Ceritasilat Novel Online

Sang Fajar Bersinar 4

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 4


kerajaan air. "Sesuai petunjuk Sri Maharaja, di Benteng ini ada
seorang Senapati yang tangguh, mantan seorang guru
istana yang terpilih", berkata Kebo Arema.
"Sri maharaja terlalu memuji, mudah-mudahan sedikit
ilmuku ini masih dapat berguna", berkata Mahesa Pukat
merendahkan dirinya. Diam-diam Kebo Arema menyukai
Senapati muda dihadapannya yang rendah hati ini.
Banyak hal keterangan yang telah diceritakan oleh Sri
Maharaja tentang Mahesa Pukat kepadanya. Diantaranya kesaktian yang dimiliki oleh Senapati muda
ini. Dan Kebo Arema meyakini cerita Sri Maharaja bukan
cuma isapan jempol belaka.
Demikianlah, keesokan harinya Mahesa Pukat telah
memerintahkan beberapa prajuritnya membangun
beberapa bedeng darurat di pinggir sungai Brantas tidak
jauh dari Benteng Cangu. Disitulah akan berdiri sebuah
galangan tempat pembuatan sebuah jung besar, sebuah
jung besar yang belum pernah tercipta di jaman itu
sebelumnya. Pada hari itu juga, Kebo Arema telah memerintahkan
Bhaya keponakannya itu untuk berangkat ke Curabhaya
memanggil beberapa saudara mereka dari Suku Air.
Pada jaman itu keahlian orang-orang Suku Air dalam
pembuatan perahu memang tidak diragukan lagi. Mereka
secara turun temurun telah mewarisi ilmu pertukangan
pembuatan perahu terbaik.
"Beberapa dari prajurit di benteng Cangu ini dapat
dibentuk menjadi prajurit yang tangguh sesuai dengan
medan yang akan mereka hadapi, baik di darat maupun
di lautan. Merekalah yang kelak akan menjadi perwira
216 utama yang akan menurunkan keahliannya kepada
prajurit baru yang akan kita dapatkan dari beberapa
daerah di Singasari ini", berkata Senapati Mahesa Pukat
kepada Kebo Arema dan Pangeran Kertanegara pada
suatu malam di pendapa utama di benteng Cangu.
"Sebuah usaha yang baik. Pembentukan pasukan
khusus akan menjadi lebih cepat", berkata Kebo Arema
menyetujui usulan Senapati Mahesa Pukat.
Malam itu bulan tua bersembul di atas langit tepian
sungai Brantas begitu indahnya. Langit bertaburan
bintang menghiasi cakrawala raya. Empat buah obar
menerangi tanah lapang ditepian sungai brantas. Kebo
Arema, Kertanegara, Bhaya dan 20 orang saudaranya
dari Suku Air tengah berkumpul melakukan upacara adat
memohon perlindungan dan berkah dari para leluhur.
"Pangeran", berkata Kebo Arema. "Leluhur kami telah
melarang keturunannya menurunkan ilmu pembuatan
perahu kepada selain garis darah. Untuk itulah kami akan
melakukan upacara penyatuan darah. Menjadikan
Pangeran sebagai saudara kami"
"Aku bersedia menjadi
Pangeran Kertanegara. Saudaramu", berkata Maka sebuah ritual kecil pun berlangsung khikmad.
Diawali dari Kebo Arema memakan tiga helai daun
cimeng yang diambilnya dari sebuah kotak kayu. Bergilir
satu persatu memakan daun cimeng hingga berakhir
pada Pangeran Kertanegara yang ikut mengambil tiga
helai daun cimeng dan mengunyahnya. Setelah itu
mereka meminum air tuak aren dari bumbung bambu
yang sama. Demikianlah mereka melakukan sebuah
ritual kecil, mengikat Pangeran Kertanegara sebagai
saudara sedarah. 217 "Mulai hari ini, Pangeran adalah saudara kami. Tidak
tabu lagi mengetahui rahasia pengetahuan kami",
berkata Kebo Arema Kepada Pangeran Kertanegara.
Demikianlah mereka memulai sebuah kerja, yang
diawali dengan pembuatan sebuah galangan besar di
tepian Sungai Brantas. Pangeran Kertanegara melihat
sendiri bagaimana orang-orang suku air bekerja. Mereka
benar-benar ahli dan pekerja keras. Siang malam bereka
bekerja seperti tidak mengenal lelah. Memang sangat
mengagumkan, hanya dalam waktu sepekan sebuah
galangan besar telah berdiri dengan kokohnya di tepian
sungai Brantas. "Aku sudah mendapatkan sepuluh prajurit pilihan,
para calon perwira pasukan khusus pengawal jung
besar", berkata Senapati Mahesa Pukat kepada
Pangeran Kertanegara pada suatu malam di pendapa
utama Benteng Cangu. Hadir juga pada saat itu Kebo
Arema. Atas penghormatan dan permintaan Mahesa
Pukat, Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema tinggal
bersama di Benteng Cangu.
"Terima kasih, kami sudah membebankan paman
Senapati", berkata Pangeran Kertanegara.
"Tugas yang tengah Pangeran pikul adalah kewajiban
kami sebagai prajurit membantu sepenuh hati", berkata
Mahesa Pukat. Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema mengakui
dalam hati masing-masing, bahwa Senapati muda di
depannya itu benar-benar mendukung sepenuh hati
tugas yang tengah mereka emban. Sehingga tidak ada
jarak di antara mereka. Dalam setiap hal tidak ada yang
tidak mereka bicarakan bersama, saling meminta
pendapat dan jalan keluar bersama.
218 "Galangan telah siap, pekerjaan kita selanjutnya
adalah mencari bahan kayu pilihan, di antaranya adalah
mendapatkan sebuah kayu jati merah sebagai pokok
jung", berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat dan
Pangeran Kertanegara. "Apakah ada syarat ketinggian tertentu dari pohon jati
merah itu?" bertanya Mahesa Pukat.
"Kita harus mendapatkan kayu jati merah untuk
tulang pokok", berkata Kebo Arema. "Pohon jati merah
yang kita cari harus melebihi ketinggian dua puluh
meter". "Sebuah Jung yang luar biasa besarnya", berkata
Mahesa Pukat membayangkan sebuah jung yang sangat
besar yang belum pernah dilihatnya pada jaman itu.
"Aku pernah menemui pohon jati merah setinggi itu di
hutan Porong, besok kami akan mencarinya" berkata
Kebo Arema. "Sementara untuk bahan kayu lainnya,
seperti Kayu benuang dan ulin tidak begitu sulit, kita
masih dapat mencarinya di hutan terdekat, tidak perlu
persyaratan ketinggian tertentu sebagaimana pohon jati
merah. Pagi itu dua buah jukung meluncur di atas sungai
Brantas. Mereka adalah Kertanegara, Kebo Arema,
Bhaya serta lima orang suku air saudara mereka.
Ketika sampai di pertigaan sungai porong, mereka
langsung berbelok arah dan tertelan jauh masuk ke
pedalaman sungai hutan porong.
Mereka tidak menyadari, beberapa pasang mata
tengah mengikuti perjalanan mereka.
"Berhenti !", berkata Kebo Arema ketika mengingat
sebuah tempat dimana pernah melihat banyak pohon jati
219 merah tumbuh. Mereka pun menepi, setelah menyembunyikan dua
buah jukung jauh dari tepian sungai, mereka melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki. Hutan porong
sepertinya menelan mereka yang masuk kedalam hutan
semakin kedalam sebuah hutan lebat yang jarang sekali
didatangi orang. Disamping masih banyak binatang buas
yang berkeliaran, konon Hutan Porong adalah hutan
kerajaan para dedemit. Jarang sekali orang yang berani
masuk ke hutan ini bila saja tidak ada keperluan yang
mendesak. Akhirnya setelah lama mencari, masuk lebih dalam
lagi di kelebatan hutan porong, mereka pun menemukan
apa yang mereka inginkan. Sebuah pohon jati merah
dengan ketinggian lebih dari yang mereka duga
sebelumnya. Bukan hanya tinggi dua puluh meter,
bahkan lebih dari empat puluh meter dengan lebar
batang dua kali pelukan orang dewasa .
"Dengan pohon jati merah setinggi ini, tidak ada
sambungan untuk tulang pokok jung kita", berkata Kebo
Arema gembira sekali menemukan sebuah pohon jati
merah yang diharapkan. Tanpa diperintah, Bhaya langsung memanjat pohon
jati merah itu. Begitu lincah Bhaya memanjat naik dari
satu cabang ke cabang lainnya sampai keujung puncak
cabang yang paling tinggi. Sebagaimana naiknya, Bhaya
menuruni pohon Jati Merah itu juga lebih cepat lagi
dibandingkan ketika memanjat.
"Empat puluh tiga meter", berkata Bhaya kepada
Kebo Arema dengan gembiranya.
"Kita persiapkan jalan", berkata Kebo Arema kepada
lima orang saudaranya yang langsung tahu apa yang
220 harus mereka lakukan, yaitu membuka hutan agar
batang kayu jati merah dapat mudah ditarik mendekati
tepian sungai. Ketika mereka bekerja membuka jalan, penciuman
Kertanegara yang tajam mencium bau aneh.
"Asap beracun!", berkata Kertanegara mengingatkan
semuanya untuk berhati-hati.
Tapi peringatan Kertanegara telah terlambat, seorang
suku air yang ada ditempat paling ujung telah menghisap
asap beracun. Nafasnya seketika menjadi sesak,
langsung roboh lemas di tempat. Sementara yang lain
masih sempat menutup rapat penciuman mereka sambil
menjauhi arah angin. Kertanegara langsung menerapkan ilmunya, sebuah
angin deras meluncur kesegenap penjuru, membersihkan
asap beracun. Dengan cepat pula mata Kebo Arema menemukan
arah sumber asap, tubuh kebo arema seperti anak panah
langsung meluncur ke arah sumber asap beracun.
Ternyata dugaan Kebo Arema tidak meleset. Ada sebuah
tabunan api ditemukan masih menyala. Dengan cepat
menutup tabunan api itu dengan tanah basah. Bara api
itu pun seketika padam. Mata kebo Arema mencoba
menyusuri semak dan kepekatan hutan.
"Mereka datang dari arah sungai", berkata Kebo
Arema kepada dirinya sendiri mencoba menerka siapa
dan dari mana orang yang menyebarkan racun itu
datang. Maka Kebo Arema langsung berlari ke arah tepi
sungai. Namun sudah terlambat, sebuah jukung sudah
jauh meninggalkan tepian. Hanya punggung mereka
yang masih terlihat jauh dan tidak mungkin dapat dikejar.
221 Kebo Arema kembali ke tengah hutan dengan hati
berdebar, seorang saudaranya sudah terkena asap
beracun. "Ia masih hidup", berbisik Bhaya menenangkan
perasaan Kebo Arema sambil menunjuk saudaranya
yang tengah diberikan tetesan air rendaman kayu aji batu
keling pemberian dari Empu Dangka yang selalu di bawa
oleh Kertanegara. Ternyata kayu aji batu keeling sangat mujarab
menawarkan segala jenis racun. Setelah beberapa tetes
air rendaman Kayu Aji Batu Keling masuk lewat bibirnya,
terlihat kulit tubuhnya yang semula putih pucat kembali
memerah, napasnya kembali teratur seperti sedang
tertidur nyenyak. Akhirnya mereka memutuskan untuk sementara
menghentikan kegiatan kerja, menunggu saudara
mereka sehat kembali. "Kita beristirahat di sini, menunggu perkembangan
kesehatan saudara kita", berkata Kebo Arema meminta
semuanya beristirahat. "Mulai sekarang kita harus selalu waspada, mereka
tidak akan berhenti sampai di sini", berkata Kertanegara.
"Dengan kejadian ini mataku sudah terbuka, ternyata
ada juga orang Singasari yang tidak menginginkan kerja
besar ini terwujud", berkata Kebo Arema
"Yang mereka inginkan adalah kegagalanku", berkata
Kertanegara "Apakah Pangeran sudah dapat menduga, siapa di
balik semua ini?", bertanya Kebo Arema.
"Sejauh ini aku sudah dapat menduga, siapa dan apa
yang mereka inginkan", berkata Kertanegara.
222 Kebo Arema tidak mendesak siapa orang dibalik
semua ini kepada Kertanegara. Ada sesuatu hal lain
sehingga Kertanegara masih harus menyimpan rahasia
siapa dibalik semua ini yang berusaha menggagalkan
kerja mereka. Paherangi, demikian nama saudara mereka yang
terkena racun terlihat bangun dan hendak bangkit berdiri.
----------oOo---------JILID 03
"Beristirahatlah, jangan banyak bergerak", berkata
Kebo Arema sambil membantu Paherangi bersandar di
sebuah batang pohon. Malampun akhirnya datang berangsur menutupi
hutan porong dengan kegelapan.
"Biarlah aku dan Bhaya berganti jaga, tenaga kalian
sangat diperlukan esok hari", berkata Kertanegara
meminta semuanya untuk beristirahat.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangunkan aku", berkata Kertanegara
Bhaya yang mendapat tugas jaga pertama.
kepada Sepanjang malam tidak ada yang mengganggu
mereka hingga sampainya datang pagi menjelang.
Berdasarkan pengalaman hari pertama, maka
mereka mulai mengatur siapa bekerja dan siapa yang
harus berjaga. Sementara itu Paherangi yang terkena asap beracun
sudah merasa sehat dan dapat bekerja kembali.
"Terima kasih Pangeran", berkata Paherangi yang
sudah mengetahui siapa yang menyembuhkannya.
223 "Tanpa Pangeran mungkin aku
memandang cahaya pagi hari ini"
tidak dapat lagi "Tidak perlu mengucapkan terima kasih, bukankah
kita bersaudara?", berkata Kertanegara yang ikut merasa
gembira melihat Paherangi sehat sebagaimana
sediakala. Nampak terlihat mereka telah kembali bekerja,
membuka hutan agar batang kayu jati merah dapat
mereka keluarkan dari hutan. Sementara itu Bhaya yang
mahir memanjat tengah membuang cabang pohon jati
merah. Sebatang demi sebatang cabang ohon kayu jati
jatuh terpangkas hingga akhirnya tinggal pokok
batangnya saja yang masih berdiri menjulang tinggi.
Setelah pembukaan jalan sudah dirasa mencukupi,
merekapun secara bergantian mulai memotong pokok
batang kayu jati merah. Tali tambang besar pun telah
terikat di batang pohon jati merah siap untuk ditarik.
Sementara itu di sepanjang jalan telah ditebarkan balok
kayu bulat yang berfungsi sebagai roda siap
menggelinding manakala pokok batang kayu jati sudah
rebah di atasnya. Kraak" bum !!!! Terdengar suara batang pohon jati merah jatuh ke
bumi dengan suara yang luar biasa kerasnya. Tanah pun
terasa bergetar ketika batang pohon kayu jati merah
yang besar itu rebah jatuh kebumi. Dan Akhirnya batang
pokok kayu jati itupun sedikit demi sedikit bergeser
sampai ditepian sungai. "Besok kita datang kembali mengambil beberapa
cabang batang yang sudah terpangkas, pantang
dipisahkan tulang pokok dan tulang rusuk jung harus
berasal dari pohon yang sama", berkata Kebo Arema
224 kepada Kertanegara yang langsung menangkap dan
mengerti batang pokok dan batang cabang yang akan
ditatak nantinya sebagai tulang pokok dan tulang rusuk
Jung. Dua buah jukung terlihat meluncur menarik batang
pohon yang panjang. Arah arus sungai porong yang
mengalir ke arah sungai brantas sangat banyak
membantu mempermudah kerja mereka. Namun ketika
jukung mereka masuk ke aliran sungai Brantas, mereka
harus melawan arus. Tapi para suku air adalah pedayung
ulung. Sepertinya mereka tidak merasakan kesukaran.
Perlahan tapi pasti jukung mereka terus bergerak menuju
Bandar Cangu tempat mereka telah mendirikan sebuah
galangan besar ditepian sungai Brantas.
Tapi semangat mereka seperti terbang.
Terlihat galangan yang mereka kerjakan siang dan
malam selama sepekan hari telah berubah menjadi
tumpukan abu. "Kemarin malam ada yang membakar galangan kita",
berkata salah seorang dari suku air. "Api sudah
membesar tidak mungkin lagi diselamatkan".
"Dimana kalian ketika kebakaran ini terjadi?",
bertanya Kebo Arema menatap semua saudaranya dari
suku air yang tidak ikut bersamanya ke hutan Porong
mencari pohon Jati Merah.
Semua saudaranya dari suku air Nampak tertunduk.
"Sirep mereka begitu kuat, semua saudaramu
tertidur. Kami sendiri datang terlambat, galangan sudah
setengahnya terbakar api", berkata Senapati Mahesa
Pukat yang juga hadir di tempat itu menjelaskan dan
meminta pengertian Kebo Arema untuk tidak
225 menyalahkan sepenuhnya kepada saudaranya.
"Siapapun mereka, tujuannya hanya satu untuk
mematahkan semangat kita. Tunjukkan kepada mereka
bahwa kita bukan orang yang gampang menyerah",
berkata Kertanegara memberi semangat.
Ternyata kata-kata Kertanegara seperti siraman
minyak mengobarkan api semangat di dada para suku
air. Keesokan harinya mereka sudah bekerja kembali
membuat galangan dengan penuh semangat, seakan
ingin menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang
gampang dipatahkan. Kejadian terbakarnya galangan di dekat Bandar
Cangu itu pun sebentar saja sudah menggema sampai
kepelosok nagari. Semua orang membicarakannya.
Beberapa orang bahkan mengaitkan kejadian itu dengan
kosongnya singgasana di Kediri.
"Ada yang ingin menjatuhkan nama Pangeran
Kertanegara", berkata seorang saudagar di sebuah
kedai. Ternyata semua sudah diperhitungkan dengan
masak oleh Pangeran Kertanegara. Jauh sebelum
pembuatan galangan, Pangeran Kertanegara sudah
menduga akan ada usaha yang menginginkan
kegagalannya. Itulah sebabnya galangan pembuatan
jung sengaja berada tidak jauh dari Bandar Cangu.
Disitulah pusat berita. Dan nama Pangeran Kertanegara
telah menjadi pusat berita, usaha pembakaran galangan
menyuburkan rasa simpatik dari banyak orang. Siapapun
yang lewat di tepian Brantas itu pasti akan melambaikan
tangannya, sepertinya ingin mengatakan agar terus
bekerja dan jangan mundur. Dan orang-orang suku air
sepertinya ikut merasa tersanjung, merasa bangga
226 bekerja bersama pahlawannya, Sang Putra Mahkota.
"Gila!!", berkata seorang yang beralis tebal di sebuah
kedai di Bandar Cangu sambil menggebrak meja. Tiga
orang kawannya Nampak terdiam penuh rasa gentar
menghadapi seorang di depannya yang nampaknya
seperti pimpinan mereka. Sementara di kedai itu sedang sepi pengunjung,
cuma ada mereka berempat saja. Pemilik kedai saat itu
tidak terlihat, mungkin sedang sibuk di dapur belakang.
"Usaha kita berbalik arah, usaha kita bahkan telah
menjual namanya melambung tinggi", kembali orang itu
berkata yang ditanggapi oleh ketiga kawannya dengan
menundukkan kepalanya lebih dalam lagi.
Salah seorang dari mereka terlihat lebih berani
dibandingkan kedua kawannya mengangkat kepalanya.
"Harusnya kita tidak cuma membakar, tapi menghabisi
mereka semua disaat sirep kita bekerja".
"Bagus!", berkata pemimpin
mendapatkan rencana baru.
mereka sepertinya Seekor elang terus berputar di padang perburuannya.
Sekali-kali mengepakkan sayapnya yang panjang.
Matanya yang tajam terus mengawasi, menanti saat
yang tepat dan cepat untuk menukik menyambar
mangsanya yang lengah. Suara pekik elang jantan kadang menggetarkan
dada. Gema terbakarnya sebuah galangan di tepian sungai
Brantas juga telah terdengar jauh sampai ke Padepokan
Bajra Seta. "Mudah-mudahan kehadiran kalian dapat memberikan dukungan bagi Pangeran Kertanegara.
227 Sampaikan salamku kepadanya", berkata Mahesa Murti
ketika melepas Raden Wijaya, Mahesa Amping dan
Lawe yang akan berangkat ke Bandar Cangu.
Dengan menghela napas panjang, Mahesa Murti
memandang punggung tiga anak muda di atas kudanya
yang menghilang berbelok terhalang dinding Padepokan.
Terbayang masa mudanya bersama Mahesa Pukat
melanglang dunia. Mengembara dari satu tempat
ketempat lainnya, merasakan angin segar di tengah
padang ilalang, mencium bau tanah merah di perbukitan
hijau. "Masa muda yang indah", berkata Mahesa Murti
kepada dirinya sendiri masih memandang jauh kedepan
melampaui pintu gerbang Padepokannya.
"Sudah lama kita tidak melakukan perjalanan jauh",
berkata Raden Wijaya. Nampak wajahnya begitu ceria.
"Mari kita berpacu sampai diatas puncak bukit", berkata
Raden Wijaya sambil mengepak perut kudanya agar
berlari lebih cepat lagi.
Mahesa Amping dan Lawe tidak ingin tertinggal,
mereka pun menghentakkan kudanya berpacu mengejar
Raden Wijaya yang sudah lebih dulu memacu kudanya.
Terlihat tiga ekor kuda berlari berpacu di atas tanah
bulakan panjang, membelah padang ilalang dan terlihat
semakin jauh mendekati bukit kecil.
Diatas puncak bukit mereka berhenti sebentar,
menengok kebelakang memandang sawah dan ladang
yang terhampar. Sepertinya mereka bertiga mempunyai
perasaan yang sama, suara rindu para cantrik
Padepokan Bajra Seta nun jauh di ujung seberang
sawah dan ladang yang terhampar indah seakan
memanggil mereka, mengucapkan selamat jalan.
"Aku akan selalu merindukanmu", berkata Lawe
228 sambil melambaikan tangannya.
Mahesa Amping dan Raden Wijaya hanya tersenyum
melihat laku Lawe, diam-diam mereka juga mempunyai
perasaan yang sama, sebuah kekosongan hati
meninggalkan tempat yang menyenangkan bersama
dalam persaudaraan dan kegembiraan hari-hari di
Padepokan Bajra Seta yang tenang dan sejuk, sesejuk
senyum cerah para warganya. Dan mereka bertiga akan
pergi jauh untuk waktu yang lama.
Ketika menuruni bukit kecil itu, mereka tidak lagi
memacu kudanya. Dibiarkan kaki kuda melangkah
berjalan sendiri menuruni bukit. Masing-masing terdiam
hanyut dalam angan pikirannya sendiri hingga tidak
terasa mereka telah ada di tepi hutan kecil.
Itulah awal perjalanan mereka. Sebuah awal
pengembaraan mereka yang panjang menapaki liku jalan
kehidupan yang tidak selalu datar. Lembaran perjalanan
mereka diwarnai dengan canda dan tawa, tapi terkadang
sangat begitu mencekam seperti menyusuri tepian jurang
panjang ditengah malam dalam kepungan puluhan
senjata tajam. Senja itu mereka tengah menyusuri jalan di sebuah
Padukuhan, tengah mencari sebuah Banjar Desa untuk
bermalam. Tiba-tiba saja puluhan orang datang dari
depan dan belakang membawa berbagai macam senjata.
"Berhenti!!", berkata seorang yang bertubuh tegap
berkumis tebal dengan senjata golok besar telanjang d
itangannya. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe segera
turun dari kudanya. "Beginikah sikap kalian menerima
setiap orang asing yang datang di kampungmu?",
berkata Lawe yang merasa tidak menyukai sikap orang229
orang dusun yang mengepung dan mengancamnya.
"Jangan banyak bicara, menyerahlah",
kembali orang itu dengan suara keras.
berkata "Apa kesalahan kami?", bertanya Lawe tidak kalah
keras suaranya sepertinya tidak sabaran.
"Jangan berpura-pura, kalian pasti ingin kembali
mencuri sapi kami", berkata orang itu
"Darba, jaga sikapmu", tiba-tiba muncul menyeruak
dari kerumunan banyak orang, seorang lelaki sudah
berumur namun tubuhnya masih begitu tegap dan
berotot. "Ki Jagabaya, mereka adalah pencuri", berkata orang
yang berkumis tebal yang dipanggil Darba oleh Ki
Jagabaya yang baru saja datang menghampiri mereka.
"Sudah kubilang, jaga sikapmu!" berkata Ki
Jagabaya kepada Darba yang sepertinya tidak menerima
sikap Ki Jagabaya. "Maafkan kami anak muda, kemarin malam di
padukuhan ini telah kecurian tiga ekor sapi. Wajarlah bila
semua orang di sini menjadi curiga kepada orang asing",
berkata Ki Jagabaya menjelaskan kepada Lawe, Raden
Wijaya dan Mahesa Amping dengan sikap yang santun.
"Kami hanya pengembara, rencananya kami ingin
menumpang bermalam di Banjar Desa. Namun dengan
kejadian ini, biarlah kami bermalam di tempat lain",
berkata Mahesa Amping. "Jangan biarkan mereka lepas, mereka harus
dihukum", berkata Darba sambil mengangkat golok
besarnya. "Benar, mereka harus dihukum", berkata dua orang
230 yang berdekatan dengan Darba. Sementara beberapa
orang padukuhan sepertinya merasa segan dengan Ki


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jagabaya, mereka hanya berdiri menunggu dalam
keraguan. Tiba-tiba saja muncul tiga orang pemuda mendekati
Ki Jagabaya. "Orang asing ini bukan pencurinya, sejak
kemarin kami sudah tahu siapa pencurinya", berkata
salah seorang pemuda yang mendekati Ki Jagabaya.
"Kamu tahu siapa pencurinya?",
Jagabaya kepada pemuda itu.
bertanya Ki "Maafkan aku, waktu itu aku takut ayah akan
berhadapan dengan orang itu", berkata pemuda itu.
"Apakah saat ini kamu masih takut menyebut nama
pencuri itu", berkata Ki Jagabaya.
"Rasa takutku telah hilang, melebihi rasa takut bila
ayah salah menghukum orang asing ini", berkata
Pemuda itu. "Katakan siapa pencuri itu", berkata Ki Jagabaya
tidak sabaran. "Darba dan dua temannya itu", berkata pemuda itu
sambil menunjuk Darba dan dua orang yang ada di
dekatnya. Semua mata memandang Darba dan dua orang
temannya. "Anak setan, jangan bicara sembarangan", berkata
Darba dengan marahnya. Wajahnya berubah semakin
beringas. "Kemarin malam kami mengikutimu sampai ke ujung
hutan, disanalah kalian menyimpan sapi-sapi itu", berkata
pemuda itu. 231 "Anak setan, kurobek mulutmu", berkata Darba
sambil melangkah mengacungkan golok besarnya.
"Aku yakin anakku tidak berbohong, sudah lama aku
mencurigai kalian bertiga", berkata Ki Jagabaya sambil
menghadang langkah Darba.
"Rupanya anakmu masih berotak, takut ayahnya
yang sudah tua tidak akan mampu menghadapi kami
bertiga", berkata Darba langsung menyerang Ki
Jagabaya. Ternyata Ki Jagabaya meski sudah berumur masih
mampu bergerak lincah. Dengan bergeser kesamping
menghindar tusukan golok besar Darba, Ki Jagabaya
langsung menyerang balik dengan sebuah sabetan
tombak pendek bermata dua yang merupakan senjata
andalannya. Maka terjadilah pertempuran yang seru antara Darba
dan Ki Jagabaya. Semua mata memandang penuh rasa
khawatir, apakah Ki Jagabaya yang sudah tua akan
dapat menandingi Darba yang bertubuh tegap yang
terlihat begitu ganas dan keras melakukan serangannya.
Mahesa Amping yang mengikuti pembicaraan
pemuda yang ternyata putra Ki Jagabaya memberi tanda
kepada Lawe untuk bersiap menjaga segala
kemungkinan dua orang kawan Darba berbuat
kecurangan. Ternyata dugaan Mahesa Amping terbukti,
dua orang kawan Darba telah bersiap maju mendekati
pertempuran. Mahesa Amping dan Lawe maju
menghadang mereka. "Kurang enak dipandang, orang tua di keroyok tiga
orang sekaligus", berkata Mahesa Amping kepada salah
seorang yang berkulit hitam pekat.
232 "Sedari tadi aku sudah tidak sabar untuk
mencincangmu", berkata orang yang berkulit hitam pekat
itu sambil mengayunkan pedang besarnya ke arah
kepala Mahesa Amping yang langsung mengelak dengan
gerakan seenaknya. Bukan main marah dan
penasarannya orang itu melihat ayunan pedangnya lolos
tipis dari sasarannya. Ternyata Mahesa Amping tidak
langsung menunjukkan tataran ilmunya, berpura-pura
mengelak dengan gerakan seadanya. Semakin geram
dan penasaran orang itu untuk menyelesaikan
pertempurannya. Sementara itu Lawe sudah berhadapan dengan
seorang lagi teman Darba yang berwajah menyeramkan,
ada bekas luka codet di sepanjang garis pipinya.
Tidak seperti Mahesa Amping, Lawe tidak sabaran
menghadapi lawannya yang berwajah seram itu. Ketika
sebuah bacokan mengarah dari atas kepalanya. Dengan
kecepatan yang tidak dapat dipercaya oleh lawannya,
Lawe bergeser memiringkan badannya. Dan senjata
lawan lewat hanya beberapa inci dari tubuh Lawe.
Orang itu seperti terbelalak tidak percaya, sebuah
tamparan yang keras menghantam tangannya yang
masih menggenggam pangkal pedang. Tulang tangannya seperti patah dan pedih, tidak terasa
pedangnya telah terlepas. Dan dalam waktu yang hampir
bersamaan, entah dari mana datangnya serangan, yang
dirasakannya tengkorak kepalanya seperti terhantam
benda berat. Seketika itu juga orang yang berwajah
menyeramkan itu roboh pingsan.
Orang-orang Padukuhan seperti tidak percaya
dengan penglihatannya. Orang yang berwajah seram
yang memang baru beberapa minggu ini tinggal di rumah
Darba telah dapat dirobohkan dengan cepat oleh
233 seorang pemuda asing sebagai seorang pencuri. yang sebelumnya dituduh Raden Wijaya hanya tersenyum melihat Lawe yang
dengan cepat merobohkan lawannya. Pandangannya
masih tetap ke pertempuran Ki Jagabaya dan Darba.
Menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin
dapat saja terjadi. Namun sekali-kali masih menengok
pertempuran Mahesa Amping yang terlihat seperti orang
bodoh menghindari serangan lawannya.
Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, Ki
Jagabaya ternyata masih mampu mengimbangi serangan
Darba yang keras dan ganas. Mereka sepertinya berpacu
meningkatkan tataran ilmunya. Pertempuran menjadi
begitu sengit. Masing-masing ingin selekasnya
menyelesaikan pertempuran.
Akhirnya sedikit kelengahan telah menguntungkan
posisi Ki Jagabaya. Darba lengah tidak menyadari bahwa
tombak pendek Ki Jagabaya bermata dua. Ketika sebuah
serangan dari Ki Jagabaya meluncur mengarah perutnya,
dengan angkuh Darba mencoba menghantam tombak
pendek itu dengan golok besarnya sekuat tenaga dengan
keyakinan tombak pendek itu pasti terlempar. Ternyata
tombak pendek itu berubah arah. Mata tombak yang lain
berubah berputar menukik pangkal paha Darba. Darah
memuncrat dari pangkal paha yang tercabik mata tombak
Ki Jagabaya yang langsung mencabutnya dan melompat
beberapa jarak. Rasa pedih dan perih dirasakan darba pada pangkal
pahanya yang tertembus mata tombak Ki Jagabaya. Kaki
kanannya seperti lumpuh. "Mata tombakku mengandung racun yang tajam,
menyerahlah, aku punya penawarnya", berkata Ki
234 Jagabaya menawarkan Darba untuk menyerah.
Darba yakin Ki Jagabaya tidak berbohong. Apalagi
ketika dirasakan badannya ikut menggigil. "Aku
menyerah", berkata Darba sambil melemparkan golok
besarnya. Sementara itu, Mahesa Amping juga melihat akhir
pertempuran Ki Jagabaya dan Darba. Maka ada pikiran
untuk menyelesaikan pertempurannya yang lebih tepat
disebut permainan. Karena Mahesa Amping selama itu
hanya melompat dan berlari menghindari setiap
serangan dengan gerakan seperti orang bodoh yang
membuat lawannya bertambah penasaran.
Mahesa Amping memang sudah jemu bermain.
Ketika sebuah bacokan meluncur dari arah atas kepala,
Mahesa Amping tidak menghindar. Dengan memperhitungkan kekuatan dan kecepatan luncuran
pedang, Mahesa Amping telah menghentikan laju
pedang itu dengan menjepitnya dengan dua buah jari
tangannya. Dengan tersenyum Mahesa Amping
memandang lawannya yang berusaha menarik sekuat
tenaga pedangnya agar terlepas dari jepitan Mahesa
Amping yang begitu kuat. Bahkan tidak malu lagi
menariknya dengan kedua tangannya. Akibatnya pun jadi
sungguh memalukan, orang itu jatuh duduk di tanah
terlempar tenaganya sendiri karena dengan cepat
Mahesa Amping telah melepaskan jepitan jarinya.
"Menyerahlah, dua orang temanmu sudah tidak
berdaya", berkata Mahesa Amping dengan sikap tidak
seperti orang bodoh lagi. Wajahnya berubah seperti
penuh wibawa dan angker. Ternyata orang yang berwajah hitam pekat itu telah
menyadari dengan siapa ia berhadapan. Bagaimana
235 dengan dua buah jari lawannya dapat menahan dan
menjepit pedangnya. Disamping itu ia telah melihat dua
orang kawannya sudah tidak berdaya.
"Aku menyerah", berkata orang itu sambil melempar
pedangnya. "Bawa mereka ke rumah Ki Buyut", berkata Ki
Jagabaya kepada beberapa orang yang langsung
mengikat Darba dan dua orang kawannya.
"Terima kasih, apa jadinya diriku yang tua ini bila
sampai dikeroyok tiga orang begundal itu", berkata Ki
Jagabaya kepada Mahesa Amping, Lawe dan Raden
Wijaya. "Tanpa kehadiran Ki Jagabaya, mungkin kami sudah
dicincang habis warga Padukuhan", berkata Mahesa
Amping. "Ternyata aku berhadapan dengan orang muda yang
telah dapat menguasai diri. Sebelum dicincang kalian
sudah lebih dulu membantai seluruh orang padukuhan.
Terima kasih kalian tidak melakukannya", berkata Ki
Jagabaya. Akhirnya Ki Jagabaya mengajak mereka ikut
bersama kerumah Ki Buyut untuk ikut menjadi saksi.
Hari sudah jauh menjadi malam, manakala mereka
sampai dirumah Ki Buyut. Ki Jagabaya pun menceritakan
apa sebenarnya yang telah terjadi. Darba dan dua orang
kawannya tidak dapat mengelak lagi, mereka mengakui
semua perbuatannya. "Bermalamlah di rumahku, aku masih punya
persediaan ketela yang baru tadi siang dicabut", berkata
Ki Jagabaya kepada Mahesa Amping, Raden Wijaya dan
Lawe ketika urusan dengan Darba dan dua orang
236 kawannya dianggap telah selesai. Masalah hukuman apa
yang pantas bagi mereka telah diserahkan sepenuhnya
kepada Ki Buyut. Akhirnya Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe
tidak menolak tawaran Ki Jagabaya. Sebagaimana yang
dijanjikan, Ki Jagabaya telah menjamu mereka dengan
ketela rebus yang baru dicabut lengkap dengan kelapa
parut mudanya. Apalagi yang menjadi teman minumnya
segelas hangat wedang sare lengkap dengan gula batu
merahnya. "Uwenake pwuoll", berkata menyerumput wedang sare hangatnya.
Lawe sambil Ketika pagi menjelang, hari masih begitu gelap.
Terlihat Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe telah
meninggalkan padukuhan. Mereka akan melanjutkan
perjalanan ke Bandar Cangu yang sudah tidak begituh
jauh lagi. Angin bertiup sepoi di pagi yang cerah. Dengan
rancak tiga ekor kuda menapaki bulakan panjang,
membelah padang ilalang, menapaki bukit dan lembah
hijau pegunungan. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan
Lawe sepertinya menikmati perjalanan mereka. Seperti
elang muda yang terbang bebas diudara mengarungi
luasnya kehidupan alam raya.
Sementara itu di hari yang sama, Kertanagara
bersama Kebo Arema dan para saudaraya masih tengah
bergulat membangun jung besar di tepian Sungai
Brantas. Mereka bekerja dengan penuh semangat
sepertinya tidak mengenal lelah. Dan sebuah kerangka
jung besar telah berdiri diatas galangan seperti patung
kerangka ikan raksasa berdiri di tepian Sungai Brantas.
Siapapun yang lewat di tepian Sungai Brantas sepertinya
sudah tidak sabar menanti, lahirnya sebuah jung besar
yang megah yang belum pernah tercipta sebelumnya.
237 "Besok kita harus menyelenggarakan upacara
rangka", berkata Kebo Arema kepada Pangeran
Kertanegara dan Mahesa Pukat di pendapa utama
Benteng Cangu di malam hari.
"Apa yang kita lakukan dalam upacara rangka itu?",
bertanya Mahesa Pukat. "Membakar sisa-sisa tatal kayu jati yang sudah tidak
terpakai. Sebagian abunya di larung di air, sementara


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagian lagi di tanam di bumi", berkata Kebo Arema
menjelaskan sebuah ritual kecil yang dinamakannya
upacara rangka. "Adakah makna yang disampaikan dari upacara
rangka ini?", bertanya Mahesa Pukat.
"Setiap upacara mengandung makna, abu kayu jati
yang di larung di air sungai sebagai pertanda
menyatunya jung dengan lingkungannya agar mereka
selalu bersahabat saling menjaga. Sementara abu yang
ditanam dibumi, sebagai pertanda agar kemana pun kita
berlayar jauh harus selalu mengingat dimana tempat kita
berasal untuk datang kembali".
Mahesa Pukat dan Kertanegara sepertinya dapat
mengerti dan menangkap maksud dari upacara rangka
yang akan mereka lakukan besok hari.
Langit malam diatas tepian Sungai Brantas dipenuhi
kabut hitam. Hawa dingin menyergap tubuh seakan
menyuruh setiap jiwa berlindung di bilknya untuk segera
tertidur. Bhaya merasakan sesuatu yang tidak wajar
tengah menghentak jiwanya. Dirasakannya rasa kantuk
yang luar biasa yang tidak wajar. Dengan
mengendapkan segala kekuatan yang ada di dalam
bathinnya, Bhaya berusaha melawan rasa kantuknya.
Mengintip dari dalam biliknya siap sedia menjaga hal-hal
238 yang mungkin saja dapat terjadi. Sementara itu semua
saudaranya, baik Ternyata sebuah sirep yang kuat tengah bekerja
sebagaimana yang diduga oleh Bhaya. Seorang tidak
jauh dari galangan tengah menerapkan aji sirepnya.
Sebuah asap tipis terlihat mengepul dari dupa yang
dibakar terbawa angin malam merasuki semua yang ada
di galangan, membius mereka dalam kantuk yang luar
biasa. Dari biliknya Bhaya dapat mengawasi keadaan diluar,
bukan main kagetnya ketika samar-samar sebuah
bayangan tengah mendekati galangan. "Membakar
galangan!!!", hanya itulah yang ada dalam pikiran Bhaya
melihat sesosok bayangan yang mengendap-endap
mendekati Galangan. Terlihat Bhaya perlahan keluar dari biliknya. Seperti
harimau mendekati mangsanya, Bhaya sedikit demi
sedikit mendekati bayangan itu yang masih belum
menyadari bahaya tengah mengancamnya. Dua buah
belati pendek, senjata andalannya telah tergenggam di
dua tangannya. Sebuah terkaman kuat tidak dapat
dielakkan lagi. Dan sebuah tikaman belati telah masuk
langsung menembus jantung. Sosok bayangan itu tidak
sempat lagi berteriak, napasnya sudah langsung
menghilang dibekap tangan Bhaya yang kuat.
Tiba-tiba pendengaran Bhaya yang tajam mendengar
sebuah langkah kaki. Ketika berbalik badan terlihat tiga
sosok bayangan dimalam yang gelap telah menghampirinya. "Kamu telah selamat dari sirepku, tapi tidak akan
selamat dari pedangku", berkata seseorang yang paling
terdepan langsung menyerang Bhaya.
239 Meski senjata Bhaya berupa belati pendek, tidak
menjadikan dirinya lemah. Dengan gesit Bhaya
merangsek tubuhnya dengan pertarungan jarak pendek.
Orang itu sepertinya kewalahan menerima seranganserangan Bhaya yang datang seperti ombak bergulung.
Untunglah dua orang temannya datang membantu.
Sekarang keadaan menjadi terbalik, Bhaya sepertinya
kewalahan mengelak serangan ketiga lawannya yang
datang silih berganti, tiada memberinya kesempatan
melakukan serangan balik sedikitpun.
Peluh sudah membasahi seluruh tubuh Bhaya,
tenaganya sedikit demi sedikit terus menyusut. Gerakan
tubuhnya semakin lama menjadi tidak segesit ketika
tenaganya yang berada dipuncaknya. Hingga pada
sebuah serangan, Bhaya kurang cepat menghindar,
sebuah sabetan pedang berhasil menggores pundaknya.
Darah segar keluar dari garis lukanya, terasa begitu
pedih ketika bercampur peluh.
"Kamu akan segera mati", berkata seorang yang
beralis tebal sambil mengayunkan pedangnya.
Kembali Bhaya mengelak, namun sebuah serangan
telah datang menyusul dari tempat yang lain. Begitulah
serangan terus meluncur seperti ombak yang tidak
pernah habis menggulung Bhaya yang masih terus
mengelak dan menghindar. Hingga pada sebuah serangan ganda, dua buah
pedang tengah mengancamnya dari dua arah yang
berbeda. Satu pedang mengancam batang lehernya.
Sementara satu pedang lainnya tengah meluncur
mengayun menuju arah perutnya.
Keringat dingin mengucur dari tubuh Bhaya, tetapi
matanya masih tetap tatag menghadapi seangan ganda
240 yang berbahaya itu. Trang!!!! Sebuah senjata belati pendek mirip milik Bhaya
menangkis serangan pedang yang tengah meluncur ke
arah leher Bhaya. Sekejab orang yang beralis tebal itu memegangi
tangannya yang terasa panas dan pedih, untungnya
masih mampu mempertahankan pedangnya.
Bukan main geramnya ketika hampir saja dapat
menembus pertahanan Bhaya yang sudah semakin
lemah, ada yang datang membantunya, menahan
serangannya. "Siapa kamu he!!", berkata orang yang beralis tebal
itu kepada orang yang membenturkan senjatanya.
Bersamaan dengan tertahannya pedang yang
mengarah ke leher Bhaya. Pada saat yang sama juga
dialami oleh orang yang akan menyerang ke arah perut
Bhaya. Nasibnya terlalu "apes", entah datang dari mana
sebuah tamparan keras menghantam tengkorak
kepalanya. Orang itu langsung limbung dengan mata
berkunang-kunang. Dan sebuah tendangan yang keras
telah melemparkannya terjungkal di tanah. Seorang
pemuda telah berdiri bertolak pinggang di depan tubuh
orang itu yang tidak lagi bergerak, pingsan. Bersamaan
dengan dua kejadian di atas, seorang pemuda tengah
menghadang orang ketiga penyerang Bhaya.
Siapakah yang datang membantu Bhaya disaat yang
kritis itu?" Ternyata orang yang menahan serangan yang
mengarah keleher Bhaya adalah Mahesa Amping.
Sementara, yang langsung membuat pingsan orang
kedua yang tengah menyerang Bhaya ke arah perutnya
241 adalah Lawe. Dan kita sudah dapat menebak siapa lagi orang yang
menghadang penyerang ketiga Bhaya kalau bukan
Raden Wijaya. Seperti yang telah diceritakan di muka. Perjalanan
Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe tidak begitu
jauh lagi dari Bandar Cangu. Hari sudah jauh malam,
manakala mereka telah sampai di Bandar Cangu.
Mereka pun sepakat untuk tidak mampir ke Benteng
Cangu melihat hari sudah jauh malam. Dengan tidak
sengaja langkah kaki mereka menuju ke Galangan di
tepian Brantas. Disitulah mereka melihat Bhaya tengah
dikeroyok oleh tiga orang penyerangnya.
"Kubunuh kau lebih dulu", berkata orang dihadapan
Raden Wijaya langsung mengayunkan pedangnya ke
arah leher raden Wijaya. Dengan cepat Raden Wijaya menunduk. Sebuah
angin terasa berlalu di atas kepalanya. Bukan main
kagetnya orang itu, pedangnya menyambar tempat
kosong. Belum habis rasa kagetnya, sebuah tendangan
dirasakan telah menghantam dadanya. Orang itu
langsung jatuh rebah di tanah, pingsan!!.
"Apakah kamu saudaranya?", bertanya orang yang
beralis tebal melihat senjata di tangan Mahesa Amping
mirip dengan senjata Bhaya.
"Ya aku saudaranya yang akan mencabut nyawamu",
berkata Mahesa Amping bicara sekenanya.
"Kurobek mulutmu", berkata orang itu sambil
melayangkan pedangnya mengarah ke dada Mahesa
Amping. Trang !!! Mahesa Amping kembali menangkis serangan 242 pedang itu, tapi dengan kekuatan yang melebihi sedikit
dari benturan pertamanya. Bukan main kagetnya orang
itu. Tangannya kembali terasa panas dan pedih. Lebih
panas dan pedih dibandingkan pada benturan
sebelumnya. Tahulah orang itu bahwa pemuda
didepannya bukan orang sembarangan. Timbul sifat
liciknya, diam-diam mengambil sebuah bungkusan dari
balik kainnya. Dengan cepat bungkusan itu meluncur ke arah
Mahesa Amping dalam bentuk tepung putih.
"Tepung beracun!!", berkata Mahesa Amping dalam
hati yang telah mencium hawa beracun dari tepung putih
yang datang meluncur ke arahnya.
Dengan cepat Mahesa Amping memukul ruang
kosong di depannya dengan melambari kekuatan tenaga
cadangannya mengalir terpusat di telapak tangannya.
Kejadiannya memang menjadi sangat mengerikan,
sebuah angin keras memukul tepung beracun itu berbalik
menyerang pemiliknya yang tidak sempat untuk menutup
hidungnya sendiri. Tepung beracun itu telah terhirup.
Tanpa hitungan detik lagi orang itu jatuh terduduk
dengan badan sudah berwarna biru. Dan akhirnya rubuh
terlentang dengan nyawa yang langsung melayang.
Mahesa Amping memandang orang di depannya
dengan wajah penuh penyesalan. "ternyata aku masih
belum dapat menguasai kecepatan jalan pikiranku
sendiri", berkata Mahesa Amping kepada dirinya sendiri.
"Terima kasih, kalian datang tepat di saat nyawaku di
ujung tanduk", berkata Bhaya kepada Mahesa Amping,
Raden Wijaya dan Lawe. Malam pun terus berlalu. Cahaya oncor yang mulai
243 redup di pojok barak ditambahkan minyaknya dan
ditambahkan jumlahnya. Suasana di Galangan itu
menjadi terang benderang. Beberapa orang suku air
sudah dibangunkan dari tidurnya. Salah seorang
diantaranya diminta untuk melapor ke Benteng Cangu.
Mahesa Pukat, Kertanegara dan Kebo Arema telah
datang ke Galangan. Bhaya langsung menjelaskan apa
yang telah terjadi. "Kalian datang disaat yang tepat", berkata Mahesa
Pukat kepada Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe.
"Awalnya kami sungkan mengetuk pintu benteng di
saat hari sudah menjelang malam, akhirnya langkah kaki
kami mengarah ke Galangan ini", berkata Mahesa
Amping. "Benteng Cangu selalu terbuka untuk kalian, lain kali
tidak perlu sungkan lagi", berkata Mahesa Pukat
mengajak Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe
beristirahat di Benteng Cangu.
Sisa malam memang sudah tinggal sedikit lagi,
beberapa orang di galangan sudah tidak merasa
mengantuk lagi. Dua orang dari suku Air terlihat tengah
menyingkirkan mayat orang yang terkena racunnya
sendiri. Sementara beberapa orang lagi tengah mengikat
dua orang tawanan. Pagi itu begitu cerah, langit putih bersih disinari
hangatnya matahari. Tiga ekor angsa terlihat berenang di
tepian Sungai Brantas masuk ke kolong galangan.
Sepasang kadal hijau saling berkejaran di atas rumput
yang masih basah. Di seberang sungai puluhan burung
emprit pengembara turun memenuhi tanah berair
dangkal. 244 Tidak jauh dari galangan terlihat beberapa orang
suku air telah selesai melaksanakan pemakaman dua
jenasah. Mereka melaksanakan pemakaman dengan
sebaik-baiknya sebagaimana layaknya, meski yang
dikuburkan adalah orang yang hendak mencelakai diri
mereka. Setelah proses pemakaman sudah selesai, maka
sesuai dengan rencana hari itu akan dilaksanakan
sebuah upacara guyur rangka, sebuah upacara yang
bertujuan sebagai rasa syukur bahwa rangka jung telah
selesai didirikan. Dimulai dengan pembacaan mantra
suci yang ditujukan untuk memohon keselamatan dari
Gusti Sing Maha Karsa. Dilanjutkan dengan pembakaran
tatag sisa kayu jati merah.
Abu dari kayu jati merah itu sebagian dilarung ke
sungai, sementara sisanya ditanam di bumi. Upacara
berakhir dengan saling menyiram diatas rangka jung.
Orang-orang dari suku air semua saling menyiram.
Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya yang baru
melihat sebuah upacara guyur rangka dilaksanakan
menjadi terhibur, mereka sepertinya melihat sekumpulan
anak-anak kecil tengah bermain air.
Selesai upacara guyur rangka, yang dinantikan pun


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba, apalagi kalau bukan sebuah perjamuan besar.
Semua sepertinya menikmati perjamuan itu hingga tak
terasa matahari telah turun bergeser di barat cakrawala.
Malam itu, seperti biasa di pendapa Benteng Cangu
pembicaraan berkisar tentang beberapa hal penting
mengenai pelaksanaan jung, disamping juga laporan dari
Senapati Mahesa Pukat tentang kemajuan latihan para
calon perwira pasukan khususnya.
Namun ketika pembicaraan bergeser sekitar 245 pengakuan dari dua orang tawanan yang berkaitan
dengan seorang Bangsawan di tanah Gelang-gelang,
semua mata tertuju kepada Pangeran Kertanegara,
karena sepertinya ujung permasalahan bersumber dari
sebuah keinginan menjatuhkan nama Pangeran
Kertanegara. "Sudah saatnya kita memberi sedikit cubitan, sekedar
peringatan bahwa kita bisa melakukan lebih besar lagi",
berkata Pangeran Kertanegara sepertinya mengerti
bahwa semua mengharapkan sebuah tanggapan
darinya. "Ya, sekedar cubitan peringatan kepada seorang
saudara", berkata Senapati Mahesa Pukat membenarkan
sikap Pangeran Kertanegara.
"Kalau untuk memberikan sekedar cubitan, tentunya
tidak perlu sepasukan prajurit. Kami bertiga dapat
melakukannya", berkata Raden Wijaya sambil melirik
kepada Mahesa Amping dan Lawe.
"Aku setuju, kita mengirim tiga bocah begundal tengik
berbuat ulah di tanah Gelang-gelang", berkata Kebo
Arema sambil memberi gambaran apa yang harus
dilakukan oleh Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe
di tanah Gelang-gelang. Demikianlah, keesokan harinya Raden Wijaya,
Mahesa Amping dan Lawe belum berangkat ke Tanah
Gelang-gelang. Pagi itu mereka masih melihat kesibukan
para calon perwira pasukan khusus berlatih sebagai
pasukan air yang mumpuni.
Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe hari itu
juga melihat kesibukan para suku air menyiapkan
beberapa papan kayu ulin untuk bahan pelapis rangka
jung yang sudah berdiri. Kayu ulin adalah sebuah jenis
246 kayu yang kuat dan tahan air. Semakin terendam lama di
air akan menjadi semakin keras. Barulah kesesokan
harinya Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah
bersiap-siap meninggalkan Benteng Cangu.
Pagi itu matahari sudah menerangi Benteng Cangu
dengan cahayanya yang hangat. Tiga ekor kuda terlihat
keluar dari gerbang pintu Benteng Cangu. Mereka adalah
Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe yang akan
melaksanakan tugasnya ke Tanah Gelang-gelang.
Awan putih terlihat menghiasi langit biru. Tiga elang
belia terbang melayang-layang mengitari padang ilalang
dan pergi melesat tinggi jauh menghilang di balik bukit.
"Ternyata Kuta Raja sudah menjadi semakin ramai",
berkata Raden Wijaya ketika mereka sampai di Kuta
Raja. Sejak berguru di Padepokan Bajra Seta, baru kali
ini melihat kembali Kuta Raja yang sudah menjadi kian
ramai. Iring-iringan gerobak berlalu lalang di jalan
membawa berbagai macam barang.
"Ternyata anakku sudah menjadi pemuda yang
gagah", berkata Ratu Anggabhaya menerima mereka di
istana dengan perasaan gembira melihat cucunya Raden
Wijaya. Raden Wijaya memperkenalkan Mahesa Amping dan
Lawe kepada keluarganya. "Ternyata kamu anak Ki Banyak Wedi, wajahmu mirip
sekali dengannya", berkata Lembu Tal ayah Raden
Wijaya ketika diperkenalkan dengan Lawe.
"Aku yakin di sepanjang jalan para begundal tengik
tidak ada yang berani mengganggu kalian", berkata Ratu
Anggabhaya. "Justru kamilah yang sering mengganggu mereka",
247 berkata Mahesa Amping yang disambut tawa semua.
Demikianlah mereka bertiga bermalam di istana Kuta
Raja. Kepada keluarganya Raden Wijaya tidak bercerita
tentang rencana mereka ke Tanah Gelang-Gelang.
Hanya dikatakan bahwa mereka tengah ditugaskan "Laku
langlang" mengembara ke beberapa tempat.
"Dari sini kami akan ke Kediri dan terus ke Tanah
Gelang-gelang", berkata Raden Wijaya mengatakan arah
perjalanan mereka. "Bumi Singasari begitu luas, sudah seharusnya kalian
mengenalnya satu persatu", berkata Ratu Anggabhaya.
Bumi Singasari memang begitu luas, lebih luas
dibandingkan ketika Ken Arok menundukkan Kediri.
Keamanan, Kesejahteraan dan kemakmuran menyelimuti
bumi Singasari. Para putra Raja yang berdaulat di
berbagai daerah sepertinya saling berlomba membangun
daerahnya masing-masing. Sepertinya ingin menunjukkan kelebihan dari saudaranya. Persaingan itu
telah tumbuh dan berkembang semenjak adanya
kekosongan penguasa di Kediri. Menguasai Kediri ibarat
menguasai setengah tanah Singasari, itulah yang mereka
inginkan. Dan di antara putra dan keluarga Sri Maharaja
yang telah menunjukkan persaingannya itu adalah Raja
Jayakatwang, putra keturunan terakhir Raja Kertajaya,
putra Raja Kediri terakhir yang saat ini berkuasa di Tanah
Gelang-gelang. "Aku putra Kediri, akulah yang berhak menjadi
penguasa di Kediri", berkata Raja Jayakatwang kepada
permaisurinya Turuk Bali.
"Ayahanda telah menganugrahi kepada kita Tanah
Gelang-gelang", berkata Ratu Turuk Bali sepertinya
mengingatkan suaminya untuk menerimanya.
248 "Tanah Gelang-gelang bukan Kediri", berkata Raja
Jayakatwang. "Dan apapun akan kulakukan untuk
menguasai Kediri, meski dengan cara paksa".
Ratu Turuk Bali tidak lagi membantah apapun yang
diinginkan suaminya yang keras seperti batu. Sebagai
istri yang setia harus tunduk patuh. Meski didalam hati
kurang menyetujui apa yang dilakukan suaminya, seperti
peningkatan kekuatan prajuritnya, seakan-akan Raja
Jayakatwang tengah menyusun kekuatan yang besar
untuk menghadapi sebuah perang besar. Siapa yang
akan diperangi" itulah yang membuat hati Ratu Turuk
Bali seperti tersayat, terapung-apung dalam kebimbangan. "Ada tiga pemuda ingin menghadap tuanku Ratu",
berkata seorang bibi dayang kepada Ratu Turuk Bali
yang saat itu berada di Taman.
"Apakah mereka menyebut
bertanya Ratu Turuk Bali.
sebuah keperluan", "Mereka hanya mengatakan ingin menghadap
Tuanku Ratu, salah seorang menyebut dirinya putra
Lembu Tal bernama Raden Wijaya dari Kutaraja",
berkata Bibi Dayang itu. "Bawa mereka kemari", berkata Ratu Turuk Bali yang
sudah mengenal Raden Wijaya sebagai anak sepupunya
Lembu Tal. Bukan main gembiranya Ratu Turuk Bali menerima
kedatangan Raden Wijaya, seorang keponakannya dari
Kutaraja. Sejak kedatangannya di Tanah Gelang-gelang
sudah lama tidak bertemu dengan saudara sedarah dari
Kutaraja. "Keponakanku sudah menjadi seorang pemuda
249 gagah", berkata Ratu Turuk Bali menyambut kedatangan
Raden Wijaya. "Perkenalkan ini kawan-kawanku", berkata Raden
Wijaya memperkenalkan Mahesa Amping dan Lawe
kepada Ratu Turuk Bali. Banyak sekali yang ditanyakan Ratu Turuk Bali
tentunya sekitar Kutaraja yang sudah begitu lama tidak
dikunjungi. Akhirnya dalam sebuah kesempatan, Raden
Wijaya menunjukkan sebuah tusuk konde kepada Ratu
Turuk Bali. "Ini adalah milikku, kenapa bisa ada di tanganmu?",
bertanya Ratu Turuk Bali yang mengenal bahwa tusuk
konde itu adalah benar miliknya.
Raden Wijaya pun bercerita dengan panjang lebar
semua kejadian yang dialami Pangeran Kertanegara di
Pulau Madhura. "Rahasia tusuk konde ini biarlah tetap
menjadi rahasia, biarlah Raja Jayakatwang tidak
mengetahui bahwa aku sudah mengetahui apa yang
telah dilakukannya sejauh ini", berkata Ratu Turuk Bali
sambil matanya memandang jauh, menembus rimbunan
soka merah yang berjejer rapi di pinggir dinding pagar
istana. "Untuk itu, biarlah kami tidak terlalu lama di Istana
ini", berkata Raden Wijaya mencari alasan agar tidak
diminta menginap di Istana.
Ratu Turuk Bali dapat menerima alasan Raden
Wijaya, terutama mengenai rahasia tusuk konde. Meski
rasa rindunya harus dikorbankannya.
"Jagalah diri kalian", berkata Ratu Turuk Bali melepas
kepergian Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe.
Hari memang hampir senja, sebagaimana layaknya
250 seorang pengembara, Raden Wijaya, Mahesa Amping
dan Lawe terlihat di jalan kota yang sudah tidak begitu
ramai lagi. Dilihatnya tidak jauh dari istana sebuah barak
besar prajurit. "Kita buat mereka tidak tidur malam ini", berkata
Raden Wijaya kepada Lawe dan Mahesa Amping ketika
melihat dari gerbang yang masih terbuka beberapa
kelompok prajurit Gelang-gelang tengah berkumpul di
depan barak mereka. Sambil berjalan Raden Wijaya menerangkan apa
yang harus mereka lakukan. Raden Wijaya mengajak
dua orang kawannya ini ke alun-alun utama. Sebagai
seorang yang pernah tinggal di Kutaraja, Raden Wijaya
sudah dapat menerka ada apa saja biasanya di alun-alun
utama. Ternyata yang dicari Raden Wijaya adalah seekor
Harimau jantan. Demikianlan setiap seorang Raja di singasari
biasanya memiliki beberapa binatang sebagai lambang
kekuasaan, seperti gajah, kuda-kuda yang terpilih dan
juga seekor harimau. Dan di alun-alun tanah Gelanggelang dipelihara sekor harimau yang besar. Harimau itu
sepertinya dipelihara dengan baik. Kerangkengnya
terbuat dari kayu yang kuat dengan ukuran yang cukup
luas. Pada saat Raden Wijaya, Mahesa Amping dan
Lawe berada di dekat kerangkeng, harimau itu sedang
tidur. "Kita bergerak di saat hari menjelang malam", berkata
Raden Wijaya "Kita harus mendapatkan kayu untuk memikulnya",
berkata Lawe yang melihat ukuran harimau begitu besar.
Demikianlah sesuai rencana mereka bertiga telah
menyiapkan segalanya, menunggu saat hari menjelang
251 malam. Malam itu bulan sabit menggatung di langit Gelanggelang. Alun-alun terlihat begitu sepi dan gelap. Tiga
sosok bayangan mengendap-endap mendekati kerangkeng harimau yang sedang berbaring. Ternyata
harimau mempunyai pendengaran yang begitu tajam.
Meski tidak terlihat bangun, telinganya sudah mengetahui
ada yang mendekatinya. Di kegelapan malam, terlihat
matanya mengawasi tiga sosok tubuh yang mendekatinya. Terlihat Raden Wijaya membuka selarak kayu yang
mengunci pintu kerangkeng. Perlahan Raden Wijaya
membuka pintu kerangkeng dan masuk kedalamnya.
Ternyata, harimau itu memang telah bersiap sejak
awal. Begitu Raden Wijaya masuk kedalam, harimau itu
langsung bangkit menatap Raden Wijaya dengan
matanya yang tajam menyala di kegelapan malam.
Bersamaan dengan suara auman besar, raja rimba itu
melompat menerkam Raden Wijaya. Tapi semua itu
sudah diperhitungkan oleh Raden Wijaya. Dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, melebihi kecepatan
gerak lompat harimau itu, Raden Wijaya sudah melenting
ke samping. Begitu kecewanya sang raja rimba
mendapatkan tempat kosong. Baru saja harimau itu
menjejakkan kakinya, Raden Wijaya sudah melenting


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hinggap di punggung harimau itu.
Dan sebuah pukulan yang kuat telah menghantam
tengkuk urat simpul sang raja hutan. Tanpa bersuara
lagi, sang raja hutan jatuh rebah pingsan.
Mahesa Amping dan Lawe menarik napas panjang,
meskipun sudah mengetahui bahwa Raden Wijaya pasti
dapat mengatasi harimau besar itu, tapi masih saja ada
252 perasaan tegang melihat begitu garangnya harimau di
dalam kerangkeng itu. Bulan sabit masih menggantung di atas langit, hanya
beberapa bintang menemani langit malam. Sesosok
bayangan melompati dinding pagar barak langsung
mengendap-endap menuju gardu ronda. Seorang
peronda yang nampak terkantuk-kantuk menjadi terkejut
ketika telah berdiri dihadapannya seorang pemuda yang
tersenyum kepadanya. Belum lagi prajurit itu berkata apapun, dirasakan ulu
hatinya telah terbentur pukulan keras. Ternyata pemuda
itu telah memukulnya dengan kecepatan yang luar biasa.
Terlihat prajurit itu roboh pingsan. Dan pemuda
dihadapannya yang tidak lain adalah Raden Wijaya
nampak berlari ke arah pintu gerbang untuk
membukanya. Ketika pintu gerbang barak prajurit terbuka, dari luar
masuk dua orang dengan memikul sebatang kayu
panjang. Yang dipikul tidak lain adalah seekor harimau
besar yang masih pingsan. Dengan cekatan ikatan kaki
harimau itu pun dilepaskan. Dan mereka pun dengan
cepat keluar dari pintu gerbang dengan menguncinya
dari luar dengan sebuah pikulan yang mereka bawa.
Yang pertama kali sadar ternyata harimau itu, dengan
sebuah raungan besar kucing hutan itu mengeluarkan
kegusarannya. Suaranya terdengar begitu keras
menggema memenuhi barak-barak prajurit yang baru
saja naik dari pembaringannya.
Gemparlah suasana di barak prajurit itu, ratusan
prajurit telah keluar dengan berbagai senjata. Ada yang
keluar dengan membawa pedang, ada juga yang
membawa tombak. Di hadapan mereka berdiri seekor
253 harimau besar yang sedang gusar.
Sepuluh orang prajurit yang nampaknya sudah
terbiasa menghadapi harimau garang terlihat maju
kedepan dengan tombak ditangan. Tanpa isyarat
apapun, bersamaan mereka melemparkan tombak ke
arah harimau. Sungguh naas nasib harimau itu, tiga buah
batang tombak berhasil menembus punggungnya.
Sebuah raungan kemarahannya terdengar menggema
memenuhi suasana malam yang sepi sebagai suara
terakhir yang menggetarkan. Sang raja rimba telah rebah
tak bernyawa. Malam itu juga gegerlah separuh kota Tanah Gelanggelang. Mereka bukan hanya terkejut menyaksikan
seekor harimau peliharaan Raja Jayakatwang yang
sangat dibanggakan itu telah mati. Tapi yang sangat
mereka herankan lagi adalah sebuah kain yang
melintang di punggung haraimau yang sudah mati itu
bertuliskan sebuah kalimat pendek : "BINGKISAN KECIL
DARI SANG PUTRA MAHKOTA"
Pagi itu, berita tentang kematian harimau peliharaan
Raja Jayakatwang sudah sampai juga di taman
keputrenan. "Kertanegara tidak pernah berubah", berkata Ratu
Turuk Bali kepada dirinya sendiri. Sebagai seorang adik,
Ratu Turuk Bali paham sekali tentang sikap dan watak
kakaknya Kertanegara yang tidak ingin dikalahkan dalam
hal apapun. Mungkin akibat dari sikap setiap orang di
kelilingnya yang selalu mengagungkan dirinya sebagai
seorang putra mahkota sejak kecil.
"Aku berharap Kertanegara tidak berbuat lebih besar
lagi", berkata Ratu Turuk Bali di taman seorang diri.
Wajahnya begitu suram, sepertinya begitu penuh
254 kekhawatiran memandang masa depan penuh pertentangan di antara dua orang yang sama-sama
dicintai, saudaranya dan suaminya.
Sementara itu orang Raja Jayakatwang tengah
menerima seorang kepercayaannya yang datang
menghadap. "Kenapa baru hari ini kamu katakan ada tiga
orang pemuda asing datang menghadap Ratu Turuk
Bali?", berkata Raja Jayakatwang dengan marahnya.
"Ampun tuanku, setelah ada kejadian matinya
harimau peliharaan tuan, aku baru merasa curiga dengan
kedatangan mereka", berkata orang kepercayaannya.
"Cari dan bunuh mereka", berkata Raja Jayakatwang
dengan murkanya. Di sebuah kedai dekat dengan sebuah pasar yang
cukup ramai di Tanah Gelang-gelang tiga orang pemuda
tengah merencanakan sebuah perampokan. Yang akan
dirampok tidak lain adalah sebuah kiriman seribu senjata
pedang yang di pesan langsung oleh Raja Jayakatwang.
"Kabarnya barang dagangan itu akan datang besok
siang", berkata Raden Wijaya.
"Berarti kita harus mencegat mereka di luar kota",
berkata Lawe. "Aku belum mendengar usulan darimu", berkata
Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.
"Entahlah, aku justru melihat ada sebuah perangkap
tengah dipasang untuk kita", berkata Mahesa Amping
sesuai dengan apa yang dirasakan lewat panggraitanya
yang tajam Ternyata apa yang dikhawatirkan Mahesa Amping
memang tengah terjadi. Kehadiran mereka sudah
diketahui. Mereka sudah ada dalam jaring mata-mata.
255 Kehadiran dan pembicaraan mereka telah disadap.
Pagi itu di sebuah jalan yang sepi jauh gerbang kota
Tanah Gelang-gelang, berjalan dua buah iring-iringan
pedati yang dijaga oleh sepuluh orang pengawal barang.
Tidak terlihat apa yang dibawa, karena pedati terlihat
tertutup rapat. Sebagai pertanda bahwa barang yang
dibawa pasti barang berharga.
"Saatnya kita beraksi", berkata Raden Wijaya sambil
memberi tanda. Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping langsung
meloncat ketengah jalan. "Berhenti!!", berkata Lawe dengan
berlagak sebagai penyamun sungguhan.
garangnya "Apa yang kalian inginkan", berkata orang yang
paling terdekat dengan Lawe tidak kalah garangnya.
"Pergi dan tinggalkan barangmu", berkata Lawe.
"Jumlah kami lebih banyak dari kalian", berkata
kembali Pengawal barang itu.
"Kalian cuma sepuluh orang pengawal barang, tidak
ada artinya", berkata Lawe masih dengan sikap yang
garang seperti penyamun sungguhan.
"Jumlah kami bukan sepuluh", berkata Pengawal
Barang itu. Bersamaan dengan itu keluar dari dalam dua
pedati sepuluh orang. Ternyata didalam pedati yang
rapat tertutup bersembunyi sepuluh orang prajurit dari
Tanah Gelang-gelang. "Dan kami bukan pengawal barang, tapi para prajurit
yang siap menangkap kalian", berkata orang itu sambil
tertawa yang diikuti tawa dari semua prajurit yang ada di
situ merasa telah berhasil mengelabui tiga orang pemuda
256 di depannya. "Kita telah dijebak", berkata Mahesa Amping kepada
Lawe dan Raden Wijaya. "Kepung dan habisi mereka", berkata orang itu yang
ternyata seorang perwira tinggi.
Maka para prajurit itu pun telah menyebar
mengepung. Mereka merasa yakin bahwa sasaran
mereka tidak akan dapat melarikan diri. Ternyata mereka
salah terka, tiga pemuda yang mereka kepung tidak
terlihat gentar sedikit pun.
"Olah raga pagi yang menyenangkan", berkata Lawe
kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
Maka ketika prajurit itu bergerak menyerang,
merekapun ikut bergerak memencar. Maka terjadilah tiga
kerumunan pertempuran yang seru. Gerakan Lawe
memang begitu lincah baik saat mengelak dari setiap
serangan bahkan ketika menyerang lawannya.
Untungnya Lawe memang tidak menggunakan
senjatanya. Beberapa prajurit habis babak belur terkena
pukulan dan tendangannya. Tapi serangan dan
kepungan kepada Lawe masih tidak juga kendor.
Sementara itu beberapa prajurit yang menyerang
Raden Wijaya benar-benar dibuat bingung. Dengan
kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata
biasa, Raden Wijaya seperti menghilang dari kepungan.
Dan tiba-tiba saja sudah ada dibelakang salah satu
prajurit yang naas langsung kena pukulan dari Raden
Wijaya yang tidak menggunakan tenaga cadangannya.
Tapi tetap saja prajurit itu langsung roboh merasakan
tulang iganya seperti patah.
Tidak seperti Lawe atau Raden Wijaya. Mahesa
257 Amping bertempur seperti orang yang tidak mengenal
ilmu kanuragan. Mahesa Amping tanpa senjata bergerak
sejadi-jadinya membuat para prajurit yang menyerangnya
menjadi penasaran. Tidak satupun serangan senjata
pedang mereka mengenai sasaran. Mahesa Amping
mengelak sejadinya bahkan menyerang dengan seperti
asal-asalan, tapi selalu serangannya itu menimbulkan
korban. Seperti tendangan langkah kaki kuda menyepak
kebelakang telah mematahkan pergelangan tangan
seorang prajurit, pedang ditangannya langsung terlepas.
Sementara ketika ia mengelak seperti tersungkur
menabrak badan salah seorang prajurit yang langsung
roboh sesak napas seperti tertabrak sebuah gunung
batu. Bukan main penasarannya ketujuh orang prajurit
yang mengeroyok Lawe. Tidak ada satu pun serangan
yang dapat menembus dan melukai Lawe yang bergerak
begitu lincah dan cepat seperti burung sikatan meliuk di
antara sabetan dan ayunan pedang panjang. Setelah
sekian lama menyerang, tenaga ketujuh prajurit itu pun
semakin menyusut. Sementara Lawe tidak juga terlihat
kelelahan sedikit pun. Akhirnya Lawe tidak ingin bermain
terus, karena tenaganya akan dapat ikut terkuras,
berpikir demikian Lawe telah meningkatkan tataran
ilmunya, maka yang terjadi adalah benar-benar
menghebohkan,dalam sebuah gebrakan, tiga orang
prajurit langsung roboh pingsan.
Melihat tiga orang temannya begitu cepat roboh
hanya dalam satu gebrakan, keempat prajurit menjadi
bimbang, apakah mereka masih mampu menghadapi
Lawe hanya dengan berempat. Ketika mereka masih
dalam keadaan bimbang, seorang sudah kembali
dirobohkan oleh Lawe hanya dengan sebuah tendangan
melingkar langsung menyambar dadanya.
258 Sementara itu, sebagaimana Lawe. Raden Wijaya
juga sudah merasa lama bermain-main. Dengan
kecepatan yang sukar diterima oleh pandangan kasat
mata. Tiga orang prajurit sudah terlempar merasakan
pukulan dan tendangan yang entah dari mana
datangnya. Tiga orang prajurit langsung roboh pingsan.
Tidak seperti Lawe dan Raden Wijaya. Mahesa
Amping masih tetap melakukan permainannya.
Melakukan gerakan semaunya dan seperti asal-asalan.
Tapi akibatnya memang luar biasa. Lima Prajurit terlihat
berbaring tidak mampu bangkit berdiri karena merasakan
badannya remuk, tulangnya seperti patah dan ngilu.
"Apakah kamu masih punya tenaga untuk bermain?",
berkata Mahesa Amping dengan tersenyum kepada
seorang prajurit, seorang perwira tinggi yang masih tetap
menyerang meski hanya tinggal seorang diri.
"Sebagai prajurit, kematian bukan sebuah hal yang
menakutkan", berkata perwira itu sambil terus
mengayunkan pedangnya. Diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikap
perwira itu. Begitu setia kepada tugasnya dan tidak takut
mati. Seorang prajurit yang berjiwa ksatria. Itulah
sebabnya Mahesa Amping tidak begitu bernafsu untuk
merobohkannya apalagi melukainya. Mahesa Amping
tengah berpikir untuk menaklukkannya dengan cara yang
lain. Dalam sebuah kesempatan, Mahesa Amping
melompat beberapa langkah menjauh. "Kisanak. Lihatlah
batu besar itu", berkata Mahesa Amping menunjuk
kesebuah batu sebesar kerbau tidak jauh dari mereka
berdua berdiri. Ketika perwira itu melihat ke arah batu yang ditunjuk
259 oleh Mahesa Amping. Maka dengan sebuah sorotan
pandangan mata, tidak dengan kekuatan penuh, hanya
seperlima dari kekuatannya, batu itu telah pecah
berkeping-keping. Perwira itu menatap Mahesa Amping
seperti tidak percaya. "Aku dapat membunuh pasukan segelar papan hanya
dengan sekali sapuan pandangan mata"
"Menyerahlah !!", berkata Mahesa Amping dengan
suara yang berwibawa serta sorat mata yang tajam


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menakutkan. Bergetar rasa jantung Perwira itu menatap mata
Mahesa Amping. Dalam hati berpikir bahwa ternyata
Pemuda dihadapannya adalah seorang yang berilmu
tinggi. Tapi tidak menggunakan ilmunya yang
sebenarnya. Yakinlah bahwa pemuda dihadapannya
orang yang berhati bersih dan telah berusaha lunak
menghadapi para prajurit yang berusaha menangkapnya,
bahkan membunuhnya sesuai perintah Raja Jayakatwang. "Terima kasih atas kebaikanmu anak muda, aku
menyerah", berkata Perwira itu sambil menjatuhkan
pedangnya. "Suruh semua kawanmu menyerah", berkata Mahesa
Amping dengan suara yang masih penuh wibawa karena
sedikit dilambari tenaga cadangan yang langsung
menggetarkan dada perwira itu.
"Lemparkan senjata kalian, menyerahlah", berkata
perwira itu dengan suara lantang.
Mendengar suara pemimpinnya yang memerintahkan
untuk menyerah, tanpa menunggu perintah kedua
kalinya, tiga orang prajurit yang masih berhadapan
260 dengan bimbang melawan Lawe langsung melemparkan
senjatanya. Sementara itu empat orang prajurit yang melawan
Raden Wijaya yang sedang setengah putus asa menjadi
bulan-bulanan pukulan Raden Wijaya seperti orang yang
kepanasan mendapatkan datangnya hujan. Mereka
langsung melempar senjatanya, gembira ikut menyerah
!!!!. "Katakan pada Rajamu, ini cuma sekedar peringatan
atas peristiwa di Pulau Madhura dan pembakaran
galangan di Bandar Cangu. Kami dapat melakukan jauh
lebih besar lagi !!", berkata Raden Wijaya dengan lantang
ketika dua pedati yang memuat beberapa prajurit yang
terluka mulai bergerak diiringi beberapa prajurit yang lesu
berjalan meninggalkan pedang mereka yang masih
tergeletak. Jalan di tengah hutan yang jauh dari gerbang kota itu
kembali seperti sunyi. Mahesa Amping, Raden Wijaya
dan Lawe telah jauh meninggalkan Tanah Gelanggelang.
Ternyata apa yang terjadi di jalan ditengah hutan itu
tidak lepas dari perhatian tiga pasang mata yang terus
mengintai. "Pemuda itukah yang membunuh kakakku ?",
bertanya seorang yang sudah berumur kepada dua
orang pemuda yang menyertainya.
Jalur perdagangan antara Tanah Gelang-gelang ke
Kediri memang sudah ramai. Beberapa padukuhan di
jalur perdagangan itu sepertinya ikut tumbuh
berkembang. Mahesa Amping, Raden Wijaya telah
singgah di sebuah pasar kademangan Kedungjati.
Tampaknya pasar itu tempat persinggahan beberapa
261 saudagar. "Berikan kami hidangan terbaik di kedai ini", berkata
Lawe kepada seorang pelayan pria di sebuah kedai yang
cukup ramai. "Pelayan!!", berkata sambil menghampiri kepada
pelayan itu seorang pria yang sudah cukup berumur
namun masih nampak kekar.
"Berikan tuan muda ini makanan yang terbaik di kedai
ini, besok pagi mereka sudah tidak lagi dapat
menikmatinya", berkata pria itu kepada seorang pelayan
sambil melirik kepada Mahesa Amping.
"Kenapa Kisanak begitu mudah menentukan umur
kami?", berkata Mahesa Amping yang merasa bahwa
pria asing ini sengaja akan membuat sebuah ulah.
"Karena kamu berutang nyawa guru kami", berkata
seorang pemuda yang datang bersama saudaranya yang
terlihat mirip, ternyata dua pemuda yang berjuluk
sepasang iblis dari Gelang-gelang.
"Pamanku akan membuat perhitungan denganmu",
Berkata Prastawa dengan mata penuh kebencian.
"Nanti malam, saat bulan purnama, kutunggu kamu di
puncak bukit Jati", berkata pria itu yang mengaku adik
dari Empu Gelian yang pernah dikalahkan dan terbunuh
oleh Mahesa Amping di Pulau Madhura.
Sepasang iblis dari Gelang-gelang dan pamannya
telah meninggalkan kedai.
Kepada seorang pelayan, Mahesa Amping bertanya
tentang arah menuju puncak bukit Jati. Maka
ditunjukkannya oleh pelayan itu arah menuju puncak
bukit Jati. 262 "Di puncak bukit Jati ada lingga persembahan Dewa
Syiwa, apakah tuan akan melakukan persembahan
kesana?", bertanya pelayan itu menanyakan maksud
tujuan Mahesa Amping menanyakan tempat itu.
"Benar, kami akan melakukan persembahan ke
tempat itu", berkata Mahesa Amping agar tidak ada
pertanyaan lain lagi. Setelah menyelesaikan hidangan yang telah
disediakan, Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
terlihat keluar dari kedai itu.
Puncak Bukit Jati memang tidak begitu jauh dari
kedemangan Kedung jati yang terletak dibawah kaki bukit
Jati. Sebuah Kademangan yang cukup subur dan
menjadi sebuah tempat persinggahan yang ramai karena
merupakan pertengahan jarak antara Kediri dn tanah
Gelang-gelang. Hari masih begitu terang dan senja masih lama untuk
dinantikan. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
tidak langsung ke Puncak Bukit Jati. Mereka masih
melihat-lihat keadaan pasar yang masih ramai.
Di pojok pasar ada sebuah rumah pandai besi yang
tengah sibuk mengerjakan beberapa pesanan senjata.
"Pasti pesanan dari Tanah Gelang-gelang", berkata
Lawe ketika melihat seorang pande besi tengah
menempa lempengan besi. "Tanah gelang-gelang tengah membangun sebuah
pasukan yang kuat", berkata Raden Wijaya.
Mahesa Amping nampak merenung, terbayang
beberapa pertempuran yang telah terjadi sejak ia berada
di Padepokan Bajra Seta. Terbayang mayat-mayat yang
tergeletak, beberapa tubuh yang terluka.
263 Tiba-tiba terlintas sebuah pertempuran besar dalam
bayangan Mahesa Amping. Sebuah pertempuran besar
yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Nampak
begitu jelas seorang panglima perang yang gagah
perkasa yang ia sangat kenal sekali yang tidak lain
adalah Raden Wijaya. Sementara seorang panglima
pengapitnya adalah seorang pemuda dengan wajah
begitu pucat yang terlihat gemetar memegang
pedangnya sendiri. "Siapakah pemuda itu?", bertanya Mahesa Amping
pada dirinya sendiri. Mahesa Amping tersentak kaget ketika bahunya
ditepuk oleh sesorang. "Hari sudah hampir senja,
saatnya kita berangkat ke Puncak Bukit Jati", berkata
Raden Wijaya kepada Mahesa Amping sambil menepuk
bahunya. Maka Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
terlihat tengah mendaki Bukit Jati. Ketika mereka tiba di
puncak bukit Jati, matahari sudah tenggelam di barat.
Cahaya senja telah menyelimuti puncak Bukit Jati yang
datar penuh di tumbuhi ilalang panjang. Sebuah lingga
terlihat ditengah tanah datar. Ada altar batu tempat
persembahan didepan batu lingga. Angin berhembus
keras di atas puncak bukit jati merebahkan batang
ilalang, menerbangkan daun-daun kering.
"Kita beristirahat di sini", berkata Lawe sambil
bersandar di batang pohon ambon yang rindang. Satusatunya pohon yang tumbuh di tanah puncak bukit Jati.
"Semoga mereka tidak membawa banyak orang",
berkata Mahesa Amping "Apa yang kamu takutkan ?", bertanya Lawe.
264 "Yang kutakutkan adalah akan banyak jatuh korban",
berkata Mahesa Amping. Dan waktu terus berlalu. Sambil beristirahat Mahesa Amping masih dipenuhi
rasa kebimbangan."Pria itu menuntut hutang nyawa
padaku. Dan pertempuran ini bukan yang terakhir, di
belakang menunggu tuntutan yang sama, dari mereka
yang masih merasa punya kewajiban atas sebuah hutang
nyawa". Dan waktu terus berlalu. Suara angin mulai sedikit menyusut bersama
datangnya keremangan malam.Bulan bulat muncul di
ujung timur bersama cahaya redup bintang-bintang kecil.
Purnama di puncak bukit jati begitu sepi dan mencekam
dalam kesenyapan malam. Terdengar suara anjing melolong panjang dari bawah
lereng bukit sepertinya ikut menambah suasana semakin
mencekam. Dan waktu terus berlalu. Bulan bulat penuh telah menggantung di puncak
langit malam. Cahaya purnama dan kerlip laksaan
bintang diatas puncak bukit jati seperti sebuah panggung
pagelaran yang kosong dalam debar penungguan yang
panjang. Tiga sosok tubuh terlihat muncul dari lereng bukit
sebagai tiga bayangan hitam dibawah cahaya purnama
datang mendekati mereka. Setelah mendekat, terlihat jelas siapakah mereka
yang ternyata adalah dua orang iblis dari Gelang-gelang
bersama pamannya. 265 "Kukira kamu akan lari jauh menghindari
pertempuran", berkata pria yang dipanggil paman oleh
dua pemuda yang menyertainya.
"Seperti yang kisanak lihat, disini aku menunggu
pertempuran itu", berkata Mahesa Amping penuh
percaya diri. Melihat ketenangan Mahesa Amping, pria yang
dipanggil paman oleh sepasang iblis dari gelang-gelang
itu menjadi semakin terbakar bara api dendamnya.
Sampai saat itu orang itu masih belum yakin bahwa
Empu Geilian kakaknya itu kalah karena ilmunya
dibawah anak muda ini. Orang itu masih berpikir bahwa
Empu Gelian kalah karena kelengahan dan ketidak
sengajaan atau boleh dibilang nasibnya lagi naas hingga
dapat dikalahkan oleh pemuda belia ini.
"Jangan kau kira setelah dapat mengalahkan
kakakku, kamu merasa telah mempunyai ilmu yang
mumpuni, jangan-jangan kakakku kalah hanya karena
kelicikanmu", berkata pria itu.
"Aku memang telah membunuh empu Gelian, tapi
yang kulakukan adalah sebatas membela diri. Dan bukan
sebuah kelicikan", berkata Mahesa Amping membela diri.
Di Tanah Gelang-gelang tidak ada seorang pun yang
berani berurusan dengan pria ini yang biasa di panggil Ki
Rante, mungkin karena senjata andalannya berupa
sebuah cambuk rantai baja kecil. Meski lebih muda dari
Empu Gelian, tapi dari sisi tataran ilmu, Ki Rante tidak
dapat dikatakan dibawah Empu Gelian. Karena Ki Rante
tidak hanya berguru di Padepokan Gelang-gelang, dalam
pengembaraannya telah banyak mengambil ilmu dari
beberapa guru. "Di tanah Gelang-gelang orang memanggilku Ki
266 Rante, tidak seorang pun yang berani berurusan
denganku", berkata Ki Rante berharap pemuda ini
pernah mendengar namanya yang sangat disegani di
Tanah Gelang-gelang. "Maaf Ki Rante, baru kali ini aku mendengar nama
itu", berkata jujur Mahesa Amping yang memang baru
mengenal nama Ki Rante. Bukan main gusarnya Ki Rante mendengar ucapan
Mahesa Amping yang tidak menjadi gentar mendengar
namanya. Perutnya terasa diaduk-aduk saking begitu
marah dan gusarnya. "Hari ini aku akan membuatmu menyesal seumur
hidupmu telah berani berurusan denganku", berkata Ki
Rante yang telah mengurai cambuk rantai dari
pinggangnya. Sebuah cambuk yang terbuat dari rantai
baja kecil yang diujungnya terikat sebuah gelang yang
tipis dan tajam. Melihat Ki rante telah mengeluarkan senjatanya,
Mahesa Amping mengeluarkan senjata andalannya,
sebuah belati pendek. Jarang sekali Mahesa Amping
menggunakan senjatanya, hanya pada keadaan tertentu
dan terpaksa. Dan menghadapi lawannya kali ini Mahesa Amping
tidak berani menganggap sepele. Getar jiwanya
merasakan bahwa Ki Rante bukan lawan yang ringan.
Melihat Ki rante telah menjurai cambuknya, sepasang
iblis dari Gelang-gelang mundur memberi jarak.
Sementara itu Raden Wijaya dan Lawe dengan dada
yang berdebar ikut mundur menjauh, namun tetap
waspada menjaga setiap kemungkinan yang dapat saja
terjadi, terutama berjaga-jaga apabila sepasang iblis dari
267 Gelang-gelang akan berbuat licik.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bersiaplah", berkata Ki rante sambil memutar
cambuk rantainya yang semakin lama terlihat menjadi
semakin kencang berputar.
Wuss !! Tiba-tiba saja cambuk Ki Rante melejit menyambar
wajah Mahesa Amping. Dengan sigap Mahesa Amping
bergeser kesamping. Karena mengenai tempat yang
kosong, cambuk Ki Rante di tarik kebelakang sedikit dan
seperti ular hidup cambuk itu mengejar mematuk ke arah
Mahesa Amping yang baru saja bergerak bergeser
kesamping. Kali ini Mahesa Amping memang tidak sempat lagi
menghindar, maka yang dilakukannya adalah menangkis
cambuk rantai itu dengan belati pendeknya disertai
sedikit tenaga cadangan. Trang !! Dua senjata telah berbentur membentuk percikan
sinar api. Kaget sekali Ki Rante merasakan getaran pada
tangannya. "Jangan merasa hebat dulu", berkata Ki Rante sambil
memutar cambuk rantai besinya. Kali ini terlihat lebih
cepat dari sebelumnya. Wuss !! Kali ini cambuk Ki Rante bergerak menyambar
berputar-putar ke arah Mahesa Amping dengan
kecepatan tinggi. Mahesa Amping langsung melenting.
268 Tapi cambuk Ki Rante benar-benar nggenggirisi,
cambuk itu seperti bermata terus mengejar kemana pun
Mahesa Amping menghindar.
Akhirnya Mahesa Amping mengambil keputusan
untuk tidak hanya mengelak menghindari serangan,
karena akan merugikannya bila dilakukannya terus
menerus, apalagi serangan Ki Rante bukan sembarang
serangan, sebuah serangan yang cepat dan berubahubah arah seperti bermata menyerang pada titik
kelemahan lawan. Pada serangan berikutnya, Mahesa Amping
melenting mengelak sebuah serangan dan langsung
menyusup mendekati tubuh lawan menyabet pergelangan tangan Ki Rante dengan sabetan yang
cepat. Terkesiap Ki Rante mendapat serangan balik yang
begitu cepat. Dengan cepat menarik tangannya kesamping sambil
meluncurkan sebuah tendangan ke arah perut Mahesa
Amping, sementara itu cambuknya berbalik arah
mengejar punggung Mahesa Amping.
Mendapatkan dua serangan sekaligus, Mahesa Amping Tendangan dan mata cambuk
kosong. Tapi Mahesa Amping
kesamping. Tangannya yang
cambuk searah gerakannya.
dari arah yang berbeda melompat kesamping. telah mengenai tempat tidak hanya melompat kuat telah memukul Akibatnya memang mendebarkan, cambuk itu telah
bergerak menjadi lebih cepat dari sebelumnya mengejar
si empunya. Bukan main kagetnya Ki Rante melihat
cambuknya sendiri meluncur mengejar dirinya.
269 Tapi bukan Ki Rante yang tidak bisa menghindar dari
senjatanya sendiri. Dengan menundukkan kepalanya,
cambuk itu melesat diatas kepalanya. Dan dengan
menggunakan kecepatan dan kekuatan cambuk yang
tengah meluncur, Ki Rante sudah dapat menguasai
senjatanya yang langsung berbalik arah mengayun
mengejar Mahesa Amping. Demikianlah pertempuran
setahap demi setahap terus meningkat menjadi semakin
menegangkan dan menjadi semakin seru.
Berdebar jantung Raden Wijaya melihat
pertempuran itu. Berharap Mahesa Amping tetap
waspada. Sebagai seorang sahabat yang sering berlatih
bersama, Raden Wijaya melihat Mahesa Amping masih
terus menjajagi tataran ilmu lawan. Mahesa Amping
masih dalam pertengahan tataran ilmunya.
Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya,
Mahesa Amping masih terus mengimbangi tataran ilmu
lawannya, selapis demi selapis meningkatkan tataran
ilmunya sejalan dengan kecepatan dan kekuatan Ki
Rante yang terus meningkatkan tataran ilmunya dengan
rasa penuh penasaran bahwa pemuda ini masih dapat
menghindari serangannya, bahkan dapat dengan cepat
melakukan serangan balik dengan tidak kalah
dahsyatnya. "Rasakan awan panasku", berkata Ki Rante sambil
mengayunkan cambuknya dengan melambari dengan
ilmu simpanannya. Kali ini cambuk meluncur bersama
angin panas yang datang mendahului.
Terkesiap Mahesa Amping merasakan angin panas
membakar tubuhnya, untungnya Mahesa Amping sudah
melambari dirinya dengan kekebalan, jadi hawa panas itu
hanya sedikit membakar kulit luarnya, tetapi tetap saja
Mahesa Amping merasakan sedikit rasa perih. Rasa
270 perih itulah yang memancing naluri bawah sadarnya
bergerak dengan sendirinya menghalau kekuatan lawan
berupa hawa dingin yang kuat, bukan hanya
menawarkan hawa panas yang ada di sekitarnya, tapi
hawa dingin itu seperti menghentak membekukan
jantung lawannya. Terkesiap Ki Rante merasakan hawa dingin yang
begitu kuat. Tidak ada jalan lain selain menghentakkan
tataran ilmunya lebih tinggi.
Cambuk Ki Rante telah berubah seperti bara yang
menyala berputar putar mengejar Mahesa Amping.
Merasakan bahwa Ki Rante telah menghentakkan tataran
ilmunya, sambil menghindar dari serangan lawannya,
Mahesa Amping langsung melakukan serangan balik
dengan menghentakkan tataran ilmunya selapis lebih
tinggi. Berusaha meredam kekuatan lawan.
Kembali Ki rante merasakan tubuhnya diliputi hawa
dingin yang mencekat, hampir saja jantungnya ikut
berhenti berdetak kalau saja tidak melompat jauh keluar
dari arena pertempuran. Mahesa Amping tidak berusaha mengejar. Masih
berdiri dengan sikap yang utuh penuh kepercayaan diri
memandang Ki Rante dengan sorot mata yang tajam.
"Wajarlah bila kangmas Gelian dapat dikalahkannya.
Kekuatan ilmunya mampu melampaui aji awan panasku",
berkata Ki Rante dengan mata tidak berkedip
memandang Mahesa Amping yang masih berdiri di
tengah arena menantinya. "Bukan maksudku merendahkanmu Ki Rante, aku
dapat melakukan jauh dari apa yang kau kira", berkata
Mahesa Amping dengan menghentakkan kekuatan yang
tersembunyi lewat suaranya.
271 Bukan main kagetnya Ki Rante, suara Mahesa
Amping seperti menggoncang seisi dadanya. Meski ia
berusaha meredamnya dengan sepenuh kekuatan yang
ada, tapi suara itu tetap saja dapat menyusup. Tanpa
sengaja Ki Rante merenggut dadanya dengan kedua
tangannya menahan rasa sakit yang menghentak
dadanya, cambuknya sudah dilepaskan dari tangannya.
Raden Wijaya dan Lawe yang ada di dekat arena itu
pun ikut merasakan getaran suara itu, meski bukan
menjadi sasaran arah kekuatan suara itu sendiri. Diamdiam memuji sahabatnya yang bukan hanya dapat
melontarkan kekuatan lewat sorot matanya, kali ini telah
memperlihatkan ilmunya yang lain lewat suara.
Apa yang dirasakan Raden Wijaya dan Lawe,
ternyata dirasakan juga oleh Sepasang iblis dari Gelanggelang. Wajahnya menjadi pucat. Diam-diam menyadari,
selama ini Mahesa Amping telah berusaha lunak
menghadapi ulah mereka. Untungnya Mahesa Amping telah banyak belajar
dengan pengalaman bathinnya, telah dapat menguasai
pikirannya sendiri sebagaimana pernah terjadi ketika
berhadapan dengan Empu Gelian dimana pikirannya
telah berbuat diluar kemauannya.
Mahesa Amping telah berjalan menghampiri Ki Rante
"Apakah Ki Rante masih ingin melanjutkan
pertempuran ini?", bertanya Mahesa Amping kepada Ki
Rante. Kali ini Mahesa Amping tidak melontarkan
kekuatan ilmunya lewat suaranya. Mahesa Amping
bertanya dengan suara yang sewajarnya.
Ki Rante tidak langsung menjawab, terlihat bersila
mengatur pernapasannya berusaha mengembalikan
kekuatan dirinya. Ketika dirasakan dadanya sudah tidak
272 menjadi sesak, Ki Rante membuka perlahan kelopak
matanya. Menarik napas panjang merasakan udara
dingin masuk mengisi rongga dadanya begitu lancar dan
menyegarkan. "Terima kasih telah berlaku lunak padaku, memberi
kesempatan hidup kepadaku yang bodoh ini, yang tidak
mengenal Gunung Agung di depan mata", berkata Ki
Rante tulus dari hatinya sendiri.
"Ki Rante, aku ingin berterus terang kepadamu.
Seandainya datang kepadaku Maha Dewa menawarkan
kepadaku sebuah pilihan yang dapat dikabulkan, maka
yang kuminta adalah pengulangan dua detik saat Empu
Gelian belum terbunuh oleh kekuatanku sendiri. Ki Rante
telah kehilangan seorang saudara kandung, sementara
seumur hidupku diliputi mimpi penyesalan", berkata
Mahesa Amping sepertinya mengungkapkan segala
penderitaan bathin yang selama ini selalu menggayuti
jiwanya. "Maafkan aku anak muda, aku yang tua menjadi malu
telah mengikuti rasa keangkuhan diri, mengikuti rasa
malu apa kata orang bila aku yang terkenal ini tidak
menuntut balas, seharusnya aku berkaca kepada hati
yang bersih, agar dapat mengikuti apa kata hati tentang
kebenaran yang hakiki. Kangmas Gelian telah dibeli
untuk berbuat sebuah keonaran. Bila aku membelanya
itu sama artinya membenarkan sebuah keonaran. Tapi
aku yang tua ini tidak pernah mau berkaca dan
mendengar apa kata hati".
"Gusti yang Maha Karsa, Gusti yang Maha Hidup
telah bersemayam dalam hati dan jiwa yang bersih
sebagai Syiwa dan Budha", berkata Mahesa Amping
sambil menjura kepada Ki Rante.
273 "Kata-katamu adalah kedamaian, berbahagialah
siapa pun yang selalu bersamamu", berkata Ki Rante
penuh hormat dan kagum atas sikap Mahesa Amping.
Sementara hari sudah sedikit lagi menyisakan ujung
malam yang terpotong, sebentar lagi pagi menjelang.
Terlihat Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya telah
menuruni Puncak Bukit Jati diiringi pandangan mata dari
Ki Rante, Prastawa dan Praskata yang akhirnya
menghilang tertelan jalan yang menurun.
Bintang fajar terlihat berseri di ufuk timur mengawali
sang surya yang akan datang mengikuti kewajibannya
sebagai pemberi kehangatan dan kehidupan di bumi.
Memberikan apa yang harus diberikan.
Sangkala telah membangunkan pagi dalam suara
kokok ayam jantan yang saling bersahutan terdengar dari
bawah lereng Gunung Jati. Halimun pun pergi berlalu
meninggalkan tetes-tetes embun di ujung daun, bunga
dan rumput-rumput liar di lereng Gunung Jati seperti
butiran-butiran mutiara dalam pantulan sinar matahari
pagi. "Hidup ini ternyata begitu indah", berkata Mahesa
Amping sambil memandang tetes embun pagi yang
hampir terjatuh di ujung tangkai kelopak bunga anggrek
hitam yang tengah berkembang.
Begitulah bila hati selalu terpaut kepada Yang Maha
Hidup, Yang Maha mempunyai Keindahan.
Sementara itu di tempat yang berbeda, warna
angkara dendam kesumat masih seperti segores luka
basah yang tidak pernah kunjung sembuh. Terus
menganga dan bernanah. "Semua usaha kita meruntuhkan pamor putra 274 mahkota seperti menabrak gunung batu",
seorang kepercayaan Raja Jayakatwang.
berkata "Dan kamu akan juga berkata sebagaimana para
Brahmana, para dewa selalu melindungi sang Rajasa
serta putra-putranya?", berkata Raja Jayakatwang dalam
kemurkaannya. "Ampun tuanku, seperti itulah para Brahmana
berseloka", berkata orang kepercayaannya dengan
menundukkan kepalanya. "Buanglah keyakinan itu dikepalamu, akulah sejatinya
putra dewata", berkata Raja Jayakatwang sambil


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi perintah kepada orang kepercayaannya untuk
meninggalkannya. Inilah sebenarnya sumber awal sebuah kekeruhan
yang bergema menjadi sebuah dendam kesumat yang
tidak mudah dipadamkan dan terus berkobar dalam jiwa
Raja Jayakatwang. Hilangnya sebuah singgasana bukan
sebuah kehinaan bagi para putra Bangsawan Kediri.
Yang mereka rasakan adalah kepahitan atas
berpindahnya sabda para Brahmana atas siapa yang
berhak disembah sebagai putra darah sejati para
Dewata. "Sabda para Brahmana hanya sebatas seloka, sejati
putra Dewata ada didalam hati setiap manusia yang
menghambakan diri kepada Gusti Yang Maha Hidup
yang bertahta dalam singgasana jiwa dan bersemayam
di hati sebagai sang Syiwa Budha", berkata Ratu Turuk
Bali mencoba meluruskan pemahaman suaminya
sebagai buah kasihnya untuk mengenal sejati hakikat
diri. Tetapi hati Raja Jayakatwang sudah begitu hitam.
Sejak lahir telah disusui oleh para pecundang yang kalah
275 dalam sebuah peperangan. Sejak kecil selalu dibisikkan
untuk mengembalikan wahyu suci sabda para Brahmana
dalam wujud tahta singgasana tempat bersemayamnya
para putra Dewata. "Tempat bersemayamnya para putra dewata ada
pada tahta singgasana di Tanah Kediri, itulah yang akan
kubuktikan kepada para kawula di seluruh nagari bumi
Singasari", berkata Raja Jayakatwang yang menganggap
kata-kata permaisurinya sebagai penghalangan dan
persanggahan yang terselubung untuk meredamkan api
cita-citanya. Begitulah bila hati sudah begitu membatu, tidak ada
sisi sedikitpun tempat menerima setetes cahaya sejati
kebenaran. Sebagaimana tanah tandus, air hujan tidak
pernah singgah, datang dan terus menghilang tanpa
tersisa. Dan Raja Jayakatwang sebagai Putra Mahkota
angkaranya, terus mengintai area perburuannya,
bersembunyi dibalik arah angin dan belukar.
Menunggu?"?"?"?""
"Terlalu", berkata Mahesa Pukat yang disambut gelak
tawa dari semua yang ada di Pendapa Benteng Cangu
setelah mendengar cerita mereka ketika berada di Tanah
Gelang-gelang. "Itu kan sesuai arahan dari Paman Kebo Arema sang
dalang", berkata Lawe
"Kalian telah melaksanakan tugas dengan baik",
berkata Pangeran Kertanegara.
"Ada tugas baru menanti kalian", berkata Mahesa
Pukat. Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe menanti
276 kelanjutan kata-kata Mahesa Pukat.
"Membantu melatih prajurit baru dari pasukan
khusus", berkata Mahesa Pukat melanjutkan katakatanya.
"Kami bangga dapat berbuat sesuatu apapun bagi
lahirnya sebuah kerajaan air", berkata Raden Wijaya.
"Kangmas Mahesa Murti pasti senang mendengarnya, kalian dibutuhkan disini", berkata Mahesa
Pukat. Setelah beberapa hari di Benteng Cangu,
menyaksikan awal pembuatan Benteng baru, Mahesa
Amping, Lawe dan Raden Wijaya mohon ijin untuk
kembali ke Padepokan Bajra Seta dan berjanji akan
segera datang kembali. Demikianlah, di Bandar Cangu telah terjadi kesibukan
baru. Disamping pembuatan Jung besar yang sudah
terlihat mendekati proses akhir. Bersebelahan dengan
galangan telah dibangun sebuah benteng baru sebagai
pusat pembinaan lahirnya para pasukan khusus yang
akan menjadi prajurit pengawal jung besar.
Hari demi hari, siapapun yang berlayar di jalur sungai
Brantas yang melewati Bandar Cangu akan melihat
sebuah kesibukan yang luar biasa. Melihat jung besar
berdiri di atas galangan bersama para suku air yang
tengah bekerja. Sementara disisi lain sebuah benteng
baru yang besar telah mulai berdiri. Jung besar dan
Benteng baru meski belum sempurna terbentuk, tapi
sudah terlihat seperti dua raksasa yang berdiri di pinggir
sungai Brantas. "Sebentar lagi, impian Sri Maharaja tentang kerajaan
air akan terwujud", berkata Kebo Arema kepada Mahesa
277 Pukat dan Kertanegara pada suatu malam di Pendapa
Benteng Cangu. "Aku pun sudah tidak sabar berdiri diatas jung besar
itu mengarungi lautan", berkata Kertanegara
"Semoga tidak ada lagi yang datang menggangu",
berkata Mahesa Pukat. "Kupikir, setelah apa yang dilakukan oleh Raden
Wijaya bersama Lawe dan Mahesa Amping, mereka
tentu sudah menjadi agak jera", berkata Kertanegara.
"Apa pendapat Pangeran mengenai singgasana yang
kosong di Kediri?", bertanya Mahesa Pukat ingin tahu
pandangan Kertanegara mengenai Kediri.
"Jayakatwang melihat Kediri sebagai pintu gerbang,
jadi bukan tujuan akhirnya", berkata Kertanegara
memberikan pandangannya. "Artinya, bara yang akan berkobar di Tanah Gelanggelang akan menjadi padam dengan sendirinya bila
Kediri ada dalam genggaman tangan kita", berkata Kebo
Arema ikut memberikan pandangannya.
"Mudah-mudahan Sri Maharaja sudah dapat
membaca perkembangan terakhir di Tanah Gelanggelang", berkata Mahesa Pukat.
"Secepatnya, Ayahanda harus sudah menyadarinya
sebelum terlambat", berkata Kertanegara
"Kalau begitu, besok kita ke Kutaraja, disamping
melaporkan perkembangan pembangunan Jung, kita
juga akan menyampaikan beberapa hal mengenai Tanah
Gelang-gelang", berkata Kebo Arema kepada Kertanegara. Demikianlah keesokan harinya Kebo Arema dan
278 Kertanegara telah berangkat ke Kutaraja.
"Kutitipkan sementara pembangunan di Bandar
Cangu ini, dua tiga hari", berkata Kebo Arema kepada
Mahesa Pukat ketika meninggalkan Benteng Cangu.
Siang itu telah menandai harinya dengan cuaca yang
cerah. Jalan sepanjang jalur antara Bandar Cangu dan
Kutaraja sudah ramai dilalui pedati para saudagar.
Beberapa Padukuhan dan pasar kecil di sepanjang jalan
tumbuh seperti jamur di musim hujan, muncul
meramaikan suasana sepanjang perjalanan sebagai
tempat persinggahan. "Sebuah perjalanan yang menyenangkan", berkata
Kertanegara kepada Kebo Arema ketika baru saja keluar
dari persinggahan di sebuah kedai di tengah
perjalanannya. "Semoga apa yang kita lihat dan kita rasakan, juga
menyelimuti seluruh bumi Singasari", berkata Kebo
Arema. "Sayangnya masih ada orang yang tidak menyukai
bumi Singasari dalam kedamaian", berkata Kertanegara.
"Masih ingat pesan Empu Dangka tentang Putra
Mahkota Raja Angkara?", bertanya Kebo Arema sambil
memandang jauh ke depan, dibiarkannya kudanya
berjalan sendiri. "Kecil menjadi teman, besar menjadi musuh", berkata
Kertanegara mengingat kembali perkataan gurunya
Empu Dangka mengenai hakikat nafsu yang ada didalam
diri yang digambarkan sebagai Sang Putra Mahkota Raja
Angkara. "Alam alit adalah cermin untuk melihat alam besar
dijagat raya, dan kita dilahirkan sebagai Ksatria dititipkan
279 menjaganya dalam damai", berkata Kebo Arema sambil
memandang matahari yang sudah bergeser jatuh ke
barat. "Matahari telah semakin ke barat", berkata Kebo
Arema sambil sedikit menepuk kudanya agar berjalan
sedikit lebih cepat lagi.
Dan sedikit lebih cepat mereka tiba di Kutaraja di saat
senja menatap bumi dalam warna abu-abu bening.
Sebening tatapan Padmita sang kekasih menyambut
kedatangan Pangeran pujaan hatinya.
"Sri Maharaja meminta aku mengunjunginya", berkata
Kebo Arema kepada Pangeran Kertanegara mohon diri
menemui Sri Maharaja. "Jangan tidur di Gardu ronda", berkata Pangeran
Kertanegara mengingatkan kebiasaan Kebo Arema
menyisakan malamnya bersama para pengawal istana di
gardu ronda. Terlihat Kebo Arema diantar seorang pengawal raja
menyusuri lorong taman menuju bangsal istana.
"Kapan paman tiba?", bertanya seorang prajurit
pengawal istana yang berpapasan.
"Di saat senja, nanti aku mampir di gardumu", berkata
Kebo Arema yang mengenal prajurit pengawal istana itu.
Akhirnya Kebo Arema telah tiba di bangsal istana
dimana Sri Maharaja telah menunggunya.
"Selamat datang sahabatku raja lautan", berkata Sri
Maharaja menyambut kedatangan sahabatnya Kebo
Arema. "Semoga kesejahteraan selalu meliputi sahabatku
penguasa bumi", berkata Kebo Arema penuh
280 persahabatan. Setelah menyampaikan berita tentang keselamatan
masing-masing, banyak hal yang ditanyakan Sri
Maharaja terutama mengenai pembangunan Jung besar
di tepian sungai Brantas. Dan ternyata Sri Maharaja
banyak mengetahui dari para petugas sandinya semua
kejadian di Bandar Cangu, termasuk peristiwa
pembakaran galangan. "Aku memang telah banyak mendengar dan
mengetahui, aku hanya ingin mendengar pandanganmu
mengenai beberapa peristiwa itu", berkata Sri Maharaja.
"Ada asap ada api, apakah
merasakannya?", bertanya Kebo Arema.
tuanku tidak "Aku ada diantara api itu. Bagaimana aku dapat
melihatnya bila aku sendiri berada didalamnya", berkata
Sri Maharaja. "Kamulah yang kuharapkan mengurai
pandanganmu". "Menurut hamba, selama tuanku masih hidup, bara
itu tidak akan menjadi besar", berkata Kebo Arema
"Apa yang dapat aku lakukan, agar bara itu tidak
menghanguskan bumi Singasari setelah ketiadaanku ?",
bertanya Sri Maharaja "Jangan berikan singgasana Kediri kepada siapapun,
kecuali kepada orang sendiri yang dapat diyakini
kesetiaannya", berkata Kebo Arema.
"Sebut sebuah nama", berkata Sri Maharaja sambil
tersenyum sepertinya telah menangkap semua ucapan
Kebo Arema. "Hamba menyerah, ternyata tuanku telah menjebak
hamba", berkata Kebo Arema.
281 "Ternyata pandanganku telah engkau katakan
dengan sebenarnya, aku tidak bermaksud menjebakmu,
hanya sekedar meyakinkan apakah pandanganku masih
ada didalam ketidak keberpihakan", berkata Sri
Maharaja. "Jadi hamba tidak perlu menyebut sebuah nama?",
berkata Kebo Arema mencoba menengok isi hati Sri
Maharaja lebih jauh lagi.
Sri Maharaja tersenyum. "Biarlah untuk sampai saat ini kita tidak usah
menyebut sebuah nama, simpanlah nama itu untuk
sampai saatnya tiba", berkata Sri Maharaja masih
dengan wajah penuh senyum yang hanya diketahui oleh
Kebo Arema seorang. Malam pun telah merayapi cakrawala langit diatas
istana Singasari ketika Kebo Arema pamit dan
meninggalkan Bangsal Istana.
Ternyata, Kebo Arema tidak kembali ke biliknya yang
telah disediakan, seperti apa yang di katakan oleh
pangeran Kertanegara, di sebuah gardu jaga Kebo
Arema singgah menemui beberapa prajurit pengawal
yang sudah dikenalnya dengan akrab.
"Bolehkah aku si pengelana tua yang dahaga turut
menikmati hangatnya wedang jahe di malam sedingin
ini?", berkata Kebo Arema kepada tiga orang prajurit
pengawal di sebuah gardu jaga.
"Tentu saja bila dibayar dengan sebuah cerita
tentang para dara cantik di Tanah melayu yang menari
menyambut para tamu asing yang singgah di rumah
tuak", berkata seorang prajurit pengawal yang telah
mengenal Kebo Arema yang biasanya tidak pernah habis
282 bercerita tentang petualangannya di tanah seberang.
Dan seperti biasanya, ketika pagi sudah menjadi
terang, Kebo Arema masih terlihat melingkar di gardu
jaga. Tidak

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada seorang pun yang berani membangunkannya kecuali bibi tua dayang pengasuh di
Bangsal Pangeran yang terpaksa membangunkannya
karena Pangeran Kertanegara telah menunggunya di
meja makan untuk sarapan pagi bersamanya.
Seperti yang dijanjikan kepada Mahesa Pukat, dua
tiga hari mereka akan kembali ke Bandar Cangu.Hanya
tiga hari Kebo Arema dan Pengeran Kertanegara di
Kutaraja. Pikiran dan hati mereka memang sepertinya
sudah terpaut dengan Jung besar ditepian sungai
Brantas. Pagi itu dua ekor kuda terlihat keluar dari gerbang
kota. Bumi Kutaraja yang berbukit dan sejuk sepertinya
telah mengenal setiap langkah kaki mereka yang tidak
lain adalah Kebo Arema dan Pangeran Kertanegara yang
akan kembali ke Bandar Cangu.
Terlihat langkah kaki kuda mereka semakin menjauh
meninggalkan debu di jalan dan menghilang diujung jalan
yang menurun. Pada saat yang sama, jauh dari Kutaraja, tiga ekor
kuda nampak baru keluar dari sebuah hutan kecil.
Mereka adalah Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
menunggang kudanya masing-masing dalam wajah
penuh ceria. Sebagaimana diceritakan dimuka, mereka ke
Padepokan Bajra untuk mohon doa restu kepada ketua
Padepokan yaitu Mahesa Murti untuk membantu
terwujudnya sebuah pasukan baru yang akan menjadi
prajurit pengawal Jung besar yang tengah dibangun di
283 Bandar Cangu. Mahesa Murti tidak keberatan, bahkan
menjadi bangga bahwa kehadiran murid Padepokan
Bajra Seta dapat berguna dan dibutuhkan.
"Berjanjilah untuk menjaga nama baik Padepokan
Bajra Seta", demikian ucapan Mahesa Murti melepas
keberangkatan Mahesa Amping, Lawe dan Raden
Wijaya. Matahari siang itu terhalang awan, padang ilalang
seperti dipayungi keteduhan. Mahesa Amping, Lawe dan
Raden Wijaya terus memacu kudanya. Menikmati angin
segar berhembus di lereng hijau pegunungan,
merasakan keramahan para warga padukuhan
disepanjang perjalanan. Mereka seperti tiga ekor elang
muda terbang dalam kebebasannya.
Sementara itu pembangunan barak prajurit di dekat
galangan telah hampir selesai. Pembangunan yang
dilakukan oleh banyak orang, terutama para prajurit di
Benteng Cangu yang dikerahkan oleh Senapatinya
sendiri yaitu Mahesa Pukat menjadikan barak besar itu
menjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
"Terima kasih telah mewakili kami mengawasi
pembangunan barak dan Jung", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Pukat ketika telah tiba di Bandar Cangu
dan melihat langsung pembangunan barak dan jung
setelah beberapa hari ditinggalkannya bersama
Pangeran Kertanegara. Hanya berselisih satu hari setelah Kabo Arema dan
Pangeran Kertanegara tiba di Benteng Cangu. Mahesa
Amping, Lawe dan Raden Wijaya menyusul telah tiba
kembali di Benteng Cangu.
"Seluruh warga titip salam untuk Kangmas", berkata
Mahesa Amping kepada Mahesa Pukat ketika baru saja
284 tiba dari perjalanannya. Cahaya beberapa oncor yang dipasang di antara
sudut kanan dan kiri dinding pagar dalam Benteng
Cangu telah menerangi halaman di depan pendapa
utamanya yang luas dan lengang. Beberapa prajurit yang
bertugas jaga dimalam hari terlihat sudah berada di
panggungan. Terlihat di Pendapa utama beberapa orang masih
tengah berbincang. "Kalian tiba tepat waktu, dua hari lagi barak prajurit
akan selesai", berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa
Amping, Lawe dan Raden Wijaya.
"Sebentar lagi barak itu akan menjadi ramai dipenuhi
tiga ratus prajurit muda", berkata Kebo Arema.
"Dan tiga pelatih muda", berkata pengeran
Kertanegara sambil melirik Mahesa Amping, Lawe dan
Raden Wijaya. "Saat ini sudah ada dua puluh lima orang pemuda
yang tiba lebih awal dari beberapa daerah, untuk
sementara mereka ditampung di Benteng ini", berkata
Mahesa Pukat. "Mudah-mudahan barak baru segera selesai, agar
ransum prajurit di Benteng ini tidak banyak terganggu",
berkata Raden Wijaya. "Untuk sebuah kesejahteraan dan keamanan di bumi
Singasari, tidak akan membuat miskin Sri Maharaja",
berkata Kebo Arema. "Di Kutaraja, Bendahara Kerajaan telah memberi
bekal kepadaku, jadi kita tidak perlu khawatir kekurangan
selama disini", berkata Pangeran Kertanegara.
285 "Ketika pamit dari Bangsal Istana, Sri Maharaja juga
memberiku bekal sangu, aku bingung untuk kugunakan
apa, sementara sangu yang lalu masih belum terpakai",
berkata Kebo Arema seperti orang bingung.
"Paman tidak perlu bingung, menjamu kami di kedai
nasi bakar Pakde Widura di ujung Pasar Bandar Cangu
setiap malam, pasti sangu Paman akan berkurang",
berkata Raden Wijaya. "Betul-betul-betul", berkata Lawe menyetujui
"Aku pesan bekakak ayam panggang, dua !!",
berkata Mahesa Amping sambil menunjukkan dua
jarinya. "Bila aku tahu Paman punya banyak sangu, aku tidak
akan membayar apapun dikedai yang kita singgahi di
sepanjang Kutaraja ke Bandar Cangu", berkata
Pangeran Kertanegara sambil tersenyum.
"Memang sudah semestinya begitu, sangu dari
Bendahara Kerajaan lah yang harus keluar", berkata
Kebo Arema. "Mengapa harus seperti itu ?"bertanya Pangeran
Kertanegara yang tahu Kebo Arema sedang bercanda.
"Bukankah di perjalanan itu aku tengah mengemban
tugas Kerajaan?", berkata Kebo Arema. "Mengawal
seorang Putra Mahkota", lanjut Kebo Arema yang pandai
berkelit bukan hanya dalam olah kanuragan, tapi juga
dalam olah kata-kata. "Untuk selanjutnya, di siang hari kita minta dijamu
oleh Pangeran, sementara di malam hari kita sandera
sangu Paman Kebo Arema. Setujuuuu?", berkata Lawe
Pedang Golok Yang Menggetarkan 18 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Keris Pusaka Sang Megatantra 9

Cari Blog Ini