Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 42

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 42


harimau, sedangkan yang kanan tak ubah cakar seekor garuda. Kesepuluh kukunya nampak tajam dan berbentuk melengkung. Kecuali daya serangannya bertenaga hebat, cengkeramannya dapat mengambil jiwa dengan mudah.
Cepat Sangaji menangkis dengan tangan kiri sambil berseru, "Apakah maksud Tuan sersan"
Jelaskanlah dahulu. Masakan terus saja menyerang tanpa alasan?"
Ternyata sersan itu tiada menggubris seruan Sangaji. Begitu tangan kirinya kena tangkis, tangannya yang kanan dengan cepat mengarah lambung. Hebat gerakannya sampai angin
berkesiur tajam. "Apakah Tuan sersan benar-benar mengajak berkelahi," Sangaji menegas.
Ontuk yang kedua kalinya, sersan itu tidak mendengarkan seruan Sangaji. Bahkan gerakannya tambah menghebat. Kedua jari tangannya, menyerang saling menyusul. Yang satu mencakar yang lain mencengkeram berbareng mengait. Kemudian memagut dan menghantam. Dengan satu kali
gerakan saja, sudah terjadi enam gaya serangan kilat.
Melihat serangan itu, Sangaji tak berani berayal lagi. Dengan mengibaskan tangan, ia bertahan dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi, Suradira lebur dening pangastuti. Tenaga yang digunakan ialah ilmu Pancawara. Hebat tekanan tenaganya. Namun ilmu silat sersan itu, sangat ajaib dan aneh. Semua tipu muslihatnya sangat keji dan bercampur aduk. Ia memiliki ilmu sakti suci bersih dan kotor. Nyata sekali, bahwa dia mempunyai pengetahuan luas dan mahir luar biasa.
Sangaji tetap melayaninya dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi. Sampai sembilan puluh jurus, tiba-tiba cengkeraman sersan itu berubah menjadi suatu tinju. Lalu dengan deras menghantam dada Sangaji dari depan.
Diserang secara mendadak, tetap saja Sangaji melayani dengan ilmu Kyai Kasan Kesambi, la menangkis dengan mengibaskan tangan. Sekaligus, ilmu sakti Pancawara menahan daya
serangan. Kemudian dengan menggunakan tipu muslihat Mayangga Seta, tangan kiri Sangaji
membelok. Dengan suatu lingkaran cepat, tangannya sudah menggablok punggung lawannya.
Tetapi ia tidak menggunakan tenaga sakti. Karena itu, serangannya hanya menempel pada
punggung. Sersan itu terhenyak sejenak. Wajahnya heran berbareng terkejut. Tahulah dia, bahwa Sangaji tidak bermaksud mencelakai. Malahan mengampuni jiwanya. Memperoleh pertimbangan demikian, ia meloncat ke samping sambil menatap wajah Sangaji. Sekonyong-konyong ia memberi isyarat kepada Tatang Sontani, meminjam pedang.
Ternyata Tatang Sontani tidak menolak. Dengan menanggalkan pedangnya, ia datang
menghampiri. Kemudian dengan hormat ia mengangsurkan dengan kedua tangannya.
Menyaksikan Tatang Sontani bersikap hormat terhadap sersan itu, Sangaji heran bukan main.
Apalagi Tatang Sontani meminjamkan pedangnya tanpa mengadakan sesuatu pembangkangan.
Dalam pada itu pedang Tatang Sontani sudah terlolos dari sarungnya. Itulah suatu isyarat, bahwa serangan akan dimulai. Sersan itu memberi tanda, agar Sangaji meminjam pula sebilah pedang dari Tubagus Simuntang. Tapi Sangaji menggelengkan kepala. Ia hanya mengambil
sarung pedang dari tangan sersan itu dan hendak digunakan sebagai senjata pelawan pedangnya.
Kemudian dengan tenangnya ia melintangkan sarung pedang itu di depan dadanya suatu tanda bahwa serangan boleh dimulai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa segan-segan lagi, sersan itu menusukkan pedangnya dengan cepat. Menyaksikan betapa tepat dan cepat tusukannya, tahulah Sangaji bahwa lawannya memiliki ilmu pedang sangat tinggi.
Maka sedikitpun tak berani ia berkhayal atau merendahkan lawan. Ternyata dugaannya tepat.
Ilmu pedang sersan itu, jauh lebih tinggi daripada ilmu pedang Edoh Permanasari. Bahkan
keperkasaannya sejajar dengan ilmu golok gabungan Kakek Begog dan Sianyer.
Bagus! ia memuji dalam hati. Dan segera ia melayani dengan ilmu pedang guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik.
Serangan sersan itu kadang-kadang cepat, lalu lambat dengan tiba-tiba. Tenaga tekanannya teratur rapi. Bila cepat, serangannya deras bagaikan badai. Manakala berubah lambat, tiba-tiba punah. Tetapi bahayanya jauh lebih dahsyat daripada serangan badai. Sebab tenaga gempurannya dipergunakan untuk meng-kait lawan tak ubah arus berputaran. Seseorang takkan dapat
menguasai ilmu sakti demikian, apabila tenaganya tidak sempurna. Mengingat hal ini diam-diam Sangaji sayang akan kepandaiannya.
la melayani dengan hati-hati sambil berpikir di dalam hati, "Kalau setengah tahun yang lalu aku bertemu dengan dia, aku bukan tandingannya. Ilmu pedang Eyang Guru selama ini belum
memperoleh tandingnya. Tapi menghadapi ilmu pedangnya, meskipun menggunakan ilmu sakti
Mayangga Seta belum tentu bisa mengatasi."
Ontung, Sangaji kini memiliki ilmu sakti Kyai Tunggulmanik. Maka setiap kali, ia dapat
mematahkan semua serangan lawan.
Makin lama, Sangaji makin kagum dan sayang akan kepandaian sersan itu. Timbullah
keputusan dalam hatinya ia tak mau mengalahkan dengan serangan pedang pula. Ia menunggu
serangan lawan sekali lagi. Kemudian dengan jitu ia memutar sarung pedangnya berbalik. Lalu ditimpukkan dan tepat menyergap ujung pedang. Sebelum sersan itu sadar akan inti serangan Sangaji, tahu-tahu pedangnya telah masuk ke dalam sarung dengan tepat dan jitu. Dan berbareng dengan itu, tangan Sangaji menyambar tangannya. Kemudian dengan tersenyum Sangaji
melompat ke samping sambil melepaskan tangkapannya.
Apabila dikehendaki, dengan sedikit tenaga saja, pastilah pedang sersan itu dapat direbutnya.
Tetapi ia tidak menghendaki demikian, la bahkan berani mengambil risiko bahaya. Tipu demikian, sangat bahayanya. Apalagi berhadapan dengan seorang ahli pedang. Sedikit kurang cepat dan tepat, pergelangannya pasti akan terkutung sekaligus.
Tak terduga, bahwa sersan itu ternyata tak mengenal terima kasih. Belum lagi kaki Sangaji mendarat di atas tanah, tiba-tiba sersan itu membuang pedangnya. Kemudian menghantam
dengan dahsyat. Hebat hantaman itu. Suatu kesiur angin dahsyat datang bergulungan.
Namun Sangaji tidak gugup, la bahkan ingin mencoba tenaga lawan. Dengan telapak tangan
kanan, ia menyambut hantaman itu. Sedang telapak tangan kirinya mendorongkan tenaga sakti.
Dan setelah itu kedua kakinya menginjak tanah dengan manis sekali.
Dalam sekejap saja, tenaga pukulan sersan itu membanjir tak ubah air bah. Sangaji tidak
menangkisnya. Dengan menggunakan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik guratan yang kedua belas, ia menampung semua tenaga pukulan lawan. Kemudian dengan tiba-tiba ia menghentak. Tenaga
lawan yang sudah ditimbunnya, dilontarkan kembali. Hebat daya tolakan itu. Tak ubah gelombang pasang, tenaga himpunan sersan itu ditolak balik. Itu berarti, tenaga sakti sersan itu yang sudah berjumlah puluhan lipat. Betapa hebat daya tekanannya, tiada seorang di jagat ini yang memiliki tenaga sebesar demikian. Kalau tenaga tolakan kembali itu sampai menghantam suatu sasaran, meskipun seekor gajahpun akan hancur tulang-belulangnya.
Benar-benar jiwa sersan itu berada di ujung maut. Sebab telapakan tangannya masih melekat pada tangannya Sangaji. Untunglah, tangan kiri Sangaji masih terbebas. Cepat, ia melontarkan sersan itu tinggi ke udara. Dan baru ia melepaskan tenaga timbunannya.
Sersan itu terlontar ke udara seperti bola tendang. Sedangkan tenaga himpunan terus
menghantam batu raksasa yang berada di kaki bukit. Maka terdengarlah suatu gemuruh bagaikan guntur hendak menggugurkan gunung. Batu raksasa yang kena bidik tenaga timbunan itu,
sumpyur berantakan menjadi kerikil-kerikil tajam.
Menyaksikan kejadian itu, baik Tatang Sontani maupun Tubagus Simuntang memekik kaget.
Tadinya mereka mengira, bahwa adu kepandaian antara sersan itu dan ketuanya akan
membutuhkan waktu yang lama. Tak tahunya, baru dalam beberapa saat saja sudah nampak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
siapa yang lebih unggul. Mereka terkejut sampai wajahnya berubah. Selama hidupnya, baru kali itu mereka menyaksikan suatu tenaga sakti demikian dahsyat. Tak mengherankan setelah habis rasa kagetnya mereka berdiri terlongong-longong oleh rasa tercengang. Dengan mulut terbuka, mereka mengawaskan tubuh sersan itu yang jungkir balik di tengah udara pada detik-detik kematian. Baru setelah sersan itu mendarat dengan selamat di atas tanah mereka tersadar kembali.
Begitu menginjak tanah, sersan itu mengangkat kedua tangannya di tengah dada membuat
suatu sembah. Itulah suatu sembah keseragarhan anggota Himpunan Sangkuriang terhadap
ketuanya. Kemudian berkata dengan suara rendah, "Hamba Maulana Syafri duta urusan luar, dengan ini menghaturkan sembah bakti ke hadapan Paduka. Terima kasih atas budi Gusti Sangaji.
Meskipun hambamu begini kurang ajar berani mencoba-coba kesaktian Gusti Sangaji, namun
Paduka masih mengampuni jiwa hamba. Hamba mohon maaf sebesar-besarnya."
Mendengar ucapan sersan itu, Sangaji terkejut. Ia berpaling kepada Tatang Sontani. Kemudian kepada Tubagus Simuntang. Keduanya tersenyum. Melihat senyum mereka cepat Sangaji
menghampiri Maulana Syafri lalu menjabat tangannya.
Sebenarnya setelah Maulana Syafri mulai dengan serangannya, baik Tatang Sontani maupun
Tubagus Simuntang terus saja mengenalnya. Itulah ilmu silat'; milik khas rekannya, yang hilang sepuluh t^hun lebih. Mereka hanya mengenal namanya, namun orangnya tidak pernah
menampakkan diri. Di mana dia berada selama itu, sama sekali tiada kabarnya. Tak tahunya, dia malah menyamarkan diri dengan menjadi seorang sersan kompeni. Mereka tahu, bahwa hal itu dilakukan demi tujuan perjuangan Himpunan Sangkuriang hendak mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang, cepat memburu maju dan menggenggam kedua
tangan rekannya erat-erat. Sambil mengamat-amati wajah rekannya yang kini nampak menjadi lebih tua, Tatang Sontani berkata: "Kak Maulana! Sungguh! Adikmu sangat merindukan dirimu."
Dengan mesra Maulana Syafri memeluk Tatang Sontani sambil menyahut, "Adikku! Berkat perlindungan yang Maha Esa. Himpunan Sangkuriang kita diberkahi seorang pemimpin sepandai ini. Dan akhirnya kita semua bisa berkumpul dan bersatu kembali seperti semula."
"Kau hebat Kak Maulana," sambung Tubagus Simuntang. "Aku si tua bangka ini merasa takluk."
"Hm ... di jagat ini siapa dapat menandingi kecepatan gerakmu, kecuali ketua kita yang baru?"
memuji Maulana Syafri. Tubagus Simuntang beradat tak mau merasa kalah terhadap siapa saja. Tetapi melihat ilmu
silat yang baru diperlihatkan Maulana Syafri tadi, diam-diam ia merasa takluk.
"Kak Maulana dengan sesungguhnya kunyatakan kini sampai hari ini barulah aku Tubagus Simuntang benar-benar takluk kepadamu," katanya. Setelah itu ia membungkuk hormat.
Cepat-cepat Maulana Syafri membalas hormat seraya menyahut, "Engkau berlebihlebihan, adikku. Sebentar tadi, aku hanya memperlihatkan ilmu cakar ayam tak keruan juntrungnya. Coba sekiranya junjungan kita tidak berbudi luhur aku sudah terjengkang tak bernyawa lagi."
"Bagus! Bagus!" sambung Tatang Sontani. "Tempat ini terletak tak jauh dari kota. Marilah kita mendaki bukit. Di sana jauh lebih aman."
"Bagus!" sahut Tubagus Simuntang dan Maulana Syafri dengan berbareng.
Mereka bertiga merupakan teman seperjuangan sehidup semati, semenjak puluhan tahun yang
lalu. Seringkali mereka menghadapi saat-saat genting untuk menentukan hidup matinya. Maka tidaklah mengherankan, bahwa setelah berpisah lama pertemuan itu sangat mengharukan hati masing-masing. Segera mereka hendak bergerak, tiba-tiba terdengar Sangaji berkata, "Silakan Paman mendaki bukit. Aku hendak menjenguk Aki Tunjungbiru dahulu."
Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang tersadar. Baru mereka hendak membuka mulut,
Maulana Syafri mendahului berkata, "Tentang Ki Tunjungbiru, Paduka tak usah meresahkan. Pada saat ini, dia sudah berada di luar penjara."
"Di luar penjara" Bebas maksudmu?" Sangaji heran.
Maulana Syafri mengangguk. "Bagaimana mungkin" Apakah ..." Sangaji menegas.
Dengan membungkuk hormat, Maulana Syafri menyahut: "Di samping hamba, masih ada
seorang duta Himpunan Sangkuriang bernama Suryapranata. Dialah yang mengurus kebebasan
rekan Ki Tunjungbiru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maulana Syafri adalah duta kepercayaan Himpunan Sangkuriang. Semua kata-katanya bukan
bergurau. Maka Sangaji percaya keterangan itu. Hanya saja kurang jelas.
"Kabar ini memang membutuhkan keterangan yang lebih luas," kata Maulana Syafri yang sudah dapat menebak hati pemimpinnya. "Kejadian ini bersangkut-paut sangat eratnya dengan seorang gadis yang paling pintar dalam zaman ini."
"Seorang gadis yang pandai?" wajah Sangaji berubah hebat.
Maulana Syafri membungkuk hormat seraya bersenyuin.
"Kau maksudkan... seorang gadis yang bernama..." Sangaji beragu.
"Benar," sahut Maulana Syafri. "Menurut Ki Tunjungbiru, dia bernama Titisari dan bersangkut-paut sangat erat dengan Paduka."
Kalau orang disambar geledek, tidaklah sekaget hati Sangaji pada waktu itu. Sekujur tubuhnya sampai nampak bergemetar. Melihat
pemimpinnya demikian, Tubagus Simuntang yang berwatak berangasan menduga jelek. Terus
saja ia melompat menerkam kain leher Maulana Syafri. Seperti diketahui, kegesitan Tubagus Simuntang tiada lawannya di seluruh jagat. Maka sekali bergerak, Maulana Syafri mati kutu.
"Tiap orang mempunyai persoalan pribadi," bentak Tubagus Simuntang. "Mengapa engkau membuat pemimpin kita bergusar. Meskipun ilmuku kalah jauh denganmu, tapi aku masih
sanggup bergerak seharian penuh melawan dirimu."
Menyaksikan salah paham itu, Sangaji segera melerai. Katanya gugup, "Paman Tubagus
Simuntang! Paman Maulana Syafri justru membuat hatiku terharu."
Mendengar ujar Sangaji, Tubagus Simuntang tercengang, la menatap wajah pemimpinnya
untuk mencari ketegasan. "Baiklah mari kita mendaki bukit itu," kata Sangaji. "Paman Maulana! Berjanjilah, bahwa Paman akan mengabarkan semuanya. Sekali Paman menyembunyikan sepatah kata saja, aku tidak akan puas."
Mereka berempat segera berlari-larian mendaki bukit. Sekeliling bukit merupakan lapangan terbuka. Sejauh mata memandang, hanya berkesan sunyi senyap. Seumpama ada orang
mengintai pasti akan ketahuan. Maka itulah tempat seaman-amannya untuk saling membuka hati.
47. TITISARI TATKALA Ratu Bagus Boang dahulu hilang tiada kabar beritanya, Himpunan Sangkuriang lantas saja pecah berantakan. Para Raja Muda saling memperebutkan kedudukan kursi pimpinan. Hanya Maulana Syafri seorang yang tidak memedulikan perebutan itu. Ia yakin, bahwa Ratu Bagus Boang belum mati. Maka ia mencarinya bertahun-tahun lamanya. Mengira Ratu Bagus Boang mungkin
ditawan himpunan para pendekar, ia lalu memusuhi mereka. Sarang mereka didatangi dan diaduk-aduknya, sehingga banyak menimbulkan korban.
Maulana Syafri memiliki ilmu silat yang sudah mencapai kesempurnaan. Dalam kalangannya
sendiri, ia termasuk tokoh yang disegani sesudah Ratu Bagus Boang. Maka tak mengherankan, bahwa tindakannya menimbulkan suatu kegemparan hebat yang kelak menanamkan bibit
permusuhan serta balas dendam. Ia sendiri tiada terlawan. Belum pernah ia dikalahkan.
Sebaliknya dendam mereka dialamatkan kepada setiap anggota Himpunan Sangkuriang. Namun
hal itu tidak diindahkan. Tujuannya hanya satu, Ratu Bagus Boang harus diketemukan kembali.
Akan tetapi betapa ia berusaha, tetap ia tak memperoleh hasil. Ratu Bagus Boang tetap lenyap tiada kabar beritanya.
Dalam pada itu, ia mendengar rekan-rekan seperjuangan semakin seru memperebutkan kursi
pimpinan. Akhirnya mereka saling membunuh, saling memfitnah dan saling bermusuhan.
Himpunan Sangkuriang pecah menjadi beberapa bagian dengan panji-panji kebesaran masingmasing. Kursi pimpinan memang merupakan puncak idaman setiap raja muda. Barangsiapa menduduki
kursi pimpinan, suaranya akan didengar oleh setiap pejuang. Pengaruhnya akan meluas.
Seumpama melampaui puncak-puncak gunung dan permukaan laut.
Mendengar berita yang mengenaskan hati itu, Maulana Syafri berputus asa. Ia masuk menjadi serdadu kompeni. Tujuannya pertama, hendak melindungkan diri dari incaran balas dendam para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pendekar. Kedua, menghisap-hisap berita rencana penyerbuan kompeni dan ketiga, hendak
menunggu saat pemulihan kembali kewibawaan Himpunan Sangkuriang.
Pada suatu hari tatkala ia berada di wilayah Cirebon ia menjumpai suatu peristiwa yang belum pernah dialami semenjak ia malang melintang tanpa tandingan. Ia bentrok dengan Kebo Bangah.
Urusannya hanya sepele saja. Pendekar gila itu memaksa dirinya untuk memberi keterangan di manakah beradanya sang Dewaresi.
Maulana Syafri tak tahu, bahwa Kebo Bangah miring otaknya. Ia menganggapnya sungguhsungguh. Sedang ia sendiri lagi pusing mencari Ratu Bagus Boang, mengapa ada orang yang
berani memaksa untuk memberi keterangan tentang beradanya sang Dewaresi yang tiada sangkut pautnya dengan kepentingannya. Dasar ia seorang pendekar yang selamanya mau menang
sendiri, maka dalam jengkelnya ia membentak.
"Apakah kau mencari orang itu?"
"Ya, di manakah anakku Dewaresi" Kau harus bisa memberi keterangan. Kalau tidak, kau harus mengganti nyawanya," sahut Kebo Bangah.
"Dia mampus atau tidak, apa peduliku?"
"Siapa yang mampus?" Kebo Bangah terkejut. Dan wajahnya berubah hebat. Namun Maulana Syafri tidak memedulikan. Tiba-tiba di luar dugaannya, Kebo Bangah menubruk sambil menggigit.
Inilah suatu serangan tanpa aturan. Namun demikian ia tak berani memandang rendah, karena suatu kesiur angin dahsyat menghantam dirinya. Cepat ia melompat ke samping sambil
menangkis. Plak! Kedua-duanya tergetar mundur.
"Ha... kau bilang anakku mampus" Raja langit sekarang tiba untuk minta pengganti nyawa.
Mana nyawamu" Mana nyawamu?" teriak Kebo Bangah. Dan dengan mata berputaran pendekar gila itu tertawa berkakak-an.
Bukan main herannya Maulana Syafri. Biasanya seorang pendekar meski memiliki ilmu tinggi, tidakkan berani beradu tangan dengan dia. Kini orang itu tidak hanya sudah beradu tangan, tapipun masih bisa tertawa seolah-olah kebal dari segala. Diam-diam hatinya tercekat pula. Cepat ia melolos pedangnya dan maju menyerang tanpa segan-segan lagi.
Kebo Bangahpun tidak tinggal diam. Melihat lawannya menggunakan pedang, ia segera
menjumput tongkatnya. Lantas saja mereka bergebrak dengan serunya.
Sersan itu terlontar ke udara seperti bola tendang. Sedangkan tenaga himpunan terus
menghantam batu raksasa yang berada di-kaki bukit...
Setelah bertempur beberapa jurus, Maulana Syafri menjadi heran ilmu silat lawan ini benarbenar aneh. Dia berkelahi dengan bernafsu. Anehnya, kadangkala ia mencakar mukanya sendiri.
Adakalanya, ia menyentil, men-dupak lututnya sendiri. Pada suatu saat ia menyerang dahsyat.
Mendadak menarik serangannya kembali di tengah jalan. Lalu mengubah dengan jurus lain sambil berjungkir balik.
Ilmu silat Maulana Syafri sendiri, sebenarnya banyak ragamnya. Ia sering mencampur adukkan.
Namun jurus-jurusnya teratur. Dan bukan saling bertentangan seperti cara berkelahi Kebo Bangah.
Menyaksikan cara berkelahi demikian, Maulana Syafri mengambil sikap membela diri. Ia
mencoba menyelami ilmu silat lawannya.
Lewat beberapa jurus, kembali Kebo Bangah memperlihatkan keanehannya. Tiga kali beruntun, menggaplok mukanya sendiri dan memekik-mekik kesakitan. Setelah itu dengan sekonyong-konyong ia merayap menghampiri Maulana Syafri dengan melonjorkan kedua lengannya kencang-kencang.
Maulana Syafri tidak mengetahui, bahwa Kebo Bangah miring otaknya akibat gempuran ilmu
sakti Sangaji. Maka gerak geriknya serba aneh dan memang gila benar-benar.
Namun Maulana Syafri memiliki jiwa liar pula. Meskipun belum boleh disebut gila, setidak-tidaknya boleh digolongkan pendekar gila pula. Pada saat itu dia berpikir, keistimewaanku memang menggebuk anjing-anjing Belanda. Kau sekarang merayap seperti anjing. Jangan
salahkan aku mengirim nyawa anjingmu ke neraka jahanam!
Memikir demikian, pedangnya menusuk pinggang lawan. Di luar dugaan, Kebo Bangah dapat
bergerak sangat gesit Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya. Ujung pedang ditindihnya. Dan
tubuhnya menggulung bergulungan mendekati pangkal pedang. Keruan saja, Maulana Syafri
terkejut setengah mati. Cepat ia melepaskan pedangnya dan melompat ke samping. Tak terduga,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kebo Bangah mendadak melesat ke udara. Dengan dibarengi teriakkan tinggi, kedua kakinya
menendang ke arah mata Maulana Syafri. Juga kedua tangannya menghantam dari atas.
Dengan hati mencelos, Maulana Syafri melompat mundur. Kemudian menyongsong gempuran
Kebo Bangah dengan pukulan pula. Bres! Kedua-duanya terpelanting berjungkir balik.
Begitu kakinya mendarat di tanah, Maulana Syafri duduk berjongkok menguasai darahnya
"Kebo Bangah! Kau tak kenal aku" Bagus! Inilah Sangaji!"
Heran, Maulana Safri menyenakan mata. Ia melihat seorang gadis berdiri menghadang
didepannya. Ia menyebut diri Sangaji. Apakah dia bernama Sangaji"
yang bergolak belingsatan. Sebaliknya setelah berkaok-kaok sebentaran Kebo Bangah terus
berteriak dengan mengaduh-aduh.
"Dewaresi anakku... kau benar-benar mampus, anakku" Ah, ayahmu ini manusia tidak berguna sampai tak dapat melindungi jiwamu ..."
Sehabis berkata demikian, dengan sekali melesat ia menghampiri Maulana Syafri dengan gaya merangkul. Saat itu Maulana Syafri lagi bergulat menguasai aliran darahnya, la belum berani bergerak. Sekali kena rangkulan Kebo Bangah, jiwanya akan lenyap. Maka begitu melihat Kebo Bangah mendekatinya, ia memejamkan mata menunggu maut. Pada detik-detik kematian berada
di ujung rambut, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan. "Kebo Bangah! Kau tak kenal aku"
Bagus! Inilah Sangaji!"
Heran, Maulana Syafri menjenakkan mata. Ia melihat seorang gadis berdiri menghadang di
depannya, la menyebut diri Sangaji. Apakah dia bernama Sangaji.
Selagi menebak-nebak dalam saat selin-tasan itu, ia menyaksikan suatu kejadian aneh lagi.
Kebo Bangah mendadak saja memekik terkejut. Dengan berjungkir balik ia melesat mundur sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Sangaji" Sangaji" Hayaaaaa...." Dan sebentar saja tubuhnya lenyap dari penglihatan.
Menuruti kata hati, ingin Maulana Syafri segera menghaturkan terima kasih. Tapi teringat bahwa luka yang dideritanya tidak ringan, ia tidak berani bergerak. Tak terduga gadis itu menghampirinya dan mengirimkan tenaga bantuan pula. Oleh bantuan tenaga itu, luka dalam
yang diderita Maulana Syafri sembuh dengan cepat, meskipun belum boleh dikatakan pulih seperti sediakala. Tapi dengan demikian, ia sudah berutang budi dua kali.
Akhirnya setelah berhasil meluruskan pernapasan, Maulana Syafri memaksa diri untuk
menyatakan rasa terima kasih.
"Nona, budimu sangat besar. Aku seorang tua berjanji takkan mampus dahulu sebelum
membalas budimu." "Hm..." gadis itu mendengus. "Dalam hidupku sudah sering aku menerima janji dan budi.
Kedua-duanya memang enak untuk didengarkan."
Maulana Syafri adalah seorang pendekar yang mudah tersinggung. Maka begitu mendengar
ucapan gadis itu, ia merasa diri direndahkan. Lalu berkata nyaring, "Meskipun aku ini tergolong manusia tak berguna, tanpa bantuanmu masakan aku sudah memiliki nyawa anjing?"
"Bagus," sahut gadis itu dengan cepat. "Kau berjanji hendak membalas budi. Budi yang mana?"
"Engkau sudah menyelamatkan jiwaku sampai dua kali."
"Apakah itu suatu budi?" potong gadis itu lagi. "Selama hidupku, belum pernah aku jual beli perkara budi. Kalau aku mau menolong, sebenarnya untuk kepentingan sendiri. Kalau tadi aku tidak mempunyai kepentingan, biarpun engkau mampus apa peduliku?"
Maulana Syafri tercengang mendengar kata-kata gadis itu. Karena jiwanya rada-rada liar, maka ia segera merasa diri cocok dengan lagak lagu gadis itu. Terus saja ia berkata, "Bagus! Kau tak mau jual beli perkara budi, aku pun tak sudi berpegang perkara budi pula. Tapi ada utang ada pula piutang. Aku merasa berutang dan aku pasti membayar."
"Hm," dengus gadis itu lagi. "Kau pernah mengenal burung gagak?" "Mengapa?"
"Itulah engkau manusia yang banyak mulut."
Bukan main tajamnya lidah gadis itu. Kalau menuruti hati seseorang bersikap kurang hormat kepadanya, ia sudah turun tangan. Tapi kali ini, entahlah. Selain ia merasa berutang budi, hatinya semakin tertarik. Dan karena kejadian itu bertentangan dengan kebiasaannya, jadi tergugu.
Kemudian tercengang-cengang. Dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
"Nona! Kau ini lucu!" katanya meledeki.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apanya yang lucu?"
"Masakan aku kausamakan dengan burung gagak?"
"Masakan tidak?"
"Hm" dengus Maulana Syafri mendongkol.
"Hm" balas gadis itu. Dan diperlakukan demikian, Maulana Syafri merasa kuwalahan. Akhirnya ia mau mengalah. Katanya minta keterangan, "Baiklah-baiklah. Memang aku tak lebih dari seekor burung gagak. Memangnya aku ini manusia tak ada gunanya."
"Mengapa tiada gunanya?" Gadis itu memotong.
"Aku bilang tak ada gunanya, ya tidak ada gunanya."
"Mengapa Nona begini melit?"
"Aku melit atau tidak, apa pedulimu?"
"Baik-baik...."
"Apa yang baik?"
Maulana Syafri mendongkol, lalu tertawa geli. Katanya lagi, "Nona... kau tadi bilang, bahwa engkau merasa tidak menyelamatkan nyawaku. Mengapa?"
"Kau ini memang benar-benar burung gagak," potong gadis itu dengan sengit. "Siapa bilang, aku merasa tidak menyelamatkan nyawamu?"
"Ah, Nona yang baik hati. Masakan kupingku bisa tuli?"
"Kau memang tuli!" sahut gadis itu cepat. "Aku tadi bilang, selama hidupku belum pernah aku jual beli perkara budi. Kalau aku mau menolong, sebenarnya untuk kepentinganku sendiri."
"Ah, ya," Maulana Syafri tersadar. Kemudian berkata merasa: "Ya, memang pantas. Aku memang burung gagak."
Gadis itu tertawa geli. Katanya nakal, "Aku tadi cuma mengumpamakan. Tak tahunya, kau kini benar-benar mengakui memang burung gagak. Kau jangan menuduh, aku tak menghargai atau
menghinamu." "Ya"ya"ya..." Maulana Syafri memanggut-manggut. Dalam hatinya ia mendongkol berbareng geli. Selama hidupnya, inilah untuk pertama kalinya, ia kena diselomoti seorang gadis muda belia terang-terangan di depan hidungnya. "Baiklah kau memang cerdik," katanya sejenak kemudian.
"Baiklah?"Nah sekarang terangkan, apa kepentinganmu sampai kau sudi menolong aku?"
"Kepentinganku ialah kepentinganku. Masakan perlu dikabarkan kepada lain orang?"
Mendengar ujar gadis itu yang menjengkelkan hati, habislah sudah kesabarannya. Maulana
Syafri lantas membentak, "Karena kepentinganmu bersangkut-paut dengan kepentinganku. Kau mau bilang tidak?"
"Kalau tidak mau bilang kau mau apa?"
"Aku cuma ingin tahu!" jerit Maulana Syafri karena mendongkol.
Gadis itu terdiam sejenak, la seperti lagi menimbang-nimbang. Mendadak berkata di luar
dugaan. "Kau tadi mengaku sendiri: seekor burung gagak, masakan bisa menghargai keteranganku?"
Setelah berkata demikian, gadis itu tertawa geli. Dan hati Maulana Syafri bertambah
mendongkol sampai matanya melotot. Dengan bergusar ia berkata:
"Nona! Selama hidupku, inilah untuk yang pertama kali aku bersikap sabar kepadamu.
Selamanya aku main paksa. Dan selamanya tidak seorangpun berani membantah perintahku.
Bukankah sedikit banyak aku lebih berharga daripada burung gagak?"
Kata-kata Maulana Syafri sebenarnya bukan bualan kosong. Ia seorang Raja Muda Himpunan
Sangkuriang dan menduduki kursi Dewan Penasihat. Kata-katanya berharga seumpama sebutir
mutiara. Selain ilmu silatnya tinggi, ia dijunjung tinggi pula oleh kawan dan lawan. Tetapi gadis itu yang tak tahu siapa dia, tetap saja membawa wataknya yang angin-anginan. Acuh tak acuh ia menyahut, "Kau bilang selamanya kau main paksa. Baik, kau sekarang memaksa. aku memberi keterangan, bukan?"
"Aku main paksa atau tidak, pendeknya kau harus memberi keterangan," kata Maulana Syafri penasaran.
"Hm baik," gadis itu menyahut setelah diam menimbang-nimbang. "Memang akulah tadi yang sial, mengapa aku mempunyai kepentingan. Sebenarnya, lebih baik kau mampus."
"Mengapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Karena engkau bertampang mirip burung gagak, timbullah keinginanku hendak memelihara engkau."
"Memelihara?" Maulana Syafri kaget sampai berjingkrak.
"Memelihara bagaimana?"


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memelihara ya, memelihara. Mengapa sih kau begini usilan?"
"Nona dengarkan!" bentak Maulana Syafri mendongkol. "Umurku sudah melampaui setengah abad. Engkau ini pantas menjadi anakku. Tapi kenapa kau bersikap begini terhadapku?"
"Aku bersikap bagaimana?"
"Kau bisa menghargai aku atau tidak?"
"Dalam hal apa" Kita baru saja ketemu, manakah ada persoalan harga menghargai. Kalau kau memaksa aku harus menghargaimu, mengapa kau tidak bilang sendiri bahwa dirimu adalah seekor burung gagak" Nah, siapakah yang tidak menghargai dirimu" Bukankah engkau sendiri?" sahut gadis itu cepat. Dan mendengar kata-kata gadis itu, benar-benar Maulana Syafri tercengang-cengang sampai tergugu. Tanpa disadari sendiri, ia menggaruk-garuk kepalanya. Akhirnya ia tertawa geli lagi.
Adat seorang pendekar memang aneh. Makin kuwalahan menghadapi sesuatu, makin ia
tertarik. Itulah disebabkan oleh suatu watak ingin menang sendiri. Dan sekarang, ia menghadapi seorang gadis muda belia. Seorang gadis yang selain tajam mulut, kecerdikannya berada di atasnya. Maka untuk kesekian kalinya, ia bersedia mengalah. Katanya menyabarkan diri, "Baiklah kau menang. Sekarang terangkan maksudmu dengan istilah memelihara. Memelihara bagaimana?"
"Aku ingin mengambilmu sebagai budak. Bukankah aku harus memeliharamu, kalau aku
menghendaki agar engkau berumur lebih panjang lagi" Inilah namanya, orang di seluruh dunia ini sesungguhnya menjadi budak dari kebutuhannya?" sahut gadis itu.
Sederhana kata-katanya. Seolah-olah diucapkan dengan sewajarnya. Tapi bagi pendengaran
Maulana Syafri bagaikan bunyi guntur di siang hari. Maklumlah, ia seorang raja muda. Selama hidupnya dimuliakan. Tapi kini mendadak hanya berharga sebagai seorang budak. Maka tak
mengherankan, bahwa pada saat itu juga menggigillah sekujur badannya karena menahan rasa marah. Meledak. "Kau bilang aku hendak kaujadikan budakmu" Ah, yang benar, Nona! Selama hidupku, belum pernahaku menjadi budak orang."
"Huuu... cemooh gadis itu. Burung gagak memang pandai mengoceh tak keruan jun-trungnya.
Kau bilang tak pernah menjadi budak" Kalau tak pernah menjadi budak, apa sebab mengenakan pakaian seragam kom- , peni" Hayo bilang!"
Kalau saja menuruti pergolakan hatinya ingin saja Maulana Syafri menggerung tinggi.
Tetapi tuduhan gadis itu memang benar dan jitu. Ia kalah dalam sembilan bagian. Maka ia diam teriongong-longong. Tak tahu dia, apakah harus menangis, marah atau tertawa. Tapi dasar
wataknya mau menang sendiri, timbullah rasa harga dirinya. Terus saja ia berdiri tegak dengan mata menyala.
Melihat Maulana Syafri demikian, tiba-tiba gadis itu menangis sedih. Perubahan sikap di luar dugaan itu sudah barang tentu membuat Maulana Syafri terheran-heran. Dan dari rasa heran, ia lantas menduga-duga. Namun ia seorang pendekar yang sudah banyak makan garam. Dalam
keheranannya, masih ia berwaspada. Katanya garang, "Kau sudah memaki dan menghina aku.
Sekarang kau menangis. Jangan mimpi, kau bisa mempermainkan aku lagi."
"Siapa kesudian mempermainkan engkau?" sahut gadis itu cepat di antara sedu-sedannya.
"Kalau tidak, mengapa menangis?" "Aku menangis atau tidak, apa pedulimu?" 'Tapi kau harus memberi keterangan!" "Keterangan! Keterangan!" gerutu gadis itu. "Kau tidak sanak dan bukan kadang, apa sebab main paksa" Apa dasarnya?"
"Aku main paksa atau tidak, kau peduli apa?" Maulana Syafri menirukan lagak gadis itu.
"Baik memang siapa tak tahu bahwa engkau seorang pendekar jempolan," ejek gadis itu. Dan ia meningkatkan tangisnya. "Dasar akulah yang sial. Kalau tahu begini, mestinya aku harus membiarkan kau tadi mampus."
Mendengar perkataan gadis itu, hati Maulana Syafri menjadi lemas sendiri! Sejenak kemudian ia menjadi sabar. Katanya setengah membujuk, "Ya benar, aku memang usilan."
Di luar dugaan, gadis itu menangis kian sedih. Selagi hati Maulana Syafri sibuk menduga-duga lagi, terdengar gadis itu mengomel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau memang pantas menghina aku. Seorang pendekar jempolan menghina seorang gadis
muda belia. Memang pantas. Memang jempolan."
"Hai! Hai! Kapan aku menghinamu" Aku justru hendak membalas budimu. Sebaliknya, kaulah yang menghina aku terus-menerus."
"Kau main paksa, bukankah menghina aku" Kau paksa aku menerangkan apa sebab aku
mengusir pendekar gila tadi. Setelah kuterangkan, kau memaksa aku lagi agar menerangkan
tentang kepentinganku. Dan setelah kuterangkan jangan lagi berterima kasih sebaliknya engkau malah menjadi gusar. Kau paksa lagi aku, agar menerangkan perkataan memelihara. Dan setelah kuterangkan, jangan lagi berterima kasih sebaliknya kau kini bahkan akan membunuh aku.
Bukankah begitu?" gadis itu menggerembengi sambil terus menangis. Berkata lagi: "Kau memaksa aku lagi, agar aku menyatakan bahwa apa yang kulakukan tadi adalah suatu perbuatan budi.
Padahal aku tidak pernah berjual beli perkara budi. Tapi kau memaksa dan memaksa, karena engkau mempunyai kepentingan hendak membalas budi. Demi menghargaimu, terpaksalah aku
tidak membantah lagi. Tetapi bagaimana jadinya" Aku tidak menuntutmu agar engkau mengganti nyawa pula atau harta benda. Aku bahkan mau berbaik hati, hendak memeliharamu. Tapi kau
tidak merasa berterima kasih, sebaliknya malah hendak mencabut ucapan sendiri. Kata orang, mulut seorang laki-laki berharga seribu gunung. Mana buktinya" Apakah itu perbuatan seorang pendekar jempolan?"
Terang sekali, gadis itu memutar balik susunan peristiwa jalan pikirannya lucu dan rada-rada liar. Namun justru demikian, Maulana Syafri jadi kebingungan. Hal itu ada sebab musababnya.
Seperti diketahui, tiap pendekar yang mempunyai harga diri akan menjunjung tinggi setiap ucapannya. Apalagi seorang raja muda yang berkedudukan agung.
Memang aku tadi berkata hendak membalas budinya, la sudah menolong jiwaku. Meskipun
demi kepentingannya, namun aku sudah berutang jiwa. Menurut pantas akupun harus membayar utang pertaruhan jiwa juga. Sekarang ia hanya minta agar aku menjadi budaknya. Keterlaluan permintaan ini. Tapi kalau aku tidak bisa memegang ucapanku sendiri, di mana lagi aku hendak menaruh muka dalam dunia selebar ini"
Memperoleh pikiran demikian, ia hendak segera tunduk. Tapi teringat akan kedudukannya, ia bergelisah luar biasa. Masakan aku seorang raja muda bersedia menjadi budaknya, pikirnya sengit.
Untung ia bisa menimbang-nimbang lagi: Ah, aku hanya memikirkan kepentinganku sendiri,
karena takut ditertawai orang. Dia masih muda belia. Dan aku sudah tua bangka. Sekiranya orang mengetahui aku selalu bersama dia, pastilah mengira aku ayahnya. Baiklah aku sanggupi.
Dengan keputusan itu, ia menunduk. Kemudian berkata dengan menghela napas.
"Baiklah, aku bersedia menjadi budakmu. Perkara makan minum, tak usah engkau bersusah payah. Aku si orang tua bangka ini, masih sanggup mencari ganjel perutku sendiri."
Mendengar keputusannya, gadis itu tiba-tiba berhenti menangis, la menatap wajahnya dengan pandang terlongong-longong. Maulana Syafri mengira, gadis itu akan senang berjingkrakan. Di luar dugaan, tidaklah demikian halnya. Gadis itu mendadak menangis menggerung-gerung amat sedihnya. Keruan saja, Maulana Syafri jadi tambah tak mengerti.
"Hai! Hai! Mengapa" Apakah aku kurang membuatmu puas" Baiklah, kalau kau menghendaki jiwaku, kuserahkan sekarang juga. Nah, bunuhlah aku!" kata Maulana Syafri.
Gadis itu tidak meladeni. Tangisnya tambah menjadi-jadi.
"Kau tidak mau membunuh aku. Tapi juga tidak mau berhenti menangis. Kenapa?" Maulana Syafri setengah membujuk.
"Kau bilang umurmu melebihi setengah abad, namun masih juga tidak mengerti kesalahannya.
Bukankah membuat aku menangis?" gadis itu menggerembengi.
"Salah dalam hal apa?" Maulana Syafri heran.
"Mengapa kau mau jadi budakku?"
"Kau bilang apa?" Maulana Syafri setengah tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
"Mengapa kau mau jadi budakku?" ulang gadis itu. Dan mendengar ujar gadis itu, Maulana Syafri benar-benar tercengang.
"Hai! Bukankah engkau menghendaki aku menjadi budakmu" Karena aku sudah merasa
berutang budi, jangan lagi menjadi budakmu, jadi anjingmu masakan aku mempunyai keberanian untuk menolakmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi aku hanya bermain-main, mengapa engkau bersungguh-sungguh," ujar gadis itu.
Kemudian meningkatkan tangisnya dengan amat sedih. Dan Maulana Syafri lantas saja
menggaruk-garuk kepalanya. Katanya di dalam hati: "Aneh gadis ini. Dia tadi seolah-olah berkeras hati hendak mengambil aku sebagai budaknya. Setelah aku tak menolak, dia kini justru menangis sedih. Sebenarnya dia menghendaki apa?"
Memperoleh pikiran demikian, ia menghampiri sambil berkata lembut.
"Nona ... sebenarnya kau mempunyai kesulitan apa" Bilanglah! Aku akan bersedia menolongmu sedapat-dapatku."
"Mana bisa engkau menolong aku" Apakah engkau malaikat?"
Didamprat demikian, mulut Maulana Syafri terbungkam, la menundukkan kepala. Itulah
disebabkan, ia teringat kepada masalahnya sendiri yang sudah memusingkan dirinya sepuluh tahun lewat. Katanya merasa, "Ya, memang benar, aku bukan malaikat. Betapa aku mampu menolong kesulitanmu yang pasti hebat bukan main. Aku sendiripun mempunyai kesulitan.
Sekiranya aku bisa melakukan segala, masakan tidak mampu mengatasi kesulitanku itu. Ya, kau memang benar... eh Nona, sebenarnya kau siapa"... Kau tadi menyebut Sangaji, lantas pendekar tadi lari lintang pukang. Apakah engkau bernama Nona Sangaji?"
Ditanya demikian, gadis itu menggelengkan kepala.
"Bukan! Bukan!" Dan ia menangis sedih.
"Kalau bukan, mengapa kau menyebut nama Sangaji" Apakah nama itu merupakan momok
bagi pendekar sakti tadi" Kalau benar, alangkah besar hatiku manakala aku bisa berkenalan dengan nama yang keramat itu ..."
Gadis itu tidak menjawab. Sedu sedannya bertambah hebat. Dan ia terus menangis sampai
melewati larut malam. Baru waktu menjelang fajar, ia tidur kecapaian.
Maulana Syafri terus mengamat-amati dengan berdiam diri. Ia merasa seperti ada sesuatu daya besar yang mengikat dirinya. Dan sambil mengatur jalan darahnya, ia berpikir dalam hati, gadis itu mempunyai kecantikan luar biasa. Otaknya encer. Malahan terlalu cerdik, meskipun jalan
pikirannya aneh. Menilik lagak-lagunya, dia bukan sembarang gadis. Siapakah dia sebenarnya"
Baiklah aku bersabar diri sampai mengetahui asal usulnya. Jangan-jangan... dia mempunyai hubungan darah dengan Gusti Ratu Bagus Boang.
Memikir demikian, hatinya tergetar. Tapi benarkah dia mempunyai hubungan darah dengan
Ratu Bagus Boang yang lenyap tak karuan kabarnya" Tidak! Dia bukan gadis dugaan Maulana
Syafri. Dialah Titisari seorang gadis yang memiliki otak paling cemerlang pada zaman itu.
Setelah meninggalkan Sangaji di tepi sungai, ia pergi dengan pikiran linglung. Lama ia
berputar-putar dengan tak tentu arahnya. Kadangkala ada perasaan hendak kembali ke sungai atau hendak membatalkan niatnya sendiri. Tetapi teringat bahwa hal itu bahkan akan
memarahkan rasa kecewanya, ia menguasai diri dengan sekuat tenaga.
Sekalipun demikian dalam kalbunya terus berlangsung deru rangsang hatinya. "Aji! Aji!Mengapa akhirnya engkau menjadi milik orang lain juga?"
Bukan main pedihnya. Ia merasa diri seperti ditusuki ribuan jarum. Dan betapa hebat kedukaan Titisari kala itu, tidaklah mungkin dapat dilukiskan lagi.
Memang kalau dipikir, akulah yang salah. Dia sudah bertunangan, mengapa aku harus
memikirkan" Ia berpikir di dalam hati. Tapi meskipun dia berpikir demikian, ucapan hatinya sama sekali berbeda. Ada suatu rasa, ia tak rela melepaskan Sangaji. Akan tetapi harus berbuat bagaimana" Meskipun ia berotak cerdas, pertanyaan itu tak dapat dijawabnya. Akhirnya setelah kecapaian sendiri, timbullah keputusan.
"Sebentar lagi Aji akan kawin dengan tunangannya. Biarlah aku melihatnya dengan diam-diam.
Pada malam pertama aku akan membunuh diri di depannya. Bukankah itu suatu hadiah kawin
yang bagus?" Titisari adalah puteri Adipati Surengpati. la mewarisi beberapa bagian watak ayahnya yang liar dan tidak umum. Dan setelah memperoleh keputusan demikian, hatinya mendadak tenang. Lalu ia mengikuti Sangaji dari kejauhan.
la tahu, betapa Sangaji lari pontang-panting memanggil-manggil namanya. Dan menyaksikan
kepedihan pemuda itu, hampir saja hatinya gugur. Segera ia hendak lari menghampiri. Sayang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam ilmu sakti ia kalah jauh dari Sangaji. Pemuda itu dengan sekelebatan saja, sudah hilang dari penglihatannya. Dan kembali ia berputar-putar dengan kepala linglung. .
Selagi melewati sebuah bukit ia mendengar kesiur angin. Begitu menajamkan mata, nampaklah Kebo Bangah melintas tak jauh daripadanya. Hatinya tertarik. Dan ia menguntit sebisa-bisanya.
Namun mengikuti Kebo Ba-ngahpun tidak mudah. Meskipun dia kini bukan lagi Titisari beberapa waktu yang lalu, tapi ilmu saktinya masih kalah jauh. Untunglah, dalam dirinya sudah mewarisi ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Betapapun juga ia masih sanggup mengikuti Kebo Bangah dalam jarak tetap.
Tatkala melewati suatu pinggiran desa, ia melihat dua orang pemuda lagi berbicara kasakkusuk. Mereka menyinggung-nyinggung masalah perjuangan. Heran ia mendengar percakapan itu.
Pikirnya: Eh, apakah di Jawa Barat pun orang mengenal suatu perjuangan"
Selama hidupnya, belum pernah Titisari meraba wilayah Jawa Barat. Ia mengira, perjuangan melawan kompeni Belanda, hanya terjadi di Jawa Tengah. Dasar ia berwatak usi-lan, maka begitu tertarik kepada pembicaraan itu, segera ia melepaskan perhatiannya kepada Kebo Bangah. Terus saja ia menguntit dengan diam-diam.
Dua pemuda itu mengenakan pakaian seragam gambar Obor Menyala. Gesit gerak-geriknya.
Nampak bukan pemuda lemah. Meskipun demikian, mereka tak sadar diikuti seorang dari jarak dekat. Itulah suatu tanda, bahwa ilmu Titisari jauh di atasnya.
"Siluman betina Edoh Permanasari benar-benar tak mengenal jantung, la terus main bunuh dengan serampangan. Mengapa pemimpin-pemimpin kita membiarkan dia hidup panjang?" kata yang satu.
"Berbicara memang mudah. Tetapi Permanasari bukan pendekar lemah, la murid kesayangan Ratu Fatimah," sahut yang lain.
Dan mereka berdua membicarakan tentang sepak terjang Edoh Permanasari lengkap dengan
sekalian anak muridnya yang terdiri dari wanita. Sudah barang tentu pembicaraan itu menarik perhatian Titisari. Seperti kita ketahui, tiap wanita tertarik kepada semua pembicaraan mengenai jenisnya. Apalagi, apabila mereka memujinya atau mengagumi. Maka dia akan mencoba
membandingkan dirinya sendiri dengan perempuan yang dibicarakan itu. Sadar atau tidak sadar.
Hanya sayang, pembicaraan mereka bercampur aduk.
Kadang menyinggung Edoh Permanasari dan kerapkali membicarakan masalah Himpunan
Sangkuriang yang saling tikam dan saling membunuh.
Titisari jadi tak sabar lagi. la terus menampakkan diri. Maksudnya hendak menghampiri dan minta keterangan lebih jelas lagi perkara Edoh Permanasari. Di luar dugaan, kedua pemuda itu salah sangka. Mereka mengira, Titisari salah seorang murid Edoh Permanasari. Dengan
bergandeng tangan, mereka berdiri bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
"Kau tadi membicarakan Edoh Permanasari," kata Titisari. "Nah, teruskan! Aku ingin mendengar sampai di mana kau mengenalnya."
Sudah barang tentu bunyi perkataan Titisari berkesan lain, yang satu lantas menyahut.
"Baik-baik. Kalau kau mau membunuh, nah bunuhlah sekarang juga!"
Mendengar ucapan pemuda itu, Titisari tercengang, la seperti tak tahu apa yang akan
dilakukan, la memang berotak cemerlang. Tetapi pada saat itu ia masih dalam kedukaan yang melampaui batas. Coba ia dalam keadaan seperti sediakala, pastilah ia takkan kehilangan diri. la menghampiri mereka dengan maksud hendak mendengar kisah Edoh Permanasari lebih jelas. Dan selamanya ia berhasil dalam segala maksudnya, dengan jalan apa saja. Sebaliknya kini, ia hanya mengawasi mereka dengan pandang mendelong.
Melihat kesempatan itu, cepat-cepat yang satu menarik lengan rekannya seraya berkata gugup.
"Cepat, cepat! Lari ia belum sampai hati membunuh kita."
Anak murid Edoh Permanasari memang terkenal kejam, bengis dan berilmu tinggi. Sekalipun
mereka tergolong manusia kuat, namun merasa diri takkan ungkulan melawan anak murid Edoh Permanasari. Mereka mengira, di belakang Titisari pastilah masih bersembunyi kawan-kawannya entah berapa jumlahnya. Sebab, selamanya anak murid Edoh Permanasari berangkat bersama.
Pemuda itu lantas menarik lengan rekannya dan dibawanya lari menjauh. Melihat Titisari tidak mengejar, segera ia mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rekannya seperti telah kehilangan semangat. Tetapi setelah kena seret selintasan, tanpa
disadari ia sudah ikut berlari secepatcepatnya. Dengan begitu mereka lari seperti terbang.
Waktu itu matahari sudah condong ke barat. Mereka masih saja berlari-larian dengan mem-babi buta. Kira-kira satu jam petang hari akan tiba, barulah mereka berhenti beristirahat. Dengan memperlambat langkahnya, hati mereka menjadi girang. Sambil menyusut keringatnya mereka
berkata berbareng. "Sungguh berbahaya! Untung yang lain tidak menghadang..."
"Apakah kau takut mati?" tanya yang satu.
"Tiap orang siapakah yang tidak akan mati" Tetapi kalau mati di tangan anak murid Edoh Permanasari, bukankah mati tiada gunanya?" sahut yang lain.
"Ya, kau benar."
Mereka berpaling ke belakang. Tapi begitu berpaling, kedua lutut mereka mendadak menjadi lemas. Ternyata tak jauh dari mereka, berdiri seorang wanita yang terus mengawas-kannya
dengan pandang tercengang. Dialah Titisari.
Bukan kepalang terkejut mereka. "Celaka!" mereka mengeluh dalam hati. Kemudian dengan bergandengan tangan, mereka menancap gas lagi kabur ke arah barat.
Sesudah kabur beberapa puluh pai jauhnya, seperti berjanji mereka menoleh ke belakang.
Titisari masih membuntuti pada jarak tertentu. Mereka menjadi makin ketakutan. Segera dengan saling menyeret, mereka lari lagi dengan sekencang-kencangnya.
"Emon!" kata yang satu. "Jika sekarang dia menghendaki nyawa kita, gampangnya seperti membalik tangannya sendiri. Tetapi dia hanya menguber saja. Kukira dia mempunyai maksud
tertentu." "Maksud apa?" Emon menegas.
"Kukira, dia hanya ingin membekuk kita. Kemudian dibawa ke tangsi Belanda sebagai hadiah persahabatannya," sahut Saiman temannya. "Dengan begitu selain akan menambah kepercayaan Belanda terhadap perguruannya, juga akan menjatuhkan pamor Himpunan Sangkuriang yang
sudah porak-poranda begini."
Mendengar keterangan Saiman, hati Emon tergetar. Ia tak takut perkara mati. Sekarang ia
justru mendengar keterangan tentang maksud perempuan itu yang masuk akal. Dan apabila
sampai kena diseret di depan tangsi Belanda, rasanya jauh lebih hina daripada mati sekarang.
Malahan seumpama matipun untuk menebus dosa, tiada harganya. Memperoleh pertimbangan
demikian, hatinya" tambah meringkas.
"Saiman! Kalau benar begitu maksudnya, kita benar-benar celaka. Mari kita kabur lagi!"
ajaknya. Dan mereka kabur lagi dengan berendeng pundak.
Sekarang mereka lari tanpa tujuan lagi. Kadang-kadang mereka menoleh. Dan Titisari masih saja mengikuti dengan jarak tetap.
Ilmu lari Titisari diperolehnya dari ayahnya sendiri. Seperti diketahui, ayah Titisari termasuk salah seorang pendekar utama di Jawa Tengah. Ilmunya tinggi dan susah dijajaki. Kecuali itu Titisari mewarisi ilmu petak pendekar Gagak Seta pula. Maka dalam hal ilmu berlari dalam dunia ini, sukar ia memperoleh tandingnya. Karena itu untuk mengikuti kaburnya Emon dan Saiman, bukan merupakan soal baginya. Hanya saja, pikiran gadis itu masih limbung. Ia lari untuk lari saja.
Tujuannya samar-samar, la hanya merasa diri terkait oleh kedua pemuda itu. Pikirannya was-was antara sadar dan tidak.
Semakin lama kedua pemuda itu semakin bingung. Mereka tak dapat menebak maksud Titisari
yang sebenarnya. Dari siang hari mereka berlari sampai petang hari. Akhirnya memasuki waktu malam hari. Meskipun tenaganya cukup kuat, lambat laun mereka merasa lelah juga. Napas
mereka tersengal-sengal, kecepatan kakinya makin berkurang. Meskipun belum mati, tapi mereka merasa kena siksa setengah mati. Rasa lapar dan rasa dahaga mulai menggerumuti dirinya.
Sesudah berlari selintasan lagi, di depannya nampak cahaya pelita sebuah kedai. Untuk mencapai kedai itu, mereka harus menyeberangi sungai. Dan saking tak tahannya menahan dahaganya lagi, terus saja mereka membungkuki sungai. Lalu menenggak airnya sepuas-puas hati.
Perlahan-lahan Titisari menghampiri sungai itu pula. Ia pun turun ke sungai dan minum dengan menyendok air dengan kedua tangannya. Kemudian ia berdiri mengawaskan jauh ke barat.
Sambil minum Emon dan Saiman melirik pekerti Titisari. Melihat pengejarnya berdiri ter-mangu-mangu, seperti saling berjanji mereka meneruskan perjalanan dengan mengendap-endap. Setelah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agak jauh, lalu lari tunggang langgang seperti kalap. Hati mereka lega, karena mengira sudah terlepas dari pengamatan pengejarnya. Tak tahunya, baru saja menengok mereka melihat Titisari sudah berada tak jauh daripadanya dalam jarak yang tetap seperti tadi.
Wajah Emon pucat bagaikan kertas. Dengan suara putus asa ia berkata, "Sudahlah sudahlah!
Saiman, kita tak bisa lari lagi. Dia mau membunuh, menyembelih, menyiksa atau membekuk kita, biarlah sesukanya." Setelah berkata demikian, ia berhenti berlari.
"Kalau hanya dibunuh, semenjak tadi aku sudah menyerah. Tapi dia hendak membekuk kita.
Masakan kita pantas menjadi anjing-anjingnya Belanda?" bentak Saiman.
"Ya, bener. Tapi bagaimana?" sahut Emon dengan napas tersengal-sengal. Mendadak ia melihat empat orang memasuki kedai. Segera mereka bergegas mencapai kedai itu. Setelah
menjenguk ke dalam, hatinya kecewa. Empat orang tadi ternyata mengenakan pakaian seragam dengan lambang gambar Garuda.
Seperti diketahui, Himpunan Sangkuriang sudah pecah menjadi berbagai cabang. Dan antara
cabang satu dan lainnya, saling bentrok dan saling membunuh. Mungkin sekali manakala
menghadapi bahaya, mereka bersikap akan melupakan permusuhan. Namun untuk saling tolong
pada saat itu, jangan diharap. Dan hal demikian, bukan tidak disadari mereka berdua. Karena itu, diam-diam mereka mengeluh. Tapi jalan lain, tak ada lagi. Berpikirlah mereka menentukan
keputusan. "Di sini nanti aku mati. Tapi lebih baik mati ada saksinya daripada tidak." Memperoleh pikiran demikian, mereka memasuki kedai dengan hati mantap.
Kedai itu sebenarnya merupakan sebuah serambi depan berbentuk memanjang. Panjangnya
lebih kurang dua puluh meter dengan lebar sepuluh meter. Itulah bekas rumah seorang kepala kampung. Banyak pengunjungnya. Terdiri pasangan pemuda-pemudi, pedagang-pedagang dan
petani-petani setelah bekerja di sawah ladang sehari tadi.
Dengan rasa lelah, lapar dan takut, Emon dan Saiman mendapat tempat di ruang tengah.
Sedangkan empat orang anggota Himpunan Sangkuriang cabang Panji-panji Garuda duduk di
sebelah sudut timur. Mereka menegakkan kepala, tatkala melihat mereka datang pula ke kedai itu.
Serentak mereka menghunus senjatanya dan segera akan menyerang. Tiba-tiba terdengar suara tertawa halus. Kemudian seorang wanita dengan membawa pedang panjang datang memasuki
kedai. "Eh, siapakah yang mengizinkan kamu bermain pat gulipat di sini?" tegur wanita itu kepada pasangan muda-mudi. Berbareng dengan tegurannya muncul pula empat orang wanita yang
berdiri di belakangnya. "Keparat siluman betina!" Menggerung salah seorang anggota pasukan panji-panji Garuda.
"Dasar sudah lama kau kucari. Sekarang kau mencari mampusmu sendiri."
Wanita itu yang bukan lain Edoh Permanasari, tertawa melalui dadanya. Namun ia tidak
mengindahkan. Pandang matanya tiada lepas daripada pasangan pemuda-pemudi yang belum
mengenalnya. "Simpanlah dahulu selembar nyawamu!" katanya halus. "Kalau aku sudah membereskan sekumpulan anjing ini, nanti kuurus, jangan khawatir bakal tak kebagian."
Seluruh pendekar di Jawa Barat mengetahui belaka siapakah Edoh Permanasari. Dialah
pendekar wanita pembenci pasangan pemuda-pemudi yang sedang bercumbu kasih atau yang
sedang berjalan bersama. Sekali bertemu maka akan melayanglah nyawa mereka. Maka ancaman kali itu, sebentar lagi akan dibuktikan.
Emon dan Saiman lantas saling pandang. Semenjak tadi mereka sudah mengira bahwa Titisari pasti diikuti teman-temannya dengan bersembunyi. Itulah cara bekerja anak murid Edoh
Permanasari. Sekarang Edoh Permanasari benar-benar muncul. Dengan begitu, dugaannya sangat jitu.
"Hm!" Tanpa merasa Emon mendengus perlahan.
"Hm"apa?" bentak Edoh Permanasari. "Kaupun akan mendapat bagian. Jangan khawatir.
Kamu sekalian anak murid himpunan tak keruan macamnya, masakan pantas dibiarkan mengotori dunia ini?"
Hebat hinaan itu. Empat orang pendekar dari panji-panji Garuda lantas saja menggeram karena geram. Dua orang dari mereka serentak maju ke depan. Bentaknya, "Kau siluman betina akan berlagak di sini" Jangan harap."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Edoh Permanasari tak menyahut. Ia merampas secawan arak yang berada di depannya.
Dengan sekali mementil, cawan itu terbang miring sedikit dan isinya turun meluncur seperti air tertumpah. Lalu ia membuka mulutnya dan tiada setetes arakpun terpercik ke bawah. Setelah itu dengan perlahan-lahan cawan turun dari udara dan hinggap sangat manis di atas telapak
tangannya. Itulah suatu ilmu pelepas senjata ringan yang sudah mencapai puncak kemahiran.
Ilmu demikian baru menjadi sempurna manakala sudah terlatih bertahun-tahun lamanya.
Sesudah mempertontonkan ilmunya, Edoh Permanasari segera berkata dengan halus.
"Nah, siapakah yang akan mengantarkan nyawa terlebih dahulu?"
Selagi berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu sekalian pasangan muda-mudi
mati bergelimpangan dengan tak menyadari sebab-musababnya.
Menyaksikan kekejaman itu para pendekar Himpunan Sangkuriang tak sanggup lagi menahan
sabarnya. Bahkan Emon dan Saiman yang tadi ketakutan setengah mati, tiba-tiba timbullah
keberaniannya. Serentak mereka menggerung.
"Edoh Permanasari keparat! Namamu seperti mutiara. Tapi hatimu bagaikan iblis!"
Dengan memutar tubuhnya, Edoh Permanasari menyahut. "Eh-eh... rupanya kalian tak
bersabar lagi. Bukankah aku tadi bilang, akan membereskan urusanmu manakala aku sudah
selesai membereskan anjing-anjing keparat itu?"
Suami isteri pemilik kedai dan pengunjung-pengunjung lainnya lari berserabutan ke pojok.
Tubuh mereka menggigil menyaksikan pembunuhan mendadak itu. Lutut mereka bergemetaran
dan ada yang terkencing-kencing karena ketakutan.
"Emon!" bisik Saiman. "Kau pergilah cepat-cepat. Edoh bukan lawan kita."
"Dan kau sendiri?" Emon menegas.
"Aku mencoba mengadu nyawa. Tapi bila bisa kuhindari, aku akan menyusulmu."
Pada saat itu, sekonyong-konyong salah seorang anggota laskar Garuda menggebrak meja. Ia berkata nyaring kepada Emon dan Saiman.
"Saudara dari Obor Menyala. Marilah kita bahu membahu menyingkirkan iblis ini. Sudah terlalu banyak ia mengambil nyawa orang tak berdosa."
Emon dan Saiman bersangsi. Benarkah kata-kata itu diucapkan dengan setulus hati" Biasanya mereka takkan menghiraukan kesukaran orang lain.
Sebaliknya, mendengar suara itu hati Edoh Permanasari tergetar. Betapapun juga, sebenarnya ia enggan membunuh anggota Himpunan Sangkuriang yang terdiri dari dua pasukan. Keduanya
dapat mengadu kepada pemimpinnya. Meskipun tidak perlu takut, tetapi menghadapi dua lawan besar akan menyiutkan kedudukannya. Namun hatinya sudah terlanjur menjadi angkuh. Tanpa
berbicara lagi, ia menghunus pedangnya dan merabu mereka dengan satu kali gerak.
Mereka lantas saja bertempur dengan serunya. Murid-murid Edoh Permanasari yang tadi berdiri tegak agak jauh, segera mendekati. Selagi demikian, tiba-tiba berkelebatlah sesosok bayangan.
Dialah Titisari. "Hai, berhenti dahulu!" serunya nyaring.
Melihat munculnya Titisari, Edoh Permanasari kaget. Ia mengira, dia salah seorang pembantu lawannya. Karena itu ia malahan memperhebat serangannya. Sebaliknya, Emon dan Saiman yang mengira Titisari salah seorang anak murid Edoh Permanasari, terhenyak sejenak. Tapi kemudian ia menduga buruk. Terang sekali dia pembantu iblis keparat itu, pikirnya. Dan memikir demikian, ia menyerang Edoh Permanasari dengan tak memedulikan keselamatan nyawanya lagi.
"Baik! Jadi kalian tak mau mendengarkan semanku?" Titisari mendongkol. Dan timbullah adatnya yang liar. Dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya melesat dan menampar pipi mereka pulang balik dengan sangat cepatnya. Dan begitu mereka kena tampar, sekaligus terhentilah gerakannya, karena kaget dan rasa kagum.
Edoh Permanasari segera sadar, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang lawan berat.
Maka dengan hati-hati ia berkata, "Eh kau siapa?"
Titisari tidak menggubrisnya. Ia menoleh kepada Emon dan Saiman yang berdiri tegak dengan pandang menebak-nebak.
"Apakah dia yang bernama Edoh Permanasari?" tanya Titisari.
Emon dan Saiman tak tahu lagi apakah harus mengiakan atau tidak. Mereka saling pandang
dengan penuh teka-teki. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hm, kalian tadi memuji-muji perempuan itu setinggi langit. Itulah sebabnya, aku
mengikutimu," kata Titisari. "Kamu berdua memang senang membuat aku bercapai lelah tak keruan."
Mendengar ucapan Titisari, Emon dan Saiman masih saja bersangsi. Meledaklah Saiman dengan beraninya, "Kau boleh licin tapi jangan mimpi bisa mengelabui kami. Siapa tak tahu, bahwa kau murid iblis itu?"
"Hm aku murid iblis itu" Siapa bilang?" sahut Titisari sambil menuding murid Edoh Permanasari.
Dan melihat pekerti Titisari, Emon dan Saiman benar-benar tercengang. Seseorang dapat
melakukan tipu muslihat macam apa pun. Tetapi memaki gurunya sendiri sebagai iblis di depan umum, tidak mungkin terjadi. Memperoleh pertimbangan demikian, dari gentar mereka menjadi lega hati. Dan diam-diam mereka menyesali diri sendiri yang tadi lari lintang pukang karena rasa prasangka belaka. Dan baru saja mereka hendak menyatakan salah sangkanya, Edoh Permanasari sudah berkata mendahului.
"Eh, Nona. Sebenarnya kau siapa?"
Mendengar teguran itu, Emon dan Saiman bertambah yakin akan salah sangkanya. Ia
mendongkol dan geli mengingat pengalamannya sendiri tadi.
"Kau bertanya siapa aku?" sahut Titisari.
"Benar." "Bukankah sudah cukup terang" Aku manusia hidup."
Edoh Permanasari berubah parasnya. Tajam ia menatap wajah Titisari. Katanya membentak,
"Tiap orang tahu, bahwa kau manusia hidup. Tapi orang yang tahu harga diri pastilah akan mengenalkan namanya dan asal usulnya sebelum mati."


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa bilang aku akan mati?" Titisari heran.
"Aku. Kau dengar tidak?" sahut Edoh Permanasari yang tak kurang pula tajamnya.
"O, begitu?" kata Titisari dengan pandang tajam. Lalu ia tersenyum. Berkata acuh tak acuh,
"Selama hidupku paling benci aku berbicara dengan nona tua."
Benar-benar jitu penglihatan Titisari. Edoh Permanasari lantas saja menjadi kalap seperti diketahui, pantangan besar bagi seorang wanita seperti Edoh Permanasari ialah apabila luka besarnya kena dibuka seseorang di depan umum. Maka tanpa berbicara lagi, ia terus menikam.
Titisari meloncat ke samping sambil berkata, "Eh, begini caranya Edoh Permanasari yang manis" Maka menyerang orang yang tidak bersenjata" Baiklah, aku akan pinjam senjata."
Setelah berkata begitu, dengan sekali berkelebat ia sudah menggenggam pedang rampasan.
Itulah pedang salah seorang murid Edoh Permanasari yang tadi turut maju. Dan melihat kegesitan Titisari, semua yang melihat kagum bukan kepalang.
"Nah, marilah kita bermain-main," tantang Titisari. Titisari benar-benar seorang gadis usil-an.
Dalam kekesalan hatinya, kadang-kadang ia bisa berbuat di luar dugaan orang. Pada saat itu, dia sedang dirundung suatu kemalangan besar. Hatinya tak menentu. Kadang berduka, marah, benci dan uring-uringan.
Tak mengherankan, bahwa ia ikut-ikutan pula meramaikan suasana kedai itu tanpa tujuan
tertentu. Edoh Permanasari makin sadar, bahwa lawan yang dihadapi saat itu, bukan manusia empuk.
Lantas saja ia mengumpulkan semangatnya dan menyerang Titisari dengan sehebat-hebatnya.
Titisari sudah mewarisi ilmu Ratna Dumilah dan sebagian ilmu sakti ayahnya, selain itu, hafal pula guratan keris ilmu sakti Kyai Tung-gulmanik. Meskipun tenaganya belum mengimbangi,
setidak-tidaknya dia menguasai kulitnya. Dahulupun ia pernah membuat kagetnya Kebo Bangah pula. Maka kali inipun, ia nampak berada di antara angin. Sebab meskipun sudah empat puluh jurus lebih, Edoh Permanasari belum berhasil menyentuh tubuhnya.
Ruang kedai itu sudah menjadi .kalang kabut. Meja kursi terbalik tak keruan. Piring dan cawan-cawan hancur berantakan. Sedangkan tamu-tamu diam-diam sudah dapat melarikan diri seorang demi seorang.
Edoh Permanasari sudah menjadi kalap pula. Merasa dirinya agak keripuhan, ia segera memberi isyarat kepada murid-muridnya agar berjaga-jaga menghadapi kemungkinan. Sebagai iblis
kawakan tahulah dia, bahwa pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang pasti akan menggunakan kesempatan yang bagus itu. Dan dugaannya ternyata tidak meleset. Begitu melihat anak-anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
murid Edoh Permanasari bergerak, dengan bersuit mereka lantas maju berbareng. Dengan
kejadian demikian, ruang kedai sudah tak keruan macamnya.
Heran sungguh hati Edoh Permanasari. Dari manakah datangnya gadis ini yang begini perkasa.
Selama hidupnya entah sudah berapa kali ia bertempur melawan musuh-musuh tangguh. Namun
menghadapi seorang lawan yang memiliki gerakan aneh dan tak terduga, baru kali inilah.
"Nona! Mendengar logat bahasamu, agaknya kau bukan gadis Pasundan" katanya mencoba.
"Kau sudah masuk ke liang kubur, mengapa tak dapat menutup mulutmu?" ejek Titisari.
"Hm," dengus Edoh Permanasari. "Jangan kau sangka aku dapat kaukalahkan. Lihat pedangku!"
Berbareng dengan ucapannya, ia mengayunkan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Suatu
kesiur angin bergulungan dengan men-deru-deru.
Titisari kaget. Cepat ia melejit ke samping. Dan diam-diam ia berkata di dalam hati, hebat sungguh iblis ini. Pantas ia tak terkalahkan, jangan-jangan akupun tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya.
Memikir demikian, ia segera menghadapi serangan Edoh Permanasari dengan hati-hati.
Ia selamanya seorang gadis yang berbesar hati dan tak pernah mengenal takut. Melihat
berkelebatnya pedang Edoh Permanasari menikam dadanya, ia tak gugup. Dengan sekali
menghentak, pedang Edoh Permanasari terlepas dari tangannya. Memang pada saat itu, Edoh
Permanasari tidak menggunakan pedang pusaka Sangga Buwana. Karena itu serangannya dapat
ditangkis Titisari dengan mudah. Namun ia bukan seorang pendekar murahan. Begitu melihat pedangnya terpental ke udara, dengan sekali menjejak tanah ia terbang menyambar pedangnya.
Lalu turun dengan memberondongi beberapa tusukan.
"Bagus!" seru Titisari kagum. Semangatnya lantas tersadar. Dengan gesit ia meloncat menghindari. Selagi ia hendak membalas, tiba-tiba terjadilah suatu perubahan di dalam kedai.
Kebo Bangah muncul dan terus saja menyerbu pertarungan itu.
"Hai! Hai! Di manakah anakku" Di manakah anakku?" ia berteriak tinggi bagaikan guntur.
Semua yang mendengar suara gunturnya kaget bukan kepalang. Itulah suatu tanda, bahwa
ilmu orang itu sangat tinggi. Namun mereka sedang bertempur. Sedikit lengah, jiwanya akan melayang. Karena itu, tak berani mereka melepaskan perhatiannya terhadap lawannya masingmasing.
Seperti diketahui semenjak kena gempur Sangaji, ia berubah ingatan. Untung dia berilmu
tinggi. Sekalipun kena gempuran tenaga Sangaji begitu dahsyat, tubuhnya tidak hancur berkeping-keping.
Selama hidupnya, belum pernah ia dikalahkan lawan. Namanya sejajar dengan Kyai Kasan
Kesambi, Gagak Seta, Adipati Sureng-pati, Pangeran Samber Nyawa dan Kyai Lukman Hakim.
Beberapa kali ia mengadu kepandaian. Hasilnya setali tiga uang atau sama kuat. Itulah sebabnya, gempuran Sangaji benar-benar berkesan hebat dalam dirinya. Nama Sangaji dan Bende Mataram merupakan tanda tertentu di dalam kalbunya. Dalam rasa was-wasnya ia seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Namun oleh wataknya yang ulet dan mau menang sendiri, tak sudi ia
menyerah kalah. Dalam tiap-tiap kesempatan ia merasa selalu berkewajiban untuk merebutnya.
Tapi dasar otaknya sudah miring, maka tingkah-lakunya jadi acak-acakan. Terhadap nama
Sangaji, dia takut setengah mati. Tetapi manakala melihat seorang laki-laki, mendadak teringatlah dia kepada sang Dewaresi yang hilang tiada kabarnya.
Di dekat Cirebon dahulu, ia kena gertak Sangaji lagi. Dan larilah dia tunggang-langgang.
Setelah rasa takutnya mereda, teringatlah dia lagi kepada tujuan hidupnya. Itulah pusaka Bende Mataram. Maka dengan diam-diam ia mengikuti Sangaji.
Tatkala itu Sangaji sedang kalap mencari Titisari. Itulah sebabnya, ia bisa dikuntit Kebo Bangah dengan mudah. Tetapi ilmu Sangaji kini sudah berada jauh di atasnya. Ia mencoba mengejar, sewaktu Sangaji berlari-lari kalap. Meskipun sudah mengerahkan segenap tenaga dan kepandaian, akhirnya ia kehilangan jejak juga. Tubuh Sangaji lenyap dari pengamatan. Namun masih saja ia mencoba mengikuti jejaknya. Demikianlah, maka ia lari mengarah ke barat dengan tak karuan juntrungnya.
Pada malam hari itu, ia berputar-putar di sekitar dusun itu. Dasar ia seorang pendekar berilmu sangat tinggi, maka pendengarannya menangkap suatu kesibukan segera ia melihat pertarungan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu. Dan begitu melihat beberapa pemuda, timbullah ingatannya. Terus saja ia berteriak-teriak kacau, "Mana anakku" Mana anakku?"
Mereka yang sedang bertempur tiada waktu lagi untuk meladeni. Memang sebentar tadi,
mereka kaget oleh suara gunturnya. Tapi setelah itu, masing-masing disibukkan oleh lawan mereka.
"Hai! Mana anakku" Mana Dewaresi?" Kebo Bangah mendesak. Karena merasa tak memperoleh perhatian kehormatannya tersinggung.
"Aku ini raja dari langit. Mengapa kalian menghina aku?" bentaknya. Dan setelah membentak, ia menggempur mereka untuk memisahkan. Hebat tenaganya. Kena tenaga saktinya, mereka
terpental mundur dengan berjumpalitan.
Edoh Permanasari kaget menyaksikan kejadian itu. Pikirnya, aku tidak membawa pedang
pusaka. Sekarang harus menghadapi tiga lawan. Meskipun mempunyai sayap, rasanya tidak akan mampu. Memperoleh pikiran demikian, segera ia bersuit memberi tanda anak-anak murid untuk cepat-cepat memundurkan diri. Kemudian berkata nyaring kepada Titisari, "Nona, sayang.
Kesenangan kita terganggu. Baiklah! Begini saja, tak jauh dari sini terdapat sebuah bukit. Di sana esok pagi kita mencari keputusan."
Dengan membungkuk hormat, ia melesat dengan diikuti sekalian muridnya. Sebentar saja
tubuhnya hilang dari penglihatan.
Celaka adalah para pendekar Himpunan
Sangkuriang. Setelah mereka kena dipentalkan, Kebo Bangah memberondongi dengan pukulan
dahsyat berturut-turut. Tak ampun lagi, mereka mati terjengkang sebelum sempat membuka
mulutnya. "Mana anakku" Kalian wajib mengganti nyawa," omel Kebo Bangah panjang pendek. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan mengawaskan Titisari dengan tak berkejap sebentar ia terma-ngu-mangu dengan dahi mengerenyit. Mendadak wajahnya berubah hebat. Lalu berteriak nyaring, "Hai!
Bukankah kau isteri anakku" Hai-hai... di mana anakku Dewaresi?"
"Aku isteri Sangaji," sahut Titisari acuh tak acuh.
"Kau bilang apa?" Kebo Bangah terkejut.
"Aku isteri Sangaji," ulang Titisari. "Anakmu dibunuh Sangaji dengan ilmu sakti Bende Mataram."
Mendengar keterangan Titisari, Kebo Bangah menggigil ketakutan. Dan dengan berteriak tinggi, ia lari berjungkir balik suaranya masih terdengar menyobek kesunyian alam. Makin lama makin jauh. Lalu lenyap. Dan kesunyian mulai merayapi jiwa yang menekan-nekan. Kesunyian yang
merangsang suatu kengerian. Titisari kenal akan kelemahan Kebo Bangah. Menyaksikan betapa dahulu Kebo Bangah lari
tunggang-langgang begitu kena hantaman. Sangaji, otaknya yang cerdas segera mencatat
kejadian tersebut. Ternyata dia berhasil juga. Sekarang ia menjelajahkah pandangnya. Dalam ruang kedai penuh dengan penglihatan menyedihkan. Mayat dan perabot kedai yang hancur
berkeping-keping. Teringat akan kekejaman Edoh Permanasari, pikirannya yang masih agak
bingung terus saja menyangkut soalnya sendiri. Katanya di dalam hati, hidup ini alangkah kejam.
Semua yang ada direnggutkan. Esok atau lusa. Juga Sangaji direnggut dari sisiku pula. Siapakah yang pernah bercerita tentang suatu keabadian"
Dengan pikiran itu ia meninggalkan kedai tanpa tujuan. Malam sangat gelap. Tiada suara,
selain hiasan malam semenjak zaman Adam. Bintang-bintang, angin lalu, desis margasatwa, salak anjing dan kesenyapan hati.
Kira-kira menjelang larut malam, ia berhenti beristirahat di sebuah gedung rusak. Kabarnya itulah bekas pemujaan penduduk pada zaman lampau. Dan selagi ia hendak menghempaskan diri oleh rasa lelah, mendadak terdengarlah langkah ringan mengham-Diri rumah pemujaan itu. Kemudian terdengar suara helaan napas.
"Edoh memang siluman biadab. Di mana-mana dia membunuh," kata seorang.
"Itulah akibat kegagalan cinta. Dan kegagalan itu kini meleruk kepada tiap pasangan muda-mudi yang tidak berdosa," sahut yang . "Sidi Mantera! Marilah kita membicarakan yang lain."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua orang yang sedang berbicara itu, sesungguhnya pendekar Sidi Mantera dan Inu Kertapati.
Seperti diketahui, mereka berdua termasuk pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang yang
memegang peranan tertentu.
"Kau memang pilih kasih. Karena kau kasih kepada Kamarudin maka bekas tunangannya yang biadab itu pun kau sayang juga," gerutu Sidi Mantera. "Terang-terangan ia menjadi sinting akibat cinta, namun engkau berpura-pura tak mengetahui."
Hati Titisari tercekat. Teringat akan persoalannya sendiri, mendadak ia jadi perasa. Benarkah sepak terjang Edoh Permanasari itu, semata-mata akibat kegagalan cinta"
Beberapa waktu lamanya Inu Kertapati dan Sidi Mantera masih membicarakan sepak terjang
Edoh Permanasari yang makin lama makin mengganas. Kemudian beralih kepada masalah
Himpunan Sangkuriang yang menjadi terpecah belah. Mereka berdua termasuk tokoh Himpunan
Sangkuriang bagian hubungan luar. Dengan sendirinya mengetahui belaka apa yang terjadi dalam himpunannya.
Mendengar pembicaraan itu, mula-mula tiada menarik perhatian Titisari. Maklumlah, dia lagi berduka perkara cinta kasih. Karena itu segala pembicaraan yang tidak menyentuh atau mirip dengan masalahnya, tidak menarik perhatiannya. Mendadak kedua orang itu menyinggung-nyinggung nama Ki Tunjung-biru. Sekaligus terbangunlah perhatiannya.
"Menurut kabar dia tertangkap di Cirebon. Kemudian terlihat lagi dalam sebuah kemah kompeni di Jatibarang. Agaknya, dia bakal dibawa masuk ke Jakarta," bisik lnu Kerta-pati.
"Ah, apakah Gusti Maulana Safri tidak mengetahui?" Sidi Mantera minta ketegasan.
"Hal itu, tak berani aku mendahului," sahut lnu Kertapati. Lalu berbisik, "Apakah kau tahu, bahwa Gusti Maulana Syafri kini mengenakan seragam militer Belanda?"
Sidi Mantera mengangguk sambi! berceli-ngukan. Sementara itu Inu Kertapati meneruskan:
"Karena itu, kau kubawa ke mari untuk menemui beliau. Aku menemukan tanda-tanda sandinya di tengah jalan."
"Bagus! Tapi di mana?"
"Belum kuketahui di mana Beliau berada. Akupun membawa pesan Gusti Suryapranata. Beliau kini bekerja sama dengan Lotia1) bagian barat," jawab Inu Kertapati dengan berbisik. Mendadak dia berkata, "Hai! Apakah kau merasa diintai orang?"
"Hai! Kaupun mempunyai perasaan demikian?" Sidi Mantera terkejut. Mereka berdua bercelingukan. Namun sekitarnya sunyi senyap. Sekalipun begitu, prasangkanya sangat tajam.
Seperti berjanji, mereka berdiri berendeng. Lalu berangkat mengarah ke barat.
Diam-diam Titisari kagum kepada perasaan mereka. Pikirnya: "Kalau dia bukan pendekar lama, masakan mengerti perkara prarasa segala" Rupanya di sinipun ada pendekar-pendekar jempolan pula."
Titisari boleh cerdas otaknya. Namun pengalaman melihat negeri lain masih nol besar, la
mengira, bahwa budaya manusia hanya terdapat di Jawa Tengah.
Tapi dasar berotak cerdas dan cermat, ditambah watak usilnya, ia merasa seperti berkewajiban untuk mengetahui masalah tersebut sejelas-jelasnya. Maka segera ia menguntit dengan diam-diam.
Tenaga sakti Titisari kini sejajar dengan sang Dewaresi semasa jayanya. Tetapi di dalam hal ilmu silat ia berada "jauh di atasnya. Itulah berkat mewarisi ilmu sakti Ratna Dumilah dan hafal guratan keris sakti Kyai Tunggulmanik. Kebo Bangah dahulu tidak bisa berbuat banyak
menghadapi perlawanannya. Bahkan pendekar gila itu sangat terkejut. Dan hatinya jadi gentar.
Karena itu, untuk mengikuti kedua pendekar lnu Kertapati dan Sidi Mantera, tidak usah bersusah payah. Sayang, hati dan pikirannya masih limbung. Mendadak saja, hatinya menjadi lemas.
Sangaji, Sonny de Hoop dan dirinya sendiri muncul dalam benaknya. Kemudian dengan pikiran was-was, ia berhenti. Dan teringat akan masalah yang menghadang di depannya, ia jadi berputus asa. Lalu membenci. Lalu uring-uringan. Akhirnya ia menidurkan diri di sebuah gubuk ladang dengan acuh tak acuh.
Matahari sudah berada tinggi di atas, tatkala ia membersihkan diri di sebuah sungai. Kemudian dengan berjalan lenggak-lenggok, ia mengarah ke barat. Oleh rasa haus dan lapar ia singgah di sebuah kedai. Namun tiada nafsu makannya. Selagi ia membayar harga makanannya, tiba-tiba matanya yang tajam melihat suatu gerakan cepat. Terbangunlah semangatnya. Dan bergegas ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ke luar. Sekali melihat, nampaklah satu titik bayangan di kejauhan. Betapa cepat gerakan itu, bisa dibayangkan.
Pendekar dari mana dia" Rupanya di Jawa Barat banyak terdapat pendekar-pendekar sakti. Eh, jangan-jangan dialah yang disebut ...
Suatu ingatan menusuk benaknya. Segera ia menjejak tanah dan lari bagaikan terbang. Tatkala ia melintasi sebuah gundukan, terdengarlah suatu perkelahian. Ia heran bukan kepalang. Karena yang berkelahi ialah Kebo Bangah dengan seseorang yang mengenakan pakaian seragam
kompeni. Ah, apakah dia yang semalam disebut Gusti Maulana Syafri" pikirnya. Ingatan Titisari memang tajam. Meskipun dalam keadaan limbung, masih bisa menyimpan suatu percakapan selintasan
dalam ingatannya. Sebab yang berkelahi itu, memang Maulana Syafri. Dan pada saat-saat bahaya mengancam, muncullah dia menolong Maulana Syafri.
Dan demikianlah, setelah terjadi suatu rentetan percakapan, ia tertidur kecapaian menjelang fajar hari. Aneh bunyi percakapan itu. Lebih aneh lagi adalah Maulana Syafri. la seorang raja muda yang pernah malang melintang ke segala penjuru. Sakti dan senang membawa kemauannya
sendiri. Tetapi bertemu dengan Titisari, mendadak saja ia jadi penurut. Melihat Titisari tertidur sesudah menangis terus-terusan, terbintiklah suatu rasa yang susah untuk diceritakan. Ia tidak mengganggunya atau mengusiknya. Bahkan menjaganya seolah-olah kaki dan tangannya
terbelenggu oleh suatu kekuatan yang tidak dimengertinya sendiri.
Terasa pada diri manusia: dalam hidup ini berlaku kisah timbal-balik. Sejarah mengkon-sepi manusia. Kemudian hidup menuntut manusia mengkonsepi sejarah. Dan kejadian timbal balik ini, terjadi semenjak sejarah kemanusiaan ada dan akan berlaku sampai manusia tiada lagi dalam persada jagat. Sekarang hal itu terjadi pada diri Titisari, Maulana Syafri telah terikat dengan alasan-alasan yang tidak dimengertinya sendiri. Lalu hidup mulai menggerayangi tubuh gadis itu.
Mendadak saja Titisari memperoleh kesegarannya kembali. Ia seolah-olah sudah bertemu kembali dengan dirinya sendiri. Hanya terjadi beberapa jam setelah tertidur pulas menjelang fajar hari.
Tatkala menjenakkan mata, dilihatnya Maulana Syafri duduk bersandar pada sebuah batu.
Agaknya ia tertidur pula. Namun dia seorang sakti. Ilmunya tinggi. Begitu Titisari bergerak, ia sudah menyapa: "Sebelah utara mengalir suatu sungai yang cukup bening airnya. Mandilah dahulu!"
Sudah seringkali Titisari bergaul dan mengenal orang-orang sakti seperti Maulana Syafri.
Sekalipun demikian, tak urung hatinya kagum juga. Hal itu ada sebabnya. Ia mengira, bahwa hanya di Jawa Tengah saja yang terdapat orang orang sakti seperti Gagak Seta, ayahnya sendiri, Kyai Kasan Kesambi, Ki Hajar Karang-pandan dan murid-murid Gunung Damar. Maka dengan
tersenyum manis, berangkatlah ia ke sungai.
"Paman, kau baik hati. Karena itu, akupun mau berbaik hati pula," katanya setelah mandi. Ia datang dengan membawa serenteng ikan. Melihat Maulana Syafri sudah membersihkan badan
pula, tahulah dia bahwa orang itu akan segera berangkat. Ia cerdik. Hal itu sudah diduganya terlebih dahulu. Maka sengaja ia hendak memasak ikan seperti yang pernah disajikan dahulu kepada Gagak Seta. Dan teringat akan akal itu, teringatlah dia pula kepada si tolol Sangaji.
Hatinya lantas saja berduka, tetapi tidak pernah lagi seperti hari-hari kemarin.
"Nona..." kata Maulana Syafri. Tetapi belum lagi ia meneruskan perkataannya, Titisari sudah memotong.
"Meskipun kesehatanmu lebih baik daripada kemarin, tapi kurasa belum pulih seperti
sediakala," katanya. "Aku tahu, kau memang akan segera berangkat untuk menemui seseorang."
Mendengar ujar Titisari, Maulana Syafri kaget sampai berjingkrak. Itulah suatu rahasia besar yang akan membawa runtuh atau bangunnya Himpunan Sangkuriang. Mengapa sampai diketahui
orang luar" Tapi sekali lagi, belum juga mulutnya membuka Titisari sudah mendahului dengan membawa sikapnya acuh tak acuh.
"Paman mengenakan pakaian militer. Kalau tidak bermaksud menemui seseorang, masakan sampai meninggalkan tangsi perkemah-an?"
Hati Maulana Syafri lemas sekaligus. Ia benar, pikirnya. Dan diam-diam ia mengutuki
kegoblokannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nona, kau cerdik. Aku memang hendak menemui seseorang. Tapi tahukah engkau, siapa yang bakal kutemui?" ia mencoba memancing.
Titisari bukan Titisari, kalau tak pandai menebak hati orang. Maka sambil membakar ikannya, ia menyahut dengan suara ketololan.
"Mengapa tak tahu" Semalam dunia digemparkan oleh sepak terjang Edoh Permanasari. Dan kau ingin menangkapnya, bukan?"
Lega hati Maulana Syafri, karena gadis itu ternyata tidak mengetahui siapa yang hendak
ditemui. Maka ia tertawa terbahak-bahak.
"Ya betul. Betul! Kau memang cerdik. Edoh memang keterlaluan. Dia harus menerima
ukumannya. Inilah kewajibanku sebagai serdadu, dibayar untuk menjaga keamanan."
Maulana Syafri mengira, bahwa dirinya sudah cerdik. Tak tahu, dia malahan kena di-selomoti gadis itu. Titisari tahu, bahwa seorang ang bernama Gusti Suryapranata membawa oesan yang akan disampaikan lewat kedua pendekar tadi malam. Melihat Maulana Syafri membawa lagak
pandir, diapun berlagak lebih Dandir lagi.
"Kalau dibandingkan dengan Edoh, manakah yang lebih tinggi. Ilmuku atau ilmu iblis
itu?" Maulana Syafri beragu-ragu. Setelah berpikir sebentar ia menjawab, "Betapa aku bisa menilai ilmumu, Nona. Belum pernah aku melihat ilmumu meski hanya sejuruspun.
Sebaliknya aku kenal Edoh Permanasari. Dia seorang ketua dari suatu himpunan pendekar.
Anak murid dan pewaris ilmu sakti Ratu Fa-timah."
"Baik, baik, kau mau bilang, aku tak becus melawan dia, bukan?"
"O, tidak, tidak/ buru-buru Maulana Syafri memotong. Dia tak mau menyakiti hati gadis itu.
Terus berkata ngerocos. "Soalnya... soalnya, karena aku belum pernah melihat jurusmu..."
"Tapi kau bilang, dia pewaris ilmu sakti Ratu Fatimah. Bukankah engkau sudah merendahkan aku" Sebenarnya siapakah Ratu Fatimah yang nampaknya kaukagumi itu?" Titisari masih saja membawa sikap ketolol-tololan.
Maulana Syafri terdiam sejenak. Coba kalau pertanyaan itu datang dari seorang yang bukan Titisari pasti ia akan menjawab dengan segera. Sebaliknya karena khawatir akan menyakiti hati gadis itu, ia jadi beragu.
"Baik, baik..." Titisari menggerutu. "Kita makan dahulu. Sebentar lagi aku akan mencari Edoh Permanasari. Kalau aku dapat memenangkan iblis itu, apa taruhanmu?"
Seperti diketahui, sebelum Edoh Permanasari meninggalkan kedai, ia mengajukan tantangan
terhadap Titisari di sebelah bukit yang nampak tak jauh lagi. Maulana Syafri tak tahu hal itu.
Pikirnya, anak ini berotak cerdas serta cerdik tapi mulutnya besar pula. Hm... Edoh Permanasari seorang perempuan besar kepala. Masakan dia sudi melayani seorang perempuan yang masih
asing baginya" Tapi baiklah aku jangan menyakitkan hatinya. Dan setelah berpikir demikian, dengan didahului tertawa nyaring, ia berkata: "Kau bisa berlawanan dengan Edoh, itulah bagus sekali. Meskipun andaikata kalah, tidak akan memalukan."
"Bagus! Kau memang pandai menghina seorang perempuan muda belia seperti aku. Bagus!
Bagus!" Titisari mengomeli. Dan buru-buru, Maulana Syafri menyahut gugup. "Bukan begitu, bukan begitu... Maksudku, Edoh mempunyai senjata andalannya. Itulah pedang pusaka Sangga Buwana. Pusaka mustika yang tiada taranya di jagat ini."
"Hm, jadi kau mau bilang, bahwa pedang lebih hebat dari manusia?"
"Bukan begitu... bukan begitu!"
"Kau bilang dia pewaris Ratu Fatimah. Siapa sih Ratu Fatimah" Kalau dibandingkan dengan aku, mana yang lebih unggul?"
Didesak demikian, mau tak mau Maulana
Syafri menggaruk-garuk kepala. Dalam pada itu, ikan telah selesai dibakar. Dengan bumbu
sedikit, Titisari menyajikan. Tapi dasar bertangan iblis, masakan sesederhana itu alangkah lezat.
Maulana Syafri sampai tak tahan menguasai nafsunya.
"Nona, rupanya kau beri racun sampai aku begini jadi tergila-gila," serunya. Kali ini dia tak berpura-pura. Gagak Seta dahulu memuji tangan Titisari yang bisa menyulap segala masakan sederhana menjadi lezat nyaman. Maka pujian Maulana Syafri benar-benar ter-bersit dari lubuk hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau janganlah berbicara yang bukan-bukan. Kalau kuberi racun benar-benar, bukankah pada saat ini nyawamu sudah berpesiar di tinggi sana?" kata Titisari.
Maulana Syafri tak jadi sakit hati. Ia malahan menjadi senang. Kebetulan pula, perutnya sudah lapar. Maka dengan lahap ia menggeru-muti ikan bakaran yang disediakan.
"Paman! Senangkah engkau memakan masakanku?" kata Titisari.
"Tentu. Engkau bidadari pandai memasak," puji Maulana Syafri.
"Kau senang, tapi aku tidak."
"Mengapa?" Maulana Syafri terkejut.
"Dua kali kau menyebut Ratu Fatimah. Dan aku sudah menyajikan beberapa ekor ikan. Namun engkau tak sudi mengabarkan siapa Ratu Fatimah. Bukankah hatiku jadi tak senang?"
"Ah!" Maulana Syafri terhenyak. Sejenak kemudian seperti tersadar. Lalu berkata menyesali diri:
"Ya, benar rupanya aku manusia tak kenal budi."
Maulana Syafri sebenarnya manusia paling sulit untuk diajak berbicara. Selamanya ia bekerja seorang diri. Sifatnya angkuh, tinggi hati dan menyendiri. Tapi dengan Titisari apa sebab mendadak dapat merubah adat" Hal itu disebabkan, karena Titisari dapat mengenai sasaran
hatinya dengan jitu. Gadis itu sudah terlalu mengenal lagak-lagu pendekar-pendekar yang berilmu tinggi. Menghadapi golongan mereka, jangan harap apabila hanya dihidangi laku sembah, memuji-muji atau menjilat hati. Seringkali mereka bahkan menjadi muak. Itulah disebabkan, karena mereka merasa diri tergolong manusia bijaksana. Manusia yang menganggap dirinya selalu benar dan sempurna, sehingga tidak perlu lagi menerima tambahan dari luar. Sebaliknya seringkali mereka terjebak oleh serentetan kata-kata yang dapat menunjukkan kekurangannya, sehingga membuat hatinya menjadi penasaran dan iri hati.
Selamanya Maulana Syafri menganggap dirinya manusia jempolan tanpa tanding. Di luar
dugaan, ia ketemu batunya, la nyaris tercabut nyawanya oleh Kebo Bangah. Dan pada saat itu muncullah Titisari, yang dapat menunjukkan kekurangannya. Hanya dengan sepa-tah kata saja, Kebo Bangah dapat dibuatnya lari tunggang langgang. Hal itu benar-benar menarik perhatiannya.
Dengan tak sadar, dia sudah menerima kalah.
Kemudian ia mencoba menaikkan derajat dengan istilah hutang piutang budi. Tapi dengan jitu, Titisari dapat memutar balik kenyataan, sampai dia merasa diri sudah berbuat tak pantas terhadap seorang gadis muda belia dengan istilah main paksa.
Kemudian ia mencoba mengenal watak Titisari. Tetapi Titisari dengan cerdik dapat membuat bingung pendekar itu dengan sikap mengomeli, menggerendengi, mencela dan menangis pilu.
Untuk ketiga kalinya, ia merasakan kekurangannya.
Dan yang penghabisan, ia sudah menggerumuti masakan gadis itu, sedang ia belum berbuat
sesuatu kepadanya sebagai balas budi yang kemarin ditonjol-tonjolkan. Teringat hal itu, ia menjadi malu dengan sendirinya.
"Memang benar pepatah kuno: rasa cinta dapat pula direbut melalui perut, katanya. Meskipun tidak demikian, akupun sudah sepantasnya wajib membuat senang hatimu. Bukankah aku sudah bersedia menjadi budakmu?"
"Siapa bilang aku ingin mengambil engkau menjadi budak" Aku hanya berpura-pura," sahut Titisari. "Sudahlah ... sudahlah ... Kalau kau tak sudi memberi keterangan, aku bukan manusia yang biasa main paksa. Memangnya siapa tak tahu, bahwa engkau pernah kalah melawan
kegagahan Ratu Fatimah...."
"Eh, siapa bilang begitu?" Maulana Syafri kaget sampai berjingkrak. "Aku kalah dengan Ratu jahanam itu" Mana bisa" Mana bisa" ... Dia memang hebat. Tetapi untuk dapat mengalahkan aku, jangan bermimpi. Soalnya, karena dia memiliki pedang mustika yang tiada taranya di dunia ini.
Sehingga tidak dapat ia didekati. Nona, kau masih anak kemarin sore. Betapa mengenal pedang mustika Sangga Buwana" Meskipun engkau bersenjata apa saja tiada gunanya. Karena hanya
dengan satu kali tebas saja, senjatamu akan terajang seperti sayur-mayur."
"Paman! Kulihat umurmu dengan Edoh Permanasari tiada seberapa selisihnya. Tapi menilik kata-katamu, engkau seperti pernah bertempur melawan Ratu Fatimah. Benarkah itu?" kata Titisari.
Mendengar pertanyaan Titisari, Maulana Syafri terhenyak sebentar. Wajahnya berubah, la
seperti mengiakan, tapi batal dengan sendiri. Bukankah dia mengenakan pakaian seragam militer
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk menghilangkan jejak" Kalau ia sampai membenarkan, pastilah gadis itu akan mengejar terus. Dan mau tak mau, ia akan terpaksa menerangkan siapa dia sebenarnya. Tentu saja ia tak menghendaki terjadi demikian. Itulah sebabnya setelah menghela napas, ia berkata mengalah. "Ya benar, aku memang seorang pembual. Pantas kau kemarin menyamakan aku dengan burung
gagak. Sesungguhnya ujarku tadi hanyalah tutur kata orang. Tetapi pedang mustika Sangga
Buwana benar-benar bukan omong kosong. Pedang itu kini jatuh di tangan Edoh Permanasari
pewarisnya. Hai, kau bisa membandingkan umurku dengan umur Edoh Permanasari. Apakah
engkau pernah berjumpa?"
Titisari tidak melayani. Ia memperbaiki pakaiannya. Kemudian berkata, "Hari ini aku akan mengadu untung dengan dia. Kau ikut, tidak?"
Setelah berkata demikian, dengan acuh tak acuh ia berjalan mendahului. Hati Maulana
Syafri tercekat. Pikirnya, Edoh Permanasari bukan pendekar murahan. Ia benar-benar mewarisi ilmu Fatimah. Aku sendiri kena luka dalam. Meskipun andaikata aku dalam keadaan segar-bugar, belum tentu aku bisa mendekati pedang Sangga Buwananya. Hm, kalau iblis itu sampai dapat mencelakakan gadis ini, dimanakah aku harus menempatkan mukaku dalam percaturan hidup"
Memperoleh pikiran demikian, buru-buru ia menghampiri seraya berkata mencoba. "Nona, apakah engkau pernah berhadapan muka dengan iblis itu?"
Titisari tertawa geli. "Kau mencemaskan aku, itulah bagus sekali. Paman nampaknya memiliki ilmu tinggi, masakan aku takut akan segalanya. Kemarin Paman dapat bertahan melawan
pendekar gila itu sampai hampir seratus jurus. Itulah suatu bukti bahwa Paman termasuk seorang pendekar kelas tinggi."
Meskipun Maulana Syafri tidak sudi memperkenalkan diri, Titisari sudah dapat menebak siapa dia sebenarnya. Hanya saja, ia tak mau mendesak. Ia tahu, hal itu merupakan pantangan besar bagi seorang pendekar yang sengaja melenyapkan jejaknya. Namun ia seorang gadis cerdik. Ia dapat mencari jalan lain, untuk membuka topeng raja muda Himpunan Sangkuriang itu.
Dalam pada itu Maulana Syafri tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Mana bisa aku tergolong seorang pendekar kelas tinggi. Melawan seorang gila saja, tidak mampu."
Titisari tertawa geli. Sahutnya, "Kau ikut-ikutan pula menamakan dia seorang gila. Tapi tahukah engkau, siapa dia sebenarnya?"
Kembali hati Maulana Syafri tercekat. Pendekar lawannya kemarin memang bukan orang
sembarangan. Selama hidupnya baru kali itu ia menghadapi seorang lawan tangguh. Malahan ia harus mengakui, seumpama tiada Titisari pastilah jiwanya sudah melayang. Teringat betapa hanya dengan sepatah kata lawannya dapat dibuat lari tunggang-langgang oleh Titisari, besar dugaannya bahwa gadis itu pasti mempunyai sangkut pautnya. Maka dengan terbata-bata ia berkata, "Ah! Ya, aku memang manusia goblok. Nona, kemarin hanya menyebut nama Sangaji dan dia lari tunggang langgang. Apakah Nona bernama Sangaji?" .
"Hm, kau memang pandai main paksa lagi."
"O, bukan begitu. Bukan begitu, maksudku." Maulana Syafri gugup. "Betapa aku berani memaksamu?"
"Baiklah kalau begitu, cobalah jawab pertanyaanku dengan jujur. Kalau Paman berlagak bodoh, saat ini tak sudi lagi aku berhubungan dengan Paman," kata Titisari.
"Apakah itu?" Maulana Syafri khawatir.
Titisari menatap wajah Maulana Syafri seolah-olah hendak mencari keyakinan. "Di dunia ini, siapakah manusia yang paling tinggi ilmunya?"
Mendengar pertanyaan itu Maulana Syafri kaget. Itulah suatu jebakan yang susah dihindari.
Sebagai rekan Ki Tunjungbiru, sudah barang tentu ia tahu siapakah tokoh-tokoh sakti pada zaman itu. Kalau dia berlagak bodoh, babipun tidak akan percaya. Sebaliknya kalau dia menjawab dengan sebenarnya, samalah halnya dengan membuka kartunya sendiri. Dalam kebimbangannya timbullah sifat aslinya. "Baiklah, biar aku menyenangkan hatinya. Kalau kesehatanku sudah pulih kembali, apakah susahnya mencabut nyawanya. Cuma saja aku belum mengetahui siapa dia
sesungguhnya. Memperoleh keputusan demikian, ia lantas berkata: "Aku ini orang udik. Janganlah Nona menertawakan kebodoh-anku."
"Kau bilang orang udik atau orang hutan, sesukamulah," Titisari tersenyum.
"Sepanjang pengetahuanku berjumlah tujuh orang. Yang pertama, Mangkubumi 1. Kedua,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kyai Kasan Kesambi. Ketiga, Adipati Sureng-pati. Keempat, Gagak Seta. Kelima, Kyai Haji
Lukman Hakim. Keenam: Kebo Bangah. Dan yang ketujuh Pangeran Mangkunegara 1 atau yang
terkenal dengan nama Pangeran Samber Nyawa. Benarkah itu?"
"Bagus! Begitulah baru boleh dikatakan seorang sahabat. Dan tahukah engkau siapa lawanmu kemarin?"
Maulana Syafri bergeleng kepala.
"Dialah pendekar Kebo Bangah," kata Titisari.
Dan mendengar keterangan Titisari, Maulana Syafri kaget sampai berjingkrak.
"Benarkah dia pendekar sakti Kebo Bangah?" ia menegas.
Titisari mengangguk. Dan Maulana Syafri menjadi lemas, la memang mengenal nama tokohtokoh sakti itu. Tetapi hatinya sesungguhnya tidak mengakui, karena ia terlalu percaya kepada kesanggupannya. Sekarang ia ternyata kalah melawan pendekar Kebo Bangah. Maka kepongahan serta ilmu yang diagul-agulkan, runtuhlah.
"Dan kau tahu, siapakah aku sebenarnya?" kata Titisari menguji lagi. Dengan kepala kosong, Maulana Syafri menengadahkan mukanya.
"Cobalah tebak!" kata Titisari. Lalu ia berkelebat memainkan jurus-jurus Ratna Dumilah yang dicampuradukkan dengan sekelumit sakti Witaradya warisan ayahnya. Memang, Titisari bermaksud hendak membuatnya takluk. Gcapannya ingin mengambil Maulana Syafri, sebagai budak.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesungguhnya tak jauh dari maksud sesungguhnya. Itulah disebabkan ia tahu, bahwa Maulana Syafri termasuk salah seorang raja muda Himpunan Sangkuriang yang didengarnya dari mulut Inu Kertapati dan Sidi Mantera semalam. Kalau dia bisa menaklukkan Maulana Syafri dengan
kecerdikannya, bukankah akan merupakan alat yang dapat diandalkan untuk merebut Sa-ngaji kembali dari sisi Sonny de Hoop"
Maulana Syafri boleh cerdik dan berpengetahuan tinggi, tetapi macam ilmu tokoh-tokoh sakti yang disebutkan tadi sesungguhnya baru dikenal namanya belaka. Selamanya ia menyekap diri dalam wilayah Jawa Barat. Karena itu, dia tak sempat menjenguk keragaman ilmu sakti lainnya yang terdapat di persada bumi ini. Dan hal itu termasuk dalam perhitungan Titisari yang cerdik.
Makin Titisari memperlihatkan jurus-jurusnya, makin besar teka-teki yang terjadi dalam otak Maulana Syafri. Itulah tujuan Titisari sebenarnya. Dengan kepala terus berteka-teki, ia mempunyai harapan untuk mengikat pendekar tokoh Jawa Barat itu. Dan hal ini benar-benar jitu mengenai sasaran watak pendekar sakti Maulana Syafri.
Sebagai puncak dari pertunjukan, Titisari memperlihatkan sejurus guratan ilmu Kyai
Tunggulmanik. Kemudian melesat dengan mendadak memasuki kampung.
Maulana Syafri seperti tersadar. Lantas lari mengejar sambil berseru nyaring. "Nona! Nona!
Tunggu! Bukankah aku sudah bersedia menjadi budakmu?"
Perempuan bukan perempuan, kalau tidak dapat membuat pusing laki-laki. Hampir melampaui
tengah hari, Titisari terus membuat Maulana Syafri berteka-teki. Gadis itu keluar masuk desa untuk mencari biji sawo, biji asam dan kerikil tajam. Dan selama itu Maulana Syafri berusaha mencari keterangan sebanyak-banyaknya tentang dirinya.
"Nona, sebenarnya kau siapa?" tanyanya berulang kali.
"Paman! Daripada kau merengek-rengek, bukankah lebih baik kau menceriterakan tentang Edoh Permanasari?" sahut Titisari acuh tak acuh.
"Nona, aku ini seorang serdadu. Pengetahuanku tak lebih daripada pendengaran orang."
"Bagus, berbohonglah terus!" Titisari mengomeli.
Sepak terjang seorang pendekar memang aneh buat ukuran umum. Kalau umum menganggap
benar, dia menganggap salah. Sebaliknya kalau salah, dianggapnya benar. Menurut akal, Maulana Syafri dapat meninggalkan Titisari tanpa banyak berpusing-pusing. Tetapi apa yang terjadi di dalam diri Maulana Syafri mempunyai pengucapan sendiri. Makin ia menghadapi teka-teki, makin ia jadi terpikat. Sialnya, ia berlawanan dengan Titisari. Di dunia ini, siapakah yang dapat mengadu kecerdikan dengan dia" Ayahnya sendiri merasa kuwalahan.
Menimbang bahwa gadis itu pasti akan mengajaknya berputar-putar dari desa ke desa tanpa
tujuan, Maulana Syafri lalu menanggalkan pakaian militernya. Ia mengenakan pakaian jubah Persia dan kembalilah dia sebagai salah seorang tokoh besar Himpunan Sangkuriang yang
disegani. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semuanya itu tidak luput dari perhatian Titisari, namun gadis itu bersikap seolah-olah tiada mengacuhkan. Kata Maulana Syafri mencoba, "Nah Nona, sekarang bagaimana kesan diriku?"
"Sayang tidak mirip budakku lagi," sahut Titisari sambil mencibirkan bibirnya. Mendengar kata-kata Titisari yang selalu bernada menjengkelkan hati, mau tak mau Maulana Syafri tersenyum geli juga.
Ia hendak membuka mulut, sekonyong-konyong terdengarlah suara kentung tanda bahaya. Di
sebelah barat daya nampak api dengan asapnya membumbung tinggi.
"Hm, siapa lagi kalau bukan perbuatan Edoh Permanasari," kata Titisari. Dugaan Titisari memang jitu. Semalam, iblis perempuan itu merasa tak puas karena tak dapat mengumbar
kemauannya oleh rintangan-rintangan yang datang dengan berturut-turut. Oleh rasa jengkelnya, ia meninggalkan kedai dengan hati uring-uringan. Dan sebagai biasanya, ia lantas mencari korban.
Dua buah desa dibakarnya sekaligus.
Dengan berlari-larian, Titisari dan Maulana Syafri mendaki ketinggian. Kemudian melesat
seolah-olah sedang berlomba mengadu ilmu lari. Dan diam-diam Maulana Syafri kagum padanya.
"Hebat, anak ini" kata Maulana Syafri di dalam hati. "Biarlah kucoba sampai di mana dia mengenal ilmu berlari kencang." Memikir demikian, segera ia menancap gas. Tubuhnya berkelebat mendahului Titisari dengan cepat.
Titisari tak mau mengerti. Ia segera mengeluarkan ilmu berlari cepat khas ajaran ayahnya.
Kemudian dicampur dengan ilmu petak ajaran pendekar sakti Gagak Seta. Ia berotak cerdas.
Dengan menggabungkan dua ilmu itu, hasilnya luar biasa bagus. Tubuhnya lantas saja melesat bagaikan terbang. Dalam hal tenaga dan keuletan, tentu saja ia kalah jauh daripada Maulana Syafri. Untung jarak yang hendak mereka capai tidak seberapa jauhnya. Dengan demikian, gadis itu dapat mengimbangi larinya Maulana Syafri. Malahan makin lama makin cepat. Akhirnya berhasil mendahului beberapa langkah di depan. Dan betapa Maulana Syafri memusatkan semangatnya,
tetap saja ia tak mampu menjajari. Hai! Benar-benar ajaib! pikirnya. Meskipun ilmu lariku belum tergolong kelas wahid, tetapi pada zaman ini aku hanya dikalahkan oleh Simuntang atau Tatang Sontani. Sebaliknya gadis ini berada di atasku. Murid siapa dia" Ah, pasti asal-usul gadis ini bukan sembarangan. Kalau aku bisa menggunakan tenaganya, bukankah bagus untuk kemakmuran
Himpunan Sangkuriang" Memikir demikian, hatinya bergembira. Bulatlah keputusannya, tidak akan meninggalkan gadis ini seperti pikirnya semula. Dan demikianlah raja muda Maulana Syafri yang sudah kenyang makan garam, berada dalam pikirannya yang timbul tenggelam oleh sepak terjang Titisari yang serba jitu menawan hati orang.
Selagi ia berpikir demikian, tubuh Titisari sudah berkelebat memasuki dusun. Tatkala ia
menyusul, dilihatnya Titisari sudah bertempur melawan tiga orang tokoh yang dikenalnya. Itulah: Ratu Kenaka, Sindung Riwut pendekar Gunung Gembol dan Kusuma Winata pendekar dari Gunung Mandalagiri.
Titisari melawan mereka bertiga dengan pedang rampasannya. Gesit gerak-gerik gadis itu.
Meskipun dikerubut tiga pendekar tokoh-tokoh Jawa Barat, untuk sementara masih dapat ia
mengimbangi. Malahan sekali-kali, ia dapat mengadakan serangan balasan.
Ah, benar-benar bukan gadis sembarangan. Maulana Syafri kagum benar-benar. Ia menghela
napas. Sebagai seorang raja muda yang sudah banyak berpengalaman, tahulah dia bahwa mereka datang semata-mata untuk mencari dirinya. Itulah disebabkan, karena ia pernah membunuhi
anak-anak murid mereka demi mencari keterangan tentang hilangnya Ratu Bagus Boang
junjungannya. Menghadapi penuntunan dendam mereka hatinya tidak gentar. Masih sanggup ia melayani. Hanya saja, ia kini belum pulih seperti sediakala.
Maka mau tak mau, ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar. Tatkala menoleh, ia melihat berkelebatnya pendekar Tatang Manggala. Hatinya tercekat. Bukan ia tak mampu melawannya, tetapi dengan berkumpulnya empat tokoh golongan tinggi, meskipun mempunyai sayap takkan
mampu mengalahkan. Aku sendiri kalau mau bisa lantas lari. Tapi apakah dia dapat kubuat
mengerti" la mengerutkan dahi. Setelah berbimbang-bimbang sebentar, ia lantas melompat maju sambil membentak. "Nona jangan takut! Aku bantu!" Dengan beberapa lompatan ia sudah berada di belakang pendekar Sindung Riwut kemudian menikam dengan pedangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Antara Titisari dan ketiga pendekar tersebut tiada permusuhan. Kedua belah pihak sebenarnya terjadi suatu kesalahan paham. Titisari melihat berkelebatnya Edoh Permanasari. Dan ia segera memburu. Sedangkan ketiga pendekar tersebut meskipun bukan termasuk golongan pendukung
laskar perjuangan Jawa Barat yang memusuhi Ratu Fatimah, tidak menyetujui sepak terjang Edoh Permanasari yang ganas membakari kampung serta main bunuh terhadap pemuda pemudi yang
sama sekali tak berdosa. Waktu mereka lewat desa itu dalam mencari Maulana Syafri, dilihatnya Edoh Permanasari beraksi membakar desa dan membunuh penduduk. Terus saja mereka
melompat memburu. Sekali melompat, mereka berpapasan dengan Titisari. Mengira Titisari salah seorang murid Edoh Permanasari, terus saja mereka bergerak mengurung. Dan Titisari
mendongkol kena dirintangi mereka. Dalam kemendongkolannya, ia merabu ketiga pendekar
tersebut dengan tikaman cepat. Demikianlah, mereka bertempur dengan amat serunya.
Sekarang muncullah Maulana Syafri dengan tiba-tiba. Inilah yang dinamakan pucuk dicinta
ulam tiba. Mereka bertiga tergolong pendekar kelas wahid. Selamanya mereka bergerak dengan penuh perhitungan, cermat dan hati-hati. Tujuan mereka turun gunung semata-mata hendak
mencari musuh besarnya itu. Perkara perbuatan Edoh Permanasari meskipun bertentangan
dengan angger-angger kemanusiaan, bisalah diselesaikan di kemudian hari. Karena itu seperti berjanji mereka meninggalkan Titisari. Lalu mengepung Maulana Syafri dengan berteriak tinggi.
"Ah Maulana, Maulana! Jauh-jauh aku mencarimu. Kenapa kau baru muncul sekarang?"
Maulana Syafri tertawa melalui hidung, la sadar, ketiga lawannya sangat berat. Belum tentu ia dapat merebut kemenangan dengan mudah. Namun ia berlega hati. Sebab tujuannya memang
hendak memancing mereka agar menjauhi Titisari. Setelah itu ia akan mencari akal lain.
"Kamu bertiga sebangsa kurcaci hendak mencari aku" Apakah andalanmu" Mari-mari ... Hari masih cukup panjang. Masih cukup leluasa buat mengadu kepandaian," katanya lantang. Setelah berkata demikian, ia mem-berondongi dengan tikaman kilat. Hebat tika-mannya. Kalau saja bukan mereka bertiga, pastilah sudah berhasil.
Meskipun demikian untuk menghindari tikaman kilat itu, mereka terpaksa melompat mundur
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 4 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Puteri Es 3

Cari Blog Ini