Ceritasilat Novel Online

Tapak Tapak Jejak Gajahmada 4

Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Bagian 4


didapatkannya secara turun temurun. Pada suatu waktu
Ki Sandikala berhasil membuat keris kembaran
Nagasasra. Hanya seorang yang ahli saja yang dapat
membedakan kedua keris itu.
Itulah sebabnya ketika memegang keris Nagasasra itu
dirinya tahu betul bahwa keris dalam genggamannya itu
222 bukan hasil karyanya. "Bilasaja Putut Prastawa menginginkan Keris ini, pasti
sudah jauh hari sebelum kedatangan Paman Narada",
berkata Ki Sandikala sambil menyelipkan keris itu di balik
pakaiannya. "Tapi mengapa Putut Prastawa menghilang?", berkata
kembali Ki Sandikala berpikir keras mengenai hilangnya
Putut Prastawa. "Mengapa pula yang hilang cuma keris kembarannya?",
bertanya lagi Ki Sandikala sepertinya apa yang
ditanyakannya pada dirinya sendiri itu memang sebuah
pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri, masih
begitu gelap. "Aku mengenal Putut Prastawa, pasti kehilangannya
tersangkut juga dengan hilangnya keris kembaran ini.
Namun sejauh mana ketersangkutannya aku tidak dapat
menduga, apalagi berprasangka.
Aku mengenal betul kesetiaannya kepada diriku, juga
pada Padepokan ini", berkata kembali Ki Sandikala
kepada dirinya sendiri. Ki Sandikala segera menutup kembali tanah bersama
peti kayu itu yang telah kosong.
Tiba-tiba saja pendengaran Ki Sandikala yang terlatih
dapat mendengar suara yang berasal dari atas pohon
Pujo. Suara itu bukan suara gesekan daun yang
bergerak karena hembusan angin, tapi suara tarikan
nafas berat dari seseorang yang bersembunyi di antara
dahan dan dedaunan yang lebat diatas pohon Pujo itu.
"Hanya burung kecil yang bersembunyi diatas dahan",
berkata Ki Sandikala dengan suara datar tanpa berpaling
keatas pohon namun perkataannya sepertinya ditujukan
223 kepada seseorang diatas sana.
Ki Sandikala juga tidak berpaling ketika sebuah
bayangan terlihat telah turun seperti seekor burung
besar, begitu ringannya jatuh perlahan menjejakkan
kakinya diatas tanah. Bayangan itu sudah berada tepat di hadapan Ki
Sandikala. "Aku memang telah menduga, kamu pasti masih ada
disekitar tanah ini", berkata Ki Sandikala kepada orang
yang baru turun dari atas pohon Pujo itu.
"Maafkan hamba yang tidak langsung turun menemui
tuan Guru", berkata orang itu yang baru turun dari pohon
Pujo itu sambil merangkapkan kedua tangannya penuh
hormat. "Kamu tidak turun karena menjaga dan melindungi
belakang punggungku", berkata Ki Sandikala penuh
senyum. "Jadi tuan Guru sudah tahu lama bahwa hamba
bersembunyi diatas?", berkata orang itu.
"Hanya tidak tahu bahwa ternyata yang bersembunyi
diatas adalah kamu, Prastawa", berkata Ki Sandikala
kepada orang itu yang ternyata adalah Putut Prastawa.
"Hamba menjaga tanah ini, menjaga Keris Nagasasra
yang asli", berkata Putut Prastawa.
"Itulah sebabnya kamu seperti
Padepokan?", bertanya Ki Sandikala
menghilang dari Putut Prastawa akhirnya bercerita bahwa setelah Ki
Narada tidak menemui yang dicarinya, dirinya
berkeyakinan bahwa pasti Ki Narada akan mencari keris
Nagasasra di sekitar Padepokan. Ternyata dugaannya
224 menjadi kenyataan, sehari setelah itu Ki Narada bersama
rombongannya mencarinya di dalam candi. Dan berhasil
menemukan tempat disembunyikannya keris Nagasasra.
"Maafkan hamba tidak berusaha mencegah Ki Narada
membawa keris kembaran Nagasasra", berkata Putut
Prastawa. "Tindakanmu sudah tepat, melepas Ki Narada yang
sudah merasa puas telah mendapatkan apa yang
diinginkannya", berkata Ki Sandikala dengan wajah
penuh senyum memuji tindakan Putut Prastawa yang
dinilainya cukup cerdik. "Itulah yang hamba pikirkan saat itu, hasil kerja kita
melindungi dan mengecohkan siapapun yang akan
memiliki Keris Nagasasra akhirnya membuahkan hasil",
berkata Putut Prastawa. "Meski begitu hamba masih
sangsi apakah Ki Narada dapat dikelabui. Itulah
sebabnya hamba tidak pernah meninggalkan tempat ini,
khawatir Ki Narada akan datang kembali menyisir area di
sekitar candi", berkata Putut Prastawa.
"Terima kasih juga telah meredam jiwa-jiwa muda kedua
putraku untuk tidak melakukan apapun terhadap polah Ki
Narada di Padepokan", berkata Ki Sandikala.
"Hamba memang telah meyakinkan Menak Koncar dan
Menak Jinggo untuk tidak berbuat apapun agar tidak
terjadi kekerasan di Padepokan", berkata Putut
Prastawa. "Artinya semua yang kita lakukan untuk menjaga keris
pusaka leluhur ini tidak sia-sia adanya", berkata Ki
Sandikala. "Biarlah Ki Narada saat ini merasa puas telah
mendapatkan apa yang diidamkannya, sebuah keris
karyaku sendiri kembaran Kyai Nagasasra", berkata Ki
Sandikala sambil tersenyum. "mari kita kembali ke
225 Padepokan, para cantrik telah merasa kehilangan dirimu
selama ini", berkata Ki Sandikala mengajak Putut
Prastawa kembali ke Padepokannya.
Namun belum lagi mereka akan melangkah, tiba-tiba saja
terdengar suara tertawa bergema dari berbagai arah.
Dan suara itu sangat dikenal oleh Ki Sandikala.
"Sayangnya aku bukan anak kecil yang mudah di
kelabui", berkata seseorang diantara suara tawanya yang
terdengar seperti berputar putar dari berbagai penjuru
mata angin. "Selamat datang Paman Narada, mengapa seperti anak
kecil main petak umpet di belakang batu?", berkata Ki
Sandikala sambil ikut tertawa panjang, suaranya pun ikut
bergema dan berputar-putar dari berbagai penjuru.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Sandikala, seorang
lelaki tua telah keluar dari persembunyiannya di balik
sebuah batu. "Penglihatan dan pendengaranmu sangat tajam, Nambi",
berkata lelaki tua yang dipanggil Paman Narada oleh Ki
Sandikala. "Paman sudah mendapatkan apa yang diinginkan,
apakah ada hal lain lagi?", berkata Ki Sandikala dengan
wajah penuh ramah kepada lelaki tua itu yang telah
datang melangkah mendekatinya.
"Aku ingin meminta darimu keris Nagasasra yang
mempunyai sisik naga berjumlah seratus buah,
sementara yang ada di tanganku ini hanya berjumlah
sembilan puluh sembilan sisik naga emas", berkata Ki
Narada dengan mata tajam seperti elang memandang
kearah Ki Sandikala. "Hanya selisih satu sisik, tidak ada bedanya. Dan aku
226 sudah merelakannya untuk Paman", berkata Ki Sandikala
dengan nada suara yang datar.
"Begitu tetap berbeda, dan aku akan meminta darimu
dengan segala cara", berkata Ki Narada dengan suara
penuh ancaman. "Paman mengancamku?", berkata Ki Sandikala dengan
suara yang agak meninggi, namun berusaha untuk tetap
mengendalikan perasaan hatinya.
"Aku tidak sedang mengancam, hanya mengingatkanmu
bahwa di belakangku ada kekuasaan yang besar yang
dapat merugikan dirimu, juga padepokanmu", berkata Ki
Narada "Bukankah Paman telah berjanji kepada ayahku untuk
tidak mengusik keberadaan keris Nagasasra"," berkata
Ki Sandikala mengingatkan Ki Narada.
"Ternyata ayahmu telah bercerita tentang perjanjian itu",
berkata Ki Narada dengan wajah kurang senang.
"Ayahku tidak pernah bercerita, tapi aku melihat langsung
sebuah pertempuran yang adil antara ayah dan paman
beberapa tahun lalu di tempat ini di sebuah malam",
berkata Ki Sandikala tanpa menyinggung sebuah
perjanjian, namun dalam kata-katanya itu memang
bermakna untuk mengingatkan Ki Narada kepada janji
yang pernah diucapkan kepada Ayahnya yang telah
mengalahkannya saat itu dalam sebuah pertempuran
yang adil diantara mereka.
"Janji itu sudah berakhir bersama kematian ayahmu",
berkata Ki Narada tanpa perasaan malu sedikit pun.
"Apakah Paman bermaksud memperbaharui perjanjian
itu?", berkata Ki Sandikala dengan sikap yang tenang.
Meski disampaikan dengan bahasa yang wajar, namun
227 perkataan itu didengar oleh Ki Narada sebagai sebuah
tantangan terbuka. Terlihat Ki Narada memandang Ki Sandikala dari ujung
kaki sampai keatas kepala. Ki Narada seperti melihat
kakaknya hidup kembali dalam tubuh Ki Sandikala. Sorot
mata yang bening seperti sebuah telaga yang sangat
begitu dalam. Tiga puluh tahun yang lalu Ki Sandikala
sudah menjadi seorang pemuda yang tangguh. Melihat
dari ketenangannya, Ki Narada dapat sebuah kepastian
bahwa Ki Sandikala pasti sudah mewarisi semua ilmu
ayahnya, bahkan siapa tahu sudah dapat mengembangkannya jauh diatas tataran ayahnya sendiri.
Itulah sebabnya Ki Narada tidak langsung mengambil
keputusan. Apalagi disebelahnya ada seorang putut yang
sudah lama berguru di Padepokan Teratai Putih. Ki
Narada masih sempat melihat bagaimana Putut
Prastawa menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang
nyaris begitu sempurna ketika turun dari pohon Pujo.
"Jangan khawatirkan bahwa kami berdua akan turun
bersama", berkata Ki Sandikala yang sepertinya dapat
membaca keraguan Ki Narada.
Ki Narada terlihat tersenyum getir mendengar perkataan
Ki Sandikala. "Aku tidak akan mundur meski kalian turun
berdua. Karena aku datang bersama lima puluh orang
prajurit pilihan dari Kediri", berkata Ki Narada sambil
bersuit panjang. Ternyata suitan panjang itu sebagai tanda memanggil
para prajurit Kediri yang selama itu bersembunyi di
berbagai tempat. Dan lima puluh orang prajurit Kediri
telah berdiri di belakang Ki Narada.
"Menyerahlah Nambi, serahkan segera keris itu. Kamu
boleh telah mewarisi seluruh ilmu perguruan kita, aku
228 tidak tahu apakah kamu sudah mampu melebihi
kemampuan ayahmu. Namun setidaknya aku masih
dapat bermain lama bertempur bersamamu. Sementara
pututmu itu meski dapat terbang, tapi tenaganya akan
habis melayani lima puluh orang prajurit", berkata Ki
Narada sambil diiringi tawa yang merendahkan. Sebuah
tawa yang sangat menyakitkan hati.
Tapi Ki Sandikala yang telah banyak mengetahui
kelicikan pamannya itu malah tertawa datar.
"Bagaimana bila aku bertukar lawan, paman menghadapi
Putut Prastawa", berkata Ki Sandikala.
"Aku akan cepat merobohkannya, setelah itu akan
kubantai kamu seorang diri bersama lima puluh orang
prajurit", berkata Ki Narada sambil bertolak pinggang
seperti sengaja menekan Ki Sandikala dengan katakatanya itu.
Terlihat Ki Sandikala menarik nafas panjang, dirinya
sampai saat ini belum banyak tahu sudah sejauh mana
perkembangan ilmu pamannya itu. Namun dirinya masih
tetap menenangkan perasaan dirinya tidak terganggu
sedikitpun oleh sikap pamannya itu yang sengaja ingin
mengaduk-aduk perasaannya, memberikan tekanantekanan dengan kata-katanya.
Ki Sandikala memang tidak punya rasa takut sedikitpun,
yang dikhawatirkan adalah kemungkinan banyaknya
orang yang terluka, juga kemungkinan dirinya
berbenturan dengan orang yang sedarah, pamannya.
Kekhawatiran Ki Sandikala semakin menjadi-jadi
manakala dua orang pemuda berlari mendekatinya.
"Tiga ratus orang cantrik siap dibelakang ayah", berkata
salah seorang dari pemuda itu yang sengaja
229 mengeraskan suaranya agar di dengar oleh Ki Narada.
Ternyata pemuda yang berkata itu adalah Menak Koncar
datang bersama adiknya Menak Jinggo.
Ketika mendengar Ki Sandikala akan bermalam di
pondokannya, dua kakak beradik itu sudah merasa
curiga pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh
ayahnya. Maka mereka berdua telah berjaga
bersembunyi disekitar pondokan. Ternyata kecurigaan
mereka terbukti, melihat Ki Sandikala keluar di tengah
malam. Dan mereka berdua berhasil mengikuti Ki
Sandikala. Dari persembunyian mereka dapat melihat dan


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamati apa yang dilakukan oleh Ki Sandikala. Dan
mereka juga melihat kehadiran Ki Narada disekitar tanah
itu bersama para prajurit Kediri. Itulah sebabnya Menak
Koncar memerintahkan adiknya Menak Jinggo untuk
kembali ke Padepokan guna membangunkan para
cantrik menghadapi segala kemungkinan yang bisa
terjadi. Kehadiran dua orang pemuda kakak beradik bersama
tiga ratus para cantrik padepokan Teratai Putih memang
telah berhasil membuat cemas hati Ki Narada.
Ki Narada yang selama hidupnya selalu berjalan dengan
segala perhitungan untung dan ruginya pada saat itu
memang tengah berpikir keras. Perhitungannya kali ini
seperti seorang penjudi ulung yang tahu kapan saatnya
untuk mengalah. "Jangan menyesal bila pada suatu saat aku akan datang
kembali menghancurkan Padepokanmu dan merebut
keris Nagasasra dari tanganmu", berkata Ki Narada
sambil memberi isyarat kepada prajuritnya untuk mundur.
230 "Paman tidak perlu datang, karena akulah yang akan
mengunjungi Paman di Kotaraja Kediri", berkata Ki
Sandikala sambil tersenyum disaat terakhir kali bertatap
muka dengan Ki Narada yang sudah langsung berbalik
badan pergi bersama prajuritnya menghilang di
kegelapan malam. "Terima kasih, kalian telah menggagalkan kekerasan
terjadi di Tanah ini", berkata Ki Sandikala kepada kedua
putranya."Juga telah membebas-tugaskan Pamanmu
Putut Prastawa untuk tidak berkeliaran lagi sepanjang
hari di tanah sekitar candi ini", berkata Ki Sandikala
kembali dengan senyum khasnya yang tidak pernah
lepas dari bibirnya memandang kearah Putut Prastawa.
Terlihatlah sebuah rombongan besar beriring di
penghujung malam itu menuju Padepokan. Hari ini
mereka merasa bersyukur tidak terjadi apapun. Hanya
mengorbankan rasa kantuk yang sepertinya telah
kembali mengusik mata mereka.
"Apakah ayah masih akan beristirahat di pondokan ?",
bertanya Menak Koncar dengan sedikit menggoda
kepada Ayahnya. Ki Sandikala tersenyum mendengar perkataan yang
menggoda dari putranya itu.
"Sebentar lagi malam akan berakhir, ada beberapa hal
yang akan ayah bicarakan bersama pamanmu Putut
Prastawa di pendapa", berkata Ki Sandikala sambil
mengajak Putut Prastawa naik ke panggung pendapa.
Demikianlah, malam memang akan segera berakhir.
