedikit tersenyum memandang Wirondaya. "Justru tuan
Senapati sendiri yang menyuruhku mencari tanaman ini
untuk ditanam ditengah halaman rumahnya", berkata
pengalasan tua itu dengan bangganya kepada
Wirondaya. "Ternyata tuan senapatimu menyukai tanaman", berkata
Wirondaya dengan tersenyum.
"Tuan Senapati tidak begitu menyukai tanaman, hanya
ikut-ikutan dari beberapa sahabatnya yang menyuruhnya
untuk menanam daun pucuk merah di tengah
halamannya", berkata pengalasan tua itu membuat
Wirondaya menjadi sangat tertarik dengan pembicaraan
tentang pohon daun pucuk merah itu.
"Aku jadi tertarik, ada rahasia apa dengan daun pucuk
merah ini?", bertanya Wirondaya.
Pengalasan tua itu tidak langsung menjawab, hanya
sedikit tersenyum menatap Wirondaya yang dilihatnya
penuh kerut di dahinya menatap kepada dirinya.
"Tuan senapati hanya berkata sedikit, katanya daun
pucuk merah yang subur dihalaman rumah sebagai
tanda kesuburan tuan rumahnya. Cuma itu", berkata
pengalasan tua itu kepada Wirondaya.
"Apakah selama dikebun rumahmu, daun pucuk merah
ini tumbuh subur?", bertanya Wirondaya kepada
200 pengalasan tua itu. "Daun pucuk merah ini tumbuh dengan sendirinya di
kebun rumahku, waktu kupindahkan dalam keadaan
subur penuh daun-daun muda", berkata pengalasan tua
itu dengan bangganya. "Tapi selama itu tidak merubah kehidupanmu dari
seorang pengalasan", berkata Wirondaya dengan
senyum mengejek. "Aku tidak pernah mempercayai ada hubungannya antara
kesuburan daun pucuk merah dengan pemiliknya,
tugasku hanya menyiram dan menjaganya. Itulah
hubungan yang istimewa antara aku dan tanaman yang
ada disini, terutama hubungan kesuburannya dengan
asap dapur dirumahku", berkata pengalasan tua itu tanpa
merasa tersinggung dengan apa yang diucapkan oleh
Wirondaya yang memang sengaja mengejeknya. "Maaf,
aku akan kekebun belakang, ada tiga pohon mangga
yang perlu disuburkan tanahnya", berkata kembali
pengalasan tua itu sambil bergeser melangkah pergi
menuju kekebun belakang. Wirondaya yang ditinggalkan oleh pengalasan tua itu
masih tercenung menatap pohon daun pucuk merah
dihadapanku. "Pohon daun pucuk merah itu dipindahkan bersama saat
kehadiranku dirumah ini, apakah berkaitan dengan
keadaanku saat ini?", bertanya Wirondaya kepada dirinya
sendiri yang diam-diam mempercayai kaitan sebuah
tanaman dengan pemiliknya.Diam-diam juga muncul
ingatannya jauh menerawang pada rumahnya di Kotaraja
Singasari yang sama megahnya dengan rumah Senapati
Jaran Goyang. "Taman rumahku lebih indah dan terawat
dengan suburnya, sementara aku harus terbuang
201 menjadi orang buronan", berkata Wirondaya yang
mencoba membuang klenik kepercayaan atas sebuah
kesuburan tanaman dengan pemiliknya. "Hanya orang
bodoh yang punya pikiran seperti itu", berkata Wirondaya
dalam hati sambil melangkah lesu penuh kejenuhan
menyesali kehidupannya saat itu, sebagai seorang
buronan !!. Tapi kejenuhan Wirondaya seketika meredup manakala
di ujung sore yang cerah terlihat Senapati Jaran Goyang
berjalan masuk dihalaman rumahnya menuju pendapa.
"Maaf, aku terlalu lama meninggalkanmu", berkata
Senapati Jaran Goyang yang sudah menapaki anak
tangga pendapa dengan wajah penuh keceriaan.
"Dari wajahmu, aku melihat ada kabar yang sangat
menggembirakan", berkata Wirondaya kepada Senapati
Jaran Goyang yang datang menghampirinya duduk
bersama di pendapa rumahnya.
"Baginda Raja Jayakatwang dan semua pejabat yang
hadir memuji semua paparan siasatku yang cemerlang",
berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
Wirondaya hanya tersenyum dalam hati, tahu dan
membayangkan bagaimana Senapati Jaran Goyang
yang menjual buah pikirannya kepada Raja Jayakatwang. Dan Wirondaya sepertinya tidak menuntutnya, bahkan dengan piawainya menutupi
perasaannya. "Dan semuanya telah diputuskan, bahwa akulah yang
memimpin semua tugas besar itu", berkata Senapati
Jarang Goyang dengan bangganya kepada Wirondaya.
"Aku sudah menyiapkan beberapa orangku menuju ke
Selat Malaka, kamu termasuk diantaranya. Aku berharap
202 kamu bersedia", berkata Senapati Jaran Goyang kepada
Wirondaya. "Terima kasih, mudah-mudahan aku tidak mengecewakanmu", berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran
Goyang dengan gembiranya. Demikianlah, hingga jauh
malam Senapati Jaran Goyang dan Wirondaya
membicarakan rencana awal mereka untuk melakukan
gesekan-gesekan di Selat Malaka.
"Keberhasilan kalian menentukan hasil akhir kita",
berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.
"Aku sudah tidak sabar melihat percikan peperangan
diantara mereka", berkata Wirondaya penuh senyum
kepada Senapati Jaran Goyang.
Sementara itu hari sudah jauh malam, halaman rumah
Senapati Jaran Goyang sudah menjadi begitu remang
dan lengang. Sementara itu jalan didepan rumah
Senapati Jaran Goyang juga sudah terlihat begitu gelap.
"Beristirahatlah, besok kamu akan melakukan perjalanan
panjang yang melelahkan", berkata Senapati Jaran
Goyang kepada Wirondaya. Senapati Jaran Goyang dan Wirondaya terlihat masuk
kedalam rumah. Pendapa rumah Senapati Jaran Goyang
terlihat menjadi begitu sepi. Temaram warna cahaya
kekuningan pelita malam yang bergantung di pojok tiang
pendapa seperti warna panggung keheningan yang
terkepung kegelapan malam, bersama suara denging
malam yang terus berbunyi mengiringi kesunyian dan
kegelapan malam tiada terputus hingga datangnya pagi
menjelang. Dan pagipun akhirnya datang menjelang diawali cahaya
bintang kejora dilangit tinggi menggantung abadi
203 memberi tanda bahwa sang malam akan pergi berlalu
sembunyi di kegelapan bumi belahan lain.
Dihari yang sama dan dipagi yang sama, namun jauh
dari rumah Senapati Jaran Goyang, jauh dari Tanah
Gelang-gelang, yaitu di Balidwipa di Padepokan
Pemecutan dimana Mahesa Amping dan semua
warganya sudah terlihat terbangun di pagi itu dalam
kesibukannya masing-masing.
"Silahkan dinikmati wedang serenya, mumpung masih
hangat", berkata Nariratih sambil berdiri mengangkat
nampan kayu tempat membawa minuman dan beberapa
potong makanan kepada semua yang ada dipendapa
Padepokan Pamecutan. Mereka adalah Mahesa Amping,
Empu Dangka, Ki Sandikala, Pendeta Gunakara dan
Arga lanang. "Jayanagara dan Adityawarman sudah diajak Putu
Risang pagi-pagi sekali ke sungai hutan cemara", berkata
Nariratih kepada Mahesa Amping.
"Terima kasih Nyi, aku akan menengok mereka", berkata
Mahesa Amping kepada Nariratih yang terlihat akan
melangkah masuk kembali kedalam rumah. Namun
perkataan Mahesa Amping menahan langkahnya.
"Aku juga akan membawa Mahesa Muksa kesana",
berkata Nariratih kepada Mahesa Amping sambil berhenti
melangkah. Terlihat Mahesa Amping tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya kepada Nariratih yang sudah
kembali melangkah masuk kedalam rumah.
Ketika matahari pagi mulai naik sepenggalan, di tepian
sungai hutan cemara memang sudah terlihat Putu Risang
dengan dua orang sahabat kecilnya sudah berlatih
keseimbangan dan kekuatan diri berlari diatas beberapa
bongkah batu yang banyak tersebar diatas sungai hutan
204 cemara itu. Sementara itu Mahesa Amping juga telah
hadir disitu menyaksikan latihan mereka. Nampak juga
Nariratih yang membawa Mahesa Muksa untuk berjemur
dibawah sinar matahari pagi yang memang sangat baik
bagi perkembangan kesehatan bayinya.
"Langkah kaki kecil mereka seperti sudah bermata, dapat
menapak dan meloncat tanpa terjatuh", berkata Nariratih
kepada Mahesa Amping sambil terus menyaksikan
Adityawarman dan Jayanagara yang ditemani Putu
Risang berlari dan melompat diantara batu-batu sungai.
"Aku jadi tidak sabaran menanti Mahesa Muksa dapat
segera berjalan", berkata Mahesa Amping kepada
Nariratih. "Kita akan melatihnya bersama", berkata Nariratih
kepada Mahesa Amping sambil tersenyum merasa
tersanjung bahwa Mahesa Amping penuh perhatian
kepada putranya Mahesa Muksa.
Sekilas Mahesa Amping menangkap senyum itu. Diamdiam mengakui bahwa begitu cantiknya wajah dan
senyum itu. Tapi Mahesa Amping segera melempar
bayangan itu dengan memperhatikan Putu Risang dan
dua sahabat kecilnya yang masih penuh semangat
berlatih keseimbangan dan kekuatan diri diatas batu-batu
sungai. "Bukalah matamu wahai putra tercintaku, sebentar lagi
kamu akan seperti mereka", berkata Nariratih mengajak
Mahesa Muksa berbicara sambil mengayunkannya
dalam bimbingan kedua tangannya.
"Nyi Nariratih, tetaplah didekatku", berkata Mahesa
Amping berbisik kepada Nariratih.
"Ada apa?", bertanya Nariratih heran kepada Mahesa
205 Amping. "Aku merasakan ada dua pasang mata di tempat
berbeda tengah memperhatikan kita", berkata perlahan
Mahesa Amping kepada Nariratih.
Terlihat Nariratih mendekap Mahesa Muksa lebih
melekat lagi, hanya putranya itulah yang dipikirkan
keselamatannya. "Kita belum tahu apa yang mereka inginkan, bersikaplah
tenang", berkata Mahesa Amping kepada Nariratih untuk
bersikap tenang seperti tidak ada apapun.
Dan Nariratih nampaknya begitu percaya kepada
Mahesa Amping dan merasakan dirinya berada di tempat
yang aman. Maka sebentar saja Nariratih sudah dapat
bersikap tenang kembali. "Putu Risang, kemarilah", berkata Mahesa Amping
kepada Putu Risang yang masih berada di sungai.
Mendengar namanya dipanggil, Putu Risang segera
mendekati Mahesa Amping. Terlihat Adityawarman dan
Jayanagara mengikuti Putu Risang dari belakang.
"Jagalah kedua adikmu", berkata Mahesa Amping
kepada Putu Risang yang sudah datang mendekat.
Setelah berkata kepada Putu Risang, terlihat Mahesa
Amping mengambil sebuah kerikil kecil.


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dijentikkannya kerikil kecil itu jauh terlempar meluncur
begitu cepat kearah semak belukar diseberang sungai.
Belum lagi kerikil kecil itu mengenai sasarannya, dari
semak belukar itu melesat sebuah bayangan putih
meluncur terbang. Mahesa Amping memandang dari
ujung kaki sampai ke kepala, seorang lelaki yang baru
saja keluar dari persembunyiannya. Orang itu berpakaian
206 sebagaimana Pendeta Gunakara.
"Maaf, kukira ada seekor harimau mengendap-endap
dibalik semak itu", berkata Mahesa Amping sambil
merangkapkan kedua tangannya kepada seorang lelaki
yang sudah berdiri tidak jauh darinya. Nampaknya
seorang pendeta seperti halnya pendeta Gunakara.
"Aku tidak menyangka ada orang yang punya ketajaman
indera yang tinggi di Balidwipa ini", berkata orang itu
dengan mata seperti elang tajam menatap pandang
Mahesa Amping. Nampaknya orang itu menjadi sedikit terkejut ketika
pandangan matanya beradu pandang dengan Mahesa
Amping, dirinya seperti terjerumus masuk ke mata air
yang luas dan dalam tak bertepi. Sadarlah dirinya telah
berhadapan dengan bukan orang sembarangan. Namun
tetap saja dirinya menyangsikan kembali manakala
melihat sosok Mahesa Amping yang masih muda.
"Sekarang tuan pendeta tidak bersembunyi lagi, adakah
kiranya yang dapat kami bantu?", bertanya Mahesa
Amping dengan perkataan yang santun kepada seorang
pendeta dihadapannya. "Aku tertarik dengan bayi itu, apakah kamu orang
tuanya?", bertanya pendeta itu kepada Mahesa Amping.
"Terima kasih telah tertarik dengan bayi kami, benar
kamilah orang tuanya", berkata Mahesa Amping penuh
ketenangan. "Aku tidak sekedar tertarik, tapi ada keinginan untuk
memilikinya", berkata Pendeta itu kepada mahesa
Amping. "Tidak ada seorang pun orang tua didunia ini yang akan
memberikan anaknya kepada orang lain", berkata
207 Mahesa Amping masih dapat mengendalikan dirinya,
berbicara dengan teratur dan tenang.
Diam-diam pendeta itu mengagumi ketenangan diri orang
muda dihadapannya itu. "Aku akan tetap mengambilnya dengan segala cara",
berkata pendeta itu kepada Mahesa Amping.
"Aku akan tetap mempertahankannya", berkata mahesa
Amping yang langsung maju selangkah berhadapan
dengan pendeta itu. "Ternyata kamu cukup pemberani, tidak cuma berkatakata", berkata pendeta itu yang cukup kaget dengan
sikap Mahesa Amping yang tidak mengenal kata takut
dan sudah melangkah menghadapinya.
"Tahan..!!!", Terdengar suara dari sebuah semak yang rimbun.
Bersamaan dengan suara itu, meluncur seperti terbang
langsung mendekati Mahesa Amping.
"Maafkan atas sikap saudaraku", berkata seorang lelaki
berjubah putih yang tidak lain adalah Pendeta Gunakara.
Melihat pakaian yang dikenakan oleh pendeta itu sama
dengan Pendeta Gunakara, Mahesa Amping dapat
mempercayai ucapan Pendeta Gunakara bahwa orang
dihadapannya itu adalah saudaranya.
"Adik Gesangkara, aku sudah mendengar semua
ucapanmu. Apakah biara suci yang menugaskan dirimu
kemari?", berkata Pendeta Gunakara kepada orang itu
yang dipanggilnya sebagai Gesangkara
Terdengar orang yang dipanggil dengan nama
Gesangkara itu tertawa. "Aku datang atas keinginnanku
sendiri, melenyapkan titisan Jamyang Dawa Lama itu",
berkata Pendeta Gesangkara setelah tertawa panjang
208 sambil menunjuk Mahesa Muksa yang masih didekap
erat oleh ibunya Nariratih.
"Entah makhluk apa gerangan yang telah menutupi
cahaya hatimu wahai adikku Gesangkara?", bertanya
Pendeta Gunakara kepada Pendeta Gesangkara.
Terdengar Pendeta Gesangkara tertawa panjang.
"Jangan munafik, aku yakin kakang Gunakara juga
menginginkan jabatan Dawa Lama, hanya cara kita saja
yang berbeda", berkata Pendeta Gesangkara setelah
tertawa panjang. "Adik Gesangkara salah menilaiku, Jamyang Dawa lama
telah menitis kembali dalam diri bayi itu. Peranku hanya
mengantarnya kembali ke biara suci hingga saatnya tiba.
Itulah peranku, dan aku tidak akan melampaui dari apa
yang ditugaskan kepadaku dari para wali agung biara
suci", berkata Pendeta Gunakara dengan wajah merah
merasa tersinggung dengan ucapan pendeta Gesangkara yang sangat tajam menusuk hati.
"Hati manusia siapa yang tahu, wajah Kakang memerah
sebagai tanda bahwa ucapanku tidak salah, hanya
kukakatakan bahwa hanya cara kita yang berbeda",
berkata kembali pendeta Gesangkara yang diakhiri
dengan tertawa panjang. "Terserah apapun yang adik Gesangkara pikirkan atas
diriku. Yang jelas aku tidak akan melakukan kekerasan
dalam melaksanakan perintah suci ini", berkata Pendeta
Gunakara yang kembali telah menguasai hati dan
pikirannya. "Aku akan melenyapkan bayi itu, tapi bukan hari ini",
berkata Pendeta Gesangkara dibarengi datangnya angin
dari segala penjuru. Tidak lama kemudia sosok Pendeta
Gesangkara sudah melesat hilang dari pandangan mata.
209 Sebuah pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang amat
tinggi telah disaksikan oleh semua yang ada di tepian
sungai hutan cemara. "Mahesa Muksa masih dikelilingi banyak aral ancaman",
berkata Mahesa Amping dalam hati sambil menatap
wajah bayi mungil yang masih berada dalam dekapan
Nariratih. Terlihat perlahan Mahesa Amping mendekati pendeta
Gunakara. "Ternyata tuan pendeta sudah mengetahui rahasia
Mahesa Muksa ketika tiba di Padepokan Pamecutan ini",
berkata Mahesa Amping dengan tatap mata yang penuh
wibawa terlihat dari sorot matanya yang begitu tajam
memandang kepada Pendeta Gunakara.
"Maafkan aku tuan Senapati, aku berjalan mengikuti
panggraitaku sendiri yang menuntunku hingga di
Padepokan Pamecutan ini. Baru hari ini kudapati
kebenaran pranggraitaku sendiri manakala melihat
Mahesa Muksa yang dibawa oleh Nariratih keluar
halaman Padepokan. Aku melihat kembali awan lembut
yang selama ini sangat kukenal selalu melindungi
Jamyang Dawa Lama gurusuci kami yang sangat
kuhormati berada diatas halaman Padepokan mengikuti
langkah Nariratih yang membawa Mahesa Muksa. Dan
aku terus mengikutinya hingga sampai ditepian sungai
hutan cemara ini", berkata Pendeta Gunakara kepada
Mahesa Amping dengan suara penuh ketenangan meski
diam-diam mengagumi sorot tajam mata Mahesa Amping
yang seperti datang langsung menyentak dasar jiwanya.
"Apakah tuan Pendeta mempunyai keinginan untuk
membawa Mahesa Muksa?", bertanya Mahesa Amping
kepada Pendeta Gunakara. 210 "Sebagaimana yang kukatakan kepada saudaraku,
bahwa aku tidak akan melakukan kekerasan dalam
melaksanakan perintah suci ini, Mahesa Muksa meski
menurut keyakinan kami adalah titisan Gurusuci kami,
tetap sebagai bayi yang murni dan polos. Tugasku
adalah mengantar dan mengisinya hingga tumbuh
dewasa. Dan aku tidak akan memaksanya, biarlah takdir
yang membawa kemana membawa dirinya. Dan ijinkan
diri ini untuk menjaganya. Mudah-mudahan tuan senapati
dapat memahaminya", berkata Pendeta Gunakara sambil
meluruskan sebelah tangannya diatas dadanya penuh
permohonan kemurahan hati Mahesa Amping.
"Entah mengapa aku mempercayai semua ucapan tuan
pendeta. Sebuah kehormatan menjaga Mahesa muksa
tumbuh bersama", berkata Mahesa Amping kepada
Pendeta Gunakara penuh kepercayaan bahwa orang tua
berwajah sareh itu berkata dengan tulus.
"Ancaman saudaraku bukan cuma sekedar gertak
sambal, aku sangat mengenalnya dengan baik. Mulai
hari ini kita harus lebih berhati-hati", berkata Pendeta
Gunakara mengingatkan Mahesa Amping dan Nariratih.
Terlihat Nariratih semakin mendekap Mahesa Muksa
dengan penuh kekhawatiran.
Bagian 2 "Mari kita berlatih di sanggar Padepokan", berkata
Mahesa Amping kepada Putu Risang, Jayanagara dan
Adityawarman. Bersama cahaya sinar matahari pagi yang sudah mulai
naik menghangatkan udara di sekitar tepian sungai hutan
211 cemara, merekapun terlihat beriring berjalan menuju
Padepokan Pamecutan. Suasana ketegangan mungkin masih menguasai alam
pikiran masing-masing, mereka berjalan tanpa berbicara
apapun. Akhirnya mereka telah sampai kembali di Padepokan
Pamecutan. Nariratih langsung masuk kedalam rumah
bersama Mahesa Muksa. Sementara itu Mahesa Amping mengajak Putu Risang,
Jayanagara dan Adityawarman langsung ke sanggar
tertutup. "Aku akan naik ke pendapa menemani Ki Sandikala",
berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping
sambil langsung menuju pendapa Pamecutan dimana
sudah ada ki Sandikala sendirian.
"Terimakasih", berkata Mahesa Amping kepada Pendeta
Gunakara yang dapat mengerti langkah Pendeta
Gunakara sebenarnya yang tidak lain untuk berjaga-jaga
dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sementara itu di sanggar terbuka terlihat Empu Dangka
bersama para cantrik tengah berlatih. Ketika bertemu
dengan Empu Dangka, Mahesa Amping bercerita sedikit
tentang kejadian kecil ditepian sungai hutan Cemara.
"Setiap saat orang itu pasti datang, entah apa dan
dengan jalan bagaimana, kita harus berhati-hati", berkata
Empu Dangka setelah mendengar cerita dari Mahesa
Amping. Mahesa Amping terlihat mohon diri kepada Empu
Dangka untuk membawa Putu Risang, Jayanagara dan
Adityawarman berlatih di sanggar tertutup.
Bukan main gembiranya Adityawarman dan Jayanagara
212 berlatih di dalam sanggar tertutup. Dengan penuh
semangat mereka berlatih dengan berbagai alat yang
ada. Terlihat mereka jatuh bangun diatas bambu titian
yang cukup panjang, juga dengan penuh semangat
diiringi tawa riang jiwa kanak-kanak mereka yang berlari
diatas patok-patok kayu yang sengaja ditanam
memanjang untuk melatih ketahanan dan keseimbangan.
Demikianlah, Jayanagara dan Adityawarman dibawah
asuhan dan bimbingan Mahesa Amping telah dituntun
setahap demi setahap mengenal kanuragan, mengenal
bagaimana memahami setiap gerak dan kekuatan yang
dapat dilontarkannya secara terinci sesuai dengan batas
pemahaman pikiran dan jiwa mereka, tidak lebih. Dan
Mahesa Amping adalah seorang guru terbaik yang
mereka miliki. Hari-hari berlalu, ancaman Pendeta Gesangkara yang
akan menyatroni Padepokan Pamecutan sepertinya
lambat laun seperti angin yang kian lama semakin hilang.
Kekhawatiran mereka di Padepokan Pamecutan sudah
semakin menipis. Pendeta Gesangkara tidak pernah
muncul, dan mereka merasa yakin bahwa ancaman itu
mungkin sudah sudah tidak ada lagi.
"Bolehkah kami berlatih di tepian sungai hutan cemara?",
bertanya Adityawarman dengan wajah dan mata yang
begitu polos penuh harap kepada ayahandanya Mahesa
Amping. Mahesa Amping tersenyum menatap mata yang
bening dan jernih itu. "Ayah juga rindu melihat suasana disana", berkata
Mahesa Amping sambil mengusap lembut kepala
anaknya dengan penuh keceriaan hati.
Bukan main senangnya Adityawarman. Dan ternyata
bukan hanya Adityawarman seorang yang menunggu
213 jawaban itu, disisinya ada Jayanagara yang ikut gembira.
"Panggil Kakang Putu Risang", berkata Mahesa Amping
kepada Adityawarman. Maka sambil berlompat kecil berjingkrak-jingkrak kedua
anak lelaki yang sedang gembira itu berjalan kebelakang
mencari Putu Risang. Hari itu matahari sudah mulai naik mengintip disela-sela
pohon mungur yang tumbuh tinggi menjulang diseberang
Padepokan Pamecutan. Terlihat dua orang lelaki dewasa dan dua bocah lelaki
kecil tengah keluar dari regol pintu halaman Padepokan
Pamecutan. Mereka adalah Mahesa Amping, Putu Risang,
Adityawarman dan jayanagara yang akan menuju ke


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepian sungai di hutan cemara.
Matahari pagi menyambut hangat kedatangan mereka
yang telah sampai di tepian sungai hutan Cemara.
Terlihat Adityawarman dan Jayanagara saling berpandangan penuh senyum, ternyata pandangan itu
mengandung sebuah arti. Tanpa sebuah isyarat apapun
mereka sudah langsung turun berlomba berlari
secepatnya berlompat diantara bongka-bongkah batu
yang ada disepanjang sungai di hutan cemara itu.
"Temani mereka", berkata Mahesa Amping kepada Putu
Risang. Terlihat Putu Risang sudah turun ke sungai, menyusul
dan mendekati Adityawarman dan Jayanagara.
Sementara itu Mahesa Amping mencari sebuah batu
besar di tepian sungai. Sinar cahaya pagi yang hangat menyapu wajah Mahesa
214 Amping. Matanya terus mengikuti setiap langkah kakikaki kecil yang terus berloncat dan berlari diantara batubatu yang bertebaran disepanjang sungai. Mahesa
Amping melihat bayangan masa depan yang penuh
kegemilangan disetiap jejak langkah kedua bocah kecil di
hadapannya. "Masa depan Singasari Raya ada disetiap jejak langkah
kaki mereka", berkata Mahesa Amping dalam hati sambil
memandang Adityawarman dan Jayanagara.
Namun tiba-tiba saja pranggraita Mahesa Amping yang
tajam terasa bergetar mengisi seluruh rongga hatinya.
"Mahesa Muksa ".", tiba-tiba saja Mahesa Amping
teringat ancaman pendeta Gesangkara.
Darah Mahesa Amping seperti berdesir terkesiap tanpa
dapat berbuat apapun. Bukan main terperanjatnya Mahesa Amping, hanya
dalam hitungan beberapa kedipan mata, telah berkelebat
sebuah bayangan yang meluncur begitu cepatnya
mengarah langsung ke Adityawarman yang tengah
melompat kesebuah bongkahan batu besar. Belum
sempat kaki itu menjejakkan kakinya, dirinya terasa
terbang disambar tangan kuat yang terus meluncur
menjauh. Terlihat tubuh Adityawarman sudah berada dalam
kempitan yang kuat seorang lelaki berjubah diseberang
sungai, berseberangan dengan Mahesa Amping.
Ternyata orang itu tidak lain adalah Pendeta
Gesangkara. "Jangan berbuat apapun, atau kamu hanya menerima
jasad anak ini tanpa nyawa", berkata Pendeta
Gesangkara mengancam Mahesa Amping.
215 Amarah Mahesa Amping sudah terasa memuncak diatas
ubun-ubunnya, tapi Mahesa Amping segera dan
berusaha mengendalikannya.
"Apa yang kamu inginkan", berkata Mahesa Amping yang
telah kembali dapat mengendalikan dirinya. Namun
matanya yang tajam tidak pernah bergeming sedikitpun
menatap sosok tubuh yang tengah dikempit tidak
berdaya ditangan Pendeta Gesangkara.
"Aku hanya menginginkan Mahesa Muksa", berkata
Pendeta Gesangkara dari seberang sungai.
Sementara itu Putu Risang yang masih berada di tengah
sungai berdiri disebuah batu besar tidak berani bertindak
apapun, dirinya memasrahkan segalanya kepada
Mahesa Amping, disamping juga takut bila tindakannya
akan membahayakan keadaan Adityawarman. Yang
dilakukan saat itu adalah memegang tangan Jayanagara
untuk sekedar melindunginya dari hal-hal yang mungkin
saja dapat terjadi. "Anak itu tidak ada kaitannya dengan Mahesa Muksa",
berkata Mahesa Amping sambil berusaha mengulur
waktu dan mencoba mencari akal untuk dapat
menyelamatkan putranya ditangan Pendeta Gesangkara.
"Aku tahu apa yang tengah kamu pikirkan tuan Senapati,
anak ini berharga sebagai barang pertukaran", berkata
Pendeta Gesangkara sambil tertawa.
Bukan main kagetnya Mahesa Amping bahwa orang
yang ada diseberang sungai itu telah menguasai ajian
ilmu Daranaraya, sebuah ilmu yang dapat membaca
buah pikiran orang lain. "Aku harus berhati-hati menghadapi orang yang telah
menguasai ajian ilmu Danaraya", berkata Mahesa
216 Amping kepada dirinya sendiri.
Terdengar Pendeta Gesangkara tertawa. "ternyata kamu
telah mengetahui ajian ilmu Danaraya", berkata Pendeta
Gesangkara diujung tawanya.
Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang,
pikirannya kembali terbaca oleh Pendeta Gesangkara.
"Bila anak itu celaka ditanganmu, aku akan mengejarmu
sampai ke ujung dunia", berkata Mahesa Amping.
"Ternyata pilihanku sangat tepat, tuan Senapati begitu
sangat mencintai anak ini", berkata Pendeta Gesangkara
sambil berderai tawa yang panjang. "Pekan depan,
purnama diatas bukit Aking. Pastikan bahwa kamu
datang seorang diri membawa Mahesa Muksa. Kita akan
melakukan pertukaran disana", berkata Pendeta
Gesangkara sambil tertawa panjang bergema yang
kemudian menghilang terbang dengan kecepatan yang
sukar sekali ditangkap oleh mata wadag biasa.
Mahesa Amping berdiri tegap tercenung kaku, dirinya
tidak berani gegabah bertindak bodoh karena
Adityawarman telah berada dalam kekuasaan Pendeta
Gesangkara yang kelihatannya tidak bisa dianggap
dengan sebelah mata. Seorang yang sudah berada di
tataran yang sangat tinggi, namun sudah "gila" dengan
kekuasaan. "Menyerahkan Mahesa Muksa untuk mengambil
Adityawarman?", berkata dalam hati Mahesa Amping
tengah membuat beberapa pertimbangan. "Aku tidak
akan menyerahkan siapapun!", berkata Mahesa Amping
sambil menggeram, terdengar suara gemeretak giginya
saking menahan rasa geramnya yang sangat.
"Menyerahkan Mahesa Muksa?", bertanya Nariratih
217 dengan suara gamang ketika Mahesa Amping bercerita
tentang apa yang telah terjadi di tepian sungai hutan
Cemara. "Aku tidak akan menyerahkan siapapun, tidak Mahesa
Muksa, juga tidak Adityawarman", berkata Mahesa
Amping dengan suara yang cukup tegas.
"Kita bisa datang bersama ke bukit Aking tanpa
menunggu Purnama, kita habisi orang tua edan itu",
berkata Arga Lanang dengan suara yang penuh amarah
dan berapi-api yang juga telah mendengar apa yang
terjadi ditepian sungai hutan Cemara atas diri
Adityawarman. "Akulah yang membawa anak itu ke
Balidwipa ini, tuan Putri Dara Jingga dan kakeknya Raja
Melayu telah mempercayakan keselamatan jiwanya
diatas nyawa dan kehormatanku", berkata Arga Lanang
dengan suara yang masih penuh kemarahan yang
sangat. "Aku tahu betul siapa Gesangkara, karena dia adalah
saudara seperguruanku. Dia tidak pernah main-main
dengan sebuah ancaman. Kita harus memikirkan
keselamatan Adityawarman", berkata Pendeta Gunakara
mencoba menenangkan suasana yang sudah demikian
tidak terarah, terutama sikap Nariratih dan Arga lanang.
"Benar, kita harus berpikir jernih. Sementara itu tidak ada
kewajiban apapun untuk mengikuti perintah Pendeta
Gesangkara", berkata Empu Dangka dengan suara yang
sareh ikut memberikan pertimbangannya.
"Apakah Empu Dangka dapat memberikan penjelasan,
aku belum mengerti apa yang Empu Dangka maksudkan
dengan tidak mengikuti perintah Pendeta Gesangkara?",
bertanya Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
"Mari kita duduk bersama", berkata Empu Dangka
218 mengajak semuanya untuk berkumpul duduk bersama
dipendapa Padepokan Pemecutan.
"Mungkin dengan sambil duduk disini, hati dan pikiran
kita akan menjadi lebih jernih", berkata kembali Empu
Dangka dengan penuh senyum sambil duduk di sudut
pendapa. Terlihat Mahesa Amping, Pendeta Gunakara, Ki
Sandikala, Arga Lanang dan Nariratih ikut bersama
duduk di pendapa. Sementara itu hari sudah mulai
datang dipengawal sore, cahaya matahari bergeser jatuh
terhalang wuwungan rumah utama padepokan Pamecutan. Suasana di pendapa Pamecutan menjadi begitu sejuk
dan adem. Semilir angin kadang datang membawa wangi
daun dan tanah basah hutan cemara disisi timur
Padepokan Pamecutan. "Ternyata Empu Dangka benar, amarahku sepertinya
mereda, hati dan pikiranku menjadi lebih jernih.
Sayangnya aku paling tidak suka duduk terlalu lama",
berkata Arga Lanang sambil bergeser semakin merapat
memberi tempat kepada Ki Sandikala sebagai orang
terakhir yang ikut duduk bersama di pendapa Padepokan
Pamecutan. Lama juga menunggu Empu Dangka menyampaikan
buah pikirannya. Terlihat semua mata telah tertuju
kepadanya seorang. Terlihat Empu Dangka menyapu pandangannya
kesemua yang hadir saat itu, sebaris senyumnya terlihat
mengiringi. "Mudah-mudahan, pendapat dan caraku ini dapat
diterima. Tidak juga menutup apapun tindakan dan cara
219 lain yang sejalan dengan apa yang ingin kita laksanakan
sebagai jalan keluar dari permasalahan yang tengah kita
hadapi ini", berkata Empu Dangka mengawali
penjelasannya. "Perlu diketahui, orang yang kita hadapi ini menguasai
Ajian ilmu Daranaraya", berkata Mahesa Amping
memberi masukan kepada Empu Dangka yang
dibenarkan oleh Pendeta Gunakara.
"Artinya semua yang ada disini dapat diikutkan, kecuali
Arga lanang", berkata Empu Dangka sambil tersenyum
menatap Arga Lanang. "Kenapa aku?", bertanya Arga Lanang tidak mengerti.
"Karna kita akan bersandiwara", berkata kembali Empu
Dangka. "Hanya sekedar bersandiwara, aku dapat melakukannya", berkata Arga Lanang masih penasaran.
"Apakah kamu mampu mengunci jalan pikiranmu agar
tidak terbaca oleh lawan yang menguasai ajian ilmu
Daranaraya?", bertanya Empu Dangka kepada Arga
Lanang. Terlihat Arga Lanang tidak berkata apapun selain
menggelengkan kepalanya. "Kamu masih dapat bertugas disini, menjaga para cantrik
sementara kami keluar ke Bukit Aking, bukan begitu
Empu Dangka?", berkata Ki Sandikala mencoba
menghibur Arga Lanang. "Padepokan ini memang tidak boleh kosong", berkata
Mahesa Amping kepada Arga Lanang.
Mendengar perkataan Mahesa Amping, sepertinya Arga
Lanang sudah dapat menerima sepenuh hati, menerima
220 tugas yang menurutnya tidak kalah pentingnya yaitu
menjaga Padepokan Pamecutan yang mungkin saja
dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Melihat bahwa Arga Lanang sudah dapat menerima
tugasnya, Emput Dangka dengan perlahan menyampaikan apa yang harus mereka lakukan.
"Nyi Nariratih sangat berperan, keberhasilan siasat ini
ada ditangannya", berkata Empu Dangka memulai
penjelasannya. "Perlu diketahui bahwa kelemahan ajian
ilmu Daranaraya adalah tidak mampu membaca jalan
pikiran seorang wanita", berkata kembali Empu Dangka.
"Mengapa bisa jadi sedemikian rupa?", bertanya Arga
lanang yang sangat tertarik dengan ajian ilmu
Daranaraya yang baru didengarnya itu.
"Karena wanita sering berkata dengan perasaannya, dan
bukan dengan pikirannya", berkata Ki Sandikala yang
sedikit banyak pernah mendengar tentang ajian ilmu
Daranaraya. "Ternyata Ki Sandikala ahli mengenal wanita", berkata
Pendeta Gunakara menanggapi perkataan Ki Sandikala.
"Karena aku pernah punya istri seorang wanita", berkata
Ki Sandikala sambil mengusap-usap janggutnya yang
sudah mulai memutih sebagian.
Semua yang hadir di pendapa Padepokan Pamecutan
terlihat tersenyum mendengar ucapan Ki Sandikala,
suasana seketika itu sepertinya menjadi tidak
menegangkan lagi. "Aku pernah ke Bukit Aking, sangat mengenalnya seperti


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk kerumahku sendiri", berkata Empu Dangka
memulai kembali penjelasannya. "Disana ada sebuah
goa yang cukup baik untuk berlindung, dan aku yakin
221 selama ini Pendeta Gesangkara bersembunyi disitu",
berkata kembali Empu Dangka.
"Apa yang harus kita lakukan?", bertanya Ki Sandikala
menyela penjelasan Empu Dangka, sepertinya sudah
tidak sabar lagi mendengar siasat Empu Dangka.
"Mungkin Pendeta Gunakara sudah dapat membaca arah
pikiranku, aku yakin saudara tua dari Pendeta
Gesangkara pasti sudah lebih mumpuni dari
saudaranya", berkata Empu Dangka sambil melirik penuh
senyum kearah pendeta Gunakara.
"Siasat Empu Dangka adalah memancing harimau untuk
keluar dari sarangnya meninggalkan sanderanya. Disaat
itulah kita bergerak menutup goa dan mengepung
harimau yang sudah terjebak, mudah-mudahan
penangkapanku tidak banyak meleset", berkata Pendeta
Gunakara memberikan penjelasan lewat penangkapan
jalan pikiran Empu Dangka.
"Tidak meleset sedikitpun", berkata Empu Dangka sambil
tersenyum kepada Pendeta Gunakara.
"Boleh aku mencoba membaca sedikit pikiran Empu
Dangka?", berkata Ki Sandikala penuh senyum.
Terlihat semua mata memandang kearah Ki Sandikala,
dengan perlahan dan terinci menjabarkan pikiran Empu
Dangka yang berhasil diserapnya.
"Bagaimana Empu Dangka", mudah-mudahan penangkapanku tidak meleset jauh", berkata Ki Sandikala
kepada Empu Dangka. "Luar biasa, sangat rinci dan tepat sekali", berkata Empu
Dangka yang diam diam mengagumi ketajaman bathin Ki
Sandikala. "Semua berkat karunia mengenal Yang Maha Pencipta
222 yang tak terbatas kekuasaannya", berkata Ki Sandikala
dengan penuh senyum suka citanya.
"Mulai hari ini aku harus berhati-hati kepada Ki
Sandikala", berkata Arga Lanang sambil manggut
manggut. "Pikiran lelaki muda akan sangat terbuka dan begitu
mudah untuk dibaca", berkata Ki Sandikala sambil melirik
kearah Arga Lanang yang duduk tepat disebelahnya.
"Apa yang pernah Ki Sandikala baca dari pikiranku?",
bertanya Arga Lanang kepada Ki Sandikala yang
didengar oleh semua yang ada.
Terlihat Ki Sandikala tidak langsung menjawab
pertanyaan Arga Lanang, hanya menarik napas panjang
dan tersenyum menatap wajah Arga Lanang yang
menunggu tanpa sabar perkataan Ki sandikala.
"Aku tidak enak hati pernah membaca pikiranmu, lebih
tidak enak lagi karena ada Nyi Nariratih disini", berkata Ki
Sandikala sambil memandang Nariratih yang diam-diam
dapat menangkap arah perkataan Ki sandikala.
"Terima kasih, tidak perlu dilanjutkan", berkata Arga
Lanang dengan wajah merah seperti kepiting rebus
sambil mengelus-elus paha Ki Sandikala penuh
permohonan. Demikianlah, semua nampaknya sudah mengerti apa
tugas masing-masing sebagai sebuah usaha untuk
menyelamatkan Adityawarman dari tangan Pendeta
Gesangkara. Sebuah siasat yang sangat berbahaya.
Sementara itu senja telah perlahan turun menyelimuti
langit Padepokan Pamecutan. Semilir angin membawa
kesegaran menembus dinding kayu lantai pendapa.
Hutan cemara disisi timur, hamparan sawah yang
223 berundak di seberang muka padepokan terlihat begitu
bening sejauh mata memandang.
Perlahan senjapun menyelinap sembunyi dibawah
bayang-bayang wajah malam yang gelisah menanti
saatnya kembali menjaga bumi, dalam dekap senyap
gelapnya. Di keremangan malam itulah terlihat lima sosok
bayangan tengah berjalan menyusuri tanah jalan setapak
menuju arah bukit Aking yang tidak begitu jauh dari
Padepokan Pamecutan, hanya berjarak setengah
perjalanan malam Ternyata mereka adalah lima orang Padepokan
Pamecutan yang baru saja meninggalkan gerbang
Padepokan Pamecutan. Terlihat seorang wanita
bersamanya sambil menggendong seorang bayi.
"Disaat menjelang tengah malam kita sudah sampai di
bukit Aking", berkata Empu Dangka sambil berjalan terus
dimuka. Terlihat kelima orang itu tersaruk-saruk mengikuti jalan
tanah setapak diantara lebatnya hutan malam. Hari
memang sudah jatuh pekat dan sunyi. Mereka terlihat
berjalan melangkah terus tiada henti. Hanya sesekali
mereka harus melompat ketika dihadapan mereka
terhalang batu besar. Akhirnya merekapun sudah sampai di kaki bukut Aking.
Sebuah bukut kecil yang dipagari hutan kayu yang cukup
lebat, jarang sekali orang datang mengunjungi bila tidak
ada keperluan yang sangat mendesak, konon katanya
dihutan bukit Aking adalah sarang srigala juga hantu
dedemit yang suka memakan manusia mentah-mentah.
Namun kelima orang yang tengah memasuki hutan bukit
224 Aking ini nampaknya tidak takut apapun, mereka masih
terus melangkah semakin dalam dan mendaki diatas
tanah hutan basah menyusuri sungai kecil berbatu,
hanya jalan itu yang paling mudah untuk dilalui.
"Jalan menuju goa sekitar seratus langkah lagi diarah kiri
jalan kita", berkata Empu Dangka yang berhenti
melangkah. "Aku bersama Nyi Nariratih berjalan lurus
mendekati goa, kalian harus melambung agar tidak
terlihat dan terbaca", berkata kembali Empu Dangka, kali
ini ditujukan kepada Mahesa Amping, Pendeta Gunakara
dan Ki Sandikala. Terlihat Nyi Nariratih berjalan kearah kiri jalan dan terus
berjalan lurus, sementara itu Mahesa Amping, Ki
Sandikala dan Pendeta Gunakara berjalan agak memutar
berharap dapat menemukan goa dari sisi samping.
Terlihat Nyi Nariratih dan Empu Dangka telah berada
sekitar lima belas langkah dari arah goa. Tiba-tiba saja
Empu Dangka memegang tangan Nyi Nariratih dengan
sangat keras. "Perbuatan Nyi Nariratih dapat merusak rencana Mahesa
Amping!", berkata Empu Dangka dengan suara yang
keras, hampir dapat dikatakan setengah membentak.
"Lepaskan tanganmu, hanya ini yang aku lakukan
sebagai baktiku kepada tuan Senapati", berkata Nyi
Nariratih dengan tidak kalah kerasnya.
"Tapi tindakanmu dapat membahayakan Mahesa
Muksa", berkata Empu Dangka dengan suara yang
masih lantang. "Nyawa diriku dan anakku ini tidak berarti dibandingkan
Adityawarman putra tuan Senapati, hanya inilah yang
dapat kupersembahkan sebagai cinta dan penghambaan
225 kepada tuanku Senapati", berkata kembali Nyi Nariratih
sambil melepaskan diri dari cengkraman tangan Empu
Dangka yang merenggutnya.
Ternyata suara mereka berhasil mengusik orang yang
ada didalam goa. Terlihat seorang berjubah putih keluar
dari dalam goa mendekati mereka. Ternyata orang yang
baru keluar dari goa itu dikenal oleh Nyi Nariratih yang
tidak lain adalah pendeta Gesangkara.
"Ternyata aku tidak harus menunggu purnama, serahkan
segera bayimu itu", berkata pendeta Gesangkara di muka
Goa dengan diiringi suara tawanya yang sangat begitu
menyeramkan di hutan malam yang sunyi dan senyap.
"Jangan kamu serahkan Mahesa Muksa, biarkan Mahesa
Amping yang akan menyelesaikan semua ini", berkata
Empu Dangka sambil memegang tangan Nariratih
sepertinya tengah menahan agar Nariratih tidak
menyerahkan Mahesa Muksa kepada pendeta Gesangkara. Ternyata perkataan Empu Dangka membuat Pendeta
Gesangkara menjadi tidak sabaran, terlihat dirinya maju
beberapa langkah mendekati Nariratih.
"Orang tua, jangan ikut campur, atau kepalamu
kuhancurkan", berkata pendeta Gesangkara mengancam
Empu Dangka. Terlihat Empu Dangka melepas pegangannya pada bahu
Nariratih, melangkah membelakangi Nariratih dan
berhadapan dengan Pendeta Gesangkara.
Pada saat yang sama, Mahesa Amping bersama
Pendeta Gunakara dan Ki sandikala telah melompat
serentak menutup pintu goa.
Bukan main kagetnya Pendeta Gesangkara melihat apa
226 yang terjadi. "Kalian sengaja membuat perangkap ini?", berkata
Pendeta Gesangkara dengan wajah yang kurang
senang. Kilat matanya terlihat sekilas sebagai tanda
kemarahannya yang memuncak.
"Apakah dirimu merasa terperangkap?", bertanya
Mahesa Amping kepada Pendeta Gesangkara.
"Ternyata aku berhadapan dengan orang yang tidak bisa
dipegang janjinya", berkata Pendeta Gesangkara dengan
suara yang sangat gusar penuh kemarahan.
"Aku masih memegang janji, akan datang di purnama
pekan depan", berkata Mahesa Amping dengan tenang
dan penuh senyum. "Tidak perlu lagi, hari ini saja kita selesaikan urusan kita
dengan sebuah pertempuran yang adil. Siapa yang
keluar sebagai pemenang, dialah yang berhak atas bayi
itu", berkata Pendeta Gesangkara menantan Mahesa
Amping. "Aku menerima tantanganmu itu", berkata Mahesa
Amping tanpa merasa takut sedikitpun.
Sementara itu Ki Sandikala sudah masuk kedalam goa.
Didapatkannya Adityawarman yang masih tengah tertidur
pulas. Ternyata Pendeta Gesangkara tidak berbuat
apapun atas diri Adityawarman, bahkan terlihat telah
menjaga dan memberinya kecukupan makan sepanjang
hari. Ki Sandikala langsung memapah Adityawarman
yang masih tertidur keluar goa.
Melihat Adityawarman yang dipapah oleh Ki Sandikala
telah membuat diri Mahesa Amping menjadikan
perasaannya semakin tenang dan percaya diri. Diamdiam telah memusatkan diri lahir dan bathin untuk
227 menghadapi Pendeta Gesangkara yang diyakininya
bukan orang kebanyakan, seorang yang sangat
mumpuni. Mahesa Amping maju dua langkah, sementara Pendeta
Gesangkara juga ikut maju dua langkah.
Bukan main main kagetnya Pendeta Gesangkara ketika
matanya bertabrakan dengan sorot mata Mahesa
Amping yang begitu tajamnya.
Mata Pendeta Gesangkara seperti terbentur perisai
cermin yang kokoh menarik sedalam dalamnya jiwa dan
semangatnya. "Keluarkan senjatamu!", berkata Pendeta Gesangkara
membentak melontarkan perasaan gundah dan resahnya
ketika membenturkan pandangan matanya dihadapan
Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping telah mengurai cambuknya
perlahan. "Mari kita mulai", berkata Mahesa Amping
dengan suara perlahan dan penuh percaya diri yang
tinggi. Tangan kirinya terlihat tengah memegang ujung
cambuknya dengan posisi tubuh begitu santainya seperti
tidak akan bersiap melakukan sebuah pertempuran.
Melihat sikap Mahesa Amping telah membakar perasaan
Pendeta Gesangkara, sikap mahesa Amping sepertinya
sebuah pelecehan, sikap Mahesa Amping ditangkap
Pendeta Gesangkara sebagai sikap yang meremehkan
dirinya. "Kamu terlalu jumawa tuan Senapati", berkata Pendeta
Gesangkara sambil melesat meluncur dan menerjang
Mahesa Amping dengan tongkat panjangnya.
Mahesa Amping melihat serangan awal itu cukup
dahsyat dan cepat, dengan hati-hati Mahesa Amping
228 segera bergeser kesamping dan bermaksud akan balik
menyerang lawannya. Bukan main kagetnya Mahesa Amping, sepertinya
lawannya telah membaca apa yang akan dilakukannya,
baru saja tubuhnya bergeser kesamping, tongkat
Pendeta Gesangkara seperti bermata langsung berbelok
arah mengejar tubuh Mahesa Amping.
Melihat serangan susulan itu, Mahesa Amping tidak jadi
balik menyerang, dengan terpaksa mundur dua langkah
menghindari pukulan tongkat Pendeta Gesangkara.
Sadarlah Mahesa Amping bahwa Pendeta Gesangkara
telah membaca pikirannya lewat ajian ilmu Daranaraya
yang sudah begitu tinggi yang mampu dengan cepatnya
membaca arah dan jalan pikiran lawannya.
Tapi Mahesa Amping bukan anak kemarin sore yang
baru belajar, didalam diri Mahesa Amping telah sarat


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan berbagai kekuatan ilmu yang sangat tinggi.
Namun Mahesa Amping tidak langsung menunjukkan
kemampuan yang sebenarnya. Dibiarkannya lawan
menjadi gembira telah berhasil membaca arah jalan
pikirannya. Walet Emas Perak 14 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 9

Cari Blog Ini