Ceritasilat Novel Online

Sang Fajar Bersinar 14

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 14


membuka pembicaraan. Terlihat Ki Arya Sidi sepertinya memandang jauh
kedepan, menembus kegelapan halaman muka
Padepokan Panca Agni. "Istriku sudah lama meninggal",
berkata Ki Arya Sidi perlahan.
"Maafkan bila pertanyaanku membuat Ki Arya Sidi
berduka", berkata Mahesa Amping yang telah membuat
Ki Arya Sidi sepertinya tengah menahan sebuah
perasaannya yang begitu perih.
"Terlalu cepat Sang Hyiang Gusti mengambilnya",
berkata Ki Arya Sidi dengan suara tertahan.
"Cepat atau lambat kitapun pasti dipanggil-NYA juga",
berkata Mahesa Amping berusaha menghibur.
"Kamu benar, namun dalam kesendirian kadang aku
berharap ada sebuah keajaiban istriku datang hidup
kembali", berkata Ki Arya Sidi sepertinya hanya berkata
kepada dirinya sendiri. "Maafkan bila pertanyaanku telah membuka kembali
kepedihan dihati Ki Arya Sidi", berkata kembali Mahesa
Amping yang merasa bersalah membuka kembali
942 lembaran lama yang pastinya begitu menyedihkan.
"Jangan merasa bersalah, justru pertanyaanmu telah
menyalurkan perasaanku yang selama ini tidak pernah
kuungkapkan kepada siapapun", berkata Ki Arya Sidi
kepada Mahesa Amping agar tidak merasa bersalah
telah bertanya tentang masa lalunya.
"Aku dapat ikut merasakan betapa perihnya hati
ditinggal oleh seorang yang begitu dicintai", berkata
Mahesa Amping ikut merasa berduka atas apa yang
telah dialami oleh Ki Arya Sidi.
"Pada hari-hari pertama, dalam kesendirian aku
berharap bahwa apa yang tengah kualami ini adalah
sebuah mimpi, kuberharap segera bangun dari mimpi itu.
Namun aku tidak dapat keluar dari mimpi itu, karena
memang aku tidak tengah bermimpi", berkata Ki Arya
Sidi mengungkapkan perasaannya kepada Mahesa
Amping. Mahesa Amping tidak berkata apapun, hanya
merasakan kepedihan yang dialami oleh Ki Arya Sidi.
Suasana dipendapa itupun telah menjadi begitu
hening. Sementara itu malam telah menjadi begitu sepi,
meski terdengar suara lengking tenggorek yang tatag
mengisi kesunyian malam, justru suara itu telah
menambah kesenyian lebih menjadi sebuah kesenyapan.
"Berlatih dibawah langit malam kadang dapat
membawa kegembiraan hati", berkata Mahesa Amping
mengajak Ki Arya Sidi turun ke halaman Padepokan
Panca Agni untuk berlatih.
Dengan senang hati Ki Sidi mengikuti Mahesa
Amping yang telah mendahuluinya menuruni pendapa.
943 Langit malam saat itu memang telah memayungi
Padepokan Panca Agni dalam keremangannya.
"Bersiaplah menghadapi ilmu cambukku", berkata
Mahesa Amping yang telah melepas cambuknya.
"Ilmu perguruan Panca Agni telah disentuh oleh
seorang Empu", berkata Ki Arya Sidi yang telah
mempersiapkan dirinya. Maka terlihatlah dalam keremangan malam di
halaman muka Padepokan Panca Agni dua bayangan
saling menyerang. Kadang terlihat bayangan cambuk
yang datang terus mengejar, namun kadang pula terlihat
seperti ombak yang tak pernah surut sebuah serangan
datang dari bayangan lainnya.
Demikianlah Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi masih
terus berlatih, semakin lama semakin mengasikkan.
Mereka sepertinya telah menghapal apa yang akan
dilakukan oleh lawan berlatihnya dalam setiap gerakan,
menjadikan latihan mereka terlihat begitu hidup, saling
berganti menyerang. "Lihat cambukku", berkata Mahesa Amping sambil
memutar cambuknya dan dengan cepat mematuk kearah
dada Ki Arya Sidi "Aku siap menunggu", berkata Ki Arya Sidi sambil
bergeser kesamping dan dengan kecepatan yang luar
biasa telah masuk mendekati jarak lawan berlatihnya
meluncurkan serangan dengan sebuah kakinya yang
terangkat ke arah pinggang Mahesa Amping.
Demikianlah, Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi
sepertinya telah melupakan segalanya kecuali keasyikan
merancang dan merangkai serangan-demi serangan
sambil berusaha melepaskan diri dari setiap serangan
944 yang kadang datang mengepung bergulung gulung bagai
ombak yang tak pernah putus.
"Luar biasa !!!", berkata seseorang yang entah dari
mana telah berdiri diantara keduanya. Keremangan
malam menutupi wajahnya. Dengan serta merta Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi
menghentikan latihannya. "Mengapa kalian berhenti?", berkata kembali orang
itu yang ternyata adalah Empu Dangka.
"Kehadiran Empu Dangka menyadarkan bahwa
keringat kami sudah hampir habis", berkata Ki Arya Sidi
sambil mengusap keringat yang mengucur deras di
wajahnya. "hari sudah larut malam", berkata Mahesa Amping
sambil menatap lengkung langit yang buram memayungi
Padepokan Panca Agni. Hari memang telah di pertengahan malam, lengkung
langit malam yang gelap telah memayungi padepokan
Panca Agni. Kesenyapan malam berlalu kadang diiringi
angin dingin yang bertiup menusuk tubuh.
"Kulihat ilmu cambukmu sudah semakin meningkat",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping di
pendapa bersama Ki Arya Sidi.
"Kehadiran Empu Dangka kuharapkan dapat
memberikan penilaian dan pandangan", berkata Mahesa
Amping. "Aku telah membuat sebuah cambuk baru", berkata
Empu Dangka sambil melepaskan sebuah cambuk dari
pinggangnya. "Kupersembahkan cambuk ini kepadamu",
berkata kembali Empu Dangka sambil menyerahkan
cambuk barunya kepada Mahesa Amping
945 "Mudah-mudahan aku yang bodoh ini tidak
mengecewakan Empu Dangka", berkata Mahesa Amping
kepada Empu Dangka. "Mulai besok kita sudah dapat berlatih dengan
cambuk barumu", berkata Empu Dangka penuh senyum.
Sementara itu hari memang telah terus berlalu jauh
mendekati ujung malam. Dalam sebuah kesempatan
Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi juga membicarakan
tentang Guru Dewa Bakula dari Pura Indrakila.
"Purnama depan aku telah berjanji untuk datang ke
Pura Indrakila,", berkata Mahesa Amping.
"Sebuah beban tanggung jawab yang besar telah
menantimu anak muda", berkata Empu Dangka yang
merasa percaya bahwa Mahesa Amping pasti dapat
melaksanakannya dengan baik.
"Pandangan dan pemikiran dari Empu Dangka sangat
kuharapkan", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka. "Seluruh pangeran dari berbagai pura di Balidwipa
telah berada dalam satu garis perguruan", berkata Empu
Dangka memberikan pemikirannya.
"Satu garis perguruan orang bercambuk", berkata Ki
Arya Sidi ikut memberikan usulan.
"Hanya mereka yang tepilih, berjodoh dengan jurus
ilmu cambuk", berkata Mahesa Amping.
"Aku setuju, hanya mereka yang terpilih", berkata
Empu Dangka menambahkan dan menyetujui ucapan
Mahesa Amping. Demikianlah mereka bertiga terus berbincangbincang tentang pura Indrakila dimana purnama yang
946 akan datang mereka sudah harus berada disana.
"Mari kita beristirahat, masih ada sisa malam untuk
sekedar meluruskan badan", berkata Ki Arya Sidi yang
mengingatkan bahwa malam sudah hampir tersisa.
Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi
terlihat meninggalkan pendapa menuju biliknya masingmasing. Dan suasana pendapa yang baru saja
ditinggalkan penghuninya itu menjadi begitu sunyi
senyap. Pelita di pojok kanan pendapa terlihat
cahayanya telah redup menyentuh setiap sudut dinding
kayu, ditingkahi desir angin yang datang memaksa lidah
api pelita meliuk-liuk dalam tarian kesendiriannya, di
penghujung malam yang tersisa.
Pagi yang cerah menaungi bumi dalam setiap
lengkung kaki langit. Awan putih bersih berbias cahaya
hangat mentari menyapu butir-butir embun diujung setiap
tangkai daun menguap terbang menghilang..
Bumi pagi berselimut keceriaan manakala Empu
Dangka dan Mahesa Amping di padang ilalang di puncak
bukit Pejeng Gundul tengah berlatih ilmu cambuk.
Dua buah cambuk yang sama terlihat saling
menyerang seperti dua ekor ular sakti yang dapat
terbang saling bertempur diatas bumi. Daun ilalang
beterbangan manakala tersambar sabetan cambuk yang
mengayun melingkar. Tanah tempat mereka berpijak
terlihat sudah menjadi lingkaran rata tersapu bersih
tergilas langkah kaki mereka yang terus bergerak
menyerang atau menghindari setiap serangan lawan
berlatihnya. "Tahap pertama telah kamu kuasai , berkata Empu
Dangka sambil menarik cambuknya yang tengah
bergerak menerjang tubuh Mahesa Amping. "Saatnya
947 memahami setiap unsur gerakan", berkata kembali Empu
Dangka sambil menyampaikan kepada Mahesa Amping
pemahaman setiap unsur gerakan ilmu cambuknya.
"Cambuk adalah sebuah senjata yang sangat lembut,
namun dibalik kelembutan itulah letak kekuatannya",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Aku mulai jatuh cinta kepada senjata ini", berkata
Mahesa Amping sambil tersenyum memahami setiap
uraian yang disampaikan oleh Empu Dangka.
"Biarkan kekuatan tenaga murni yang ada didalam
tubuhmu mengalir mengisi setiap jengkal cambukmu",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang
tengah berlatih memindahkan kekuatan tenaga murninya
mengalir mengisi setiap jengkal cambuknya.
"Kekuatan tenaga murni melindungi cambuk dari
tajamnya pedang", berkata Mahesa Amping yang telah
mampu memindahkan kekuatan tenaga murninya
mengalir berpindah mengisi setiap jengkal cambuknya.
"Aku ingin melihat gerakan ilmu cambukmu yang
telah dimuati sumber kekuatan tenaga murni", berkata
Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Mudah-mudaham aku tidak mengecewakan Empu
Dangka", berkata Mahesa Amping yang tengah berdiri
sambil menguarai cambuknya.
Terlihat Mahesa Amping telah mulai bergerak, diawali
dengan gerakan perlahan namun Mahesa Amping sudah
mulai menyalurkan kekuata tenaga murninya.
Gerakan ilmu cambuk yang Mahesa Amping mainkan
terlihat semakin kencang dan keras. Ketika cambuk itu
berputar dengan cepat terdengar seperti suara gasing
bambu mengaum. 948 "Geledarrrrrrrr?". !!!!!!!"
Terdengar seperti suara petir manakala cambuk itu di
lepaskan dengan gerakan sandal pancing.
Terlihat Mahesa Amping tengah berdiri tegak sambil
tangan kirinya memegang ujung cambuknya.
"Dengan beberapa hari latihan lagi, aku yakin kamu
dapat menghentakkan cambukmu lebih sempurna",
berkata Empu Dangka yang merasa cukup puas melihat
apa yang dapat dilakukan oleh Mahesa Amping dalam
latihan awalnya. "Terima kasih, aku akan terus berlatih", berkata
Mahesa Amping. "Kurasa latihan hari ini sudah mencukupi, nanti
malam kita dapat berlatih kembali", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka
beriringan berjalan menuju Padepokan Panca Agni.
Sementara itu matahari diatas puncak bukit Pejeng
Gundul sudah berada diatas kepala.
Ketika mereka masuk ke Padepokan Panca Agni,
dipendapa sudah menunggu Ki Arya Sidi. "Ki Nyoman
telah menyiapkan makan siang untuk kalian", berkata Ki
Arya Sidi kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka
yang sudah menaiki tangga pendapa.
Di Pendapa memang sudah tersedia hidangan,
sambil berbincang mereka menikmati makan siang
mereka. "Bagaimana perkembangan para Sisya di
sanggar?", bertanya Mahesa Amping kepada Ki Arya
Sidi. "Aku bangga mempunyai empat orang Sisya yang
punya semangat tinggi. Hari ini aku melihat
949 perkembangan yang begitu pesat", berkata Ki Arya Sidi
bercerita tentang para Sisyanya.
"Di Pura Indrakila, kita akan menghadapi lebih
banyak lagi para Sisya", berkata Mahesa Amping
"Semoga semangat mereka tidak jauh berbeda
dengan para Sisya di Padepokan Panca Agni", berkata


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Arya Sidi. Tidak terasa matahari di atas Padepokan Panca Agni
telah bergeser dari puncaknya, langit berawan cerah
memayungi puncak bukit Pejeng Gundul yang dipenuhi
padang ilalang luas tempat Padepokan Panca Agni
berdiri. Terdengar suara angin bergemuruh datang tanpa
penghalang menggulung merebahkan ilalang merunduk
tak berdaya ditiup angin yang cukup keras disiang itu.
"Beristirahatlah kalian, aku akan kembali ke sanggar",
berkata Ki Arya Sidi mohon diri untuk kembali ke
sanggarnya. "Nanti malam kami akan berlatih kembali", berkata
Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi yang tengah
menuruni anak tangga pendapa.
Sepeninggal Ki Arya Sidi, Mahesa Amping dan Empu
Dangka terlihat menjadi lebih leluasa membicarakan
beberapa hal, terutama yang berkaitan dengan tugas
Mahesa Amping sebagai petugas sandi Singasari.
"Diterima di Padepokan Panca Agni, menjadi guru
para Sisya di Pura Indrakila, kamu sudah memberikan
setengah kemenangan untuk kerajaan Singasari",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Ada yang Empu Dangka lupa menyebutnya, bahwa
aku sudah terikat persaudaraan dengan Raja Leak",
berkata Mahesa Amping yang disambut gelak tawa
950 Empu Dangka. "Benar, aku lupa menyebutnya. Raja Leak dan
kaumnya adalah kekuatan yang dapat diandalkan",
berkata Empu Dangka memberikan beberapa masukan
kepada Mahesa Amping yang dirasakan sangat berguna
terutama dengan rencana Singasari menguasai
Balidwipa. Tidak terasa sang surya di atas Padepokan panca
Agni telah semakin jauh bergeser. Cahayanya sudah
semakin lemah tertutup awan tebal.
Diudara bebas terbuka terlihat puluhan burung pipit
terbang keutara. Sementara itu seekor Elang terlihat
tengah berputar-putar diatas padang ilalang diatas bukit
Pejeng Gundul, mungkin tengah mengincar seekor
burung puyuh yang tengah asyik menikmati cacing tanah
hidangan makan siangnya. Mungkin itulah makanan
terakhirnya di hari itu. "Dialam bebas, siapapun yang mempunyai kekuatan
akan menjadi penguasa", berkata Mahesa Amping sambil
menatap seekor Elang yang masih berputar-putar diatas
padang ilalang. "Kekuatan di tangan manusia berbudi, adalah sebuah
payung kehidupan", berkata Empu Dangka kepada
Mahesa Amping yang terlihat menahan nafas dalamdalam manakala melihat seekor Elang tengah menukik
tajam, mungkin ada mangsa buruannya dibawah sana
yang sebentar lagi akan menjadi santapan keluarga
elang itu. "Penguasaan Singasari atas Balidwipa ini tidak untuk
merubah tatanan yang sudah ada, melainkan untuk
mengembalikan keseimbangan sumber kehidupan
sebagaimana adanya", berkata Empu Dangka.
951 "Apakah yang Empu Dangka maksudkan adalah
mengembalikan keseimbangan perdagangan di Balidwipa ini, dimana saat ini kekuasaan perdagangan di
Balidwipa ini telah berada di tangan para saudagar dari
negeri Hindu", berkata Mahesa Amping memberikan
pandangannya. "Ternyata penglihatanmu sangat tajam", berkata
Empu Dangka penuh senyum kepada mahesa Amping
yang tengah menatap seekor Elang yang terbang
menjauh sambil mencengkerang hasil buruannya.
Mungkin disebuah dataran puncak tinggi dimana dua
ekor bayi Elang yang masih berbulu halus tengah
menunggu. "Akhirnya aku menemukan tempat berpijak dan arah
pengabdian", berkata Mahesa Amping sambil terus
memandang arah terbang seekor Elang yang semakin
menjauh. "Terima kasih, selama ini aku sering
meragukan kemana arah pengabdianku. Hari ini hatiku
sudah ajeg, bahwa aku berada bersama seekor Rajawali
Singasari", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka yang membalasnya hanya dengan sebuah
senyuman. Mahesa Amping dan Empu Dangka untuk beberapa
saat tidak berkata apapun, suasana di pendapa
sepertinya hening sejenak, mungkin saat itu mereka
tengah berada dalam alam pikirannya masing-masing.
Keheningan pun akhirnya terpecahkan manakala
muncul Ki Arya Sidi datang menaiki anak tangga
pendapa. "Apakah Ki Nyoman tidak mengeluarkan minuman
brem, sehingga suasana pendapa ini begitu membisu?",
berkata Ki Arya Sidi yang baru datang dengan wajah
952 penuh ceria. "Bremnya masih ada, bahan ceritanya yang habis",
berkata Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi.
Ki Arya Sidi terlihat sudah duduk bersama, tiba-tiba
saja Ki Nyoman muncul dari balik pintu sambil membawa
ancemon hangat, lengkap dengan kelapa dan gula
arennya. "Silahkan dinikmati", berkata Ki Nyoman sambil
meletakkan hidangan ringannya.
"Jadi ingat masa kecil manakala melihat ancemon.
Dulu bila ibuku pergi ke pasar, yang kutunggu adalah
buah tangannya membawa ancemon kesukaanku",
berkata Ki Arya Sidi. Sementara itu terlihat Ki Nyoman sedikit tersenyum
sambil berjalan kembali kearah pintu, mungkin ikut
mengenang masa kecil dan kelucuan junjungannya Ki
Arya Sidi yang telah dilayaninya hingga saat itu di
Padepokan Panca Agni. "Masa kecil adalah masa penuh kesenangan",
berkata Ki Arya Sidi sambil menuangkan segelas air
putih dari sebuah kendi. "Bermain mencari kesenangan, hanya itulah
pekerjaan seorang anak kecil", berkata Empu Dangka
menanggapi perkataan Ki Arya Sidi.
"Sewaktu kecil dulu, Ki Nyoman sering membawaku
keluar Padepokan ini, biasanya menjelang senja, aku
dibawanya ke sebuah sungai untuk membuat beberapa
pliridan.Bukan main senangnya ketika esok harinya kami
mendapatkan banyak ikan yang terjebak masuk lubang",
berkata Ki Arya Sidi bercerita tentang masa kecilnya.
"Ternyata orang Bali mengenal juga tentang pliridan,
953 kukira cuma orang jawa saja yang punya cara menjebak
ikan dengan cara seperti itu", berkata Mahesa Amping.
"Sebagai bukti bahwa orang Bali dan orang Jawa
berasal dari satu keturunan, masih banyak lagi
kesamaan kutemui dalam berbagai hal, bukan cuma
dalam cara menangkap ikan", berkata Empu Dangka.
"Gara-gara cerita masa kecilku, kulihat kalian belum
juga menyentuh ancemon buatan Ki Nyoman", berkata Ki
Arya Sidi kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka
mempersilahkan tamunya menikmati hidangan yang
telah disediakan. Sementara itu langit diatas halaman Padepokan
Panca Agni sudah terlihat kelabu, senja telah turun
memayungi bumi dalam warna beningnya.Sejauh mata
memandang warna senja telah memberikan suasana
keheningan yang indah. Seekor kalelawar terlihat
terbang melayang, mungkin sudah tidak sabar berburu
meninggalkan saudaranya yang masih enggan membuka
matanya tengah tidur menggelantung didalam goanya,
hari memang belum datang gelap.
Hamparan padang ilalang luas diatas puncak bukit
Pejeng Gundul itu telah dipayungi langit malam. Cahaya
bulan tertutup awan kelabu masih memberi penerang
setiap gerak dan bayangan yang ada.
Manakala sudut pandang telah terbiasa melihat
dialam terbuka di malam hari, maka di padang ilalang itu
terlihat dua sosok tubuh tengah bertempur begitu
serunya. Terlihat dua bayangan kembar dengan gerakan
yang indah kadang melenting, maju dan melompat
kesana kemari. Terlihat keduanya menggunakan senjata
yang sama, sebuah senjata cambuk.
Mereka adalah Mahesa Amping dan Empu Dangka
954 yang tengah asyik berlatih di malam hari.
"Permainan cambukmu sudah begitu sempurna",
berkata Empu Dangka sambil bergeser kekiri
menghindari sabetan cambuk Mahesa Amping.
Empu Dangka tidak sekedar menghindar, cambuknya
dengan cepat memutar menyerang bagian kaki Mahesa
Amping. Melihat serangan balasan yang datang begitu cepat,
Mahesa Amping dengan gerakan yang cepat pula
langsung melompat sambil menggerakkan cambuknya
dengan gerak sendal pancing.
Sekejap terlihat senyum kegembiraan dari Empu
Dangka mendapatkan serangan balasan yang tidak
terduga dari Mahesa Amping yang tertuju ke dada lawan
tandingnya. "Bagus !!!, gerakanmu tidak dapat dibaca", berkata
Empu Dangka sambil memutar badannya.
"Ilmu meringankan tubuh yang hebat", berkata
Mahesa Amping yang melihat putaran tubuh Empu
Dangka yang begitu cepat dan langsung menyerang
balik. Demikianlah, semakin lama gerakan mereka begitu
cepat saling menyerang. Mata kasat akhirnya tidak
mampu lagi melihat dan mengikuti gerakan mereka.
Yang terlihat adalah padang ilalang seperti terkuak
membentuk lingkaran luas. Ternyata setiap putaran dan
sabetan cambuk mereka telah membuat sebuah prahara
angin panas yang kuat. Ilalang disekitar mereka terlihat
telah hangus terbakar. "Bagus, kamu telah dapat mengalirkan kekuatan
hawa murnimu lewat setiap gerak cambukmu", berkata
955 Empu Dangka penuh kegembiraan merasakan angin
panas menerjang lewat putaran dan sabetan cambuk di
tangan Mahesa Amping. Kalau saja bukan Empu
Dangka, mungkin sudah menjadi arang hangus terbakar.
Empu Dangka telah mengimbanginya dengan tenaga
hawa dingin yang sama kuatnya.
"Gila !!!!", berkata Empu Dangka yang terlihat
tubuhnya melenting keluar dari lingkaran arena ilalang
yang telah hangus terbakar.
Ternyata Mahesa Amping dengan cepat telah
menyerangnya dengan angin pukulan hawa dingin yang
kuat. "Apakah Empu Dangka sudah lelah?", berkata
Mahesa Amping sambil tersenyum berdiri tegak dengan
tangan kirinya tengah menjurai ujung cambuknya di
tengah lingkaran ilalang yang telah hangus terbakar.
"Aku hanya kaget bahwa dengan cepat kamu telah
merubah tenaga hawa panas menjadi tenaga hawa
dingin yang kuat. Jarang sekali orang yang dapat berbuat
seperti itu, sementara bagimu dapat dilakukan dengan
sambil bermain", berkata Empu Dangka yang telah
berdiri diluar lingkaran arena.
"Semua berkat bimbingan Empu Dangka", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
"Aku sekedar memberikan sedikit cara, sementara
didalam dirimu telah bertumpuk segala macam aji
kesaktian", berkata Empu Dangka yang merasa gembira
Mahesa Amping dengan mudah melaksanakan semua
yang diajarkannya dengan hasil yang begitu gemilang.
"Malam sudah begitu larut", berkata Mahesa Amping
sambil menatap lengkung langit.
956 "Besok kita mencari tempat yang jauh dari jangkauan
manusia, aku ingin melihat sejauh mana engkau mampu
menghentakkan puncak kekuatan dirimu lewat ilmu
cambukmu", berkata Empu Dangka kepada Mahesa
Amping. "Artinya sekarang kita kembali ke Padepokan Panca
Agni untuk beristirahat, keesokan paginya kita sudah siap
mencari tempat sesuai yang Empu Dangka inginkan",
berkata Mahesa Amping sambil melangkah mendekati
Empu Dangka mengajaknya kembali kepadepokan
Panca Agni. Ketika mereka sampai di Padepokan Panca Agni, Ki
Arya Sidi sudah beristirahat lebih dulu, mungkin hari ini
tenaganya banyak dicurahkan untuk membimbing para
Sisyanya. "Ki Arya Sidi sudah lama tertidur, hari ini kulihat
beliau begitu lelah hingga masih sore sudah masuk
kepembaringannya", berkata Ki Nyoman sambil
membawa air kendi. "Kulihat kalian juga sangat begitu
lelah", berkata kembali Ki Nyoman sambil menyilahkan
Mahesa Amping dan Empu Dangka untuk beristirahat.
Tidak lama Mahesa Amping dan Empu Dangka
duduk di pendapa, mereka pun akhirnya terlihat masuk
ke bilik masing-masing. Suasana pendapa Padepokan Panca Agni kembali
sepi, api pelita disudut pendapa melenggut semakin surut
cahayanya. Diluar halaman pendapa cahaya remang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam penuh kebisuan. Langit malam berkabut awan
kelabu dengan sedikit angin bertiup sejuk membelai daun
dan dahan beringin putih yang tumbuh ditengah halaman
Padepokan Panca Agni. Dan malam masih terus berlalu mendekap wajah
957 bumi bersama nyanyian kesunyian malam dalam
lengking tenggorek yang pajang, kadang mencuri sedikit
bunyi burung hantu yang semakin menjauh pergi, atau
sekali-kali terdengar suara kodok buduk memanggil
kekasihnya agar datang mendekat.
Malam pun akhirnya lelah melepaskan bumi dari
pelukannya pergi kebalik bumi lain.
Dan sang fajar telah datang membelai bumi dengan
senyumnya yang hangat. "Hari ini tidurku terasa lelap", berkata Ki Arya Sidi
kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka yang sudah
sejak pagi sudah bangun dan berada lebih dulu di
pendapa. "Tidur di saat lelah memang mengasyikkan, ketika
bangun badan menjadi sangat segar", berkata Empu
Dangka menanggapi perkataan Ki Arya Sidi.
Sementara itu terlihat Ki Nyoman tengah membawa
beberapa hidangan untuk sarapan pagi.
"Hari ini kami bermaksud keluar Padepokan Panca
Agni", berkata Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi
menceritakan maksud dan tujuannya mencari sebuah
tempat yang baik untuk menguji kemampuan puncak ilmu
cambuk Mahesa Amping. "Apakah aku boleh ikut?", bertanya Ki Arya Sidi
"Bila Ki Arya Sidi menginginkan, kami tidak mampu
melarang", berkata Empu Dangka sambil tersenyum
sebagai tanda menyetujui Ki Arya Sidi ikut bersama.
"Aku dapat memberikan sebuah tempat yang baik",
berkata Ki Arya Sidi yang gembira diajak pergi bersama.
"Tidak ada salahnya mengajak Ki Arya Sidi, pasti
958 sebagai orang asli Balidwipa tidak ada sejengkal pun
tanah daratan di Balidwipa ini yang belum disinggahi",
berkata Empu Dangka. Sementara itu hamparan bumi pagi sudah terlihat
benderang dihangati cahaya matahari. Sebagaimana
pagi kemarin, di halaman muka Padepokan Panca Agni
sudah diramaikan oleh suara anak ayam mencicit
mengejar induknya yang tengah mencari makanan.
"Kami pergi tidak akan lama", berkata Ki Arya Sidi
didalam sanggar kepada para Sisyanya ketika akan
berangkat. "Berlatihlah dengan giat dan semangat",
berkata kembali Ki Arya Sidi sambil melambaikan
tangannya keluar menuju pintu sanggar yang terbuka.
Maka terlihatlah tiga orang tengah keluar dari regol
pintu halaman Padepokan Panca Agni. Langkah mereka
terlihat begitu semangat, terbayang suasana alam bebas
mengiringi setiap langkah kaki mereka menjelajahi
ngarai, jurang dan bukit.
"Langkah kita mengarah matahari terbenam", berkata
Ki Arya Sidi yang sudah berjanji akan mencarikan
sebuah tempat yang cocok dan sesuai bagi Mahesa
Amping dan Empu Dangka. "Mudah-mudahan pemandu kita tidak lupa arah",
berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
Ketiga orang itu sepertinya tidak punya beban
apapun, langkah mereka begitu ringan yang selalu
ditingkahi dengan canda kegembiraan.
Ketika mereka menuruni sebuah lembah, matahari
terlihat mengiringi dibelakang mereka. Namun manakala
mereka tengah memasuki sebuah kademangan yang
cukup ramai, matahari sudah berlari mendahului mereka
959 bergantung di puncak langit. Dan hari pun terlihat sudah
sangat terang dan panas menyengat.
"Kita sudah ada di kademangan Pejeng yang ramai",
berkata Ki Arya Sidi ketika mereka sudah berada di
sebuah perempatan jalan. Terlihat di ujung jalan lurus
sebuah pasar yang masih terlihat ramai. Ternyata
mereka tiba pada saat hari pasaran.
"Mari kita manjakan perut kita", berkata Empu
Dangka mengajak kedua kawannya untuk singgah di
sebuah kedai makanan. Ketika mereka masuk kedai itu, terlihat beberapa
pengunjung tengah menikmati hidangan mereka.
Seorang pelayan tua menghampiri mereka dan
menunjukkan sebuah tempat yang masih kosong.
"Sediakan masakan terbaik di kedai ini", berkata Ki
Arya Sidi kepada pelayan itu ketika mereka sudah duduk
ditempatnya masing-masing.
"Hari ini kami menyediakan masakan Lawar Ayam
dan jukut Mapelencing", berkata pelayan itu.
"Tambahkan brem untuk kami", berkata Ki Arya Sidi
menambahkan pesanannya. "Ada lagi?", bertanya pelayan tua itu.
"Lawarnya jangan terlalu pedas", berkata Ki Arya Sidi
"Dan jangan pakai lama", berkata Mahesa Amping
yang disambut tawa oleh Ki Arya Sidi dan Empu Dangka
Ternyata mereka memang tidak menunggu terlalu
lama. Pelayan tua itu telah datang membawa makanan
pesanan mereka. "Sebagaimana pesan tuan, masakan kami memang
tidak pakai lama", berkata pelayan itu sambil mengumbar
960 senyumnya kepada Mahesa Amping.
"Ucapan kami cuma bercanda", berkata Mahesa
Amping sambil mengangguk dan tersenyum kepada
pelayan tua itu. Setelah pelayan tua itu pergi dan masuk kebelakang,
mungkin ada tugas lain menunggunya. Maka terlihat Ki
Arya Sidi, Mahesa Amping dan Empu Dangka tengah
menikmati makan siang mereka.
"Yang muda saja bukan main nikmatnya, apalagi
yang sudah tua", berkata Empu Dangka ketika menikmati
jukut Mapelencing yang merupakan sebuah masakan
berasal dari rebung bambu.
Mendengar ucapan Ki Dangka membuat Ki Arya Sidi
dan Mahesa Amping tidak mampu menahan rasa
gelinya. Ketika mereka telah menyelesaikan makanan mereka
dan bermaksud membayar semuanya, alangkah
kagetnya mereka bahwa pelayan tua itu tidak mau
menerima pembayaran. "Seseorang telah membayar semua pesanan tuan",
berkata pelayan tua itu. "Siapakah yang telah membayar pesanan makanan
kami", berkata Mahesa Amping sambil menyapu
pandangannya ke arah semua pengunjung yang masih
ada di kedai itu. "Orangnya sudah keluar ketika tuan-tuan tengah
masih menikmati hidangan", berkata pelayan tua itu.
Pelayan tua itu tetap menolak manakala Ki Arya Sidi
memaksa untuk membayar. Akhirnya dengan penuh tanda tanya yang masih
961 mengisi di kepala, mereka bertiga keluar dari kedai.
Namun belum lagi mereka bertiga melangkah jauh
dari kedai itu, seorang pemuda datang menghampiri
mereka. "Maaf, ternyata kehadiran kalian disini telah
membawa berkah untukku, seseorang telah memberikan
kepadaku upah yang cukup hanya sekedar menyampaikan sebuah pesan kepada kalian", berkata
pemuda itu. "Pesan?", bertanya Ki Arya Sidi kepada pemuda itu.
"Orang itu hanya berpesan bahwa kalian ditunggu
dibalik gumuk diujung jalan ini", berkata pemuda itu yang
langsung menjura penuh hormat meninggalkan Ki Arya
Sidi, Empu Dangka dan Mahesa Amping yang termangu,
tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Apakah orang yang berpesan itu satu orang dengan
yang membayar makanan kita dikedai?", bertanya Ki
Arya Sidi kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Mari kita menuju ke balik gumuk itu, mungkin
jawabannya ada disana", berkata Empu Dangka.
Terlihat Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya
Sidi telah berjalan ke arah sebuah gumuk yang
ditunjukkan oleh pemuda tadi.
Untuk mencapai gumuk itu memang ada jalan lurus
dari pasar. Ketika mereka melewati jalan lurus itu,
mereka dapat merasakan bahwa jalan itu sangat jarang
dilalui oleh orang, terlihat rumput-rumput liar tumbuh
segar di sepanjang jalan tidak pernah terinjak. Akhirnya
mereka telah sampai diujung jalan yang buntu dibawah
gumuk. Tanpa kecurigaan apapun mereka langsung
menapaki gumuk itu yang dipenuhi oleh rumput dan
962 ilalang liar. Ketika mereka sampai diatas gumuk, betapa
kagetnya Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya
Sidi melihat sepuluh mayat bergelimpangan tidak
berdaya. Dari pakaiannya dapat ditandai bahwa mereka
adalah pasukan pengawal sebuah Pura. Kesepuluh
mayat itu terlihat membawa busur dan anak panah
lengkap . Kening mereka bertambah berkerut manakala
dihadapan mereka terlihat dua orang tengah adu tanding.
Seorang terlihat bertelanjang dada dengan rambutnya
yang panjang dibiarkan terurai. Sementara lawan lainnya
dapat diduga sebagai seorang pendeta, terlihat dari
jubah pendeta yang dikenakannya.
"Bukankah itu Ki Jaran Waha?", berkata Mahesa
Amping yang mengenali salah satu orang yang tengah
bertempur. "Benar, itu saudara kita Pemimpin Leak Balidwipa",
berkata Ki Arya Sidi yang juga telah melihat dan
mengenali siapa salah satu yang tengah bertempur
dengan sengitnya. "Akhirnya kalian telah datang", berkata Ki Jaran
Waha sambil menghindari sabetan tongkat lawannya dan
langsung melenting mendekati Mahesa Amping, Ki Arya
Sidi dan Empu Dangka. "Orang ini bermaksud mencelakaimu, saudaraku",
berkata Ki Jaran Waha kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping masih belum dapat mengerti,
bagaimana mungkin orang didepannya yang sama sekali
belum dikenalnya telah bermaksud untuk mencekai
dirinya. 963 "Tuan Pendeta, kita belum pernah bertemu.
Kesalahan apa dariku sehingga dirimu bermaksud
mencelakai aku ?", bertanya Mahesa Amping kepada
seorang berjubah pendeta.
"Asal kau ketahui, aku saudara tua Dewa Bakula
yang pernah kau kalahkan", berkata orang itu.
"Kami bertanding dengan adil, apakah Dewa Bakula
tidak menceritakannya kepada tuan Pendeta?", bertanya
kembali Mahesa Amping kepada orang itu.
"Begitu mudahnya Dewa Bakula kalah olehmu, itulah
yang aku tidak percayai, pasti kalian telah berbuat
curang", berkata orang itu.
"Percaya atau tidak, adalah hak tuan pendeta",
berkata Mahesa Amping yang merasa tersinggung
dikatakan telah berbuat curang.
"Namaku Dewa Palaguna, purnama depan kutunggu
dirimu di Pura Indrakila", berkata orang itu yang mengaku
bernama Dewa Palaguna. "Mengapa harus di pura Indrakila?", bertanya Mahesa
Amping. "Agar ada saksi bahwa dirimu belum mampu menjadi
guru di Pura Indrakila", berkata Dewa Palaguna yang
langsung membalikkan badan berjalan meninggalkan
tanah gumuk itu diiringi pandangan mata semua yang
ada disitu. Sepeninggal Dewa Palaguna, Ki Jaran Waha
bercerita tentang keberadaannya di tanah gumuk itu.
Bermula Ki Jaran Waha yang juga sebagai Raja Leak di
Balidwipa mendapat berita tentang sebuah upaya untuk
mencelakai Mahesa Amping oleh sekelompok orang
yang ternyata berasal dari Pura Besakih yaitu saudara
964 tua dari Dewa Bakula sendiri yang bernama Dewa
Palaguna, seorang pendeta guru di Pura Besakih yang
dipercayakan membimbing para pangeran penguasa
pura Besakih. Dari semua pangeran di seluruh Pura
Balidwipa, hanya para pangeran pura Besakih yang tidak
berguru di pura Indrakila. Mereka lebih memilih Dewa
Palaguna sebagai guru pembimbingnya di pura Besakih.
"Kami mengikuti mereka sampai di Kademangan
Pejeng ini", berkata Ki Jaran Waha melanjutkan
ceritanya. "Pengikutku tersebar di Balidwipa ini, jadi tidak
ada satupun rahasia yang terlepas dari pendengaranku",
berkata kembali Ki Jaran Waha menutup ceritanya.
"Jadi Ki Jaran Waha yang membayar makanan kami
di kedai?", bertanya Empu Dangka kepada Ki Jaran
Waha. "Aku memerintah orangku untuk membayarnya",
berkata Ki Jaran Waha sambil tersenyum.
"Beruntungnya kita bersaudara dengan seorang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja", berkata Mahesa Amping yang disambut tawa oleh
semua yang ada di tanah gumuk itu.
Kepada Ki Jaran Waha, Ki Arya Sidi menjelaskan
tentang tujuan mereka bertiga, yaitu mencari sebuah
tempat untuk melihat sejauh mana Mahesa Amping
dapat menghentakkan puncak ilmu cambuknya.
"Apakah aku diijinkan untuk ikut bersama kalian?",
bertanya Ki Jaran Waha. "Permintaan seorang raja tidak boleh ditolak", berkata
Mahesa Amping yang kembali disambut tawa dari semua
yang mendengarnya. "Mumpung matahari masih bergeser sedikit,
perjalanan kita tidak jauh lagi", berkata Ki Arya Sidi
965 mengajak mereka melanjutkan perjalanannya.
"Bagaimana dengan mayat-mayat itu", berkata
Mahesa Amping yang melihat sepuluh orang prajurit
pengawal pura yang telah menjadi mayat bergelimpangan. "Biarlah para pengikutku yang mengurusnya", berkata
Ki Jaran Waha dengan suara perlahan.
Sementara itu matahari memang telah bergeser
sedikit kebarat, awan tebal menyelimutinya membuat
cuaca saat itu menjadi adem tidak begitu terik. Ditambah
semilir angin diatas gumuk itu berdesir lembut
menyentuh kulit. "Sebuah perjalanan yang menyenangkan", berkata Ki
Jaran Waha ketika angin berhembus lembut membelai
rambut dan tubuhnya bersama langkah ketiga teman
seperjalanannya. Terlihatlah empat orang dengan langkah ringan
membelah padang ilalang, menembus hutan perdu,
lembah dan ngarai. "Berhati-hatilah Mahesa Amping, kudengar kesaktian
Dewa Palaguna dapat meruntuhkan gunung", berkata Ki
Jaran Waha kepada Mahesa Amping sambil terus
berjalan beriringan. "Terima kasih, kamu telah memperingatkanku.
Semoga Gusti yang Maha Agung selalu melindungiku",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Sikap itulah yang harus kita miliki, tidak
menggantungkan kepada kesaktian apapun yang kita
miliki, tapi menggantungkan segalanya kepada
Sanghiang Gusti Yang Maha Agung", berkata Ki Arya
Sidi ikut bicara. 966 Akhirnya tidak terasa, sambil berjalan dan bercakapcakap, mereka telah sampai ditempat yang dituju.
Sebuah tanah lapang yang dibatasi batuan bercadas
disekelilingnya. Sepertinya sebuah tempat yang jarang
sekali disinggahi orang karena sangat jauh dari
padukuhan terdekat dan tidak ada apapun yang dapat
dimanfaatkan selain batu-batu besar berserakan
disekitarnya. "Inilah tempat yang kujanjikan", berkata Ki Arya Sidi
menjelaskan bahwa mereka telah sampai ditempat yang
dituju. "Tempat seperti inilah yang kita butuhkan", berkata
Empu Dangka sambil pandangannya menyapu sekeliling.
Sementara itu sang senja telah semakin redup, layar
panggung bumi telah berganti warna malam. Semburat
bulan tua menerangi tanah lapang berbatu.
"Kita beristirahat dulu, sayang bila bekal ini tidak
dihabisi", berkata Ki Arya Sidi sambil membuka bekal
yang dibawanya dari Padepokan Panca Agni.
Terlihat Mahesa Amping telah membuat perapian dari
beberapa rumput dan ranting. Dalam sekejap perapian
telah menyala. "Aku menyiapkan bekal agak berlebih, ternyata ini
rejekinya Ki Jaran Waha", berkata Ki Arya Sidi.
"Terima kasih, kehadiranku tidak mengurangi jatah
perut kalian bertiga", berkata Ki Jaran Waha sambil
menyuap nasi jagung kemulutnya.
Demikianlah, berempat mereka mengelilingi perapian
yang semakin redup. Mahesa Amping sengaja tidak
menambahkannya dengan daun dan ranting kering.
Dan akhirnya perapian itu memang tidak lagi
967 menyala, mati tertiup semilir angin basah.
Ketika perapian telah mati, pandangan mereka sudah
terbiasa dapat melihat apapun yang ada di atas tanah
lapang berbatu itu. "Semoga Sang Maha Karsa selalu menyertaimu",
berkata Empu Dangka ikut berdiri ketika melepas
Mahesa Amping yang berdiri dan berjalan menjauh
sekitar dua puluh langkah untuk mencoba mengungkapkan puncak ilmu cambuk yang dimiliki
sampai sejauh mana. Bersamaan dengan itu Ki Jaran Waha dan Ki Arya
Sidi ikut berdiri mengiringi dengan pandangan matanya
Mahesa Amping yang tengah berjalan menjauh dan
akhirnya berhenti disebuah tempat.
Terlihat Mahesa Amping telah berdiri tegak, di
tangannya telah menggenggam sebuah cambuk yang
dibiarkan menjurai hampir menyentuh tanah.
"Wahai Gusti Yang Maha Karsa, kuserahkan diriku
dalam kekuasaanMU", berkata Mahesa Amping dalam
hati sambil merasakan dirinya telah hilang bersatu dalam
gerak dan kekuasaan Sang Maha Pencipta.
Perlahan Mahesa Amping telah bergerak memainkan
jurus cambuknya. Dari Keremangan malam terlihat
seperti sebuah gerak tarian yang indah dipandang mata.
"Sebuah permainan cambuk yang indah", berkata Ki
Jaran Waha kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka.
"Mahesa Amping telah melakukannya dengan begitu
sempurna", berkata Empu Dangka menanggapi
perkataan Ki Jaran Waha. "Mahesa Amping telah melambari permainannya
dengan kekuatan yang ada didalam dirinya", kerkata Ki
968 Arya Sidi manakala merasakan udara disekelilingnya
semakin menghangat. Mahesa Amping memang telah mulai mengungkapkan kekuatan yang tersembunyi di dalam
dirinya, hawa panas telah semakin menyebar mengiringi
setiap gerakan cambuknya.
Sementara itu Empu Dangka, Ki Arya Sidi dan
Kijaran Waha masih berdiri mengikuti gerak Mahesa
Amping meski udara disekitarnya sudah tidak lagi
hangat, namun sudah menjadi hawa panas yang kuat
membakar kulit. Dengan mengerahkan kekuatan yang
mereka miliki, mereka masih tetap bertahan di tempatnya
dengan melambari kekuatan hawa dingin sebagai perisai
tubuh mereka melindungi hawa panas yang terus
merambat semakin memuncak.
"Luar biasa !!!!", berkata Ki Arya Sidi sambil mundur
lima langkah dari tempatnya berdiri merasakan hawa
panas telah begitu menyengat.
Terlihat Empu Dangka dan Ki Jaran Waha telah
berbuat yang sama sebagaimana dilakukan oleh Ki Arya
Sidi. "Siapapun lawannya yang berada dibawah tataran
ilmunya akan dapat susah dibuatnya", berkata Ki jaran
Waha yang sudah berada didekat Ki Arya Sidi.
Meski jarak mereka dengan Mahesa Amping semakin
bergeser menjauh, mereka masih dapat melihat dengan
jelas Mahesa Amping yang terus memperlihatkan
permainan jurus cambuknya.
Tidak ada terlihat kelelahan sedikitpun diwajah
Mahesa Amping. Anak muda ini sepertinya tengah
menikmati setiap jurus yang dimainkannya.
969 "Aku tidak tahan !!!!", berkata Ki Arya Sidi sambil
kembali mundur lima langkah dari tempatnya berdiri
manakala dirasakan hawa disekitarnya berubah-ubah
dengan cepatnya antara hawa panas yang menyengat
menjadi dingin yang sama kuatnya menyengat kulit.
Terlihat Empu Dangka dan Ki Jaran Waha telah
berbuat yang sama sebagaimana dilakukan oleh Ki Arya
Sidi. "Gusti Sang Hyiang Widi telah mengaruniakan dibumi
ini seorang yang berbakat luar biasa, sangat langka ada
orang yang berbuat begitu cepatnya merubah kekuatan
hawa panas dan dingin", berkata Empu Dangka kepada
Ki Arya Sidi dan Ki Jaran Waha.
"Sebuah kekuatan yang dapat menyusahkan
siapapun lawannya", berkata Ki Jaran Waha sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku melihat anak muda ini belum menghentakkan
seluruh kekuatannya", berkata Empu Dangka sambil
tersenyum bangga merasakan kekuatan Mahesa Amping
yang memang masih menyisakan puncak kekuatannya.
"Belum di puncaknya, kita sudah berdiri begitu jauh",
berkata Ki Arya Sidi yang ikut kagum sebagaimana Empu
Dangka. "Aku melihat tanah dan batuan di sekitarnya telah
menjadi retak", berkata Ki Jaran Waha.
"Perubahan hawa yang berganti dengan cepatnya
telah menjadikan benda apapun retak dibuatnya",
berkata Empu Dangka menanggapi perkataan Ki Jaran
Waha. "Gusti Maha Adil, memberikan ilmu yang luar biasa
itu hanya kepada orang yang bijak sebagaimana Mahesa
970 Amping", berkata Ki Arya Sidi.
"Seperti itulah Mahesa Amping, tidak mengeluarkan
jurus simpanannya kecuali sangat terpaksa dan
mendesak", berkata Empu dangka.
"Mahesa Amping telah dengan sadar telah menguasa
segala amarah didalam dirinya", berkata Ki Arya Sidi
menambahkan dan telah mengenal Mahesa Amping
seutuhnya lewat pergaulannya selama ini.
"Sementara kita yang tua kadang tergelincir tidak bisa
mengendalikan amarah diri kita sendiri", berkata Ki Jaran
Waha sambil tersenyum. "Lihatlah, inilah yang kita tunggu", berkata Empu
Dangka sambil matanya tidak lepas kepada apa yang
tengah dilakukan oleh Mahesa Amping.
Ternyata Mahesa Amping tidak lagi melakukan
permainan jurus cambuknya. Terlihat tengah berdiri
tegak menghadap ke sebuah batu besar hitam sebesar
kerbau. Mahesa Amping tengah mengendapkan seluruh
kekuatannya. Tiba-tiba saja dengan gerakan sendal
pancing ujung cambuknya telah menghentakkan batu
sebesar kerbau dihadapannya.
Desssss"., Suara cambuk Mahesa Amping tidak menggelegar,
hanya seperti suara cambuk biasa memecah angin.
Namun dampak dari lecutan itu sungguh luar biasa
!!!!!. Batu sebesar seekor kerbau hancur luluh lantak
menjadi sebuah debu halus yang bertebaran terbang
tertiup angin. 971 Empu Dangka, Ki Arya Sidi dan Ki Jaran Waha yang
menyaksikan semua itu terhenyak nafasnya tertahan.
"Sebuah kekuatan yang dahsyat", berkata Ki Jaran
Waha tidak sadar mengucapkan pujiannya atas apa yang
telah dilakukan oleh Mahesa Amping.
"Mahesa Amping telah mampu menyalurkan
kekuatannya lewat ujung cambuknya, sebagaimana
dilakukannya lewat sorot matanya", berkata Empu
Dangka yang merasa gembira atas apa yang telah
dicapai oleh Mahesa Amping.
"Melihat usianya, tataran ilmu yang ada saat ini pasti
akan terus berkembang", berkata Ki Arya Sidi.
"Benar, itulah yang kuharapkan menitipkan ilmu
cambukku kepadanya", berkata Empu Dangka dengan
mata berbinar-binar penuh kegembiraan.
"Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan Empu",
berkata Mahesa Amping yang telah datang mendekat.
"Anakmas telah melakukannya dengan sangat
sempurna", berkata Empu Dangka dengan penuh
gembira. Sementara itu hari sudah berlari menjauhi
pertengahan malam, cahaya diatas tanah lapang yang
sepi masih bening dinaungi biru langit malam.
"Kita bermalam disini", berkata Ki Arya Sidi sambil
berjalan mencari tempat yang baik yang akhirnya
didapati di balik sebuah batu besar yang melindungi
mereka dari dinginnya angin malam.
Namun mereka tidak langsung rebah tidur, masih ada
saja yang mereka percakapkan di penghujung sisa
malam itu. 972 "Apakah kamu tidak memperkirakan bahwa Dewa


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Palaguna akan kembali melakukan kelicikan?", bertanya
Ki Jaran Waha kepada Mahesa Amping.
"Hal-hal seperti itu memang bisa saja terjadi", berkata
Empu Dangka ikut memberikan tanggapan.
"Namun kita tidak tahu kelicikan apa lagi yang akan
dilakukan oleh Dewa Palaguna", berkata Ki Arya Sidi.
"Tidak perlu dikhawatirkan, aku dan pengikutku akan
terus membayangi mereka", berkata Ki Jaran Waha
sambil tersenyum penuh ketenangan.
"Terima kasih", berkata Mahesa Amping
"Tidak usah berterima kasih, bukankah kita
bersaudara?", berkata Ki Jaran Waha tersenyum
memperlihatkan seluruh giginya yang putih dan rata
umumnya orang Bali. "Beristirahatlah kalian, sebentar lagi nampaknya akan
datang pagi, biarlah aku yang berjaga", berkata Ki Arya
Sidi mempersilahkan semuanya untuk beristirahat.
Sebagaimana memang akan semburat warna bumi,sementara menghitam. yang dikatakan Ki Arya Sidi, hari
menjelang pagi. Terlihat sejumput
merah telah bersembul di ujung
warna lengkung langit semakin
Perlahan warna merah akhirnya merata mewarnai
hampir seluruh lengkung langit. Cahaya bumi pun terlihat
begitu bening, sepi dan teduh.
"Beristirahatlah, aku sudah cukup beristirahat",
berkata Mahesa Amping yang sudah terbangun kepada
Ki Arya Sidi yang masih bersandar di sebuah batu besar.
"Terima kasih, sekejap dua kejap lumayan untuk
973 berbaring", berkata Ki Arya Sidi yang terlihat melepaskan
sandarannya rebah berbaring.
Mahesa Amping memang tidak dapat memejamkan
matanya yang sudah tidak lagi mengantuk. Terutama
ketika cahaya bulat matahari telah bersembul mengintip
ditepian bumi. Matahari diatas tanah gumuk itu telah naik sepertiga
menggantung di lengkung langit pagi, empat orang lelaki
terlihat berjalan beriring.
"Kita singgah di pasar Pejeng", berkata Ki Arya Sidi.
"Tepatnya di kedai yang kemarin", berkata Empu
Dangka sambil tersenyum merasa maklum bahwa perut
mereka belum tersentuh apapun.
Ketika mereka sampai di pasar Kademangan Pejeng,
suasana di pasar itu memang tengah ramai. Terlihat lalu
lalang beberapa wanita dengan bakul diatas kepala.
"Berikan kami makanan terbaik di kedai ini", berkata
Ki Arya Sidi kepada seorang pelayan tua ketika mereka
sudah berada didalam kedai makanan.
"Tidak pakai lama", berkata Ki Jaran Waha yang
ditanggapi gelak tawa semuanya.
Maka tidak lama kemudia pelayan tua itu telah
membawa hidangan untuk mereka.
"Selamat menikmati", berkata pelayan
mempersilahkan tamunya penuh kesopanan.
tua itu "Sarapan yang nikmat", berkata Ki Arya Sidi sambil
memandang hidangan yang telah siap sedia.
"Tepatnya sarapan pagi menjelang siang", berkata
Empu Dangka yang ditanggapi senyum tawa ketiga
kawannnya. 974 Terlihatlah mereka nampaknya menikmati hidangan
itu. Ketika selesai makan, kembali terjadi apa yang
pernah mereka alami, pelayan tua itu tidak menerima
pembayaran dari Ki Arya Sidi.
Maka semua mata menatap Ki Jaran Waha yang
tenang duduk sambil tersenyum.
"Salah seorang pengikutku telah membayarnya",
berkata Ki Jaran Waha dengan tersenyum perlahan.
"Selama bersama Raja leak, sangu kita utuh",
berkata Ki Arya Sidi sambil memasukkan kembali
pecahan logam peraknya. Sementara itu suasana pasar masih nampak ramai
manakala mereka telah keluar dari dalam kedai.
"Sampai disini aku mengiringi kalian", berkata Ki
Jaran Waha yang bermaksud untuk kembali ke tempat
tinggalnya. "Jangan lupa purnama depan", berkata Ki Arya Sidi
mengiringi langkah kaki Ki Jaran Waha yang semakin
menjauh menghilang diantara lalu lalang beberapa orang
laki-laki dan wanita dikeramaian pasar Kademangan
Pejeng. "Pasar yang ramai sebagai tanda kemakmuran
warganya", berkata Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi
dan Mahesa Amping sambil melihat-lihat beberapa
barang yang diperjual belikan dipasar itu.
Mentari saat itu memang belum beranjak ke
puncaknya, Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya
Sidi sudah jauh meninggalkan Pasar Kademangan
Pejeng. 975 Terlihat mereka tengah berjalan di sebuah hutan
bambu, menyusuri beberapa bulakan panjang dan
akhirnya telah berada di sekitar Padukuhan yang
terdekat dari Bukit Pejeng Gundul tempat Padepokan
Panca Agni berada. "Bunting padi itu sebentar lagi akan menguning",
berkata Empu Dangka ketika mereka tengah melewati
beberapa hamparan sawah. "Kebahagiaan yang tidak dapat dibeli oleh apapun
bagi seorang petani disaat melihat padi menguning",
berkata Mahesa Amping sambil menyapu pandangannya
pada hamparan sawah yang tumbuh menghijau.
Akhirnya mereka telah mendaki jalan ke Bukit Pejeng
Gundul. Matahari telah mulai condong ke Barat manakala
langkah kaki mereka telah sampai di muka regol pintu
gerbang Padepokan Panca Agni.
"Selamat datang kembali di Padepokan Panca Agni",
berkata Ki Nyoman yang menyambut kedatangan
mereka. "Para Sisya pasti masih tengah berlatih", berkata Ki
Arya Sidi yang dijawab dengan senyum dan anggukan
kepala dari Ki Nyoman. Setelah bersih-bersih diri, Mahesa Amping dan Empu
Dangka terlihat duduk di Pendapa. Sementara Ki Arya
Sidi masih di sanggar menemui para Sisyanya.
Menjelang senja baru Ki Arya Sidi bergabung duduk
di pendapa bercerita tentang perkembangan para
Sisyanya yang nampaknya sangat menggembirakan
hatinya. Sementara itu, jauh dari Padepokan Panca Agni
disebuah Pura besar, tepatnya di Puri dalem besakih dua
976 orang terlihat tengah berbicara.
Salah seorang dari keduanya telah kita kenal
bernama Dewa Palaguna, seorang lagi nampak dari
wajah dan pembawaannya yang penuh wibawa tidak lain
adalah Raja penguasa Pura Besakih.
"Aku bercuriga bahwa anak muda itu sejatinya adalah
utusan Singasari yang sengaja didatangkan untuk
membuat kerusuhan di Balidwipa ini", berkata Dewa
palaguna. "Anak muda itu telah mengalahkan Dewa Bakula",
berkata Raja Pura Besakih dengan wajah buram.
"Adikku Dewa Bakula memang terlalu bodoh dengan
mempertaruhkan jabatan guru di Pura Indrakila kepada
anak muda itu", berkata Dewa Palaguna dengan wajah
penuh geram. "Kita masih punya sedikit waktu menjelang purnama
untuk melenyapkan anak muda itu", berkata Raja Pura
Besakih kepada Dewa Palaguna yang tengah berpikir
keras merancang sebuah muslihat besar.
"Aku sudah menyiapkan sebuah perangkap untuk
anak muda itu", berkata Dewa Palaguna penuh
semangat. Sementara itu di tempat yang berbeda, di sebuah
hutan lebat didalam sebuah goa yang cukup luas.
Terlihat Raja Leak tengah bersama dengan beberapa
pengikutnya yang setia. "Mulai besok kalian harus sudah menyebar mengintai
setiap gerakan yang bersumber dari Pura Besakih",
berkata Raja Leak yang tidak lain Ki Jaran Waha kepada
pengikutnya. "Kami penuhi perintah Paduka", berkata salah
977 seorang pengikutnya mewakili kawan-kawannya.
Demikianlah suasana menjelang purnama di pura
Indrakila, Dewa Palaguna telah mempersiapkan
segalanya, namun tidak menyadari bahwa segala
kegiatannya telah dibayangi oleh para manusia Leak
yang tersebar terus mengintai di sekitar pura Besakih.
Suasana yang semakin menghangat itu memang
tidak terlihat di permukaan. Para saudagar masih seperti
biasa berjalan dengan gerobak-gerobak dagangnya
menyusuri jalan dan jalur perdagangan. Para petani
masih seperti biasa menjelang panen telah berjaga
sepanjang hari agar padinya tidak dimakan burungburung.
Sementara itu kehidupan di Padepokan Panca Agni
masih seperti sediakala, para Sisya penuh semangat
berlatih. Ki Arya Sidi dengan sepenuh hati membimbing
para Sisyanya. Kadang Mahesa Amping ikut memberikan
beberapa petunjuk tambahan.
"Semoga perjalanan tuan selalu diberikan naungan
keselamatan dari Sang Hyiang Widi", berkata Ki Nyoman
mewakili para Sisya ketika mereka melepas kepergian Ki
Arya Sidi bersama Mahesa Amping dan Empu Dangka
yang akan berangkat ke Pura Indrakila.
"Berlatihlah terus, kalian tumpuan kelanggengan Pura
Pusering Jagad", berkata Ki Arya Sidi kepada keempat
Sisyanya para Pangerang dari Pura Pusering Jagad.
Angin pagi bertiup dingin mengiringi perjalanan
Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi. Terlihat
mereka tengah menuruni Bukit Pejeng Gundul.
"Apa yang dikhawatirkan oleh Ki Jaran Waha tentang
Dewa Palaguna mungkin saja terjadi", berkata Ki Arya
978 Sidi kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Kita memang perlu berhati-hati, tapi tidak membuat
perjalanan kita menjadi susah", berkata Empu Dangka
sambil tersenyum. Terlihat Ki Arya Sidi menarik nafas panjang, ia baru
sadar bahwa kedua kawannya ini adalah orang-orang
yang mumpuni sakti mandraguna. Jangankan sekumpulan gerombolan perampok, sepapan laskar
prajurit pun tidak akan mudah mengalahkan mereka.
Ketika matahari mulai menyengat berdiri di puncak
cakrawala, Ki Arya Sidi, Mahesa Amping dan Empu
Dangka telah sampai di sebuah Padukuhan dibawah
bukit tempat Pura Indrakila berdiri.
Ketika Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya
Sidi telah melewati regol gerbang padukuhan itu, mereka
mendengar kentongan nada titir berbunyi sebagai tanda
agar semua penduduk berkumpul segera karena situasi
yang gawat darurat. "Aku tidak melihat ada kebakaran di Padukuhan ini",
berkata Ki Arya Sidi merasa heran mendengar nada titir
berbunyi. "Berhenti !!!", tiba-tiba saja telah menghadang
didepan mereka puluhan lelaki.
"Apa salah kami?", bertanya Empu Dangka dengan
penuh ketenangan. "Kalian penganut ilmu hitam yang kami cari", berkata
salah seorang yang terlihat seperti pimpinan dari semua
orang yang ada menghadang.
"Kami tidak mengerti apa yang kalian katakan",
berkata Empu Dangka masih dengan penuh ketenangan.
979 "Kalian telah menyebar wabah ulat bulu ganas di
sawah ladang kami, nampaknya kalian ingin melihat dari
dekat hasil kerja kotor kalian kepada kami", kembali
orang yang seperti pemimpin itu berkata.
"Kalian pasti salah orang, hari ini kami baru datang di
Padukuhan ini", berkata Empu Dangka mencoba
meluruskan masalah. "Dukun Made Jakut tidak pernah berbohong!!",
berkata pemimpin mereka. "Siapapun nama yang baru saja Kisanak sebut itu,
pasti salah orang", berkata Empu Dangka.
"Aku Made Jakut, tidak pernah salah orang", berkata
salah seorang dengan wajah hitam berbadan tegap yang
tiba-tiba saja muncul dari kerumunan.
"Apa yang dapat kisanak buktikan bahwa kamilah
orangnya", berkata Empu Dangka yang sudah mulai
mencurigai ada sesuatu yang terselubung dibalik semua
ini. "Aku sudah mengatakan kepada para penduduk di
Padukuhan ini bahwa tiga orang penyebar wabah itu
akan datang saat menjelang purnama", berkata orang
yang mengaku bernama Made Jakut itu.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi
terlihat menarik nafas panjang, pikiran mereka sama
bahwa ada yang mencoba memfitnah mereka.
"Pasti ini ulah Dewa Palaguna", berbisik Arya Sidi
kepada Mahesa Amping yang berdiri disampingnya.
"Begitu liciknya Dewa Palaguna yang sengaja
mengadu dada dengan para penduduk", berkata Mahesa
Amping perlahan kepada Ki Arya Sidi.
980 Ki Arya Sidi membenarkan apa yang dikatakan
Mahesa Amping. Seandainya ada prajurit segelar
sepapan dihadapan kedua sahabatnya ini mungkin tidak
ada keraguan apapun dalam melakukan tindakan.
Sementara itu yang mereka hadapi adalah para
penduduk yang tengah marah terhasut sebuah fitnah
yang menyesatkan. "Apa yang ingin kalian lakukan atas kami", bertanya
Empu Dangka kepada para penduduk yang menghadangnya. "Kami akan mengikat dan membakar kalian sebagai
tumbal mengusir wabah", berkata Dukun Made Jakut.
"Bakar"!!!!",
"Bakar".!!!",
Berteriak sebagian penduduk sambil mengacungkan
berbagai senjata mereka. Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi
benar-benar bertemu dengan jalan buntu, tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Disaat kebuntuan dan teriakan para penduduk yang
sepertinya tidak mudah dikendalikan lagi, tiba-tiba saja
terdengar suara tertawa panjang dan bergema dari
segala penjuru. "Akulah lelembut penguasa bumi ini", terdengar suara
di ujung tawanya yang juga keras dan bergema.
Sekejap para penduduk tidak lagi berteriak, terlihat
wajah mereka nampak pucat penuh ketakutan.
"Wahai para pendududuk bumiku, dukun palsu itulah
yang telah menyebarkan wabah kepada kalian",
terdengar kembali suara itu yang masih terdengar tinggi
981 menggema. "Tunjukkan dirimu, aku tidak takut!!!", berteriak Dukun
Made Jakut yang merasa dipojokkan meski dengan
suara masih dihantui rasa takut namun dihadapan para
penduduk yang selama ini mengandalkannya mencoba
mengangkat dadanya. Namun percobaan dari Dukun Made Jakut untuk
mengumpulkan keberaniannya cukup sampai disitu, tibatiba saja sebuah batu kecil melejit dengan kecepatan
yang sangat luar biasa persis menghantam urat lehernya.
Ahhh"., Hanya itu suara nafas tertahan dari Dukun Made
Jakut yang bisa didengar, setelah itu terlihat tubuhnya
jatuh lemas. "Pergilah ke rumah Dukun palsu ini, dirumahnya
masih banyak tersimpan bibit ulat bulu beracun yang siap
ditebarkan di sawah ladang kalian", berkata kembali
suara yang masih tidak diketahui dari mana datangnya.
"Mari kita periksa rumah Dukun Made Jakut", berkata
pemimpin mereka yang mulai mempercayai sumber
suara itu yang mengatakan sebagai lelembut penguasa
bumi Padukuhan itu. Maka terlihat berbondong-bondong para penduduk
mengikuti langkah pemimpinnya menuju rumah Dukun
Made Jakut. Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi
masih diam ditempat tidak ikut bersama penduduk
kerumah Dukun Made Jakut.
"He-he-heh", terdengar suara dari sebuah semak
belukar di sekitar pohon suren. Terlihat sosok badan
tinggi besar dengan rambut lepas beriap.
982 "Sudah kuduga pasti ulah Si Raja Leak", berkata
Mahesa Amping tersenyum memandang orang yang
baru datang dari gerumbulan semak belukar.
"Jarang-jarang lelembut keluar di siang bolong",
berkata Ki Arya Sidi menyambut orang yang baru datang
yang memang ternyata adalah Ki Jaran Waha.
"Yang jelas para penduduk mempercayainya",
berkata Ki Jaran Waha sambil tersenyum.
"Dukun palsu ini pasti orangnya Dewa Palaguna",
berkata Empu Dangka sambil menunjuk ke arah Dukun
Made Jakut yang masih rebah pingsan.
Ketika mereka tengah mempercakapkan apa yang
akan mereka lakukan atas diri Dukun Made Jakut,
terdengar suara banyak langkah kaki menuju mereka.
"Ssst", aku akan kembali berperan sebagai
lelembut", berkata Ki Jaran Waha sambil berlari masuk
kedalam semak belukar. "Kami telah menemukan banyak bibit ulat bulu
beracun di rumah Dukun Made Jakut", berkata pemimpin
itu kepada Empu Dangka yang dipikir adalah orang yang
dituakan diantara mereka bertiga.
"Apa yang dapat kalian lakukan untuk menawarkan
ulat bulu beracun di sawah ladang kalian ?", berkata
Empu Dangka kepada pemimpin para penduduk.
"Mungkin memaksa Dukun Made jakut memberikan
penawarnya", berkata pemimpin para penduduk itu
sambil menatap dukun Made jakut yang masih rebah.
"Tidak ada penawar ulat bulu beracun selain
berharap datangnya hujan", berkata Empu Dangka
penuh keyakinan. 983 "Sayangnya saat ini masih musim kemarau", berkata
salah seorang dibelakang pemimpin itu.
"Kita tidak dapat mendatangkan hujan", berkata
pemimpin itu menatap penuh kekhawatiran kepada Empu
Dangka, sepertinya wajahnya penuh dengan keputus
asahan. "Aku akan mendatangkan hujan", berkata Mahesa
Amping sambil maju kedepan berhadapan dengan para
penduduk yang mendengarnya seperti tidak yakin atas
apa yang dikatakannya. "Mendatangkan hujan?"?", keluar ucapan berulangulang dari beberapa penduduk yang menganggap
Mahesa Amping bercanda belaka.
Mahesa Amping tidak menanggapi ucapan dari
beberapa penduduk yang meragukannya, dengan
langkah perlahan penuh ketenangan memisahkan diri
menuju kesebuah tempat terpisah.
Terlihat Mahesa Amping telah duduk sempurna
bersila. Air Wajah dan nafasnya begitu tenang slam perti
patung Budha. Mahesa Amping memang telah masuk
dalam semedinya, memusatkan segala nalar dan
budinya masuk dalam ketiadaan, alam kesunyatan.
Terperanjat para penduduk ketika menyaksikan
sebuah asap tipis keluar dari ubun-ubun Mahesa
Amping. Asap tipis itu terlihat keluar semakin melebar
menyelimuti tubuh Mahesa Amping. Dan terus melebar
semakin membesar, meluas dan semakin menebal
membentuk sebuah kabut putih.
Seluruh pandangan mata siapa yang ada
dipadukuhan itu tidak dapat lagi menembus kabut yang
984 telah diciptakan oleh kekuatan ilmu Mahesa Amping yang
luar biasa. Seluruh dan seluas tanah Padukuhan itu telah diliputi
kabut putih yang tebal !!!!!!
Dan apa yang terjadi selanjutnya"
Kabut putih yang tebal itu perlahan naik keudara
sebagaimana layaknya membentuk gumpalan awan
terbang semakin meninggi.
Seluruh tanah Padukuhan seketika menjadi teduh.
Mentari sore yang sudah redup menjadi semakin redup
terhalang awan putih ciptaan kekuatan ilmu Mahesa
Amping. Wuutttttttt"., Sebuah hentakan terlihat keluar dari kedua tangan
Mahesa Amping meluncur menembus kabut awan putih.
Ternyata hentakan Mahesa Amping adalah sebuah
kekuatan hawa inti es yang luar biasa dinginnya. Dan
kabut awan seketika berubah menjadi sekumpulan batu
es salju yang sangat besar.
Wuuutttttttt?"".,
Kembali Mahesa Amping menghentakkan kedua
tangannya ke arah gumpalan batu es salju yang tengah
meluncur kebumi. Luar biasa !!!!!!!!! Gumpalan batu es yang sangat besar telah hancur
berkeping-keping luluh menjadi air hujan yang turun
bagai air bah tercurah dari langit.
Hujannn?"!!!! Hujannn?".!!!! 985 Berteriak seluruh penduduk bergembira menyaksikan
hujan mengguyur seluruh bumi Padukuhan. Seluruhnya
termasuk sawah ladang mereka yang terkena wabah ulat
bulu beracun. Para penduduk sepertinya tidak menghiraukan tubuh
dan pakaian mereka yang basah kuyup. Mereka semua
terlihat berlari menuju sawah ladang masing-masing.
Bukan main gembiranya ketika menyaksikan sendiri
bahwa ulat bulu beracun telah hilang hanyut terbawa air
mengalir. Terlihat berbondong-bondong mereka kembali
ketempat semula dimana Mahesa Amping masih duduk
bersila sempurna. "Terima kasih wahai Manusia Dewa", berkata
beberapa penduduk sambil bersujud dihadapan Mahesa
Amping. Sementara itu hujan terlihat sudah semakin surut dan
akhirnya telah berhenti tiris. Perlahan Mahesa Amping
membuka kedua kelopak matanya.
Mahesa Amping tersenyum melihat
penduduk tengah bersujud dihadapannya.
beberapa "Bangunlah, aku tidak pantas disembah. Semua
berkat karunia Sang Hyiang Gusti yang Maha Pengasih,
juga berkat doa kalian juga", berkata Mahesa Amping
sambil meminta beberapa penduduk untuk bangkit
berdiri. Pemimpin mereka terlihat mendekati Mahesa Amping
yang sudah bangkit berdiri.
"Terima kasih, tuan telah menyelamatkan kehidupan
kami", berkata pemimpin itu kepada Mahesa Amping.
"Berterima kasihlah kepada Gusti Yang Maha 986 Pengasih, sementara diriku hanya sebatas perantara",
berkata Mahesa Amping. "Kami mohon maaf atas segala perlakuan buruk
terhadap tuan", berkata pemimpin itu kepada Mahesa
Amping, juga kepada Empu Dangka dan Ki Arya Sidi
yang juga datang mendekat.
"Siapapun dapat berbuat khilaf menghadapi suasana
musibah wabah seperti ini", berkata Empu Dangka.
"Namaku Nyoman Atmaya, para penduduk disini
biasa memanggilku Ki Buyut", berkata pemimpin itu yang
memperkenalkan dirinya sebagai Ki Buyut.
Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi
berganti memperkenalkan dirinya, mereka tanpa sungkan
lagi langsung menyampaikan arah tujuan mereka yaitu
ke Pura Indrakila. "Ternyata tuan bertiga adalah para tamu agung
Pemilik Pura Indrakila", berkata Ki Buyut penuh
kekaguman mengetahui bahwa ketiga orang dihadapannya hendak mengunjungi Pura Indrakila." Hari
sudah diujung senja, sebuah kehormatan bila saja tuantuan sudi beristirahat di tempat kami", berkata kembali Ki
Buyut penuh santun. "Hari memang akan segera gelap, asal tidak
merepotkan kalian, kami akan bermalam", berkata Ki
Arya Sidi. "Sebuah kehormatan menjamu tuan-tuan bermalam
di tempat kami", berkata kembali Ki Buyut penuh
kegembiraan. Terlihat Ki Buyut berbicara dengan salah seorang
penduduk, sepertinya sebuah perintah untuk menyiapkan
beberapa hal untuk tamu-tamu kehormatannya.
987 "Mari kita berjalan menuju rumahku", berkata Ki
Buyut setelah menghampiri Mahesa Amping, Empu
Dangka dan Ki Arya Sidi. Maka berjalanlah mereka bersama menuju kerumah
Ki Buyut. "Dua hari lagi kami akan panen raya", berkata Ki
Buyut sambil memandang hamparan sawah disepanjang
jalan menuju rumahnya. Ternyata rumah Ki Buyut terlihat sangat mencolok


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diantara rumah-rumah yang ada, terutama dalam ukuran
besarnya. Ketika mereka memasuki regol rumah Ki
Buyut, mereka menemui seorang yang ternyata orang
kepercayaan Ki Buyut untuk mempersiapkan segala
sesuatunya untuk tamu-tamunya.
"Nyi Buyut sudah kuberitahukan tentang kedatangan
tamu-tamu kita", berkata orang itu kepada Ki Buyut
perlahan penuh kesopanan layaknya seorang bawahan.
"Beristirahatlah", berkata Ki Buyut kepada tamutamunya sambil menunjukkan letak pringgitan untuk
bersih-bersih. Setelah bergantian ke pringgitan, terlihat Mahesa
Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi duduk bersama
di teras depan berupa saung yang besar.
"Mudah-mudahan masakan simbok berkenan di lidah
tuan-tuan", berkata Ki Buyut sambil mempersilahkan
tamunya menikmati hidangan yang telah disediakan.
"Terima kasih, jadi merepotkan", berkata Ki Arya Sidi
kepada Ki Buyut. "Kami tidak repot, sebaliknya kami merasa terhormat
tuan-tuan bersedia bermalam disini", berkata Ki Buyut
penuh senyum memperlihatkan deretan giginya yang
988 putih dan rata sebagaimana umumnya asli Bali.
Sementara itu langit diatas rumah Ki Buyut sudah
terlihat semakin gelap, purnama bulat penuh berdiri
diatas pohon kemboja kuning yang tumbuh di halaman
rumah Ki Buyut. Suasana di rumah Ki Buyut menjadi begitu hangat,
ternyata Ki Buyut adalah seorang yang pandai bercerita.
Maka saling bersambutlah cerita mereka silih berganti
seperti tidak berujung berganti pangkal dan pokok
pembicaraan, mulai dari panen raya sampai kehalusan
orang Bali membuat sebuah keris dan berlanjut
kemasalah sukar tidurnya Ki Buyut yang terganggu
setiap malam karena cucunya yang baru berumur belum
sepekan sering menangis dimalam hari.
Sementara itu langit malam dikediaman Ki Buyut
telah semakin larut, rembulan telah lama bergeser surut.
Wajah keremangan malam yang teduh hanya
mendengarkan suara kesunyiannya.
"Maaf, bila sudah bicara aku memang suka lupa
waktu", berkata Ki Buyut sambil mengingatkan tamunya
untuk beristirahat. Akhirnya Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya
Sidi masuk ke bilik yang telah disediakan. Di sisa malam
itu cucu Ki Buyut sama sekali tidak terbangun menangis.
Yang sering kadang terdengar adalah suara burung
tekukur milik Ki Buyut yang sekali-sekali berbunyi
dikesunyian malam. Mahesa Amping lah yang bangun pertama, menyusul
Ki Arya Sidi dan Empu Dangka.
"Mari kita keluar", berkata Mahesa Amping kepada
Empu Dangka dan Ki Arya Sidi mengajak keluar dari bilik
989 kamar. "Hari masih begitu pagi", berkata Ki Arya Sidi
memandang langit pagi yang masih gelap.
"Ternyata tuan-tuan sudah lebih dulu bangun pagi",
berkata Ki Buyut yang baru saja keluar dari pringgitan.
"Tidur kami sangat nyenyak di rumah Ki Buyut",
berkata Ki Arya Sidi kepada Ki Buyut yang sudah duduk
bergabung bersama. "Hari ini kami akan melaksanakan Tajen, kuharap
kalian dapat menyaksikannya", berkata Ki Buyut kepada
tamu-tamunya. "Di kesempatan lain waktu saja", berkata Empu
Dangka kepada Ki Buyut yang akhirnya tidak dapat
memaksa tamu-tamunya yang untuk lebih lama di
rumahnya. Ketika matahari pagi telah bersembul di ujung timur
hamparan sawah yang telah menghijau. Mahesa Amping,
Empu Dangka dan Ki Arya Sidi terlihat telah keluar dari
rumah Ki Buyut. Terlihat pandangan Ki Buyut mengiringi langkah kaki
tamu-tamunya yang semakin lama menjauh dan hilang
disebuah tikungan jalan. Jarak Pura Indrakila dari
Kabuyutan tempat mereka bermalam memang tidak lagi
begitu jauh. Sementara jalan yang mereka lalui memang
agak menanjak karena Pura Indrakila berada di puncak
sebuah bukit. Ketika matahari pagi semakin menaik, mereka sudah
dapat melihat pura Indrakila berdiri megah dari kejauhan.
"Apakah tuan-tuan berasal dari Padepokan Panca
Agni?", berkata seorang penjaga kepada mereka bertiga.
990 "Benar, kami dari Padepokan Panca Agni", berkata Ki
Arya Sidi. ----------oOo---------JILID 11
"Ternyata tuan-tuan adalah tamu yang tengah kami
nantikan", berkata penjaga itu sambil mengajak Mahesa
Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi menemui Dewa
Bakula."Kita langsung ke Bale Guru", berkata kembali
penjaga itu. Pura Indrakila memang cukup luas, terdiri dari
beberapa bangunan yang terpisah. Sambil berjalan
penjaga itu memberikan penjelasan tentang beberapa
tempat. Suasana di sekitar Pura Indrakila terlihat tertata
apik dan sangat asri. "Selamat datang di Pura Indrakila", berkata Dewa
Bakula menyambut kedatangan para tamunya di
pendapa Bale Guru. Mahesa Amping, Empu Dangka maupun Ki Arya Sidi
sangat merasa heran melihat perubahan sikap dari Dewa
Bakula yang terkesan sangat tidak sombong lagi
sebagaimana yang mereka kenal sebelumnya.
"Hari ini adalah hari terakhirku di Balidwipa, besok
aku akan kembali ke Tanah Hindu", berkata Dewa Bakula
setelah para tamunya telah duduk bersamanya di
pendapa. "Apakah karena adanya perjanjian diantara kita,maka
tuan pendeta kembali ke Tanah Hindu?", bertanya
Mahesa Amping kepada Dewa Bakula. "Kalau memang
karena itu sebabnya, aku dapat melepas perjanjian yang
telah kita tetapkan. 991 "Bukan itu anak muda", berkata Dewa Bakula dengan
wajah penuh senyum. "Meski kekalahanku itu telah
memberikan diriku banyak pelajaran, diantaranya adalah
berpikir jernih tentang keberadaan kami para pendeta
dari Tanah Hindu ini", berkata Dewa Bakula melanjutkan
perkataannya. "Tuan Pendeta telah menemukan dan membedakan
kepamrihan, aku berdoa untuk kemerdekaan jiwa tuan
yang tengah memasuki alam Tatwa selanjutnya", berkata
Empu Dangka ikut menanggapi pernyataan dari Dewa
Bakula "Terima kasih", berkata Dewa Bakula sambil menjura.
Namun ketika mereka asyik bercakap-cakap,
datanglah seorang penjaga sambil membawa sebuah
anak panah yang patah, simbol sebuah tantangan.
"Seseorang memintaku memberikannya kepada
salah seorang diantara tuan-tuan yang bernama Mahesa
Amping. Pesannya akan ditunggu kehadirannya di bukit
Sembul nanti malam", berkata penjaga itu.
Terlihat Dewa Bakula menarik nafas panjang.
"Maafkan saudara tuaku Dewa Palaguna, ternyata
dirinya tidak bisa menerima kekalahanku", berkata Dewa
Bakula yang sudah menduga bahwa tantangan itu
berasal dari Dewa Palaguna.
"Gusti yang Maha Pengasih telah memberikan
keluasan ilmunya dalam berbagai tingkat yang berbeda
kepada setiap jiwa manusia yang terlahir, perbedaan
itulah sebagai sarana kita saling mengenal dan untuk
dapat bermawas diri", berkata Empu Dangka.
"Terima kasih, bahagia aku berada diantara kalian
yang ternyata telah melihat cakrawala alam Tattwa yang
992 luas tak terhingga", berkata Dewa Bakula kembali
menjura. "Apakah tuan pendeta akan ikut bersama kami ke
Bukit Sembul?", bertanya Ki Arya Sidi yang sedari awal
tidak banyak cakap. "Aku akan datang mengantar kalian ke Bukit
Sembul", berkata Dewa Bakula dengan penuh kepastian.
Tidak terasa hari telah terlihat menjelang sore,
matahari dibatas barat bumi tengah memancarkan
cahayanya yang lembut. Dan awan di cakrawala langit
Pura Indrakila nampaknya begitu putih bersih. Tanaman
bunga dan rumput hijau di halaman Bale Guru yang
tertata asri seperti tengah menari bersenandung mandi
kehangatan dan kelembutan cahaya matahari sore.
Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi
nampaknya tengah menikmati keindahan suasana di
Bale Guru itu. "Sebelum ke Bukit Sembul, kita singgah ke
Puri Dalem. Baginda Raja Indrakila telah merestui semua
keputusanku, aku akan memperkenalkan dirimu
kepadanya", berkata Dewa Bakula kepada Mahesa
Amping. "Terima kasih memperkenalkan diriku kepada
Penguasa Pura Indrakila ini", berkata Mahesa Amping
perlahan. Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya,
Dewa Bakula telah meminta Mahesa Amping datang
bersamanya ke Puri Dalem menghadap Baginda Raja
Indrakila. "Kami menunggu di pendapa ini", berkata Empu
Dangka kepada Dewa Bakula dan Mahesa Amping yang
tengah menuruni anak tangga pendapa Bale Guru
993 hendak menghadap Raja Indrakila di Puri Dalem. Ki Arya
Sidi dan Empu Dangka mengiringi langkah Mahesa
Amping dan Dewa Bakula yang terlihat tengah berjalan
menyusuri jalan setapak dan menghilang disebuah
tikungan jalan. "Kehadiran Mahesa Amping adalah sebuah anugerah
yang besar bagi Pura Indrakila", berkata Empu Dangka
kepada Ki Arya Sidi di pendapa Bale Guru. Sepertinya
berusaha mengisi kesunyian sejak ditinggal Mahesa
Amping dan Dewa Bakula yang tengah menghadap di
Puri Dalem astana Raja Indrakila.
"Sebagaimana kehadirannya di Padepokan Panca
Agni", berkata Ki Arya Sidi membenarkan perkataan
Empu Dangka. Sementara itu waktu terus berlalu, matahari di atas
langit Bale Guru Pura Indrakila telah bergeser semakin
surut. Tanaman bunga dan rumput hijau yang tertata asri
dihalaman Bale Guru nampaknya telah lelah menari dan
bersenandung. Bunga Soka kuning di pojok halaman
nampak buram tidak tersinar matahari lagi, pucuk-pucuk
rumput hijau terlihat merunduk menanti senja yang akan
datang mengunjungi. "Hari telah menjelang senja", berkata Empu Dangka
sambi pandangannya menyapu halaman Bale Guru.
"Akhirnya mereka telah kembali", berkata Empu
Dangka yang melihat Mahesa Amping dan Dewa Bakula
muncul dari sebuah tikungan jalan setapak.
"Bukit Sembul tidak jauh, kita berangkat menjelang
senja berakhir", berkata Dewa Bakula yang telah duduk
bersama di pendapa Bale Guru menyampaikan kapan
waktunya berangkat ke Bukit Sembul. Bukit Sembul
memang tidak begitu jauh dari Pura Indrakila. Diatas
994 puncak bukitnya ada sebuah tanah lapang yang luas.
Para Sisya Pura Indrakila pada hari-hari tertentu biasa
menggunakannya sebagai sanggar terbuka.
Ketika senja berakhir, terlihat empat orang lelaki
menuruni tangga pendapa Bale Guru. Purnama tak sabar
mengintip diantara rimbunan pohon-pohon kayu besar
yang tumbuh di beberapa tempat di Pura Indrakila.
Suasana diujung senja itu begitu bening dan teduh.
Kempat lelaki itu tidak keluar lewat regol pintu depan
Pura Indrakila, tapi berjalan kearah timur dari Bale Guru
memasuki hutan kecil yang tidak begitu lebat. Tidak
begitu lama mereka akhirnya telah tiba di Bukit Sembul
tengah menaiki sebuah gumuk kecil dan akhirnya mereka
telah sampai diatas puncak bukit sembul yang tenyata
adalah sebuah padang rumput yang lapang.
Benderang cahaya bulat bulan purnama telah
menerangi tanah lapang itu. Terlihat seorang yang
bertelanjang dada dengan rambutnya yang panjang
terurai berdiri menyambut kedatangan mereka.
"Lama aku menunggu kedatangan kalian", berkata
orang itu yang ternyata adalah Ki Jaran Waha.
"Bila ada Raja Leak, pasti amanlah kita", berkata Ki
Arya Sidi merasa gembira bertemu kembali dengan
saudara angkatnya itu. "Jangan khawatir, para pengikutku telah siap
menjalankan tugasnya berjaga-jaga", berkata Ki Jaran
Waha dengan senyumnya yang mengembang.
Sementara itu bulan purnama bulat telah bergeser
terus kepuncak cakrawala langit malam. Taburan jutaan
bintang menambah keindahan suasana diatas puncak
Bukit Sembul. 995 Akhirnya yang mereka nantikan datang juga. Dari sisi
lain terlihat dua orang muncul dalam bayang tersamar
terus mendekati mereka. Semakin nampak jelas siapa
gerangan yang mendekati mereka. Ternyata adalah
Dewa Palaguna bersama seseorang yang terlihat sudah
begitu tua terlihat dari kerut-kerut wajahnya yang mulai


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kendur. "Guru!!!", berkata Dewa Bakula sambil menjatuhkan
dirinya bersujud dihadapan seorang yang datang
bersama Dewa Palaguna "Bangkitlah Bakula, aku ingin berkenalan dengan
orang yang telah mengalahkanmu", berkata orang itu
kepada Dewa Bakula. Dewa Bakula bangkit berdiri dengan wajah penuh
keraguan. "Aku bertanding dengan adil, aku sudah menerima
kekalahanku dengan wajar. Tidak ada yang perlu
dipermasalahkan lagi", berkata Dewa Bakula dengan
wajah masih penuh keraguan apa kiranya yang akan
dilakukan guru dan saudara tuanya itu.
"Kamu boleh menerima kekalahan itu, tapi aku belum
dapat menerimanya", berkata Dewa Palaguna kepada
Dewa Bakula dengan suara lantang sepertinya
menyalahkan dan meremehkan Dewa Bakula yang
mudah menyerah. "Aku sependapat dengan saudara tuamu, menyingkirlah", berkata orang tua yang dipanggil guru itu
kepada Dewa Bakula. "Aku mendengar ada yang ingin berkenalan
denganku", berkata Mahesa Amping maju menghadap
orang tua itu dengan menjura penuh hormat.
996 "Ternyata kamu memang masih muda belia", berkata
orang tua memandang Mahesa Amping dari ujung kaki
sampai keatas kepala. Perkenalkan namaku Aanjav, aku
sudah mendengar tentang dirimu lewat muridku
Palaguna", berkata orang itu sambil menatap Mahesa
Amping dengan matanya yang begitu tajam sepertinya
ingin menelisik kemampuan Mahesa Amping.
Tapi Mahesa Amping bukan anak muda sembarangan, kilatan cahaya mata Aanjav yang tajam itu
seperti menembus sebuah samudra yang dalam.
Terkejut Aanjav merasakan tabrakan tatapan mata
Mahesa Amping. "Muridku telah kamu kalahkan, biarlah aku yang tua
ini mencoba mengenal beberapa jurus darimu", berkata
Aanjav kepada Mahesa Amping.
"Hanya untuk mengenal beberapa jurus, bukan
sebuah pertandingan hidup mati", berkata Mahesa
Amping dengan penuh ketenangan.
"Tapi jangan salahkan diriku bila ada yang mati",
berkata Aanjav penuh percaya diri.
"Aku telah siap, maksudnya?""bukan siap mati",
berkata mahesa Amping dengan senyum dikulum.
"Tataplah purnama diatas langit sepuasnya, besok
mungkin kamu sudah tidak dapat lagi memandangnya",
berkata Aanjav yang kurang senang dengan gurauan
Mahesa Amping. "Hari ini aku telah menatap rembulan, bila besok tidak
lagi menatap rembulan, itu artinya aku tertidur disore
hari", berkata Mahesa Amping tidak menghiraukan orang
tua dihadapannya yang tidak suka bergurau.
"Aku tahu bahwa kamu tengah mengungkit 997 kemarahanku, apapun ucapanmu tidak akan mempengaruhiku", berkata Aanjav dengan mata yang
tajam sepertinya telah dapat membaca arah pikiran dari
Mahesa Amping. "Aku tidak bermaksud apapun, hanya sekedar
merenggangkan ketegangan" berkata Mahesa Amping
masih dengan kepercayaannya dirinya yang tinggi.
Namun diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikap
orang tua dihadapannya itu yang tidak mudah diungkit
kemarahannya. "Keluarkanlah senjatamu", berkata Aanjav kepada
Mahesa Amping. Mahesa Amping terlihat dengan penuh ketenangannya mengurai senjata cambuknya dari
pinggangnya. Sementara itu semua yang melihat Mahesa Amping
dan Aanjav tengah mempersiapkan diri untuk bertarung
sepertinya mengerti bahwa pertarungan yang dahsyat
akan terjadi di tanah lapang bukit Sembul itu, terlihat
mereka semuanya mencari tempat menjauh.
"Mari kita lihat apakah cambukmu mampu menahan
serangan tongkatku", berkata Aanjav sambil memutar
tongkatnya diatas kepalanya.
Wutttt?"?"",,
Tiba-tiba terdengar suara angin yang cepat berasal
dari tongkat Aanjav yang meluncur menghantam ke arah
pinggang Mahesa Amping. "Pukulan yang kuat !!", berkata Mahesa Amping yang
bergeser mundur menghindari hantaman tongkat
panjang Aanjav yang kuat dan cepat itu.
998 Baru saja Mahesa Amping bergeser mundur, tongkat
Aanjav telah berubah arah menusuk ke arah perut,
kembali Mahesa Amping bergeser mundur ke belakang.
Namun kali ini cambuk Mahesa Amping ikut bergerak.
Wutttt?".., Cambuk Mahesa Amping nyaris menghantam leher
Aanjav. "Arah serangan yang baik", berkata Aanjav sambil
merunduk menghindari serangan cambuk Mahesa
Amping. Degggggg?"?"",
"Bagaimana yang ini?", berkata Mahesa Amping
sambil menghentakkan cambuknya dengan cara sendal
pancing mematuk ke arah leher Aanjav.
"Luar biasa", berkata Aanjav sambil bergeser
badannya kekanan menghindari patukan cambuk
Mahesa Amping yang datang tidak terduga dan begitu
cepatnya. Kali ini Aanjav balas menyerang dengan
mengibaskan tongkatnya ke arah kaki Mahesa Amping.
Dengan cepat Mahesa Amping melompat dan balas
menyerang dengan memutarkan cambuknya kearah
badan Aanjav bagian atasnya.
Tidak ada cara lain bagi Aanjav selain menangkis
serangan Mahesa Amping dengan tongkatnya.
Duarrr?""..!!!!!
Dua buah senjata beradu mengeluarkan suara yang
terdengar begitu keras dan memercikkan bunga api di
keremangan malam diatas tanah lapang Bukit Sembul.
Dua buah senjata yang hanya terbuat dari kayu
999 pilihan dan yang satunya sebuah cambuk dari bahan
jengat ketika beradu memercikkan bunga api adalah
sebuah tanda bahwa pemilik kedua senjata itu telah
memiliki tenaga cadangan yang sangat dahsyat.
"Kali ini Mahesa Amping mendapatkan lawan yang
sepadan", berkata Empu Dangka dalam hati yang
menyaksikan pertempuran itu dengan mata yang
sepertinya tidak pernah berkedip.
Ternyata perhitungan Empu Dangka sangat
beralasan. Aanjav di tanah asalnya sangat disegani.
Bahkan namanya sudah terkenal tidak hanya terbatas di
Tanah Hindu. Beberapa Datuk sesat di daratan Cina
yang terkenal akan ketinggian ilmunya akan berpikir
ulang untuk berhadapan langsung dengan Aanjav yang
dikenal dengan sebutan "Pendeta bertongkat seribu ".
Kedua murid Aanjav, Dewa Bakula dan Dewa
Palaguna diam- diam mengagumi ketinggian ilmu
Mahesa Amping. Kedua muridnya ini sudah tahu betul
kedahsyatan ilmu gurunya, namun kali ini ada seorang
yang masih muda telah mampu melayaninya dengan
baik. "Pertempuran yang dahsyat", berkata Ki Jaran Waha
kepada Ki Arya Sidi yang berdiri di sebelahnya.
"Pertempuran semakin cepat", berkata Ki Arya Sidi
yang melihat pertempuran sudah semakin cepat.
Sebagaimana yang dilihat oleh Ki Arya Sidi,
pertempuran memang sudah semakin cepat. Mahesa
Amping dan Aanjav telah meningkatkan tataran ilmunya
selapis demi selapis. Serangan- serangan mereka sudah
tidak dapat lagi terlihat oleh pandangan kasat mata.
Yang terlihat hanyalah dua bayangan hitam saling
menyerang dan balas menyerang.
1000 Yang lebih dahsyat lagi terlihat pada pada arena
tempat mereka bertempur yang sudah menjadi rata.
Rumput dan alang- alang hangus terbakar menjadi abu
dan beterbangan menjauh tertiup angin pukulan yang
keras. Ternyata Mahesa Amping dan Aanjav telah
menyalurkan tenaga dari dalam dirinya berupa hawa
panas yang luar biasa pada masing-masing senjatanya.
Terasa pada setiap angin serangan dan desis pukulan
mereka. Jarak tempur mereka terus bergeser tidak lagi
berdekatan, karena jarak arah serangan tidak sebatas di
ujung tongkat dan di ujung cambuk, tapi sudah
bertambah sedepa melebihi senjata mereka masingmasing berupa angin serangan yang sangat panas.
Mahesa Amping memanfaatkan kelenturan senjata
cambuknya, sementara itu Aanjav yang terkenal dengan
sebutan "Pendeta bertongkat seribu telah memainkan
tongkatnya dengan kecepatan yang luar biasa.
Pertempuran dua dewa kanuragan ini pun menjadi begitu
sengit, seru dan keras. Kadang-kadang tidak dapat dihindari terjadi benturan
senjata. Akibatnya adalah terlihat percikan bunga api
layaknya dua benda berujud wesi aji pilihan saling
beradu dengan kerasnya. Pertempuran telah terlihat semakin seru dan
meneganggan. Hawa panas telah menyebar seluas
arena pertempuran diantara mereka.
Sementara itu malam telah semakin larut, belum juga
ada tanda-tanda siapa yang akan memenangkan
pertempuran itu. Tidak ada setitik keringat pun terlihat di
wajah-wajah mereka. Sepertinya mereka telah menguasai ilmu pernapasan tingkat tinggi, tidak
merasakan kelelahan sedikit pun.
1001 "Pantas bila kedua muridku tidak dapat menandinginya", berkata Aanjav dalam hati sambil
melayani serangan Mahesa Amping yang dahsyat datang
beruntun. Sementara itu Mahesa Amping terus berpikir keras
bagaimana caranya mengalahkan ilmu Aanjav ini yang
memang sudah ada pada tataran yang tinggi. Tidak
terlihat celah sedikit pun dari jurus-jurus yang
dikeluarkan, meski Mahesa Amping pernah melihatnya
ketika menghadapi Dewa Bakula dan Dewa Palaguna.
Tapi jurus Aanjav dari kedua muridnya ini jauh lebih
sempurna lagi. "Anak ini bergerak seperti setan", berkata dalam hati
Aanjav menghadapi Mahesa Amping yang telah
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris
sempurna, ditambah lagi Mahesa Amping sepertinya
mampu membaca kemana arah senjata tongkatnya akan
berpindah serangan. Hanya dengan kematangan ilmunya yang telah
banyak berpengalaman menghadapi berbagai lawan dari
berbagai ilmu aliran yang berbeda yang membuat
Pendeta bertongkat seribu ini mampu menghadapi dan
mengimbangi anak muda lawannya itu.
"Luar biasa!!!", berkata kembali Aanjav dalam hati
ketika Mahesa Amping telah mampu menghadapi
serangannya dengan jarak pendek, sepertinya tidak
merasakan apapun hawa panas yang telah dikerahkan
lewat serangan tongkatnya.
Diam-diam Pendeta bertongkat seribu mengagumi
Mahesa Amping yang masih muda namun sudah berilmu
tinggi. Biasanya hanya dari golongan tua saja yang
mampu melayaninya. 1002

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertempuran masih terus berlangsung dan nampaknya kian seru. Butiran-butiran keringat sudah
terlihat di wajah Mahesa Amping maupun pada Aanjav
sebagai tanda mereka telah mengerahkan seluruh
tenaganya dengan keras. "Hanya orang gila yang mampu berbuat ini!!!!",
berkata dalam hati Aanjav dengan dada yang berdebar.
Ternyata Mahesa Amping tengah membolak-balikkan
kekuatan hawa panas dan hawa dingin silih berganti
dengan perubahan yang cepat.
Empu Dangka yang melihat kecerdikan Mahesa
Amping hanya tersenyum kecil, sebuah cara yang tidak
umum dan tidak semua orang dapat melakukannya.
Empu Dangka melihat perubahan pertempuran,
Aanjav sepertinya agak terganggu dengan cara yang
dilakukan oleh Mahesa Amping lewat pengerahan hawa
panas dan hawa dingin yang berubah dengan cepat dan
tidak menentu. "Dewa mana yang mengendap didalam jiwa anak ini",
berkata dalam hati Aanjav dengan perasaan galau.
Galau memenuhi perasaan Aanjav sang pendeta
bertongkat seribu ini. Galau juga memenuhi perasaan Dewa Palaguna
yang melihat gurunya seperti setengah terdesak.
Sebagai orang yang berada diluar arena pertempuran
dapat merasakan sebuah tekanan akibat dari perubahan
hawa panas dan hawa dingin yang silih berganti tak
menentu. Dewa Palaguna dapat membayangkan
tekanan yang lebih keras lagi akan dialami oleh gurunya
yang tengah bertempur itu.
Ki Jaran Waha dan Ki Arya Sidi terlihat mundur
1003 menjauh karena merasakan tekanan perubahan hawa
panas dan hawa dingin yang dihentakkan oleh kekuatan
dari dalam diri Mahesa Amping.
"Bila saja anak muda ini telah mengerahkan
kekuatannya seperti ini ketika bertempur melawanku,
mungkin aku sudah tidak lagi melihat purnama malam
ini", berkata Dewa Palaguna merasa bersyukur Mahesa
Amping ternyata telah bersikap lunak kepadanya sambil
menarik nafas panjang. "Ketika berupaya menghentakkan kekuatan yang ada
didalam dirinya beberapa hari yang lalu, Mahesa Amping
belum melepaskan seluruh kekuatannya", berkata Empu
Dangka yang baru melihat kekuatan Mahesa Amping
yang sebenarnya sambil mundur beberapa langkah
menghindari tekanan akibat perubahan kekuatan hawa
panas dan hawa dingin yang silih berganti yang
dikerahkan Mahesa Amping dalam menghadapi Aanjav
yang berilmu tinggi. Kegalauan menghantui seluruh perasaan Aanjav,
ternyata Mahesa Amping telah merambati kekuatannya
semakin ke puncaknya. Pikiran Aanjav telah bercabang,
disamping menghadapi serangan cambuk Mahesa
Amping yang sangat cepat dan beruntun, juga berusaha
melambari dirinya dengan hawa panas dan hawa dingin
yang silih berganti . Terlihat tubuh Aanjav melenting jauh ke belakang.
"Cukup!!!", berkata Aanjav sambil mengangkat kedua
tangannya sebagai tanda untuk menghentikan pertempurannya. Sebagai seorang yang ahli dan
mempunyai pengalaman yang cukup banyak dapat
mengetahui apa yang terjadi bila saja lawannya dengan
kekuatan yang semakin tinggi dan berubah- ubah itu
1004 akan mengakibatkan seluruh urat halus darah akan
pecah, sebuah dampak yang sangat mengerikan !!!!!!
Mahesa Amping terlihat masih berdiri ditempatnya.
"Terima kasih telah berbuat lunak kepadaku", berkata
Aanjav kepada Mahesa Amping sambil menjura dalam.
"Hari ini aku mengakui dan menerima kekalahan muridmuridku", berkata Aanjav kepada mahesa Amping.
"Hanya manusia yang berjiwa layaknya samudera
yang dapat menerima sebuah kekalahan", berkata
Mahesa Amping kepada Aanjav dengan senyum penuh
persahabatan. "Senang berkenalan denganmu wahai anak muda",
berkata Aanjav kepada Mahesa Amping, sepertinya
mereka tidak habis bertempur.
Semua yang menyaksikan pertempuran itu terlihat
bernafas lega setelah beberapa saat darah mereka
seperti berhenti begitu tegangnya.
"Mereka adalah sahabat Mahesa Amping", berkata
Dewa Bakula kepada Gurunya sambil memperkenalkan
Empu Dangka, Ki Arya Sidi dan Ki Jaran Waha yang juga
baru dikenalnya. "Hari ini aku berkenalan dengan orang-orang luar
biasa dari Balidwipa", berkata Aanjav penuh senyum
keramahan. Akhirnya mereka menyadari bahwa Dewa
Palaguna tidak ada diantara mereka.
"Palaguna belum dapat menilai sebuah kekalahan
dengan sebenarnya", berkata Aanjav sambil menarik
nafas dalam menyesali sikap dan perbuatan muridnya
yang sudah cukup berumur yang seharusnya sudah
dapat berbuat bijak. Sementara itu cakrawala langit malam sudah 1005 semakin hanyut surut dibawa sang waktu, dan sang dewi
rembulan sudah letih menjaga bumi berbaring pucat di
tepian ujung barat cakrawala langit malam yang sebentar
lagi akan berganti pagi. Benar!!!, bintang fajar telah terlihat tersenyum
denngan cahayanya yang gemerlap sebagai tanda pagi
akan segera menjelang. "Mari kita bersama ke Pura Indrakila", berkata Dewa
Bakula mengajak semuanya beristirahat di Pura
Indrakila. "Terima kasih, aku tidak ikut singgah. Penampilanku
akan membuat gempar para penghuni Pura Indrakila",
berkata Ki Jaran Waha pamit diri langsung kembali ke
tempat kediamannya. Terdengar Ki Jaran Waha bersuit panjang, maka
terlihat beberapa orang keluar dari persembunyiannya.
Ternyata Ki Jaran telah menempatkan beberapa
pengikutnya untuk berjaga-jaga bilamana ada sebuah
kecurangan dari pihak lain.
Dengan diiringi pandangan mata semua yang ada di
puncak bukit Sembul itu, Ki Jaran Waha dan pengikutnya
telah menuruni puncak Bukit Sembul dan akhirnya
menghilang ditelan bumi di sebuah tanah yang menurun
terjal. Tidak lama kemudian semua yang tersisa di tanah
lapang bukit Sembul itu pun bergerak menuruni bukit
menuju Pura Indrakila. Mereka berjalan beriring dinaungi langit yang telah
bersemburat warna merah merata sebagai tanda
sebentar lagi sang mentari akan datang menjaga bumi.
Pagi masih begitu gelap manakala mereka telah
1006 sampai di Pura Indrakila. Sebagaimana keluarnya,
mereka pun masuk dari sebelah sisi kiri Pura Indrakila
langsung menuju Bale Guru.
"Beristirahatlah, aku akan memberitahukan pelayan",
berkata Dewa Bakula ketika mereka tengah manaiki
tangga pendapa Bale Guru.
"Semoga Gusti Yang Maha Agung selalu menaungi
perjalananmu", berkta Empu Dangka mengantar ki Arya
Sidi yang tengah menuruni anak tangga pendapa Bale
Guru. Diiringi pandangan mata Mahesa Amping dan Empu
Dangka, terlihat Ki Arya Sidi menghilangan di tikungan
jalan setapak terhalam pohon rengon yang besar.
Sementara itu matahari pagi sudah bergeser naik
memancarkan cahayanya yang menyilaukan di ujung
timur bumi. Awan cerah seperti kapas mengambang
mengisi seluruh cakrawala diatas Bale Guru Pura
Indrakila. Seperti biasa, dipagi itu Mahesa Amping dan Empu
Dangka turun ke sanggar untuk memberikan beberapa
pengarahan yang diperlukan kepada para Sisya.
"Daya tangkap dan penalaran dari setiap Sisya
ternyata tidak sama", berkata Mahesa Amping kepada
Empu Dangka disela-sela kesibukannya memberikan
pengarahan kepada para Sisya.
"Disitulah letak keadilan Gusti Yang Maha Agung",
berkata Empu Dangka dengan senyum dikulum.
"Jadi adil itu bukan berarti sama rata ?", bertanya
Mahesa Amping "Benar, adil menurut kita tidak sama dengan adil
menurut Sang Hyiang Gusti Yang Maha Agung", berkata
1007 Empu Dangka menyejukkan. masih dengan senyumnya yang Pembicaraan mereka terhenti manakala datang
seorang pelayan Puri Dalem Astana menemui mereka.
"Baginda Raja berkenan akan mengunjungi sanggar",
berkata pelayan itu. "Kami akan menanti kedatangan tuan Baginda",
berkata Mahesa Amping kepada pelayan itu.
Pelayan itu pun terlihat melangkah pergi
meninggalkan mereka. Tidak lama berselang, Baginda
Raja Indrakila memang telah berkenan datang ke
sanggar melihat-lihat kegiatan latihan para Sisya
bersama Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Terima kasih telah mengembalikan warna ilmu di
Pura Indrakila ini sebagaimana yang telah diturunkan
nenek moyang kami secara turun temurun", berkata
Baginda Raja Indrakila merasa gembira melihat tata
gerak ilmu kanuragan yang diajarkan Mahesa Amping.
"Apakah tuanku melihat beberapa hal yang
berbeda?", bertanya Mahesa Amping memancing
kejelian mata Baginda Raja Indrakila.
"Benar apa yang kamu katakan, aku melihat
beberapa hal yang berbeda secara mendasar", berkata
Baginda Raja yang sejak semula melihat ada beberapa
perbedaan. "Itulah hasil pengembangan dan kesempurnaannya",
berkata Mahesa Amping tanpa menerangkan bahwa
dialah sebenarnya yang telah menyempurnakan ilmu
perguruan Panca Agni. Akhirnya, menjelaskan secara sederhana Mahesa Amping
beberapa hal yang merupakan 1008 kesempurnaan dari ilmu perguruan Panca Agni kepada
Baginda Raja Indrakila. Sebagai seorang yang telah lama menggeluti ilmu
perguruan Panca Agni sejak usia belia, penjelasan
Mahesa Agni membuat Baginda Raja Indrakila semakin
tertarik. "Bila tuanku bersedia, hamba dapat merincinya di
sanggar tertutup", berkata Mahesa Amping mengajak
Baginda Raja Indrakila ke sanggar tertutup yang saat itu
tidak digunakan oleh para Sisya.
Ketika sudah berada didalam Sanggar tertutup,
Mahesa Amping menjelaskan secara terinci beberapa
celah kekurangan yang ada pada ilmu perguruan Panca
Agni. Dan dengan secara terinci pula Mahesa Amping
menjelaskan beberapa kesempurnaan dan pengembangan ilmu perguruan Panca Agni. Kadang
Mahesa Amping menjelaskan dengan langsung
memperagakannya. Seperti anak kecil mendapatkan mainan baru,
Baginda Raja Indrakila langsung menjalankan jurus-jurus
pengembangan perguruan Panca Agni dengan penuh
semangat. "Selama ini aku berlatih tapi tidak melihat
kekurangannya", berkata Baginda Raja Indrakila penuh
kegembiraan mengakhiri beberapa jurus yang berbeda
sebagai hasil pengembangan ilmu perguruan Panca
Agni. "Dengan beberapa kali latihan pasti akan luluh
mendarah daging", berkata Mahesa Amping kepada
Baginda Raja Indrakila. "Pekan depan aku akan mengunjungi kalian, apakah
1009 latihanku sudah ada peningkatan", berkata Baginda Raja
Indrakila kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka
ketika mereka keluar dari sanggar tertutup.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan senang hati kami menanti kunjungan
Tuanku", berkata Mahesa Amping yang mengantar
Baginda Raja Indrakila kembali ketempatnya di Puri
dalem. Sekumpulan burung manyar kuning terbang melintas
halaman Bale Guru, sementara itu matahari sore masih
setia menjaga bumi berbaring di ujung barat dengan
cahayanya yang semakin redup.
"Apakah anakmas tidak pernah berpikir untuk
membawa keluarga di Balidwipa ini?", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping ketika mereka tengah
duduk di pendapa Bale guru menanti saat senja datang.
Mahesa Amping tidak segera menjawab, matanya
jauh memandang kedepan malampaui rerumputan di
halaman muka pendapa Bale Guru. Ternyata angan
Mahesa Amping telah jauh berkelana sampai ke Tanah
Melayu. "Setelah tugas yang diembankan kepadaku selesai,
aku akan membawa mereka ke Balidwipa", berkata
Mahesa Amping perlahan. "Balidwipa adalah sebuah hunian yang indah,
terutama untuk sebuah keluarga", berkata Empu Dangka
sambil melirik Mahesa Amping ingin tahu apa isi hati
Mahesa Amping dan yang dipikirkannya.
Sekilas suasana di Bale Guru menjadi begitu sepi.
Mahesa Amping dan Empu Dangka sepertinya tengah
ada didalam pikirannya masing-masing.
"Entah kenapa pada saat-saat tertentu yang 1010 kubayangkan adalah sebuah keluarga kecil, sebuah
gubuk mungil berdiri di dekat sebuah persawahan",
berkata Mahesa Amping yang akhirnya menyampaikan
apa yang dipikirkannya. Empu Dangka tersenyum mendengar apa yang
dipikirkan oleh Mahesa Amping.
"Bukan rumah besar seorang perwira besar di
kotaraja dengan sejumlah pelayan yang selalu siap
melayani?", bertanya Empu Dangka kepada Mahesa
Amping sepertinya tidak perlu jawaban dari Mahesa
Amping. Mahesa Amping memang tidak segera menjawab,
hanya terlihat tarikan nafasnya yang panjang. Empu
Dangka tidak mencoba mengungkit apa sebenarnya
yang tengah dipikirkan oleh anak muda yang telah
mempunyai ketinggian ilmu yang sudah melebihi puncak
Gunung Agung itu. Sementara sang Sandikala telah datang mewarnai
cakrawala langit di atas Bale guru Pura Indrakila.
Pandangan alam menjadi begitu bening tanpa semilir
angin sedikit pun. Pohon-pohon besar di sekitar Bale
Guru seperti seonggok raksasa tinggi besar tengah
memandang langit. Hamparan rumput hijau di halaman
Bale guru seperti rebah bersujud menanti datangnya
sang raja malam yang gelap.
Sang Raja malam akhirnya memang datang juga
membawa layar kegelapannya menyelimuti hamparan
bumi. "Ki Arya Sidi mungkin besok baru datang kembali",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ketika
mereka masih duduk diatas pendapa Bale Guru yang
telah diterangi pelita biji jarak dengan cahayanya yang
1011 temaram menggantung di sudut tiang kanan dan kiri
pendapa Bale Guru. "Secepatnya kita harus menyerahkan pembinaan
para Sisya di Pura Indrakila ini kepada Ki Arya Sidi",
berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
"Mengapa harus secepatnya?", bertanya Empu
Dangka "Secepatnya kita harus melaporkan tugas di
Balidwipa ini ke Singasari", berkata mahesa Amping
"Kita?", kamu saja kalii?"", berkata Empu Dangka
penuh canda "Bukankah saudara kembar Empu dangka sudah
menjadi Pendeta Guru Istana di Singasari dan Empu
Dangka ingin menemuinya?", berkata Mahesa Amping
tanpa meminta jawaban langsung dari Empu Dangka.
"Anakmas benar, aku akan datang bersamamu ke
Singasari", berkata Empu Dangka dengan wajah berbinar
terlihat cahaya matanya yang bening telah berkaca,
mungkin menahan getar kerinduan untuk bertemu
kepada satu-satunya saudaranya yang juga satu-satunya
keluarganya yang masih hidup di dunia ini.
Dering dengung malam terdengar ajek mengiringi
suasana malam yang gelap dan sepi disekitar Bale Guru
Pura Indrakila. Kadang terdengar suara katak menjerit,
mungkin suara terakhirnya ketika berada di ujung taring
seekor ular yang malam itu telah mendapatkan
santapannya. "Hari sudah jatuh malam, mari kita masuk
beristirahat", berkata Empu Dangka kepada Mahesa
Amping. Semilir angin malam membasuh daun-daun dan
ranting pepohonan di sekitar Bale Guru Pura Indrakila.
1012 Cakrawala langit terlihat sedikit berkabut, tidak ada satu
pun bintang yang nampak hadir. Itulah sebuah tanda
alam akan datangnya hujan. Dan tidak lama kemudian
hujan pun datang juga, tidak begitu besar, hanya rintikrintik gerimis kecil, dan sepajang malam itu gerimis kecil
mengisi sisa hari yang panjang hingga datangnya pagi.
Hujan gerimis turun merata hampir di seluruh
Balidwipa. Gerimis juga mengguyur Bukit Pejeng Gundul.
Pagi itu terlihat enam orang lelaki tengah berjalan menuju
regol gerbang Padepokan Panca Agni.
"Kutitipkan Padepokan ini kepadamu", berkata Ki
Arya Sidi sambil memeluk erat Ki Nyoman, orang yang
selama ini begitu setia melayani dirinya.
"Semoga tuan dapat menjaga kesehatan", hanya itu
yang terucap dari bibir Ki Nyoman, tenggorokannya
terasa tersumbat untuk mengatakan hal yang lain.
"Jarak Pura Indrakila tidak begitu jauh, bila ada waktu
datanglah ke Pura Indrakila", berkata Ki Arya Sidi
melepaskan pelukannya. Terlihat Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya tengah
berjalan menjauhi Padepokan Panca Agni diiringi tatapan
mata seorang pelayan tua yang setia Ki Nyoman.
Akhirnya kelima orang yang selama ini dilayaninya itu
telah menghilang di sebuah jalan menurun.
"Mereka adalah orang-orang yang baik, bumi akan
menerima mereka dimanapun tanah dipijak", berkata Ki
Nyoman sambil menarik nafas panjang menghentakkan
kesedihan hatinya. Hari itu memang hari pasaran ketika mereka tengah
mendekati sebuah pasar di disebuah padukuhan yang
mereka lewat. Sementara matahari pagi terlihat begitu
1013 terang memancarkan cahayanya.
"Sudah lama rasanya tidak minum dawet", berkata
Dewa Ketut Akasa yang melihat penjual dawet dimuka
pasar. Ki Arya Sidi tersenyum mendengar Sisya terkecilnya
bicara tentang sebuah dawet.
"Mari kita mampir sejenak merasakan nikmatnya
sebuah dawet", berkata Ki Arya Sidi mengajak para
sisyanya mampir meminum dawet.
Bukan main gembiranya Ketut Dewa Akasa
mendengar suara gurunya yang memberikan kesempatan mampir ke penjual dawet.
"Buatkan kami empat, pak tua", berkata Wayan Dewa
Bayu sisya tertua dari keempat sisya itu.
Terlihat pak tua penjual dawet dengan terampil
membuat empat mangkuk dawet pesanan, gula aren dan
santannya ada dalam tempat terpisah. Ketut Dewa Akasa
terlihat menelan ludahnya ketika melihat pak tua tengah
melelehkan gula aren cair ke mangkuk satu persatu.
"Silahkan menikmati", berkata Pak Tua penjual dawet
mempersilahkan ke empat mangkuk pesanannya.
"Kurang satu", berkata Nyoman Dewa Teja yang
terlihat sangat teliti. "Tadi pesannya empat mangkuk", berkata Pak Tua
penjual Dawet. "Aku yang salah, aku yang memesan empat mangkuk
yang seharusnya lima mangkuk", berkata Wayan Dewa
Bayu langsung mengakui kesalahannya.
"Biarlah aku yang menunggu pesanan terakhir",
berkata Made Dewa Apah, saudara kedua mereka yang
1014 terlihat sering banyak mengalah dan sangat bijaksana.
Ki Arya Sidi diam-diam tersenyum melihat ragam
watak keempat sisyanya. "Sikap satria telah terlihat dalam diri mereka", berkata
Ki Arya Sidi sambil menikmati minuman dawet yang
terasa sangat begitu nikmat.
Ketika mereka tengah menikmati minuman dawet,
tiba-tiba saja berlari kearah mereka seorang anak kecil
sebaya dengan Ketut Dewa Akasa sambil menangis.
"Paman, hasil penjualan taliku dirampas semuanya",
berkata anak itu kepada pak tua penjual dawet.
"Mengapa kamu tidak melawannya?", berkata Pak
Tua penjual Dewet terlihat sangat kesal
"Mereka terlalu besar untuk dilawan", berkata anak itu
masih menangis. "Apa yang terjadi pak tua?", bertanya Nyoman Dewa
Teja merasa ingin tahu apa yang terjadi atas anak itu.
"Anak ini adalah keponakanku, setiap hari pasaran
ibunya selalu membuat tali dari pelepah pisang untuk
dijual di pasar ini. Anak inilah yang menjualkan tali-tali itu.
Tapi seperti kemarin, anak-anak brandal telah merampas
hasil penjualannya", berkata Pak Tua penjual dawet
memberikan penjelasannya.
"Itulah mereka yang telah merampas hasil
Pendekar Cengeng 3 Kampung Setan Karya Khulung Mencari Bende Mataram 18

Cari Blog Ini