Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 8
442 Dengan mata tajam Jie In menatap si imam, ia tersenyum.
Imam Ngo Tay san itu menjadi merah mukanya. "Aku
mengaku kalah " kata Ceng Hie.
"Sekarang juga kami berangkat pulang, lain kali kita
bertemu pula." ia memutar tubuhnya, lantas ia melangkah
pergi. Keenam imam lainnya, setelah menoleh sebentar, lantas
menyusul kakak seperguruannya itu. Tajam mereka itu
mengawasi Ceng Hie, agaknya mereka mendongkol. Jie In
tidak mencegah orang berlalu, ia terus menoleh kepada Khu
Lin dan Siauw Leng. " Kalau Ceng Hie si hidung kerbau tiba di gunungnya, dia
bakal menderita lebih jauh," katanya tertawa, "Itu telah dapat
diduga dengan melihat sikap keenam adik seperguruannya
itu." "Siapa suruh dia berkepala batu" kata siauw Leng tertawa,
"Dia tidak dapat menyesalkan siapa pun" Kemudian ia
mendongak melihat langit, ia menambahkan "Jie Tayhiap.
hujan ini tidak bakal lekas berhenti, mari kita melanjutkan
perjalanan kita." Jie In mengangguk. la melompat naik ke atas kudanya,
Maka mereka bertiga lantas berangkat bersama, menempuh
angin dan hujan yang lebat itu, yang membuat jalan besar
ber-lumpur dan sulit untuk dilalui.
Mereka tidak menemui rintangan lagi, kecuali berpapasan
dengan beberapa orang yang mengenakan tudung bambu dan
menggembol senjata, yang sikapnya saja mencurigakan
hingga mereka tak sudi menghiraukannya.
Demikianiah mereka tiba di Heng-koan, sesudah cuaca
gelap. Mereka terus mencari losmenKhu Lin dan siauw Leng tiba lebih dulu, lewat sekian lama
barulah Jie In. Mereka tetap memakai siasat tak kenal satu
443 dengan yang lain. Hanya sebab sama-sama ditimpa hujan,
paling dulu mereka memerintahkan pelayan membeli
seperangkat pakaian jadi, untuk mereka menukar pakaian
mereka yang basah itu. Jie In mengambil sebuah kamar sendiri ia memesan
makanan, ia minta itu dibawa ke kamarnya, maka iapun dahar
seorang diri, Rupanya disebabkan kedinginan dan perut
kosong, ia bersantap dengan bernapsu, ia merasakan
hidangan itu lezat sekali.
Hujan masih belum berhenti, juga sangat dingin, maka di
luar jendela terdengarlah suara berisiknya yang tiada
putusnya. " Kalau cuaca tetap begini, mana bisa besok aku
melanjutkan perjalanan."pikir Jie In yang melongok ke
jendela, sebenarnya ia ingin sekali lekas tiba di Thaygoan.
Habis bersantap. ia berdiri .
"Baiklah aku melongok sebentar keluar, di sana ada
sesuatu yang luar biasa atau tidak." ia berpikir pula, Terus ia
membuka pintu dan bertindak keluar.
Ia berjalan dengan perlahan, selagi lewat di depan kamar
Khu Lin dan Siauw Leng, sengaja dengan sikutnya ia
membentur pintu kamar itu hingga pintu terbuka. Tiba-tiba
saja ia menjadi heran, Kamar kedua kawannya itu kosong,
Dengan cepat ia pergi keluar, untuk mencari ke sekelilingnya
Tapi ia tidak melihat mereka itu,
"Mungkinkah diwaktu hujan begini mereka berminat
pesiar?" tanyanya pada diri sendiri "Aneh"
Ia lekas kembali ke dalam. Di dalam kamarnya ia
merasakan bau hawa yang mendesak Tadipun ia merasakan
itu, ia baru merasa lega setelah mementang pintu, ia percaya
itulah disebabkan hujan, hawa menjadi ngelekap. Karena itu,
daun jendela ia palang, untuk membukanya separuh.
444 Habis bersantap Jie In merasakan mukanya panas, setelah
tadi ia keluar, ia merasakan hawa dingin dan lembab, ia tetap
memakai topengnya, ia jadi merasa kurang enak. Maka ia
membuka topengnya itu, untuk menyusuti mukanya dengan
saputangan, hingga terlihatlah wajahnya yang asli, yang
tampan sekali Tiba-tiba di luar jendela terdengar suara kaget atau kagum
perlahan: "Ih" saking perlahan suara itu dan terganggu suara
angin dan hujan Jie in tidak mendengarnya.
Setelah memakai pula topengnya, pemuda ini, dalam
rupanya seperti pelajar berusia pertengahan mengeluarkan
mutiara yang disimpan dalam sakunya. itulah tanda mata dari
Tio Lian cu, kekasihnya, yang diberikannya secara diam-diam
selama di rumah Ciu Wie seng. ia pegangi itu dan
mengawasinya, ia terbengong, ia terharu ketika ia ingat,
diwaktu mereka mau berpisahan di Chongciu, mata Lian cu
dan Goat Go merah disebabkan mereka itu berat untuk
berpisah. Tiba-tiba api di dalam kamar tersirap guram, angin terasa
menyambar telinga, Di situ terdengar jatuhnya kayu ganjelan
jendela, keras jatuhnya ke lantai, setelah jendela tertutup, api
menjadi terang pula. Dalam sekejap itu, mutiara di tangan Jie
In lenyap tidak keruan paran.
Mengingat Lian cu dan Goat Go, hati Jie In terbenam,
ketika angin menyambar, ia merasa ada orang melompat
masuk, hanya ia sadar sesudah kasip. orang sudah melompat
keluar pula dan jendela tertutup digabrukkan, Lantas kamar
itu memberi harumnya yancie dan pupur.
Tahulah ia bahwa yang datang itu wanita- adanya ia hanya
merasa heran, orang tidak bermaksud jahat, ia cuma berpikir
sejenak, lantas ia membuka jendela, untuk melompat keluar.
445 Hujan sudah mulai reda sedikit, Di bawah payon terlihat
satu bayangan orang. Sambil berseru Jie In lompat memburu. Tapi bayangan itu
sudah mendahului mencelat, memisahkan diri sejauh tujuh
atau delapan tombak. "Bagus" ia memuji dalam hatinya, memuji entengnya tubuh
orang, sejak merantau, inilah yang pertama kali ia menemui
orang demikian gesit, Tapi ia menyusul.
sekarang ia menyaksikan kecerdasan si bayangan, yang
berlari-lari sebentar ke timur sebentar ke barat, hingga tak
dapat dia tercandak, Atau kadang-kadang dia bersembunyi,
untuk kemudian memperlihatkan diri sendiri
Dengan main petak secara demikian, Jie In akhirnya
terpancing sampai disebuah rumah besar di dekat tembok
kota, Karena orang menghilang ke dalam rumah, ia menjadi
sangsi. ia berpikir: "Masuk atau jangan" Kenapa aku dibawa
ke mari?" Baru setelah itu, ia mengambil putusan buat mencari tahu,
Maka dengan berhati-hati, ia melompat turun dari atas
genteng, ia menghampiri jendela sebuah kamar di dalam
mana ada cahaya api. ia lantas memasang telinga, Di dalam
situ ada tiga atau empat orang tengah berbicara.
"Dua makhluk itu mampus" terdengar suara seseorang,
"Mereka justru mengambil kamar hotel yang dibuka tong-cu,
hingga tanpa merasa mereka kena dibekuk. inilah selaron
menubruk api sendiri, mengantarkan kematiannya"
Jie In terkejut, bukankah yang tertangkap itu kedua
sahabatnya" ia memasang telinga lebih jauh.
Seorang lain tertawa dingin dan berkata: "Kau jangan puas
tidak keruan. Masih ada kabar buruk. Barusan aku mendengar,
katanya ditubuh kedua orang itu tidak terdapat ho-siu-ouw
berusia seribu tahun itu serta mustikanya si raja naga, cuma
terdapat serenceng mutiara yang biasa dimiliki keledai botak.
446 Gui Tongcu gusar karenanya, Kedua orang itu dikompes,
Mereka bilang kedua rupa barangnya telah dirampas Ang
Tiang Ceng dari Hek Liong pay.
Tongcu tidak percaya pengakuan itu sebab tongcu justru
mendapat kabar- kilat katanya Ang Tiang Ceng, Pheng Hui,
ong Ek. Liong- bun Nao Koay serta murid-murid Ngo Tay san,
semua pulang dengan tangan kosong, Kedua barang itu
lenyap. bukankah aneh?"
Jie In mendapat kepastian dua orang yang tertawan itu
benar Khu Lin dan Lie Siauw Leng, ia menjadi heran
memikirkan wanita yang memancingnya ini, Apakah maksud ia
itu" Jadi ia bukan hanya digoda.
"Apakah mungkin," berkata orang yang ketiga, "mereka itu
menggunakan akal seperti caranya orang mengirim piauw
gelap. yaitu diam-diam barang itu sudah dikirim lebih dahulu?"
"Belum tentu" kata orang yang kedua. "setibanya kedua
orang itu, mereka disusul seorang pelajar rudin berusia
pertengahan Ketujuh imam Ngo Tay san roboh di tangan
pelajar itu, Katanya si pelajar sangat lihay, cuma dia belum
ketahuan asal-usulnya, Menurut ketujuh imam itu, si pelajar
mengakui diri sebagai begal tunggal, Anehnya belum pernah
kita mendengar tentang dia. Yang lebih aneh lagi, dia berani
turun tangan dalam daerah pengaruh kita Ceng Hong Pay.
Tanpa bernyali besar dan lihay, siapa berani berbuat seperti
dia" Karena itu Gui Tongcu tidak lantas turun tangan, ia
hendak menanti sampai jam tiga nanti, untuk membikin dia
roboh dengan hio pulas, untuk membekuk dan
mengompesnya " Mendongkol Jie In. jadi ia hendak ditawan dengan akal
busuk. ia menganggap hina perbuatan Ceng Hong Pay. Musuh
ayahnya berada dalam Ceng Hong Pay, juga musuh Kang
Yauw Hong. sekarang timbul persoalan Khu Lin dan Lie Siauw
Leng Maka ingin ia turun tangan. Lantas ia menyentil kertas
jendela, terus ia sembunyi dipojokan.
447 "Siapa?" begitu pertanyaan dari dalam yang mendengar
ketukan perlahan itu. Menyusul itu pintu terdengar dibuka dan seseorang nongol,
melihat ke depan, ke kiri dan kanan.
"Siapa ya?" katanya, pada diri sendiri. Ia tidak melihat
siapa pun juga. Apes orang itu, ketika ia bertindak keluar, segera ia dibekuk
Jie In. Mulanya ia disambar tangannya, lantas ditarik kepojok.
di sini, sebelum ia sempat berontak atau berteriak ia ditotok
iganya, lalu dengan perlahan tubuhnya diletakkan ditanah. Jie
In kembali kejendela, ia mengetuk empat lima kali.
"Lie Liu-cu, siapa?" tanya seorang dari dalam, "Kenapa
main ketuk-ketuk" Kalau ada urusan, tak dapatkah kau masuk
untuk bicara di dalam?"
Orang itu lagi duduk. kursinya digeser, tetapi ia tidak lantas
bangkit berdiri, ia bahkan menenggak araknya.
"Lao ong, kau keluarlah" kata lain orang lagi, "Pergilah
lihat, mungkin tongcu hendak memerintahkan apa-apa. Aku
lagi berdinas menjaga, tak dapat aku meninggalkan
tempatku." Orang yang dipanggil Lao ong itu, si ong tua, menggerutu:
" Kalau mau bicara boleh di dalam, Kenapa main ketuk-ketuk
jendela?" Tapi kali ini ia bangkit berdiri, untuk pergi keluar.
Jie In lantas menyambut, untuk merobohkan orang seperti
yang pertama, Lie Liu-cu.
Karena didalam tinggal satu orang, dengan berani Jie in
menyelusup masuk. Ia mendapatkan seorang dengan tubuh
besar, alis tebal dan mata besar, lagi duduk di atas bangku
panjang, sebelah kakinya diangkat. Dia lagi minum arak
dengan asyik, Di meja di depannya ada piring-piring daging
dan lainnya, juga kwaci, Di lantai berserakan tulang-tulang
dan kulit kwaci. Dia kaget ketika mendadak dia melihat
masuknya seorang tak dikenal, dia melompat bangun,
448 mulutnya dibuka untuk berteriak. Dengan sebat Jie in
melompat kepada orang itu, untuk memencet pundaknya.
"Jangan bersuara, atau kau lantas mati" ia mengancam.
Orang itu kesakitan, sesaat tidak berdaya, "Ampun"
katanya, Hampir dia pingsan karena rasa ngerinya itu,
makanya menjadi pucat, tubuhnya gemetaran.
"Gampang untuk mengampuni tau," kata Jie In tersenyum,
"Asal kau beritahu di mana dua orang yang ditangkap itu,
yang kalian bicarakan barusan, kau akan mendapat
pengampunan" "Malam ini aku jaga bertugas di sini, ako tidak melihat
mereka," orang itu menjawab" "aku cuma mendengar mereka
katanya berada di ruangan Gie-su-tong di mana mereka
disiksa dengan kompesan Hun Kin Co Kut Ciu oleh Gui
Tongcu, sebab mereka ngotot menyangkal kedua
mustikanya." "Gie-su-tong itu di mana dan bagaimana harus pergi ke
sana?" "Dari sini ke kiri, lalu ke kanan, lewat lorong, itulah dia." Jie
In tersenyum. "Kau tidak mati tapi dapat hUkuman hidup," katanya, "
Untuk sementara kau menderitalah"
Orang itu kaget, dia ketakutan, tapi dia lantas roboh
pingsan karena Jie In telah menotok belakang kepalanya,
setelah itu Jie In pergi dengan jalan mengikuti petunjuk tadi.
Malam itu gelap dan hujan masih turun terus, angin pun
keras. Karena itu tiga pos penjagaan tidak melihat lewatnya
Jie In, yang dapat sampai di muka Gie Su-tong.
Di dalam ruangan terlihat api terang, Di luar, ada dua
orang yang menjaga pintu, Tak sulit untuk Jie In merobohkan
kedua orang itu, Mulanya ia berindap-indap untuk datang lebih
dekat pada mereka, Sambil bersembunyi ia menepuk tangan
dua kali, Mereka itu kaget, mereka berpaling, justru itu Jie In
449 melompat kearah mereka, untuk menotok. Mereka tak
berdaya, mereka roboh seketika, lantas keduanya digusur ke
bawah payon, perbuatan itu tak diketahui siapa pun.
Di dalam ruangan itu teriihat Khu Lin dan Siauw Leng rebah
di tanah, muka mereka meringis tanda kesakitan, Di depan
mereka duduk empat orang. Pasti mereka orang- orang
penting dari ceng Hong Pay. Yang ditengah beralis gompyok.
matanya besar, dan berewokan"Kalau kalian tetap tidak mau memberi tahukan, lihatlah
nanti aku si orang she Gui memberi rasa" katanya nyaring,
Jie In menjadi gusar sekali, la tidak dapat menahan sabar,
Sambil berseru, ia mengayunkan kedua tangannya, membikin
api padam, menyusul mana, ia melompat masukl Gui Gan
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget, Gelap ruangan itu.
"Anak-anak, ambil api" ia memanggil ia mengira angin
menghembus masuk. Menyusul itu, tongcu itu berdiam, lantas terdengar suara
beberapa tubuh roboh, terus sunyi. Ketika seseorang datang
masuk membawa lilin, dia kaget bukan main, Gui Tongcu
berempat sudah roboh binasa dan kedua tawanan lenyap.
Dia lantas berteriak-teriak, hingga sebentar saja datang
banyak orang, hingga ruangan itu meniadi kacau dan berisik,
Semua orang bingung. Jie In bekerja sangat cepat, Meski ruangan gelap. ia tahu di
mana musuh berada, Paling dulu ia terjang Gui Tongcu dan
tiga kawannya, baru dia membawa lari Khu Lin dan siauw
Leng kepojok rumah di mana ia totok bebas pada mereka itu,
terus ia berbisik: "Mari kita pergi"
Khu Lin berdua kaget dan heran- Mereka mengikuti tanpa
bersuara Jie In mengajak orang ke kamarnya, Ketika itu hujan
sudah berhenti, angin besar masih menderu-deru.
450 "Terima kasih" kata kedua orang itu, Lantas mereka
bertanya, "kenapa sahabat itu mengetahui mereka ditawan
musuh," Jie In menggoyangkan tangannya, "Tunggu sebentar,"
katanya, "Kalian tahu, inilah hotelnya Ceng Hong Pay di bawah
penilikan tongcu Gui Gan, Kalian tunggu, aku hendak
menghukum mereka, Nanti kita bicara pula." setelah berkata,
ia lantas pergi keluar pula. Kedua orang itu melengak. Heran
mereka untuk lihaynya kawannya ini. Tidak lama perginya Jie
In, dia pulang dengan sikap tenang dan tertawa.
"Bagus, semua sudah beres" katanya, "semua telah aku
totok urat gagunya dan memusnahkan juga ilmu silatnya,
sekarang mari kita pergi ke istal, untuk berlalu dari sini, di
tengah jalan nanti kita bicara" Kedua orang itu menginsyafi
bahaya, mereka menurut. Demikianlah dilain saat mereka bertiga sudah berada dalam
perjalanan menuju ke Thay-goan.
"Bagaimana caranya kalian tertawan" " Jie In bertanya.
"Kami tak tahu," sahut Siauw Leng. " Habis bersantap kami
merebahkan diri Memang-nya kami sudah letih, Tanpa merasa
kami kepulasan. Ketika kami mendusin, kami berada di
tempatnya Gui Gan di mana kami disiksa untuk mengakui di
mana adanya ho-siu-ouw dan empat mustika naga,
selanjutnya kau ketahui sendiri, Kenapa tayhiap mengetahui
kami tertawan?" Jie In menuturkan apa yang terjadi, "Berharga lenyapnya
mutiara itu," katanya tertawa, "Cuma aku tidak tahu siapa
dia." Kedua orang itu berlega hati, tetapi mereka masgul,
Mereka menduga tentu ada sebabnya yang menyulitkan maka
penolong itu menyembunyikan diri.
Di dalam gelap. dijalanan yang becek dan berlumpur,
ketiga orang ini melarikan kuda mereka, Di atas langit,
451 bintang-bintang pun tidak ada. Cuma hawa dingin. Berisik
suara tindakan kaki kuda mereka. Dua jam mereka kabur,
tidak ada rintangan apa-apa. Mendekati fajar, jauh-jauh,
lapat-lapat, terlihat kota Thaygoan,
"Kita menuju langsung ke barat daya," kata Khu Lin"Sebentar lagi, kita akan sampai di Ceng sian sie"
Kuil Ceng sian sie kuil tua, dulunya bernama Thian Liong
sie, dibangunnya dijaman Cee Utara, Di sana terdapat banyak
gua dengan patung-patung sang Buddha dan lainnya. Sun Tie,
kaisar pertama ahala Ceng, pernah berdiam satu tahun di
dalam kuil itu. Nama Ceng sian sie diubah oleh kaisar Kong
Hie. (Kemudian lagi, di akhir Kaisar Kian Liong, nama itu
dikembalikan pada asalnya, menjadi Thian Liong sie).
"Baiklah," kata Jie In tertawa, "Kalian jalan lebih dulu, aku
akan menyusul." Habis berkata, ia keprak kudanya lari menuju
ke kota. Khu Lin dan Siauw Leng menuju ke barat daya, Mereka
menjalankan kuda mereka perlahan-lahan, guna mencegah
orang mencurigai mereka. setengah jam kemudian, mereka
sudah tiba di depan kuil, Mereka turun dari kuda mereka dan
bertindak memasuki pintu pekarangan- segera mereka
disambut Kong Goan Taysu, pendeta tukang menyambut
tamu, Dia mengangguk "Jie wie baru sampai" katanya, "Banyak capai Jie sie-cu
sudah menantikan sekian lama"
Heran mereka berdua, hingga mereka melengak. Akhirnya
mereka saling pandang dan tertawa, Hebat Jie In- segera
setelah menanyakan kesehatan gurunya, mereka lari masuk,
terus ke hong-thio, kamar pendeta kepala.
Dari luar mereka sudah mendengar suara guru mereka dan
Jie In yang bicara dengan suara cukup keras dan sambil
tertawa juga, Ketika mereka menyingkap gorden, Jie In berdiri
dan berkata: "Maafkan aku, aku tiba lebih dulu"
452 Girang hatinya kedua orang itu, Mereka mendapatkan guru
mereka sehat sekali, Tahulah mereka, tentu guru itu sudah
makan ho-siu-ouw, Maka mereka berkata pada Jie In:
"Jie Tayhiap. banyak terima kasih atas budi
pertoIonganmu. Terimalah hormat kami" Lantas mereka
menjura dalam-dalam. "Jangan- jangan" Jie In mencegah. Thian Tie Tiauw siu
tertawa dan berkata: "Memang pantas mereka menghaturkan terima kasih
mereka kepada Jie Tayhiap janganlah tayhiap terlalu
merendah," lalu ia menambahkan "barusan-aku diberitahu
oleh pendeta penilik di sini bahwa di luar rimba cemara di
sekitar kuil ini kedapatan bergelimpangan belasan mayat, pasti
itulah perbuatan tayhiap yang sudah menyingkirkan orangorang
jahat." "Siancay siancay" memuji seorang pendeta yang alisnya
putih semua, yang duduk bersama mereka, "suruhlah Kong
Goan bakar mereka itu menjadi abu. Mungkin aku mesti
mendoa tiga hari untuk mereka itu."
"Ha, tua bangka botak. sejak kapan timbul pula ingatanmu
yang baik?" kata Thian Tie tertawa lebar.
Pendeta itu, Ceng Tim siansu, memejamkan mata, dia
berdiam saja. Khu Lin dan siauw Leng heran dan kagum. Mereka tidak
menyangka Ceng sian sie juga didatangi orang-orang Ceng
Hong Pay itulah berbahaya, Syukur Jie In telah keburu sampai
dan turun tangan, Tanpa orang she Jie ini, entah apa jadinya
dengan mereka semua. Kemudian mereka berbicara lebih jauh, sampai Thian Tie
Tiauw siu berdiri, sambil tertawa, ia berkata pada
penolongnya: "Jie Tayhiap. aku sudah sembuh, aku ingin
segera pulang ke In lam, Aku harap. kalau nanti tayhiap pergi
453 ke sana, sukalah kau mampir pada-ku, supaya sebagai tuan
rumah, dapat aku melayani tetamuku."
" Itulah pasti" sahut Jie In tertawa, "Tanpa locianpwe
mengatakannya, sudah selayaknya aku datang menjenguk."
Thian Tie berpaling kepada Ceng Tim dan berkata: "Taysu,
buat banyak bulan aku telah mengganggumu, kau juga telah
menolong mengobati aku, untuk itu aku tidak dapat
mengucapkan terima kasih, maka biarlah lain tahun pada hari
ini, aku datang berkunjung pula ke mari"
Tuan rumah membuka matanya dan tertawa.
" Kalau kau sudi datang, kau dapat datang sembarang
waktu" sahutnya, "Pintu Ceng sian sie selalu terpentang lebarlebar
Aku pun tidak dapat mengucapkan apa- apa, asal kau
tak kurang sesuatu apa pun di sepanjang jalan" ia terus
mengantar tamunya sampai di luar.
selagi mau berpisahan, Thian Tie menghadiahkan Jie In
sepotong ho-siu-ouw sebesar jeriji tangan serta pisau belati
cula badak. sembari tertawa ia berkata: "Cukup untukku
memakan separuhnya ho-siu-ouw, maka itu masih ada sisa
tiga potong, ini yang sepotong untuk tayhiap makan, guna
membantu tenaga dalammu, ini pisau belati cula badak aku
dapatkan secara kebetulan saja di gunung Bong chong san,
tajamnya dapat dipakai menabas emas atau batu kumala, Aku
tahu, tayhiap gagah dan tak membutuhkan ini, tetapi aku
minta sukalah kau menerima, sebagai tanda terima kasih ku."
Melihat orang bersungguh hati, Jie In menerima.
Khu Lin dan siauw Leng berat untuk berpisah dari Jie In, air
mata mereka mengembeng karenanya.
Setelah keberangkatan Thian Tie Tiauw siu bertiga Jie In
berpamitan dari Ceng Tim, terus ia pergi ke kota Thaygoan di
mana ia menumpang di hotel Bouw Goan, ia dapat
beristirahat, besoknya ia bangun, untuk keluar dan jalan-jalanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
454 Dijalan besar banyak air, hawa dingin, sedikit orang yang
mondar mandir, Beberapa hari lagi akan tiba tanggal dua
puluh empat bulan dua belas.
Kemudian ia menggunakan waktu tiga hari untuk pesiar di
delapan tempat tersohor dari kota Thaygoan itu, Paling
belakang ia pesiar di luar kota. Hari itu ia tiba di "Hong Tong"
atau Gua Angin, belasan li di luar kota, itulah gua batu yang
luas dan di dalamnya terdapat seratus lebih cio-pay berukiran
isi kitab Buddhism tulisan dari banyak orang, hingga model
suratnya tak seragam. Tertarik akan menyaksikan demikian banyak cukilan, hingga
lama ia menyaksikannya, sesudah setengah hari, selagi ia
hendak pergi keluar, ia mendengar tindakan kaki, Cepat-cepat
ia bersembunyi di belakang sebuah ciopay yang besar.
Yang datang itu dua orang, mereka bertindak masuk sambil
berbicara gembira, sambil tertawa Jie In menjadi heran.
Katanya dalam hatinya: "Kenapa bocah-bocah ini berada di
Thaygoan?" Mereka itu bukan lain daripada Hu Wan dan Hu Ceng, si
Wan- Jie dan ceng- Jie. Mereka pergi kepojok di mana mereka
itu lantas duduk numprah. untuk menangsal perut, Untuk itu
mereka membekal dua bungkusan.
Segera terdengar suaranya Hu Ceng, yang bicara sambil
tertawa: "Encie, bukankah pendeta itu mendustai kita" Dia
kata Pat Ciu Thian-cun sudah pergi semenjak tiga hari yang
lalu, Karenanya kita mesti menanti lagi dua hari, baru dia
pulang Benarkah ada kejadian begini kebetulan" Menurut aku,
ingin aku menggeledah setelah itu, baru aku mau percayai"
"Adik Ceng, beginilah tabiatmu" berkata sang kakak, "Tidak
apa kita menanti lagi dua hari selewatnya itu baru kita mencari
tahu si siluman tua Pat Ciu sudah pulang atau belum Pendek
455 kata, sebelum pedang Thay oh didapat pulang, tidak nanti aku
mau mengerti" si Ceng berdiam.
Mendengar itu, baru sekarang Jie In mengerti
keterangannya Hu Liok Koan bahwa ada sebuah pedang Thay
oh Kiam telah dirampas seorang penjahat tidak dikenal,
penjahat itu beroman aneh, tinggi tubuhnya delapan kaki,
kepalanya potongan labu, mukanya penuh titik-titik putih.
Rupanya sekarang telah ketahuan, pencuri itu ialah Pat Ciu
Thian-cun, si Malaikat Tangan Delapan, Hanya ia tidak
mengerti, kenapa Hu Liok Koan tidak bersama kedua bocah
ini. Kenapa mereka berdua dibiarkan menempuh bahaya"
Apakah ada terjadi sesuatu atas diri Liok Koan"
Sudah setengah tahun mereka berpisah, sampai di situ, ia
tidak mau bersembunyi lebih lama lagi. Tapi ia ingin mainmain.
ia menggeser tubuhnya secara diam-diam.
Kedua bocah itu lagi bersantap dengan lahapnya tatkala
Ceng- Jie kaget karena tahu-tahu ada tangan yang merampas
paha ayam-nya. Keduanya kaget, lantas mereka melompat
bangun, hingga mereka mendapatkan, siperampas ialah
seorang pelajar rudin berusia pertengahan yang terus duduk
numprah ditanah sambil menggeragoti paha ayam mereka.
Mata Ceng- Jie melotot. "Eh, kenapa kau begini kurang ajar?" dia membentak. "
Kenapa kau merampas maka nan orang" Apakah kau sudah
tidak gegares selama tiga tahun?"
"Anak, bagus pertanyaannya" sahut Jie In, yang
menggunakan logat suara orang Utara, "Kalau sudah tiga
tahun aku tidak gegares, mana dapat aku merampas
barangmu?" Ia lantas memandang Wan- Jie, ia berkata: "Nona, jangan
gusar, ya" Barang ada dua bungkus, kalau itu dimakan hanya
tiga orang, masih banyak kelebihannya. Mari, mari kita dahar
456 bersama sesudah aku si orang tua bersantap. nanti akan
memberikan sesuatu yang baik kepada kalian"
Sambil memandang itu, diam-diam ia memperhatikan si
nona, setelah setengah tahun tidak bertemu, Wan Jie tampak
semakin besar dan tinggi, kedua matanya hidup sekali, hingga
dia bukan lagi nona berumur empat atau lima belas tahun, dia
mirip gadis berusia tujuh atau delapan belas tahun.
Hu Wan mementang matanya mengawasi si pelajar rudin
yang merampas paha ayam itu.
"Siapa mengharap kebaikan darimu?" katanya menyahut
"Kalau kau mau makan, makanlah, kami pun sudah tidak
membutuhkan nya" Jie In tertawa tergelak. "Sungguh menarik sungguh menarik" katanya, "Nanti kau
jangan meminta apa-apa dari aku. Aku si orang tua, apa yang
aku bilang, kalau sudah satu, tidak nanti menjadi dua"
"Siapa yang mau minta sesuatu darimu ?" Ceng Jie berseru,
"Kau sendirilah yang datang kepada kami. Tidak tahu malu"
Jie In tersenyum. Hanya sejenak. mendadak romannya
tampak kaget, secepat kilat dia melompat, menangkap kedua
anak itu, untuk dibawa bersembunyi di belakang ciopay,
sambil berbuat begitu, dia berbisik: "Jangah bicara. Ada
orang" sekarang dia melepaskan tangannya, untuk
menyenderkan di samping gua.
Wan Jie dan Ceng Jie kaget sekali, Tidak mereka sangka,
mereka dapat dibekuk secara demikian, hingga mereka tidak
berdaya, Wan Jie pun mendongkol. Bukankah ia telah menjadi
gadis remaja" Dan tangannya disambar seorang yang tidak
dikenali. Maka dia bergelisah.
Juga Ceng Jie penasaran, Tapi dia tanya kakaknya: "Encie,
benarkah ada orang" Bukankah dia ini manusia busuk?"
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si nona membekap mulut adiknya, "Jangan bicara"
bisiknya, "Awas, nanti orang jahat mendengarnya "
457 Ketika itu dari luar gua terdengar tindakan kaki orang,
terdengar juga suara pembicaraan Rupanya mereka itu
berdua, seorang pria serta yang lain wanita.
"Entah kenapa guru kita," berkata yang pria, "terhadap dua
bocah cilik wanita dan pria itu, dia demikian takut" Coba suhu
tidak memesan wanti-wanti, sungguh ingin suhengmu ini
mencoba-coba mereka itu"
" Kau tidak tahu" berkata si wanita, sembari tertawa,
"Peryakinan suhu atas ilmu Cu Ngo Hian Kang tinggal
serintasan lagi dan selama dua belas jam yang mendatang
ialah saatnya yang paling penting, andaikata perhatiannya
terganggu, ada kemungkinan suhu tersesat Apakah kau kira
suhu benar-benar jeri berhadap mereka" suhu bilang, maksud
kedatangan mereka itu masih belum diketahui, tak dapat kita
bertindak sembrono, juga masih harus diketahui, di belakang
mereka pasti ada orang tua yang menjadi tulang
punggungnya. Maka suhu kuatir kita menyebabkan timbulnya
bahaya di belakang hari. Karena itu suhu melarang kita
memperlihatkan diri"
Mereka tiba di mulut gua, di situ mereka berhenti,
berbicara tak jelas. Wan Jie dan Ceng Jie menjadi tegang
sendirinya. segera terdengar pula suara yang pria:
"Dasar kau wanita, kau lebih disayangi suhu. Cuma kaulah
yang setiap pagi dan sore diijinkan naik ke menara menemui
suhu Mungkin kau telah mendapat kebaikan apa- apa."
Katanya kalau nanti sudah selesai peryakinan suhu atas Co
Ngo Hian Kang, maka pedang Thay oh Kiam yang ia dapatkan
beberapa tahun yang lampau hendak digabung dengan cu
Ngo Hian Kang, buat dijadikan ilmu silat Cu Ngo Cap Jie Kiam,
dengan begitu suhu jadi dapat membangun satu partai baru,
ia sendiri menjadi seorang jago. Benar begitu, bukan?" Yang
wanita tertawa. 458 "Kau benar-benar pintar" katanya, "Pantas suhu memuji
kau Eh, ya, kau memanggil aku datang ke mari, mau apakah
kau?" "Tentu ada perlunya, sumoay" sahut yang-pria, yang lantas
memberikan keterangannya.
BAB 14 Jie In mendengar pembicaraan kedua orang itu, ia menjadi
gusar, dengan sebat sekali ia melompat keluar dari tempat
sembunyinya, terus ia menotok mereka roboh sebelum
mereka sempat berdaya, saking kagetnya, mereka cuma dapat
berseru tertahan- pria itu roman-nya tampan dan yang wanita
cantik, Hu Wan dan Ceng Jie terperanjat mereka memburu keluar,
maka di sini, di tempat yang terang Jie In melihat si Nona Hu
menjadi jauh lebih elok daripada setengah tahun yang baru
lalu, Tentu saja, senang ia melihatnya. sebaliknya Wan Jie, dia
jengah diawasi orang, hingga kedua pipinya menjadi merah.
Tapi dia mendongkol untuk sikapnya pelajar rudin yang tidak
dikenal ini, dia mengawasi tajam, demikian juga Ceng Jie.
"Mereka berdua ini ada faedahnya untuk kalian," kata Jie In
tertawa, ia tidak mengambil pusing orang agaknya
mendongkol "Aku si orang tua telah merampas barang
makananmu, maka dengan ini aku menghaturkan terima kasih
ku." Mendadak dia berhenti bicara, dia menangkap pula tangan
kedua anak itu, untuk kembali dibawa lari bersembunyi
sembari berbuat begitu dia berkata: "Lekas masuk. Ada orang"
Karena ada pengalaman tadi, Wan Jie dan Ceng Jie
menurut, Baru mereka bersembunyi di luar gua telah
terdengar tindakan kaki orang serta suara ini yang
menyusulnya: "Cie sute ,Yan sumoay suhu memanggil kalian"
459 Suara itu tidak memperoleh jawaban.
" Heran" kata pula orang itu. "Tadi aku melihat mereka
menuju ke sini Ke mana perginya mereka" Apakah mereka
terus pergi ke kota" Cie sute Yan sumoay"
Dua kali panggilan itu diulangi, masih tidak ada jawaban,
Rupanya dia percaya sute dan sumoay nya itu, adik
seperguruan yang pria dan wanita, sudah pergi ke kota, maka
tanpa masuk lagi ke dalam gua, ia pergi dari situ.
Jilid 6.1. Tay oh Kiam milik keluarga Hu
Jie In lantas keluar dari tempatnya sembunyi untuk
menghampiri kedua korbannya, ia menotok bebas kepada si
nona, hingga nona itu sadarkan diri ia berkata: "Kalau kalian
ingin mengetahui tentang pedang Thay-oh Kiam, kalian
tanyalah dia ini, nanti kalian dapat mengetahuinya Aku sendiri
masih mau dahar." Lantas ia ngeloyor ke tempat bungkusan
makanan, untuk menggeragoti lagi paha ayamnya
Si nona yang dipanggil Yan sumoay itu sadar dengan
merasakan seluruh tubuhnya sakit ngilu bukan main, ketika ia
membuka matanya, ia melihat seorang nona mengawasi ia
dengan sinar mata bengis, sedang di sisi nona itu ada bocah
berumur tujuh atau delapan tahun,
ia kaget, tetapi ia lantas bertanya: " Kalian menurunkan
tangan jahat, kalian mau apa?"
"Hm" bersuara Hu Wan. "Kami tidak mau apa-apa Cukup
kau memberitahu kami, di mana Pat Ciu Thian-cun
menyimpan pedang Thay oh Kiam, nanti kami memberi
ampun padamu" Nona itu rupanya mengerti nasibnya, lantas ia menghela
napas. 460 "Sejak guruku mendapatkan pedang itu, tak pernah ia
memisahkan diri darinya," ia berkata, "Sekarang ini guruku
berada di atas menara di belakang kuil, di tingkat ke enam di
mana ada kamar istirahat, di mana ia lagi meyakinkan ilmu cu
Ngo Hian Kang. Kalau kalian mau mencarinya, pergilah kalian
ke sana" Belum Hu Wan atau Ceng Jie mengatakan apa-apa, Jie In
telah mengasih dengar perkataannya: "Ceng Jie, kau totok
leher kedua bocah itu, di sebelah kanan, ototnya yang ke-tiga,
supaya dengan begitu mereka akan berdiam di sini untuk
selama-lamanya" Ceng Jie heran berbareng girang, itulah ajaran ilmu
menotok untuknya, Si nona sebaliknya kaget dan ketakutan"Aku mohon, jangan jangan-.." katanya. cuma sebegitu ia
dapat berkata, Ceng Jie telah menotoknya, maka berhentilah
ia bernapas. Ceng Jie bekerja terus, ia pun menotok yang pria, hingga
dia itu menyusul sumoaynya
Hu Wan hendak mencegah adiknya, tetapi ia menarik
tangan si adik sesudah kasip, Maka ia cuma bisa mendelik
terhadap Jie In si pelajar rudin. Kemudian ia menarik tangan
adiknya itu seraya berkata: "Adik, mari kita mendaki menara
di belakang kuil Tin Hong Sio itu untuk minta pedang kita dari
Pat ciu Thian-cun" "He, tunggu dulu" mendadak terdengar suara nyaring si
pelajar rudin, "Dapatkah kalian bertindak sembrono cuma
karena mengandalkan kepandaian Kiu Kiong Im yang Cenghoan
Pou dan ilmu pedang Pek Wan, si Kera Putih kalian"
Kalian dengar kata-kataku, nanti malam baru kalian pergi itu
waktu akupun dapat membantu kalian mendapatkan pulang
pedang kalian itu sekalian menyingkirkan Pat Ciu Thian-cun,
supaya berbareng terbalas juga sakit hati orang tua kalian"
461 Hu Wan dan Ceng Jie terkejut bukan main, dengan
mendelong mereka mengawasi si pelajar rudin, siapakah
orang ini, yang mengetahui demikian jelas tentang diri
mereka" Disamping itu, mereka pun menjadi curiga dan
berkuatir pedangnya nanti dirampas orang ini. "
"Siapa kau?" tanya si nona kemudian dengan bengis,
"Kenapa kau mengetahui urusan kami" Lekas bilang Kalau
tidak. nonamu tidak akan berlaku sungkan-sungkan"
Ceng Jie sudah lantas mengeluarkan sepasang poan-koanpit
yang tempo hari dapat dirampas dari Tong san Jie Niauw,
ia bersiap menerjang begitu ada perintah kakaknya Jie In
tertawa lebar. "Anak-anak. kenapa tabiat mu begini keras?" katanya, "Aku
si orang tua berhati baik, akupun tidak mengganggu kalian
Mari, mari keluar, nanti aku kasih kalian lihat, siapa, aku si
orang tua ini" Baru dia berkata begitu Jie In sudah mencelat keluar, cuma
anginnya yang terasa menyambar.
Wan Jie menjadi heran, tapi justru itu, ia jadi terkenang
akan engko Gannya. Tanpa ayal lagi, ia tarik tangan Ceng Jie
untuk diajak lari keluar.
Di luar gua, si pelajar terlihat lagi berdiri anteng sambil
menggendong tangan dan wajahnya tersenyum berseri-seri.
"Siapa kau?" Wan Jie membentak, "Lekas bicara"
Jie In tertawa. "Nona Wan," sahutnya perlahan, "sampai sekarang kau
masih belum mengetahui aku siapa?" Kali ini ia bicara dengan
logat suara asalnya, logat suara orang selatan.
Wan Jie mendelong mengawasi ia ingat logat suara itu
seperti pernah ia mendengarnya, Ceng Jie pun sama
herannya. Jie In pun mengawasi ia mengerti orang belum dapat
mengingatnya. 462 "Sekarang lihatlah biar tegas, siapa- aku" katanya pula,
tertawa, sekarang ia mengangkat tangannya dan dengan
perlahan meloloskan topengnya.
Ceng Jie berteriak, tubuhnya lantas mencelat menubruk si
pelajar rudin itu, merangkul batang leher, terus ia
menggoyang-goyangkannya berulang-ulang dan berteriak:
"Engko Gan Engko Gan"
Wan Jie pun heran, tetapi ia masih dapat menguasai diri
untuk tidak menubruk seperti adiknya itu, ia cuma mencekal
keras kedua tangan si anak muda, ia heran berbareng girang
luar biasa. "Engko Gan," katanya, "kau sungguh jail. Mengapa kau
tidak mau menjelaskan siang-siang, supaya orang tidak
sampai ragu-ragu dan berkuatir tidak keruan?"
Memang selama setengah tahun, kangen si nona terhadap
si anak muda, bukan main keras nya ia memikirkannya,
hingga ia pernah mengucurkan tidak sedikit air mata.
Jie In balas menggenggam tangan si nona, ia mengawasi
saja sambil tersenyum. segera Wan Jie sadar bahwa ia memegangi tangan orang
itu, mukanya menjadi bersemu dadu, lekas-lekas ia menarik
pulang kedua tangannya, tapi masih sekali lagi ia melotot
terhadap anak muda itu. Jie In lantas berpaling kepada si bocah.
"Eh, kunyuk cilik" ia berkata, "sekarang tahulah kau siapa
aku si orang tua" Ceng Jie melepaskan rangkulannya, ia berjingkrakkan.
"Engko Gan, kau tidak tahu malu" katanya, "Dulu kau
menyebut dirimu paman, sekarang si orang tua"
"Adik, kau ngaco" Hu Wan membentak.
Jie In berdiam, ia memandang kakak dan adiknya itu
bergantian Kalau tadi ia gembira, sekarang ia masgul. Ada
463 kata-kata yang sukar ia mengeluarkannya, ia melihat si nona
menunduk. kupingnya merah, Maka berdebarlah hatinya.
"Mari kita masuk pula ke dalam gua, untuk berbicara,"
katanya kemudian, iapun menuntun tangan Ceng Jie. Wan Jie
mengikuti Di dalam, mereka numprah di tanah,
"Hu Tayhiap sehat-sehat saja, bukan?" tanya Jie In
kemudian pada si nona, ia tersenyum, "Aku heran mengapa
Hu Tayhiap mengijinkan kalian keluar berdua saja inilah
berbahaya." Wan Jie mengawasi si anak muda, lantas ia menunduk
pula, ia tidak menjawab. Adalah Ceng Jie, yang tertawa.
"Engko Gan, kau tidak tahu" katanya, "Bersama-sama encie
aku mendustai yaya Kami mengatakan bahwa kami mau
pesiar ke Pakkhia sekalian mencari tahu tentang kau, dan
kami berjanji, lain tahun kami akan pulang. Mulanya yaya
menolak. tetapi kami membujuk lalu kami pun dibantu Gui
Yaya, akhirnya yaya meluluskan juga."
"Oh, kiranya begitu" kata Jie In. "Bagai-mana persoalannya
maka kalian mengetahui pedang Thay oh Kiam berada di
tangan Pat Ciu Thian-cun?"
Belum Ceng Jie menyahuti, Wan Jie sudah mendahului. ia
berkata: "Kami berangkat pada setengah bulan yang lalu.
Entah dari mana didapat kabarnya, say Hoa To Gui Yaya
mengatakan pada kami bahwa pedang Thay oh Kiam adapada
Pat Ciu Thian-cun Goh Hoa, bahwa Goh Hoa berdiam di kuil
Tin Hong sie di luar kota Thaygoan, lalu Gui Yaya
menganjurkan yaya pergi memintanya pulang- Diluar dugaan,
yaya bersikap tenang saja, Yaya kata, pedang itu pedang
mustika, maka orang bijaksanalah yang harus mendapatkan
dan memilikinya. Yaya kata ia sudah tua, tak perlu ia
berebutan pula, Yaya pun berkata, kalau Pat Ciu Thian-cun
tidak bijaksana, dia bakal celaka, Karena itu, yaya tidak
memperdulikannya lagi. Kami berdua menjadi bingung. Mana
464 dapat pedang itu dibiarkan lenyap" Aku mengerti, dengan
Cara terang-terangan tentulah kami tidak dapat pergi, maka
kami lantas memperdayai yaya."
Jie In tertawa. "Benar-benar besar nyali kalian" katanya, "syukur kalian
bertemu aku, kalau tidak, entah bagaimana kesudahannya,
mungkin kalian bakal mengantarkan jiwa kalian."
Sudah sekian lama Jie In menyamar sebagai pelajar berusia
pertengahan tanpa merasa ia membawa kelakuannya si orang
tua. Wan Jie agak tidak puas. "Kenapakah kau bawa lagak bertingkah ini?" katanya,
"Jangan kau mengulanginya pula, nanti kami tidak menggubris
padamu." Jie In tersenyum. "Baiklah, aku akan tidak bertingkah lagi," sahutnya. "Nanti
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam aku akan membantu kalian secara diam-diam
mendapatkan pedang kalian, cuma ada satu syaratnya Setelah
berhasil mendapatkan pedang, kalian mesti segera pulang,
supaya kalian jangan membuat yaya kalian memikirkan dan
menjadi berkuatir karenanya."
Wan Jie tertawa. "Kau ikut kami pulang, bukan?" katanya. Jie In agaknya
gelisah. "Mana bisa" katanya cepat, "Aku masih mempunyai urusan
penting Nanti saja, setelah selesai, aku pergi ke rumah kalian,
untuk berdiam sekian lama Tidak dapat aku turut kalian,
jangan kau nanti aku tidak memperdulikannya"
Melihat orang bergelisah, si nona tertawa geli.
"Baik, aku turut kau" katanya, "Kenapa kau bergelisah"
cuma ingat, kata- kata mesti dibuktikan dengan kepercayaan"
Lega juga hati si pemuda.
"Aku si orang tua mana dapat mendustai kalian?" katanya.
465 Ceng Jie bertepuk tangan, Dia berteriak: "Nah, nah, engko
Gan, kau kembali membawa tingkahmu Apa itu aku si orang
tua, si orang tua" sebenarnya berapa tinggi usiamu?" Jie In
tidak melayani sebaliknya, ia mengasah lihat roman sungguhsungguh.
"Di manakah letaknya kuil Tin Hong sie itu?" tanyanya.
Wan Jie tertawa. "Pantas kau menyamar sebagai pelajar, kiranya kau mirip
juga dengan si kutu buku" katanya, Lantas dia menunjuk:
"Itu, di sana" Jie In mengangkat kepalanya mendongak.
"Benarkah kuil itu berada di atas gunung ini?" katanya
dalam hati, "Kenapa tadi aku tidak melihatnya?"
Ia lantas berdiri, ia mengenakan topengnya,
"Kalian berdiam di sini, jangan bergerak," ia berkata, "Aku
hendak pergi, tetapi segera kembali"
Hanya dengan satu kali mencelat, ia sudah tiba di luar gua,
untuk mendongak, mengawasi ke atas.
Di sebelah atas gua Hong Tong ini ialah lamping bukit,
tingginya beberapa ratus tombak di mana tumbuh pepohonan,
setelah mengawasi dengan tajam, baru di sana terlihat
tembok merah, temboknya kuil. Baru sekarang Jie In mengerti
kenapa tadi ia tidak dapat melihat kuil itu. setelah itu ia
kembali ke dalam gua. Wan Jie menyambut, ia lantas tanya hal ikhwal si pemuda
selama setengah tahun mereka berpisah, ia juga bertanya
kenapa orang menyamar jadi pelajar rudin berusia
pertengahan itu. Tidak dapat Jie In menuturkan segalanya dengan jelas,
maka ia ngaco belo saja, ia berkata bahwa ia datang ke
Thaygoan untuk membantu sahabat nya mencari tahu tentang
musuh si sahabat, yang minta pertolongannya.
" Habis ini, aku akan pulang kePakkhia," katanya akhirnya.
466 Si nona dan adiknya mendengarkan dengan penuh
perhatian, mereka tak menyangka bahwa mereka lagi
didongengi, Kadang-kadang Jie in bicara dengan jenaka,
hingga mereka menjadi gembira.
Dengan mengobrol itu Jie In menanti datangnya jam dua,
lantas mereka bertiga keluar dari gua itu, Di luar, hawa udara
dingin sekali, tak sehangat di sebelah dalam, Bintang-bintang
menerangi pohon cemara . Jie In mengajak kedua kawannya
lari sampai di mulut gunung.
"sekarang kalian berdua boleh mendaki seCara berterang,"
ia berkata, "Pat Cia Thian-cun belum selesai dengan
peryakinannya, dia tidak bakal memperlihatkan dirinya, Kalau
kalian ketemu orang, kalian lawan mereka dengan Kiu Kiong
Im yang Ceng- hoan Pou. Dengan begitu, meskipun kalian
tidak menang, kalian dapat membela diri, Kalau kalian
mendengar siulan panjang dua kali dari aku, walaupun pedang
belum berhasil didapatkan, jangan ayal lagi, kalian mesti
lantas lari turun gunung, nanti kita bertemu di depan gua tadi"
Wan Jie dan Ceng Jie mengangguk. Mereka lantas
melompat pergi, mendaki gunung itu, sedang Jie In melompat
menghilang diantara pepohonan lebat.
Wan Jie dan Ceng Jie memperoleh kemajuan pesat setelah
mereka dididik In Gak sepintas lalu itu, mereka dapat
melompat tinggi dan jauh. sebentar saja mereka sudah
mendaki dua puluh tombak lebih Jie In selalu mengintip
senang ia melihat kemajuan mereka itu.
Tapi jalanan mendaki itu sangat sukar, nona dan bocah itu
letih juga, terpaksa mereka beristirahat sebentar, Ketika
mereka mau naik pula, tiba-tiba ada teguran dari sebelah
atas: "Siapa di situ" siapa berani lancang mendaki gunung?"
Lalu teguran itu disusul dengan ancaman penyerangan,
lantas terlihat menyambarnya dua benda berkilauan bagaikan
bintang. 467 Wan Jie terperanjat, ia hendak menangkis, atau kedUa
benda itu mental ke samping, menghajar batu gunung,
sedang di atas itu lantas terdengar suara orang seperti
menahan napas, terus terlihat jatuhnya suatu gumpalan hitam
seperti tubuh manusia, tiba ke bawah, lalu terdengar jeritan
hebat, yang menggidikkan tubuh.
Lega hati Nona Hu, Tahulah ia, itulah si engko Gan yang
merobohkan musuh. ia lantas maju terus, Ceng Jie mengikuti.
-00000000- Seterusnya, beberapa kali mereka mendengar jeritan hebat
seperti tadi sepanjang mereka mendaki itu, dan sebentarsebentar
ada tubuh yang jatuh ke dalam jurang.
Dilain saat dari kuil Tin Hong sie terdengar suara genta
berulang-ulang, memeCah kesunyian sang malam,
berkumandang di lembah-lembah.
Tengah Wan Jie melompat naik, mendadak ada bayangan
yang melompat kearah- nya.
Bayangan itu membentak dan kedua tangannya
diluncurkan, Bentaknya: "Turun" ia tidak mau menyambut, ia
melompat ke kiri sambil berseru: "Adik Ceng, awas"
"Jangan kuatir, encie" jawab si Ceng.
Bocah ini awas dan cerdik, ia melihat datangnya bokongan,
ia tidak berkelit seperti encienya, ia justru lompat menyambut
dengan sepasang senjatanya yang mirip alat tulis itu, ia
mengincar ke arah dada. Penyerang itu bukan sembarang orang, Dia terkejut melihat
orang yang pertama berkelit dan sebagai gantinya datang
serangan orang yang kedua, dtngan cepat dia merubah
serangan menjadi sambaran, untuk merampas sepasang
poan-koan-pit. Ceng Jie kecil, tetapi ia cerdik sekali, ia dapat menerka
lawan bakal bertindak bagaimana, Maka ketika ia menyambut
serangan, ia menggertak, begitu senjatanya disambar, ia pun
468 merubah gerakannya, sekarang ia meneruskan ke arah kedua
mata, inilah jurus Jie-liong-chio-cu", atau "sepasang naga
berebut mutiara". ia bergerak sangat cepat.
Musuh menjadi kaget, inilah di luar dugaannya, Terpaksa
dia mengelak seraya terus melompat ke samping, Dia baru
menaruh kaki, atau dia mendengar bentakan yang dibarengi
sambaran angin ke dadanya.
Kembali dia kaget, dia mengertak gigi, kakinya menjejak.
untuk melompat pula. Meski dia berlaku sangat cepat, dia
masih didahului Wan Jie, ujung pedang nona itu menabas
kempolannya, hingga dagingnya terpapas, hampir dia pingsan,
tubuhnya terjatuh ke bawah.
setelah itu kedua nya maju terus. Dilain saat setelah
mereka di atas, di tanah berlatar datar dan luas, Gelap sekitar
mereka, angin bertiup keras, membawa datang suara berisik
dari daun dan cabang pohon-pohon cemara.
"Bukankah tadi kita mendengar suara genta?" tanya Wan
Jie perlahan, " Kenapa sekarang begini sunyi?"
"Perduli apa" sahut Ceng Jie, yang tidak kenal takut.
"Engko Gan ada diantara kita, apa yang mesti kita takuti"
Mari, Ceng Jie yang maju di muka" ia benar-benar bertindak
maju. sang kakak menarik tangan adiknya.
"Jangan sembrono" cegahnya, "Kalau terjadi sesuatu, tak
dapat aku bertanggung jawab terhadap yaya"
Ceng Jie berdiam, ia tidak menjawab, sebaliknya, jawaban
datang dari orang lain, suara yang tajam, Wan Jie terkejut,
juga adik-nya. Ketika mereka menoleh, mereka melihat
sekumpulan bayangan orang yang hitam.
Waktu itu rembulan tak bercahaya dan di situ tidak ada
penerangan api. Coba semua bayangan itu tidak bergerak, tak
nanti mereka terlihat. 469 Baru kemudian dari arah kuil terlihat munculnya beberapa
buah lentera sorot khong-beng-teng, maka sekarang dapat
dilihat tegas mukanya semua bayangan tadi, itulah wajah
yang kekuning-kuningan, yang menyeramkan
Ceng Jie lantas mengenali orang yang menjadi kepala
rombongan itu Dialah yang tadi siang mendustai ia bahwa Pat
Ciu Thian-cun pergi dan belum pulang. Dia lah Tie Khong,
pendeta kepala kuil Tin Hong sie itu.
Tie Khong pun segera mengasih dengar suara nya: "ohmie
Too- hud Kembali kedua sie-cu cilik yang datang pula ke mari
Tin Hong sie ini tempat suci dari sang Buddha, kenapa siecu
berdua berani lancang datang ke mari serta melakukan juga
pembunuhan banyak jiwa" Apakah kalian tidak takut sang
Buddha nanti menghukum kalian?"
Wan Jie tersenyum. "Meskipun kami lancang datang di waktu malam, tetapi
kami datang tidak untuk mengganggu kau, taysu" jawabnya,
"sebaliknya, mengapa orang-orang taysu mencegat dan
membokong kami" Kenapa kami hendak dibikin mati" Memang
banyak orang telah terbinasakan, tetapi mereka itu mencari
mampus sendiri tak dapat kami disesalkan" Tie Khong tertawa
seram. "Enak saja kau bicara, nona" ia mengejek "Kau harus
mengetahui membunuh orang mesti mengganti jiwa,
berhutang emas mesti membayar Mana dapat kalian
meloloskan diri" Tapi, tunggulah dulu sekarang aku hendak
bertanya, maU apa siecu malam-malam lancang masuk ke
mari mengganggu kesunyian Tin Hong sie?"
Bengis pendeta ini menatap si nona, yang ia panggil "siecu",
penderma. Hu Wan memperdengarkan tertawanya yang halus, tetapi
nyaring, ia menyingkap naik rambut dijidatnya yang
dipermainkan anginTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
470 "Taysu, kau berpura-pura saja" jawab-nya. "Kau tahu,
sebabnya tetapi kau masih menanyakan seorang pendeta tak
boleh berdusta Coba aku kurang cerdik, tentulah aku telah
terpedayakan terus Bukankah Pat Ciu Thian-cun berada di
atas menara di mana ia menempati tingkat keenam untuk
meyakini ilmu Cu Ngo Hian Kang?".
Jawaban itu membuat Tie Khong mundur dua tindak. Dia
melengak saking heran, Tapi muka nya lantas berubah
menjadi pucat dan muram, Dia bertanya: "Bagaimana kau
mengetahui itu?" Si nona belum menjawab, di belakang sipaderi terdengar
suara seram ini: "sute, menghadapi kedua bocah itu, buat apa
banyak omong" Bekuk dulu mereka, baru kita bicara" Latu
kata-kata galak ini disusul dengan munculnya orangnya.
Wan Jie melihat orang itu bertubuh besar, berdada lebar,
sepasang matanya tajam dan bengis, dan tangannya
mencekal dua batang tombak cagak yang hitam mengkilap.
Ceng Jie menjadi habis sabar, ia melompat ke depan orang
itu ia tak jeri walaupun orang bertubuh besar dan beroman
sangat bengis, sembari tertawa, ia berkata: "He, makhluk tolol
seperti kau berani mempertunjukkan kejelekanmu" Baiklah,
tuan kecilmu nanti mengantarkan kau pulang ke rumah
nenekmu" Orang itu gusar bukan main. Memangnya dia beradat keras
dan tak takuti siapa pun kecuali gurunya, Pat Ciu Thian-cun
Goh Hoa. Maka dia berteriak sekuat-kuatnya:
"Anjing kecil, kau cari mampus" Lantas dengan tombak
cagaknya, dia mengemplang
Ceng Jie tahu orang pasti bertenaga besar, maka ia berlaku
cerdik, Tak sudi ia melawan keras dengan keras, Maka dengan
lincah ia berkelit, terus ia berkelebat ke belakang lawannya
itu. 471 Kaget sipenyerang ketika mendapatkan ia menghajar
tempat kosong, mengertilah ia akan ancaman bahaya, maka
dengan cepat ia memutar tubuh nya sambil mendahului
mengayun tombaknya ke belakang, Begitu hebat serangannya
ini, tombaknya sampai mengeluarkan suara angin keras
Ceng Jie benar-benar cerdik, ia tetap tidak mau menangkis,
sambil tertawa ia berkelit pula, hingga lekas juga ia kembali
berada di belakang lawannya itu
Penyerang itu kaget dan berkuatir, dia lantas melompat ke
depan sejauh setombak lebih, setelah itu, baru dia memutar
tubuh nya. sekarang dia melihat si bocah di depan-nya, lagi
mengawasi dia sambil tertawa manis. Dia menyedot hawa
dingin, Dia pun mau berlaku cerdik, dia lantas balik
mengawasi Tie Khong menyaksikan kejadian di depan matanya itu, ia
mengerutkan alisnya, Luar biasa kegesitannya Ceng Jie itu ia
tidak mengenali ilmu silat itu dari partai mana. Bukan-kah
orang hanya seorang bocah cilik"
Si cilik sudah demikian lihay, bisa di mengerti si nona,
orang yang terlebih tua itu Walaupun begitu, ia tidak takut, ia
hanya belum tahu apa maksudnya orang mencari Pat Ciu
Thian-cun gurunya itu. Gurunya tidak boleh diganggu,
Gurunya membutuhkan waktu hanya satu atau dua jam lagi
Jadi ia perlu mempermainkan sang waktu.
Lawan Ceng Jie itu tidak berdiam lama, Dia tak dapat
membiarkan dirinya diejek bocah itu. Dia bergerak pula,
Hanya dia tidak segera menyerang, Dia berjalan memutari si
bocah. Tampaknya dia sabar sekali.
Ceng Jie pun bersikap tenang. Masih ia tersenyum-senyum,
sikapnya ini mentaati ajaran Jie In, untuk ia berlaku tenang
tetapi gesit.
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu bernama Mo Houw, dia murid kedua dari Goh
Hoa, julukannya Tin san sin, Malaikat Penunggu Gunung, Dia
472 berkepandaian tidak lemah, hanya barusan, lantaran menuruti
adatnya, dia kena dipermainkan bocah she Hu itu, hingga dia
menjadi rada jeri. Dia tidak dapat berdiam lama-lama, sebab dia mendapat
kenyataan kawan, atau saudara seperguruannya, semua
mengawasi pada nya, Dia tahu malu, hingga muka nya
menjadi merah dan terasa panas, Maka itu dia maju turun
tangan. Tapi dia pun ingat gurunya, yang lagi berlatih itu, tak mau
dia menggagalkannya, Maka dia hendak mengulur waktu,
Dilain pihak panas hatinya menyaksikan lagak si bocah, Di-lain
pihak lagi, timbul kejelusannya terhadap Tie Khong, sang adik
seperguruan yang ketujuh.
sute ini disayang gurunya, maka selama si guru berlatih,
sang sute yang diberi kepercayaan, yang ditugaskan
mengurus segala sesuatu di luar kuil, Tie Khong cerdik dan
berpengalaman, maka ia bersikap sabar.
Sikap ini tak disenangi sang suheng, Karena itu akhirnya
Mo Houw melupakan diri, setelah beberapa putaran,
mendadak dia maju menyerang. ilmu tombak cagaknya itu
terdiri dari empat belas jurus, ketika dia menyerang, dia lantas
menyerang terus hingga tujuh kali, lantaran yang pertama dan
kedua, yang lainnya, dapat dikelit lawannya.
Ceng Jie berlaku tenang, waspada dan gesit, Begitu ia
diserang, ia mengerti bagaimana harus bertindak. Dengan
poan-koan-pitnya, ia melawan dengan jurus-jurus "ciong Hiok
si Raja setan Menaklukkan Iblis", yang terdiri dari tiga puluh
enam jurus, sedang kakinya bergerak dengan gerakan Kiu
Kiong Imyang Ceng-hoan Pou.
Sebagai kesudahannya itu, Mo Houw jadi terkekang poankoanpit, setiap kali dia menerjang, dia tentu menerjang
sasaran kosong, sia-sia belaka semua serangannya itu.
473 sesudah menonton sekian lama, Tie Khong berkata kepada
saudara-saudara seperguruan-nya: "llmu poan-koan-pit bocah
ini rada mirip dengan ilmu silatnya Tong san Jie Niauw, apa
yang beda ialah dia ini lebih aneh dan gesit, Mungkinkah anak
ini ada sangkut pautnya dengan rumah perguruan Tam
Liong?" "Akupun menduga demikian," menyahut seseorang, "suhu
bersahabat kekal dengan Tong san Jie Niauw, mungkin bocah
ini muridnya mereka itu, hanya kenapa mereka datang
mengacau disaat suhu berlatih" Maksud apakah yang
dikandung mereka ini?" Tie Khong berdiam.
"Biar apa pun maksud mereka, mereka harus dicegah,"
sahutnya kemudian, "Tinggal sedikit waktunya Kalau kita tidak
tahan sabar, bisa gagal Mereka ini tentu ada yang mereka
buat andalan, mungkin ada si tua di belakang nya, pendek
kata kita harus menanti sampai suhu yang menemui mereka."
"Suheng" tanya satu suara di belakang, "habis bagaimana
dengan jiwa belasan saudara kita itu" Apakah kita mesti sudah
saja?" "Hm" Tie Khong mengasih dengar suara-nya, "Kiu-sute, kau
harus sabar Hutang darah mesti dibayar dengan darah,
bahkan mesti berikut bunganya Kenapa mesti menguatirkan
itu" Tapi kau harus ingat, mesti dijaga agar suhu jangan
menjadi tersesat .Dapatkah kau bertanggung jawab" "
Wan Jie sendiri, sambil memasang telinganya,
memperhatikan Ceng Jie, setelah sekian lama itu, ia tertawa
sendirinya, ia menganggap Ceng Jie jenaka sekali.
Sang adik itu bersilat dengan ilmu silat ajaran Jie Insebenarnya,
belum pernah Ceng Jie menggunakan itu seperti
sekarang, maka itu, ada ketika nya ini, ia menggunakannya
sebagai ujian, ia mengulangi dan mengulanginya, dari rada
kaku, ia dapat menjalankannya dengan lincah. Lucu Mo Houw,
474 yang berbalik mesti melayani orang, sedang mulanya dialah
yang menyerang. Wan Jie berpikir lebih jauh, ia memuji kecerdikan adiknya,
Biarlah adiknya ini melayani supaya "engko Gan" mereka
dapat turun tangan, ia hanya menduga-duga, Gan Gak sudah
berhasil atau belum. Tie Khong dan saudara-saudaranya bergelisah juga
menyaksikan Mo Houw kena dipermainkan si bocah cilik,
Beberapa saudaranya tampak menjadi habis sabar dan ingin
turun tangan. sebisa-bisanya Tie Khong menyabar-kan diri, ia
mencegah mereka itu. Sekarang ia percaya, si bocah tidak berniat mencelakai
saudara seperguruannya itu. itulah ada baiknya untuk
gurunya. juga dengan begitu, saudara seperguruannya itu
yang nomor dua,jadi mendapat pengalaman, supaya lain kali
dia jangan suka terburu napsu. Akhirnya ia bertindak maju
kepada si nona. "Nona," ia berkata, tertawa, " guruku itu benar seperti kata
nona, sekarang ia berada di tingkat keenam dari menara di
belakang kuil di mana ia tengah meyakinkan ilmu silat Cu Ngo
Hian Kang. inilah saat sangat renting untuk guruku itu.
Kemarin aku mendustai kalian, itulah saking terpaksa,jadi
bUkannya aku sengaja memperdayai, Dalam perkara ini, aku
tidak tahu menahu, segala sesuatunya terserah pada guruku,
Terserah kepada nona, nona suka percaya aku atau tidak..."
Wan Jie percaya Tie Khong bicara dengan sebenarnya,
iapun dapat mengetahui maksud si pendeta, yang mau
mengulur waktu, agar gurunya dapat menyelesaikan
peryakinannya itu. sampai waktu itu, pasti mereka bakal turun tangan untuk
menempur padanya, Maka ia pun berpikir bagaimana harus
melayani pendeta ini. Disaat ia hendak membuka mulutnya,
tiba-tiba ia mendengar dua kali siulan yang jauh tetapi jelas, ia
475 lantas menjadi girang, itulah tanda dari engko Gannya bahwa
engko itu sudah berhasil, ia tidak memperlihatkan
kegirangannya, ia menutupinya dengan tertawanya.
"Taysu, setelah mendengar keteranganmu ini, apabila aku
tidak percaya kepadamu, aku sungguh keterlaluan," ia
berkata, "sebenarnya kami berdua mendaki gunung ini cuma
hendak menanyakan guru taysu tentang suatu kejadian tahun
lalu, karena guru taysu berada di dalam menara, baiklah,
besok kami datang kembali. Tentang perbUatan kami ini, kami
harap sukalah diberi maaf"
Habis berkata, dia teriaki adiknya: "Adik Ceng, mari kita
pergi" Ceng Jie pun mendengar siulan itu, maka atas suara
kakaknya, ia lantai melompat keluar gelanggang, untuk
berhenti bertempur, bersama kakaknya itu, ia memberi
hormat kepada Tie Khong, lantas kedua nya lari turun gunung
Tie Khong pun mendengar siulan itu, ia menyangka suara
burung, ia tidak curiga apa-apa, melihat kepergian si nona
berdua, ia menghela napas, dadanya menjadi Iega.
Mo Houw sebaliknya menjadi sangat letih, hingga dia lantas
duduk mendeprok di tegalan itu, sedang dari mulutnya
beberapa kali terdengar suara nya: "Bocah itu, bocah itu
benar-benar lihay." Tie Khong lantas memerintahkan beberapa kawannya pergi
mengurus belasan mayat didalam jurang, ia pun berkata:
"Kalau tidak salah, dua jam lagi, selesai sudah suhu dengan
peryakinannya, maka kalau besok kedua bocah tadi datang
pula, mereka tidak bakal lolos dari pukulan cu Ngo Hian Kang
dari suhu." Murid ini berkata demikian tanpa dia mengetahui bukan
saja pedang Thay oh Kiam telah lenyap. bahkan gurunya,
yang diandalkan itu, telah binasa di atas menara.
476 Pat Ciu Thian-cun Goh Hoa mengadakan aturan keras,
semua murid nya dilarang sembarangan naik ke menara
tempat dia meyakinkan ilmunya, kalau dia membutuhkan
sesuatu, dia memanggil orang dengan tanda ketukan- Karena
itu, sekian lama dia berdiam saja, Tie Khong semua tidak
curiga, baru sesudah berselang tujuh atau delapan jam, murid
nya itu heran, terpaksa ia memberanikan diri naik ke menara,
menghampiri tingkat keenam itu, Akhirnya murid itu serta
murid- murid yang lainnya menjadi kaget dan kelabakan, Guru
mereka kedapatan sudah mati dan pedangnya lenyap, Baru
mereka sadar bahwa mereka telah dipermainkan kedua bocah
itu, Celaka nya, mereka tak dapat menyusul kedua bocah itu,
yang tak ketahuan ke mana perginya, atau sedikitnya sudah
pergi jauh enam ratus li lebih.
Tatkala Hu Wan berdua sampai di depan gua, Jie In sudah
menantikan mereka, tangannya mencekal sebatang pedang,
cuma diwaktu malam dan gelap seperti itu, mereka tidak
dapat melihat jelas Jie In pun, begitu melihat mereka, lantas
berkata: "Lekas" Dan ia lantas lari, untuk jalan di muka, buat
kembali ke hotelnya. Ketika itu sudah hampir jam empat, Tat kala mereka masuk
ke dalam pekarangan, mereka mendapat kenyataan seluruh
hotel sunyi senyap. semua penghuninya asyik tidur nyenyak.
semasuknya mereka ke dalam kamar Jie In menyalakan
api, habis mana, ia mencabut pedang yang dicekalnya, Mereka
lantas melihat sinarnya pedang itu, yang pasti tajam sekali.
"Sungguh pedang yang indah" Jie In memuji, sambil
mengangsurkan pedang itu pada Wan Jie. ia tertawa, " inilah
pedang mustika, pantas kalian melakukan perjalanan ribuan li
mencarinya sekarang pedang ini telah didapatkan kembali,
maka nanti, begitu terang tanah, lekaslah kalian berangkat
pulang" 477 "Terima kasih" mengucap si nona, yang menyambut
pedang itu, ia lantas menanyakan bagaimana pemuda itu
merampas nya dari Goh Hoa.
Selagi mendaki gunung, tidak pernah Jie In memisahkan
diri jauh-jauh dari Wan Jie dan Ceng Jie. ia menguntit dan
memasang mata. ia melihat bergeraknya belasan bayangan, ia
menduga kepada pihak gunung, Terus ia berwaspada.
Dcmikianlah ia melihat kedua bocah itu dirintangi, maka ia
lantas membantu senang ia menyaksikan Ceng Jie dibantu
Wan Jie membinasakan musuh. Ketika musuh jatuh kejurang
dan menjerit keras, lalu terdengar suara genta di dalam kuil,
ia berpikir. "Pasti musuh keluar untuk mencegat kedua anak ini,"
demikian pikirnya, " itulah berbahaya buat mereka."
Karena itu, ia lantas bertindak, ia mencegat lantas ia turun
tangan, satu demi satu ia bekuk belasan musuh itu, sebentarsebentar
ia melemparkannya ke dalam jurang, Terhadap
manusia jahat, ia tidak berbelas kasihan lagi. Wan Jie dan
Ceng Jie mesti dibantu hingga maksudnya tercapai.
Lantas tiba saatnya Jie In menyaksikan Ceng Jie berdua
dirintangi rombongannya Tie Khong, ia melihat aksinya bocah
yang jenaka dan besar nyalinya itu. setelah menonton sekian
lama, ia percaya Ceng Jie tidak bakal kalah dan Tie Khong pun
tidak akan lekas turun tangan, maka ia berbesar hati
meninggalkan kakak beradik itu, ia lantas pergi ke belakang
kuil, ke menara, ia berlaku waspada, ia menggunakan
kegesitannya, agar tidak ada orang yang melihat pada nya.
Dengan mudah Jie In dapat mencari menara, yang terdiri
dari tujuh tingkat. Di dekat situ ia melihat seseorang
bersembunyi di belakang pohon, ia menyingkir dari orang itu,
Tiba di depan menara, ia tidak lantas naik, ia mendapat
kenyataan, menara itu dipasangi lentera sampai di tingkat
478 ketiga, yang lainnya semua ditinggal gelap. ia pun mendapat
ke-nyataan, setiap tingkat ada orang yang menjaganya.
Walaupun penjagaan kuat, Jie In tidak mau mundur, ia
cuma tetap waspada, Untuk dapat bekerja dengan leluasa, ia
menghampiri setiap penjaga, yang ada belasan orang jumlah
nya, ia datang dari belakang, lalu dengan sebat ia me-notok,
hingga musuh roboh tanpa suara berisik, Cara ini diulangi
hingga ia berhasil, Tinggallah penjaga di bawah menara, di
tingkat pertama, sulit untuk merobohkan dia itu tanpa
membikin sadar penjaga di tingkat kedua, demikian
seterusnya, Maka ia lantas berpikir, matanya memandang ke
depannya. "Ah, itu dia" katanya dalam hati. ia melihat sebuah pohon
tua, yang besar dan tinggi, yang tumbuh di samping menara,
terpisahnya dari wuwungan menara kira-kira setombak. Di
antara sampokan angin, cabang pohon itu ber-goyang-goyang
tak hentinya. " Kenapa aku tidak mau mengambil jalan dari atas pohon
itu?" pikirnya kemudian ia lantas mengambil keputusan, ia
lantas meneliti pohon itu kalau- kalau ada penjaganya, ia
memperoleh kenyataan, tak ada penjagaan di situ.Maka ia
terus menghampiri untuk memanjatnya. ia naik sampai di
cabang yang paling tinggi, yang berada dekat dengan
wuwungan menara. ia berada di atas wuwungan itu, inilah
saatnya yang terakhir Dengan berani ia merayap di cabang
tertinggi itu, lantas ia melompat ke wuwungan menara,
Karena ia berada di sebelah atas, ia jadi melompat turun ia
melompat sambil berjumpalitan untuk mencegah kakinya
menerbitkan suara berisik, Ke-beraniannya itu memberikan
hasil yang memuaskan ia berada di atas menara tanpa
bahaya. Sekarang Jie in bekerja lebih jauh. ia mesti turun ke tingkat
ketujuh, ia menyantelkan kakinya di payon, tubuhnya
479 diturunkan Di sini tidak ada penjagaan, ia dapat sampai di
ruangan tingkat ke tujuh itu tanpa rintangan Ruangan itu
kosong dan gelap. Untuk sampai di tingkat keenam Jie In mesti bekerja keras,
Tangga undakan ada pintunya, Daun pintu terbuat dari bahan
besi tebal dua cun. Bagaimana harus membuka itu" ia ingat
pisau belatinya, pisau belati cula badak, yang dapat melawan
logam emas dan batu kumala.
Dengan menikam, ia berhasil membuat lubang. Setelah itu,
ia memotong dengan periahan lahan Untuk kegirangannya, ia
berhasil, Segera ia melihat cahaya terang. Lantas ia melompat
turun- ia dapat tidak menerbitkan suara berisik.
Pat Ciu Thian-cun lagi duduk bersila, matanya ditutup
rapat, Daging di mukanya ber-kedutan, Dia tetap duduk diam,
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia seperti tidak mendengar apa-apa, Cuma kedua tangannya
ditolakkan ke depan, Setelah melihat tegas muka orang Jie In
terkejut Goh Hoa mirip dengan orang hutan.
Bulu putih hampir menutupi mata dan mukanya, jelas dia
lagi berada pada saatnya yang sangat genting, Dia bakal lulus
atau tersesat dari peryakinan ilmu pedang nya itu, Cu Ngo
Hian Kang. Jie In telah berpikir menggunakan Hian Wan sip-pat Kay
untuk membuat orang itu lantas tidak berdaya, Untuk sejenak.
la bersangsi, ia belum melihat pedang Thay oh Kiam. ia bisa
berabe kalau ia gagal menyerang, Goh Hoa mati sebelum dia
memberi keterangan tentang pedang mustika itu, Maka sambil
menanti, ia berpikir. Tiba-tiba Goh Hoa memperdengarkan suara dari
kerongkongannya, mirip suara kerbau dan tubuh nya, lebih
benar tulang-tulangnya, memperdengarkan suara meretek.
setelah mana, kedua tangannya diangkat naik, karena mana
bajunya yang gedombrongan turut terangkat juga.
480 Untuk girangnya Jie In melihat gagang pedang diantara
baju yang tersingkap itu, ia percaya itulah pedang yang lagi ia
cari. Karena Goh Hoa lagi menanti saatnya, ia juga tidak mau
berayal lagi. Ketika ia hendak menggerakkan tangannya,
mendadak ia melihat orang membuka kedua matanya dan
mukanya tersenyum tanda girang. Tapi, begitu melihat Jie In,
dia terkejut, tanpa berkata apa-apa, dia lantas mendorong
dengan tangannya kepada orang asing di dalam kamarnya itu.
Jie In terkejut, tetapi ia tidak menjadi gugup, ia memang
sudah siap sedia. ia membela diri dengan menyambut
serangan yang berupa dorongan itu, meneruskan mana, ia
menotok. Pat Ciu Thian-cun berjengit, ia merasakan dada kanannya
dingin dan kaku. Lantas kedua tangannya itu diturunkan,
tenaganyapun lenyap seluruh nya, Menyusul itu, tubuh nya
gemetaran Rupanya ia hendak mengerahkan tenaganya,
tetapi sia-sia belaka, Dadanya telah kena ditotok. Ia tak dapat
berdaya lagi. Cuma dengan mata yang bersinar guram, ia
mengawasi lawannya itu. Totokan Hian wan sip-pat Kay itu tak dapat dibebaskan
sembarang orang, apa lagi untuk membebaskannya sendiri
Demikianiah Goh Hoa gagal, ia mengerti akan nasibnya, maka
sejenak kemudian, dia menghela napas dan berkata duka:
"Aku Goh Hoa, telah banyak aku membunuh orang, orang
mati tanpa merasa, aku tidak menyangka hari ini aku roboh
secara begini, inilah pembalasan Thian, kita tidak mengenal
satu dengan yang lain, tetapi maksud kedatanganmu dapat
aku menerka, pedang Thay oh Kiam berada di tubuhku, kau
ambillah sendiri" suara nya makin lama makin perlahan, napas
nya lantas mendesak. Dia menambahkan- "Muridku banyak. diantara mereka,
separuhnya baik, separuhnya lagi jahat, maka terserah kepada
481 tuan untuk memperlakukan mereka." Lantas ia berhenti,
kedua mata nya ditutup rapat, ia tak dapat bicara lebih jauh,
napas nya sudah berhenti,
Jie In mengawasi, ia menghela napas, ia menghampiri lebih
dekat, tangannya diulur, untuk mengambil pedang mustika
yang menjadi benda rebutan itu. setelah meneliti, ia gembol
itu dipunggungnya. sekarang ia tidak mau membuang waktu
lagi, ia naik pula ke atas untuk dari wuwungan melompat ke
pohon tadi. ia berhasil dengan selamat. ia berdiam sebentar di
atas pohon, mata nya memandang ke menara, ia sedikit
menyesal ia terpaksa,sebab kalau tidak. Ia bisa gagal la
terhibur juga ketika ia ingat penyesalannya Goh Hoa.
Biar bagaimana, ia telah menyingkirkan seorang yang
sangat jahat, Lalu hatinya jadi lega pula, Lantas dengan cepat
ia turun dari pohon itu. ia berlari-iari ke tempat Ceng Jie tadi,
sembari lewat, ia menotok bebas korban-korbannya yang
menjaga berbagai pos. ia melihat Tie Khong masih belum
turun tangan. Cuma Ceng Jie lagi mempermainkan Mo Houw, Kembali ia
memuji bocah itu, yang ia kagumi.
Katanya dalam hati, sesudah besar, Ceng Jie mungkin
menjadi jago. Hari sudah jauh malam, gelap dan dingin Jie in
memandang langit, ia tak dapat menduga waktu yang tepat,
Mungkin sudah jam tiga lewat, ia tidak mau menanti lagi,
maka ia meninggalkan Ceng Jie, ia lari ke kepala angin, Kirakira
tiga li, ia berhenti, Di sini ia mengasih dengar siulannya
yang dua kali itu, setelah mana ia terus lari kembali ke gua
Hong Tong, ia percaya Ceng Jie berdua mendengar isyaratnya
itu. Ternyata dugaannya itu tepat.
Demikianlah, mereka pulang bersama-sama ke hotel. Wan
Jie girang dan bersyukur ia memegangi Thay oh Kiam dan
mengusap-usapnya. 482 Jie In mengawasi, ia tertawa dan berkata: "Nona, kau telah
mencapai cita-citamu, aku percaya di belakang hari kau bakal
menjadi nona yang gagah perkasa sekarang aku hendak
memberi selamat lebih dulu padamu"
Wan Jie mengangkat kepala nya, ia tersenyum, lekas ia
menunduk. Tapi lekas ia mengangkat pula kepala nya itu,
untuk dengan matanya yang jeli menatap si anak muda.
Tanpa merasa, hati Jie In berdenyut
" Kalian berdua tunggu disini," katanya kemudian- "Jangan
kalian pergi ke mana- mana Aku hendak pergi sebentar, untuk
mengatur keberangkatan kalian"
Begitu ia berkata Jie In lantas pergi keluar Tiba dijalan
besar, ia ragu-ragu. Angin yang dingin menyampok tak hentinya. Cuaca gelap.
tapi untuknya tak menjadi rintangan besar, Dijarak sepuluh
tombak. ia masih dapat melihat, ia hanya jalan seperti orang
biasa, langkahnya naik dan turun dijalan besar yang tidak rata
itu. Tiba-tiba ia mendengar suatu suara dari sebelah depan, ia
merandek sejenak. terus ia berjalan pula. Tapi ia tidak usah
berjalan lama, tiba-tiba sesosok bayangan melompat ke
depannya, merintanginya, ia tidak kaget. ia lantas melihat
seorang pengemis yang pakaiannya banyak tambalannya,
yang pinggangnya dilihat tiga batang tali rumput, Dengan
mata mendelong, pengemis itu mengawasi, mulutnya
bungkam. "Kebetulan" pikir Jie In, yang tertawa di dalam hatinya,
"Aku memang hendak mencari anggota Kay Pang, kau justru
datangi. Bagus, aku jadi tak usah berabe lagi"
Meski begitu, ia tidak lantas membuka mulut. ia menatap
pengemis itu, mulutnya tersungging senyuman.
Pengemis itu heran melihat orang tidak merasa takut, ia
berkata dalam hatinya: "si pelajar rudin ini besar juga nyalinya
dengan romanku yang bengis, siapa tidak jeri terhadapku sam
483 Ciat Koay Kit Beng Tiong Ko si pengemis Aneh" Di dalam
propinsi shoa say ini, siapakah tidak mengenal aku" sekalipun
Ceng Hong Pay, yang besar pengaruhnya, dia masih jeri
terhadapku Malam ini aku tidak dapat menggertak pelajar
rudin ini, benar-benar heran Dia tak bedanya orang
kebanyakan tidak nanti dia adalah orang Rimba Persilatan,
maka inilah rupanya sebabnya kenapa dia tidak kenal aku."
Lantas ia membalik matanya dan bertanya:
"Tuan, malam- malam dan gelap begini kau keluar
sendirian, apakah kau hendak melakukan sesuatu?"
"Dan kau?" Jie In balik bertanya, sembari tertawa.
pengemis itu menjadi tidak senang, hingga mukanya
menjadi muram. "Seorang pengemis tidak dapat melihat orang diwaktu
siang, terpaksa dia mesti kelayapan diwaktu malam" sahutnya
kaku. "Tetapi kau, pelajar rudin, bukannya tidur baik-baik di
atas pembaringanmu, kenapa kau bergelandangan diwaktu
malam gelap dan dingin begini" Kau menjadi si arwah
bergelandangan kau pasti bukan manusia baik-baik"
Dikatakan begitu Jie In tidak menjadi gusar, sebaliknya, dia
tertawa lebar. "Oh, jadi kau menanyakan aku dengan maksud begini?" ia
menegaskan "Tidak apa untuk memberi keterangan kepadamu
pula sederhana sekali Aku si orang tua datang dari Sin Liong
Tong, dari kotaraja, Aku baru saja tiba Aku si orang tua
hendak menyelidiki ada atau tidak tukang minta-minta yang
kelakuannya buruk Apa mungkin kau telah melakukan sesuatu
yang tidak dapat diberitahukan orang lain, malah kau
tampaknya sedikit takut ?" Sam Giam Koay Kit membelalakkan
mata-nya. Dia tertawa aneh.
"Takut?" ulangnya, "Aku si orang tua, belum pernah aku
mendengar kata-kata itu" Sungguh aku tidak menyangka,
pelajar rudin, kau dapat menggertak aku dengan kata-kataTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
484 mu yang bagus ini Hm, apakah kau kira Sin Liong Tong dari
Kay Pang dapat kau memasukinya" Awas, kalau kau tidak
bicara terus terang, malam ini aku si orang tua pasti tidak
akan mau sudah" Jie In mengerutkan kening, Pikirnya: "Pantas Toako chong
Sie mengatakan padaku, didalam Kay Pang itu ada hidup
campur baur segala macam orang, ada yang lurus, ada yang
tidak karuan, ada juga yang berani berbuat tidak pantas,
cuma karena aturannya sangat keras, tidak sembarang orang
berani melanggarnya. pengemis ini bertabiat keras, Baiklah
aku coba memperlihatkan hu-leng untuk menguji dia."
Maka ia lantas merogoh sakunya, untuk mengeluarkan Sin
Liong Say Houw Leng, lambang Partai Pengemis yang
merupakan perunggu berukiran naga, singa dan harimau
keramat, lalu sembari tertawa ia berkata: "Mendengar
suaramu, agaknya kau bangga sekali akan dirimu Kau pasti
orang dengan asal-usul yang besar sekali Maka cobalah kau
menyebut gelaran serta kepandaianmu, supaya dapat aku
mempertimbangkan apakah kau berharga untuk aku
menggerakkan tanganku"
Pengemis itu tertawa lebar.
"Pelajar rudin, kau dengar" katanya jumawa. "Jangan kau
kaget, ya Aku si orang, tua Beng Tiong Ko, gelaranku ialah
sam Ciat Koay Kit Nah, apa lagi yang hendak kau tanya?"
"Hai, hebat gelaran itu" kata Jie In, agaknya dia terkejut,
"Apakah artinya sam Ciat itu?"
Kulit mata si pengemis terbalik.
"Apa" Apakah kau tidak dengar jelas?" tunyanya, "Baik, aku
si orang tua suka menjelaskan kepada kau sam Ciat itu terdiri
dari Sim Ciat dan ciu Ciat, dan yang satu lagi yaitu kepandaian
yang tersohor, Ciat Houw Ciang, Begitulah maka disebut sam
Ciat" 485 Pengemis ini, Beng Tiong Ko, dijuluki sam Ciat Koay Kit. itu
artinya, dialah Koay Kit atau Pengemis Aneh, dan sam ciat
berarti tiga macam kepandaiannya, sim Ciat ialah kepandaian
menyerang hati, dan ciu Ciat ialah kelihayan tangannya,
Kepandaian yang paling ia andaikan.
Mendengar keterangan itu Jie In percaya pengemis ini
benar-benar lihay, tetapi ia sendiri belum pernah mencoba
anggota Kay Pang, sekarang ini ada ketikanya, Maka ia
tertawa dan berkata: "Ciat Houw Ciang" Ah" ia menggelenggelengkan
kepala, " Kepandaian
semacam itu belum pernah aku dengar, Nah, cobalah kau
keluarkan" sam Ciat Koay Kit jadi mendongkol.
"Pelajar rudin, kau benar-benar mencari mampus" katanya
sengit, "Kepandaian apa ini kau kira dapat dicoba-coba" Tapi
baiklah, kalau aku tidak memperlihatkan kepadamu, nanti kau
menyangka aku si orang tua cupat pandangannya" ia lantas
saja berseru: "Kau sambutlah" Lalu tangan kanannya, dengan lima
jarinya terbuka bagaikan gaetan, meluncur menyambar iga kiri
si pelajar rudin di depannya itu. Cepat tangannya itu, bagaikan
kilat, bagaikan angin, tetapi toh tak ada suara menyambarnya.
"Dia benar-benar lihay," kata Jie In dalam hati.
Memang lihay si pengemis.. serangannya itu, sebelum tiba
pada sasarannya, lantas dirubah. Tangannya, yang seperti
gaetan atau cakar harimau, bukannya mencengkeram terus
melainkan dengan tiba-tiba dirobah gerakan-nya, terus dipakai
menyambar lengan kiri sasarannya itu
"Ah, apakah benar-benar pelajar rudin ini tidak mengerti
ilmu silat sama sekali?" Beng Tiong Ko heran dan menanyakan
dirinya sendiri ia kena mencekal lengan yang lunak, hingga ia
melengak, "Kenapa aku mesti menempur seorang yang
mengikat ayam pun tidak kuat?" Baru ia berpikir demikian,
486 mendadak tangannya yang mencekal lengan Jie in itu seperti
tertotok keras, terus ia merasakan tangannya itu kaku.
Dalam kagetnya, segera ia menarik pulang tangannya, Tapi
belum ia berhasil tangan kanan si pelajar sudah berbalik
menyambar lengannya syukur ia gesit, ia dapat berkelit, kalau
tidak, mungkln tangannya patah, dalam kagetnya, ia
membalas menyerang pula dengan tangan kirinya, hingga
keduanya lantas saling serang, selama itu, tidak pernah kaki
mereka bergerak. Jie In menguji si pengemis dengan ilmu silat Kim Kong san
ciang, atau Tangan Arhat. ia membuat Tiong Ko heran dan
kaget, hingga pengemis ini berpikir: "Kepandaianku ini
bukanlah yang teristimewa, tetapi di dalam Rimba Persilatan,
cuma beberapa gelintir orang saja yang dapat
menghindarinya, maka aneh pelajar rudin ini. Dia mempunyai
Kim Kong san ciang yang istimewa, inilah di luar dugaanku."
Karena itu, tanpa merasa, ia melompat mundur dua tindak,
terus ia menegur: "Siapakah kau sebenarnya?"
Jie In tertawa, ia bukannya menyahuti atau mengangguk.
la ustru bertanya: "Kau mengaku kalah, bukan?"
Mendengar itu, terbanguniah rambut sam Ciat Koay Kit.
"Apa kau bilang?" teriaknya, "Kau bergurau Aku si orang
tua, mana dapat aku kalah?" Kata-kata ini disusuli
serangannya, terus hingga tiga kali saling susul, dengan tiga
rupa tipu silatnya, semuanya dari jurus-jurus Ciat Houw Ciang
itu. Jie In tersenyum, Dua kali ia berkelit, lalu pada yang ketiga
kalinya, ia memapaki, ia me-nyambuti, hingga tangan mereka
bentrok. demikian kerasnya, hingga si pengemis terpental
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mundur tiga tindak, ia sendiri, la berdiri tetap di tempatnya.
Beng Tiong Ko kaget, hingga mukanya berubah pias Jie In
tidak menghiraukan keheranan orang itu, dengan tenang ia
487 mendongak, untuk memandang langit. Waktu itu sudah jam
lima kira-kira, tetapi di musim dingin seperti itu, lambat
munculnya Batara surya, Coba di musim panas, pastilah sang
surya sudah mengintai semenjak tadi. ia berpikir.
"Hari sudah siang, matahari akan segera muncul, cukuplah
sudah aku main-main." Maka ia lantas mengeluarkan hu-leng
seraya berkata: "Beng Pay-tauw, janganlah kau bergusar
karena main-main kita ini, coba kau lihat ini, kau tentu akan
mengetahui aku siapa."
Tiong Ko terperanjat lantas dia mengawasi dengan tajam
tangan orang yang diangsurkan kepadanya, Biarpun cuaca
gelap. dia masih dapat melihat sejauh tiga tombak, Maka dia
menjadi semakin heran, sekarang dia memperlihatkan sikap
menghormat akan tetapi dia tidak segera berlutut atau
menjura. "Oh, kiranya tuan mempunyai Cie-tang sin Liong Leng dari
Partai kami," katanya sabar. "Menurut aturan Partai, siapa
memegang hu-leng ini, ia mewakili tianglo kami dan tianglo itu
dapat bertindak seperti apa yang ia rasa baik, baik untuk
memberi hidup mati pun untuk menghukum mati,
kekuasaannya itu, aku si orang she Beng tidak berani
menentangnya, Andaikata tuan tidak puas dengan sikapku
barusan, aku si orang she Beng bersedia akan menerima
hukumanku. Cuma ada satu hal, yang aku belum jelas, Sin Liong Leng
ini terdiri dari tujuh buah, Yang empat terbuat dari cie-tang,
atau perunggu, dan dipegang oleh su-tianglo kami. Kalau sin
Liong Leng ini dipergunakan, sekalipun Pay-cu sendiri, dia
mesti mentaati, dia mesti tunduk.
Tiga yang lain terbuat dari besi, yang menyimpannya ialah
Pay-cu. Biar urusan bagaimana besar, untuk itu biasanya
segala titah disalurkan dengan hu-leng besi itu, sebegitu jauh
yang aku ketahui, hu-leng perunggu belum pernah digunakan
selama dua belas tahun ini, Demikianlah aturan partai kami,
488 siapa memegang hu-leng ini, ia mewakilkan tianglo, tetapi
sekali- kali belum pernah tianglo meminjamkannya kepada
orang lain. Pada lima tahun yang lalu, su-tianglo menutup mata karena
sakit, hu-leng nya lantas dipegang oleh Kiu Cie Tianglo, Baru
satu bulan yang lalu aku bertemu dengan Kiu cie Tianglo di
siamsay selatan, Waktu itu tianglo memberitahukan aku
bahwa sebuah hu-leng telah diserahkan kepada Cia Tayhiap
serta aku diberitahukan cia Tayhiap ialah su-tianglo, maka aku
dipesan untuk menantikannya dipropinsi shoa say ini. Apakah
tuan ialah Cia Tianglo itu" Kenapa roman dan usia tuan tak
mirip seperti yang dilukiskan Kiu Cie Tianglo" Harap tuan
memaafkan aku untuk pertanyaanku ini."
Mendengar itu, in Gak tersenyum, ia menyimpan hu-leng
nya, ia terus meloloskan topeng nya, hingga tampaklah
wajahnya yang asli. Melihat demikian, dengan tergesa-gesa Beng Tiong Ko
menekuk lututnya, ia berkata dengan cepat: "Kiranya sutianglo
tiba Tongcu Beng Tiong Ko dari cabang shoa say
menerima salah" Jie In lekas memimpin bangun pengemis itu, sembari
tertawa ia berkata: "Beng Tong cu tidak bersalah Bahkan
sebaliknya akulah yang hendak memohon bantuanmu, Entah
tongcu dapat memberikan bantuanmu atau tidak."
Dengan roman yang sangat menghormat, Beng Tiong Ko
menjura dalam- dalam. " Harap tianglo tidak mengatakan demikian," katanya,
"Perintahkan saja, sekalipun mesti menyerbu api berkobarkobar,
aku yang rendah tak akan menampik."
"Terima kasih." berkata Jie In, yang lantas menuturkan hal
perkenalannya dengan Hu Wan dan Hu Ceng, anak-anak dari
sahabat-nya yang telah meninggal dunia, bahwa baru saja ia
menolong mereka itu merampas pulang pedang Thay oh Kiam
489 mereka dari tangan Pat Cia Thian-cun. ia berkata bahwa ia
masih perlu berdiam lagi sekian lama di shoasay ini, maka itu
ia perlu orang untuk mengantarkan anak-anak itu pulang ke
kota kecamatan Peng- ciang.
"Maka aku minta sukalah kau yang mengantarkan mereka
agar tiba di kampung halamannya itu dengan tidak kurang
suatu apa," katanya akhirnya.
Tiong Ko kelihatannya kagum, "Jadi benarlah aku
mendengar pedang itu berada di tangannya Pat Ciu Thian-cun
Goh Hoa. Pedang itu pedang mustika, siapa pun ingin
memilikinya, bahkan aku sendiri, bicara terus terang, hatiku
telah tertarik, hanya aku tidak mencoba untuk merampasnya,
Aku kuatir pedang itu nanti mengakibatkan bencana atau
keruwetan untuk Partai kami, Baiklah, tianglo, akan
kuantarkan anak-anak itu Itulah pekerjaan gampang, Hanya
mengenai pedang nya, aku minta itu disimpan baik-baik,
Andaikata hal pedang itu tersiar dalam kalangan Rimba
Persilatan, tidaklah dapat diterka bagaimana kesudahannya
nanti, sebab pasti ada orang Rimba persilatan yang ingin
merampasnya." "Aku mengerti itu," katanya, ia melihat langit mulai
berwarna abu-abu, ia menambahkan: "Beng Tongcu, silahkan
ikut aku" ia lantas berjalan menuju ke hotel. sam Ciat Koay Kit
mengikuti Tiba di dalam hotel, Hu Wan dan Hu Ceng masih
menantikan- Mereka lantas diperkenalkan pada Beng Tiong
Ko, setelah itu, mereka diberitahuakan diantar pengemis itu.
habis berkata itu Jie In mengawasi si pengemis, sembari
tertawa ia berkata: "Beng Tongcu, tak dapat kita berlambat
pula, maka aku mohon sukalah kau mencapaikan dirimu"
"Hamba akan menurut perintah," berkata Tiong Kosambil
menjura. "Hu Kouwnio, Hu siauwhiap. silahkan turut padaku
Hu Kouw-nio baiklah menutup mukamu dengan jala hitam dan
490 pedangmu dibungkus rapi, ditaruh di dalam pelana, supaya
tak ada kekuatiran hilang."
"Bagus begitu." kata Jie In mengangguk. "Untuk segala apa
di tengah jalan, terserah kepada kau saja."
Berat Hu Wan dan Hu Ceng berpisah dari si anak muda,
Mata si nona merah, hampir dia mengucurkan air mata nya,
Begitu pun Hu Ceng. Jie In terharu, tetapi ia berkata sambil tertawa "Sudahlah,
tak usah kalian bersusah hati, Begitu selesai urusanku, aku
nanti menyusul kalian, Mungkin diakhir bulan pertama aku
sudah dapat tiba di Peng- ciang. Waktu itu aku pasti akan
memberi suatu kebaikan kepada kalian."
Itulah janji, mendengar itu, HHu wan dapat juga
tersenyum, Hu Ceng sebaliknya ber-kata: "Ingat engko Gan,
tak dapat kau memperdayai kami"
Jie In mengusap-usap muka bocah itu.
"Kapan aku pernah mendustai kau?" katanya tertawa, ia
memandang ke luar jendela, terus ia, meniambahkan: " Langit
bakal menjadi terang, lekas kalian berangkat" sam Ciat Koay
Kit lantas jalan di muka.
Ia baru tiba di luar, mendadak ia memutar tubuhnya, untuk
kembali, sembari menjura kepada Jie In, ia berkata: "Aku
yang rendah akan mengutus delapan saudara yang
berkepandaian tinggi untuk mengantarkan anak-anak ini, aku
sendiri perlu kembali dulu, sebab ada suatu urusan untuk
mana aku masih minta keputusan Tianglo, dapatkah..."
"Asal yang aku mampu, mana tak dapat?" menjawab Jie In
tertawa, "sekarang pergilah kau antar dulu mereka, nanti baru
kau kembali." Beng Tiong Ko memberi hormat pula, lantas ia bertindak
keluar. "sampai bertemu lagi" kata Wan Jie dan Ceng Jie, yang
mata nya merah. 491 Begitu orang berlalu Jie In merasa dirinya sepi sekali, maka
ia lantas menjatuhkan tubuhnya, rebah di atas pembaringan,
mata nya dirapatkan. selang setengah jam, Beng Tiong Ko
telah kembali. "Apakah mereka telah pergi?" tanya Jie-In tertawa seraya
bangun dari pembaringan. "Sudah," menjawab pengemis itu sambil menjura.
"Beng Tongcu," tanya Jie In pula, "tahukah kau kalau-kalau
di luar kota Thaygoan ini, di dekat-dekat kita, ada tempat
yang sunyi di mana aku dapat berdiam untuk sedikit waktu"
Coba..." ia lantas minta si pengemis memasang telinganya dan
ia lantas mengisiki. Tiong Ke berpikir sebentar, lantas ia menyahuti: "Ada,
Tianglo, itulah sebuah kuil, sebenarnya tempat itu tersohor,
biasa didatangi orang banyak untuk pesiar, cuma di musim
dingin seperti sekarang ini, tidak ada orang yang kesudian
pergi kesana, maka sekarang keadaannya sepi luar biasa.
Penjaga kuil hanya seorang imam yang menjadi sahabat
karibku dari banyak tahun. Aku pikir tidak ada halangannya
andaikata Tianglo pergi kesana."
" Kalau begitu, tolong tongcu memujikan aku kepada nya,"
kata Jie In manis. "Ya, tong-cu, tadi kau menyebutkan suatu
hal, Hal apakah itu" sekarang ada ketikanya, coba kau
beritahukan padaku."
Tiong Ko berpikir pula sebelum ia berbicara.
"Baiklah aku mengajak Tianglo pergi ke kuil itu dulu, baru
aku bicara," katanya kemudian. Jie In mengangguk
"Begitupun baik," katanya, "Tolong tongcu menantikan di
luar, sehabis aku membayar sewa kamar dan uang makan,
nanti kita pergi bersama." Tiong Ko mengangguk lantas ia
bertindak keluar. *** DI TEPI sungai Chin sui yang letaknya dua belas li di
sebelah barat kecamatan Thay-goan di mana ada gunung dan
492 rimba, di sanalah berdiri kuil yang umum menyebutnya Chin
su, kuil mana ada panggungnya, ada ranggon-nya, yang indah
buatannya, itulah tempat yang sunyi dan nyaman, indah
kebun dan taman-nya. Maka penduduk sekitarnya gemar
sekali pergi pesiar kesana.
Ketika itu dipaseban air dari kuil itu terlihat seorang pelajar
berusia pertengahan lagi duduk bersama seorang pengemis
tua yang rambutnya kusut dan pakaiannya banyak
tambalannya, Mereka berdua berbicara dengan asyik sekali.
Tak usah dijelaskan pula, merekalah Cia in Gak alias Gan
Gak alias Jie In si anak muda serta Beng Tiong Ko si pengemis
ketua cabang shoa say dari partai Pengemis, Mereka telah
dapat tempat di Chin su dan mereka tengah berbicara tentang
halnya si pengemis. Beginilah urusannya sam Ciat Koay Kit itu:
"Ada tiga bulan yang lalu, Beng Tiong Ko pergi
kepegunungan Thay Gak san. Di sana ia masuk jauh ke dekat
bukit Bian san di mana ada sebuah puncak yang ia anggap
luar biasa, bukit itu di atas besar, di bawah lancip. mirip
dengan gendul arak, Dilihat dari jauh, dipuncak itu terdapat
banyak batu pada berdiri bagaikan rimba, sedang lamping
jurang nya tak ada tetumbuhan rumput atau rotan, lamping
itu gundul, ia heran hingga ingin ia melihatnya dari dekat.
Tidak bersangsi lagi, ia pergi mendaki, ia berlari-lari, Dua
kali ia melompati jurang, ia sudah naik jauh juga ketika
mendadak ada suara angin yang samar-samar membawa
suara pembacaan d^anya si orang suci."
"Heran, kenapa disini ada kuil?" pikirnya. "Bukankah
jalanan pun tidak ada?"
Ia memasang kuping, ia ingin mengetahui dari jurusan
mana datangnya suara itu. hanya sejenak. la lantas lari
menuju ke timur, Di sini ia pun mesti mendaki tinggi.
Akhirnya, walaupun tajam mata nya, puluhan tombak jauhnya,
di sebelah depan, ia tak melihat bangunan tembok atau
payon. ia jadi makin heran. Makin keras keinginannya untuk
mengetahui. 493 Tengah ia memasang telinga lebih jauh, kembali ia
mendengar pembacaan doa tadi. Maka tak bersangsi pula, ia
lari terus ke timur itu, kearah tempat datangnya suara,
sesudah lari kira-kira lima puluh tombak. Tiong Ko mesti
membelok di sebuah tikungan yang merupakan jurang .
Di sini ia berhadapan dengan sebuah gua batu yang gelap.
Herannya, gua itu berada di lamping jurang, Mungkin gua itu
dalam, Di mulut gua terlihat jalanan yang kecil. "Mungkin
suara tadi datangnya dari dalam gua ini." pikirnya.
Ia memperhatikan jalan kecil itu. Nama-nya jalanan,
sebenarnya di atas jala nan itu banyak batunya, jalanan
menjadi tidak rata, Di kiri jalanan itu batu gunung belaka
bagaikan tembok, tidak ada tempat pegangannya, dan
disebelah kanan, ialah jurang yang dalamnya ribuan tombak.
Jadi hanya burung yang dapat terbang ke situ, manusia dan
binatang lainnya tak dapat.
Tiong Ko mengawasi dengan melengak. "Di sini tidak ada
rumput dan pohon, burung pun tak dapat hidup di sini." pikirnya,
"kenapa bisa ada orang berdiam di dalam gua itu" Toh
aku mendengar jelas orang membaca kitab. Mungkinkah
telingaku salah mendengar?"
Ia berdiam sekian lama, lantas ia berkata pula sendirian:
"Aneh gua ini Pasti ada orang di dalamnya Hanya, dari mana
dia masuk-nya" Apakah tak boleh jadi ada jalanan lainnya?"
ia menjadi curiga. Tanpa merasa ia bertindak maju. Mata
nya mencari-cari, ia tidak mendapatkan jalanan lain yang ia
curigai itu. Maka ia kembali ke tempat tadi ia berdiri, Di sini Ia
berdiam, otaknya bekerja.
Tiba-tiba terdengar pula pembacaan doa tadi, sebentar
putus, sebentar terdengar pula, Teranglah itu suatu bagian
dari kitab Kim Kong Keng, Diamond Sutra. sekarang terdapat
kepastian, suara itu datangnya dari dalam gua.
494 "Pasti dia seorang pendeta yang berilmu," pikir Tiong Ko.
Lantas ia bertanya dengan nyaring: "Di dalam itu suhu siapa?"
Selang sekian lama, dari dalam terdengar suara jawaban:
"Lolap bernama Poo Tan. Kalau tan-wat pandai ilmu Leng Hie
Khie-kang atau Cit Kim sin-hoat, dapat tan-wat datang ke mari
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki gua ini, kalau tidak. janganlah tan-wat lancang
mencoba menempuh bahaya, Lolap telah dicelakai oleh
muridku yang jahat, sebagian tubuhku kaku, hingga tak dapat
aku meninggalkan gua ini, dari itu maafkanlah lolap..." suara
itu makin lama makin perlahan, lalu tak terdengar pula.
Tiong Ko heran, ia pernah mendengar nama pendeta Poo
Tan itu. ia mengawasi gua, ia masgul sekali, ia terpisah dari
mulut gua cuma tujuh atau delapan tombak, ia pandai ilmu
meringankan tubuh, tetapi ia cuma dapat melompat sejauh
lima atau enam tombak. Jadi masih jauh untuk dapat
melompat ke gua itu, di situ pun tidak ada tempat untuk
menginjakkan kaki. " Heran Poo Tan dapat masuk ke sana," pikirnya bingung,
"Dia dapat masuk ke sana, itu membuktikan betapa lihaynya
dia, Lalu kenapa dia dapat dicelakai muridnya" siapakah
muridnya itu?" ia berhenti berpikir Mendadak ia- mendengar pula suara
lemah dari Poo Tan. "Tan-wat dapat datang ke mari, itu tandanya tan-wat
berjodoh denganku," demikian kata suara itu. "Dapatkah tanwat
memberitahukan she dan namamu?"
Tanpa bersangsi, Tiong Ko menjawab: "Akulah si pengemis
tua Beng Tiong Ko." Hanya sebentar, terdengar pula suara
pendeta itu. "Jadi tan-wat ialah Beng Tan-wat dari Kay Pang?" katanya.
"Kalau tan-wat tidak merasa jemu, sukalah kau mendengar
keterangan tentang diriku, supaya tan-wat tidak lagi
menyangsikan sesuatu, Lolap berasal dari India Tengah, Pada
enam puluh tahun yang lalu, lolap telah menerima tiga orang
495 murid, namanya Kim Goat, Gin Goat dan Beng Goat,
Merekalah yang dikenal sebagai Thian Gwa Sam Cun-cia.
Mereka berhasil mendapatkan kepandaianku delapan
sampai sembilan bagian- Lalu belakangan mereka tersesat,
Untuk membersihkan rumah tanggaku, aku turun gunung, Di
luar dugaanku, mereka maju pesat sekali, tidak dapat aku
mengalahkan mereka, sebaliknya, aku terhajar pukulan Cek
Sat Mo Ka. Lukaku parah. Oleh karena aku tahu tidak dapat aku berdiam lebih lama di
India, aku berangkat ke Tiong kok, Ketiga muridku itu pun
menyusup dan mencari aku. Ketika aku tiba di gunung Thian
San, di dalam gua Soat Gay Tong di atas puncak, kebetulan
sekali aku mendapatkan sejilid kitab suci Sang Buddha,
diantaranya ada pelajaran ilmu silat.
Aku girang sekali, Aku percaya, setelah dapat memahami
itu, aku akan dapat menguasai ketiga muridku, Celaka, aku
telah tersusul mereka, Mereka menyerang, Aku melawan
sambil lari mundur. Kembali aku terhajar Kim Goat, dengan
pukulan Cek Sat Mo Kanya, itulah tipu silatku yang paling
lihay. Siapa terhajar itu, kalau tenaga dalamnya tidak mahir,
lama-lama tubuhnya dapat menjadi lumer. sebenarnya lolap
mempelajari itu tanpa dikehendaki maka tidak disangka,
sekarang lolap sendiri yang kena terhajar, Mungkin itulah
karma, Akhirnya lolap menemui gua ini.
Dengan mengeluarkan seluruh kepandaianku aku berhasil
masuk ke sini, Hampir aku terbinasa di dalam-jurang, Ketiga
muridku menyandak, mereka hendak masuk, tetapi aku dapat
memukul mundur mereka, hingga mereka pergi, Aku dapat
masuk ke dalam gua, tetapi aku telah menggunakan tenaga
berlebihan, sakitku memburuk sampai separuh tubuhku tak
dapat digerakkan lagi, sia-sia belaka aku mencoba menolong
diri Dengan begitu, kitab ku itu juga tidak dapat aku gunakan.
sebenarnya, dengan mengandalkan tenaga dalamku, dapat
496 aku memahaminya. Di situ ada pelajaran memulihkan diri
yang dinamakan Hoan pun Hoan Goan, sayang sebentarsebentar
aku diganggu ketiga muridku.
Mereka datang dua kali setiap tahun, setiap mereka datang
aku mesti mengeluarkan tenaga besar untuk
mengundurkannya, Pernah aku berpikir pendek untuk
menghabiskan kehidupanku tetapi aku terhalang, Aku ingat,
satu kali aku mati, tidak ada orang lagi yang dapat menguasai
ketiga muridku itu. Maka aku terpaksa hidup sampai sekarang
ini..." Baru sekarang Tiong Ko ingat, Poo Tan ialah si hantu yang
tersohor di India Tengah, Dialah dari kalangan lurus dan
sesat, dari golongan sang Buddha dan iblis, pernah ia
mendengar dari Kim Beng Tay, gurunya, Katanya Poo Tan
sedikit sekali berbuat jahat, tetapi dia sangat besar kepala,
suka menang sendiri, dia tak mau mengalah dalam urusan
kecil sekalipun Maka di India Tengah, dia disebut si hantu
nomor satu. Tidak dinyana, dia telah terusir murid- muridnya
sampai di Tiongkok. Biar bagaimana, pengemis ini toh merasa terharu, Dilain
pihak la masgul untuk ketiga murid si hantu itu, Memang
hebat kalau Kim Goat bertiga tidak ada orang yang dapat
menguasainya, ia jadi membenci mereka itu, yang dianggap
keterlaluan terhadap gurunya, Karena itu ia menjawab
pendeta itu, katanya: "Siansu, kau bercelaka, aku menyesal Barusan siansu
mengatakan ketiga murid mu tidak ada orang yang bisa
menguasainya, inilah aku sangsi."
Dari dalam gua terdengar tertawa dingin dari si pendeta.
"Tan-wat, apakah kau kira ucapan lolap tidak benar?" dia
berkata. "Sekarang ini dalam Rimba persilatan di Tiong kok
mungkin ada orang yang lihay, begitupun dalam kalangan
kaum beragama, tetapi jumlah mereka pasti hanya beberapa
497 orang dan mereka tentu tak menghiraukan urusan lolap ini.
selama ini, kalau bukannya ketiga muridku masih jeri terhadap
aku, mungkin mereka sudah mengacau hebat di negara tanwat
ini." Tiong Ko bertabiat keras, ia menjadi gusar,
"Siansu, meski Partai kami tidak terlalu lihay, tetapi tidak
boleh kau memandang enteng kepada Rimba persilatan
seluruh negara-ku" katanya keras. Tapi Poo Tan tertawa.
"Beng Tan-wat, jangan kau anggap kata-kata ku tak
beralasan," ia berkata, "sekarang ini usiaku sudah seratus
tujuh tahun, meski benar dari sanubariku belum lenyap napsu
tamak dan kejumawaanku, tidak dapat aku berdusta terhadap
kau. Pendek kata, tan-wat boleh menganggap lolap banyak
bicara, tetapi, apakah tan-wat berani bertaruh?" Mendengar
begitu, Tiong Ko tertawa sendirinya.
"Kau di dalam gua, aku di luarnya, bagaimana kita dapat
bertaruh?" pikirnya ia menganggap si pendeta benar-benar
sangat jumawa, Tapi ia pun penasaran, Maka sembari
tertawa, ia bertanya: "Siansu, aku mohon tanya, cara
bagaimana pertaruhan itu?" setelah lewat beberapa menit,
baru terdengar suara nya pendeta itu.
"Sebenarnya lolap menyesal atas perkataanku barusan,"
katanya, "Tetapi kau menanyakan penjelasan, tan-wat, hatiku
menjadi tertarik pula, Baiklah, mari kita bertaruh, Ketiga
muridku yang celaka itu biasa datang dua kali dalam satu
tahun, Aku menduga, kalau mereka datang pula, pasti kirakira
diakhir tahun ini. Sekarang begini. sebelum lewat akhir tahun, baiklah tanwat
datang pula ke mari, Bersama tan-wat, tan-wat mesti
mengajak seorang kawan yang rasa nya dapat melawan
murid-muridku itu, cukup dia berdiam di atas jurang untuk
melindungi aku. Setelah setengah tahun, lolap pasti akan dapat keluar dari
gua ini. Apabila itu terjadi, maka lolap akan menghadiahkan
kitab yang lolap dapatkan di gunung Thian san itu, sedang
untuk Kay Pang nanti lolap memberikan bantuanku hingga
498 nama kalian bakal menjadi gilang gemilang, Atau tan-wat
berangkat ke India Tengah di mana sukalah tan-wat mencari
adik seperguruanku dengan siapa sudah banyak tahun lolap
berpisah, Maukah, tan-wat?"
Tiong Ko bersangsi. "Inilah bukan pertaruhan..." pikirnya .
"Jelas aku hendak dijadikan- umpan pancing..."
Belum pengemis ini menjawab, dari dalam gua sudah
terdengar pula suara si pendeta, Dia tertawa dingin dan
berkata: "Tadi lolap mengatakan di dalam Rimba Persilatan di
Tiong kok tidak ada orang yang lihay, itulah kata-kata yang
lolap keluarkan saking, terpaksa. sudahlah, tan-wat, tak usah
kau bersangsi, baiklah mari kita batalkan pertaruhan kita ini.
selama lima tahun, kecuali murid- murid- ku yang jahat itu,
tidak pernah ada orang lain datang ke mari, sekarang tan-wat
datangi lega juga hatiku."
Mendengar itu, Beng Tiong Ko tertawa, "Siansu," ia
berkata, "aku tahu siansu memancing aku, tetapi baiklah, aku
terima pertaruhan ini. Nah, ijinkanlah aku berlalu"
semenjak itu, dua bulan sudah Beng Tiong Ko merantau,
untuk mencari orang yang lihay, belum pernah ia dapat
menemui Memang itulah suatu pekerjaan sulit, ia sangsi
mencari diantara kalangan sesat.
Siapa tahu bila yang dicari itu jadi bersatu dengan si muridmurid
murtad dan jahat" Daripihak lurus, ia sangsi ada orang
yang suka turun tangan, Kemudian di Siamsay selatan ia
bertemu dengan Kiu cie sin Kay Chong sie. ia memberitahukan
tentang pertemuannya dengan si pendeta cacad serta
pertaruhannya itu. Jilid 6.3. Pertaruhan Dengan Pendeta Cacad
499 "Kenapa kau menerima baik pertaruhan itu?" Chong sie
menyesali "Kau tahu, Thian Gwa sam Cun-cia lihay tak
terkirakan Akupun tidak berani mengganggu mereka itu,
Bukankah kau kata Poo Tan mendustai kau" Meski begitu, kau
harus berusaha terus untuk memenuhi pertaruhan itu."
Disesali begitu, Tiong Ko berdiam.
"Sekarang lekas kau kembali ke shoasay," kata Chong sie
kemudian, "Di sana kau menantikan adik angkatku, Cia In
Gak. Coba kau minta bantuannya, mungkin dia suka
membantu. sekarang aku mempunyai urusan lain, kalau tidak.
suka aku menemani kau pergi bernama mencari adik angkatku
itu." Chong sie lantas melukiskan roman dan usia Cia In Gak.
Beng Tiong Ko menurut, lekas- lekas ia pulang ke
Thaygoan, satu bulan kira-kira ia menanti, akhir tahun
mendatangi. Beberapa hari lagi, tahun baru akan tiba, selama
itu, tak tampak Cia In Gak. ia menjadi putus asa, hingga ia
berpikir ia mesti pergi ke India Tengah.
Untuk pergi ke India, ia berkuatir, Ada kemungkinan ia
menjual jiwa nya disana, ia mendengar halnya jago-jago India
tak menyukai jago-jago Tiong kok, Maka akhirnya kebetulan
sekali ia ketemu In Gak dengan cara yang tidak disangkasangka
itu. In Gak berpikir ketika ia sudah mendengar keterangan si
pengemis. "India itu tersohor sebagai negara tua yang luar biasa dan
katanya penduduknya luar biasa juga sepak terjangnya"
demikian pikirnya, "maka kata-kata Poo Tan mengenai ketiga
muridnya itu mungkin bukan kata-kata mengangkat-angkat
belaka, Tapi, biarpun begitu, karena Toako Chong sie telah
menyebut-nyebut aku, baiklah, aku akan pergi kesana, untuk
melihat apa yang aku bisa perbuat, Menurut Tiong Ko ini, Poo
Tan ada menyebat-nyebut halnya sebuah kitab yang
didapatkan di gunung Thian san, Mungkinkah itu kitab
500 peninggalan su-couw Bu Wie siangjin" Kalau benar, itu artinya
aku mendapatkan pulang mustika perguruanku. Karena itu,
lebih-lebih aku mesti pergi kesana,"
Maka ia tertawa dan berkata pada si pengemis: "Beng
Tongcu, besok aku akan pergi kesana, Cuma gunung Thay
Gak san demikian luas, bagaimana aku harus mencarinya?"
Selagi orang berdiam, Tiong Kopun berpikir ia kuatir In Gak
bersangsi untuk pergi, Hal itu membuatnya masgul, Maka
mendengar suara si anak muda, ia girang bukan main,
"Terima kasih, tayhiap" ia berseru, "Tentang tempat itu, tak
usah tayhiap kuatir. Ketika aku berlalu dari sana, aku telah
memperhatikan jalan yang aku ambil, bahkan aku telah
membuat petanya, Tayhiap harus masuk dari dusun oeychung
di kecamatan Leng-sek, langsung memasuki gunung
itu, lantas ikuti petaku ini, tidak nanti salah, sekarang
ijinkanlah aku berangkat, aku hendak menyusul kedua anak
she Hu itu, nanti pulangnya baru aku menjenguk tayhiap pula
untuk memberi selamat pada tayhiap"
In Gak mengangguk sambil tersenyum, Tiong Ko menjura,
lantas ia berlalu. Hari itu tanggal dua puluh empat, seorang diri In Gak
duduk di dalam ranggon air dari mana melalui jendela, ia
memandang ke penumpang di mana ada ditanami pohon
teratai cuma pohon itu sudah pada kering.
Ia menjublek. ia ingat halnya waktu ia turun dari gunung
dan tiba di Lam- ciang. semenjak itu, tepat satu tahun
lamanya, selama itu, ia hidup dalam perantauan, sendirian
saja. Benar ia telah mendapat sejumlah kawan, tetapi dengan
mereka itu ia senantiasa berpisahan, maka ia berpikir, sampai
kapan akhir perantauannya ini, ia bangkit berdiri, ia
melempengkan pinggang nya, lantas ia keluar dari Chin Su. ia
memandang ke sekeliling nya, ia tidak melihat seorang
manusia pun. Lantas ia me-langkah, dengan cepat, menuju ke
kota Thay-goan. 501 Hari itu hawa udara buruk, lebih buruk daripada beberapa
hari yang lalu, Tidak ada cuaca yang cerah, Awan-awan
bergumpal dan rendah, Angin sebaliknya meniup keras,
menyampok-nyampok muka, tajam rasanya. syukur tidak ada
salju, kalau tidak. entah buruknya udara itu.
In Gak menuju ke kota bagian selatan, Di sini barulah ia
melangkah perlahan, orang berdesak-desakan, ia berjalan
tanpa tujuan, ia menoleh ke timur dan berpaling ke barat, ia
mendapatkan banyak rumah yang mengatur hio-toh, meja
sembahyang. Lalu tiba-tiba ia mendengar suara kelenengan nyaring,
orang banyak pada lari minggir, ia mengangkat kepalanya,
untuk melihat ada apakah"
"Ah " ia mengasih dengar suaranya perlahan.
Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah seorang penunggang kuda yang lagi mendatangi,
dan dialah si Nona Lan dengan siapa sudah lama ia tidak
pernah bertemu. Nie Wan Lan mengenakan baju dan celana singsat dari
sutera, pinggangnya dilihat dengan ikat pinggang sutera putih
yang pinggirnya bergigi balang, Di luar ia memakai mantel
merah yang menyolok mata, Kuda nya pun seekor kuda
pilihan, yang putih mulus dari kepala sampai ekornya, ia
memainkan cambuknya berulang-ulang, nyaring suaranya.
Kudanya itu kabur ke luar kota selatan, ia tidak melihat In
Gak tengah mengawasinya, Taruh kata ia melihat, tidak nanti
ia mengenali si anak muda yang memakai topeng. Jie In agak
heran, ia mengawasi si nona, hatinya bekerja.
"Dia datang ke shoasay ini, mau apakah dia?" ia berpikir.
Lantas ia teringat akan kebandelan dan keberandalannya nona
itu. Kemudian ia pun berjalan terus.
502 Di sebelah depan ada sebuah rumah makan dengan merek
Liu Hiang Kie, benderanya yang hitam berkibar-kibar, ingin Jie
in mampir di rumah makan itu, maka ia berjalan menghampiri.
Selagi ia mau bertindak naik di tangga lauwteng, di atas itu
ia melihat muka seorang wanita, terus seluruh tubuhnya, yang
tertutup pakaian hitam mengkilap. Nona itu bertindak turun
dengan cepat, sebelah tangannya menenteng sepatu kecil
yang bengkok. Jie In menarik pulang kaki kanannya yang
sudah diangkat itu, ia minggir.
Si nona berbaju hitam turun terus, ketika tiba di depan Jie
In, ia melihat muka orang, ia melengak. lalu mendadak ia
tertawa. Cepat bagaikan angin, ia turun terus, hanya sembari lewat
ia berkata dengan perlahan: "Memakai kulit itu, orang
melihatnya muak" Jie In melengak. Segera ia ingat kejadian di hotel di Hengkoan,
di malaman hujan angin, ketika mutiaranya ada yang
merampas, "Pastilah dia siperampas itu". pikirnya, Maka tanpa berpikir
lagi, ia lari untuk memburu. Apa lacur, ia bertubrukan dengan
seseorang, hingga orang itu jatuh terjengkang dan numprah di
tanah "Aduh" dia menjerit "Aduh" Dan dia memegangi dadanya.
Jie In melihat pelayan rumah makan, lekas- lekas ia
membangunkannya, justru itu, orang yang hendak dikejar
sudah lenyap. Pelayan itu melihat ada tamu, dia menghampiri untuk
melayani, maka apes baginya muncul si nona Jie In mau
mengejarnya, jadilah ia korban tubrukan, ia tidak gusar, ia
melayani terus Jie In pun terpaksa naik ke lauwteng, untuk
minum dan dahar Tentu saja lenyap kegembiraannya.
Jie In terus berjalan-jalan di kota Thay goan itu. ia
memasuki jalan-jalan besar dan gang-gang kecil, Selama itu,
503 banyak yang ia dengar. Di sana-sini orang bicara tentang
berbagai pencurian dan pembunuhan gelap. juga ada
pemberitahuan di tembok. pemberitahuan dari pihak si
penjahat. Yang hebat ialah kejahatan di rumah Lie sie-long, yang
hartawan tetapi busuk kelakuannya, Kejahatan itu membikin
repot dan bingung kepada Sun Ho si kepala sersi.
Jie In tidak ada niat untuk mencampuri urusan itu, Maka
dilain saat, ia sudah dalam perjalanan ke oey-chung, dusun
yang disebutkan Beng Tiong Ko, ia tiba setelah lewat tengah
hari, Terus ia menuju kepegunungan Thay Gak san,
Mengandalkan peta si pengemis, ia maju terus, ia tidak
menghiraukan jalan yang sukar.
Selagi mendaki, pemuda ini, atau lebih benar si pelajar
berusia pertengahan, berhadapan dengan angin Utara serta
awan bergumpalan, di udara bunga-bunga salju beterbanganKetika ia mendekati sebuah jurang, di sebelah depan
terlihat berkelebatnya beberapa tubuh manusia, Mereka itu
pasti lihay ilmu meringankan tubuhnya, ia menjadi heran.
"Siapakah mereka itu" Mau apa mereka di tempat sepi ini"
Ah, apakah mereka pun mengetahui halnya pendeta Poo
Tan?" demikian ia tanya dirinya berulang-ulang, Tapi ia maju
terus, Dengan mengambil jalan samping, dapat ia mendahului
mereka itu, lalu dari jarak tujuh tombak, ia mengawasi
mereka, yang terdiri dari tujuh orang.
Untuk herannya, ia mengenali U-bun Li, ketua dari Oey Kie
Pay partai Bendera Kuning, Sambil bersembunyi ia mengawasi
terus, lalu ia menguntit.
U-bun Lui berjalan paling belakang, berendeng bersama
seorang tua. Mereka berdua ini seperti mencium bau sesuatu,
atau kecurigaannya sangat besar, selagi berjalan itu,
mendadak mereka menoleh terus melompat ke kedua
504 samping, Gesit sekali gerakan mereka, dan lompatannya pun
jauh. Akan tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali batu yang
berdiri tinggi bagaikan rebung, Roman mereka jengah
sendirinya, setelah mengawasi dan menyeringai, tanpa
mengucapkan apa-apa, mereka berjalan terus, menyusul
kawan-kawan mereka, jelas mereka masgul dan heran.
Jie In terus bersembunyi, tetapi ia tidak diam saja. Kembali
ia mendahulul mereka itu, ia tetap heran atas kedatangan
mereka, ingin ia mengetahui, mereka itu mau mencari apa
Pedang Keadilan 39 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama