Ceritasilat Novel Online

Menuntut Balas 6

Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 6


hari jiwamu bakal dibikin putus. Walaupun malaikat turun
kedunia, kau tak nanti terbebas dari totokanku ini. Baik kau
ketahui, tuan mudamu berniat agar kau mati perlahanperlahan,
sebab tidak demikian, maka sakit hatiku ini sukar
untuk dibikin lampias"
Kata-kata ini diachirkan dengan kesebatan- Dengan hanya
satu gerakan berkelebat, lenyaplah tubuh si anak muda.
suasana pun menjadi sunji sekali, kecuali suara menjereces
perlahan dari keempat batang lilin besar yang hampir habis.
suara itu juga hanya sebentar, lantas lenyap, lantas padam
sang api, hingga tinggal nyala benang sumbuhnya. Atau dilain
saat, gelap- gulitalah seluruh kuil itu.
Jilid 4.2. Dua jurus tambahan Bie Lek Sin Kang
Matahari baru muncul ketika dijalan kecil diantara Hoo-kan
dan Jim-kioe terlihat seorang anak muda lagi berjalan dengan
tindakan perlahan. Dialah seorang pelajar yang tampan, yang
tangannya mencekal sebuah kipas, Nampaknya dia bertindak
perlahan, tetapi buktinya, sebentar saja dia sudah melintasi
tiga sampai limapuluh tombak.
314 Pemuda itu bukan lain daripada si pelajar yang luar biasa,
jalah Cia In Gak alias Gan Gak. Memang ia sengaja mengambil
jalan kecil itu untuk menuju kekota raja, lantaran ia tidak ingin
menarik perhatian umum. Ia mengambil tepian sungai Houw
To Hoo, yang menuju ke ibukota kewedanan Hoo-kan.
Jalan kecil itu menuju ke Jim-kioe, terus ke Pa-koan dan
dan Kouw-an, lalu ke Hong-tay, untuk memasuki kota raja.
Ketika tadi malam habis membunuh Soh Cian Lie, ia
kembali kehotelnya untuk mengambil buntalannya, diwaktu
fajar ia berangkat, maka beradalah ia dalam perjalanan itu
Ketika ia sudah melintasi kota Hoo-kan, ditempat duapuluh lie
lebih dimana ada pepohonan tua yang lebat, ia mendapatkan
sebuah dusun kecil. Itulah dusun Jie cap lie-pou yang menuju
ke Jim-kioe, maka itu, walaupun tempatnya kecil, lalulintasnya
ramai, tak sedikit kuda dan kereta kaum saudagar
yang mundar- mandir. Setibanya disitu, In Gak memasuki sebuah rumah makan
yang merangkap penginapan- ia mendapatkan sudah ada
banyak juga orang duduk bersantap. Ia mencari meja yang
masih kosong. Ia lantas dilayani seorang tua yang rambut dan
kumisnya ubanan, yang mukanya kuning dan tak hentinya
batuk-batuk. sedang suaranya pun serak. Disamping itu, dia
mempunyai sepasang mata yang tajam.
"Tuan ingin dahar apa?" tanya orang tua itu ramah-tamah.
"Aku habis jalan satu malaman, aku lapar, aku dapat dahar
apa saja barang makanan yang tersedia," sahut In Gak
tertawa. "Tak usah loojinkee susah-susah menyiapkannya."
"Begitu" Baiklah" kata empee itu yang terus berpaling
kedalam, untuk berkata-kata dengan suaranya yang serak:
"Anak Wan, mari bawa bahpauw, poci arak dan daging
untuk seorang tetamu kita ini"
315 "Ya, yaya" menyahut satu suara halus dari dalam, suaranya
seorang nona. "Tuan, duduklah sebentar" kata si empee tertawa kepada
tetamunya. "Cucuku akan segera datang dengan barang makanannya,
Dia dapat menyalakan api dengan cepat"
Ia memandang tetamunya, ia bersenyum, lantas ia pergi
kekursi bambu dipinggiran tembok. untuk duduk sambil
meramkan mata, rupanya untuk beristirahat. Barusan ia masih
batuk-batuk dua kali. Sambil berduduk. In Gak memandang kearah semua
tetamu. Rupanya mereka itu semua saudagar-saudagar hasil
bumi. Ia melihat dua tetamu usia lebih- kurang empat puluh
tahun, yang alisnya tebal, matania besar, dan pakaiannya
singsat, sedang dipunggungnya tergendol golok. Anehnya
sembari minum mereka saban-saban mengawasi si orang tua,
mereka pun memperlihatkan senyuman dingin. ia heran
hingga ia jadi bercuriga.
Mungkinkah orang tua ini orang Rimba Persilatan dan
mereka ini datang kemari mengandung suatu maksud" ia menduga-duga. Tengah ia
berpikir itu, mendadak telinganya mendengar: "Yaya, ini
barang hidangan, yang harus dimakan panas-panas, kalau
sudah dingin, nanti tak lezat didaharnya"
Dan suara itu pun halus. Begitu ia menoleh, In Gak melihat seorang nona umur
empat- atau lima belas tahun. Benar dia mengenakan pakaian
kain kasar, tetapi kecantikannya tak jadi lenyap karenanya.
Dipandang si anak muda, dia agaknya likat, tapi matanya yang
jeli mengawasi anak muda itu. Ditangannya ada penampan
terisi barang makanan yang masih mengepulkan asap. Hanya
sekejab, lekas dia meletaki penampannya itu, lalu dengan air
316 muka bersemu dadu, cepat-cepat dia masuk kedalam, sambil
tunduk dan bersenyum. "Dia cantik sekali," pikir In Gak. Tapi ia tidak dapat berpikir
lama. Telinganya lantas mendengar satu diantara dua tetamu
usia pertengahan itu berkata kepada kawannya.
"Lao Toa, aku tidak sangka sekali ini tua bangka
berpenyakitan mempunyai seorang cucu wanita demikian elok
dan manis" "Hm Kembali penyakitmu kumat" kata sang kawan.
"Tunggulah sebentar, sampai tibanya Tong-san Jie-niauw
Kenapa mesti terburu napsu?"
In Gak heran, lantas ia bersenyum ewah. Bukankah dua
orang itu bicara dari hal si nona" Kata ia dalam hatinya: Aku
ada disini Kau lihat saja Ia menduga dua orang itu bangsa
kurcaci. Si orang tua pun dapat mendengar kata-kata orang itu.
Mulanya ia terkejut, ia mengawasi mereka. Cuma sebentar, ia
meram pula. Tapi barusan In Gak melihat mata yang bersinar,
sedikitpun tidak ada tandanya sinar mata orang lagi sakit
sekian lama si orang tua rebah, mulanya masih terdengar
batuknya, lalu ia berdiam saja, rupanya ia sudah kepulasan.
Para tetamu bergantian melanjuti perjalanan mereka, masingmasing
setelah meletaki saja uang diatas meja.
Paling akhir, karena tidak ada tetamu yang baru, disitu
tinggal In Gak berdua dua tetamu yang mencurigai itu.
Mereka berdua minum dengan hati tak tenang, mata mereka
terus celingukan, mulut mereka mengoceh dan mengutuk.
Tidak antara lama, dari dalam terlihat lari keluarnya
seorang bocah umur kira2 tujuh tahun. Dia beroman tampan
dan manis. Kedua matanya besar dan jeli, biji matanya hitam
dan terang. Dia mendatangi sambil tak hentinya berteriakan
317 "Yaya.. Yaya" memanggil kakeknya. Menyusul dia terlihat si
nona tadi. Ketika nona itu mendapatkan si anak muda belum
pergi, dia likat, dia mengendorkan larinya.
Si orang tua dibikin mendusin oleh suara berisik cucunya,
dia membuka matanya dan memeluk cucu itu, sembari
tertawa dia berkata: "Anak Ceng, bukankah kau berbuat nakal
pula hingga kau membuatnya kakakmu gusar?"
"Tidak, yaya, anak Ceng tidak nakal" menyahut anak itu
sambil mengawasi kakeknya, mulutnya dibikin monyong.
"Ceng cuma makan sepotong bahpauw, enci gusar, dia mau
merangket tanganku Lihat yaya, bukankah encie galak" "
Orang tua itu girang, dia tertawa lebar, suaranya nyaring. si
nona lantas menghampirkan.
"Yaya, batukmu belum sembuh, mengapa kau tertawa?"
katanya, setelah mana, ia tarik si bocah.
Si empee menghela napas, lantas ia meram pula.
Dua tetamu itu agak terkejut mendengar suara tertawa si
empee. Justeru itu dari kejauhan terdengar siulan panjang, yang mendatangi,
lalu tertampak munculnya empat orang. Mereka datang
demikian lekas, suatu tanda mereka mahir ilmu ringan tubuh.
Pula barusan, tindakan kaki mereka tidak menjebabkan
mengepulnya debu. Melihat empat orang itu, si nona terperanjat, mukanya
menjadi pucat. Tanpa merasa, dia mundur kedekat meja In
Gak. "Nona, mari kasikan adikmu padaku" kata si anak muda
tertawa. Nona itu menoleh, nampaknya dia berduka, tetapi dia
menyerahkan adiknya itu seraya berkata: "Paman, paling baik
kau ajak adikku ini sembunyi didalam. Mereka itu orang-orang
318 jahat, mereka datang untuk kakekku, mungkin mereka hendak
melakukan kejahatan"
In Gak menggoyang kepala, ia tertawa.
"Jangan kuatir," ia menghibur." Asal nona sendiri menjaga
dirimu baik-baik" Nona itu tertawa. Dengan sekali menggeraki tubuhnya,
segera ia berada dibelakang kursinya si orang tua. orang tua
itu sendiri terus merapatkan matanya, ia seperti tidak ketahui
adanya ancaman badai dan hujan lebat.
Empat orang itu sudah lantas berdiri berbaris didepan kursi
si orang tua terpisah hanya lima kaki, semua dengan tertawa
menyeringai mengawasi orang tua itu, tatkala si nona pergi
kebelakang kursi, air muka mereka pada berubah menjadi
guram dan bengis. Dua diantaranya mencekal keras golok
mereka, agaknya mereka takut si orang tua nanti menyerang
mereka secara tiba-tiba. "He, Hoe Liok Koan" kemudian menegur orang yang satu,
yang tubuhnya jangkung-kurus, "Jangan kau berpura-pura
mampus. Kau ketahui aku Ho Tek Pioe, sudah lima tahun
lamanya mencari kau. Baiklah kau tahu diri sedikit, lekas kau
keluarkan kitab ilmu silat itu, dengan begitu aku masih dapat
memberi ampun kepada selembar jiwamu"
Sekonyong-konyong saja si orang tua berseru nyaring
bagaikan guntur, sembari berseru itu kedua matanya
dipentang dan tubuhnya mencelat, dengan kedua tangannya
yang diajukan kedepan, ia menyerang keempat orang itu.
Inilah tidak disangka sekali, maka mereka itu terkejut,
meskipun mereka dapat berkelit mundur, tubuh mereka toh
terhuyung. 319 Setelah itu si orang tua memisahkan diri dua tombak.
dengaa sorot mata gusar ia mengawasi Ho Tek Pioe berempat
itu. Si nona terkejut, tetapi dia lantas bekerja, dengan
berlompat kebelakang si orang she Ho, dia menyerang.
Ho Tek Pioe mendengar suara angin dibelakangnya, ia
memutar tubuh, ia menangkis dengan kedua tangannya. si
nona cerdik dan gesit, selagi ditangkis itu, hingga tangan
mereka berdua bentrok. la meneruskan untuk berlompat
jumpalitan, dengan begitu ia turun pula dibelakang si orang
tua, kakeknya itu. Menampak sepak-terjang si nona, si orang tua kelihatan
gusar. "Wan-jie, mengapa kau lancang turun tangan?" dia
menegur. "Lebih baik kau melindungi Ceng-jie"
"Ya y a" menyahut si nona, air matanya mengembeng.
"Kenapa kau tidak dengar kata?" membentak pula si orang
tua, matanya menatap tajam. "Lekas"
Menyusul itu, kerongkongan orang tua ini mengasi dengar
suara serak. lalu itu disusul dengan batuk-batuk.
Nona itu terpaksa, dengan berduka ia menggeser tubuhnya
kedepan In Gak. Si bocah,yang dipanggil Ceng-jie, tak hentinya memanggil
paman kepada In Gak dan berulang kali dia menanya ini dan
itu. In Gak sendiri, sambil mengusap-usap kepala orang dan
menyahuti secara sembarangan, setiap saat memasang mata
kepada suasana dihadapannya itu.
"Tua-bangka she Hu" terdengar pula suara kasar dari si
orang she Ho, yang tertawa terbahak-bahak. "Dulu hari itu
beruntung kau lolos dari tanganku si orang she Ho, walaupun
demikian, kau tidak lolos seluruhnya, kau telah merasai juga
liehaynya Tangan Pasir Merah dari aku sebenarnya sulit untuk
orang luput dari kematian, setelah dia terhajar tanganku, tak
320 ada obat untuk itu, tetapi kau, mahir sekali tenaga dalammu,
kau masih bisa mencari hidup sampai lima tahun. Kau hebat
sekarang kau dapat dicari olehku, sekarang apa kau hendak
bilang" Makin kau bergusar, makin lekas kau mampus Maka
janganlah kau bandel dan tak mau sadar, baik lekas kau
serahkan kitab ilmu silatmu itu. Didepan aku Tong-san Jieniauw,
cuma dengan bicara baik barulah kau mendapat
kebaikan" Napas memburu dari si orang g tua sudah berhenti, tetapi
suara seraknya tetap tak mau hilang. Dia kata, sabar tetapi
tetap: "Ho Tek Pioe, jangan kau mengandalkan jumlahmu
yang banyak. Aku si orang tua, belum tentu aku jeri kepada
kamu" In Gak mendengar suara parau luar biasa dari orang tua
itu, yang dipanggil Hoe Liok Koan, ia tahu itulah sebab si
orang tua telah menggunai berlebihan tenaga dalamnya.
Teranglah orang tua ini sudah bertahan terhadap pukulan
Ang-see-ciang, atau Tangan Pasir Merah, dari orang she Ho
itu, bahwa kalau tetap dia bertahan, akan ludaslah sisa
tenaganya, akan melayanglah jiwanya. Tentu sekali tidak
dapat ia menonton terus. Maka dengan perlahan ia kata pada
si nona: "Nona, kau empo si Ceng ini" sembari berkata, ia
serahkan bocah itu, menyusul mana, tangannya diarahkan
kepada dua orang yang memegang golok. Ia seperti menotok
dengan jari tangannnya. Mendadak dua orang itu roboh terguling saling susul,
hingga robohnya itu membikin debu mengepul naik, Maka
kagetlah empat orang yang datang belakangan itu, mereka
memutar tubuh dan melihatnya dengan tercengang. semua
mata mereka lantas ditujukan tajam kepada si pemuda.
In Gak bersenyum, dengan tenang ia bertindak kedepan
Tek Pioe, dengan tenang juga, ia berkata:
321 "Aku belum mendengar tentang sebab-musabab dari
permusuhan kamu hingga kamu datang kemari untuk
memperhebat permusuhan itu, akan tetapi melihat sikap


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garang dari kau musang sangat menghina seorang tua yang
lagi sakit, aku dapat merasakan pastilah kamu bukan manusia
baik-baik Maka itu tuan mudamu mempunyai satu perkataan:
Baiklah kamu tahu diri, lekas-lekas kamu menggoyang
ekormu, untuk ngeleyor pergi dari sini Ini hari, cuma inilah
kata- kata ku yang manis"
Ho Tek Pioe tercengang. Inilah ia tidak sangka dari si anak
muda tidak dikenal itu, yang ia anggap usilan dan sangat
terkebur. selagi ia berpikir, maka seorang disampingnya maju
setindak seraya mengasi dengar suaranya yang parau-nyaring:
"Binatang, kau berani mencampuri urusannya Tong-san Jieniau"
Apakah kau tidak pernah mencari tahu?"
Belum berhenti suara itu atau itu disusul dengan
gaplokanyang nyaring, maka panas dan merahlah muka orang
itu, yang menjadi bengkak-bengap. sedang dari mulutnya
keluar darah lantaran giginya tergempur.
In Gakpanas sekali, sebelum orang bicara habis, ia sudah
melayangkan sebelah tangannya, yang cepat dan mengenai
tepat, sembari menghajar itu, ia menanya: "Mencari tahu apa"
Lekas bilang?" Ia tidak memperdulikan orang menyebut
dirinya Tong-san Jie-niauw Dua Burung dari Tong san.
Hoe Liok Koan dan kedua cucunya menjadi heran dan
girang dengan berbareng. Si orang tua menjadi mendapat
harapan pula. Ia tidak sangka sekali, pemuda yang mulanya
nampak demikian halus gerak-geriknya ternyata mempunyai
kepandaian yang luar biasa. Lihat saja gerakan tangannya
yang cepat bagaikan angin itu.
Si Ceng menjadi demikian gembira, hingga dia bertepuktepuk
tangan dan berkata dengan nyaring: "Paman, hajarlah
322 mereka lebih banyak. Mereka sangat menghina kepada yaya
kami" Orang yang digaplok itu Kioe-tauw-siauw Tam Liong, si
Kokok-beluk Kepala sembilan. Dialah salah satu dari Tong-san
Jie-niauw yang paling telengas dan licin. Dia kaget dan
kesakitan, dengan tangannya dia lantas mengusap-usap
pipinya yang bengap itu, sedang dengan matanya dia
mengawasi ketiga kawannya, maksudnya mengajaki untuk
meluruk. guna mengerojok si anak muda. Tapi Ho Tek Pioe
mengedipi mata, mencegah pihaknya lancang turun tangan.
Tek Pioe serta dua kawannya itu ragu-ragu. Mereka telah
mendengar kabar angin halnya selama yang belakangan ini,
dunia Kang-ouw sudah dibikin guncang oleh beberapa pemuda
tidak dikenal, yang dikabarkan liehay luar biasa, bahwa Rimba
Persilatan gempar karenanya. sekarang mereka menghadapi
pemuda ini, mereka mau menduga mungkinlah dia salah satu
diantaranya. Jadi Tek Pioe ingin ketahui dulu siapa guru si
anak muda. Tapi Tam Liong panas hati, melihat kawan- kawannya
berdiam, ia lantas mengeluarkan senjatanya, sepasang poankoanpit, gegaman mirip alat tulis, lantas dia berseru:
"Mencari tahu apa" Mencari tahu apakah aku Kioe-tauwsiauw
Tam Liong dari Tong-san Jie-niauw dapat dipermainkan
atau tidak?" In Gak tertawa lebar. "Dapat dipermainkan atau tidak, tuan mudamu ini tetap
hendak mempermainkannya" ia menjawab, halus dan jenaka."
Aku bilang padamu, jikalau hari ini kamu memikir untuk
pulang dengan tubuh utuh, itulah pikiran ngaco-belo, khayal.."
Tam Liong tidak bicara pula, dengan tiba-tiba dia maju
untuk menyerang dengan sepasang senjatanya yang liehay
itu. Itulah salah satu dari tigapuluh-enam jurus si Raja-setan
323 Ciong Hiok Menakluki iblis. Dan ketika serangannya yang
pertama gagal, ia mengulangi dengan yang kedua, terus
sampai yang keenam, selama mana ia mengarah enam jalan
darah khie-hay, pek shwee, kin-ceng, sim-jie, cie-tong dan
beng-boen. Itulah ilmu silat yang dulu hari membuat sin-piehiap
Ciong Kie dari Boe Tong Pay mengemparkan Rimba
Persilatan, hanya tidak diketahui, dari mana Tam Liong, dapat
mempelajariny a. Biasanya siapa diserang dengan tipu silat itu
dia mesti terbinasa atau sedikitnya terluka parah, sebab
diujung poan-koan-pit ada alat rahasianya, disitu tersimpan
duapuluh-empat batang jarum beracun Boen-sim-ciam. Begitu
kena racun dapat merembes keulu-hati.
Tam Liong menanti ketika akan memencet alat-rahasianya
itu. Didalam hatinya ia kata: "Kau tunggu, Kau lihat liehaynya
Tam Liong, Hm!" In Gak tidak mau mengasi hati kapan ia mendapatkan
orang demikian kejam, selagi orang memikir untuk menggunai
senjata rahasianya, ia sudah melakukan penyerangan
membalasnya. Mendadak kedua tangannya bergerak.
"Bocah, kau cari mampusmu" kata Tam Liong dalam hati.
Ia girang bukan main. Akan tetapi ia terlambat. Berbareng
dengan niatnya memencet alatnya itu, ia merasai jantungnya
terguncang keras, lantas matanya menjadi gelap. tahu-tahu
tubuhnya terpental mundur tiga tombak dimana ia roboh
bagaikan bukit ambruk. bahkan ia lantas putus jiwa dengan
dari mulutnya keluar darah hidup.
Dengan kesebatan bagaikan kilat, in Gak maju untuk
mencekal kedua nadi musuh, membarengi mana kaki
kanannya terangkat, mendupak tubuh orang telengas itu,
selagi tubuh itu mulai mental, ia merampas kedua poan-koanpit
selagi musuh roboh terkulai, In Gak berlompat mundur.
"Ini sepasang senjata aku hadiahkan kepada kau" ia kata
pada Ceng-jie, kepada siapa ia menjerahkan poan-koan-pit.
324 "Inilah hadiah dari pamanmu kepadamu" Ceng-jie berontak
dari rangkulan kakaknya, ia menyambuti senjata itu. "Paman,
terima kasih" katanya, tertawa girang.
Dilainpihak, Tek Pioe bertiga kaget sekali. Nyata benar
kecurigaannya bahwa pemuda didepannya ini salah satu
pemuda yang digemparkan. Bukankah Tam Liong terbinasa
secara kecewa" Maka menyesallah mereka sudah turun
tangan tanpa menanti orang pergi dulu, habis mana baru
mereka menghajar si tua. Mereka pun menjesal tidak mencurigai si anak muda
semenjak tadi mereka baru sampai. sekarang sudah terlanjur
terpaksa Tek Pioe membesarkan nyali.
"Kami Tong-san Jie-niauw, kami tidak bermusuh dengan
kau, kenapa kau menurunkan tangan jahat?" dia menegur si anak muda.
In Gak tidak menjadi gusar, bahkan sebaliknya, ia
bersenyum. "Apakah kau tidak dengar tadi apa katanya Tam Liong?" ia
bertanya. "Bukankah dia menyuruh aku mencari tahu siapa dia"
Bukankah kau yang membilang bahwa dibawah tangannya
Tong-san Jie-niauw tidak bakal orang dapat lolos" Karena itu
tuan muda kamu menjadi jeri, dia terpaksa menggunai semua
tenaganya Apa celaka, dia kesalahan tangan. Maka aku mohon
sukalah kamu memaafkannya"
Baru habis berkata, si anak muda menambahkan bengis:
"Apakah kamu tidak pernah mencari tahu, dibawa h tanganku,
berapa orang jahat yang pernah dapat hidup?"
Tubuh Tek Pioe menggigil, peluhnya membasahkan
pakaiannya. "Aku si orang she Ho ketahui aku tidak dapat melawan,
maka urusan ini baiklah ditunda," katanya terpaksa. "Gunung
325 hijau tidak berubah, dari itu dibelakang hari kita akan bertemu
pula" Habis berkata, tanpa menanti jawaban, Tong-san Jie-niauw
memberi tanda kepada dua kawannya, untuk mengangkat
kaki, ia sendiri segera memutar tubuhnya, akan tetapi belum
lagi ia bertindak. atau ia merasakan berkesiurnya angin, lantas
si anak muda telah berada didepannya dengan wajahnya
berseri-seri. Mereka menjadi sangat kaget, ketiganya
menyedot hawa dingin. Hebat kegesitan si anak muda.
"Tuan, mengapa kau terlalu menghina orang?" kata Tek
Pioe, yang hatinya menjadi ciut. "Kau memegat kami, apa lagi
yang kau hendak bicarakan?"
Sebelah tangannya In Gak melayang, atau pipinya orang
she Ho itu berbunyi nyaring, hingga dia lantas membekapnya.
"Kau masih berani menyebut terlalu menghina orang":
tanya si anak muda. "Hoe Tayhiap sudah menyembunyikan diri lima tahun
lamanya, kau masih tidak mau mengasi ampun, Kenapakah"
Dan sekarang kau bermuka begini tebal berani menegur aku"
Aku ulangi pada kau, semenjak aku muncul maka tidak ada
orang yang dapat lolos dari tangan tuan mudamu ini. Itulah
aturanku dan tidak dapat aku merusaknya sendiri. Tapi aku
masih hendak memberi muka kepada kamu sekarang lekas
kamu membunuh dirimu, supaja tak usah aku sampai turun
Tangan" Itulah desakan hebat, maka dua kawannya Tek Pioe
menjadi kalap, dengan berbareng mereka menghunus senjata
mereka, dengan berbareng juga mereka menyerang si anak
muda. Nona Wan menjadi sangat kaget hingga ia menjerit, tetapi
jeritannya itu disusul dengan berkontrangnya dua senjata
yang terlepas jatuh, disusul pula dengan robohnya kedua
penyerang itu, yang terus rebah melingkar bagaikan ular.
326 Selama terjadi penyerangan itu, Tek Pioe berlompat
menyingkir, dengan dua loncatan saja dia telah bisa
memisahkan diri lima tombak lebih. Akan tetapi In Gak tak
membiarkannya. Habis ia menotok roboh kedua penjerang, ia
memutar tubuh menghadapi Tong-san Jie-niauw, kedua
tangannya diluncurkan dan ditarik pulang dengan sebat.
Dengan itu ia menggunai ilmu silat Bie-lek sin-kang bahagian
menyedot. Maka tubuh Tek Pioe bagaikan tertarik. percuma
dia meronta, dia terbawa balik ketempat dimana barusan dia
berdiri, dia roboh terbanting hingga matanya kabur dan
ingatannya terbang, belum lagi ia mendusin, si anak muda
sudah menotok pinggangnya. Habis itu pemuda itu, sembari
bersenyum, bertindak menghampirkan si orang tua she Hoe.
Liok Koan tercengang, lalu ia menghela napas panjang.
Bukan main ia kagum untuk liehaynya si anak muda, sembari
menggeleng kepala ia kata seorang diri: "Benar2, gelombang
sungai Tiang Kang yang dibelakang mendampar yang didepan,
orang lama menggantikan orang baru, dan orang sudah tua
tidak ada gunanya" Menampak si anak muda mendatangi, lekas2 ia maju
memapak. baru dua tindak. ia sudah menjura dalam seraya
berkata: "Siauwhiap. kau telah menolong i aku si orang tua,
aku sangat berterima kasih"
In Gak mengulur kedua tangannya, untuk mengasi bangun
pada orang tua itu. "Inilah urusan sangat kecil, tak usah bicara dari hal terima
kasih," katanya. "Hoe Tayhiap. kau terlalu merendah"
Tapi segera ia memandang kepada enam mayat, alisnya
dikeruti, katanya: "Enam benda itu, berabeh juga untuk
mengurusnya" "Tidak berabeh, siauwhiap" berkata Liok Kean, yang terus
merogo sakunya untuk mengeluarkan sebuah peles kecil,
327 setelah membuka tutupnya, ia menggunai kukunya mengambil
isinya, bubuk warna kuning, bubuk mana ia peluruki masuk
kedalam hidungnya enam orang jahat itu. Maka berselang
sekian lama, keenam majat itu lantas berubah menjadi cair
kuning. Ceng-jie telah menghampirkan In Gak. dengan kedua
tangannya ia merangkul leher si anak muda.
"Jangan tidak tahu aturan" Liok Koan menegur cucunya itu,
setelah mana, ia batuk2 hingga pinggangnya melengkung,
mukanya merah, air matanya mengalir keluar. sampai
beberapa saat, baru ia dapat berdiri pula dengan lempang,
sedang Wan-jie lantas menumbuki punggungnya. Ia nampak
berduka sekali. In Gak mengawasi orang tua itu, lalu ia berkata: "Hoe
Tayhiap, jangan bersusah hati, penyakitmu ini bukan penyakit
yang bakal dibawa mati. Aku yang muda, dapat aku
mengobatinya." Orang tua itu mengangkat kepalanya, ia mengawasi, lantas
ia menghela napas. "Ketika pertama kali aku terhajar Ang-see-ciang dari Ho
Tek Pioe, lantas aku pergi minta pertolongannya Goei Peng
Lok, tabib yang dijuluki say-hoa-to dikota Ciang-peng. Aku
diberi ohat tetapi katanya cuma untuk bertahan selama enam
tahun, maka itu, siauwhiap, walaupun mempunyai obat dewa,
tak nanti kau dapat menolong aku"
In Gak tahu orang tidak percaya, ia tertawa.
"Hoe Tayhiap, janganputus asa," ia berkata. "Nasib itu ada
ditangan kita. Umpamakata penyakit tayhiap benar penyakit
yang bakal dibawa mati, kau toh dapat membebaskan dirimu
dari siksaan" Mendengar demikian, Liok Koan tidak menolak lebih jauh.
328 "Dengan begitu kembali aku membikin kau berabeh,
siauwhiap" katanya. Lantas ia mengajak anak muda itu kekamarnya dimana ia
membuka bajunya. Apabila In Gak sudah memeriksa luka, ia mengerutkan
alisnya. Luka itu dipunggung, disitu kedapatan tapak tangan
warna merah tua, kapan ia menekan itu, ia membentur kulitdaging
yang lembek sekali. Habis itu ia memeriksa kedua nadi,
yang denyutannya sangat lemah.
"Hoe Tayhiap, jangan kuatir" katanya kemudian,
bersenyum. "Masih ada harapan"
Ia ingat pada Hian-wan sip-pat-kay dalam mana ada
pelajaran tentang nadi. Kemudian ia berpaling pada Nona
Wan, sembari tertawa ia kata: "Hari ini jangan berusaha, pergi
kau menutup pintu" Nona itu menyingkap rambutnya yang turun, dia tertawa.
"Baiklah" sahutnya sambil ia terus berlari keluar bersama
Ceng-jie. In Gak lantas bekerja. Ia meloloskan baju dan celananya
Hoe Liok Kean, untuk terus mengurut dipelbagai bagian tubuh,


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau perlu, ia memencet. sebat sekali ia bekerja. Hingga
darahnya si orang tua berjalan dengan lurus. selama itu,
orang tua ini menderita. Kalau panas, ia merasakan panas
sekali, dan kalau dingin, ia merasakan dingin bagaikan es.
Beberapa kali ia sampai merintih. Tapi ia bertahan.
Tidak lama Wan-jie dai Ceng-jie kembali, ketika si nona
melihat tubuh telanjang lagi tengkurap dari kakeknya, ia batal
masuk kedalam kamar. Ketika itu In Gak pun lantas menanya,
ia mempunyai alat tulis atau tidak.
Wan-jie menyahuti, terus ia pergi, akan mengambil barang
yang diminta. Ia masuk kedalam kamar sesudah In Gak
menutupi tubuh si orang tua.
329 Nona dan bocah itu masih nampak berduka. Ceng-jie
mendekat kakeknya dan menanya apa si kakek merasa
baikan. Liok Koan tidak menyahuti, ia bahkah merintih lebih keras.
"Sudah, adik, jangan ganggu kakek" si nona bilang seraya
menarik tangan adiknya. "Ah, encie banyak omong" kata bocah itu. "Pantas kakek
pernah bilang, entah bagaimana kalau nanti kau sudah
menikah" I Gak tertawa. Bocah itu jenaka.
Mata Wan-jie mendelik. "Adik, jangan ngoco" tegurnya.
"Apa kau mau dihajar" "
Ia membetot tangan orang.
"Lihat, paman" kata bocah jail itu. "Encie galak sekali, Apa
paman tidak mau menghajar dia?"
In Gak tertawa. Ia tidak meladeni bicara, ia hanya menulis
surat obatnya. Kemudian sambil menyerahkan itu pada si
nona, ia kata: "Kau belikan obat ini, lantas masak menurut
aturannya." Nona Wan menurut, ia berlalu dengan diikuti Ceng-jie.
In Gak memeriksa pula tubuh si orang tua. Tapak
merahnya sudah berkurang. Kembali ia menguruti. Kali ini Liok
Koan tumpah-tumpah, yang keluar ialah gumpalan-gumpalan
darah mati yang sangat bau. Bersama itu berubah pula tapak
tangan, dari merah gelap menjadi merah dadu.
Tidak lama Nona Wan datang dengan obat. In Gak lantas
pakai itu untuk memborehkan ditempat yang luka. Liok Koan
menahan sakit tetapi ia masih teraduh-aduh hingga Wan-jie
meleleh air matanya dan Ceng-jie menangis saking
berkasihan. 330 Akhirnya selesai sudah In Gak mengurut. Tapak merah
dipunggung hanya tinggal berbayang. Tapi Liok Koan pingsan
karenanya. Ia lantas ditusuk dengan jarum emas didua belas
tempat, ketika ia mendusin, ia merintih pula. Ia dikasi makan
obat godokan setelah semua jarum dicabut, terus ia diselimuti.
"Sekarang, tayhiap, tidurlah untuk kira2 dua jam" In Gak
mengasi tahu. "Sebentar boleh makan obat lagi. Aku percaja
kau akan segera sembuh."
Liok Koan mengucap terima kasih. Ia menurut, ia terus
tidur. In Gak mengajak Wan-jie dan Ceng-jie keluar, pintu
kamar ditutup. "Ceng-jie" tanya si anak muda setelah mereka diluar,
"Apakah kau suka pamanmu mengajari kau menggunai poankoanpit?" "Suka.. Suka.." menyahut bocah itu kegirangan. Ia lantas
lari kedalam, untuk mengambil senjatanya Tam Liong, yang
tadi diberikan padanya. "Ini, paman, ini?"
Juga Wan-jie mengharap diajari silat, seperti Ceng-jie, ia
sangat memuja pemuda itu.
Baru sekarang I n Gak sempat memperhatikan poa nkoanpit itu, yang indah buatannya dan tepat dicekalnya. Ia
lantas menuturkan ilmu yang ia mau mengajarinya yaitu Ciong
Hiok Hok mo sha cap lak-to, setelah itu ia menjalankan itu
untuk dilihat dan diperhatikan si Ceng. Tentu sekali, ia dapat
menjalankan lain daripada Tam Liong.
Ceng-jie belajar sungguh2, berani ia menanya ini dan itu,
cepat ia ingat, hingga In Gak girang. Pemuda ini memuji orang
berotak terang. Wan-jie menyaksikan dengan perhatian.
"Nona Wan, apa kau pun suka pelajaran ini?" In Gak tanya.
"Baik kau coba"
331 Wan-jie mengangguk. Ia nyata lebih cerdas daripada
adiknya, ia bisa belajar dengan lebih cepat dan rapi. Hingga in
Gak bertambah girang. "Kamu gemar silat, baiklah, akan aku mengajari lagi" kata
In Gak kemudian, sesudah keduanya ingat baik2 ilmu poa nkoanpit itu. Ia mengajari ilmu pedang Pek wan-kiam atau
Kera Putih yang sederhana, dan gerak-gerik tindakan kaki
Kioe-kiong Im- yang Ceng-hoan Pou-hoat. Ia kata, dengan
pandai ketiga ilmu silat itu, si nona dan si bocah belum dapat
menjagoi, tapi cukup untuk membela diri andaikata mereka
menghadapi jago kelas satu atau kelas dua."
Wan-jie girang. ia mengambil pedangnya. Dengan sabar In
Gak memberikan pelajarannya.
"Sekarang berlatihlah sendiri" katanya kemudian, selang
dua jam. Ia terus masuk kekamar Liok Kean, yang sudah
mendusin- "Siauwhiap" berkata orang tua itu tertawa, "Sekarang aku
merasakan napasku lega, aku telah menjadi seperti dua orang
yang berlainan. Budimu sangat besar, entah bagaimana aku
membalasnya" Dengan tajam ia mengawasi anak muda itu, kemudian ia
menghela napas dan kata: "Kau masih begini muda tetapi ilmu
silatmu liehay sekali, kaulah seorang luar biasa. Coba aku
tidak melihatnya sendiri, sukar aku percaya"
In Gak tertawa. "Nah ini, tayhiap, minum pulalah obatmu" ia kata.
Liok Koan menurut, kemudian ia merapikan pakaiannya,
untuk bertindak kepintu, hingga ia melihat kedua cucunya lagi
berlatih. Ia heran dan kagum, kemudian sembari tertawa, ia
kata: "Bagaimana beruntung kedua cucuku ini yang telah
mendapatkan pendidikan kau, siauwhiap"
Ia girang dan bersjukur. 332 "Mereka itu berbakat baik, sayang mereka tidak menemui
guru yang pandai" In Gak bilang.
"Ah,ya" kata si orang tua tiba-tiba." Aku gila sekali. Aku
tidak tahu aturan sudah sekian lama kita bertemu, aku masih
belum menanyakan she dan namamu, siauwhiap. Maaf"
In Gak bersangsi sebentar, lantas ia perkenalkan diri
sebagai Gan Gak. Selagi mereka berbicara, Ceng-jie berhenti bersilat, ia lari
pada kakeknya, untuk merangkul.
"Sudah baik, engkong?" tanyanya gembira. "Paman ini baik
sekali, sudah dia menolongi engkong, dia pun mengajari aku
dan encie ilmu silat, Engkong, coba tolong tanya paman, dia
suka menerima aku sebagai murid atau tidak?"
In Gak menarik bocah itu, ia buat main pipinya yang
merah-dadu. "Dengar, anak Ceng" katanya riang. "Pamanmu suka
mengajari kau silat, tetapi sekarang aku mempunyai urusan
penting, tidak dapat aku menemani kau lama2. Aku mau
berangkat sebentar malam. Asal kau rajin berlatih, tentu
pamanmu girang." Mukanya Ceng- jie menjadi guram. Wan-jiepun masgul,
ingin ia bicara, selalu ia gagal. Maka keduanya terus berdiam
saja. Liok Koanpun masgul, ia menggeleng kepala dan menghela
napas. Ia pun ingat nasib cucunya yang perempuan itu, yang
sudah berumur empatbelas tahun, sedang dihadapannya ada
seorang muda yang tampan dan gagah. Tentu sekali, tidak
berani ia sembarang membuka mulut. Maka ia masuk
kedalam, akan keluar pula dengan sejilid buku yang berkulit
kambing. Ia menyerahkan itu pada si anak muda seraya
dengan roman berduka ia berkata:
"Inilah kitab ilmu pedang karena mana bukan saja anak
dan mantu perempuanku telah terbinasa, aku si orang tua
333 sendiri hampir hilang jiwaku. Kitab ini didapatkan anakku
didalam guha dipuncak gunung Heng san. Ketika itu pun ada
datang belasan orang lain, yang mencarinya. Mereka bentrok.
Disana anak dan menantuku menemui ajalnya dan aku
terkena pukulan Ang see Ciang dari Ho Tek Pioe, syukur aku
sempat meloloskan diri. sayang sebuah pedang, yang
bernama Thay-ko-kiam, sudah kena dirampas seorang jahat
yang tidak diketahui. Tetapi dia gampang dikenali. Dia tinggi
delapan kaki, macamnya mirip labu, dan mukanya bertitik
bule." Ia menunjuk kedua cucunya dan menambahkan:
"Kami asal kota Lokyang, mereka ini ketolongan oleh
seorang bujang wanita, setelah aku sampai dirumah, aku
bawa mereka pergi kepada tabib di Peng-ciang untuk aku
berobat, kemudian kita tinggal bersembunji disini. Aku tidak
sangka, Tong-san Jie-niauw tidak mau melepaskan aku,
mereka menyusul kemari. Kitab ini bertuliskan huruf-huruf
Kah-koet-boen, aku tidak paham surat, percuma aku
memilikinya, dari itu baiklah aku menghadiahkan kepada
siauwhiap saja." In Gak menampik, "Tak berharga untukku menerimanya" katanya.
"Jikalau kau menampik, siauwhiap, kau memandang asing
kepadaku" kata si orang tua, membujuk. "Apakah kau tidak
mengerti bahwa pedang itu harus dimiliki oleh orang yang
bijaksana?" Mendengar demikian, anak muda itu tidak dapat menampik
terlebih jauh. "Terima kasih" katanya. Lantas ia membalik-balik lembaran
kitab itu, atau mendadak dia berseru seorang diri. Kitab itu
ialah kitab Bie-lek sin-kang bahkan disitu ada dua jurus
lainnya, ialah Im-kek yang-seng dan Liok-hap-hoa-it jurus2
yang istimewa. Ia lantas berkata: "Ini dia rupanya yang
334 disebut peruntungan. Kitab ini kitab yang ilmu silatnya aku
pelajarkan, maka kalau kitab ini didapatkan golongan sesat,
tentu Rimba Persilatan bakal merupakan darah yang berbau
amis. Tayhiap, aku mendapat hadiah ini, tidak dapat aku
membalasnya, maka itu aku ingin mengajari ilmu tenaga
dalam, untuk menyalurkan dan menguasai pernapasan, yang
mana pasti besar faedahnya untuk tayhiap serta kedua
cucumu." Habis berkata begitu, tanpa menanti lagi, In Gak mengajari
kouw-koat, atau teori ilmu tenaga dalam itu. Ia pun membagi
masing-masing sebutir obatnya kepada mereka bertiga, untuk
mereka lantas menelannya, hingga mereka merasa lega dan
harum mulut mereka. Jilid 4.3. Jie In, ya Tabib ya Pelajar
Hoe Liok Koan girang sekali, berulang kali ia menghaturkan
terima kasih. Setelah itu, Wan Jie, yang pergi kedalam, kembali dengan
bahpauw yang masih mengepul-ngepul, melihat mana, In Gak
tertawa dan kata pada si orang tua: "Lihat, tayhiap. cucumu
pintar sekali, dia tahu yang pamannya sudah lapar"
Lalu, tanpa malu2, ia makan kuwe itu.
Si nona. tertawa, dia kata pada kakeknya: "Lihat, engkong,
Gan siauwhiap tidak lebih tua banyak daripada cucumu tetapi
dia banyak tingkahnya, orang sungkan padanya, orang
memanggil dia paman, lantas dia menjebut dirinya paman,
paman" Habis berkata begitu, si nona bersenyum.
Liok Koan pun bersenyum, tetapi ia membungkam. Ia pikir
cucunya itu benar juga. satu kali si cucu memanggil paman,
itu berarti orang menjadi bertingkat lebih tua dan panggilan
335 itu sukar diubahnya. Dilain pihak ia tidak mengerti si cucu,
selagi ia sendiri memanggil siauwhiap. kenapa itu
membahasakan paman. In Gak tertawa bergelak. Ia memandang mereka, ia makan
terus bahpauwnya. Ialah seorang cerdik, dapat ia membade
apa apa yang dipikir Liok Koan dan Wan-jie. Karena ini ia
masgul. Ia lantas ingat Tio Lian Coe si nakal dan Cioe Goat
Goyang lemah gemulai. Ia tertawa melulu untuk
menyembunyikan rasa hatinya itu.
Wan-jie merasa mukanya panas mendengar tertawa
kakeknya. Ia percaya kakek itu telah dapat membade hatinya.
Dalam usia empatbelas tahun, ia sudah dapat berpikir. Ia tahu
ada nona-nona umur lima- dan enambelas tahun, yang sudah
merantau. Ia sendiri, ia mesti berdiam saja didalam rumah.
Lantas ia membentur lengan Ceng-jie, justeru adik itu lagi
menyuap. hingga si adik heran.
Ia mengedipi mata dan kata: "Adik Ceng, coba pikir, kita
mengubah panggilan apa yang tepat?"
Borjah itu juga cerdik sekali. Ia lantas melirik kepada In
Gak. Mendadak dengan kedua tangannya ia sambar tangan
kanan si anak muda. Ia kata: "Coba bilang, jikalau aku
memanggil kau engko Gan- bagus tidak?"
In Gak tercengang. Ia berduka. Ia pikir: Usia mereka tak
beda jauh dengan usiaku, pantas kalau mereka memanggil
kakak. tetapi ini budak- dia mengandung maksud apakah"
Jangan-jangan. Ia takut memikirnya, maka ia berpura-pura
tertawa. Cepat ia menyahuti: "Kamu boleh memanggil apa
saja, sesukamu. Kenapa kau main putar2 dan menyuruhnya
adik Ceng?" ia tambahkan pada si nona. Wan-jie tidak
menyahuti, ia tunduk dan bersenyum.
336 Liok Koan sebaliknya tertawa lebar. Katanya: "Ah, kamu
berdua setan cilik Bagaimana kamu berani manjat cabang
yang tinggi" Siauwhiap, tak usah kau layani mereka"
Ia berhenti sebentar, cepat ia menambahkan, "Siauwhiap.
benarkah sebentar malam kau hendak berangkat pergi"
Bagaimana kalau kau nginap satu malam, besok baru kau
pergi?" In Gak tertawa. "Itu artinya aku mengganggu" sahutnya.
Itu artinya menerima baik permintaan, maka Ceng-jie
girang tidak kepalang, ia tertawa tak hentinya.


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kunyuk cilik, jangan terlalu bergirang" kata In Gak
tertawa. "Habis dahar ini, aku mau pergi keluar, sebentar aku
ingin lihat, kau bersamedhi sempurna atau tidak. jikalau tidak,
awas, aku nanti hukum padamu"
Ceng- jie mengulur lidahnya, ia mementang matanya. Ia
demikian lucu hingga Wan-jie tertawa, hanya si nona mesti
lantas pergi kedalam, untuk menyiapkan barang hidangan
buat sebentar malam. In Gak pergi keluar. Ia berjalan cepat. Ia pergi kesebuah
bukit kecil dimana ada banyak pepohonan serta selokan yang
airnya mengalir. Ia mencari tempat yang sukar terlihat lain
orang dimana segera ia mengeluarkan kitab hadiahnya Hoe
Liok Koan- untuk membuka lembarannya. Ia memeriksa
bagian sin-kang, yang terdiri dari empat belas jurus, duabelas
antaranya sama dengan ajarannya Beng Liang Taysoe,
bedanya ialah kepandaian Beng Liang itu didapat dari Boe
Beng siangjin, dan Boe Beng siangjin mendapatkannya dari
peryakinan sendiri selama beberapa puluh tahun digunung
Thian san Utara, hingga seluruhnya ada juga beberapa gerakgeriknya
yang kurang jelas untuknya. Baiklah nanti aku pulang
kegunung untuk menanya jelas pada soehoe, pikirnya.
337 Kemudian ia lantas membaca dua jurus lagi, yang masih
asing untuknya, ialah jurus- jurus Im-kek yang-seng dan Liokhaphoa-it. setelah dapat memahami, ia mencoba bersilat
dengan itu. Nyata ia berhasil, bahkan hasilnya sangat
menggirangkan padanya. Keras sambaran2 anginnya, sedang
beberapa buah pohon didepannya roboh karena tinjunya.
Syukur kitab ini terjatuh dalam tanganku, pikirnya
kemudian- Coba ini didapatkan oleh orang jahat, entah
bagaimana bencana yang dia bakal terbitkan
Tentu sekali, bukan main berterima kasihnya ia terhadap
Hoe Liok Koan- Ia tidak menyangka, baru ia menanam
kebaikan, segera ia memperoleh buahnya.
Habis mempelajari dua jurus itu, In Gak duduk numprah
untuk bersemadhi, guna menyedot dan mengeluarkan
napasnya. Cuma sebentaran, lantas ia merasakan
pernapasannya lega dan lenyap segera keletihannya. Maka itu,
tak bosannya ia mengulangi berlatih semua empat belas jurus
Bie-lek sin-kang itu. Berselang dua jam lantaslah ia apal sekali.
Baru setelah itu, ia simpan kitab berharga itu dan
berjalanpulang kerumahnya Liok Koan.
Begitu anak muda ini menolak daun pintu, ia mendapatkan
sang kakek dan kedua cucunya lagi duduk bersamedhi.
Dengan mengawasi sebentar saja, ia mendapat kenyataan
mereka itu sudah apal dengan pelajarannya, maka senanglah
hatinya. Ia tidak mau mengganggu mereka, ia pergi keluar
pula, untuk duduk bercokol dikursi rotan dibawah para-para
pohon beroyot, matanya jauh memandang kearah Utara.
