Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 21
segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat
mengalahkan lawannya. Demikianlah ketika Mahesa Jenar dan Sima Rodra telah
bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah
dapat mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang
sehingga untuk seterusnya mereka harus mempergunakan
kelincahan dan kecakapan mereka membawa diri masingmasing untuk memenangkan pertempuran itu.
Di bagian lain, di bagian belakang gelar Supit Urang itu,
telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang
Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang.
Sehingga dengan demikian ia seolah-olah dapat leluasa
berbuat sekehendak mereka sendiri. Namun demikian
beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah
berusaha untuk mencegah sekuat-sekuatnya. Mereka
bertempur bersama-sama menghadapi kekuatan Uling yang
seakan-akan melampaui batas kekuatan manusia biasa.
Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar
Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan
lawannya. Pasukan Uling dari Rawa Pening yang datang
tepat pada saatnya itu telah menolong pasukan Pamingit
dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke jurang
kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang terdesak dari dua arah. Agaknya
mereka benar-benar berusaha menjepit dan menghimpit
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hancur laskar itu. Meskipun demikian, laskar Gedangan
telah berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh
Wanamerta dan Arya Salaka ternyata lincah pula. Mereka
yang berada di luar himpitan pasukan lawan, agaknya
banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan bergesergeser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan
Pamingit serta rombongan-rombongan yang lain.
Namun bagaimanapun juga, kemampuan mereka
terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain,
diluar batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya
tekad mereka, namun ternyata lawan mereka benar-benar
memiliki kelebihan yang tak dapat mereka atasi.
Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar dan Kanigara
beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin.
Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidaktidaknya untuk mempertahankan diri mereka supaya tidak
tergilas hancur. Sedangkan mereka sendiri telah berjuang
mati-matian untuk dapat menyelamatkan laskar mereka.
Tetapi keadaan berjalan tidak seperti yang mereka
kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit
agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka
akan dapat memenangkan pertempuran itu. Hal ini
terutama disebabkan karena jumlah pimpinan mereka yang
lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning benar-benar
seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama melawannya, namun
sepasang Uling itu dengan mudahnya dapat menyingkirkan
mereka seorang demi seorang.
Meskipun demikian laskar Gedangan bukan laskar yang
berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka
bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang gadis tanggung bertempur dipihaknya tanpa
mengenal takut melawan seorang yang perkasa, Jaka Soka.
Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat
mereka lakukan adalah bertempur sampai titik darah
penghabisan. Gemerincing senjata masih saja menggema di lembah
diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi
semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat
mengerikan. Teriakan-teriakan dan geram yang penuh
kemarahan disela-sela jerit kesakitan yang mengerikan.
Ketika pertempuran itu masih berlangsung dengan
riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju
garis peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang
semula berkilat-kilat kini telah berubah menjadi muram,
semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang bertempur
sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orangorangnya. Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu
adalah semangat yang luar biasa dari laskarnya, sehingga
menurut perhitungannya ia masih akan dapat bertahan
sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti
akan berhenti. Dengan demikian ia akan dapat mencari
jalan dengan lebih tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk
melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan
sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya sendisendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila
terpaksa dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa.
Sesaat kemudian langit telah dibayangi dengan warna
merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram
dan kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah
mulai nampak lelah, kecuali laskar yang dibawa oleh
sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun demikian laskar
Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan sepenuh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu
berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka
telah menjadi ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak
sulit membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian,
terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua belah
pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.
Pada saat yang demikian, pada saat pertempuran itu
sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu,
muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan yang tidak diketahui asal
arahnya, serta apa-siapanya. Namun apa yang terjadi..."
Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena
pertempuran. Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu
memperdengarkan suaranya yang gemuruh, "Ayo, berjuanglah terus laskar Gedangan yang gagah berani.
Karena kalian berada di pihak yang benar, aku berada di
pihakmu. Setelah itu, tampaklah bayangan itu melontar
dengan cepatnya kesana-kemari seperti anak kijang di
padang rumput yang hijau segar."
Laskar Gedangan yang kelelahan, karena tekanan yang
berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran
jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai
mengendor, namun tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat
tenaga cadangan. Karena itu jiwa mereka bangkit kembali,
dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah cepat
berputar menyambar-nyambar.
Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu,
"Mahesa Jenar... lepaskan lawanmu. Layanilah sepasang
Uling yang masih segar di ekor barisanmu."
Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah orang itu
dapat dipercaya..." Apakah orang itu juga mempunyai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemampuan yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua
dari Lodaya ini..." Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik,
bayangan itu telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan
kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah
besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan
main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya
serasa berhenti mengalir. Orang itu adalah seorang yang
pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya,
ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti
beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat
memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu
selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk
pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega
yang berwarna merah di ufuk barat. Namun pada saat itu
terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu
pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerutmerutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang
biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris
yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan
Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya.
Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai
menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat
juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah
abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah
dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokohtokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya,
akan tergilas hancur. Demikianlah Mahesa Jenar segera mencoba memenuhi
anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat
diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat
Uling Kuning. Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara
berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa
senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh.
Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar.
Dengan geram terdengar ia berkata, Sudah cukup apa yang
kau lakukan selama ini Uling Kuning" Nah sekarang aku
akan mencoba menghadapimu.
Uling Kuning terkejut mendengar suara itu. Apalagi
kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang
yang telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang
yang pernah memanaskan hatinya karena ia telah
menggagalkan pertemuan golongannya beberapa tahun
yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah
pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi
kemudian usaha untuk membinasakannya dapat digagalkan
oleh orang-orang yang tak dikenal.
Karena itu, timbullah gairahnya untuk menjadi seorang
pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan
gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk
menyongsong kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak
nyaring, Nah, akhirnya aku ketemukan kau di sini Rangga
Tohjaya. Mudah-mudahan akulah orang yang dapat
memenggal lehermu dan membawanya dalam suatu
pertemuan yang akan kita selenggarakan kemudian sebagai
ganti dari pertemuan yang pernah kau gagalkan dahulu.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi langsung ia
menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak
terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi
terkejut. Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah
banyak menelan pahit-manisnya pertempuran, sehingga
meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia berhasil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah
bukan kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat,
melampaui kecepatan baling-baling. Yang tampak kemudian
hanyalah segulung sinar yang menyambar-nyambar Mahesa
Jenar dengan dahsyatnya. Namun Mahesa Jenar sekarang
bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh
orang-orang hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun
yang lalu. Ia kini telah menguasai ilmunya hampir
sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah bahwa
serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan
badai yang datang bergulung-gulung menghantam daundaun pepohonan, yang selembar demi selembar akan
runtuh berserakan di tanah.
Demikianlah akhirnya Uling Kuning menjadi basah kuyup
oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di
seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi
langit telah menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia
merasa perlu untuk mendapat bantuan dari saudaranya.
Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya meledak tiga
kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari
arah lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar
mengerti, bahwa tanda itu adalah sebuah undangan bagi
Uling Putih untuk datang membantunya. Dan apa yang
diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk
yang semakin samar-samar muncullah seseorang yang
bertubuh tinggi dan berwajah runcing. Sedang di tangan
kanannya, digenggamnya sebuah cambuk yang sama
dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang
bernama Uling Putih. Dengan serta merta Uling yang satu
itu pun langsung menyerang Mahesa Jenar, yang telah
bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan demikian
pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawan kedua bersaudara yang ganas itu. Namun karena
bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak pula
banyak mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian matahari telah benar-benar tenggelam
di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat merah
telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng
dengan munculnya bintang-bintang satu demi satu
menghiasi wajah langit. Bulan yang masih muda
menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah
menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa
anak manusia di bumi sedang mengadu tenaga. Sedangkan
angin pegunungan yang mengalir lirih menggoyang
dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk
memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang
bertempur dalam lingkaran kebenaran.
Pada saat yang demikian, kembali terasa betapa laskar
Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan
baru dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh
Mahesa Jenar beserta beberapa bagian laskar Gedangan,
sedang orang baru yang berjubah abu-abu itu ternyata
disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan
serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung
Tidar yang mencoba membantu Harimau Liar itu.
Maka, ketika ternyata, pimpinan pasukan gabungan dari
Pamingit dan gerombolan golongan hitam, Mahesa Jenar
melihat bahwa pasukannya tidak mungkin lagi dapat
tertolong apabila pertempuran diteruskan. Karena itu,
diputuskannya untuk perlahan-lahan menarik diri, dan
apabila mungkin besok dapat disusun kembali dengan gelar
yang menguntungkan. Tetapi belum lagi ia memberikan
aba-aba, tampaklah sayap-sayap pasukannya menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kacau balau. Ternyata Sima Rodra Tua sudah tidak dapat
lebih lama lagi bertahan melawan orang yang berjubah
abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah
abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat
pada Jaka Soka dan bahkan Bugel Kaliki, disamping
lawannya sendiri. Hal inilah yang kemudian memaksa Sima
Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab menurut
perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang
itu. Dengan demikian, untuk keselamatannya dan
keselamatan namanya sebagai seorang tokoh sakti, lebih
baik ia melarikan diri dengan tidak memperdulikan
barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk
mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima
Rodra Muda. Tetapi agaknya ia sama sekali tidak diberi
kesempatan bergerak oleh lawannya. Dengan demikian
usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan. Demikianlah maka Sima Rodra itu secepat ia dapat,
meloncat meninggalkan arena. Bahkan kemudian ternyata
tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel Kaliki. Ia
bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu,
disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu
penting. Sebab ia dapat melakukannya di saat lain. Ketika
diketahuinya bahwa sahabat yang membawanya itu
menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu
untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal
terjadi apabila ia berkelahi terus. Karena itu segera iapun
membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran itu
dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka
kacaulah laskar yang berada di dalam pasukan-pasukan
kedua orang itu, yang semula merupakan gading-gading
dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah menjadi
gelar Gelatik Neba. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena kekacauan itulah maka satuan pasukan Pamingit
dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa
orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka.
Berusaha melarikan diri mereka masing-masing.
Melihat kekacauan yang timbul di dalam barisannya,
Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba.
Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur.
Tetapi usahanya sia-sia. Jaka Soka yang merasa
ditinggalkan oleh orang-orang sakti diatasnya, merasa
menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian iapun
sedapat mungkin menyelamatkan diri. Dalam kekacauan
pertempuran itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya.
Apalagi cahaya bulan muda itu sama sekali tidak mampu
menembus tebalnya kabut yang masih mengepul tebal.
Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama
sekali tidak bernafsu untuk mengejar lawannya.
Di bagian lain, sepasang Uling yang bertempur dengan
Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan
orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun mereka tetap masih merupakan
sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya yang berani,
selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari
kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil
menghilang dibalik kepulan debu yang tebal. Mahesa Jenar
bersama-sama pasukannya tidak lagi dapat mengejar
mereka, "kita menutup jalan mereka dengan senjatasenjata jarak jauh. Panah, nadil dan sebagaimnya."
Akhirnya, Mahesa Jenar terpaksa menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya.
Namun sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut
ketika ia masih melihat dua orang yang bertempur matimatian. Mereka, kedua orang itu, yang sejak semula tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi, sampai
kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu
adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan
pakaian laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih
senang disebut Pudak Wangi. Janda Sima Rodra
sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit dan
Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan
sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka.
Namun agaknya usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis
yang menahannya dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata
Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang
mencari jalan keluar, "Ibu yang baik.... Jangan hentikan
permainan itu. Bukankah sewajarnya kalau seorang ibu
mengajari anaknya bermain. Jangan takut orang lain akan
turut campur. Persoalan kita adalah persoalan pribadi,
sehingga aku tidak mau ada orang lain yang ikut dalam
persoalan ini." "Bohong!" jawab janda itu, "Kau akan menjebak aku."
Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya, "Aku
bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat
melihat padaku, satunya kata dan perbuatan. Kalau kau
memang tidak berani berhadapan dengan cara ini, lebih
baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan
memaafkanmu." Sebagai seorang yang telah lama terbenam dalam
lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang
gadis yang kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia
menjadi mata gelap. Ia menjadi sama sekali tidak menaruh
perhatian kepada keadaan sekelilingnya. Biarlah seandainya
kemudian orang-orang lain akan mengeroyoknya. Asal ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang
menghinanya itu. Setelah itu, hidup matinya tidak berharga
lagi baginya, seandainya ia harus mati ditengah-tengah
musuh-musuhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar
Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang yang
mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan
Gunung Tidar meninggalkan arena, "Jangan ada seorangpun yang mencampuri urusan ini, sebab persoalan
kami bukanlah persoalan kalian. Juga jangan sesalkan
siapapun yang akan binasa diantara kami. Sebab kami telah
memilih cara seorang ksatria dalam penyelesaian masalah
kami, masalah yang terjadi antara anak dan ibu tirinya yang
durhaka." Berdesirlah setiap dada mereka yang mendengar suara
itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu
menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya
yang jauh lebih muda darinya. Tetapi karena itulah ia
menjadi lebih bernafsu untuk membinasakan gadis yang
sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau Liar
Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang
dibalut logam berbisa, mengembang dan menyambarnyambar dengan dahsyatnya. Kesepuluh ujung jari itu
kemudian seolah-olah mengurung setiap kesempatan
menghindar bagi Rara Wilis. Sebaliknya, Rara Wilis telah
menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang
umurnya. Tiba-tiba pada saat itu, terbayanglah dengan
jelas betapa perempuan itu datang kepada ayahnya. Sekalikali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu
dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak
dalam perangkapnya. Terbayang pula betapa ibunya,
seorang perempuan lugu, menangis memeluknya pada
umurnya yang masih sangat muda. Jelas menerawang di
dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul
dan mencambuknya. Namun ayahnya sama sekali tidak
membantunya. Sehingga akhirnya sampailah keluarga Rara
Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir
oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan
malu, ibunya, satu-satunya orang didunia ini yang dapat
dijadikan tempat untuk menyangkutkan cinta, meninggal
dunia. Lebih dari itu, perempuan itu kemudian ternyata
telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke
dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu
sendiri, yang memang berasal dari dalam lumpur paling
kotor. Karena angan-angan itulah maka Rara Wilis telah
membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya sendiri
yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap
ibunya, terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada
tekadnya untuk melenyapkan sumber kejahatan. Baginya,
perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya daripada
laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang
dapat berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya
yang cantik, namun kemudian menyeret korbannya ke
jurang yang paling dalam sampai tidak dapat timbul
kembali. Terdorong oleh perasaan itulah maka kemudian Rara
Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya
seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian,
mereka yang menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta,
kemudian menyusul Mahesa Jenar dan orang yang berjubah
abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh laskar
Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab
ternyata Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara
bertempur yang berbahaya. Sesekali ia meloncat menerkam
dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan teguhnya
berdiri menanti serangan-serangan lawannya. Demikianlah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau
Betina itu memang lebih berbahaya daripada lawannya
yang sama sekali tak bersenjata.
Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki senjata-senjata
yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah
sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas.
Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi kurang
adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata,
namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.
Tetapi tak seorangpun berani mencampuri pertempuran
itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat
menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis
akan dapat tersinggung perasaannya, dan merasa
direndahkan. Karena itu yang dapat mereka lakukan
hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di
bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekalisekali menahan nafas. Apalagi, ketika mereka telah bertempur lebih lama lagi.
Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan
pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara
Wilis hampir belum pernah mengalami pertempuran yang
sedemikian lamanya. Sehari penuh. Dengan demikian
tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi bertambah
lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah
yang menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian
terasa pula olehnya, bahwa perempuan liar itu memiliki
beberapa kelebihan daripada Wilis. Sehingga sambil
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik kekuatan
lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu.
Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat
berbahaya seperti yang pernah dikatakan oleh Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia pernah pula
bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima
Rodra agaknya telah tekun menambah kekuatannya,
sehingga sambaran kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih
berbahaya. Oleh penemuannya itu, maka terasalah olehnya, bahwa
wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab
dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu
berarti bahwa ia telah melawan seseorang yang bersenjata
dengan tangan hampa. Karena itu, Rara Wilis menjadi tidak
ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat, sekejap
kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang
yang tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan
pedang itu melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu
pedang khusus ajaran perguruan Pandan Alas.
Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan pedang itu.
Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat
berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar
membingungkan. Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis senjata.
Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan
diri dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun
demikian, kekuatan Rara Wilis kini bertambah karena tajam
pedangnya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin
garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit
dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang
diputarnya cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah
menjadi ribuan mata pedang gemerlapan menusuk dari
segenap arah. Dalam keadaan yang demikian, Janda Sima Rodra
menjadi semakin gelap mata. Serangan-serangannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi bertambah cepat, namun menjadi semakin
kehilangan pengamatan. Apalagi ketika gerakan-gerakan Rara Wilis menjadi
semakin mapan, makin terdesaklah Janda Sima Rodra.
Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus asa. Sambil
mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada
padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain
menjadi terkejut melihat serangan yang ganas itu. Sebab
bila Rara Wilis lengah sedikit saja, dadanya pasti dapat
dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa dengan
pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang,
sehingga pengamatannya atas lawannya menjadi semakin
jelas pula. Maka ketika Janda Rodra menerkamnya, segera Rara
Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri,
tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis
itu terjulur lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis
itu terasa menyentuh sesuatu dan tanpa sadar pedang itu
telah tenggelam ke dada lawannya dibarengi teriakan yang
mengerikan. Rara Wilis adalah seorang yang telah
menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam
perjalanan hidupnya ia sama sekali tidak bermimpi bahwa
pada suatu saat, dengan pedang di tangannya, akan
ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita untuk
dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan
perempuan yang telah menyeret ayahnya ke dalam lembah
kehinaan. Namun, ketika angan-angannya itu kini dapat
diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke dada
perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun
kehalusan perasaannya sangat terpengaruh karena itu.
Apalagi kemudian ketika dilihatnya darah segar menyembur
dari luka di dada ibu tirinya. Maka tiba-tiba Rara Wilis pun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak sempat menarik
pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian
menutupi wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyunghuyung jatuh. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan
cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata kemudian
Rara Wilis pingsan. Beberapa orang segera menjadi ribut. Dipijit-pijitnya
kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian
digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendorkan. Ternyata tubuh gadis itu telah basah kuyup
oleh keringat. Maka atas anjuran beberapa orang, dipapahnya Rara
wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh
beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang
penting agar diberi tanda-tanda dengan kentongan.
Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat Janda Sima
Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan
masyarakat karena kelakuan-kelakuannya yang kotor.
Kecuali ia seorang penjahat, ternyata Janda Sima Rodra
juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh
Mahesa Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan
upacara-upacara yang memuakkan diantara mereka,
gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima Rodra.
Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara
mahluk yang bernama manusia.
Pada saat yang demikian, bekas arena pertempuran itu
menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang
laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuhtubuh yang bergelim-pangan dari keduabelah pihak.
Suasana menjadi bertambah ngeri ketika terdengar di sanaSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka kemudian
keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara
orang-orang yang terluka dari pihak manapun.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi gelisah, bahwa
sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka diantara
mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak
semula perhatiannya terikat penuh pada pertempuran
antara Janda Sima Rodra dan Rara Wilis. Sedang pada saat
itu tak seorang pun yang masih tampak di daerah bekas
pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.
"Ada yang kau cari...?" terdengar Kebo Kanigara
bertanya, ketika dilihatnya Mahesa Jenar melayangkan
pandangan berkeliling. "Arya..." jawab Mahesa Jenar pendek.
Serentak mereka yang mendengar jawaban Mahesa
Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak
mereka lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi
gelisah. Lebih-lebih Wanamerta, selain Mahesa Jenar
sendiri. "Siapakah yang berada di sayap kanan bersama anak
itu?" teriak Mahesa Jenar.
Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan,
dengan sebuah parang di tangan, menjawab, "Aku... Tuan."
"Kau melihat anak muda itu...?" tanya Mahesa Jenar
lebih lanjut. "Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,"
jawabnya pula. "Di mana ia sekarang...?" desak Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk
mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya, "sejak
matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi."
"Lalu siapa yang memegang pimpinan?" tanya Mahesa
Jenar seterusnya. "Ya, sejak saat itulah anak muda itu hilang dari antara
kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan sapit
kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar," jawab orang
itu. Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak itu ternyata
benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi
pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan
menjadi lincah. Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak
buahnya tidak melihatnya lagi.
"Adakah anak itu terikat dengan lawan?" tanya Mahesa
Jenar kemudian. "Ya, Tuan..." jawab orang bertubuh pendek kegemukgemukan itu, "Aku lihat hal itu. Anak muda itu bertempur
melawan anak muda yang sebaya, bertubuh kuat gagah
seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka."
"Sawung Sariti..." desis Mahesa Jenar. Meskipun
demikian dadanya menjadi berdebar-debar. A nak itu adalah
murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran
itu Arya dapat dikalahkan..." Karena itu debar di dada
Mahesa Jenar makin bertambah.
"Marilah kita cari," kata Mahesa Jenar kemudian, sambil
melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena sayap
kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara,
Wanamerta, dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya
dengan berlari-lari kecil.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar telah melupakan
sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang
sebenarnya banyak menarik perhatiannya. Namun masalah
Arya Salaka baginya merupakan masalah yang tidak kalah
pentingnya. Tetapi ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah,
dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting
dalam usahanya untuk mencari Arya Salaka. Demikianlah,
beberapa orang yang lain pun segera berlari-lari pula.
Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam bimbingan
tangan ayahnya, sambil menggerutu, "Kenapa kau ikut
juga, Widuri..." Lebih baik kau kembali ke Gedangan
bersama-sama dengan bibi Wilis."
Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya, "Sebenarnya akupun
sudah terlalu lapar."
"Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu," sahut
ayahnya. "Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin
pulang kembali," jawab anak itu sambil tertawa.
"Jangan sombong," potong ayahnya, "Pulanglah."
"Tidak mau," jawab gadis tanggung yang nakal itu.
Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak akan dapat
memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya
sambil berlari mengikuti Mahesa Jenar.
Orang yang berjubah abu-abu itu masih saja berlari ke
suatu arah. Seolah-olah ada yang menunggunya di sana.
Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di
belakangnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis arah yang dituju
oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam
keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua
bayangan yang selalu bergerak-gerak dengan cepatnya.
Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa Jenar dapat
menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang
sedang bertempur diantara hidup dan mati. Melihat kedua
orang yang bertempur itu dada Mahesa Jenar bergetar.
Karena itu seakan-akan mempercepat langkahnya, sehingga
semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi semakin
besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan
dirinya, bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya
Salaka melawan Sawung Sariti.
Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah melihat
muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis,
sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu
itu. Dengan demikian ketika ia dengan penuh perhatian
berlari-lari mendekati titik pertempuran itu, ia tidak lagi
dapat mengetahui ke mana orang yang berjubah abu-abu
itu pergi. Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa orang lain tiba,
untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti
meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek,
"Kakang Arya Salaka, lihatlah orang-orangmu datang.
Tidakkah lebih baik kalau mereka kau suruh bertempur pula
melawan aku bersama-sama dengan Kakang...?"
Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak senang sama
sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya muridnya menjawab. Katanya, "Adakah kau
bermaksud demikian?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tentu," jawab Sawung Sariti. "Dengan demikian aku
akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus."
"Sayang," sahut Arya salaka, "Aku berkehendak lain. Aku
ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu
demi satu, kalau kau mampu."
"Apakah sulitnya?" potong anak yang sombong itu.
Arya Salaka tersenyum, katanya, "Kalau kau harus
menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan
untuk melawan sekian banyak orang satu demi satu?"
Aku tidak peduli, jawab Sawung Sariti. Meskipun
demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain,
sebab mereka tidak bersalah kepadaku.
Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku, sahut
Arya Salaka. Sebab kau begitu saja menyerang aku.
Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya, Kenapa
beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula"
Nah, ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang
adalah kelanjutan dari persoalan itu.
Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya, Supaya
aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana
kau singkirkan..." Wajah Sawung Sariti berubah menjadi semburat merah.
Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian
terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab, Kau
benar. Dan setiap orang yang tidak mau berjanji untuk
merahasiakan hal itu kepada orang-orang Banyubiru akan
aku binasakan juga. Bagus... jawab Arya Salaka, Mulailah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi Sawung Sariti memandang orang-orang yang
berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia
sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk
membinasakan mereka itu seorang demi seorang. Namun
ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang
tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan
seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati
Sawung Sariti tergetar. Sawung Sariti merasa perlu untuk
meyakinkan bahwa Mahesa Jenar tidak akan melibatkan diri
dalam pertempuran. Katanya. Paman Mahesa Jenar, apakah
Paman juga tertarik pada permainan ini" Kalau benar
demikian aku persilakan Paman membantu kakang Arya
Salaka. Mahesa Jenar tahu arah bicara anak itu. Jawabnya, Kau
tak perlu berkecil hati Sawung Sariti. Meskipun kami bukan
orang-orang yang memiliki gelar ksatria, namun kami
mengenal sifat-sifat kejantanan. Apalagi terhadap anakanak seperti kau ini. Sawung Sariti merasa tersinggung karenanya. Meskipun
demikian ia menjadi berbesar hati bahwa ia telah mendapat
jaminan, bahwa ia dibiarkan bertempur seorang melawan
seorang dengan Arya Salaka. Karena itu ia meneruskan,
Nah kalau demikian relakan murid Paman ini binasa karena
ketamakannya. Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun terpaksa ia
menahan hatinya yang sama sekali tidak senang atas katakata itu. Juga Arya Salaka merasa tidak perlu berkata-kata
lagi. Karena itu, segera ia mempersiapkan diri untuk
meneruskan pertempuran yang telah berjalan demikian
panjangnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti pun bersiap pula. Mulutnya terkatup rapat,
tangannya bersilang di depan dadanya. Kemudian dengan
sebuah loncatan yang cepat ia mulai menyerang. Geraknya
lincah dan tangkas sesuai dengan ajaran-ajaran yang
pernah diterimanya dari seorang guru yang mumpuni.
Dimodali dengan tubuhnya yang kokoh kuat serta otak yang
cerdas licin. Namun lawannya bukan pula anak larahan.
Tetapi ia adalah murid seorang yang berhati jantan dan
bertekad baja, serta telah mengalami tempaan yang luar
biasa beratnya untuk mewarisi ilmu keturunan Ki Ageng
Pengging Sepuh, tidak saja dari Mahesa Jenar, tetapi juga
dari Kebo Kanigara langsung.
Karena itulah maka perkelahian yang terjadi merupakan
perkelahian yang sengit dan seimbang. Kedua-duanya
dapat bergerak dengan lincahnya sambar-menyambar, dan
keduanya dapat bertahan dengan tangguh melawan setiap
serangan. Mereka saling desak-mendesak berganti-gantian
silih ungkih singa lena. Pukulan tangan Sawung Sariti menyambar-nyambar
berdesingan, namun Arya Salaka dengan tangkasnya selalu
dapat menghindari. Namun sekali-sekali tangan itu berhasil
pula mengenai tubuhnya. Demikianlah pada suatu saat
sebuah sambaran tangan Sawung Sariti hinggap di dada
Arya Salaka sedemikian kerasnya sehingga Arya terdorong
surut. Tetapi Sawung Sariti tidak mau membiarkan
kesempatan itu. Cepat ia meloncat maju dan sekali lagi
menyerang dengan kakinya ke arah lambung ketika Arya
masih belum dapat menjaga keseimbangannya dengan
baik. Ketika Arya melihat serangan itu, ia tidak dapat
berbuat lain daripada melindungi lambungnya dengan
tangan, namun karena desakan yang keras, serta
keseimbangannya yang belum pulih benar. Sekali lagi Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdorong, bahkan lebih keras sehingga ia jatuh berguling.
Sekali lagi Sawung Sariti mendesak maju. Dengan sebuah
loncatan ia berusaha untuk menerkam dan menindih Arya.
Kedua tangannya terjulur ke depan ke arah leher lawannya.
Pada saat yang demikian Arya melihat bahaya yang bakal
datang apabila lawannya benar-benar dapat mencekik serta
menindih tubuhnya. Maka ketika ia melihat tubuh itu
melayang ke arahnya, segera ia menelentang dan dengan
sekuat tenaganya ia mendorong tubuh itu dengan kedua
kakinya tepat pada bagian bawah perutnya. Demikianlah
Sawung Sariti terdorong keras ke depan, melampaui tubuh
Arya Salaka. Namun Sawung Sariti mempunyai ketangkasan
yang cukup pula. Dengan berguling ia dapat menyelamatkan tubuhnya dari benturan yang keras. Bahkan
ia segera dapat loncat berdiri. Tetapi pada saat itu Arya
telah siap pula. Bahkan ia berhasil mendahului menyerang.
Dengan sebuah loncatan yang panjang Arya memukul
rahang lawannya. Kali ini Sawung Sariti tidak berhasil
menghindar. Dengan sebuah sentakan yang keras, kepala terangkat
sambil tergetar mundur. Dengan penuh nafsu Arya sekali
lagi melangkah serta mengayunkan tangannya ke arah
perut lawannya. Terdengarlah suara yang tersekat di
kerongkongan, dan tubuh Sawung Sariti terbungkuk ke
depan. Namun ketika Arya mengulangi serangannya,
dengan cepatnya Sawung Sariti demikian saja menjatuhkan
dirinya. Kali ini tangan Arya terayun diatas kepala lawannya
tanpa menyinggungnya. Sehingga malahan tubuhnya
terseret oleh kekuatannya sendiri. Pada saat itulah Sawung
Sariti menghantam dadanya dengan kakinya yang kokoh.
Suaranya gumebruk seperti terhantam batu. Sekali lagi Arya
terlontar mundur. Dan sekali lagi Sawung Sariti mendesaknya dengan pukulan-pukulan. Sehingga akhirnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
punggung Arya membentur dinding karang yang tegak di
belakangnya. Pada saat yang demikian Arya tidak lagi dapat
melangkah surut. Karena itu ketika Sawung Sariti
menghantamnya, Arya melawannya dengan sebuah
tendangan mendatar. Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Arya Salaka
dapat menekankan punggungnya pada karang di belakangnya, sehingga ia seolah-olah mendapat tambahan
kekuatan. Dengan demikian Sawung Sariti terdorong
mundur beberapa langkah. Meskipun demikian terasa
betapa pedihnya punggung Arya, yang ternyata menjadi
luka karena tajamnya karang-karang itu. Bahkan kemudian
terasa cairan hangat meleleh perlahan-lahan di bawah
bajunya yang tersobek. Darah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mengalami peristiwa itu Arya menjadi semakin marah.
Karena itu ia menjadi bertambah garang. Serangannya yang
datang kemudian menjadi bertambah berbahaya. Dengan
melontarkan diri ia maju menyerang dada. Tetapi Sawung
Sariti telah siap. Sehingga dengan cepat ia meloncat ke
samping, dan membalas menyerang dengan sebuah
pukulan ke arah muka lawannya.
Melihat lawannya lepas, Arya menarik serangannya, dan
ketika ia melihat tangan Sawung Sariti melayang ke
wajahnya, secepat kilat tangan itu ditangkapnya. Dengan
membalikkan diri serta menekuk lututnya sedikit, Arya
menarik tangan itu keras-keras diatas pundaknya, dan
dengan dorongan pundak itu Arya melemparkan tubuh
lawannya ke depan Dengan kerasnya Sawung Sariti terlempar. Meskipun ia
memiliki ketangkasan bergerak, namun kemudian ia
terbanting juga di tanah. Hanya karena ketahanan
tubuhnya yang luar biasa, tulang punggungnya tidak patah.
Bahkan dengan suatu hentakan ia berhasil melepaskan
tangannya dan berguling menjauhi Arya. Kemudian dengan
tangkasnya ia melenting berdiri. Namun terasa pula betapa
rasa sakit telah mengganggu pinggangnya.
Demikianlah, perkelahian itu berlangsung dengan
serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap
tenaganya untuk mengalahkan lawannya. Namun sampai
sedemikian jauh mereka masih tetap dalam keadaan
seimbang. Sedang mereka yang menyaksikan perkelahian
itu, kadang-kadang harus menahan nafas dengan hati yang
berdebar-debar. Arya Salaka dan Sawung Sariti berkelahi dengan penuh
nafsu. Dengan segala ilmu yang mereka miliki, mereka ingin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
segera menyelesaikan pertempuran itu, namun agaknya
pertempuran itu masih akan berlangsung lama. Untuk itu,
ternyata mereka mempunyai beberapa perbedaan pengalaman. Sawung Sariti adalah seorang yang manja.
Yang hidup dalam lingkungan yang tidak banyak
memerlukan tenaganya. Sedang Arya salaka menjalani
hampir seluruh hidupnya dengan bekerja keras, berjalan
dari matahari terbit sampai terbenam, membenamkan
dirinya dalam kancah lumpur sawah bersama para petani.
Mengarungi lautan sebagai anak nelayan di pantai Tegal
Arang. Karena itulah Arya Salaka mempunyai ketahanan
jasmaniah yang lebih daripada Sawung Sariti. Dengan
demikian maka ketika bulan yang masih muda itu
menenggelamkan dirinya, tampaklah bahwa tenaga Sawung
sariti yang bagaimanapun kuatnya setelah demikian lama
dengan nafsu penuh berjuang, menjadi surut. Meskipun
tenaga Arya Salaka surut pula, namun hal yang demikian
nampak lebih jelas pada lawannya.
Agaknya Sawung Sariti merasakan hal itu pula. Karena
itu ia menjadi gelisah. Ia tidak mau mengalami kekalahan
dari kakaknya, meskipun bagaimanapun juga. Bahkan ia
menjadi heran kalau kakaknya dapat mengimbangi
kekuatannya setelah ia digala mati-matian oleh kakeknya,
Ki Ageng Sora Dipayana. Karena kegelisahannya itulah
akhirnya ia mengambil suatu keputusan yang menentukan.
Maka ketika Sawung Sariti telah merasa semakin lelah,
segera ia ingin mengakhiri pertempuran. Dipusatkannya
segenap pancainderanya dalam suatu perhatian, disalurkannya nafasnya dengan teratur untuk menemukan
kebulatan kekuatan dalam pancaran ilmu yang pernah
diterimanya, Lebur Sakethi. Direntangkannya tangannya ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
samping dengan kaki setengah langkah yang ditekuk pada
lututnya. Semua yang melihat sikap itu menjadi terkejut. Apalagi
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah mengenal
kedahsyatan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana itu. Hampir saja
mereka bergerak untuk mencegahnya. Namun dengan
berdebar-debar mereka terpaksa membatalkan niatnya.
Sebab mereka telah berjanji untuk menyerahkan penyelesaian itu kepada Arya Salaka. Disamping itu mereka
menjadi bertambah kecewa terhadap Sawung Sariti yang
telah mempergunakan ilmu dahsyat itu sebagai alat
penyelesaian dengan keluarga sendiri, untuk mempertahankan keserakahan dan ketamakan.
Arya Salaka sendiri terkejut pula melihat sikap Sawung
Sariti. Untunglah bahwa gurunya pernah memperkenalkan
bentuk-bentuk ilmu yang dahsyat itu, sehingga segera ia
mengenal bahwa Sawung Sariti telah mempersiapkan ilmu
Lebur Sakethi. Dengan demikian Arya pun dengan cepatnya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir. Ia telah mendapat pesan wanti-wanti dari gurunya
untuk tidak mempergunakan ilmu Sasra Birawa dalam
sembarang keadaan. Tetapi keadaan ini gawat sekali. Kalau
ia sampai tersentuh Lebur sakethi tanpa matek aji Sasra
Birawa, ia yakin bahwa dadanya akan rontok. Karena itu,
yang dapat dilakukan adalah segera bersiaga lahir batin.
Diangkatnya satu tangannya tinggi-tinggi, tangan yang lain
menyilang di dada, sedang satu kakinya diangkat serta
ditekuk ke depan. Tepat pada saat ia selesai dengan
pemusatan tenaganya, dilihatnya Sawung Sariti telah
meloncat maju dengan melingkarkan kedua tangannya yang
kemudian bersama-sama mengarah ke kepalanya. Arya
tidak mau binasa dalam keadaan yang mengerikan. Karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu ia pun segera dengan mengerahkan segenap kekuatan
ilmunya, Sasra Birawa. Maka segera terjadilah benturan dari dua macam ilmu
yang dahsyat itu. Sasra Birawa berbenturan dengan Lebur
Sakethi. Dua macam ilmu keturunan dari dua orang sahabat
yang pernah berjuang bersama-sama melawan kejahatan.
Namun sampai pada keturunannya, ilmu itu terpaksa
berbenturan dalam perjuangan yang benar-benar diantara
hidup dan mati. Beberapa tahun lampau kedua ilmu itu pernah pula
berbenturan diatas Gunung Tidar. Namun pada saat itu
benturan terjadi karena salah paham. Apalagi waktu itu
mereka yang berkepentingan merasa mempertaruhkan
barang yang paling berharga, yaitu keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Mahesa Jenar pada saat iti sama
sekali belum pernah mengenal Gajah Sora, dan sebaliknya,
kecuali setelah mereka siap menghantamkan ilmu-ilmu itu.
Sekarang, hal serupa terjadi. tetapi latar belakang
persoalannya jauh berbeda. Sekarang, benturan itu terjadi
karena persoalan hak. Banyubiru bagi Arya Salaka adalah
tanah pusaka, tanah tercinta.
Demikianlah, akibat benturan itupun dahsyat sekali. A rya
Salaka dan Sawung Sariti sama-sama terlempar jauh ke
belakang, dan seterusnya mereka jatuh terguling-guling.
Untunglah bahwa kedua anak muda itu belum memiliki
kedua macam ilmu itu dengan sempurna. Sehingga karena
itulah maka ketahanan tubuh mereka dalam pemusatan
ajian masing-masing masih dapat bertahan sehingga
mereka tidak hancur karenanya. Meskipun demikian untuk
beberapa saat mereka terpaksa membiarkan diri mereka
terbaring tak bergerak. Seolah-olah tenaga mereka terlepas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dari sendi-sendinya.Dalam hal yang demikian, kembali
ketahanan tubuh Arya Salaka tampak lebih besar dari
Sawung Sariti. Ialah yang mulai dapat menggerakkan
tubuhnya dan perlahan-lahan bangun. Dengan susah payah
ia berhasil duduk dan bersandar pada kedua belah
tangannya. Baru sesaat kemudian tampak Sawung Sariti
mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang
meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk
segera dapat bangkit berdiri.
Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat
perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya.
Katanya, "Anakku berdua... sudahilah pertempuran itu.
Tidakkah ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah kalian
dengan tidak usah menumpahkan darah?"
Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak yang
sombong. Yang dalam hidupnya sehari - hari seolah - olah
tak seorangpun yang berani membantah kemauannya.
Karena itu meskipun keadaan tubuhnya sangat tidak
menguntungkan, namun ia menjawab,"Paman sudah
menyerahkan masalah kami kepada kami berdua. Kalau
Paman tidak rela murid Paman binasa, suruhlah orang lain
membantunya." Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun
betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya
lebih lanjut, "Apakah yang dapat kalian peroleh dengan
perkelahian itu" Kunci persoalannya tidak terletak pada
kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah kalian
adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau
kalian terpaksa bertempur mati - matian" Kalau ada
persoalan biarlah kita bicarakan, sedang kalau ada masalah
marilah kita pecahkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara
seorang laki-laki," jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil mengusap
dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya
tidak hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia
berkata pula, "Sawung Sariti... kejantanan seorang laki-laki
tidak saja diukur dengan keprigelannya bertempur, tetapi
juga harus dinilai dengan keluhuran budi. Dengan demikian
barulah penilaian kita sempurna. Keluhuran budi itu dapat
dicerminkan oleh tujuan serta pelaksanaan untuk mencapai
tujuan itu." "Kau jangan menggurui aku Paman," potong Sawung
Sariti, "Sebab aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah,
bahwa tujuanku bukan sekadar membinasakan Arya Salaka,
tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah ketenteraman
hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit."
"Bagus, Sawung Sariti..." sahut Mahesa Jenar. "Demikian
hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun
ketahuilah bahwa aku yakin, AryaSalaka pun berhasrat
demikian pula. Apakah salahnya kalau kalian dapat bekerja
bersama dalam batas - batas yang ditentukan oleh
kemampuan kalian masing-masing?"
Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata Mahesa Jenar
memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang
dilakukan selama ini adalah untuk ketenteraman hidup
rakyatnya, maka sebaiknya tidak perlu ia mengejar-ngejar
Arya Salaka, apalagi membunuhnya. Tetapi tiba-tiba
kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa
atas tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak
Arya Salaka. Karena itu segera ia menjawab, "Paman, aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hanya dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang
tahu diri serta tahu menempatkan dirinya."
"Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?" tanya Mahesa
Jenar. Pada saat itu dada A rya rasa-rasanya sudah akan pecah.
Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang
seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas
kasihan Sawung Sariti. Terdorong oleh darah remajanya
yang sedang bergelora, berteriaklah Arya Salaka mengatasi
suara Mahesa Jenar yang hampir melanjutkan perkataannya, "Paman, biarlah Adi Sawung Sariti memilih
cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah
ini." Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Arya
Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian
ia masih mencoba berkata, "Tak ada masalah yang tak
dapat terpecahkan diantara kalian, sebagai keturunan
bersama dari Ki Ageng Sora Dipayana."
Nama itu memang untuk sementara dapat mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah
haus kekuasaan telah menjamah seluruh relung-relung hati
Sawung Sariti. Karena itu ia sudah tidak mau berbicara lagi.
Meskipun tubuhnya masih belum segar benar namun ia
telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan
yang seimbang, ia memilih cara lain untuk membinasakan
Arya Salaka dengan kecepatannya memainkan pedang.
Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang
berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya
bintang gemintang di langit yang kelam.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar. Ia merasa tidak
dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali
perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung
Sariti. Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada
hakekatnya tidak banyakb erarti dalam percaturan tata
pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab beberapa orang
Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup
dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila
ternyata kemudian Arya Salaka tidak kembali, maka para
pemimpin Banyubiru pasti akan mengurai persoalan itu.
Dan dengan demikian, ketenteraman yang diharapkan tidak
akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian adalah
penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela
pemimpin mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti
akan tersingkap pula, setelah Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten dapat diketemukan.
Tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu
pertempuran yang sengit. Ketika Arya Salaka melihat
gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka
segera iapun mencabut tombaknya yang diberinya sebuah
tangkai pendek. Tombak yang merupakan pertanda
kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau,
bernama Kyai Bancak. Demikianlah sekali lagi, Arya Salaka dan Sawung Sariti
menyabung nyawanya. Dua bayangan yang bergerak-gerak
dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya
sinar pedang, dan cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak
yang bernama Kyai Bancak itu.
Kembali perkelahian itu berkobar dengan serunya.
Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam
senjata yang dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti
benar-benar dapat mewarisi keahlian bermain pedang dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya dapat
mengimbangi. Tombaknya yang bertangkai pendek itu
mematuk-matuk berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh
Sawung Sariti. Tetapi ketika pertempuran itu telah berlangsung
beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah
jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi
berkurang. Demikianlah, maka ketika Sawung Sariti
mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk menyerang
lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping.
Arya sama sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung
Sariti, tetapi dipukulnya pedang yang hanya berjarak
beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya.
Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya
akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar
sehingga tangannya terasa pedih. Sebelum ia sempat
memperbaiki keadaannya, sekali lagi Arya menghantam
pedang itu. Kali ini A rya Salaka berhasil. Pedang itu dengan
kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti.
Mengalami peristiwa itu, dada Sawung Sariti bergoncang.
Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri
melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya
meloncat pula, bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang
hampir kehabisan tenaga. Apa yang terjadi kemudian
adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di dada
anak muda yang sombong itu.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, menahan
nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu
apa yang akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak
pusaka dari Banyubiru itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka mengagumi
pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya
telah melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap
mata dapat membunuhnya, namun anak itu sama sekali
tidak menjadi takut. Bahkan terdengar giginya gemeretak
sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan sesaat
kemudian terdengar ia berkata, "Ayo, Kakang Arya Salaka.
Bunuhlah aku dengan tombak kebesaran Banyubiru itu."
Sebenarnya darah Arya Salakapun telah cukup panas.
Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia
menggerakkan tangannya beberapa jengkal. Dengan
demikian Sawung Sariti pun akan binasa. Namun tiba-tiba,
ketika ia telah memilki kunci kemenangan, tampaklah pada
wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa
lampaunya. Masa kanak-kanaknya. Dimana mereka berdua
dengan anak itu bermain bersama di Rawa Pening kalau
kebetulan Sawung Sariti berada di Banyubiru. Sebaliknya
mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki bukitbukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang
kemudian dimakan bersama.Diingatnya dengan jelas,
alangkah rukunnya pergaulan kanak-kanak yang masih jauh
dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada saat itu
seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua,
permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka
mereka berdua. Kalau kebetulan Arya Salaka sedang
dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh kesayangan
seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya
Salaka selalu berusaha untuk meredakannya. Pada saat
yang demikian, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik
mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan
adik sepupu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus berhadapan
sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut
nyawa. Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanakkanak yang tinggal dapat dikenangnya. Masa dimana hati
mereka belum dikotori oleh nafsu dan dendam.
Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi heran ketika ujung
tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum
menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam
kegelapan malam ia melihat Arya memejamkan matanya
serta menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia sedang
berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada
saat itu. Memang pada saat itu Arya Salaka sedang berusaha
untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanakkanaknya. Namun ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan
matanya, justru bayangan itu semakin jelas. Bayangan dua
orang anak-anak yang berlari-lari sambil berteriak-teriak
nyaring dan berbimbingan tangan.
Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung
Sariti dengan tataknya, "Kenapa tidak kau lakukan itu
sekarang Kakang" Adakah kau takut melihat darah yang
akan menyembur dari luka di dadaku?"
Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi
gemetar. "Jangan berlaku seperti perempuan cengeng," sambung
Sawung Sariti. Namun Arya masih diam saja. Memang dalam
perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang
berbeda, sehingga watak merekapun menjadi jauh berbeda
pula. Dengan demikian suasana menjadi bertambah tegang.
Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak muda yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada
yang berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan
terjadi. Namun agaknya Mahesa Jenar yang telah lama
bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan yang
menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa,
mudah-mudahan Arya mengambil keputusan lain. Sehingga
ia tidak membunuh saudara sepupunya itu dengan
tangannya sendiri. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan
suara gemetar Arya berkata, "Adi Sawung Sariti, jangan
berkata demikian. Mungkin benar aku tidak akan berani
melihat darah yang menyembur dari luka di dadamu,
karena kau adalah adikku, yang pernah mengalami
keindahan masa kanak-kanak bersama-sama. Nah, Adi
Sawung Sariti, pulanglah. Dan berpikirlah baik-baik agar
masalah diantara kita dapat kita selesaikan tanpa
pertumpahan darah. Baik darah kita sendiri maupun darah
rakyat kita." Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. Jawabnya, "Kalau
kau tidak membunuh aku sekarang, Kakang... kau akan
menyesal. Sebab akulah kelak yang akan membunuhmu."
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Namun
tangannya yang memegang tombak itu masih saja gemetar.
Katanya kemudian hampir berdesis, "Aku harap kau akan
mengubah pendirianmu. Akan kau temukan kelak
kebenaran kata-kataku. Tak ada persoalan diantara kita,
apabila kita berdiri di tempat kita masing-masing. Sehingga
dengan demikian kita dapat memberikan tenaga dan pikiran
kita untuk kepentingan tanah kelahiran serta kedamaian
dan ketenteraman hidup rakyat kita. Dimana kita dilahirkan,
dan untuk siapa kita berbakti."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata Arya Salaka, Sawung Sariti menarik
keningnya. Sekali terlintas di dalam otaknya, kebenaran
kata-kata itu, seperti apa yang didengarnya dari Mahesa
Jenar. Tetapi dalam keadaan yang demikian, muncullah kembali
kebengalannya. Sebagai seorang yang mempunyai harga
diri terlalu tinggi, ia tidak mau menyerah dan minta maaf.
Malahan terdengar jawabnya, "Kakang Arya Salaka.
Pertimbangkan sekali lagi. A pakah untungmu membebaskan
aku. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku tetap akan
membunuhmu dalam keadaan yang bagaimanapun."
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Juga Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara menjadi pening mendengar katakata Sawung Sariti. Bahkan beberapa orang menjadi tidak
sabar lagi. Kenapa anak yang sedemikian sombongnya tidak
dibunuh saja. Namun Arya berpikir lain. Kelakuannya banyak dipengaruhi oleh tingkah laku Mahesa Jenar. Apalagi yang
berdiri di hadapannya itu adalah adik sepupunya. Maka
dengan tidak berkata-kata lagi, ditariknya ujung tombaknya
dan langsung disarungkannya. Kemudian ia melangkah
mundur. Gigi Sawung Sariti masih terdengar gemeretak. Marahnya
sama sekali tidak mereda. Apalagi ia merasa mendapat
penghinaan dari kakak sepupunya. Karena itu darahnya
justru menjadi meluap-luap. Dendamnya menjadi semakin
bersusun-susun didalam hatinya yang kelam. Pada saat itu
ia masih tetap berdiri dengan gagahnya. Matanya
memandang tetap kepada Arya Salaka. Hanya kadangkadang saja mata itu menyambar wajah-wajah Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Bahkan sempat pula ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menangkap pancaran mata yang bulat segar dari seorang
gadis tanggung yang bernama Endang Widuri.
Demikianlah Sawung Sariti telah membakar perasaan
mereka yang menyaksikan peristiwa itu. Beberapa orang
berpendirian bahwa orang yang demikian sombongnya itu
lebih baik dibinasakan saja sebelum menjadi lebih
berbahaya lagi. Namun Arya Salaka sendiri mengharap,
mudah - mudahan adiknya itu dapat menemukan kembali
jalan kebenaran. Menyadari kesalahan-kesalahan yang
diperbuatnya. Dengan demikian ia akan menemukan
penyelesaian tanpa menanam dendam yang lebih dalam
dari cabang keturunan Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga
kelak tidak akan mengganggu kedamaian hidup berdampingan sebagai dua orang bersaudara yang
memerintah atas tanah masing-masing. Pamingit dan
Banyubiru. Arya Salaka sendiri telah berusaha keras untuk
menyimpan dendam atas hilangnya ayahnya Gajah Sora,
serta berusaha untuk melupakannya. Sebab apabila
dendam dituntut dengan dendam, maka dendam itu sendiri
akan menjalar turun-temurun. Dan habislah manusia di
dunia ini terbenam dalam arus pembalasan demi
pembalasan. Beberapa orang menjadi keheran-heranan ketika malahan Arya Salaka memutar tubuhnya dan kemudian
melangkah pergi menjauhi adiknya yang masih berdiri
tegap tanpa bergerak. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara sama sekali tidak menyesal. Bahkan mereka
merasa berbangga hati atas keluhuran budi yang memancar
dari rongga dada muridnya, meskipun kemudian mereka
masih mendengar Sawung Sariti berkata, "Kakang jangan
mengharap hatiku menjadi cair oleh sikapmu kali ini.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bagaimanapun juga kau tidak akan dapat kembali
menjamah daerah perdikan Banyubiru."
Arya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengarkan lagi lagu yang menyakitkan hati itu, supaya
ia tidak mengubah keputusannya. Karena itu ketika ia
mendengar Sawung Sariti meneruskan kata-katanya, ia
berteriak, "Pergilah, dan ambil pedangmu. Bunuhlah aku
kelak kalau kau sudah merasa mampu. Aku akan merasa
bahagia kelak, kalau aku binasa ndhepani tanah pusaka
serta rakyat tercinta. Demi mereka, aku bersedia untuk
mati." Setelah itu ia tidak menoleh lagi. Langkahnya menjadi
semakin cepat. Bahkan ia tidak menghiraukan lagi orangorang yang berdiri berjajar mengelilinginya. Ia tidak peduli
apakah orang lain akan membenarkan pendiriannya atau
tidak. Demikianlah Arya Salaka dengan langkah tetap langsung
menuju ke Gedangan. Beberapa orang berjalan mengiringinya dengan berbagai perasaan menggayut hati.
Meskipun ada diantara mereka yang menjadi kecewa,
namun disela-sela perasaan itu, kagumlah mereka atas
kebesaran jiwa anak muda itu. Mereka yang tidak
mengetahui latar belakang dari peristiwa itu hanya
menganggap, betapa tinggi jiwa kejantanannya. Sebagai
seorang laki-laki jantan ia tidak akan membunuh orang
yang sudah tidak berdaya lagi.
Sawung Sariti memandang iring-iringan itu sampai
lenyap dibalik tabir kegelapan malam. Beberapa kali ia
menarik nafas. Kemudian ia melangkah maju, dan
kemudian membungkuk memungut pedangnya. Dengan
tajam diamat-amatinya pedang kebanggaannya itu. SeolahSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
olah ia sedang bertanya pada benda itu, kenapa kali ini ia
tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Bahkan dibeberapa bagian dilihatnya pedangnya mengalami
kerusakan. Karena itu ia menjadi kagum atas ketajaman
dan kekerasan baja bahan tombak yang bernama Kyai
Bancak. Setelah ia menyarungkan pedangnya, dilayangkan
pandangannya berkeliling. Baru kemudian terasa betapa
sepinya. Perlahan-lahan ia melangkah dan berjalan
menjauhi tempat dimana ia hampir saja binasa.
Sesaat kemudian arena itu menjadi sunyi. Sunyi sekali.
Namun didalam kegelapan malam, masih ada seorang yang
berdiri diantara mayat-mayat yang masih bergelimpangan
di sana-sini. Orang itu adalah Mahesa Jenar. Ia tidak turut
serta dengan orang-orang lain kembali ke Gedangan. Tetapi
ia berhenti beberapa tonggak dari desa itu. Ia tahu bahwa
dalam keadaan yang demikian, Arya lebih senang duduk
sendiri. Merenung dan menimbang-nimbang apa yang
sudah dan akan dilakukan. Karena itu lebih baik ia tidak
mengganggu. Kebo Kanigara telah lebih dahulu kembali ke
Gedangan mengantar anaknya yang kelaparan bersama
dengan Wanamerta dan orang-orang lain.
Namun pada saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak
merasa lapar. Beberapa kali ia membungkuk mengamatamati mayat-mayat yang terbujur lintang diarena. Ada
diantaranya yang sudah tua, tetapi ada diantara yang masih
sangat muda. Sekali dua kali terpaksa ia mengusap
dadanya. Sekian banyak orang melepaskan nyawanya,
hanya karena ketamakan beberapa orang yang ingin
memegang kekuasaan. Berbahagialah mereka yang mati
dalam tugas suci mereka. Tetapi sayanglah jiwa yang
melayang sebagai korban nafsu yang tak terkendali.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah malam bertambah kelam. Di langit masih
tampak berterbangan kelelawar mencari mangsa. Sedang di
kejauhan terdengar gonggongan anjing liar mengerikan.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak di dalam gelapnya
malam diantara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Matanya memandang jauh, ke arah bintang-bintang di
langit. Namun hatinya dipenuhi oleh pertanyaan-ternyataan
tentang esok. Apakah kira-kira yang akan terjadi" Adakah
pasukan dari Pamingit dan rombongan orang-orang
golongan hitam itu akan kembali lagi menyerang" Ataukah
mereka sudah merasa bahwa mereka tak berhasil"
Meskipun demikian adalah menjadi kewajiban Mahesa Jenar
untuk tetap waspada dan bersiaga sepenuhnya. Sekalisekali dilayangkan pandangan matanya ke arah pedukuhan
Gedangan yang lamat-lamat meremang, seperti bayangan
yang kelam menggores di wajah langit. Mahesa Jenar
menarik nafas. Pedukuhan itu tampak betapa damainya
dalam kelelapan tidurnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi
keributan sama sekali. Tetapi disini. Bukti-bukti itu
dihadapinya. Mayat dan bau darah.
Menghadapi kenyataan itu, darah Mahesa Jenar berdesir.
Namun ia sadar sesadar-sadarnya bahwa kehadirannya di
dunia ini bukanlah sekadar untuk menjadi umpan nafsu dan
ketamakan. Tetapi sebagai manusia, ia wajib menegakkan
kebenaran dengan usaha-usaha menurut jalan yang
dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika Mahesa Jenar sedang tenggelam dalam anganangannya, tiba-tiba di kejauhan tampaklah sebuah
bayangan yang melintas dengan cepatnya. Mahesa Jenar
menjadi terkejut karenanya. Tetapi dalam tangkapannya
yang hanya sekilas itu, tahulah ia bahwa bayangan itu
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah orang yang berjubah abu-abu, yang dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertempuran yang terjadi beberapa saat sebelum itu,
merupakan penyelamat yang menentukan.
----------o-dwkz-arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 14 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Maka, timbullah keinginannya untuk mengenal orang itu
dari dekat. Karena itu segera ia meloncat dan berlari
secepat-cepatnya ke arah bayangan yang melintas itu.
Namun ternyata Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasil.
Yang terbentang di hadapannya hanyalah wajah malam
yang hitam kelam. Sedangkan bayangan itu sama sekali
sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian perhatiannya kini
telah berpindah dari pertempuran yang baru saja terjadi
kepada orang yang berjubah abu-abu itu. Siapakah
gerangan orang yang telah menjadi teka-teki sampai
bertahun-tahun itu" Kalau saja saat itu Ki Ageng Gajah Sora
ada disampingnya, maka ia akan dapat mencari
pertimbangan, bahwa pasti orang itulah yang telah
mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
dari Banyubiru. Tetapi apakah gerangan maksud yang
sebenarnya" Dan kenapakah orang itu tiba-tiba saja muncul
pada saat dirinya terancam bahaya" Bahaya yang hampir
saja tak dapat dihindarkan. Apalagi dalam pertanggungjawabannya terhadap seluruh anak buahnya.
Tetapi bayangan itu kini sudah lenyap. Yang tinggal
hanyalah beberapa masalah, pertanyaan-pertanyaan dan
teka-teki yang bercampur baur berputar-putar di dalam
otak Mahesa Jenar. Campurbaur antara gambaran gambaran hari esok serta kenangan hari kemarin yang
kadang-kadang tak dapat ditemukan sendi-sendi penyambungnya. Dalam pada itu sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. Kali ini
lamat-lamat ia mendengar suara tembang. Jauh sekali,
meskipun setiap kata yang terlontar dapat didengarnya
dengan jelas. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi termangu-mangu. Siapakah yang
berdendang di tengah malam, diantara bau mayat dan
darah ini..." Mula-mula pikirannya terbang kepada Ki Ageng
Pandan Alas. Namun ternyata suara itu lain. Bukan suara
yang sudah sering didengarnya.
Ketika dendang itu telah genap satu bait, ternyata
terdengar diulangnya kembali. Kata demi kata didengarnya
dengan seksama. "Memanising manungsa sejati,
sesantine mring laku utama,
lukita mesu budine, meruhi hawa lan napsu, mrih sampurna lair lan batin,
kanti atapa brata, gegulang mrih hayu,
hayuningrat sak isinya, rumantine rinakit budi pakarti,
tata gatining jalma."
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar tembang itu.
Suatu gambaran tentang manusia idaman. Manusia sejati,
yang bersemboyan, berusaha sebaik-baiknya untuk mengenal bentuk-bentuk hawa nafsu, untuk mencapai
kesempurnaan lahir dan batin. Dengan penuh prihatin dan
memeras diri. Berjuang untuk kesejahteraan dunia dengan
segala isinya. Menuju ke arah masyarakat yang tata
tentram kerta raharja. Dengan tanpa sadarnya Mahesa Jenar menganggukanggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan isi tembang
itu. Demikianlah hendaknya manusia. Namun agaknya
manusia yang demikian itu masih harus dilahirkan. Manusia
yang dapat mengenal dengan seksama segala bentukbentuk nafsu, serta menghindarinya, untuk mencapai
kesempurnaan lahir dan batin. Tetapi jelas dikatakan oleh
tembang itu, bahwa manusia itu tidak menunggu datangnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tata masyarakat yang diidamkan, tetapi manusia yang
demikian harus berjuang untuk mencapainya. Mahesa Jenar
meraba dadanya. Di sinilah kadang-kadang letak persimpangan jalan yang berbahaya. Harus ditarik garis
yang jelas antara berjuang untuk masyarakat yang
dicitakan, dengan unsur-unsur nafsu yang menyusup
kedalamnya tanpa disadari. Dalam pada itu, tiba-tiba
Mahesa Jenar memandang jauh kepada dirinya sendiri. Ia
telah sekian lama berjuang untuk satu cita-cita yang
menurut keyakinannya akan dapat mendatangkan keteguhan pemerintahan yang seterusnya akan dapat
menciptakan masyarakat yang dicita-citakan. Dan bersyukurlah ia bahwa sampai saat ini sama sekali tidak
timbul nafsu di dalam dirinya, seperti golongan hitam yang
juga sedang berjuang dengan tujuan yang sama.
Menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Tetapi bagi mereka, penemuan itu sama sekali bukan
suatu perjuangan untuk menegakkan pemerintahan, tetapi
bahkan mereka menganggap bahwa siapa yang menemukan sepasang keris itu, akan mampu menguasai
golongannya dan dengan kekuatan mereka, mereka dapat
merebut tahta Demak. Untunglah bahwa keris itu sudah dapat direnggutnya dari
tangan mereka, meskipun kini keris itu masih harus
dicarinya kembali. Mahesa Jenar menegakkan kepalanya,
untuk mencoba mengetahui dari manakah suara tembang
itu dilontarkan. Tetapi untuk beberapa lama ia tidak
berhasil. Suara itu seolah-olah bergulung-gulung dari segala
arah membentur dan melontar kembali dari tebing-tebing
bukit di sekitarnya. Bahkan akhirnya ia merasa, bahwa ia
tak akan berhasil menemukannya. Dengan demikian
Mahesa Jenar dapat kesimpulan bahwa suara tembang itu
telah dilontarkan oleh seorang sakti yang sengaja
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membingungkannya. Bahkan dalam penilaiannya orang itu
pasti lebih sakti dari Ki Ageng Pandan Alas. Dalam
tingkatannya sekarang, ia sama sekali tidak akan
mengalami banyak kesulitan untuk dapat berdiri sejajar
dengan orang tua itu. Tetapi orang ini, yang berdendang
dengan asiknya, bukanlah orang sejajarnya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang
berjubah abu-abu yang baru saja menampakkan diri di
hadapannya. Dengan demikian ia menduga bahwa orang
itulah yang telah melagukan tembang dimalam yang sunyi
itu. Maka, kemudian Mahesa Jenar mengambil keputusan
untuk tidak mencarinya lebih lanjut. Sebab usahanya pasti
akan sia-sia saja, sebelum orang itu atas kehendak sendiri
menunjukkan tempatnya berada.
Tetapi yang tumbuh kemudian didalam dada Mahesa
Jenar adalah dugaan-dugaan yang bersimpang siur tentang
orang itu. Orang yang aneh dalam pandangan matanya.
Meskipun dalam sepintas lalu, orang itu benar-benar mirip
dengan bentuk Pasingsingan, namun ia pasti bahwa orang
itu sama sekali bukan Pasingsingan. Kalau orang itu juga
berjubah abu-abu dan juga memakai wajah yang bukan
wajah aslinya, mungkin hanyalah suatu kebetulan saja,
meskipun kebetulan yang masih meragukan.
Dengan teka-teki yang masih berkecamuk di kepalanya
itulah Mahesa Jenar melangkah kembali ke padukuhan
Gedangan. Di sepanjang perjalanannya, ia sama sekali tak
dapat melepaskan diri dari persoalan orang berjubah abuabu itu. Ketika ia sampai di padukuhan, dilihatnya di rumah
Wiradapa masih lengkap duduk mengelilingi pelita minyak,
Kebo Kanigara beserta anaknya di belakangnya, Wanamerta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang tampak sangat kelelahan, serta beberapa orang
lainnya, yang kemudian mempersilahkan Mahesa Jenar
untuk duduk diantara mereka.
Kepada mereka itu Mahesa Jenar minta untuk tetap
bersiaga dan memberikan beberapa petunjuk apabila besok
pertempuran masih harus dilakukan. Setelah itu maka
segera ia minta diri untuk beristirahat, malahan ia
menasehatkan kepada orang-orang lain untuk beristirahat
pula. Setelah Mahesa Jenar membersihkan dirinya, terasalah
bahwa tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi setelah ia
mengisi perut sekadarnya. Tubuhnya yang telah diperas
sehari penuh itu merasa sehat dan kekuatannya telah utuh
seperti semula. Sebelum ia memasuki ruangannya di bagian depan
rumah Wiradapa, mula-mula ia perlu menengok keadaan
Rara Wilis. Ketika ia masuk dilihatnya Rara Wilis duduk
bercakap-cakap dengan Widuri.
Melihat kedatangan Mahesa Jenar, segera Widuri berdiri
untuk meninggalkan ruangan itu, tetapi cepat Wilis
menangkap lengannya. "Mau kemana kau Widuri?"
"Tidur, Bibi," jawab gadis itu.
"Bukankah kau akan menemani aku malam ini?" sahut
Rara Wilis. Widuri berhenti. Tetapi ia termangu-mangu.
"Bukankah kau sudah berjanji...?" Wilis meneruskan.
Widuri mengangguk. "Nah, kalau begitu, kau tidak boleh pergi," sambung
Mahesa Jenar. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri tidak jadi meninggalkan ruangan itu, tetapi ia
duduk kembali disamping Rara Wilis.
"Silahkan masuk Kakang...." Wilis mempersilahkan.
Tetapi Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Ia tidak
akan terlalu lama tinggal di ruang itu, sebab ia perlu
beristirahat. "Aku hanya ingin melihat apakah kau telah baik kembali
Wilis," kata Mahesa Jenar.
"Pangestumu Kakang," jawab Wilis.
"Syukurlah dan tidurlah. Siapa tahu tenaga kita masih
diperlukan besok atau lusa," sambung Mahesa Jenar.
Setelah itu segera ia minta diri untuk pergi ke ruang
tidurnya Di dalam ruangan itu dilihatnya lampu minyak yang
terayun-ayun dipermainkan angin yang menyusup lubanglubang dinding bambu. Cahaya yang dilontarkan membuat
bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak pula. Sebuah
bayangan hitam yang terlukis di dinding tampak seperti
sebuah lukisan hitam yang berguncang-guncang. Itulah
bayang-bayang Arya Salaka yang masih saja duduk
dipembaringannya memeluk lutut.
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar masuk, segera
ia membetulkan letak duduknya. Wajahnya masih nampak
suram setelah mengalami peristiwa yang membentur
langsung lubuk hatinya yang paling dalam, bahkan agaknya
mandi pun Arya Salaka masih belum sempat.
Melihat keadaan Arya Salaka, hati Mahesa Jenar terketuk
kembali. Ia tahu apakah yang dirasakan oleh anak murid
satu-satunya itu. Karena itu maka ia mencoba untuk
meredakannya. "Katanya Jangan banyak kau pikirkan apa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sudah kau lakukan Arya. Menurut pendapatku kau
telah melakukan hal yang sebaik-baiknya."
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Meskipun tampak
perubahan di wajahnya, tetapi tidaklah begitu jelas. Namun
ketika ia menyahut, terasalah bahwa ia belum yakin akan
kata-kata gurunya. "Paman, tidakkah aku mengecewakan
Paman?" "Kenapa aku harus kecewa Arya?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku tidak dapat membunuhnya. Tidak dapat," jawab
Arya sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya.
"Justru karena itu aku mengagumimu," potong Mahesa
Jenar. Arya memandang gurunya dengan mata yang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memancarkan keraguan. Namun ia kenal betul watak
gurunya. Kalau ia berkata demikian, maka hatinyapun akan
berkata demikian pula. Karena itu ia menjadi terharu.
Bahkan mata itu kemudian menjadi berkilat-kilat memantulkan sinar pelita karena air yang membayang
didalamnya. "Sudahlah Arya. Jangan kau terbenam dalam anganangan. Bagiku kau telah bertindak benar dan terpuji.
Sekarang beristirahatlah. Mandilah supaya kau menjadi
segar. Dan adakah kau telah makan?"
Arya Salaka menggeleng. "Nah, pergilah ke belakang. Mandi dan mintalah kepada
Bibi Wiradapa makan secukupnya. Siapa tahu besok kita
masih harus bekerja keras."
Arya tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan dengan gontai
melangkah keluar ruangan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan segar Arya pergi ke perigi. Sesaat kemudian
terdengarlah gerit timba yang digerakkan oleh Arya, disusul
dengan suara guyuran air yang dingin segar.
Dalam pada itu, ketika Arya sedang menikmati sejuknya
air, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah bayangan orang
berjubah yang berdiri di belakangnya. Arya menjadi terkejut
dan agak bingung. Dalam keadaannya sekarang, selagi ia
tidak berpakaian, sulitlah agaknya untuk melawan
seandainya orang itu tiba-tiba menyerang. Meskipun
demikian ia harus bersiaga. Tetapi sampai beberapa lama
orang itu berdiri diam mematung. Dalam pada itu Arya ingin
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Cepat ia
meloncat untuk menyambar, setidak-tidaknya kainnya.
Namun ia menjadi terkejut pula ketika orang itu sudah
menghadangnya dengan sama sekali tak diketahuinya,
kapan ia melontarkan diri. Karena hal itu, segera Arya
Salaka mengetahui bahwa orang yang berjubah itu pasti
seorang tokoh sakti. Tiba-tiba ia teringat gurunya pernah
berceritera tentang seorang yang berjubah abu-abu dan
bertopeng jelek. Yaitu Pasingsingan. Apakah orang ini
Pasingsingan, guru Lawa Ijo" Tetapi orang ini sama sekali
tidak mempergunakan topeng yang jelek, meskipun
wajahnya tampaknya juga tidak wajar. Dengan demikian
Arya Salaka menjadi berdebar-debar.
Tiba-tiba orang itu melangkah maju, setapak demi
setapak, seperti seekor kucing yang sedang merunduk
seekor tikus. Dalam keadaan itu, Arya Salaka tidak dapat
berbuat lain daripada bersiaga untuk melawan. Bahkan
kemudian ia lupa akan keadaan dirinya yang sama sekali
tidak berpakaian itu. Ia tidak mau mati di tangan seorang
yang bagaimanapun juga saktinya tanpa perlawanan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka ketika orang yang berjubah itu sudah sedemikian
dekat, Arya pun telah siap melakukan hal-hal yang perlu
untuk melindungi dirinya. Dalam keremangan malam Arya
melihat orang itu perlahan-lahan menjulurkan tangannya.
Demikian perlahan-lahan sehingga agaknya itu bukanlah
suatu serangan. Namun Arya tidak mau tertipu. Iapun
perlahan-lahan surut beberapa langkah. Tetapi kemudian
orang itu meloncat dengan cepatnya untuk menangkap
pinggangnya. Arya yang telah siap itupun segera meloncat
menghindar dan bahkan dengan sekuat tenaga ia
membalas menyerang dengan kakinya ke arah lambung
orang yang belum dikenalnya itu. Kalau saja pada saat ia
bertempur melawan orang-orang Pamingit, tidak berada di
sayap kanan, maka setidak-tidaknya ia dapat melihat orang
yang berjubah abu-abu yang sekarang berdiri di
hadapannya itu. Namun seandainya demikian iapun pasti
tidak mau diserang tanpa sebab dan pasti akan
melawannya. Tetapi anehnya, meskipun ia telah merasa menghindarkan diri dan bahkan menyerang orang itu
dengan sekuat tenaga, namun agaknya bagi orang
berjubah abu-abu itu, gerakannya sama sekali tidak berarti.
Sehingga apa yang diketahuinya, pinggangnya benar-benar
telah dapat ditangkap. Tangan orang itu terasa demikian
kerasnya seperti sebuah himpitan besi yang tak dapat
direnggangkan. Demikianlah Arya Salaka dalam sekejap
telah hampir tak berdaya. Meskipun kedua tangannya
bebas, namun karena himpitan itu terasa seolah-olah
tenaganya lenyap, seperti tulang belulangnya terlepas dari
tubuhnya. Tetapi Arya bukan orang yang lekas berputus
asa. Dengan sisa tenaganya ia melawan sejadi-jadinya. Kaki
dan tangannya bergerak sedapat-dapat untuk menyerang.
Bahkan ia berusaha dengan kedua jari-jari tangannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyerang mata orang itu. Namun usahanya sama sekali
tak berarti. Tangan yang menjepit pinggangnya itu semakin lama
terasa semakin keras dan sejalan dengan itu tenaganya
menjadi semakin surut semakin surut. Bahkan akhirnya
tubuhnya menjadi tidak lebih dari selembar kain yang sama
sekali tidak dapat digerakkan atas kemauan sendiri.
Demikianlah Arya Salaka kini tidak dapat berbuat lain
daripada menunggu apa yang bakal terjadi. Hanya
matanyalah yang dapat memancarkan cahaya kemarahan
yang meluap-luap. Sedangkan mulutnya sama sekali tidak
berhasil mengeluarkan suara. Meskipun dalam keadaan
yang demikian kesadarannya sama sekali tidak terganggu.
Ia dapat merasa dan mengetahui apa yang terjadi atas
dirinya. Setelah Arya tidak mampu untuk berbuat apapun, maka
kemudian orang itu melepaskan jepitannya perlahan-lahan.
Kemudian dengan kedua tangannya Arya dipapahnya
kedalam kelam, dibawah daun-daun yang lebat rimbun di
halaman belakang rumah Wiradapa.
Di tempat itu perlahan-lahan Arya diletakkan berbaring.
Seperti seorang bayi, bahkan lebih dari itu, sebab ia sama
sekali tidak mampu menggerakkan jarinya sekalipun.
Kemudian ia melihat orang itu berdiri tegap di
sampingnya. Diangkatnya kepala sambil memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Namun yang terdengar hanyalah
kemerisik daun yang digoyangkan angin, serta bunyi-bunyi
jangkrik bersahutan dengan suara bilalang. Sedang malam
semakin bertambah malam jua.
Padukuhan Gedangan telah terbenam dalam kesunyian
yang lelap. Hampir setiap orang telah nyenyak tertidur,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kecuali beberapa orang yang bertugas ronda. Mahesa Jenar
yang telah membaringkan dirinya sama sekali tidak curiga
tentang keadaan Arya Salaka. Ketika ia sudah tidak
mendengar guyuran air, ia hanya mengira bahwa Arya
sedang pergi ke dapur untuk minta makan kepada Nyai
Wiradapa. Karena itulah maka ia sama sekali tidak
memperhatikannya lagi. Dalam pada itu, malahan kenangan
Mahesa Jenar kembali melontar kepada orang yang
berjubah abu-abu yang telah menyelamatkan laskarnya dari
kehancuran. Ia mencoba untuk menghubung - hubungkan
orang itu dengan orang-orang yang pernah dikenalnya.
Orang-orang yang aneh-aneh dan orang-orang yang telah
menyisihkan diri dari pergaulan. Diingatnya nama-nama
Radite dan Anggara. Kedua-duanya adalah murid Pasingsingan, yang bahkan Radite adalah orang yang
sebenarnya berhak mempergunakan gelar Pasingsingan
beserta tanda kebesarannya. Namun sebagai manusia ia
mengalami kekhilafan, sehingga akhirnya ia merasa bahwa
hidupnya seolah-olah tak berarti lagi. Ia merasa bahwa
setiap dosa yang dibuat oleh Umbaran, orang yang
kemudian memiliki tanda-tanda serta pusaka-pusaka
Pasingsingan adalah akibat dari dosanya.
Tetapi dalam penilaian Mahesa Jenar, Radite dan
Umbaran tidaklah jauh terpaut, bahkan mungkin masih
berada dalam deretan yang sejajar dengan gurunya,
dengan Ki Ageng Sora Dipayana, dengan Ki Ageng Pandan
Alas. Sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat
melampaui Kebo Kanigara. Tetapi orang yang datang itu
adalah orang yang terpaut banyak daripadanya, yang telah
menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging. Sehingga
dengan demikian orang itu pasti bukan salah seorang
diantara Radite maupun A nggara.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
Arya Salaka. Anak itu sudah terlalu lama pergi. Terlalu lama
bagi seorang yang hanya mandi dan makan saja.
Setelah ia menyabarkan diri beberapa saat lagi, akhirnya
perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin tidak enak.
Karena itu, iapun bangkit dan berjalan mondar-mandir di
dalam ruang tidurnya. Sekali dua kali ia masih mencoba
untuk menanti saja kedatangan anak itu, tetapi kemudian ia
menjadi tidak sabar. Bahkan kemudian ia menduga bahwa
pasti terjadi sesuatu yang tidak wajar. Untung kalau saja
anak itu pergi berjalan-jalan untuk menenangkan dirinya.
Maka dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan
orang-orang lain yang tertidur nyenyak, Mahesa Jenar
berjalan ke halaman belakang. Dadanya berdesir ketika ia
melihat lampu dapur telah padam. Sehingga jelas bahwa
anak itu tidak ada di sana. Kemudian Mahesa Jenar pergi ke
perigi, meskipun ia menduga bahwa anak itu sudah tidak
ada di sana. Tetapi tiba-tiba dadanya bergelora cepat
sekali. Ia menemukan pakaian Arya lengkap diatas sebuah
batu di tepi sumur itu. Pakaiannya saja. Lalu kemanakah
anak itu pergi" Pasti tidak mungkin kalau Arya sengaja
meninggalkan pakaian di sana, meskipun seandainya ia
berganti dengan pakaian lain. Karena itu Mahesa Jenar
mendapat kesimpulan bahwa Arya telah mengalami suatu
hal yang tidak wajar, yang bahkan mungkin berbahaya.
Menilik keadaannya, serta tidak adanya sesuatu yang
didengarnya, maka Mahesa Jenar menjadi berteka-teki. Ia
menjadi heran kepada dirinya sendiri ketika tanpa sadarnya
ia menjengukkan kepalanya ke dalam perigi, ke dalam
lingkaran yang hitam kelam. Seolah-olah ia sedang mencari
Arya Salaka di sana. "Suatu pikiran gila," gerutu Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar. "Tak mungkin Arya berbuat demikian, apapun yang
dihadapinya." Dengan demikian maka kesimpulan yang terakhir, yang
mengganggu otaknya adalah, bahwa Arya telah mendapat
bahaya dari seseorang yang jauh melampaui ketangguhan
anak muda itu. Dengan kesimpulannya itu Mahesa Jenar
menjadi marah sekali. Siapakah yang telah berani
mengganggu murid satu-satunya itu" Murid yang diharapkan untuk dapat mewarisi ilmu serta mengembangkannya. Bahkan murid yang keselamatannya
menjadi tanggung jawabnya atas permintaan ayah anak itu
sendiri. Mahesa Jenar mencoba untuk menemukan jawabnya.
Namun ia menjadi bingung. Tidak mungkin kalau hal itu
dapat dilakukan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening.
Meskipun kedua Uling itu menyerangnya bersama, namun
pasti akan terjadi perkelahian yang cukup lama untuk
memberinya kesempatan mendengar dan membantu.
Tetapi apa yang terjadi adalah sangat mengagumkan. Anak
itu agaknya begitu saja hilang sebelum ia sempat berbuat
sesuatu. Darah Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora. Untuk
beberapa saat ia berdiri diatas kedua kakinya yang
renggang. Wajahnya sedikit terangkat. Dicobanya untuk
menangkap setiap suara yang berdesir di sekitarnya.
Namun ia tidak mendengar sesuatu. Juga matanya yang
tajam, setajam mata burung hantu itupun tidak dapat
menangkap sesuatu yang mencurigakan. Karena itu ia
menjadi gelisah. Kemana agaknya Arya Salaka harus
dicari..." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sambil berpikir keras, Mahesa Jenar demikian saja
melangkah meninggalkan tempat itu. Yang mula-mula
dilakukan adalah berjalan berkeliling halaman. Kalau-kalau
ada hal-hal yang mencurigakan yang dapat dipakainya
untuk bahan pencariannya. Dalam hal ini, ia sama sekali
tidak ingin mengganggu orang lain. Ia ingin mencarinya
seorang diri. Baru apabila ia tidak berhasil, ia akan minta
pertolongan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia baru mendapat separo dari
perjalanan kelilingnya itu ia terhenti. Perlahan-lahan
didengarnya nafas seseorang yang mengalir dengan teratur.
Mahesa Jenar mencoba untuk
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meyakinkan pendengarannya. Perlahan-lahan ia melangkah setapak
maju. Dan benarlah. Ia telah mendengar nafas seseorang.
Menilik tarikannya yang teratur itu, Mahesa Jenar dapat
menduga bahwa di halaman itu terdapat seseorang yang
tertidur. Karena itu ia menjadi bertanya-tanya di dalam hati.
Adakah Arya Salaka yang tertidur di situ..." Anehlah kalau
demikian. Bagaimanapun letih serta kantuknya, tetapi tidak
mungkin bahwa ia tidak sempat berpakaian, lalu begitu saja
menjatuhkan diri dan tertidur di situ.
Karena itu, ia tidak membiarkan dirinya mendapatkan
sesuatu hal yang tak dikehendaki. Jangan-jangan hal yang
serupa telah menyeret Arya kedalam bencana, karena ia
kurang hati-hati atas suara desah nafas yang dikiranya
orang yang sedang tertidur nyenyak.
Dengan demikian malahan Mahesa Jenar menjadi
bersiaga penuh. Setiap saat ia dapat bertindak. Bahkan
setiap saat, apabila ia benar-benar berhadapan dengan
bahaya yang besar, ilmunya Sasrabirawa siap untuk
dilontarkan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah beberapa saat ia menunggu dengan tidak ada
perubahan apapun, kembali ia maju setapak. Sekali lagi
setapak demi setapak dengan penuh kewaspadaan.
Akhirnya suara desah nafas itu sudah sedemikian
dekatnya. Dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar bergerak
beberapa jengkal maju. Matanya tajam dipergunakannya
sebaik-baiknya menembus daerah yang gelap pekat karena
daun-daun yang rimbun. Perlahan-lahan seolah-olah muncul
dari daerah yang hitam sesosok tubuh yang terbujur diam.
Melihat tubuh itu Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar.
Sejengkal lagi ia bergeser maju. Dengan demikian tubuh
yang nampak lamat-lamat itu menjadi semakin jelas. Dan
apakah yang nampak kemudian sangat mengejutkannya.
Ketika tubuh itu menjadi jelas segera Mahesa Jear dapat
mengenalnya. Tubuh itu adalah tubuh Arya Salaka. Dan dari
tubuh itu pulalah Mahesa Jenar dapat mendengar desah
nafasnya yang teratur. Nafas orang yang sedang tidur
nyenyak. Meskipun tubuh yang terbaring tanpa pakaian itu adalah
Arya Salaka namun Mahesa Jenar tidak tergesa-gesa
mendekatinya. Ia masih belum tahu pasti, apakah tidak ada
hal-hal yang berbahaya. Baru setelah beberapa saat tidak
terdengar sesuatu selain nafas Arya, Mahesa Jenar
melangkah perlahan-lahan mendekati. Ketika ia meraba
tubuh anak itu, terasa bahwa tubuh itu tetap hangat seperti
biasa. Demikian tubuh Arya tersentuh tangan Mahesa Jenar,
tampaklah anak itu terkejut. Cepat ia meloncat bangkit dan
bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi
ketika yang dilihat berdiri dihadapannya adalah Mahesa
Jenar, iapun segera mengendorkan perasaannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya. Mahesa
Jenar berkata, "Kau tertidur Arya?"
Arya menganggukkan kepalanya.
"Tetapi kenapa pakaianmu kau tinggalkan...?" Mahesa
Jenar meneruskan. Arya terkejut mendengar teguran itu. Ia baru merasa
bahwa ia masih belum mengenakan pakaiannya. Karena itu
segera ia meloncat berlari ke perigi. Mahesa Jenar menjadi
semakin heran. Namun kemudian ia pasti, bahwa sesuatu
telah terjadi. Setelah Mahesa Jenar sekali lagi memperhatikan keadaan
sekelilingnya, serta tidak ada sesuatu yang mencurigakan,
iapun segera berjalan mengikuti arah langkah Arya Salaka.
Sampai di tepi sumur, Arya segera menyambar pakaiannya.
Ia tidak sempat membersihkan debu serta tanah lembab
yang melekat pada tubuhnya.
Setelah Arya lengkap berpakaian, Mahesa Jenar tidak
segera bertanya tentang apa yang telah terjadi atasnya,
tetapi diajaknya Arya untuk masuk kembali ke dalam ruang
tidurnya, setelah Arya menolak membangunkan Nyai
Wiradapa untuk minta disediakan makan buatnya.
Baru setelah mereka duduk di pembaringan, Mahesa
Jenar segera bertanya kepada anak muridnya, apakah
sebabnya anak itu telah melakukan suatu pekerjaan yang
aneh. Tidur di halaman belakang, di bawah daun-daun yang
lebat rimbun serta sama sekali tidak berpakaian.
Arya sendiri mula-mula heran, bahwa ia telah tertidur di
halaman belakang tanpa pakaian sama sekali. Diingatnya
kembali apa yang telah terjadi atasnya. Perlahan-lahan
sekali, semakin lama menjadi semakin jelas tampak kembali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apa yang pernah dialaminya. Maka diceriterakannya apa
saja yang terjadi atas dirinya. Pada saat ia sedang mandi,
dan tiba-tiba muncullah seorang berjubah menangkapnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Lalu sambil
mengangguk-angguk iabertanya, "Apa yang dilakukan
atasmu ketika kau telah terbaring di bawah daun-daun yang
lebat itu, dan adakah ia berkata sesuatu kepadamu?"
Setelah mengingat-ingat sebentar Arya menjawab, "Ya,
Paman.... Memang ada yang dikatakan kepadaku. Ketika itu
pendengaranku sudah menjadi lamat-lamat. Sebab pada
saat itu terasa bahwa kantukku tiba-tiba menjadi tidak
tertahan lagi." Arya berhenti sebentar, lalu ia meneruskan.
"Mula-mula dipijitnya seluruh tubuhku. Dari ubun-ubun
sampai ke ujung ibu jari kakiku. Mula-mula terasa betapa
sakitnya. Setiap jari-jari orang itu menyentuh kulitku terasa
seolah - olah seluruh tubuhku menjadi nyeri tak terhingga.
Namun aku sama sekali tidak bisa mengucapkan sepatah
katapun, bahkan berdesispun tidak. Tetapi semakin lama
perasaan sakit itu menjadi semakin berkurang. Bahkan
akhirnya pijitan itu terasa nyaman sekali. Sehingga aku
menjadi ngantuk bukan buatan. Sesaat sebelum aku
tertidur aku masih mendengar orang itu berkata, "Arya
Salaka, kau telah terlalu lama menyiksa tubuhmu dengan
pekerjaan-pekerjaan berat. Namun kau sama sekali tidak
memelihara urat-urat darah serta otot-ototmu. Dengan
demikian kau telah menyia-nyiakan sebagian dari tenaga
dahsyat yang sebenarnya dapat kau ikut sertakan dalam
setiap lontaran tenaga." Sekali lagi Arya berhenti,
kemudian, "Sesudah itu aku tidak ingat apa-apa lagi sampai
Paman membangunkan aku."
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera
Arya. Ia memang pernah mendengar suatu ilmu yang dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar tenaganya denga membuka segenap saluran
yang ada di dalam tubuh. Memperlancar jalan darah serta
memperbaiki letak otot - ototnya sehingga pada orang itu
tidak lagi diperlukan tenaga untuk mengatasi kesulitan kesulitan di dalam tubuh sendiri. Dengan demikian segenap
cadangan tenaga apabila diperlukan dapat dipergunakan
seluruhnya dan disalurkan lewat bagian-bagian tubuh yang
dikehendaki. Tetapi masih belum jelas, apakah orang itu
telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya,
membuat beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga
dalam pelontaran tenaga akan dapat menimbulkan
kesulitan-kesulitan. Karena itu segera ia bertanya, "Arya,
bagaimanakah rasanya tubuhmu sekarang?"
Dengan tidak sesadarnya, Arya mengamat-mati tubuhnya
sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya.
Semula ia sama sekali tidak memperhatikan, apakah ada
perubahan - perubahan di dalam dirinya. Tetapi ketika
Mahesa Jenar bertanya kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain di dalam dirinya.
Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya serta sendi
- sendi anggota badannya.
Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang
mengalir di dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap
ujung rambut di seluruh badannya. Setiap anggota
badannya terasa menjadi betapa ringannya. Dan dengan
demikian ia dapat bergerak bertambah cepat dan lincah.
Detak jantungnya yang lunak teratur serta sendi-sendi
anggota badannya yang licin, namun seakan-akan
bertambah kokoh. Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia
telah mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahkan ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan.
Sehingga yang dapat diucapkan hanyalah beberapa kata
saja. "Tubuhku menjadi bertambah baik Paman."
Jawaban itu sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa
Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya menggerakkan tangan dan kakinya, serta betapa tampak
anak itu keheran-heranan sendiri, adalah jawaban yang
cukup jelas. Jawaban yang telah mengandung suatu
ceritera bahwa tubuh Arya kini telah berbeda dengan tubuh
Arya beberapa saat yang lalu. Anak itu agaknya kini telah
memiliki kesempurnaan tata nadi dalam tubuhnya. Mahesa
Jenar sendiri merasa bahwa selama ini ia telah memaksa
anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan
berlari setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal
yang lain bagi tata nadi anak itu. Meskipun ia sendiri dahulu
pernah juga mempelajari beberapa pengetahuan mengenai
urat dan jalan darah, namun apa yang dapat dilakukan
tidak lebih dari daripada saling memijit sesama prajurit
apabila mereka sedang kelelahan. Baik didalam latihanlatihan maupun didalam pertempuran-pertempuran yang
sebenarnya. Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang
yang berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya Arya
tidak lagi merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah
menolong Arya untuk dapat mengerahkan segenap tenaga
yang tersimpan didalam tubuhnya yang tegap kekar itu.
Meskipun mula-mula Mahesa Jenar merasa cemas bahwa
yang terjadi adalah sebaliknya, namun terhadap orang yang
berjubah abu-abu yang belum dikenalnya itu, ia telah
menumpahkan kepercayaan bahwa tidaklah mungkin ia
akan berbuat jahat terhadap Arya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah
tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun sama sekali
tidak bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua
keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru,
meskipun akibat hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat
atas tanah perdikan dilereng bukit Telamaya itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun
tak habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang
sedang menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir
setiap saat, siang dan malam, ia tidak pernah terpisah
darinya, tetapi seolah-olah baru sekarang ia melihat
alangkah gagahnya anak ini. Anak Ki Ageng Gajah Sora,
yang dalam usianya yang masih sangat muda itu telah
dapat mencerminkan kebesaran jiwa yang diwarisinya dari
orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.
Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya,
menjadi tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya sama
sekali tidak menyesal atas kejadian yang baru saja dialami.
Karena itu iapun tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan
perasaan yang segar yang memancar didalam tubuhnya,
telah menumbuhkan suatu harapan dalam dirinya. Harapan
atas masa depan yang lebih baik.
Sedang yang tersangkut di dalam otak Arya Salaka
kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang
yang berjubah itu. Orang yang dengan serta merta
menangkapnya, dan menjadikannya tertidur di dalam
semak-semak. Karena itu kemudian ia bertanya kepada
gurunya, "Paman, adakah Paman mengenal orang yang
berjubah itu?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Tetapi
aku pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di
Banyubiru." "Di Banyubiru...?" Arya bertambah heran.
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam
semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.
"Tidurlah Arya," desis Mahesa Jenar kemudian sambil
membaringkan dirinya. Dan sejenak kemudian mereka
berdua telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka
tertidur dengan sebuah senyum yang tersungging di
bibirnya. Ia tidak merasa lagi punggungnya menjadi gatalgatal oleh serangga yang menggigitnya. Serangga yang
terbawa oleh tanah lembab ketika ia terbaring di semaksemak halaman belakang. Sedang Mahesa Jenar pun
kemudian tertidur karena kelelahan.
Padukuhan Gedangan kini benar-benar telah terbenam
dalam suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang
berjalan hilir-mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang
harus berdesis menahan angin malam yang mengalir
lembut, membawa udara pegunungan yang dingin.
Ketika di timur tampak fajar mulai membayangkan
cahaya kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim
Hong Lui Bun 9 Payung Sengkala Karya S D Liong Riwayat Lie Bouw Pek 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama