Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 18

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 18


"Saudara kecil!" teriak Cu Tiang Leng. "Keluarlah! Aku bersumpah tak akan mengganggu kau."
Si bocah pura-pura teriak keras, seperti orang mau pingsan. Sesudah itu, ia pergi ke tempat lain tanpa memperdulikan lagi si orang she Cu.
Dengan hati riang, ia berjalan ke jurusan barat. Sesudah melalui dua li lebih, ia melihat sebuah air tumpah yang turun ke bawah dari dinding batu ke sebuah kolam. Air itu adalah salju yang melumer dan di bawah sorotan matahari kelihatannya indah sekali seolah-olah seekor naga giok. Dengan rasa kagum, ia mengawasi kolam itu, yang biarpun terus menerima air dari atas, tidak menjadi luber. Ia tahu, bahwa di bawah kolam itu terdapat selokan yang mengalirkan air ke tempat lain.
Sesudah menikmati pemandangan itu beberapa lama, ia menunduk dan melihat kaki tangannya yang kotor lantaran kena Lumpur di terowongan.
Ia segera pergi ke pinggir kolam, membukakan sepatu dan kaos kaki dan lalu memasukkan kedua kakinya ke dalam air. Mendadak seraya berteriak "Aduh," ia melompat bangun. Mengapa" Karena air itu dingin luar biasa. Begitu menyentuh air, kakinya sakit, dan lebih sakit daripada disiram air mendidih.
Ketika diperiksa, kedua kakinya ternyata sudah merah bengkak. Ia mengawasi sambil meleletkan lidah. "Heran! Sungguh mengherankan!" katanya di dalam hati. Diwaktu kecil selama beberapa tauhun di pulau Peng Hwee To dan sudah biasa dengan hawa dingin tapi belum pernah bertemu dengan air yang sedingin itu. Yang lebih luar biasa adalah, walaupun dingin, air itu tetap tidak membeku.
Ia mengerti, bahwa di dalam air itu mengandung sesuatu yang aneh. Ia mundur beberapa tindak dan mengawasinya sambil mengasah otak. Sekonyong-konyong terdengar suara "Krok-krok!" dan dari dalam
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kolam melompat keluar tiga kodok warna merah. Kodok itu kodok raksasa, badannya kira-kira empat kali lipat lebih besar dari kodok biasa. Begitu berada di
daratan, dari badan mereka mengepul uap putih, seperti uap yang keluar dari es.
Melihat keanehan binatang itu. Sifat kekanak-kanakan Bu Kie lantas saja timbul. Ia ingin menangkap salah seekor untuk dibuat main. Perlahan-lahan ia mendekati, menubruk, dan menekap yang satu dengan tangannya, tiba-tiba ia terkejut. Begitu telapak tangannya menyentuh kulit yang licin, ia merasa semacam hawa hangat menembus kulit dan terus naik ke lengannya.
Diluar dugaan, binatang itu galak dan bertenaga besar. Dia memberontak dan begitu melepaskan diri dari cekalan, dia menggigit lengan kanan Bu Kie sekeras-kerasnya.
Si bocah terkesiap. Cepat-cepat ia menyekal badan kodok itu dengan tangan kirinya dan membetotnya.
Tapi tak dinyana, binatang itu mempunyai gigi yang sangat tajam, sehingga kalau dibetot terus, bagian daging lengannya akan turut copot.
Sesaat itu, kedua kodok yang lain menyambar bagaikan kilat dan menggigit kedua kaku Bu Kie.
Seumur hidup, ia belum pernah bertemu dengan kodok yang seganas itu. Dalam kagetnya, ia mengerahkan Lweekang dan menepuk kodok yang menggigit lengannya. Perut binatang itu pecah dan tangannya belepotan darah yang berhawa panas.
Ia membungkuk dan lalu membinasakan kedua kodok yang menggigit kakinya. Perlahan-lahan ia membuka mulut binatang itu dan melemparkannya di tanah. Tapi kaki dan lengannya sudah lukan dan memperlihatkan tapak-tapak gigi. Dengan hati mendongkol, ia mengawasi ketiga kodok itu. "Binatang!"
cacinya. Semua makhluk anjing menggigit aku dan sekarang kamu. Kebetulan perutku lapar, biarlah aku gegares dagingmu. Aku mau lihat, apa sesudah berdiam di dalam perutku, kamu masih bisa menghina aku."
Sehabis mengomel, ia segera mencari cabang-cabang kayu kering dan lalu menyalakan api. Ketiga kodok itu lalu dikeset kulitnya dan dipanggang di atas perapian. Tak lama kemudian hidungnya mendengus daging yang sangat wangi. Tanpa memperdulikan segala apa, ia segera memasukkan sepotong betis kodok ke dalam mulutnya. Ia tersenyum sambil menarik nafas panjang-panjang. Daging itu ternyata sangat lezat, lebih lezat daripada daging apapun juga. Dalam sekejab, ketiga kodok itu sudah ketinggalan tulangnya saja.
Berselang kira-kira samakanan nasi, semacam hawa panas mendadak naik ke atas dari dalam perut si bocah. Ia merasa nyaman bukan main, seolah-olah badannya di dalam kolam air hangat.
Ia tak tahu, bahwa kodok itu adalah semacam binatang aneh di dalam dunia.
Dia hidup di tempat yang sangat dingin, tapi sifatnya adalah panas. Tanpa sifat yang aneh itu, tak mungkin ia hidup di dalam kolam dingin. Kalau dagingnya dimakan orang biasa, orang itu akan segera mati dengan mengeluarkan darah dari hidung, mulut dan kupingnya. Tapi Bu Kie bukan orang biasa karena di dalam tubuhnya mengeram racun dingin dari Hian Beng Sin Ciang. Racun dingin itu kebentrok dengan racun panas dari sang kodok dan racun panas buyar, racun dinginpun ikut mereda.
Tapi Bu kie sendiri tak tahu terjadinya kejadian yang sangat kebetulan itu. Ia merasa sekujur tubuhnya lelah dan letih, rasa mengantuk menguasai dirinya. Tapi ia tidak berani tidur disitu sebab kuatir diserang kodok lain. Maka itu sambil menguatkan badan dan hati ia meninggalkan tempat itu. Baru berjalan kirakira satu li, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan lalu rebah pulas diatas tanah.
Ketika ia sadar, rembulan sudah berada ditengah tengah angkasa. Ia merasa bahwa di dalam perutnya terdapat semacam bola hangat yang bergerak-gerak dan menggelinding kian kemari. Ia mengerti, bahwa daging kodok itu mempunyai zat-zat luar biasa untuk menambah tenaga. Ia merasa semangatnya bertambah dan tenaga dalamnya jadi lebih besar. Ia segera duduk bersila dan mengerahkan Lweekang, dengan niatan mendorong hawa hangat itu ke dalam pembuluh pembuluh darahnya. Tapi sesudah berusaha beberapa kali, ia tidak berhasil bahkan kepalanya puyeng dan ulu hatinya enek.
Ia menghela nafas dan berkata dalam hatinya. "Tak mungkin aku bernasib begitu baik. Kalau hawa hangat itu bisa menembus masuk berbagaipembuluh darah, bukankah itu berarti bahwa racun Hian Beng sin ciang sudah dapat dipunahkan".
Baik juga, sebab ia tidak terlalu berharap hidup, ia tidak merasa kecewa. Pada keesokan tengah hari, ia merasa perutnya lapar. Ia lalu mengambil sebatang ranting pohon yang kemudian digunakan untuk
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mengaduk air di kolam dingin. Beberapa saat kemudian, ranting itu sudah digigit tiga empat kodok.
Perlahan-lahan ia mengangkatnya keatas dan lalu membinasakan binatang-binatang itu dengan menggunakan batu. Sekali lagi ia membuat perapian dan membakar daging kodok yang lalu digunakan untuk menangsal perut.
Karena merasa bahwa ia akan bisa hidup beberapa lama lagi, maka ia lalu membuat semacam dapur dan menaruh cabang cabang kering di dalamnya, supaya ia tidak saban-saban harus membuat api.
Sebagai seorang yang pernah hidup di pulau Peng Hwee To, Bu Kie sudah bisa menolong diri sendiri.
Maka itu, hidup sebatang kara di tempat tersebut tidak menjadi susah baginya. Ia mengambil tanah liat dan membuat paso tanah, kemudian menganyam rumput untuk membuat tkar. Ia bekerja sampai kira-kira magrib dan tiba-tiba ia ingat Cu Tiang Leng yang sekarang mestinya sudah kelaparan setengah mati.
Maka itu, ia memetik satu buah dan melemparkannya ke dalam lobang terowongan.
Ia tidak memberi daging kodok panggang sebab kuatir Cu Tiang Leng bertambah tenaga dan bisa menggempur dinding terowongan. Kekuatiran si bocah ternyata sudah menyelamatkan jiwa orang she Cu.
Kalau Bu Kie memberikan kodok itu, ia sudah pasti sudah melayang jiwanya.
Beberapa hari sudah lewat tanpa terjadi sesuatu yang luar biasa. Hari itu, selagi Bu Kie membuat sebuah dapur tanah, tiba-tiba ia mendengar pekik seekor kera yang menggenaskan hati. Cepat-cepat ia memburu kearah suara itu. Ternyata seekor kera kecil sedang melompat-lompat sambil memekik-mekik dengan tiga ekor kodok merah mengigit punggungnya, sedang dua ekor yang lain sudah melompat keluar dari dalam air. Si kera bergulingan di tanah dan membanting-banting dirinya, tapi kodok-kodok itu terus menggigit erat-erat dan menghisap darah yang menjadi makanannya. Bu Kie melompat dan mencekal lengan kiri kera itu yang lalu dibawa ke tempat lain yang jauh dari kolam dingin itu. Sesudah berada di tempat yang lebih aman, batulah ia membinasakan ketiga kodok itu. Jiwa kera itu tertolong,tapi tulang lengan kanannya patah.
"Aku sangat kesepian, ada baiknya jika bisa mendapat kawan seekor kera", katanya di dalam hati.
Memikir begitu, ia segera mengambil dua potong ranting pohon dan sesudah menyambung tulang yang patah, ia segera menjepitnya dengan kedua ranting itu. Kemudian ia memetik beberapa macam daun obat yang lalu ditumbuk dan ditorehkan pada tulang yang patah itu. Biarpun ia tidak mendapat daun-daun obat yang mujarab, tapi berkat kepandaiannya dalam ilmu menyambung tulang, maka dalam tempo kira-kira seminggu, tulang itu sudah menyambung pula.
Kera kecil itu mengenal budi. Pada keesokan harinya, ia membawa banyak bebuahan dan memberikannya pada Bu Kie. Belum cukup sepuluh hari, lengan yang patah itu sudah sembuh seanteronya.
Kejadian itu telah mengubah cara hidup Bu Kie. Sesudah disembuhkan, si kera rupanya memberitahukan kepada kawan kawannya dan tak lama kemudian, Bu Kie sudah menjadi tabib dari kawanan binatang di lembah tersebut. macam binatang datang minta pertolongannya tapi yang paling banyak adalah sebangsa kera.
Si bocah melakukan tugas baru itu dengan segala senang hati. Sesudah mendapat pengalaman pahit getir, ia mendapat kenyataan bahwa diantara binatang ada yang lebih mengenal budi daripada manusia.
Satu bulan telah berlalu. Setiap hari ia makan daging kodok dan ia merasa sangat girang bahwa serangan-serangan racun dingin yang datang pada waktu-waktu tertentu, makin lama jadi semakin enteng.
Pada suatu pagi, ia tersadar karena mukanya diraba oleh tangan berbulu. Dengan kaget ia melompat bangun. Ternyata, tangan itu tangan seekor kera putih besar yang mendukung seekor kera kecil dan tengah berlutut disampingnya. Kera kecil itu adalah kera yang tulangnya pernah disambung olehnya.
Kera kecil berbunyi "cit-cit cat-cat" sambil menunjuk-nunjuk perut kera putih itu yang mengeluarkan bau tak sedap.
Ia mengawasi dan ternyata, bahwa di perut kera itu terdapat borok yang bernanah. Ia tertawa dan manggut2kan kepala. "Baik, baik!" katanya. "Aku akan menolong".
Si kera putih mengangsurkan tangan kirinya yang mencekal buah tho dan dengan hormat memberikannya kepada Bu Kie. Buah itu besar luar biasa. Kira-kira sebesar tinju.
Bu Kie merasa kagum, karena belum pernah ia melihat buah tho sebesar itu. "Ibu pernah bercerita bahwa di gunung Kun Lun terdapat dewa See Ong Bo yang sering mengadakan pesta buah tho dengan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mengundang para dewa dan dewi," pikirnya. "Cerita tentang See Ong Bo mungkin cerita bohong, tapi bahwa Kun Lun san memiliki Siantho (buah tho dewa) adalah suatu kenyataan."
Seraya tersenyum ia menerima hadiah itu. "Aku biasanya tidak menerima bayaran, " katanya.
"Biarpun kau tidak membawa siantho, aku pasti akan menolong." Sehabis berkata begitu,ia mengangsurkan tangannya dan menyentuh borok itu. Tiba-tiba ia terkejut.
Mangapa" Borok itu sendiri yang berbentuk bundar, hanya bergaris kira-kira setengah cun. Apa yang hebat ialah daging di sekitarnya keras bagaikan batu dan bagian yang keras puluhan kali lipat lebih besar daripada boroknya sendiri.
Dari kitab-kitab ketabiban, Bu Kie belum pernah membaca borok yang seperti itu. Ia merasa, bahwa jika bagian yang keras menjadi busuk dan bernanah, binatang itu tak akan dapat disembuhkan lagi. Tapi waktu memegang nadi si kera, ia menjadi lebih heran lagi, karena denyutan nadi tidak menunjukan adanya bahaya. Ia segera menyingkap bulu yang panjang di perut binatang itu untuk diperiksa lebih teliti.
Begitu melihat ia terkesinap, sebab bagian yang keras itu berbentuk empat persegi dan dipinggirannya terlihat bekas jaitan benang.
Tak dapat disangkal lagi bahwa jahitan itu adalah perbuatan manusia. Walaupun pintar, binatang kera tak bisa menjahit.
Sesudah memeriksa, Bu Kie mengerti, bahwa borok itu disebabkan oleh benda keras itu. Benda itu menonjol keluar dan menggencet pembuluh darah. Sehingga darah tak bisa mengalir leluasa, otot-otot menjadi rusak dan mengakibatkan borok yang tidak bisa sembuh. Maka itu, untuk menyembuhkannya, ia harus mengeluarkan benda itu dari perut si kera.
Soal membedah tidak jadi soal, sebab berkat ajaran Ouw Ceng Goe, ia sudah mahir dalam ilmu itu.
Yang menjadi soal ialah tak punya pisau dan obat obatan. Sesudah mengasah otak beberapa lama, ia mencari sepotong batu tipis dan lalu menggosoknya sampai tajam. Sesudah itu, dengan menggunakan pisau tersebut, perlahan ia memotong perut si kera, di bagian bekas jahitan.
Kera itu yang sudah berusia sangat tua, ternyata mengerti maksud pembedahan itu. Meski merasakan kesakitan hebat, ia tidak bergerak sedikitpun jua dan menahan sakit sambil mengeluarkan rintihan tak lama kemudian, Bu Kie sudah memotong bagian atas dan bawah bekas jahitan itu. Dengan hati hati ia lalu membuka kulit perut yang sudah dipotong dan?".loh! Di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak.
Dengan rasa heran yang sangat besar, ia mencabut dan menaruh bungkusan itu ke tanah dan buru buru menutup lagi kulit yang terbuka untuk dijahit. Baru sekarang ia ingat bahwa ia tak punya jarum dan benang. Tapi si bocah tidak kekurangan akal. Ia segera mengambil gigi kodok merah yang tajam dan membuat lubang-lubang di pinggiran kulit. Sesudah itu dengan menggunakan serat kulit kayu ia membuat benang dan dengan demikian, biarpun tidak sempurna ia berhasil menjahit perut si kera, yang rubuh pingsan karena mengeluarkan terlalu banyak darah.
Selesai membedah, Bu Kie segera mencuci bungkusan kain minyak yang berlepotan darah dan membukanya. Ternyata di dalam bungkusan terdapat empat jilid kitap yang sangat tipis. Karena terbungkus rapat, maka biarpun sudah beberapa lama di dalam perut kera, kitap-kitap itu masih utuh.
Diatas kertas terdapat huruf2 yang tidak dikenal Bu Kie. Ia lalu membalik-balik lembaran dan ternyata, bahwa diantara barisan2 huruf yang tidak dikenal terdapat juga huruf2 Tionghoa.
Dengan hati berdebar2, Bu Kie lalu membacanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa isi kitab adalah pelajaran untuk melatih pernafasan dan tenaga dalam. Tiba2 jantungnya melonjak.
Ia membaca tiga baris huruf yang sudah dikenalnya. Ia segera ingat bahwa huruf-huruf itu terdapat dalam pelajaran Siauw-lim Kioe yang kang, yang pernah dipelajarinya dalam kuil Siauw Liem Sie. Tapi waktu ia membaca terus, lanjutannya berbeda dengan pelajaran itu. Ia membuka lagi dan membaca beberapa halaman secara sepintas lalu. Sekali ia terkesinap, sebab, ia kembali menemukan tiga baris huruf yang sudah dihafalnya, yaitu pelajaran Bu Tong Lweekang Sim hoat yang diturunkan oleh mendiang ayahnya sendiri.
Jantung Bu Kie memukul keras. "Kitab apa ini?" tanyanya dalam hati. "Mengapa ada Siauw lim Kioe yang kang dan ada juga Bu Tong Lweekang Sim hoat?" Tiba-tiba ia ingat cerita yang diturunkan oleh Taysuhu (Thio Sam Hong) pada waktu orang tua itu mau mengajaknya pergi ke Siauw lim sie. Cara
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bagaimana pada sebelum meninggal dunia. Kak Wan taysu telah menghafal Kioe Yang cin keng dengan didengari oleh Thaysuhu, Kwee siang Kwee Liehiap dan Bu Sek taysu yang masing2 mendapat sebagian dari pada kitab itu, sehingga di kemudian hari Bu Tong, Goe Bie dan Siauw Lim pay bisa menjagoi dalam rimba persilatan.
"Apakah kitab ini Kioe Yang Cin Keng yang dahulu di curi orang?" pikirnya. "Benar! Tak salah taysuhu pernah mengatakan bahwa Kioe Yang Cin Keng ditulis diantara barisan barisan huruf dari kitap Leng Keh Keng, huruf2 yang lugat legot itu tentulah juga sansekerta.
Tapi"..tapi mengapa kitab itu berada dalam perut kera?"?"
X X X Kitab itu memang juga Kioe yang Cin keng, tapi pada zaman itu, tak seorangpun tahu cara bagaimana bisa menyasar kedalam perut seekor kera.
Pada sembilan puluh tahun lebih yang lalu. Siauw Siang Cu dan In Kek See telah mencuri kitab itu dari Cong Kek Sek di kuil Siauw Lim Si. Mereka diubar oleh Kak Wan taysu, seorang pendeta yang bertugas menjaga kamar perpustakaan itu dan waktu kabur sampai di gunung Hwa San mereka tidak dapat meloloskan diri lagi. Secara kebetulan, mereka mempunyai seekor kera dan dalam keadaan terdesak, mereka mendapat akal. Mereka membedah perut binatang itu dan menyembunyikan keempat jilid Leng Keh Keng di dalam perut si kera. Belakangan Kak Wan, Yo Ko dan yang lain lain menggeledah badan mereka tapi kitab itu saja tidak bisa didapatkan. Akhirnya mereka dilepaskan dan diperbolehkan berlalu bersama2 kera itu. (Mengenai hal ini, bacalah Sin Tiauw Hiap Lu).
Demikianlah selama hampir satu abad, tak seorangpun tahu dimana adanya Kioe Yang Cin Keng. Hal ini sudah merupakan sebuah teka-teki besar dalam rimba persilatan.
Dari Hwa San, bersama-sama kera itu Siauw Siang Cu dan In Kek See kabur ke wilayah See hek.
Karena saling mencurigai sebab masing2 kuatir dirinya akan dibinasakan kalau yang lain sudah lebih dahulu memahamkan isi kitab itu, maka baik Siauw Siang Cu, maupun In Kek See tidak berani bertindak lebih dahulu untuk mengambil kitab itu dari perut kera. Waktu tiba di puncak Keng Sin Hong, gunung Kun Lun, mereka "saling makan" dan akhirnya kedua2nya binasa. Mulai dari waktu itu, rahasia Kioe Yang Cin Keng tidak diketahui lagi oleh manusia manapun jua.
Ilmu silat Siauw Siang Cu sebenarnya lebih tinggi setingkat dari In Kek See. Tapi sesudah terluka di puncak Hwa San, tenaganya banyak berkurang dan waktu bertempur dengan In Kek See, ia mati lebih dulu.
Waktu mau melepaskan napasnya yang penghabisan In Kek See telah bertemu dengan Kun Lun Sam seng Ho Ciok Too. Pada saat itu ia merasa agak menyesal akan perbuatannya dan ia meminta supaya Ho Ciok Too pergi ke Siauw Lim Sie dan memberitahukan Kak Wan bahwa kitab Leng Keh Keng berada di dalam perut seekor kera. Tapi dalam keadaan lupa ingat karena terluka berat suaranya tidak terang sehingga perkataan "keng cay kauw tiong" (kitab berada dalam kera) didengar Ho Ciok Too sebagai "kim cay yoe tiong" (emas berada dalam minyak).
Untuk menepati janji. Ho Ciok Too pergi ke Tionggoan untuk menyampaikan perkataan In Kek See kepada Kak Wan, yang tentu saja tidak mengerti apa maksudnya. Kunjungan Ho Ciok To ke Siauw Lim Si itu telah menimbulkan gelombang hebat, yang akhirnya mengakibatkan berdirinya Bu Tong Pay dan Go Bie Pay.
Kera itu ternyata bernasib baik, dengan memakan buah siantho yang luar biasa dan mendapat hawa murni dari langit dan bumi, biarpun sudah berumur hampir seabad kecuali bulunya yang berubah jadi putih, dia masih tetap kuat dan sehat. Hanya karena ada ganjelan besar perutnya kadang-kadang sakit pada tempat menyimpan kitab. Borok yang tak bisa hilang akhirnya, secara luar biasa, dia bertemu dengan Bu Kie. Bagi si kera pertemuan itu berarti hilangnya penyakit diperut, bagi Bu Kie suatu berkah.
X X X Latar belakang peristiwa itu tentu saja tak bisa di tembus Bu Kie. Sesudah mengasah otak beberapa lama tanpa berhasil, ia segera menjemput buah tho hadiah si kera dan memasukkannya ke dalam mulut.
Buah itu harum dan manis luar biasa, melebihi buah apapun jua yang pernah dimakannya dilembah itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Setelah perutnya kenyang, di dalam hati si bocah berpikir. "Thaysuhu pernah mengatakan, bahwa jika aku dapat memiliki Kioe Yang Sin Kang dari Siauw Lim, Bu Tong dan Goe Bie, racun dingin dalam tubuhku mungkin bisa diusir keluar. Akan tetapi, Sin Kang dalam ketiga partai itu hanya dapatkan dari kitab Kioe Yang Cin Keng. Manakala benar kitab ini kitab Kioe Yang Cin Keng dan aku mempelajari seluruhnya, maka sin kang yang dimiliki olehku akan melebihi sin kang dari ketiga partai itu. Tapi sudahlah! Perlu apa kita memikir panjang panjang. Disini aku tak punya pekerjaan, biarlah aku mempelajarinya. Andaikata kitab itu tak berguna, atau berbahaya, paling banyak aku mati". Memikir begitu, ia lantas saja memasukkan jilid pertama dalam sakunya dan menaruh ketiga jilid lainnya di tanah yang kering dan kemudian menindihnya dengan batu yang besar. Ia berbuat begitu, sebab kuatir kitab2 itu dicuri dan di robek si kera yang nakal.
Paling dahulu, ia menghafal isi kitab dan kemudian setindak demi setindak ia berlatih menurut pelajaran itu. Selama belajar ia masih ingat, bahwa andaikata pelajaran itu bisa menghilangkan racun dalam tubuhnya, ia akan tetap terkurung di dalam lembah seumur hidup. Maka itu, ia belajar dan berlatih dengan pikiran tenang dan tak tergesa-gesa"berhasil hari ini baik, berhasil besokpun baik juga. Tapi, justru karena ketenangan itulah, ia mendapat kemajuan yang sangat pesat. Belum cukup empat bulan, ia sudah dapat melayani ilmu-ilmu yang tertulis dalam jilid pertama.
Dahulu pada waktu Tat Mo Couw See mengubah Kioe Im dan Kiu Yang Cin Keng, ia sengaja mengubahnya sedemikian rupa, sehingga nilai kedua kitab itu sama tinggi dan yang satu menutup dari kekurangan dari yang lain. Kiu Yang mengutamakan melatih ilmu pernafasan dan cara-cara memperpanjang umur, sedang Kiu Im mementingkan Ilmu-ilmu silat yang merobohkan lawan. Mengenai Lweekang, Kioe Yang lebih unggul, tapi dalam jurus-jurus silat yang aneh dan luar biasa, Kioe Im-lah yang lebih lihai! Dahulu, waktu Tau Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong mencuri jilid kedua dari Kioe Im Cin Keng, mereka telah berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang luar biasa, yang tak terdapat pada Kioe Yang Cin Keng. Akan tetapi seseorang yang menyelami Kioe Yang Cin Keng dan sudah melatih diri menurut pelajaran itu sampai puncak yang tinggi, maka orang itu takkan dapat ditaklukkan dengan pukulan atau ilmu silat yang manapun jua.
Sementara itu, setelah menyelesaikan latihan jilid yang pertama. Bu Kie mendapat kenyataan, bahwa ia sudah dapat hidup lebih lama daripada batas waktu yang disebut oleh Ouw Ceng Goe. Sebaliknya daripada binasa, bukan saja ia tetap sehat, tapi jangka waktu antara serangan racun dingin juga makin panjang dan penderitaannya selama serangan makin lama makin berkurang. Ia mendapat kenyataan, bahwa hawa dalam tubuhnya dapat mengalir dengan leluasa. Sekarang ia hampir tak bersangsi lagi, bahwa kitab itu benar Kioe Yang Cin Keng adanya. Jikalau bukan, tapi tetap tidak dapat disangkal, bahwa pelajaran kitab itu mempunyai khasiat yang besar untuk kesehatan badan.
Sesudah jilid pertama, ia mulai mempelajari jilid kedua.
Karena saban-saban makan daging kodok merah dan buah tho luar biasa yang dibawa oleh si kera putih, maka baru saja ia mempelajari sebagian kecil dari jilid kedua, racun dingin di dalam tubuhnya sudah terusir seanteronya. Menurut pantas, sesudah racun dingin menghilang, dimakannya terus daging kodok merah akan mengakibatkan lain keracunan. Tapi syukur berkat latihan Kioe Yang Cin Keng yang sudah agak maju, dan berkat buah tho yang mempunyai khasiat menolak racun, maka racun "panas" dari daging kodok bukan saja tidak membahayakan, tapi malah membantunya dalam mempercepat dimilikinya Sin kang.
Setiap hari, disamping belajar dan berlatih serta bermain-main dengan kawanan kera, Bu Kie memetik buah2an untuk menangsal perut dan saban kali mau makan, ia selalu membagi separuhnya kepada Cu Tiang Leng yang berdiam diluar terowongan. Ia hidup bebas dan riang gembira dan penuh kepuasan, tapi Cu Tiang Leng sendiri mengalami kesengsaraan yang tidak enteng. Dengan hidup atas belas kasihan Bu Kie, siang malam orang tua itu berdiam diatas "panggung" yang tertutup salju dan saban bertemu dengan musim dingin, hebatnya penderitaan sukar dilukiskan dengan kalam.
Sesudah berlatih dengan pelajaran jilid ketiga Bu Kie sudah tak takut lagi dengan hawa dingin. Kalau lagi gembira ia menerjun dan mandi di dalam kolam dingin. Dengan mengalirnya hawa "tulen" diseluruh tubuh, begitu lekas kulitnya tersentuh air dingin, secara wajar tubuhnya lalu mengeluarkan tenaga menolak. Gigi kodok merah memang sangat tajam, tapi pada waktu itu, tajamnya gigi tak bisa melukai lagi badannya.
Tapi makin tinggi pelajaran Kioe Yang Cin Keng jadi makin sulit dan kemajuannyapun jadi makin perlahan. Untuk menyelami jilid ketiga, ia harus menggunakan tempo kurang lebih setahun. Sedang jilid yang terakhir, yaitu jilid keempat, memerlukan waktu dua tahun lebih.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada suatu malam Bu Kie membuka halaman terakhir dari jilid terakhir. Ia girang bercampur terharu.
Sudah empat tahun lebih ia berdiam di lembah itu, dari bocah, ia sudah menjadi pemuda yang bertubuh jangkung. Selama itu, mungkin sekali di dalam dunia sudah terjadi perubahan perubahan besar yang tidak diketahui olehnya.
Dengan banyaknya memperoleh pengalaman pahit getir selama yang dirasakannya, maka penghidupan di lembah lebih nyaman bagi Bu Kie. Tidak ada hasrat untuk terjun ke dalam pergaulan, dimana Bu Kie mengganggap banyak manusia yang pandai berpura-pura dan ia lebih senang bergaul dengan kera kera yang umumnya mempunyai sifat yang polos, yang menyenangkan dan dapat diajak bermain sebagai kawan sejati.
Dengan Lweekang yang sangat dalam, Bu kie telah hidup dalam dunianya sendiri. Banyak masalah dan persoalan yang sesungguhnya mengganggu hatinya, sering Bu Kie terangsang oleh keinginan2 untuk terjun dalam dunia persilatan lagi, dalam dunia pergaulan, namun perasaan2 seperti itu ditindasnya. Dan banyak pula orang2 yang berkenan di hatinya yang memiliki budi kebaikan terhadap dirinya, tapi sayang sekali perasaan takut terhadap lingkungan pergaulan diantara manusia2 yang pandai berpura2 itulah yang menyebabkan Bu Kie akhirnya memutuskan untuk berdiam selamanya di dalam lembah itu.
