Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 17
"Siapa nama ayah angkatmu" Dari partai mana dia?" Tanya Kioe Tin.
Bu Kie menggelengkan kepala. "Aku tak bisa memberitahukan," jawabnya.
Wie Pek tertawa nyaring. "Masakah kita bertiga tidak bisa mengorek rahasianya?" katanya sambil menghampiri Bu Kie dan berkata pula.
"Bocah coba kau sambut tiga pukulan," seraya berkata begitu, ia melirik nona Bu sambil tersenyum, seolah-olah ia mau mengatakan bahwa ia akan memberi pelajaran keras kepada bocah itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya si nona.
Dalam soal cinta, seseorang yang sedang mabuk cinta selalu memperhatikan gerak-gerik dari orang yang dicintai. Lirikan dan senyuman Wie Pek tidak terlepas dari mata Cu Kioe Tin yang lantas timbul rasa cemburunya. Melihat Bu Kie bersangsi untuk menyambut tantangan itu. Ia menggapai dan setelah anak itu mendekati, ia berkata dengan suara perlahan, "Sebagaimana kau sudah melihat Piauw Ko memiliki kepandaian tinggi, kau tentu tak bisa menang. Tapi, asal kau bisa menyambut tiga pukulannya, kau membikin mukaku jadi terang," sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pundak si bocah untuk memberi semangat.
Bu Kie juga tahu, bahwa ia bukan tandingan pemuda itu. Ia mengerti bahwa jika ia turun ke gelanggang, ia hanya akan menjadi korban. Jadi semacam lelucon untuk menggembirakan hati. Tapi begitu lekas ia berdiri di hadapan si cantik, pikirannya kalut. Sesudah diajak bicara dengan suara lemah lembut dan ditepuk-tepuk apa pula sesudah mengendus bau yang sangat harum, otaknya butak dan ia tak dapat berpikir lagi. "Sio Cia memerintahkan supaya aku membikin terang mukanya dan aku tak toleh mengecewakannya," katanya di dalam hati dan seperti orang linglung, ia segera mendekati Wie Pek.
"Bocah, sambutlah!" kata pemuda itu sambil menampar. Pukulan itu cepat luar biasa dan muka Bu Kie lantas saja terpeta lima jari tangan yang berwarna merah. Sesudah tahu, bahwa anak itu bukan mendapat pelajaran dari keluarga Cu, sehingga ia tidak bisa dianggap menghina pamannya sendiri. Ia sudah turun tangan tanpa sungkan-sungkan. Meskipun tidak mengerahkan Lweekang ia menampar dengan sepenuh tenaga.
"Bu Kie, lawan!" teriak Nona Cu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semangat si bocah terbangun, dengan cepat ia meninju Wie Pek mengegos sambil berseru. "Bagus!
Masih ada dua jurus," dengan sekali melompat, ia sudah berada di belakang Bu Kied an sebelum si bocah keburu memutar badan, leher bajunya sudah kena dicengkeram. Sambil mengangkat badan Bu Kie tinggi-tinggi Wie Pek tertawa terbahak-bahak dan kemudian membantingnya keras-keras di lantai. Kasihan Bu Kie! Janggut dan hidungnya lantas saja mengucurkan darah.
Seraya menepuk-nepuk tangan, Bu Ceng Eng tertawa cekikikan. "Tin Ci," katanya, "Bagaimana"
Apakah ilmu silat keluarga Bu masih boleh dilihat?"
Paras muka Kioe Tin merah padam. Ia malu bercampur gusar. Ia tak bisa membantah pertanyaan saingannya, sebab jika ia mencela ilmu silat keluarga Bu, ia sudah menyinggung perasaan Wie Pek.
Sementara itu, Bu Kie sudah merangkak bangun dan dengan jantung berdebar-debar, ia melirik Kioe Tin. Melihat paras muka si cantik, ia lantas saja berkata dalam hatinya. "Sudahlah! Biarpun hilang jiwa, aku mesti menolong Sio Cia."
"Piauw Moay," kata Wie Pek sambil tertawa. "Silat kucing pincang bocah itu masih tak punya, mana bisa kau bicara tentang partainya?"
Tiba-tiba Bu Kie menerjang dan menendang kempungannya.
"Aduh! Gagah benar Kau?" ejek Wie Pek sambil mengelak dan menangkap kaki kanan Bu Kie yang lalu dilontarkan dengan menggunakan tiga bagian Lweekang. Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, badan si bocah melesat kea rah tembok. Untung juga, selagi masih berada di tengah udara, dengan menggunakan seluruh tenaganya ia masih keburu memutar tubuh sehingga hanya punggungnya yang terbentur tembok. Tapi biarpun begitu, ia merasa sakit bukan main dan roboh di kaki tembok tanpa bisa lantas bangun.
Dalam kesakitan hebat, hatinya masih memikirkan muka Cu Kioe Tin yang harus ditolong. Tiba-tiba ia mendengar suara si nona, "Sudahlah! Ayo kita pergi ke taman bunga!" di kuping Bu Kie suara itu penuh rasa malu dan jengkel.
Entah darimana datangnya, mendadak Bu Kie merasa tenaganya pulih. Ia melompat bangu dan bagaikan kalap, ia menubruk dan menghantam Wie Pek dengan telapak tangannya.
Kali ini ia memukul dengan jurus Kang Liong Yu Hwi (Penyesalan Sang Naga) dari Hang Liong Sip Pat Ciang (delapan belas jurus ilmu silat menaklukkan naga), semacam Ciang Hoat (ilmu silat dengan menggunakan telapaka tangan) yang paling lihai di seluruh rimba persilatan. Dahulu dengan mengandalkan ilmu tersebut, Ang Cit Kong dan Kwee Ceng telah menjagoi di kolong langit. Hanya saying apa yang didapat Cia Sun hanya kulitnya saja, sedang yang diperoleh Bu Kie lebih-lebih tak karuan macam pengaruh pukulan itu belum ada sepersepuluh dari Kang Liong Yu Hwi yang asli. Tapi walaupun begitu pukulan itu mengeluarkan sambaran angin yang luar biasa dan begitu tangan Wie Pek terbentur tangan Bu Kie, badannya bergoyang-goyang dan ia terpaksa mundur setindak. Ia kaget, sedangkan Bu Ceng Eng mengeluarkan seruan tertahan.
Pada seratus tahun lebih lalu, leluhur Bu Ceng Eng, yaitu Bu Sioe Bun, telah berguru kepada Kwee Ceng, tapi sesudah belajar banyak tahun, ia masih belum juga dapat menyelami intisari dari pada Hang Liong Sip Pat Ciang. Bu Liat, ayah Bu Ceng Eng, masih dapat menjalankan jurus-jurus dari ilmu silat itu, tapi seperti anak cucu Bu Sioe Bun yang lainnya, iapun tidak berhasil mengeluarkan pengaruh dahsyat Hang Liong Sip Pat Ciang. Selama belasan tahun, nona Bu sering melihat ayahnya berlatih sendirian sambil mengasah otak. Tapi sebegitu jauh, orang tua itu masih juga belum berhasil. Dari zaman Bu Sioe Bun sampai Bu Ceng Eng sudah ada lima turunan. Pada setiap turunan, anggota-anggota keluarga Bu berusaha keras untuk menyelami intisari ilmu itu, tapi semua usaha mengalami kegagalan.
Kegagalan itu bukan karena tumpulnya otak keluarga Bu. Apa seorang dapat menyelami Hang Liong Sip Pat Ciang atau tidak, tiada sangkut paut dengan kecerdasan otak. Bukan saja begitu, bahkan ada petunjuk, bahwa makin cerdas otak seseorang, makin sukar ia memiliki ilmu itu. Contohnya, Kwee Ceng tumpul dan Oey Yong pintar luar biasa. Tapi yang berhasil adalah Kwee Ceng, sedang Oey Yong tetap gagal. Dalam mengajar orang-orang muda, Kwee Ceng tidak menyembunyikan apapun jua. Tapi kaitannya adalah, diantara orang-orang tingkatannya lebih muda seperti Yo Ko, Yeh Loe Ci, Kwee Hu, Kwee Siang, Kwee Loh Po, Bu Sioe Bun dan Bu Toen Jie, tak satupun yang bisa berhasil dengan sempurna. Bahwa pada zaman belakang Hang Liong Sip Pat Ciang sudah tidak dikenal lagi dalam rimba persilatan, mungkin adalah karena sebab-sebab itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wie Pek yang tak kenal jurus itu sudah menangkis dengan tangannya dan begitu lekas tangannya beradu dengan tangan Bu Kie, ia merasakan lengannya kesemutan dan dadanya menyesak. Cepat-cepat ia mundur setindak kemudian ia melompat maju sambil menghantam punggung Bu Kie dengan tinjunya.
Tanpa memutar tubuh, si bocah mengibaskan tangannya ke belakang dengan menggunakan jurus Sin Liong Pa Bwee (Naga Malaikat menyabetkan ekor) Melihat sambaran tangan yang luar biasa, Wie Pek berkelit, tapi tak urung pundaknya kena disapujuga dengan tiga jari tangan. Meskipun pukulan itu tidak hebat, tapi Cu Kioe Tin dan Bu Ceng Eng sudah melihat, bahwa dalam jurus itu, Wie Pek sekali lagi kena dikalahkan.
Mana dia rela menerima hinaan itu di hadapan wanita-wanita cantik" Waktu menantang Bu Kie, seorang anak tanggung yang sama sekali bukan tandingannya, pemuda itu hanya ingin mempermainkan si bocah untuk menyenangkan hati Bu Ceng Eng. Maka itu, ia hanya menggunakan dua atau tiga bagian.
Tapi diluar dugaan, dua kali beruntun ia jatuh dibawah angin, Darahnya lantas saja naik dan ia membentak. "Setan kecil! Apa kau tidak takut mati?" seraya membentak, ia meninju dengan jurus Tiang Kang Sam Tiap Long (tiga gelombang sungai TiangKang) sesuai dengan namanya, jurus itu mengandung tiga gelombang tenaga. Apabila lawan menangkis gelombang pertama dengan sepenuh tenaga, maka ia akan binasa, atau sedikitnya terluka berat dengan gelombang tenaga kedua dan ketiga akan menyerang tanpa diduga-duga.
Waktu memukul, Wie Pek telah menggunakan seluruh tenaga Lweekangnya. Tapi, karena pada hakikatnya ia memang bukan seorang jahat yang berhati kejam. Maka biarpun sedang gusar, ia menahan gelombang tenaga yang ketiga.
Dilain pihak, begitu melihat serangan dahsyat, Bu Kie segera menghempas semangat dan menangkis dengan pukulan terhebat yang dimilikinya yaitu Kiam Liong But Yong (naga yang bersembunyi jangan digunakan) Sambil miringkan tangan kirinya, ia menyambut dengan Lweekang yang aneh, yaitu setengah berkumpul, setengah buyar, separuh bersembunyi, separuh keluar. Wie Pek terkesiap, gelombang pukulannya yang pertama amblas seperti batu amblas di dalam laut. Hampir berbareng dengan suara
"Krek!" Tulang lengan kanannya patah. Untung juga karena menaruh belas kasihan ia menahan tenaga gelombang ketiga. Jika tidak, mereka berdua sama-sama terluka berat.
Cu Kioe Tin dan Ceng Eng mengeluarkan teriakan kaget dan serentak mengeluarkan teriakan kaget dan serentak lagi menghampiri Wie Pek. "Taka pa-apa," katanya sambil meringis.
Dengan berbaring, kedua nona itu menumpahkan kegusaran di atas kepala Bu Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka memukul badan dan menghantam dada si bocah. Bu Kie yang belum hilang kagetnya sebab melihat akibat pukulannya, tidak bergerak dan tinju kedua gadis itu tepat mengenai dadanya, "Uh!" dengan badan bergoyang-goyang ia muntahkan darah!
Dada si bocah sakit, tapi hatinya lebih sakit. "Dengan mati-matian aku berkelahi untuk membuat mukamu terang," katanya di dalam hati. "Tapi waktu aku menang, kau berbalik memukul aku."
"Tahan!" teriak Wie Pek.
Kedua gadis itu tidak memukul lagi.
Dengan paras muka pucat. Wie Pek mengayun tangan kirinya dan menghantam Bu Kie. Bu Kie yang dengan melompat jauh berhasil menyelamatkan dirinya.
"Piauw Ko," kata nona Cu, "kau sudah terluka, perlu apa kau meladeni anak yang kurang ajar itu" Aku yang salah. Sebenarnya tak boleh aku mengadu kau dengannya." Dia seorang gadis yang beradat tinggi.
Kalau bukan melihat akibat dari perbuatannya, tak gampang-gampang ia mau mengaku bersalah.
Tapi diluar dugaan, Wie Pek jadi makin gusar. Ia tertawa dingin seraya berkata, "Piauw Moay, pelayanmu benar-benar lihai. Kau sendiri mana bersalah" Tapi aku masih merasa penasaran." Ia mendorong Kioe Tin dan lalu menerjang Bu Kie.
Si bocah mau melompat mundur, tapi Bu Ceng Eng yang berdiri di belakangnya segera mendorong punggungnya sehingga tinju Wie Pek mampir tepat di hidungnya yang lantas saja bocor.
Dalam sekejab Bu Kie sudah dikepung oleh tiga orang dan tujuh delapan pukulan dengan beruntun jatuh di badannya. Beberapa kali ia muntah darah, tapi sebagai manusia kepala batu, dengan nekat ia melawan terus. Ia menggunakan segala macam ilmu silat yang dimilikinya. Silat Cia Sun, ilmu kedua orang tuanya, pukulan-pukulan Bu Tong Pay dan berkelahi bagaikan harimau edan. Walaupun
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lweekangnya masih sangat cetek, tapi karena kenekatannya ditambah dengan pukulan-pukulan dari ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi, seperti Hang Liong Sip Pat Ciang, maka untuk sementara waktu ia masih dapat mempertahankan diri.
"Bocah Bau!" caci Cu Kioe Tin. Binatang dari mana kau" Sungguh berani kau mengacau di tempat ini.
Apa kau sudah bosan hidup?"
Sementara Wie Pek yang tangannya makin lama makin sakit sungkan berkelahi lebih lama lagi.
Sambil mengerahkan seluruh Lweekang di tangan kiri, ia menghantam bagaikan kilat. Melihat pukulan yang dahsyat itu, Bu Kie yang terlalu lelah jadi putus harapan. Ia mengeluh dan memejamkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.
Tapi sebelum tangan Wie Pek turun di badannya, tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.
"Tahan!" satu bayangan kuning berkelabat dan menangkis tangan pemuda itu yang sedang menyambar. Begitu tangannya tertangkis, Wie Pek terhuyung beberapa tindak dan kemudian terjengkang.
Tapi gerakan orang itu yang mengenakan jubah kuning cepat luar biasa. Dengan sekali meloncat, ia menjaga punggung pemuda itu yang lantas saja bisa berdiri tegak.
"Ayah!" teriak Kioe Tin.
"Cu PehPeh!" seru nona Bu.
"Koe Koe!" kata Wie Pek dengan napas tersengal-sengal.
Orang yang menolong Bu Kie bukan lain Cu Tiang Leng, ayah Cu Kioe Tin. Begitu lekas tulang lengan Wie Pek patah, seorang perawat anjing buru-buru melaporkan kepada sang majikan yang lantas saja datang ke tempat pertempuran. Untuk beberapa saat, Cu Tiang Leng menyaksikan "kegagahan"
putrinya dan dua orang muda itu dan pada detik yang berbahaya ia memberi pertolongan.
Melihat keberanian dan kegigihan Bu Kie, orang tua itu merasa kagum.
Dengan paras muka merah padam dan mata mendelik, ia mengawasi putrinya, Wie Pek, dan Bu Ceng Eng. Mendadak tangannya melayang, menampat muka putrinya. "Bagus!" katanya dengan suara menyeramkan. "Makin lama anak cucu keluarga Cu jadi makin tak karuan macam! Dengan mempunyai anak semacam kau, bagaimana aku ada muka untuk bertemu dengan leluhurku di dunia baka?"
Cu Kioe Tin adalah anak biasa dimanja. Jangankan digebuk, dicacipun belum pernah. Tapi sekarang ia ditampar di depan banyak orang, bahkan di depan kecintaannya. Tamparan itu cukup keras untuk membuat kepalanya pusing. Sesudah pusing hilan, "Uh!" ia menangis keras.
"Diam!" bentak sang ayah. Bentakan itu disertai Lweekang sudah menggetarkan seluruh ruangan, sehingga debu pada jatuh dari atas balok. Si nona takut bukan main dan ia tak berani menangis terus.
"Semenjak dahulu, keluarga Cu hidup bagaikan kesatria," kata sang ayah. Leluhurmu, Cu Lioe Kong, mengabdi kepada It Teng Taysu dan jadi perdana menteri dari negeri Tayli Kok. Belakangan beliauw Bantu melindungi kota Siang Yang dan namanya menggetarkan seluruh dunia. Lihatlah! Betapa gagahnya leluhurmu itu! Tak nyana anak cucunya tidak karuan macam. Sampai kepada aku, Cu Tiang Leng, aku punya anak seperti cecongormu! Tiga orang dewasa mengerubuti seorang anak kecil! Bukan saja begitu, kamu bahkan coba mengambil juga jiwa anak itu! Malu tidak kau?" ia bicara dengan suara berapi-api dengan nada menyeramkan. Walaupun cacian ditunjukkan kepada Kioe Tin, Wie Pek dan Ceng Eng pun kena terseret, sehingga dengan muka kemerah-merahan, mereka tak berani mengangkat kepala.
Mendengar dan melihat semua itu, Bu Kie merasa takluk dan kagum terhadap orang tua itu.
Cu Tiang Leng benar-benar marah besar. Dari pucat mukanya berubah merah, dari merah berubah kuning, sedang badannya gemetara. Tak satupun antara ketiga orang pemuda itu yang berani bersuara atau berkisar. Sambil menundukkan kepala, mereka berdiri bagaikan patung.
Melihat bengkaknya pipi nona Cu Kioe Tin dan sikapnya yang penuh ketakutan, Bu Kie merasa sangat tak tega dan ia segera berkata
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Looya, dalam hal ini Sio Cia sama sekali tak bersalah," Tiba-tiba ia terkejut karena suaranya hampir tak kedengaran, akibat dari pukulan Wie Pek pada tenggorokannya.
"Saudara kecil, kau mengenal Hang Liong Sip Pat Ciang," kata Cu Tiang Leng. "Apakah kau murid Kay Pang?" (Kay Pang Partai pengemis)
Bu Kie yang sungkan memberitahukan asal-usulnya lantas saja mengangguk.
Sambil mengawasi puterinya dengan sorot mata gusar. Orang tua itu berkata pula, "ilmu pukulan itu diturunkan oleh Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong yang pada zaman itu telah menggetarkan seluruh rimba persilatan di sebelah selatan dan utara sungai besar. Dengan keluarga kita, keluarga Cu dan Bu, beliauw mempunyai hubungan yang sangat erat," ia menengok kepada Bu Ceng Eng dan berkata pula, Kwee Ceng, Kwee Tayhiap, adalah guru leluhurmu, Sioe Bu Kong. Sesudah mengenali bahwa pukulan yang dikeluarkan oleh saudara kecil itu ialah Hang Liong Sip Pat Ciang, mengapa kau masih juga turun tangan!" ia bicara dengan suara keras dan tidak sungkan-sungkan lagi sehingga Bu Kie sendiri jadi merasa sangat tidak enak.
Sesudah menyuruh seorang pelayan mengambil obat luka, orang itu menanyakan hal ihwal kedatangan Bu Kie dan cara bagaimana ia sampai mendapat kedudukan seorang pelayan di dalam gedungnya. Cu Kioe Tin tak berani berdusta dan lalu menceritakan cara bagaimana Bu Kie digigit anjing sebab coba menyembunyikan seekor kera kecil dan cara bagaimana ia sudah menolongnya.
Darah sang ayah meluap lagi. Begitu lekas si nona selesai menutur, ia membentak dengan suara menggeledek. "Bagus! Saudara kecil itu adalah sahabat dari Kay Pang dan kau sudah berani mati untuk memberi kedudukan pelayan kepadanya. Huh-Huh! Kalau hal ini sampai terdengar diluaran, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kang Ouw" Mereka pasti akan mengatakan bahwa Kian Kun It Pit Cu Tiang Leng adalah manusia yang tidak mengenal pribadi. Aku membiarkan kau memelihara anjing-anjing itu dengan anggapan, bahwa kau memeliharanya hanya untuk main-main.
Tapi siapa nyana, kau sudah mengumbar binatang-binatan itu untuk mencelakakan orang. Budak kecil!
Jika untuk mengambil jiwa kecilmu, mana aku ada muka untuk bertemu pula dengan orang-orang gagah dalam rimba persilatan?" Ia mencaci dengan mata berapi-api dan nona Cu mengerti, bahwa sang ayah dapat membuktikan ancamannya. Dengan muka pucat dan badan gemetaran, buru-buru ia menekuk lutut seraya berkata dengan suara parau. "Thia-thia, anak".. anak tidak berani berbuat itu lagi?"."
Melihat bahaya, Wie Pek dan Ceng Eng pun segera berlutut dan memohon supaya orang tua itu sudi mengampuni puterinya.
Bu Kie segera maju mendekati seraya berkata, "Looya".."
"Saudara kecil, jangan kau memanggil Looya kepadaku," kata Tiang Leng dengan suara lebih sabar.
"Aku hanya lebih tua sekian tahun daripadamu dan paling banyak kau boleh memanggil Cianpwee kepadaku." (Looya Tuan Besar, panggilan untuk majikan atau orang berpangkat. Cianpwee orang yang tingkatannya, atau usianya lebih tinggi)
"Baiklah," kata si bocah. "Cu Cianpwee, dalam hal ini tak dapat kita menialahkan Sio Cia. Dengan sebenar-benarnya, Sio Cia tak tahu menahu waktu aku digigit anjing."
"Kau lihatlah," kata Cu Tiang Leng. "Dia masih begitu kecil, tapi sudah begitu lapang dada. Kalian bertiga masih tak dapat menandingi seorang bocah seperti dia. Pada Hari Tahun baru, lebih pula karena Bu Kouwnio tamu kami, menurut adat aku tak boleh mengunjuk kegusaran. Akan tetapi, aku tidak bisa berpeluk tangan, sebab perbuatanmu terlalu gila dan tiada berbeda dengan perbuatan manusia hina.
Sekarang, sesudah saudara kecil ini memintakan ampun, kamu bangunlah."
Dengan kemalu-maluan, Wie Pek bertiga lantas bangkit.
"Lepaskan semua anjing jahat itu!" bentak Cu Tiang Leng sambil menengok kepada tiga perawat anjing yang berdiri di satu sudut. Mereka mengiyakan dan buru-buru menjalankan perintah.
Melihat paras muka ayahnya yang menyeramkan dank arena tak tahu apa yang akan diperbuat oleh orang tua itu, nona Cu jadi lebih ketakutan. "Thia!" serunya dengan suara parau.
Sang ayah tertawa dingin. "Kau memelihara anjing-anjing jahat untuk mencelakai manusia," katanya.
"Baiklah, sekarang perintahkan anjing-anjingmu untuk menggigit aku."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si nona menangis, "Thia, anak sudah tahu kesalahan sendiri," ratapnya.
Orang tua itu hanya mengeluarkan suara di hidung. Mendadak ia melompat ke gerombolan anjing itu sambil mengayunkan kedua tangannya. "Plaak"Plaak" Plaak"Plaak?" empat ekor anjing roboh dengan kepala remuk.
Semua orang terkesiap, mereka mengawasi dengan mulut ternganga.
Kaki tangan Cu Tiang Leng menyambar-nyambar dan badannya bergerak bagaikan kilat. Dalam sekejab mata, tiga puluh ekor anjing sudah rebah di lantai tanpa bernyawa lagi. Jangankan melawan, laripun mereka tak keburu lagi.
Wie Pek dan Bu Ceng Eng kaget bercampur kagum. Walaupun tahu, bahwa orang tua itu berkepandaian tinggi, mereka tak nyana kepandaiannya setinggi itu.
Sesudah melampiaskan kegusarannya, Cu Tiang Leng lalu mendukung Bu Kie yang dibawa ke kamarnya sendiri. Tak lama kemudian Cu Hujin (nyonya Cu) dan Kioe Tin datang menengok dengan membawa semangkok obat.
Sebagai akibat gigitan anjing karena mengeluarkan terlalu banyak darah. Biarpun lukanya sudah sembuh, badan Bu Kie sebenarnya masih sangat lemah. Maka itu, luka-luka hebat yang dideritanya sekarang sudah membuat ia pingsan berulang-ulang dan selama beberapa hari ia berada dalam keadaan pingsan. Berkat rawatan yang teliti, akhirnya ia tersadar. Begitu lekas sebagian tenaganya pulih, ia sendiri segera menulis surat obat dan menyerahkannya pada pelayan dan meminta supaya ia diberi obat menurut resep itu. Obat itu ternyata sangat mujarab dan kesehatannya kembali denga cepat sekali. Melihat kepandaian si bocah dalam ilmu pengobatan, penghargaan Cu Tiang Leng jadi lebih besar.
Sementara itu, Cu Kioe Tin kelihatannya sudah sadar akan kesalahannya dan untuk menebus dosa ia merawat Bu Kie seperti kakak merawat adik kandung sendiri. Selama dua puluh hari lebih, seringkali ia menemani si bocah di samping pembaringan sambil bercakap-cakap, meniup seruling, atau menyanyi.
Sesudah Bu Kie bisa berjalan, pergaulannya dengan si nona jadi makin akrab.
(Bersambung ke jilid 30) Kisah Pembunuh Naga Jilid 30 Karya Chin Yung Transcriber: Eeyore ============== Menurut peraturan keluarga Cu, pagi2 belajar silat, sore belajar surat. Ilmu silat keluarga tersebut mempunyai sangkut paut yang sangan erat denga Su hoat (seni menulis surat indah). Mungkin tinggal seorang memiliki Su Hoat, makin tinggi pula ilmu silatnya. Untuk mempelajari ilmu surat, Cu Kioe Tin mempunyai sebuat kamar tulis yang kecil, dengan hiasan idah. Ditembok sebelah timur tergantung selembar tulisan sajak, buah kalam penyair Touw Bok, sedang tembok sebelah utara diantara dua lukisan san sui (pemandangan alam) terdapat tulisan Si Hie tiap, karya Hway-so Hweeshio.
Setiap kali berlatih menulis huruf2 indah Kiao Tin selalu mengajak Bu Kie dan memberi petunjuk2.
Dengan duduk berhadapan mereka belajar bersama sama. Kalau cape mereka berhenti menulis dan beromong omong sambil tertawa tawa.
Dalama latihan ilmu silatpun; keluarga Cu memperlakukan bocah itu sebagai seorang anggota keluarga. Cu Tiang Leng memperbolehkan Bu Kie turut serta dalam ruangan latihan dan tempo2
menyuruh anak itu berlatih bersama sama putrinya. Ilmu silat keluarga Cu dan silat yg dikenal Bu Kie agak berbeda. Akan tetapi, pada hakekatnya ilmu silat diseluruh dunia bersuber satu, maka sesudah memperhatikan beberapa kali, Bu Kie dapat mengikuti latihan tanpa banyak kesukaran. Toang Leng dan putrinya tidak berlaku pelit mereka mengajar si bocah dengan sungguh hati.
Semenjak meninggalkan pulau Peng Hwee To, Bu Kie selalu hidup dalam penderitaan. Baru sekarang ia dapat mencicipi penghidupan tenteram yang bahagia.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tanpa merasa satu bulan setengah sudah lewat. Hati iut pada pertengahan Jie-gwee selagi Kioe Tin dan Bu Kie berlatih menulis huruf 2 indah tiba2 Siauw Hong masuk seraya berkata.
"Siocia, Yauw Jie-ya sudah kembali dari Tiong goan." (Jie-ya Tuan kedua) Si nona kegirangan. Sambil melempar pit, ia berteriak. "Bagus! Aku sudah menunggu setengah tahun lebih." Ia menarik tangan Bu Kie mari kita menemui Yauw Jie-siok, aku tak tahu, apa ia membeli barang2 yang kupesan." (Jie-siok Paman kedua).
Dengan berlari mereka pergi ke kota thia (ruangan tengah).
"Siapa Yauw Jie-siok?" tanya si bocah.
"Ia adalah saudara thia thia," jawabnya "Namanya Yauw Ceng Cun, berglear Cian Lie Toei hong (Dalam seribu li mengejar angin). Tahun yang lalu ayah telah meminta padanya pergi ke Tiong goan untuk mengantarkan beberapa rupa barang. Aku memesan supaya ia membeli yan cie dan puput dari Hang cie, jarum sulam, benang dan gambar2 lukisa dari Souw ciu, pit bak, contoh2 huruf dan buku2. Aku tak tahu, apa ia perhatikan pesanku itu."
Cu-kee-chung (Perkumpulan keluarga Cu) terletak di See hek (Wilayah barat) dalam lingkungan gunung Koe Lun san. Alat2 kecantikan, buku2, perabot tulis dan sebagainya yang diperlukan oleh nona Cu tak bisa didapat dalam jarak ribuan lie. Tempat itu terpisah berlaksa lie dari daerah Tiong-goan sedang sekali pulang perlu memerlukan tempo dua tiga tahun. Maka itulah, saban ada orang yang mau pergi ke Tiong-goan, Cu Kioe Tin selalu memesan ini atau itu dalam jumlah yang besar.
Tapi begitu tiba diambang pintu, mereka terkejut karena mendengar suara tangisan. Dengan hati berdebar debar mereka bertindak masuk. Hati mereka mencelos sebab melihat Cu Tiang Leng sekang berlutut dilantai sambil berpelukan dan menangis dengan seorang lelaki kurus jangkung yang mengenakan pakai berkabung.
"Yauw Jie-siok!" teriak Kioe Tin seraya menubruk.
Sang ayah menyapu air matanya dan berkata dengan suara parau. "Ah Tin jie! Toa in jien (tuan penolong besar) kita Nyonya... Thio Ngo... ya... telah meninggal dunia!"
"Tapi... tapi bagaimana bisa begitu?" tanya si nona dnegan mata membalak. "Bukanlah, sesudah menghilang sepuluh tahun In kong (paduka penolong) sudah kembali?"
Lelaki setengah tua yang mengenakan pakaian berkabung itu Coan-lie Toei hong Yauw Ceng Coan menengok seraya berkata dengan suara terputus putus. "Kita yang berdiam di tempat jauh... sukar mendapat warta. Sesudah ku tiab di Tiong-goan baru kutahu, bahwa... bahwa Tio Iajin bersama Thio Hujin sudah meninggal dunia pada kita2 empat tahun berselang dengan.... Dengan membunuh diri sendiri! Aku mendapat warta itu sebelum mendaki Bu tong san. Atku tidak percaya. Belakangan sudah tiba di bu tong san dan bertemu dengan Song Toa hiap Jie hiap barulah kutahu bahwa warta itu bukan cerita kosong... Hai!"
Betapa besar rasa kaget Bu Kie dapatlah dibayangkan. Sesudah mendengar keterangan itu ia tidak bersangsi lagi, bahwa yang dinamakan sebagai "Toa-injin Thio Ngoya" adalah ayahandanya sendiri, melihat kesedihan Cu Tiang Leng, Yau Ceng Coan dan Cu Kioe Tie, yang jg turut mengucurkan air mata hampir2 ia melompat menubruk dan memperkenalkan diri sendiri. Tapi ia segera mengurungkan niatannya sebab kuatir tidak dipercaya dan orang bahkan bisa menduga jelek atas dirinya.
Beberapa saat kemudian Cu Hujin muncul dengan di papah oleh seorang budak dan sambil menangis ia mengajukan banyak pertanyaan kepada Yauw Ceng Coan. Karena sedang ditindih dengan kedukaan, Yauw Ceng Cun sampai lupa untuk menjalankan peradatan kepada gie-so nya (istri dari saudara angkat).
Ia segera menuturkan cara bagimana Thio Cui San bersama istrinya telah binasa dengan membunuh diri.
Sambil seraya menggigit gigi, sebisa bisa Bu Kie menahan rasa sedihnya. Tapi biarpun begitu, ia tidak dapat mencegah mengucurnya air mata. Hanya karena semua orang bersedih hati mereka tidak memperhatikan tangisan si bocah.
Sekonyong-konyong tangan Cu Tiang Leng berkelebat dan .... "prak!".... sebuah meja delapan persegi somplak. "Jie-tee!" katanya dengan suara keras. "Dengan tegas dan dengan jelas, aku minta kau
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
memberitahukan namanya oran2 yg telah naik ke Bu tong dan endesak begitu rupa sehingga In Kong terpaksa membunuh diri."
"Sesudah mendapat tahu tentang kebinasaan In Kong, sebenarnya aku harus buru-buru pulang untuk memberi laporan kepada Taoko," kata Yauw Ceng Coan"Tapi sebab ingin mengetahui nama musuh2 itu, maka aku lalu menyelidiki. Belakangan kudengar, bahwa disamping tiga pendeta suci dari Siauw Lim Pay, jumlah musuh bukan sedikit. Perlahan lahan aku mengumpulkan keterangan sehingga oleh karenanya aku pulang sangat terlambat." Sesudah itu ia segera menyebutkan nama2 semua orang yg turut hadir dalam peristiwa berdarah di Bu tong san.
"Jie-tee," kata Cu Tiang Leng dengan sudar duka, "Mereka itu adalah jago-jago terutama dalam Rimba persilatan dan satupun tak akan dapat ditandingi oleh kita. Tapi budi Thio Ngoya berat seperti gunung, sehingga biarpun badan kita menjadi tepung, kita mesti jg coba membalas sakit hati Nyonya".
"Tak salah apa yg dikatakan Taoko," kata Yauw Ceng Coan. "Jiwa kita telah dihidupkan pula oleh Thio Ngoya dan sesudah itu kita bisa menyambung umur selama belasan tahun, adalah sepantasnya saja kalau sekaang kita membuang jiwa demi kepentingan Ngoya. Siauw-tee hanya merasa menyesal, bahwa siaw-tee tidak dapat mencari putera Ngoya. Alangkah baiknya jika kita berhasl mencarinya dan mengajak ia kesini supaya kita dapat merawatnya seumur hidup."
Mendengar itu, Cu Hujin segera minta penjelasan lebih lanjut mengenai putranya Cui San. Yauw Ceng Coan menyatakan, bahwa sebegitu jau diketahuinya, putera tuan penolong itu, telah mendapat luka berat dan pergi kesuatu tempat untuk berobat. Bahwa sepanjang keterangan anak itu batu berusia kira2
sembilan tahun dan bahwa Thio Sam Hong berniat untuk mengangkat dia sebagai Ciang bunjin Bu tong pay dibelakagn hari.
Cu Tiang Leng dan istrinya merasa sangat girang dan mereka segera berlutut untuk menghaturkan terima kaish kepada Langit dan bumi, atas belas kasihan yang sudah dilimpahkan kepada suami istri Thio Cui San, yang biar bagaimanapun jg, ternyata sudah mempunyai turunan.
"Taoko jinson yang usianya ribuan tahun benar, soat-lian dari gunung Thian san, emas hitam pisau dan lain2 barang yg di titipkan Toako sudah aku serahkan kepada Thio Kongcu," kata pula Yauw Ceng Coan.
Sang kakak mengangguk dan berkata. "Kau benar, aku setuju dengan tindakanmu itu."
"Tin jie," kata Cu Tiang Leng berpaling kepada puterinya, "kau boleh menceritakan kepada saudara Thio, cara bagaimana keluarga kita telah ditolong oleh Thio Ngoya".
Kioe Tin segera menuntun tangan Bu Kie dan mengajaknya pergi ke kamar ayahnya. "itlah dia!" kata si nona sambil menunjuk sebuah lukisan yang di gantung di tengah2 tembok. Di samping gambar itu terdapat tulisan yang berbunyi seperti berikut. "Gambar peringatan mengenai pertolongan yang diberikan oleh Tuan penolong Thio Cui San."
Membaca nama mendiang ayahnya, air mata Bu Kie lantas saja berlinang linang.
Lukisan itu memperlihatkan sebidang lapangan rumput di pedusunan, dimana terdapat seorang pemuda gagah dnegan tangan kiri memegang gaetan perak dan tangan kanan bersenjata Poan koan-pit yang sedang pertempuran melawan lima musuh. Bu Kie lantas saja mengenali, bahwa pemuda itu adalah mendiang ayahnya sendiri. Diatas tanah tergeletak dua orang yang terluka berat, satu Cu Tiang Leng Mansatu lagi Yauw Ceng Coan. Didekat mereka terdapat dua orang lain yang sudah binasa. Disudut sebelah kiri kelihatan berdiir seorang wanit muda yg dengan paras muka ketakutan, sedang memeluk satu bayi perempuan. Wanita muda itu adalah Cu Heojin. Bu Kie mengawasi si bayi yang pada pojok mulutnya terdapat setitik tahi lalat dan lantas tahu, bahwa bayi itu bukan lain daripada Cu Kioe Tin sendiri. Kertas dari lukisan itu sudah kuning dan sudah usia sedikit belasan tahun.
Kioe Tin lantas saja menceritakan sejarah lukisan itu. Tak lama sesudah ia terlahir, ayahnya melarikan diri kedaerah sebelah barat untuk menyingkir dari seorang musuh yang sangat lihai. Tapi ditengah jalan, mereka dicandak oleh rombongan musuh. Dua orang adik seperguruan ayanya binasa dalam pertempuran, sedang orang tua itu sendiri dan Yauw Ceng Coan sudah roboh dengan luka berat. Pada detik2 yang sangat berbahaya, secara kebetulan Thio Cui San lewat disitu dan segera memberi pertolongan dengan memukul mundur musuh2 itu. Menurut perhitungan, kejadian itu telah terjadi pada waktu sebelum Cui San menghilang selama sepuluh tahun.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah selesai menutur, si nona berkata pula dengan paras muka berduka. "Karena berada di tempat jauh, warta tentang kembalinya Thio In Kong baru didapat kami pada tahun2 yang lalu. Sebab sudah bersumpah untuk tidak menginjak lagi wilayah Tionggoan, ayah terpaksa meminta san dengan membawa beberapa rupa barang antaran. Siapa nyana..." Bicara sampai disitu seorang kacung masuk dan memberitahukan; bahwa si nona harus segera pergi ke ruang sembahyang. Cepat cepat Kioe Tin menukar pakai putih dan bersama Bu Kie ia segera pergi ke ruang belakang, dimana sudah diatur sebuah meja sembahyang dengan lengpay yang tertulis seperti berikut. "Kedudukan roh yang angker dari Tuan Penolong Thio Thayhiap Cui San dan Thio Hujin." Begitu mereka masuk, Cu Tiang Leng bersama istrinya dan Yauw Ceng Coan sudah berlulut didepan meja sembahyang sambil menangis sedih dan merekapun lantas saja berlutut di belakang ketiga orang tua itu.
Sambil mengusap-usap kepala Bu Kie, Cu Tiang Leng berkata dengan suara terharu. "Saudara kecil, bagus... Thio Thayhiap adalah seorang kesatria, seorang laki2 jarang tandingan dalam dunia yg lebar ini.
Walupun kau tidak mengenalnya, bukan sanak dan bukan kadang, tapi memang pantas sekali jika kau mengunjuk hormat kepadanya."
Bu Kie menunduk, supaya orang tua itu tidak melihat matanya yang mengembang air. Ia merasa, bahwa sekarang ia lebih2 tidak dapat mengakui, bahwa ia adalah putera Thio Cui San, Yauw Ceng Coan mendapat keterangan yang tidak begitu tepat dan mengatakan bahwa ia baru berusia kira2 sembilan tahun. Jika ia membuka rahasianya sebagai putera Thio Cui San, merekapun belum tentu akan percaya.
"Toako," kata Yauw Ceng Coan denga suara perlahan, "bagaimana dengan Cia-ya...?"
Cu Tiang Leng batuk2 dan meliriknya. Yauw Ceng Coan mengerti maksud kakaknya, ia mengangguk sedikit dan berkata pula, "Bagaimana dengan cia-gie" Apa Toako mau mengumumkan perkabungannya?"
"Kau putuskan saja sendiri." Jawabnya.
Bu Kie jadi heran, "Tadi terang2 kudengar Cia-ya," katanya dalam hati. "Mengapa sekarang jadi cia-gie" Apa Cia-ya dimaksudkan sebagai ayah angkatku?" (Cia ya bearti tuan Cia sedang cia-gie ialah pemberitahuan tentang perkabungan).
Malam itu Bu Kie tak bisa tidur. Di depan matanya kembali terbayang kejadian2 dimasa silam, pada waktu ia masih berada di pulau Peng hwee-to bersama kedua orangtuanya dan ayah angkatnya. Keesokan paginya, berbareng dengan suara tindakan, hidungnya mengendus bebauan harum dan sesaat kemudian, Cu Kioe Tin masuk dengan membawa paso air cuci muka.
Bu Kie terkejut. Ia melompat bangun seraya berkata. "Tin cie... mengapa... mengapa kau..."
"Semua pelayan dan budak sudah pergi," jawabnya "Apa halangannya jika aku melayani kau sekali dua kali?"
Bukan main rasa herannya si bocah. "Tapi, mengapa...?" tanyanya.
"Sudah lama Thia-thia menyuruh mereka pergi," kata si nona. "Setiap orang diberikan uang dan disuruh pulang, karena ... karena rumah ini sangat berbahaya." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pua, " Sesudah kau cuci muka ayang ingin bertemu dengamu."
Dengan hati tak enak, buru-buru Bu Kie mencuci muka dan sesudah itu, ia menyisir rambut dengan dibantu oleh si nona, yang kemudian mengajaknya pergi ke kamar buku Cu Tiang Leng. Dalam gedung itu terdapat seratus lebih pelayan dan budak, tapi sekarang, satupun tak kelihatan mata hidungnya.
Begitu lekas mereka masuk ke dalam kamar buku, Cu Tiang Leng segera berkata. "Saudara Thio aku menghargai kau sebagai seorang laki2 sejati dan sebenarnya aku ingin menahan engkau berdiam disini sampai sembilan atau sepuluh tahun. Tapi karena terjadinya satu perubahan luar biasa, maka kita terpaksa harus segera berpisah. Saudara Thio, kumohon kau tidak menjadi kecil hati." Sambil mengangkat dulang yang berisi duabelas potong emas, duabelas potong perak dan sebliah pedang pendek, ia berkata pula,
"Inilah sedikit tanda mata dari kamu bertiga suami-oistir dan anakku. Kamu harap saudara Thio suka menerimanya. Kalau loohu masih bisa hidup terus, dibelakang hari kita akan bisa bertemu pula..." Karena terharu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
Bu Kie mundur setindak dan seraya membungkuk, ia berkata dengan suara nyaring. "Cu pehpeh, biarpun masih kecil dan tak punya guna, siauwtit bukan manusia yang takut mati. Pada saat keluarga Cu Pehpeh menghadapi marabahaya; biar bagaimanapun jug siauwtit tak akan menyingkir seorang diri.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Walaupun siauwtit tak bisa membantu Pehpeh dan Ciecie, tapi siauwtit ingin hidup atau mati bersama-sama kaliah." Cu Tiang Leng coba membujuk berulang2, tapi si bocah tetap pada pendiriannya.
Akhirnya sesudah kewalahan, orang tua itu menghela napas seraya berkata. "Hai! Anak kecil memang tidak tahu bahaya. Sekarang aku terpaksa menceritakan persoalannya kepadamu. Tetapi kalu lebih dahulu harus bersumpah, bahwa kau tak akan membocorkan rahasia ini dan jg katu tidak akan mengajukan pertanyaan apapun jua."
Bu Kie segera berlutu dan mengucapkan sumpahnya. "Langit menjadi saksi, bahwa aku tidak akan membocorkan atau mengajukan pertanyaan mengenai keterangan yang akan diberikan oleh Pehpeh. Jika aku melanggar janji ini biarlah aku binasa dengan badan dicincang laksaan golok, badanku hancur dan namaku busuk."
Dengan terharu Cu Tiang Leng membangunkan Bu Kie. Ia melongok keluar jendela dan kemudian melompat ke atas genting untuk menyelidiki kalau2 ada musuh yang bersembunyi. Sesudah itu, barulah ia kembali ke kamar buku dan bicara bisik2. "Kau hanya boleh mendengar apa yang dikatakan olehku, tapi tidak boleh mengajukan pertanyaan, sebab tembok ada kupingnya."
Bu Kie mengangguk. "Kemarin Yauw Jie-tee pulang dengan membawa seorang lain," bisik orangtua itu. "Orang itu she Cia bernama Sun, bergelar Kim-mo Say ong?"
Bu Kie terkesiap, badannya bergemetaran.
"Cia tayhiap intu adalah saudara angkat Thio In-kong," Cu Tiang Leng melanjutkan penuturannya. "Ia bermusuhan hebat dengan banyak partai dan tokoh rimba persilatan. Bahwa Tho Inkong suami-istri sampai membunuh diri adalah karena tidak mau memberitahukan dimana tempat bersembunyinya saudara angkat itu. Aku sendiri tak tahu, cara bagaimana Cia thayhiap akhirnya bisa pulang ke Tionggoan dan begitu kembali, ia segera mengamuk dan membinasakan banyak orang untuk membalas sakit hatinya Thio Inkong. Tapi biar bagaimanapun gagah pun jua; satu orang tak akan bisa melawan musuh yang berjumlah besar, sehingga akhirnya ia mendapat luka berat."
"Yauw Jie-tee adalah seorang yang pintar dan berhati2. Ia berhasil menolong Cia Thayhiap dan membawanya kemari. Rombongan musuh terus mengejar dan menurut dugaan, tak lama lagi mereka akan datang kesini. Kami sudah pasti tak akan bisa melawan mereka. Tapi aku sudah mengambil keputusan untuk membalas budi dan bersedia untuk binasa dalam melindungi Cia Tayhiap. Tapi kau sendiri tak punya sangkut paut dengan urusan ini. Maka dari itu, perlu apa kau turut membuang jiwa" Saudara Thio hanya ini saja yang dapat kukatakan. Sekarang masih ada tempo, kau pergilah lekas2! Begitu lekas rombongan musuh tiba, batu giok akan hancur dan kau tak akan keburu menyingkir lagi."
Bu Kie mendengar itu dengan jantung memukul keras. Ia kaget bercampur girang. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa ayah angkatnya bisa datang disitu. Tanpa merasa ia berkata. "Dimana?"
Cu Tiang Leng memekap mulutnya seraya berbisik. "Sit! Musuh lihay luar biasa. Sedikit saja tidak hati2, jiwa Cia Tayhiap bisa melayang. Apa kau lupa sumpahmu?"
Si bocah manggutkan kepalanya.
"Saudara Thio," kata pula orang tua itu, "aku sudah bicara seterang2nya. Aku menganggap kau sebagai sahabat dan aku telah membuka rahasia hatiku. Sekarang, kau berangkatlah."
"Sesudah mendengar penuturan Cu pehpeh aku lebih2 tak akan menyingkirkan diri," kata si bocah dengan suara tetap.
Cu Tiang Leng menghela napas," Ayolah! Kita harus bertindak sekarang jg," katanya Ia segera bertindak keluar pintu dengan di ikuti oleh Kioe Tin dan Bu Kie.
Cu Hujin dan Yauw nCeng Coan sudah diluar pintu dan disamping mereka terdapat beberapa bulatan besar, seperti orang mau merantau ke tempat jauh. Bu Kie menengok kesana sini tapi ita tak melihat ayah angkatnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cu Tiang Leng segera mengeluarkan bahan api dan menyalakan obor yang lalu digunakan untuk menyulut pintu tengah. Dalam sekejap, api merembet keatas. Ternyata gedung yang besar itu sudah di siram dengan minyak tanah.
Semenjak dahulu diwilayah See-hek, di daerah pegunungan Thuansan dan Kun Lun, terdapat sumber sumber minyak tanah yang sering mengalir keluar bagian air mancur. Perkampungan Cu kee chung hampir satu li panjangnya yang terdiri dari rumah rumah besar. Tapi denga n menggunakan minyak, dalam sekejap mata, seluruh perkampungan sudah berubah menjadi lautan api. Bu Kie mengawasi berkobarnya api dengan perasaan terharu. "Harta yang dikumpulkan Cu Pehpeh dengan susah payah selama bertahun-tahun dalam sekejap menjadi tumpukan puing," katanya di dalam hati. "Dan itu semua demi kepentingan ayah angkat. Laki laki gagah seperti Cu pehpeh sungguh sukar dicari tandingannya di dalam dunia."
Malam itu Cu Tiang Leng dan istrinya, Koe Tin dan Bu Kie mengindap di dalam sebuah gua. Dengan senjata terhunus, lima orang murid yang dipercaya menjaga diluar gua, dbawah pimpinan Yauw Ceng Coan, pada hari ketiga, api kebakaran baru menjadi padam. Untung juga musuh belum tiba. Malam itu, Cu Tiang Leng mengajak semua orang meninggalkan gua dan masuk kedalam sebuah terowongan dibawah tanah yang sangat panjang. Sesudah berjalan beberapa lama, mereka bertemu dengan beberapa kamar batu dimana terdapat makanan, air dan sebaginya. Tapi hawa disitu sangat panas.
Melihat Bu Kie menyusut keringat tak henti hentinya, Kioe Tin tertawa dan bertanya. "Adik Bu Kie, adalah kau tahu, mengapa hawa disini terlalu panas" Dapatkah kau menebak, di mana berada kita sekarang?"
Tiba2 bocah mengendus bau asap dan ia lantas saja tersadar, " Ah!" katanya. "Kita berada dibawah Cu-kee-chung".
"Kau sungguh pintar," memuji si nona sambil tertawa.
Bu Kie merasa sangat kagum. Dengan siasat bumi hangus, musuh pasti tidak akan menduga bahwa Cia Sun sebenaranya bersembunyi dibawah tempat kebakaran dan mereka tentu akan mengubar ketempat lain.
Diantara kamar2 batu itu ada sebuah yang pintunya - pintu besi " ditutup rapat. Bu Kie menduga, bahwa ayah angkatnya berada dalam kamar tersebut, tapi, biarpun sangat ingin bertemu dengan orang tua itu, ia tidak berani menanyakan atau bertindak sembarangan. Ia mengerti, bahwa setiap tindakan yang ceroboh dapat berakibat hebat.
Setelah berdiam disitu kira kira setengah hari, hawa panas perlahan lahan mulai mereda. Baru saja Cu Tiang Leng dan yang lain2 menggelar selimut untuk mengaso, sekonyong konyong terdengar suara tindakan kuda mendatangi dari sebelah kejauhan. Tak lama kemudian, kuda kuda itu sudah berada diatas tempat persembunyian mereka.
"Api sudah padam lama, bangsat Cu Tiang Leng pasti sudah kabur ketempat lain dengan membawa Cia Sun," demikian terdengar suara seorang. "Ayolah, ubar!" Sesaat kemudian, terdengar suara kaki kuda yang makin lama jadi makin jauh. Ternyata, terowongan tersebut dan Cu kee-ching dihubungkan dengan sebatang pipa besi, sehingga setiap suara dimuka bumi bisa didengar jelas dalam lorong dibawah tanah.
Pada malam itu, lima rombongan musuh lewat diataas " rombongan Kun lun-pay, kie-keng pang dan dua rombongan terdiri dari tujuh delapan sampai belasan orang dan mereka semua mencari Cia Sun dengan menggunakan perkataan perkataan yang hebat2.
"Kalau Giehu belum buta dan tidak terluka bangsat cecurut itu tidak dipandang sebelah mata olehnya,"
kata Bu-Kie di dalam hati.
Sesudah kelima rombongan itu lewat, Yauw Ceng Coau segara menyumbat lubang pipa dengan sepotong kayu, supaya suara dalam terowongan tidak sampai terdengar diatas. Sesudah itu, ia berkata dengan suara perlahan. "Aku ingin menengok Cia Tay-hiap."
Cu Tiang Leng mengangguk dan Yauw Ceng Coan segera memutar alat rahasia dipinggir pintu besi yang perlahan lahan lantas terbuka. Dengan membawa lampu minyak tanah, Ia masuk kedalam kamar itu.
Sesaat itu, Bu Kie tidak dapat menahan sabar lagi, ia berbangkit, menghampiri pintu dan mengawasi ke dalam. Ia melihat seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar sedang tidur meringkuk dan muka menghadap kedalam. Air mata si bocah lantas saja berlinang linang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Cia Tayhiap," bisik Yauw Ceng Coan, apa kau merasa enakan" Mau minum?"
Mendadak angin menyambar dan lampu padam. Hampir berbareng terdengar suara "buk!" tubuh Yauw Ceng Coan terpental keluar dan jatuh dilantai.
"Manusia2 dari Siauw Lim pay, Kun lun pay, Khong tong pay!" demikian terdengar Cia Soan. "Mari!
Mari! Apa kamu kira Kim-mo Say-eng Cie Sun takut kepadamu?"
"Celaka!" seru Cu Tiang Leng. "Cit Tayhiap kapal" Ia mendekati seraya berakata. "Cia Tay hiap, kami adalah sahabat2, bukan musuh".
Cia Sun tertawa terbahak bahak, "Sahabat2?" ia menegas. "Apa kau mau menipu aku dnegan omongan manis2?" Ia berjalan keluar dengan tindakan lebar dan sekonyong2 menghantam dada Cu Tiang Leng telapak tangannya. Pukulan itu disertai lweekang hebat luar biasa, sehingga lampu minyak tanah yang ditaruh ditengah2 terowongan berkedip2.
Cu Tiang Leng tidak menangkis ia mengegoa dan melompat mundur. Setelah pukulannya melesat, Cia Sun melompat dan meninju Cu Hujiu. Nyonya itu tidak mengerti ilmu silat, hingga, kalau kena, jiwa pasti melayang. Pada saat yang sangat berbahaya, Cu Tiang Leng dan putrinya melompat dan menangkis pukulan itu.
Melihat kejadian yang tidak diduga duga, Bu Kie berdiri terpaku dan mengawasi denagn mata membelalak.
Sementara itu, sambil menggeram bagaikan binatang terluka, Cia Sun menyerang dengan kedua tanganya, tapi Cu Tiang Leng tidak berani balas menyerang dan hanya berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berkelit kesana sini. Satu waktu, karena egosan Cu Tiang Leng, pukulan Kim-mo Say ong, menghantam dinding terowongan yang dibuat daripada batu. Begitu kena, batu besar itu hancur dan muncrat berhamburan. Semua orang terkesiap mereka tak duga Cia Sun memiliki lweekang yg begitu dahsyat. Kalau pukulan itu mampir di tubuh manusia, biarpun tidak mati, orang itu pasti terluka berat.
Dengan rambut terurai, sinar mata berkilat kilat dan muka berlepotan darah, Cia Sun terus menyerang seperti harimau edan dan mulutnya mengeluarkan suara ha-ha ho-ho yang membangunkan bulu roma.
Makin lama ia mengamuk makin hebat, sehingga semua orang merasa sangat berkuatir, sedang Cu Hujin sendiri berdiri di satu sudut dengan dilindungin oleh putrinya.
Satu ketika, karena terdesak, Cu Tiang Leng mendorong sebuah meja untuk menahan terjangan si kalap. Bagaikan kilat Cia Sun menghantam dengan kedua tinjunya. "Prak!" meja itu hancur luluh.
Bu Kie bingung bukan main. Ia berdiri dipinggir dinding dan mengawasi kejadian itu dengan mulut ternganga. Ia kaget tercampur heran karena orang itu ternyata bukan ayah angkatnya, Kim-mo San-ong Cia Sun. Kedua mata ayah angkatnya buta, tapi orang itu tidak kurang suatu apa.
Sekonyong-konyong, ketika Cu Tiang Leng berdiri membelakangi dinding, si kalab menghanta. Ia tidak bisa berkelit lagi, tapi ia tetap tidak mau menangkis. "Cia Tayhiap!" teriaknya. "Aku bukan musuh, aku tak akan membalas seranganmu."
Orang itu tidak menghiraukan telapak tangannya terus menyambar ke dada Cu Tiang Leng "Buk!", badan Cu Tiang Leng bergoyang2 dan paras mukanya berubah pucat. "Cia Tayhiap apa sekarang kau sudah percaya?" tanyanya.
"Anjing! Sambut pukulanku!" caci si kalap.
Ia meninju, "Uah!" Cu Tiang Leng muntahan darah. "Kau adalah gie heng (saudara angkat) dari Thio Inkong," katanya dengan suara parau. "Biarpun mati, aku tak akan balas menyerang."
Orang itu tertawa terbahak2, "Bagus!... bagus!" teriaknya bagaikan orang gila. "Kau tidak membalas artinya ajalmu sudah sampai." Suaranya berkata begitu kedua tangannya menyambar2 dan mengenakan dada serta perut Cu Tiang Leng. Sesaat kemudian, sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati Cu Tiang Leng roboh terkulai. Tapi si kalap masih belum puas. Ia menubruk sambil mengayun tinjunya.
Pada detik yang sangat berbahaya, Bu Kie melompat dan dengan mati2 an menangkis pukulan itu.
Begitu lengannya kebentrok dengan tinju si kalap, ia merasa dadanya menyesak. Tapi, tanpa mempedulikan bencana, ia menudin dan berteriak. "Kau! " kau bukan Cia Sun! " kau bukan?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang itu gusar. "Tahu apa kau, setan kecil?" bentaknya sambil menendang. Bu Kie mengegos dan berteriak pula. "Kau bukan Cia Sun! " kau menyamar sebagai Cia Sun."
Mendengar teriakan Bu Kie, perlahan-lahan Cie Tiang Leng merangkak bagus. "Kau" kau bukan Cia Sun?" serunya dengan suara parau. "Kau menipu aku". Tiba2 badannya bergoyang2 "Uah!" mulutnya menyemburkan darah yang secara kebetulan menyambar tepat pada muka orang itu. Hampir berbaring, tubuhnya jatuh ngusruk kedepan dan dengan menggunakan kesempatan itu, dialah dan tangannya bergerak dan jerijinya menotolk Sin hong hi at, dibawah tetek si kalap.
Sesudah terluka berat. Cu Tiang Leng bukan tandingannya orang itu. Tapi ia berhasil menolohg jalan darah si kalap karena totokan it yang cie itu dikirim secara diluar dugaan.
Dalam bidang ilmu totok, It yang cie tiada keduanya. Biarpun berkepandaian tinggi, orang itu tidak berdaya lagi. Sambil menggeram, ia terguling Cu Tiang Leng segera mengirim dua totokan susulan, tapi sesudah itu, ia sendiri roboh tanpa ingat orang lagi. Cu Kioe Tin dan Bu Kie buru-buru mendekati dan mengangkat tubuh orang tua itu.
Selang beberapa saat, perlahan-lahan Cu Tiang Leng tersadar. Ia mengawasi Bu Kie dan berkata dengan suara terputus-putus. "Apa" apa benar" dia" dia bukan Cia Soan?"
"Cu Pehpeh, sekarang aku mesti berterus terang," kata si bocah. "Orang yang dinamakan Inkong olehmu adalah ayahku sendiri, sedang Kim-mo Say-ong Cia Sun adalah ayah angkatku. Tidak! Aku tidak bisa salah mengenali."
Cu Tiang Leng menggeleng-geleng kepalanya.
"Kedua mata Giehu buta, tapi mata orang itu melek," menerangkan Bu Kie. "Mata Gie hu buta sebelum mendarat Peng hwee to jadi kejadian itu tidak diketahui oleh siapapun dua. Orang itu menyamar sebagai Giehu, tapi ia tak tahu kenyataan tersebut."
Cie Kie Tin menarik tangannya. "Adik Bu Kie apa benar kau puteranya tuan penolong kami?"
tanyanya dengan suara terharu. "Bagus! Sungguh bagus!"
Tapi orang tua itu masih tetap tidak percaya.
Karena terpaksa, Bu Kie segera menceritakan mengapa ia sampai datang di gunung Kun Lun. Yauw Ceng Coan menanyakan hal ilhwal kejadian di Bu tong yang berbuntut dengan kebinasaan kedua orang tuanya dan pertanyaan2 itu telah dijawab dengan ringkas dan terang oleh Bu Kie.
Semua orang, kecuali Cu Tiang Leng, tidak bersangsi lagi. Hanya orang tua itu yang masih menggoyang-goyangkan kepalanya dan mengawasi muka si bocah dengan sorot mata pertanyaan. "Kalau dia berdusta, kita akan berdosa terhadap Cia tayhiap," katanya dengan suara perlahan.
Tiba2 Yauw Ceng Coan mencabut pisau belatinya dan sambil menuding mata kanan orang itu, ia membentak, "Sahabat! Kim mo Say ong Cia Soan buta kedua matanya. Kalu kau mau menyamar sebagai dia, penyamaran itu harus mirip betul. Biarlah hari ini aku tolong membutakan kedua matamu. Sahabat!
Aku, si orang she Yauw, telah ditipu olehmu. Kalau saudara kecil itu tidak berada disini, bukankah secara tolol Cu Taoko akan mengantarkan jiwa?" sehabis berkata begitu, ia menggerakkan tangannya, sehingga ujung pisau hampir menempel dengan mata si penipu.
Orang itu tertawa terbahak2. "Jika kau mempunyai nyali, bunuhlah aku," tantangnya. "Apa kau kira Kay pay-chioe Ouw Pa manusia pengecut?" (Kay pay chioe si tangan yg bisa membelah tugu butu.
"Oh!" kata Cu Tiang Leng dengan suara kaget. "Kay-pay chiu Ouw Pa! Hm!...Kalau begitu kau anggota Khong tong-pay."
"Benar!" teriak Ouw Pa. "Semua partai dalam dunia persilatan sudah tahu, bahwa Cu Tiang Leng mau membalas sakit hatinya Thio Cui San. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dia yang menang."
"Kau sungguh jahat!" bentak Yauw Ceng Coan. Ia mengangkat pisaunya dan lalu menikam ulu hati orang itu.
"Jie-tee, tahan!" cegah Cu Tiang Leng seraya mencekal tangan adiknya. "Kalau dia benar Cia Tayhiap, biarpun mati kita berdua masih tidak dapat menebus dosa."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bukankah saudara kecil ini sudah memberi keterangan yang cukup jelas?" kata Yauw Ceng Coan,
"Toako, jika kau terus ragu, kita tak akan bisa menghindar lagi dari bencana besar."
Tapi sang kakak menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka mati dicincang ribuan golok daripada mengganggu selembar rambut saudara angkatnya Thio In Kong," katanya.
"Cu Pehpeh, orang itu sudah pasti bukan ayah angkatku," kata Bu Kie. "Sebagai seorang yang bergelar Kim-mo Say-ong (Raja singa bulu emas), rambut Giehu berwarna kuning. Tapi orang itu berambut hitam."
Sesudah berpikir beberapa saat, Cu Tiang Leng manggutkan kepalanya. Ia menuntun tangan Bu Kie seraya berkata, "Saudara kecil, ikut aku." Mereka keluar dari kamar batu, keluar dari terowongan dan kemudian pergi ke bawah sebuah tebing, di belakang tanjakan. Dengan duduk di samping Bu Kie di atas sebuah batu besar, Cu Tiang Leng berkata, "Saudara kecil, kalau orang itu bukan Cia Tayhiap, kita mesti segera membinasakan dia. Tapi sebelum turun tangan, perasaan raguku harus dihilangkan lebih dulu.
Bagaimana pendapatmu" Apakah pendirianku benar atau salah."
"Sikap itu adalah karena Cu Pehpeh menghormati ayah dan Giehu," kata Bu Kie. "Tapi orang itu sudah pasti bukan Giehu. Cu Pehpeh, kau boleh tidak ragu lagi."
Orang tua itu menghela napas. "Naik," katanya, "Di waktu masih muda, aku seringkali diperdayai orang. Hari ini aku tidak mau balas menyerang sehingga aku mendapat luka berat. Hal itu terjadi sebab aku salah menilai orang. Salah boleh sekali, tetapi tidak boleh sampai dua kali. Urusan ini adalah urusan besar. Soal mati atau hidupku tak menjadi soal. Biar bagaimanapun juga, aku harus melindungi keselamatanmu dan keselamatan Cia Tayhiap, supaya hatiku lega. Akan tetapi, aku tak berani membuka mulut."
Bukan main terharunya Bu Kie. "Cu Pehpeh, demi kepentingan ayah dan Giehu, kau sudah membakar rumah dan harta benda sendiri," katanya. "Bukan saja begitu, tapi Cu Pehpeh sendiripun sampai mendapat luka berat. Apakah aku masih harus meragukan kejujuranmu. Mengenai keadaan Giehu, biarpun Pehpeh tak menanyakan aku sendiri memang ingin memberitahukan bagaimana kedua orang tuaku bersama Cia Sun telah diombang-ambingkan ombak sehingga mendarat di pulau Peng hwee-to, bagaimana mereka berdiam di pulau itu selama sepuluh tahun dan bagaimana kedua orang tuaku dan Cia Sun mengangkat saudara. Tentu saja sebagian kejadian itu tidak dialami olehku sendiri dan aku mendengarnya dari kedua orang tuaku."
Cu Tiang Leng adalah seorang yang berpengalaman dan berhati-hati. Ia tidak mudah percaya cerita orang. Tapi sesudah mendengar penuturan Bu Kie, ia tidak ragu lagi. Sesudah membuang napas lega, ia mendongak dan berkata dengan suara bersyukur, "Inkong! Inkong! Sebagai roh yang angker, kau tentu mengetahui semua perasaanku. Selama aku, Cu Tiang Leng, masih hidup, aku pasti akan memelihara dan mendidik saudara Bu Kie sampai menjadi orang. Tapi musuh terlalu banyak. Maka itu, aku mohon Inkong melindungi." Setelah berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepala berulang-ulang. Bukan main sedihnya Bu Kie, ia bersedih dan berterima kasih dan segera berlutut di samping orang tua itu.
Sesudah bangkit, Cu Tiang Leng berkata," Sekarang aku tak ragu lagi. Hai! Kun lun pay!...Siauw lim pay!...semua berjumlah besar. Saudara kecil, sebenarnya aku ingin mempertaruhkan jiwaku untuk memberikan perlawanan guna membinasakan musuh-musuh itu untuk membalas budinya Inkong. Tapi sekarang keadaan berubah. Menurut pendapatku, tugas untuk memelihara anak yatim piatu adalah lebih penting daripada membalas sakit hati. Hal yang sekarang dipikirkan olehku adalah mencari tempat untuk menyembunyikan diri. Tempat ini sudah cukup jauh dari dunia pergaulan tapi musuh-musuh kita masih bisa datang sampai ke sini. Di mana"di manakah kita bisa mencari tempat yang lebih aman?" Ia diam sejenak dan kemudian berkata pula, "Cia Tayhiap berdiam seorang diri di pulau Peng hwee-to. Selama beberapa tahun ia tentu merasa sangat kesepian. Hai! Cia Tayhiap begitu menyintai Inkong. Aku hanya berharap, bahwa suatu waktu aku akan bisa bertemu muka dengan dia. Kalau harapan ini bisa terwujud biarpun mati, aku akan mati dengan rela."
Bu Kie, jadi lebih berduka. Tiba-tiba dalam otaknya terlintas ingatan dan ia segera berkata, "Cu Pehpeh, apakah tidak baik kita beramai-ramai pergi ke Peng hwee-to" Selama di pulau itu, aku hidup bahagia. Tapi begitu pulang ke Tiong-goan, semua lantas saja berubah. Apa yang disaksikan dan dialami olehku adalah pembunuhan-pembunuhan dan peristiwa-peristiwa berdarah."
Cu Tiang Leng menatap wajah si bocah. "Saudara kecil, apa benar kau ingin kembali ke Peng hweeto?" tanyanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ditanya begitu Bu Kie tidak segera menjawab, karena tiba-tiba saja ia ragu. Ia ingat bahwa ia bakal mati dalam waktu yang tak terlalu lama. Ia ingat pula, bahwa perjalanan ke Peng hwee-to penuh bahaya sehingga belum tentu mereka bisa mencapai jarak tersebut. "Tidak pantas aku menyeret-nyeret seluruh keluarga Cu Pehpeh ke jalanan yang penuh bahaya," pikirnya.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat keraguan itu, Cu Tiang Leng segera saja berkata seraya mengusap-usap kepala Bu Kie,
"Saudara kecil, kau dan aku bukan orang luar. Kau harus memberitahukan apa yang dipikir olehmu sejujur-jujurnya. Apakah kau berniat kembali ke Peng hwee-to?" Ia berkata begitu dengan suara sungguh-sungguh, dengan nada memohon.
Karena pengalaman pahit getir, di dalam hatinya, Bu Kie sudah merasa sangat sebal untuk berkelana lebih lama dalam dunia Kang-ouw yang kejam dan berbahaya. Kalau sebelum mati ia bisa bertemu muka lagi dengan ayah angkatnya, kalau ia bisa mati dalam pelukan Giehu itu, ia sungguh merasa sangat beruntung. Berpikir begitu, perlahan-lahan ia manggutkan kepalanya.
Cu Tiang Leng tidak bicara lagi dan dengan menuntun tangan si bocah, ia kembali ke kamar batu.
Begitu bertemu dengan Yauw Ceng Coan, ia berkata, "Sekarang tidak usah diragukan lagi bahwa orang itu manusia jahat."
Yauw Ceng Coan mengangguk dan dengan memegang pisau, ia segera masuk ke dalam kamar rahasia.
Sesaat kemudian, dalam kamar terdengar teriakan yang menyayat hati dan waktu Yauw Ceng Coan keluar lagi, pisau yang dipegangnya berlumuran darah.
"Tempat persembunyian kita ini sudah diketahui musuh dan kita tak dapat tinggal lebih lama lagi,"
kata Cu Tiang Leng. Semua orang segera meninggalkan terowongan dan sesudah berjalan duapuluh li lebih, sesudah melewati dua puncak gunung, tibalah mereka di sebuah lembah. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka bertemu sebuah pohon kwi yang sangat besar dan di bawah pohon berdiri empat lima rumah kecil.
Waktu itu fajar sudah mulai menyingsing. Semua orang lantas saja masuk ke dalam sebuah rumah di mana terdapat cangkul, luku golok dan alat-alat pertanian lain. Di samping itu, di dalam rumah tersebut juga terdapat dapur dengan perabot masak yang serba lengkap serta bahan makanan yang tidak sedikit.
Bu Kie segera mengerti, bahwa untuk menjaga kedatangan musuh-musuhnya Cu Tiang Leng sudah membuat dan melengkapi rumah itu, sebagai persiapan kalau-kalau ia perlu menyingkirkan diri.
Begitu tiba, orang tua itu yang mendapat luka berat segera rebah di ranjang untuk mengaso, sedang Cu Hu Jin mengeluarkan pakaian sepatu dan ikat kepala petani dari dalam peti pakaian lalu membagikannya kepada semua orang. Dalam sekejap anggota-anggota keluarga yang kaya raya itu sudah mengenakan pakaian petani yang kasar.
Setelah berdiam beberapa hari berkat obat turunan yang sangat mujarab, kesehatan Cu Tiang Leng mendapat kemajuan yang sangat pesat. Untung musuh tidak mengejar sampai di situ, sehingga mereka bisa hidup dengan tenteram. Mereka mempersiapkan barang-barang untuk melakukan perjalanan jauh. Bu Kie mengerti bahwa persiapan itu adalah untuk pergi ke pulau Peng hwee-to guna membalas budi.
Malam itu ia tak bisa tidur, pikirannya melamun, membayangkan hal-hal yang akan terjadi di pulau itu nanti. Ia akan bisa berkumpul dengan Cu Kiu Tin, Cu Pehpeh, Yauw Jie Siok dan ayah angkatnya dengan kehidupan yang bahagia, tanpa penindasan dari penjajah Goan.
Mengingat itu semua, hatinya jadi gembira. Sampai tengah malam, ia masih bolak-balik di atas pembaringan. Tiba-tiba ia mencium bau wangi dan satu bayangan manusia kelihatan berkelabat, ternyata bayangan itu adalah Cu Kiu Tin, mendadak wajah Bu Kie berubah merah.
Perlahan-lahan si nona mendekati pembaringan dan berbisik, "Adik Bu Kie, apa kau sudah tidur?"
Sesaat kemudian ia merasa mukanya diraba-raba oleh si nona yang rupanya mau menyelidiki apa ia benar-benar sudah tidur.
Bu Kie kaget bercampur girang, malu bercampur takut, tapi ia tetap pejamkan mata dan berpura-pura tidur, dan mengharap supaya Kiu Tin buru-buru keluar. Semenjak baru bertemu, ia memuja si nona bagaikan seorang Dewi, ia sudah merasa beruntung kalau setiap hari bisa bertemu dengan gadis cantik itu. Dalam jiwanya yang masih bersih, pemujaan itu bebas dari segala pikiran yang bukan-bukan. Ia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bahkan tidak pernah membayangkan atau memikirkan untuk mengambil nona Cu sebagai istrinya. Maka itulah, kedatangan Kiu Tin ditengah malam buta sangat membingungkan hatinya.
"Apakah Tin-jie ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting denganku?" tanyanya dalam hati.
Baru saja berpikir begitu, mendadak ia merasa dadanya kesemutan karena di bagian Tiat tiong hiat telah ditotok. Hampir berbarengan, jalan darah yang lain pada Kian tin, Sin cong, Kie tie serta Hoan tiauw hiat juga tertotok.
Itu kejadian yang sungguh diluar dugaan! Siapa sangka si nona menyatroni untuk menotok jalan darahnya" Tapi dilain saat, ia mendapat satu ingatan lain. "Aha! Tin-jie tentu ingin menjajal kewaspadaan diwaktu tidur," pikirnya. "Besok, waktu akan membuka jalan darahku, ia tentu mentertawai aku. Hmm, kalau aku tahu begitu, tentu melompat bangun untuk mengagetkannya."
Dilain pihak, sesudah menotok jalan darah Bu Kie, perlahan-lahan Kiu Tin membuka jendela dan melompat ke atas genteng.
"Paling baik aku membuka jalan darahku dan menakut-nakuti dnegan menyamar sebagai setan," pikir Bu Kie. Seraya tertawa geli, ia segera mengerahkan Lweekang dan coba membuka jalan darah yang tertotok dengan menggunakan ilmunya Cia Sun. Tapi totokan si nona adalah totokan It-yang-cie yang sangat hebat dan sesudah berdeging kira-kira setengah jam, barulah ia berhasil membuka jalan darahnya.