Hampir semua para cantrik telah kembali masuk ke
biliknya masing-masing untuk melanjutkan rasa
kantuknya yang masih tersisa. Sementara itu Ki
Sandikala masih bersama Putut Prastawa di atas
231 pendapa seperti halnya dua orang sahabat yang sudah
lama tidak berjumpa. Seperti sapuan ombak, atau seperti
air pancuran di musim penghujan.
Warna pagi sudah menjadi terang tanah.
Para cantrik sudah berkumpul di sanggar terbuka,
mereka tengah mendengarkan beberapa wejangan dari
Ki Sandikala, guru mereka yang sudah begitu lama
meninggalkan mereka. Ki Sandikala berusaha membuka hati dan pikiran para
cantriknya dengan menyampaikan suasana pecahnya
keluarga istana Singasari.
"Empu Bharada telah meramalkan bahwa suatu waktu
Daha dan Jenggala akan bersatu kembali, akan menjadi
Nagari yang lebih luas dari Kerajaan Kahuripan sendiri
lewat tangan keturunanya. Akulah darah keturunan
Empu Bharada. Ditubuhku juga mengalir darah Erlangga
lewat putri tercintanya Sanggrama Wijaya Tunggadewi",
berkata Ki Sandikala berhenti sebentar sambil menyapu
pandangannya kepada wajah-wajah para cantriknya.
Ucapan Ki Sandikala memang sempat membingungkan
para cantriknya, di kepala mereka telah timbul dugaan
bahwa Ki Sandikala sendiri yang akan tampil merebut
kekuasaan. "Jangan salah artikan perkataanku, memang aku akan
berada dalam kancah memersatukan kerajaan yang telah
terpecah ini, tapi tidak mengatasnamakan diriku sebagai
darah Erlangga, tapi aku sebagai darah Empu Bharada
yang akan berjuang memersatukan kembali Daha dan
Jenggala sebagaimana Empu Bharada berjuang di sisi
murid tunggalnya raja Erlangga merebut kembali
Kerajaan Kahuripan", berkata kembali Ki Sandikala yang
sepertinya dapat membaca arah pikiran para cantriknya
232 dan mencoba meluruskannya.
Terlihat Ki Sandikala tersenyum menatap wajah
beberapa cantriknya yang sudah mulai mengerti kemana
arah pembicaraannya. "Apakah kalian akan berada di belakangku ikut berjuang
memersatukan kembali Tanah yang terpecah ini?",
bertanya Ki Sandikala yang langsung disambut suara
gegap gempita para cantriknya.
"Kami siap".kami akan berada di belakang tuan Guru!!",
berkata saling tumpang tindih hampir dari semua cantrik
yang ada sehingga suasana di sanggar terbuka itu
menjadi begitu riuhnya. Setelah suasana mulai mereda, Ki Sandikala
melanjutkan perkataannya, "pada saat ini dari berbagai
persekutuan Padepokan Teratai Putih yang tersebar di
Jawadwipa dan Balidwipa akan mengirimkan seratus
orangnya langsung menuju Tanah Ujung Galuh. Hari ini
aku juga akan memilih seratus orang diantara kalian",
berkata Ki Sandikala yang kembali disambut suara riuh
para cantriknya berharap mereka salah satu dari seratus
orang itu. Demikianlah, pada hari itu juga Ki Sandikala dibantu oleh
Putut Prastawa telah memilih para cantrik terbaik
diantara mereka. Pada saat yang sama Ki Sandikala juga
telah menghibur beberapa cantrik yang merasa kecewa
tidak terpilih ikut bersamanya ke Tanah Ujung Galuh.
"Jangan berkecil hati, dimanapun kita berada tugas dan
pengabdian kita sama. Tetaplah kalian berlatih dan
menjaga Padepokan ini. Pada suatu waktu mungkin aku
akan memerlukan diri kalian", berkata Ki Sandikala
kepada beberapa cantrik yang tidak terpilih.
233 Diantara para cantrik yang kecewa, ada tiga orang yang
sangat jelas sekali kekecewaannya yang terlihat dari raut
wajah mereka yang masam. Namun Ki Sandikala purapura tidak mengetahuinya.
Endang Trinil, Menak Koncar dan Menak Jinggo adalah
ketiga orang yang merasa kecewa tidak dipilih oleh Ki
Sandikala. Wajah masam itu masih nampak ketika malam telah
datang dalam kebersamaan mereka di atas Pendapa
Padepokan. "Apakah kamu tidak merasakan ada tiga orang berwajah
masam sepanjang hari?", berkata Ki Sandikala penuh
senyum kepada Putut Prastawa yang ikut hadir di atas
pendapa malam itu diantara Menak Jinggo, Menak
Koncar dan Endang Trinil.
Putut Prastawa yang tahu kemana arah pembicaraan Ki
Sandikala ikut memanaskan suasana dengan perkataannya, "Hamba telah berbuat jujur, tidak pilih
kasih. Seratus orang cantrik yang terpilih adalah para
cantrik terbaik di Padepokan ini".
"Bagaimana bila ketiga orang itu mengajak kamu beradu
tanding, apakah kamu bersedia?", berkata Ki Sandikala
tanpa melihat kearah Menak Koncar, Menak Jinggo dan
Endang Trinil yang masih bertanya-tanya kemana arah
pembicaraan Ki Sandikala.
"Siapa takut di keroyok tiga orang sekaligus", berkata
Putut Prastawa yang tahu maksud dari Ki Sandikala.
Terlihat Ki Sandikala mengarahkan wajahnya kearah
Menak Koncar, Menak Jinggo dan Endang Trinil yang
juga tengah memandangnya.
"Kalian dengar sendiri, pamanmu bersedia dikeroyok
234 oleh kalian bertiga. Inilah kesempatan kalian untuk
melampiaskan kekecewaan kalian tidak terpilih ikut ke
Tanah Ujung Galuh", berkata Ki Sandikala kepada anak
dan kemenakannya itu. "Sudah lama tangan ini gatal-gatal ingin menghajar tiga
anak manja di Padepokan ini", berkata Putut Prastawa
penuh senyum sambil berdiri langsung turun ke halaman.
"Aku juga tidak sabaran untuk menghajar pamanku yang
pernah menghilang sekian lama", berkata Menak Koncar
mewakili saudaranya ikut bangkit berdiri mengikuti
langkah pamannya ke halaman Padepokan.
Menak Jinggo dan Endang Trinil diikuti Ki Sandikala
beriringan turun ke halaman Padepokan dimana Putut
Prastawa sudah tegak berdiri seperti seorang jawara
menunggu lawan-lawannya. Tanpa perintah apapun, Menak Koncar, Menak Jinggo
dan Endang Trinil sudah menempatkan dirinya
mengepung Putut Prastawa.
"Anak manis, lihat seranganku", berkata Putut Prastawa
yang memilih Endang Trinil sebagai orang pertama
dalam serangan awalnya. Luar biasa cepatnya serangan Putut Prastawa mengarah
ke tubuh Endang Trinil seperti tidak main-main. Putut
Prastawa memang menyerang dengan tataran ilmu
tingkat tingginya. Ternyata Putut Prastawa tahu betul siapa Endang Trinil
yang dipilihnya menerima serangan awalnya itu.
Serangan yang dahsyat dan sangat cepat itu telah
menemui tempat kosong, Endang Trinil sudah melenting
menghindar dan langsung balas menyerang.
Tanpa menunggu waktu, Menak Koncar dan Menak
235 Jinggo sudah langsung bersama menerjang ke arah
Putut Prastawa. Menghadapi tiga serangan bersamaan tidak membuat
Putut Prastawa surut, dengan lincahnya telah melompat
menghindar dan balas menyerang secara bersamaan
dengan kaki tangannya kearah tiga orang anak-anak
muda itu. Demikianlah, pertempuran itu terus berlangsung semakin
lama semaki seru. Mereka masing-masing seperti
mengetahui kemana arah serangan dan bagaimana
seharusnya menghindar. Putut Prastawa tidak pernah
surut berkelit seperti seokor belut melejit meloloskan diri
dari serangan tiga anak muda yang terlihat penuh
penasaran tidak juga dapat mengalahkan seorang Putut
Prastawa. Ki Sandikala yang menonton pertempuran itu tersenyum
bangga, ketiga anak muda itu ternyata sudah jauh
berkembang kemampuannya dibandingka beberapa
waktu lalu, meski serangan-serangan mereka masih saja
dapat dipatahkan oleh Putut Prastawa yang sudah
mempunyai pengalaman lebih daripada mereka.
"Aku akan puas bila kamu dapat menghajar salah satu
diantaranya, karena mereka hanya tiga ekor srigala yang
datang dari pulau berbeda", berkata Ki Sandikala kepada
Putut Prastawa. "Hanya tiga ekor anak srigala", berkata Putut Prastawa
sambil menyerang kearah wajah Endang Trinil.
Ternyata Menak Koncar sangat tanggap apa arti sindiran
Ayahnya itu, sebagai sebuah sindiran bahwa serangan
mereka dilakukan secara terpisah.
"Tunjukkan bahwa kita bukan tiga anak srigala, tapi raja
236 srigala penguasa hutan malam", berkata Menak Koncar
kepada Menak Jinggo dan Endang Trinil.
Mendengar perkataan Menak Koncar, terlihat Endang
Trinil dan Menak Jingga melenting bersamaan dan
hinggap berdiri berjajar bersama Menak Koncar.
Ketiga anak muda ini seperti tahu apa yang harus
dilakukan bersama, menyerang seperti ombak silih
berganti tidak pernah berhenti, tenaga mereka seperti
terjaga karena hanya memikirkan sebuah serangan dan
menanti serangan selanjutnya.
Ki Sandikala tersenyum melihat pokal putra dan putri
kesayangannya itu, mereka seperti satu tubuh dan begitu
mengenal kemampuan masing-masing.
Ki Sandikala juga masih tersenyum melihat Putut
Prastawa yang semakin kewalahan tidak dapat
sedikitpun balas menyerang, hanya terus menerus
menghindar membuat tenaganya menjadi semakin susut.
Keringat terlihat bercucuran dari tubuhnya.
Hingga dalam sebuah kesempatan yang sangat sempit,
Endang Trinil telah melibatnya yang langsung menyerang
dengan tendangan yang menggunting menyentak kaki
Putut Prastawa. Dibelakang Endang Trinil sudah menanti serangan
Menak Jinggo. Maka tidak ada jalan lain bagi Putut
Prastawa mengikuti arah condong dirinya dan langsung
berguling di tanah. "Woww"!!", berkata Ki Sandikala memuji kekompakan
serangan dua putra dan kemenakannya itu.
"Ternyata keponakanku yang manis ini benar-benar jeli
matanya", berkata Putut Prastawa yang sudah kembali
berdiri. 237 "Ternyata kalian telah mengenal jiwa didalam jurus


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perguruan kita sebagai inti sari serangan ular naga. Lima
atau enam orang bersatu memainkan jurus ini akan
menjadi semakin dahsyat", berkata Ki Sandikala sambil
maju ketengah diantara mereka memberikan beberapa
hal menyempurnakan beberapa gerakan yang seharusnya dilakukan. "Dalam satu hari ini kalian bertiga
pasti sudah dapat mematangkannya dan menularkannya
kepada semua cantrik di Tanah Ujung Galuh", berkata Ki
Sandikala penuh senyum. "Di Tanah Ujung Galuh?", bertanya Manak Koncar masih
meraba-raba maksud perkataan Ayahnya.
"Maksudku sudah jelas, aku tidak memilih kalian diantara
seratus cantrik padepokan ini, tapi aku akan membawa
kalian agar ikut membantu membimbing para cantrik
disana", berkata Ki Sandikala.
Wajah ketiga anak muda itu langsung berubah penuh
ceria. "Paman memang suka sekali membuat kejutan-kejutan",
berkata Endang Trinil dengan wajah manjanya.
"Bukan aku bila tidak membuat kejutan", berkata Ki
Sandikala menatap gembira melihat dua orang putra dan
keponakannya itu begitu ceria. "Dan aku memang tidak
mau jauh-jauh dari kalian", berkata kembali Ki Sandikala
sambil mengajak mereka naik keatas panggung
pendapa. Diatas pendapa Ki Sandikala kembali memberikan
pandangannya memperkaya pengenalan mereka bertiga
tentang jurus jalur perguruan mereka.
"Besok pagi aku rasa pamanmu pasti sudah lebih segar
menghadapi kalian bertiga", berkata Ki Sandikala yang
238 ditanggapi penuh senyum oleh ketiga anak muda itu
sambil mengarahkan pandangannya kearah Putut
Prastawa. "Aku berhutang tendangan, aku berharap besok sudah
dapat melunasinya", berkata Putut Prastawa sambil
memandang kearah Endang Trinil yang membalasnya dengan senyum penuh
kemanjaan. Begitu manis. "Kapan kita berangkat ke Tanah Ujung Galuh?", bertanya
Menak Jinggo sepertinya sudah tidak sabaran
membayangkan sebuah perjalanan yang menyenangkan.
"Dua atau tiga hari ini", berkata Ki Sandikala. "Kita
berjalan dalam kelompok-kelompok kecil agar tidak
menimbulkan kecurigaan pihak lawan", berkata kembali
Ki Sandikala. "Sepanjang perjalanan aku akan menikmati masakan
keponakanku yang manis ini", berkata Putut Prastawa
menggoda Endang Trinil. "Sepanjang perjalanan tidak ada pemuda yang berani
menggodanya, karena dikelilingi empat ekor sirigala",
berkata Ki Sandikala ikut menggoda Endang Trinil
"Dua srigala tua, dua lagi srigala muda. Dan aku putri
bulannya yang diasuh oleh keluarga srigala", berkata
Endang Trinil dengan senyumnya yang manja seperti
putri bulan sebenarnya, dan memang begitu
menyegarkan siapapun yang melihat senyum itu.
Sang putri malam telah bersembunyi di balik pohon suren
besar di sebelah barat Padepokan disaat Menak Koncar,
Menak Jingga dan Endang Trinil telah hanyut di bawa
sang mimpi jauh hingga ke Tanah Ujung Galuh.
Sementara itu di Tanah Ujung Galuh seperti tidak pernah
239 tertidur, perahu-perahu besar dari berbagai nagari
datang dan pergi membongkar barang dagangannya.
Para buruh sibuk memanggul barang seperti tidak pernah
letih ditingkahi suara genit para wanita penghibur malam
begitu menggoda membuat setiap mata lelaki tidak
pernah jemu mengisi hari sepanjang malam di Bandar
Ujung Galuh itu. Hingga akhirnya sang fajar telah menyingsing di atas
Tanah Ujung Galuh. Sudah dua hari ini di Tanah Ujung Galuh telah
berdatangan secara bergelombang para prajurit dari
Kotaraja Singasari yang sengaja ditarik untuk bergabung
di Tanah Ujung Galuh. Kedatangan mereka bertepatan
dengan telah selesainya pembangunan benteng besar
yang berdiri di atas Tanah Ujung Galuh. Di tempat itulah
para prajurit seluruhnya mengisi dan memenuhi barakbarak prajurit.
Bayangkan, delapan ribu prajurit telah memenuhi Tanah
Ujung Galuh. Sudah dua hari itu pula di Tanah Ujung Galuh itu telah
berdatangan secara bergelombang orang-orang yang
dikirim oleh Adipati Arya Wiraraja sesuai janjinya. Untuk
sementara itu mereka ditempatkan di barak lama, dibarak
yang masih begitu sederhana.
Tidak dapat dibayangkan, begitu rimpuh dan ruahnya
suasana keadaan di Tanah Ujung Galuh.
"Kupercayakan dua ribu orang dari pulau Madhura
kepadamu wahai saudaraku Ranggalawe", berkata
Raden Wijaya kepada Ranggalawe di pendapa agung di
benteng baru mereka pagi itu.
"Hari ini aku akan membawa mereka, merubah padang
240 ilalang menjadi hamparan sawah ladang hijau", berkata
Ranggalawe penuh semangat.
"Kita berbagi tugas, aku akan mengerahkan para prajurit
untuk menebang beberapa batang pohon di hutan Maja
untuk bahan kayu tempat tinggal baru para penghuni
tanah Perdikan", berkata Raden Wijaya.
Demikianlah, hari itu adalah hari pertama mereka
membuka hutan Maja sebagai Tanah Perdikan baru.
Mereka bekerja dengan begitu semangat, karena
didalam hati mereka telah dipenuhi sebuah keyakinan
baru, diatas tanah yang mereka bangun adalah sebuah
tanah harapan baru untuk mereka sendiri, juga masa
depan mereka. "Ki Sandikala begitu rinci membuat gambar pakem
hunian baru", berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana
yang ikut bersama Raden Wijaya memilih daerah mana
saja di hutan itu yang perlu di ambil batang kayunya.
Gambar yang dibuat oleh Ki Sandikala diatas lembaran
lontar itu memang begitu terinci, memudahkan mereka
memilih dimana seharusnya jalan sebuah Padukuhan,
dimana seharusnya berdiri lima sampai enam hunian
sebagai kelompok babakan desa. Dari babakan desa
yang tersebar itulah terbentuknya sebuah Padukuhan
yang tertata begitu rapih.
Awan di langit selalu berubah setiap saat dan waktu.
Begitulah, awan langit diatas Hutan Maja terus berubah
sepanjang waktu setiap saatnya.
Seperti Raja Samaratungga menunggu batu demi batu
tersusun menjadi sebuah candi yang megah, candi
Borobudur. Seperti itulah Raden Wijaya menunggu
pengentasan tanah perdikannya diatas Hutan Maja.
241 Hari itu telah mulai terlihat petak-petak sawah seperti
tercetak rapih dialiri sungai dan parit kecil, dan pada hari
yang lain sudah tumbuh beberapa hunian diantara jalan
desa dan jalan padukuhan yang tertata rapih diantara
rindangnya Hutan Maja. Sayangnya semua itu hanya ada
dalam lintasan bayang-bayang lamunan Raden Wijaya.
Pada kenyataannya semua itu perlu waktu dan kerja.
"Hari ini sudah datang secara bergelombang para cantrik
dari Padepokan Teratai Putih", berkata Raden Wijaya
kepada Gajah Pagon dan Ki Sukasrana ketika mereka
menjelang sore hendak kembali ke benteng prajurit
setelah sehari penuh berada di padukuhan hutan Maja.
"Ki Sandikala sendiri pasti saat ini masih dalam
perjalanan, mungkin beliau lewat jalur darat sambil
melihat-lihat perkembangan beberapa tempat", berkata
Gajah Pagon menyambung perkataan Raden Wijaya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajah Pagon. Ki
Sandikala memang masih dalam perjalanan menuju
Tanah Ujung Galuh lewat jalur darat.
Tidak seperti para cantriknya yang telah berangkat
mendahului lewat jalur laut, Ki Sandikala telah
memutuskan untuk berangkat menuju Tanah Ujung
Galuh melewati jalur darat. Hal ini dilakukan guna melihat
lebih dekat perkembangan setiap daerah setelah
pecahnya kekuatan Singasari. Disamping juga untuk
memberi tambahan wawasan kepada dua orang
putranya Menak Koncar dan Menak Jinggo yang sejak
kecil tidak pernah pergi jauh dari Padepokannya.
Perjalanan mereka menjadi penuh warna karena
bersama mereka ada seorang gadis manis yang mulai
tumbuh dewasa, Endang Trinil.
Sore itu mereka telah memasuki sebuah padukuhan
242 yang berbatasan dengan hutan Ranu Regolo, sebuah
hutan hitam lebat yang sangat luas berada disebuah
lembah diantara Gunung Bromo dan Gunung Semeru.
Jarang sekali orang yang berani melewati hutan itu bila
tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Ada
sebagian orang mengatakan bahwa di Hutan Ranu
Regolo sangat angker karena tempat hunian para
lelembut. Hutan Ranu Regolo juga ditakuti karena
dipenuhi begitu banyak binatang buas, srigala dan
kawanan anjing hutan di malam hari. Dan disiang harinya
banyak sekali harimau yang berkeliaran mencari
mangsa. Namun diantara keangkeran serta binatang buas di
hutan Ranu Regolo, ada satu lagi yang membuat setiap
orang mengurungkan niatnya melewati hutan itu dan
memilih mencari jalan lain meski harus memutar lebih
jauh. Semua orang pasti membenarkan bila dikatakan bahwa
hutan Ranu Regolo juga sebagai sebuah sarang
penyamun !!! Tapi apapun bahayanya, Ki Sandikala bersama keluarga
kecilnya akan melewati hutan itu.
Suasana di jalan padukuhan itu masih terang tanah,
bulat matahari kuning masih bergantung di barat
lengkung langit. "Ada sebuah rumah singgah diujung Padukuhan ini, kita
bisa bermalam disana", berkata Ki Sandikala yang
sepertinya sudah mengenal padukuhan itu.
Namun langkah kaki mereka seperti tertahan ketika
dibelakang mereka terdengar suara langkah kaki kuda
berlari melewati mereka dan meninggalkan debu yang
mengepul. 243 Mereka melihat sepintas dua orang penunggang kuda
telah melewati mereka dan semakin menjauh
meninggalkan mereka. Hampir semua mempunyai kesan
yang sama terhadap kedua penunggang kuda itu,
mereka melihat kedua penunggang itu pastinya dua
orang asing yang terlihat dengan pakaian yang
dikenakan. Juga dua buah pedang panjang yang
melintang di punggung kedua orang itu sangat bagus
berkilat warna perak yang tidak lajim dimiliki oleh orang
pribumi. "Sebuah sarung pedang yang indah, pasti pedang
didalamnya tidak kalah indahnya", berkata Menak Jinggo
sambil masih memandang kedua orang berkuda yang
sudah semakin jauh dari pandangan mereka.
"Pakaian mereka pasti dari bahan yang halus, bahan
pilihan", berkata Endang Trinil sambil memegang bahan
pakaian yang dikenakannya, yang hanya dari sebuah
bahan kasar yang bisa dikatakan sudah tidak baru lagi.
"Jangan-jangan mereka dua orang pangeran yang
sedang mencari sang putri bulan", berkata Menak Koncar
yang disambut tawa. Meski hari masih terang, namun suasana jalan
Padukuhan itu sudah begitu sepi. Hanya terkadang
mereka mendapati satu dua orang tengah membelah
kayu di pelataran rumahnya. Sementara di sebelah
kanan mereka terlihat petak-petak sawah yang masih
kering. Saat itu memang tengah memasuki musim
pancaroba di padukuhan yang mereka singgahi.
"Disaat musim pancaroba ini, biasanya para lelaki pergi
bekerja sebagai penderap di daerah lain yang tengah
panen padi. Mungkin itulah sebabnya padukuhan ini
menjadi begitu sepi", berkata Putut Prastawa.
244 "Kadang mereka pergi sekeluarga bersama sebagai
penderap", berkata Ki Sandikala ikut menyambung
perkataan Putut Prastawa.
Tidak terasa sambil berbincang, rumah singgah yang
mereka tuju sudah semakin dekat.
Rumah singgah adalah sebuah rumah yang sengaja di
bangun untuk orang-orang yang sengaja akan melintasi
hutan Ranu Regola. Dulu banyak pedagang yang
menggunakan rumah singgah ini untuk bermalam sambil
menunggu beberapa orang agar mereka dapat melintasi
hutan Ranu Regola bersama. Tapi saat ini sedikit sekali
bahkan tidak lagi ditemui para pedagang yang datang
singgah, mungkin karena hutan Ranu Regola sudah tidak
aman lagi bagi mereka. Matahari sudah semakin redup ketika mereka berlima
sampai di rumah singgah itu.
"Bukankah mereka dua orang penunggang kuda pemilik
pedang indah itu?" berkata Endang Trinil.
Perkataan Endang Trinil mengingatkan mereka kembali
kepada dua orang penunggang kuda dengan pedang
indahnya yang telah mendahului mereka di jalan


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padukuhan. Seorang lelaki tua pemilik rumah singgah itu telah datang
menyambut mereka berlima, membawa mereka ke
sebuah bale bambu yang lain bersebelahan dengan dua
orang berkuda yang nampaknya juga akan melintasi
hutan Ranu Regola. "Kami juga menyediakan penganan untuk persediaan
selama di perjalanan", berkata lelaki tua itu ketika
membawa makanan dan minuman hangat kepada Ki
Sandikala dan rombongannya.
245 "Terima kasih Ki, siapkan penganan untuk kami berlima",
berkata Ki Sandikala kepada orang tua itu.
"Dulu tempat ini sangat ramai disinggahi para pedagang
yang akan melintas ke Hutan Ranu Regola, para prajurit
Singasari saat itu masih sering berkeliling melakukan
penjagaan", berkata orang tua itu."Semoga perjalanan
kalian tidak mendapatkan gangguan", berkata kembali
orang tua itu sepertinya penuh rasa khawatir.
"Apakah keadaan hutan Ranu Regola saat ini tidak aman
lagi?", bertanya Ki Sandikala penuh selidik.
"Saat ini jarang sekali ada yang berani melintas di hutan
itu, kabarnya ada sekelompok penyamun yang
menjadikan hutan itu sebagai hunian mereka", berkata
orang tua itu seperti ragu dan agak takut seperti berharap
tamunya itu berpikir ulang untuk melintasi hutan Ranu
Regola. Tapi apa yang diucapkan oleh Ki Sandikala membuat
hatinya cukup lega. "Mudah-mudahan para penyamun itu tidak mengganggu
kami, karna kami tidak membawa apapun yang dianggap
cukup berharga", berkata Ki Sandikala.
Ketika hari sudah mulai beralih menjadi malam, pemilik
rumah singgah itu menawarkan Endang Trinil beristirahat
di dalam rumah. "Ada bilik kosong di rumah ini hanya khusus untuk
seorang wanita", berkata orang tua itu menawarkan.
"Terima kasih Ki, anak gadisku ini memang tidak boleh
begadang sampai jauh malam", berkata Ki Sandikala
bercanda meski dia sendiri mengetahui Endang Trinil
bukan lagi gadis biasa yang manja. Tapi sudah banyak
ditempa punya ketahanan yang bahkan melampaui lelaki
246 biasa. Sambil mencibirkan bibirnya yang tipis, Endang Trinil
terlihat mengikuti orang tua itu masuk kedalam rumah.
Sementara itu dua orang asing yang duduk
berseberangan di bale bambu yang lain masih belum
juga bertegur sapa, sepertinya tidak memperdulikan
kehadiran Ki Sandikala dan rombongannya. Mungkin
mereka beranggapan Ki Sandikala dan rombongannya
sebagai seorang pribumi biasa, atau memang mereka
merasa tidak perlu berbagi apapun layaknya orang asing
yang ingin bertanya begitu banyak hal yang ingin
diketahui. Atau mereka mungkin begitu banyak
menyimpan rahasia?" Ketika malam sudah semakin larut, dua buah bale bambu
yang hanya berjarak dua langkah kaki itu masih juga
seperti dua buah pulau yang terpisah.
Salah seorang dari lelaki asing itu terlihat sudah tertidur
pulas, sementara temannya masih tetap duduk bersila
seperti tengah melatih pernapasan.
Diam-diam Menak Koncar yang mendapat giliran berjaga
di malam itu sempat melirik orang asing yang tengah
duduk bersila itu. Menak Koncar dapat mengukur usia
orang itu masih sekitar empat puluhan. Sebuah cambang
yang lebat membuat orang itu terlihat sangat tampan,
wajah seorang lelaki sejati.
Menak Koncar juga sempat melihat wajah orang asing
yang sudah tertidur pulas, kulitnya lebih pucat lagi dari
pada temannya. Diam-diam Menak Koncar juga dapat
membedakan kedua orang itu bahwa kelopak mata orang
yang masih duduk itu meruncing sipit, sebuah ciri jenis
kelopak mata yang baru kali ini dilihatnya.
247 Ada memang sedikit keinginan Menak Koncar untuk
pindah ke bale bambu disebelahnya hanya untuk
sekedar menyapa, bertanya ini itu, tapi keinginan itu
ditundanya melihat orang yang tengah duduk bersila itu
nampaknya memang sedang menikmati kesendiriannya.
Akhirnya Menak Koncar telah mengalihkan pandangan
matanya ke arah hutan Ranu Regola dihadapannya yang
terlihat seperti raksasa hitam pekat berdiri menyeramkan.
Sayup-sayup Menak Koncar mendengar lengking anjing
liar jauh dari pedalaman hutan Ranu Regola. Dalam
bayangan Menak Koncar terpikir seekor anak kijang
tengah terjebak dalam kepungan anjing-anjing liar
dimana tidak jauh dari mereka pasti menunggu srigala
lapar siap mencuri hasil buruan anjing-anjing liar itu.
Namun lamunan Menak Koncar seperti buyar manakala
disebelahnya Menak Jinggo bangun dari tidurnya.
"Saatnya kakang beristirahat", berkata Menak Jingga
kepada Menak Koncar. "Entahlah, mata ini masih juga belum mengantuk",
berkata Menak Koncar kepada adiknya.
Angin dingin malam itu memang cukup membuat sekujur
badan mereka dapat menggigil, namun mereka menjadi
heran melihat orang asing yang masih bersila itu seperti
tidak merasakan apapun. Begitu kagetnya kedua kakak beradik itu manakala orang
asing itu menoleh kepada mereka berdua. Menak Koncar
dan Menak Jinggo semakin jelas melihat wajahnya,
dapat dikatakan sebagai sebuah wajah yang tampan,
hanya mata yang sipit saja yang mereka lihat sebagai
sebuah keanehan. Namun secara keseluruhan orang itu
memang sangat tampan, apalagi dengan cambangnya
248 yang terlihat tebal menambah kegagahan dari pemilik
wajah itu. Dan yang tidak mereka berdua duga sama sekali bahwa
pemilik wajah itu ternyata dapat tersenyum.
Benar, orang asing itu memang telah menyapa mereka
berdua dengan sebuah senyuman.
Maka sebagai tanggapan atas senyum dari orang asing
itu keduanya membalas pula senyuman itu.
"Apakah kalian juga akan melintasi hutan didepan kita
itu", bertanya orang asing itu dengan penuh keramahan
seperti mencairkan keterasingan dan kebekuan suasana
diantara mereka. "Benar, besok kami akan melintasi hutan Ranu Regola
itu", menjawab Menak Koncar
"Apakah kalian sudah sering melintasi hutan itu?",
bertanya orang asing itu.
Mendapat pertanyaan itu Menak koncar dan Menak
Jinggo saling berpandangan.
"Kami berdua belum pernah melintasi hutan itu", berkata
Menak Koncar tersenyum tersipu.
Orang asing itu hanya tersenyum mendengar perkataan
dari Menak Koncar. Perlahan orang itu telah menggeser
badannya melayangkan pandangannya kearah hutan
Ranu Regola seperti sedang memasuki kegelapan hutan
pekat menerobos dengan mata dan bayang-bayang
pikirannya. Melihat orang asing itu telah kembali dalam
kesendiriannya, Menak Koncar dan Menak Jinggo seperti
mengikuti apa yang dilakukan oleh orang asing itu,
masuk kegelapan hutan dengan mata khayalnya berjalan
249 terantuk akar dan semak-semak yang rapat.
Hayal dan lamunan Menak Koncar, Menak Jinggo dan
orang asing itu sepertinya terputus oleh suara ayam
jantan yang terdengar halus jauh dari dalam hutan.
Sang malam telah berada di ujung pagi, siap untuk pergi
kebelahan bumi yang lain.
Menak Koncar sempat melihat kawan orang asing itu
sudah terbangun, Menak Koncar melihat bahwa perbedaan diantara
keduanya terlihat di kelopak mata mereka, kawan orang
asing itu memang lebih sipit dengan kulit lebih putih
seperti sebuah lobak. Menak Koncar juga sempat memperhatikan keduanya
secara bergantian pergi ke pakiwan untuk bersih-bersih.
Matahari di ufuk timur pagi itu bersinar begitu cerah,
membuat wajah-wajah semua orang di rumah singgah itu
menjadi begitu ceria. Mereka tengah menikmati
pemandangan di pinggir hutan Ranu Regola bersama
semangkuk minuman hangat yang menyegarkan.
"Mari anak muda, kami berangkat lebih dulu", berkata
orang asing itu menyapa Menak Koncar sambil
melangkah mengikuti kawannya yang telah lebih dulu
berjalan ke arah dimana kuda-kuda mereka diikat di
sebuah batang pohon. Diiringi pandangan mata Menak Koncar dan keluarganya
kedua orang asing itu telah berjalan menuntun kudanya
kearah Hutan Ranu Regola yang hanya terpisah
tumbuhan semak dan perdu yang akhirnya telah
menghilang di telan kegelapan hutan Ranu Regola yang
berpagar batang kayu tua yang besar dan tinggi
menjulang ke langit. 250 Hari pagi sudah mulai menjadi terang tanah ketika Menak
Koncar dan keluarganya telah melakukan persiapan
untuk melanjutkan perjalanannya.Terlihat telah berpamit
diri kepada pemilik rumah singgah itu.
"Semoga keselamatan selalu mengiringi perjalanan
kalian", berkata orang tua pemilik rumah singgah itu
mengantar kepergian Menak Koncar dan keluarganya.
Terlihat mereka beriringan menyusuri jalan setapak
ditengah tanaman semak dan perdu yang membatasi
jarak menuju hutan Ranu Regola dibawah cahaya sinar
matahari pagi yang cerah.
Akhirnya satu persatu telah memasuki hutan Ranu
Regola menyusuri sebua jalan setapak, mungkin jejak
para pemburu yang sering keluar masuk hutan itu.
Sementara cahaya matahari seperti sebuah pedang
panjang menembus lewat celah dahan ranting dan daun
menerangi pandangan mata diantara keteduhan hutan
yang pepat itu. Bau tanah humus dan daun segar tercium
memenuhi perjalanan mereka beriring bersama angin
sejuk segar. Endang Trinil nampaknya menikmati perjalanannya,
sepanjang jalan matanya tidak jemu memandang pohonpohon besar yang telah berlumut dipenuhi tanaman
angrek berwarna warni. Jiwa wanitanya seperti ingin
meloncat memetik salah satu bunga anggrek hutan itu,
tapi keinginan itu hanya tersimpan di dalam hati
terhalang langkah kaki Menak Koncar di belakangnya
yang sepertinya terus mengikuti memotong tumitnya agar
tidak berhenti. "Lihatlah bunga itu, ada totol hitam di lidah bunganya",
berkata Endang Trinil yang tidak lagi mampu menahan
bibirnya mengagumi sebuah bunga anggrek yang tengah
251 mekar. Menak Koncar dan Menak Jinggo terpaksa harus
berhenti dan melemparkan pandangan matanya ke arah
tangan Endang Trinil yang tengah menunjuk ke sebuah
bunga anggrek yang menempel di sebuah batang pohon
besar berlumut. Putut Prastawa yang sudah jauh sekitar lima langkah dari
mereka jadi ikut berhenti, hanya ikut tersenyum melihat
laku Endang Trinil yang berhenti berjalan hanya karena
keindahan sebuah bunga anggrek.
Endang Trinil bukan gadis manja yang hanya menuruti
perasaannya, terlihat dirinya berlari kecil mengejar Putut
Prastawa diikuti di belakangnya Menak Koncar Dan
Menik Jinggo. Menak Koncar yang mengetahui keinginan hati
saudaranya itu segera memetik beberapa tangkai bunga
anggrek sambil berjalan. "Terima kasih", berkata Endang Trinil sambil menerima
empat buah tangkai bunga anggrek pemberian Menak
Koncar. "oOo" Bagian 3 "Aku takut di kehidupan lain kamu akan menjadi sebuah
semut hutan, hanya karena kesemsem untuk memiliki
bunga itu", berkata Menak Koncar di belakang Endang
Trinil. "Asal kamu tidak jadi burung kutilang saja, aku aman jadi
semut hutan yang hidup sepanjang hari menikmati
keindahan bunga ini", berkata Endang Trinil menyambut
252 canda Menak Koncar. "Sebagai burung Kutilang, aku berjanji tidak akan
memakan semut hutan", berkata Menak Koncar yang
disambut tawa tertahan dari Endang Trinil yang sempat
juga didengar oleh semuanya.
"Menak Koncar dikehidupan yang lain menjadi burung
Kutilang, sementara pamanmu akan jadi burung manyar
yang mencari sarang semut", berkata Putut Prastawa
menambah canda perjalanan mereka.
Namun canda dan langkah mereka telah berhenti ketika
mereka bersama mendengar sebuah suara yang berisik,
suara langkah kaki yang tengah menginjak semak dan
dahan kering, juga suara besi yang saling beradu.
Ki Sandikala segera memberi tanda untuk berhati-hati,
terlihat mereka berjalan perlahan mendekati arah suara
berisik itu. Maka semakin dekat dengan sumber suara
semakin terdengar jelas apa yang sebenarnya telah
terjadi, telah terdengar bukan hanya suara langkah kaki


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menginjak kayu dan batang semak perdu,
terdengar juga suara orang memaki dan membentak
keras dengan bahasa paling kotor dan sangat kasar
sekali. Langkah Ki Sandikala dan rombongannya terhenti ketika
melihat langsung apa yang telah terjadi. Mata mereka
memandang sebuah pertempuran yang sangat seru
antara dua orang yang terlihat telah saling beradu
punggung bertahan menerima serangan sekitar dua
puluh orang bersenjata golok panjang sambil membentak
kasar. Akhirnya Ki Sandikala dan rombongannya telah
mengenali siapa gerangan dua orang yang tengah
beradu punggung itu, terlihat ditangan mereka dua buah
253 pedang perak yang sangat begitu indah berkilat
menahan setiap tebasan golok yang datang silih
berganti. Ternyata kedua orang itu adalah dua orang asing yang
semalam di rumah singgah.
"Manusia lobak, serahkan dua pedang kalian", berkata
salah seorang pengeroyoknya.
"Pedang ini adalah nyawa kami", berkata seorang yang
bercambang bermata lebar, salah seorang dari orang
asing itu sambil menangkis sebuah golok panjang
dihadapannya. Trang ..!! "Ternyata kalian memilih mampus", berkata salah
seorang pengeroyoknya sambil mengarahkan goloknya
menebas kearah batang lehernya.
Trang"!! Terdengar suara golok yang beradu dengan salah
seorang dari kedua orang asing itu, berasal dari orang
asing yang bermata sipit yang langsung meluncurkan
pedangnya begitu cepat tertuju kearah tangan pemilik
golok panjang itu. Bukan main kagetnya orang yang baru saja beradu
senjata itu, dirinya tidak sempat lagi menarik tangannya.
Achhh"!!!, terdengar jeritan dari mulut orang itu ketika
pedang itu menggores jemari yang menggenggam golok
itu. Untung dirinya masih sadar untuk segera melompat
surut diganti oleh kawannya yang menyerang lebih
ganas lagi karena telah melihat salah seorang kawannya
terluka. Sebagai seorang yang ahli, Ki Sandikala dapat mengukur
254 hasil akhir dari pertempuran itu. Ki Sandikala dapat
menilai bahwa suatu waktu dua orang asing itu pasti
akan kewalahan menerima serangan dan keroyokan
begitu banyak orang. Dua orang asing itu akan
kehabisan tenaganya, karena hanya dalam keadaan
terus bertahan. Menak Koncar, Menak Jinggo dan Putut Prastawa terlihat
menunggu keputusan dari Ki Sandikala. Mereka
sebagaimana Ki Sandikala sangat mengkhawatirkan
keadaan dua orang asing itu.
"Ayah, mereka pasti para gerombolan penyamun hutan
ini", berkata Menak Koncar seperti tidak sabaran untuk
segera melompat membela kedua orang asing itu.
"Mari kita bantu mereka", berkata Ki Sandikala memberi
persetujuan untuk membantu dua orang asing itu.
Terlihat Ki Sandikala tanpa senjata di tangan telah
menerjang kumpulan para pengeroyok itu. Akibatnya dua
orang sudah terlempar terkena terjangan awalnya.
Menak Koncar yang sudah tidak sabaran sudah
langsung merubuhkan seorang lawannya. Tidak
ketinggalan Putut Prastawa dan Menak Jinggo juga telah
ikut terjun ke tengah pertempuran dan sudah langsung
mengurangi jumlah para pengeroyok.
Yang tidak terduga adalah Endang Trinil, walaupun
seorang wanita, tidak mau kalah dengan yang lainnya
juga telah turun tangan. Terjangan pertamanya juga telah membuat seorang
pengeroyok terlempar terkena tendangan kaki mungilnya
yang ternyata tidak kalah kuatnya dengan tenaga laki-laki
biasa, bahkan lebih kuat lagi karena dilambari tenaga
cadangan meski tidak sepenuhnya dikerahkan. Tapi
255 sudah membuat siapapun yang terkena pukulan dan
tendangan gadis manis ini sudah langsung terjengkang
tidak mampu bangkit lagi.
Bukan main kagetnya para pengeroyok itu menghadapi
lima orang pendatang baru itu. Pertempuran pun menjadi
terpecah dan seimbang. Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama, Ki
Sandikala dan anggota keluarganya dengan cepat
melibas satu persatu pengeroyok hingga terus menyusut.
Beberapa orang pengeroyok terlihat sudah berbaring
tidak mampu lagi membantu kawannya. Ki Sandikala dan
anggota keluarganya ternyata bukan tandingan mereka.
Dua orang asing itu sudah tidak tertekan lagi, mereka
dapat melayani lawannya satu lawan satu.
Sisa tujuh orang pengeroyok memang sudah bukan
lawan yang berat lagi bagi mereka. Dan ketujuh orang
pengeroyok itu memang tahu apa yang harus mereka
lakukan, lari. Ketujuh orang pengeroyok itu sepertinya sangat
mengenal keadaan hutan itu, mereka dengan cepat telah
menghilang menyusup di tengah kerepatan hutan.
"Terima kasih telah menolong kami, entah apa jadinya
bilasaja tidak ada kalian", berkata salah seorang dari
orang asing itu yang mempunyai ciri mata agak sipit
sambil merangkapkan kedua tangannya penuh rasa
terima kasih. "Namaku Magucin, dan ini kawanku yongki. Kita pernah
bermalam di tempat yang sama", berkata seorang lain
yang memperkenalkan dirinya bernama Magucin.
"Kami dari Padepokan Lamajang, orang-orang biasa
menyebutku Ki Sandikala", berkata Ki Sandikala sambil
256 memperkenalkan anggota keluarganya satu persatu
kepada dua orang asing itu.
"Senang berkenalan dengan kalian", berkata seorang
yang bernama Yongki dengan wajah gembira dapat
berkenalan dengan lima orang penolongnya itu.
"Kalau boleh tahu hendak kemanakah tujuan kalian?",
bertanya Ki Sandikala. "Kami dari tempat yang sangat jauh, tujuan kami berdua
adalah mengunjungi Kotaraja Singasari", berkata
Magucin mewakili kawannya.
"Ternyata kita searah perjalanan", berkata Ki Sandikala.
Maka terlihat mereka perjalanan bersama. telah bersiap melanjutkan Namun sebelum berangkat mereka masih sempat
mengumpulkan beberapa orang yang masih pingsan.
"Sebentar lagi kaki-kaki kalian dapat
jagalah kawan-kawan kalian", berkata
kepada lima orang pengeroyok yang
namun tidak mampu berdiri karena tulang
remuk. segera pulih, Ki Sandikala tidak pingsan kakinya terasa Akhirnya Ki Sandikala bersama rombongannya yang
bertambah dua orang asing itu telah melanjutkan
perjalanannya. Di sepanjang perjalanan mereka menjadi semakin akrab.
Mereka menjadi semakin banyak mengenal satu dengan
yang lainnya. Hutan Ranu Regola memang sebuah hutan yang cukup
luas dan lebat, mereka belum juga dapat menembus
hutan itu setelah setengah hari perjalanan.
Tiba-tiba saja langkah kaki mereka harus berhenti
257 manakala dihadapan mereka berdiri dua orang lelaki
berwajah garang yang sepertinya dua orang kembar,
sukar sekali dibedakan diantara keduanya karena
berpakaian serupa satu warna, juga memegang senjata
yang sama sebuah kampak besar bertangkai kayu
panjang. Dibelakang mereka adalah tujuh orang yang sudah dapat
dikenali sebagai tujuh orang sisa pengeroyok.
"Siapakah diantara mereka pemimpin Padepokan Teratai
Putih", berbisik salah seorang kembar itu kepada
seorang yang berdiri terhalang dibelakang keduanya.
"Orang yang memakai daster hitam itu", berkata orang
yang ditanya itu sambil menunjuk kearah Ki Sandikala.
Ki Sandikala dan keluarganya juga dua orang asing yang
bernama Magucin dan Yongki terlihat terbelalak matanya
melihat siapa orang tua yang berdiri dibelakang dua lelaki
garang kembar itu. Bagaimana mereka tidak terpejanjat?"
Ternyata orang tua itu adalah pemilik rumah singgah
dimana kemarin malam begitu ramahnya melayani
keperluan mereka. Namun orang tua yang mereka kenal
itu sangat berbeda dengan yang mereka kenal
sebelumnya, terlihat dari wajah dan matanya yang
memancarkan raut muka yang sangat dingin menantang
dan tidak ada rasa kepedulian, begitu angkuh.
"Hari ini aku telah bermurah hati untuk tidak melumuri
kapakku ini dengan darah, silahkan kalian meningalkan
hutan ini", berkata salah seorang lelaki kembar itu. "Tapi
serahkan kepada kami keris Nagasasra", berkata kembali
lelaki itu. Bukan main kagetnya Ki Sandikala bahwa orang-orang
258 itu tahu tentang keris Nagasasra yang memang sengaja
dibawanya. Namun Ki Sandikala tidak memperlihatkan
keterkejutannya, bahkan dengan senyum ramah tanpa
rasa takut sedikitpun berdiri dihadapan dua orang
kembar itu. "Mari kita belajar berhitung, jumlah kalian hanya sepuluh
orang. Tujuh orang di belakang kalian pernah lari dari
kami", berkata Ki Sandikala dengan suara yang sangat
begitu tenangnya. Kedua orang kembar itu sempat menjadi ragu setelah
mendengar ucapan Ki Sandikala, mereka dapat
menduga bahwa ketujuh orang dihadapannya pasti
bukan orang biasa yang dapat menghalau dua puluh
orang anak buahnya. Namun keraguan kedua orang kembar itu terpecahkan
ketika dari kesuraman semak belukar keluar tiga orang
dengan langkah penuh percaya diri yang tinggi.
"jangan dikira kami anak kecil yang belum cakap
berhitung, sejak keberangkatan kalian dari Padepokan
Lamajang, kami sudah mulai berhitung", berkata salah
seorang diantara tiga orang yang baru muncul itu yang
ternyata sudah dikenal oleh Ki Sandikala yang tidak lain
adalah pamannya sendiri, Ki Narada.
Dua orang bersama Ki Narada juga sudah dapat dikenali
oleh Ki Sandikala sebagai dua orang raja penyamun
yang sering mengganggu penduduk di sekitar lereng
gunung Bromo. Dua orang itu dikenalnya bernama Ki
Regola dan adiknya Ki Pane, dua orang raja penyamun
yang sangat kejam tidak kenal rasa kasihan sedikitpun.
Ki Sandikala sendiri dalam sebuah pengembaraannya
pernah bertempur melawan gerombolan penyamun itu
dan pernah berhadapan dengan kedua penyamun itu.
259 Ternyata kali ini mereka bergabung bersama Pamannya
sendiri Ki Narada. "Dua puluh orang prajurit Kediri telah mengepung hutan
ini, jadi kamu dan rombonganmu tidak mungkin lagi
dapat keluar hidup-hidup", berkata Ki Narada dengan
suara penuh ancaman dan langsung bersuit panjang.
Ternyata suitan panjang itu sebagai tanda.
Tidak lama berselang sudah bermunculan dan balik
semak-semak dan pepohonan sekitar dua puluh orang
prajurit. "Beberapa tahun yang lalu kami berdua memang dapat
kamu kalahkan, tapi kami telah menempa diri untuk
dapat mengalahkanmu", berkata Ki Regola sambil
tertawa terkekeh-kekeh penuh rasa percaya diri yang
tinggi, merasa yakin telah melampaui ilmu Ki Sandikala
yang pernah mengalahkannya.
Terlihat Ki Sandikala melayangkan pandangan matanya
kearah keluarganya, juga kepada dua orang asing yang
telah berjalan bersamanya itu. Ki Sandikala melihat mata
dari semua rombongannya itu tidak satupun
menampakkan kegentaran sedikitpun.
"Ternyata kalian semua memang sedang menunggu
perjalanan kami, ijinkan dua orang asing ini keluar dari
kepungan kalian, karena mereka berdua tidak ada
sangkut pautnya dengan kalian", berkata Ki Sandikala
kepada Ki Narada yang dianggapnya menjadi pimpinan
gerombolan dihadapannya itu.
Namun tanpa diduga-duga, Magucin telah melangkah
berdiri di sebelah Ki Sandikala.
"Kami tidak akan pergi, kami siap bertempur sebagai
kawan", berkata Magucin kepada Ki Sandikala.
260 "Terima kasih, tapi ini adalah urusan kami", berbisik Ki
Sandikala kepada Magucin.
"Kalian telah menolong kami, maka sudah seharusnya
kami berdiri bersama kalian", berkata Magucin dengan
dada tengadah penuh keberanian.


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sikap Magucin membuat Ki Narada seperti
terbakar rasa kesabarannya.
"Habisi siapapun yang ada !!", berkata Ki Narada dengan
suara yang keras. Suara Ki Narada ternyata telah menggerakkan semua
orang pengikutnya, para penyamun dan para prajurit
Kediri yang langsung mengepung rombongan Ki
Sandikala. Serentak mereka langsung menerjang dan nampaknya
telah memilih lawannya masing-masing.
Terlihat Ki Narada sudah langsung menerjang Ki
Sandikala. Ki Regola yang awalnya akan menerjang Ki Sandikala
langsung memilih lawan tanding yang lain, Ki Regola
telah memilih Putut Prastawa yang dianggapnya sebagai
lawan yang cukup tangguh menurut pandangannya.
Ternyata penilaiannya tidak salah pilih, Putut
Prastawaapa dapat dengan tangkas melayani serangannya. "Akulah lawanmu", berkata Menak Koncar sambil
menghadang langkah kaki Ki Pane yang belum tahu
siapa yang akan dihadapinya.
Melihat ada seorang pemuda yang maju menghadangnya, terlihat Ki Pane tertawa panjang.
"Pasti kamu putra Ki Sandikala, biarlah aku akan
261 mencincang dirimu sebelum mencincang ayahmu",
berkata Ki Pane sudah langsung menebas kapak besar
senjata andalannya. "Anak muda, sayang sekali umurmu akan berakhir di
hutan ini", berkata orang tua pemilik rumah singgah
dihadapan Menak Jinggo. "Apakah Paman sudah memberikan wasiat siapa yang
akan mengurus rumah singgah itu", berkata Menak
Jinggo sambil mengeluarkan senjatanya, sebuah senjata
cakra yang merupakan senjata ciri khas dari perguruan
Teratai Putih. Dua orang lelaki kembar merasa gembira melihat
Endang Trinil belum mendapatkan lawan bertempur
meski sudah siap dengan senjata cakra ditangannya.
"Anak manis, sebaiknya kamu lepaskan senjata itu dan
kita tinggalkan tempat ini untuk bersenang-senang",
berkata salah seorang dari lelaki kembar itu.
Melihat dua lelaki kembar mendekatinya dan berkata
yang kurang sedap didengar oleh telinganya, Endang
Trinil langsung mencebirkan bibirnya.
"Siapa yang ingin bersenang-senang dengan dua orang
jelek seperti kalian", berkata Endang Trinil dengan sikap
tegak siap melayani kedua orang pengeroyoknya.
Kedua orang lelaki kembar itu tersenyum memandang
sikap Endang Trinil yang tidak merasa takut dan gentar
menghadapi mereka berdua, dua orang lelaki dengan
senjata kampak dan wajah sangat menyeramkan, meski
tidak jelek sekali seperti yang dikatakan oleh Endang
Trinil. "kami memang tidak cukup ganteng, tapi akan membuat
kamu selalu merindukan kami", berkata salah seorang
262 dari keduanya yang ternyata setelah terlihat dari dekat
dapat dibedakan diantaranya oleh Endang Trinil, salah
seorang yang agak ceriwis menggoda itu mempunyai
pertanda tahi lalat di ujung hidungnya.
"Aku memang akan selalu merindukan ujung cakra ini
mencium hidung kalian", berkata Endang Trinil yang
langsung memutar cakranya menyambar dua orang lelaki
kembar itu. Suasana di hutan itu sudah berubah menjadi sebuah adu
tanding yang riuh, dan bertambah riuhnya manakala dua
puluh orang prajurit Kediri dan tujuh orang pengikut para
penyamun itu menyerang dua orang asing yang memang
belum punya lawan tanding.
Dua orang asing itu yang kita kenal bernama Magucin
dan Yongki itu telah beradu punggung untuk dapat
bertahan dari serangan para pengeroyoknya. Kali ini
yang dihadapinya bukan saja para penyamun yang
kasar, tapi juga para prajurit Kediri yang tahu cara
berkelompok menghadapi lawan mereka. Akibatnya dua
orang asing itu harus kerja keras agar tetap bertahan.
Ki Sandikala yang sudah langsung menghadapi
pamannya sendiri dapat melihat satu persatu anggota
keluarganya menghadapi setiap lawannya. Terlihat
dirinya menarik napas panjang tidak khawatir akan
keselamatan keluarganya, terutama Endang Trinil yang
dilihatnya sangat mapan meski menghadapi dua orang
kembar sekaligus. Namun mata Ki Sandikala agak terkejut penuh
kekhawatiran manakala melihat dua orang asing yang
kewalahan menghadapi dua puluh orang prajurit dan
tujuh orang penyamun sekaligus.
Tanpa disadari dirinya telah meningkatkan tataran
263 ilmunya beberapa tingkat membuat serangannya begitu
cepat dan sangat dahsyat dirasakan oleh Ki Narada.
"Gila !!, ilmunya sudah melampaui ayahnya sendiri dua
puluh tahun yang silam", berkata Ki Narada dalam hati
sambil menghindari serangan maut yang hampir
merobek kulit perutnya. Kembali Ki Narada bersuit panjang.
Ternyata suitan itu sebuah tanda untuk memanggil
beberapa prajurit Kediri untuk membantunya. Terlihat
sepuluh orang prajurit Kediri sudah datang mendekatinya
dan langsung ikut mengeroyok Ki Sandikala.
Ki Sandikala agak bernafas lega melihat dua orang asing
sahabatnya itu berkurang jumlah pengeroyoknya karena
berpindah mengeroyok dirinya sendiri bersama Ki
Narada. "jangan hanya sepuluh orang, lebih banyak lagi datang
semakin meriah", berkata Ki Sandikala sambil tersenyum
mengelak serangan para prajurit.
Pakk !!! Bukkkk !!! Ternyata ucapan Ki Sandikala bukan sebuah olok-olok
semata, entah dengan kecepatan yang tak terlihat
tangan dan kakinya telah berhasil merobohkan dua
orang prajurit yang lengah.
Bukan main gusarnya perasaan Ki Narada melihat Ki
Sandikala tidak surut kemampuannya bahkan semakin
lebih tanggas lagi melesat kesana kemari seperti seekor
manyar laut menyambar ikan. Kepungan para prajurit
juga serangannya seperti menghalau daun kering yang
beterbangan, tidak menyulitkan dirinya sedikitpun.
264 Bahkan Ki Sandikala masih menyempatkan dirinya untuk
sekilas mengamati Endang Trinil yang tengah
menghadapi dua orang lawan kembarnya.
Terlihat Ki Sandikala tersenyum sendiri melihat
bagaimana Endang Trinil telah menyibukkan dua orang
lawannya dengan putaran cakra ditangannya yang
datang tanpa terduga mengejar tubuh para pengeroyoknya yang dapat dikatakan punya kemampuan
olah kanuragan yang cukup tinggi, tapi ternyata tidak
mudah menghadapi seorang Endang Trinil, seorang
gadis manis yang sehari-harinya sangat begitu manja,
tapi bila sudah memainkan cakra ditangannya akan
mengubah dirinya seperti macan betina yang tidak
sembarangan orang dapat menghadapinya. Dan kedua
lelaki kembar itu telah menjadi hewan buruan yang
menunggu saat kelengahannya.
Ki Sandikala juga sempat melihat bagaimana Putut
Prastawa dapat menandingi Ki Regola, seorang dari
salah satu Raja penyamun yang dulu pernah
dikalahkannya. Ki Sandikala melihat peningkatan ilmu
dari Ki Regola dibandingkan beberapa tahun yang lewat,
namun Putut Prastawa dapat melayaninya dengan baik,
bahkan Ki Sandikala dapat mengukur bahwa Ki Regola
masih dibawah tataran ilmu dari Putut Prastawa terutama
dalam hal kecepatannya bergerak. Ki Sandikala juga
melihat bahwa Putut Prastawa belum mengerahkan
kemampuan ilmu yang sebenarnya, melepas tenaga
cadangan yang dapat membekukan darah lawannya,
sebuah ilmu andalan dari perguruan Teratai Putih.
Kembali Ki Narada menjadi gusar ketika seorang prajurit
Kediri terlempar terkena angin pukulan cakra Ki
Sandikala. Meski cakra itu masih jauh sekitar lima jari
tangan dari prajurit itu, namun hawa pukulannya begitu
265 kuat menyayat perut prajurit itu seperti pedang tajam
yang tipis menyayat kulit dan daging.
Terlihat beberapa orang prajurit Kediri mundur hanya
karena melihat langsung kawannya terlempar mundur
memegangi perutnya yang berdarah, yang mereka tahu
senjata cakra Ki Sandikala masih jauh dari tubuhnya.
Ternyata Ki Sandikala sengaja memperlihatkan sebagian
kemampuannya agar lawannya menjadi jerih.
"Jangan mundur, serang bersama !!", berkata Ki Narada
kepada prajurit Kediri sambil menerjang dengan cakra di
tangan kearah Ki Sandikala.
Trang !!! Dua buah cakra beradu diudara.
Ki Sandikala telah membenturkan cakra di tangan Ki
Narada. Terlihat Ki Narada membelalakkan matanya, tenaga
benturan Ki Sandikala ternyata telah menggetarkan
telapak tangannya yang terasa menjadi seperti perih dan
panas, bila saja tidak digenggamnya dengan erat-erat
pegangan cakra itu akan terlepas.
"gila !!", berkata Ki Narada
tangannya yang perih dan panas.
sambil memandang Perasaan Ki Narada semakin gusar, diam-diam merasa
menyesal memilih lawan Ki Sandikala.
"Apakah pertempuran ini masih dilanjutkan?", bertanya Ki
Sandikala kepada Ki Narada sambil tersenyum melihat
semua prajurit yang menyerangnya semua seperti
merasa jerih. "Kenapa kalian semua berhenti?", berkata Ki Narada
kepada para prajurit Kediri yang masih terdiam tidak tahu
266 apa yang seharusnya dilakukan, didalam hati mereka
memang sudah tertanam rasa gentar melihat ketanguhan
Ki Sandikala yang begitu kokoh seperti sebuah gunung
batu yang kuat dan keras tidak mungkin dapat
dirobohkan oleh apapun. "Orang itu bukan hantu, daging dan kulitnya sama seperti
kita", berkata kembali Ki Narada kepada prajurit Kediri
yang semakin bingung karena keberaniannya sudah
mulai surut, bahkan sudah menjadi ciut.
"Jangan dipaksakan bila mereka sudah tidak ada
keinginan bertempur, mari kita bertempur berdua tanpa
bantuan mereka", berkata Ki Sandikala kepada Ki
Narada dengan senyum. Ucapan Ki Sandikala memang telah berhasil membakar
kemarahan Ki Narada, ditambah lagi rasa malunya
dihadapan para prajurit Kediri yang terlanjur
menganggapnya sebagai orang yang mumpuni, maka
dengan perasaan yang dipaksakan berusaha menghentakkan rasa jerihnya, rasa keraguannya sendiri.
Ki Narada sudah dapat memaksakan keraguannya,
terpacu rasa malu yang sangat dihadapan para prajurit
Kediri. Tapi langkah kaki Ki Narada seperti terhambat manakala
di dekatnya berdiri seorang tua renta yang meletakkan
sebuah kampak besar di pundaknya. Bentuk kampak itu
sendiri tidak umum, lebih besar dibandingkan sebuah
kampak umumnya, dan sangat terbanting berada di atas
pundak orang tua renta yang kurus kecil itu.
"Carilah lawan lain, biarlah orang ini menjadi kawanku
bermain", berkata orang tua renta itu sambil tertawa
terkekeh-kekeh keluar dari mulutnya yang sudah tidak
bergigi. 267 Ki Narada seperti mendapat angin, merasa diri dan
mukanya dapat diselamatkan. Tanpa menunggu
kesempatan lain sudah segera melompat berpindah
tempat menuju kearah dua orang asing diikuti para
prajurit Kediri yang memang sudah tidak ada keberanian
sedikitpun menghadapi Ki Sandikala.
Ki Sandikala memperhatikan orang tua renta
dihadapannya itu, sekilas dilihatnya seleret cahaya
merah menyala yang tersorot dari kedua mata orang tua
renta itu. Ki Sandikala dapat menangkap dari sorot mata


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sebagai pertanda bahwa orang tua renta
dihadapannya telah mempunyai tenaga cadangan yang
kuat yang telah diendapkan dengan cara berlatih
meminum darah bayi segar, sebagaimana orang dari
golongan ilmu hitam memupuk kekuatan dirinya.
"Manusia keji", berkata Ki Sandikala dalam hati menatap
orang tua dihadapannya penuh rasa kebencian, didalam
pikirannya terbayang sudah puluhan bayi tak berdosa
menjadi korban kebiadaban nafsu iblis memupuk
kekuatan tenaga sakti dengan cara yang menjijikkan.
"Selamat datang Guru, cincang orang itu yang telah
menghina perguruan kita. Dialah orang yang bernama
Nambi", berkata Ki Pane yang merasa gembira melihat
gurunya telah datang. "Jadi, kamu orang yang telah mengalahkan kedua
muridku?", berkata orang tua renta yang dipanggil guru
oleh Ki Pane yang masih bertempur melawan Menak
Koncar. Ki Sandikala tidak langsung menjawab. Pikirannya
bercabang antara kekhawatiran melihat Ki Narada dan
para prajurit Kediri yang tengah melangkah bergabung
mengeroyok dua orang asing sahabatnya itu, sementara
268 dirinya harus berhati-hati menghadapi seorang dari
golongan hitam yang nampaknya bukan orang
sembarangan. Terlihat Ki Sandikala menggenggam senjata cakranya
lebih kuat lagi, sepertinya takut senjatanya itu terlepas.
Namun sebagai seorang yang selalu berlindung dibawah
kekuasan Yang Maha Melindungi dirinya telah
memasrahkan segenap jiwa dan raganya, memusatkan
segala kemampuan dan kekuatannya bersandar kepada
Yang Maha memiliki kekuatan itu sendiri.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku he ?", bertanya
orang tua dengan suara yang membentak.
"Bukankah muridmu sudah memberitahukan siapa
namaku?", berbalik bertanya Ki Sandikala kepada orang
tua itu dengan penuh senyum, Ki Sandikala memang
telah mengendapkan kegentaran hatinya. Dirinya telah
berada diatas segala ketenangan hati dan penuh
percaya diri yang tinggi.
"Wajahmu memperlihatkan rasa kemampuan yang
tinggi", berkata orang tua renta itu sambil menurunkan
kampak besar dari pundaknya.
Ki Sandikala melihat kapak besar itu seperti sebuah kayu
ringan ditangan orang tua itu. Tangan kecil yang keriput
itu tidak seperti terbebani benda yang sangat berat. Ki
Sandikala dapat menangkap pertanda bahwa orang tua
dihadapannya itu punya tenaga raksasa, tenaga yang
sangat kuat. "Hayo mulailah menyerang", berkata orang tua itu.
"Umurku lebih muda, merasa malu memulai serangan",
berkata Ki Sandikala masih denga senyum terbuka.
"Baiklah bila kamu ingin aku yang akan memulai",
269 berkata orang tua guru dua orang raja penyamun itu
yang langsung memutar kampak besar ditangannya
begitu cepatnya seperti sebuah baling-baling yang
ringan. "Begitu kuatnya tenaga orang itu", berkata Ki Sandikala
dalam hati melihat kampak di tangan orang tua renta itu
berputar begitu cepat seperti sebuah baling-baling.
Perlahan orang tua itu melangkahkan kakinya mendekati
Ki Sandikala. Ki Sandikala merasakan sebuah angin panas menyusup
keluar dari putaran kampak orang tua itu.
Maka dengan sigap Ki Sandikala telah menghentakkan
segenap kemampuan dan kekuatannya, sebuah hawa
dingin yang kuat telah menyelimuti segenap tubuhnya
meredam hawa panas yang memancar keluar dari angin
putaran kampak orang tua itu.
Baling-baling putaran kampak itu sudah semakin
mendekati diri Ki Sandikala, maka tidak ada jalan lain
bagi Ki Sandikala selain melenting kesisi lain sambil
menyerang orang tua itu dengan sabetan senjata
cakranya tertuju ke arah sisi pinggang orang tua itu yang
terlihat terbuka. Trang..!!! Ternyata orang tua itu telah mengarahkan kampaknya
menangkis cakra Ki Sandikala.
Dan benturan itu memang sangat luar biasa, keduanya
langsung terpental beberapa langkah.
Ki Sandikala merasakan getaran pada tangannya
sebagai tanda orang tua itu mempunyai tenaga sakti
yang sangat tinggi. 270 "Pantas kedua muridku dapat kamu kalahkan", berkata
orang tua itu yang juga merasakan getaran pada
tangannya ketika senjata mereka saling beradu.
Di akhir kata-katanya orang tua itu sudah langsung
melompat namun tidak memutar kampaknya, kali ini
menyabet dengan setengah lingkaran kearah leher Ki
Sandikala. Ki Sandikala merasakan angin sambaran yang sangat
panas menyusup bersama desing kampak besar yang
diayunkan oleh orang tua itu. Maka tidak ada jalan lain
bagi Ki Sandikala selain mengelak dan langsung berbalik
menyerang. Demikianlah pertempuran diantara mereka berdua
semakin lama menjadi semakin seru dan cepat. Hawa
panas dan hawa dingin yang keluar melambari tubuh
mereka masing-masing sepertinya saling menindih.
Ketika berhadapan dengan Ki Narada dan para prajurit
Kediri, Ki Sandikala masih sempat mengamati jalannya
pertempuran orang-orangnya satu persatu. Namun
menghadapi orang tua itu membuat Ki Sandikala harus
benar-benar mencurahkan segenap perhatiannya, sedikit
lengah saja akan berdampak penyesalan seumur hidup,
bahkan nyawa bisa melayang.
Orang tua itu memang seperti seorang yang benar-benar
sangat berbahaya, kampak besar ditangannya seperti
kepanjangan anggota tubuhnya dapat meluncur begitu
saja mencari celah-celah terbuka yang sangat
berbahaya. Bukan hanya itu, orang tua itu juga benarbenar cerdik menyerang dengan berbagai tipuan yang
sangat menjerumuskan. Itulah sebabnya, Ki Sandikala tidak dapat lagi mengamati
apa yang terjadi pada keadaan dua orang asing yang
271 telah dikeroyok oleh prajurit Kediri dan para pengikut dua
raja penyamun itu yang ditambah lagi Ki Narada.
Untunglah Putut Prastawa dapat cepat membaca
suasana dan tahu apa yang harus dilakukannya, terlihat
dirinya telah melenting jauh mendekati dua orang asing.
"Kita bertahan beradu punggung bertiga", berkata Putut
Prastawa. Kedua orang asing itu tanggap apa yang dikatakan Putut
Prastawa, mereka pun telah menjadi satu kesatuan yang
utuh dan langsung dapat menyesuaikan dirinya masingmasing.
Melihat dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Putut
Prastawa, Ki Regola langsung mengejar bergabung
bersama para pengeroyok mengepung tiga orang yang
saling melindungi diri dan berusaha bertahan.
Tetapi, Ki Narada bukan orang yang bodoh, tahu cara
menembus dan merusak pertahanan mereka.
Ternyata Ki Narada sudah dapat menilai siapa diantara
mereka yang paling lemah, Ki Narada melihat Magucin
adalah orang yang paling lemah. Maka Ki Narada telah
memerintahkan lima orang prajurit Kediri membantunya
menyerang Magucin. Langkah dan tindakan Ki Narada ini ternyata memang
langsung membuahkan hasil, pertahanan mereka seperti
tertembus dan menjadi sangat kacau. Disisi lain Ki
Regola telah mengunci Putut Prastawa dengan serangan
yang gencar. "Bergerak!!", berteriak Putut Prastawa.
Yongki dan Magucin sepertinya langsung dapat
menangkap makna perkataan Putut Prastawa. Mereka
langsung bergerak berputar memecahkan serangan dan
272 berganti-ganti lawan. Demikianlah mereka terus bergerak berputar bukan
hanya sekedar bertahan bahkan kadang senjata mereka
berhasil melukai beberapa prajurit dan para pengikut dua
raja penyamun itu. Namun cara mereka ternyata mempunyai sedikit
kelemahan, tenaga mereka menjadi cepat terkuras. Itulah
yang dipikirkan oleh Ki Narada yang sangat cerdik dan
licik itu. Ki Narada, Ki Regola bersama semua pengikut dan para
prajurit Kediri terus menekan Putut Prastawa dan dua
orang asing itu. Sementara itu disisi lain, Endang Trinil, Menak Koncar
dan Menak Jinggo tidak sempat melihat keadaan Putut
Prastawa dan dua orang asing yang tengah bekerja
keras untuk tetap bertahan menghadapi para
pengeroyoknya. Endang Trinil, Menak Koncar dan Menak Jinggo memang
harus bekerja keras menghadapi lawan-lawan mereka
yang nampaknya punya pengalaman lebih dari mereka
bertiga. Tapi berkat ketekunan dan tempaan selama di
padepokan yang sangat keras telah mengantar mereka
sebagai orang-orang muda yang telah utuh mewarisi ilmu
perguruan mereka. Pertempuran di hutan Ranu Regola
itu telah membuat mereka menjadi semakin matang,
dapat menyesuaikan diri melihat langsung gerak lawan
yang sangat berbeda. Semakin lama mereka dapat
mengenali unsur gerakan lawan, diam-diam dengan
kecerdasan dan olah pikir yang jernih tengah mencoba
sebuah cara mengalahkan lawan mereka.
"Ulet sekali anak muda ini", berkata Ki Pane dalam hati
sangat penasaran setelah sekian ratus jurus tidak juga
273 dapat melumpuhkan Menak Koncar yang masih dapat
dikatakan sangat belia itu.
"Anak muda ini sangat cerdas", berkata orang tua pemilik
singgah dalam hati yang merasa penasaran telah banyak
membuat tipu daya dalam serangannya namun Menak
Jinggo tidak mudah dikelabui bahkan telah menyibukkan
dirinya dengan serangan-serangan yang sangat
berbahaya. Diantara Menak Koncar dan Menak Jinggo, hanya
Endang Trinil yang sangat tertekan. Serangan dua orang
lelaki kembar itu memang tidak begitu menyulitkannya,
tapi olok-olok kedua orang lelaki kembar itulah yang
membuat telinganya menjadi panas. Kadang dari mulut
kedua orang lelaki kembar itu keluar kata-kata kotor dan
nyeleneh yang berakibat Endang Trinil tidak lagi dapat
mengendalikan dirinya. Syukurlah bahwa sebuah
kejadian yang nyaris mengancam nyawanya telah
menyadarkan dirinya untuk berhati-hati dan tidak terbawa
hanyut amarah yang membuat dirinya kehilangan
pengendalian. Semua yang tengah bertempur di hutan itu pasti telah
mendengar dentuman pohon tumbang, tidak hanya
sekali. Suara itu berasal dari benturan senjata Ki
Sandikala dan orang tua guru dari dua Raja penyamun
itu yang meleset keluar dari sasarannya. Kedua raksasa
kanuragan itu memang telah bertempur dengan
dahsyatnya dan telah mencari jarak yang terpisah dari
yang lainnya. Batang semak perdu disekeliling mereka
sudah menjadi rata hangus terbakar. Daun-daun pohon
kayu disikitar mereka juga langsung layu terkena angin
hawa panas dan dingin silih berganti. Suasana disikitar
mereka sudah menjadi tanah lapang yang rata terbakar
hangus dan kering. 274 Ki Sandikala memang harus menekan segala
kekhawatirannya atas apapun yang dialami oleh
keluarganya, juga dua orang asing yang sudah menjadi
sahabatnya itu. Ki Sandikala harus mencurahkan
segenap pikirannya menghadapi orang tua yang
memang berilmu sangat tinggi itu. Dan Ki Sandikala
memang tidak boleh punya dua pikiran yang bercabang.
Namun perasaan dan pikiran Ki Sandikala sekali ini
memang harus bercabang manakala sayup-sayup
didengarnya suara seruling yang begitu bening
menyusup kedalam gendang telinganya. Sebagai
seorang yang sudah punya banyak pengalaman hidup,
dirinya dapat mengukur dan menduga bahwa peniup
seruling itu pasti adalah seorang sakti. Karena suara
seruling itu sendiri sepertinya sengaja dilepaskan dan
terdengar menghentakkan dada.
"Siapakah gerangan peniup seruling itu", apakah dari
golongan para penyamun?", bertanya-tanya Ki Sandikala
dalam hati penuh kekhawatiran, bukan mengkhawatirkan
keselamatannya, tapi keselamatan semua orang yang
ikut bersamanya. Hanya berpikir sedikit tentang suara seruling telah
membawa Ki Sandikala pada kelengahan dirinya, nyaris
sebuah angin panas yang tajam hampir saja menebas
batang lehernya. Untung Ki Sandikala dapat bergerak
cepat merendahkan badannya dan langsung balas
menyerang agar tidak menjadi bulan-bulanan serangan
orang tua berilmu tinggi itu.
Kembali terdengar suara seruling yang semakin jelas
terdengar. Tetapi Ki Sandikala tidak mengulangi kesalahannya,
pikirannya tidak terpecahkan lagi oleh suara seruling itu.
275 Namun suara seruling itu sudah menjadi begitu dekat.


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Sandikala tidak habis berpikir, ketika suara seruling itu
sudah benar-benar sangat dekat, tidak menduga sedikit
pun melihat orang tua guru dua raja penyamun itu seperti
seorang yang melihat hantu di siang bolong.
Dan tiba-tiba saja orang tua itu telah melompat menjauh
begitu cepatnya langsung menghilang di keremangan
semak dan pohon kayu hutan yang lebat.
Putut Prastawa, Menak Koncar, Menak Jinggo dan
Endang Trinil juga mendapatkan keterkejutan sebagaimana Ki Sandikala. Sebab tanpa ucapan apapun
lawan mereka para penyamun itu telah pergi menghilang
menyusup di kegelapan hutan Ranu Regola.
Saat itu lawan mereka yang tertinggal hanya Ki Narada
dan para prajurit Kediri. Melihat sekutunya telah pergi, Ki
Narada dapat menghitung kekuatannya meski lebih
banyak dalam hal jumlah namun tidak akan mampu
menghadapi Ki Sandikala dan keluarganya.
"Biarkan mereka pergi", berkata Ki Sandikala kepada
Menak Koncar dan Menak Jinggo yang tengah mencoba
mengejar para prajurit Kediri bersama Ki Narada pergi
berlalu. Agak kecewa juga Menak Koncar dan Menak Jinggo
dengan perintah ayahnya itu, jiwa muda mereka
nampaknya masih belum dapat diredam dan sangat
menggebu-gebu. Tapi suara ayah mereka Ki Sandikala
yang sangat mereka hormati seperti air dingin yang
menyiram api jiwa muda mereka.
Sementara itu suara seruling sudah menjadi jelas
terdengar. Bukan main kagetnya semua yang hadir di dalam hutan
276 itu tidak sama sekali menyangka sama sekali ketika
melihat siapa yang keluar dari kerimbunan semak-semak
sambil meniup sebuah seruling dari bambu.
Siapakah gerangan peniup seruling yang membuat
keheranan semua orang di dalam hutan itu "
Ternyata yang keluar dari kerimbunan semak belukar itu
sambil masih meniup seruling adalah seorang anak lelaki
yang masih berusia sekitar enam tahun.
Tapi Ki Sandikala yang mempunyai ketajaman
pendengaran dapat membedakan suara seruling yang
dimainkan oleh anak kecil itu sangat berbeda dengan
suara yang pertama kali didengarnya.
Terlihat anak itu telah menurunkan seruling dari bibirnya
sambil memandang penuh senyum kepada semua orang
yang tengah menatapnya. "Suara serulingmu begitu merdu, bolehkah mbakyumu ini
mengenal namamu?", berkata Endang Trinil sebagai
seorang wanita satu-satunya merasa tersentuh melihat
seorang anak lelaki kecil muncul ditengah hutan sendiri
dengan paras yang begitu rupawan tidak merasa takut
dikelilingi orang-orang yang belum dikenalnya.
Namun belum sempat anak kecil itu menjawab
pertanyaan Endang Trinil, dari semak belukar tempat
dimana anak kecil itu keluar terlihat seorang lelaki yang
cukup gagah dengan bentuk wajah sangat mirip sekali
dengan anak lelaki itu, terutama senyumnya.
Lelaki yang baru keluar dari semak belukar itu memang
sedang berjalan mendekati mereka dengan sambil
tersenyum. Air muka lelaki itu begitu segar dan terlihat
sangat bersahabat, siapapun yang memandangnya akan
langsung menyukainya. 277 "Bukan maksudku bersembunyi, tapi para penyamun itu
telah berjanji kepadaku akan menggorok sendiri lehernya
dengan kampaknya sendiri bilamana bertemu denganku",
berkata lelaki itu sambil masih tersenyum.
"Aku jadi mengerti mengapa para penyamun itu langsung
berlari menghilang ketika mendengar suara seruling
tuan", berkata Ki Sandikala sambil merengkapkan kedua
tangannya diikuti oleh semua orang yang ada di hutan
Ranu Regola. "Suara seruling tuan telah menolong kami,
apakah kami boleh mengenal nama tuan?", berkata
kembali Ki Sandikala kepada lelaki itu yang sudah
memastikan bahwa orang dihadapannya pasti bukan
orang sembarangan karena telah membuat para
penyamun seperti melihat hantu, begitu takutnya.
"Namaku Mahesa Murti, dan ini putraku Mahesa Darma",
berkata lelaki itu diringi senyum begitu menyejukkan.
"Sebuah kebanggaan dapat berkenalan dengan seorang
guru ketua dari Padepokan Bajra Seta", berkata Ki
Sandikala. "Padepokanku di sebuah tempat terpencil dan bukan
sebuah Padepokan yang besar, bagaimana tuan dapat
langsung tahu bila aku berasal dari Padepokan Bajra
Seta?", bertanya Mahesa Murti merasa heran kepada Ki
Sandikala yang langsung dapat mengenal jati dirinya.
"Dua orang sahabatku adalah cantrik dari Padepokan
Bajra Seta sering bercerita punya seorang guru yang
begitu sangat dicintai dan dikagumi", berkata Ki
Sandikala kepada Mahesa Murti tersenyum dan dapat
membaca pikiran Mahesa Murti yang merasa heran
dirinya dapat langsung menebak jati dirinya.
"Kalau boleh tahu siapakah dua orang sahabatmu itu?"
bertanya Mahesa Murti merasa penasaran.
278 "Mahesa Amping dan Raden Wijaya adalah dua orang
sahabatku itu", berkata Ki Sandikala penuh senyum.
Terlihat Mahesa Murti menarik nafas panjang seperti
tengah terenyuh mendengar dua orang cantrik
kebanggaannya itu yang sudah begitu lama tidak
berjumpa, banyak kabar angin tentang keberadaan
mereka berdua saat itu. Namun ketika Ki Sandikala
menyebut nama Mahesa Amping dan Raden Wijaya
sebagai sahabatnya, Mahesa Murti begitu gembira akan
mendapat cerita yang bukan kabar angin lagi tentang
kedua cantrik kesayangannya itu.
Kembali Ki Sandikala dapat membaca pikiran dan
perasaan Mahesa Murti. "Mari kita berbincang-bincang diatas rumput kering itu",
berkata Ki Sandikala sambil menunjuk sebuah tempat
yang memang sangat menyenangkan, cukup untuk
mereka bersama meriung dan tentunya dapat lebih saling
mengenal. Sebelum memulai pembicaraannya, Ki Sandikala
memperkenalkan dirinya, memperkenalkan anggota
keluarganya satu persatu, juga Magucin dan Yongki
sebagai kawan seperjalanannya itu.
Ki Sandikala adalah seorang yang sangat pandai
mengerti keinginan dan pikiran seseorang meski baru
saja dikenalnya. Dan pembawaannya dapat membuat
siapapun yang baru mengenalnya akan menjadi sangat
cepat akrab. Sementara itu Mahesa Murti juga punya
pembawaan yang hampir sama. Maka tidak terasa
Mahesa Murti merasa sudah mengenal Ki Sandikala
begitu lama, padahal mereka baru hari itu saling
mengenal. Akhirnya Ki Sandikala bercerita tentang awal 279 perjumpaannya dengan Mahesa Amping.
"Anak muda itu punya ilmu yang sangat luar biasa, jujur
bahwa aku bukan tandingannya", berkata Ki Sandikala
bercerita tentang awal pertemuannya dengan Mahesa
Amping. "Namun jiwa anak muda itu punya rasa kasih
seluas samudra, itulah sebabnya aku yang tua ini dapat
dikatakan banyak belajar darinya", berkata kembali Ki
Sandikala. Ki Sandikala banyak bercerita tentang petualangannya
bersama Mahesa Amping antara lain berada langsung
disaat-saat suasana berkabung hancurnya Kotaraja
Singasari yang hangus terbakar.
"Kejayaan Singasari sudah berakhir", berkata Mahesa
Murti sambil menarik nafas panjang.
"Saat ini kami telah berjanji untuk berada di belakang
Raden Wijaya berjuang merebut kembali tahta Singasari
yang hilang", berkata Ki Sandikala bercerita tentang
beberapa persiapan perjuangan mereka saat itu di Tanah
Ujung Galuh. "Terima kasih telah bercerita banyak tentang keadaan
dua orang cantrikku, tapi nampaknya ada yang
terlupakan, yang kutahu mereka selalu bertiga", berkata
Mahesa Murti sambil menduga-duga mengapa Ki
Sandikala tidak menyinggung seorang lagi dari mereka.
"Haduh, pasti yang tuan maksudkan itu Ranggalawe ?",
berkata Ki Sandikala sambil menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. "Apakah dirinya saat ini ada di Tanah Ujung Galuh ?",
bertanya Mahesa Murti dengan wajah gembira bahwa Ki
Sandikala nampaknya juga mengenal Ranggalawe.
"Benar, saat ini Ranggalawe juga berada di Tanah Ujung
280 Galuh", berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Murti yang
terlihat menarik nafas lega bahwa Ranggalawe juga
berada di Tanah Ujung Galuh.
"Jadi saat ini kalian dalam perjalanan menuju Tanah
Ujung Galuh, titip salamku kepada mereka bertiga dan
katakan kepada mereka bahwa dalam waktu dekat aku
akan berkunjung ke Tanah Ujung Galuh", berkata
Mahesa Murti sambil matanya melihat cakrawala diatas
hutan Ranu Regola dimana matahari telah mulai
bergesar turun. "Pasti akan kusampaikan salam tuan, mereka pasti
senang bahwa tuan akan datang menemui mereka",
berkata Ki Sandikala. "Bilasaja tidak bersama putraku ini, pasti akan senang
bersama kalian berjalan menuju Tanah Ujung Galuh",
berkata Mahesa Murti sambil berdiri. "Terima kasih telah
bercerita tentang tiga orang cantrikku itu", berkata
kembali Mahesa Murti nampaknya akan siap-siap
melanjutkan perjalanannya.
Ki Sandikala menatap Mahesa Darma yang masih
memegang seruling bambunya, "Pasti kelak akan
menjadi seorang yang tangguh sebagaimana Mahesa
Amping", berkata Ki Sandikala dalam hati
Tanah di hutan Ranu Regola memang masih terang
namun sudah semakin teduh karena sinar matahari telah
bergeser turun. Terlihat Mahesa Murti dan putranya Mahesa Darma telah
berjalan diiringi tatapan mata Ki Sandikala dan
rombongannya. "Seorang manusia yang sederhana, tidak ada yang
menyangka begitu tinggi ilmu yang dimiliki, yang kutahu
281 muridnya Mahesa Amping sudah begitu luar biasa",
berkata Ki Sandikala seperti kepada dirinya sendiri,
namun suaranya jelas didengar oleh semua keluarganya,
juga Magucin dan Yongki. Keduanya akhirnya menghilang ditelan kerimbunan
hutan Ranu Regola yang memang sangat pepat.
"Kudengar tadi tuan menyebut seorang yang bernama
Raden Wijaya, sebanarnya kedatangan kami ke Kotaraja
Singasari adalah untuk menemuinya", berkata Yongki
kepada Ki Sandikala. "Darimana kalian mengenal nama Raden Wijaya ?",
bertanya Ki Sandikala. "Kami punya seorang saudara seperguruan yang pernah
datang ke Kotaraja Singasari, dialah yang meminta kami
datang menemui Raden Wijaya sebelum membuat
tindakan apapun atas diri Raja Kertanegara", berkata
Yongki kepada Ki Sandikala.
"Apa yang akan kalian perbuat atas diri Raja Kertanegara
?", bertanya Ki Sandikala.
"Kaisar kami yang dipertuan Agung Maharaja Kubilai
Khan telah menjatuhkan titahnya untuk menghukum Raja
Kertanegara atas penghinaan seorang utusannya,
saudara seperguruan kami itulah utusan yang dicederai
telinganya", berkata Yongki memberikan penjelasannya
kepada Ki Sandikala. "kalian datang berdua ke Kotaraja untuk menghukum
Raja Kertanegara ?", bertanya kembali Ki Sandikala.
"kami tidak datang berdua, tapi kami datang bersama
sepuluh ribu laskas prajurit besar", berkata Yongki.
Bukan main terperanjatnya Ki Sandikala juga semua
anggota keluarganya ketika mendengar perkataan
282 Yongki tentang laskar besarnya itu.
"Baginda Raja Kertanegara telah tiada bersama
runtuhnya kerajaan Singasari. Dan orang yang kalian
akan temui saat ini sudah tidak lagi berada di Kotaraja
Singasari", berkata Ki Sandikala.
"Aku mendengar bahwa Raden Wijaya adalah sahabat
tuan, bawalah kami dimanapun adanya", berkata Yongki
sepertinya penuh harap kepada Ki Sandikala.
Ki Sandikala pernah mendengar cerita tentang utusan
Kaisar Kubilai Khan dari Raden Wijaya. Termasuk
peristiwa cidera daun telinga utusan Kaisar itu dimana
dalang semua itu berasal dari tangan-tangan orang yang
kini memegang kekuasaan, Raja Jayakatwang. "Gusti
Yang Maha Agung telah membawa laskarnya sendiri
kepada raden Wijaya", berkata dalam hati Ki Sandikala
sambil memuji kebesaran Gusti yang Maha Agung yang


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai cara dan garis sendiri dan tidak terduga
datangnya, diluar rencana manusia.
"Sepertinya kita telah ditakdirkan sebagai teman
seperjalanan", berkata Ki Sandikala sambil menganggukkan kepalanya sebagai tanda kesediaannya
membawa mereka berdua kepada Raden Wijaya.
Jilid 4 Bagian 1 MATAHARI sudah semakin bergeser turun di kaki
cakrawala langit ketika rombongan Ki Sandikala terlihat
telah keluar dari Hutan Ranu Regola.
"Dibalik bukit cemara itu ada sebuah Kademangan yang
283 cukup ramai, mungkin kita akan bermalam disana
sekalian mencari kuda tunggangan yang baik", berkata Ki
Sandikala dengan wajah ceria menunjuk sebuah bukit
kecil yang penuh dipenuhi pohon cemara.
Magucin dan Yongki tidak menunggangi kudanya,
mereka berjalan beriring sambil menuntun kudanya.
Sungguh elok pemandangan diatas bukit cemara
manakala matahari telah berada diujung senja.
Hamparan bumi begitu bening dan teduh memayungi
setiap hati yang memandangnya. Sejauh mata
memandang seperti menatap lukisan alam yang indah
mendamaikan setiap jiwa. Langit senja mengalungi hutan Maja yang masih
dipenuhi banyak orang yang sepertinya tidak pernah
lelah mengukir setiap jengkal tanah hutan itu menjadi
sebuah karya kehidupan yang nyata.
Tidak jemu mata Raden Wijaya menatap petak-petak
sawah dan ladang yang sudah mulai terbentuk lengkap
dengan aliran sungai-sungai kecil yang sengaja dibagi
rata guna dapat mengairi sawah sepanjang musim.
Adipati Arya Wiraraja ternyata memang telah memenuhi
janjinya, mengirim orang-orang terbaiknya yang bukan
hanya para petarung yang hebat di medan pertempuran,
namun mereka juga sebagai para pekerja yang gigih
membuka lahan pertanian. "Orang-orang dari Padepokan Teratai Putih ternyata
bukan hanya pandai memainkan senjata cakranya,
tangan-tangan mereka juga sangat mahir mengukir
batuan menjadi arca yang sangat halus", berkata Gajah
Pagon kepada Raden Wijaya yang mengantarnya
berjalan menyusuri jalan-jalan antar padukuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Gajah Pagon, para pengikut
284 Ki Sandikala memang para pematung yang hebat.
Mereka telah membuat dinding batu penuh dengan
lukisan yang terpahat halus mengelilingi pasanggrahan
utama, mereka juga telah membuat delapan gapura yang
indah yang menjadi penghubung antara pasanggrahan
utama menuju delapan pasanggrahan yang kelak akan
dihuni para bebahu dan penguasa tanah perdikan baru di
hutan Maja itu. "Ki Sandikala memang seorang perancang yang hebat,
semula aku mengira ditanah ini akan berdiri sebuah
Tanah Perdikan sebagaimana yang biasa kita lihat di
beberapa tempat. Tapi ternyata yang berdiri di hutan ini
mirip sebuah Kotaraja baru yang tumbuh berkembang
penuh keasrian. Sebuah Kotaraja yang teduh dipenuhi
pohon kayu yang rindang tumbuh disepanjang jalan",
berkata Ki Sukasrana yang juga ikut menemani Raden
Wijaya. "Tanah Perdikan ini akan menjadi sebuah daerah
pertahanan yang kuat", berkata Raden Wijaya sambil
memandang sebuah lukisan batu dinding yang indah.
"Musuh dari manapun akan mudah terlihat, dan kita
hanya menempatkan para pemanah ulung di setiap
tempat", berkata Gajah Pagon sambil menyapu
pandangannya kearah sekitarnya.
"Mari kita kembali ke benteng prajurit", berkata Raden
Wijaya ketika suasana sudah menjadi mulai gelap karena
sang malam memang telah mulai datang mewarnai
langit. Namun, ditengah perjalanan menuju Tanah Ujung Galuh
mereka menemui seorang prajurit yang datang sengaja
mencari Raden Wijaya. Prajurit itu memberi kabar bahwa telah datang 285 rombongan dari Balidwipa.
"Mahesa Amping dan rombongannya telah datang",
berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon dan Ki
Sukasrana dengan wajah penuh ceria mendengar
kedatangan sahabat setianya Mahesa Amping.
"Berapa orang yang datang dari Balidwipa?", bertanya
Raden Wijaya kepada prajurit yang datang membawa
kabar itu. "Ada sekitar seratus orang", berkata prajurit itu.
"Mahesa Amping pasti bersama orang-orang
padepokan Pamecutan", berkata Gajah Pagon.
dari Raden Wijaya, Ki Sukasrana dan Gajah Pagon terlihat
tengah menyeberangi Sungai Kalimas. Nampaknya
mereka tidak sabar menemui sahabat mereka Mahesa
Amping. "Seratus orang yang baru datang dari Balidwipa mungkin
untuk sementara dapat beristirahat di benteng prajurit",
berkata Ki Sukasrana kepada Raden Wijaya ketika
mereka tengah berjalan di Padukuhan Ujung Galuh
tengah menuju Benteng Prajurit.
"Selamat datang wahai sahabatku", berkata raden Wijaya
ketika mereka telah tiba di Benteng prajurit melihat
Mahesa Amping tengah berbincang-bincang ditemani
oleh Ranggalawe. "Tadinya aku mengira terdampar di pulau lain, karena
ketika aku berangkat benteng besar ini belum berdiri",
berkata Mahesa Amping sambil memandang dan
mengagumi pendapa utama yang memang cukup besar.
Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
Raden Wijaya bercerita tentang pembangunan tanah
hunian baru di Hutan Maja.
286 Bukan main gembiranya hati Mahesa Amping mendengar
bahwa pembangunan tanah hunian baru di Hutan Maja
dalam pekan ini akan dapat terselesaikan.
"Orang-orang dari Madura dan para pengikut setia Ki
Sandikala memang para pekerja yang penuh semangat",
berkata Gajah Pagon memuji hasil kerja para pendatang
baru dari Madura dan para pengikut setia Ki Sandikala.
"Semoga tidak ada banyak masalah yang timbul dari
perbedaan asal dan usul mereka yang datang dari
tempat yang berbeda", berkata Mahesa Amping yang
punya banyak pengalaman bahwa kadang ada terjadi
benturan akibat perbedaan budaya yang berbeda.
"Kadang kebersamaan akan tumbuh ketika dua orang
yang berbeda menemui kegetiran yang sama", berkata Ki
Sukasrana berbagi pengalaman.
"Saatnya kita melupakan dari mana asal dan usul mereka
dengan memperlakukan mereka dengan cara yang sama
tanpa sedikitpun perbedaan dan kecemburuan. Saatnya
juga kita mempersatukan semua dengan cara pandang
yang sama, berjuang untuk kebersamaan berbagi masa
depan bersama", berkata Mahesa Amping.
"Yang paling utama adalah tetap menyembunyikan
kekuatan kita sampai waktunya tiba, kita harus
menyembunyikan keadaan yang sebenarnya bahwa para
penguasa Kediri hanya melihat bahwa kita tengah
membangun sebuah tanah perdikan baru, dan bukan
kekuatan dan tandingan baru", berkata Raden Wijaya.
"Maksud dari perkataan tuan Senapati kita adalah bahwa
silahkan yang belum punya keluarga untuk mencari
gadis-gadis desa terdekat sebagai calon istrinya",
berkata Ranggalawe yang ditanggapi senyum dan tawa
dari semua yang ada diatas pendapa utama itu.
287 "Aku akan menunggu siapa yang paling berani datang
melamar anak gadis Ki Bekel Ujung Galuh", berkata Ki
Sukasrana menambah suasana menjadi lebih ramai lagi
dimana selama ini memang anak gadis Ki Bekel selalu
menjadi bahan pembicaraan yang sangat mengasyikkan
diantara para prajurit muda.
"oOo" Ki Sandikala dan rombongannya sudah berada di bawah
lereng bukit Cemara, di hadapan mereka sudah terlihat
hamparan sawah membentang hijau dipayungi lengkung
langit yang sebentar lagi akan menjadi gelap, sebentar
lagi hari memang akan menjelang malam.
Mereka telah melewati regol muka pintu gerbang
Kademangan Pulungdowo. Namun ketika mereka tengah menyusuri jalan
Kademangan yang telah sepi itu, mereka melihat begitu
banyak orang bergerumbul di muka sebuah rumah.
Rasa penasaran membuat mereka mendekati rumah itu
yang telah dipenuhi banyak orang.
Ketika Ki Sandikala dan rombongannya memasuki
halaman rumah itu, terdengar dari dalam tangisan
seorang wanita yang terdengar meraung-raung sesekali
menyebut sebuah nama. "Apa yang terjadi dengan wanita didalam rumah itu?",
bertanya Ki Sandikala kepada seorang lelaki yang ada di
halaman rumah itu. Lelaki yang ditanya oleh Ki Sandikala terlihat mengamati
diri Ki Sandikala, merasa belum pernah mengenalnya.
"Kisanak pasti bukan warga Kademangan ini", berkata
lelaki itu masih memperhatikan Ki Sandikala.
288 "Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat
Kademangan ini", berkata Ki Sandikala. "Apa yang terjadi
dengan wanita di dalam itu ?", bertanya kembali Ki
Sandikala mengulang pertanyaannya.
"Anak gadisnya telah diculik oleh para prajurit yang lewat
di Kademangan ini tadi siang", berkata lelaki itu
menjelaskan apa yang telah terjadi.
"Orang-orang di Kademangan ini tidak ada yang
mencegahnya?", bertanya Ki Sandikala.
"Tidak ada seorang pun lelaki di Kademangan ini yang
berani menghadapi sekelompok prajurit itu", berkata
lelaki itu seperti menyesali bahwa dirinya juga termasuk
orang-orang yang tidak berani mencegah perbuatan
sekelompok prajurit yang tadi siang telah melewati
Kademangan mereka dan membawa pergi anak gadis
dari keluarga ini. "Apakah yang kamu maksudkan sekelompok prajurit
Kediri?", bertanya Ki Sandikala mencoba memastikan
dugaannya. "Benar, mereka adalah para ptajurit Kediri", berkata lelaki
itu menjawab pertanyaan Ki Sandikala.
Ki Sandikala menjadi yakin dengan dugaannya, adalah
pikirannya telah terbayang sekelompok prajurit Kediri
yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Ki Narada.
"Hati dan pikiran Paman Narada sudah jauh dari
tuntunan", berkata Ki Sandikala dalam hati.
Kepada keluarga dan dua orang asing, Ki Sandikala
menjelaskan apa yang telah terjadi pada keluarga itu
dimana ibu dari anak gadis itu masih bersedih dan
berduka sangat berat sekali sehingga tangisannya masih
seperti meraung-raung. 289 "Kita harus membantunya Ayah", berkata Menak Koncar
yang ikut merasa berduka atas kemalangan dan musibah
yang menimpa keluarga itu.
Ki Sandikala menatap wajah Menak Koncar, juga
memandang berturut-turut kepada Menak Jinggo dan
Endang Trinil. Ki Sandikala melihat dan membaca wajah
dua anak dan keponakannya itu sebagai wajah penuh
harapan agar dirinya dapat membantu keluarga yang
kemalangan itu. Terlihat Ki Sandikala menarik nafas
panjang sambil tersenyum memandang dua anak dan
gadis keponakannya itu. Ada rasa kebanggaan dalam
dirinya bahwa tuntunan yang diberikan kepada kedua
putra dan keponakannya itu tentang rasa saling
menolong sesama manusia telah tertanam dihati mereka.
Maka Ki Sandikala sepertinya tidak ingin mengecewakan
harapan mereka. "Aku akan berbicara kepada orang-orang di Kademangan ini", berkata Ki Sandikala sambil
melangkah mendekati seorang lelaki yang tadi pertama
ditanya itu. "Kami ingin membantu keluarga ini mengejar para prajurit
Kediri untuk merebut kembali anak gadis yang diculik itu",
berkata Ki Sandikala kepada lelaki itu. "Namun kami
malam ini juga perlu lima ekor kuda, apakah ada diantara
kalian yang dapat membantu kami?", berkata Ki
Sandikala kembali kepada lelaki itu.
Semula lelaki itu agak ragu mendengar bahwa Ki


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sandikala dan kawan-kawannya akan membantu, namun
keadaan dan suasana saat itu telah membuat lelaki itu
tidak banyak berpikir lain, dianggapnya siapa tahu orangorang yang baru datang itu memang utusan dan kiriman
dewata untuk menolong mereka.
290 "Aku akan bicara dengan Ki Demang mengenai hal ini",
berkata lelaki itu yang langsung melangkah menerobos
kerumunan orang-orang dihalaman yang tidak dapat
masuk seluruhnya kedalam rumah.
Tidak lama kemudian lelaki itu sudah kembali bersama
dengan seorang lelaki yang berbadan tambur.
"Inilah orang-orang yang ingin membantu itu, Ki
Demang", berkata lelaki itu berkata kepada seorang yang
berbadan tambur yang ternyata adalah seorang Demang
Pulongdowo. "Kalian akan membantu mengejar para prajurit itu?",
bertanya Ki Demang kepada Ki Sandikala.
"Benar Ki Demang, tapi kami perlu lima ekor kuda",
berkata Ki Sandikala kepada Ki Demang yang
nampaknya masih ragu, apalagi mendengar tentang lima
ekor kuda. Ki Sandikala memang dapat segera membaca arah
pikiran keraguan di hati Ki Demang, dari dalam
pakaiannya Ki Sandikala mengeluarkan beberapa keping
emas. "Mungkin ini cukup sebagai jaminan atas lima ekor kuda
yang akan kami pinjam", berkata Ki Sandikala sambil
menyerahkan keping-keping emas itu kepada Ki
Demang. Ki Demang dapat menilai bahwa keping-keping emas itu
lebih dari cukup untuk harga lima ekor kuda, timbul rasa
malu didalam hatinya bahwa ternyata orang dihadapannya itu dapat membaca keraguannya. "Maaf
bila aku semula ragu tentang niat baik kalian, apa yang
kamu berikan ini telah lebih dari cukup untuk membeli
lima ekor kuda", berkata Ki Demang dengan wajah
291 merah penuh rasa malu. "Kami datang ke Kademangan ini memang sengaja untuk
membeli lima ekor kuda besok pagi, tapi ternyata ada hal
lain yang membuat rencana kami ini berubah", berkata Ki
Sandikala penuh senyum ramah mencoba menutup dan
mengalihkan rasa malu dari Ki Demang.
Terlihat Ki Demang berbicara kepada beberapa orang,
tidak lama kemudian beberapa orang terlihat telah keluar
dari halaman rumah orang yang kemalangan itu.
"Tunggulah, beberapa orang malam ini akan mengambil
kuda. Dua ekor kuda diantaranya adalah milikku sendiri",
berkata Ki Demang kepada Ki Sandikala.
"Mudah-mudahan para prajurit itu masih belum jauh
meninggalkan Kademangan ini", berkata Ki Sandikala
kepada Ki Demang. "Semoga usaha kalian berhasil membawa kembali anak
gadis itu", berkata Ki Demang yang nampaknya sudah
mulai percaya kepada Ki Sandikala terutama ketika
melihat Magucin dan Yongki yang memanggul pedang
panjang sangat elok dipunggung mereka. Ki Demang
juga masih sempat melihat Endang Trinil, seorang gadis
muda yang sangat manis, namun dari pakaian ringkas
yang dikenakannya telah menjamin bahwa gadis itu pasti
bukan anak gadis biasa yang lemah, terutama ketika Ki
Demang melihat senjata cakra yang terselip
menggelantung dipinggang gadis manis itu.
Mereka memang tidak harus menunggu lama, lima orang
sudah terlihat tengah memasuki halaman rumah sambil
menuntun satu orang satu ekor kuda.
Kerumunan orang dihalaman itu sudah berubah arah,
mereka semua memandang kepada Ki Sandikala dan
292 rombongannya yang sudah langsung melompat keatas
kuda masing-masing. "Kami mohon doa restu dari Ki Demang, semoga kami
berhasil membawa kembali anak gadis itu", berkata Ki
Sandikala kepada Ki Demang.
"Kami di Kademangan ini akan selalu berdoa untuk
keselamatan kalian, semoga kalian dapat membawa
kembali anak gadis itu", berkata Ki Demang kepada Ki
Sandikala yang telah bersiap diatas punggung kudanya.
Seluruh mata sepertinya telah menjatuhkan harapan
kepada tujuh orang diatas kudanya yang terlihat telah
keluar dari halaman rumah keluarga yang anak gadisnya
telah diculik oleh para prajurit Kediri tadi siang.
Kesangsian hati mereka sepertinya berusaha digugurkan
oleh rasa keputusasaan bahwa diantara mereka sendiri
tidak ada keberanian sedikitpun, atau sebuah usaha
untuk membawa kembali anak gadis malang yang diculik
itu. "Malam ini pasti mereka tengah beristirahat, kita curi
waktu mereka", berkata Ki Sandikala sambil
menghentakkan kakinya ke perut kuda yang langsung
berjingkrak berlari diikuti Magucin dan Yongki, juga
anggota keluarga Ki Sandikala lainnya.
Malam sudah menutupi arah pandang mata di jalan
Kademangan itu. Terlihat tujuh ekor kuda tengah berlari
kencang seperti membelah udara. Di keremangan malam
itu hanya terlihat pakaian mereka yang berkibar ditiup
angin dingin yang berhembus seperti tujuh bayangan
orang berkuda menembus kegelapan di jalan malam.
"Mereka pasti jalan melingkar menghindari Kotaraja
Singasari. Kita akan lebih dulu sampai di jalan simpang
menuju Kediri mendahului mereka", berkata Ki Sandikala
293 kepada Putut Prastawa yang berkuda di sampingnya
berusaha mengimbangi laju lari kuda Ki Sandikala.
Tujuh orang berkuda terlihat seperti bayangan
dikeremangan malam berpacu diatas kudanya.
Hari masih diujung malam ketika Ki Sandikala dan
rombongannya telah memasuki Kotaraja Singasari dari
sebelah timur. Melihat Ki Sandikala tidak lagi memacu kudanya,
rombongannya pun ikut memperlambat laju kudanya.
Jalan Kotaraja Singasari masih lengang, dan memang
telah menjadi sebuah kotaraja yang mati semenjak
keruntuhan yang dibumi hanguskan oleh pasukan Raja
Jayakatwang. "Ketika saudaramu datang kemari, Kotaraja ini sangat
ramai", berkata Ki Sandikala kepada Magucin dan Yongki
ketika mereka melewati puing-puing rumah dipinggir jalan
Kotaraja Singasari. Ketika mereka melewati gerbang istana Singasari, terlihat
gardu jaga masih terang oleh nyala pelita. Beberapa
prajurit penjaga masih berkumpul. Raden Wijaya
memang masih menempatkan sekitar dua ratus orang
prajurit di Istana itu menjaga agar Kotaraja Singasari
tetap terpelihara dan berharap suatu waktu akan menjadi
sebuah Kota yang ramai sebagaimana sebelumnya.
Ki Sandikala memang tidak ada keinginan untuk singgah
di Istana Singasari, takut kehadirannya akan
mengganggu karena sebentar lagi pagi akan tiba.
Terlihat rombongan berkuda itu terus menyusuri jalan
Kotaraja dan berhenti menepi di sebuah sungai kecil
tidak jauh dari gerbang Kotaraja sebelah barat.
"Biarkan kuda-kuda kita beristirahat sejenak", berkata Ki
294 Sandikala sambil melompat turun dari kudanya
memberikan kesempatan kudanya turun ke sungai
meneguk air dan merumput.
Yongki dan Magucin juga keluarga Ki Sandikala
mengikuti apa yang dilakukan oleh Ki Sandikala. Terlihat
mereka juga duduk ditepi sungai kecil itu sambil
memperhatikan kuda-kuda mereka meneguk air sungai
dan merumput. Sementara itu langit diatas mereka terlihat sudah mulai
terang, cahaya matahari sudah muncul diujung timur
bumi. "Masih ada waktu yang cukup untuk menuju jalan
simpang, semoga kita sudah mendahului pasukan Kediri
itu", berkata Ki Sandikala sambil berdiri setelah merasa
cukup beristirahat ditepi sungai kecil itu.
Cahaya matahari terlihat menerangi tujuh orang berkuda
yang tengah melintas keluar dari gerbang Kotaraja
Singasari. Mereka tidak memacu kudanya sebagaimana
sebelumnya ketika memasuki Kotaraja Singasari.
Mungkin memberi kesempatan kuda-kuda mereka untuk
tidak kaget setelah beristirahat sejenak di tepi sungai
tadi. Ketika matahari pagi sudah cukup terasa menghangatkan tubuh mereka, terlihat Ki Sandikala
memberi tanda untuk kembali memacu kuda-kuda
mereka. Debu jalan tanah keras itu terlihat mengepul dilewati
kaki-kaki kuda yang berlari, Ki Sandikala berjalan dimuka
diikuti oleh rombongannya.
Matahari dibelakang punggung mereka terus merangkak
naik memanjati kaki lengkung langit.
295 Terlihat mereka telah melewati sebuah tikungan jalan.
Kuda-kuda mereka terus berpacu menghentakkan tanah
keras terus melaju membelah angin dibawah keteduhan
sinar matahari disebelah kanan mereka yang terhalang
daun dan ranting pohon dari hutan di sepanjang jalan
yang mereka lalui. Ki Sandikala terlihat memberi tanda agar mereka
berhenti manakala telah sampai di sebuah jalan simpang.
"Kita tunggu disini, mereka pasti akan melewati jalan ini
menuju Kotaraja Kediri", berkata Ki Sandikala yang telah
turun dari kudanya. Terlihat mereka tengah menuntun kudanya menyembunyikannya diantara semak dan perdu dipinggir
hutan. "Sambil menunggu kita bisa beristirahat sejenak", berkata
Ki Sandikala Maka mereka pun mencari tempat yang baik untuk
beristirahat, namun mata mereka selalu siaga menanti
rombongan pasukan Kediri yang dipastikan akan
melewati jalan itu. Dalam kesempatan itu Ki Sandikala menyampaikan apa
yang harus dilakukan menghadapi sejumlah pasukan
Kediri. "Jurus perguruan kita diciptakan untuk sebuah
pertempuran berkelompok, paman kalian dapat mewakili
sebagai kepala kelompok", berkata Ki Sandikala kepada
keluarganya. Sinar matahari sudah mulai merangkak naik keatas
puncak cakrawala diatas jalan simpang itu, sementara
rombongan pasukan kediri yang mereka tunggu belum
juga terlihat. 296 "Apakah Ayah yakin mereka akan lewat tempat ini?",
bertanya Menak Koncar tidak sabar kepada Ki Sandikala.
Ki Sandikala tidak langsung menjawab pertanyaan
putranya, hanya sedikit tersenyum menatap Menak
Koncar. Putut Prastawa, Menak Jinggo dan Endang Trinil
Alap Alap Laut Kidul 15 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Lauw Pang Vs Hang Ie 2

Cari Blog Ini