Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 4

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 4


"Apakah kau juga bertemu dengan Jie Sam ko?" tanyanya.
"Apa Jie Thay Giam Jie Sam hiap?" menegas Touw Tay Kim. "Mereka merasa segan untuk memperkenalkan diri, sehingga aku tak tahu, yang mana itu Jie Sam hiap. Aku hanya bertemu dengan enam orang dan mungkin sekali Jie Sam hiap terdapat diantara mereka.,"
"Enam orang?" seru pemuda itu dengan suara kaget. "Sungguh mengherankan ! Siapa mereka ?"
"Mana aku tahu " Saudara2 seperguruanmu sendiri yang sungkan memperkenalkan diri," jawabnya.
"Karena kau adalah Thio Ngo hiap maka keenam orang iru mestinya Song Tayhiap dan yang lain2".
Waktu berkata begitu, ia menekankan setiap perkataan "Hiap" dengan nada mengejek tapi pemuda itu yang sedang ke bingungan tidak, memperhatikan ejekan orang.
"Apa benar2 Cong piauw tauw telah betemu dengan mereka?" menegas pula Thio Cui San.
"Bukan saja aku, tapi semua orang yang mengikut dalam rombongan ini, juga telah lihat mereka,"
jawabnya. Pemuda itu meng geleng2kan kepalanya. "Tak bisa jadi," katanya dengan suara pasti. "Hari ini, Song Suko dan yang lain2 sehari suntuk menemani Suhu di Giok hie kiong dan setindak pun mereka tak pernah berlalu dari samping Suhu. Melihat sampai tengah hari Jie Samko belum juga datang, Suhu telah memerintahkan siauw tee turun gunung untuk menyambutnya. Cara bagaimana Cong piauw tauw bisa bertemu dengan Song Suko dan yang lain lain ?"
"Apakah orang yang pada pipinya terdapat sebuah tahi lalat dan pada tahi lalat itu tumbuh tiga lembar rambut bukan Song Tay hiap?" tanya Touw Tay Kim dengan hati ber debar2.
Cui San terkesiap. "Diantara Suhengteeku tak seorangpun yang bertahi lalat dipipinya," katanya.
Perkataan itu seperti air dingin yang menggusur kepala Tauw tay Kim. "Keenam orang itu mengatakan mereka adalah Bu tong Liokhiap," katanya dengan jantung memukul keras. "Diantara mereka terdapat dua toojin yang memakai topi kuning. Tentu saja kami...."
"Biarpun guruku seorang toojin, akan tetapi semua muridnya adalah orang2 biasa yang tidak memeluk agama," kata pemuda itu. "Apa kah mereka benar2 memperkenalkan diri sebagai Bu tong Liok hiap ?"
Touw Tay Kim mengeluarkan keringat dingin. Memang juga orang2 itu tidak pernah memperkenalkan diri sebagai Bu tong Liok hiap. Adalah ia sendiri yang menganggap mereka sebagai enam pendekar Bu tong, kenyataan yang sebenarnya ialah mereka tidak membantah pada waktu ia mengutarakan anggapan begitu untuk beberapa saat ia dapat mengeluarkan sepatah kata dan hanya mengawasi kedua kawannya dengan paras muka pucat. "Kalau begitu keenam orang itu mengandung maksud jahat", katanya dengan mendadak, mari kita ubar!" Ia melompat keatas punggung kudanya yang lalu dikaburkan keatas gunung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Thio Cun San pun lantas saja menyusul dan kemudian merendengkan kudanya dengan tunggangan Touw Tay Kim. "Touw heng!" serunya "Perlu apa kita menguber mereka" Tak apa2 jika mereka menggunakan nama kami."
"Dalam ini terselip lain hal", kata Touw Tay Kim. "Bagaimana dengan orang itu" Kami sebetulnya ingin menyerahkan orang ini kepada Thio Cinjin tapi enam orang itu sudah mengabilnya dari tangan kami. Orang itu mendapat luka berat. Celaka sungguh!"
Sambil membedel kudanya dengan suara terputus-putus, ia menceritakan apa yang sudah terjadi.
"Siapa namanya orang itu" Bagaimana macamnya", tanya Cui San dengan heran.
"Entahlah," jawabnya "ia terluka berat, tak bisa bicara dan tak bisa bergerak sedang napasnya tinggal sekali2. Ia berusia kurang lebih tigapuluh tahun." Sesudah berkata begitu ia segera melukiskan roman dan potongan badan Jie Thay Giam. "Celaka", teriak Cui San dengan hati mencelus, "itulah Jie Samko!"
Beberapa saat kemudian sesudah dapat menentramkan hatinya dengan tangan kiri ia manyentak les kuda Touw Tay Kim.
Binatang itu yang sedang lari keras berhenti dengan mendadak sambil berbengar keras dan berjingkrak sedang mulutnya mengeluarkan darah akibat dentakan itu.
Dengan kaget seraya menghunus golok Touw Tay Kim metompat turun dari tungganganaya. Ia heran, cara bagaimana pemuda yang badannya begitu kurus lemah bisa mempunyai tenaga yang begitu besar.
"Touw Toako jangan salah mengerti" kata pe muda itu, "dari tempat jauhnya ribuan li Toako telah mengantar Jie Sam ko sampai disini dan untuk itu semua siauwtee merasa sangat berterima kasih. Maka itu sedikitpun siauwtee tidak mempunyai maksud yang kurang baik."
Touw Tay Kim segera masukkan goloknya kedalam sarung tapi tangan kanannya mesih tetap mencekal gagang senjata itu.
"Bagaiman Jie Samko mendapat luka" Siapa musuhnya" Siapa yang minta Touw Toako mengantarkannya sampai disini?" tanya Cui San.
Tapi antara tiga pertanyaan itu, satupun tak dapat dijawab oleh Touw Tay Kim.
"Bagaimana macamnya keenam orang itu yang mengambil Jie Samko?" tanya pemuda itu. Sebelum Toauw Tay Kim keburu menjawab, Su Piauw-tauw sudah mendahului dan lalu melukiskan macamnya orang2 itu.
"Kalau begitu, biarlah Siauwtee coba mengubar mereka", kata Thio Cui San seraya memberi hormat dan lalu kaburkan tunggangannya sekeras-kerasnya.
Sebagai saudara seperguruan dan dengan bersama2 melakukan pekerjaan mulia, Butong Cit hiap mencintai satu sama lain seperti saudara kandung. Mendengar kakaknya luka berat dan jatuh ketangan orang2 yang belum di ketahui siapa adanya, bukan main bingung Cui San. Ia membedal mencambuk kuda mustika itu, se-olah2 tidak menghiraukan jika tidak tunggangannya yang disayang mesti lantaran kecapaian. Dalam sekejap ia sudah tiba di Co tiam, satu tempat dimana terdapat tiga cagak jalanan: yang satu naik keatas gunung, sedang yang lain membelok kejurusan timur laut sampai di kota In-yang.
"Kalau enam orang itu benar2 mengantar Jie Samko keatas gunung, waktu turun gunung, aku pasti sudah bertemu dengan mereka," katanya di dalam hati. Memikir begitu, ia lantas saja mengambil jalanan yang menjurus ketimur laut.
Sesudah lari kurang lebih satu jam, meskipun bertenaga kuat, per-lahan-lahan kuda itu menjadi lelah dan semakin lambat. Siang sudah ter ganti dengan malam dan dijalanan gunung yang memangnya sepi, sudah tidak terdapat lagi manusiapun yang bisa diminta keterangannya. Sambil mengubar, pemuda itu, mengaju kan macam2 pertanyaan pada dirinya sendiri "Jie Samko memiliki kepandaian yang sangat tinggi." Pikirnya. "Bagaimana ia bisa dilukakan orang dengan begitu mudah" Tapi dilihat dari sikap dan perkataan Touw Tay Kim tak bisa jadi ia mendusta."
Selagi mengasah otak, tiba2 kuda itu berbanger dan lari kesebidang tanah lapang dimana terdapat beberapa kuburan. Thio Cui San mengerti bahwa penyelewengannya binatang itu pasti disebabkan oleh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sesuatu yang luar biasa. Dengan waspada ia mengawasi tanah lapang itu. Sesaat kemudian ia mendapat kenyataan, bahwa sebuah kereta roboh terguling di antara rumput yang tinggi.
Setelah lihat seekor keledai rebah didepan kereta itu dengan kepala hancur. Buru-buru ia melompat turun dan menyingkap tirai kereta, tapi di dalamnya tidak terdapat manusia. Ia menengok keseputarnya dan mendadak matanya yang sangat jeli melihat seso sok tubuh manusia rebah di dalam gompolan rumput. Dengan jantung memukul keras, ia menubruk dan mengangkat orang itu. Dengan sekelebatan saja, ia sudah mengenal bahwa orang itu bukan lain dari pada Sukonya yang sedang dicari.
Dalam kegelapan, samar2 ia lihat kedua mata kakak seperguruan itu tertutup rapat, sedang mukanya pucat bagaikan kertas. Bukan main kaget dan sakit hatinya. Dengan tangan gemetar, ia mendukung sang Suko dan menempelkan mukanya sendiri dimuka yang pucar itu. Tiba2, dalam hatinya yang duka timbul harapan, karena ia merasakan sedikit hawa hangat dipipi Jie Thay Giam. Buru-buru ia meraba dada Sukonya dan ternyata jantung sang kakak masih mengetuk dengan perlahan.
"Samko" teriaknya sambil mengucurkan air mata. "Samko...mengapa kau" Aku Ngotee..
.Ngoteemu...." Dan perlahan dan hati2 ia bangun berdiri. Sekali lagi, jantungnya memukul keras, ke dua tangan danw kedua kaki Jie Thay Giam kontal kantul kebawah. Ternyata tulang2nya telah dipukul patah, sedang darah mengalir dari jeriji pergelangan tangan lengan dan betis nya. Melihat kekejaman musuh, Thio Cui San marasa dadanya mau meledak, melihat luka itu ia tahu bahwa musuh belum pergi jauh dan jika diubar ia masih bisa menyandaknya. Dalam kalanya ia lantas saja melompat keatas punggung kuda untuk mengejar, tapi dilain sa at ia mendapat lain pikiran yang lebih jernih. "Luka Jie Samko berat luar biasa dan perlu segera ditolong," pikirnya. "Jika seorang kuncu mau membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum terlambat,"
Karena kuatir goncangan2 diatas kuda memperhebat luka sang Suko, maka, sesudah berpikir sejenak, ia segera mendukung tubuh Jie Thay Giam dengan hedua tangannya dan lain berjalan pulang dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Kuda jempolan itu, yang mungkin merasa heran mengapa sang majikan tidak menunggunya, mengikuti dari belakang.
==========================
HARI itu adalah hari ulang tahun kesembilan puluh dari Couw-su Bu-tong-pay Thio Sam Hong. Sedari pagi sekali, Giak-hie-kiong sudah diliputi dengan suasana bersuka ria. Dengan bergiliran, ke-6 muridnya memberi selamat panjang umur dan berlutut. Hanya sayang diantara 7 murid itu masih kurang seorang. Menurut perhitungan, sesudah menjalankan tugas membunuh seorang penjahat besar di Tiongkok Selatan. siang2 Jie Thay Giam sudah harus kembali. Tapi ditunggu sampai tengah hari, ia belum juga kelihatan mata hidungnya. "Semua orang dibawah_gunung," kata Thio Cui San.
Tapi begitu pergi, Thio Cui San pun tak ada kabar ceritanya. Dengan menunggang kuda istimewi, andaikata ia pergi sampai di Lao ho kouw, iapun sudah mesti pulang lebih siang, tapi ditunggu hingga Yoe sie dari jam 5 sore sampai tujuh malam, ia belum juga kelihatan bayangan bayangannya.
Di ruang tengah, meja perjamuan sudah di atur rapih, sedang lilin merah sudah habis separuhnya.
Semua orang mulai bingung. Murid keenam In Lie Heng dan murid ke7 Boh Seng Kok sudah keluar masuk puluhan kali, sedang saudaranya yang lainpun tak kurang bingungnya. Sebagai seorang yang ilmu kebatinannya sudah sangat tinggi, Thio Sam Hong tetap t nang. Tapi ia yakin, bahwa belum pulangnya kedua murid itu mesti disebabkan oleh kejadian sangat luar biasa. Ia kenal baik watak mereka. Jie Thay Giam sangat ber-hati2 dan boleh diandalkan untuk memegang pekerjaan penting sedang Thio Cui San seorang pemuda yang cerdas dan selalu bisa bertindak dengan mengimbangi jelatatan.
Serasa mengawasi lilin yang semakin pendek Song Wan Kiauw berkata sambil tertawa "Su hu, Jie Samtee dan Thio Ngotee tentulah juga bertemu dengan urusan ganjil dan mereka lalu menggulung tangan baju untuk mencampurinya, Suhu selamanya menganjurkan kami untuk melakukan perbuatan mulia dan hari ini, hari ulang tahun Suhu, kedua sutee menolong sesama manusia sebagai hadiah ulang tahun."
Thio Sam Hong mengurut jenggotnya."Hm pada hari ulang tahunku yang kedelapanpuluh kau telah menolong seorang janda yang mem buang diri kedalam sumur" katanya seraya tertawa, "perbuatanmu itu memang harus dipuji akan tetapi jika dalam sepuluh tahun baru menolong orang satu kali mereka yang perlu di tolong sungguh harus menunggu dengan sangat tidak sabaran". Mendengar perkataan guru mereka lima murid itu lantas saja tertawa geli, tapi adatnya sangat terbuka dan sering sekali ia berguyon dengan murid2nya "paling sedikit Suhu akan bisa hidup dua ratus tahun kata", Thio Siong Kee murid keempat sambil bersenyum "jika setiap sepuluh tahun kami melakukan sesuatu perbuatan baik ditambah jumlah nya tidak sedikit."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Boh Seng Kek murid ketujuh tertawa nyaring "hanya mungkin sekali kita tak bisa makan umur begitu panjang" katanya.
Baru saja perkataan itu habis diucapkan, Song Wan Kiauw dan Jie Liam Ciu, murid ke dua se konyong2 melompat keluar seraya ber teriak:" Apa Samtee!"
"Benar" jawab Thio Cui San dengan suara parau dilain saat dengan kedua tangan pakaian berlepotan darah dan penuh keringat ia bertindak masuk dengan tindakan limbung dan lalu berlutut di hadapan Thio Sam Hong. "Su hu...." katanya "Jie Samko.,..telah dibokong orang!"
Semua orang terkesip. Sehabis berkata begitu, badan Thio Cui San bergoyang, dan ia roboh terjengkang karena terlalu lelah dan duka.
Song Wan Kiauw dan Jie Lian Ciu adalah orang2 yang mempunyai pengalaman luas dan mereka tahu sebab musabab dari pingsannya Thio Cui San. Mereka mengerti bahwa apa yang penting adalah Jie Tay Giam. Maka itu dengan berbareng mereka menubruk dan mengangkat tubuh Jie Sam. Begitu meraba dada si adik, hati mereka mencelos sebab napas Jie Thay Giam tinggal sekali.
