Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 3

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 3


bukan kepalang. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak
terkalahkan, ia berusaha menyelesaikan persoalan itu
dengan caranya. Ditantangnya Wirasaba untuk berkelahi.
Aku yang belum mengetahui tingkat ilmu yang dimiliki oleh
Wirasaba, menjadi cemas. Tetapi Wirasaba sendiri
menerima tantangan itu dengan senang hati," lanjut Ki
Asem Gede. Maka, pada suatu hari yang telah ditentukan,
dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah gundukan
pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan,
memerlukan dengan diam-diam berusaha untuk dapat
mengikuti pertemuan yang tidak menyenangkan itu.
Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba,
tepat pada saat warna merah di langit yang terakhir
terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia
datang lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal
demi sejengkal, maka duduklah Wirasaba di atas sebuah
batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih.
Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang
terbuat dari pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan
lawannya, ia mulai berlagu dengan serulingnya itu. "Baru
sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya.
Dan memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat
sebutan Seruling Gading. Mula-mula serulingnya itu membawakan lagu yang sejuk
menyongsong datangnya bulan. Nadanya seperti silirnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam,
tetapi sesaat kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis
yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat kemudian
berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta.
Sambil menatap wajah bulan, ia berlagu dengan lembutnya.
Tetapi sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang
serulingnya masih saja berlagu. Dipandangnya tenangtenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta
yang tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang
dilahirkan karena cinta. Candi Jonggrang yang mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu
malam, sebagai suatu usaha raksasa untuk memenuhi
tuntutan cinta. Maka beralunlah seruling Wirasaba dengan lembut dan
mesra. Seakan-akan ia mengungkapkan suatu ceritera
rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu
Pertiwi. Dan karena itulah maka lahir segala isi bumi ini.
Wirasaba sebagai lazimnya penggembala, tiada dapat
terpisah dari serulingnya. Sahabat pada saat-saat sepi, pada
saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang
rumput. Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan
dari serulingnya, selalu melukiskan kisah yang terjalin di
hatinya. Sebagai seorang yang hidup bebas di padang-padang
terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau
terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya
menjangkau jauh melampaui batas gending-gending yang
dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan seluruh
perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa
ikatan. Namun demikian dapat melukiskan segenap warna
dalam jiwanya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi, ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya,
tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang merobek-robek
kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak
keindahannya. Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini
rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan
menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan.
Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam
pengaruhnya. Tetapi disamping itu aku pun menjadi cemas
kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling.
Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia
adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai
kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan."
"Apalagi ternyata suara tertawa itu tidak segera berhenti.
Tetapi gelombang demi gelombang terdengar seperti susulmenyusul. Seperti datangnya ombak lautan segulung demi
segulung menghantam tebing."
"Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan lagi
oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi setelah itu aku
menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati.
Suara seruling yang mesra lembut itu segera berubah
melengking tajam. Kemudian Wirasaba berteriak penuh
kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali
tak aku duga, adalah bahwa kemarahan Wirasaba yang
dilontarkan lewat nada-nada serulingnya itu pun ternyata
mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka
kemudian seakan-akan terjadilah benturan dahsyat antara
suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada seruling.
Wirasaba yang sebentar melonjak, naik tajam, dan
kemudian turun menukik kembali, lalu menggelegar seperti
guruh yang dengan penuh kemarahan menghantam
gunung. Karena benturan itulah maka seolah-olah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua suara itu
semakin lama semakin lirih ... semakin lirih. Bahkan
akhirnya keduanya berhenti dengan sendirinya.
Tepat pada saat suara itu berhenti, meloncatlah sebuah
bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu ke
batu menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat
dan tangkas, sudah dapat dikira sampai dimana kekuatan
tenaganya. Belum lagi Pradangsa menjejakkan kakinya di tepian,
mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara
gunturnya. "Hai anak cengeng. Rupanya kau hanya mampu
menjadi seorang penipu seruling. Itu saja kau hanya bisa
membawakan lagu-lagu cengeng seperti apa yang baru saja
kau lagukan." Wirasaba adalah seorang yang tinggi hati. Mendengar
dirinya disebut anak cengeng, segera bangkitlah kesombongannya. "Memang, aku hanya mampu melagukan
lagu-lagu cengeng. Lagu-lagu cinta dan kasih. Tetapi aku
adalah orang yang tahu diri. Sekali dua kali aku pernah
bercermin, meskipun hanya di permukaan air. Maka
sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan daripada
wajahmu yang kasar itu. Karena itulah aku berhak
melagukan lagu cinta dan kasih. Tidak saja lagu maut
seperti yang kau miliki satu-satunya."
Pradangsa adalah seorang yang kasar dan sombong. Ia
tidak pernah menerima hinaan yang sampai sedemikian.
Karena itu segera darahnya naik ke kepala.
"Setan!" makinya semakin kasar, "Aku tidak pernah
menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi dengan
tenaga yang aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku
mampu memperistri setiap perempuan yang aku kehendaki.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nah, kau sekarang mencoba mengganggu kebiasaanku itu.
Karena itu bersediakah untuk mati?"
Wirasaba tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya
seruling pring gadingnya ke dalam bajunya.
"Kau hanya mau berbicara saja?" potongnya.
Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian
kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya
terputus ketika Wirasaba membentak. "Aku tidak banyak
waktu, bersiaplah." Pradangsa pun rupanya juga menganggap bahwa
waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap.
Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat
dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan
nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan
baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara
tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang
masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi tenaga
raksasa yang dimiliki oleh Pradangsa. Dalam setiap
perkelahian, Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan
diri dari setiap serangan. Tetapi, setiap serangan itu selalu
dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya
pada kekuatannya. Demikian pula agaknya pada saat itu. Pradangsa sama
sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa
mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah
sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi" Pada
saat itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba
yang dahsyat, ternyata dalam tubuh Wirasaba yang tidak
sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa.
Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang memiliki
tenaga raksasa pula. Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali
merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa
hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak
kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang
Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik
pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan
sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan
Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak
menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi,
Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan
kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan
Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher
Pradangsa itu. Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut.
Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena
ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa
nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan
Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa
selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin
lama terasa semakin sesak dan sakit. Meskipun demikian,
pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka
tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan
timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran
itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman.
Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi
juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip
seekor babi yang terlalu percaya pada kekuatannya.
Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa
saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh
serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras.
Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan
tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat
mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak
mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kelicikan. Tangannya tiba-tiba menggenggam potonganpotongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian
dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa
terkejutnya Wirasaba. Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.
Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan
tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya
itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa
potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya
hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah
tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka.
Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia
menjerit

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyaring. Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang
digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu
dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya
lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan
sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian
disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang
terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.
Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah.
Agaknya ia menjadi haus setelah berceritera demikian
panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan pula,
"Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang
masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat
kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil
menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya.
Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu
berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil
berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka
itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuanramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti
yang aku harapkan." "Biasanya, setiap luka yang mengandung bisa, setelah
menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah
yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke
dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba
itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah.
Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak.
Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang
dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali.
Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan
obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu
saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak
dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya.
Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu,
aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potonganpotongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang
kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu
dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat
di hutan Tambak Baya. Meskipun aku sudah berusaha keras sebagai seorang
tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu.
Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya
racun itu ke bagian tubuh yang lain.
"Itulah Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan,
sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba.
Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku
tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan mereka
pun dapat dilangsungkan".
Ki Asem Gede mengakhiri ceriteranya dengan suatu
tarikan nafas yang dalam. Seolah-olah sesuatu yang
menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun
demikian nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat
di wajahnya. Sebagai seorang tabib kenamaan, Ki Asem
Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung dari
Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak
manusia, namun keputusan terakhir berada di tangan-Nya.
Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang
ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap
sakit menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari,
ia tak mampu berbuat apa-apa.
"Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya?"
tanya Mahesa Jenar. "Tidak ada," jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede
jadi suram dan gelisah. "Bahkan obat yang aku berikan itu
pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin
bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada
bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di
dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian
tubuh di sekitar luka itu," lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam
sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tibatiba ia berkata, "Ada Anakmas ..., ada."
"Ada?" ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi
kendor kembali, katanya, "Ada Anakmas, tetapi aku kira
obat itu tidak dapat diketemukan."
"Sudahkah Bapak berusaha?" tanya Mahesa Jenar lebih
lanjut. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. "Mustahil ...,
mustahil," desisnya.
"Katakanlah Ki Asem Gede," desak Mahesa Jenar,
"mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau
melihatnya,". Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi
akhirnya ia berkata, "Anakmas, memang ada obat untuk
melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu
hampir hanyalah merupakan dongeng belaka."
Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya
bersama-sama seperti berjanji. Kemudian terdengarlah
Mahesa Jenar bertanya, "Kenapa Ki Asem Gede" Apakah
obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?"
"Anakmas benar," sahut Ki Asem Gede sambil
mengangguk, "Sebab obat yang dapat melawan segala bisa
itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala,"
"Ular Gundala?" ulang Mahesa Jenar, sedang Mantingan
menyela, "Aku pernah mendengar nama ular itu".
"Ya, ular Gundala," Ki A sem Gede menegaskan. "Ada dua
macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular
Gundala Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang
tak terlawan. Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat yang
berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti
pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat.
Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja sebaliknya. Kalau
kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan
menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putihlah yang dapat menjadi obat yang sangat mujarab untuk
menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa itu
berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ini adalah pengertian secara umum saja. Sebab
disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular
Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular
Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular
Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala,
sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu.
Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka
memancarlah bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya
putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta,
senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitamhitaman". Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan.
Bahkan mendekati putus asa.
Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar ceritera ini, ia
menjadi teringat kepada sahabat karibnya semasa mereka
masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang
pintu kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal
bergelar Ki Ageng Sela, yang pada masa anak-anaknya
bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari
Sela. Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat
melampaui kilat. Bahkan sampai beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi kecepatan bergerak
ayahnya yang juga bergelar Ki Ageng Sela, yang menurut
ceritera dapat menangkap petir.
Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi di
tepi sendang Jalatunda, tiba-tiba ia disambar oleh semacam
sinar putih kebiru-biruan. Untunglah bahwa ia dapat
bergerak cepat luar biasa, sehingga ia dapat menghindari
sambaran sinar itu. Bahkan ia masih juga sempat
menangkapnya. Tetapi demikian tangannya menyentuh
benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang. Sebab pada saat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu tangannya terasa telah menangkap seekor binatang
yang bulat panjang. Untunglah bahwa sebelumnya ia
pernah mendengar ceritera tentang seekor ular yang pandai
terbang dan bercahaya. Ular yang diceriterakan menjadi
penggembala hujan. Maka secepat kilat benda yang
ditangkapnya itu sebelum sempat menggigitnya, dibantingnya ke tanah. Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak
dihantamkan pada sebatang pohon atau batu. Sebab kalau
demikian, binatang itu pasti akan remuk. Saat itu, ia
dapatkan binatang itu masih utuh, meskipun terbenam lebih
dari sejengkal ke dalam tanah.
Kemudian bangkai ular itu diambilnya. Ternyata ular itu
adalah seekor ular yang aneh. Panjangnya dibanding
dengan besarnya dapat dikatakan terlalu pendek. Sisiknya
berwarna putih mengkilap agak kebiru-biruan. Pada bagian
kepalanya tergoreslah semacam lukisan jamang, sedangkan
pada ujung ekornya melingkarlah warna kuning keemasan.
Maka, ketika ular aneh itu dibawa pulang, terlihatlah
binatang itu oleh Ki A geng Warana. Melihat bangkai ular itu,
Ki Ageng Warana terperanjat, apalagi ketika ia mendapat
keterangan dari Sela. Maka segera orang tua itu minta izin
kepada Sela untuk mengambil bisanya. Sela yang
menganggap binatang itu hanya sebagai barang yang aneh,
sama sekali tidak keberatan. Ia tidak mengira kalau karena
itu ia mendapat semacam obat yang tak ada bandingnya.
Obat penawar segala macam bisa yang bagaimanapun
tajamnya. Racun dari bisa binatang maupun tumbuhtumbuhan. Oleh Ki Ageng Warana, binatang itu diperas
bisanya. Dengan mempergunakan keahliannya, ia dapat
menampung bisa itu. Kemudian dengan berbagai ramuan,
bisa itu berhasil dipadatkan. Tetapi hanya tinggal kecil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali, hanya kira-kira sebesar biji kacang tanah. Biji sari
bisa ular ajaib itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Sela.
Meskipun Ki Ageng Warana minta sebagian kecil, Ki Ageng
Sela pun sama sekali tidak keberatan. Dengan biji bisa itu,
Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari
berbagai macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan
Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis dari Sela,
mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndamnya
dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri
yang telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk
simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar
dari segala macam bisa. Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng
Sela, tidak hanya mendapat kesempatan membebaskan diri
dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia juga
mendapat hadiah dari sahabatnya, sebagian dari biji bisa
itu. Dengan biji bisa itu Ki Ageng Warana telah
membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa.
Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai
seorang sahabat karib Nis dari Sela, mendapat kesempatan
untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndam dalam
air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang
telah direndam didalam air itu, untuk menusuk simpulsimpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari
segala macam bisa. Mahesa Jenar, sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng
Sela, tidak saja mendapat kesempatan membebaskan diri
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia mendapat
hadiah dari sahabatnya sebagian dari biji bisa itu.
Maka, diceriterakannya semua itu kepada Ki Asem Gede.
Tentang ular yang bersinar putih kebiru-biruan serta
tentang biji bisa Ular itu. Barangkali biji bisa itu dapat
dipergunakan untuk mengobati kaki Wirasaba sebagaimana
bisa ular Gundala Seta. Ki Asem Gede dan Mantingan mendengar ceritera itu
dengan penuh perhatian. Wajah Ki Asem Gede sebentar


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak berkerut, sebentar terkejut, kemudian sebentar
menjadi cerah, untuk seterusnya muram kembali. Tetapi
kemudian tiba-tiba jadi bersinar terang.
"Anakmas," kata Ki A sem Gede kemudian setelah Mahesa
Jenar selesai berceritera, " Ki Ageng Warana adalah raja
dari segala tabib. Sayang aku sampai sekarang belum
pernah berkesempatan bertemu dengan beliau. Sebab
beliau adalah seorang yang aneh. Sebentar nampak,
sebentar menghilang. Berbahagialah anakmas Nis dari Sela
dapat bertemu dengan orang tua yang aneh itu. Dan
berbahagia pulalah Anakmas Mahesa Jenar bersahabat
dengan Anakmas Sela. Sebab menurut ciri-ciri yang
Anakmas ceriterakan itu, ular yang menyambar demikianlah
yang bernama ular Gundala."
"Tetapi Ki Ageng Warana tidak menamakan ular itu ular
Gundala," Mahesa Jenar menjelaskan, tetapi disebutnya
ular Candrasa." Tiba-tiba cahaya mata Ki Asem Gede menjadi cerah
secerah matahari pagi yang memercik diatas rumputrumput hijau. "Ya itulah Anakmas," katanya hampir berteriak,
"Candrasa Seta. Memang terdapat beberapa dongeng
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengenai ular ajaib itu.Sebagai senjata dewa-dewa, ia
disebut Ular Gundala. Tetapi sebagai penggembala air
dilangit ia disebut ular Candrasa".
Kemudian Mahesa Jenar mengambil sebuah tabung
bambu kecil yang diikatkan di bagian dalam pakaiannya.
Tetapi meskipun obat itu tak pernah terpisah dari tubuhnya,
bahkan ia pernah mendapat tusukan di simpul jalan
darahnya oleh Ki Ageng Warana, namun ia masih belum
pernah melihat bukti kasiatnya.
Ki Asem Gede menerima benda itu dengan dada
berdebar. Diamat-amatinya benda itu dengan saksama.
"Anakmas Mahesa Jenar, marilah kita lihat kasiat benda
ini" Kemudian Ki Asem Gedepun segera mengambil sebuah
cawan tembikar dan bumbung berisi bisa. Segera biji bisa
ular itu direndamnya di dalam air, lalu diteteskannya bisa
dari dalam bumbungnya ke dalam air rendaman itu, setelah
biji bisanya disisihkan kedalam tempat yang lain.
Apa yang terjadi sangatlah mengejutkan. Air di dalam
cawan itu menjadi seakan-akan menggelegak dan
mendidih. Maka setelah timbul beberapa gumpal asap, air di
dalam cawan itu menjadi surut. Akhirnya sesaat kemudian
air itu menjadi tenang kembali.
Semuanya memandang peristiwa itu tanpa berkedip.
Kemudian berkatalah Ki Asem Gede. "Ini adalah suatu
benturan langsung antara dua jenis bisa tanpa perantara.
Maksudnya adalah, bahwa kedua jenis bisa itu tidak bekerja
atas sesuatu zat, misalnya yang satu membekukan sedang
yang lain mencairkan darah. Dan anakmas dapat
menyaksikan sendiri betapa hebatnya bisa Ular Gundala
atau Candrasa itu." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa jenar termenung sejenak. Lalu katanya, "Kalau
begitu, dapatkah Ki Asem Gede mengobati kaki kakang
Wirasaba?" "Akan aku coba," jawab Ki Asem Gede, "tetapi harus
perlahan-lahan. Sebab bisa di dalam tubuh Wirasaba telah
bekerja terlalu lama. Kalau tubuhnya itu tidak mempunyai
daya tahan yang luar biasa, ia telah lama binasa. Karena itu
aku tidak berani mengobatinya sekaligus. Benturan yang
berlebihan di dalam tubuhnya antara dua jenis bisa itu akan
dapat membunuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan
waktu". Akhirnya Ki Asem Gede minta kepada Mahesa Jenar
untuk diizinkan meminjam biji bisa itu. Ia akan mencoba
sedikit demi sedikit mengobati kaki Wirasaba yang
bertahun-tahun tak dapat dipergunakan.
Sementara itu malam menjadi semakin dalam. Bunyi
jangkrik terdengar saling bersahutan dengan kemersik daun
yang digerakkan oleh angin malam sejuk.
Maka, Ki Asem Gede atas nama anak menantunya
mempersilahkan kedua tamunya itu untuk beristirahat.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Tetapi, malam itu Mahesa Jenar sama sekali tidak
berhasrat untuk tidur. Ketika ia sudah membaringkan
dirinya, teringatlah kembali semua peristiwa yang
dialaminya pada hari-hari terakhir. Maka barulah terasa
penat-penat di bagian-bagian anggota badannya.
Selain itu terngianglah kembali semua ceritera Samparan
pada saat terakhir sebelum menghembuskan nafasnya yang
penghabisan. Tentang Lawa Ijo, tentang pertemuan yang
akan diadakan oleh golongan hitam, tentang pusaka-pusaka
Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, dan tentang seorang yang
disebut oleh Samparan bernama Pasingsingan. Semuanya
itu masing-masing bagi Mahesa Jenar memerlukan
perhatian-perhatian khusus.
Sebenarnya kalau Lawa Ijo atas petunjuk Pasingsingan
ingin mendapat pusaka Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten
dengan memasuki Gedung Perbendaharaan Istana, ia pasti
akan kecewa. Sebab kedua pusaka itu sedang jengkar
meninggalkan tempat penyimpanannya. Tak seorang pun
yang mengetahui, kemana perginya dan siapa yang
membawanya. Sedangkan kepada Pasingsingan sendiri, Mahesa Jenar
tak habis-habis heran. Bahkan hampir tak masuk akal, kalau
sampai Pasingsingan mempunyai seorang murid semacam
Lawa Ijo. Mengenai pertemuan golongan hitam itu pun akan
merupakan suatu peristiwa yang cukup menarik.
Kecuali itu, bila Lawa Ijo telah menyatakan diri untuk
mengambil bagian dalam pertemuan itu, pastilah bahwa
pagi-pagi ia telah mempersiapkan diri. Ini berarti bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lawa Ijo selalu berusaha untuk memperdalam segala
ilmunya sampai sedalam-dalamnya. Apalagi di bawah
asuhan seorang sakti yang bernama Pasingsingan.
Lalu bagaimanakah dengan dirinya" Dengan terbunuhnya
salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo, bahkan
saudara muda seperguruannya, berarti Mahesa Jenar sudah
berhadapan langsung dengan golongan itu. Golongan Lawa
Ijo yang bersarang di hutan Mentaok.
Karena itulah maka Mahesa Jenar mulai menilai dirinya
kembali. Sebenarnya ia tidak ingin lagi mempergunakan
tenaganya dan ilmu tata berkelahi yang pernah
dipelajarinya untuk memecahkan soal. Tetapi berhadapan
dengan gerombolan Lawa Ijo, soalnya menjadi lain.
Terhadap gerombolan itu, dan gerombolan hitam umumnya, ia tak dapat berbuat lain, kecuali harus
mempersiapkan diri dalam keadaan siaga tempur.
Maka, dengan tak sesadarnya Mahesa Jenar mengamatamati tangannya dengan jari-jarinya yang kokoh kuat. Telah
berapa jiwa melayang karenanya, selama ia berusaha
menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Dan sekarang,
tangan ini harus siap membunuh pula, juga untuk
menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
Bahkan alangkah menariknya untuk mengetahui pula
kejadian-kejadian dalam pertemuan yang akan diselenggarakan oleh golongan hitam itu, pada saat
purnama naik, bulan terakhir tahun ini.
Maka dengan tidak sengaja pula, Mahesa Jenar bangkit
dan berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu.
Malam sudah begitu dalam dan sepi. Kecuali suara-suara
binatang malam yang sekali-kali memecah sunyi. Pada saat
yang demikian tiba-tiba saja timbullah keinginan Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar untuk mencoba kembali kekuatan tenaganya.
Mungkin akan berguna nanti. Kalau ada kesempatan,
bukankah suatu hal yang baik sekali untuk membinasakan
segala tokoh-tokoh hitam pada saat mereka berkumpul"
Tetapi mereka pun bukanlah kumpulan anak-anak kecil
yang dapat ditakut-takuti oleh seekor anjing yang sedang
menggonggong. Belum lagi Mahesa Jenar mendapat sasaran untuk
memulai, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara yang
bergetar panjang, mendirikan bulu roma. Suara itu
menggetarkan udara seperti getaran gelombang pantai.
Bagi penduduk Pucangan, suara itu memang sering
terdengar. Bahkan hampir setiap malam, apabila kademangan itu telah terbenam dalam sunyi malam. Setiap
penduduk kademangan yang mendengar suara mengerikan
itu tubuhnya tentu akan menggigil karenanya.
Tetapi sebaliknya adalah Mahesa Jenar. Mendengar suara
itu tiba-tiba timbullah kegembiraannya. Dengan lincahnya ia
segera meloncat turun ke halaman. Untuk beberapa saat ia
berdiri mendengarkan dari mana arah suara yang
menggeletar itu. Mahesa Jenar merasa bahwa ia akan
mendapat kawan berlatih yang baik. Maka kemudian
dengan tidak berpikir panjang lagi. Segera ia meloncat dan
seperti kilat berlari ke arah suara yang menarik hati itu,
agak jauh di luar pedesaan.
Ketika sekali lagi suara itu terdengar semakin panjang,
Mahesa Jenar menjadi bertambah gembira, sehingga ia
semakin mempercepat langkahnya. Tampaklah ia kemudian
seperti bayangan yang terbang dalam kegelapan.
Setelah beberapa lama berlari, Mahesa Jenar menghentikan langkahnya. Dari sinilah arah suara tadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdengar. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan, ia
mengamat-amati keadaan di sekitarnya, yang penuh
semak-semak dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar.
Tiba-tiba telinga Mahesa Jenar yang tajam menangkap
suara berdesir dari dalam semak-semak itu. Cepat ia
membalikkan diri ke arah suara itu, dan bersiaga. Apa yang
dicari, kini telah muncul dari balik batang-batang ilalang.
Mahesa Jenar tersenyum, ketika dilihatnya seekor
harimau loreng sangat besar, hampir sebesar kerbau,
memandangnya dengan keheran-heranan. Matanya yang
kehijau-hijauan memancar seperti lentera yang menyorot
kepadanya. Untuk beberapa saat harimau itu berdiri
mematung. Agaknya harimau itu heran, manusia manakah
yang telah mengantarkan dirinya sendiri untuk menjadi
santapan malamnya. Ketika harimau itu perlahan-lahan maju ke depan, darah
Mahesa Jenar berdesir juga. Alangkah besar dan
garangnya. Dan dengan tidak sesadarnya, kembali Mahesa
Jenar mengawasi tangannya serta jari-jarinya yang kokoh
kuat. Dan pada telapak tangan Mahesa Jenar, seolah-olah
terbayang apa yang pernah terjadi pada saat terakhir,
sebelum gurunya melenyapkan diri dan kemudian ternyata
wafat. Pada saat ia mendapat warisan ilmu yang
sebenarnya sangat hebat. Suatu ilmu yang dapat dikatakan
tersimpan di tangan Mahesa Jenar. Sebab kalau ia ingin
menerapkan ilmu itu, haruslah dipergunakan sisi telapak
tangannya. Meskipun pada dasarnya ilmu itu mempergunakan kekuatan jasmaniah, tetapi tidaklah
demikian seluruhnya. Bertahun-tahun Mahesa Jenar melatih
diri meyakinkan ilmu itu, yang mempergunakan unsur-unsur
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gerak pendahuluan 10 macam. Sebelum itu ia masih harus
membiasakan keadaan jasmaniahnya. Setiap pagi dan sore
menghantamkan sisi telapak tangannya pada bermacammacam benda. Dari pasir, kayu, sampai ke batu.
Sepuluh unsur gerak pendahuluan itu hanyalah sekadar
patokan untuk menekan lawannya sampai sedemikian rupa
sehingga pada saat yang terakhir dimana keadaan sudah
memungkinkan, dilontarkanlah pukulan dengan sisi telapak
tangan. Tetapi pukulan itu tidak akan memenuhi harapan, bila
saat itu tidak dibarengi dengan suatu kekuatan batin yang
luar biasa besarnya, serta pemusatan tenaga. Inilah
sebenarnya yang sulit dilaksanakan. Untuk dapat melakukan ini semua, Mahesa Jenar harus bekerja keras
beberapa tahun lamanya. Latihan-Latihan itulah yang sangat terasa berat. Pada
taraf permulaan Mahesa Jenar harus melatih mengatur


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernafasan, kemudian pemusatan pikiran dan terakhir
menggabungkan segenap kekuatan lahir batin. Semua itu
untuk disalurkan lewat sisi telapak tangannya.
Dalam pelaksanaannya tidaklah mesti 10 unsur gerak itu
dilakukan berurutan. Tetapi unsur yang hanya sekadar
merupakan patokan yang dapat dibolak-balik, diambil
beberapa bagiannya saja menurut kebutuhan. Bahkan
dapat dimasuki dan digabungkan dengan unsur-unsur gerak
yang lain. Setelah Mahesa Jenar menjalani semua latihan-latihan
itu, hasilnya sangat hebat. Tangan Mahesa Jenar, bila
dikehendaki seolah-olah dapat berubah menjadi palu besi
yang sangat berat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi meskipun demikian, sampai saat itu Mahesa Jenar
belum pernah mempergunakan ilmunya itu untuk melawan
sesama manusia. Ia baru mencoba menghantam-hancurkan
kayu dan bahkan batu. Tetapi terhadap sesama manusia,
Mahesa Jenar masih belum sampai hati mempergunakannya. Sebab, akibatnya dapat dibayangkan.
Namun sekarang Mahesa Jenar merasa berhadapan
dengan lawan yang tak dapat diabaikan. Apalagi Lawa Ijo
adalah murid Pasingsingan. Lebih-lebih kalau Pasingsingan
sendiri ikut campur dalam urusan ini.
Karena itu, Mahesa Jenar memutuskan, bahwa ia harus
mempersiapkan ilmunya itu. Ilmu yang pernah dipelajarinya
dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah.
Dan sekarang, ia mendapat sasaran yang tepat. Seekor
harimau loreng yang sangat besar sekali, yang pasti sangat
mengganggu penduduk di sekitar daerah ini. Sebab seekor
harimau yang hampir sebesar kerbau ini tentu akan senang
menangkap ternak para petani.
Meskipun kekuatan jasmaniah harimau sebesar itu, jauh
berlipat dari kekuatan jasmaniah manusia biasa, Mahesa
Jenar yakin bahwa ia akan dapat mengatasinya, dengan
ilmunya yang oleh gurunya disebut Sasra Birawa.
Sementara itu, Mahesa Jenar segera tersadar oleh suara
gemersik kaki harimau yang berdiri tidak jauh di
hadapannya. Harimau itu telah merunduk sangat rendah,
dan siap menerkam. Dengan mengaum keras, harimau itu dengan garangnya
meloncat akan menerkam Mahesa Jenar. Kedua kaki
depannya menjulur hampir lurus dengan tubuhnya. Kukukukunya yang tajam siap merobek-robek mangsanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedang taring-taringnya yang tajam-runcing, menyeringai.
Mengerikan sekali. Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang yang telah terlatih
baik untuk menghadapi setiap kemungkinan dan segala
macam bahaya. Maka ketika dilihatnya harimau itu
meluncur menerkamnya, dengan cekatan Mahesa Jenar
merendahkan diri dan meloncat ke samping. Harimau itu
kembali mengaum dengan hebatnya. Rupanya ia sangat
marah ketika mangsanya terlepas dari terkamannya. Tetapi
selama harimau itu masih mengapung di udara, ia sama
sekali tak dapat mengubah geraknya.
Ketika harimau itu mendarat di tanah, ia menjadi terkejut
sekali. Tidak saja karena sasarannya telah menghindarkan
diri, tetapi juga karena tiba-tiba saja terasakan sesuatu
yang menghantam punggungnya, dan bahkan seperti
melekat dengan eratnya. Mahesa Jenar ketika telah berhasil menghindarkan diri,
maka tepat pada saat harimau itu menjejakkan kakinya di
atas tanah, dengan kecepatan luar biasa Mahesa Jenar
meloncat ke atas punggung harimau itu, dan menghantamnya sekali. Seterusnya kedua tangannya
dengan eratnya berpegangan pada leher harimau itu.
Tetapi harimau adalah binatang yang mempunyai
kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau disebut raja
hutan. Apalagi seekor harimau yang sedang marah, seperti
yang sedang dihadapi oleh Mahesa Jenar.
Harimau itu menggeliat dengan sepenuh tenaga untuk
melepaskan pegangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar
dengan eratnya mencengkeram leher harimau itu, sehingga
tangan itu tidak terlepas. Akhirnya harimau yang sudah
mencapai puncak kemarahannya itu meloncat tinggi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah terjun kembali, segera menjatuhkan diri dan
bergulingan di tanah. Bagaimanapun eratnya pegangan
Mahesa Jenar, tetapi mengalami hal yang demikian tak
urung tangannya terlepas juga. Bahkan ia terlempar ke
samping, sampai beberapa langkah dan jatuh bergulingguling. Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki keuletan yang luar
biasa. Demikian Mahesa Jenar jatuh terguling beberapa kali,
segera ia meloncat dan tegak kembali tepat pada saatnya.
Sebab pada saat itu, harimau yang marah itu telah siap
kembali menerkam. Tetapi setelah mengalami kegagalan,
rupanya harimau itu mendapat suatu pengalaman, bahwa
dengan suatu terkaman dari jarak yang jauh, ia tak berhasil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menguasai mangsanya. Maka kali ini harimau itu tidak lagi
merunduk lalu meloncat. Perlahan-lahan tetapi pasti,
harimau itu mendekati lawannya.
Mahesa Jenar bertambah berhati-hati melihat perubahan
sikap harimau itu. Untuk melawan langsung seekor harimau
sangatlah berbahaya. Kuku-kukunya serta gigi-gigi yang
tajam itu dapat merobek kulitnya. Maka diputuskannya
untuk segera mengakhiri perkelahian.
Maka, segera ia bersikap. Tanpa mempergunakan unsurunsur pendahuluan untuk menekan lawannya. Ia berdiri di
atas satu kakinya, menghadap langsung pada harimau itu.
Satu kaki lainnya diangkat dan ditekuk ke depan. Sebelah
tangannya menyilang dada, sedangkan tangan kanannya
diangkat tinggi-tinggi. Cepat-cepat ia mengatur peredaran
nafasnya, memusatkan pikiran dan menyalurkan segala
kekuatan lahir dan batin ke sisi telapak tangannya. Maka
ketika harimau itu mengaum dahsyat, serta dengan
garangnya menerkamnya, Mahesa Jenar pun telah siap dan
terdengar ia berteriak nyaring. Ia memutar kaki yang
diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu
loncatan kecil kesamping. Berbareng dengan itu, tangan
kanannya terayun deras sekali menghantam tengkuk
harimau itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Harimau itu
mengaum lebih keras lagi dibarengi dengan gemeretak
tulang patah. Sekejap kemudian harimau itu melenting
tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh tubuhnya
jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya.
Harimau itu mati karena patah tulang lehernya oleh
kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah mempergunakan
ilmu Sasra Birawa. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali. Yang
terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah
suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata
yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
Dengan tajamnya Mahesa Jenar mengawasi lawannya
yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat sedikit
berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat
kebahagiaan untuk memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu.
Seandainya yang dikenai itu manusia biasa, maka dapatlah
dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa
sisa. Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik
ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya
dan segera bersiaga. Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di
belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau
misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan
seterkejut pada saat itu.
Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah
cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah
Nyai Wirasaba. Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak dapat
mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba
tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil
menguasai perasaannya, dan dengan sedikit tergagap ia
bertanya. "Nyai Wirasaba, kedatangan Nyai sangat
mengejutkan aku." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa
Jenar meneruskan, "Apakah yang Nyai maksudkan,
sehingga Nyai memerlukan datang kemari?"
Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti tersadar dari
sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti
peristiwa dalam mimpi. Nyai Wirasaba, pada saat sebelum perkawinannya,
sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya
menjadi lumpuh, sehingga tak ada lagi yang dapat
dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya.
Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut anggapannya
sangat mengagumkan pula, berani dan bersifat jantan.
Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri
di halaman, sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di
halaman pula, untuk membeningkan pikirannya yang kusut.
Mendadak pada saat itu terdengarlah aum harimau di
kejauhan. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi
gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera
mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap
jantan Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak berlari secepat
Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkalikali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan
itu. A palagi ketika ia menyaksikan bagaimana Mahesa Jenar
membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak
dapat dikuasainya lagi. Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa
Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian
dijawabnya juga dengan penuh kejujuran. "Aku tidak tahu,
kenapa aku kemari." "Tidak tahu?" sahut Mahesa Jenar heran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh
keinginanku menyaksikan suatu peristiwa yang dapat
mengungkat kembali suatu kenang kenangan yang indah
pada masa muda." "Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat
berbahaya." berkata Mahesa Jenar kemudian, "Bagaimana
kalau aku tidak dapat memenangkan pertandingan ini"
Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan
macan loreng itu". "Tidak mungkin." jawab Nyai Wirasaba, "Aku yakin kalau
harimau itu akan terbunuh".
"Nyai Wirasaba yakin?" tanya Mahesa Jenar. Matanya
memancarkan berbagai pertanyaan.
Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak
tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian.
"Nah, sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah
berbahaya sekali bagi Nyai untuk tetap berada disini."
Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang
kemalaman bermain. Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tibatiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang
pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya
beberapa tahun lampau. Saat-saat pertemuan dan
perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta cita-citanya untuk
dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah,
seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama
Wirasaba lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya,
selama itu pula ia tak dapat mengharap menimang seorang
anak laki-laki seperti yang dirindukannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat
dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedan.
Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai
perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi
meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali
wanita, ia sendiri belum pernah bergaul terlalu rapat.
Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang
mempunyai perasaan di luar kemampuannya untuk
menjajaginya. A palagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika
dilihatnya Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi
bingung kalang kabut. Ia menjadi semakin tidak mengerti
apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak merasakan
adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan.
Karena itu untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri diam


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebaknebak, apakah sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya
ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat ditakutinya.
Karena pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan
seorang wanita sangat sempit, maka ia telah mempunyai
tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba.
Karena itulah ia bertambah cemas. Katanya dengan
suara gemetar "Nyai, aku telah mengorbankan harga diriku
dengan tidak menerima tantangan Ki Wirasaba, sekedar
untuk mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga
kalian. Dan sekarang, ketenteraman yang sudah hampir
pulih kembali itu akan terganggu pula, apabila kita berdua
pada malam begini berada di tempat ini. Karena itu
pulanglah dan lupakanlah segala angan angan itu".
Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang berperasaan
halus, sehalus rambut dibelah tujuh. Ditambah pula sudah
beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki,
sehingga ia menjadi semakin perasa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka ketika ia mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia
terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama sekali tak
bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan
jujur menurut perasaannya, tetapi akibatnya seperti sembilu
yang langsung membelah ulu hati Nyai Wirasaba. Sebagai
seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti Ki
Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat
keutamaan seorang wanita. Diantaranya sifat setia dan
bakti kepada suaminya. Dengan demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah
menggelorakan darahnya. Ia merasa tersinggung dengan
anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan
seseorang, namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan
itu. Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar itu dengan
suara yang bergetar. "Tuan, aku telah mengagumi
keperwiraan Tuan, keberanian dan kejantanan Tuan. Dan
dengan tidak sadar pula aku telah mengikuti Tuan sampai
ke tempat ini untuk menyaksikan keperwiraan Tuan. Hal ini
mungkin disebabkan aku terlalu mengagumi kejantanan
suamiku pada masa muda kami berdua. Dengan
menyaksikan kejantanan Tuan, aku mendapat suatu
jembatan yang dapat menghubungkan kembali kepada
kenangan masa silam. Suatu masa yang penuh dengan
harapan dan cita-cita. Tetapi Tuan telah menuduh aku
dengan tuduhan yang menyakitkan hatiku." Suara Nyai
Wirasaba tersekat di kerongkongan oleh air matanya yang
mendesak. Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tidak kurang
terperanjatnya. Tetapi ia tetap tidak dapat mengerti, Kalau
demikian halnya, mengapa seorang wanita seperti Nyai
Wirasaba sampai bersusah payah mengikutinya. Karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar adalah seorang yang berdada terbuka serta
tidak suka menyembunyikan perasaannya, maka berkatalah
ia, "Tetapi sampai demikian perlukah Nyai Wirasaba pergi
ke tempat ini pada malam begini?"
Sekali lagi dada Nyai Wirasaba yang penuh itu
terguncang. Ia menjadi bertambah gusar mendengar katakata Mahesar Jenar itu. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar
yang tak dapat menjajagi perasaannya, Nyi Wirasaba pun
tidak tahu sama sekali akan ketulusan hati Mahesa Jenar.
Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu Mahesa
Jenar ingin memancing-mancing untuk meraba-raba
perasaannya. Karena itu dengan marahnya ia berkata,
"Tuan, aku tidak menyangka bahwa hati Tuan ternyata
palsu. Maka baru sekarang aku mengerti kenapa suamiku
berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung
nyawanya tanpa pamrih. Tetapi Tuan jangan mimpikan air
mengalir ke udik." Sekarang Mahesa Jenar yang merasa dadanya terguncang. Ia tidak dapat membayangkan bahwa wanita
cantik seperti Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya
sehingga mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan
demikian pedihnya. Karena itu, seluruh tubuh Mahesa Jenar
menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping itu
ia mulai merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya
telah menyinggung perasaan Nyai Wirasaba. Maka dalam
kebingungan itu, ia hanya dapat berdiri terpaku seperti
patung. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan. Sampai
Nyai Wirasaba menyambung pula, "Tuan, barangkali Tuan
menyangka bahwa suamiku hanya dapat bermain main
dengan suatu permainan yang jelek dengan Samparan.
Tetapi ketahuilah Tuan, bahwa aku mengharap ia lekas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sembuh. Dan sesudah itu aku tidak tahu apakah aku masih
dapat mengagumi ketangkasan Tuan di hadapan suamiku."
Sekali lagi dada Mahesa Jenar terguncang. Ia adalah
seorang laki laki yang mengutamakan keperwiraan seorang
ksatria. Ia sudah menahan dirinya sekian lama sejak ia
menerima sindiran-sindiran Wirasaba di hadapan Mantingan
dan Ki Asem Gede. Seandainya Nyai Wirasaba tidak
langsung menyinggung harga dirinya sebagai seorang lakilaki, mungkin ia masih dapat menahan dirinya, meskipun
dadanya akan menjadi sesak. Tetapi sekarang, Nyai
Wirasaba yang karena marahnya, telah langsung merendahkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki
dengan memperbandingkannya dengan Wirasaba. Karena
itulah maka Mahesa Jenar tidak dapat lagi membendung
aliran perasaannya yang semakin deras mendesak dan telah
cukup lama tertahan. Meskipun demikian ia masih berusaha
untuk menyambut tantangan itu dengan sebaik mungkin,
meskipun nafasnya menjadi berdesakan. "Mudah-mudahan
Ki Wirasaba lekas sembuh. Dan aku akan mencoba
melayaninya, meskipun barangkali aku tidak akan dapat
memberi kepuasan... dan ...." masih banyak yang akan
diucapkan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak tahu bagaimana
melakukannya. Sedangkan yang keluar dari mulutnya
adalah, "Nyai, kalau ada kesalahanku maafkanlah, tak ada
gunanya aku lebih lama tinggal di sini. Perkenankanlah aku
pergi. Tolong pamitkan kepada mereka berdua, dan lain kali
aku mengharap dapat bertemu kembali. Juga kepada Ki
Wirasaba, sampaikan salamku, sampai bertemu apabila ia
telah sembuh kembali."
Belum lagi Mahesa Jenar mengucapkan seluruh katakatanya, terdengar suara Nyai Wirasaba hampir berteriak,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Salahkulah kalau aku sampai datang kemari, apapun
sebabnya, karena aku seorang wanita."
Kemudian diluar dugaan Mahesa Jenar, Nyai Wirasaba
segera berlari meninggalkan tempat itu.
Mahesa Jenar terpaku di tempatnya. "Alangkah
tumpulnya perasaanku. Sungguh aku tidak mengerti, apa
yang baru saja terjadi".
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jawaban,
didengarnya dari arah samping suara gemersik rumput
kering. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah
suara itu. Ternyata apa yang dijumpainya mengejutkannya
pula. Orang yang datang itu adalah Ki Dalang Mantingan.
Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada
orang ketiga yang menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di
tempat itu, dapatlah menimbulkan bermacam-macam
kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa sahabatnya
itu tidak akan menjelekkan namanya, maka segera ia pun
dapat menguasai dirinya kembali.
Sementara itu terdengar Mantingan berkata, "Adimas,
maafkanlah kalau kedatanganku sangat mengejutkan
Adimas." "Tidak." jawab Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah,
"Tidak seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah
kakang berada di sini?".
"Sudah..." sahut Mantingan, "Sudah lama. Aku menyaksikan semua yang terjadi. Sejak Adimas membunuh
harimau itu dengan tangan, sampai perselisihan paham
yang terjadi antara Adimas dan Nyai Wirasaba".
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil kembali
menggeleng lemah. Kemudian katanya, "Aku tidak mengerti
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kenapa hal-hal serupa itu bisa terjadi. Kau dengar seluruh
pembicaraan kami Kakang?"
"Seluruhnya." jawab Mantingan, "Aku datang ke tempat
ini bersamaan waktunya dengan Nyai Wirasaba,".
"Kau tahu bahwa aku di sini?" tanya Mahesa Jenar lebih
lanjut. "Ya, sebab ketika aku mendengar aum harimau dan
terbangun dari tidurku, aku tidak melihat Adimas di
pembaringan. Segera aku pergi mencarinya. Ketika aku
turun ke halaman, aku melihat Nyai Wirasaba sedang
berlari dengan kencangnya ke arah suara harimau itu.
Tentu saja aku tidak dapat membiarkan hal semacam itu.
Segera aku pun pergi menyusulnya. Dan seterusnya seperti
apa yang terjadi di sini."
Mendengar keterangan Mantingan, Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian untuk beberapa saat
mereka berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masingmasing. Sampai kembali Mantingan berkata, "Adimas,
sebenarnya apa yang terjadi hanyalah karena kesalahpahaman belaka." "Apa pendapat Kakang tentang hal itu?" sela Mahesa
Jenar. "Maafkanlah kalau aku katakan, bahwa tidak banyak
yang Adimas ketahui tentang perasaan seorang wanita."
Mantingan meneruskan, "Sebaliknya Nyai Wirasaba menerima keterbukaan dada Adimas itu dengan kemasgulan dan kegusaran. Sebenarnya tak ada persoalan
apa-apa antara Adimas dan Nyai Wirasaba. Karena itu tak
ada alasan bagi A dimas untuk tergesa-gesa pergi."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar diam sejenak. Ia mencoba mencerna
keterangan Ki Dalang Mantingan. Tetapi akhirnya kembali ia
menggeleng lemah. Katanya, "Kakang Mantingan, aku kira
lebih baik aku pergi. Banyak hal yang tidak menguntungkan
apabila aku tetap tinggal di sini. Kakang tahu bahwa aku
bukanlah seorang yang sabar dan pradah untuk menerima
perangsang perangsang yang dapat membakar perasaanku.
Aku juga masih belum tahu apakah Wirasaba sudah puas
dengan kematian Samparan."
Kembali mereka berdiam diri. Udara malam yang lembab
di daerah pegunungan mengalir dibawa arus angin
perlahan-lahan. Dan dalam keheningan itu kembali suarasuara malam bertambah jelas.
Sebenarnya sangatlah berat perasaan Mantingan untuk
melepas Mahesa Jenar pergi. Meskipun baru beberapa hari
ia mengenalnya, namun seolah-olah hatinya telah
tergenggam erat dalam tali persahabatan. Karena itu ia
berusaha keras untuk menahan Mahesa Jenar.
"Adimas," katanya sejenak kemudian mengusik sepi
malam, "kalau Adimas berkeras untuk meninggalkan tempat
ini, bukankah lebih baik Adimas pergi ke Prambanan"
Kakang Demang Penanggalan akan merasa berbahagia
kalau Adimas sudi tinggal beberapa hari di rumahnya."
Mahesa Jenar tidak segera menjawab ajakan itu.
Memang pernyataan yang demikian itu mungkin sekali.
Tetapi mengingat kemungkinan-kemungkinan lain, dimana
Ki Asem Gede turut berkepentingan, adalah kurang pada
tempatnya. Sedangkan ia sama sekali tidak mengerti
persoalannya. Tidaklah enak perasaan Mahesa Jenar untuk
meninggalkan keluarga Ki A sem Gede dan kemudian tinggal
pada keluarga Mantingan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan demikian suasana menjadi kaku, seperti garisgaris karang di tebing-tebing pegunungan yang merupakan
lukisan-lukisan hitam di atas dasar kebiruan langit yang
ditaburi bintang-bintang.
Akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu ketetapan. Ia
harus pergi meninggalkan daerah itu. Katanya, "Kakang
Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal yang dapat aku lakukan kalau aku
melanjutkan perjalananku. Mungkin aku dapat menemukan
sarang Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan orangorang berkuda yang membuat upacara-upacara aneh
dengan mengorbankan gadis-gadis itu."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai sekian Mantingan sudah menduga bahwa sulitlah
baginya untuk tetap menahan Mahesa Jenar.
Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan, "Kakang
Mantingan, meskipun aku bukan lagi seorang prajurit,
namun aku masih tetap ingin mengabdikan diriku. Sebab
pengabdian yang sebenarnya tidak harus melulu ditujukan
kepada raja, tetapi sebenarnyalah bahwa pengabdian harus
ditujukan kepada rakyat. Karena itu aku akan merasa
berbahagia sekali kalau aku dapat berbuat sesuatu untuk
ketenteraman hati rakyat. Nah kakang Mantingan, sampai
sekian saja pertemuan ini."
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan Mantingan.
Betapa kagumnya ia terhadap Mahesa Jenar yang telah
menemukan garis tujuan bagi hidupnya. Meskipun ia sendiri
juga selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang serupa,
yaitu membasmi kejahatan, tetapi apa yang dilakukannya
itu adalah diluar kesadaran bagi sesuatu tujuan yang besar.
Karena itu apa yang dilakukannya adalah suatu perbuatan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sepotong-sepotong tanpa suatu garis penghubung dari
yang satu dengan yang lain.
Kemudian terdengar kembali Mahesa Jenar berkata,
"Kakang Mantingan, sampai di sini kita berpisah. Mudahmudahan kita dapat bertemu lagi. Kalau Kakang Mantingan
tidak berkeberatan, di akhir tahun ini, dua hari sebelum
purnama penuh, kita bertemu di sekitar Banyu Biru dan
Rawa Pening. Bukankah pada saat itu akan terjadi sesuatu
yang penting?" Seperti diperingatkan akan kelalaiannya, Mantingan
menjawab, "Baiklah Adimas. Baiklah kita menyaksikan
pertemuan para tokoh-tokoh sakti dari aliran hitam itu.
Sementara itu masih ada waktu bagiku untuk sedikit
menambah pengetahuanku yang sangat picik ini. Sesudah
itu aku juga akan segera kembali ke Wanakerta. Mudahmudahan aku diizinkan oleh guruku, Ki Ageng Supit."
"AKU kira Ki Ageng Supit tidak akan keberatan, selama
apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan garis
kebijaksanaan negara. Nah, Kakang Mantingan, selamat
tinggal. Salamku buat Ki Asem Gede dan Demang
Penanggalan." Dengan perasaan yang sangat berat Mantingan melepas
Mahesa Jenar pergi. Sebenarnya Mahesa Jenar pun merasa
betapa beratnya meninggalkan daerah ini, meskipun ia
mengalami banyak hal yang tak menyenangkan. Tetapi
justru karena itu ia akan tetap terkenang pada sahabatsahabatnya, dimana ia sendiri sedang mengalami kesulitan.
V Kini kembali Mahesa Jenar dengan pengembaraannya.
Mula-mula ia berjalan menyusur jalan yang dilaluinya ketika
ia mengikuti Ki Asem Gede. Tetapi ia tidak mau terus
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sampai ke Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini akan
memasuki belukar, ia mengambil jurusan lain. Ia memilih
jalan yang membelok ke barat, menyeberangi Sungai Opak.
Meskipun ia sama sekali belum mengenal daerah yang
dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia mengenal ilmu
perbintangan yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah
yang dikehendaki. Demikianlah Mahesa Jenar sebagai seorang perantau
berjalan dari desa ke desa, dari kademangan yang satu ke
kademangan yang lain. Dilewatinya desa-desa Semboyan,
Kalimati, Temu Agal, terus ke selatan, lewat daerah Si
Lempu dan Cupu Watu. Terus kembali membelok ke barat
tanpa berhenti. Maka pada saat fajar menyingsing sampailah Mahesa
Jenar ke depan mulut hutan yang lebat, yang terkenal
dengan nama Alas Tambak Baya.
Sampai daerah ini Mahesa Jenar berhenti sejenak.
Dipandanginya hutan lebat yang terbentang di hadapannya.
Meskipun hutan itu tidak begitu besar, tetapi sangat
berbahaya. Di dalamnya bersarang banyak jenis binatang
berbisa. Karena itu jarang orang yang lewat. Sebab kecuali
binatang-binatang berbisa yang dengan sekali sengat dapat
membunuh seseorang, juga di dalam hutan itu banyak
bersarang penyamun-penyamun dan perampok-perampok.
Hanya rombongan yang agak besar dengan kawalan
yang kuat sajalah yang berani menyeberangi hutan ini.
Kebanyakan mereka adalah pedagang-pedagang dari pesisir
utara yang membawa barang-barang untuk dipertukarkan
dengan hasil-hasil hutan. Tetapi meskipun rombonganrombongan itu telah menyewa beberapa orang pengawal
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang dianggapnya kuat, namun tidak jarang diantara
mereka yang tak berhasil keluar lagi dari hutan ini.
Pada saat nama Lawa Ijo sedang cemerlang beberapa
saat yang lalu, daerah ini pun merupakan daerah
pengaruhnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menarik diri
dan melepaskan semua hak-haknya atas beberapa daerah.
Ternyata apa yang dilakukan oleh Lawa Ijo adalah
memusatkan perhatian dan waktunya untuk memperebutkan dan menemukan pusaka-pusaka Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, di samping persiapanpersiapan untuk menghadapi pertemuan puncak dari tokohtokoh sakti aliran hitam.
Karena itu timbullah kesan seakan-akan kekosongan
pemerintahan di wilayah pengaruh Lawa Ijo. Penjahatpenjahat kecil yang semula harus tunduk pada setiap
peraturan yang dibuat oleh Lawa Ijo, sekarang merasa
bebas dan dapat berbuat sekehendak hati mereka. Tidak
jarang terjadi bentrokan-bentrokan dan pertempuranpertempuran antara satu golongan dengan golongan yang
lain, untuk memperebutkan rezeki.
Demikianlah kira-kira isi hutan lebat yang bernama
Tambak Baya, yang sebenarnya hanya merupakan anak
dari induk hutan yang lebih besar dan dahsyat, yaitu Alas
Mentaok. Tetapi, meskipun seakan-akan Lawa Ijo telah menghentikan sebagian besar dari kegiatannya, namun tak
segolongan pun dari para penjahat kecil yang berani
melakukan pekerjaannya di hutan induk yang lebat ketat
itu. Sebab bagaimanapun, mereka masih menghormati
pusat kebesaran kerajaan Lawa Ijo.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu Mahesa Jenar masih tegak memandang
kehijauan hutan di hadapannya, yang berkilat-kilat terkena
cahaya matahari, karena pantulan embun pagi yang sedang
mulai menguap. Dalam keheningan udara pagi, hutan itu
tampaknya seakan-akan tubuh raksasa yang sedang
terbujur lelap. Mengerikan.
Untuk menyeberangi hutan itu Mahesa Jenar memerlukan waktu beberapa hari, sampai dijumpainya
pedesaan kecil di daerah Pliridan. Sesudah itu ia akan
sampai ke bagian hutan yang bernama Beringan dan di
bagian selatan yang penuh dengan rawa-rawa, bernama
Pecetokan. Untuk melampaui kedua daerah ini pun
diperlukannya waktu beberapa hari pula. Kalau ia ingin
menemui padukuhan, ia harus menyusup ke selatan, ke
daerah Nglipura dan Mangir.
Mengingat itu semua, Mahesa Jenar merasa perlu untuk
mendapat bekal makanan secukupnya. Maka sebelum
memasuki hutan itu diperlukannya untuk singgah di
pedukuhan yang terdekat untuk membeli bahan makanan
sekadarnya. Disamping itu ia mengharap pula bahwa di
dalam hutan itu pun akan tersedia bahan makanan,
terutama daging. Di sebuah gardu di tepi sebuah desa, dilihatnya banyak
orang sedang berjualan. Rupanya gardu itu merupakan
tempat berkumpul bagi mereka yang akan menyeberangi
hutan. Mereka menunggu sampai jumlah yang cukup,
kemudian bersama-sama mengupah beberapa orang yang
kuat untuk mengawal mereka sampai ke Nglipura, Mangir
atau daerah Begelen di seberang hutan Mentaok setelah
melintasi pegunungan Manoreh.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lalu lintas ini mulai ramai kembali sejak Lawa Ijo
melepaskan beberapa daerah pengaruhnya. Sedangkan
terhadap perampokan-perampokan kecil, para pengawal
bersama-sama para pedagang dalam jumlah yang cukup
besar, merasa mampu untuk menandingi perampokperampok itu. Diantara mereka yang berkumpul di situ terdapat
beberapa orang saudagar, beberapa orang yang barangkali
akan mengunjungi sanak saudara di tempat yang jauh.
Mereka semua menyandang senjata. Ada yang membawa
tombak, kapak, pedang yang berjuntai di pinggang, keris,
dan sebagainya. Yang menarik perhatian Mahesa Jenar, diantara mereka
ada seorang gadis yang cantik. Menilik pakaiannya, ia pasti
termasuk salah seorang dari keluarga yang cukup. Tetapi
melihat wajahnya, tampaklah betapa suram dan sayu.
Mungkin ada sesuatu masalah yang memaksanya untuk
melawat demikian jauhnya sehingga terpaksa harus
menyeberangi hutan Tambak Baya.
Selain gadis itu, Mahesa Jenar juga tertarik kepada
seorang muda yang berwajah tampan dan bersih. Umurnya
tak banyak terpaut dengan umurnya sendiri. Pemuda itu
berpakaian rapi seperti seorang pedagang kaya. Kainnya
lurik berwarna cerah, sedangkan bajunya agak gelap
berkotak-kotak. Dari celah-celah bajunya tampaklah timang
emasnya berteretes intan. Serasi benar dengan kulitnya
yang kuning bersih. Namun agaknya ia terlalu berani
dengan menonjolkan kekayaannya melewati daerah yang
berbahaya itu. Kedatangan Mahesa Jenar diantara mereka sama sekali
tidak menarik perhatian. Baik bagi mereka yang akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengadakan perjalanan maupun para pengawal yang
tampaknya telah siap. Sebab, keadaan Mahesa Jenar
dengan pakaiannya yang kusut serta janggut dan kumisnya
yang serba tak teratur itu, tampak seperti seorang perantau
yang biasanya memang mencari kesempatan untuk dapat
berbareng dengan rombongan-rombongan yang demikian.
Para pengawal sudah sering melihat hal yang serupa. Dan
dari para perantau semacam ini sama sekali tak dapat
diharap untuk menambah upah mereka. Tetapi karena
biasanya para perantau itu tidak pernah mengganggu,
maka para pengawal pun tak pernah merasa keberatan,
malahan hampir tak peduli. Bahkan dari para perantau ini
dapat pula diambil keuntungannya, dengan menambah
jumlah orang dalam rombongan itu, yang juga berarti
menambah satu tenaga apabila sesuatu terjadi.
Mula-mula Mahesa Jenar sama sekali tak menaruh
perhatian atas rombongan itu, sebab ia tidak mempunyai
kepentingan apa-apa. Tetapi karena diantara orang-orang
itu agaknya ada yang menarik perhatiannya, maka ia pun
mencoba untuk mendekati mereka dengan berpura-pura
membeli beberapa macam makanan.
Semakin dekat semakin jelaslah kedukaan yang
menggores di wajah gadis cantik itu. Menurut dugaan
Mahesa Jenar, gadis itu umurnya berkisar diantara 20
tahun. Menilik sikap, kata-kata dan beberapa gerakgeriknya, gadis itu adalah gadis yang manja. Tetapi karena
itu pulalah maka Mahesa Jenar menjadi bertambah heran.
Mengapa gadis manja ini menempuh perjalanan yang
berbahaya" Pada saat itu Mahesa Jenar masih belum tahu,
apakah gadis itu mempunyai kawan seperjalanan diantara
rombongan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedangkan pemuda tampan itu pun semakin menarik
perhatiannya pula. Meskipun pemuda itu berwajah tampan
dan bersih serta bersikap sopan, tetapi ketika Mahesa Jenar
sempat memandang matanya, ia menjadi curiga. Mata yang
redup dan selalu bergerak-gerak bukanlah mata orang baikbaik. Bibirnya yang tipis dan selalu menyungging senyum
yang aneh itu pun telah menyatakan bahwa ia mempunyai
sifat yang tidak berterus terang dan meremehkan orang
lain. Karena itulah maka Mahesa Jenar kemudian membatalkan niatnya untuk mendahului rombongan itu. Ia
merasa tertarik untuk mengikuti iring-iringan itu. Ketajaman
perasaannya mengatakan bahwa ada hal yang tidak wajar
pada pemuda tampan itu. Ternyata Mahesa Jenar tidak perlu menunggu lama,
sebab sebentar kemudian terdengarlah aba-aba dari
pimpinan pengawal yang sudah setengah umur untuk
menyiapkan kawan-kawannya yang terdiri dari kira-kira 10
orang, untuk segera berangkat, mumpung hari masih pagi.
Semakin curigalah Mahesa Jenar terhadap pemuda itu,
karena kemudian tampak sikapnya yang semakin sopan
berlebih-lebihan. Dengan sangat cekatan ia membantu
kawan-kawan dalam rombongan itu, terutama gadis cantik


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang juga menarik perhatian Mahesa Jenar itu.
Sebentar kemudian siaplah semuanya. Beberapa orang
pengawal membawa beban masing-masing, disamping
senjata mereka. Dan hampir setiap orang dalam rombongan
itu membawa bungkusan besar dan kecil. Tetapi tidak
demikianlah pemuda itu. Kecuali pakaian yang melekat di
tubuhnya, tak sehelai benang pun dibawanya. Namun di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangannya tergenggam sebatang tongkat yang agak
panjang, berwarna hitam mengkilap.
Kembali terdengar pemimpin rombongan itu memberikan
aba-aba. Sesaat kemudian mulailah iring-iringan itu
bergerak. Jumlah orang yang ikut serta dalam rombongan
itu, kecuali para pengawal, kira-kira berjulmah 25 orang.
Diantaranya hanya terdapat tiga orang wanita. Dua
diantaranya berjalan dengan suami masing-masing.
Sedangkan gadis cantik yang menarik perhatian Mahesa
Jenar, ternyata hanya seorang diri.
Mahesa Jenar segera mengikuti rombongan itu. Dan
dengan tidak diduganya sama sekali, seorang wanita yang
berjalan dengan suaminya, memanggilnya. Mahesa Jenar
ragu-ragu sebentar. Tetapi agar tidak mencurigakan, ia
mendatangi wanita itu. "Bapak, sukakah Bapak membawa beberapa bebanku ini"
Nanti aku akan memberi sekadar upah," kata wanita itu
kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar bimbang sebentar. Hatinya menjadi geli.
"Atau barangkali kau mau menentukan berapa besarnya
upah yang kau minta?" sambung suaminya.
Cepat-cepat Mahesa Jenar membungkuk hormat. Lalu
jawabnya, "Akh, terserahlah kepada Tuan. Berapa pun
besarnya upah yang akan Tuan berikan, pasti akan sangat
menyenangkan. Dengan demikian aku akan dapat membeli
sekadar oleh-oleh buat anak-anakku."
Suami-istri itu mengangguk-angguk. Lalu diserahkannya
beberapa bebannya kepada Mahesa Jenar.
Hal ini sebenarnya menguntungkan Mahesa Jenar, sebab
dengan demikian ia dapat mendekati rombongan itu tanpa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suatu kecurigaan. Tetapi ia terpaksa mendongkol juga.
Sebenarnya ia lebih senang jalan berlenggang daripada
membawa beban yang cukup berat itu. Meskipun
sebenarnya Mahesa Jenar bertubuh kuat, namun ia pun
harus ber-pura-pura merasa berat pula.
Setelah beberapa saat mereka mengikuti jalan setapak di
tengah-tengah rimba liar itu, mulailah perjalanan mereka
agak sulit. Beberapa kali pemimpin rombongan itu
memperingatkan supaya mereka berhati-hati terhadap
segala jenis serangga, lebih-lebih ular. Rupanya pemimpin
rombongan itu sudah amat berpengalaman menempuh
perjalanan demikian. Karena itu tampaklah betapa
bijaksana ia membawa orang-orang yang di bawah
tanggung jawabnya itu. Apabila jalan amat sulit, tidak
segan-segan ia menolong, bahkan menggendong para
wanita dalam rombongan itu. Meskipun pemimpin
rombongan itu rambutnya telah berwarna dua, tapi ia masih
tampak sehat, tangkas dan kuat.
Demikianlah rombongan itu berjalan sangat pelan,
sehingga kemajuan yang dicapainya amat lambat pula.
Pada hari itu, perjalanan tak menemui gangguan apapun.
Ketika matahari hampir terbenam, segera pemimpin
rombongan memerintahkan tiga orang pengawal berpencar
untuk mendapatkan tempat berkemah yang aman.
Sebentar kemudian tempat itu pun telah diketemukan, dan
mulailah rombongan itu mengatur tempat peristirahatan
buat malam harinya. Dengan senjata masing-masing
mereka membersihkan rumput-rumput liar dan akar-akar
pohon-pohon besar untuk kemudian dibentangkan tikar.
Sebenarnya Mahesa Jenar sangat merasa tidak sabar
berjalan bersama dengan rombongan ini. Kalau ia berjalan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sendiri, mungkin jarak yang ditempuhnya adalah 2 atau 3
kali lipat. Tetapi sekarang, setelah ia terikat dengan
rombongan itu, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada
mengikuti dengan menahan diri.
Ketika malam telah gelap, para pengawal segera
menyalakan api. Sebentar kemudian lidah api itu pun telah
menjilat-jilat ke udara. Panas yang dipancarkan terasa
nyaman sekali pada malam yang dingin itu. Dan sebentar
kemudian, karena kelelahan, beberapa orang telah jatuh
tertidur. Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tak tertarik untuk tidur.
Meskipun ia juga merasakan lelah. Oleh pemilik barang
yang dibawanya, Mahesa Jenar mendapat pinjaman sehelai
tikar. Dan di atas tikar itu ia merebahkan dirinya.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Binatangbinatang hutan mulai keluar dari sarangnya. Suaranya
terdengar bersahut-sahutan. Ada yang aneh kedengarannya, tetapi ada pula yang mengerikan, seperti
teriakan bayi yang kehausan air susu ibunya.
Dalam keremangan cahaya api, mata Mahesa Jenar yang
tajam melihat betapa gadis cantik itu menjadi ketakutan.
Sebentar-sebentar ia duduk, sebentar berbaring. Tetapi
sebentar kemudian ia membenamkan kepalanya diantara
bungkusan-bungkusan kecil yang dibawanya. Sebab tidak
ada seorang pun di dalam rombongan itu yang dapat
dimintai perlindungan seperti kedua wanita yang lain,
kecuali bulat-bulat ia menggantungkan dirinya kepada para
pengawal. Tetapi yang terlebih menarik perhatian adalah si pemuda
tampan. Tampak sekali betapa gelisahnya. Ia sama sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tak membawa apapun, kecuali tongkatnya. Karena itu ia
sama sekali tak berbaring.
Sebentar ia duduk, sebentar kemudian berdiri dan
berjalan mondar-mandir. Baru setelah lewat tengah malam,
tampaknya ia agak tenang. Ia duduk di atas sebuah batu
dan bersandar pada sebatang kayu. Tidak lama kemudian
tampaklah pernafasannya berjalan perlahan dan teratur.
Rupanya ia tertidur. Melihat pemuda yang aneh itu tertidur, Mahesa Jenar
pun menjadi agak tenang. Dan tidak atas kehendaknya
sendiri, Mahesa Jenar pun tertidur pulas.
Malam kemudian menjadi bertambah kelam. Setitik demi
setitik embun mulai menggantung di dedaunan. Suara
binatang hutan sudah mulai berkurang. Hanya kadangkadang saja masih terdengar aum harimau yang kemudian
disusul jerit ngeri beberapa ekor anjing hutan.
Tetapi dalam keadaan bagaimanapun, para pengawal itu
tetap pada tugasnya. Mereka bergiliran tidur. Tiap-tiap kali
tiga orang yang tetap bangun dan dengan penuh tanggung
jawab melakukan tugasnya. Selain itu pemimpin rombongan
itu pun kadang-kadang bangun menemani mereka yang
kebetulan sedang mendapat giliran. Sedangkan mereka
yang telah merasa mengupah orang untuk menjaga dirinya,
merasa bahwa keadaan mereka telah aman. Karena itu
mereka tidak lagi merasa perlu untuk tetap bangun
semalam suntuk. Ketika malam sudah menjadi semakin jauh, telinga
Mahesa Jenar yang tajam sekali itu, mendengar suatu suara
yang aneh. Meskipun pada saat itu ia sedang tertidur, tetapi
suara itu dapat didengarnya, bahkan telah menyadarkannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perlahan-lahan ia membuka matanya sedikit. Dan apa
yang dilihatnya dari celah-celah kelopak matanya adalah
sangat mengejutkan sekali. Tetapi meskipun demikian ia
tidak segera bertindak. Dilihatnya pada waktu itu, tiga orang yang bergiliran jaga
dan duduk di dekat perapian, telah menggeletak tak
bergerak. Sedangkan disampingnya berjongkok si pemuda
tampan. "Alangkah hebatnya pemuda ini," pikir Mahesa Jenar. Ia
dapat merobohkan ketiga-tiganya tanpa banyak ribut-ribut.
Untunglah bahwa telinganya telah terlatih baik untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Melihat hal yang demikian, Mahesa Jenar menjadi
semakin waspada. Apalagi ketika pemuda tampan itu
kemudian berdiri dan memandang berkeliling. Dan apa yang
diduganya adalah benar. Perlahan-lahan pemuda itu berjalan berjingkat ke arah
gadis cantik yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Maka
tahulah Mahesa Jenar bahwa pemuda tampan itu akan
melarikan gadis yang sedang lelap itu.
Melihat hal yang sedemikian, ia tidak dapat tinggal diam.
Meskipun ia sendiri tidak akan bertindak langsung, tetapi
seharusnyalah bahwa ia berusaha untuk mencegahnya.
Perlahan-lahan dan hati-hati sekali tangannya merabaraba mencari sebuah kerikil kecil. Ketika sudah didapatnya,
maka dengan hati-hati pula kerikil itu dijentikkan ke arah
kaki pemimpin pengawal yang sedang tidur pula.
Rupa-rupanya pengawal itu mempunyai perasaan yang
tajam pula. Ketika ia merasa tubuhnya tersentuh kerikil
yang dilemparkan Mahesa Jenar, ia pun segera terbangun.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka apa yang pertama-tama dilihatnya adalah ketiga
orangnya yang sedang bertugas telah menggeletak.
Sesudah itu lalu dilihatnya si pemuda tampan berjalan hatihati ke arah gadis yang sedang tidur lelap.
Melihat hal itu, kepala pengawal itu segera dapat
menghubungkan persoalannya. Maka marahlah ia bukan
kepalang. Mukanya menjadi merah seperti darah. Dengan
cekatan sekali ia bangun dan meloncat dengan garangnya.
Tanpa bertanya lagi tangannya segera terayun ke arah
tengkuk si pemuda tampan. Tetapi adalah di luar dugaan
sama sekali, meskipun gerak pemimpin pengawal itu cukup
cepat dan tanpa diduga-duga, namun dengan suatu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gerakan miring yang sederhana, pemuda itu dapat
menghindarinya. "Hebat..." pikir Mahesa Jenar. Pemuda ini cekatan luar
biasa. Siapakah ia sebenarnya"
Ketika pemimpin pengawal itu merasa bahwa pukulannya
dapat dielakkan dengan mudah, ia menjadi semakin marah.
Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya
menyambar leher. Tetapi kembali serangannya itu gagal.
Dengan mencondongkan tubuhnya, pemuda tampan itu
dapat menghindarkan diri, bahkan sekaligus kakinya
mengait kaki lawannya. Untunglah bahwa orang tua itu
masih lincah juga, sehingga dengan satu loncatan ia dapat
melepaskan diri. Melihat cara orang itu menghindari serangannya, si
pemuda tampan menjadi tertawa kecil, katanya, "Bagus...
Pak, kau masih juga pandai bermain bajing loncat".
Sementara itu, para pengawal yang lain, serta orangorang yang sedang tidur nyenyak itu pun terbangun
mendengar keributan-keributan itu. Beberapa orang
menjadi gugup dan bertanya-tanya. Tetapi para pengawal
yang lain, yang melihat pemimpinnya bertempur, segera
ikut serta melibatkan diri tanpa banyak berpikir.
Maka, sejenak kemudian terjadilah suatu pertempuran
yang sengit. Pemuda itu seorang diri harus bertempur
melawan tujuh orang. Tetapi ternyata pemuda itu benarbenar tangguh luar biasa. Melawan tujuh orang yang telah
berani menyatakan dirinya menjadi pengawal perjalanan di
daerah yang berbahaya, sama sekali ia tidak tampak
mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya ia berloncatan ke
sana kemari diantara pepohonan hutan. Tongkat hitamnya
berputar-putar melindungi tubuhnya. Meskipun para
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pengawal itu mempergunakan bermacam-macam senjata,
ada yang memakai pedang, ada yang mempergunakan
tombak, gada besi dan sebagainya, tetapi semuanya itu
tampaknya tidak banyak berguna.
Beberapa orang lain pun kemudian dapat menerka apa
yang akan dilakukan oleh pemuda itu. Karena dalam
keadaan demikian, mereka merasa senasib, maka
merekapun menjadi marah. Beberapa orang kemudian segera bangkit dan menyatakan kesetiakawanan mereka, untuk menangkap
pemuda tampan itu. Tetapi adalah aneh sekali. Pemuda itu tampaknya licin
seperti belut. Geraknya cepat dan lincah sekali, bahkan
mirip dengan gerak seekor ular yang melilit-lilit diantara
pepohonan, tetapi sejenak kemudian menjulur melakukan
serangan yang berbahaya. Malahan setelah mereka
bertempur beberapa lama, tampaklah bahwa pemuda itu
tetap menguasai keadaan. Bahkan beberapa saat kemudian
ia masih sempat tertawa-tawa dan berteriak nyaring.
"Jangan kalian turut campur. Aku inginkan gadis itu."
"Jahanam," bentak kepala pengawal, "aku telah
menyanggupkan diri melindungi semua yang menjadi
tanggung jawabku. Bagaimanapun hebatnya kau, aku akan
tetap melawan sampai kemungkinan terakhir."
Kembali pemuda itu tertawa, katanya, "Aku akan
menghitung sampai bilangan 10. Siapa yang tidak mau


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minggir, bukan salahku kalau ia binasa."
Mendengar ancaman itu beberapa orang merasa ngeri
juga sehingga bulu roma mereka berdiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Satu ... dua ... tiga ....." Pemuda itu mulai menghitung
bilangan. Sampai bilangan ini, telah banyak diantara mereka yang
meloncat keluar dari gelanggang. Bagaimanapun perasaan
kesetiakawanan mereka namun karena mereka tidak
langsung berkepentingan, maka mereka merasa lebih baik
minggir daripada turut menjadi korban. Karena itu, setelah
bertempur beberapa lama, terasalah bahwa pemuda itu
adalah pemuda yang perkasa.
Sampai bilangan ketujuh, tak ada lagi seorang pun yang
berani membantu ketujuh pengawal yang sedang
bertempur mati-matian itu. Sehingga pertempuran itu
semakin nampak berat sebelah. Tetapi dalam pada itu
Mahesa Jenar merasa kagum dan hormat kepada ketujuh
pengawal itu, yang tidak lagi menghiraukan keselamatan
diri mereka dalam melakukan kewajiban.
Sejenak kemudian Mahesa Jenar merasa tak sampai hati
melihat keadaan yang demikian, maka segera ia melompat
dan masuk ke dalam arena pertempuran. Tetapi sampai
sedemikian jauh ia sama sekali tidak merasa perlu
memperlihatkan kepandaiannya. Ia berkelahi dengan cara
yang nampaknya sama sekali tak teratur dan sekaligus
untuk mengetahui sampai dimana keperkasaan lawannya.
Pemuda tampan itu, ketika melihat Mahesa Jenar masuk
ke dalam kancah perkelahian, terpaksa menghentikan
hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar, "Hai orang
tolol, kau jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah."
Mahesa Jenar pura-pura tak mendengar seruan itu.
Dengan gerak yang bodoh ia menyerang terus bersamasama ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian,
kembali pemuda itu mengulangi seruannya, tetapi juga kali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ini Mahesa Jenar tidak mempedulikannya. Ia berkelahi
dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia menyerang
pemuda itu dengan segenggam tanah yang dilemparkan ke
mukanya, karena ia memang tidak bersenjata.
Akhirnya pemuda itu menjadi gusar, teriaknya, "Bagus,
kalau kau tak mau berhenti, aku akan melanjutkan
hitunganku, lalu sesudah itu kalian akan mampus semua.
Dan gadis itu akan aku bawa pulang tanpa seorang pun
dapat menghalangi". Mendengar teriakan pemuda tampan itu, gadis cantik
yang menjadi sasarannya menjerit ngeri, tetapi suaranya
hilang ditelan oleh kelebatan rimba.
Akhirnya, si pemuda sampai juga pada hitungan yang ke
10. Sesudah itu ternyata ia benar-benar akan melakukan
apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur
lawannya. Tongkatnya berputaran cepat bukan main,
seolah-olah berubah menjadi segulung awan hitam yang
menakutkan. Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja
bertempur tanpa aturan. Pertempuran itu segera berubah menjadi semakin cepat
dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambarnyambar tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak
seorangpun yang dapat dikenainya. Si pemuda sendiri
kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang mengeroyoknya, ia sudah
dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya
harus sudah binasa, apalagi si perantau tolol itu.
Tetapi, karena sampai sedemikian jauh ia masih belum
mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dalam mata si pemuda merupakan orang tolol yang berani,
sangat mengganggu perkelahian itu. Sekali waktu ketika
tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah seorang
lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke
arah mukanya, sehingga ia terpaksa memejamkan matanya.
Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat
menghindarkan diri. Pada saat lain, ketika hampir saja
tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda tolol itu
kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup
menimpa lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian
mereka jatuh bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak
menemukan sasaran. Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar,
geramnya, "Hai orang tolol. Jangan berbuat gila di sini.
Kalau kau tak mau lekas minggir, kaupun akan
kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertama-tama akan
mengalami nasib jelek".
Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa
pemuda itu sudah benar-benar marah. Maka tidak
sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera
ia pun mempersiapkan diri untuk menyambut setiap
serangan yang benar-benar akan dilancarkan kepadanya.
IV Tetapi, sementara itu, terjadilah suatu hal yang sangat
mengejutkan mereka semua. Tidak saja para pengawal dan
mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu
dan Mahesa Jenar. Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, di
antara kesepian rimba itu, menggetarlah suara tertawa
nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal,
bahwa itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagianbagiannya. Ia adalah yang sangat ditakuti dengan namanya
yang seram, Lawa Ijo. Bahkan kali ini suara tertawa itu sedemikian mengerikan,
seperti memenuhi seluruh rimba dan mengepung mereka
dari segala penjuru. Demikian hebatnya pengaruh suara
tertawa itu, seperti mengguncang-guncang dada. Sehingga
arahnya pun tak dapat diketahui dari manakah sumber
suara itu. Beberapa orang menjadi bingung dan ketakutan,
bahkan ada yang menjadi lemas dan hampir pingsan. Tidak
ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat
cemas. Sebab munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama
lenyap itu, adalah sangat tiba-tiba dan tak disangka-sangka.
Mahesa Jenar yang mempunyai telinga sangat tajam,
dengan saksama memperhatikan suara itu. Meskipun
perlahan-lahan, akhirnya dapat diketahui dari manakah
asalnya. Tetapi rupanya pemuda tampan itu pun bukan orang
biasa. Pendengarannya ternyata sangat tajam. Untuk
mengetahui arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun
tidak secepat Mahesa Jenar, ia pun akhirnya dapat
mengetahui sumber suara itu. Maka segera ia pun bersiaga
menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak. "Hai Lawa
Ijo, kau jangan main gila di hadapanku. Ayo keluarlah dari
sarangmu. A pakah yang sebenarnya kau kehendaki dengan
memperdengarkan suara tertawamu yang memuakkan itu?"
Mendengar seruan pemuda itu, semua orang, termasuk
Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya dalam hati.
"Siapakah dia, yang telah berani menantang Lawa Ijo ini?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu suara tertawa Lawa Ijo pun semakin lama
semakin surut, dan akhirnya mereka dikejutkan oleh sebuah
bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup
tinggi. Tetapi yang sama sekali tak diduga-duga, kecuali
oleh Mahesa Jenar dan pemuda tampan itu, ternyata Lawa
Ijo bertengger di atas dahan yang hanya berjarak tidak
lebih dari 20 depa dengan mereka. Samar-samar oleh
cahaya api yang masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo
pun sebenarnya masih muda. Usianya tidak juga terpaut
banyak dengan pemuda tampan itu maupun dengan
Mahesa Jenar. Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam
mengkilat memancarkan sinar kekejaman dan kebengisan.
Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah kumis yang
lebat hitam melintang menyeramkan. Meskipun pada saat
itu Lawa Ijo tersenyum, tetapi senyumnya sama sekali tidak
menambah manis wajahnya, bahkan beberapa orang yang
melihatnya menjadi gemetar ketakutan, seakan-akan
melihat senyuman malaikat pencabut nyawa yang berhasil
melakukan tugasnya dengan baik.
Perlahan-lahan, setapak demi setapak, Lawa Ijo berjalan
mendekati pemuda tampan itu. Di pinggangnya membelit
kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya.
Pastilah itu gambar yang menyeramkan. Kelelawar dengan
kepala serigala. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam
sebilah pisau belati panjang.
Ternyata pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar.
Meskipun demikian ia tidak mau merendahkan Lawa Ijo.
Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba
dari dalamnya ia mencabut sebilah pedang kecil yang
lentur. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat hal itu Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya
pendek. Kataya, "Ular Laut gila, kau jangan main gagahgagahan di daerah ini."
Mendengar kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi Mahesa Jenar
terkejut. Pikirnya,"Inilah agaknya yang disebut Samparan
dengan panggilan Ular Laut yang memiliki wajah tampan
dan bernama Jaka Soka. Karena itulah maka dengan
enaknya ia dapat melawan tujuh orang, bahkan lebih dari
itu. Dan dengan beraninya pula ia menantang Lawa Ijo".
Mendengar ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama sekali tidak
menjadi takut. Malahan kembali bibirnya yang tipis itu
menyungging senyum aneh. Jawabnya, "Daerah inikah
yang kau maksud?". "Jaka Soka," sambung Lawa Ijo, "kau jangan mencari
perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan
bagian-bagiannya serta segala isinya adalah daerah
wewenangku". "Hem...," Jaka Soka bergumam, "telah berapa bulan atau
berapa tahun kau merendam diri di sarangmu" Dan tahutahu sekarang masih mengatakan daerah ini daerah
wewenangmu. Lawa Ijo, menurut pikiranku daerah ini
sekarang merupakan daerah tak bertuan".
"Kau jangan mengigau Soka. Aku belum pernah
melepaskan hak yang pernah aku miliki. Kalau beberapa
waktu terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu
bukannya aku tak lagi berwenang di daerah ini. Hanya saja,
dalam waktu-waktu itu aku tak merasa perlu untuk berbuat
apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah tak bertuan
itu sama sekali salah, selama aku masih bernafas. Nah
sekarang tinggalkan daerah ini".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaka Soka sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata
Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia tertawa kecil. Jawabnya,
"Lawa Ijo, kau jangan berlagak seperti seorang yang paling
berkuasa. Apa dasarmu kau berani memerintah aku untuk
meninggalkan daerah ini" Kau masih belum menunjukkan
bahwa kau memiliki sepasang pusaka Kiai Nagasasra dan
Kiai Sabuk Inten. Juga belum pasti bahwa kau akan berhasil
memenangkan semua pertandingan yang akan kami
selenggarakan akhir tahun ini. Jadi pada saat ini kau dan
aku masih belum mempunyai sangkut paut apapun juga".
Lawa Ijo menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi
sambil mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Lalu
bagaimana seharusnya?"
Jawab Jaka Soka, "Seharusnya kau tak usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki
aku melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini,
seharusnya kau paksa aku pergi".
Kembali Lawa Ijo tertawa pendek. Katanya, "Kau masih
seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu
yang hampir sempurna sekarang ini, seharusnya kau tak
lagi banyak bernafsu untuk berkelahi. Dan apakah artinya
pertempuran diantara kita. Beberapa waktu yang lampau
kita pernah berkelahi sampai beberapa hari. Dan tidak
seorangpun dari kita yang kalah. Kalau pada saat ini kami
kembali bertempur, menurut pendapatku hasilnya akan
sama saja. Karena itu baiklah kita hormati persetujuan yang
pernah kita buat mengenai daerah kerja kita masingmasing". Jaka Soka menjadi berbimbang hati. Dahinya berkerut
dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka ragu, Lawa
Ijo menambahkan, "Atau kalau kau merasa tidak perlu lagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan persetujuan itu, baiklah dihapus saja sama sekali.
Aku tak keberatan kau melakukan kegiatan di wilayah ini,
tetapi kau jangan menyalahkan aku kalau aku akan
melakukan kegiatan di Nusa Kambangan dan di lautan.
Sebab aku pun pernah menjadi bajak laut pada usia 14
tahun."

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dahi Jaka Soka semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah
tertawanya. Katanya, "Memang, kau penjahat tak
tanggung-tanggung Lawa Ijo. Baiklah kalau demikian aku
mengalah, "Tetapi...." Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi
matanya merayap kepada gadis cantik yang duduk gemetar
dan ketakutan. Lawa Ijo pun mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya
sambil tersenyum, "Soka, kemana kau pergi, selalu kau
bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum
penuh?" Jaka Soka tertawa lirih, jawabnya, "Alangkah bodohnya
kau. Nusa Kambangan cukup luas untuk menampung
semua gadis dari pulau Jawa ini. Dan atas gadis ini kau
tidak keberatan?" Mendengar percakapan mereka, gadis itu menjadi
semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil dan keringat
dingin telah membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan
kedua penjahat terkenal itu, rombongan yang berjumlah 10
orang dengan mereka yang telah tersadar dari pingsannya
pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut
yang gila itu. Meskipun orang-orang lain juga merasa
ketakutan dan ngeri, tetapi sebesar-besarnya mereka hanya
harus menyerahkan barang-barang mereka. Tetapi gadis itu
harus menyerahkan dirinya. Satu-satunya harapan baginya
adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaka Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo
sendiri, menurut berita yang tersiar, tak pernah menculik
atau menghendaki seorang gadis.
Tetapi, alangkah kecewanya gadis itu, bahkan hampir
saja ia jatuh pingsan ketika didengarnya Lawa Ijo berkata
sambil tertawa pendek, "Jaka Soka, sebenarnya aku sama
sekali tak mengubah pendirianku. Tetapi sebagai seorang
sahabat, baiklah aku hadiahkan gadis itu kepadamu. Aku
sama sekali tak berkepentingan dengannya, sebab aku
mempunyai kepentingan lain."
Mendengar jawaban Lawa Ijo, Jaka Soka menjadi
gembira sekali. Katanya, "Lawa Ijo, memang hanya itulah
yang sebenarnya aku kehendaki dari rombongan ini. Hanya
barangkali kau anggap aku bersalah, bahwa aku tidak minta
izinmu dahulu. Nah, sekarang kau telah mengizinkan".
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa. "Terserahlah kepadamu,
Soka," katanya. Mendengar keputusan Lawa Ijo, gadis itu semakin putus
asa. Tak ada lagi harapan baginya untuk melepaskan diri
dari tangan penjahat itu.
Mahesa Jenar selalu memperhatikan perkembangan
keadaan dengan cermat. Ia dihadapkan pada satu
persoalan yang juga cukup rumit. Di sini, tanpa didugaduga ia telah bertemu dengan Lawa Ijo yang sengaja akan
dicarinya. Tetapi di sini juga, ada seorang yang dapat
mengganggu pertemuan itu. Yaitu Jaka Soka yang ternyata
mempunyai kekuatan seimbang dengan Lawa Ijo. Kalau
pada saat itu Mahesa Jenar membuat perhitungan dengan
Lawa Ijo, ia sendiri belum tahu pasti siapakah yang akan
menang. Apalagi kalau kemudian Jaka Soka ikut campur,
maka masalahnya akan merugikan. Menurut perhitungan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar, melawan dua orang adalah pekerjaan yang
berat sekali, bahkan mungkin diluar kuasanya.
Tetapi, diluar itu ia menghadapi soal baru. Jaka Soka
menghendaki untuk membawa gadis itu pulang ke Nusa
Kambangan. Apakah hal yang demikian dan berlangsung di
bawah hidungnya akan dibiarkan saja" Andaikan ia
bertindak, dalam hal ini pun ada kemungkinan ia terlibat
dalam pertempuran melawan kedua orang itu. Sebagai
seorang prajurit pilihan, Mahesa Jenar sama sekali tidak
mengenal takut. Kalau ia sampai berpikir demikian,
masalahnya adalah atas dasar perhitungan cara dan
bagaimana untuk mencapai maksudnya.
Selagi Mahesa Jenar sibuk berpikir, Jaka Soka dengan
matanya yang redup dan senyum aneh yang menghiasi
bibirnya yang tipis, telah mulai bergerak dan berjalan
perlahan-lahan ke arah gadis cantik itu. Sementara itu Lawa
Ijo berteriak bergurau, "Jaka Soka, sebenarnya aku iri hati
melihat ketampanan wajahmu. Tetapi kau rupanya adalah
seorang tampan yang sial. Sebab gadis-gadis yang kau
kehendaki menjadi pingsan kegirangan, karena akan
mendapat pasangan yang setampan kau ini."
Jaka Soka sama sekali tak mendengar perkataan Lawa
Ijo itu. Ia sedang kegirangan akan mendapat gadis yang
demikian cantiknya, melebihi semua gadis yang pernah
dilihatnya. Tetapi terjadilah suatu hal diluar perhitungannya. Dalam
keputus-asaan, gadis itu memutuskan untuk lebih baik
membunuh dirinya. Ia sama sekali tidak mau dinodai
kehormatannya oleh iblis-iblis yang demikian itu. Maka
secepat kilat ia mengambil keris dari dalam bungkusan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dibawanya, dan segera ia menarik keris itu dari
warangkanya. Jaka Soka sama sekali tidak mengira bahwa hal yang
demikian akan terjadi. Karena itu ia terkejut, sehingga
langkahnya terhenti. Ia masih belum tahu, maksud yang
sebenarnya gadis itu menarik keris. Karena itu ia harus
berhati-hati. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat keris itu
melayang menuju ke arah dada gadis itu sendiri.
Jaka Soka tersadar. Karena itu harus dicegahnya. Tetapi
sayang jaraknya masih terlalu jauh. Sehingga terloncatlah
teriakan dari mulutnya yang berbibir tipis itu dengan noda
yang cemas. Cemas akan kehilangan gadis itu. "Jangan ....
Jangan lakukan itu."
Tetapi teriakannya itu menggetar tanpa sesuatu
pengaruh apapun atas gadis yang sudah bertekad untuk
mati daripada jatuh di tangan bajak laut yang berwajah
tampan itu. Tiba-tiba tampaklah sebuah bayangan melontar dengan
cepatnya menyambar pergelangan tangan gadis itu,
sehingga keris yang digenggamnya tidak sampai menembus
dadanya. Gadis itu terkejut bukan kepalang. Demikian juga
semua yang menyaksikan. Bahkan Jaka Soka dan Lawa
Ijopun menjadi terkejut dan heran melihat orang dapat
bergerak demikian cepatnya.
Itulah Mahesa Jenar yang telah mencoba untuk
menyelamatkan jiwa gadis cantik itu. Dan sekaligus keris
itupun telah berpindah ketangannya pula. Tetapi belum lagi
debar jantung mereka berhenti, kembali mereka terkejut,
terutama Mahesa Jenar sendiri, Jaka Soka dan Lawa Ijo,
ketika mereka melihat keris yang sekarang sudah berada di
tangannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kiai Sigar Penjalin," desis mereka hampir bersamaan.
Itulah nama keris yang dipegang oleh Mahesa Jenar.
Keris yang berbentuk lurus. Satu sisinya melengkung
hampir setengah lingkaran, sedangkan sisi yang lain datar
seperti kebiasaan keris. Mirip seperti batang penjalin yang
dibelah dua dan diruncingkan ujungnya. Yang mengejutkan
mereka adalah, keris itu terkenal sebagai pusaka seorang
sakti yang mempunyai nama sejajar dengan Pasingsingan.
Yaitu Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak Wanasaba.
Demikian terkejutnya Mahesa Jenar sampai tangannya yang
memegang keris itu gemetar.
Maka setelah agak reda sedikit dan nafasnya mulai
teratur, Mahesa Jenar berdiri dengan teguhnya memandang
tajam kepada Jaka Soka. "Apakah yang kau kehendaki dari
gadis ini?" tanya Mahesa Jenar.
Getar hati Jaka Soka sementara itu telah turun. Tetapi
sekarang otaknya dihinggapi oleh suatu pertanyaan.
Perantau tolol itu, kenapa tiba-tiba saja dapat berbuat
sedemikian cepatnya, sehingga jiwa gadis cantik itu
tertolong. Selain itu, gadis itu ternyata memiliki keris Kiai
Sigar Penjalin. Apakah hubungannya dengan Ki Ageng
Pandan Alas" Jaka Soka berpaling kepada Lawa Ijo untuk mendapat
pertimbangan. Ternyata Lawa Ijo pun pada saat itu sedang
berpikir keras. Ia memandang keris Sigar Penjalin yang
berada di tangan Mahesa Jenar itu tanpa berkedip. Baru
setelah beberapa saat kemudian ia berkata, "Jaka Soka,
menurut pendapatku sebaiknya kita tidak membuka suatu
persoalan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sebab dengan
membawa keris Sigar Penjalin, gadis itu mempunyai
hubungan dengan Ki A geng Pandan Alas."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaka Soka dalam hati kecilnya membenarkan juga
keterangan Lawa Ijo itu. Sebab ia pun tahu bahwa Ki Ageng
Pandan Alas termasuk orang yang aneh. Ia selalu berada di
mana saja merantau dari satu tempat ke tempat lain.
Namun demikian, ia sayang juga melepaskan gadis cantik
yang sudah sekian lama diikutinya. Sebab dalam
pengamatannya, belum pernah ia menemukan gadis
secantik itu. Kalau kali ini ia tak berhasil membawanya
pulang, maka seumur hidupnya belum tentu ia akan
menjumpainya lagi. Sebaliknya, gadis cantik itu sama sekali tidak menduga
bahwa keris yang dibawanya mempunyai pengaruh yang
sedemikian hebatnya. Ia sendiri belum pernah mendengar
nama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak. Keris yang
dibawanya adalah keris peninggalan ibunya pada saat
ibunya menghembuskan nafas terakhir. Menurut ibunya,
keris itu adalah keris kakeknya, seorang petani miskin yang
pada saat itu sedang merantau mencari daerah baru yang
lebih subur, yang barangkali dapat dipakai sebagai tempat
tinggal yang baru. Dan menurut ibunya, kakeknya sekarang
berada di desa Pliridan. Daerah antara hutan Tambak Baya
dan Beringan, bagian dari hutan Mentaok. Suatu daerah
yang baru dibuka oleh beberapa orang, yang nampaknya
subur untuk daerah pertanian.
"Lawa Ijo," kata Jaka Soka kemudian setelah berpikir
sejenak. "Memang aku sebenarnya segan terhadap orang
tua itu. Tetapi menurut pikiranmu apakah ia mengetahui
bahwa gadis itu aku bawa pulang ke Nusa Kambangan?"
"Soka," jawab Lawa Ijo, "Pandan Alas itu tidak ubahnya
seperti hantu yang berada di mana saja, pada saat apa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saja. Ia seolah-olah memiliki seribu mata dan seribu telinga
yang bertebaran di seluruh tanah ini."
"Tetapi ternyata sekarang ia tak ada di tempat ini,"
potong Jaka Soka "Kau jangan berkeras membawa gadis itu, Soka.
Meskipun seandainya Pandan Alas pada saat ini tidak
melihat dan mengetahui, tetapi perbuatan itu kau lakukan
di hadapan saksi-saksi yang pada suatu ketika pasti akan
terdengar pula oleh hantu yang bertelinga seribu itu. Kalau
sudah demikian halnya, kau tidak akan dapat lagi hidup
tenteram dan berlindung di mana pun di dunia ini."
Jaka Soka terdiam. Tampak alisnya berkerut-kerut. Tibatiba terdengarlah ia menjawab dengan jawaban yang sama
sekali tidak terduga-duga. Semua yang mendengar menjadi
terkejut, seperti tanah tempat mereka berpijak itu runtuh.
Katanya dengan suara yang mantap, "Lawa Ijo, kau benar.
Memang aku seharusnya tidak berbuat itu di hadapan saksisaksi. Karena itu maka akan aku bunuh semua orang yang
menyaksikan peristiwa ini, kecuali kau,".
Baru mendengar kata-kata itu, dan belum lagi Jaka Soka
berbuat sesuatu, orang-orang yang mendengarnya seolaholah telah terbang nyawanya. Lawa Ijo yang matanya
memancarkan sinar kebuasan dan kebengisan itu pun
terkejut mendengar keputusan Jaka Soka untuk membunuh
sekian banyak orang itu. Katanya memperingatkan, "Jaka
Soka, sebaiknya kau pikir masak-masak apa yang akan kau
lakukan itu. Apalagi hal itu terjadi di daerah kuasaku".
"Lawa Ijo, kau tidak akan tersangkut dalam perkara ini.
Dan percayalah, bahwa apabila tak seorang pun yang hidup
diantara orang-orang ini, maka bagaimanapun tajamnya
telinga Pandan Alas, ia tak mungkin dapat mendengarnya".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tampaklah dahi Lawa Ijo berkerut. Rupa-rupanya ia
berpikir keras. Tetapi bagaimanapun, ia tetap tidak dapat
mengerti jalan pikiran Jaka Soka. Mengorbankan sekian
banyak orang hanya untuk mendapatkan seorang gadis.
Seandainya taruhan itu untuk memperebutkan sebuah
pusaka atau harta benda yang tak ternilai, agaknya Lawa
Ijo masih dapat mengertinya.
Mereka yang mendengarkan percakapan itu, hatinya
diliputi oleh suasana ketegangan yang hebat. Mereka
mengharap Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, tak
mengizinkan Jaka Soka berbuat demikian kejamnya hanya
untuk memanjakan nafsunya. Mereka rela andaikata
kemudian Lawa Ijo merampas segala harta benda mereka,
asal nyawa mereka diselamatkan. Bahkan ada diantaranya
yang mulai menyesali gadis cantik itu di dalam hatinya.
Sebab, karena gadis itulah maka nyawa mereka terancam
untuk dikorbankan. Sampai beberapa saat Lawa Ijo tidak berkata-kata. Ia
menjadi bimbang. Sebenarnya lebih baik baginya untuk
tidak menambah lawan. Apalagi seorang sakti seperti Ki
Ageng Pandan Alas. Tetapi untuk menolak permintaan Jaka
Soka pun akan mempunyai akibat yang tak menyenangkan.
Sebab ia tahu betul tabiat kawannya ini. Semua
kehendaknya harus dapat terlaksana. Apalagi kalau ia
sedang tergila-gila kepada seorang gadis. Bagaimanapun
kejamnya Lawa Ijo, namun tak akan terlintas dalam
pikirannya untuk berbuat demikian, hanya untuk seorang
gadis. Sebab ia sama sekali memang tidak pernah tertarik
Pisau Terbang Li 14 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Pedang Bunga Bwee 6

Cari Blog Ini