Berhasilnya Bu Kie adalah karena pertama Lweekang nona Cu masih sangat rendah dan kedua, Kiu Tin memang hanya ingin menotok perlahan sebab sungkan melukai si bocah. Kalau totokan It-yang-cie diberikan seorang ahli berkepandaian tinggi, biarpun Bu Kie sepuluh kali lipat lebih hebat, ia tak akan dapat membuka jalan darahnya.
Begitu terbebas, cepat-cepat Bu Kie memakai pakaian luar dan melompat ke atas genting dari jendela.
Sambil berlari-lari ia menyusul ke arah jalanan yang tadi diambil oleh si nona. Tapi apa yang ditemukan hanya gunung kosong yang sunyi senyap, dengan pohon-pohon yang kadang-kadang mengeluarkan suara kresekan karena ditiup angin.
Sesudah mengejar beberapa lama dengan rasa kecewa, ia menghentikan langkahnya. Tapi dilain saat ia berpikir lain, "Perlu apa aku membalas. Sekarang Tin-jie sangat menyayangi aku, tapi kalau malam ini aku membalasnya, mungkin sekali ia akan berbalik membenci aku." Berpikir begitu, hatinya jadi tenang kembali.
Waktu itu adalah permulaan musim semi. Bunga di lembah itu sudah mulai mekar dan menyiarkan bebauan yang sangat harum. Kesunyian malam dan pemandangan di sekitar gunung itu mendatangkan banyak kenangan dari masa lampau. Karena memang tak bisa tidur, Bu Kie tidak segera kembali, perlahan-lahan ia berjalan di sepanjang pinggiran sebuah selokan. Salju di tanjakan sudah mulai melumut dan air yang mengalir di selokan bercampur kepingan-kepingan es.
Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong di dalam hutan sebelah kiri terdengar suara tawa seorang wanita. Bu Kie terkesiap sebab suara itu adalah suara Kiu Tin.
"Apakah Tin-jie sudah melihat aku?" tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar bentakan si nona. "Piauw ko, jangan rewel kau! Apa kau minta dihajar?" bentakan itu disusul dengan tawa seorang lelaki yang bukan lain adalah Wie Pek.
Bu Kie terkejut, jantungnya memukul keras dan kepalanya seperti diguyur dengan air es. Sekarang ia mengerti. Ia mengerti, bahwa Kiu Tin menotok jalan darahnya bukan untuk bercanda, tapi untuk mencegah terbukanya rahasia pertemuan itu. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya. "Ya! Aku mesti tahu diri. Aku tak lebih dan tak kurang daripada seorang bocah miskin yang tak punya tempat berteduh. Baik dalam ilmu silat, aku berada jauh di bawah Wie Siang Kong. Di samping itu mereka adalah saudara sepupu dan merupakan pasangan yang cocok, yang satu cantik yang satu tampan."
Mengingat begitu, hatinya menjadi lebih tenteram dan sambil menghela napas, ia segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak, di sebelah belakang terdengar suara langkah kaki. Hampir berbarengan dengan bergandengan tangan, Wie Pek dan Kiu Tin muncul dari dalam hutan. Karena sungkan bertemu dengan dia, buru-buru Bu Kie bersembunyi di belakang satu pohon besar. Pada saat itu, langkah kaki yang mendatangi dari sebelah belakang sudah mendekati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thia"," seru Kiu Tin, suaranya gemetar seperti orang ketakutan.
Orang itu ternyata Cu Tiang Leng. Ia rupanya gusar dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia membentak, "Bikin apa kau di sini?"
Kiu Tin mencoba menekan rasa takutnya dan dengan tawa yang dipaksakan ia menjawab.
"Sudah lama kami tidak pernah bertemu dan malam ini, kebetulan Piauw ko datang, anak datang menyusul kemari untuk mengobrol."
"Kau terlalu berani mati," kata sang ayah dengan suara yang mendongkol. "Kalau Bu Kie tahu."
"Anak sudah menotok lima jalan darahnya dan sekarang ia sedang tidur nyenyak," kata si nona.
"Cu Pehpeh juga sudah tahu, bahwa aku menyayangi Tin-cie," kata Bu Kie dalam hati, ?"kuatir aku berduka. Ia tak tahu, bahwa biarpun sayang, aku tak punya maksud yang lain. Hai!...Cu Pehpeh kau sungguh baik terhadapku."
Tapi perkataan Cu Tiang Leng yang selanjutnya menerbitkan rasa heran dalam hati Bu Kie.
"Meskipun begitu, kita harus berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan," kata orang itu.
Kiu Tin tertawa. "Ah! Anak kecil tahu apa," katanya.
"Tin-moay," kata Wie Pek, "Aku mau pulang, aku kuatir suhu menunggu-nunggu aku."
Si nona kelihatannya merasa berat untuk segera berpisah. "Biar ku antar pulang," katanya.
"Mari kita pergi bersama-sama," kata sang ayah. "Aku ingin bicara dengan gurumu untuk pergi ke Peng hwee-to, kita harus membuat persiapan yang seksama." Sehabis Cu Tiang Leng berkata begitu, dia segera menuju ke arah barat.
Bu Kie jadi makin heran. Ia tahu, bahwa guru Wie Pek adalah Bu Liat, ayahnya Bu Ceng Eng.
Didengar dari perkataan Cu Tiang Leng, sepertinya Bu Liat bersama putrinya dan Wie Pek bakal turut pergi ke Peng hwee-to. Mengapa hal itu belum pernah didengar olehnya" Ia kuatir, sebab bila soal Cia Sun diketahui terlalu banyak orang kemungkinan bocornya rahasia akan menjadi sangat besar. Sesudah berpikir sejenak, tiba-tiba ia ingat perkataan Cu Tiang Leng yang mengatakan "kita harus berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan". Ia curiga dan dilain saat, ia ingat pula hal lain yang lebih mencurigakan. Ia ingat, bahwa gambar mendiang ayahnya yang digantung di rumah keluarga Cu.
Ayahnya dilukiskan sebagai seorang yang bermuka panjang, sedangkan muka ayah sebenarnya bundar telur.
Paras muka Bu Kie mirip dengan Cui San, tapi potongan muka mereka sangat berlainan. Muka si anak persegi panjang, muka sang ayah bundar telur, dengan lancip di bagian janggutnya. Cu Tiang Leng mengatakan bahwa gambar itu telah dilukis olehnya sendiri pada belasan tahun yang lalu. Walaupun begitu dan andaikata orang tua itu tidak pandai melukis, tidak mungkin ia membuat kesalahan dalam melukis potongan muka tuan penolongnya. Apa yang dilukis Cu Tiang Leng pada hakekatnya Bu Kie dalam usia dewasa.
"Aha! Ada lagi yang mengherankan," kata si bocah dalam hatinya. "Bentuk Poan koan-pit yang bisa digunakan Tia tia mirip dengan pit dan gagangnya, sangat pendek. Tapi Poan koan-pit dalam lukisan itu adalah Poan koan-pit biasa. Sebagai seorang ahli Poan koan-pit, bagaimana Cu Pehpeh bisa melukis salah?"
Mengingat itu semua, Bu Kie menjadi bingung dan ketakutan. Di dalam hati kecilnya sudah menduga-duga sebab musebab keanehan-keanehan itu. Akan tetapi, dugaan itu terlalu hebat, sehingga ia tidak bisa meneruskan taksirannya itu. "Ah! Tak boleh aku berpikir yang gila-gila," ia menghibur dirinya sendiri.
"Cu Pehpeh begitu sayang aku dan aku tak pantas menduga yang tidak-tidak. Paling baik aku pulang dan tidur. Kalau dia tahu bahwa aku menguntit dia, bisa-bisa jiwaku melayang."
Mengingat jiwa melayang, tiba-tiba ia menggigil. Ia sendiri tak tahu, mengapa ia menjadi begitu ketakutan.
Sesudah berdiri terpaku beberapa lama tanpa terasa ia melangkah ke arah jalanan yang dilalui oleh Cu Tiang Leng bertiga. Sekonyong-konyong di sebuah hutan yang agak jauh ia melihat sinar api yang berkelap-kelip, sebagai tanda, bahwa di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah orang. Dengan jantung berdebar keras, ia menuju ke arah sinar api dengan langkah ringan.
Setibanya di belakang rumah itu, sesudah menentramkan hati, ia mengendap-endap menghampiri jendela dan melongok ke dalam. Ternyata memang benar Cu Tiang Leng bertiga berada dalam ruangan itu. Mereka duduk menghadap jendela dan sedang bicara dengan dua orang yang duduk membelakangi jendela sehingga muka mereka tak dapat dilihat oleh Bu Kie. Tapi yang satu seorang wanita, mungkin sekali Bu Ceng Eng, sedang yang satunya lagi adalah seorang pria bertubuh tinggi besar. Dengan penuh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
perhatian, sambil manggut-manggut lelaki itu tengah mendengar penuturan Cu Tiang Leng tentang bagaimana mereka harus menyamar sebagai pedagang kemudian berlayar dari pantai Shoatang.
"Aku benar tolol," kata Bu Kie dalam hatinya, "Orang itu mungkin sekali Bu Chung Cu. Sebagai seorang sahabat Cu Pehpeh, ini adalah kejadian lumrah diantara sahabat karib. Mengapa aku jadi begitu ketakutan?"
"Thia, bagaimana kalau kita tidak bisa cari pulau itu dan juga tidak bisa pulang kembali?" tanya wanita itu yang ternyata memang Bu Ceng Eng.
Sekarang Bu Kie mendapat kepastian, bahwa lelaki itu adalah Bu Liat.
"Kalau takut, kau boleh tak usah ikut," jawab sang ayah. "Di dalam dunia ini, tanpa berani menempuh kesukaran, manusia takkan bisa memperoleh sesuatu yang berharga."
"Ayahku sering pergi ke Tiong-goan dan ia pasti tahu racun yang baik," kata pemuda itu. "Kita bisa minta bantuan ayah."
Sesaat Bu Liat bangkit seraya menepuk pundak Kiu Tin, ia berkata, "Tin-jie." Tiba-tiba ia menengok dan Bu Kie melihat tegas mukanya. Ia terkesiap, karena orang itu adalah manusia yang sudah menyamar sebagai ayah angkatnya.
Sekarang semua menjadi jelas. Dipukulnya Cu Tiang Leng hingga muntah darah, teriaknya yang menyayat hati dan sebagainya hanialah sandiwara belaka. Agar sandiwara itu kelihatan sungguh-sungguh, mereka harus menggunakan Bu Liat yang memiliki kepandaian tinggi.
"Tin-jie, kau sendiri harus menjalankan perananmu baik-baik," kata Bu Liat sambil tertawa, "Selama dalam perjalanan, kau harus baik terhadap setan kecil itu. Kau harus menjaga supaya ia tidak tersadar."
"Thia, kau harus meluluskan satu permintaanku," kata Kiu Tin.
"Permintaan apa?" tanya sang ayah.
"Kau menyuruhku melayani setan kecil itu dan kau tak tahu, betapa besar penderitaanku," jawabnya.
"Dari sini ke Peng hwee-to masih jauh sekali. Selama itu, entah berapa besar kedongkolan yang harus ditelan olehku. Maka itu aku minta supaya sesudah kau dapat merebut To liong-to kau ijinkan aku untuk membacok mampus setan kecil itu!"
Mendengar kata-kata yang sekejam itu, mata Bu Kie gelap hampir ia roboh. Lapat-lapat ia mendengar suara Cu Tiang Leng, "Sebenar-benarnya kita tak pantas menjalankan tipuan ini terhadap dia. Di samping itu dia juga bukan orang jahat. Kurasa membinasakan Cia Sun dan merampas To liong-to, cukuplah kalau kita membutakan kedua matanya dan meninggalkan dia di pulau itu."
"Cu Toako adalah seorang yang welas asih dan perkataanmu itu membuktikan bahwa kau memang seorang ksatria," puji Bu Liat.
Cu Tiang Leng menghela napas. "Kita terpaksa menjalankan tipuan ini karena tak ada lagi jalan yang lebih baik," katanya. "Bu Jie tee, sesudah berlayar, perahumu harus berada agak jauh dari perahuku.
Kalau terlalu dekat, anak itu bisa curiga. Tapi kalau terlalu jauh, hubungan kita bisa terputus. Maka itu kau harus memilih anak buah dan pengemudi yang pandai."
Bu Kie merasa kepalanya pusing. Ia mengasah otak untuk memecahkan banyak pertanyaan. "Aku belum pernah memperkenalkan diri, tapi bagaimana mereka bisa menebak asal-usulku?" tanyanya dalam hati.
"Hm"mungkin sekali karena aku sudah menggunakan ilmu Bu tong-pay dan Hang lion Sip pat ciang waktu melawan Wie Pek dan kedua perempuan itu. Cu Pehpeh seorang cerdas dan berpengalaman luas.
Rupanya, begitu melihat ilmu silatku, ia sudah bisa menebak asal-usulku."
Beberapa saat kemudian, ia berkata pula dalam hatinya. "Ia tahu, bahwa kedua orang tuaku lebih suka mati daripada membuka rahasia. Ia menaksir bahwa jika menggunakan kekerasan, ia tak akan bisa mengorek dari mulutku. Maka itu, ia menggunakan siasat membakar rumah sendiri dan menjalankan tipu Kouw-jiok-kee (menyakiti diri sendiri), sehingga tanpa meminta, aku sudah membuka rahasia Peng hwee-to. Ah!...Cu Tiang Leng! Cu Tiang Leng! Tipumu sungguh beracun!"
Sementara itu, Cu Tiang dan Bu Liat sudah mulai membicarakan rencana pelayaran, Bu Kie tak berani mendengar lebih jauh dan dengan sangat hati-hati, ia lalu meninggalkan rumah itu. Sambil memasang kuping, ia berjalan selangkah demi selangkah. Ia tahu, bahwa kedua orang tua itu memiliki kepandaian yang sanggat tinggi, sehingga sedikit saja ia bertindak salah, mereka segera bisa mendengarnya. Sesudah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
terpisah belasan tombak, barulah ia berani berjalan lebih cepat. Dalam ketakutan ia tak memilih jalanan.
Ia terus mendaki tanjakan dan menuju ke sebuah hutan lebat. Selama kurang lebih satu jam ia berlari-lari seperti orang kalap, tanpa berani mengaso.
Waktu fajar menyingsing, ia berada di dalam hutan dari sebuah puncak yang tertutup salju. Dengan napas tersengal-sengal ia menhentikan langkah dan menengok untuk melihat kalau-kalau ada yang mengejar.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 31 Karya Chin Yung Transcriber: Hanko ============== Tiba-tiba ia mengeluh karena di jalanan yang barusan dilewatinya, yang tertutup dengan salju, terdapat tapak-tapak kakinya sendiri. Daerah barat (See hek) adalah daerah yang hawanya sangat dingin dan biarpun waktu itu sudah masuk musim semi, salju di gunung-gunung masih belum lumer. Semalam, dalam ketakutannya, ia tak berani jalan di tanah datar dan sudah mendaki puncak itu. Tapi dengan berbuat begitu, ia malah sudah membuka rahasia sendiri. Pada saat itu, dari sebelah kejauhan sekonyong-konyong terdengar geram kawanan serigala yang menakutkan. Bu Kie berdiri di atas batu karang yang sangat curam. Mendengar suara itu, ia mengawasi ke bawah. Ternyata, di dasar lembah terdapat tujuh-delapan serigala yang sedang meronyang-ronyang kearahnya dan menyalak tak henti-hentinya. Kawanan binatang itu kelihatannya kelaparan dan ingin menubruk dirinya untuk mengganjal perut. Tapi ia berdiri di tempat aman yang terpisah jauh dari mereka.
Ia memutar kepala dan mengawasi keberapa jurusan. Mendadak sekali ia terkesiap. Matanya yang jeli melihat bergeraknya lima bayangan manusia di sebuah tanjakan. Ia tahu, bahwa mereka rombongan Cu Tiang Leng yang sedang mengejar dirinya. Dari jauh mereka kelihatannya berjalan sangat perlahan, tapi ia mengerti, bahwa dalam tempo satu jam, mereka akan tiba di tempat dimana ia sekarang berdiri.
Sesudah menentramkan hatinya, Bu Kie segera mengambil satu keputusan, "lebih baik aku mati dimakan serigala daripada jatuh ke dalam tangan mereka," katanya dalam hati.
Untuk sejenak ia berdiri bengong. Ia ingat bahwa dengan setulus hati ia mencintai Kioe Tin sebagai seorang adik mencintai kakak sendiri. Sungguh tak dinyana wanita yang begitu cantik mempunyai hati yang begitu kejam. Ingat begitu, ia malu campur duka. Cepat-cepat ia melompat dan masuk ke dalam hutan dengan berlari. Karena hutan terdapat rumput-rumput tinggi, maka meskipun masih ada salju, tapak-tapak kakinya sukar terlihat. Sesudah lari beberapa lama, mendadak racun dingin dalam tubuhnya mengamuk lagi. Ia tidak kuat berjalan terus. Rasa lelah dicampur dengan kesakitan hebat. Apa boleh buat, ia merangkak masuk ke dalam gerombolan alang-alang dan menjumput sebutir batu tajam dari atas tanah. Ia sudah mengambil keputusan bahwa Cu Tiang Leng mengejar sampai di situ dan cepat menemukan tempat persembunyiannya, ia akan membunuh diri dengan menghantam Tay Yang Hiatnya
dengan batu itu. Sesudah mengambil keputusan itu, hatinya jadi lebih tenteram. Didepan matanya lantas saja terbayang kehidupan bahagia selama 2 bulan lebih dalam rumah Tiang Leng dan peringatan yang sedap itu telah mendatangkan kedukaan terlebih besar dalam hatinya. "Pendeta Siau Lim Sie mencelakakan aku, tapi hal itu tidak usah dibuat heran." Pikirnya. Orang-orang Kong Tong Pay, Hwa San Pay dan Kun Lun Pay telah membalas budi dengan kejahatan, tapi itupun tak perlu dihiraukan. Tapi Tin Cie" aku mencintainya dengan sepenuh hati!... ah! Bukankah ibu pernah memesan aku pada waktu ia mau menghembuskan napas yang penghabisan" Mengapa aku melupakan pesan itu.
Sebagaimana diketahui, sebelum mati In So So telah memesan Bu Kie supaya anak itu berhati-hati terhadap perempuan. Menurut So So, makin cantik wanita, makin pandai menipu orang.
Dengan air mata berlinang-linang, anak itu berkata dalam hatinya. "Waktu mengucapkan pesan itu, pisau sudah menancap di dada ibu. Dengan menahan sakit, ibu sudah memesan aku, tapi aku sendiri sedikitpun tidak memperdulikan pesan itu. Kalau aku tidak mengerti ilmu membuka jalan darah, tipu busuk Cu Tiang Leng dan kawan-kawannya sudah pasti tidak akan diketahui olehku dan aku menuntun mereka ke Peng Hwee To untuk mencelakakan Gie Hu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah hatinya lebih tenteram, ia bisa memikir secara lebih terang. Ia segera dapat melihat latar belakang dari tindakan-tindakan Cu Tiang Leng. Sesudah menduga, bahwa ia adalah putera Thio Cui San, si orang she Cu lalu membinasakan kawanan anjing, sebagai tindakan pertama untuk mendapat kepercayaan.
Sesudah itu, dia berlaku manis-manis sampai akhirnya membakar gedung sendiri. Biarpun termusnahnya rumah-rumah itu harus disayangkan, akan tetapi harta benda tersebut tidak berarti banyak jika disbanding dengan To Liong To, senjata mustika yang dapat membuat pemiliknya menjadi seorang termulia dalam rimba persilatan.
Waktu masih berada di pulau, aku sering melihat Gie Hu duduk bengong sambil memeluk golok itu,"
kata Bu Kie dalam hati. "Tapi selama sepuluh tahun, ia masih juga belum bisa menembus rahasia golok itu. Cu Tiang Leng adalah seorang yang pintar luar biasa dan kecerdasan otaknya lebih lihai daripada Gie Hu. Jika To Liong To sampai jatuh ke tangannya, apa yang tak dapat ditembus Gie Hu, mungkin sekali dapat dipecahkan olehnya."
Sesaat itu, suara tindakan kaki sudah terdengar tegas, sebagai tanda bahwa rombongan pengejar sudah masuk ke dalam hutan.
"Bocah itu pasti bersembunyi di hutan ini," bisik Bu Liat. "Tak mungkin dia kabur ke tempat lain?"
"Ssst!" Tiang Leng memutuskan perkataannya. Sesaat kemudian ia berkata pula dengan suara keras.
"Hai! Entah apa kesalahan Tin Jie". Aku sungguh sangat kuatir. Ia masih begitu kecil dan kalau sampai terjadis sesuatu atas dirinya, biarpun badanku hancur luluh, aku masih belum bisa menebus dosa." Suara itu dikeluarkan dengan nada parau, seperti juga benar-benar ia bersusah hati. Akan tetapi, bagi Bu Kie perkataan-perkataan itu membangunkan bulu roma.
Dilain saat, Bu Kie mendengar suara beberapa orang memukul alang-alang dengan tongkat. Ia rebah sambil menahan nafas dan tidak berani berkutik. Untung juga, hutan sangat luas dan mereka tidak dapat ke tempat persembunyian si bocah.
Sesudah berusaha beberapa lama tanpa berhasil, tiba-tiba Cu Tiang Leng membentak keras-keras, "Tin Ji, apakah yang sudah dperbuat olehmu sehingga saudara kecil kabur ditengah malam buta?"
Kioe Tin kaget, tapi ayahnya segera memberi isyarat dengan kedipan mata. Dari tempat sembunyinya, Bu Kie melihat kedipan itu.
"Aku hanya berguyon dan sudah menotok jalan darahnya," jawab si nona.
"Tidak dinyana, adik Bu Kie menganggap salah." Sehabis berkata begitu, ia berteriak, "Adik Bu Kie!
Dimana kau" Lekas keluar! Tin Cie ingin menghaturkan maaf kepadamu."
Tapi tentu saja teriakan itu tidak mendapatkan jawaban. Tiba-tiba terdengar suara tangisannya, "Thia, jangan! Jangan pukul aku?" ratapnya.
"Aku tidak sengaja" tidak sengaja?"
Cu Tiang Leng mencaci-caci sedang puterinya menangis keras sambil meratap, seperti juga sedang dihajar keras. Melihat sandiwara itu Bu Kie menghela nafas panjang. "Jika aku belum mendapat bukti dari kepalsuannya, sudah pasti aku akan melompat ke luar," pikirnya.
Karena yakin bahwa Bu Kie bersembunyi dalam hutan itu, mereka bersandiwara terus, yang satu memaki dengan kata-kata hebat, yang lain mengeluarkan teriakan-teriakan menyayat hati.
Dengan kedua tangan, Bu Kie menutup kupingnya, tapi suara sesambat si nona masih tetap terdengar.
Sebisa mungkin ia coba mengeraskan hati, tapi akhirnya ia tak dapat bertahan lagi. Sesudah mengambil keputusan nekat, tiba-tiba ia melompat keluar dan berteriak. "Tak usah kamu melangsungkan permainan gila itu! Apa kamu kira aku tak tahu segala tipu busukmu?"
Melihat munculnya Bu Kie, Cu Tiang Leng beramai jadi girang, "Aha! Ini dia!" seru mereka.
Dilain pihak sesudah mencaci, Bu Kie segera berlari bagaikan kalap. Cu Tiang Liat lantas saja mengejar. Sebelum melompat keluar, si bocah sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia yang kejam ini. Seperti seekor kijang, ia kabur ke arah tebing dengan melompat ke jurang yang dalam.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Cu Tiang Leng memiliki ilmu ringan badan yang banyak lebih tinggi daripadanya. Maka itu, baru saja ia tiba di atas tebing, si orang she Cu sudah menyandaknya lalu menjambret belakang bajunya.
Pada detik itu, kaki kanannya sudah menginjak tempat kosong dan separuh badannya sudah berada di atas jurang. Begitu Cu Tiang Leng menjambret punggungnya, kaki kirinya melompat dan badannya menubruk ke depan. Cu Tiang Leng tak pernah menduga bahwa bocah itu sedemikian nekat. Karena Bu Kie melompat dengan sepenuh tenaga, ia turut terbetot. Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi. Jika pada saat itu ia melepaskan cekalannya, dengan mudah ia akan dapat menolong diri. Akan tetapi ia mengerti, bahwa
melepaskan anak itu berarti sama dengan melepaskan To Liong To. Selama kurang lebih dua bulan dengan susah payah ia sudah menjalankan tipunya, bahkan ia sampai mengorbankan gedung dan harta bendanya. Apakah ia harus melepaskan golok mustika yang sudah berada di depan mata"
Seluruh tubuh Bu Kie sekarang berada di atas jurang, di tengah udara!....
"Celaka!" Cu Tiang Leng mengeluh dengan hati mencelos. Tangan kirinya menyambar ke belakang dengan harapan bisa mencekal tangan Bu Liat yang turut mengejar tapi pada detik itu tangan Bu Liat masih terpisah kira-kira satu kaki.
Ternyata tenaga penarik To Liong To lebih dahsyat daripada ancaman bencana. Cu Tiang Leng tetap mencekal baju si bocah itu dan". Mereka berdua tergelincir ke dalam jurang yang di dalamnya berlaksa tombak!
Sayup-sayup terdengar teriakan Kioe Tin dan Bu Liat. Sesaat kemudian segala apa tidak terdengar lagi, kecuali menderunya angin".
Cu Tiang Leng mengerti bahwa kalau jatuh di dasar, badan akan hancur lebur. Ia adalah seorang yang sudah kenyang mengalami topan dan gelombang. Maka dalam menghadapi kebinasaan ia tak jadi bingung.
Badan mereka melayang ke bawah dengan cepatnya"
Jarak antara kedua dinding jurang tidak begitu lebar dan selagi melayang jatuh beberapa kali, Cu Tiang Leng melihat pohon-pohon yang tumbuh di dinding dan cabang-cabang melonjor ke luar. Beberapa kali ia menjambret tapi selalu gaga. Paling belakang, jambretannya kena, tapi sebab tenaga jatuhnya mereka terlampau hebat maka, dengan mengeluarkan suara "krekek," cabang siong itu yang sebesar lengan patah dari pohonnya.
Walaupun begitu, kejadian ini merupakan pertolongan. Biarpun cabang itu patah, jatuhnya mereka jadi tertahan dan Cu Tiang Leng tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Dengan meminjam tenaga, ia mengangkat kedua kakinya dengan gerakan Ouw Liong Jiauw Cu (Naga Hitam Melibat Tiang), ia memeluk dahan dengan kedua betisnya. Dilain saat ia sudah mengangkat tubuh Bu Kie dan mendudukkannya di atas sebuah cabang, tapi tangannya tetap mencekal baju si bocah, sebab ia kuatir anak itu akan melompat lagi.
Melihat ia bakal mati dan tetap tak bisa terlolos dari tangan si orang she Cu. Bu Kie berduka bukan main dan berkata dengan suara membenci, "Cu PehPeh, biar bagaimana hebat kau menyiksa aku, jangan harap aku akan menuntun kau ke tampat persembunyian Gie Hu."
Ketika itu Cu Tiang Leng sendiri sudah duduk di atas satu cabang. Ia mendongak ke atas. Mereka ternyata sudah jatuh terlalu dalam. Apa yang dilihatnya hanialah langit. Sedang Bu Liat dan yang lain sudah tak kelihatan bayangannya. Walaupun bernyali besar, ia menggigil dan dahinya mengeluarkan keringat dingin.
Sesudah menentramkan hatinya, ia tertawa dan berkata, "Saudara kecil, apa katamu" Aku tidak mengerti, janganlah kau memikir yang tidak-tidak."
"Segala tipu busukmu sudah kuketahui." Jawabnya mendongkol. "Sekarang segala tipumu sudah tidak berguna lagi. Andaikata kau memaksa aku untuk mengantar kau ke Peng Hwee To, aku bisa menunjuk jalan dengan sembarangan supaya kita sama-sama mampus dimakan lautan. Apa kau kira aku takut berbuat begitu?"
Cu Tiang Leng mengerti, bahwa ancaman itu bukan omong kosong. Ia tahu, bahwa terhadap Bu Kie yang nekat, ia tidak bisa menggunakan kekerasan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang satu-satunya yang bisa menaklukkan si bocah adalah puterinya sendiri. Mamikir begitu, ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan berteriak, "Kami selamat! Jangan khawatir!"
Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah.
"Kami selamat!... Kami selamat!... Jangan khawatir!..."
Tiba-tiba Cu Tiang Leng ingat sesuatu, "Celaka!" ia mengeluh, "Aku tidak boleh berteriak begini di gunung salju."
Hampir berbareng, gumpalan-gumpalan salju putih meluruk turun dari dinding jurang. Untung juga salju tidak begitu tebal. Sehingga tidak membahayakan. Tapi Cu Tiang Leng tidak berani berteriak lagi.
Ia menghela nafas dan sambil mengawasi keempat penjuru, ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.
Ke bawah, jurang itu belum kelihatan dasarnya dan andaikata mereka bisa turun sampai ke dasar jurang, disitu belum tentu ada jalan keluar. Untuk memanjat ke atas dari dinding yang satu, sukar dapat dilakukan, karena dinding batu itu bukan saja sangat curam tapi juga ditutup salju licin. Maka itu, jalan satu-satunya adalah coba memanjat ke atas dari tebing-tebing yang lain, yang tidak begitu terjal.
Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara membujuk, "Saudara kecil, jangan kau mencurigai aku secara membuta tuli, Biar bagaimanapun jua, aku tidak akan memaksa kau untuk mencari Cia Sun.
Kalau aku menggunakan kekerasan, biarlah aku mati terpanah laksaan anak panah dan mati tanpa mempunyai kuburan."
Sumpah yang begitu berat itu bukan sumpah kosong. Ia tahu, bahwa ia memang tidak bisa memaksa anak yang kepala batu itu. Kemungkinan satu-satunya hanialah membujuk atau menipu supaya si bocah mau membantunya dengan suka rela.
Dilain pihak, mendengar sumpah itu, hati Bu Kie jadi lebih lega.
"Sekarang kita harus berusaha untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tebing." Kata Cu Tiang Leng pula. "Tapi kau tidak boleh melompat ke bawah lagi. Kau mengerti?"
"Kalau tidak memaksa aku, akupun tak perlu mencari mati." Jawabnya.
Cu Tiang Leng mengangguk dan mengeluarkan pisau yang lalu digunakan untuk mengeset kulit pohon. Dengan kulit pohon itu, ia membuat tambang yang kedua ujungnya lalu diikatkan ke pinggang sendiri dan ke pinggang Bu Kie. Sesudah itu, perlahan-lahan dan hati-hati mereka memanjat ke atas, ke arah sinar matahari.
Usaha mereka itu diliputi dengan tanda tanya. Bagaimana kesudahannya" Apakah mereka akan menemui keselamatan atau kecelakaan" Entahlah, apa yabg dapat diperbuat hanialah maju selama masih bisa maju.
Tebing itu sendiri sukar dipanjat. Ditambah dengan salju yang sudah membeku menjadi es, licinnya luar biasa, sehingga setiap tindakan diliputi dengan bahaya besar. Dua kali Bu Kie terpeleset dan ia tentu sudah tergelincir ke bawah, kalau tidak ditolong Cu Tiang Leng. Sebaliknya daripada berterima kasih, ia jadi mendongkok dan mengejek dalam hatinya.
"Tua bangka! Kalau kau tidak mengiler pada To Liong To, tak nanti kau baik hati."
Sesudah memanjat setengah hari, mereka bukan saja lelah, tapi capai. Tapi sikut, lutut, dan kaki merekapun berlumuran darah, akibat goresan es yang tajam. Perlahan-lahan curamnya tanjakan berkurang. Mereka tidak perlu merangkak lagi. Setindak demi setindak, mereka maju dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di atas tanjakan yang berdiri bagaikan sebuah sekosol besar.
Tiba-tiba Cu Tiang Leng mengeluh! Dengan mata membelalak dan mulut ternganga, ia mengawasi ke depan, ke lautan awan. Ternyata, mereka berdiri di atas tanah datar yang seperti panggung dan tiga penjuru panggung itu berbatasan dengan kekosongan. Luasnya tanah datar itu ratusan ombak persegi, tapi ke atas tak ada jalan, ke bawahpun begitu juga. Mereka
terjebak di kotak buntu. Apa yang lebih celaka lagi, di tanah datar itu hanya terdapat salju, salju yang putih bagaikan kapas tanpa pepohonan. Tanpa makhluk hidup yang dapat digunakan untuk menangsal perut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Bu Kie sendiri berbalik girang. Ia tertawa dan berkata. "Cu PehPeh, kau sudah mengeluarkan banyak tenaga, tapi hasilnya kita tiba di tempat ini. Kalau sekarang orang memberikan To Liong To kepadamu, apakah golok itu dapat menolong Kau?"
"Jangan rewel!" Bentak Cu Tiang Leng dengan gusar.
Ia segera menjumput salju yang lalu ditelannya untuk menghilangkan rasa haus dan kemudian bersila untuk mengaso. "Biarpun letih, sekarang tenagaku masih cukup," pikirnya. "Kalau menunggu sampai besok, mungkin aku tak bisa keluar lagi dari kurungan ini." Berpikir begitu, ia lantas saja bangkit dan berkat, "Tidak guna kita berdiam lama-lama di sini. Kita harus kembali ke jalanan tadi dan coba mencari jalan keluar lain.
"Tapi aku sendiri merasa senang untuk berdiam terus di sini." Kata si bocah sambil menyeringai.
"Kau gila," bentak Cu Tiang Leng. "Di sini tak ada makanan apapun jua. Apa kau mau mati kelaparan?"
Si bocah tertawa geli. "Bukankah bagus sekali jika kita tak makan makanan manusia?" katanya.
"Dengan begitu, kita bisa mensucikan diri dan mungkin sekali bisa menjadi dewa yang suci!"
Bukan main gusarnya Cu Tiang Leng, tapi sebisa mungkin ia menahan nafsu amarahnya, sebab ia khawatir anak kepala batu itu akan jatuh ke bawah.
"Baiklah," katanya, "Kau mengaso di sini dan aku akan coba mencari jalan keluar. Tapi ingat! Kau tak boleh mendekati tebing. Sekali jatuh, kau mampus."
"Tak perlu kau memikirkan soal mati hidupku," kata Bu Kie sraya tertawa. "Hm!... sampai sekarang kau masih mimpi, bahwa aku sudi mengantar kau ke pulau Peng Hwee To. Terang-terangan aku menasihati kau, jangan kau mimpi terlalu muluk."
Cu Tiang Leng merasa dadanya seolah-olah mau meledak, tapi ia tak mau menjawab ejekan itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera turun ke bawah lagi dan setibanya di pohon siong yang tadi, ia lalu merambat ke dinding jurang di seberang. Dinding itu lebih curam dan lebih berbahaya, tapi tanpa Bu Kie, ia malah bisa memanjat lebih cepat. Kurang lebih setengah jam kemudian, ia mencapai di puncak dan ia mengeluh karena puncak itu merupakan puncak yang buntu.
Sekali lagi ia berdiri di atas tebing yang berbatasan denan kekosongan. Lama ia berdiri di situ sambil menghela nafas berulang-ulang dan kemudan dengan putus harapan ia balik ke tanah datar yang seperti panggung dimana Bu Kie sedang menunggu.
Begitu melihat paras mukanya, tanpa bertanya Bu Kie tahu, bahwa orang tua itu gagal dalam usahanya. "Sesudah kena Hian Beng Sin Ciang, aku sendiri akan segera mati," katanya dalam hati. "Mati di sini atau di tempat lain tak banyak bedanya. Tapi Cu PehPeh sebenarnya seorang kaya raya yang hidup beruntung. Hanya karena ia temaba akan To Liong To, sekarang ia harus menemani aku mati di sini.
Sungguh kasihan." Semula ia sangat membenci orang tua itu yang telah menjalankan tipu busuk terhadap dirinya. Dalam menghadapi kebinasaan, ia malah sudah mengejeknya dengan perkataan-perkataan menusuk. Tapi sekarang, sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar jurang itu tidak terdapat jalan keluar dan setelah melihat kedukaan Cu Tiang Leng, ia berbalik merasa kasihan. "Cu PehPeh," katanya dengan suara halus.
"Kau sudah berusia lanjut dan kau sudah mencicipi kebahagiaan hidup. Andaikata kau mati sekarang, kau tidak pantas merasa menyesal. Sudahlah, tak guna kau menyesal."
Mendengar bujukan itu, dengan sorot mata berapi orang tua itu melirik si bocah. Ia berlaku sangat manis terhadap Bu Kie hanya karena mempunyai harapan, bahwa anak itu akan mengantarkannya ke pulau Peng Hwee To. Tapi sekarang, sesudah ternyata bahwa ia tidak akan bisa meloloskan diri lagi dan yang menjadi gara-gara adalah si bocah sendiri, darahnya lantas saja meluap. Dengan sorot mata bersinar pembunuhan, ia menatap wajah Bu Kie dengan sikap seperti binatang buas.
Melihat begitu, si bocah jadi ketakutan. Sambil berteriak, ia bangkit dan terus kabur.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Biantang! Mau lari kemana kau?" bentak Cu Tiang Leng sambil menubruk. Ia bertekat untuk membekuk Bu Kie dan sesudah menyiksanya sepuas hati, barulah mau membinasakannya.
Tanpa menghiraukan bahaya Bu Kie menyerosot ke bawah. Tiba-tiba ia melihat lubang besar yang gelap, seperti gua atau terowongan. Tanpa memikir panjang, ia segera masuk ke dalam lubang itu.
"Breeet!" kaki celananya kena dijambret Cu Tiang Leng dan robek sebagian. Dengan cekat ia terus berlari. Saban Cu Tiang Leng mendekati, ia berbalik dan menghantam dengan pukulan Sin-Leng, ilmu silat si bocah itu masih kacek terlalu jauh.
Tapi Sin Liong Pa Bwee bukan pukulan biasa, sehingga walaupun berkepandaian tinggi, Cu Tiang Leng tidak berani terlalu mendesak secara ceroboh. Sambil membungkuk, ia terus mengejar dengan hati-hati.
Dengan tindakan limbung dan tersandung berulang-ulang, Bu Kie terus kabur di terowongan yang gelap itu. Tiba-tiba kepalanya membentur dinding batu, sehingga matanya berkunang-kunang. Ia mengerti, bahwa sesudah tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dirinya, orang tua itu, yang sudah kalap, bisa melakukan perbuatan sangat kejam. Ia bukan takut disiksa mati, tapi ia tidak mau mati disiksa. Maka itu ia terus lari. Untung juga terowongan tersebut makin jauh makin sempit, sehingga sesudah merangkak puluhan
tombak, lubang itu hanya sebesar tubuhnya yang kecil dan Cu Tiang Leng tidak bisa masuk sampai di situ.
Sesudah merangkak lagi beberapa tombak, sekonyong-konyong Bu Kie melihat sinar terang, ia girang bukan main dan sambil menempos semangat, ia maju dengan sekuat tenaga.
Cu Tiang Leng bingung bercampur gusar. "Saudara kecil, sudahlah! Aku tak akan mencelakakan kau,"
serunya. Tapi si bocah tentu saja tidak menghiraukannya. Dalam gusarnya, Cu Tiang Leng mengerahkan Lweekang dan menghantam dinding dengan kedua tangannya. Tapi batu itu keras luar biasa sehingga bukan saja kedua tangannya sakit, tapi nafsunya pun agak menyesak. Ia mencabut pisau dan coba mencakil batu, tapi baru beberapa goresan, pisau itu patah.
Bagaikan kalap, ia mengerahkan tenaga dalam ke kedua pundaknya dan lalu memasukkan tubuhnya ke dalam lubang. Tapi inipun tidak menolong, bahkan dadanya sakit bukan main.
Dengan nafas tersengal-sengal, ia coba menggeser mundur tubuhnya.Diluar dugaan, badannya terjepit keras. Maju tak dapat, mundurpun tak bisa. Semangat Cu Tiang Leng terbang. Dengan mengerahkan seantero tenaganya, ia menggeser tubuh dan kali ini berhasil. Tapi dadanya sakit bukan main dan ternyata salah sebuah tulang rusuknya patah.
Sementara itu, Bu Kie terus merangkak maju. Makin jauh, sinar di depan kedua matanya silau karena tertumbuk sinar matahari. Ia meramkan kedua matanya dan menenteramkan jantungnya yang memukul keras. Perlahan-lahan ia membuka lagi kedua matanya dan ia melihat sebuah lembah yang indah luar biasa, dengan pohon-pohon bunga yang beraneka warna.
Bu Kie bersorak karena girangnya. Dengan cepat ia merangkak keluar dari terowongan itu. Lubang terowonga terpisah kira-kira setombak dari bumi dan dengan sekali melompat, kakinya sudah hinggap di atas rumput yang empuk. Hampir berbareng, hidungnya mengendus harumnya bunga-bunga, matanya melihat buah-buah masak yang tergantung di pohon-pohon, sedang kupingnya mendengar kicaunya sejumlah burung.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa di ujung terowongan itu terdapat dunia yang bagaikan surga.
Tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia berlari-lari untuk menyelidiki keadaan lembah itu. Sesudah melalui dua li lebih, ia berhadapan dengan puncak gunung yang menghadang di tengah jalan. Ternyata lembah itu dikitari dengan lereng-lereng gunung yang sangat curam dan rupanya tempat seindah itu belum pernah diinjak manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, Bu Kie memandang ke seputarnya. Ternyata lereng-lereng yang curam itu tak mungkin dipanjat manusia. Sekali lagi ia berada dalam kurungan.
Tapi si bocah tidak menghiraukan itu semua. Ia merasa beruntung kalau ia bisa mati di tempat yang seindah itu. Ia mengawasi tujuh-delapan kambing hutan yang tidak takut manusia sedang makan rumput dengan sikap tenang. Diatas pohon-pohon terdapat sejumlah kera kecil yang bermain dengan penuh kegembiraan. Ia mendapat kenyataan, bahwa di tempat itu tidka terdapat binatang buas. Mungkin sekali binatang-binatang seperti harimau yang badannya berat tidak bisa melewati puncak-puncak yang terjal.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Langit menaruh belas kasihan atas diriku," kata Bu Kie dalam hati. "Langit sudah menyediakan tempat yang seperti surga ini untuk dijadikan kuburanku," perlahan-lahan ia kembali ke mulut terowongan.
"Saudara kecil" saudara kecil?" demikian terdengar seruan Cu Tiang Leng. "Keluar! Keluarlah! Kau bisa mati di dalam lubang."
Bu Kie tertawa terbahak-bahak. "Cu PehPeh, kau salah!" teriaknya. "Tempat ini seperti surga indahnya." Ia lalu memanjat pohon dan memetik beberapa buah yang tidak dikenal. Ia mencium-cium buah itu yang harum baunya, kemudian menggigitnya. Aduh, luar biasa! Garingnya melebihi buah Tho, wanginya melebihi buah apel, sedang manisnya lebih menang dari bauh Leci. Sambil melontarkan salah sebuah ke dalam lubang, Ia berteriak, "Cu PehPeh, sambut! Makanan enak datang!"
Karena terbentur-bentur batu, waktu tiba di depan Cu Tiang Leng, buah itu sudah bonyok. Ia menjemputnya dan lalu memasukkannya ke dalam mulut. Benar-benar enak! Tapi ia lebih menderita, buah itu malah membangunkan nafsu makannya. "Saudara kecil, tolong berikan beberapa biji lagi," ia memohon.
Si bocah tertawa besar. "Kau harus menerima nasib," ejeknya. "Tapi manusia yang sejahatmu memang pantas mati kelaparan. Kalau kau mau makan lebih banyak, ambillah sendiri."
"Badanku terlalu besar, tak bisa masuk," kata Cu Tiang Leng.
"Belah badannya menjadi dua potong!" ejek pula si bocah.
Cu Tiang Leng menghela nafas. Ia tak nyana bahwa bukan saja rencana hancur, tapi ia sendiri mesti mati di tempat itu. Ia tak mau memohon lagi dan dengan darah yang meluap-luap, ia mencaci, "Binatang!
Meskipun dalam gua itu terdapat buah, tapi apa buah-buahan itu bisa mencukupi keperluan untuk seumur hidupmu" Aku mati di sini, tapi kau juga akan mampus dalam beberapa hari. Hm!... Aku mati kaupun mampus."
Bu Kie tak menghiraukannya. Sesudah makan belasan buah, perutnya kenyang dan ia lalu merebahkan diri di atas rumput untuk mengaso.
Selang beberapa lama, tiba-tiba si bocah melihat keluarnya asap dari lubang terowongan. Ia mengerti, bahwa itulah perbuatan Cu Tiang Leng yang coba mencelakakannya dengan membakar ranting-ranting pohon siong. Ia ketawa geli dan berlagak batuk-batuk.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 41 Pendekar Kembar Karya Gan K L Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama