Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 17
mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima Rodra.
Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar. Cepat ia
menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja
lampau, dimana Sima Rodra telah terbunuh olehnya di
padukuhan Gedangan. Maka pikirannya bekerja dengan
cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah
gerombolan yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu,
apakah tidak lebih baik kalau gerombolan itu segera
dihancurkannya sama sekali"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa
Jenar berbisik perlahan-lahan, "Apakah yang telah Anakmas
ketahui tentang percakapan mereka?"
"Panembahan..." jawab Mahesa Jenar berbisik pula,
"Mereka adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar.
Aku telah mengenal salah seorang diantara mereka. Dan
aku mendapat pikiran untuk menghancurkan mereka
sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa mereka
ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada
tikus-tikus yang sangat rakus."
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap
perlahan-lahan, "Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan." Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya, Mahesa
Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi
gerombolan Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu
untuk beberapa saat ia menjadi kebingungan dan tidak tahu
apa yang akan dikatakan. Dan karena Mahesa Jenar
berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan, "Anakmas,
bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?"
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata, "Ya
Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah."
"O ngger..., aku akan mati ketakutan melihat
pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk
mengetahui apakah maksud mereka mengepung bukit ini.
Setelah itu biarlah aku selesaikan kemudian. Dengan
mengetahui maksud itu, bukankah aku telah mempunyai
ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?"
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Meskipun ia
dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan
kesempatan ini. Orang-orang dari gerombolan hitam yang
dalam keadaan terpisah-pisah seperti itu, akan dengan
mudahnya untuk digilas, seperti membunuh cacing. Ia
dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan
isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda
apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka,
istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula.
Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat
demikian. Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan
Ismaya berbisik, "Anakmas, kita telah berhasil mengetahui
maksud kedatangan mereka. Marilah kita kembali dan
mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk
menyelesaikan masalah ini."
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih
duduk diam tak bergerak. Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan
dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri,
namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan
terdengar giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan Ismaya menjadi
bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka
berdesis dengan suara yang gemetar.
"Cucu Arya Salaka..." bisik Panembahan Ismaya, "Apakah
rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?"
"Eyang Panembahan..." jawab Arya Salaka memaksa diri
untuk berkata, "Apakah salahnya kalau sekarang juga aku
bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma seorang
lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah
saat ini kesempatan itu ada...?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar
pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan
harus dilakukan dengan membinasakan mereka?"
"Bapa Panembahan..." Mahesa Jenar menyahut, "Setiap
sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa
yang akan datang." "Kau juga benar Anakmas, kau juga benar," jawab
Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu.
"Tetapi membunuh sebatang pohon tidak harus memotong
dahan-dahan serta cabang-cabang saja. Yang penting
akarnyalah yang harus dibinasakan."
"Akan sampai juga saatnya kelak," potong A rya Salaka.
"Cucu..." sahut Panembahan Ismaya semakin bingung.
Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang
dihadapinya. "Kalau kau mulai dengan orang-orang yang
menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus yang
rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya.
Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu."
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar
menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar
dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah
baginya apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu.
Ternyata meskipun orang tua itu tidak cukup pengalaman
dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh
ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat
mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia
menjawab, "Sekarang atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik
setiap anggota gerombolan itu atau setiap orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah
bedanya?" "Arya..." potong Mahesa Jenar dengan tenang, "Biarlah
kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang
yang kita Mendengar pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut
bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya
akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan
hitam yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi
merah. Jawabnya, "Guru... ijinkanlah aku bertindak atas
namaku sendiri. Bukankah mereka telah bekerja sama
dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku...?" Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat
merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula
merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya
dengan pendapatnya. Maka dengan penuh kesabaran
seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa
Jenar berkata, "Arya Salaka, kalau ada orang yang benci
kepada golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri
di baris terdepan. Namun demikian, ada beberapa
pertimbangan yang harus kita perhatikan."
"Paman..." potong Arya Salaka, "Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan
bersiaga dahulu..." Ataukah kita menunggu sampai mereka
menggantung aku tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu...?"
"O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang
mengerikan itu," sahut Panembahan Ismaya.
"Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang," jawab Arya. "Mulamula ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang
terjadi atas Paman Sawungrana menambah penjelasan. Dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang
Banyubiru dan Pamingit?"
"Arya..." potong Mahesa Jenar, "Biarlah aku selesaikan
penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa
pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa
Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita tidak mau
kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah
kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan
menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian
pekerjaan kita akan bertambah sulit."
"Kalau demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini,
supaya kita tidak terikat lagi pada sopan santun. Setelah itu
kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari
gerombolan hitam itu," jawab Arya. Sehabis ucapannya itu,
tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan
tempat itu. Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu
segera ia mencegahnya. "Arya, apa yang akan kau
lakukan" Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah
mengasuhmu sampai ketingkatan ini."
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai keras itu
Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya
benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap orang-orang dari gerombolan hitam
yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang
Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi
nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang
sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba
menjadi bergetaran dan berdebar-debar. Mahesa Jenar dan
Arya Salaka sama sekali tidak melupakan bahwa suara itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara itu
kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat,
meskipun terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa
pendek terdengar laki-laki itu berkata, "Seharusnya kau
sedikit memelihara kecantikanmu daripada terus-menerus
merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan begitu
aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu."
Sekali lagi terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan
semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara lakilaki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang
keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut
Nusakambangan. "Jangan coba merayu aku," katanya,
"Kecuali kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis
yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu yang terbunuh
itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus
sebagai isteri-isteriku."
"Kau benar-benar serigala," jawab istri Sima Rodra,
"Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?"
"Itu urusanmu. Kau boleh minta pertolongan ayahmu,
Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga Paman
Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu."
"Kenapa urusanku?" tanya Istri Sima Rodra.
"Banyak sebabnya," jawab Jaka Soka yang berwajah
tampan itu. "Pertama, Sima Rodra adalah ayahmu. Karena
itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua,
Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau
yang minta aku mengawinimu."
"He..." potong Istri Sima Rodra terkejut. "Siapa bilang
aku minta kau mengawini aku?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala
macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?" tanya Jaka
Soka keheran-heranan. Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur
dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya,
"Soka... kau benar-benar telah berubah menjadi seorang
yang alim. Coba katakan kepadaku, pernahkah kau
mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan di
Nusakambangan" Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku
juga tidak. Kita tidak usah mengikat diri dengan cara
apapun. Sebab itu hanya akan menertawakan orang dan
mengurangi kemerdekaan kita masing-masing."
"Gila!" gerutu Jaka Soka. "Ternyata kau jauh lebih liar
dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk
hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa
gadis itu kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh."
"Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan
marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap
dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu." Lalu
suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang
sangat menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin
menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang
agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Mendengar percakapan itu hati Mahesa Jenar seperti
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh kearah Panembahan
Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan.
Terdengarlah suaranya yang lemah gemetar, "Ya ampun,
ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini."
"Itulah pimpinan mereka," sahut Mahesa Jenar. "Adakah
Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu
dapat diajak berbicara?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia
bertanya tentang hal yang lain. Katanya, "Anakmas,
pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut
tadi" Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?"
Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti terbangunkan dari
sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu,
Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula,
maka akibatnya akan hebat sekali. Apakah yang dapat
dilakukan terhadap kedua tokoh itu" Bagaimanapun juga
Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat
ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan- pertimbangan dan perhitungan, sebagaimana harus
dilakukan oleh seorang prajurit.
"Bapa Panembahan..." jawabnya, "Orang-orang itu
adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian
luar biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu
diluar kemampuan manusia biasa."
Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar
keterangan Mahesa Jenar. Sambungnya, "Adakah orangorang itu di tempat ini pula?"
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Jawabnya,
"Entahlah" Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh
suatu suara, "He, kau lihat tadi lurah kita?"
Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah lakilaki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang
hampir padam. "Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama
dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam
kemah. Apakah ada suatu keperluan?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya!" jawab orang yang pertama. "Sima Rodra tua ingin
menemuinya." Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup menggetarkan
dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia
berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung
Tidar yang di belakangnya berdiri orang-orang semacam
Sima Rodra tua yang dahsyat itu.
Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan, "Katakan
kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari
Lembah Gunung Cerme sudah menunggu."
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah
langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap
ditelan sepi malam. Di langit, bintang-bintang masih bermain dengan
riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan
wajah langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang
berhembus perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi
oleh tetesan embun terasa menyusup sampai ke tulang.
Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada pertemuan
golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia
berlima, dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan
Wiraraga, terlibat dalam suatu pertempuran melawan Sima
Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada saat itu Sima
Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena
mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena
mereka terpaksa menggabungkan kekuatan mereka.
Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung rapat oleh sejumlah
laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi
dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping
istri Sima Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka akan merupakan suatu tenaga dahsyat yang tak
terbayangkan. Disamping itu, ia merasa berterima kasih pula kepada
Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak,
meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat
kekerasan. Namun dengan demikian tanpa disengaja
Panembahan tua itu telah menyelamatkannya beserta
muridnya. Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima
Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya.
"Sakayon..." katanya, "Kau harus menjaga supaya orang itu
tidak dapat lolos." "Baik Nyi Lurah," jawab Sakayon.
"Aku akan tinggal di sini," sela suara yang lain, yang
ternyata suara Jaka Soka. "Kalau ia akan mencoba
menerobos, akulah yang akan membinasakan."
"Kau benar," jawab Jaka Soka. "Tetapi aku akan
membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada
Sakayon dan kawan-kawannya..." Setidak-tidaknya aku
akan dapat mencegahnya sampai ayahmu datang untuk
membinasakannya." Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya,
"Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan
mimpi ayahku akan membinasakannya."
"Kenapa?" potong Jaka Soka.
Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi.
Jawabnya sangat mengejutkan, katanya, "Aku minta ayah
menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan
untuk dibunuh." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Gila kau!" bentak Jaka Soka. Dan bersamaan dengan itu
dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya menggigil
menahan kemuakan hatinya. Hampir ia kehilangan
pengamatan diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan
tua itu berdesis, "Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?"
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak.
Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin
memuakkan, "Jangan cemburu Soka. Aku juga tidak
cemburu ketika kau ajukan syarat untuk menangkap gadis
anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa aku
akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar
jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku
akan mencekikmu bersama-sama dengan Pandan Alas.
Kecuali kalau itu atas kehendakku."
"Gila kau. Pergilah, pergilah ke ayahmu. Aku tidak
mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat,
sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,"
jawab Jaka Soka. Terdengar kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin
lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan.
Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan itu telah
berakhir. Namun Panembahan tua itu masih menggigil,
sedang dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak
oleh kemarahan dan kemuakan yang meluap-luap.
"Anakmas..." bisik Panembahan Ismaya, "Sungguh
mengerikan." "Panembahan..." jawab Mahesa Jenar, "Aku kira lebih
baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini
terlalu berbahaya bagi Bapa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"O, ngger," sahut Panembahan itu, "Aku tidak dapat
berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti
segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger
berdua menuntunku mendaki bukit kecil ini."
Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan itu.
Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih
banyak lagi tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu.
Karena itu, maka perlahan-lahan mereka menggeser
semakin dalam menyusup semak-semak dan batang ilalang,
untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke
Padepokan diatas bukit. Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang jalan.
Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh
kengerian dengan alasan yang berbeda-beda.
Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar dan Arya
Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata
sekejap pun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran
mereka menjadi kalut tak karuan. Disamping itu, Mahesa
Jenar pun harus berpikir pula, bagaimanakah sebaiknya ia
menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di sekitar bukit kecil
itu. Menilik persiapan mereka, maka sudah dapat dipastikan
bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk
waktu yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari
Gunung Tidar tidak mau menganggap Mahesa Jenar
sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi mereka.
Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka Soka dengan Janda Sima Rodra. Tanpa
diketahuinya, bulu kuduknya meremang. Ia sama sekali
tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbahaya sekalipun. Namun terhadap iblis betina itu ia
merasa ngeri. Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati
yang berdebaran. Pada pagi harinya, sesaat setelah matahari terbit,
datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk
menyampaikan undangan Panembahan Ismaya.
Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang penting yang
akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri,
bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
"Anakmas..." kata Panembahan itu kemudian, "Agaknya
keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah
bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui dengan pasti
bahwa Anakmas masih berada di atas bukit ini."
"Aku kira tidak demikian Panembahan," jawab Mahesa
Jenar. "Persiapan mereka menunjukkan bahwa mereka
yakin aku masih berada di sini. Hanya barangkali mereka
menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka
memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak
sekali relung likunya yang baik sekali untuk bersembunyi.
Tetapi Bapa Panembahan, aku sama sekali tidak akan
bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau akan
menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada
kekuasaan Yang Maha Adil."
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Katanya,
"Angger memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak
sisip dengan gelar yang Anakmas miliki, Rangga Tohjaya.
Namun demikian anakmas, setiap usaha dibenarkan oleh
Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai
tanpa suatu usaha apapun."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ucapan Panembahan tua itu mengena benar di hati
Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan
pikiran itu. Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya
berbuat demikian pula. Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya. Setidaktidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik
itu, akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang
akan mencarinya. "Panembahan..." jawab Mahesa Jenar, "Pendapat Bapa
adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau
menyulitkan Panembahan karena kehadiranku di sini.
Sebelum aku diketemukan, mereka pasti akan mengaduk
Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau Panembahan
akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu
biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan.
Karena persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali
tidak bersangkut paut dengan Panembahan. Karena aku
menghadap kemari itulah sebabnya maka bukit kecil yang
tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu,
bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah
yang akan berusaha, kalau mungkin menerobos kepungan
mereka." Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan
kekaguman. Maka katanya, "Sekali lagi aku menghormati
kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian, berilah
aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik.
Aku harap Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya
aku tidak merasa bersedih. Bukankah aku yang menahan
Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk beberapa lama"
Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan,
sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar
keterangan dari Anakmas malam tadi, sulitlah untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu benar
maksud A nakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu
tidak lagi akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan pula, bahwa mereka tidak akan tergesa-gesa
bertindak." "Anakmas...," lanjut Panembahan Ismaya, "Di lereng
sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu,
siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil
perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang
cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri
dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat
menemukan mulut goa itu."
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya, Mahesa
Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena Panembahan tua itu telah
menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil itu.
"Panembahan..." jawab Mahesa Jenar, "Aku tidak akan
dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat
demikian. Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?"
"Sekali lagi aku minta," potong Panembahan Ismaya,
"Anakmas jangan membuat aku bersedih. Percayalah
bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu atas diriku serta
padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan
Anakmas di bukit ini."
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang
Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
"Panembahan..." akhirnya Mahesa Jenar berkata,
"Memang tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi
kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah
aku bertindak atas pertimbanganku sendiri."
"Baiklah Anakmas, saratmu aku terima," jawab
Panembahan itu. Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan. Sebab Mahesa Jenar akan tinggal
di dalam goa itu untuk waktu yang tidak tertentu.
----------o-dwkz-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka
diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan
bukit kecil itu. Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat,
tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil.
Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
"Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main," kata
cantrik yang mengantarkan itu.
"He...?" Mahesa Jenar agak terkejut. "Kalian bermainmain di dalam goa ini?"
"Ya," jawab Cantrik itu, "Di dalam goa itu terdapat
sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar
matahari menerangi bagian dalam goa ini."
"Kemanakah lubang goa ini tembus?" tanya Mahesa
Jenar. "Kami tidak tahu," jawab Cantrik itu, "Kami belum pernah
menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam
goa itu gelap sekali."
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke dalam goa
sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru
Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang
sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak
sinar jatuh dari lubang di atas. Lubang itu tidak seberapa
besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang. Sehingga
dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk
menerangi sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa.
Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan lagi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya
para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu
telah membuatnya sebuah bale-bale di dalam.
"Nah, Tuan.." kata cantrik itu kemudian, "Sekarang
perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali
aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan.
Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi
tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang
mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk
memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini janganjangan orang-orang mereka dapat melihatnya."
"Pergilah," jawab Mahesa Jenar, "Berilah kami kabar
apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa
Panembahan." Cantrik itu mengangguk hormat. "Pesan Tuan akan kami
laksanakan dengan baik," katanya. Kemudian pergilah ia
keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan daun-daun gerumbul yang menutup lubang
goa itu. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya Salaka
mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka
menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan
lubang-lubang pula di atasnya.
"Arya..." kata Mahesa Jenar, Kita tidak tahu berapa lama
kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira
sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak.
Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur
goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui
segalanya. Karena itu segera ia menjawab, "Paman,
tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?"
Marilah, jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke
bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian, lubanglubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan
sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu,
ternyata terdapat bekas-bekas tempat bermain para cantrik.
Di situ terdapat pula alat-alat memasak dan beberapa
perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ke bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas
yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah didatangi oleh
para cantrik. Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri
lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan
gelap. Pada hari yang pertama, mereka menghentikan
pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa
di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesantetesan air yang jernih. Agaknya para cantrik sering
menampung air yang tetes itu pula, untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali
menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena
pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap,
maka meskipun remang-remang mereka dapat melihat di
dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan
batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing,
ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti
digosok. Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun
yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka
kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik
yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
"Ada sesuatu yang terjadi?" tanya Mahesa Jenar tak
sabar. Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.
"Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar
Gunung Tidar itu selama ini?" sambung Mahesa Jenar.
"Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila," jawab
cantrik itu. "Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba
mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani
mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat
mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang
aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara
mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa
yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak
percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang
mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar
Harimau Betina dari Gunung Tidar."
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar
serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab.
Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi
ketika ia sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat
dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari A las Lodaya dan
Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia.
Karena itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan
segalanya terjadi sampai ia menemukan suatu cara untuk
mengatasinya. Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam goa. Segera
setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia
minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar,
dan kemudian hilang dibalik semak-semak di muka mulut
goa. Ceritera cantrik itu menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia
merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti.
Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya,
sehingga ia terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku
di hadapannya tanpa suatu daya apapun untuk mencegahnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga
Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih
dalam lagi. Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang
dindingnya. Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam lagi, tibatiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka
mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar
mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi
sebentar kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun
demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bertambah
berhati-hati. Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak
lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi
itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya
Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada.
Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun tidak mau
berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan
sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama
mereka bertahan di situ. Mereka menunggu setiap
kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh
berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi
agaknya ia masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya
Salaka yang berdiri melekat dinding, meskipun barangkali
orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata
orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah,
agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tibatiba ia meloncat dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bercuriga. Karena
segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari terus
meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa
Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat pula.
Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah.
Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga
jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun
mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia
berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam
sebuah lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya
merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu yang
cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu.
Tetapi karena keinginannya untuk mengetahui siapakah
orang itu, maka segera ia mengejarnya ke dalam cabang
goa itu. Beberapa lama mereka berkejar-kejaran. Orang itu
agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa
sehingga dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap
lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu tidak saja
terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh.
Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar
orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik.
Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan
berhasil, dan orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak
pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh dinginnya
telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi, ketika ia menoleh,
Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar
tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar
bahwa mungkin anak itu tidak dapat mengikuti kecepatannya. Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah. Gelisah karena
kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan
terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia
menanti. Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau
orang yang dikejarnya itu muncul kembali. Tetapi usahanya
itu sia-sia. Telah beberapa lama ia tinggal di situ, namun
tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah lagi. Janganjangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu
saja, tetapi dirinya sendiri pun menjadi kebingungan pula.
Ketika kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha
kembali ke mulut goa kembali. Beberapa kali ia berputarputar melingkar-lingkar, namun yang dicarinya tidak dapat
diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa Arya
Salakapun pasti kehilangan jalan pula.
Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa Jenar berteriak
memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar
suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri
melingkar-lingkar dan kembali meraung-raung di dalam
relung-relung goa itu. Akhirnya ia pun kelelahan sendiri.
Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu dengan
masgulnya. Di sekitarnya takbir kegelapan merubunginya.
Di sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti
bayangan-bayangan hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar sama sekali tidak takut menghadapi
keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal,
sedangkan Arya masih memiliki masa depan yang panjang
dengan penuh harapan-harapan.
Sekali lagi ia masih mencoba memanggil Arya. Namun
suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa
Jenar pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang
memukul-mukul dadanya yang gelisah.
Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu, Mahesa Jenar
dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu perlahanlahan sekali, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya.
Mendengar suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat.
Karena itu segera ia meloncat berdiri dan bersiaga. Namun
kemudian, suara itu terhenti dan tidak ada apa-apa lagi
yang terdengar. Oleh peristiwa itu hatinya menjadi bertambah gelisah. Ia
mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja
memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini.
Dan mungkin sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu terdengar lagi,
Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya
segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang
mengganggunya. Mahesa Jenar adalah seorang yang
terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena itu, meskipun
perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara
itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya,
menuju ke arah suara yang menyeramkan. Beberapa
langkah kemudian ia berhenti di tikungan. Suara itu berasal
dari sebuah lubang dinding cabang goa itu. Dengan hatihati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan
melekatkan tubuhnya di dinding. Tiba-tiba hampir ia
terlonjak ketika suara itu terdengar kembali hampir melekat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu dilihatnya sebuah
bayangan bergerak-gerak di hadapannya.
Tetapi agaknya orang itu pun terkejut pula atas
kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara
tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak
menjauh. Kali ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya
lagi. Ia telah kehilangan muridnya karena mengejar-ngejar
bayangan itu. Maka sekarang ia harus menangkapnya untuk
dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk mencari
muridnya. Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam goa yang gelap.
Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya
melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak
sulit ia masih dapat terus-menerus membayangi buruannya.
Tetapi seperti semula amat sulitlah untuk mendekatinya.
Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang sangat
membingungkan. Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar ketika sekali lagi
ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya
menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak.
Kedua tangannya mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun
yang dihadapinya. Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba sekali lagi
Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di
hadapannya, ia melihat sebuah bayangan sinar yang
meremang. Segera perhatiannya beralih kepada bayangan
itu. Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan apa yang
diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang
lebih mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu,
ia melihat cahaya yang lebih terang dari keadaan di dalam
goa. Maka dengan hati-hati ia berjongkok dan mengintip
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keluar. Namun tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk
memasuki lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya
ia merangkak masuk. Tetapi alangkah terkejutnya. Ketika
seluruh kepalanya telah berada diluar lubang, pertamatama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang.
Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh
tubuhnya. Pada saat itulah angin senja menghembus
tubuhnya dengan segarnya. Batang-batang ilalang di
sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya, bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih
membayang warna-warna merah, tetapi matahari telah
tenggelam di bawah kaki langit.
Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun heran. Tiba-tiba
saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini
bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak bimbang. Apakah
sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab
ia yakin bahwa ia masih berada di bukit Karang Tumaritis.
Ketika Mahesa Jenar mulai bergerak, kembali ia tertegun.
Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda meringkik,
disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali
lagi perhatiannya teralih. Mahesa Jenar tiba-tiba ingin
melihat apakah yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap
dapat memecahkan teka-tekinya sendiri, serta hilangnya
Arya Salaka. Karena itu segera ia melangkahkan kakinya dengan hatihati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah
semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara
batang-batang ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyibakkan daun ilalang, ia melihat suatu pemandangan
yang hampir membuatnya pingsan.
Yang mula-mula dilihatnya adalah perapian. Meskipun
malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di dekat
perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak
pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu
tampak Jaka Soka duduk memandang lidah api yang
menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh saja kepada Harimau
Betina yang buas itu. "Soka..." kata Janda Sima Rodra, "Syaratmu telah aku
penuhi." "Bohong!" jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Aku lihat pada wajah
serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan
lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat.
Syaratku. Jadi jelas, akulah yang penting, sahut perempuan
itu." Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang
yang berada di sekitarnya. "Kenapa kalian berhenti
berteriak-teriak?" katanya.
Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang
pun menjawab, ia melanjutkan, "Teruskan, teruskan. Aku
akan ikut serta." "Jawab pertanyaanku," potong Harimau Betina itu.
"Bagus. Bagus kau," jawab Jaka Soka. "Aku tak pernah
mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di
hadapanku." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan.
"Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya"
Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?"
"Siapa bilang tidak percaya?" sahut Jaka Soka cepatcepat. "Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku."
"Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon..."
perintahnya, "Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka,
durinya sangat tajam."
Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.
Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar
sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan.
Dan karena senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya
sampai ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, sehingga ia
dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan sekarang, agaknya
Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara ia
agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk
menangkap gadis itu. Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar serasa berhenti
mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan kepalanya
menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah
kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat.
Orang itu tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya
dalam keadaannya sebagai seorang gadis bernama Rara
Wilis. Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung Tidar, Pudak
Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala
karena marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada
di lingkaran itu. Pada saat itu seorang pengawal dengan
sombongnya mendorong punggung Pudak Wangi dengan
kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia,
terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia memutar tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya
bergerak. Malanglah nasib pengawal yang sombong itu,
ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun
tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat
mengenai arah ulu hati, maka segera orang itu jatuh
tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra
meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, "Dalam
keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di
hadapanku?" Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan kuku-kukunya
menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang
rendah memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata,
"Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau
bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita."
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah
merenung sejenak ia menjawab, "Ular Laut, kau benarbenar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat
bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku
serahkan umpan ini dengan utuh kepadamu."
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa pendek. Matanya
yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan
memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke
ujung kakinya. "Jangan memandang begitu," kata Janda Sima Rodra,
"Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku
sudah pingsan." Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan
melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan wajah yang merah membara.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka
dengan tertawa nyaring berkata, "Jaka Soka, aku masih
belum menyerahkannya kepadamu."
"Apa lagi yang ditunggu?" sahut Jaka Soka.
"Aku akan menyerahkan kepadamu dalam satu upacara
resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak
sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan
adanya gadis itu di dalam tanganku, aku mengharap
kehadiran seorang lagi." Kata janda Sima Rodra
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah.
Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Katanya, "Kau
benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau
dengan demikian kau akan mengangkat harga diriku, kau
akan kecewa. Sebab kedatanganku kemari adalah atas
permintaanmu." Sekali lagi keadaan jadi tenang karena suara tertawa
Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding
pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata
lantang, "Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta,
mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan." Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada
laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan
nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan.
Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang
semak-semak menjadi gemetar. Ia ingat pada peritiwa yang
pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo,
Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat
membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang,
barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu
mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo
itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang
dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak
sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin
lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat
mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka
yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi,
berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula
dalam keadaan yang hampir tak sadar. Melihat hal itu
Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan
keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa
itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat,
meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di
situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh.
Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip
seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap
mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya
akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin
bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar
tempat itu pula. Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin
panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan
melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam
keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak
Wangi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima
Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan
diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriakteriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang
yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun
langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya.
Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi
kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang
serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang
sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena
itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah derap suara
seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang
yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama
sekali tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah
menjadi dekat sekali. Dengan mata yang tajam, Mahesa
Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah kehitamhitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang
masih menyala-nyala. Sesaat orang itu mengekang kudanya
agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti
angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang
orang-orang yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan
mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda merah
kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi
kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal. Namun
tidak demikianlah Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka
Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam irama
kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat
menguasai diri mereka kembali.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil
bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi
serangannya, mereka sudah siap pula menghindar.
Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra
itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang
demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kukukuku yang panjang itu berkembang mengerikan. Sedang
Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia
menggeram, dan sesaat kemudian ia telah meloncat
menghadang kuda yang telah berputar pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas
oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera
terdengar suara Pudak Wangi nyaring, "Kakang Sarayuda...." Suara Pudak Wangi yang melengking lembut itu bagi
Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat
sekali. Dalam saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula
wajah itu. Sarayuda, yang membuatnya berdebar-debar.
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melupakan,
bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya, meskipun mungkin sama sekali tidak
disengaja. Dan kehadirannya saat inipun telah menimbulkan
suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka
berteriak kasar, "Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini
yang kau pancing dengan umpanmu itu?"
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab,
"Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia
adalah sombong sekali."
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman itu dengan
garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu,
bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu
bermain kucing-kucingan. Dengan menarik tubuhnya satu
langkah ke samping, ia telah bebas dari serangan lawannya.
Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan
tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut
dan memekik berdiri. Saat yang demikian memang
ditunggunya. Dengan cepatnya ia melompat dan menghantam punggung Sarayuda. Tetapi Demang Gunung
Kidul itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid
tertua Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Demang Gunung Kidul
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merasa sebuah serangan mengarah ke punggung, sedang
kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan
yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling,
untuk kemudian melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran yang
seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah perairan
Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut,
menyerang dengan ganasnya, sedang Sarayuda bertempur
dengan gagahnya pula. Dengan teguhnya ia berdiri di atas
kedua kakinya yang lincah menari-nari membingungkan
lawannya. Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara
Janda Sima Rodra kepada laskarnya, "Sakayon, jagalah
tawanan ini. Kepung rapat-rapat dan jangan beri
kesempatan bergerak. Biar aku membantu Jaka Soka
membinasakan tamu yang sombong itu."
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah Sima Rodra
dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari
Pudak Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun, dengan kukukukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam
pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas, tangguh dan
perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular
Laut dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera
terasa bahwa memang kekuatan mereka tidak berimbang,
karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu masing-masing
juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda segera
mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu
berputar-putar memancar berkilat-kilat karena cahaya api.
Sinarnya yang putih, serta pantulan sinar kemerahSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merahan, menjadikan pedang itu seperti memancarkan
bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas
itu, kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya
bergetaran dalam ilmu khusus perguruan Ki Ageng Pandan
Alas, terasa sangat membingungkan lawannya. Tetapi
dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih bergulunggulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitamhitaman melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka
Soka. Pedang kecil yang lentur, yang dicabutnya dari dalam
tongkat hitamnya di tangan kanan, dan tongkat itu sendiri
ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang menakjubkan. Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku
berbisa diujung jari Harimau Betina dari Gunung Tidar,
senjata-senjata itu merupakan gabungan kekuatan yang
mengerikan. Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona memandangi
pertempuran yang hebat itu. Ia kagum akan ketangkasan
Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang
bertempur dengan gerakan-gerakan yang cepat, melingkar,
menyerang dan mematuk-matuk, benar-benar seperti laku
seekor Ular yang berbahaya.
Ia baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benarbenar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba sekali lagi
Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang
tidak diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran
pertempuran itu, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya api
yang sangat lemah, dilihatnya pula seseorang bertempur
melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh berbeda
dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua
lawannya. Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu
seolah-olah hanyalah sebuah permainan lontar-melontar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang kadang-kadang diseling dengan pukulan-pukulan
lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan gerakgerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya. Sesaat
kemudian Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang
seorang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas, sedang kedua
lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan Bugel
Kaliki dari Lembah Gunung Cerme. Melihat pertempuran itu
Mahesa Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan
Alas yang datang untuk menolong cucunya, ternyata
menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka adalah diatas
kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat,
bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk
melawan kedua tokoh tua dari golongan hitam itu,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagaimana Sarayuda juga menemui kesulitan dalam
perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
muda. Dalam waktu yang singkat itu terjadilah suatu pergolakan
di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak
akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba
mencampuri urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat
dikerjakan hanyalah untuk sementara memperingan
pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja. Sebab
kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin
dilakukan hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran
pertempuran antara Sarayuda dan lawan-lawannya.
Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih
keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria
yang mengalir di dalam tubuhnya telah melanda kepicikan
pandangan itu. Dengan merapatkan giginya, Mahesa Jenar
berusaha untuk melupakan apa yang pernah dialaminya.
Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gunung Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah
hatinya untuk terjun langsung membantu Sarayuda. Ia
mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa dan Aji Cunda
Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat
penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi. Setelah itu, ia mengharap
pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat menyelamatkan
dirinya sendiri. Meskipun apa yang akan dilakukan itu
mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada
pilihan lain daripada berjuang untuk membebaskan gadis
cucu Pandan Alas itu. Memang akan mungkin sekali, untuk
sementara salah seorang lawan Pandan Alas meninggalkan
orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda.
Tetapi itu akan merupakan sebuah pertanggungjawaban
dari perjuangan. Karena itu segera Mahesa Jenar
menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
Tetapi, kembali dada Mahesa Jenar digetarkan oleh suatu
peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketika ia sudah
mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya
gemerisik halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan
membalikkan tubuhnya. Tetapi apa yang dilihatnya hampir
tak masuk diakalnya. Dalam remang-remang cahaya
bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun
ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang
seolah-olah dirinya sendiri sedang terbang dan melontar
cepat lewat disampingnya. Dengan pandangan yang penuh
kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan
tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu
dengan lincahnya meloncat diatas batu karang tidak jauh
dari perapian yang masih menyala-nyala. Dengan tangan
bertolak pinggang serta kaki renggang, terdengarlah
bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seperti guntur yang menggelegar membentur dinding
pegunungan, sambil berkata, "Inilah murid Ki Ageng
Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar
serta bergelar Rangga Tohjaya."
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi dada Mahesa
Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan
kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang
aneh itu. Ia pernah mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang mengerikan di
alun-alun Banyu BIru. Dan sekarang, suara orang yang
berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya
menghantam dadanya. Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang merasa terpukul
oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan
kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan
Janda Sima Rodra yang sedang bertempur itupun segera
berloncatan mundur dan mempergunakan kekuatan
batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak rontok.
Pudak Wangi pun tampak menundukkan kepala sambil
memejamkan matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid
Pandan Alas yang muda itupun berusaha untuk
membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul
dadanya. Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima
Rodra dan Bugel Kaliki, tokoh-tokoh tua yang sudah banyak
makan pahit asinnya penghidupan itupun menjadi terkejut
pula. Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka jadi
terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka
memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang
dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu melihat orang
yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
segera ia mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak
jelas. Rambut yang kasar tumbuh lebat hampir melingkari
seluruh muka, bersambungan dengan kumis dan janggut
yang rapat tak teratur. Dalam pada itu Mahesa Jenar telah berusaha keras untuk
tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh, bahwa
hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas
batu karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan
puncak keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat
memelihara diri. Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar
sudah pernah melihat wajahnya di permukaan air, namun ia
dalam saat yang aneh itu, harus berjuang mati-matian
untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya dengan orang yang berdiri diatas batu
karang itu. Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai kekuatan
batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah
berhasil menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia
menjaid semakin jelas melihat batas antara dirinya dan
orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat memperhitungkan
berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang
mengaku Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja
memakai rambut, kumis dan janggut yang kasar dan lebat,
supaya wajahnya tidak segera dikenal. Tetapi, yang Mahesa
Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah
gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti
gerak geriknya, tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal
itulah kemudian yang menjadi teka-teki yang tak dapat
dipecahkannya. Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar mengalami hal
yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan
Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang Mahesa Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu
ternyata Ki Paniling atau yang nama sebenarnya adalah
Radite dan Darba atau Anggara. Namun bagaimanapun
juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai dirinya kali ini
lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip
sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng
Pengging Sepuh. Dalam keadaan yang demikian, suasana menjadi hening
tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut
orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip seekor garuda
yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung ke
arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itupun
segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu
tidak lain adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk
membebaskan Rara Wilis. Maka kemudian terdengar suara
Janda Sima Rodra itu nyaring, "Soka, tamuku sudah datang.
Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh mengambil
kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau
ikat." Jaka Soka pun kemudian teringat apa yang pernah tejadi
di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak
menculik Rara Wilis. Karena pada waktu itu, ia tidak
berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang ia telah bekerja
keras untuk menambah ilmunya.
Karena itu ia merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi
kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia
masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat
bekerja sama dengan Janda Sima Rodra. Sedangkan
Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari Sima
Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya, apabila dirinya
menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan
Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua
mau membantu menangkapnya untuk kepentingan anaknya. Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi gembira.
Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin
membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi
lebih daripada itu, keliarannya telah mendorongnya untuk
melakukan niat yang memuakkan. Tetapi ketika ia melihat
wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut lebat itu ia
menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak
mengurungkan niatnya. Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena itu adalah
Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran
Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran
Mahesa Jenar kali inipun bermaksud untuk menyelamatkan
Pudak Wangi, namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan
cemburu yang meluap-luap. Beberapa tahun yang lalu ia
pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong
Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu
perhubungan yang aneh dengan orang itu. Apalagi ketika
tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi meninggalkan pondok Ki
Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah ia
mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa
Jenar tidak pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng
Pandan Alas pun sangat membesarkan hatinya, namun
Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka hatinya. Ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah
dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar sendiri, yang
meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan
Sarayuda, namun ia mendahulukan keselamatan Pudak
Wangi dari perasaannya yang mengganggu. Ia memang
sudah membiasakan diri, berkorban untuk kepentingan
yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada
kepentingan diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda justru merasa
tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah
ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu
gurunya, namun tidak ada tanda-tanda akan berhasil,
bahkan akhirnya gurunya sendiri menemui kesulitan pula
karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang memang
sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak,
"Mahesa Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh,
janganlah mengganggu permainan kami. Biarlah kami yang
sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan persoalan kami
sendiri." Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti
beberapa langkah dari mereka. Katanya, "Aku datang
untuk membantumu," "Aku tidak perlu bantuanmu," potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula, "Jangan
lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di
dalam hati untuk menghancurkan setiap kejahatan..."
Apapun persoalan yang ada di antara kita jangan menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama. Sebab juga
menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak
Wangi." Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi
bertambah berdebar-debar. Lalu katanya, "Pergilah, jangan
ikut campur." Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di
arena itu, "Dengarlah, aku datang untuk membebaskan
Pudak Wangi. Siapa pun yang menghalangi, tidak peduli
siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar."
Setelah itu kembali ia bergerak maju. Pada saat itu, Jaka
Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan
untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan
maksudnya. Karena itulah maka mereka berloncatan maju
menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi ragu, dan untuk
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan
dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang
menyaksikan perbantahan mereka menjadi tertegun heran.
Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas mengetahui
sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka
menjadi agak keheran-heranan. Namun karena yakin,
bahwa segala gerakannya adalah khusus peninggalan Ki
Ageng Pengging Sepuh yang dahsyat itu.
Tetapi yang paling heran diantara mereka adalah Mahesa
Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu
bertempur melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra.
Setiap gerak tubuhnya, sampai ke ujung bulunya, adalah
tepat sekali apa yang selalu dilakukannya atas dasar ilmu
gurunya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
yang memang benar-benar pernah bertempur dengan
Mahesa Jenar, sama sekali tidak mempunyai curiga apapun
terhadap lawannya. Namun Jaka Soka yang merasa bahwa
setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang
diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar,
ternyata menjadi kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang
dihadapinya saat itu, bahkan berdua dengan Janda Sima
Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang belum
dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah
seperti pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa
tahun berselang. Demikianlah pertempuran itu menjadi
semakin lama semakin dahsyat.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu bertempur
laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar
melawan Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan
seekor Harimau Liar. Bagaimanapun, Jaka Sokapun
ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Ketika pertempuran
itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka
menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan
Jaka Soka yang sebagian besar mengarah ke perut
lawannya, dibarengi dengan sambaran-sambaran sinar
putih yang belit membelit dengan bayangan hitam,
merupakan tarian maut yang mengerikan. Sedangkan
Janda Sima Rodra yang bersenjatakan kuku-kukunya
terdengar beberapa kali menjerit-jerit sambil menerkam
dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan
kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan
maut yang sukar dapat ditembus. Apalagi mereka berdua
dengan Jaka Soka, selalu berusaha isi mengisi kelemahan
masing-masing. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu,
dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah berubah
menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang menari-nari di atas seekor ular Naga
yang berkepala tujuh. Namun perlahan-lahan tetapi pasti,
satu demi satu kepala-kepala ular itu dipangkasnya.
Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itu
semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka
yang dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, menjadi semakin
lama semakin surut. Sedang lawan mereka, malahan
tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan terjadi dengan
pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua
dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan
membiarkan hal itu terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi
termangu-mangu. Ia dapat membaca perasaan kedua
orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia
sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya.
Sehingga dengan demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar, menjadi agak
bingung. Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya
adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka
ketika ia melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai
bersiap-siap, iapun bersiap pula.
Tetapi belum mereka berbuat sesuatu, mereka
dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena
pertempuran itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram
marah ia berkata, "Mahesa Jenar, sekali lagi aku minta kau
tinggalkan pertempuran ini. Kau yang selama ini tidak
berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi
pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keselamatan Pudak Wangi. Biarlah urusanku itu aku
selesaikan." Bukan main terkejutnya orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya
dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab,
"Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?"
Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun menjadi
tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira
bahwa Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar itu akan bertengkar sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba
Ular Laut yang tampan itu tersenyum-senyum sambil
berkata, "Kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar.
Diantara kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah
tingkat kepandaianku. Alangkah senangnya kalau aku dapat
menarik keuntungan dari perang tanding antara kedua
tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun telah
dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang.
Sebab aku telah bertempur dengan kalian berdua bergantiganti. Sarayuda bukan tandingan Mahesa Jenar."
Sarayuda merasakan dengan tepat singgungan kata-kata
itu. Ia memang merasa bahwa ilmunya berada di bawah
tingkat kepandaian Mahesa jenar. Hal yang serupa telah
dirasakannya pula pada saat ia bertempur dahulu. Justru
karena itulah dadanya serasa terbelah.
Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi, dengan
wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa
jenar yang masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu,
terdengarlah jerit Pudak Wangi yang sejak tadi berdiam diri
kebingungan. "Bertempurlah kalian..., bertempurlah sampai
binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas melihat aku
binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini."
Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang
mencemaskan kehormatannya, bukan nyawanya. Sebagai
cucu dan murid Ki Ageng Pandan Alas, Pudak Wangi
bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek
menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari
Nusakambangan itu, ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak seperti patung,
dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora.
Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya
Mahesa jenar merasa bahwa ia tidak mempunyai banyak
waktu. Orang itu sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh
Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu, tibaSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali
lagi meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama
sekali tak dapat dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti
seekor Rajawali, orang itu terbang dengan kecepatan kilat,
menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang berdiri
memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan
perasaannya dengan suara tertawa yang menghentakhentak dada, dapat ditembus dengan mudahnya. Kemudian
berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam
kegelapan bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di
sekitar tempat itu. Kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang
sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang
seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang
menyaksikan. Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki
pun sampai beberapa saat berdiri seperti patung. Baru
setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi tersadar dari
sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka
bahwa apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi
lenyap di hadapan hidungnya. Sima Rodra dan Bugel Kaliki
yang sudah bersusah payah menangkapnya, dan Pandan
Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya itu,
ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang
mempunyai kepentingan yang sama pada saat itu, seolaholah digerakkan oleh satu daya penggerak, berloncatanlah
mereka menyusul ke arah hilangnya bayang-bayang itu.
Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh kegelapan malam,
lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya
mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah
jauh surut. Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah
semua orang berlari-larian pergi. Yang terdengar kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kecuali keretak sisa-sisa kayu yang dimakan api, adalah
napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti berebut
dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa
yang disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di
dalam mimpi. Namun bagaimanapun, gambaran-gambaran
itu telah membingungkannya. Apa yang dilakukan oleh
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat
seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu.
Sebab secara jujur, ia mengakui, bahwa orang yang
menyerupainya itu mempunyai kemampuan yang luar biasa
sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di hadapan
segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalanghalangi. Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu.
Apakah yang dilihat selama itu hanyalah khayalan-khayalan
saja. Berkali-kali ia mengusap-usap matanya. Namun
cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu
kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah
meloncat keluar dari tubuhnya, dan kemudian melakukan
segala pekerjaan itu untuknya" Mahesa Jenar menggelenggelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu segera
ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang
melakukannya. Hanya yang aneh baginya, setiap gerak,
setiap kata yang diucapkan, tepat seperti yang terkandung
di dalam hatinya. Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih merenungrenung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan
semakin lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah
perasaannya. Tetapi lebih dari pada itu, di dalam sudut
hatinya yang paling dalam, muncullah perasaan kecewanya.
Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu,
untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu.
Sewaktu ayah gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang,
gadis itu lenyap di hadapannya dibawa oleh seseorang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyerupai dirinya. Karena itulah maka sekali lagi ia
merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah
dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh
hatinya. ----------o-dwkz-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba terdengarlah suara
tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak Mahesa
Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia
menjadi bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itupun
memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke
ujung kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, "Ki
Sanak, apakah yang kau lakukan di sini" Dan siapakah kau
sebenarnya?" Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar menjadi bingung.
Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan
sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara
riuh, serta keinginannya untuk mendapat jejak dalam
usahanya mencari Arya Salaka. Sekarang, tiba-tiba
seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya,
menanyakan keperluannya. Untuk beberapa saat Mahesa
Jenar tidak menjawab, sehingga kembali orang itu berkata,
"Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar dengan jujur. "Aku datang ke
tempat ini tanpa aku sengaja."
Sekali lagi orang itu tertawa lunak. "Adalah suatu
kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa
sengaja. Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip
apa yang terjadi di padang rumput itu. Ataukah kau
memang salah seorang diantaranya?"
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung
oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, "Ki Sanak, memang
aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangantangan Jaka Soka, Janda Sima Rodra ditambah kemudian
dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil melepaskan dirimu
pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan Bugel
Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hem..." Orang itu menarik nafas. "Kau terlalu memuji.
Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa
sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh
seorangpun diantara mereka."
"He..." sambung orang itu tiba-tiba seperti orang
terkejut, "Kau kenal kepada setiap orang yang ada di
padang rumput itu" Siapakah kau sebenarnya?"
Sekali lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun
bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu.
Maka katanya, "Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa
Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau
mengadakan pameran kekuatan?"
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tampak
terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa
Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Kau bernama
Mahesa Jenar...?" Mahesa Jenar mengangguk. "Kalau demikian..." sambung orang itu, "Kita bersamaan
nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian.
Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu."
Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Tetapi tak
apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang
sama." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya,
"Jangan pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang
nama yang sama. Kau telah menyebut dirimu lengkap
seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng Pengging
Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga
Tohjaya. Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di
antara kita sampai sedemikian jauhnya."
Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan.
Matanya menatap dengan tajamnya. Kemudian hampir
berdesis ia berkata, "Ki Sanak, janganlah mencari
persoalan. Kita belum saling mengenal sebelumnya. Apakah
sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian terhadapku.
Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku
memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau
dapat melihat apa yang telah aku lakukan. Aku sedang
berusaha menyelamatkan Pudak Wangi dari tangan para
penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku
sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah
hilang. Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya."
Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar bergetar
dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang
berotak cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil
menebak, "Kalau demikian, kaulah yang telah memancingku
dan melibatkan diriku dalam goa yang mempunyai ratusan
cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat
mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang."
Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, "Anehlah
yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku
katakan, sudah kau katakan. Sedang kau merasa bahwa
apa yang akan kau katakan, sudah aku katakan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan
kepadaku, di mana A rya Salaka." geram Mahesa Jenar yang
mulai kehilangan kesabaran.
"Jangan mengigau," bentak orang itu. "Dengan
igauanmu itu kau bisa membuat aku gila."
Mendengar orang itu membentak-bentak, darah Mahesa
Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa
suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu
segera iapun bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan
sendiri, orang yang berdiri di hadapannya memiliki tingkat
ilmu yang tinggi. Namun bagaimanapun juga, Mahesa
Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan dengan
kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula,
"Apakah keuntunganmu dengan segala macam ceritera
isapan jempol itu" Nah, sekarang katakan kepadaku,
kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya, di
mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau
sembunyikan?" Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah
tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, "Tak kusangka bahwa
di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang senang
pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu,
apakah keuntunganmu dengan kelakuanmu yang anehaneh itu. Meskipun demikian apa boleh buat. Agaknya kau
hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar, murid Ki
Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama
perguruannya." Dada Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora ketika
nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat
menahan diri. Dengan meloncat ia berteriak, "Baiklah kita
lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Agaknya orang itu telah bersiaga pula. Ketika serangan
Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan
dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun
telah membalas menyerang. Sesaat kemudian terjadilah
pertempuran yang sengit. Pertempuran antara dua orang
perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu keturunan
dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar adalah orang
itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan
gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal,
orang itu memiliki kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.
Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga
untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.
Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar berjuang
dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut
menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun
berjuang seperti seekor banteng yang tak mengenal
mundur. Sehingga perang tanding itu merupakan perang
tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi
kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan
gerakan-gerakan lawan. Dengan demikian yang terjadi
seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan. Kalau dalam
beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil
menembus kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak
yang membingungkan, tetapi kali ini mereka sama sekali
tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab mereka
seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua
belah anak permainan macanan dengan tangan kanan di
sebelah dan tangan kiri di sebelah lain.
Namun bagaimanapun juga kedua orang itu adalah
orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka pun tidak sama seluruhnya. Lawan Mahesa Jenar
yang mengaku juga bernama Mahesa Jenar itu ternyata
memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh
Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur
berputar-putar, akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar
mulai terdesak. Hal ini terasa pula olehnya, sehingga
dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang
dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah
dipelajari, tidak dapat menolongnya, sebab orang itupun
mampu melakukannya. Bahkan kemudian terasa oleh
Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur
beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat
menambah ilmu hampir setiap saat, baginya, setelah sekian
tahun terpisah dari gurunya, seakan-akan sama sekali tak
suatupun yang dicapainya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi
dadanya, sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak
gentar. Beberapa saat kemudian, di langit ujung Timur,
terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan
malam yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah
yang mewarnai daun-daun ilalang hijau segera telah
menimbulkan kesan tersendiri.
Dalam pada itu kedua orang yang bertempur itu masih
saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpunrumpun ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru
dibajak oleh bekas-bekas kaki yang bertempur dengan
dahsyatnya. Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa Jenar harus
mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau
mengorbankan diri. Dalam setiap kemungkinan antara
hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia mempergunakan
setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu
tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka
karena itulah sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat
sebelah kakinya, tangan kirinya menyilang dada, sedang
tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar yang mengaku
bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat
berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat
maju dan melontarkan pukulan Sasra Birawanya yang
dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya itu
menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu
terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh
terguling-guling. Mahesa Jenar, setelah melihat akibat pukulannya, berdiri
mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang
dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut,
ketika ia melihat orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya
pukulannya tidak membinasakan lawannya. Tetapi setelah
terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya masih hidup.
Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk
membunuh hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau
ia terpaksa mempergunakan aji Sasra Birawanya, adalah
karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena itulah, ketika ia
melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi
berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat
menanyakan dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan. ]Tetapi kemudian kembali ia terkejut ketika orang yang
dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan
kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak
membiarkannya. Kalau orang itu tidak terbunuh oleh
pukulannya, ia sudah heran. Apalagi orang itu masih dapat
berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun meloncat
mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari
cepat. Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batangbatang ilalang yang tumbuh lebat melampaui tubuh
manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan Mahesa
Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin
terang. Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang
yang tergoyangkan oleh sentuhan tubuh orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Karena orang yang dikejarnya itu agaknya telah terluka,
maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula,
sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat
menangkap orang itu. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika ia tinggal
meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu
tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batubatu. Itulah lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus
keluar. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri termangumangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia
berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa
itu, kalau-kalau lawannya telah memancingnya, dan
kemudian membinasakannya pada saat ia merangkak
masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara
terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya
lawannya telah mengalami luka di dalam dadanya, dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekaligus ia mengetahui bahwa lawannya tidak pula berada
di muka mulut goa itu, sehingga dengan demikian segera ia
melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa saat
ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan
setelah itu ia perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang didengarnya. Sekali lagi
ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan karena
itulah ia dapat mengenal arahnya. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara
itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa
Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun
bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati
berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun
Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu
sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak
akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.
Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar
tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah
beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya
pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan
yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik.
Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar
suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang
dikejarnya itupun telah lenyap.
Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah
kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu
kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu
masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain. Dengan demikian ia
menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar
meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi,
sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke
dalam ruang itu. Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai
terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa
yang lunak perlahan. Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah
bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu
yang besar, adalah orang yang dicari-carinya.
"Kau tak akan dapat melepaskan diri," kata Mahesa
Jenar. Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah
mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan
cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya.
Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan lukalukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun
demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu
telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka
katanya sekali lagi, "Katakan sekarang, di mana Arya
Salaka." Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya
dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa
perlahan. Kemudian jawabnya, "Kau telah mencoba
menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali."
Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak
sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan
perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang
dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang
hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk
mempertahankan nama masing-masing. Tetapi beberapa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali.
Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat
pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa
Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang
dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang
pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya,
disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke
depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya
Sasra Birawa. Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya,
dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap
melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga
mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di
muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggitinggi. Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat
lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang
dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia
meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh
kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun
berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang
maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah
berpuluh-puluh petir meledak bersama-sama di hadapan
wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari
api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah
itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar,
semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya
berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang
diingatnya. Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.
Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan
air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa
Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu.
Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya
matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan
itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan
perkembangan kesadarannya. Kemudian, ketika pikirannya
sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya
basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air
untuk membangunkannya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingatingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi
semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit.
Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulangtulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat
kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.
Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di
sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia
mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga
ia sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
"Ki sanak..." Terdengar orang itu berkata. "Jangan
mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki
Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau
lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau
bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera
akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku
menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan
agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra
Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu,
namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan
Sasra Birawa yang sebenarnya."
Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar
rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali,
namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya
dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang
mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya
di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, "Aku
tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu
aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun
karenanya." Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun
suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar
hanyalah sebuah desis kemarahan.
"Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu",
sambung orang itu, "Dalam keadaan yang demikian kau
masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum
membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang
yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar."
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia
mencoba menjawab, "Jangan kau takut-takuti aku dengan
kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu
ditakuti." "Bagus...!" Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. "Kau
sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku
membunuhmu sekarang."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar bukan seorang penakut. Apapun yang
akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu
dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika
teringat oleh Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu
sekarang berada. Apakah ia masih hidup ataukah sudah
mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang
membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah
tiba-tiba tanpa disengajanya ia berkata, "Kau bunuh aku
atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah
urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku apakah Arya
Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?"
Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak.
Kemudian terdengar ia tertawa. "Jangan kau persulit dirimu,
dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan
dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali
kau mengharap aku mengampuni kau untuk membantuku
mencari muridku itu?"
"Cukup!" tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring.
Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat
demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. "Kau
mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual."
Sekali lagi terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya
perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar.
Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu,
"Aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuh
orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu. Kau tidak
akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba."
Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran.
Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi lubang
ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam
ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan
main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai
seorang laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu
pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di dalam
sebuah goa. Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya mendidih.
Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan
meledak. Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali
lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa kekuatannya timbul
kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar
mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa
saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya
dan duduk tegak. Matahari yang telah mencapai titik tengah, sinarnya
langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas
ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai.
Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi
menguap oleh panas matahari.
Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia
tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau
membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa
perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun
berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling
ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia
masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri,
disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang yang telah mengaku
bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh,
yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
justru lebih hebat dari ilmunya. Menurut ceritera almarhum
gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh itu tidak
mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng
Pengging yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera
gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia bertemu dengan
seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan
sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama
Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang
bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir
akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari
perguruan Pengging. Karena pertanyaan-pertanyaan itu, maka kembali Mahesa
Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah
berhenti setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya
berusaha untuk mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha
untuk menambahnya. Dengan demikian maka ia tidak akan
dapat mencapai tingkat seperti gurunya. Apabila hal yang
demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka
perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin
Pendekar Elang Salju 5 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Pendekar Gelandangan 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama