Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 23

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 23


Cong Wie Hiap mendengar keterangan itu dengan keringat dingin turun menetes dari dahinya.
Bu Kie mengerti seluk beluk Cit siang kun sebab ia pernah mendapat teorinya dari Cia Sun.
Belakangan, sesudah mahir dalam ilmu ketabiban, ia mengerti juga bahaya-bahaya dari ilmu pukulan itu, hingga demikian ia dapat menyebutkan tanda-tandanya secara tepat sekali.
Dilain pihak, selama beberapa tahun Cong Wie Hiap pun sudah merasa bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam tubuhnya. Tapi lantaran penyakit itu enteng rasanya dan juga seperti lumrahnya manusia kebanyakan, ia takut menghadapi tabib maka sejauh ini ia belum pernah berusaha mengobati ketidak beresan itu. Sekarang ia takut setengah mati dan parasnya berubah pucat. Ia mengawasi Bu Kie dengan mata terbuka lebar dan beberapa saat barulah ia bisa membuka mulut, "Kau bagaimana"kau tahu?"
Pemuda itu tertawa tawar. "Boanpwee mengenal ilmu ketabiban," sahutnya. "Jika Cianpwee percaya, sesudah urusan ini beres, boanpwee bersedia mengobati. Tapi bagi Cianpwee Cit siang kun banyak bahayanya dan tiada gunanya. Sebaiknya Cianpwee tidak berlatih ilmu itu lagi."
Si tua coba ngotot terus. "Cit siang kun adalah ilmu terhebat dari Khong tong-pay sehingga bagaimana bisa kau katakana bahwa ilmu itu banyak bahaya dan tiada gunanya?" tanyanya. "Dahulu Ciang bun Su cow kami, yaitu Bok Leng Cu telah mengguncang seluruh Rimba Persilatan. Nama harumnya dikenal di empat penjuru dan ia berusia sampai sembilan puluh satu tahun. Inilah bukti bahwa Cit siang kun tidak mencelakai orang yang mempelajarinya. Bocah! Kau jangan bicara sembarangan!"
"Kalau begitu, bisalah dipastikan bahwa Lweekang Bok Leng Cu cianpwee sudah mencapai taraf yang cukup," kata Bu Kie. "Seseorang yang tenaga dalamnya cukup tentu saja boleh berlatih ilmu tersebut. Ia bukan saja tidak akan mendapat bahaya malah akan memperoleh keuntungan besar karena Cit siang kun dapat memperkuat isi perut manusia. Kalau Cianpwee tidak percaya omonganku, terserahlah. Tapi boanpwee tetap berpendapat bahwa Lweekang Cianpwee belum cukup tinggi untuk berlatih Cit siang kun."
Cong Wie Hiap adalah salah seorang tetua Khong tong-pay dan jago ternama dalam Rimba Persilatan.
Tapi sekarang, di hadapan tokoh-tokoh berbagai partai, ia didesak oleh seorang pemuda yang tidak dikenal. Bukan saja terdesak, tapi ilmu terhebat partainya dikatakan sebagai ilmu tak berguna. Dapatlah dimengerti kalau darahnya langsung mendidih.
"Bocah!" bentaknya dengan mata melotot. "Kalau kau bilang Cit siang kun tidak berguna, cobalah jajal!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie kembali tertawatawar. "Cit siang kun memang ilmu yang hebat," katanya. "Aku tidak mengatakan bahwa ilmu itu tak berguna. Maksudku hanya bahwa jika Lweekang seseorang belum cukup tinggi, biarpun dia berlatih lama, latihan itu tiada gunanya."
Dengan berdiri di belakang para sucinya, Ciu Cie Jiak mengawasi pemuda itu. Di dalam hati ia merasa geli. Paras muka Bu Kie masih agak kekanak-kanakan tapi dengan sikap seperti orang tua yang berpengalaman, ia memberi nasehat pada salah seorang tetua dari Khong tong-pay dan hal itu seolah-olah gurauan.
Murid-murid Khong tong-pay yang berusia muda merasa gusar dan ingin sekali menghajar Bu Kie.
Tapi karena melihat Cong Wie Hiap mendengarkan setiap perkataan pemuda itu dengan penuh perhatian, mereka tidak berani bertindak sembrono.
"Apakah kau berpendapat bahwa Lweekangku belum cukup?" tanya Cong Wie Hiap.
"Cukup atau tak cukup, aku tak tahu," jawabnya. "Tapi menurut penglihatanku, waktu berlatih Cit siang kun, Cianpwee telah terluka sehingga sebaiknay latihan itu tidak diteruskan"."
"Jiako tak usah meladeni semua omong kosong!" tiba-tiba terdengar suara bentakan seseorang di belakangnya. "Dia menghina Cit siang kun kita, biarlah dia rasakan pukulanku." Hampir berbarengan, satu pukulan yang hebat menyambar Leng tay hiat di punggung Bu Kie. Leng tay hiat adalah salah satu
"hiat" penting yang membinasakan. Jangankan Cit siang kun, pukulan yang biasa sekalipun bisa membinasakan jika kena tepat di bagian itu.
Dalam tekadnya untuk menaklukan keenam partai dengan Kioe yang Sin kang, biarpun tahu sedang dibokong orang, Bu Kie tidak memutar badan dan membalas, ia berkata pula kepada Cong Wie Hiap,
"Cong Cianpwee"."
Mendadak terdengar kerincingan rantain disusul dengan bentakan, "Tua bangka! Jangan bokong orang!" Itulah bentakan Siauw Ciauw yang segera meninju kepala si pembokong. Orang itu menangkis dengan tangan kirinya sedang tinju kanannya sudah mampir tepat di Leng tay hiat Bu Kie. Semua orang terkesiap tapi pemuda itu sendiri tidak bergeming. Ia mengambil sikap acuh tak acuh bahkan tidak mengerahkan tenaga dalam untuk menolak tenaga pukulan itu. "Siauw Ciauw," katanya seraya tertawa.
"Kau tak usah khawatir. Pukulan Cit siang kun itu sedikitpun tiada gunanya."
Muka si nona yang putih lantas saja bersemu merah. Dengan jengah ia berkata, "Aku lupa"aku lupa kau sudah belajar"." Ia tidak meneruskan perkataannya dan buru-buru meloncat mundur sambil menyeret rantai.
Bu Kie memutar tubuh dan melihat si pembokong adalah seorang kakek yang batok kepalanya besar dan tubuhnya kurus. Dia adalah tetua keempat dari Khong tong-pay namanya Siang Keng Cie. Mukanya sudah berubah pucat dan ia berkata dengan suara tergugu. "Kau"memiliki Kim kong Poet-hoay tee Sinkang"Apa kau murid Siauw lim sie?"
Sambil tersenyum pemuda itu menjawab, "Aku bukan murid Siauw lim sie tapi benar aku pernah belajar ilmu di kuil Siauw lim sie."
"Buk!" Selagi ia bicara, tinju Siang Keng Cie mampir tepat di dadanya. Sepanjang pengetahuan tetua Khong tong itu, Kim kong Poet hoay tee hanya dapat dipertahankan sambil menahan nafas.
Bu Kie tertawa dan berkata, "Kalau seseorang sudah melatih diri dalam Kim kong Poet hoay tee sampai pada puncak kesempurnaan, ia tak akan bisa diserang walaupun ia sedang bicara. Tanpa menggunakan Lweekang, tubuhnya tidak bisa kena segala pukulan. Jika kau tidak percaya kau boleh memukul lagi."
Bagaikan kilat Siang Keng Cie mengirimkan empat tinju geledek. Pemuda itu menerima dengan paras muka berseri-seri.
Siang Keng Cie dijuluki It-kun Toan gak (satu tinju mematahkan gunung). Meskipun julukan itu terlalu mencolok tapi orang-orang yang berusia agak lanjut mengetahui bahwa tetua Khong tong itu memang mempunyai pukulan dahsyat. Bahwa Bu Kie bisa menerima keempat pukulan itu sambil tersenyum-senyum telah mengejutkan semua orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah lama Kun lun dan Khong tong-pay tak begitu akur dan meskipun sekarang mereka bersatu untuk membasmi Beng-kauw, tapi di dalam hati, banyak anggota kedua partai itu masih mengambil sikap bermusuhan. Maka itu, dari barisan Kun lun-pay segera saja terdengar beberapa ejekan.
"Lihat, sungguh tinju It-kun Toan gak!"
"Apakah yang telah dipatahkan Sie kun (empat tinju)."
Untung juga Siang Keng Cie berkulit hitam sehingga warna merah pada mukanya tak begitu menyolok.
Dilain pihak, anggota-anggota Siauw lim-pay merasa heran dan banyak pertanyaan muncul dalam hati mereka.
"Pemuda itu mengatakan bahwa dia sudah pernah belajar ilmu Siauw lim sie. Siapa dia?"
"Kim kong Poet hoay tee tak pernah diturunkan kepada orang luar. Disamping itu, Tong kian Taysu dalam partai kita, tiada orang lain memiliki ilmu tersebut. Pemuda itu masih begitu muda. Mana bisa dia mempunya ilmu yang harus dilatih selama empat puluh tahun."
"Sungguh mengherankan. Siapa dia?"
"Siapa dia"...."
Dilain saat, Cong Wie Hiap mengangkat tangannya dan berkata dengan suara menyeramkan, "Can heng, aku merasa sangat kagum akan Sin-kangmu. Apa boleh aku menerima pelajaran darimu dalam tiga jurus?" Ia menantang karena tahu bahwa tenaga Cit siang kun yang dimilikinya lebih kuat banyak daripada Siang Keng Cie sehingga mungkin sekali ia akan berhasil merobohkan pemuda itu.
"Jika nanti Cianpwee sudah berhasil, boanpwee pasti akan menolak," jawabnya. "Tapi sekarang, bolehlah boanpwee menerima pukulan Cianpwee."
Dengan gusar Cong Wie Hiap mengerahkan Cin-khie sehingga tulang-tulangnya di dalam tubuh berkerotokan. Ia maju selangkah dan menghantam dada Bu Kie sekuat tenaga.
Begitu tinju menyentuh dada, ia terkesiap sebab tersedot dengan semacam tenaga dan tak mampu menarik kembali tangannya. Dilain saat, dari tinjunya masuk semacam hawa hangat yang terus menerobos ke dalam isi perutnya. Waktu menarik kembali tangannya ia merasa semangatnya terbangun dan sekujur badannya nyaman luar biasa. Ia tertegun sejenak dan lalu mengirimkan tinju kedua ke Bu Kie. Kali ini pemuda itu mengerahkan sedikit Lweekang sehingga ia terhuyung beberapa langkah.
Melihat paras muka kawannya yang sebentar pucat dan sebentar merah. Siang Keng Cie yang berdiri di samping Bu Kie menduga bahwa kawan itu terluka berat. Maka itu waktu Cong Wie Hiap mengirimkan tinju ketiga, iapun menghantam dari belakang sehingga dengan bersamaan dua tinju mampir telak di tubuh Bu Kie, satu di dada satu di punggung.
Semua orang melihat bahwa dua pukulan itu disertai dengan Lweekang yang sangat tinggi. Tapi begitu menyentuh tubuh si pemuda, semua tenaga dalam amblas bagaikan batu yang masuk ke dalam lautan.
Siang Keng Cie tahu bahwa dengan kedudukannya yang tinggi, dalam pembokongannya yang pertama saja, ia sudah melakukan perbuatan tak pantas. Tapi bokongan pertama itu bisa dimengerti dan dimaafkan. Orang bisa menganggap ia berbuat begitu sebab terlalu gusar karena partainya dihina orang.
Tapi pembokongan yang kedua merupakan perbuatan hina dan yang tak bisa dibela dengan cara apapun juga.
Waktu memukul ia percaya bahwa Bu Kie akan binasa dengan pukulan itu. Kalau pemuda itu dapat dibinasakan maka menurut jalan pemikirannya ia telah berjasa terhadap keenam partai dalam menyingkirkan seorang pengacau. Mungkin orang akan mencela dia tapi dia bisa menebus ketidak layakan itu dengan jasanya.
Betapa kagetnya karena bokongannya tidak berhasil, dapatlah dibayangkan sendiri.
"Bagaimana rasanya badan Cianpwee?" tanya Bu Kie kepada Cong Wie Hiap.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si tua kelihatan terkejut. Sesaat kemudian ia mengangkat tangannya dan berkata dengan suara jengah.
"Terima kasih atas budi Can-heng yang sudah membalas kejahatan dengan kebaikan, sungguh-sungguh aku merasa malu dan berterima kasih tidak habisnya."
Pengakuan itu mengejutkan semua orang.
Ternyata waktu menerima tiga pukulan, Bu Kie telah mengirim Kioe-yang Cin-khie disalurkan ke dalam tubuh si tua. Meskipun pengiriman "hawa tulen" itu hanya dilakukan dalam waktu sedetik tapi karena Kioe-yang Cin-khie bertenaga dahsyat maka Cong Wie Hiap sudah mendapat keuntungan yang tidak kecil. Jika dalam pukulan ketiga Siang Keng Cie tidak mengadu tinju maka keuntungan yang didapat olehnya akan lebih besar lagi.
"Pujian Cianpwee yang begitu tinggi tak dapat diterima olehku," kata pemuda itu dengan suara merendah. "Barusan Kie keng Pat meh (pembuluh darah) Cianpwee telah mendapat sedikit bantuan dan sebaiknya Cianpwee mengaso sambil mengerahkan hawa. Dengan demikian racun yang berkumpul dalam tubuh sebagai akibat latihan Cit siang kun akan dapat disingkirkan dalam waktu dua atau tiga tahun."
Cong Wie Hiap yang tahu penyakitnya sendiri buru-buru menyoja dan berkata, "Terima kasih, banyak-banyak terima kasih."
Bu Kie berjongkok dan menyambung tulang Tong Bun Liang. Seraya menengok ke Siang Keng Cie, ia berkata, "Berikanlah koyo Hwee-yang Giok-liong kepadaku."
Siang Keng Cie segera menyerahkan apa yang dipintanya.
"Cobalah Cianpwee minta Sam hong Po la wan dari Bu tong-pay dan bubuk Giok Cin-san dari Hwa san-pay," kata Bu Kie pula.
Permintaan itu lantas dituruti.
"Dengan menggunakan rumput Co o koyo Hwee-yang Giok-liong dari partai Cianpwee, sangat mujarab," kata pemuda itu.
"Dalam Sam hong Po la wan dari Bu tong-pay terdapat Thiun tiok-hong, Hiong hong dan Tang hong.
Ditambah dengan Giok Cin-san maka dalam waktu dua bulan saja kesehatan Tong Cianpwee akan pulih seperti biasa lagi." Seraya berkata begitu dengan cepat ia membalut tulang-tulang Tong Bun Liang yang sudah disambung dan dalam sekejap pekerjaan itu sudah selesai.
Perbuatan Bu Kie kian lama kian mengherankan. Kepandaiannya dalam menyambung tulang tidak akan dapat ditandingi oleh tabib manapun juga. Disamping itu, iapun tahu obat-obat istimewa yang dipunyai oleh setiap partai.
Dengan rasa malu Siang Keng Cie mendukung Tong Bun Liang dan mundur dari gelanggang.
Mendadak Tong Bun Liang berteriak, "Orang she Can! Bahwa kau telah menyambung tulangku, aku merasa sangat berterima kasih dan di kemudian hari nanti, aku pasti akan membalas budimu. Tapi permusuhan antara Khong tong-pay dan Mo-kauw sedalam lautan. Tak bisa kami sudahi karena budimu.
Jika kau anggap melupakan budi, kau boleh mematahkan lagi tulang kaki tanganku."
Mendengar pernyataan itu, hati semua orang timbul perasaan hormat terhadap Tong Bun Liang yang bersifat lebih ksatria daripada Siang Keng Cie.
"Cara bagaimanakah baru Cianpwee bisa merasa puas dan sudi menyudahi permusuhan ini?" tanya Bu Kie.
"Cobalah kau perlihatkan ilmu silatmu," jawabnya. "Jika Khong tong-pay merasa tak bisa menandingi, barulah kami tak bisa berkata apa-apa lagi."
"Dalam Khong tong-pay terdapat banyak sekali orang pandai sehingga biar bagaimanapun juga boanpwee takkan bisa menandingi," sahut Bu Kie sambil tertawa. "Tapi karena telah terlanjur, biarlah boanpwee memperlihatkan kebodohannya." Seraya berkata begitu, matanya mengawasi seluruh lapangan.
Di sebelah timur terdapat pohon siong yang tingginya tiga tombak lebih dan rindang daunnya. Perlahan-lahan ia mendekati pohon itu dan berkata dengan suara nyaring, "Boanpwee pernah belajar Cit siang kun dan kini boanpwee ingin memperlihatkan kebodohan sendiri. Boanpwee mohon para Cianpwee supaya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tidak menertawai." Semua orang merasa heran. "Dari mana bocah itu belajar Cit siang kun?" tanyanya di dalam hati. Sesudah berdiam sejenak, tiba-tiba Bu Kie menghafalkan sesuatu yang menyerupai sajak:
"Hawa Ngo-heng dicampur Im-yang,
Merusak jantung, melukai paru-paru, hati dan usus,
Tenaga hilang, pikiran kalang kabut,
Semangat terbang!" Tak kepalang kagetnya kelima ketua Khong tong-pay! Mengapa" Karena apa yang dihafal pemuda itu adalah bagian terakhir dari kitab Cit siang kun, suatu rahasia yang belum pernah diturunkan ke orang luar.
Dalam kagetnya, mereka tentu saja belum bisa menduga bahwa pelajaran itu telah diturunkan oleh Cia Sun yang telah merampas kitab tersebut kepada Bu Kie.
Sementara itu, setelah mengerahkan tenaga dalam, bagaikan kilat Bu Kie meninju pokok pohon.
"Krreek!...." Sebatas pokok yang ditinju, pohon itu terbang dan " dubrak! Roboh dalam jarak dua tombak lebih! Di atas tanah hanya berdiri pohon yang tingginya kira-kira empat kaki.
"Pukulan"pukulan itu"bukan Cit siang kun," kata Siang Keng Cie dengan suara tak puas.
Cit siang kun adalah semacam pukulan yang di dalam kekerasannya terdapat kelembekan dan di dalam kelembekannya terdapat kekerasan. Pukulan Bu Kie itu biarpun dahsyat luar biasa hanialah pukulan yang menggunakan tenaga "keras"
Tapi waktu Siang Keng Cie menghampiri pangkal pohon yang masih berdiri dan memeriksanya, ia terpaku dan mengawasi dengan mulut ternganga. Ia lihat bahwa urat-urat pohon yang terpukul hancur semuanya! Itulah Cit siang kun yang sudah mencapai puncak kesempurnaan!
Ternyata dalam pukulannya itu, Bu Kie telah menggunakan dua macam tenaga. Untuk mencapai maksudnya, mereka harus memperlihatkan hasil dengan segera. Jika ia hanya menggunakan Cit siang kun maka sesudah berselang sepuluh hari atau setengah bulan, barulah pohon itu mati berdiri. Maka itu ia meningju dengan tenaga Cit siang kun yang disertai dengan Yang-kang (tenaga "keras") sehingga batangnya patah dan terbang.
Kehebatan Bu Kie disambut dengan sorak-sorai gegap-gempita.
"Bagus!" seru Tong Bun Liang. "Itulah Cit siang kun yang tertinggi. Aku merasa takluk! Tapi bolehkah aku bertanya, dari mana Can Siauw hiap belajar ilmu itu?"
Bu Kie tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Tiba-tiba si tua berteriak, "Di mana adanya Kim mo Say-ong Cia Sun! Beritahukanlah!"
Pemuda itu terkejut. "Celaka!" ia mengeluh di dalam hati. "Dengan memperlihatkan Cit siang kun, aku menyeret Gie-hu. Jika aku bicara terus terang, peranan damai tidak dapat dipegang lagi olehku."
Sesudah berpikir sejenak, ia bertanya dengan suara lantang, "Apakah Cianpwee menganggap kitab Cit siang kun dirampas oleh Kim mo Say-ong" Ha-ha! Cianpwee salah, salah besar! Kitab itu dicuri oleh Hun goan Pek lek chioe Seng Kun. Malam itu, ketika terjadi pertempuran di kuil Ceng yang kun, gunung Khong tong san bukankah ada dua orang yang kena pukulan Hun goan kang" Katakanlah, boanpwee benar atau salah."
Ternyata pada waktu Cia Sun bertempur di Khong tong san dalam usahanya merampas kitab Cit siang kun, Seng Kun yang ingin memperhebat kekacauan dalam Rimba Persilatan, diam-diam memberi bantuan. Ia melukai Tong Bun Liang dan Siang Keng Cie dengan pukulan Hun goan kang. Waktu itu Cia Sun sendiri masih belum tahu. Belakangan, atas petunjuk Kong kian Taysu, barulah ia tahu adanya bantuan itu.
Mengingat kejahatan Seng Kun, tanpa ragu lagi Bu Kie sudah menimpakan kesalahan padanya.
Apalagi, pada hakekatnya Bu Kie tidak berdusta seluruhnya sebab memang benar Seng Kun sudah membokong kedua tetua Khong tong dengan maksud tidak baik.
Selama dua puluh tahun lebih Tong Bun Liang dan Siang Keng Cie dihinggapi perasaan ragu.
Mendengar keterangan Bu Kie, mereka saling melirik tapi tidak mengatakan apapun juga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apakah Can Siauw hiap tahu di mana adanya Seng Kun sekarang?" tanya Cong Wie Hiap.
"Dengan menggunakan semua kepandaiannya Seng Kun mengadu domba enam partai besar dan Bengkauw," terang Bu Kie. "Belakangan ia menjadi murid Siauw lin dan sebagai seorang pertapa ia memakai nama Goan-tin. Di kuil Siauw lim sie, dia pernah mengajar ilmu silat kepada boanpwee. Jika dusta, boanpwee rela menerima hukuman seberat-beratnya di akhirat dan biarlah boanpwee tidak bisa lahir lagi di dunia."
Barisan Siauw lim-pay lantas saja gempar. Goan-tin adalah murid Kong kiang Seng Ceng dan sesuai dengan peraturan yang sangat keras, kecuali di kuil ini, pendeta-pendeta Siauw lim belum pernah keluar dari pintu kuil. Keterangan Bu Kie bahwa Goan-tin adalah Seng Kun sedikit pun tidak dipercaya oleh mereka.
Tiba-tiba terdengar pujian kepada Sang Buddha dan seorang pendeta yang mengenakan jubah pertapa warna abu-abu berjalan keluar dari barisan Siauw lim. Pendeta itu berparas angker dan tangan kirinya mencengkram tasbih, tidak lain daripada Kong seng, salah seorang dari ketiga pendeta suci. "Can Sie-cu, bagaimana kau bernai menuduh murid Siauw lim sie secara sembarangan?" tanyanya. "Kapan kau belajar silat di kuil kami" Di hadapan orang-orang gagah di seluruh Rimba Persilatan, aku tak bisa membiarkan kau menodai nama harumnya Siauw lim."
Bu Kie membungkuk seraya berkata, "Taysu, janganlah kau gusar. Jika Taysu bisa memanggil Goantin. Taysu akan segera tahu duduk persoalannya."
Paras muka Kong seng lantas saja berubah menyeramkan. "Can Sie-cu, sekali lagi kau menyebut nama sutitku," katanya dengan suara kaku. "Kau masih begitu muda, mengapa hatimu begitu kejam?"
"Mengapa Taysu mengatakan hatiku kejam?" tanya Bu Kie. "Aku minta Goan-tin Hweeshio keluar hanya untuk menjelaskan persoalan ini di hadapan para orang gagah."
"Goan-tin sutit telah berpulang ke alam baka," kata Kong seng dengan suara perlahan. "Ia mengorbankan jiwa untuk partai kami. Sesudah meninggal dunia, nama baiknya tak dapat"." Begitu mendengar perkataan "Goan tin sutit sekarang sudah berpulang ke alam baka" kepala Bu Kie pusing dan paras mukanya berubah pucat. Perkataan Kong seng yang selanjutnya tak dapat ditangkap lagi olehnya.
"Apa"apa benar dia mati?" tanyanya dengan suara terputus-putus. "Tidak"tak mungkin."
Kong seng menunjuk sesosok tubuh yang tergeletak di sebelah barat dan berkata dengan suara keras,
"Kau lihat sendiri."
Bu Kie mendekati. Mayat itu mukanya melesak dan matanya terbuka lebar ternyata memang mayat Goan-tin atau Hun-goan Pek lek chioe Seng Kun. Ia membungkuk dan meraba dada mayat yang dingin itu, suatu tanda bahwa Goan-tin sudah mati lama juga.
Bu Kie berduka campur girang. Ia tak menyangka bahwa musuh besar ayah angkatnya binasa di tempat itu. Biarpun bukan ia sendiri yang membinasakannya, sakit hati sudah terbalas. Darahnya bergolak-golak dan sambil mendongak, ia tertawa terbahak-bahak. "Bangsat! Oh, bangsat terkutuk!"
teriaknya. "Selama hidup kau melakukan berbagai kejahatan tapi kau mendapat juga bagianmu di hari ini!" Suara tawanya yang dahsyat seolah-olah menggetarkan seluruh lembah. Sesudah berteriak, ia menengok ke arah Kong seng dan bertanya, "Siapa yang membinasakan Goan-tin?"
Kong seng tidka menyahut. Ia melirik pemuda itu dengan mata menyala dan mukanya bersinar dingin bagaikan es.
Yang menjawab Bu Kie adalah In Thian Ceng, "Dia telah bertempur dengan anakku, Ya Ong,"
katanya. "Dia mati, anakku terluka."
Bu Kie membungkuk. Di dalam hati ia berkata, "Sesudah kena pukulan Han-peng Bian-ciang dari Ceng-ek Hok ong, Goan-tin terluka berat. Karena itu paman berhasil membinasakannya. Sungguh menyenangkan bahwa paman sudah berhasil membalas sakit hati ini." Ia menghampiri In Ya Ong dan memegang nadinya. Hatinya lega sebab ia tahu bahwa luka sang paman tidak berbahaya bagi jiwanya.
Makin lama Kong seng jadi makin gusar. Tiba-tiba ia berteriak, "Bocah! Kemari kau untuk menerima kebinasaan!"
Bu Kie terkejut, ia menengok dan menegaskan, "Apa?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Jelas-jelas kau tahu bahwa Goan-tin sutit sudah binasa tapi kau masih juga berusaha untuk menimpakan segala dosa di atas pundaknya," kata Kong seng. "Kau terlalu jahat, dan aku tidak dapat mengampuni kau. Hari ini aku terpaksa membuka larangan membunuh. Pilihlah, kau mati bunuh diri atau dibinasakan olehku."
Pemuda itu jadi bingung. "Kebinasaan Goan-tin merupakan ganjaran setimpal bagi dirinya dan kejadian ini sangat menggirangkan," pikirnya. "Tapi dengan binasanya pendeta itu, aku tak punya saksi lagi dan urusan jadi makin susah dipecahkan. Bagaimana baiknya?"
Selagi ia mengasah otak, Kong seng sudah menerjang. Tangan kanannya menyambar ke leher dengan jari-jari yang dipentang lurus.
"Hati-hati! Itu Liong Jiauw chioe!" seru In Thian Ceng. (Liong Jiauw chioe ilmu pukulan cakar naga) Dengan sekali berkelit Bu Kie menyelamatkan dirinya, tapi Kong seng adalah salah seorang dari tiga pendeta suci Siauw lim sie dan Liong Jiauw chioe merupakan salah satu pukulan terhebat dari Siauw limpay. Baru saja cengkraman pertama gagal, cengkraman kedua yang lebih cepat dan lebih dahsyat sudah menyusul. Bu Kie melompat ke samping. Cengkraman ketiga, keempat, kelima menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin dalam sekejap, pendeta itu seolah-olah seekor naga yang terbang di angkasa sambil mementangkan cakarnya sehingga semua gerakan Bu Kie di bawah kekuasaannya.
Mendadak berbarengan dengan mengapungnya tubuh Bu Kie terdengar suara "brett!" Di lain saat barulah orang tahu bahwa tangan baju pemuda itu robek dan lengan kanannya tercakar sehingga mengucurkan darah. Di antara sorak-sorai orang Siauw lim-pay terdengar teriakan kaget dari seorang wanita, Bu Kie melirik dan melihat Siauw Ciauw tengah mengawasinya dengan paras muka ketakutan.
"Thio Kongcu, hati-hati!" teriak si nona.
"Sungguh baik nona kecil itu," piker Bu Kie sambil melompat ke belakang karena dengan kecepatan luar biasa Kong seng sudah menubruk lagi.
Begitu cengkraman pertama gagal, cengkraman kedua menyusul dan Bu Kie kembali melompat ke belakang. Selagi yang satu menubruk dan yang satu melompat, mereka tetap berhadapan satu sama lain.
Sesudah menubruk delapan sembilan kali, Kong seng masih juga belum berhasil. Jarak antara mereka tetap tidak berubah, yaitu dua kaki lebih. Maka dengan demikian, meskipun Bu Kie masih belum balas menyerang, tinggi rendahnya ilmu ringan badan antara kedua lawan itu sudah bisa dilihat nyata.
Kita tahu bahwa Kong seng menubruk ke depan sedang Bu Kie melompat ke belakang. Tidak dapat disangkal lagi bahwa menubruk ke depan lebih mudah daripada melompat ke belakang. Meskipun begitu Kong seng masih tidak bisa menyentuh badan pemuda itu. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam ilmu meringankan badan, pendeta itu sudah kalah setingkat. Kalau mau, dengan mudah Bu Kie bisa menyingkir jauh-jauh dari Kong seng.
Mengapa Bu Kie tetap mempertahankan jarak dua tiga kaki dari pendeta itu" Karena ia ingin mempelajari rahasia pukulan Liong Jiauw chioe. Ia menyadari bahwa sesudah mengeluarkan tiga puluh enam macam pukulan, si pendeta menyerang pula dengan pukulan ke delapan yaitu Na na sit (Gerakan mencengkram) yang tadi sudah digunakan. Sesudah itu kedua tangan Kogn seng menyambar dari atas ke bawah. Itulah Chio cu sit (Gerakan merebut mutiara), pukulan kedua belas. Melihat itu, Bu Kie segera mengetahui bahwa Liong Jiauw chioe hanya terdiri dari tiga puluh enam pukulan atau gerakan.
Selama hidup, Kong seng jarang sekali bertempur melawan musuh. Waktu mencapai usia setengah tua, walaupun musuh beberapa kali ia pernah bertemu dengan lawan berat, tapi begitu mengeluarkan Liong Jiauw chioe, pihak lawan segera keteteran. Sejauh itu, ia belum pernah bertempur dengan lawan yang bisa bertahan lebih dari dua belas pukulan. Maka itu, pukulan ketiga belas sampai ketiga puluh enam belum pernah digunakan untuk menghadapi musuh. Sungguh tak disangka, sesudah mengeluarkan tiga puluh enam pukulan, ia masih juga belum bisa merobohkan Bu Kie. Mau tak mau ia terpaksa mengulangi pukulan-pukulan yang tadi sudah digunakan. "Ilmu ringan badan bocah ini memang sangat hebat,"
pikirnya. "Dengan mengandalkan kegesitannya, ia berhasil menyelamatkan diri dari pukulan-pukulan.
Tapi kalau bertempur sungguhan, belum tentu ia bisa melayani dua belas pukulan Liong Jiauw chioe."
Sementara itu, Bu Kie sudah dapat menyelami kehebatan Liong Jiauw chioe. Memang Jiauw hoat (Ilmu mencengkram) yang terdiri dari tiga puluh enam gerakan itu tidak ada cacatnya. Akan tetapi, sesudah memiliki Kian kun Tay lo ie Sin-kang, dengan mengandalkan Sin-kang tersebut, pemuda itu dapat memecahkan pukulan apapun juga. Sekarang juga ia bisa menghancurkan Liong Jiauw chioe. Tapi ia ragu dan berkata dalam hati, "Tidak sukar bagiku mengambil jiwanya, tapi Siauw lim-pay mempunyai
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
nama besar sedangkan Kong seng Taysu adalah salah seorang dari ketiga pendeta suci. Apabila dengan gegabah lalu aku merobohkannya di hadapan orang banyak, di mana Siauw lim-pay mau menaruh muka"
Tapi bila tidak dirobohkan, dia pasti tak akan mau mundur." Ia jadi serba salah.
Tiba-tiba Kong seng membentak, "Bocah! Kau kabur bukan Pie Bu!"
Bu Kie menjawab, "Mau Pie Bu"." Dengan menggunakan kesempatan selagi pemuda itu bicara, Kong seng mengirim dua pukulan berantai. Di luar dugaan, seraya melompat Bu Kie terus bicara dengan suara tenang. ?"juga boleh. Tapi bagaimana kalau aku menang?" Suaranya bukan saja tenang, tapi juga tak terputus. Kalau seseorang memeramkan kedua matanya, ia tak akan menduga bahwa selama mengucapkan perkataan-perkataan itu, Bu Kie sudah menyelamatkan diri dari tiga serangan Kong seng yang cepat dan dahsyat.
"Ilmu ringan badanmu benar-benar hebat," puji si pendeta itu. "Tapi kamu jangan harap bisa menandingi aku dalam suatu pertempuran yang sungguh-sungguh."
"Dalam Pie Bu, tak seorangpun bisa meramalkan siapa bakal menang, siapa bakal kalah," kata Bu Kie.
"Usia boanpwee lebih muda daripada Taysu. Tapi biarpun kalah ilmu, boanpwee mungkin menang tenaga."
"Kalau aku kalah, kau boleh bunuh aku!" bentak Kong seng dengan gusar.
"Hal ini tak akan berani boanpwee lakukan," kata pemuda itu. "Apabila boanpwee kalah, Taysu boleh berbuat sesuka hati. Tapi jika secara kebetulan boanpwee menang sejurus atau setengah jurus maka boanpwee hanya berharap supaya Siauw lim-pay mundur dari Kong Beng-teng."
"Urusan Siauw lim-pay harus diputuskan oleh Suhengku," kata Kong seng. "Aku hanya bicara secara pribadi. Aku tak percaya Liong Jiauw chioe tak bisa membereskan kau."
Sebuah gagasan lewat di otak Bu Kie dan ia segera mengambil keputusan, "Liong Jiauw chioe dari Siauw lim-pay memang tiada cacatnya," katanya. "Ilmu itu adalah Kim na Chioe hoat (Ilmu mencengkram) yang tiada duanya dalam dunia. Hanya sayang latihan Taysu belum sempurna."
"Baiklah!" kata Kong seng dengan gusar. "Jika kau dapat memecahkan Liong Jiauw chioe-ku, aku akan segera pulang ke Siauw lim sie dan seumur hidup aku tidak akan keluar dari pintu kuil lagi!"
"Itu boleh tidak usah!" kata Bu Kie.
Selagi mereka bertanya jawab, sorak-sorai di seputar lapangan tak henti-hentinya. Semua orang merasa kagum sebab ketika mulut mereka bicara, kaki dan tangan bekerja terus. Waktu mengatakan "ilmu ringan badanmu benar-benar hebat" Kong seng mengirimkan dua serangan beruntun dan selagi mengatakan
"tapi kau jangan harap bisa menandingi aku dalam suatu pertempuran yang sungguh-sungguh" ia sudah mengirimkan tiga serangan lain. Di antara sorak-sorai yang riuh rendah, setiap perkataan mereka terdengar nyata sekali.
Mendadak sesudah berkata "itu boleh tidak usah", tubuh Bu Kie mencelat ke atas, berputar empat kali dan pada setiap putaran badannya mengapung makin tinggi dan kemudian bagaikan daun kering ia melayang-layang ke bawah dan kedua kakinya hinggap di bumi dalam jarak beberapa tombak jauhnya dari tempat semula.
Semua orang mengawasi dengan mata membelalak dan sesaat kemudian, tampik sorak gegap-gempita memecah angkasa. Belum pernah jago-jago itu melihat ilmu ringan badan yang setinggi itu.
Hampir bersamaan dengan hinggapnya Bu Kie, Kong seng sudah berada di hadapannya. "Apa kita sekarang boleh mulai Pie Bu?" tanyanya.
"Baiklah. Taysu boleh menyerang," jawab Bu Kie.
"Apakah kau akan menggunakan lagi siasat kabur?" tanya Kong seng pula.
Pemuda itu tersenyum, "Jika boanpwee mundur setengah langkah saja, boanpwee sudah boleh dihitung kalah," jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Walaupun badannya tidak dapat bergerak, Yo Siauw, Leng Kiam, Ciu Tiam, Swee Poet Tek dan yang lain-lain bisa melihat dan mendengar. Perkataan Bu Kie yang terakhir itu mengejutkan mereka. Mereka berpengalaman luas, setiap pukulan Kong seng hebat luar biasa dan untuk menyambut satu pukulan saja sudah bukan urusan gampang. Menurut pendapat mereka, walaupun hebat tapi kalau mau mengharap menang, Bu Kie setidaknya harus bertempur dalam seratus jurus. Selama pertempuran itu, mana bisa ia tidak mundur setengah langkah"
"Boleh tak usah begitu," kata Kong seng. "Yang menang, biarlah menang secara adil. Yang kalah, biarlah kalah dengan tidak merasa penasaran." Ia terdiam sejenak dan kemudian membentak,
"Sambutlah!" Tangan kirinya mengirimkan pukulan gertakan disusul dengan sambaran tangan kanan yang meluncur ke arah Koat poen hiat di pundak Bu Kie. Itulah pukulan Na in sit. (Gerakan menjambret awan)
Begitu tangan kiri Kong seng bergerak, Bu Kie sudah tahu pukulan apa yang bakal dikeluarkan. Iapun segera membuat serangan gertakan dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menyambar ke Koat poen hiat di pundak Kong seng.
Kedua lawan itu menyerang dengan pukulan yang bersamaan. Tapi dalam persamaan itu ada juga bedanya. Bedanya Bu Kie menyerang belakangan tapi tangannya sampai lebih dahulu. Pada detik jari tangan Kong seng masih terpisah dua dim dari pundak Bu Kie, jari tangan pemuda itu sudah mencengkram Koat poen hiat Kong seng yang segera saja merasa jalan darahnya kesemutan dan tangan kanannya tidak bertenaga lagi, tapi Bu Kie segera menarik kembali tangannya.
Untuk sejenak kemudian Kong seng jadi terpaku. Tiba-tiba kedua tangannya menyambar ke Tay yang hiat kiri dan kanan dengan gerakan Chio cu sit. Kejadian tadi terulang lagi, Bu Kie pun menyerang sepasang Tay yang hiat Kong seng dengan Chio cu sit dan seperti tadi biarpun ia menyerang belakangan, kedua tangannya sampai lebih dulu. Tay yang hiat adalah "hiat" besar yang bila terpukul segera mati.
Dengan perlahan Bu Kie mengebut kedua Tay yang hiat lawan dan kemudian dengan sekali berbalik tangan, ia menyentuh Hong hu hiat di belakang kepala Kong seng dengan gerakan Lo goat sit (Gerakan menjemput rembulan), yaitu pukulan ketujuh belas dari Liong Jiauw chioe.
Begitu Tay yang hiat-nya dikebut, hati Kong seng mencelos dan melihat gerakan Lo goat sit itu ia kaget tak kepalang. "Kau"kau mencuri Liong Jiauw chioe Siauw lim-pay!" teriaknya.
Bu Kie tersenyum, "Semua ilmu silat dalam dunia ini diubah oleh manusia," katanya. "Belum tentu Liong Jiauw chioe hanya dimiliki oleh Siauw lim-pay."
Kong seng mengawasi pemuda itu dengan mata membelalak. Ia bingung bukan main. Dalam ilmu Liong Jiauw chioe, kepandaiannya lebih tinggi daripada Kong bun dan Kong tie. Bagaimana caranya pemuda itu bisa memiliki salah satu ilmu terhebat dari Siauw lim-pay" Bukan saja memiliki, ia bahkan lebih unggul daripada dirinya sendiri. Bagaimana bisa begitu" Untuk sejenak ia berdiri terpaku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
Dengan hari berdebar-debar, ratusan orang mengawasi kedua lawan itu. Mereka merasa heran karena baru saja dua gerakan, kedua lawan itu sudah berhenti. Kecuali beberapa tokoh yang berkepandaian sangat tinggi, yang lain tak tahu siapa menang, siapa kalah. Tapi dengan melihat sikap Bu Kie yang tenang-tenang saja dan alis Kong seng yang berkerut, mereka menarik kesimpulan bahwa pendeta itulah yang jatuh di bawah angin.
Selama ratusan tahun, Liong Jiauw chioe sudah menjadi ilmu silat Siauw lim-pay yang tidak terkalahkan. Jika Bu Kie menggunakan ilmu lain, tak gampang ia memperoleh kemenangan.
Mendadak Kong seng membentak keras sambil melompat dan kedua tangannya menyambar bagaikan hujan dan angin. Dengan beruntun bagaikan kilat cepatnya ia menyerang dengan delapan pukulan yaitu Po hong sit, To eng sit, Bu khim sit, Kouw sek sit, Pi kong sit, To hie sit, Po cam sit dan Sioe koat sit. Bu Kie mengempos semangat dan menyambut dengan delapan pukulan yang sama.
Delapan pukulan berantai yang dikirim Kong seng sedemikian cepatnya sehingga seolah-olah merupakan satu pukulan tunggal yang berisi delapan perubahan. Tapi kalau Kong seng cepat, Bu Kie lebih cepat. Apa yang paling menakjubkan adalah biarpun pemuda itu bergerak belakangan, setiap pukulannya tiba lebih dulu sehingga setiap kali memukul Kong seng harus mundur selangkah.
Dalam sekejap, sambil melangkah mundur untuk ketujuh kalinya, Kong seng mengirimkan Po cam sit dan Sioe koat sit, yaitu pukulan ketiga puluh lima dan ketiga puluh enam. Dilihat dari luar, Po cam sit dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sioe koat sit banyak cacatnya, tapi sebenarnya kedua pukulan itu adalah yang terhebat dalam Liong Jiauw chioe. Dalam cacatnya tersembunyi jebakan yang membinasakan. Pada hakikatnya Liong Jiauw chioe adalah ilmu silat "keras", akan tetapi dalam kedua pukulan yang terakhir itu, di dalam "kekerasan"
tersembunyi Im jioe. ("Kelembekan")
Sambil membentak keras Bu Kie maju selangkah dan menyambut dengan Po cam sit dan Sioe koat sit juga, tapi mendadak ia mengubah gerakannya menjadi gerakan Na in sit dan tangannya menerobos masuk ke dalam garis pertahanan Kong seng.
Kong seng girang. "Lihat kehebatanku," katanya dalam hati. Saat itu, lengan kanan Bu Kie sudah masuk ke dalam garis pertahanan Kong seng dan ia tidak bisa segera mundur kembali. Bagaikan kilat, si pendeta mengangkat kedua tangannya dan menghantam lengan pemuda itu.
Kong seng adalah seorang taat yang punya perikemanusiaan. Melihat Bu Kie mahir dalam ilmu Liong Jiauw chioe, ia kuatir pemuda itu mempunyai sangkut paut dengan Siauw lim sie. Di samping itu, dalam gerakan-gerakan yang lalu, beberapa kali jalan darahnya sudah tercengkram tapi Bu Kie sengaja melepaskan. Maka itu, dalam pukulan ini iapun tidak turunkan tangan jahat. Ia hanya ingin mematahkan lengan pemuda itu.
Tapi di luar dugaan, begitu lekas kedua telapak tangannya menyentuh lengan Bu Kie, ia merasakan dorongan semacam tenaga yang halus tapi dahsyat yang dengan mudah dapat menolak tenaga pukulannya. Hampir bersamaan, kelima jari tangan pemuda itu sudah menempel di dadanya di bagian Tan tiong hiat.
Kong seng runtuh semangatnya, ia merasa bahwa latihannya selama berpuluh tahun sedikitpun tiada gunanya. Ia manggut-manggut dan berkata dengan suara perlahan, "Can Sie-cu berkepandaian lebih tinggi daripada Loo-lap." Seraya berkata begitu, lima jari tangan kirinya mencengkram lima jari tangan kanannya. Tapi sebelum ia keburu mengerahkan Lweekang untuk mematahkan jari tangan sendiri, mendadak pergelangan tangan kirinya kesemutan dan tenaganya habis. Ternyata jalan darahnya telah dikebut Bu Kie.
"Dengan menggunakan Liong Jiauw chioe dari Siauw lim-pay, boanpwee telah mengalahkan Taysu,"
kata Bu Kie dengan suara nyaring. "Kerugian apakah yang diderita oleh Siauw lim-pay" Jika boanpwee tidak menggunakan Liong Jiauw chioe, ilmu dari Siauw lim-pay sendiri, dalam dunia yang lebar ini tidak ada ilmu lain yang akan dapat menjatuhkan Taysu."
Tadi karena gusar dan malu, Kong seng ingin mematahkan jari tangannya sendiri supaya seumur hidup ia tidak bisa bersilat lagi. Sekarang, sesudah mendengar perkataan Bu Kie, hatinya jadi lega. Dilain saat ia mengaku bahwa sepak terjang pemuda itu selalu mencoba melindungi nama baik Siauw lim-pay.
Memang benar, kalua Bu Kie tidak menggunakan Liong Jiauw chioe maka nama baik Siauw lim sie akan jatuh di dalam tangannya dan ia akan menjadi orang yang berdosa. Mengingat begitu, ia merasa berterima kasih dan terharu. Sejenak kemudian dengan air mata berlinang ia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Can Sie-cu mempunyai budi yang sangat tinggi, Loo-lap merasa berterima kasih dan takluk."
Buru-buru Bu Kie membalas hormat sambil membungkuk. "Janganlah Taysu memuji begitu tinggi,"
katanya. "Boanpwee berharap supaya Taysu suka mengampuni segala kekurang ajaran boanpwee."
Kong seng tersenyum. "Waktu digunakan oleh Sie-cu, Liong Jiauw chioe dahsyat luar biasa," katanya.
"Loo-lap belum pernah bermimpi bahwa ilmu silat itu sedemikian hebatnya. Jika di lain hari nanti Sie-cu mempunyai waktu luang, Loo-lap harap Sie-cu suka mampir di kuil kami, Loo-lap ingin menjadi tuan rumah dan meminta pengajaran dari Sie-cu."
Menurut kebiasaan di dalam Rimba Persilatan, kata-kata "meminta pengajaran" mengandung maksud mengajukan tantangan. Tapi kali ini, perkataan itu jujur. Dengan sejujurnya Kong seng ingin meminta pengajaran dari Bu Kie.
Cepat-cepat Bu Kie menyoja dan berkata dengan suara merendah, "Tidak! Boanpwee tidak berani menerima perkataan Taysu."
Dalam Siauw lim-pay, Kong seng mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Biarpun karena tak bisa memimpin, ia tidak memegang tugas penting tapi sebab berwatak mulia dan berkepandaian tinggi, ia dihormati segenap pendeta Siauw lim sie. Sekarang, sesudah pertandingan antara Kong seng dan Bu Kie berakhir, semua anggota Siauw lim-pay merasa bhawa partai mereka tak bisa menantang pemuda itu lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dalam usaha membasmi Beng-kauw, Kong tie telah diangkat sebagai pemimpin. Maka dapatlah dimengerti jika perkembangan yang tak diduga-duga itu sangat membingungkan hatinya. Urusan membasmi Mo-kauw telah dirintangi dan dikacau oleh seorang pemuda yang tak bernama. Bagaimana jika ditertawai oleh segenap orang gagah dalam Rimba Persilatan"
Ia ragu dan tak dapat mengambil keputusan. Dalam kebingungannya, ia melirik Sin soan-cu (si Malaikat tukang hitung) Sian Ie Thong, Cian bun jin dari Hwa san-pay. Sian Ie Thong dikenal sebagai seorang yang mempunyai banyak tipu daya dan dalam usaha membasmi Beng-kauw ia memegang peranan sebagai Kun-su (penasehat). Begitu dilirik Kong tie, ia segera bertindak masuk ke tengah lapangan sambil menggoyang-goyangkan kipasnya.
Melihat yang maju seorang sastrawan tampan yang berusia empat puluh tahun lebih, Bu Kie mendapat kesan yang baik. Ia menyoja dan berkata, "Pelajaran apakah yang hendak diberikan oleh Cianpwee?"
Sebelum Sian Ie Thong menjawab, In Thian Ceng sudah mendahului, "Dia bernama Sian Ie Thong, Cian bun jin Hwa san-pay. Ilmu silat tidak tinggi tapi banyak akal bulusnya."
Mendengar "Sian Ie Thong", Bu Kie kaget. Nama itu sepertinya tidak asing baginya. Tapi di mana ia pernah mendengar nama itu"
Dalam jarak setombak lebih, Sian Ie Thong menghentikan langkahnya dan sambil menyoja ia berkata,
"Can Siauw-hiap selamat bertemu!"
Bu Kie membalas hormat. "Siang Ji Ciang bun, selamat bertemu," sahutnya.
"Can Siauw-hiap mempunyai Sin-kang yang sangat tinggi," kata Sian Ie Thong.
"Kau sudah mengalahkan tetua dari Khong tong-pay dan bahkan Siauw lim Seng Ceng pun jatuh di bawah angin. Aku sungguh merasa sangat kagum, tapi apakah aku boleh mengetahui, Cianpwee manakah yang mempunyai seorang murid begitu gagah seperti Can Siauw-hiap?"
Bu Kie yang sedang mengingat-ingat nama Sian Ie Thong, tidak menjawab. Ia pernah mendengar nama itu, tapi di mana" Di mana"
Tiba-tiba Sian Ie Thong mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Mengapa Can Siauw-hiap sungkan memberitahukan nama gurumu?" tanyanya dengan suara nyaring. "Orang jaman dulu sering berkata begini, Kian-hian su-cee.?" (Melihat orang pandai teringat negeri Cee) Mendengar "Kian-hian su-cee" Bu Kie terkesiap dan lantas saja teringat "Kian-sie Poet-kioe" (Melihat kebinasaan tetap sungkan menolong, yaitu gelaran Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe) Ia lantas saja ingat kejadian di Ouw tiap kok pada waktu lima tahun berselang. Waktu itu Ouw Ceng Goe pernah memberitahukan bahwa Sian Ie Thong dari Hwa san-pay adalah manusia yang sudah menyebabkan kebinasaan adik perempuannya. Di kala itu, ia masih kecil tapi di dalam hati ia sudah memastikan bahwa Sian Ie Thong akan mendapatkan pembalasan yang setimpal karena Tuhan adil. Saat itu, perkataan Ouw Ceng Goe seolah-olah terdengar pula di kupingnya, "Aku pernah menolong seseorang yang mendapat tujuh belas lubang luka bacokan. Ia sebenarnya sudah mesti mati. Tiga hari tiga malam aku tidak tidur dan dengan segenap kepandaian aku bisa menyembuhkannya. Belakangan aku mengangkat saudara dengannya. Tak disangka ia akhirnya membinasakan adik perempuanku, adik kandungku"." Waktu berkata begitu, air mata Ouw Ceng Goe mengucur deras sehingga iapun sangat berduka. Belakangan istri Ouw Ceng Goe yaitu Tok sian Ong Lan Kauw, meracuni Sian Ie Thong dengan racun yang sangat hebat. Tapi manusia terkutuk itu ditolong oleh Ouw Ceng Goe sendiri, kedua suami istri jadi bertengkar dan pertengkaran itu telah mengakibatkan banyak penderitaan. Pada akhirnya, suami istri Ouw Ceng Goe binasa secara tidak wajar. Biarpun bukan dibunuh oleh Sian Ie Thong, kebinasaan itu adalah karenanya.
Mengingat sampai di situ, Bu Kie mendekati. Dengan sinar mata berapi, ia menyapu muka Sian Ie Thong. Ia juga ingat satu manusia lain yang bernama Sie Kong Wan, murid Sian Ie Thong. Sesudah dilukai oleh Kim hoa Po po, jiwa Sie Kong Wan ditolong olehnya. Tak disangka, manusia itu belakangan mau mencoba mengiris dagingnya! Paras muka Bu Kie merah padam. Guru dan murid itu adalah manusia yang membalas kebaikan dengan kejahatan. Sie Kong Wan sudah mampus, tapi Sian Ie Thong masih malang melintang di dunia dengan berkedudukan tinggi. "Manusia ini harus diberi hajaran keras,"
pikirnya. Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah mengambil keputusan apa yang akan diperbuatnya, ia tersenyum dan berkata, "Di badanku tidak ada 17 luka dan akupun belum pernah mencelakai jiwa adik angkatku. Aku tak punya rahasia apapun jua yang harus disembunyikan."
Sungguh tajam kata-kata itu!
Sian Ie Thong menggigil! Keringat dingin mengucur dari punggungnya.
Banyak tahun berselang, sesudah jiwanya ditolong oleh Ouw Ceng Goe, Sian Ie Thong dicintai oleh Ouw Cen Yo, adik perempuan Ouw Ceng Goe. Nona Ouw menyerahkan kehormatannya sehingga ia hamil. Tapi Sian Ie Thong yang ingin menduduki kursi Ciang bun jin dari Hwa san-pay sudah menyianyiakan nona itu, ia kabur dan menikah dengan putrid tunggal dari Ciang bun jin Hwa san-pay pada masa itu. Karena malu dan gusar, nona Ouw bunuh diri, sehingga dua jiwa yaitu jiwa ibu dan anak menjadi korban. Karena urusan memalukan itu, Ouw Ceng Goe tidak pernah memberitahukan kepada orang luar.
Sian Ie Thong sendiri tentu saja menutup mulut rapat-rapat. Siapa sangka, sesudah berselang belasan tahun rahasianya dibuka Bu Kie. Bagaimana ia tidak kaget"
Saat itu juga dia mengambil keputusan untuk mengambil jiwa pemuda itu. "Kalau Can Siauw-hiap tidak sudi memberitahukan nama gurumu, maka aku mengambil keberanian untuk meminta pengajaran dengan menggunakan ilmu silat Hwa san-pay yang sangat cetek," katanya. "Sedang Kong seng ceng saja masih belum dapat menandingi Can Siauw-hiap maka ilmu silatku tentu tidak masuk hitungan. Biarlah pertandingan ini dibatasi sampai salah satu pihak ada yang kena sentuh. Aku mengharap dalam pertempuran Can Siauw-hiap suka menaruh belas kasihan." Sehabis berkata begitu tangan kirinya menghantam pundak Bu Kie. Ia tidak mau memberi kesempatan untuk pemuda itu bicara.
Bu Kie mengerti maksudnya. Sambil menangkis ia berkata, "Ilmu silat Hwa san-pay sangat tinggi dan tidak perlu meminta pelajaran dari orang luar. Yang menjadi soal adalah ilmu Sian Ie Ciang bun sendiri yang sukar dicari duanya dalam dunia ini. Ilmu itu bernama ilmu melupakan budi, ilmu membalas kebaikan dengan kejahatan"."
Bagaikan kalap Sian Ie Thong menyerang untuk menutup mulut pemuda itu. Ia menyerang dengan silat Eng coa Sang sie pek (Pertempuran mati hidup antara burung elang dan ular), salah satu ilmu silat terhebat dari Hwa san-pay yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ia menutup kipas dan mencekalnya dalam tangan kanan sehingga gagang kipas yang menonjol keluar merupakan kepala ular yang digunakan untuk menotok dan menikam. Lima jari tangan kirinya yang dipentang lebar seolah-olah cakar elang yang menyambar-nyambar untuk mencoba mencengkram Bu Kie.
Eng coa Sang sie pek adalah ilmu simpanan dari Hwa san-pay. Pada seratus tahun yang lampau, waktu berada di gunung Hok goe-san seorang pendekar Hwa san-pay yang bernama In Pek Thian telah menyaksikan pertempuran hidup mati antara seekor elang dan seekor ular. Ia mendapat ilham dan belakangan mengubah ilmu tersebut.
Elang berkelahi dengan ular sebenarnya bukan kejadian langka. Semenjak dulu banyak ahli sudah mengubah ilmu-ilmu baru berdasarkan pertempuran antara binatang dan binatang. Tapi Eng coa Sang sie pek agak beda dari yang lain. Perbedaannya adalah ilmu itu gerakan elang dan ular dikeluarkan bersama-sama dengan kecepatan luar biasa. Terhadap orang biasa, ilmu ini sangat membingungkan karena serangan menyambar dari kiri ke kanan dalam gerakan yang berbeda-beda maka jika seseorang menjaga di bagian kiri, ia tak akan bisa menjaga di bagian kanan.
Baru beberapa gebrakan Bu Kie sudah tahu, biarpun mahir dalam ilmu itu, tenaga Sian Ie Thong masih jauh dari cukup. Sesudah lewat beberapa jurus, ia berkata, "Sian Ie Ciang bun, ada satu hal yang kurang dimengerti olehku dan aku ingin meminta penjelasan. Dulu kau mendapat tujuh belas luka dan keadaanmu lebih baik mati daripada hidup. Ada orang yang tanpa tidur tiga hari tiga malam sudah menolongmu dan mengobati kau hingga kau sembuh. Ia mengangkat saudara denganmu dan memperlakukanmu seperti saudara kandungnya sendiri. Tapi mengapa kau begitu jahat sehingga kau membinasakan adik perempuan orang itu?"
Sian Ie Thong gusar bukan kepalang dan berteriak, "Ouw"." Ia sebenarnya ingin mengatakan "Ouw swee Pat-to" (omong kosong) dan berniat menjatuhkan tuduhan yang tidak-tidak terhadap Bu Kie supaya pemuda itu gusar dan konsentrasi pikirannya terpecah sehingga dengan mudah ia bisa melaksanakan niat jahatnya. Di luar dugaan, baru saja ia berkata "Ouw", semacam tenaga yang lembek dahsyat menindih dadanya yang lantas saja sesak sehingga ia tak bisa meneruskan perkataannya. Mati-matian ia mengerahkan Lweekang untuk melawan tenaga itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kisah Pembunuh Naga Jilid 42 Karya Chin Yung ================ Sementara itu, Bu Kie sudah berkata pula dengan suara nyaring. "Benar! Kau rupanya masih ingat orang she Ouw itu. Mengapa kau tidak bicara terus" Sungguh mengenaskan matinya nona Ouw. Apakah di dalam hatimu kau tidak pernah merasa malu?" Dengan napas mengap-mengap Sian Ie Thong menyerang bagaikan kalap. Bu Kie sengaja mengendurkan tekanan tenaganya dan Sian Ie Thong lantas saja merasakan seakan-akan dadanya lega. Ia menarik napas dan membentak. "Kau?" ia tidak dapat bicara lagi sebab Bu Kie mendadak menekan lagi dengan lweekangnya.
Pemuda itu mengeluarkan suara di hidung. "Laki-laki berani berbuat harus berani menanggung akibatnya," katanya dengan nada mengejek. "Ya bilang ya, tidak bilang tidak. Mengapa kau tak berani buka suara" Bukankah Tiap Kok Ie Sian Ouw Ceng Goe Sinshe binasa dalam tanganmu, benarkah begitu" Jawab!" Bu Kie sebenarnya tidak tahu cara bagaimana adik Ouw Ceng Goe menemui ajalnya.
Maka itu, ia tidak bisa mengatakan secara jelas. Tapi dalam bingungnya, Sian Ie Thong menganggap pemuda itu sudah tahu rahasianya. Mukanya pucat pasi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Orang-orang yang mengenal Sian Ie Thong tahu, bahwa dia sangat pandai bicara. Maka itu, melihat dari paras mukanya, sikap dan terkancingnya mulut pemimpin Hwa San Pay itu, mau tak mau dia percaya apa yang dikatakan Bu Kie. Bahwa pemuda itu sudah menindih jalan pernapasan Sian Ie Thong dengan lweekang yang sangat tinggi, tidak diketahui oleh siapapun jua kecuali mereka berdua. Yang paling malu adalah orang-orang Hwa San Pay. Pemimpin mereka dicaci oleh seorang pemuda tanpa mampu membela diri. Dimana muka mereka harus ditaruh" Tapi ada juga sejumlah orang yang berpendapat lain. Mereka mengenal Sian Ie Thong sebagai manusia yang banyak akalnya. Mungkin sikapnya itu hanya satu siasat yang berisi tipu untuk membalas sehebat-hebatnya.
