Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 15
penjualanku", berkata tiba-tiba anak itu sambil menunjuk
empat orang anak tanggung yang tengah berjalan akan
keluar pasar. "Ijinkan aku menemui mereka", berkata Ketut Dewa
Akasa kepada Ki Arya Sidi yang seperti tidak
menghadapi suatu yang besar mengijinkan anak itu
1015 dengan menganggukkan kepalanya. Diam-dia merasa
bangga melihat jiwa satria telah tumbuh didalam diri anak
sekecil itu. "Serahkan jajanan itu semua kepadaku", berkata
Ketut Dewa Akasa dihadapan empat anak tanggung itu.
Keempat anak tanggung itu tertawa tidak tertahan
mendapatkan seorang bocah yang lebih kecil dari
mereka tengah menggertak mereka.
"Apakah kamu akan merampok kami?"bertanya salah
seorang dari mereka yang terlihat bertubuh paling tinggi
dan kurus. "Benar aku akan merampok kalian", berkata Ketut
Dewa Akasa dengan gaya penuh keberanian.
"Anak ini memang perlu disumbat mulutnya", berkata
anak yang paling tinggi kurus itu sambil melangkah
mendekati Ketut Dewa Akasa dan langsung melayangkan tangannya menampar kearah wajah Ketut
Dewa Akasa. Ternyata Ketut Dewa Akasa bukan anak kecil
sembarangan, selama ini telah berlatih bersama ketiga
saudaranya dengan cara yang sesungguhnya menghadapi sebuah perkelahian.
Terlihat Ketut Dewa Akasa membiarkan tangan anak
itu mendekati wajahnya dengan mata tidak berkedip
sedikit pun. Maka ketika tinggal sedikit lagi tangan anak
tinggi kurus itu mengenai wajahnya, Ketut Dewa Akasa
telah memiringkan sedikit kepalanya.
Tangan anak tinggi kurus itu mengenai tempat
kosong dan tubuh anak itu sedikit terhuyung.
Ketut Dewa Akasa tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu, dengan cepat kakinya telah bergeser menekuk siku
1016 kaki anak tinggiu kurus itu. Akibatnya sungguh luar biasa,
anak tinggi kurus itu terjungkal kedepan jatuh mencium
bumi. Jajanan ditangannya terlihat tercecer di tanah.
Terlihat anak tinggi kurus itu bangkit berdiri kembali
dengan mata merah penuh kemarahan.
"Kucekik kau sampai mati!!", berkata anak itu sambil
menjulurkan kedua tangannya ke arah leher Ketut Dewa
Akasa. Dibiarkan tangan anak tinggi kurus itu menyambar
lehernya, namun baru saja tangan itu menyentuh kulit
lehernya, kedua tangannya telah mencengkam dengan
keras kedua tangan anak tinggi kurus itu.
Tangan kecil Ketut Dewa Akasa ternyata sudah
terlatih. Buktinya anak tinggi kurus itu terlihat meringis
merasakan tangannya tercekal begitu keras.
Dan Ketut tidak hanya sampai disitu, dengan tangan
kecilnya memelintir tangan anak tinggi kurus itu kearah
keluar dan melemparkannya. Ketika tangan itu terbuka
lebar, sebuah tangan mungil Ketut Dewa Akasa telah
bersarang keperut anak tinggi kurus itu.
Ki arya Sidi yang melihat dari kejauhan menggelenggelengkan kepalanya.
"Harusnya tangan itu mengarah kedada, tapi anak
sekecil itu sudah punya jiwa pengasih", berkata Ki Arya
Sidi dalam hati merasa bangga seorang sisyanya telah
mempunyai jiwa welas asih.
"Ayo bangkit berdiri, apakah kamu masih kuat?",
bertanya Ketut Dewa Akasa kepada anak tinggi kurus itu
yang sepertinya masih belum sanggup berdiri.
"Berikan kembali apa yang sudah kamu rampas dari
anak kecil penjual tali, atau kamu ingin terjungkal seperti
1017 kawanmu?", berkata Ketut Dewa Akasa kepada ketiga
anak lainnya. Ternyata ketiga anak itu berjiwa pengecut, tidak ada
sedikit pun pembelaan kepada kawannya yang masih
menahan rasa sakit di perutnya.
"Hanya sekepeng inilah yang kami dapatkan dari
anak kecil penjual tali itu", berkata salah seorang anak
sambil menyerahkan sekepeng logam.
"Sisanya telah kamu belanjakan jajanan itu", berkata
Ketut Dewa Akasa dengan suara dibesarkan layaknya
seorang pendekar besar. "Benar", berkata anak itu sambil menganggukkan
kepalanya dibenarkan juga oleh kedua kawannya.
"Pergilah, kali ini kalian kumaafkan. Mulai hari ini aku
tidak mau mendengar lagi anak kecil penjual tali itu
dirampas miliknya", berkata Ketut Dewa Akasa.
Terlihat ketiga anak itu berjalan cepat meninggalkan
seorang kawannya yang terlihat perlahan bangkit berdiri.
Anak tinggi kurus itu perlahan berdiri dan berjalan kearah
ketiga kawannya yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Ketut Dewa Akasa telah kembali ke tempat penjual
dawet. "Aku hanya mendapatkan sekepeng, berapa kepeng
milikmu yang dirampas?", berkata Ketut Dewa Akasa
kepada anak kecil penjual tali itu.
"Tiga kepeng", berkata anak kecil itu.
"Ini dua kepeng milikku untukmu, mudah-mudahan
besok kamu tidak diganggu lagi", berkata ketut Dewa
Akasa sambil menyerahkan dua kepeng miliknya kepada
1018 anak kecil penjual tali itu.
"Terima kasih", berkata anak itu penuh kegembiraan.
"Akan kubelanjakan untuk bahan jamu ibuku yang
sedang sakit", berkata kembali anak kecil itu menuju ke
pasar yang masih ramai sambil membawa beberapa ikat
tali jualannya yang masih tersisa.
"Aku sangsi apakah kamu dapat melayani ketiga
anak itu sekaligus", berkata Made Dewa Apah menggoda
adiknya. "Aku tidak takut selama yang kubela adalah sebuah
keadilan", berkata Ketut Dewa Akasa penuh semangat.
"Adikmu benar, jiwa satria selalu menegakkan
keadilan di muka bumi ini", berkata Ki Arya Sidi kepada
keempat Sisyanya. Sementara itu matahari terus merayap, suasana
pasar terlihat tidak lagi seramai sebelumnya.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Ki Arya
Sidi kepada para Sisyanya.
Terlihat Ki Arya Sidi bersama para Sisyanya telah
keluar dari Padukuhan itu dan terus melangkah
menyusuri pematang sawah yang luas membentang.
"Padi ini baru berumur dua pekan, masih lama
menunggu waktunya panen", berkata Ki Arya Sidi sambil
melihat hamparan sawah yang luas.
Akhirnya mereka telah mendekati sebuah bulakan
panjang yang sepi. "Apakah arah kita menuju bukit didepan kita?",
bertanya Wayan Dewa Bayu kepada Ki arya Sidi.
"Benar, setelah mendaki bukit itu, kita sudah
mendekati Pura Indrakila", berkata Ki Arya Sidi.
1019 Namun begitu mereka memasuki bulakan panjang
itu, terdengar suara beberapa orang tengah bertempur.
Ki Arya Sidi memberi tanda kepada para Sisyanya untuk
melihat apa yang terjadi didepan mereka dengan cara
bersembunyi mengendap di beberapa semak dan alang
alang. Ketika mereka sudah semakin mendekat, ternyata
memang telah terjadi sebuah pertarungan yang cukup
sengit. Ada tujuh orang tengah bertarung. Terlihat ada
satu orang dikeroyok oleh dua orang.
"Kita belum dapat menentukan siapakah yang patut
kita bela", berkata Ki Arya Sidi perlahan sambil matanya
terus mengawasi jalannya pertarungan.
"Tapi kita dapat terlambat membela mereka yang
perlu dibela", berkata Made Dewa Apah penuh
kekhawatiran. "Kalian tetaplah bersembunyi, aku akan mencoba
turun ke arena pertarungan", berkata Ki Arya Sidi yang
langsung keluar dari persembunyiannya.
"He he he ada tontonan yang asyik", berkata Ki Arya
Sidi sambil mendekati salah seorang dari dua orang yang
tengah mengeroyok. "Orang gila, enyahlah kamu", berkata orang itu
merasa terganggu dengan kehadiran Ki Arya Sidi yang
berlakon layaknya orang gila.
"Aku ingin ikut berkelahi, tidak enak melihat dua
orang melawan satu", berkata Ki Arya Sidi sambil tertawa
terkekeh- kekeh. "Dasar orang gila", berkata salah seorang
diantaranya yang langsung melayangkan golok tajamnya
kearah leher Ki Arya Sidi.
Gerakan orang itu masih terhitung sangat lambat
1020 dimata Ki Arya Sidi. Maka dengan cepat tangan Ki Arya
Sidi sudah dapat mencekal pergelangan orang itu. Dan
dengan gaya orang gila betulan, Ki Arya Sidi
menubrukkan tubuhnya ke arah orang itu, tentunya
dengan sedikit melambari tenaga dalam. Akibatnya
cukup mengejutkan, tubuh orang itu langsung terpental
bersama terlepasnya golok tajam yang ada ditangannya.
Ternyata orang itu tidak mampu bangkit lagi, terlentang
ditanah sepertinya sudah pingsan.
Melihat kawannya jatuh pingsan, bukan main
marahnya orang yang satunya. "Kuhabisi dulu nyawamu
orang tua edan", berkata orang itu yang langsung
menyerang senjatanya kearah leher Ki Arya Sidi.
"Tidak kena, tidak kena", berkata Ki arya Sidi dengan
suara terkekeh mengelak setiap serangan orang itu yang
terus mengejarnya merasa penasaran.
Kembali Ki Arya Sidi menabrakkan tubuhnya kearah
orang itu, Bruk?"., Terdengar suara tubuh saling
beradu. Anehnya Ki Arya Sidi masih tetap berdiri, sementara
orang yang ditubruknya terjengkang mencium tanah dan
tidak bergerak lagi. Orang yang sebelumnya dikeroyok
terlihat termangu tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya, orang tua didekatnya telah merobohkan kedua
lawannya dengan begitu mudah. Namun belum lagi rasa
aneh hilang dari perasaannya, orang tua itu telah
mendekati dua pertempuran lainnya.
Terlihat orang itu seperti wajah orang terlolong tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata Ki Arya
Sidi sudah dengan mudahnya merampas semua senjata
dari empat orang yang tengah bertempur.
"Senjata bagus, senjata bagus", berkata Ki Arya sidi
1021 bersama suara tawanya yang terkekeh-kekeh.
"Orang tua edan, kembalikan senjataku", berkata
seorang yang berwajah garang mendekati Ki Arya Sidi
bersama dengan kawannya. Belum sempat kedua orang itu mendekat, Ki Arya
Sidi terlihat membalikkan badannya membelakangi
mereka. Dan ketika kedua orang itu sudah mendekat
untuk menghajar orang tua yang dianggapnya edan itu.
Maka tiba-tiba saja Ki Arya Sidi berjongkok
membelakangi. Apa yang dilakukan oleh Ki Arya Sidi selanjutnya?""
Dengan tangan menempel ditanah, dua kaki Ki Arya Sidi
menendang kearah belakang tepat menghantam kedua
dada lawannya secara bersamaan.
Benar-benar sebuah gerakan yang tidak terduga.
Kedua orang itu langsung terlempar jatuh terlentang.
Dan ternyata kedua orang itu sudah tidak bergerak
lagi pingsan untuk waktu yang lama.
"Terima kasih pak tua edan, kamu telah
mempermudah pekerjaan kami", berkata salah seorang
yang telah dibantu oleh Ki Arya Sidi. Sementara kedua
kawannya terlihat memeriksa apapun yang terselip
dibalik pakaian keempat orang lawannya yang tengah
pingsan. "Aku mendapatkannya", berkata salah seorang
sambil memperlihatkan sebuah kotak perhiasan.
"He he he"., ternyata kalian adalah perampok",
berkata Ki Arya Sidi masih bergaya orang gila sambil
menggaruk-garuk kepala. "Pak Tua edan, sekarang pergilah menjauh sebelum
kami berubah pikiran untuk membunuhmu", berkata
1022 salah seorang diantara mereka
pemimpin dari kedua kawannya.
yang nampaknya "Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa kalian
membunuhku", berkata Ki Arya Sidi sambil tertawa
terkekeh-kekeh. "Aku akan membunuhmu!!", berkata pemimpin
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perampok itu sambil mengambil sebuah golok yang
tercecer di tanah dan langsung menyerang Ki Arya Sidi.
Ki Arya Sidi membiarkan golok itu semakin dekat
dengan kulit lehernya, maka ketika baru saja golok itu
akan menyentuh kulitnya, tiba-tiba saja Ki Arya Sidi
bergeser sedikit. Bukan main kagetnya orang itu terbawa
tenaganya sendiri condong kedepan. Maka kembali Ki
Arya Sidi menabrakkan badannya ke tubuh orang itu
yang tentunya dengan sedikit melambari dirinya dengan
tenaga dalam. Akibatnya seperti keempat orang
lawannya, orang itu terpental terpelanting jatuh pingsan.
"He he he".", Tertawa Ki Arya Sidi sambil memberi
tanda agar kedua orang yang tersisa maju melawannya.
Tapi kedua orang itu menjadi begitu jerih
membayangkan dirinya akan ikutan jatuh pingsan bila
melawan orang tua yang dianggapnya edan itu. Terlihat
bukannya maju melawan, melainkan mundur semakin
menjauh dan lari begitu kencang takut dikejar oleh Ki
Arya Sidi. "Keluarlah kalian dari persembunyian", berkata Ki
Arya Sidi memanggil keempat sisyanya.
Terlihat keempat Sisyanya telah keluar
persembunyiannya dan mendekati Ki Arya Sidi.
dari "Ikatlah orang itu", berkata Ki Arya Sidi kepada
Wayan Dewa Bayu. Maka Wayan Dewa Bayu telah
1023 mengikat salah seorang perampok yang masih pingsan
itu dengan sebuah kulit kayu yang ada tumbuh disekitar
mereka. "Serahkan kotak perhiasan ini kepada salah seorang
dari keempat orang itu yang masih pingsan", berkata ki
Arya Sidi sambil mencari tempat persembunyian.
Terlihat keempat para Sisya tengah menyatukan
keempat orang yang pingsan tergeletak diberbagai
tempat. Juga seorang perampok yang sudah dalam
keadaan terikat. Para Sisya tidak perlu menunggu lama,
beberapa waktu kemudian orang-orang yang pingsan itu
telah terlihat siuman. "Siapa kalian", berkata salah seorang yang baru
tersadar dari pingsannya kepada para Sisya.
"Kami kebetulan lewat, dan melihat kalian telah
tergeletak disini", berkata Nyoman Dewa Bayu mewakili
ketiga saudaranya. "Dimana orang tua edan itu", berkata salah seorang
yang lain sambil matanya menyapu semua tempat
mencari-cari sementara orang yang dicarinya tidak
ditemuinya. "Mungkin maksud kisanak adalah seorang lelaki yang
sudah cukup berumur?", berkata Nyoman Dewa Bayu
kepada orang itu. "Benar, seorang lelaki tua", berkata orang itu
membenarkan. "Apakah kamu melihatnya ?", bertanya
orang itu kepada Nyoman Dewa Bayu.
"Aku melihatnya tengah mengikat orang itu", berkata
Nyoman Dewa Bayu sambil menunjuk seorang perampok
yang masih terikat. "Orang tua itu juga menitipkan kotak
ini kepada kami, katanya ini milik salah seorang diantara
1024 kalian", berkata Nyoman Dewa Bayu sambil menyerahkan kotak kepada salah seorang diantaranya.
"Terima kasih, ternyata kalian adalah orang-orang
jujur", berkata salah seorang kepada para Sisya dengan
wajah penuh gembira melihat isi didalam kotak tidak
berkurang sedikit pun. Akhirnya salah seorang diantaranya bercerita tentang
apa yang terjadi. Berawal dari perjalanan mereka menuju
Kademangan Pejeng dalam rangka mengantar saudara
mereka yang akan melaksanakan upacara pernikahan.
Namun ditengah jalan telah dicegat oleh tiga orang
perampok dan juga bertemu dengan orang tua aneh
yang telah membuat mereka pingsan hanya dengan
membenturkan tubuhnya. "Kami berasal dari Padukuhan Kendal di lereng bukit
Pura Indrakila", berkata orang itu mengakhiri ceritanya.
"Kebetulan sekali, tujuan perjalanan kami adalah
Pura Indrakila", berkata Made Dewa Apah ikut bicara.
"Singgahlah ketempat kami bila kalian ada waktu,
mungkin kami dapat menjamu kalian sebagai ungkapan
rasa terima kasih", berkata salah seorang yang terlihat
paling muda diantara keempat orang diantaranya.
"Kepada orang tua itulah kalian berterima kasih,
sementara kami hanya kebetulan lewat", berkata
Nyoman Dewa Bayu. "Apakah kalian melihat kemana perginya orang tua
yang ".. agak kurang waras itu?", bertanya seorang
yang paling tua. "Waktu kami temui katanya akan mengejar dua orang
perampok kearah sana", berkata Nyoman Dewa Bayu
menunjuk sebuah arah. 1025 "Syukurlah, berarti kita tidak akan bertemu lagi
dengan orang tua itu", berkata salah seorang yang sedari
tadi tidak pernah bicara, mungkin masih terbayang
bagaimana rasa sakit yang tidak terkira yang telah
membuatnya pingsan. Sementara itu Nyoman Dewa Bayu dan ketiga
adiknya hanya tersenyum dalam hati mengingat semua
ulah gurunya Ki Arya Sidi.
"Bagaimana dengan seorang perampok ini?",
bertanya Made Dewa Apah meminta pertimbangan.
"Biarlah kami yang membawanya untuk diserahkan
kepada Ki Buyut di Padukuhan terdekat.
Demikianlah akhirnya keempat orang itu telah
melanjutkan perjalanan mereka sambil membawa
seorang tawanan. Ketika keempat orang itu sudah jauh berlalu, maka
muncullah Ki Arya Sidi dari persembunyiannya.
"Hari ini aku telah salah menilai orang, kukira ketiga
orang yang berpakaian ala bangsawan itu adalah orang
baik, ternyata perampok tengik", berkata Ki Arya Sidi
sambil mengibas- kibaskan pakaiannya yang ternyata
banyak dihinggapi semut hitam.
"Guru tidak pernah mengajarkan kepada kami jurus
gaya katak menendang kebelakang", berkata Ketut Dewa
Akasa kepada Ki Arya Sidi.
"Itu memang tidak ada dalam jurus perguruan kita",
berkata Ki Arya Sidi sambil garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. "Tapi dampak dari jurus itu benar-benar jempolan,
dua orang langsung pingsan", berkata Nyoman Dewa
Teja sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.
1026 "Betul, sebuah jurus maut yang baru kulihat", berkata
Wayan Dewa Bayu menambahkan.
Sementara itu Ketut Dewa Akasa dengan lincah
mencoba meniru gerakan yang mereka sebut sebagai
jurus maut itu. Maka tertawalah semuanya melihat
gerakan Ketut Dewa Akasa.
"Tidak baik memperolok guru sendiri, mari kita
melanjutkan perjalanan", berkata Ki Arya Sidi sambil
tersenyum mengajak keempat Sisyanya melanjutkan
perjalanan mereka. Mentari baru saja bergeser sedikit dari puncaknya
ketika Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya tengah
melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda, sementara itu cakrawala langit biru terlihat begitu cerah
dipenuhi awan putih berarak tertiup angin seperti
gumpalan kapas besar yang terus berubah bentuk.
Terlihat mereka akhirnya telah sampai di kaki sebuah
bukit yang dipenuhi pohon pohon kayu yang lebat. Untuk
sementara mereka merasa terlindung dari sengatan sinar
matahari disiang hari itu.
Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya telah mendaki
bukit itu menembus semak dan alang-alang yang tumbuh
disekitar pohon- pohon besar yang tinggi menjulang.
Keadaan di hutan bukit kecil itu begitu teduh dan jalan
mereka kadang berliku menghindari semak kayu berduri.
"Bukankah ini jalan yang tadi pernah kita lewati?",
berkata Nyoman Dewa Taja yang dikenal sangat teliti.
"Benar, kita telah berputar arah kembali di tempat
yang sama", berkata Wayan Dewa Bayu membenarkan
ucapan adiknya. "Mungkin kita perlu beristirahat membuka bekal kita",
1027 berkata Ki Arya Sidi sambil memandang berkeliling.
"Dipasar aku sempat membeli Brem ketan hitam",
berkata Made Dewa Apah sambil membuka bekalnya.
"Pantas kita tersasar berputar-putar di tempat yang
sama!!", bekata Ki Arya Sidi tiba-tiba yang membuat
semua mata para Sisya tertuju kepadanya memandang
penuh pertanyaan. Ki Arya Sidi pun akhirnya bercerita bahwa orang
tuanya wanti-wanti mengingatkan agar tidak membawa
brem ketan hitam bila akan melakukan perjalanan jauh.
Pada suatu waktu diam-diam dirinya membawa brem
ketan hitam dari rumah ketika akan melakukan sebuah
perjalanan jauh bersama ayahnya. Hal yang aneh pun
terjadi, mereka berdua tersesat di sebuah hutan yang
sering mereka lalui hingga hari senja mereka berdua
tidak juga menemukan jalan keluar.
"Marah besar ayahku ketika mengetahui bahwa aku
membawa brem ketan hitam dalam perjalanan", berkata
Ki Arya Sidi. "Apa yang dilakukan Ayah guru pada saat itu?",
bertanya Ketut Dewa Akasa sepertinya penasaran.
"Ayahku mengambil sebagian brem ketan hitamku
dan melemparkannya keempat penjuru", berkata Ki Arya
Sidi. "Kata Ayahku para makhluk halus sangat menyukai
Brem ketan hitam, itulah sebabnya mereka menahan kita
", berkata Ki Arya Sidi menjelaskan.
Wayan Dewa Bayu, Made Dewa Apah, Nyoman
Dewa Teja dan Ketut Dewa Akasa merasakan bulu
tengkuknya berdiri mendengar cerita Ki Arya Sidi,
sepertinya merasakan ada makhluk halus yang berdiri
didekat mereka. 1028 Sabil tersenyum Ki Arya Sidi mengambil sedikit brem
ketan hitam milik Made Dewa Apah dan melemparkannya keempat penjuru arah.
"Silahkan kalian menikmati dan jangan ganggu kami
lagi" berkata Ki Arya Sidi setelah melemparkan brem
ketan hitam diempat penjuru.
Setelah itu Ki Arya Sidi mempersilahkan keempat
Sisyanya untuk menikmati bekal yang mereka bawa.
Perut keempat bersaudara itu ternyata memang
sudah cukup lapar setelah setengah harian berjalan,
maka terlihat mereka benar-benar menikmati bekal
makanan mereka. Setelah beristirahat yang cukup, akhirnya mereka
kembali melanjutkan perjalanannya. Entah apa karena
para makhluk halus hutan itu sudah kebagian brem ketan
hitam, atau karena mereka sudah cukup beristirahat.
Perjalanan mereka tidak berputar-putar lagi tapi dapat
melintasi bukit itu dan telah sampai dikaki bukit tempat
Pura Indrakila berdiri. Mereka tidak singgah di Padukuhan yang mereka
lewati tapi langsung mendaki bukit Pura Indrakila karena
hari sudah mendekati senja. Akhirnya diujung senja
mereka telah sampai di Pura Indrakila.
"Selamat datang di Pura Indrakila", berkata Mahesa
Amping menyambut kedatangan Ki Arya Sidi bersama
keempat Sisyanya. Setelah menyampaikan berita
keselamatan masing-masing, merekapun bercerita
sepanjang perpisahan diantara mereka.
"Guruku menemukan sebuah jurus maut di
perjalanan, namanya jurus katak menendang kebelakang", berkata Ketut Dewa Akasa kepada Mahesa
1029 Amping. Semua tertawa ketika Ki Arya Sidi menjelaskan apa
yang dimaksud dengan jurus katak menendang
kebelakang. Diam- diam Mahesa Amping melihat Ketut
Dewa Akasa seperti cermin dirinya ketika masih kecil,
mempunyai otak yang cukup encer dan bakat yang baik.
Mahesa Amping diam-diam mulai menyukai anak kecil
ini. Pembicaraanpun seketika terhenti manakala seorang
lelaki tua yang bertugas melayani di Bale Guru itu muncul
sambil membawa minuman hangat dan setumpuk ubi
rebus. Sementara itu waktu terus berlalu, malam telah
menyelimuti Bale Guru itu yang hanya diterangi cahaya
dua buah pelita. "Ki Made Rangu akan mengantar kalian untuk
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beristirahat", berkata Mahesa Amping sambil masuk
kedalam memanggil Ki made Rangu mengantar empat
bersaudara itu beristirahat di tempat yang telah
ditentukan untuk para Sisya di Pura Indrakila itu.
"Mudah-mudahan mereka dapat cepat berbaur
bersama para Sisya lainnya", berkata Empu Dangka
ketika keempat Syisa itu telah diantar oleh Ki Made
Rangu ketempatnya beristirahat.
"Kehadiran mereka mungkin bisa memecut semangat
para Syisa yang ada sebelumnya, karena mereka sudah
berlatih lebih lama", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Arya Sidi dan Empu Dangka.
Seekor burung celepuk terdengar berbunyi dari
pohon asam disamping Bale Guru, suaranya terdengar
lagi ditempat yang semakin jauh. Sementara itu angin
1030 malam semilir menggoyangkan api pelita menjadikan
cahaya di pendapa Bale Guru seketika menjadi buram.
"Nampaknya Ki Arya Sidi sudah lelah mengantuk",
berkata Empu Dangka sambil tersenyum kepada Ki Arya
Sidi yang terlihat memang sudah begitu lelah mengantuk.
Akhirnya mereka pun telah masuk kedalam biliknya
masing- masing untuk beristirahat.
Ki Arya Sidi sudah langsung terlelap tidur, sementara
itu Mahesa Amping masih belum dapat memejamkan,
diawali bayangan Ketut Dewa Akasa yang lucu, angan
Mahesa Amping melayang jauh sampai ke tanah Melayu
dimana istri tercintanya Dara Jingga ada disana. Terlihat
Mahesa Amping tersenyum sendiri, namun tidak lama
kemudian yang terdengar adalah suara keluar masuk
nafasnya yang halus beraturan. Mahesa Ampingpun
akhirnya sudah jauh tertidur pulas.
Sementara itu sang malam terus menyusut selimut
kegelapannya dan bumi telah terjaga dari mimpinya
manakala terdengar lirih dari jauh suara ayang jantan
bersahut-sahutan semakin mendekat.
"Aku akan melaksanakan pemilahan para sisya
menjadi tiga kelompok", berkata Mahesa Amping
menyampaikan sebuah rencananya kepada Ki Arya Sidi
dan Empu Dangka. "Aku setuju, dengan demikian akan mempermudah
dalam pembinaannya", berkata Ki Arya Sidi menyukai
rencana Mahesa Amping. Maka pada pagi hari itu Mahesa Amping
memberitahukan perihal pemilahan itu kepada semua
para sisya. Mahesa Amping langsung menguji satu
persatu para sisya di Pura Indrakila itu untuk menentukan
1031 ditingkat mana mereka ditempatkan. Keempat bersaudara dari Padepokan Panca Agni pun tidak lepas
dari pengujian itu meski mereka telah berlatih lebih
matang dibandingkan dengan para Sisya di Pura
Indrakila. Ketika Ketut Dewa Akasa masuk ke sanggar tertutup
untuk melakukan sebuah ujian pemilahan, diam-diam
Mahesa Amping mengagumi ketangkasan anak kecil itu.
Mahesa Amping melihat Ketut Dewa Akasa tidak
tertinggal jauh dibandingkan ketiga saudaranya yang
sudah terlebih dahulu masuk dalam ujian pemilahan.
"Anak ini hanya kalah sedikit dalam hal tenaga",
berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka dan Ki
Arya sidi yang tengah melihat Ketut Dewa Akasa tengah
melakukan gerakan jurus perguruannya.
"Bagaimana menurutmu suasana di Pura Indrakila
ini?", berkata Mahesa Amping kepada Ketut Dewa Akasa
yang telah menyelesaikan semua ujian pemilahan di
sanggar tertutup. "Sangat menyenangkan, tidak sepi sebagaimana di
Bukit Pejeng", berkata Ketut Dewa Akasa.
Mahesa Amping tersenyum mendengar jawaban
Ketut Dewa Akasa dan mempersilahkan Ketut Dewa
Akasa keluar dari Sanggar tertutup agar peserta lainnya
dapat segera masuk. Akhirnya seluruh sisya telah melakukan ujian
pemilahan, sebuah ujian yang sangat ketat karena bukan
hanya dilihat penguasaan jurus, tapi bagaimana
mengatur pernafasan yang baik serta kemahiran mereka
dalam hal kekuatan dan keseimbangan diatas alat
peraga yang ada di sanggar itu.
1032 "Sekarang kalian boleh beristirahat, besok aku akan
menyampaikan pengumuman ujian pemilahan ini",
berkata Mahesa Amping yang mempersilahkan para
Sisya untuk beristirahat.
Bukan main gembiranya para Sisya bahwa hari itu
mereka tidak perlu berlatih sampai senja.
Sementara itu matahari terlihat telah bersembunyi
dibalik kerimbunan daun dan dahan pohon rengat yang
tumbuh disisi barat sanggar. Suasana menjadi begitu
teduh. "Mari kita kembali ke pendapa untuk membicarakan
hasil dari ujian pemilahan ini", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka.
Akhirnya dua puluh empat sisya di Pura Indrakila itu
telah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai
dengan tingkat tataran ketangkasan yang mereka miliki.
Pada keesokan harinya, telah diumumkan kepada
para Sisya dikelompok mana mereka ditempatkan.Ternyata Wayan Dewa Bayu dan ketiga adiknya
masuk dalam kelompok pertama.
"Aku telah mengumumkan kepada kalian hasil dari
ujian pemilahan ini, adakah diantara kalian yang merasa
keberatan?", bertanya Mahesa Amping kepada para
Sisya di sanggar terbuka.
Ternyata dari kelompok kedua ada yang
mengacungkan tangannya, badan Sisya itu terlihat agak
bongsor seusia Wayan Dewa Bayu.
"Maaf guru, aku sangsi apakah anak kecil itu lebih
baik dari pada kami?", berkata pemuda itu sambil
menunjuk kepada Ketut Dewa Akasa.
Mahesa Amping tersenyum memandang pemuda itu
1033 yang dikenalnya bernama Putu Risang Kamasa yang
berasal dari Pura Lempuyang.
"Saudaramu Putu Risang Kamasa telah mencontohkan kepada kalian keberaniannya menyampaikan
kejujuran perasaannya, itulah sikap jiwa satria yang
merdeka", berkata Mahesa Amping yang disambut sorak
para sisya sambil mengelu-elukan sikap Putu Risang
Kamasa. "Adakah diantara kalian yang masih keberatan
dengan hasil ujian ini selain Putu Risang Kamasa?",
berkata lagi Mahesa Amping setelah suara para Sisya
sudah agak mereda. Terlihat tidak ada satupun yang mengangkat tangan.
"Penilaianku atas diri kalian tidak mengenal pilih
kasih. Mari kita buktikan apakah Putu Risang Kamasa
lebih baik dari saudaranya Ketut Dewa Akasa", berkata
Mahesa Amping sambil meminta Putu Risang Kamasa
dan Ketut Dewa Akasa tampil maju kedepan.
Terlihat Ketut Dewa Akasa dan Putu Risang Kamasa
sudah maju kedepan dan saling berhadapan.
Diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikat Ketut
Dewa Akasa yang nampak begitu tenang, sementara itu
sikap putu Risang Makasa sangat meremehkan anak
yang lebih muda dihadapannya.
"Bersiaplah saudara kecilku", berkata Putu Risang
Kamasa kepada Ketut Dewa Akasa
"Sejak berdiri disini aku sudah siap", berkata Ketut
Dewa Akasa dengan sedikit senyumnya.
Maka belum habis Ketut Dewa Akasa berbicara,
sebuah tendangan telah meluncur dari kaki kanan Putu
Risang kamasa. 1034 Ketut Dewa Akasa sangat hapal sekali dengan jurus
serangan itu, belum lagi kaki itu menyentuh tubuhnya,
terlihat Ketut Dewa Akasa melompat kesamping dengan
berbarengan sebuah tangannya yang mungil telah
bergerak berlawanan arah memukul pinggang lawannya.
Tidak terpikir lawan kecilnya mampu mengelak dan
balas menyerang membuat Putu Risang Kamasa agak
kaget dan langsung menjatuhkan dirinya kesamping
bergelinding dan dengan cekatan telah berdiri kembali
dengan wajah yang tidak percaya atas apa yang dapat
dilakukan oleh saudara kecilnya itu yang baru datang
bergabung di Pura Indrakila.
Dari pembukaan serangan itu Putu Risang Kamasa
sudah mulai sadar bahwa anak kecil dihadapannya itu
ternyata sudah cukup terlatih.
"Jangan berbangga dulu saudara kecilku, kita baru
mulai", berkata Putu Risang Kamasa sambil melangkah
mendekati Ketut Dewa Akasa langsung melancarkan
pukulan jurus berantai. Tiga kali diserang, tiga kali Ketut Dewa Akasa
mengelak. Namun di akhir serangan itu Ketut Dewa
Akasa telah balik membalas serangan itu.
Ternyata Putu Risang Kamasa mulai berhati-hati dan
mulai membuat perhitungan yang matang tidak lagi
menganggap Ketut Dewa Akasa dengan sebelah mata.
Maka duel pertarungan diantara mereka menjadi
begitu seru dan menegangkan.
Mahesa Amping yang menyaksikan pertarungan itu
terlihat penuh senyum. Diam-diam mengagumi
ketenangan Ketut Dewa Akasa dan penguasaan
mengendalikan pernafasannya, sementara itu dilihatnya
1035 Putu Risang Kamasa terlalu
kekuatan dan tenaganya. "boros" mengumbar Tiga puluh jurus telah berlalu, mereka terlihat saling
menyerang dan balas menyerang. Sepertinya mereka
sudah sangat hapal betul dan dapat membaca langkah
lawannya. Pertarunganpun semakin seru dan menjadi sebuah
tontonan yang sangat menarik.
Terlihat Mahesa Amping masih tersenyum.
"Ketut Dewa Akasa telah menguasai olah
pernafasannya dengan baik", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Arya Sidi yang berada didekatnya melihat
Ketut Dewa Akasa masih tetap penuh tenaga, sementara
Putu Risang Akasa sudah basah seluruh tubuhnya
dengan keringat yang terus mengalir deras.
"Anak itu seperti seekor tikus cerdik tengah
menggoda seekor kucing besar", berkata Ki Arya Sidi
penuh kebanggaan. "Pukulan Putu Risang Kamasa sudah mulai
mengambang lemah", berbisik perlahan Mahesa Amping
kepada Ki Arya Sidi. "Kesabaran anak itu sudah tinggal memetik panen",
berkata Empu Dangka yang ikut memberikan tanggapan
mendengar bisik-bisik anatara Mahesa Amping dan Mi
Arya sidi. Ternyata penilaian ketiga orang piawai dalam ilmu
kanuragan ini tidak meleset jauh, terlihat Putu Risang
Kamasa memang sudah semakin lemah. Sementara itu
Ketut Dewa Akasa memang sudah menanti kesempatan
itu cukup lama. Maka pada sebuah serangan beruntun
yang dilakukan oleh Ketut Dewa Akasa agak terlambat
1036 untuk dihalau dan dielakkan. Maka perut, pinggang dan
pangkal pahanya telah merasakan pukulan dan
tendangan yang kuat dari Ketut Dewa Akasa.
Putu Risang Kamasa terlihat terhuyung kesamping
dengan nafas yang hampir putus merasakan kerasnya
pukulan Ketut Dewa Akasa pada bagian perutnya.
Terlihat Ketut Dewa Akasa hanya berdiri dan tidak
menyusul Putu Risang Kamasa dengan serangan
lainnya. "Aku menyerah", berkata Putu Risang Kamasa sambil
masih memegangi perutnya dengan kedua tangannya.
Kali ini bukan merasakan pukulan diperutnya, tapi
merasakan nafasnya sudah menjadi megap dan
tersengal-sengal. "Berbaringlah lurus di tanah, nafasmu akan kembali
normal", berkata Ketut Dewa Akasa sambil mendekati
Putu Risang Kamasa membantunya berbaring di tanah.
Dengan beberapa kali tarikan nafas panjang, Putu
Risang Kamasa merasakan nafasnya mulai kembali
teratur. "Apakah kamu sudah merasa baikan?", berkata
Mahesa Amping yang datang mendekati Putu Risang
Kamasa dengan berjongkok disisinya.
"Kubantu kamu berdiri", berkata kembali Mahesa
Amping sambil menarik tangan pemuda itu.
"Terima kasih guru, hari ini aku mendapat pelajaran
yang sangat begitu mahal", berkata Putu Risang Kamasa
yang sudah berdiri sambil mengusap peluh diwajahnya.
"Apa yang kamu dapatkan ?", bertanya Mahesa
Amping kepada Putu Risang Kamasa dengan senyum
penuh kasih sayang. 1037 "Manabung tenaga", berkata Putu Risang Kamasa
perlahan. Mahesa Amping mempersilahkan Ketut Dewa Akasa
dan Putu Risang Kamasa ketempatnya masing-masing.
"Hari ini saudaramu Putu Risang Kamasa sudah tidak
sangsi lagi atas penilaiannya pada Ketut Dewa Akasa.
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemilahan yang aku lakukan adalah agar kalian dapat
memacu diri lebih baik lagi", berkata Mahesa Amping
kepada para Sisya. Demikianlah hari-hari Mahesa Amping dibantu Empu
Dangka dan Ki Arya Sidi telah membimbing para Sisya di
Pura Indrakila. Pemilahan dua kelompok ternyata telah
mempermudah dalam pembinaan serta mempercepat
proses pematangan dan peningkatan yang dirasakan
langsung oleh para Sisya satu persatu.
Sementara itu ada rencana dari Mahesa Amping dan
Empu Dangka untuk melepaskan pembinaan para Sisya
sepenuhnya kepada Ki Arya Sidi. Itulah sebabnya
Mahesa Amping dan Empu Dangka sering mencari
alasan untuk meninggalkan Pura Indrakila antara dua
sampai tiga hari. Biasanya Mahesa Amping dan Empu
Dangka melanglang keberbagai tempat di Balidwipa
melaksanakan tugas sandinya menilai setiap keadaan di
setiap tempat. "Ki Arya Sidi dan Ki Jaran Waha dapat kita rangkul
sebagai kawan, manakala rencana penguasan Balidwipa
ini benar-benar akan dilakukan", berkata Empu Dangka
kepada Mahesa Amping dalam perjalanan pulang
menuju Pura Indrakila setelah melanglang ke berbagai
tempat di Balidwipa. "Yang perlu dijelaskan kepada Ki Jaran Waha dan Ki
Arya Sidi adalah maksud dan tujuan penguasaan
1038 Singasari atas Balidwipa tidak semata perluasan
kekuasaan, tapi sebuah tugas suci mengembalikan
setiap Pura di Balidwipa sebagai payung ruhani
umatnya", berkata Mahesa Amping.
"Semoga mereka dapat menerimanya dengan hati
terbuka", berkata Empu Dangka penuh harapan.
"Selama ini kulihat mereka punya pandangan yang
sama", berkata Mahesa Amping
"Pada saatnya kita harus jujur tentang keberadaan
kita sebenarnya", berkata Empu Dangka.
Sementara itu hari sudah terang, matahari sudah
mulai merambat naik kepuncaknya ketika Mahesa
Amping dan Empu Dangka telah tiba di Bale Guru
setelah empat hari pergi melanglang.
"Kali ini kalian melanglang lebih lama", berkata Ki
Arya Sidi yang menyambut mereka di pendapa Bale
Guru. Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
merekapun saling bercerita tentang berbagai hal.
"Dari hari kehari, perkembangan para Sisya terus
meningkat", berkata Ki Arya Sidi bercerita tentang para
Sisya di Pura Indrakila. "Kulihat pada dasarnya mereka adalah anak-anak
muda yang berbakat", berkata Mahesa Amping
menanggapi perkataan Ki Arya Sidi.
Pembicaran mereka terputus manakala Ki Made
Rangu keluar dari pintu sambil membawa makanan dan
minuman. Terlihat Mahesa Amping tengah menuang
kendi air kedalam mangkuknya.
"Makan siang yang nikmat", berkata Empu Dangka
1039 menatap hidangan yang ada.
"Selama melanglang kalian pasti jarang mendapatkan
hidangan yang lengkap", berkata Ki Arya Sidi penuh
senyum. Demikianlah, mereka terlihat tengah menikmati
hidangan yang dibawa Ki Made rangu dengan penuh
kegembiraan. Setelah beristirahat yang cukup, mereka bermaksud
turun ke sanggar. Namun rencana mereka tertahan
manakala terlihat tiga orang mendekati Pendapa Bale
Guru. Ternyata yang datang adalah Raja Indrakila bersama
dua orang pengawalnya. "Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu",
berkata Raja Indrakila dengan penuh senyum naik keatas
pendapa. "Adalah sebuah karunia kehadiran Tuan baginda ke
tempat kami", berkata Ki Arya Sidi mewakili dua orang
sahabatnya. "Beberapa hari yang lalu aku dapat kabar bahwa
kalian telah pergi melanglang", berkata Raja Indrakila
ketika sudah duduk bersama di pendapa Bale Guru.
"Hanya sekedar mengganti suasana biar tidak jenuh
terlalu lama di sebuah tempat", berkata Empu Dangka
kepada Raja Indrakila. "Apa yang kalian dapatkan selama melanglang di
Balidwipa?", bertanya Raja Indrakila yang telah mulai
banyak mengenal Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Kami melihat sepanjang pesisir Balidwipa telah
dipenuhi para saudagar dari Tanah Hindu", berkata
1040 Empu Dangka sambil menatap Raja Indrakila untuk
mengetahui sejau mana pandangannya mengenai hal itu.
Terlihat Raja Indrakila menarik nafas dalam. "Bahkan
mereka saat ini telah merambah ke daratan", berkata
Raja Indrakila menyambung perkataan Empu Dangka.
"Mereka mendapat tempat tersendiri di Pura
Besakih", berkata Mahesa Amping ikut menyampaikan
tanggapannya. "Aku tidak sepaham dengan Raja Adidewalancana
dari Pura Besakih atas kebijakannya menjalin kerjasama
hanya kepada para saudagar dari Tanah Hindu.
Kebijakan sepihak yang dapat membunuh kemerdekaan
untuk berdagang kepada siapapun", berkata Raja
Indrakila menyampaikan pendapatnya.
"Kebijakannya juga telah membentur para pedagang
dari Tanah Singasari", bekata mahesa Amping
menambahkan sepertinya memancing pandangan yang
lebih luas dari Raja Indrakila.
"Itulah yang kukhawatirkan akan terjadi, Raja
Singasari akan mengirim pasukannya yang terkenal kuat
ke Balidwipa ini", berkata Raja Indrakila penuh
kekhawatiran. "Bila Raja Singasari datang ke Balidwipa untuk
mengembalikan kemerdekaan perdagangan, dimanakah
Tuan Baginda akan berpihak", bertanya Empu Dangka
kepada Raja Indrakila. "Aku berpihak pada Singasari bilamana hal itu
terjadi", berkata Raja Indrakila penuh kepastian.
"Keberpihakan tuan Baginda berarti berseberangan
dengan Raja Adidewalancana dari Pura Besakih",
berkata Empu Dangka kepada Raja Indrakila.
1041 "Aku siap menghadapi apapun selama keberpihakanku kepada sebuah kebenaran", berkata
Raja Indrakila penuh keberanian.
"Perkataan dan pernyataan tuan Baginda telah
didengar langsung oleh seorang perwira tinggi dari
Singasari", berkata Empu Dangka penuh senyum.
Raja Indrakila dan Ki Arya Sidi sepertinya belum
menangkap arah perkataan Empu Dangka.
"Aku belum dapat menangkap apa yang Empu
Dangka maksudkan", bertanya Ki Arya Sidi kepada Empu
Dangka penuh ketidak mengertian.
"Mahesa Amping yang kalian kenal selama ini adalah
seorang perwira tinggi Kerajaan Singasari", berkata
Empu Dangka perlahan penuh senyum.
Semua mata tertuju kepada Mahesa Amping,
sepertinya berharap dari bibirnya menyampaikan sebuah
pernyataan. "Berita tentang para saudagar dari Tanah Hindu yang
telah menguasai sepanjang pesisir Balidwipa telah
sampai ke istana Singasari. Itulah sebabnya aku diutus
langsung oleh Raja Kertanegara untuk membuktikan
tentang kebenaran berita itu", berkata mahesa Amping
membenarkan pernyataan Empu Dangka."Maafkan bila
selama ini aku telah menyembunyikan jati diriku yang
sebenarnya", berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya
Sidi dan Raja Indrakila. "Aku merasa gembira, akhirnya raja besar dari
Singasari menaruh perhatiannya di Balidwipa ini",
berkata Raja Indrakila. "Peperangan pasti akan terjadi, namun aku akan
memberikan beberapa pertimbangan dari Raja
1042 Kertanegara agar tidak terjadi banyak korban dari pihak
manapun", berkata Mahesa Amping.
"Terima kasih, aku yakin dari pengamatanmu selama
ini bahwa tidak semua tempat di Balidwipa ini untuk
diperangi", berkata raja Indrakila.
"Tuan Baginda benar, kami hanya ingin mengembalikan Balidwipa sebagai daerah perdagangan
yang merdeka. Yang kami akan perangi adalah
penguasa Pura Besakih dan para saudagar dari Tanah
Hindu yang selama ini telah mengaburkan kekuasaan
sebuah pura pada tempatnya", berkata Mahesa Amping.
"Aku yakin kamu adalah orang kepercayaan khusus
dari Raja Kertanegara, semoga beliau mendengar
nasehatmu", berkata Raja Indrakila yang diam-diam
merasa bangga bahwa dihadapannya adalah seorang
utusan raja Kertanegara yang namanya sudah banyak
didengar begitu besar. "Tuan Baginda tidak perlu khawatir untuk hal itu,
karena dihadapan kita sendiri adalah orang yang sangat
dihormati oleh Sri Baginda Maharaja Singasari", berkata
Mahesa Amping sambil melemparkan pandangan
matanya kearah Empu Dangka yang hanya sedikit
tersenyum. Semua mata ikut Mahesa Amping memandang
kearah Empu Dangka. "Empu Dangka sendiri adalah seorang guru dari Raja
Kertanegara", berkata mahesa Amping dengan penuh
senyum. "Ternyata dihadapanku adalah orang-orang yang
terdekat dari Raja Kertanegara yang besar", berkata Raja
Indrakila seperti tidak percaya atas apa yang
1043 didengarnya itu. "Ternyata kalian berdua begitu pandai menyembunyikan jati diri kalian sebenarnya kepada
diriku", berkata Ki Arya Sidi sambil mengeleng-gelengkan
kepalanya. "Maafkan kami, semua ini karena tugas rahasia yang
kami emban", berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya
Sidi dan Raja Indrakila. "Siapapun diri kalian, yang jelas telah membawa
perubahan yang besar di Pura Indrakila ini", berkata Raja
Indrakila. "Aku telah terlanjur mengenal kalian, diriku begitu
yakin atas apapun perjuangan kalian pasti berada diatas
segala kasih dan kebenaran. Ijinkan diriku berada
dipihakmu dan siap membantu", berkata Ki Arya Sidi dari
perasaan hati yang paling dalam.
"Karena jati diri kami telah kalian ketahui, kami akan
kembali ke Singasari untuk menyampaikan hasil
pengamatan kami", berkata Empu Dangka.
"Bagaimana dengan para Sisya di Pura Indrakila
ini?", bertanya Ki Arya Sidi.
"Aku terlanjur jatuh cinta pada Tanah Bali, aku pasti
akan datang kembali", berkata Mahesa Amping yang
ditanggapi rasa gembira baik Ki Arya Sidi maupun Raja
Indrakila. Sementara itu mentari di cakrawala langit telah
bergeser turun ke barat bumi terhalang kerimbunan daun
dan dahan pohon yang tumbuh disekitar bale Guru.
"Awalnya aku datang kemari untuk meminta
pertimbangan kalian atas latihanku beberapa hari ini, tapi
saat ini aku merasa malu meminta kepada orang-orang
1044 terdekat dari Raja Kertanegara", berkata Raja Indrakila
kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Kami bukan siapa-siapa, kami masih siap melayani
tuan Baginda", berkata Mahesa Amping.
"Terima kasih, mudah-mudahan masih ada waktu
sebelum kalian kembali ke Singasari", berkata Raja
Indrakila sekalian menyampaikan maksudnya untuk
kembali ke Puri Dalem Astana.
"Bukankah kita akan turun melihat para Sisya
berlatih?", berkata Ki Arya Sidi ketika Raja Indrakila telah
tidak kelihatan kembali ke kediamannya.
Ki Arya Sidi, Mahesa Amping dan Empu Dangka
telah mendatangi sanggar. Beberapa Sisya tengah
berlatih di Sanggar terbuka, sebagian lagi berlatih
disanggar tertutup. "Anak-anak muda yang penuh semangat", berkata
Empu Dangka gembira melihat para Sisya berlatih
dengan penuh semangat. "Mereka adalah pemimpin Balidwipa di masa yang
akan datang", berkata ki Arya Sidi kepada Mahesa
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amping dan Empu Dangka. Ketika senja sudah mulai turun menyelimuti bumi,
para sisya telah kembali ke tempatnya. Mahesa Amping,
Ki Arya Sidi dan Empu Dangka telah kembali pula ke
Bale Guru. Cahaya temaram menerangi Bale Guru lewat dua
buah pelita yang berjajar ditiang pendapa. Angin semilir
melepas redup cahaya dua pelita itu bergoyang.
Hamparan rumput hijau di muka halaman bale Guru
sudah tidak terlihat jelas.
"Ternyata semua sudah kalian rencanakan", berkata
1045 Ki Arya Sidi kepada Empu Dangka dan Mahesa Amping.
"Apa yang telah kami rencanakan ?", bertanya
Mahesa Amping pura-pura tidak mengerti apa perkataan
dari Ki Arya Sidi. "Merencanakan agar aku akhirnya dapat diterima
oleh para Sisya di Pura Indrakila ini", berkata Ki Arya Sidi
sambil menuangkan sebuah kendi air ke dalam
mangkuknya. Mahesa Amping dan Empu Dangka tidak
menanggapi perkataan Ki Arya Sidi, terlihat mereka
hanya tersenyum dikulum. "Kami hanya ingin mengembalikan perguruan Panca
Agni sebagaimana leluhur dari Ki Arya Sidi telah mencitacitakannya, sebagai candradimuka bagi semua calon
penguasa Pura di Balidwipa", berkata Empu Dangka
dengan penuh senyum. "Bukankah cita-cita itu telah kembali terwujud",
hanya pindah tempat dari Bukit Gundul Pejeng ke Pura
Indrakila", berkata Mahesa Amping menambahkan.
"Sebenarnya aku masih memerlukan kehadiran
kalian disini", berkata Ki Arya Sidi setelah sambil
meletakkan kembali mangkuk minumannya yang masih
tersisa. "Aku pasti akan kembali, sebagaimana pernah
kukatakan bahwa aku telah jatuh hati pada Tanah Bali,
aku merasakan bahwa Balidwipa ini sebagai tanah
kelahirannku kedua", berkata Mahesa Amping.
Sementara itu pelita diatas pendapa Bale guru itu
sudah menjadi begitu redup, mungkin Ki Made Rangu
lupa mengisi minyak buah jarak diwaktu sore. Angin
malam semilir mengusap kulit tubuh. Lantai kayu sudah
sedikit berembun. 1046 "Mari kita beristirahat", berkata Empu Dangka
mengajak Ki Arya Sidi dan Mahesa Amping masuk untuk
beristirahat ke biliknya masing-masing.
Pagi itu kabut turun menyelimuti Pura Indrakila begitu
pekat bagai gerumbul kapas membalut menghalangi dan
membatasi jarak pandang penglihatan mata. Itulah
sebagai tanda alam bahwa sepanjang hari udara di bumi
Pura Indrakila akan dipayungi kecerahan.
"Hari ini aku berniat akan memilih beberapa sisya
untuk ditingkatkan kemampuannya mengenal dasar
mengungkapkan tenaga yang ada didalam diri", berkata
Mahesa dipagi itu kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka
ketika mereka bersama menikmati minuman hangat
diatas pendapa Bale Guru.
"Kulihat memang sudah saatnya mereka ditingkatkan", berkata Ki Arya Sidi menyetujui rencana
Mahesa Amping. "Saranku sebaiknya dipilih perwakilan dari setiap
Pura agar tidak ada sebuah kecemburuan", berkata
Empu Dangka memberikan sarannya.
"Saran Empu Dangka akan kuperhatikan", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
Demikianlah, pada hari itu Mahesa Amping memilih
delapan orang Sisya terbaik menurutnya yang juga
masing-masing merupakan perwakilan dari setiap pura di
Balidwipa. "Hari ini aku telah memilih kalian sebagai sisya yang
sudah saatnya untuk dapat ditingkatkan tatarannya untuk
mengenal bagaimana menggunakan tenaga yang ada
didalam diri", berkata Mahesa Amping kepada delapan
Sisya yang dikumpulkannya didalam sanggar tertutup.
1047 Berdebar perasaan para sisya yang pernah
mendengar tentang tenaga didalam diri. Selama ini
mereka sering mendengar tentang kekuatan yang dapat
dilontarkan lewat tenaga yang tersembunyi didalam diri
setiap manusia yang sudah terlatih dan mengungkapkan
rahasianya. Sementara itu Mahesa Amping dapat merasakan
debar perasaan para sisyanya sebagaimana pernah
dirasakannya ketika pertama kali diperkenalkan tentang
tenaga dalam oleh gurunya sendiri Mahesa Murti di
Padepokan Bajra Seta. "Untuk dapat mengungkapkan kekuatan yang ada
didalam diri, kalian harus menjalani sebuah laku", berkata
Mahesa Amping kepada Para Sisya.
Terlihat wajah para sisya menjadi begitu tegang.
"Aku yakin kalian dapat menjalaninya dengan baik",
berkata Mahesa Amping yang dapat merasakan
ketegangan para Sisyanya.
Terlihat wajah dari beberapa Sisya agak mengendur
tidak menjadi begitu tegang, sementara beberapa sisya
masih merasakan ketegangannya.
"Sebelum menjalani sebuah laku, kalian harus
mempersiapkan beberapa hal sehari sebelumnya",
berkata Mahesa Amping sambil menerangkan beberapa
hal yang berkaitan dengan pelaksannan sebuah laku.
Para Sisya terlihat begitu seksama menyimak semua
penjelasan dari Mahesa Amping.
"Kalian menjalani laku di sanggar tertutup ini selama
tiga hari tiga malam, besok setelah senja kuharap kalian
sudah mulai menjalaninya", berkata Mahesa Amping
mengahiri penjelasannya kepada para sisya.
1048 Demikianlah, pada hari itu kedelapan sisya itu sesuai
petunjuk Mahesa Amping telah membuat beberapa
persiapan, diantaranya adalah mencari beberapa buah
kelapa yang akan diolah secara khusus sesuai petunjuk
Mahesa Amping disamping beberapa persiapan lainnya.
"Kakang akan melakukan sebuah laku ?", bertanya
Made Dewa Akasa kepada kakaknya Wayan Dewa Bayu
yang tengah membuat beberapa persiapan untuk
menjalani sebuah laku. "Aku akan menjalani sebuah laku selama tiga hari
tiga malam", berkata Wayan Dewa Bayu kepada adiknya.
"Aku berdoa semoga kakang dapat menjalaninya
dengan baik", berkata Made Dewa Akasa penuh
perhatian. "Pada saatnya kamu juga akan menjalaninya",
berkata Wayan Dewa Bayu sambil tersenyum sepertinya
dapat membaca apa yang tengah dipikirkan oleh anak
itu. "Sepertinya aku tidak sabar menantikan saat itu
datang", berkata Made Dewa Akasa kepada Wayan
Dewa Bayu langsung mengungkapkan perasaannya.
Demikianlah, kedelapan sisya yang terpilih pada hari
itu telah melakukan beberapa persiapan lahir dan bathin
sesuai petunjuk dari Mahesa Amping.
Dan hari yang penuh mendebarkan itu akhirnya telah
tiba. Senja di Pura Indrakila telah berlalu, malam mulai
menyelimuti bumi dengan kegelapannya, kedelapan
sisya yang telah dipilh langsung oleh Mahesa Amping
sudah berada didalam sanggar tertutup yang gelap yang
sengaja tidak diterangi pelita.
Setelah melihat para sisya telah bersikap tubuh
1049 sesuai dengan petunjuknya, terlihat Mahesa Amping
meninggalkan mereka keluar dari sanggar tertutup.
Keesokan harinya, ketika cahaya matahari pagi
terlihat menembus celah-celah bilik bambu sanggar
tertutup, terlihat kedelapan sisya masih tidak bergerak
dalam sikap lakunya. "Semoga Sang Hyiang Gusti Yang Maha Agung
memberi jalan terang kepada mereka", berkata Mahesa
Amping dalam hati ketika pagi itu memeriksa kedelapan
sisya di sanggar tertutup yang masih bersikap laku
sesuai petunjuknya. "Bagaimana menurutmu keadaan mereka ?",
bertanya Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping yang baru
saja keluar dari Sanggar tertutup.
"Sampai saat ini mereka masih dapat menjalaninya
dengan baik", berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya
Sidi. Pada hari kedua, para sisya didalam sanggar tertutup
masih dalam sikap lakunya.
Sementara itu Wayan Dewa Bayu yang telah pernah
menerima berbagai laku selama di Bukit Pejeng sudah
lebih dulu dapat menyesuaikan dirinya yang terlihat dari
tarikan nafasnya yang nyaris begitu halus tidak terdengar
lagi. "Anak ini sudah mulai menemukan jalan nafasnya",
berkata Mahesa Amping yang datang menjenguk dan
memperhatikan kedelapan sisya yang tengah menjalani
sebuah laku. "Bagaimana keadaan para sisya?", bertanya Ki Arya
Sidi kepada Mahesa Amping yang terlihat baru saja
menutup kembali pintu sanggar.
1050 "Baru Wayan Dewa Bayu saja yang kulihat telah
menemui jalan nafasnya, selebihnya masih dalam taraf
penyesuaian", berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya
Sidi. "Kita berdoa semoga Sang Hyiang Jagad Yang Maha
Agung memberi jalan terang kepada mereka", berkata
Empu Dangka kepada Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi.
Dan hari yang dinantikan akhirnya telah tiba. Dipagi
yang bening, diawali dengan suara ayam jantan yang
terdengar lirih dari sebuah tempat yang jauh, Mahesa
Amping terlihat perlahan membuka sanggar dan
menutupnya lagi. Keremangan pagi itu tidak
menghalangi ketajaman matanya melihat satu persatu
dari kedelapan sisya yang tengah menjalani sebuah laku.
"Mereka semua telah menemukan jalan nafasnya",
berkata Mahesa Amping dalam hati setelah memperhatikan satu persatu dari kedelapan sisyanya
yang tidak terdengar sedikitpun tarikan nafasnya. Mereka
dapat terlihat seperti delapan arca Budha yang tengah
bertapa. "Bukalah mata kalian secara perlahan, namun jangan
lepaskan pandangan hati kalian tertuju hanya kepada
Sang Hyiang Gusti Yang Maha Agung", berkata Mahesa
Amping dengan suara perlahan tertuju kepada kedelapan
para sisyanya. Terlihat kedelapan sisya itu perlahan membuka
kelopak matanya. "Terima kasih guru, hari ini sisya merasa menemukan
sebuah dunia yang berbeda dari hari sebelumnya",
berkata salah seorang sisya yang tidak mampu menahan
gejolak perasaan hatinya terlihat bersimpuh sujud
dihadapan Mahesa Amping. 1051 Terlihat ketujuh sisya telah melakukan hal yang sama
sujud di hadapan Mahesa Amping sambil menyampaikan
apa yang mereka rasakan. "Bangkitlah wahai para Sisyaku, aku hanya sebagai
perantara. Sujud dan bersyukurlah hanya kepada Gusti
Yang Maha Agung yang merestuai jiwa kalian masuk dan
mulai mengenal kebesarannya", berkata Mahesa Amping
dengan suara penuh kasih ikut merasa suka cita atas
apa yang telah dicapai oleh para sisya dalam menjalani
sebuah laku. Terlihat kedelapan sisya itu bangkit dari sujudnya
dengan mata yang basah penuh keharuan dan suka cita.
"Sucikanlah diri kalian dan beristirahatlah, jangan isi
perut kalian dengan apapun selain dengan sisa ramuan
kelapa yang kalian minum di awal laku", berkata Mahesa
Amping kepada kedelapan Sisyanya. "Aku tunggu kalian
disini menjelang matahari datang bergeser dari
puncaknya", berkata kembali Mahesa Amping.
Terlihat kedelapan sisya berdiri dan penuh hormat
menjura kepada Mahesa Amping berpamit untuk keluar
dari sanggar. Diringi pandangan mata Mahesa Amping,
kedelapan sisya itu telah keluar dari sanggar.
"Aku melihat sinar mata mereka begitu penuh suka
cita", berkata Ki Arya Sidi yang datang bersama Empu
Dangka menemui Mahesa Amping di sanggar tertutup.
"Mereka telah berhasil menjalani laku dengan baik",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.
"Sebuah awal yang baik", berkata Empu Dangka ikut
menanggapi. Akhirnya menjelang matahari telah bergeser dari
puncaknya, Mahesa Amping di temani Ki Arya Sidi dan
1052 Empu Dangka telah melihat satu persatu dari kedelapan
sisya telah datang masuk ke sanggar tertutup.
"Pusatkan segala nalar budimu, hidupkan dan
rasakan kekuatan yang tersembunyi mengalir di segala
jalan darah tubuhmu, lompatilah galar bambu
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagaimana biasa kalian pernah melakukannya",
berkata Mahesa Amping meminta satu persatu dari
kedelapan sisya melakukakn latihan melompati sebuah
galar bambu yang ada didalam sanggar tertutup yang
biasa mereka lakukan. Bukan main kagetnya para sisya mendapatkan hasil
lompatannya satu setengah kali lebih tinggi dari yang
biasa mereka lakukan. Berkali kali mereka melakukannya
dengan gembira. Terlihat Mahesa Amping keluar dari sanggar dan
masuk kembali dengan membawa delapan buah kelapa
yang sudah tua. "Pecahkan kelapa ini dengan
tanganmu", berkata Mahesa Amping kepada Wayan
Dewa Bayu. Terlihat Wayan Dewa Bayu tengah memusatkan
segala nalar budinya, membangkitkan kekuatan
tersembunyi dari dalam dirinya dan mengalirkannya ke
ujung telapak tangan kanannya.
Prakkk ?".!!! Terdengar suara buah kelapa pecah terhantam sisi
dalam telapak tangan Wayan Dewa Bayu.
"Lakukanlah sebagaimana Wayan Dewa Bayu",
berkata Mahesa Amping kepada ketujuh Sisya lainnya.
Terlihat satu persatu dari para sisya melakukan
sebagaimana yang dilakukan oleh Wayan Dewa Bayu.
Terlihat wajah gembira mereka yang telah berhasil
1053 memecahkan kelapa dengan telapak tangan telanjang.
"Mulai saat ini, berlatihlah menjalani laku setiap
menjelang tidur, dengan cara itu kekuatan kalian akan
terus meningkat" berkata Mahesa Amping kepada para
Sisyanya. "Terima kasih Guru, nasehat Guru akan kami
pusakai", berkata Wayan Dewa Bayu mewakili para
Sisya. "Aku akan berangkat ke Tanah Singasari, kutitipkan
kalian kepada Ki Arya Sidi", berkata Mahesa Amping
kepada para Sisya. "Sekarang beristirahatlah kalian",
berkata kembali Mahesa Amping mempersilahkan para
Sisya untuk beristirahat setelah tiga hari tiga malam
menjalani sebuah laku. "Mari kita keluar", berkata Ki Arya Sidi mengajak
Mahesa Amping dan Empu Dangka keluar dari sanggar
tertutup. Di sanggar terbuka mereka melihat para sisya lainnya
tengah berlatih. "Aku mendapat kabar dari Kakang Wayan Dewa
Bayu, Guru akan berangkat ke Singasari", berkata Ketut
Dewa Akasa yang tengah berlatih menggunakan sebuah
tongkat panjang langsung menghentikan latihannya
ketika Mahesa Amping datang mendekatinya.
"Aku akan datang kembali", berkata Mahesa Amping
penuh senyum, entah kenapa dirinya begitu menyukai
anak ini. "Aku hanya khawatir Guru tidak akan kembali dan
melupakan aku", berkata Ketut Dewa Akasa dengan
begitu polosnya kepada Mahesa Amping.
"Apa yang kamu khawatirkan bila aku tidak datang
1054 kembali?", berkata Mahesa Amping kepada Ketut Dewa
Akasa. "Aku khawatir tidak ada yang mengajarkanku
memecahcan sebuah kelapa sebagaimana dilakukan
oleh Kakang Wayan Dewa Bayu", berkata Ketut Dewa
Akasa masih dengan pemikiran seorang bocah yang
lugu. Mahesa Amping tersenyum mendengar pemikiran
Ketut Dewa Akasa. Maka diambilnya sebuah batu koral
sebesar kepalan tangannya.
Krakkk?"".., Batu koral itu hancur beterbangan menjadi kepulan
abu. Terbelalak Ketut Dewa Akasa menyaksikan apa
yang telah diperbuat oleh Mahesa Amping.
"Aku akan kembali, dan mengajarkan kepadamu
melumatkan sebuah batu keras", berkata Mahesa
Amping sambil tersenyum melihat anak itu sepertinya
begitu gembira mendengar apa yang dikatakan oleh
Mahesa Amping. Pagi itu udara berkabut menyelimuti Pura Indrakila
ketika Mehesa Amping dan Empu Dangka tengah
bersiap akan meninggalkan Pura Indrakila untuk waktu
yang cukup lama. "Aku dan para sisya akan merindukan kalian",
berkata Ki Arya Sidi yang mengantar Mahesa Amping
dan Empu Dangka sampai di regol muka Pura Indrakila.
"Doa kami semoga keselamatan
menaungi perjalanan kalian", berkata Raja Indrakila yang ikut
mengantar kepergian mereka. Terlihat Mahesa Amping
dan Empu Dangka telah melangkah semakin menjauh,
ketika mereka menemui jalan menurun, Mahesa Amping
1055 menoleh kebelakang menatap pura diatas puncak bukit
itu masih berkalung kabut putih begitu eloknya,
terpesona Mahesa Amping menatap penuh kagum,
seperti melihat lukisan nirwana dalam penggambaran
para Brahmana. Langkah Mahesa Amping dan Empu Dangka sudah
semakin menjauh, mendekati kaki lereng bukit Pura
Indraloka. Seorang lelaki bertelanjang dada dengan dua
ekor kuda terlihat sepertinya tengah menanti kedatangan
mereka berdua. "Selamat berjumpa kembali wahai saudaraku",
berkata orang itu penuh senyum diwajahnya yang
ternyata adalah Ki jaran Waha.
"Kukira seorang perampok tunggal yang menunggu
untuk membegal kami", berkata Empu Dangka kepada Ki
jaran Waha. "Pasti perampok itu semalam bermimpi rumahnya
kebakaran, dia akan mendapat masalah besar
merampok kalian", berkata Ki Jaran Wahan yang
langsung membalas olok-olok Empu Dangka.
"Dari mana Ki jaran Waha mengetahui bahwa kami
akan melakukan perjalanan?", bertanya Mahesa Amping
kepada Ki jaran Waha setelah mereka bercerita tentang
keselamatan masing-masing.
"Telingaku ada dimana-mana meski aku tidak ada
dimana- mana", berkata Ki Jaran Waha penuh
kebanggaan. "Kuda yang bagus", berkata Mahesa Amping menilai
dua ekor kuda yang dibawa Ki jaran Waha.
"Dimana kutaruh mukaku memberikan kuda
kacangan kepada kalian", berkata Ki Jaran Waha sambil
1056 menepuk-nepuk dua ekor kuda yang dibawanya.
"Terima kasih untuk dua ekor kuda yang akan
menemani kami sepanjang jalan", berkata Mahesa
Amping sambil mencoba melompat ke punggung salah
satu kuda yang dibawa oleh Ki Jaran Waha.
"Di Bandara Buleleng seorang pengikutku akan
mencarikan kapal dagang yang akan mengantar kalian
ke Jawadwipa", berkata Ki Jaran Waha sambil bertolak
pinggang mengantar Mahesa Amping dan Empu Dangka
yang sudah berada dipunggung kuda masing-masing.
"Kali ini Ki Jaran Waha salah dengar, tujuan kami
adalah Tanah Melaya sebelah barat Balidwipa", berkata
Empu Dangka sambil tersenyum melihat Ki jaran Waha
memukul-mukul sendiri keningnya.
"Aku berpesan mohon kiranya Ki jaran Waha untuk
tidak memotong telinga orang yang salah mendengar
itu", berkata Mahesa Amping sambil melambaikan
tangannya diatas punggung kudanya.
"Selamat jalan, kami akan merindukan kalian",
berkata Ki Jaran Waha ikut melambaikan tangannya.
Sementara itu cakrawala langit saat itu begitu cerah,
mentari sudah beranjak jauh meninggalkan tepi ujung
bumi, dua ekor kuda terlihat berpacu melintasi padang
ilalang, mendaki perbukitan dan lereng hijau, kadang
perlahan menyibak semak hutan hitam yang lebat.
"Tanah Melaya di arah Matahari terbenam", berkata
Empu Dangka memberi petunjuk arah perjalanan
mereka. Ketika matahari sudah hampir terbenam,
mereka telah memasuki sebuah Padukuhan.
"Kita lewati padukuhan ini, kita akan menemui
sebuah rumah pengasingan", berkata Empu Dangka
1057 kepada Mahesa Amping "Rumah pengasingan?", bertanya Mahesa Amping
kepada Empu Dangka. "Adat di Padukuhan ini memang sangat keras, tabu
hukumnya beristri lebih dari satu. Seorang lelaki lelaki
yang melanggar harus menerima dikucilkan di sebuah
rumah pengasingan", berkata Empu Dangka menjelaskan kepada Mahesa Amping.
"Siapa dapat menghalangi datangnya cinta?", berkata
Mahesa Amping tanpa menunggu jawaban dari Empu
Dangka. "Tidak satu pun wanita yang dapat menerima
dimadu", berkata Empu Dangka sepertinya ingin
menanggapi perkataan Mahesa Amping.
Ternyata mereka memang tidak ada keinginan
membahas masalah itu, sebagaimana dikatakan oleh
Empu Dangka, terpisah dari lingkungan padukuhan
terlihat sebuah gubuk sederhana berada dipinggir
sebuah hutan kecil. Didepan gubuk itu terlihat seorang lelaki tengah
membuat sebuah perapian. "Apa kabar sahabatku Wayan Tagur", berkata Empu
Dangka sambil menuntun kudanya mendekati lelaki itu.
"Pantas tadi siang ada kupu-kupu besar hinggap
lama di tiang gubukku", berkata lelaki itu yang dipanggil
Wayan Tagur oleh Empu Dangka.
"Aku bersama keponakanku", berkata Empu Dangka
memperkenalkan Mahesa Amping sebagai keponakannya kepada Wayan Tagur.
"Tunggulah kalian di bale, aku akan meminta istriku
1058 untuk membuatkan minuman hangat untuk kalian",
berkata Wayan Tagur sambil masuk kedalam.
Ternyata Wayan Tagur seorang yang asyik diajak
bicara, seorang pendengar yang baik, namun kadang
mampu menyampaikan beberapa pandangannya.
"Apakah ada dalam pikiranmu untuk mencoba
merantau ke Jawadwipa, daripada hidup disini dikucilkan
oleh saudara dan kerabat", bertanya Empu Dangka
kepada Wayan Tagur. "Kami lahir dan dibesarkan di tanah ini, tidak ada
sedikitpun pikiran untuk meninggalkan tanah ini meski
dalam suasana pengasingan. Sampai saat ini kami rela
dikucilkan sebagai dosa yang harus kami pikul sepanjang
hayat", berkata Wayan Tagur mengungkapkan perasaan
hatinya. Suasana pun sekejab menjadi hening tanpa katakata, diatas bale itu sepertinya masing-masing tengah
berbicara pada pikirannya sendiri-sendiri.
Terdengar pintu bambu berderit, terlihat Nyi Wayan
Tagur keluar sambil membawa minuman hangat dan
setumpuk jagung rebus yang juga nampak masih hangat.
"Kami merepotkan tuan rumah", berkata Empu
Dangka berbasa-basi. "Kami senang ada tamu di rumah ini", berkata Nyi
Wayan Tagur sambil meletakkan minuman hangat dan
jagung bakarnya dan langsung masuk kembali kedalam
gubuk. Sekejap Mahesa Amping menangkap wajah Nyi
wayan Tagur yang masih sangat muda dan terpaut jauh
bila dibandingkan dengan usia Wayan Tagur yang
terlihat sudah cukup matang.
1059 "Silahkan dinikmati, panen jagung kami tahun ini
sangat bagus", berkata Wayan Tagur mempersilahkan
kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.
Sementara itu sang malam di gubuk pinggir hutan itu
sudah menyebar berbagi kegelapannya. Dengung
tenggorek ikut memberi warna irama malam yang sepi itu
bersama gemercik suara air menggerus batu hitam dari
sungai kecil disamping gubuk yang sederhana itu.
"Aku tidak bisa menemani kalian sampai jauh
malam", berkata Wayan Tagur sambil mempersilahkan
tamunya untuk beristirahat tidur diatas bale diluar
gubuknya. Perapian dari batang-batang dan daun jagung kering
yang dibakar Wayan Tagur didepan rumahnya terlihat
sudah tertinggal onggokan bara, kadang muncul api
menjilat keluar manakala datang angin meniupnya.
"Silahkan Empu Dangka tidur lebih awal, mataku
masih belum mengantuk", berkata Mahesa Amping
kepada Empu Dangka sambil melonjorkan kakinya dan
bersandar di bilik bambu.
"Bangunkan aku bila datang saat yang cukup untuk
bergantian berjaga", berkata Empu Dangka sambil
merebahkan badannya diatas bale bambu.
Mahesa Amping memang belum dapat memejamkan
matanya, pandangannya terlihat menyapu halaman muka
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gubuk itu, sepetak kebun jagung yang baru dipanen
menyisakan sedikit ujung batangnya diatas tanah.
"Sebuah gubuk dan kebun yang mungil", berkata
Mahesa Amping dalam hati membayangkan dirinya
sebagai seorang petani bersama keluarga kecilnya.
Sementara itu perapian di halaman muka gubuk itu
1060 sudah hampir mati tertinggal sedikit bara yang masih
menyala dan malam sudah semakin dingin.
Mahesa Amping memang tengah memejamkan
matanya, tapi pendengarannya yang tajam masih dapat
membedakan bunyi semak yang terinjak oleh seekor
kadal. Namun kali ini pendengaran Mahesa Amping
terusik oleh suara yang lebih besar lagi, lebih besar dari
seekor kera tengah mengendap-ngendap mendekati
gubuk itu. Terlihat perlahan Mahesa Amping membuka matanya
tanpa menggerakkan sedikit pun tubuhnya yang masih
bersandar di bilik bambu.
Mata Mahesa Amping yang terlatih mampu
menembus keremangan malam, dilihatnya ada tiga
sosok tubuh mengendap- endap mencurigakannya.
Namun belum lagi Mahesa Amping berbuat sesuatu,
dari dalam gubuk keluar Wayan Tagur berdiri di muka
halaman. "Tidak perlu lagi mengendap-endap, aku sudah tahu
siapa kalian", berkata Wayan Tagur membentak-bentak
keras. Mahesa Amping diam-diam mengagumi ketajaman
pendengaran Wayan Tagur yang juga telah mendengar
apa yang didengarnya. Mendengar suara Wayan Tagur, ketiga sosok itu
langsung keluar dari persembunyiannya.
"Malam ini umurmu tidak akan panjang lagi", berkata
salah seorang dari ketiga orang yang telah datang
mendekat. "Orang mana lagi yang kamu upah malam ini",
berkata Wayan Tagur kepada orang itu yang ternyata
1061 masih begitu muda, seusia dan semuda Nyi Wayan
Tagur. "Dua orang kawanku ini paling disegani di Bedugul,
sengaja kupanggil kemari untuk menghabisi nyawamu",
berkata Anak muda itu yang terlihat dari pakaiannya pasti
seorang yang kaya. "Ketut Suida, ternyata apa yang telah kuperbuat
beberapa hari yang lalu tidak membuatmu jera, kemarin
aku masih memandang Ki Demang ayahmu, tapi saat ini
aku tidak peduli siapapun dirimu", berkata Wayan Tagur
sepertinya memperingatkan anak muda itu yang
bernama Ketut Suida. "Jangan sesumbar, kemarin yang kubawa hanya
begundal kelas teri. Malam ini pasti kamu akan menyesal
seumur hidup telah merebut kekasihku", berkata Ketut
Suida dengan jumawanya. "Ketut Suida, sampai hari ini kamu masih
menganggap aku merebut kekasihmu ?", berkata Wayan
Tagur berusaha menahan kemarahannya.
"Kamu telah mengguna-gunainya, itulah yang
membuat aku tidak terima", berkata Ketut Suida kepada
Wayan Tagur. "Matamu mungkin sudah terbalik, cinta Astari
berpaling kepadaku karena telah melihat sendiri
kedokmu yang sebenarnya, lelaki perusak pagar ayu
yang tidak bertanggung jawab", berkata Wayan Tagur
yang sepertinya sudah kehabisan kesabarannya.
Mendengar dirinya disebut sebagai lelaki perusak
pagar ayu telah membuat wajah Ketut Suidi menjadi
memerah. "Enyahkan orang itu!!", berkata Ketut Suidi 1062 memerintah kepada kedua orang upahannya.
Maka terlihat dua orang yang dikatakan dari Bedugul
itu telah langsung menerjang Wayan Tagur.
Ternyata Wayan Tagur bukan orang sembarangan,
terlihat dengan gesit mengelak serangan dua buah golok
tajam dan langsung balas menyerang dengan sebuah
keris ditangannya. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara Wayan
Tagur dan dua orang penyerangnya.
Semula Mahesa Amping ingin turun membantu, tapi
dilihatnya Wayan Tagur ternyata mampu menghadapi
dua orang sekaligus dengan baik, bahkan dengan
pengetahuannya tentang ilmu kanuragan, Mahesa
Amping dpat menilai bahwa tataran ilmu Wayan tagur
masih diatas kedua orang penyerangnya.
Terlihat dalam waktu yang begitu singkat, kedua
orang penyerangnya sudah semakin terdesak.
Sretttt?", Sebuah keris Wayan Tagur telah berhasil membabat
paha kaki kanan dari salah satu penyerangnya. Terlihat
orang itu melompat menjauh dengan wajah meringis
menahan rasa sakit yang sangat. Sementara itu
kawannya berlari mendekatinya.
"Kerisku ini sudah kuwarangi dengan racun yang
keras", berkata Wayan Tagur sambil mengangkat
kerisnya tingi-tinggi. "Berikan penawarnya, kami akan pergi tanpa
perhitungan apapun", berkata kawannya yang sepetinya
mempercayai apa yang dikatakan oleh Wayan Tagur.
"Jangan percaya sesumbarnya, dia hanya 1063 menggertak", berkata Ketut Suida kepada salah seorang
upahannya. "Tuan muda, kami bukan anak kemarin yang tidak
mengetahui tentang warangan", berkata orang itu yang
melihat kawannya sudah menggigil kedinginan.
"Siapapun yang termakan kerisku ini, umurnya tidak
melebihi dari semalaman", berkata Wayan Tagur dengan
suara keras penuh tantangan dan ancaman.
"Berikanlah penawarnya, kami akan pergi tanpa
mengungkit kembali apa yang terjadi malam ini", berkata
kawannya itu dengan suara penuh permintaan.
"Baiklah, hari aku masih berbelas kasihan, aku akan
memberikan penawarnya", berkata Wayan tagur
mendekati Nyi Wayan Tagur yang ternyata sudah lama
keluar dari biliknya mendengar ada keributan.
Terlihat Wayan Tagur berbisik kepada istrinya.
Berselang kemudian istrinya masuk kedalam dan keluar
lagi sambil membawa sebuah bubu kecil dan
memberikannya kepada suaminya
Wayan Tagur membuka bubu kecil itu
mengeluarkan tiga butir obat sebesar kelereng.
dan "Kuberikan penawarnya, lekaslah menghilang dari
pandangannku sebelum aku berubah pikiran", berkata
Wayan Tagur sambil memberikan tiga butir obat
penawar. "Terima kasih", berkata orang itu sambil menerima
obat penawar dari Wayan tagur dan tanpa mempedulikan
Ketut Suida, orang itu telah berjalan memapah kawannya
yang berjalan terpincang-pincang menahan rasa perih
yang sangat akibat sayatan keris Wayan tagur.
Melihat orang upahannya yang akan pergi, Ketut
1064 Suida sepertinya tidak berpikir panjang langsung balik
badan hendak kabur. Namun gerakan Ketut Suida telah ditangkap basah
oleh penglihatan Mahesa Amping yang jeli.
Creppp".., Sebuah belati pendek yang selalu dibawa oleh
Mahesa Amping terlihat telah menancap masuk ke betis
Ketut Suida. Terlihat anak muda itu langsung
terjerambat. "Belatiku ini telah kuwarangi dengan racun ular
tedung yang terkenal bisanya", berkata Mahesa Amping
kepada Ketut Suida sambil mendekatinya.
Terlihat Ketut Suida dengan mata terbelalak tengah
mencabut belati kecil yang menancap tidak begitu dalam.
"Kasihanilah aku, berikan padaku penawarnya",
berkata Ketut Suida penuh memelas sambil melempar
jauh-jauh belati yang menancap di pahanya dengan rasa
penuh jerih ketakutan memandang belati itu. "Siapapun
dirimu, bermurahlah padaku, aku tidak ingin mati",
berkata kembali Ketut Suida dengan wajah penuh
memelas. "Kulihat racun warang belatiku sudah mulai bekerja,
tubuhmu sudah mulai kedinginan", berkata Mahesa
Amping kepada Ketut Suida.
Terlihat Ketut memeriksa tubuhnya, apa yang
dikatakan oleh Mahesa Amping ternyata dapat
dirasakannya, dirinya terlihat menggigil.
"Aku akan memberikan kepadamu penawarnya,
namun berjanjilah untuk tidak mengganggu keluarga
Wayan Tagur sampai kapanpun", berkata Mahesa
Amping dengan wajah penuh wibawa.
1065 "Aku berjanji, aku berjanji", berkata Ketut Suida
kepada Mahesa Amping penuh kegembiraan.
"Obat penawarku hanya mampu menahan racun ular
tedung selama tiga bulan, aku akan menitipkan obat
penawarku kepada Wayan Tagur, mintalah kepadanya
setiap tiga bulan sekali", berkata Mahesa Amping sambil
mengeluarkan dari sabuknya sebuah arang kecil yang
sudah dipersiapkan sebelumnya dari bekas kayu sisa
perapian."Buka mulutmu lebar-lebar", berkata kembali
Mahesa Amping. Tanpa pikir panjang terlihat Ketut Suida telah
membuka mulutnya lebar-lebar. Bersamaan dengan itu
tangan Mahesa Amping telah menjentikkan arang hitam
langsung masuk kedalam mulut Ketut Suida.
"Telanlah", berkata Mahesa Amping kepada Ketut
Suida yang langsung menelan arang hitam kecil yang
ada dimulutnya. Glekk", terdengar air liur Ketut Suida membawa
arang hitam masuk ketenggorokannya.
"Enyahlah dari pandanganku sebelum aku berubah
pikiran", berkata Mahesa Amping dengan suara penuh
wibawa. Terlihat Ketut Suida bangkit berdiri dan terpincangpincang melangkah pergi setengah berlari.
"Aku baru mendengar kalau belatimu ternyata
diwarangi", berkata Empu Dangka yang datang
menghampiri Mahesa Amping sambil pandangannya
mengikuti langkah Ketut Suida yang sudah hampir
menjauh dan akhirnya menghilang terhalang belukar
yang tinggi tumbuh sekitar pohon ngablang.
"Aku hanya meniru apa yang dikatakan tentang
1066 kerisnya", berkata Mahesa Amping sambil tersenyum
menatap Wayan Tagur yang langsung ikut tersenyum.
"Ternyata keponakanmu cukup tajam penglihatannya,
kerisku ini kadang kupakai juga untuk berburu burung
belekuk, mana mungkin kuwarangi", berkata Wayan
Tagur penuh senyum. "Obat apa yang kamu berikan kepada mereka?",
bertanya Empu Dangka kepada Mahesa Amping dan
Wayan Tagur. "Istriku mengeluarkan obat cacing kering penurun
panas", berkata Wayan Tagur menjelaskan tentang obat
yang dikeluarkan dari bubu kecilnya.
"Obat penawar yang kuberikan hanya sebuah arang
sisa perapian", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka. "Ternyata malam ini aku dikelilngi oleh dua orang
penipu ulung", berkata Empu Dangka yang dibalas oleh
tawa berkepanjangan dari Mahesa Amping dan Wayan
Tagur. Sementara itu temaram warna malam yang dingin
telah membasahi tanah halaman ladang jagung didepan
gubuk yang baru saja selesai dipanen. Malam sebentar
lagi akan berlalu. "Semoga keselamatan selalu menaungi perjalanan
kalian", berkata Wayan Tagur mengantar kepergian
Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Semoga kesejahteraan selalu hadir
keluargamu", berkata Empu Dangka menyampaikan kata salam perpisahan.
dalam balas Sementara itu matahari pagi baru saja beranjak naik
mengintip diujung bumi. Pagi begitu cerah dalam warna
1067 hijau yang bening, rerumputan, ilalang dan bunga
bakung yang tumbuh berkembang disepanjang jalan
sepertinya tengah menari bermandi kehangatan matahari
pagi. Terlihat dua orang berkuda membelakangi matahari
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pagi, debu-debu terlihat mengepul dibelakang kaki kuda
mereka. Mereka adalah Mahesa Amping dan Empu Dangka
yang tengah melanjutkan perjalanannya ke Tanah
Melaya, sebuah perkampungan nelayan di pesisir barat
Balidwipa. Matahari belum sampai di puncaknya manakala
mereka telah berhadapan dengan bibir pantai yang luas,
terlihat mereka tengah berkuda menyusuri bibir pantai
berpasir putih. Kadang ombak kecil menyapu dan
membasahi kaki-kaki kuda mereka.
"Aku punya kenalan di Tanah Melaya", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping.
Akhirnya kuda-kuda mereka telah membawa mereka
mendekati sebuah perkampungan nelayan yang terlihat
dirimbuni pohon kelapa. Terlihat mereka telah turun dari kudanya ketika telah
sampai di kampung nelayan. Seorang lelaki didepan
gubuknya yang tengah memperbaiki jalanya menganggukkan kepalanya ketika dilewati oleh Mahesa
Amping dan Empu Dangka yang berjalan sambil
menuntun kuda. "Orang-orang yang ramah", berkata Mahesa Amping
berbisik kepada Empu Dangka.
Langkah kaki mereka berhenti didepan sebuah gubuk
dimana tengah duduk seorang lelaki setengah tua diatas
1068 bale-bale bambu. "Kukira ada saudagar besar datang ke gubukku",
berkata lelaki itu yang sepertinya sudah sangat mengenal
Empu Dangka langsung turun dari Bale-bale bambu.
"Kukira Ki Subali sudah tidak mengenali diriku lagi",
berkata Empu Dangka kepada orang itu yang
dipanggilnya sebagai Ki Subali.
Udara memang cukup terik diatas perkampungan
nelayan itu yang berpasir putih.
"Mari naik dan bicara diatas bale-bale", berkata Ki
Subali mempersilahkan dua orang tamunya naik keatas
bale-bale yang cukup lebar untuk mereka bertiga.
"Perkenalkan ini keponakanku, namanya Mahesa
Amping", berkata Empu Dangka kepada Ki Subali
memperkenalkan Mahesa Amping sebagai keponakannya. Terlihat Ki Subali memanggil seorang pemuda yang
sedang membelah kayu. Ternyata Ki Subali meminta
anak muda itu naik mengambil buah kelapa didepan
rumahnya. "Tolong ambilkan yang muda untuk tamuku", berkata
Ki Subali kepada pemuda itu.
Dengan ringannya anak muda itu memanjat pohon
kelapa didepan rumah Ki Subali. "Awas Ki Subali",
berkata Anak muda itu dari atas pohon sambil
menjatuhkan beberapa buah kelapa.
"Mudah-mudahan dapat melepas dahaga kalian",
berkata Ki Subali kepada Mahesa Amping dan Empu
Dangka sambil menyerahkan buah kelapa yang sudah
dipangkas ujung pangkalnya agar mudah untuk diminum
dan diambil dagingnya. 1069 "Terima kasih Kampur, bawalah untukmu", berkata Ki
Subali kepada pemuda itu yang dipanggilnya bernama
Kampur yang baru saja turun dari atas pohon kelapa
tengah mengibas- ngibaskan dada dan pundaknya dari
debu batang kelapa yang menempel.
Anak muda itu sudah kembali ketempatnya
membelah kayu, Ki Subali sudah kembali naik keatas
bale-bale menemani tamu- tamunya.
"Kukira Empu Dangka tidak akan singgah lagi ke
gubukku", berkata Ki Subali kepada Empu Dangka.
"Aku perlu bantuanmu untuk mengantar kami
menyeberang ke seberang", berkata Empu Dangka
langsung menyampaikan keperluannya kepada Ki Subali.
"Dengan senang hati aku akan mengantar kalian",
berkata Ki Subali langsung menerima permintaan Empu
Dangka. "Ada satu lagi, mudah-mudahan Ki Subali tidak
keberatan", berkata Empu Dangka kepada Ki Subali.
"Mudah-mudahan aku dapat memikulnya", berkata Ki
Subali sambil tersenyum "Tidak berat, aku bermaksud memberikan dua ekor
kuda itu untuk Ki Subali", berkata Empu Dangka kepada
Ki Subali. "Memang tidak berat, bahkan sangat ringan untuk
membawanya kepasar ternak", berkata Ki Subali yang
disambut tawa panjang dari Mahesa Amping dan Empu
Dangka. "Aku tidak melihat Nyi Subali"..", bertanya Empu
Dangka kepada Ki Subali. "Sudah dua minggu ini istriku di seberang menjenguk
1070 ayahnya yang sedang sakit. Kebetulan sekali setelah
mengantar kalian aku akan singgah kerumah mertuaku
itu", berkata Ki Subali menjelaskan keberadaan Nyi
Subali kepada Empu Dangka.
Sementara itu tidak terasa sang waktu telah menarik
layar cakrawala langit diatas panggung bumi menjadi
warna sore yang teduh. Terlihat matahari kuning bulat
masih menggelantung rebah ke barat mendekati ujung
laut biru yang datar. Dan senjapun ternyata lepas berlalu, mentari sudah
lama tenggelam di balik bumi, cakrawala langit malam
diatas hamparan laut biru bergelombang dipenuhi
taburan bintang. Terlihat sebuah perahu nelayan terapung dipermainkan ombak. Angin laut yang kuat telah
mengembangkan layarnya terus melaju. Ada tiga orang
lelaki ditemani cahaya lentara perahu yang temaram
bergoyang kekiri dan kekanan. Mereka adalah Mahesa
Amping, Empu Dangka dan Ki Subali yang tengah
mengarungi selat Bali menuju Tanah Jawa.
"Nasib kita sedang baik, lihatlah bintang sulo bawi
bersinar begitu terang, itu tanda angin timur masih akan
terus berhembus hingga fajar", berkata Ki Subali yang
pandai membaca berbagai bintang.
Hamparan laut biru terhampar bagai permadani
bergelombang. Perahu berlayat tunggal itu begitu kerdil
terapung dibawa aingin timur yang terus berhembus.
Sebagaimana yang dikatakan Ki Subali, menjelang
fajar mereka telah melihat gundukan hitam ratan tanah
membujur. Itulah daratan tanah Jawa.
Berdesir detak hati Mahesa Amping menatap 1071 hamparan tanah hitam di bawah cakrawala langit yang
masih buram. Ada kegembiraan yang melompat-lompat,
hati dan perasaan Mahesa Amping sepertinya
merasakan laju perahu begitu lambat.
Layar perahu itu sudah digulung, terlihat Ki Subali
dengan penuh ketenangan kadang mengayuh mengarahkan perahu berada dibelakang gelombang.
Perahu nelayan itu pun terus melaju dibawa ombak
mendekati daratan pantai.
"Kita berada di pantai kampung mandar", berkata Ki
Subali kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka
sambil melompat kelaut dangkal.
"Istri Ki Subali orang mandar?", bertanya Mahesa
Amping sambil membantu Ki Subali merapatkan
perahunya kedaratan yang lebih dangkal.
"Benar, istriku orang mandar, aku sendiri keturunan
Melayu", berkata Ki Subali sambil mengikat perahunya
disebuah tonggak kayu pohon kelapa yang terpenggal.
"Orang Mandar dan orang Melayu adalah keturunan
pelaut, darah mereka mungkin berwarna biru", berkata
Empu Dangka. "Mungkin juga darah mereka rasanya
asin", berkata kembali Empu Dangka yang disambut
derai tawa dari Mahesa Amping dan Ki Subali, sepertinya
mereka telah melupakan semalaman digoyangkan
gelombang dan kebosanan. Sementara itu sang mentari telah muncul mengintip
diujung bumi dalam warna kuning elok membias
memancar diatas warna biru laut.
"Warna pagi yang indah", berkata mahesa Amping
dalam hati sambil memandang cahaya matahari yang
baru terbit diujung tepi laut yang jauh.
1072 "Tidak jauh dari sini ada sebuah kedai", berkata Ki
Subali kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Tunggulah kalian dikedai ini, aku akan segera
kembali", berkata Ki Subali ketika mereka tiba dikedai
yang bermaksud untuk singgah kerumah mertuanya
sambil melihat istrinya. "Janganlah diri kami membuat Ki Subali tergesagesa, kami tidak sedang berburu waktu", berkata Empu
Dangka kepada Ki Subali. Langkah Ki Subali sudah tidak terlihat lagi terhalang
sebuah gubuk yang berdiri di tikungan jalan. Sementara
itu Mahesa Amping dan Empu Dangka memesan
minuman hangat kepada pemilik kedai.
"Serabinya masih hangat", berkata pemilik kedai itu
menawarkan serabi yang memang terlihat masih
berasap. Ternyata kedai itu semakin terang pagi semakin
banyak didatangi orang, beberapa nelayan yang baru
saja kembali dari melaut, atau beberapa wanita yang
hanya berkemben selembar kain datang membeli
beberapa jajanan, mungkin untuk suami dan anaknya.
"Meski sudah jauh dari tempat asalnya, orang
Mandar tetap memegang adatnya", berkata Empu
Dangka yang sudah banyak melanglang keberbagai
pulau. Sementara itu cahaya matahari pagi sudah semakin
hangat, warna pagi sudah begitu terang ketika mereka
melihat Ki subali sudah datang kembali.
"Bagaimana keadaan mertua dan istrimu?", bertanya
Empu Dangka kepada Ki Subali yang baru datang dari
rumah mertuanya. 1073 "Kulihat mereka dalam keadaan sehat tidak kurang
apapun", berkata Ki Subali penuh senyum.
Terlihat Ki Subali mengambil tempat duduk, namun
tidak memesan apapun karena sudah merasa kenyang
disuguhi makanan dirumah mertuanya.
"Bila kalian merasa sudah cukup beristirahat, kita
dapat melanjutkan perjalanan", berkata Ki Subali kepada
Mahesa Amping dan Empu Dangka.
Terlihat Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki
Subali tengah melangkahkan kakinya kearah pantai.Sementara itu matahari pagi diatas cakrawala
langit sudah bergeser mengangkat wajahnya seperempat
naik permukaan hamparan laut biru.
Ombak pantai berduyun-duyun membasahi kaki
mereka yang tengah mendorong perahunya menjauhi
pasir dangkal. Terlihat Ki Subali adalah orang terakhir yang
melompat kedalam perahunya manakala kedalaman air
dirasakan telah cukup tinggi.
Semilir angin diatas perahu sepanjang pesisir pantai
jawa itu berhembus menyejukkan. Dan perahu kecil itu
terlihat laju dikayuh Mahesa Amping dan Ki Subali
menyusuri tepian pantai timur Jawadwipa. Kadang
mereka singgah menepi disebuah pantai untuk sekedar
melepas kepenatan, setelah itu mereka kembali
melanjutkan perjalanan dalam terik matahari atau
gelapnya langit malam bertaburan bintang.
Akhirnya,pagi itu mereka telah tiba di Muara Sungai
Porong, matahari pagi di belakang punggung mereka
bersinar hangat. Hari memang telah terang pagi.
Beberapa bocah lelaki terlihat tengah bermain berlari
1074 diatas pasir putuh yang lembut.
"Paman Kebo Arema pernah tinggal disini", berkata
Mahesa Amping menunjuk sebuah perkampungan
nelayan. "Kebo Arema seperti raja kecil di perkampungan ini,
kita bisa meminjam namanya", berkata Empu Dangka
ikut memandang perkampungan nelayan yang terdiri dari
gubuk-gubuk kecil dari bilik bambu dan beratap daun
alang-alang yang berjurai. Perkampungan itu sendiri
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada dibawah bukit hutan yang hijau. Sebuah
pemandangan yang indah berada antara hamparan laut
yang luas dan pemandangan bukit tinggi yang hijau.
"Kami kerabat Kebo Arema, kami perlu sebuah
jukung untuk sampai ke Sungai Brantas", berkata Empu
Dangka kepada seorang lelaki di depan gubuknya yang
tengah menjemur dendeng ikan.
"Kalian kerabat Paman Kebo Arema?", bertanya
lelaki itu sambil tersenyum memandang tiga orang asing
dihadapannya. "Benar, kami kerabatnya", berkata Empu Dangka
penuh senyum keramahan kepada lelaki itu.
"Paman Kebo Arema adalah dewa penolong bagi
warga di perkampungan ini, membantu kerabatnya
adalah sebuah kebanggaan untuk kami", berkata lelaki
itu sambil bercerita tentang sepak terjang Kebo Arema
selama tinggal di perkampungan mereka. "Saudaraku
punya dua buah jukung, mungkin dapat meminjamkannya untuk kalian", berkata lelaki itu sambil
mengajak Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Subali
kerumah saudaranya. Ternyata nasib mereka sedang mujur, saudara lelaki
1075 itu bersedia memberikan jukungnya.
"Berhati-hatilah, di hutan porong air sungai cukup
deras dan berbatu", berkata saudara lelaki itu yang
bersedia memberikan jukungnya.
"Terima kasih telah mengingatkan kami", berkata
Mahesa Amping kepada saudara lelaki itu.
"Kapan kalian berangkat?", bertanya lelaki yang
mengantar ke rumah saudaranya setelah kembali lagi
kerumahnya. "Setelah beristirahat yang cukup, siang ini kami akan
berangkat", berkata Empu Dangka kepada lelaki itu.
"Beristirahatlah disini", berkata memperkenalkan dirinya bernama Ragil.
lelaki itu Dengan penuh keramahan Ragil menjamu ketiga
tamunya beristirahat di gubuknya.
"Tangkapan ikan di musim ini cukup melimpah",
berkata Ragil bercerita tentang beberapa hal kehidupan
seorang nelayan. Ketika matahari condong sedikit dari puncaknya di
Muara Sungai, Mahesa Amping dan Empu Dangka
tengah mempersiapkan dirinya untuk melanjutkan
perjalanannya. "Terima kasih Ki Subali telah mengantar kami sampai
di Mura Sungai Porong ini", berkata Empu Dangka
kepada Ki Subali yang siang itu juga akan kembali Ke
seberang, ke tanah Melaya di Balidwipa.
"Sampaikan salam kami kepada Paman Kebo
Arema", berkata Ragil kepada Mahesa Amping dan
Empu Dangka yang telah berada diatas jukungnya.
"Aku akan sampaikan salammu", berkata Empu
1076 Dangka sambil melambaikan tangannya dari atas jukung
yang mulai bergerak bergeser dari bibir sungai.
Diiringi pandangan mata Ki Subali dan Ragil, jukung
yang dinaiki Mahesa Amping dan Empu Dangka telah
bergerak menjauh hingga akhirnya semakin kabur tinggal
bayangan hitam dari pandangan mereka karena Mahesa
Amping dan Empu Dangka sudah semakin jauh dari
Muara Sungai Porong masuk dalam kerimbunan hutan
Porong yang lebat dipenuhi batang- batang pohon kayu
yang besar dan tinggi dan kerap dirayapi semak belukar,
hutan itu sepertinya tidak pernah dijamah oleh tangan
manusia. "Selama manusia tidak merusaknya, selama itu pula
hutan ini menjaga dan memberi kehidupan manusia di
dunia", berkata Empu Dangka sambil menyapu
pandangannnya di sekitar hutan yang begitu kerap.
"Gusti Yang Maha Kasih telah memberikan hutan,
gunung dan lautan untuk kehidupan manusia", berkata
Mahesa Amping ikut memandang jauh kedalaman hutan
yang lebat. "Matahari sudah semakin condong", berkata Empu
Dangka mengingatkan Mahesa Amping bahwa cahaya
diatas sungai itu sudah semakin gelap , cahaya matahari
semakin terhalang kerapatan hutan porong yang lebat.
"Sungai semakin dangkal dan berbatu", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka dapat
menangkap kekhawatirannya.
Akhirnya ketika cahaya diatas sungai porong itu
sudah begitu gelap, mereka merapatkan jukungnya
disebuah tepian. "Kita bermalam disini", berkata Empu Dangka sambil
1077 duduk disebuah bebatuan dibawah sebuah pohon kayu
besar. Terlihat Mahesa Amping membuat perapian,
membuka bekal yang mereka bawa dan mengumpulkan
beberapa umbi-umbian tanaman sejenis talas yang
cukup banyak tumbuh di sekitar tepi sungai itu.
"Kamu seperti ayahku, hanya memilih kimpul mitoha",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang
sudah mengumpulkan beberapa umbi yang disebut
Empu Dangka sebagai kimpul Mitoha.
"Aku menyukainya karena rasanya sangat pulen",
berkata Mahesa Amping menyampaikan alasannya
memilih umbi- umbian yang dikumpulkannya.
Demikianlah, mereka menghangatkan diri di tepian
sungai hutan porong itu yang sangat lebat dan gelap.
Ketika pagi telah datang menjelang, cahaya matahari
telah masuk diantara kerap dahan dan daun menyinari
sungai porong yang jernih berbatu.
"Kita lanjutkan perjalanan", berkata Empu Dangka
kepada Mahesa Amping. Terlihat sebuah jukung sudah mulai bergerak
menyusuri sungai di hutan porong yang cukup deras dan
berbatu. Dengan mahirnya Mahesa Amping mengrahkan
jukungnya menghindari batu-batu besar yang ada
dihadapan mereka. "Air sungai sudah semakin dalam", berkata Mahesa
Amping yang melihat air sungai yang disusurinya sudah
semakin dalam dan tidak berbatu.
"Kita semakin mendekati sungai Brantas", berkata
Empu Dangka yang begitu kenal dengan keadaan
disekitarnya. Karena pernah hidup lama didaerah ini dan
1078 dikenal oleh penduduk disekitarnya sebagai nelayan
bercaping yang banyak menolong sesamanya, terutama
dari para begal yang dulu banyak dan sering
mengganggu. Sementara itu matahari terus bergerak dan bergeser
ke barat membuat bayang-bayang semakin memanjang
dan memudar. Akhirnya menjelang senja mereka telah
sampai di sebuah pertemuan sungai.
"Kita telah sampai di muka sungai pemisah dua raja",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ketika
jukung mereka telah memasuki sebuah sungai yang jauh
lebih luas. "Sungai Brantas", berkata Mahesa Amping perlahan
mewakili kegembiraan hatinya.
"Kita sama-sama merindukannya", berkata Empu
Dangka yang dapat menangkap perasaan hati Mahesa
Amping. Cahaya senja diatas Sungai Brantas terlihat begitu
teduh, sebuah jukung melaju dikayuh oleh sebuah
tangan yang kuat dan penuh semangat.
"Dipertengahan malam kita baru dapat beristirahat",
berkata Empu dangka sambil memasang lentera diujung
jukungnya, sementara itu cahaya didepan mereka
memang telah begitu gelap.
Terlihat mahesa Amping mengayuh jukungnya agak
menepi, pandangan matanya yang tajam masih dapat
melihat arah dan suasana meski malam telah
menyelimuti pemandangan di atas sungai Brantas dan
hutan dikiri kanannya. "Kita menepi", berkata Empu Dangka kepada Mahesa
Amping. Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka
1079 tengah menepikan jukungnya di pinggir sebuah hutan.
Seperti biasa Mahesa Amping membuat perapian
dan membuka bekal perjalanan mereka.
"Dendeng ikan cucut dari Ragil masih ada", berkata
Mahesa Amping sambil membuka bekalnya.
Sementara malam dihutan tepian sungai Brantas itu
telah menjadi begitu kelam bergayut suara kesunyian
yang ajeg mengisi setiap waktu. Kadang terdengar
lolongan sekumpulan anjing hutan memanggil kawankawannya, atau jerit seekor tikus sebagai suara dan
nafas terakhirnya ketika berada dimulut seekor ular.
Namun semua suara itu tidak mengganggu Mahesa
Amping dan Empu Dangka yang terlihat merebahkan
dirinya bersandar pada sebuah pokok kayu pohon besar
ditepian sungai Brantas itu.
Dan sang malam akhirnya pasrah menyerahkan
kelanggengannya manakala sang fajar datang mengambil alih kuasa waktu yang ditandai dengan
penampakan semburat warna kemerahan mengisi ujung
timur lengkung langit, warna bumi pagipun menjadi
begitu bening dan teduh. Mahesa Amping dan Empu Dangka terlihat sudah
berada di jukungnya kembali. Udara pagi yang sejuk dan
segar mengiringi perjalanan mereka membelah air sungai
Brantas yang jernih. Kadang mereka bertemu dengan
satu dua perahu kayu milik para saudagar yang terlihat
bermuatan barang dagangan.
"Kakang Mahesa Pukat telah membuat gardu
penjagaan di sepanjang sungai Brantas ini", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
"Aku pernah mendengar namanya sebagai Senapati
1080 yang tangguh dari Bandar Cangu", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping. "Jadi orang itu saudara
tuamu?", berkata kembali Empu Dangka.
"Kakang Mahesa Pukat juga guruku",
Mahesa Amping dengan begitu bangganya.
berkata "Beruntunglah Singasari memiliki para ksatria seperti
kalian", berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping
yang masih terus mengayuh jukungnya sepertinya ingin
membawanya secepatnya terbang ke Bandar Cangu.
"Perkampungan penduduk tumbuh semakin banyak
di sepanjang sungai Brantas ini", berkata Mahesa
Amping ketika jukung mereka melewati beberapa
perkampungan di sepanjang Sungai Brantas.
"Sungai Empu Baradah ini telah menjadi berkah bagi
manusia disekitarnya", berkata Empu Dangka sambil
menyapu pandangannya dihamparan sawah yang luas di
tepi sungai Brantas yang mereka lewati.
Sementara itu matahari pagi sudah semakin naik,
cahayanya membias diatas air sungai seperti pelangi
bertaburan warna- warni. Mahesa Amping masih terus
mengayuh jukungnya, sepertinya tidak terlihat sedikitpun
kelelahan dalam sinar raut wajahnya.
"Kita telah sampai", berkata Mahesa Amping ketika
matanya menangkap ujung-ujung tiang layar bahtera
besar di ujung jauh sudut pandangnya menambah
semangatnya untuk mengayuh jukungnya lebih kuat lagi.
Ujung-ujung tiang bahtera itu menjadi semakin
mendekat. Mahesa Amping dan Empu Dangka telah
mendekati dua buah bahtera besar Singasari yang
tengah bersandar di sebuah dermaga yang besar.
"Sebuah bahtera yang sangat besar dan indah",
1081 berkata Empu Dangka sambil memandang dua buah
bahtera besar didepan matanya.
"Itulah Jung Singasari yang kami banggakan",
berkata Mahesa Amping penuh kebanggaan kepada
Empu Dangka. "Kalian pantas membanggakannya", berkata Empu
Dangka sambil matanya tidak pernah melepas
pandangannya kearah dua bahtera besar yang semakin
menjadi dekat. Akhirnya mereka merapatkan jukungnya didermaga
itu. Beberapa prajurit yang tengah berada disekitar
dermaga itu menyambut kehadiran Mahasa Amping
dengan perasaan penuh suka cita.
"Lama sekali tuan Rangga tidak hadir bersama kami",
berkata salah seorang prajurit muda ketika bertemu
dengan Mahesa Amping. Satu persatu Mahesa Amping melayani hampir
semua prajurit yang datang menyapanya.
"Selamat datang wahai sahabatku", berkata seorang
pemuda seusia Mahesa Amping dengan pakaian lengkap
seorang perwira. "Selamat bertemu kembali wahai penjaga Singasari
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang gagah", berkata Mahesa Amping kepada pemuda
itu yang ternyata adalah Rangga Lawe sahabat
dekatnya. Merekapun saling menanyakan keselamatan mereka
masing- masing. Ketika pandang mata Rangga Lawe bertemu dengan
Empu Dangka, ada sedikit keheranan terlihat dari gurat
1082 wajah Rangga Lawe. "Beliau ini bukan Empu Nada, tapi saudara
kembarnya", berkata Mahesa Amping yang mengerti
keheranan dari Rangga Lawe dan langsung memperkenalkan Empu Dangka kepadanya.
"Mari kita ke atas, ke Balai Tamu", berkata Rangga
Lawe mengajak Mahesa Amping dan Empu Dangka
menuju rumah kayu yang megah dipinggir sungai
Brantas yang disebut sebagai Rumah Balai Tamu.
"Nampaknya Raden Wijaya tengah menerima
seorang tamu", berkata Mahesa Amping menatap kearah
pendapa Balai tamu. "Hampir setiap hari kami menerima tamu", berkata
Rangga Lawe penuh senyum sambil terus melangkah
menaaiki pendapa balai tamu diiringi Mahesa Amping
dan Empu Dangka dibelakangnya.
"Lihatlah, siapa yang bersamaku", berkata Rangga
Lawe kepada Raden Wijaya ketika sudah sampai diatas
pendapa. "Sebuah kegembiraan melihat dirimu kembali",
berkata Raden Wijaya sambil memeluk Mahesa Amping
penuh keharuan layaknya seorang sahabat dekat
bertemu setelah sekian lama berpisah.
Sebagaimana Rangga Lawe, Raden Wijaya merasa
kenal dengan orang yang datang bersama Mahesa
Amping. "Perkenalkan, ini saudara kembar dari Empu Nada",
berkata Mahesa Amping memperkenalkan Empu Dangka
kepada Raden Wijaya. "Ternyata aku bertemu dengan guru Paman Kebo
Arema dan Baginda Maharaja Singasari", berkata Raden
1083 Wijaya penuh santun dan penghormatan.
Tamu dari Raden Wijaya ternyata memaklumi
suasana pertemuan itu, orang itu pun berpamit diri.
"Maaf, urusanku sudah selesai, aku mohon pamit
diri", berkata orang itu kepada Raden Wijaya serta
semua yang ada di pendapa Balai Tamu.
Setelah tamu itu turun dari pendapa, kembali
suasana penuh kegembiraan lebih terbuka lagi, mereka
saling bercerita beberapa hal seiring selama perpisahan
mereka. "Aku tidak melihat Paman Kebo Arema", berkata
Mahesa Amping menanyakan keadaan kebo Arema.
"Paman Kebo Arema baru saja keluar, mungkin ada
sedikit urusan di Benteng Cangu", berkata Rangga Lawe
kepada Mahesa Amping. "Setelah beristirahat, aku akan ke Benteng Cangu
sekalian bertemu Kakang Mahesa Pukat", berkata
Mahesa Amping. "Kita semua akan mengantarmu ke Benteng Cangu",
berkata Rangga Lawe menyambung perkataan Mahesa
Amping. Pembicaraan mereka tiba-tiba tertahan manakala dari
balik pintu keluar seorang pelayan membawa minuman
dan hidangan untuk mereka.
"Silahkan dinikmati hidangannya", berkata Rangga
Lawe memberi kesepatan Mahesa Amping dan Empu
Dangka memulai mengambil hidangan yang tersedia.
"Baru kali ini aku dipersilahkan oleh seorang yang
bernama Lawe", berkata Mahesa Amping yang disambut
gerai tawa semuanya. 1084 "Ini untuk pertama dan terakhir, besok kamu bukan
tamu lagi", berkata Rangga Lawe yang membuat suara
ketawa kembali menyambung berkepanjangan.
Demikianlah, mereka saling bersenda gurau sambil
menikmati hidangan diatas pendapa Balai Tamu. Empu
Dangka dapat menilai begitu dekatnya persahabatan
ketiga pemuda yang ada bersamanya itu.
"Mereka tiga serangkai sahabat sejati dan sehati",
berkata Empu dangka dalam hati menilai keakraban
ketiga pemuda dihadapannya itu sambil ikut menikmati
senda gurau mereka yang sepertinya tidak ada batas
perbedaan warna-warni pangkat dan derajat keturunan.
Sementara itu di hutan seberang sungai Brantas,
sekumpulan burung pengelana terlihat turun bertengger
di beberapa ranting. Satu dua burung-burung muda
terlihat tengah mencari perhatian dihadapan para burung
betina dengan memegarkan bulunya yang halus putih
sambil membuat sebuah suara kicau yang merdu.
Sebagian lagi terlihat tengah meneguk air ditepian sungai
Brantas penuh kepuasan setelah melewati perjalanan
panjangnya. "Kita akan menemui kemarau panjang", berkata
Empu Dangka dengan pandangan jauh kedepan
memandang burung-burung pengelana di seberang
sungai Brantas. "Saat yang baik untuk membawa prajurit berlayar
menuju Balidwipa", berkata Mahesa Amping ikut
memandang ke hutan di seberang Sungai Brantas.
Dan waktu pun terus berlalu, matahari diatas Sungai
Brantas telah mulai tergelincir surut kebarat.
"Mari kita ke Benteng Cangu, menemui Senapati
1085 Mahesa Pukat dan Paman Kebo Arema", berkata Raden
Wijaya. Maka terlihat mereka tengah menuruni anak tangga
Balai Tamu dan melangkah menuju Benteng Cangu yang
letaknya tidak begitu berjauhan.
Tidak begitu lama mereka telah sampai di pintu
gerbang Benteng Cangu. Seorang pengawal yang
melihat kedatangan mereka langsung membukakan pintu
gerbang dan mempersilahkan masuk.
Sementara itu Mahesa Pukat dan Kebo Arema yang
tengah berada di atas pendapa Benteng Cangu telah
melihat kedatangan mereka yang semakin mendekat.
"Guru".", berkata Kebo Arema sambil menuruni
anak tangga pendapa. "Bangkitlah anakku", berkata Empu Dangka
menyentuh punggung Kebo Arema untuk bangkit berdiri.
Maka suasana benar-benar menggembirakan,
banyak sekali yang mereka percakapkan sepanjang
berbagai hal selama perpisahan waktu diantara mereka.
"Kamu telah melaksanakan tugasmu dengan baik",
berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping yang
telah bercerita cukup panjang mengenai perjalanan
tugasnya di Balidwipa. "Saran dan pandangan Kakang Mahesa Pukat sangat
diharapkan", berkata Mahesa Amping kepada Mahesa
Pukat berharap mendapat berbagai masukan.
"Apakah kamu tidak ingin menerima saran dan
pandanganku?", berkata Kebo Arema sambil mengelus
janggutnya yang panjang penuh senyum.
"Saran dan Pandangan dari Kakang dan Paman
1086 sangat diharapkan", berkata Mahesa Amping mengulang
kembali perkataannya. Demikianlah, mereka bersama saling memberikan
beberapa pandangan berdasarkan apa yang telah
diamati Mahesa Amping selama berada di Balidwipa.
JILID 12 "KAPAN kalian akan ke Kotaraja?", bertanya Mahesa
Pukat kepada Mahesa Amping
Terlihat Mahesa Amping memandang Raden Wijaya
berharap ikut memberikan jawaban.
"Kami akan berangkat segera, tentunya setelah
Mahesa Amping dan Empu Dangka cukup beristirahat",
berkata Raden Wijaya cukup terdengar bijaksana.
"Kalian semua akan berangkat
bertanya kembali Mahesa Pukat.
ke kotaraja?", "Mungkin Rangga Lawe yang harus tertinggal
mewakili segalanya di Balai Tamu", berkata Raden
Wijaya. Maka semua mata tertuju kepada Rangga Lawe.
"Sebagai prajurit, aku siap menerima tugas dari Sang
Senapati", berkata Rangga Lawe dengan wajah senyum
terpaksa karena sedikit kecewa tidak diikutkan ke
Kotaraja. Namun perkataan Rangga lawe itu sudah membuat
semua diatas pendapa benteng Cangu tertawa.
Sementara itu waktu berlalu seperti berlari, senja
telah mulai merangkak pergi meninggalkan bumi
menyelinap dibawah kegelapan malam yang telah mulai
1087 merayap menyelimuti bumi.
"Kami mohon pamit diri", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Pukat mewakili.
Maka terlihat Kebo Arema, Mahesa Amping, Empu
Dangka, Raden Wijaya dan Rangga Lawe tengah
menuruni anak tangga pendapa Benteng Cangu diringi
pandangan mata Mahesa Pukat sampai akhirnya
menghilang tidak terlihat lagi ketika mereka terhalang
pintu gerbang benteng cangu yang tinggi.
Berlima mereka beriring berjalan melangkah menuju
Balai Tamu Bandar Cangu yang tidak begitu jauh dari
Benteng Cangu. Sementara langit malam telah menutupi
air sungai Brantas menjadi begitu kelam, hanya
terdengar riak gelombangnya sesekali menampar kayu
bahtera Singasari yang tengah bersandar di dermaga
kayu itu. Seorang pelayan menyambut kedatangan mereka di
pendapa Balai Tamu. "Hamba kira tuan-tuan akan
kembali dari Benteng Cangu sampai jauh malam",
berkata pelayan tua itu penuh senyum ramah.
"Kami rindu dengan masakanmu Pak tua, itulah
sebabnya kami segera kembali", berkata Rangga Lawe
kepada pelayan tua itu membuat semua yang
mendengar ikut tersenyum.
Diam-diam Empu Dangka memperhatikan keakraban
sikap pelayan tua itu kepada penghuni Balai Tamu itu.
"Kesetiaan pelayan tua itu buah dari sikap penghuni
rumah ini yang menghormatinya bukan sebagai pesuruh,
Kisah Para Pendekar Pulau Es 19 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Kelelawar Hijau 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama