Ceritasilat Novel Online

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 7

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 7


Dengan Ilmu Naga Berlari di Atas Langit aku segera melampaui
jarak 2 li dan naik ke atas salah satu punggung kuda yang kosong,
dan baru duduk saja sudah kurasakan sambaran pedang ke arah
tengkuk maupun tusukan tombak ke arah punggungku dari
belakang. Kuhindari sambaran pedang dari sebelah kiri dengan
merendahkan tubuhku ke kanan, dan dengan itu pula tombak
bermata pisau tajam tersebut luput mengenai sasaran. Namun tak
hanya menghindar, kurebut tombak itu dengan tangan kanan
590 memegang gagang mata tombaknya di atas punggungku yang
merendah, dan menyentakkannya sehingga peme?gang tombak
terlempar dari kudanya ke depan. Aku langsung membelokkan
kuda ke kanan agar pasukan kuda yang menggebu itu melewatiku,
dan melindas kawan mereka sendiri yang tadi terlempar,
terhempas, dan belum sempat bangun kembali.
Pasukan berkuda terus melaju sambil memekik-mekik seolah pintu
pertahanan sudah terbuka dan dapat memasuki kota tanpa
perlawanan. Aku memacu kuda di samping kanan dan menjatuhkan para penyerbu di sisi paling kanan satu per satu
dengan tombak yang kubalik, kupegang gagang mata tombaknya
di tangan kiri agar mereka tak tewas sampai bisa menyusul baris
terdepan. "Berhentilah di sini! Kalian semua masuk jebakan!"
Aku berteriak bukan hanya untuk menghentikan serangan, tetapi
memang untuk menghindarkan jatuhnya terlalu banyak korban.
Namun yang kuajak bicara, tanpa sedikit pun melambatkan laju
kudanya, secepat kilat menusukkan tombaknya ke pinggang
kiriku! 591 JURUS Tanpa Bentuk ada kalanya memunculkan dirinya sendiri
tanpa dikehendaki jika diriku berada dalam keadaan genting.
Begitulah aku sudah berpindah ke atas kuda yang penunggangnya
semula menusukkan tombaknya ke pinggang kiriku, ketika
penunggangnya sudah terjatuh dan tewas terlindas ratusan kuda
yang terus-menerus berderap melaju dan menggebu.
Di atas kuda itu aku melaju lebih cepat ke depan seolah-olah
memimpin penyerbuan. Di depan kulihat Yan Zi sudah menanti
dengan kedua Pedang Mata Cahaya di tangannya meski belum
mengarahkan pantulannya kepada siapa pun. Aku tetap memacu
kudaku dan melewatinya dan saat
itulah Yan Zi mulai mengarahkan pantulan cahaya dari timur dengan sisi lebar kedua
pedangnya ke arah para penyerbu yang melaju.
Aku membalikkan kudaku dan kulihat pantulan kilat berkelebat
menyambar-nyambar pasukan berkuda yang berderap maju
dengan menggebu-gebu itu. Sekali sambar cahaya yang berkilatan
itu menyapu tak kurang dari 20 sampai 50 sasaran yang melaju.
Dengan segera kuda bergelimpangan diiringi ringkik kesakitan,
orang-orang tertindih, terinjak kuda maupun tersambar cahaya.
Darah muncrat dan menyembur dari tubuh kuda maupun manusia
yang terpapas cahaya pantulan setajam logam nan terasah itu.
592 Menyambar kuda maupun penunggangnya akibatnya sama saja,
barisan terdepan menjadi kacau-balau karenanya dan akibatnya
masih juga sama ketika kuda dan penunggangnya tersambar
kedua-duanya dengan seketika. Darah terus-menerus bermuncratan ke angkasa tanpa henti dan turun kembali
membasahi bumi tempat kuda dan manusia bergelimpangan,
berteriak-teriak, menjerit-jerit, mengaduh-aduh,
merintih-rintih meregang nyawa, dan seterusnya.
Yan Zi tak kenal ampun, pantulan cahaya dari pedangnya dia
arahkan ke mana-mana, sehingga tak hanya yang di depan saja
ambruk bergelimpangan menghambat serbuan, tetapi juga di
belakangnya, ketika segala kuda yang terhambat meringkik
dengan kedua kaki terangkat ke depan segera tersambar pantulan
cahaya yang memang diarahkan. Apabila pasukan ini kemudian
memecah diri ke arah kiri dan kanan, sepertinya untuk tetap
mengarahkan diri mereka kembali ke Danau Lekuk Ular dan
Taman Bunga Raya, maka Yan Zi pun memburunya dengan
pantulan kedua pedang pada kedua tangannya yang direntangkan.
Pantulan cahaya berkelebatan membantai kedua barisan percabangan yang muncul dari belakang akibat keterhambatan di
depan. Bencana yang sama, kemalangan yang sama, segera
meruyak dalam jerit dan raung kekalahan yang sama tetapi
593 menimpa manusia-manusia yang berbeda, yang barangkali saja
seharusnya duduk tenang-tenang menghirup teh pada pagi dingin
yang sama seperti hari ini juga di desanya masing-masing. Ya,
barangkali, karena pasukan ini ternyata begitu terlatih mengatasi
segala perkembangan. Para penunggang kuda yang kudanya tewas melompat ke
punggung kuda yang penunggangnya tewas, meninggalkan
mereka yang mati maupun setengah mati meskipun merintih-rintih
demi sasaran yang jadi tujuan, yakni menjebol pertahanan
Kotaraja Chang'an yang paling lemah di sudut tenggara, karena
merupakan satu-satunya tempat tanpa tembok pertahanan seperti
di bagian lain, menyusul terdapatnya Danau Lekuk Luar dan
Taman Bunga Raya. Mereka melanjutkan derapnya, laju melaju
menyerbu ke depan, ke arah Yan Zi yang kedua tangannya masih
terentang, dengan pantulan cahaya masing-masing menghajar
pasukan yang memisahkan diri di kiri dan kanan.
Pasukan yang berada di depannya makin mendekat. Para serdadu
menggebah kudanya sambil melaju dengan senjata terhunus.
Tombak, pedang, kelewang, golok, ruyung, dan gada teracung
dengan hanya satu sasaran. Apakah mereka akan melindas Yan
Zi" Melihat air bah pasukan berkuda ini semakin mendekat, Yan Zi
menarik rentangan kedua tangan yang masing-masing memegang
594 pedang itu, dan saling menyentuhkan kedua ujungnya sambil
merendahkan sebelah lutut seperti orang memanah.
Dengan segera cahaya kilat berkeredap dan setidaknya 40 orang
dalam delapan baris terdepan langsung hangus dan bergelimpangan bagaikan arang, sementara yang berada di
belakangnya tidak menjadi lebih baik nasibnya karena meskipun
tidak menjadi arang, tubuh mereka menyala-nyala dan terbakar.
Manusia dan kuda yang menyala bagai makhluk api masih terus
melaju beberapa saat, sebelum akhirnya tersungkur tepat di depan
Yan Zi. Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat pada pagi yang
begitu dingin dan berangin. Aku masih tertegun-tegun di atas kuda
menyaksikan segala peristiwa yang berkelebatan. Betapa murahnya nyawa manusia dalam peperangan!
YAN Zi bersiap menghadapi kepungan induk pasukan Langit yang
menyerbu dari tenggara, tetapi barisan yang tadi memisah?kan diri
membentuk percabangan di kiri dan kanan, meskipun beberapa
kali terbantai cahaya kilat berkeredap yang keluar dari persentuhan
sepasang Pedang Naga Cahaya, masih terlalu banyak dari
pasukan berkuda ini yang melaju ke sudut tenggara Chang'an dari
timur maupun selatan. 595 Aku masih tertegun dengan berkembangnya pertempuran.
Ternyata pasukan berkuda yang menyerbu dari arah tenggara ini
begitu terlatih, karena memang benar merupakan pasukan pilihan.
Setiap kali terdapat hambatan, pasukan ini dengan cepat segera
memecah diri sehingga arus serbuan sesungguhnyalah sulit
dibendung. Mereka yang lolos terus-menerus berpacu dan melaju,
yang meskipun selalu berkurang karena sambaran pantulan
cahaya pedang mestika, hanyalah menyisakan orang-orang pilihan
yang sungguh akan sangat berdaya dalam usaha penerobosan!
Bagaimana cara mengatasinya"
Dalam padan-delapan ke-21, Shih Ho dalam I Ching tertulis:
mengunyah daging kering, ia bersua racun; sedikit menyesal, tapi tak bisa menyalahkan. 1 Kuingat pembelajaranku di Kuil Pengabdian Sejati, dalam masalah
pertempuran kutipan ini berarti: jika dikau kecoh lawanmu 596 dengan muslihat pikatlah untuk maju potonglah jalur bantuannya
dikau akan membuat kedudukannya gawat ia bertemu racun kedudukannya hancur 2 Melalui Ilmu Bisikan Sukma kusampaikan hal itu kepada Yan Zi,
yang dengan susah payah menghalangi laju pasukan yang sudah
terbagi tiga bagaikan trisula.
"Siapa yang akan memotong dan siapa yang akan memberi tahu
mereka?" "Beri tahu mereka," kataku, "katakan saja kepada panglimanya,
kita menggunakan padan-delapan ke-21 dari I Ching, seharusnya
dia mengerti." 597 Ujung trisula di kiri dan kanan sudah berada di belakang Yan Zi,
terus menderu ke arah sudut tenggara Chang'an yang tak
bertembok dan karena itu merupakan titik kelemahan.
Sejauh kuingat dari berbagai peta lama Chang'an, sebetulnya
Danau Lekuk Ular dan Taman Bunga Raya terlindungi juga oleh
tembok perbentengan seperti Istana Daming, tetapi pada berbagai
peta yang baru tembok itu tidak ada lagi. Mungkin karena setelah
sekian lama tidak ada perang terdapat suatu perasaan aman,
sehingga tembok di sekitar danau mungkin saja justru dibongkar.
Sejauh yang kuketahui, pada masa damai di sanalah rombongan
kafilah asing akan bermalam jika tiba di Chang'an pada saat pintu
gerbang sudah ditutup. Ada kalanya rombongan itu tertahan beberapa hari karena
masalah perizinan - meskipun tak sedikit pengembara lalu-lalang
dapat keluar masuk begitu saja dengan bebas tanpa surat-jalan dan di sekitar danau itu pula mereka bermalam. Kadang mereka
mendirikan tenda karena di sanalah kuda dan unta bisa
memuaskan dahaganya setelah perjalanan yang panjang dari arah
Dun Huang di wilayah barat.
Namun tidak pula mengherankan jika mata-mata maupun penjahat
kambuhan memanfaatkannya sebagai celah menguntungkan bagi
598 segala macam penyelundupan, baik menyelundupkan orang
maupun barang. Untuk sepintas aku teringat peti uang emas di dasar Kolam Taiye
itu, tetapi haru-biru pertempuran ini dengan segera membuat diriku
harus melupakannya. Terdengar Yan Zi melalui Ilmu Bisikan Sukma.
"Biar seribu orang ini mengejarku, tahan sisanya!"
Yan Zi telah menunggangi kuda rampasan dan mencongklangnya,
diikuti seribu penunggang kuda bersenjata terhunus yang
mengejar dengan kecepatan penuh. Pendekar Walet itu telah
menerbangkan seribu nyawa dengan pantulan sepasang Pedang
Mata Cahaya, yang jurus-jurusnya telah dipelajarinya secara
tersendiri di Perguruan Shaolin. Namun kini setidaknya masingmasing seribu penunggang kuda, yang melaju dengan kecepatan
yang sama di kiri dan kanan, sudah kembali ke jalur semula
sehingga berada di depan Yan Zi.
Maka Yan Zi pun meninggalkan kudanya, berlari di atas ribuan
kepala yang tidak merasakan apa pun karena ilmu meringankan
tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, berkelebat ke
depan dengan kecepatan pikiran, merebut kuda terdepan setelah
599 mendorong penunggangnya, yang segera tewas dalam lindasan
kaki-kaki kuda yang terus menggebu dengan semangat penyerbuan. CAHAYA kuning matahari pagi membuat segala sesuatu yang
tertimpa cahayanya jadi keemas-emasan. Rerumputan, uap air di
udara, bahkan debu mengepul yang muncul karena derap kaki
pasukan berkuda balatentara kaum pemberontak serba berkilat
keemasan. Dalam semburat cahaya keemasan seperti itulah tiga
ribu anggota pasukan memburu Yan Zi, sedangkan aku yang
berada jauh di belakangnya dan semula mengikuti arus di tepi
kanan segera membelokkan kuda ke kiri, masuk ke tengah sambil
memainkan tombak yang masih saja kupegang pada pangkal mata
tombaknya, untuk menghindari pertumpahan darah. Dengan atau
tanpa korban kukira diriku bisa menyumbangkan sekadar
kekacauan yang menghambat laju pasukan.
Namun menghambat pasukan sebesar ini sendirian saja tidaklah


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu mudah, karena menghambat tidaklah sama dengan
melakukan pembantaian. Jika keterlibatanku dalam pertempuran
ini adalah menghindarkan Chang'an dari pertumpahan darah,
diriku sendiri pun tidaklah bisa menerima jika usaha itu kulakukan
juga dengan menumpahkan darah. Maka kutinggalkan kudaku dan
aku pun berkelebat dengan kecepatan pikiran, menotok dengan
600 jari maupun batang tombak yang dibalik itu tak hanya terhadap
manusia tetapi juga kudanya!
Berkelebat secepat pikiran artinya hanya dengan memikirkannya
saja tubuhku sudah mengikuti apa pun yang kuinginkan. Dengan
segera hampir semua kuda barisan depan bergelimpangan, dan
para penunggangnya terguling untuk tidak bangun kembali karena
telah menerima totokan. Ada kalanya totokan itu jenis yang
membuat kuda maupun penunggangnya kaku seperti patung, dan
dengan banyaknya manusia dan kuda yang menerima totokan
seperti itu maka barisannya pun segera terhalang, karena tidak
bisa dilindas maupun segera disingkirkan.
Sejumlah orang, yang jika dibandingkan dengan kepangkatan
pasukan pemerintah adalah perwira, tampaknya mengerti betapa
keterhambatan laju pasukan ini hanya disebabkan oleh satu orang.
Dari balik barisan yang kacau berlompatanlah mereka di atas
kepala orang agar segera bisa sampai ke depan dan langsung
menyerangku tanpa harus berkenalan. Ilmu silat mereka yang
tinggi dan segala serangan yang dilakukan bersamaan membuatku
harus lebih memusatkan perhatian, karena dalam dunia persilatan
sikap meremehkan sedikit saja bisa membuat nyawa melayang.
601 Kong Fuzi berkata: apakah Kebaikan itu memang jauh sekali" jika kita sangat menghendaki Kebaikan kita harus mencarinya di dalam diri kita sendiri 1
Namun sesungguhnya aku sulit memusatkan perhatian kepada
berbagai serangan yang berkelebatan ini karena aku belum
mengetahui bagaimana caranya Yan Zi akan memberi tahu para
Pengawal Burung Emas yang telah mempersiapkan diri di sudut
tenggara itu. Sedangkan jika Yan Zi kemudian bisa memberitahunya, apakah kiranya yang membuat mereka bukan
hanya percaya, melainkan juga menurutinya" Sambaran dadao
atau golok pada bilah panjang itu membuatku melesat berputarputar ke udara, dan dari sana dapatlah kulihat bahwa Yan Zi belum
membuat jarak dengan para pengejarnya. Aku tahu itu karena ia
ingin memastikan betapa seribu orang dari pasukan pilihan
602 tersebut dapat dipancingnya, tetapi siapakah kiranya yang akan
menjebak mereka" "Lepaskan dirimu segera, dan beri tahu mereka secepatnya,"
ujarku melalui Ilmu Bisikan Sukma.
Waktu aku melayang turun, berbagai jenis tombak seperti qiang,
mao, cha, maupun ji telah menghadangku. Kuinjak salah satu
ujung tombak itu dan melayang ke atas lagi supaya bisa menengok
Yan Zi. Ternyata ia telah meninggalkan kudanya yang tetap berlari
tanpa penunggang, melesat ke udara seperti burung walet, dan
berteriak, ''Shih Ho! Shih Ho!"
Hanya Shih Ho" Itu berarti padan-delapan ke-21! Perlu waktu lama
sebelum dipahami bahwa siasat tempur yang dimaksud terdapat
pada baris ketiga saja! "Sebutkan, 'baris ketiga!'"
Yan Zi pun mengulanginya.
"Shih Ho baris ketiga! Shih Ho baris ketiga!"
Pada baris ketiga itulah terdapat kata-kata: mengunyah daging
kering, ia bersua racun; sedikit sesal, tapi tak bisa menyalahkan.
603 Penggunaan kalimat ini dalam pelajaran tentang siasat peperangan bersumber dari catatan sejarah Wangsa Tang,
sehingga kuanggap seharusnya para panglima mengetahuinya 2.
Sekali lagi kuinjak salah satu ujung tombak yang masih terus
berusaha membuatku kesulitan itu, dan sambil melenting kembali
kutengok Yan Zi sudah menghilang.
"Bagaimana?" Aku bertanya dengan Ilmu Bisikan Sukma.
"Mereka paham, sebentar lagi seribu pengejar itu masuk jebakan."
"Jangan hanya seribu, seluruh pasukan ini harus masuk jebakan,"
kataku. Saat itu aku sudah menginjak bumi, baru sadar betapa lima jenis
senjata menyambar dari lima arah dalam paduan jurus yang sudah
mengunci! BERTARUNG setengah hati, menahan diri untuk tidak membunuh,
tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh, jauh lebih sulit daripada
bertarung tanpa persyaratan apa pun. Ilmu silat yang sudah
mengendap menggerakkan tubuh tanpa harus memikirkannya,
604 karena ilmu silat mana pun memiliki jawaban bagi ancaman apa
pun. Namun ketika seorang petarung tidak bermaksud menumpahkan darah, sementara lawannya sungguh-sungguh
haus darah dengan jurus-jurus andalan mematikan, jurus-jurus
jawabannya nyaris selalu sama mematikannya. Menghadapi lawan
seperti ini, tanpa bermaksud membunuh meskipun tetap melumpuhkannya, tidaklah lebih mudah. Bukan sekadar ilmunya
harus lebih tinggi, melainkan haruslah berkali-kali lipat lebih tinggi,
karena jika tidak maka yang bisa dilakukan hanyalah membunuhnya! Aku masih memegang tombak pada pangkal mata tombaknya,
sehingga aku bagai bersenjatakan toya saja, tetapi hanya salah
satu ujungnya yang dapat kumanfaatkan. Dengan senjata tersebut
dapat kutangkis lima senjata yang terayun dengan tujuan
membelah tubuhku, tetapi aku tidak dapat menangkisnya satu per
satu, meski dengan kecepatan tercepat karena memang tiada
waktu lagi. Kelima senjata itu akhirnya bukan kutangkis, melainkan
kuterima dengan tombak itu sekaligus, dan mengikuti daya
dorongnya aku pun menjatuhkan diri ke bumi bersama kelima
senjata yang masih menempel pada tombaknya.
"Heh-heh-heh-heh! Bersiaplah untuk mati!"
605 Salah seorang bermaksud menarik tombaknya untuk menusukku
sekali lagi, tetapi tombak itu tetap menempel dengan lengketnya,
tidak bisa ditarik kembali. Ia terkejut dan berusaha menariknya lagi,
tetap saja tidak berhasil, seperti juga yang telah terjadi dengan
empat penombak lain. Tiada jalan bagi mereka untuk melepaskan
tombaknya itu, tetapi tangan mereka pun ternyata tidak bisa lepas!
Ketika tangan yang lain berusaha membantunya, tangan itu pun
lengket juga! Itulah ilmu yang sudah lama sekali kupelajari, ketika masih hidup
dalam asuhan Sepasang Naga dari Celah Kledung, sampai aku
sudah lupa apa namanya. Syukurlah ilmu penyerap ini masih
bekerja pada saat dibutuhkan. Kelima perwira yang semula tampak
perkasa itu sekarang kebingungan. Dengan ilmu belut putih
kulepaskan tubuhku dari tindihan tombakku sendiri.
"Sadarilah betapa aku bisa membunuhmu sekarang," kataku,
"tetapi tidak akan kulakukan."
Di tengah pertempuran, aku teringat sebuah puisi: angin bertiup perlahan dan sunyi
air Sungai Yi sangat dingin
sekali prajurit berani berangkat
606 mereka tak pulang kembali 1
Sebetulnya itulah pesan rahasia Pangeran Tan kepada Ching K'o
pada hari-hari terakhir Negara-Negara Berperang, ketika penyatuan seluruh Negeri Atap Langit dilakukan oleh Maharaja
Pertama. Apa pun maksud pesan rahasia itu, semoga mereka tidak
mengalami nasib yang sama.
Mereka sekarang bagaikan patung yang menghalangi jalan,
barisan menjadi terbelah, tetapi seorang perwira segera mengayun-ayunkan bendera dan memberi tanda pemecahan
barisan agar tidak menjadi semakin lamban. Barisan semakin
tersebar ke kiri dan ke kanan, melaju kembali ke arah tenggara
dengan kecepatan yang seolah-olah berusaha menggantikan
segala ketertundaan, melaju bagaikan berusaha terbang.
Aku segera mendahului mereka dengan ilmu Naga Berlari di Atas
Langit, dan tiba pada tujuan penyerbuan tepat ketika seribu orang
terdepan itu melewati garis pertahanan. Seribu orang berkuda
maju ke dalam celah yang segera ditutup kembali. Mereka dijebak
mengikuti jalur yang mengarahkan mereka ke Taman Bunga Raya,
tempat tak kurang dari 200 pemanah jitu menanti mangsanya di
607 balik rimbun dedaunan pohon xiong. Setiap pemanah membidik
dan melepaskan anak panahnya masing-masing lima kali berturutturut, dan setiap kali melesatlah 200 anak panah ke arah 200
penunggang kuda yang langsung tewas dengan anak panah
menancap pada punggung maupun dadanya.
Jerit terakhir sebelum kematian dengan segera terdengar di manamana, sementara kudanya masih terus berlari masuk kota dengan
sesosok mayat yang tertancap panah di atas punggungnya. Mayatmayat tertelungkup atau tertelentang di atas kuda dalam keadaan
tertancap anak panah menjadi pemandangan biasa.
Pada saat itulah masuk lagi seribu pasukan berkuda, tepat ketika
celah dibuka dan adegan itu pun terus-menerus berulang. Seperti
telah diperhitungkan, setiap kali 200 orang tertancap panah pada
saat itu pula 200 kuda membawanya pergi. Bahkan sebelum
persediaan anak panahnya habis, sudah terdapat petugas-petugas
yang naik ke atas pohon xiong itu membawakan persediaan anak
panah baru. Setidaknya 8.000 orang akhirnya mengalir masuk tanpa menyadari
maut yang menanti, karena dengan lenyapnya pasukan tanpa
halangan seolah-olah terbukti titik lemah pertahanan Chang'an
memang rawan terobosan. 608 Aku masih mencari di manakah Yanzi ketika terdengar seruan di
luar celah penjebakan. "Tahan!" BARISAN berkuda yang belum terjebak untuk memasuki celah itu
masih sekilar 2.000 orang. Semua menunggang kuda terbaik dan
terlatih yang mudah dikendalikan, bahkan tahu pula berperang,
sehingga ketika penunggangnya bertarung melawan prajurit
berkuda di medan pertempuran, kuda semacam ini akan menggigit
atau menendang lawan, baik itu kuda maupun penunggangnya.
Namun kali ini perintahnya adalah berhenti berlari, maka mereka
pun berhenti berlari. Hanya dengusnya susul-menyusul disela
ringkik di sana-sini sambil kadang-kadang mengangkat kedua kaki
depan tinggi-tinggi karena pemberhentian mendadak itu.
"Bodoh sekali! Hari masih pagi, sudah habis pasukan kita di sini!
Siapa orang bodoh yang menyuruh kalian asal melaju"!"
Hari memang masih pagi, cahaya matahari masih kuning, meski
kepanikan telah membangunkan seluruh Chang'an. Aku melayang
ke atas tembok sisi selatan. Di bagian dalam dari tembok itu,
semua kuda yang telah kehilangan penunggangnya digiring ke
sebuah lapangan terbuka, dan para pengurus kuda segera
609 melakukan segala sesuatu yang diperlukan. Kuda perang memang
dilatih untuk mengenal siapa lawan siapa kawan, sehingga jika
terampas seperti ini, tidak akan bisa dimanfaatkan. Namun para
pengurus kuda sudah mengetahui segala cara untuk memindahkan keberpihakan kuda itu.


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku masih belum melihat Yan Zi, tetapi mayat-mayat itu mulai
diangkut setelah dilemparkan ke dalam gerobak. Di manakah akan
mengubur atau membakarnya"
Kulihat ke arah selatan, gelombang pasukan berjalan kaki yang kini
berlari sudah berjarak 1 li. Sebentar lagi mereka akan mencapai
tembok. Dalam hujan panah bertaburan mereka terus berlari dan
berlari sambil membawa tangga. Ada yang tertancap panah
langsung telentang, ada yang tertancap panah langsung telungkup, keduanya dengan susah payah dihindarkan dari
keterinjakan. Tetapi yang telentang maupun telungkup tetap saja
terlindas dan tergilas kaki-kaki bersepatu, yang tanpa putusputusnya melaju tanpa tahu betapa terdapat tubuh manusia yang
mati maupun setengah hidup di bawahnya. Apabila tangga yang
mereka bawa terjatuh karena pembawanya terpanah, maka selalu
ada orang lain akan menggantikannya
610 Namun panah-panah itu menjadi tak berguna manakala barisan
pembawa tangga telah menempel di tembok, sedangkan barisan
di belakangnya adalah barisan jalan kaki yang melindungi dirinya
dengan perisai. Digabungkan menjadi satu, perisai-perisai itu
seperti menjadi lempengan raksasa yang berjalan ke arah tembok
tanpa bisa dibendung lagi. Sementara di baliknya bersembunyi
orang-orang bersenjata yang dengan cepat akan naik tangga,
bahkan mungkin saja dengan ilmu cicak akan merayap ke atas,
juga dengan cepat, sampai ke atas tembok. Beribu-ribu panah
dilepaskan, semua menancap pada perisai dan terlalu sedikit yang
berhasil menembus celah dan menembus tubuh para pembawa
perisai. Tidak semua orang berbaju zirah pada pasukan pemberontak, dan
mereka yang tidak mengenakannya dan tertancap anak panah
para pembidik jitu jatuh bergelimpangan di bawah tudung perisai
raksasa yang terus bergerak maju. Pantulan cahaya matahari pada
lempengan perisai yang terdiri atas pecahan beribu-ribu perisai itu
berkilat-kilat dan berkeredap menyilaukan menembus angin dingin.
"Serbu! Serbu! Serbu!"
Balatentara Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang menyemut di luar
tembok. Tak bisa dibayangkan jika sedemikian banyak orang
611 masuk dan mengamuk di dalam Kotaraja Chang'an. Penjarahan,
pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan barulah sedikit
kemungkinan yang sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan
gambaran mengerikan. Kini barisan semut itu sudah mencapai
tembok dan semuanya berusaha naik tangga.
Para Pengawal Burung Emas mendorong kembali tangga itu
dengan lima sampai sepuluh orang di atasnya ikut terdorong jatuh
ke belakang. Demikianlah di sepanjang tembok bagian selatan kulihat puluhan
dari ratusan tangga yang dipasang terdorong jatuh ke belakang
bersama dengan belasan orang yang sedang menaikinya, tetapi
lebih banyak lagi tangga yang tetap menempel di tembok, karena
setiap kali seseorang akan mendorong tangga itu segera saja ia
tersentak tewas, dengan pisau terbang menancap pada jantung
atau dahinya. Maka tak jarang orang di atas tembok benteng itu menunggu saja
dengan golok terhunus, dan membabat putus leher siapa pun yang
muncul untuk pertama kalinya dari bawah. Namun di sini pun para
pengawal kota yang menunggu dapat kehilangan kepalanya
dengan seketika, karena dari belakangnya telah muncul para
penyerbu yang merayapi tembok dengan cepat menggunakan ilmu
612 cicak, yang akan membabat leher mereka dengan kelewang
tertajam tanpa perlu mengenal belas.
DENGAN Ilmu Naga Berlari di Atas Langit aku berkelebat di atas
tembok perbentengan mengelilingi Chang'an sambil mencari Yan
Zi. Beberapa kali kukirimkan pesan melalui Ilmu Bisikan Sukma
tetapi tiada jawaban. Jadi kususuri tembok dari Gerbang Mingoe di
sisi selatan sampai ke Gerbang Yanping di sisi barat, untuk
berlanjut ke Gerbang Jinguang, lantas kembali lagi ke Istana
Daming di bagian utara. Di setiap sisi tembok itu serangan sama
serunya tetapi serangan ke Istana Daming nyaris tidak ada, seolaholah memang dikecualikan untuk menghormatinya.
Jika di setiap titik pertempuran tidak kutemukan Yan Zi Si Walet,
ke manakah kiranya dia pergi" Apakah kembali kemari" Semula
aku ragu-ragu untuk menyusup masuk ke dalam wilayah istana
lagi. Betapapun rasanya baru saja kami keluar dari sana, setelah
mengalami malam yang serasa begitu panjang, bahkan kami
belum sekejap juga memicingkan mata. Namun akhirnya diriku
menyusup pula dengan mengandalkan ilmu bunglon, dari ujung
barat laut istana, yang memang tersuci dan tersunyi.
Terlalu sunyi, pikirku. Jika Istana Daming merupakan wilayah
terpenting, mengapa tidak dipertahankan secara luar biasa" Jika
613 Istana Daming merupakan wilayah yang pertahanannya rawan,
mengapa bukan saja tidak diserang dengan mengerahkan segala
daya melainkan sama sekali tidak diserang"
Setidaknya di balik tembok seharusnya sudah kulihat para
penjaga, tetapi tidak kulihat seorang pun! Jika diriku merupakan
bagian dari para penyusup yang bekerja untuk kepentingan para
penyerbu, bahkan tanpa harus melakukan penyusupan pun seperti
akan dengan sangat mudah Istana Daming dikuasai.
Ini bukan sesuatu yang wajar. Istana Daming adalah tempat
penjagaan yang paling ketat dengan para pengawal yang berilmu
tinggi. Bahkan jika sebagian dari pengawal istana mengiringi
perjalanan maharaja dilonggarkan, karena pun tidaklah seperti juga semestinya maharaja penjagaan maka istana merupakan lambang kekuasaan.
Aku sudah berada di balik Gerbang Youyintai, di dekat pelataran
Balai Lin De atau Balai Semangat Kilauan Berlian. Tanpa
menggunakan ilmu bunglon pun tiada seorang pun melihatku. Ke
manakah harus kucari Yan Zi" Di Istana Daming, Yan Zi hanya
terhubungkan dengan Kolam Taiye. Apakah aku harus ke sana
lagi" 614 Aku diliputi keraguan dan kejengkelan. Pedang sudah di tangan,
kenapa kami masih harus berada di sini"
Betapapun aku tidak bisa membiarkan berlangsungnya pembantaian. Telah kusaksikan bagaimana gerak-gerik para
penyerbu dan telah kukenal peradaban penduduk Chang'an yang
sungguh jauh dan menjauhi gagasan peperangan.
Laozi berkata: langit tidak berbatas dan bumi sangat tua
mengapa begitu" karena dunia ada bukan untuk dirinya;
bisa dan akan hidup lama orang bijak memilih jadi yang terakhir
maka menjadi yang pertama dari segalanya;
menolak diri, ia pun selamat
tidakkah ini karena tak dipikirkannya diri
yang mampu memenuhi keinginan pribadi" 1
615 Aku sudah hampir melesat ke Kolam Taiye ketika mendadak
terdengar pintu-pintu Balai Lin De atau Balai Semangat Kilauan
Berlian terbuka, dan terdengar suara ribut meski diucapkan
dengan bisikan tertahan-tahan. Sangat kukenal gelagat seperti ini
sebagai perbuatan yang memang sengaja tidak mencari perhatian
alias disembunyikan! "Awas! Awas! Awas!"
"Tahan! Tahan! Tahan!"
Aku beranjak ke balik gerbang Balai Lin De, dan tertegun melihat
banyak orang sedang berusaha menurunkan peti-peti yang tampak
begitu berat dan begitu mirip dengan peti uang emas yang berada
di dasar Kolam Taiye! Pencurian! Peti-peti yang berat diletakkan di atas babut dan kini babut itu
diseret agar dapat diletakkan pada dua batang bambu besar yang
akan menurunkannya ke bawah. Di bawah sudah menanti
gerobak-gerobak tangan dengan dua roda, yang telah ditemukan
di Negeri Atap Langit sejak lebih dari 400 tahun lalu. Meski tampak
kecil, mampu membawa beban seberat pasokan makan setahun
bagi seorang prajurit, dan dapat bergerak lebih cepat daripada jika
616 dibawa kuli barang 2. Pencurian uang emas milik kerajaan sebagai
negara ini, bahkan bukan milik Wangsa Tang, telah direncanakan!
Bukan sepasang bambu yang ada di sana, tetapi tak kurang dari
enam pasang! Apakah uang emas perbendaharaan Negeri Atap
Langit ini mau dikuras semuanya"
JIKA memang Balai Semangat Kilauan Berlian adalah tempat
penyimpanan uang emas kerajaan, yang dimaksudkan sebagai
penjamin keseimbangan tata keuangan di seantero Negeri Atap
Langit, maka sungguh keseimbangan itu sedang berada dalam
ancaman. Enam peti uang emas, yang tiap keping mata uangnya
bernilai sangat tinggi itu, sedang diturunkan dengan menggunakan
tali, sementara beberapa orang menyangga peti itu dengan tangan
dan kakinya melangkah perlahan-lahan di tangga menuju ke
bawah. Ke manakah gerobak-gerobak itu akan membawanya pergi" Aku
tak tahu seberapa jauh diriku harus melibatkan diri. Uangnya
bukanlah uangku, negerinya bukan negeriku, dan tidaklah
kuketahui kedudukan setiap pihak yang terlibat, sedangkan siapa
saja yang terlibat aku belum mengetahuinya sama sekali.
617 Mereka bekerja cepat, enam peti pertama masuk enam gerobak
yang segera diberangkatkan untuk digantikan enam gerobak
kosong, ketika keenam peti berikutnya tampak sedang diturunkan
pula. Inilah pekerjaan yang memerlukan keterampilan dan
perencanaan matang. Sudah jelas tidak mungkin dilakukan tanpa
keterlibatan orang dalam, jika tidak dilakukan atas kehendak dan
dorongan orang dalam sepenuhnya!
Angin bertiup membawa gemuruh peperangan yang berlangsung
di luar tembok Kotaraja Chang'an. Mungkin para penyerbu itu, baik
yang mendaki tangga maupun merayap cepat pada tembok
dengan ilmu cicak, sudah semakin banyak yang lolos, dan semakin
banyak para pengawal yang menggelimpang tewas kena tebas.
Suara-suara pertempuran, pekik raungan, jerit kesakitan, maupun
sorak kemenangan terdengar sayup-sayup dalam deru angin,
meski tidak memperlembut kekejaman perang itu sendiri.
Apakah yang harus dikatakan jika para pengawal dan penduduk
berjuang bahu-membahu menghadapi maut, tetapi di sini
berlang?sung pencurian besar-besaran yang sangat mungkin
memiskinkan seluruh negeri, dan mengembalikan Negeri Atap
Langit ke masa perang antarsuku yang hanya memiliki tenda dan
makan daging bakar binatang buruan"
618 Xunzi berkata: apakah tertata dan tak tertata tergantung kepada langit"
kujawab, kedudukan matahari, rembulan dan bintang-bintang,
beredar dengan cara sama semasa Yu maupun semasa Jie.
Yu membawa ketertiban; Jie membawa kekacauan. jadi tertata dan tak tertata tidak tergantung langit. 1
Aku melesat ke Gerbang Kura-Kura Hitam maupun Gerbang Hitam
Ganda. Jika gerobak-gerobak itu menuju ke luar kota, tentu akan
melewati kedua gerbang itu dan barangkali aku dapat memperkirakan pihak mana saja yang telah dan masih akan
terlibat. Namun tidak terlihat seorang pun di sini, dan kedua gerbang itu
pintunya yang sangat amat besar dalam keadaan tertutup. Tidak
mungkin gerobak-gerobak tangan, dengan beban seberat itu, bisa
segera keluar lantas pintunya tertutup lagi, apalagi dalam keadaan
perang seperti ini. Lagipula masih harus disiapkan hewan penarik
619 barang seperti kuda atau sapi jantan, untuk dipasang di depannya,
jika memang mau menempuh jarak yang lebih jauh.
Aku pun kembali melejit ke Balai Semangat Kilauan Berlian, dan
enam gerobak tangan lagi sedang didorong oleh enam pelayan
yang kukira adalah orang-orang kebiri!
Kugoyangkan kepalaku karena serasa begitu banyak tambahan
serabut syaraf melibati otakku. Mungkinkah jaringan orang kebiri
yang berperan besar dalam urusan pencurian ini"
Kuingat sekarang tentang rahasia negara yang dibagi tiga, antara
ketiga orang kebiri yang kutemui dalam perjalananku dari Daerah
Perlindungan An Nam kemari melalui lautan kelabu gunung batu.
Si Musang kutemui sebagai mayat terpotong-potong dalam
karung, Si Tupai yang warungnya menjadi pusat jual beli
keterangan rahasia di kaki lautan kelabu gunung batu, mati dalam
pertarungan untuk melindungiku setelah menyerahkan gulungan
naskah sejarah yang mengungkapkan peran orang-orang kebiri, Si
Cerpelai mati diracuni di Kampung Jembatan Gantung.
Apabila keterangan tentang rahasia negara ini pun kudapatkan dari
pengakuan Golongan Murni, berarti semakin banyaklah jaringan
berkait-kelindan yang kini berujung dengan penyerangan besar ke
620 Kotaraja Chang'an. Apakah hanya kebetulan bahwa pencurian


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peti-peti uang emas negara berlangsung pada hari yang sama
dengan serangan balatentara Yang Mulia Paduka BayangBayang"
Kuikuti enam pelayan kebiri yang mendorong enam gerobak
tangan dengan peti uang emas di atasnya itu. Meskipun berjalan
cepat mereka lebih dari waspada. Aku tidak boleh terkecoh dengan
seragam pelayan istana yang mereka kenakan, karena ssu jen
yang tugasnya melayani bisa bertukar seragam dengan an jen
yang bertugas mengawal istana. Sedangkan pengawal istana dari
kesatuan orang kebiri sangat disegani karena ilmu silatnya yang
tinggi sekali! PENATAAN Chang'an dibagi tiga lapisan, yakni lapis luar istana,
lapis tengah yang merupakan pusat pemerintahan, dan lapis
belakang yang terletak di utara, yakni Istana Daming yang menjadi
tempat tinggal maharaja dan keluarga serta segenap selir maupun
pelayan-pelayannya, apakah itu dayang-dayang tercantik atau
orang-orang kebiri. Istana Daming dibangun dengan mengacu kepada fengshui atau
hongshui dalam penerapan I
Ching yang mempengaruhi kehidupan Negeri Atap Langit. Di sini penataan dibagi tiga lagi,
621 yakni Istana Timur, Istana Taichi, dan Istana Terlarang. Ternyata
ke tempat terakhir inilah para pendorong gerobak tangan ini
menuju. Bangunan-bangunan istana menghadap ke arah selatan, karena
arus yang datang dari arah itu dianggap hangat. Dengan
mengarahkan gerobak-gerobak ke selatan, kecil kemungkinan
mereka akan mengetahui keberadaanku. Namun aku tidak berani
bertindak gegabah, dan tetap merapal ilmu bunglon maupun ilmu
halimunan berganti-ganti. Untuk sebagian besar memang aku lebih
mengandalkan ilmu bunglon, tetapi jika seseorang menatap ke
arahku secara langsung, ilmu halimunan akan membuat diriku
tidak terlihat. Jika pengawal kotaraja secara keseluruhan adalah Pengawal
Burung Emas, maka pasukan penga-wal istana adalah Pasukan
Hutan Bersayap, yang pusat kendali pengawalannya berada di
balik Gerbang Kura-Kura Hitam, tempat dahulu kala Li Shimin
membunuh kedua saudaranya sebelum naik tahta. Pasukan Hutan
Bersayap memang tugasnya hanya menjaga istana dan maharaja,
tetapi adalah kesatuan ini juga yang sering ikut berperan dalam
peristiwa makar. Mungkin karena itu, jaringan orang kebiri
berkepentingan merasuk ke dalamnya untuk ikut melacak segala
622 rahasia, dan melindungi raja, justru dari pengawal-pengawalnya
sendiri! Maka aku tidak merasa terlalu terkejut jika gerobak-gerobak yang
membawa uang emas itu menuju istana yang berada di Taman
Terlarang. Disebut demikian karena hanya maharaja bersama
pengawal dan pelayannya yang boleh berada di sana, bersama
siapa pun yang telah diizinkannya. Apabila maharaja ternyata pergi
berburu jauh di luar kotaraja, sudah tentu Pasukan Hutan Bersayap
itulah sekarang yang menguasai Taman Terlarang, yang terletak
tepat di luar sisi barat tembok Istana Daming.
Taman itu begitu luas, dipenuhi segala tanaman, bahkan segala
tetumbuhan dari segenap penjuru Negeri Atap Langit. Begitu ju?ga
dengan segala jenis binatang, terutama burung-burung dari mana
pun di segala penjuru bumi, sejauh kekuasaan Negeri Atap Langit
mampu menjangkaunya dan iklim tempat asalnya bersesuaian
pula. Ke sini pula dahulu kala buah-buahan yang hanya bisa
tumbuh di bagian selatan Negeri Atap Langit, diantarkan secara
berantai oleh kuda tercepat, dari wilayah satu ke wilayah lain hanya
dalam semalam, agar masih tetap segar ketika disantap Yang
Gueifei pada saat sarapan.
623 Dengan keluasan yang mencapai setidaknya separo dari luas
Istana Daming, taman ini juga menjadi tempat olahraga panahan,
lapangan sepak bola, maupun tempat permainan berkuda sambil
memukul bola. Di sebelah tenggara dari Taman Terlarang, di sisi
lain tembok, yang artinya di dalam kota, terletak menara tambur
dan menara lonceng, tertata dengan indah di antara kolam dan
sungai yang semuanya buatan. Taman itu dirancang juga dengan
perkebunan yang cukup untuk memberi pasokan kebutuhan
pangan. Kelebihan buah-buahan dan sayur-sayuran dari taman ini pernah
membuat pengurusnya pada tahun 687 berpikir untuk menjualnya,
agar sang penguasa mendapat penghasilan yang kemudian
menimbulkan perdebatan, apakah sang maharaja pantas berjualan
barang-barang dagang murahan. 1
Taman Terlarang, seperti juga Istana Daming, memang berada di
luar tembok, dan tidak seperti Istana Daming, sama sekali tidak
bertembok, karena memang seperti dimaksudkan sebagai tiruan
sebuah hutan. Mengapa uang emas berpeti-peti itu dibawa kemari" Sangatlah
tidak mungkin maharaja mencuri dari perbendaharaan kerajaan.
624 Disebutkan bahwa Ji Kangzi, yang sebenarnya memerintah,
meskipun tidak sah, atas negeri Lu, bertanya kepada Kong Fuzi
tentang pemerintahan. Kong Fuzi menjawab: menata pemerintahan berarti membetulkan;
jika dikau memimpin dengan membetulkan dirimu sendiri,
siapa yang berani tetap tak betul" 2
Mungkin tidaklah terlalu keliru jika aku menduga, dalam hal ini
kewibawaan maharaja telah dipinjam untuk melepaskan peti-peti
uang emas itu dan memindahkannya kemari. Tiada tempat yang
lebih aman lagi selain tempat teraman bagi maharaja dalam
keadaan darurat, untuk menyembunyikan barang-barang curian!
Aku masih belum pasti tentang apakah yang harus kulakukan,
ketika sesosok bayangan datang berkelebat menyerangku!
SERANGAN ini bagiku bukan sekadar mengejutkan karena
merupakan serangan mendadak, melainkan karena dilakukan
ketika diriku sedang menyusup dengan ilmu bunglon maupun ilmu
halimunan. Aku tidak mengira akan ada seseorang yang bisa
melihatku jika menggunakan kedua ilmu penyusupan itu sekaligus.
625 Ilmu bunglon memang hanya mengelabui mata manusia, karena
keberadaan diriku hanyalah tersamarkan dengan lingkungan
sekitarku; tetapi ilmu halimunan membuat diriku tidak dapat dilihat
mata manusia, bukan karena matanya terkelabui, melainkan
karena diriku bersama tubuh, pakaian, dan senjata atau apa pun
yang kubawa memang menghilang, meskipun tetap berada di situ.
Dengan menghablurnya tubuh dan segala yang berada bersamanya, diriku hadir seperti udara yang bisa menembus
benda padat, dan sebaliknya benda-benda padat tak memberi
pengaruh apa pun jika melintas dan menembusi diriku. Namun
karena aku bukan hanya benda, dapat kupadatkan tanganku agar
benda padat atau benda cair yang ingin kupegang dapatlah
dipegang tanganku. Kemampuan terakhir ini yang terpenting
dalam ilmu penyusupan, karena tugas seorang penyusup bukan
hanya mengamati, melainkan juga mencuri dan tidak jarang juga
mengakhiri riwayat hidup seseorang. Pengetahuan semacam ini
membuat ilmu penyusupan tidak hanya dipelajari perkumpulan
rahasia yang biasa menjalankannya, melainkan juga yang
berkepentingan untuk mencegahnya!
Dalam ilmu halimunan, seseorang harus juga menggunakan ilmu
yang sama untuk memergoki kemungkinan penyusupan. Ibarat
kata meronda, meskipun kepekaan seorang pengawal atau
626 penjaga malam akan sangat membantu, hanya jika dirinya memiliki
dan menggunakan ilmu halimunan maka penyusup yang juga
menggunakan ilmu itu dapat dipergokinya. Betapapun, meski
merupakan pengetahuan yang jamak, tidak terlalu mudah
menguasai ilmu ini, sehingga tidak banyak lagi yang menguasainya, dan bukan tidak sering hanya dianggap sebagai
dongeng. "Siapa kamu"!"
Orang ini menyerang dengan dua pedang dan menurutku
gerakannya sangat cantik. Kedua pedangnya mengurungku
bagaikan diriku berada di dalam kurungan baling-baling. Dalam
keadaan biasa diriku tentu dapat menghilang dan muncul lagi di
belakangnya, tetapi mendapat serangan dari lawan yang juga
menggunakan ilmu halimunan, aku tidak mungkin menghilang
untuk kedua kalinya. Maka aku pun hanya bisa mengandalkan
kecepatan untuk mengatasinya.
Dalam I Ching disebutkan: pikat dia dengan kepura-puraan;
serang si bodoh muda 1 627 Kata-kata itu bisa berlaku bagiku, yang merasa setelah
menggunakan ilmu bunglon dan ilmu halimunan secara bersamaan, dengan gegabah mengira tak seorang pun akan bisa
melihatku. Ternyata Pasukan Hutan Bersayap itu memang setiap
orangnya terbukti sakti. "Penyusup!" Katanya lagi.
Maka semua orang yang berada di sekitar itu menoleh ke arah
kami, dan semua orang itu ternyata menyerangku!
Bagaimana aku tidak akan terperanjat" Benarkah mereka semua
dapat melihatku" Setidaknya enam pendorong gerobak yang
pertama ditambah enam pendorong gerobak yang kedua, dan satu
orang yang memergokiku itu, semuanya dapat melihatku, dan
artinya penghabluran tubuh tidak berlaku - mereka dapat melukai
dan membunuhku! Apakah ilmu halimunanku yang berhasil
dipudarkan ataukah memang benar ketigabelas orang ini
menguasai ilmu halimunan sebagai persyaratan ilmu penjagaan"
Gelombang serangan menggulungku dengan jurus-jurus maut.
Mereka tidak hanya ingin membunuhku, mereka juga ingin
mencacah-cacah tubuhku, tetapi siapakah kiranya yang mau
tubuhnya dicacah seperti itu" Jurus-jurus ilmu pedang mereka
628 begitu padu dan tampak telah sering digunakan dalam pertarungan
kelompok melawan kelompok, membuktikan pekerjaan mereka
yang terpuji sebagai pengawal maharaja. Bukankah orang yang
berbakti dan mengabdi memang harus dihargai"
Kutambah kecepatanku sampai kepada tingkat gerakan mereka
tampak begitu lambat, lantas satu per satu kutotok mereka dengan
Totokan Lupa Peristiwa, agar mereka tak mengenaliku jika pada
suatu hari bertemu lagi di jalanan Chang'an. Ya, aku masih belum
membongkar rahasia ketidakjelasan Harimau Perang, sehingga
meski Yan Zi sudah bisa pulang dengan sepasang Pedang Mata
Cahaya di tangannya, aku tidak bisa melakukannya. Apalagi
penduduk Chang'an kini terancam malapetaka besar yang tak
terbayangkan, dan Yan Zi sendiri tak kunjung bisa kutemukan!
Duabelas orang roboh terkulai seperti karung kosong tanpa harus
kucabut nyawanya. Ilmu halimunan mereka pudar dan kupudarkan
pula ilmu halimunanku. Kusisakan orang yang tadi menyerangku,
kedua pedangnya sudah berada di tanganku. Seperti yang lain, ia
juga mengenakan seragam Pasukan Hutan Bersayap, yang bukan
sekadar bertugas mengawal istana, tetapi bertugas menjaga
keselamatan maharaja. 629 Ia menatapku dengan tajam, dalam ketakberdayaan karena
totokan biasa, bukan Totokan Lupa Peristiwa,
ia masih aku akan mengajukan pertanyaan yang selalu sulit kujawab.
"Siapa kamu"!"
"TIDAK penting diriku siapa," kataku, ''tetapi membunuhmu dengan kejam jika semua ini tidak kamu jelaskan.''
Aku dengan segera memberi sejumlah totokan tambahan yang
menyakitkan tetapi tidak akan membunuhnya, cukup untuk
menggertaknya, dan dengan kedua pedangnya sendiri kuperlihatkan sikap seperti sungguh-sungguh siap memotong
kedua lengan maupun kakinya.
"Jangan! Jangan! Jangan!"
Ia berteriak ketakutan. Terlalu penakut untuk ukuran anggota
Pasukan Hutan Bersayap yang berilmu tinggi dan menguasai ilmu
halimunan. Namun aku juga mengerti betapa orang-orang kebiri di
dalam istana, apakah ia pelayan atau pengawal, sudah terlalu lama
bergelimang kemewahan dan tidak mampu lagi melepaskan
kemewahan itu. 630 Bagi

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang kebiri, pemotongan kemaluan mereka seharusnya menjadi penderitaan terakhir, seperti menjadi peristiwa
yang sama sekali tidak ingin mereka ingat lagi. Setelah peristiwa
yang merupakan pengorbanan maupun bayaran atas kejayaan
yang ingin diraihnya, hanya penikmatan dan pengerukan
kekayaanlah yang mereka pikir layak mereka alami sepanjang sisa
hidupnya, yang dalam kenyataannya tidak pernah cukup.
Maka berpisah dari kehidupan seperti itu sungguh merupakan
ancaman mengerikan. Kematian pun mereka kehendaki merupakan peristiwa menyenangkan.
Kuangkat pedangku seperti akan membelah kayu.
"Jangaaaaaaaaaaaan! Tolong! Jangan! Apa yang dikau inginkan?"
Aku terdiam sejenak, karena sebetulnya diriku tidak punya
kepentingan apa pun. Aku hanya mau mencari Yan Zi dan ingin
segera pergi, meski serbuan dan pengepungan ini jelas harus
membuatku peduli kepada bencana yang dimungkinkan. Sayupsayup kudengar suara pertempuran di balik tembok perbentengan.
Korban dari kedua belah pihak tentu terus berjatuhan...
"Katakan, ke mana semua peti ini mau dibawa?"
631 "Oh, ke gudang penyimpanan di Istana Terlarang, Tuan Pendekar."
Istana tempat tetirah di Taman Terlarang disebut Istana Terlarang.
"Siapa yang memerintahkannya?"
"Kepala badan rahasia yang baru itu Tuan, Harimau Perang."
Harimau Perang" Kapan perintah itu diberikan"
"Kapan perintah itu diberikan?"
"Sudah lama, Tuan, sudah lama sekali direncanakan, Tuan
Pendekar, saya tidak tahu apa-apa lagi Tuan Pendekar, tolong
jangan bunuh saya!" Adapun yang kupikirkan, apakah Harimau Perang seorang abdi
setia yang sedang menyelamatkan harta negara ke gudang
penyimpanan maharaja, ataukah seorang abdi yang menurut saja
ketika maharaja memerintahkan agar peti-peti uang emas
dipindahkan ke gedung istana pribadinya, ataukah seorang pencuri
licik yang meminjam wibawa maharaja untuk menyembunyikan
hasil curian di tempat yang terjamin keamanannya seperti di
tempat tinggal maharaja sendiri!
632 Ketiganya tidak bisa kubuktikan sekarang, meskipun ada satu
pertanyaan yang masih melingkar-lingkar di kepalaku.
"Katakan kepadaku, apakah Harimau Perang..."
Pada saat itulah sesosok bayangan berkelebat secepat pikiran,
dan pada leher orang kebiri ini terlihatlah suatu garis merah
melingkar setipis benang. Secepat pikiran pula ia berkelebat
menghilang, secepat pikiran aku berkelebat mengejarnya meniti
cahaya kekuningan yang menembus kerimbunan hutan buatan di
Taman Terlarang. Pagi agak lebih hangat meski angin tetap saja dingin dan sinarnya
berkilau-kilau begitu terang, membuat mataku terpaksa memejam
ketika titian cahaya ini menembus rimbun pepohonan, dan
mendadak terlihat awan-gemawan. Namun dalam keterpejaman,
Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang bekerja dengan
sendirinya memperlihatkan garis ketajaman setipis benang,
menyambar leher dari dua arah yang berlawanan. Tubuhku berkelit
dalam kecepatan pikiran, menghindari sambaran maut dua pedang
panjang melengkung yang nyaris tidak menyisakan ruang, selain
ancaman ketajaman baja tanpa tandingan.
633 Dalam kesilauan luar biasa yang tampaknya memang dimanfaatkan, sepintas kilas berkibar indah rambut lurus panjang
pada punggung tegap meyakinkan, membuat cahaya berkeredapkeredap mengalihkan perhatian, tetapi yang tidak akan berlaku
untukku yang kali ini memegang dua pedang rampasan. Kedua
pedang yang kupegang memang bukan baja pilihan terbaik seperti
kedua pedang panjang melengkung yang dipegang lawan, tetapi
kumainkan dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang belum pernah
terkalahkan. Bahkan cahaya bagaikan terpotong-potong oleh kelebat sabetan
pedang. Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang merupakan ilmu
pedang berpasangan, lawanku bagaikan menghadapi dua orang
dengan empat pedang, yang dengan kecepatan pikiran akhirnya
membuat kedua lurus panjang melengkung itu terpental ke udara.
Dalam kilau cahaya berkeredapan kusaksikan bayangan hitam
sebuah kepala mendongak untuk memandang pedang di atasnya.
Inilah kesempatan terbaik untuk membabat agar juga terdapat
garis merah setipis benang melingkari lehernya...
DALAM pertarungan di atas titian cahaya dengan kecepatan
pikiran, masih terlintas dalam benakku betapa segenap ciri
lawanku ini begitu mirip dengan penyandera Yan Zi di Kolam Taiye
634 tadi, yang akhirnya tewas oleh sepasang Pedang Mata Cahaya
yang dikehendakinya sendiri. Bahunya tegap, rambutnya lurus
panjang, dengan senjata sepasang pedang panjang melengkung
yang disarungkan melintang pada punggungnya. Ciri itu seperti
ciri-ciri Harimau Perang yang telah kukejar, kuburu, kubuntuti,
tetapi tanpa kejelasan pasti sampai hari ini, sepanjang lautan
kelabu gunung batu yang membatasi Daerah Perlindungan An
Nam dengan Negeri Atap Langit. Siapakah di antara keduanya
adalah Harimau Perang"
Ilmu silat Harimau Perang konon tinggi sekali, dan ilmu silat dari
siapa pun yang bentrok denganku juga sangat tinggi. Jika yang
pertama berhasil dibabat lehernya oleh Yan Zi tadi pagi, terhadap
yang kedua ini juga terbuka peluang setipis kecepatan cahaya
bagiku untuk membuatnya mengalami nasib yang sama.
Namun ternyata kubiarkan saja dia berkelebat menghilang.
Pedangnya turun dan menancap di tanah berdampingan saling
bersilang seperti pasangan yang sulit dipisahkan.
Aku merasa bersyukur telah berhasil menahan diri untuk tidak
membunuhnya, meski peluang setipis kecepatan cahaya untuk
membabat putus lehernya mungkin tidak akan pernah datang lagi.
Aku tidak membunuhnya bukan karena aku berpura-pura berjiwa
635 besar, melainkan karena jika ia adalah Harimau Perang dan tidak
bernyawa lagi sekarang, maka aku tidak akan pernah mendapat
jawaban atas selimut kabut yang menyelimuti gugurnya Amrita di
Thang-long, ketika ia berucap dengan lemah di pangkuanku,
"Harimau Perang... Merusak segalanya..."
Kubuang kedua pedang yang kupegang dan kuambil kedua
pedang panjang melengkung itu. Aku akan kembali ke Kolam
Taiye. Kuingat penyandera Yan Zi itu juga menyoren dua pedang
panjang melengkung yang sama, dan karena itu membawa sarung
pedang panjang yang saling melintang di punggungnya.
Aku akan mengambilnya dan menyarungkan kedua pedang
panjang melengkung itu dan memasangnya saling melintang di
punggungku. Aku akan terus memasangnya karena dunia
persilatan kukira mengenal cerita tentang dua pedang panjang
melengkung milik Harimau Perang, meskipun belum tentu pernah
melihatnya. Selama kedua pedang itu dilihat banyak orang
tersoren di punggungku, baginya akan merupakan penghinaan dan
akan menjadi bahan cerita yang terus diperbincangkan dari kedai
ke kedai. Akan kulenyapkan kedua pedang panjang yang pemiliknya
kehilangan kedua lengan sebelum kehilangan kepalanya itu,
636 dengan cara melelehkannya melalui penyaluran tenaga dalam,
agar tidak ditemukan oleh pemilik pedang yang kubawa sekarang
untuk menggantikannya. Kuharap dengan begitu dialah yang akan mencariku dan merebut
kedua pedangnya, karena jika diriku yang mesti mencarinya,
terbukti sama saja seperti mencari jarum pada tumpukan jerami.
Dialah yang harus datang kepadaku untuk mengambilnya, dan
pada saat itulah akan kutanyakan perihal rahasia kematian
Panglima Amrita Vigneshvara yang diserang dari belakang.
Apakah dia akan meminta kembali pedang itu dengan santun,
menantangku bertarung, ataupun menyerangku secara gelap saat
aku tidur, makan, berjalan, maupun berperang, biarlah dia datang,
karena bagaimanapun caranya itulah yang sangat kuharapkan!
Seorang pendekar memang diharapkan rendah hati dan merendahkan diri, tetapi pada saat yang dibutuhkan ia harus maju
dengan berani. Dalam I Ching disebutkan: melebihi! wuwungan terkulai adalah disukai
mempunyai tujuan dalam pandangan jaya! 1
637 Telah kutinggalkan Taman Terlarang, telah kuambil sarung pedang
panjang melengkung yang masih berada pada punggung tubuh
tanpa kepala dan tanpa lengan di tepi Kolam Taiye, lantas
melayang masuk kota dan melenting dari genting ke genting
menuju Penginapan Teratai Emas.
Suasana kotaraja penuh dengan kepanikan, karena pasukan
penyerbu yang merayapi tembok dengan tangga maupun ilmu
cicak, mulai lolos dari pagar betis sepanjang empat sisi tembok.
Bukan para Pengawal Burung Emas yang mempertahankan kota
saja yang dilengkapi pasukan pemanah dan penyumpit jitu, tetapi
juga setelah pasukan berjalan kaki yang berlari-lari mendekati
tembok sambil membawa tangga habis dan mengerumuni empat
sisi, muncul pasukan pemanah di belakangnya.
Tampaknya saja ribuan anak panah yang dilepaskan para
penyerbu itu mengarah ke langit, tetapi justru ketika turun itulah
panah-panah tertajam itu seperti mendapat daya dorong tambahan, dan melesat secepat kilat ke arah mangsanya .
Tidaklah begitu mudah menangkis, menepis, atau berkelit dari
hujan anak panah yang turun dari langit hanya untuk merajam, jika
perisai, baju zirah, baju tamsir, yang biasanya tak tertembus
senjata tajam kini dengan mudah berlubang.
638 PEKIK kesakitan, jerit kepedihan, raung amukan, bentak kenekatan, dan rintih keputusasaan terdengar silih berganti dibawa
angin dari atas tembok pertahanan Kotaraja Chang'an. Balatentara
pasukan pemberontak yang dipimpin Yang Mulia Paduka BayangBayang masih juga berusaha menembus sudut tenggara, yang
tidak bertembok melainkan bertaman dan berdanau, karena
dianggap merupakan titik terlemah, tetapi di sinilah korban terbesar
pada pihak pemberontak berjatuhan.
Setelah kehilangan 8.000 anggota pasukan berkuda lengkap
dengan kudanya pada serangan pertama, kesatuan di bawah
umbul-umbul Langit memang segera menahan diri, tetapi dalam
keterlanjuran sudah maju terlalu dekat dengan semak gerumbul
taman, berhamburanlah jarum-jarum beracun dari balik rimbun
xiong ke arah sisa pasukan, dan hanya yang serentak memutar
pedangnya seperti baling-baling berkemungkinan mendapat
keselamatan. Racun jarum sumpit telah dikenal ganas dan kejam,
ketika sedikit saja tergores segera saja merusak darah dan
menghentikan jantung. Semakin tinggi matahari pertempuran tidak semakin mereda,
bahkan semakin menggila dengan gelombang serbuan yang
seperti tiada habisnya. Sudah jelas bahwa gagasan tentang
pengepungan kotaraja, yang semula disebut untuk mengalihkan
639 perhatian dari pencurian pedang, harus dilupakan, karena yang
terjadi adalah justru pencurian pedang itulah yang seperti
merupakan pemecah perhatian demi berhasilnya penyerbuan meski pencurian berpeti-peti uang emas milik negara di Istana
Daming sangat mungkin pula harus dipertimbangkan sebagai
bagian dari rencana keseluruhan. Aku hanya belum mengetahui
bagaimanakah semua itu saling berhubungan.
Aku juga tidak tahu di mana Yan Zi sekarang. Korban besarbesaran di pojok tenggara memang mengakibatkan serangan
dihentikan, tetapi di bagian lain sama sekali tidak ada perubahan,
bahkan pasukan berkuda yang semula digabungkan dengan
maksud menerobos sudut tenggara yang tanpa tembok, telah
ditarik kembali ke tempat semula, bersiap menerobos gerbang
setiap saat jika terbuka. Demikianlah Kotaraja Chang'an terancam
dari empat jurusan, termasuk dari utara yang ternyata juga mulai
dikepung seperti terjadi pada sisi-sisi tembok pertahanan lainnya.
Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang agaknya mengerahkan
seluruh jaringan pemberontak sekutunya.
Tertulis dalam I Ching: bertemu yang lain di padang terbuka
jaya! 640 mangkus guna menyeberangi sungai besar
ketekunan itu mangkus guna suatu kuasa yang berharga 1
Keadaan itulah yang membuat perjalananku ke Penginapan
Teratai Emas tertunda-tunda, karena terutama di jalan terdekat
sepanjang tembok pertahanan berlangsung kekacauan luar biasa
akibat perang. Bukan hanya sebagian dari ribuan anak panah yang
turun dari langit telah menyambar ke balik tembok pertahanan,
menancap kepada tubuh siapa pun, apakah sedang berlari atau


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang makan, tetapi para penyerbu yang lolos dari segala
hambatan pun, ketika menuju gerbang terus-menerus menyebar
maut, tanpa memilih-milih korban, apakah itu anggota pasukan
kerajaan atau orang awam di jalanan.
Tidak dapat kutinggalkan begitu saja orang tua, perempuan, dan
kanak-kanak yang terkapar bersimbah darah karena tertancap
panah atau tersambar sabetan pedang. Dari atas genting aku
melayang turun, menyambar seorang gadis kecil yang tampak
akan terinjak kuda lepas. Kularikan anak gadis itu dengan
melenting kembali dari genting ke genting, dan turun di sebuah
641 tempat perawatan yang dibuat oleh para Pengawal Burung Emas.
Kuserahkan anak yang menangis terus-menerus itu di sana.
Aku masih harus mencari Yan Zi. Kenapa ia tiba-tiba menghilang"
Suasana panik menguasai seluruh Chang'an, karena bukanlah
sekadar para penyerbu yang berhasil lolos dari hadangan dengan
sendirinya menimbulkan kepanikan, tetapi juga para penjahat
kambuhan merajalela karena kurangnya pengawasan. Ketika para
penyerbu masih tertahan di luar tembok, para penjahat itu sudah
menjarah dan penjagaan ketertiban sungguh terbelah, antara
mengatasi ancaman dari luar atau menangkap penjahat yang
bersembunyi dari lorong ke lorong.
Aku melewati jalan biasa menuju ke Penginapan Teratai Emas.
Dalam suasana kepanikan kuperhatikan ada saja orang melihatku
dengan pandangan heran. Baru kemudian kusadari, bukanlah diriku yang menarik perhatian,
melainkan kedua pedang panjang melengkung yang saling
melintang di punggungku itu!
Hanya soal waktu sebelum pemilik pedang itu mengetahuinya dan memang begitulah harapanku!
642 Ke manakah Yan Zi" Di manakah dia sekarang" Apa yang
dilakukannya" Aku sudah memasuki Petak Teruna dan melihat Penginapan
Teratai Emas. Sudah jelas tempat itu telah dijarah. Padahal
kutinggalkan Pedang Cakar Elang yang mewakili diri Elang Merah
untuk membela diriku di dalam bilik!
PENGINAPAN Teratai Emas yang sangat termashur sebagai
tempat hiburan kelas atas di seantero Chang'an kini sudah
berubah bentuk. Tidak ada satu pun penerangan yang menyala,
dan karena jendela memang tidak biasa dibuka dalam dingin angin,
maka saat-saat pertama memasukinya terasa sangat gelap.
Sambil memejamkan mata agar segera terbiasa, kudengar
langkah-langkah mengendap yang tidak terlalu menyembunyikan
diri. Setelah kubuka mataku terlihat tirai-tirai ditarik, hiasan lampu
dicopot, lukisan terindah digulung, juga bertumpuk-tumpuk busana
sutra diangkut seperti mengangkut barang-barang murahan, yakni
dimasukkan ke dalam karung.
Tempat yang biasanya meriah dan ceria dengan bunyi kecapi dan
nyanyi-nyanyi ini menjadi tempat yang kacau-balau dan centangperenang. Namun tampaknya para penghuni yang biasa terdapat
di sini telah dipindahkan. Guci-guci minuman yang sudah kosong
643 tertuang tampak bergelimpangan, satu dua orang duduk bersandar
pada tiang-tiang besar, mabuk dan terus-menerus mengigau
bagaikan telah minum arak terlalu banyak, langsung dari mulut guci
yang telah diangkatnya. Pada lantai, sisa minuman mengalir dari
mulut guci yang masih menggelinding pelahan...
Aku menjejakkan kaki dan melayang ke atas, langsung melompati
pagar tempat orang-orang biasa menonton pertunjukan sandiwara,
karena di lantai itu pula terdapat bilikku dan Yan Zi selama tinggal
di Chang'an. Pintunya terbuka dan terjadi pertarungan di dalam bilik itu.
"Penjarah bodoh! Mau kalian jual berapa pedang ini?"
Bantal dan ranjang tampak berantakan, dan tiga orang sedang
terpental untuk pingsan karena pukulan tangan kosong.
Ia segera keluar membawa Pedang Cakar Elang. Ia tidak tampak
seperti penjarah, busananya ringkas dan cukup kumal, sebagaimana selalu terlihat pada seorang pendekar kelana.
Namun wajahnya bersih dan ia juga masih sangat muda, kukira
sekitar 22 tahun umurnya. Ia mengenakan busana yang
menunjukkan dirinya berasal dari Tibet.
644 Begitu melihatku ia terkesiap.
"Pendekar Tanpa Nama!"
Aku tidak membenarkan maupun menghindar dari pernyataan itu.
"Siapakah dikau dan mengapa dikau membawa pedang yang
bukan milikmu itu?" Ia tampak kebingungan, terutama karena kekacauan di sekitar
yang memang sangat tidak biasa. Dari sini, suara pertempuran
yang terdengar di balik tembok bukanlah perkecualian.
Ia pun menjura sambil tetap memegang pedang itu.
"Ampunilah saya Pendekar Tanpa Nama. Nama saya Elang Muda.
Perguruan Cakar Elang yang mengutus saya untuk mengambil
pedang ini, yang semula dipegang Pendekar Elang Merah."
Mendengar nama Elang Merah, mendadak aku merasa berada di
tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk dan pekik-sorak peperangan.
Nama itu, wajah itu, mata itu, pipinya yang merah dadu. Aku tidak
bisa lebih lama lagi mengingkari kata hatiku akan perempuan
pendekar Tubo itu, yang telah tewas dalam sengketa antar jaringan
645 mata-mata, yang sampai sekarang keruwetannya belum teruraikan. "Apa yang terjadi?"
Dengan ringkas Elang Muda mengisahkan sambungan cerita
Elang Merah yang terputus dulu, bahwa sepeninggal Elang Merah
yang telah membantai dan mempermalukan Mahaguru Cakar
Elang Perkasa, berikut keenam muridnya yang telah mengawasi
dan berjaga agar mahaguru itu bisa memperkosa perempuan
muda yang kelak menjadi Elang Merah itu, sisa muridnya
membangun kembali Perguruan Cakar Elang.
Melalui jaringan mata-mata Tibet telah mereka ketahui sepakterjang Elang Merah, dan bagaimana ia telah terjebak oleh
perkumpulan rahasia yang merasuki jaringan mata-mata Tibet
tersebut, sehingga menemui kematiannya. Pedang Cakar Elang
selalu dibawa oleh murid terbaik dalam perjalanannya di dunia
persilatan sebagai penanda keterlibatan Perguruan Cakar Elang
dalam membasmi kejahatan.
"Jadi dikaulah murid terbaik Perguruan Cakar Elang itu sekarang?"
Elang Muda kini menyungkum lantai dan mengetukkan dahinya
sampai tiga kali. 646 "Mohon ampun Pendekar Tanpa Nama, saudara-saudara saya di
Perguruan Cakar Elang telah menyatakan bahwa saya dipersilakan menyampaikan kepada Pendekar Tanpa Nama untuk
menguji kemampuan saya apabila menghendakinya."
Seperti Elang Merah, ia bicara dalam bahasa Negeri Atap Langit
yang lancar, jauh lebih lancar dariku, tetapi dengan pengucapan
seperti orang-orang Tibet, yang semuanya hanya mengingatkanku
kembali kepada Elang Merah. Aku sepenuhnya percaya kepadanya, dan telah kulihat bagaimana Elang Muda bergerak
dengan tangan kosong untuk melumpuhkan ketiga lawan tanpa
harus membunuhnya. Jika seorang pendekar dapat menilai
pendekar lain hanya dengan melihat langkahnya, maka yang telah
kusaksikan sudah lebih dari cukup.
"Bangunlah Elang Muda," kataku, sementara gemuruh pertempuran di luar semakin meningkat, ''bawalah pedang itu
dengan merdeka. KAMI berdua keluar dari Penginapan Teratai Emas ketika sudah
lebih banyak lagi penyerbu berhasil menembus pagar betis, tirai
panah, dan pagar tombak di atas tembok. Setiap kali berhasil
menembus pertahanan, mereka tidak bisa langsung dikejar,
karena para penyerbu yang naik tangga maupun merayap dengan
647 ilmu cicak terus berdatangan bagai tiada habisnya. Pertahanan
yang ketat membuat para penyerbu tidak bisa lolos begitu saja
tanpa luka, kadang ringan kadang parah, tak jarang tangan atau
kaki tinggal satu, tetapi ada pula yang tetap mampu menerjang dan
tak tertahankan meski sekujur pakaiannya tetap bersimbah darah.
Mereka yang lolos tampaknya hanya mendapatkan satu tugas
yang sama, yakni membuka pintu gerbang, sehingga dari titik
mana pun mereka berhasil menembus pertahanan, semuanya
mengalir ke arah pintu gerbang. Maka di sana pula penjagaan
dipusatkan, karena sekali pintu gerbang terbuka, dan pasukan
berkuda mengalir masuk ke dalam, tiada jaminan apakah kotaraja
menjadi lebih mudah dipertahankan. Dengan semakin banyaknya
mereka yang lolos dari atas tembok dan langsung berloncatan ke
pintu gerbang, pertahanan di tempat itulah kurasa yang harus
diberi bantuan. "Bantu mereka yang di pintu gerbang," kataku kepada Elang Muda,
"supaya nanti malam tidak ada lawan masih berada di dalam, dan
kita semua bisa tidur dengan sedikit lebih tenang."
Tanpa perlu menjawab, Elang Muda langsung berkelebat ke
Gerbang Chunming di sisi timur yang paling dekat dengan
Penginapan Teratai Emas, dan setidaknya lima Pengawal Burung
648 Emas langsung kehilangan lawan, karena mereka menjadi korban
Jurus Elang Menyambar Mangsa, yang menjadi semakin
berbahaya apabila Elang Muda sekarang menggunakan Pedang
Cakar Elang. Dalam kekacauan pertempuran yang serbakasar, ganas, dan
kejam, Elang Muda tampak melenting-lenting dengan ringan
seperti terbang, meski setiap kali menukik dan menyambar turun,
para penyerbu yang semula cukup beruntung lolos dari maut
segera kehilangan keberuntungannya, bergelimpangan tanpa
nyawa dan tanpa kepastian apakah tempat berkuburnya akan
terjelaskan. Demikianlah kusaksikan betapa segala keindahan
geraknya mengingatkanku kepada Elang Merah yang memberikan
perasaan rawan. Kong Fuzi berkata: kehidupan manusia adalah kejujuran
tanpa itu sudah beruntung
jika hidupnya selamat 1 Sempat kuhela napas panjang. Seberapa jauh kami telah bersikap
jujur" Elang Merah tidak pernah menyatakan perasaannya
kepadaku, aku pun tidak pernah menyatakan perasaanku kepada
649 Elang Merah. Bukankah tidak pernah ada keadaan yang
memungkinkan dan memberi kesempatan untuk itu" Kukira kami
masing-masing bahkan tidak pernah memikirkannya. Namun
sekarang di tengah pertempuran yang begitu purba dan penuh
darah bercipratan ini, aku tidak bisa berhenti memikirkan Elang
Merah. Kulihat seorang penyerbu yang sedikit berilmu melenting ke atas
seperti ingin mengimbangi Elang Muda, tetapi Jurus Elang
Menyambar Mangsa segera menggulungnya dan dengan segala
hormat Pedang Cakar Elang secepat kilat telah menancap dan
dicabut kembali dari jantungnya. Ia pun melayang jatuh dan
terbanting ke tanah sebagai benda mati.
Dalam waktu singkat Elang Muda sudah kehilangan lawan, tiada
satu pun anggota pasukan musuh di tempat itu. Para Pengawal
Burung Emas melihat kepada Elang Muda dengan perasaan tak
terucapkan. Meskipun cerita tentang dunia persilatan sudah sering
mereka dengar dari kedai ke kedai, tetapi tidak semua orang cukup
beruntung untuk melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana
dengan ilmu meringankan tubuh seorang pendekar bisa melentinglenting di atas kepala mereka, lantas berkelebat, dan menghilang.
650 Kuberi tanda kepada Elang Muda agar mengikutiku, dan kami pun
segera melayang dari bawah dan hinggap dengan ringan seperti
burung bangau di atas tembok perbentengan. Tembok yang begitu
tebal dan panjang di atas Gerbang Chunming itu kini semakin
penuh dengan pasukan penyerbu yang berhasil menepis segala
panah dan tombak betapapun telah terbidik dan terlemparkan
dengan jitu. Tidak sedikit di antara mereka bertarung dengan
panah masih menempel pada bahu atau punggungnya, apabila
panah itu memang menancap pada bagian tubuh yang tidak
mematikan. "Kita bersihkan empat sisi tembok ini," kataku, "tapi jangan
menambah korban, beri saja mereka totokan."
"Semuanya?" "Ya, semuanya!"
MATAHARI sudah tinggi dan alam terang benderang, tetapi harus
pula kukatakan betapa pada bulan yang di Yavabhumipala disebut
bulan Caitra atau bulan kesembilan 1, meskipun suhu udara
disebut hangat dan menyenangkan oleh penduduk Chang'an,
bagiku yang datang jauh dari selatan masihlah terlalu dingin,
apalagi bila malam 2. 651 Aku tidak tahu seberapa jauh suhu telah diperhitungkan, tetapi
dapat kubayangkan betapa dengan suhu seperti ini orang-orang
Negeri Atap Langit yang suka bertempur akan berkata, saat
menggeliat sambil menatap langit, ''Cuaca yang baik untuk
berperang.'' Maka, apabila perang telah menjadi kegemaran,


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apalagi yang bisa dikatakan tentang yang menyerang maupun
yang diserang, ketika pertarungan dan peperangan dinikmati
sebagai permainan" Perbentengan Kotaraja Chang'an di sisi timur, yang memutih
berkilauan dalam sorotan cahaya, mulai berkurang kilauannya
karena bercak-bercak darah yang semburat di sepanjang tembok.
Semua tidak mengurangi nyali para penyerbu, yang terus
berdatangan seperti semut, yang setiap kali diusir selalu kembali
lagi. Kemampuan para Pengawal Burung Emas tak dapat
disangkal, tetapi tugas mempertahankan kota sebetulnya dijalankan pasukan tempur, yang tersita oleh penjagaan dalam
ketegangan tiada habisnya di perbatasan barat dan utara. Sisa
pasukan yang seharusnya berada di dalam kota sebagian
mengikuti maharaja ke luar kota, dan sisa dari yang tersisa itulah
kini bahu-membahu sepanjang tembok menahan arus serbuan
balatentara kaum pemberontak yang bergelombang.
652 Maka betapapun unggulnya pasukan pemerintah Wangsa Tang,
selain Pasukan Hutan Bersayap tak bisa dimanfaatkan karena
terutama untuk menjaga Istana Daming, gelombang serbuan itu
sungguh tampak mengkhawatirkan.
Kuingat pengalamanku bersama gabungan pasukan pemberontak
di Daerah Perlindungan An Nam dalam pengepungan Kota Thanglong, bahwa salah satu cara membobol titik pertahanan terkuat
adalah mengirim penyusup berilmu tinggi. Misalnya terdapat suatu
kubu, tempat satu regu pemanah jitu yang terdiri atas dua belas
orang telah menjatuhkan puluhan orang, termasuk mengincar,
membidik, dan menjatuhkan para perwira andalan yang sangat
menentukan dalam kalah menangnya perang. Kubu seperti ini
biasanya menjadi titik penting yang dijaga prajurit pilihan, karena
diketahui akan menjadi sasaran untuk dilumpuhkan. Namun jika
yang dikirim berasal dari dunia persilatan, seperti yang dilakukan
para pemberontak pada waktu itu, tiada jaminan bahwa kubu yang
sangat penting itu bisa tetap dipertahankan.
Elang Muda tahu apa yang kumaksudkan. Biarlah prajurit
bertarung melawan prajurit, dan biarlah mereka yang berasal dari
dunia persilatan menghadapi lawan yang juga berasal dari dunia
persilatan, tempat jurus maut dihadapi dengan jurus maut, kelebat
653 ditandingi dengan kelebat, tenaga dalam dilawan dengan tenaga
dalam. Kulihat bagaimana ia melesat dan melenting untuk turun
menyambar mangsanya seperti burung elang terbang melayang,
ke arah Gerbang Yanxing dan terus ke arah tenggara yang tanpa
tembok itu, sementara aku melesat ke arah sebaliknya.
Dari Gerbang Chunming aku melesat ke utara, berlari di atas
tembok dengan Ilmu Naga Berlari di Atas Langit. Kecepatan yang
begitu tinggi membuat segalanya tampak begitu lambat, amat
sangat-sangat lambat, bagaikan tiada lagi yang lambat, nyaris
bagaikan berhenti, sehingga dengan mudah aku bisa menotok
jalan darah siapa pun yang dianggap cukup tinggi ilmunya untuk
melumpuhkan kubu-kubu ini.
Kadang ada yang sempat melihatku tetapi tidak sempat berbuat
apa pun untuk menangkis atau mengelak apalagi membalas dan
dengan sedih hanya bisa menerima totokan. Namun lebih banyak
lagi yang tidak menyadari betapa sebuah totokan pada tengkuk,
leher, atau bagian tubuh manapun, telah membuat tubuh mereka
mendadak lemas dan membuat mereka terkulai seperti karung
yang mendadak kehilangan isi.
654 Namun bukan tak sering kubu itu sudah terkalahkan, para
pemanah jitu maupun seregu pengawalnya tewas bergelimpangan. Kadang karena pembunuhnya masih sempat
terlihat menembus masuk kota, melompat dan melenting tak
terkejar ke atap bangunan di seberang tembok perbentengan, aku
masih sempat pula mengirimkan totokan dari jarak yang jauh.
Namun jika sudah tidak terlihat lagi, maka jejaknya harus dilacak
sampai penyusup itu dilumpuhkan, hidup atau mati!
MENDEKATI tembok Istana Daming kulihat korban semacam itu,
para pemanah jitu dan pengawalnya yang bergeletakan dengan
tubuh masih hangat, dan darah masih mengalir pada lantai batu
perbentengan. Kuperiksa sejenak luka mereka dan aku sungguh
terkesiap. Ini luka karena irisan cahaya, dan tiada lain selain
pantulan dari Pedang Mata Cahaya yang bisa melakukannya!
Apakah Yan Zi telah kehilangan pedangnya dan orang yang
mencurinya itu kini merajalela" Apa yang terjadi dengan Yan Zi Si
Walet" Kuingat kepercayaan tentang senjata mestika, yang jika
tidak membawa kejayaan, akan membawa kemalangan kepada
pemiliknya. Aku tidak sempat berpikir lebih panjang karena kubu yang
terlumpuhkan segera menjadi titik lemah pertahanan, yang wajib
segera diterobos pasukan pemberontak, dan ketika aku masih
655 meraba luka-luka para korban itu mereka telah berlompatan dari
balik tembok setelah menaiki tangga dengan kecepatan berlari.
Mereka langsung menyerangku dengan tetak dan bacokan
mematikan, yang terpaksa segera kukibas dengan angin pukulan,
sehingga tak hanya orang tetapi tangga dan segenap manusia
yang sedang menaikinya pun terlempar kembali ke balik tembok.
Namun mereka masih terus saja bermunculan, jatuh tangga yang
satu datang lagi tangga yang lain, bahkan tangga yang tadi jatuh
dengan segera telah dipasang pada tembok dan dinaiki kembali
dengan kecepatan berlari. Manakala dua puluh prajurit berilmu
tinggi dengan serentak telah melayang di atasku dengan tebasan
terkejam, masih mungkinkah aku hanya menghindar dan mengirim
totokan" Dengan segera kedua pedang panjang melengkung di
punggungku telah berada di tangan, dan dengan segala hormat
aku bergerak memutar sembari menebas, sehingga nyawa mereka
seketika itu juga melayang.
"Kemari! Jaga di sini!"
Aku berteriak kepada suatu regu pasukan panah yang baru datang
berlari untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang gugur.
Mereka segera menaiki anak tangga batu di bagian dalam tembok,
disusul regu penyumpit dan regu pengawal berpedang yang harus
656 menjaga pemanah dan penyumpit dalam pembidikan. Kusapu lagi
tiga sampai empat regu yang sedang menaiki tangga di bagian luar
tembok, yang segera ikut jatuh semuanya bersama tangga itu,
untuk memberi kesempatan sampai ke atas tembok dan kembali
membidik di antara mayat kawan-kawannya yang masih bergelimpangan. Sun Tzu berkata: ketika panglima salah menilai musuhnya dan mengirim pasukan yang lebih lemah atas yang lebih kuat; ketika ia gagal memilih pelopor yang baik
hasilnya adalah kekacauan 1
Aku segera berkelebat sebelum mereka sempat bertanya apa pun
meski wajah mereka sedikit heran, karena siapa pun yang telah
657 melumpuhkan kubu di atas benteng ini jelas sangat berbahaya.
Tidak kulihat jejak apa pun karena ilmu meringankan tubuhnya
yang sangat tinggi, tetapi ia mungkin belum terlalu jauh jika kuburu
dengan kecepatan yang sama, karena semua kejadian ini memang
berlangsung jauh lebih cepat dari rincian penceritaannya.
Kuteruskan melesat di tengah kemelut pertempuran yang semakin
panas, karena semakin ke utara semakin banyak lawan yang
berhasil sampai dengan selamat ke atas tembok, untuk langsung
mengadakan pembantaian. Dalam kecepatan Ilmu Naga Berlari di
Atas Langit yang sangat tinggi, seperti tadi segala sesuatu tampak
bergerak begitu lambat, amat sangat lambat, bagaikan tiada lagi
yang lebih lambat. Maka aku bisa menjentik mata tombak yang
nyaris menusuk leher seorang prajurit yang pasti akan terlambat
menangkisnya; menjepit kelewang yang hampir mencapai tengkuk
dari belakang dengan dua jari, lantas membuangnya; mendorong
punggung seseorang sehingga ia terjatuh, tetapi selamat dari
ribuan anak panah yang turun dari langit seperti hujan.
Seberapa banyak yang telah kutolong aku tak tahu, dan apakah
setelah kutinggalkan tetap selamat atau tetap tewas oleh senjata
apa pun, aku juga tak tahu, tetapi ini mewakili kegalauanku akan
besarnya korban dalam peperangan yang tidak terjamin bukan
merupakan suatu kesia-siaan.
658 Namun pelaku pembunuhan yang kuburu ini kupastikan harus
tamat riwayatnya, karena kemampuan senjata, keterampilan
menggunakannya, maupun ketegaan hatinya yang bisa dengan
cepat menghabiskan suatu pasukan, atau apa pun dalam jumlah
yang besar dan sama sekali tidak terbatas. Sungguh penyebar
maut yang sangat mengerikan.
Sembari berkelebat sepanjang tembok perbentengan dari ujung
satu ke ujung lain di atas kepala mereka yang masih bertarung,
kusaksikan pemandangan pertempuran, dan betapa di garis
belakang sejauh mata memandang pasukan berkuda yang siap
tempur tampak tidak sabar lagi melaju ke gerbang.
Melayang di udara, aku menoleh ke kiri dan ke kanan, di manakah
Yan Zi" SETELAH mengitari Istana Daming, dan antara lain melihat bahwa
gerobak-gerobak tangan masih mengalir dari Balai Semangat
Kilauan Berlian ke Taman Terlarang, sampailah aku ke Gerbang
Ch'ung-Hsuan, tempat aku segera disambut sambaran cahaya
yang melesat dengan ketajaman logam, yang jika tak dapat
kuhindari pastilah aku tidak akan pernah pulang kembali ke
Yavabhumipala tercinta. 659 Aku melenting ke udara dengan kecepatan cahaya, dan terus
dikejar tebasan cahaya bergelombang, yang seperti tidak
mempunyai kemungkinan lain selain memburu diriku dalam
ketergandaan tebasannya yang tidak terhindarkan. Aku berputarputar di udara dengan Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, yang
meski terbukti manjur menyelamatkan diriku dari berbagai
ancaman dalam kepungan, tetapi baru kali ini menghadapi
ancaman yang sama dalam kelipatan kecepatan.
Kutarik kedua pedang panjang melengkung itu dari sarung
melintang di punggungku, dan dengan kecepatan cahaya pula
kumainkan Ilmu Pedang Naga Kembar untuk melayani sambaran
cahaya dengan ketajaman logam yang sungguh berbahaya dan
mematikan. Aku langsung menggunakan Ilmu Pedang Naga
Kembar, dan bukan ilmu pedang apa pun yang sudah kumiliki dari
hasil penyerapan Ilmu Bayangan Cermin, karena aku tahu
kemampuan pantulan cahaya dengan ketajaman logam seperti ini
jauh lebih berbahaya dari apa pun yang pernah kuhadapi.
Dengan Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur berkecepatan
cahaya dapat kuhindari kilatan-kilatan cahaya yang bukan alang
kepalang cepatnya, dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang sama
cepatnya dapat kuimbangi dan kudesak penyerang yang tiada
memberi napas itu, sehingga tak sempat lagi mengarahkan
660 pantulan cahaya yang akan mengiris tubuhku. Lantas kutingkatkan
kecepatan sampai cahaya pun tak bisa menyamainya lagi, dan
kedua pedang panjang melengkungku baginya bukan hanya
terasa sebagai empat pedang karena seperti dimainkan dua orang,
melainkan seperti 4.000 pedang yang dimainkan 2.000 orang.
Pada saat yang menentukan sekali tetak lepaslah kedua
pedangnya, dan sambil membalikkan badan kusarungkan kedua
pedang ke punggung sekaligus memberikan tendangan sekeraskerasnya dalam Jurus Naga Menggeliat Mengipas Ekor.
"Uuughh!" Aku terperanjat. Suaranya begitu kukenal. Pertarungan dengan
kecepatan cahaya berlangsung hanya sesaat, apalagi ketika masih
kutingkatkan kecepatannya sampai cahaya pun masih terlalu
lambat. Lebih cepat dari cepat!
Tubuh itu melayang jatuh ke luar tembok. Segera kukenali sosok
itu meskipun ia tidak berbusana serbaputih melainkan berbaju
ringkas serbahitam, seperti yang sama-sama kami kenakan ketika
baru semalam melakukan penyusupan!
Yan Zi! 661 Aku berkelebat menyambarnya. Hanya beberapa depa sebelum
tubuhnya lenyap ditelan kecamuk pertempuran, aku berhasil
menyangga dan membopongnya sambil melayang naik setelah
menjejak bahu prajurit penyerbu yang sedang berlari. Aku
melayang dan melenting-lenting ke atas sambil menjejaki bahu
mereka yang berlari menaiki tangga maupun merayap cepat di
tembok. Dalam dua sampai tiga kali jejakan sampailah aku ke atas
tembok. Pertarungan sengit berlangsung pada lantai batu di atas Gerbang
Ch'ung-Hsuan, tetapi aku tidak punya ruang lagi dalam kepalaku
untuk memikirkan peperangan ini.
"Yan Zi! Mengapa dikau menyerangku" Ke mana saja dikau" Aku
gelisah mencarimu!" Wajahnya pucat. Bagian dalam tubuhnya mungkin sudah hancur.
Pertarungan kami berlangsung pada tingkat yang sangat
berbahaya, dan aku menendang dengan gambaran tentang
seseorang yang memegang sepasang Pedang Mata Cahaya, yang
barangkali saja telah mencelakakan Yan Zi!
Aku melawan dan membalas serangannya, karena tak mungkinlah
terbetik dalam benakku Yan Zi Si Walet akan menyerangku!
662 Sedangkan serangannya sungguh mati sangatlah berbahaya dan
mematikan sekali! "Yan Zi,

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa dikau menyerangku" Mengapa dikau menyerangku" Dikau tahu diriku tidak mungkin dengan sengaja
akan menyakitimu!" Kusalurkan tenaga dalam ke tempat diriku telah menendangnya,
meski tahu hanya akan sia-sia. Ia sudah sangat lemah dan katakatanya di tengah hiruk pikuk pertempuran hanya terdengar pelan
sekali. "Pendekar Tanpa Nama... Maafkanlah daku yang telah sangat
mengecewakanmu... Semua ini hanyalah karena daku merasa
sangat cemburu... "Daku sudah lama diam-diam mencintaimu... tetapi hatimu hanya
tertuju kepada Elang Merah meski dikau tidak mengungkapkannya... Daku bisa merasakannya...
"Daku juga mencintai Elang, dan kami saling mencintai, tetapi daku
sangat mengharapkanmu... AKU hanya bisa tertunduk. Meskipun suaranya semakin lemah,
Yan Zi masih terus berkata-kata.
663 "Aku tahu Elang Merah pun sangat mencintaimu, tetapi dia hanya
mau mengabdi kepadamu, sedangkan aku sangat ingin memi?likimu... Terutama dengan kepergian Elang Merah, aku
sangat berharap bisa mengisi hatimu...
"Tetapi dengan berhasilnya kita mendapatkan pedang itu, aku
sangat takut kita akan segera berpisah...
"Aku merasa galau, kutahu bagaimana dirimu telah menciumku
tanpa perasaan, hanya untuk menyenangkan diriku dan itu sangat
menyakitkan aku... "Aku berada di Penginapan Teratai Emas tadi, dan hatiku lebih
hancur lagi melihat dirimu begitu peduli dengan Pedang Cakar
Elang, sepertinya kamu telah menganggapnya sebagai pengganti
Elang Merah untuk selalu bersama dengan dirimu. Betapa hancur
hatiku!" Yan Zi. Siapa yang mengira" Di balik keceriaan dan kelincahan
seekor burung walet... "Bawalah kedua pedang itu, aku tidak cukup memiliki jiwa besar
untuk memilikinya..."
664 Suaranya sudah lemah sekali. Aku tidak bisa mendengar lagi katakatanya.
"Yan Zi! Yan Zi!"
Ia sudah pergi. "Yan Zi!" Kusentak-sentakkan tubuh Yan Zi dengan tiada habisnya. Kupeluk
sambil meneriakkan namanya, tanpa peduli apakah di tengah
pertempuran seperti ini seseorang akan membacokku dari
belakang. "Yan Ziiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!"
Aku menelungkup dan masih terus memeluknya. Kurasakan suatu
ancaman serangan dari bekakang, tetapi aku sungguh tidak peduli,
bahkan mungkin berharap agar bisa mati saja di sini.
Mataku basah. Pertempuran hilang. Langit hilang. Bumi hilang.
Gagasan hilang. Segalanya mengambang. Betapa mungkin Yan Zi
tewas di tanganku sendiri!
Aku berjuang keras menghindari diriku yang hancur lebur bagaikan
tiada bersisa lagi. Melayang. Kosong. Hampa. Hatiku bagaikan
665 disayat sembilu yang menggurat tajam dengan sangat memedihkan, begitu memedihkan, bagai tiada lagi yang begitu
memedihkan, dengan begitu mematikan tetapi tidak mematikan
perasaan, membuat perasaanku tenggelam ke dalam sumur
kedukaan tanpa dasar yang semakin ke bawah semakin menyayat,
semakin gelap tanpa kejelasan apakah suatu ketika akan berhenti
dan mengambang ataukah jatuh seterusnya tanpa akan pernah
berhenti... Aku bukan tidak tahu tentang perasaan Yan Zi kepadaku, tetapi
siapa yang mengira betapa perasaan itu tidak akan teralihkan, jika
menyaksikan kedekatannya dengan Elang Merah yang bagai tidak
tergantikan. Aku merasa sangat bersalah dengan kenyataan
betapa Yan Zi mengetahui perasaanku terhadap Elang Merah, dan
mengetahui pula perasaan Elang Merah kepadaku, meskipun
antara Elang Merah dan diriku tidak pernah terdapat ungkapan
tentang perasaan-perasaan itu.
Aku tidak pernah tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan
semacam itu, karena seorang pengembara yang tidak pernah
tinggal menetap di suatu tempat dan selalu mengalami perjumpaan
dengan siapa pun hanya untuk meninggalkannya lagi, bagai sudah
melepaskan hak untuk memiliki perasaan semacam itu.
666 Elang Merah yang dirinya sendiri adalah seorang pengembara juga
mengerti akan keberadaan semacam itu, termasuk keberadaanku
maupun keberadaannya sendiri yang tidak memungkinkan
hidupnya perasaan-perasaan seperti itu. Ia telah memilih untuk
mengabdikan hidupnya untuk mengikuti dan melindungiku, dan
Yan Zi mungkinkah tidak tahu betapa kehendak memiliki sudah
dilepaskan dalam keadaan semacam itu"
Di atas tubuh Yan Zi yang masih hangat, kurasakan betapa
wajahku menjadi basah. Rasanya aku tidak ingin beranjak lagi
selamanya dan biarlah siapa pun membacokku jika memang
menginginkan begitu. Tidak ada lagi yang kuinginkan lagi dari
dunia ini sekarang selain tanpa keinginan itu sendiri. Aku lupa akan
Amrita. Aku lupa akan Javadvipa. Aku lupa akan segala sesuatu
yang mengingatkan dan mengikatkan aku kepada dunia ini.
Namun, mengapa belum ada seorang pun yang membacok dan
membunuhku ketika peluangnya sangat terbuka seperti itu"
Lantas, sayup-sayup mulai kudengar lagi dentang perbenturan
senjata, suara sabetan pedang membelah udara, dan jeritan
mereka yang terluka. Suara-suara itu terdengar dekat sekali.
Panah-panah yang datang berlesatan dan tertangkis pedang.
Ribuan anak panah yang turun bagai hujan dari langit hanya bisa
667 ditangkis apabila pedang atau tombak yang menangkisnya
berputar bagai baling-baling.
Kudengar suara ribuan anak panah bagaikan masuk ke
penggilingan. Siapakah yang telah melindungiku"
PERLAHAN-lahan aku bangkit dari atas tubuh Yan Zi dengan
perasaan hampa. Aku tidak bisa merasakan kesedihan. Aku tidak
mampu merasakan kedukaan. Segalanya begitu tawar bagaikan
tiada perasaan lagi dalam hatiku. Sebilah tombak datang
menyambar, kusampok begitu saja langsung hancur.
"Pendekar Tanpa Nama! Maafkan! Saya tidak melihat tombak itu!"
Itu suara Elang Muda. Murid terbaik Perguruan Cakar Elang yang
kini memegang Pedang Cakar Elang dan dengan pedang itu telah
dijaganya diriku dengan semangat yang sama seperti yang
dilakukan Elang Merah. Namun jika Elang Merah berbuat begitu
karena menurutnya dia berhutang kehidupan kepadaku, maka apa
yang harus membuat Elang Muda bersikap seperti Elang Merah
kepadaku" Hanya kesetiaan kepada perguruan yang akan
membuatnya begitu. Elang Muda mengikuti Elang Merah sebagai
murid utama Perguruan Cakar Elang untuk selalu mengikuti jejak
dan melindungiku, dalam arti bersedia mati untukku.
668 Namun aku merasa Elang Muda tidak harus berbuat begitu,
apalagi untuk sebuah perjumpaan yang masih terlalu baru, meski
ketika Elang Merah kuhindarkan dari pembantaian pedang Yan Zi
di balik air terjun waktu itu dan Elang Merah mengungkapkan
kesungguhannya, perjumpaan kami jauh lebih singkat dari
perjumpaanku dengan Elang Muda. Betapapun kemurahan hati
yang membahayakan jiwanya sendiri seperti itu tidak bisa
kuterima. Elang Muda memang gagah perkasa, tetapi telah
kuketahui banyak kemalangan menimpa para pendekar muda
dalam dunia persilatan disebabkan ketiadaan pengetahuan perihal
tipu daya, baik sebagai bagian dari siasat pertarungan maupun
jahatnya kelicikan tiada tara.
Maka aku pun memindahkan kedua sarung pedang di punggung
Yan Zi ke punggungku, sehingga terdapat empat sarung pedang
saling melintang di punggungku. Sepasang untuk kedua pedang
panjang melengkung, dan sepasang lagi untuk kedua Pedang
Mata Cahaya. "Elang Muda, menepilah sebentar," kataku.
Elang Muda pun jungkir balik dengan ringan ke belakang.
669 Lantas kupungut kedua Pedang Mata Cahaya, kusalurkan tenaga
dalam agar pantulannya nanti tidak menjadi sembarang cahaya,
dan segera berdiri sambil memainkan pantulan kedua pedang
dengan mengangkat kedua tanganku yang memegang pedang itu
ke udara. Bukan hanya para pengepung Elang Muda, yang semula
bermaksud merajamku, langsung bergelimpangan tersambar
cahaya maut dari pantulan pedang itu, melainkan juga semua
lapisan dari lingkaran penyerbu di belakangnya.
"Tolong bawalah Pendekar Walet," kataku kepada Elang Muda,
yang segera menyarungkan pedangnya dan membopong Yan Zi.
Aku berdiri pada tembok benteng, kusentuhkan kedua Pedang
Mata Cahaya dan berkeredaplah kilat membuka jalan pada lautan
para penyerbu yang langsung menjadi lajurku dan Elang Muda
membawa Yan Zi pergi. Dari atas tembok kami melayang turun
dengan ringan dan begitu hinggap di tanah langsung berkelebat
tak tertahan apa pun lagi. *** Hari telah senja. Dalam keluasan padang, permukaan bumi seperti
permadani jingga pada bola dunia. Namun pesona senja kali ini
670 tidak bisa berbicara apa pun kepadaku. Tidak kepada mataku,
apalagi kepada hatiku. Senja bagiku kini adalah senja tanpa
makna. Hanya kejinggaan yang menjelaskan dirinya sendiri tanpa
kebermaknaan apa pun di baliknya. Itulah kejinggaan yang berasal
dari bola matahari separo yang sedang turun ke balik cakrawala
dan membuat kubur Yan Zi pun kejingga-jinggaan. Di padang luas
seperti ini, kubur Yan Zi bagaikan satu-satunya bangunan
kemanusiaan. Hanya gundukan, tempat segala riwayat manusia di
dalamnya terkuburkan di situ. Tidak sebagaimana biasanya
kuburan seorang pendekar, tiada pedang atau senjata apa pun
tertancap di atasnya. Kuambil kedua Pedang Mata Cahaya bersama sarungnya yang
tersoren di punggungku dan kuserahkan kepada Elang Merah.
"Temuilah Angin Mendesau Berwajah Hijau di Kampung Jembatan
Gantung di lautan kelabu gunung batu, sampaikan sepasang
Pedang Mata Cahaya ini kepadanya dan ceritakan saja semua
yang telah kamu saksikan maupun telah kuceritakan kepadamu.
Pendekar Walet adalah orang terdekat Elang Merah dan bukan tak
sering keduanya bertarung sebagai pasangan. Kamu layak wajib
untuk menyerahkan pedang ini."
671 Usia Elang Muda baru 22 tahun. Perjalanan menyusuri kembali
jejak Elang Merah akan memberinya pengalaman yang sangat
dibutuhkan oleh seorang pendekar.
Kami tidak saling melambai, tapi kusaksikan sosok kehitaman yang
menyoren sepasang pedang di punggung dan sebilah pedang di
pinggangnya dalam keremangan senja berjalan ke arah cakrawala.
Semakin lama semakin jauh sampai menjadi titik kecil dan
menghilang. Bulatan matahari merah membara sudah lama tenggelam ke balik
cakrawala. Menyisakan langit yang merah, hanya merah, semburat
memenuhi semesta. PADANG rumput menghijau dan para gembala di pedalaman
semakin banyak yang menggiring ternak mereka, ketika pengepungan kotaraja telah berlangsung selama tiga bulan. Pada
bulan Bhadrapada tahun 798 sebegitu jauh penduduk Chang'an
masih bertahan. Sebaliknya, di pihak pemberontak sudah
beberapa lama terlihat tanda-tanda perpecahan, bahkan sejumlah
kelompok dari balatentara gabungan itu mulai mengundurkan diri
dan meninggalkan medan pertempuran.
672 Memasuki musim panas, dengan semakin menghangatnya suhu
udara, para anggota pasukan pemberontak yang sebagian besar
terdiri atas para petani mulai berpikir, betapa banyak hal lain bisa
mereka kerjakan selain berperang. Apalagi yang disebut perang
kali ini, setelah hari-hari pertama yang penuh pertumpahan darah
tetapi tak pernah berhasil menembus pertahanan, lebih merupakan
perang kejiwaan ketika pengepungan terus dilakukan tanpa
kehendak untuk menuntaskan selain untuk memberi tekanan.
Semakin lama semakin tidak jelas untuk apa pengepungan itu
dilakukan. Di dalam kota, penduduk ternyata bisa segera menyesuaikan diri
dengan menata segala sesuatunya seperti keadaan darurat
perang. Pasokan bahan pangan dari luar kota yang menjadi sulit
dalam pengepungan diatasi dengan berbagai perubahan dalam
budaya makan, sehingga

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun hanya mengandalkan persediaan bahan pangan dari gudang Pasar Barat maupun Pasar
Timur, dalam perhitungan kasar penduduk Chang'an akan bisa
bertahan. Namun dalam perhitungan yang lebih rinci lagi tentu
terdapat perbedaan kemampuan bertahan mulai dari penduduk
terkaya sampai yang termiskin.
Dalam hal Chang'an itu berarti kesenjangan antara penduduk kaya
di bagian timur dan penduduk miskin di bagian barat semakin
673 tertandai dan itu bukan tidak menimbulkan persoalan. Ketika
jalanan di tengah kota yang menghubungkan Gerbang C'hungHsuan di utara dan Gerbang Mingoe di selatan masih terus
digunakan untuk upacara arak-arakan kerajaan, maka jalanan
yang menghubungkan Gerbang Chunming di timur sebagai pintu
masuk dan Gerbang Jinguang di barat sebagai pintu keluar, yang
sebelumnya menghubungkan berbagai wilayah pemukiman,
selama pengepungan tidak lagi menjadi jalan bagi keberlangsungan yang sama.
Apabila di bagian timur kehidupan di balik tembok tidak tampak
terpengaruh sama sekali oleh keadaan perang, maka di bagian
barat perubahan terlihat dengan sangat jelas sejak hari pertama
pengepungan. Ketika pengepungan memasuki bulan keempat,
perbedaan tampak semakin nyata. Di bagian timur, kehadiran
bulan purnama masih bisa dirayakan dengan minum arak; di
bagian barat kebutuhan untuk makan tiga kali sehari mesti dicari
dari hari ke hari, bahkan marak pemandangan orang mengemis
dan gelandangan semakin banyak berkeliaran di mana-mana.
Jarak antara tembok pertahanan yang tinggi dan permukiman
terdekat yang cukup jauh memang memungkinkan untuk bersikap
seolah-olah tidak ada perang yang sedang terjadi. Serangan
langsung pada hari-hari pertama memang menimbulkan 674 kepanikan, bukan hanya karena terdengarnya suara-suara
penyerbuan, jeritan korban, lolosnya penyusup yang membantai
semua orang, dan ribuan anak panah yang turun dari langit seperti
hujan, melainkan juga karena lemparan bola-bola api dan gedoran
balok-balok kayu raksasa pada seluruh pintu gerbang Kotaraja
Chang'an yang sungguh mendebarkan jantung.
Kuingat bola-bola api jerami atau sabut kelapa yang membuntal
batu-batu yang telontar menimpa atap rumah penduduk dan
membakarnya. Dalam hal orang berpunya akan dengan segera
melayanglah para penjaga ke atap rumah untuk memadamkannya.
Akan tetapi tidak semua orang tentunya sama kaya dan mampu
membayar penjaga yang mampu melayang ke atas dengan
seketika, sehingga bola-bola api segera pula menyalakan seluruh
atap dan kebakaran pun terlihat di mana-mana. Betapapun kuakui
kecekatan dan kesigapan para Pengawal Burung Emas yang tak
hanya siap bertarung, tetapi juga mengatasi berbagai macam
keadaan di mana pun tempatnya.
Namun dengan serangan-serangan langsung, dihentikannya
penyusupan, tetapi tanpa melonggarkan pengepungan, membuat
kehidupan berlangsung dengan aneh di Chang'an. Ketegangan
yang tidak pernah hilang diatasi dengan berbagai macam
perimbangan, yang meskipun tampak dipaksakan, bagiku tampak
675 sebagai usaha manusia yang mengharukan agar tetap hidup
manusiawi di tengah kebiadaban perang. Bukan hanya yang
disebut musuh di luar tembok benteng yang telah menjadi sumber
ketegangan, melainkan kejahatan yang tumbuh dari jalanan
Chang'an! AKU telah kembali memasuki Chang'an pada bulan Asadha, atau
bulan keduabelas dalam penanggalan yang berlaku di Yavabhumipala, pada tahun 797. Selama sebulan kutuntaskan
kedukaanku atas tewasnya Yan Zi, yang dititipkan kepadaku oleh
Angin Mendesau Berwajah Hijau dan seharusnya kulindungi, oleh
tanganku sendiri. Dalam kesendirian di sekitar kuburan Yan Zi,
kumasuki diriku sendiri untuk memeriksa kembali apakah aku
masih pantas untuk terus hidup.
Pada suatu pagi aku bangun di tepi sebuah sungai dengan
perasaan sudah mendapat jawaban, dan pada saat itulah aku
berkelebat dengan kecepatan pikiran menuju Chang'an, meskipun
hatiku bagaikan hati orang yang sudah mati. Saat itu belum satu
kelompok pun meninggalkan pasukan pemberontak gabungan
pimpinan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, tetapi penyerbuan
sudah lama dihentikan dan para penyerbu tampak seperti ingin
mengubur seluruh penduduk Chang'an di kotanya sendiri, meski
dengan cara yang perlahan-lahan sekali.
676 Hasil pengepungan ini mulai tampak ketika wajah-wajah kemiskinan mengubah dirinya menjadi wajah-wajah kejahatan dan
para penjahatnya setiap saat mengancam dari balik kegelapan.
Namun itu tidak berarti kejahatan hanya muncul pada waktu
malam, karena dalam kenyataannya juga berlangsung dari
matahari terbit sampai terbenam, yang berarti berlangsung pada
segala saat di segala tempat tanpa perkecualian.
Maka, di sebelah luar dan di sebelah dalam tembok tidak
berlangsung sesuatu yang bertentangan seperti kebaikan melawan kejahatan, melainkan bahwa jika pertentangan antara
yang berada di dalam tembok melawan yang di luar tembok tak
dapat kuketahui siapa yang berada di pihak kebaikan dan siapa
yang berada pada pihak kejahatan, maka di dalam tembok juga
berlangsung pertentangan antara kebaikan dan kejahatan.
Dengan demikian yang terdapat bukanlah pertentangan antara
pihak di dalam tembok dan pihak di luar tembok, melainkan
lingkaran pertentangan luar, antara yang berada di dalam dan di
luar tembok; maupun lingkaran pertentangan dalam, di dalam
tembok, antara kebaikan yang terus terancam oleh kejahatan.
Tembok benteng yang tebal dan tinggi itu ternyata tidak
memisahkan apa pun! 677 Kong Fuzi berkata: Umur 15 aku berniat belajar
Umur 30 kakiku mantap berpijak di bumi
Umur 40 aku tak lagi menderita oleh kebingungan
Umur 50 aku tahu apa saja tawaran Langit
Umur 60 kudengar mereka dengan telinga patuh
Umur 70 aku bisa mengikuti petunjuk hatiku sendiri;
yang kuinginkan tak lagi melampaui batas-batas kebenaran 1
Demikianlah jalanan Chang'an menjadi sangat tidak aman, ketika
siapa pun bisa menjadi korban kejahatan siapa pun. Orang tua,
perempuan, dan kanak-kanak menjadi sasaran, jika mereka
membawa atau mengenakan apa pun yang bisa dijual atau ditukar
makanan; tetapi lelaki dewasa pun tidak terjamin dapat berjalan
sendirian tanpa gangguan. Seorang pemuda dapat dipukul
kepalanya sampai pingsan dari belakang, lantas dua orang lain
akan muncul untuk memeriksa apakah korban ini membawa uang.
Korban yang melawan sangat rawan terhadap pembunuhan.
Perampokan, penjarahan, pemerkosaan, penganiayaan, dan
678 akhirnya pembunuhan menjadi peristiwa harian yang memualkan
ketika Chang'an menghadapi pengepungan.
Dengan terbelahnya perhatian para Pengawal Burung Emas,
antara mengamankan kehidupan kota dan membantu pertahanan,
suasana di dalam kota jauh dari perasaan nyaman. Betapapun
penduduk Chang'an sama sekali tidak sudi tinggal ketakutan di
dalam rumah. Sebelum jam malam tiba, jalanan Chang'an tetap
ramai seperti biasa. Hanya saja, demi keamanan, jika tidak dikawal
atau membawa senjata, terutama untuk perempuan tidak
dianjurkan untuk berjalan sendirian.
Penginapan Teratai Emas telah dibuka kembali, tetapi sangat jauh
dari kegemerlapan dan keceriaannya yang biasa, betapapun
menjadi tujuan pencari hiburan yang semakin dibutuhkan dalam
suasana muram menekan. Namun aku sama sekali tidak ingin
tinggal di tempat itu lagi. Dengan segala kenangan bersama Elang
Merah dan Yan Zi, sama sekali tidak mungkin.
Aku memilih tinggal di sebuah wihara Buddha di petak terakhir
pada sudut barat laut, yang merupakan tempat penampungan
mereka yang bukan berasal dari Chang'an. Penduduk Chang'an
dikatakan memang selaksa, tetapi sebetulnya telah bertambah
terus, terutama karena sangat banyak yang tinggal sementara
679 saja, tetapi yang selalu ada, sehingga jumlah keseluruhannya
adalah dua kali selaksa itu 2. Pengepungan membuat mereka tetap
di sana. Di tempat itu pun selalu saja kuperlihatkan bahwa di punggungku
tersoren menyilang sepasang pedang panjang melengkung.
Dengan senjata itulah kulumpuhkan terlalu banyak penjahat
kambuhan, yang telah memangsa orang-orang lemah tak berdaya,
hidup maupun mati, sepanjang dua bulan sejak Asadha 797
sampai Bhadrapada 798 sekarang ini --tetapi orang yang
kutunggu-tunggu tidak kunjung muncul juga..
AKU telah berusaha memancing kemunculannya dengan segala
cara, antara lain dengan selalu menyebut-nyebut kedua pedang
panjang melengkung itu kepada penjahat kambuhan mana pun
yang kulumpuhkan, tetapi kuloloskan dari kematian. Aku tidak akan
membunuh siapa pun yang tidak melakukan pembunuhan. Kepada
mereka kuacungkan kedua pedang itu, setelah mencabutnya dari
kedua sarung di punggung, dengan suatu cara yang kuharap akan
mengesankan, yakni memutar keduanya pada masing-masing
tangan lebih dulu, sebelum kedua ujungnya menempel pada
tenggorokan seseorang. 680 "Perhatikanlah kedua pedang panjang melengkung ini," kataku
selalu, "dengan mudah akan memisahkan kepalamu dari leher ini,
kecuali jika kamu berjanji tidak akan berperilaku seperti orang
gagah lagi, yang dengan gagah-gagahan mau menggagahi semua
orang. Jika kamu masih melakukan itu, sudah pasti kedua pedang
panjang melengkung ini akan terbang sendiri untuk mencari dan
memenggal lehermu! Apa katamu?"
Maka setelah kulonggarkan tekanan kedua pedang itu dari
tenggorokannya, segeralah orang-orang seperti itu akan menyungkum tanah dan mengetuk-ketukkan dahinya ke tanah
sampai tiga kali. "Ampunilah saya Tuan Pendekar, mohon jangan cabut nyawa
saya! Ampunilah! Tidak akan melakukannya lagi! Ampunilah!"
Baik dalam keadaan gelap maupun terang aku berusaha tidak
memperlihatkan wajahku, melainkan sosok yang sengaja kukesankan agar begitu mirip dengan orang yang kucari, yakni dia
yang selalu menyoren sepasang pedang panjang melengkung di
punggungnya, bahkan kuuraikan saja kini rambutku yang sama
lurus dengan rambutnya, yang selalu melambai dalam setiap
pergerakan termasuk dalam pertarungan. Bila kemudian orang
bicara mengenai sosok yang kuperankan ini dalam perbincangan
681 dari kedai ke kedai, yang masih juga bertahan dalam keadaan
darurat perang, kuharap akan sampai juga ke telinganya betapa
seolah-olah dirinyalah yang malang melintang.
Jika dia memang Harimau Perang, sebagai kepala jaringan matamata pemerintahan Wangsa Tang, sangatlah mudah cerita itu
sampai ke telinganya, dan kuharap ada sesuatu yang akan
dilakukannya untuk mencariku. Betapapun adalah pedangnya
yang dibicarakan itu dan adalah citra dirinya yang sedang beredar
itu. Seorang pendekar sejati seharusnya terhina oleh keadaan ini,
meski dia bisa saja berpikir lain.
Zhuangzi berkata: pikiran manusia sempurna seperti cermin
tak menangkap apa pun tak mengharap apa pun
mencerminkan tapi tak memegang
maka manusia sempurna dapat bertindak tanpa berusaha 1
Suatu hari aku membekuk seorang pemerkosa. Sayangnya aku
hanya menghukum mati mereka yang membunuh, sedangkan
menyiksa bukanlah perilaku seorang pendekar. Maka setelah
penjahat kambuhan itu bersumpah tidak akan pernah kambuh
682 kembali, sambil mengetuk-ketukkan dahinya ke tanah berkali-kali,
aku melayang ke atas wuwungan. Namun, begitu hinggap,
pemerkosa yang baru saja kutinggalkan itu terdengar menjerit dan
melolong-lolong kesakitan. Dalam keremangan senja, masih dapat
kulihat darahnya membuncah pada bagian tubuh yang digunakan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk memperkosa. Betapa ia tidak akan melolong-lolong seperti
itu jika tidak mengalami kebiri paksa"
Sesosok bayangan ramping melayang naik ke atas wuwungan di
atap rumah yang berseberangan dengan tempatku berada.
Piringan merah membara matahari senja yang turun perlahanlahan di belakangnya membuatku tak bisa melihat wajahnya.
Namun kulihat bulu-bulu anak panah yang tersoren di punggungnya maupun busur yang melintang di tempat yang sama.
Terdengar suaranya yang begitu merdu.
"Hihihihihi! Kukira Pendekar Tanpa Nama seharusnya setuju, itulah
hukuman yang setimpal bagi pemerkosa! Kalau mau menjadi
hakim jadilah hakim yang adil, Tuan Pendekar! Sampai jumpa!"
Aku tidak merasa wajib untuk mengejarnya. Jika ia merasa telah
bertindak lebih adil daripadaku, biarlah ia merasa begitu!
683 Di kota paling beradab di dunia yang sedang kehilangan
keberadabannya ini, kita tak tahu lagi makna yang pasti dari benar
dan salah, tetapi aku tidak mau ikut campur. Betapapun aku
hanyalah seorang pengembara asing di kota ini, yang terjebak
suatu persoalan nan tak kunjung tuntas, yang tak bisa kutinggalkan
begitu saja hanya karena bosan dan ingin mengganti pemandangan. Aku sudah bermaksud meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba
kudengar lima desingan melesat dan lima anak panah menancap
pada titik tempat terdapatnya jantung, paru-paru kanan, hati, leher,
maupun tempat anggota badan yang telah digunakan untuk
memperkosa. Namun karena anggota badan itu sudah mengalami
pengebirian paksa, anak panah itu pun menancap tepat pada
lubang yang lantas tercipta karena lepasnya anggota badan
tersebut. Dapat kubayangkan betapa mahir sang pemanah dengan
ketepatan bidikan dalam keremangan seperti itu.
Lolongan pemerkosa itu langsung terhenti. Penderitaannya sudah
berakhir. Terdengar lagi suara merdu yang sudah menjauh itu.
"Aku bukanlah orang yang kejam, wahai Pendekar Tanpa Nama,
tapi seperti juga dirimu, aku sedang mencari keadilan!"
684 GELAP turun menyelimuti bumi bersama kepergian pendekar
panah bersuara merdu itu. Dari atas tembok benteng terlihat
penerangan suram di dalam tenda-tenda pasukan pemberontak
pimpinan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang.
Kelompok demi kelompok telah meninggalkan pasukan gabungan
ini, tetapi yang masih bertahan tetaplah lebih dari cukup untuk
meneruskan pengepungan. Lingkar pengepungan ini tidak pernah
terputus dan tidak satu pun manusia atau binatang bisa melewati
garis kematian yang telah ditetapkan. Bahan pangan yang selalu
tersedia dari pedalaman, membuat pasukan pemberontak ini dapat
terus berjaga berbulan-bulan tanpa bergeser dari garis pengepungan sejak hari pertama penyerbuan.
Setiap malam akan selalu terlihat nyala api unggun tempat para
penjaga berdiam, bagaikan matarantai titik-titik tanpa putus yang
melingkari Chang'an. Perpaduan antara penerangan di dalam
tenda yang tampak suram karena tebalnya tenda itu, dengan nyala
api unggun yang jauh lebih terang, sebetulnya membentuk
pemandangan yang indah, tetapi yang tidak dapat dinikmati akibat
ancaman bahaya yang telah dan masih akan ditimbulkannya. Para
utusan yang ditugaskan menerobos kepungan untuk mencari
maharaja maupun para utusan maharaja yang diandaikan harus
bisa menyusup dan lolos dari garis penjagaan itu satu pun tidak
685 ada yang berhasil, termasuk burung-burung merpati pembawa
surat rahasia yang dilepaskan dari tempat perburuan yang belum
diketahui. Burung-burung merpati yang pernah dilepaskan dari arah itu tak
pernah luput dari bidikan para pemanah jitu, yang matanya
sungguh tajam dan bidikannya selalu tepat itu, sehingga dihentikan
karena arah dari mana datangnya merpati maupun surat rahasia
itu sendiri dapat mengungkap keberadaan maharaja dan
membahayakan keadaannya. Sejauh ini bahasa sandi dalam surat
rahasia itu belum berhasil diuraikan sehingga pihak mana pun
tidaklah mengetahui keberadaan maharaja. Sedangkan para
petugas dari dalam benteng maupun yang diutus maharaja
semuanya tepergok dan dalam perlawanannya selalu mati. Ini
lebih baik daripada tertangkap, mengalami penyiksaan, dan
akhirnya membocorkan segala sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. Para petugas selalu dipergoki oleh mereka yang memiliki
kemampuan sejenis, karena mungkin berasal dari kesatuan yang
sama, tetapi kini berada di pihak Yang Mulia Paduka BayangBayang. Begitulah penyusup dari kesatuan rahasia istana akan
menghadapi bekas penyusup dari kesatuan rahasia istana,
penyusup dari perkumpulan rahasia yang disewa akan 686 menghadapi penyusup dari perkumpulan rahasia yang juga
disewa. Sedangkan penyusup yang berasal dari dunia persilatan
Putera Sang Naga Langit 4 Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Badai Awan Angin 24

Cari Blog Ini