Melihat muridnya yang disayang terluka begitu berat tanpa mengeluarkan sepatah kata, Thio Sam Hong buru-buru masuk kekamarnya dan keluar lagi dengan membawa pels Pek houw Tok bang tan (pememulihkan jiwa yang mulutnya ditutup dengan lilin putih)Untuk tidak membuang tempo dengan dua jarinya ia mememijit peles itu yang lantas saja menjadi hancur. Ia mengambil tiga butir pel yang lalu dimasukkan kedalam mulut Jie Thay Giam. Tapi gigi Jie Sam hiap terkancing dan mulutnyn tertutup rapat.
Thian Sam Hong segera mengangkat kedua tangannya dan dengan menggunakan jempol dan telunjuk, ia menotok Liong yauw kiauw diujung kuping Jie Thay Giam dengan tenaga Ho cweekin. Pada waktu itu kepandaian Thio Sam Hong sudah sedemikian tinggi sehingga dengan Ho cweekin Tiam Liong yauw kiauw, tenaga Ho cwee kin menotol Liong yauw kiauw ia malahan dapat menyadarkan untuk sementara waktu orang. Sesudah menotol dua puluh kali, simurid masih juga tidak bergerak.
Sambil menghela napas, ia segera menengkurupkan kedua telapak tangannya dan menotol jalanan darah Kian kie hiat didagu muridnya, dengan menggunakan In ciu atau telaga dingin. Sesudah itu, ia membalik kedua telapak tangannya dan menotok pula dengan Yang ciu atau tenaga panas, per-lahan-lahan mulut Jie Thay Giam terbuka dan ia lalu menelan tiga butir pil itu.
Tapi otot2 leher Jie Sam hiap sudah menjadi kaku, sehingga biarpun masuk kedalam tenggorokan pel itu tak bisa turun terus sampai di perut. Guru besar itu segera memerintahkan Thio Siong Kee mengurut leher Jie Thay Giam sedang ia sendiri lalu menotok jalanan darah Kwat poen dan Jie hu dibagian pundak serta Yang koan dan Beng Bun diujung tulang punggung, supaya sesudah tersadar si murid jangan merasakan kesakitan yang terlalu hebat.
Semenjak Song Wan Kiauw dan Jie Lian Ciu berguru biarpun menghadapi urusan yang bagai mana besar, sang guru selalu bersikap tenang. Tapi sekarang tangan guru itu bergemetar sedang paras mukanya mengunjuk rasa bingung sehingga mereka mengerti, bahwa luka adik mereka luar biasa berat.
Selang beberapa saat, Jie Thay Giam mulai tersadar.
"Suhu," kata Thio Cui San dengan suara pilu. "Apakah Jie San ko masih bisa ditolong jiwanya ?"
Thio Sam Hong tidak menjawab secara langsung. Ia hanya berkata: "Dalam dunia ini siapa kah yang bisa hidup untuk se-lama2nya ?"
Tiba2 terdengar suara tindakan orang. Seorang toojin kecil masuk kedalam ruangan itu dan memberitahu, bahwa Touw Tay Kim dan lain2 piauw tauw Liong bun Piouw kiok datang berkunjung.
Paras muka Thio Cui San lantas saja berubah gusar. "Ini semua gara2 kawanan manusia itu!" teriaknya seraya melompat keluar. Dilain saat diluar kelenteng terdengar suara jatuhnya senjata2 diatas tanah. Baru saja In Lie Heng dan Boh Seng Kok ingin melompat keluar untuk membantu Suhengnya, Thio Cui San sudah kelihatan berjalan masuk dengan satu tangan menenteng seorang lelaki yang badannya tinggi besar.
Sambil melontarkannya keras2 di atas lantai ia berseru: "Manusia inilah yang sudah merusak urusan besar!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Diantara Bu tong Cit hiap, In Lie Henglah yang beradat paling berangasan. Mendengar orang itu yang menyebabkan terlukanya sang Suko, ia segera melompat dan mengangkat kaki untuk menendang Touw Tay Kim.
"Lioktee! Tahan!" bentak Song Wan Kiauw.
"Hei! Orang2 Butong memakai aturan atau tidak?" demikian terdengar teriakan diluar kelenteng.
"Kami adalah tamu2 yang datang ber kunjung. Mengapa kau menghina kami?"
Song Wan Kiauw mengerutkan alisnya. Ia menghampiri Touw Tay Kim dan menepuk belakang kepala dan punggung Cong-piauw-tauw itu, untuk membuka jalanan darahnya. "Yang di luar harap jangan ribut," teriaknya, "Tunggu sebentar". Suara itu angker dan nyaring luar biasa dan orang2 Liong-bun Piauw-kiok yang menduga bahwa teriakan itu adalah teriakan Thio Sam Hong, tak berani banyak ribut lagi.
"Ngo-tee," kata Song Wan Kiauw. "Bagaimana Samtee bisa mendapat luka begitu berat " Ceritakanlah dengan tenang."
Sesudah mengawasi Tauw Tay Kim dengan sorot mata gusar, barulah Thio Cui San menerangkan, bagaimana Liong bun Piauw-kiok telah diminta oleh seorang untuk mengantarkan Jie Thay Giam ke Butong-san dan bagai mana saudara itu akhirnya diambil enam penjahat yang menyamar sebagai murid2
Butong. Sedari tadi, sesudah lihat kepandaian Tay Kim, Song Wan Kiauw sudah tahu, bahwa Cong piauw tauw itu bukan orang yang bisa mencelakakan Su-teenya. Begitu mendengar keterangan Thia Cui San, paras mukanya lantas saja berubah sabar dan dengan kata2 manis, ia segera bertanya kepada Tauw Tay Kim hal ihwal peristiwa itu.
Touw Tay Kim lantas saja menceritakan segala kejadian se-terang2nya. Pada akhirnya ia berkata dengan suara duka: "Song Tayhiap, aku benar2 tolol dan karena kebodohanku, Jie Samhiap mesti menderita begitu lebat. Kutahu bahwa aku berdoa besar sekali dan pantas mendapat hukuman mati. Nasib keluarga kami di Lim an juga belum tahu bagaimana jadinya."
Selagi muridnya bicara dengan tamu itu, Thia Sam Hong tidak mencampuri dan sambil mengempos semangat terus menempelkan telapak tangannya pada jalan darah Sincong dan Lengtay untuk memberi bawa panas kepada Jie Thay Giam, Tapi begitu lekas mendengar perkataan Tauw Tay Kim yang berakhir ia segera berkata: "Lian Cu, bersama Seng Kok sekarang juga kau harus berangkat ke Lim an untuk melindungi keluaga Long bun Piauw kiok"
"Suhu." kata Thio Cui San dengan suara penasaran. "Orang she Touw itu terlalu gila dan karena gara2nya, biarpun tidak disengaja Sam suko mesti menderita begitu hebat. Bahwa kita tidak membuat perhitungan dengannya, dia sudah untung besar. Perlu apa melindungi anak isteri dan keluarganya ?"
Sang guru tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala, sebagai tanda tidak setuju dengan pendapat si murid.
"Ngo tee," kata Song Wan Kiauw. "Mengapa pemandanganmu begitu sempit" Untuk siapa Tauw Cong piauw tauw datang kemari dengan melalui perjalanan ribuan li ?"
"Untuk mengantongi dua ribu tahil emas," jawabnya sambil tertawa dingin. Mendengar perkataan itu, muka Touw Tay Kim lantas saja berubah merah. Dalam hati kecilnya ia juga mengakui, bahwa kesudiannya untuk mengantar Jie Thay Giam memang sebab hadiah yang besar itu.
"Ngo tee!" bentak Song Wan Kiauw. "Jangan kau kurang ajar terhadap tamu kita ! Kau sudah terlalu capai pergilah mengaso."
Dalam kalangan Bu tong pay kedudukan seorang Suheng sangat diindahkan dan disegani. Baik dalam ilmu silat dan usia maupun dalam pribadi dan kemuliaan Song Wan Kiauw lebih menang setingkat daripada semua saudara seperguruannya. Maka itu dari Jie Lian Ciu sampai Boh Seng Kok, tak seorangpun yang tidak menghormatinya. Begitu dibentak Thio Cui San tidak berani mengeluarkan suara lagi, tapi ia terus berdiri disitu sebab sangat memikiri keadaan Jie Thay Giam.
"Jie tee," kata pula Song Wan Kiauw. "Menolong jiwa orang seperti menolong bahaya kebakaran.
Sesudah Suhu mengeluarkan perintah, kurasa lebih baik kau berangkat malam ini juga ber-sama2 Cittee,"
Jie Lian Ciu dan Boh Seng Kok lantas saja meninggalkan ruangan itu untuk bebenah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat kedua pendekar itu ber-siap2 untuk pergi ke Lim-an guna melindungi keluarga Liong bun Piauw kiok bukan main rasa berterima kasihnya Touw Tay Kim. Tapi rasa terima kasih itu bercampur dengan rasa malu yang besar. "Thio Cinjin," katanya sambil memberi hormat kepada Thio Sam Hong dengan merangkapkan kedua tangannya. "Dalam urusan kami Boanpwee tidak berani merepotkan Jie hiap dan Boan hiap. Sekarang saja kami berpamit."
"Malam ini kalian menginap saja di tempat kami " kata Song Wan Kiauw, "Kami masih ingin menanyakan beberapa hal". Perkataan itu diucapkan dengan manis budi mengandung pengaruh besar yang sukar ditolak, sehingga tanpa membantah lagi Touw Tay Kim segera duduk dipinggiran. Beberapa saat kemudian Jie Liam Ciu dan Boh Seng Kok mengambil selamat berpisah dari gurunya dan sesudah mengawasi Jie Thay Giam beberapa kali, dengan perasaan tertindih mereka turun gunung untuk menjalankan perintah sang guru. Bahwa mereka merasa berat untuk meninggalkan saudara seperguruannya yang terluka berat, sangat bisa dimengerti, karena masih merupakan pertanyaan, apakah mereka akan bisa bertemu muka lagi.
Seluruh ruangan sunyi senyap dan apa yang terdengar, hanialah suara nafas Thio Sam Hong yang tersengal2. Diatas kepala guru besar itu kelihatan keluar semacan uap panas, sebagai tanda bahwa Thio Sam Hong tengah mengerahkan Lweekang yang sangat dahsyat. Berselang kira2 setengah jam, se-konyong2
Jie Thay Giam mengeluarkan teriakan menggeledek, sehingga ruangan itu se-olah2 tergetar.
Touw Tay Kim terkesiap dan tanpa merasa, ia melompat bangun dari kursinya. Ia melirik Thio Sam Hong dan dapat kenyataan, paras muka orang itu mengunjuk rasa jengkel atau rasa girang, sehingga sukar sekali ditebak apa artinya teriakan Jie Thay Giam itu.
"Siong Kee, Lie Heng, bawalah Samkomu kedalam kamar supaya ia bisa mengaso."
Sesudah menjalankan titah gurunya, mereka masuk lagi kedalam ruangan itu, "Suhu, apa ilmu silat Samko bisa pulih lagi seperti biasa?" tanya In Lie Heng.
Thio Sam Hong menghela napas panjang. Selang beberapa saat, barulah ia menjawab dengan suara perlahan: "Apakah jiwanya bisa tertolong, masih harus menunggu tempo sebulan. Urat2nya yang sudah rusak dan tulang2-nya yang patah, tak bisa disambung lagi. Selama hidupnya...." ia tak dapat meneruskan perkataannya dan hanya meng-geleng2kan kepalanya dengan paras berduka.
Mendengar jawaban itu, In Lie Heng tak bisa menahan lagi rasa sedihnya, ia lantas saja menangis tersedu2. Diantara saudara seperguruannya, biarpun sudah memiliki kepandaian sebagai ahli silat kelas utama, hatinya paling lembek dan mudah sekali menangis.
Melihat saudaranya menangis, Thio Cui San lantas meluap darahnya. Dengan sekali me lompat, tangannya melayang menggaplok muka Touw Tay Kim. Congpiauw tauw ini coba menangkis, tapi tangan Thio Cui San menyambar bagaikan kilat cepatnya dan pipinya sudah kena digampar. Kena belum puas, Cui San lalu mengirim tinju kepinggang Touw Tay Kim tapi untung sebelum mengenakan sasarannya, Thio Siong Kee keburu men dorong pundak saudaranya sehingga tinju itu jatuh di tempat kosong. Saat itu, Touw Tay Kim pun coba menolong diri dengan melomat kebelakang dan selagi ia melompat tiba2 terdengar suara "trang" sepotong emas jatuh dilantai dari sakunya.
Thio Cui San menjemput emas itu dan berkata dengan suara dingin "manusia serakah begitu lihat berkredepnya emas kau segera menyerahkan Jie Samko kepada orang...." Tiba2 perkataannya putus ditengah jalan disusul dengan seruan "ih".
"Toako" katanya sambil mengawasi potongan emas itu, "lihatlah tapak jari2 ini adalah akibat ilmu Kim kong cie dari Siauw lim pay"
Song Wan Kiauw meneliti potongan emas itu beberapa lama dan kemudian menyerah kan kepada sang guru yang lalu mengawasi dengan penuh perhatian dan membulak balik nya beberapa kali tapi tidak berkata apa2.
"Suhoa" teriak Thio Cui San "tak bisa salah lagi itulah ilmu Kim kong cie dari Siauw lim pay. Dalam dunia ini tiada lain partai yang memiliki ilmu begitu, Subu bukankah begitu?"
Pada saat itu didepan mata Thio Sam Hong kembali terbayang kejadian dimasa lampau. Ia ingat bagaimana diwaktu masih kecil ia melayani gurunya. Kak wan Tay Su yang bertugas dalam Cong keng kok, bagaimana mereka telah merobohkan Kun lun Sam sang, bagaimana mereka kabur dengan diuber oleh pendeta Siauw Him sie, dan bagaimanaia akhirnya menetap di gunung Bu tong san. Melihat tapak
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
jarak pada potongan emas itu memang tak bisa dipungkir lagi itu semua adalah akibat perbuatan seorang Siauw lim sie. Ilmu silat Bu tong pay mengutamakan Lweekang dan tidak memperhatikan ilmu keras untuk bisa menghancurkan batu dan sebagainya. Dalam lain2 partai persilatan mempelajari ilmu Gwa kang (ilmu silat luar) terdapat tenaga telapak tangan, tenaga tinju, tenaga kaki dan sebagai nya yang hebat tapi tak satu partaipun yang memiliki tenaga jari tangan yang begitu dahsyat.
Maka itulah sesudah Thio Cui San menanya dua tiga kali ia masih juga belum memberi jawaban. Jika ia bicara terus muridnya tentu tak mau mengerti dan sebagai akibatnya dua partai besar dalam Rimba Persilatan akan saling bertempur.
Thio Cui San yang sangat cerdas lantas saja bisa menebak jalan pikiran gurunya. "See-hu", katanya pula. "Apakah dalam Rimba Persilatan bisa muncul seorang luar biasa, yang tanpa didikan guru, dapat memiliki ilmu Kim kong cie?"
Thio Sam Hong menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin", jawabnya. "Kim-kongcie adalah hasil pengalaman, bukan ilmu yang bisa digubah dalam tempo pendek. Menurut pendapatku, seorang yang paling cerdas otaknya tak akan bisa memiliki Kim kong cie, tanpa pimpinan guru". Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Dulu, pada waktu berdiam dalam kuil Siauw lim sie, aku pun tak tahu, bagaimana jari tangan manusia bisa mempunyai kekuatan yang begitu luar biasa."
Sesaat itu pada kedua mata Song Wan Kiauw terlihat sorot yang luar biasa "suhu," katanya. Dilihat begini, urat dan tulang sam tee juga dihancurkan dengan ilmu Kimkong ci.
Mendengara perkataan sang Toako. InLie Hang menangis pula.
Dilain pihak, Touw Tay Kim mendengar pembicaraan antara guru dan murid itu dengan hati berdebar2. Beberapa kali ia sudah membuka mulut, tapi mulutnya tak dapat mengeluarkan suara.
Akhirnya, sesudah menenteramkan hati, ia dapat juga berkata: "Tidak! Tak mungkin orang Siauw Limsie. Belasan tahun aku berdiam dalam kuil Siauw lim sie tapi belum pernah aku bertemu dengan orang itu."
Song Wan Kiauw mengawasi Cong piauwtauw itu dengan sorot mata bersangsi. "Liok tee, antarlah tamu2 kita keruangan belakang, supaya mereka bisa mengaso," katanya. "Bari tahukan Loo-ong supaya ia merawat baik2 semua tamu kita." In Lie Heng mengiakan dan lain mengajak Touw Tay Kim dan yang lain2 pergi kebagian belakang kelenteng itu.
Sesudah mengantarkan Piauw tauw dan pegawai Liong bun Piauw kiak kekamar tamu, In Lie Heng pergi kekamar Jie Thay Giam. Ia lihat kakak itu rebah dengan paras muka seperti mayat, sedang napasnya pun terdengar lemah sekali, "Samko!" serunya dengan suara menyayat hati dan kemudian sambil menekap muka dengan kedua tangan, Song Wan Kiauw dan lain2 saudara seperguruannya sedang duduk diseputar guru mereka, maka iapun segera mengambil tempat duduk disamping Thio Cui San.
Untuk beberapa lama dengan mata mendelong Thio Sam Hong mengawasi pohon kwie yang, tumbuh ditengah cemehe (Red: what is a cemehe"). Ia meng gelengkan kepala dan berkata dengan suara duka:
"Urusan ini sulit sekali. Siong Kee, bagaimana pendapatmu?"
Diantara tujuh murid Bu tong. Thio Siong Keelah yang paling berakal budi. Jika Bu tong pay menghadapi soal2 sulit, ialah yang jadi juru pemikir dan biasanya ia selalu dapat memecahkan cengkeraman sukar. Tak usah dikatakan lagi, sedari pulangnya Thio Cui San dengan mendukung Jie Thay Giam yang luka berat, ia sudah mengasah orak untuk menembus kabut yang meliputi peristiwa itu.
Mendengar pertanyaan gurunya, ia lantas saja menjawab: "Menurut pendapat teecu, bencana ini bukan bersumber pada Siauw lim-pay, tapi pada To liong to."
"Sie tee." kata Song Wan Kiauw. "Coba ceritakan pendapatmu se-terang2nya, supaya bisa dipertimbangkan Suhu."
"Jie Sam ko adalah seorang yang sangat berhati2 dan juga pandai bergaul, sehingga tak mungkin ia menanam bibit permusuhan secara semberono." kata Siong Kee. "Disamping itu, penjahat besar yang telah dibinasakan Sam ko hanya memiliki ilmu silat kelas tiga dan sangat dibenci oleh orang Rimba Persilatan. Maka itu, tak mungkin orang Siauw lim-pay turunkan tangan jahat untuk membela penjahat itu."
Thio Sam Hong manggut2kan kepalanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Putusnya urat2 dan tulang2 Sam ko sudah terjadi ditengah jalan." katanya pula. "sebelum berangkat dari Lim an, Sam ko memang sudah kena racun yang sangat hebat, sehingga menurut teecu, jalan satu2nya bagi kita ialah pergi ke Lim an untuk menyelidiki, bagaimana Sam ko kena senjata beracun dan siapa yang melepaskan senjata itu."
"Benar," kata sang guru. "Racun yang masuk kedalam badan Thay Giam sangat luar biasa. Sampai sakarang, aku belum tahu, racun apa adanya itu. Pada telapak tangannya terdapat tujuh lubang kecil, seperti ditusuk jarum. Dalam dunia Kangouw, belum pernah kudengar senjata rahasia yang begitu aneh."
"Peristiwa ini memang aneh bukan main." kata Song Wan Kiauw. "Menurut pantas, seorang yang bisa melukakan Sam tee dengan senjata rahasia, mestinya seorang ahli silat dari kelas satu. Tapi, seorang ahli silat kelas satu biasanya sungkan menggunakan senjata rahasia keracun."
Semua bungkam. Seluruh ruangan sunyi senyap, sehingga suara nafas guru dan murid2 itu bisa terdengar nyata. Selang beberapa saat, kesunyian itu, dipecahkan oleh Thio Siong Kee "mengapa orang yang bertahi lalat itu menghancurkan tulang Sam ko?" tanyanya "jika ia sakit hati dengan sekali pukul saja ia bisa mengambil jiwa Sam ko. Kalau mau menyiksa mengapa ia tidak menghantam tulang punggung. Kurasa dipersakitinya Samko bertujuan untuk mengorek keterangan dari mulut Samko.
Keterangan apa tentang To liong to" Bukankah Tauw Tay Kim memberi tahukan bahwa salah seorang diantara mereka telah menyebut To Liong to?"
"Perkataan Bu lim cie coat po to to liong, Ie thian poet coat sweeie ceng hong sudah tersiar beberapa ratus tahun" kata Song Wan Kiauw "apakah bisa jadi baru sekarang benar muncul sebilah To liong to?"
"Bukan beberapa ratus tahun", membantah sang guru, "perkataan itu baru tersiar pada kira2 tujuh puluh tahun berselang.Waktu aku masih muda dalam kalangan Kang ouw tidak pernah terdengar perkataan bagitu."
Sekonyong2 Thio Cui San bangun seraya berkata "apa yang dikatan Sie ko sedikitpun tak salah. Orang yang mencelakakan Sam ko mestinya berada didaerah Kanglam, marilah kita sama2 cari manusia itu.
Akan tetapi orang Siauw lin pay yang sudah turunkan tangan begitu kejam juga tidak boleh dibiarkan begitu saja."
"Wan Kiauw bagaimana kita harus menghadapi urusan ini?" tanya Thio Sam Hong sambil menengok kepada muridnya. Selama berapa tahun yang paling akhir segala urusan besar dan kecil dalam Bu tong pay memang sudah di serahkan kepada murid itu oleh sang guru. Sebagai seorang yang pandai bekerja dan selalu bertindak dengan hati2, sebegitu jauh Wan Kiauw belum pernah mengecewakan pengharapan gurunya.
Mendengar pertanyaan itu ia lantas saja bangun berdiri dan segera menjawab dengan sikap hormat,
"Suhu urusan ini bukan hanya urusan membalas sakit hati Sam tee, tapi juga bersangkut paut dengan keselamatan nama dan Bu tong pay. Kalau kita bertindak salah sedikit saja akibatnya bisa hebat sekali dan mungkin merupakan bencana besar bagi seluruh rimba Persilatan. Maka itu dalam urusan yang sangat besar ini tee cu memohon petunjuk dan keputusan Suhu sendiri."
"Baiklah", kata Thio Sam Hong "bersama Siauw Kee dan Lie Heng kau pergi kekuil Siauw lim sie dan menyerahkan suratku kepada Hong thio Hong hoat Sian su serta ceritakan juga se-terang2nya. Kau boleh tambah dengan permintaan supaya Hong-hoat Siansu suka memberi petunjuk2. Dalam urusan Siawlim pay menurut hematku, kita boleh tak usah mencampuri. Siauwlim pay adalah sebuah partai persilatan yang memegang keras segala peraturannya, sedang Hong hoat Siansu pun seorang yang sangat dihormati dalam Rimba per silatan. Maka itu, aku merasa pasti, bahwa soal yang mengenakan Siauw lim pay dapat di bereskan oleh mereka sendiri."
Ketiga murid itu lantas jaja mengiakan de ngan sikap menghormat.
"Kalau hanya untuk mengirim sepacuk surat Liok Sietee sendiri sudah lebih daripada cukup," pikir Thio Siong Kee. "Mengapa Suhu memerintahkan juga Toasuko dan aku sendiri untuk pergi bersama"
Perintah ini pasti mempunyai maksud yang lebih dalam. Mungkin sekali Sunoe kuatir Siauw limpay akan rewel dan ingin supaya kita bertiga bisa bertindak dengan mengimbangi selatan,"
Sesaat kemudian benar saja sang guru berkata pula: "Perhubungan antara partai kita dan Siauw lira pay tidak begitu erat. Aku adalah seorang murid Siauw lim sie yang telah kabur dari tersebut. Mungkin sekali karena memandang usiaku yang sudah lanjut, mereka tidak menyatroni Butong san dan menyeretku kembali ke Siauw lim-sie. Tapi biar bagaimanapun jua, antara kedua partai masih mempunyai sangkut
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
paut." Ia tertawa dan kemudian berkata pula. "Kalau sudah tiba di Siauw lim sie kau bertiga harus bersikap hormat terhadap Hong boat Hong thio. Tapi kamipun tak boleh bikin merosot derajatnya partai kita."
Ketiga murid itu manggut2kan kepala sebagai janji, bahwa mereka akan memperhatikan segala pesanan sang guru. Thio Sam Hong menengok kepada Thio Cui Sam dan berkata pula: "Cui San, besok kau berangkat ke Kanglam untuk menyelidiki urusan ini dan dalam segala hal kau harus mendengar perkataan Jie suko." Murid ia lantas saja membungkuk dan mengiakan
"Malam ini perjamuan dibatalkan saja," kata lagi Thio Sam Hoag. "Satu bulan kemudian kita berkumpul lagi disini. Andaikata Thay Giam tak bisa disembuhkan, kamu masih bisa bertemu lagi dengannya." Perkataan yang paling akhir diucapkan dengan suara gemetar. Di dalam hati orang itu sangat berduka. dan ia tak nyana bahwa sesudah mempunyai nama besar selama puluhan tahun, dalam usia sembilan puluh, salah seoreng muridnya yang tercinta mengalami bencana. In Lie Hong yang cetek air matanya lantas saja menangis dengan perlahan.
"Pergi tidurlah," kata sang guru seraya mengebas tangan jubahnya.
"Suhu," kata Song Wan Kiauw dengan suara menghibur. "Samsutee adalah seorang mulia yang selalu menolong sesama manusia. Orang kata manusia yang baik selalu dipayungi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Teecu percaya, Langit mempunyai Mata dan Samsutee pasti akan tertolong jiwanya...." berkata sampai di situ suaranya parau dan air matanya mengalir turun.
Demikian pendekar2 itu yang biasa menghadapi bahaya tanpa berkedip sekarang menangis ter-sedu2
karena rasa duka dan penasaran yang sangat hebat.
Diantara saudara2 seperguruannya Jie Tay Giam dan In Lie Henglah yang bergaul paling erat dengan Thio Cui San. Maka itu Thio Cui Sanlah yang paling bergusar dan kegusaran itu menyesak dalam dadanya sebab tak bisa dilampiaskan. Sesudah kurang lebih satu jam rebah diatas pembaringan dengan gelisah per-lahan-lahan ia bangun dan berjalan keluar dari kamarnya dengan niatan mencari Touw Tay Kim dan menghajar Cong piauw tauw itu untuk melampiaskan kemendongkolannya. Karena kuatir ia berlaku dengan hati-hati supaya tindakannya tidak didengar orang.
Waktu tiba di ruangan itu sambil menggendong kedua tangannya, orang yang bertubuh jangkung itu, bukan lain dari pada gurunya sendiri. Ia berdiri terpaku dibelakang satu tiang tanpa berani ber gerak. Ia tahu, bahwa jika sekarang ia kembali kekamarnya, gerak geriknya pasti diketahui sang guru. Kalau ia mengaku sejujurnya yaitu hendak menghajar Tauw Tay Kim, ia pasti bakal dapat teguran keras.
Beberapa saat kemudian, tiba2 Thio Sam Hong mengangkat tangan kanannya dan menulis huruf2
ditengah udara. Dengan memperhatikan gerak2an tangan itu, Cui San mendapat kenyataan, bahwa yang ditulis gurunya adalah dua huruf "Song loan" atau Kesedihan kekalutan. Sesudah mengulangi beberapa kali sang guru menulis dua huruf lain yaitu "To-tok" atau Penganiayaan hebat, diubrak abrik. Melihat begitu, Thio Cui San lantas saja tahu, bahwa gurunya sedang menulis "Song loan siap" dari Ong Hie Cie.
(Bersambung Jilid 6) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 6 THIO CUI SAN mendapat gelaran Gin kauw Tiat hoa (Gaetan perak Coretan besi) karena tangan kirinya menggunakan Houw tauw kauw (Gaetan kepala harimau ) yang terbuat dari pada perak, sedang tangan kanannya bersenjatakan Poan koan pit (senjata yang menyerupai pena Tionghoa) yang terbuat daripada besi. Sebab kuatir ditertawai oleh kaum sasterawan, maka sesudah mahir dalam ilmu silat, ia lalu mempelajari juga ilmu surat di bawah pimpinan gurunya yang Bun bu coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu silat). Song loan tiap itu pernah dipelajari olehnya pada dua tahun yang lain.
Sambil bersembunyi di belakang tiang, ia memperhatikan gerakan tangan gurunya yang menulis seperti berikut: "Hie Cie toen sioe, song loan cie kek, sian bok cay lie to tok, toei wie kouw seng. (Hie Cie memberi hormat. Kesedihan dan kekalutan melampaui batas, kuburan-kuburan leluhur diubrak abrik, kalau diingat sungguh hebat perasaan duka).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lewat beberapa saat, Cui San dapat merasakan bahwa setiap coretan yang dibuat oleh gurunya mengandung kedukaan dan secara mendadak, ia berhasil menyelami perasaan Ong Hie Cie sendiri pada waktu ia menulis Song loan tiap itu.
Ong Hie Cie adalah seorang sasterawan besar pada jaman kerajaan Cin Timur. Di waktu itu, Tiongkok kacau balau dan bangsa asing menentang kekuasaannya. Dalam kesedihan dan kekalutan hebat (song loan), murid-murid Ong Hie Cie teleh melarikan diri ke Tiongkok Selatan. Bukan saja manusia, tapi kuburan-kuburan pun turut diubrak abrik, sehingga dapatlah dibayangkan, kedukaan dan kegusaran rakyat yang sangat menghormati kuburan leluhur mereka. Penderitaan yang hebat itu semua dilukiskan dalam Song loan tiap.
Diwaktu yang lampau, dalam keadaan yang selalu riang dan gembira, Thio Cui San tidak bisa memahami maksud yang sebenarnya arti 'tiap' itu. Tapi sekarang, karena ia sendiri tengah diliputi dengan kedukaan berhubung dengan terlukanya Jie Thay Giam maka secara mendadak ia dapat menyelami arti
"Song loan" dan "To tok".
Sesudah menulis beberapa kali, Thio Sam Hong menghela napas panjang dan lalu masuk keruangan tengah, dimana ia termenung-menung beberapa lama. Tiba-tiba ia mengangkat pula tangan kanannya dan menulis huruf-huruf ditengah udara. Kali ini, huruf-huruf itu berbeda dengan huruf-huruf Song loan tiap.
Huruf-huruf pertama adalah "Bu" (Persilatan), sedang yang kedua "Lim" Rimba. Ia menulis terus sampai duapuluh empat huruf.
Dengan mengawasi gerakan tangan sang guru, Thio Cui San tahu, bahwa yang ditulisnya ialah: "Bu lim cie cun, po to To liong hauw leng thian hee, boh kam poet ciong, Ie thian poet cut swee ie ceng hong."
"Apakah Suhu sedang coba memecahkan teka teki dalam kata itu", tanyanya di dalam hati. Thio Sam Hong menulis huruf-huruf itu berulang-ulang, semakin lama gerakan tangannya jadi semakin perlahan, setiap gerakan menyerupai gerakan silat. Mendadak saja, Thio Cui San tersadar. Ia sekarang mengerti, bahwa dengan menulis duapuluh empat huruf itu, sang guru sebenarnya tengah menjalankan serupa ilmu silat yang sangat tinggi, dalam mana setiap huruf berarti setiap pukulan.
Dalam duapuluh empat huruf itu, hurup "liong" (naga) dan huruf "hong" (tajam) yang paling banyak coretannya, sedang huruf "to" (golok) dan huruf "hee" (bawah) yang paling sedikit coretannya, Tapi, walaupun coretannya banyak, gerakannya tidak kelihatan berlebihan, sedang biarpun coretannya sedikit, gerakannya tidak kelihatan kekurangan. Setiap gerakan pukulan tepat dan mantep, indah dan lincah, angker bagaikan badai, bertenaga seperti tubrukan harimau, kokoh kuat seakan-akan tindakan gajah, cepat seolah-olah berkredepan kilat diangkasa. Dalam duapuluh empat huruf itu terdapat dua "poet" dan dua "thian" tapi, sesuai dengan artinya yang berbeda beda, jiwa dari pukulan pukulannya berbeda-beda.
Dalam tahun-tahun yang belakangan ini, jarang sekali Thio Sam Hong berlatih silat. Ilmu silat In Lie Heng dan Boh Seng Kok didapat dari Song Wan Kiauw dan Jie Lian Cu yang mewakili gurunya. Maka itu, biarpun Thio Cui San murid kelima, tapi sebenar-benarnya ia, adalah murid penutup, atau murid terakhir yang mendapat pelajaran dari Thio Sam Hong sendiri.
Malam itu guru dan murid mempunyai perasaan yang sama, berhubung dengan terjadinya peristiwa mendukakan itu. Mereka berduka sebab memikiri keselamatan Jie Thay Giam dan mendongkol karena adanya ancaman dari pihak yang belum di ketahui siapa adanya. Dalam jengkelnya, Thio Sam Hong sudah menulis huruf-huruf itu dan secara kebetulan, ia telah menciptakan semacam ilmu silat baru. Secara kebetulan, oleh karena, pada waktu baru menulis huruf-huruf itu, ia sedikit pun tak punya niatan untuk menggubah ilmu pukulan. Sementara itu, Thio Cui San yang kebetulan bersembunyi dibelakang tiang, telah melihat dipertunjukkannya ilmu silat tersebut, yang lantas saja dapat dipahami olehnya lantaran iapun sedang diliputi dengan perasaan duka. Demikianlah, secara sangat luar biasa, satu ilmu silat baru yang berdasarkan seni menulis huruf, telah tercipta dalam Rimba Persilatan.
Dua jam lamanya, sehingga rembulan naik tinggi, Thio Sam Hong berlari terus menerus. Beberapa lama kemudian, sambil bersiul nyaring, telapak tangan kanannya menyabet dari atas kebawah, bagaikan menyambernya sehelai sinar pedang. Sabetan yang dahsyatitu merupakan coretan terakhir dari huruf
"hong". Sehabis menyabet, ia dongak seraya berkata: "Cui San, bagaimana pendapatmu dengan Su hoat (seni menulis huruf indah) ini?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Thio Cui San terkesiap. Ia tak nyana bahwa bersembunyinya telah diketahui oleh sang guru. Buru-buru ia manghampiri seraya menjawab: "Hari ini teecu mujur luar biasa, karena dapat melihat ilmu silat Suhu yang begitu tinggi. Apa boleh teecu panggil Toasuko dan yang lain-lain, supaya mereka pun bisa turut menyaksikan?"
Sang guru meoggelengkan kepalanya. "Kegembiraanku sudah habis, sehingga mungkin sekali aku tak bisa menulis lagi begitu bagus," katanya "Wan Kiauw, Siong Kee dan yang lain lain tidak mengerti Suhoat, sehingga meskipun melihat, belum tentu mereka bisa menarik banyak kefaedahan." Sehabis berkata begitu seraya mengebas tangan jubahnya, is berjalan masuk keruangan dalam.
Thio Cui San tidak berani tidur, sebab kuatir sesudah pulas, ia akan lupakan ilmu silat itu. Dengan lantas ia bersilat dan menjernihkan pikiran, sambil mengingat-ingat setiap coretan yang barusan dilihatnya, dengan tempo-tempo bangun berdiri dan menjalankan beberapa pukulan sulit. Entah berapa jam ia bersila disitu, tapi pada akhirnya dapatlah ia menghapal seluruh ilmu silat tersebut yang terdiri dari duapuluh empat huruf dengan seluruh lima belas perubahan-perubahannya.
Beberapa saat kemudian, ia melompat bangun dan lalu menjalankan semua pukulan itu. Sesudah beberapa jurus, pukulan pukulannya keluar dengan deras dan lancar bagaikan air tumpah, sedang tubuhnya enteng melompat kian kemari seperti seekor kera. Akhirnya, ia membuat coretan paling penghabisan dari huruf 'Hong' (tajam) dengan telapak tangan kanannya yang menyambar dari atas kebawah dan "bret!", ujung bajunya robek karena pukulan itu. Ia kaget tercampur girang. Tiba tiba saja, ia mendapat kenyataan, bahwa matahari sudah naik tinggi.
Sesudah menyusut keringat yang membasahi mukanya, ia segera berlari lari kekamar Jie Thay Giam, di mana sang guru sedang menempelkan kedua telapak tangannya pada dada saudara seperguruan itu sambil mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya.
Perlahan-lahan supaya tidak mengganggu, ia berjalan keluar dari kamar itu. Ternyata Song Wan Kiauw, Thio Siong Kee dan In Lie Heng sudah berangkat. Sedang rombongan Liang bun Piauw kiok pun sudan turun gunung. Karena sungkan mengganggu latihannya, maka ketiga saudara seperguruan itu sudah pergi tanpa pamitan lagi.
Ia pun segera berkemas, membekal senjata dan beberapa puluh tahil perak, akan kemudian, pergi lagi ke kamar Jie Thay Giam. "Suhu, teecu mau berangkat sekarang" katanya. Sambil bersenyum, sang guru manggut manggutkan kepalanya.
Sehabis berkata begitu, Cui San mendekati pembaringan dan lihat muka Thay Giam yang berwarna kehitam hitaman karena pengaruh racun, sedang tanda tandanya bahwa kakak seperguruan itu masih bidup, hanya napasnya yang berjalan perlahan sekali. Bukan main rasa dukanya. "Samko," katanya dengan suara serak, "Biarpun badanku hancur lulur, aku pasti akan, membalas sakit hatimu". Ia menekuk lutut di hadapan gurunya dan kemudian sambil menekap muka dengan kedua tangannya, ia meninggalkan kamar itu.
Dengan menuggang Cengcong ma (kuda bulu hijau putih), ia turun dari Bu tong san. Sesudah melalui lima puluh li lebih, siang terganti dengan malam dan awan mendung meliputi langit. Baru saja ia masuk kedalam sebuah rumah penginapan. Hujan mulai turun. Semakin lama, hujan itu jadi semakin besar dan semalam suntuk turun tak henti hentinya. Pada keesokan paginya, awan gelap belum buyar dan hujan masih terus turun dengan tidak kurang hebatnya.
Karena ingin membalas sakit hati Sukonva secepat mungkin, ia tak mau membuang buang tempo. Ia segera membeli baju hujau dan tudung dari pemilik penginapan dan lalu meneruskan perjalanan. Untung juga Cengcong ma bukan sembarang kuda, sehingga dia dapat berlari terus dijalanan berlumpur sangat jelek.
Sesudah melewati Lao ho kouw, ia menyebrang sungai Han sui yang airnya banjir dan menerjang kealiran bawah dengan dahsyatnya. Cengcong ma dibedal terus melalui kota Siang yang dan Hoan soie.
Ia dengar berita orang bahwa di aliran sebelah bawah Han sui, gili-gili bobol rakyat diserang air bah.
Setibanya di Gie shia, ia mulai bertemu dengan rakyat yang melarikan diri dari serangani banjir dengan berbondong-bondong. Hujan masih turun terus dan penderitaan rakyat hebat bukan main.
Selagi mengaburkan tunggangannya, disebelah depan terlihat sejumlah penunggang kuda yang mengibarkan bendera piauw hang. Segera juga ia mengenali, bahwa mereka mereka itu adalah orang orang Liong bun piauw kiok. Ia lantas saja mencambuk Cengcong ma yang segera lari bagaikan terbang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dan sesudah melewati rombongan itu, ia menahan les, memutar tunggangannva dan menghadang ditengah jalan.
Melihat Thio Cui San, Touw Tay Kim menanya dengan suara dingin: "Thio Ngo hiap, ada urusan apa kau mengubar kami?"
"Apakah Touw Cong piauw tauw lihat penderitaan rakyat yang kelanggar bencana banjir itu ?" ia balas menanya.
Touw Tay Kim tak duga ia bakal ditanya begitu.
"Apa?" menegasnya dengan terkejut.
Pemuda itu tertawa-dingin. "Aku ingin minta para dermawan mengeluarkan emas mereka untuk menolong rakyat yang bersengsara" jawabnya.
Paras Cong piauw tauw itu lantas saja berubah pucat. "Kami orang-orang piauw hang setiap hari hidup diujung senjata dan mencari makan dengan mempertaruhkan jiwa," katanya dengan suara gusar. "Mana kami mempunyai kekuatan untuk menolongg begitu banyak orang ?"
"Serahkan itu duaribu tahil emas yang berada dalam sakumu!" bentak Thio Cui San.
"ThioNgo hiap, apa kau mau mencari-cari urusan dengan aku?" tanya Touw Tay Kim seraya meraba gagang golok.
Ciok dan Su Piauw tauw lantas saja menghunus senjata mereka dan berdiri didekat pemimpinnya.
Dengan tetap bertangan kosong, Thio Cui San berkata sambil tertawa dingin: "Touw Cong piauw tauw, tanialah dirimu sendiri. Sesudah makan upah, apakah kau sudah menjalankan tugasmu" Hmn! Kau, masih ada muka untuk mengantongi duaribu tahil emas itu ?"
Muka Touw Tay Kim merah padam, karena malu dan gusar. "Bukankah kami sudah mengantar Jie Sam hiap sampai di Bu tong san ?" Ia membela diri. "Sebelum kami menerima tugas itu, ia memang sudah terluka berat. Sekarang pun ia masih belum mati."
"Jangan ngaco!" bentak Cui-San "Apa kaki tangan Jie Sam ko sudah patah-waktu ia berangkat dan Lim an?"
Touw Tay Kim tak dapat menjawab.
"Thio Ngo hiap." menyelak Su Piauw Tauw, "Apakah sebenarnya maksudmu. Katakan saja terang-terangan."
"Aku balas hancurkan tulang tulang tanganmu!" bentaknya sambil melompat dan menerjang. Su piauw tauw mengangkat toyanya untuk menangkis, tapi ia kalah cepat. Bagaikan kilat, Thio Cui San mengebas dan membabat dengan tangan kirinya dan toya itu terbang sedang Su Piauw tauw jatuh terpelanting dari tungganannya. Dalam serangan itu, Thio Cui San menggunakan huruf "thian" (langit) dari ilmu silat yang baru didapatinya.
Piauw tauw yang bisa lihat selatan, coba menyingkirkan diri, tapi sudah tidak keburu lagi. Karena tangan Cui San sudah menyapu pinggangnya dalam gerakan garis melintang dari huruf "thian" sehingga tanpa ampan lagi, tubuhnya bersama-sama sela kuda terpental setombak lebih dan jatuh terjengkang diatas tanah. Waktu diserang, kedua kaki piauw tauw, itu menginjak sanggurdi keras-keras, tapi sebab lawannya menghantam dengan Lwekang yang sangat hebat, maka tali ikatan perut kuda menjadi putus dan sela kuda turut terlempar.
melihat hebatnva serangan musuh, Touw Tay Kim mengeprak kudanya dan menerjang. Dengan sekali memutar badan. Cui San menghantam dengan pukulan huruf "hee" (bawah).
"Buk!" pukulan itu mengenakan tepat dipunggung Touw Tay Kim yang tubuhnya lantas saja ber goyang-goyang. Karena ilmunya banyak lebih tinggi daripada kawannya, maka ia tidak sampai roboh dari tungganannya. Baru saja ia melompat turun dari punggung kuda untuk mengadu jiwa, tiba tiba ia merasa tenggorokannya penuh dan "ugh!" ia muntahkan datah. Ia terhuyung beberapa tindak. Kakinya lemas
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
roboh duduk diatas tanah. Tiga piauw su lainnya dan para pegawai piauw hang tentu saja tidak berani bergerak lagi.
Waktu baru bertemu dengan rombongan piauw hang itu, dengan kegusaran yang meluap luap Thio Ngo hiap betekad untuk mematahkan kaki tangan para piauw su itu. Tetapi sesudah melukakan tiga orang secara begitu mudah, malah seorang diantaranya mendapat luka berat, ia sedikitpun tidak menduga, bahwa ilmu silat yang baru dipelajarinya itu sedemikian hebat. Hatinya jadi lemas dan ia tak tega untuk turun tangan lebih jauh.
"Orang she Touw!" bentaknya, "Hari ini aku berlaku murah terhadapmu. Keluarkan dua ribu tahil emas itu untuk menolong rakyat yang kelanggar bencana alam. Aku akan menilik sepak terjangmu dari kejauhan dan jika setahil saja kau sembunyikan dalam kantong mu, aku akan basmi seluruh Liong bun Piauw kiok, aku akan binasakan kecil besar tujuh puluh dua jiwa, malah ayam dan anjing pun tak akan diberi ampun!"
Ia mengancam dengan menggunakan kata-kata dari orang yang memberikan dua ribu tahil emas sebagai upah untuk mengantar Jie Thay Giam ke Bu tong san.
Perlahan-lahan Tauw Tay Kim bangun berdiri, tapi ia merasa punggungnya sakit sangat dan begitu bergerak, ia kembali muntahkan darah. Su Piauw tauw yang hanya mendapat luka enteng, segera berkata dengan suara lemas "Thio Ngo hiap, emas itu berada di Lim an, sehingga tak dapat kami menolong orang-orang yang berada di sini"
Thio Cui San tertawa dingin. "Kau kira aku anak kecil?" tanyanya dengan nada mengejek, "Semua jago Liong bun Piauw kiok keluar dari sarangnya dan Lim an hanya ketinggalan keluarga kamu yang tak bisa melindungi harta itu. Emas itu sudah pasti berada disini!" Sambil berkata begitu, ia menyapu rombongan piauw hang dengan matanya. Mendadak ia menghampiri sebuah kereta dan menghantam dengan telapak tangannya, "Brak!" kereta hancur dan belasan potongan emas jatuh berhamburan di tanah.
Semua orang pucat mukanya. Mereka tidak mengerti, bagaimana pemuda itu tahu tempat menyimpan emas. Ternyata, biarpun masih berusia muda, Thio Ngo hiap berotak cerdas, bermata awas dan berpengalaman luas. Melihat tanda lumpur diroda kereta yang mengunjuk bahwa roda-roda tersebut amblas lebih dalam dari pada kereta-kereta lainnya dan melihat bagaimana sesudah ia menghajar Touw Tay Kim, sebaliknya dari pada menolong pemimpin itu, tiga piauw su buru-buru mendekati kereta tersebut, maka ia segera menarik kesimpulan, bahwa kereta itu, yang muatnya diisi dengan muatan sangat berharga. Ia mengawasi potongan-potongan emas itu sambil tertawa dingin dan kemudian tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi ia melompat kepunggung Kuda yang terus di kaburkan.
Sembari jalan hatinya senang sekali. Ia menduga pasti, bahwa demi keselamatan keluaga mereka, piauwsu-piauwsu itu tak akan berani membantah perintahnya. Perasaan senang itu sebagian besar disebabkan oleh kenyataan, bahwa ilmu silat yang berdasarkan dua puluh empat huruf yang baru di dapatnya, bukan main lihaynya.
Dengan melawan hujan, beberapa hari ia membedal kudanya terus menerus. Meskipun binatang itu binatang luar bias, tenaganya ada batasnya.
Demikianlah, waktu tiba didaerah propinsi Kang say, mulut kudanya mengeluarkan busa putih dan badannya panas, Cui San menyesal bukan main, karena ia sangat sayang tunggangannya itu. Ia segera berhenti disebuah rumah penginapan, memberi obat kepada kudanya dan selang beberapa hari, barulah panasnya turun. Sesudah binatang itu sembuh, ia meneruskan perjalanan dengan perlahan-lahan dan pada tanggal Sie gwee Sha cap (Bulan Empat tanggal 30) barulah ia masuk kedalam kota Lim an.
Sesudah dapat kamar disebuah hotel, ia segera menimbang-nimbang tindakan apa yang akan diambilnya. "Karena kudaku sakit, aku sangat terlambat," pikirnya. "Apa rombongan Liongbun Piauw kiok sudah pulang" Dimana adanya Jieoko dan Citee" Biarlah malam ini aku menyelidiki digedung piauw kiok itu."
Sesudah makan malam, ia segera mencari tahu letaknya gedung Liong bun Piauw kiok dari pelayan-pelayan hotel yang memberitahu bahwa gedung itu berdiri dipinggir telaga See Ouw. Kemudian ia pergi kepusat toko-toko dan membeli seperangkat pakaian baru dengan kopiah sasterawan serta sebuah kipas Hang ciu yang tersohor. Ia kembali kehotel, mandi, menyisir rambut dan lalu menukar pakaian. Waktu berdiri didepan kaca dan memandang bayangannya sendiri, ia tertawa gali. Bayangan itu adalah bayangan seorang Kongcu sasterawan dan bukan seorang Hiapsu (pendekar) yang namanya menggetarkan Rimba Persilatan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan bersenyum senyum, ia meminjam alat tulis dari pengurus hotel untuk menulis syair dikipasnya. Secara wajar, apa yang ditulisnya adalah itu dua puluh empat huruf "Ie thian to liong". Ia merasa heran sebab setiap coretan yang turun diatas kipas banyak lebih bertenaga dan indah daripada biasanya. "Sesudah mempelajari silat itu, Su hoatku juga dapat banyak kemajuan," pikirnya.
Pada waktu itu kerajaan Song sudah roboh dan seluruh Tiongkok berada di bawah kekuasaan dinasti Goan. Karena Lim an adalah bekas ibukota Lam song (Song Selatan), bangsa Mongol telah membuat penjagaan lebih kuat dikota itu daripada dilain lain kota. Mereka memerintah dengan tangan besi, sehingga dalam kekuatannya, banyak penduduk bearpindah kelain tempat. Maka itulah, disepanjang jalan Thio Cui San bertemu dengan banyak rumah yang rusak karena akibat perang dan yang kosong sebab ditinggalkan penghuninya. Kota yang sepi itu memperlihatkan pemandangan menyedihkan, tidak tertampak pula keramaian serta kemakmuran dari Lim an yang dulu, yang merupakan salah sebuah kota tersohor dari Kanglam yang indah permai.
Cuaca masih belum gelap, tapi banyak rumah sudah pada menutup pintu dan di jalanan jarang sekali terlihat rakyat jelata. Apa yang ditemukan Cui San hanialah serdadu-serdadu Mongol yang meronda dengan menunggang kuda. Sebab tak ingin banyak urusan, sedapat mungkin ia menyingkirkan diri dari peronda-peronda itu.
Dulu, di waktu malam, apapula pada malam malam terang bulan, telaga See ouw bukan main ramainya dan seluruh telaga seolah-olah ditabur dangan lampu-lampu perahu pelesir. Tapi sekarang, ketika ia tiba di Pak tee dan memandang ketempat jauh, telaga itu diliputi dengan kegelapan yang menyeramkan dan diatas air tak terdapat sebuah perahupun. Ia menghela napas berulang-ulang dan sesuai dengan petunjuk pelayan hotel, ia lalu berjalan menuju kegedung Liong bun Piauw kiok.
Gedung itu sangat besar dan berhadapan dengan telaga See ouw sedang dua singa-singaan batu di depan pintu sangat menambah keangkerannya. Perlahan-lahan Thio Cui San mendekati.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah perahu pelesir ditepi telaga depan gedung itu. Dalam perahu dipasang dua tengloleng sutera dan dibawah penerangan itu kelihatan duduk seorang lelaki yang sedang minum arak seorang diri. "Enak betul minum arak diatas air," katanya dalam hati sambil menghampiri pintu. Teng (peep: teng=?"") besar yang tergantung didepan gedung tidak dipasangi lilin, sedang pintunya yang dicat merah tua tertutup rapat. Penghuni gedung itu rupanya sudah pada tidur. "Sebulan yang lalu Samko masuk ke pintu ini," pikirnya dengan rada duka. Mendadak ia terkejut, karena di belakang nya terdengar hela napas yang panjang.
Ditengah malam yang sunyi, hela napas itu kedengarannya menyeramkan dan menyayat hati. Dengan cepat ia memutar badan, tapi ia tidak lihat bayangan satu manusiapun. Kecuali orang yang sedang minum arak data in perahu, di sekitar itu tidak terdapat lain manusia. Dengan perasaan heran, ia mengawasi orang itu, yang mengenakan tiungsha (jubah panjang) warna hijau dan memakai topi empat persegi, yaitu dandanan seorang sasterawan seperti ia sendiri. Ia tak dapat melihat tegas muka orang itu, tapi dipandang dari samping dengan bantuan sinar tengloleng, kelihatannya pucat pasi. Orang itu duduk termenung-menung dengan tidak bergerak dan gerakan satu-satunya hanialah berkibatnya tangan jubah karena tiupan angin.
Sesudah mengawasi beberapa lama, ia memutar badan lagi dan mencekal cincin tembaga yang menempel dipintu dan lalu mengetuk-ngetuknya beberapa kali. Sebenarnya ia ingin masuk dengan melompat tembok, tapi sesudah melihat orang di perahu itu, ia merasa jengah sendiri. Suara ketukan itu terdengar nyaring sekali dan sehabis mengetuk, ia menempelkan kupingnya didaun pintu, tapi di dalam sunyi-sunyi saja tidak terdengar suara manusia yang menghampiri pintu.
Dengan heran, ia mendorong sedikit dan pintu itu terbuka. Lantas saja ia bertindak masuk seraya berseru: "Apa Touw Cong piauw tauw ada dirumah ?"
Ia berjalan terus keruangan tengah yang gelap gelita. Mendadak terdengar suara "truk!" pintu tertutup keras seperti di tiup angin.
Ia kaget, lalu melompat keluar dari ruangan itu dan menghampiri pintu. Ia terperanjat karena pintu itu sudah dikunci orang. Tapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyalinya sangat besar. Sambil tertawa dingin, ia masuk pula ke ruangan tengah.
Baru saja masuk beberapa tindak, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin tajam dari depan belakang, kiri dan kanan. Dengan sekali melompat, ia kelit serangan keempat pembokong itu. Dalam kegelapan ia lihat berkelebatnya sinar-sinar putih, sebagai tanda, bahwa penyerang-penyerang menggunakan senjata
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
golok. Cepat seperti kilat, ia meloncat kesebelah barat dan telapak tangan kanannya membabat salah seorang dari kanan kiri. "Ptak!" tangannya mengenakan jitu jalanan darah Tay yang hiat orang itu yang lantas saja roboh terguling. Hampir berbareng, telapak tangan kirinya menyabet dari kanan atas kiri bawah dan mampir tepat dipinggang seorang musuh lainnya yang juga ambruk dilantani. Dua pukulan itu merupakan satu garis melintang dan satu coretan miring dari huruf "poet" (tidak). Sesudah berhasil merobohkan dua musuh, ia mengirim pukulan lurus dari atas kebawah dan satu totokan yaitu coretan lurus dan sebuah titik dari hurup "poet" dan dua penyerang lainnya terjungkal di lantai.
Demikianlah, dengan empat pukulan yang merupakan tiga coretan dan sebuah titik huruf "poet", ia berhasil menjatuhkan empat pembokong itu.
Karena tak tahu siapa empat penyerang itu, Thio Cui San sunkan berlaku kejam, dan hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Orang keempat yang "ditotok" olehnya, terhuyung beberapa tindak dan badannya menubruk sebuah kursi yang lantas saja menjadi hancur "Binatang! Sungguh kejam kau!"
cacinya: "Kalau kau benar2 laki-laki, beritahukan namamu,"
"Jika aku berlaku kejam, jiwamu sudah melayang" katanya sambil tertawa. "Aku adalah Thio Cui San dari Bu tong san."
Orang itu mengeluarkan seruan kaget. "Apa.... benar kau Gin kauw Tiat hoa Thio Cui San?" tanyanya dengan suara tidak percaya.
Sambil bersenyum, Thio Ngo hiap meraba pinggangnya dan di lain saat, tangan kirinya sudah mencekal gaetan Houw tauw kauw yang terbuat dari pada perak, sedang tangan kanannya memegang Poan koan pit besi. Dengan sekali membenturkan kedua senjata, lelatu api muncrat disertai dengan suara yang sangat nyaring.
Dengan bantuan sinar lelatu api, Thio Cui San mendapat lihat, bahwa keempat penyerang itu mengenakan jubah pertapaan hweshio yang warnanya kuning. Dua di antaranya, yang mukanya kebetulan berhadapan dengannya, mengawasi dengan sorot mata gusar dan membenci.
Bukan main herannya Ngo hiap. "Siapa Tay-su?" tanyanya.
"Sakit hati yang dalam seperti lautan, tak bisa dibalas hari ini!" teriak satu diantaranya. "Ayo berangkat!" Hampir bareng dengan teriakan itu, mereka melompat bangun dan lalu berjalan keluar. Salah seorang yang rupanya terluka berat, sempoyongan dan roboh dilantai. Dua kawannya lantas memberi pertolongan dan mereka berlalu tanpa menengok lagi. "Su wie tahan dulu!" teriak Cui San. "Sakit hati apa
?" Tapi keempat pendeta itu tidak meladeni dan jalan terus.
Thio Cui San bingung campur heran. Untuk beberapa saat ia berdiri bengong sambil mengasah otak, tapi tak berhasil memecahkan teka teki itu.
Mengapa dalam gedung Liong bun Piauw kiok bersembunyi empat orang Hweeshio" Mengapa mereka lantas menyerang secara membabi buta" Mengapa mereka mengatakan sakit hati yang dalam seperti lautan" "Untuk menjawab pertahyaan-pertanyaan itu, jalan satu-satunya adalah menanyakan orang-orang Liong bun Piauw kiok," pikirnya.
Memikir begitu, ia lantas saja berteriak: "Apa Touw Cong piauw tauw berada di rumah" Apa Cong piauw tauw ada?" Tapi sesudah berteriak berulang-ulang, ia tetap tak dapati jawaban. "Tak bisa jadi manusia tidur seperti bangkai." katanya daiam hati. "Apa mereka mabur ketakutan?" Ia terus mengeluarkan bahan api yang lalu dinyala kan, sehingga ruangan yang gelap gelita itu lantas menjadi terang. Ia menghampiri sebuah ciak tay (tempat menancap lilin) yang berdiri di atas meja teh dan menyulut lilinnya. Sesudah itu, dengan berwaspada, sambil membawa ciaktay, ia berjalan ke ruangan belakang.
Barusan belasan tindak, tiba tiba ia lihat tubuh seorang wanita yang rebah di lantai seperti sedang tidur.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Toacie, mengapa kau tidur di situ?" tegurnya. Wanita itu tidak menjawab dan tidak berqerak. Dengan tangan kiri ia medorong pundak wanita itu, sedang tangan kanannya yang mencekel ciaktay menyuluhi muka orang. Tiba-tiba saja, ia terkesiap.
Wanita itu sedang tertawa, tapi otot-ototnya kaku! Dia sudah mati lama juga. Perlahan-lahan ia melempangkan pinggangnya dan lagi-lagi ia terperanjat, sebab di depan tiang disebelah kiri kelihatan menggeletak sesosok tubuh lain. Ia menghampiri dan memeriksanya. Ternyata orang itu seorang kakek yang berdandan sebagai pelayan, juga sudah mati dengan muka tertawa!
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan jantung berdebar-debar, Thio Cui San meraba pinggang dan kemudian, dengan tangan kiri mencekel gaetan dan tangan kanan mengangkat ciaktay tinggi-tinggi, ia bertindak maju setindak demi setindak. Dengan rasa kaget dan heran yang sukar dilukiskan, apa yang ditemukannya adalah puluhan mayat-mayat, yang menggeletak di sana sini! Di seluruh gedung Liong bun Piauw kiok yang besar dan luas itu, tak terdapat lagi manusia hidup.
Thio Cui San adalah seorang pendekar kenamaan dalam Rimba Persilatan yang sudah kenyang mengalami kejadian-kejadian hebat. Tapi kali ini, melihat kekejaman manusia yang sudah membasmi sesama manusia, ia menggigil. Bayangannya ditembok kelihatan bergoyang-goyang, karena tangannya yang mencekel ciaktay bergemetaran.
Mendadak ia ingat ancaman itu orang yang telah memberi upah kepada Liong bun Piauw kiok untuk mengantarkan kakak seperguruannya ke Bu tong san.
Sekarang benar-benar seisi-Piauwkiok telah dibasmi. Apakah kekejaman itu sudah dilakukan sebab piauwkiok tersebut sudah gagal dalam menunaikan tugasnya" "Orang itu turunkan tangan kejam karena Jie Samko sehingga menurut pantas dia mestinya sahabat Samko", katanya di dalam hati. "Orang itu berkepandaian banyak lebih tinggi daripada Touw Tay Kim. Sesudah mengetahui, mengapa bukan ia sendiri yang mengantar Samko" Kakak adalah seorang pendekar mulia yang membenci setiap kejahatan.
Apa mungkin ia bersahabat dengan manusia yang begitu kejam?"
Dangan rasa heran yang semakin lama jadi semakin besar, ia bertindak keluar dari ruangan sebelah barat. Dengan pertolongan sinar lilin, ia lihat dua orang pendeta yang mengenakan jubah warna kuning sedang bersender ditembok dan mengawasi padanya dengam paras muka tertawa. Ia mendekati dan membentak: "Perlu apa Jie wie datang disini?" Tapi mereka tidak menyahut dan juga tidak bergerak.
Mayat! Pada tubuh kedua mayat itu tidak terdapat luka apapun juga, hanya dada jalanan darah Siauw yauw hiat (jalan darah yang membangkitkan tertawa) terdapat total merah. Ia manggut manggutkan kepala dan mengerti, bahwa paras muka tertawa dari mayat-mayat itu adalah akibat totokan pada jalanan darah tersebut.
Mendadak, ia terkesiap karena ingat sesuatu. "Celaka!" Ia mengeluh, "Sakit hati yang dalam seperti lautan ..."Ia teringat cacian salah seorang dari empat hweeshio yang telah menyerang dirinya. Ia merasa bahwa semua tuduhan bakal ditumpuk diatas pundaknya. Siapa keempat pendeta itu" Dilihat dari pukulan pukulannya, mereka adalah ahli-ahli ilmu silat Siauw limpay. Touw Tay Kim seorang Siauw lim sehingga mungkin sekali mereka berada disitu atas undangan Cong piauw tauw tersebut. "Tapi dimana adanya Jie Jieko dan Boh Cit tee?" tanyanya di dalam hati. "Mereka diperintah Suhu untuk melindungi keluarga Liong bun Piauw kiok. Apa bisa jadi, dengan memiliki kepandaian sangat tinggi mereka telah dirobohkan orang?"
Semakin dipikir, teka teki itu jadi semakin sulit. "Dengan pulangnya keempat hweesio Siauw lim pay pasti akan menaruh kecurigaan atas diriku," katanya di dalam hati. "Tapi, biar bagaimanapun juga urusan ini akan menjadi terang. Satu waktu, kita pasti akan tahu siapa adanya manusia kejam itu. Siauw lim dan Butong harus bekerja sama untuk mencari manusia itu. Yang paling penting adalah cari Jie-ko dan Cittee." Memikir begitu ia segera meniup lilin dan keluar dari gedung tersebut dengan melompati tembok.
Tapi pada sebelum kedua kakinya hinggap diatas bumi diluar tembok, tiba tiba ia merasakan kesiuran angin yang menyambar pinggangnya, disusul dengan bentakan: "Thio Cui San, Roboh kau!"
Pula saat itu, badannya masih berada ditengah udara, sehingga ia tak dapat berkelit lagi. Dalam bahaya, Thio Ngo hiap tak jadi bingung, secepat arus kilat, tangan kirinya menekan senjata musuh dan dengan meminjam tenaga, badannya melesat keatas lagi dan kedua kakinya hinggap diatas tembok.
Hampir berbareng dengan hinggapnya diatas tembok, kedua tangannya sudah mencekal kedua senjatanya.
Melihat lihaynya pemuda itu, sipenyerangpun kaget dan kagum, karena ia mengeluarkan seruan tertahan dan berkata: "Bocah ! Kau sungguh lihay !"
Dengan tangan kiri mencekal gaetan dan tangan kanan memegang Poan koan pit, Cui San melintangkan senjata itu di depan dadanya, kepala gaetan dan ujung pit menunduk kebawah. Itulah gerakan Kiong leng kauw hui (Dengan hormat menerima pelajaran) yang digunakan dalam Rimba persilatan. Jika seorang yang tingkatannya lebih rendah berhadapan dengan orang yang lebih tinggi, sebagai seorang kesatria, walaupun hatinya mendongkol, Cui San tetap sungkan melanggar adat istiadat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia menunduk dan melihat dua pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna merah dengan sulaman benang emas berdiri berendeng dibawah dengan masing-masing mencekal Sian thung (toya yang mengeluarkan sinar emas).
Melihat jubah pertapaan itu, Cui San terkejut. "Apakah mereka anggauta Siauw Lim Cap peh Lo han yang tersohor?" tanyanya di dalam hati. (Siauw lim Cap peh lohan = Delapan belas Lohan dari Siauwlim sie).
Dengan San thungnya, pendeta yang disebelah kiri menubruk batu hijau, sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring. "Thio Cui San!" bentaknya "Bu tong Cit hiap mempunyai nama yang cukup baik.
Tapi mengapa begitu kejam?"
Mendengar pendeta itu tidak menggunakan panggilan "Thio Ngo hiap atau Thio ngoya, Cui San jadi mendongkol. Diantara Butong Cit Hiap, biarpun gerak geriknya sopan dan paras mukanya halus, dialah yang berada paling tinggi. (peep: what's that mean") Dalam kedongkolannya, ia segera menyahut dengan suara dingin: "Tanpa menanyakan lebih dulu siapa yang salah, siapa yang benar, dengan bersembunyi dikaki tembok, Tay su sudah membokong aku. Apakah perbuatan itu perbuatan seorang gagah" Kudengar ilmu silat Siauw Lim menggetarkan seluruh dunia, tapi aku tak nyana di antara orang Siauwlim ada juga yang pandai membokong."
Bukan main gusarnya hweeshio itu. Dengan sekali menggenjot tubuh, ia melesat ke atas tembok, sedangkan kedua kakinya belum hinggap ditembok, toyanya sudah menyambar. Dengan cepat Cui San mangangkat Hauw tauw kauw untuk menahan sambaran Sian thung dan dengan berbareng Poan koan pit nya menotok senjata lawan, "Trang!" ujung Poan koan pit membentur Sian thung dengan dahsyatnya.
Kedua tangan pendeta itu tergetar dan tubuhnya melayang kebawah lagi, tapi kedua lengan Cui San juga kesemutan sehingga ia jadi kaget. Ia mengerti bahwa kini ia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi dan jika mereka berdua mengrubuti, ia mungkin tak mampu membela diri.
"Siapa Jie wi?" bentaknya.
"Pinceng adalah Goan im" jawab pendeta yang berdiri disebelah kanan "Yang ini adalah Suteku Goan giap."
Buru-buru Cui San menundukkan senjatanya dan sambil mengangkat kedua tangan, ia berkata: "Ah!
Kalau begitu, Jie wie Taysu adalah dari Siauw lim Cap peh Lohan. Sudah lama aku mendengar nama Taysu yang sangat harum dan aku merasa beruntung, bahwa hari ini kita bisa bertemu muka. Pelajaran apakah yang mau diberikan oleh Taysu ?"
"Soal ini bersangkut paut langsung dengann Siauw Lim dan Bu tong pay," jawab Goan Im.
"Kami berdua adalah orang orang yang berkedudukan sangat rendah dalam Siauw lim pay dan sebenarnya kami tak dapat mengurus persoalan ini. Tapi karena sudah terlanjur bertemu, kami tanya mengapa Thio Ngo hiap membinasakan puluhan orang dari Liong bun Piauw kiok dan dua Sutit (keponakan murid) kami" Orang kata, jiwa manusia bersangkut paut dengan Langit. Kami ingin dengar, bagaimana Ngo hiap mau membereskan peristiwa ini."
Kata-kata itu meskipun diucapkan deugan perlahan, kedengarannya sangat menusuk kuping, sehingga dapatlah diketahui, bahwa kepandaian pendeta tersebut banyak lebih tinggi dari pada adik seperguruannya.
Thio Cui San tertawa dingin. "Mengenai permbunuhan terhadap orang-orang Liong bun Piauw kiok, aku sendiripun merasa sangat heran," jawab nya. "Disamping itu, aku juga tidak mengerti, mengapa begitu membuka mulut, Taysu sudah menuduh aku. Apakah kejadian itu disaksikan dengan mata kepala Taysu sendiri ?"
"Hui hong!" teriak Goan im. "Coba kau memberi kesaksian di hadapan Thio Ngo hiap."
Dari belakang pohon lantas saja muncul empat orang pendeta yang tadi dirobohkan Cui San dalamm gedung Liong bun Piauw kiok.
Pendeta yang bergelar Hui hong itu lantas saja membungkuk seraya berkata: "Melaporkan kepada Supoh, bahwa beberapa puluh orang dari Liong bun Piauw kiok Hui thong dan Hui kong kedua Suheng semuanya.... semuanya dibinasakan oleh bangsat she Thio itu."
"Apa kau lihat dengan mata kepala sendiri ?" tanya Goan im.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ya," jawabnya. "..Kalau tak keburu lari, teecu berempat pun sudah binasa di tangannya."
"Murid Sang Buddha tak boleh berjusta," kata Goan im dengan suara keren. "Soal ini mengenai Siauw lim dan Bu tong, kedua partai besar dalam Rimba persilatan, dan kau tidak boleh bicara sembarangan"
Hui bong segera berlutut dan sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Teecu tak akan berani menjustai Supeh dan apa yang dikatakan teecu adalah kejadian yang sebenar-benarnya. Untuk itu, Sang Buddha menjadi saksinya."
"Cobalah kau ceritakan apa yang dilihat dengan matamu sendiri" memerintah Goan im. Mendengar perkataan itu, Thio Cui San lantas saja ia melompat turun.
Goan-giap yang menduga pemuda itu ingin menyerang Hui hong, lantas saja menyabet dengan Sianthungnya. Cui San menunduk untuk memunahkan serangan itu dan kemudian, dengan sekali melompat ia sudah berada di belakang Hui hong. Menurut ilmu silat toya Hok mo thung (takluki iblis), sesudah sabetannya meleset, Goan giap harus menyerang pula dengan membabat pundak lawan. Akan tetapi, karena waktu itu Cui San sudah berada di belakang Hong bong, maka jika ia menyerang lagi, toyanya akan lebih dulu mengenakan keponakan muridnya. Dalam kagetnya, ia terpaksa menarik pulang Sian thungnya. "Mau apa kau?" bentaknya.
"Aku mau mendengarkan ceritanya," menjawab Cui San.
Hui hong mengerti bahwa kalau mau, Thio Cui San yang berada dalam jarak dua kaki, dengan mudah bisa mengambil jiwanya dan meskipun kedua Su pehnya berada di situ, mereka tak akan keburu menolong. Tapi dalam gusarnya, ia tak jadi gentar, dan lantas saja memberi keterangan dengan suara nyaring : "Waktu berada di Kang pak (sebelah utara Sungai Besar). Goan sim Susiok menerima surat Touw Tay Kim Suheng yang meminta pertolongan. Begitu menerima surat itu buru-buru Susiok memerintahkan Hui Thong dan Hui Kong Suheng memberi datang kemari untuk memberi bantuan. "
"Belakangan Susiok pun memberi perintah kepada teecu dan ketiga Sutee untuk menyusul. Begitu tiba, Hui kong Suheng mengatakan bahwa malam ini, musuh mungkin datang menyatroni dan ia minta kami berempat sembunyi dikaki tembok sebelah timur. Iapun memesan supaya kami jangan sembarangan meninggalkan tempat jagaan dan jangan sampai diselomoti dengan tipu memancing harimau keluar dari gunung.
Baru siang berganti malam, tiba-tiba kami mendengar bentakan dan cacian Hui thong Suheng yang sudah mulai bertempur di ruang belakang. Sesaat kemudian ia mengeluarkan teriakan kesakitan, Sebagai tanda terluka berat. Teecu segera memburu keruangan belakang dan tihat dia ..dia..... bangsat She Thio itu"
Berkata sampai disitu, mendadak ia melompat bangun dan berteriak sambil menuding hidung Thio Cui San. "Dengan mata kepalaku sendiri kulihat kau pukul Hui kong Suheng yang lantas mati dengan membentur tembok. Karena merasa tidak ungkulan, aku lalu bersembunyi dibawah jendela dan menyaksikan cara bagaimana kau menerjang ke pekarangan sambil membunuh orang. Tak lama kemudian, delapan orang Piauw kiok berlarian keluar dari belakang dengan diubar olehmu. Mereka semua kau binasakan dengan totokan dan sesudah membasmi semua orang yang berada dalam gedung, barulah kau mabur dengan melompati tembok."
Thio Cui San berdiri tegak tanpa bergerak.
"Kemudian bagaimana?" tanyanya dengan suara dingin.
"Kemudian?" bentak Hui hong dengan kegusaran meluap-luap. "Kemudian aku balik ketembok timur dan berdamai dengan ketiga Suteeku. Kami yakin, bahwa kepandalanmu terlalu tinggi untuk dilawan, dan jalan satu-satunya adalah menunggu, datangnya ketiga Supeh di dalam gedung piauw kiok. Tapi sungguh tak dinyana, kau lagi-lagi menyatroni untuk mencari Touw Cong piauw tauw. Biarpun tahu bahwa kami hanya bakal mengantarkan jiwa, kami bukan bangsa pengecut, maka segara kami menyerang. Waktu ditanya olehkU, bukankah kau telah memperkenalkan diri sebagai Gin kauw Tiat hoa Thio Cui San"
Semula aku tak percaya. Aku berpendapat, bahwa sebagai salah seorang dari Bu tong Cit hiap, kau tentu tak akan melakukan perbuatan yang begitu kejam. Tapi kau lantas saja mengeluarkan kedua senjatamu, sehingga tak mungkin kau Thio Cui San palsu."
"Benar, memang benar aku telah memperkenal kan diri dan mengeluarkan senjataku," kata Cui San.
"Memang benar aku yang sudah merobohkan kamu. Tapi coba ceritakan sekali lagi, coba tuturkan lagi, bagaimana dengan mata kepala sendiri, kau melihat aku membunuh puluhan orang itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada saat itulah, tiba-tiba Goan im mengebas tangan jubahnya dan mendorong tubuh Hui hong beberapa kaki jauhnya. "Ya! Cobalah kau cerita kan lagi, supaya Thio Ngo hiap yang namanya menggetarkan Rimba Persilatan, tidak dapat menyangkal pula," katanya dongan suara menyeramkan. Ia mendorong Hui hong guna berjaga-jaga kalau-kalau dalam gusarnya, pemuda itu turunkan tangan jahat untuk menutup mulut saksi.
"Baiklah" kata Hui hong. "Aku akan menegaskan satu kali lagi. Dengarlah! Dengan mataku sendiri kulihat. kau membinasakan Hui hong dan Hui thong Suheng. Dengan mataku sendiri, kulihat kau membunuh delapan orang dari Liong bun Piauw kiok dengan totokan."
"Apa kau lihat tegas mukaku?" tanya Cui San dengan suara menyeramkan. "Pakaian apa yang dipakai olehku?"
Sambil berkata begitu ia menyalakan api dan menyuluhi mukanya sendiri.
Hui hong menatapnya dan berkata dengan suara membenci: "Tak salah ! Kau mengenakan pakaian itu, jubah panjang dan topi empat segi. Waktu itu kau menyelipkan kipasmu di belakang leher baju."
Bukan main gusarnya Thio Ngo hiap. Ia tak mengerti mengapa pendeta itu menuduhnya secara membabi buta.
Sambil mengangkat api tinggi-tinggi, ia maju dua tindak dan membentak: "Kalau kau mempunyai nyali, katakan lagi bahwa yang membunuh orang adalah Thio Cui San!"
Mendadak kedua mata pendeta its mengeluarkan sinar luar biasa. Ia menunding seraya berteriak:
"Kau....!" Tubuhnya tiba-tiba terjengkang dan robot di tanah. Dengan serentak sambil mengeluarkan seruan tertahan, Goan giap dan Goan im melompat untuk coba menolong. Tapi Hoan hong sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan dengan paras muka ketakutan.
"Kau! kau membunuh dia!" teriak Goan giap dan Goan im, tapi juga mengagetkan sangat Thio Cui San. Ia menengok kebelakang dan matanya yang sangat jeli melihat goyangnya beberapa cabang pohon
"Jangan lari!" bentaknya sambil melompat.
Ia mengerti, bahwa perbuatannya itu sangat berbahaya sebab musuh yang bersembunyi dapat membokongnya. Tapi untuk cuci bersih segala tuduhan, ia mesti bisa menangkap pembunuh itu. Selagi badannya masih berada di tengah udara itu Goan im dar Goan giap sudah menyabet dengan senjata mereka. Bagaikan kilat, ia menekan Sian thung Goan giap dengan Houw tauw kauw dan menotok toya Goan im dan Goan giap dengan Poan koan pit dan dengan meminjam tenaga itu, badannya melesat keatas. Begitu kedua kakinya hinggap di atas tembok, segera matanya menyapu kearah gerobolan pohon.
Benar saja beberapa cabang kecil masih bergoyang goyang, tapi orang yang bersembunyi sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sambil menggeram dan mengebas Sian thungnya Goan giap bergerak untuk melompat keatas tembok
"Jie wie jangan merintangi aku. Mari kita ubar pembunuh itu!" teriak Cui San.
"Kau ..... di hadapanku kau berani membunuh orang !" teriak Goan im dengan napas tersengal-sengal,
"Apa sekarang kau masih mau menyangkal". Beberapa kali Goan giap coba melompat ke atas, tapi ia selalu kena dipukul mundur. "Thio Ngo Hiap, kami bukan mau mengambil jiwamu," kata Goan im. "Kau ikut saja kami ke Siauw lim sie"
"Benar-benar gila!" teriak Cui San. "Karena gara gara kalian berdua yang sudah menghalang halangi aku,pembunuh itu telah berhasil melarikan diri. Sekarang kamu berbalik mau mengajak aku ke Siauw Lim sie. Perlu apa aku pergi ke Siauw Lim sie?"
"Supaya Hong thio kami dapat memberi keputusan," jawabnya. "Dengan beruntun kau sudah membinasakan tiga orang murid kuil kami, ini adalah terlalu besar untuk dibereskan oleh kami berdua."
Cui San tertawa dingin "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Sungguh percuma kamu berdua menjadi anggauta dari Siauw lim Cap peh Lo han. Penjahat lari di depan hidungmu, kamu masih belum tahu!"
"Sudahlah!" kata Goan im dengan suara menyesal dan duka. "Biar bagaimanapun juga, hari ini kami tak akan dapat melepaskan kau."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar tuduhan yang sangat hebat itu, semakin lama pemuda itu jadi semakin gusar."Tay Su"
katanya sambil tertawa dingin. "Jika kamu mempunyai kepandaian, cobalah tangkap aku!" hampir berbareng dengan tantangannya, Goan giap menumbuk tanah dengan San thungnya dan badannya segera melesat keatas. Cui San pun melompat tinggi dan selagi tumbuhnya melayang turun, bagaikan angin puyuh ia menyerang. Goan giap coba menangkis, tapi dengan sekali balik Houw tauw kauw, ia menggeres alis pendeta itu yang lantas saja mengucurkan darah dan tumbuhnya ambruk ke bawah. Dalam serangan itu, Cui San masih berlaku murah hati. Jika gaetan tersebut diturunkan sedikit lagi kearah tenggorkan, jiwa Goan giap tentu sudah melayang.
"Giap suete!" teriak Goan im. "Apa kau terluka berat?"
"Tidak Jangan rewel! Hajarlah !" jawabnya dengan kalap.
Mendengar perkataan saudara seperguruannya. Goan im segera menyerang sambil melompat lompat dan sesaat kemudian, tanpa membalut luka nya, Goan giap pun segera membantu. Melihat serangan-serangan yang sangat hebat itu, Cui San mengerti, bahwa jika kedua pendeta tersebut dapat , melompat ke atas tembok, ia bakal repot sekali.
pMaka itu, sambil mengempos semangat, ia segera berkelahi dengan hati-hati dan menjaga supaya kedua lawannya jangan sampai berdiri di tembok. Ketiga pendeta dari tingkatan "Hui" tidak berani maju, biarpun mereka ingin sekali membantu.
Thio Cui San mengerti bahwa untuk membersihkan dirinya dari tuduhan yang sangat hebat itu, ia harus menyelidiki dan membekuk pembunuh yang tulen. Ia tahu bahwa dilangsungkannya pertempuran hanialah akan memperdalam sakit hati dan salah mengerti. Maka itu sambil menggerakkan kedua senjatanya untuk menutup serangan kedua pendeta itu, ia berseru keras dan mengenjot tubuh.
Tapi sebelum ia melompat tiba tiba terdengar bentakan geledek, dan tembok yang sedang diinjaknya roboh didorong orang. Sebelum kedua kakinya hinggap di bumi seorang pendeta yang tubuhnya tinggi besar menerjang dan coba merampas kedua senjatanya.
Di tempat gelap Cui San tak bisa lihat tegas muka hweeshio itu, tapi melihat sepuluh jarinya yang dipentang seperti gaetan, ia tahu, bahwa pendeta itu menyerang dengan Houw jiauw kang (ilmu pukulan kuku harimau) salah satu pukulan terlihay dari Siauw lim sie.
"Sim Suheng!" teriak Goan giap. "Jangan kasih bangsat ini lari"
Semenjak turun dari Bu tong san, Thio Cui San jarang bertemu dengan tandingan. Sesudah memiliki ilmu silat Ie thian To liong, kepandaiannya jadi lebih tinggi lagi dan nyalinya pun jadi lebih besar.
Melihat serangan mati-matian dari tiga pendeta itu ia jadi mendongkol bukan main dan lantas saja timbul niatan untuk memperlihatkan kepandiannya. Ia segera menyelipkan kauw tauw kauw dan Poan koan pit di pinggang nya dan membentak "Kalau mau bertempur, ayolah! Biarpun Siauw lim Cap peh Lo han turun semua, Thio Cui San sedikit pun tidak merasa keder" Sesaat itu, tangan kiri Goan sim menyambar.
Sambil berkelit, ia menggerakkan tangannya "Bret!" tangan jubah pendeta itu robek. Dengan gusar Goan sim coba mencengkeram pundaknya, tapi sebelum kelima jarinya menyentuh pundak, lututnya sudah ditendang Cui San.
Tapi diluar dugaan, dua kaki Goan sim luar biasa kuat, sehingga biarpun kena tendangan jitu, badannya hanya bergoyang-goyang dan tidak sampai roboh di tanah. Sambil menggeram, tangan kanan nya menyambar, dan dengan berbareng, Sian thung Goan im dan Goan giap menyabet pinggang dan kepala. Cui San tak jadi bingung. Dengan lompat tinggi ia menyelamatkan dirinya.
Sambil bertempur Cui San berkata dalam hatinya: "Dalam beberapa tahun yang belakangkangan nama Bu tong dan Siauw lim dikatakan berendeng dalam Rimba Persilatan. Tapi yang mana lebih tinggi, yang mana lebih rendah, sukar sekali dapat diukur. Biarlah hari ini aku menjajal kepandaian pendeta Siauw Lim." Ia segera mengempos semangat dan melayani ketiga lawan itu dengan hati-hati. Sesudah lewat sekian jurus, biarpun dikerubuti tiga, perlahan lahan ia berada di atas angin.
Sebenarnya, ilmu silat Siauw lim dan Bu tong mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Bu tong pay didirikan oleh Thio Sam Hong, seorang luar biasa pada jaman itu. Tapi ilmu silat Siauw lim sie, dengan sejarah seribu tahun lebih dan diperbaiki terus menerus, bukan main hebatnya. Dalam pada itu, orang harus ingat, bahwa dalam Bu tong pay, Thio Cui San termasuk sebagai Jago kelas utama, sedang Goan im, Goan sim dan Goan giap biarpun kedudukannya sebagai anggota Cap peh Lo han, dalam kalangan Siauw lim sie ilmu silatnya baru mencapai tingkatan kedua. Maka itu sesudah bertempur lama, sebaliknya dari keteter, Thio Cui San jadi semakin gagah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah lewat sekian jurus tagi, tiba tiba pemuda itu menyerang dengan pukulan huruf "Liong" (naga).
Mendadak satu tangannya menangkap San-thung Goan giap yang dengan menggunakan ilmu meminjam tenaga, memukul tangan lalu disentaknya kearah toya Goan im. "Trang !"Hebat sungguh bentrokan kedua toya itu. Tenaga kedua pendeta itu yang sudah cukup hebat, ditambah lagi dengan tenaga Thio Cui San.
Telapak-tangan Goan im dan Goan giap terbeset dan mengeluarkan darah. Lengan mereka kesemutan, sedang kedua Sian thung itu melengkung.
Dengan kaget, Goan sim menubruk untuk memberi pertolongan. Melihat serangan nekat, Cui San mengengos sambil mengggaet dengan kakinya dan menepuk punggung pendeta itu. Tepukan itupun dikirim dergan ilmu "Meminjam tenaga, memukul tangan" yaitu memukul dengan menuruti tenaga Goan sim sendiri. Tanpa ampun, pendeta itu terjungkel.
Sambil tertawa dingin, Thio Cui San lantas saja berjalan pergi,
"Jangan lari kau!" terial Goan sim seraya melompat bangun dan terus mengudak diikuti oleh kedua saudara seperguruannya.
Melihat pengejaran nekat, Cui San jadi bingung juga. Tentu saja sama sekali bukan maksudnya untuk mencelakakan mereka. Maka itu, ia segera mengempos semangat dan lari dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Tapi ketiga pendata itu terus mengubar sambil berteriak-berteriak.
Sembari lari Thio Cui San merasa geli di dalam hati, karena bagaimanapun juga, ketiga pangejar itu tak akan bisa menyandak dirinya. Selagi enak lari, tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan kesakitan dan begitu menengok, ia lihat ketiga pendeta itu menutupi mata kanan mereka dengan kedua tangan, seperti kena senjata rahasia. "Orang she Thio!" Hoan giap mencaci. "Jika kau mempunyai nyali, butakanlah lagi mata kiriku!"
Cui San kaget bukan main. "Apa mata kanannya dibutakan orang dengan senjata rahasia?"tanyanya di dalam hati.
"Siapa yang sudah membantu aku. Mendadak ia ingat sesuatu dan lantas saja berteriak! "Cit tee !Cit tee!
Dimana kau?" Ia berteriak begitu karena ingat bahwa diantara saudara-saudara seperguruannya Boh Seng Kok lah yang paling pandai dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Boh Cit hiap mahir menggunakan piauw, panah tangan, paku, jarum, batu, Hui hong sek dan lain-lain. Maka itu, ia menduga, bahwa orang yang telah menimpuk mata ketiga pendeta itu adalah adiknya yang paling kecil Tapi sesudah memanggil beberapa kali, ia tak mendapat jawaban, ia melompat masuk kegerombolan pohon-pohon dipinggir telaga, tapi disitu pun ia tak lihat bayangan manusia.
Dilain pihak, sesudah seluruh matanya terluka, Goan giap jadi kalap dan sambil berteriak-teriak ia melompat untuk mengubar lagi. Tapi Goan im buru-buru menarik tangan Suteenya. ia mengerti, bahwa meskipun belum terluka, mereka bertiga belum tentu dapat melawan musuh. Sekarang, sesudah terluka, apapula luka itu dirasakan gatal seperti kena senjata beracun keadaan mereka jadi lebih jelek lagi dan tak usah harap bisa memperoleh kemenangan. "Giap Sutee, " katanya dengan suara menghibur. "Dalam usaha membalas sakit hati, orang tak perlu terlalu bernapsu. Dalam urusan ini, andai kata kita bertiga mau menyudahi saja, Hong thio dan kedua Supeh sudah pasti tak akan tinggal diam."
Sementara itu, sesudah ternyata pengubaran atas dirinya dihentikan, Cui San mulai memikiri kejadian barusan dengan rasa heran yang sangat besar. "Aku suka mengunggulkan ilmu mengentengkan badanku, tapi kepandaian orang itu kelihatannya banyak lebih tinggi dari padaku. Tapi siapa dia!"
Ia tak berani berdiam lama-lama lagi dipinggir telaga dan lantas berjalan pulang kerumah penginapan.
Tapi baru saja berjalan puluhan tombak, sekonyong-konyong ia lihat bergoyang-goyangnya rumput tinggi ditepi telaga. Ia tahu bahwa disitu bersembunyi orang dan dengan hati-hati ia mendekati. Baru saja ia ingin menegur, dari antara rumput-rumput melompat keluar seorang yang terus membacok kepalanya dengan golok sambil membentak: "Kalau bukan aku, kau yang mampus!"
Dengan cepat Cui San mengegos dan mengirim tendangan yang mengenakan jitu pergelangan tangan kanan orang itu sehingga goloknya terbang dan jatuh diatas air. Orang itu yang gundul kepalanya dan mengenakan jubah pertapaan. Lagi-lagi seorang pendeta Siauw lim sie "Bikin apa kau di sini?" bentak Cui San.
Tiba-tiba ia lihat 3 sosok tubub yang menggeletak tanpa bergerak, entah sesudah mati, entah terluka berat di dalam rumput-rumputan tinggi. Tanpa menghiraukan lawannya ia segera mendekati dan membungkuk. Begitu lihat, ia terkesiap karena ketiga orang itu bukan lain daripada pemimpin-pemimpin
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Liong bun Piauw kiok, yaitu Touw Tay Kim, Ciok dan Su Piauw tauw. "Touw Cong piauw tauw!"
serunya. "Kau !.... kau ..... " Perkataannya diputuskan oleh melompatnya Touw Tay Kim yang seperti orang edan lalu menyengkeram bajunya didada dan mencaci:"Bangsat ! Aku hanya simpan tiga ratus tahil perak, tapi kau sudah lantas berlaku begitu kejam."
"Ada apa?" tanya Cui San. Baru saja ia ingin memberontak, mendadak ia melihat darah di ujung mata dan mulut Cong Piauw tauw itu. Ia kaget bukan main. "Kau mendapat luka dalam?" tanyanya.
Touw Tay Kim menengok ke pendeta itu dan berkata dengan suara parau: "Sutee, kenalilah Orang ini Gin Kauw Tiat hoa Thio Cui San. Dia.... dialah pembunuhnya. Lekas kau pergi ! . . lekas ! jangan kena dicandak olehnya . .".
Mendadak kedua tangannya membetot keras dan kepalanya dibenturkan ke dada Thio Ngo hiap dengan tujuan untuk mati bersama. Cui San mengangkat kedua tangannya dan mendorong. "Bluk!", badan Touw Tay Kim terpental dan jatuh terjengkang tapi bajunya sendiripun menjadi robek.
Thio Cui San adalah seorang yang tidak mengenal takut. Tapi kejadian-kejadian malam itu dan paras muka Touw Tay Kim adalah sedemikian menyeramkan, sehingga bulu romanya bangun semua. Dengan hati berdebar-debar, ia membungkuk untuk coba menolong, tapi Touw Tay Kim sudah melepaskan napasnya yang penghabisan. Sesudah mendapat luka berat, dorongan Cui San dan jatuhnya ditanah telah menghabiskan jiwanya.
"Bangsat!" teriak sipendeta. "Kau!..... kau binasakan Su hengku !" Ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya.
Cui San menghela napas panjang dan menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa Ciok dan Su Piauw tauw, yang kakinya masuk kedalam air, sudah mati lebih dulu.
Bukan main rasa dukanya pemuda itu. Dengan Touw Tay Kim, ia tak mempunyai permusuhan apapun juga. Ia hanya merasa jengkel karena dalam mengantar Jie Thay Giam, Cong piauw tauw itu sudah diabui orang dan menyerahkan samkonya kepada kawanan orang jahat. Tapi sekarang melihat kebinasaan yang begitu menyedihkan, ia merasa sangat terharu dan kasihan. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong. Tiba-tiba ia ingat perkataan Cong piauw tauw itu yang mengatakan, "aku hanya menyimpan tigaratus tahal emas, tapi aku sudah lantas berlaku begitu kejam".
Sebenar-benarnya, jangankan ia tak tahu hal itu, sekalipun tahu, ia pasti tak akan sembarangan membunuh orang. Ia segera membungkuk daa membuka buntalan yang diikat dipunggung Cong piauw tauw itu. Benar saja, dalam buntelan itu kedapatan beberapa potongan emas.
Cui San jadi bertambah duka. Ia ingat kesukaran dan penderitaan seorang piauw tauw yarg mencari sesuap nasi dengan melakoni perjalanan li (peep: ?"") dan setiap hari hidup diujung senjata. Tujuan satu-satunya adalah mengumpul sedikit uang untuk berjaga-jaga keperluan dihari tua. Uang itu sekarang menggeletak disamping Touw Tay Kim, tapi ia sudah tak dapat menggunakannya. Mengingat begitu, ia menghela napas. Ia ingat pula, bahwa ini malam, seorang diri ia telah mengalahkan tiga pendeta Siauw lim sie sehingga namanya naik tinggi dalam Rimba Persilatan. Tapi apa artinya itu semua" Pada akhirnya ia dan Tuow Tay Kim tidak banyak bedanya, yaitu berpulang ketempat baka.
Tanpa merasa, sekali lagi ia melamun ditengah telaga. Mendadak terdengar suara khim. Ia mengawas kearah suara itu dan mendapat kenyataan, bahwa sastrawan yang tadi minum arak seorang diri di dalam perahu, yang sekarang yang menetik khim. Sesaat kemudian, dengan menuruti irama tabuh-tabuhan itu, ia menyanyi:
"Mendapat ilham, tenaga pit seolah olah menggetarkan Ngo gak, Syair rampung suara bersyair mencapai Ciang Ciu.
Kalau nama dan kemuliaan terus berdiri tegak,
Sangai Han sui seharusnya mengalir balik ke barat laut."
Cui San terkejut. Suara itu yang merdu dan nyaring, seperti juga suara seorang wanita, sedang sajak mengenakan jitu isi hatinya. Dilain saat, ia segera mengangkat kaki uatuk meninggalkan tempat itu, karena, jika perahu itu mendekati dan si sasterawan melihat ketiga mayat yang menggeletak disitu, dia mungkin berteriak dan mengakibatkan datangnya serdadu peronda. Tapi baru ia bertindak, sastrerawan itu sekonyong-konyong menepuk khim dan berkata dengan suara nyarirg: "Jika Heng tay (saudara) merasa senang untuk pelesir diatas telaga, mengapa Heng tay tak mau naik kesini?". Sambil berkata begitu, ia mengebas tangannya dan tukang perahu yang duduk dikemudi lantas saja menggayu perahu itu ketepi telaga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Orang itu sedari tadi sudah belada diatas telaga sehingga mungkin sekali aku akan bisa mendapat keterangan berharga dari mulutnya," pikir Cui San yang lalu turun dipinggir air. Begitu perahu itu datang dekat, ia segera melompat kekepala perahu.
Dengan ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, lompatannya itu sedikitpun tidak menggoncangkan badan perahu. Sisasterawan bangun berdiri dan sambil tersenyum, ia menyoja, akan kemudian menunjuk kursi supaya tamunya duduk.
Dengan pertolongan sinar tengtoleng Cui San mendapat kenyataan bahwa sastrawan itu kulitnya putih bagaikan susu dan pantasnya cantik ayu, sedang waktu ia bersenyum pada pipi kirinya yang agak kurus tertampak sebuah sujen. Dipandang dari jauh, ia kelihatannya seperti seorang tongcu yang tampan, tapi dilihat dari dekat, ia adalah seorang wanita muda belia yang mengenakan pakaian lelaki.
Sebagai murid Thio Sam Hong, Cui San telah diajar untuk mentaati sopan santun dan memegang keras peraturan pada jaman itu, mengenai pergaulan antara pria dan wanita.
Selama malang melintang dalam dunia Kangouw, Butong Cit hiap belum pernah dibikin mabok oleh kecantikan wanita.
Maka itulah, setelah mengetahui, bahwa sasterawan itu adalah seorang wanita, parasnya lantas saja berubah merah dan begitu bangun berdiri, ia segera melompat balik kedaratan. Sambil menyoja ia berkata dengan sikap menghormat: "Aku yang rendah tak tahu, bahwa nona adalah seorang wanita yang menyamar sabagai pria. Untuk kelancanganku, harap nona sudi memaafkan."
Tanpa menjawab, nona itu memetik khin seraya bernyanyi
"Kejengkelan menghilangkan kegembiraan,
kesepian menimbulkan kedukaan.
Terbang berputaran, memandang ketempat jauh.
Mencekal pedang, melompat ke atas perahu."
Mendengar nyanyian itu, yang mengundangnya untuk kembali keperahu, Cui San berkata di dalam hati: "Malam ini aku telah bertemu dengan banyak soal sulit. Nona itu rupanya dapat membantu aku dalam usaha mencuci bersih segala tuduhan yang tidak-tidak." Memikir begitu ia lantas saja bergerak untuk melompat kembali ke perahu.
Tapi ia lantas mendapat lain ingatan. "Ah! Aku belum mengenalnya dan ia begitu cantik," pikirnya.
"Jika aku membuat pertemuan di tengah malam buta, namanya yang suci bersih bisa ternoda."
Selagi bersangsi, tiba-tiba ia dengar suara penggayu memukul air, dan perahu itu sudah bergerak ketengah telaga. Dilain saat terdengar bunyi khim yang diiring dengam nyanyian seperti berikut;
"Malam ini kuhilanag kegembiraan,
Besok malam, belum ada ketentuan.
Dibawah Liok ho tah, Yanglie melambai, perahu menunggu,
Pemuda kesatria, Apa sudi datang kesitu ?"
Semakin lama perahu jadi semakin jauh, sedang nyanyian itu pun semakin sayup kedengarannnya, sinar tengloleng kelihatan seperti sebutir kacang dan kemudian menghilang dari pemandangan.
Pengalaman Thio Cui San pada malam itu sungguh-sungguh luar biasa. Disaat ini, dia menghadapi pembunuhan, mayat dan pertempuran disaat lain, ia bertemu dangan wanita cantik, khim dan nyanyian merdu. Lama juga ia berdiri ditepi telaga, seperti orang hilang ingatan. Kemudian sambil menghelan napas, dengan tindakan lesu ia kerumah penginapan.
Pada esok harinya, pembunuhan hebat digedung Liong bun Piauw kiok dan ditepi telaga telah menggemparkan seluruh kota Lim an. Thio Cui San yang gerak geriknya lemah lembut seperti seorang sasterawan tentu saja tidak dicurigai. Hari itu, dari pagi sampai sore, ia berputar-putar dipasar pasar dikelenteng-keleteng dalam usaha mencari Jie Lim Cu dan Boh Seng Kok. Tapi jangankan orangnya, sedangkan tanda tandanyapun yang biasa ditaruh disepanjang jalan jika Bu tong Cit hiap sedang manjalankan tugas tak kelihatan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah mata hari mendoyong kebarat, mau tak mau, ia ingat nyanyian nona cantik itu yang selalu terbayang didepan matanya. "Jika aku berlaku sopan, halangan apa aku menemuinya?" katanya di dalam hati, "Memang alangkah baiknya jika Jieko dan Cit tee berada disini dan bisa turut serta. Ya, aku mesti bertemu dengan nona itu. Dia adalah orang satu-satunya yang bisa ditanyakan olehku." Sesudah mengambil keputusan, buru-buru ia menangsal perut dan lalu berangkat kepagoda Liok ho tah.
Liok ho tah berada ditepi Sungai Cian tongkang dan tempat itu terpisah agak jauh dari kota Lim an sehingga walaupun Thio Cui San menggunakan ilmu mengentengkan badan, waktu tiba di Liok ho tan, siang sudah terganti dengan malam.
Dari jauh ia sudah lihat, bahwa disebelah timur pagoda itu terdapat tiga pohon yanglioe dan dibawah pohon tertambat sebuah perahu kecil. Perahu perahu disungai itu kebanyakan menggunakan layar dan bentuknya banyak lebih besar daripada perahu pelesir ditelaga See ouw. Tapi perahu yang berada di bawah pohon yanglioe, tiada bedanya dengan perahu semalam dan di kepala perahu tergantung sebuah tengloleng.
Jantung pemuda itu, memukul keras dan sesudah dapat menenteramkan hatinya, barulah ia mendekati pohon yanglioe itu. Di kepala perahu kelihatan berduduk seorang wanita yang mengunakan baju muda.
Ternyata nona itu tidak menyamar lagi sebagai pria.
Waktu berangkat dari rumah penginapan, Cui San bertekad untuk menemui sinona dan menanyakan urusan semalam. Tapi sekarang, melihat nona itu memakai pakaian perempuan, hatinya bersangsi lagi.
Sekonyong-konyong sinona mendongak dan mengucapkan sebuah sajak:
"Memeluk lutut di kepala perahu,
Sambil menunggu seorang tamu.
Angin meniup, ombak bergoyang.
Duduk melamun, pikiran meiayang."
"Aku yang rendah, Thio Cui San, ingin menanyakan sesuatu kepada nona," kata pemuda itu dengan suara nyaring.
"Naiklah keperahu," mengundang Sinona.
Dengan gerakan yang indah Cui San melompat ke atas
"Kemarin awan hitam menutupi langit dan bulan tak muncul," kata nona itu. "Malam ini langit bersih, lebih menyenangkan daripada kemarin." Suaranya merdu dan nyaring tapi ia bicara sambil mengawasi langit.
"Apakah boleh ku tahu she nona yang mulia?" tanya Cui San sambil membungkuk.
Mendadak Sinona menengok dan matanya kedua yang bening menyapu muka itu. Tapi ia tak menjawab pertanyaan orang.
Pemuda itu jadi kemalu-kemaluan. Tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia memutar badan dan lalu melompat kedaratan dan berlari-lari. Sesudah lari beberapa puluh tombak, ia menghentikan tindakannya. "Cui San! Cui San !'" Ia mengeluh "Kau dikenal sebagai seorang gagah yang selama sepuluh tahun didunia Kang ouw tidak mengenal apa artinya takut. Tapi mengapa begitu berhadapan dangan seorang wanita, kau lari terbirit birit ?" Ia menengok dan melihat perahu si nona maju perlahan-lahan disepanjang pingiran sungai, dengan menuruti aliran air. Dengan hati ber debar-debar, ia lalu berjalan disepanjang gili gili, berendeng dengan perahu, sedang nona itu sendiri masih tetap duduk di kepala perahu sambil memandang langit.
Iblis Sungai Telaga 5 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 7

Cari Blog Ini