Ceritasilat Novel Online

Lembah Nirmala 1

Lembah Nirmala Karya Khu Lung Bagian 1


" Lembah Nirmala Karya : Khulung Disadur oleh : Tjan ID Jilid 01 BUKIT TENGKORAK Sejak dulu hingga sekarang. bukit tersebut sesuai dengan namanya, selalu mendatangkan
suasana menyeramkan dan menggidikkan hati.
Kegelapan malam telah menyelimuti seluruh angkasa, angin malam berhembus kencang
menggoyangkan pepohonan dan ranting-ranting, mendatangkan suasana yang mengerikan bagi
siapa pun yang kebetulan berada di situ.
Saat itulah, dari atas puncak bukit tengkorak, tiba-tiba berkumandang suara helaan napas
panjang yang parau dan dalam.
"Aaaaai....." Menyusul suara helaan napas itu, terdengar suara seorang tua berkata dengan nada yang
parau: "Nak, semenjak ibumu meninggal dunia, kau selalu ikut ayah hidup di tengah bukit yang
sepanjang tahun tak nampak cahaya matahari ini. nah sekarang ayah hendak membeberkan
sebuah rahasia kepadamu."
"Ooooh... cepat, cepat ayah" teriak bocah yang berada disisinya dengan suara keras, semenjak
anak Sia dapat berbicara, setiap hari aku selalu menantikan kesempatan semacam ini, ayah,
cepatlah kau beberkan rahasia tersebut..."
"Aaaai, kehidupan semacam ini pada hakekatnya memang tak akan sanggup ditahan oleh siapa
saja, tak heran kalau kau sangat berharap dapat mengetahui kejadian. nak disaat ayah selesai
membeberkan rahasia ini nanti mungkin jiwaku akan melayang meninggalkan ragaku, karena itu
perhatikanlah dengan seksama dan ingat baik-baik setiap persoalan yang telah kuucapkan dengan
begitu walaupun ayah mesti berpisah denganmu aku bisa berangkat dengan perasaan tenang dan
lega...." Bocah itu segera menjerit kaget, air matanya jatuh bercucuran dengan sangat derasnya, biar
begitu sama sekali tak terdengar suara isak tangisnya: karena bocah ini memang memiliki watak
keras hati, semenjak dilahirkan dari rahim ibunya dia memang tak pernah menangis tersedu biar
cuma satu kali pun. "Nak, waktu yang tersedia tak banyak lagi, ayah pun tak akan mengucapkan kata-kata
perpisahan yang hanya akan mengibakan hati saja, perasaan semacam ini lebih baik disimpan
dalam lubuk hati saja dan tak berguna diutarakan. Sekarang, sebelum ayah menemui ajalnya,
akan kuberitahukan tiga masalah kepadamu, ketiga persoalan ini merupakan tujuan dari
kehidupanmu selanjutnya. karena itu kau jangan sampai melupakannya.
"Ke satu..." Suara yang tua dan parau itu segera terhenti sejenak, kemudian terdengar suara
gemerincingan nyaring bergema memecahkan keheningan, dari asal suara tadi nampak sekaligus
cahaya yang berkelebat lewat lalu lenyap kembali, suasana pun pulih dalam keheningan yang
mencekam. "Pedang ini bernama Leng gwat ( rembulan sunyi ). merupakan senjata mestika yang tajamnya
bukan kepalang tapi benda ini bukan milikmu, sekarang tak usah kau tanyakan mengapa, di
kemudian hari kau tentu akan mengetahui sendiri latar belakangnya!"
Setelah mendehem dengan suara yang serak dan kering, kembali terusnya.
"Sejak kecil hingga besar kau selalu berdiam ditempat yang terpencil dan jauh dari keramaian
dunia, tapi besok pagi ayah ijinkan kau turun gunung, hanya kau tak boleh pergi terlalu jauh,
setibanya di jalan raya di bawah bukit sana berdirilah ditepi jalan dan nantikan kedatangan
gurumu." "Apa?" seru bocah itu sambil melompat bangun saking gelisahnya. ayah anak Sia belum pernah
mendengar kalau anak Sia sudah punya guru."
"Hmm!, Kakek itu mendengus rendah-rendah, "biarpun dia merupakan gurumu. sesungguhnya
dialah yang akan menentukan nasib kehidupanmu selanjutnya, kau harus menuruti setiap
perkataan yang dia ucapkan, misalnya dia menyuruh kau mati. kau harus mati. kalau dia
menyuruh kau hidup, kau pun harus hidup. betapapun dia menyiksa dan mencemooh dirimu, kau
tak boleh melawan atau membangkang karena kesemuanya ini gara-gara kesalahan ayah sendiri
dan merupakan ketidak-becusan ayah, Oooh anak Sia, gara-gara perbuatanku kaulah yang
menderita dan tersiksa, apakah kau membenciku?"
Bocah itu berpaling, ia jumpai paras muka ayahnya begitu kering dan kurus, rambutnya yang
beruban banyak yang sudah rontok, padahal dia tahu ayahnya baru berusia empat lima-puluh
tahunan, penderitaan dan siksaan yang dialaminya setiap hari telah merubah ia menjadi demikian
rupa. Tanpa terasa serunya: "Anak Sia adalah anak ayah, sudah sepantasnya bila ananda yang memikul semua tanggung
jawab tersebut, oooh ayah, mengapa aku harus membencimu?"
Sekali lagi kakek itu menghela napas dengan wajah yang kusut.
"Anak baik, kau memang tak malu menjadi keturunan keluarga persilatan dari Kanglam, ayah
bangga mempunyai seorang anak seperti kau, dan aku tak menyesal untuk mati sekarang juga"
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya.
"Hari ini adalah bulan dua belas tanggal empat, besok kau harus turun gunung dan menanti di
tepi jalan. saat itu akan kau saksikan seseorang yang berpakaian perlente akan melewati jalanan
tersebut, orang itu adalah gurumu, dia berwatak sangat aneh tapi termasyhur namanya seantero
jagad, kau harus baik-baik menghadapinya, setiap saat mesti mawas diri, jangan beradu mulut
dengannya dan tak usah membantah semua perkataannya, mengerti?"
Melihat bocah itu sudah manggut-manggut, si kakekpun melanjutkan kembali kata-katanya:
"Asal usulnya manusia berpakaian perlente itu masih merupakan sebuah teka-teki, usianya
tidak terlalu besar, namun tiada orang di dunia ini yang tidak mengenalinya, dia berilmu tinggi dan
tiada tandingannya di dunia ini dalam hal tersebut ayah merasa sedikit terhibur, Tentang apa
sebabnya sampai ayah menghadiahkan kau menjadi muridnya, di kemudian hari kau akan
mengetahui secara jelas sekarang ayah tak sanggup lagi membeberkan semua persoalan itu
kepadamu. karena keadaanku kini tak ubahnya seperti lentera yang kehabisan minyak..."
Lalu terusnya lagi: "Orang itu berwajah tampan, gagah dan menarik hati dilihat sekilas pandangan dia seperti
seorang kongcu dari keluarga kaya yang lemah lembut tak bertenaga padahal ilmu silatnya luar
biasa hebatnya, hanya di dalam setahun saja, secara berurutan dia sudah mengalahkan berbagai
jago dari macam-macam aliran tiga belas propinsi di Kanglam dengan empat puluh tujuh buah
sarang telah dijelajahi semua keadaannya waktu itu boleh dibilang merupakan daerah
kekuasaannya, hampir semua pentolan Bu-lim menaruh rasa jeri kepadanya.
"Besok pagi, setelah kau bertemu dengannya, serahkan pedang rembulan sunyi ini kepadanya
dan terangkan bahwa kau adalah putra tunggal ayah yang datang memenuhi janji, dia tentu akan
menerima pedang ini serta mewariskan ilmu silat kepadamu."
Setelah menarik napas panjang-panjang, kakek berambut putih itu kembali berkata:
"Ayah tahu bahwa kau adalah seorang bocah yang berwatak keras hati dan ingin mencari
kemenangan selalu, demikian juga dengan keluarga Kim kita, dari dulu sampai sekarang sifat
kependekaran selalu mengalir didalam darah kita itulah sebabnya ayah pada dua puluh tahun
berselang tak luput juga dari keadaan seperti itu."
"Ayah tahu, saban malam kau tentu berpekik sambil membawakan lagu yang penuh
bersemangat ayah sadar kau adalah naga bukan katak dalam kolam, mengurungmu di dalam
tanah perbukitan yang terpencil seperti ini sama artinya dengan suatu perlakuan yang keji dan tak
berperasaan bagimu."
"Anak Sia, kau tak usah menyangkal ayah cukup mengerti akan kemasgulanmu itu sebagai
seorang pemuda yang bercita-cita tinggi, memang tak baik hidup mengekang diri, tapi kaupun
harus belajar silat dengan tekun, sebab hanya dengan jalan ini kau baru dapat muncul sebagai
seorang manusia luar biasa, seseorang yang dipandang dan di hormati umat persilatan..."
Paras muka bocah itu tiba-tiba berubah menjadi semu merah namun sepasang matanya yang
besar justru memancarkan sinar yang gemerlapan.
Ia terlalu gembira, kendatipun rasa sedih sempat menyelimuti perasaannya karena teringat
bahwa ayahnya akan mati, namun sentuhan yang tepat pada rahasia hatinya membuat
semangatnya segera berkobar kembali.
"Nak, mempersembahkan pedang mengangkat guru adalah tugasmu yang pertama, kedua,
Pedang mestika rembulan sunyi ini merupakan mestika keluarga Kim yang sudah turun temurun.
Bila kau merasa sudah berkemampuan di kemudian hari, janganlah sekali-kali kau biarkan orang
lain mendapatkannya..."
Bocah itu menjadi tertegun setelah mendengar perkataan tersebut segera ujarnya.
"Ayah bukankah kau pernah bilang pedang mestika rembulan sunyi ini harus diserahkan kepada
manusia berbaju perlente itu" Mengapa kau berkata demikian sekarang?"
Kakek itu menghela napas panjang.
"Benar, ayah memang pernah berkata begitu, tapi ini hanya berlaku saat kau hendak
mengangkat guru dan belajar silat, disaat pelajaran silatmu telah selesai dan kau yakin sudah
mampu mengalahkan gurumu, maka kau harus memaksanya untuk menyerahkan kembali pedang
mestika rembulan sunyi kepadamu."
"Manusia berpakaian perlente itu pernah bilang, dia akan mewariskan segenap kepandaian silat
yang dimilikinya kepada murid-muridnya dan suatu saat apabila ada diantara murid-muridnya yang
berkemampuan hebat serta mampu mengunggulinya merekapun boleh membinasakannya atau
memaksanya melakukan sesuatu perbuatan yang tak ingin dia lakukan..."
"Manusia berpakaian perlente itu benar-benar sangat aneh" gumam si bocah itu kemudian
tertegun sejenak, "Bila dia berbuat begitu terus dengan memperhatikan masalah di depan mata
serta mengesampingkan keadaan dimasa mendatang, suatu ketika dia pasti akan mengalami nasib
yang tragis." Kakek itu mendehem pelan, lalu berkata lagi pelan-pelan.
Hampir semua yang menjadi muridnya merupakan hasil paksaan dengan mengandalkan ilmu
silat, menurut apa yang ayah ketahui saat ini dia sudah mempunyai sembilan orang murid.
angkatan tua dari ke sembilan muridnya tampil semuanya merupakan tokoh-tokoh silat kenamaan
di dalam dunia persilatan tapi semuanya telah ditaklukkan olehnya dengan kekerasan sehingga
mereka terpaksa menyerahkan anaknya untuk di jadikan murid oleh orang itu."
Ketika berbicara sampai di sini, tiba-tiba ia tutup mulut karena teringat olehnya bahwa diapun
merupakan salah satu diantaranya, rasa malu yang segera menyelimuti perasaannya membuat
kakek itu nampak tersipu- sipu.
Dengan mata terbelalak lebar bocah itu mengawasi ayahnya sekejap kemudian katanya:
"Ayah tidak usah kuatir, perbuatan semena-mena manusia yang berbaju perlente itu pasti
berakhir tragis baginya bila di kemudian hari anak Sia telah berkemampuan cukup, perkataan ayah
tentu akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya--"
"Persoalan ke tiga merupakan persoalan yang paling penting, ayah merasa tak mampu
membongkar teka-teki ini sekalipun sudah banyak pikiran dan tenaga yang ku korbankan untuk
melakukan penyelidikan"
Ketika berbicara sampai di situ mendadak kakek itu merendahkan suaranya, seakan-akan dia
kuatir rahasia besar yang hendak di utarakan itu sampai kedengaran orang lain, sebagai seorang
bocah yang pintar, cepat-cepat bocah itu menempelkan telinganya di sisi mulut ayahnya.
Dengan suara agak gemetar kakek itu segera berkata:
"Disekitar daerah Ho-lam terdapat sebuah lembah yang berpemandangan alam sangat indah
dan sepanjang tahun empat musim selalu hangat bagaikan di musim semi, lembah itu terletak di
suatu daerah terpencil dikelilingi bukit karang yang menjulang tinggi ke angkasa,
"Menurut cerita penduduk setempat, lembah itu bernama lembah Nirmala. setiap hujan badai
sedang melanda dan guntur serta kilat sedang menyambar dari balik lembah tersebut selalu akan
bergema suara nyanyian merdu dari seorang perempuan. Suara nyanyian ini selalu menyebar
sampai di punggung bukit dan menggema tiada hentinya.
"Bagi rakyat jelata disekitar lembah yang berpengetahuan rendah, mereka selalu menganggap
suara nyanyian itu berasal dari bidadari yang baru turun dari kahyangan, itulah sebabnya lembah
itu mereka namakan sebagai lembah Nirmala yang mengandung arti lembah yang suci dan tak
ternoda. "Maka peristiwa inipun memancing rasa ingin tahu bagi para pemuda di desa sekitar tempat itu
berbondong-bondong mereka siapkan rangsum serta melakukan penyelidikan.
"Siapa tahu, kawanan pemuda yang berangkat ke lembah Nirmala karena terdorong rasa ingin
tahu ini ibarat bakpao menimpuk anjing, setelah pergi tak seorangpun yang balik kembali.
Lama kelamaan para penduduk setempat segera beranggapan sang bidadari telah gusar dan
sengaja menghukum orang-orang itu, mereka menjadi was-was serta tak berani menyerempet
bahaya lagi untuk melakukan penyelidikan.
"Waktu itu kebetulan sekali ayah baru lulus dari belajar silat dan turun gunung, ketika melewati
desa sekitar lembah Nirmala dan mendengar cerita itu, timbul rasa ingin tahu dalam hatiku,
sebagai seorang pemuda bersemangat tinggi dan baru turun dari gunung, maka berangkatlah
ayah ditengah suatu malam yang gelap menuju ke lembah Nirmala itu....
Dengan meminjam cahaya bintang yang redup serta mengandalkan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna, dalam waktu singkat ayah telah melalui beberapa buah lembah dan tiba di
lembah Nirmala setengah harian kemudian.
"Ternyata lembah Nirmala itu merupakan sebuah lembah dengan pepohonan yang amat lebar
batuan cadas berserakan dimana-mana, air terjun terbentang bagaikan sebuah tirai membuat
suasana di sekelilingnya dilapisi kabut yang tipis.
"Lembah Nirmala memang sebuah sorga dunia, udara di situ hangat dan nyaman, kalau
sewaktu berangkat ayah memakai mantel yang tebal untuk melawan udara dingin, maka setibanya
didalam lembah harus dilepas semua sehingga tinggal pakaian ringkas yang tipis"
Ditengah suara air terjun yang gemuruh pepohonan siong yang bergoyang terhembus angin,
suasana disekitar sana sangat hening dan tak kedengaran suasana yang lainnya...
"Sekalipun tempat itu subur dengan aneka bunga yang harum semerbak dan rerumputan nan
hijau, tapi ayah justru merasa seolah-olah sedang memasuki neraka yang mengerikan sehingga
bulu kudukku tanpa terasa pada bangun berdiri."
"Di bawah sinar rembulan yang redup, ayah menelusuri sebuah jalan setapak dengan langkah
yang amat riang. Sementara tanganku tak pernah terlepas dari gagang pedang Leng gwat-kiam
guna menghadapi segala sesuatu yang tak di inginkan.
"Ayah tahu, biarpun penduduk setempat mengatakan Lembah Nirmala sebagai tempat tinggal
bidadari dari kahyangan dan menurut pendapatmu hal ini terlalu berkhayal dan mustahil namun
ayah sadar, seseorang yang dapat bernyanyi ditengah hujan badai bahkan suaranya bisa
terdengar sampai jauh di dusun sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa orang itu memiliki ilmu
tenaga dalam yang amat sempurna. Betul kepandaian silat ayah terhitung tangguh, namun
rasanya masih selisih jauh dibanding-bandingkan dengan orang itu.
"Maka dengan hati kebat-kebit menahan rasa ngeri dan seram, ayah berusaha keras untuk
menyembunyikan diri dibalik batuan cadas begitu rapatnya aku bersembunyi meski ada orang
yang lewat disisikupun tentu akan menemukan jejak ayah..."
Semakin lama berjalan ayah memasuki lembah itu semakin dalam, keadaan medan dalam
lembah itupun kian lama kian bertambah melebar, tiba-tiba dari depan sana kutemukan banyak
tulang belulang yang berserakan di atas tanah, ayah menjadi terkejut serta meneliti lebih seksama
ternyata tulang belulang itu semuanya berada dalam keadaan utuh dan lengkap tapi ditangan
masing-masing justru menggenggam sebongkah benda berwarna kuning, ayahpun mengambil
sebuah dan diperiksa, benda itu berat sekali dan ternyata merupakan emas murni.
Ayah segera menghitung tumpukan tulang belulang yang berserakan di situ semuanya
berjumlah dua ratus lebih, anehnya dalam genggaman mereka semua terdapat pula sebongkah
emas murni, Andaikata ke dua ratusan bongkahan emas itu dikumpulkan jumlahnya pasti luar
biasa sekali ayah tak mengira kalau lembah Nirmala merupakan sebuah tempat harta karun yang
berjumlah begitu besar....."
"Waktu itu ayah bercita-cita tinggi, memandang harta dan perempuan bagaikan kotoran
manusia. hatiku sama sekali tak tertarik oleh benda-benda berharga itu, hanya pikirku waktu itu:
"Bila dilihat dari suara nyanyian itu bergema dari sini, berarti ada seseorang yang berdiam
dalam lembah tersebut, padahal emas-emas itu dibiarkan berserakan disini tanpa bermaksud
dikumpulkan kembali. Sudah jelas peristiwa ini mengandung suatu rencana tertentu, siapa tahu kalau di atas
bongkahan emas itu telah diolesi dengan racun keji sehingga mereka yang kemaruk akan harta
tak dapat melanjutkan tujuannya untuk menyelidiki rasa ingin tahunya. Tapi tewas di sini."
Namun baru saja ayah berpikir sampai di situ, tiba-tiba lenganku mulai terasa kaku dan
kesemutan, aku sadar kalau keadaan tak beres. Hal ini pastilah dikarenakan tanganku telah
menyentuh bongkahan emas tadi.
Namun dari sini pula membuktikan bahwa dugaan ayah betul, bongkahan tersebut telah diolesi
seseorang dengan racun yang amat ganas.
"Untung saja tenaga dalamku cukup tangguh ditambah pula latihanku yang tekun membuat
kemampuanku terhitung hebat juga, Dengan mengandalkan kemampuan inilah ayah menutup
semua jalan darah ditangan kiri dan berusaha menahan menjalarnya racun itu, tapi ayah sadar
keadaan seperti ini tak bisa berlangsung lama, mumpung masih bisa bertahan, dengan membawa
kobaran hawa amarah yang meluap, ayah segera meneruskan perjalanannya ke dalam.
"Belum lama berjalan di bawah sebuah batu cadas kujumpai ada sesosok bayangan manusia
sedang duduk di situ sambil menangis tersedu-sedu, ayah menjadi berteriak tapi tak berani
mengusiknya maka akupun bersembunyi dibalik batu sambil mengawasi gerak-gerik orang itu?"
Bayangan manusia itu menangis amat sedih, suaranya sudah kedengaran parau namun dia
masih menangis tiada hentinya bila dilihat dari rambutnya yang telah beruban, ayah tahu kalau
usianya sudah lanjut tapi entah mengapa dia justru sedang dirundung kesedihan yang tak
terhingga sekali menangis setengah jam sudah lewat, biarpun tangisannya keras tapi suaranya tak
terdengar dari jarak sejauh sepuluh kaki. Padahal ayah tahu, kakek berambut putih itu berilmu
tinggi, hanya saja ia mampu mengendalikan suara itu sehingga tak sampai terpancar sampai
ditempat kejauhan" "Ayah semakin terkejut ketika mengetahui kesempurnaan tenaga dalamnya, aku makin tak
berani bersuara, Siapa tahu tangisan kakek itu tiada hentinya sedang lengan ayah terasa makin
kaku, pikirku kemudian bagaimanapun jua aku toh bakal mati, mengapa tidak kuselidiki persoalan
aneh itu agar matiku lebih puas" Dengan hati yang mantap akupun segera munculkan diri.
"Ternyata kakek berambut putih itu memiliki ketajaman mata dan pendengaran yang luar biasa,
baru saja ayah melangkah keluar ia sudah mengetahui jejakku, sorot matanya yang tajam segera
dialihkan ke wajahku, "Ayah mengerti, setelah ku intip rahasianya niscaya kakek itu tak akan
berdiam diri begitu saja, cepat-cepat ku himpun tenaga dalamku sambil bersiap sedia melakukan
perlawanan. Siapa tahu kakek itu hanya memandang sekejap ke arah ku dengan wajah tertegun, lalu
setelah celingukan sekejap ke sekeliling tempat itu, tiba-tiba tanyanya. "Kau datang dari mana"-"
"Aku datang dari alam semesta!" jawab ayah.


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu segera berkerut kening dan menegur lagi dengan suara dingin.
"Kau anak murid siapa dan mau apa menghantar kematian kemari?" Ayah menyahut.
"Aku murid siapa bukan urusanmu kalau memang kau berkemampuan, silahkan menghajar
diriku lebih dulu. Waktu itu ayah menganggap dia orang jahat sehingga kata-kataku sama sekali
tidak bersungkan-sungkan"
Ketika kakek itu melihat kekerasan kepalaku, sekali lagi dia amati ayah dari atas hingga ke
bawah, sejenak kemudian dia baru berkata:
"Bila kulihat dari paras mukamu yang bersih dan cerah, jelas kau tak bernasib tragis, tapi buat
datang kemari" Apakah tidak kau lihat tumpukan tulang belulang yang berserakan di depan sana
?" Ketika ayah menjumpai kakek itu berwajah saleh, lembut dan tidak mirip orang jahat, tanpa
terasa nada suaraku juga ikut berubah menjadi lebih lembut, segera sahutnya.
"Bukankah Locianpwe juga datang ke mari" Terdorong oleh rasa ingin tahu setelah mendengar
cerita penduduk setempat di sepanjang jalan Boanpwe sengaja datang pula ke lembah Nirmala ini
untuk melakukan penyelidikan."
"Apakah kau tidak takut mati?" tanya si kakek itu lagi dengan wajah serius.
"Jangan lagi didalam dada Boanpwe tidak terlintas ingatan, "Takut," sekalipun aku pengecut
yang takut matipun saat ini tidak berharapan lagi untuk pulang dengan selamat." sahut ayah
segera. Kakek itu menjadi tertegun dan segera bertanya:
"Apakah kau telah meraba emas itu?"
Ayah tersenyum dan manggut-manggut membenarkan.
Tiba-tiba kakek itu menghela napas sambil berkata:
"Aaaai... anak muda, kau masih muda dan gagah perkasa, mengapa sih tidak mencari
kesenangan hidup ditempat lain, sebaliknya justru bilang kemari untuk menghantar nyawa ?"
Satu ingatan segera melintas dalam benak ayah setelah melihat orang itu meski menegur
namun wajahnya yang penuh welas kasih justru mencerminkan rasa kuatir dan menaruh perhatian
yang serius, kataku kemudian.
"Berhubung situasi telah berkembang menjadi begini, Boanpwe pun tak ingin pulang aku hanya
berharap bisa menggunakan selembar jiwaku yang berharga ini sebagai taruhan untuk
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang aneh ditempat ini."
"Baiklah" kata kakek itu kemudian sambil menghela napas, "Kalau toh kau tidak takut mati
akupun akan membiarkan kau mati dengan perasaan puas..."
Ketika berbicara sampai di situ, kakek itu kembali menarik napas panjang-panjang, kemudian
setelah mencoba mempertahankan tubuhnya yang gontai, ia berkata lagi.
"Setelah selesai mengucapkan perkataan itu kakek berambut putih itupun mengajak aku
menuju ke daerah yang lebih dalam lagi dari Lembah Nirmala. sepanjang jalan kujumpai banyak
ruang gua yang berserakan. kabut tipis menyelimuti permukaan tanah. kendatipun sinar rembulan
bersinar redup namun susah untuk melihat pemandangan sejauh lima kaki sepanjang jalan yang
kami telusuri hanya jalan setapak yang serta suara memercik air yang lirih, selain itu hanya
bayangan punggung si kakek yang kulihat di depan mata.
"Dalam perjalanan itu, tiba-tiba si kakek berpaling seraya berpesan:
"Anak muda. Kau harus mengingat baik-baik, kejadian aneh macam apapun yang kau jumpai
nanti, jangan sekali-kali kau bersuara, kalau tidak maka kau akan mampus sebelum sempat
melihat apapun.." Biarpun ayah merasa keheranan, namun ayah tak ingin banyak berbicara pula, maka setelah
mengiakan, ku ikuti terus perjalanannya.
Tak selang berapa saat kemudian, ayah mendengar banyak sekali suara rintihan yang
memilukan hati. suara rintihan tersebut bergema tiada putusnya dan hampir semuanya
mengandung hawa murni yang sangat kuat, boleh dibilang kesempurnaan tenaga dalam orang
yang merintih itu jarang ditemui dalam dunia persilatan.
Waktu itu ayah sangat terkejut bercampur keheranan tapi karena teringat akan pesan kakek
berambut putih itu, aku tak berani bersuara, hanya kucoba untuk menentukan sumber dari suara
rintihan tersebut. Akhirnya aku berhasil menemukan sumber dari suara rintihan itu, ternyata gua suara tadi
berasal dari balik gua-gua yang berserakan di sepanjang jalan, rasa ingin tahu segera menyelimuti
perasaanku, tanpa sepengetahuan kakek tadi diam-diam ku intip gua-gua itu, Tapi.. begitu ku
intip, hatiku menjadi amat terperanjat. ternyata dibalik gua kecil yang gelap itu muncul sorot mata
yang tajam bagaikan sembilu sedang mengawasi wajahku lekat-lekat, dengan hati terkesiap cepatcepat
kutarik diri dan balik ke jalan setapak, Tapi dengan kejadian itu pula, aku jadi tahu bahwa
dibalik goa-gua kecil yang mirip itu sebetulnya terkurung seseorang, biarpun ayah belum sempat
menyaksikan kepandaian silat mereka, namun dari sorot mata yang tajam dapat kuketahui bahwa
salah seorang saja diantara mereda sudah cukup menggoncangkan seluruh dunia persilatan.
Si bocah yang asyik mendengarkan kisah tersebut tiba-tiba menyela.
"Mengapa mereka bersembunyi dibalik gua kecil yang gelap sambil berkeluh kesah?"
"Soal ini tidak kuketahui, sudahlah kau jangan menyela dulu, dengarkan kisah ayah sampai
habis dulu, kalau tidak, ayah kuatir tak sempat lagi menuturkan kisah tersebut hingga selesai"
Bocah itu segera menutup mulutnya kembali, ia tahu kisah cerita ayahnya sekarang
berpengaruh besar bagi pengembaraannya dalam dunia persilatan di kemudian hari, Kembali
kakek itu berkata: "Tampaknya semua perhatian kakek itu sedang tertuju ke suatu tempat tertentu sehingga dia
tak tahu kalau aku telah mengintip gua-gua kecil di sepanjang jalan.
Selang beberapa saat kemudian kami telah melewati jalanan setapak itu dan tiba di depan
sebuah kolam yang luas dengan teratai tumbuh subur dalam kolam, rumput nan hijau, aneka
bunga yang harum semerbak membuat pemandangan alam di situ kelihatan sangat indah, ayah
yang belum pernah menyaksikan pemandangan semacam ini kontan saja jadi lupa daratan dan
menikmatinya dengan termangu."
Tempat dimana ayah berdiri tidak lain merupakan depan sebuah gua terakhir, sementara aku
masih memandang terpesona, mendadak terdengar seseorang menegurku:
"Hey anak muda, apakah kau datang dari alam semesta " "
Ayah terkejut dan segera mendongakkan kepala namun selain si kakek tadi yang sedang
mencuci kaki", di sekeliling tempat itu tidak kujumpai orang ke dua.
Sementara aku masih diliputi perasaan kaget bercampur keheranan, terdengar suara tadi
bergema lagi: "Hey anak muda, benarkah kau datang dari alam semesta ?"
Saat itu ayah benar-benar merasa terkejut bercampur bingung. Pikirku kalau bukan datang dari
alam semesta, memang ayah datang dari neraka" Lalu pikirku lebih lanjut. tempat ini
sesungguhnya masih berada di alam semesta, Mengapa orang itu justru mengucapkan perkataan
itu, Mungkinkah dia adalah roh halus atau sukma gentayangan" Makin dibayangkan aku merasa
semakin takut, namun teringat dengan pesan si kakek berambut putih tadi, terpaksa aku hanya
mengangguk sebagai pertanda mengiakan.
Maka suara orang itupun kembali bergema.
"Kau tak usah takut anak muda, aku dengan ilmu menyampaikan suara dengan kau tak melihat
wajahku, Eeei!!!. Bila kulihat dari ilmu langkahmu, sudah jelas gerakan tersebut merupakan ilmu
meringankan tubuh Jit seng san hoat dari Ang gwat it-kiam, apakah kau adalah muridnya Ang
gwat it kiam?" Ayah semakin terperanjat, orang itu bisa menyampaikan semua perkataannya ke dalam
telingaku dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara. hal ini membuktikan kalau tenaga
dalam yang dimilikinya amat sempurna, yang lebih mengherankan lagi adalah dia mengetahui
nama guruku, ini yang membuatku amat tercengang.
Terdorong oleh perasaan heran dan ingin tahu, hampir saja aku membuka suara untuk
bertanya, tapi suara tersebut cepat-cepat mencegahku.
"Ssst, jangan bersuara atau kau akan melanggar pantangan yang berlaku dalam lembab ini,
akibatnya kati bisa digigitkan berpuluh ribu ekor ular beracun sampai mati"
Sementara ayah merasa kaget sampai tak mampu bersuara, suara tadi kembali berkumandang.
"Anak muda, kau tak perlu berpikir yang bukan-bukan, dari hubunganmu dengan Ang gwat it
kiam berarti antara kau dengan akupun terjalin pula hubungan yang cukup erat. Atas dasar
hubungan ini aku rela mempertaruhkan selembar jiwaku untuk melepaskan budi, kepadamu
jangan bergerak du1u. Dengarkan semua keteranganku.
Setelah berhenti sejenak, suara itu bergema lagi.
"Ikutilah semua petunjukku dalam tindak tandukmu selanjutnya, dengan berbuat demikian
mungkin kau masih punya harapan untuk hidup terus, ingat baik-baik bila kau bertemu dengan
seorang gadis cantik jelita bak bidadari yang mengutarakan rasa cintanya kepadamu, jangan sekali
kali kau layani dirinya biarpun gadis itu memang cantik jelita dan memiliki daya pikat yang luar
biasa sehingga siapa saja yang memandang sekejap ke arahnya, tentu akan dibuat tidak mampu
mengendalikan diri. Belum habis keterangan tersebut diberikan kakek berambut putih yang menjadi petunjuk
jalannya telah memberi tanda agar perjalanan dilanjutkan.
Saat itulah satu ingatan melintas dalam benak ayah cepat-cepat ku alihkan sorot mataku ke
arah lain dan berlagak seperti terpesona sehingga tidak melihat ajaknya padahal hatiku amat
gelisah karena keterangan dari orang yang memberi petunjuk dengan ilmu menyampaikan suara
itu belum selesai diutarakan .
Agaknya orang itupun amat gelisah, keterangan yang disampaikan bertambah cepat, katanya
lebih jauh. "Kau mesti perhatikan baik-baik anak muda, bila menghadapi keadaan seperti ini, usahakan
untuk menggigit lidahmu keras-keras kemudian meludahi wajah gadis cantik itu sambil berlagak
mengumpatnya dengan kata-kata menghina.
"Hmm, perempuan rendah yang tidak tahu malu, mengapa tidak bercermin dulu untuk melihat
betapa jeleknya tampangmu itu, huuuh, apa gunanya kau memikat diriku" Hmmm !"
Andaikata perempuan cantik itu menamparmu keras-keras bahkan memakimu dengan
mempergunakan kata-kata yang kotor dan tak sedap didengar, maka kau pun harus balas
menamparnya serta menggunakan rangkaian kata paling jelek untuk mencemooh raut wajahnya,
dengan berbuat demikian mungkin kau masih ada harapan untuk hidup, sebaliknya bila kau tak
mampu mengendalikan tujuh perasaan dan enam napsu, terutama sekali terpengaruh oleh
"kecantikan" dan belas kasihan hingga sorot matamu memancarkan rasa cinta dan kasihan
akibatnya benar-benar mengerikan bagimu, aaaai mungkin nasibmu akan seperti kami semua."
perkataan orang itu mengandung kesedihan dan rasa sesal yang tak terhingga sehingga membuat
hati ayah turut beriba...
Tak selang berapa saat kemudian terdengar suara itu kembali berkumandang. "Nah pergilah
anak muda, sudah tiga puluh tahun aku belajar silat namun gagal mengendalikan tujuh perasaan
enam napsu sehingga harus mengalami kehidupan tersiksa yang begini mengerikan dalam neraka
dunia. aaaai, manusia bukan manusia, anjing bukan anjing, pada hakekatnya kami dijadikan
sebagai kerbau dan kuda perahan, beginilah akhir dari sejarah kehidupan..."
Rintihan dan keluhan yang begitu menggelitik perasaan, membuat ayah tak mampu menahan
emosi lagi hingga titik air mata tanpa terasa jatuh berlinang...
Tiba-tiba saja suara orang itu berobah menjadi periang kembali, katanya lebih jauh.
"Rupanya kau si anak muda adalah seorang yang berperasaan kalau begitu aku tak menyesal
untuk mati bagimu, haaahhh.. haaahh... kehidupan manusia memang ibaratnya sebuah impian,
disaat telah mendusin apa lagi yang perlu disesalkan" Haaah . . . haaah . . . berangkatlah bila kau
memang bernasib baik dan diberi umur panjang, setelah bertemu dengan suhu hidung kerbau mu,
sampaikan saja kepadanya.
Biau-biau-cu dari Tiong-lam san yang telah menolong selembar jiwa muridnya, akan kulihat
bagaimana caranya membalas budi kepadaku di alam baka nanti."
Ayah tidak mengetahui siapakah Biau biao-cu itu, namun secara lamat-lamat dapat kurasakan
bahwa Biau-biau cu adalah, seorang tokoh silat yang berjiwa besar, tanpa terasa air mataku
kembali berlinang setelah mendengar perkataan ini.
Dalam pada itu si kakek berambut putih yang menjadi petunjuk jalanku tadi sudah tak sabar
lagi menunggu. dia menghampiriku dengan cepat lalu mencengkeram bajuku dan di bawa lari.
Ayah hanya merasa angin berdesing tajam di sisi telinga membuat wajahku sakit bagaikan disayat,
aku tak mengerti mengapa kawan jago aneh yang berilmu tinggi ini bisa disekap semua di sana,
tapi bisa kuduga orang yang berhasil menyekap mereka pastilah seorang siluman iblis yang luar
biasa hebatnya. Sementara pikiran masih melintas, tiba-tiba terdengar kakek berseru kalau sudah tiba di tempat
tujuan, ketika aku mencoba untuk memperhatikan keadaan disekitar itu nyatalah bahwa tempat
itu berpemandangan alam lebih indah, pepohonan yang rimbun, aneka bunga yang berbau
semerbak mengingatkan orang pada sorga loka yang sering dilukiskan orang lain tanpa terasa
kembali ayah menghirup napas panjang.
Aneka bunga yang lebat mengitari sebuah bangunan besar berwarna kuning, semua perabot
dalam gedung tadi hampir seluruhnya terbuat dari bahan kayu pilihan, terutama sekali sebuah
hiolo kemala yang terletak di sudut meja dalam ruangan, terbuat diri batu kemala hijau yang
bening dan tembus pandangan entah berapa nilainya di pasaran bebas.
Asap dupa mengepul lembut dari balik hiolo memercikkan bau harum yang lembut,
kesemuanya ini menghilangkan kesan buruk bagi siapapun yang memandang, bahkan memberikan
perasaan kerasan terutama bagi para jago persilatan yang sudah terlalu sibuk dengan masalah
dunia persilatan. Waktu itu mendadak kakek berambut putih tadi menunjukkan sikap yang sangat menaruh
hormat. dengan suara lirih ia berpesan, "Anak muda, Jangan sekali-kali berbicara, kejadian aneh
macam apapun yang bakal kau temui bertingkahlah seakan-akan tidak menaruh perhatian, kalau
tidak maka saat ajalmu segera akan tiba."
Ayah menjadi merinding dan menghembuskan napas dingin setelah mendengar perkataan
tersebut. Dalam pada itu si kakek telah bertekuk lutut dan menyembah ke arah ruang tengah berwarna
emas itu sambil berkata dengan penuh rasa hormat.
"Tecu Ing Goan san menantikan kehadiran dewi!" Mendengar perkataan ini ayah-pun segera
berpikir: "Dewi apaan itu" Masa didalam Lembah Nirmala benar terdapat seorang dewi ?"
Sementara ayah masih dicekam rasa heran dan ingin tahu, tiba-tiba terdengar suara tertawa
merdu bergema dari balik ruangan menyusul kemudian terdengar seorang gadis berkata dengan
nada suara yang merdu merayu bagaikan kicauan burung nuri.
"Dewi sudah mengetahui maksudmu mengingat kau berwatak jujur dan berhati lurus, kita sama
sekali tidak memikirkan kepentingan pribadi maka pelaksanaan di undur tiga hari kemudian nah
bangunlah dan ajak masuk bocah cilik yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi itu"
Cepat-cepat kakek itu menyahut: "Hamba berterima kasih sekali atas budi kebaikan dari dewi."
Sekalipun perkataannya penuh dengan nada terima kasih, namun paras mukanya sama sekali
tidak menampilkan perasaan tersebut, malah sebaliknya justru memancarkan rasa benci dan
dendam yang amat tebal, seakan-akan dia mendendam dan gusar namun tak berani
mengutarakannya keluar. Sebelum ayah sempat berpikir lebih jauh tubuhku telan diangkat oleh kakek itu dan bagaikan
menenteng sebuah benda saja tubuh ayah langsung digotong ke dalam ruangan.
Sesampainya dalam ruangan ayah mencoba untuk memperhatikan keadaan disekitar sana kau
tahu, ternyata ruangan tersebut gemerlapan penuh dengan kilauan cahaya emas yang berwarna
kuning, kiranya setiap benda dan perabot yang berada di sana terbuat dari emas murni, tak heran
kalau ayah pun mulai curiga dan berpikir darimana si dewi itu peroleh harta karun sebesar ini...
Berbicara sampai di situ, si kakek segera bangkit dan meluruskan duduknya, lalu dengan sorot
mata memancarkan serentetan cahaya cinta yang aneh, ia menghela napas serta melanjutkan
kisahnya. "Di dalam ruangan itu berdirilah empat orang gadis berbaju hijau, mereka berparas cantik jelita,
berkulit tubuh putih bersih dan berdiri di sisi ruangan dengan sikap yang lembut, sementara
didekat jendela duduk seorang gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan. ia
mengenakan pakaian putih bersih bagaikan salju memiliki sepasang mata yang jeli, sebaris gigi
yang putih bersih dan rata, hidung yang mancung, bibir yang kecil mungil serta kulit tubuh yang
putih bersih bersemu merah terutama sepasang lesung pipitnya yang begitu menawan,
perempuan tersebut hampir boleh dibilang memiliki kecantikan daripada kecantikan seluruh
perempuan tercantik di dunia yang digabungkan menjadi satu, anehnya lagi kecantikan
perempuan itu begitu wajar, sedikitpun, tidak nampak aneh sehingga membuat orang bagaikan
berada dalam alam impian serta melihat bidadari yang baru turun dari kahyangan"
Kembali kakek itu menghela napas panjang, melihat bocah itu mendengarkan kisahnya dengan
asyik sambil tersenyum terusnya.
"Di sisi gadis itu duduk seorang bocah kecil berusia enam-tujuh tahun. raut wajah bocah
perempuan itu persis seperti wajah sang "Dewi" atau tidak dibilang bagaikan pinang dibelah dua,
dia berwajah mungil dan manis biarpun masih kecil namun memiliki daya pikat yang luar biasa,
kesemuanya ini membuat ayah menjadi tertegun dan termangu-mangu dibuatnya.
"Tapi begitu teringat dengan pesan dari Biau biau cu. ayah menjadi terkesiap dan cepat-cepat
menarik kembali sorot mataku yang penuh dengan perasaan cinta ini sambil berpaling ke arah lain
padahal hatiku berdebar amat keras. Waktu itu sementara benakku penuh diliputi oleh bayangan
wajah si nona berbaju putih yang cantik jelita bak bidadari dan kahyangan itu..."
Si bocah menjadi amat gelisah setelah mendengar sampai di situ, cepat, selanya:
"Ayah mengapa kau tak dapat melenyapkan napsu dari hatimu" Bukankah hal ini merugikan
bagimu seperti apa yang telah di katakan Biau biau cu locianpwe ?"
Kakek itu tersenyum. Sahutnya:
"Selama mengembara didalam dunia persilatan ayah sudah menemui banyak kejadian besar
maupun kecil tapi tak satupun yang patut dibanggakan hmm! Tapi dalam hal ini ayah justru
merasa amat bangga saban kali disaat aku sedang putus asa. bila terbayang kembali kejadian ini
maka semangat ayah segera berkobar kembali."
Berbicara sampai di situ diapun segera berhenti sejenak, agaknya orang tua ini merasa rikuh
untuk menyombongkan diri di hadapan putranya, karena itu ujarnya lagi:
"Sebenarnya ayah sudah mulai terpikat oleh kecantikan wajahnya untunglah disaat yang kritis
ayah teringat kembali dengan pesan kakek dimasa lalu yang pernah berkata begini. Bagi
seseorang yang belajar ilmu maka mengendalikan perasaan merupakan kunci utama, apabila
mengendalikan perasaan saja tak mampu dilakukan apalagi untuk belajar ilmu "."
"Begitu ajaran tersebut melintas lewat pikiran ayah segera menjadi tenang kembali diam-diam
kusalurkan hawa murniku untuk melindungi seluruh badan serta mengusir semua godaan napsu
yang mulai menyerang tiba, dengan dasar ilmu tenaga dalam yang ayah pelajari, dalam waktu
singkat pikiranku menjadi tenang kembali, kubayangkan perempuan cantik yang berada di
hadapan mata bagaikan tengkorak yang berwajah mengerikan cukup membetot sukma, namun
ayah tak pernah berkedip barang sedikitpun jua.
Melihat putranya menunjukkan perasaan kagum dan hormat kakek itu tersenyum dan berkata
lebih jauh. "Belum lama setelah kakek petunjuk jalan tadi mengundurkan diri, gadis cantik berbaju putih
itu telah datang mendekati ku sambil menegur:
"Hey, mengapa sih kau tak menggubrisku" Waah gaya mu sok amat..."


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayah masih teringat selalu dengan pesan, "Biau biau-cu, karena itu segera jawabku ketus:
"Kalau mau sok lantas kenapa" Kau tak usah cerewet terus menerus. ada urusan apa sih kau
mengundangku kemari" Ayoh cepat sampaikan aku sudah tak sabar menanti!"
Paras muka nona berbaju putih itu segera berobah tapi sekejap kemudian telah putih kembali
seperti sedia kala, malahan sambil tersenyum ibarat sekuntum bunga segar baru mekar dia
berkata lagi: "Oooh lagakmu memang amat besar ya, hal ini memang tak bisa disalahkan seseorang yang
bernama semakin besar biasanya memang lagaknya makin besar pula kau masih muda, tampan
dan berilmu tinggi, tentu saja tak terlepas dari kebiasaan tersebut."
Ayah sebagai seorang jagoan yang baru turun ke dunia persilatan seperti halnya dengan kaum
muda lain, Biar tidak takut langit tidak takut bumi tapi paling takut kalau disanjung orang, apalagi
yang menyanjung adalah seorang perempuan cantik yang tiada taranya di dunia ini. Saking
senangnya mendengar sanjungan tersebut pertahanan ayah menjadi buyar apalagi setelah
mengendus bau harum dari tubuh nona itu di tambah lagi memandang wajah si nona yang begitu
cantik, gelombang napsu yang secara bertubi-tubi lambat laun membuat ayah tak sanggup
mengendalikan ke tujuh perasaan dan ke enam napsu ku.
Di saat yang amat kritis inilah, mendadak kudengar suara bentakan menggeledek bergema
datang: "Bocah muda, kau memang tak becus. patut mampus. patut mampus.." Bentakan menggeledek
ini segera menyadarkan kembali ayah dari pengaruh napsu, peluh dingin segera bercucuran
membasahi sekujur tubuh berkerut kening dengan napsu membunuh menyelimuti seluruh
wajahnya, sikap tersebut kontan saja membuat ayah menjadi terkesiap dan bergidik, aku tak
berani lagi memikirkan yang bukan-bukan."
Tiba-tiba nada suara kakek itu berubah menjadi sedih dan murung, rasa sesal tercermin di atas
wajahnya, lama setelah termenung dia baru melanjutkan kembali kisahnya.
"Kulihat nona cantik berbaju putih itu segera memberi tanda kepada ke empat orang
dayangnya yang cantik itu sambil berkata. "Biau-biau-cu telah melanggar pantanganku, hadiahkan
pedang pemutus nyawa baginya!"
Ke empat dayang itu segera menyahut dan beranjak pergi, ayah saksikan salah seorang
diantaranya membawa sebilah pedang yang gemerlapan. sadarlah ayah, gara-gara ingin
menyelamatkan jiwa ayah, Bia biau-cu telah mengorbankan selembar jiwanya.
Ayah menjadi gusar setali, sambit membentak keras kugunakan segenap kekuatan yang
kumiliki untuk menyerang nona tersebut, dalam anggapanku dalam sekali ayunan tangan niscaya
nona berbaju putih itu dapat kurubuhkan.
Siapa tahu belum lagi seranganku tiba dan belum lagi tenagaku dipancarkan, tahu-tahu
lenganku ini sudah kena di cengkeram oleh nona berbaju putih itu entah dengan gerakan apa.
Ayah mencoba untuk meronta, dan berusaha melepaskan diri tapi usahaku ini sia-sia belaka
maka ayahpun segera memakinya kalang kabut.
Siluman iblis perempuan jelek tak ku nyana kau bercokol di lembah Nirmala hanya bermaksud
untuk melakukan tindak kejahatan yang tak berperikemanusiaan, hmm, suatu ketika kau pasti
akan menerima pula pembalasan yang setimpal."
Dengan kening berkerut nona cantik berbaju putih itu segera melepaskan cekalannya lalu
bertanya dengan wajah tertegun.
"Kau menyebutku sebagai apa ?"
Tanpa berpikir panjang ayah segera memaki dengan gusar:
"Kau adalah siluman perempuan, mau apa kau ?"
"Aku adalah siluman" Jelekkah wajahku?" tanya nona berbaju putih itu ragu-ragu.
"Tentu saja kau jelek bagaikan siluman" sahut ayah "hmm, kau mengira wajahmu cantik
bukan" Huuuh padahal dalam pandanganku, kau mempunyai wajah yang lebih jelek daripada
perempuan manapun. kalau tak percaya periksalah dirimu Hmm sudah jelek tak tahu diri !"
Oleh makian ayah yang bertubi-tubi itu si nona menjadi kebingungan dan berdiri melongo, dia
tak tahu apakah wajahnya benar jelek seperti apa yang ayah katakan, maka cepat-cepat ia
mengambil cermin untuk bercermin setelah itu baru katanya lagi.
"Sungguh aneh, mengapa aku tidak merasa kalau wajahku jelek ?"
Ayah beranggapan bahwa bagaimanapun juga toh jiwaku akan melayang, mengapa harus
berbelas kasihan lagi kepadanya karena itu aku pun berseru lagi dengan lantang.
"Tentu saja kau tak akan merasa kalau wajahmu jelek, tak ada manusia di dunia ini yang
mengatakan dirinya jelek hmm. kalau kubilang kau sudah jelek masih tak tahu diri. Rasanya
perkataan ini memang tepat sekali."
Paras muka gadis yang berbaju putih itu berubah sangat hebat sekali. Tiba-tiba saja dia
merintih, tubuhnya membungkuk dengan penuh penderitaan saat itu ayahpun merasa tindakanku
kelewat batas sehingga membuat seorang gadis yang begitu cantik harus menderita gara-gara
dilukiskan terlalu jelek, baru saja aku hendak menghiburnya, tiba-tiba kulihat gadis berbaju putih
itu berkerut kening, hawa napsu membunuhpun segera menyelimuti seluruh wajahnya
Sadar kalau kematian tidak akan lolos, tak urung ayah mandi keringat dingin juga, sebab hawa
napsu membunuh yang menyelimuti wajahnya itu benar-benar sangat tebal. andaikata wajahnya
tidak cantik bagaikan bidadari yang baru turun dari kahyangan pada hakekatnya dia mirip sekali
dengan seorang perampok yang membunuh orang tanpa berkedip......
Tanpa mengucapkan sepatah katapun si nona berbaju putih itu melepaskan tiga buah pukulan
secara beruntun semua serangannya dilancarkan dengan cepat dan begitu ganas jangan lagi
menghindarkan diri, bahkan kelopak mata ayah belum sempat berkedip, sekujur, badanku sudah
terasa panas sesak bagaikan dibakar di atas api, sedemikian panasnya sehingga kalau bisa aku
ingin terjun ke dalam gudang es yang paling dingin untuk melenyapkan hawa kering dan panas
yang membara. Aku merintih dan mengeluh kesakitan, tapi nona berbaju putih itu hanya tertawa
dingin tiada hentinya "Sorot matanya yang dingin dan matanya yang melotot besar# mengawasi
diriku tanpa berkedip seolah-olah penderitaan yang ku alami justru merupakan obat pelipur lara
baginya. Setelah tersiksa hampir setengah jam lamanya, aku mulai tak sanggup menahan diri tapi nona
berbaju putih itu tetap membungkam dalam seribu bahasa. ditatapnya keadaanku yang
mengenaskan dengan pandangan dingin, tentu saja aku menjadi amat membencinya dan kalau
bisa ingin membunuhnya dengan sekali pukulan..
Tapi apa daya kalau aku tak berkemampuan sebesar itu. Bukan begitu saja, bahkan
penderitaan dan siksaan yang ku derita pun tak dapat ku hapuskan dengan begitu saja.
Pada akhirnya nona berbaju putih itu seperti sudah tak sabar lagi, ia bertanya dengan suara
dingin: "Ayo cepat kau jawab, aku jelek tidak?""
Aku sadar, berbicara terus terangnya sama saja akan berakibat kematian bagiku, daripada
membuatnya senang, apa salahnya kalau membuat siluman perempuan itu justru menderita untuk
selamanya. Oleh sebab itu sambil menahan siksaan dan penderitaan aku kembali mengumpat:
"Kau jelek, kau jelek sekali. sedemikian jeleknya sehingga tampangmu kelihatan lebih jelek
daripada perempuan terjelek di dunia sekalipun."
Sekali lagi nona berbaju putih itu membungkukkan tubuhnya lantaran menderita.
Kulihat air matanya hampir saja jatuh berlinang, tapi perasaanku waktu itu justru gembira dan
lega, begitu gembiranya sehingga tak terlukiskan dengan kata-kata, dengan geram ku ejek lagi:
"Manusia semacam kau sesungguhnya tak lebih cuma seekor ulat kecil yang patut dikasihani,
mana wajahnya sudah jelek, sekarang diejek pula sebagai si jelek..... haaah haaah.,. . . haaah..."
Dengan gusar nona berbaju putih itu melotot besar dan menatap wajahku tanpa berkedip, dari
balik matanya yang jeli memancar keluar dua rentetan sinar tajam bagaikan sembilu, begitu
seramnya sorot mata tersebut membuat tubuhku menggigil dan tak mampu meneruskan
perkataan lagi. Selang beberapa saat kemudian, kudengar dia berseru pula dengan penuh amarah.
"Baiklah kau memakiku jelek, memakiku sebagai perempuan terjelek di dunia ini. maka akupun
akan menggunakan siksaan yang paling keji di dunia ini untuk menghadapimu akan kucongkel
keluar sepasang biji matamu, kupotong kaki dan lenganmu kubetoti semua otot-otot tubuhmu
kemudian menggantungmu di atas pohon biar beribu ekor ular menggeragoti dagingmu menyayati
kulitmu dan menggigit hatimu, coba kulihat apakah kau masih mengatakan aku jelek"
"Waktu itu ayah menjadi semakin geram, dengan amarah yang meluap-luap kembali aku
memaki: "Benar-benar tidak kusangka bukan cuma wajahmu yang jelek, ternyata hatimu juga amat
busuk, Tak usah kuatir silahkan turun silahkan turun tangan untuk menyiksaku, suatu hari kau
sendiripun akan dicincang oleh kaum jago dari kalangan lurus sehingga hancur berkeping-keping."
Nona cantik berbaju putih itu mendengus, "Hmm, aku tak percaya kalau ilmu silat yang dimiliki
para jago dunia bisa jauh lebih hebat dari padaku hmm, setelah mendengar perkataanmu itu, aku
jadi tak berhasrat untuk berdiam lebih lama lagi dalam lembah ini, kaupun tak usah menguatirkan
tentang keselamatan para gentong nasi kaum jago dunia persilatan Dewimu masih mampu untuk
mengirim mereka satu persatu pulang ke rumah nenek nya."
Begitu kudengar perkataan itu, ayah jadi kaget dan sadar, gara-gara perkataanku itu bisa jadi
para jago dunia persilatan harus menanggung akibatnya, maka dengan perasaan geram kembali
aku memaki. "Bila kau memang bukan dilahirkan manusia. lakukanlah seperti apa yang kau katakan. saya
memang tak mampu menghalangimu, tapi bila kau merasa bahwa dirimu dilahirkan oleh manusia,
hmm,... " Nona cantik berbaju putih itu segera tertegun setelah mendengar perkataan ini segera
gumamnya. "Aku adalah dewi aku adalah dewi... dewi yang memegang kekuasaan terhadap kehidupan
manusia di dunia ini siapa bilang aku tak boleh membunuh, omong kosong.?"
Agaknya makin dipikir nona cantik berbaju putih itu merasa semakin mendongkol dia segera
memerintahkan orang untuk melemparkan ayah ke dalam sarang ular beracun.
Di saat yang paling kritis itulah, tiba-tiba terdengar nona cilik itu berseru keras:
"Ibu, jangan kau bunuh orang itu dia bukan orang jahat, lepaskan dia anak Jin tak berani
melihat, oooh ibu, lepaskan dia"
Biarpun gadis cilik itu masih berusia muda, namun suaranya justru amat merdu bagaikan
burung nuri yang sedang berkicau pada hakekatnya tidak berbeda dengan ibunya. Nona cantik
berbaju putih itu kelihatan tertegun, lalu menyahut.
"Anak Jin. kau tak boleh mencampuri urusan ini. orang tersebut sangat jahat, aku harus
membinasakannya !" Tiba-tiba nona kecil yang bernama anak Jin itu mengucurkan air mata dari balik kelopak
matanya yang besar, sambil menggoyang-goyangkan lengan ibunya dia berseru lagi:
"lbu kalau kau membunuhnya, anak Jin tak akan berbicara lagi denganmu..."
Biarpun nona itu masih kecil tetapi wataknya justru berbeda dengan ibunya dibalik wajahnya
yang polos dan suci terpancar sinar kelembutan, aku yakin dia tentu seorang gadis yang penuh
berwelas kasih, Kembali nona berbaju putih itu tertegun, dia mengerling sekejap ke arah nona
kecil itu, kemudian termenung dengan wajah serius tampaknya dia sedang mempertimbangkan
persoalan itu tapi dilihat dari mimik mukanya, ayah dapat melihat bahwa dia amat sayang pada
siona kecil itu bahkan rasa sayangnya tak terlukiskan dengan kata-kata.
Selang beberapa saat kemudian, dia baru berkata dengan nada sedih:
"Baiklah, ibu mengabulkan permintaan mu !"
Nona kecil itu segera bertepuk tangan kegirangan, sedang selembar jiwa ayahpun berhasil
diselamatkan oleh nona kecil itu..."
Sampai di sini, kakek itu mengawasi sekejap wajah putranya, lalu dengan wajah bersungguhsungguh
dia berkata: "Kebaikan hati nona kecil itu tak terlukiskan dengan kata-kata, anak Sia. bila di hitung, maka
usianya sekarang tidak jauh dengan usiamu andaikata suatu hari kau bertemu dengan seorang
gadis macam begini di dalam dunia persilatan maka kau mesti bersikap baik kepadanya, kau tak
boleh membuatnya menderita atau sakit hati daripada arwah ayah dialam baka tidak peroleh
ketenangan." Bocah itu segera manggut-manggut sahutnya, "Ayah tak usah kuatir, anak Sia tentu akan
mengingatnya selalu didalam hati"
Kemudian katanya lagi. "Bagaimana kemudian dengan cara apakah ayah berhasil meninggalkan perempuan keji itu ?"
Setelah tertawa kecil kakek itu berkata, "Setelah membebaskan jalan darahku yang tertotok
agaknya nona cantik berbaju putih itu melihat lenganku berubah menjadi hitam maka setelah
mendengus dingin diapun memberi sebutir pil penawar racun kepada ayah.
"Sebelum pergi meninggalkan tempat untuk mencegah agar ayah tidak membocorkan rahasia
ini ditempat luaran, diapun memerintahkan salah seorang diantara tempat dayangnya yang
berparas cantik, Cing soat untuk menjadi istriku!"
"Oooh, dia adalah ibuku" teriak bocah itu keras-keras.
Nada suaranya penuh dengan rasa rindu cinta, sebab sejak dilahirkan di dunia ini dia memang
tidak berkesempatan menjumpai ibunya itu.
Tatkala melahirkan dia, Cing soat mengalami pendarahan sehingga menyebabkan jiwanya tak
tertolong lagi. Dengan sedih kakek itu berkata.
"Ya benar. Cing soat adalah ibu kandungmu, sebetulnya ayah tak mau namun akhirnya tak
kuasa menahan desakan dari bocah perempuan yang bernama "anak Jin" itli akhirnya ayahpun
mengabulkan. Mula-mula ibumu masih saja menguasai setiap gerak gerikku dengan penuh curiga tapi sejak
dia berbadan dua, apalagi setelah benihmu berada dalam rahimnya, semua pengawasannya makin
mengendor ia bersungguh-sungguh hidup sebagai suami istri yang berbahagia dengan ayah, siapa
tahu kebahagiaan ini tidak berlangsung lama, ditengah malam yang hening dia telah berpulang ke
alam baka setelah melahirkan kau, aaai . .. Membayangkan kembali kasih sayang serta semua
kenangan manis disaat mereka masih hidup dengan bahagia, kakek itu tak mampu menahan rasa
pedihnya lagi, air matanya berceceran dengan deras sementara wajahnya nampak lebih pedih dan
murung. Tiba-tiba ia berpekik dengan penuh emosi, semua perasaannya yang terkekang selama ini
dilampiaskan keluar semua, dia seperti lupa kalau dia adalah seorang yang hampir mati. Sampai
akhirnya semua tenaganya terkuras dan hawa darahnya bergejolak amat keras, darah segar
segera menyembur keluar dari mulutnya dengan suara terbata-bata katanya lagi:
"Anak Sia. inilah tugasmu yang ketiga... rahasia besar yang menyelimuti semua penghuni gua
tersebut tak mungkin dapat ayah bongkar... hanya kau.. kau .. anak ayah yang tersayang, dalam
darahmu mengalir darah warisan dari leluhur nan yang anggun, aku... aku akan melindungimu
dari alam baka. "berbuatlah kebajikan demi kepentingan umum, aku... aku tak kuat lagi! baik,
baiklah kau jaga dirimu."
Ketika berbicara sampai disitu, kakek tersebut tak mampu lagi menahan diri, tiba-tiba ia
berkelejetan sebentar lalu menghembuskan napas terakhir.
Titik air mata jatuh bercucuran membasahi wajah bocah itu, namun ia tak bersuara, hanya
pancaran sinar matanya yang nampak diliputi kepedihan yang tak terkirakan.
"Ayah-- semua tugasmu akan kulaksanakan hingga selesai---" gumamnya, "aku berjanji akan
menyelesaikannya-- aku akan selain mengingat perkataanmu," perasaan yang tebal bukan untuk
diperlihatkan di wajah lihatlah, bukankah aku tak menangis" Meski aku menaruh perasaan yang
jauh mendalam daripada isak tangis."
Suasana amat hening hanya angin yang berhembus sepoi-sepoi.
xxXxx MATAHARI bersinar cerah menerangi seluruh jagad apalagi di musim gugur yang berangin
kencang, tampak daun-daun kering berguguran memenuhi tanah.
Seorang pemuda berbaju putih pelan-pelan berjalan menuruni bukit tengkorak.
Pemuda itu berusia enam-tujuh belas tahunan berwajah tampan dan bertubuh tegap.
sekalipun ia tidak termasuk seorang pemuda tampan namun alis matanya yang tebal lagi hitam
cukup mendatangkan daya rangsangan yang besar bagi setiap gadis remaja yang menjumpainya
karena dari situlah terpencar sifat kejantanannya.
Bahunya amat lebar dengan perawakan yang tegap namun wajahnya nampak agak putih, Hal
ini menunjukkan bahwa dia sudah lama berdiam di suatu tempat yang sama sekali tak tertimpa
cahaya matahari. Ia turun gunung sambil membawa sebilah pedang mestika sepanjang empat depa di tangan
kirinya dan setibanya di tepi jalan diapun duduk di atas batu dan memandang ke tempat kejauhan
sana sambil bertopang dagu.
Dari pagi sampai siang, dari siang sampai senja...
Waktu berjalan terus bagaikan merangkak, kalau semula matahari muncul di ufuk timur, kini
sang surya telan menyembunyikan diri di ujung langit barat.
JILID 2 Sisa-sisa cahaya berwarna merah memancar diatas tubuh pemuda berbaju putih itu
membuatnya kelihatan lebih gagah dan perkasa.
Tampaknya pemuda berbaju putih itu mulai tak sabar, matanya berulang kali dialihkan keujung
jalan raya dikejauhan sana. Kemudian menghela napas dan mencengkeram batu kecil serta
ditimpuk ke kejauhan dengan gemas.
Memandang pasir dan tanah yang berserakan disekelilingnya, pemuda berbaju putih itu
bergema lirih: "Kesatu, mempersembahkan pedang mengangkat guru, kedua, merebut kembali pedang itu
setelah selesai belajar silat, ketiga menyelidiki serta membongkar rahasia dilembah
Nirmala..........." Mendadak....... Suara derap kaki kuda berkumandang datang dari ujung jalan sana, dengan kening berkerut
pemuda berbaju putih itu melompat bangun serta memperhatikan dengan seksama.
Dalam sekilas pandangan saja kelihatan sekujur tubuhnya bergetar keras dan menunjukkan
rasa tegang yang luar biasa, bisiknya kemudian dengan suara gemetar:
"Kau datang juga.......akhirnya kau datang juga. Ayah bilang kau adalah penentu nasibku
selanjutnya......." Dari kejauhan sana tampak seekor kuda putih pelan-pelan bergerak mendekat, penunggangnya
adalah seorang lelaki yang berpakaian perlente dan bertubuh jangkung, ia menunggang seekor
kuda kurus yang berwajah amat lesu sehingga kelihatan amat tak sedap dipandang.
orang itu menunggang kudanya sambil sesekali mengayunkan cambuknya, bibirnya yang
terkatup rapat membentuk garis setengah lingkaran busur kearah bawah garis yang membuat
kelihatan dingin, angkuh menyeramkan. sementara sekulum senyuman sinis diujung bibirnya
penuh dengan nada ejekan dan sikap muak.
setelah menenangkan hatinya pemuda berbaju putih itu memburu kedepan tanpa
memperhatikan wajahnya ia segera memberi hormat seraya berseru:
"Tecu Kim Thi sia atas perintah dari ayahku datang memenuhi janji dan akan mengangkat kau
sebagai guruku" Mengingat bahwa orang berbaju perlente ini disebut jago paling tangguh didalam dunia
persilatan, dan lagi berwatak sangat aneh. sudah jelas dia memiliki kelebihan yang tak dimiliki


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang lain, karenanya dia tak berani berayal. sambil berkata dengan sikap yang amat menaruh
hormat dia persembahkan pedang mustika Jeng gwat kiam itu. Penumpang kuda itu sama sekali
tak bersuara, bahkan memandang sekejap kearahnyapun tidak dengan sesekali mengayunkan
cambuknya ia biarkan kuda kurus itu melewati samping pemuda tersebut.
Cepat-cepat pemuda berbaju putih itu memburu kedepan lalu berseru kembali:
"Tecu Kim Thi sia atas perintah dari ayahku datang memenuhi guruku harap kau sambut
pedang mustika Jeng gwat kiam ini."
Penunggang kuda berbaju perlente itu sama sekali tak menggubris, kuda kurusnya dibiarkan
berjalan terus sehingga dalam waktu singkat telah meninggalkan Kim Thi sia jauh dibelakang.
Kim Thi sia menjadi tak senang hati pikirnya segera:
"sombong amat manusia berbaju perlente ini. Bukankah ia telah berjanji dengan ayah
menyuruh aku mengangkatnya menjadi guru" masa setelah bertemu muka sama sekali tak
menggubris" Hmmm memangnya cuma kau yang berilmu silat paling hebat didunia ini" dan aku
cuma bisa belajar silat darinya?"
Dasar pemuda ini masih berdarah panas, setelah tertawa dingin ia segera membalikkan badan
dan berlalu dari situ Tiba-tiba sorot matanya yang tertuju penunggang kuda itu menemukan sesuatu ia segera
tertegun dan melongo. Ternyata lengan kiri serta kaki kiri manusia berbaju perlente itu sudah kutung, ujung bajunya
dibiarkan berkibar ketika tertembus angin, penemuan ini membuatnya segera berpikir:
"Aaaaah, tidak betul, orang ini jelas bukan manusia berbaju perlente yang dimaksudkan
ayahku." Kemudian setelah memperhatikan penunggang kuda itu sekali lagi, kembali dia berpikir lebih
jauh: "Ayah bilang orang itu masih muda, berwajah tampan dan mempunyai tahi lalat hitam diantara
keningnya. sekarang kecuali tahi lalat diatas kening yang kutemukan, sama sekali tidak kujumpai
ciri yang lain. Andaikata dia memang cacad tangan dan kaki mustahil ayah tidak akan
memberitahukan persoalan itu kepadaku, toh ciri semacam ini mudah dikenali?"
Bocah itu mencoba untuk mengamati kembali orang itu, dilihatnya meski kuda tunggangannya
berjalan stabil, namun orang itu justru tergoncang kian kemari seakan-akan setiap saat dapat
jatuh terjerembat. sebagai seorang bocah yang berhati polos, bajik serta bijaksana, tiba-tiba saja muncul perasaan
iba dan kasihannya terhadap orang itu, segera pikirnya lagi:
"Yaa, orang ini cacad tangan serta kakinya, diapun nampak loyo dan tak bersemangat. sudah
pasti dia adalah orang yang sedang dirundung kesedihan, biasanya watak manusia semacam ini
paling jelek mangapa aku mesti menyalahkan dia karena ia tak mau memperdulikan aku....."
semakin dipikir rasa simpatinyapun makin tebal, satu ingatan tiba-tiba melintas dibenaknya,
cepat ia memburu kemuka tegurnya sambil tertawa: "Sobat, apakah aku bisa membantu sesuatu
untukmu?" Namun ketika sorot matanya menyapu lewat diatas wajah orang itu, dia semakin terkesiap lagi,
pikirnya: "Aaaaah ternyata selain cacad tangan dan kaki, daun telinga serta matapun telah dipotong dan
dicukil sebelah. Ehmm.......tak nyana kau masih mempunyai keberanian untuk hidup lebih lanjut
andaikata aku........"
Dengan wajah bersemu merah dia segera berkata lagi penuh rasa simpatik:
"Sobat, aku tahu kau tidak leluasa dalam segala hal, apakah aku bisa membantu sesuatu
bagimu?" setelah berulang kali jalan perginya dihadang manusia berbaju perlente itu segera melirik
sekejap kearah bocah itu dengan pandangan tak senang hati. sesudah tertegun sesaat, tibat-tiba
Kim Thi sia berseru keras:
"Yaa, diatas keningmu jelas terdapat tahi lalat hitam, kau pasti adalah guruku. suhu mengapa
kau tidak memperdulikan aku kau tahu aku mendapat perintah dari ayahku untuk datang
memenuhi janji......."
Tapi ingatan lain segera melintas lewat didalam benaknya. jangan- jangan ayah
membohongiku" kalau dilihat dari bentuk badan orang ini, boleh dibilang sekujur badannya telah
dipenuhi dengan bekas luka, mengapa ayah justru melukiskan dia sebagai seorang pemuda yang
paling tampan didunia ini" mungkinkah ayah kuatir aku menjadi muak setelah mengetahui
keadaan yang sebenarnya sehingga tidak bersedia menjadi muridnya?" akhirnya dengan anggapan
bahwa ayahnya takut dia muak setelah mengetahui keadaan sebenarnya dari manusia berbaju
perlente itu sehingga membohongi dirinya diapun berkata:
"suhu, biarpun bentuk tubuhmu macam begini rupa namun tecu tidak berpikiran memandang
rendahmu, tentang hal ini harap kau orang tua berlega hati."
Manusia yang berbaju perlente itu hanya memandang sekejap kearahnya dengan pandangan
dingin, kemudian menceplak kudanya dan lewat dengan begitu saja.
Kim Thi sia menyaksikan bahwa dari balik mata tunggal manusia berbaju perlente itu sering kali
memancar keluar sinar kebencian yang amat tebal, entah sedang memandang kearahnya atau
termenung sambil memandang angkasa atau memandang pemandangan alar tertunduk sambil
termenung. sorot mata kebencian yang amat tebal itu selalu memancar keluar tanpa terasa.
Menyaksikan kesemuanya ini Kim Thi sia menjadi amat terperanjat, tanpa terasa pikirnya
keheranan: "Dia tentu sedang memikirkan musuh besarnya pem bunuh yang berhati keji dan tak
berperasaan itu telah memotong tangan, kaki serta mencukil mata sebelahnya, tapi enggan
membinasakan dirinya sendiri sehingga membiarkan dia terus menderita sepanjang hidup,
perbuatan yang begini kejam dan buasnya ini tak heran kalau membuat dia tak bisa
melupakannya baik siang maupun malam."
Manusia berbaju perlente itu memiliki raut muka tampan dan gagah, disaat sorot mata Kim Thi
sia menyentuh diatas wajahnya itu, tiba-tiba satu ingatan melintas pula didalam benaknya.
"Andaikata ia tidak dicelakai oleh musuhnya sehingga anggota tubuhnya menjadi tak sempurna,
sudah pasti dia termasuk seorang yang tampan dan menarik."
Manusia berbaju perlente itu mengenakan topi lebar berwarna hitam, ketika angin berhembus
lewat dan menggoyangkan topinya yang lebar, ternyata lelaki itu tak mampu menahan diri
terhadap hembusan tersebut, tubuhnya segera kelihatan gontoi seolah-olah mau terjatuh dari atas
kudanya. Tanpa terasa Kim Thi sia berkerut kening, pikirnya:
"Tampaknya orang ini lemah sekali sehingga ibaratnya tenaga untuk memotong ayampun tak
dimiliki, bahkan terhadap hembusan anginpun dia tak tahan, bagaimana mungkin manusia
semacam ini dapat menjagoi dunia persilatan serta merebut gelar jago pedang nomor wahid
dikolong langit" Aaaai.........kebohongan ayah kali ini benar-benar kelewatan."
Jalanan yang mereka tempuh saat ini merupakan sebuah jalan kecil yang sempit lagi panjang,
begitu sepi dan terpencilnya tempat itu sehingga walaupun mereka berdua telah menempuh
perjalanan sekian waktu, belum nampak rombongan lain yang melalui tempat tersebut.
Manusia berbaju perlente itu tetap meneruskan perjalanannya dengan mulut membungkam,
sedangkan Kim Thi sia mengikuti dibelakangnya dengan membisu. sebab dia tak ingin melanggar
pesan terakhir dari ayahnya. Apalagi sebagai seorang pemuda yang polos dan tebal perasaannya.
Baginya lebih baik menyiksa diri ketimbang mengingkari pesan ayahnya.
semakin cepat manusia berbaju perlente itu melarikan dirinya, semakin cepat pula dia
mengikuti dibelakang, namun dia selalu mempertahankan suatu selisih jarak tertentu.
Tak lama kemudian jalan saus kambing itu sudah mencapai pada ujungnya. Dihadapannya sana
terbentang tanah perbukitan yang berjajar-jajar menjulang keangkasa, ternyata jalan tersebut
merupakan jalan buntu. Manusia berbaju perlente itu segera mengerutkan dahi sambil duduk termangu. Menggunakan
kesempatan tersebut Kim Thi sia segera berkata:
"Suhu, sekalipun kau seorang tua enggan menerima ku sebagai murid pun tak ada gunanya
sebab ayahku telah meninggal dunia dan bagaimana pun juga aku tetap akan
mempertanggungjawabkan diri terhadap dia orang tua......"
Tiba-tiba pemuda itu merasa bahwa ucapannya kelewat memaksa, seakan-akan dia
mengharuskan orang itu untuk menerimanya sebagai murid, tanpa terasa pipinya berubah menjadi
merah padam. Manusia berbaju perlente itu mendengus dingin, lalu setelah memperhatikannya sekejap
dengan pandangan ketus, dia menggapai dengan tangan tunggalnya menyuruh bocah itu
mendekat. Dengan perasaan gembira Kim Thi sia memburu kehadapannya, lalu berkata:
"suhu, apakah kau telah bersedia" tecu berjanji akan berlatih diri dengan tekun dan
bersungguh-sungguh . "
Paras muka manusia berbaju perlente itu berubah, tiba-tiba ia mengayunkan jari tangannya
menyerang jalan darah sang seng hiat yang merupakan salah satu diantara dua belas buah jalan
darah kematian ditubuh bocah tersebut.
Mimpipun Kim Thi sia tidak mengira kalau manusia berbaju perlente itu akan melancarkan
serangan keji terhadapnya, menanti dia menyadari akan datangnya bahaya, keadaan sudah
terlambat. sejak kecil dia telah berdiam dibukit tengkorak bersama ayahnya sekalipun ayahnya belum
pernah mewariskan ilmu silatnya secara resmi namun tidak sedikit yang pernah dilihat atau
didengar olehnya selama ini.
Didalam keadaan kritis, sepamjang alis matanya segera berkenyit diiringi bentakan keras dia
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya itu untuk menumbuk dada orang itu keras-keras.
Didalam pemikirannya, biarpun ia mesti menjadi setan gentayangan, paling tidak harus beradu
jiwa dulu dengan manusia berbaju perlente itu
semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata tahu-tahu ujung jadi telunjuk dan tengah
dari manusia berbaju perlente itu sudah menyentuh diatas jalan darah sang seng hiat dari pemuda
tersebut. Tapi anehnya, Kim Thia sia sama sekali tidak merasakan sesuatu malah sebaliknya manusia
berbaju perlente itu segera merintih kesakitan, peluh sebesar kacang segera bercucuran
membasahi wajahnya, dengan rasa sakit ia menarik kembali tangannya sementara air mukanya
tahu-tahu sudah berubah menjadi gelap. Dengan perasaan keheranan Kim Thi sia berpikir:
"Bukankah menurut ayah sang seng hiat merupakan salah satu diantara dua belas jalan darah
kematian ditubuh manusia" jangan lagi ditotok orang, tersentuh pelan saja dapat mengakibatkan
kematian, tapi mengapa orang ini tidak berhasil" ataukah dia sama sekali tidak memiliki sedikit
tenagapun?" Rasa kecewa segera muncul dan menyelimuti perasaan hatinya, dia berpikir kembali:
"Mengapa ayah harus membohong iku dan menyuruh aku mengangkat manusia semacam ini
sebagai guru" Yaa, mengapa ayah tak mau mewariskan ilmu silatnya saja kepadaku sehingga tak
perlu belajar dari orang lain" kini aku telah hidup sebatang kara, ditengah kehidupan
bermasyarakat bagaimana mungkin aku bisa mengangkat nama serta menjayakan kembali nama
keluarga?" Berpikir rampai hal ini, dia menjadi amat pedih, tiba-tiba diambilnya sebutir batu besar lalu
sambil berteriak keras menimpuknya sekuat tenaga kedepan.
Tiba-tiba saja dia merasa dirinya dibohongi, ditipu oleh manusia berbaju perlente itu sehingga
dia mesti menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan sia-sia.
Dengan kening berkerut kencang, ditudingnya manusia berbaju perlente itu lalu empatnya:
"Hmmm, semula kukira kau adalah seorang manusia yang dingin, aneh dan luar biasa, sungguh
tak kusangka kau tak lebih cuma gentong nasi yang sama sekali tak berguna, bukankah jalan
darah kematianku telah kau totok" tapi nyatanya aku masih tetap hidup segar bugar didunia ini.
Hmmm coba bayangkan saja, manusia macam beginipun pantas diberi gelar jago pedang nomor
wahid dari kolong langit?"
Umpatan yang diucapkan secara terang-terangan dan tajam ini segera membuat air muka
manusia berbaju perlente itu berubah menjadi dingin dan kaku, tampaknya dia merupakan
seorang yang tinggi hati dan belum pernah dimaki orang sedemikian rupa. setelah mendengus
penuh amarah sekujur badannya gemetar keras lantaran mendongkol, tiba-tiba saja dia menjadi
gontai sehingga akhirnya terjatuh dari atas pelana kudanya.
Debu dan pasir segera beterbangan memenuhi manusia berbaju perlente itu menggeletak
diatas tanah tanpa berkutik, seluruh badannya segera diliputi oleh debu yang amat tebal.
sinar matahari senja yang membiaskan cahaya kemerah-merahan menyoroti wajahnya yang
hijau membesi serta pucat tak berdarah itu, Menyaksikan keadaannya yang mengenaskan, semua
rasa mendongkol yang semula mencekam perasaan Kim Thia sia seketika hilang lenyap tak
berbekas, segera timbul rasa sesalnya dihati, apakah dia tega menyiksa seorang manusia cacad
seperti itu" setelah mengumpat kebiadaban sendiri dia baru membantu untuk membangunkan orang itu
namun ketika tangannya menyentuh lengan tiba-tiba terasa olehnya lengan itu sangat lembek
seperti kapas dan sedikitpun tak bertenaga, keadaan tersebut jauh berbeda dengan keadaan
manusia biasa. Tanpa terasa pemuda itu menundukkan kepala serta memeriksa dengan lebih seksama. Apa
yang kemudian melihat membuat hatinya bergidik, teriaknya segera:
"Aaaaah.......rupanya seluruh otot badannya telah dipotong orang, tak aneh kalau kau tak
mampu menotok jalan darahku......" kemudian setelah mengamatinya dengan lebih seksama
kembali gumamnya: " Lengan dikutungi, kaki dipotong, mata dicukil, telinga dipapas dan otot badanpun dipotong,
manusia macam apakah orang berhati sekeji ini.......?"
Perasaan simpatinya segera tumbuh sepuluh kali lipat lebih besar, sementara dia masih
memikirkan masalah itu. Tiba-tiba dilihatnya butiran air mata jatuh berlinang membasahi pipinya,
ia tahu air mata itu bukan mengartikan suatu penderitaan atau kesakitan tapi didorong oleh rasa
duka yang mendalam...... Lalu air mata tersebut melambangkan apa" mengartikan apa"
Manusia berbaju perlente itu sama sekali tak bersuara, lagi-lagi dia menggerakkan tangannya
sambil menotok jalan darah kematian ditubuh bocah itu.
Biapun kepalanya tidak berpaling matanya tidak berputar, namun jari tangannya yang
mengarah jalan darah kematian didada Kim Thi sia yang berada dibelakangnya mengenai secara
telak ketepatan serangannya betul-betul mengagumkan.
sayang sekali Kim Thi sia tidak merasakan akibat dari totokan itu, malahan dia bertanya:
"suhu, apakah kau merasa agak baikan?"
Menyusul pertanyaan yang penuh perhatian itu, manusia berbaju perlente itu mengenyitkan alis
matanya rapat-rapat, kemudian mengalihkan sorot matanya keangkasa mengawasi awan putih
yang bergumpal disitu tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Kim Thi sia segera berpkir
dengan keheranan- "Aneh betul orang ini dia seperti mempunyai persoalan yang tiada habisnya dipikir."
Dalam pada itu si kuda putih yang kurus kering itu seakan-akan sudah berapa hari tidak makan,
waktu itu binatang tersebut telah lari kesisi jalan dan melalap setiap rumput yang ditemuinya.
"suhu" tanya Kim Thi sia lagi, "Apakah perutmu merasa lapar" bagaimana kalau kucarikan
makanan untukmu?" Manusia berbaju perlente itu tidak menjawab, keningnya yang semula putih halus, kini muncul
beberapa kerutan yang mendalam karena kelewat banyak berpikir.
Untuk sesaat Kim Thia sia tak berani mengusiknya kedua belah pihak sama-sama terbungkam
dalam seribu bahasa. Begitulah mereka berduapun melewatkan malam yang sepi ditengah pegunungan yang
terpencil. Walaupun Kim Thia sia merasa amat lapar namun ia tak berani banyak berbicara
wataknya yang keras hati membuat pemuda itu enggan menunjukkan setiap kelemahannya
dihadapan orang lain, sebab manusia berbaju perlente itupun tidak memberi tanggapan apapun.
Diam-diam Kim Thia sia menelan air liur berulang kali, dia betul-betul merasa tak tahan lagi,
baru saja hendak berbicara mendadak dilihatnya manusia berbaju perlente itu mengambil
sebatang ranting kering lalu diderekkan berulang kali diatas tanah yang gembur.
Kim Thia sia amat keheranan menyaksikan tingkah laku orang itu, dengan perasaan keheranan
dia maju mendekat. Ternyata diatas tanah telah tertera beberapa huruf yang berbunyi demikian: "Apakah kau ingin
belajar ilmu silatku?"
satu ingatan segera melintas didalam benak Kim Thia sia, cepat-cepat sahutnya:
"Benar, disatu pihak aku mesti melaksanakan pesan ayahku, dipihak lain akupun ingin mencari
nama didalam dunia persilatan."
Manusia berbaju perlente itu segera mendengus, sesudah menghapus tulisan semula, kembali
dia menulis. "Percayakah kau bahwa aku memiliki ilmu silat?" Kim Thia sia menjadi tertegun segera pikirnya:
"Ehmmm, pertanyaan ini memang tepat bila dilihat dari kemampuan dalam menotok jalan
darah kematianku tadi, anak yang berumur tiga tahunpun tak akan percaya kalau kau berilmu,
apalagi aku?" Maka segera jawabnya:
"Percaya atau tidak tergantung pada dirimu, asal kau menganggap dirimu berilmu, maka
akupun percaya dan sebaliknya begitu pula......."
Manusia berbaju perlente itu kembali menulis.
"Aku mengerti, dalam hati kecilmu, kau menaruh curiga pada kemampuanku. HHmmm, coba
kalau peristiwa ini terjadi beberapa hari berselang kau tak nanti berani berkata begitu."
"Maksudmu pada berapa hari berselang kau masih memiliki ilmu silat dan sekarang sudah tidak
memiliki lagi?" tanya Kim Thia sia keheranan. Kembali manusia berbaju perlente itu menulis.
"Andaikata kau tahu siapakah aku, tatkala bertemu denganku tadi mungkin kau tak akan berani
berbicara apalagi bertingkah macam begitu......" membaca tulisan tersebut Kim Thia sia segera
berkerut kening lalu terikanya keras:
"siapa sih kau ini" begitu hina kaupandang diriku begitu manusia macam apapun sama saja
kenapa aku mesti merasa takut menghadapi sesama manusia" Hmm, mengingat kau sekarang
sudah cacad tubuh dan lagi tidak memiliki sedikit tenagapun, aku bersedia mengalah, hanya
kuharap kau jangan menulis lagi ucapan yang dapat membangkitkan rasa mendongkol dan marah
bagiku." Manusia berbaju perlente itu tercengang sejenak kemudian baru tulisnya lagi:
"Ehmmmm, kau keras kepala dan tinggi hati, mirip sekali dengan watakku dimasa muda dulu"
"soal itu mah bukan urusanku"
Kembali manusia berbaju perlente itu termenung sejenak. lalu menulis.
"Sebenarnya aku amat berniat untuk mati dan menyelesaikan hidupku yang penuh derita ini
namun watakku justru membuatku tak ingin mati dengan begitu saja, aku memang keras kepala.
sejak berumur dua puluh tahun aku sudah mengarungi seluruh kolong langit. oleh karena itu
secara diam-diam aku pernah bersumpah, aku harus hidup sebagai seorang jago yang keras hati
dan mati sebagai serta yang keras hati juga. Watakmu mirip sekali denganku. Hal ini membuatku
terkenang kembali masa mudaku dulu."
"Persoalan itu sama sekali tak ada sangkut pautnya denganku, harap kau berbicara kembali
kepokok persoalannya, yaitu soal perintah ayahku yang menyuruh aku belajar silat darimu"
manusia berbaju perlente itu mendengus gusar. Tiba-tiba ranting yang dipakai untuk menulis


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditekan lebih dalam pada lapisan tanah lalu mengguratnya dengan penuh tenaga sudah jelas
orang itu telah dicekam perasaan gusar yang meluap. Ia menulis begini:
"selain kau ingin belajar silat dariku agaknya kau tidak menaruh perasaan apapun terhadapku"
hmmm, kau memberi pelajaran atau tidak terserah kepadaku, apalagi nasibmu selanjutnya toh
masih berada didalam cengkeramanku"
sementara Kim Thia sia masih tertegun manusia berbaju perlente itu telah menghapus tulisan
serta menulis kembali. "Yaa, aku memang tak bisa menyalahkan kau, siapa suruh aku menerima murid dengan cara
memaksa diri Aaaai......."
Tampaknya seluruh perasaan sedih dan dukanya telah dilampiaskan keluar melalui suara helaan
napas tersebut. Kim Thi sia menjadi iba hati, segera ujarnya:
"Perasaan seseorang tak mungkin bisa dipaksakan, siapa melepaskan budi kepadaku, akupun
akan turut membalas budi itu kepadanya, siapapun yang menanam dendam kepadaku akupun
akan membunuh siapa. Kejadian semacam ini sudah umum dan lumrah, aku rasa kaupetak perlu
terlalu memikirkannya dihati."
Dengan termangu-mangu manusia berbaju perlente itu berpikir berapa saat lamanya kemudian
sepatah demi sepatah dia baru menulis kembali.
"Anak muda, selama berapa hati belakangan ini siang malam aku selalu berpikir dan berhasil
menyelami apa arti kehidupan ini, sesungguhnya kehidupan manusia didunia ini hanya melulu soal
mati atau hidup. Tapi bedanya justru dalam peralihan dari hidup kemati. orang dibebani oleh
pelbagai masalah dendam dan sakit hati, padahal berapa sih besarnya seorang manusia dalam
jagad ini dan berapa lama kehidupannya disini" seharusnya mereka jangan persoalkan tentang
dendam dan sakit hati, tapi apa mau dikata soal " benci" justru paling susah dihilangkan,
contohnya saja aku, gara-gara soal "benci" biarpun aku sudah mengalami penderitaan, siksaan
dan kehidupan yang paling berat, sekalipun toh tak sudi mati dengan begitu saja........."
Dari balik mata tunggal simanusia berbaju perlente yang berwarna kelabu dan mulai memudar
terpancar keluar sinar kebencian yang amat menggelidikkan hati.
"Diatas tubuhku telah tertera luka dari sepersembilan penderitaan yang tidak akan kuat
dirasakan oleh sembilan orang biasa, namun aku tetap hidup terus, mengapa begitu" soal ini akan
kusampaikan kepadamu disaat aku telah mengambil keputusan nanti. Aku tahu kau mencarikan
belajar silat karena terdorong oleh perintah ayahmu, sekalipun orang-orang dalam persilatan saat
ini semuanya berharap dapat memperoleh sebagian dari ilmuku atau bahkan berapa petuahku
saja. Namun aku enggan berbuat demikian andaikata kau bukan muridku yang kesepuluh, jangan
lagi belajar silat dariku. Untuk bersua muka dengankupun lebih sukar daripada mendaki bukit Thay
san. Tapi aku paling menepati janji, setiap patah kata yang telah kuucapkan tak pernah akan
kusesali kembali......."
sorot mata tunggalnya pelan-pelan dialihkan ketengah udara, kemudian seperti baru saja
mengambil sebuah keputusan yang maha berat, dia manggut-manggut pelan dan menulis kembali.
"setelah mempertimbangkan persoalan ini seharian penuh, akhirnya aku memilih sebuah jalan.
Aku hendak bertaruh sekali lagi dengan diriku sendiri, mungkin aku bersedia berbuat demikian."
"Berbuat bagaimana?" tanya sang pemuda.
"Mewariskan segenap ilmuku kepadamu."
"Hal ini sudah merupakan kewajiban bagimu, bukankah barusan telah kau katakan bahwa
sepanjang hidupmu, kau paling menepati janji?" Manusia berbaju perlente itu manggut-manggut,
tulisnya. "Benar, tetapi hal seperti itu hanya mencakup sepersepuluh dari ilmu silat yang kumiliki dan
sekarang aku telah memutuskan hendak mewariskan kesepuluh bagian ilmu silatku itu kepadamu
kesepuluh bagian ilmu silat itu sudah mencakup seluruh kemampuan yang kumiliki, dapat atau
tidak dikuasai terserah kepadamu sendiri, hanya aku ingin kau mengabulkan sebuah
permintaanku" Diam-diam Kim Thi sia berpikir:
"Berapa banyak sih kepandaian silat yang sebenarnya kaupahami" Masa hanya sepersepuluh
kepandaian silatnya saja yang diwariskan kepala murid-muridnya, benar-benar kejadian ini
merupakan suatu kejadian yang aneh......."
Berpikir demikian disitu, diapun bertanya:
"Coba kau katakan akan kupertimbangkan kembali permintaanmu itu........"
"Berilah sedikit perasaan kepadaku" Kim Thi sia tertegun"Perasaan bukanlah barang yang dapat diperdagangkan atau dapat diberikan kepada orang lain
dengan begitu saja."
seluruh kulit wajah manusia berbaju perlente itu mengejang keras, segera tulisnya:
"Bila permintaanku itu tak bisa kau kabulkan, terpaksa aku hanya akan mewariskan
sepersepuluh bagian ilmu silatku saja kepadamu, karena apa yang pernah kujanjikan dengan
ayahmu dulu hanya sepersepuluh bagian saja." Dengan tidak senang hati Kim Thi sia berkata:
"Aku toh sudah bilang, perasaan itu tak bisa dipaksakan dengan begitu saja, apalagi macam
benda yang diperdagangkan saja, hal ini tak mungkin terjadi jangan lagi baru sepersepuluh
sekalipun kau cuma mewariskan seperdua puluh bagian dari ilmu silatmupun bukanjadi masalah,
toh ada atau tidak bagiku tetap merupakan seorang manusia biasa belaka."
Manusia berbaju perlente itu berkerut kening, kemudian menulis:
"Anak muda kau berani memandang hina terhadap sepersepuluh bagian ilmu silat yang akan
kuwariskan kepadamu itu" terus terang saja aku beritahukan, apabila kau bisa menguasai
sepenuhnya maka kau akan menjadi seorang jagoan kelas wahid didalam dunia persilatan........."
Kim Thia sia segera tertawa dingin.
"Heeeehhh......heeeehhh.....heeeehhh....aku justru tak percaya kalau dikolong langit terdapat
kejadian sehebat ini, kau kelewat takabur dan membual, tapi aku tak akan menyalahkan
dirimu......." Tiba-tiba pemuda itu merasa bahwa kata selanjutnya pasti akan menimbulkan perasaan
sedihnya sehingga diapun menahan diri untuk tidak diutarakan keluar.
Mendadak terdengar manusia berbaju perlente itu berkaok-kaok dengan nada suara yang tidak
jelas, samar-samar, kaku dan amat tak sedap didengar......
Kim Thi sia tersekat tiba-tiba ia seperti menyadari akan sesuatu rupanya lidah orang itupun
telah dipotong orang sehingga membuatnya menjadi bisu.
suara gemuruh yang keras dari kerongkongan manusia berbaju perlente itu menunjukkan kalau
dia merasa tersiksa dan menderita akibat sindiran anak muda tersebut. selang beberapa saat
kemudian dia baru menulis lagi dengan tangan gemetar.
"Kalau toh kau enggan mengabulkan yaa sudahlah selama beberapa hari mendatang aku tetap
akan memenuhi janji dengan mewariskan sepersepuluh bagian ilmu silatku itu kepadamu, lalu aku
akan terjun kejurang untuk mengakhiri hidupku."
Ketika segulung angin gunung berhembus lewat, air mata yang meleleh keluar dari mata
manusia berbaju perlente itu segera jatuh berlinang.....
Penderitaan dan siksaan yang dialaminya begitu tragis, rasanya tiada orang kedua didunia ini
yang bisa menandinginya. Kim Thi sia masih polos dan berhati suci, tiba-tiba ia merasa sikapnya terlalu kejam apalagi
terhadap manusia cacad semacam ini masakah dia harus berkeras kepala dengena menampik
permohonannya ....." Tampak orang itu menulis kembali:
" Hukuman yang dilimpahkan Thian kepadaku benar-benar kelewat batas sekalipun aku pernah
melakukan kesalahan, toh tidak seharusnya melimpahkan hukuman yang begini keji dan tak
berperi kemanusiaan kepadaku. Thian benar-benar tidak adil...."
semua tulisan itu tertera dalam-dalam diatas tanah yang kering. Kim Thi sia justru dapat
merasakan bahwa dibalik setiap huruf tersebut seakan- akan mengandung kisah penderitaan yang
luar biasa, hal ini membuat rasa simpatik dan jiwa pendekarnya berkobar kembali....
segulung angin bukit kembali berhembus lewat.
Tiba-tiba topi lebar yang dikenakan manusia berbaju perlente itu terlepas dari kepalanya. Ketika
Kim Thi sia berpaling diapun menjerit tertahan. "Rambutmu juga dipapas orang."
Entah darimanda datangnya gejolak hawa amarah pemuda itu merasakan darah yang mengalir
didalam tubuhnya serasa mendidih dengan hebatnya, dia segera berteriak:
"Aku bersedia mengabulkan permintaanmu, aku akan memberi perasaan kepadamu bahkan
akupun bersedia membalaskan dendam bagimu"
Manusia berbaju perlente itu memandang sekejap kearahnya, tahu-tahu air mukanya ikut
berubah, berubah amat terharu setitik pengharapanpun melintas dibalik sorot matanya. Dengan
cepat dia menulis diatas tanah.
"Baik, kita tentukan dengan sepatah kata ini akan kuwariskan segenap ilmu silat yang kumiliki
kepadamu. semoga kau berhasil menguasainya dengan sempurna. Nak. setelah melewati hari-hari
yang penuh penderitaan, dikemudian hari kau pasti akan menjadi seorang lelaki yang paling
tangguh didunia ini. Kau pasti akan menerima sebala kekaguman, pujian dan sanjungan tapi
kaupun akan menerima perasaan iri dan dengki dari sementara orang, kau harus menggantikanku
didalam dunia persilatan."
Kim Thi sia sudah merasa amat menusuk pandangan setelah membaca tulisan itu pikirnya
mengapa orang ini selalu menonjolkan kata-kata yang mengandung arti menjagoi kolong langit"
dari sini dapat disimpulkan kalau dulunya pasti tinggi hati dan takabur. Maka ujarnya kemudian
dengan suara hambar: "Aku tidak acuh terhadap nama maupun kedudukan yang terpenting bagiku adalah
membalaskan dendam bagimu, aku belum pernah mendengar atau melihat sebelumnya bahwa
didunia ini terdapat manusia yang begitu kejam dan tak berperi kemanusiaan seperti orang yang
telah mencelakai dirimu itu."
Dengan cepat manusia berbaju perlente itu menulis: "Sebelum kuwariskan kepandaian silatku,
akan kututurkan lebih dulu asal usul, pengalaman serta tugas yang harus kau laksanakan
dikemudian hari, kau merupakan jelmaanku, setiap persoalan yang membutuhkan penyelesaian
boleh kau putuskan menurut perasaanmu sendiri setiap saat aku tentu akan memperhatikan hasil
dari pekerjaanmu itu dari alam baka......."
Lalu setelah berhenti sejenak. kembali dia menulis:
"Kisah ini panjang sekali untuk diceritakan, kau harus mendengarkan dengan seksama, sebab
bukan saja cerita ini akan membuat kau menjadi satu-satunya orang yang mengetahui rahasia
besar dunia persilatan yang diidamkan setiap orang, lagi pula akan menambah
pengetahuanmu......"
Ketika melihat Kim Thi sia memperhatikan tulisannya dengan penuh perhatian diapun
tersenyum. Walaupun hanya senyum yang hambar namun justru mengandung banyak perasaan yang
bercampur aduk. rasa bangga, rasa tenang dan rasa lega.
"Tiga puluh tahun berselang ditanah perbukitan Pak thian san diluar perbatasan tepatnya
dibagian utara bukit Koa gan hong, terdapat sebuah tempat yang disebut Boan kok. Kalau
dikatakan sebagai lembah maka sesungguhnya tempat itu merupakan sebuah tebing yang agak
tinggi dan terletak agak tersembunyi."
"Tempat itu dilapisi oleh salju sepanjang tahun sehingga tiada tetumbuhan yang bisa hidup
disitu, udaranya amat dingin dan amat menusuk tulang."
"Sebetulnya tempat semacam ini tak mungkin bisa didiami manusia, tapi apa mau dibilang
orang yang berdatangan dari berbagai daerah justru makin lama semakin bertambah banyak
disekitar tempat itu banyak didirikan perkembahan dan perkampungan kecil pada mulanya tiada
orang yang tahu apa gerangan yang terjadi kemudian lambat laun orang dari daratan Tionggoan
itu baru mendapat tahu dari mulut para rakyat sekitar sana bahwa disitu tumbuh semua dahan
obat-obatan "Pek leng" yang tak ternilai dan tak terhingga harganya. Konon nilainya mencapai
berapa ratus tahil perak setiap batangnya padahal dilembah Boan Kok tersebut bahan obat-obatan
itu bisa ditemukan disetiap tempat, tidak heran kalau banyak orang yang berbondong-bondong
mendatangi lembah tersebut......."
" Lembah Boan Kok yang sepi dan terpencil itupun lamban laun bertambah ramai, asap dapur
muncul dimana-mana, rumah rumput didirikan disekitar sana, yang datang mencari rejeki disitu
bukan cuma kaum muda dan lelakinya saja bahkan ada yang memboyong seluruh keluarganya.
Tak heran kalau dalam waktu singkat orang yang berdiam dilembah Boan Kok tersebut hampir
melebihi jumlah penduduk sebuah kota besar didaratan Tionggoan......."
Manusia berbaju perlente itu berhenti sejenak sambil termenung, kemudian tulisnya lebih jauh:
"Berhubung orang yang datang mencari obat makin lama semakin banyak sedangkan obat yang
dicari justru makin berkurang akhirnya timbullah hukum rimba disitu, siapa kuat dia menang, siapa
lemah dia tertindas."
"Apalagi pek leng tidak mudah tumbuh, puluhan tahun lamanya baru akan tumbuh sebesar
kecambah, tapi orang-orang itu tak ambil perduli kecambahpun mereka gali keakar-akarnya,
seperti kuatir kalau tidak kebagian rejeki saja."
"Tak heran kalau setahun kemudian, jumlah Pek leng dilembah Boan Kok itu tersisa tak
seberapa lagi...." "Demi kesejahteraan hidup keluarga, maka muncullah sejumlah orang yang berani
menyerempet bahaya dengan menembusi bukit yang lebih tinggi dengan harapan bisa
memperoleh hasil yang luar biasa."
"Pada mulanya cara ini memang mendatangkan hasil tapi setelah cara itu ditiru pula oleh
penduduk yang lain, maka yang datang menyerempet bahaypun bagaikan jamur hujan, makin
lama semakin tambah ramai."
"sayangnya, Pek leng memang benda mustika yang langkah, tak selang berapa waktu
kemudian kemiskinan dan kelaparanpun melanda orang-orang itu......."
"Entah dipelopori oleh siapa, tahu-tahu ada orang yang mengusulkan untuk menggali setiap
jengkal tanah perbukitan itu, kasihan penduduk yang sudah kelaparan itu. Usul tadi membuat
mereka jadi nekad dan mulai menggali lapisan salju itu secara sembrono."
"Sesungguhnya mereka tahu bahwa cara ini berbahaya sekali, karena suatu saat salju dapat
longsor yang menyebabkan timbulnya musibah yang beasr, tapi demi kehidupan keluarganya,
mereka harus tetap nekad dan mempertaruhkan selembar jiwanya."
"Makin digali makin banyak tempat yang menjadi keropos dan berliang, makin dibongkar makin
luas tanah yang disingkirkan. Lama kelamaan bukit itu mulai terkikis dan tak dapat dipertahankan
lagi." "Longsor salju yang ditakuti setiap orang akhirnya terjadi juga, yang diiringi suara gemuruh
yang amat memekikkan telinga, salju yang berton-ton beratnya itu mulai longsor dan mengubur
setiap bangunan rumah dan setiap penduduk yang berada disitu, tak seorangpun diantara mereka
yang berhasil lolos dari musibah tersebut. semuanya mati terkubur akibat dari ulah mereka
sendiri" Tak lama setelah longsor salju tiba-tiba dari daerah sekitar lembah Boan kok muncul
sesosok bayangan manusia yang berkelebat lewat bagaikan sambaran kilat. Kalau dilihat dari
gerakan tubuhnya orang bisa mengira ada dewa yang baru turun dari khayangan-"
"Ia berhenti sejenak ditumpukan salju yang membukit sambil menghela napas panjang, lalu
dilepaskannya sebuah pukulan yang membuat gumpalan salju memancar keempat penjuru."
"saat itulah dia mendengar ada suara rintihan berkumandang dari sekitar sana, ketika ia
berpaling dilihatnya ada sepasang bocah laki dan perempuan sedang meronta disana, maka
dengan suatu gerakkan yang luar biasa diapun menyambar tubuh kedua orang bocah itu serta
dibawa menyingkir." " orang itu pasti seorang pendekar yang berilmu luar biasa" sela Kim Thi sia.
"Dia bukan cuma seorang pendekar yang berilmu luar biasa, tapi dialah dewa pedang yang
pernah menggetarkan seluruh dunia persilatan selama dua puluh tahun lamanya. sejak merasa
muak dengan kehidupan keduniawian, diapun hidup mengasingkan diri dibukit Pak thian san untuk
menghindarkan segala kemelut hidup dan kerisauan."
"Beruntung sekali nasib sepasang bocah lelaki dan perempuan ini, dikemudian hari mereka
tentu menjadi tokoh yang luar biasa" kembali Kim Thi sia berkata.
Manusia berbaju perlente itu mengerutkan dahi lalu menulis. "Kau jangan menyela dengarkan
dulu semua kisah ceritaku........"
"Dewa pedang Kiam sianseng yang dianjung dan dihormati setiap umat persilatan ini berusia
antara empat puluh tahunan, berwajah kurus serta mempunyai sepasang alis mata yang tebal lagi
hitam. Tampangnya yang angker ini sudah cukup untuk menggetarkan hati setiap umat persilatan
yang menjumpainya." "sejak ditolong oleh pendekar aneh ini sepasang bocah lelaki dan perempuan ini selalu
mengikuti disamping Kiam sianseng, sebagai anak yang pintar, mereka tahu kalau Kiam sianseng
adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Karena itu mereka selalu berusaha menyesuaikan
diri dengan kemauan dan jalan pemikirannya, tak heran kalau hal tersebut menimbulkan perasaan
simpatik dari Kiam sianseng. Akhirnya setelah mempertimbangkan selama beberapa hari, diapun
menyanggupi untuk menerima kedua orang bocah itu sebagai muridnya. Biarpun Kiam sianseng
adalah seorang jago yang bertampang bengis dan keren, sesungguhnya dia adlah seorang yang
berhati penuh welas kasih sebagai orang yang berpengalaman. Kiam sianseng dapat mengetahui
kalau kedua orang muridnya ini memiliki watak yang kurang baik, yang lelaki berjiwa sempit dan
gampang menraruh dendam, sebaliknya yang perempuan jalang dan genit, sekalipun dia mengerti
bahwa watak tersebut sukar dirubah, namun dia tetap berusaha untuk merubah watak itu secara
pelan-pelan dia berharap setelah kedua orang muridnya menanjak dewasa nanti semuanya ini
dapat berubah." "Sepuluh tahun lewat dengan cepat, Kiam sianseng telah menggunakan waktu selama ini untuk
mewariskan ilmu pedang, ilmu pukulan serta ilmu meringankan tubuhnya kepada kedua orang
muridnya." "Sementara itu kedua orang muridnya juga makin menanjak dewasa, yang lelaki tumbuh
menjadi tampan dan gagah sedang yang perempuan cantik jelita bak bidadari dari kahyanganAtas pendidikan Kiam sianseng yang keras dan ketat, watak jelek merekapun turut terhapus
banyak." "Melihat kedua orang muridnya berhasil menguasai semua pelajaran yang diwariskan. Kaim
sianseng merasa gembira sekali karena menganggap usahanya selama ini tidak sia-sia, saban
malam diapun melewatkan hari-hari yang tenang dengan minum arak dan bernyanyi."
"Sementara itu sepasang muda mudi yang dibesarkan bersama, selain berlatih silat, kedua
orang itupun melewatkan sisa waktunya untuk berpacaran dan saling melimpahkan rasa cintanya."
"Suatu ketika tatkala mereka berdua berbincang-bincang soal ilmu silat, tiba-tiba mereka
cekcok karena suatu masalah yang tidak sepaham sehingga menimbulkan pertarungan sengit.
Kedua belah pihak sama-sama tak mau mengalah dan masing-masing mengeluarkan segenap
kepandaian yang dipunyainya untuk saling menggempur, pertarungan yang berlangsung waktu itu
benar-benar mengerikan sekali."
"Padahal ilmu silat yang mereka miliki terhitung sangat hebat, lima ratus gebrakan sudah
mereka bertarung tanpa brhasil diantara siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun mereka
sama-sama tak mau mengalah serta menyudahi pertarungan itu. lambat laun pertarunganpun
berkobar makin sengit."
"seribu gebrakan kemudian kedua orang itu sama-sama mulai lelah, jurus serangan mereka
makin melamban dan tenaganya terkuras, namun kedua belah pihak sama-sama tak mau
mengalah, mereka bertarung terus mati-matian."
"saat itulah suatu peristiwa yang tak diduga sebelumnya telah terjadi tiba-tiba lelaki itu
berpekik nyaring sambil melancarkan sebuah tusukan pedang yang menciptakan berkuntumkuntum
bunga pedang, menyusul serangan itu dilepaskan pula sebuah pukulan yang ketika sampai


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditengah jalan tiba-tiba berubah melingkar seperti sebuah jalan yang mengurung lawannya,
serangan ini sangat aneh dan hebat."
"sinona segera mendengus menyambut serangan ini dengan jurus yang sama, siapa tahu
akibat dari bentrokan ini ia kena dipukul mundur oleh pemuda tersebut sampai terhuyung sejauh
satu kaki lebih." "Padahal tenaga dalam mereka miliki seimbang jadi sesungguhnya keberhasilan pemuda itu
untuk memukul mundur sinona merupakan suatu kejadian yang aneh."
"setelah menderita kekalahan itu, sinonapun berdiri termangu- mangu disitu sambil termenung,
ketika pemuda itu minta maaf kepadanya ia tidak menggubris seakan-akan ada sesuatu persoalan
yang sedang dipikirkan olehnya......
Ketika bercerita sampai disitu terlintas perasaan menyesal diatas wajah manusia berbaju
perlente itu, sambungnya kemudian:
"selang beberapa saat kemudian gadis itu baru berkata secara tiba-tiba."
"Mari kita pulang, jangan biarkan suhu menanti dengan gelisah."
"Pemuda itu mengira gadis itu sudah memaafkan kejadian itu dengan rasa gembira diapun
mengucapkan kata-kata yang hangat dan mesra. tapi nona itu tetap membungkam,
entah setan mendengar atau memang tidak mendengarnya sama sekali....."
"Semenjak peristiwa itu, merekapun melewatkan kembali hari-hari dengan tenang nona itu tak
pernah lagi menyinggung peristiwa itu Hanya saja semenjak saat itu dia seperti dibebani dengan
banyak masalah dan pikiran ada kalanya dia berdiri seorang diri dipuncak bukit sambil memandang
langit sepintas lalu nampak seperti lagi menikmati keindahan alam, tapi matanya berkedip-kedip
dan wajahnya berubah tidak menentu."
"suatu hari, pemuda itu mendapat perintah gurunya untuk turun gunung serta membeli barang
kebutuhan sehari-hari sebelum berangkat pemuda itu menyaksikan diatas wajah gadis tersebut
menampilkan suatu perubahan yang aneh. Perubahan aneh itu seperti mengandung suatu
kebulatan tekad, hal ini membuat pemuda itu tercekat dan merasa tak tenang, setelah turun
gunung hatinya menjadi tak tenang, dia tahu kejadian semacam ini merupakan suatu hal yang luar
biasa." "Dengan membawa perasaan was-was akhirnya pemuda itu pulang kegunung beberapa hari
lebih cepat, sampai digunung dia segera menemukan suatu perubahan yang amat besar."
"Suhu yang dihari-hari biasa penuh dengan senyum, kini justru bersandar diatas dinding sambil
bermuram durja dan duduk bertopang dagu, kejadian ini menimbulkan rasa curiga pemuda itu
sehingga cepat-cepat menghampirinya, namun Kiam sianseng seprti tidak merasakan
kehadirannya, sampai itu memanggil suhu Kiam sianseng baru sadar kembali, maka diapun
berkata setelah mengawasi pemuda itu sekejap. "Disini tak ada urusan, kau boleh pergi
beristirahat." "sikap yang aneh ini semakin mengejutkan dan mengherankan pemuda itu tapi ia tak berani
bertanya, hanya dalam hatinya tercengang. Dihari biasa suhunya memiliki ketajaman pendengaran
yang tinggi bunga atau daun yang jatuh pada jarak sepuluh kakipun tak bisa mengelabui
pendengarannya mengapa hari ini ia seperti tak mendengar walaupun dirinya sudah sampai
dihadapan mata" andaikata ada musuh yang datang, bukankah ia akan mati secara tragis?"
"Dengan perasaan curiga pemuda itupun memperhatikan adik seperguruannya ia jumpai gadis
itu seperti orang yang kehilangan sukma. Namun dibalik itu wajahnya justru mencerminkan rasa
puas, suatu sikap yang amat bertentangan, ketika pemuda itu mencoba bertanya gadis itu justru
menjawab secara kasar. Pemuda itu jadi marah dan segera menegur, tapi sebagai jawaban nona
itu mendengus serta melepaskan sebuah pukulan yang membuat pemuda itu tergetar mundur
sejauh tiga, empat kaki lebih-"
"Pemuda itu terperanjat dengan cepat dia melepaskan pukulan balasan, siapa tahu gadis itu
cukup menggoyangkan tangannya tahu-tahu serangan pemuda tersebut hilang lenyap dengan
begitu saja tanpa menimbulkan akibat apapun, kejadian ini tentu saja amat mengejutkan hatinya,
dia tak menyangka hanya dalam berapa hari saja ilmu silat adik seperguruannya telah mengalami
kemajuan yang begitu pesat, ketika soal ini coba ditanyakan, nona itu justru berlalu sambil tertawa
terkekeh-kekeh." Pemuda itu menjadi kesal dan amat murung, dia tak mempersoalkan tentang ilmu silatnya yang
ketinggalan, tapi tidak tahan terhadap sikap sinona yang dingin dan tak berperasaan itu, berapa
hari kembali lewat. Paras muka Kiam sianseng yang semula merah bercahaya kini berubah
menjadi kuning kepucat-pucatan dan kelihatan amat layu, pikirannya tak senang seperti kena
tenung saja. sebaliknya sinona itu justru makin sering melanggar peraturan perguruan, malah dalam
sebutanpun makin tak sopan, terhadap kesemuanya ini Kiam sianseng hanya menghela napas
sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.
Sebagai seorang pemuda yang cermat, anak muda itu segera menjumpai sorot mata penuh
penderitaan dibalik mata gurunya, jelas orang tua itu memendam sesuatu rahasia.
Merasa telah berhutang budi kepada gurunya yang telah memlihara, membesarkan dan
mendidik ilmu silatnya. pemuda yang berbaju perlente itu segera bertekad untuk membantu Kiam
sianseng untuk melepaskan diri dari penderitaan itu, walaupun sebagai resikonya badan bakal
remuk. "Tapi Kiam sianseng tetap membungkam diri dalam seribu bahasa akhirnya untuk mengetahui
rahasia tersebut pemuda itupun bertanya kepada sumoaynya serta memohon penjelasan darinya.
siapa tahu sumoaynya malah tertawa dingin sambil mengejek.
"Apa sih yang kau tanyakan" toh persoalan macam begitu bukan masalah besar yang perlu
ditegangkan?" Pemuda itu menjadi tertegun, dia merasa sikap maupun cara berbicara sumoaynya belakangan
ini sama sekali berbeda, bahkan ketika berada disamping gurunyapun, ia sama sekali tidak
menunjukkan sikap menghormat malah kata-katanya memojokkan orang dan nadanya
memerintah......... Ketika pemuda itu naik darah dan bermaksud menegur gadis itu, saat itulah tiba-tiba pemuda
tersebut mendengar suara Kiam sianseng yang berbicara dengan ilmu menyampaikan suara:
"Nak. kau tak perlu bertanya kepadanya tengah malam nanti datanglah kedalam kamarku. Akan
kuberitahukan segala sesuatunya kepadamu, tapi jangan sampai didengar oleh sumoaymu itu
Legenda Kematian 5 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Kelelawar Hijau 12

Cari Blog Ini