Sementara itu, Bu Kie sudah memaki lagi. "Menurut kebiasaan, orang-orang rimba persilatan membalas budi dengan budi, kejahatan dengan kejahatan. Tiap Kok Ie Sian anggota Beng Kauw. Kau adalah seorang yang berhutang budi terhadap Beng Kauw. Tapi lihatlah! Hari ini kau mengajak orang-orang partaimu untuk menyerang Beng Kauw. Orang menolong jiwamu, kau berbalik mencelakai adik orang itu. Manusia rendah! Kau lebih rendah dari pada binatang! Mukamu tebal, begitu punya tebal hingga kau masih ada muka untuk menjadi Ciang Bun Jin dari sebuah partai besar."
Bu Kie mencaci sesuka hati, tanpa dibalas. "Kalau Ouw Shinshe masih hidup dan berada di sini, ia pasti akan merasa puas," pikirnya.
Sesudah memaki beberapa lama lagi, ia berkata di dalam hati. "Sekarang cukuplah. Hari ini aku mengampuni jiwanya. Biarlah dilain hari aku berhitungan lagi dengan dia." Memikir begitu, ia lantas saja menarik pulang tenaga telapak tangannya yang digunakan untuk menekan Sian Ie Thong. "Binatang! Hari ini aku menitipkan kepalamu di atas lehermu untuk sementara waktu!"
Hampir berbareng dada Sian Ie Thong lega. "Bangsat kecil! Rasakan ini!" teriaknya seraya menotok Bu Kie dengan gagang kipas, sambil melompat ke samping.
Mendadak Bu Kie mengendus bebauan?" kepalanya tiba-tiba pusing, kakinya lemas dan ia terhuyung-huyung. Ia merasa matanya berkunang-kunang dan dunia seolah-olah terbalik.
"Bangsat kecil!" caci Sian Ie Thong. Sekarang kau boleh belajar kenal dengan lihainya Eng Coa Seng Sie Pek!" ia melompat dan lima jari tangan kirinya sudah mencengkram Yan Ie Hiat, di bawah ketiak Bu Kie. Tapi ia terkejut karena tangannya seolah-olah mencengkram ikan yang licin dan ia tak bisa menggunakan lweekangnya.
Melihat pimpinan mereka berada di atas angin, orang-orang Hwa San Pay bersorak-sorai dan teriak-teriak.
"Lihatlah lihainya Eng Coa Seng Sie Pek!"
"Sian Ie Ciang Bun, hajar!"
"Bangsat kecil! Akhirnya kau roboh juga!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Diantara tampik sorak, tiba-tiba Bu Kie tersenyum dan meniup muka Sian Ie Thong. Hampir berbareng Sian Ie Thong mengendus bebauan wangi amis dan kepalanya puyeng. Hatinya mencelos kagetnya seperti disambar geledek. Baru saja ia mau beteriak, Bu Kie sudah mengebut kedua lututnya dengan tangan baju sehingga dia roboh berlutut di hadapan pemuda itu.
Kejadian ini diluar dugaan semua orang. Terang-terang mereka lihat Bu Kie terluka berat dan badannya bergoyang-goyang. Mengapa terjadi perubahan itu" Apakah pemuda itu mempunyai ilmu siluman"
Sementara itu sesudah mengambil kipas dari tangan Sian Ie Thong. Bu Kie tertawa terbahak-bahak.
"Kalian lihatlah!" teriaknya sambil mengacungkan kipas itu. "Hwa San Pay menamakan diri sebagai partai yang lurus bersih. Siapa nyana pmemimpin partai itu memiliki ilmu penyebar racun?" Dengan sebelah tangan ia membuka kipas itu yang di atasnya terdapat lukisan puncak gunung Hwa San dengan beberapa baris sajak yang indah bunyinya dan indah pula huruf-hurufnya. Tak seorangpun akan menduga, bahwa dalam kipas yang seindah ini bersembunyi alat rahasia untuk melepaskan racun yang hebat,"
katanya seraya menghampiri sebuah pohon bunga dan menotok batangnya dengan gagang kipas. Dalam sekejab semua bunga layu dan rontok, sedang warna daunnya pun segera berubah kuning. Semua orang kaget, di dalam hati mereka bertanya-tanya" Racun apa yang disimpan di kipas itu"
Dengan mendekam di muka bumi, Sian Ie Thong menjerit-jerit seperti babi dipotong. "Ah!..... ah,"."
Suaranya menyayat hati. Menurut pantas, biarpun dipotong sungguhan seorang yang berkedudukan seperti dia harus bisa menahan sakit. Tak boleh ia menjerit-jerit di hadapan banyak orang. Setiap jeritan berarti digaploknya muka orang-orang Hwa San Pay.
"Lekas" lekas bunuh aku!" teriaknya. "Lekas!... lekas!..."


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa menghilangkan rasa sakitmu," kata Bu Kie. Tapi sebelum tahu racun apa yang digunakan olehmu, aku tidak berdaya."
"Racun" racun" Kim Cam Kouw Tok" aduh! Bunuhlah aku" lekas!" ia sesambat.
Kata-kata "Kim Cam Kouw Tok" tidak mempengaruhi orang-orang muda, tapi orang-orang yang lebih tua lantas berubah paras mukanya. Mereka yang mempunyai rasa keadilan lantas mencaci.
Kim Cam Kouw Tok, keluaran propinsi Kwi Ciu, adalah salah satu racun terhebat di dunia.
Penderitaan orang yang kena racun itu tak mungkin dilukiskan, sekujur badannya seperti digigit oleh berlaksa kutu beracun. Racun itu memuakkan orang-orang rimba persilatan yang baik-baik. Karena sukar didapat, banyak orang hanya pernah mendengar namanya. Sekarang, dengan menyaksikan penderitaan Sian Ie Thong, mereka baru tahu lihainya Kim Cam Kouw Tok.
"Apa kau tahu cara bagaimana racunmu berbalik makan tuan?" Tanya Bu Kie.
"Bunuh aku! Bunuhlah"! Aku tak tahu," teriaknya sambil bergulingan.
"Kau melepaskan racun itu kepadaku, tapi aku berhasil menolaknya dengan menggunakan lweekang dan lalu balas menghantam kau," kata Bu Kie. "Sekarang apa lagi yang mau dikatakan olehmu?"
"Ya! Pembalasan"! Pembalasan"!" jeritnya seraya mencengkram tenggorokannya untuk mencoba bunuh diri. Tapi tenaganya habis. Sekuat tenaganya ia coba membenturkan kepala di tanah, tapi ia gagal lagi. Disinilah lihainya Kim Cam Kouw Tok. Pancaindera si korban makin tajam, tapi tenaganya habis, sehingga mau hidup tidak bisa, mau matipun tidak mungkin.
Darimana Sian Ie Thong mendapat racun itu"
Pada waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, karena cintanya yang tiada terbatas, Ouw Ceng Yo telah memohon kepada Ouw Ceng Goe, supaya kakak itu suka melindungi Sian Ie Thong.
Karena terpaksa, sang kakak memberi janjinya. Isteri Ouw Ceng Goe, Ouw Lan Kouw, gusar dan diam-diam meracuni Sian Ie Thong dengan Kim Cam Kouw Tok. Belakangan, sebab sudah berjanji, Ouw Ceng Goe menolong juga manusia itu. Sian Ie Thong ternyata licik luar biasa. Waktu berobat di rumah Tiap Kok Ie Sian, selagi orang meleng, ia mencuri dua pasang ulat sutera emas yang lalu dipiara menurut peraturan dan dibuat menjadi bubuk racun. Kemudian ia memasang alat rahasia di kipasnya untuk menyimpan racun itu, yang bisa disembur keluar dengan bantuan tenaga dalamnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tadi, karena ditindih dengan lweekang Bu Kie, ia tak bisa bergerak. Tapi begitu lekas pemuda itu menarik pulang tekanannya, ia segera saja melepaskan racun. Untung besar Bu Kiememiliki lweekang yang sangat kuat. Pada detik yang berbahaya, mereka menahan napas, mengerahkan semua hawa tulen dan bahkan bisa menyembur balik racun itu ke badan Sian Ie Thong. Kalau badannya kurang kuat, maka yang akan menjerit-jerit bukannya Sian Ie Thong, tapi ia sendiri.
Sesudah mempelajari Tok Kang dari Ong Lan Kouw, Bu Kie tahu lihainya Kim Cam Kouw Tok.
Diam-diam ia mengalirkan hawa tulen di seluruh badannya dan setelah merasakan sesuatu yang luar biasa, barulah hatinya lega. Melihat penderitaan Sian Ie Thong, di dalam hatinya merasa kasihan.
"Menolong, aku akan menolong, tapi dia harus lebih dahulu mengakui segala kedosaannya," pikirnya.
Maka itu ia lantas saja berkata, "Aku tahu cara mengobati orang yang kena racun Kim Cam Kouw Tok.
Tapi sebelum ditolong, kau harus menjawab sejujurnya setiap pertanyaanku. Jika kau berdusta aku takkan memperdulikan kau lagi. Kau akan menderita tujuh hari tujuh malam, sehingga dagingmu rusak dan tulang-tulangmu kelihatan."
Walaupun terpaksa, otak Sian Ie Thong tetap tenang. "dahulu Ong Lan Kouw pernah mengatakan dagingku akan rusak dan tulang-tulangku kelihatan, sesudah aku menderita tujuh hari tujuh malam,"
Katanya di dalam hati. "Bagaimana bocah itu bisa tahu?" Tapi ia tak percaya Bu Kie mempunyai kepandaian yang menyamai kepandaian Ouw Ceng Goe. "Kau" kau" , takkan bisa menolongku," katanya terputus-putus.
Bu Kietersenyum. Dengan gagang kipas, ia menotok Sian Ie Thong. "Aku akan membuat lubang di sini dan akan memasukkan obat ke dalam lobang," katanya.
"benar! Kau benar!" teriak Sian Ie Thong.
"Nah! Kalau kau mau hidu, lekaslah ceritakan segala kedosaanmu," kata Bu Kie.
Sambil menggigit bibir, Sian Ie Thong mengawasi pemuda itu. "Ti". Dak!" katanya dengan suara gemetar.
"Baiklah," kata Bu Kie seraya mengibas tangannya. "Kau rebahkan di sini tujuh hari tujuh malam."
"Ya! " Ya! " aku" aku cerita" " sesambat Sian Ie Thong. Tapi, mulutnya tetap terkancing. Biar bagaimanapun jua, terutama mengingat kedudukannya sebagai Ciang Bun Jin dari sebuah partai besar, ia merasa tak sanggup untuk menceritakan perbuatan-perbuatannya yang terkutuk di hadapan ratusan tokoh rimba persilatan.
Tiba-tiba, berbareng dengan siulan nyaring, dua orang, satu jangkung dan satu kate, melompat keluar dari barisan Hwa San Pay dan berdua di depan Bu Kie. Mereka berusia lima puluh tahun lebih dan masing-masing mencekal sebatang golok.
"Orang she Can," kata si kate, "orang Hwa San Pay boleh dibunuh, tidak boleh dihina. Perbuatanmu terhadap Ciang Bun Jin kami bukan perbuatan seorang gagah."
Bu Kie merangkap kedua tangannya dan bertanya: "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama besar kedua Cianpwee?"
"Derajatmu masih belum cukup untuk mengetahui nama kami berdua," kata si kate seraya membungkuk untuk mendukung Sian Ie Thong.
Bu Kie mendorong si kate dan si kate terhuyung, "hati-hati kau!" katanya. "Badannya penuh racun dan kalau kena sedikit saja, kau akan menderita seperti dia."
Si kate terkejut dan berdiri terpaku.
"Tolong!... Tolong aku!" jerit Sian Ie Thong. Pek Goan, Pek Suko! Hanya Pek Suko yang dibinasakan olehku dengan Kim Cam Kauw Tok! Tidak ada orang lain lagi" Tidak ada.."
"Pek Goan dibinasakan olehmu?" menegas si kate. "Apa benar" Tapi mengapa kau mengatakan bahwa ia mati dalam tangan orang-orang Beng Kauw?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Pek Suko!... ampun" " jerit Sian Ie Thong sambil manggut-manggutkan kepalanya. "Pek Suko.. kau mati secara mengenaskan. Tapi siapa suruh kau memaksa aku untuk mengakui urusan nona Ouw" Suhu pasti tak akan mengampuni aku, tiada jalan lain" aku" aku terpaksa.. Pek Suheng! Ampun!.... " ia mencengkram ternggorokannya, tapi tenaganya habis. Dengan napas tersengal-sengal, ia berkata pula.
"Sesudah mencelakai kau, jalan satu-satunya untukku adalah menumplak kedosaan di atas pundak Beng Kauw. Tapi" tapi.. aku sudah membakar banyak uang-uangan untuk rohmu" aku sudah membikin sembahyangan besar.. aku terus menunjang penghidupan anak isterimu. Mengapa kau masih minta ganti jiwa" ampun!..."
Ketika itu langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Tapi mendengar jerit-jeritan Sian Ie Thong, banyak orang menggigil seperti kedinginan. Roh Pek Goan seolah-olah berada di tempat itu.
Pengakuan yang tak diduga-duga itu sudah keluar dari mulut Sian Ie Thong sebab dalam penderitaannya, ia ingat penderitaan Pek Goan. Biarpun Ouw Ceng Yo mati, nona itu bukan mati dalam tangannya, ia mati bunuh diri. Tapi Pek Goan binasa karena diracuni olehnya sendiri. Maka itu ia merasa tak ada kedosaannya terhadap Nona Yo. Dalam penderitaannya yang maha hebat itu di dalam otaknya hanya teringat "Pek Goan" dan roh Suheng itu seolah-olah berdiri di depannya untuk menagih utang.
Bu Kie tak mengenal Pek Goan. Tapi dari pengakuan Sian Ie Thong, ia tahu bahwa segala kedosaan telah ditimpakan ke pundak Beng Kauw. Mungkin sekali turut sertanya Hwa San Pay dalam gerakan membasmi Beng Kauw adalah untuk balas sakit hatinya Pek Goan. Memikir begitu, ia lantas berkata dengan suara nyaring. "Para Cianpwee dari Hwa San Pay, dengarlah! Pek Goan Suhu bukan dicekali oleh orang Beng Kauw kalau sudah salah mereka orang."
Tiba-tiba bagaikan kilat orang tua yang bertubuh jangkung mengangkat goloknya dan membacok leher Sian Ie Thong. Tapi Bu Kie mendahului, dengan gagang kipas ia menotol badan golok yang lantas saja terpental dan menancap di tanah.
"Perlu apa kau camput tangan?" bentak si jangkung dengan gusar. "Dia pengkhianat partai. Siapapun juga boleh membinasakannya."
"Aku sudah berjanji untuk mengobati dia," kata Bu Kie. "Perkataan yang sudah diucapkan tidak bisa diabaikan dengan begitu saja. Urusan dalam partai bisa dibereskan sesudah kalian pulang ke Hwa San."
"Sutee, perkataan dia ada benarnya juga," kata si kate sambil menendang punggung Sian Ie Thong.
Tendangan yang sangat keras itu bukan saja mampir tepat di Toa Toei Hiat, tapi juga telah melontarkan tubuh Sian Ie Thong yang kemudian ambruk di depan barisan Hwa San Pay. Pukulan pada Toa Toei Hiat sakit bukan main, tapi Sian Ie Thong sudah tidak bisa berteriak lagi. Ia berguling-guling sambil menahan sakit, tapi tak seorangpun berani menolong, sebab mereka takut ketularan racun.
"Kami berdua adalah paman guru Sian Ie Thong," kata si kate kepada Bu Ki. "Bahwa kau sudah membikin terang satu perkara besar dalam partai kami, sehingga sakit hatinya Pek Goan Sutit bisa terbalas, aku merasa sangat berterima kasih," sehabis berkata begitu, ia menyoja sambil membungkuk. Si jangkung buru-buru ikut menyoja.
Mendadak si kate mengibas goloknya dan berkata, "tapi, sebab kau sudah merusak nama harumnya Hwa San Pay, maka tak ada jalan lain bagi kami berdua daripada mengadu jiwa dengan kau."
?".. yang bersih tetap bersih, yang kotor tinggal kotor. Kalau dalam sebuah partai muncul seorang jahat, nama partai tersebut tidak rusak karena adanya orang jahat itu. Mengapa kalian berpandangan begitu sempit?"
"Bagaimana pendapatmu" Apakah kejadian itu tidak menodai nama Hwa San Pay?" Tanya si jangkung.
"Tidak, tentu saja tidak," jawabnya.
"Suko," kata si jangkung. "Bocah itu mengatakan tidak menodai partai kita." Kurasa lebih baik kita bikin habis urusan ini.
Si jangkung adalah seorang jujur terhadap Bu Kie, ia agak jeri.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tidak! Tidak!" bentak si kate. "lebih dahulu singkirkan hinaan dari luar, kemudian barulah menyapu bersih pintu kita. Kalau hari ini Hwa San Pay tidak berhasil menjatuhkan bocah itu, kita tidak bisa berdiri lagi dalam rimba persilatan."
"Baiklah," kata si jangkung. "Eh, bocah! Kami berdua mau mengerubuti kau. Jika kaur rasa tidak cukup adil, paling benar siang-siang kau mengaku kalah."
Si kate mengerutkan alisnya dan membentak, "Sutee!..."
Si jangkung girang tak kepalang, "Kalau kami mengerubuti kau, kau pasti tak bisa hidup lagi,"
teriaknya. Katanya, "kami berdua mempunyai ilmu golok yang dinamakan Liang Gie To Hoat. Kau pasti kalah.
Aku harap kau tidak menyesal."
"Aku hanya mengharap kedua cianpwee suka menaruh belas kasihan."
"Golok tidak mengenal belas kasihan," kata si jangkung. "Begitu bertempur golok kami tak mau main sungkan-sungkan lagi. Kulihat kau seorang yang baik. Aku tidak sampai hati jika pasti membacok kau?"
"Sutee, jangan rewel!" bentak si kate.
"Aku hanya minta supaya ia berhati-hati," kata si jangkung. "Liang Gie To Hoat kita lain dari yang lain" "
"tutup mulut!" bentak si kate. Ia berpaling kepada Bu Kie dan berteriak. "sambutlah!" Hampir berbareng, goloknya menyambar.
Bu Kie mengangkat kipas Sian Ie Thong dan mendorong belakang golok.
"Tidak bisa! Teriak si jangkung. Kalau begini, aku lebih suka tidak bertempur."
"Mengapa?" tanya Bu Kie.
"Kipas itu ada racunnya, bisa-bisa kita celaka semua," jawabnya.
"Benar," kata Bu Kie. "Benda yang begini beracun tidak boleh dibiarkan lama-lama di dunia." Ia menjepit kipas itu dengan telunjuk dan jari tengah menimpuk ke bawah. "Blas!" kipas amblas ke dalam tanah dan apa yang terlihat hanialah lubang kecil. Sin kang sehebat itu tak akan dapat dilakukan oleh siapapun jua yang berada di lapangan itu. Tanpa merasa semua orang bersorak-sorai.
Sambil menjepit golok di bawah ketiaknya si jangkung menepuk tangan. "Ambillah senjata," katanya.
Bu Kie berwatak sederhana dan ia sebenarnya tak ingin menonjol-nonjolkan kebenarannya di hadapan orang. Tapi keadaan sekarang sangat luar biasa. Jika ia tak memperlihatkan Sin Kang dan menaklukkan semua orang, ia takkan bisa mencapai tujuannya untuk menghentikan permusuhan. "Senjata apa yang cianpwee anggap pantas digunakan olehku?" tanyanya.
Si jangkung menepuk pundak Bu Kie dua kali. "Bocah, kau mempunyai sifat yang menarik," katanya sambil tertawa, "Kau boleh menggunakan senjata apapun jua, perlu apa kau tanya aku."
Bu Kie tahu, bahwa tepukan itu tak bermaksud jahat, tapi orang yang menonton kaget bukan main, sebab kalau si jangkung menggunakan tenaga dalam, pemuda itu bisa terluka berat. Mereka tak tahu, bahwa Bu Kie sudah melindungi sekujur tubuhnya dengan Sin Kang, sehingga andaikata si jangkung berlaku curang, ia takkan berhasil.
Karena pemuda itu tak lantas menjawab, kakek itu berkata pula. "Apakah kau akan turut perkataanku, jika aku menyebut senjata."
"Ya," jawabnya sambil tersenyum.
"Bocah, kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan kau tentu mahir dalam delapan belas senjata,"
kata si jangkung. "Tapi sangat keterlaluan jika kau meladeni kami berdua dengan tangan kosong."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tangan kosong juga boleh," kata Bu Kie.
Si jangkung menyapu seluruh lapangan matanya. Ia ingin cari senjata yang aneh. Tiba-tiba ia lihat beberapa buah batu besar di sudut sebelah kiri, berat setiap batu kira-kira dua ratus atau tiga ratus kati.
"Aku bersedia untuk mengalah terhadapmu dan kau boleh menggunakan senjata yang sangat berat itu,"
katanya seraya menuding beberapa batu itu. Sehabis berkata begitu, ia mendongak dan tertawa terbahak-bahak. Ia hanya berguyon. Batu-batu itu bukan saja sangat berat dan takkan bisa diangkat oleh manusia biasa, tapi juga tak ada pegangannya, tidak bergagang seperti senjata biasa, sehingga sangat mustahil bisa digunakan sebagai senjata.
Tapi di luar dugaan sambil tersenyum Bu Kie berkata, "Senjata itu agak luar biasa, Loocianpwee kelihatannya ingin menjajal kepandaianku." Seraya berkata begitu, ia menghampiri batu itu.
Si jangkung menggoyang-goyangkan tangannya, "Aku hanya main-main!" teriaknya. "Ambillah pedang untuk melayani kami!"
Pemuda itu tak menjawab dan berjalan terus. Sekali menggerakkan tangan kirinya, ia menyangga sebuah batu yang paling besar dan sesudah memutar badan, ia berseru. "Jie Wie, ayolah!" Ia melompat tinggi dan dilain saat sudah berhadapan dengan kedua kakek itu.
Semua orang mengawasi dengan mulut ternganga. Mereka begitu kaget sehingga mereka lupa untuk menepuk tangan.
"Hebat! Sungguh hebat," kata si jangkung seraya mengurut jenggotnya.
Si kate tahu bahwa hari ini mereka bertemu dengan lawan terberat. Apa nama besar mereka berdua akan dapat dipertahankan masih merupakan satu pertanyaan. Sesudah menarik napas dalam-dalam, ia maju, "sambutlah!" katanya seraya membacok dengan golok yang bersinar putih.
"Suko, apa benar-benar kita berkelahi?" tanya si jangkung.
"Kau kira main-main?" si kate balas menanya. Bacokannya yang pertama dengan mudah sudah dikelit Bu Kie.
Mendengar jawaban sukonya, si jangkung segera menyabet dengan golok Ceng Kong To yang bersinar hijau.
"Bagus!" seru Bu Kie sambil memapaki dengan batunya.
"Trang!" Letupan api berhamburan. Hampir berbaring, Bu Kie mendorong batu ke depan.
"Sun Sui Toei Couw!" teriak si jangkung. "Bocah, senjata batu juga ada jurus-jurusnya?" (Sun Sui Toei couw dengan mengikuti aliran air mendorong perahu)
Sutee, Hun Toen It Po!" bentak si kate seraya membuat setengah lingkaran dengan goloknya dan membabat Bu Kie.
"Tay it Seng Beng. Liang Gie Hop Tek?" menyambung si jangkung sambil mengirim beberapa serangan.
"Jit Goat Hui Beng," menyambut si kate. Dengan saling sahut menyebutkan namanya pukulan, mereka menyerang.
Sambil mengerahkan Kioe Yang Sin Kang. Bu Kie memutar-mutar batu itu seperti sebutir peluru.
Tenaga serangan Liang Gie To Hoat sangat besar, tapi walaupun tenaga pemuda itu lebih besar lagi.
Dengan melompat kian kemari, ia menyambut setiap serangan dean tiap bacokan menghantam batu sehingga letupan api berhamburan tak henti-hentinya.
Sesudah bertempur beberapa lama, mendadak Bu Kie melontarkan batu itu ke tengah-tengah udara dan kedua tangannya menyambar leher si kate dan si jangkung. Sesudah mencengkram jalan darah kedua kakek itu sehingga mereka tak bisa bergerak lagi, ia melompat ke belakang. Di lain saat batu yang beratnya kira-kira tiga ratus kati itu meluncur ke bawah, ke arah kepala kedua jago Hwa San Pay.
Semua orang terkesiap. Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada detik berbahaya, Bu Kie melompat maju dan menepuk batu itu yang lantas saja terpental dan jatuh amblas di dalam tanah. Ia tertawa dan sambil menepuk pundak kedua kakek itu, ia berkata, "Jie Wie Loo Cianpwee jangan bingung, Boanpwee hanay main-main."
Paras muka si kate pucat bagaikan kertas. "Sudahlah!" katanya dengan suara parau.
Tapi si jangkung menggelengkan kepalanya. "Tidak, ini tidak masuk hitungan." Katanya.
"Mengapa tidak masuk hitungan?" tanya Bu Kie. "Kau mengalahkan kami dengan mengandalkan tenagamu yang besar," jawabnya. "Kau bukan menjatuhkan kami dengan menggunakan ilmu silat."
"Kalau begitu kita boleh bertanding pula." Kata Bu Kie.
"Boleh," kata si jangkung, "tapi kita harus menggunakan satu cara baru. Kalau kau menang karena tenagamu yang besar, biarpun kalah, kami kalah dengan penasaran. Bukankah demikian?"
Pemuda itu mengangguk, "benar," katanya.
Si jangkung tertawa terbahak-bahak. "Bocah," katanya. "Orang sering kata: yang rugi ialah yang untung. Garam yang ditelan olehku lebih banyak daripada beras yang ditelan olehmu. Jembatan yang dilewati olehku lebih panjang daripada jalanan yang pernah dilalui olehmu. Bocah, tahu apa kau!" Ia menengok kepada Bu Kie dan berkata pula, "Kalau kau tidak setuju, kita boleh tidak usah bertanding lagi.
Dalam pertandingan tadi, kau tak kalah dan kamipun tak menang. Seri saja! Tigapuluh tahun kemudian, kita boleh berjumpa kembali."
Mendengar perkataan Suteenya yang makin lama jadi makin gila, si kate buru-buru membentak.
"Orang she Can! Kami mengaku kalah, kau boleh berbuat sesuka hati terhadap kami."
"Boanpwee sama sekali tidak mengandung niat kurang baik," kata Bu Kie. "Dengan memberanikan hati boanpwee hanya ingin mendamaikan permusuhan antara partai cianpwee dengan Beng Kauw."
"Tak bisa!" teriak si jangkung. "Aku belum ajukan usulku. Mengapa kau lantas mundur?"
Si kate mengerutkan alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu, bahwa biarpun gial-gilaan, dengan mengandalkan ketebalan mukanya dan lidahnya, sutee itu sering membuat musuh menjadi pusing dan mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Hari ini, di hadapan tokoh-tokoh rimba persilatan, cara-cara itu memang tidak bagus. Tapi jika ia dapat menjatuhkan Bu Kie, maka kemenangan itu sekiranya dapat juga digunakan untuk menebus dosa.
"Bagaimana usul cianpwee?" tanya Bu Kie.
"Ilmu golok yang terlihai dari Hwa San Pay dinamakan Hoan Liang Gie To Hoat," jawabnya.
"Lihainya To Hoat itu sudah dirasai olehmu. Tapi kau tak tahu, bahwa Kun Lun Pay mempunyai ilmu pedang yang dinamakan Ceng Liang Gie Kiam Hoat. Kelihaian ilmu ini dikatakan berendeng dengan To Hoat dari Hwa San Pay. Masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Manakala dua golok dan dua pedang dipersatukan menjadi satu, maka im (negatip) akan mendapat imbangan dari yang (positip) dan air akan membantu api. Hai!...." berkata sampai di sini, ia menggoyangkan kepalanya dan kemudian menambah dengan perlahan. "Hebat! Terlalu hebat!... kau tak akan bisa melawan."
Mendengar begitu, Bu Kie lantas saja menengok ke barisan Kun Lun Pay dan berkata, "Apakah cianpwee dari Kun Lun Pay sudi memberi pelajaran kepadaku?"
"Dalam Kun Lun Pay kecuali Thie Khim Sian Seng suami isteri, tak ada lain orang yang bisa bekerja sama dengan kami berdua," kata si jangkung. "Kutak tahu apakah Ho Ciang Bun bernyali cukup besar atau tidak."
Seorang yang ingin menonton keramaian jadi girang sekali. Dalam omongannya yang gila-gilaan, si jangkung ternyata bukan manusia tolol.
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham mengawasi si jangkung. Mereka tak kenal dua kakek itu. Sebagai paman guru Sian Ie Thong, kedua orang tua itu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan sudah tentu jarang berkelana dalam dunia Kang Ouw See Hek yang jauh, meka tidaklah heran jika mereka belum pernah bertemu dengan kedua kakek itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham sangat bersangsi. Mereka tahu, bahwa kedua kakek itu mau menyeret mereka ke dalam gelanggan. Kalau menang, muka si jangkung dan si kate akan terang kembali.
Tapi kalau kalah" Huh! Tak mungkin. Mana bisa Liang Gie Kim Hoat dari Kun Lun Pay kalah dari pemuda yang tak dikenal itu?"
Melihat suami isteri Ho Thay Ciong tidak lantas bergerak, si jangkung lantas saja berteriak. "Oooh!
Suami isteri Ho dari Kun Lun Pay tidak berani bertempur dengan kau. Kau tak usah heran. Biarpun boleh juga, Ceng Liang Gie Kam Hoat masih banyak cacatnya. Dibandingkan dengan ilmu golok kami Hoan Liang Gie To Hoat masih lebih unggul setingkat dua tingkat."
Pan Siok Ham gusat tak kepalang. Dengan sekali melompat, ia sudah berada di tengah gelanggang.
"Siapa she dan nama tuan yang besar?" tanyanya seraya menuding si jangkung.
"Akupun she Ho," jawabnya. "Ho Hu jin silahkan."
Perkataan itu disambut dengan gelak tertawa ejek sejumlah penonton.
Pan Siok Ham dikenal sebagai "tay Siang Ciang Bun Jin" dari Kun Lun Pay. Selama puluhan tahun di daerah yang luasnya beberapa ratus li persegi ia berkuasa bagaikan ratu. Maka itu, mana bisa ia menerima ejekan di hadapan orang banyak.
"srt!" bagaikan kilat ia menikam sijangkung.
Di detik ini masih bertangan kosong, di lain detik pedangnya sudah menyambar dan ujung pedang hanya terpisah setengah kaki dari pundak lawan.
Si jangkung terkesiap dan menyampok dengan goloknya. "Trang!" pada saat terakhir berhasil memapaki bacokan jago betina itu. Pan Siok Ham menyerang dengan pukulan Kim ciam Touw Ciat (jarum emas melewati merah bahaya) sedangkan si jangkung menyambut dengan Ban Ciat Pot Hok (laksana merah bahaya tidak datang lagi) Kedua pukulan itu yang satu "Ceng" yang lain "hoan"
merupakan ilmu silat Liang Gie yang indah luar biasa. Kalau tadi dalam menghadapi Kiu Yang Sin Kang, si kakek tidak berdaya sekarang ia memperlihatkan kepandaiannya yang sangat tinggi, sebab pada hakekatnya, ia memang merupakan seorang ahli silat dari kelas utama.
Sesudah gebrakan pertama, masing-masing mundur setindak. Mereka terkejut dan merasa kagum.
Mereka berlainan partai, berlainan ilmu dan belum pernah bertemu muka. Tapi sesudah gebrakan itu, masing-masing yakin bahwa jika Liang Gie To Hoat bekerja sama, maka kerja sama itu akan menciptakan serupa ilmu silat yang tiada bandingannya dalam dunia. Ketika itu, Pan Siok Ham merasa seperti juga seorang yang selama hidupnya hidup kesepian, tiba-tiba bertemu dengan sahabat akrab. Ia menengok kepada suaminya dan berkata, "eh, kemana kau!"
Ho Thay Ciong adalah seorang suami yang selalu menurut perintah sang isteri. Tapi di hadapan orang banyak ia merasa jengah juga dan berusaha untuk menolong muka dengan memperlihatkan keangkerannya sebagai seorang Ciang Bun Jin. Sambil mengeluarkan suara di hidung, perlahan-lahan ia menghampiri sang isteri dengan didahului oleh empat kacung. Satu membawa pedang, satu menyangga khim besi dan dua orang memegang hudtim (kebutan) Begitu tiba di tengah gelanggang, keempat kacung itu membungkuk dan mundur, akan kemudian berdiri di belakang Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham melirik suaminya dan berkata, "kita berempat coba main-main dengan bocah itu supaya dia mengenal lihainya ilmu silat Hwa San dan Kun Lun." Ia menengok dan mendadak mengeluarkan seruan tertahan. Sambil mengawasi Bu Kie dengan mata membelalak, ia berkata, "kau" kau". "
Sebagaimana diketahui, pada empat tahun berselang, ia pernah bertemu dengan Bu Kie. Walaupun sekarang dari kanak-kanak Bu Kie sudah menjadi seorang pemuda, badannya sudah berubah dan di atas bibirnya sudah tumbuh sedikit kumis, ia masih mengenali pemuda itu.
"Apa tak baik jika kita melupakan kejadian yang dulu?" kata Bu Kie. "Aku Can A Goe."
Pan Siok Ham mengerti maksud pemuda yang tidak mau memperkenalkan namanya yang sejati. Ia mengerti, bahwa jika ia membuka rahasia, Bu Kie pun akan melucuti kedoknya akan mengumumkan cara bagaimana ia dan suaminya sudah membalas kebaikan dengan kejahatan. Maka itu, seraya mengangkat pedang, ia berkata, "Can Siauw Hiap telah mendapat kemajuan pesat sekali. Dengan jalan ini, aku memberi selamat, aku ingin minta pengajaranmu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tersenyum. "Sudah lama kudengar Kiam Hoat kalian berdua yang sangat lihai," katanya.
"Boanpwee hanya mengharap cianpwee suka menaruh belas kasihan."
Sementara itu, Ho Thay Ciong sudah mengambil pedang yang dipegang kacungnya. "Senjata apa yang ingin digunakan Can siauw Hiap?" tanyanya.
Melihat Ho Thay Ciong, Bu Kie lantas saja ingat kejadian-kejadian pada empat tahun berselang. Ia ingat Kim Koan dan Cin Koan yang bisa mengisap racun dan yang kemudian mati sebab tiada makanan.
Hal ini sangat disayangkanolehnya. Iapun ingat, bahwa Ho Thay Ciong dan isterinya pernah naik ke Bu tong untuk mendesak kedua orang tuanya, sehingga ayah dan ibu itu mati bunuh diri. Ia ingat pula, bahwa ia pernah dipaksa minum arak beracun, dipukul sampai babak belur dan dilemparkan ke batu gunung.
Kalau tidak ditolong Yo Siauw, jiwanya pasti sudah melayang.
Mengingat itu darah Bu Kie meluap. "Ho Thay Ciong, Ho Thay Ciong!" katanya di dalam hati. "Hari itu kau menghajar aku sepuas hati, hari ini meskipun tidak mengambil jiwamu, aku akan memberi pelajaran setimpal kepadamu.
Ketika itu kedua pemimpin Kun Lun dan kedua ratus Hwa San Pay sudah berdiri di empat sudut sambil mencekal senjata mereka yang berkeredepan. Sekonyong-konyong Bu Kie bersiul dan bagaikan sebatang pit badannya meluncur ke atas, akan kemudian, dengan tiba-tiba mengubah arah ke jurusan sebuah pohon bwee. Dengan sekali menggerakkan tangan, ia sudah mematahkan sebatang ranting yang penuh bunga dan sesudah itu, barulah badannya melayang kembali ke bumi.
Ilmu ringan badan Bu Kie sudah dilihat orang. Tapi gerakannya dalam memetik ranting bwee itu indah luar biasa, sehingga semua orang menggeleng-gelengkan kepala, bahkan kagumnya.
Sementara itu, Bu Kie sudah bertindak ke tengah gelanggang dan sambil mengangkat ranting pohon itu. Ia berkata, "biarlah dengan menggunakan ini, boanpwee menerima pelajaran dari Hwa San Kun Lun."
Semua orang kaget. Cara bagaimana pemuda itu melawan keempat ahli silat dengan menggunakan ranting pohon yang dihias dengan kurang lebih sepuluh kuntum bunga" Biarpun memiliki lweekang yang sangat tinggi, cabang kayu itu takkan bisa melawan golok dan pedang.
Pan Siok Ham tertawa dingin, "Bagus," katanya. "Bocah! Kau sedikitpun tidak memandang sebelah mata kepada ilmu silat Hwa San dan Kun Lun."
Bu Kie tersenyum dan menjawab, "Boanpwee pernah dengar cerita seorang Sian Hu (mendiang ayah) bahwa seorang cianpwee dari Kun Lun Pay yaitu, Ho Ciok To Sian Seng, mempunyai kepandaian luar biasa dalam ilmu memetik khim, bersilat dengan pedang dan main catur, sehingga beliau dikenal sebagai Kun Lun Sam Seng. Hanya sayang kita terlahir terlalu lambat dan tak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang tua itu."
Semua orang mengerti maksud pemuda itu, dengan memuju Ho Ciok Too, Bu Kie menghargai Kun Lun Pay yang mempunyai leluhur jempolan, tapi ia memang tak memandang sebelah mata kepada Cian Bun Jin yang sekarang bersama isterinya.
Sekonyong-konyong dalam barisan Kun Lun Pay terdengar bentakan menggeledek. "Anak haram!
Betapa tingginya kepandaianmu sehingga kau begitu kurang ajar terhadap guruku?" cacian itu disusul dengan melompatny seorang pria bewokan yang mengenakan jubah imam warna kuning. Berbareng lompatan itu, pedangnya menikam punggung Bu Kie, biarpun sebelum menyerang ia mancaci tapi sebab gerakannya cepat luar biasa, maka serangan itu tiada bedanya seperti bokongan.
Pada detik ujung pedang hampir menyentuh punggungnya, tanpa memutar badan, kaki kiri Bu Kie menyambar ke belakang dan dengan gerakan yang tak dapat dilihat orang, kakinya sudah menginjak pedang itu di atas tanah. Dengan menggunakan seantero tenaganya, si imam membetot pedang itu, tapi sedikitpun tidak bergeming.
Perlahan-lahan Bu Kie menengok dan ia segera mengenali, bahwa penyerang itu bukan lain daripada See Hoa Cu yang pernah ditemui di tengah lautan. Imam itu yang sangat berangasan pernah mengeluarkan perkataan kurang ajar terhadap mendiang ibunya In So So. Mengingat itu Bu Kie berduka dan lalu bertanya, "Apakah kau See Hoa Cu Tootiang?"
See Hoa Cu tidak menyahut. Dengan muka kemerah-merahan, ia terus membetot pedangnya dengan sekuat tenaga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba-tiba sesudah menotol badan pedang dengan tumit sepatu. Bu Kie mengangkat kakinya. Sebab tidak mendug, si imam terhuyung setindak, tapi berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan mengerahkan lweekang, ia segera dapat mempertahankan diri. Tapi, baru saja menggunakan Cian Kin Toei (ilmu memberatkan badan supaya bisa berdiri tetap) semacam tenaga yang datang dari badan pedang mendorongnya. Tenaga itu adalah begitu hebat, hingga tanpa berdaya ia jatuh duduk. Hampir berbareng, terdengar suara "tang!" dan pedang patah dan ia hanya mencekal gagangnya saja.
Bukan main malunya See Hoa Cu, Sang Su Nio (isteri guru) mengawasinya mencorong dengan sorot mata yang gusar dan ia tahu bahwa ia akan mendapat hukuman. Dengan bingung dan ketakutan, buruburu ia berbangkit, "anak haram!... " bentaknya.
Sebenarnya Bu Kie sudah merasa cukup, tapi begitu mendengar cacian "anak haram" yang mencaci juga kedua orang tuanya, darahnya lantas saja meluap. Bagaikan kilat, ia mengibas ranting bwee dan tiga
"hiat" di dada See Hoa Cu sudah tertotok. Tapi dengan berlagak pilon ia segera berkata kepada empat lawannya, "para cianpwee boleh lantas mulai!"
"Minggir kau!" bentak Pan Siok Ham.
"Apa belum cukup?"
"Baik," jawab See Hoa Cu, tapi badannya tak bergerak.
Pan Siok Ham jadi makin gusar, "aku suruh kau minggir, apa kau tak dengar!" teriaknya.
"Baik" baik" su nio" baik" jawabnya terputus-putus. Tapi ia tetap berdiri tegak.
Tak kepalang marahnya si jago betina. Dia sungguh tak mengerti, mengapa murid itu sungguh kurang ajar. Ia belum tahu, bahwa beberapa jalan darah See Hoa Cu sudah ditotok Bu Kie. Dengan mata mendelik, ia mendorong keras murid yang dianggapnya bandel itu.
Badan si imam terdorong beberapa kaki, tapi badan dan kaki tangannya tetap tidak berubah.
Sekarang barulah Pan Siok Ham berdua suami tahu sebab musababnya. Mereka heran bercampur kagum. Mereka tak mengerti, bagaimana Bu Kie bisa menotok jalan darah tanpa diketahui mereka. Buruburu Ho Thay Ciong menotok beberapa hiat di pinggang muridnya untuk membuka jalan darah yang tertutup. Diluar dugaan, See Hoa Cu masih tetap tidak bisa bergerak.
Sambil menunjuk tubuh PH yang bersandar pada YS, Bu Kie berkata, "Beberapa tahun yang lalu, nona kecil itu sudah pernah ditutup jalan darahnya dan mereka dipaksa untuk minum arak beracun, sedang aku sendiri tidak berdaya untuk membuka hiat to yang tertotok. Sekarang muridmu pun mendapat pengalaman yang sama. Kau tak usah heran, ilmu Tiam Hiat kita berdua memang berlainan.
Melihat berubahnya paras muka para hadirin, Pan Siok Ham merasa jengah dan untuk menutup rasa malunya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia segera menikam alis Bu Kie. Hampir berbareng, pedang Ho Thay Ciong menyambar punggung pemuda itu, dan kedua kakek Hwa San Pay-pun lantas mulai menyerang.
Dengan sekali melompat Bu Kie menyelamatkan diri dari empat senjata. Ho Thay Ciong segera mengirim tikaman ke kedua pinggang Bu Kie untuk memaksa pemuda itu menangkis dengan ranting bwee. Sambil mementil golok si kate dengan telunjuk kiri, Bu Kie menotol badan pedang Ho Thay Ciong memutar senjatanya dan memapas cabang yang kecil itu. Ia berpendapat, bahwa biarpun lawan memiliki kepandaian tinggi, ranting itu takkan bisa melawan tajam dan kerasnya pedang. Diluar dugaan, Bu Kie pun memutar rantingnya dan memukul badan pedang. Tiba-tiba Ho Thay Ciong merasa dorongan dari semacam tenaga lembek sehingga pedangnya terpental dan menghantam golok si jangkung.
"Aha, Ho Thay Ciong!" seru kakek itu. "Mengapa kau membantu lawan?"
Paras muka Ho Ciang Bun berubah merah, tapi ia tentu saja tidak mau mengaku bahwa pedangnya telah dipukul terpental oleh pemuda itu.
"Omong kosong!" bentaknya seraya menikam Bu Kie.
Pertempuran lantas berubah dengan hebatnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bagaikan hujan gerimis, Ho Thay Ciong mengirim tikaman-tikaman berantai, sedang isterinya yang bergerak di belakang Bu Kie berusaha menutup jalan mundur pemuda itu. Dari kedua samping kedua kakek Hwa San Pay mencecer dengan pukulan-pukulan terhebat dari Liang Gie To Hoat.
Kedua macam ilmu silat itu yang satu "ceng" yang lain "hoan" berasal dari pat kwa dan pulang ke pat kwa. Dengan lain perkataan, karena sumbernya sama maka meskipun jurus-jurusnya berlainan pada hakekatnya kedua ilmu silat itu bersatu padu. Makin lama keempat tokoh makin saling mengerti dan kerja sama juga jadi makin erat.
Sebelum bergebrak, Bu Kie pun tahu, bahwa keempat lawannya tak boleh dibuat gegabah. Ia hanya tidak menduga, bahwa kerja sama antara Hoan Liang Gie To Hoat dan Ceng Liang Gie Kim Hoat bisa sedemikian hebat dan berkat bantuan antara "yang" dan "Im" kerjasama itu dikatakan tiada cacatnya. Tak ada bagian yang lemah, baik dalam serangan maupun dalam pembelaannya. Kalau menggunakan senjata biasa, ia masih bisa mendapat bantuan dari senjata itu. Apa mau secara temberang, ia memilih ranting bwee dan sekarang ia menghadapi bahaya besar.
Sesudah bertempur lagi beberapa lama, si kakek kate mendadak menyerang kaki Bu Kie dengan menggulingkan badan di tanah. Bu Kie berkelit ke samping, ia dipaki Pan Siok Ham, "kena!" bentak jago betina itu dan paha Bu Kie sudah tertikam!
Baru saja ia mementil senjata lawan, pedang Ho Thay Ciong sudah menyambar dan golok kedua kakek itu membabat kakinya. Dilain detik, Pan Siok Ham sudah lantas saja menikam pula dengan serentak.
Keadaan Bu Kie terdesak. Dalam bahaya, mendadak ia mendapat serupa ingatan. Laksana kilat ia melompat dan bersembunyi di belakang See Hoa Cu. Pan Siok Ham menikam dengan tujuan membinasakan dan bukan hanya untuk menjajal kepandaian. Ujung pedang yang menyambar dengan disertai lweekang, hampir amblas di badan muridnya. Untung juga ia keburu menarik pulang senjatanya, tapi See Hoa Cu sudah berteriak dan mengeluarkan keringat dingin.
Bu Kie jengkel dan bingung. Sesudah bertempur beberapa lama, ia masih juga belum bisa menangkap intisari daripada kedua ilmu silat itu. Sebelum dapat menyelam isinya, ia tak akan bisa memecahkannya.
Maka itu, jalan satu-satunya ialah berkelit kian kemari dengan menggunakan See Hoa Cu sebagai tameng.
Sambil menggunakan siasat main petak ini, pemuda itu mengeluh, "Bu Kie! Bu Kie! Kau terlalu memandang enteng kepada orang gagah di kolong langit. Sekarang kau menghadapi bencana. Jika bisa keluar dengan selamat, kau harus ingat baik-baik pelajaran yang pahit ini. Benar juga kata orang, di luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada manusia."
Pan Siok Ham merasa dadanya seperti mau meledak. Kalau tidak dihadang See Hoa Cu, beberapa kali ia bisa menikam pemuda itu. Kalau menuruti napsu, ia ingin membuat putus badan si imam, tapi dengan adanya kecintaan antara guru dan murid, ia tentu saja tidak tega turunkan tangan jahat.
"Ho Hu jin!" teriak si jangkung. "Kalau kau tidak mau turun tangan terhadap orangmu, biarlah aku yang turun tangan."
"Sesudahmu!" bentaknya dengan gusar.
Si jangkung lantas saja mengangkat goloknya dan menyabet pinggang See Hoa Cu.
Bu Kie terkejut. Jika kakek itu benar-benar membunuhi imam, maka bukan saja ia sendiri terancam kebinasaan, tapi dalam persoalan ini juga akan timbul sengketa baru. Maka itu, dengan menggunakan sinkang, ia mengebut dengan tangan bajunya dan golok si jangkung terpental.
Hampir berbareng si kate membacok. Bu Kie berkelit ke kanan, tapi ia tidak mengubah arah goloknya yang terus menyambar ke pundak See Hoa Cu. Ia membuat gerakannya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah tidak keburu mengubah arah atau menarik pulang senjatanya. Tapi di mulut ia berteriak, "See Hoa Cu Tooheng, hati-hati!"
Dengan berbuat begitu, si kate coba menyebar bibit penyakit kepada Bu Kie. Ia mengerti, bahwa jika ia membinasakan See Hoa Cu, Ia akan bermusuhan dengan Kun Lun Pay. Tapi dengan pura-pura tidak keburu menarik pulang senjata, ia bisa memindahkan kedosaan ke atas pundak Bu Kie.
Bu Kie memutar badan dan mendorong dada si kate dengan telapak tangannya. Napas kakek itu menyesak. Buru-buru ia menyambut dengan tangan kiri, tapi goloknya menyambar terus. Untung
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sungguh, sebelum golok mampir di pundak See Hoa Cu, kedua tangan itu kebentrok dan si kate terhuyung ke belakang, sehingga goloknya pun membacok angin.
Sesudah jiwanya ditolong dua kali, si imam merasa sangat berterima kasih kepada Bu Kie dan berbalik membenci kedua kakek itu. "Kalau bisa hidup terus, aku pasti akan berhitungan dengan bangsat kate dan jangkung itu." Katanya di dalam hati.
Dilain pihak, melihat pemuda itu melindungi muridnya. Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham merasa girang. Mereka bergirang sebab dalam usahanya melindungi See Hoa Cu, Bu Kie jadi lebih sukar untuk membela diri. Mereka sedikitpun tidak merasa berterima kasih terhadap lawan yang sudah menolong muridnya dan mereka menyerang makin hebat.
Melihat begitu, tokoh-tokoh Siauw Lim, Bu Tong, dan Go Bie menggeleng-gelengkan kepala dan di dalam hati kecil, mereka merasa malu. Kalau pemuda itu binasa, sedikit banyak mereka turut berdosa.
Kedua kakek Hwa San Pay terus menyerang dengan hebatnya, sebentar membabat Bu Kie, sebentar membacok See Hoa Cu. Makin lama Bu Kie makin terdesak. "Tak apa jika aku sendiri yang binasa,"
pikirnya. "Tapi sangat tidak pantas kalau aku menyeret juga imam ini." Memikir begitu, sambil menghantam si jangkung ia mengibas ranting bwee dan dengan kibasan itu, ia membuka jalan darah See Hoa Cu.
Sesaat itu, si kate membabat kaki See Hoa Cu dan Bu Kie menendang pergelangan tangannya. Dengan cepat kakek itu menarik pulang tangannya. Mendadak si imam yang sudah merdeka mengirim tinju yang tepat mampir di batang hidung si kate, yang lantas saja mengucurkan darah. Kepandaian jago Hwa San Pay itu banyak lebih tinggi daripada si imam. Tapi sebab diserang sedari tidak diduga-duga, ia tidak keburu berkelit lagi.
Kejadian yang lucu itu disambut dengan gelak tertawa.
"See Hoa Cu, mundur kau!" bentak Pan Siok Ham sambil menahan tertawa.
"Baiklah," jawabnya, "Bangsat jangkung itu masih hutang satu tinju," tiba-tiba si kate menyapu kaki See Hoa Cu, membacok dan menyikut. "Duk!" sikut kirinya mampir di dada si imam. Tiga gerakan berantai itu adalah salah satu jurus terlihai dari Hwa San Pay. Tubuh See Hoa Cu bergoyang-goyang dan tanpa tercegah lagi, ia muntah darah.
Bagaikan kilat, Ho Thay Ciong menempelkan telapak tangan kirinya di pinggang si murid dan dengan sekali mendorong, tubuh yang tinggi besar itu sudah terpental beberapa tombak jauhnya. Sungguh indah pukulan itu! Katanya, seraya mendongak si kate dan "sret!" pedangnya menikam Bu Kie merupakan bukti bahwa Ciang Bun Jin Kun Lun Pay memang bukan sembarang orang.
Sesudah penghalang menyingkir, keempat jago itu menyerang makin hebat. Dua golok dan pedang berkelabat-kelebat bagaikan titiran dan Bu Kie seolah-olah dikurung dengan sinar senjata. Dengan tenaga dalam yang sangat kuat, ia tidak merasa lelah. Tapi serangan-serangan itu dengan perubahan-perubahannya yang aneh-aneh dengan sesungguhnya terlampau hebat. Ia mengerti bahwa dalam dua ratus atau tiga jurus lagi, ia akan binasa.
KIOE YANG SIN KANG yang dimiliki Bu Kie didapat dari Kioe Yang Cin Kang gubahan Tat Mo Couw Su dari India, sedang KIAN KUN TAY LO IE berasal dari Iran. Kedua ilmu ini boleh dikatakan puncaknya kepandaian manusia. Dilain pihak, kedua ilmu silat Liang Gie itu digubah dari macam-macam ilmu Tiongkok asli yang dicampur dengan kedudukan-kedudukan Pat Kwa dari Bu Ong. Jika seseorang sudah melatih diri sampai pada tingkat tertinggi dari ilmu tersebu maka ia akan banyak lebih lihai daripada orang yang mempunyai KIAN KUN TAY LO IE Sin Kan. Tapi sebab Kitab Yan Keng (kitab tentang Pat Kwa) sangat sukar dipelajari, maka keempat jago itu baru mengenal kulitnya saja. Kalau bukan begitu, siang-siang Bu Kie sudah binasa.
Sambil bertempur, pemuda itu terus mengasah otak. Kalau mau dengan menggunakan ilmu pengenteng badan dengan mudah ia bisa meloloskan diri dari kepungan. Keempat tokoh itu tak akan mampu mengejarnya. Akan tetapi jika ia lari, tujuannya yaitu mendamaikan permusuhan antara enam partai dan Beng Kauw akan gagal sama sekali. Sesudah memikirkan bolak-balik, ia mengambil keputusan untuk bertahan terus dan baru menyerang sesudah keempat lawannya lelah. Tapi diluar dugaan, keempat orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat kuat dan aneh sampai kapan baru menjadi letih.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Biarpun sudah berada di atas angin, di dalam hati keempat jago itu merasa sangat tidak enak. Mereka merasa malu pada diri sendiri. Dengan mengingat kedudukan dan nama mereka, jangankan empat lawan satu, sedang satu lawan satupun sudah sangat hilang muka. Lebih daripada itu, sesudah bertempur tiga empat ratus jurus, mereka belum juga bisa merobohkan Bu Kie. Untung juga, pemuda itu sudah lebih dahulu menjatuhkan pendeta suci Kong Seng. Sehingga kalau malu, malu beramai-ramai.
Makin lama Bu Kie makin terdesak, tapi tak gampang-gampang ia bisa dilukai. Pada detik-detik yang berbahaya ia selalu dapat menyelamatkan diri dengan berkelit atau menangkis dengan ranting bwee yang disertai sin kang.
Dilain pihak, keempat tokoh itu mempunyai pengalaman luas dan kenyang menghadapi lawan berat.
Makin lama bertempur, mereka makin tidak berani berlaku sembrono. Seraya mengempos semangat, mereka mendesak setingkat demi setingkat.
Para tetua keempat partai mengikuti jalan pertandingan dengan penuh perhatian dan saban-saban memberi penjelasan serta petunjuk kepada murid-murid mereka yang berdiri di sekitar lapangan.
"Lihatlah kamu semua," kata BCS kepada murid-muridnya. "Ilmu silat pemuda itu sangat luar biasa.
Tapi keempat pemimpin dari Kun Lun Pay dan Hwa San Pay sudah menjepitnya, sehingga ia tidak bisa bergerak lagi. Ilmu silat dari Tiong Goan tak akan bisa ditandingi oleh segalma ilmu siluman dari See Hek. Liang Gie berubah menjadi Su siang dan Su siang berubah menjadi Pat Kwa. Dalam ilmu silat itu terdapat 8 kali delapan 64 kie pian (perubahan yang luar biasa) dan kali empat puluh empat teng pian (perubahan yang sudah tetap) enam puluh empat dikali dengan enam puluh empat sehingga sama sekali ada empat ribu sembilan puluh enam perubahan. Diantara macam-macam ilmu silat di kolong langit, ilmu silat Liang Gie lah yang mempunyai banyak perubahan."
Sedari Bu Kie turun ke gelanggang. Ciu Cu Jiak sangat berkhawatir akan keselamatannya. Karena sangat disayang oleh sang guru, nona itu sudah diberi pelajaran kitab Ya keng. Sekarang dengan mengggunakan kesempatan baik, ia segera berkata dengan suara nyaring. "Su hu, menurut pendapat teecu, biarpun jurus-juruanya sangat beraneka warna, intisari dari Cong Han Siang Gie ialah Thay Kek menjadi Im Yang Liang Gie. Yang terdiri dair Thay Yang dan Siauw Im. Inilah yang dinamakan Siauw Yang dan Thay Im. Inilah yang dinamakan Su Sian. Kalau tidak salah meskipun pukulan-pukulan keempat cianpwee itu hebat luar biasa, tetapi yang paling lihai adalah po hoatnya (tindakannya)." Karena ia menggunakan bicara dengan menggunakan tenaga dalam tanpa merasa semua orang menengok kepadanya.
Meskipun sedang bertempur mati-matian, kuping dan mata Bu Kie tetap berwaspada terhadap keadaan di luar gelanggang dan setiap perkataan nona Ciu didengar tegas olehnya. "mengapa ia bicara begitu keras?" tanyanya di dalam hati. "Apakah ia sengaja ingin memberi petunjuk kepadaku?"
"Penglihatanmu sedikitpun tak salah," kata BC. "Aku merasa girang, bahwa kau bisa menangkap intisari dari ilmu silat para cianpwee."
"Ya," kata pula si nona pada diri sendiri. "Kian di selatan, kun di utara, loodi di timur, kan di barat, cin di timur laut, twie di tenggara, sun di barat daya, gin di barat laut. Dari cin sampai Kian dinamakan sun (menurut) dari sun sampai kun dinamakan gek (melawan)." Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi dengan suara lebih keras. "Suhu, tak salah, tepat seperti yang diajar olehmu, Ceng Liang Gie Kiam Hoat dari Kun Lun Pay adalah Sun yang meliputi kedudukan dari Cin sampai pada Kian. Hoan Liang Gie To Hoat dari Hwa San Pay ialah Gek yang meliputi kedudukan dari Sun sampai papa Kun. Suhu, bukankah begitu?"
Kisah Pembunuh Naga Jilid 43 Karya Chin Yung ================ Mendengar perkataan muridnya, Biat-coat jadi girang sekali. Ia mengangguk beberapa kali dan berkata. "Anak, kau tidak menyia-nyiakan capai lelahku." Nenek itu adalah manusia yang paling jarang memuji orang. Perkataannya itu adalah pujian tertinggi yang dapat diberikan olehnya. Dalam girangnya, Biat-coat sedikitpun tidak memperhatikan suara Cie Jiak yang sebenarnya terlampau nyaring. Tapi banyak orang sudah melihat keluarbiasaan itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat banyak mata ditujukan kepadanya, Cie Jiak lantas saja pura-pura tergirang-girang dan berkata sambil menepuk-nepuk tangan. "Suhu, benar, Su-siang ciang dari Go bie pay kita, dalam bundarnya terdapat persegi, Im dan Yang saling bantu membantu. Yang bundar yang berada di luar, adalah "Yang".
Yang persegi, yang di tengah-tengah, ialah "Im". Yang bundar, yang bergerak dinamakan "Thian"
(langit). Yang persegi, yang diam (tenang), dinamakan "Tee" (bumi). Dengan demikian, dalam ilmu silat kita itu terdapat Langit, Bumi, Im, Yang, persegi, bundar, bergerak dan diam. Menurut pendapatku, Susiang ciang lebih unggul setingkat daripada Ceng hoan Liang gie."
Biat coat yang memang selalu merasa bangga akan kelihayannya Su siang ciang jadi makin girang,
"Tak salah apa yang dikatakan olehmu" katanya selalu bersenyum. "Akan tetapi, kelihayan ilmu silat itu tergantung atas kepandaian dan tenaga dalam diri orang yang menggunakannya.
Diwaktu kecil, Bu Kie sering mendengar ceramah-ceramah mengenai pelajaran kedudukan Pat-kwa, karena Ya-keng adalah kitab yang terutama dipelajari oleh murid2 Bu tong dan lweekang Bu tong pay juga berdasarkan kitab itu.
Mendengar perkataan nona Ciu mengenai Su siang ciang, Sun dan Gok, ia terkejut. Ia segera memperhatikan po hoat (tindakan) dan jurus2 keempat lawannya dan benar saja, semua itu berdasarkan perubahan2 dari Su siang Pat kwa. Sekarang ia mengerti, mengapa Kian kun Tay lo ie tidak bisa bergerak.
Jala Pedang Jaring Sutra 5 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Bunga Ceplok Ungu 6

Cari Blog Ini