Demikian kisah Bu Kie kami tutup sampai disini untuk bagian kesatu. Untuk mengikuti perkembangan yang terjadi selanjutnya terhadap diri Bu Kie, pengalaman2 yang aneh dan luar biasa, dapat anda mengikutinya pada bagian kedua dari kisah Bu Kie, yang merupakan kelanjutannya.
Manusia memang sering mengalami peristiwa2 yang berlawanan dengan kehendak hatinya, berlawanan dengan keinginannya, bertentangan dengan kemauannya. Dan peristiwa2 yang terjadi itu memang sering kali terjadi diluar jangkauan dan kehendak manusia, sebab akhirnya harus diakui yang menentukan adalah Thian (Tuhan) yang maha kuasa.
Demikian juga yang terjadi di diri Bu Kie. Walaupun dia sesungguhnya bermaksud untuk hidup tenang tentram di lembah itu, hidup dengan penug bahagia, jauh dari sifat2 buruk dan berpura2 dari manusia2
yang pandai sekali bersandiwara dalam hidup ini, tetapi rupanya Thian menghendaki lain, sehingga akhirnya Bu Kie akan terlibat dalam beberapa peristiwa yang hebat, yang akhirnya memaksa Bu Kie harus menyerah terhadap keadaan, yang akhirnya akan memaksa Bu Kie harus mengakui bahwa manusia hidup di dunia ini memang harus bermasyarakat.
Seperti di ketahui oleh pembaca di dalam kisah Bu Kie bagian kesatu, Bu Kie berada dilembah yang menyenangkan bagi hatinya, ditemani oleh kawanan kera2. kawanan kera itu merupakan sahabat yang menyenangkan, disamping itu merupakan kawan2 yang memiliki sifat2 yang masih murni dan polos, bebeda dengan manusia2 yang pernah dikenal oleh Bu Kie, yang pandai sekali berpura pura.
Dalam setengah tahun ini, kalau hatinya senang, Bu Kie sering mengikuti kawanan kera memanjat lereng gunung yang curam dan bermain-main disitu sambil memandang lembah2 yang berada jauh dibawah. Dengan memiliki kepandaian yang sekarang dimiliki, kalau mau dengan mudah ia akan dapat keluar dari kurungan itu. Ia dapat memanjat tebing2 yang tidak dapat dipanjat oleh lain manusia. Tapi ia justru tidak mau. Sesudah mendapat banyak pengalaman pahit getir dan bertemu dengan banyak manusia yang pandai berpura2, hatinya jadi dingin. "Perlu apa aku masuk lagi ke dalam dunia pergaulan untuk mencari kepusingan?" pikirnya. "Aku sudah merasa puas dengan hidup disini sampai hari tua."
Hari itu dengan Lweekangnya yang sangat dalam, ia mengorek sebuah lubang yang dalamnya kurang lebih 3 kali di batu karang. Disamping mulut terowongan. Sesudah itu, ia membungkus keempat jilid Kioe Yang Sin Kang, In Keng dari Ouw Ceng Goe dan Tok Keng dari Ong Lan Kouw dengan menggunakan kain minyak yang dikeluarkan dari perut kera putih. Ia masukkan bungkusan kitab2 itu dalam lubang yang lalu ditutupnya dengan batu2 dan tanah. "Karena jodoh yang sangat luar biasa, aku mendapatkan kitab itu dari perut seekor kera, " katanya dalam hati. "entah kapan dan entah siapa yang akan datang disini lagi dan menggali keluar kitab2 yang ditanam olehku." Sambil mengerahkan Lweekang, ia segera menulis enam huruf diatas batu dengan jerijinya. "Tempat Thio Bu Kie menyimpan kitab."
Selama belajar dan berlatih, karena repotnya. Ia sama sekali tidak merasa kesepian. Tapi pada malam itu, sesudah menyelesaikan pelajaran dengan hasil yang gilang gemilang, ia merasa suatu kekosongan dalam hatinya dan ingin sekali bertemu dengan seorang manusia lain untuk beromong2. "disini waktu aku boleh tak usah takuti Cu Peh peh," pikirnya. "biar sekarang aku coba menemui dia." Memikir begitu, ia lantas saja melompat naik ke lubang terowongan dan berlutut untuk mencoba merangkak masuk. Tapi lubang itu ternyata terlalu kecil untuk badannya. Pada empat tahun yang lalu, ia baru berusia lima belas tahun dan tubuhnya masih kurus kecil. Tapi sekarang dalam usia 19 tahun, ia telah menjadi seorang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dewasa dan badannya sudah berubah banyak. Tapi Bu Kie, sesudah mendalami Kioe Yang Cin Keng, dapat diatasi olehnya. Ia segera menarik nafas dalam2 dan mengeluarkan ilmu Siok Koet Kang (ilmu mengerutkan tulang2). Dengan ilmu itu, daging dan otot2 antara tulang2 mengerut, sehingga tulang2nya dapat dikatakan berkumpul menjadi satu. Dengan demikian dia dapat masuk kedalam terowongan.
Waktu ia tiba dimulut terowongan, Cu Tiang Leng sedang tidur pulas sambil bersandar di sebuah batu besar. Ia menepuk pundak orang tua itu lantas saj tersadar. Bukan main kagetnya Cu Tiang Leng. Ia melompat bangun dan sambil mengawasi Bu Kie dengan mata membelalak, ia berkata dengan suara terputus putus. "Kau"kau".
"Cu Peh Peh," kata Bu Kie seraya tersenyum. "Benar, aku Bu Kie".
Cu Taing Leng kaget tercampur girang, mendongkol tercampur benci. Sesudah mengawasinya beberapa lama, barulah ia berkata pula, "kau sudah besar sekali. Hm".Mengapa selama bertahun2, kau tak pernah keluar biarpun aku memohon berulang2?"
(Bersambung ke jilid 32) Kisah Pembunuh Naga Jilid 32 Karya Chin Yung Transcriber: wibowoindra =============== Sebab takut dipukul olehmu," jawabnya. Mendadak Cu Tiang Leng menyambar pundak Bu Kie dengan gerakan Kin na ciu. "Sekarang kau tak takut lagi?" bentaknya. Tiba2 ia merasa telapak tangannya panas, lengannya bergemetar dan ia terpaksa melepaskan cengkramannya. Tapi walaupun begitu, dadanya sakit dan menyesak. Ia mundur beberapa tindak dan berkata dengan suara parau. "Kau.. ilmu apa itu?" Sesudah memiliki Kioe yang sin kang, inilah untuk pertama kalinya Bu Kie menjajalnya. Ia sendiri baru tahu hebatnya ilmu tersebut. Dengan hanya menggunakan dua bagian tenaga, Cu Tiang Leng seorang ahli silat kelas satu sudah dapat dijatuhkan. Kalau ia mengerahkan seluruh tenaga mungkin sekali lengan orang tua itu sudah menjadi patah. Ia girang bukan main dan sambil mengawasi muka si tua, bertanya seraya tersenyum, "Cu Pehpeh, bagaimana pendapatmu" Apa ilmuku cukup lihay?"
"Ilmu apa itu?" Cu Tiang Leng mengulangi pertanyaannya.
"Akupun tak tahu, mungkin Kioe yang Sin kang," jawabnya.
Cu Tiang Leng terkesiap. "Bagaimana kau bisa mendapat ilmu itu?" tanyanya pula.
Bu Kie berterus terang. Ia segera menceritakan cara bagaimana ia mendapat kitab luar biasa itu dari perut seekor kera dan cara bagaimana ia kemudian mempelajarinya dan melatih diri.
Penuturan itu sudah membangkitkan rasa iri dan gusar dalam hati si tua. "Empat tahun lebih aku menderita hebat di puncak ini, tapi setan kecil itu sudah dapat mempelajari sinkang yang tiada tandingannya di dunia," pikirnya. Dia sama sekali tak ingat bahwa segala penderitaannya itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Tapi sebagai manusia palsu ia bukan saja dapat menindih amarahnya, tapi juga bisa melihatkan muka berseri-seri. Dimana adanya kitab itutanyanya sambil bersenyum. "Apa boleh kulihat?"
"Boleh," jawabnya. Ia menganggap, bahwa biarpun bisa melihat, si tua takkan bisa menghafalisi kitab dalam tempo cepat. "Tapi aku sudah memendamnya di dalam lubang, besok saja aku membawanya kemari."
"Kau sudah begini besar, bagaimana kau bisa keluar dari lubang yang sempit itu?" tanya pula Cu Tiang Leng.
"Lubang itu sebenarnya tak terlalu sempit," kata Bu Kie. "Dengan mengerutkan badan dan menggunakan sedikit tenaga aku bisa lewat."
"Apa akupun dapat lewat disitu?" tanya si tua dengan mata menyala. "Bagaimana pendapatmu" Apa bisa"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie manggut2 kan kepalanya. "Kurasa dapat" jawabnya. "Besok boleh mencoba. Sesudah melewati terowongan terdapat sebuah lembah yang besar dan indah dengan bebuahan yang dapat menangsal perut". Ia tahu bahwa dengan tenaga sendiri, Cu Tiang Leng tak akan bisa lewat di terowongan itu. Tapi melihat sikap si tua yang sangat manis dan penuh dengan rasa menyesal ia jadi kasihan lantas saja ambil keputusan untuk memberi bantuan. Ia merasa, bahwa dengan menggunakan sinkang akan dapat menggencet tulang pundak dada dan pinggul si tua supaya bisa lewat di terowongan yang sempit.
"Saudara kecil, kau sungguh baik," kata si tua. "Seorang kuncu memang tidak menaruh dendam. Aku pernah melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan".
Seraya berkata begitu, ia menyoja seraya membungkuk.
Buru-buru Bu Kie membalas hormat. "Cu pehpeh jangan kau memakai terlalu banyak peradatan,"
katanya. "Besok kita bersama-sama mencari daya upaya untuk keluar dari kurungan ini."
Cu Tiang Leng jadi sangat girang. "Apakah masih ada jalan untuk keluar dari sini?" tanyanya.
"Kawanan kera bisa keluar masuk dan kitapun pasti bisa" jawabnya.
Untuk beberapa saat Cu Tiang Leng mengawasi Bu Kie. "Tapi" tapi mengapa kau tidak coba meloloskan diri terlebih siang dan menunggu sampai sekarang?" tanyanya.
Bu Kie bersenyum, "Sebegitu jauh aku tidak berani coba keluar dari sini karena kuatir dihina orang lagi," jawabnya. "Tapi sekarang mungkin aku tak perlu berkuatir lagi. Di samping itu akupun ingin menengok Thaysuhu, para Supeh dan Susiok.
Si tua berkakakan dan sambil menepuk-nepuk tangannya. "Bagus! Bagus!" Sambil menunjuk kegirangannya ia mundur satu dua tindak. Mendadak kakinya menginjak tempat kosong. Tubuhnya limbung dan.. jatuh ke bawah!
Bu Kie mencelos hatinya. Ia melompat ke pinggir tebing dan berteriak, "Cu pehpeh! Cu pehpeh..!"
Dari bawah terdengar suara rintihan perlahan. Bu Kie girang. Ia mendapat kenyataan bahwa Cu Tiang Leng jatuh di atas sebuah pohon Siong yang terpisah hanya beberapa tombak dari atas tebing. Si tua rupanya mendapat luka yang agak berat, karena badannya rebah di cabang tanpa bergerak. Dengan kepandaian yang sekarang dimilikinya, ia dapat menolong orang tua itu. Dengan mudah ia bisa melompat turun dan kemudian melompat naik dengan mendukung tubuh si tua. Demikianlah, sambil menyedot napas panjang-panjang, ia melompat turun ke arah cabang yang sebesar lengan.
Tak dinyana, pada waktu telapak kakinya hanya terpisah kira-kira setengah kaki, cabang itu mendadak jatuh ke bawah! Meskipun memiliki Sin-kang yang luar biasa, Bu Kie adalah seorang manusia biasa dan bukan seekor burung yang bisa terbang kian kemari di tengah udara. Ia terkesiap dan badannya terus meluncur ke bawah..!
Di lain detik, selagi tubuhnya melayang jatuh, ia tersadar. "Celaka sungguh! Sekali lagi aku diakali oleh bangsat tua Cu Tiang Leng! Cabang itu dipegang olehnya dan pada saat aku hampir hinggap di atasnya, ia lalu melepaskannya". Tapi sadarnya sudah terlambat.
Memang benar jatuhnya Bu Kie adalah akibat permainan gila dari si tua. Sesudah berdiam empat tahun lebih di atas "panggung" itu, dia mengenal setiap pohon, setiap rumput dan setiap batu di sekitar tempat itu. Dengan berlagak jatuh dan berlagak terluka, ia sudah menghitung pasti bahwa Bu Kie yang hatinya lemah akan coba menolong dan benar saja akal busuknya telah berhasil.
Ia tertawa terbahak-bahak dengan girangnya dan kemudian lalu naik ke atas dengan memanjat sebatang oyot yang terdapat pada siong itu. "Dahulu aku gagal untuk menembus terowongan itu," katanya dalam hati. "Mungkin tulangku patah karena aku terburu nafsu dan menggunakan tenaga terlalu besar.
Badan setan kecil itu banyak lebih besar daripada tubuhku, tapi ia bisa keluar masuk. Kalau dia besar akupun bisa. Sesudah mengambil Kioe-yang Cin keng aku bisa mencari jalan pulang dari lembah itu.
Perlahan lahan aku akan mempelajari isi kitab dan melatih diri, sehingga aku menjadi seorang ahli silat yang tiada tandingannya dalam dunia ini. Ha..ha..! Ha ha ha"!
Makin dipikir, ia jadi makin girang dan dengan bibir tersungging senyuman, ia masuk di terowongan itu. Sesudah merangkak beberapa lama, ia tiba di bagian terowongan di mana pada empat tahun berselang, tulangnya patah. Dalam usahanya untuk menerobos terowongan itu, dalam pikiran Cu Tiang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Leng hanya dikuasai oleh suatu pendapat yaitu; Bu Kie bertubuh lebih besar daripadanya, sehingga kalau Bu Kie bisa, iapun bisa. Pendapat itu pada hakekatnya tidak salah. Tapi ada sesuatu yang tidak diketahui olehnya. Ia tak tahu bahwa sesudah menyelami Kioe yang Cin keng, Bu Kie mempunyai serupa ilmu luar biasa, yaitu Siok koet kang, yang dapat mengkerutkan tulang-tulang.
Sambil mengerahkan jalan pernafasannya, sejengkal demi sejengkal ia merangkak maju. Dengan tidak banyak susah, ia bisa maju kira2 setombak lebih jauh daripada tempat terdahulu. Tapi sampai di situ, ia mandek. Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, ia tetap tidak bisa maju.
Ia mengerti, bahwa jika menggunakan tenaga Lweekang, hasilnya akan bersamaan dengan kejadian pada empat tahun berselang dan tulangnya bakalan patah lagi. Maka itu, sesudah mengasah otak, ia segera melepaskan sisa hawa yang terdapat di dalam dadanya. Benar saja badannya lebih kecil dua dim dan ia bisa maju kira kira tiga kaki. Sampai di situ, ia mandek lagi karena lubang yang terbuka masih terlalu kecil untuk tubuhnya yang sudah sangat diperkecil. Lebih celaka lagi, karena di dalam dada sudah ada hawa udara, ia merasa sesak nafas dan jantungnya berdebar keras. Di lain saat, kedua matanya berkunang-kunang.
Ia mengenal bahaya. Ia segera mengambil keputusan untuk mundur.
Tapi" ia ternyata tak bisa mundur lagi!
Waktu maju ia bisa menggunakan tenaga dengan bantuan kedua kakinya yang menendang dinding batu yang tidak rata. Tapi dalam usahanya untuk mundur kembali, ia tak punya pegangan yang dapat digunakan untuk meminjam tenaga. Kedua tangannya yang diluncurkan ke depan hampir tergencet di antara dinding terowongan sehingga tidak bisa memberi bantuan apa jua.
Sekarang, barulah si tua ketakutan. Ia tahu bahwa ia akan mati konyol. Keringat dingin membasahi pakaiannya. Ia bingung bercampur heran bercampur takut. "Mana bisa begini?" tanyanya di dalam hati.
"Badan bocah itu lebih besar daripada badanku. Mengapa dia bisa aku tidak bisa" Mana bisa begitu?"
Ya! Dalam dunia ini memang banyak hal yang aneh-aneh.
Demikianlah, Cu Tiang Leng yang pintar dan Bun bu song coan (pandai ilmu surat dan ilmu silat) tergencet di lubang, maju tak dapat, mundurpun tak bisa.
Di lain pihak, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, Bu Kie terus melayang ke bawah. "Bu Kie"! Bu Kie"!" ia mengeluh. "Kau sungguh tolol. Kau sudah tahu Cu Tiang Leng manusia licik, tapi toh kau masih juga kena diperdayai. Bu Kie..! kau memang pantas mampus diakali orang!"
Sambil menyesali diri sendiri, ia berusaha untuk menolong jiwanya. Ia menggerakkan tenaga dan melompat ke atas untk memperlambat kecepatan jatuhnya. Tapi mana ia bisa berhasil. Dengan tubuh di tengah udara, tanpa sesuatu yang dapat digunakan untuk landasan, badannya terus meluncur ke bawah dengan dahsyatnya. Di lain saat ia merasa matanya sakit karena tertumbuk dengan sinar salju di atas bumi.
Bagi Bu Kie detik itu adalah detik yang memutuskan detik antara mati dan hidup. Pada detik itu ia melihat gundukan salju. Tanpa memikir panjang panjang lagi, tanpa menghiraukan benda apa yang diliputi salju itu, ia segera mengerahkan Lweekang dan menjungkir balik ke arah tumpukan salju. "Blus!"
kedua kakinya menjeblos dan dengan berbareng ia mengerahkan Kioe yang Sin kang untuk melompat ke atas dengan meminjam tenaga berbalik dari tumpukan salju itu. Tapi tenaga jatuhnya dari tempat yang begitu tinggi dahsyat bukan main, lebih dahsyat dari tenaga yang dikerahkannya. Ia merasakan kesakitan hebat karena kedua tulang betisnya telah patah dengan berbareng.
Walaupun terluka hebat, otaknya masih terang. Ia mendapat kenyataan bahwa ia jatuh di tumpukan rumput dan kayu bakar. "Sungguh berbahaya!" pikirnya. "Kalau lapisan salju terdapat batu-batu besar, jiwaku tidak bisa tertolong lagi.
Dengan menggunakan kedua tangan, perlahan-lahan ia merangkak keluar dari tumpukan rumput itu dan merebahkan diri di atas tanah yang tertutup salju. Sesudah memeriksa lukanya, ia menarik nafas panjang2 dan lalu menyambung tulangnya yang patah. "Tanpa bergerak, paling sedikit aku memerlukan tempo sebulan untuk bisa berjalan lagi, katanya dalam hati. "Tapi selama itu, dari mana aku bisa mendapat makanan untuk menangsal perut?" Ia tahu, bahwa tumpukan rumput itu adalah miliknya seorang petani sehingga tempat itu mesti terdapat rumah orang. Semula ia ingin berteriak untuk meminta pertolongan. Tapi ia mengurungkan niatnya karena mengingat, bahwa di dalam dunia terdapat banyak
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
manusia jahat, sehingga jika teriakannya memancing kedatangan seorang jahat ia bisa jadi lebih celaka lagi. Memikir begitu, ia segera mengambil keputusan untuk rebah terus di situ sambil menunggu tersembuhnya pula tulang-tulang yang patah.
Tiga hari telah lewat. Makin lama rasa lapar menerjang kian hebat. Tapi ia tetap tidak berani bergerak, sebab sekali bergerak ia bisa jadi seorang pincang seumur hidupnya. Maka itulah, ia terpaksa menelan salju untuk menangsal perutnya yang keroncongan. Selama tiga hari itu, berulang-ulang ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati, supaya tidak sampai kena diakali oleh orang jahat.
Pada hari keempat, diwaktu malam selagi ia melatih diri dengan mengerahkan Kioe yang sin kang, kupingnya tiba2 menangkap suara menyalaknya anjing. Makin lama suara itu jadi makin dekat dan didengar dari suaranya, mungkin sekali beberapa ekor anjing tengah menguber binatang buas. "Apakah anjing2 itu miliknya Kioe Tien cie?" tanyanya dalam hati. "Semua anjing Tin cie sudah dibinasakan oleh Cu pehpeh, tapi sesudah berselang beberapa tahun, ia bisa mendidik anjing-anjing baru."
Ia memasang kuping dan mengawasi ke arah suara itu. Tak lama kemudian ia lihat bayangan seorang yang lari bagaikan terbang dengan diuber oleh tiga ekor anjing. Orang itu kelihatannya sudah lelah sekali, tindakannya limbung, tapi dalam ketakutan, ia lari terus dengan mati-matian. Bu Kie bergidik karena ia ingat pengalamannya pada beberapa tahun yang lalu.
Ia ingin sekali memberi pertolongan, tetapi tak dapat sebab tulang betisnya belum tersambung. Di lain saat, ia mendengar teriakan menyayat hati dari orang itu yang roboh di tanah dan diterkam oleh pengejar-pengejarnya.
"Anjing bangsat! Kemari kamu!" teriak Bu Kie dengan gusar.
Anjing2 itu ternyata mengerti omongan manusia. Dengan serentak mereka tinggalkan si korban dan menghampiri Bu Kie. Begitu mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang yang tidak dikenal, mereka segera menyalak dan menubruk. Buru buru Bu Kie mengerahkan Sin kang yang memang ingin dijajalnya.
Dengan telunjuk, bagaikan kilat ia menotok hidung ketiga binatang itu, yang tanpa bersuara lagi roboh binasa. Bu Kie kaget sebab baru sekarang ia menginsyafi lihaynya Kioe-yang Sin kang. Mendengar rintihan perlahan dari orang yang barusan digigit anjing, Bu Kie segera bertanya, "Saudara, apa kau terluka berat?"
"Aku" aku" tak bisa ditolong lagi?" jawabnya.
"Tulang betisku patah, aku tak dapat mendekati kau," kata Bu Kie. "Coba kau kemari, aku mau periksa lukamu."
Dengan nafas tersengal-sengal orang itu merangkak ke arah Bu Kie. Tapi baru maju beberapa langkah, ia roboh dan tak bisa bergerak lagi.
"Toako, di bagian mana kau terluka?" tanya Bu Kie.
"Di dada" di perut?" jawabnya dengan suara lemah.
Bu Kie kaget, sebab didengar dari suaranya orang itu tidak akan bisa mempertahankan diri lagi.
"Mengapa Toako diserang kawanan anjing bangsat itu?" tanyanya pula.
"Malam ini" aku" aku keluar untuk memburu babi hutan yang sering mengganggu tanamanku," ia menerangkan. "Secara kebetulan aku bertemu dengan seorang wanita dan seorang pria yang sedang beromong-omong di bawah pohon"Hai?" ia tidak bisa meneruskan perkataannya lagi, tubuhnya tidak berkutik lagi.
Bu Kie lantas saja menduga, bahwa wanita dan pria itu adalah Cu Kioe Tin dan Wie Pek yang mengadakan pertemuan rahasia di tengah malam buta. Mengingat kekejaman wanita itu, darahnya lantas saja meluap.
Kesunyian malam kembali meliputi lembah yang dingin itu.
Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara tindakan kuda, disusul dengan teriakan memanggil-manggil dari seorang wanita. Jantung Bu Kie memukul keras, karena ia segera mengenali suara Kioe Tin yang sedang memanggil2 anjing-anjingnya. Bu Kie segera bersiap sedia sebab suara
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tindakan kuda itu mendatangi ke arahnya. Tak lama kemudian, dua penunggang kuda, satu wanita dan satu pria, sudah tiba di situ. Dugaan Bu Kie ternyata tepat, mereka itu adalah Cu Kioe Tin dan Wie Pek.
"Ih! Mengapa ketiga Peng see Ciangkun binasa semua?" kata si nona dengan suara heran.
Wie Pek melompat turun dari tunggangannya. "Ada dua orang mati di sini!" katanya heran.
Bu Kie siap sedia. "Kalau dia bergerak, aku turun tangan lebih dahulu," pikirnya.
Melihat korban itu yang mendapat luka-luka berat dan Bu Kie yang pakaiannya compang camping dan rebah tanpa berkutik, Kioe Tin segera menarik kesimpulan bahwa mereka kedua-duanya sudah binasa digigit anjing. Ia mengadakan pertemuan itu untuk bersuka-sukaan dengan Wie Pek dan ia tak mau berdiam lama-lama di tempat yang dapat merusak suasana. Maka itu, ia lantas saja berkata, "Piawko, hayolah! Sebelum mati, mereka melawan mati-matian dan sudah membinasakan ketiga anjing itu."
Seraya berkata begitu, ia mengedut les kuda yang dikaburkan ke jurusan barat. Wie Pek sebenarnya merasa sangat heran dan menyelidiki lebih jauh. Tapi karena kecintaannya sudah berlalu, maka buru-buru ia melompat ke atas punggung tunggangannya untuk menyusul si cantik.
Sayup2 Bu Kie mendengar suara tertawanya Kioe Tin. Tiba2 ia dihinggapi perasaan muak dan gusar terhadap nona itu. Ia sendiri merasa heran. Empat tahun yang lalu, ia memuja Cu Kioe Tin seperti memuja seorang dewi. Andaikata ia diperintah memanjat gunung golok atau masuk ke dalam kuali minyak mendidih, ia pasti akan menurut tanpa bersangsi. Tapi sekarang, entah mengapa pengaruh si nona atas dirinya tiada bekas2nya lagi. Di dalam hati kecilnya ia menduga-duga bahwa perubahan itu sudah terjadi berkat latihan Kioe yang kang. Ia tak tahu, bahwa hal itu adalah kejadian lumrah bagi seorang lelaki yang baru berangkat besar. Pada masa akil balig, rasa cinta dari seorang lelaki terhadap orang perempuan cepat panasnya dan cepat pula dinginnya. Sesudah lewat beberapa lama pikirannya berubah sering2 mentertawai dirinya sendiri, mengapa dulu ia begitu gila. Kejadiannya ini sedikit banyak sudah dialami oleh setiap orang lelaki.
Pada keesokan harinya, seekor elang yang melihat mayat manusia dan bangkai binatang, terbang berputaran di angkasa. Beberapa saat kemudian, dia menyambar ke bawah untuk mematok makanannya.
Tapi elang itu bernasib sial. Bukan mayat yang disambar, tapi Bu Kie yang dikira mayat. Dengan sekali menggerakkan tangan Bu Kie sudah mencekal leher elang itu yang lalu dibinasakan. Langit menaruh belas kasihan dan sudah mengantarkan sarapan pagi, pikirnya dengan rasa girang. Ia lalu mencabut bulu burung itu dan makan dagingnya. Biarpun mentah, ia memakannya dengan bernafsu, karena sudah berhari-hari perutnya menahan lapar.
Belum habis daging elang yang pertama, elang kedua sudah menyatroni. Dengan begitu, ia tidak kekurangan makanan untuk menangsal perut. Hari lewat hari ia rebah disitu sambil menunggu bersambungnya tulang. Untung juga karena hawa yang sangat dingin, mayat dan bangkai manusia yang mengawaninya tak menjadi rusak. Karena sudah biasa hidup menyendiri maka hari2 itu telah dilewatkannya tanpa terlalu penderitaan.
Pada suatu lohor, sesudah melatih Lweekang ia melihat dua ekor elang yang terbang berputaran terus menerus di angkasa tanpa berani turun. Tiba2 salah seekor menyambar ke bawah menyambar ke arahnya.
Tapi dia tak menyambar terus. Waktu terpisah kira-kira tiga kaki dengan Bu Kie, elang itu mendadak berbelok dan terbang ke atas lagi dengan suatu gerakan yang lincah dan indah sekali.
"Aha, gerakan itu dapat dipergunakan dalam ilmu silat," kata Bu Kie dalam hatinya. "Serangan cepat sehingga lawan sukar dapat menangkisnya dan kalau serangan itu gagal, gerakan mundurnya pun tak kurang cepatnya sehingga musuh takkan bisa mengundak."
Sebagaimana diketahui, Kioe yang cin keng adalah kitab yang mengutamakan pelajaran latihan tenaga dalam. Dalam kitab itu tidak terdapat pelajaran jurus-jurus dan tipu-tipu silat. Maka itulah, biarpun sudah berlatih Kioe yang Cin keng, waktu diserang Kak wan tak tahu cara membela diri. Perlawanan Thio Kun Po (belakangan dikenal sebagai Thio Sam Hong) terhadap In Kek See juga berkat empat jurus silat yang didapatnya dari Sin Tiauw Tayhiap Yo Ko. Tapi Bu Kie agak berlainan daripada Kak wan dan Thio Sam Hong. Sedari kecil, ia sudah belajar ilmu silat. Akan tetapi jika ia ingin melebur Lweekang tertinggi yang telah dimilikinya dalam ilmu-ilmu silat, ia tak akan bisa melakukannya di dalam waktu yang pendek.
Maka setiap kali melihat jatuhnya bunga, menjulangnya cabang pohon ke angkasa, gerak-gerik binatang atau burung, ataupun perubahan angin, ia lantas ingat jurus-jurus silat yang dapat digubah daripada contoh-contoh itu.
Ia terus mengawasi kedua elang itu dan mengharap-harap agar mereka menyambar lagi seperti tadi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba2 kupingnya menangkap suara tindakan manusia di atas salju. Tindakan itu enteng dan lincah, seperti tindakan wanita. Ia memutar kepala dan mengawasi ke arah suara itu. Benar saja yang sedang mendatangi adalah seorang wanita yang tangannya menenteng sebuah keranjang kecil.
Melihat mayat dan bangkai binantang, wanita itu merandek dan mulutnya mengeluarkan seruan kaget.
Ia seorang wanita muda yang kira2 tujuh belas atau delapan belas tahun. Dilihat pakaiannya yang terbuat dari pada kain kasar, ia seorang gadis dusun yang miskin. Ia pun bukan gadis cantik, bahkan dapat dikatakan beroman jelek karena rambutnya kering, kulitnya hitam, otot otot pada mukanya banyak melesak atau menonjol keluar, sedangkan kedua ujung mulutnya agak turun ke bawah. Bagian yang menyedapkan dari wanita itu adalah kedua matanya yang jeli dan bersinar tajam serta tubuhnya yang ramping dan gemulai.
Ia mendekati dan waktu kedua matanya kebentrok dengan sorot mata Bu Kie, ia kaget dan bertanay dengan suara terputus putus. "Kau" kau" tidak mati?"
"Tidak," jawabnya.
Pertanyaan yang pendek itu dijawab dengan pendek pula.
Di lain saat, mereka tertawa bersama. "Kalau kau belum mati, perlu apa kau rebah di situ?" tanya pula si nona.
"Aku jatuh dari atas gunung, tulang betisku patah." Bu Kie menerangkan.
"Apa dia kawanmu?" tanya wanita itu seraya menunjuk mayat. "Mengapa tiga anjing itu mati?"
"Tiga binatang itu telah menggigit dan membinasakan saudara itu," jawabnya.
"Bagaimana keadaanmu" Apa kau tidak lapar?"
"Tentu saja lapar. Tapi aku tidak dapat bergerak dan menyerahkan segala apa pada nasib."
Wanita itu tersenyum. Ia merogoh keranjangnya dan mengeluarkan dua potong kue phia lalu diberikan kepada Bu Kie.
"Terima kasih," kata Bu Kie seraya menyambutinya, tapi ia tidak lantas memakannya.
"Mengapa kau tidak makan" Apa kau takut ada racunnya?" tanya si nona.
Sudah 4 tahun lebih, kecuali dengan Cu Tiang Leng, Bu Kie tidak pernah bicara dengan lain manusia.
Maka itu, pertemuannya dengan gadis itu menggirangkan hatinya, karena biarpun si nona berparas jelek, omongan2 nya sangat menarik. Ia tertawa dan menjawab, "Bukan, bukan begitu. Sebabnya adalah karena phia ini diberikan oleh nona, maka aku merasa sayang untuk segera memakannya."
Jawaban itu, yang sebenarnya hanya guyon guyon dapat diartikan sebagai ejekan. Bu Kie adalah seorang yang sifatnya sungguh2 dan ia jarang sekali bicara main-main. Tapi sekarang, dalam berhadapan dengan gadis jelek itu, hatinya bebas tanpa merasa ia sudah mengeluarkan kata-kata itu.
Di luar dugaan, paras muka si nona lantas saja berubah gusar dan ia mengeluarkan suara di hidung sehingga Bu Kie merasa sangat menyesal dan buru-buru ia memasukkan kue ke dalam mulutnya. Karena terburu-buru, kue itu menyangkut di tenggorokannya dan ia batuk-batuk.
Muka si nona berubah lagi, dari marah menjadi girang. "Terima kasih Langit, terima kasih Bumi. Tioe Pat Koay (si muka jelek) bukan manusia baik, katanya. "Bapak Langit menjatuhkan hukuman kepadamu.
Mengapa orang lain tidak dipatahkan tulangnya, hanya kau seorang yang dipatahkan tulang betismu?"
"Sesudah empat tahun tak pernah mencukur rambut dan muka, tentu saja mukaku kelihatannya jelek,"
kata Bu Kie dalam hati. "Tapi kaupun tidak cantik. Kita berdua setali tiga uang." Tapi tentu saja ia tak berani mengutarakan berterus terang apa yang dipikir dalam hatinya. Ia tersenyum dan berkata, "Sudah 9
hari aku menggeletak di sini. Sungguh untung, nona kebetulan lewat disini dan nona sudah memberikan kue kepadaku. Terima kasih banyak untuk kebaikanmu itu."
Si nona tertawa. "Jangan kau bicara menyimpang," katanya. "Aku tanya mengapa hanya seorang yang patah tulang" Kalau kau tidak menjawab, aku akan mengambil pulang kueku itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Jantung Bu Kie memukul keras sebab selagi bicara sambil tertawa di mata gadis itu terdapat sinar kenakalan yang menyerupai sinar mata yang dimiliki oleh ibunya sendiri. "Mengapa sinar matanya mirip dengan sinar mata ibu?" tanyanya di dalam hati. "Sebelum meninggal dunia, waktu ibu memperdayai pendeta Siauw lim sie, pada kedua matanya terlihat sinar yang seperti itu." Mengingat ibunya, hatinya merasa pilu dan air matanya lantas saja mengucur.
"Fui!" kata si nona sambil tertawa nyaring. "Tidak, aku tidak akan merampas kue itu. Sudah! Jangan nangis. Hai"! Kalau begitu, kau hanya satu manusia dungu."
"Huh! Kau kira kuemu terlalu enak?" kata Bu Kie. "Aku menangis karena ingat sesuatu bukan sebab kuemu."
"Ingat apa?" tanya si nona.
Bu Kie menghela nafas. "Aku ingat ibu. Ibuku yang sudah meninggal dunia," jawabnya.
Si nona tertawa nyaring. "Ibumu sering memberi phia kepadamu, bukan?" tanyanya.
"Benar, ibuku memang sering memberi kue kepadaku," jawabnya. "Tap aku ingat kepadanya bukan sebab itu. Aku ingat ibu sebab tertawamu sangat mirip dengan tertawa ibu."
"Setan!" bentak si nona dengan suara gusar, "Aku sudah tua ya" Sama seperti ibumu, ya?" Ia mengambil cabang kering dan menyabet Bu Kie dua kali.
Kalau mau, dengan mudah Bu Kie bisa merampas cabang kering itu. Tapi ia berkata dalam hatinya,
"Ia tidak tahu bagaimana cantiknya ibuku. Ia rupanya menganggap roman ibu sejelek romanku dan ia merasa tersinggung. Dilihat dari sudut ini, ia memang pantas bergusar." Sesudah disabet, ia berkata,
"Ibuku sangat cantik!"
Muka si nona tetap muram. "Kau mentertawai aku karena romanku jelek?" bentaknya pula. "Benar-benar kau sudah bosan hidup, biar aku tarik kakimu." Seraya mengancam, ia membungkuk dan bergerak untuk menarik kaki pemuda itu.
Bu Kie kaget. Tulang betisnya baru menyambung, sehingga kalau ditari ia bakal menderita lebih berat.
Buru-buru ia meraup salju, begitu kakinya tersentuh ia akan menimpuk Bie sim hiat si nona supaya ia pingsan. Untung juga ancaman itu tidak dibuktikan.
Melihat perubahan pada paras muka Bu Kie nona itu berkata, "Mengapa kau begitu ketakutan"
Nyalimu seperti nyali tikus, siapa suruh kau mentertawai aku?"
"Sedikitpun aku tak punya niat untuk menggoda nona," kata Bu Kie dengan suara sungguh-sungguh.
"Jika di dalam hati aku berniat mentertawai nona, biarlah sesudah sembuh, aku jatuh lagi tiga kali dan seumur hidup aku menjadi seorang pincang."
Mendengar sumpah itu, ia tertawa geli dan lalu duduk di samping. "Kalau ibumu seorang wanita cantik, mengapa kau membandingkan aku dengan dia?" tanyanya dengan suara perlahan.
"Apa akupun cantik?"
Bu Kie tergugu. Sesaat kemudian barulah ia bisa menjawab. "Entahlah, aku pun tak tahu sebabnya.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku hanya merasa, bahwa kau mirip dengan ibuku. Biarpun kau tidak secantik ibu, tapi aku merasa sayang jika memandang parasmu."
Si nona tersenyum, ia mencolek pipi Bu Kie dengan jarinya dan berkata sambil tertawa, "Anak baik, nah kalau begitu kau panggil saja ibu kepadaku?" Ia tidak meneruskan perkataannya dan dengan sikap kemalu-maluan, dia memutar kepala ke jurusan lain, karena ia merasa bahaw perkataannya itu tidak pantas dikeluarkan. Tapi sesudah memutar kepala, ia ta dapat menahan rasa gelinya dan lalu tertawa pula.
Melihat begitu, Bu Kie lantas saja ingat kejadian-kejadian di pulau Peng hwee to, yaitu pada saat kedua orang tuanya bersenda gurau. Ia ingat bahwa dalam guyon2, sikap mendiang ibunya sangat menyerupai sikap si wanita jelek saat ini. Tiba-tiba ia merasa bahwa nona itu tidak jelek. Dia cantik, dia ayu" ia mengawasi seperti orang kesengsem.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba2 si nona memutar lagi kepalanya dan melihat Bu Kie mengawasinya seperti orang linglung. Ia tertawa dan bertanya, "Mengapa kau senang melihat aku" Coba beritahukan kepadaku sebab musababnya."
Bu Kie tidak lantas menjawab. Sesudah geleng-gelengkan kepalanya ia baru berkata, "Aku tak dapat mengatakan secara tepat. Aku hanya merasa bahwa kalau memandang wajahmu, hatiku tenang dan aman.
Aku merasa bahwa kau akan hanya berbuat baik terhadapku, bahwa kau tidak akan mencelakai aku."
Si nona tertawa nyaring, "Haa..ha..! Kau salah! Aku adalah manusia yang paling suka mencelakai orang," katanya.
Sekonyong2 ia mengangkat cabang kayu yang dipegangnya dan menyabet betis Bu Kie dua kali.
Sesudah itu ia berjalan pergi. Sabetan itu yang dijatuhkan secara diluar dugaan, kena tepat pada tulang yang patah, sehingga Bu Kie kesakitan dan berteriak, "Aduh!" Teriakan Bu Kie disambut dengan tertawa geli.
Dengan mendongkol Bu Kie mengawasi bayangan wanita itu yang makin lama jadi makin jauh.
"Kurang ajar!" ia mengomel. "Yang cantik suka melukai orang, yang jelekpun begitu juga".
Malam itu Bu Kie banyak bermimpi. Ia bermimpi bertemu dengan wanita itu, bertemu pula dengan mendiang ibunya dan bertemu pula dengan seorang wanita yang tidak terang wujudnya. Mungkin ibunya dan mungkin juga wanita jelek itu. Ia bermimpi sang ibu mempermainkannya menjatuhkannya dan sesudah ia menangis barulah ibunya memeluknya, menciumnya dan berkata, "Anak baik jangan menangis, sayang"sayang" ibu menyayang kau."
Waktu terdengar dalam otaknya mendadak berkelebat serupa ingatan yang baru pernah diingatnya sekarang. "Mengapa ibu begitu suka mencelakakan manusia?" tanyanya di dalam hati. "Kedua mata Giehu dibutakan oleh ibu. Jie Sam supeh bercacat karena ibu. Seluruh keluarga Liong bun Piauw kiok binasa dalam tangan ibu. Apa ia orang baik?" Sambil bertanya begitu, ia mengawasi bintang-bintang di langit dan menghela nafas berulang-ulang. "Tak peduli baik atau jahat, ia tetap ibuku," pikirnya. "Kalau ibu masih hidup, aku pasti akan menyintanya dengan segenap jiwa dan raga."
"Di lain saat ia ingat gadis dusun itu. Mengapa si jelek memukul kakinya" Aku tidak bersalah mengapa dia memukul aku?" tanyanya di dalam hati. "Sesudah aku berteriak kesakitan, ia tertawa kegirangan. Apakah ia manusia yang senang mencelakakan sesama manusia?"
Ia mengharapkan nona itu datang lagi, tapi iapun kuatir akan dipukul lagi. Otaknya bekerja terus, sebentar ia ingat mendiang ibunya, sebentar ia ingat gadis dusun itu dan sebentar ia ingat lain-lain hal.
Dua hari telah lewat dan nona itu tidak pernah muncul. Bu Kie menganggap dia tak akan Datang lagi untuk selama-lamanya. Diluar dugaan, pada hari ketiga, kira2 lohor, gadis dusun itu menyatroni lagi sambil menenteng keranjangnya. "Tio pat koay," tegurnya seraya tertawa. "Kau belum mati kelaparan ?".
Sudah hampir," jawabnya. "Sebagian besar mampus, sebagian kecil masih hidup".
Nona itu tertawa, lalu duduk disamping Bu Kie. Mendadak memandang betis pemuda itu. "Apa bagian itu masih hidup?" tanyanya.
"Aduh!" teriak Bu Kie. "Kau sungguh manusia yang tak punya liangsim!" (Liangsim---perasaan hati).
"Tak punya liangsim?" menegas si nona. "Kebaikan apa yang sudah ditunjuk olehmu terhadap diriku?"
Bu Kie terkejut. "Kemarin dulu kau telah memukul aku, tapi aku tidak menaruh dendam," katanya.
"Selama dua hari, aku selalu mengingat kau".
Paras muka si nona lantas saja berubah merah, seperti orang bergusar, tapi ia menekan nafsu amarahnya. "Apa yang dipikir olehmu kebanyakan bukan hal yang baik," katanya. "Aku berani memastikan, di dalam hati kau mencaciku sebagai perempuan jelek perempuan jahat".
"Romanmu tidak jelek," kata Bu Kie. "Tapi mengapa kau baru merasa senang bila sudah mencelakai manusia?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si nona tertawa geli. "Bagaimana kudapat memperlihatkan rasa senangku, jika aku tak bisa menyaksikan penderitaan orang?" katanya dengan suara adem.
Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Bu Kie yang pasa mukanya menunjuk perasaan tidak puas dan tidak setuju. Melihat pemuda itu masih mencekal sepotong kue yang belum dimakan tiga hari, ia tersenyum lalu berkata.
"Phia itu sudah tiga hari, apa masih enak dimakan?"
"Aku merasa sayang untuk makan kue ini yang dihadiahkan olehmu," jawabnya. Bila pada tiga hari berselang ia mengatakan begitu untuk berguyon, kini suaranya bernada sungguh2. Nona itu juga merasa, bahwa kali ini Bu Kie tidak bicara main-main dan paras mukanya lantas saja bersemu merah. "Aku membawa kue-kue yang baru," katanya sambil merogoh keranjang dan mengeluarkan beberapa macam makanan, disamping kue, terdapat juga ayam panggang dan kaki kambing panggang yang baunya wangi.
Bu Kie girang bukan main. Selama tiga tahun lebih, ia hanya mengenal daging kodok dan bebuahan dan baru sekarang, ia dapat mencicipi lagi makanan enak. Tanpa sungkan sungkan, di lalu memasukkan sepotong daging ayam ke dalam mulutnya.
Sambil memeluk lutut dan mengawasi cara makannya Bu Kie yang sangat bernafsu, si nona duduk disamping pemuda itu. "Siluman muka jelek (Tioe pat koay), kau makan enak sekali," katanya.
"Kusenang melihat cara makanmu. Kau agak berlainan dengan lain manusia. Tanpa mencelakai kau, aku sudah merasa senang."
"Rasa senang yang sejati adalah rasa senang yang didapat karena melihat orang lain merasa senang."
Kata Bu Kie. Nona itu tertawa dingin. "Huh!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Biarlah aku berterus terang terhadapmu. Hari ini hatiku senang dan aku tidak mencelakai kau. Tapi dilain hari, bila aku tak senang, mungin sekali aku akan menghajar kau, sehingga kau hidup tidak, matipun tidak. Kalau terjadi kejadian itu, jangan kau menialahkan aku".
Bu Kie menggeleng kepalanya. "Kau takkan mampu menghajar aku, " katanya.
"Mengapa begitu?" tanya si nona.
"Sedari kecil aku sudah biasa dihajar oleh manusia jahat," jawabnya. "Aku dihajar hingga besar.
Makin dihajar, aku maikn a lot".
"Lihat saja buktinya nanti," kata nona itu.
Bu Kie tersenyum dan berkata pula. "Sesudah lukaku sembuh, aku akan menyingkir jauh jauh. Kau takkan bisa menganiaya aku lagi".
"Kalau begitu, lebih dahulu aku akan putuskan betismu sehingga kau seumur hidup takkan bisa berpisahan lagi denganku," kata si nona.
Mendengar suara dingin bagaikan es, Bu Kie bergidik. Ia mersa, bahwa perkataan itu bukan diucapkan seenaknya saja dan bahwa apa yang dikatakannya dapat dilakukan oleh wanita itu.
Sementara itu, setelah mengawasi Bu Kie beberapa saat, si nona menghela nafas. Sekonyong-konyong paras mukanya berubah. "Tioe pat koay" bentaknya. "Apakah betis anjingmu tak pantas dibacok putus olehku?" Mendadak ia berbangkit, merampas potongan daging ayam, kaki kambing dan kue phia yang belum dimakan dan melemparkannya jauh-jauh. Sesudah itu dengan penuh amarah, ia meludahi muka Bu Kie.
Bu Kie menatap wajah si nona. Ia merasa, bahwa gadis itu bukan sengaja benar2 bergusar dan juga tak sengaja mau menghina dirinya, karena pada paras mukanya terlihat sinar kedukaan yang sangat besar. Bu Kie adalah seorang yang mempunyai perasaan halus dan bisa turut merasakan penderitaan orang lain. Ia ingin sekali menghibur, tapi untuk sementara ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Melihat sikap Bu Kie, nona itu berhenti meludah. "Tioe pat koay!" bentaknya. "Apa yang sedang dipikir olehmu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Nona, mengapa kau kelihatannya begitu menderita?" Bu Kie balas menanya. "Beritahukanlah kepadaku".
Karena ditanya dengan perkatann lemah lembut, gadis itu tak dapat jalan untuk mengumbar nafsunya lagi. Sekonyong2 ia duduk pula disamping Bu Kie dan menangis sedu sedang sambil memeluk kepalanya.
Bu Kie mengawasinya dengan belas kasihan.
"Nona," katanya dengan suara perlahan. "Siapa yang sudah menghina kau" Tunggulah, sesudah kakiku sembuh aku akan membalas sakit hatimu.
Nona itu terus menangis. Selang beberapa lama, barulah ia berkata. "Tidak ada orang yang menghinaku. Penderitaanku karena nasibku yang buruk, karena salahku sendiri. Aku memikiri orang yang tak dapat melupakannya".
Bu Kie mangut2kan kepala. "Orang laki2 bukan?" tanyanya pula. "Dia jahat terhadapmu bukan ?"
"Benar!" jawabnya. "Dia sangat tampan, tapi sombong luar biasa. Aku ingin dia mengikuti aku seumur hidup, tapi dia tak mau. Itu masih tidak apa. Celakanya, dia bukan saja mencaci tapi juga sudah menganiaya aku, sehingga darah berlumuran."
"Kurang ajar sungguh dia !" teriak Bu Kie dengan gusar. "Nona kau jangan perdulikan dia lagi."
Air mata si nona kembali mengucur "Tapi"..aku tak dapat melupakannya", katanya. "Dia pergi jauh2
untuk menyingkirkan diri dan aku sudah mencarinya kesana kemari!"
Mendengar begitu, walaupun merasa, bahwa nona itu beradat aneh, rasa kasihan Bu Kie jadi makin besar. "Didunia terdapat banyak sekali lelaki yang baik. Perlu apa kau memikiri manusia yang tak berbudi itu ?"
Si nona menghela nafas panjang, matanya mengawasi ketempat jauh. Bu Kie tahu, bahwa ia tak dapat menghilangkan bayangan lelaki itu dari alam pikirannya. Untuk mencoba lagi ia berkata pula, "Lelaki itu hanya memukulmu satu kali. Tapi penderitaanku sepuluh kali lebih hebat daripada kau".
"Apa" Kau ditipu wanita cantik ?" tanya nona itu.
"Dia bukan sengaja ingin menipu aku", jawabnya. "Aku sendirilah yang salah. Melihat kecantikkannya aku jadi seperti orang edan. Tentu saja aku bukan pasangannya dan akupun tidak mengharapkan yang tidak2. belakangan ayahnya wanita itu telah menjalankan siasat busuk terhadap diriku sehingga aku sangat menderita". Seraya berkata begitu, ia menggulung tangan bajunya dan sambil menunjuk tanda2 bekas luka, ia berkata pula. "Lihatlah! Ini tanda bekas gigitan anjing2nya yang jahat".
Paras muka nona itu lantas berubah gusar. "Apa kau maksudkan Cu Kioe tia ?" tanyanya.
"Bagaima kau tahu?" Bu Kie balas menanya dengan suara heran.
"Budak hina itu suka sekali memelihara anjing yang sering untk mencelakakan manusia", jawabnya.
"Dalam jarak ratusan li disekitar tempat ini, tak seorangpun yang tidak tahu".
Bu Kie mengangguk "Benar", katanya. "Lukaku sudah sembuh dan akupun masih hidup, akupun tak mau mebenci dia lagi".
Mereka saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Selang beberapa saat nona itu bertanya.
"Siapa namamu" Mengapa kau berada disini?"
Mendengar pertanyaan itu Bu Kie segera ingat bahwa waktu berada di tionggoan banyak sekali orang coba mengorek keterangan tentang ayah angkatnya dan karena urusan itu, ia telah mendapat banyak kesengsaraan. "Mulai dari sekarang Thio Bu Kie sudah meninggal dunia dan di dalam dunia tak ada manusia lagi yang tahu tempat bersembunyinya Kim Mo Say Ang Cia Sun", katanya di dalam hati.
"Dikemudian hari biarpun aku bertemu dengan manusia yang sepuluh kali lihay daripada Cu Tiang Leng, aku tak bisa diakui lagi". Memikiri begitu, ia lantas menjawab. "Namaku Ah Goe".
"Shemu?" tanya pula si nona.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku"..aku si Ca", jawabnya. "Dan Kau?"
"Aku tak punya She", jawabnya. Sesaat kemudian ia berkata lagi dengan suara perlahan. "Ayah kandungku membenci aku. Kalau ia bertemu denganku ia pasti akan membunuhku. Bagaimana aku bisa menggunakan shenya" Ibuku sendiri meninggal dunia sebab gara2ku. Akupun tidak bisa menggunakan she ibu. Romanku sangat jelek (toe), maka itu biarlah, kau memanggil aku dengan panggilan Tioe Kouwnia (nona muka jelek saja)".
Bu Kie terkejut. "Kau?"..kau telah mencelakakan ibumu sendiri?" tanyanya dengan suara terputus2.
"Bagaimana bisa begitu?"
Gadis itu menghela nafas. "Kalau mau dituturkan panjang sekali", jawabnya. "Aku mempunyai dua orang ibu. Ibu kandungku adalah istri pertama dari ayahku. Karena lama tidak punya anak ayah mengambil istri kedua. Ibu tiriku (Jienio) telah melahirkan dua kakak laki laki dan seorang kakak perempuan, sehingga ayah sangat menyayangnya. Belakangan ibu melahirkan aku. Sebab disayang dan juga sebab keluarganya berpengaruh, Jienio sangat sewenang-wenang terhadap ibuku yang hanya bisa menangis, ketiga kakak juga sangat jahat dan mereka membantu ibu mereka untuk menindas ibuku. Tioe Pat Koay, coba kau pikir, apakah yang harus diperbuat olehku?"
"Dalam hal ini ayahmu harus berlaku adil", kata Bu Kie.
"Tapi ayah sangat memilih kasih dan ia selalu membenarkan Jienio" kata si nona. "Karena tak dapat menahan sabar akhirnya aku bacok mampus ibu tiriku itu".
"Ah", tanpa merasa Bu Kie mengeluarkan suara kaget. Ia adalah seorang dari rimba persilatan yang sudah biasa melihat pertempuran dan pembunuhan. Tapi gadis itu yang kelihatannya lemah bisa membunuh orang adalah kejadian yang sangat diluar dugaannya. Tapi nona itu sebaliknya tenang2 saja dan dengan suara perlahan ia melanjutkan penuturannya. "Ibu jadi ketakutan dan menyuruh aku melarikan diri. Ketika kakakku mau mengubar untuk menangkap aku, ibu mencoba mencegah mereka, tapi tidak berhasil. Untuk menolong jiwaku, ibu segera menggantung diri sehingga mati. Coba kau pikir.
Bukankah aku yang sudah mencelakai ibuku sendiri" Kalau ayah bertemu denganku bukankah ia bisa membunuh aku?"
Bu Kie mendengarkan cerita itu dengan jantung memukul keras. "Walaupun kedua orang tuaku sudah meninggal dunia secara menggenaskan, mereka sedikitnya mencintai satu sama lain", katanya di dalam hati. "Ayah dan ibu juga sangat mencintai aku. Ya! Kalau dibanding2kan, penderitaan nona itu memang ribuan kali lebih hebat daripada pengalamanku". Mengingat begitu, rasa kasihannya jadi terlebih besar.
"Apa sudah lama kau meninggalkan rumah?" tanyanya "Apa mulai dari waktu itu kau terus terlunta2
sebatang kara?" Si nona manggut-manggutkan kepalanya.
"Sekarang, kemana kau mau pergi?" tanya pula Bu Kie.
"Entahlah", jawabnya. "Dunia sangat lebar dan aku bisa pergi kemanapun juga. Asal tidak berpapasan dengan ayah dan kakakku, aku boleh tak usah berkuatir".
Darah Bu Kie bergolak dalam dadanya. Disamping rasa kasihan, ia merasa senasib dengan gadis dusun itu, sebab iapun sebatang kara dan hidup bergelandang di dunia yang lebar ini. "Biarlah kau tunggu sampai lukaku sembuh", katanya kemudian. "sesudah sembuh, kita akan cari toako".pemuda itu. Aku mau tanya, bagaimana sikapnya yang sebenarnya terhadapmu?"
"Bagaimana kalau ia memukul aku?" tanya si nona.
"Hm!" Bu Kie mengeluarkan suara dihidung. "Kalau dia berani menyentuh selembar rambutmu saja, aku pasti tak akan mengampuninya".
"Tapi bagaimana jika ia hanya mengambil sikap tidak memperdulikan?" mendesak si nona.
Bu Kie membungkam. Ia mengerti, bahwa ia tak dapat memaksakan cinta. Sesudah termenung beberapa saat, ia berkata. "Aku akan berusaha sedapat mungkin".
Sekonyong2 nona itu tertawa terbahak2, tertawa geli, seolah2 di dalam dunia tak ada lain hal yang lebih menggelikan daripada pernyataan Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Mengapa kau tertawa?" tanya Bu Kie dengan heran.
"Tioe pat koey", jawabnya. "Manusia apa kau" Apa kau kira orang akan mengindahkan segala kemauanmu" Aku sudah mencari2 dia ke segala pelosok, tapi tak bisa menemukannya. Apakah dia masih hidup" Apakah sudah mati" Entahlah kau mau berusaha sedapat mungkin" Apa kemampuanmu" Ha ha ha!......ha ha".".
Bu Kie sebenarnya mau mengatakan sesuatu akan tetapi, mendengar perkataan itu, mulutnya yang sudah terbuka tertutup kembali. Dengan paras muka merah dan mulut ternganga, ia mengawasi gadis dusun itu.
"Kau mau bicara apa?" tanya si nona.
"Sesudah kau mentertawai aku, tak perlu aku bicara lagi".
"Hm!......Paling banyak aku tertawa lagi. Dengan ditertawai olehku, kau toh tak akan mati".
"Nona, aku bicara dengan setulus hati. Tak pantas kau mentertawai aku".
"Sudahlah. Sekarang jawablah pertanyaanku. Apa yang mau dikatakan olehmu?"
"Baiklah", kata Bu Kie. "Karena melihat kau sebatang kara dan nasibmu agak bersamaan dengan nasibku sendiri, yang sudah tak punya orang tua atau saudara, maka tadi aku ingin mengatakan. Jika pemuda itu tetap tak mau memperdulikan kau, biarlah aku saja yang mengawani kau. Biar bagaimanapun jua, aku bisa menjadi kawan beromong2, guna menghibur kau. Tapi jika kau menganggap, bahwa diriku tidak sesuai untuk berbuar begitu, terserahlah kepadamu".
"Tidak sesuai!.......Memang tidak sesuai", kata si nona. "Orang jahat itu seratus kali lipat lebih tampan daripada mukamu. Celaka sungguh! Aku membung2 tempo disini dengan pembicaraan yang tidak ada faedahnya". Sesudah menendang daging ayam dan kaki kambingyang dilontarkannya ke tanah, ia segera berlalu dengan cepat.
Bu Kie menghela nafas. "Nona itu sungguh harus dikasihani". Pikirnya dengan perasaan duka. Ia sangat menderita dan segala sepak terjangnya yang sangat aneh harus dimaafkan".
Sekonyong2 terdengar suara tindakan dan gadis dusun itu kembali lagi. "Tioe pat koey!", bentaknya dengan garang. "Kau tentu merasa sabngat penasaran di dalam hati, kau pasti merasa sangat mendongkol, bahwa seorang wanita yang sejelek aku masih berani menghina dirimu. Benarkah begitu?".
Bu Kie meggelengkan kepala. "Tidak, tidak begitu", katanya. "Karena kau tidak begitu cantik, maka begitu bertemu, aku lantas saja merasa cocok denganmu. Kalau mukamu tidak berubah jelek dan masih seperti pada waktu pertemuan pertama kali".."
"Apa?" memutus si nona. "Bagaimana kau tahu bahwa dahulu aku tidak seperti sekarang?"
"Dalam pertemuan ini, bengkak matamu lebih hebat dan warna kulitmu lebih hitam daripada dalam pertemuan pertama kali", kata Bu Kie.
"Roman muka yang didapat semenjak dilahirkan tidak bisa berubah2."
"Nona itu kelihatan kaget sekali. "Aku?". Aku dalam beberapa hari ini, aku tidak berani berkaca", katanya "Apakah romanku makin lama jadi makin jelek?"
"Aku memandang manusia bukan melihat romannya", kata Bu Kie menghibur.
"Dlam manusia, yang terutama adalah hati harus baik, rupa adalah soal kedua. Ibuku pernah mengatakan bahwa makin cantik seorang wanita mungkin makin busuk hatinya, makin suka menipu orang dan ibu menasehati aku supaya aku berwaspada terhadap wanita cantik".
Tapi gadis itu tentu saja tidak memperdulikan apa yang dikatakan oleh ibunya Bu Kie. Yang penting baginya adalah soal dirinya sendiri. Cepat-cepat ia berkata "Kau jawablah pertanyaanku. Dalam pertemuan kita pertama kali, apa romanku belum sejelek sekarang ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie mengerti, bahwa jika ia menjawab "Ya", gadis itu tentu akan tersinggung. Maka itu, ia tidak menjawab dan hanya mengawasi si nona dengan hati sangsi.
Tapi nona itu ternyata cukup cerdas otaknya. Melihat kesangsian orang, ia bisa menebak apa yang dipikir oleh pemuda itu. Tiba2 ia menangis "Tioe pat koey! Aku benci kau!......benci kau"." Teriaknya. Ia segera berlalu dan kali ini tidak kembali lagi.
Dua hari telah lewat. Malam itu, seekor srigala berkeliaran mencari makanan. Sambil mengendus2 dia mendekati Bu Kie.
Dengan sekali meninju, Bu Kie berhasil membinasakannya, sehingga binatang itu yang mau cari makan, malah kena dimakan.
Beberapa hari lewat lagi tanpa terjadi sesuatu yang penting. Kedua tulang betis Bu Kie yang patah sudah menyambung pula dan tujuh delapan hari lagi, ia akan bisa jalan seperti sedia kala. Selama beberapa hari itu, ia selalu memikirkan si gadis dusun. Ia merasa menyesal, bahwa ia masih belum tahu nama si nona. Disamping itu, iapun merasa heran mengapa muka nona itu bisa berubah menjadi lebih jelek. Ia mengasah otak untuk memecahkan teka teki itu, tapi sampai kepalanya puyeng, ia masih belum juga berhasil. Karena capai, tak lama kemudian ia pulas nyenyak.
Kira kira tengah malam ia tersadar karena suara tindakan beberapa orang di tempat jauh. Sesudah melatih Kioe Yang Sin Kang di dalam dirinya telah mendapat semacam kewaspadaan yang wajar.
Biarpun sedang pulas, setiap suara dalam puluhan tombak tidak terlepas dari pendengarannya.
Waktu itu biarpun kakinya masih belum bisa digunakan, ia sudah bisa duduk. Dengan cepat ia duduk dan mengawasi ke arah suara itu. Dengan bantuan sinar bulan sisir yang remang2, ia melihat tujuh orang sedang mendatangi. Yang berjalan paling dulu adalah seorang wanita bertubuh langsing dan gerak geriknya gemulai. Sesaat kemudian ia terkejut sebab wanita itu bukan lain daripada si wanita dusun yang aneh. Dibelakangnya mengikuti enam orang yang berjalan dengan berbareng dam bentuk kipas, seolah olah mau menjaga supaya nona itu jangan sampai melarikan diri. "Apakah ia sudah ditangkap oleh ayah dan kakak2nya?" tanyanya di dalam hati. "Mengapa mereka datang kesini?"
Makin lama mereka makin mendekati.
Tiba tiba Bu Kie terkesinap. Keenam orang itu sudah dikenal olehnya. Yang berjalan di sebelah kiri adalah Bu Ceng Eng bersama ayahnya, Bu Liat, dan Wie Pek. Sedang yang disebelah kanan adalah Ciang Bun Jin Kun Lun Pay Ho Thay Ciong bersama istrinya, Pan Siok Ham, dan yang satunya lagi, seorang wanita berusia pertengahan, juga seorang kenalan lama, yaitu Teng Bin Kun, Murid Goe Bi Pay.
Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan!
"Bagaimana ia bisa mengenal orang2 itu?" tanya Bu Kie di dalam hati. "Apakah ia juga seorang rimba persilatan yang sudah mengenali siapa adanya aku dan kemudian memberitahukan kawan-kawannya untuk memaksa aku buka rahasia Gioehu?". Dengan adanya dugaan itu darahnya lantas meluap.
"Perempuan jelek!" cacinya "Aku dan kau tidak mempunyai permusuhan. Mengapa kau mencelakai aku?"
Denga cepat ia memikir daya upaya untuk menolong diri. "Kedua kakiku belum bisa bergerak dan keenam orang itu lihay semuanya," katanya di dalam hati. "Mungkin sekali si perempuan dusunpun mempunyai kepandaian tinggi. Biarlah untuk sementara aku berlagal menunduk dan pura2 meluluskan kemauan mereka dalam hal mencari GieHu. Sesudah sembuh, aku bisa membuat perhitungan dengan mereka".
Jika kejadian itu terjadi pada empat rahun berselang, Bu Kie tentu akan berlaku nekat, karena baginya, tiada jalan lain daripada mati. Ia tentu akan menolak segala paksaan dan menutup mulutnya rapat2. tapi sekarang, sesudah memiliki Kioe yang Sin kang, ia jadi mantep dan percaya dirinya sendiri. Maka itu, sesudah hilang kagetnya, ia tertawa dalam hatinya dan sedikitpun ia tidak merasa takut. Ia hanya merasa mendongkol dan menyesal, karena tak pernah menduga, bahwa gadis dusun itu akan mengkhianati dirinya.
Beberapa saat kemudia, nona itu sudah berdiri didekat Bu Kie. Untuk beberapa lama, ia mengawasi pemuda itu dan kemudian perlahan lahan memutar badan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Waktu ia memutar badan, Bu Kie mendengar hela nafas perlahan yang penuh dengan perasaan sedih.
"Kau boleh turun tangan sesuka hati", kata pemuda itu di dalam hati. "Perlu apa berlagak sedih?"
Tiba tiba Wie Pek mengibas pedangnya dan berkata dengan suara dingin. "Kau mengatakan bahwa sebelum mati, kau ingin bertemu lagi dengan dia untuk penghabisan kali. Semula kukira ia tampan laksana Phoa An, tak tahunya manusia beroman memedi. Ha"ha"ha?"Sungguh menggelikan. Kau dan dia sungguh pasangan setimpal".
Gadis itu sama sekali tidak menjadi gusar. "Benar", jawabnya dengan tawar. "Sebelum mati, aku ingin bertemu lagi dengan dia, sebab aku mau mengajukan sebuah pertanyaan. Sesudah mendengar jawabannya, barulah aku bisa mati dengan mata meram".
Bu Kie heran tak kepalang. Didengar dari omongan kedua orang itu, mereka berenam kelihatannya mau membinasakan si gadis dusun dan nona tersebut sudah mengajukan sebuah permintaan terakhir, yaitu minta menemui dirinya sendiri untuk menanyakan sesuatu. Memikir begitu, ia lantas saja bertanya,
"Nona ada urusan apakah kau datang kemari bersama orang orang itu?"
"Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu dan kau harus menjawabnya dengan setulus hati", katanya.
"Kalau pertanyaanmu mengenai diriku pribadi aku tentu menjawab dengan seterang terangnya dan setulus tulusnya", kata Bu Kie. "Tapi jika kau mengajukan pertanyaan yang mengenai dirinya orang lain.
Maaf, biarpun aku dibunuh mati, aku tak akan membuka mulut". Ia menjawab begitu sebab menduga, bahwa pertanyaan yang akan diajukan adalah halnya Cia Sun.
"Perlu apa kau mencampuri urusan orang lain", kata si nona dengan suara dingin. "Pertanyaan yang kuinginkan adalah ini. pada hari itu kau mengatakan kepadaku, bahwa kita berdua adalah orang2 yang hidup sebatang kara dan tak punya tempat meneduh. Oleh karena itu, kau bersedia untuk mengawani aku.
Sekarang aku mau tanya. Apakah pernyataanmu itu keluar dari hati yang tulus bersih?"
Bu Kie segera berduduk. Melihat sinar mata nona itu yang penuh kedukaan, ia lantas saja menjawab.
"Aku bicara sesungguhnya."
"Kalu begitu, bukankah kau tak mencela romanku yang jelek dan bersedia untuk hidup bersama-sama aku seumur hidup?" tanya pula si nona.
Bu Kie terkesiap. Sedikitpun tak menduga bahwa ia bakal dihadapi pertanyaan begitu. Tapi karena sungkan melukai hati orang, ia segera menjawab, "Soal jelek atau cantik tak pernah dihiraukan olehku.
Manakala kau ingin aku mengawaninmu untuk beromong2 tentu saja aku merasa senang untuk mengiring keinginanmu itu".
"Kalau".begitu".kau?"kau bersedia untuk mengambil aku sebagai istrimu, bukan ?" tanya nona itu dengan suara gemetar dan terputus2.
Bu Kie kaget tak kepalang, hingga badannya mengigil dan untuk beberapa saat ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Sesudah dapat menentramkan hatinya yang berdebar-debar. Ia menjawab juga dengan suara terputus2. Aku".. aku tak pernah"..tak pernah memikir untuk menikah"."
"Lihatlah!" kata Wie Pek dengan suara mengejek. "Lelaki dusun yang tua dan jelek seperti dia masih tak mau menikah denganmu. Andai kata kami tak mengambil jiwamu, kau hidup teruspun tak ada artinya.
Sebelum kami turun tangan, lebih baik kau membenturkan kepalamu sendiri dibatu besar itu."
Dengan penuh rasa kasihan, Bu Kie mengawasi nona itu mengucurkan air mata sambil menundukkan kepalanya. Ia tak tahu, apa si nona menangis karena takut mati, apa karena memikir romannya yang jelek atau karena perkataan Wie Pek yang tajam bagai pisau.
Melihat begitu, darah Bu Kie bergolak. Ia lantas saja ingat, bahwa sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia, ia telah menerima macam2 hinaan. Gadis itu, yang berusia lebih muda daripadanya, mempunyai riwayat hidup yang lebih tak beruntung daripada riwayat hidupnya sendiri. Maka itu bagaimana ia tega untuk menambah penderitaan si nona yang sudah cukup hebat. Disamping itu, pertanyaan yang diajukan merupakan suatu pengabdian dari seorang wanita yang bersedia untuk menjadi istrinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Selama hidupku, selain ayah, ibu, ayah angkat, Thay suhu dan para paman, siapa lagi yang pernah mencintai aku dengan setulus hati?" katanya dalam hati. "Jika di kemudian hari dia bisa memperlakukan aku secara pantas, aku dan dia masih bisa hidup beruntung."
Sesaat itu dengan badan gemetaran, si nona sudah bergerak untuk berlalu. Dengan cepat Bu Kie mengangsurkan tangan kirinya dan mencekal lengan kanan nona itu. "Nona" katanya dengan suara nyaring. "Dengan setulus hati, aku bersedia untuk menikah dengan kau. Aku hanya mengharap kau tak mengatakan, bahwa aku tak setimpal dengan dirimu."
Demi mendengar perkataan Bu Kie dari kedua mata gadis itu mengeluarkan sinar terang sinar kemenangan. "Ah Goe Koko," katanya dengan suara perlahan. "Apakah tak mendustaiku?"
"Tidak! Aku tak mendustai kau," jawabnya. "Mulai dari detik ini, aku akan mencintai, akan melindungi kau dengan segenap jiwa dan raga. Tak peduli ada berapa banyak orang yang akan mencelakaimu, tak peduli ada berapa banyak jago yang mau menghina kau, aku pasti melindungimu. Aku bersedia untuk mengorbankan jiwa demi kepentinganmu. Aku ingin kau bahagia dan melupakan segala penderitaanmu yang dulu2."
Si nona lantas saja berduduk di tanah dan menyandarkan tubuhnya di badan Bu Kie. Sambil mencekal tangan pemuda itu yang satunya lagi, ia berkata dengan suara lemah lembut. "Aku sungguh merasa sangat berterima kasih." Ia meramkan kedua matanya dan berbisik, "Ah Goe Koko, cobalah katakan lagi apa yang tadi, dikatakan olehmu, supaya setiap perkataan bisa diingat di dalam lubuk hatiku, cobalah!"
Mwlihat kebahagiaan nona itu, Bu Kie pun merasa bahagia. Sambil memegang keras2 kedua tangan si gadis yang empuk bagaikan kapas, ia mengulani perkataannya. "Aku ingin berusaha supaya kau bisa hidup beruntung, supaya kau melupakan segala penderitaanmu yang dulu2. tak peduli ada berapa banyak orang yang mau menghina kau, yang mau mencelakakan kau. Aku berseida untuk mengorbankan jiwa demi keselamatanmu"
(Bersambung ke jilid 33) Kisah Pembunuh Naga Jilid 33 Karya Chin Yung Transcriber: Eeyore ================ Jilid 33 Si nona bersenyum senium yang penuh dengan rasa beruntung. Sambil bersandar pada dada pemuda it, ia berkata, "Dulu, waktu aku minta kau mengikut aku, kau bukan saja sudah menolak, tapi jg memukul aku, mencaci" Aku merasa sangat beruntung, bahwa sekarang kau bisa mengatakan begitu."
Perkataan si nona seolah-olah air dingin yg menyiram kepala pemuda itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa dengan mendengar perkataannya sambil memeramkan mata, nona itu membayang bayangkan, bahwa perkataan itu dikeluarkan oleh pemuda yang di pujanya, tapi yang sudah menyakiti hatinya.
Tiba tiba gadis itu menggigil dan ia membuka kedua matanya. Pada paras mukanya terlihat sinar kegusaran, tercampur dengan perasaan kecewa, tapi dalam sinar kekecewaan itu terbayang juga sedikit rasa bahagis. Selang beberapa saat ia berkata, "Ah Goe Koko, aku merasa sangat berterima kasih, bahwa engkau bersedia untuk mengambil aku sebagai istrimu. Kau tidak mencela aku, seorang wanita yg beroman jelek. Hanya sayang, semenjak bebeapa tahun berselang aku sudah memberikan hatiku kepada seorang lain. Dahulu saja, ia sudha tidak memperdulikan aku. Kalau dia melihat keadaaku yang sekarang lebih2 dia tak akan menghiraukan aku" Ah! Setan kecil yg berhati kejam" waktu mengatakan "setan kecil berhaiti kejam" " nadanya masih menunjuk perasaan cinta.
"Apa sekarang kau sudah boleh berbangkit?" tanya Bu Ceng Eng sambil mengawasi gadis dusun itu,
"Dia sudah menyatakan bersedia untuk menikah denganmu dan kamu berdua sudah cukup lama membicarakan soal cinta?"
Perlahan lahan nona itu bangkit, katanya, "Ah Goe Koko," katanya sambil mengawasi Bu Kie "Aku akan segera menemui ajalku. Andaikata tidak mati, akupun tidak bisa menikah denganmu. Tapi biar bagaimana kata2mu yang diucapkan taid, asesudah aku mati janganlah kau membenci aku. Kalau ada
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tempo luang, boleh jg kau mengingat aku." Ia bicara dengan suara meminta, sehingga Bu Kie merasa sangat terharu.
"Sudahlah! Jangan terlalu rewel!" bentak Pan Siok Ham, "Kami sudah meluluskan permintaanmu dan kau sudah bertemu dengan dia. SEkarang kau harus menepati janji dan memberitahukan dimana adanya orang itu."
"Baiklah," kata si nona. "Sepanjang pengetahuanku, orang itu pernah berdia dirumahnya" ia berkata begitu sambil menuding Bu Liat.
Paras muka Bu Liat berubah. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia membentak. "Jangan omong yang gila2!"
"Jawab pertanyaanku!" Wie Pek turut membentak, "Siapa yang menyuruh kau membunuh Cu Kioe Tin Piauwmoay?"
Kagetnya Bu Kie bagaikan disambar halilinta. "Membunuh" membunuh Cu Kioe Tin Kauwnio?" ia menegas.
Dengan mata mendelik Wie Pek menatap wajah Bu Kie, "Kau kenal Cu Kioe Tin Kauwnio?" tanyanya dengan suara gusar.
"Siapa yang tidak pernah mendengar nama Sut-leng Siang moay yg tersohor?" kata Bu Kie.
Bibir Bu Ceng Eng bergerak, seperti orang bersenyum. "Hei, jawablah! Siapa yang meyuruh kau?"
teriaknya. "Kalau kau mau tahu juga, baiklah, aku akam memberitahukan terang2an," kata si gadis dusun. "Yang menyuruh aku membunuh Cu Kioe Tin adalah Ho Thay Ciong dari Kun Lun pay dan Biat coat Suthay dari Go bie pay."
"Gila!" teriak Bu Liat. "Binatang! Jangan kau harap bisa menyebar racun dan merenggangkan persahabatan kami." Seraya mencaci ia menghantam dengan telapak tangannya, tapi dengan gerakan yg sangat gesit, nona itu berhasil menyelamatkan diri.
Bu Kie jadi bingung bukan main. "Kalau begitu dia benar2 seorang dari Rimba Persilatan," pikirnya.
"Tak bisa salah lagi, dia membunuh Cu Kauwnio untuk membalas sakit hatiku, sebab aku memberitahukanm bahwa aku sudah ditipu oleh nona Cu dan digigit oleh anjing2nya nona itu, celaka sungguh! Aku sama sekali tidak menyuruh ia membinasakan Cu Kioe Tin. Aku semula hanya mengganggap dia manusia aneh karena romannya jelek dan nasibnya buruk. Tak tahunya ia bisa membunuh manusia secara serampangan."
Sementar it, dengan bersenjata pedang Wie Pek dan Hu Ceng Eng sudah bantu menyerang dari kiri dan kanan. Dengan penuh kewaspadaan Bu Kie memperhatikan jalan pertempuran. Dengan menggunakan kegesitan, dengan melompat kian kemari, gadis dusun itu mengelakkan serangan Bu Liat yang bertubi2. Dari gerak geriknya, ia kelihatannya tidak memandang sebelah mata keapda Wie Pek dan Bu Ceng Eng. Sesudah bertempur belasan jurus, bagaikan kilat ia melompat kesamping Bu Ceng Eng dan
"plok!" ia menggaplok pipi nona bu. Berbareng dengan gaplokan itu, tangan kirinya turut menyambar dan dilain saat pedang Bu Ceng Eng sudah berpindah kedalam tangannya. Bu Liat dan Wie Pek terkejut.
Degan berbareng mereka menerjang untuk menolong nona Bu yang berada dalam bahaya.
"Kena!" gadis dusun itu berteriak dan pedang nya menggores muka Bu Ceng Eng! Ternyata dalam gusarnya sebab nona Bu sudah mengejek romannya yang jelek. Tanpa memperdulikan bahaya yang datang dari Bu Liat dan Wie Pek ia melompakt dan menggoreskan ujung pedang di muka nona Bu.
Seraya mengeluarkan teriak keras, Bu Ceng Eng jatuh terjengkang. Sebenarnya, lukanya sendiri sangat enteng. Ia jatuh lantaran kaget, sebab ia tahu bahwa mukannya yang cantik manis sudah digores pedang.
Dengan mata merah Bu Liat menerjang dan si gadis dusun melompat kesamping. Mendadak terdengar
"trang!" suara bentrokan antara pedang si nona dan pedang Wie Pek yg terbang ke tengah angkasa.
Hampir pada detik yg bersamaan, telunjuk tangan kanan Bu Liat berhasil menotok Hok touw hiat dan Hong Sau Hiat, dibetis si nona. Totokan ini adalah It Yang Cie yg sangat lihai.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sambil mengeluarkan rintihan perlahan, gadis itu roboh terguling, jatuh diatas Bu Kie. Ia merasa sekujur badannya nyaman dan hangat tapi tidak bertenaga sedikitpun jua, bahkan tak kuat menggeraklkan jari tangannya. Ia merasa di ikat dengan semacam tenaga yg kekuatannya ribuan kati tapi badannya bebas dari perasaan sakit. Biarpun Bu Liat sendiri bukan seorang yang sepak terjangnya boleh di puji, tapi ilmu It Yang Cie adalah warisan dari seorang ksatria. Maka itu meskipun dapat menjatuhkan lawan, ilmu tersebut tidak mengakibatkan penderitaan.
Bu Ceng Eng menjemput pedang Wie Pek dan bekata dengan suara yg membenci "Perempuan bau!
Sekarang tamatlah riwayatmu. Tapi aku tak mau menghadiahkan kebiasaan yg enaka kepadamu. Aku hanya mau memutuskan kedua tangan dan kedua betisnya, supaya hidup2 kau di gegares kawanan serigala." Seraya mencaci, ia mengayun pedang untuk membabat lengan kanan si gadis dusun.
"Tahan!" mencegah Beo Liat sambil mencekal pergelangan tangan putrinya. Ia mengawasi gadis dusun itu dngan berkata pula. "Jika kau memberitahukan siapa yang menyuruh, aku akan membinasakan kau tanpa siksaan. Tapi jika kau membandel" huh-huh" aku akan memutuskan kaki tanganmu."
Nona itu ternyata mempunya nyali yg sangat besar. Mendengar ancaman yang hebat itu, ia tersenym dan berkata dengan suara tenag. "Kalau kau kepingin tahu juga aku terpaksa bicara terus terang. Nona Cu Kie Tin mencintai seorang pemuda dan seorang nona lain jg mencintai pemuda itu. Yang menyuruh aku membinasakan nona Cu Kieo tin adalah nona yang lalu itu. Aku sebenarnya sungkan membuka rahasi."
Belum habis ia bicara Bu Ceng Eng sudah jadi kalap dan menikam dan menggunakan seantero tenaganya.
Ternyata, si gadis dusun sudah dapat menduga adanya percintaan antara Wie Pek cu Kioe tin dan Bu Ceng Eng. Ia sudah sengaja mengatakan begitu untuk membangkitkan amarahnya nona Bu, supaya ia bisa mati tapi disiksa.
Sinar pedang Bu Ceng Eng berkelebat bagaikan kilat. Pada detik ujung pedang hamper menyentuh ulu hati mendadak serupa benda, yang tak bersuara menyambar dan membentur pedang itu. Tiba tiba saja Bu Ceng Eng merasakan telapak tangannya seperti di beset dan tanpa apapun lagi, senjatanya tebang ke atas.
Tenaga benturan itu hebat luar biasa dan pedang nona Bu jatuh di tempat yang jauhnya lebih dari dua puluh kaki.
Di tengah malam yang gelap, tak seorangpun lihat mengapa pedang itu terpental dari tangan Bu Ceng Eng. Apa yang mereka tahu hanialah bahwa tenang yang membenturnya sangat menakjubkan, sehingga menduga si gadis dusun mendapat bantuan dari seorang yang bersembunyi. Dengan kaget keenam orang itu mundur beberapa tindak dan mengawasi kesekitarnya. Tempat itu adalah tanah lapang yg luas tanpa pohon yang dapat digunakan untuk menyembunyikan diri. Sesudah mengawasi kesana sini beberapa lama mereka tak melihat bayangan siapapun jua. Dengan rasa heran dan bercuriga, mereka saling memandang tanpa mengeluarkan suara.
Beberapa saat kemudian, Bu Liat berkata dengan suara perlahan. "Ceng Jie, apa yg sudah terjadi?"
"Pedangku seperti dipukul dengan semacam senjata rahasia yg sangat lihai," jawabnya.
Bu Liat mengawasi kesekitarnya, tapi ia tetap tidak melihat lain manusia. Ia heran bukan main dan berkata dalam hatinya. "Terus terang dia sudah kena ditotok olehku dengan It Yang Cie. Bagaimana ia masih mempunyai tenaga yang begitu besar" Apa perempuan ini mempunyai ilmu siluman?" Ia maju mendekati dan menepuk pundak nona itu. Dengan tepukan yang disertai Lweekang dahsyat, ia bermaksud menghancurkan tulang pundak si nona supaya kepandaiannya musnah dan dapat dipermainkan oleh puterinya.
Pada saat telapak tangan Bu Liat hampir menyentuh pundak, tiba2 gadis dusun itu mengangkat tangan kirinya dan menangkis. Begitu kedua tangan kebentrok, Bu Liat merasa daatnya panas, seolah2 didorang dengan tenaga taufan atau gelombang laut yang maha dahsyat. Sambil mengeluarkan teriakan "ah!"
tubuhnya mengapung ke atas dan jatuh ke tempat yang jauhnya melebihi tiga tombak. Untung jg, ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga begitu lekas punggungnya ambruk ditanah, begitu lekas pula ia dapat melompat bangung. Tapi biarpun begitu ia masih merasakan sakit didadanya dan darahnya bergolak, sehingga kepalanya pusing. Baru saja ia berdiri tegak dan mau mengatur pernapasannya, tiba2
matanya berkunang2, badannya bergoyang2 dan sekali lagi ia jatuh terguling.
Bu Ceng Eng mencelos hatinya, buru-buru ia menubruk dan membangunkan ayahnya.
"Biarkan ia rebah lebih lama!" tiba2 Ho Thay Ciong berkata.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Nona Bu menengok dan membentak dengan gusar. "Apa kau kata!" Ia menganggap bahwa dengan berkata begitu, Ho Thay Ciong mengejek ayahnya.
"Darahnya bergolak dan ia harus mengaso dengan merebahkan diri," jawabnya.
Wie Pek lantas saja tersadar. "Benar," katanya. Ia segera memeluk tubuh gurunya dan merebahkan kembali diatas tanah.
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham saling mengawasi dengan perasaan sangat heran. Mereka sudah pernah bertempur dengan gadis dusun itu dan mereka tahu bahwa meskipun begitu ilmu silat si nona cukup tinggi. Lweekangnya belum mencapai tingkatan atas. Tapi tenaga yang barusan merobohkan Bu Liat adalah lweekang yang sungguh2 jarang terdapat dalam dunia ini.
Kalau mereka heran. Si gadis dusun pun lebih heran lagi. Sesudah kena ditotok ia roboh dalam pangkuan Bu Kie tanpa bisa bergerak. Waktu pedang Bu Ceng Eng hampir mampir di ulu hatinya, tiba2
menyambar serupa benda yang membentur senjata itu, sehingga terlepas dari tangan nona Bu. Ia sendiri tidak tahu apa adanya benda itu. Sesaat kemudian, tiba2 ia merasakan masuknya hawa panas di Ciok sam lie dan Yang leng coan, yaitu dua hiat di betisnya.
Hawa panas itu terus menerjang ke How touw hiat dan Hong hiat sehingga jalan darah yang ditotok lantas saja terbuka kembali.
Begitu terbuka jalan darahnya, ia bergidik. Ia mengawasi kakeknya dan melihat kedua tangan Bu Kie sedang mencekal kedua tumit kakinya dan semacam hawa hangat masuk kedalam badannya dari kedua kakinya itu.
Sesaat itu Bu Liat telah menghantam dengan telapak tangannya. Dengan nekad ia mengangkat tangannya dan menangkis. Ia merasa, bahwa hancurnya tulang lengan lebih baik dari pada hancurnya tulang pundak. Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwas tangkisannya itu sudah membuat terpentalnya tubuh Bu Liat sampai beberapa tombak. Ia terkesiap dan berkota dalam hatinya.
"Apakah aku mendapat bantuan dari Tioe pat-koay" Apakah Tioe-pat koay seorang tokoh rimba persilatan ini berkepandaian luar biasa tinggi?"
Sesudah menyaksikan lihainya nona itu, Ho Thay Ciong tak berani mengadu tenaga. Sambil menghunus pedang itu berkata, "Aku ingin meminta pelajaran kiamhoat dari nona."
"Aku tak punya pedang," kata si nona sambil tertawa.
Dengan kakinya Ho Tay Ciong menyontek pedang Bu Ceng Eng yang lantas terbang kearah si nona yang lalu menyubitnya. Sebagai seorang Ciang Bun Jin dari sebuah partai besar, dalam menghadapi seorang yang tingkatnya lebih muda, Ho Thay Ciong sungkan bergerah lebih dahulu.
"Kau mulailah," ia mengundang. "Kau boleh menyerang lebih dulu dalam tiga jurus dan sesudah itu, barulah aku membalas."
Tanpa sungkan2 lagi si nona lalu menikam dan Ho Thay Ciong menangkis. "Trang!" kedua pedang itu patah bersama sama.
Paras muka Ho Thay Ciong pucat pias. Ia melompat mundur beberapa tindak. "Sayang! Sungguh saying!" kata si nona. Ia mengerti, bahwa Bu Kie sudah memasukkan semacam tenaga luar biasa (yaitu tenaga Kioe yang Sin kang) ke dalam tubuhnya, tapi karena ia masih belum bisa menggunakannya, maka pedangnya sendiripun turut menjadi patah. Bila ia telah dapat menggunakan Kioe yang Sin kang, senjatanya pasti akan tinggal utuh.
Pan Siok Ham heran tak kepalang. "Bagaimana bisa begitu?" tanyanya dengan suara perlahan.
"Ilmu silatmu!" jawabnya sang suami.
Dengan rasa penasaran nyonya itu lalu menghunus pedang. "Akupun ingin meminta pelajaran,"
katanya dengan suara menyeramkan.
Si nona mengangkat kedua tangannya untuk mengunjuk, bahwa ia tak punya senjata lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau boleh menggunakan pedaang itu," kata Pan Siok Ham sambil menuding pedang Wie Pek yang menggeletak di tempat yg agak jauh.
Nona itu tahu, bahwa jika berpisahan dengan Bu Kie, ia takkan mempunya lweekang yang begitu tinggi lagi. Maka itu, seraya bersenyum ia berkata. "Biarlah aku menggunakan pedang buntung itu saja."
Pan Siok Ham melupa daranya. Jawabnya nona itu dianggap sebagai penghinaan baginya. Dalam gusarnya, ia tak berbuat seperti suaminya dan tak menghiraukan lagi kedudukannya sebgai seorang cianpwee (org yg tingkatnya lebih tinggi). Dengan mendadak ia menikam leher si nona, yang lantas saja menangkis. Nyonya itu mempunyai kegesitan luar biasa. Baru saja tikamannya yang pertama ditangkis, tikaman kedua, yang menyambar kearah pundak sudah menyusul. Si nona baru2 mengebas pedang buntunnya untuk melindungi pundak kiri, tapi hampir berbareng, pedang musuh sudah menyambar pundak kanan. Dalam sekejap, Pan Siok Ham sudah mengirim delapan tinju kilat yang susul2an dalam serangan2nya itu, ia selalu menjaga supaya senjatanya tak terbentuk dengan senjata si nona. Sebelum menyerang dia telah mengambil keputusan untuk menggunakan kegesitan guna mengimbangi Lwee kang si nona.
Bende Mataram 24 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Wanita Iblis 20

Cari Blog Ini