Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 38

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 38


Berbareng dengan suara "buk buk!" terdengar jeritan menyayat hati dan ketiga penjahat itu melayang jiwanya. Penjahat yg menendang tna sian mati dengan tulang kaki patah sebab tendangan terlalu keras.
Dilain pihak dengan tertendangnnya tan tian chin khie dalam tubuh Bu Kie bergolak hebat dan tiba2 ia mersa jalan2 darah disebagian tubuhnya terbuka dengan mendadak. Ia girang dan berkata di dalam hati.
"Sayang sungguh pendeta jahat itu mampus terlalu cepat. Kalau ia bisa menendang beberapa kali lagi, keadaan akan lebih banyak mendingan. Diluhat begini dalam sepuluh hari tenagaku akan pulih kembali."
Diantara delapan sudha lma orang melayang jiwanya. Taku usdah dikatakan lagi sisanya tiga orang ketakutan setengah mati dan kabur lintang pukang. Setibanya diluar mereka melihat mayat si tua yg menggeletak di bawah pohon dengan kepala hancur. Mereka kabur terus sampai diluar pintu kelenteng.
Sebab tak diubar mereka berenti dan berdamai. "Kurasa bocah itu mempunya ilmu siluman," kata yang satu.
"Bukan.. bukan ilmu siluman," bantah yang lain. "Dia tentu memiliki lweekang yg tinggi yg digunakan untuk memukul balik serangan saudara kita."
"Benar," meyambung yg ketiga. "Biar bagaimanapun juga kita harus membalas sakit hati."
Biarpun penjahat kejam, mereka ternyata masih mempunyai "gie khie" (rasa setia kawan) dari kalangan Kong ouw. Mereka berdelapan telah mengangkat saudara denga bersumpah untu sama2 senang dan sama2 susah. Sesudah berdamai agak beberapa saat, mereka bertekad bulat untuk membalas sakit hati. Tapi mereka mengerti, bahwa mereka bukan tandingan Bu Kie.
"Ah! Tak salah!" seorang tiba2 berseru. "Bocah itu tentu mendapat luka berat. Kalau tidak mengapa dia tidak mengubar?"
Kedua konconya jadi girang. "Benar," kata yang satu. "Rupa2nya dia tidak bisa berjalan. Kelima saudara kita menyerang denga kai tangan dan dia memukul balik dengan lweekang. Sekarang kita serang dia dengan senjata. Aku tidak percaya badannya, badannya tidak mempan senjata."
Untuk segera bertindak. Satu membawa tombak satu menentang golok, saut mencekal pedang dan mereka lantas masuk lagi kedalam kelenteng.
Mereka mendapat kenyataan, bahwa kamar disebelah timur sunyi tidk terdengar suara apapun juga.
Indap2 merek mendekati dan mengintip dari jendela yang hancur. Ternyata Bu Kie masih tetap duduk bersila dan ia kelihatnnya lelah sekali. Tio Beng duduk disampingnya sambil menyusuti keringat.
Ketiga penjahat itu saling melirih. Tapi tak ada satupun yang berani menerjang lebih dahulu.
Selang beberapa saat, yang satu tidak sabar lagi. "Bocah bau!" teriaknya. "Akali kau nayari2 keluar!"
"Bocah tak tau malu!"
Menyambung yang lain. "Kalau kau benar2 berkepandaian tinggi, jangan gunakan ilmu siluman!"
Bu Kie tidak meladeni. Makin lama ketiga penjahat itu makin berani sehingga belakangan mereka mencaci dangan perkataan2 kotor. Tapi Bu Kie dan Tio Beng tidak marah. Sebaliknya dari bergusar, mereka bersyukur, bahwa sesudah kabur ketiga penjahat itu kembali lagi. Tempat itu tak jauh dari Siauw Lim Sie dan tadi waktu mereka lari, Bu Kie dan Tio Beng merasa khawatir kalau2 mereka pergi ke Siauw Lim Sie dan melaporkan kejadian itu kepada Seng Kun. Apabila Seng Kun atau konconya datang, bencana suka di hindarkan.
Sementara itu, sesudah diserang beberapa kali Kioe yang Ci Khie dibeberapa bagian tubuh Bu Kie yang tadinya terus membuyar, sekarang sedikit banyak bisa berkumpul. Ia masih belum bisa
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menggunakan lweekang untuk melukai musuh, tapi ia sekarang sudah tidak begitu bingung seperti semula.
Tiba2 terdengar suara, "brak!" dan pintu berbareng ujung tombak ygn berkuncir merah muncul di ambang pintu.
"Celaka!" seru Tio Beng seraya menyodor kan pisau yang dipegangnnya kepada Bu Kie. Bu Kie menggelengkan kepala. Dia tidak menyambut pisu itu sebab ia tahu, ia tak punya tenaga untuk menggunakannya.
Dilain detik sesudah membuat sebuah lingkaran bagaikan kilat ujung tombak menyambar kepada Bu Kie. Pada saat yg sangat berbahaya tapa berpikir lagi, Tio Beng merogo saku Bu Kie dan mengeluarkan sebatang Seng hwa leng, yang lalu ditaruh di dada Bu Kie, di tempat yang sedang disambar oleh mata tombak.
"Tak!" mata tombak mampir tepat pada Seng hwee leng. Pukulan itu merangsang Kioe yang sin kang dalam tubuh Bu Kie, dan tenaga itu lantas balik memukul. "Aduh!" si pendeta yang menikam mengeluarkan teriakan hebat, karena gagang tombak ambals didadanya.
Sebelum dia roboh seorang kawanan sudah membacok batok kepala Bu Kie dengan goloknya sebab kuatir sebatang Seng hwee leng tidak cukup kuat denga kedua tangannya nona Tio menaruh dua batang leng diatas kepala Bu Kie, sekali lagi terdengar suara "tak!". Golok itu terpental dan menghantam janggut majikannya yg lantas saja menjadi hancur. Kali ini, sebab tidak keburu menarik palang tangan kirinya, ujung kelingking nona Tio tepapas putus oleh mata golok yang terpental. Dalam keadaan tegang, si nona sendiri tidak merasai luka itu.
Pendeta ketiga yg masuk dengan membawa pedang, terbang semangatnya ketika lihat dua kawan nya menggeletak tanpa bernyawa. Sambil berteriak keras, ia kabur.
"Dia tidak bolek di biarkan lari!" seru Tio Beng seraya menimpuk dengan sebatang Seng hwee leng.
Meskipun ia menimpuk dengan seantero tenaga, senjata itu jatuh di tengah jalan sebab tenaganya tidak cukup.
Bu Kie terkejut. Ia memeluk si nona dan berbisik. "Timpuk lagi!" ia mengempos cin khie yg berkumpul didadanya dan mengirimnya kedalam tubuh si nona.
Tio beng menimpuk lagi deng Seng hwee leng yg dicekal ditangan kiri. Dua tindak lagi penjahat itu akan bisa menyelamatkan diri dibelakang tembok. Tapi dia tidak keburu sebab Seng hwee leng menyambar bagaikan kilat, amblas dipunggungnya menembus keluar didadanya.
Sesudah menggunakan tenaga yang penghabisan Bu Kie dan Tio Beng pingsan bersama sama dan dengan salik peluk mereka lantas ke bawah ranjang. Dalam kamar itu menggeletak enam sosokmayat, diluar kamar dua mayat lagi, sedang Bu Kie dan Tio Beng sendiri berbaring diantara kobakan darah.
Sinar rembulan menerangi kelenteng itu yg sunyi bagaikan kuburan.
Sesudah lewat beberapa lama, Tio Beng tersadar. Ia memegang hidung Bu Kie dan mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu masih bernapas dan jalan napasnya tenang. Perlahan-lahan ia berbangkit dan berusaha untuk mengangkat Bu Kie ke atas ranjang, tapi tenaga nya tak cukup, sehingga ia hanya bisa meluruskan tubuh Bu Kie dan kemudian mereka lantas napas tersenggal2 ia berduduk disamping kecintaannya.
Beberapa saat kemudian, Bu Kie membuka matanya. "Beng moay," katanya. "Kau.. kau berada disini?"
Si nona tertawa. Mereka saling mengawasi dan mereka tertawa bersama2. muka mereka belepotan darah dan keadaan dalam kamar itu sesudah terlolos dari bencana bersama2 di dalam hati mereka merasakan semacam kebahagiaan yang sukar dilukiskan.
Dalam seluruh pertempuran, mereka membinasakan tujuh pendeta tanpa mengeluarkan tenaga sendiri dan menggunakan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga. Tapi dalam mengambil jiwa penjahat yg terakhir, mereka telah menggunakan seantero kekuatan dan sekarang mereka tak punya tenaga lagi.
Meeka terpaksa rebah diantara mayat2 itu. Dengan tangan gemetaran Tio Beng membalut kelingkingnya yg terpapas golok untuk menghentikan darah. Sesudah itu bersama Bu Kie ia tertidur pulas.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada keesokan tengah hari barulah mereka tersadar. Sesudah bersamedhi kira2 setengah jam, Bu Kie merasa badannya segar, sebab lapar, perlahan-lahan ia pergi ke dapur, dimana ia dapatkan nasi yang separuh hangus di dalam kuali. Sambil tersenyum ia makan dua suap kemudia mengisinya disebuah mangkok yang lalu dibawa ke kamar dan diserahkan kepada Tio Beng.
"Bagaimana kalau keadaan sekarang dibanding makan minum dirumah makan kecil dikota saja?" kata Tio Beng.
"Dulu lain, sekarang lain!" jawabnya sambil tertawa.
"Ya," kata pula si nona. "Sekarang kita menderita dilahir tapi apa yang dirasakan di dalam hati kita, hanya diketahui oleh langit, oleh bumi, olehmu dan olehku sendiri. Orang luar tak pelu tahu!" Mereka tertawa dan lalu makan bersama2 dengan hanya menggunakan tangan. Yang dimakan mereka hanialah nasi separuh hangus. Tapi bagi mereka lezatnya nasi itu melebihi santapan yang terlezat di dalam dunia.
Belum habis mereka makan, di tempat jauh sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda. Tak kepalang kagetnya Bu Kie dan Tio Beng. Mangkok nasi yg dipegang si nona jatuh dan hancur dilantai. Meeka saling mengawasi dengan hati berdebar2.
Tak lama kemudian kedua ekor kuda berhenti di hadapan pintu kelenteng dan pintu di ketuk orang.
"Siangkoan Sam ko!" teriak seorang. "Buka pintu! Aku Cia Loo Ngo."
"Bagaimana sekarang?" bisik Bu Kie.
"Mereka akan segera merusak pinth" kata Tio Beng. "Kita berlagak mati." Bu Kie menganggul dan mereka lalu rebah tengkurep.
Beberapa saat kemudian terdengar suara kedubrakan dan pintu terpental karena dorongan tenaga yg sangat kuat.
"Kau rebah dipinggir pintu cegat jalan mundur mereka!" bisik si nona.
Bu Kie lalu merangkak kepintu kamar.
Di luar terdengar seruan kaget dari dua orang yang baru masuk, disusul dengan suara menghunus senjata. Rupa2nya mereka sudah lihat mayat yang menggeletak diluar.
"Hati2!" kata seorang. "Jangan kena di bokong!"
"Sahabat!" teriak yang lain. "Perlu apa kau sembunyi2" Kalau nualimu besar, keluarlah!" Suara orang itu nyaring dan bertenaga. Tak bisa salah lagi dialah yang mendobrak pintu. Dia teriak menantang berulang2 tapi tetap tak dapat jawaban.
"Bisa jadi penjahatnya adalah pergi," kata kawannya.
"Mari kita geledah," kata orang yg suaranya nyaring, yang tadi memperkenalkan diri sebagai Cin Lo Ngo. "Sioe Lao tee, kau memeriksa disebelah timur, aku dibarat."
Orang she Su itu bernyali kecil, "Kau kuatir musuh berjumlah besar," katanya dengan nada jeri.
"Lebih baik kita jalan berdua."
Sebelum Cin Loo Ngo menyahut, dia mengeluarkan seruan, tertahan, "Ini!" katanya sambil menuding kamar sebelah timur. "Dikamar itu kelihatannya masih ada lain mayat."
Mereka menghampiri dan bulu mereka bangun semua. "Siapa" siapa yg binasakan mereka?" kata Cin Loo Ngo dengan suara gemetar.
"Cin Loo Ngo mari kita pulang! Kita harus beritahukan Suhu."
"Suhu telah memesan, kita harus buru-buru. Surat undangan harus disampaikan secepat mungkin supaya tamu2 bisa hadir dalam To Say Eng Hiong Hwee yang akan diadakan pada harian Toan ngo.
Kalau kita terlambat, kita bisa dihukum. (Toa say Eng hiong hwee " Pertemuan orang2 gagah dalam upacara membinasakan singa Toan ngo Bulan Lima tanggal Lima menurut perhitungan Imlet atau hari perayaan Pehcun).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar Toan say Eng hiong hwee, alis Bu Kie berkerut. Tiba2 darahnya bergolak kaget, girang dan gusar bercampur aduk jadi satu. Ayah angkatnya begelar Kim Mo Say Ong atau Raja singa bulu emas dan To say eng hiong hwee tentu dimaksudkan upacara membunuh ayah angkatnya. "Dilihat begini sebelum Toan ngo jiwa Giehu takkan diganggu," pikirnya. "Hai " kedudukanku sebagai pemimpin Beng Kauw tapi aku tak mampu melindungi Gie hu, hingga di mesti menderita, mesti menerima segala rupa hinaan. Aku sungguh seorang anak yg tidak berbakti." Makin lama ia jadi makin gusar. Kalau menuruti kemauannya, ia ingin lantas membinasakan kedua orang itu. Tapi sebab tenaganya belum pulih, jalan satu2nya adalah menunggu sampai mereka masuk kamar dan kemudian membinasakan dengan ilmu
"Meminjam tenaga, memukul tenaga".
Tapi kedua orang itu tidak berani lantas masuk. Mereka berdiri diluar kamar dan berdamai.
"Begini saja," kata Cin Loo Ngo, "Kita berdua membagi tugas. Aku mengantarkan surat undanagn dan kau kembali ke Siauw Lim Sie untuk memberi laporan kepada suhu."
Tapi si orang she Sioe kuatir kalau ditengah jalan ia bertemu dengan musuh. Ia bersangsi dan tidak mengiakan usul kawannya.
Cin Loo Ngo mendongkol, "Kalau kau takut kau boleh pilih," katanya. "Kalau kau mau mengantarkan surat undangan, bolehlah."
Sesudah berpikir sejenak, si orang she Su menganggap, bahwa pulang ke Siauw Lie Sie banyak selamat. Maka itu, ia lantas saja berkata, "Aku turut perkataan Cin Loo Ngo. Biarlah aku pulang dan melaporkan kejadian ini kepada suhu."
Sesudah mencapai persetujuan, mereka segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak Tio Beng menggerakkan tubuhnya dan merintih.
Kedua orang terkejut. Mereka menghentikan tindakan dan menengok. Sekali lagi nona Tio menggerakkan badannya. Kali ini kedua orang itu melihat tegas bahwa yg tubuhnya bergerak adalah seorang wanita.
"Siapa perempuan itu?" tanya Cin Loo Ngo seraya menghampiri. Si orang she Sioe juga mengikuti masuk ke kamar. Biarpun nyalinya kecil ia tak takut sebab Tio Beng seorang wanita dan seorang wanita yg terluka berat. Ia membungkuk untuk membalikkan tubuh si nona.
Tiba2 Bu Kie batuk2, sehingga si orang she Sioe terkesiap dan mengurungkan niatnya. Sesudah batuk2, Bu Kie duduk sambil memejamkan kedua matanya.
Melihat Bu Kie yg mukanya berlepotan darah, kedua orang itu terbang semangatnya.
"Celaka!" teriak si orang she Sioe, "Mayat bangun lagi!"
"Setan!" bentak Cin Loo Ngo sesudah menentramkan hatinya. "Aku tak takut!" Ia mengayun golok dan membacok batok kepala Bu Kie.
Ketika itu Bu Kie sudah siap sedia dengan kedua Seng hwee leng. Begitu musuh membacok, ia menaruh kedua leng itu diatas kepalanya. "Tak" golok terpental memukul Cin Loo Ngo yg binasa seketika itu jg.
Si orang she Sioe, yang tangannya mencekal golok itu terlepas dari tangannya.
"Kalau kau punya nyali, bacoklah aku!" tantang Bu Kie. "Tinjulah aku, kalau kau berani!"
"Siawjin" siauwjin tak berani," jawabnya.
"Coba kau tendang aku!"
"Siauwjin" siauwjin.. lebih2 tak berani."
"Tolol kau! Lekas bacok aku!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang she Sioe itu makin ketakutan. Tiba2 ia berlutut dan berkata sambil manggut2an kepalanya.
"Ampun loya" ampun?"
Tio Beng sangat mendongkol. Ia mengeluarkan suara dihidung dan berkata, "Aku tak nyana di dalam Rimba Persilatan ada manusia yg begitu rendah seperti kau!"
"Ya" ya" siauwjin manusia rendah?".," katanya.
Thio Bu Kie jadi kewalahan. Mendadak ia dapat serupa pikiran. "Kemari kau!" bentaknya.
Dia lantas menghampiri dengan merangkak.
Bu Kie segera menempelkan kedua jempol tangannya di biji mata orang itu dan membentak. "Aku korek biji matamu!"
Dalam menghadapi bahay, tanpa merasa si orang she Sioe mendorong dengan kedua tangannya. Inilah yang diinginkan oleh Bu Kie. Dengan meminjam tenaga itu, ia menotok jalan darah Sin Hong dan Po Long di bawah tetek orang itu yang badannya lantas saja kesemutan dan tak bertenaga lagi. "Looya"
ampun?" dia sesambat.
Tio Beng tahu bahwa totokan Bu Kie hanya bisa menahan orang itu untuk sementara waktu. Dalam waktu kira-kira setengah jam "hiat" yang tertotok itu akan terbuka lagi dengan sendirinya. Tapi iapun tak ingin mengambil jiwa orang, terutama sebab ia memerlukan banyak keterangan dari orang itu. Sesudah memikir sejenak, ia berkata, "Kau sudah ditotok pada hiat yang membinasakan. Coba kau tarik napas dalam-dalam."
Orang itu menurut. "Nah, bukankah dadamu di sebelah kiri sangat sakit?"
Si orang she Sioe mengangguk dengan rasa takut yang lebih besar, padahal rasa sakit itu adalah gejala biasa, sebagai akibat dari totokan yang dilakukan Bu Kie. Ia lantas saja memohon mohon kepada Tio Beng supaya jiwanya ditolong.
"Untuk menolong jiwamu aku harus menggunakan jarum emas dalam waktu setengah bulan," kata Tio Beng.
"Tolong Kouwnio!" sesambat si orang she Sioe. "Apabila Kouwnio sudi menolong Siauwjin rela menjadi kerbau atau kudanya Kouwnio."
Si nona tertawa. "Huh! Baru pertama aku lihat orang Kang ouw yang semacam kau," katanya.
"Baiklah. Ambil sepotong batu!"
"Baik" baik" jawabnya tergesa gesa dan dengan menahan sakit dan tindakan limbung ia berjalan keluar untuk mencari apa yang diminta Tio Beng.
"Untuk apa?" bisik Bu Kie.
"Kau lihat saja," sahutnya sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian, si orang she Sioe kembali dan sambil membungkuk menyerahkan sepotong batu kepada Tio Beng.
Nona Tio mencabut tusuk kundainya yang terbuat daripada emas dan memasangnya di Coat poen hiat, di pundak orang she Sioe itu. "Aku akan membuka jalan darahnya dengan tusuk kundai ini, supaya hawa Sie hiat ("hiat" mati) tidak naik ke atas dan masuk ke dalam otakmu. Tapi aku tak tahu, apa Looya itu suka mengampuni jiwamu atau tidak."
Mendengar keterangan itu, si orang she Sioe lantas saja mengawasi Bu Kie dengan sorot mata minta dikasihani. Bu Kie mengangguk dan dia kegirangan. "Looya suka memberi ampun!" katanya. Kouwnio, hayolah."
"Hm!..." si nona mengeluarkan suara di hidung. "Apa kau takut sakit?"
"Tidak! Siauwjin hanya takut mati, tidak takut sakit."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, panteklah tusuk kundaiku dengan batu ini."
Tanpa berpikir lagi, ia memantek tusuk kundai itu yang lantas saja masuk di daging pundaknya, tepat di Coat poen hiat.
Sebaliknya dari sakit, ia merasa nyaman sehingga ia makin percaya omongannya Tio Beng dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, si nona menyuruh mencabut tusuk kundai itu dan mengulangi penusukkan pada Hun bun hiat, Kouw pong hiat dan beberapa "hiat" lain.
Bu Kie tersenyum dan berkata. "Sudah! Sudah cukup!"
Penusukan beberapa "hiat" itu adalah tindakan Tio Beng untuk berjaga jaga menghadapi pengkhianatan. Selama sepuluh hari, jika orang she Sioe itu berlari-lari dalam jarak kira-kira seratus lie ia akan roboh dan binasa. Menurut perhitungan nona Tio, apabila ia ingin melaporkan kejadian itu kepada Seng Kun, begitu keluar dari kelenteng, ia tentu akan lari secepat mungkin sebab takut diuber. Dan larinya itu berarti kebinasaannya.
"Sekarang ambil dua paso air untuk kami cuci muka dan sesudah itu masak nasi," kata si nona. "Kalau sudah bosan hidup, tak ada halangan kau menaruh racun di nasi, supaya kita bertiga bisa mampus bersama-sama."
"Siauwjin tak berani, siauwjin pasti tidak berani?" jawabnya.
Demikianlah, mulai hari itu Bu Kie dan Tio Beng mempunyai seorang pelayan.
Atas pertanyaan Tio Beng, ia menerangkan bahwa ia she Sioe, bernama Lam san. Ia juga dikenal dengan julukan Ban sioe Bu Kiang.
Julukan itu berarti Usia Abadi, hanya merupakan suatu ejekan. Ia berasal dari kalangan Rimba Hijau dan ia mengabdi kepada Goan tin (Seng Kun) sebab ia tolol, otaknya tumpul dan kepandaiannya cetek.
Goan Tin hanya menggunakannya sebagai pesuruh dan tidak pernah memberi pelajaran silat kepadanya.
Paling belakang ia mendapat perintah untuk mengantarkan surat surat undangan dan akhirnya bertemu Bu Kie dan Tio Beng.
Dalam peranan sebagai pelayan, Sioe Lam San rajin dan mendengar kata. Dialah yang mengubur mayat-mayat. Biarpun bodoh, dia memiliki semacam ilmu yang cukup tinggi yaitu ilmu memasak. Sayur sayur yang dibuatnya sangat lezat dan bernilai tinggi, sehingga kedua "majikannya" jadi sangat girang.
Perlahan-lahan Bu Kie dan Tio Beng menanyakan soal To say Eng hiong hwee. Sioe Lam San memberi segala keterangan yang ia tahu, hanya sayang, ia tahu sangat sedikit. Ia hanya mendengar bahwa Hong thio Siauw lim sie, Kong bun Taysu telah mengangkat Goan Tin sebagai pelaksana pertemuan besar yang bakal diadakan dan bahwa yang mengundang adalah Kong bun dan Kong tie Seng ceng.
Orang2 gagah dari berbagai partai dan golongan diundang untuk berkumpul di Siauw lim sie pada hari perayaan Toan ngo.
Bu Kie lalu minta surat surat undangan yang dibawa olehnya. Ternyata surat surat itu dialamatkan Houw tin goe, Kouw siong cu dan lain-lain kiam kek (ahli pedang) dari Tiam cong pay di In Lam. Jago jago pedang Tiam cong pay sudah lama dikenal dalam Rimba Persilatan. Tapi mereka selalu menyembunyikan diri di daerah In Lam dan tidak pernah bergaul dengan orang-orang gagah di wilayah Tionggoan. Bahwa sekarang Siauw lim pay telah mengundang juga mereka itu, dapatlah dibayangkan bahwa pertemuan yang bakal diadakan benar2 bukan pertemuan kecil. Siauw Lim pay diakui sebagai pemimpin Rimba Persilatan, dengan kedua Seng Ceng (pendeta suci) yang mengundang sendiri, maka orang-orang yang menerima undangan sedapat mungkin akan coba menghadiri pertemuan itu.
Bunyi undangan itu sangat singkat. "Kami mengundang (tuan) untuk berkumpul di kuil Siauw lim sie pada hari perayaan Toan ngo untuk minum arak dan bergembira ria bersama-sama orang-orang gagah di kolong langit."
Dalam surat undangan itu sama sekali tidak disebut-sebut soal "To-say". Mengapa Cin Loo Ngo mengatakan bahwa pertemuan itu adalah To-say Eng hiong hwee?" tanya Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thio ya tak tahu," jawab Sioe Lam San dengan suara bangga. "Guruku telah menangkap seorang yang mempunyai nama sangat besar, yaitu Kim Mo Say Ong Cia Sun. Kali ini Siauw lim pay akan mendapat muka terang di hadapan para orang-orang gagah. Di hadapan mereka itu Siauw lim pay akan binasakan si Singa Bulu Emas, maka itu pertemuan itu dinamakan To say Eng hiong hwee."
Bu Kie meluap darahnya, tapi sebisa bisa ia menahan sabar. "Apa kau pernah lihat Kim mo say ong?"
tanyanya. "Bagaimana gurumu menangkap dia" Di mana adanya dia sekarang?"
"Kim mo say ong" huh huh.. lihay tiada bandingannya," jawabnya. "Tingginya" dua kali tubuh Siauwjin. Yang lain boleh tak usah disebutkan. Matanya saja sudah sukar dilawan. Matanya berkeredepan dan kalau kita diawasi" huh" semangat kita lantas terbang!" Ia mendehem beberapa kali dan berkata pula. "Tujuh hari dan tujuh malam guruku bertempur dengan dia, belakangan Suhu marah dan menggunakan Kim Liong Hok hauw kang. Sesudah menggunakan ilmu itu barulah Kim mo Say Ong dapat ditaklukkan. Sekarang dia dikurung di dalam gua batu di belakang kuil dan dirantai dengan delapan?"
"Diam!" bentak Bu Kie. "Jangan ngaco kalau kau masih sayang jiwamu! Kim mo say ong Cia Tayhiap buta matanya. Mana bisa matanya berkeredepan?"
Sioe lam San terkesiap. "Ya" ya" siauwjin tentu salah lihat," jawabnya dengan ketakutan.
"Bilang sebenar-benarnya," kata pula Bu Kie. "Apakah kau pernah bertemu dengan Cia Tayhiap atau tidak?"
Sioe lam San yang tadi hanya mengibul buru-buru menyahut. "Siauwjin tidak berani berdusta lagi.
Siauwjin sebenarnya belum pernah lihat Cia Tayhiap. Siauwjin hanya dengar cerita itu dari saudara saudara seperguruan."
Apa yang sangat ingin diketahui Bu Kie adalah tempat dikurungnya Cia Sun. Ia mendesak dan mendesak lagi, tapi Sioe Lam San tetap mengatakan tidak tahu. Bu Kie yakin, bahwa dia tidak mendusta.
Rahasia besar yang tentu tidak akan dibocorkan kepada sembarang orang. Untung juga perayaan Toan-ngo masih dua bulan lebih, sehingga mereka mempunyai cukup waktu. Yang paling penting bagi mereka ialah mengobati luka dan beristirahat.
Sesudah berdiam sepuluh hari di kelenteng itu Bu Kie dan Tio Beng sembuh seluruhnya dan tenaga merekapun sudah pulih kembali. Hari itu Bu Kie lalu berdamai dengan Tio Beng cara bagaimana mereka harus menolong Cia Sun.
"Jalan yang paling baik adalah menotok "hiat mati" Sioe lam San dan kemudian mengirim dia ke Siauw lim sie untuk jadi mata-mata kita," kata nona Tio. "Tapi orang itu terlalu tolol dan kalau rahasia sampai diendus Seng kun atau Tan Yoe Liang semua urusan dengan mereka selalu akan menjadi rusak.
Begini saja. Kita berdua pergi ke kaki Siauw sit san dan coba menyelidiki. Tapi kita harus menyamar."
"Menyamar bagaimana?" tanya Bu Kie.
"Apa menyamar jadi hweesio dan niekouw?"
"Fui! Bagus sungguh pikiranmu! Apa katanya orang kalau mereka lihat seorang hweesio berjalan bersama sama seorang niekouw?"
"Kalau begitu kita menyamar saja sebagai suami isteri dari pedusunan."
Tio Beng tertawa. "Apa tidak boleh sebagai kakak dan adik?" tanyanya. "Apabila kita menyamar sebagai suami isteri dan dilihat Ciu Kouwnio, bukankah pundakku bisa berlubang lagi?"
Bu Kie turut tertawa dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Sesudah menanyakan Sioe lam san tentang keadaan di kuil Siauw lim sie, ia lantas berkata. "Sie-hiatmu yang tertotok sekarang sudah hampir sembuh. Tapi kau perlu berada di daerah Selatan yang hawanya panas. Manakala kau berdiam di tempat yang turun salju, jiwamu akan lantas melayang. Sekarang juga kau harus berangkat ke Selatan, ke tempat lebih panas lebih baik lagi. Apabila kau kena angin utara, dadamu akan menyesak dan kau akan batuk-batuk dan itulah sangat berbahaya." Sehabis berkata begitu, ia segera mengurut dada dan punggung si tolol.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sioe Lam San tentu saja percaya habis karangan Bu Kie. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia segera meminta diri dan lalu berangkat ke Selatan. Di Tiongkok Selatan ia hidup tenteram dan berumur panjang.
Ia baru meninggal dunia pada tahun Kian bun, kerajaan Beng.
Sesudah Sioe lam san berlalu, sebelum berangkat ia membakar kelenteng itu. Di satu dusun mereka membeli seperangkat pakaian dan menukar di tempat sepi.
Pakaian mereka yang mewah ditanam di tanah.
Dengan hati-hati mereka menuju ke Siauw sit-san. Dalam jarak tujuh delapan lie dari kuil Siauw lim sie, beberapa kali mereka bertemu dengan beberapa pendeta.
"Kita tidak boleh maju lebih jauh," kata Tio Beng.
Kebetulan sekali di pinggir jalan terlihat gubuk dan seorang petani tua yang sedang menyiram kebun sayur di depan gubuk itu.
"Kita boleh numpang nginap di situ," kata si nona.
Bu Kie segera menghampiri dan sesudah memberi hormat, ia berkata. "Loo-tiang, kami berdua kakak beradik capai sekali dan kami memohon semangkok air dingin."
Tapi si kakek tidak meladeni. Ia terus menyirami sambil menundukkan kepala.
Tiba-tiba pintu gubuk terbuka dan keluarlah seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua.
"Suamiku tuli dan gagu," katanya sambil tertawa. "Apa yang tuan inginkan?"
"Adikku tak kuat jalan lagi," jawab Bu Kie. "Kami ingin minta air minum."
"Masuklah," kata si nenek.
Gubuk itu bersih, perabotnya bersih dan pakaian si nenek biarpun terbuat dari kain kasar juga tidak kalah bersihnya. Melihat kebersihan itu, Tio Beng merasa senang. Sesudah minum air ia mengeluarkan sepotong perak dan berkata sambil tertawa. "Popo, kakakku mengajak aku ke rumah nenek kami.
Lantaran tidak biasa, kakiku sakit bukan main. Apa boleh malam ini kami numpang nginap" Besok pagi kami akan meneruskan perjalanan."
"Numpang nginap tidak halangan dan juga tidak perlu mengeluarkan uang," jawabnya dengan suara manis. Tapi kami hanya mempunyai sebuah kamar dan sebuah ranjang. Andaikata aku dan suamiku tidur di luar, kalian berdua kakak beradik tentu tidak boleh tidur seranjang. Hm! Nona kecil" sebaiknya kau bicara terus terang kepada Popo. Bukankah kau kabur dari rumah mengikut kakak yang tercinta?"
Muka si nona lantas saja berubah menjadi merah. Di dalam hati ia kaget. Nenek itu mempunyai mata yang sangat tajam dan dia pasti bukan sembarangan orang. Tanpa merasa ia melirik orang tua itu beberapa kali.
Walaupun sudah berusia lanjut dan badannya bongkok, ia kelihatan gagah. Kedua matanya bersinar, sehingga mungkin sekali ia memiliki ilmu silat yang tinggi. Tio Beng tahu, bahwa roman Bu Kie masih menyerupai seorang petani. Tapi dia sendiri pasti bukan seorang gadis dusun. Maka itulah, sesudah memikir sejenak, ia lantas saja berkata dengan sikap kemalu-maluan.
"Sesudah ditebak Popo, aku tahu tidak boleh berdusta lagi. Dia itu, Goe koko kawan mainku sedari kecil. Sebab dia miskin, ayah tidak mufakat aku menikah dengannya. Melihat aku mau bunuh diri, ibu lantas menyuruh aku" aku lari mengikut dia. Kata ibu, sesudah lewat satu atau dua tahun, sesudah kami mempunyai anak, kami baru boleh pulang. Di waktu itu, mungkin ayah sudah berubah pikiran. Sambil berkata begitu, dengan sorot mata mencintai, beberapa kali ia melirih Bu Kie. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula. "Di kota raja keluargaku mempunyai muka. Ayah bekerja sebagai pembesar negeri.
Apabila kami kena ditangkap, celakalah kami! Maka itu, sesudah aku bicara terus terang, mohon Popo tidak membuka rahasia kepada siapapun juga."
Si nenek tertawa terbahak-bahak dan manggut-manggutkan kepalanya. "Aku sendiri pernah muda,"
katanya. "Kau jangan kuatir! Aku akan menyerahkan kamarku kepada kamu berdua. Tempat ini terpisah ribuan li dari kota raja dan aku tanggung tidak ada manusia yang akan berani ganggu kamu. Andai kata ada orang berani main api, Popo tentu tidak berpeluk tangan."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat Tio Beng yang cantik dan lemah lembut sudah lantas membuka rahasianya sendiri, hati si nenek jadi girang dan ia segera mengambil keputusan untuk membantu kedua orang muda itu.
Di lain pihak, Tio Beng makin tetap dugaannya, bahwa mereka itu seorang Rimba Persilatan. Tempat itu sangat berdekatan dengan Siauw lim sie dan belum diketahui, apa dia itu musuh atau sahabat Seng Kun, sehingga si nona merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati. Ia lantas saja menyoja dan berkata,
"Terima kasih banyak atas kebaikan dan bantuan Popo. Goe koko, mari! Lekas haturkan terima kasih kepada Popo!"
Bu Kie segera mendekati dan menyoja.
Malam itu si nenek benar-benar menyerahkan kamarnya kepada Bu Kie dan Tio Beng. Ia sendiri membuat semacam dipan di ruangan tengah dengan menggunakan beberapa lembar papan dan mengalaskannya dengan selembar tikar.
Di dalam kamar Tio Beng menceritakan pembicaraannya dengan si nenek kepada Bu Kie.
Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya. "Kakek yang menyiram sayur memiliki kepandaian lebih tinggi," katanya. "Apa kau tak lihat?"
"Ah" aku benar-benar tak dapat lihat."
"Tadi dia memikul air. Tindakannya sangat cepat tapi airnya sama sekali tidak bergoyang. Inilah bukti dari lweekang yang sangat tinggi."
"Bagaimana kalau dibandingkan kau?"
"Aku mau coba." Sehabis berkata begitu, Bu Kie mengangkat tubuh si nona yang lalu bergaya seperti orang memikul air.
Tio Beng tertawa geli. "Gila kau! Aku tahang air?" bentaknya dengan rasa bahagia.
Mendengar senda gurau, rasa curiga si nenek lantas hilang sama sekali.
Malam itu Bu Kie dan Tio Beng makan bersama-sama kakek dan nenek itu. Makannya cukup baik, ada daging dan sayur. Selama makan Bu Kie dan Tio Beng terus bercanda dan memperlihatkan rasa cinta mereka, sebagaimana biasanya pengantin baru. Si nenek tersenyum-senyum, tapi si kakek tidak menghiraukan dan terus makan sambil menundukkan kepala.
Sesudah makan dan beromong-omong sebentar, Bu Kie dan Tio Beng masuk ke kamar dan memalang pintu.
Dengan muka kemerah-merahan, Tio Beng berbisik. "Kita hanya bersandiwara, bukan sungguhan."
Bu Kie lantas memeluknya erat-erat dan berkata dengan suara perlahan. "Kalau tidak sungguhan, dalam dua atau tiga tahun, cara bagaimana kita bisa mendapatkan anak?"
"Fui!" bentak si nona. "Kau tentu mencuri dengar pembicaraanku!" Sehabis berkata begitu, ia menundukkan kepala dengan sikap kemalu-maluan.
Dalam keadaan itu sebagai seorang ksatria Bu Kie dapat menguasai dirinya. Ingat, bahwa dengan Ciu Cie Jiak, ia sudah mengikat janji itu mesti dipenuhi. Nanti sesudah menikah dengan nona Ciu, pikirnya, barulah ia boleh mengurus persoalan nona Tio. Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, ia segera mempersilahkan Tio Beng tidur, sedang ia sendiri bersila di kursi dan mengerahkan Kioe yang Cin khie.
Tak lama kemudian ia tertidur.
Tio Beng tidak bisa lantas pulas. Lama ia bergulak gulik di ranjang. Kira-kira tengah malam, dalam keadaan setengah tidur, tiba-tiba kupingnya dengar suara tindakan kaki yang datang dari tempat jauh.
Tindakan itu cepat luar biasa dan dalam sekejap sudah tiba di pintu luar. Ia melompat dan menyentuh tangan Bu Kie. Pemuda itu ternyata sudah tersadar dan mencekal tangannya.
Dalam saat itu terdengar suara seorang yang sangat nyaring. "Suami isteri Touw " selamat bertemu!
Malam malam kami datang berkunjung. Apakah kunjungan ini dianggap tak pantas?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa Ceng hay Sam kiam?" tanya si nenek. "Dari Coan see (Sucun barat) kami menyembunyikan diri di tempat ini. Dengan berbuat begitu, kami sudah mengunjuk rasa takut terhadap Ceng hay Giok ciu koan. Mengapa kalian mendesak sampai begitu keras?"
Tamu itu tertawa terbahak-bahak. "Kalau benar-benar kalian takut, berlututlah tiga kali di hadapan kami dan kami akan mencoret semua hutang lama," katanya.
Sekonyong-konyong terdengar suara dibukakannya pintu. "Masuklah!" kata si nenek.
Bu Kie dan Tio Beng mengintip dari celah-celah papan dan dengan bantuan sinar rembulan mereka lihat tiga toojin (imam) yang berdiri di ambang pintu.
Toojin yang berdiri di tengah-tengah seorang katai gemuk dengan berewok pendek lantas saja bertanya. "Apa kalian mau meminta ampun dengan berlutut atau membereskan persoalan ini dengan senjata?"
Sebelum si nenek menjawab, suaminya keluar dengan tulang tulang dalam tubuhnya memperdengarkan suara peratak perotok, suatu tanda bahwa dia memiliki lweekang yang luar biasa. Ia lantas berdiri di samping isterinya seraya mengawasi ketiga imam itu dengan mata tajam.
"Touw loosianseng," kata si berewok, "mengapa kau tidak mengeluarkan sepatah kata" Apa kau merasa derajatmu terlalu tinggi untuk beromong-omong dengan Ceng hay Sam kiam?"
"Suamiku tuli," kata si nenek.
Si berewok mengeluarkan seruan tertahan, "Ilmu Thia hong Pan kee (membedakan senjata rahasia dengan mendengar sambaran anginnya) dari Touw Loosianseng amat terkenal dalam Rimba Persilatan,"
katanya. "Mengapa Loosianseng bisa jadi tuli" Sungguh sayang!"
Toojin yang berbadan lebih gemuk dari si berewok lantas saja menghunus pedang dan berkata,
"Mengapa kalian tidak mengeluarkan senjata?"
Si nenek mengangkat kedua tangannya dan ternyata pada setiap telapak tangan terdapat tiga batang golok yang panjangnya belum cukup setengah kaki. Hampir berbareng si kakek juga mengangkat kedua tangannya dan iapun memegang enam golok pedang yang berukuran sama, tiga batang di saban tangan.
Di lain saat golok itu saling berpindah tangan yang di tangan kanan pindah ke tangan kiri dan yang di tangan kiri pindah ke tangan kanan. Cara pemindahan itu menakjubkan dan memperlihatkan suatu hasil dari latihan yang lama dan sungguh sungguh.
Melihat senjata yang aneh itu ketiga toojin terkejut. Dalam Rimba Persilatan belum pernah ada senjata begitu. Mau dikata golok terbang (hutoo), cara menggunakannya bukan menggunakan golok terbang.
Siapa pasangan tua itu"
Kakek yang tuli dan gagu itu seorang she Touw bernama Pek Tong dan dengan senjata Siang kauw (sepasang gaetan) ia telah mendapat nama besar di Sucoan barat. Isterinya yang bernama Ek Sam Nio mahir dalam menggunakan tombak. Banyak tahun yang lalu mereka bermusuhan dengan Giokcit koan di Ceng pay. Karena harus menghadapi musuh yang berjumlah banyak lebih besar dan juga sebab bibit permusuhan sebenarnya hanya soal yang remeh, maka mereka belakangan mengambil keputusan untuk meninggalkan Sucoan dan berpindah ke tempat lain. Di luar dugaan biarpun sudah berada di tempat jauh, malam ini mereka disusul oleh musuh-musuh lama itu.
Ketiga imam itu adalah murid turunan kedua dari Giok cin koan. Yang berewokan bernama In Ho, yang gemuk Ma Hoat Thong, sedang yang ketiga yang bertubuh kecil kurus bernama In Yan. Mereka menggunakan pedang dan mendapat julukan sebagai "Ceng hay Sam kiam" (tiga jago pedang dari Ceng hay).
Biarpun berbadan gemuk dan gerak geriknya kelihatan tidak begitu gesit, Ma Hoat Thong sangat berakal budi. Melihat suami isteri Touw menggunakan golok golok pendek dan tidak menggunakan lagi senjata mereka yang lama, ia lantas saja mengetahui bahwa keduabelas golok pendek itu tentu mempunyai kelihayan yang luar biasa. Maka itu, ia lantas saja berseru, "Sam Cay-kiam tin Thian tee jin (Samcay) kiam tin " barisan pedang Sam cay kiam. Thian tee-jin " langit, bumi, manusia yang dikenal sebagai Sam kay.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tian swee seng cie Cut giok cin!" menyambung In Ho. (Tan swee seng cie Cut giok cin " kilat menyusul bintang, keluar dari Giok cin koan).
Dengan serentak ketiga imam itu bergerak mengurung suami isteri Touw.
Bu Kie memperhatikan "tin" itu dengan perasaan sangsi. Tiga toojin itu tak henti2nya saling menukar tempat dan tiga batang pedang seolah-olah merupakan selembar jala yang bersinar putih. Sesudah mengawasi beberapa saat ia lantas dapat menebak intisari daripada barisan itu. "Kurang ajar!" pikirnya,
"ketiga imam itu benar-benar licik. Mereka menggunakan Sam cay kiam tin, tapi sebenarnya di dalam tin mengandung Ngo-heng. Kalau musuh percaya bahwa tin itu Sam cay kiam tin dan coba memecahkannya dengan mengambil kedudukannya Thian tee jin, maka dia lantas bisa celaka dalam kepungan Ngo heng, tapi memang bukan gampang untuk tiga orang menciptakan Ngo heng kiam tin, sebab setiap orang harus menduduki lebih dari satu kedudukan. Ilmu ringan badan dan kiam hoat mereka memang sudah cukup tinggi." (Ngo heng kiam tin " barisan dari Ngo heng).
Suami isteri Touw lantas saja berdiri saling membelakangi dan kedua belas batang golok itu segera bergerak-gerak di seputar badan mereka. Dengan cara yang mengagumkan, golok-golok itu bertukar tangan. Golok Touw Pek Tong diserahkan kepada Ek Sam Nio dan sebaliknya. Dalam tukar menukar, mereka bukan melemparkan tetapi menyodorkan dari satu ke lain tangan.
Tio Beng heran. "Bu Kie Koko, ilmu apa itu?" tanyanya dengan berbisik.
Bu Kie tidak lantas menyahut. Ia terus mengawasi dengan alis berkerut. Tiba-tiba ia berkata. "Ah!
Sekarang kutahu! Dia takut akan Bay cu hauw Giehu" (Bay cu hauw " Geram singa).
"Apa itu Say cu hauw?" tanya Tio Beng.
Bu Kie tidak menyahut. Ia manggut2 kan kepalanya, ia tertawa dingin dan berkata. "Hmm dengan kepandaian itu mereka ingin membunuh singa?"
Si nona jadi lebih tidak mengerti. "Eh" tolol!" katanya dengan mendongkol. "Mengapa kau bicara sendirian?"
"Kelima orang itu adalah musuh2nya Giehu," bisik Bu Kie. "Karena takut akan Saycu hauw Giehu, si tua sudah merusak kupingnya sendiri."
Sementara itu pertempuran sudah berlangsung dan bentrokan senjata terdengar tak henti-hentinya.
Lima kali Ceng hay Sam kiam menyerang, lima kali mereka dipukul mundur. Dua belas golok pendek yang dioper dari satu ke lain tangan berputar terus menerus dan di bawah sinar rembulan, tiga helai sinar putih mengelilingi tubuh suami isteri Touw. Garis pembelaan itu rapat dan padat.
Selang beberapa saat, tiba-tiba Touw Pek Tong membuka serangan bagaikan kilat golok pendek menyambar kempungan Ma Hoat Thong. Dalam ilmu silat terdapat kata kata begini, "Panjang satu cun (dim), kekuatan satu cun. Pendek satu cun, bahaya satu cun." Golok Touw Pek Thong hanya kira-kira lima cun, maka dapatlah dibayangkan hebatnya bahaya serangan itu. Tiga kali ia melakukan serangan yang membinasakan tanpa memperdulikan pembalasan pada diri sendiri. In Ho dan In Ya balas menyerang tapi serangan serangan itu ditangkis oleh Ek Sam Nio. Ilmu golok suami isteri itu ternyata berdasarkan kerjasama yang sangat erat, yang satu menyerang, yang lain membela. Yang menyerang boleh tak menghiraukan pembalasan atas dirinya sendiri. Diserang cara begitu, Ma Hoat Thong repot bukan main. Touw Pek Tong terus mendesak, kian lama serangan kian hebat.
Sekonyong-konyong, sambil bersiul nyaring In Ho mengubah cara bersilatnya. In Ya dan Mo Hoat Thong pung mengikuti perubahan itu dan mereka bertiga membuat sehelai jala pedang yang sedemikian rapat, sehingga andaikata mereka disiram air, air itu tak akan kena di badan mereka.
Bu Kie tertawa dingin dan berbisik. "Ilmu golok dan ilmu pedang itu semuanya dilatih untuk menghadapi Gie hu. Lihatlah! Mereka lebih banyak membela diri daripada menyerang. Berkelahi cara begini sampai besok tidak akan ada keputusannya." Benar saja sesudah serangan serangannya gagal, Touw Pek Tong juga mengubah siasat dan sekarang dia hanya membela diri.
Sesudah memperhatikan beberapa lama, Tio Beng pun mendapat lihat bahwa serangan2 kelima orang itu biasa saja dan yang istimewa adalah pembelaan mereka. "Bu Kie koko," bisiknya. "Kim mo say ong
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cia Tayhiapo berkepandaian sangat tinggi. Dengan ilmu silat itu, mana bisa mereka memperoleh kemenangan?"
Sesudah lewat tujuh delapan jurus lagi, tiba-tiba sambil melompat keluar dari gelanggang, Ma Hoat Thong berseru. "Tahan!" Touw Pek Thong melompat ke belakang dan berdiri tegak sambil mengawasi lawannya.
"Apakah to hoat (ilmu golok) kalian dilatih untuk membunuh singa?" tanya Ma Hoat Thong.
Ek Sam Nio kaget, "Kupingmu terang sekali," jawabnya.
"Saudara Touw Loosianseng dibunuh Cia Sun dan sakit hati itu memang tidak bisa tak dibalas," kata Ma Hoat Thong. "Sesudah kalian mendapat tahu bahwa Cia Sun berada di Siauw liem sie, mengapa kalian tidak coba membereskan persoalan itu terlebih siang?"
"Urusan itu urusan kami berdua," jawab Ek Sam Nio. "Tootiang boleh tak usah turut memikiri."
"Ganjelan antara Giok cin koan dan kalian berdua adalah urusan kecil," kata Ma Hoat Thong. "Perlu apa kita mengadu jiwa" Bukankah lebih baik jika kita bersahabat dan bersama sama mencari Cia Sun?"


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa Giok cin koan juga bermusuhan dnegan Cia Sun?" tanya Ek Sam Nio.
"Tidak, bermusuhan memang tidak."
"Kalau tidak bermusuhan, mengapa kalian melatih diri dalam kiamhoat yang istimewa itu" Kalau tidak salah kiam hoat kalian dan to hoat kami bertujuan sama, yaitu untuk melawan pukulan Cit siang kun."
"Sam Nio mempunyai mata yang sangat tajam! Kini kami tidak perlu menyembunyikan suatu apa lagi.
Maksud kami ialah meminjam To liong to."
Nyonya Touw manggut2kan kepalanya dan dengan jari tangannya lalu menulis beberapa huruf di telapak tangan suaminya. Sebagai jawaban, Touw Pek Tong pun menulis huruf-huruf di telapak tangan isterinya. Sesudah "berbicara" dengan tulisan, si nenek berkata. "Tujuan kami berdua ialah membalas sakit hati. Untuk itu kami rela membuang jiwa. Terhadap To liong to, sedikitpun kami tak punya minat."
"Bagus!" kata Ma Hoat Thong dengan girang. "Sekarang sebaiknya kita berlima berserikat untuk mencapai tujuan kita " kalian membalas sakit hati dan kami meminjam golok mustika. Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan, yaitu hasil yang dikejar dan persahabatan."
Semua orang setuju. Mereka berlima lalu mengangkat tangan dan mengucapkan sumpah perserikatan.
Sesudah bersumpah, suami isteri Touw lalu mengundang ketiga tamunya masuk ke rumahnya untuk minum teh dan merundingkan rencana tindakan mereka.
Sesudah duduk di ruangan tengah, melihat pintu kamar tidur tertutup, Ceng hay Sam kiam merasa curiga dan menengok beberapa kali.
"Sam wie tak usah bercuriga," kata Ek Sam Nio sambil tertawa. "Yang tidur di situ adalah sepasang suami isteri muda yang kabur dari rumah mereka di kota raja. Yang perempuan cantik bagaikan dewi, yang lelaki seorang pemuda kasar yang tak tahu ilmu silat."
Ma Hoat Thong adalah seorang yang sangat berhati-hati. "Sam Nio jangan gusar," katanya. "Bukan aku tidak percaya, tapi sebab urusan ini urusan sangat besar, maka jangan sampai bocor."
Si nenek tertawa, "Kita bertempur begitu lama dan mereka terus tidur seperti bangkai," katanya.
"Kalau tak percaya Ma Tooya boleh lihat sendiri." Sehabis berkata begitu ia berbangkit dan menolak pintu, tapi pintu dipalang dari dalam.
Bu Kie tahu, apabila rahasianya bocor, kesempatan untuk menolong ayah angkatnya akan menjadi hilang. Buru-buru ia membuka sepatu, naik ke ranjang dan menyelimuti dirinya.
Di lain saat terdengar suara "krek" dan palang pintu patah didorong In Ho. Ek Sam Nio masuk paling dulu dengan membawa ciak-tay (tempat menancap lilin) diikuti oleh Ceng hay Sam kiam.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan mata dan paras muka seperti orang yang baru tersadar, Bu Kie mengawasi si nenek. Tiba-tiba Ma Hoat Thong menghunus pedang dan menikam tenggorokan Bu Kie. Tikaman itu menyambar bagaikan kilat.
Bu Kie mengeluarkan teriakan kaget. Sebaliknya dari berkelit, dengan lagak bingung ia coba bangun, sehingga tenggorokannya seolah olah memapaki ujung pedang. Buru-buru Ma Hoat Thong menarik pulang senjatanya. Ia tak pernah mimpi bahwa kepandaian pemuda itu sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kemampuannya dan bahwa, andaikata ia benar-benar mempunyai niatan jahat iapun tak akan bisa mencelakai Bu Kie. Tio Beng hanya mengeluarkan suara seperti orang mengigau dan terus tidur.
"Sam Nio tak salah," kata In Ho. "Mari kita keluar." Mereka lantas kembali ke ruangan tengah.
Bu Kie segera melompat turun dari ranjang, memakai sepatunya dan mengintip pula.
"Apakah kalian sudah menyelidiki pasti bahwa Cia Sun berada di Siauw lim sie?" tanya Mo Hoat Tong.
"Siauw lim pay telah mengirim surat undangan kepada berbagai orang gagah untuk menghadiri To say Tay hwee pada hari perayaan Toan ngo. Apabila Cia Sun belum tertangkap mereka tentu tak akan berbuat begitu."
Ma Hoat Thong mengangguk. "Kong kian Seng ceng telah dibinasakan oleh Cia Sun," katanya.
"Semua murid Siauw lim sie bertekat untuk membalas sakit hati. Sebenarnya kalian berdua tak usah banyak capai. Kalian hanya perlu menghadiri pertemuan itu dan menyaksikan kebinasaan Cia Sun. Tanpa mengangkat tangan, sakit hati kalian sudah terbalas. Perlu apa Touw loosianseng merusak kuping sendiri dan menempuh bahaya besar?"
Ek Sam Nio tertawa dingin.
"Hm" ! Kalian tak tahu bahwa anak lelaki tunggal kami, tanpa sebab, tanpa lantaran, sudah dibunuh Cia Sun," katanya dengan suara parau. "Sakit hati sedalam lautan, untuk membalas sakit hati itu, mana bisa kami hanya memainkan peranan sebagai penonton" Begitu bertemu dengan bangsat she Cia itu, aku akan tusuk kedua kupingnya dan kami berdua rela untuk binasa bersama sama dia. Huh.. huh!... untuk membalas sakit hati itu, kami tak memperdulikan segala akibatnya. Kami tidak menghiraukan kalau kami mesti melanggar Siauw lim pay, Bu tong pay atau pay apapun juga."
Mendengar keterangan itu, Bu Kie bergidik. "Karena perbuatan Seng Kun Giehu melampiaskan amarahnya kepada orang-orang yang tidak berdosa," pikirnya. Suami isteri Touw kelihatannya bukan orang jahat. Tapi sakit hati mereka sudah pasti tak akan bisa didamaikan. Hai!.... jalan satu-satunya bagiku adalah menolong Giehu dan membawanya ke tempat jauh, supaya permusuhan tidak bertambah hebat."
Sesudah itu Bu Kie tak dengar suara apa apa lagi. Ia mengintip dari sela sela papan dan mendapat kenyataan bahwa suami isteri Touw dan ketiga tamunya bicara dengan menulis huruf huruf di meja dengan menggunakan air the. "Mereka sungguh berhati-hati," katanya dalam hati.
"Giehu banyak musuhnya dan To liong to mempunyai daya tarik yang sangat hebat. Dilihat gelagatnya, sebelum Toan ngo Siauw lim sie bakal disatroni oleh banyak orang pandai. Kalau penjagaan kurang kuat, Giehu bisa mati konyol. Aku harus mencoba menolong secepat mungkin."
Sebab tidak bisa mengorek rahasia lagi, Bu Kie lantas tidur. Pada keesokan paginya, Ceng hay Sam kiam sudah berlalu. "Popo," kata Bu Kie kepada si nenek. "Semalam mengapa ketiga tooya itu masuk ke kamar dengan golok terhunus" Aku takut setengah mati dan menduga mereka datang untuk menangkap kami."
Mendengar Bu Kie menamakan pedang sebagai golok si nenek tertawa di dalam hatinya. "Mereka nyasar dan sesudah minum teh, mereka berlalu," jawabnya. "Can Siauwko, sesudah tengah hari kami ingin membawa tiga pikul kayu bakar ke kuil Siauw lim sie untuk dijual. Bolehkah kau membantu kami"
Kepada para pendeta kami akan mengaku kau sebagai anak supaya mereka tidak curiga. Isterimu sangat cantik, sebaiknya menunggu saja di rumah."
Bu Kie mengerti bahwa kedua orang itu mau menyelidiki keadaan Siauw lim sie. Ia girang dan lantas menyahut, "Aku akan menurut semua perintah Popo harapanku yang satu satunya Popo suka menerima kami menumpang di sini. Kami sudah lelah berlarian kesana sini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lohor itu Bu Kie mengikuti suami isteri Touw, dengan masing-masing memikul satu pikul kayu bakar.
Bu Kie memakai tudung besar, kasur rumput dan di pinggangnya terselip kapak pendek. Selagi mereka berangkat, Tio Beng berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.
Mereka berjalan perlahan lahan dan berlagak tersengal-sengal. Setibanya di pendopo di luar kuil Siauw lim sie, mereka berhenti mengaso. Di pendopo itu terdapat dua orang yang mengawasi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Ek Sam Nio membuka bungkusan kepala yang terbuat dari kain kasar dan menggunakan untuk menyusut keringat, sesudah itu ia menyusut keringat Bu Kie. "Nak, apa kau sudah capai?" tanyanya.
Waktu keringatnya disusuti, Bu Kie merasa agak jengah. Tapi begitu mendengar suara si nenek, jantungnya memukul keras. Itulah suara yang bernada rasa cinta dan yang keluar dari hati setulusnya. Ia melirik dan melihat air mata yang berlinang-linang di kedua mata si nenek. Ia tahu, bahwa orang tua itu ingat anaknya sendiri, yang telah dibunuh Cia Sun. Sesudah menanya nenak itu mengawasi Bu Kie dengan sorot mata meminta jawabah. Bu Kie tak tega dan segera menjawab dengan suara lemah lembut.
"Ibu, aku tidak capai. Kau sendirilah yang sudah capai."
Begitu mendengar perkataan "Ibu" air mata si nenek lantas mengucur. Buru buru ia menyusut mukanya. Touw Pek Tong lantas saja bangun dan memikul pikulannya. Sambil mengulapkan tangan kirinya, ia lantas bertindak keluar dari pendopo itu. Ia tahu, bahwa isterinya bersedih dan kalau mereka berdiam lama lama, kedua pendeta itu bisa bercuriga. Sebelum berangkat, Bu Kie menghampiri pikulan si nenek dan menaruhnya di pikulannya sendiri. "Ibu, mari!" katanya.
Melihat kecintaan Bu Kie, Ek Sam Nio jadi makin sedih. "Jika puteraku masih hidup, kemungkinan dia lebih tua daripada pemuda ini," pikirnya. "Mungkin sekarang aku sudah mengempo cucu. Sambil mikir begitu, ia segera memikul pikulannya. Karena berduka, tindakannya agak limbung dan Bu Kie yang melihat itu lantas saja kembali dan menuntun tangan si nenek.
"Anak itu sangat berbakti," kata salah seorang pendeta.
"Popo apa kamu mau bawa kayu itu ke Siauw lim sie?" seru pendeta yang lain. "Sedari beberapa hari berselang, Hong thio telah mengeluarkan peraturan bahwa orang luar tidak boleh datang ke kuil.
Sebaiknya kau jangan pergi!"
Ek Sam Nio terkejut. Kalau mereka tidak bisa masuk dengan menyamar, penjagaan Siauw lim sie yang sangat kuat sukar ditembus. Sementara itu, melihat isterinya dan Bu Kie berhenti, Touw Pek Tong yang sudah berjalan lebih dahulu juga turut berhenti.
"Mereka keluarga baik," kata pendeta yang pertama. "Ibu mencintai anak, anak berbakti kepada ibunya. Kita patut menolong. Sutee, ajaklah mereka ke dapur. Kalau diketahui pengawas, katakan saja penduduk dusun sini yang biasa menjual kayu bakar."
"Baiklah," jawabnya. Ia lalu membawa suami isteri Tauw dan Bu Kie ke dapur dengan masuk dari pintu belakang. Sesudah tiga pikul kayu bakar itu dimasukkan ke gudang dan harganya dibayar oleh hweesio pengurus dapur, Ek Sam Nio berkata. "Kami menanam piecay yang sangat bagus. Besok aku akan suruh A Goe membawa beberapa kati untuk para suhu, sebagai pernyataan terima kasih kami."
Pendeta yang mengantar mereka tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Tak bisa," katanya. "Mulai besok, siapapun jua tak boleh masuk di sini. Kalau ketahuan aku bisa celaka."
Pendeta pengawas dapur mengawasi Bu Kie dan tiba-tiba ia berkata. "Selama perayaan Toan ngo, kita bakal menerima kira-kira seribu tamu. Kita akan sangat repot, masak, pikul air, bacok kayu bakar dan sebagainya. Kulihat saudara ini bertubuh kuat. Apa kau mau bantu di sini selama dua bulan" Setiap bulan kau akan menerima lima tahil perak."
Ek Sam Nio girang. "Bagus!" katanya. "A Goe, di rumah tidak ada kerjaan penting. Kalau kau bisa bekerja di sini dan mendapat beberapa tahil perak, kau bisa membantu ongkos rumah tangga."
Bu Kie bersangsi. Di antara tokoh tokoh Siauw lim sie banyak yang mengenal dia. Kalau salah seorang datang ke dapur, ia bisa dikenali. Maka itu ia lantas berkata, "Ibu" isteriku?"
Si nenek tidak menyia nyiakan kesempatan yang begitu baik, ia segera berkata, "Apa kau takut aku aniaya isterimu" Turutlah perkataanku. Kau berdiam di sini dan bekerja baik2. Beberapa hari lagi ibu dan isterimu akan menengok kau. Hm!... kau sudah begitu besar, tapi masih belum ketinggalan ibu. Apa kau
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
masih menetek?" Setelah berkata begitu, sambil membereskan rambutnya, ia mengawasi Bu Kie dengan sorot mata penuh kecintaan.
Dalam menghadapi pertemuan orang2 gagah, sudah banyak hari pendeta pengurus dapur merasa jengkel. Pekerjaan mempersiapkan makanan dan minuman untuk begitu banyak orang bukan pekerjaan enteng. Pendeta pengawas kuil sudah mengirim banyak pembantu, tapi semua tidak memuaskan. Pendeta-pendeta Siaulw lim pay kalau bukan mempelajari kitab-kitab suci tentu belajar ilmu silat. Pekerjaan di dapur tak ada yang suka. Orang-orang yang dikirim oleh pengawas pergi ke dapur dengan perasaan mendongkol, mereka di dapur tidak mau bekerja. Apabila tingkatannya lebih tinggi daripada pengurus dapur, mereka lebih-lebih sungkan diperintah. Itulah sebabnya mengapa pengurus dapur itu bertekad untuk mendapat bantuan Bu Kie yang kelihatannya kuat dan rajin. Ia lalu membujuk berulang2.
Sebenarnya, sesudah memperhitungkan untung ruginya, tawaran itu menggirangkan Bu Kie. Tapi sengaja ia mengunjuk lagak sangsi. Sesudah pendeta yang mengantarkannya turut membujuk, barulah ia mengiakan dengan tawaran. "Suhu," katanya. "Kalau aku bisa minta enam tahil perak sebulan, lima tahil untuk ibu dan setahil untuk isteriku membeli pakaian?"
Pengurus dapur tertawa terbahak-bahak. "Baiklah! Enam tahil perak sebulan!"
Sesudah memberi pesanan berulang-ulang supaya Bu Kie bekerja baik-baik, barulah bersama suaminya, Ek Sam Nio turun gunung.
Atas pertanyaan Bu Kie, pendeta pengurus dapur memberitahukan bahwa nama sebagai seorang pendeta adalah Hui cie. Mulai hari itu, Bu Kie melakukan rupa-rupa pekerjaan kasar, seperti bacok kayu, ambil arang, nyalakan api, pikul air dan sebagainya. Ia sengaja menghitamkan mukanya, sehingga waktu berkaca di air, ia sendiri tidak mengenalinya.
Malam itu, bersama lain-lain pekerja dia tidur di sebuah rumah kecil di samping dapur. Ia tahu bahwa Siauw lim sie sarang harimau dan di antara pendeta-pendeta yang berkedudukan rendah kadang-kadang terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Maka itu, ia sangat ber-hati2 setiap gerak geriknya. Selama kurang lebih seminggu, dua kali Ek Sam Nio dan Tio Beng menyambanginya. Ia bekerja keras, dari pagi sampai malam dan tidak pernah menampik pekerjaan apapun juga, sehingga pengurus dapur sangat menyayanginya. Iapun bergaul rapat dengan semua kawan. Tapi mereka tidak berani menanya ini atau itu yang bersangkut paut dengan Cia Sun. Ia hanya memasang kuping dan mata. Ia berpendapat bahwa manakala ayah angkatnya berada di Siauw lim sie, orang tentu harus mengantarkan makanan. Kalau tugas mengantarkan makanan diberikan kepadanya, ia akan bisa tahu dimana ayah angkatnya dikurung. Tapi sesudah bersabar beberapa hari, ia belum juga menemukan sesuatu yang memberi harapan.
Pada hari kesembilan, selagi tidur lapat-lapat Bu Kie mendengar bentak-bentakan. Perlahan-lahan ia bangun dan sesudah mendapat kepastian, bahwa semua kawannya sedang tidur pulas, ia segera pergi ke arah suara itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia sangat berhati-hati. Saban-saban ia melompat naik ke pohon besar dan memperhatikan keadaan di seputarnya. Sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar tempat itu tidak ada manusianya, barulah ia berani maju dan kemudian naik lagi ke atas lain pohon. Tak lama kemudian ia sudah lihat satu pertempuran yang dilakukan oleh beberapa orang. Ia segera bersembunyi di belakang pohon dan memperhatikan pertempuran itu. Karena berada di hutan yang gelap, ia tak bisa lihat mukanya orang-orang yang berkelahi. Ia hanya lihat berkelebat-kelebatnya senjata dan enam orang yang sedang bertempur, dengan masing-masing pihak terdiri dari tiga orang. Selang beberapa saat ia mengenali bahwa pihak yang satu itu adalah Ceng hay Sam kiam yang ketika itu sedang membela diri dengan Sam cay tin palsu. "Tin" itu sangat rapat, tapi ketiga pendeta Siauw lim yang bersenjata golok ternyata memiliki kepandaian tinggi dan terus merangsek dengan hebatnya. Tak lama kemudian, salah seorang dari Ceng hay Sam kiam roboh terbacok. Begitu lekas "tin" itu pecah, pembelaan diri dari dua orang yang masih hidup lantas kalang kabut. Selang beberapa jurus terdengar teriakan menyayat hati dan seorang pula roboh terguling. Didengar dari suaranya, yang roboh itu ialah Ma Hoat Thong. Orang yang terakhir, yang lengannya sudah terluka, terus melawan secara nekat.
Tiba-tiba salah seorang pendeta membentak. "Tahan!" Anggota Ceng hay Sam kiam yang masih hidup itu yaitu In Ho tetap dikurung, tapi serangan segera dihentikan. "Cang hay Giok cin koan dengan Siauw lim sie sama sekali tidak bermusuhan," kata seorang pendeta tua. Mengapa kamu menyatroni kuil kami di tengah malam?"
"Sesudah kami kalah, perlu apa banyak bicara lagi?" kata In Ho dengan suara parau.
Pendeta tua itu tertawa dingin. "Kamu datang untuk Cia Sun atau untuk To liong to?" tanyanya pula.
"Aku belum pernah dengar, bahwa Giok cin koan bermusuhan dengan Cia Sun. Huh huh!... kamu tentu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
datang untuk merebut To liong to. Dengan kepandaian yang tidak berarti itu, kamu berani menyatroni kuil kami. Selama seribu tahun lebih Siauw lim sie, kuil kami ini telah memimpin Rimba Persilatan. Aku tak nyana ada orang yang memandang kami begitu rendah."
Selagi dia bicara, mendadak In Ho menikam bagaikan kilat. Pendeta itu berkelit, tapi tak urung pundak kirinya tertikam juga. Dua kawannya lantas membacok dan In Ho roboh binasa.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ketiga pendeta itu memanggul mayat Ceng hay Sam kiam dan kembali ke kuil. Baru saja Bu Kie mau menguntit, tiba-tiba kupingnya mendengar suara bernafasnya manusia. "Sungguh berbahaya!" pikirnya. Ia tidak berani bergerak. Berselang kira2 setengah jam, dari rumput2 tinggi barulah terdengar suara tepukan tangan yang disambut oleh lain-lain tepukan. Di lain saat enam pendeta yang memegang macam-macam senjata muncul dari tempat persembunyiannya. Mereka balik ke kuil dengan berjalan dalam barisan yang berbentuk kipas.
Sesudah mereka pergi jauh, Bu Kie kembali ke pondokannya. Para pekerja dapur ternyata masih tidur pulas. "Kalau bukan melihat dengan mata sendiri, aku tak akan menduga bahwa dalam sekejap tiga orang gagah sudah mengorbankan jiwanya," pikirnya. Dengan adanya pengalaman itu, ia lebih berhati-hati.
Beberapa hari lagi sudah lewat pertengahan bulan empat. Hawa udara berubah hangat dan perayaan Toan ngo sudah berada di ambang pintu. Hari lepas hari, Bu Kie bertambah bingung. Kalau tidak berlaku nekad, aku tentu tak akan bisa tahu dimana Giehu dikurung," pikirnya. "Malam ini biar bagaimanapun juga, aku harus berani menempuh bahaya." Ia tahu, bahwa ilmu silatnya lebih tinggi dari pendeta Siauw lim manapun juga. Tapi dengan seorang diri, ia tak berdaya. Siauw lim sie sarang harimau dan dengan kekerasan ia pasti takkan bisa menolong ayah angkatnya. Jalan satu2nya ialah menggunakan tipu.
Malam itu kira2 tengah malam ia keluar dan melompat ke atas genteng. Tiba-tiba dua bayangan hitam mendatangi dari selatan ke utara. Buru-buru ia mendekam. Kedua bayangan itu adalah pendeta Siauw lim yang meronda.
Sesudah peronda itu lewat, Bu Kie bergerak maju. Tapi baru berjalan beberapa tombak, kupingnya mendadak menangkap suara tindakan yang sangat enteng. Sekali lagi ia menyembunyikan diri. Yang datang kali ini juga dua peronda. Bu Kie mengerti bahwa penjagaan diperkeras sebab para pemimpin Siauw lim sie tahu, kali ini kuilnya bakal disatroni oleh banyak tokoh Rimba Persilatan. Sesudah melihat penjagaan yang hebat itu, Bu Kie merasa bahwa jika ia maju terus, ia bakal dipergoki.
Tiga hari lewat. Malam itu geledek bergemuruh, kilat menyambar nyambar dan turunlah hujan yang sangat besar. Tak kepalang girangnya Bu Kie. "Thian membantu aku!" katanya di dalam hati.
Makin lama hujan makin besar. Langit gelap gulita. Sesudah berdandan rapi, dengan tetap berhati-hati Bu Kie pergi ke gedung sebelah depan. "Lo han tong, Tat mo tong, Cong kek kok dan tempatnya Hong thio adalah tempat-tempat penting," pikirnya. Biarlah lebih dulu aku menyelidiki di situ."
Tapi Siauw lim sie besar. Ia tak tahu dimana Lo han tong, dimana Cong kek kok. Indap indap ia maju, waktu tiba di sebuah lorong sayup sayup ia ingat, bahwa ia pernah berada disitu. Aha benar.. dulu waktu ia diajak Thio Sam Hong datang di Siauw lim sie untuk meminta pelajaran Siauw lim Kioe yang kang guna mengobati lukanya akibat pukulan Hian beng Sin ciang, ia pernah lewat di lorong itu dan sesudah membiluk ke kiri ia pergi ke kamar Seng kun atau Goan tin. Sesudah berpikir sejenak, ia mengambil keputusan untuk menyelidik kamar rahasia itu.
Perlahan-lahan ia maju sambil mengingat-ingat jalan yang dulu dilewatinya. Sesudah melalui jalanan kecil yang tertutup batu batu sebesar telur itik dan sesudah melewati sebuah hutan-hutan bambu tibalah ia di depan kamar Seng Kun.
Jantungnya memukul keras. Ia tahu Seng Kun berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Jika rahasianya bocor, kesudahannya tak dapat diramalkan. Ketika itu pakaiannya basah kuyup. Sambil mengentengkan tubuhnya ia menghampiri jendela dan memasang kuping. Di dalam terdengar suara orang. Dengan satu perkataan saja ia mengenali bahwa yang bicara adalah Kong bun Taysu, Hong thio atau kepala kuil Siauw lim sie.
"Karena Kim mo Say ong, selama sebulan Siauw lim pay sudah membinasakan dua puluh orang," kata Kong bun. Pada hakekatnya ini bukan cara cara agama kita yang berdasarkan belas kasihan. Beng kauw
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Co su Yo Siauw, Yoe su Han Yauw Peh bie Eng ong We It Siauw dengan beruntun telah mengirim utusan untuk meminta supaya kita melepaskan Cia Sun."
Mendengar sampai disitu, Bu Kie merasa terhibur. Sedikitpun ia mendapat tahu, bahwa tokoh tokoh Beng kauw sudah bertindak.
Sesudah berdiam sejenak, Kong Bun berkata pula. "Kita menolak, tapi Beng kauw tidak akan menyudahi dengan begitu saja. Thio Kauwcu berkepandaian sangat tinggi sampai sekarang ia belum muncul. Kukuatir ia bekerja dengan diam-diam."
Aku dan Kong tie Sutee pernah ditolong olehnya dan kami berhutang budi. Manakala ia sendiri meminta bagaiman kita harus menjawabnya" Hari ini ketiga Susiok coba menanyakan Cia Sun tentang kebinasaan Kong kian Su heng. Tapi dia menutup mulut. Hal ini benar-benar sukar. Sutee, Sutit, bagaimana pikiranmu?"
Seorang tua batuk-batuk beberapa kali. Sesudah itu ia berkata, "Hong thio Susiok terlalu banyak berkuatir. Dengan dijaga ketiga Thay susiok, Cia Sun tak akan bisa lari dan tak akan bisa ditolong oleh siapapun juga. Eng hiong Tay hwee bersangkut paut dengan nama baiknya Siauw lim pay sebagai pemimpin Rimba Persilatan selama ribuan tahun. Budi kecil dari pihak Mo-kauw, Hong thio Susiok tak usah terlalu pikiri. Apa pula dalam urusan itu sebenar benarnya secara menggelap Mo kauw telah bersekutu dengan kerajaan Goan dalam usaha mencelakai enam partai. Apa Hong thio Susiok belum tahu kenyataan itu?"
Bu Kie mengenali bahwa yang bicara adalah Seng kun yang dikenal sebagai Goan tin (Thay Susiok kakek paman guru, Seng Kun murid Kong kian, sehingga Kong bun dan Kong tie adalah paman gurunya.
Thay Susiok Seng kun ialah tokoh tokoh Siauw lim pay yang tingkatannya lebih atas daripada Kong kian Taysu dan saudara saudara seperguruannya).
"Cara bagaimana Beng kauw bisa bersekutu dengan kerajaan?" tanya Kong bun dengan heran.
"Thio Kauwcu sebenarnya harus nikah dengan Ciu Kouwnio, Ciangbunjin Go bie pay," Coan tin menerangkan. "Pada hari pernikahan, Kuncu Nio nio puteri Jie lam ong mendadak muncul dan kemudian kabur bersama sama bocah she Thio itu. Kejadian ini menggemparkan seluruh Kang ouw. Hong thio Susiok tentu sudah mendengarnya."
"Benar, aku pernah dengar cerita itu," kata Kong bun.
"Di antara jago jagoannya Kuncu Nio nio itu terdapat orang yang dikenal sebagai Kouw Touwtoo,"
kata pula Goan tin. "Di Ban hoat-sie, Jie wie Susiok tentu sudah pernah bertemu dengan dia."
"Hm!..." Kong tin mengeluarkan suara di hidung dengan paras muka gusar. Ia rupa-rupanya ingat kejadian dahulu. "Sesudah urusan di sini beres, aku ingin pergi ke kota raja untuk mencari Kouw Touw too."
"Apa Jie wie Susiok tahu siapa sebenarnya Kouw Touw too?" tanya Goan tin.
"Dia berpengetahuan luas dan dia agaknya paham segala rupa ilmu silat," kata Kong tie.
"Tapi aku sendiri tak bisa lihat asal usulnya. Kouw touwtoo itu bukan lain daripada Kong beng Yoe su Hoan Yauw," kata Goan tin.
Kong bun dan Kong tie terkejut. "Apa benar?" tanya mereka dengan berbareng.
"Mana berani Goan tin mendustai Susiok," jawabnya. "Kalau dia benar akan datang di sini, Jie wie Susiok akan bisa membuktikan sendiri."
Sesudah berpikir sejenak Kong tie berkata, "Kalau begitu memang benar Thio Bu Kie bersekutu dengan Kuncu itu. Si Kuncu menangkap tokoh-tokoh enam partai dan Thio Bu Kie berlagak melepas budi dan memberi bantuan."
"Rasanya memang begitu," sahut Goan tin.
"Tapi menurut penglihatanku, Thio Kauwcu seorang ksatria yang jujur dan bukan manusia jahat," kata Bong bun. "Kita tidak boleh sembarangan menuduh orang yang baik."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tapi Hong thio Susiok jangan lupa, bahwa menurut katanya pepatah kita bisa mengenal muka tapi sukar mengenal hati orang," kata Goan tin. "Cia Sun adalah ayah angkatnya Thio Bu Kie. Mungkin sekali tanpa memperdulikan segala apa dan dengan menggunakan segala rupa daya, Mo kauw akan coba menolong Cia Sun. Pada hari Toa say Tay hwee segala apa akan menjadi terang."
Sesudah itu mereka bertiga lalu merundingkan soal menyambut tamu, melawan musuh dan menghitung-hitung tokoh tokoh berbagai partai yang berkepandaian tinggi. Didengar dari perkataannya, siasat Goan tin ialah mengadu domba berbagai partai persilatan dan kemudian sesudah partai-partai itu rusak, barulah Siauw lim pay tampil ke muka dan secara resmi menjadi partai yang menguasai To liong to. Dan sesudah itu, barulah Cia Sun dibunuh dan diadakan sembahyangan untuk rohnya Kong kian. Tapi Kong bun sendiri kelihatannya tidak berani memandang enteng kepada Beng kauw.
"Tapi biar bagaimanapun juga, yang paling penting ialah mengorek rahasia dimana adanya To liong to dari mulut Cia Sun," kata Kong tie. "Kalau kita tidak berhasil memiliki senjata itu, maka To say Tay hwee bukan saja tidak ada artinya, bahkan dapat menurunkan derajat partai kita."
"Sutee benar," kata Kong bun. "Dalam pertemuan itu kita harus memperlihatkan To liong to untuk mengangkat tinggi derajat partai. Kita harus bisa mengumumkan bahwa To liong to yang termulia dalam Rimba Persilatan sudah dikuasai oleh partai kita. Dengan demikian partai kita akan bisa memerintah dalam Rimba Persilatan tanpa ada yang berani tidak menurut."
"Ya, begitu saja," kata Kong tie. "Goan tin sekarang kau pergilah untuk coba membujuk Cia Sun supaya dia suka memberitahukan dimana adanya To liong to. Katakanlah kepadanya bahwa jika ia menurut, kita akan mengampuni jiwanya."
"Baik," jawabnya. "Serahkan tugas ini kepada Goan tin. Aku tanggung, sebelum hari Toan ngo sudah memiliki To liong to." Kemudian terdengar suara tindakan yang sangat enteng dan bayangan Goan tin berkelebat keluar dari kamar itu.
Tak kepalang girangnya Bu Kie. Tapi ia mengerti, bahwa ketiga pendeta itu berkepandaian tinggi. Jika ceroboh gerak geriknya bakal diketahui. Maka itu ia segera menahan nafas. Ia lihat bayangan Goan tin berlari-lari ke jurusan utara. Dia memakai payung kertas minyak dan jatuhnya air hujan di payung menerbitkan suara yang agak keras. Sesudah musuh itu berjalan belasan tombak, barulah Bu Kie berani menguntit.
DALAM HUJAN, penjagaan banyak kendur. Dengan mengandalkan ilmu ringan badan dan dengan bantuan sang hujan, Bu Kie bisa maju terus dengan selamat. Ia lihat Goan tin melompati tembok dibelakang kuil dan terus ke utara. "Kalau begitu Giehu dikurung diluar Siauwlimsie," pikirnya. Ia tidak berani melompat tembok dengan begitu saja. Ia menempelkan badannya ditembok dan kemudian memanjat dengan perlahan. Sesudah tiba diatas, ia menunggu sampai peronda lewat dan sesudah itu, barulah ia melompat turun. Ketika itu Goan tin sudah berada jauh didepan, kira-kira seratus tombak.
Lapat-lapat ia lihat manusia itu membiluk kekiri dan menuju kescbuah bukit kecil.
Goan tin adalah gurunya Cia Sun dan waktu itu ia sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi ia masih gagah dan gesit. Selagi memanjat bukit, payungnya tidak bergoyang dan tubuhnya seolah olah ditarik keatas dengan seutas tambang. Bu Kie mempercepat tindakannya. Tapi baru saja ia tiba dikaki bukit, dari antara pohon2 mendadak berkelebat bayangan manusia. Dengan cepat ia menghentikan tindakan. Sesaat kemudian muncul empat orang, tiga didepan satu dibelakang, yang lalu memanjat bukit itu.
Bu Kie mengawasi keatas. Dipuncak hanya terdapat beberapa pohon siong yang sudah tua dan sama sekali tidak terdapat rumah atau gubuk. "Dimana Gihu dipenjarakan?" tanyanya di dalam hati. Dipuncak itu juga tidak terlihat manusia. Dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia segera ikut memanjat bukit.
Ke empat orang itu memiliki ilmu meringankan badan yang cukup tinggi. Dalam memanjat bukit, mereka seperti juga berjalan di tanah datar. Bu Kie mengempos semangat dan mengudak. Dalam beberapa saat saja ia sudah berada dalam jarak kira-kira dua puluh tombak dari orang-orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa diantara mereka terdapat seorang wanita. Ketiga pria mengenakan pakaian biasa, sehingga bisa dipastikan bahwa mereka itu bukan pendeta Siauw lim sie. Mereka tentu datang untuk mencelakai Gihu "
pikirnya. "Biar mereka bertempur dulu dengan Goan tin dan kemudian barulah aku turun tangan."
Waktu mendekati puncak, keempat orang itu lari makin cepat. Tiba-tiba Bu Kie mongenalinya, antaranya, "Ah! Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham!" katanya di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sekonyong konyong, sambil bersiul nyaring Goan tin memutar tubuh dan turun lagi dari bukit itu dengan berlari-lari. Ternyata ia sudah tahu, bahwa dirinya dikuntit orang. Gerakan Bu Kie cepat luar biasa. Begitu lihat Goan tin memutar tubuh ia melompat ke rumput tinggi dan lalu merangkak kesebelah kiri, sehingga dalam sekejap ia sudah berada di tempat puluhan tombak jauhnya. Dilain saat ia dengar suara beradunya senjata. Dari suara itu, ia tahu, bahwa dua orang mengerubuti Goan tin. "Ah! Yang dua lagi tentu menyateroni Gihu!" pikirnya. Buru-buru ia merangkak keluar dari rumput tinggi kan mendaki bukit secepat mungkin.
Setibanya dipuncak, ia merasa sangat heran. Seperti dilihat dari bawah, puncak itu hanya merupakan tanah datar. Disitu haaya terdapat tiga pohon siong tua yang tumbuh dalam bentuk segi tiga. "Dimana adanya Gihu?" tanyanya di dalam hati. Sesaat kemudian ia dengar suara orang. "Kita harus lantas turun tangan, Sat Sutee dan Lam Sutee belum tentu bisa melayani pendeta itu." Itulah suara Pan Siok Ham.
"Benar" jawab Ho Thay Ciong.
Mendadak kedua orang itu yang mendaki bukit dengan merangkak bangun berdiri dan lalu menerjang kearah tiga pohon siong. Karena kuatir ayah angkatnya celaka Bu Kie segera mengudak.
Sekonyong-konyong Ho Thay Ciong mengeluarkan suara "huh!" seperti orang terluka. Bu-Kie mengawasi. Ia lihat suami isteri Ho itu memutar pedang sambil berdiri diantara ketiga pohon siong.
Mereka seperti juga sedang bertempur tapi lawannya tak kelihatan. Dilain saat terdengar suara "tak tak tak!" seolah-olah pedang kedua suami isteri itu kebentrok dengan semacam senjata. Dengan heran Bu Kie mendekati dan tiba-tiba saja ia terkesiap. Dipongkol dua pohoo siong yang berada didepannya ternyata terdapat sebuah lubang berduduk seorang pendeta tua yang masing-masing memegang seutas tambang untuk menyerang suami isteri Ho. Pohon yang ketiga membelakangi Bu Kie, sehingga tidak bisa lihat keadaannya. Tapi sebab dari samping pohon itu juga keluar seutas tambang, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dipangkal pohon itupun terdapat seorang pendeta. Pada malam yang gelap itu, Bu Kie tak bisa lihat tegas gerakan2 tiga tambang itu.
Dalam pertempuran itu Ho Tay Ciong dan isterinya kelihatan repot sekali. Mereka memutar pedang bagaikan kitiran dan membuat garis pembelaan yang sangat rapat. Beberapa kali mereka membentak keras dan coba menerjang keluar, tapi selalu dipukul balik dengan ketiga tambang itu.
Bu Kie kaget tercampur kagum. Tambang hitam itu sama sekali tidak mengeluarkan suara dan kenyataan ini membuktikan, bahwa Lweekang ketiga pendeta itu sudah mencapai puncak kesempurnaan,
"Goan tin mengatakan, bahwa Giehu dijaga oleh tiga Thaysusioknya," pikir Bu Kie, "Ketiga pendeta itu tentulah juga paman guru dari Kong kun dan Kong tie. Mereka mempunyai Lweekang yang sudah dilatih selama tujuh-puluh tahun. Kalau aku harus melawan mereka, aku pasti akan kalah."
Mendadak mendengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari Ho Thay Ciong yang punggungnya terpukul tanbang dan tubuhnya terlempar keluar dari gelanggang. Ia jatuh rebah dan kelihatannya sudah binasa. Pan Siok Ham gusar dan sedih. Dilain detik, karena tidak berwaspada, kepalanya terpukul pecah. Seutas tambang menyambar dan melemparkan mayatnya keluar gelanggang.
Sementara itu Goan-tin berkelahi sembari mundur. "Mari! Mari! Kalau kamu berani, maju terus untuk menerima kebinasaan!" ia berteriak ber-ulang2 untuk memancing lawannya.
Orang she Sat dan she Lam itu adalah jago-jago Kun-lun-pay. Mereka tahu, bahwa si pendeta tengah memancing mereka, tapi mereka tidak takut dan terus mendesak. Dalam ilmu silat, biarpun dikerubuti, Goan-tin tidak kalah. Tapi menurut perhitungannya, paling banyak ia binasakan seorang lawan dan yang lain tentu melarikan diri. Maka itu, ia memancing mereka ke pohon siong supaya kedua-duanya bisa dibunuh oleh Thay-susioknya. Waktu berada dalam jarak beberapa tombak dari pohon siong, kedua jago Kun-lun itu mendadak lihat mayat Ho Thay Ciong. Dangan serentak mereka berhenti. Tiba-tiba dua utas tambang menyambar dan melibat pinggang mereka. Dengan sekali disentak, tambang-tambang itu melempar tubuh mereka. Ditengah udara mereka berteriak dan jatuh tanpa bernyawa lagi.
Melihat caranya ketiga pendeta itu membinasakan empat tokoh Kun lun pay, Bu Kie meleletkan lidah.
Itulah kepandaian yang belum pernah dilihatnya. Kepandaian itu lebih tinggi daripada yang dimiliki Hian beng Jielo. Biarpun belum bisa menyamai Thio Sam Hong kepandaian mereka sudah boleh dikatakan mencapai puncak kesempurnaan. Bahwa Siauw lim pay masih mempunyai tetua yang berkepandaian sedemikian tinggi mungkin tidak diketahui oleh Thio Sam Hong dan Yo Siauw yang berpengetahuan luas. Hati Bu Kie berdebar-debar. Ia terus mendekam di rumput tinggi, tanpa berani bergerak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sementara itu, sambil mengeluarkan senyuman mengejek Goan tin menendang mayat Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham kesebuah jurang yarg sangat dalam. Bu Kie berduka. "Biarpun Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham pernah membalas kebaikan dengan kejahatan terhadapku dan biarpun mereka ingin mencelakai Gie hu, mereka adalah pemimpin-pemimpin sebuah partai besar." Pikirnya, "Bahwa mereka harus mati cara begitu, adalah kejadian yang mendukakan."
Dilain saat, Goan tin menghampiri Thay susioknya dan berkata sambil membungkuk. "Sam wie Thay susiok mempunyai kepandaian yang tidak terbatas. Dalam sekejap Thay susiok sudah binasakan empat tokoh Kun-lun pay. Rasa kagum Goan tin tak dapat dilukiskan lagi.
Salah seorang mengeluarkan suara di hidung. Mereka tidak menjawab perkataan si penjilat.
"Atas perintah Hong thio Su siok, Goan-tin datang untuk menanyakan kewarasan Sam-wie Thay susiok," katanya pula. "Disamping itu, Goan tin juga diperintahkan untuk berbicara dengan orang yang dipenjarakan".
"Kong kian Sutie seorang mulia dan berkepandaian tinggi," kata salah seorang pendeta tua. "Kami sangat mencintai dan kann mengharap ia akan bisa memperkembang ilmu silat kita. Tak dinyana ia binasa dalam tangan penjahat itu. Selama puluhan tahun kami menutup diri dan tidak mencampuri lagi urusan dunia. Hanialah karena memandang muka Kong kian Sutie, kami rela menjaga tempat ini. Penjahat itu pantas mendapat hukuman mati, maka perlu apa rewel-rewel lagi ?"
Perkataan Thay susiok memang tidak salah," kata Goan tin seraya membungkuk. ''Tapi Hong thio Susiok mengatakan, bahwa biarpun In su benar dibunuh oleh penjahat itu, tapi mengingat kepandaian In su yang sangat tinggi, maka timbullah pertanyaan, apa benar dengan seseorang diri penjahat itu bisa membunuh In-su " Sekarang kita penjarakan dia disini dan meminta bantuan Sam wie Thay susiok untuk menjaganya. Maksud kita pertama ialah untuk memancing kawan-kawan penjahat itu supaya kita bisa membasmi musuh-musuh yang mencelakai In su dengan sekali pukul dan kedua, untuk memaksa dia supaya menyerahkan To liong to supaya golok mustika itu tidak jatuh ke tangan lain partai.
Apabila To liong to direbut oleh partai lain, maka partai itu juga akan merebut julukan "Bulim Cie cuh" (
yang termulia dalam Rimba Persiiatan), sehingga dengan demikian, derajat Siauw lim pay yang sudah dipertahankan selama ribuan tahun akan merosot." (In su: Guruku yang budinya besar).
Mendengar itu, bukan main gusarnya Bu Kie. "Goan tin benar-benar jahat!" katanya di dalam hati.
"Dengan lidahnya yang beracun, dia lagui ketiga pendeta itu yang selama puluhan tahun menutup diri.
Hmm ! .... Dia coba menggunakan tangan mereka untuk membinasakan tokoh-tokoh Rimba Persilatan."
Salah seorang pendeta tua itu mengeluarkan suara di hidung. "Ya, kau boleh bicara dengan dia,"
katanya." Ketika itu hujan belum berhenti dan guntur saban-saban bergemuruh, sehingga keadaan jadi lebih menyeramkan. Goan tin pergi ke antara tiga pohon siong itu, berlutut dan berkata "Cia Sun, apa kau sudah pikir masak-masak" Begitu lantas kau beritahukan, dimana To liong-to disembunyikan, aku akan segera melepaskan kau."
Bu Kie heran,"Apa Giehu dikurung dalam penjara di bawah tanah?" tanyanya di dalam hati."
Mendadak salah seorang pendeta tua membentak dengan gusar. "Goan tin! Seorang beribadat tidak boleh berjusta! Mengapa kau justai dia" Kalau dia beritahukan dimana adanya To liong to, apakah kau akan benar-benar melepaskan dia?"
"Biarlah Thay susiok mengetahui, bahwa menurut pendapat teecu, meskipun sakit hati kita karena binasanya In-su sangat mendalam, tapi kalau ditimbang-timbang antara dua soal, soal nama dan derajat partai kita adalah terlebih penting," jawabnya. "Asal dia beritahukan dimana adanya To liong to dan partai kita dapat memiliki golok mustika itu, kita boleh melepaskan dia. Dalam waktu tiga tahun, teecu pasti akan bisa membalas sakit hatinya In su."
"Baiklah," kata pendeta tua itu. "Dalam Rimba Persilatan, kita harus mengutamakan kesatriaan.
Perkataan itu yang sudah diucapkan adalah seperti melesatnya anak panah yang tidak bisa ditarik kembali. Biarpun terhadap orang jahat, murid Siauw lim sie tidak boleh hilang kepercayaan."
Mendengar perkataan itu, Bu Kie mengakui bahwa, ketiga pendeta tersebut bukan saja berkepandaian tinggi, tapi juga luhur wataknya. Hanya sayang, tanpa merasa mereka sudah kena ditipu Goan tin.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Cia Sun!" bentak Goan tin. "Apa kau dengar perkataan Thay-susiokku" Ketiga tetua kami ini sudah bersedia untuk melepaskan kau."
Tiba-tiba dari bawah tanah keluar suara yang nyaring dan angker. "Seng kun, apakah kau masih ada muka untuk bicara dengan aku?"
Jautung Bu Kie melonjak. Itulah suara ayah angkatnya! Kalau turut batinnya, seketika itu juga ia akan menerjang, membinasakan Seng Kun dan menolong sang ayah. Tapi sebisa-bisa ia menahan sabar. Ia yakin, bahwa ia tak akan bisa melawan ketiga pendeta tua itu. "Biarlah sesudah penjahat Goan tin pergi, aku akan menemui ketiga pendeta itu," pikirnya. "Aku akan jelaskan latar belakang urusan ini. Mereka berilmu tinggi dan mereka tentu bisa membedakan, siapa yang salah, siapa yang benar."
Sementara itu, sesudah menghela napas Goan tin berkata pula. "Cia Sun, kita sama-sama sudah berusia lanjut. Perlu apa kau selalu ingat kejadian yang dulu-dulu" Paling lama dua puluh tahun lagi, kita akan berpulang ke alam baka. Aku bersalah terhadap kau, tapi kau pun bersalah terhadap aku. Biarlah kita sama-sawa coret kejadian di masa lampau."
Cia Sun tidak menghiraukan. Ia hanya berkata. "Seng Kun, apa kau masih ada muka untuk bicara dengan aku?"
Goan-tin membujuk berulang-ulang, tapi Cia Sun tetap tidak meladeni. Akhirnya ia bergusar dan berkata. "Dengan mengingat kecintaan dahulu, aku belum pernah turunkan tangan jahat terhadapmu Apa kau masih ingat totokanku yang dinamakan Ban-gie Can sim cie?" (Ban gie Can sim cie-Totokan berlaksa semut berkumpul dijantung).
Begitu mendengar "Ban-gie Can sim cie," darah Bu Kie bergolak. Dari ayah angkatnya ia tahu, bahwa totokan itu salah satu ilmu paling beracun dalam kalangan persilatan. Siapa yang tertotok, isi perutnya seperti juga digigit berlaksa semut sakit dan gatal bercampur menjadi satu. Ia lantas saja mengambil keputusan, bahwa andaikata Goan tin benar-benar coba menurunkan tangan jahat itu, ia akan mengadu jiwa untuk menolong ayah angkatnya. Tapi Cia Sun sendiri hanya menjawab. "Seng kun, apa kau masih ada muka untuk bicara dengan aku?"
"Aku beri batas waktu tiga hari kepadamu," kata Goan tin dengan suara dingin.
"Kalau dalam tiga hari kau tetap membandel, rasakanlah Ban gie Can sim cie!" Sehabis berkata begitu ia memberi hormat kepada ketiga pendeta tua dan kemudian turun dari bukit itu.
Sesudah pendeta jahat itu berlalu, selagi Bu Kia mau muncul untuk menemui tiga pendeta tiba-tiba saja ia merasakan ketidak beresan pada aliran hawanya. Ia tahu, bahwa ia diserang orang. tapi sedikitpun ia tidak merasakan sambaran serangan itu. Bagaikan kilat ia menggulingkan diri dan dua utas tambang lewat didepan mukanya. Baru ia berguling setombak lebih, seutas tambang yang tegak bagaikan toya menyambar dadanya hampir berbareng, dua tambang, lainnya menyambar punggungnya.
Sesudah menyaksikan keempat jago Kun-lun pay, ia mengerti bahwa jiwanya tergantung pada selembar rambut. Pada detik berbahaya, ia membalik tangan kirinya dan menangkap tambang yang menotok dada. Baru saja ia mau mendorong tambang itu, ia mendadak tambang tersebut dikerut dan semacam tenaga yang dahsyat luar biasa menindih dadanya. Kalau tindihan itu kena jitu, maka tulang-tulang dadanya akan menjadi remuk. Pada saat yang genting, dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, dengan tangan kanan ia menyampok dua tambang yang menyambar punggungnya dan berbareng dengan Kian kun Tay lo ie dan Kioe yang Sin kang tangan kirinya yang mencekal tambang mendorong dan melepaskan tambang , sehingga pada detik itu juga tubuhnya melesat ke tengah angkasa.
Sekonyong-konyong kilat berkeredepan. Karena kaget dan kagum melihat kepandaian Bu Kie, salah seorang pendeta mengeluarkan seruan tertahan. Ketiga pendeta itu menengadah dan dengan bantuan sinar kilat, mereka melihat wajah Bu Kie yang ternyata pemuda dusun dengan muka kotor. Bukan main rasa heran mereka.
Dilain saat, bagaikan naga hitam, tiga utas tambang menyambar keatas dan coba menggulung tubuh Bu Kie dari tiga penjuru.
Dengan bantuan sinar kilat, Bu Kie bisa melihat wajah tiga pendeta itu. Yang duduk disudut timur laut bermuka hitam, yang dibarat laut bermuka kuning dan yang disebelah selatan bermuka putih seperti kertas. Mereka ketiga-tiganya kurus kering, seperti tak punya daging, sedang pendeta yang bermuka kuning hanya bermata satu. Ditengah malam yang gelap itu, lima sinar mata mereka mengeluarkan sinar berkilauan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat sambaran tiga tambang itu, selagi tubuhnya melayang di udara, Bu Kie mengibas menarik dan menggulung. Dengan meminjam tenaga lawan ia menggulung tiga tambang itu menjadi satu. Itulah ilmu Thay-kek dari Bu-tong pay yang tenaganya merupakan sebuah lingkaran. Dengan ilmu itu Bu Kie menggulung tenaga tambang itu menjadi satu.
Tiba-tiba sesudah kilat yang tadi, guntur berbunyi berulang-ulang, sehingga bumi seolah-olah bergetar.
Diantara keangkeran Langit dan Bumi itu, Bu Kie berjungkir balik di tengah udara dan kemudian kaki kirinya hinggap di sebatang siong. "Boan pwee Thio Bu Kie, Kauw cu dari Beng kauw, menghadap Sin wie Koceng," serunya sambil membungkuk. Ia berdiri diatas sebelah kaki, ketika ia menyoja, ranting siong itu membal beberapa kali, sehingga tubuhnya terayun-ayun dan memberi sebuah pemandangan yang sangat indah. Tapi biarpun ia menjalankan kehormatan sebagai seorang muda terhadap orang tua ia berdiri disebelah atas, sehingga dengan demikian ia mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin Beng kauw.
Dengan mengedut beberapa kali, ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka yang tergulung. Tadi mereka menyerang dengan Sam cauw Kioe sit ( Tiga jurus sembilan pukulan ). Dalam setiap pukulan mengandung perubahan yang terdiri dari sepuluh jurus dan walaupun namanya "Sam cauw Kioe sit,"
serangan itu sebenarnya merupakan beberapa puluh serangan berantai yang membinasakan. Diluar dugaan, semua serangan itu sudah dapat dipatahkan olen Bu Kie. Pada hakekatnya, setiap serangan berarti kebinasaan dan salah sedikit saja, tulang-tulang Bu Kie akan terpukul remuk. Tapi sesudah lolos dari lubang jarum, pemuda itu, kelihatan tenang tenang saja dan paras mukanya sedikit pun tidak berubah.
Inilah kejadian yang belum pernah dialami ketiga pendeta itu. Tapi mereka tak tahu, bahwa selagi badannya terayun-ayun diranting pohon, diam-diam Bu Kie mengerahkan pernapasannya untuk mengatur hawanya yang sudah kalang kabutan.
Jurus silat yang tadi digunakan oleh Bu Kie terdiri dari Kioe yang Sin kang, Kian kun Thay lo ie, Tay kek kun dan paling belakang untuk berjungkir balik, ia menggunakan ilmu dari seng bwee leng. Biarpun memiliki kepandaian sangat tinggi, tapi karena sudah rnenutup diri selama beberapa puluh tahun, ketiga pendeta Siauw lim itu tidak mengenal ilmu2 tersebut, mereka hanya merasakan bahwa Lwee kang Bu Kie agak menyerupai Siauw lim kioe yang kang, meskipun tenaga dalam itu banyak lebih kuat daripada Kioe yang kang mereka. Mereka kagum tercampur kaget. Tapi sesudah Bu Kie memperkenalkan diri sebagai Kauwcu dari Beng kauw, rasa kagum itu, lantas berubah jadi (amarah).
Pendeta yang bermuka putih berkata dengan suara menyeramkan. "Loolap kira siapa, tak tahunya iblis besar dari Mo Kauw! Sejak beberapa puluh tahun yang lalu loolap bertiga menutup diri dan tak pernah mencampuri urusan luar. Kami bahkan tak pemah menghiraukan urusan Siauw lim sie sendiri. Tak dinyana hari ini kami bertemu dengan Kauw cu dari Mo kauw dan oleh karenanya kami merasa syukur."
Mendengar perkataan "Mo kauw" (Agama iblis ), Bu Kie jadi bingung. Ia tak tahu, bagaimana harus menjawab pendeta tua itu. Sebelum ia membuka suara, pendeta yang bermuka kuning bertanya. "Dimana adanya Yo po Thian?"
"Yo Kauw cu sudah meninggal dunia pada tiga puluh tahun yang lalu," jawabnya.
Mendengar jawaban Bu Kie, pendeta itu mengeluarkan seruan"ah!" Nada seruan itu mengandung rasa kaget, duka dan putus harapan.
"Mendengar meninggalnya Yo Kauwcu, dia kelihatannya sangat berduka," kata Bu Kie di dalam hati.
"Tak salah lagi, ia tentu mempunyat hubungan erat dengan Yo Kauwcu. Giehu orang sebawahan Yo Kauwcu. Biarlah aku coba menggerakan hatinya dengan menyebutkan persahabatan dahulu dan kemudian menceriterakan cara bagaimana Yo Kauwcu meninggal dunia sebab perbuatan Goan tin."
Memikir begitu, ia lantas saja berkata. "Kalau begitu, Taysu mengenal Yo Kauwcu, bukan?"
"Tcntu saja," jawab pendeta yang bermuka kuning. "Apabila loolap tidak mengenal poaenghiong Yo Po Thian, cara bagaimana loolap menjadi manusia bermata satu" Dan perlu apa kami bertiga bersamadhi tiga puluh tahun lebih?" (Bersamadhi dalam artiannya mempertinggi ilmu silat). Kata-kata itu yang diucapkan secara tawar mengandung nada sakit hati dan kebencian yang sangat berat.
"Celaka," Boo Kie mengeluh di dalam hati. "Didengar dari perkataannya, sebelah mata pendeta itu telah dibutakan oleh Yo Kauwcu dan mereka menutup diri untuk mencari ilmu yang lebih tinggi guna membalas sakit hati. Dan kecewa putus harapan waktu mendengar Yo Kauwcu sudah meninggal dunia."
Tiba-tiba pendeta muka kuning itu mengeluarkan siulan nyaring dan berkata dengan suara keras,
"Sesudah Yo Po Thian meninggal dunia, jalan satu-satunya hanialah menumplek sakit hati kami diatas
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pundak Kauwcu yang sekarang, Thio Kauwcu, hoat-mia (nama sebagai orang beribadat) loolap Touw-ok, sutee ku yang putih mukanya bernama Touw ciat, sedang sutee yang bermuka hitam adalah Touw lan.
Kong kian, Kong bun, Kong tie dan Kong seng adalah keponakan murid kami. Kong kian dan Kongtie binasa dalam tangan Mokauw. Tipu busuk apa yang digunakan Mokauw, kami pun tak ingin tahu.
Kunjungan Kauwcu mengunjuk, bahwa Kauwcu tidak merasa gentar terhadap kami. Maka itu, hutang-piutang dahulu baiklah kita selesaikan sekarang dengan mengadu ilmu. (Touw ok = Menyeberangi penderitaan. Touw-ciat = Menyeberangi kecelakaan. Touw lan = Menyeberangi Kesengsaraan ).
"Kedatanganku hanialah untuk menolong Gie hu Kim mo Say ong Cia Tayhiap," kata Bu Kie.
"Boanpwee sendiri tak punya ganjelan dengan Siauw lim pay dan dalam soalnya Giehu terdapat latar belakang yang berbelit-belit. Meninggalnya Kong seng Seng ceng sedikitpun tiada sangkut-pautnya dengan agama kami. Sam wie tak boleh hanya mendengar keterangan dari satu pihak dan Sam wie sebaiknya menyelidiki persoalan itu sampai seterang-terangnya.
"Coba kau bilang siapa yang binasakan Kong-seng?" tanya Touw ciat yang bermuka putih.
Alis Bu Kie berkerut. "Menurut pengetahuan boanpwee, Kong Seng ceng telah dibinasakan oleh busu dari Jie lam ong!" jawabnya.
"Siapa yang memimpin busu Jie lam ong?" tanya pula Touw ciat.
"Tio beng, putera Jie lam ong."
"Goan tin telah memberitahukan aku bahwa perempuan itu telah kerja sama dengan agamamu. Dia mengkhianati kaizarnya dan memberontak terhadap ayahnya akan kemudian masuk kedalam Mo kauw.
Apa benar begitu?" Desakan Touw ciat hebat sekali. Bu Kie yang tak biasa berjusta, terpaksa menyahut, "Benar. Dia- - dia telah meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang."
Touw ciat mengeluarkan suara di hidung. "Yang membunuh Kong kian, Kim mo Say ong dari Mo kauw, yang membunuh Kong ceng Tio beng dari agamamu!"' katanya dengan suara kaku. "Tio beng adalah orang yang sudah memukul pecah Siauw lim sie dan menangkap murid-murid partai kami. Yang paling tak bisa diampuni ialah dia sudah menulis perkataan2 menghina dipatung Couwsu Tat mo Loocouw, Semua sakit hati itu ditambah pula dengan sebuah biji mata dari suhengku, Thio Kauwcu kalau piutang tak diperhitungkan dengan kau, dengan siapa lagi kami bisa memperhitungkannya?"
Bu Kie menghela napas. Ia merasa perkataan Touw ciat ada benarnya juga. Kalau ia sebagai kauwcu dari Beng kauw tak mau bertanggung jawab atas semua itu, siapa lagi yang bisa bertanggung jawab?"
Maka itu, ia segera mengerahkan Lweekang ke ujung kaki sehingga bergoyang-goyang ranting siong, lantas saja berkata, "Jika Sam wie Loosiansu berpendapat begitu, boanpwee tak bisa berkelit lagi,"
katanya dengan suara nyaring "Biarlah boanpwee memikul kedosaan itu. Tapi dalam kebinasaan Kong kian Seng ceng terdapat hal-hal yang mendukakan. Biar bagaimana pun juga, dalam peristiwa itu boanpwee memohon pengampunan Sam wie Loosiansu."
"Apa yang diandalkan olehmu, sehingga kau berani minta pengampunan untuk Cia Sun?" tanya Touw ciat. "Apa kau rasa kami bertiga tidak mampu mengambil jiwamu?"
Bu Kie yakin, bahwa kali ini ia bertempur, ia mesti mengadu jiwa. "Kalau, satu melawan tiga, boanpwee tak akan bisa menandingi Sam wie," katanya. "Loosiansu yang mana yang lebih dulu mau memberi pelajaran kepada boanpwee?"
"SATU lawan satu belum tentu kita menang," kata Touw ciat. "Dalam sakit hati yang hebat ini, kami tidak bisa mempertahankan peraturan Kang ouw. Kepala iblis terimalah kebinasaanmu! Omie tohud!"
"Sang Buddha berbelas kasihan!" menyambung Touw ok dan Touw lan.
Hampir berbareng tiga tambang menyambar kearah Bu Kie. Sambil mengegos tali, Bu Kie melompat turun. Sebelum kakinya hinggap di tanah ia memutar badan dan menubruk Touw-"
Touw lan mengibaskan tangan kiri dan Bu Kie merasa semacam tenaga dalam yang hebat menyambar ke punggungnya. Ia berkelebat dan memunahkan pukulan itu dengan Kian kun Tay-lo ie. Pada saat itu, dua tambang dari Touw ok dan Touw lan menyapu dengan datang berbareng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Baru saja Bu Kie mengegos, Touw ciat sudah meninju dengan pukulan yang tak ada anginnya. Bu Kie menangkis dan membalas menyerang. Demikianlah, dengan berdiri di tengah-tengah tiga pohon siong, Kauwcu dari Beng kauw itu melakukan pertempuran mati hidup melawan tiga tetua Siauw lim pay.
Sesudah lewat sekian jurus tiba-tiba Bu Kie memukul dengan telapak tangannya sambil menggetarkan tubuh, sehingga ratusan butir air yang menempel pada badannya menyambar Touw ok. Pendeta itu memiringkan kepalanya, tapi tak urung mukanya disambar juga oleh beberapa puluh butir air sehingga kulitnya dirasakan pedas perih. "Kurang ajar!" bentaknya seraya mengedut tambang yang lantas saja menghantam kepala Bu Kie. Bagaikan kilat, Bu Kie melompat mundur akan kemudian menyerang Touw ciat dengan tenaga dalam yang tidak kurang hebatnya.
Makin lama Bu Kie makin bingung. Semenjak memiliki ilmu silat tinggi, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang sedemikian berat. Ketiga pendeta itu bukan saja lihay pukulan-pukulannya, tapi juga mempunyai Lwee-kang yang sangat dahyat. Semula ia masih bisa menggunakan tujuh bagian kepandaiannya untuk membela diri dan tiga bagian untuk menyerang. Tapi sesudah lewat seratus jurus, hawa tulennya mulai merosot dan hanya mampu membela diri.
Menurut pengalamannya, yang berada dalam tubuhnya bukan saja tidak bisa habis, bahkan semakin digunakan jadi makin kuat. Tapi dalam menghadapi ketiga pendeta itu setiap gerakan meminta Lweekang yang sedemikian kuat dengan gerakan-gerakan demikian, perlahan-lahan ia merasa datangnya tenaga susulan tidak begitu lancar lagi. Inilah kejadian yang belum pernah dialaminya.
Sesudah bertanding lagi beberapa puluh jurus, ia berkata di dalam hati. "Kalau terus begini, jiwaku akan melayang. Sebegitu lama gunung masih berdiri, kayu bakar tak akan habis. Kini aku mesti kabur.
Biarlah dilain hari aku datang lagi bersama Gwa kong, Yo Cu su, Hian Yoesu dan Wie Hok ong. Dengan berlima, ketiga pendeta itu pasti akan bisa dikalahkan dan aku akan menolong Giehu." Memikir begitu ia lantas saja mengirim serangan-serangan hebat dan coba melompat keluar dari gelanggang. Diluar dugaan, tiga tambang itu membuat sebuah lingkaran yang teguh bagaikan tembok tembaga. Berulang ia menerjang, tapi selalu terpukul mundur. Sebaliknya dari terlolos, pinggangnya kena disapu tambang Touw lan sehingga terluka.
Bu Kie jadi bingung. Ia tak tahu, bahwa dalam melatih ilmu selalu tiga puluh tahun lebih dengan bersemedhi dalam kamar tertutup, ketiga pendeta itu telah mencapai sebuah "Perpaduan pikiran." Dengan demikian apa yang dipikir oleh seorang pendeta lantas saja bisa di rasakan oleh kedua pendeta lainnya.
Adanya perpaduan pikiran itu memungkinkan sebuah kerja sama yang sangat sempurna.
Bu Kie mulai putus harapan. "Dilihat begini, biarpun mendapat bantuan Gwakong dan yang lain-lainnya, belum tentu aku bisa mengalahkan mereka," pikirnya. "Apakah Giehu tak akan bisa ditolong"
Apa hari ini aku harus mati di tempat ini?"
Karena bingung, pemusatan semangatnya lantas saja terpecah. Dilain detik, pundaknya tertotok lima jari tangan Touw ciat dan rasa sakit masuk di sumsum. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, "Kalau mesti mati, aku rela mati. Tapi sebelum mati, aku harus menyampaikan rasa penasaran Gie-hu. Giehu seorang yang beradat tinggi. Sesudah dapat ditangkap, ia menjadi lebih-lebih sungkannya untuk mengeluarkan sepatah kata membela diri."
Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Sam wie Loosiansu! Boanpwee sudah terkurung dan boan pwee akan binasa. Seorang lelaki sejati tak takut. Tapi sebelum berpulang ke alam baka boan pwee ingin lebih dulu memberitahukan..." Dua tambang menyambar dan sesudah memunahkan dua senjata itu, ia berkata pula, "Nama Goan-tin yang sebenarnya, yaitu nama pada sebelum ia menjadi murid Siauw lim sie, ialah Seng-kun, bergelar Hu goan Pek lek chioe. Dia adalah guru dari Gihu."
Mendengar bicaranya Bu Kie, ketiga pendeta itu kaget bukan main. Mereka kaget sebab menurut kebiasaan, seorang yang sedang bertempur dengan menggerahkan Lweekang, tak boleh bicara. Sekali bicara tenaga dalamnya buyar. Bahwa Bu Kie bicara selagi bertempur merupakan bukti bahwa pemuda itu memiliki Lweekang lain dari yang lain. Sebab dikelabui Goan tin, ketiga tetua itu beranggapan bahwa Bu Kie manusia jahat. Makin tinggi kepandaiannya, makin besar bahayanya untuk masyarakat. Maka itu mereka berpendapat, bahwa dengan membinasakan pemuda itu, mereka berbuat kebaikan untuk umat manusia. Sebab adanya anggapan itu, mereka tak menghiraukan dan terus menyerang sehebat-hebatnya.
Bu Kie berkata pula, "Sam wie Loosiansu harus tahu, bahwa Seng kun dan Yo Kauwcu dari Beng kauw adalah saudara seperguruan. Mereka berdua sama-sama jatuh cinta kepada seorang Sumoay (saudari seperguruan) yang belakangan menjadi isteri Yo Kauwcu. Seng kun sakit hati dan ia lantas memusuhi Beng kauw." Dengan suara lantang Bu Kie terus menceritakan segala rahasia yang meliputi
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sepak terjangnya Seng kun. Ia menuturkan cara bagaimana Yo Hujin mengadakan pertemuan rahasia dengan Seng kun, sehingga lantaran gusar, Yo po Thian meninggal dunia, cara bagaimana dengan berlagak mabuk, Seng kun coba merusak kehormatan isterinya Cia Sun dan lalu membasmi keluarga Kim mo Say ong, cara Seng kun mengatur tipu sehingga Cia Sun jadi kalap dan membunuh banyak orang dalam Rimba persilatan, cara bagaimana ia mengangkat Kong kian menjadi guru dan belakangan memancing guru itu supaya menerima pukulan Cia SUN, tapi dia sendiri tak muncul sehingga Kong-kian meninggal dunia dengan penuh rasa penasaran...
Makin mendengar ceritera itu, Touw ok bertiga jadi makin kaget. Walaupun hebat ceritera itu kedengarannya sangat beralasan dan sesuai dengan beberapa kenyataan. Gerakan tambang Touw ok lantas saja berubah perlahan.
"Boanpwee tak tahu sebab musabab permusuhan antara Yo Kauwcu dan Touw ok Taysu," kata pula Bu Kie. Tapi Boanpwee merasa pasti, bahwa permusuhan itupun sudah terjadi karena siasat Seng Kun.
Cobalah Touw ok Tay-su mengingat-ingat lagi kejadian yang lampau itu."
Touw ok menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, ia berkata; "Mungkin, memang mungkin kerjaan Seng-kun. Dalam permusuhan antara Yo Kauwcu dan loolap, Seng kun telah mengeluarkan banyak tenaga untukku. Belakangan ini ia minta berguru kepada loo-lap, tapi sebab belum pernah menerima murid, maka loolap lantas memujikan dia kepada Su tit. Memang mungkin sekali kejadian itu sudah terjadi karena siasat Seng kun."
"Bukan saja begitu," menyambung Bu Kie, "dia sekarang berusaha untuk merebut kedudukan hong thio dari Siauw lim sie. Diam-diam ia menerima murid sembarangan dan bersekutu dengan orang kangauw yang tidak baik. Dia berusaha untuk mencelakai Kong bun Seng ceng...!"
Perkataan Bu Kie itu terputus sebab dengan mendadak ia mendengar suara keras dan sebuah batu raksasa yang menggelinding ke arah tiga pohon siong itu. "Siapa?" bentak Touw ok sambil menghantam dengan tambangnya sehingga batu itu somplak, sekonyong-konyong dari belakang batu berkelebat bayangan manusia yang lantas menubruk Bu Kie dan sebilah golok pendek menyambar ke tenggorokan pemuda itu.
Itulah serangan yang tak diduga-duga!
Pada detik itu seantero tenaga di kedua tangan Bu Kie sedang menyambut tambang Touw ciat dan Touw lan. Ia tak pernah mimpi bahwa ia bakal dibokong.
Waktu ia mendusin adanya serangan itu, ujung golok sudah hampir menyentuh kulit tenggorokan. Tapi detik penghabisan, mati-matian ia mengegos. Golok lewat dan merobek baju di bagian dadanya.
Terlambat sedikit saja, jiwanya pasti melayang. Sesudah serangannya gagal, dengan ditedeng batu besar yang tengah menggelinding, pembokong itu menggulingkan diri sampai diluar kalangan tambang.
"Sungguh berbahaya!" kata Bu Kie. "Binatang Seng Kun ! Kalau kau punya nyali datanglah kesini untuk dipadu denganku! Huh huh!- - - Kau coba membunuh aku untuk menutup mulutku." Biarpun tak melihat tegas muka penyerang itu, dengan memperhatikan gerakannya dan Lweekang, Bu Kie tahu, bahwa penyerang itu bukan lain daripada Seng Kun.
Suling Naga 7 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Kisah Bangsa Petualang 5

Cari Blog Ini