Ceritasilat Novel Online

Kelana Buana 1

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 1


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Jilid 1 Jenazah itu membujur di tengah pendopo, sekitarnya penuh dikelilingi orang-orang yang berduka cita
mengenakan kain blaco tanda berkabung, sepasang lilin besar menyala terang mengepulkan asap hitam.
Suara isak tangis terdengar di sana-sini, abu kertas beterbangan.
Yang menangis gerung-gerung adalah putra almarhum yang masih kecil, sedang yang sesenggukan
adalah janda muda, suara bisik-bisik dan helaan napas adalah para pelayat dan para murid almarhum.
Suasana duka cita dalam pendopo sama mengetuk dan menekan perasaan semua yang hadir.
Orang yang meninggal she Nyo bernama Bok. Seorang guru silat yang kenamaan dalam bilangan kota
Siok-ciu. Sebetulnya berusia lanjut, sakit dan mati adalah kelarasan hidup manusia, maka semua sanak saudara
dan para sahabatnya tidak akan merasa.berduka cita. Tapi kematian Nyo Bok ini justru tidak karena
berusia lanjut atau terserang penyakit, usianya masih sedang menanjak, badan sehat dan penuh
semangat, cuma mendadak ia meninggal secara aneh. Tahun ini usianya baru tiga puluh delapan.
Meski cuma baru berusia tiga puluh delapan, tapi karena dia merupakan seorang guru silat yang sedang
menanjak dan tenar, dalam perguruannya ia sudah punya t-nam orang murid pewaris.
Murid terbesar bernama Bun Scng-liong, tahun ini berusia dua puluhan, tiga tahun yang lalu sudah tamat
belajar, dan sekarang sudah bekerja menjadi piauthau di Tin-wan-piaukiok yang kenamaan di kota raja.
Murid kedua, Gak Hou berusia 21 tahun, tahun yang lalu baru saja tamat belajar, karena dia anak seorang hartawan maka tidak perlu keluar pintu mencari pekerjaan di lain tempat, nganggur di rumah tapi
sering datang menyambangi gurunya.
Murid ketiga Phui Liang. Murid ke empat Hoan To. Kedua orang ini anak-anak bilangan daerah tempat itu,
tahun ini berusia di antara tujuh delapan belas, karena tempat tinggal mereka tidak jauh, setiap hari
datang belajar silat di rumah gurunya setelah malam baru pulang rumah. Yang menetap di rumah Nyo
Bok cuma murid ke lima Song Beng-ki dan murid ke enam Oh Lian-ba, berusia lima belas dan empat
belas. Tatkala terjadi kematian Nyo Bok secara aneh itu, Cuma kedua muridnya yang terkecil ini ikut
hadir. Nyo Bok tidak punya sanak kadang, cuma seorang kakak perempuan yang sudah menjadi janda,
bertempat tinggal di Poting dalam keluarga Ki yang berjarak kira-kira tiga ratus li jauhnya. Murid ketiga
Phui Liang mendapat perintah dari sang Subo memberi kabar ke Poting dan saat itu masih belum pulang.
Yang sekarang mengenakan pakaian duka cita dalam pendopo besar itu cuma istri Nyo Bok yang masih
muda belia dan ayu rupawan bernama Hun Ci-io dan seorang putranya yang berusia tujuh tahun bernama
Nyo Hoa. Kalau Nyo Bok seorang guru silat yang termasyhur, justru istrinya yang masih muda ini dari keluarga
sekolahan yang lemah lembut, menurut kabarnya sedikit pun tidak mengenal pelajaran ilmu silat. Delapan
tahun yang lalu waktu Nyo Bok pulang kelana dari Kanglam membawa pulang istri mudanya yang belum
lama dia kawini. Orang lain cuma tahu bahwa istrinya ini berasal dari Soh-ciu, keluarga sekolahan yang
punya kedudukan dan sangat disegani di bilangan rumahnya.
Soal bagaimana mereka bisa berkenalan, selamanya Nyo Bok tidak pernah menceritakan rahasia ini,
maka orang luar tiada seorang pun yang bisa tahu.
Kedua suami istri ini hidup rukun dan saling mencintai penuh kasih sayang, selama delapan tahun ini
belum pernah mereka ribut mulut atau bertengkar. Orang sering memuji bahwa perkawinan mereka
memang sangat setimpal. Siapa nyana kehidupan manusia dalam dunia fana ini memang kadang-kadang sudah ditentukan oleh
suratan takdir, suami istri yang hidup bahagia ini secara mendadak harus ditimpa kemalangan yang menyedihkan ini.
Memangnya Hun Ci-lo seorang perempuan yang berparas cantik berperawakan langsing dan rupawan,
sikapnya lemah lembut lagi, setelah mengenakan pakaian duka yang serba sederhana itu, lebih kelihatan
lagi betapa sedih dan pilu hatinya, sungguh kasihan sekali. Tapi di saat ia meratapi kematian suaminya di
pinggir layon itu. adalah seseorang yang ujung mulutnya menyunggingkan senyum sinis dan mengejek.
Orang yang mengulum senyum ejek dan sinis ini adalah murid kedua Nyo Bok yang bernama Gak Hou,
sekilas ia melirik Subonya dengan pandangan hina, batinnya dalam hati: "Kau Cuma berpura-pura dan
bermuka-muka di hadapan orang banyak, kalau tingkah lakumu dapat mengelabui orang banyak, jangan
harap dapat mengelabui aku."
Tapi semua orang yang hadir dalam ruang pendopo itu tiada, seorang pun yang-pernah memperhatikan
senyum dingin dan pandangan hina Gak Hou ini.
Dasar dari keluarga pendidikan Hun Ci-lo dapat membaca dan tahu adat kesopanan sikapnya ramah
tamah dan welas asih terhadap semua orang, setia pada suami dan mendidik putranya dengan giat dan
tekun, sering pula dia mengulur tangan menolong para tetangga yang tertimpa malang dan perlu diberi
bantuan, maka semua orang dalam bilangan desanya itu sama segan dan mengindahkannya.
Oleh karena itu pula, maka meski kematian Nyo Bok rada aneh, semua orang cuma menyangka bahwa
kehidupan manusia memang sudah ditentukan oleh takdir ilahi, tiada seorang pun yang menaruh curiga
terhadap Hun Ci-lo. Tangis Hun Ci-lo sedemikian menyedihkan, semua orang yang hadir sama merasa kasihan dan simpatik
pada penderitaannya. Siapa yang tidak akan terketuk sanubarinya" Jangan kata tawa dingin Gak Hou
tiada seorang pun yang mendengar atau memperhatikan, seumpama ada orang yang Vnelihat juga
mereka tidak akan menduga bahwa jengek tawanya itu ditujukan kepada Subonya (ibu guru).
Mendadak terdengar seseorang berseru: "Suhu, suhu!?" Seorang pemuda beralis tebal bermata besar
menerobos masuk dengan sempoyongan langsung menuju ke pendopo.
Gak Hou jadi girang dan terkejut pula, teriaknya: "Toa suheng. kau sudah tiba!"- Laki-laki yang datang ini
adalah Piauthau dari Tin-wan piaukiok di Pakkhia, murid terbesar Nyo Bok yang bernama Bun Seng-liong.
Dengan suara serak dan tersendat Bun Seng-liong berteriak se-sambatan: "Suhu, aku datang terlambat!
Oh suhu, suhu! Kenapa kau tidak beri kami kesempatan untuk bertemu muka yang penghabisan lantas
tinggal pergi?" berlutut di depan layon kedua tangannya menepuk-nepuk peti mati lalu menyembah tiga
kali. Setelah menyembah Bun Seng-liong berdiri, sambil pelototkan kedua biji matanya yang besar, ia pandang
Hun Ci-lo, katanya: "Sunio, cara bagaimana kematian suhuku?"
Muka Hun Ci-lo pucat pias, sahutnya sambil sesenggukan: "Aku, aku tidak tahu ia terserang penyakit apa.
Dua malam yang lalu, dia mendadak mengatakan jantungnya sakit, dalam sekejap saja kaki tangannya
lantas kejang dan dingin terus tak bisa bicara lagi."
"Adakah suhu meninggalkan pesannya yang terakhir?" tanya Bun Seng-liong.
"Ti......tidak!" sahut Hun Ci-lo.
Seorang laki-laki tua maju menimbrung: "Gurumu meninggal mendadak terserang penyakit, mana ada
tempo buat menulis pesan atau warisan segala" Kau boleh beristirahat sebentar!"
Pembicara ini adalah seorang paman jauh dari Nyo Bok, dulu pernah menerima kebaikan dari Hun Ci-Io,
sengaja dia datang ikut bela sungkawa dan bantu mengurus segala keperluan.
Tapi Bun Seng-liong tidak gubris seruan orang, serunya: "Aku adalah murid terbesar suhu, bagaimana
urusan perguruan selanjutnya harus dibereskan, masa tidak boleh aku mengetahui?"
Nyo Toa-siok atau orang tua yang bicara tadi walaupun seorang desa bukan dari kalangan persilatan tapi
sedikit banyak ia tahu juga peraturan Bu-Iim, begitu mendengar perkataan Bun Seng-liong ini, lantas dia
tahu urusan apa yang dimaksud dan sangat diperhatikannya itu. Segera ia berkata pula: "Meskipun gurumu tidak meninggalkan pesan apa, tapi kau sebagai murid terbesar, menurut adat kebiasaan dan
peraturan umumnya, maka kedudukan Ciangbun Tecu adalah menjadi hak dan bagianmu. Beberapa
sutemu itu kiranya juga tiada yang hendak main rebut kedudukan dengan kau."
Menurut kebiasaan dan peraturan Bulim umumnya, Ciangbun Tecu boleh mengangkat murid terbesar,
tapi juga boleh mengangkat murid kecil lainnya yang dirasa lebih setimpal atau berbakat.
Cuma kalau murid terbesar tidak pernah melakukan sesuatu hal atau perbuatan yang tercela, delapan
atau sembilan bagian dari sepuluh, kedudukan ini bakal diangkat dari urutan yang terbesar.
Kejadian seperti ini sudah menjadi peraturan Bulim yang sudah turun temurun secara tidak resmi. Cuma
soalnya karena tidak ada pesan atau peninggalan warisan apa-apa, maka Bun Sengliong sendiri jadi tidak
enak mengutarakan isi hatinya. Kalau toh dia mengajukan pertanyaannya tadi, tujuannya tidak lain supaya ibu gurunya mengeluarkan kata-katanya ini. Tapi sekarang ganti paman gurunya yang
mengutarakan maksud hatinya itu, walaupun tidak selengkap seperti yang di damkan, paling tidak
peraturan dan kedudukan dirinya sudah tercatat dalam pendengaran semua hadirin.
Merah jengah selebar muka Bun Seng-liong karena isi hatinya dikorek oleh Nyo Toa-siok ini, cepat ia
berpura-pura: "Bukan begitu maksudku. suhu belum lagi dikebumi-kan mana boleh membicarakan soal
pengangkatan Ciangbun baru apa segala?"
"Tidak," terdengar Gak Hou menyela, "Hal ini merupakan suatu peristiwa yang cukup penting.
Pepatah bilang: negara tak boleh sehari pun tiada pimpinan, rumah pun tak boleh tiada majikan, bagi
kami aliran persilatan pun ada pula ujar-ujar demikian. Suhu sebagai seorang persilatan yang kenamaan,
mana boleh tanpa seorang pewaris yang setimpal" Toa-suko, kami beramai sama setuju menjunjung kau
sebagai Ciangbun, setelah kami sama menanggalkan pakaian duka cita ini segera kita adakan upacara
pengangkatan ini. Maka untuk selanjutnya segala.urusan perguruan ini menjadi tanggung jawabmu
seperti keadaan suhu dahulu."
Calon terkuat yang dapat menjadi saingan Bun Seng-liong jadi Ciangbun Tecu cuma Gak Hou seorang,
tapi kenyataan sekarang Gak Hou rela tunduk dan terima menjadi anak bi ah belaka benar-benar di luar
perkiraan Bun Seng-liong sendiri. Serta mendengar ucapan Gak Hou ini betapa senang dan syur hati Bun
Seng-liong, tapi lahirnya ia pura-pura, cepat goyang tangan serta berkata: "Urusan ini boleh dibicarakan
belakangan, suhu baru meninggal, aku, hatiku sungguh menjadi gundah dan pikiran pun jadi kalut, entah
bagaimana aku harus bekerja." Sampai di sini ia berhenti, mendadak seperti teringat sesuatu semangatnya jadi berkobar, serunya: "Ya benar, sunio ada sebuah hal penting yang ingin kutanyakan
kepadamu. Buku pelajaran silat milik suhu disimpan di mana, sekali-sekali jangan sampai hilang, harap
kau suka tolong mencarinya dan diserahkan kepadaku."-Dia berani minta buku pelajaran silat milik gurunya, jelas bahwa dia sudah anggap dirinya sebagai ahliwaris perguruan.
Bertaut alis Hun Ci-lo. agaknya ia jadi hilang sabar dan seperti tidak perhatikan obrolan Bun
Seng-liong, katanya: "Tidak pernah aku melihat gurumu punya buku pelajaran silat apa, jikalau
ada, tentu disimpan di kamar buku gurumu, boleh kau pergi ke sana mencari sendiri."
Bun Seng-liong rada kikuk dan canggung, layon gurunya masih membujur di tengah pendopo,
dirinya lantas pergi menggeledah barang peninggalan gurunya, sebe-tulnyalah kejadian macam ini
rada keterlaluan. Di saat dia kebingungan terdengar Gak Hou menyela bicara: "Setiap urusan ada
ukuran penting dan berat ringannya, sebagai murid adalah jamak menjaga ruang pendopo ini, tapi
buku pelajaran silat peninggalan guru juga perlu cepat-cepat dikeluarkan, suhu kan juga ingin
para muridnya bisa mengangkat nama tinggi perguruan, kalau sampai hilang, masa beliau bisa
meram di alam baka."
Kira-kira setengah jam kemudian Bun Seng-liong dan Gak Hou berdua baru keluar pula, rona
wajah mereka sama mengunjuk rasa penasaran dan serba curiga. Bun Seng-liong bertanya:
"Sunio, kucari di kamar buku tidak ketemu. Harap tanya di manakah Pit-kip perguruan kita
disimpan?" Kata Hun Ci-lo sambil mengerut kening: "Ucapanmu ini seolah-olah menuduh aku yang telah
melalapnya. Kalian kan tahu aku tidak kenal ilmu silat, untuk apa kusimpan?"
"Agaknya sunio juga terlalu curiga," sela Gak Hou. "Aku percaya bukan ke situlah maksud
perkataan suheng, cuma mohon bantuan, sumo untuk mencarikan saja."
Cepat-cepat Bun Seng-liong manggut-manggut, serunya: "Ya, betul! Begitulah maksudku."
Hun Cin-Io tidak bersuara lagi, namun air mata semakin deras menetes dari ujung matanya.
Cepat Nyo Toa-siok menimbrung bicara: "Sekarang sudah saatnya berangkat ke pekuburan.
Biarlah sunio kalian merampungkan penguburan suhu kalian lebih dulu, besok kalau ada senggang
biar bantu kalian mencarinya. Toh malam ini kalian masih berada di sini, kukira tiada orang yang
berani mencurinya. Kalau kalian tidak lega, boleh silakan berjaga-jaga saja di sini.
Merah jengah selebar muka Bun Seng-liong, ujarnya: "Oh, maaf, aku tidak tahu bila sekarang
juga layon akan diberangkatkan ke pekuburan sehingga mengganggu sunio."
Tapi sebaliknya Gak Hou berjingkrak kaget, teriaknya: "Apa tidak menanti kedatangan Toaci
suhu dan para keponakannya lantas hendak dikubur begini saja?"
"Di masa hidupnya suhu kalian paling benci segala tata peradaban, maka setelah dia meninggal
sudah tentu lebih cepat menguburnya, akan menentramkan arwahnya di alam baka. Kalau
Toacinya datang berani mengomel atau banyak mulut, suruh dia bicara dengan aku saja,"
demikian Nyo Toa-siok memberi keputusan terakhir, memangnya dia sebagai famili dekat
angkatan tua almarhum, dengan dia yang mengatur dan mengurus segala pekerjaan dan memberi
keputusan pula, meski para murid Nyo Bok sama menggerundel tapi tiada seorang pun yang
berani menentang kehendaknya.
Maka mulailah para murid Nyo Bok beramai-ramai mengusung peti mati, tanah perkuburan
terletak tidak jauh di belakang rumah keluarga Nyo, liang kubur sudah lama digali demikian juga
batu Bongpaynya sudah ditegakkan. Penguburan dilakukan secara sederhana, dan tanpa upacara
tetek bengek, setelah layon dikebumi-kan. Hun Ci-lo bersama putranya berlutut memeluk batu
nisan sambil menggerung-gerung sedu sedan, beberapa kali hampir saja ia jatuh pingsan saking
berduka. Diam-diam Gak Hou membatin dalam hati: "Baru berselang dua hari, segala sesuatunya
ternyata sudah dipersiapkan seluruhnya. Hm, sulit juga untuk berpura-pura menangis sedemikian
persis dan sedih!" tanpa disadari mulutnya menyungging senyum ejek dan mendenguskan hidung.
Kalau waktu di rumah tadi senyuman sinisnya tidak bersuara, namun kali ini tak tertahan lagi
sampai bersuara, meski suaranya tidak keras, tapi Bun Seng-liong yang kebetulan berada di
sampingnya mendengar jelas sekali. Untung sekelilingnya masih diliputi suara sesenggukan dan
sedu sedan yang bersahutan, jadi jengek tawanya tenggelam oleh suara tangis banyak orang.
Kecuali Bun Seng-liong yang punya rasa was-was dan rada sirik ini, orang lain tidak
memperhatikan. Dengan rasa heran dan tidak mengerti Bun Seng-liong berpaling, Gak Hou lalu berbisik: "Toasuko,
malam ini harap datang ke rumah Siaute, ada sesuatu hal yang perlu kuberitahu
kepadamu!" waktu bicara ia tutupi raut mukanya dengan lengan baju, selesai berkata ia pura-pura
sesenggukan dan mengusap air mata.
Bun Seng-liong jadi geli, pikirnya: "Suteku ini ternyata setanding dan sama liehaynya dengan
sunio. keduanya sama-sama pandai berpura-pura main sandiwara jadi sungguhan."
Kira-kira kentongan ketiga hampir tiba, sesuai yang dijanjikan Bun Seng-liong datang ke rumah
Gak Hou, tampak olehnya kecuali Phui Liang yang belum kembali dari Poting, semua orang sudah
sama duduk berkeliling. Kata Bun Seng-liong: "Kiranya kau mengundang para saudara seperguruan semua. Perkara apa
yang hendak dirundingkan?"
"Peristiwa yang menyangkut kematian suhu kali ini," Gak Hou menjelaskan. "Coba Toasuko
suka memberi keadilan dan keputusan terakhir nanti."
"Agaknya kau rada sirik dan tidak senang terhadap sunio, kenapa?" tanya Bun Seng-liong.
"Bukan saja tidak senang," jengek Gak Hou tertawa dingin. "Menurut dugaanku, kematian suhu
ini mungkin dicelakai oleh sunio sendiri!"
Semua orang yang hadir sama berjingkrak kaget oleh kata-katanya ini. Hoan To murid ke
empat adalah murid yang paling jujur dan tahu adat kesopanan, cepat ia menyela: "Ji-suko, tanpa
bukti lebih baik jangan kau sembarang omong!"
"Bukti yang nyata memang tiada, tapi berbagai kecurigaan dapat kita selami bersama. Coba
kutanya, apakah kau sendiri ada melihat jenazah suhu?"
"Tidak!" sahut Hoan To. "Hari itu pagi-pagi benar aku sudah datang ke rumah suhu, peti mati
sudah dipaku dan didempul rapat."
"Itulah! Harap tanya kenapa begitu buru-buru harus dipaku dan didempul tanpa memberi
kesempatan pada kita untuk menjenguk wajah suhu yang terakhir?"
Hoan To berkata: "Nyo Toa-siok kuatir sunio terlalu berduka, maka setelah suhu meninggal
cepat beliau menutup dan memaku peti mati supaya dia tidak melihat wajah suhu. Mungkin pula
karena hawa terlalu panas, jazadnya bisa lekas membusuk. Tapi meskipun aku sendiri tidak
melihat jenazah suhu, tapi Nyo-sute dan Lak-sute malam itu kan ada di tempat kejadian itu."
"Beng-ki, Lian-ba," tanya Bun Seng-liong. "Waktu suhu meninggal malam itu, apakah sunio
mengundang kalian masuk" Raut muka suhu apakah menjadi hitam" Tujuh lubang indranya
apakah mengeluarkan darah?"
Song Beng-kie dan Oh Lian-ba merupakan bocah yang masih berusia empat lima belasan, kena
digertak oleh pertanyaan Toa-suhengnya jadi ketakutan. Kata Song Beng-ki dengan gelagapan:
"Tatkala itu aku sendiri sedang ketakutan dan sedih, tidak terpikir olehku untuk memeriksanya."
"Telur busuk yang ceroboh!" maki Bun Seng-liong.
"Tapi hal ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kematian suhu sangat
mencurigakan," demikian sela Gak Hou, "Pertama beberapa orang di antara kami tiada seorang
pun yang pernah memeriksa jenazah suhu, malah dua bocah yang tidak tahu apa-apa ini pun
telah diutus sunio untuk melakukan sesuatu. Kedua: dari hari kematian sampai penguburan cuma
tiga hari, kenapa harus begitu tergesa-gesa, apakah bukan takut perbuatannya yang terkutuk itu
ketahuan" Silakan kalian pikir bersama!"
Kata Hoan To: "Tangis sunio sedemikian sedih dan memilukan, kalian juga melihat sendiri,
masakah perbuatannya itu pura-pura belaka?"
"Siapa tahu kalau perbuatannya itu memang pura-pura dan bermuka-muka belaka demi
mengelabui mata orang lain?" jengek Bun Seng-liong.
"Sedikit pun tidak akan salah, memang berpura-pura dan bermuka-muka saja!" seru Gak Hou
dengan tandas. "Darimana kau bisa tahu?" tanya Hoan To heran, dalam hati ia membatin: "Kau kan bukan
cacing dalam perut sunio."
Kata Gak Hou: "Sudah tentu aku tahu. Cui-hoalah yang beritahu kepada aku, dan tanggung
tidak akan salah. Secara diam-diam pernah kutanya kepadanya, menurut katanya sunio hanya
menangis bila berada di ruang pendopo, begitu kembali ke kamarnya sedikit pun tidak
memperlihatkan sikap sedih atau berduka. Dan lagi setiap makan sunio pasti makan dua mangkok
nasi, setelah suhu meninggal beberapa hari ini tetap bisa menghabiskan dua mangkok dengan
lauk pauk yang lezat."
Cui-hoa yang dimaksud adalah budak yang melayani segala keperluan Hun Ci-lo, parasnya
memang cukup cantik. Tapi budak ini bukan pembawaan Hun Ci-lo dari keluarganya sendiri,
adalah di kala Gak Hou masuk perguruan demi mengambil hati sang guru ia sengaja beli budak ini
diberikan kepada sunio. Tanya Hoan To: "Kenapa Cui-hoa cuma bilang dengan kau tidak mengatakan juga kepadaku?"
Bun Seng-liong jadi geli mendengar pertanyaan yang lucu ini, katanya: "Si-sute, semula kuduga
cuma Ngo-sute dan Lak-sute saja yang ceroboh dan gendeng, ternyata kau jauh lebih goblok dan
pikun! Masa kau bisa dibanding dengan Ji-sukomu, sejak lama memang dia sudah main sekongkol
dengan Cui-hoa, tahu!"
"Toa-suko, kau menggoda saja," ujar Gak Hou sambil mengunjuk rasa bangga, sambungnya:
"Untuk menyelidiki duduk perkara sebenarnya, terpaksa Siaute menggunakan sedikit akal. Bicara
terus terang Cui-hoa sudah kepelel sedemikian rupa sehingga dia patuh sekali kepadaku, apapun
yang dia ketahui pasti dilaporkan kepadaku. Menurut katanya, jangan kalian anggap hubungan
sunio dan suhu begitu mesra, itu mereka lakukan di kala berhadapan dengan orang lain. Di
belakang orang selalu sunio bermuram durja, belum pernah ia melihat sunio unjuk seri tawa di
kala berhadapan sendiri dengan suhu. Malah beberapa kali ia dengar sunio menangis di dalam
kamarnya." Bun Seng-liong berpura-pura jadi paham sambil menepuk paha, serunya: "Sekarang aku
paham, mungkin sunio anggap suhu seorang kasaran yang tidak mengenal cinta kasih dan main
asmara. Atau mungkin dia mempunyai seorang pujaan hati lainnya."
Tak tahan Hoan To menyela: "Suko, sebelum mendapat bukti bahwa dia benar mencelakai
suhu, betapapun dia adalah sunio kita, Guru laksana ayah, sunio seperti ibu, Toa-suko, ucapanmu
ini, rada..." sebetulnya ia hendak mencerca ucapan Toa-suko tadi yang menghina dan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merendahkan kesucian dan martabat sunionya, tapi di bawah tekanan dan wibawa Toa-sukonya
yang garang itu akhirnya ia telan kembali kata-katanya.
"Ucapanku bagaimana?" sentak Bun Seng-liong gusar. "Kau jadi merasa kikuk dan menusuk
pendengaranmu" Kalau kau ingin menjadi putranya Hun Ci-lo yang berbakti silakan kau lanjutkan,
tapi jangan kau tarik lain orang. Tapi mungkin usiamu sudah cukup dewasa, menjadi adiknya
kiranya lebih cocok"-sebetulnya ia hendak mengatakan menjadi "gendaknya", serta melihat sikap
Hoan To yang ketakutan dan tidak tentram itu, ia jadi merasa kata-katanya ini terlalu kotor dan
merendahkan derajat sendiri sebagai calon Ciangbun Tecu, maka, akhirnya ia ubah dengan katakata
menjadi 'adik'nya. Gak Hou ikut menjengek dingin: "Buka mulut sunio, tutup mulut sunio, begitu mesra
panggilanmu, tak heran biasanya Hun Ci-lo paling sayang kepadamu!"
"Harap suheng berdua jangan marah," ujar Hoan To. "Bukan maksud siaute hendak membela
sunio, aku cuma bicara menurut keadilan belaka. Beberapa keterangan yang diuraikan Ji-suko tadi
tidak lebih cuma beberapa bahan kecurigaan yang belum bisa dibuktikan, bisakah kita
memutuskan persoalan demikian saja."
Setelah mengumbar adat mendengar pula penjelasan Hoan To ini, Bun Seng-liong jadi berpikir
secara cermat, terasa olehnya debat Hoan To ini memang masuk di akal. Watak Hoan To jujur,
polos dan setia kawan, biasanya ia sangat mengindahkan segala petunjuk Toa-sukonya, setelah
marah-marah tadi Bun Seng-liong jadi merasa menyesal juga, demi mengambil hati dan menarik
ke pihaknya, terpaksa ia mengubah sikap, serunya sambil tertawa keras: "Si-sute, ada kalanya kau
terlalu ceroboh, tapi ada waktunya pula kau cukup cermat hati-hati dan matang menghadapi
persoalan. Sesuai dengan ucapanmu, untuk menghadapi Hun Ci-lo, kami harus memperoleh buktibukti
yang nyata." Gak Hou termenung beberapa kejap lalu berkata: "Untuk membuktikan dosa-dosanya tidak
lebih cuma ada dua cara, yaitu mencari saksi manusia dan bukti benda."
Kata Hoan To: "Bila suhu memang dicelakai sampai mati, aku bersumpah untuk menuntut balas
bagi suhu. Tapi sekarang kami belum mendapat saksi dan bukti barang apa-apa, masa kita harus
percaya saja sekedar obrolan Cui-hoa lantas menuduh bahwa sunio-Iah yang telah mencelakai
jiwanya?" "Barang bukti sih tidak sulit dicari, cuma harus menempuh sedikit bahaya, tapi bila sampai..."
Gak Hou jadi ragu-ragu. "Loji, bicaralah secara gamblang, barang bukti apa yang hendak kau cari?" tanya Bun Sengliong.
"Jenazah suhu!" sahut Gak Hou pendek.
Bun Seng-liong terkejut, serunya: "Jadi maksudmu harus membongkar kuburan membuka peti
mati?" "Ya, Toa-suko, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Kurasa rada, rada.... kurang tepat. Seandainya suhu tidak mati karena keracunan, kejadian ini
bisa menjadi buah tertawaan orang banyak!"
"Ditertawakan orang sih tidak menjadi soal. Yang terang kita semua bakal dinista dan dicerca
oleh seluruh sahabat persilatan di seluruh jagat ini. Dosa-dosa semacam ini, maaf aku tidak berani
melakukan." "Maka tadi kukatakan mencari barang bukti memang rada sulit dan serba runyam, terpaksa cari
dulu seorang saksi," demikian Gak Hou berdiplomasi.
Kata Bun Seng-liong: "Paling banyak Cui-hoa hanya bisa membuktikan bahwa Hun Ci-lo
bahwasanya tidak merasa sedih karena kematian suhu, dapatkah dia kita seret menjadi saksi?"
"Sudah tentu bukan melulu menyeret dia seorang saja."
Bun Seng-liong melengak, katanya: "Jadi maksudmu masih ada seorang saksi lain. Siapa orang
itu, apakah dia pernah menyaksikan bahwa Hun Ci-lo benar-benar turun tangan mencelakai jiwa
suhu?" "Aku sendiri tidak tahu siapa dia," Gak Hou menjelaskan pula. "Apakah dia pernah lihat apaapa,
aku pun tidak tahu. Tapi kita dapat mengompes sedikit keterangannya."
Bun Seng-liong semakin heran dan garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ujarnya:
"Sebetulnya apa sih yang sedang kau rencanakan, kalau toh segalanya kau sendiri tidak tahu, cara
bagaimana kau bisa mencari orang itu?"
Mendadak Gak Hou berkata: "Ngo-sute, Lak-sute. Malam di mana suhu meninggal itu, ada
terjadi keributan soal seorang pencuri yang main gerayang di gedung suhu, apakah kalian tahu
akan hal ini?" "Jadi gedung suhu pernah kemalingan," seru Bun Seng-liong kaget dan heran pula, "Pencuri
manakah yang begitu besar nyalinya?"
"Peristiwa itu terjadi semalam sebelum kematian suhu, malam kedua lantas suhu dikabarkan
meninggal secara mendadak," ujar Gak Hou.
Oh Lian-ba ikut menimbrung: "Malam itu tidurku sangat pulas, sedikit pun tidak tahu terjadinya
peristiwa itu." "Aku sih ada dengar suara genteng yang terjatuh pecah berhamburan, waktu aku memburu
keluar, kutemui Cui-hoa, dia tertawakan aku terlalu bodoh dan linglung, tiada kejadian mencari
keributan sendiri, cuma kucing bertengkar saling kejar di atas genteng katanya!" Song Beng-ki ikut
memberi penjelasan. Gak Hou jadi tertawa geli, katanya: "Suhulah yang menyuruh dia tutup mulut maka dia bersikap
kasar terhadap kau. Kau ini memang bodoh, masa suara kucing berkelahi dan jejak orang berjalan
malam tidak bisa membedakan, begitu gampang kau mau percaya keterangannya."
"Kenapa suhu melarang dia bicara terus terang?" tanya Song Beng-ki uring-uringan.
"Malam itu ketika mendekati kentongan ketiga, Cui-hoa mendengar suara jeritan, disusul
melihat sesosok bayangan berkelebat di luar jendela kamarnya. Tak lama kemudian suhu dan
sunio lantas menyusul keluar dan menyuruh dia jangan bikin ribut dan kaget, katanya cuma
seorang maling kecil yang sudah digebah lari oleh suhu. Soal kenapa Cui-hoa dilarang
membocorkan kejadian itu, aku pun tidak tahu." demikian penjelasan Gak Hou lebih lanjut.
Dalam hati Hoan To membatin: "Apa sulitnya menebak hal itu?" Katanya: "Mungkin demi
gengsi dan nama kebesaran suhu sebagai guru silat yang kenamaan."
"Tidak mungkin," sela Bun Seng-liong, "Kau sih belum dapat menyelami perangai suhu,
biasanya dia paling mengagulkan diri sebagai tokoh yang sudah tenar di kalangan Kangouw,
menjadi sirik dan benci bila ada orang memandang rendah derajatnya. Kedatangan pencuri kecil
itu justru melanggar pantangannya ini. Demi gengsi dan nama bukan mustahil dia akan menghajar
dan menyiksa maling kecil itu, atau mungkin membunuhnya sekalian untuk tutup mulutnya. Sebab
kalau beliau melepaskan seorang maling kecil, bagi orang yang tidak tahu bisa anggap dia tidak
mampu meringkus seorang maling kecil, bukankah hal ini malah akan menjatuhkan pamornya"
Apalagi seumpama beliau mendapat pujian sebagai seorang luhur yang baik budi, tapi mengandal
kebesaran nama suhu, ternyata maling kecil itu tidak tahu apakah beliau tidak kehilangan muka.
Aku paling tahu martabat suhu, kejadian seperti itu betapapun beliau tidak akan memberi
kelonggaran." Hoan To menjadi merinding dan berdiri bulu romanya; pikirnya: "Tidak, tidak. Martabat suhu
tidak mungkin begitu menakutkan seperti yang diuraikan Toa-suheng barusan."
Gak Hou malah tertawa, ujarnya: "Jadi kalau menurut pendapat Toasuko, bahwa maling kecil
itu memang sengaja dilepaskan oleh suhu?"
"Kecuali ada udang di balik batu, kalau tidak pasti kepandaian maling kecil itu teramat tinggi,
suhu tidak mampu meringkus dia!"
"Malam pertama pencuri itu datang, malam berikutnya suhu lantas mati, suhu dan sunio sama
hendak menutup rahasia tentang kedatangan si pencuri itu, hal-hal ini cukup mencurigakan juga
bukan!" kata Gak Hou.
"Jadi, jadi maksudmu suhu kena dilukai oleh pencuri itu?" tanya Hoan To.
"Bukan, bukan begitu, kau nge-lantur ke mana sih?" olok Gak Hou "Seorang maling kecil masa
mampu melukai guru kita" Malah sebaliknya guru kita yang berhasil melukai dia!"
"O, kalau'begitu dua kemungkinan yang kita bicarakan itu kini tinggal satu kemungkinan belaka.
Bukan guru kita yang tidak mampu meringkus pencuri itu, kenyataan bahwa dalam peristiwa ini
ada tabir rahasianya," demikian Bun Seng-liong mengajukan pendapatnya.
"Memang aku sekarang sedang menyelidiki tabir rahasia itu," ujar Gak Hou. "Untuk itu kami
harus mengompes keterangan dari si pencuri itu akan kejadian malam itu."
Bun Seng-liong jadi girang. katanya: "Jadi saksi yang kau maksudkan tadi'kiranya, adalah
pencuri itu, kau sudah berhasil meringkus dia?"
"Untung mendapat bantuan Ting-thocu dari pihak Ui-liong-pang, semalam aku sudah berhasil
membekuk maling itu. Sebetulnya kepandaian maling itu cukup lumayan, soalnya kakinya sudah
pincang dilukai oleh guru, tapi dia berani melawan puluhan orang dari orang-orang Ui-liong-pang,
mungkin ada beberapa anggauta Ui-liong-pang yang terluka olehnya, maka akhirnya setelah
badannya kena dihajar babak belur baru dia dapat kita ringkus. Semalam waktu diantar kemari,
keadaannya masih payah dan empas empis, jadi sukar mengompes keterangannya, setelah
kupanggil tabib untuk mengobati, barusan kudapat laporan katanya dia sudah mampu
menghabiskan tiga mangkok bubur."
Dasar Gak Hou ini keturunan dari keluarga hartawan, suka royal lagi maka hubungannya cukup
luas dengan berbagai golongan, perkumpulan dan Pang. Pencuri ini berhasil ia bekuk setelah dia
main sogok dengan uangnya sehingga kawanan Ui-liong-pang mau bekerja demi kepentingannya.
"Dia dapat menghabiskan tiga mangkok bubur berarti sudah mampu bicara, lekas kau giring dia
kemari untuk kita mintai keterangan bersama," kata Seng-liong.
Segera Gak Hou keluarkan perintahnya kepada pelayannya, tak lama kemudian dua laki-laki
kekar menggiring pencuri itu masuk. Tampak pencuri ini bermuka kuning seperti malam, kaki
tangannya penuh luka-luka, demikian juga pakaiannya sudah dedel dowel. dan penuh berlepotan
darah, luka-lukanya memang tidak ringan. Tapi sepasang matanya masih berkilat penuh
semangat. Luka-lukanya itu sudah cukup berat, tapi kedua laki-laki yang menggusur datang itu
masih kuatir terjadi sesuatu, kedua tangannya ditelikung ke belakang dan di kat tali besar.
Setelah Gak Hou menyuruh kedua pembantunya itu keluar, ia turun tangan sendiri
membebaskan belenggu tangan si maling serta memapahnya bangun, tanyanya: "Siapa
namamu?" "Pekerjaanku adalah mencuri yang dianggap rendah, kalau kukatakan namaku cuma mengotori
nama leluhurku saja," jawab maling itu.
"Kau tidak mau menyebut nama pun tak menjadi soal," ujar Gak Hou. "Tapi kau harus bicara
terus terang, kenapa kau menggerayangi gedung guruku" Apakah kau tidak tahu beliau adalah
Nyo-busu yang kenamaan di lima propinsi daerah utara?"
"Tidak tahu!" sahut si maling singkat, melihat keadaannya mungkin dia memang sengaja tidak
mau menjawab pertanyaan Gak Hou.
Dengan sabar dan suara halus Gak Hou berkata: "Asal kau mau bicara terus terang, tanpa
menyimpan rahasia nanti kulepas kau pergi. Apa yang kau lihat pada malam itu di rumah guruku?"
"Apapun tiada yang kulihat, tahu-tahu aku sudah ketimpuk oleh senjata rahasia. Bagaimana, jawabanku
ini sudah cukup memuaskan bukan" Ketahuilah bahwa guru dan ibu gurumu sama
liehaynya!" "Kalau guruku toh sudah berhasil melukai kau bagaimana mungkin dia melepas kau lari?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" jengek simaling. "Kenapa kau tidak tanya pada gurumu sendiri?"
"Kau sengaja hendak mengutuk kita ya," bentak Bun Seng-liong gusar. "Guruku sudah
meninggal, tahu!" Si maling merasa heran dan tak percaya, teriaknya: "Nyo Bok sudah mati?"
Meskipun jawaban si maling ini selalu menyimpang dari tujuan pertanyaan yang tepat, tapi dari
jawaban-jawaban ini diam-diam Gak Hou sudah dapat menemukan titik kelemahannya. Kini
mendengar orang menyebut nama gurunya lagi, tambah besar rasa curiganya. diam-diam ia
berpikir: "Ilmu silat guru cukup tinggi, kalau dikatakan liehay adalah jamak, tapi sunio bahwasanya
tidak bisa main silat, keliehayan apa yang dia miliki" Tapi maling ini berani mengatakan bahwa
sunio liehay tentu ada maksud yang tertentu, mungkin bukan melulu menunjuk soal kepandaian
silat. Inilah titik kelemahan pertama. Semula dia mengatakan tidak kenal nama kebesaran guruku,
kini bisa menyebut namanya, merupakan titik kelemahan yang kedua. Agaknya dugaan Toa-suko
memang tidak meleset, peristiwa malam itu tentu ada tabir rahasianya yang sulit dipecahkan.
Sayang keparat ini tidak mau bicara terus terang, bagaimanakah baiknya?"
Maka Gak Hou semakin berlaku sabar dan lemah lembut, bujuknya: "Orang pandai tidak
menunjukkan keahliannya, orang ahli tidak suka menunjukkan kepandaiannya. Meski aku tidak
tahu siapa kau, tapi kuduga tentu seorang tokoh kosen yang mengasingkan nama dan
menyembunyikan asal usul di dunia Kangouw, yang jelas bahwa kau kenal dengan guruku.
Sebetulnya untuk keperluan apa kau malam itu meluruk datang ke rumah guruku. Apa yang kau
lihat, sudikah kau menjelaskan kepada kami" Kami tidak akan menyakiti kau, luka-lukamu bahkan
akan kami obati sampai sembuh dan kuantar kau pulang. Tapi kalau kau tidak mau bicara terus
terang, terpaksa kau kami serahkan kepada Ui-liong-pang."
Dengan mengancam dan membujuk secara halus ini Gak Hou mengira akan dapat mengorek
keterangannya, tak nyana maling ini ternyata masih bersikap acuh tak acuh, matanya berkedipkedip
serta katanya tawar: "Kau salah alamat', orang kosen memperoleh kebesarannya, bagi aku
segala sanjungan-mu tadi sedikit pun tidak cocok. Aku tidak lebih cuma seorang maling kecil,
apapun aku tidak tahu!"
Gak Hou jadi naik pitam, baru saja ia hendak mengumbar amarahnya, tiba-tiba didengarnya
Bun Seng-liong membentak: "Siapa yang mencuri dengar di luar"!" " " Seiring dengan katakatanya
ia dorong terbuka jendela sekaligus menimpukkan tiga biji mata uang. Kiranya kupingnya
yang tajam mendengar ada orang sedang melompat turun dari atap rumah, mengira musuh
kontan ia menyerang dengan senjata rahasianya.
Pelajaran menimpuk senjata rahasia Bun Seng-liong mendapat didikan langsung dari gurunya,
tak duga timpukan uangnya seperti batu tenggelam ke dalam lautan sedikit pun tidak berbekas
dan tidak terdengar reaksinya, jadi sulit diketahui apakah timpukannya mengenai sasarannya.
Sudah tentu Bun Seng-liong terkejut, cepat ia melolos pedang dan baru saja ia membuka pintu,
maka terdengarlah suara Sam-sutenya Phui Liang berkata di luar: "Inilah Nyo-sukoh (bibi guru)
telah tiba!" Baru sekarang Bun Seng-liong berlcga hati, batinnya: "Julukan taci suhu adalah Loak-jiu-koanim
(Dewi Koam-im yang gapah tangan), kiranya memang tidak bernama kosong. Kepandaian
menyambuti senjata rahasia yang dia pamerkan ini agaknya jauh berada di atas suhu sendiri."
Tersipu-sipu Bun Serfg-liong, Gak Hou dan lain-lain memburu keluar menyambut, tampak di
luar pekarangan sana berdiri jajar tiga orang, kecuali taci suhunya Loak-jiu-koan-im Nyo-toakoh
dan Sam-sutenya yang berdiri di sebelah kanan adalah pemuda yang berusia enam atau tujuh
belasan. Nyo-toakoh tersenyum, katanya: "Seng-liong, tak malu kau sebagai murid terbesar dari
perguruan Nyo, kepandaian menimpuk senjata rahasia dengan tipu Sam-hoan-to-gwat sudah
cukup dari lumayan. Kiat-ji, kembalikan mata uang itu kepada Bun-suheng."
Pemuda itu membuka telapak tangannya, tampak di tengah telapak tangannya berjajar tiga
keping mata uang tembaga.
Baru sekarang Bun Seng-liong tahu bahwa pemuda itu adalah keponakan gurunya yang
bernama Ki Si-kiat. Sudah tentu rasa kagetnya bukan kepalang, semula ia menyangka Loak-jiukoanim yang berhasil menyambuti senjata rahasianya, tak duga bocah yang masih ingusan inilah
kiranya. Kata Phui Liang: "Hari ini baru aku sempat menyusul tiba bersama sukoh, menurut perhitungan
semula masih keburu ikut melawat, tak kira suhu sejak pagi sudah dikebu-mikan. Baru saja kami
datang dari rumah suhu. Sukoh ingin segera ketemu dengan kau maka kubawa beliau kemari,
karena terburu-buru terpaksa tanpa permisi lebih dulu."
Tanpa membuang waktu segera Nyo-toakoh bertanya: "Seng-liong, cara bagaimana kematian
gurumu" Kenapa Hun Ci-lo begitu buru-buru mengebumikan adikku tanpa memberi kesempatan
padaku untuk menjenguk wajahnya yang terakhir?" - Kiranya Nyo-toakoh juga merasa curiga akan
kematian adiknya ini. Diam-diam Bun Seng-liong bersorak dalam hati, sahutnya: "Sukoh, setelah kau orang tua tiba.
urusan bakal lebih gampang diselesaikan. Memang kami sedang menyelidiki kematian suhu. Mari
silakan bicara di dalam saja."
Dengan langkah lebar Nyo-toakoh memasuki kamar, begitu melihat maling kecil itu kontan ia
menjerit, teriaknya: "Kenapa kau pun berada di sini, siapa yang melukai kau sedemikian rupa?"
"Nyo-toakoh," ujar si maling kecil itu sembari tertawa kecut. "Tak nyana, bertemu kau di sini.
Kau tanya saja kepada murid keponakanmu."
Kejut dan girang pula Gak Hou dibuatnya, pikirnya: "Akhirnya toh ada orang yang kenal asal
usul maling ini." Tanyanya: "Sukoh, siapakah dia?"
"Masa kalian tidak kenal dia," kata Nyo-toakoh. "Dia bukan lain adalah Biau-jiu-sin-toh Kwihwethio yang kenamaan di kalangan kangouw itu."
Bun dan Gak dua orang sama terperanjat. Batin Gak Hou: "Untung aku tadi tidak bersikap kasar
terhadapnya." Ternyata maling kecil ini nama aslinya Thio Siau-yau, kepandaian silatnya sih termasuk kelas
rendah-an, tapi kepandaian mencurinya justru tiada tandingannya di seluruh dunia, karena itu
jelek-jelek di kalangan kangouw dia sudah punya nama, tapi justru cara hidupnya kurang genah
dan suka nyeleweng, ada beberapa perusahaan Piaukiok hendak memberi pekerjaan ia tolak,
beberapa raja bandit minta dia jadi komplotannya ia pun tidak sudi, tapi ia lebih suka pekerjaan
bebas yang tidak terkekang, yaitu mencuri. Karena menurut anggapannya mencuri cukup
menyenangkan dan bebas tidak terikat, maka dia menggunakan namanya dengan Siau-yau yang
berarti bebas dan julukannya adalah Kwi-hwe-thio (Thio yang suka membadut).
Kata Gak Hou: "Malam di mana guru diberitakan meninggal dia pernah berada di rumah suhu.
Ting-thocu dari Ui-liong-pang tahu bahwa kami sedang menyelidiki kematian suhu. maka mereka
mengundangnya kemari."
Nyo-toakoh mengunjuk rasa heran, tidak tanya sebab musababnya, sebaliknya ia berkata:
"Siau-thio (Thio si kecil), dengan kepan-daianmu, tidaklah heran bila adikku yang meringkus kau,
tapi cara bagaimana kau bisa terjatuh di tangan kawanan Ui-liong-pang" Bukankah berarti perahu
besar terbalik dalam selokan?"
Maling sakti Thio Siau-yau yang bergelar Kwi-hwe-thio (Thio si badut) serta mendengar
pertanyaan Nyo-toakoh ini jadi tidak gembira, sambil tertawa getir ia menjawab: "Ki-hujin,
pandanganmu tidak salah, meskipun kepandaianku tidak becus, betapapun tidak akan begitu
mudah terjatuh di tangan Ui-liong-pang. Cuma siapa sebenarnya yang melukai aku agaknya kau
salah duga." "Apakah bukan adikku?" tanya Nyo-toakoh.
"Bukan, istri dari adikmu itulah!" sahut Kwi-hwe-thio.
Seketika semua orang sama melcngak dan heran mendengar keterangannya ini.
"Apa, istri adikku yang melukai kau?" tanya Toakoh menegas.
Phui Liang, Hoan To dan lain-lain tanpa berjanji berseru bersama: "Wah urusan semakin aneh,
bukankah sunio tidak bisa main silat!"
"Tidak bisa main silat?" jengek Kwi-hwe-thio dingin. "Marilah kuperlihatkan sebuah benda
kepada kalian."- lalu dirogohnya keluar sebentuk tusuk kuridai yang terbuat dari perak terus
disodorkan kepada Nyo-toakoh, sambungnya: "Hiat-to di lututku ini terluka oleh tusuk kundai
timpukan istri adikmu itu."
Nyo-toakoh menerimanya serta diamat-amati, tampak tusuk kundai itu masih berlepotan darah,
dan barang itu memang adalah milik Hun Ci-lo. Murid ke lima Song Beng-ki yang menetap di


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah suhunya juga mengenali tusuk kundai itu, katanya menimbrung: "Memang betul, sunio
biasanya memang mengenakan tusuk kundai ini di atas sanggulnya."
Kwi-hwe-thio tertawa getir, ujarnya: "Kini kalian mau percaya bukan! Jikalau senjata rahasia
timpukan istri adikmu tidak melukai aku, masa perahu besar bisa terbalik di dalam selokan. Harap
maaf kalau aku bicara kurang hormat, kau tahu bahwa aku paling mengutamakan budi dan
dendam, kejadian ini merupakan peristiwa yang memalukan dan kegagalanku yang pertama
selama hidupku ini. Kau pernah menanam budi kepadaku, tapi istri adikmu menyakiti hatiku, maka
tusuk kundai itu harap kau kembalikan kepadaku, akan kukembalikan sendiri kepada istri adikmu
kelak." Maksudnya bahwa ia hendak menuntut balas kepada Hun Ci-lo karena timpukan senjata
rahasianya sehingga ia terluka dan jatuh pamor habis-habisan.
"Bicara terus terang, sekarang aku sedang menyelidiki kematian adikku itu, kalau terbukti
teraniaya oleh budak jalang itu, dendam ini tidak perlu kau mencari balas kepadanya."
"Kau boleh mencari balas dendam padanya, tapi aku harus membalas sakit hatiku. Dua
persoalan ini tidak bisa disatukan. Tapi..." maling sakti itu merandek seolah-olah ada sesuatu yang
sungkan dikatakan. "Siau-thio," kata Nyo-toakoh, "Waktu suamiku masih hidup dulu, hubungannya begitu akrab
dengan kau sebagai sahabat karib, maka kuharap kau suka bicara jujur dan terus terang kepada
aku. Tapi apa maksudmu?"
Ternyata dulu Kwi-hwe-thio pernah mendapat pertolongan dari suami Nyo-toakoh ini. Nyotoakoh
pun mengetahui karakter Kwi-hwe-thio, kalau dengan kekerasan mengompes
keterangannya, meski dihajar sampai mati pun ia tetap akan membandel tidak mau buka mulut,
maka dengan cara balas budi ia hendak mengorek keterangannya.
"Toakoh, bicara secara terus terang, meski Hun Ci-lo melukai aku, tapi menurut hematku,
belum tentu adikmu mati karena dicelakai Hun Ci-lo."
Gak Hou segera menyela bicara dengan tawa dingin: "Hun Ci-lo pura-pura tidak bisa main silat,
beberapa tahun ini kita semua kena dikelabui mentah-mentah, berdasar alasan ini cukup kita
menilai betapa culas dan keji hatinya. Kecuali suhu tidak meninggal secara penasaran, kalau tidak
lalu siapa pembunuhnya?"
Nyo-toakoh goyang-goyang tangan, katanya: "Gak Hou, jangan kau sembarangan menduga
dan menista, Siaw-thio pasti bisa memberikan pandangannya secara jelas dan gamblang. Siau-thio
coba terangkan, untuk apa kau meluruk ke rumah adikku, malam itu apa yang kau lihat dan apa
pula yang kau dengar. Dengan alasan apa pula kau berani mengatakan kematian adikku bukan
dicelakai oleh istrinya?" ,
Teka teki misterius ini bakal segera terbongkar, pandangan semua orang sama tertuju ke arah
Kwi-hwe-thio, mereka ingin sekali mendengar penjelasannya.
Tapi Kwi-hwe-thio malah garuk-garuk kepalanya, katanya tertawa kecut: "Ki-hujin, mungkin
aku cuma membuat kecewa kalian belaka. Meski malam itu aku ada melihat dan mendengar
sesuatu, tapi mengenai sebab musabab kematian adikmu, tidak berani aku mengatakan sudah
jelas duduk perkaranya. Apalagi beberapa pertanyaan yang kau ajukan itu, aku pun tidak bisa
menjawab secara terus terang."
"Baiklah, berapa banyak yang dapat kau jelaskan silakan saja!"
"Pertama-tama yang harus kutandaskan kepadamu adalah bahwa kedatanganku ke rumah
adikmu bukan bertujuan mencuri."
"Untuk ini aku bisa maklum. Benda berharga apa yang bisa kau curi dari rumah adikku!"
"Bicara terus terang, ada seseorang yang mengutus aku kesana. Orang itu minta aku
menyampaikan sepucuk surat kepada adikmu."
"Siapakah orang itu?"
"Maaf, siapakah dia tidak bisa kujelaskan. Aku cuma bisa berita-hu, pertama: Aku pernah
mendapat pertolongan orang ini. Kedua: kepandaian silat orang itu teramat liehay, selama hidup
aku tidak kenal takut kepada langit dan bumi, cuma takut menghadapi dia. Surat yang dia berikan
kepadaku, aku pun tidak berani membuka untuk mencuri baca."
Diam-diam Nyo-toakoh membatin: "Siapakah orang itu" Didengar dari nada Kwi-hwe-thio,
kepandaian orang itu seharusnya jauh lebih liehay dari adikku. Tokoh kangouw yang memiliki
kepandaian begitu tinggi dapat dihitung dengan jari, cepat atau lambat pasti aku dapat menyelidiki
hal ini." Maka segera ia berkata: "Baik, teruskan saja penjelasanmu. Bagaimana setelah kau
sampai di rumah adikku?"
"Aku langsung mencari kamar tidur adikmu, tapi yang berada di dalam kamar cuma seorang
perempuan. Dia sedang berkeluh kesah!"
"Perempuan itu sudah tentu Hun Ci-lo adanya. Apa yang sedang dia keluh kesahkan?"
"Aku tidak tahu apa yang sedang dirisaukan, tapi setelah itu dia lantas mengeluarkan sebuah
gambar. Gambar itu akhirnya berhasil kucuri!"
Cepat Nyo-toakoh meminta: "Bolehkah aku lihat gambar itu?"
"Boleh. Tapi kau harus kembalikan kepadaku," ujar Kwi-hwe-thio, lalu dia merobek bajunya
mengeluarkan segulung gambar, lalu dibeber di hadapan orang banyak. Tampak di atas gambar
itu tertera lukisan seorang laki-laki yang berwajah cakap ganteng, di samping gambar ada dua
baris syair, yang mengisahkan suka duka sepasang kekasih yang sedang memadu cinta.
Walaupun Nyo-toakoh orang kasaran yang tidak mengenal ilmu sastra, tapi makna dari dua bait
syair itu sangat gamblang, sedikit banyak ia tahu arti dari syair itu.
Saking marah raut wajah Nyo-toakoh sampai berubah pucat, katanya gemetar: "Tak nyana
perempuan jalang itu ternyata punya seorang gendak lainnya! Dia sudah menikah dengan adikku,
putranya pun sudah berusia tujuh tahun, tapi dia masih terkenang akan madu cinta pada masa
silam." Cepat Bun Seng-liong berkata: "Gambar ini merupakan bukti, dengan gambar ini kita bisa
secara langsung menuduh dan menimpakan dosa-dosa ini kepada Hun Ci-lo!"
Tapi Nyo-toakoh menggulung gambar itu lalu diserahkan kembali kepada Kwi-hwe-thio
katanya: "Apa yang pernah kita katakan harus ditepati. Sekarang aku sudah tahu perihal
hubungan cinta lama Hun Ci-lo, aku akan berhadapan langsung dengan dia, tanpa membawa
gambar ini, kukira dia pun tidak akan berani memungkiri perbuatannya."
Melihat Nyo-toakoh betul-betul menepati janji dan dapat dipercaya, legalah hati Kwi-hwe-thio,
maka ia melanjutkan cerita pengalamannya: "Surat itu harus diserahkan langsung kepada Nyobusu,
dalam kamar tidurnya tiada, maka aku pun tiada minat mendengar keluh kesah istrinya itu.
Maka segera aku mencari ke kamar bukunya, kali ini aku berhasil menemuinya, tapi sekali
pandang sungguh aku kaget setengah mati."
"Urusan apa yang membuat kau begitu terkejut?" tanya Nyo-toakoh.
"Orang yang memberi surat kepadaku ada pesan supaya aku menyampaikan surat itu secara
diam-diam kepada Nyo-busu jangan sekali-kali diketahui atau terlihat oleh orang ketiga, asal surat
ini bisa jatuh ke tangan Nyo-busu, bolehlah aku tidak usah muncul di hadapannya. Maka malam
itu aku bergerak main sembunyi untuk mencari Nyo-busu.
"Waktu aku tiba di luar kamar bukunya, di sini aku pun mendengar helaan napas seseorang,
aku jadi heran, cepat aku bergelantungan di atas rumah dan mencuri lihat ke dalam kamar, ingin
kupastikan apakah orang yang berada di dalam benar Nyo-busu adanya. Toakoh, coba kau terka,
apakah yang telah kusaksikan ?"
"Sebetulnya kejadian aneh apa yang kau lihat, lekas kau terangkan saja," sahut Nyo-toakoh.
"Benar-benar suatu kejadian aneh yang berada di luar dugaanku. Adikmu itu sedang berdiri di
atas meja, di atas belandar kamar bukunya ada menjulur turun seutas tali, ujung tali itu sudah
dibuatkan kolongan, di kala aku melongok ke dalam kebetulan adikmu sedang memasukkan
kolongan tali itu ke dalam lehernya, meja ditendang kedua kakinya lantas tergantung berayunayun!"
"Bohong," sentak Bun Seng-liong. "Tanpa sebab kenapa guruku bisa bunuh diri!"
Gak Hou juga tidak ketinggalan memaki: "Pembual! Malam itu setelah ribut-ribut adanya
maling, guruku sendiri berlari keluar bicara dengan Cui-hoa, mana mungkin dia bunuh diri dengan
jalan menggantung?" Kwi-hwe-thio menarik muka, ujarnya dingin: "Kalau tidak percaya jangan tanya kepadaku. Kan
belum kujelaskan lebih lanjut bahwa guru kalian tidak segera mampus."
Nyo-toakoh tahu bahwa Kwi-hwe-thio tidak akan membual kepadanya, dengan lembut ia
membujuk: "Siau-thio, kenapa kau ajak ribut mulut dengan mereka, teruskan saja ceritamu, aku
percaya kepadamu." Kata Kwi-hwe-thio lebih lanjut: "Waktu aku hendak turun untuk menolongnya, di saat itulah
kudengar suara berkesiur lalu "Tas!" sekeping uang tembaga melesat masuk melalui jendela,
kebetulan menimpuk putus tali sebesar jari tangan itu, belum lagi badan Nyo-busu terbanting di
tanah, menerobos masuklah seseorang memeluk tubuhnya. Orang ini bukan lain adalah Hun Cilo."
Nyo-toakoh merasa di luar dugaan, pikirnya: "Semula kukira Hun Ci-lo perempuan jalang itu
mengharap benar adikku lekas-lekas mati, bagaimana mungkin dia menolong jiwanya malah?"
Kwi-hwe-thio melanjutkan: "Surat itu tidak bisa kusampaikan di hadapan istrinya, maka
terpaksa aku tetap sembunyi di atap rumah mencuri lihat lebih lanjut."
"Tampak Hun Ci-lo membuka tali di atas leher suaminya, katanya sambil sesenggukan: "Bok-ko,
kenapa kau hendak tinggalkan aku"' ?" Nyo busu berkata: 'Aku hanya main-main saja terhadap
kau. untunglah pertolongan cepat datangnya, maka setelah istirahat sebentar ia lantas dapat
bicara lagi." Kata Hun Ci-lo: "Mana ada cara main-main demikian" Apakah ada sesuatu yang salah
kulakukan, sehingga kau hendak menghukumku sedemikian rupa, bicaralah terus terang
kepadaku." Nyo-busu berkata lirih: "Beberapa tahun ini kau tidak mau meninggalkan aku, aku sudah
merasa cukup puas. terima kasihku terhadap kau belum sempat kuucapkan masa berani aku
menggerundel kepadamu" Cuma aku berpikir tidak seharusnya aku menahanmu lagi, maka
terpaksa kutempuh jalanku ini. Pertama aku dapat bebas dari dosa, kedua kau pun jadi merdeka
untuk membebaskan diri dari keluarga Nyo."
"Tidak!" sahut Hun Ci-lo. "Kau tidak tahu sebetulnya aku tidak ingin meninggalkan kau lagi!"
"Aku tahu," sahut Nyo-busu, "Tapi aku tahu bahwa kau mempunyai ganjalan hati yang sulit kau
limpahkan." "Segala urusan kan bisa dirundingkan dengan baik, kenapa kau harus bunuh diri?"
"Ucapanku belum lagi selesai, perbuatanku ini memang setengah-setengah. Setengah sungguhsungguh
dan setengah pura-pura."
"Apa maksud ucapanmu" Sedikit pun aku mengerti."
"Aku sendiri juga kurang paham, soal bunuh diri mana bisa setengah sungguh setengah purapura
apa segala" Di kala aku pasang kuping mendengar lebih lanjut, tiba-tiba kudengar Nyo-busu
bertanya: "Ci-lo. kau datang bersama siapa?"-Terdengar Hun Ci-lo menjawab: "Cuma aku seorang
saja, kenapa kau bertanya demikian, masa. . masa kau curigai aku..."-Belum habis ucapannya,
Nyo-busu lantas berteriak:
"Kalau begitu lekaslah kau keluar, coba lihat siapa dia" Dia datang lebih pagi setindak dari kau,
jelas kuketahui dia masih belum pergi sekarang !"
"Di kala Nyo-busu mencari kematian tapi masih dapat mengetahui jejak kedatanganku,
kepandaian silatnya yang tinggi memang harus dipuji, tapi hal ini justru membuatku runyam.
Karena aku harus menyerahkan surat itu langsung ke tangannya dan tidak boleh bocor,
bagaimana baiknya" Belum habis pikiranku, Hun Ci-lo sudah melejit keluar dan mulai memeriksa,
dalam gugupku lantas timbul sebuah akal, di kala dia melangkah keluar kamar, cepat surat itu
kulipat membungkus sekeping uang tembaga terus kutimpukkan ke dalam lewat jendela
belakang." "Begitu aku bergerak Hun Ci-lo lantas mengetahui jejakku, dengan tertawa dingin ia
menjengek: "Maling kecil yang bernyali besar, masih ingin lari ya?"-belum lenyap suaranya,
tampak selarik sinar perak berkelebat, belum sempat aku angkat kaki tahu-tahu Hoan-tiau-hiat di
lututku sudah kena timpuk tusuk kundainya.
"Sebetulnya aku pasti bisa teringkus olehnya, untung pada saat itu juga terdengar Nyo-busu
mendadak berteriak: "Ci-lo kembalilah, sahabat lama kita menyuruh orang mengirim surat kepada
kita." "Sebetulnya orang itu ada pesan wanti-wanti bahwa surat itu sekali-kali tidak boleh diketahui
oleh istrinya, tapi kalau toh Nyo-busu sendiri yang memberitahu kepada istrinya, aku tidak bisa
berbuat apa-apa, aku sudah terluka bukan mustahil bakal terjadi sesuatu atas diriku, terpaksa aku
lari sipat kuping." Nyo-toakoh tertawa dingin, jengeknya: "Tak kira Hun Ci-lo memiliki kepandaian menimpuk
senjata rahasia yang sedemikian liehaynya, sekian lamanya aku sendiri pun kena dikelabui
olehnya." Kwi-hwe-thio melanjutkan: "Untung adikmu memanggilnya kembali sehingga aku berhasil lolos.
Waktu aku lewat kembali di kamar tidur adikmu teringat olehku aku harus membawa sesuatu
tanda mata untuk membuktikan bahwa kerjaanku sudah kulaksanakan dengan baik. Gambar itu
masih terletak di atas meja, mungkin saking tergesa-gesa Hun Ci-lo berlari keluar sehingga tidak
keburu menyimpannya, maka gambar itulah yang kuincar dan kubawa lari. Bagaimana kejadian
selanjutnya, aku tidak tahu sama sekali."
Setelah cerita Kwi-hwe-thio selesai, para murid perguruan Nyo ini sama saling pandang, rona
wajah meraka menunjukkan perasaan hati yang berlainan, seperti pepatah ada berkata: "Hati
manusia tidak sama, sesuai dengan bentuk mukanya yang berlainan."
Song Beng-ki dan Oh Lian-ba berdua sama mengunjuk rasa hampa, seolah-olah mereka baru
siuman dari impian buruk yang masih mempengaruhi sanubarinya, sekian lama masih terlongong
kebingungan. Murid ke empat Hoan To agaknya masih setengah percaya setengah curiga,
keadaannya pun kosong dan hampa seperti digugah dari impian buruknya. Adalah murid ketiga
Phui Liang seorang yang pandai melihat arah angin, sepasang matanya jelilatan melirak-lirik kian
kemari, dalam hati ia membatin: "Toh ada Toasuko yang bakal tampil ke depan, tidak perlu aku
sendiri unjuk diri."
Sebaliknya murid terbesar Bun Seng-liong dan murid kedua Gak Hou masing-masing
mempunyai jalan pikiran dan perhitungannya sendiri, mereka sama memperhitungkan cara
bagaimana mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari peristiwa yang berlangsung ini.
Setelah saling pandang akhirnya mereka tujukan pandangan bersama ke.arah Nyo-toakoh,
tiada seorang pun yang ingin mendahului buka suara.
Kata Nyo-toakoh dingin: "Seng-liong, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Sukoh pun sudah dengar duduk perkaranya dengan jelas. Menurut hematku kita tidak usah
ragu-ragu dan banyak curiga lagi, kematian suhu pasti adalah buah tangan Hun Ci-lo."
Nyo-toakoh manggut-manggut. Tapi tak tertahan Kwi-hwe-thio justru menggelengkan kepala.
"Siau-thio," kata Nyo-toakoh. "Kau sendiri sudah lihat secara sembunyi-sembunyi Hun Ci-lo
menyimpan dan mencuri lihat gambar itu, kau pun dengar percakapan mereka suami istri, jelas
dan gamblang bahwa Hun Ci-lo mempunyai gendak lain, malah sudah diketahui pula oleh adikku,
dengan alasan apa kau berani memastikan bahwa bukan dialah pembunuhnya?"
"Tapi aku pun pernah menyaksikan dia menggagalkan usaha suaminya untuk bunuh diri,
memeluk suaminya dia bertobat sambil menangis, dia mengatakan tidak rela berpisah dan
ditinggal oleh suaminya, sikap dan kelakuannya, menurut penglihatanku pasti bukan ia lakukan
secara pura-pura." Gak Hou segera menjengek dingin, timbrungnya: "Justru Hun Ci-lo memang pandai main
sandiwara menjadi sungguhan, waktu di pendopo besar tadi pagi dia pun menangis gerunggerung
sampai jatuh pingsan berulang kali!"
"Benar, urusan ini harus kita selesaikan secara cermat dan teliti! Siau-thio bukan aku tidak
percaya kepadamu, bahwasanya perempuan jalang itu memang teramat mencurigakan!"
"Aku hanya bicara menurut pengalaman dan pendapatku sendiri, mana berani aku mencampuri
urusan rumah tangga kalian" Bagaimana kalian hendak menjatuhkan vonis kepada Hun Ci-lo
adalah urusan kalian. Aku sudah bicara secara jelas, aku harus segera pergi."
"Terima kasih akan keterangan-mu sebanyak itu. Inilah sebutir Him-tan-hoan, tepat untuk kau
gunakan, silakan kau terima."
Him-tan-hoan adalah obat mujarab untuk mengobati luka-luka dalam. Kata Kwi-hwe-thio
dengan tawar: "Baiklah, anggap saja kita sudah melangsungkan suatu usaha dagang."-Setelah
menerima pemberian obat Nyo-toakoh segera ia keluar dan terus menghilang di atap rumah.
Cuma sehari saja luka-lukanya diobati di rumah keluarga Gak, luka-luka luarnya belum lagi
sembuh, tapi sudah mampu mengembangkan ginkang sedemikian hebatnya, para murid
perguruan Nyo sama terkejut dan takjub.
Setelah Kwi-hwe-thio pergi, Bun Seng-liong lantas berkata: "Duduk perkaranya sudah jelas,
harap tanya Sukoh, bagaimana kita harus mengatur langkah-langkah selanjutnya?"
Pelan dan tegas Nyo-toakoh bersuara: "Gali kuburan dan bongkar peti mati!"
Hoan To terperanjat, teriaknya: "Gali kuburan dan bongkar peti mati?"--Dia pernah main debat
karena persoalan ini dengan Gak Hou, sungguh ia tidak mengira bahwa Nyo-toakoh sendiri juga
setuju akan saran ini. "Benar. Kau takut apa" Kalau ada apa-apa akulah yang tanggung jawab!"
Gak Hou jadi takabur dan kesenangan, ujarnya: "Nah, aku pun punya jalan pikiran yang sama.
Dengan jalan gali kuburan dan membongkar peti mati baru kita dapat membuktikan dosa-dosa
Hun Ci-lo, kalau tidak tanpa bukti dia pun masih bisa berkeras kepala, memungkiri segala
perbuatannya. Apalagi Kwi-hwe-thio yang bisa menjadi saksi sudah tinggal pergi."
"Hoan To," sentak Bun Seng-liong. "Soalnya kau cuma takut kalau putusan kita ini salah
langkah, seandainya suhu tidak mati keracunan, maka dosa membongkar kuburan ini harus kita
tanggung bersama, paling-paling kita berdosa karena mengganggu ketenteraman arwah suhu
dalam baka. Tapi sekarang kenyataan sudah terpapar di hadapan kita, kita semua dapat melihat
dan membedakan benar buruknya persoalan ini. tidak perlu disangsikan lagi bahwa suhu pasti
dicelakai oleh Hun Ci-lo! Apa pula yang kau kuatirkan ?"
Betapapun Hoan To merasa urusan masih rada ganjil, tapi terpaksa ia cuma berkata: "Kematian
suhu sangat janggal, sudah seharusnya kita selidiki biar jelas. Kalau Sukoh dan Toasuheng
menganggap perlu gali kuburan dan membongkar peti mati, aku sendiri sih tidak bisa
menyumbangkan akal pikiranku, masa aku berani banyak bertingkah segala."
Nyo-toakoh melihat cuaca lalu berkata: "Sekarang sudah kentongan ketiga, kalau kalian semua
sudah setuju, sekarang juga kita berangkat!"
Cuaca gelap, angin malam menghembus keras, kabut malam mengembang rendah menambah
suasana malam semakin kelam dan sunyi senyap.
Di depan pusara Nyo Bok justru saat mana kelihatan obor dipasang tinggi menerangi hutan
sekelilingnya. Di malam nan sunyi itu terdengarlah suara gedepukan dan beradunya suara cangkul
menggali tanah, dari dalam hutan terdengar pula pekik burung kokok beluk yang sayu dan
mengerikan, burung sama beterbangan kaget oleh suara gaduh yang tiba-tiba melingkupi suasana
hening di tengah malam buta rata.
Ada delapan orang bekerja sama menggali kuburan, mereka bukan lain adalah Nyo-toakoh
bersama putranya dan keenam murid Nyo Bok.
Gak Hou sebelumnya memang sudah menyiapkan segala keperluan, mengandal tenaga delapan
orang, tak lama kemudian kuburan Nyo Bok sudah berhasil mereka gali. Terutama Bun Seng-liong
dan Gak Hou bekerja paling bernafsu, cepat mereka masuk ke dalam liang dengan kekuatan
mereka bersama mengangkat keluar peti mati.
Sambil mengelus-elus peti mati Nyo-toakoh bersabda: "Adikku, demi membalaskan dendam
sakit hatimu, terpaksa kami mengganggu jenazahmu, harap tidak marah dan salahkan kami
beramai." Setelah bersembahyang dengan kedua tangannya sendiri ia membuka peti mati itu.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu tutup peti mati terbuka, tenggorokan Nyo-toakoh seperti tersendat sesuatu barang,
suara tangisnya spontan berhenti dan disusul jeritannya yang melengking.
Dalam sekejap itu keenam murid dari perguruan Nyo itu juga sama berdiri melongo dan
menjublek. Siapapun tiada yang mengira bakal terjadi keanehan ini.
Ternyata yang berada di dalam peti mati itu hanya setumpukan batu merah.
Ke manakah jenazah Nyo Bok" Ke mana" Dia benar-benar mati" Atau pura-pura mati" Atau
istrinya Hun Ci-lo telah menyembunyikan jenazahnya untuk menghilangkan jejak kejahatannya"
"'Mari kita cari Hun Ci-lo! Mari kita cari Hun Ci-lo!" Nyo-toakoh, Bun Seng-liong dan Gak Hou
serta yang lain-lain sama berseru tanpa berjanji sebelumnya.
Belum lagi mereka bertindak, tiba-tiba terdengar sebuah suara dingin berkata: "Sudah sejak
tadi Hun Ci-lo menunggu di sini!"
Tampak Hun Ci-lo melangkah keluar dari balik pohon sambil menuntun putranya, ia
mengenakan pakaian berkabung serba putih bersih, pakaiannya panjang menyentuh tanah,
melambai-lambai terhembus angin lalu. Pelan-pelan ia maju mendatangi.
Saking kagetnya para murid Nyo Bok itu. serempak melompat berpencar, mereka mengambil
kedudukan mengurung bundar, sunio mereka kepung di tengah.
Nyo Hoa si anak yatim yang masih berusia kecil tak tahu apa-apa melihat para suheng yang
biasanya ajak bermain, sekarang bermuka bengis dan buas, menjadi takut dan menjerit tangis.
Demi kedudukan dan gengsi, Nyo-toakoh tidak ikut turun gelanggang, dengan pandangan
dingin ia awasi gerak gerik Hun Ci-lo dari samping.
Melihat bibinya yang biasanya paling sayang pada dirinya pun bersikap garang dan mendelik
gusar. Nyo Hoa semakin takut dan tangisnya lebih keras, jeritnya: "Bu, aku takut, aku takut!"
Hun Ci-lo mengelus kepalanya serta memeluknya dengan kencang, katanya lembut: "Ibu
berada di sisimu, tak perlu takut!"
"Lepaskan sute kami!" bentak Bun Seng-liong.
Hun Ci-lo berkata tawar: "Putraku sendiri tidak turut aku turut siapa" Sudah kuduga
sebelumnya bakal terjadi peristiwa malam ini. baik, kalau toh kalian sudah curiga bahwa akulah
yang membunuh suamiku atau guru kalian, terang kami tidak bisa menetap lagi di sini, terpaksa
kami tinggal pergi saja. untuk selanjutnya aku bukan sunio kalian lagi, jangan sekali-kali kalian
mengganggu jalan hidupku yang akan datang."
Nyo-toakoh marah, bentaknya: "Hun Gi-lo begitu gampang kau hendak tinggal pergi" Cara
bagaimana kau bunuh adikku, hayo bicara terus terang!"
Bun Seng-liong ikut menyela dingin: "Kau pembunuh suhu, masa masih ingin kami panggil kau
sunio" Kcmana kau sembunyikan jenazah guru, serahkan!"
Ujung mulut Hun Ci-lo menyungging senyum ejek yang menghina, katanya: "Bukan aku yang
membunuh guru kalian, sebetulnya pernah kupikir bolak balik, apakah perlu membocorkan
peristiwa yang serba rahasia ini kepada kalian. Sekarang kalian bersikap begini terhadap aku, aku
sudah berkeputusan untuk tidak main debat lagi, kalian menuduh aku membunuh guru kalian,
anggap saja memang aku yang membunuh! Tapi, kalian tidak mengijinkan aku pergi, kukira kalian
tidak akan mampu berbuat apa-apa atas diriku."
Secara diam-diam Bun Seng-liong memberi isyarat kepada Nyo-toakoh, katanya: "Kalau urusan
sampai tersiar keluar bisa mengotori nama baik guru, suruh dia meninggalkan sute dan
menyerahkan buku pelajaran ilmu pedang dan pukulan milik suhu, setelah itu baru kita pikir
apakah perlu kita beri kebebasan hidupnya?"
Maklum tujuan Bun Seng-liong cuma ingin mendapat buku pelajaran sUat perguruannya, soal
balas dendam kepada Hun Ci-lo adalah urusan kedua. Tapi seumpama Hun Ci-lo bisa mereka tipu
menyerahkan buku pelajaran silat perguruannya, maka jiwanya bakal tergenggam di tangan
mereka bersama. Sudah tentu Nyo-toakoh tahu ke mana maksud tujuan Bun Seng-liong, setelah berpikir sejenak,
maka ia lantas pura-pura bersikap urusan seperti tidak begitu penting dan menegangkan, katanya:
"Hun Ci-lo, bagaimana menurut pendapatmu?"
Kata Hun Ci-lo: "Bun Seng-liong punya tujuan yang tidak lurus, suamiku pernah mengatakan
bahwa dia tidak cocok menjadi Ciangbun Tecu perguruan keluarga Nyo."
Mendengar kata-kata Hun Ci-lo yang terakhir ini Bun Seng-liong berjingkrak gusar seperti
kebakaran jenggot. Sebetulnya meski ia tidak mau mengakui sunionya ini, tapi tak berani bersikap
kasar dan kurang ajar, kini saking marah kontan ia menarik muka, mulutnya lantas mencaci maki:
"Perempuan jalang, kau..."
Baru saja kata-kata 'kau' tercetus dari mulutnya disusul terdengar suara "plak!" yang nyaring,
tahu-tahu pipinya sudah kena digampar oleh Hun Ci-lo. Gamparan Hun Ci-lo agaknya cukup berat,
kontan sebelah pipi Bun Seng-liong seketika melepuh segede bakpao berwarna hijau, hitam dan
merah. Bun Seng-liong adalah murid terbesar Nyo Bok, dengan usia yang masih muda ia sudah
menjabat Toa-piauthau dari Tin-wan Piaukiok di kota raja yang kenamaan, kepandaian silatnya
sudah tentu tidak rendah, tak nyana gamparan Hun Ci-lo ini datang begitu cepat dan mendadak
sehingga ia tidak mampu berkelit atau menyingkir, jangan kata menangkis atau melawan. Para
sutenya yang lain cuma melihat berkelebatnya sebuah bayangan putih lalu terdengar tamparan
yang begitu keras disusul tubuh suheng mereka tersurut mundur genteyongan, baru mereka tahu
bahwa Toa-suheng telah kena digampar pipinya. Tapi cara bagaimana orang turun tangan tiada
seorang pun yang melihat jelas.
Waktu melihat dengan tegas, sunio mereka sudah berdiri di tempatnya semula lagi, mulutnya
masih mengulum senyum ejek yang menghina, seolah-olah sejak tadi belum pernah bergerak,
kecepatan gerak-geriknya sungguh sulit dibayangkan dan di kuti pandangan mata biasa. Seketika
terkesiap jantung para murid-murid perguruan Nyo itu.
Melihat cara kerja Hun Ci-lo begitu cepat laksana kilat, Nyo-toakoh sendiri juga bercekat
hatinya, batinnya: "Kepandaian perempuan jalang ini agaknya jauh lebih tinggi dari adikku, ilmu
silat yang dia mainkan juga bukan dari perguruan Nyo kita, naga-naganya memang ia
menyembunyikan diri dan punya asal usul perguruan lainnya. Dia sudah paham dan menyelami
intisari ilmu silat perguruan kami, sebaliknya aku tidak bisa meraba asal-usulnya, kalau bergebrak
mungkin belum tentu aku dapat mengalahkan dia."
Bun Seng-liong menjublek sekian lama sambil mendekap pipinya, mendadak ia menghardik
keras: "Kenapa kalian tidak lekas labrak dia untuk menuntut balas bagi suhu!"
Gak Hou cukup cerdik, cepat ia menambahi, teriaknya: '"Benar! Hayo maju semua labrak dia!"
Meski Bun Seng-liong dan Gak Hou sudah jeri dan gentar, tapi mengingat ada Nyo-toakoh yang
menjadi andalan mereka kalau sampai dihajar, paling-paling cuma kena dirugikan sedikit saja,
lambat atau cepat dengan kekuatan mereka bersama, pasti dapat membekuk Hun Ci-lo, maka
dengan menebalkan muka dan membesarkan nyali, dia kobarkan semangat para sutenya untuk
maju menyerang bersama. Hoan To merangkap tangan unjuk soja dan berkata: "Hun Ci-lo. dulu kau adalah sunio kami.
aku tidak akan berani kurang ajar terhadap kau, tapi sekarang kau tidak mau bicara terus terang
menjelaskan cara kematian guru kita, terpaksa aku menuduh kau dan kaulah yang jadi musuh
besar kami!" Hun Ci-lo berkata tawar: "Sudah kukatakan aku akan membela diri di bawah ancaman kalian
bersama, kalau kau mau mendengar hasutan para suhengmu, terserah!"
Kata Hoan To pula: "Kalau begitu, jangan kau salahkan aku tidak sungkan-sungkan lagi."-Cepat
ia melolos goloknya, dialah orang pertama 'yang merangsak dengan serangan golok kepada Hun
Ci-lo. Waktu berunding di dalam kamar rahasia, Hoan To selalu berdebat demi kebaikan nama sunionya,
sekarang dia melabrak maju lebih dulu, para sutenya jadi ikut berkobar semangatnya,
beramai-ramai mereka ikut menubruk maju. Diam-diam Bun dan Gak merasa menyesal dan malu
pula, terpaksa mereka pun mengeluarkan senjata ikut maju mengeroyok.
Nyo-toakoh berdiri di pinggir sambil menggendong tangan, dengan cermat ia menonton
jalannya pertarungan sengit ini. Sebagai seorang ahli silat yang banyak pengalaman, sengaja ia
biarkan saja para keponakan muridnya ini melabrak musuh lebih dulu, dengan kesempatan ini ia
bisa memperhatikan dan menyelami permainan silat Hun Ci-lo.
Dengan tungkak kakinya sebagai poros tiba-tiba badan Hun Ci-lo berputar cepat, ujung kakinya
yang lain menggores sebuah bundaran di atas tanah, katanya lembut: "Anakku manis, jangan
takut, dengar kata-kata ibu, duduklah di sini, jangan menangis dan jangan lari!" la letakkan
anaknya di tengah bundaran itu, lalu berkata lantang: "Siapa yang berani memasuki bundaran ini,
jangan salahkan kalau nanti aku berlaku telengas kepadanya!" - Di kala bicara pandangannya
tertuju ke arah Nyo-toakoh dan putranya. Ki Si-kiat segera mendengus, sementara Nyo-toakoh
tetap menggendong tangan tanpa memberi reaksi apa-apa.
Kejadian sungguh teramat cepat, para murid-murid itu segera meluruk datang pula dari
berbagai penjuru. Terutama Hoan To yang paling bernafsu, dengan jurus Kiau-hu-bun-lo
(penebang kayu tanya jalan), sinar goloknya berkelebatan beruntun ia lancarkan bacokan dan
babatan berulang-ulang. Disusul ujung tombak Phui Liang yang berkilauan itu ikut menyelonong
tiba. Tapi bacokan golok dan tusukan tombak sama sekali tidak berhasil mengenai ujung baju Hun
Ci-lo, tiba-tiba pandangan mereka menjadi kabur, sebuah bayangan putih berkelebat, tahu-tahu
Hun Ci-lo sudah menghilang dari hadapan mereka berdua.
Bun Seng-liong menghardik keras menghalangi jalan lari sang sunio, sepasang Jit-gwat-lun
senjata andalannya segera mengepruk ke batok kepala lawan. Jit-gwat-lun atau roda bulan dan
matahari merupakan semacam senjata yang lain dari yang lain, senjata ini peranti untuk mengunci
dan memutuskan golok dan sebangsa senjata ringan lainnya, pinggir dari kedua roda besar kecil
ini tajam luar biasa, jangan kata kena teriris oleh tajam giginya, cukup kesambar ujung bajunya
saja seumpama Hun Ci-lo mampu meloloskan diri, paling tidak kena dibikin malu. Maka
terdengarlah Hun Ci-lo terkekeh dingin tiga kali, setiap tawa dinginnya ia kembangkan kegesitan
tubuhnya, beruntun tiga gerak langkah kakinya yang begitu enteng dan lincah, ia berhasil keluar
dari kurungan sepasang roda musuh.
Gak Hou menjadi girang dan terbangkit semangatnya, sebilah pedangnya panjang cepat
menusuk ke uluhati Hun Ci-lo dari sebelah belakang, bentaknya: "Aku boleh mengampuni jiwamu,
tapi arwah suhu di alam baka pasti tidak akan memberi ampun kepadamu."
Beruntun Hun Ci-lo berkelit tiga kali serta menjengek dingin: "Kupandang muka suhu kalian
maka aku masih menaruh belas kasihan. Tapi kalau kalian berlaku bandel tidak tahu kebaikan,
terpaksa aku mewakili suhu kalian memberi hajaran kepada kalian." Belum lenyap suaranya cepat
ia kebutkan lengan bajunya ke belakang, seolah-olah punggungnya tumbuh sepasang mata
kebetulan ia menyampuk miring tusukan pedang Gak Hou dari sebelah belakang. Maka
terdengarlah suara "trang", di kala Hun Ci-lo menggeser kaki dan berpindah kedudukan, pedang
Gak Hou yang terbelit oleh ujung bajunya ikut terseret ke samping dan kebetulan menusuk ke
dalam roda matahari Bun Seng-liong. Lelatu api terpercik, dua gigi di atas roda matahari kena
tergupil, sementara pedang Gak Hou juga putus ujungnya.
Cepat Gak Hou berteriak: "Toa-suheng inilah pedangku!"-Untung ia berteriak cepat, kalau tidak bukan saja pedang, lengan kanannya itu pun bakal
tertabas kutung. Bun Seng-liong jadi sengit dan memaki: "Kau taruh di mana matamu" Aduh, hai, cepat-cepat,
jaga pintu hidup berputar ke jalan lurus, jangan sampai dia melarikan diri!"
Kiranya para murid perguruan Nyo ini menggunakan intisari Ngo-hing-pat-kwa untuk
mengepung sunio mereka. Kelihatannya mereka bekerja secara individu menyerang seenaknya
sendiri, ribut dan tidak keruan, sebetulnyalah di situ letak intisari dari barisan yang serba rumit
dan banyak perubahannya, Bun Seng-liong yang menjadi pimpinan dari Lak-yang-tin ini.
Di luar sangkanya Hun Ci-lo ternyata tidak melarikan diri cuma ia bergerak memutar, tiba-tiba
ia melejit tiba di hadapan Hoan To, "siut" tiba-tiba ia angkat kakinya menendang keluar, kontan
Hoan To kena didepak jungkir balik, di kala badannya terjungkal kena ditendang itu lapat-lapat
kuping Hoan To mendengar orang berkata di pinggir telinganya: "Kau adalah anak baik, hari-hari
selanjutnya kau harus waspada menghadapi kedua suhengmu." Hun Ci-lo bicara menggunakan
lwekang gelombang suara mengirim kata-katanya ke dekat kuping Hoan To. hanya Hoan To
seorang yang mendengar ucapannya.
Hoan To mencelat terbang dan jungkir balik tiga tombak jauhnya, tapi sungguh aneh, sedikit
pun ia tidak merasa sakit dan terluka, seolah-olah tubuhnya dijinjing terus diletakkan lagi di atas
tanah jatuhnya ringan-ringan saja. Baru sekarang Hoan To sadar bahwa sunionya, memang
sengaja hendak memberi kelonggaran kepadanya, setelah merangkak bangun ia berdiri terlongong
hati terasa hampa. "Hun Ci-lo berani kau melukai orang!" seraya membentak Bun Seng-liong merangsak maju pula
sambil menyerang dengan kedua senjata rodanya, dengan jurus Siang-liong-jut-hay, kedua
rodanya itu laksana cakar naga terkembang dari atas dan bawah menusuk dan membabat bagian
atas dan tengah badan Hun Ci-lo.
"Bun Seng-liong," jengek Hun Ci-lo, "Kau memang terlalu kurang ajar, meski aku sungkan
melukai kau, terpaksa aku harus beri tanda mata kepadamu !"
Kepandaian menggunakan sepasang rodanya ini Bun Seng-liong sudah melatihnya selama
sepuluh tahun, bekal kepandaiannya boleh dikata sudah cukup sempurna. Tapi serta mendengar
Hun Ci-lo mengancam hendak memberi tanda mata di atas badannya, hatinya terkejut, tak berani
menyerang, ia menjaga diri lebih rapat, kedua rodanya ia putar dan tarikan begitu cepat dan rapat
sekali, seumpama hujan juga tidak bakal bisa tembus membasahi badannya, pikirnya: "Dengan
cara bertempur bertangan kosong, ingin kulihat cara bagaimana kau bisa menyerang masuk dari
pertahananku dan bisa melukai aku?"
Nyo Bok bisa menggunakan delapanbelas macam senjata dan pukulan, maka keenam muridnya
pun menggunakan senjata yang berlainan. Gak Hou menggunakan senjata pedang, Phui Liang
membe-kal senjata tombak, dua muridnya yang terkecil Song Beng-ki dan Oh Lan-ba masingmasing
menggunakan ruyung baja dan toya tembaga, meski kepungan kini sudah dikurangi Hoan
To, tapi ke lima murid ini menggunakan lima'macam senjata yang berlainan pula permainannya
untuk mengeroyok dan merabu kepada Hun Ci-lo, meski kepandaiannya cukup tinggi, ia jadi
kerepotan dan terdesak juga.
Obor sudah padam maka tanah pekuburan yang membelakangi hutan itu ditabiri kabut malam
nan kelam, pertempuran berjalan semakin seru, senjata-senjata tajam dan berat sama berkilauan
memetakan sinar senjata yang berlainan warna. Sedemikian seru dan sengit pertempuran
berlangsung. Nyo-toakoh yang berpengalaman tempur sekian tahun pun jadi terpesona dan
tegang oleh tontonan yang mendebarkan ini.
Sekonyong-konyong selarik cahaya putih laksana lembayung seperti naga hidup tampak selulup
timbul memanjang menggubat dan menyusup di antara sambaran senjata-senjata berkilauan dari
berbagai arah itu. Ternyata Hun Ci-lo terpaksa mengeluarkan ikat pinggangnya dari pakaian
berkabungnya yang berwarna putih dijadikan senjata. Hanya gerak putarannya yang cepat luar biasa
dilihat dari kejauhan seolah-olah seperti selarik cahaya putih. Selintas pandang lantas Nyo-toakoh
mengeluh dalam hati bahwa kelima keponakan muridnya bakal celaka dan terjungkal. Tapi dia
tetap tidak mau turun tangan.
Diam-diam Nyo-toakoh berpikir: "Semoga mereka masih mampu bertahan kira-kira sesulutan
dupa, saat itu tentu aku sudah keburu dapat menyelami cara permainannya."
Belum lenyap pikirannya, tampak Hun Ci-lo sedang melangkah legat legot seperti ular sakti,
maka terdengarlah suara gemerincing yang ramai, dalam sekejap mata saja, kelima murid
pengeroyok itu seketika merasa telapak tangan tergetar keras, ruyung Song Beng-ki. dan toya Oh
Lian-ba lebih dulu jatuh ke tanah, tombak Phui Liang juga terpental terbang ke tengah udara,
sedang pedang panjang Gak Hou terampas oleh Hun Ci-lo, sementara sepasang roda Bun Seng
liong saling berhantam dan tak terkuasai lagi, saking besar benturan dari kedua senjatanya itu,
roda bulannya malah terpental balik menusuk ke mukanya sendiri.
Sudah tentu kejut Bun Seng-liong bukan alang kepalang, di kala ia cepat-cepat melepas tangan
dan mengendorkan tenaga serta memiringkan kepala, namun sudah terlambat sedetik, roda
rembulan itu terbang lewat dari samping lehernya dan giginya yang tajam dengan telak kena
mengiris jatuh sebelah kupingnya.
Tadi Hun Ci-lo mengancam, hendak memberi tanda mata kepadanya, kini ancaman itu sudah
menjadi kenyataan, sebuah kupingnya tanggal dari kepalanya sebagai tanda mata yang tidak
mungkin dihilangkan selama hidup, yang lebih celaka lagi justru ia sendiri yang turun tangan
memberi tanda mata di atas badannya sendiri.
Yang lebih menakjubkan adalah cara Hun Ci-lo memainkan senjata. menggunakan waktunya
yang tepat, tenaganya yang persis serta perhitungan cara lawan pasti menggunakan senjata
perlawanannya sedikit pun tidak meleset. Ilmu kepandaian yang hebat dan sakti begini sungguh
sulit dibayangkan dan belum pernah terjadi. Adalah Nyo-toakoh mau tidak mau harus memuji dan
kagum dalam hati, diam-diam ia membatin: "Selama puluhan tahun ini, aku belum pernah
kebentur musuh tangguh, malam ini mungkin aku kepergok musuh tangguh!"
Dalam pada itu terdengarlah Hun Ci-lo berkata pelan-pelan: "Beng-ki, Lian-ba kepandaian
kalian masih harus berlatih lagi lebih giat dan rajin, jangan ikut-ikutan para suhengmu bermain
kasar kurang ajar." Setelah memberi peringatan kepada kedua murid terkecil ini lalu pelan-pelan
memutar badan berkata kepada Gak Hou: "Kau bersekongkol dengan Bun Seng-liong, seharusnya
aku harus beri tanda mata pula kepadamu, cuma mengingat kau tidak sekurang ajar seperti Bun
Seng-liong, bolehlah kali ini kuampuni kau. Tapi pedangmu ini tidak bisa kukembalikan
kepadamu." Lalu ia rangkapkan kedua jarinya pelan-pelan mengetuk ke atas batang pedang itu, "Tak"
pedang panjang Gak Hou kontan putus jadi dua.
Pucat pias muka Gak Hou, tanpa merasa bergidik seluruh badannya, saking gemetar kaki terasa
lemas dan sempoyongan ke belakang.
Nyo Hoa masih duduk dalam kalangan yang dibuat ibunya, segera ia berteriak sambil tepuk
tangan: "Ibu menang, ibu menang. Ibu apakah kau hendak berkelahi dengan bibi juga" Caramu
berkelahi sungguh baik sekali, aku tidak takut lagi."
Sebetulnya hatinya takut, tapi meski berusia kecil betapapun ia adalah putra seorang Busu yang
kenamaan, kecil-kecil sudah punya hobby bermain silat, meskipun takut tapi rasa senangnya
menonton itu menjadikan rasa takutnya lumer. Biasanya ia sering menonton ayahnya berlatih
dengan para suheng-nya, tapi perkelahian ini lain, dalam benak kecilnya samar-samar merasa
bahwa keenam suhengnya sedang mengeroyok ibunya, inilah perkelahian yang sungguh-sungguh,
bukan latihan silat seperti ayahnya dengan para suhengnya dulu itu. Maka begitu melihat ibunya
menang, tak kuasa lagi ia berteriak memuji, sementara dalam hati kecilnya berpikir: "Air muka bibi
sangat jelek, tapi bila dia menyakiti ibu aku tidak akan peduli lagi padanya lebih baik mereka
jangan berkelahi, tapi jika sampai berkelahi tentu, aku membantu ibu."
Sementara itu Bun Seng-liong menjemput kedua rodanya terus menghampiri Nyo-toakoh dan
berlutut di depannya, katanya: "Tecu tidak becus, membikin malu perguruan belaka, budi dan
sakit hati guru sulit kubalas, harap Sukoh suka memberi keadilan kepada kami!"
Nyo-toakoh diam saja, kedua matanya yang tajam mengawasi gerak-gerik Hun Ci-lo, melirik
pun tidak ke arah Bun Seng-liong yang berlutut di hadapannya. Bun Seng-liong jadi serba runyam
dan mengeluh di dalam hati, dalam hati ia membatin: "Apakah Loak-jiu-koan-im juga gentar
menghadapi Hun Ci-lo, tidak berani menantangnya berkelahi?"
Setelah Bun Seng-liong selesai memberi laporan baru Nyo-toakoh mengidapkan tangannya,
katanya dengan nada berat: "Apakah belum cukup kau bikin malu perguruan" Menggelindinglah
pergi, jangan mengganggu gerak-gerik kaki tanganku!"
Kena dicaci maki Bun Seng-liong malah kesenangan, bergegas ia melompat bangun seraya
meng-iakan berulang-ulang dan menyingkir ke samping. Mendengar ucapan Nyo-toakoh yang


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terakhir itu lantas dia maklum bahwa Sukohnya sudah siap menempur Hun Ci-lo. Sebagai jago
yang sudah keok, kuatir kena senjata nyasar sudah tentu ia menyingkir paling jauh sembunyi di
balik pohon di dalam hutan, malah dia jongkok di belakang sebuah batu besar. Waktu ia angkat
kepala, bayangan Gak Hou, Phui Liang dan lain-lain juga sudah menghilang, agaknya mereka pun
lari sembunyi ke dalam hutan.
Dalam tanah pekuburan itu, kini tinggal Nyo-toakoh dengan Hun Ci-lo dan putranya, keadaan
kembali menjadi hening lelap, kesunyian yang mencekam sanubari.
Dengan ujung bajunya Hun Ci-lo mcngebuti kotoran di atas badannya, dengan sikap wajar ia
pandang Nyo-toakoh lalu katanya: "Cici masih ada omongan apa yang ingin kau ucapkan" Kalau
tidak maaf aku segera harus mohon diri." Lahirnya kelihatan ia sangat tenang dan bersikap wajar,
sebenarnyalah batinnya sedang bergejolak di rongga dadanya.
Nyo-toakoh berkata dingin: "Siapa sudi jadi Cicimu. Hun Ci-lo. jangan kau kira demonstrasi
kepandaian silat kucingmu tadi lantas dapat menggertak takut aku. Kau hendak merat, kukira
tidak segampang menurut kehendakmu."
"O, jadi kau melarang aku pergi?" ucapan Hun Ci-lo pun tidak kalah dinginnya. "Tapi kalau kau
ingin menahan aku kukira juga belum tentu sedemikian gampang."
Dua belah pihak sudah sama siap siaga seperti dua jago aduan yang siap bertempur. Ki Si-kiat
yang berdiri di samping sejak tadi, berpikir: "Perempuan jalang ini terang bukan tandingan ibuku,
tapi kalau dia menggunakan putranya sebagai sandera, terpaksa ibu harus bertindak secara hatihati.
Lebih baik aku rebut Piaute lebih dulu urusan selanjutnya tentu lebih mudah diselesaikan."Usia Ki Si-kiat baru menanjak dewasa, darah panas pikiran masih terlalu sederhana, meski Hun Cilo
pernah mengancam barang siapa berani melangkah masuk ke dalam kalangan yang dia gambar
di tanah menyentuh putranya, dia tidak akan main sungkan turun tangan dengan telengas. Tapi
sedikit pun Ki Si-kiat tidak ambil perhatian ancaman ini. Justru karena ancaman Hun Ci-lo ini lebih
menimbulkan rasa sirik dan gairahnya untuk melawan Hun Ci-lo.
Sebuah lengking jeritan kaget memecahkan suasana sunyi dan tegang dalam malam nan sunyi
di pekuburan di pinggir hutan. Secepat kilat Ki Si-kiat mendadak menubruk masuk ke dalam
kalangan bundar, Nyo Hoa yang sedang duduk menjadi kaget dan menjerit sekeras-kerasnya.
Sebetulnya Ki Si-kiat bisa menggunakan kekerasan menyeret Nyo Hoa keluar, tapi biasanya, dia
sangat sayang kepada adik misannya ini, tidak ingin dia membuatnya kaget dan takut, maka cepat
ia menggandeng tangannya serta membujuk dengan kata-kata lembut: "Piaute jangan takut, mari
kuajak ke dalam hutan mencari jeng-kerik."
Nyo Hoa meronta dan berteriak: "Tidak mau, aku tidak mau jengkenk, aku hendak ikut ibu!"
Begitu mendengar jerit suara puteranya seketika berubah air muka Hun Ci-lo, cepat ia
layangkan telapak tangannya menusuk ke depan.
Sejak tadi Nyo-toakoh sudah menghimpun semangat waspada menanti serangan musuh,
menurut anggapannya mengandal kepandaian silat Hun Ci-lo, kalau orang tidak mengamuk itulah
baik, tapi sekali mengamuk tentu sekaligus turun tangan secara keji, maka tanpa mengejar
kemenangan dia menjaga diri lebih dulu, cepat ia bergerak dengan jurus Thi-so-heng-co (rantai
besi membelenggu perahu), inilah jurus yang sudah dipersiapkan menurut rencananya, kedua
telapak tangan bersilang melindungi dada, siap berjaga segala kemungkinan dari semua
perubahan serangan musuh, sekaligus dapat melancarkan serangan balasannya yang ganas dan
mematikan. Nyo-toakoh membekal kepandaian silat dari dua aliran perguruan yang sama liehaynya (semasa
masih hidup suaminya adalah seorang cikal bakal sebuah perguruan), jurus Thi-so-heng-co ini
adalah merupakan kombinasi dari kedua aliran silat yang dia sempurnakan sendiri. Jurus ini
mempunyai keistimewaannya pula, dapat berjaga untuk balas menyerang, sedikit saja pihak
musuh lena dan menyerang tanpa perhitungan yang matang, tentu berakibat sangat fatal karena
tergetar luka oleh tenaga pukulan balasannya. Jurus pukulannya ini secara diam-diam
mengandung tiga gelombang tenaga terpendam, gelombang demi gelombang lebih kuat dan
mantap, kecuali lwekang lawan lebih kuat, kalau sebaliknya, jangan harap lawan dapat
menggempur pertahanannya yang kokoh dan rapat ini.
Cara pertahanannya ini sebetulnya merupakan kepandaian silat tingkat tinggi yang sangat
serasi pula dengan keadaan. Di luar perhitungannya cara serangan Hun Ci-lo justru berada di luar
dugaannya. Meski belum terhitung lebih unggul dan pintar dari dirinya, tapi paling tidak sudah
membuatnya salah duga dan terjebak.
Ternyata itulah tipu daya Hun Ci-lo bersuara di timur menggempur di sebelah barat, ia bergaya
melancarkan rangsakannya ke depan, seakan-akan hendak menubruk kepada Nyo-toakoh, tibatiba
badannya justru melompat jumpalitan ke belakang, karena Nyo-toakoh berjaga-jaga membela
diri, ia jadi kelabakan dan terlambat untuk mengejar maju, tahu-tahu Hun Ci-lo sudah
menggunakan gaya Sip-siong-kiau-hoan-hun (jumpalitan di tengah awan sambil mengempiskan
dada), di kala tubuhnya meluncur turun kebetulan ia hinggap masuk ke dalam kalangan.
Secara sembrono Ki Si-kiat berani serampangan menerobos masuk ke dalam kalangan
terlarang, diam-diam Nyo-toakoh sudah mengeluh dan menginsyafi akan akibatnya yang fatal tapi
dia tidak menduga akan permainan gertak sambel Hun Ci-lo yang cukup licin ini dilakukan secara
lincah dan gesit pula, untuk memburu maju memberi pertolongan terang sudah terlambat. Dalam
kejutnya terpaksa Nyo-toakoh berteriak keras: "Kiat-ji lekas menyingkir!"
Seumpama anak domba yang tidak takut menghadapi harimau bukan saja Ki Si-kiat melarikan
diri, dengan beraninya ia membalik sebelah tangannya begitu merasa adanya sambaran angin
keras yang menyampuk datang dari sebelah belakang.
Terdengarlah jengekan dingin Hun Ci-lo: "Kau berani mengusik putraku, kalau tidak kuberi
hukuman kepadamu, tentu kau anggap laranganku cuma bualan belaka." Dengan sejurus Hudhunjiu ia kebutkan lengan bajunya menyampuk tenaga pukulan Ki Si-kiat ke samping serta
menyeretnya ke belakang, seketika Ki Si-kiat tidak mampu menguasai badan ikut terhuyung dan
berputar satu kali. Di saat orang berputar tiba di hadapannya persis kedua jari Hun Ci-lo sudah terangkat ke depan
persis memapak kedua biji matanya, dalam sedetik lagi kedua jari yang putih halus itu bakal
berlumuran darah mencolok keluar dua biji mata Ki Si-kiat.
Maka terdengarlah hardikan Nyo-toakoh seperti geledek mengguntur: "Berani kau melukai
putraku, kuadu jiwa sekalian dengan kau."
Sepak terjang Hun Ci-lo sebenarnya tidak lebih cuma menggertak saja supaya Ki Si-kiat kuncup
nyalinya, mendengar teriakan Nyo-' toakoh, ia jadi berpikir: "Kalau kutarik balik tanganku, pasti dia
anggap aku takut ancamannya. Baik seumpama aku tidak perlu mengorek biji matanya, paling
tidak harus kuberi tanda mata kepadanya."--begitu hawa amarah berkobar kedua jari tangannya
menyerang secara sungguh-sungguh, ejeknya dingin: "Untuk apa biji mata anakmu yang tidak
bisa melihat ini!" Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Si-kiat masih berusaha berkelit, lekas ia gunakan Hong-tiamthau
(burung hong menganggukkan kepala) berbareng telapak tangannya terkepal menggenjot ke
depan memukul ke dada Hun Ci-lo dengan tenaga penuh. Itulah cara berkelahi yang tidak mau
kena dihina dan bersikap nekad lebih suka gugur bersama.
Mengandal bekal Iwekang Hun Ci-lo yang cukup tinggi meski dadanya kena digenjot oleh Ki Sikiat
pun tidak bakal bisa terluka. Tapi bilamana kedua jarinya diteruskan berhasil mengorek bolong
batok kepalanya, kalau batok kepala Ki Si-kiat sampai terluka tentu jiwanya segera melayang"
Walaupun Hun Ci-lo rada marah karena perbuatan bocah yang tidak aturan ini, betapapun ia
belum tega untuk membikin buta matanya, apalagi mencabut nyawanya"
Untung latihan kepandaian ilmu silat Hun Ci-lo sudah mencapai kesempurnaannya, dapat
dilancarkan dan ditarik balik menurut suka hatinya, cepat-cepat dengan gaya Ih-sing-hoan-wi
(merubah bentuk pindah kedudukan), kelima jarinya terkembang, jurus Ji-liong-jiang-cu (dua naga
berebut mestika) ia rubah menjadi gerakan Hun-jiu yang hebat, telak sekali telapak tangannya
kena menyanggah di bawah ketiak Ki Si-kiat serta membentak:
"Pergi!" ?" Kepalan Ki Si-kiat mengenai tempat kosong, sehingga badannya tersurut ke depan
begitu kena disanggah dan disentak ke atas kontan badannya mencelat terbang keluar dari
kalangan. Di kala Nyo-toakoh memburu tiba, kebetulan Ki Si-kiat di tengah udara sedang jumpalitan
dengan gaya burung dara menukik turun tepat sekali ia hinggap di depan ibunya. Melihat sang
putra tidak cedera baru Nyo-toakoh merasa lega, tapi ia berkata tawar: "Hun Ci-lo, terhitung kau
tahu melihat gelagat!"
Sebetulnya Hun Ci-lo hendak membanting Ki Si-kiat jatuh celentang sebagai hukuman yang
setimpal, kejadian justru tidak terlaksana seperti perhitungannya, hal ini betul-betul berada di luar
dugaannya, dalam hati ia berpikir: "Meskipun aku kurang menggunakan tenaga lebih keras, tapi
dia kena kusengkelit masih mampu mengembangkan ginkangnya, dalam usia yang semuda ini
kepandaian ini boleh dipuji juga."
Cepat ia berkata dingin: "Sayang putramu ini she Ki, antara paman dan keponakan tiada
hubungan guru dan murid lagi, kalau tidak Ciangbun Tecu dari perguruan Nyo ini jelas bakal
menjadi jabatannya. Soalnya aku tidak ingin pelajaran silat keluarga Nyo kalian putus turunan,
baru kuampuni jiwanya. Kau sangka aku gentar kau gertak?"
Ucapannya ini seperti memuji tapi juga cukup pedas sindirannya. Maklum keluarga Ki
merupakan keluarga besar yang sama tenar dan seangkatan dengan keluarga Nyo. Kini Hun Ci-lo
memuji Ki Si-kiat sudah berhasil mempelajari ajaran silat murni dari perguruan Nyo, secara tidak
langsung ia mau bicara bahwa Ki Si-kiat belum atau tidak mampu mempelajari kepandaian silat
dari keluarga Ki. Kalau soal ini lebih diselami lagi timbul pertanyaan, kenapa pelajaran silat murni
dari aliran keluarga sendiri tidak becus dipelajari" Jawaban ini ada dua sebab, yaitu: pertama,
pelajaran silat keluarga Ki hakikatnya tidak setanding dengan kepandaian silat keluarga Nyo, maka
Ki Si-kiat lebih suka belajar silat perguruan lain dari pelajaran turunan leluhurnya sendiri. Kedua,
bahwa Nyo-toakoh memberikan bekal pelajaran silat keluarganya sendiri secara tekun kepada
putranya, sehingga terjadilah kombinasi bekal kepandaian kedua aliran kedua keluarga itu, tapi
pendapatan yang dia peroleh dari pihak ibunya jauh lebih banyak lebih matang dari ajaran yang
diberikan dari ayahnya. Namun biasanya di dalam Bulim ada sebuah aturan yang tidak resmi yaitu anak putri yang
sudah menikah, kecuali mendapat ijin dari ayah atau sanak kadang terdekat dari keluarganya,
kalau tidak sekali-kali dilarang memberikan ajaran silat pembawaan dari keluarga aslinya kepada
sang putra. Sudah tentu ada kekecualiannya, pula seumpama sang keponakan diangkat jadi murid
oleh paman dan diajari silat dari keluarga ibunya.
Secara gamblang Hun Ci-lo memuji bahwa Ki Si-kiat sudah mendapat ajaran murni dari
keluarga Nyo, ditinjau dari sudut lain secara tidak langsung hal ini telah merendahkan derajat
keenam murid Nyo Bok malah. Apalagi dikatakan pula dia cukup setimpal menjadi Ciangbun Tecu
perguruan Nyo, dalam pendengaran Bun Seng-liong ia jadi mual seperti isi perut sudah jungkir
balik sulit dirasakan. Mau tidak mau Bun Seng-liong jadi berpikir: "Kemungkinan besar buku
pelajaran silat milik suhu disimpan dan dicaplok oleh Hun Ci-lo, tapi bukan mustahil pula sudah
diambil oleh Nyo-toakoh!"
"Hun Ci-lo," terdengar Nyo-toakoh tertawa dingin, "apakah belum puas kau mencelakai jiwa
adikku, dan kini mengobarkan rasa sirik dan mengadu domba di antara keluarga kita" Hm, hm,
sekarang kau bukan warga keluarga Nyo, urusan keluarga Nyo tidak perlu kau turut campur lagi!"
Anggapannya dia hendak membongkar akal licik Hun Ci-lo. Sebetulnya Hun Ci-lo tidak
mempunyai maksud-maksud jahat dan keji sedemikian jauh. Meskipun dalam hati kecilnya ia
sangat benci terhadap Bun Seng-liong.
Hun Ci-lo tidak mau main debat, dengan tawar ia tertawa, ujarnya: "Ucapanmu tidak salah,
memang aku sekarang bukan warga keluarga Nyo. Hoa-ji! Mari kita pergi!" -sambil menggandeng
anaknya segera ia tinggal pergi.
Cepat Nyo-toakoh membentak: "Hoa-ji adalah keturunan tunggal adikku merupakan tulang
daging keluarga Nyo pula, tidak kuijinkan kau membawanya pergi!"
Hun Ci-lo menyeringai dingin, jengeknya: "Aku sudah melepaskan anakmu, apakah sebaliknya
kau tidak rela memberi kelonggaran pada anakku?"
"Memang aku harus berterima kasih dan menaruh hormat kepadamu karena kau sudah
memberi pengampunan jiwa kepada Si-kiat. Sekarang baiklah tidak kupersoalkan lagi peristiwa
pembunuhanmu terhadap adikku, untuk ini kukira cukup setimpal untuk mengimpas kebaikanmu."
"Banyak terima kasih," Hun Ci-lo tertawa dingin pula. "Tapi hati nuraniku sendiri bicara bahwa
aku tiada dosa terhadap siapapun jua, maka tidak perlulah kau pura-pura mengobral budi
kebaikan terhadapku."
Sebenarnya bukan Nyo-toakoh tidak ingin menuntut balas bagi kematian adiknya, soalnya ia
tiada pegangan untuk mengalahkan Hun Ci-lo, maka dengan akal lain ia pura-pura main budi dan
kebaikan. Tapi sesuai dengan nama gelarannya Loak-jiu-koan-im (dewi Koan-im bertangan
gapah), adalah sangat ganjil dan belum pernah terjadi selama ini bahwa dia bisa menaruh belas
kasihan dan main budi apa segala. Untuk ini dia sendiri sudah merasa sangat janggal
merendahkan martabatnya dan cuma bermuka-muka saja terhadap Hun Ci-lo. Siapa tahu justru
Hun Ci-lo tidak mau memberi muka dan mengalah terhadapnya sehingga ia serba runyam dan
kikuk, mau tidak mau berkobar amarahnya.
Sambil menggandeng tangan putranya Hun Ci-lo tinggal pergi ke arah depan sana, seolah-olah
dia tidak ambil peduli terhadap Nyo-toakoh, namun dalam hati ia selalu waspada dan berhati-hati.
Maklum pertempuran bagi kaum persilatan tingkat tinggi yang diperjuangkan cuma soal waktu dan
kesempatan, kalau Nyo-toakoh rada gentar menghadapi dia, sebaliknya Hun Ci-lo sendiri juga
cukup jeri melawan dia. Sikapnya cukup tenang dan wajar seperti memandang rendah pada
lawannya, tujuannya ini memang hendak membangkitkan amarah Nyo-toakoh.
Betul juga belum lagi pikirannya lenyap, terdengarlah Nyo-toakoh menjengek dingin: "Hun Cilo,
kau boleh bawa pergi putramu asal kau dapat lolos dari sepasang telapak tanganku ini!" gerak
tubuhnya laksana kilat, seiring dengan suaranya badannya pun sudah menubruk tiba menghadang
jalan Hun Ci-lo, kedua telapak tangannya terayun bersama. Telapak tangan kanan menyerang
kepada Hun Ci-lo sementara tangan kiri merebut putranya secara kekerasan.
"Jangan kau lukai putraku!" Hun Ci-lo membentak, dalam sekejap itu kedua telapak tangan Hun
Ci-lo pun terayun menari.
Begitu empat telapak tangan kebentur di tengah jalan, terasalah perubahan dan kekuatannya
yang sama aneh dan liehaynya. Di mana telapak tangan kiri Hun Ci-lo merangsak ia seperti
membentur dinding baja yang kokoh kuat mengeluarkan suara benturan keras seperti bunyi
geledek. Sementara telapak tangan kanan sebaliknya seperti memukul setumpukan kapas yang
lemas dan empuk tiada membawa reaksi apapun. Meski kepandaian Hun Ci-lo cukup tinggi dan
liehay, mau tidak mau bercekat juga hatinya. "Kepandaian Kim-kong-lak-yang-jiu perempuan galak
ini ternyata sudah terlatih sedemikian liehay dan sempurna, sekali-kali aku pantang memandang
rendah padanya!" demikian batinnya.
Kim-kong-lak-yang-jiu adalah ilmu tunggal dari ajaran keluarga Nyo, kekuatan pukulan
tangannya yang keras dan ulet sudah lama menggetarkan dunia persilatan. Ilmu pukulan ini
merupakan jiplakan dari Tay-Iik-kim-kong-jiu dari Siau-lim-pay, tapi antara Tay-lik-kim-kong-jiu
dengan Kim-kong-lak-yang-jiu mempunyai perbedaan yang teramat menyolok sekali. Jurus-jurus
permainan Tay-lik-kim-kong-jiu sangat sederhana, setiap pukulan cuma sejurus saja, meskipun
dilandasi kekuatan yang hebat dan keras sekali tapi tiada mengandung perubahan apa-apa, yang
diandalkan hanyalah Iwekang yang hebat untuk mengalahkan musuh.
Adalah Kim-kong-jiu dari keluarga Nyo ini justru setiap jurusnya mengandung tipu-tipu yang
banyak ragam perubahannya, satu kali pukulan secara tidak terduga tersembunyi enam macam
gerak perubahan yang teramat liehay. Dalam ilmu pukulan umumnya sejurus ilmu pukulan
mengandung dua gerak perubahan sudah sulit dipelajari, apalagi sejurus mengandung enam tipu
gerak perubahan, hal ini benar-benar sulit dicari tandingannya di Bulim. Oleh karena itu perbawa
pukulan ini mungkin memang tidak bisa menandingi Kim-kong-jiu dari Siaulim-pay, tapi bila
menghadapi lawan yang setanding, Kim-kong-lak-yang-jiu dari keluarga. Nyo ini kiranya cukup
berlebihan untuk menggasak dan merobohkan lawan dalam keadaan kurang siaga dan waspada.
Ilmu pukulan yang menggunakan landasan kekuatan keras atau negatif macam Kim-kong-lakyangjiu umumnya tidak cocok dipelajari kaum hawa, tapi Nyo-toakoh justru dapat
mencangkoknya secara aneh dengan menggunakan cara-cara yang cukup berbelit-belit,
menambah berbagai perubahan dan variasi dalam ilmu pukulan asli dari keluarga Nyo ini,
mengurangi sedikit kekuatan tenaga keras atau negatifnya dan diganti dengan berbagai tenaga
lunak atau positif, dari ajaran murni kekuatan keras dikombinasikan dengan landasan negatif dan
positif. Oleh karena itu meski Kim-kong-lak-yang-jiu yang dipelajari Nyo-toakoh memang boleh
dikata mendapat warisan murni keseluruhannya dari ajaran leluhurnya, tapi sedikit banyak sudah
ia rubah dan tambah berbagai ciptaan yang lebih sempurna, lebih liehay dan hebat dari ajaran
mumi semula, malah Kim-kong-lak-yang-jiu yang dia bekal ini jauh lebih telengas dan keji pula.
Selama sepuluh tahun lebih Hun Ci-lo menjadi istri Nyo Bok, sudah tentu ia sangat hafal dan
dapat menyelami sampai di mana tingkat kepandaian Kim-kong-lak-yang-jiu dari keluarga Nyo ini,
adalah di luar dugaannya bahwa Kim-kong-lak-yang-jiu permainan Nyo-toakoh ini justru jauh
berbeda dari apa yang pernah dia selami, untuk sesaat ia jadi bingung dan kehilangan akal untuk
berpikir cara bagaimana untuk mengatasi dan mengalahkan ilmu pukulan lawan, seketika ia
terdesak hebat oleh pukulan Nyo-toakoh yang gencar. Akan tetapi bekal kepandaian silat Hun Ci-lo
sendiri memang cukup tinggi, dalam waktu dekat Nyo-toakoh pun tidak akan mampu
merobohkannya. Tapi meski demikian betapapun Hun Ci-lo di pihak yang kena dirugikan. Begitu segebrak dapat
menempatkan posisi di tempat yang lebih unggul sudah tentu Nyo-toakoh tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, laksana hujan badai pukulan tangannya memberondong mengincar badan Hun Cilo.
Karena tenaga pukulan tangannya mengandung kekuatan negatif dan positif perbawanya pun
cukup hebat, kadang-kadang angin menderu laksana angin taufan di padang sahara, ada kalanya
pula menjadi lembek laksana dahan pohon yang melambai tertiup angin lalu, antara keras dan
lunak saling atas mengatasi dan berubah ganti berganti tidak kenal putus, kelihatannya pukulan
yang dilancarkan dilandasi kekuatan keras, namun tiba-tiba berubah menjadi tenaga lunak, Hun
Ci-lo jadi sukar menyelami dan meraba gerak perubahan permainan lawan, terpaksa ia main
mundur dan mundur lagi. Selain itu masih ada pula segi-segi yang merugikan bagi Hun Ci-lo yaitu dia harus melindungi
putranya, maka dia hanya bisa menggunakan sebelah tangannya melawan musuh, apalagi dia
tidak berani melangkah lebih tiga tindak dari tempat putranya, oleh karena itu gerak geriknya yang
cukup lincah dan gesit jadi sulit dikembangkan.
Dalam pertarungan yang sengit itu, tiba-tiba pukulan Nyo-toakoh menyelonong tiba tanpa
bersuara, jelas Hun Ci-lo sudah tidak mampu lagi melawan, terpaksa dia harus berlaku nekad
mandah kena diga-blok dengan keras supaya putranya tidak kena cedera, adalah dalam waktu
yang gawat itu tiba-tiba Nyo-toakoh merubah permainannya menyerang ke arah tempat kosong
yang berlawanan dengan kedudukan keponakannya. Kontan tergerak hati Hun Ci-lo, terbayang
olehnya suatu akal untuk merebut kemenangan dalam posisi yang terdesak ini. Sebetulnya dia
berada di muka menutupi putranya, kini mendadak mundur ke samping sehingga putranya
dibiarkan berada di sebelah mukanya. Dalam hati ia berpikir: "Ah-hoa kau anggap sebagai
keturunan tunggal keluarga Nyo, betapapun kau tidak akan berani melukainya!"
Benar juga Nyo-toakoh terperanjat, cepat ia rubah pukulan telapak tangan menjadi
cengkeraman, maksudnya hendak meraih Nyo Hoa, tiba-tiba dari membela diri Hun Ci-lo balik
merangsak dengan gencar, delapan penjuru angin terbayang berlapis-lapis telapak tangan yang
serabutan dan menggempur dengan gencar, selintas pandang orang akan kabur pandangannya.
Kiranya ilmu pukulan yang dia lancarkan ini bernama Loh-ing-ciang-hoat. Ilmu ini adalah ciptaan
seorang pendekar pada ratusan tahun yang lalu. Nyo-toakoh sendiri belum pernah melihat ilmu


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan yang aneh dan hebat ini!
Untuk melancarkan ilmu Loh-ing-ciang-hoat ini perlu dikombinasikan dengan ilmu ginkang yang
tinggi, Hun Ci-lo sendiri ada mem-bekal semacam ilmu yang dinamakan Coan-hoa-sau-siok-hoat
(gerak tubuh mengitari pohon menyelundup ke dalam rumpun bunga), langkah kakinya laksana
awan mengembang seperti air mengalir, indah gemulai mempesona, tiba-tiba berada di depan
mendadak memutar ke sebelah belakang, sekonyong-konyong berkelebat ke kiri dan tahu-tahu
sudah berada di sebelah kanan pula, gerak-geriknya sungguh serasi benar dengan permainan Lohingciang-hoat yang dia kembangkan. Kalau tadi Hun Ci-lo harus melindungi putranya tidak berani
mainkan ilmu pukulannya kini dengan tanpa kuatir dan tiada ganjalan hati apa-apa posisinya jauh
lebih untung, lambat laun malah semakin mendesak berada di atas angin, cukup sepuluhan jurus
saja ia bikin lawannya kerepotan dan terdesak mundur.
Sembari mundur Nyo-toakoh menjadi sengit dan memaki dengan gemas: "Perempuan jalang
yang keji, berani kau gunakan keponakanku sebagai tameng keselamatanmu?"
Acuh tak acuh Hun Ci-lo menyahut dingin: "Kau sendiri yang takut melukai bocah ini, kalau
takut mari tentukan waktu dan tempat yang lain, kutantang kau bertanding satu lawan satu. Kalau
aku kalah, kami ibu beranak rela kau hukum dan terima nasib. Kalau kau yang kukalahkan untuk
Pendekar Pedang Kail Emas 5 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Pedang Berkarat Pena Beraksara 10

Cari Blog Ini