Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 25

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 25


Selama beberapa hari Bu san pang dan yang lain2 telah membuat gubuk2 di atas Kong beng teng.
Sekarang gubuk2 itu dapat digunakan oleh Beng Kauw/Peh Bie Kauw untuk mengaso. Tanpa memperdulikan rasa letih, para anggota wanita segera menanak nasi, memasak air dan menyediakan sekedar lauk pauknya. Semua orang bersuka ria, rasa kantuk dan lelah tidak dirasakan.
Sekonyong-konyong, dengan paras muka berseri2 In Thian Ceng berdiri dan berkata dengan suara nyaring. "Para anggota Peh bie kauw dengarlah! Peh bie kauw dan Beng kauw sebenarnya berpangkal satu. Pada 20 tahun lebih yang lalu, karena tidak akur dengan Beng Kauw, aku mendirikan sebuah agama lain. Sekarang, sesudah Thio Tayhiap menjadi Kauwcu, semua orang harus melupakan ganjelan lama dan harus bersatu padu. Mulai hari ini Peh bie kauw tak ada lagi. Kita semua harus mentaati perintah Kauwcu.
Siapa tak setuju, boleh segera turn gunung!"
Pernyataan itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai gegap gempita.
Si kakek tersenyum dan berkata pula. "Mulai hari ini kita hanya mempunyai Beng Kauw dengan Thio kauwcu satu2nya. Siapa yang memanggil aku In Kauwcu lagi, dia dianggap sebagai orang berdosa."
Bu Kie menyoja dan berkata"Persatuan kembali antara Peh bie kauw dan Beng kauw adalah kejadian yang sungguh2 menggirangkan. Akan tetapi, aku yang rendah hanialah kauwcu untuk sementara waktu.
Sesudah musuh dikalahkan tibalah waktunya untuk memilih Kauwcu yang baru. Dalam Beng Kauw dan Peh bie kauw terdapat banyak sekali tokoh2 yang berkepandaian tinggi. Aku yang masih beusia muda, berpengatuan cetek, mana bisa menduduki kursi yang tinggi itu?"
"Thio Kauwcu jangan kau berkata begitu!" teriak Ciu Tian. "Coba kau pikir, karena berebut kursi Kauwcu, kami berantakan. Untung besar semua orang takluk kepadamu. Jika kau tetap menolak biarlah kau saja menunjuk seorang kauwcu baru. Hu uh!!!! Tapi, siapapun juga yang ditunjuk olehmu, aku, Cio Tian, yang paling dulu menentang. Kalau kau mengangkat aku, tentu ada orang lain yang tidak mufakat!"
Pheng Eng Giok berdiri dan berkata denan suara nyaring. "Thio Kauwcu, jika kau menolak Beng kauw pasti akan berantakan lagi!"
Apa yang dikatakan Pheng Hweesio memang sangat mungkin terjadi. Bu Kie menunduk dan menimbang2. semua orang menunggu jawaban sambil menahan nafas.
Akhirnya ia berkata, "Karena kecintaan kalian yang sangat besar, aku yang rendah merasa berat untuk menolak terus. Tapi aku hanya bersedia untuk memegang tugas Kauwcu sementara waktu dengan satu syarat. Syaratnya ialah kalian harus mengiakan 3 permintaanku. Jika kalian menolak, meskipun mesti mati aku takkan menerima kedudukan Kauwcu."
"Baik! Baik!" "Bagus!" "Jangankan tiga, tiga puluhpun kami akan meluluskan!"
"Permintaan apa?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kauwcu bilang saja!"
sesudah teriakan2 mereda, Bu Kie membungkuk dan berkata dengan suara nyaring. "Agama kita dinamakan orang luar sebagai agama agama siluman. Hal ini tentu saja tidak benar. Mereka yang berkata begitu tidak tahu isi daripada Beng Kauw. Akan tetapi karena jumlah anggota kita sangat besar, maka memang benar ada sejumlah anggota yang melakukan perbuatan2 menyeleweng. Maka itu, permintaanku yang pertama ialah mulai dari sekarang, dari Kauwcu sampai anggota biasa semua orang harus mentaati peraturan2 Beng kauw, harus menolong sesama manusia dan harus berlaku sebagai ksatria sejati. Aku ingin minta supaya Leng Kiam Sianseng suka menjadi Hio cu dari Heng tong Cie cu (pemimpin dari bagian hukum) untuk mengadili segala pelanggaran dan membereskan segala percecokan antara kita.
Siapa yang berdosa akan dihukum berat. Aku, kakek, pamanku dan lain2 ketua tidak terkecuali".
Semua membungkuk dan mengiakan.
"Waktu mendiang Yo Kauwcu masih hidup, peraturan kita dipegang keras sekali." Kata Pheng Eng Giok. "Belakangan orang2 yang berdosa tidak diadili secara tepat dan makin lama keadaan makin buruk.
Soal ini memang merupakan soal terpenting dari agama kita dan aku merasa girang, bahwa Kauwcu dan saudara Leng akan bertindak tanpa memilih bulu".
Leng Kiam maju setindak seraya berkata dengan ringkas. "Aku terima". Kakek ini memang paling tidak suka bicara banyak.
"Permintaanku yang kedua mungkin agak berat," kata pula Bu Kie. "Kedua belah pihak telah menderita kerusakan besar, banyak orang mati atau luka. Tapi sekarang aku ingin minta supaya kalian suka mengakhiri permusuhan ini dan tidak cari2 urusan lagi dengan keenam partai itu".
Semua orang kaget. Itulah permintaan yang sukar diluluskan. Mereka saling mengawasi dan membungkam. Sesudah selang beberapa lama Ciu Tian bertanya "Bagaimana kalau mereka yang mengganggu kita?"
"Kita harus bertindak dengan mengimbangi keadaan," jawab Bu Kie. "Mana kala mereka mendesak terlalu keras, kita tentu saja tidak bisa menerima kebinasaam tanpa melawan".
"Baiklah!" kata Tiat koan To jin. "Jiwa kita ditolong Kauwcu. Biarlah kita turut apa yang diinginkan Kauwcu".
"Saudara2!" teriak Pheng Eng Giok, "Enam partai itu telah membunuh banyak anggota kita, tapi kitapun telah banyak membinasakan anggota mereka. Kalau permusuhan terus berlarut2, makin lama makin banyak manusia mati. Menurut pendapatku, perintah Kauwcu supaya kita tidak cari permusuhan lagi dengan mereka, adalah untuk kebaikan kita sendiri".
Semua orang menyetujui pendapat itu dan mereka segera meluluskan permintaan Bu Kie yang kedua ini.
Bu Kie merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara terharu. "Pandangan luas dan hati lapang yang ditunjukkan kalian sungguh2 rejeki umat manusia. Permintaanku yang ketiga adalah supaya kita mentaati pesan mendiang Yo Kouwcu yang ditulis dalam surat wasiatnya. Yo Kouwcu memesan, supaya siapa yang bisa mendapatkan kembali Seng Hwee Leng dan mengambil pulang barang peninggalan Kauwcu turunan ketiga puluh satu dari tangan Kay pang, dialah yang harus diangkat menjadi Kuwcu turunan ketiga puluh empat. Yo Kauwcu juga memesan, supaya sesudah ia, meninggal dunia, untuk sementara jabatan Kuwcu dipegang oleh Kim Mo Say Ong. Maka itu sudah sepatutnya kalau sekarang kita menyeberangi lautan untuk menyambut Cia Hoat agar beliau bisa menduduki kursi Kauwcu sementara waktu. Belakangan barulah kita mencari Seng Hwee leng dan mengambil pulang barang peninggalan Kauwcu turunan ketiga puluh satu. Siapa yang berhasil, dialah yang harus menjadi Kuwcu."
Semua orang saling mengawasi. Sesudah kehilangan pemimpin selama beberapa puluh tahun, mereka sangat tidak ingin melepaskan Kauwcu baru itu yang berkepandaian sangat tinggi dan luhur pribadinya.
Andaikat dikemudian hari Seng hwee leng didapat oleh seorang goblok, apakah manusia goblok itu akan menjadi pemimpin mereka"
"Syra mendiang Yo Kauwcu ditulis pada dua puluh tahun lebih berselang. Berbeda dengan keadaan sekarang, kita memang pantas menyeberangi lautan untuk meyambut Kim mo say ong. Kita memang harus berusaha mencari Seng hwee leng, tapi kalo diangkat oleh orang lain menjadi Kauwcu, kuatir tidak semua orang menyetujuinya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Bu Kie tetap pada pendiriannya, bahwa pesan Yo Kauwcu harus ditaati. Sebab tak bisa mengubah lagi, maka pada akhirnya semua orang mengiakan juga kemauan itu.
Setelah perundingan beres, Bu Kie segera mengeluarkan perintah untuk menyalakan Seng Hwee (api suci) dan kemudian, dengan meneteskan darah, semua pimpinan dan anggota Beng Kauw bersumpah, bahwa mereka tidak akan melanggar peraturan itu.
Tak lama kemudian fajar menyingsing sekonyong konyong di dalam hutan terdengar teriakan kaget dari seseorang.
"Siapa itu?" bentak Tiat koat tojin.
Hampir berbareng dari dalam hutan kelihatan berlari2 2 anggota Ang sui kie. Begitu mereka tiba di hadapan Tong Yang Ciang kie su Ang Sui kie, mereka segera melaporkan sesuatu dengan suara perlahan.
"Apa benar?" tanya Tong Yang dengan kaget. Dengan cepat ia memberi isyarat dengan gerakan tangan dan barisan Ang sui kie dengan serentak bergerak, masing2 anggota menduduki kedudukan Pat Kwa, siap sedia untuk bertempur. Sesudah itu, dengan mengajak beberapa orang, Tong Yang lantas masuk kedalam hutan.
Sesudah mendapat kerusakan besar dalam beberapa kali pertempuran, jumlah anggota Ang sioe kie tidak cukup seratus orang. Tapi kegagahan tidak berkurang dan cara Tong Yang mengatur barisannya tetap angker luar biasa. Tak terlalu salah bila dikatakan, bahwa Ang sui kie saja, satu bendera dalam Beng Kauw, sudah cukup untuk melayani partai biasa dalam Kang ouw. Melihat begitu, Bu Kie merasa sangat terhibur, karena itulah suatu tanda, bahwa Beng Kauw mempunyai hari depan yang gilang gemilang.
Tak lama kemudian Tong Yang keluar dari dalam hutan dengan tindakan lebar. Ia menghampiri Bu Kie dengan paras muka bingung. Sambil membungkuk ia berkata, "Melaporkan kepada Kauwcu, bahwa Tong Yang menunggu hukuman".
"Ada apa?" tanya Bu Kie.
"Aku telah memerintahkan orang2ku untuk menjaga tawanan," jawabnya. "Diluar dugaan, orang2 itu telah berhasil merampas senjata orang2ku dan membunuh diri".
"Aneh sungguh!" kata Bu Kie dengan kaget. Dengan diiring tokoh2 Beng Kauw, ia segera masuk ke dalam hutan.
Benar saja, para tawanan Bu san pang dan Ngo ho tong sudah menjadi mayat dan menggeletak di tanah. Enam orang dari delapan penjaga mendapat lukadan mereka berlutut untuk mendapat hukuman.
"Apa benar mereka bunuh diri?" tanya Bu Kie.
"Melapor kepada Kauwcu," kata pimpinan rombongan penjaga itu, "mereka menyerang kami secara mendadak dan merampas senjata kami akan kemudian bunuh diri. Dalam melakukan perbuatan itu, mereka tak pernah mengucapkan sepatah kata".
Bu Kie manggut2kan kepalanya. "Bukan salah kalian, bangunlah!" katanya.
"Terima kasih ata belas kasihan Kauw Cu" kata pemimpin itu.
Bu Kie segera memeriksa luka para tawanan, dan ternyata, mereka memang bukan dibunuh orang.
Diantara mayat2 itu terdapat seorang yang masih belum putus jiwa, sebelah lengannya masih bergerak2.
Bu Kie segera membungkuk dan menotok Leng tay hiatnya, sambil mengirim Kioe Yang Cin Khie.
Orang itu perlahan lahan tersadar.
"Mengapa kau bunuh diri?" tanya Bu Kie.
Jawab orang itu dengan suara terputus2. "Siapa"..yang takut mati".tak diberi ampun"..tidak"..diberi".ampun?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie terkejut ia ingat, bahwa selama pertempuran ia pernah mendengar teriakan begitu di lereng gunung dan sebagai akibatnya pihak musuh berkelahi secara nekat2an. Ia sekarang mengerti, bahwa di balik teriakan itu tersembunyi rahasia hebat. "Siapa yang tak memberi ampun?" tanyanya.
"Keluargaku"tua muda".istri".anak, semua dalam tangan orang," jawabnya.
"Dalam tangan siapa" Kami akan menolong kau" kata pula Bu Kie.
Orang itu menggeleng2 kepalanya. Ia tersenyum getir, kepalanya terkulai dan nafasnya terhenti.
Yo Siauw dan yang lain2 saling memandang. Mereka tak dapat menembus teka-teki itu. Sesudah memerintah Angsui Kie mengubur mayat2 itu Bu Kie segera mengajak In Thian Ceng, Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain2 ke gubuk untuk mendamaikan urusan ini.
"Dari keterangan orang itu, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa keluarganya ditahan oleh seorang yang berkuasa dan kalau dia tak berkelahi mati2an, keluarganya akan dibinasakan." Kata Pheng Eng Giok. "Siapa orang itu yang mempunyai kekuasaan begitu besar, sehingga dia bisa menindih begitu banyak orang gagah dari partai2 persilatan" Siapa manusia itu yang dapat menahan begitu banyak keluarga?"
Kecuali Bu Kie tokoh2 Beng kauw adalah orang2 berpengalaman. Tapi mereka tak bisa meraba siapa adanya orang itu.
"Menurut pendapatku urusan ini ada sangkut pautnya dengan Goe Bie pay," kata Cu Tian. "Hoan Cong itu menggunakan pedang Ie Thian Kiam, Biat Coat sangat beracun dan mungkin sekali, sebab tak unggulan melawan Kauwcu kita. Dia menyuruh orang2 itu datang kemari".
"Bukan begitu," kata Leng Kiam.
"Mengapa bukan?" tanya Ciu Tian.
Leng Kiam tidak menjawab.
"Kurasa soal menahan keluarga berbagai partai terpisah dari soal serangan enam partai besar" kata Swee Poet Tek. "Dalam serangannya itu, keenam partai pasti tidak akan menduga, bahwa mereka akan mengalami kegagalan. Biat Cut Suthay dan sejumlah kawannya adalah orang2 yang sangat sombong dan mereka tentau tak pernah ingat perkataan kalah. Maka itu tidak bisa jadi mereka lebih dahulu sudah mempersiapkan sebuah siasat lain untuk menyerang kita".
Semua orang membenarkan perkataan Swee Poet Tek.
"Andaikata kau benar, tapi siapa musuh kita itu?" tanya Cu Tian.
"Akupun tak tahu," jawab Swee Poet Tek.
"Kalau Seng Kun blom binasa. Kita bisa menuduh dia".
Sesudah berunding beberapa lama, mereka belum juga mendapat kemajuan.
"Kurasa urusan ini bisa dikesampingkan untuk sementara waktu," kata Bu Kie akhirnya. "Soal penting yang kini dihadapi kita adalah menyeberangi lautan untuk menyambut Kim Mo Say Ong. Tugas ini harus dilakukan olehku sendiri, siapa yang ingin ikut?"
Semua orang segera berbangkit dan menjawab "Kami semua bersedia untuk mengiring Kauwcu"
"Jangan terlalu banyak," kata Bu Kie, "Disamping itu ada beberapa urusan besar yang perlu diurus.
Begini saja, Yo Co Su dan Su cun berdiam di Kong Beng Teng untuk membangun lagi dan menjaga pusat kita. Kim, Bok, Soie, Hwee, Touw Ngo heng kie pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan lagi anggota2 kita yang sudah terpencar dan menyampaikan tiga janji yang sudah disetujui. Kakek dan paman coba menyelidiki musuh yang bersembunyi itu dan berbareng coba mencari Kong Beng Yoe Su serta Cie san liong ong. Tugas Wie Hok Ong ialah pergi menemui Cia Bunjin keenam partai besar untuk memberitahukan perubahan2 di dalam Beng kauw. Andaikata Hok Ong tidak dapat mengubah musuh menjadi sahabat, tindakan ini setidaknya akan dapat menunda permusuhan untuk sementara waktu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kutahu tugas ini bukan tugas enteng. Tapi dengan kebijakannya, kupercaya Hok ong akan berhasil. Aku sendiri bersama Ngo sian jin akan melayari lautan guna menyambut Cia Hoat ong.
Sebagai seorang kauwcu, setiap perkataan Bu Kie adalah undang2 yang tidak dapat dibantah. Semua orang lantas saja menggangguk dan menerima baik perintah itu.
"Thia" tiba2 Poet Hwoei berkata "Aku ikut, kuingin melihat gunung es"
Sang ayah tersenyum "Kau harus memohon pada Kauwcu," jawabnya "Aku tidak berkuasa"
Si nona memoyongkan mulutnya, tapi ia tak dapat berkata apa2 lagi.
Bu Kie tertawa. Ia ingat, waktu mengantar Poet Hwei ke see hek, si nona sering meminta ia bercerita dan ia sering menceritakan pengalamannya di pulau Heng hwee to. Berkali2 ia menceritakan keindahan pulau itu dengan beruang putihnya, kera api, ikan2 aneh dan sebagainya. Maka itu tidaklah heran kalo sekarang Poet Hwie ingin mengikut. "Poet Hwie moy moy" katanya "Pelayaran ke Peng hwee to banyak bahayanya. Tapi jika kau tak takut dan Yo Cu su meluruskan biarlah Yo Cosu dan kau sama2 ikut"
"Takut apa?" kata si nona sambil menepuk nepuk tangan. "Thia biarlah kita berdua mengikut Bu Kie?".bukan mengikut Kauwcu"
Sambil mengawasi Bu Kie, Yo Siauw hanya mengangguk.
"Kalau begitu aku ingin minta bantuan Leng Sianseng untuk menjaga Kong Beng teng dan untuk sementara waktu su bun ditaruh di dalam kekuasaannya"
"Baiklah! Sungguh bagus!" teriak Ciu Tian.
"Ciu heng bagus apa?" tanya Swee Poet Tek.
"Beng Kauw menaruh penghargaan begitu tinggi kepada Leng Kiam merupakan suatu penghormatan besar untuk Ngo sian jin" jawabnya "Disamping itu, dalam perjalanan ini, entah berapa lama Kauwcu harus terombang-ambing di tengah lautan. Dengan ada Yo Cu su bakal tak terlalu kesepian. Mereka bisa beromong2. jika Leng Kiam yang pergi, maka Kauwcu seperti juga mengajak sepotong balok"
semua orang tertawa terbahak2. Leng Kiam tidak jadi gusar, tapi iapun tak tertawa. Ia bersikap seperti tak dengar gurauan Cio Tian.
Sesudah bersantap, semua orang lantas pergi mengaso.
Sebelum berangkat Bu Kie minta Poet Hwie membuka rantai hian tiat yang merantai Siauw Ciuw.
Tapi anak kunci hilang dalam tumpukan puing dan tak dapat dicari.
"Tak apa" Siauw Ciauw dengan suara tawar. "Suara rantai ini bahkan lebih merdu kedengarannya."
"Siauw Ciauw kau tunggulah di Kong Beng Teng dengan hati tenang" Bu Kie menghibur "Aku akan meminjam To Liong To dari Cia Hoat ong untuk memutuskan rantai ini."
Siauw Ciauw menggeleng2kan kepala. Ia tak menyahut.
Pada keesokan paginya, Bu Kie dan rombongan berpamitan "Kauwcu kau adalah seorang yang bertanggung jawab atas mati hidupnya Beng Kauw" kata Seng Kiam. "Kuharap kau menjaga diri baik2"
"Terima Kasih" jawab Bu Kie "Leng Sian seng dalam menjalankan tugasmu, kau akan banyak capai"
"Hati2 ikan aneh akan makan kau" kata Leng Kiam kepada Ciu Tian.
Dengan rasa terharu Ciu Tian mencekal tangan Leng Kiam erat2. kecintaan antara Ngo sian jin menyerupai kecintaan saudara kandung sendiri. Hari ini Leng Kiam melanggar kebiasaannya dan bicara lebih banyak. Hal ini sudah terjadi karena kegoncangan hatinya.
Bersama-sama Su Bun, Leng Kiam mengantar rombongan Kauwcu sampai dikaki Kong Beng Teng dan dengan perasaan berat mereka berpisahan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berlalu seratus li lebih rombongan Bu Kie bermalam di gurun pasir. Kira2 tengah malam, tiba2 Bu Kie mendengar suara "ting tang ting tang" sesudah memiliki Kioe Yang Cin Keng panca inderanya sepuluh kali lebih tajam dari manusia biasa. Ia kaget, bangun dan lantas berlari2 kearah suara itu. Sesudah melewati beberapa li, jauh2 ia lihat sebuah titik hitam yang bergerak kearahnya dan makin lama makin besar.
Tiba2 ia bergerak. "Siauw Ciauw! Mengapa kau datang?"
Orang itu memang bukan lain daripada si nona. Melihat Bu Kie ia lantas menangis keras.
"Anak baik! Sudahlah jangan menangis" kata Bu Kie seraya menepuk2 pundak si nona.
Tapi si nona jadi makin sedih dan menangis makin keras. "Kemanapun jua kau pergi?".aku?".ikut?""katanya.
Bu Kie merasa sangat kasihan. "Dia sangat tak beruntung dan karena aku berlaku manis terhadapnya, dia sangat mencinta aku" katanya dalam hati, maka itu ia segera berkata. "Sudahlah kau jangan menangis, kau boleh ikut"
Si nona menjadi girang. Ia mendongak dan mengawasi Bu Kie dengan sorot mata berterima kasih.
Dibawah sinar rembulan yang masih putih bagaikan perak, dengan muka yang cantik dan potongan badannya yang langsing kecil, ia seolah seorang dewi yang turun dari kayangan. Melihat kedua pipi yang masih basah oleh air mata dan paras muka yang berseri2, Bu Kie jadi ingat sekuntum bunga dengan butiran2 embun. Ia tersenyum dan berkata dengan suara perlahan "Siauw Ciauw, kalau sudah besar kau akan cantik luar biasa"
"Bagaimana kau tahu?" tanya si nona sambil tertawa.
Sebelum Bu Kie menjawab, disebelah timur laut tiba2 terdengar suara kaki kuda yang mendatangi dari barat ke timur. Didengar suaranya yang makin lama makin jauh, jumlah penumpang paling sedikit 100
orang lebih. Beberapa saat kemudian, Wie It Siauw datang dengan saling susul "Kauwcu" kata Wie It Siauw
"Ditengah malam buta serombongan penumpang kuda lewat sini. Kukhawatir mereka musuh2 kita"
Bu Kie segera minta Siauw Ciauw mempersarukan diri dengan Pheng Eng Giok dan yang lain2, sedang ia sendiri bersama Yo Siauw dan Wie It Siauw mengubar rombongan penumpang kuda itu.
Tak lama kemudian mereka bertemu dengan tapak2 kuda. Wie It Siauw membungkuk dan menjumput segenggam pasir "ada darahnya" katanya.
Bu Kie mencium pasir itu dan merasai bau darah yang masih segar. Mereka lalu mengejar dengan mengikuti tapak2 itu. Sesudah melalui beberapa li, tiba2 Yo Siauw melihat sepotong golok buntung diatas pasir, ia menjumput dan ternyatadi gagangnya terukir 3 huruf "Pang Jin Ho" ia memikir sejenak dan berkata.
"Inilah orang Kong Tong Pay, Kauw Cu. Kurasa mereka memang sengaja menyediakan kuda2 di tempat ini untuk pulang ke tionggoan."
"Sudah setengah bulan lebih mereka turun dari Kong Beng Teng" kata Wie It Siauw. "Apa perlunya mereka harus berdiam disini?"
Sesudah mengetahui bahwa rombongan itu adalah rombongan Kong Tong Pay, Bu Kie bertiga tidak berkuatir lagi dan lalu kembali ke tempat asal. Malam itu lewat dengan tentram dan pada keesokan paginya, mereka meneruskan perjalanannya.
Pada hari kelima, pagi2 mereka tiba di padang rumput. Selagi enak berjalan, dikejauhan muncul serombongan orang yang mendatangi ke arah mereka. Bu Kie yang matanya paling lihay sudah dapat lihat, bahwa rombongan itu terdiri dari nie kouw (pendeta perempuan) yang mengenakan jubah pertapaan dan diantara mereka terdapat 7-8 orang lelaki.
Dalam jarak belasan tombak, salah seorang nie kouw berteriak, "Apa kamu bangsat2 Mo Kauw?"
hampir berbarengan semua kawannya menghunus senjata dan berpancaran.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tahu, bahwa mereka itu adalah orang2 Go Bie Pay. Tapi ia belum pernah bertemu dengan yang manapun jua. "Apakah kalian murid2 Go Bie Pay?" tanyanya.
Seorang nie kouw setengah tua yang bertubuh kurus kecil melompat keluar dan membentak, "Bangsat Mo-kauw! Jangan rewel! Terimalah kebinasaanmu!"
"Siapa Suthay" Mengapa Suthay bergusar?" tanya Bu Kie dengan sabar.
"Bangsat! Siapa kau?" bentak pula nie kouw itu, "Apa derajatmu sehingga kau berani tanya namaku?"
Melihat kekurangajaran pendeta itu, Wie It Siauw jadi mendongkol. Bagaikan kilat ia melompat masuk kedalam barisan Go Bie Pay dan lantas menotok jalan darah dua murid pria yang lalu di cengkeram leher bajunya. Hampir berbareng, ia melompat keluar dan berlari2, seperti angin cepatnya, akan kemudian melemparkan kedua tawanannya diatas tanah. Dilain saat, ia sudah kembali kedalam rombongannya sendiri.
Kecepatan bergeraknya Ceng Ek Hong Ong mengejutkan semua anggota Go Bie Pay. Dengan mulut ternganga mereka mengawasi kedua saudara seperguruannya yang dibawa lari puluhan tombak dan sekarang menggeletak ditanah tanpa bergerak.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya seraya tertawa deban Wie It Siauw berkata "Yang berdiri di hadapanmu adalah seorang gagah luar biasa yang ilmu silatnya paling tinggi pada jaman ini, yang memimpin Kong Beng Co Su dan Kong Beng Yoe Su, yg mengepalai keempat Hu Kauw Hat Ong Ngo Sian Jin. Ngo Heng Kie dan Thian Tee Hong Loei Su Bu yaitu Thio Kauw Cu dari Beng Kauw kami yg pernah mengusir Go Bie Pay dari atas Kong Beng Teng dan merampas Ie Thian Po Kiam dari tangan Biat Coat Su Thao. Sekarang aku mau tanya kan, apakah orang seperti Thio Kauw Cu mempunyai cukup derajat untuk menanya hoat beng Suthay?" (Hoat beng Nama, bukan nama asli yang digunakan oleh seorang pendeta)
Semua murid Go Bie terkesiap. Sesudah menyaksikan Wie It Siauw, mereka tidak menyangsikan keterangannya.
Setelah menentramkan hatinya si nie kauw setengah tua bertanya, "Siapa Tuan?"
"Aku she Wie, bergelar Ceng Eh Hok Ong," jawabnya.
Beberapa murid Go Bie mengeluarkan seruan tertahan. Empat orang lantas saja berlari2 menghampiri kedua saudara seperguruannya yang tergeletak ditanah.
Ceng ek Hok ong bersenyum dan berkata dengan suara sabar, "Atas perintah Kauw Cu Beng Kauw dan keenam partai mengadakan gencatan senjata dan kami akan berusaha untuk memperbaiki perhubungan. Kalian tak usah khawatir. Kedua orang itu tidak kurang sesuatu apa. Sekarang si kelelawar tidak menghisap darah manusia lagi."
Keterangan Wie It Siauw memang tak salah. Sesudah mengobati Bu Kie dengan menggunakan Kioe yang Sin kang, bukan saja racun It im cie terusir dari dalam badannya, tapi racun dingin yang dahulupun sudah turut dipunahkan, sehingga sekarang sesudah menggunakan Lweekang ia tak usah mengisap darah manusia lagi untuk melawan racun dingin itu.
Sementara itu, keempat murid Go Bie sesudah balik kebarisannya dengan menggotong kedua saudara seperguruannya. Baru saja mereka mau membuka jalan darahnya yg terteotok tiba tiba terdengar suara
"sr" sr" " dua butir pasir yang disertai Lweekang sangat hebat menyambar jalan darahnya kedua orang itu yang lantas saja terbuka.
Orang yg menolong adalah Yo Siauw. Dengan menggunaan ilmu Tan Sie Sin Thing dan Cie Sek Tiam hoat, ia membuka jalan darah kedua orang itu. (Tan cie sin thong ilmu menyentil dengan jari tangan. Cie Sek Tiam Hoat ilmu menotok jalan darah dengan timpukan batu) Melihat lawat berkepandaian begitu tinggi, nie kauw setengah tua itu jadi keder. "Pie nie bernama Ceng Kong," memperkenalkan dirinya. "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama yang mulai dari Sie cu (tuan) yang menggunakan Tan Sie Sin Thong dan Cie Sek Tiam Hoat.
Sebelum Yo Siauw menjawab, Ciu Tian sudah mendahului sambil tertawa terbahak bahak, "Dia bukan lain dari Kong Beng Su sia, dengan kalian dia mempunyai sangkutan keluarga."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si pendeta mundur setindak. Bahwa gusarnya kedua alisnya bediri, "Ha! Kalau begitu kau bangsat Yo Siauw yang mencelakai Kie Su moay!" teriaknya. Ia mengibas pedangnya dan bergerak untuk menyerang.
"Suthay tahan!" kata Bu Kie. "Kau tahu akan segala persoalannya jika kau menanyakan gurumu sendiri. Jangan kita bertempur karena urusan ini."
"Mana guruku!" tanya Ceng Kong.
"Pada setengah bulan yang lalu, gurumu sudah turun dari Kong Beng Teng," jawabnya. "Mungkin sekali ia sekarang sudah masuk di Giok Bun kwan."
"Suci, jangan dengar segala obrolannya," kata seorang murid Go Bie yg berdiri dibelakang Ceng Kong. "Kita menyambut dari tiga jurusan, disampin gitu kita jg menggunakan tanda2 rahasia dan panah api. Kalau bener suhu sudah turun dari Kong Beng Teng, tak mungkin kita tidak bertemu dengan nya."
Mendengar itu Ciu Tian mendongkol. Tapi sebelum ia membalas dengan kata2 pedas, Bu Kie sudah berkata dengan suara perlahan. "Ciu siang seng tak usah ladeni dia. Karenat tak bertemu dengan guru mereka, bisa mengerti jika mereka uring2an."
Ceng Kong kelihatan bersangsi. "Apakah guruku dan saudara2 ku bukan jatuh kedalam tangan Beng Kauw?" tanyanya. "Seorang lelaki sejati harus berlaku jujur. Tak usah kamu berdusta."
Ciu Tian tertawa dan berkata, "Baiklah, sekarang aku mau bicara terang2an. Tanpa menimbang nimbang tenaganya yg kecil Go Bie pay telah menyerang Kong Beng teng kami. Biat coat Suthay dan semua muridnya sudah ditawan dan dipenjarakan dalam penjara di dalam air. Kami akan menahan mereka delapan belas tahun lamanya, supaya mereka bisa merenungkan kedosaannya mereka. Sesudah delapan belas tahun barulah kami akan menimbang pula, apa kami akan melepaskan mereka atau tidak."
Pheng Eng Giok terkejut, "Ciu Heng, jangan kau berguyon secara melampui batas," tegurnya. "Kalian jangan dengar guyonan saudara ini. Ia hanya main-main. Bibi Coat Suthay adalah seorang yang berkepandaian luar biasa, sedang semua murid Go Bie jg berkepandaian tinggi. Mana bisa mereka jatuh di dalam tangan beng kauw" Sekarang ini, kedua belah pihak sudah mengadakan gencatan senjata. Kalian pulanglah! Kalian pasti akan bertemu dengan mereka.
Ceng Kong tak menjawab. Ia bercuriga, bersangsi dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Ciu Heng memang paling suka main-main," kata Wie It Siauw. "Apakah seorang yg berkedudukan tinggi seperti Kauw Cu kami bisa memperdayai kalian?"
"Sedari dulu Mo Kauw terkenal licin, licik dan banyak akal bulusnya," kata si nie kauw setengah tua.
"Bagaimana kita bisa gampang2 percaya?"
Sekonyong2 Tong Yang, Ciang Kie Su Ang Sui Kie, mengibas tangan kirinya. Dilain saat lima barisan Ngo Heng Kie bergerak serentak. Kie Bok Kie mengambil kedudukan disebelah timur. Liat hwee diselatan. Swie Kim dibarat, Ang Sui di utara. Houw touw ditengah2 dan mengurung seluruh barisan Go Bie Pay.
"Loehu adalah Peh Bie Eng Ong," teriak In Thian Ceng. "Dengan seorang diri loehu sanggup membekuk kamu semua. Tapi hari ini Beng Kauw menaruh belas kasihan. Loehu hanya ingin memperingatkan, bahwa orang2 muda harus berhati2 sedikit dalam mengeluarkan perkataan." Si kakek bicara dengan menggunakan lweekang sehingga suaranya sangat menusuk kuping dan menggoncangkan hati. Melihat kelihaian orang tua itu, semua murid Go Bie jadi kaget tercampur kagum.
Bu Kie lantas saja mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Kami ingin meneruskan perjalanan dan kuharap kalian suka menyampaikan hormat Bu Kie kepada gurumu." Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan ke jurusan timur.
Sesudah semua pemimpin Beng Kauw lewat barulah Tong yg menarik pulang barisan Ngo heng Kie dan mengikuti dari belakang. Murid2 Go Bie tidak berani bergerak. Mereka mengawasi dengan mata membelak.
"Kauw Cu," kata Peng Eng Giok, "Menurut pendapatku dalam hal ini mesti terselip sesuatu yg luar biasa. Sama sekali tak bisa terjadi, bahwa rombongan Biat coat Suthay tidka bertemu dengan murid2nya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Setiap partai mempunyai tanda rahasia yang selalu digunakan di dalam perjalanan. Mana bisa jadi rombongan Biat coat menghilang dengan begitu saja?"
Sambil berjalam mereka bicarakan hal yang luar biasa itu. Semua orang sependapat dengan Peng Eng Giok. Menghilangnya rombongan Biat coat mencurigakan, apabila jika diingat, bahwa Lie Thian Kiam telah jatuh kedalam tangan seorang hoan ceng. Dilihat dari sudut ini, mungkin sekali rombongan itu menemui bencana. Diam2 Bu Kie berkuatir. Ia berkuatir akan keselamatannya Ciu Cie Jiak, tapi ia tentu saja tidak mengutarakan perasaannya itu kepada orang lain.
Pada magrib, selagi enak jalan, sekonyong2 Swee Poet Tek berkata. "Eeh!.... disini ada sesuatu yang luar biasa?" Ia berlari2 kearah serentetan pohon2 kate dan mengawasi bumi. Ia mencangkul dari tangan seorang pengikut dan menggali tanah. Tak lama kemudian, di dalam lubang terlihat sesosok mayat yg sudah rusak, tapi dari pakaiannya dapat dikenali, bahwa mayat itu adalah mayat seorang murid Kun Lun Pay. Beberapa anggota Beng Kauw lantas saja bantu menggali dan belakangan ternyata, bahwa di dalam lubang terdapat belasan mayat semuanya murid2 Kun Lun yang mati dengan luka2. Swee Poet Tek segera memerintahkan sejumlah anggota Beng Kauw menguburkan kembali mayat2 itu secara baik2.
Semua orang saling mengawasi dengan sorot mata menanya. Di dalam hati mereka rata2 muncul sebuah pertanyaan. Siapa yang melakukan itu"
"Kalau urusan ini tidak diselidiki sampai ke dasarnya, segala kedosaan pasti akan ditimpakan keatas kepada Beng Kauw," kata Peng Eng Giok.
Semua pemimpin Beng Kauw, kecuali Bu Kie sendiri, adalah orang2 yang berpengalaman. Mereka mengerti bahwa disebelah depan bersembunyi musuh2 yang bukan saja berkepandaian tinggi, tp jg kejam dan banyak akal busuknya. Mereka tahu, bahwa musuh semacam itu tak mudah dilawan.
"Saudara2 dengarlah!" kata Swee Poet Tek. "Kalau kita diserang dengan golok dan tombak terang, dibawah pimpinan Kauw Cu, biarpun kita tidak bisa mengatakan bahwa kita tidak pernah akan menemui tandingan di dalam dunia, akan tetapi, anak panah gelap suka ditangkis. Maka itu, mulai sekarang, baik waktu makan maupun waktu berjalan atau mengaso, kita harus berlaku hati2 untuk menjaga bokongan musuh."
Semua orang manggut2 kan kepalanya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, sang surya mulai selam kebarat dan cuaca perlahan-lahan berubah gelap. Baru saja mereka mau mencari tempat untuk mengaso, disebelah timur laut tiba2 terlihat tiga empat ekor elang yang terbang melayang2 diangkasa. Dengan mendadak salah seekor menyambar kebawah dan dengan mendadak pula, dia terbang lagi keatas sambil mengeluarkan pekik kesakitan, sedang beberapa lembar bulunya berhamburang diudara. Binatang itu rupanya menyerang sesuatu, tapi sudah kena dihajar.
"Coba kau selidiki," kata Gouw Kin Co, Ciang Kie Su Swie Kim Kie. Setelah Cung Ceng, pemimpin Swie Kim Kie binasa. Bu Kie mengangkat Gouw Kin Cu, yg tdnya memegang jabatan wakil pemimpin, menjadi pemimpin. Sehabis berkata begitu, dengan mengajak dua orang anggota barisannya, ia menuju timur laut sambil berlari2. tak lama kemudian, salah seorang kembali dan berkata kepada Bu Kie.
"Melaporkan kepada Kauw Cu, bahwa In Liok Hiap dari Bu tong pay rebah di dalam jurang!"
Bu Kie terkejut, "In Liok hiap?" ia menegas."Apa terluka?"
"Kelihatannya terluka berat," jawabnya.
"Begitu melihat In Liok hiap, Gouw Kiesu segera memerintahkan aku kembali untuk member laporan kepada Kauw Cu, sedang ia sendiri sudah turun kedalam jurang untuk menolong?"
Sebelum orang itu bicara habis, Bu Kie sudah berjalan dengan tindakan lebar. In Thian Ceng dan yang lain2 lantas saja mengikuti dari belakang.
Tak lama kemudia mereka tiba di tebing dengan jurang yg cukup dalam. Dilereng tebing tumbuh pohon2 kecil, dan Gouw Kin Co, dengan lengan kiri memeluk tubuh In Lie Heng, sedang berusaha memanjat keaas dengan pertolongan pohon2 kecil itu. Dengan penuh rasa kuatir Bu Kie melompat kebawah. Sebelah tangannya mencekal lengan kanan Gouw Kin Co, sedang tangannya yang lain meraba dada pamannya. Ia girang sebab In Lie Heng masih bernapas. Buru-buru ia menyambut tubuh sang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
paman dan dengan beberapa lompatan, ia telah berada diatas dan lalu merebahkan tubuh In Lie Heng ditanah.
Begitu memeriksa luka In Lie Heng, paras muka Bu Kie berubah merah padam. Rasa kaget, gusar dan duka bercampur menjadi satu. Sang paman ternyata telah dianiaya secara kejam. Tulang lututnya, sikut, tulang kering, tumit kaki, jari tangan semua buku2 tulang di kaki tangannya, hancur semua. Ia tak bisa bergerak dan napasnya sangat perlahan. Tapi walaupun begitu, otaknya masih terang, begitu melihat Bu Kie, paras mukanya berubah menjadi terang dan ia segera mengeluarkan dua butir batu kecil dari mulutnya.
Sesudah dianiaya hebat, In Liok hiap dilemparkan kedalam jurang. Berkat lweekangnya yg sangat tinggi, ia dapat menyelamatkan jiwanya. Kawanan elang yang sangat ganas ingin memakan dagingnya.
Tapi ia berhasil mempertahankan diri dengan menyemburkan batu2 kecil dari mulutnya. Perlawanannya terhadap burung2 itu sudha berlangsung beberapa hari lamanya.
Melihat empat ekor elang masih melayang2, Yo Siauw jadi gusar. Ia menjemput empat butir batu2 dan menimpuk. Hampir berbareng, keempat binatang bersayap itu jatuh dengan kepala hancur. In Lie Heng manggut2 kan kepalanya sebagai tanda terima kasih.
Buru-buru Bu Kie memasukkan sebutir yo wan untuk menghilangkan rasa sakit dan melindungi jantung kedalam mulut In Lie Heng. Sesudah itu mereka terus mencoba2 untuk menyambung tulang2 yg patah. Tapi begitu memeriksa lebih teliti, hasilnya berkerut. Pada kaki sang paman terdapat kurang lebih dua puluh tempat yg hancur, dihancurkan dengan pijitan jari2 tangan. Tulang2 yang hancur itu tak bisa disambung lagi.
"Sama seperti Sam ko?" kata In Lie Heng dengan suara yang lemah. "Pijitan Kim kong cie dari Siauw Lim Pay"."
Bu Kie lantas saja ingat penuturan mendiang ayahnya, bahwa tulang2 Sam Su peh Thay Giam telah dihancurkan koleh Kim Kong Cie dari Siauw Lim Pay. Sampai kini Sam Su peh itu telah dua puluh tahun lebih rebah di ranjang sebagai orang yang bercacad. Tak dinyana, setelah berselang beberapa lama, seorang paman kembali dianiaya dengan Kim Kong Cie.
Setelah menentramkan hatinya, Bu Kie berkata, "Liok siok jangan jengkel. Serahkanlah urusan ini kepada tit jie." Orang yang berdosa itu pasti tidak akan terlepas dari keadilan.
"Apakah Liok Siok tahu siapa yang melakukannya?"
In Lie Heng menggelengkan kepala dilain saat, ia pingsan. Selama beberapa hari, dengan seantero tenaganya, ia mempertahankan diri. Kini, sesudah bertemu dengan keponakannya hatinya lega, badannya yang sudah terlalu lelah tidak tertahan lagi.
Dengan hati seperti disayat pisatu, Bu Kie berdiri bengong. Ia ingat, bahwa sebab musabab terutama yang menyebabkan pembunuhan diri dari kedua orang tua nya adalah karena merasa berdosa terhadap Sam su peh itu. Kini paman keenam mendapat kecelakaan yang serupa. Jika ia tidakmemaksa supya Siauw Lim Pay mengeluarkan orang yg berdosa, cara bagaimana ia bisa menunaikan tanggung jawabnya terhadap paman Jie dan paman In itu" Cara bagaimana ia bisa berhadapan dengan roh kedua orangtuanya di alam baka"
Ia sekarang menghadapi persimpangan jalan. Jalanan mana yg harus diambil" Sambil menggendong tangan, ia menyingkir diri dari rombongannya, ia ingin perig ketempat yg sepi untuk merenungkan persoalan itu semasak2 nya. Ia menaik keatas sebuah bukit kecil daj lalu duduk disitu. Dua rupa pikiran berkelahi dalam otaknya. Apakah ia harus pergi kekuil Siauw Lim Sie untuk mencari musuh besar itu. Kalau Siauw Lim Sie suka menyerahkan orang yg berdosa urusan akan menjadi bersampai disitu. Tapi jika Siauw Lim Sie menolak, bukankah Beng Kauw dan Bu tong pay akan bermusuhan dengan partai itu" Bersama2 para anggota Beng Kauw, ia sudah bersumpah untuk tidak bermusuhan lagi dengan keenam partai. Sekarang karena urusan pribadi, ia mesti melanggar sumpahnya sendiri. Dengan membuat begitu, cara bagaimana supaya busa menalukkan orang banyak" Disamping itu kalu permusuhan dimulai lagi, balas membalas akan berlangsung terus. Dari satu kelain urusan, darah akan terus mengucur. Berapa banyak orang akan mengorbankan jiwa karena itu.
Siang sudah terganti dengan malam. Para anggota Beng Kauw sudah menyalakan api unggun dan menanak nasi, tapi Bu Kie masih tetap duduk di atas bukit. Sampai tengah malam barulah ia bisa mengambil keputusan. Biarlah pergi ke Siauw Lim Sie dan menemui Kong Bun Seng ceng, katanya di
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dalam hati. "Aku akan menceritakan segala kejadian dan meminta keadilan." Tapi dilain saat ia mendapat lain ingatan. "Kalau sampai bertengkar, akupun mesti bertempur. Bagaimana jika terjadi kejadian itu?" Ia menghela napas dan lalu berbangkit.
Bu Kie masih berusia muda dan baru saja memikul beban berat, ia sudah harus menghadapi cengkraman yg sangat sulit. Pada hakekanya persoalan itu belu tentu segera dipecahkan secara memuaskan biarpun oleh orang tua yg berpengalaman. Disatu pihak ia ingin menghentikan permusuhan, tapi dilain pihak perbuatan musuh adalah sedemikian ganas dan sakit hati adalah sedemikian besar, sehingga tidak dapat dibiarkan begitu saja. Karena maunya nasib, tanpa bisa menolak lagi ia terpaksa menduduki kursi Kauw Cu dari Beng Kauw, sehingga oleh karenanya, ia mesti menghadapi macam2
kesulitan. Dengan pikiran kusut perlaha2 ia kembali ke rombongannya. Biarpun sangat lapar, tak seorangpun berani makan dahulu. Ia merasa tidak enak hati dan berkata dengan suara menyesal, "Kalian janganlah menunggu aku. Lain kali makanlah terlebih dahulu." Sehabis berkata ia pergi menengok In Lie Heng.
Paman itu sedang diberi minum kuah daging oleh Poet Hwie yg sudah mencuci bersih luka2nya dengan air hangat. In Liok hiap masih belum sadar. Tiba2 ia mengawasi nona Yo dan berteriak,
"Siauw Hae Moay, siang malam aku memikirkan kau! Apa kau tahu?"
Paras muka Poet Hwie berubah merah. Ia mengangsurkan sesendok kuah dan berbisik, "Minumlah."
"Lebih dahulu kau harus berjanji, bahwa kau tidak akan berlalu lagi dan disampingku untuk selama2nya," kata Lie Heng.
"Baiklah, tapi minumlah dulu," kata si nona.
In Liok hiap kelihatan puas. Ia segera meneguk kuah yg diangsurkan kemulutnya.
Pada esok harinya, Bu Kie mengeluarkan perintah, supaya rombongannya menuju siauw Lim Sie di Siong san untuk menanyakan siapa yg mencelakai In Lie Heng.
Wie It Siauw, Ciu Tian dan yg lain2 adalah jago-jago ksatria. Melihat penderitaan In Leng Heng, di dalam hati mereka merasa panas. Maka itu, perintah Bu Kie untuk pergi ke Siauw Lim Sie guna membuat perhitungan sudah disambut dengan sorak sorai. Diantara mereka hanialah Yo Siauw yg tidak buka mulut. Akan tetapi, semenjak terjadinya peristiwa dengan Kie Siauw Hu, hatinya selalu merasa tidak enak. Ia merasa berdosa terhadap In Lie Hong. Maka itu selain memberi bisikan supaya putrinya merawat sebisa2, ia diam2 mengambil keputusan untuk menggunakan seantero tenaga guna membalas sakit hati In Liok Hiap.
Pada suatu hari, rombongan itu tiba di Giok Boan Kwau. Beberapa orang segera diperintahkan membeli kuda2 tunggangan. Selama dalam perjalanan, In Lie Heng sebentar ingat, sebentar lupa. Ia belum bisa menjawab pertanyaan Bu Kie secara tegas. In hanya berkata, "Aku dikepung oleh lima pendeta Siauw Lim Pay. Mereka menyerang aku dengan ilmu silat Siauw Lim Pay. Tak bisa salah lagi."
Supaya tidak menyolok mata, rombongan Bu Kie menyamar sebagai kaum pedagang. Pagi itu mereka berangkat dan mengambil jalanan raya Kim Liang. Sesudah berjalan kira2 dua jam, hawa udara yaitu berubah sangat panas. Untung jg, tak lama kemudian di sebelah kejauhan terlihat deretan pohon2 Hu yg sangat besar, semuanya kurang lebih dua puluh pohon. Mereka girang dan buru-buru menuju pohon2 itu untuk mengaso.
Ketika mereka tiba, dibawah pohon sudah berduduk sembilan orang lain. Yang delapan terdiri dari pria bertubuh kasar yg mengenakan pakaian pemburu dengan golok dipinggang dan busur serta anak panah dipunggungnya. Mereka membawa lima enam ekor elang yg berbulu hitam dan bercakar tajam. Elang2
itu bisa diginakan untuk membantu dalam pemburuan. Yang seorang adalah lain dari yang lain. Dia kelihatannya seperti seorang pemuda sasterawan yg lemah lembut, seorang kong cu yg tampan. Ia memegang kipas bergagang batu giok dan tanggannya yang putih tiada bedanya dari giok yg putih itu (Kong cu " putra seorang berpangkat atau sastrawan).
Tapi pada saat itu, mata semua orang ditujukan kepinggang si kongcu rempan, karena pada pinggang itu tergantung sepasang pedang yg gagangnya diukir dengan huruf "Ie Thian". Bentuk dan panjangnya pedang itu bersamaan dengan Ie Thian kiams milik Biat Coat Suthay.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semua orang kaget bukan main. Cu Tiam yg berangasan tidak dapat menahan sabar lagi. Tapi baru saja bibirnya bergerak untuk mengajukan pertanyaan, disebelah sekonyong2 terdengar suara kuda yg sangat ramai, diiring dengan teriakan2 menyayat hati.
Semua orang menengok kearah timur. Tak lama kemudia mereka lihat sepasukan serdadu Goan, yg berjumlah kira2 limapuluh orang. Tiba2 semua orang melupa darahnya. Mengapa" Karena serdadu Goan itu menyeret seratus lebih wanita Han yang diikat dan diranteng kan dengan tambang. Beberapa antaranya sudha tidak kuat berjalan lagi, tapi terus diseret dengan kejam. Ratapan mereka sangat memilukan hati.
Semua anggota Beng Kauw merah matanya. Tangan mereka meraba pinggang. Mereka hanya menunggu perintah untuk menerjang.
Sekonyong2 si kongcu berkatar, "Li "ok Po, suruh mereka lepaskan wanita2 itu!" suaranya nyaring empuk, suara seorang wanita.
"Baik!" jawab salah seorang pria yg lantas membuka tambang tambatan kuda disebuah pohon. Ia melompat kepunggung kuda yg lalu dilarikan kearah pasukan Goan yg sedang datang. "Hei! Mengapa kau bikin ribut2 ditengah hari bolong!" teriaknya. "Apa kamu tak punya pembesar yg mengurus kamu"
Hayo, lepaskan wanita2 itu!"
Seorang yg mengenakan pakaian pembesar majukan tungganggannya. Ia tertawa cekakakan, "Berani sungguh kau campur tangan urusan tuan besarmu!" bentaknya. "Apa kau sudah bosan hidup?"
"Kaulah yg bosan hidup! Sebentar kau akan bertemu dengan Giam Loo Ong," kata pria itu dengan suara dingin.
Dengan rasa heran, pembesar Goan itu mengawasi orang2 yg sedang meneduh dibawah pohon. Ia merasa sangat heran akan keberanian orang itu. Mendadak ia lihat dua butir mutiara sebesar buah lengkeng diikat kepala si kong cu tampan. Rasa serakahnya lantas saja muncul. Sambil majukan tunggangannya kearah kongcu, ia menyeringai dan berkata. "Siangkong, paling benar kau ikut aku. Aku tanggung kau akan memperoleh banyak keuntungan."
Mendengar perkataan itu, alis si kongcu berdiri, "Binatang!" bentaknya. "Turun tangan! Satupun tak boleh diberi ampun!"
"Sret!" sebatang anak panah menancap di ulu hati pembesar Boan itu yg lantas saja roboh tanpa bersuara lagi. Anak panah itu dilepaskan oleh seorang pemburu yg berada didekatnya. Dilihat dari cara melepaskan anak panah itu dan tenaga yg menyertainya, sudah terang orang itu bukan pemburu biasa.
Dilain saat, anak panah menyambar nyambar bagaikan hujan gerimis, setiap batang selalu tepat pada sasaran.
Tapi biar bagaimanapun jua, serdadu2 Boan tidak boleh dipandang enteng. Sesudah kagetnya hilang, mereka segera melawan dengan nekad, anak panah dibalas dengan anak panah. Melihat perlawanan, delapan pemburu itu segera melompat naik ke punggung kuda dan menerjang bagaikan angin puyuh.
Dalam sekejap, tigapuluh lebih serdadu Goan sudah roboh tak bernyawa. Melihat gelagat tidak baik, yang lainnya lantas saja terus melepaskan anak panah, sehingga pada akhirnya, sesudah mengejar kira2 dua li, mereka berhasil membinasakan semua musuh. Tak satupun diberi ampun.
Sesudah itu, dengan sikap acuh tak acuh si kong cu tampan melompat keatas punggung tunggangannya dan berlalu tanpa menengok lagi.
"Hei! Tahan dulu!" teriak Ciu Tian. "Aku mau bicara dengan kau," Tapi si kongcu tidak meladeni. Ia berjalan terus dengan diiringi oleh kedelapan pemburu.
Kalau mau, dengan menggunakan ilmu peringan badan, Bu Kie dan yg lain2 masih bisa menyusul sembilan orang itu. Tapi sebab menghormati perbuatan orang2 itu, biarpun mereka heran, mereka sungkan melanggar adat. Mereka coba menduga2, tp tak bisa meraba siapa adanya orang2 itu.
"Kong cu itu terang2an seorang wanita yg menyamar sebagai pria," kata Yo Siauw. "Delapan orang yg menggenakan pakaian pemburu rata2 berkepandaian tingi dan mereka bersikap hormat terhadap si kongcu. Kepandaian mereka dalam melepaskan anak panah sangat luar biasa dan dilihat dari gerak gerik nya, mereka bukan orang2 dari salah sebuat partai di wilayah Tiong goan."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sementara itu, Yo Poet Hwie dan sejumlah anggota2 Houw Touw Kie memberi hiburan kepada para wanita yang baru terlepas dari bahaya. Atas pertanyaan, mereka menerangkan, bahwa mereka adalah penduduk dari tempat sekitar daerah tersebut. Dari saku mayat serdadu2 Goan, Poet Hwie mengumpulkan emas, perah dan lain2 barang yg berharga yg lalu dibagikan kepada wanita2 itu, yg kemudia diperbolehkan pulang ke masing2 rumahnya.
Sesudah beres rombongan Bu Kie lalu meneruskan perjalanan. Selama beberapa hari tak lain yg merek bicarakan drpd pembasmian pasukan Goan yg dilakukan oleh kesembilan orang itu. Sebagaimana biasanya orang gagah menghormati orang gagah. Mereka merasa menyesal, bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengikat tali persahabatan dengan orang2 itu.
"Yo Heng," kata Ciu Tian kepada Yo Siauw, "Puterimu adalah seorang yg sangat cantik. Tapi kalu dibandingkan dengan sinona yang menyamar sebagai lelaki, ia kalah jauh."
"Benar," kata Yo Siauw. "Jika mereka bersedia untuk masuk kedalam agama kita kedudukan delapan pemburu itu akan lebih tinggi dari pada Ngo Sian Jin."
Ciu Tian meluap darahnya. "Omong kosong," bentaknya. "Apa keistimewaannya ilmu melepaskan anak panah dari atas kuda" Kau boleh suruh mereka coba2 bertanding dengan Ciu Tian."
"Kalau mesti bertempur melawan Cio Heng, tantu saja mereka akan kalah," jawab Yo Siauw. "Tapi jika dilihat kepandaian mereka kurasa mereka lebih tinggi setingkat dari pada saudara Leng Kiam."
Dengan berkata begitu Yo Siauw memberi ejekan yg terlebih hebat, karena diantaranya Ngo sian jin, Leng Kiam Lan yang ilmu silatnya paling tinggi. Ciu Tian dan Yo Siauw memang tak begitu akur.
Sekarang meskipun bermusuhan secara terang2an tapi tiap kali mendapat kesempatan, Ciu Tian selalu menggunakan kesempatan untuk mengejek. Mendengar kata2 yg menghina Ngo Sian Jie ia jadi makin gusar. Tapi sebelum dia membalas, Paeng Eng Giok sudah mendahului dengan berkata sambil tertawa,
"Ciu beng sekali lagi kau ke dijebak Pe Co Cu. Ia sengaja ingin membangkitkan hawa marahmu."
Ciu Tian tertawa terbahak2, "Tidak aku tidak gusar," katanya. "Apa yg bisa perbuat terhadapku?"
Semua orang tertawa. Mereka mengenal kawan itu yang otak2kan dan yg belum pernak menang dalam mengadu lidah melawan Yo Siauw.
Dengan diobati dan diawasi oleh Bu Kie sendiri selama beberapa hari In Lie Heng sudah banyak lebih baik dan peringatannya sudah pulih kembali. Ia mengatakan bahwa sesduah turun dari Kong Beng Teng pada hari itu ia kesasar. Delapan sembilan hari ia berputar2 di gurun pasir. Waktu ia bertemu dengan jalanan yg benar, saudara2 nya sudha jauh sekali dan tidak dapat disusul. Pada suatu hari, ia berpapasan dengan serombongan pendeta Siauw Lim yg lantas menyerang tanpa menegur lagi. Ia berhasil merobohkan empat orang, tapi sebab musuh berjumlah lebih banyak lebih besar, akhirnya ia kena dijatuhkan pula. Ia memastikan, bahwa ilmu silat pendeta2 itu adalah ilmu silat Siauw Lim Pay.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 46 Karya Chin Yung

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

================ Menurut dugaannya rombongannya itu merupakan bala bantuan yang datang belakangan, sebab ia melihat mereka waktu berada di Kong beng teng. Ia sendiri tak bisa menebak, mengapa mereka turunkan tangan beracun itu. Sekian antara lain penuturan In Lie-Heng. Selama dalam perjalanan, Poet Hwie merawat Lie Heng dengan telaten. Si nona tahu, bahwa mendiang ibunya telah mengecewakan pendekar Bu tong itu. Melihat keadaan orang tua itu yang sangat menyedihkan, rasa kasihannya jadi semakin besar.
Hari itu di waktu magrib, rombongan Bu Kie Eng teng. Dari Eng teng mereka membedal kuda, sebab ingin buru-buru tiba di Kang shia cu untuk menginap. Sekonyong konyong dari kejauhan mendatangi dua penunggang kuda. Dalam jarak beberapa puluh tombak, mereka melompat turun dan berdiri di pinggir jalan dengan sikap hormat.
Bu Kie dan yang lain lain segera mengenali, bahwa mereka itu adalah orang orang yang turut membasmi tentara Goan. Dengan girang para pemimpin Beng kauw segera turun dari tunggangannya mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kedua orang itu menghampiri Bu Kie dan memberi hormat dengan membungkuk. "Orang atasan kami sangat luhur dari Thio kiauw cu" kata salah seorang. "Maka itu siauw jin diperintah untuk mengundang kalian datang di tempat kami untuk mengutarakan rasa hormatnya."
Bu Kie membalas hormat. "Tidak berani kami menerima kehormatan yang begitu besar," katanya.
"Bolehkan aku mendapat tahu she dan nama yang mulia dari atasan kalian?"
"Ia she Tio," jawabnya. "Tanpa diberi permisi aku tak berani beritahukan nama nonaku kepada Kauw cu."
Mendengar pengakuan orang itu, bahwa si kong cu adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Semua orang jadi girang, sebab hal itu membuktikan, undangan nona Tio keluar dari hati yang setulusnya.
"Sedari menyaksikan cara kalian melepaskan anak panah, dengan rasa kagum setiap hari kami membicarakan ilmu malaikat itu," kata Bu Kie, "Hari ini kami merasa sangat beruntung, bahwa kalian sudi mengikat tali persahabatan dengan kami semua."
"Kalian adalah orang orang gagah sejati pada jaman ini", kata orang itu. "Hari ini secara kebetulan kalian lewat di tempat kami. Maka itu, mana bisa kami menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajak kalian meneguk tiga cawan arak?"
Bu Kie jadi girang. Ia bukan saja ingin bersahabat dengan orang-orang itu, tapi juga ingin menyelidiki pedang Ie thian kiam yang tergantung di pinggang si kong cu tampan. Maka itu lantas saja berkata,
"Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat."
Dengan girang kedua orang itu melompat ke punggung kuda dan jalan lebih dahulu sebagai penunjuk jalan. Baru berjalan kira-kira satu li mereka dipapak oleh kedua orang lain.
Jauh-jauh kedua orang itu juga anggota dari Sin-cian Pat-hiong (delapan jago yang bisa melepaskan anak panah bagaikan malaikat) sudah turun dari tunggangannya dan menunggu di pinggir jalan. Sesudah berjalan kurang lebih satu li lagi, mereka disambut oleh empat anggota lain dari Sin cian Pat hiong.
Melihat penyambutan yang begitu sungguh-sungguh, para pemimpin Beng Kauw menjadi girang.
Tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah perkampungan besar yang dikitari dengan sebuah sungai dan di pinggir sungai dengan berderet-deret pohon-pohon lioe hijau (leklioe). Melihat pemandangan Kang lam di daerah Kam liang, para orang gagah terbangun semangatnya.
Hampir berbareng dengan tibanya rombongan Bu Kie, pintu tengah dari perkampungan itu terbuka dan sebuah jembatan gantung diturunkan. Seorang gadis yang mengenakan pakaian lelaki keluar dengan tindakan lebar dan seraya memberi hormat dengan membungkuk ia berkata, "Kami merasa sangat beruntung, bahwa para orang gagah dari Beng Kauw hari ini datang berkunjung pada Liok lie San cung.
Thio Kauw-cu selamat bertemu dan masuklah! Yo su-cian! In Loocian pwee! Wie Hok ong?" Ia menegur setiap orang dan menyebutkan nama-nama dengan tepat sekali, sehingga tak usah diperkenalkan lagi.
Bukan saja begitu, ia bahkan tahu runtunan tinggi rendahnya kedudukan para pemimpin Beng kauw itu.
Semua orang kaget. Si sembrono Ciu Tian tak tahan untuk membuka mulut. "Siocia, bagaimana kau tahu nama-nama kami yang rendah?" tanyanya. "Apakah kau mahir dalam ilmu petang petangan?"
Tio Siocia bersenyum. "Siapa yang tidak mengenal nama para pendekar Beng kauw yang menggetarkan dunia Kang ouw?" katanya. "Dalam pertempuran di Kong beng teng, dengan sin kang yang sangat tinggi Thio Kauw cu telah menundukkan enam partai besar. Kejadian luar biasa ini dengan cepat sudah diketahui oleh seluruh Rimba Persilatan. Dalam perjalanan kalian ke wilayah Tionggoan, entah berapa banyak sahabat Rimba Persilatan akan menyambut kalian. Dalam penyambutan ini, aku yang rendah tentu tak mau ketinggalan."
Para jago itu merasa, bahwa si nona bicara sebenarnya, tapi mereka lantas merendahkan diri. Sesudah itu, Bu Kie lalu menanyakan nama-nama Sin cian Pat hiong.
"Aku yang rendah Tio It Siang" jawab salah seorang yang bertubuh tinggi besar. "Yang itu Cian Jie Pay, yang ini Sun Sam Wie. Itu Lie-Sie Cut, Ciu Ngo Siok, Gauw Liok Po, The Cit Biat, dan yang itu yang paling belakang, Ong Pat Swee."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semua orang terkejut. She dari kedelapan orang itu adalah menurut runtunan dari she yang terdapat dalam buku Pek kee she (she seratus keluarga), yaitu "Tio, Cian, Sun, Lie, Ciu, Gouw, The dan Ong." Di samping itu, nama2 merekapun sangat luar biasa sehingga dapatlah diduga, bahwa nama-nama mereka bukan nama sejati. Akan tetapi, digunakannya nama samaran dalam dunia Kang-ouw adalah kejadian yang biasa, sehingga Bu Kie pun tak mendesak terlebih jauh.
Dengan manis budi, Tio Siocia mengajak tamu-tamunya masuk ke ruangan tengah. Di tengah-tengah ruangan itu tergantung sebuah gambar Pat cun touw (delapan kuda) yang sangat indah lukisan Tio Beng Siauw. Kedelapan kuda itu dilukiskan dalam rupa-rupa sikap yang angker serta garang. Dinding sebelah kiri dipasang selembar sutera yang sangat lebar dengan tulisan yang berbunyi seperti berikut:
"Bianglala putih terbang ke angkasa
Ular hijau bersuara di dalam kotak
Pedang diasah supaya tajam;
Rembulan naik mendekati pintu
Pedang bisa membabat awan di luar langit
Pedang bisa menerjang mencari di angkasa
Pedang menikam perut siluman
Pedang menyabet kepala pengkhianat
Aku bersembunyi untuk menjauhi siluman
Janganlah mengganggu aku, seorang wanita
Pedang harus disimpan untuk membunuh Kauw,
Jangan dijajal untuk "membacok anjing"
Di bawah sajak itu terdapat tulisan dengan huruf-huruf kecil seperti ini.
"Di waktu malam aku menjajal It-thian Po kiam.
Pedang itu sungguh2 senjata mustika
Maka itu aku menulis sajak Swee kiam untuk memujinya Pian liang Tio Beng.
Semua huruf itu indah dan angker, seakan naga atau burung Hong. Ayahanda Bu Kie seorang sasterawan dan ia sendiri mempunyai pengetahuan lumayan dalam Su hoa (seni menulis huruf indah).
Melihat bahwa dalam keangkerannya, huruf itu mempunyai sifat yang ayu, ia segera mengetahui bahwa penulisnya bukan lain daripada nona Tio sendiri. Ilmu surat Bu Kie tidak tinggi, tapi karena arti sajak itu tak terlalu mendalam, ia masih bisa mengerti bunyinya.
"Dilihat begini, It thian kiam benar berada dalam tangannya," katanya di dalam hati. "Dalam sajak itu ia mengatakan, bahwa pedang menikam perut siluman, pedang menyabet kepala pengkhianat. Kata-kata ini menunjuk bahwa ia memiliki jiwa ksatria. Tapi pernyataannya bahwa pedang harus disimpan untuk membunuh kauw, jangan dijajal untuk membacok anjing, menunjukkan kesombongan. Pian liang Tio Beng kalau begitu ia orang Pian liang, she Tio bernama Beng." Memikir begitu, ia lantas saja berkata,
"Tio kouw nio bun bu coan cay. Aku sungguh merasa sangat kagum. Kalau begitu nona berasal dari keluarga sasterawan di ibukota jaman yang lampau."
Si nona bersenyum. "Ayahanda Thio Kauwcu yang bergelar Gin kauw Tiat hoa itu barulah merupakan seorang sasterawan kelas satu" katanya.
"Thio Kauw cu sendiri tentunya memiliki ilmu surat turunan. Sebentar aku ingin memohon supaya Thio Kauw cu suka menulis sebuah sajak."
Paras muka Bu Kie lantas saja berubah merah. Waktu baru usia sepuluh tahun kedua orang tuanya meninggal dunia dan ia belum keburu belajar banyak dari mendiang ayahnya. Belakangan ia belajar ilmu ketabiban dan ilmu silat, sedang pengetahuannya dalam ilmu surat dapat dikatakan masih cetek sekali.
Maka itu, ia lantas saja berkata, "Kalau Kauw nio meminta aku menulis sajak seperti juga kau minta jiwaku. Sian hu (mendiang ayahku) meninggalkan aku selagi aku masih kecil dan aku belum keburu memetik pelajarannya. Dalam hal ini, sungguh merasa sangat malu."
Begitu lekas semua tamu duduk, pelayan segera menyuguhkan the.
Dengan rasa heran, Yo Siauw dan kawan-kawannya mengawasi cangkir teh. Dalam cangkir-cangkir itu yang berwarna hijau mengambang daun teh Liong ceng yang masih segar dan yang menyiarkan bebauan sedap. Liong ceng adalah teh keluaran Kang lam dan tempat dimana mereka terpisah ribuan li dari Kang lam. Cara bagaimana si nona bisa mendapatkan daun the Liong ceng yang masih segar.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tio Beng mengangkat cangkirnya terlebih dahulu, meneguk isinya dan kemudian mengundang para tamunya minum. Sesudah beromong-omong beberapa saat, ia berkata, "Kalian datang dari tempat jauh dan untuk pelayanan yang serba kurang ini, aku minta kalian suka memaafkan. Mungkin sekali kalian sudah lapar dan aku mengundang kalian makan saja disini seada-adanya." Seraya begitu tanpa menunggu jawaban, ia berbangkit dan mengajak para tamunya masuk ke dalam. Sesudah melewati beberapa lorong dan bangunan, tibalah mereka di sebuah taman bunga.
Taman bunga itu yang sangat luas dihias dengan gunung-gunungan batu dan empang-empang. Pohon-pohon kembangnya tidak banyak, tapi diatur secara indah sekali. Bu Kie sendiri tidak dapat menghargai keindahan taman itu, tapi Yo Siauw, begitu melihatnya lantas saja manggut-manggutkan kepalanya dan di dalam hati ia mengakui, bahwa majikan taman itu benar-benar bukan sembarangan orang.
Di tengah-tengah Sui kok (semacam pendopo yang dikitari air) sudah dipasang dua meja perjamuan.
Tio Beng segera mengundang Bu Kie dan para pemimpin Beng kauw berduduk di kursi kedua meja itu, sedang Sin cian Pat hiong Tio It Siang, Cian Jie pay dan enam kawannya menemani para anggota Beng kauw di ruangan samping. In Lie Heng sendiri yang belum bisa bergerak disuapi dan dilayani oleh Poet Hwie dalam sebuah kamar.
Sesudah meneguk kering secawan arak, Tio Beng berkata, "Inilah Lie tin cu dari Siauw lin yang tuanya sudah delapan belas tahun. Minumlah!"
Yo Siauw, Wie It Siauw, In Thian Ceng dan yang lain-lain percaya, bahwa nona Tio adalah seorang pendekar wanita. Tapi mereka tetap berhati-hati. Mereka memperhatikan poci dan cawan arak yang bebas dari tanda-tanda mencurigakan. Sesudah Tio Siocia menceguk araknya, barulah semua kesangsian hilang dan mereka lalu mulai makan minum dengan gembira.
Dahulu, anggota Beng kauw dilarang meminum arak atau makan makanan berjiwa. Tapi sedari jaman Cio Kauw cu, peraturan itu dirubah dan larangan dicabut. Sesudah pusat Beng kauw dipindahkan ke gunung Kun lun san, daging dan minyak jadi lebih perlu lagi untuk menahan hawa yang dingin.
Di empang seputar Sui kok terdapat tujuh-delapan pohon bunga yang menyerupai Cui-sian, tapi banyak lebih besar dari Cui-sian dan kembangnya yang berwarna putih menyiarkan bau yang sangat harum.
Nona Tio pandai bergaul dan ia beromong-omong secara bebas. Ia menceritakan banyak kejadian dalam Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan, beberapa di antaranya bahkan tidak diketahui oleh orang-orang yang berpengalaman seperti In Thian Ceng dan puteranya.
Tentang Siauw lim, Go-bie dan Kun-lun tidak banyak dibicarakan olehnya, tapi terhadap Tio Sam Hong dan Bu-tong Cit-hiap, ia mengutarakan rasa kagumnya. Setiap pujian yang diberikan bukan umpakan kosong, tapi pujian tepat yang berdasarkan kenyataan.
Bu Kie dan yang lain-lain merasa senang sekali dan takluk akan pengetahuan si nona yang sangat luas.
Tapi kalau mereka balas menanyakan siapa gurunya, Tio Beng hanya tertawa. Ia tidak menjawab atau memutar pokok pembicaraan ke jurusan lain.
Dengan beruntun nona Tio sudah mengeringkan beberapa cawan. Setiap piring sayur yang disuguhkan, ia selalu memakannya terlebih dahulu, sehingga hilanglah segala kecurigaan yang masih terdapat dalam hati para pemimpin Beng kauw. Karena pengaruh arak, kedua pipi si nona bersemu dadu, sehingga ia kelihatannya lebih cantik lagi dan dalam kecantikannya terdapat hawa keangkeran dan kegagahan yang membangkitkan rasa hormat dalam hati semua orang.
"Tio Kouw-nio, kami merasa sangat berterima kasih untuk penyambutanmu yang ramah tamah ini,"
kata Bu Kie. "Aku yang rendah sebenarnya ingin mengajukan sebuah pertanyaan, tapi aku tidak berani membuka mulut."
"Mengapa Thio Kauwcu menganggap aku sebagai orang luar?" kata si nona. "Kita semua sama-sama berkelana dalam dunia Kangouw. Kata orang: Umat manusia di empat lautan adalah masih saudara. Jika kalian tidak mencela, siauw-moay ingin sekali mengikat tali persahabatan dengan kalian. Kalau Kauwcu memerlukan suatu keterangan, asal saja siauw-moay tahu, siauw-moay pasti akan memberi penjelasan dengan seterang-terangnya."
"Kalau begitu baiklah," kata Bu Kie. "Apa yang ingin aku menanyakan ialah, darimana Tio Kauw-nio mendapat Ie-thian Po kiam itu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tio Beng bersenyum. Ia membuka pedang dari pegangannya dan menaruhnya di atas meja. "Semenjak bertemu tak henti2nya kalian mengawasi pedang ini," katanya. "Mengapa begitu" Apakah Kauw cu bisa memberitahukan sebab musababnya?"
"Ie thian kiam adalah milik Biat coat Suthay dari Go bie pay," jawabnya. "Saudara2 dari agama kami banyak sekali yang binasa di bawah pedang itu. Dadaku sendiri pernah ditikam dengan pedang itu, sehingga hampir2 jiwaku melayang. Itulah sebabnya mengapa kami sangat memperhatikannya."
"Thio Kauw cu mempunyai Sin kang yang tiada tandingannya dalam dunia ini," kata Tio Beng.
"Menurut cerita orang, dengan menggunakan Kian kun Tay lo ie, Thio Kauwcu telah merampas Ie thian kiam dari tangan Biat coat Suthay. Bagaimana Kauw cu sampai kena dilukai" Selanjutnya siauw moay dengar, bahwa yang melukai Kauw cu adalah seorang murid wanita Go bie pay yang ilmu silatnya tak seberapa tinggi. Hal ini dengan sesungguhnya tidak dapat dimengerti olehku." Ia mengucapkan kata2 itu sambil mengawasi Bu Kie dengan sorot mata tajam, sedang di kedua ujung bibirnya tersungging senyuman, tapi bukan senyuman biasa.
Paras muka Bu Kie lantas saja berubah merah. "Dari mana dia tahu kejadian itu?" tanyanya di dalam hati. Dengan paras jengah ia menjawab, "Serangan itu datang dengan tiba-tiba, sedang aku sendiri kurang waspada."
"Kalau tak salah, Ciu Cie Jiak Ciu Cie cie cantik luar biasa" kata pula si nona sambil tertawa.
"Bukankah begitu?"
Selebar muka Bu Kie jadi makin merah. "Ah! Kau suka sekali berguyon" katanya. Ia mengangkat cawan, tapi sebelum menceguk isinya tangannya bergemetar sehingga sebagian arak tumpah membasahi tangan bajunya.
Si nona bersenyum dan berkata. "Siauw moay tak kuat minum, kalau minum lagi mungkin sekali siauw moay akan melanggar adat. Sekarang saja siauw moay sudah mengeluarkan kata-kata yang tak pantas. Siauw moay ingin minta permisi untuk masuk sebentar guna menukar pakaian dan akan segera kembali. Kalian jangan berlaku sungkan dan makanlah secara bebas." Seraya berkata begitu, ia berbangkit dan sesudah memberi hormat, ia bertindak keluar dari Sui-kok. Pedang Ie thian-kiam ditinggalkan di atas meja.
Sementara itu, para pelayan terus mengeluarkan piring-piring makanan.
Para pemimpin Beng kauw saling mengawasi dan lantas berhenti makan. Lama juga mereka menunggu, tapi Tio Beng belum juga kembali.
"Dengan meninggalkan pedangnya, ia kelihatannya menaruh kepercayaan penuh atas diri kita," kata Cio Tian sambil menjemput pedang itu. Tiba2 ia mengeluarkan seruan kaget. "Mengapa begini enteng?"
tanyanya. Ia memegang gagangnya dan menariknya. Tiba2 jago-jago itu serentak bangkit dan mengawasinya dengan mata membelalak. Mengapa" Karena pedang itu bukan terbuat daripada logam tapi hanya sebatang pedang kayu! Badan pedang yang ke-kuning2an mengeluarkan bau harum dari kayu garu.
Dengan bingung Ciu Tian memasukkannya lagi ke dalam sarung. "Yo" Yo" Co su" permainan apa yang sedang dilakukan ini?" tanyanya dengan suara terputus-putus. Biarpun sering bertengkar dengan Yo Siauw, di dalam hati ia selalu mengakui kecerdasan Co cu itu, sehingga dalam bingungnya tanpa merasa ia mengajukan pertanyaan tersebut.
Dengan paras muka berkuatir Yo Siauw berbisik, "Kauw cu, sepuluh sembilan Tio siocia mengandung maksud yang kurang baik. Kita sekarang berada di tempat bahaya dan jalan yang paling baik ialah menyingkir se-cepat-cepatnya."
"Takut apa?" bentak Ciu Tian. "Kalau mereka main gila, apakah kita yang berjumlah begini besar, masih tak cukup untuk menghajarnya?"
"Sedari masuk di Lek lioe-chung, aku merasa tempat ini diliputi dengan teka-teki," kata Yo Siauw tanpa meladeni Ciu Tian. "Mau dikata tempat orang baik-baik kelihatannya bukan tempat orang baik-baik. Mau dikata sarang penjahat, bukan sarang penjahat. Aku tidak dapat menerka tempat apa sebenarnya Lek lioe chung ini. Biar bagaimanapun jua, aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa kita sekarang berada di tempat yang sangat berbahaya, Kauw cu sebaiknya kita angkat kaki."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Yo Co cu, kau benar," kata Bu Kie. "Sekarang saja kita berpamitan." Seraya berkata begitu, ia berbangkit.
"Kauw cu, apakah kau tak mau menyelidiki kemana perginya Ie-thian kiam yang tulen?" tanya Tiat-koan Too-jin.
"Menurut pendapatku, semua teka-teki ini telah diatur oleh Tio-su-cia," kata Pheng Eng Giok. "Dia pasti mempunyai maksud tertentu. Andai kata kita tak cari dia, dia tentu akan cari kita."
"Tak salah," katanya. "Kita harus menggunakan siasat. Menguasai lawan dengan bertindak belakangan, menunggu letihnya musuh dengan menyembunyikan diri."
Semua orang lantas saja meninggalkan Sui-kok, kembali ke toa thia dan meminta supaya beberapa pegawai yang bertugas disitu melaporkan kepada nona Tio, bahwa para tamu dari Beng kauw menghaturkan terima kasih dan berpamitan.
Tio Beng buru-buru keluar. Ia sekarang mengenakan baju dari sutera kuning, sehingga kelihatannya jadi lebih ayu lagi. "Baru saja kita bertemu, mengapa kalian sudah mau berangkat lagi?" tanyanya.
"Apakah penyambutan siauw-moay tidak memuaskan?"
"Janganlah Kauw-nio mengatakan begitu," jawab Bu Kie. "Kami sangat merasa berterima kasih atas budi kecintaan Kauw-nio. Mana bisa jadi kami mencela kesambutan yang begitu ramah tamah" Kami perlu segera berangkat sebab mempunyai tugas yang sangat penting. Di belakang hari kita pasti akan bertemu lagi."
Bibir si nona bergerak, ia seperti mau bersenym, tapi bukan bersenyum biasa. Ia mengantar semua tamunya sampai di pintu depan, sedang Sin-cian Pat-hiong berdiri di pinggir jalan dengan sikap hormat.
Sesudah menyoja, Bu Kie dan rombongannya lantas saja melompat ke punggung kuda dan tanpa bicara lagi, mereka melarikan tunggangan-tunggangan itu.
Tidak lama kemudian mereka itu sudah terpisah amat jauh dari Lek-lioe chung dan tiba di sebelah tanah datar dan sepi.
"Nona itu mungkin tak mempunyai maksud jahat," kata Ciu-Tian dengan tiba2. "Bisa jadi, dengan pedang kayu itu ia hanya ingin berguyon dengan Kauw cu, Yo-heng, kali ini kau salah mata."
Yo Siauw tak lantas menjawab. Alisnya berkerut dan beberapa saat kemudian barulah berkata,
"Akupun tak bisa mengatakan, tidak bisa menebak, apa maksud nona itu yang sebenarnya. Aku hanya merasa, bahwa ada sesuatu yang kurang beres."
Ciu Tian tertawa nyaring. "Ha-ha! Yo Co su yang namanya besar, baru saja bergebrak sekali di Kong beng teng sudah berubah menjadi seorang penakut" aduh!..." Badannya mendadak ber-goyang2 dan ia terjungkal dari tunggangannya.
Swee Poet Tek yang berada paling dekat lantas saja melompat turun dan membangunkannya. "Ciu heng, mengapa kau?"
Ciu Tian tertawa. "Tidak" tidak apa-apa," jawabnya. "Sebab minum terlalu banyak, kepalaku agak pusing."
Berbareng dengan terdengarnya perkataan "pusing", paras muka para pemimpin Beng Kauw lantas saja berubah pucat. Sedari meninggalkan Lek-lioe chung, mereka semua memang sudah merasa agak pusing. Karena menganggap bahwa perasaan itu adalah akibat arak, mereka tidak memperdulikan. Tapi Ciu Tia yang terkenal kuat minum dan mempunyai Lweekang tinggi, tak mungkin bisa roboh karena beberapa cawan arak itu. Kejadian ini mesti ada latar belakangnya.
Sambil mendongak mengawasi langit, Bu Kie mengasah otak. Ia mengingat-ingat isi Tok keng dari mendiang Ong Kauw. Racun apakah yang tanpa warna, tanpa rasa dan bau, bisa menerbitkan rasa pusing"
Ia mengingat-ingat kitab itu dari kepala sampai di buntut, tapi tak ada racun yang seperti itu. Makanan dan arak yang dimakannya tidak berbeda dengan arak yang dimakan oleh kawan-kawannya. Mengapa dia sendiri tidak merasai apapun juga" Heran sungguh!
Sekonyong-konyong bagaikan kilat, dalam otaknya berkelebat suatu ingatan. Ia terkesiap parasnya pucat pasi. "Semua orang yang turut makan minum di Sui kok turun" teriaknya dengan gugup. "Duduk
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bersila, tapi sekali-kali tidak boleh mengerahkan khie (hawa). Bernafaslah secara wajar." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula, "Kuminta saudara-saudara dari Ngo heng kie dan Peh bie kie berpencar dan berbaris di empat penjuru untuk menjaga keselamatan para pemimpin kita. Siapapun jua yang mendekati, bunuhlah!" Sesudah Peh bie kauw mempersatukan diri dengan Beng kauw, dengan perkataan "kauw" (agama) dibuang dan diganti dengan "Kie" (bendera).
Anggota keenam bendera itu membungkuk, menghunus senjata dan lalu berpencaran untuk menunaikan tugas yang diberikan oleh sang Kauw cu. "Sebelum aku kembali, kalian semua tidak boleh berkisar dari tempat penjagaan," kata pula Bu Kie.
Semua orang kaget bukan main. Mereka hanya merasai sedikit pusing. Mengapa kauw-cu mereka jadi begitu bingung" "Kalian, dengarlah" kata Bu Kie dengan suara sungguh-sungguh. "Biar bagaimana tidak enakpun, kalian tidak boleh, sekali-kali tidak boleh mengerahkan tenaga dalam. Kalau racun mengamuk tak akan ada obat lagi untuk menolong kalian!"
Semua orang jadi terlebih kaget.
Dalam saat, dengan sekali berkelebat Bu Kie melesat belasan tombak jauhnya. Ia tidak mau menggunakan kuda sebab larinya binatang itu dianggap masih terlalu lambat. Sambil mengempos semangat, dengan ilmu ringan badan yang paling tinggi, ia "terbang" ke Lek hu-chung.
Jarak duapuluh li lebih dilaluinya dalam sekejap mata, bagaikan seekor burung ia masuk ke dalam perkampungan. Para penjaga melihat berkelabatnya satu bayangan. Mereka sama sekali tak menduga, bahwa seorang manusia sudah menerobos masuk dari tempat jaganya.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Bu Kie berlari-lari ke Sui kok. Dari kejauhan ia melihat seorang wanita yang mengenakan baju warna hijau sedang membaca buku sambil minum teh. Wanita itu bukan lain dari Tio Beng.
Mendengar tindakan kaki, si nona menengok dan bersenyum.
"Tio Kauw nio," kata Bu Kie, "aku minta beberapa pohon rumput." Tanpa menunggu jawaban, kakinya menotol tepi empang dan melompat ke Sui kok, badannya melayang di permukaan air, seolah-olah seekor capung. Sambil melayang kedua tangannya mencabut tujuh delapan pohon yang menyerupai pohon bunga Cui sian. Tapi sebelum kedua kakinya hinggap di Sui kok, tiba-tiba terdengar sret" srr"
beberapa senjata rahasia yang sangat halus menyambar dirinya. Dengan sekali mengibas, ia sudah menggulung semua senjata rahasia itu di dalam tadang saku bajunya dan hampir berbareng, ia mengebut Tio Beng dengan tangan baju kiri. Si nona berkelit dan angin kebutan itu sudah melontarkan poci dan cangkir teh yang jatuh hancur.
Sesudah berdiri tegak di lantai Sui-kok, Bu Kie melihat, bahwa pada setiap pohon bunga terdapat ubi sebesar telur ayam, merah. Ia girang sebab obat pemunah racun sudah didapatkan. "Terima kasih untuk obat ini, aku sekarang mau berangkat!" katanya sambil memasukkan pohon-pohon itu ke dalam sakunya.
"Datangnya gampang, perginya mungkin tidak begitu gampang," kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan buku yang dipegangnya seraya menarik keluar dua batang pedang yang tipis bagaikan kertas dari dalam buku itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia menerjang.
Karena memikiri orang-orang yang kena racun, Bu Kie sungkan berkelahi lama-lama. Ia mengibaskan tangan bajunya dan beberapa belas jarum emas milik si nona berbalik menyambar majikannya. Dengan satu gerakan yang sangat indah Tio Beng menyelamatkan diri. "Bagus!" memuji Bu Kie. Dilain detik, si nona sudah mulai menyerang dengan kedua pedangnya.
Sambil mengegos Bu Kie berkata dalam hatinya, "Perempuan ini sungguh kejam. Jika aku tidak memiliki Kioe yang Sin kang dan tidak pernah membaca Tok keng, hari ini jiwa para pemimpin Beng kauw tentu sudah terbinasa di dalam tangannya. Sesudah mengegos, kedua tangannya menyambar untuk merampas senjata si nona. Tapi Tio Beng cukup lihay, ia membalik kedua jari tangannya dan pedangnya memapas jari-jari tangan Bu Kie. Melihat kecepatan si nona Bu Kie merasa kagum. Tapi Sin kang bukan ilmu biasa. Biarpun gagal dalam usaha merampas senjata Sin kang itu sudah mengebut jalan darah di kedua pergelangan tangan Tio Beng, sehingga si nona tidak dapat mencekal lagi senjatanya. Tapi sebelum senjatanya terlepas, bagaikan kilat ia menimpuk. Bu Kie miringkan kepalanya dan kedua pedang itu amblas di tiang Sui kok.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia kaget. Ia kaget bukan lantaran tingginya ilmu si nona. Dalam ilmu silat Tio Beng masih kalah dari Yo Siauw, Wie It Siauw atau In Thian Ceng. Ia kaget sebab kecerdasan nona itu, yang bisa segera mengubah siasat dengan mengimbangi keadaan. Sesudah jalan darahnya dikebut dan ia tidak bisa mencekal lagi senjatanya, ia bisa berpikir cepat dan menimpuk. Kalau Bu Kie kurang gesit, pedang yang sangat tajam itu tentu sudah amblas di batok kepalanya. Dalam pertempuran, sering kejadian bahwa seseorang yang ilmu silatnya lebih rendah berhasil merobohkan seorang yang ilmunya lebih tinggi. Sebab musababnya terletak di sini.
Sesudah kedua pedangnya ditimpukkan, buru-buru Tio Beng menjemput pedang Ie thian kiam kayu yang menggeletak di atas meja. Tanpa menghunusnya, ia menyodok pinggang Bu Kie dengan sarung pedang. Bu Kie berkelit, tangan kanannya menyambar dan kali ini, ia berhasil merampas Ie thian kiam kayu itu.
Tio Beng melompat mundur. "Thio kong cu," katanya sambil tertawa, "apakah itu yang dinamakan Kian kun Tay lo sin kang" Kulihat Sin kang itu sama sekali tidak mengherankan."
Sambil tersenyum Bu Kie membuka telapak tangan kirinya yang ternyata menggenggam sekuntum kembang mutiara, yaitu yang dipakai di kondai si nona.
Tio Beng kaget tak kepalang. "Dia memetik perhiasanku, tanpa aku merasa," katanya di dalam hati.
"Kalau dia mau mencelakai aku, kalau dia itu mau menotok Tay yang hiatku, jiwaku tentu sudah melayang." Tapi, sedang jantungnya memukul keras paras mukanya tidak berubah. Ia tertawa tawar dan berkata, "Jika kau senang dengan kembang itu, aku bersedia menghadiahkan dengan suka rela, tak perlu kau merampasnya."
Bu Kie merasa jengah. "Aku pulangkan," katanya sambil melontarkannya. Sesudah itu ia memutar badan dan melompat ke atas dari Sui-kok.
"Tahan!" seru si nona seraya menyambuti kembang mutiara itu.
Bu Kie menengok. "Mengapa kau curi dua butir mutiara?" tanya Tio Beng.
"Justru aku tak punya waktu untuk berguyon," jawabnya.
Nona Tio mengangkat kembangnya tinggi-tinggi. "Lihatlah!" katanya. "Dua butir mutiara hilang."
Bu Kie melirik dan memang benar dua butir mutiara tidak ada pada tempatnya tapi ia tahu, bahwa kedua mutiara itu sudah sengaja disingkirkan oleh pemiliknya. Ia mengerti, bahwa si nona mau memancingnya untuk menjalankan akal bulusnya lagi. Maka itu, ia tidak mau meladeni lagi. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia bertindak keluar.
"Thio Bu Kie!" bentak Tio Beng. "Kalau kau mempunyai nyali, datanglah kepadaku dalam jarak tiga tindak."
Tapi Bu Kie tidak kena dibikin panas. "Kalau kau menganggap aku bernyali tikus, apa boleh buat,"
katanya sambil bertindak turun dari undakkan Sui-kok.
Melihat semua akalnya tidak berhasil, paras muka Tio Beng lantas saja berubah. "Sudahlah!" katanya dengan suara putus harapan. "Hari ini aku kalah. Mana aku ada muka untuk bertemu lagi dengan lain manusia?" Ia mencabut sebatang pedang yang menancap di tiang dan berteriak, "Thio Bu Kie, terima kasih bahwa kau sudah menyempurnakan aku!"
Bu Kie menengok. Tiba-tiba sinar putih berkelebat. Tio Beng mengayun tangannya untuk menancapkan pedang di dadanya.
Bu Kie tertawa dingin dan berkata, "Aku tak akan kena?" Sebelum perkataan "ditipu" keluar dari mulutnya, ujung pedang sudah menancap di dada si nona. Tio Beng berteriak, tubuhnya terkulai.
Kali ini Bu Kie benar-benar kaget. Ia tidak pernah menyangka, bahwa si nona beradat begitu keras.
"Asal saja pedang tidak melanggar isi perut, aku masih bisa menolong," pikirnya sambil melompat untuk memeriksa luka si nona.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi baru saja ia tiba dalam jarak tiga tindak dari meja, mendadak kakinya kejeblos, tubuhnya meluncur ke bawah!
"Celaka!" ia mengeluh. Cepat bagaikan kilat ia mengibaskan kedua tangan bajunya ke bawah sehingga untuk sedetik, tubuhnya terhenti di tengah udara. Hampir berbareng, satu tangannya coba menepuk pinggiran meja. Kalau kena dengan meminjam tenaga, ia bisa menyelamatkan diri. Tapi Tio Beng yang hanya pura2 bunuh diri, sudah menduga usaha pemuda itu dan dengan cepat ia menyampok dengan tangan kanannya. Selagi kedua tangan kebentrok, tubuh Bu Kie merosot ke bawah.
Dalam bingungnya, ia membalik tangan dan coba mencengkeram jari-jari tangan Tio Beng tapi jari-jari tangan si nona licin luar biasa, bagaikan licinnya lindung, sehingga tidak dapat dicengkeram!
Cekalannya terlepas! Pada detik yang sangat berbahaya, Sin kang yang dimiliki Bu Kie memperlihatkan kelihayannya.
Biarpun cekalannya terlepas, tapi sebab cekalannya itu, ia berhasil meminjam sedikit tenaga, sehingga kemerosotan tubuhnya terhenti untuk sedetik dan tangannya menjambret lengan si nona. Jambretan itu berhasil! Ia mengerahkan Sin kang untuk melompat ke atas. Kali ini maksudnya gagal. Karena tubuhnya berat dan Tio Beng enteng, maka begitu ia membetot, tubuh si nona terjungkal dan tidak dapat tercegah, kedua-duanya tergelincir ke dalam lubang kemudian sesaat terdengar "trang!" tutupan lubang tertutup lagi.
Lubang itu, atau lebih benar sumur, tidak terlalu dalam, hanya belasan tombak. Begitu hinggap di dasarnya, Bu Kie melompat dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang (Cicak merayap di tembok), ia merayap ke atas. Setelah sampai di atas, ia mendorong tutupan sumur beberapa kali, tapi tidak bergeming. Tutupan itu, yang dingin seperti es, adalah selembar besi tebal yang dipegang erat-erat dengan semacam alat. Walaupun memiliki sin kang, tapi lantaran badannya berada di tengah udara, ia tidak bisa meminjam tenaga. Sesudah mendorong beberapa kali tanpa berhasil, ia terpaksa melompat turun lagi.
Tio Beng tertawa geli. "Tutupan itu dipegang dengan delapan batang baja yang kasar," katanya.
"Dengan berada di bawahnya, cara bagaimana kau bisa membukanya?"
Bu Kie sangat mendongkol. Ia tak dapat meladeni dan meraba-raba pinggiran sumur yang licin dan dingin.
Thio kongcu. Peh houw Yoe ciangmu betul betul lihay," kata si nona. "Lubang jebakan ini terbuat daripada baja murni yang licin luar biasa. Tapi kau masih bisa naik ke atas, betul-betul hebat..hi..hi..hi!"
"Apa yang lucu?" bentak Bu Kie. Mendadak ia ingat, bahwa nona itu sangat licin. Di dalam sumur mungkin terdapat sebuah jalan rahasia. "Aku tak dapat membiarkan dia kabur seorang diri," pikirnya.
Memikir begitu, ia segera mencengkeram tangan si nona.
Tio Beng terkesiap, "mau apa kau?" tanyanya.
"Kau tak usah harap bisa lari seorang diri" jawab Bu Kie. "Kalaukau masih kepingin hidup, bukalah jalan keluar."
"Kau tak usah bingung," kata Tio Beng. "Kita tidak akan mati kelaparan dalam jebakan ini. Kalau orang-orangku tidak melihat aku, mereka pasti akan datang kemari untuk melepaskan kita. Aku hanya kuatir, mereka menduga aku pergi keluar. "Jika mereka menduga begitu, celakalah kita."
"Apa dalam sumur ini tak ada jalanan keluar?"
"Kulihat kau bukan manusia goblok, tapi mengapa kau ajukan pertanyaan setolol itu" Jebakan ini dibuat bukan untuk di tempati sendiri, tapi untuk menangkap musuh. Perlu apa dibikin jalan keluar?"
Bu Kie merasa perkataan Tio Beng ada benarnya jua. "Menjeblaknya papan tutupan dan jatuhnya kita pasti didengar oleh orang-orangmu," katanya. "Mengapa mereka belum datang" Lekas panggil mereka!"
"Orang-orangku sedang menjalani tugas," jawabnya. Besok kira-kira pada waktu begini, barulah mereka kembali. Kau tidak perlu bingung. Mengasolah tenang-tenang. Tadi kau sudah makan kenyang."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie jadi gusar. Ia tak keberatan untuk berdiam lebih lama dalam jebakan itu. Tapi bagaiman keselamatan kakeknya dan yang lain2" Ia menyengkeram tangan si nona terlebih keras dan membentak,
"Kalau kau tidak segera melepaskan aku, terlebih dahulu aku akan segera mengambil jiwamu."
Tio Beng tertawa, "Jika kau bunuh aku, kau takkan bisa keluar dari penjara ini," katanya. "Eh!... perlu apa kau pegang tanganku?"
Bu Kie jadi malu hati. Buru-buru ia melepaskan cekalannya, mundur dua tindak dan lalu duduk di lantai. Tapi karena sumur itu terlalu kecil, mau tidak mau ia mengendus juga bebauan wangi yang keluar dari badan si nona.
Makin lama ia makin mendongkol. Tiba-tiba ia berbangkit dan berkata dengan suara gusar, "Beng kauw dan kau belum pernah sama sekali bermusuhan. Mengapa kau begitu jahat?"
"Ada banyak hal yang tak dimengerti olehmu" jawabnya. "Sebab kau sudah bertanya begitu, biarlah aku menceritakan sebab musababnya, dari kepala sampai di buntut. Apa kau tahu siapa sebenarnya aku?"
Bu Kie ingin sekali mendengar asal usul dan maksud nona itu. Tapi kalau ia mendengar cerita, mungkin sekali In Thian Ceng dan yang lain sudah keburu mati. Apapula, cerita wanita itu tentu benar.
Jalan satu2nya adalah memaksa supaya ia membuka papan tutupan. Memikir begitu, ia lantas saja berkata, "Aku tak punya waktu untuk mendengari ceritamu.jawablah pertanyaanku. Kau mau atau tidak mau teriaki orang-orangmu untuk membuka papan tutupan itu?"
"Aku sudah memberitahukan kau bahwa semua orang2ku tak berada di sini," jawabnya. "Selain itu teriakan yang bagaimana keraspun takkan terdengar di luar jebakan ini."
Darah Bu Kie meluap, bagaikan kalap ia menubruk. Tio Beng kaget dan coba melawan, tapi jalan darahnya segera tertotok dan ia tak bisa bergerak lagi.
Sambil mencekik tenggorokan si nona, Bu Kie membentak. "Sedikit saja aku menambah tenaga, jiwamu melayang!"
Tio Beng mengap-engap. Tiba2 ia menangis. "Kau hinakan aku! Kau hinakan aku!" teriaknya.
Kejadian ini lagi-lagi di luar dugaan Bu Kie. Ia melepaskan cengkeramannya dan berkata, "Aku tak berminat untuk menghinakan kau. Aku hanya ingin supaya kau melepaskan aku."
"Baiklah," kata si nona. "Aku akan panggil orang-orangku." Sehabis berkata begitu, ia berteriak. "Hei
!... hei!... kemari! Buka tutup jebakan! Aku jatuh ke dalam penjara baja." Tapi di luar hanya sepi-sepi saja. Ia sekarang tertawa dan berkata, "Kau lihatlah! Bukankah tak berguna aku berteriak-teriak?"
"Sungguh kau tak mengenal malu!" kata Bu Kie dengan mendongkol. "Sebentar menangis, sebentar tertawa."
"Kau yang tak tahu malu!" bentak si nona. "Lelaki menghina perempuan."
Bu Kie mengeluarkan suara di hidung. "Kau bukan perempuan biasa!" katanya. "Akal bulusmu terlalu banyak, sepuluh lelaki belum tentu bisa menandingi kau seorang."
Tio Beng tertawa geli. "Aku rendah tak sanggup menerima pujian terlalu tinggi dari Thio Kauw cu yang mulia," katanya.
Bu Kie menggertak gigi. Waktu sudah mendesak, kalau ia ayal-ayalan, semua pemimpin Beng Kauw akan binasa. Tiba2 tangannya menyambar dan merobek bagian bawah dari kain si nona.
Tio Beng terkesiap dan berteriak dengan suara terputus-putus. "Mau" mau" bikin apa" kau?"
"Jika kau bersedia melepaskan aku dari penjara ini, manggutkan saja kepalamu," jawabnya.
"Mengapa begitu?" tanya pula si nona.
Bu Kie tidak menyahut, tapi segera membasahi kain sobekan itu dengan ludahnya. "Maaf, aku tidak bisa berbuat lain," katanya seraya menyumbat mulut dan hidung si nona dengan kekainan itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tio Beng tak bisa bernafas. Tapi ia bandel sekali. Walaupun dadanya menyesak dan selebar mukanya sudah berubah merah, ia tetap tak mau mengangguk. Akhirnya kedua matanya berkunang-kunang dan ia pingsan.
Lalu Bu Kie memegang nadi si nona, ketukan nadi itu ternyata sudah sangat lemah, sehingga ia buru buru mencabut kekainan yang menyumbat mulut dan hidung.
Beberapa saat kemudian, Tio Beng tersadar. Ia membuka kedua matanya dan mengawasi dengan penuh kegusaran.
"Tak enak bukan?" tanya pemuda itu. "Bagaimana" Apa kau bersedia untuk melepaskan aku?"
"Tidak nanti!" bentaknya dengan bernafsu. "Biarpun pingsan ratusan kali, tidak nanti ku melepaskan kau. Kalau penasaran, kau boleh membunuhku."
Mendengar jawaban yang keras kepala itu, Bu Kie tertegun dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Akhirnya sambil menggertak gigi ia berkata, "Untuk menolong jiwanya banyak orang, aku terpaksa berlaku kasar terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan." Sehabis berkata begitu, ia memegang kaki kiri Tio Beng dan melocotkan sepatu serta kaus kakinya.
Si nona kaget bercampur gusar. "Anak bau! Mau berbuat apa kau?" teriaknya.
Tanpa menjawab Bu Kie lalu membuka sepatu dan kaus kaki dan kemudian, dengan telunjuk ia menotok Yong coanhiat, di kedua telapak kaki si nona. Sesudah itu, ia mengerahkan Kioe-yang Sin-kang dan mengirim hawa hangat dari "hiat" tersebut.
Yong coanhiat, yang terletak di bagian cekung telapak kaki, adalah permulaan dari jalan darah Ciok siauw im Kian keng dan merupakan bagian tubuh manusia yang sangat perasa. Sebagai seorang yang mahir ilmu ketabiban Bu Kie tahu kenyataan itu. Jika bagian itu dikitik, orang akan merasa geli luar biasa, sehingga sekujur tubuhnya lemas kesemutan. Kiu yang Sin kang yang dikirim Bu Kie seratus kali lebih daripada dikitik. Semula Tio Beng tertawa geli terus menerus ia mau meronta tapi karena ditotok kaki tangannya tidak bisa bergerak. Sesaat kemudian, ia merasai penderitaan yang lebih hebat daripada bacokan golok atau cambukan. Ia merasa seperti juga berlaksa kutu merayap dan menggigit isi perutnya serta tulang tulangnya. Dari tertawa ia sekarang menangis dan sesambat.
Sambil mengeraskan hati Bu Kie terus mengirim Sin kangnya. Keringat dingin membasahi baju si nona, jantungnya seolah olah mau melompat keluar. "Anak bau"!" cacinya. "Bangsat" bangsat tengik"!
Satu hari" aku" aku akan cincang kau!... Aduh! Ampun!... ampun!... Thio Kongcu" hu.hu hu!..."
"Kau mau lepas aku atau tidak?" tanya Bu Kie.
"Le"pas! Ampun!..." jawabnya.
Bu Kie segera menarik pulang Sin kang-nya dan menepuk punggung si nona beberapa kali, sehingga jalan-jalan darah yang tertotok segera terbuka lagi.
Nafas Tio Beng tersengal-sengal. Beberapa saat kemudian, barulah ia bisa membuka suara. "Bangsat!
Pakaikan sepatuku." Bu Kie segera mengambil kaos kaki dan sepatu dan kemudian memegang kaki kiri si nona. Tadi, waktu membukakan, dalam gusarnya, ia tak punya lain pikiran. Tapi sekarang, begitu tangannya menyentuh tumit kaki yang halus lemas itu, jantungnya memukul keras. Di lain pihak, si nona pun mendapat perasaan serupa, sehingga parasnya lantas saja berubah merah. Untung juga karena berada di tempat gelap Bu Kie tak lihat perubahan paras muka itu. Dengan cepat kedua kakinya sudah memakai lagi sepatu dan kaos kaki. Tiba-tiba ia mendapat perasaan luar biasa. Di dalam hati kecilnya ia kepingin pemuda itu memegang lagi kakinya.
Mendadak ia tersadar. Kupingnya mendengar bentakan Bu Kie. "Lekas! Lekas lepaskan aku."
Tanpa menjawab tangannya meraba dinding jebakan dan kemudian dengan gagan pedang, ia mengetuk-ngetuk sebuah lingkaran yang diukir pada dinding baja itu. Sesudah mengetuk beberapa kali, sekonyong-konyong terdengar suara menjeblak dan tutupan jebakan terbuka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ternyata pada lingkaran itu terdapat alat rahasia yang dihubungkan dengan penjaga di luar jebakan.
Begitu melihat isyarat yang diberikan oleh majikannya, si penjaga segera membuka tutup lubang.
Bu Kie kaget tercampur girang. "Mari kita keluar," katanya.
Tapi Tio Beng tidak bergerak, ia tetap berdiri sambil menundukkan kepala. Melihat begitu dan mengingat akan perbuatannya, Bu Kie merasa tidak enak hati. Ia membungkuk seraya berkata, "Tio Kauw nio, tadi sebab sangat terpaksa aku sudah melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas terhadapmu. Kuharap kau tidak menjadi gusar".
Si nona tetap tidak menyahut. Ia bahkan memutar badan dan berdiri menghadapi dinding jebakan.
Pundaknya bergoyang-goyang seperti orang lagi menangis. Waktu sedang mengadu kepandaian, Bu Kie merasa sangat mendongkol terhadap nona itu yang dianggapnya sebagai wanita kejam. Tapi sekarang di dalam hatinya muncul rasa kasihan. "Tio Kauw nio," katanya dengan suara menyesal, "aku mau pergi sekarang. Aku mengakui, bahwa aku sudah berbuat kedosaan terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan." Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang ia merayap ke atas.
Setibanya di mulut lubang sambil menendang pinggiran jebakan sehingga badannya lantas saja melesat ke atas, ia mengibaskan kedua tangan bajunya untuk menjaga bokongan. Sebelum kakinya hinggap di bumi, ia menyapu seputar Su kok dengan kedua matanya, tapi disitu tidak kelihatan bayangan manusia.
Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi ia melompati tembok dan dengan menggunakan ilmu ringan badan, menuju ke tempat berkumpulnya rombongan Beng Kauw. Karena terjebak, ia sudah terlambat kira-kira satu jam. Apa In Thian Ceng dan yang lain-lain masih bisa ditolong" Dengan penuh rasa kuatir, ia berlari-lari sekeras-kerasnya dan dalam beberapa saat, ia sudah hampir tiba di tempat yang dituju."
Mendadak hatinya mencelos. Bukan main kagetnya sebab ia lihat sepasukan serdadu Mongol berkuda sudah mengurung rombongan Beng kauw dan melepaskan anak panah. "Celaka" ia mengelak dan mempercepat tindakannya.
Sekonyong-konyong di tengah rombongan Beng kauw terdengar suara seorang wanita yang sangat nyaring. "Swi-kim kie menyerang dari timur laut! Ang su kie mengurung ke barat daya."
Itulah suara Siauw Ciauw! Hampir berbareng dengan komando itu, pasukan Beng kauw yang membawa bendera putih yang menerjang dari timur laut dan sepasukan lain yang membawa bendera hitam mengurung ke barat daya. Barisan Goan segera dipecah untuk menahan kedua pasukan itu.
Mendadak Houw toaw kie yang membawa bendera kuning dan Kie kok kie yang membawa bendera hijau menyerang dari tengah. Mereka menerjang bagaikan sepasang naga yang kuning yang lain hijau. Barisan Goan lantas saja terpukul pecah dan terpaksa mundur.
Dengan beberapa kali lompatan, Bu Kie sudah berada di antara orang-orangnya sendiri. Melihat pemimpin mereka, para anggota Beng kauw terbangun semangatnya. In Thian Ceng, Yo Siauw dan yang lain-lain masih tetap bersila di tempat tadi, sedang Siauw Ciauw memimpin gerakan-gerakan Ngo heng kie dan Peh bie dengan berdiri di atas bukit kecil dan sebelah tangannya memegang bendera. Di bawah pimpinan si nona yang menggerakkan keenam bendera menurut ilmu Kie bun Pat kwa, serangan-serangan barisan Goan selalu dapat dipukul mundur.
"Thio Kongcu, gantikan aku," kata Siauw Ciauw dengan suara girang.
"Pimpin terus!" jawab Bu Kie. "Aku akan coba membekuk pemimpin barisan musuh." Tiba-tiba beberapa batangan panah menyambar ke arahnya. Dengan cepat ia menjambret sebatang tombak dari tangan seorang anggota Beng kauw dan memukul jatuh semua anak panah itu. Sesudah itu, sambil mengerahkan Sin kang ia menimpuk dengan tombaknya yang amblas di dada seorang Peh hu thio.
Sejumlah serdadu yang mengiring Peh hu thio itu jadi ketakutan dan mundur serabutan.
Se-konyong2 dari kejauhan terdengar bunyi terompet tanduk, disusul dengan munculnya belasan penunggang kuda yang mendatangi dengan cepat. Bu Kie yang bermata paling jeli lantas saja mengenali bahwa dalam rombongan itu terdapat Sio Cian Pat hiong. Ia kaget dan berkata dalam hatinya. "Kalau mereka turun tangan banyak saudara bakal jadi korban. Lebih baik aku turun tangan lebih dahulu."
Tapi lantas saja ternyata bahwa mereka tak bermaksud untuk menyerang. Dari jauh Tio It Siang, yang jadi pemimpin sudah meng-goyang2kan sebatang tongkat pendek kepala naga yang berwarna kuning emas. "Majikan mengeluarkan perintah untuk segera menarik pulang tentara!" teriaknya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Seorang Cian hu thio yang memimpin barisan itu lantas saja beteriak dalam bahasa Mongol dan seluruh barisan segera mundur dengan teratur.
Sementara itu, dengan tangan menyangga nampan, Cian Jie pay melompat turun dari tunggangannya dan menghampiri Bu Kie seraya membungkuk ia berkata, "Majikanku minta Kauw cu suka menerima ini sebagai kenang2an." Di atas nampan itu yang dialaskan dengan selembar sutera sulam warna kuning terdapat sebuah kotak emas dengan ukir2an yang sangat indah.
Bu Kie menjemput kotak itu yang kemudian lalu diserahkan kepada Siauw Ciauw. Cian Jie pay membungkuk lagi, mundur tiga tindak dan kemudian barulah melompat ke punggung tunggangannya.
Sesudah musuh mundur dan rombongan Sin-cian Pat hiong berlalu, tanpa menyia-nyiakan waktu lagi Bu Kie segera mengeluarkan pohon-pohon bunga yang serupa Ciu sian dari sakunya. Ia minta air bersih dan kemudian menghancurkan semua ubi yang warna merah di dalam air. Campuran itu segera diberikan kepada Ie Thian Ceng dan yang lain2 untuk diminum. Kecuali Bu Kie sendiri yang dilindungi Kioe yang sin kang sehingga tak mempan racun, semua orang yang turut makan minum dalam Sut kok sudah kena racun. Yo Poet Hwie terbebas sebab ia menemani In Lie Heng di dalam kamar, begitupun Siauw Ciauw dan para anggota Beng kauw yang lainnya, yang makan minum di lain ruangan.
Obat yang diberikan Bu Kie sangat mustajab. Belum cukup setengah jam, rasa pusing sudah hilang dan yang masih ketinggalan hanya perasaan lemas.
Menjawab pertanyaan beberapa orang cara bagaimana ia tahu tentang keracunan itu, sambil menghela napas Bu Kie berkata. "Kita semua berhati-hati dan kalau racun ditaruh dalam makanan atau minuman, kita bisa segera mengetahuinya. Di luar dugaan caranya wanita lihay luar biasa. Sebelum kalian merasa pusing, siapapun jua tak akan bisa menebaknya. Pohon kembang yang menyerupai bunga Cui sian itu adalah pohon Cui sian Leng hu yang jarang terdapat di dalam dunia. Pada hakekatnya pohon itu tidak beracun. Di lain pihak, pedang Ie thian kiam kayu terbuat daripada kayu Kie kiauw Hiang bok yang terdapat di dasar laut. Kayu ini pun pada hakekatnya tidak beracun. Tapi" disinilah terletak kunci persoalan. Tapi, kalau bau wangi dari Cui sian Leng hu dan Kie kiauw Hiang bok tercampur menjadi satu, maka kedua macam wangi2an itu akan berubah menjadi racun yang sangat berbahaya."
Ciu Tian menepuk lututnya. "Aha! Kalau begitu akulah yang bersalah," teriaknya. "Aku yang gatal tangan sudah mencabut pedang kayu itu."
"Ciu heng tidak bersalah," kata Bu Kie. "Wanita itu sudah bertekad untuk mencelakai kita, sehingga biarpun Ciu heng tidak mencabut pedang itu, ia tentu akan mencari jalan untuk mencabutnya. Kejadian itu tak akan bisa dicegah."
"Kurang ajar!" kata si semberono dengan gusar. "Mari kita bakar perkampungannya sampai rata dengan bumi!"
Baru saja berkata begitu, di sebelah kejauhan tiba2 terlihat mengepulnya asap hitam. Benar-benar Lek lioe chung terbakar. Para pemimpin saling mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
Semua orang kagum. Tio Beng ternyata dapat menghitung dengan tepat, ia sudah menduga bahwa sesudah racun dipunahkan, jago-jago Beng kauw akan kembali untuk membakar perkampungannya, sehingga oleh karenanya, ia sudah mendahului dengan membakarnya sendiri. Walaupun ia masih berusia muda dan hanya seorang wanita, nona Tio ternyata merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang enteng.
"Paling benar kita mengejar mereka dan menghajarnya sampai mereka bertobat," kata Ciu Tian.
"Sesudah dia membakar perkampungannya sendiri, kita tahu, bahwa dalam setiap tindakannya, dia sudah mempersiapkan segala sesuatu," kata Yo Siauw. "Kurasa belum tentu kita dapat menyusul mereka."
"Yo heng, kau sungguh pintar," kata Ciu Tian. "Dalam akal budi, kau memang lebih tinggi daripada Ciu Tian."


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yo Siauw tertawa, "Aduh! Tak berani aku menerima pujian Ciu heng," katanya. "Dalam hitung-hitungan, mana bisa siauw tee menandingi Ciu heng."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sudahlah, Jie wie tak usah saling merendahkan diri," menyela Bu Kie seraya bersenyum. "Bahwa hanya beberapa belas saudara terluka enteng karena panah dan bahwa kita tidak menderita kerusakan terlebih hebat, sudah dapat dikatakan untung sekali. Marilah kita meneruskan perjalanan."
Di tengah jalan, beberapa orang menanya Bu Kie cara bagaimana ia bisa menebak keracunan itu.
"Kuingat, bahwa dalam Tok keng terdapat keterangan yang mengatakan, bahwa jika bau wangi dari kayu Kie kauw Hiang bok tercampur dengan bau wangi sebangsa kembang Hu-yong, maka bebauan itu mengakibatkan mabuk, seperti mabuk arak, selama beberapa hari. Kalau hawa beracun itu masuk ke dalam isi perut, jantung dan paru-paru bisa rusak. Itulah sebabnya mengapa aku melarang kalian mengerahkan tenaga dalam. Manakala kalian mengerahkan khie (hawa), sehingga racun masuk ke dalam pembuluh darah, besarnya bahaya tidak bisa ditaksir lagi."
"Tak dinyana si budak Siauw Ciauw berpahala begitu besar," kata Wie It Siauw. "Kalau pada detik berbahaya dia tak tampil ke muka, kita pasti mendapat kerusakan besar sekali."
Perbuatan Siauw Ciauw terutama membingungkan Yo Siauw. Ia telah menduga pasti, bahwa nona itu seorang mata-mata musuh yang mau menyelidiki segala rahasia Beng kauw. Tapi sekarang si nona berbalik menjadi seorang penolong.
Malam itu, rombongan itu menginap di sebuah rumah penginapan. Seperti biasa, Siauw Ciauw membawa sepaso air cuci muka ke kamar Bu Kie.
"Siauw Ciauw, hari ini kau berjasa besar sekali," kata Bu Kie. "Mulai dari sekarang kau tak usah melakukan tugas pelayan lagi."
Si nona tersenyum. "Aku justru merasa senang jika bisa merawat kau," katanya. "Tugas semua sama saja, yang satu tidak lebih mulia daripada yang lain."
Sesudah Bu Kie mencuci muka, si nona mengeluarkan kotak emas yang dikirim Tio Beng. "Apa di dalamnya?" tanyanya. "Mungkin racun, mungkin senjata rahasia. Kita harus ber-hati2."
"Ya, kita harus berhati-hati," kata Bu Kie. Ia menaruh kotak itu di atas meja dan sesudah menarik tangan si nona supaya menyingkir yang agak jauh, lantas ia menimpuknya dengan uang tembaga.
"Tring!" uang itu kena tepat di pinggir kotak dan tutupannya lantas saja terbuka. Bu Kie mendekati dan melongok ke dalam kotak, yang isinya ternyata bukan lain daripada kembang mutiara yang pernah dipetik olehnya dari kondai nona Tio. Dua butir mutiara yang katanya hilang, juga sudah berada di tempatnya.
Bu Kie mengawasi dengan mata membelalak. Ia tahu apa artinya itu.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 47 Karya Chin Yung ================ "Thio Kongcu," kata Siauw Ciauw sambil tertawa. "Thio Kauw-nio bersikap manis luar biasa terhadapmu." "Aku seorang lelaki, perlu apa dengan perhiasan itu?" kata Bu Kie. "Siauw Ciauw, kau ambillah."
Si nona tertawa nyaring. Sambil menggoyang-goyangkan tangannya ia berkata, "Tidak! Tak bisa begitu. Bagaimana aku bisa menerima hadiah itu yang diberikan kepadamu dengan penuh kecintaan."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bu Kie segera menjemput kembang mutiara itu. "Kena!" serunya seraya menimpuk. Timpukan itu tepat sekali menancap di rambut Siauw Ciauw tanpa melukai kulit kepalanya.
Si nona mau mencabutnya, tapi Bu Kie buru-buru mencegah dengan berkata, "Anak baik, apakah aku tidak boleh menghadiahkan sesuatu kepadamu?"
Paras muka si nona lantas saja bersemu merah. Ia menunduk dan berkata, "Terima kasih. Tapi aku kuatir Sio-cia akan menjadi gusar jika ia lihat aku memakai perhiasan ini."
Pahlawan Dan Kaisar 17 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Medali Wasiat 9

Cari Blog Ini