Ceritasilat Novel Online

Kisah Membunuh Naga 41

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 41


"Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Aku datang untuk minta kau menolong Gie hu."
Cie Jiak menuding kedalam. "Ia berada disitu," katanya.
Ketika Bu Kie menolak kamar, kamar itu gelap gulita. Ia segara mengambil ciak tay, tempat menancap lilin. Cie Jiak tetap tak bergerak.
Bu Kie membuka kelambu. Ia lihat Song Ceng Su berada dalam keadaan pingsan, napasnya lemah, kedua matanya melotot dan paras mukanya menakutkan. Ia lalu memeriksa nadi. Ketukan nadinya kalut, sebentar cepat sebentar perlahan kulit tubuhnya dingin dan memang juga, kalau tidak keburu ditolong, dia sukar melewati malam itu. Perlahan-lahan ia meraba-raba batok kepala Ceng Su. Ia mendapat kenyataan bahwa pada bagian depan dan bagian belakang kepala ada empat potong tulang yang hancur. Pukulan song hong Koan nyie yang dikirim Jie Lian Ciu yang disertai dengan sepuluh bagian tenaga dalam dan kalau Song Ceng Su sendiri tidak memiliki Lweekang yang kuat, ia siang2 sudah binasa.
Bu Kie lalu menutup kelambu, menaruh ciak tay dimeja dan duduk dikursi bambu sambil mengasah otak untuk mencari jalan guna mengobatinya. Sebagai murid tiap kok ie sian, kepandaiannya dalam ilmu ketabiban sudah jarang ada tandingannya. Tapi luka Ceng Su terlampau berat, sehingga ia sama sekah tak punya pegangan.
Sesudah duduk disitu kira2 semakanan nasi, ia berjalan keluar dan berkata: "Song Hu-jin, aku tak bisa mengatakan apa aku akan berhasil dalam usaha mengobati Song-suko. Apakah kau suka mempermisikan untuk aku mencoba-coba."
"Kalau kau tak bisa menolong, di dalam dunia tak ada orang lain yang akan bisa menolong."
"Andaikata aku berhasil, muka dan ilmu silatnya mungkin tak bisa pulih seperti kala.
"Kau bukan dewa. Kutahu kau akan berusaha sedapat mungkin untuk menolong jiwanya supaya kau bisa menjadi kunma dengan tidak usah malu sendiri." ( Kun-ma - suami seorang puteri raja muda ).
Jantung Bu Kie memukul keras. Ia sama sekali tak mempunyai maksud begitu, tapi merasa tak enak untuk bertempur dengan tunangannya itu. Ia lalu kembali kekamar Ceng-su, mem buka selimut dan menotok delapan "hiat" pada tubuh pemuda itu. Kemudian, dengan tangan yang hampir tulang-tulangnya patah atau hancur dan akhirnya melabur tulang-tulang itu dengan semacam koyo hitam yang dikoreknya dari sebuah kotak emas. Koyo itu bukan lain dari pada Hek giok Toan siok ko-Koyo untuk mengobati tulang patah dari Siauw lim bun di See-hek. Sebagaimana diketahui, Koyo itu diberikan oleh Tio Beng untuk mengobati Jie Thay Giam dan In Lie Heng dan masih ada lebihnya: Sesudah itu, ia dengan secepat mungkin segera mengerahkan Kioe yang Cin khie dan mengirim hawa yang hangat kedalam otak Song Ceng Su.
Sesudah tulang2nya disambung dan kepalanya dilabur obat, paras muka Song Ceng su tak berubah jadi lebih jelek, Bu Kie girang di dalam hatinya timbul harapan besar. Sebab ia sendiri baru saja terluka, maka sehabis mengerahkan Lweekang, napasnya lantas saja ter-sengal2. Untuk beberapa lama ia berdiri didepan ranjang dan menenteramkan jalan pernapasannya.
Sesudah itu ia meninggalkan Song Ceng su dan menaruh ciak tay diatas meja. Dari sinar lilin ia melihat muka Cie Jiak yang pucat pasi. Diluar lapat2 terdengar suara tindakan kaki. Ia tahu, bahwa itulah suara tindakan murid2 Go-bie pay yang jaga malam.
"Song suko mungkin sekali bisa ditolong," kata Bu Kie. "Legakanlah hatimu."
"Kau tak punya pegangan pasti dalam menolong dia, akupun tak pumya pegangan pasti dalam menolong Cia Tayhiap," kata Cie Jiak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tahu bahwa yang dikatakan Cie Jiak memang sebenarnya. Biarpun dibantu oleh dua jago Go bie pay Cie Jiak belum tentu berhasil. Bahkan mungkin dia membuang jiwa. "Apa kau tahu dimana Giehu dipenjarakan dan bagaimana penjagaannya ?" tanyanya.
"Tidak" jawabnya. "Penjagaan apa yang diatur Siauw lim pay?"
Bu Kie segera menceritakan apa yang ia tahu dan segala pengalamannya dalam pertempuran melawan tiga pendeta Siauw lim.
"Kalau kau tidak berhasil akupun lebih tak kan berhasil," kata Cie Jiak sesudah Bu Kie selesai menutur.
"Cie Jiak," kata Bu Kie dengan bernafsu, "apabila kita berdua bekerja sama kita pasti berhasil. Dengan tenaga Sun yang (keras) aku melibat cambuk ketiga pendeta itu sedang kau sendiri bisa menerjang dengan tenaga Im-Jioe (lembek). Begitu kau menerobos masuk ke dalam Kim kong Hok mo coan, kita menyerang dari dalam dan dari luar dan kita pasti akan berhasil."
Cie Jiak tertawa dingin. "Dahulu, kita pernah memadu janji untuk menjadi suami isteri," katanya,
"Kini jiwa suamiku berada dalam bahaya- Hari ini aku mengampuni jiwamu. Orang luar tentu akan bilang bahwa aku berbuat begitu sebab aku sukar melupakan kecintaan. Tapi apabila kau meminta bantuan dalam memukul Kim kong Hok mo can, orang-orang gagah dikolong langit tentu akan mencaci aku sebagai perempuan yang tak tahu malu."
"Perduli apa omongan orang luar?" kata Bu Kie. "Kita hanya perlu menanya hati sendiri, apakah kita ada yang berbuat sesuatu yang memalukan atau tidak."
"Bagaimana kalau aku menanya dalam hati sendiri, aku merasa, bahwa aku telah berbuat sesuatu yang memalukan?" kata Cie Jiak.
Bu Kie tertegun. "Kau... kau..." katanya.
"Thio Kauwcu," memutus Cie Jiak. "Bahwa kita berdua berada bersama-sama ditengah malam buta, sudah sangat tak pantas. Thio Kauwcu kau pergilah !"
Bu Kie menyoja sambil membungkuk, "Song Hujin, sedari kecil kau berlaku sangat baik kepadaku,"
katanya. "Kumohon kali ini kau suka berbuat baik lagi kepadaku. Selama Thio Bu Kie masih hidup, dia takkan melupakan budimu yang sangat besar."
Cie Jiak membungkam. Ia tidak menjawab "ya" atau "tidak". Iapun tidak pernah menengok, sehingga Bu Kie tidak bisa lihat paras mukanya. Baru saja Bu Kie mau memohon lagi, nyonya muda itu tiba-tiba berteriak, "Ceng hui Su cie, antarkanlah tamu kita."
Pintu terbuka dan Ceng hui Suthay berdiri diambang pintu dengan mencekal pedang terhunus. Dengan mata berapi pendeta wanita itu mengawasi Bu Kie.
Mendadak Bu Kie menekuk kedua lututnya dan berlutut. Ia menyampingkan segala perasaan malu sebab mati hidupnya sang ayah angkat tergantung atas kemauan Cie Jiak untuk memberi pertolongan.
Sesudah memanggutkan kepala empat kali ia berkata, "Song-hujin, memohon belas kasihanmu."
Cie Jiak tetap duduk bagaikan patung.
"Thio Bu Kie, Ciang bunjin menyuruh kau pergi!" bentak Ceng hui. Kalau kau masih rewel, kau benar-benar manusia rendah yang tak mengenal malu!" Ia mencaci begitu karena menduga Bu Kie minta menikah dengan Cie Jiak sesudah Song Ceng Su mati.
Bu Kie menghela napas. Ia bangkit dan terus berjalan keluar.
Setibanya digubuk Beng kauw, Tio beng menyambutnya dengan berkata. "Song Ceng su dapat ditolong bukan" Kau jadi orang mulia dengan menggunakan Hek hiok Toan siok koku."
"Beng moay, kau sungguh pintar! Tapi aku tidak bisa katakan, apa dia bisa ditolong atau tidak."
"Hmm... Kau coba menolong Song ceng su untuk ditukar dengan Cia Tay hiap. Bu Kie ko ko makin lama otakmu makin tidak beres!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Mengapa begitu" Aku tak mengerti maksud mu."
"Dengan seantero kepandaianmu, kau berusaha untuk menolong Song ceng su. Itu berarti bahwa kau sedikitpun tak ingat lagi kecintaan Ciu Ciecie. Coba pikir, bagaimana dia tidak jadi mendongkol?"
Bu Kie terkejut. Tak dapat ia menjawab perkataan si nona. Tak bisa jadi Cie Jiak merasa senang kalau suaminya binasa. Tapi ia ingat perkataan nyonya itu. "Kutahu, kau akan berusaha sedapat mungkin untuk menoloug jiwanya, supaya kau bisa menjadi kunma dengan tak usah merasa malu sendiri" Perkataan itu mengunjuk bahwa di dalam hati Cie Jiak merasa mendongkol.
Melihat Bu Kie membungkam, Tio beng berkata pula. "Apakah kau merasa menyesal sesudah menolong jiwa Song ceng su?" Sehabis bertanya begitu, tanpa menunggu jawaban ia masuk kedalam. Bu Kie duduk diatas batu. Sambil mengawasi rembulan, pikirannya melayang kemasa lampau. Ia ingat bahwa sebelum setahun sesudah meninggalkan Peng hwee to, kedua orang tuanya meninggal dunia.
Semenjak itu ia hampir diliputi kedukaan. Banyak kali ia coba berbuat, tapi akibatnya jadi sebaliknya.
"Ah... kalau tahu bakal begini lebih baik berdiam terus di Peng hwee to dan hidup tenteram bersama ayah ibu dan Giehu," katanya di dalam hati.
Pada keesokan paginya para enghiong kembali berkumpul dilapangan yang kemarin, kali ini si pendeta Tat mo tong yang berlaku sebagai juru bicara tanpa minta permisi dari Kong tie. "Para enghiong dengarlah," teriaknya. "Dalam pie bu kemarin Song hujin dari Go bie pay telah memperoleh kemenangan terakhir, sehingga sebagai mana sudah disetujui, hari ini kami mengundang ia untuk pergi kebelakang gunung guna melepaskan Kim mo Say ong Cia Sun. Mari." Sehabis berkata begitu ia berjalan lebih dahulu sebagai penunjuk jalan, diikuti oleh rombongan Go bie pay dan lain-lain. Melihat Cie Jiak tidak mengenakan pakaian berkabung Bu Kie tahu, bahwa jiwa Song Ceng Su dapat dikatakan sudah tertolong.
Setibanya dipuncak bukit, sipendeta Tat mo tong segera berkata. "Ini penjara dibawah tanah diantara ketiga pohon siong itu. Penjaga penjara ialah ketiga tetua dari partai kami. Sesudah mengalahkan ketiga tetua kami itu, Song Hujin boleh lantas mengambil Cia Sun.
Melihat paras muka Bu Kie yang penuh kebingungan Yo Siauw berbisik. "Kauwcu tak usah kuatir, Wie Hok kiong dan Swe Poet Tek sudah mempersiapkan Ngo heng kie dikaki bu-kit2. Apabila Go bie pay tidak mau menyerahkan Cia Sun, kita boleh segera mengunakan kekerasan."
Alis Bu Kie berkerut. "Tindakan itu melanggar persetujuan dan kita akan kehilangan kepercayaan,"
katanya. "Untuk menolong Cia Say ong, kita tidak bisa terlalu memperhatikan hal yang sedemikian," kata Yo Siauw.
"Musuh Cia Tayhiap terlalu banyak," sela Tio Beng. "Kita harus menjaga juga senjata gelap."
"Benar," kata Bu Kie. "Hoan Yoesu Tiat kun Too tiang, Ciu heng, Pheng Tay Su, kuminta kalian berdiri di tempat sudut dan menjaga serangan gelap."
"Bu Kie Koko," bisik nona Tio, "kuingin ajukan sebuah usul. Jika ada orang menggunakan senjata rahasia, kita boleh segera menggunakan itu untuk merampas Cia Thayhiap. Dengan demikian, tidak seorang pun bisa mengatakan, bahwa kita melanggar janji. Kalau tidak ada yang membokong, sebaiknya Yo Cosu memerintahkan salah seorang untuk melepaskan senjata rahasia, supaya di dalam kekalutan kita bisa turun tangan.
Yo Siauw tertawa. "Bagus! tipu itu sungguh lihay." katanya. Ia segera berlalu untuk mengatur persiapaan.
Bu Kie merasa, bahwa siasat itu bukan cara seorang ksatria. Tapi untuk menolong jiwa ayah angkatnya, ia tidak bisa terlalu menghiraukan soal itu lagi. Diam-diam ia merasa sangat berterima kasih terhadap Tio Beng. "Beng moay dan Yo Cosu adalah orang-orang pandai pada jaman ini," katanya di dalam hati. Sungguh untung aku bisa mendapat bantuan mereka."
Sementara itu Ciu Cie Jiak sudah maju menghampiri ketiga pohon siong dan berkata sambil membungkuk. "Sam wie adaiah tetua Siauw-lim pay yang memiliki kepandaian sangat tinggi! Jika dengan sendirian aku melawan Sam wie, aku bukan saja berlaku tidak adil, tapi juga tidak menghormat kalian."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Song Hujin boleh mengambil pembantu," si pendeta Tat mo tong.
"Karena mengalahnya para enghiong, secara kebetulan aku merebut kemenangan," kata Cie Jiak.
Dalam memperoleh kemenangan itu, aku mengandalkan ilmu silat mendiang guruku, Biat coat Suthay.
Jika tiga lawan tiga biarpun menang, kemenangan itu belumlah cukup untuk memperlihatkan hasil yang jerih payah mendiang guruku dalam mengajar aku. Kalau satu lawan tiga, aku jadi berlaku kurang hormat terhadap tuan rumah. Begini saja. Aku akan meminta bantuannya seorang Bocah yang kemarin jatuh di-dalam tanganku dan yang lukanya sampai sekarang belum sembuh betul, Bocah itu dahulu pernah muntah-muntah darah karena dipukul Siansu (mendiang guruku). Kejadian ini diketahui oleh semua orang. Dengan meminta bantuannya aku tidak merugikan nama baik Sian su."
Mendengar perkataan itu, Bu Kie jadi girang sekali. "Benar saja dia meloloskan permohonanku,"
katanya di dalam hati. Sementara itu Cie Jiak sudah berseru. Thio Bu Kie kau keluarlah!"
Kecuali Yo Siauw dan beberapa pemimpin lain, para anggauta Beng Kauw tidak tahu mau Kauwcu mereka, mereka merasa sangat gusar. Tapi diluar dugaan, sang Kauwcu kelihatan girang dan menghampiri dengan paras muka berseri-seri. Sambil menyoja, ia berkata. "Terima kasih atas belas kasihan Song Hujin yang kemarin sudah meagampuni jiwaku." Untuk menebus dosa dahulu hari dan demi keselamatan ayah angkatnya, ia sudah mengambil keputusan untuk menelan segala hinaan.
"Sebab lukamu belum sembuh, akupun bukan sungguh2 mengharapkan bantuanmu," kata Cie Jiak.
"Aku hanya menanti perintah," jawab Bu Kie.
Dengan sekali menggerakkan tangan kanannya, Cie Jiak membuat belasan lingkaran besar dan kecil dengan cambuknya. Hampir berbareng ia membalik tangan kirinya dan tahu2 ia sudah memegang sebilah golok pendek yang bersinar hijau. Para orang gagah yang kemarin sudah menyaksilcan kelihayan cambuk tak pernah menduga bahwa jago betina itu akan menggunakan juga lain snnjata. Kedua senjata itu sangat berlainan sifatnya, yang satu panjang yang lain pendek, yang satu lemas yang lain keras. Bahwa Cie Jiak dapat menggunakan kedua senjata itu dengan berbareng, merupakan bukti bahwa ia benar2 memiliki kepandaian tinggi. Para enghiong lantas saja terbangun semangatnya dan merasa pasti bahwa mereka akan menyaksikan pertempuran yang luar biasa.
Bu Kie segera merogoh saku dan mengeluarkan dua batang Seng hwee leng. Ia maju ke gelanggang.
Tiba-tiba tindakannya limbung dan ia sengaja batuk-batuk seperti orang yang masih menderita luka berat.
Ia bertekad untuk menyerahkan semua jasa pada Cie Jiak.
Perlahan-lahan Touw ok bertiga mengangkat tambang mereka, siap sedia untuk menyambut serangan lawan.
Cie Jiak mendekati Bu Kie dan berbisik, "Kau pernah bersumpah untuk membalas sakit hati piauw moaymu. Kalau si pembunuh ayah angkatmu, apakah kau masih mau menolong dia."
Bu Kie terkejut, "Kadang-kadang Giehu, dia terserang penyakit kalap dan ia bisa melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak diinginkan olehnya" jawabnya.
Sesaat itu dilereng bukit sekonyong-konyong terdengar suara khim dan seruling. Bu Kie girang, Dilain saat dengan diiringi oleh tiga suara tali khim empat nona yang mengenakan baju putih dan masing-masing memegang satu khim muncul dipuncak bukit. Beberapa detik kemudian dengan iringan suara seruling, empat gadis baju hitam yang masing-masing membawa sebatang seruling, memperlihatkan diri.
Delapan wanita muda itu lantas saja berdiri didelapan penjuru dan mulai memperdengarkan sebuah lagu yang sangat merdu. Diantara iringan lagu itu seorang gadis cantik yang menggunakan baju warna kuning muda perlahan-lahan mendaki puncak bukit. Benar saja wanita itu bukan lain daripada si nona baju kuning yang pernah ditemui Bu Kie diantara orang-orang
di Kay pang di Louw liong.
Begitu melihat, Pangcu Kay pang Su Kong Sek lantas saja memburu dan menubrukdan memeluk sibaju kuning, "Yo Ciecie!" teriaknya. "Tetua dan Liong tauw kami dibinasakan orang. Ia menuding Cie Jiak dan berteriak pula, "Dari Go bie pay dan Siauw lim pay yang turun tangan jahat."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si baju kuning manggut-manggut. "Aku sudah tahu," katanya. Hmm.. Kioe im pek koet jiauw belum tentu merupakan ilmu yang paling tinggi." ( Kioe im Pek koet jiauw - cengkeraman tulang putih dari kitap Kioe im Cin-keng ).
Munculnya si baju kuning sudah menarik perhatian semua orang dan perkataan itu didengar oleh semua kuping. Para enghiong yang berusia lanjut dan berpengalaman terkejut di dalam hari. Mereka bertanya-tanya, "Kioe im pek koet jiauw" Apakah Kioe im pek koet jiauw yang pada seabad yang lalu dikenal sebagai ilmu silat sangat jahat dan yang belakangan hilang dari Rimba persilatan"
Sementara itu dengan bergandengan tangan si baju kuning dan Su hong Sek menuju ke rombongan Kay pang, Nona aneh itu kemudian duduk disebuah batu besar.
"Siapa wanita itu?" tanya Cie Jiak. "Aku baru pernah ketemu sekali," jawab Bu Kie. Aku tahu nama dan asal usulnya".
"Dia she Yo!" "Kau tak salah."
Cie Jiak mengeluarkan suara dihidung. "Mulailah!" katanya seraya mengedut cambuknya yang lantas saja meayambar Touw ok dan dengan menuruti gerakan itu tubuhnya melesat keatas, akan kemudian, hinggap diantara tiga pohon siong. Serangan dan lompatan itu yang sangat cepat dan indah mengagumkan semua orang. Dilain saat, cambuknya sudah beradu dengan tambang Touw lan. Touw ok dan Touw ciat buru-buru mengangkat senjata mereka dan menyerang dari kiri kanan. Bu Kie segera melompat untuk menolong, tapi begitu lekas kakinya hinggap ditanah tubuhnya terhuyung, Banyak orang mengeluarkan seruan tertahan. Mereka menduga pemuda itu sudah tak punya tenaga untuk berkelahi.
Mereka tak tahu, bahwa Bu Kie sedang menggunakan ilmu Seng hwee leng yang sangat aneh. Selagi terhuyung Seng hwee leng menghantam dada Touw lan yang "terikat" dengan cambuk Cie Jiak dan sukar meinbela diri. Melihat bahaya Touw ok dan Touw ciat lantas saja merubah arah serangannya terhadap Cie jiak dan kedua tambang menyambar Bu Kie seperti dua ekor naga. Sekali lagi semua orang terkesiap.
Pada detik yang sangat berbahaya, Bu Kie menggulingkan diri kearah Touw ok yang menyambutnya dengan totokan jari kepundak. Dengan Kian kun Tay lo ie, Bu Kie memunahkan totokan dan hampir berbarengan tubuhnya bergulingan kejurusan Touw ciat.
Demikianlah Bu Kie terus menggunakan ilmu Seng hwee leng yang aneh. Ia bergulingan kesana-sini.
Ia kelihatannya bingung, repot dan terdesak. Tapi pada detik terakhir serangan2 berbahaya, ia selalu dapat meloloskan diri dari bencana.
Sesudah lewat puluhan jurus, orang-orang gagah yang berpengalaman mulai merasa bahwa Bu Kie sedang menggunakan ilmu silat luar biasa, misalnya sebangsa ilmu Cui pat-sian (Delapan dewa mabuk ).
Tapi ilmu itu banyak lebih sukar dan mengandung perubahan-perubahan yang lebih sulit daripada segala ilmu yang dikenal dalam wilayah Tionggoan.
Pada hakekatnya silat Persia kuno itu digunakan untuk melawan hanya seorang dari ketiga tetua Siauw lim, dengan mudah Bu Kie bisa memperoleh kemenangan. Kekuatan ketiga ketua itu terletak pada kerja sama mereka yang sangat erat. Sesudah mempelajari Kim kong Hok-mo coan bersama-sama selama puluhan tahun, pikiran mereka sudah terjalin menjadi satu. Kalau yang satu menghadapi bahaya, dua yang lain segera membantu secara wajar. Maka itulah, sesudah bertempur kira-kira duapuluh jurus, Bu Kie belum juga bisa mendapat kemajuan.
Pada dasarnya sebagian kecil silat Seng hwee leng termasuk di jalanan sesat sedang Kim kong Hok mo coan berdasarkan ilmu Sang Buddha menaklukan segala apa yang sesat.
Dengan demikian sesudah bertempur beberapa lama lagi, sifat iblis dari ilmu Seng hwee leng itu mulai mempengaruhi Bu Kie. Dibawah tekanan ilmu yang bersih suci, pikiran Bu Kie mulai kalut. Tanpa diketahui oleh para hadirin ia menghadapi bencana. Andaikata tidak terpukul dalam seratus jurus lagi ia bakal roboh sendiri. Bahwa Beng kauw sering dinamakan orang sebagai "Agama iblis" ( Mo kauw ), bukan sama sekali tidak beralasan, sedang ilmu silat Seng hwee leng adalan gubahan "si Orang tua dari Pegunungan," "si raja iblis yang bisa membunuh manusia tanpa berkedip. Pada waktu meyakinkan ilmu itu, Bu Kie tidak melihat dan tidak merasakan apapun juga. Tapi sekarang dalam menghadapi musuh besar yang menggunakan ilmu lurus bersih, bagian yang berbabaya dari ilmu tersebut menonjolkan diri.
Tiba tiba ia tertawa-tertawa berkakakan yang bernada "iblis" dan membangunkan bulu roma.
Mendadak, sehabis tertawa itu, dari dalam tanah diantara ketiga pohon siong terdengar suara orang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menghafalkan kitab-Budha. Bu Kie kaget dan mengenali, bahwa yang menghafalkan kitab bukan lain dari pada ayah angkatnya. Ia mengerti, bahwa sedari dipenjarakan, setiap hari orangtua itu mendengari penghafalan kitab suci yang dilakukan oleh ketiga pendeta Siauw-lim. Sang ayah angkat pernah menolak untuk melarikan diri karena ia merasa mempunyai alasan dosanya terlalu besar: "Apakah sesudah mendengari pembacaan kitab suci selama beberapa bulan, Giehu mendusin?" tanya Bu Kie di dalam hati.
Sementara itu, tekanan tambang ketiga pendeta itu mulai berkurang.
Cia Sun menghafal terus. Bu Kie belum menyelami intisari dari pada pelajaran Budha. Tapi kata-kata yang diucapkan oleh Cia Sun dimengerti olehnya dan kira-kira berarti begini: Segala sesuatu di dalam dunia merupakan kekosongan. Aku sama sekali tidak memikiri badanku atau badan orang lain. Kalau ada orang membunuh aku atau menyembelih aku, akupun tak merasa gusar, karena aku tak menganggap tubuhku sebagai milik sendiri."
"Apakah sesudah berdiam disini beberapa bulan Giehu benar-benar sudah mencapai tingkat yang bebas dari rasa kaget, rasa takut dan kuatir?" tanya Bu Kie di dalam hati. "Apakah memang benar-benar ingin menasehati supaya tidak memikiri lagi keselamatannya tidak usah menolong lagi jiwanya?"
Ilmu Kim kong Hok mo coan bersumber dan digubah dari kitab suci Kim kong beng. Pada tingkat yang paling tinggi, kitab itu tidak membedakan lagi antara kau dan aku antara hidup dan mati, sedang segala apa dialami ini di pandang sebagai suatu khayal atau kekosongan. Biarpun ilmunya tinggi. Pada waktu berhadapan dengan lawan, ketiga pendeta Siauw lim itu masih mempunyai keinginan untuk menindih lawan dan memperoleh kemenangan. Mereka bisa melupakan soal mati atau hidup, tapi belum bisa membedakan perbedaan antara kau dan aku. Itulah sebabnya mengapa mereka belum mencapai puncak tertinggi dari Kim kong Hok mo coan dan kekuatan Lingkaran (Coan) itu belum mempunyai tenaga yang sebesar-besarnya. Apa yang selama beberapa bulan didengar Cia Sun bukan lain dari hafalan Kim kong keng.
Sementara itu sambil bertempur Bu Kie memikiri hafalan ayah angkatnya dan sedikit banyak ia dapat menangkap arti Kim kong keng. Karena maksudnya pengaruh pelajaran Buddha perlahan-lahan pengaruh iblis dalam alam pikirannya jadi kurang. Dengan kekurangan pengaruh iblis itu, kelancaran silat Seng hwee-leng juga turut berkurang. Tiba-tiba pundaknya tersabet tambang. Tanpa terasa BuKie mengerahkan Kian lioen Tay lo ie Sin kang dan Kioe yang Sin kang untuk memunahkan pukulan itu.
"Hm! .... sesudah aku tidak berhasil dengan ilmu Seng hwee leng, mengapa aku tidak mau mencoba Kian kun dan Kioe yang?" pikirnya. Ia melirik dan mendapat kenyataan bahwa Cie Jiak memperlihatkan gejala kalah. "Sudahlah!" ia mengambil keputusan. Kalau sekarang aku tidak mengeluarkan semua tenaga, begitu lekas Cie Jiak kalah, Giehu tidak akan dapat ditolong.
Memikir begitu sambil membentak keras, ia segera menyerang dengan Kian kun Tay lo ie. Namun Cia Sun masih terus menghafal Kim kong keng, tapi ia tidak bisa memperhatikan lagi sebab seluruh semangatnya di tumplek kepada Kian kun Tay lo ie. Dengan gerakan2 kilat ia menyambut dan menerima pukulan-pukulan ketiga lawan, supaya Cie Jiak mendapat kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam lingkaran.
Karena adanya serangan yang hebat itu yang disertai Lweekang yang dahyat. ketiga ketua Siauw lim juga lantas menambah Lweekang mereka untuk melawannya.
Semua orang lihat perubahan itu, makin lama pertempuran jadi makin hebat. Perlahan-lahan diatas kepala ketiga pendeta muncul uap putih, satu tanda mereka sudah mengerahkan tenaga dalam yang sebesar-besarnya. Diatas kepala Bu Kie juga terlihat uap air, tapi uap itu halus dan tidak buyar, seolah-olah selembar benang. Inilah bukti bahwa Lweekang Bu Kie lebih tinggi dari pada tenaga dalam ketiga lawannya.
Para enghiong menyaksikan kejadian itu dengan perasaan kagum. Kemaren Bu Kie terluka berat.
Siapa nyana, dalam waktu semalaman saja, ia sudah sembuh seluruhnya! Lweekang pemuda itu sungguh-sungguh sudah tiba di tingkat yang tak dapat diukur lagi. Sekarang semua orang tahu bahwa tadi ia hanya berlagak payah.
Selama pertempuran itu, Cie Jiak belum pernah benar2 mengadu tenaga. Ia hanya berkelahi dari luar lingkaran tambang. Ia baru menerjang kalau terdapat lowongan dan baru ia buru-buru melompat mundur jika mendapat serangan balasan. Cara berkelahi itu segara memperlihatkan perbedaan antara kepandaiannya dan kepandaian Bu Kie. Para hadirin lantas saja saling mengutarakan pendapat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kata orang ilmu silat kauwcu dari Beng kauw tiada tandingannya di dunia ini! Sekarang aku mengakui, bahwa nama besar itu bukan nama kosong!"
Kemarin ia sengaja mengalah terhadap Song Hu jin. Inilah yang dinamakan laki-laki sejati sungkan berkelahi melawan wanita."
"Bukan begitu! Dahulu Song Hu jin tunangan Thio Kauwcu! Apa kau tak tahu" Ini yang dinamakan golok tua masih ingat kecintaan lama."
Dan banyak lagi pendapat lainnya.
Sesudah bertempur kira-kira setengah jam lagi, paras muka ketiga pendeta Siauw lim berubah merah dan jubah pertapaan mereka jadi melembung, seperti di tiup angin dari sebelah dalam. Dilain pihak pakaian Bu Kie masih tetap seperti biasa.
Pada waktu itu, Kioe yang Cin khie dalam tubuh Bu Kie sudah banyak lebih kuat dari pada beberapa waktu berselang. Kekuatan itu di tambah lagi dengan latihan pernapasan Thay kek kun yang diturunkan oleh Thio Sam Hong. Dengan demikian, Bu Kie mempunyai keuletan luar biasa. Ia masih bisa bertanding satu atau dua jam lagi tanpa merasa lelah. Inilah keuntungan yang mau digunakan olehnya. Ia mengambil keputusan untuk bertempur dalam jangka panjang sampai ketiga lawannya kecapaian.
Ketiga pendeta itu juga tahu kenyataan tersebut. Mereka mengerti bahwa kelelahan yang lama akan merugikan pihaknya. Maka itu beberapa saat kemudian, seraya membentak keras mereka memperhebat serangan! Ketiga tambang berkelebat seperti kilat dalam macam-macam serangan dan tenaga.
Bu Kie kaget. Ia mengempos semangat dan menyambut setiap serangan. "Biarpun ilmu silat Cie Jiak luar biasa, ia belum berlatih cukup sehingga kerja sama dengan dia tidak bisa menyamai kerja sama dengan Gwa-kong dan Yo Co su," pikirnya. Dengan sendirian aku tak akan bisa mempertahankan diri.
Rasanya aku bakal kalah lagi dan hari ini tidak akan bisa menolong Gie hu. Hai ! ... Bagaimana baiknya?"
Sebab pikirannya bingung tenaganya lantas saja berkurang. Ketiga pendeta sungkan menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka menyerang dengan hebatnya. Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam otaknya Bu Kie. Ia ingat kecintaan ayah angkatnya di Pheng hwee to. Ia ingat bahwa demi kepentingan dirinya orang tua itu rela menceburkan diri kedalam dunia Kang ouw dan menghadapi rupa-rupa bahaya. Didetik itu juga ia mengambil keputusan bahwa apabila sang Giehu tidak dapat ditolong, ia sendiri sungkan hidup sendirian didunia ini.
Selagi otaknya bekerja tahu-tahu tambang Touw lan menyambar punggungnya. Mendadak saja ia mengeluarkan pukulan aneh. Ia mengangkat tangan kiri, membiarkan tambang memukul lengan dan memunahkan tenaga pukulannya itu dengan Kian kun Tay lo ie, berbareng dengan itu ia menangkis tambang Touw ok dan Touw-ciat dengan Seng hwee leng yang dicekal dalam tangan kanannya. Tiba-tiba, bagaikan seekor burung, tubuhnya melesat keatas dan dengan sekali memutar ditengah udara ia sudah melibat tambang Touw lan dipohon siong yang diduduki itu.
Itulah perbuatan yang tidak pernah diduga orang. Sesudah melibat, Bu Kie menarik tambang itu erat-erat. Tak kepalang kagetnya Touw lan yang lantas saja menarik tambangnya dengan sekuat tenaga. Sebagaimana diketahui, batang pohon siong itu telah dilubangkan oleh ketiga pendeta untuk digunakan sebagai berduduk. Oleh karena itu biarpun besar, kekuatannya kurang. Maka itulah begitu ditarik oleh Bu-Kie dan Touw lan dengan satu suara "krekek," batang itu patah dan pohonnya roboh.
Bu Kie menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Selagi Touw ok dan Touw ciat tertegun, kedua tangannya mendorong pohon yang diduduki Touw ok, dengan seluruh tenaganya. Pohon itu kalah kuat dan lantas patah. Dengan suara ribut kedua pohon itu jatuh menimpa pohon yang diduduki Touwciat, dan menendang pohon ketiga itu yang sudah bergoyang-goyang lantas turut roboh.
Keadaan berubah gempar suara dengan robohnya pohon dicampur teriakan-teriakan para hadirin.
Secepat kilat Bu Kie menimpuk Touw ok dan Touw ciat dengan kedua Seng hwee leng.
Biarpun kepandaian tinggi, kedua pendeta itu jadi bingung karena harus menyelamatkan diri dari tindihan batang pohon dan dari sambaran Seng hwee leng. Dilain detik Bu Kie menggulingkan diri dan masuk kedalam lingkaran Kim kong Hok mo coan. Dengan lewat dikolong batang pohon yang sedang roboh. Dengan sekali mendorong, ia sudah mengisarkan batu yang menutup lobang penjara.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Giehu lekas keluar!" teriaknya. Sebab kuatir ayah angkatnya menolak, tanpa menunggu jawaban, tangannya mencengkeram baju orang tua itu dan mengangkatnya keatas.
Pada detik itu, tambang Touw ok dan Touw ciat sudah menyambar. Buru-buru Bu Kie melepaskan ayah angkatnya, mengambil dua Seng hwee leng dari sakunya dan menimpuk. Begitu menimpuk, kedua tangannya menangkap ujung tambang yang menyambar. Baru saja kedua pendeta itu mau mengerahkan Lweekang untuk membetot tambang mereka, kedua Seng hwee leng sudah hampir menyentuh muka.
Karena terpaksa, mereka melepaskan tambang dan melonpat mundur untuk menyelamatkan jiwa dari timpukan itu.Hampir berbareng dengan mundurnya Touw ok dan Touw ciat, Touw lan sudah menerjang dan tangan kirinya menghantam dada Bu Kie.
"Cie Jiak, tahan dia!" teriak Bu kie sambil melompat kesamping dengan mendukung Cia Sun.
Kalau ia bisa membawa keluar ayah angkatnya dari kalangan ketiga pohon siong, ia sudah berhasil dalam usahanya. Cie Jiak kelihatan bersangsi.
"Anakku Bu Kie," kata Cia Sun, "dosaku sangat besar dan di tempat ini dengan mempelajari kitab suci, hatiku tenang. Guna apa kau menolong aku?" Sehabis berkata ia coba memberontak.
Bu Kie tahu ayah angkatnya berkepandaian tinggi dan kalau orang tua itu tak mau pergi ia sukar membantah. Maka itu ia lantas saja berkata. "Giehu, anak mohon.maaf!" Hampir berbareng jari tangannya menotok beberapa "hiat" hingga Kim mo Say ong tak bisa bergerak lagi.
Karena kelambatan sedetik dua itu, ketiga pendeta sudah keburu datang dan menyerang. "Lepaskan dia!" bentak Touw ok.
Pukulan ketiga pendeta itu hebat bukan main. Sebelum pukulannya sampai, tekanan angin sudah menindih dari empat penjuru. Bu Kie terpaksa melepaskan lagi ayah angkatnya dan menangkis pukulan itu, "Cie Jiak, lekas bawa Gi hu!" serunya. Dengan meng-gerak2kan kedua tangannya kian kemari, Bu Kie menahan pukulan ketiga lawannya. Itulah ilmu Kian kun Tay lo ie yang paling tinggi. Lweekang pemuda itu bergerak-gerak kian kemari dengan berbareng menahan dan menyedot tenaga pukulan ketiga pendeta. Dalam menggunakan ilmu itu, Bu Kie harus mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena aduan tenaga ini banyak lebih berat dari pada adu Lweekang satu lawan satu. Sebab tangkisan itu ketiga pendeta "terikat" dan tak bisa memperhatikan Cia Sun lagi.
Bu Kie tahu bahwa ia tak bisa mempertahankan diri dalam waktu lama. Tapi ia pun tak memerlukan waktu yang lama. Begitu lekas Cie Jiak sudah membawa ayah angkatnya ketempat yang selamat ia bisa berusaha untuk meloloskan diri.
Sekarang Cie Jiak tak bersangsi lagi. Ia melompat mendekati Cia Sun.
"Fui... perempuan hina!..." bentak Kim-mo Say ong. Ia tak bisa melanjutkan perkataan sebab keburu ditotok "hiat" dagunya.
"Manusia she Cia!" Cie Jiak balas membentak. "Aku mau menolong, mengapa kau mencaci aku.
Dosamu sangat besar dan jiwamu sekarang berada di tanganku. Apa kau rasa aku tak bisa ambil jiwamu?" Sehabis berkata begitu ia mengangkat tangan kanannya, mementang lima jari dan bergerak untuk menepuk batok kepala Cia Sun.
"Cie Jiak! Jangan...!" teriak Bu Kie dengan suara parau.
Ketiga pendeta Siauw lim sedikitpun tak punya niatan untuk mencelakai Bu Kie. Tapi pertandingan itu adalah aduan tenaga mati atau hidup. Kedua belah pihak menggunakan koat (teori) "menempel" dan sebelum ada yang kalah, masing-masing sukar melepaskan "tempelan" itu. Begitu lekas Bu Kie berteriak dengan hati mencelos, hawa tulennya lantas saja berkurang dan ia lantas saja merasakan tindihan tenaga lawan yang menyerang bagaikan gelombang. Cepat-cepat ia mengempos serangan untuk mempertahankan diri.
Tapi Cie Jiak tidak lantas turunkan tangan. Sambil melirik Bu Kie ia tertawa dingin. "Thio Bu Kie,"
katanya. "Hari itu waktu di kota Hauw cu kau telah meninggalkan aku dari upacara pernikahan, apakah kau pernah memikir, bahwa kau akan menemui kejadian di hari ini ?"
Bu Kie bingung dan karena kebingungan itu, ia menghadapi bencana. Keringat mengucur dari tubuhnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat keadaan Bu Kie, To Siauw, Hoan Yauw, Wie It Siauw, Hwee Poet Tek, Jie Lian Ciu, In Lie Hong dan yang lain2 kaget tak kepalang. Mereka adalah orang2 yg memiliki "gie khie" (rasa persahabatan) yang sangat tinggi. Untuk menolong Bu Kie mereka rela mengorbankan jiwa. Tapi mereka tahu, bahwa lweekang mereka kalah jauh dari orang2 yg sedang bertanding itu. Kalau mereka menyerang, dengan mudah ketiga pendeta itu menyerang, dengan mudah ketiga pendeta itu bisa mengalihkan tenaga serangan ketubuh Bu Kie, sehingga sebaliknya dari membantu mereka berbalik menekan pemuda itu.
Tong Bun Lian, Cong Wie Hiap dan Siang Keng Cie dari Khong tong Ngoolo yang pernah ditolong Bu Kie juga turut bingung.
Sekonyong2 diantara kesunyian yang penuh ketegangan, terdengar seruan Kong tie, "Son-wie Susiok, Thio Kauwcu, pernah melepas budi kepada partai kita. Melukai dia adalah poet-gie melupakan persahabatan. Mohon Sam-wie Susiok menaruh belas kasihan."
Mendengar seruan itu, orang2 Beng Kauw merasa sangat berterima kasih. Pada hakekatnya seruan kong tie tidak berguna dan tidak perlu karena kedua belah pihak tidak bisa menangkapnya dan karena kedua belah pihat memang berniat saling mencelakai. Tapi dalam aduan tenaga itu, mereka seolah2
menunggang harimau dan suka untuk turun lagi.
Tiba2 Wie It Siauw melompat dan tahu2 ia sudah berhadapan dengan Ciu Cie Jiak. Tapi dalam jarak setombak ia berdiri terpaku. Jari2 tangan Cie Jiak sudah hampir menyentuh balok kepala Cia Sun, sehingga kalau ia bergerak, jari2 tangan itu tentu akan menobloskan batok kepala. Dan apabila Cia Sun binasa, Bu Kie juga akan menemui ajalnya.
Pada detik itu, seluruh lapangan sunyi senyap bagaikan kuburan dan semua manusia seperti juga patung batu.
Tiba2 kesunyian dipecahkan oleh suara tertawanya Ciu Tan yang sambil tertawa berjalan mendekati gelanggang pertandingan.
Yo Siauw terkejut. "Ciu-heng, jangan sembrono!" teriaknya. Tapi si sembrono tidak meladeni dan berjalan terus.
"Sam-wie Taysu," katanya seraya tertawa ha ha hi hi sesudah berhadapan dengan ketiga pendeta itu.
"Apa kau sudah makan daging anjing?" Ia merogoh saku, mengeluarkan sepotong lutut anjing yang memang sudah dimasak dan menggoyang2kannya didepan muka Touw Ok, Ciu Tian adalah seorang yang sangat doyan arak dan daging. Selama berdiam beberapa lama di Siauw Lim, ia terpaksa makan makanan cia cay (tidak berjiwa). Kemarin diam2 ia menangkap seekor anjing dan memasak dagingnya. Sepotong lutut anjing yang tidak habis, masih disimpan dalam sakunya. Karena terpaksa ia sekarang menggunakan lutut anjing untuk memecahkan pemusatan semangat tiga pendeta itu. Kalau pendeta itu bergusar, Bu Kie akan mendapat kemenangan. Melihat begitu Yo Siauw dan kawan2nya jadi girang sekali.
Tapi ketiga tetua Siauw Lim itu tidak menggubris.
Ciu Tian segera memasukkan lutut itu kedalam mulutnya. "Aduh wangi betul!" katanya. "Samwie Touwee shio apa kalian tidak mau turut mencoba?" Ia mencabut lutut itu dari mulutnya dan lalu menyodorkannya kemulut Touw Ok.
Beberapa orang lantas berteriak2, "Hei! Gila! Mundur kau"!"
Tapi baru saja lutut anjing menyentuh bibir Tauw Ok, lengan Ciu Tian, begemetar separuh tubuhnya kesemutan dan makanan itu jatuh ke tanah. Ternyata seluruh badan Touw Ok diliputi lweekang yg bisa memukul balik setiap tenaga yang dtg dari luar.
"Aduh! Aduh! Sungguh hebat!" teriak Ciu Tian, "Kalau kau tak mau makan daging anjing yah sudah saja! Perlu apa kau melontarkannya sehingga menjadi kotor! Ganti! Hayo aku minta ganti!" Ia berteriak2
sambil mementang2 tangan.
Tapi ketiga pendeta itu benar2 tinggi ilmunya. Mereka tetap tak dapat diganggu.
Mendadak si sembrono menghunus golok pendek, "Hei! Kau dengarlah!" teriaknya. "Apabila kau tetap tak mau makan daging anjing akan mengadu jiwa denganmu." Seraya berkata begitu ia menggores mukanya sendiri lantas saja mengucur darah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Semua orang terkesiap tapi ketiga pendeta itu seperti juga berada di dunia lain.
"Sudahlah," teriak pula Ciu Tian dengan suara parau "Toa hweeshio, jika kau tidak mau ganti daging anjingku biarlah aku binasa di hadapanmu." Ia mengangkat tangan dan mengacungkan golok di ulu hatinya.
Itulah Ciu Tian! Seorang gila2an yang berjiwa "tiong gie" (Setia kepada raja dan sahabat). Untuk menolong Kauwcunya, ia reala membunuh diri guna mengacaukan pemusatan pikiran ketiga pendeta itu.
Pada detik terakhir satu bayangan kuning, bayangan manusia yang menyambar bagaikan kilat berkelebat dan merampas golok Ciu Tian. Sehabis menolong si sembrono tubuh orang itu melesat lagi, mementang lima jari tangan kanan yang lalu ditancapkan kekepala Cie Jiak. Dalam serangan itu ia menggunakan gerakan yang menyerupai gerakan Song Ceng Su, pada waktu pemuda itu membinasakan tetua kaypang. Waktu diserang jari2 tangan Cie Jiak hanya terpisah kira2 satu kaki dari batik kepala Cia Sun. Tapi sebab serangan itu ia datang dengan kecepatan luar biasa, ia tidak keburu lagi turun tangan jahat terhadap Cia Sun dna untuk menolong jiwa sendiri, ia terpaksa lantas saja menangkis.
Kekuatan lweekang Bu Kie tidak kalah dari ketiga lawannya. Ia hanya kalah dalam ilmu, "melupakan segala apa". Ia belum bisa menulikan kuping dan membutakan mata terhadap segala sesuatu. Maka itu, ancaman Cie Jiak terhadap Cia Sun dan gangguan Ciu Tian terhadap ketiga pendeta telah memecahkan pemusatan pikirannya. Ia sudah pusing dan beberapa detik lagi ia akan muntah darah. Syukur beribu syukur pada saat yang sangat berbahaya, bayangan kuning itu bukan lain daripada nona baju kuning menolong Ciu Tian dan Cia Sun.
Begitu lekas hatinya mantap, lweekang Bu Kie lantas saja bertambah, sehingga pertandingan sekali lagi jadi berimbang. Bertambahnya lweekang Bu Kie tapi sesudah lweekangnya bertambah, Bu Kie tidak balas menyerang dan hanya mempertahankan diri. Itulah kesempatan yang paling baik untuk menyudahi keadaan, "menunggang harimau" dari kedua belah pihak. Dengan perkataan lain, perubahan tenaga dalam itu merupakan kesempatan untuk masing2 menarik pulang lweekang dan menghentikan pertandingan.
Ketiga pendeta itu yang perasaannya dapat dihubungkan satu sama lain tanpa bicara (secara telepati) lantas saja menarik pulang sebagian tenaga2 mereka. Bu Kie girang dan segera menarik pulang sebagian lweekangnya. Demikianlah, sebagian demi sebagian kedua belah pihak memperkurang tenaga dalam mereka dan kira2 seminuman teh, pertandingan sudah dapat dihentikan. Keempat jago itu tertawa terbahak2. Bu Kie menyoja sampai kedua tangannya menyentuh bumi dan ketiga pendeta itu membalas hormat dengan merangkap kedua tangan mereka.
Ketika itu si baju kuning sudah bertempur hebat dengan Ciu Cie Jiak. Meskipun Cie Jiak menggunakan dua senjata dan lawannya bertangan kosong, ia kelihatan keteter. Ilmu silat si baju kuning menyerupai ilmunya Cie Jia. Perbedaannya hanya terletak pada cara bergeraknya si baju kuning lurus bersih, sedang Cie Jiak "sesat bernada iblis". Kalau mau diperumpamakan, yang satu bagaikan dewi, yang lain bagaikan memedi. Dengan sekali lirik saja Bu Kie sudah tahu bahwa si baju kuning lebih unggul dan ayah angkatanya berada dalam keselamatan. Dalam pertempuran itu, si baju kuning tidak lantas turunkan pukulan yang memutuskan dan ia seoalh2 mau mengunjuk kepada lawannya, bahwa kepandaian lawan itu masih terlalu cetek. Kalau mau, dalam beberapa gebrakan saja, ia sudah bisa merobohkan Cie Jiak.
"Thio Kauwcu," kata Touw Ok. "Meskipun kau tidak bisa mengkan kami bertiga, kami juga tidak bisa menangkan kau. Cia Kiesu sekarang kau boleh pergi kemana suka!" sehabis berkata begitu, ia membuka jalan darah Cia Sun yang tertotok. "Cia Kie Su," katanya pula. "Letakkanlah golokmu dan jadilah manusia yang baik. Pintu agama Budha terbuka lebar. Di dalam dunia tidak ada manusia yang tidak bisa disebrangkan. Banyak hari kau dan aku berdiam bersama2 dipuncak bukit ini. Hal ini juga merupakan suatu jodoh."
Cia Sun bangun berdiri, "Sang Budha welas asih," katanya. "Cia Sun sangat berterima kasih kepada sam wie taysu yang sudah memberi petunjuk kejalan terang."
Sekonyong2 terdengar bentakan nyaring dan tahu2 si baju kuning sudah merampas cambuk Cie Jiak.
Sesudah itu ia menyikut dada lawan yang lanta saja tidak bisa bergerak lagi. Sambil mementang jari tangan kanannya diatas kepala Cie Jiak ia membentak, "Aoakah kau ingin rasakan enaknya Kioe Im Pek Koet Jiauw?"
Cie Jiak meram dan menunggu kebinasaan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Biarpun kedua matanya buta, Cia Sun tahu apa yang telah terjadi. Ia maju beberapa tindak dan berkata sambil menyoja, "Nona sudah menolong jiwa kami ayah dan anak dan kami merasa berhutang budi.
Apabila Ciu Kouw nio tidak mendusin dan terus melakukan perbuatan2 yg tidak pantas, ia tentu akan mendapat pembalasan yang setimpal. Tapi sekarang aku mohon nona suka mengampuninya."
"Kim mo Say ong bisa berubah cepat sekali," kata si baju kuning sambil melompat mundur.
Bu Kie menghampiri dan mencekal tangan ayah angkatnya. Baru saja ia mengajak orang tua itu berlalu, mendadak Cia Sun berkata, "Tahan dulu!" Sehabis berkata begitu ia menudin salah surang pendeta tua dari rombongan Siauw Lim Pay, "Huk Goen pek lek chioe Seng Kun, keluar kau!"
bentaknya. "Biarlah di hadapan enghiong kita membuat satu perhitungan!"
Semua orang terkejut dan menengok kearah yang di tuding Cia Sun. Pendeta itu yang mukanya jelek dan bongkok punggungnya menggenakan jubah compang camping dan sedikitpun tidak menyerupai Seng Kun. Baru saja Bu Kie mau memberitahukan hal itu kepada ayah angkatnya, Cia Sun sudah berkata:
"Seng Kun, kau bisa mengubah muka, tapi kau tak bisa mengubah suara. Begitu mendengar batukmu, aku lantas tahu kau siapa?"
Si tua menyeringai, "Manusia buta, kau jangan bicara sembarangan!" katanya.
Begitu mendengar suaranya, Bu Kie lantas saja mengenali bahwa dia itu memang benar Seng Kun.
Waktu berada di dalam karung diatas Kong Beng Teng, ia pernah mendengar pembicaraan manusia jahat itu. Ia lantas saja melompat dan mencegat jalan mundur musuh besar itu, "Goan tin Tay su, Seng Kun Cianpwee," katanya. "Seorang laki2 harus berani berterus terang. Mengapa kau menyembunyikan mukamu dri orang banyak?"
Dengan menyamar, banyak tahun Seng Kun bersembunyi di Siauw Lim Sie. Banyak tahun ia mengatur siasat dan mengumpulkan kaki tangan untuk merebut kekuasaan. Menurut rencananya, hari ini ia akan mengadu domba para orang gagah, mencari tahu dimana adanya To Liong To, membinasakan Cia Sun dan akhirnya merampas kedudukan Hong thio Siauw Lim Sie, sesudah membunuh Kong beon dan Kong tie Seng ceng. Tapi diluar semua perhitungannya, muncullah si baju kuning. Waktu nona she Yo itu merobohkan Cie Jiak, hatinya mencelos dan tanpa merasa, ia batuk2 sewajarnya. Apa mau suara batuk itu didengar dan dikenali Cia Sun.
Melihat Cia Sun memotong jalanan mundurnya, ia tahu semua rencananya telah hancur. "Para pendeta Siauw Lim dengarlah!" teriaknya. "Mo Kauw mengacau tempat yang suci ini dan menghina partai kita.
Hajar mereka! Bunuh mereka!" Kaki tangan Seng Kun lantas saja menghunus senjata dan bergerak untuk menyerang.
Selama beberapa hari Kong tie menahan sabar dan berduka sangat, sambil memikiri keselamatan suhengnya yang sudah jatuh kedalam tangan kaum pemberontak. Sekarang begitu mendengar perintah Seng Kun ia tahu, bahwa banyak orang akan mengorbankan jiwa. Ia menganggap, bahwa keselamatan Kong Bun seorang adalah soal kecil, jika dibandingkan dengan keselamatan ribuan manusia. Maka itu ia lantas saja berteriak, "Tahan! Murid2 Siauw lim tidak boleh bergerak. Dengarlah! Kong bun Hong thio sudah jatuh kedalam tangan pengkhianat Coan tin. Bekuk dia! Sesudah itu barulah kita menolong Hong Thio."
Dalam sekejap keadaan berubah kalut.
Kaki tangan Seng Kun ciut nyalinya.
Diantara kekalutan, Bu Kie lihat Cie Jiak tetap berduduk di tanah sambil menundukkan kepala. Ia merasa tak tega dan lalu menghampiri, akan kemudian coba membangunkannya. Tapi Cie Jiak mengibaskan tangannya dan buru-buru kembali ke rombongan Go bie pay.
Sementar itu Cia Sun sudah bicara dengan nyaring, "Segala kejadian yang terjadi di hari ini adalah gara2 Seng Kun dan aku. Segala urusan, segala hutang piutang haruslah dibereskan oleh kami berdua, suhu, semua kepandaianku diberikan suhu, Seng Kun, seluruh keluargaku dibinasakan olehmu. Kau adalah guruku dan musuhku. Hari ini kita perhitungan."
Melihat usahanya untuk menjadi Hong thio Siauw Lim sie sudah gagal, di dalam hati Seng Kun lantas saja muncul lain tipu daya. "Cia Sun banyak dosanya, sehingga jita tidak bisa mengalahkannya, aku bisa menumplek semua kedosaan diatas kepadalnya," pikirnya. "Semua kepandaiannya didapat dari aku dan kedua matanya buta. Mustahil aku tidak bisa merobohkannya." Memikir begitu ia segera membentak,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Cia Sun banyak orang gagah binasa dalam tanganmu. Hari ini, bersama iblis2 Mo Kauw dan coba mengacau tempat suci ini. Biar bagaimanapun juga aku berkewajiban membersihkan rumah tangga itu sendiri dan menghukum murid durjana," dengan tindakan lebar, ia lalu menghampiri Cia Sun.
"Para enghiong, dengarlah perkataanku!" teriak Cia Sun. "Ilmu silat Cia Sun memang didapat dari Seng Kun. Tapi sebab maksudnya untuk memperkosa istriku tidak ada kesempatan, Seng Kun sudah membunuh ayah, ibu, istri dan anakku. Sekarang aku mau tanya, apakah pantas atau tidak pantas, jika aku mencari dia untuk membalas sakit hati?"
Pertanyaan itu disambut dengan teriakan bergemuruh, "Pantas! Pantas!"
Diantara teriakan2 itu Seng Kun, mengirim pukulan kekepala Cia Sun, Cia Sun mengengos dan
"plak!" pukulan itu jatuh dipundaknya. "Seng Kun," katanya dahulu, waktu kau mengajar pukulan Tiang Hong Keng thian (Bianglala membentang langit), kau menggunakan Hun Goan It khie kang untuk melukai musuh. Mengapa kau tidak mengerahkan lweekang itu. Apakah lantaran kau sudah terlalu tua dan tidak bisa mengeluarkan tenaga itu lagi?"
Memang Seng Kun tidak mengeluarkan Hoan Goan It khie kang dan sebabnya begini, dia tahu Cia Sun memiliki kepandaian tinggi, sehingga pukulan pertama itu lebih banyak pukulan gertakan untuk menjajal2. Diluar dugaan Cia Sun tidak berkelit. Sebab ia tidak menggunakan lweekang Cia Sun tidak terluka.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata Seng Kun mengirim pukulan kedua. Cia Sun hanya mengengos, ia masih belum membalas. Begitu lekas tangannya memukul angin, Seng Kun mengirim tendangan berantai yang mampir tepat dibawah iga.
Tendangan itu disertai tenaga dalam yang hebat, sehingga tubuh Cia Sun bergoyan2 dan muntah darah.
"Gie Hu, balaslah! Mengapa Gie Hu tidak mau membalas?" teriak Bu Kie.
Cia Sun tertawa getir, "Dia guruku," jawabnya. "Sebagai murid aku pantas menerima satu pukulan dan dua tendangan." Tiba2 ia mengirim pukulan geledek.
Mereka lantas saja bertempur mati2an. Cia Sun tidak bisa melihat, tapi bertempur melawan Seng Kun, ia tak usah menggunakan matanya. Sebagai murid ia paham semua ilmu silat gurunya. Sesudah pukulan ini, ia tahu persis pukulan apa yang bakal menyusul. Perbedaan diantara mereka banyak terletak di tenaga dalam. Cia Sun lebih muda belasan tahun sehingga dalam tenaga ia lebih kuat dan lebih ulet. Diamping itu ia pernah melatih diri di pulau Peng hwee to yang sangat dingin. Latihan dihawa yang dingin itu banyak manfaatnya. Maka itulah, sesudah bertanding kira2 seratus jurus, ia belum jatuh dibawah angin.
Sesudah pertempuran mencapai dua ratus jurus lebih, sekonyong2 Cia Sun berteriak keras dan mengirim tinjunya.
"Cia siong kun!" seru Siang Cie, tetua Khong tong pay.
Melihat pukulan2 Cia Sun, semua tetua Khong tong pay kaget tercampur heran. Cit siang dicuri dari Khong tong pay. Tapi sekarang pukulan2 yang dikeluarkan Cia Sun banyak lebih dahsyat dari apa yang dapat dikeluarkan oleh para tetua Kong Thong pay sendiri. Begitu lekas Cia Sun menggunakan Cit siang kun, Seng Kun mundur berulang2 sehingga saban2 terdengar sorak sorai gegap gempita. Permusuhan antara guru dan murid itu dan perbuatan Seng Kun banyak diketahui orang. Maka itu biarpun Cia Sun banyak dosa nya dan sering membunuh orang simpati para hadirin masih tetap diberikan kepada dirinya dan semua mengharap ia bisa mendapat kemenangan.
Sedang orang lain bergirang, Bu Koe kaget dan berkuatir. "Celaka," ia mengeluh. "Seng Kun menggunakan Siauw Lim Kioe yang kang yang didapatinya sesudah berguru dengan Kong kian Seng ceng. Gie Hu belum mengenal ilmu itu."
Dalam melatih Cit Siang kun tergesa2 Cia Sun memang sudah mendapat luka di dalam. Hal ini diketahui oleh Seng Kun. Ia berlagak keteter dengan saban2 mengeluarkan Siauw Liom Kioe yang kang.
Acap kali Cia Sun memukul, ia segera menangkis.
Dengan Kioe yang kang, ia memunahkan tujuh bagian tenaga pukulan itu dan memulangkan yang tiga bagian ketubuh Cia Sun. Demikianlah, diluar Cia Sun kelihatannya berada diatas angin, tapi sebenarnya makin lama lukanya jadi makin hebat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bukan main bingungnya Bu Kie. Kesempatan membalas sakit hati sudah dicari2 ayah angkatnya selama puluhan tahun. Tapi sekarang sesudah mendapat kesempatan itu, sang Giehu berbalik menghadapi maut. Ia tahu bahwa dalam puluhan gebrakan lagi, sang ayah angkat akan muntah darah dan binasa.
"Goan tin," kata Kong tie denga suara dingin. "Apakah suhengku mengajar Kioe yang kang kepadamu supaya kau menggunakannya untuk mencelakai manusia?"
Seng Kun tertawa dingin. "In su binasa dibawah pukulan Cit sing kun," jawabnya. "Hari ini aku akan membalas sakit hati In su!"
"Binatang Seng Kun!" mendadak Tio Beng berteriak. "Kioe yang kang Kong kian Seng ceng banyak lebih kuat dari yang dimiliki oleh mu. Mengapa dia tidak bisa tertahan terhadap cit siang kun" Kong kian Tay su sudah dicelakai olehmu. Kaulah yang menipu ia membujuk supaya ia suka mendamaikan permusuhanmu dengan Cia Tayhiap. Kau sudah menipu ia, supaya ia suka menerima pukulan2 tanpa lantas. Huh huh" Lihat! Lihat! Siapa yang berdiri dibelakangmu dengan muka berlumuran darah. Kong kian Seng ceng! Ya memang Kong kian Seng ceng yg berdiri dibelakangmu."
Seng Kun tahu bahwa Tio Beng berdusta. Tapi sebab ia memang berdosa, perkataan2 itu sudah membangunkan bulu romanya. Tiba2 pukulan menyambar ia menangkis dan membalas. Tubuhnya bergoyang dan sekali ini ia tidak mundur. Ternyata dalam rasa seramnya karena mendengar perkataan nona Tio, ia tidak bisa menggunakan Siauw Lim Kioe yang kang. Ia merasa darah didadanya bergolak2
buru-buru ia menggunakan taktik berlari2 diseputar Cia Sun sambil menentramkan jalannya pernapasannya.
"Kong kian sengceng, jangan lepaskan dia," teriak pula nona Tio. "Tiup belakang lehernya. Benar!
Kau mati ditagnan murid, dia juga harus mampus ditangan muridnya. Ini hal yang dinamakan membayar hutang. Langit ada matanya."
Jantung Seng Kun berdenyut lebih keras. Tiba2 ia merasa lehernya ditiup angin. Dipuncak itu memang banyak angin tapi bagi Seng Kun usapan angin itu menyeramkan hatinya.
Melihat perubahan pada sikap Seng Kun, Tio Beng lantas saja berteriak, "Ha,ha"! Seng Kun, coba kau menengok dan liaht siapa dibelakangmu! Kau tidak berani" Lihatlah bayangan hitam diatas bumi.
Mengapa diatas bumi terdapat tiga bayangan manusia sedang yang berkelahi hanya dua orang."
Mendadak tinju Cia Sun menyambar. Seng Kun tidak keburu mengerahkan Kioe yankang ia menangkis dengan lweekang biasa. Begitu kedua tangan kebentrok, tubuh ketua lawan bergoyang2 dan masing2 terhuyung beberapa tindak. Sekarang Seng Kun baru mendapat lihat bahwa, "bayangan manusia" yang ketiga sebenarnya bayangan batang pohon siong yang patah.
Melihat lihainya si murid, makin lama Seng Kun jadi makin bingung. Menurut pendapatnya jika ia mau meloloskan diri, jalan satu2nya ialah menjatuhkan Cia Sun. Tiba2 bayangan batang pohon memberi ilham kepadanya. Dengan tindakan tidak bersuara, ia mundur dua tindak ke arah batang pohon itu. Cia Sun merangsek, dia mundur lagi. Ia ingin memancing lawan ke pohon itu.
"Giehu, hati2 dibawah kaki!" teriak Bu Kie.
Cia Sun terkejut buru-buru ia melompat kesamping. Tapi karena keterlambatan itu Seng Kun, mendapat kesempatan baik. Ia segera mengirim pukulan yang tak bersuara kedada dan begitu lekas telapak tangannya menyentuh dada, ia mengeluarkan lweekang yang sehebat2nya hingga tanpa ampun lagi Cia Sun robih terjengkang!
Dengan girang Seng Kun melompat dan menendang kepala muridnya. Pada detik terakhir Cia Sun menggulingkan diri dan kemudian melompat bangun. Mulutnya mengeluarkan darah dan mukanya menakutkan. Sambil berdiri tegak perlahan-lahan Seng Kun mengirim pukulannya. Sebagaimana diketahui, Cia Sun menangkis setiap pukulan dengan menggunakan kupingnya, dengan mendengari sambaran angin dari pukulan musuh. Serangan Seng Kun mengirim pukulan yang tak bersuara dan ia tak berdaya. Sekali lagi ia kena dipukul pundaknya. Ia menghadapi bencana. Banyak berteriak terian mencaci. Seng Kun yang licik, tapi manusia itu tidak meladeni.
Pakaian Bu Kie basah dengan keringat. Ia mencekal tangan Tio Beng dan berkata dengan suara gemetar. "Beng moay, tolong lekas jalan apa?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Asal kau setuju menggunakan senjata rahasia untuk membutakan kedua mata manusia itu?" tanya nona Tio.
Bu Kie menggelengkan kepala. "Biarpun mesti mati, Giehu pasti tak suak aku melakukan perbuatan itu," jawabnya.
Sementara itu, perlahan-lahan cuaca berubah gelap.
Tiba2 terdengar teriakan, "Thian kauw makan matahari. Thian kauw makan matahari."
Bu Kie menengadah. Ia lihat matahari sompelak separoh. Itulah gerhana matahari. Keadaan berubah kalut sebagian orang mendongak keatas, sebagian terus menonton pertempuran dan sebagian pula berlutut kearah matahari sambil manggut2 kepala.
"Bangsat! Seng Kun!" caci Tio Beng. "Kau terlalu jahat, sehingga Lou hian ya (langit) esndiri tidak bisa mengampuni kau lagi. Lihatlah! Langit mengunjuk keangkerannya untuk menumpas kau. Hari ini kau harus mampus, rohmu akan dilemparkan kegunung golok dan digodok dalam kuali minyak mendidih dan sepanjang masa kau tidak akan bisa dilahirkan lagi di dalam dunia!"
Melihat perubahan dilangint itu dan makin lama cuaca makin gelap Seng Kun yang memang sudah goncang hatinya jadi ketakutan. Ia menyerang mati2an dengan maksud mencari lowongan untuk kabur kebawah gunung. Tapi Cia Sun yang bertekad untuk membalas sakit hatinya, tidak memperdulikan apapun juga dan terus mendesak sehebat2nya, sehingga ia tak mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekonyong2 terdengar berkokoknya ayam jago dibukit dan beberapa saat kemudian, seluruh permukaan matahari sudah ditutup oleh bayangan rembulan. Keadaan berubah jadi gelap gulita. Di tempat jauh terdengar geram pekik dan jeritan macam2 binatang buas, di campur dengan menyalaknya kawanan anjing. Keadaan benar2 menyeramkan. Orang2 yang berada disitu adalah jago-jago rimba persilatan, tapi tak urung bulu roma mereka bangun semua. Gerhana matahari sekali ini memang luar biasa, langit gelap gulita seperti malam.
Dengan adanya perubahan alam ini Seng Kun yang matanya terang jadi gelap seperti buta. Dengan hati keder ia menggunakan siasat mundur, tapi Cia Sun tidka memberi hati kepadanya. Beberapa saat kemudian ia berteriak "Aduh!", sebab dadanya kena pukulan Cit siang kun yang hebat. Tapi memang dia bukan manusia bodoh. Sesudah kena pukulan hebat, ia mundur dengan mengubah cara berkelahi. Ia sekarang mengugnakan Siauw kin hanchioe yaitu ilmu mencengkram, memiting, membanting dan sebagainya dalam perkelahian rapat. Dengan ilmu itu ia tak perlu menggunakan mata.
Sambil menggeram Cia Sun pun melawan ilmu yang serupa. Dalam kegelapan para hadirin hanya mendengar suara bentrokan2 tanyan nyaring dahsyat.
Bu Kie mendengari dengan hati berdebar2. ia tidak bisa membantu dan juga tidak bisa melihat jalan perkelahian.
Dengan mendengar teriakan "Thian kauw makan matahari" Cia Sun tahu apa yang sudah terjadi. Ia sendiri sudah buta selama dua puluh tahun lebih. Ia sudah biasa dengan kebutaan itu dan kupingnya sedikit banyak sudah bisa menggantikan peranan mata. Dilain pihak, Seng Kun tidak pernah bertempur dengna kegelapan total, dalam keadaan diaman kedua matanya tidak bisa digunakan. Cia Sun tahu bahwa selama kegelapan total ia memang diatas angin.
Ia tidak boleh membuang wkatu dan ia segera menyerang denga sehebatnya, dengan seantero kepandaian dan tenaganya. Waktu Seng Kun menyerang dengan Siauw na-chioe iapun segera menggunakan ilmu tersebut.
Sesudah beberapa gebrakan, mendadak, mendadak Cia Sun mementangkan kedua tangannya dan mencoba mengacip iga musuhnya. Seng Kun girang "Kena!" ia berteriak sambil menusuk kedua mata Cia Sun denga dua jari tangannya.
Itulah pukulan Siang Liong Chioe Cu.
Pukulan ini tidak luar biasa, tapi kalai digunakan dalam Siauw kin na chioe, bahayanya sangat besar. Jika musuh mengegos, si penyerang bisa mengirim pukulan susulan dengan tangan kirinya dan kedua pukulan itu pasti akan menghantam kepala. (Siang liong Chioe cu Sepasang naga berebut mutiara).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi diluar dugaan Ciao Sun tidak berkelit. Ia pun membentak "Kena!" dan menusuk mata Seng Kun dengan pukulan Siang liong chioe cu juga. Pada detik kedua jarinya amblas dimata Cia Sun, hati Seng Kun mencelos karena tanpa tercegah lagi, kedua matanya pun kena tusukan jari.
Ketika itu matahari mulai mengintip dan diantara cuaca remang2, pada hadirin bisa melihat kedua lawan itu sekarang berdiri seperti patung dengan mata mengucurkan darah. Seng Kun sudha jadi orang buta, sedang Cia Sun yang memang sudah buta, hanya mendapat luka biasa.
"Enak jadi orang buta?" tanya Cia Sun dengan suara dingin dan hampir berbareng, ia menghantam dengan tinjunya. Pukulan Cit siang kun kena tepat di dada Seng Kun. Dengan tinju kiri ia mengirim tonjokkan kedua. Seng Kun terhuyung, tubuhnya membentur batang siong dna mulutnya memuntahkan darah.
"Segala apa ada pembalasannya! Siancai! Siancai!" seru Touw Ok.
Cia Sun terkejut. Tinjunya yang sudah terangkat diturunkan lagi, "Sebenarnya aku ingin menghadiahkan kau dengan tiga belas pukulan Cit Siang Kun," katanya. "Tapi sebab sekarang kau sudah musnah dan kau sudah menjadi orang bercacat, maka aku tak bisa turunkan sebelas pukulan lagi."
Melihat Cia Sun mendapat kemenangan para hadirin bersorak sorai.
Mendadak Cia Sun bersila ditanah dan tulang2nya mengeluarkan suara peratak perotok.
Bu Kie terkesiap. Ia tahu ayah angkatnya sedang membalik aliran hawanya untuk memusatkan (Red:
"memusnahkan" mungkin harusnya") kepandaiannya sendiri.
"Gie hu, jangan!" teriaknya. Ia memburu tapi baru saja ia menempelkan telapak tangannya dipunggun sang ayah angkat untuk mengirim Kioe yang cin khie, Cia Sun sudah melompat bangun dan memukul dadanya sendiri, sehingga ia lantas saja muntah darah. Buru-buru Bu Kie mencekal tangan orang tua itu.
Dengan hati mencelos, ia mendapat kenyataan, bahwa sang Gie hu tidak bertenaga lagi. Semua ilmu silatnya sudah musnah dan sukar dipulihkan lagi.
"Seng Kun," kata Cia Sun. "Kau sudah membinasakan semua keluargaku. Hari ini aku membalas sakit hati dengan membutakan kedua matamu dan membinasakan ilmu silat suhu, ilmu silatku diberikan olehmu. Hari ini aku memusnahkannya dan memulangkannya kepadamu. Mulai saat ini, antara kita berdua sudah tidak ada sangkutan lagi. Semua budi dan semua sakit hati sudah dibayar lunas. Kau selamanya tak akan bisa melihat aku, sedang akupun tak akan bisa melihat mukamu lagi."
Seng Kun menutup mata dengan kedua tangan dan tidak mengeluarkan sepatah kata.
Para orang gagah saling mengawasi. Mereka tak nyana, bahwa permusuhan antara guru dan murid itu akan berakhir secara begitu.
Sementar itu Cia Sun sudah bicara dengan suara nyaring! "Aku Cia Sun berdosa besar dan aku sama sekali tidak duga, bahwa aku bisa hidup sampai hari ini. Sekarang, jika diantara para enghiong ada yang sanak keluarganya dibinasakan olehku, maka ia boleh lantas saja maju untuk ambil jiwaku. Bu Kie, kau jangan merintangi dan juga tidak boleh membalas sakit hati, supaya kau tidak menambah kedosaanku."
Dengan air mata berlinang, si anak mengangguk.
Untuk beberapa saat seluruh lapangan sunyi senyap. Sesudah melihat apa yang terjadi, banyak orang yang menganggap, bahwa turun tangan terhadap Cia Sun diwaktu itu bukan perbuatan seorang ksatria.
Tiba2 seorang pria maju dan berkata: "Cia Sun, ayahku, itu Cie Tin Cin Lam Khu Loo Hiong binasa dalam tanganmu. Aku ingin membalas sakit hatinya."
"Benar, Koe Heng boleh lantas turun tangan," jawabnya.
Orang she Khu itu segera menghunus golok.
Bukan main bingungnya Bu Kie. Ia serba salah. Tubuhnya gemetaran dan tanpa merasa ia maju beberapa tindak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Anak Bu Kie!" bentak sang Gie Hu, "Kalau kau merintangi, artinya kau anak tidak berbakti. Sesudah aku mati, kau boleh periksa penjara diddalam tanah dan kau akan tahu segala apa."
Orang she Khu itu mengangkat goloknya sampai dibatas dada. Tiba2 air matanya mengucur. Ia meludahi muka Cia Sun dan berkata dengan suara parau, "Diwaktu hidup, Sian hu (mendiang ayah) seorang gagah. Jika tokhnya angker, ia tentu tidak setuju jika aku membinasakan seorang buta yang tidak bisa melawan lagi?" Goloknya jatuh dan sambil menekap muka dengan kedua tangannya, ia lari balik ke orang banyak.
Seorang wanita setengah tua maju dan berkata: "Cia Sun, aku ingin membalas sakit hati kakakku. Im Yang Pan Koan Cin Peng Hui." Ia mendekati, meludahi dan berlalu sambil menangis.
Melihat ayah angkatnya dihinakan tanpa bergerak, hati Bu Kie seperti disayat pisau.
Dalam Rimba Persilatan hidup atau mati di pedang kecil. Yang dianggap sebagai urusan besar ialah hinaan. Kata orang.
"Orang gagah boleh dibunuh, tak boleh dihina." Meludahi muka adalah salah satu hinaan terhebat, tapi Cia Sun menelannya dengan segala kerelaan. Ini merupakan bukti, bahwa ia sungguh2 merasa menyesal akan perbuatannya yang dulu2.
Demikianlah seorang demi seorang maju menghampiri untuk membalas sakit hati sanak keluarganya.
Ada yang meludahi, ada yang menggelepok, ada pula yang mencaci. Cia sun menerima itu semua dengan kepala menunduk dan mulut membungkam.
Sesudah tigapuluh orang lebih melampiaskan ganjelannya, majulah seorang imam yang jenggotnya panjang. "Pinto membuktikan bahwa Cia thay sebenarnya seorang mulia. Pintu sendiri pernah membinasakan banyak orang baik, orang2 jalanan putih maupun orang2 jalanan hitam. Apabila Pinto membalas sakit hati terhadap Cia thay hiap, lain2 orang juga tentu akan mencari pinto untuk membalas dendam sakit hati mereka." Sesudah berkata begitu, ia menghunus pedang, mementil badan pedang yang lantas patah dua dan melemparkan gagang senjata itu ditanah. Sesudah memberi hormat dengan membungkuk, ia berlalu sambil menundukkan kepala.
Para hadirin lantas saja mengutarakan pendapat mereka dengan bisik2. nama Thay hie cu tidak banyak kenal orang. Tak dinyana, ia mempunyai kepandaian tinggi. Apa yang sangat mempengaruhi orang adalah sikapnya dan dada yang lapang. Sesudah mendengar teguran Thayhie cu, rasanya tak ada orang lagi yang menghina Cia Sun.
Tapi diluar dugaan, dari rombongan Co bie pay keluarlah seorang pendeta tua. Ia menghampiri Cia Sun dan berkata, "Kau sudah membunuh suamiku, tapi cukuplah jika aku meludahi mukamu," ia lantas saja menyemburkan ludahnya kemuka Cia Sun. Orang yang berkuping tajam lantas bisa mendengar bahwa dalam semburan ludah itu mengandung sesuatu. Cia Sun bahwa sebatang paku sedang menyambar. Ia tidak berkilat dan hanya berkata di dalam hati, " Kalau aku mati sekarang, aku mati agak terlambat."
Pada saat yang sangat penting mendadak tubuh si baju kuning melesat dan tangan bajunya menggulung senjata rahasia itu. "Su thay siapa namanu!" bentaknya.
Niekouw it terkesiap, "Aku Ceng ciauw" jawabnya.
"Hm.. Ceng Ciauw.. Ceng Ciauw! Sebelum kau menjadi pendeta siapa suamimu" Cara bagaimana Cia Thayhiap membinasakan dia?"
"Perlu apa kau bertanya begitu melit?"
"Cia Thayhiap menyesal akan perbuatannya yang dulu2. Kalau yang maju adalah orang yg benar2 mau membalas sakit hati ayah atau sanak lain biarpun di cincang, Cia Thayhiap akan menerima dengan rela dan orang luar tidak boleh mencampuri. Tapi mana kala yang turun tangan merupakan manusia yang mau memancing ikan di air keruh yang mau membunuh untuk mulut orang, maka siapapun juga, boleh mencampuri."
"Dengan Cia Thayhiap aku tak punya permusuhan. Perlu apa aku membunuh orang untuk menutup?"
Ceng Ciauw tidak meneruskan perkataan! Ia tahu bahwa dalam kaget dan takutnya, ia sudah kesalahan omong. Paras mukanya pucat pasi dan ia melirik Ciu Cie Jiak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar!" kata si baju kuning. "Dengan Cia tayhiap kau tidak mempunyai permusuhan apa kau membunuh orang untuk menutup mulutnya" Hm.. dua belas pendeta wanita Go Bie Pay dari tingkatan Ceng hiaom, Ceng hie, ceng ciauw semuanya menjadi pendeta sedari masih gadis. Dari mana datangnya suami?"
Tanpa menjawab Ceng Ciauw balik kerombongannya.
"Mana boleh kau berlaku begitu saja?" bentak si baju kuning sambil melompat. Dengan beberapa lompatan ia sudah mencegah nikouw it. Ia menotong pinggang dan menendang sehingga Ceng Ciauw lantas saja roboh.
Si baju kuning tertawa dingin. "Ciauw Kauw nio, susah membunuh orang untuk menutup mulutnya!"
katanya. "Jangan omong kosong kau!" kata Cie Jiak dengan suara dingin. "Ceng ciauw suci memang mau membalas sakit hatinya."
Ia mengibaskan tangannya dan berkata pula. "Banyak murid partai lurus bersih tak membedakan lagi mana yang lurus mana pula yang sesat dan sudah rela bersatu padu dengan kawanan siluman. Go Bie Pay tak boleh turut masuk di air kotor. Hayo kita pulang!" Semua murid Go Bie lantas saja bersiap untuk berangkat. Beberapa anara mengawasi Ceng Ciauw yang rebah ditanah. Mereka tak tahu apa Ciang beon jin mereka akan menolong atau akan membiarkan saja saudara seperguruannya yang roboh itu.
Sementara itu terdengar bentakan Kong tie, "Goantin! Lekas perintahkan kaki tanganmu melepaskan Hong thio! Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, kedosaanmu akan lebih besar lagi."
Seng Kun terawa getir. "Sesudah urusan sampai disini biar kita mati bersama2," katanya.
"Andaikata mau sekarang akupun tak bisa menolong lagi si hweesio tua Kong bun. Apa kau buta" Apa kau tak lihat sinar api?"
Kong tie tekrjut. Ia mengawasi kebawah bukit dan benar saja dikuil Siauw Lim sie terlihat berkobar api. "Celaka! Ta mo tong terbakar," serunya. "Lekas padamkan api!"
Semua pendeta Siauw Lim yang berada disitu lantas bergerak untuk turun bukit guna memadamkan api. Tiba2 terlihat semburan2 air yang panjang seperti naga putih dan tak lama kemudian api sudah dapat dikuasai.
Kong tie merangkap kedua tangannya, "Kuil kami terbebas dari kemusnahan."
Beberapa saat kemudian dua pendeta mendaki bukit dengan berlari2. "Melaporkan kepada Susiok couw," kata yang satu kepada Kong tie "Kaki tangan Goan tin telah membakar Tot mo tong. Syukur beribu syukur, para enghiong dari Ang sui kie keburu menolong dan sekarang sudah dipadamkan."
Kong tie menghampiri Bu Kie dan merangkap kedua tangannya. "Bahwa kuil siauw lim sie terbebas dari kemusnahan adalah karena pertolongan Thio Kauwcu yang sangat besar," katanya. "Semua anggota Siauw Lim tak akan melupakan budi yang sangat besar itu."
Bu Kie membalas hormat. "Hal ini hanya sepantasnya saja dan Taysu tak usah berkata begitu,"
jawabnya. "Kong beon suheng dikurung di tat mo ih oleh murid2 itu," kata pula Kong tie. "Walaupun kebakaran sudah dipadamkan, aku masih belum tahu nasib suheng. Thio Kauwcu dan yang lain2 tunggulah sebenaran disini, loolap ingin pergi menyelidiki."
Seng kun tertawa terbahak2. "Tubuh Kong bun dilabur minyak kerbau dan minyak babi," katanya.
"Begitu api berkobar, begitu ia tamat riwayatnya. Ang sui kie bisa menolong Tat mo ih, tapi tak akan mampu menolong situa."
"Kalau Angsioe kie tak bisa, masih ada Houw Touw kie!" kata seorang yang sedang mendaki puncak bukit. Orang itu adalah Hoan Yauw. Ia muncul bersama Gan Hoan (Ciang kie see Aouw touw kie) dan seorang pendeta tua yang dipapah mereka. Orang2 tahu, bahwa pendeta yang dipapah itu bukan lain dari pada Hong thio seng ceng. Mereka mendapat luka dan pakaian mereka terbakar disana sini.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie membuta dan memeluk suhengnya, "Suheng!..." katanya dengan suara parau."Sutemu tak punya kebecusan dan berdosa besar."
Kong bun tersenyum. "Kalau Hoan Siecu dan Gan Siecu tidak keburu muncul dari terowongan, aku tak akan bisa bertemu lagi dengan kau masih bernapas," katanya.
"Kepandaian Hauw towu kie dalam membuat terowongan tiada bandingannya di dalam dunia," kata Kong tie dengan suara kagum dan berterima kasih. Ia berpaling kepada kedua penolong itu dan membungkuk. "Hoan Siecu," katanya pula, "loocang pernah berlaku tak pantas terhadapmu dan aku harap kau sudi memaafkan. Looceng sekarang membatalkan perjanjian bertemu di Ban hoat sie. Looceng tidak berani pergi kesitu."
Dalam Rimba Persilatan, tak menempati janji dipandang sebagai hal yang lebih memalukan daripada kalah berkelahi. Bahwa Kong tie rela menarik pulang janjinya dan menyerah kalah. Merupakan bukti, bahwa ia merasa sangat berhutang budi kepada Hoan Yauw. Kedua tokoh itu memang saling menghargai.
Mulai dari waktu itu mereka menjadi sahabat karib.
*** Dalam usaha busuknya. Seng Kun sudah membuat rencana yang diperhitungkan masak2. Sebelum pembukaan Enghiong Tay hwee ia berhasil membokong Kong bun dengan totokan dna kemudia mempenjarakan pemimpin itu di ruangan Tay moin, yang diisi dengan rumput, kayu kering, tahan2 api. Ruang itu lalu kemudian dijaga oleh kaki tangannya yg setia. Dengan Kong bun sebgai tanggungan, ia berhasil menundukkan Kong tie. Ia mengancam bahwa jiwa Kong tie membantah perintahnya, Kong bun akan segera dibakar.
Sesudah usahanya gagal, ia memberi isyarat supaya kaki tangannya segera membakar Tat mo ih. Ia mengharap selagi para enghiong dan para pendeta berusaha memadamkan api, kawan2nya akan bisa ditolong dirinya.
Tapi dalam pada itu telah terjadi sesuatu yang tak pernah diduga olehnya. Begitu tiba dikaki gunung Sauw sit san, pada sebelum bertemu dengan Bu Kie, Yo Siauw memerintahkan Houw tauw kie membuat terowongan kekuil Siauw Lim sie. Tujuannya ialah untuk menolong Cia Sun. Tapi belakangan ternyata bahwa Cia Sun bukan dipenjarakan di dalam kuil. Penukaran patung Tat mo Couw su dalam Tat mo ih dilakukan oleh orang2 Houw Touw kie.
Waktu Seng kun terlocot topengnya. Tio Beng dan Yo Siauw lantas bisa menduga apa yang akan terjadi. Sesudah berdamai, mereka minta Hoan Yauw memimpin Ang sui dan Houw tauw kie untuk memadamkan kan kebakaran dan menolong Kong bun di Tat mo ih. Tapi karena rapihnya persiapan, maksud menolong tercapai, Houw touw kie menderita kerusakan dan ketiga anggotanya mengorbankan jiwa. Kalau Hoan Yauw dan Gian Hoan tidak menggunakan terowongan waktu kabur dengan membawa Kong hun maka mereka bertiga pun akan binasa. Kebakaran itu hanya merusak Tat mo ih dan beberapa bangunan lain.
Tay hiong po thian ceng keng dok loohan hion dan lain2 gedung dapat diselamatkan.
*** Sesudah berdamai dengan Kong tie, Kong Bun segera mengeluarkan perintah supaya semua kaki tangan Seng Kun dipenjarakan dibelakang kuil menunggu keputusan, Seng Kun sudah berdiam lama di Siauw lim sie dan konco2nya berjumlah tidak sedikit. Tapi melihat kepala mereka sudah dirobohkan Hong thio ketolongan, orang2 itu tidak berani melawan dibawah pimpinan Sioe co lo han tong mereka digiring turun bukit. Sesudah itu Bu Kie mendapat kenyataan bahwa dalam kekalutan, Cie Jiak dan rombongannya sudah berlalu, dengan meninggalkan Ceng Ciauw yang masih rebah ditanah.
Bu Kie menghampiri si baju kuning dan sambil menyoja, ia berkata: "Dua kali Thio Bu Kie menerima pertolongan cie cie. Untuk itu aku hanya menghaturkan banyak2 terima kasih. Disamping itu, aku mohon tanya she dan nama cici yang mulia, supaya siang malam aku bisa mengingatkannya."
Si nona tersenyum. Ia menjawab dengan kata yg merupakan sajak: "Dibelakang gunung Ciong lam san, terdapat kuburan Mayat Hidup, Burung Rajawali sakti dan pasangan pendekar tak muncul lagi dalam
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dunia Kangouw." Seraya berkata begitu, ia membalas hormat dan kemudian, ia mengulapkan tangan kearah delapan pengiringnya. Sesaat kemudian, bersama delapan wanita baju putih dan hitam itu, ia turun bukit.
Bu Kie memburu, "Cici tahan dulu!" serunya.
Si nona tidak meladeni dan berjalan terus. "Yo Cici! Yo Cici!" panggil Su Heng Sek.
"Segala urusan kay pang kumohon bantuan kauwcu," kata si baju kuning sambil berjalan terus.
"Bu Kie menerima perintah."
"Terima Kasih!" Perkataan "terima kasih" itu terdengar jauh sekali karena si nona sudah menggunakan ilmu mengentengkan tubuh.
Sesudah itu, Bu Kie mendekati Cia Sun. "Gie Hu," panggilnya. Air matanya mengucur.
"Anak edan," kata sang Gie hu sambil tertawa. "Atas petunjuk Sam wie ko ceng aku sekarang baru mendusin. Segala hutang2ku telah dibereskan. Kau sebenarnya harus merasa girang. Mengapa kau berduka" Sebab ilmu silatku musnah" Apakah kau ingin aku menggunakan lagi ilmu iut untuk melakukan perbuatan2 berdosa?"
"Giehu benar," kata si anak dengan suara perlahan.
Cia Sun lalu menghampiri Kong bun dan berlutut. "Tee cu berdosa besar dan memohon Hong thio sudi menerima teecu sebagai murid," katanya.
Sebelum Kong bun menjawab, Touw Ok mendahului: "Mari! Biar looceng saja yang mengambil kau sebagai murid."
"Teecu tidak berani mengharap begitu besar," kata Cia Sun.
Cia Sun berkata begitu sebab jika ia mengangkat Kong Bun sebagai guru, ia berada ditingkatan "goan"
sedang jika ia mengambil kedudukan tingkatan "Kong" yang bersamaan tinggi denga Kong bun dan Kongtie.
"Fui!" bentak Touw Ok. "Kong kosong. "Goan" juga sama kosongnya. Kau sungguh tolol!"
Cia Sun tertegun, tapi ia lantas mendusin. "Guru kosong, murid kosong, tak ada dosa, tak ada mulia, tak ada jasa," katanya.
Touw Ok tertawa terbahak2. "Sekarang kau sudah menjadi anak murid kami," katanya. "Kamu tak usah mengubah nama. Kau mengerti maksudku?"
"Mengerti," jawabnya. "Segala apa hanya merupakan bayangan kosong. Jangankan nama sedangkan tubuhpun pada hakekatnya sesuatu yang tak ada."
Cia Sun seorang yang "bun-bu-coan-cay" (paham surat dan silat). Sesudah mendapat petunjuk Touw Ok, ia segera dapat menangkan intisari dari pada pelajaran sang Budha. Belakangan ia menjadi salah seorang pendeta suci.
Bu Kie menyaksikan dan mendengar itu semua dengan rasa girang tercampur duka.
"Mari!" kata Touw Ok akhirnya sambil menuntun tangan Cia Sun dan bersama kedua saudara seperguruannya, ia turun bukti. Kong-bun, Kong-tie, Bu Kie dan yang lain2 memberi hormat dengan membungkuk. Tigapuluh tahun yang lalu Kim mo say ong melakukan perbuatan2 yang menggemparkan dunia Kang Ouw. Sekarang ia masuk di "pintu kosong". Mengingat itu semua, banyak orang menghela napas dengan rasa terharu.
Sesudah ketiga pendeta dan Cia Sun berlalu sambil merangkap kedua tangannya, Kong Bun berkata.
"Kami merasa malu, bahwa berhubung dengan terjdinya pengkhianatan kami tak bisa melayani para enghiongnya secara pantas. Sekarang kita berkumpul. Entah kapan kita bisa berkumpul pula. Mengingat itu kami memberanikan diri untuk mengundang kalian guna mengaso sehari dua hari dikuil kami."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bersama tuan rumah, para tamu lantas saja kembali ke kuil siauw lim sie, dimana sudah disediakan makanan cia cay. Sesudah itu diadakan sembahyang untuk rohnya orang2 gagah yang membuang jiwa dalam pertempuran.
Untuk Bu Kie, selesainya Enghiong Tayhwee belum berarti hilangnya banyak tanda2 di dalam hatinya.
Masih banyak hal yang belum terang baginya. Cia Sun sudah berlalu sebelum memberi keterangan. Bu Kie merasa bahwa banyak pertanyaan yang belum terjawab, mempunyai sangkut paut dengan Cie Jiak. Ia seorang mulia dan ia masih belum melupakan kecintaan dahulu. Maka itu ia menghibur diri sendiri dengan memikir, bahwa soal2 itu sebaiknya jangan diselidiki terlalu mendalam supaya nama Cie Jiak jangan jadi lebih rusak.
Sesduah bersantap, ia pergi ketempat Kaypang untuk membicarakan soal2 partai pengemis denga Su Hong Sek dan nama Tingloo. Selagi beruntun, mendengar swee poet. Tak menerobos masuk dan berkata.
"Kaucu, Bu tong siehiap datang berkunjung. Ia mengatakan, ada urusan penting yang mau dibicrakan."
Bu Kie terkejut. "Apa ada sesuatu yg terjadi atas diri Thay suhu?" tanyanya di dalam hati. Buru-buru ia keluar menyambut. Sesudah memberi hormat dengan berlutut, hatinya baru agak lega sebab lihat paras muka thio Siauw Koe tenang2 saja. "Apa Thay suhu baik?" tanyanya.
"Tak kurang suatu apa," jawabnya. "Di Butong san aku mendapat warta bahwa dua laksa tentara Goan sedang menuju ke Siauw Lim sie dengan maksud yang tidak baik terhadap eng hiong tayhwee. Maka itu, baru2 aku datang disini."
"Mari kita beritahukan Hong thio," kata Bu Kie.
Mereka segera pergi keruangan bealkang dan menemui Kong bun.
Sesudah berpikir sejenak, Kong Beng berkata, "Soal ini sangat besar. Kita harus berdamai dengan para orang gagah." Ia segera memerintahkan dibunyikannya lonceng dan mengumpulkannya semua orang di Tay hiong Pothan dan mendengar laporan Thio Siong Kee semua orang terkejut dan beberapa antaranya lantas saja mengutarakan pikiran Yang berdarah panas mengusulkan supaya mereka turun gunung dan melabrak tentara musuh. Yang lebih tenang mengenakan, bahwa gerakan tentara Goan itu belun tentu ditujukan kepada Siauw Lim Sie.
"Aku mengerti bahwa Mongol," kata Thio Siong Kee. "Aku dengar dengan kuping sendiri bahwa pasukan itu benar2 mau menyerang Siauw Lim sie."
"Menurut pendapatku, tentara kerajaan menyerang karena mereka menduga bahwa berkumpulnya kita disini mempunyai tujuan untuk merusakan mereka," kata Kong Bun.
"Kita paham ilmu silat dan kita tak takut kawanan Tai cu, musuh datang harus disambut. Air datang harus dibendung. Kita tak usah takut?" Belum habis Kong bun bicara beberapa orang sudah menepuk2
tangan untuk menyatakan persetujuannya.
Sesudah sambutan mereda,Kong ben selanjutnya! "Akan tetapi kita orang2 Rimba Persilatan, biasa bertempur satu melawan satu. Kita berkelahi dengan tangan kosong atau dengan senjata rahasia!
Berkelahi dengan menunggang senjata panjang seperti tombak dan sebagainya, kita belum punya pengalaman. Maka itu menurut pikiran loolap, sebaiknya para neghiong bubar dan pulang kemasing2
tempatnya." Mendengar saran itu untuk beberapa saat semua orang membungkam.
"Aku sendiri tidak setuju," kata Bu Kie. "Pertama kalau kita bubar Tat cu akan mengatakan bahwa kita tkut terhadap mereka. Kedua bagaimana dengan para suhu yang berdia dikuil ini?"
Kong bun tersenyum. "Kalau tentara Goan lihat bahwa yang berada disini hanya para pendeta2 dan bukan orang2 kangouw, mereka tentu tak akan berbuat apa2," katanya.
Semua orang mengerti bahwa Kong bun berkata begitu karena tidak mau merembet orang. Para tamu datang atas undangan Siauw Lim Sie. Kong Bun tak mau mereka mengorbankan jiwa karea gara2 orang Siauw Lim Sie. Tapi orang2 yg berada disitu adalah laki2 sejati. Mana bisa mereka mundur dalam menghadapi musuh"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Di hadapan Hong thio dan para enghiong aku yang rendah sebenarnya tidak boleh banyak mulut,"
kata Yo Siauw. Pada hakekatnya setiap orang yang berada disini mempunyai kewajiban untuk melawan musuh menurut pikiranku kita sebaiknya mencari daya untuk memancing Tat cu dimana bisa menggempur mereka. Sedapat mungkin janganlah kuil yang bersejarah ini dijadikan medang perang."
Semua orang lantas saja menyetujui usul itu.
Tiba2 diluar terdengar suara kaki kuda yang dikaburkan secepat-cepatnya dan kemudian berhenti didepan kuil. Beberapa saat kemudian masuk dua partai dengan diantara oleh seorang Tie Kek Ceng. Dari pakaiannya mereka ternyata anggota Beng Kauw.
Sesudah memberi hormat, salah seorang berkata, "Melaporkan kepada Kauw cu, bahwa pasukan depan Tat cu yang berjumlah lima ribu orang sedang menerjang ke Siauw Lim Sie. Mereka mengatakan bahwa para suhu mengumpulkan orang untuk melakukan pemberontakan. Mereka sesumbar mau injak Siauw Lim sie sampai jadi bumi rata dan mereka mau membinasakan setiap kepala." Ia berhenti ditengah jalan.
Kong Bun tersenyum. "Kau mau mengatakan kepada gundul bukan?" tanyanya. "Tak usah ragu2.
Katakanlah segala perkataan yang harus dikatakan."
Orang itu mengangguk. "Disepanjang jalan kami mendapat kenyataan bahwa sudah banyak pendeta yang dibinasakan Tat cu," katanya pula. "Tat cu mengatakan begini, "kepala gundul bukan orang baik."
Siapa yang membawa senjata harus dibunuh. Itulah pendirian pasukan latcu."
Semua orang meluap darahnya. Banyak yang lantas berteriak2 dan mengusulkan turun gunung untuk menggempur musuh. Semenjak orang Mongol berkuasa di Tiongkok pencinta2 negeri diseluruh Rimba persilatan memang menganggap penjajah sebagai musuh dan dalam cara2nya sendiri berusaha untuk mengusir penjajah. Gerakan Beng Kauw merupakan sebuah usaha mereka.
Melihat besi sedang panas, Bu Kie segera berkata dengan suara lantang. "Saudara saudara! Hari ini merupakan kesempatan yang paling baik untuk memperlihatkan bahwa laki2 sejati yang bisa berkurban demi kepentingan negara. Nama Siauw Lim Eng hiong tay hwee akan tercatat dalam buku sejarah dan akan diingat orang untuk selama2nya."
Pidato bersemangat itu disambut dengan sorak sorai gegap gempita.
"Sekarang biarlah kita minta Kong bun Hong thio memegang pemimpin," kata pula Bu Kie. "Kami dari Beng Kauw akan mentaati semua perintah."
"Mana bisa begitu?" kata Kong bun seraya merangkap kedua tangnnya. "Walaupun benar kami pernah belajar dan mengerti sedikit ilmu sialt, kami sama sekali tidak mengenal ilmu perang. Semenjak beberapa tahun lalu Beng Kauw sudah memulai suatu usaha besar diketahui oleh semua orang. Menurut pendeta loolap, hanya tentara Beng Kauw yang akan dapat melawan tnetara Tat cu. Maka itu loolap mengusulkan untuk mengangkat Thio Kauwcu sebagai Bu lim beng cu (kepala perserikatan dari Rimba Persilatan) guna memimpin kita dalam peperangan melawan Tat cu."
Sebelum Bu Kie keburu membuka mulut, para hadirin sudah menyambut usul itu dengan tepuk tangan dan sorakan.
Biarpun Bu Kie masih muda dan sepang terjangnya dalam Rimba Persilatan belum cukup untuk menakluki hati orang, ilmu silatnya yang sangat tinggi sudah disaksikan segenap orang gagah. Disamping itu, panglima2 tentara Beng Kauw, seperti Han San Tong. Cie Sioe Hwee, Cu Coan Ciang dan lain lalu, telah mendapat kemenangan2 dalam peperangan disepanjang sungai Hway ho di Holam, Ouwpak dan sebagainya. Oleh karena itu para orang gagah yakin, bahwa selain Beng Kauw, tak ada parti yang lebih cocok untuk memimpin pertempuran dan memegang komando sebagai Beng cu.
"Tanggung jawab Beng cu berat luar biasa," kata Bu Kie dengan suara merendah. "Aku tidak punya kemampuan dan kuminta kalian suka memilih lain orang yg lebih pandai."
Sekonyong2 terdengar suara ribut yang bergemuruh dan dilain saat dua anggota Swie kim kie menerobos masuk keruangan musyawarah. "Tentara Mongol sudah menerjang kegunung ini!" teriak salah seorang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sampai disitu Bu Kie tidak bisa berlaku sungkan lagi. "Swie kim kie, Ang Su kie maju dimuka untuk menyambut musuh!" katanya dengan suara angker. "Ciu Tian Sianseng, Tiat koan To tiang, kalian berdua bantu mereka dengan masing2 membawa saut bendera."
Ciu Tian dan Tiat kun Toojin membungkuk dan segera berlalu untuk menjalankan tugas.
"Swee Poet Tek suhu," kata pula Bu Kie. "Kuminta kau pergi ke berbagai tempat yang berdekatan untuk meminta bala bantuan dengan membawa Seng hwee leng sebagai tanda kepercayaan." Tanpa menyia2kan waktu Swee Poet Tek segera berangkat.
Para enghiong yg berada disitu rata2 berkepandaian tinggi, tapi mereka merupakan tenaga yang belum terlatih dalam peperangan. Sesudah Bu Kie mengeluarkan beberapa perintah, mereka segera menghunus senjata dan bergerak untuk menyambut musuh.
"Kauwcu," bisik Yo Siauw, "Jika mereka tidak dipimpin, sekali gebrak saja mereka bakal dipukul hancur."
Bu Kie mengangguk. Ia segera keluar lebih dulu dan pergi ke pendopo di depan kuil untuk mengamat-amati musuh. Ia menyadari bahwa pasukan Mongol yang di depan, yang terdiri dari seribu jiwa lebih sudah tiba dilereng gunung. Tetapi mereka sudah dipukul mundur oleh Swie kim ie yang menggunakan senjata gendewa dan anak panah serta tombak di sebelah bawah gunung yang lebih jauh, ia lihat pasukan demi pasukan merayap naik dengan teratur. Jaman itu keangkeran tentara Mongol sudah tidak bisa manyamai jaman Genghis khan. Tapi biar bagaimanapun juga tentara pilihan Mongol masih merupaka tentara yang tiada tandingan.
Selagi Bu Kie mengasah otak untuk memundurkan tentara musuh di sebelah kiri mendadak terdengar teriakan-teriakan yang dibarengi dengan munculnya sejumlah pendeta wanita dan laki-laki muda yang berlari-lari ke atas gunung. Mereka adalah rombongan Go bie pay. Tak salah lagi dalam perjalanan pulang mereka bertemu dengan tentara Mongol yang memukul mereka balik ke atas gunung. Dilain saat Bu Kie dan kawan-kawannya melihat Ciu Cie Jiak, Ceng-hui Ceng Ciauw dan beberapa pendeta lain berkelahi sambil mundur dengan tubuh berlumuran darah, tak jauh dari situ belasan pria yang memikul sebuah tandu sedang dikepung oleh sejumlah serdadu Mongol. Berulang kali Cie Jiak dan kawan-kawannya menerjang dan berhasil membinasakan puluhan serdadu musuh tapi mereka belum juga berhasil menolong kawan-kawan yang terkepung itu.
"Celaka!" seru Bu Kie. "Yang berada dalam tandu pasti Song suko!" Ia berpaling dan berseru pula.
"Liat hwee kie melindungi dari kedua samping, Wie heng Hoan Yo Jiesu ikut aku." Seraya memberi perintah ia berlari-lari dan menerjang musuh. Dua serdadu memapaki, dengan tombak rampasan ia menerjang pasukan musuh diikuti oleh Yo Siauw, Hoan Yauw dan Pheng Eng Giok.
Sesudah mengamuk beberapa lama, Hoan Yauw bertemu dengan seorang Siehu thio (pangkat perwira Mongol). Dengan sekali pukul ia menghancurkan perwira itu dan kemudian sesudah merobohkan beberapa musuh ia berhasil merampas seorang yang terluka parah dan rebah di dalam sebuah tandu. Ia lalu menggendongnya, dan kabur ke tempat yang lebih aman.
Sementara itu dengan muka penuh darah Cie Jiak menerjang pula ke arah rombongan musuh.
"Cie Jiak balik! Song Toako sudah tertolong!" teriak Bu Kie.
Cie Jiak tidak meladeni, ia terus menyerang dengan cambuknya. Tapi, karena jalanan gunung yang sangat sempit dan penuh dengan manusia, terjangannya tidak berhasil.
Beberapa saat kemudian Bu Kie lihat kedua anggota Go bie pay, yang memikul sebuah tandu yang lain dikepung musuh.
"Apa Song Suko berada dalam tandu itu?" tanya Bu Kie dalam hati. Ia segera menghampiri dengan berlari. Tapi saat masih terpisah setombak lebih dari tandu itu, kedua murid Go bie itu sudah kena bacokan golok dan anak panah bersama-sama tandu yang dipikulnya, mereka menggelinding ke bawah gunung.
Bu Kie terkejut. Ia melompat dan menggunakan tombak yang dipegang oleh tangan kirinya untuk menahan tergelincirnya tandu. Ia menyadari bahwa orang yang berada di dalam tandu itu dibungkus dengan kain putih dan hanya kelihatan mukanya. Orang itu memang tidak lain adalah Song Ceng Su.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia segera melemparkan senjatanya dan mendukung Ceng Su. Ia merasa heran karenga tubuhnya berat luar biasa dan sesudah mendukungnya ia menyentuh sesuatu yang keras. Rupa-rupanya di dalam kain putih yang membungkus tubuh Ceng Su terdapat suatu benda yang berat dan keras. Tapi saat itu ia tidak sempat berpikir panjang lagi. Karena kuatir menggetarkan tulang-tulang kepala Ceng Su yang belum lama disambung, ia tidak berani bertempur dengan serdadu-serdadu yang mencegatnya dan hanya berkelit sana sini, sambil berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Untung juga tak lama kemudian ia bertemu dengan Thio Siong Kee dan In Lie Heng yang lalu melindungi dari serangan musuh.
Sementara itu pasukan Mongol yang lain dengan kekuatan beberapa ratus orang sudah mulai merangsek ke atas.
"Liat hwee kie turun tangan," teriak Pheng Eng Giok.
Tentara Liat hwee kie segera menyemprotkan minyak tanah dan panah api sehingga dua ratus lebih serdadu Mongol yang berada di depan segera saja terbakar dan yang lainnya terpaksa mundur.
Dilain pihak, Ang su kie yang menyemburkan air beracun juga sudah berhasil membinasakan serangan musuh. Dengan menggunakan kesempatan yang baik itu, para orang gagah turut menerjang dan membasmi musuh sepuas hati.
Melihat gelagat tidak baik, Ban hon thio yang memimpin tentara Mongol buru-buru memerintahkan dibunyikannya gendering untuk menarik mundur pasukan. Dilain saat, pasukan depan Mongol berubah menjadi pasukan belakang dibawah perlindungan tentara yang bersenjata anak panah mereka mundur ke bawah gunung dengan teratur.
Melihat begitu Pheng Giok menghela napas dna berkata, "Tentara Mongol benar-benar bukan tentara sembarangan. Mereka kalah tapi tak jadi kalut."
Setibanya di kaki gunung tentara Mongol diatur seperti kipas dan membuat persiapan untuk beristirahat.
Sesudah musuh menghentikan serangan, Bu Kie segera mengeluarkan perintah.
"Swie Kim, Ang Sui dan Liat hwee, tiga bendera, menjaga di tempat-tempat yang penting Kie bok dan Hong touw kie harus menebang pohon dan membuat benteng-benteng untuk menahan terjangan musuh yang selanjutnya."
Kelima bendera itu segera berpencar untuk melakukan tugas mereka.
Pertempuran itu memberi pelajaran dan membuka mata para orang-orang gagah dari Rimba Persilatan.
Sekarang mereka mengerti bahwa perang lain dari pertandingan satu lawan satu atau pertempuran antara beberapa orang yang biasa terjadi dalam kalangan Kang ouw. Sekarang mereka mengakui bahwa Lweekang, Gwakan, senjata rahasia dan ilmu silat tinggi dari seseorang tidak banyak artinya dalam peperangan, di mana beribu atau puluhan ribu manusia bertempur secara besar-besaran. Sekarang mereka yakin bahwa tanpa bantuan Nio heng kie, hari itu mereka semua terhitung kuil Siauw lim tentu sudah musnah. Tanpa Ngo heng mereka tak akan bisa melawan dua laksa serdadu Mongol yang terlatih baik.
Sesudah musuh mundur semua, Bu Kie meletakan Song Ceng su di tanah dan meraba dadanya.
Pemuda she Song itu ternyata masih bernapas. Ia menengok untuk memanggil Cie Jiak, tapi nyonya itu tak kelihatan batang hidungnya. "Mana Song Heng jie?" tanyanya kepada beberapa murid Go bie pay yang berada di situ.
Mereka semua menggeleng-gelengkan kepala. Dengan repotnya melawan musuh, para enghiong pun tidak memperhatikan nyonya muda itu.
Karena kuatir Song Ceng su terluka, Bu Kie segera membuka kain putih yang membungkus tubuh pemuda itu.
Bungkusan itu tak kurang dari tiga lapis. Begitu lapisan ketiga terbuka, terdengar suara kerontangan dan empat potong senjata jatuh di tanah. Bu Kie terkesiap, "To liong to! Ie thian kiam!" teriaknya.
Mendengar teriakan itu semua orang memburu.
Di atas tanah menggeletak dua potong Ie thian kiam dan dua potong To liong to.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie mengambil salah sepotong To liong to. Ia berdiri terpaku dan kedua matanya mengeluarkan sinar kedukaan. Ia ingat bahwa ayah dan ibunya meninggal karena golok mustika itu. Ia ingat bahwa selama dua puluh tahun lebih banyak orang bermusuhan, berkelahi dan hilang jiwa gara-gara golok itu. Ia ingat pula bahwa perkumpulan para enghiong di kuil Siauw lim sie juga disebabkan oleh To liong to.
Sekarang golok tersebut muncul dalam keadaan patah dua dan tidak ada gunanya lagi.
Ia angkat potongan itu dan menyadari bahwa di tengahnya berlubang. Ie thian kiam pun demikian.
Mungkin sekali di dalam lubang itu telah disembunyikan sesuatu, tapi isinya sudah diambil orang.
Yo Siauw menghela napas, "Kauw cu!" katanya. "Sudah lama sekali aku coba memecahkan teka teki sumber ilmu silat Ciu Kauwnio sekarang aku bisa mengatakan bahwa ilmu Ciu Kauwnio didapat dari pedang dan golok itu."
Bu Kie bukan orang tolol. Iapun sudah bisa meraba-raba kejadian yang sebenarnya. Ia sekarang dapat membayangkan bahwa malam itu waktu berada di sebuah pulau kecil. Cie Jiaklah yang sudah mencuri Thian kiam dan To liong to. Entah dengan jalan bagaimana ia menyingkirkan Tio Beng, membinasakan In Lee dan lalu saling membacok kedua senjata itu sehingga Ie thian kiam dan To liong to yang tersohor patah dua-duanya. Sesudah itu ia ambil pit kip (kitab ilmu) yang disembunyikan dalam kedua senjata itu dan melatih diri secara diam-diam.
Makin lama Bu Kie berpikir makin jelas duduk persoalan. "Benar," katanya di dalam hati. "Di pulau itu waktu aku mencoba mengusir racun dari tubuhnya dengan menggunakan Kioe yang Sing kang aku merasakan munculnya semacam tenaga luar biasa yang melawan Sin kang. Belakangan tenaga itu jadi lebih kuat. Hai"karena tergesa-gesa ia tak pelajari dasar-dasar Lweekang yang sejati tapi melatih diri dalam ilmu luar yang beracun, yang bisa memberi hasil dalam waktu singkat. Sungguh sayang"."
Selagi ia termenung, Gouw Kia Co Ciang kie su, Swi kim kie mendekati dan berkata seraya membungkuk. "Kauwcu, aku jadi pandai besi (tukang besi). Aku bisa membuat macam-macam senjata.
Mungkin sekali pedang dan golok mustika itu masih dapat disambung. Apakah Kauwcu setuju kalau aku mencobanya?"
Yo Siauw girang, "Ilmu membuat pedang dari Gouw Sioe su tiada tandingannya dikolong langit,"
katanya. "Kauwcu boleh mengijinkannya."
Bu Kie mengangguk. "Baiklah," katanya. "Memang sangat sayang jika kedua senjata ini tidak bisa digunakan lagi. Gouw Kioe su, kau cobalah."
"Heesheng," kata Gouw Kin Co kepada Hee Yam, Ciang kie su, "Liat hwee kie, membuat pedang golok mempunyai kaitan yang erat dengan api. Dalam hal ini, aku memerlukan bantuanmu. Untuk sementara waktu Tat cu mungkin tidak berani segera menyerang lagi. Bagaimana kita mencoba sekarang juga."
Hee Yam tertawa. "Mupakat," jawabnya. "Soal api memang bidangku."
Kedua pemimpin bendera itu segera membuat persiapan. Mereka membuat sebuah dapur yang sangat tinggi dan pada dapur itu hanya terbuka sebuah lubang yang panjangnya belum cukup satu kaki. Dalam Liat hwee kie selalu tersedia macam-macam bahan baker, sehingga dalam waktu singkat api sudah berkobar-kobar di dapur itu.
Dengan penuh perhatian Gouw Kin Co mengawasi api. Di atas tanah berjejer belasan golok. Sesudah api berubah warnanya ia mengambil beberapa batang golok dan memasukkannya ke dalam dapur untuk menilai "sifat" dari api yang tengah berkobar-kobar itu. Beberapa lama kemudian, api yang tadi berwarna hijau berubah menjadi putih. Ia segera mengambil jepitan baja menjepit dua potongan To liong to menyambungnya satu degan yang lain dan kemudian memasakkannya ke dalam dapur.
Dengan rasa kagum semua orang menyaksikan cara kerja pandai besi itu. Ia tidak memakai baju dan keringat mengucur terus dari tubuhnya yang berotot. Hawa panas dari dapur itu hebat luar biasa dan bunga api yang selalu muncrat keluar jatuh di tubuhnya. Tapi ia seolah-olah tidak merasakan semua itu.
Dengan menumpahkan seluruh perhatian, ia berdiri bagaikan patung dengan kedua tangan memegang jepitan baja yang menjepit dua potong To liong to.
Mendadak dua anggota Liat hwee kie yang memompa hong shia roboh pingsan. Hee Yam dan Ciang kie Hu su (wakil pemimpin) Liat hwee kie melompat menyeret kedua orang korban itu dan kemudian mereka sendirilah yang menggantikannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki Lweekang yang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kuat. Begitu lekas hong shia ditarik mereka, api berkobar makin besar. (Hong shi " Alat berbentuk kotak untuk memompa angin ke dalam dapur).
Selang beberapa lama tiba-tiba Gouw Kin Co berseru, "Gagal!" ia melompat mundur dengan paras muka pucat. Kedua jepitan bajak yang dicekalnya sudah mulai melumer tapi To liong to masih tidak bergeming. "Kauwcu, anak buahmu tak punya kebecusan," katanya dengan suara memohon maaf. "Nama besar To liong to benar-benar bukan nama kosong."
Hee Yam dan Ciang ki Hu su Liat hwe kie juga turut mundur. Pakaian mereka sudah basah dengan keringat.
"Bu Kie koko," kata Tio Beng dengan tiba-tiba, "Bukankah Seng hwee leng juga logam mustika dan bahkan tidak dapat diputuskan oleh To liong to?"
"Benar!" kata Bu Kie. "Hampir kulupa." Ia mempunyai enam Seng hwee leng, tapi yang satu sudah diberikan kepada Swee Poet Tek untuk memanggil bala bantuan.
Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan kelima batang "leng" yang lalu diserahkan kepada Gouw Kin Co. "Kalau golok dan pedang itu sukar disambung, Gouw heng tak usah memaksakan diri," katanya.
"Swee heng leng adalah mustika dari agama kita. Sebisa mungkin jangan sampai rusak."
Gouw Kin Co menyambut dan menelitinya sambil mengerutkan alis.
"Apabila Gouw heng tak punya pegangan sebaiknya jangan menempuh bahaya," kata Bu Kie.
"Swee heng leng ini terbuat dari emas putih, besi Hian tiat, pasir Kim Kong dan bahan istimewa lain,"
terang Gouw Kin Co. "Benda luar biasa ini tak akan bisa dilumerkan dengan api. Apa yang aku tak dapat pikirkan adalah bagaimana Seng hwee leng dulu dibuat."
"Sudahlah, untuk apa Gouw heng memikirkan hal itu," kata Hee Yam. "Paling baik kita segera mencoba."
Gouw Kin Co mengangguk, "Kauwcu tidak usah kuatir," katanya. "Meskipun api yang dibuat Hee heng cukup hebat, kulit Seng hwee leng tidak akan rusak." Sehabis berkata begitu ia menjepit sepotong To liong to dengan dua "leng" dan potongan yang lain dengan dua "leng" pula. Kemudian dengan dua jepitan baja yang baru ia menjepit keempat "leng" itu yang lalu dimasukkan ke dalam dapur. Seperti tadi, gas memompa angin dilakukan Hee Yam dan Ciang kie Husu dari Liat hwee kie.
Makin lama api berkobar makin tinggi, selang setengah jam Gouw Kin Co, Hee Yam dan Ciang kie Hu su sudah kelihatan payah sekali dan hampir tidak bisa mempertahankan diri lagi dari serangan hawa panas.
Melihat itu, Hoan Yauw memberi isyarat kepada Ciu Tian dengan lirikan mata dan gerakan tangan.
Dengan bersamaan mereka melompat dan menggantikan pekerjaan Hee Yam dan kawannya. Begitu angin dalam hong shia dipompa oleh dua tenaga baru yang memeiliki Lweekang sangat tinggi, api yang berwarna putih segera menghembus ke atas.
Mendadak Gouw Kin Co berteriak, "Kouw heng, sekarang kau boleh turun tangan!"
Kouw Beng Louw, Ciang kie Hu su dari Swie kim kie lari mendekati dapur dan", ia menggores dada Gouw Kin Co dengan goloknya.
Semua orang terkesiap dan menggeluarkan seruan tertahan.
Darah segera mengucur dari dada Gouw Kin Co yang telanjang dan jatuh di atas To liong to. Jatuhnya darah itu mengeluarkan suara ces"ces"dibarengi dengan naiknya uap putih dari badan golok.
"Selesai!" teriak Gouw Kin Co pula. Ia mundur beberapa langkah dan jatuh duduk di atas tanah.
Semua mata ditujukan ke arah To liong to, dua potongan golok itu sudah tersambung.
Sekarang semua orang baru sadar bahwa dalam tekadnya untuk menyambung golok mustika itu, Gouw Kin Co sudah lebih dulu mengadakan persetujuan dengan Kouw Beng Louw untuk menggunakan darahnya sendiri, apabila cara yang biasa mendapat kegagalan. Menggunakan darah manusia dikenal
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sebagai suatu cara di jaman purba untuk melumerkan logam yang tidak bisa dilumerkan dengan api biasa.
Sepanjang cerita, dalam usaha membuat sepasang pedang mustika, dahulu sepasang suami istri Kan Ciang dan Bok Yo telah mengorbankan jiwa dengan melompat ke dalam dapur.
Dengan rasa haru Bu Kie menubruk bawahannya itu dan memeriksa lukanya. Luka itu tidak berbahaya, ia segera mengeluarkan obat dan menaburnya di dada Gouw Kin Co. "Gouw heng, mengapa kau berbuat begitu?" katanya dengan suara parau. "Golok itu bisa disambung atau tidak, sama sekali tak menjadi soal. Untuk apa kau menyakiti diri sendiri?"
Melihat sang pemimpin tidak memperdulikan Seng hwee leng atau To liong to dan lebih dulu memeriksa lukanya, Gouw Kin Co merasa berterima kasih. "Luka ini hanya dikulit," katanya. "Kauwcu tak usah kuatir." Ia bangun berdiri dan mengambil To liong to. Ternyata dua potong golok itu tersambung dengan sempurna dan pada sambungannya hanya terlihat sehelai tanda bekas darah. Dengan rasa bangga ia menyerahkan kepada Bu Kie yang baru saja mengambil kembali keempat "leng" yang tadi digunakan untuk menjepit potongan golok. Keempat "leng" itu tidak kurang apapun.
Pisau Terbang Li 10 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Hina Kelana 20

Cari Blog Ini