Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 2
selanjutnya kularang kau mengurusi bocah ini, bagaimana kau berani dan setuju?"
"Kau kira aku gampang kau tipu?" semprot Nyo-toakoh gusar, "Untuk bertanding satu lawan
satu cukup di sini saja. Kau tempatkan anakmu di dalam hutan, biar Si-kiat melindunginya. Kalau
kau mampu mengalahkan aku kubiarkan kau pergi membawa anakmu!"
"Kau tidak percaya padaku, masa aku sebaliknya harus percaya kepadamu?" demikian jengek
Hun Ci-lo. Nyo-toakoh menjadi gusar, bentaknya: "Perkataan seorang kuncu seumpama kuda yang berlari
kencang, aku kaum hawa, ucapanku pasti dapat dipercaya, berani kau tidak percaya akan
omonganku!" Pelan-pelan Hun Cin-lo berkata: "Memangnya ucapanku juga tidak dapat dipercaya" Kenapa
pula kau tidak percaya akan kata-kataku" Apalagi seumpama aku percaya akan omonganmu,
belum tentu aku percaya pada putramu, lebih aku tidak bisa percaya sama Bun Seng-liong, Gak
Hou bocah-bocah kurang ajar yang tidak tahu tata kehormatan."
Sembari bicara sepasang telapak tangan Hun Ci-lo masih bekerja dengan cepat, belum lagi
ucapannya selesai Nyo-toakoh sudah terdesak mundur puluhan langkah ke belakang, jengeknya
pula: "Jelas kau tidak akan mampu merintangi keberangkatan kami ibu beranak maka kuanjurkan
pada kau perkara bikin habis saja sampai di sini. Berikanlah kesempatan kepada kami pergi supaya
kedua belah pihak masih punya hubungan yang cukup intim supaya kelak masih ada muka untuk
berjumpa kembali." Hun Ci-lo menganggap bahwa dirinya sudah berada di atas angin, kemenangan jelas bakal
dicapainya, tanpa hiraukan Nyo-toakoh sudi atau tidak memberi jalan ia terjang terus dengan
kekerasan. Siapa duga sesuai dengan nama julukan Nyo-toakoh Loak-jiu-koan-im, sudah tentu
gelar namanya ini tidak diperolehnya secara sia-sia dan tanpa sebab. Sekilas ia mengerut kening
tiba-tiba terbayang olehnya sebuah tipu akal: "Kenapa aku tidak membalasnya dengan caranya
yang sama!" Setelah mantap hatinya berke-putusan, kedua telapak tangannya serentak merabu gencar balas
menyerang dengan jurus-jurus Kim-kong-lak-yang-jiu yang mematikan! Malah kali ini ia kerahkan
tujuh bagian tenaga negatifnya yang keras dan deras.
Hun Ci-lo terkejut, batinnya: "Mungkinkah dia berani melukai puteraku ?" Betapa cepat
serangan Nyo-toakoh, belum lagi lenyap jalan pikiran Hun Ci-lo, kedua serangan telapak
tangannya sudah melayang tiba laksana geledek menyambar kilat berkelebat! Dinilai dari daya
kekuatan pukulannya ini agaknya ia sudah berlaku nekad dan tidak menaruh kekuatiran apapun
jua! Cepat-cepat Hun Ci-lo harus melindungi keselamatan putranya, dengan meng-empos tenaga
sekuatnya ia berusaha memunahkan rangsakan musuh, tapi tak urung ia balas terdesak kembali
ke tempatnya semula. Nyo-toakoh tertawa dingin: "Sebagai seorang ibu kau tidak hiraukan keselamatan putramu,
apalagi aku yang menjadi bibinya masa harus menaruh belas kasihan malah! Seumpama sampai
melukai dia, kukira adiku pasti akan dapat memaafkan aku di alam baka. Karena sekarang aku
sedang menuntut balas bagi kematiannya!"
Kiranya Kim-kong-lak-yang-jiu yang dimainkan Nyo-toakoh ini ternyata berada di atas dari
penilaian Hun Ci-lo semula, tenaga pukulannya sudah mencapai taraf yang sempurna dapat
dilancarkan dan ditarik balik sesuka menurut kehendak hatinya, seandainya benar-benar
pukulannya kena di tubuh Nyo Hoa tidak akan bisa membikinnya mampus. Paling-paling bocah itu
kena dibikin kaget dan terjatuh, luka ringan jelas tidak bisa terhindar lagi. Nyo-toakoh justru sudah
berketetapan menempuh bahaya yang telah diperhitungkan sebelumnya ini.
Benar juga Hun Ci-lo kena ditipunya, sudah menjadi kodrat alam seorang ibu sangat sayang
dan pasti melindungi putranya, melihat serangan Nyo-toakoh benar-benar ganas dan telengas
bagaimana dia tidak akan gelisah" Saat itu seandainya ia tahu bahwa Nyo-toakoh tidak akan tega
melukai Nyo Hoa, tapi masa dia sendiri berani mempertaruhkan jiwa putranya dalam pertempuran
yang sengit ini. Apa boleh buat sekuat tenaga ia harus berusaha melindungi jiwa Nyo Hoa meski ia
sendiri harus mempertaruhkan jiwa.
Kepandaian mereka boleh terhitung setail delapan uang alias setanding dan setingkat. Kini
sepihak punya rasa kekuatiran dan harus berjaga-jaga terhadap putranya, sebaliknya pihak yang
lain menggempur gencar dengan sekuat tenaga, sudah tentu Hun Ci-lo jadi tidak mampu lagi
menghadapi amukan Nyo-toakoh ini.
Nyo Hoa sembunyi di belakang Hun Ci-lo, melihat roman wajah bibinya sedemikian bengis dan
garang, menggasak dan memberondong ibunya mundur berulang-ulang, saking takut akhirnya ia
menangis, teriaknya: "Ibu, kalian jangan berkelahi lagi, aku takut, aku takut!"
Dengan sejurus jian-jiu (tangan memutar) Nyo-toakoh merangsak lagi untuk menutup
kesempatan rangsakan balasan Hun Ci-lo, bentaknya: "Hun Ci-lo, tinggalkan saja keponakanku ini,
kuberi, kesempatan kau pergi! Kalau tidak jangan sesalkan kalau aku berlaku telengas, tidak
menjadi soal jiwamu melayang, namun jiwa putramu yang tidak berdosa masa harus ikut
dikorbankan !" Hun Ci-lo menghela napas, ujarnya: "Kenapa kau sedemikian kukuh hendak memisahkan kami
ibu beranak?" "Anak ini adalah keturunan tunggal keluarga Nyo kita, aku tidak bikin panjang urusan kau
membunuh suami, masa kau masih berkukuh hendak berebut anak itu denganku?"
"Dengan dalih apa kau berani mengatakan anakku sebagai keturunan tunggal keluarga Nyo
kalian..." "Anak ini kan putra adikku, sudah tentu menjadi keturunan keluarga Nyo kita, kau sendiri sudah
bukan menjadi warga keluarga Nyo, masih ada muka kau minta-minta kepadaku?"
Hun Ci-lo jadi berpikir: "Lebih baik tidak kuberitahukan kepadanya, kalau tidak mungkin jiwa
putraku ini pun sulit kuselamat-kan."
Tapi Nyo Hoa menjerit-jerit: "Aku tidak mau ikut bibi, aku suka ikut ibu!"
"Keponakanku yang baik jangan menangis lagi, ibumu bukan orang baik, dialah yang
mencelakai jiwa..." Berdiri alis Hun Ci-lo, hardiknya: "Jangan kau menista diriku di hadapan putraku, atau aku
harus adu jiwa dengan kau!"
Harapan Nyo-toakoh hanya minta kembali keponakannya, maka terpaksa ia telan kembali katakata
yang sedia diucapkan, katanya: "Baik. sekarang tidak kukatakan, setelah dia besar kelak
tentu akan paham sendiri duduk perkaranya. Suruhlah dia ikut padaku!"
"Kau harus berjanji padaku untuk merawatnya baik-baik!"
"Sungguh menggelikan dan omong kosong belaka! Nyo Hoa adalah tulang daging keluarga Nyo,
bagaimana mungkin aku tidak akan merawatnya baik-baik?"
"Baik. Kalau begitu aku rela dan cukup lega. Hoa-ji, kau boleh ikut bibi pulang saja!" Tiba-tiba
ia mencium kedua pipi anaknya terus mendorongnya ke depan sambil menutup mukanya ia berlari
pergi. Suara tangis anaknya laksana ujung panah menghunjam ke uluhatinya, kuatir kalau dia
menghentikan langkah tidak akan tega melihat putranya yang tersayang, terpaksa ia berlari
semakin kencang dan tidak menoleh lagi.
Setelah melihat Hun Ci-lo pergi jauh tak terlihat lagi, para murid dari perguruan Nyo itu baru
beramai-ramai keluar dari tempatnya sembunyi. Sebagai calon Ciangbun Tecu cepat-cepat Bun
Seng-liong menjura dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Nyo-toakoh, katanya:
"Kepandaian silat Sukoh memang hebat dan tiada tandingan, akhirnya perempuan jalang itu
berhasil digebah pergi dan melindungi nama baik perguruan kita. Kami para murid sungguh
banyak terima kasih dan semoga arwah suhu di alam baka dapat istirahat dengan tentram.'"
Gak Hou pun ikut menimbrung: "Cuma sayang Hun Ci-lo berhasil melarikan diri.'"
"'Berkat jiwa besar Sukoh baru dia berhasil lari, kalau tidak masa perempuan jalang itu masih
bisa hidup?" demikian umpak Bun Seng-liong.
Cepat-cepat Gak Hou menambahkan: "Benar, sepak terjang Sukoh memang amat
mengagumkan, antara budi dan tekanan serta kebaikan sekaligus telah dilaksanakan dalam
selintas tindak, kami para murid sungguh kagum!"
Sementara dalam hati ia membatin: "Cara kepandaian suheng menepuk pantat ternyata jauh
lebih liehay dari aku. Kali ini jikalau Sukoh tidak mempertaruhkan jiwa sute cilik untuk menekan
dan mengancam Hun Ci-lo, siapa unggul siapa asor mungkin sulit diduga."
Rona wajah Nyo-toakoh membeku dingin, hidungnya mendengus lalu berkata: "Jangan kalian
menempel emas di mukaku, malam ini betapapun aku tidak kuasa membekuk atau mengalahkan
dia. menguntungkan perempuan jalang itu saja! Tapi akan datang suatu ketika aku akan mencari
perhitungan dengan dia. Baiklah, kalian tidak usah cerewet lagi, kalian boleh lekas pulang. Mencari
buku pelajaran silat guru kalian lebih penting."
Mendengar ucapan Sukohnya ini diam-diam Bun Seng-liong girang, pikirnya: "Sukoh berkata
demikian, buku pelajaran silat itu pasti masih tersimpan di rumah guru."-Semula ia curiga bahwa
Hun Ci-lo sudah melalapnya, akhirnya curiga pula pada Nyo-toakoh, cuma biasanya tindak tanduk
Nyo-toakoh cukup terang-terangan dan cerdik lagi. sekali turun tangan tidak mengenal belas
kasihan, setiap musuhnya pasti merasakan kekejaman tangannya. Setelah menempur puluhan
jurus melawan Hun Ci-lo. seandainya buku pelajaran silat adiknya berada di tangan Hun Ci-lo,
mengandal ketajaman dan pengalamannya pasti dapat melihat tegas dari segala gerak-geriknya.
Bahwa dia tidak mengancam dan meminta kepada Hun Ci-lo untuk menyerahkan buku pelajaran
itu, ini membuktikan bahwa buku rahasia silat itu memang benar-benar tidak berada di tangan
Hun Ci-lo. Apalagi mengandal nama dan kedudukan Nyo-toakoh. betapapun dia tidak akan bicara
bohong atau membual terhadap para keponakan muridnya. Kalau toh dia suruh para keponakan
muridnya pulang mencari di rumah, sekali lagi membuktikan bahwa buku pelajaran silat perguruan
mereka memang tidak tercuri hilang. Oleh karena itu semula Bun Seng-liong merasa putus asa
dan tiada harapan, setelah mendengar ucapannya yang terakhir hatinya bersorak kegirangan.
Mendadak Nyo Hoa menjerit gerung-gerung, teriaknya: "Kalian kenapa memaki ibuku, aku tidak
mau pulang dengan kalian. Aku ingin ikut ibu. aku ingin ikut ibu!"
Dengan suara halus Nyo-toakoh lantas membujuknya: "Anak manis jangan menangis, ibumu
orang jahat, bibi akan sayang kepadamu!"
"Tidak!" teriak Nyo Hoa, "Kalian menjelek-jelekkan ibu, kau inilah orang jahat!"
Nyo-toakoh mengerutkan kening, makinya: "Anak kecil tidak tahu aturan, tidak boleh
sembarangan omong!"-Sekali raih ia mengangkatnya terus dibopong kencang, sehingga Nyo Hoa
tidak bisa berkutik dalam pelukannya, terpaksa hanya menjerit-jerit dan menangis gerung-gerung.
Nyo-toakoh tidak peduli tangis dan jeritannya, dengan kekerasan ia bawa anak kecil ini pulang ke
rumah. Begitu tiba di rumah Nyo Bok. langsung Nyo-toakoh menyerahkan Nyo Hoa kepada Cui-hoa, itu
pelayan yang kena dipelet oleh Gak Hou. Dengan memimpin semua keponakan muridnya ia
memeriksa dan menggeledah kamar tidur Hun Ci-lo. Cuma demi gengsi dan kedudukan ia hanya
memberi petunjuk dan samping tanpa ikut turun tangan.
Geledah punya geledah buku pelajaran silat yang dicari tidak ketemu tapi mereka mendapatkan
sepucuk surat peninggalan Nyo Bok. Pertama-tama Ki Si-kiat yang bersuara heran, serunya: "Bu,
inilah surat Kuku (paman) yang ditujukan kepadamu!"
Waktu Nyo-toakoh menerima sampul surat itu, tampak di mana tertulis:
"Disampaikan kepada Lian-ci"
Sewaktu masih perawan nama asli Nyo-toakoh adalah Nyo Lian.
Nyo-toakoh kenal gaya tulisan adiknya, diam-diam hatinya menjadi heran dan curiga. Sambil
menyobek sampul surat itu dalam hati ia membatin: "Mungkinkah adikku sudah tahu bahwa
dirinya akan dicelakai oleh Hun Ci-lo, sebelumnya sudah menyiapkan surat peninggalan terakhir ini
mohon aku, menuntut balas baginya" Surat ini disimpan dalam laci lemari toilet Hun Ci-lo, masa
Hun Ci-lo tidak menemukannya sebelum ini?"
Soalnya terlalu tebal kepercayaan Nyo-toakoh bahwa adiknya dicelakai oleh Hun Ci-lo, maka,
sedikit pun ia tidak pernah memikirkan liku-liku lainnya dalam sebab musabab peristiwa itu.
Siapa tahu setelah ia membaca surat itu, baru ia sadar bahwa dugaannya ternyata meleset.
Tampak dalam surat itu berbunyi:
"Lian-ci yang budiman. Adik terlibat dalam suatu pertikaian yang sulit kukemukakan kepadamu,
cuma kematianlah yang dapat membebaskan diriku dari libatan persoalan itu. Segala kejadian ini
tiada sangkut paut dengan adik iparmu (maksudnya Hun Ci-lo), setelah aku mangkat, jangan kau
menekan dia berkabung menjadi janda, seumpama dia hendak pergi membawa putra kami. kau
pun jangan merintangi, berilah kebebasan kepadanya. Sebab musabab kematianku kau pun tidak
usah tanya atau menyelidiki dari mulut iparmu. Pendek kata sekali-kali jangan kau mempersulit
kepadanya, atau meski adikmu tiba di alam baka pun tidak akan meram dengan tentram. Apalagi
seumpama adikmu beruntung tidak sampai ajal dalam persoalan ini, sepuluh tahun yang akan
datang pasti akan kujelaskan segala seluk beluknya kepadamu. Cuma mati atau hidup sulit
ditentukan, tergantung kepada Tuhan yang maha pengasih untuk memberikan peluang hidup
bagiku. Tapi di hadapan orang kau harus anggap bahwa aku memang sudah ajal benar-benar,
kalau tidak, seumpama aku beruntung terhindar dari bencana kali ini. elmaul akan selalu
mengancam keselamatanku juga."
Bunyi surat ini sembunyi-sembunyi kurang gamblang, Nyo-toakoh menaruh heran dan curiga,
tapi hatinya pun menjadi lega dan girang pula. Nyo-toakoh bersikap wajar, diam-diam ia
membatin: "Dari nada bicara surat ini, jelas bahwa adik memang bunuh diri. Tapi bagaimana
mungkin bisa beruntung terhindar dari bencana?"
Tiba-tiba teringat olehnya akan cerita si maling sakti di malam si maling sakti Kwi-hwe-thio
menemukan Nyo Bok hendak bunuh diri dan ketahuan oleh Hun Ci-lo serta menolongnya, Nyo Bok
pernah berkata: "Bunuh diriku ini hanya setengah-setengah, separuh sungguh-sungguh separuh
pura-pura. Di saat Kwi-hwe-thio mengisahkan ucapan Nyo Bok ini, ia pernah mengomentari
dengan rasa heran dan tidak mengerti: "Bunuh diri ya bunuh diri, masa ada bunuh diri setengah
sungguh-sungguh setengah pura-pura?"
Saat ini Nyo-toakoh pun merasa serba curiga dan gundah, tapi seolah-olah ia sudah dapat
meraba sedikit juntrungannya. dari ucapan dalam surat yang kurang gamblang ini, bukankah
secara langsung sudah memberi penjelasan mengenai 'setengah sungguh dan setengah pura-pura'
itu" Bahwasanya adikku benar-benar mati atau pura-pura mati" Setelah melihat surat itu Nyotoakoh
jadi menduga-duga dan bertanya-tanya dalam hati. Peti mati sudah dibongkar tanpa
menemukan jazatnya, jelas bahwa kematian ini hanya pura-pura saja. Tapi kalau adik masih hidup
kenapa dia harus menjelaskan sepuluh tahun kemudian" Bukankah cuma aku seorang sanak
kadangnya yang terdekat! Begitulah Nyo-toakoh berpikir-pikir. Pikir punya pikir sanubarinya
terketuk, tanpa merasa ia jadi duka dan lara. Tapi betapapun harapan ada, semogalah sepuluh
tahun mendatang ia dapat jumpa kembali dengan adiknya. Oleh karena itu meski hatinya duka
dan sedih, tapi merasa terhibur juga.
Ki Si-kiat bersama Bun Seng-liong dan lain-lain menunggu sambil menahan napas, setelah sinar
mata Nyo-toakoh beralih dari pucuk surat itu. tanpa berjanji Ki Si-kiat dan Bun Seng-liong
bertanya bersama: "Bu. apa yang ditulis Kuku dalam suratnya itu?" "Sukoh, suhu ada meninggalkan pesan apa" Apa beliau ada menyinggung soal buku pelajaran
silatnya itu?" Pelan-pelan Nyo-toakoh melipat surat itu terus disimpan dalam kantong bajunya, sahutnya
tawar: "Tiada apa-apa."
"Tiada apa-apa?" seru Bun Seng-liong dengan nada heran dan tak percaya.
Nyo-toakoh mendengus, katanya dingin: "Bun Seng-liong, ternyata yang kau perhatikan cuma
buku pelajaran silat perguruanmu saja ya?"
Berubah kelam dan pucat rona wajah Bun Seng-liong, cepat ia berseru tersipu-sipu: "Tidak,
tidak! Sukoh, kau jangan salah paham. Tecu mendapat budi pertolongan dan bimbingan suhu,
kami para muridnya akan segera berusaha menuntut balas bagi beliau menurut petunjuknya.
Kupikir suhu pasti sudah maklum bila kami bukan tandingan Hun Ci-lo, mungkin ada meninggalkan
rahasia pelajaran silat perguruan kita kepada kami sekalian, supaya kami dapat meningkatkan
kepandaian untuk membalas dendam bagi beliau. Tapi kalau suhu tidak menyinggung hal itu
sudah tentu kami tidak akan berani sembarangan bertanya."
Sejak pulang dari tanah pekuburan. Hoan To tidak pernah membuka mulut, kini tak tahan lagi
ia bertanya: "Sebetulnya cara bagaimana kematian suhu, apakah dalam pesannya itu tidak
menjelaskan?" "Kenapa kau bertanya lagi, sudah tentu dicelakai oleh Hun Ci-lo," jengek Nyo-toakoh. "Sudah
lama ia mendapat firasat bahwa Hun Ci-lo memang hendak mencelakai jiwanya, maka ia
tinggalkan surat pesannya ini kepada aku."
Bukan maksud Nyo-toakoh hendak menista dan mempersulit Hun Ci-lo, soalnya adiknya ada
pesan supaya jangan membocorkan bahwa dia masih hidup dalam dunia fana ini, maka demi
rahasia ini tidak bocor terpaksa ia memperkuat tuduhan dan dugaan para murid-murid itu bahwa
memang Hun Ci-lolah yang membunuh guru mereka, percaya para murid itu tidak akan banyak
cincong lagi. Dalam hati Nyo-toakoh berpikir: "Asal aku tidak mencari Hun Ci-lo dan mempersulit dia, masa
mereka berani mengganggu usik seujung rambutnya saja. Hun Ci-lo bersikap kasar dan tidak tahu
kehormatan kepadaku, kalau aku membuatnya ketimpa tuduhan yang penasaran ini kiranya cukup
setimpal!" Adalah Hoan To juga berpikir dalam hati: "Tapi kenapa kau sendiri tidak memberi komentar dan
mengambil suatu tindakan apa-apa?" Ini hanya kecurigaan dalam hati sudah tentu ia tidak berani
mengutarakan hal itu kepada Sukoh-nya. Tapi agaknya Nyo-toakoh dapat meraba jalan pikirannya,
segera ia menambahkan dengan suara tawar: "Sebetulnya seumpama tiada surat peninggalan ini,
aku pun sudah tahu siapa pembunuhnya. Ada atau tidak surat ini hakikatnya sama saja bagi aku."
"Benar," kini Gak Hou menyela bicara. "Dengan adanya beberapa bukti ini, siapa berani
mengatakan bahwa bukan Hun Ci-lo yang menjadi pembunuhnya?"-Di kala bicara sengaja ia
mendelik kepada Hoan To. Hoan To menundukkan kepala tanpa bicara lagi, dalam batin ia berpikir
lagi: "Pasti ada latar belakang dalam persoalan rumit ini, aku tidak percaya bahwa guru mati
dicelakai oleh sunio."
"Pemeriksaan terus dilanjutkan. Aku hendak keluar menengok Hoa-ji!" kata Nyo-toakoh lalu
mengundurkan diri. Tatkala itu Nyo Hoa masih menangis dan menjerit-jerit di ruang pendopo, Cui-hoa berusaha
membujuknya makan, tapi piring mangkok kena dibantingnya hancur.
Nyo-toakoh mengerutkan kening, katanya: "Hoa-ji, kenapa kau begitu tidak dengar kata" Cuihoa,
biar aku yang memberi makan padanya. Hoa-ji kalau masih nakal dan rewel saja bibi tidak
sayang lagi dan akan pukul kau."
Di luar dugaan bukan saja Nyo Hoa tidak mau makan nasi yang dibawa Nyo-toakoh, malah dia
mengumbar adatnya lebih besar, tiba-tiba ia gigit lengan tangan Nyo-toakoh serta berteriak: "Kau
mengusir ibuku, aku benci kepadamu!"
Timbul amarah Nyo-toakoh, makinya: "Kau sangka aku tidak berani menghajar kau?" dengan
bersikap garang ia pura-pura layangkan telapak tangannya hendak menampar ke muka Nyo Hoa.
Mendadak didengarnya seseorang membentak: "Tahan!"
Nyo-toakoh berjingkrak kaget, cepat ia angkat kepala, tampak seorang orang yang
mengenakan kerudung hitam tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya.
Gelaran Nyo-toakoh adalah Loak-jiu-koan-im, bukan saja membekal kepandaian Kim-kong-lakyangjiu yang hebat, kepandaian menimpuk senjata rahasia pun sangat mahir, bagi seorang yang
pandai menimpuk senjata rahasia maka ia pun punya kepandaian untuk mendengar angin
membedakan senjata rahasia. Cukup sedikit gerakan saja pasti tidak akan dapat mengelabui
kupingnya. Tapi orang berkedok ini tahu-tahu sudah berada di hadapannya baru ia ketahui,
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka bukan kepalang kejutnya.
Betapapun Nyo-toakoh seorang kawakan yang sudah pernah mengalami berbagai pengalaman
besar kecil, meski hatinya sangat terkejut, ia masih cukup tenang, setelah rasa kejutnya hilang
cepat ia sudah dapat menguasai diri dan siap siaga. Tampak orang ini mengenakan kedok lebar
warna hitam yang menutupi seluruh kepalanya, cuma dua lubang mata saja yang kelihatan. Kedua
biji mata orang sedang jelalatan mengamati dirinya dari atas sampai bawah.
Nyo-toakoh jadi gusar dan membentak: "Siapa kau, untuk apa kau main terobosan ke dalam
rumahku?" Orang berkedok itu menjengek dingin, sahutnya: "Kau tentu adalah Toaci dari Nyo Busu, tokoh
yang diberi nama gelar Loak-jiu-koan-im Nyo-toakoh!"
Kedua belah pihak hampir bersamaan mengajukan pertanyaan kepada lawannya.
Nyo-toakoh menyeringai dingin, katanya: "Kau sudah tahu akan gelaranku, kenapa berani
bersikap begitu kurang ajar kepadaku."
"Huh!" orang berkedok mende-nguskari hidung, jengeknya: "Orang lain takut pada kau, aku
justru kemari untuk mencari kau. Kau tidak perlu tahu siapa aku, aku hanya ingin kau menjawab
dua pertanyaanku." "Kalau aku tidak mau jawab kau mau apa?"
"Kalau begitu boleh nanti kau coba-coba, kau yang bertangan jahil atau aku yang bertangan
ga-pah!" Bergelora amarah Nyo-toakoh, namun karena tertarik dan heran sedapat mungkin ia menahan
sabar, katanya: "Baik, cobalah kau katakan, ingin aku mendengar pertanyaanmu. Soal menjawab
atau tidak tergantung dari senang tidak aku membuka mulut!"
"Pertanyaan pertama, adikmu mati betul-betul atau mati pura-pura" Pertanyaan kedua, ke
mana Hun Ci-lo telah pergi?"
Berubah air muka Nyo-toakoh, tanyanya dengan suara lirih tertekan: "Apa sangkut pautmu
dengan Hun Ci-lo. kenapa kau perhatikan dirinya?"
"Sekarang akulah yang bertanya kepadamu, belum tiba giliranmu!"
"Tanpa kau jelaskan aku pun sudah tahu. Kau adalah gendak lama Hun Ci-lo bukan" Hm, besar
benar nyalimu berani meluruk ke rumahku."
"Tutup mulutmu!" bentak si orang berkedok, "Jangan kau menista dan menghina Hun Ci-lo!"
"Aku justru akan membeber boroknya, kau mau apa" Baik, dua pertanyaanmu akan kujawab
sekaligus. Hun Ci-lo mencelakai jiwa suaminya dan siang-siang sudah melarikan diri! Kini aku
sedang menyelidiki siapakah yang menjadi biang keladi dari pembunuhan ini!"
Kelihatannya orang berkedok jadi melongo, kepalanya digeleng-gelengkan, mulutnya
menggumam: "Salah, salah. Ai, masa..." saat itu Nyo-toakoh sudah berdiri di hadapannya, dua biji
matanya yang mencorong tajam sedang menatap dirinya, kuatir orang menyergap mendadak.
Orang berkedok itu tersentak sadar, maka ucapan selanjutnya ia telan kembali.
"Apanya yang salah!" jengek Nyo-toakoh.
"Hun Ci-lo menikah dengan adikmu, meski burung cendrawasih ikut burung gaok, tapi
nuraninya sangat luhur dan bijaksana, kalau toh nasi sudah menjadi bubur, dia pasti menikah
dengan ayam ikut ayam, menikah dengan anjing ikut anjing."
"Kau adalah gendaknya dan dia perempuan serong, kalian bersekongkol membunuh adikku,
berani kau di dalam pendopo di hadapan pemujaannya menghina dan memakinya!"
Sebagai seorang ahli silat meski orang berkedok belum turun tangan namun Nyo-toakoh insyaf
bahwa lawan punya kepandaian silat liehay seperti setan keluar dan malaikat muncul, terutama
kedua biji matanya yang berkilat tajam dapatlah dinilai bahwa orang pasti seorang kosen dari
Bulim. Mau tidak mau terpikir oleh Nyo-toakoh: "Ya, mungkin Bok-te sudah tahu bahwa perempuan
jalang itu ada berlaku serong, tahu bahwa kekasih atau gendaknya ini adalah seorang tokoh Bulim
yang berkepandaian tinggi, untuk menjaga bila dirinya bukan tandingan maka pura-pura mati saja.
Mungkin karena Bok-te bersikap sangat baik terhadap perempuan jalang itu, nuraninya terketuk
dan mengingat hubungan suami istri sekian lamanya maka cukup ia minta Bok-te selanjutnya tidak
muncul di hadapan umum, sehingga dia dapat rujuk kembali dengan gendaknya yang lama, maka
dia pun tidak akan mempersulit dirinya. Demi terlaksananya angan-angannya ini sudah tentu
dengan suka rela ia mau menutupi rahasia kematian Bok-te.'
Menurut prasangka Nyo-toakoh bahwa jalan pikirannya ini cukup beralasan dan sesuai dengan
keadaan, maka sikapnya jadi ketus menaruh sikap bermusuhan terhadap orang terkedok ini, tapi
ia tidak berani memberikan data-data yang benar atau membocorkan rahasia yang menurut
anggapannya tepat dengan dugaannya, supaya orang main tebak akan cara kematian adiknya
yang pura-pura itu. Bahwa dengan gamblang ia tuding si orang berkedok bersekongkol dengan
Hun Ci-lo membunuh adiknya, maksud tujuannya adalah supaya orang main reka dan percaya
bahwa adiknya memang sudah mati. Soal siapakah pembunuh yang sebenarnya terserah kepada
si orang berkedok untuk menganalisa dan menebaknya sendiri.
Dicaci maki dan dicerca oleh Nyo-toakoh sudah tentu orang berkedok jadi gusar, bentaknya:
"Kau perempuan galak ini jangan sembarangan omong dan main tuduh !"
Nyo-toakoh menyurut selangkah, diam-diam ia kerahkan tenaga murninya siap siaga menjaga
serangan musuh, jengeknya dingin: "Kau mau apa ?"
Nyo-toakoh menyangka si orang berkedok segera hendak turun tangan, di luar dugaan orang
berkelebat memberosot lewat dari samping tubuhnya serta menyerong maju dua tindak sampai ke
depan meja pemujaan. Gerak langkah kakinya menggunakan Ngo-heng-pat-kwa-pou-hwat, di
mana terkandung langkah-langkah tersembunyi yang sulit diraba, jelas ia pun sudah bersiap
melawan rangsakan Nyo-toakoh.
Sepiring nasi yang dibawa oleh Nyo-toakoh untuk Nyo Hoa ditaruh di atas meja pemujaan itu,
karena Nyo Hoa tidak mau makan, kini masih penuh dan berada di pinggir meja, sementara
dengan senggaksengguk anak kecil itu pun berdiri di samping meja, waktu ia angkat kepala
didapatinya sang bibi sedang perang mulut dengan orang berkedok. Memang dia sudah terlanjur
benci pada bibinya, melihat orang berkedok berani memaki dan melawan bibinya, sedang sang
bibi kelihatannya rada gentar terhadap si orang berkedok, diam-diam hatinya bersorak kegirangan.
"Apa yang hendak kau lakukan?" bentak Nyo-toakoh.
"Aku tidak sudi melayani perempuan galak seperti kau ini! Tapi setelah kau mengusir Hun Ci-lo
maka tidak kuijinkan kau menganiaya dan menyiksa bocah ini." Tangan terulur dengan lemah
lembut ia mengelus-elus kepala Nyo Hoa, katanya lembut: "Anak manis, mari kuajak kau menemui
ibumu, bagaimana kau mau tidak?"
"Hore!" Nyo Hoa bersorak dengan berjingkrak kegirangan, "Aku tidak mau ikut bibi aku hendak
mencari ibu !" Di kala si orang berkedok mengelus kepala Nyo Hoa badannya terbungkuk jadi sebelah bagian
bawah badannya menempel meja pemujaan, sementara Nyo-toakoh berada di sebelah meja yang
lain, mendadak ia menggebrak meja seraya membentak: "Kurang ajar! Lepaskan keponakanku!"
Kekuatan pukulan Kim-kong-jiu Nyo-toakoh dapat disalurkan melalui sesuatu benda yang
dipukulnya, telapak tangannya menggebrak meja, tujuannya memang ia ingin menggunakan
lwekang tingkat tinggi melukai si orang berkedok secara mendadak dan membokong.
Maka terdengarlah "blang" meja pemujaan itu kontan pecah menjadi dua persis dari tengahtengahnya,
barang-barang sesajian jadi beterbangan ke mana-mana. Tapi sedikit pun si orang
berkedok tidak bergeming, sebaliknya Nyo-toakoh sendiri yang tergetar mundur dua tindak.
Kaget dan gusar pula Nyo-toakoh dibuatnya. Kiranya pukulan tenaga dalam Nyo-toakoh yang
disalurkan dari pukulannya ke meja kena dipukul kembali oleh kekuatan perlawanan lawan, malah
tenaga balik yang memberondong itu jauh lebih besar dan kuat. Urusan sudah terlanjur terpaksa
Nyo-toakoh bekerja tidak kepalang tanggung.
Menggunakan Gun-goan-it-ou-kang si orang berkedok berhasil memukul balik Kim-kong-cianglat
Nyo-toakoh, melihat Nyo-toakoh cuma tersurut mundur dua tindak dan tidak sampai terjungkal
jatuh, diam-diam hatinya pun bercekat, pikirnya: "Loak-jiu-koan-im ternyata memang tidak
bernama kosong, untung Gun-goan-it-ou-kangku sudah sempurna kulatih.
"Nyo-toakoh," seru orang berkedok sambil membopong Nyo Hoa yang berhasil direbutnya, "Kau
memang tidak tahu diri dan perlu dihajar adat." Demikian ancamnya sambil melayangkan telapak
tangannya. kalau tidak belum tentu aku dapat mengatasinya!"-Terpikir pula olehnya: "Dia rela
menghancurkan meja sembahyangan adiknya, naga-naganya kematian Nyo Bok memang bukan
isapan jempol belaka."
Belum habis ia berpikir, tiba-tiba dirasakannya angin kesiur merangsang datang, kiranya Nyotoakoh
sudah menubruk tiba! Sekilas dilihatnya bayangan telapak tangan menari serabutan, itulah
sejurus serangan mematikan dari Kim-kong-lak-yang-jiu yang hebat.
Setiap jurus Kim-kong-lak-yang-jiu yang mengandung enam gerak perubahan sekali
dikembangkan perbawanya memang bukan olah-olah liehaynya. Dalam sekejap itu delapan
penjuru semua adalah bayangan Nyo-toakoh melulu, seluruh badan si orang berkedok kena
terbendung dan dikurung di dalam tenaga pukulan telapak tangannya.
Terdengar Nyo-toakoh membentak dengan pongah: "Tidak kau lepaskan keponakanku, jangan
harap kau dapat meninggalkan pintu keluarga Nyo kami!"
Belum lenyap suaranya mendadak angin bergolak hebat, suara deru sampukan angin makin
keras menusuk pendengaran, bayangan telapak tangan yang merabu dari delapan penjuru angin
laksana hujan badai itu seketika kuncup dan sirna hilang. Dengan menjulurkan ke bawah kedua
tangannya lekas-lekas Nyo-toakoh melejit setombak lebih ke belakang, sementara si orang
berkedok sambil menggandeng tangan Nyo Hoa tahu-tahu sudah tiba di ambang pintu.
Jengek si orang berkedok dingin: "Mau datang atau pergi sesuka hatiku, siapa kuasa merintangi
aku?" Nyo-toakoh tidak bersuara mendadak ia gertak gigi, di mana ia ayun tangannya sekaligus menyambitkan
segenggam Bwe-hoa-ciam, dalam hati ia membatin: "Seumpama sampai melukai Hoaji,
aku pun tidak dapat berbuat apa-apa."
Bwe-hoa-ciam milik Nyo-toakoh ini sangat lembut seperti bulu kerbau, waktu disambitkan tak
bersuara, setiap timpukannya khusus mengarah Hiat-to penting di tubuh orang. Gelar Loak-jiukoanim yang dia dapatkan kebanyakan justru karena senjata rahasianya yang liehay dan cukup
ganas ini. Tatkala itu kebetulan si orang berkedok sudah putar tubuh membelakangi dirinya.
Dengan sambitan Bwe-hoa-ciam yang tersebar atas bawah dan kanan kiri itu, Nyo-toakoh
menyangka usahanya pasti berhasil.
Tak diduga kepandaian mendengar angin membedakan senjata rahasia orang berkedok jauh
lebih unggul dari kemampuan Nyo-toakoh sendiri, belakang kepalanya seperti tumbuh mata saja,
secara tepat dan kebetulan waktu sambitan Bwe-hoa-ciam musuh sampai dekat di belakang
punggungnya, si orang berkedok tiba-tiba mengebutkan lengan bajunya yang panjang dan lebar
itu ke belakang, sekaligus ia gulung seluruh sambitan Bwe-hoa-ciam Nyo-toakoh ke dalam lengan
bajunya, waktu dibuka kembali tampak puluhan Bwe-hoa-ciam sama berjajar lurus menembusi
kedua lengan bajunya. Tapi tiada sebatang pun yang berhasil menembus lewat mengenai jalan
darahnya. Maka tertawalah si orang berkedok dingin, jengeknya: "Nyo-toakoh, kalau kau tidak tahu diri,
jangan menyesal setelah kau merasakan keliehayanku. Baik, diberi tidak membalas rasanya
kurang hormat, nih, kau pun harus merasakan keliehayan kepandaian sambitan senjata
rahasiaku!" Berbareng orang berkedok menggertak kedua lengan bajunya, puluhan jarum yang berjajar di
kedua lengan bajunya laksana kena pegas berbareng melesat keluar, segulung tabir kuning
sekaligus memberondong balik ke arah Nyo-toakoh.
Ki Si-kiat dan keenam murid perguruan Nyo pada saat itu kebetulan mendengar ribut-ribut dan
memburu datang, Ki Si-kiat dan Bun Seng-liong berjalan paling depan. Dalam kejutnya, tersipusipu
Nyo-toakoh mendorong telapak tangannya, kontan ia dorong putranya tergentak ke samping.
Sinar kuning berkilauan tersebar luas, laksana bintang kelap kelip di malam kelam deras dan
rapat laksana hujan angin. Untung Ki Si-kiat sempat didorong minggir oleh pukulan ibunya
sehingga ia tidak kena terluka apa-apa.
Melihat Nyo-toakoh dapat menggunakan kekuatan pukulan Kim-kong-lak-yang-jiu yang kuat
dan keras itu menjadi tenaga lunak dan empuk, bukan saja kuasa menahan daya sambitan Bwehoaciam sambitan baliknya, sekaligus telah menyelamatkan jiwa putranya lagi, cara
permainannya pun cukup cekatan dan lincah, mau tidak mau si orang berkedok memuji dan
kagum dalam hati. Tahu bahwa dirinya bukan tandingan orang, terpaksa Nyo-toakoh cuma main gertak dengan
suara berat: "Mengandal kekuatan kau merebut keponakanku, kelak jangan kau menyesal
karenanya. Kecuali sekarang juga kau bunuh aku, kalau tidak akan datang suat u hari aku akan
mencarimu untuk membalas dendam."
"Meski kau galak dan garang, tapi dosamu belum setimpal dihukum mati. Untuk apa aku bunuh
kau" Aku tidak gentar kau menuntut balas berani pula bicara secara cengli. Memang anak ini
adalah keponakanmu, tapi dia masih punya keluarga yang lebih dekat, demi ibunya maka dia
kurebut dari tanganmu yang gapah itu, ke mana pun untuk mengadukan secara keadilan aku akan
selalu menghadapi kau"--Mulut bicara sementara kaki si orang berkedok tidak berhenti melangkah,
di kala kata-katanya habis diucapkan bayangannya pun sudah tidak kelihatan lagi. Jaraknya sudah
cukup jauh, tapi setiap patah katanya masih terdengar jelas.
Dengan lesu Nyo-toakoh duduk di atas kursi. Mendadak didengarnya Gak Hou berseru kejut:
"Toasuko-' Kenapa kau!"
Waktu Nyo-toakoh berpaling, tampak selebar muka Bun Seng-liong berlepotan darah dan
mulutnya pun sedang merintih-rintih. Ternyata mukanya penuh tertancap puluhan batang Bwehoaciam. Segenggam jarum lembut yang disambitkan balik oleh si orang berkedok sebagian besar
memang kena disampuk runtuh oleh pukulan Nyo-toakoh, tapi ada sebagian kecil pula yang
bersarang ke muka Bun Seng-liong.
Untung karena bobot jarum lembut itu sangat ringan, jadi menancapnya tidak terlalu dalam,
maka rasa sakit Bun Seng-liong tidak begitu hebat, soalnya hatinya sudah kuncup saking degdegan
tanpa disadari mulutnya merintih-rintih.
Seluruh perhatian semua orang dipusatkan kepada si orang berkedok tadi, setelah musuh pergi
baru mereka memperhatikan keadaannya.
Nyo-toakoh sedang uring-uringan dan jengkel, melihat kelakuan orang yang tengik ia semakin
dongkol, semprotnya: "Sudah untung orang menaruh belas kasihan tidak membutakan sepasang
matamu. Beberapa jarum itu tidak akan mencabut jiwamu, merengek apa kau" Tidakkah malu kau
sebagai calon Ciangbun Tecu. menjadi buah tertawaan para sutemu saja. Kemari biar kuperiksa
dan kuobati!" Bun Seng-liong pun membatin: "Kau cuma menolong putra sendiri tanpa hiraukan
keselamatanku. Hm, kau sendiri juga terjungkal di tangan orang, apa kau sendiri tidak kena malu,
bisa saja kau lampiaskan dan dongkolanmu kepada aku!"-Tapi mendengar Nyo-toakoh suka
memberi pengobatan, rasa jengkelnya jauh berkurang.
Nyo-toakoh mengeluarkan sekeping besi sembrani, seluruh jarum yang menancap di muka Bun
Seng-liong disedot keluar semua, katanya: "Bwe-hoa-ciam milikku ini tidak kububuhi racun, kau
bisa polesi dengan Kim-jong-yok saja!"
"Toa-suko," sela Gak Hou, "Mari kubantu membubuhi obat!" --untuk mengambil hati
suhengnya ia mengumpak: "Masih untung lubang jarum ini sangat kecil setelah sembuh tidak akan
meninggalkan bekas apa-apa."
Hoan To segera ikut menimbrung sambil menahan geli: "Sayang kalau wajah suko yang
ganteng ini kelak menjadi burik."
Bun Seng-liong jadi gusar: "Jadi kau senang kalau aku burikan?" dampratnya.
"Bukan," sahut Hoan To cepat, "Maksudku aku menaruh simpatik akan luka-lukamu."
"Sukoh," ujar Bun Seng-liong, "Tecu kena terhina adalah soal kecil. Tapi sute cilik kena direbut
orang, hal ini dapat menodai nama baik perguruan, kalau sampai diketahui orang luar, orang itu
berhasil merebut sute dari tangan Sukoh, wah hal ini akan semakin runyam!"
Nyo-toakoh mendengus, katanya: "Tak usah kau memancing kemarahanku, kalau aku tidak
balas sakit hati ini, selanjutnya jangan kalian panggil aku Loak-jiu-koan-im lagi!"
"Ada Sukoh yang bertanggung jawab, tak usah kuatir sakit hati ini kelak tidak akan terbalas,"
demikian Gak Hou yang licik ini ikut menimbrung, "Yang menyulitkan bahwa kita tiada yang kenal
siapakah sebenarnya orang berkedok itu."
"Tidak tahu masa tidak bisa menyirapi?" jengek Nyo-toakoh,
"Walau aku tidak melihat mukanya, tapi aku sudah menjajal kepandaian silatnya, permainan
silatnya itu merupakan sumber penyelidikan. Baiklah, kalian teruskan pencarian buku pelajaran
silat guru kalian secara pelan-pelan, sekarang juga aku harus pulang."
"Masa Sukoh tidak tinggal lagi barang dua tiga hari?" tanya Bun Seng-liong. "Apakah kami para
murid berlaku kurang adat?"
"Bukankah kau sendiri ingin segera membalas dendam?" semprot Nyo-toakoh. "Maka harus
lekas-lekas kembali untuk memberi laporan kepada Siok-co Si-kiat."
Bun Seng-liong jadi girang, serunya: "Apakah beliau sudah kembali?"
Ternyata Siok-co (kakek) Ki Si-kiat adalah Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya yang sangat kenamaan di
kalangan kangouw. Bukan saja kepandaian silat Ki Kian-ya teramat tinggi, pergaulannya pun
sangat luas, lebih banyak waktunya untuk mengembara di luar dari menetap di rumah, jarang
pulang lagi. Maka untuk menyirapi asal-usul seseorang-persilatan kiranya cukup minta petunjuk
kepada dia orang tua, harapannya cukup besar untuk berhasil.
Agaknya Nyo-toakoh menjadi sebal akan pertanyaan-pertanyaan yang berulang kali, untuk
selanjutnya ia tidak hiraukan pertanyaan lagi.
Berkatalah Ki Si-kiat: "Sudah sepuluhan hari yang lalu Siok-kong kembali, kabarnya tak lama ini
akan keluar lagi." Nyo-toakoh berkata: "Kau sudah tahu bahwa Siok-kongmu segera akan keluar lagi, masih
banyak kata apa lagi di sini" Membuang waktu saja!"
Ki Si-kiat mengiakan, perbekalan memang sudah disiapkan, saat itu juga mereka ibu beranak
segera berangkat meningggalkan rumah Nyo Bok.
-ooo0000ooo- Tatkala itu si orang berkedok sedang berjalan cepat sambil menggandeng tangan Nyo Hoa, tapi
tujuan mereka berbeda dengan arah perjalanan Nyo-toakoh berdua. Tujuannya adalah tanah
pekuburan di belakang rumah keluarga Nyo itu, ia ke sana hendak mencari tempat kuburan Nyo Bok.
Dengan berhasil mengalahkan Loak-jiu-koan-im yang kenamaan di dunia persilatan, sedikit pun
ia tidak merasa senang, hatinya terasa hampa dan kosong. Soalnya dua pertanyaan yang
mengganjal sanubarinya masih belum terjawab. Sebetulnya Nyo Bok betul mati atau pura-pura
mati" Entah ke mana pula sekarang Hun Ci-lo berada"
Tangan Nyo Hoa digandeng dibawa berjalan cepat laksana berlari terbang tanpa menginjak
tanah, angin menderu di pinggir kupingnya, pohon-pohon di kedua samping jalan sama berkelebat
mundur ke sebelah belakangnya, hatinya jadi senang dan takut pula. Mendadak terasa badan
menjadi enteng, karena tidak terduga-duga Nyo Hoa sampai menjerit kaget.
Pelan-pelan orang berkedok menurunkan ke tanah, katanya tersenyum lembut: "Membuat
kaget kau ya?" "Sungguh menyenangkan, sedikit pun aku tidak takut," ujar Nyo Hoa tertawa mungil. "Paman,
ginkangmu sungguh baik, lebih baik dari ayah. Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku she Song," sahut orang berkedok, "Aku adalah teman karib ibumu. Kau panggil aku Songtoasiok
saja!" "Song-toasiok, ke mana sekarang kita hendak pergi?"
"Kali ini kau turut aku keluar pintu, entah kapan baru akan kembali pula ke rumah. Sekarang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kubawa kau untuk menyampaikan selamat tinggal dengan ayahmu."
Terunjuk kurang mengerti pada wajah Nyo Hoa, katanya: "Bukankah tadi kau berkata hendak
membawa aku mencari ibu?"
"Benar. Tapi aku sendiri tidak tahu kapan baru akan menemukan ibumu, maka kupikir kau
harus pamitan dulu pada ayahmu."
"Tapi ayah pun sejak lama sudah menghilang, apakah kau dapat menemukan dia?"
"Maksudku kubawa kau ke tempat pusaranya di mana kau berlutut minta diri, bukankah
ayahmu dikcbumikan di belakang gunung sana ?"
"Tidak, ke sana kau pun tidak akan menemukan dia."
"Sudah tentu tidak dapat menemukan dia. Kau tidak paham, kau ikut aku saja." -Dia anggap
anak kecil masih belum tahu urusan, adalah di luar tahunya bahwa tanah kuburan itu beberapa
saat yang lalu sudah dibongkar. Soalnya Nyo Hoa sendiri ikut menyaksikan kejadian itu, terbukti
ayahnya tiada dalam peti mati itu maka ia keluarkan ucapannya itu.
Karena dibawa lari kencang, Nyo Hoa tidak berani banyak bicara, cepat ia mengiakan: "Ya, ya,
aku ikut, mengikutimu saja"
Dalam hati orang berkedok berpikir: "Bocah ini sudah berusia tujuh tahun, masih belum tahu
urusan, kalau tidak bisa menemukan Hun Ci-lo, terhitung aku mencari kesulitan sendiri."
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Setelah kehilangan anaknya tentu Hun Ci-lo sangat sedih.
Betapapun harus ada seseorang yang harus melakukan pekerjaan bodoh ini membawakan
anaknya keluar lalu pelan-pelan menemukan dia. Beng Goan-cau tidak datang, terpaksa aku Song
Theng-siau yang melakukan pekerjaan bodoh ini."
Tiba-tiba teringat olehnya beberapa patah makian kotor Nyo-toakoh, dalam hati ia tertawa
getir, terpikir pula olehnya: "Perempuan galak itu mengatakan aku adalah kekasih lamanya,
sebaliknya aku memang mengharap demikian. Cuma sayang sampai detik ini juga aku masih
belum paham, ke manakah sebetulnya hatinya berkiblat. Sudah tentu ia tidak secara suka rela
dinikahkan dengan Nyo Bok, namun entahlah orang yang dia benar-benar cintai adalah aku atau
Beng Goan-cau!" Hati sedang gundah pikiran pun butek, pengalaman yang sudah lalu terbayang lagi dalam
benaknya, seketika rongga dadanya bergejolak.
Dua puluh tahun yang lalu, waktu itu Hun Ci-lo masih merupakan seorang nona kecil yang
menguncir dua rambutnya, mereka sudah merupakan sahabat intim. Karena mereka sama
menetap dalam bilangan satu kampung, demikian pula ayah dan keluarga mereka adalah sahabat,
hubungan sangat kental. Keluarga Hun Ci-lo pindah datang ke Soh-ciu dari luar daerah, akhirnya baru dia ketahui bahwa
ayah Hun Ci-lo ternyata adalah seorang tokoh kosen persilatan yang menyembunyikan nama
mengasingkan diri, di waktu mudanya pernah kelana di kangouw dan pernah pula angkat nama,
punya hubungan dan pengalaman yang pahit getir dalam perjuangan hidup bersama ayahnya.
Mungkin karena usia sudah lanjut dan suka kesepian ingin menetap bersama sahabat tua maka
beliau pindah ke Soh-ciu itulah.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, setelah ayah kedua keluarga ini sama meninggal,
hubungan kedua keluarga ini masih tetap erat dan intim "dewi-. Di puncak bukit, dalam taman
bunga di pinggir sungai entah berapa kali dan lama dia bersama Hun Ci-lo menghabiskan waktu
dengan suka ria" Hun Ci-lo menganggap dirinya sebagai kakak, ia anggap Hun Ci-lo sebagai adik.
Keduanya sama tiada perasaan apa-apa, demikianlah keadaan mereka di waktu masih kecil.
Tapi di kala Hun Ci-lo menginjak usia lima belas, keadaan yang tiada perasaan apa-apa itu mau
tidak mau harus berubah secara mendadak. Bukan karena usia mereka lambat laun menanjak
dewasa, adalah karena adanya orang ketiga yang mendesak di antara mereka secara tidak
terduga-duga. Orang ketiga yang dimaksud ini adalah Beng Goan-cau yang akhirnya menjadi sahabat karib
mereka juga. Beng Coan-cau ada hubungan sanak dengan keluarga Hun, kalau tidak salah leluhur Beng
Goan-cau masih sangat dekat dengan keluarga Hun. Sejak Beng Goan-cau datang sifat Hun Ci-lo
menjadi berubah sama sekali, setiap kali Song Theng-siau ajak Hun Ci-lo keluar pesiar dia selalu
mengajak Beng Goan-cau ikut serta. Demikian pula sebaliknya bilamana Beng Goan-cau berada
bersama dia, Song Theng-siau pun tidak akan keting-galan.
Perawakan Beng Goan-cau kekar dan tegap, badannya kuat dan sehat, wajahnya halus di
tengah alisnya terbayang hawa jernih, orangnya pendiam tak suka bicara. Hun Ci-lo paling suka
menggodanya, dikatakannya dia ini seperti sebuah gunung di Kanglam.
Song Theng-siau jauh lebih lincah dan suka kelakar, dia pandai memetik harpa tindaktanduknya
serba halus lembut dan sopan santun, tapi bila dia mengumbar adatnya garangnya luar
biasa. Hun Ci-lo pun suka menggoda dia, dikatakan dia seperti air di Kanglam.
Teringat oleh Song Theng-siau pada suatu ketika mereka bertiga sama pergi ke Hangciu dan
tamasya di Sec-ouw, itu telaga barat yang termasyhur. Setengah harian mereka putar kayun
menggayuh perahu lalu naik ke atas Oh-san memetik kembang Bwe jalan-jalan lagi di pesisir
telaga. Waktu itu hari sudah menjelang magrib matahari sudah hampir tenggelam, ketiganya sama
terpesona, oleh panorama yang terbentang di hadapan mereka Song Theng-siau tidak tahu apa
yang mereka pikirkan, adalah dia sendiri sedang memikirkan isi hatinya. Angin telaga
menghembus sepoi-sepoi, hidungnya mengendus bau harum dari rambut Hun Ci-lo. Mendadak dia
jadi besar nyalinya, terasa ada beberapa patah kata dia harus bicara dengan Hun Ci-lo.
Saat mana Hun Ci-lo sama Beng Goan-cau sedang asyik bersenandung serta membaca syairsyair
karya beberapa pujangga yang terukir di batu-batu gunung, satu sama lain sedang debat dan
saling memuji syair karya pujaan hatinya. Yang jelas kedua syair yang mereka debatkan sama
memuji akan keindahan panorama pegunungan dan permukaan air danau yang terpancar sorot
cahaya matahari. Terpaksa Song Theng-siau datang sama tengah melerai. Katanya: "Dulu ada
seorang Se-si yang terkenal sebagai perempuan tercantik di Soh-ciu dan kau adalah perempuan
tercantik di Soh-ciu pada jaman kini. Entahlah kau menyukai pandangan air danau yang kemilau"
Atau menyukai puncak Oh-san yang penuh diliputi kabut halus mengembang enteng?"
Mendengar pertanyaan ini kontan jengah muka Hun Ci-lo, semprotnya: "Sembarangan
mengoceh kau." Song Theng-siau tertawa, ujarnya: "Cuma guyon-guyon saja kenapa sih" Tapi aku jadi ingin
tahu benar-benar kau suka gunung atau menyenangi air?"
Beberapa kejap kemudian baru Hun Ci-lo berkata tertawa: "Syair karya So Tong-poh ini sudah
memberi jawaban bagiku, cahaya danau baik, panorama pegunungan pun bagus, keduanya samasama
elok dan menyegarkan!"
Usaha Song Theng-siau untuk mengorek isi hatinya kali ini boleh dikata gagal, tak lama
kemudian karena suatu peristiwa yang tak terduga akhirnya mereka harus berpisah. Kepada siapa
hati Hun Ci-lo berkiblat, sejak mula sampai sekarang masih merupakan teka-teki.
-oooo000oooo- Dengan perasaan hati yang tidak keruan Song Theng-siau beranjak terus ke depan, kedua
kakinya sedang berlari demikian juga hatinya sedang berdebur keras seperti kuda pingitan yang
berlari tiba di pesisir telaga barat menanjak bukit Oh-san, kembali pada penghidupan masa lalu,
kehidupan yang lalu satu-satu berkelebat dalam benaknya.
Suara bocah bagat kelintingan dari mulut Nyo Hoa menyentak sadarkan lamunannya: "Paman,
jangan lari jauh-jauh, kita sudah sampai. Tuh lihat, mana dapat kau menemukan ayah di situ?"
Waktu Song Theng-siau melihat tegas, tampak batu nisan sudah ambruk, gundukan tanah
kuburan sudah morat-marit terbongkar dan berlubang besar, di samping lubang peti mati terbuka
lebar tanpa isi, kosong melompong.
Kalau isi hati Hun Ci-lo belum lagi mampu ia pecahkan, adalah kematian Nyo Bok yang
menjadikan kecurigaan dalam hatinya kini sudah terkupas.
Tanya Song Theng-siau: "Di mana ayahmu" Kau tahu di mana dia sembunyi?"
Nyo Hoa menggeleng kepala, sahutnya: "Aku tidak tahu. Mereka sama mengatakan ayah tidur
di dalam peti mati ini, tapi kenyataan ayah tidak berada di dalam peti mati ini. Paman, kenapa
mereka suka menipu aku?"
"Kelak kalau ketemu ibumu boleh kau tanya kepadanya. Bagaimana pula dengan ibumu?"
"Ibu kena dikalahkan oleh bibi lalu lari!"
"Apakah bibimu yang membongkar kuburan ini?"
"Ya, dibantu oleh para suko. Selama ini aku anggap mereka orang baik-baik, tapi mereka
membongkar kuburan ayah, dan berkelahi dengan ibu, maka mereka kuanggap bukan orang baik.
Paman, apakah ucapanku betul?"
"Benar! Bibimu dan para suhengmu bukan orang baik-baik. Tapi kau tidak usah pedulikan
mereka, kair ikut aku saja, kelak bila kau sudah besar, siapapun takkan berani menyakiti kau lagi."
Tiba-tiba Nyo Hoa berkata: "Tidak, sekarang aku tidak mau pergi."
"Kenapa" Bukankah tadi kau mengatakan suka ikut aku?"
"Perutku lapar, kau menyeret aku, aku pun tidak akan kuat berlari lagi," ternyata karena tadi
mengumbar adat dan merengek-rengek sehingga tidak sempat makan, kini perutnya sedang
keroncongan minta di si. ] Song Theng-siau tertawa geli, ujarnya: "Tak usah kuatir, aku punya makanan enak untuk kau
makan." Lalu ia mengeluarkan sebuah dos roti, katanya pula: "Nih, kau pilih sendiri, bolu
kukus, kue lapis, ada permen madu dan lain-lain, tentu kau suka makan, habiskan saja."-Ternyata
dos roti yang dia bawa ini adalah kesukaan Hun Ci-lo di masa kecilnya dulu, hadiah yang dia bawa
untuk ibunya kini telah dihabiskan oleh anaknya.
Nyo Hoa makan dengan lahapnya, mulutnya memuji berulang-ulang: "Enak benar, sungguh
nikmat!" -Dari samping sambil tersenyum lebar Song Theng-siau mengawasi bocah yang jenaka ini
makan roti dan permen, tiba-tiba dirasakan olehnya sepasang mata si bocah yang bundar itu
berkedip-kedip seperti seseorang.
Sepanjang jalan ini karena Song Theng-siau sedang memikirkan isi hatinya, belum sempat ia
mengamati bocah ini. Kini bukan saja ia merasa bocah ini sangat mirip seperti pinang dibelah dua,
seolah-olah ia sedang berhadapan langsung dengan orang itu.
Mendadak terpikir oleh Song Theng-siau sebuah pertanyaan yang tidak seharusnya ia pikirkan:
"Anak siapakah dia, anak siapakah dia?"
Melihat sorot mata orang yang ganjil Nyo Hoa jadi terkejut, ia letakkan rotinya bertanya:
"Paman, kenapa kau mendelikkan mata melihat aku, apakah aku terlalu serakah?"
"Tidak, tidak, kau makan saja sesukamu. Aku cuma terkenang pada seseorang."
"Siapakah dia?" tanya Nyo Hoa, hati kecilnya diliputi rasa curiga, kenapa paman mengamati aku
jadi terkenang pada seseorang.
Belum lenyap suaranya mendadak Song Theng-siau pun membentak: "Siapa itu" Hayo
menggelundung keluar!"
Tampak dari semak rumput di sana menerobos keluar seseorang, sambil tertawa cengar-cengir
ia berkata: "Song-tayhiap, selamat bertemu. Masih kenal aku si maling sakti Kwi-hwe-thio tidak?"
Nyo Hoa membatin: "Kiranya si maling yang datang malam itu, jadi paman sedang memikirkan
dia." " " Mana dia tahu bahwa Song Theng-siau mendengar di semak rumput sana ada suara
keresekan baru dia tahu bila ada seseorang sembunyi di sana. Orang yang dia sedang pikirkan
bukanlah si maling sakti Kwi-hwe-thio, tapi adalah sahabat karibnya Beng Goan-cau.
Begitu melihat si maling sakti Kwi-hwe-thio, Song Theng-siau merasa heran dan curiga,
katanya: "Kwi-hwe-thio, untuk apa kau sembunyi di tempat itu?"
"Semalam memang aku sudah sembunyi di sini untuk melihat orang berkelahi."
Ternyata Kwi-hwe-thio si maling sakti tak dapat menahan keinginan hatinya karena heran,
setelah tahu bila Nyo-toakoh dan Bun Seng-liong hendak membongkar kuburan tak tahan lagi ia
meluruk ke sini untuk menonton keramaian.
"Jadi kau sembunyi di situ untuk melihat Nyo-toakoh berkelahi dengan Hun Ci-lo, tapi
perkelahian mereka sudah bubar, kenapa kau masih sembunyi di situ tidak mau pergi"'" demikian
tanya Song Theng-siau. "Ya, memang aku sedang menunggu kau!"
"Menunggu aku" Kau tahu bila aku pasti datang kemari?"
"Waktu terang tanah sebetulnya sudah mau kutinggal pergi, di waktu sampai di kaki bukit,
kulihat kau sedang bergoyang gontai di jalan raya menuju ke rumah keluarga Nyo, kuduga tentu
kau seperti aku ingin membongkar rahasia kematian Nyo-busu, maka lekas aku kembali- ke sini
untuk menunggu kau."
"Kenapa kau harus menunggu aku?"
"Ada sebuah urusan ingin aku mohon bantuanmu, bukankah kau hendak kembali ke Soh-ciu?"
"Kalau benar, kenapa?"
"Bicara terus terang, kedatanganku ke sini adalah mengirimkan surat Beng Goan-cau, dia minta
suratnya disampaikan kepada Nyo Bok, lalu mengambil sebuah barang bukti sebagai tanda mata
untuk membuktikan bila aku sudah menyelesaikan tugasku. Kau tahu hidupku sudah biasa bebas
kelana ke mana suka, bila ada sesuatu persoalan mengikat diriku aku selalu merasa risi dan benci.
Jikalau kau sudi bantu aku mengembalikan tanda mata itu kepada Beng tayhiap, maka aku tidak
perlu lari jauh-jauh ke sana. Yang jelas kau adalah sahabat karib Beng tayhiap, kalau kau kembali
ke Soh-ciu tentu dapat jumpa dengan dia."
"Baiklah, tanda mata apa. coba berikan kepadaku!"
Waktu Song Theng-siau membuka gambar itu, tampak laki-laki yang terlukis dalam gambar itu
sahabat karibnya Beng Goan-cau. Setelah membaca dua bait syair di sebelah pinggirnya, seketika
Song Theng-siau berdiri terlongong.
Kwi-hwe-thio tidak tahu bahwa hatinya sedang gundah dan gelisah, katanya dengan tertawa:
"Mirip tidak gambar itu" Inilah buah karya tangan Hun Ci-lo sendiri, kukira Beng tayhiap mau
percaya akan tanda mata yang kubawa ini."
Teka-teki yang selama ini mengganggu pikirannya kini sudah terbongkar, Hun Ci-lo mencintai
Beng Goan-cau. Song Theng-siau mengamat-amati Beng Goan-cau dalam gambar itu lalu mengawasi pula Nyo
Hoa di hadapannya, tak terasa hatinya jadi rawan dan mendelu. Gambar orang dalam lukisan dan
bocah di hadapannya ini benar-benar mirip seperti pinang dibelah dua.
Secara langsung teka-teki yang lain pun jadi tertebak pula. "Dia 'adalah putra Beng Goan-cau,
dia adalah putra Beng Goan-cau!" " " Mendadak Song Theng-siau jadi sadar dan paham duduk
perkaranya. Kalau satu dua teka-teki sudah tertebak, namun masih serentetan persoalan yang
mencurigakan masih terikat dalam alam pikirannya. Pertanyaan yang terbesar adalah: kalau orang
yang dicintai Hun Ci-lo adalah Beng Goan-cau, kenapa ia menikah pula dengan Nyo Bok" Dan lagi,
Hun Ci-lo menikah dengan Nyo Bok sudah delapan tahun, meski waktu itu Beng Goan-cau tidak
tahu. tapi setelah berselang sekian tahun, paling tidak tentu juga pernah dengar. Kenapa Beng
Goan-cau tidak datang mencarinya" Mungkinkah dia tidak tahu bila Hun Ci-lo sudah melahirkan
anaknya" Apakah dia seorang yang sudah mengecap manis sepah dibuang"
Tidak, karakter Beng Goan-cau tidak seperti itu. Sejak kecil dia adalah sahabat terdekat dengan
Beng Goan-cau, dialah yang paling hafal dan tahu sedalam-dalamnya martabat dan watak Beng
Goan-cau. Beng Goan-cau adalah seorang laki-laki sejati yang setia akan setiap ucapannya, kecuali
dia tidak mau, kalau sesuatu urusan sudah ia setujui tentu dia akan membereskan dengan
sempurna. Apalagi terhadap kekasih yang dicintainya"
Apalagi, Nyo Bok tidak tahu akan rahasia ini" Apakah mungkin dia sudah tahu akan rahasia ini.
maka dia lantas bunuh diri atau hanya pura-pura mati belaka"
Kenapa" Kenapa" Kenapa" Serentetan pertanyaan ini tak kuasa ia menjawabnya sendiri,
sehingga hati Song Theng-siau merasa hampa.
Sikap Song Theng-siau yang terlongong seperti linglung ini menarik perhatian dan rasa heran
Kwi-hwe-thio, sebagai seorang cerdik, lapat-Iapat ia dapat menduga-duga, tapi ia berpikir: "Entah
di antara mereka bertiga ada hubungan apa, yang sangat rumit, yang kukejar adalah
membebaskan belenggu yang mengikat diriku, kenapa aku turut campur mengurus tetek bengek."
Segera ia berkata: "Song tayhiap, tanda mata ini harap kau suka membawanya pulang, kalau kau
tiada pesan apa-apa, aku ingin segera pergi."
"Tunggu sebentar, ada sebuah pertanyaan ingin kutanya kepadamu, Beng tayhiap titip surat
kepadamu supaya disampaikan kepada Nyo Bok, apakah kau tahu apa yang tertulis dalam surat
itu?" Kwi-hwe-thio menggeleng kepala, sahutnya: "Song-tayhiap, kau kan tahu Bcng-tayhiap seorang
yang tidak suka banyak bicara, dia tidak menjelaskan apa isi suratnya, sudah tentu aku pun tidak
berani banyak tanya, lebih-lebih aku tidak berani mencuri baca." Song Theng-siau sudah menduga
orang akan menjawab demikian, soalnya surat itu merupakan kunci yang sangat penting, maka ia
ajukan juga pertanyaannya.
Song Theng-siau berpikir sebentar lalu bertanya pula: "Kapan kau bertemu dengan Bengtayhiap?"
"Satu bulan yang lalu."
"Berapa lama dia kembali ke Soh-ciu?"
"Maaf hal ini tidak pernah kutanyakan kapadanya."
"Paling tidak dia tentu pernah membicarakan diriku dengan kau bukan?"
"Betul, soal itu memang dia pernah bicara sama aku, katanya dia tidak tahu kau kapan akan
kembali, tapi dia akan menunggu kau kembali ke Soh-ciu baru dia akan berangkat lagi."
"Baiklah, aku tidak banyak tanya lagi, silakan kau pergi!"
Setelah Kwi-hwe-thio pergi, Song Theng-siau masih berdiri menjublek di pinggir peti mati
kosong itu, seperti mabok laksana orang sinting ia terkenang dan memikirkan isi hatinya.
"Kenapa dia mau menikah dengan Nyo Bok" Kenapa dia mau menikah dengan Nyo Bok?" Song
Theng-siau sedang menyelami pertanyaan ini untuk mendapat jawabannya. Pengalaman lama
kembali terbayang dalam benaknya.
Terbayang olehnya di kala dia berpisah dengan Hun Ci-lo.
Tidak lama setelah mereka kembali dari tamasya ke Hang-ciu, terjadilah satu peristiwa yang
tidak terduga, karena kejadian itulah maka dia bersama Beng Goan-cau harus berpisah dengan
Hun Ci-lo. Masih segar dalam ingatannya, kejadian pada suatu malam hujan gerimis, karena tidak berhasil
mengorek isi hati Hun Ci-lo dia sedang dirundung gundah dan bingung, duduk ongkang-ongkang
sambil menikmati gambar-gambar lukisan di atas dinding. Mendadak Beng Goan-cau seorang diri
datang bertandang ke rumahnya.
Memang Song Theng-siau sedang kesepian dan iseng, segera ia bawa temannya itu ke dalam
kamar bukunya, tanyanya sambil tertawa: "Kenapa kau menjenguk aku seorang diri, kenapa kau
tidak menemani Hun Ci-lo" Kini kentongan kedua baru lewat, kukira Hun Ci-lo tidak akan tidur
sepagi ini." Maksud kata-katanya adalah menyalahkan temannya ini kenapa tidak ajak Hun Ci-lo
datang sekalian. Sahut Beng Goan-cau: "Ada sebuah persoalan aku ingin berunding dengan kau, sementara ini
tidak ingin aku diketahui oleh Hun Ci-lo."
"O, jadi kau punya persoalan yang mengelabui Hun Ci-lo" Apakah yang terjadi?" Mau tidak mau
Song Theng-siau jadi heran dan terkejut.
Kata Beng Goan-cau pelan-pelan: "Untuk soal ini aku ingin mohon bantuanmu. Kim-to Lu Siugun,
nama pendekar tua ini kukira kau pernah dengar bukan?"
Song Theng-siau bergelak tawa, katanya: "Maksudmu Kim-to Lu Siu-gun dari karesidenan Samho
di Ih-pak itu" Pendekar tua itu justru adalah paman dekatku. Di masa mendiang ayahku masih
hidup beliau punya dua sahabat karib, seorang adalah ayah Ci-lo yaitu Hun Ciong-san, dan
seorang yang lain adalah dia itulah. Coba kau lihat gambar ini, inilah buah karya ayahku tiga puluh
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahun yang lalu, tiga orang dalam gambar ini adalah mereka. Dulu mereka seperti keadaan kita
sekarang ini, sering bergaul bersama."
Waktu Beng Goan-cau menegasi, tampak dalam gambar itu ada tiga pemuda sedang
mencongklang kuda di padang rumput, pemuda di sebelah kiri, samar-samar terlihat seperti Song
Theng-siau, sudah tentu pemuda dalam gambar itu adalah ayahnya, Song Sip-lun, di pinggir
lukisan itu ada sebuah syair yang menggambarkan keadaan dan asal-usul persahabatan mereka
bertiga. Beng Goan-cau menggulung kembali gambar lukisan itu dikembalikan kepada Song Theng-siau,
katanya tersenyum: "Benar, tiga puluh tahun yang lalu, sejarah mereka yang malang melintang
bersama pernah kudengar. Tapi, akhirnya ayahmu putus hubungan dengan pendekar tua she Lu
itu bukan?" "Darimana kau bisa tahu?"
Beng Goan-cau tersenyum, sepatah demi sepatah ia berkata: "Karena Kim-to Lu-lo-enghiong
dari Sam-ho itu adalah guruku."
Song Theng-siau berseru kejut, katanya: "O, jadi kau adalah murid Kim-to Lu Siu-gun, kenapa
selama ini kau tidak pernah beritahu kepadaku?"
"Sudah tentu ada sebabnya. Sebab yang kumaksud adalah sebab kenapa akhirnya ayahmu
tidak berhubungan pula dengan guruku itu."
"Memang aku ingin sekali tahu "sebab"-nya itu, kuharap kau suka menjelaskan kepadaku."
Beng Goan-cau meneguk secangkir air teh Liong-kin sebagai pelicin tenggorokan, katanya:
"Kalau dibicarakan sangat panjang kisahnya. Baiklah kujelaskan dulu orang macam apa
sebenarnya guruku itu."
"Lahirnya guruku membuka Bu-koan (perguruan) menerima murid, seorang guru silat
kampungan kecil yang tidak tahu menahu urusan dunia luar, sebenarnyalah beliau adalah seorang
patriot bangsa yang melawan pemerintah Boan-ciu."
"Tiga puluh tahun yang lalu, dalam istana raja ada seorang durna bangsa Boan yang bernama
Ho Kun, sekarang kalau orang-orang tua lanjut usia membicarakan orang ini, tentu masih kertak
gigi dan menyumpah-nyumpah. Kukira kau pun tahu akan hal ini."
"Ya, aku pernah dengar perihal durna yang laknat itu dari beberapa orang tua. Menurut
kabarnya semula dia cuma tukang tandu Kian-Iiong, karena wajahnya mirip dengan salah seorang
selir Kian-liong yang meninggal, tak berselang lama dari seorang tukang tandu naik pangkat jadi
perdana menteri. Setelah menjadi perdana menteri kerjanya cuma menjilat kepada sang
junjungan, memeras rakyat jelata dan main bunuh terhadap bangsa Han kita, di mana-mana ia
mengumbar kejahatan. Dia berkuasa selama dua puluh tahun, koleksi harta bendanya hasil
rampasan dan rampokannya dari rakyat tak terhitung banyaknya, jauh lebih besar dari milik
negara. Setelah Kian-Iiong mampus, Ka-ging menerima jabatan, akhirnya dia beri anugerah
padanya untuk 'bunuh diri' dan menyegel rumahnya. Maka pada waktu itu ada tersebar luas
ucapan rakyat jelata yang mengatakan 'Ho Kun jatuh, Ka-ging kenyang', ujar-ujar ini sampai
sekarang masih luas dibicarakan kalangan rakyat jelata."
"Guruku justru sangat benci pada Ho Kun ini, tiga puluh tahun yang lalu, di kala beliau
berkelana sama ayahmu dan paman Hun, diam-diam dia sudah membuat rencana untuk
membunuh Ho Kun itu secara menggelap. Soalnya dia tidak mau merembet para sahabatnya maka
beliau mengelabui ayahmu.
"Sebetulnya guruku sudah mengundang tiga jago kosen untuk meluruk ke dalam istana untuk
membunuh Ho Kun, tak diduga tepat tiba pada hari yang sudah direncanakan, yang datang cuma
satu orang. Dua orang yang lain entah karena takut atau terjadi urusan lain, akhirnya
menyembunyikan diri tidak mau menemuinya. Guruku jadi kewalahan, terpaksa beliau
melanjutkan rencana semula bersama seorang kawannya itu dengan menempuh bahaya."
"Akhirnya karena dikerubut sekian banyak musuh, setelah mereka berhasil merobohkan
delapan belas jago bhayangkari dari istana raja, mereka sendiri pun kena tcrluka. Guruku rada
beruntung, luka-lukanya tidak membahayakan jiwanya, adalah sahabat yang membantunya itu tak
beruntung akhirnya meninggal karena luka-lukanya yang berat.
"Sahabatnya yang tidak beruntung dan akhirnya meninggal itu adalah ayahku."
Song Theng-siau menaruh hormat, katanya: "Jadi kau keturunan patriot bangsa melawan
penjajah, baru sekarang aku tahu."
"Peristiwa ini terjadi pada dua puluh empat tahun yang lalu, waktu itu aku belum dilahirkan,
aku adalah putra dalam kandungan ibuku, tahun kedua baru aku lahir."
"Setelah usaha pembunuhan itu gagal, malam itu juga guruku bersama ibuku meninggalkan
Pak-khia, masuk gunung dan sembunyi di sana. Tahun kedua begitu aku lahir guruku lantas
menerima aku sebagai muridnya. Suhu, suhu, guruku memang sesuai benar dengan namanya,
sebagai guru menjadi ayah pula, dengan kedua tangannya itu beliau mendidik dan mengasuh aku
sampai besar." "Peristiwa ayahmu membunuh Ho Kun, apakah paman Hun mendapat tahu?"
"Paman Hun sudah tentu tahu."
Song Theng-siau mengerut kening, katanya: "Kenapa hanya mengelabui ayahku seorang?"
"Bukan guruku suka membeda-bedakan hubungan satu sama lain, adalah karena asal-usul dan
kedudukan ayahmu dengan paman Hun berlainan."
"Apanya yang berbeda?"
"Secara rahasia paman Hun juga menjadi salah satu anggota dari patriot bangsa melawan
penjajah, di waktu guruku membuat rencana untuk membunuh Ho Kun sebetulnya ingin
mengundang dia supaya membantu, tapi karena saat itu paman Hun mempunyai tugas rahasia
lain yang tidak kalah pentingnya, jadi kurang leluasa ikut dalam usaha itu, apalagi bila asal-usul
dan wajahnya sampai diketahui musuh. Maka akhirnya guruku membatalkan niatnya, setelah
berusaha beberapa tahun kemudian baru dia memperoleh pembantu yang benar-benar dapat
diandalkan. "Pertama karena ayahmu tidak menjadi anggauta, kedua beliau pun seorang hartawan dari
Soh-ciu yang kenamaan, punya harta, punya keluarga maka guruku dan paman Hun tidak mau
sampai merembet pada beliau. Setelah gagal membunuh Ho Kun guruku jadi buruan pemerintah,
maka dia harus hati-hati bertindak supaya orang tidak tahu akan hubungan karibnya dengan
ayahmu. Itulah sebabnya kenapa beliau selalu menghindar diri untuk bertemu muka dengan
ayahmu." "Sebetulnya meski ayahku tidak menjadi anggota, tapi beliau pun membenci penjajah Boan-ciu.
Bukan aku suka menempel lapisan emas di muka ayahku, mengandal ilmu silat dan kepandaian
sastranya, sebetulnya dapat ikut ujian mendapat pangkat dan kedudukan yang tinggi, entah
sebagai pembesar sipil atau pembesar militer. Tapi dia lebih suka hidup bertani di kampung
halaman, dari sini dapatlah membuktikan akan jiwanya yang luhur dan terbuka."
"Aku tahu. Kalau tidak masa guruku dulu bisa bersahabat dengan ayahmu, demikian juga
akhirnya paman Hun harus mencari perlindungan kepada ayahmu."
Perasaan Song Theng-siau jadi rada longgar, katanya tertawa: "Meski gurumu tidak memberi
tahu ayahku, tapi menurut dugaanku, rahasia gurumu akhirnya diketahui juga oleh ayahku.
Lihatlah bait syair di bawahnya, di mana ada disebut beberapa tokoh pembunuh gelap pada jaman
kuno yang kenamaan, bukankah secara tidak langsung menggambarkan peristiwa pembunuhan
Ho Kun yang gagal oleh gurumu itu. Menurut hematku, memang sengaja ayahku memilih syair ini
bukan karena ayahku secara kebetulan kelahiran Sam-ho dan mengenang pengalaman lama
mereka bertiga." "Benar, makna syair ini memang ada mengandung arti seperti yang kau katakan." kata Goancau.
Sementara dalam hati ia membatin: "Mungkin setelah paman Hun datang baru
memberitahukan persoalan guruku itu kepadanya." Beng Goan-cau melanjutkan:
"Setelah guruku jadi buronan pemerintah, bukan saja pihak istana hendak membekuk dia,
malah menyelidiki semua komplotannya. Hubungan paman Hun dengan guruku meski serba
rahasia cuma kabar berita di luaran terlalu santer, betapapun harus berjaga dari segala
kemungkinan. Apalagi paman Hun merupakan salah seorang tokoh penting dari salah satu
anggota patriot bangsa melawan penjajahan itu, setelah tidak bisa menetap di lima propinsi
daerah utara, terpaksa membawa istri dan putrinya hijrah ke selatan serta minta perlindungan
ayahmu." "Lalu kau bagaimana, kau pun melarikan diri karena persoalan yang sama?"
"Boleh dikata demikian, tapi juga ada sebab lainnya."
"Bagaimana duduk perkara sebenarnya?"
"Aku tidak lebih cuma kaum keroco yang baru menongolkan kepalaku, belum sempat menjadi
incaran pihak istana sebagai tokoh penting dalam melawan penjajah. Tapi aku mendapat perintah
dari guruku untuk datang ke tempat kalian ini, bila dikatakan untuk menghindari kesulitan juga
bolehlah dikatakan demikian."
"Kini aku harus kembali pada persoalan pertama, setelah Ho Kun ditumpas oleh Ka-ging,
guruku beranggapan kejadian sudah sekian tahun lamanya, belum tentu pihak istana masih begitu
ketat mengawasi segala gerak-geriknya, maka beliau jadi rada lena dan kurang waspada, tak
terduga jejaknya dapat diendus oleh pihak pemerintah, beberapa tahun belakangan ini, hidupnya
selalu dalam pelarian."
"Tiga tahun yang lalu. Dasar ilmu silat perguruan kami baru saja dapat kupelajari. Pada suatu
hari guru lantas berkata kepadaku: 'Bukan aku tidak suka kau berada di dampingku, segala waktu
aku bisa ketimpa malang yang tidak terduga sebelumnya. Kau adalah satu-satunya keturunan
keluarga Beng yang masih ada, jikalau sampai ikut ketimpa bencana bersama aku, bagaimana aku
harus memberi pertanggungan jawab pada arwah ayahmu" Maka aku ingin kau pergi ke suatu
tempat untuk menyelamatkan diri sementara waktu.'"
"Sudah tentu aku tidak mau menurut pesannya, tapi guruku berkata lagi: 'Mengandal ilmu
silatmu sekarang, kau tidak akan bisa banyak membantu kesulitanku, adalah lebih baik setelah
kepan-daianmu jadi sempurna baru kau kembali membantu aku. Di sana ada dua sahabat
kentalku, setelah berada di sana tak perlu kau buron sana lari sini ikut menderita secara langsung
kau bisa memperoleh petunjuk mereka pula yang berharga, belajar dan berlatih dengan tekun dan
rajin, sudah tentu jauh lebih gampang dibanding sekarang ini. Kau harus dengar dan patuh akan
ucapanku.'" "Perintah guru sukar ditampik, apa boleh buat terpaksa aku menurut saja akan semua
pesannya. Baru setelah itu guruku menyebut nama ayahmu dan paman Hun, malah dia pun
menambahkan: 'Aku pun sangat ingin tahu berita kedua kawan lamaku ini, tapi aku tidak bisa ke
sana menjenguk mereka, karena itu kau harus ke sana untuk mengetahui keadaan mereka'.
Paman dan bibi Hun waktu kecil aku pernah melihatnya, guruku menyuruh aku mengaku sebagai
famili dari keluarga Hun, datang untuk minta perlindungan, maklum peperangan sudah terjadi di
mana-mana. Tapi tak nyana paman Hun dan ayahmu sudah meninggal, kedatanganku sangat
terlambat, tak bisa aku bertemu dengan mereka."
"Namun meski aku tidak beruntung dapat bertemu dengan kedua paman ini, hubungan kental
kita dari generasi mendatang kiranya tidak kalah erat dan intimnya dari mereka, selama tiga tahun
ini, aku, kau dan Ci-lo laksana saudara sepupu saja bukan?"
"Waktu pertama kali datang, aku takut merembet kau, maka tidak berani memberitahukan asalusulku
yang sebenarnya kepadamu, tapi aku selalu berharap dan menunggu kesempatan untuk
memberitahukan hal ini kepadamu. Sekarang tibalah saatnya aku harus memberi-tahu segalagalanya
kepadamu." Girang dan haru pula perasaan Song Theng-siau, dengan kencang ia genggam tangan Beng
Goan-cau, katanya tersendat: "Banyak terima kasih, Beng-heng. Terima kasih akan
kepercayaanmu kepadaku, kau beberkan semua rahasia kepadaku."
Mendengar ucapannya ini, tak urung diam-diam Beng Goan-cau merasa menyesal dalam hati,
ternyata dia masih mempunyai suatu rahasia yang masih mengelabui Song Theng-siau, meskipun
rahasia itu termasuk rahasia pribadinya.
Sebenarnya dia ada mengesampingkan satu persoalan, di waktu gurunya menyuruhnya datang
menetap di rumah Hun, ada pernah berpesan wanti-wanti kepadanya: "Berkorban hidup demi
keadilan dan kebenaran adalah sepak terjang kaum cendekia dan patriot bangsa seperti kita. Tapi
kau adalah keturunan keluarga Beng satu-satunya, kuharap setelah kau menikah dan mempunyai
anak, baru kuijinkan kembali untuk berjuang berdampingan denganku, bahagia atau ketimpa
bencana diresapi bersama. Paman Hunmu punya seorang putri, kuharap kau dapat menikah
dengan dia." Gurunya ada menulis sepucuk surat menyuruhnya menyerahkan langsung kepada
paman Hun, dalam suratnya itu ia ada menyinggung maksudnya itu. Ayah Hun Ci-lo sudah
meninggal, adalah ibunya sudah pernah membaca surat itu.
Sebelum Beng Goan-cau datang, calon mantu yang dipenujui dalam hati Hun-hujin sebetulnya
adalah Song Theng-siau, soalnya usia mereka pada waktu itu masih kecil, maka tidak pernah ia
menyinggung soal perjodohan. Setelah Beng Goan-cau datang, sepihak karena isi surat itu, meski
Kim-to Lu Siu-gun tidak secara terang-terangan menjelaskan, tapi secara tidak langsung sudah
mencurahkan harapan hatinya, semoga muridnya ini dapat memperoleh jodoh yang setimpal.
Mengharap supaya Hun-hujin suka membantu untuk menyempurnakan cita-citanya. Ini jelas
bahwa secara tidak langsung suratnya itu meminang putrinya untuk dijodohkan dengan muridnya.
Hubungan Kim-to Lu Siu-gun dengan keluarga Hun bukan hubungan biasa, kalau toh dia sudah
mengajukan lamaran bagi muridnya, tidak bisa tidak Hun-hujin harus mempertimbangkan secara
mendalam. Pihak kedua, watak Beng Goan-cau tegas lurus dan penuh keyakinan, sifatnya jujur dan polos
lagi. sebaliknya Song Theng-siau suka membawa adatnya sebagai anak hartawan yang serba
mewah, kalau dibandingkan. Hun-hujin jauh lebih tertarik dan penujui perangai dan martabat
Beng Goan-cau. Ada dua persoalan yang berhubungan erat satu sama lainnya ini, lambat laun Hun-hujin mulai
meru-bah sikap dan haluan, dia serahkan keputusan terakhir kepada putrinya untuk memilih
sesuka hatinya. Tapi meski dia tidak campur tangan dalam keputusan terakhir ini, toh secara
diam-diam ia rada memberi angin dan memberi peluang bagi Beng Goan-cau.
Pengaruh seorang tua terutama seorang ibu kepada putrinya adalah teramat besar, meski
pemberian angin dan peluang ini tidak memberikan bekas-bekas yarig nyata, tapi putrinya secara
langsung akan merasakan secara wajar. Oleh karena itu. akhirnya Hun Ci-lo memang jatuh cinta
kepada Beng Goan-cau, walaupun bukan karena pengaruh ibunya, tapi hal-hal itu merupakan
unsur-unsur kesuksesan yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Tiga tahun kemudian setelah Beng Goan-cau berada di Soh-ciu. sebetulnya secara diam-diam
antara Beng Goan-cau dengan Hun Ci-lo sudah ada sumpah setia sebagai suami istri, tapi karena
mereka tidak tega membuat Song Theng-siau berduka, maka sementara mereka mengelabuinya.
Kini Song Theng-siau mengenang kejadian malam itu kembali, tanpa merasa ia tertawa getir
dalam hati. pikirnya: "Semula kuanggap Goan-cau sudah mencurahkan seluruh isi hatinya
kepadaku, siapa tahu ternyata ia masih menyembunyikan satu rahasia besar kepadaku. Ai, kecewa
aku mengagulkan diri sebagai pelajar yang cerdik pandai, sebetulnyalah aku begitu goblok seperti
babi. mereka sudah sumpah setia dan mengikat janji sebagai suami istri, adalah aku masih main
raba dan menebak-nebak."
Hatinya gundah pikiran pun kalut. Teringat akan kejadian malam itu. Song Theng-siau jadi
merasa bahwa dirinya kena dipermainkan begitu runyam. Sebab bukan saja ia sudah dikelabui,
malah dia anggap dirinya adalah orang yang paling mengenal perangai dan sifat-sifat Hun Ci-lo.
Malam itu. Beng Goan-cau ada menuturkan tentang hubungan dirinya dengan kedua keluarga
Hun dan Lu. serta sebab musabab kenapa ia sampai meluruk datang ke Soh-ciu. semua itu sudah
jelas bagi Song Theng-siau, lalu Song Theng-siau berkata: "Tadi kau mengatakan ada sesuatu hal
yang mohon ban-tuanku. entah perihal apa yang kau maksud?"
"Sebuah hal yang ada sangkut pautnya dengan guruku." sahut Goan-cau.
Song Theng-siau girang, tanyanya: "Kau sudah memperoleh kabar dari gurumu?"
"Benar. Hari ini ada seorang murid Kaypang yang datang membawa kabar dari sunio kepadaku,
beliau minta aku segera kembali."
"Kenapa kabar dari suniomu, bagaimana dengan suhumu?"
"Dia orang tua terluka parah, kabarnya keadaannya sudah sangat payah tinggal menunggu
waktu saja." Song Theng-siau terkejut, serunya: "Kepandaian silat Kim-to Lu Siu-gun teramat tinggi,
siapakah yang mampu melukainya?"
"Seorang gagah tak kuasa menghadapi orang banyak, jejak beliau ketahuan oleh sepasukan
berkuda, setelah dikerubuti tujuh jagoan kelas tinggi dari istana raja, dengan mati-matian ia
bertempur dan berhasil menerjang keluar kepungan. Tapi luka-luka yang dia derita pada tubuhnya
jauh lebih parah dibanding waktu dia membunuh Ho Kun dulu."
Beng Goan-cau melanjutkan: "Sunio mendesak aku segera pulang, maksudnya supaya aku bisa
bertemu muka pada penghabisan kalinya dengan suhu. Tapi yang kukuatirkan bukan melulu
keadaan suhu saja!" Sebagai seorang cerdik, apa yang terpikir oleh Beng Goan-cau sudah tentu dia pun dapat
memikirkannya, katanya: "Keadaan suniomu sekarang tentu teramat berbahaya. Sudah
semestinya dia memerlukan bantuan seorang murid yang dapat dipercaya."
Beng Goan-cau manggut-mang-gut, ujarnya: "Justru karena soal itulah, maka aku harus
mendapat bantuanmu. Seluruh keluarga guruku, sekarang sama sembunyi di Ki-lian-san, tempat
sembunyi itu meski sangat rahasia, bukan mustahil bisa ketahuan oleh musuh juga. Guru sedang
luka parah, sute dan su-moay masih berusia kecil, seorang diri masa sunio mampu melawan
musuh" Umpama aku sempat datang juga mungkin tidak kuasa melindungi keselamatan mereka.
Apakah kau sudi membantu kesulitanku ini?"
"Kim-to Lu Siu-gun merupakan pamanku juga, meski aku belum pernah ketemu dengan beliau,
sejak lama aku sudah kagum dan kangen padanya. Kini dia sedang mengalami kesukaran, jiwa
terancam lagi. masa aku tega berpeluk tangan" Beng-heng, apapun yang kau katakan ini seolaholah
anggap aku orang luar saja."
"Banyak terima kasih akan kesediaanmu ini, biarlah aku bicara secara gamblang saja,
bagaimana kalau besok juga, kita lantas berangkat?"
"Menurut hematku masih ada seorang yang bisa kita ajak sekalian."
"Siapa?" Song Theng-siau rada kurang senang, katanya: "Kau sudah tahu sengaja tanya lagi. Tentunya
Hun Ci-lo yang kumaksud! Beng-heng, persoalan ini sebetulnya kau jangan mengelabui dia, kita
kan tri tunggal, kau boleh memberi tahu padaku, kenapa tidak boleh memberitahu kepadanya?"
"Aku tidak ingin dia ikut kena perkara, lain dengan kau dia adalah anak perempuan..."
"Kali terlalu pandang enteng Hun Ci-lo," cepat Song Theng-siau menukas. "Dia adalah seorang
Srikandi, jangan kau samakan dia dengan perempuan umumnya! Ilmu silatnya tidak di sebelah
bawah aku atau kau, betul-betul seorang pembantu yang paling baik, kenapa kau tidak undang
dia?" "Ini, ini... ai," Beng Goan-cau tergagap tak mampu bicara. "Kau tidak tahu, bukan saja aku
tidak ingin dia tersangkut, apalagi, apalagi..."
"Apalagi apa?" "Kalau terdesak terpaksa aku harus beritahu kepadanya," diam-diam Beng Goan-cau membatin
dan ambil putusan. Sambil kertak gigi, ia berkata: "Apalagi seumpama kuundang dia belum tentu
dia sudi ikut sama kita!"
Song Theng-siau tertawa, katanya: "Hun Ci-lo tidak mau pergi! Haha! Ucapanmu ini rasanya
terlalu ceroboh dan tanpa pertimbangan, darimana kau bisa tahu bila dia tidak mau pergi" Bengheng,
bukan aku suka mengunggulkan diri, perangainya aku jauh lebih paham dari kau."
Sebetulnya Beng Goan-cau hendak memberitahu rahasia Hun Ci-lo kepadanya, tapi mendengar
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ucapan Song Theng-siau ini, terpaksa ia telan kembali. Katanya: "Aku cuma menduga-duga saja,
kupikir mereka ibu beranak hidup saling memerlukan, belum tentu Ci-lo tega meninggalkan
ibunya." Tak terasa Song Theng-siau bergelak tawa mendengar alasannya ini.
Beng Goan-cau jadi dongkol, katanya: "Song-heng menertawakan dugaanku yang tidak
berdasarkan alasan yang tepat?"
"Untuk itu tidak bisa salahkan kau, kau cuma tiga tahun bergaul dengan Ci-lo, adalah aku sejak
kecil dibesarkan bersama, terhadap perangai, watak dan karakternya sudah tentu aku jauh lebih
jelas dari kau. Jangan kau anggap sikapnya yang lemah lembut itu, lantas kau anggap dia seorang
nona aleman yang tidak tega meninggalkan ibunya, bahwasanya justru dia sangat merasa sebal
hidup dalam pengasingan yang sepi ini, sejak lama dia sudah ingin berkelana, keluar menerjang
berbagai kesulitan hidup nan luas ini. Bukan saja dia memiliki perangai yang hangat dan lembut,
dia pun punya jiwa ksatria yang gagah berani. Kau paham belum?"
Sikap Beng Goan-cau kaku tanpa ekspresi, sahutnya: "Sudah paham, sudah paham. Tapi aku
tidak ingin pergi mengundangnya."
"Kalau kau merasa rikuh mengundang dia, biar aku mewakili kau. Sekarang belum lewat
kentongan ketiga, mungkin Ci-lo belum lagi tidur. Kau tunggu aku di sini, sebentar aku kembali.
"Baiklah, baik juga kau pergi coba-coba!"
Hujan gerimis masih terus berlangsung, membawa hatinya yang berkobar dan semangat yang
menyala-nyala, sambil berlari-lari kecil Song Theng-siau menempuh hujan meluruk ke rumah Hun
Ci-lo dan memanggilnya keluar.
Tak nyana sesuai dengan dugaan Beng Goan-cau, bujuk punya bujuk Hun Ci-lo tetap tidak mau
ikut mereka pergi. Mereka berdiri berendeng di teras dalam taman bunga, selama itu Hun Ci-lo diam saja
mendengarkan penjelasannya. Lampu lampion di teras sebelah pojokan sana tergoyang gontai
terhembus angin malam, tapi dari cahaya sinar lampion yang remang-remang itu masih dapat
terlihat jelas sikap dan segala gerak-gerik Hun Ci-lo.
Hun Ci-lo seperti pulas dalam impiannya, kedua matanya mende-long lurus ke depan entah apa
yang dilamunkan. Agaknya dia terkejut oleh berita yang sangat mendadak ini, gugup dan menjadi
hampa pula. Kadang kala saja ia ikut menimbrung beberapa patah: "Kau kemari bukan suruhan
Beng Goan-cau bukan?"-"O, jadi besok benar-benar hendak berangkat?"
Reaksi yang dihadapi sama sekali berbeda dengan dugaan sebelumnya, sedikit pun ia tidak
kelihatan terharu, berat dan tidak terpengaruh sedikit pun.
Waktu Song Theng-siau selesai memberi penjelasan, tampak tanah di sekitar kakinya penuh
ditaburi kelopak kembang. Ternyata sambil mendengar penjelasannya, Hun Ci-lo, di luar
kesadarannya, meremas-remas kelopak-kelopak kembang mawar, entah berapa banyak kuntum
kembang mawar yang sudah dihancurkannya.
Song Theng-siau teramat gelisah, tanyanya: "Sebetulnya kau mau ikut atau tidak?"
Dengan tertekan Hun Ci-lo menyahut: "Aku ingin pergi, sayang aku tidak bisa pergi!"
"Kenapa?" "Tidak kenapa-kenapa. Ayahku sudah meninggal, aku harus menjaga ibuku. Berat rasanya
meninggalkan beliau."
Ai, kiranya jawabannya persis seperti dugaan Beng Goan-cau.
"Hm, kukira kau adalah Srikandi yang gagah berani, siapa kira tindak tandukmu tepat seperti
yang dikatakan oleh Beng Goan-cau, ternyata nona pingitan yang berat meninggalkan ibunya!"
Selamanya Song Theng-siau belum pernah mengumbar amarahnya kepada Hun Ci-lo, kali ini
adalah yang pertama kali.
Pecah tangis Hun Ci-lo, katanya sesenggukan: "Terserah apa yang kau katakan, untuk
selanjutnya kau tidak usah hiraukan diriku." Sambil berlari masuk kamar, "biang" ia tutup pintunya
terus dikunci dari dalam.
Di bawah jendelanya Song Theng-siau mengeluarkan banyak kata-kata bujukan, entah berapa
lamanya Hun Ci-lo baru menghentikan tangisnya, terdengar suaranya berkata: "Kau jangan
banyak curiga, aku tidak salahkan kau. Kita masih sebagai sahabat karib. Aku cuma benci pada
diriku kenapa aku tidak bisa ikut pergi. Sekarang cuaca hampir terang tanah, mungkin Goan-cau
sudah tidak sabar menunggu kau, lekaslah kau pergi menemuinya!"
Mimpi pun tidak nyana beginilah akhirnya, kalau datangnya Song Theng-siau membawa
semangat yang menyala-nyala, kembalinya menjadi lesu seperti jago yang kalah di medan laga.
Sungguh ia menyesal kenapa tadi dia marah-marah kepada Hun Ci-lo, lebih menyesal pula akan
kecerobohan dirinya. Mengawasi Nyo Hoa di hadapannya ini, dalam hati ia berpikir: "Ternyata pada waktu itu
perutnya sudah mengandung anaknya Beng Goan-cau, sudah tentu tidak bisa salahkan dia tidak
mau ikut pergi." Setelah perutnya kenyang, melihat Song Theng-siau masih berdiri menjublek seperti kehilangan
semangat, mematung tidak bergerak, hati Nyo Hoa jadi kesal dan waswas, katanya: "Paman Song,
bukankah kau sudah berjanji hendak membawa aku mencari ibu?"
"Benar, aku hendak membawa kau. Tapi kau baru saja habis makan, tidak baik melanjutkan
perjalanan, istirahat sebentar lagi."
Kenangan lama kembali terbayang dalam benaknya, karena Nyo Hoa merengek hendak
mencari ibunya, teringat olehnya pada tiga tahun yang lalu di kala dia kembali ke Soh-ciu dengan
tujuan hendak menemui Hun Ci-lo.
Sebelumnya dia sudah berjanji dengan Beng Goan-cau, bilamana gurunya beruntung tidak
sampai ajal, setelah gurunya sembuh mereka akan segera dapat kembali. Sebaliknya bila gurunya
meninggal, maka dia harus mengantar keluarga gurunya menuju ke Siau-kim-jwan. Karena di
Siau-kim-jwan sana ada laskar gerilya. Pemimpin dari laskar gerilya ini adalah Leng Tiat-jiau dan
Siau Ci-wan, kedua orang ini adalah sahabat karib gurunya.
Pendeknya, bila tiada terjadi sesuatu di luar dugaan, paling cepat setengah tahun, paling lama
satu tahun mereka bakal bisa kembali ketemu lagi dengan Hun Ci-lo.
Tak nyana, sekali mereka pergi lima tahun kemudian baru kembali, waktu berangkat adalah
sepasang teman karib, di kala pulang cuma dia seorang diri. Malah waktu dia tiba di rumah
keluarga Hun, keadaan gedung kediamannya masih tetap seperti sedia kala, cuma penghuninya
sudah kosong. Selama lima tahun ini, penghidupan yang dialaminya adalah sedemikian tegang dan penuh
mara bahaya, begitu tegangnya sampai-sampai ada kalanya dia tidak sempat mengenang Hun Cilo.
Waktu berangkat dari Soh-ciu mereka menempuh perjalanan siang malam, setiba di Ki-lian-san
kebetulan masih sempat bertemu muka dengan guru Beng Goan-cau.
Waktu itu Beng Goan-cau berlutut di depan pembaringan gurunya dengan lirih ia mengucapkan
beberapa patah kata, entah apa yang diucapkan tidak terdengar jelas cuma lapat-lapat Song
Theng-siau ada mendengar 'cita-cita kau orang tua sudah terlaksana' dan beberapa patah kata
lain yang dia tidak mengerti.
Setelah mendapat laporan muridnya, rona wajah Lu Siu-gun kelihatan senang dan berseri tawa
lebar, sambil menunjuk putrinya, ia berkata kepada Song Theng-siau: "Aku bersahabat dengan
ayahmu, aku bisa melihat kau, seperti juga melihat ayahmu, aku sangat senang. Tapi mungkin
aku tidak bisa bicara tentang pengalaman yang lalu dengan kau, kedua putra putriku ini, harap
kau bersama Goan-cau suka memberi bimbingan dan perlindungan."
Melihat Lu Siu-gun mengulum senyum lebar, semangatnya banyak pulih kembali, mereka sama
mengira bahwa dia ada harapan sembuh kembali, tak kira setelah memberikan pesan-pesannya
yang perlu, tiba-tiba kedua kakinya menjulur lurus, saat mana juga beliau telah meninggal.
Secara kenyataan Lu Siu-gun meninggal, sudah tentu mereka tidak bisa segera kembali ke Sohciu,
terpaksa melaksanakan rencana kedua yaitu mengantar keluarga Lu Siu-gun menuju ke Siaukimjwan. Tapi sebelum mereka berangkat, secara tak terduga-duga mereka mengalami kejadian diluar
dugaan Sebetulnya bukan 'di luar dugaan', seharusnya siang-siang sudah mereka duga
sebelumnya, sebab cakar alap-alap pihak istana raja sudah menemukan jejak Lu Siu-gun, sekali
tidak berhasil membekuk dia, kena dirugikan besar-besaran lagi, sudah tentu mereka tidak akan
berhenti di tengah jalan, mereka masih mengerahkan kaki tangannya yang tersebar di mana-mana
untuk mengejar buronan penting ini.
Secara kebetulan justru mereka berdua kebentur dengan peristiwa macam itu, yaitu bentrok
dengan para jagoan kosen dari istana raja yang untuk kedua kalinya meng-grebek tempat
sembunyi mereka. Hari itu kebetulan adalah hari ketiga setelah wafatnya Lu Siu-gun, untung mereka sudah
mengebumikan Lu Siu-gun, kalau tidak terjadi peristiwa yang di luar dugaan ini, menurut rencana
hari kedua mereka sudah akan berangkat.
Para jagoan istana yang meluruk datang kali ini ada lima orang, ke lima orang ini sama pernah
ikut dalam penggrebekan Lu Siu-gun yang pertama kali dulu.
Penggrebekan pertama kepada Lu Siu-gun tempo hari ada tujuh jagoan kosen, untung dua di
antaranya yang berkepandaian paling tinggi luka-lukanya masih belum sembuh, mereka tidak ikut
datang, kalau tidak, malam itu, bagaimana akibatnya sulitlah dibayangkan.
Pihak musuh pun mempunyai perhitungan yang matang, dulu mereka bertempur mati-matian
melawan Lu Siu-gun sampai kedua pihak sama jatuh korban dan terlu-ka parah, tapi luka-luka
yang diderita Lu Siu-gun jauh lebih berat, meski tidak segera mampus, kiranya juga tidak akan
mampu melawan lagi. Menurut anggapan mereka paling-paling mereka harus menghadapi istri Lu
Siu-gun saja, maka meski mereka kurang dua jagoan yang paling tinggi kepandaiannya, toh masih
memberanikan diri meluruk datang.
Adalah rekaan mereka hanya tepat separuh saja, memang Lu Siu-gun sudah wafat, tapi justru
pihak sini kedatangan rjua bantuan Beng Goan-cau dan Song Theng-siau, dua pemuda seperti
anak domba yang tidak takut menghadapi harimau.
Untung pihak musuh dikurangi dua jagoan kosen, maka pihak keluarga Lu baru bisa beruntung
memperoleh kemenangan. Tapi meski demikian, Beng dan Song dua orang di dalam pertempuran
sengit itu boleh dikata hampir saja mereka gugur.
Peristiwa itu sudah berselang beberapa tahun yang lalu, teringat akan pertempuran sengit
malam itu, hati Song Theng-siau masih berdebar keras.
Lu Siu-gun mempunyai dua anak, seorang putra dan putri. Putrinya bernama Lu Su-bi, tahun
itu berusia lima belas, putranya bernama Lu Su-hou. usianya jauh lebih kecil, cuma sembilan
tahun. Malam itu hanya putra terkecil dari keluarga Lu ini saja yang tidak terjun ke dalam medan
laga. Pihak sini ada empat, jadi empat lawan lima, memang jumlahnya masih kalah dari pihak
musuh, tapi Beng Goan-cau dan Song Theng-siau baru pertama kali ini benar-benar menghadapi
musuh tangguh. Terutama Lu Su-bi, meski masih merupakan bocah kecil yang tenaganya belum
lagi matang, dengan ajaran keluarganya yang hebat yaitu Pat-kwa-yu-sin-to-hoat, ilmu golok yang
baru saja berhasil dia pelajari. Keempat orang ini hanya Lu-hujin seorang yang sudah biasa
menghadapi pertempuran yang menegangkan urat syaraf ini, tapi dia baru saja kematian suami,
sudah tentu tenaga dan semangatnya banyak berkurang.
Dalam pertempuran sengit itu, Song Theng-siau sendiri tidak tahu berapa banyak ia kena
terluka, luka-lukanya itu pun tidak terasakan sakit sama sekali, tahunya cuma bertempur matimatian
dan kalap, ganyang dan bunuh semua musuh-musuhnya.
Dari tengah malam mereka berhantam sampai terang tanah, baru pertempuran sengit itu
berakhir. Kelima jagoan kosen dari istana pemerintah sama dapat ditumpas di alas pegunungan
itu. Jiwa mereka melayang tanpa ada tempat liang kubur.
Setelah Song Theng-siau menyaksikan musuh terakhirnya kena dirobohkan, baru dia sempat
menarik napas lega, tapi begitu perasaan menjadi longgar, ia sendiri pun tak kuat bertahan lagi,
jatuh semaput. Setelah peristiwa itu berselang, baru Song Theng-siau tahu bahwa badannya kena tiga tabasan
golok yang cukup berat, di samping itu kena sekali pukulan Thi-sa-ciang, tertusuk piau terbang
musuh yang dilumuri racun jahat lagi.
Luka-luka golok sih gampang diobati, adalah pukulan Thi-sa-ciang itu telah menggetar luka isi
perutnya, lebih liehay pula senjata rahasia beracun itu, karena senjata rahasia itu sudah direndam
dalam racun air Khong-ciok-tam dan Ho-ting-ang, racun ini tidak bisa disembuhkan dengan
sembarangan obat pemunah umumnya.
Mungkin memang ajal Song Theng-siau belum sampai, hari kedua secara kebetulan datang
seorang murid Kaypang yang bertandang hendak menemui Lu-hujin, orang ini bernama Goan Ittiong,
murid dari Kaypang Pangcu sekte utara Tiong Tiang-jong. Murid-murid Kaypang banyak
yang pandai menggunakan racun dan memunahkan racun, Goan It-tiong ini pun punya hubungan
intim dengan Bu-ay Siansu, pemuka dari Cap-pwe-lo-han yang kenamaan dari Siau-lim-pay.
Untung dia membawa tiga butir Siau-hoantan dari pemberian Bu-ay Siansu, menggunakan
ajaran pengobatan pihak Kaypang yaitu tusuk jarum memunahkan racun ia sedot dan membubuhi
obat pula bagi luka-luka Song Theng-siau, pula ia berikan sebutir Siau-hoan-tan untuk menambah
tenaga dan memulihkan hawa murninya, karena pertolongan yang tepat dan mujarab ini baru
jiwanya dapat diselamatkan.
Meski demikian, Song Theng-siau harus berbaring tiga hari tiga malam di atas ranjang baru
siuman kembali. Tatkala itu Goan It-tiong sudah pergi, dari penuturan Lu-hujin, baru dia tahu
bahwa siapa yang telah menolong jiwanya.
Bahwa luka-luka Song Theng-siau sudah amat berat, tapi luka-luka yang diderita Beng Goancau
jauh lebih parah lagi. Luka di seluruh tubuh Beng Goan-cau sulit dihitung, kalau dikatakan seluruh badan babak belur
kiranya tidak berkelebihan. Yang paling berbahaya dan paling mengancam jiwanya adalah tiga
belas batang Bwe-hoa-ciam beracun yang mengenai tubuhnya, ketiga belas jarum-jarum lembut
ini tersebar mengenai berbagai jalan darah di tubuhnya.
Murid Kaypang Goan It-tiong sendiri sampai kewalahan dan tidak mampu menyembuhkan lukaluka
yang kena tertusuk jarum pada jalan darahnya, terpaksa ia tinggalkan kedua butir Siau-hoantan
dan satu resep obat kepada Lu-hujin, terus pamitan karena masih ada tugas-tugas lain yang
harus dia kerjakan. Entah karena perawakan Beng Goan-cau yang tegap dan kuat, atau karena cara perawatan
yang tekun dan pengobatan yang tepat, setelah tujuh hari tujuh malam dia pingsan tidak sadarkan
diri, ternyata tidak mati, sebaliknya kembali siuman dan hidup lagi. Bahwa Beng Goan-cau dapat
luput dari kematian dan hidup kembali, memang berkat kedua unsur yang dikisahkan di atas, tapi
yang terbesar adalah karena jasa-jasa Lu Su-bi.
Dalam tujuh hari tujuh malam itu, Lu Su-bi tidak mengenal lelah, siang malam merawatnya
sampai sembuh, dengan besi semberani menyedot keluar jarum yang menusuk ke dalam jalan
darahnya, menggodok obat serta melolohkan-nya, sehari tiga kali mengunyah obat pil lalu
dijejalkan ke mulutnya pula. Dan yang lebih mengagumkan dan mengharukan, dengan mulutnya
yang kecil mungil itu ia menyedot keluar darah beracun pada luka-luka Beng Goan-cau.
Sudah tentu sikap baik Lu Su-bi ini bukan saja cuma terhadap suhengnya, terhadap Song
Theng-siau pun demikian. Setelah setengah tahun berbaring dan dirawat serta diobati dengan
tekun baru luka-luka mereka sembuh seluruhnya. Untunglah ada Lu Su-bi yang menjadi teman
dan selalu ajak mereka bicara sebagai pelipur lara, sehingga selama setengah tahun itu mereka
tidak merasa kesepian, penyakit pun sembuh lebih cepat dari dugaan semula. Karena bukan saja
Lu Su-bi sudah memperlihatkan pengabdiannya yang luar biasa, adalah dia pula yang telah
memberi semangat dan kekuatan.
Walaupun seluruh sanubari Song Theng-siau sudah diarahkan kepada Hun Ci-lo, namun sedikit
pun tidak menjadi halangan akan kenangannya terhadap Lu Su-bi. Setiap kali ia terbayang pada
nona kecil yang lincah dan pintar ini, hatinya pun menjadi hangat dan gembira.
Dikatakan Lu Su-bi memberikan semangat dan kekuatan bukan berarti bahwa mereka berdua
sudah jatuh cinta kepadanya, keadaan justru terbalik, hakikatnya mereka belum pernah
memikirkan ke arah itu, entah kelak pada suatu ketika mungkin mereka bisa jatuh cinta
kepadanya. Nona kecil yang berusia lima belasan bak umpama sekuntum bunga yang mulai mekar, jiwanya
diliputi kekuatan hidup yang menyala-nyala, bagi seorang yang berbaring sakit di atas ranjang
selama setengah tahun, bukan mustahil merasa kesal dan sebal, gelisah dan gugup lagi. Di kala
mereka terganggu oleh perasaan-perasaan inilah seperti seekor burung kecil Lu Su-bi terbang
hinggap di pinggir ranjang mereka, ajak mereka bicara dan berkelakar, menghilangkan kekesalan
hati. Ada kalanya tanpa dia membuka mulut, cukup hanya melihat tingkah lakunya yang lucu dan
jenaka berloncatan sebagai nona cilik, mereka lantas merasa betapa indahnya jiwa itu, secara
wajar nalarnya lantas mengejar akan kehidupan yang lebih panjang dan menyenangkan ini.
Dalam pandangan mereka sama menganggap Lu Su-bi sebagai adik kecilnya. Tapi kuncup
kembang bisa mekar, budak cilik pun lekas tumbuh dewasa. Mendadak suatu hari, sekonyongkonyong
mereka sama merasa bahwa adik kecil ini bukan lagi sebagai budak kecil yang masih
ingusan, sekarang, sudah menjadi dewasa sebagai gadis yang sedang mekar semerbak.
Sudah tentu mereka tidak dalam waktu yang sama menyadari akan hal ini.
Yang pertama-tama mendapati perubahan ini adalah Song Theng-siau, kejadian itu berlangsung
di kala mereka sudah berada di Siau-kim-jwan.
Di dalam waktu setengah tahun mereka merawat sakit itu, demi menghindari sergapan musuh
lagi. Lu-hujin harus berpindah-pindah beberapa kali dari rumah ke rumah yang lain, tapi mereka
tetap bergerak di pegunungan Ki-lian-san. Setelah luka-luka mereka sembuh seluruhnya baru
mereka meninggalkan Ki-lian-san.
Sepanjang jalan itu banyak kesulitan dan penderitaan harus mereka alami, bukan saja selalu
waspada akan kejaran musuh, mereka pun harus melawan hawa dan cuaca yang buruk, melewati
jurang yang dalam. Pada musim semi tahun kedua akhirnya mereka tiba juga di Siau-kim-jwan.
Adalah Lu Su-bi selama dalam perjalanan ini secara diam-diam ia sudah melampaui hari ulang
tahunnya yang ke tujuh belas.
Di kala mereka tiba di Siau-kim-jwan, kebetulan pasukan besar pemerintah Boan sedang datang
menggempur, sudah tentu mereka harus membantu pihak laskar gerilya untuk memukul musuh,
maka rencana untuk kembali ke Soh-ciu terpaksa tertunda lagi.
Pada suatu hari, Song Theng-siau bersama Lu Su-bi keluar meronda, kebetulan kebentur
dengan sepasukan kecil tentara pemerintah, mengandal kekuatan mereka berdua cukup
berkelebihan membikin musuh berlari kocar-kacir dan banyak yang terbunuh pula. Song Thengsiau
pernah memujinya: "Siau-sumoay, kau sungguh berani, jauh melebihi keberanian seorang laki-laki."
Lu Su-bi menjawab dengan aleman: "Aku kan bisa tumbuh dewasa, kau anggap aku sebagai
budak kecil yang tidak berguna dulu itu?"
"Apa benar" Coba biar kupandang, o, ya, memang kau sudah tumbuh besar, tapi kau jangan
salah paham, maksudku dulu kau pun cukup berani dan banyak jasanya, apa lagi sekarang sudah
dewasa lebih berguna."
Bahwasanya Song Theng-siau sendiri belum menyadari akan arti 'tumbuh dewasa' yang
dimaksudkan oleh Lu Su-bi. Sambil berjalan berendeng mereka kembali ke markas, sepanjang
jalan bercakap-cakap dan bersendau gurau, entah mengapa, akhirnya mereka membicarakan Hun
Ci-lo. Mendadak Lu Su-bi bertanya: "Kudengar katanya Hun-cici sangat cantik molek, apa benar?"
"Ya, dia cantik molek," Song Theng-siau menjawab pendek.
Lu Su-bi lantas menunduk, agaknya sedang memikirkan sesuatu. Mendadak terpikir oleh Song
Theng-siau bahwa 'adik cilik' ini sekarang sudah benar-benar 'tumbuh dewasa', di hadapan
seorang gadis ia memuji kecantikan gadis yang lain, adalah mungkin menimbulkan rasa kurang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senang orang, maka dengan tersenyum ia lantas menambahkan: "Siau-sumoay, kau sendiri pun
sangat elok dan rupawan."
Biasanya Beng Goan-cau selalu memanggil Lu Su-bi dengan sebutan Siau-sumoay, Song Thengsiau
adalah sahabat karibnya, maka ia pun jadi kebiasaan ikut memanggil Siau-sumoay kepada Lu
Su-bi. "Jangan kau membujuk senang hatiku, mana bisa aku lebih cantik dari Hun-cici?"
"Kau anggap aku membual belaka, bukan aku saja yang memuji kecantikanmu."
"Masih ada siapa lagi?"
"Masih ada Toa-suhengmu Beng Goan-cau."
"Apa yang dia katakan?"
"Katanya budak kecil berambut kuning berubah delapan belas kali, kau semakin besar jadi
semakin ayu!" Jengah muka Lu Su-bi, katanya pura-pura bersungut: "Beng-toako seorang polos, masa dia
juga seperti kau suka menggoda orang?"Kata-katanya seperti tidak percaya dan pura-pura aleman, sebenarnya dalam hati ia sangat
girang, mukanya yang bersungut itu tidak bisa mengelabui perasaan senang hatinya. Song Thengsiau
tahu akan hal ini, dalam hati menjadi geli, baru sekarang secara tiba-tiba ia merasa bahwa
Siau-sumoay yang dianggapnya masih kecil ini ternyata sudah tumbuh dewasa.
"Sedikit pun aku tidak menipu kau, bersama Hun Ci-lo kalian mempunyai keelokan masingmasing.
Jikalau kalian berdiri berjajar, orang lain pasti menyangka kalian adalah sepasang saudara
yang sama cantik dan rupawan."
"Sayang aku tidak punya keberuntungan seperti itu," lalu Lu Su-bi bertanya lebih lanjut: "Kalian
sama menyenangi Hun-Cici itu bukan?"
"Benar, tapi kami sama-sama pula menyenangi kau," lahirnya ia berkata demikian, tapi Song
Theng-siau sendiri paham, kedua 'senang" dan 'senang' ini mengandung arti yang berlainan,
terpaut amat jauh. "Lalu bagaimana dengan Hun-cici" Dia lebih suka kepadamu, atau lebih menyenangi Beng
toako?" Song Theng-siau tidak pernah menyangka Lu Su-bi bakal menanyakan hal ini, tepat pula
mengenai rasa sirik hatinya, seketika Song Theng-siau merasa sangat hampa dan kebingungan,
sesaat lamanya baru dia menjawab tersekat: "Aku, aku tidak tahu. Mungkin sama saja?"-Maklum
justru pertanyaan itulah yang memang dia kejar-kejar jawabannya, sekian lamanya dia masih
belum memperoleh jawaban yang positif.
Lu Su-bi tertawa: "Tidak mungkin sama saja. Menurut pandanganku, Hun-cici tentu lebih
senang kau, sebab kau pandai bicara."
Song Theng-siau tak tertahan tertawa geli, ujarnya: "Aku sendiri tidak tahu, masa kau bisa tahu
malah!" Lu Su-bi cekikikan, katanya: "Apa yang kuterka di antara sepuluh ada delapan yang tepat, kalau
kau tidak tahu berarti kau ini bodoh!"
Dalam hati Song Theng-siau berpikir: "O, budak ini kiranya sudah mulai mekar asmaranya.
Kelihatannya dia pasti menyenangi Beng Goan-cau."-Sudah tentu Song Theng-siau memang
mengharap percintaan mereka terjadi, karena bila mereka jatuh cinta, berarti Beng Goan-cau
adalah sahabatnya, dan tidak mungkin bakal menjadi lawan asmaranya.
Tapi secara diam-diam Song Theng-siau pun memperhatikan dengan pikiran dingin, diketahui
olehnya bahwa Beng Goan-cau bersikap rada dingin terhadap Siau-sumoaynya yang sudah
menanjak dewasa ini, sering ia sengaja menjauhkan diri dengan berbagai alasan supaya Siausumoaynya
ini bergaul lebih dekat dengan Song Theng-siau. Naga-naganya Beng Goan-cau sudah
mendapat tahu akan perubahan Siau-sumoaynya ini, maksud tujuannya sama dengan pandangan
dirinya. Tentang Lu Su-bi sendiri sikapnya memang seperti dulu, sulit diraba atau diterka terhadap siapa
dia lebih suka. Orang kuno suka mengibaratkan seorang gadis yang lincah Jenaka dan pintar serta nakal
sebagai 'kembang pelipur lara', ibarat ini justru sangat cocok bagi Lu Su-bi. Selama beberapa
tahun hidup dalam suasana kacau peperangan itu, untunglah ada Lu Su-bi berada di samping
mereka sehingga tekanan batin banyak menjadi ringan, kalau tidak Song Theng-siau pasti merasa
hidupnya sangat menderita dan sengsara.
Namun demikian, tak urung hidup dalam lautan hutan lebat dan puncak bersalju membuat
kenangan Song Theng-siau sering melayang ke Soh-ciu yang terkenal dinamakan sorga dunia,
karena di sana ada Hun Ci-lo yang selalu dikenangnya.
Hidup dalam peperangan sangat menegangkan urat syaraf, tapi setiap kali ada waktu
senggang, mau tidak mau pikirannya lantas mengenang Hun Ci-lo, ingin rasanya ia tumbuh sayap
dapat terbang ke sampingnya.
Rencana semula cuma satu tahun pasti dapat kembali, tak nyana tahu-tahu lima tahun sudah
lewat, Song Theng-siau masih berada jauh di pedalaman. Kapan baru aku, bisa kembali berada di
sampingnya" Demikian ia sering berpikir.
Harap punya harap akhirnya tibalah suatu kesempatan yang sangat diharapkan. Dalam suatu
pertempuran kedua pasukan laskar gerilya dari Siau-kim-jwan dan Tay-liang-san dapat
menggabungkan diri, bersama menggempur pasukan pemerintah yang memblokir pasukan
mereka, sehingga untuk beberapa lama kemudian mereka memperoleh suasana yang cukup aman
dan tentram. Kedudukan Song Theng-siau dalam laskar gerilya itu tidak lebih sebagai tamu belaka, kalau toh
situasi sudah cukup tenang, sudah tentu dengan sesuka hatinya ia boleh meninggalkan pasukan.
Sebetulnya dia hendak pulang bersama Beng Goan-cau, tapi Beng Goan-cau terpaksa harus
menunaikan suatu tugas penting pergi ke Tay-liang-san, terpaksa ia pulang seorang diri. Tugas
Beng Goan-cau itu teramat penting, memerlukan seseorang yang benar-benar mahir dan cerdik
untuk melaksanakannya. Adalah Beng Goan-cau memberanikan diri menerima tugas berat ini.
Bende Mataram 42 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Lencana Pembunuh Naga 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama