Ceritasilat Novel Online

Sang Fajar Bersinar 11

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 11


Amping dibantu beberapa prajurit datang ke rumah
Pandita O Luhu Tuban dengan membawa berbagai
macam senjata yang banyak.
"Kami berjanji, di persinggahan selanjutnya akan
membawa senjata parang yang banyak untuk tuan
Pandita O Luhu Tuban", berkata Kebo Arema yang
melihat Pandita O Luhu Tuban begitu senang dan
menyukai bentuk senjata parang. Sejenis golok yang
tidak begitu panjang dan besar, di hulu kecil dan agak
melebar di ujungnya serta hanya mempunyai satu sisi
yang tajam. Sebagaimana yang dijanjikan oleh Pandita O Luhu
Tuban, buah cengkeh dan pala benar-benar telah
mengisi lambung bahtera yang besar.
"Mereka mengisi lambung Bahtera kita dengan emas,
sementara yang kita berikan kepada mereka hanya
setumpuk besi", berkata Kebo Arema merasa puas
dengan hasil pertukaran mereka, terutama melihat begitu
banyak buah cengkeh mengisi lambung bahtera, dimana
saat itu harga sekilo cengkeh dapat sebanding dengan
harga sekilo emas jauh di kota-kota negeri tak berujung,
sebuah keuntungan yang berlimpah.
Bahtera besar itu tidak terlalu lama singgah di pulau
sorga rempah-rempah itu, sepekan kemudia bahtera itu
sudah terlihat bergerak meninggalkan dermaga,
meninggalkan kepulauan yang sangat diimpikan dan
724 dicari oleh para pelaut sebagai tempat asal pohon emas,
buah cengkeh dan pala. Bahtera besar itu sudah kembali berada diatas
hamparan laut biru, mengarungi kesunyian malam,
berkawan bintang dan rembulan.
Ketika pagi menjelang, Bahtera besar ini telah
menjatuhkan sauhnya di perairan Kepulauan Wangiwangi.
Para penduduk Pulau Wangi-wangi menyambut
gembira kedatangan mereka, terutama Kebo Arema yang
sudah dinobatkan sebagai seorang penguasa di pulau
Wangi-wangi. Setelah sepekan lamanya tinggal di Pulau Wangiwangi, melihat semangat para lelaki penghuni pulau
wangi-wangi, maka dengan berat hati Kebo Arema harus
meninggalkan mereka. "Setahun sekali, sepanjang musim berlayar, kami
akan singgah di pulau ini", berkata Kebo Arema kepada
seluruh penghuni pulau wangi-wangi yang mengantar
keberangkatannya ditepi pantai.
Malam itu, Bahtera besar itu sudah kembali berada
diatas hamparan laut biru, mengarungi kesunyian malam,
berkawan bintang dan rembulan.
Tidak seperti pada saat keberangkatannya, bahtera
besar ini tidak singgah mengisi persediaan pangan
selama pelayaran di Bandar Bacukiki. Bahtera besar ini
langsung menuju pantai Tanjungpura.
"Badai di perairan Masalembo tidak dapat diduga,
kita menyeberangi Laut Jawa lewat Pantai Tanjungpura",
berkata Kebo Arema memberikan beberapa hal
menyangkut jalur pelayaran yang akan mereka lalui.
725 Namun, badai perairan Maslembo yang ingin mereka
hindari harus dibayar dengan kejenuhan pelayaran
selama tiga hari terapung diatas hamparan laut Selat
Bone yang panjang. Di pagi yang cerah, pantai Tanjungpura telah
menyambut kedatangan mereka. Sebuah Bandar yang
cukup ramai sebagaimana Bandar-bandar besar pada
umumnya. Kedatangan bahtera besar ini cukup menarik
perhatian banyak orang, mereka begitu terpesona dan
mengakui keindahan bentuk bahtera Singasari ini.
Beberapa bahtera besar tidak sebesar bahtera
Singasari terlihat tengah merapat dipinggir dermaga.
Beberapa diantaranya adalah bahtera dari negeri
Campa. "Pada saatnya kita akan berlayar sampai kenegeri
Campa, negeri dengan banyak wanita cantik berkulit
halus", berkata Kebo Arema kepada beberapa prajurit
ketika mereka beristirahat disebuah kedai di Bandar
Tanjungpura. Setelah mengisi lambung bahtera dengan berbagai
persediaan secukupnya, bahtera itu terlihat telah
bergerak merenggangi dermaga disaat senja mewarnai
lengkung langit Bandar Tanjungpura.
"Gelombang Laut Jawa adalah gelombang laut yang
gemulai dibandingkan gelombang laut dimanapun
didunia", berkata Kebo Arema di anjungan kepada
Mahesa Amping yang selalu mengawaninya.
Sebagaimana yang dikatakan Kebo Arema, mereka
memang tidak menemui badai di laut jawa, yang mereka
dapati adalah kesunyian malam yang senyap. Rembulan
terlihat muram tidak bulat lagi dan selalu dihalangi awan
hitam. Jutaan bintang di langit purba adalah lukisan sunyi
726 sepanjang malam. Rembulan, bintang-bintang dan awan dilangit adalah
lukisan abadi, kemarin, hari ini dan esok tidak akan
berubah, sementara perasaan hatilah yang kadang
menjadi penyimpangan warna lukisan alam menjadi
begitu indah atau begitu menjemukan. Dan para para
prajurit di bahtera itu nampaknya telah mulai jemu
memandang hamparan laut yang tidak pernah berubah
hilang sepanjang hari, di saat malam, di pagi hari dan
menjelang siang benderang.
Mahesa Amping dan Kebo Arema selalu bergantian
berjaga di anjungan, berjaga dari segala kemungkinan
yang mungkin saja dapat terjadi. Namun sepanjang
perjalanan pelayaran mereka mengarungi laut jawa yang
tenang tidak terjadi hal apapun yang menghambat dan
merintangi perjalanan Bahtera besar mereka.
"Daratan !!", berkata seorang prajurit melihat sebuah
daratan hitam membujur panjang, yang tidak lain adalah
Nusajawa. Daratan hitam panjang itu akhirnya nampak sebagai
daratan yang hijau berkalung pasir putih yang indah.
Terlihat juga sebuah Bandar yang ramai, berbagai
bahtera terlihat telah merapat.
Bahtera Singasari terlihat tengah merapat mendekati
sebuah dermaga, Bandar Churabaya yang ramai.
"Bahtera besar itu baru kembali dari pelayaran
panjang, kedaratan tempat matahari terbit", berkata
seorang buruh angkut kepada seorang kawannya.
Setelah beristirahat yang cukup, di pertengahan
malam, bahtera besar itu terlihat telah meninggalkan
Bandar Churabaya menuju Bandar Cangu. Angin laut
727 berhembus cukup keras, membawa Bahtera Singasari
melaju diatas peraiaran sungai Brantas.
Wajah para prajurit terlihat begitu cerah, sebentar lagi
mereka akan berkumpul kembali bersama keluarga,
sanak keluarga atau seorang kekasih tercinta setelah
lama meninggalkannya. Sungai Brantas ibarat pintu
gerbang batas padukuhan, dan sepertinya mereka sudah
memasuki kampung halaman sendiri. Mereka begitu
mengenali setiap lekuk tanah, gerumbul hutan kayu yang
lebat atau hamparan sawah membentang tersusun rapi
dalam petak-petak yang berjenjang, perjalanan malam
yang panjang sepertinya sudah tidak terasa menjemukan
lagi. Pagi itu begitu cerah, matahari telah merayap naik
menyinari air sungai seperti hamparan perak yang berliku
tergunting ujung runcing anjungan meninggalkan
gelombang berlari hingga sampai ketepian tanah bibir
sungai. Dan kegembiraan menyelubungi setiap rongga dada
para prajurit diatas Bahtera besar itu manakala sebuah
Bandar yang ramai telah terlihat.
Bahtera besar itu sudah kembali ke tempat asalnya,
kembali di tempat tanah kelahirannya.
"Ternyata kalian memang dapat diandalkan", berkata
Kebo Arema kepada Raden Wijaya dan Lawe di pendapa
rumah panggung yang megah yang mereka sebut
sebagai Rumah Balai tamu.
Rumah balai tamu itu menghadap tepian sungai
Brantas, dibelakangnya berjajar barak-barap prajurit.
Angin senja sejuk bertiup mempermainkan dahan dan
daun pepohonan di sekitar tepian sungai Brantas.
Beberapa burung kecil terlihat melintas kembali ke
728 sarangnya yang hangat, berlindung dari angin dan
malam yang dingin. Raden Wijaya dan Lawe bercerita tentang beberapa
hal menyangkut perkembangan armada besar bahtera di
jalur perdagangan yang telah mereka rintis selama ini.
"Bahtera kita akan menyatukan perdagangan dari
ujung daratan timur sampai ke barat", berkata Kebo
Arema penuh semangat. "Menguasai jalur perdagangan dari timur ke barat,
membawa kemakmuran yang berlimpah bagi tanah
Singasari", berkata Raden Wijaya penuh kegembiraan.
"Sri Baginda Maharaja pasti akan bangga, kita telah
mewujudkan mimpinya", berkata Kebo Arema
"Kapan kita dapat menyampaikan berita gembira ini
ke kotaraja?", bertanya Lawe
"Kita punya banyak waktu, besok kita bisa berangkat
ke kotaraja", berkata Kebo Arema yang sepertinya
memegang kendali dari keempat sekawan ini.
Sore harinya mereka berempat masih sempat
berkunjung ke Benteng Cangu menemui Mahesa Pukat.
Dan sebagaimana biasa, setelah lama tidak berjumpa,
Kebo Arema banyak bercerita tentang perjalanannya ke
arah timur. Kebo Arema juga menyampaikan tentang
rencana mereka ke Kotaraja.
"Aku berdoa untuk keselamatan kalian, semoga
perjalanan kalian tidak menemui hambatan", berkata
Mahesa Pukat melepas mereka di ujung senja kembali
ke tempatnya ke rumah balai tamu.
Dan keesokan harinya, empat ekor kuda telah
meninggalkan Bandar Cangu.
729 Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan Kebo
Arema terlihat diatas kudanya, sementara itu jalan tanah
masih begitu lengang, hari memang masih begitu pagi.
Tidak ada hambatan apapun di perjalanan, ketika
matahari telah bergeser jauh ke barat mereka telah
sampai di gerbang batas Kotaraja.
Ketika sampai di Istana, seperti biasa mereka
langsung ke Pesanggrahan Ratu Anggabhyaya. Dan
kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Ratu
Anggabhaya dan Lembu Tal.
"Pasanggrahan ini telah menjadi hangat kembali",
berkata Ratu Anggabhaya menyambut kedatangan
mereka. Seperti biasa, setelah menyampaikan berita
keselamatan masing-masing, merekapun bercerita
tentang berbagai hal dimulai dari saat terakhir
perjumpaan mereka. "Kalian telah mewujudkan mimpi Sri Baginda
Maharaja", berkata Ratu Anggabhaya ketika selesai
mendengar cerita Kebo Arema tentang jalur pelayaran
yang telah berhasil mereka rintis.
"Baru hari ini aku dapat mengerti gagasan Sri
Baginda Maharaja tentang Kerajaan lautnya", berkata
Lembu Tal "Pemikiranmu memang selalu kalah satu langkah
oleh anakmu sendiri", berkata Ratu Anggabhaya kepada
Lembu Tal yang hanya menganggug-anggukkan
kepalanya dan tersenyum sebagai tanda membenarkan.
"Pada mulanya mimpi Sri Baginda Maharaja memang
sangat sukar dipahami oleh banyak orang", berkata Kebo
Arema. "Tapi setelah melihat hasil akhir, mereka
730 mengakui bahwa itu adalah sebuah gagasan yang luar
biasa", berkata Kebo Arema melanjutkan.
"Kuakui, Sri Baginda Maharaja mampu berpikir
melompat jauh kedepan, itulah bakatnya yang terlahir,
tidak semua orang memilikinya", berkata Ratu
Anggabhaya."Sayangnya pemikir itu saat ini tengah jatuh
sakit", berkata kembali Ratu Anggabhaya
"Sri Baginda Maharaja sedang sakit ?", bertanya
serempak Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan
Kebo Arema seperti tdak percaya apa yang baru saja
didengarnya. "Sudah dua pekan ini beliau berbaring sakit, dua kali
pertemuan di Maguntur Raya beliau tidak dapat hadir",
berkata Ratu Anggabhaya meyakinkan.
"Kami datang ke Kotaraja bermaksud membawa
berita gembira kepadanya", berkata Kebo Arema sambil
menarik nafas panjang. "Mungkin kehadiran kalian berempat dapat menjadi
obat, aku akan mencoba agar kalian dapat bertemu
dengan beliau", berkata Ratu Anggabhaya.
"Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan
tuan Ratu Anggabhaya", berkata Kebo Arema gembira.
Demikianlah, keesokan harinya Ratu Anggabhaya
mencoba menemui Sri Baginda Maharaja yang masih
berbaring sakit di kamar pribadinya. Dalam kesempatan
itu Ratu Anggabhaya bercerita tetang Armada bahtera
Singasari yang telah berhasil merintis jalur perdagangan
dari ujung timur sampai ke barat. Mendengar tentang
Armada Bahtera Singasari, wajah Sri Baginda Maharaja
Nampak menjadi berseri-seri.
"Bawalah mereka kehadapanku, agar aku dapat


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

731 mendengar cerita langsung dari mereka", berkata Sri
Baginda Maharaja kepada Ratu Anggabhaya yang
merasa gembira, wajah pucat Sri Maharaja sepertinya
telah berubah kemerahan dan begitu penuh semangat.
"Aku akan membawa mereka",
Anggabhaya setengah berbisik.
berkata Ratu Tidak lama kemudian Ratu Angabhaya telah datang
kembali bersama Raden Wijaya, Kebo Arema, Lawe dan
Mahesa Amping. Ternyata Sri Baginda Maharaja tidak
lagi berbaring, tapi sudah bersandar dengan setengah
punggungnya diatas tempat tidurnya.
"Berceritalah wahai pejuang mimpiku, para panglima
kerajaan lautku", berkata Sri Baginda Maharaja.
Dengan perlahan Kebo Arema bercerita tentang
Armada Bahtera Singasari yang telah mulai merintis jalur
pelayarannya. "Kami telah menemukan daratan tempat asal pohon
cengkeh dan Pala di ujung timur laut matahari terbit",
berkata Kebo Arema. "Kalian telah mewujudkan mimpiku, membangun
kerajaan laut Singasari untukku", berkata Sri Baginda
dengan wajah penuh berseri sepertinya telah melupakan
rasa sakit dibadan. "Hari ini aku rela Gusti Yang Maha
Hidup mengambil nyawaku", berkata kembali Sri Baginda
Maharaja penuh kebahagiaan.
"Sri Baginda Maharaja harus tetap hidup, tuan adalah
cahaya semangat hamba", berkata Kebo Arema perlahan
kepada Sri Baginda Maharaja.
"Wahai cucunda Sanggrama Wijaya, mendekatlah",
berkata Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya
yang langsung mendekat. 732 "Kutitipkan kerajaan lautku kepadamu, engkaulah
cahaya mataku di masa depan, bawalah cahaya mataku
bersama armada bahteramu sejauh dan seluas kamu
dapat berlayar mengarunginya. Berjanjilah wahai
cucundaku", berkata Sri Baginda Maharaja kepada
Raden Wijaya yang tertunduk haru.
"Cucunda berjanji, membawa Bahtera Singasari
mempersatukan ujung timur matahari sampai kebarat
matahari terbenam", berkata Raden Wijaya dengan
penuh kesungguhan hati. Sementara itu awan diatas Istana Singasari Nampak
mendung, tidak lama kemudian terdengar suara air hujan
gerimis kecil membasahi rumput-rumput dan tanaman
penghias taman. Seorang prajurit pengawal istana
terlihat berlindung di bawah pohon beringin tua. Hujan
gerimis yang turun diujung senja berlangsung cukup
lama. "Kami mohon pamit, semoga Baginda
beristirahat dan lekas sembuh", berkata
Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja
dapat Ratu "Terima kasih telah mengunjungiku", berkata Sri
Bagida Maharaja melepas kepergian meraka.
Tiga hari setelah pertemuan itu ada berita bahwa Sri
Baginda Maharaja telah pulih kesehatannya. Seisi Istana
Nampak menjadi begitu gembira melihat perkembangan
kesehatan Sri Baginda Maharaja yang terus terlihat
semakin sehat. Namun hal itu tidak berlangsung lama,
Sri Baginda Maharaja kembali sakit bahkan terlihat lebih
parah dari sebelumnya, nafasnya telihat sudah tidak
teratur, denyut nadinya begitu lemah. Tabib istana
sepertinya sudah merasa putus asa, segala ramuan obat
tidak juga memberikan kesembuhan pada diri Sri
733 Baginda Maharaja yang memang sudah cukup tua. Dan
penyakit yang tengah dideritanya ini sepertinya
merenggut kebugaran yang tersisa.
Berita tentang Sri Baginda Maharaja Singasari yang
sedang gering akhirnya sampai juga di Tanah Kediri.
Bukan main gundahnya Raja Kertanegara yang
mendengar berita itu dari seorang utusan istana Kutaraja.
Maka pada hari itu juga Raja Kertanegara langsung
berangkat ke Singasari. Namun usia manusia memang sudah ditentukan,
tidak bisa diundur atau dimajukan. Bersamaan dengan
keberangkatan Raja Kertanegara dari Kediri, Sri Baginda
Maharaja Singasari telah diangkat ke alam keabadian,
alam tempat segala berasal, dari tiada kembali ketiada.
Bumi Singasari berkabung, langit Singasari berkabut
mendung. Tiga hari tiga malam hujan gerimis tiada henti,
sepertinya mewakili duka cita seluruh jiwa di Tanah
Singasari yang berduka, meratap menangisi kepergian
seorang Raja Besar yang Agung, Raja Besar yang
dicintai dan mencintai para kawulanya. Seorang Prabu
Semeningrat dikenang sebagai Raja Agung yang selalu
mengampuni musuh-musuhnya, Ksatria besar di medan
perang, mengamankan perjalanan para Saudagar,
pelindung dan pemberi kemakmuran para kawulanya.
Jasad Prabu Seminingrat diperabukan dengan
upacara yang besar. Abunya dicandikan disebuah
tempat yang tinggi, sebagai penghormatan tertinggi
untuk diagungkan, sebagai Maharaja titisan dewa kasih.
Setelah masa berkabung telah melewati hari ke
empat puluh, maka pada hari itu naiklah sang putra
mahkota menggantikan ayahandanya, Kertanegara telah
dinobatkan sebagai Maharaja Singasari berkedudukan di
734 Kutaraja. Gema riuh ripah seluruh warga berbondong-bondong
dari pelosok tanah Singasari berkunjung ke Kutaraja
demi menyaksikan upacara agung penobatan sang putra
Mahkota menjadi Maharaja Singasari.
Seorang pujangga pengembara mengabadikannya
dalam sebuah rontal syairnya:
Pada hari itu bumi Singasari dipenuh suka cita,
dimusim penghujan, ditahun genap,
Raja dari Kediri itu datang berkuda di pagi hari,
duduk di istana Kutaraja dianugerahi mahkota tiga
belas batu mutiara, dikalungi seratus sebelas pucuk melati, diperciki air
suci, pulanglah para kawula membawa baki persembahannya, Semua wajah dipenuhi suka cita.
Demikianlah awal dan hari pertama Sri Baginda
Maharaja Kertanegara naik tahta menggantikan
kedudukan ayahandanya Prabu Seminingrat.
Semua harapan kini tertuju kepada sang penguasa
baru, Sri Baginda Maharaja Kertanegara. Mampukah
Sang putra Mahkota membangun bumi Singasari diatas
pilar-pilar warisan ayahandanya tercinta "
Dan di malam hari penobatan itu dilangsungkan
sebuah pesta perjamuan yang meriah. Kebo Arema,
Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe hadir di malam
penuh kebahagiaan itu. "Aku ingin Paman hadir di hari Maguntur raya",
berkata Sri Baginda Maharaja kepada Kebo Arema
disela-sela pesta perjamuan yang meriah.
735 "Hamba bukan pejabat istana", berkata Kebo Arema
"Aku Maharaja Singasari mengundang langsung
hambanya", berkata Sri Baginda Raja penuh senyum.
"Undangan paduka adalah sebuah kehormatan
besar", berkata Kebo Arema yang tidak dapat
menghindar lagi. Demikianlah, pada hari Maguntur Raya, dimana para
pejabat istana menyampaikan laporannya atas tugastugas yang diembannya dihadapan Sri Baginda
Maharaja. Kebo Arema ikut hadir didalamnya duduk
bersama para pejabat istana.
Maka setelah semua pejabat istana telah
menyampaikan laporannya, Sri Baginda Maharaja
meminta Kebo Arema menyampaikan laporannya
mengenai perkembangan tugas-tugasnya membangun
jalur perdagangan laut Singasari.
Semula Kebo Arema merasa ragu dan mendugaduga, untuk apa Sri Baginda Maharaja memintanya
menyampaikan laporannya ditempat terbuka, Kebo
Arema tidak sempat berpikir banyak, dengan lugas
dirinya telah menyampaikan beberapa kemajuan dan
perkembangan terkini dalam hal pembukaan jalur
perdagangan laut Singasari.
"Kami telah membuka jalur pelayaran kebarat sampai
Ke Tanah Melayu. Kami juga telah menemukan Tanah
tempat pohon Cengkeh dan Pala tumbuh. Bahtera laut
Singasari telah menguasai jalur perdagangan dari timur
terbit Matahari sampai kearah terbenam Matahari",
berkata Kebo Arema menyampaikan laporannya di ruang
Maguntur raya. "Kalian telah mendengar sendiri, itulah cita-cita
736 ayahanda Prabu Seminingrat yang akan menjadi arah
dari cita-citaku juga, membangun kerajaan laut Singasari
yang besar, membangun dan meluaskan daerah
Singasari melebihi panjalu dan jenggala", berkata Sri
Baginda Maharaja penuh semangat.
Diam-diam Kebo Arema kagum atas cara sahabatnya
ini membangun sebuah gagasan dihadapan para pejabat
istana, membangun sebuah kebersamaan.
"Bakat kepemimpinannya telah
berkata Kebo Arema dalam hati.
mulai tumbuh", Demikianlah, ketika hari sudah naik terang, Sri
Baginda Maharaja telah meninggalkan ruang Maguntur
Raya diikuti oleh para pejabat istana. Sementara itu Kebo
Arema langsung kembali kepasanggrahan Ratu
Anggabhaya. Sesampainya di Pasanggrahan, berbagai pertanyaan
datang dari Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping,
menanyakan perasaan Kebo Arema hadir di ruang
Maguntur Raya. "Hari ini aku seperti menjadi pejabat besar istana",
berkata Kebo Arema sambil mengelus janggutnya.
"Wajah dan penampilan Paman sudah sangat
mendukung", berkata Lawe sambil manggut-manggut.
Sementara itu sang kala di Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya sepertinya terlalu cepat berlalu, tidak terasa
senja telah datang memeluk pucuk-pucuk atap,
menelingkungi rumput-rumput taman pelataran yang
hijau dalam kabut bening. Patung dewi kasih yang berdiri
di tepi kolam kecil termenung menatap ikan-ikan kecil
berwarna-warni menelusup berenang diantara teratai
yang tengah berbunga putih.
737 Disaat itulah hadir Sri Maharaja Kertanegara di
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Sebuah kehormatan Sri Paduka datang ketempat
kami", berkata Ratu Anggabhaya menyambut kedatangan Maharaja Kertanegara dengan penuh
kegembiraan. "Aku rindu mendengar celoteh empat orang
sahabatku para pelaut sejati", berkata Maharaja
Kertanegara yang langsung duduk bersama di pendapa
sepertinya sengaja menghilangkan kesan kewibawaannya sebagai seorang Maharaja Singasari.
Demikianlah mereka sepertinya menemukan kembali
suasana keakraban sebagaimana mereka pernah
bersama di Bandar Cangu, bersama membangun sebuah
bahtera besar Singasari. Pembicaraan pun menjadi
begitu terbuka, tidak ada batasan lagi antara raja dan
hambanya. "Bilamana boleh memilih, aku lebih memilih bersama
kalian, mengarungi lautan dan menyinggahi bandarbandar besar di ujung dunia", berkata Maharaja
Kertanegara. "Ananda telah diberkati duduk di singgasana sebagai
garis takdir suci, sebagaimana daun tua gugur berganti
muda, sebagaimana sang kala terus berganti. Pada
saatnya aku pun akan tua, penat dan cepat lelah,
saatnya mencari pengganti daun-daun muda yang lebih
segar mewarnai taman pemikiran istana Singasari yang
terus maju dan berkembang", berkata Ratu Anggabhaya.
"Kami masih memerlukan pemikiran Pamanda",
berkata Maharaja Kertanegara kepada Ratu Anggabhaya. 738 "Bahtera besar Singasari telah kadung mengembangkan sayapnya, berlayarlah sejauh dan seluas lautan,
kami para orang tua hanya berdoa, kalian para orang
muda untuk terus menatap kedepan, berhati-hati
menjaga bahtera tidak karam ditelan gelombang",
berkata Ratu Anggabhaya. Ketika hari sudah mendekati larut malam, Maharaja
Kertanegara pamit untuk kembali beristirahat. Dalam
kesempatan itu, Kebo Arema mewakili ketiga kawannya
ikut berpamit bahwa besok pagi mereka akan kembali ke


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bandar Cangu. "Bukankah musim berlayar masih belum datang?",
bertanya Maharaja Kertanegara.
"Kami sudah terlalu lama di Istana Singasari", berkata
Kebo Arema memberi alasan.
"Mereka sudah punya istana sendiri di Bandar
Cangu, itulah sebabnya mereka ingin cepat meninggalkan kita", berkata Lembu Tal sambil melirik
kepada anaknya Raden Wijaya.
Pagi itu sudah terang bumi, angin sejuk lewat
tangkai-tangkai pohon dan dedaunan hijau yang kerap,
kesejukan angin menjadi bertambah segar bila terhirup
masuk kedalam hidung. Empat orang lelaki terlihat tengah menunggangi
kudanya berjalan tidak terlalu tergesa-gesa, udara pagi
yang segar menyapu wajah mereka.
Ternyata mereka tidak lain adalah Kebo Arema,
Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang telah
jauh meninggalkan gerbang kotaraja.
"Secepatnya aku akan bersama kembali di Bandar
Cangu", berkata Mahesa Amping ketika mereka sampai
739 di persimpangan jalan. "Salam untuk semua warga Padepokan Bajra Seta",
berkata Raden Wijaya melepas Mahesa Amping yang
terlihat mengambil jalan ke arah barat.
Mahesa Amping baru merasakan kesendiriannya
ketika telah melangkah jauh dari jalan persimpangan
tempat mereka berpisah. Untuk mengusir kesendiriannya
itu, terlihat Mahesa Amping menghentak kudanya agar
berlari cepat. Kuda Mahesa Amping adalah kuda yang
sudah begitu jinak, mengerti apa yang diinginkan
tuannya. Dan kuda itu sudah terlihat memacu langkahnya
berlari seperti terbang menyusuri jalan tanah lapang.
Debu mengepul terbang di belakang kaki kuda yang
berlari kencang. Mahesa Amping memperlambat laju kudanya, tidak
lagi menyususri jalan tanah, tapi berbelok mengambil
jalan ke kiri ke arah padang ilalang yang luas.
Ternyata Mahesa Amping bermaksud mengambil
arah jalan lebih cepat menuju Padepokan Bajra Seta.
Lengkung langit diatas padang ilalang terlihat
berawan mendung, sebagai tanda hujan akan segera
datang.Terlihat Mahesa Amping bersama kudanya terus
maju yang terkadang hilang terhalang gerumbul semaksemak yang tinggi.Untunglah, manakala hujan telah turun
begitu derasnya, Mahesa Amping sudah berada di bibir
sebuah hutan. Kerap dahan dan dedaunan di hutan itu
telah melindungi Mahesa Amping dari terpaan air hujan
yang begitu lebat tercurah dari atas langit.
Mahesa Amping bermaksud mencari tempat
bernaung, disamping berlindung dari hujan, juga sekedar
mengistirahatkan kudanya yang telah begitu lama
berjalan. 740 Ternyata Mahesa Amping tidak sendiri di hutan itu,
dibawah sebuah pohon besar terlihat seorang lelaki tua
tengah berlindung dari hujan.
"Hujan begitu deras", berkata Mahesa Amping ketika
dekat dengan lelaki tua itu sebagai perkataan awal,
pengganti sapaan kepada orang yang baru dikenal.
"Hujan memang sangat deras", berkata orang itu
membalas ucapan Mahesa Amping.
"Anakmas dari mana dan hendak kemana ?",
bertanya orang tua itu dengan ramah.
"Aku dari arah Kotaraja bermaksud hendak ke
Padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa Amping.
"Padepokan Bajra Seta?", bertanya orang
sepertinya ingin memperjelas apa yang didengarnya.
itu "Padepokan Bajra Seta, aku akan kesana", berkata
Mahesa Amping memperjelas ucapannya karena pada
saat itu suara air hujan memang cukup membisingkan.
"Apakah anakmas salah seorang cantri di Padepokan
Bajra Seta?", kembali orang tua itu bertanya
"Benar, aku cantrik di padepokan itu", berkata
Mahesa Amping tidak menutupi jati dirinya
"Ternyata Gusti telah meringankan langkah kakiku,
aku pun juga bermaksud akan ke Padepokan Bajra
Seta", berkata orang tua itu penuh senyum.
"Ada keperluan apakah yang membawa orang tua
datang mengunjungi Padepokan kami", bertanya Mahesa
Amping. "Namaku Empu Nada, demikian orang-orang
memanggilku, aku memang bermaksud ke Padepokan
Bajra Seta untuk sedikit urusan", berkata orang tua itu
741 yang memperkenalkan dirinya bernama Empu Nada.
"Puji syukur Sang Gusti telah pertemukan aku dengan
salah seorang cantriknya, jadi aku tidak perlu banyak
bertanya arah menuju Padepokan Bajra Seta"
"Namaku Mahesa Amping, kita dapat berjalan
bersama", berkata Mahesa Amping memperkenalkan
dirinya dan tidak berusaha mendesak dan mencari tahu
kepentingan orang tua itu yang memperkenalkan dirinya
sebagai Empu Nada. "Terima kasih", berkata Empu Nada dengan wajah
gembira. Sementara itu hujan nampaknya sudah reda,
beberapa butir air yang tersimpan di pelepah daun
kadang terlepas jatuh menyiram bumi.
"Hujan sudah reda, aku senang punya teman di
perjalanan", berkata Mahesa Amping yang sepertinya
sudah sangat dekat dan menyukai orang tua yang baru
saja dikenalnya itu. "Akupun sangat senang mendapatkan kawan yang
dapat mengantarku sampai ke Padepokan Bajra Seta",
berkata Empu Nada yang terlihat tengah bersiap untuk
berjalan bersama. Terlihat mereka berdua telah berjalan menyusuri
jalan setapak yang biasa dipakai oleh para pemburu.
Akhirnya mereka pun telah keluar dari hutan itu, langit
siang diluar hutan itu sudah nampak bersih meski awan
tipis masih menyembunyikan wajah Sang Mentari.
"Aku telah menyusahkan anakmas, kehadiranku telah
membuat anakmas berjalan kaki", berkata Empu Nada
merasa tidak enak hati melihat Mahesa Amping berjalan
kaki menuntun kudanya. 742 "Jarak perjalanan kita sudah tidak begitu jauh",
berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
Sebenarnya perkataan Mahesa Amping hanya
sekedar bahasa manis saja, kenyataannya perjalanan
mereka masih cukup jauh, terutama bila ditempuh
dengan berjalan kaki. Banyak hal yang mereka bicarakan
selama di perjalanan. Mahesa Amping semakin
mengenal beberapa hal pribadi dari orang tua itu, meski
hanya sebatas beberapa sifat dan wataknya yang
ternyata seorang yang sangat menyenangkan, sangat
terbuka dan seorang pendengar yang baik.
"Jadi Anakmas sudah lama meninggalkan Padepokan Bajra Seta", berkata Empu Nada ketika
mendengar cerita Mahesa Amping tentang beberapa
perjalanan pelayarannya. "Kira-kira empat kali pergantian musim hujan",
berkata Mahesa Amping. "Berapa lama lagi kita akan sampai ke Padepokan
Bajra Seta?", bertanya Empu Nada ketika melihat
matahari sudah mulai turun miring ke arah barat.
"Padepokan Bajra Seta ada di belakang bukit itu",
berkata Mahasa Amping sambil menunjuk ke arah
sebuah bukit. "Berarti kita masih menemui malam di perjalanan",
berkata Empu Nada. "Kita bermalam di puncak bukit itu", berkata Mahesa
Amping memberikan gambaran perjalanan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping,
mereka telah sampai diatas puncak bukit disaat malam
telah turun mendekap bumi. Di puncak bukit itu banyak
berdiri batu-batu besar. Di sela-sela batu itulah mereka
743 merebahkan dirinya sekedar menghindari terpaan angin
dingin malam. Ketika semburat warna merah muncul di ujung
malam, mereka berdua sudah terjaga. Terlihat mereka
tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanannya.
Demikianlah, ketika matahari sudah jauh merayap
menjelang siang terlihat mereka sudah mendekati
padukuhan terdekat, tidak lama lagi mereka akan sampai
di Padepokan Bajra Seta. Diregol gerbang Padepokan Bajra Seta, beberapa
cantrik menyambut gembira kedatangan Mahesa
Amping. "Perkenalkan ini Empu Nada, kami bertemu
diperjalanan, ada maksud bertemu dengan Kakang
Mahesa Murti", berkata Mahesa Amping memperkenalkan kawan seperjalanannya ketika bertemu
dengan Mahesa Murti di Pendapa Padepokan Bajra
Seta. "Apakah mataku ini tidak salah mengenal orang?",
berkata Mahesa Murti yang masih ingat wajah Empu
Nada, seorang kepercayaan dari Pangeran Gaco Bahari
dari Kediri. "Anakmas tidak salah mata, kita pernah bermain
dalam satu dua jurus", berkata Empu Nada dengan
wajah penuh senyum. "Selamat datang di Padepokan sederhana kami,
Empu Nada pasti punya kepentingan yang kuat datang
ke tempat ini", berkata Mahesa Murti yang sudah hilang
kecurigaannya terhadap Empu Nada, mungkin air wajah
dari Empu Nada yang Nampak begitu polos, begitu
penuh kasih memancar dari sinar wajahnya.
744 Setelah bersih-bersih diri, Mahesa Amping dan Empu
Nada dipersilahkan beristirahat sejenak sambil
menyantap beberapa potong makanan dan minuman
hangat. Akhirnya, perlahan Empu Nada menyampaikan
maksud dan tujuannya datang ke Padepokan Bajra Seta.
"Garis hidupku memang aneh, dulu aku telah salah
berdiri di belakang Pangeran Gaco Bahari", berkata
Empu Nada berhenti sebentar membiarkan Mahesa Murti
mengenang sedikit tentang Pangeran Gaco Bahari yang
pernah ingin memberontak atas kekuasaan syah
Singasari. "Saat ini kembali langkahku salah berpijak",
lanjut Empu Nada menyambung perkataaannya.
Akhirnya Empu Nada bercerita tentang pertemuannya dengan seorang perampok tunggal yang
sedang sakit parah terkena banyak senjata lawan.
"Aku membawanya bercerita Empu Nada. ke gubukku, merawatnya", "Ketika dirinya telah kembali sembuh seperti sedia
kala, kuberharap dengan bimbingan dan tuntunanku,
orang itu akan kembali kejalan yang benar", berkata
Empu Nada sambil berhenti sebentar menarik nafas
panjang, sepertinya tengah mengumpulkan beberapa
kenangan. "Aku gembira sekali, orang itu ternyata punya bakat
dan kecerdasan yang kuat", berkata Empu Nada.
Terlihat wajah Empu Nada tiba-tiba begitu suram,
sepertinya dipenuhi duka dan penyesalan yang sarat.
"Ternyata aku telah menciptakan tanduk untuk seokar
srigala, apalagi ketika datang seorang Raja dari GelangGelang yang memberikannya banyak janji-janji, srigala
745 itu sepertinya telah kembali kepadang perburuannya,
kepadang perburuan yang lebih besar.Saat ini srigala itu
telah berencana dengan Raja Gelang-gelang untuk
merampok kekuasaan penguasa baru Singasari", berkata
Empu Nada mengakhiri ceritanya.
"Apakah Empu Nada pernah memberitahukan
kepadanya bahwa langkahnya telah masuk dijalan
simpang?", bertanya Mahesa Murti kepada Empu Nada.
"Srigala itu sudah tidak mempan lagi dimasuki
nasehat apapun, bahkan dirinya merasa telah sampai
pada batas pencarian ke AKU-annya", berkata Empu
Nada. "Carilah Aku dimana tidak ada aku?", bertanya
Mahesa Murti menegaskan "Benar, dirinya telah menemukan AKU yang lain, si
AKU nafsunya sendiri yang diakuinya sebagai penguasa
tunggal, membenarkan segala tindakannya, semua


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dianggapnya sebagai kebaikan. Mata hatinya sepertinya
telah terbalik, matahari telah terbit di ujung barat mata
hatinya", berkata Empu Nada.
"Siapakah nama orang itu ?", bertanya Mahesa Murti
"Namanya Mahesa Rangga", berkata Empu Nada.
"Aku pernah mendengar nama itu disebut oleh salah
seorang pedagang yang berasal dari arah barat
Singasari, menurutnya adalah seorang yang sakti
mandraguna, tidak terkalahkan, dan diam-diam telah
memupuk kekuatan, sebagai kekuatan bayangan,
sebagai penguasa bayangan yang juga ikut menarik
upeti dari beberapa padukuhan terdekat", berkata
Mahesa Murti. "Ternyata anakmas punya banyak telinga", berkata
746 Empu Nada. "Beberapa bulan yang lalu, ada banyak pesanan
senjata dari pedagang yang berasal dari barat Singasari",
berkata Mahesa Murti. "Mereka memang telah memupuk sebuah kekuatan
disana", berkata Empu Nada meyakinkan.
"Srigala itu sudah mempunyai tanduk, kita harus
cepat bertindak sebelum srigala itu bersayap", berkata
Mahesa Amping yang selama itu ikut mendengar
memberikan tanggapannya. "Itulah maksud kedatanganku ke Padepokan Bajra
Seta ini, meminta pertimbangan dan tindakan dari
pimpinan Padepokan ini yang kutahu selalu menjunjung
tinggi kebenaran", berkata Empu Nada.
Sementara itu matahari diatas Padepokan Bajra Seta
telah pudar mendekati senja, lengkung langit berwarna
putih sejuk menelengkungi keteduhan. Beberapa cantrik
terlihat masuk regol gerbang Padepokan dengan pakaian
yang berlumpur. Rupanya mereka baru pulang dari
sawah. Saat itu memang awal musim penghujan, saat
yang baik untuk membajak sawah disaat tanah basah
tersiram banyak hujan. "Paman Sembaga dan Paman Wantilan sudah
datang, undanglah mereka ke pendapa", berkata Mahesa
Murti kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera turun dari pendapa menemui
Sembaga dan Wantilan. "Ternyata Sang pelaut telah kembali", berkata
Sembaga menggoda menyambut kedatangan Mahesa
Amping. "Aku rindu mengotori seluruh tubuh degan lumpur di
747 sawah", berkata Mahesa Amping penuh senyum.
"Siapakah yang ada di Pendapa bersama sang
ketua?", bertanya Wantilan penuh selidik.
"Paman pasti pernah mengenalnya, seorang
kepercayaan Pangeran Gaco Bahari dari Kediri yang
dulu pernah paman hancurkan Padepokannya beberapa
tahun yang lalu", berkata Mahesa Amping.
"Untuk apa dia datang ke Padepokan kita?", bertanya
Wantilan. "Kakang Mahesa Murti meminta Paman berdua
datang nanti malam ke pendapa utama, ada yang ingin
disampaikan, mungkin keingintahuan paman berdua
akan terjawab", berkata Mahesa Amping.
"Kalau begitu kami akan segera membersihkan diri",
berkata Sembaga. "Juga berganti pakaian", berkata Mahesa Amping
sambil tersenyum melihat Sembaga dan Wantilan
berjalan cepat meninggalkannya, mungkin seperti yang
dikatakannya akan segera bersih-bersih diri.
Terlihat Mahesa Amping telah kembali
kependapa utama Padepokan Bajra Seta.
naik Sementara itu sang waktu terus bergulir diatas
Padepokan Bajra Seta, wajah langit semakin meredup
dan akhirnya kusam pekat menghitam.
Sang Malam telah datang bersama armada
kegelapannya, menyergap dan menutupi batas pandang
wajah bumi. "Sebelum melangkah lebih jauh, yang paling utama
adalah melihat kekuatan lawan", berkata Mahesa Murti di
pendapa utama Bajra Seta. Telah hadir di pendapa
748 adalah Sempaga dan Wantilan yang telah diberitahu
tentang beberapa hal yang telah terjadi dan berkaitan
dengan kedatangan Empu Nada Di Padepokan Bajra
Seta. "Dan kehadiranku disini berkaitan dengan penyelidikan kekuatan lawan itu", berkata Sembaga
"Ternyata Paman Sembaga telah tanggap, benar apa
yang Paman duga, aku berkeinginan menugaskan
Paman berdua bersama Mahesa Amping kedaerah barat
itu", berkata Mahesa Murti.
"Sudah lama kaki ini tidak menginjak tanah lebih jauh
dari sawah dan ladang dipadepokan Bajra Seta ini",
berkata Wantilan penuh senyum.
"Kapan kami akan berangkat?", berkata Sembaga
sepertinya sudah tidak sabaran lagi.
"Hari ini Mahesa Amping baru saja tiba, biarlah dia
beristirahat dulu satu dua hari", berkata Mahesa Murti.
Mahesa Amping memang terlihat sudah sangat
suntuk, akhirnya Mahesa Murti menyilahkan Mahesa
Amping dan Empu Nada beristirahat lebih dulu.
Dan malam di musim penghujan itu memang begitu
dingin, di pertengahan malam kembali hujan mengguyur
bumi, membasahi halaman depan Padepokan Bajra
Seta, melelapkan semua yang telah tertidur diawal
malam. Dan hujan baru sedikit berhenti di awal pagi dengan
siraman gerimis kecilnya, membuat siapapun akan
enggan membuka matanya. Namun di pagi yang masih
bergerimis itu Mahesa Amping dan Empu Nada sudah
terlihat keluar dari kamarnya. Setelah bersih-bersih diri
mereka langsung ke Pendapa utama.
749 "Ternyata anakmas Mahesa Murti telah terbiasa
bangun di awal pagi", berkata Empu Nada yang telah
melihat Mahesa Murti ternyata sudah mendahuluinya
berada di Pendapa utama Padepokan Bajra Seta.
"Orang tua bilang bangun pagi akan memanjangkan
usia", berkata Mahesa Murti kepada Empu Nada.
"Dan rejeki kita tidak keduluan dipatuk ayam", berkata
Mahesa Amping melanjutkan.
Sambil menikmati wedang jahe hangat dan beberapa
potong ubi manis mereka saling bercerita banyak hal,
terutama Mahesa Amping banyak bercerita tentang
perjalanan pelayarannya bersama bahtera besar
Singasari menuju Tanah Gurun, sebuah pulau di ujung
timur matahari sebagai tempat asal pohon cengkeh dan
pala, sebuah tanaman di jaman itu yang harganya sama
dengan harga sebuah emas.
"Impian Maharaja Seminingrat telah terwujud,
saatnya Maharaja Kertanegara melanjutkan dan
memapankannya", berkata Mahesa Murti menanggapi
cerita Mahesa Pukat. "Musuh-musuh Maharaja muda itu ternyata punya
siasat yang sangat tajam, menusuk Singasari disaat
semua daya pikiran tertuju ke luar, membangun jalur
perdagangan laut bagi kemakmuran nagari", berkata
Empu Nada. "Empu Nada benar, kita harus menutup kelemahan
itu, agar Singasari tidak terganggu memperluas
cakrawala kekuasaannya yang luhur bagi bumi Singasari
tercinta", berkata mahesa Murti.
"Ternyata aku datang di tempat yang benar, di
Padepokan para ksatria Singasari", berkata Empu Nada
750 "Empu Nada telah datang di tempat sanak kadang
sendiri", berkata Mahesa Murti.
Terlihat Empu Nada tersenyum menangkap maksud
perkataan dari Mahesa Murti.
"Gambar Cakra di lengan Empu Nada telah
mempertemukan dua saudara yang telah lama terpisah,
jalur perguruan sejati", berkata Mahesa Murti."Jalur
perguruan Sejati masih hidup di Padepokan Bajra Seta
ini lewat Paman Mahesa Agni murid tunggal Empu Purwa
saudara seperguruan Empu Brantas", berkata Mahesa
Murti memberikan penjelasannya.
"Dalam permainan sejurus dua jurus bersamamu, aku
juga telah menduga bahwa kita punya dasar kanuragan
yang sama", berkata Empu Nada penuh kegembiraan.
"Ada berita gembira lain yang akan aku sampaikan
untuk Empu Nada", berkata Mahesa Murti sambil
menatap Empu Nada. "Cepat katakan, jangan buat orang setuaku ini jadi
penasaran", berkata Empu Nada tidak sabaran.
"Berbahagialah, bahwa Maharaja Singasari yang
tengah berkuasa saat ini adalah murid terkasih dari
saudara Empu Nada sendiri", berkata Mahesa Murti
kepada Empu Nada. "Aku memang punya saudara kembar, mungkinkah
yang engkau maksudkan adalah Dangka saudara
kembarku itu ?", bertanya Empu Nada masih ragu.
"Benar, saudara kembar Empu Nada yang telah
mengangkat murid kepada Maharaja Kertanegara
bernama Empu Dangka", berkata Mahesa Murti.
"Sudah lama kami berpisah, apakah anakmas
mengetahui keberadaan saudaraku itu?", bertanya Empu
751 Nada. "Ketika kami pulang dari Tanah Madhura,menyusuri
sungai porong, kami tidak menemukan Empu Dangka
ditempat terakhirnya, sepertinya telah hilang ditelan
bumi", berkata Mahesa Amping ikut bercerita ketika
bersama Kertanegara menyusuri sungai Porong tempat
terakhir Empu Dangka. "Berita bahwa saudaraku telah mewariskan ilmunya
kepada Maharaja Singasari sepertinya sebuah air suci
yang membersihkan rasa bersalahku selama ini, telah
salah mengasuh para srigala yang haus darah", berkata
Empu Nada yang Nampak raut dan garis wajahnya
terlihat begitu cerah penuh kegembiraan.
Sementara gerimis diluar pendapa utama terlihat
sudah surut, bumi sudah terlihat tersenyum terang
bersama awan putih bening mengisi cakrawala.
Beberapa burung kecil terlihat terbang melintas.Dan pagi
yang cerah seperinya mewarnai langit Padepokan Bajra
Seta. Mungkin kehadiran Mahesa Amping menjadikan
suasana Padepokan itu telah menjadi semakin
menambah kegembiraan. Mahesa Amping terlihat mengajak Empu Nada
berkeliling Padepokan Bajra Seta, juga mengajaknya
keluar padepokan Bajra seta melihat-lihat suasana para
petani yang tengah menanam bibit-bibit batang padi satu
persatu mengisi petak-petak sawah mereka.
"Suasana yang menyenangkan, pesona alam yang
indah dalam gairah kegembiraan para petani", berkata
Empu Nada. "Kedamaian seperti inilah yang kadang datang
mengusik hari-hari dalam pengembaraanku", berkata
Mahesa Amping. 752 "Kedamaian yang selalu membuat iri para petualang
seperti diriku", berkata Empu Nada.
"Seandainya saja bumi tanpa bencana dan
peperangan, suasana kedamaian ini akan menjadi
lukisan yang abadi", berkata Mahesa Amping.
"Gusti yang Maha Pemrakarsa telah menciptakan
garis takdirnya, keabadian hanya miliknya, kefanaan di
alam dunia adalah milik makhluknya. Dengan dasar inilah
kita hambanya disuruh memilih, masuk dalam
keabadiannya atau terjerumus dalam kefanaan abadi",
berkata Empu Nada. "Petuah Empu Nada adalah pusaka", berkata
Mahesa Amping yang menangkap makna terdalam dari
tutur Empu Nada. "Anakmas telah sampai dalam pencerahan bathin,
aku senang telah bertemu dengan orang-orang macam
anakmas, Padepokan Bajra Seta telah melahirkan
banyak putra terbaik sebagai cahaya bumi dikegelapan
malam", berkata Empu Nada.
Sementara itu matahari sudah semakin merayap
tinggi, dari sebuah saung terlihat seorang lelaki
bertelanjang dada memanggil mereka.
Mahesa Amping dan Empu Nada mendekatinya,
ternyata lelaki bertelanjang dada itu tidak lain adalah
Mahesa Semu. "Mbokyu Padmita sengaja membuat pecak gabus
kesukaanmu", berkata Mahesa Semu ketika Mahesa
Amping dan Empu Nada mendekatinya.
Demikianlah, mereka sejenak menikmati makan
siang di pinggir sawah, meriung bersama para cantrik
lainya yang sudah dari pagi berkeringat bekerja di sawah.
753 Sebuah kegembiraan dan kebahagiaan bersama yang
jarang sekali dirasakan oleh Empu Nada.
"Makanan yang paling nikmat yang pernah aku
rasakan", berkata Empu Nada sambil menyuap nasi liwet
dan sepotong gabus pecaknya diatas sehelai daun
pisang yang masih basah.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari yang telah ditentukan akhirnya telah tiba.
Tiga ekor kuda terlihat pagi itu telah keluar dari regol
gerbang Padepokan. Mereka adalah Wantilan, Sembaga
dan Mahesa Amping. "Berbahagialah anakmas yang telah banyak
melahirkan para ksatria berjiwa mulia", berkata Empu
Nada kepada Mahesa Murti ketika melepas kepergian
tiga orang cantrik pilihan Padepokan Bajra Seta.
"Tugas kita hanya menanam dan merawatnya, Gusti
Yang Maha Karsa yang menentukan berhasil atau
tidaknya panen raya", berkata Mahesa Murti tersenyum.
"Kamu benar Anakmas, aku memang harus belajar
banyak dengan anakmas", berkata Empu Nada ketika
melihat tiga ekor kuda telah menghilang di tikungan jalan.
Wantilan, Sembaga dan Mahesa Amping memang
sudah masuk ke tikungan jalan, menyusuri jalan
Padukuhan. Dan manakala berhadapan dengan padang ilalang
yang luas, mereka menepak perut kuda agar berlari
kencang. Terlihat tiga ekor kuda berlari kencang saling
berkejaran membelah ilalang yang tinggi hingga
sebadan. Angin pagi menerpa wajah-wajah mereka,
mengusap semangat pengembara di padang pengembaraan, mengusap semangat tiga ksatria menuju
754 padang perbhaktian. Mereka seperti elang gurun yang
terbang bebas merdeka mencari padang perburuannya,
hinggap sebentar di puncak-puncak bukit karang yang
tinggi, melewati ngarai dan lembah hijau, atau
menghilang ditelan kepekatan hutan rimba yang lebat.
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan yang
melelahkan, akhirnya mereka telah mendekati tempat
daerah yang mereka tuju. Terlihat tiga ekor kuda telah memasuki sebuah regol
gerbang sebuah kademangan, matahari pagi menyapu
wajah-wajah mereka. Beberapa petani yang akan
berangkat menuju ke sawah hanya sebentar menatap
mereka, sepertinya kademangan itu sudah terbiasa
didatangi para tamu asing.
"Permisi Paman, dapatkah menunjukkan kepada
kami rumah Saudagar Kimung ?", bertanya Mahesa
Amping kepada seorang petani yang berpapasan
dengannya. "Rumah Saudagar Kimung tidak jauh lagi, jalan lurus
dari sini kisanak akan menemui rumah yang cukup besar
dengan lumbung padi yang juga cukup besar. Didepan
pendapa berdiri pohon asam yang besar", berkata petani
itu memberikan ancer-ancer rumah Saudagar Kimung.
"Terima kasih Paman", berkata Mahesa Amping
kepada petani itu. Sebagaimana yang dikatakan petani itu, mereka
menemukan sebuah rumah besar dengan sebuah
lumbung padi yang juga cukup besar, ada pohon asam
yang sudah tua berbatang besar melebihi sepelukan
tangan orang dewasa. Sebagaimana umumnya rumah
yang ada di Kademangan itu, rumah itu terbuka tidak
dibatasi pagar. Terlihat keranda bambu di depan
755 rumahnya sebagai tempat merayap pohon labu parang
yang nampaknya sudah banyak yang telah kuning
matang. "Selamat datang di Kademangan Padang Bulan",
berkata seorang lelaki bertubuh tambur turun dari
pendapa rumah yang ternyata adalah Saudagar Kimung.
"Ternyata nama Saudagar Kimung sangat santer di
penjuru Kademangan ini, kami tidak susah mencarinya",
berkata Wantilan yang langsung menyalami lelaki pemilik
rumah itu. Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan segera
diajak naik ke pendapa rumah.
"Percayalah, aku dapat memegang rahasia", berkata
Saudagar Kimung dengan berbisik takut ada yang
mendengar. Ternyata Saudagar Kimung memang dapat
dipercaya, jangankan kepada orang lain, kepada
keluarganya sendiri rahasia rencana ketiga cantrik
padepokan Bajra Seta ini sangat tertutup. Hanya
dikatakan bahwa ketiga kawan jauhnya ini akan memulai
penghidupan baru, mencoba membuka usaha sebagai
tukang pandai besi. Hari pertama memang tidak banyak yang dilakukan
oleh Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan selain
mempersiapkan beberapa peralatan kerja sebagai
tukang pandai besi. Pada hari kedua Saudagar Kimung mengajak mereka
bertiga kepasar di Kademangan Padang Bulan yang
cukup ramai, apalagi disaat hari pasaran.
Nasib mereka cukup beruntung, seorang pejabat
pasar memberikan tempat yang cukup luas diujung
756 pasar. Pada hari itu juga mereka langsung membuat
sebuah gubuk yang bukan hanya sebagai tempat kerja
dan usaha, tapi sekaligus sebagai tempat tinggal mereka
bertiga. Wantilan, Sembaga dan terutama Mahesa Amping
ternyata memang seorang pandai besi sungguhan yang
ahli, siapapun yang melihat hasil kerja mereka tidak akan
menyangka bahwa mereka sebenarnya bukan pandai
besi sungguhan. Hasil karya mereka dapat dikatakan
begitu halus dan sangat baik.
Mereka mulai bekerja sepanjang hari, maka dalam
waktu sepekan berbagai peralatan pertanian dan senjata
sudah terlihat menumpuk siap diperdagangkan.
"Apakah kisanak ingin membeli barang kami?",
berkata Mahesa Amping kepada dua orang lelaki
berwajah kasar. "Ternyata kamu ini orang baru disini, kami disini tidak
untuk membeli, tapi meminta kutipan", berkata salah
seorang yang paling garang.
"Kami telah membayar kutipan kepada petugas pasar
kemarin sore", berkata Mahesa Amping.
"Kami bukan petugas pasar, tapi kami penguasa
tempat ini", berkata orang itu dengan mata melotot.
"Maaf, kami memang orang baru disini. Hari ini kami
baru memulai usaha, bagaimana bila kami memberi
kalian hadiah dua buah senjata", berkata mahesa
Amping dengan gaya seorang pedagang yang mengalah
dan tahu berperilaku kepada orang-orang kasar di pasar
pada umumnya. "Untuk kali ini aku terima", berkata orang itu penuh
gembira. 757 Mahesa Amping segera memberikan mereka dua
buah golok besar mirip dengan golok besar yang mereka
bawa yang terlihat terselip di pinggang masing-masing.
"Buatan kami adalah yang terbaik di Tanah Singasari
ini", berkata Mahesa Amping sambil menyerahkan golok
besar buatannya. Terlihat kedua orang itu menimang-nimang golok
besar pemberian itu serta membandingkan dengan
senjatanya sendiri. Sedikit banyak kedua orang itu
memang tahu menilai tentang senjata yang baik.
"Senjata yang baik, sangat ringan dan
dipegang", berkata kawannya yang satu lagi.
enak "Anggap saja itu hadiah perkenalan kita", berkata
Mahesa Amping penuh senyum keramahan.
"Jarang sekali aku berhadapan dengan pedagang
seperti kalian, tidak kikir dan mudah diatur", berkata
orang yang berwajah paling garang.
"Kami disini mencari peruntungan, bukan mencari
musuh", berkata Mahesa Amping masih dengan wajah
ramah dan penuh senyum. "Pekan depan kami akan datang kembali", berkata
orang itu kepada Mahesa Amping sambil memberi tanda
kepada kawannya untuk berlalu meninggalkan tempat
pandai besi itu. "Untungnya bukan aku yang menghadapi orang itu",
berkata Wantilan kepada Mahesa Amping ketika kedua
orang itu sudah pergi berlalu.
Ternyata keberadaan pandai besi yang baru diujung
pasar cukup menarik perhatian, banyak orang yang
berbelanja mampir ketempat itu, baik hanya sekedar
melihat-lihat, tapi ada juga yang langsung membeli
758 barang dagangan mereka. Sepekan kemudian, dagangan mereka seperti laris
manis. Mungkin dari mulut ke mulut barang dagangan
mereka telah diakui sebagai barang buatan yang sangat
halus dan baik. Hingga pada sebuah hari pekan, pada sebuah hari
pasaran, yang mereka nantikan akhirnya datang juga.
"Disinikah kamu mendapatkan dua buah golok besar
itu?", berkata seorang yang berpakaian perlente layaknya
seorang bangsawan kepada salah seorang anak
buahnya yang ternyata salah seorang yang dulu pernah
diberi hadiah dua buah golok besar oleh mahesa
Amping. "Benar, disinilah aku mendapatkannya", berkata anak
buahnya yang ditanyakan itu sambil menganggukkan
kepalanya. Seperti biasa, Sembaga pada saat itu tengah asyik
menempa besi, sementara Wantilan terlihat tengah
menghaluskan sebuah pedang yang nampaknya hampir
jadi. "Silahkan tuan melihat-lihat barang dagangan kami",
berkata Mahesa Amping mendekati orang itu yang
terlihat sepertinya sangat disegani oleh lima orang yang
datang bersamanya, diantaranya adalah yang sudah
dikenal oleh Mahesa Amping.
Orang itu memang terlihat angkuh, tampa berkata
apapun langsung memeriksa sebuah pedang panjang
dan mencobanya dalam beberapa gerakan.
"Tuan dapat menguji ketajaman pedang buatan
kami", berkata Mahesa Amping sambil mengeluarkan
sebuah batang bambu yang panjangnya kurang lebih
759 sedepa. "Silahkan tebas bambu ini", berkata Mahesa Amping
sambil menjulurkan bambu itu dihadapan orang itu. Maka
tanpa banyak cakap orang itu telah membuat ancangancang untuk mengayunkan pedang ditangannya.
Luar biasa, bambu ditangan Mahesa Amping sudah
terpotong dengan halusnya dengan sekali tebasan.
"Pedang yang bagus", berkata orang itu langsung
memuji pedang hasil karya Mahesa Amping.
"Buatan kami berasal dari besi pilihan", berkata
Mahesa Amping sambil membungkukkan badan penuh
kerendahan hati layaknya seorang pedagang kepada
seorang bangsawan calon pembeli yang royal.
"Aku pesan seratus pedang, seratus golok panjang
dan seratus mata tombak", berkata orang itu kepada
Mahesa Amping. "Bila pesanan tuan telah selesai, kemana kami dapat
mengantarnya?", bertanya Mahesa Amping.
"Bawalah ke Gunung Jati, setiap orang disini sudah
tahu dimana aku tinggal", berkata orang itu.
"Dapatkah aku tahu siapakah nama tuan, agar
mudah mencari tempat tinggal tuan", berkata Mahesa
Amping kepada orang itu. "Ternyata kamu orang baru disini, namaku Mahesa
Rangga", berkata orang itu yang mengatakan dirinya
bernama Mahesa Rangga. "Secepatnya kami akan menyelesaikan pesanan
tuan", berkata Mahesa Amping penuh gembira, tapi
orang itu juga para anak buahnya mengartikan lain
kegembiraan Mahesa Amping.
760 Tanpa kata-kata orang itu sudah berbalik badan
bersama anak buahnya meninggalkan Mahesa Amping.
"Kita perlu bahan yang cukup untuk melayani
pesanan mereka", berkata Wantilan kepada Mahesa
Amping yang diam-diam telah mencuri dengar
pembicaraan Mahesa Amping dengan orang yang
mengaku bernama Mahesa Rangga.
"Besok Saudagar Kimung akan berangkat berdagang
kearah timur, kita bisa titip pesan kepadanya untuk
dibawakan dari Padepokan Bajra Seta sesuai pesanan",
berkata Mahesa Amping. "Otakmu cukup encer, kita tidak perlu banyak kerja,
barang sudah siap jadi", berkata Wantilan sambil
menepuk-nepuk pundak Mahesa Amping.
"Kita tidak perlu memberikan
mereka", berkata Mahesa Amping
semua pesanan "Tidak memberikan semua pesanan mereka?",
bertanya Wantilan tidak mengerti maksud perkataan
Mahesa Amping yang tersenyum melihat wajah Wantilan
yang berkerut penuh tanda Tanya.
"Ssst !, ada pembeli datang", berkata mahesa
Amping memberi tanda ada beberapa orang yang tengah
berjalan ketempat mereka.
Maka seperti biasa Mahesa Amping melayani orangorang yang datang melihat-lihat, sekali-sekali Mahesa
Amping memamerkan beberapa senjata dan beberapa
alat pertanian barang dagangannya.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika beberapa pembeli sudah pergi, kembali
Wantilan menagih penjelasan kepada Mahesa Amping.
"Nanti malam akan kujelaskan semuanya", berkata
Mahesa Amping dengan wajah penuh senyum.
761 "Aku tunggu penjelasanmu", berkata Wantilan yang
langsung kembali bekerja menghaluskan beberapa alat
yang terlihat hambir sempurna.
Sebagaimana yang telah dijanjikan, maka pada
malam harinya Mahesa Amping menjelaskan semua
rencananya. "Jadi kita membuat senjata
campuran?", bertanya Wantilan
dari bahan besi "Benar, dibawah kekuatan senjata yang kita miliki,
setidaknya bila beradu dengan senjata kita akan mudah
patah", berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
"Kamu memang anak nakal", berkata Wantilan yang
langsung setuju Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wantilan sudah
ada di rumah Saudagar Kimung untuk menitipkan
beberapa pesan rahasia yang akan disampaikannya
kepada Mahesa Murti di Padepokan Bajra Seta.
Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Amping, Wantilan
dan Sembaga terlihat sangat sibuk bekerja sepanjang
hari, bahkan kadang sampai jauh malam. Ternyata
mereka tengah membuat sebuah senjata yang khusus
mereka ciptakan sendiri yang dirancang akan mudah
patah, namun sebagai seorang ahli tidak akan mudah
diketahui. Sepekan kemudian telah datang tiga orang cantrik
Padepokan Bajra Seta membawa barang pesanan yang
ditipkan lewat Saudagar Kimung. Maka pesanan seratus
pedang, seratus golok panjang dan seratus mata tombak
sudah terkumpul. "Tiga ratus prajurit dari Bandar Cangu secara
bertahap akan datang memenuhi tempat ini", berkata
762 salah seorang cantrik Bajra Seta menyampaikan sebuah
berita. "Raden Wijaya dan Lawe ikut dalam pasukan itu
sebagai pimpinan", berkata cantrik itu melanjutkan.
Gunung jati adalah sebuah kawasan perbukitan
berhutan lebat. Sebagaimana namanya, didalam hutan
ini memang banyak tumbuh tanaman jati yang sudah
berumur puluhan tahun. Dahulu orang-orang disekitarnya
biasa mengambil kayu jati untuk membangun rumah
mereka di hutan ini, disamping juga sebagai tempat
berburu yang baik karena masih banyak dihuni berbagai
binatang buruan liar. Namun setelah hutan itu dikuasai
para gerombolan yang dikepalai oleh seorang yang
bernama Mahesa Rangga, para penduduk sekitar tidak
berani lagi datang ke hutan gunung jati.
Gerombolan Mahesa Rangga ini semakin merajelela,
bahkan mereka saat itu sudah berani meminta kutipan di
beberapa kademangan sekitarnya sebagaimana yang
pernah dialami sendiri oleh Mahesa Amping di pasar,
pada saat panen raya atau kepada para saudagar yang
datang dari berbagai tempat.Para bebahu Kademangan
tidak berani melapor, mereka masih memilih aman hanya
dengan sekedar memberikan kutipan.
Namun akhir-akhir ini gerombolan Mahesa Rangga
yang diam-diam sangat dibenci oleh penduduk
disekitarnya sudah mulai berbuat keonaran dan membuat
resah, mereka sudah mulai mengganggu wanita yang
sudah bersuami dan para gadis penduduk di sekitarnya.
Dari beberapa penduduk di Kademangan Padang
Bulan, Mahesa Amping dapat mengorek beberapa
keterangan tentang gerombolan ini, ternyata umumnya
mereka adalah bekas perampok dan perusuh yang
merasa tersingkir dengan kekuasaan prajurit Singasari di
banyak jalan jalur perdagangan yang ramai. Sayangnya
763 para prajurit Singasari masih kurang banyak untuk
mengawasi seluruh Tanah Singasari yang luas,
diantaranya pengawasan disekitar gunung jati ini.
Pagi itu terlihat tiga orang tengah menuntun tiga ekor
kuda. Terlihat kuda-kuda itu membawa muatan barang di
punggungnya. Ternyata ketiga lelaki itu adalah Mahesa Amping,
Sembaga dan Wantilan yang tengah mendaki membawa
senjata pesanan Mahesa Rangga di Gunung Jati.
Terlihat mereka telah semakin masuk ke hutan
gunung jati. Akhirnya setelah berjalan setengah harian
mereka telah sampai disebuah tanah datar. Diatas tanah
datar itu berdiri banyak gubuk-gubuk liar beratap daun
dan berdinding kayu sekedarnya. Namun ditengah
gubuk-gubuk yang dibangun ala kadarnya itu berdiri
sebuah bangunan yang cukup megah, hamper
seluruhnya terbuat dari kayu jati yang sudah dihaluskan,
bahkan ada beberapa bagian seperti pagar pendapa
terlihat diukir dengan apiknya.
Ketika Mahesa Amping,Sembaga dan Wantilan
melewati sebuah gubuk, keluar seorang lelaki dari gubuk
itu menghampiri mereka. Ternyata lelaki berwajah garang
yang sudah dikenal Mahesa Amping yang selalu datang
setiap pekan meminta kutipan.
"Ternyata kamu si pandai besi yang baik hati",
berkata orang itu kepada Mahesa Amping.
"Aku membawa barang pesanan tuanmu", berkata
Mahesa Amping kepada orang itu.
"Mari kuantar kalian kepada Sang Ketua", berkata
orang itu menggiring Mahesa Amping, Wantilan dan
Sembaga menuju rumah jati itu yang ternyata adalah
764 tempat tinggal Sang Ketua Mahesa Rangga.
"Kalian tunggu disini, aku akan menemui sang ketua",
berkata orang itu meminta Mahesa Amping dan kawankawannya menunggu di bawah halaman pendapa rumah
jati itu. Terlihat orang itu masuk kedalam rumah.
Tidak lama berselang orang itu terlihat kembali keluar
dari pintu berjalan menghampiri Mahesa Amping dan
kedua kawannya. "Sang Ketua ternyata malas menemui kalian,
silahkan letakkan barang-barang yang kamu bawa disini",
berkata orang itu kepada Mahesa Amping.
Maka Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan
segera membongkar barang muatan dari punggung
kuda, meletakkannya di halaman pendapa.
"Terimalah pembayaran atas penjualan barangmu",
berkata orang itu sambil memberikan sekampit
pembayaran. "Terima kasih", berkata Mahesa Amping menerima
pembayaran itu langsung membukanya. "Tuanmu
ternyata sangat baik hati, pembayaran ini lebih dari
cukup", berkata Mahesa Amping dengan penuh
gembira."Terimalah ini sebagai balas jasa telah
mengantar tuanmu kepada kami", berkata kembali
Mahesa Amping sambil memberikan sedikit persenan
kepada orang itu yang diambilnya dari kampil
pembayaran yang diterimanya.
"Ternyata kamu tahu apa yang ada didalam
pikiranku", berkata orang itu dengan senyum penuh arti.
"Boleh kami beristirahat sejenak di sekitar tempat
ini?", bertanya Mahesa Amping kepada orang itu.
765 "Terserah kalian", berkata orang itu sambil pergi
meninggalkan Mahesa Amping bertiga.
Terlihat Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan
mencari tempat berteduh disebuah pohon besar diantara
gubuk-gubuk yang tidak beraturan letaknya mengelilingi
rumah Sang Ketua. Sambil beristirahat mereka memperhatikan orangorang yang ada didalam gubuk, terlihat ada yang sedang
tidur dan sebagian lagi sepertinya tengah bersenda
gurau. Sebagian besar terlihat sebagai orang-orang
kasar, terdengar dari gaya bahasanya.
Setelah matahari sudah mulai jenuh berdiri
dipuncaknya, Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan
terlihat tengah bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
Beberapa mata terlihat mengiringi langkah kaki mereka,
namun sebagian lagi sepertinya memandang tak acuh.
Hari sudah mendekati senja manakala mereka telah
sampai dikaki hutan gunung jati. Di tanah terbuka mereka
langsung menghentakkan lari kuda mereka. Maka tidak
begitu lama mereka telah sampai kembali di
Kademangan Padang Bulan. Dan sandikala telah datang menelungkupi bumi,
memanggil burung-burung kecil untuk kembali kesarangnya. Para ibu memanggil anaknya yang masih
bermain dihalaman rumah, sementara itu beberapa lelaki
bertelanjang dada terlihat baru pulang dari sawahnya.
Di ujung senja, sudut pasar itu sudah begitu sepi.
Mahesa Amping , Sembaga dan Wantilan masih terlihat
duduk-duduk dibale bambu di depan gubuk mereka.
Sayup-sayup terdengar suara burung jalak suren mencari
pasangannya. 766 "Mengapa kamu tersenyum", berkata Wantilan yang
heran melihat Mahesa Amping tersenyum sendiri.
"Aku kenal betul dengan suara jalak suren itu",
berkata Mahesa Amping masih tersenyum.
"Aku belum mengerti", berkata Wantilan merasa tidak
mengerti apa arti ucapan Mahesa Amping.
Ternyata Mahesa Amping memang tidak perlu
menjawab. Muncul dari kegelapan malam dari balik
pohon ambon yang lebat dua orang yang berjalan
mengendap-endap. Setelah dua orang itu semakin mendekat, barulah
terlihat wajah kedua orang itu yang ternyata adalah
Raden Wijaya dan Lawe. "Permisi, numpang tanya, aku mencari tiga orang
pandai besi yang mumpuni", berkata Lawe bercanda
menyapa mereka. "Selamat datang di Kademangan Padang Bulan",
berkata Sembaga menyambut kedatangan mereka.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing,
Raden Wijaya menyampaikan berita bahwa dirinya telah
datang bersama dengan tiga ratus prajurit dari Bandar
Cangu. "Dimana sekarang mereka?", bertanya Wantilan.
"Dihutan sebelah timur tidak jauh dari sini", berkata
Raden Wijaya."Mereka datang secara bergelombang,
aku datang bersama kelompok terakhir", berkata Raden
Wijaya melanjutkan. "Satu hari penuh beristirahat kukira cukup untuk
pasukanmu", berkata Mahesa Amping kepada raden
Wijaya. 767 Semalaman mereka berbicara tentang beberapa hal
menyangkut rencana penyerangan mereka menghabisi
gerombolan Mahesa Rangga di hutan Gunung Jati.
"Siapkan panah api, kita akan memulai peperangan
dengan sebuah kepanikan besar", berkata Mahesa
Amping memberikan beberapa usulan.
"Aku setuju, kita telah memenangkan awal
pertempuran", berkata Raden Wijaya menyetujui usulan
dari Mahesa Amping. "Aku juga punya usul", berkata Lawe
"Apa usulmu?", bertanya Sembaga kepada Lawe
yang Nampak begitu serius.
"Usulku bagaimana kalau kita memasak air dulu, aku
yakin dengan segelas wedang jahe hangat akan datang
ilham yang cemerlang", berkata Lawe dengan wajah
penuh senyum. "Usul yang hebat, biarlah biarlah aku yang melakukan
tugas itu", berkata Mahesa Amping menimpali canda
Lawe sambil berdiri dan masuk kedalam.
Tidak lama kemudian, Mahesa Amping sudah datang
membawa sebuah kendi besar berisi wedang jahe
hangat yang baunya sudah tercium menyegarkan.
Mahesa Amping masuk kembali kedalam gubuknya dan
kembali dengan membawa beberapa tangkai jagung
manis yang terlihat masih panas karena baru saja
diangkat dari perapian. "Tadi siang ada yang menukar sebuah cangkul
dengan jagung manis", berkata Mahesa Amping sambil
meletakkan bakul berisi jagung manis yang masih panas.
"Serbuuuu !!!", berkata Lawe yang
menyambar jagung manis didepan matanya.
langsung 768 Semua yang ada tersenyum melihat kelakuan Lawe
yang tidak pernah berubah, selalu mengundang banyak
tawa diantara mereka. Sementara itu di kejauhan terdengar suara
kentongan bambu dipukul dengan nada dara muluk
berasal dari sebuah gardu di Padukuhan terdekat. Hari
memang sudah masuk di pertengahan malam.
"Kami pamit untuk kembali ke pasukan", berkata
Raden Wijaya menyampaikan keinginannya untuk
kembali kepasukannya. "Selamat beristirahat", berkata Mahesa Amping
melepas kepergian Raden Wijaya dan Lawe yang akan
kembali bersama pasukannya.
Raden Wijaya dan Lawe terlihat berjalan kearah


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagaimana mereka muncul. Dan mereka sudah
menghilang ditelan kegelapan malam. Sementara itu
Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan tengah
membersihkan bale tempat mereka duduk. Dibale itulah
mereka merebahkan dirinya, menghabiskan sisa malam
yang dingin. "Beristirahatlah, biarlah aku yang berjaga", berkata
Mahesa Amping kepada Wantilan dan Sembaga
"Bangunkan aku bila kantukmu sudah tidak dapat
tertahan lagi", berkata Sembaga sambil menyarungkan
sekujur tubuhnya dengan kain panjang.
Tidak lama kemudian Sembaga dan Wantilan sudah
terlihat nyenyak tertidur. Sementara itu Mahesa Amping
terlihat menyandarkan dirinya didinding pagar gubuknya.
Matanya terlihat terpejam, namun kewaspadaannya
masih tetap terjaga. Tidak satupun bunyi yang terlepas
dari pendengarannya. 769 Namun malam yang tersisa itu berlalu sebagaimana
adanya, tidak ada apapun yang terjadi dimalam itu.
Dan akhirnya sang pagi telah datang.
"Kenapa kamu tidak membangunkan aku?", berkata
Sembaga kepada Mahesa Amping yang terbangun dan
melihat hari sudah menjadi terang tanah.
"Aku melihat paman tidur begitu pulas nyenyaknya",
berkata Mahesa Amping penuh senyum.
Pagi itu Kademangan Padang Bulan disiram gerimis
kecil panjang, membuat orang-orang menjadi malas
keluar rumahnya. Mahesa Amping, Sembaga dan
Wantilan terlihat masih duduk-duduk dibale bambu
sepertinya masih malas untuk menggelar barang
dagangannya, mungkin karena hari itu bukan hari
pasaran. Ketika gerimis sudah berhenti, baru terlihat mereka
menggelar barang dagangannya. Tidak seperti hari-hari
lalu, Sembaga hari ini tidak membelah kayu dan
membuat perapian. Sementara itu Wantilan terlihat
tengah menghaluskan beberapa barang yang kemarin
belum sempat dihaluskan. Namun sebentar saja
pekerjaan itu sudah diselesaikan oleh Wantilan.
"Hari ini kita harus beristirahat yang cukup", berkata
Sembaga sambil duduk di Bale dan menyandarkan
badannya dipagar rumah. "Rebusan jagung manis", berkata Mahesa Amping
keluar sambil membawa beberapa potong jagung manis.
Hari itu tidak banyak yang dilakukan oleh Mahesa
Amping, Sembaga dan Wantilan. Seharian mereka hanya
bercakap-cakap diatas Bale.
"Tugas kita sebagai pandai besi sudah mendekati
770 masa paripurna", berkata Mahesa Amping
"Kasihan Wantilan. beberapa pelanggan kita", berkata "Kita dapat meminta juragan Kimung untuk mencari
kerabatnya yang mau melanjutkan usaha kita ini",
berkata Sembaga. "Benar, kita dapat mendidik beberapa orang di
Padepokan Bajra Seta", berkata Wantilan.
"Setelah urusan kita selesai, kita bisa membicarakannya bersama juragan Kimung", berkata
Mahesa Amping. Sementara itu hari terus bergulir, matahari perlahan
merayap mendaki dan menuruni lengkung langit hingga
akhirnya menggelantung diujung barat cakrawala. Langit
tua sudah berwarna awan senja kelabu.
Beberapa burung manyar berkepala kuning yang
seharian ramai diatas dahan pohon ambon yang rindang
sudah tidak terdengar lagi suaranya, mungkin sudah
kembali kesarangnya yang hangat.
Sementara itu di hutan sebalah timur Kademangan
Padang Bulan, beberapa prajurit Singasari terlihat tengah
mempersiapkan dirinya. Tenaga mereka sepertinya telah
pulih kembali setelah seharian cukup beristirahat.
"Kita menunggu Mahesa Amping yang akan menjadi
pemandu kita menuju hutan gunung jati", berkata Raden
Wijaya kepada beberapa prajurit.
Ternyata orang yang ditunggu akhirnya datang juga,
terlihat Mahesa Amping telah datang seorang diri.
"Paman Wantilan dan Paman Sembaga telah
berangkat lebih dulu mendahului kita ke hutan gunung
771 jati", berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.
Langit diatas tanah datar di hutan gunung jati saat itu
sudah masuk malam. Dari jauh hanya terlihat kerlapkerlip cahaya berasal dari oncor minyak jarak yang
digantung didepan gubuk-gubuk para gerombolan
Mahesa Rangga. Beberapa orang terlihat masih
berkerumun, sementara beberapa orang lagi sudah mulai
beranjak naik ketempat tidur.
Dulu sebelum para gerombolan Mahesa Rangga
menghuni hutan gunung jati, hutan ini sangat angker
dimalam hari, para pemburu tidak ada yang berani
bermalam di hutan ini, beberapa orang pernah bertemu
dengan makhluk hantu genduruwo, sejenis hantu
bermata satu sangat menyeramkan dan suka sekali
menghisap darah manusia. Namun manakala para gerombolan Mahesa Rangga
menghuni hutan gunung jati, hutan ini berubah lebih
menakutkan lagi, para penduduk tidak takut lagi pada
genduruwo, tapi takut kepada penghuninya para
gerombolan Mahesa Rangga yang umumnya sangat
galak dan kasar. Ada beberapa penduduk yang tidak
pernah kembali lagi kerumah setelah memasuki hutan
gunung jati, berdasarkan cerita salah seorang penduduk
yang berhasil meloloskan diri, orang-orang yang tersasar
memasuki hutan gunung jati telah ditangkap, disiksa dan
harus bersedia melayani sebagai budak. Dan yang
sangat dibenci oleh para penduduk sekitar hutan gunung
jati adalah bahwa para gerombolan sering turun gunung
di malam hari mencari para wanita muda.
Malam itu para penduduk boleh bernafas lega, sebab
mulai malam itu Mahesa Rangga melarang anak
buahnya turun gunung di malam hari, mereka harus
beristirahat karena disiang harinya harus melakukan
772 beberapa latihan dibawah bimbingan langsung dari
Mahesa Rangga. Demikianlah, ketika malam mulai merayap, beberapa
orang yang masih berkerumun satu persatu bergeser
masuk kepembaringannya. Akhirnya ketika dipertengahan malam, suasana di sekitar gubuk-gubuk
itu sudah begitu sepi, semua penghuninya sudah tertidur.
Hanya beberapa peronda yang bertugas di malam itu
sekali-kali berkeliling untuk memastikan tidak ada
sesuatu yang mungkin membahayakan.
Suasana tanah datar tempat para gerombolan
Mahesa Rangga yang tenang dan sepi itu tiba-tiba saja
berubah seratus delapan puluh derajat, dimulai dengan
sebuah panah api sanderan terlihat membumbung tinggi.
Itulah sebuah tanda pasukan panah api dari para prajurit
Singasari yang sudah lama mengepung hunian itu
beraksi. Dari tangan mereka meluncur anak panah berapi
menghujani gubuk-gubuk yang beratap daun alang-alang
yang mudah terbakar. Paniklah bukan main para penghuni gubuk-gubuk itu
yang berlari keluar menyelamatkan diri dari kobaran api
yang dalam sekejap sudah menjalar memakan tiang dan
dinding pagar gubuk-gubuk itu.
Beberapa orang tidak sempat membawa senjata
apapun, namun sebagian lagi adalah orang-orang yang
mempunyai kesiagaan yang kuat, mereka sudah
menyadari ada musuh yang akan menyergap mereka.
Para prajurit Singasari tidak menyia-nyiakan keadaan
lawan mereka yang tengah panik, dari kegelapan malam
bermunculan langsung menyerang para gerombolan
Mahesa Rangga. Akibatnya memang sudah dapat ditebak, beberapa
773 orang yang tidak sempat membawa senjatanya langsung
menjadi bulan-bulanan para prajurit Singasari. Dan
dalam waktu singkat sudah dapat dilumpuhkan.
Sementara itu beberapa orang yang sudah siap
membawa senjatanya terlihat dapat bertahan mengimbangi serangan para prajurit yang datang
menyerang. Belum sempat para prajurit Singasari menguasai
para gerombolan yang panic dan terjepit. Tiba-tiba saja
dari rumah jati meluncur sesosok tubuh yang langsung
menerjang beberapa prajurit yang ditemuinya. Terlihat di
tangannya sebuah cambuk pendek berputar kesana
kemari, siapapun yang dekat dengannya terlempar dan
terluka oleh sabetan cambuknya.
"Aku lawanmu", berkata Mahesa Amping kepada
orang itu yang ternyata adalah Mahesa Rangga sang
ketua. "Bukankah kamu si pandai besi itu?", berkata Mahesa
Rangga berdiri menghadap Mahesa Amping.
"Mulai hari ini aku sudah pensiun", berkata mahesa
Amping sambil tersenyum. "Sebentar lagi kamu akan pensiun hidup", berkata
Mahesa Rangga sambil memegang ujung cambuknya.
"Empu Nada berpesan untuk berhati-hati menghadapi
senjata cambukmu", berkata Mahesa Amping.
"Sudah kuduga, pasti ulah orang tua itu yang
membawa pasukan Singasari datang ke hutan ini",
berkata Mahesa Rangga penuh kemarahan yang terlihat
dari kilatan matanya. "Empu Nada sudah berbuat sesuai kata hatinya",
berkata Mahesa Amping. 774 "Kata hati seorang yang menerima keadaan, kata hati
seorang yang tidak punya cita-cita dan keinginan",
berkata Mahesa Rangga. "Keinginanmu terlewat tinggi", berkata mahesa
Amping mencoba memancing kemarahan dari Mahesa
Rangga. Ternyata pancingan Mahesa
sasaran. Amping mengenai "Kamulah tumbal pertama cita-citaku", berkata
Mahesa Rangga sambil melepaskan gerakan sendal
pancing menyerang dengan cambuknya kearah Mahesa
Amping. Tar !!!, terdengar suara cambuk mengenai tempat
kosong karena Mahesa Amping telah berhasil bergeser
kebelakang, namun masih merasakan getaran kekuatan
tenaga cambuk sebagai tanda pemilik cambuk
mempunyai tenaga cadangan yang kuat.
Ternyata cambuk itu seperti bermata, kemanapun
Mahesa Amping berhindar cambuk itu terus mengejarnya. Mahesa Amping sepertinya telah menjadi
bulan-bulanan orang bercambuk itu.
Sementara itu para prajurit Singasari masih terus
mendesak para gerombolan yang berkelahi dengan cara
yang kasar, baik dengan gerakan maupun dengan
ucapannya. Trang !!!, dua buah pedang beradu dengan kerasnya.
Salah satunya terlihat pupus putung. Itulah pedang
buatan usulan Mahesa Amping yang rapuh.
Trang !!!! Trang !!! 775 Trang !!! Beberapa senjata telah beradu dengan kerasnya, dan
hasilnya adalah sebuah sumpah serapah dari beberapa
orang anak buah Mahesa Rangga yang kecewa dengan
senjata barunya. "Senjata jelek", berkata orang itu sambil melempar
golok besarnya yang sudah putung.
"Menyerahlah!!", berkata seorang prajurit Singasari
menggertak lawannya yang sudah tidak bersenjata.
Diwaktu yang sama, Mahesa Amping dan Mahesa
Rangga terlihat bertempur semakin seru. Mahesa
Amping telah merubah siasat berkelahinya, tidak lagi
terus menghindar, tapi sekali-kali berbalik menyerang
masuk kepertahanan lawannya yang bercambuk.
Bukan main kagetnya orang bercambuk itu
mendapatkan serangan balik dari Mahesa Amping yang
begitu cepat serta tidak dapat diduga. Terlihat orang itu
telah bergeser

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa langkah kesamping menghindari serangan belati pendek Mahesa Amping
yang terus mengejarnya. Namun Mahesa Rangga adalah orang yang telah
digembleng langsung oleh Empu Nada telah sampai
pada tataran tingkat tinggi. Maka sambil bergeser
menjauh, kembali menyerang dengan cambuknya kali ini
menyerang melingkar. Demikianlah pertempuran antara dua Mahesa ini
telah menjadi semakin seru dan menegangkan.
Pertempuran semakin cepat dan kuat, masing-masing
telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Masingmasing telah meningkatkan tataran ilmunya selapis demi
selapis. 776 Sementara itu para prajurit Singasari yang dipimpin
oleh Raden Wijaya dan Lawe serta dibantu oleh dua
orang cantrik utama Padepokan Bajra Seta yaitu
Sembaga dan Wantilan telah hamper dapat menguasai
lawannya. Trang !! Trang !! Dua buah senjata pedang kembali terlihat putus
putung. Dan dua buah sumpah serapah kembali
terdengar. "Senjata setan !!", dua orang anak buah Mahesa
Rangga melontarkan kamus sumpah serapahnya.
"Menyerahlah !!", berkata Lawe kepada seorang
lawannya yang hanya memegang sebuah senjata yang
sudah putung setengahnya.
"Setengah pedangku ini masih lebih panjang dari
belatimu", berkata orang itu sambil melakukan serangan
dengan langsung membabat leher kepala Lawe.
Lawe bukan lagi anak muda biasa, ketrampilan
kanuragan serta telah dapat melambari tenaga
cadangan. Maka sambil merendahkan tubuhnya,
membiarkan pedang putung itu lewat diatas kepalanya,
dibenturkannya senjata putung itu dengan belatinya.
Trang !!! Kali ini pedang putung kembali hampir mendekati
gagang pedang. "Apakah kamu masih belum juga menyerah?",
bertanya Lawe sambil menggoyang-goyangkan belatinya
ingin menunjukkan bahwa senjatanya sekarang sudah
jauh lebih panjang dari pada pedang lawan yang sudah
777 putung tinggal gagangnya saja yang masih dipegangnya.
"Pedang murahan!!", berkata orang itu
melempar gagang pedang itu ke wajah Lawe.
sambil Untungnya Lawe telah selalu waspada, hanya
dengan memiringkan kepalanya, nyaris gagang pedang
itu lolos lewat beberapa centi dari wajahnya.
Plok !! Plokk !! Tangan Lawe yang sudah tidak sabaran telah dua
kali menampar bolak-balik kanan dan kiri wajah
lawannya. Tamparan itu ternyata sangat begitu kuat dan
keras. Langsung lawan Lawe roboh dengan kepala
terasa berkunang kunang jatuh rebah ketanah, mungkin
telah pingsan. Sementara itu Mahesa Amping dan Mahesa Rangga
masih bertempur dengan serunya, dua buah senjata
yang mereka miliki memang mempunyai perbedaan yang
mencolok, sebuah cambuk harus dimainkan dengan
jarak yang cukup, sementara belati pendek harus
menyerang pada sisi yang dekat. Demikianlah, Mahesa
Rangga berusaha mencari jarak agar serangannya dapat
mendapatkan sasaran, sementara itu Mahesa Amping
berusaha mendekati lawan agar belati pendeknya dapat
mencari sasaran dengan mudah.
Demikianlah mereka telah meningkatkan tataran
ilmunya lebih tinggi lagi, bergerak lebih cepat lagi. Dan
pertempuran kedua orang berilmu ini sudah tidak mudah
disimak lagi, mereka seperti tidak pernah menginjak bumi
lagi, terbang dan melenting, melesat dan melejit saling
menyerang lawannya. Begitu cepatnya hingga hanya
terlihat bayang-bayang yang tersamar.
Lecutan cambuk Mahesa Rangga sudah tidak
778 terdengar lagi, tapi justru getarannya semakin terasa
merangsek menyesakkan dada. Mahesa Amping
menyadari hal itu, diam-diam telah melambari kekuatan
kekebalan tubuhnya. "Gila anak muda ini", berkata dalam hati mahesa
Rangga yang melihat Mahesa Amping tidak berpengaruh
sama sekali dengan lecutan-lecutan cambuknya yang
telah dikerahkan dengan kekuatan ilmu puncaknya.
Beberapa lawan tandingnya selama ini sudah
langsung rontok isi dadanya hanya dengan menghentakkan cambuknya, sementara itu dilihatnya
Mahesa Amping sepertinya tidak berpengaruh apapun,
bahkan dengan cepat dan tak terduga telah merangsek
mendekatinya dengan serangan belatinya yang tidak
kalah berbahayanya. Tiba-tiba saja Mahesa Rangga melompat menghindar
jauh. "Senjata ini tidak dapat berbuat banyak", berkata
Mahesa Rangga sambil mengikat tali cambuk melilit
dipinggangnya. "Agar seimbang, aku juga tidak memerlukan
senjataku", berkata Mahesa Amping sambil menyimpan
kembali belati pendeknya diselipkan di balik kainnya.
"Aku ingin mengukur sejauh mana kekuatanmu anak
muda", berkata Mahesa Rangga yang sudah menerjang
Mahesa Amping dengan sebuah tendangan yang
meluncur. Mahesa Amping menyadari bahwa di ujung serangan
itu ada angin yang mendesis begitu panas. Ternyata
Mahesa Rangga telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya, menyerang dengan pukulan angin
779 panas. Untungnya Mahesa Amping telah memiliki kekuatan
tersembunyi yang selalu melindungi segala bahaya yang
akan mengancam, kekuatan tersembunyi itu keluar
dengan sendirinya melindungi dengan kekuatan
berlawanan. Hawa panas itu dengan seketika dapat
diredam dengan hawa dingin yang keluar dengan
sendirinya. Dan Mahesa Amping telah mampu
mengendalikannya dengan kekuatan berlipat.
"Kurang ajar", teriak Mahesa Rangga yang berusaha
menarik kembali luncuran tendangan kakinya melompat
menjauh, ternyata Mahesa Rangga telah merasakan
hawa dingin yang kuat sepertinya menusuk kakinya.
"Jangan berbangga hati", berkata Mahesa Rangga
sambil meningkatkan tataran ilmunya lebih tinggi lagi
langsung menyerang Mahesa Amping dengan sebuah
pukulan yang mengeluarkan angin panas. Sekali lagi
Mahesa Amping dapat meredamnya sambil menghindar
dan berbalik menyerangnya.
Demikianlah pertempuran menjadi semakin seru jauh
lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya ketika mereka
masing-masing menggunakan senjata andalannya.
Sementara itu pertempuran antara prajurit Singasari
dan para gerombolan Mahesa Rangga sepertinya sudah
dapat ditentukan, siapa yang telah dapat menguasai
medan. Terlihat gerombolan Mahesa Rangga semakin
susut berkurang satu persatu, tinggal beberapa orang
saja yang masih tetap bertahan.
Terlihat Raden Wijaya, Lawe, Sembaga dan Wantilan
telah menyebar membantu para prajurit Singasari.
Mereka nampaknya menjadi penentu dalam setiap
kelompoknya. Pertempuran menjadi semakin tidak
780 berimbang. Satu Mahesa Rangga tertawan. persatu orang-orang gerombolan
berguguran tewas, terluka atau
Kembali kepertempuran antara Mahesa Amping dan
Mahesa Rangga yang sudah memasuki tataran ilmu
puncak mereka. Namun Mahesa Amping adalah seorang
ahli bahkan dapat dikatakan sebagai Seorang empu
untuk bidang kanuragan, sebagai seorang ahli biasanya
dengan cepat dapat menghapal dan merekam gerakan
lawan, dan Mahesa Amping mengetahui dari setiap
langkahnya bahwa Mahesa Rangga diam-diam telah
merekam setiap gerakan Mahesa Amping.
Dan ternyata permainan Mahesa Amping sudah
tinggal menuai hasilnya, karena selama pertempuran itu
Mahesa Amping telah merubah beberapa unsur untuk
mengelabui lawannya. Maka dalam sebuah gebrakan, Mahesa Rangga telah
berhasil ditipu oleh Mahesa Amping, sebuah pukulan
kedepan yang seharusnya disusul dengan tendangan
melingkar, maka ketika Mahesa Rangga tengah
menunggu tendangan melingkar ternyata tidak kunjung
datang, yang ada adalah sebuah pukulan kedepan yang
dilanjutkan dengan bacokan tangan terbuka ke arah
leher. Bukkk!!! Sebuah bacokan tangan terbuka mengenai batang
leher Mahesa Rangga, sebuah pukulan yang dilambari
tenaga hawa inti es yang langsung seketika telah
membekukan urat leher Mahesa Rangga.
Seketika itu juga Mahesa Rangga merasakan
kegelapan, tubuhnya terlihat agak sempoyongan. Tapi
kesempatan itu tidak dipergunakan oleh Mahesa Amping,
781 terlihat Mahesa Amping hanya berdiam diri menunggu
Mahesa Rangga siap kembali.
"Apakah sudah siap untuk melanjutkan ?", berkata
Mahesa Amping kepada Mahesa Rangga yang dilihatnya
sudah dapat berdiri tegak kembali.
"Kesombonganmu akan menjadi penyesalan seumur
hidupmu", berkata Mahesa Rangga yang bukannya
mengucapkan terima kasih bahkan sebaliknya perlakuan
Mahesa Amping disikapi sebagai sebuah kesombongan.
Ternyata Mahesa Rangga masih punya ilmu
simpanan, seketika sebuah kabut tebal menyelimuti
seluruh tubuhnya dan melebar menutupi seluruh area
tanah datar. Siapapun tidak dapat lagi melihat keadaan
sekitarnya. Tapi kali ini Mahesa Rangga salah perhitungan,
dianggapnya pemuda yang menjadi lawannya tidak
dapat berbuat apa-apa. Mahesa Rangga salah duga, pemuda yang menjadi
lawannya ternyata sudah mempunyai ilmu yang
mumpuni, ketajaman matanya dapat melihat sampai
ketempat yang jauh, dan ketajaman matanya mampu
juga melihat semut hitam diatas batu hitam disaat malam
hari yang gelap. Ketajaman mata Mahesa Amping mampu melihat
kedua tangan Mahesa Rangga tengah memegang
masing-masing sebuah paser yang siap dilemparkan
kearah Mahesa Amping. Mahesa Rangga tidak menyangka sama sekali, tibatiba saja dirasakan pada tangan kanannya rasa sakit
yang sangat seperti terbakar, seketika itu juga tangannya
terasa lumpuh, paser ditangannya sudah terjatuh.
782 Mahesa Rangga tidak menyangka sama sekali, tibatiba saja sebuah belati pendek telah menancap dilengan
kirinya, paser ditangan kirinya pun telah terjatuh.
Ternyata Mahesa Amping telah melakukan langkah
yang tepat, dari sinar matanya melesat sebuah cahaya
menyambar dan membakar lengan kanan Mahesa
Rangga, sementara sebuah belati yang disimpannya di
balik kainnya dengan cepat telah meluncur tepat di
pergelangan lengan kiri Mahesa Rangga.
Kabut disekitar arena pertempuran sudah semakin
pudar menipis kemudian akhirnya telah hilang sama
sekali, karena sumber kabut itu sendiri sudah terluka di
kedua pergelangan tangannya.
Terlihat Mahesa Rangga tengah berdiri tegak,
sementar kedua tangannya terlihat layu kaku tidak
mampu digerakkan. "Apakah pertempuran ini masih harus dilanjutkan",
berkata Mahesa Amping. "Terima kasih, kamu telah memberi kesempatan
hidup untukku", berkata Mahesa Rangga dengan bulu
kuduk meremang, membayangkan sebuah sinar panas
atau sebuah belati tertuju pada jantungnya, mungkin ia
tidak akan sempat lagi mengucapkan sebuah kata-kata
apapun, juga pernyataan terima kasihnya.
"Apakah paman sudah Mahesa Amping menegaskan.
menyerah?", bertanya "Aku menyerah kalah", berkata Mahesa Rangga
terunduk lesu tidak dapat berbuat apapun, terutama
mengangkat belati yang telah menancap sampai tembus


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujungnya kebelakang, darah segar menetes dari luka itu.
"Aku akan merawat luka paman", berkata Mahesa
783 Amping mendekati Mahesa Rangga. Dan dengan sigap
mencabut belati dari tangan Mahesa Rangga. Dengan
sigap pula Mahesa Amping menutup kedua luka atas dan
bawah di lengan kiri Mahesa Rangga dengan sebuah
ramuan yang selalu dibawanya. Dan ternyata ramuan
obat Mahesa Amping yang berupa bubuk itu telah
memampatkan darah yang mengalir. Mahesa Amping
merobek sebagian kainnya dan membalut luka
dipergelangan tangan kiri Mahesa Rangga.
"Terima kasih, ternyata kamu bukan seorang yang
sombong, hati kamu begitu bersih anak muda", berkata
Mahesa Rangga yang merasa terharu atas sikap Mahesa
Amping yang tidak menampakkan sama sekali sikap
permusuhan. Mahesa Rangga sepertinya melihat
kedalam dirinya, melihat jauh ke rongga hatinya yang
begitu keruh, sikap diri yang begitu angkuh,
merendahkan orang-orang lemah, dan merasa dapat
berbuat apapun dengan ketinggian ilmunya.
"Maafkan aku, kedua tangan paman mungkin akan
lumpuh seumur hidup", berkata Mahesa Amping.
"Kelumpuhan kedua tangan ini tidak berarti
dibandingkan kelumpuhan mata hatiku selama ini",
berkata Mahesa Rangga dengan mata bersinar telah
menemukan sesuatu yang selama ini tidak ditemuinya.
"kelumpuhan kedua tangan ini telah meruntuhkan
kesombonganku, telah membunuh keangkuhanku
selama ini, dan hari ini aku mendapatkan penguasa yang
sebenarnya, penguasa atas jiwa ini yang sebenarnya",
berkata Mahesa Rangga dengan wajah begitu pasrah.
"Paman telah tersasar di rimba Tattwa, hari ini paman
telah ditunjukkan jalan sebenarnya, jalan menuju mata
Siwa", berkata Mahesa Amping sepertinya dapat
membaca dan mersakan apa yang dirasakan oleh
784 Mahesa Rangga. "Kamu telah menemukan jalan-Nya anakku", berkata
tiba-tiba seorang tua yang entah dari mana datangnya
sudah ada didekat mereka.
"Maafkan atas apa yang telah aku lakukan selama ini
wahai guruku", berkata Mahesa Rangga kepada orang
tua itu yang tidak lain ternyata adalah Empu Nada.
Sementara itu langit diatas tanah datar hutan gunung
jati sudah terang, sang pagi rupanya sudah datang
bersama sang mentari menyibak cahayanya menembus
dari sela-sela dahan dan daun pepohonan yang pepat di
hutan itu. Terlihat api yang membakar gubuk-gubuk para
gerombolan Mahesa Rangga sudah padam, yang
tertinggal adalah abu dan sisa puing-puing kayu yang
gosong terbakar. Pagi itu beberapa prajurit Singasari sangat sibuk
berat, terlihat beberapa prajurit tengah memisahkan
mayat-mayat yang terbunuh, mengobati para korban
yang terluka parah yang mungkin masih dapat
diselamatkan, diantara mereka adalah kawan mereka
sendiri. Namun para prajurit tidak pernah membedakan
lawan dan kawan, semua dirawat sebatas yang dapat
mereka lakukan, meskipun adalah lawan mereka sendiri.
Beberapa orang yang tersisa, yang luka ringan dan
yang tidak terluka dari para gerombolan itu telah
dipisahkan. Untuk menjaga keamanan dengan terpaksa
kaki dan tangan mereka telah diikat dengan erat.
"Kita akan membawa mereka ke Kotaraja, biarlah
pihak istana yang menetukan hukuman apa yang pantas
untuk mereka", berkata Raden Wijaya dari sebuah sudut
pepohonan yang rindang kepada Mahesa Amping yang
ada didekatnya melepas kelelahan mereka setelah
785 bertempur sepanjang malam.
"Mungkin besok kita baru dapat berangkat, ada
beberapa orang yang masih memerlukan perawatan",
berkata Mahesa Amping. "Kamu benar, sekalian memulihkan tenaga kita",
berkata raden Wijaya menerima usulan dari Mahesa
Amping agar mereka berangkat besok pagi.
Demikianlah, hari itu terlihat mereka beristirahat di
atas tanah datar hutan Gunung Jati untuk memberi
kesempata mereka yang terluka dapat beristirahat.Baru
keesokan harinya disaat hari menjelang pagi mereka
semua telah keluar dari hutan Gunung Jati.
Iring-iringan itu sudah jauh meninggalkan Kademangan Padang Bulan. Dan perjalanan mereka itu
begitu lambat karena harus membawa beberapa
tawanan yang terluka tidak dapat berjalan harus dibawa
dengan sebuah tandu. Setelah melakukan perjalanan panjang, bermalam di
beberapa tempat, akhirnya di sore hari yang masih
terang bumi mereka telah memasuki pintu gerbang
Kotaraja. Karena pasukan Raden Wijaya tidak mendapat tugas
langsung dari Sri Baginda Maharaja Singasari, maka
pasukan itu tidak perlu lagi menunggu sebuah upacara
penyambutan. Mereka langsung diperintahkan beristirahat di beberapa tempat yang telah disiapkan.
Sementara itu para tawanan telah dibawa ke tempat
khusus dan dijaga langsung oleh para prajurit khusus
agar mereka dapat diawasi dan tidak melarikan diri.
"Kamu datang seperti layaknya seorang panglima
perang", berkata Ratu Anggabhaya menerima 786 kedatangan Raden Wijaya yang datang bersama Lawe,
Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Kami telah menyampaikan kepada pejabat istana
bahwa besok akan datang menghadap Sri Baginda
Raja", berkata Raden Wijaya kepada Ratu Anggabhaya.
"Aku akan mengantar kalian", berkata Ratu
Anggabhaya yang selama ini masih dibutuhkan oleh Sri
Baginda raja sebagai penasehat istana.
Sementara itu ketika sang malam mulai beranjak
diatas langit istana Singasari, seorang utusan raja telah
datang ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya menyampaikan pesan langsung dari Sribaginda
Maharaja bahwa besok pagi Raden Wijaya, Lawe dan
Mahesa Amping diundang langsung di puri pasanggrahan khusus Sri baginda Maharaja.
"Salam kepada Sri Baginda Maharaja, kami akan
datang besok pagi", berkata Raden Wijaya kepada
utusan itu. "Besok aku tidak jadi mengantar kalian", berkata Ratu
Anggabhaya ketika utusan itu telah pergi meninggalkan
mereka. Dan malam pun akhirnya telah berlalu melampaui
sisa batas waktu, beriring di belakangnya datang sang
pagi bersama mentari menerangi wajah bumi.
Wajah pagi di langit bumi istana Singasari hari itu
begitu cerahnya, suara burung manyar yang bersarang di
atas pohon randu di belakang pasanggrahan sudah
begitu ramainya menyambut mentari pagi.
"Sengaja aku mengundang kalian datang ke
tempatku di pagi hari, aku rindu sarapan pagi bersama
787 kalian ketika di Bandar Cangu", berkata Sri Baginda
Maharaja menyambut kedatangan Raden Wijaya, Lawe
dan Mahesa Amping di puri pasanggrahan khususnya.
"Kami merasa tersanjung dapat sarapan pagi
bersama Sri Baginda Maharaja", berkata Raden Wijaya
mewakili kawan-kawannya. Setelah menikmati beberapa hidangan sarapan pagi
yang nikmat di puri pasanggrahan khusus Raja, mereka
pun saling bercerita tentang keadaan masing-masing.
"Kalian telah menunjukkan kesetiaan yang tak
terhingga bagi keamanan Tanah Singasari", berkata Sri
Baginda Maharaja setelah mendengar laporan dari
Raden Wijaya tentang keberhasilan mereka menumpas
pemberontakan gerombolan Mahesa Rangga di hutan
Gunung Jati. "Andil Empu Nada sangat besar dalam keberhasilan
usaha kami ini", berkata Mahesa Amping.
"Empu Nada?", bertanya Sri Baginda Maharaja.
Mahesa Amping langsung bercerita tentang Empu
Nada yang datang ke Padepokan Bajra Seta
menyampaikan berita tentang sebuah usaha pemberontakan Mahesa Rangga yang juga murid
tunggalnya itu. "Empu Nada yang menunjukkan dimana gerombolan
Mahesa Rangga mempersiapkan gerakannya", berkata
Mahesa Amping meengakhiri ceritanya.
"Aku sepertinya pernah mengenal nama orang tua
itu", berkata Sri baginda Maharaja yang mengingat-ingat
nama Empu Nada sepertinya pernah ada dalam
ingatannya. "Empu Nada itu saudara kembar guru Sri Baginda
788 Maharaja, Empu Dangka", berkata Mahesa Amping
bercerita sedikit mengenai Empu Nada.
"Dapatkah kalian membawa orang
kepadaku?", berkata Sri Baginda Maharaja.
tua itu "Hamba akan membawa Empu Nada kehadapan
tuan Paduka", berkata Mahesa Amping yang kemudian
langsung keluar dari puri pasanggrahan raja bermaksud
untuk menemui Empu Nada. Empu Nada memang tidak ikut mereka ke dalam
istana, tapi masih bergabung dengan beberapa prajurit di
sebuah barak Kotaraja menunggu keputusan perintah
untuk kembali ke Bandar Cangu.
"Moga-moga aku tidak canggung menghadap Sri
Baginda Maharaja", berkata Empu Nada bercanda
kepada Mahesa Amping yang datang bersama seorang
pengawal istana. Demikianlah Empu Nada dan Mahesa Amping diiringi
seorang pengawal istana memasuki lorong-lorong jalan
di lingkungan istana menuju puri pasanggrahan khusus
raja. "Apakah aku bertemu dengan saudara kembar Empu
Dangka?", bertanya Sri Baginda Maharaja kepada Empu
Nada ketika mereka telah muncul di puri Pasanggrahan
khusus raja. "Sri Baginda Maharaja tidak salah lihat, nama hamba
Bratanadadewa, saudara kembar Empu Dangka",
berkata Empu Nada membenarkan perkataan Sri
Baginda Raja. "Maaf, aku baru tahu bila Empu Nada ada juga
bersama rombongan pasukan dari Bandar Cangu",
berkata Sri baginda Maharaja.
789 "Garis hidup telah membawa hamba disini", berkata
Empu Nada. Sri Baginda Maharaja bercerita sedikit tentang
pertemuan dirinya dengan Empu Dangka di hutan sungai
Porong. "Orang tua itu sepertinya sudah mengetahui bahwa
hari ini kita akan berjumpa, orang tua itu menitipkan
sebuah pesan untuk Empu Nada", berkata Sri Baginda
Maharaja. "Hamba tidak sabar mendengar pesan itu", berkata
Empu Nada. "Pesannya adalah bahwa orang tua itu telah
membenarkan bahwa Tatwa bukan lagi ibadah hati,
namun harus diejawantahkan diluar diri kepada seluruh
alam. Laku Siwa memancar keluar sebagai budi, kasat
mata dirasakan berwujud sebagai laku sang Budha yang
menenteramkan isi dunia", berkata Sri Baginda Maharaja
menyampaikan pesan gurunya Empu Dangka.
"Itulah perselisihan faham diantara kami, akhirnya
saudaraku memahami langkahku", berkata Empu Nada
sambil menatap jauh, mengenang kebersamaannya


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama saudaranya Empu Dangka.
"Tanah Singarari ini beruntung telah melahirkan
orang-orang seperti kalian di buminya. Kebahagiaanku
bila saja kalian berhasrat memenuhi permintaanku",
berkata Sri Baginda Maharaja kepada Empu Nada,
Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping.
"Hasrat gerangan apakah yang dapat kami penuhi",
bertanya Raden Wijaya mewakili.
Sri Baginda Maharaja menatap semua yang hadir
dengan sebuah senyuman penuh arti membuat setiap
790 hati menduga-duga disampaikan oleh nya. gerangan apa yang akan "Wahai Empu Nada saudara guruku, hari ini aku
melamarmu untuk kusandingkan sebagai gurusuci istana,
apakah diri empu Nada berkenan?", bertanya Sri
Baginda Maharaja kepada Empu Nada.
"Garis hidup telah membawaku di Istana ini, berbakti
sebagai gurusuci istana adalah sebuah darma, hamba
berkenan memenuhi hasrat paduka", berkata Empu Nada
menerima permintaan Sri baginda Maharaja.
"Wahai saudaraku putra Lembu Tal, dapatkah kamu
memenuhi hasratku menjaga bumi Singasari ini,
membawahi segenap satria di medan juang membela
tanah Singasari sebagai seorang Senapati panglima
perang Singasari", berkata Sri Baginda Maharaja kepada
Raden Wijaya. "Hasrat Paduka adalah hasrat siwabudha, memenuhi
hasrat paduka adalah darma, hamba berkenan
memenuhi panggilan bakti itu", berkata Raden Wijaya
berkenan menerima permintaan Sri Baginda Maharaja
Kertanegara. "Wahai sahabatku yang telah lama membela bumi
Singasari tanpa pamrih, maukah kalian menerima
hasratku untuk terus menjaga bumi Singasari, berbakti
dalam baju kebesaran, membawa umbul-umbul Singasari
di medan perang manapun, sebagai seorang Rangga
yang setia?", berkata Sri Baginda Maharaja Kertanegara
kepada Lawe dan Mahesa Amping.
"Titah paduka akan kami junjung sebagai pusaka",
berkata Mahesa Amping dan Lawe bersamaan.
"Aku akan memanggil Mahapatih untuk 791 melaksanakan upacara kebesaran sebagai hari
pelantikan kalian", berkata Sri Baginda Maharaja penuh
senyum kebahagiaan. Demikianlah, pada hari yang ditentukan upacara
besar pelantikan dilaksanakan dengan penuh kemeriahan. Inilah pertama kali Sri Maharaja
Kertanegara membuat kekancingan, mengukuhkan
pejabat utama istana. Seluruh raja yang ada di bawah kekuasaan Singasari
telah diundang untuk menghadiri upacara pelantikan itu.
Dan kotaraja seperti berhias dengan berbagai umbulumbul dan janur di sepanjang jalan.
Ketika Sang Mahapatih membacakan titah dan sabda
Sri Baginda Maharaja Kertanegara, gemuruh suara para
undangan dan seluruh warga. Puja-puji mereka
sampaikan atas pilihan Maharaja yang bijak atas para
putra terbaik Singasari. Dan hari pelantikan empat orang pilihan Maharaja itu
telah ditandai dengan turunnya hujan dari langit. Para
orang tua memastikan bahwa ini adalah sebagai tanda
para dewa merestui, Singasari akan mengalami masa
keemasan. "Hujan adalah lambang kesuburan, semoga ini
sebuah tanda kebaikan bagi Singasari", berkata seorang
Brahmana tua dibawah tarub yang datang sebagai
undangan menyaksikan pelantikan bersama guyuran
hujan yang sepertinya tercurah dari langit.
"Payung pananggungan tidak mampu menahan
hujan", berkata seorang tua renta yang berlindung di
bawah pohon beringin tua di tengah lapangan alun-alun
kotaraja. 792 Untungnya hujan turun tidak berlarut sampai senja.
Malam perjamuan menjadi begitu hangat, semua
menikmati kegembiraan itu.
Dan malam pun akhirnya berlalu meninggalkan bumi,
menyerahkan tahta sang waktu kepada sang pagi yang
datang bersama sang surya menerangi seluruh dataran
bumi dengan cahayanya yang hangat.
Sementara itu, umbul-umbul dan janur masih
menghiasi kotaraja, sebuah iring-iringan pasukan terlihat
melintas di jalan menuju gerbang kotaraja. Mereka
adalah pasukan yang ada dibawah pimpinan Senapati
dan dua orang rangga muda yang baru kemarin dilantik.
Mereka tengah kembali ke tempatnya, ke Bandar Cangu.
"Menguasai tanah Bali, itulah tugas pertama kita",
berkata Raden Wijaya kepada Lawe dan Mahesa
Amping. "Di Tanah Madhura ada Ki Banyak Wedi, di tanah
Pasundan ada Gurusuci Darmasiksa,dan di Tanah
Melayu kita sudah mengikatnya dengan perkawinan,
hanya Bali yang belum kita ikat dengan apapun", berkata
Mahesa Amping menyampaikan pandangannya.
"Di Bandar Cangu kita dapat meminta pertimbangan
Paman Kebo Arema dan Kakang Mahesa Pukat", berkata
Mahesa Amping. "Benar, mereka adalah ahli siasat yang mumpuni",
berkata Lawe ikut mengambil pembicaraan.
Sementara itu ketika mereka menemui sebuah
pertigaan, Wantilan dan Sembaga tidak dapat menyertai
karena harus kembali ke Padepokan Bajra Seta.
"Salam untuk kakang Mahesa Murti dan seluruh
warga Padepokan", berkata Mahesa Amping melepas
793 kepergian mereka kembali Ke Padepokan Bajra Seta.
"Kami akan merindukan kalian", berkata Sembaga
sambil melambaikan tangannya.
Kegamangan mengisi hati dan persaan Mahesa
Amping menatap Wantilan dan Sembaga telah semakin
menjauh dari pandangannya. Terlintas sebuah suasana
di Padepokan Bajra Seta yang gayem. Hati kecil Mahesa
Amping telah terbawa dalam kenangan dan kerinduannya pada Padepokan Bajra Seta nun jauh
disana. Tidak terasa langkah kuda telah membawanya
semakin ke utara, membawanya mengikuti benangbenang merah garis kehidupan.
Dan ketika senja turun membayangi wajah bumi,
iring-iringan itu telah kembali di kesatuannya di Bandar
Cangu. "Selamat datang wahai para perwira muda", berkata
Kebo Arema menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang wahai Senapati muda", berkata
Mahesa Pukat kepada Raden Wijaya.
"Selama tidak ada kalian, Senapati Mahesa Pukat
selalu datang menemaniku, atau sebaliknya aku yang
datang ke bentengnya", berkata Kebo Arema ketika
mereka sudah bersama di pendapa Balai Tamu.
Sementara itu sang malam sudah mulai turun
menutupi pandangan mata di atas langit Balai Tamu di
pinggir sungai Brantas itu. Angin malam bersemilir sejuk.
Malam itu kelihatannya hujan tidak akan turun, ada
banyak bintang bertaburan di langit malam.
"Sri Maharaja Kertanegara telah memberi tugas
kepada kami untuk menguasai Tanah Bali, kami ingin
794 masukan dari Paman berdua", berkata raden Wijaya
kepada Kebo Arema dan Mahesa Pukat.
"Aku dapat memahami pandangan Sri Maharaja
Kertanegara atas Tanah Bali", berkata Kebo Arema
sambil mengelus-elus janggutnya yang sudah terlihat dua
warna. "Sampai saat ini kita belum mengetahui kekuatan
Tanah Bali", berkata Mahesa Pukat menyampaikan
pandangannya. "Artinya kita harus mengetahui kekuatan dan
kelemahannya sebelum melakukan sebuah serangan",
berkata Raden Wijaya menangkap kata-kata Mahesa
Pukat. "Harus ada seseorang yang dapat dipercaya,
mengamati Tanah Bali dari dekat", berkata Mahesa
Pukat. Entah kenapa semua wajah tiba-tiba saja
berbarengan memandang kepada Mahesa Amping.
"Kenapa kalian semua memandangku?", bertanya
Mahesa Amping pura-pura keheranan.
"Artinya semua sepakat kamulah yang paling cocok
mengamati Tanah Bali dari dekat, melaksanakan tugas
telik sandi", berkata Raden Wijaya.
"Seorang Rangga harus patuh melaksanakan
perintah Senapatinya", berkata Mahesa Amping sambil
tersenyum. "Betul, betul, membenarkan. betul", berkata Rangga Lawe Dan ketika hari telah bergulir di pertengahan malam,
Mahesa Pukat pamit untuk kembali ke Bentengnya.
795 "Aku khawatir kalian tidak dapat beristirahat selama
masih ada aku", berkata Mahesa Pukat sambil berdiri.
"Sampai ketemu besok", berkata Mahesa Pukat ketika
menuruni tangga pendapa Balai tamu.
"Aku lupa kalian baru pulang dari perjalanan panjang,
beristirahatlah", berkata Kebo Arema kepada Mahesa
Amping, Lawe dan Raden Wijaya.
Akhirnya mereka satu persatu memang telah masuk
ke pembaringannya masing-masing, meregangkan otototot yang tegang berkuda seharian.
Seruling Sakti 13 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 8

Cari Blog Ini