Belum lama ia berduduk diam itu, telinganya mendengar
siulan tajam dua kali. Ia heran- Itulah siulan orang Kang-ouw.
Herannya ialah ia mendengar itu disiang hari bolong. Kenapa
ditempat demikian, didekat jalan umum, orang berani
memperdengarkan suara itu" Tapi ia tidak usah mendugaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
338 duga lama, atau lantas tertampak berkelebatnya dua
bayangan didepan para-para.
Orang yang satu ialah seorang pendeta bertubuh kekar,
jubahnya abu-abu, dipinggangnya tergendol senjatanya, sekop
Hong-pian-san, yang berwarna hitam. Dia memiliki sepasang
mata tajam dan bengis, hidungnya merah, mulutnya persegi
lebar. Dia berumur lebih- kurang limapuluh tahun. Dan orang
yang kedua, orang bukan pendeta, bermuka merah,
jenggotnya pendek. alisnya tebal, matanya besar, hidungnya
bengkang. Dia berumur hampir limapuluh.
In Gak duduk tak berkutik dikursinya, ia tidak menggubris
orang mengawasi ia dengan tajam.
"Taysoe" berkata si muka merah, "Sampai saat ini Jieniauw
masih belum kembali, mungkinkah mereka telah
berhasil dan timbul keserakahannya maka mereka lantas pergi
menjingkirkan diri?"
"Hm" menjawab sipendeta, tertawa dingin "Biarnya Jieniauw
bernyali sangat besar, tidak nanti mereka berani main
gila terhadap Hoed-ya. Pula kitab itu bertuliskan huruf-huruf
Kah-koe-boen, selainnya Hoed-ya yang mengerti, lain orang
percuma memilikinya. Disini mungkin terjadi sesuatu. Turut
katanya Jie-niauw anjing tua itu tingggal disini, maka baiklah
kita coba menanyakan keterangannya itu pelajar rudin"
"Hm" In Gak bersuara perlahan dihidungnya. Ia tetap
berdiam saja. Muka merah setujui si pendeta yang jumawa itu, yang
berani menyebut dirinya Hoed-ya, sang Budhha. Dia lantas
menghadapi pemuda kita, untuk menanya dengan keras dan
kasar: "Eh, pelajar rudin, rumah ini rumahnya si orang she
Hoe, benarkah?" Baru sekarang in Gak mengawasi orang dengan matanya
yang bersinar tajam, sebelah tangannya pun diangkat,
dikibaskan kepada orang itu, atas mana si muka merah
339 mundur terhuyung dua tindak. Ia berbangkit dengan ayalayalan,
ia berkata dengan tertawa dingin:
"Jikalau kau menanya orang, menanyalah dengan cara tahu
aturan. Kamu bangsa kurang ajar, tak sudi tuan muda kamu
bicara denganmu. Lekas kamu menggelinding pergi!"
Si muka merah mencoba berdiri tegak. wajahnya
bermuram-durja. "Hm Hm" bersuara si pendeta beroman bengis itu. "Mata
Hoed-ya tak ada pasirnya, cara bagaimana kau dengan
kepandaianmu tidak berarti ini berani main gila dihadapanku"
Benar-benar kau cari mampusmu sendiri, pelajar rudin"
Belum habis suaranya pendeta itu, atau "Plok" maka
mukanya kena digaplok hingga dia menjadi kalap saking
gusar, tanpa ngoceh lagi, dia mengibas dengan bajunya yang
gerombongan, hingga si anak muda nampak seperti digulung
angin puyuh. Pemuda kita tidak takut, dengan berani ia menyambuti
kibasan itu, untuk mencoba. Ia menggunai tenaga lima
bagian- Tangan mereka lantas bentrok. sebagai akibatnya itu,
pundak In Gak terangkat naik dan tubuh si pendeta
terhuyung. Hal ini membuat keduanya terperanjat. Itu
tandanya tenaga dalam mereka sama-sama mahir.
Menggunai ketika orang bentrok itu, si muka merah
mengangkat kakinya. Dia ingin pergi kerumahnya Liok Koan,
untuk nerobos masuk. Tindakan itu justeru yang dikuatirkan
In Gak, sebab Liok Koan bertiga lagi bersamedhi, nanti mereka
terganggu. Maka itu justera ia dikibas pula, ia tidak melawan
lagi, hanya ia berkelit, untuk terus berlompat kearah si muka.
merah, kepala siapa ia terus jambak. untuk ditarik keras,
hingga si muka merah kembali roboh dengan terbanting keras,
matanya sampai berkunang-kunang. Karena tubuhnya itu
melanggar para2 pohon, para2 itu roboh ambruk.
340 Tangguh si muka merah ini, begitu ia memegang tanah,
begitu ia lompat bangun, tetapi hatinya ciut, maka ia tidak
berani menyerang si anak muda.
Si pendeta terkeujut menyaksikan gerakan tubuh dan
tangan demikian sebat dari si pelajar rudin, didalam hatinya ia
kata: Kepandaianku ini yang disebut Tiat-sioe Keng-kang,
tenagaku kuat seribu kati, kenapa ini pelajar rudin tidak
terluka atau roboh karenanya" Aneh.. maka sembari tertawa
dingin, ia kata: "Aku tidak sangka bahwa aku, Ta y- liang Tiathoed,
dapat bertemu orang berilmu tinggi, Mari, mari, Hoedya
ingin ketahui berapa liehaynya kau"
Mendengar disebutnya gelaran orang, In Gak lantas
mendapat tahu pendeta ini ialah satu diantara sip-sam-mo
Tiga belas iblis. Pantas dia pandai ilmu silat Tiat-sioe Kengkang,
tenaga angin Tangan-baju Besi. Ia tidak takut. sambil
berlenggak ia tertawa dan kata: "Tuan kecil kau menyangka
siapa, tidak tahu kaulah si setan cilik yang jelek diantara tiga
belas iblis, si siluman tua Chong-sie masih tidak sanggup
melawan tuan kecilmu ini, cara bagaimana kau masih
mencoba mementang bacot lebar bagaikan lautan?"
Kaget Tay- liang Tiat-hoed mendengar perkataan orang ini.
ia lantas berpikir: Kabarnya Chong-sie Koay-sioe roboh
ditangan seorang muda aneh, aku mengira itulah kabar angin
belaka, yang tak ada kenyataannya, tetapi sekarang pemuda
ini mengatakan begini, mungkin dia benar. Baik aku mencoba
pula padanya, aku menggunai Tiat-sioe. Keng-kang dicampur
dengan Hian-im Tok-cie. sjukurlah apabila aku berhasil,
supaya aku tidak sampai kena digertak kabar angin itu
oleh karena memikir demikian, Tiat-hoed tidak mau banyak
omong lagi, dia cuma mengasi dengar tertawanya yang
seram, lantas dengan mendadak dia berseru nyaring dan
lompat menyerang, menyerang dengan tangan bajunya yang
lebar, berbareng dengan mana, ia pun menotok dengan jeriji
341 tengahnya, mengarah buah-susu. Ia ingin mewujudkan apa
yang ia pikir, menyerang lawan dengan jerijinya, dengan tipu
silat jeriji beracun Hian-im Tok-cie.
Serangannya pendeta ini sangat sebat dan hebat. Akan
tetapi In Gak sudah waspada. Ia tidak mau bertindak seperti
waktu ia merobohkan Chong-sie Keay-sioe dirumahnya Cioe
Wie seng. Ketika itu ia menyerang secara tiba2, hasilnya pun
cepat dan diluar dugaan-semenjak itu, ia tidak ingin
sembarang menggunai Hian-wan sip-pat-kay dan Bie-lek sinkang.
sekarang menghadapi si pendeta, ia berlaku sabar. ia
bersenyum, dengan tindakan Hian-thian Cit-seng-pou, ia
berkelit, untuk menggeser tubuh kebelakang lawan, baru
setelah itu ia menyerang kepung gung dengan jurus Hok houw
Kim-kong-ciang, tangan Arhat Menakluki Harimau, dan
tenaganya pun dikerahkan sepenuhnya.
Tay-liang Tiat-hoed sudah memikir matang, dengan
menggunai kedua kepandaiannya itu dengan berbareng, tidak
nanti sipelajar rudin dapat meloloskan diri, maka terkejutlah
ia, begitu ia menyerang, begitu lawannya lenyap dari
hadapannya. Celakanya untuknya, karena ia menyerang
hebat, tak dapat ia membatalkannya. Tengah ia kaget itu, ia
merasai gempuran pada punggungnya, seperti ia dihajar
dengan martil, hingga ia terjerunuk tiga tindak. matanya pun
berkunang-kunang. Lekas2 ia menahan dirinya, jikalau tidak,
tentulah ia roboh menubruk tanah. serangannya toh meminta
kurban, ialah tembok didepannya, hingga tembok rumahnya
Liok Koan gempur, ambruk dengan menerbitkan suara keras.
Hingga karenanya, Liok Koan bersama dua cucunya lantas
berlompat keluar. Begitu ia melihat kakek dan cucu itu bertiga, ingatan jahat
muncul dalam hatinya si pendeta, justeru ia lagi sangat
mendongkol. Katanya dalam hatinya: Jikalau bukan karena
kau, tua bangka, tidak nanti aku kena terhajar ini pelajar
rudin, sekarang baik aku turun tangan terhadap si bocah,
342 untuk memaksa dia menyerah. Cuma dengan begini maka
Hoed-ya dan Cie-sat-sin dapat berlalu dari sini"
Cuma segebrakan itu, pendeta yang jumawa ini menjadi
kecil hatinya, hingga dia takut menempur pula si pelaujar
rudin, hingga dia merasa bahwa sulit untuknya mengangkat
kaki dari situ. Maka tanpa malu lagi, dia berniat melakukan
perbuatan yang hina itu mencekuk bocah cilik
Ceng-jie muncul dengan poan-koan-pit ditangannya. Biar
bagaimana, ia kaget dan heran atas kejadian itu ia pun jeri
ketika ia melihat roman bengis dari Tay- liang Tiat-hoed, yang
mengawasi ia secara mengancam. Maka ingin ia menjauhkan
dirinya. Ia mau mundur. Tiat-hoed memikir cepat dan bekerja sebat. Begitu ia
memikir, begitu ia meluncurkan tangan kanannya, ia
menggeraki ujung jerijinya, guna mencekuk bocah yang diarah
itu. Tapi baru ia mengerahkan tenaganya, mendadak ia
merasakan lengannya itu sakit, lalu menjadi kaku tak
bertenaga, disusul dengan rasa nyeri sekali didadanya, sampai
ia bergemetaran. itu artinya ia telah tak dapat menggunai lagi
tenaganya. Ia kaget berbareng takut. Tahulah ia hebatnya
serangan si pelajar rudin itu Bahkan ia mau menduga, kalau ia
tidak bakal lekas mati, ia pasti akan bercacad seumur
hidupnya, hingga ludaslah kepandaian silatnya yang liehay itu.
Ia lantas menjadi berduka, sambil menghela napas, tangannya
dikasi turun, kedua matanya yang tajam dan bengis lantas
menjadi guram. Dengan menyender disisa gempuran tembok.
la berdiam dengan menjublak
Kapan si muka merah melihat munculnya Hoe Liok Koan,
dia kaget hingga mukanya menjadi pucat. Tanpa pikir panjang
lagi, ia memutar tubuh untuk berlompat pergi, buat lari
menjingkirkan diri. Si muka merah ini sebenarnya Kie Keng
gelar Cie-sat-sin si Bintang Jahat. Dialah seorang piauwsoe,
yang pernah bekerja sama Liok Koan dalam sebuah piauwkiok
343 dikota Lokyang. Dia berhati buruk. Maka dia bentrok dengan
Liok Koan- Keduanya lantas berhenti bekerja. Kemudian
pernah mereka bertemu satu dengan lain tetapi mereka bawa
seperti orang-orang tak kenal satu dengan lain- Kemudian lagi
dia mendengar dari Tong-san Jie-niauw halnya Liok Koan
terlukakan pukulan pasirMerah, dia menjadi tidak takut, dia
turut si pendeta datang menyateroni, siapa tahu, sekarang dia
melihat orang she Hoe itu, segar-bugar, dia menjadi jeri, maka
dia mau kabur. Dia maupergi, In Gak tidak mengijinkannya. si
anak muda lompat menyamber dan membawanya kembali,
kedepan Ceng-jie. Bocah cilik itu kaget, ia menyangka ia mau dihajar, ia lantas
berkelit seraya memutar tubuh, sembari berbuat begitu, ia
menyerang dengan poan-koan-pitnya.
Cit-sat-sin ketakutan dan tidak berdaya, dadanya lantas
tertikam gegaman mirip alat tulis itu, darahnya mengalir
keluar, tubuhnya roboh, jiwanya lantas melayang pergi.
Inilah diluar sangkaannya Liok Koan. Ia menghela napas.
"Hm" ia mengasi dengar suaranya.
"Engkong" kata si cucu, menyangkal, "Dia sendiri yang
membentur poa n- koan-pitku" Kakek itu tertawa.
"Kakekmu tidak ngaco-belo" katanya. "Aku bukannya tidak
dapat melihat." "Baiklah," lain kali jangan kau lancang turun
tangan."

Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Gak tertawa, ia kata: "Ceng- ujie gesit dan lincah,
sekarang dia masih begitu muda, dibelakang hari dia mesti
liehay sekali, maka tak usahlah tayhiap menegur dia."
Habis berkata, In Gak lantas bekerja, menggusur mayatnya
Cie-sat-sin dan Tiat-hoed kedalam rumah. sebab juga si
pendeta, setelah nyender sebentar ditembok. arwahnya sudah
melayang ke Dunia Barat "Tayhiap" kata In Gak kemudian, "Aku melihat tempat ini
tak dapat ditinggali lebih lama pula. Baiklah tayhiap beramai
344 pindah dari sini. Apakah tayhiap mempunyai sanak atau
sahabat disuatu tempat lain dimana kamu dapat menumpang
bernaung?" Liok Koan berpikir. "Aku lihat aku cuma dapat pergi
kerumah say-hoa-to dikota Peng-ciang" katanya. "Wan- jie,
mari kita bersiap-sedia, kita harus segera berangkat."
Nona itu menurut, bersama kakeknya ia lantas pergi
kedalam, guna menyiapkan buntalan mereka.
Syukur rumah orang she Hoe ini berada diujung gang yang
sunyi dan banyak juga pepohonannya, maka selama terjadi
peristiwa berdarah yang hebat itu, tidak ada orang lain yang
mengetahuinya, jikalau tidak. mungkin mereka menemui
kesulitan lain. Liok Koan mempunyai dua ekor keledai, maka kedua
binatang itu dipakai untuk mereka mengangkat kaki.
In Gak tertawa ketika ia berkata: "Kamu bertiga naik atas
dua ekor keledai, inilah bagus. Nah, lekaslah kamu berangkat"
Ceng-jie mengawasi dengan matanya. Ia heran-"Gan
Toako, bagaimana dengan kau?" ia tanya si anak muda.
In Gak bersenyum. "Toakomu dapat berjalan cepat tak kalah dengan kakinya
keledai kamu" ia menjawab. "Kamu harus ketahui, tidak dapat
kita jalan bersama."
Ceng-jie gelisah. "Toako, secara begini saja kau mau meninggalkan aku?"
dia tanya. In Gak mengusap-usap kepala anak itu.
"Ceng-jie, baik-baiklah kau mendengar kakek dan
kakakmu," ia kata, "Sabar dan kau pelajarilah dengan
sungguh2 ilmu silat yang toakomu ajari kau, Kau tahu, aku
mempunyai urusan sangat penting. Tapi jangan kuatir, dalam
tempo dua tahun, aku nanti datang kepada kamu di Pengciang."
345 Ia merogo kesakunya, mengeluarkan sepotong emas, yang
ia serahkan kepada bocah itu, sembari ia kata: Inilah untuk
kau membeli bebuahan. Anak itu tahu diri, ia menampik,
"Terima, Ceng-jie" kata In Gak, sungguh2. "Jikalau kau
tolak. toakomu marah"
Ceng-jie menerima dengan terpaksa, ia mengucapkan
terima kasih. Tapi ia bersedih, air matanya lantas melele
keluar. Matanya Wan-jie pun merah, sedang Liok Koan menjadi
sangat terharu. "Nah, berangkatlah" In Gak mendesak. sebab ia pun berat
untuk berpisah. Mau atau tidak mau, kakek dan cucu2nya itu lantas
mengeprak keledai mereka.
In Gak menanti sampai orang sudah pergi ujauh, ia lantas
menggunai kedua tangannya menggempur ambruk sisa
rumahnya Liok Koan, habis mana ia pergi meninggalkan Jie
cap lie-pou, untuk diam2 menguntit tiga orang itu ia
mengantar sampai dikota raja, baru ia memisahkan diri.
*** Pemandangan malam dijembatan Louw Kauw Kio dikota
raja adalah pemandangan alam yang indah, akan tetapi In
Gak menuju kesana diwaktu fajar, setibanya disana, sudah
terang tanah, ia lantas mendengar dan melihat berlalulintasnya
kereta2 diatas jembatan itu. Tepat ia menginjak
ujung jembatan, ia mendengar suaranya dua orang yang
tertawa dan berkata: "Sungguh sha-tee seorang yang dapat
dipercaya. Begini pagi kau telah sampai disini"
Bukan main girangnya pemuda ini kapan ia telah
mengangkat kepalanya. Kalau tadi ia baru mendengar
suaranya, sekarang ia menampak wajahnya orang yang
346 menegurnya itu ialah Kian-koen-cioe Loei Siauw Thian
bersama Kioe-cie sin-kay Chong Sie.
Segera mereka membuat pertemuan, tetapi untuk
berbicara, guna mencegah tertariknya perhatian orang lain,
mereka lantas pergi kesebuah rumah penginapan kecil di
Wan-peng. Disini barulah mereka dapat memasang omong,
paling dulu tentang perpisahan mereka.
Tiba2 In Gak tertawa dan menanya Siauw Thian: "Jieko,
kebinasaannya Sam-cioe Gia- kang ditepi pengempang, bukankah itu hasil kerjamu
yang gilang-gemilang?"
Siauw Thian bersenyum. "Kau terkalah" sahutnya. "Jikalau bukan aku, siapa lagi"
Setelah melakukan itu, aku berpikir. Aku berkuatir orang nanti
menggunai nama palsu dan itu dapat merugikan kau dalam
usahamu menuntut balas. Kau tahu, hiantee, setibanya dikota
raja, lantas aku membikin penyelidikan. Dulu hari itu, yang
mengeroyok Cia Peehoe berjumlah kira2 sembilan puluh
orang, diantaranya ada tiga orang Cian san Pay dari Kwangwa.
Pemimpin dari partai itu ialah Pek san it-ho Kiong Thian
Tan. Dia bukanlah seorang jahat. Baiklah, hiantee pergi ke
Khouw-kee-chung di Liauw-leng, untuk menyelidikinya. Bila
orang-orang itu dapat menyingkir jauh, kau bakal menjadi
berabeh. Menurut aku, paling baik kau menuntut balas satu
demi satu. Aku telah pikir, biarlah aku bersama toako menjadi
si tukang mencari rahasia, lalu kaulah yang turun tangan
terhadap setiap musuhmu itu. Kau akur, bukan?"
In Gak setujui pikiran itu, ia girang sekali.
"Bagaimana dengan urusan jieko sendiri?" tanyanya
kemudian. Siauw Thian mengangguk. dia tertawa.
"Itulah bukan urusan terlalu besar" sahutnya." Aku
mempunyai seorang sahabat karib yang bekerja menjadi
Cong-pouw-tauw dikantor Kioe-boen Teetok. dia bernama Poei
347 Kiat. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia bersikap bengis,
maka dia dianggap sudah bersalah terhadap banyak sahabat
kaum Kang-ouw. Begitulah selama pesta ulang-tahun
kelimapuluh dari ia, ia telah kecurian seperangkat baju
lapisnya hadiah dari sepnya. Kejadian sebenarnya biasa,
pencurian itu dapat diselidiki dengan perlahan. Tapi si pencuri
berguyon hebat, dia justeru mengumumkan itu. Peristiwa itu
sudah berjalan hampir setengah tahun, Tahulah Peei Kiat
bahwa sengaja orang hendak mencemarkan dan
bukan mencuri untuk mencuri. Dia lantas menyelidikinya
sambil berbareng memohon bantuanku. siapa tahu, aku pun
pusing dengan penyelidikan itu. Baru lima bulan yang lalu,
diwilayah sam-siang, aku endusan. Poei Kiat sendiri habis
daya, hingga dia cuma dapat menarik napas panjang pendek.
tubuhnya jadi rongsok. hampir dia kehilangan pangkatnya.
setelah aku tiba disini.."
"Lantas jieko berhasil bukankah?" In Gak memotong,
tertawa. Siauw Thian pun tertawa. "Urusan tak ada sedemikian mudah" sahutnya. "Hanya
setibanya aku, kebetulan aku bertemu toako, jikalau tidak.
pasti aku tidak dapat bekerja licin"
In Gak melirik kepada Chong sie. "Bagaimana, toako?"
tanyanya. Chong sie menoleh pada Siauw Thian, dia tertawa dan
berkata: "Kau bicara tidak jelas, kau dapat membuat shatee
nanti menyangka aku, lantaran mengemis saja aku masih
tidak cukup makan, bahwa aku pun mencuri barang orang"
"Ah, toako" kata In Gak. tidak puas. "Mengapa kau
menduga demikian" Apakah kau mengira aku tidak kenal baik
pada toako dan jieko?"
Chong sie tertawa, begitupun siauw Thian.
348 "Shatee, aku tidak permainkan kau" katanya. "Mari aku
menjelaskan. Tujuh hari lamanya sia-sia belaka aku membuat
penyelidikan dikota raja ini, lalu dihari kedelapan aku bertemu
toako dikuil Tang Gak Bio kemana aku pergi berjalan-jalan.
Belum sempat aku melihat toako, dia sudah lantas
menghampirkanku. Lantas toako memuji kau, shatee. Tidak
kusangka, kau pandai ilmu pengobatan. Maka aku pikir, kalau
nanti urusan shatee sudah selesai, baiklah shatee tinggal disini
selaku tabib, pasti orang-orang besar nanti berduyun-duyun
datang padamu sambil mengangkut uang yang putih seperti
salju" "Jieko" In Gak memotong pula, hanya dia berkata sambil
tertawa, "Kenapa kau masih berguyon saja" Apakah jieko mau
aku hajar kau dengan ilmu Hoen-kin Co-koet-cioe untuk
membuatnya kau salah laku?"
Kata-kata ini disusul dengan gerakan sebelah tangan. siauw
Thian lompat mencelat. "Aku tidak berguyon, shatee" katanya. "Baiklah nanti aku
menutur pula. Aku lantas bicara dengan toako Toako kata ia
mempunyai jalan. ia mengajak aku kemarkas Kay Pang,
disana ia minta keterangan kalau-kalau ada salah seorang
anggautanya ketahui urusan pencurian itu, sudah umumnya
dimana ada pesta disana mesti kedapatan pengemis. Demikian
malam peristiwa itu, ada tiga anggauta Kay Pangyang
mendapat lihat lima orang bagaikan bayangan melompati
tembok dan rumah, bahkan mereka itu diduga mestinya
Touw-shia Ngo-cie, ialah Lima Tikus Kotaraja. Bersama-sama
toako, aku lantas menyelidiki Ngo-cie. Mulanya mereka itu
menyangkal, saking gusar, toako meng hajar dengan pukulan
Kim-kong san-ciang, sedang aku, aku menasihatinya sambil
mengancam, apabila mereka tidak menyerahkan pakaian itu,
Tong-nie Poo-kah, tak ada tempatnya mereka dikota raja ini.
sebaliknya, aku berjanji akan tidak menarik panjang dan tidak
akan mengganggu sepak-terjang mereka. Demikian baju itu
dibayar pulang dan aku mengembalikannya kepada Poei Kiat.
349 Besoknya toako menjamu Touw-shia Ngo-cie didalam
markasnya, disana secara kebetulan kita membicarakan hal
ayahmu, shatee. Menurut Ngo-cie, jumlah pengeroyok
ayahmu itu berjumlah lebih dari sembilanpuluh orang,
diantaranya ada tiga anggauta Cian san Pay, hanya mereka
tidak tahu siapa orang itu."
In Gak menjura kepada kakak- angkat nomor dua itu,
berulang kali ia menghaturkan terima kasih.
"Diantara saudara sendiri, mana dapat ada ucapan terima
kasih?" Siauw Thian tertawa. "Ooh, hiantee, aku lupa
menghaturkan selamat kepada kau."
Muka In Gak menjadi merah.
"Sebelum sakit hatiku terbalas, tak dapat aku membangun
rumah-tangga" ia berkata. "Jieko, toako, sekarang juga aku
hendak berangkat, setelah menemui mentuaku, baru aku mau
pergi ke Khouw-kee-toen."
"Apakah hiantee tidak hendak menikmati dulu keindahan
kota Pak-khia?" Chong sie tertawa ia mendahului si anak muda berkata:
"Orang lagi kegirangan, mana dia mempunyai minat untuk
pesiar" sudahlah, mari kita berangkat"
Kembali mukanya In Gak menjadi merah. Tak berdaya ia
untuk godaan dua kakak-angkat itu. Dengan lantas katiganya
berangkat ke Chong-cioe, kerumah Keluarga Tio, dimana
mereka berkumpul dengan gembira sebab dua hari sebelum
mereka, To Ciok sam bersama Gouw Hong Pioe, The Kim Go,
Hauw Lie Peng, Tio Lian Coe dan Cioe Goat Go telah tiba
terlebih dulu. Tio Kong Kioe belum pernah bertemu dengan bakal
menantunya, kapan ia sudah melihat roman, dan potongannya
Cia In Gak. la girang bukan main. ia lantas saja penuju dan
menyukai menantu itu dan ia bersyukur untuk peruntungan
bagus dari puterinya. Tapi ia tengah sakit mengi, tidak dapat
350 ia turun dari pembaringan untuk menyambut sekalian
tetamunya itu. "Tua-bangka she Tio, kau belum ketahui bahwa
menantumu ini ahli ilmu pengobatan" kata Chong sie sambil
tertawa. "Aku tanggung tidak sampai lewat tiga hari, kau akan
sudah segar-bugar seperti naga dan harimau dahulu hari"
Kong Kioe heran, ia mengawasi menantunya itu.
Muka In Gak merah, ia likat, tetapi ia menghampirkan
mentuanya itu, untuk ia periksa nadinya, sembari memeriksa
ia menanyakan tentang keadaan penyakit sukar menyalurkan
napas itu, setelah mana ia membuat dua macam resep. satu
untuk dimakan, satu lagi obat luar. Dilain pihak segera ia
mengobati dengan tusukan jarum hingga sembilan kali, yang
mana dilakukan saling-susul dikedua jam ngo-sie dan jie-sie,
tengah-hari dan lohor. Benarlah seperti katanya Chong sie si Naga sakti Sembilan
Jeriji, lewat tiga hari, Tio Kong Kioe telah sembuh dari
sakitnya yang bandel itu, hingga ia menjadi girang sekali,
sedang Lian Coe dan Goat Go girang dan bangga untuk
tunangannya itu. Akan tetapi In Gak sendiri tidak berdiam lama dirumah
mentuanya, selang dua hari, ia meminta diri, berpisahan dari
rombongan, untuk berangkat ke Tiang Pek san, gunung yang
disebut juga Cian san. XI Pada suatu hari maka didusun Khouw-kee-toen di Liauwleng,
Kwan-gwa, telah datang seorang pelajar usia
pertengahan, yang lantas meminta kamar dalam sebuah hotel
kecil. Dia bicara dengan lagu-suaranya orang Kang lam.
Besoknya dia memasang merek dipintu hotel,
memberitahukan bahwa dia mengerti ilmu ketabiban serta
bersedia juga menolongi orang menulis surat dan lainnya.
351 Untuk itu dia katanya bersedia menerima uang sekedarnya.
Dia memakai nama Jie In. Ketika orang melihat mereknya itu, rata-rata orang memuji
tak perduli mereka yang terpelajar, sebab huruf-hurufnya


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagus sekali. Khouw-kee-toen mempunyai cuma dua jalan besar tetapi
karena letaknya dipesisir dan juga mulut gunung Cian san,
ramai keadaannya. Kaum saudagar, yang mengusahakan kulit
dan bulu ternak. juga obat-obatan jinsom dan yosom,
berpusat disitu. Karena ini, setiap rumah memakai layar yang
tebal didepan rumahnya, guna menjaga sampokan angin yang
keras serta serangan debu disebabkan ramainya lalu-lintas
kendaraan dan kuda. Angin pun menerbangkan pasir kuning
yang halus, yang tak hentinya selama empat musim.
Justeru itu waktu bulan ketujuh, musim panas akan tetapi
untuk wilajah Kwan-gwa orang tak terganggu teriknya sang
surya, maka juga seperti biasanya setiap magrib semenjak
kedatangannya, Jie In si tabib merangkap pelajar, telah pergi
kesamping kiri hotelnya dimana ada rimba pohon cemara,
dimana pun ada kali kecil beserta jembatannya, jembatan
batu. Dibawah jembatan itu, dimana air berwarna hijau, dia
berdiri menikmati keindahan alam. Disitu segala apa tenang
dan tenteram. Angin bertiup halus. Matahari sore mengasi
lihat cahajanya yang permai. Jie In menggendong kedua
tangannya, dia memandang kelangit, mulutnya bersenandung.
Atau dilain saat dia bercokol dijembatan, mengawasi air jernih
yang mengalir tak hentinya.
Dihotelnya, Jie In dikenal sebagai seorang yang manisbudi.
Ada yang memanggilnya sie-seng atau tayhoe (tabib),
Ada yang membahasakan sinshe (bapak guru). semua itu ia
terima dengan senang. saban ketemu orang tak ketinggalan
anggukannya yang halus senyumannya yang manis.
352 Pada dua hari pertama, orang-orang yang datang berobat
tidak banyak jumlahnya, setelah itu mulailah datang
perubahan. Inilah disebabkan dia tidak memandang uang.
Terhadap orang miskin, ia tidak minta bayaran, ia
menolongnya sama seperti mereka yang dapat membayar.
Terutama ialah resepnya, atau lebih benar obatnya, manjur
setiap bungkus, karena sangat tepat pemeriksaannya. Maka
itu ditempat sekitarnya sepuluh lie lantaslah terkenal Jie leseng
atau Jie sinshe. Dengan lekas, dua bulan telah lewat.
Pada suatu hari selagi senggang, Jie In duduk bersantap
bersama tuan rumah yang usianya sudah lanjut. Tiba-tiba
diluar hotel terdengar berisiknya ringkikan kuda disusul
dengan disingkapnya gorden serta munculnya tiga orang
dengan tubuh mereka besar dan keren dan kepalanya ditutup
tudung rumput yang lebar. Seorang diantaranya, yang usianya
paling tua, lantas berkata dengan suara nyaring:
"Loociangkoei, apa benar disini ada berdiam Jie Tayhoe?"
Loo ciangkoei ialah panggilan untuk pemilik hotel dan
tayhoe, tabib. Tuan rumah itu segera berbangkit.
"Oh, kiranya Soen Tongkee" dia berkata, tertawa. "Inilah
Jie Tayhoe" la lantas menunjuki teman bersantapnya itu. Jie In segera
berbangkit. "Ada urusan apa tuan mencari aku?" ia menanya dengan
hormat. Dengan aku ia menjebut hak-seng murid, suatu katakata
yang merendah. Orang she soen itu mengawasi, lantas dia tertawa
berkakak. "Jie sinshe, kau beruntung sekali" katanya, tertawa pula.
"Cucu perempuan dari majjkan kami mendapat sakit, kau
diundang untuk tolong mengobati dia, asal kau benar pandai
dan berhasil menjembuhkannya, pastilah majikan kami bakal
353 jadi sangat girang, kau tentulah akan peroleh hadiah perak
yang putih- gemilang, hingga akan cukuplah hidupmu
seumurmu" Habis berkata, lagi dia tertawa.
Tapi Jie In menerimanya sebaliknya. Ia kata sungguhsungguh:
"Tabib itu ada kewajibannya sendiri-sendiri. Tabib
menolong si sakit, dia miskin, dia kaya, sama saja. Jikalau aku
mesti menolong untuk uang, terima kasih, tidak sanggup aku.
Dimanakah tinggal majikan tuan itu" Nanti aku pergi sendiri
kesana" Orang she Soen itu tidak jadi gusar. Kembali dia tertawa.
"Jie sinshe, aku tidak sangka kau bertabiat begini macam"
katanya. "Majikanku itu Kiong Thian Tan, dan julukannya Pek
san it-ho si Burung Jenjang dari gunung Pek san, dia tinggal
dipuncak Pit-kee-hong diatas gunung Tiang Pek san. Manusia
itu diketahui , pohon itu dikenal dari bayangannya, maka kau
niscayalah pernah mendengarnya. Dan aku si tongkee Soen
Kay Teng bertiga, kami sengaja datang kemari untuk
memapak kau mendaki gunung, maka juga, jikalau sinshe
mau menyusul belakangan, bagaimana dapat kau mendaki
puncak itu?" Jie In agaknya baru tersadar.
"Oh, kiranya Kiong sancoe" katanya separuh berseru.
"Benar-benar aku beruntung sekali, Soen Tongkee, sudikah
menanti sebentar, aku hendak berkemas dulu"
Lantas ia masuk kedalam kamarnya. Tempo ia keluar pula,
ia mengenakan baju luar dari kulit dantangannya mencekal
beberapa jilid buku ketabiban yang sudah tua dan robek
disana-sini "Benar-benar aku tidak menyangka Jie sinshe seorang
Kang-ouw sejati" kata Soen Kay Teng tertawa.
354 "Diatas gunung, angin besar dan hawa dingin, untuk kami
penggemar ilmu silat, itulah tidak berarti, tidak demikian
dengan sinshe yang tubuhnya lemah, maka jikalau sinshe
tidak memakai baju lapis, ada kemungkinan sebelum sinshe
memeriksa orang sakit, sinshe sendiri yang nanti roboh
karenanya. Jikalau itu sampai terjadi, bukankah menggelikan?"
Tuan rumah dan dua kawannya Kay Teng ini tertawa.
Jie In pun turut tertawa. Ia kata: "Untuk kami tabib
pengumbara dan sebangsanya, seperti tukang tenung, empat
penjuru lautan ialah rumah kami, jikalau hal ini aku tidak
ketahui, tak dapat aku dipanggil tabib yang biasa
merantau.Benar bukan, soe Tongkee?"
Tanpa menanti jawaban, ia melanjuti kepada tuan rumah:
"Loociangkoei, tolonglah kunci kamarku, sebentar setelah
kembali kita nanti berkumpul pula"
"Baik sinshe" sahut tuan rumah.
Soen Kay Teng lantas mengajak si tabib keluar dimana
sudah menantikan sebuah tandu yang dipikul empat orang.
Itulah tandu istimewa untuk Kwan-gwa, tandu mana mirip joli
tapi tanpa penutup, disitu orang dapat rebah menyender,
tatakannya ialah rumput yang lunak dan hangat. Melihat tandu
itu, Jie sinshe agaknya jeri.
"Aku mendaki gunung naik ini?" katanya.
Kay Teng tertawa. "Jikalau sinshe takut, meramlah, tidak apa" katanya.
Jie In menggeleng kepala, tetapi ia toh naik ditandu
dengan roman terpaksa. Begitu ia menaruh tubuhnya, begitu
empat tukang gotongnya berseru dan bergerak.
mengangkatnya dan berjalan, cepat seperti lari.
Diatas tandu, Jie In merasai tubuhnya terumbang- ambing,
didalam hatinya ia kata: Liehay empat tukang gotong ini,
355 disebelahnya biasa, kuat kaki mereka Ia diam saja. Inilah yang
pertama kali ia naik kendaraan istimewa itu.
Soen Kay Teng bertiga menunggang kuda, mereka jalan
didepan. Belum lima lie, tiba sudah mereka dimulut gunung
Cian san dimana segera muncul seorang dengan sapanya:
"Soen Tongkee, apakah Jie sinshe sudah sampai?"
Sudah" sahut Kay Teng cepat. "Lekas wartakan ke Congtong"
"Ya" menyahut orang itu, yang segera berlalu dengan
cepat. Kay Teng bertiga lompat turun dari kuda mereka, mereka
lompat maju kedepan. Ketika tandu Jie sinshe tiba didekatnya,
dari mulut pos jagaan terdengar mengaungnya tiga batang
anak panah nyaring,yang lantas disambut di empat penjuru
hingga suaranya menjadi ramai sekali.
Jalanan mendaki sulit, Kay Teng bertiga sering
berlompatan. Tinggal si tukangtukang
gotong. Dengan lekas pakaian mereka kujup
dengan peluh. susah atau tidak, mereka maju terus. Diatas
tandu, Jie sinshe tak hentinya mengasi dengar suara
kagetnya. Sampai ditengah jalan, disana kedapatan
pepohonan yang lebat, dimana pun terlihat adanya ular dan
lain-lain binatang alas. Disini angin meniup keras, membuat
rimba berisik sekali. saban-saban terdengar mengaungnya
panah-nyaring tetapi pelepasnya, atau lain orang tak nampak
satu jua. Sekira perjalanan tiga jam barulah Jie In tiba diatas
gunung. Melihat jauh kedepannya, ia menampak puncak
gunung terselimutkan salju putih. Angin dingin menyampok
muka tak sudahnya. "Soen Tongkee" si tabib memanggil, tangannya memegang
keras kedua pinggiran tandu, "Apakah masih belum sampai"
Aku bisa mati bekuh ni"
356 Kay Teng, yang berjalan didepan, menoleh sambil tertawa.
"Jie sinshe, bukankah kita telah tiba?" dia menyahut.
"Kau lihatlah kebawah sana"
Jie In memang menanya sambil dongak, mendengar
demikian, ia tunduk. maka ia melihatlah diba wah, didalam
lembah, berderet- deretnya rumah-rumah, cuma sebab
kealingan pepohonan, tidak dapat ia melihat tegas. Lembah
itu mirip paso yang lebar. Rumah itu hitung ratus atau
mungkin ribuan. Maka hebatlah Cong-tong, pusat atau markas
besar dari Cian san Pay, berada didalam situ. Memang sukar
mencarinya. Jilid 4.4. Musuh yang sembunyi di Cian San Pay
Sekarang orang mulai jalan mudun.. Kalau mendaki lambat,
turun cepat. Maka Jie In merasa ia seperti terbang terbawa
angin. Mukanya menjadi pucat. syukur lekaslah mereka
sampai dibawah, ditanah rata. Maka dia mengeluarkan napas
lega, mukanya nampak tenang. Kay Teng tertawa mengawasi
tabib itu. Sekarang orang berjalan berliku-liku dijalanan didalam
pohon-pohon lebat. Jie In melihat jalanan, anehnya orang
tidak ambil itu, orang bertindak disampingnya. Maka
teranglah, orang lagi melewati tempat menurut garis-garis
pat-kwa, segi delapan. Sekeluarnya dari dalam rimba barulah orang melihat
tempat yang kosong dan luas. Dis itulah nampak rumahrumah
yang tadi terlihat samar-samar. segera terdengar
anjing menggonggong dan ayam berkokok. Dari setiap rumah
terlihat asap mengepul naik, Agaknya orang berhadapan
dengan rumah-rumah kampungan, maka siapa sangka itulah
pusat dari sebuah partai kaum Kang-ouw.
357 Kay Teng bertiga tepat jalan dimuka. Tujuh atau delapan
kali mereka main mengkol-mengkol, baru mereka itu tiba
didepan sebuah rumah besar dan keren, yang terkurung
tembok. Pintu pekarangan, yang besar dan lebar, berdaun
dua, disitu tercantel gelang pegangannya yang merupakan
kepala harimau. Pintu itu ditutup rapat, untuk masuk. orang
mengambil pintu kecil dipinggirannya. Didepan rumah terlihat
empat orang dengan golok ditangan. satu diantaranya segera
lari kedalam begitu lekas mereka itu melihat Soen Kay Teng.
Tiga kali terdengar suara gembreng, yang menyusuli
dipentangnya pintu tengah.
Jie In menduga tuan rumah menyambut ia dengan cara
hormat. Lantas ia melihat munculnya seorang tua usia
tujuhpuluh kira-kira, diikut beberapa pengiring. Mereka itu
bertindak dengan cepat. Mengawasi si orang tua, Jie In melihat sebuah muka yang
merah, sepasang alis putih yang panjang, yang ujungnya
nempel kerambut didekat telinga, dan sepasang mata yang
tajam. Dilihat sekelebatan, dia mirip dewa panjang umur. ia
menduga kepada Pek san It-ho Kiong Thian Tan, maka ia
lantas memberi hormat sambil menjura seraya berkata: "Aku
Jie I n memohon maaf telah terlambat mengunjungi sancoe,
hingga sancoe sendiri yang keluar menyambut. Aku berdosa
harus mati" Kiong Thian Tan tertawa lebar, matanya bersinar bagaikan
kilat menatap si tabib. "Jie sinshe, bagus kata-katamu" ujarnya. "Cucuku sakit
berat, terpaksa aku mengundangmu. Tentulah sinshe
menderita disepanjang jalan."
"Tidak. tidak." kata Jie In menjura pula. "Orang sakit perlu
diobati, maka itu, tolong sancoe lekas mengajak aku melihat
cucumu yang terhormat itu."
Thian Tan tertawa sambil mengurut kumisnya. "Silakan," ia
mengundang, terus ia bertindak.
358 Jie In mengikuti tuan rumahnya. Ia melihat sebuah rumah
yang besar dengan pekarangan dalam yang luas. Didalam
pekarangan itu ada ditanam pohon-pohon cemara dan pek,
juga pohon koei-hoa yang bunganya berbau harum, sedang
jalannya ditaburi batu putih terbariskan pohonan tanhong.
Dibulan sembilan, daun pohon itu merah indah seperti api
marong. Jie In langsung dipimpin kedalam sebuah kamar tulis. Ia
kagum. Tak surup kamar semacam itu dipunyai oleh orang
Kang-ouw kepala suatu perkumpulan besar. Mestinya itulah
rumahnya seorang sasterawan- Ditembok tergantung banyak
pigura gambar dan tulisan. sesudah kacung menjuguhkan teh,
tuan rumah mengundangnya masuk keperdalaman, melintasi
lorong berliku-liku, ranggon berkaca dan lainnya. Disitu
kedapatan banyak pegawai, pria dan wanita.
Akhirnya tibalah mereka dalam sebuah kamar dimana ada
seorang anak perempuan umur enam atau tujuh tahun lagi
tidur nyenyak. tubuhnya dikerebongi selimut, hingga terlihat
mukanya saja yang pucat-pias tak cahayanya.
Didalam kamar itu masih ada tiga orang lain lagi.Yang
seorang ialah satu nyonya tua dengan sepasang mata celi dan
tajam tetapi tangannya mencekal sebatang tongkat hitammengkilap
yang gagangnya berkepala burung-burungan. Yang
kedua jalah seorang njonya usia tigapuluh kira-kira, yang


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

romannya cantik, dan yang ketiga seorang budak umur tiga
belas tahun, yang duduk numprah diatas pembaringan. Atas
datangnya tuan rumah dan si tabib, mereka berbangkit
menyambut. "Inilah isteriku" Thian Tan mengasi kenal. Ia menunjuk si
njonya tua. Jie In memberi hormat sambil menjura seraya
memperkenalkan diri. 359 "Inilah menantuku" kata pula Thian Tan menunjuk si
njonya muda. Lagi sekali Jie In memberi hormat sambil
menjebut. "Sudah, sinshe, jangan pakai banyak adat-peradatan" kata
si nyonya tua tertawa. "Tolong lihatlah cucuku ini."
Jie In menyahuti sambil ia duduk ditepi pembaringan, selagi
memeriksa nadi, beberapa kali ia menggeleng kepala. sekian
lama barulah ia berbangkit, untuk terus berkata: "Inilah bukan
penyakit berbahaya, cuma panas-dingin terkena angin jahat.
Mungkin thaythay semua menyayangi cucu, dia dikasi makan
obat kuat sebab disangka tubuhnya lemah, karena mana
angin terdesak kedalam dan menyebabkan keadaannya parah.
Coba dia dikasi obat mengusir panas, dengan lantas dia akan
sembuh cukup dengan sebungkus obat. Mungkin dia
diperbahayakan oleh tabib tolol"
Thian Tan masgul karena sakitnya sang cucu, mendengar
suaranya Jie sinshe, hatinya lega, tetapi mendengar pula kata-kata hal si tabib
tolol, alisnya mengkerut. "Sinshe, apakah dia dapat ditolong?"
ia tanya. "Bisa, bisa" menyahut si tabib. "Dalam tempo tiga hari,
anak ini akan sembuh." Mendengar itu, senang hatinya tuan
rumah. Setelah memeriksa, Jie In meminta diri untuk pergi keluar.
ia diantar kembali kekamar tulis. Ia cuma berpikir sebentar
untuk menulis surat obatnya.
"Aha, sinshe" berseru tuan rumah ketika ia menyambuti
resep dan melihat tulisannya. "Tulisanmu indah sekali, jarang
aku melihat tulisan semacam ini"
"Tulisanku justeru buruk sancoe" Jie In merendah.
Ketika itu bersama tuan rumah dan tetamunya itu ada dua
orang lain lagi, yang menemani, satu diantaranya, seorang
tua, yang turut melihat resep itu, berkata: "Benar, tulisan ini
360 sangat bagus. Tidak sembarang ahli dapat menulis seindah
ini" Thian Tan menatap tabib didepannya, matanya bersinar. ia
sudah lantas dapat sebuah pikiran. Dengan tertawa manis, ia
kata: "Kalau anakku dapat disembuhkan, aku pasti akan
menghadiahkan kau, sinshe?"
Lantas ia menjuruh bujangnya pergi membeli obat.
Perkataannya Jie In benar. Lewat tiga hari, sembuh sudah
si nona cilik, Ia dibawa engkongnya kekamar tulis, untuk
menghaturkan terima kasih pada penolongnya.
"Terima kasih kembali?" berkata Jie In, seraya ia pondong
anak itu untuk dicium, kemudian ia menurunkannya dan kata
sambil tertawa: "Selesai sudah tugasku disini, aku memohon
diri." Tuan rumah tertawa. "Masih ada sesuatu untuk mana aku mau minta tolong
pula" ia kata. "Aku harap sinshe jangan lekas pulang dulu.
sinshe pandai surat, aku ingin sinshe suka tolong mengajari
surat pada cucuku ini. suka aku membayar gaji dua ribu tail
setahunnya. sinshe tidak menampik, bukan?"
Jie In lantas melengak sebentar, lantas ia menggeyang
kepala. "Aku beruntung dan girang atas penghargaan sancoe ini"
katanya, "Hanya sayang aku sudah terlalu biasa merantau
hingga tak dapat aku menetap lama disuatu tempat. Justeru
semasa hidupku ini, ingin aku pesiar keseluruh negara, untuk
menikmati keindahannya. Dalam hal ini maaf, aku jadi berlaku
kurang hormat" Thian Tan mengerutkan alis.
"Jie sinshe, aku sangat menyukai orang pintar, maka itu
harap kau jangan menampik" ia membujuk. "Sinshe masih
muda, masih banyak tempomu untuk pesiar. Biarlah aku
memberi tempo tiga tahun. Kau bukan kaum persilatan, kau
361 juga bukan orang partaiku, selama tiga tahun itu suka aku
memberi kebebasan terhadapmu untuk keluar- masuk disini.
Disinipun banyak orang yang sakit, sinshe dapat sekalian
menunjuki kepandaianmu menolongi mereka, hingga kau jadi
dapat sekalian melakukan perbuatan baik dan mulia."
Selagi berkata begitu, tuan rumah mcngasi lihat sorot mata
meminta sangat. Jie In berpikir. "Sancoe begini baik hati, jikalau aku menolak terus, aku
jadi tak berbudi"katanya. "Melainkan ada satu permintaanku,
yaitu aku biasa tidur tengah hari, selama itu tidak dapat orang
mengganggunya. Dapatkah sancoe menerima baik
permintaanku ini?" Mendengar begitu, Thian Tan girang bukan main.
"Itulah perkara sangat kecil" katanya girang. "Baiklah,
kamar tulis ini dan sekitarnya sampai kebelakang aku jadikan
daerah terlarang, tanpa urusan penting siapapun tidak dapat
mengganggu sinshe" Jie In girang. ia lantas minta ijin buat pulang dulu ke
Khouw-kee-toen, untuk mengambil semua barangnya serta
mengurus lainnya, sebab disana masih ada beberapa pasien
yang membutuhkan pertolongannya lebih jauh.
Thian Tan terima baik permintaan itu, bahkan ia
memberikan uang lima- ratus tail perak guna si tabib membeli
pakaian dan lainnya. keperluan.
Jie In pulang kehotel dimana sampai lima hari lamanya ia
bergaul erat dengan pemilik hotel, baru ia kembali kegunung,
kemarkasnya Cian san Pay yang diberi nama dusun Hoan-pek
san chung. Maka semenjak itu, kecuali diwaktu mengajar surat
kepada si nona cilik, la luang sekali temponya, yang mana ia
gunai untuk menulis dan menggambar, atau minum arak atau
jalan-jalan diluar sanchung.
362 Pek san It-ho menghargai tabib itu, ia memberikan sehelai
leng-kie atau bendera-titah yang memakai buku merah
dengan apa ia dapat keluar- masuk dengan merdeka. sebagai
orang pelajar yang lemah, ia dianggap tidak nanti pergi
menghilang dari gunung itu. Ia pun dapat seorang kacung
umur dua belas tahun, untuk mengurus segala kebutuhannya.
Pada suatu hari Nona sioe, cucunya Thian Tan itu, lari
berlompatan masuk kekamar gurunya. Ia berkuncir dua buah
yang ngacir tinggi. Begitu melihat gurunya, ia berseru:
"Sinshe, ayahku sudah pulang Dia membawa banyak
kembang gula untukku. Ayah mendengar sinshe telah
menyembuhkan aku, ia ingin sangat menemui, maka itu
marilah sinshe turut aku"
Habis berkata, ia samber baju gurunya, terus ia
menariknya. Ia gembira sekali. sambil tertawa, Jie In
mengikuti masuk keperdalaman.
Jauh-jauh telah terdengar suaranya tuan rumah, yang
berbicara sambil tertawa-tertawa, ketika ia melihat guru
cucunya, ia berbangkit menyambut dengan manis, katanya:
"Anakku, Leng Hoei, baru pulang dari Tionggoan, ketika ia
mendengar kepandaian sinshe, yang pun telah menolongi
anaknya, ingin ia menghaturkan terima kasih sendiri pada kau,
sinshe. Ini dia anakku, itu"
Memang Jie In telah melihatnya disamping Thian Tan
seorang prja usia pertengahan, yang mukanya lebar dan
telinganya besar, yang romannya gagah, dan tadi dia bicara
riang dengan si nyonya tua dan nona menantunya, maka itu ia
lantas memberi hormat pada orang yang ditunjuk itu.
Kiong Leng Hoei tertawa, ia membalas hormat dan kata:
"Jie sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak kenal
banyak adat-peradatan- sinshe, banyak-banyak terima kasih"
363 Jie sinshe merendah. Ia pun menanyakan kesehatannya si
nyonya tua dan si nyonya muda, setelah mana ia meminta ijin
mengundurkan diri "Tunggu dulu, sinshe" kata tuan rumah tertawa. "Mari kita
dahar disini" Lantas ia menjuruh budak. menyajikan barang makanan.
Jie In tidak dapat menampik, ia mengucap terima kasih.
Demikian mereka bersantap sambil memasang omong.
"Dalam perjalanan pulang dari Kanglam" berkata Leng
Hoei, "Aku mendengar kabar bahwa musuh kita dulu hari,
Hok-san Jin-sioe, telah mengundang kawan-kawan yang
katanya liehay niat datang kemari untuk mencari balas"
Tertawa Thian Tan mendengar kabar itu:
"Tidak apalah jikalau Hok-san Jie-sioe tidak datang kemari"
katanya, "Tetapi apabila benar mereka datang, tidak nanti aku
beri hati kepada mereka. Kami dari pihak Cian san Pay,
meskipun kami tergolong penjahat, kami tidak menghiraukan
harta tak keruan asal-usulnya dan kami tak melakukan
sesuatu yang tak lurus. Lain adalah Hok-san Jie-sioe,
merekalah penjahat biasa, yang tak ada kejahatan yang tak
dilakukannya. Dulu hari itupun mereka sendiri yang
mengganggu kami maka aku telah menghajar dengan Tay-lek
Koen-goan-ciang pada si tertua Wie Lin soei. Aku masih
menyayangi dia mendapat nama tak gampang, aku menghajar
dia dengan tenaga lima bagian, jikalau tidak. tidak nanti dia
dapat pulang hidup-hidup"
"Kabarnya Hok-san Jie-sioe telah meyakinkan ilmu silat
yang baru, dari itu tak dapat kita lengah" kata Leng Hoei
tertawa. "Biarlah mereka dating" Leng Hoei berkata. Si nyonya tua
tertawa. "Kau nanti lihat berapa jauh sudah aku telah
mendapat kemajuan dengan tongkatku sian-tian Thung-hoat
yang terdiri dari duapuluh-delapan jurus"
364 Selagi berkata begitu, bangun rambut ubanan dari si
njonya tua, suatu tanda dia sangat kegirangan dan bernapsu.
"Aku tidak sangka, ibu, kau demikian bersemangat" kata
Leng Hoei girang. Selama itu, Jie In dahar dan minum dengan anteng, ia
tidak mengambil mumat pembicaraan diantara itu anak dan
ayah-ibunya. "Sekarang ini di Tionggoan telah terjadi dua peristiwa
menggemparkan," kemudian Leng Hoei berkata pula "Yang
pertama halnya seorang pelajar muda yang aneh, yang tak
ketahuan she dan namanya. Katanya dia telah merobohkan
Chong-sie Koay-sioe, ketua dari sip-sam-sia, si Tigabelas
sesat, si jago tua patah dua tangannya dan tertotok musna
ilmu kepandaiannya. Berbareng dengan itu runtuh juga Hoasan
im- yang siang-kiam, karena mana Oe-boen Loei, ketua
dari Oey Kie Pay, telah mendapat malu besar, yaitu dia kena
dibekuk si pelajar aneh, hingga dia mesti membubarkan
pengaruhnya di Kangsouw Utara. Pula sipelajar aneh, dengan
bersendirian saja, sudah mengalahkan sembilanbelas ketua
cabang dari Ceng Hong Pay di Cio-kee-chung, sedang
besokannya Kioe-sin Soh Cian Lie terbinasakan ditangannya.
semua peristiwa itu sangat menggemparkan wilayah selatan
dan Utara sungai besar. Kabarnya lagi pelajar aneh itu berusia
masih sangat muda, romannya tampan dan gagah. sayang
aku tidak berkesempatan bertemu dengannya, jikalau tidak.
suka sekali aku belajar kenal dan bersahabat padanya."
"Kalau begitu bukan kau, aku pun ingin sekali berkenalan
dengannya" kata Thian Tan tertawa. "Nah, apakah itu
peristiwa yang kedua?"
"Itulah hal yang telah menggemparkan sangat kaum Rimba
Persilatan" sahut Leng Hoei, yang kembali tertawa. "Itulah
halnya Twie-hoen-poan Cia Boen jago Hoo-lok yang katanya
sudah terbinasa digunung Boe Kong san tetapi dia sekarang
muncul pula dalam dunia Kang-ouw"
365 Thian Tan heran- "Dia?" tanyanya. "Ah, inilah sukar dipercaya"
"Memang, aku pun sukar mempercayainya" kata si anak.
"Lim-chong siang-sat, NgoTok Cinjin dari Tong Pek san, serta
sam-cioe Gia- kang Hok Leng Tok katanya telah terbinasakan
ditangannya, tetapi tidak satu orang pernah melihat dia, cuma
tersiar beritanya bahwa Cia Boen lagi mencari tahu orangorang
yang dulu hari mengeroyok dia, untuk satu demi satu
dibalasnya" Jago tua itu mengerutkan dahlnya, tetapi dia kata tertawa:
"Kalau hal ini dapat didengar Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong
beramai, mungkin terjadi mereka tidak dapat tidur nyenyak
tiga hari tiga malam"
Tanpa merasa Leng Hoei melirik keluar jendela. "Apakah
Ang Toasiok masih ada di Kioe- kiong- kok?" ia tanya.
Kiong Thian Tan mengangguk.
"Ia masih ada disana" sahutnya. "Setengah tindak juga dia
tidak berani meninggalkan gunung ini. semenjak beberapa
musuhnya hendak membinasakannya, dia lari kemari untuk
bersembunyi, sampai sekarang sudah sepuluh tahun, dia terus
mengeram diri sekarang terdengar halnya Cia Boen itu,
apabila ia mendapat tahu, pasti untuk selamanya dia tidak
bakal mau berlalu dari sini. Benar dulu orang mengepung Cia
Boen secara menyamarkan diri tetapi Cia Boen itu cerdik, pasti
tak sukar untuknya membikin penyelidikan- sebenarnya
kelirulah Ang Ban Thong. Urusan bukan urus annya sendiri,
kenapa dia mencampur tangan?"
"Tentang adik seperguruannya itu, Kiang Hiong yang jahat,
yang berdosa tak berampun, bukan saja Cia Boen, apabila ia
bertemu dengan orang-orang sebangsaku, tak nanti ia dapat
lolos Kenapa dia mau menuntut balas untuk adik
seperguruannya itu" Dasar dia usilan, suka mencampuri
urusan tidak keruan, sekarang dia mencari susahnya sendiri"
366 "Tetapi, ayah, tentang Ang Toasiok, tidak dapat kau
mengatakan demikian. Adik seperguruannya terbinasakan
orang, mana dapat dia tidak menuntut balas" Kalau orang
dengar halnya, dimana dia mau menaruh mukanya?"
"Kau ngaco" kata ayah itu. "Kalau dia benar mau mencari
balas untuk adik seperguruannya, dia boleh bertindak terusterang,


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara laki-laki Kenapa dia main kerojok" Kenapa dia
main bokong" Itulah perbuatan paling hina"
Mukanya si anak muda merah. Ayahnya itu memang benar.
"Sudah, sudah" Njonya Kiong datang sama tengah. "Kamu
ayah dan anak baiklah jangan duduk berkumpul, begitu
berkumpul lantas bentrok. Kamu membikin Jie sinshe jadi
kesepian, tahu?" Jie In lagi bicara getol dengan Sioe In, tapi ia lekas
berkata: "Tidak apa, tidak apa Tentang Rimba Persilatan, aku
tak tahu suatu apa. Chungcoe muda baru pulang, sudah
selayaklah ia anak dan ayah memasang omong. Tidak
demikian dengan aku si orang perantauan, aku hidup
sebatang kara, aku tidak berdaya"
Jie In mengatakan tepat rasa hatinya. Ia memang
bersendirian saja. Thian Tan kuatir membuat si guru sekolah kesepian, ia
lantas menukar haluan bicara, saban-saban ia mencari jalan
untuk beromong-omong dengan tetamunya ini, syukur ia luas
pengetahuannya, sebagai orang Rimba Persilatan, dapat ia
menemani si guru, bahkan ia berbicara dengan riang hingga
beberapa kali mereka tertawa dan bertepuk tangan, sampai
akhirnya tibalah saatnya Jie In minta mengundurkan diri.
Malam itu Jie In tak tenteram hatinya, hingga tak dapat ia
tidur. Ia turun dari pembaringan, mengenakan bajunya, lalu
duduk dikursi diluar kamarnya. Hawa udara dingin sekali.
Ketika itu pun bulan kesepuluh. Apapula orang berada diatas
367 gunung. Bintang-bintang jarang tetapi sang Puteri Malam
jernih dan permai sekali, hingga didalam lembah itu, rumahrumah
dan pepohonan memain dengan bayangannya masingmasing.
semua pohon, kecuali cemara dan pek. sudah mulai
gundul, ada yang tinggal cabang-cabangnya saja. Dalam
suasana itu, Jie In terus duduk terpekur, dia bagaikan lagi
berpikir keras. Rupanya ada sesuatu yang memegang
pikirannya. sampai lewat jam empat baru ia masuk
kekamarnya, naik kepembaringannya dan tidur dengan
perlahan-lahan. Besoknya pagi, kesulitan pikirannya Jie In seperti telah
lenyap semuanya. seperti biasa, ia mengajari surat kepada Sioe In, habis mana ia
minum teh wangi yang disuguhkan kacungnya. seperti biasa,
ia pun bersendirian saja. Hanya hari ini mendadak ia melihat
datangnya sancoe Kiong Thian Tan dengan romannya yang
rada muram. Dengan tergesa-gesa ia berbangkit menyambut.
"Duduklah sinshe" kata Thian Tan seraya mengulapkan
tangan dan bersenyum. "Dalam dua hari ini mungkin Hok-san
Jie-sioe datang untuk mencari balas, maka itu apabila tak ada
perlunya, aku minta sukalah sinshe jangan meninggalkan
kamar tulis ini, supaja bila ada sesuatu taklah sampai kami tak
dapat melindunginya. Umpamakata ada orang yang tidak
dikenal, atau ada terdengar sesuatu, diangan sekali sinshe
memperlihatkan diri, jangan melakukan sesuatu"
Ia menunjuk pada si kacung: "Ini si Pin- jie mengerti juga
sedikit ilmu silat untuk menjaga diri, dia bolehlah diminta
melindungi sinshe." Muka Jie In menjadipucat.
"Nanti, nanti aku berlaku hati-hati" katanya gugup.
"Tentang diriku, harap loosancoe jangan menguatirkan apaapa"
368 "Kalau begitu, baiklah," kata tuan rumah, yang lantas
berlalu. Jie In melepaskan napas lega. Ia menoleh kepada Pin- jie,
yang berada dipinggir pintu, yang mengawasi ia dengan
roman jenaka. Lantas ia mengasi lihat roman sungguhsungguh.
"Kunyuk cilik, kau berani kurang ajar terhadap bapak guru
ya," katanya, membentak tetapi perlahan- "Awas, satu hari
kau bakal tahu rasa"
Tapi kacung itu tertawa. "Sinhe, mana berani Pin- jie kurang ajar," katanya."Aku
cuma tertawa sebab barusan waktu loosancoe mengatakan
bakal ada orang datang, muka sinshe menjadi sangat pucat."
"Kunyuk cilik" Jie In membentak pula, romannya gusar.
"Barusan loosancoe bilang kau mengerti ilmu silat, coba kau
pertunjuki beberapa jurus. Aku tidak mengerti silat tetapi
dapat aku melihat kepandaianmu dapat dipakai atau tidak
seandaikata kau tak sanggup melindung aku, nanti aku
bersembunyi dikolong ranjang. Mau atau tidak?"
Kacung itu tertawa terkikik, hingga dia tampak jenaka.
"Sinshe," katanya, perlahan, "Baru saja aku peroleh
semacam permainan, tetapi tentang ini aku minta janganlah
sinshe memberitahukan loosancoe, apabila dia mendapat
tahu, aku bisa didamprat hebat"
Habis berkata, dia mengeluarkan dari tangan bajunya tiga
panah-tangan panjang masing-masing lima dim, sembari
tertawa dia menambahkan- "Sinshe telah melihatnya, bukan?"
Sembari berkata, kacung itu lantas memasang kudakudanya,
tangan kanannya diluncurkan rata, terus mendadak
ia memutarnya. Dan "ser.." maka ketiga batang panah tangan
itu melesat menyamber boneka malaikat yang terbuat dari
kayu cendana diatas meja.
369 Jie In terlihat kaget, tetapi ia terus mengambil patung itu,
hingga ia melihat ketiga panah nancap masing-masing didada
dan kedua mata, nancapnya tiga coen kira-kira. Maka
heranlah la yang bocah itu, yang telah mempunyai tenaga
cukup besar itu. "Bagus" si sinshe memuji. "Siapakah mengajarkan kau ini?"
Pin-jie mencabut ketiga panahnya.
"Inilah pengajarannya loohoejin diluar tahunya loosancoe,"
sahutnya tertawa. "Kau maksudkan loothaythay?" tanya si sinshe heran"Loothaythay demikian liehay?"
Pin-jie tertawa terkikik pula.
Pasti sinshe tidak ketahui katanya, lucu. "Keluarga
loosancoe semuanya liehay. Umpama loohoejin, dialah Pek
hoat Kioe-tiang-po Yap Han song yang kesohor di
Kwan-gwa. sinshe bukan orang Rimba Persilatan, tapi
sinshe tentu telah mendengarnya"
Setelah berkata begitu, seperti dia mendengar suara apaapa,
si kacung lantas memasang telinganya, terus dia lari
keluar. Sendirinya, Jie In tersenyum.
Sang siang lewat dengan cepat, sang malam sebera
menggantikan tugasnya. Dan malam itu, dibawah sinar
rembulan, segera terlihat berkelebatnya bayangan dua orang,
bagaikan burung garuda menyambar, lewat didepan kamarnya
Jie sinshe. Menyusul itu terdengarlah bentakan beberapa kali,
disusul lebih jauh dengan berisiknya bentrokan pelbagai
senjata tajam. Kembali terdengar suara orang. Lalu sang
malam sunyi seperti semula, kecuali suaranya angin
Sebaliknya, Pin Jie terlihat lari bergegas-gegas masuk
kedalam kamar tulis, terus kekamar tidurnya Jie sinshe,
dimana ia dapatkan keadaan sangat sepi. Untuk kagetnya, ia
tidak melihat si guru sekolah, hingga ia berdiri melengak.
370 Tidak lama ia tercengang itu, lantas ia lari keluar. Tapi tidak
lama, ia telah kembali bersama-sama tuan rumah yang tua
danyang muda. "Jie sinshe" ia memanggil setelah mereka memasuki kamar
tulis. "Ya" terdengar jawaban perlahan dan menggetar, suara
mana datangnya dari kolong pembaringan, menjusul mana
lalu tertampak munculnya kepala si guru sekolah, yang
merayap keluar dengan tubuh bergemetar.
Hampir ThianTan dan Leng Hoei tertawa, syukur mereka
dapat mencegahnya. Mereka melihat Jie sinshe bermuka hitam
dan bajunya penuh debu. "Barusan datang dua sahabat yang membawa berita,"
berkata tuan rumah yang tua. "Diantara kita telah terbit salah
paham, kita telah bentrok sebentar karena kami
merintanginya. Mereka itu mengabarkan bahwa Hok-san Jiesioe
beramai bakal tiba malam ini. Aku tidak sangka sinshe
kena dibikin kaget karenanya."
Jie sinshe tersenyum terpaksa.
"Aku mendengar bentrokan senjata, aku kaget, lantas aku
menyembunyikan diri," katanya. Mendengar itu, Pin-jie
tertawa. "Hus" Leng Hoei membentak kacung itu "Lekas ambil air
untuk sinshe mencuci muka"
Pin-jie menurut, ia lantas pergi dan kembali dengan cepat
dengan air yang diminta, tetapi dia lucu, dia masih tertawa
sendirinya. " Anak nakal" Leng Hoei membentak.
Jie In sudah lantas membersihkan muka dan pakaiannya,
setelah mana, kedua tuan rumah mengajaknya bicara. Tapi
tak lama, ayah dan anaknya itu mengundurkan diri pula.
371 "Sinshe," kata Pin-jie kemudian, "Besok bakal ada
keramaian dipuncak Pit-kee-hong dibelakang sanchung ini.
Apakah sinshe mau melihatnya" Kalau mau, aku dapat
mengajak kau kesebuah tempat dari mana dapat kita
mengintai." "Kunyuk" guru sekolah itu membentak. Kenapa kau ajak
sancoe datang kemari" Apa sengaja kau hendak membuat aku
malu" Kau mau pergi, pergilah. Aku sendiri tidak. Apakah yang
bagus dilihat?" Pin-jie tertawa pula, ia lantas ngelojor keluar.
"Dasar bocah" kata si guru, yang mengawasi orang berlalu.
Selanjutnya, malam itu dilewatkan dengan sunyi. Tapi
besoknya, malam jam tiga, ramailah dipuncak Pit-kee-hong.
Disana golok dan pedang berkelebatan, beradu satu dengan
lain, ditambah berisiknya teguran dan dampratan, hingga
umpama kata lembah menggetar. Lalu mendekati fajar,
loosancoe pulang dengan mandi darah, lengan kirinya
dipegangi. Dia memasuki kamar tulis. Terang dia telah terluka.
Ketika itu Jie In duduk dikursi, rupanya satu malam suntuk
ia tidak tidur. Pin-jie menggeros dengan kepalanya terletakkan
diatas meja. Melihat tuan rumah, guru sekolah ini sebera
berbangkit. "Oh, loosancoe terluka" katanya kaget. Ia lantas menepuk
bangun pada Pin-jie. "Inilah luka tak berarti" menyahut tuan rumah tertawa.
"Coba sinshe tolong periksa, apa terluka juga otot-otot dan
tulangnya. Mungkin aku telah mengeluarkan terlalu banyak
darah. Akupercaya, setelah makan obat, dalam waktu tiga hari
aku akan sudah sembuh. Hanya tadi, apabila tidak ada orang
membantu aku, mungkin aku roboh diujung pedangnya Hoksan
Jie-sioe, orang itu membantu secara diam-diam, tadi tak
diketahui siapa dianya"
372 Jie In segera memeriksa luka. Dia tertawa.
"Loosancoe berejeki besar dan berumur panjang, pastilah
dibantu Thian" katanya. "Luka ini tidak parah, nanti aku
memberikan obat untuk menambah tenaga dan obat luar,
tidak sampai dua hari, sancoe akan sudah sembuh"
Dan ia lantas membuat resepnya dan menitahkan Pin- jie
mengurus obatnya. setelah itu Thian Tan menuturkan jalannya
pertempuran. Kira2 jam tiga malam, rembulan terang dan permai.
Bintang-bintang sedikit dan bergemerlapan. Diwaktu begitu,
ThianTan sudah siap. menantikan dipuncak. Ia ada bersama
Leng Hoei serta orang-orangnya, berjumlah duapuluh lebih.
Tak lama terdengarlah siulan nyaring, yang berkumandang
didalam lembah, disusul sama datangnya beberapa puluh
bayangan orang. sangat cepat datangnya mereka, dengan
lantas mereka telah tiba dipuncak.
Melihat datangnya musuh dalam jumlah besar itu, Thian
Tan terperanjat. la kata dalam hatinya: "Terang sudah Hoksan
Jie-sioe ingin membumi- ratakan Hoan-pek sanchung,
Heran orang ku yang dipasang disebelas tempat jaga kenapa
tidak satu diantaranya yang memberi pertanda" Mungkinkah
mereka telah bercelaka semua?"
Baru ia berpikir begitu atau Hok-san Jie-sioe sudah berdiri
didepannya. Dibelakang kedua musuh itu Dua orang tua dari
Gunung Hok san berbaris kawan-kawan mereka. Kumis
mereka yang putih dan panjang memain antara sampokan
angin, tangan baju mereka juga berkibaranLao-toa, yang tua, Wie Lin soei, lantas tertawa dingin"Kiong Thian Tan, kembali kita bertemu" katanya, suaranya
jumawa. "Ketika dulu hari kita berpisah, aku telah
meninggalkan kata-kata. Kau masih ingat itu, bukan" Kata
kata itu ialah, kapan nanti persaudaraan gunung Hok san
373 munculpula dalam dunia Kang-ouw, itu artinya runtuhnya
Hoan-pek san chung" Thian Tan tertawa berlenggak.
"Wie Lin soei, kata-katamu itu masih terdengar ditelingaku"
sahutnya, berani. "Mana dapat aku melupakan itu" Aku hanya
mengira kata-kata itu untuk menutupi malu saja, tak tahunya
benar-benar kamu telah mewujudkan sumpah mengunjungi
rumahku ini .Tapi mungkin kau lupa bahwa kau menghendaki
jiwaku seorang" "Tutup mulut" Lin Soei membentak. "Dalam sarang yang
jatuh mana ada telur yang utuh" Jikalau malam ini kau
mengharap jiwamu lolos, itu cuma dapat terjadi seperti
mencari jarum didalam laut"
Disamping tertua Hok san Jie-sioe berdiri yang kedua,
Souw Lin siang. Dia turut bicara dengan berkata nyaring:
"Lao-toa, mana ada begitu banyak waktu untuk mengadu
mulut dengannya" Bereskan dulu mereka, baru kita bicara"
Lalu tanpa menanti jawaban lagi, dia mengulapkan
tangannya, atas mana sekalian kambratnya lantas bergerak
menyerang orang2nya Thian Tan- Diantaranya ada belasan
yang menerjang kearah sanchung.
Melihat demikian, Thian Tan terkejut. Itulah cara
membokong. Tapi, belum ia sempat mengambil tindakan, ia
pun segera diserang Hok san Jie-sloe, yang telah menghunus
pedangnya masing-masing dan maju dikiri dan kanan, pedang
mereka menikam iga kiri dan lengan kanan.
Thian Tan tertawa berkakak. sambil tertawa ia berlompat


Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur, untuk berkelit. Begitu lekas ia menggeraki sepasang
tongkat peraknya, ia pun maju guna membalas menyerang.
Hok san Jie-sioe memisah diri, lalu merapat pula. Itulah
permulaan mereka mengepung. Tak mau mereka bertempur
374 satu lawan satu. Bahkan beramai bersama semua kawan
mereka. Thian Tan heran dan berkuatir.
"Entah dari mana, Hokssan Jie-sioe mempelajari ilmu
pedangnya ini," pikirnya. "Mereka rjerdik, mereka merasa pasti
dengan tangan kosong sulit mereka menempur aku, sekarang
mereka menggunai senjata. Kelihatannya mereka telah
mencapai puncak kemahirannya."
Dengan sebenarnya, pedang dua musuh itu digunai rapat
dan dahsyat sekali. Selagi pertempuran ramai itu berjalan, di Hoan-pek
sanchung nampak berkelebatnya satu bayangan, yang
mencelat naik keatas puncak dimana bayangan itu lantas
bersembunyi diatas sebuah pohon cemara yang tua.
Kiong Thian Tan dapat melayani kedua musuhnya dengan
seimbang, hanya ruginya untuknya ia harus memikiri juga
rumahnya karena ada musuh yang menyerbu kesana. Ia tahu
isterinya liehay tetapi si isteri pun pasti repot melayani banyak
musuh. Nona mantunya mengerti silat tetapi nona mantu itu
tidak dapat diandalkan, lantaran dia lagi hamil tiga bulanKalau menantu itu turun tangan- bagaimana nanti dengan
kandungannya itu" Karena ini ia menjadi bingung, hingga
tanpa merasa pedangnya Lin soei mampir dipundak kirinya,
hingga darahnya lantas mengucur keluar. ia mengertak gigi,
untuk menahan sakit. Ia lantas berkelit sambil tangan
kanannya menyerang, niatnya berlompat keluar dari kalanganTapi ia kena dibarengi Lin siang, maka sikut kirinya kena
tertikam hingga ia terhuyung dua tindak.
Girang Hok-san Jie-sioe, keduanya maju berbareng
membacok musuhnya. Dalam saat terancam itu, Kiong Thian Tan menggunai
pukulannya yang istimewa, yaitu Tay-lek Koen-goan-ciang,
375 untuk menyapu kedua lawannya. Celakalah siapa kena
terhajar pukulan itu. Hok-san Jie-sioe celi matanya dan sebat gerakannya.
Kedua-duanya berkelit dengan cepat dengan berkelit mendak.
Maka juga terus saja mereka dapat menyerang pula kekaki
musuh. Thian Tan terancam hebat. Tak dapat ia menangkis, tak
keburu ia berkelit. Untuk menarik pulang tangannya saja
sudah sukar. Maka ia menutup kedua matanya, untuk
menantikan kebinasaannya. Akan tetapi ia tidak merasakan
tertusuk atau tertabas, sebaliknya telinganya mendengar
kedua lawannya menjerit kaget. Dengan lekas ia membuka
matanya. Ia melihat Hok san Jie-sioe menutupi matanya
sendiri, masing-masing yang kiri dan kanan, kedua mata itu
mengeluarkan darah, seperti bekas kena senjata rahasia, terus
mereka berlompat mundur, untuk lari kabur.
Ketua Cian san Pay itu menjadi heran, ia menenangkan diri.
Ketika ia melihat musuh sudah lenyap. ia mengeluarkan
napas. Benar ia telah bebas dari bahaya tetapi dengan musuhmusuhnya
masih hidup, sampai kapan permusuhan itu dapat
dihabiskan" Segera Thian Tan menyaksikan satu kejadian lain. satu
bayangan orang berkelebat didekatnya, diantara cahaja
rembulan ia melihat bayangan itu memegang sesuatuyang
hitam dengan apa dia menyerang kalang-kabutan kepada
kawan-kawannya Hok san Jie-sioe, hingga mereka itu pada
menjerit kesakitan, lantas semua lari serabutan untuk
menghilang. Heran Thian Tan untuk menyaksikan, antara orangorangnya
sendiri, tidak ada satu yang kena terserang
senjatanya bayangan itu sebaliknya musuh, kebanyakan dari
mereka terhajar matanya 376 Hebat orang itu, pikirnya mengenai bayangan. Dapatkah
senjata rahasia membedakan musuh dan kawan" siapakah
dia" Dia mestinya sahabat, Ah, bagaimanakah dengan
isteriku" Segera Thian Tan menjuruh Leng Hoei memeriksa pos
penjagaan, ia sendiri mengajak beberapa orang lari pulang. Ia
merasakan sangat sakit pada kedua lukanya,yang masih
mengeluarkan darah, sedang angin keras menyampok giris.
Dengan tangan kanannya ia memegangi tangan kirinya.
Ditengah jalan pulang, ia melihat beberapa musuh roboh
diselokan, dipinggiran pohon, diatas genteng juga. semuanya
kurban-kurban totokan, ia heran dan kagum, ia bingung. siapa
itu penolong yang liehay"
"Bawalah mereka pulang" ia memerintahkan orangorangnya,
untuk mengangkut semua musuh yang tak berdaya
itu. Ia sendiri terus lari kedalam rumah. Tiba didalam, ia heran
hingga ia tercengang. Isteri dan nona mantunya lagi duduk
memasang omong sambil tertawa-tertawa, seperti juga
dirumahnya itu tidak terjadi sesuatu.
Tapi Yap Han song kaget melihat suaminya pulang dengan
mandi darah, ia lantas berbangkit menyambut.
" Ah, kau terluka?" tanyanya.
"Ya, tetapi tidak apa" jawab suami itu tertawa. ia lega hati.
"Semua musuh sudah dipukul mundur sekarang aku mau
menemui dulu Jie sinshe" Dan ia lantas bertindak kekamar
tulis. Kapan Jie In telah mendengar habis ceritanya tuan rumah,
ia mengatakan berulang-ulang: "Benar-benar, naga sakti itu
terlihat kepalanya tidak ekornya Inilah mesti dipercaya"
Habis diobati, Thian Tan mengucap terima kasih, lantas ia
kembali kedalam. 377 Di kanan dari rumahnya Kiong Thian Tan ada sebuah
tangga batu yang berliku-liku, undakannya mungkin beberapa
ribu tindak. naik hingga dipinggang gunung. Di situ tumbuh
banyak pohon tua dan besar. Di situ pun ada bangunan
lauwteng atau ranggonyang berwarna merah tua, yang diberi
nama Kioe-kiong-kok. Dan malam itu, pintnnya yang timur
terlihat terbuka, dari situ keluar seorang tua dengan rambut
dan alisnnya putih semua, dengan mukanya kisutan dan kucal.
Rupanya dia telah lama sangat menderita. Dengan tangan
dipunggung, dia berdiri didepan loneng, kepalanya diangkat,
matanya mengawasi langit. sinar matanya itu guram. Di
terangnya rembulan, makin nyata nampak kucalnya itu
"Sudah sepuluh tahun" katanya seorang diri, menghela
napas panjang. "Inilah bulan dan tahun yang tidak pendek.
Kapankah aku akan melihat pula kampung halamanku" Aku
telah berbuat salah, aku terpaksa menyingkir ke Kwan-gwa ini
dimana aku mesti menumpang pada orang lain sekarang aku
menyesal, apa gunanya" sudah kasip"
Orang tua ini ialah Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong si
Pendekar Bodoh 10 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Neraka Hitam 2

Cari Blog Ini