Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 11
tinggi mengirim gelombang suara macam ini, bisa dilakukan dalam jarak puluhan tombak,
mengirim suara masuk ke telinga orang tertentu tanpa kedengaran oleh orang lain meski orang itu
berada di dekatnya. Apalagi kini Ki Seng-in duduk berdampingan dengan Lim Bu-siang, bicara
langsung di pinggir telinga orang yang begitu dekat lagi, meski Beng Goan-cau duduk cukup
dekat, paling-paling ia hanya melihat bibir orang bergerak-gerak tanpa mendengar apa yang
diucapkannya. Sudah tentu Beng Goan-cau tidak ingin mencuri dengar pembicaraan mereka, tanpa merasa
sorot matanya tertuju ke arah tempat duduk Hun Ci-lo di pojokan sana. Semakin dipandang
semakin mirip, namun mimpi juga ia tidak menduga bahwa orang yang diamat-amatinya ini adalah
Hun Ci-lo adanya. Mimpi pun Beng Goan-cau tidak akan menduga bahwa Hun Ci-lo bakal berada di puncak Thaysan
ini, duduk seorang diri termenung-menung, tanpa merasa ia tertawa geli sendiri, batinnya:
"Hun Ci-lo jauh berada di Thay-ouw, mana mungkin dia. Ai, mungkin aku terlalu rindu kepada Cilo,
melihat perempuan yang perawakannya hampir mirip dia lantas mencurigai dia adanya.
Bahwasanya perempuan ini hanya perawakannya saja yang mirip, mana bisa dibandingkan
wajahnya yang cantik rupawan?"
Maria dia tahu bahwa Hun Ci-lo memang mengenakan kedok muka, dengan rona wajah yang
tidak menunjukkan perasaan hatinya, sudah tentu ia bisa mengelabui pandangan orang, tidak
tahunya bahwa sanubarinya sedang membara seperti bola api.
Hun Ci-lo menunduk terpekur, entah apa yang dipikirkan, seolah-olah ia tidak ambil perhatian
akan keadaan sekelilingnya. Hakikatnya ia pun sedang melirik secara diam-diam ke arah Beng
Goan-cau yang sudah dilihatnya sejak ia datang tadi.
"Kiranya dia bersama dengan siau-sumoaynya, harapanku ternyata tidak menjadi sia-sia. Ah,
bukan, agaknya bukan siau-sumoaynya. Lalu siapakah gadis itu?"
Bentuk wajah Lim Bu-siang memang rada mirip Lu Su-bi, sekilas pandang tadi hampir saja Hun
Ci-lo salah mengenali orang, disangkanya Lim Bu-siang adalah Lu Su-bi adanya. Setelah tahu akan
kesalahan pandangannya, tanpa merasa hatinya menjadi hampa.
Seperti Beng Goan-cau, seorang diri Hun Ci-lo melayangkan pikirannya, tanpa merasa ia pun
tertawa geli dalam hati: "Asal dia menemukan seorang gadis yang mencocoki hatinya, entah dia
siau-sumoaynya atau gadis lain, sudah sepantasnya aku ikut senang dan bahagia bagi mereka.
Kenapa aku peduli siapa dia" Ai, kenapa dia selalu mengamati aku" Mungkin, mungkinkah dia
sudah mengenali diriku?" Pada saat ia berpikir sampai di sini, tiba-tiba dilihatnya Beng Goan-cau
sudah berpaling ke arah lain.
Ternyata Ki Seng-in sudah menyampaikan urusan penting yang hendak dibicarakan kepada Lim
Bu-siang, saat mana Lim Bu-siang sedang bicara kepada Beng Goan-cau.
"Hah kiranya dia belum mengenali diriku. Mana mungkin dia bisa kenal aku" Mungkin tadi dia
mengawasi orang lain, hanya akulah yang banyak curiga." Sebetulnya Hun Ci-lo tidak mengharap
Beng Goan-cau mengenali dirinya, tapi entah mengapa, bahwa Beng Goan-cau benar-benar tidak
mengenali dirinya, sedikit banyak malah membuat hatinya kecut dan mendelu, serta merta ia
tertawa getir dalam hati.
Sekonyong-konyong didengarnya seseorang bisik-bisik di tengah gerombolan orang di sebelah
sana: "E, eh, bukankah itu Nyo Bok, guru silat dari Soh-ciu itu" Coba kau lihat biar tegas, apakah
mataku yang salah lihat?"
"Benar, memang dia. Aneh, bukankah Nyo Bok sudah dikabarkan mati?"
Pertama mendengar orang menyebut nama Nyo Bok, hampir saja Hun Ci-lo berjingkrak kaget.
Orang yang berbisik-bisik itu berjarak tidak terlalu jauh dari tempatnya. Lekas ia memandang ke
arah pandangan mereka, benar juga di antara, kelompok hadirin sebelah kanan sana dilihatnya
suaminya duduk di sana. Gejolak hati Hun Ci-lo jauh lebih hebatkan tak tertahankan lagi waktu melihat Nyo Bok
dibanding sewaktu dia melihat Beng Goan-cau tadi. Bahwa dia melihat Beng Goan-cau di tempat
ini adalah suatu kejadian yang sudah diduga sebelumnya, bahwa di tempat ini pula dia bakal
melihat suaminya, adalah di luar dugaannya.
"Bagaimana dia pun datang kemari" Untuk apa dia kemari" Bukankah dia minta aku jangan
membocorkan rahasia mati pura-puranya" Kenapa pula di hadapan sekian banyak orang-orang
gagah dari seluruh dunia mengunjukkan diri secara terang-terangan?" Sungguh kaget, sangsi dan
curiga pula Hun Ci-lo dibuatnya, terpaksa ia berdoa dalam hati: "Semoga tidak terjadi onar dan
bentrokan langsung antara dia dengan Goan-cau."
Nyo Bok duduk bersama dua murid Hu-siang-pay, waktu itu kedua murid itu sedang maju
mendekat ke arah panggung.
Kebetulan kata-kata sambutan Boh Cong-tiu yang panjang lebar selesai diucapkan, dengan
sikap gelisah kedua murid itu datang menghampiri serta melapor dengan suara lirih: "Cong Sinliong
membawa para kambrat-kambratnya kemari, termasuk beberapa susiok perguruan kita."
Meski suaranya lirih, orang-orang yang duduk di paling depan dapat mendengar dengan jelas,
seketika hal ini tersiar luas ke seluruh gelanggang. Seperti sebuah batu tercebur ke dalam air
seketika menimbulkan riak gelombang di seluruh hadirin. Semua orang sama membelalakkan mata
ingin menyaksikan cara bagaimana
Boh Cong-tiu hendak menghadapinya.
Boh Cong-tiu berkata tawar: "Dia sudah bukan lagi anggauta perguruan kita, tapi masih
termasuk kaum persilatan, kalau dia hendak " hadir menyaksikan upacara besar ini, silakan saja
dia datang! Ciok-suheng, silakan kau sambut mereka, jangan kita berlaku kurang hormat terhadap
tamu." Ciok Heng mengiakan, bersama kedua murid tadi terus melangkah pergi. Semua orang diamdiam
memuji akan tindakan Boh Cong-tiu yang bijaksana ini. Maklumlah mendirikan partai
menegakkan aliran adalah sebuah peristiwa yang menyenangkan, kalau bisa menghindari
terjadinya pertikaian sampai bentrokan berdarah adalah hal yang baik.
Rombongan Cong Sin-liong tiba, kebetulan murid yang memimpin upacara sedang berseru:
"Para murid perguruan, menghadap sembah pada cosu!" Di tengah panggung batu ada
tergantung sebuah gambar besar yang melukiskan cosu mereka Jan-bau-khek, waktu Lim Busiang
menegas, benar juga mirip benar dengan gambar ukiran yang dia lihat di atas dinding dalam
gua itu. Segera Cong Sin-liong ikut maju berdesakan, Boh Cong-tiu segera bertindak: "Kawan Cong,
silakan duduk di sebelah sana!" Secara hormat dan sungkan ia menyapa Cong Sin-liong sebagai
kawan, ini berarti ia pandang Cong Sin-liong sebagai tamu biasa, tidak mengakuinya sebagai
angkatan tua perguruan sendiri.
Cong Sin-liong mendengus, je-ngeknya: "Boh Cong-tiu, peduli kau mau mengakui aku sebagai
susiok kalian. Aku datang untuk menyembah kepada cosu, mengandal apa kau berani
menghalangi?" Tiba-tiba kedua lengannya disiakkan ke samping, ia mendorong minggiT Ciok Heng
yang menyambut kedatangannya. Kambrat-kambrat yang dibawanya segera berbondong-bondong
maju mendekat ke depan panggung.
Seru Boh Cong-tiu: "Sejak lama kau sudah diusir dari perguruan, masa tidak malu kau masih
hendak menyembah kepada cosu kita?"
Cong Sin-liong menyeringai dingin, jengeknya pula: "Boh Cong-tiu, sekarang kau belum lagi
menjabat ciangbun! Mengandal kedudukan apa kau berani mengusir aku yang menjadi susiokmu?"
Beruntun dua kali Cong Sin-liong bertanya mengandal apa ia berani bertindak, seketika Boh
Cong-tiu gelagapan tak mampu menjawab. Haruslah diketahui kedudukan ciangbun Boh Cong-tiu,
meski mendapat pengakuan umum dari seluruh anggauta perguruan Hu-siang-pay, namun belum
diangkat secara resmi di hadapan kaum persilatan umumnya, betapapun masih belum bisa diakui
sebagai ciangbun yang resmi.
Boh Cong-tiu berpikir dalam hati: "Biarlah setelah upacara ini selesai, barulah dengan
kedudukan ciangbun resmi mengumumkan dia diusir dari perguruan." Karena itu sementara ia
menahan amarah, sahutnya tawar: "Mengingat kau masih mengindahkan cosu, biarlah kuberi ijin
kau menghadap dan menyembah kepada cosu."
Tak nyana bukan saja Cong Sin-liong sendiri yang menyembah, seluruh orang-orang yang dia
bawa sama berlutut menyembah kepada gambar Jan-bau-khek. Di antara mereka cuma dua orang
yang termasuk Hu-siang-chit-cu, yang lain tiada yang dikenal oleh Boh Cong-tiu.
Pertama tidak baik terjadi huru-hara dalam upacara besar yang hikmat ini, kedua meski orang
dari aliran lain sudi menghormat kepada cosu perguruan sendiri juga tidak berkelebihan, maka
jikalau menggunakan kekerasan merintangi hasrat mereka, jadinya pihak tuan rumah sendiri yang
berlaku kurang hormat. Maka Boh Cong-tiu membiarkan mereka berlutut dan menyembah hormat
kepada cosu. Setelah penghormatan kepada cosu selesai, murid pemimpin upacara berseru lantang pula:
"Harap ciangbunjin Boh Cong-tiu menempati tempat duduknya, harap seluruh murid memberi
hormat dan selamat!"
Mendadak Cong Sin-liong membentak keras: "Tunggu dulu!"
Boh Cong-tiu menggoyang-goyangkan kipasnya, katanya sombong: "Orang she Cong, apaapaan
maksudmu ini?" Kipas itu adalah senjatanya, dalam hati ia berpikir: "Perang mulut atau
perang tanding dengan kekerasan masakah aku kuatir tak dapat mengalahkan dia. Meski kau
sengaja hendak membuat gaduh di sini, apa pula yang perlu kutakuti?"
Cong Sin-liong menyeringai dingin, serunya: "Kedudukan ciangbun ini siapa yang mengangkat
kau?" Kini kelihatan belangnya, seperti dugaan semua orang, kiranya Cong Sin-liong memang datang
hendak memperebutkan jabatan ciangbun.
Cepat Ciok Heng yang memberi jawaban: "Boh ciangbun adalah kita seluruh murid Hu-siang
murni yang mengangkatnya." Seluruh murid Hu-siang-pay segera merubung maju, semua sama
mendelik dan bersorak dan membentak kepada Cong Sin-liong.
"Boh Cong-tiu," jengek Cong Sin-liong dingin, "kau suruh mereka bersorak memberi applaus
kepada kau, lantas kau kira bisa merebut kedudukan ciangbun ini secara semena-mena?"
Lekas Boh Cong-tiu mengulapkan tangan suruh murid-murid itu mundur, katanya: "Urusan
perguruan kita, orang luar dilarang turut campur. Orang she Cong, kalau kau sengaja hendak
membuat keributan tanpa alasan di sini, jangan kau sesalkan aku bertindak kasar kepada kau."
"Membuat keributan tanpa alasan apa" Buka mulut perguruan, tutup mulut kau ucapkan
perguruan, aku sebagai susiokmu kau desak keluar dari perguruan kita. perbuatanmu ini jelas
tidak punya aturan!"
"Sebagai ciangbunjin, sekarang biar kuumumkan kau diusir dari perguruan kita!" demikian seru
Boh Cong-tiu. Cong Sin-liong bergelak tertawa, serunya: "Jabatan ciangbunmu ini tidak lebih pengangkatan
pribadimu sendiri yang sekongkol dengan para begundalmu, mana bisa menundukkan khalayak
ramai" Kalau kau hendak menegakkan keadilan, maka tidak sepantasnya kau mengagulkan diri
sebagai ciangbun lebih dulu."
"Baik, ingin aku mendengar aturan apa yang hendak kau kemukakan. Ada omongan lekas
katakan, ada kentut lekas lepaskan!"
"Apakah tadi kau katakan kau diangkat oleh seluruh murid perguruan kita?"
"Benar. Meski anak murid kita ada satu dua orang yang menjadi brandal dan tidak genah ikut
mengekor kepada kau, boleh dikata dia hanya merupakan dahan-dahan pohon yang sudah layu
belaka." Kata-katanya ini secara gamblang ditujukan kepada dua orang Hu-siang-chit-cu yang
terima menjadi antek Cong Sin-liong.
"Baik, kalau begitu ingin aku tanya lebih lanjut. Kecuali Ciok Heng suami istri, kalian suami istri
dan Lim Bu-siang berlima memang berasal dari Hu-siang-pay, murid-murid yang lain ini darimana
mereka?" "Mereka adalah murid-murid baru yang kuterima beberapa tahun belakangan ini."
Lagi-lagi Cong Sin-liong bergelak tertawa, katanya sambil menuding orang-orang yang
dibawanya itu: "Mereka pun murid-muridku yang baru kuterima beberapa tahun belakangan ini,
boleh kau tanya mereka, apakah mereka suka angkat dan menjunjung kau?"
Orang-orang itu segera berteriak bersama: "Mengandal angkatan dan kedudukan, mengandal
ilmu silat, tidaklah tiba saatnya kau orang she Boh setimpal menjadi ciangbun!"
Benar juga ternyata mereka mengemukakan alasan dan aturan-aturan nyeleweng yang tidak
semestinya. Akan tetapi alasan ini toh bukanlah alasan brutal yang tidak masuk di akal karena
secara resmi tidaklah mungkin Boh Cong-tiu mengandal kedudukan ciang-bunnya mengusir Cong
Sin-liong dari perguruan. Maka kalau murid-murid yang diterima Boh Cong-tiu termasuk muridmurid
perguruan Hu-siang-pay, maka murid-murid yang diterima Cong Sin-liong adalah jamak
kalau dianggap pula sebagai murid-murid dari perguruan Hu-siang-pay.
Cepat Ciok Heng tampil ke depan, serunya: "Hanya orang yang cukup bijaksana dan berbudi
luhurlah yang setimpal menjadi ciangbun, kedudukan atau angkatan serta tinggi rendah
martabatnya merupakan persoalan kedua...'"
Belum selesai ia bicara, Cong Sin-liong sudah meludah dan menukas: "Dalam pandangan kalian
Boh Cong-tiu adalah seorang laki-laki sejati, seorang kuncu, di dalam pandanganku tidak lebih
hanyalah seorang siaujin yang rendah. Belum tentu sepak terjangnya jauh lebih bisa
diketengahkan daripada kelakuanku."
"Kentutmu busuk!" damprat Ciok Heng gusar. "Kau ini barang apa. berani menjajarkan diri
dengan Boh ciangbun?"
Cong Sin-liong berlaku kalem, katanya menyeringai: "Dosa kekurangajaranmu terhadap
angkatan tua ini pelan-pelan biar kuperhitungkan kelak. Sekarang biar kujelaskan kepadamu,
meski sepak terjang dan martabatku tidak berani kukatakan jauh lebih baik dari Boh Cong-tiu,
kalau dijajarkan dan dibandingkan sama dia betapapun tidak akan merendahkan derajat dan
gengsinya!'" "Ciok suheng,'" segera Boh Cong-tiu menyela sambil mengebaskan kipasnya. '"Kau mundurlah,
biar aku bicara dengan dia." Sementara dalam hati ia membatin: ' Mungkinkah dia sudah tahu
bahwa secara diam-diam aku ada mengikat hubungan dengan Pakkiong Bong" Ai, bahwasanya
aku hanya mengikat hubungan bersahabat dan mengangkat nama dan membesarkan perguruan
kita. Tapi jerih payah dari usahaku ini sulit kujelaskan dan dibeber di hadapan umum."
Kuatir Cong Sin-liong membongkar rahasianya, Boh Cong-tiu mau tidak mau harus merubah
sikap dan berlaku sungkan, katanya: "Ucapanmu memang tidak salah, soal bijaksana dan
kelakuan, hanya diperuntukkan bagi orang yang penuh cinta kasih dan mengenal susila dan
cerdas, namun antara keduanya ini sulit dibandingkan. Aku sendiri tidak berani anggap diriku
seorang yang berbudi dan bajik. Kalau begitu silakan kau katakan, ciangbun perguruan kita, cara
bagaimana harus dipilih dan ditentukan?"
Cong Sin-liong lantas berseru keras: "Sebetulnya aku adalah susiok, seharusnya menurut
urutan tingkatan dan kedudukan. Sekarang setimpal dengan sikapmu yang suka mengalah setapak
ini, biarlah aku pun mengalah setindak supaya kau bisa memperoleh keuntungan. Tidak peduli tua
muda tinggi rendah tingkatannya siapa yang menang dialah yang diangkat."
Kata-katanya ini justru tepat mengenai maksud hati Boh Cong-tiu, segera ia berkata dengan
seri tawa lebar: "Jadi maksudmu kita semua saling bertanding dengan ilmu silat perguruan kita,
siapa menang, dialah yang diangkat menjadi ciangbun?"
"Ya begitulah!"
"Baik, sebetulnya aku tidak mau menundukkan hati orang dengan kekerasan, tapi seluruh
murid perguruan kita menghendaki aku menjabat ciangbun, maka betapapun aku tidak akan
menyerahkan kedudukan ini kepada kau. Jikalau ada siapa yang mampu mengalahkan aku,
dengan suka rela aku akan menyerahkan kedudukan ciangbun ini kepadanya."
Cong Sin-liong tertawa dingin, jengeknya: "Kalau kau dapat mengalahkan aku, belum terlambat
kau membuka mulut besarmu." Lima tahun yang lalu Cong Sinliong pernah dikalahkan Boh Congtiu,
malah hampir saja ilmu silatnya dipunahkan, maka Boh Cong-tiu berbesar hati dalam
pertandingan kali ini dirinya pasti berkesempatan pula menang. Akan tetapi melihat sikap tenang
Cong Sin-liong, mau tidak mau hatinya merasa sangsi dan was-was, pikirnya: "Dulu dia pernah
kukalahkan, kalau dia tidak membekal ilmu yang rasanya dapat mengalahkan aku, manusia licik
dan banyak tipu muslihatnya macam dia ini, betapapun tidak akan berani seteledor ini menantang
perang kepadaku?" Waktu itu, seluruh murid-murid Hu-siang-pay sudah mundur ke samping, di tengah menjadi
gelanggang pertarungan yang cukup lebar. Kata Cong Sin-liong: "Sudah jangan banyak cerewet,
silakan dimulai!" Baru saja Boh Cong-tiu melipat kipasnya dan hendak turun ke gelanggang, dari rombongan
orang banyak mendadak menerobos keluar seorang gadis seraya berseru: "Piauko, tidak perlu kau
yang menghadapi bangsat tua ini, berikan saja kepada aku." Gadis ini ternyata bukan lain adalah
Lim Bu-siang. Semula Boh Cong-tiu melengak, katanya: "Bu-siang, pertandingan kali ini bukan adu
kepandaian secara main-main."
"Siapa suka main-main. Memangnya kau anggap aku tidak maju secara serius, kalau Cong Sinliong
hendak menjadi ciangbun, silakan dia mengalahkan aku lebih dulu."
Cong Sin-liong terbahak-bahak, serunya: "Bu-siang, sungguh aku menjadi iba akan kebulatan
tekad dan kesetiaanmu, tapi kau hendak membela piaukomu, kau terlalu tidak tahu diri."
Kali ini Lim Bu-siang tidak menjadi marah karena olok-olok ini, katanya tawar: "Siapa yang tidak
tahu diri biarlah bertanding lebih dulu baru bisa diketahui. Kuharap kali ini kau tidak seperti tempo
hari, pertempuran belum lagi selesai kau sudah mencawat ekor melarikan diri sipat kuping."
Tempo hari Cong Sin-liong pernah dikalahkan oleh Lim Bu-siang yang dibantu Beng Goan-cau,
mendengar olok-olok pedas ini seketika merah padam air mukanya, bentaknya gusar: "Budak
busuk, kali ini tiada keparat she Beng itu membantu kau. Berani kau membuka mulut besar di sini,
tidak tahu diri lagi. Aku yang menjadi susiokmu ini biarlah memberi hajaran adat kepadamu."
Habis berkata "sret" pedangnya lantas menusuk lebih dulu.
Tusukan ini dilancarkan dengan pedang lurus ke depan sejajar dada, di saat ujung pedang
hendak mengenai sasaran, tajam pedangnya mendadak membalik bergerak melingkar satu
bundaran menjadi gerak serangan melintang yang dinamakan Bau-kian-thian-ho, perubahannya
aneh dan amat sukar diraba, sungguh suatu jurus serangan yang amat keji dan telengas.
Seluruh hadirin banyak terdapat ahli-ahli pedang yang kenamaan, melihat sekali turun tangan
Cong Sin-liong lantas melancarkan tipu serangan yang ganas ini, semua sama merasa kuatir dan
berkeringat dingin bagi keselamatan Lim Bu-siang. Beberapa murid Hu-siang-pay yang mengenal
betapa hebat dan dalamnya ilmu pedang perguruan mereka, semua sama kesima dan berteriak
terkejut. Di tengah teriakan orang banyak, tampak Lim Bu-siang bertindak lambat dengan amat
tenangnya, kakinya melangkah mundur dua tindak, seolah-olah acuh tak acuh dengan seenaknya
saja ia bergerak balas menyerang dengan tipu Giok-li-toh-so. Serangan ganas dan telengas Cong
Sin-liong yang begitu hebat menyentuh ujung pakaiannya saja tidak mampu, malah secara mudah
sekali kena dipunahkan dengan jurus Giok-li-toh-so yang sederhana ini, celakanya bukan saja
serangan ini dipunahkan, malah ia dipaksa menarik pulang pedangnya untuk melindungi badannya
dari tipu balasan ini. Giok-li-toh-so adalah sejurus ilmu pedang yang paling umum, seluruh aliran pedang besar
dalam daerah Tionggoan pasti ada tipu jurus ini. Ilmu pedang Hu-siang-pay rada berlainan dengan
permainan ilmu pedang Tionggoan, namun jurus Giok-li-toh-so ini tidak lebih sama saja dengan
jurus-jurus sederhana dari ilmu pedang perguruan lain di Tionggoan, tiada sesuatu keanehan
yang menonjol. Maka tidaklah heran seluruh murid-murid Hu-siang-pay itu sama terkesima dan
melongo melihat Lim Bu-siang menggunakan sejurus tipu serangan balasan yang sederhana ini,
bukan saja mematahkan tipu serangan Cong Sin-liong yang ganas, malah membuatnya kerepotan
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menyelamatkan dirinya lebih dulu. Semua orang sama heran dan takjub, sesaat kemudian
baru serempak mereka bersorak gegap gempita.
Kalau murid-murid itu keheranan dan takjub, adalah Cong Sin-liong punya kesulitan yang sulit
dikemukakan. Ternyata meski jurus Lim Bu-siang ini amat sederhana dan biasa saja, justru secara
telak mengincar tempat mematikan di tubuhnya. Jikalau dia tidak bertindak cukup cekatan dan
lekas-lekas menarik balik pedang untuk menyelamatkan diri, mungkin sejak tadi Lim Bu-siang
sudah berkesempatan menggasak dirinya.
Sementara Boh Cong-tiu sendiri juga dibuat heran dan bingung, batinnya: "Tak nyana Bu-siang,
budak cilik ini, juga sudah mempelajari intisari ilmu pedang tingkat tinggi yang menyerang balas
titik kelemahan lawan untuk menyelamatkan diri lebih dulu." Semula dia hendak merintangi Lim
Bu-siang turun gelanggang, sekarang hatinya menjadi mantap, pikirnya lagi: "Cong Sin-liong
berani menantang perang kepada aku, entah dia sudah melatih ilmu apa yang patut dia
banggakan, biarlah Bu-siang menjajalnya lebih dulu. Kalau pertempuran dilanjutkan, sudah pasti
Bu-siang bakal dapat dikalahkan olehnya, namun dilihat dari kemampuan dan hasil latihannya,
paling tidak ia kuat bertahan sampai lima atau tujuh puluh jurus, selama ini paling tidak aku bisa
meraba bekal dan seluk beluk rahasia kepandaian Cong Sin-liong."
Setelah terkejutnya hilang, Cong Sin-liong menyangka Lim Bu-siang hanya mengandalkan
kelincahan gerak-gerik tubuhnya serta gerak ilmu pedangnya yang dapat dikombinasikan secara
selaras, betapapun ia tidak percaya kepandaian asli gadis cilik ini berada di atas dirinya. Maka
meski hatinya kaget, sedikit pun ia tidak menjadi gugup karenanya. Segera ia kembangkan ilmu
pedangnya yang gencar mengandung penyerangan dan pertahanan yang hebat dan kokoh- Tak
nyana Lim Bu-siang dapat melayaninya terus dengan tenang, setiap jurus setiap tipunya kena
dipatahkan semua, lambat laun Cong Sin-liong harus mengerahkan seluruh kemampuannya,
namun sedikit pun tidak mengambil keuntungan.
Semula Boh Cong-tiu hanya mengharap Lim Bu-siang kuat bertahan lima tujuh puluh jurus saja,
tak nyana setelah ratusan jurus kemudian ia masih tetap bertahan dengan tenang tanpa
menunjukkan kelemahan, keruan Boh Cong-tiu kaget dan heran, seketika timbul rasa curiganya,
pikirnya: "Mungkin sekali kemarin ia menemukan intisari rahasia ilmu silat perguruan kita
peninggalan cosu yang tersembunyi di dalam gua itu?" Tapi setelah ia saksikan dengan seksama
tidaklah dilihatnya permainan pedang Lim Bu-siang yang luar biasa dari perguruan sendiri.
Ternyata memang Lim Bu-siang tidak pernah melancarkan ilmu pedang hasil pelajaran dari
dinding dalam gua itu, tapi karena dia sudah berhasil menyelami inti dan poros ilmu silat
perguruan sendiri yang tinggi, maka setiap gerak pedang Cong Sin-liong sebelumnya sudah dapat
diduga dan diraba olehnya. Bagi orang lain, serangan pedang Cong Sin-liong amat ganas dan
culas, liehay lagi, namun dalam pandangannya, tidak lebih seperti permainan pedang anak-anak
belaka, tidak perlu ia mengembangkan ajaran murni ilmu pedang peninggalan cosu, seenaknya
saja dengan sembarang bergerak ia sudah berkecukupan mengatasi rangsakan lawan yang
gencar. Rangsakan Cong Sin-liong semakin membadai namun selalu gagal di tengah jalan, keruan
hatinya semakin gugup dan gelisah, batinnya: "Kalau aku tidak mengeluarkan ilmu simpananku
yang terliehay, mungkin aku tidak akan mampu mengalahkan budak kecil ini. Kalau tidak bisa
mengalahkan budak ini, mana bisa merebut kedudukan ciangbun dari tangan Boh Cong-tiu?"
Ternyata ilmu pedang Hu-siang-pay turun temurun mengalami banyak perubahan dan
tambahan selama ribuan tahun, setiap cabangnya hanya memperoleh petilan dan sisa-sisa
robekan yang tidak lengkap. Tapi justru karena itu pula hasil pelajaran dari masing-masing cabang
itu boleh dikata sama tingkat dan sama tinggi, masing-masing mempunyai intinya yang khusus
tidak diselami oleh cabang yang lain. Karena lima tahun yang lalu Cong Sin-liong pernah
dikalahkan oleh Boh Cong-tiu, secara tekun ia menggembleng diri, giat menciptakan dan
memperdalam ilmu pedangnya, setelah rajin belajar selama lima tahun akhirnya terciptalah
serangkaian ilmu pedang hasil ketekunannya yang menurut anggapannya tentu cukup
berkelebihan untuk menandingi ilmu pedang cabang lain dari Hu-siang-pay yang sama. Dan
karena memperoleh hasil gemilang dengan ciptaan ilmu pedang barunya ini, maka hari ini ia
berani menantang perang kepada Boh Cong-tiu.
Rangkaian ilmu pedang ciptaan-nya ini, sedianya ia siapkan untuk menghadapi Boh Cong-tiu,
tapi sekarang ia didesak oleh keadaan, terpaksa harus dikeluarkan untuk menghadapi Lim Busiang.
Dalam pertempuran yang sengit itu, mendadak Cong Sin-liong merubah permainan pedangnya
dengan jurus-jurus baru yang terlebih liehay dan cepat, tampak sinar pedang gemerlapan seperti
kuntum bunga berpencaran sama rontok, gaya pedangnya amat kuat dan melingkar-lingkar
seperti gelang membundar, sambung menyambung tiada putus. Di sebelah timur melingkar, ke
barat membundar, bundar besar melingkari bundaran kecil, bundaran di dalam bundaran
bersambung-sambung tersembunyi tipu dan gaya yang amat liehay. Begitulah gambaran gerak
pedang yang membundar saling tumpuk berlapis-lapis seperti damparan gelombang samudra yang
bergulung-gulung mendampar tepian dengan dahsyat. Tanpa kuasa akhirnya Lim Bu-siang kena
terkurung di dalam bundaran-bundaran yang semakin mengecil itu.
Pakaian Lim Bu-siang melambai-lambai, ia berlompatan seperti kupu menari di atas kuntum
kembang, segesit kera selicin belut, seolah-olah ia hanya mampu berkelit ke sana kemari
terkepung di dalam lingkaran sinar pedang, semakin terdesak semakin payah.
Adalah Boh Cong-tiu diam-diam mencelos hatinya, pikirnya: "Dugaanku ternyata tidak salah,
Cong Sin-liong keparat ini ternyata memang berhasil melatih semacam ilmu pedang liehay untuk
menghadapi aku. Ai, cara bagaimana untuk mematahkan jurus serangannya ini?" Ia maklum bila
dirinya sendiri yang menghadapi Cong Sin-liong paling-paling juga cuma bertahan sama kuat alias
seri, untuk mematahkan jurus serangan ilmu pedang lawan ini, ia belum cukup keyakinan.
Ciok Heng ikut mengucurkan keringat dingin, diam-diam ia mendekati Boh Cong-tiu dan
berbisik kepadanya: "Boh-ciangbun, lekaslah kau turun gelanggang menggantikan Lim-sumoay.
Kalau Lim-sumoay tidak mau mengaku kalah, mungkin jiwanya bisa terancam oleh kekejaman hati
Cong Sin-liong." Boh Cong-tiu sedang memeras otak memikirkan cara bagaimana mengatasi rangsakan ilmu
pedang permainan Cong Sin-liong ini, setelah Ciok Heng bicara kedua kalinya baru ia tersentak
sadar, tapi setelah mendengar, ia hanya menjawab tawar: "Kau gugup apa, biar dia bertahan lagi
delapan sepuluh jurus, kalau memang tidak kuasa melawan lagi, masih belum terlambat aku turun
tangan." Semakin menyaksikan, hati Ciok Heng semakin mencelos, saking gugup ia sampai membanting
kaki, desaknya: "Boh-ciang-bun, ingatlah dia masih terhitung piaumoaymu! Terlambat sedetik lagi;
mungkin menyesal pun kau sudah terlambat. Aku sendiri sih ingin turun membantunya, sayang
kepandaianku tidak becus tidak mungkin bisa memberi bantuan yang berarti." Semula Ciok Heng
bicara bisik-bisik dengan Boh Cong-tiu, tanpa ia sadari kata-kata selanjutnya semakin keras dan
lantang, sudah tentu para penonton yang berjarak dekat sama mendengar percakapan mereka.
Memang para hadirin banyak yang bisik-bisik memberi penilaian dan menganalisa jalannya
pertempuran. Berkatalah Tan Thian-ih kepada Kim Tiok-liu: "Kim-siheng, bagaimana menurut
pandanganmu" Agaknya nona cilik ini masih kuat bertahan berapa jurus?"
"Menurut hematku tidak perlu kuatir, bukan saja nona Lim ini kuasa mengatasi musuh, malah
dalam sepuluh jurus lagi pasti dia mendapat kemenangan."
Tan Thian-ih pun seorang ahli pedang, namun mendengar ucapan Kim Tiok-liu, ia jadi tidak
berani mempercayainya. Boh Cong-tiu menjadi kurang enak hati karena kata-kata Ciok Heng itu, baru saja ia siap
bertindak, saat itu pula Lim Bu-siang cekikikan dan berseru: "Cong Sin-liong, kulihat Cap-pwe-banlianhoan-kiamhoatmu ini belum sempurna kau latih!"
Sudah tentu kata-katanya ini membuat Cong Sin-liong terkejut bukan kepalang, batinnya:
"Dari-mana dia bisa tahu ilmu pedang ciptaanku ini?"
Ternyata rangkaian ilmu pedang ini adalah hasil ciptaan Jan-bau-khek setelah memperoleh
inspirasi dari keadaan Cap-pwe-ban yang aneh di puncak Thay-san ini, sudah tentu hasil
ciptaannya ini lain dari yang lain. Pelajaran yang berhasil diperoleh Cong Sin-liong tidak lebih
hanyalah petilan-petilan yang tidak lengkap dan terputus-putus, berdasarkan penemuannya yang
petil-petil dan putus-putus ini, ia berikan berbagai tambahan dan diperbaiki lebih lanjut,
anggapnya merupakan hasil ciptaannya yang baru, bahwasanya tidak lain hanya mencakup inti
murni dari rangkaian ilmu pedang aslinya, sudah tentu jauh masih di bawah mutu hasil ciptaan
Jan-bau-khek sendiri. Cong Sin-liong tertawa dingin, jengeknya: "Budak cilik seperti kau tahu apa, katamu latihanku
belum sempurna, coba kau mainkan di hadapanku."
Lim Bu-siang tertawa, ujarnya: "Kumainkan di hadapanmu, kau pun belum tentu bisa mengerti.
Dalam waktu dekat ini aku pun tiada tempo ajak berlatih sama kau, lebih baik biarlah kupatahkan
saja serangan ilmu pedangmu ini, supaya kau menyerah kalah lahir dan batin."
Belum lenyap suaranya, di bawah kepungan sinar pedang yang bundar membundar itu, tibatiba
Lim Bu-siang menyongsong maju terus melabrak ke depan, secepat kilat ujung pedangnya
menusuk masuk ke dalam bundaran cahaya kemilau itu, serunya tertawa: "Jurus ini dinamakan
Tay-boh-hou-yan-ce, kebetulan dapat memecahkan serangan jurus Tiang-ho-loh-jit-wan!"
Orang luar belum lagi melihat jelas cara bagaimana ia turun tangan, tiba-tiba didengarnya Cong
Sin-liong menjerit kaget, sinar pedang melesat laksana kilat, tahu-tahu pedang panjang di
tangannya itu sudah mencelat terbang ke tengah udara dan kebetulan menancap di atas batang
pohon siong di ketinggian sana, gagang pedangnya masih bergoyang-goyang sekian lama belum
berhenti. Menurut penilaian Kim Tiok-liu tadi, dalam sepuluh jurus pasti dia dapat menang, siapa tahu
setelah ia bicara habis, tidak lebih baru satu jurus, dia sudah berhasil melucuti senjata Cong Sinliong.
Sudah tentu tokoh seperti Kim Tiok-liu pun ikut dibuat heran dan kaget, sudah tentu para
hadirin yang lain tidak perlu dikatakan lagi.
Sekejap itu seluruh gelanggang menjadi sunyi senyap tiada suara sedikit pun juga. Sesaat
kemudian baru semua orang sama bersorak memuji dan bertepuk tangan gegap gempita.
Bahwasanya di mana letak kebaikan dari jurus serangan Lim Bu-siang itu, sembilan di antara
sepuluh hadirin masih merasa keheranan dan tidak mengerti.
Di samping merasa kejut dan herannya, diam-diam Boh Cong-tiu menerawang: "Jurus serangan
ini agaknya tidak persis dengan ajaran ilmu pedang perguruan kita?" Tapi dia sendiri jelas
mengetahui bahwa Lim Bu-siang selamanya belum pernah mempelajari ilmu silat perguruan lain,
kedua, Hu-siang-pay memang terbagi tiga cabang, ilmu pedang masing-masing mempunyai inti
pelajaran rahasia sendiri-sendiri, maka meski ia merasa inti serangan ilmu pedang Lim Bu-Siang
itu tidak selaras dengan ajaran ilmu pedang perguruan sendiri, terpaksa ia anggap jurus serangan
itu memang belum pernah dia pelajari dari cabang yang lain, mau tidak mau hatinya tetap
dirundung keheranan. Ternyata tipu serangan balasan Lim Bu-siang ini ia gunakan jurus ilmu pedang yang dimainkan
oleh perempuan dari dinding gua itu, jurus ini sebetulnya beliau gunakan untuk memecahkan
serangan Jan-bau-khek, kini Lim Bu-siang meniru gerakan itu untuk mematahkan serangan Cong
Sin-liong, sudah tentu usahanya ini seumpama golok kerbau dibuat menyembelih ayam.
Seperti ayam jago yang keok di tengah gelanggang, Cong Sin-liong menjadi lesu dan patah
semangat, tiba-tiba ia berkata: "Jurusmu ini ilmu pedang darimana?" Ternyata apa yang menjadi
kecurigaan Boh Cong-tiu menjadi pula kebimbangan hatinya.
Kata Lim Bu-siang: "Bukankah sudah kuberitahu kepada kau, jurus ini dinamakan Tay-boh-houyance, ilmu pedang yang khusus untuk mematahkan jurus Tiang-ho-loh-jit-wanmu itu."
"Yang kutanya adalah ilmu pedang dari partai mana, jangan kau pura-pura pikun!" Cong Sinliong
mendesak lebih lanjut. Maklum pertarungan untuk memperebutkan kedudukan ciangbun,
sudah tentu harus menggunakan ilmu pedang perguruan sendiri.
"Sudah tentu pelajaran dari partai kita. Setiap jurus ilmu pedang perguruan kita tentu
mempunyai sejurus ilmu pedang perlawanannya yang khusus untuk mematahkan ilmu pedang
yang lain. Kau sudah belajar ilmu pedang sekian lamanya, masakah belum paham akan hal ini?"
Sementara dalam hati ia membatin: "Perempuan itu saling bertanding dan menyelami ilmu pedang
bersama cosu, meski dia bukan orang dalam lingkungan perguruan kita paling tidak tentu punya
hubungan yang kental, penjelasanku ini rasanya tidak terhitung bohong."
"Aku tidak percaya, kecuali kau pun bisa memainkan jurusku tadi," demikian kata Cong Sinliong.
Karena Lim Bu-siang menjelaskan bahwa setiap jurus ilmu pedang perguruan sendiri pasti
punya jurus pemunahnya masing-masing, maka Cong Sin-liong menggunakan pertanyaan yang
kontras ini untuk mempersulit dirinya, dalam hati ia membatin: "Jurus ini adalah hasil ciptaanku
sendiri, mana mungkin kau pun bisa memainkannya."
Lim Bu-siang tertawa, ujarnya: "Apa sih sukarnya?" Seenaknya saja ia mengayun pedangnya,
beruntun memetakan tujuh delapan lingkaran, orang lain tidak kuasa menyelami intisari
kehebatannya, namun Cong Sin-liong maklum akan perbawanya, jurus Tiang-holoh-jit-wan yang
dimainkannya ini, memang jauh lebih sempurna, lebih hebat dan menakjubkan dari permainannya
tadi. Segera Boh Cong-tiu ikut menimbrung dengan tertawa: "Apa sih sukarnya memainkan jurus itu,
kalau kau tidak terima kalah, marilah kumainkan juga supaya matamu terbuka!" Mencabut pedang
"sret" ujung pedangnya laksana panah meluncur ke depan. Betul juga mirip benar dengan jurus
Tay-boh-hou-yan-ce yang dimainkan Lim Bu-siang tadi. Ternyata Boh Cong-tiu cerdik dan pintar
sekali, jurus-jurus pedang yang pernah dilihatnya, dapatlah selalu dia ingat dalam benaknya.
Sudah tentu Lim Bu-siang tahu, orang hanya bisa meniru gayanya saja dan bukan benar-benar
dapat memainkan secara mendalam, mau tidak mau ia merasa kagum juga.
Setelah mendemonstrasikan jurus itu berkata pula Boh Cong-tiu: "Masih berani kau
mengatakan jurus itu bukan ajaran ilmu pedang dari perguruan kita" Kau sendiri harus disalahkan,
belajar tidak matang dan tidak becus." Ternyata Boh Cong-tiu mengharap Lim Bu-siang segera
menggebah pergi Cong Sin-liong, supaya orang tidak membuat gara-gara dan onar di sini.
Sudah tentu Cong Sin-liong menjadi patah semangat dan kecewa, katanya setelah menghela
napas panjang: "Baik, aku mengaku kalah!" Begitu dia pergi, orang-orang yang dia bawa pun,
segera ikut mengundurkan diri di belakangnya.
"Cong Sin-liong," Ki Seng-in mengolok dingin, "hari ini aku tidak akan menggebuk anjing yang
sudah mencawat ekor, lambat atau cepat akan datang saatnya aku mencari perhitungan
kepadamu." Mana Cong Sin-liong punya hati melayani ocehannya ini, ia tunduk kepala melangkah pergi
anggap tidak dengar, dengan tergesa-gesa mereka turun gunung.
Setelah Cong Sin-liong pergi, Boh Cong-tiu menyangka tiada orang lain yang bakal melawan
dirinya untuk memperebutkan kedudukan ciangbun ini, betapa senang dan riang hatinya, katanya:
"Piaumoay, tak nyana ilmu pedang perguruan kita berhasil kau latih sedemikian sempurna, sekali
turun tangan kau bikin bangsat tua itu mencawat ekor melarikan diri, sungguh bikin capek dirimu
saja. Silakan kau mundur istirahat."
Akan tetapi Lim Bu-siang tetap berdiri di tengah gelanggang, tidak segera mundur seperti
perkataannya itu. Boh Cong-tiu tertegun sebentar, katanya: "Piaumoay, kenapakah kau?"
Lim Bu-siang berkata tawar: "Tidak apa-apa. Terima kasih akan pujianmu mengenai ilmu
pedangku, tapi aku sendiri masih belum tahu apakah kuasa menandingi kau!"
Boh Cong-tiu tertawa: "Dua tiga hari lagi bila aku ada waktu, biar kutemani kau berlatih."
"Apakah kau sekarang tidak punya waktu" Piauko, aku bukan hendak berlatih dengan kau."
Baru sekarang Boh Cong-tiu bercekat, "Apa?" teriaknya, "Maksudmu sekarang juga kau hendak
bertanding pedang dengan aku" Ai, kau memang masih bersifat kanak-kanak, mana sekarang aku
ada tempo menemani kau berlatih segala?"
Lapat-lapat ia sudah mendapat firasat jelek, namun sedapat mungkin ia masih mengharap
bahwa dugaannya meleset, tidak lebih watak kanak-kanak Lim Bu-siang masih belum hilang
sehingga ia bicara demikian.
Lenyap seri tawa Lim Bu-siang, wajahnya kelihatan kaku serius, sepatah demi sepatah ia
berkata pelan-pelan: "Piauko, aku bukan sedang main kelakar dengan kau, betapapun meski kau
tidak punya tempo, kau harus bertanding dulu dengan aku!"
Mimpi juga Boh Cong-tiu tidak pernah menduga Lim Bu-siang bakal memperebutkan kedudukan
ciangbun ini dengan dirinya, meski setiap patah katanya ia mendengar jelas, namun ia masih
kurang percaya akan pendengaran kupingnya. Dengan rasa hampa dan bingung ia menegas:
"Kenapa?" "Masa kau tidak ingin menjadi ciangbun?"
Saking terperanjat hampir saja Boh Cong-tiu melonjak, teriaknya dengan suara melengking:
"Bu-siang, sebetulnya kau sedang guyon-guyon atau sungguh-sungguh" Apakah kau pun ingin
menjadi ciangbun?" Ki Seng-in yang berdiri di dalam rombongan penonton menjengek dingin: "Kenapa Lim Bu-siang
tidak boleh menjadi ciangbun" Tidak peduli tua muda atau tinggi rendah tingkatannya, siapapun
yang menang dia boleh menjadi ciangbun. Bukankah tadi kau umumkan aturanmu sendiri?"
Sedapat mungkin Boh Cing-tiu mengendalikan ketenangannya, diam-diam ia berpikir: "Tahun
yang lalu, waktu aku mengutus kurir rahasia ke kota raja menemui Pakkiong Bong, kabarnya
kebetulan malam itu kebentur Utti Keng yang datang mencuri kuda, mungkin rahasia ini sudah
diketahui oleh mereka suami istri, lalu memberitahu pula kepada piaumoay?"
Boh Cong-tiu masih belum tahu rekaannya ini hanya benar separuh, kelebihannya justru benarbenar
di luar dugaannya. Kemarin malam meski Ciok Tio-ki mendapat bantuan Nyo Bok dan beruntung dapat lolos dari
sergapan Beng Goan-cau, tapi setelah dia berada di bawah gunung, hari keduanya di tengah jalan
kebentur pula dengan Utti Keng suami istri. Utti Keng pergi mengejarnya, sementara Ki Seng-in
menyusul tiba, naik ke atas gunung sendiri dan memberitahukan rahasia ini kepada Lim Bu-siang.
Di tengah jalan Ki Seng-in ketemu dulu dengan Ciok Tio-ki baru akhirnya bertemu pula dengan
Hun Ci-lo. Bahwasanya Boh Cong-tiu secara rahasia ada kontak dengan Ciok Tio-ki sudah diketahui oleh
Lim Bu-siang, namun ia masih belum berani memastikan. Kini setelah ia mendengar pula
penuturan Ki Seng-in, segala kesangsiannya sudah terbukti dan menjadi kenyataan.
"Merebut kedudukan ciangbun Boh Cong-tiu" adalah saran Beng Goan-cau, semula Lim Busiang
masih belum berani membulatkan tekadnya, setelah mendengar uraian Ki Seng-in, tidak bisa
tidak segera ia harus mengambil keputusan bulat.
Sedapat mungkin Boh Cong-tiu berlaku tenang, katanya lirih: "Piaumoay, jangan kau terima
diadu domba oleh orang luar," ilmu mengirim gelombang suaranya masih berada di atas tingkatan
Ki Seng-in, orang lain hanya melihat bibirnya bergerak, hanya Lim Busiang seorang yang
mendengar jelas apa yang dikatakannya.
Tapi Lim Bu-siang pura-pura tidak mendengar ucapannya ini, katanya dengan lantang: "Piauko,
aku tidak ingin menjadi ciangbun, seumpama beruntung aku menang dari kau, aku pun tidak akan
mengangkangi kedudukan ini."
Yang dikatakan adalah tidak akan menjadi ciangbun. Kata-kata 'tidak akan' dalam ucapannya
kedengarannya amat menusuk kuping.
Dari malu Boh Cong-tiu menjadi gusar, diam-diam ia membatin: "Dasar ilmu pedangnya adalah
aku yang mengajarkan kepadanya, perlu apa aku takut padanya" Seumpama dia sudah
menemukan rahasia pelajaran tunggal cosu, dalam tempo sehari ini masakah dia dapat
menelannya dengan baik, meski bisa mengalahkan Cong Sin-liong belum tentu dapat mengalahkan
aku." Maka segera ia bergelak tertawa, serunya: "Seorang laki-laki harus menepati kata-katanya,
apa yang pernah kuucapkan masakah tidak masuk hitungan" Bu-siang, kalau kau bisa
mengalahkan aku, jabatan ciangbun ini silakan kau duduki saja, tak usah sungkan. Silakan mulai."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Piauko, kau pernah mengajarkan ilmu pedang masakah aku berani kurang ajar kepada kau."
"Sekarang toh kau sudah tumbuh sayap, mana bisa aku mengajarkan lagi kepada kau" Baiklah,
kau ingin aku mempertunjukkan kebodohanku, terpaksa aku menurut permintaanmu saja."
Kata-katanya cukup pedas menyindir, tak urung tertusuk perasaan Lim Bu-siang, pikirnya:
"Hanya jabatan ciangbun saja dia sudah memandangnya begitu tinggi dan berharga. Ai, sejak kini
mungkin piauko bakal membenci aku seumur hidup. Tapi justru kedok mukanya kini terbongkar
seluruhnya. Jabatan ciangbun ini sekali-kali memang jangan sampai diduduki olehnya. Benci ya
terserah padanya, yang terang hari ini aku harus merebut kedudukan ciangbunnya ini."
Belum lagi jalan pikirannya lenyap, kipas lipat Boh Cong-tiu sudah berkembang dan dikibaskan
ke arah mukanya. Boh Cong-tiu menggunakan kipasnya itu melancarkan jurus ilmu pedang
perguruan sendiri. Meski tipu dan gayanya masih termasuk ajaran mumi dari perguruan, namun
karena menggunakan kipas sebagai gantinya pedang, maka serangannya ini mengandung gerak
perubahan khusus lain dari yang lain. Malah kipasnya ini bisa juga digunakan sebagai Ngo-hengkiam,
bisa pula digunakan sebagai potlot peranti menotok jalan darah, di saat ia mengembangkan
dan melipat kipasnya, daya gunanya dapat dikembangkan sesuka keinginan hatinya, maka
permainannya ini terang jauh berlainan dengan ilmu pedang umumnya.
Melihat orang turun tangan lantas melancarkan serangan keji, diam-diam Lim Bu-siang
membatin: "Untung aku pernah mempelajari ilmu pedang di atas dinding itu, kalau tidak, mungkin
cukup sejurus ini aku sudah terluka olehnya." Maklumlah ilmu pedang peninggalan Jan-bau-khek
yang terukir di atas dinding itu, mencakup seluruh intisari ilmu Hu-siang-pay tingkat tinggi. Meski
gerak perubahan permainan Boh Cong-tiu cukup hebat dan liehay, betapapun tidak meninggalkan
lingkungan ajaran aslinya. Maka lekas-lekas ia gunakan Hong-tiam-thau, dengan enteng saja ia
meluputkan diri. Mendapat angin, Boh Cong-tiu tidak memberi kesempatan pada lawannya, segera ia menubruk
maju sambil melipat kipasnya, sasarannya menotok Ih-khi-hiat di bawah ketiak Lim Bu-siang,
sementara kedua jarinya terangkap dan menekuk berputar membalikkan ujung kipas lalu menusuk
ke arah lambung Lim Bu-siang. Setelah kedua jurus serangan ini, ia susulkan pula sejurus
serangan yang cukup keji, yaitu menggunakan daya kekuatan putaran dari kedua jarinya yang
terangkap itu ia kembangkan kipasnya terus me-ngebas ke muka Lim Bu-siang mengarah kedua
biji matanya. Mengandal lwekang Boh Cong-tiu, kipasnya mengebas mengincar "mata, bila Lim Busiang
berlaku kurang waspada dan hati-hati, kedua biji matanya itu pasti kena dibikin buta.
Kim Tiok-liu yang menonton di pinggir melihat Boh Cong-tiu beruntun melancarkan tiga
serangan berantai yang keji ini, tak urung ia amat terkejut dibuatnya, pikirnya: "Mana boleh Boh
Cong-tiu berlaku begitu keji terhadap piaumoynya sendiri, meski besar ambisinya hendak menjadi
ciangbun, cukup ia bekerja sekuat tenaga dan saling sentuh saja."
Hubungan Kim Tiok-liu boleh dikata luar biasa kental dan jauh lebih akrab dari persahabatan
orang lain, melihat perbuatannya yang keluar batas ini, mau tidak mau timbul rasa kurang
senangnya. Maka secara diam-diam ia menyiapkan sebuah mata uang tembaga di tangannya, ia
tunggu bila Boh Cong-tiu melancarkan jurus ketiganya yang ganas itu, bila Lim Bu-siang benar
tidak mampu bertahan, dia segera akan menyambit-kan mata uangnya untuk memukul jatuh kipas
Boh Cong-tiu. Ilmu pedang di atas dinding secara kebetulan ada sejurus yang peranti atau khusus untuk
mematahkan tiga serangan berantai Boh Cong-tiu ini, tapi bila Lim Bu-siang melancarkan jurus
yang dia pelajari dari ukiran dinding dalam gua itu, paling ringan Boh Cong-tiu bakal terluka parah.
Sudah tentu Lim Bu-siang tidak akan tega melukai piaukonya.
Di saat yang kritis itulah, tampak bayangan kipas berlapis-lapis ribuan banyaknya, sementara
sinar pedang terdesak menyempit, kain baju melambai-lambai. "Tring", sebuah tusuk kundai di
atas sanggul rambut Lim Bu-siang tahu-tahu mencelat terbang. Di tengah jerit kaget anak murid
Hu-siang-pay, tampak Lim Bu-siang laksana seekor burung bangau menjulang ke tengah angkasa
jumpalitan ke belakang beberapa tombak.
Ternyata karena Lim Bu-siang tidak tega melukai Piaukonya, terpaksa ia membuang
kesempatan paling baik dengan jurus serangannya tadi, diubah dengan jurus yang khusus untuk
melindungi diri sendiri. Sebetulnya dia pun dapat mundur dengan tidak kurang suatu apapun, tapi
karena di dalam keadaan yang gawat itu mendadak merubah permainannya melihat pula sang
piauko menyerang dengan muka beringas dan dengan tipu yang ganas pula sedikit banyak hatinya
menjadi gugup, maka menghadapi tiga rangkaian serangan pedang Boh Cong-tiu ia hanya dapat
terhindar dua setengah jurus saja. Tipu jurus kipas lawan yang mengebas mengarah mata tadi,
Lim Bu-siang gunakan Hong-tiam-thau untuk meluputkan diri, walaupun matanya tidak terluka,
namun tusuk kundai di atas kepalanya kena tersampuk mencelat.
Semua enghiong yang menonton sama menghela napas lega, mereka mengira Boh Cong-tiu
masih ingat hubungan persaudaraan yang dekat, maka hanya membuat kaget dan tidak
menurunkan tangan kejinya betul-betul. Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih tersenyum katanya: "Usia
nona Lim masih teramat muda, namun pelajaran ilmu pedangnya ternyata sudah mencapai tingkat
kesempurnaan yang paling tinggi, sungguh harus dibuat kagum. Kukira pertandingan ini tidak
perlu dilanjutkan pula!" Kata-katanya ini nadanya memuji dan kagum, bahwasanya secara tidak
langsung ia suruh Lim Bu-siang mengaku kalah saja. Tapi maksudnya adalah hendak menjaga
keselamatan Lim Bu-siang belaka.
Sebaliknya Kim Tiok-liu pun tertawa, ujarnya: "Tapi nona Lim belum lagi mengeluarkan seluruh
kemampuannya, yang jelas mereka toh Piau-heng-moay, apa halangannya dilanjutkan, biarlah
kami semua kenyang melihat pertandingan ilmu pedang tingkat tinggi." Ternyata pandangannya
jauh lebih unggul setingkat daripada Kanglam Tayhiap, sejak tadi ia sudah menyiapkan sebuah
mata uang tembaga, siap disambitkan bila perlu untuk menolong Lim Bu-siangs setelah melihat
gerak-gerik dan permainan Lim Bu-siang, baru dia tahu bukan saja dia kuasa menghadapi, malah
cukup berkelebihan. Bahwa dia tidak balas menyerang secara sungguh, hakikatnya dia sudah
menaruh belas kasihan, jadi bukan Boh Cong-tiu yang menaruh belas kasihan padanya. Kim Tiokliu
menyimpan mata uangnya tadi, diam-diam ia pun amat menyesal pikirnya: "Ternyata
pandanganku sendiri pun keliru!"
Beberapa patah kata-kata Kim Tiok-liu tadi diucapkan dengan suara keras, banyak hadirin
mendengar dengan jelas. Kim Tiok-liu sudah diakui secara umum oleh seluruh dunia persilatan
sebagai tokoh kosen nomor satu di seluruh jagat, tiada seorang pun yang tidak percaya akan katakatanya,
namun dalam hati mereka sama menaruh curiga, tak tahan lagi terdengar suara bisikbisik
di mana-mana. Tan Thian-ih lantas berkata berbisik: "Kim-siheng, kalau Boh Cong-tiu sampai kelepasan
tangan..." lapat-lapat ia menyalahkan tindakan Kim Tiok-liu, bukan saja tidak segera melerai
pertempuran, malah memberi semangat pada Lim
Bu-siang untuk meneruskan pertempuran.
Kim Tiok-liu tertawa, sahutnya: "Paman tak usah kuatir, marilah kita tonton babak selanjutnya!"
Tan Thian-ih membatin: "Apakah kali ini keliru pula pandanganku?"
Mendengar dan melihat semua orang sama bisik-bisik, tiba-tiba tergerak hati Boh Cong-tiu, di
saat Lim Bu-siang belum lagi menancapkan kakinya dengan tegak segera ia menubruk maju
seraya mengembangkan kipasnya, dia berusaha mengambil posisi penyerangan yang lebih
menguntungkan. Serangan ini cukup ganas sementara mulutnya berkata: "Maaf aku berlaku
kasar!" Nada bicaranya seolah-olah dialah yang bakal di pihak menang, lebih baik Lim Bu-siang
menyerah kalah saja. Kalau tidak menyerah karena dirinya sudah menempati posisi yang lebih
unggul, betapapun ia punya pegangan untuk mengambil kemenangan.
Siapa tahu ada lebih baik dia tidak membuka kata, justru kata-katanya ini membuat hati Lim
Bu-siang terbakar, pikirnya: "Tak percaya aku begitu teledor otakmu ini, masakah tidak tahu
bahwa aku tadi menaruh belas kasihan kepadanya!" Karena marah dengan dingin ia menyahut:
"Benar, kau sudah menang sejurus, tapi kalah atau menang belum bisa ditentukan!" Menurut
aturan bulim, dalam pertandingan silat, sudah tentu harus dapat dibedakan pihak mana lebih
unggul dan siapa yang asor baru ditentukan siapa menang dan kalah.
Mendengar ucapan Kim Tiok-liu tadi, semua orang sama menaruh rasa was-was dan setengah
percaya dan setengah curiga. Tampak Boh Cong-tiu memainkan kipasnya sedemikian lincah dan
tangkasnya, mendadak berkembang tiba-tiba terkatup lurus, setiap gerakan setiap tipu merangsak
lebih dulu dengan gencar, sedikit pun tidak memberi kesempatan lawan ganti napas. Lama
kelamaan kelihatan Lim Bu-siang hanya mampu membela diri belaka.
Tan Thian-ih jadi kuatir bagi keselamatan Lim Bu-siang. katanya: "Kim-siheng, kukira keadaan
rada ganjil bukan?" "Toh belum lagi sampai lima puluh jurus!" sahut Kim Tiok-liu..
Tempat duduk Beng Goan-cau terpaut tidak jauh dari mereka, kata-kata Kim Tiok-liu ini ia pun
mendengar. Sebetulnya ia menggenggam telapak tangannya yang berkeringat dingin, setelah
mendengar kata-katanya itu baru legalah hatinya. Tapi tak urung ia masih agak curiga pula,
pikirnya: "Maksud kata-kata Kim Tayhiap tadi, agaknya dalam lima puluh jurus Lim Bu-siang pasti
dapat mengubah situasi, dari pihak terdesak mengambil kemenangan. Kukira belum tentu" Kalau
bisa mengubah dari pihak yang terdesak balas menyerang saja sudah mending."
Tampak kipas Boh Cong-tiu sedang ditarikan sedemikian cepat dan hebatnya, seperti kupukupu
raksasa sedang menari timbul tenggelam di tengah udara, bayangan kipas berlapis-lapis
dengan rapatnya sehingga bentuk tubuh Lim Bu-siang terkurung rapat dan tidak kelihatan.
Kipasnya itu dapat bergerak secara lincah dan serba guna, ada kalanya digunakan sebagai potlot
baja peranti menotok jalan darah, tiba-tiba sebagai pedang Ngo-heng-kiam, sekonyong-konyong
mengebas juga dengan kisaran tenaga angin yang deras, gerak perubahannya banyak ragam dan
sulit diraba. Pakaian Lim Bu-siang melambai-lambai, kakinya bergerak lincah maju mundur dengan teratur,
kelihatan sikapnya amat tenang, namun jidatnya kelihatan sudah berkeringat. Melihat keringatnya
ini, diam-diam semakin kuatir hati Beng Goan-cau.
Kiranya meski Lim Bu-siang sudah berhasil menyelami intisari pelajaran ilmu pedang di atas
dinding itu, kalau sari pedang bisa dia pahami dalam waktu dekat, adalah Iwekangnya tidak bisa
maju berlipat ganda pula. Karena dia mengalah sejurus kepada Boh Cong-tiu tadi, sehingga Boh Cong-tiu
berhasil menempatkan diri dalam posisi yang lebih unggul terpaksa ia menggunakan Chong-jiu-hoat untuk
menghadapinya. Untung Iwekang kedua pihak terpaut tidak terlampau jauh, kalau tidak sejak tadi Lim Busiang tentu sudah terluka. Tapi menggunakan permainan pedang yang jauh lebih unggul Lim Bu-siang
berhasil menambal kelemahan Iwekangnya, karena itu dia harus bekerja secara bertahap, lambat tapi
pasti mematahkan setiap rangsakan Boh Cong-tiu yang gencar, dalam waktu dekat, usahanya ini belum
bisa terlaksana, mengubah keadaan dari menjaga diri menjadi balas menyerang.
Lama kelamaan Lim Bu-siang naik pitam, pikirnya: "Aku tidak ingin melukainya, sebaliknya jiwaku sendiri
terancam oleh kipasnya. Semula aku bermaksud mendesaknya saja supaya tahu diri dan mundur teratur,
apa boleh buat terpaksa aku harus bertindak biar dia mendapat malu habishabisan."
Serta merta kakinya lantas melangkah menurut ajaran Ngo-heng-pat-kwa, maju miring
tiga langkah, lalu cepat-cepat mundur lagi lima tindak dengan gerakan delapan langkah kakinya, seluruh
rangsakan Boh Cong-tiu yang dahsyat sudah kena dipunahkan sama sekali. Orang luar melihat dia maju
tiga langkah mundur lima tindak, semua mengira dia terkepung dan berusaha menjebol keluar dengan
berontak pada babak terakhir.
Melihat ilmu pedangnya sedemikian kokoh dan tidak terlihat titik kelemahan untuk digempur,
malah ada kalanya gerak pedangnya jauh lebih mendahului dari keinginan hati, seolah-olah sudah
bisa meraba ke mana dan gerakan susulan apa yang bakal dirinya lancarkan, lalu balas menyerang
lebih dulu ke tempat fatal yang harus diselamatkan lebih dulu sebelum melukai musuh, lama
kelamaan bercekat hati Boh Cong-tiu, batinnya: "Ilmu pedangnya sudah mencapai seperti terjebak
kenyataan tulen, taraf tertinggi dari puncak kesempurnaan ilmu pedang. Aku berlatih secara matimatian
beberapa tahun lamanya, belum juga bisa mencapai taraf yang sama. Tentu di dalam gua
itu dia menemukan dan mempelajari peninggalan ajaran silat cosu." Lapat-lapat hatinya sudah
mendapat firasat jelek, namun ia masih berusaha menempuh sesuatu keganjilan, di saat dirinya
belum kelihatan terdesak dan bakal kalah, menggunakan tenaga lwekang ia hendak melukai
piaumoaynya. Perhitungannya memang cukup sempurna, sayang Lim Bu-siang sudah tidak mau mengalah lagi
padanya. Di antara sambaran pedang dan berkelebatnya bayangan kipas, tampak cahaya pedang
Lim Bu-siang sekonyong-konyong melebar seperti matahari meledak dalam sambaran laksana
kilat, beruntun ujung pedangnya melingkar membuat tujuh gerak bundaran yang sambungmenyambung.
Itulah jurus Tiang-ho.-loh-jit-wan yang pernah dilancarkan oleh Cong Sin-liong tadi,
bundaran sinar pedangnya sudah berhasil melibat kipas Boh Cong-tiu, sekonyong-konyong "Sret'
ujung pedangnya me-nyelonong ke depan laksana ujung anak panah, dari jurus Tiang-ho-loh-jitwan
secepat kilat diubah menjadi Tay-bok-hou-yan-ce.
Kalau hanya menghadapi satu jurus saja, mungkin Boh Cong-tiu masih kuasa melawan dengan
susah payah, namun dengan serangan kombinasi dua jurus ilmu pedang yang tiada taranya ini,
cara bagaimana dia dapat bertahan" Kontan Boh Cong-tiu merasa pergelangan tangannya seperti
digigit nyamuk lantas menjadi kesemutan, sedikit bergetar, tahu-tahu kipasnya terlepas dari
cekalan tangannya. Cara kekalahannya mirip benar dengan kekalahan Cong Sin-liong. Yang lebih
celaka, kipasnya itu meluncur jatuh masuk ke dalam lumpur yang kotor, keruan ia jauh lebih malu
dibuatnya, seketika air mukanya menjadi masam dan kaku.
Lim Bu-siang tersenyum simpul, pedang ditarik merapat ke tubuh, lalu katanya: ' Syukur
menang sejurus, piauko, perlukah kau ambil kipasmu dan pertandingan dilanjutkan?"
Menurut aturan pertandingan, kalau senjata kena dijatuhkan oleh lawan, boleh dikata sudah
kalah total. Di hadapan sekian banyak orang, mengandal gengsi dan kedudukan Boh Cong-tiu,
masakah masih punya muka tebal untuk melanjutkan pertandimgan.
Apalagi dalam sanubari Boh Cong-tiu cukup paham, bahwa serangan Lim Bu-siang tadi
menaruh belas kasih padanya. Ujung pedangnya telak sekali mengenai jalan darah di pergelangan
tangannya, tenaganya yang digunakan amat persis, jika mau menambah sedikit tenaga, Siauyangking-meh di tangan Boh Cong-tiu pasti putus dan terluka, itu terarti bahwa seumur hidupnya
ia tidak akan bisa menggunakan tangan kanannya bermain silat.
Tapi Boh Cong-tiu sendiri pun punya kegetiran hati yang sulit dilimpahkan, dia tahu bahwa
jurus Tiang-ho-loh-jit-wan memang tipu ajaran pedang perguruan sendiri, sebaliknya Tay-bohhouyan-ce seperti benar tapi seperti bukan. Namun di waktu Lim Bu-siang berhasil mengalahkan
Cong Sin-liong tadi, demi menjaga Cong Sin-liong menimbulkan gara-gara lain, secara lantang ia
mengakui sendiri bahwa kedua jurus ini adalah pelajaran perguruan mereka, sekarang masakah ia
harus menyangkal keterangan sendiri, mencerca piau-moay tidak menggunakan ilmu pedang
perguruan mereka" Kan kata-katanya menjadi berlawanan satu sama lain.
Sungguh marah dan malu pula Boh Cong-tiu dibuatnya, terpaksa ia berkata dengan tertawa
getir: "Piaumoay, kuhaturkan selamat kepada kau, berhasil mempelajari ilmu pedang maha sakti
dan liehay. Engkohmu yang bodoh ini mana berani melanjutkan, terpaksa mengaku kalah saja!
Tapi, sungguh aku tidak menduga, kau pun bisa mengelabui aku!"
"Piauko," kata Lim Bu-siang tawar. "Agaknya kau sendiri pun punya banyak urusan yang tidak
dibicarakan secara jujur terhadapku."
Lekas Boh Cong-tiu unjuk tawa dibuat-buat, katanya: "Piaumoay, agaknya memang sudah
takdir bahwa kaulah yang berjodoh mendapat ajaran mumi langsung dari cosu, engkohmu yang
bodoh ini masih belum sempat mengucapkan selamat kepada kau, masakah mau main cerca
segala?" Di dalam keadaan terdesak, mendadak Lim Bu-siang bisa menggunakan dua jurus ilmu pedang
yang kelihatannya sepele berhasil mengalahkan Boh Cong-tiu, sekejap itu seluruh hadirin hampir
tidak percaya akan pandangan mata masing-masing, sesaat lamanya semua sama terlongong.
Setelah Boh Cong-tiu mengaku kalah, baru hadirin sadar bahwa apa yang dilihatnya itu memang
kenyataan. Serempak terdengar tarikan napas, pujian dan sorak-sorai gegap gempita.
Berkata Kim Tiok-liu tersenyum: "Sepuluh jurus lebih kurang dari dugaanku semula, damparan
ombak sungai Tiangkang yang belakang mendorong yang di depan, patah tumbuh hilang berganti,
sungguh tepat kata-kata ini."
Diam-diam Tan Thian-ih pun malu diri, katanya tertawa: "Sejak kini, aku tidak berani lagi
pandang rendah para tunas-tunas muda."
Adalah perasaan Lian Jay-hong istri Boh Cong-tiu yang paling risau dan gundah, dia bersedih
bagi kekalahan suaminya, tapi juga rada-rada senang, pikirnya: "Apa manfaatnya menjadi
ciangbun, untuk mengejar jabatan ciangbun ini entah betapa ia melimpahkan tenaga dan
semangatnya, sampai istri pun sering dilupakan. Keinginanku hanyalah bisa hidup rukun sampai
hari tua dengan dia, lepas dari segala kerisauan dunia, hidup langgeng di antara gunung dan
sungai, dalam alam bebas yang menyenangkan, puaslah hatiku." Maka dari dalam lumpur ia
mengambil kipas suaminya lalu mendatangi, katanya:
"Cong-tiu, kau belum lagi menyampaikan selamat pada ciangbun baru. Pembukaan upacara
besar perguruan kita sudah harus dimulai dengan dipimpin oleh piaumoay."
Ingin rasanya Boh Cong-tiu merobek dan mematahkan kipasnya, kibaskan lengan baju tinggal
pergi, namun kilas lain ia berpikir: "Kesabaran kecil tidak tahan bakal menggagalkan urusan
besar." Akhirnya ia menahan diri tetap hadir dalam upacara itu.
Maka segera ia berkata tertawa: "Benar, aku sungguh teledor. Piaumoay, sekarang kau sudah
menjadi ciangbun kita, silakan kau pimpin lebih lanjut upacara besar."
Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Kata-katamu terlalu pagi diucapkan, entah masih atla suheng
atau suci yang mana yang sudi memberi petunjuk lagi?"
Untuk menutupi kekikukan dirinya lekas Boh Cong-tiu bergelak tertawa, serunya: "Aku sendiri
pun kena kau kalahkan, siapa lagi yang mampu bertanding memperebutkan ciangbun ini dari
tanganmu?" Sebagai pengawas di dalam pertandingan ini segera Ciok Heng berteriak tiga kali, ternyata
tiada orang lain lagi yang tampil ke depan, maka Ciok Heng lantas mengumumkan secara resmi
bahwa ciangbun-jin Hu-siang-pay dijabat oleh Lim Bu-siang.
Beramai-ramai para murid Husiang-pay sudah bergerak hendak menyampaikan selamat kepada
ciangbun, lekas Li-m Bu-siang berseru: "Tunggu sebentar."
Ciok Heng melengak, tanyanya: "Ciangbun ada petunjuk apa?"
"Jangan kau tergesa-gesa membahasakan diriku sebagai ciangbun. Tadi sudah pernah
kukatakan kafau aku menang aku tidak ingin menjabat ciangbun. Ciok-suheng, watakmu cukup
jujur, bersifat lapang dan matang dalam kehidupan, mantap pula dalam menghadapi segala
persoalan, kukira kaulah paling cocok untuk menjadi ciangbun. Aku menyerahkan kepada kau."
Sudah tentu Ciok Heng tersipu-sipu, lekas ia goyangkan tangan serta sahutnya: "Jabatan besar
ciangbun mana bisa diserahkan secara pribadi" Aku sendiri dapat menilai diriku, mana bisa aku
menjabat ciangbun?" Bagaimana juga Ciok Heng menolak, Boh Cong-tiu suami istri segera membujuk Lim Bu-siang.
Sudah tentu bujukan Lian Jay-hong istri Boh Cong-tiu setulus hati, sebaliknya Boh Cong-tiu hanya
pura-pura belaka. Tahu bahwa dirinya tidak mungkin lagi menampik jabatan ini, setelah berpikir sebentar, ia
berkata: "Ciok-suheng tidak mau memikul tanggung jawab berat ini, terpaksa aku memberanikan
diri untuk menghadapi segala kesulitan. Tapi kuharap kau suka membantu banyak terhadapku!"
"Sudah tentu," sahut Ciok Heng. "Apapun yang kau inginkan cukup kau memberi pesan pasti
akan ku laksanakan."
"Terima kasih akan kesediaan Ciok-suheng, kalau begitu kuharapkan kau suka menjadi huciangbun
kami." Ciok Heng melenggong, katanya: "Belum pernah kudengar partai mana ada seorang yang
menjabat sebagai hu-ciangbun segala?"
Lim Bu-siang tertawa, ujarnya: "Perguruan kita baru kembali dari luar lautan, kukira kita tidak
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usah mengikuti tradisi yang ada di Tionggoan ini, biarlah kita menegakkan undang-undang baru
sendiri, apa pula halangannya?"
Memang Ciok Heng rada kurang senang terhadap segala sepak terjang Boh Cong-tiu selama ini,
melihat Lim Bu-siang sangat mempercayai dirinya, segera ia berpikir: "Kalau aku tidak menerima,
mungkin kekuasaan besar bisa terjatuh ke tangan Boh Cong-tiu." Maka segera ia menerima
jabatan yang diberikan. Kata Lim Bu-siang pula: "Sebagai anak perempuan, mungkin aku tidak bisa selalu tinggal
menetap di markas pusat kita. Di kala aku tidak ada, harap Ciok-suheng mewakili aku pegang
kekuasaan sebagai ciangbun," lalu ia menambahkan: "Boh-suheng, aku pun harus mohon
bantuanmu juga." Diam-diam bersorak hati Boh Cong-tiu, pikirnya: "Ciok Heng saja bisa menjabat huciangbun,
Bu-siang tentu tidak enak hati menempatkan diriku di sebelah bawahnya." Maka segera ia berkata:
"Silakan ciangbun katakan saja!"
Terdengar Lim Bu-siang berkata pelan-pelan: "Aku hendak mencontoh cara pihak Siau-lim-si
mendirikan Tat-mo-wan, kudirikan Jan-bau-tong, kuharap Boh-suheng suka menjadi Jan-bau-tongcu,
khusus memperdalam dan mengajarkan inti ilmu silat perguruan kita."
Boh Cong-tiu menjadi amat kecewa, pikirnya: "Cerdik juga budak kecil ini mengatur siasatnya,
terang dia menendang aku ke atas, disanjung puji seperti patung dewa! Meski dewa suka
memberikan pengasihnya kepada manusia, bahwasanya tidak punya kekuasaan apa-apa, tidak
lebih hanyalah sebuah patung yang mandah saja dibuat pajangan oleh manusia!" Lalu terpikir pula
olehnya: "Mungkin ke sana maksud tujuannya, tapi betapa sih kemampuannya, mana bisa
mengendalikan dan menuntun aku Boh Cong-tiu. Hm, dia minta aku menjadi Jan-bau-tong-cu,
sesuai dengan nama dan kedudukanku, aku jadi berkesempatan memeras intisari pelajaran silat
perguruan kita dari tangannya." Segera ia merendah diri dan sekedar main sungkan lalu menerima
jabatannya. Tak lama kemudian upacara sudah selesai, para murid Hu-siang-pay sudah menyampaikan
sembah sujud dan memberi selamat kepada ciangbunnya, kini giliran para tamu yang
berbondongbondong maju menyampaikan selamat kepada Lim Bu-siang. Kata Lim Bu-siang: "Para hadirin
sekalian sudah banyak capai, silakan berkumpul di Giok-hong-koan untuk sekedar menikmati
sarapan pagi!" belum lenyap suaranya, mendadak sebuah suara serak tua yang lantang berseru
keras: "Tunggu sebentar!"
Semua orang sama melongo dan berpaling ke arah datangnya suara, ternyata pembicara ini
adalah Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya, jago tua kalangan kangouw yang nama dan tingkat
kedudukannya boleh dijajarkan dengan Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih.
Sejenak Lim Biu siang tertegun, tanyanya: "Ada petunjuk apa Ki-locianpwe?"
"Sungguh kebetulan bahwa para enghiong dari seluruh jagat bisa berkumpul semua di sini,
losiu hendak pinjam kesempatan ini untuk memberi sekedar penjelasan kepada seluruh orangorang
gagah yang hadir. Ada pula sebuah pertikaian kecil lainnya yang punya sedikit sangkut paut
dengan persoalan ini, kuharap mumpung kedua pihak orang yang tersangkut dalam perkara ini
sama hadir, akan kubikin beres biar terang duduknya perkara!" Secara tidak langsung ia
mengutarakan bahwa sebuah persoalan yang harus mohon pendapat umum untuk memberi
putusan salah atau benarnya urusan ini.
Terdengar bisik-bisik para hadirin, semua bertanya-tanya persoalan apa yang hendak dia beber
di hadapan umum" Hanya Beng Goan-cau seorang yang maklum, pikirnya: "Nyo Bok mengajukan
Su-hay-sin-liong untuk menimbulkan gelombang kerusuhan di sini, agaknya aku sulit
menghindarkan diri dari persoalan pelik ini!" Meski biasanya ia bersikap tenang gagah dan berani,
namun menghadapi persoalan yang serba rikuh dan risi ini mau tidak mau kebat-kebit jantungnya.
Lim Bu-siang keheranan, katanya: "Silakan cianpwe katakan saja!"
"Nyo Bok, kau keluar!" Ki Kian-ya segera berseru lantang.
Sambil mengiakan Nyo Bok berdiri terus tampil ke depan berdiri di tengah gelanggang, ia
menjura ke empat penjuru. Tadi belum banyak orang yang tahu kehadirannya kini terdengarlah
seruan heran dan kaget dari berbagai penjuru.
Kata Ki Kian-ya lebih lanjut: "Kuki^ kalian sudah tahu, bahwa keponakanku ini tiga bulan yang
lalu pernah dikabarkan mati bukan" Malah mungkin ada di antara hadirin yang ikut melayat waktu
jenazahnya dikebumikan, cara bagaimana mendadak dia bisa merangkak keluar pula dari liang
kubur" Kukira hal ini amat ingin diketahui oleh seluruh hadirin bukan?"
Hubungan Nyo Bok amat luas, di antara hadirin banyak terdapat para sahabat kentalnya, maka
berbareng mereka bertanya: "Benar' Nyo-heng sebetulnya karena urusan apakah kau sampai
berbuat demikian?" Nyo Bok tertawa getir, sahutnya: "Harap paman Ki saja yang memberikan penjelasan kepada
mereka." Kata Ki Kian-ya: "Aku dan Nyo Bok ada hubungan besan, tapi aku bicara di sini bukan karena
hubungan besanan ini, mengagulkan dan memuji dia. Watak dan perangainya, memang harus kita
puji dan kagumi." Kata-kata ini seolah-olah merupakan ikhtisar dari pembukaan sambutannya,
sejenak merandek lalu ia melanjutkan: "Adalah untuk menghindarkan diri dari kejaran pihak
kerajaan, supaya cakar alap-alap kerajaan tidak mencari kesulitan padanya, jadi terpaksa dia
melakukan hal itu." "Ciok Tio-ki benggolan begal tunggal itu kukira kalian sudah pernah dengar bukan, sekarang dia
sudah merupakan wakil komandan pasukan Gi-lim-kun di istana raja. Dia pulalah yang meluruk
datang ke rumahnya menjadi kurir pihak pemerintah, terhadap Nyo Bok ia gunakan bujukan halus
serta tekanan dan ancaman."
Ki Kian-ya melanjutkan: "Ciok Tio-ki berkedudukan di dalam Gi-lim-kun, tapi sebenarnya dia
menjadi mata-mata dari Sat Hok-ting kepala Bhayangkari dari istana raja. Dia minta Nyo Bok pergi
ke kota raja untuk menghadap kepada Sat Hok-ting, cuma dikatakan bahwa Sat Hok-ting adalah
seorang pembesar bijaksana dan baik hati dan luhur perbuatannya, beliau amat kagum dan
senang bersahabat dengan Nyo Bok, maka mengundangnya ke sana. Tapi kalau benar-benar
sampai masuk ke dalam muslihatnya, bila kau tidak mau tunduk pada perintahnya, masakah dia
masih bisa hidup keluar dari pintu kota raja?"
"Benar, " seru semua hadirin. "Sudah tentu Nyo Bok tidak begitu gampang kena ditipu mentahmentah."
Sebetulnya terketuk sanubari Nyo Bok dan amat menyesal, namun melihat para hadirin amat
mempercayai dirinya, rasa malunya menjadi lenyap, tak urung ia menjadi sombong dan dimabuk
gembira. Seketika ia unjuk seri tawa lebar, berkali-kali menjura kepada para hadirin, ujarnya:
"Terima kasih akan kepercayaan saudara-saudara sekalian kepada aku orang she Nyo!"
Sebaliknya Beng Goan-cau tertawa dingin dalam hati: "Tak nyana Nyo Bok adalah seorang yang
rendah martabat dan hina dina! Di hadapan sekian banyak orang-orang gagah masih berani dia
mengarang cerita bohong. Sungguh kasihan bahwa Hun Ci-Io menikah dengan manusia yang
rendah budi ini. Ai, namun demi Ci-lo, tidak tega aku membongkar kedok palsunya. Kalau
kubongkar persekongkolannya semalam dengan Ciok Tio-ki, bagaimana Ci-lo harus menempatkan
dirinya selanjutnya?"
Dalam pada itu dalam hati Lim Bu-siang juga sedang mengumpat akan kelakuan Nyo Bok yang
tidak tahu malu ini, soalnya dia masih punya alasan-alasan yang cukup menyulitkan. Pertama,
persoalan ini ada menyangkut piaukonya Boh Cong-tiu, kini dia sudah merebut kedudukan
ciangbun piaukonya, tak tega ia membuat orang mendapat malu di hadapan orang banyak. Kedua,
meski ia tahu bahwa orang yang dilihatnya kemarin malam betul adalah Ciok Tio-ki, namun karena
dia tidak punya bukti nyata dengan meringkusnya, kalau piaukonya menyangkal dan katakan
orang lainnya, apa pula yang dapat ia lakukan.
Terdengar Ki Kian-ya berkata lebih lanjut: "Oleh karena itu keponakanku ini pura-pura mati
untuk menghindarkan diri dari tekanan dan kejarannya. Ai, sayang usahanya toh masih sia-sia."
"Menurut rencana semula dia hendak mengasingkan diri dan menyembunyikan nama, tidak
muncul lagi di kalangan kangouw, tapi karena ada pertikaian keluarga yang di luar dugaannya...
persoalan ini biar nanti kujelaskan tersendiri. Terpaksa dia harus meluruk ke Soh-ciu. Entah
bagaimana jejaknya berhasil diketahui oleh Ciok Tio-ki, di tengah jalan dia terkejar dan terjadilah
perang mulut. Karena tidak bisa menyingkir lagi, terpaksa Nyo Bok gunakan kekerasan, beruntung
ia berhasil melabraknya, tapi dia sendiri pun kena sekali pukulannya."
Di antara sekian banyak hadirin, adalah seorang yang tergoncang sanubarinya oleh obrolan
panjang lebar Ki Kian-ya ini, dia tak lain adalah Hun Ci-lo yang sejak tadi menempatkan dirinya di
pojokan dan tidak pernah bersuara.
Sebetulnyalah dia tidak tahu bahwa Nyo Bok sengaja hendak mencelakai Beng Goan-cau,
hatinya terguncang karena dia mendengar bahwa suaminya kena dilukai oleh Ciok Tio-ki.
Pikir Hun Ci-lo: "Soal Ciok Tio-ki datang membujuk dia menjadi tamu undangan Sat Hok-ting,
kenapa selamanya dia tidak pernah membicarakannya dengan aku" Kejadian dia pura-pura mati
adalah demi menyempurnakan hubunganku dengan Goan-cau, kenapa pula berubah menjadi
untuk menghindarkan kejaran dan ancaman Ciok Tio-ki" Mungkinkah dia kuatir aku takut, maka
mengelabui persoalan ini kepadaku" Dia tahu kelak dirinya tidak akan muncul lagi di dunia ramai,
tahu pula bahwa aku tidak sungguh-sungguh menyukainya, maka dengan sengaja hendak
merujukkan kembali hubunganku dengan Goan-cau" Ai, kalau hal ini benar. Oh, Nyo-long,
sungguh besar jerih payahmu ini."
Lalu terpikir pula olehnya: "Persoalan Ciok Tio-ki meski tidak pernah dia sampaikan kepadaku,
tapi kejadian dirinya dilukai oleh Ciok Tio-ki sudah dibuktikan oleh Ki-lopek, tentu kejadian itu
bukan bohong belaka. Sejak mula aku sudah mengharap supaya dia suka menjadi pahlawan
gagah menentang penjajah, harapanku itu kini sudah tercapai. Setelah urusan di sini selesai aku
harus rujuk kembali padanya akan kuberitahukan bahwa aku sedang mengandung anaknya."
Di saat pikiran Hun Ci-lo terombang-ambing, sementara Ki Kian-ya menyambung terus:
"Setelah terluka oleh Ciok Tio-ki barulah keponakanku ini sadar, kenapa tidak sejak dulu saja
secara gamblang menjadi patriot penentang kerajaan. Kini meski dia sudah ganti haluan,
betapapun Nyo Bok selanjutnya sudah tidak sejajar lagi dengan Nyo Bok yang dulu." Maksud katakatanya
ini mau mengatakan bahwa selanjutnya Nyo Bok sudah terhitung sebagai kaum pendekar.
Serempak banyak hadirin sama menyerukan puji sanjungnya. Setelah suasana rada tenang, Ki
Kian-ya berkata pula: "Kini tibalah aku membicarakan persoalan keluarga, yang tidak terduga tadi,
meski hal ini merupakan persoalan pribadi, namun menyangkut pada seorang enghiong yang hadir
pula di sini..." Jantung Beng Goan-cau sedang melonjak-lonjak, sekonyong-konyong didengarnya di tengah
hadirin sana seseorang berseru: "Tunggu dulu!"
Waktu semua orang berpaling tampak seorang laki-laki berjambang bauk tebal dan kaku tahutahu
sudah mencelat berdiri di hadapan Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya. Orang ini bukan lain adalah
Koantang Tayhiap Utti Keng.
Pergaulan Utti Keng jauh lebih luas dari Nyo Bok, hampir dikata seluruh hadirin sama kenal
padanya, melihat orang muncul secara mendadak, keruan semua sama heran.
Melenggong sebentar lalu Ki Kian-ya bertanya: "Utti Tayhiap mau bicara apa?"
"Sebutan 'Tayhiap' segala sungguh aku tidak berani terima," demikian ujar Utti Keng. "Tapi
persoalan harus dibedakan buruk baiknya, mutiara jangan dicampur dalam mata ikan, perbedaan
umum yang paling gampang ini, sedikitnya aku masih paham."
Ki Kian-ya mengerut kening, tanyanya: "Apa-apaan maksud kata-katamu ini?"
"Benarkah Nyo Bok dipukul terluka oleh Ciok Tio-ki" Kukira belum tentu!"
Ki Kian-ya menjadi kurang senang, serunya: "Nyo Bok, bukalah bajumu tunjukkan langsung
kepada Utti Tayhiap. Tan Tayhiap kau ada mengenal ilmu Lui-sin-ci, harap kemari menjadi saksi.
Supaya orang tidak curiga aku dan Nyo Bok hanya mencari gara-gara."
Lekas Nyo Bok membuka baju dan memperlihatkan dadanya, tampak di tengah-tengah
dadanya jelas masih membekas sebuah telapak tangan warna abu-abu yang sudah luntur. Tan
Thian-ih diseret keluar oleh Ki Kian-ya, setelah memeriksa, ia berkata: "Benar, ini memang lukaluka
bekas Lui-sin-ci!" Lui-sin-kang adalah semacam lwekang dari aliran sesat, bila latihannya sudah mendalam bisa
digunakan sebagai Lui-sin-ciang, yang masih rendah hanya bisa digunakan pada kekuatan jari
yang dinamakan Lui-sin-ci.
Yang mempelajari ilmu macam ini dalam seluruh dunia ini hanya ada sebuah keluarga saja,
mereka menetap di Hoa-san yang menggunakan marga dobel yaitu she Ouwyang. Majikannya
bernama Ouyang Kian, dia cuma punya seorang murid, muridnya itu menjadi begal tunggal dan
kini menjadi wakil komandan Gi-lim-kun yaitu Ciok Tio-ki adanya. Kalau gurunya sudah berlatih
mencapai Lui-sin-ciang, sedang muridnya baru mencapai pada taraf Lui-sin-ci saja. Hal ini banyak
diketahui orang-orang gagah yang hadir. Maka begitu Tan Thian-ih menyatakan luka-luka itu
adalah bekas pukulan Lui-sin-ci, maka terbuktilah bahwa orang yang melukai Nyo Bok terang
adalah Ciok Tio-ki adanya.
"Utti Tayhiap, apakah kau perlu memeriksa lebih jelas?" demikian tanya Ki Kian-ya dengan nada
menyindir. Sekilas Utti Keng melirik ke arah Nyo Bok, katanya pelan-pelan: "Ki-losiansing jangan marah,
tujuanku adalah hendak mencari duduk perkara sebenarnya."
"Jadi sekarang sudah jelas belum duduknya perkara ?"
Utti Keng bergelak tertawa, maju dua langkah ia berkata: "Nyo Bok terkena pukulan Lui-sin-ci,
tapi masih kuat melabrak Ciok Tio-ki sipat kuping. Sungguh harus dibuat kagum! Kagum sekali!"
sembari berkata ia ulurkan tangannya kepada Nyo Bok. Nyo Bok menyangka orang betul-betul
merasa kagum dan menaruh hormat padanya dengan mengulur tangan hendak berjabatan,
dengan sewajarnya ia pun mengulur tangan.
Tak nyana begitu jari-jari mereka saling genggam, kelima jari Utti Keng seketika berubah
seperti lima besi jepitan yang amat keras dan kuat, saking sakit terasa menusuk ke tulang
sumsum, seketika pucat pasi muka Nyo Bok, tak tertahan ia menjerit kesakitan.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Ki Kian-ya, "wut" kepalannya segera menyerang ke sendi
tulang di lengan tangan Utti Keng, lekas Utti Keng menarik Nyo Bok serta memutarnya setengah
lingkaran terus menyendatnya terpental, sementara telapak tangan kiri membalik menangkis,
"biang!" dua pihak tergentak mundur tiga langkah. Lwekang masing-masing se-tanding, namun
badan Ki Kian-ya tampak tergeliat dua kali. Maklumlah usianya sudah cukup lanjut, sudah tentu
dalam hal kekuatan dia tidak bisa menandingi Utti Keng yang baru menanjak usia.
"Utti Keng!" seru Ki Kian-ya gusar. "Kenapa main siksa dan menghina keponakanku?"
Utti Keng unjuk tawa lebar, ujarnya: "Losiansing, jangan salah paham. Aku hanya mencoba
sampai di mana tingkat kepandaian Nyo Busu belaka."
"Huh, kau hendak menjajal ilmu kepandaiannya, apa maksudmu?"
"Bicara terus terang, aku pernah dua kali bergebrak langsung dengan Ciok Tio-ki. Yang terakhir
terjadi baru kemarin, di bawah gunung Thay-san ini. Sampai di mana bekal ilmu Lui-sin-cinya, aku
cukup jelas mengetahui."
Kata-katanya ini seketika membuat semua hadirin keheranan, semua sama membatin: "Cara
bagaimana Ciok Tio-ki bisa muncul di bawah Thay-san, apakah dia pernah menyelundup kemari
secara diam-diam?" Ki Kian-ya sendiri pun merasa heran dan kurang mengerti, tapi saat mana dia tiada tempo
hiraukan persoalan ini, setelah melengak, dengan tajam ia tatap Utti Keng, katanya dingin: "Kalau
kau sudah tahu tingkat kepandaian silat Ciok Tio-ki lalu mau apa?"
"Tidak apa-apa. Cuma menurut pandanganku, kata-kata Nyo Busu menurut ceritamu tadi
agaknya sulit dapat dipercaya."
Dengan muka membesi hijau, Nyo Bok berjingkrak maju, teriaknya: "Utti Keng, berani kau
mengatakan aku bohong?"
Utti Keng pun menarik muka dengan kereng, matanya mendelik bundar, tanpa mengenal
sungkan ia berkata: "Ya, memang aku rada curiga pada tingkah lakumu!"
"Utti Tayhiap, dengan alasan apa kau berani berkata begitu?" Ki Kian-ya menegas.
"Bicara soal kepandaian, tidak mungkin Ciok Tio-ki bisa kena dikalahkan oleh pukulannya.
Setelah dia kena terluka Lui-sin-ci, paling ringan pasti sakit keras dan berbaring beberapa
lamanya, tidak mungkin hanya dalam jangka waktu satu setengah bulan, lantas sembuh sebagian
besar." "Katamu aku tidak pantas mengalahkan Ciok Tio-ki, tapi kenyataan aku berhasil menang. Kalau
kau, tidak percaya, apa dayaku" Waktu itu Ciok Tio-ki terkena pu-kulanku lebih dulu, baru
beberapa gebrak kemudian dia pun berhasil melukai aku. Memang lwekangku tidak setingkat
dibanding Utti Tayhiap, tapi paling tidak, tidak bakal bisa mampus di bawah pukulan Lui-sin-ci Ciok
Tio-ki" Dan lagi, masakah kau tidak pernah berpikir bahwa aku bisa memiliki obat mujarab untuk
menyembuhkan luka-luka dalam?"
Nyo Bok bicara dengan cepat seperti mitraliur, cukup beralasan pula. Maklumlah perbandingan
ilmu silat memang suatu urusan yang amat rumit dan sulit dikatakan secara tertentu, meski Utti
Keng seorang ahli di bidang ilmu silat, tapi pandangannya betapapun belum tentu mesti tepat.
Hadirin kembali berbisik-bisik dan menjadi ribut, tujuh di antara sepuluh orang sama merasa
seolah-olah Utti Keng memang sengaja hendak mencari gara-gara secara brutal.
Ki Kian-ya menarik napas, katanya: "Kalau toh itu hanya rekaan dan rabaan Utti Tayhiap
melulu, kukira tidak perlu diperdebatkan lagi. Marilah kita bicara ke persoalan semula yang
penting. Kecuali Utti Tayhiap bisa mengajukan seseorang saksi."
Kata-kata Ki Kian-ya ini sebetulnya hanyalah hendak mengejek dan menyudutkan kedudukan
Utti Keng, tak nyana sikap air muka Utti Keng justru kelihatan amat serius, katanya dingin: "Orang
macam apa yang ingin kau jadikan saksi?"
"Silakan Utti Tayhiap meringkus Ciok Tio-ki kemari diadu secara berhadapan dengan Nyo Bok,
bukankah urusan bakal dapat dibikin beres" Kalau kau tidak mampu membekuk Ciok Tio-ki paling
tidak harus bisa menangkap salah seorang pihak mereka."
Belum lenyap suaranya, mendadak Utti Keng berseru lantang: "Baik, biar kuringkus seorang
untuk menjadi saksi pada kau!"
Kata-kata ini membuat seluruh hadirin melengak, perhatian mereka tertuju kepadanya.
Tampak Utti Keng menyeret keluar seseorang dari gerombolan orang banyak, bagi kaum
persilatan sekali pandang sudah tahu, bahwa orang itu sejak tadi sudah tertotok jalan darahnya.
Ki Kian-ya amat terkejut, tanyanya: "Siapakah orang ini?"
Utti Keng segera berseru lantang: "Orang ini adalah salah satu anak buah Sat Hok-ting dari
pasukan Bhayangkari. Silakan kalian periksa." Sembari berkata ia merogoh keluar sebuah medali
emas dari dalam baju orang, di atas medali emas itu ada terukir seekor burung merak yang diberi
warna merah. Umumnya banyak orang sudah tahu bahwa setiap anggauta pasukan Bhayangkari yang
bertugas di dalam istana pasti memiliki medali merak emas, bukan saja medali ini dapat digunakan
keluar masuk istana, di waktu bertugas di luaran dapat pula digunakan sebagai bukti dari
identitasnya. Di antara sekian banyak hadirin tidak sedikit yang pernah langsung bentrok atau
saling gasak dengan pasukan Bhayangkari dari istana raja, umpamanya Tan Thian-ih dan Kim
Tiok-liu, sejak lama mereka sudah pernah melihat bentuk medali merak emas macam itu.
Kata Tan Thian-ih: "Tidak salah, inilah medali merak emas milik setiap anggauta pasukan
Bhayangkari. Di waktu kecil pernah aku melihatnya di gedung bupati ayahku dulu."
Kim Tiok-liu segera ikut menimbrung: "Utti Tayhiap, cakar alap-alap ini cara bagaimana berhasil
kau ringkus kemari?"
Tutur Utti Keng: "Kemarin di tengah jalan Ciok Tio-ki kepergok olehku, bajingan ini adalah kaki
tangannya. Waktu kukejar Ciok Tio-ki, sungguh amat menyesal hanya berhasil kubekuk bajingan
tengik ini. Tapi dari mulutnya kukira kita bisa mengompes sedikit keterangannya."
"Utti Tayhiap, kau sungguh hebat," demikian puji Kim Tiok-liu. "Kau berhasil meringkus seorang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tawanan tanpa kami ketahui sebelumnya. Bagus, dengan adanya tawanan hidup ini, perkara
apapun tidak sulit dibikin terang."
Kiranya Utti Keng membawa tawanan ini naik ke atas gunung, setelah menotok jalan darahnya
terus dilempar di antara orang banyak dan tampil ke depan berhadapan langsung dengan Nyo
Bok. Waktu itu seluruh hadirin sedang memperhatikan omongan Ki Kian-ya dan Nyo Bok, sehingga
kedatangan Utti Keng yang diam-diam itu tidak diketahui oleh orang banyak.
Dengan muka membesi berkata Ki Kian-ya: "Apakah omongan cakar alap-alap ini lantas mesti
dapat dipercaya?" "Kompes dulu keterangannya, apa pula halangannya," sela Tan Thian-ih.
Kata Kim Tiok-liu: "Benar, biar dia diadu bicara, dengan Nyo Busu, benar atau salah sesuatu
perkara pasti akan dapat diselidiki dengan baik." Jelas nada bicaranya ini sudah menaruh curiga
kepada Nyo Bok, dan rada mempercayai ucapan Utti Keng.
Semakin buruk air muka Ki Kian-ya, dengusnya: "Emas murni tidak takut dibakar. Utti Tayhiap
tidak percaya kepada keponakanku ini, bolehlah kau kompes tawanan saksimu ini. Tapi ingat Nyo
Bok bukan tawanan dan tidak bersalah, ku-larang kau menganggapnya sebagai seorang seorang
terdakwa" Diam-diam Kim Tiok-liu tertawa geli, batinnya: "Tua bangka ini agaknya tukang naik pitam dan
berangasan." Lalu serunya: "Be-gitupun baik. Utti Tayhiap, bukalah jalan darah cakar alap-alap itu,
mari kita dengar apa saja yang dia katakan?"
Lekas Utti Keng sudah membebaskan jalan darah orang itu yang tertotok, bentaknya: "Lekas
bicara secara jujur!"
Orang itu ternyata keras kepala, mulut tidak bergerak, hidung sedikit pun tidak mendengus.
Utti Keng tertawa dingin, ancamnya: "Kau mau bicara tidak?" Pelan-pelan ia menepuk ke
punggung orang, muka orang itu seketika pucat pasi, keringat dingin membanjir keluar. Ternyata
Utti Keng menggunakan cara Hun-kin-joh-kut-hoat, cukup hanya sedikit menepuk saja, seluruh
sendi tulang dan urat syaraf orang itu seolah-olah kena dicocoki ribuan jarum, sakitnya bukan
kepalang, lama kelamaan orang itu tidak tahan disiksa begitu rupa, dengan suara gemetar ia
berteriak: "Kau suruh aku mengatakan apa?"
"Apakah Ciok Tio-ki pernah datang kemari secara diam-diam?" tanya Utti Keng.
Orang itu manggut-manggut sambil mengiakan.
"Dia menyelundup naik ke Thay-san, apa maksud tujuannya" Siapa-siapa saja yang dia temui di
sini?" Utti Keng bertanya lebih lanjut.
Boh Cong-tiu berdiri di sebelah pinggir sana, dia pun mengikuti Utti Keng mengompes
keterangan tawanannya, mendengar sampai di situ, serta merta air mukanya berubah pucat,
jantungnya berdebur keras seperti hampir melonjak keluar, sikapnya sudah tidak setenang dan
acuh tak acuh seperti tadi.
Di saat jantung Boh Cong-tiu berdetak amat keras itu, semua hadirin pun sedang pasang mata
dan mendengar dengan cermat, dengan siapakah sebenarnya Ciok Tio-ki ada intrik dengan orang
di atas gunung, mendadak semua orang dikejutkan dengan jeritan keras yang amat mengejutkan,
mendadak tawanan itu roboh terjengkang dan melayang jiwanya, tujuh lubang indranya
mengalirkan darah segar. Sudah tentu Utti Keng orang yang paling kaget, cepat ia hendak memberi pertolongan, tampak
di tengah batok kepala orang ini tertancap sebatang Bwe-hoa-ciam lembut, jiwanya sudah
melayang seketika. Keruan Utti Keng amat murka, bentaknya: "Siapa yang main bokong?" Serta merta sorot
matanya tertuju ke arah Nyo Bok.
Nyo Bok sengaja pura-pura gugup dan terkejut pula, teriaknya: "Utti Tayhiap, Hun-kin-joh-kut
yang kau gunakan sungguh terlalu liehay, kenapa kau berlaku tidak hati-hati sampai bikin mampus
tawanan ini!" "Apa kau sangka aku yang bikin dia mampus?" damprat Utti Keng. "Apa matamu tidak melihat
di atas kepalanya tertancap sebatang Bwe-hoa-ciam?"
Nyo Bok maju pelan-pelan pura-pura memeriksa, katanya tertawa dingin: "Masakah kau pun
hendak curiga kepadaku. Yang jelas aku tidak mampu melakukan sambitan senjata rahasia yang
sedemikian liehay." Utti Keng mengakui kebenaran kata-kata orang, ia maklum kepandaian Nyo Bok terbatas, kalau
senjata rahasia ini dia yang menyam-bitkan tentu tidak akan bisa mengelabui matanya. Serta
merta sorot matanya tertuju ke arah Boh Cong-tiu.
Tapi Boh Cong-tiu berdiri cukup jauh dari tempat kejadian, dan lagi Boh Cong-tiu berdiri di atas
panggung menghadap ke arah orang banyak, banyak tokoh-tokoh kosen yang hadir, bila dia turun
tangan tentu tidak akan dapat mengelabui mata sekian banyak orang. Maka analisa yang masuk di
akal ialah orang yang menyambitkan senjata rahasia sembunyi di antara rombongan orang-orang
yang berada di sebelah belakang Utti Keng. Tapi Utti Keng tadi pun sudah memperhatikan, di
antara orang-orang dalam rombongan di belakangnya ini, tiada seorang tokoh kosen yang ahli
dalam bidang senjata rahasia. Lalu siapakah dia" Keruan Utti Keng heran dan mencelos hatinya.
Boh Cong-tiu berdiri sambil menggendong tangan dengan sikap tenang dan acuh tak acuh.
Begitu sorot mata Utti Keng bentrok dengan pandangannya baru dia bersuara, katanya pelanpelan:
"Nyo-nyamu dijuluki Jian-jiu-koan-im, bicara kepandaian ilmu senjata rahasia, di antara
sekian banyak orang yang hadir kukira tiada seorang pun yang lebih unggul dari keahliannya."
Dengan mengerut kening Ki Seng-in segera berdiri serunya gusar: "Boh Cong-tiu, apa maksud
perkataanmu ini?" "Utti Hujin," ujar Boh Cong-tiu, "jangan kau salah paham, bukan maksudku hendak
mengatakan kaulah yang turun tangan, maksudku supaya kau suka memeriksa sebentar, kau
adalah seorang ahli di bidang senjata rahasia, mungkin dari Bwe-hoa-ciam itu kau dapat mengenal
si penyambit dari aliran atau golongan mana?"
Dengan pandangan mata Utti Keng pun bertanya kepada istrinya, hubungan batin dan lahiriah
mereka suami isteri saling terjalin erat, Ki Seng-in sedikit menggeleng kepalanya. Ternyata sejak
tadi ia sudah berjaga-jaga kemungkinan Boh Cong-tiu bisa turun tangan membunuh tawanan yang
menjadi saksi ini, maka sejak mula ia sudah memperhatikan gerak gerik Boh Cong-tiu. Memang
Boh Cong-tiu tidak pernah menyambitkan senjata rahasia.
Berpikir Ki Seng-in dalam hati: "Sayang perhatianku hanya tertuju kepada Boh Cong-tiu
seorang, sekali-kali tidak waspada pada kam? brat-kambratnya yang liehay, dilihat gelagatnya
kepandaian menyambit senjata rahasia orang itu naga-naganya masih lebih unggul dibanding
diriku." Segera ia mengeluarkan besi sembrani menyedot keluar Bwe-hoa-ciam itu serta
memeriksanya, sesaat kemudian ia mengerut alis.
"Bagaimana?" tanya Utti Keng. "Jarum ini sudah direndam di dalam racun campuran empedu
burung merak, siapa saja yang terluka oleh racun jahat ini pasti segera mampus!"
Serta merta Utti Keng mengerut kening pula, katanya: "Aliran dan golongan lurus sekali-kali
tidak mungkin sudi menggunakan senjata rahasia berbisa macam itu."
"Jarum berbisa macam ini baru pertama kali ini kulihat," demikian ujar Ki Seng-in. "Senjata
rahasia paling berbisa dari aliran Sia-pay pun pernah kulihat, paling-paling cuma racun dari
jengger burung bangau melulu."
Boh Cong-tiu segera menje-ngek: "Tamu-tamu agung undang-anku tiada seorang pun yang
dari golongan Sia-pay."
"Utti Tayhiap," segera Kim Tiok-liu ikut menimbrung, "pernahkah tawananmu ini ada
membocorkan sesuatu rahasia kepada kau" Coba kau katakan biar kita dengar bersama, untuk
memberikan pandangan dan keputusan."
Berkata Utti Keng pelan-pelan: "Dia sih tidak membocorkan dengan siapa Ciok Tio-ki ada janji
bertemu di atas gunung, namun dia pun ada memberi tahu sedikit, bahwasanya Ciok Tio-ki dan
Nyo Bok bukanlah musuh bebuyutan, adalah kebalikan dari obrolannya tadi mereka justru
merupakan sahabat karib."
Nyo Bok menyeringai dingin, jengeknya: "Saksi sudah mampus dan tanpa bukti, sekarang
terserah kau main tuduh secara semena-mena."
"Jadi kau anggap aku mencari gara-gara dan mengarang cerita bohong?" damprat Utti Keng.
"Tidak berani. Tapi kalau toh kau boleh curiga padaku, kenapa pula aku tidak boleh curiga
kepada kau" Huh, aku terluka oleh Lui-sin-ci Ciok Tio-ki, sampai sekarang luka-luka ini belum lagi
sembuh, cara bagaimana mendadak bisa dikatakan menjadi sahabatnya?"
Ki Kian-ya tiba-tiba bergelak tertawa, ujarnya: "Utti Tayhiap, agaknya kau sudah tertipu tanpa
kau sadari." Utti Keng tertegun, tanyanya: "Aku tertipu oleh siapa?"
"Kau tertipu oleh Ciok Tio-ki serta kambrat-kambratnya. Sebagai gembong kangouw masakah
kau masih belum paham akan hal ini?"
Kata-kata ini seketika mendapat tanggapan orang banyak, ada beberapa orang tanpa berjanji
segera berseru bersama: "Betul. Mungkin mereka menggunakan tipu memecah belah di antara
kita sendiri." "Tepat sekali," seru Ki Kian-ya bertepuk tangan. "Justru karena Ciok Tio-ki tidak
berhasil menghasut Nyo Bok untuk menjadi kaki tangannya, maka mereka menjadi bermusuhan,
maka mereka sengaja mengatur tipu daya untuk mencelakai dan menyebar kabar bohong
menjelek-jelekkan nama baik Nyo Bok! He he, tipu daya macam ini, tak nyana Utti Tayhiap pun
suka mempercayainya."
"Urusan hari ini memang tiada bukti dan saksi pun sudah mampus, tapi urusan pasti akan bisa
dibikin terang, tunggu saja waktunya!" demikian kata Utti Keng.
"Bagus ya, Utti Keng sampai sekarang kau masih mencurigai aku" H m, entah mengandung
maksud apa kelakuanmu ini, benar-benar membuat aku ragu-ragu."
Utti Keng mendelikkan mata, bentaknya: "Apa yang kau ragukan" Ada omongan lekas katakan,
kalau mau kentut lekas menyingkir rada jauh!"
Cepat Ki Kian-ya menggoyangkan tangan, selanya: "Urusan ini sudah selesai sampai di sini
saja, kalian masih main debat apa?" Ia tahu Utti Keng amat sulit dilayani, dalam hati ia mengharap
urusan lekas selesai dan tidak berbuntut panjang.
Tak nyana Nyo Bok tidak mau dengar nasehatnya, tanyanya dingin: "Utti Tayhiap, Beng Goancau
adalah sahabat karibmu bukan?"
Persoalan berkisar pada diri Beng Goan-cau, hal ini sudah di dalam rekaan Beng Goan-cau,
namun rada di luar dugaan Utti Keng, sejenak ia melengak, lalu serunya: "Memang, Beng Goancau
adalah sahabat baikku- yang baru saja kukenal, kenapa?"
"Kalau begitu, tidak perlu dibuat heran!" demikian ujar Nyo Bok sambil menggerakkan
kepalanya. Utti Keng menjadi murka, serunya pula: "Sebetulnya apa yang hendak kau katakan,
ayolah bicara secara gamblang saja!"
Nyo Bok menarik napas panjang, lalu berkata pelan-pelan dengan sikap dibuat-buat:
"Keburukan keluarga sebetulnya tidak baik dibeber di hadapan umum, tapi urusan sudah terlanjur,
terpaksa aku mohon kepurusan yang adil kepada hadirin sekalian. Beng Goan-cau, kau keluarlah!"
Suaranya ini laksana guntur menggelegar, Hun Ci-lo yang duduk menyendiri di pojokan hampir
saja jatuh pingsan mendengar kata-katanya ini, mimpi juga ia tidak menduga Nyo Bok bakal
mengucapkan kata-katanya itu. Persoalan terjadi amat mendadak, saat hampir ia tidak percaya
akan pendengaran kupingnya, hatinya menjadi hampa dan kosong: "Sebetulnya apakah yang
hendak dia katakan?"
Meski kejadian ini sudah berada dalam dugaan Beng Goan-cau, tapi sesaat waktu ia
menghadapi kelangsungan dari permulaan kejadian ini, mau tidak mau hatinya merasa mendelu
dan kebingungan juga. "Bagaimana!" bentak Nyo Bok mendapat angin, "Beng Goan-cau kau tidak berani tampil ke
depan menjawab beberapa pertanyaanku?"
Beng Goan-cau kertak gigi, dengan langkah lebar ia maju ke tengah gelanggang, serunya: "Nyo
Bok jangan kau menyemprot muka orang dengan darah mulutmu!"
Ki Kian-ya menyela dingin: "Darimana kau bisa tahu dia menyemprot darah ke mukamu
(maksudnya memfitnah)" Hm, Hm, belum dia bicara agaknya kau sudah ketakutan" Bukankah
tidak tahu malu kau ini?"
"Para cianpwe sekalian serta para sahabat yang mulia," demikian Nyo Bok mulai berpidato
dengan pembukaan katanya. "Aku Nyo Bok sudah tidak bisa menahan sabar oleh rasa penasaran
ini, terpaksa kubeber seluruhnya di hadapan umum. Beng Goan-cau bajingan keparat ini, dia
membawa lari istriku! Kuharap sekalian hadirin suka menegakkan keadilan bagi aku! Beng Goancau,
beranikah kau menyangkal akan hal ini?"
"Mana ada kejadian itu?" jawab Beng Goan-cau, betapapun hati
Beng Goan-cau terguncang hebat, maka jawaban suaranya tidak begitu lantang, seperti orang
takut. Sungguh malu, menyesal, kaget dan marah pula hati Hun Ci-lo, dalam perasaan yang campur
aduk dan sekaligus berkecamuk dalam relung hatinya, terasa pula kesedihan bagi seorang yang
pernah tertipu. Bersama Nyo Bok ia menjadi suami istri selama delapan tahun, meski selama itu
dia belum pernah betul-betul melimpahkan cinta murninya kepada sang suami, namun di dalam
relung hatinya betapa Nyo Bok adalah 'suami baik' yang dia hormati dalam hatinya. Untuk ini,
pemah dia amat terharu dan berterima kasih kepada Nyo Bok. Tak nyana 'suami baik' yang
dianggapnya ini kini memperlihatkan muka aslinya, sehingga angan-angan dan khayalannya dulu
berantakan pecah seperti buih sabun.
Rasa pening seketika merangsang kepalanya, untunglah dia mengenakan kedok muka, orang
lain tidak melihat jelas raut mukanya, tapi badannya tak urung lemas lunglai dan-terhuyung
hampir roboh, orang yang duduk di pinggirnya lantas sama memperhatikan dirinya.
"Eh, eh, kenapa kau?" seru orang di pinggirnya. "Utti Hujin, temanmu..." Sebetulnya dia sudah
mengulur tangan hendak mema-yang Hun Ci-lo, namun orang tidak dikenal dan mengenakan
pakaian berkabung lagi, ia jadi ragu-ragu, maka lekas ia memanggil Ki Seng-in.
Hun Ci-lo tersentak sadar, cepat ia menenangkan hati, katanya: "Tidak apa-apa. Cuma kepala
rada pening, tidak usah mengganggu Utti Hujin!"
Ki Seng-in segera datang menghampiri, katanya: "Begini banyak orang berkumpul, hawa
menjadi sumpek, marilah menyingkir ke tempat yang lebih nyaman saja?" *
"Terima kasih akan perhatian Hujin, kebetulan saja kepalaku pening, sebentar tentu sudah
sembuh lagi!" Ki Seng-in sudah cukup pengalaman, sejak pertama kali ia sudah melihat bahwa Hun Ci-lo
sedang mengandung, sangkanya setelah mengalami pertempuran seru kemarin, pagi tadi bangun
terlalu pagi dan kurang istirahat, maka mendengar Ci-lo pening kepala, sedikit pun ia tidak merasa
heran. "Utti Hujin, kau sedang repot di sana, silakan selesaikan urusanmu, tidak perlu mengurus
diriku," demikian katanya kemudian.
"Nyo Bok memang tidak tahu malu," demikian omel Ki Seng-in. "Terang dia sedang mencoreng
kotoran di muka sendiri untuk mengalihkan perhatian orang lain. Supaya orang banyak sama
membicarakan keluarganya, dengan demikian, semua hadirin tidak akan menyelidiki
persekongkolannya dengan Ciok Tio-ki. Hm, sungguh tidak tahu malu dan hina dina!"
Setelah mengomel panjang pendek, segera ia menambahkan: "Aku punya sebungkus Hengkunsan buatan menurut resep Cukat Bu-ho, cobalah kau meminumnya satu bungkus. Istirahatlah
baik-baik, sebentar aku datang menengokmu lagi."
Mendengar kata-kata Ki Seng-in tadi, hati Hun Ci-lo amat sedih, pikirnya: "Karakter Utti Keng
cukup baik dan polos, dulu ayah pernah memujinya. Tidak mungkin dia mengada-ada dan sengaja
hendak main tuduh atau memfitnah Nyo Bok" Ai, tapi bilamana Nyo Bok benar melakukan
perbuatan macam itu, apakah berani aku mempercayainya?" Lebih lanjut ia berpikir pula: "Apakah
benar dia ada intrik dengan Ciok Tio-ki, baiklah kesam-pingkan dulu. Di hadapan sekian banyak
orang-orang gagah dari seluruh dunia dia memburukkan nama baik Beng Goan-cau, jelas
perbuatannya ini amat tercela! Ai, sungguh aku tidak mengira, pikirannya dan perkataannya serta
perbuatannya bertentangan satu sama lain seperti kelakuan manusia rendah hina dina." Teringat
akan adegan masa lalu hatinya semakin kecut. Delapan tahun menjadi suami istri, baru sekarang
mengetahui kedok aslinya. Di saat Hun Ci-lo tertawa kecut, tanpa disadari segu-lung hawa dingin
tiba-tiba merembes menerjang ke uluhatinya, seketika badan gemetar dan dingin.
Gelak tawa yang terkial-kial panjang menusuk pendengaran menggugah lamunan Hun Ci-lo,
ternyata suaminya sedang menuding Beng Goan-cau dan mencercanya.
"Tiada kejadian itu" He, he, jangan kau paksa aku membongkar seluruhnya?"
Beng Goan-cau pernah titip kepada Kwi-hwe-thio mengirim surat kepada Nyo Bok, mengharap
supaya Nyo Bok memberi kelonggaran pada Beng Goan-cau bertemu dengan putranya. Dia, tidak
tahu bahwa surat itu sekarang sudah tidak berada di tangan Nyo Bok, keruan hatinya rada
bimbang, pikirnya: "Kalau perkara ini dibongkar, aku sendiri sih tidak menjadi soal, bagaimana Cilo
harus angkat kepala di hadapan orang banyak nanti?"
"Bagaimana?" desak Nyo Bok. "Tidak berani bicara ya?"
"Benar, memang aku dan istrimu merupakan teman bermain sejak kecil sampai dewasa, tapi
sejak perpisahan pada sembilan tahun yang lalu tidak pernah kulihat lagi dia. Lebih tidak mungkin
bisa terjadi peristiwa seperti yang kau tuduhkan kepadaku."
"Beng Goan-cau, bicara saja secara jujur dan terus terang," demikian olok Nyo Bok. "Asal kau
kembalikan istriku, aku boleh tidak usah menarik panjang urusan ini."
Gusar dan gugup pula Beng Goan-cau, serunya: "Kau, ucapanmu ini sungguh tidak beralasan"
Bahwasanya selama ini aku belum pernah melihat istrimu!"
"Agaknya kau memang pintar mungkir! Ingat waktu siangnya aku dikebumikan, malamnya kau
melu-ruk datang menculik putraku, sementara perempuan jalang itu sudah meninggalkan rumahku
sebelum kau datang. Apakah ini bukan bukti adanya persekongkolan kalian untuk lari bersama"
Peristiwa ini secara langsung disaksikan oleh toaciku dan keenam muridku, masakah bisa
dipalsukan?" "Benar!" timbrung Ki Kian-ya memberi suara. "Peristiwa itu aku pun tahu jelas."
Seperti diketahui yang merebut Nyo Hoa dari Nyo-toakoh adalah Song Theng-siau yang
mengenakan kedok hitam, maka mendengar laporan menantunya mengenai peristiwa itu, Ki Kianya
pun menyangka Song Theng-siau yang berkedok itu sebagai Beng Goan-cau adanya.
Tapi akhirnya Nyo Bok sudah tahu bahwa orang berkedok itu bukan Beng Goan-cau, bahwa
sekarang dia dengan tegas mengatakan perbuatan Beng Goan-cau memang sengaja hendak
memfitnah dan merusak nama baik Beng Goan-cau.
Sebaliknya Beng Goan-cau tidak tahu terjadinya peristiwa itu, keruan ia terkejut, serunya
tergagap: "Apa, aku, aku, aku, aku, kau, kau, kau..."
"Aku, kau apa?" sindir Nyo Bok dingin.
Beng Goan-cau tersentak sadar, pikirnya: "Hampir saja aku membongkar rahasia ini!" Setelah
menenangkan hati, ia berkata: "Apa, putramu diculik orang" Tapi memang bukan aku yang
melakukan!" Nyo Bok mendengus hidung, jengeknya: "Tiada sangkut paut dengan kau" Lalu kenapa kau
begitu gugup" Sudah jangan mungkir lagi, bicaralah terus terang di mana kau sembunyikan
perempuan jalang itu!"
Hun Ci-lo adalah perempuan yang berwatak lemah di luar keras di dalam, mendengar sang
suami berulang kali memaki dirinya sebagai 'perempuan jalang', hampir saja dadanya meledak
saking murka, pikirnya: "Begitu keterlaluan dia menghina aku, kenapa pula aku harus menjaga
gengsi dan nama baiknya?" Baru saja dia hendak menerjang keluar tanpa pikirkan segala
akibatnya, untunglah keburu seorang lain sudah tampil keluar memberi penjelasan bagi Beng
Goan-cau. Orang ini bukan lain adalah Cau Siok-toh.
Berkata Cau Siok-toh perlahan-lahan: "Nyo busu, mungkin kau sendiri yang salah paham. Di
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana istrimu aku malah tahu."
Nyo Bok mengenal siapa Cau Siok-toh, sebentar dia tercengang, lalu katanya: "Cau-locianpwe,
cara bagaimana kau bisa tahu?"
"Istrimu punya seorang bibi yang menikah dengan sahabat karibku bernama Siau King-hi. Kami
dua keluarga hidup bertetangga sejak lama, menetap di Tong-thing-san sebelah barat. Kira-kira
bulan yang lalu istrimu bertandang dan menetap di rumah bibinya sampai sekarang. Nyo Busu,
kalau tidak percaya boleh ikut aku pulang ke Tong-thing-san, kutanggung kalian suami istri bisa
rujuk kembali!" Tan Thian-ih juga tampil memberikan kesaksian, katanya: "Benar! Aku punya seorang teman
bernama Miao Tiang-hong, beberapa hari itu kebetulan sedang bertamu di rumah keluarga Cau,
dia pun pernah melihat istrimu dengan mata kepalanya sendiri."
Dua cianpwe sama tampil memberi kesaksian, maka Nyo Bok tidak berani menuntut kembali
istrinya kepada Beng Goan-cau. Maka Boh Cong-tiu bergelak tertawa, serunya: "Kiranya hanya
salah paham belaka, kalau urusan sudah jelas tak usah diperpanjang lagi!" Dia punya kekuatiran
lain, sedapat mungkin ia mengharap persoalan ini tidak berbuntut dan semakin berlarut.
Para hadirin juga mengira gelombang pasang sudah mereda dan suasana kembali tenang, tak
nyana Nyo Bok masih berseru: "Nanti dulu. Urusan masih belum selesai!"
Beng Goan-cau tidak mengira orang masih hendak mencari gara-gara, sekilas ia melongo,
jengeknya dingin: "Istrimu sudah diketahui jejaknya, bukti menyatakan urusanmu ini tiada sangkut
paut dengan aku. Nyo busu masih punya petunjuk apa lagi?"
Sebaliknya Nyo Bok berpaling dan menjura hormat kepada Cau Siok-toh, katanya: "Caulocianpwe,
aku orang she Nyo masih ada sebuah persoalan yang belum kumengerti, mohon
penjelasan dari kau orang tua!"
"Silakan katakan!" sahut Cau Siok-toh.
Tanya Nyo Bok: "Istriku lari ke tempat bibinya, adakah dia membawa putraku?"
"Soal putramu aku kok tidak melihatnya."
"Jadi hanya istriku seorang saja?"
Cau Siok-toh mengiakan. Setelah menanyakan dan mendapat ketegasan dari Cau Siok-toh, Nyo
Bok berpaling lagi berhadapan kepada Beng Goan-cau, ejeknya tertawa dingin: "Soal kau
melarikan istriku katakan saja memang salahku menuduh kau. Tapi putraku jelas adalah kau yang
merebut, soal ini kukira kau tidak bisa mungkir! Istriku biar kucari sendiri, sebaliknya putraku
harus kau kembalikan!"
Jengkel dan gusar pula Beng Goan-cau dibuatnya, serunya: "Sudah kujelaskan secara
Ikat Pinggang Kemala 7 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Lambang Naga Panji Naga Sakti 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama