Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Bagian 6
372 mereka. "Serangggg..!!!!", terdengar suara pemimpin mereka
seperti menggunung penuh kemurkaan.
Namun cambuk Putu Risang telah bergerak lebih cepat
lagi. Sebuah gerak melingkar cambuk itu telah menyabet
pinggang seorang prajurit Kediri, langsung jatuh dari
kudanya merintih kesakitan melihat kulit dagingnya
terkelupas meneteskan banyak darah.
Gerakan kedua, sebuah gerak cambuk Putu Risang
terlihat membelah langit dari atas ke bawah menyentuh
sisi samping seorang prajurit yang tidak sempat
menghindar langsung merasakan sakit yang sangat
seperti tersengat batang rotan yang menghantamnya
begitu keras. Langsung seketika prajurit itu menjerit
kesakitan berjumpalitan lepas dari punggung kudanya.
Terlihat prajurit itu rebah di tanah kotor sambil meringis
masih menahan rasa sakitnya.
Gerakan Putu Risang yang ketiga benar-benar tidak
kalah cemerlangnya, kali ini yang menjadi korban adalah
seorang prajurit yang berada tepat di belakang Putu
Risang. Ternyata cambuk Putu Risang tidak langsung
menyambar ke tubuh Prajurit itu, melainkan hanya
menggetarkannya tepat di daun telinga kuda prajurit itu.
Akibatnya memang tidak terpikirkan oleh siapapun,
sebab tiba-tiba saja kuda itu meringkik kaget kesakitan
kerena merasakan gendang telinganya seperti berdengung keras. Dan kuda itu telah seperti menjadi
kuda gila berdiri diatas kedua kakinya. Dan prajurit
penunggangnya langsung terlempar tidak dapat
373 mengendalikannya lagi. "Cincang pemuda gila ini", berkata pemimpin prajurit
Kediri itu dengan darah sudah sampai keatas kepala
begitu geramnya melihat satu persatu anak buahnya
jatuh menjadi korban. Dan jumlah prajurit Kediri itu sudah dapat dihitung
dengan jari, tersisa enam orang saja.
Terlihat Putu Risang memutar perlahan kudanya hampir
separuh lingkaran untuk melihat dan mewaspadai
serangan yang mungkin datang secara tiba-tiba.
"Tidak leluasa bertempur seorang diri diatas kuda",
berkata Putu Risang dalam hati langsung menerobos
sebuah jalan yang terbuka keluar dari kepungan para
prajurit berkuda. "Mari kita bertempur diatas tanah keras", berkata Putu
Risang yang sudah melompat dari punggung kudanya.
Melihat itu enam orang prajurit itu sudah langsung ikut
melompat dari punggungnya. Dan dengan pedang
panjang telanjang mereka langsung mengurung Putu
Risang. Tanpa perintah apapun dari pimpinan mereka, para
prajurit itu sudah langsung menyerang Putu Risang.
Dan ternyata Putu Risang bukan pemuda biasa, dirinya
sudah lama digembleng oleh dua orang sakti, Mahesa
Amping dan Empu Dangka. Bukan main geramnya ke
enam prajurit itu yang merasa penasaran bahwa pemuda
itu begitu alot sukar sekali ditundukkan.
Putu Risang memang tidak langsung balas menyerang,
tapi hanya mengandalkan kecepatannya bergerak
melompat dan berhindar dari kepungan dan serangan
para prajurit. 374 Apa yang ada dalam pikiran Putu Risang ?"
Ternyata serangan para prajurit Kediri itu dianggapnya
sebagai teman berlatih. Sebuah pikiran yang sangat nakal dari seorang Putu
Risang. Padahal pedang tajam telanjang yang
berseliweran di sekitar tubuhnya sebuah hal yang sangat
berbahaya. Kenakalan Putu Risang semakin menjadi-jadi manakala
ujung cambuknya titis menyambar kulit pergelangan
tangan pemimpin prajurit itu yang terlihat paling bernafsu
untuk segera meringkus Putu Risang.
Pemimpin prajurit itu merasakan pergelangan tangannya
sakit luar biasa seperti disengat kumbang api, dan tanpa
disadarinya pedang yang tengah diayunkan kekepala
Putu Risang terlepas begitu saja.
Belum lagi pedang pemimpin prajurit itu jatuh ke tanah,
dengan cepat ujung cambuk Putu Risang telah melibat
dan menariknya. Dalam hitungan beberapa kedipan mata, pedang itu telah
berpindah tangan, berada digenggaman tangan Putu
Risang. Bukan main terperanjatnya hati pemimpin prajurit itu.
Namun belum habis rasa terperanjatnya itu, pedang
ditangan Putu Risang terlihat sudah mengancam kulit
leher pemimpin prajurit itu.
"Perintahkan kepada semua anak buahmu untuk
melempar senjata mereka", berkata Putu Risang dengan
sebuah kata yang keras mengancam.
"Lemparkan senjata kalian", berkata pemimpin prajurit itu
langsung memerintah kepada semua anak buahnya
375 dengan peluh sebesar jagung terlihat menetes penuh
rasa takut yang sangat. ?"oSPo?" Jilid 5 Bagian 1 MENDENGAR perintah pimpinannya itu, segera semua
prajurit yang tersisa itu langsung melempar pedang di
genggamannya ke tanah. "Perintahkan kepada semua anak buahmu naik ke atas
kudanya kembali ke Kotaraja", berkata kembali Putu
Risang dengan ujung pedang masih menempel di kulit
leher pemimpin prajurit itu.
Maka tanpa perintah kedua kalinya dari Putu Risang,
Pemimpin prajurit itu telah memerintahkan kepada anak
buahnya sebagaimana yang dikatakan oleh Putu Risang.
Penuh keraguan yang sangat para prajurit itu terlihat
sudah berada diatas punggung kudanya dan segera
pergi meninggalkan Putu Risang dan pimpinannya.
"Sedikit bergerak pedang ini sudah akan menembus
batang lehermu", berkata Putu Risang dengan wajah dan
suara penuh ancaman. "Kasihanilah aku", berkata pemimpin itu dengan wajah
penuh iba harap dan takut yang sangat tentunya.
Melihat wajah pemimpin prajurit itu yang begitu sangat
mengiba berharap belas kasih dari dirinya membuat Putu
Risang tidak tega hati lagi.
"Pergilah", berkata Putu Risang kepada pemimpin prajurit
376 itu. Mendengar perkataan Putu Risang, pemimpin prajurit itu
seperti mendapatkan kembali selembar nyawanya yang
dipikir akan lepas dari tubuhnya.
"Terima kasih, terima kasih", berkata pemimpin prajurit itu
membungkuk-bungkuk menjauhi ujung pedang dari kulit
batang lehernya. Terlihat Putu Risang tersenyum sendiri melihat debu
mengepul di belakang kuda pemimpin prajurit itu yang
sudah berlari menjauh kembali ke Kotaraja Kediri.
Bulan masih terlihat terpotong.
Langit malam menggelantung memayungi bumi senyap
sepi, hanya dengung suara malam yang terus terdengar
mengisi gelap pekat sebuah hutan berbukit. Terlihat
seorang pemuda masih terus berjalan menuntun seekor
kuda. Ketika pemuda itu berada diatas sebuah tanah lapang
datar diantara jalan mendaki, sedikit sinar bulan
menerangi wajah pemuda itu yang ternyata adalah Putu
Risang. Dengan terpaksa Putu Risang memilih jalan melambung
menghindari jalan yang biasa dilalui oleh banyak orang,
memilih jalan melintasi sebuah bukit dan hutan agar para
prajurit Kediri yang diyakini akan kembali mengejarnya
tidak akan dapat mengikutinya.
Setelah merasa sudah melewati perjalanan yang cukup
jauh, barulah Putu Risang berniat untuk beristirahat
sejenak. Terlihat Putu Risang telah bersandar di sebuah batu
besar sedikit terhindar dari terpaan angin dingin malam
diatas bukit berhutan itu.
377 Perlahan tapi pasti, warna langit berangsur-angsur
berubah warna sedikit memerah dipancari sumber
cahaya kuning keemasan dari ujung timur bumi, sang
fajar memang baru terbangun mengintip diujung
lengkung langit timur. Perlahan terdengar suara ayam hutan saup di kejauhan
saling bersahutan. Dan Putu Risang terlihat mulai menggeliat membuka
matanya. Namun pendengarannya yang sudah terlatih seperti
mendengar beberapa suara.
Terlihat Putu Risang dengan sigapnya bersembunyi di
sebuah sela-sela batu, sementara kudanya sudah diikat
di sebuah tempat yang tersembunyi.
"Jejaknya menuju ke arah ini", berkata seseorang yang
berjalan nampak paling muka diikuti beberapa orang
yang mulai terlihat muncul dari jalan yang menurun.
"Para prajurit Kediri", berkata Putu Risang dalam hati
mengintip dari sela-sela batu.
Sebagaimana yang dilihat oleh Putu Risang, ternyata
sudah ada sekitar dua puluh orang prajurit Kediri tengah
berjalan, di depan mereka nampaknya adalah seorang
ahli pencari jejak. Terlihat Putu Risang menarik nafas panjang manakala
para prajurit Kediri itu melewati begitu saja tempatnya
bersembunyi. Maka ketika dianggapnya keadaan sudah menjadi aman,
para prajurit itu sepertinya sudah pergi jauh, terlihat Putu
Risang keluar dari persembunyiannya dan segera
mengambil kudanya yang juga telah disembunyikan di
sebuah tempat. 378 Segera Putu Risang terlihat sudah menuntun kudanya
berjalan sedikit menyimpang dari arah para prajurit Kediri
masuk lebih dalam lagi kedalam hutan. Dan Putu Risang
sudah masuk menghilang ditelan kelebatan hitam
belantara hutan di keremangan warna pagi yang masih
dingin itu. Tidak terasa matahari pagi sudah mulai naik merayapi
lengkung langit, beberapa cahayanya terlihat menembus
di sela-sela daun dan dahan pepehonan di kedalaman
hutan yang lebat itu. Hari didalam hutan lebat itu sudah mulai terang pagi.
Jalan yang ditempuh oleh Putu Risang adalah jalan
sedikit mendaki, sebuah bukit perawan.
Akhirnya, Putu Risang mulai sedikit lega ketika mulai
melihat kerapatan pohon semakin berkurang, dan
akhirnya telah tiba di ujung muka hutan itu berupa
sebuah tanah datar dengan hanya satu dua buah pohon
yang terlihat tumbuh diantara sela-sela batu cadas.
Dan Putu Risang terlihat sudah berdiri diatas sebuah
puncak bukit, ternyata ujung muka hutan itu berakhir di
sebuah puncak bukit yang cukup tinggi dimana
dihadapannya adalah sebuah jalan menurun yang cukup
terjal berupa tanah cadas keras berbatu.
Dengan susah payah Putu Risang terlihat tengah
menuruni jalan cadas menurun itu sambil menuntun
kudanya. Terlihat Putu Risang berjalan dengan begitu
berhati-hali karena terkadang harus berjalan di atas
sejengkal tanah berbatu dimana dibawahnya terlihat
jurang menganga. Tidak terbayangkan siapa pun yang
terjatuh akan hancur terhempas.
Syukurlah, akhirnya Putu Risang dapat dengan selamat
379 tiba di bawah jurang bersama kudanya.
Putu Risang sudah berada di sebuah tanah lapang
berbatu yang tandus, nampaknya jarang sekali manusia
yang pernah datang di tempat ini.
Sementara itu matahari pagi sudah berada sedikit miring
mendekati puncak langit. Sinar cahaya pagi terasa
menyengat tubuh. Putu Risang diatas punggung kudanya melangkah
perlahan sudah cukup jauh menyisir celah bukit itu
mencoba mencari arah jalan pulang.
Arah timur matahari. Begitulah Putu Risang mencari arah jalan kembali ke
Bumi Majapahit. "Seekor kuda !!", berteriak seseorang.
Entah dari mana, tiba-tiba saja muncul dihadapan Putu
Risang empat orang yang berbadan tinggi besar.
Putu Risang seperti tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya !! Apa yang membuat Putu Risang seperti menemukan
sesuatu yang aneh dihadapannya ?"
Ternyata Putu Risang melihat keempat orang itu punya
tubuh dan wajah yang nyaris begitu mirip keempatnya.
"Kembar empat", berkata Putu Risang dalam hati sambil
turun dari kudanya. Dan keempat orang kembar itu sudah berjalan semakin
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat dengan Putu Risang.
"Menyingkir dari diantaranya. kudamu", berkata salah seorang 380 Tiba-tiba salah satu dari keempat orang itu telah
mencengkeram tangan Putu Risang.
Bukan main cengkeraman tangan orang itu seperti
menjepit pergelangan tangan Putu Risang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Putu Risang adalah
seorang pemuda yang kuat juga sudah terlatih
menggunakan tenaga cadangannya.
Tapi dihadapan orang itu Putu Risang tidak bisa berbuat
apa-apa, meski sudah mengerahkan tenaga cadangannya utuh sepenuhnya, tetap saja cengkeraman
itu tidak dapat dilepaskannya. Tenaga orang itu memang
begitu perkasa seperti terhimpun dari lima ekor kuda
yang kuat. Dan seperti melepas ranting kering saja layaknya, tubuh
Putu Risang dilempar begitu saja langsung terpelanting
jauh menimpa sebuah batu cadas besar.
Buk !! Suara dari tubuh Putu Risang yang membentur batu
cadas, dan terlihat Putu Risang meringis menahan rasa
sakit yang sangat disekitar punggung belakangnya.
Masih dalam keadaan sakit yang sangat, Putu Risang
seperti ingin muntah menyaksikan apa yang dilihat
dihadapannya. Dengan mata kepalanya sendiri Putu Risang melihat
keempat orang itu masing-masing telah memegang satu
kaki kuda. Dan, Brettt !!!! Dengan sebuah hentakan kaki kuda sampai ke pangkal
pahanya itu telah lepas dari badannya, darah kuda
381 berceceran mengucur deras.
Dan yang menjijikkan bagi Putu Risang bahwa keempat
orang kembar itu dengan lahapnya mengunyah daging
kuda itu mentah-mentah. "Manusia liar", berkata Putu Risang dalam hati dengan
mata terbuka menyaksikan keempat orang itu
menghabiskan daging kaki kuda itu.
Sadarlah Putu Risang telah berhadapan
keempat orang liar yang sangat sakti.
dengan Sadarlah Putu Risang bahwa dirinya berhadapan dengan
empat orang gila, terlihat dari bola mata mereka yang
terlihat liar. Dan terasa bergidik bulu kuduk Putu Risang manakala
mata keempat orang itu tertuju kepadanya.
"Darah manis, darah manis", berkata berbarengan
keempat orang itu sambil menunjuk ke arah Putu Risang.
Namun Putu Risang bukan seorang yang lemah, dengan
menguatkan dirinya yang masih merasakan sakit di
belakang punggungnya telah memaksakan dirinya untuk
berdiri, siap menghadapi apapun yang terjadi.
Terlihat Putu Risang sudah melangkah lebih kedepan
dengan sepasang kaki merenggang sedikit siap
menghadapi keempat orang kembar itu.
Bersamaan dengan itu pula keempat orang kembar itu
juga berjalan melangkah mendekati Putu Risang.
Namun apa yang terjadi selanjutnya "
Keempat orang itu seperti terbang melesat begitu
cepatnya diluar perhitungan Putu Risang sendiri. Dalam
waktu yang begitu cepat tangan dan kaki Putu Risang
sudah berada didalam genggaman tangan mereka.
382 Dan Putu Risang benar-benar seperti dicengkeram
empat pasang tangan yang begitu kuat, tak kuasa dirinya
meronta sedikitpun. Putu Risang sudah pasrah, terbayang dirinya akan
terpecah empat sebagaimana kuda kesayangannya.
"Pecah empat !!", hanya itu yang ada dalam pikiran Putu
Risang saat itu. Terlihat Putu Risang telah pasrah diri, merasa selembar
nyawanya akan terbang. Dan Putu Risang masih dapat merasakan empat pasang
tangan telah mencengkeram kaki dan tangannya
semakin kuat seperti tengah bersiap menarik bagian
tubuhnya. Putu Risang telah memejamkan matanya.
Namun baru saja Putu Risang memejamkan matanya
bersiap menahan rasa sakit yang sangat membayangkan
empat bagian kaki dan tangannya lepas dari badannya,
terdengar sebuah bentakan memekakkan gendang
telinganya. "Lepaskan !!", terdengar suara yang keras melengking.
Terkejut Putu Risang membuka matanya.
Baru saja Putu Risang membuka matanya dirasakan
keempat tangan orang kembar itu telah mengurangi
cengkeramannya. Bukk !!! Tubuh Putu Risang telah terlepas jatuh di tanah.
"Kalian bodoh, biarkan manusia itu tetap hidup agar kita
setiap waktu dapat menikmati darah manisnya", berkata
seseorang tidak jauh dari mereka masih dengan suara
383 melengking. Dan dengan matanya Putu Risang dapat melihat siapa
pemilik suara yang melengking itu.
Ternyata hanya seorang wanita tua !!
Putu Risang masih terbaring di tanah melihat keempat
orang kembar itu mundur bersamaan sepertinya mereka
begitu takut dengan wanita tua itu.
Putu Risang masih melihat wanita tua itu mendekat
menghampirinya. Wajahnya terlihat telah dipenuhi
banyak kerutan dengan rambut putih seluruhnya berurai
begitu saja dan panjang hingga sampai ke pinggang.
Dan matanya !! Putu Risang melihat sorot sinar mata wanita tua itu
begitu tajam membuat siapapun yang memandangnya
akan bergidik tidak berani lagi menatap langsung bola
mata itu. Dan sebagaimana gerakan keempat orang kembar itu,
wanita tua itu seperti terbang melesat.
Tiba-tiba saja Putu Risang merasakan sebuah jari tangan
dingin menyentuh tengkuknya.
Ternyata wanita tua itu telah melumpuhkan Putu Risang
yang nyaris tidak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya.
Tapi diam-diam Putu Risang mencoba mengerahkan
tenaga cadangannya, hawa murninya untuk menembus
urat darah yang ditutup oleh wanita tua itu.
"Ternyata kamu punya sedikit hawa murni", berkata
wanita tua itu sambil sedikit tersenyum mengetahui apa
yang sedang dilakukan oleh Putu Risang.
Dan Putu Risang melihat senyum wanita itu begitu
384 sangat menakutkan, sebuah senyum yang berasal dari
seorang yang berhati dingin, seorang yang sangat begitu
kejam tidak mempunyai sedikitpun rasa belas kasihan.
Dan tiba-tiba saja Putu Risang merasakan kedua
pergelangan tangan dan kakinya diremas dengan begitu
kerasnya. Achhh !! Suara rintihan itulah yang ingin dikeluarkan dari
tenggorokan Putu Risang, tapi Putu Risang yang sudah
dilumpuhkan sekujur tubuhnya itu juga tidak mampu
bersuara apapun. Yang dirasakan Putu Risang adalah
seluruh tenaga wadagnya begitu lemah, dan tenaga
cadangannya seperti terkuras habis hilang.
"Bawa manusia ini ke dalam goa, jaga sampai tiba
saatnya bulan purnama agar kita dapat berpesta
menikmati manis darahnya", berkata Wanita tua itu
terdengar di telinga Putu Risang.
Dan Putu Risang seperti seonggok daging hewan buruan
yang lemas tidak berdaya terlihat tengah diseret begitu
saja oleh salah satu dari keempat orang kembar
membawanya masuk kedalam sebuah goa yang tidak
begitu jauh dari tempat awal pertama kali Putu Risang
melihat mereka. Ternyata mereka bertempat tinggal di sebuah goa.
Terlihat Putu Risang masih diseret masuk lebih dalam
lagi ke sisi goa yang berujung buntu. Disitulah Putu
Risang ditinggal tergeletak tidak berdaya seorang diri.
Meski tenaganya terasa hilang tak berdaya, Putu Risang
masih mampu melihat keadaan suasana goa dimana
dirinya seorang diri ditinggalkan.
Masih ada sedikit cahaya berasal dari muka goa
385 membuat Putu Risang dapat melihat sekeliling dirinya.
Bergidik bulu kuduk Putu Risang melihat ada beberapa
tulang belulang disekitarnya.
"Disinilah mereka membantai korbannya", berkata Putu
Risang dalam hati sambil membayangkan bahwa lambat
atau cepat dirinya akan menjadi korban berikutnya.
"Ternyata petualanganku hanya sampai disini", berkata
kembali Putu Risang dalam hati masih dalam keadaan
tergeletak tidak mampu menggerakkan sedikitpun
anggota tubuhnya. Dan akhirnya Putu Risang merasakan suasana goa itu
menjadi semakin gelap gulita. Ternyata sumber cahaya
diluar goa telah mulai mendekati waktu Sandikala.
Matahari diluar goa sudah mulai hilang sembunyi di balik
bumi. Dan akhirnya hari memang telah jatuh malam. Dan
akhirnya mata Putu Risang sudah tidak mampu lagi
melihat apapun. Putu Risang memang sudah tidak melihat apapun, juga
mendengar apapun. Anak muda itu tidak sadar memang
telah tertidur dalam keadaan diri lumpuh seluruh urat
syarafnya. Sementara itu sang malam diluar goa seperti tengah
menggulung sangkala lebih perlahan dari lari seekor
ciput sekalipun. Tidak terlihat bintang, tapi tidak juga
tertanda hujan akan turun karena angin dingin begitu
deras menggiring awan hitam.
Yang ada diatas langit hitam hanya sepotong bulan
belum bulat sempurna. Dan akhirnya sang bulan terlalu
lelah menjaga malam, perlahan sedikit demi sedikit
seperti ciput berlari terjatuh diujung bibir bumi datar.
Pagi sudah hadir diatas bibir goa.
386 Dan para penghuni goa itu sudah terlihat menggeliat
terbangun, juga Putu Risang yang berada di ujung goa
buntu. Seni melumpuhkan urat syaraf wanita tua itu memang
begitu hebat dan sangat kuat. Tapi seiring perjalanan
waktu daya lumpuhnya semakin pudar. Terlihat Putu
Risang sudah mulai mampu menggerakkan seluruh
anggota tubuhnya. Putu Risang sudah mulai menangkap suara-suara para
penghuni goa itu yang berada di ujung sebelah bibir goa,
tapi tidak terlalu lama suara mereka telah hilang begitu
saja dari pendengaran Putu Risang. Karena memang
mereka telah keluar semuanya dari dalam goa. Tapi Putu
Risang tidak dapat menduga-duga apa yang dilakukan
para penghuni goa pagi itu diluar sana.
Terlihat Putu Risang perlahan bergerak menyandarkan
tubuhnya ke dinding goa. Matanya kembali melihat tulang
belulang manusia berserakan begitu saja di lantai goa
itu. Mata Putu Risang mulai menyisir seluruh isi goa, tidak
dilihat satu pun alat atau barang di sekitarnya kecuali
lima buah mangkuk terbuat dari batu.
"Mangkuk tempat darah", berkata Putu Risang dalam hati
mengingat kembali ucapan wanita tua itu bahwa mereka
akan mengadakan pesta minum darah.
Bergidik bulu roma Putu Risang manakala menyadari
dirinya sendiri yang akan menjadi korban pesta minum
darah itu. Tapi untungnya Putu Risang adalah seorang pemuda
yang tabah dan tidak segera menjadi begitu putus asa.
Terlihat matanya masih terus menyisir setiap sisi ruangan
387 goa sambil terus berpikir bagaimana caranya dapat lolos
dari lubang jarum mara bahaya itu.
Dan tiba-tiba saja penglihatan Putu Risang menangkap
seekor tikus yang tidak diketahui dari mana datangnya.
Putu Risang masih terus mengikuti langkah-langkah tikus
itu yang berlari dari satu sisi pinggir goa ke beberapa
tempat di sekitar ruangan goa, kadang terlihat tengah
mengendus beberapa tulang, bahkan beberapa kali
masuk kedalam beberapa mangkuk batu.
Cukup lama Putu Risang mengamati semua tingkah laku
tikus kecil itu hingga akhirnya terlihat tikus itu masuk
kedalam sebuah lubang di ujung seberang dimana Putu
Risang duduk bersandar. "Sebuah lubang", berkata Putu Risang yang melihat
dengan jelas bahwa tikus itu telah menghilang tidak
datang kembali setelah memasuki lubang itu.
Putu Risang mencoba melihat ke arah ujung goa, tidak
ada terlihat satu pun penghuni goa, dan Putu Risang
meyakini bahwa mereka pasti masih berada tidak jauh
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari mulut goa. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Putu Risang begitu keras
keinginannya untuk mendekati lubang itu.
"Sedalam apa lubang ini", berkata Putu Risang yang
sudah berada dipinggir lubang itu melihat lingkaran
sebuah lubang sebesar tubuh orang dewasa.
"Siapa tahu lubang ini sebuah jalan untuk lepas dari
jangkauan mereka", berkata Putu Risang dalam hati.
Maka tanpa berpikir panjang lagi terlihat Putu Risang
sudah langsung menuruni lubang itu.
Rongga lubang itu hanya sebesar tubuh orang dewasa,
388 hanya dengan melebarkan lututnya Putu Risang dapat
terus menuruni lubang itu.
Cukup lama Putu Risang menuruni lubang itu hanya
dengan menggunakan lututnya yang ditekan ke pinggir
sisi lubang menahan dirinya merosot jatuh ke bawah
yang tidak diketahui seberapa jauh dasar dan tingginya
lubang itu. Hingga akhirnya Putu Risang mendapatkan rongga
lubang itu semakin melebar, dan kaki Putu Risang yang
direntangkan juga tidak mampu lagi menjangkaunya.
Lubang itu sangat gelap pekat, mata Putu Risang tidak
dapat melihat dasar lubang itu. Sementara itu tenaga
Putu Risang sebagaimana diketahui sudah dibuat cacat
tidak lagi mempunyai tenaga cadangan, hanya dengan
mengandalkan tenaga wadag yang punya daya
ketahanan terbatas mencoba tetap bertahan di dalam
lubang itu, menggelantung diantara kedua kakinya.
Putu Risang masih tetap bertahan bergelantung di dalam
lubang hanya dengan mengandalkan ketahanan kedua
kakinya. Terlihat peluh deras mengalir membasahi
sekujur tubuh pemuda itu.
Cukup lama Putu Risang menggelantung di lubang itu
dan tidak ada niatan untuk kembali naik keatas mulut
lubang. Dan Putu Risang merasakan tenaganya sudah semakin
melemah, sementara dinding lubang terasa menjadi
semakin licin. Hingga akhirnya pemuda itu sudah tidak dapat lagi
bertahan dari kelicinan dinding lubang itu.
Blesss !!! Kaki dan tubuh Putu Risang telah terlepas merosot
389 terjatuh meluncur diantara rongga dinding goa itu.
Tubuh Putu Risang masih saja terus meluncur, namun
keberanian anak muda itu memang patut dibanggakan,
tidak membiarkan matanya terpejam sedikit pun masih
terus mencari jalan. Putu Risang tidak mendapatkan apapun yang dapat
digapai dengan tangannya, hingga akhirnya dirasakan
tubuhnya terhempas diatas air.
Blummm !!!! Putu Risang tercebur diatas air didasar lubang itu.
Seluruh tubuhnya terlihat hilang didalam air itu.
Masih dalam kesadaran utuh, Putu Risang merasakan
kakinya telah menyentuh dasar air itu, maka segera
dihentakkan kakinya untuk dapat meluncur keatas
permukaan air. Ternyata air itu tidak begitu dalam meski juga tidak
dikatakan sangat dangkal, akhirnya Putu Risang sudah
dapat mencapai permukaan air.
Dengan mata terbuka Putu Risang mencoba menyapu
pandangannya untuk dapat melihat sekeling dirinya. Dan
Putu Risang dapat melihat suasana yang gelap mencoba
membiasakan penglihatannya. Akhirnya masih dalam
keadaan berenang terapung diatas permukaan air, mata
Putu Risang sudah mulai terbiasa di kegelapan, sudah
dapat melihat sekeliling dan menangkap arah tepian
yang terdekat. Ternyata Putu Risang terjatuh diatas sebuah lingkaran
kubangan mata air cukup lebar yang merupakan dasar
lubang goa itu. Tak terbayangkan bilasaja dasar lubang goa itu adalah
sebuah batu cadas, akibatnya tubuh pemuda itu sudah
390 pasti akan terhempas dengan keras, hancur !!
Terlihat pemuda itu sudah berada ditepi kubangan mata
air langsung mengangkat tubuhnya keluar dari air.
"Kubangan mata air", berkata Putu Risang sambil
menarik nafas panjang merasa dirinya telah diselamatkan. Namun naluri kewaspadaan pemuda itu terus terjaga,
mencoba mengamati keadaan sekitarnya.
Putu Risang ternyata menyadari dirinya berada di sebuah
goa yang cukup luas dengan sebuah kubangan mata air
di tengahnya. Putu Risang terus mengamati sekeliling setiap sudut goa
itu. Dan tiba-tiba saja matanya tertahan ke suatu tempat.
Bukan main terperanjatnya Putu Risang melihat sesuatu
yang begitu aneh dalam pandangan matanya.
Apa gerangan yang dilihat oleh Putu Risang?"
Putu Risang melihat seonggok tubuh kutung kedua
tangan dan kakinya. Dan yang lebih membuat dirinya terperanjat lagi bahwa
manusia tanpa kaki dan tangan itu juga tengah
memandangnya. Dua pasang mata tengah beradu pandang.
"Jangan takut anak muda, aku juga manusia biasa
sepertimu", berkata pemilik tubuh itu kepada Putu Risang
masih dalam keadaan berbaring.
Suara orang itu begitu ramah, menghilangkan rasa
seram di hati Putu Risang. Bahkan di hati anak muda itu
telah tumbuh rasa kasihan.
391 Terlihat Putu Risang telah berdiri berjalan kearah orang
itu. Dan Putu Risang telah duduk didekat orang itu. Melihat
lebih jelas lagi keadaan orang itu yang ternyata seorang
pria belum begitu tua. Rambutnya terlihat dilepas
panjang dengan sedikit beruban. Wajahnya sendiri
terlihat sangat bersih memiliki dua buah alis yang tebal
sebagai pertanda seorang yang cerdas dan mempunyai
kemauan yang keras. "Pasti wanita berhati iblis itu yang telah memunahkan
seluruh tenaga cadanganmu", berkata orang itu langsung
mengetahui keadaan diri Putu Risang sebagai tanda
bahwa orang itu bukan orang sembarangan.
"Benar, aku tertangkap dan disekap didalam goa
mereka", berkata Putu Risang membenarkan perkataan
orang itu. "Hanya orang yang punya nyali besar saja yang berani
terjun lewat sebuah lubang", berkata orang itu sambil
memandang kepada Putu Risang penuh kekaguman.
Entah bagaimana Putu Risang sudah langsung menyukai
orang itu. "Namaku Putu Risang",
memperkenalkan dirinya. berkata Putu Risang "Orang memanggilku Kumbara", berkata orang itu
menyebut sebuah nama. "Bagaimana Ki Kumbara bisa berada disini ?", bertanya
Putu Risang kepada orang itu yang menyebut dirinya
bernama Kumbara. "Ceritanya sangat panjang anak muda", berkata Ki
Kumbara sambil menarik nafas panjang.
392 "Mari kita berbincang di sudut sana", berkata Ki Kumbara
menunjuk dengan kepalanya ke sebuah sudut goa,
mungkin merasa kasihan melihat Putu Risang agak
terlalu membungkukkan kepalanya ketika berbicara
dengannya. Terlihat Putu Risang mengerutkan keningnya menyaksikan orang itu sudah bergerak dengan cara
bergelinding menuju ke sudut goa. Dan Putu Risang ikut
berdiri melangkah menuju ke sudut goa.
Di sudut goa itu terlihat Ki Kumbara dengan mudahnya
mengangkat badannya dan langsung bersandar di
dinding sudut goa. Ki Kumbara melempar senyumnya kearah Putu Risang
yang tengah memandangnya sebagai orang ganjil, dan
Ki Kumbara memakluminya tidak menjadi tersinggung.
"Sudah menjadi suratan takdir bahwa aku menjadi seperti
ini", berkata Ki Kumbara sambil menarik nafas panjang
seperti ingin mengumpulkan ingatannya memulai sebuah
cerita sampai dirinya terkurung didalam sebuah goa
dibawah perut bumi itu. Ki Kumbara pun memulai ceritanya dengan mengatakan
bahwa ayahnya dan wanita tua itu adalah saudara
seperguruan di sebuah Padepokan.
"Orang menyebut wanita tua itu dengan panggilan Nyi
Pruti", berkata Ki Kumbara menyebut nama wanita tua
yang telah menyekap diri Putu Risang. "Dan keempat
lelaki kembar bersamanya adalah para putranya",
berkata kembali Ki Kumbara.
Terlihat Ki Kumbara diam sejenak, matanya memandang
kearah langit-langit diatas kubangan mata air sambil
menarik nafas panjang. 393 "Ayahku dan Nyi Pruti punya sifat buruk yang sama,
punya kebiasaan mencuri barang milik orang lain, juga
ilmu orang lain", berkata Ki Kumbara memulai kembali
ceritanya. "Kebiasaan buruk itu lah yang membawa mereka pada
suatu hari berangkat bersama ke Gunung Wilis, dimana
mereka pernah mendapat berita di lereng gunung itu
hidup seorang pertapa sakti yang memiliki sebuah kitab
pusaka. Entah dengan kelicikan apa keduanya dapat
membawa lari kitab pusaka milik pertapa itu berupa tujuh
buah kulit rontal", berkata Ki Kumbara bercerita berhenti
sejenak sambil menarik nafas panjang seperti hendak
menghimpun semua ingatannya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka hingga
akhirnya mereka berbagi kitab pusaka itu, Ayahku
mendapat dua buah rontal, sementara Nyi Pruti
membawa sisanya", berkata kembali Ki Kumbara
melanjutkan ceritanya. "Terakhir kuketahui bahwa yang
dimiliki ayahku adalah rontal halaman pertama dan rontal
halaman terakhir", berkata kembali Ki Kumbara.
Terlihat Putu Risang masih begitu penuh perhatian
menyimak cerita Ki Kumbara.
"Rupanya Nyi Pruti tidak sabaran langsung mempelajari
isi dari rontal yang dibawanya. Terakhir kuketahui bahwa
rontal itu berisi sebuah ajaran olah laku pernafasan
menghimpun tenaga sakti, menghimpun tenaga
cadangan didalam diri", berkata Ki Kumbara melanjutkan
ceritanya. "Itulah awal nasib buruk yang menyeret diriku
terkurung disini", berkata kembali Ki Kumbara.
"Sebuah cerita yang sangat menarik, lanjutkan Ki
Kumbara", berkata Putu Risang merasa sangat tertarik
dengan cerita Ki Kumbara memintanya untuk
394 melanjutkan ceritanya. Terlihat Ki Kumbara tersenyum melihat raut wajah anak
muda itu yang seperti orang tidak sabaran untuk
mendengar cerita selanjutnya.
"Beruntung Nyi Pruti dan keempat putra kembarnya
dapat menerapkan ilmu sakti itu, dalam waktu yang
singkat hawa sakti mereka telah meningkat dengan
pesat, tapi bersamaan dengan itu pula mereka mendapat
sebuah penyakit yang aneh, merasa dirinya selalu dalam
keadaan begitu sangat kehausan. Air tidak juga dapat
melebur rasa dahaganya. Dan puncak rasa hausnya
begitu sangat dirasa ketika saat malam bulan purnama",
berkata Ki Kumbara melanjutkan ceritanya. "Bersyukur
Nyi Pruti punya keahlian ilmu pengobatan yang
mumpuni, berhasil menemukan penawar dari penyakit
anehnya itu. Ada sebuah tanaman buah yang hidup satusatunya di sebuah tempat, di tempat dimana kamu
bertemu dengan mereka", berkata Ki Kumbara. "namun
disaat bulan purnama, Nyi Pruti harus menambahnya
dengan darah manusia", berkata kembali Ki Kumbara.
"Seorang wanita berhati kejam", berkata Putu Risang
memotong cerita Ki Kumbara sambil membayangkan
sudah berapa nyawa melayang ditangan Nyi Pruti.
Lagi-lagi Ki Kumbara tersenyum melihat raut wajah Putu
Risang yang merasa tidak sabaran mendengar cerita
selanjutnya dari bibir Ki Kumbara.
"Itulah sebabnya mereka tidak pernah jauh dari tanaman
itu", berkata Ki Kumbara.
Sementara itu Putu Risang sambil mendengar cerita Ki
Kumbara, pikirannya jauh melayang disaat pertama kali
bertemu dengan keempat putra Nyi Pruti. "Pantas tenaga
sakti mereka begitu luar biasa", berkata Putu Risang
395 dalam hati. "Namun akhirnya mereka bosan dan jenuh tinggal
menetap ditempat terpencil itu, mereka berniat untuk
merebut dua buah rontal milik ayahku yang mereka
yakini sebuah jalan kesempurnaan dari ilmu yang telah
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka miliki", berkata Ki Kumbara melanjutkan.
"Apakah mereka berhasil merebutnya ?", bertanya Putu
Risang penuh penasaran. Kali ini Ki Kumbara tidak melepas senyumnya melihat
raut wajah Putu Risang. Terlihat wajahnya berubah
menjadi begitu buram seperti menanggung sebuah
kesedihan dan kepiluan hati yang sangat.
"Mereka telah membunuh ayahku", berkata Ki Kumbara
dengan suara sendat sambil berusaha mengendalikan
perasaan hatinya. Dan sejenak Ki Kumbara terdiam.
Sejenak pula suasana didalam goa itu menjadi begitu
sunyi. Terlihat Putu Risang tidak memaksa Ki Kumbara untuk
melanjutkan ceritanya. Putu Risang dapat merasakan
begitu pedih dan pilunya perasaan hati orang tua itu yang
tengah mengingat kembali suasana saat menjelang
kematian ayahnya sendiri. Seorang ayah yang
nampaknya begitu sangat dicintainya itu.
Terlihat wajah Ki Kumbara sudah kembali jernih,
nampaknya orang tua itu sudah dapat mengendalikan
perasaannya sendiri. "Untungnya sebelum tewas, ayahku telah menitipkan dua
rontal itu kepadaku dan meminta aku pergi jauh. Tapi aku
tidak mengindahkan perintah terakhir ayahku itu, bahkan
aku sempat menempur mereka. Celakanya aku hampir
396 tewas ditangan mereka hingga tertolong oleh sebuah
kecerdikan yang tiba-tiba saja muncul di benakku ini",
berkata Ki Kumbara melanjutkan ceritanya, berhenti
sejenak sambil melihat wajah Putu Risang yang terlihat
semakin penasaran mendengar kelanjutan cerita Ki
Kumbara yang sangat mendebarkan itu.
"Kecerdikan apa yang muncul di benak Ki Kumbara?",
bertanya Putu Risang tidak sabaran.
"Karena merasa tidak akan mungkin dapat mengalahkan
mereka, maka didepan mata mereka telah kulumat kedua
rontal itu hancur masuk kedalam perutku sendiri. Bukan
main marahnya mereka, tapi tidak dapat berbuat apapun
terhadapku. Akhirnya mereka membawaku ke tempatnya
mencoba menyiksaku dengan berbagai cara", berkata Ki
Kumbara sambil menarik nafas panjang.
"Terakhir mereka telah menguntungi tangan dan kakiku
ini", berkata Ki Kumbara melanjutkan.
"Dan Ki Kumbara akhirnya punya pikiran yang sama
sebagaimana aku, terjun ke lubang dan terkurung di goa
ini", berkata Putu Risang mencoba menebak akhir cerita
Ki Kumbara. "Kamu benar, pada saat itu aku berpikir bahwa satu iblis
saja dunia sudah begitu rusuh, bagaimana bila ditambah
dengan lima orang berhati iblis dapat memiliki
kesempurnaan ilmunya. Dengan pikiran itulah aku nekat
terjun ke lubang sebagaimana dirimu", berkata Ki
Kumbara membenarkan perkataan Putu Risang. "Coba
tebak apa yang kutemui didalam goa ini", bertanya Ki
Kumbara kepada Putu Risang sambil tersenyum.
Putu Risang tidak menjawab apapun, karena dirinya
memang tidak mampu menemukan jawaban pertanyaan
Ki Kumbara. 397 "Siapapun tidak akan menyangka bahwa aku
menemukan lima buah rontal mengambang diatas
kubangan mata air itu. Mungkin mereka merasa putus
asa membuang lima rontal potongan dari tujuh rontal ilmu
sakti ke dalam lubang", berkata Ki Kumbara menjawab
pertanyaannya sendiri. "Ki Kumbara menemukan kelima rontal itu?", berkata
Putu Risang "Benar, bahkan aku telah melihat seluruh rontal kitab
pusaka pertapa sakti dari Gunung Wilis itu, karena
sebelum dua rontal pemberian ayahku hancur masuk
kedalam perutku, aku sudah sempat melihat dan
memahatnya didalam ingatanku", berkata Ki Kumbara
penuh kegembiraan dapat mempertahankan dua rontal
pecahan kitab ilmu sakti tidak jatuh ke tangan Nyi Pruti
dan keempat putra kembarnya itu.
"Apakah Ki Kumbara akhirnya dapat mempelajari dan
menerapkan ilmu kitab sakti itu?", bertanya Putu Risang
mencoba menebak akhir cerita Ki Kumbara.
Tapi Ki Kumbara tidak segera menjawab pertanyaan
Putu Risang, hanya bibirnya saja yang terlihat tersenyum
hambar. "Ilmu kitab pusaka pertapa gunung Wilis itu hanya untuk
mereka yang memiliki kesempurnaan anggota tubuh",
berkata Ki Kumbara perlahan.
Dan Putu Risang sepertinya mengerti apa yang
dirasakan oleh orang tua di dekatnya itu, sebuah
kegundahan hati dan ke-tidak percayaan diri memiliki
cacat seperti dirinya. Itulah sebabnya Putu Risang ikut
berdiam diri, tidak lagi bertanya apapun.
Sejenak suasana di dalam goa itu kembali menjadi sunyi,
398 tidak terdengar suara apapun.
"Ternyata takdir telah membawamu kemari, kamulah
anak muda yang paling tepat memiliki ilmu sakti itu",
berkata Ki Kumbara memecahkan keheningan suasana
di dalam goa. Putu Risang melihat kembali kejernihan wajah orang tua
itu. "Aku", kenapa harus aku?", bertanya Putu Risang
tidak mengerti mengapa dirinya yang dikatakan paling
cocok untuk memiliki ilmu kitab sakti itu.
"Aku telah mempelajari seluruh isi kitab itu, akhirnya aku
dapat mengerti mengapa Nyi Pruti dan keempat putranya
setelah menerapkan ilmu ini merasakan rasa dahaga
yang sangat, ini karena mereka tidak membaca
peringatan yang ada di rontal pertama dari kitab ini yang
mengingatkan bahwa untuk memulai olah laku ilmu ini
harus mengosongkan dulu hawa murni mereka
sebagaimana seorang bayi yang tidak punya apapun.
Dan Nyi Pruti telah mengosongkan dirimu dengan
menciderai simpul syarafmu menjadikan dirimu saat ini
seperti layaknya seorang bayi", berkata Ki Kumbara
menjelaskan. Sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu olah laku
pernafasan, Putu Risang dapat menangkap penjabaran
dari Ki Kumbara. "Sebenarnya Nyi Pruti dapat keluar dari penderitaannya
bila saja dapat melihat isi dari rontal penutup, sebuah
cara laku menutup keliaran dua buah hawa sakti di dalam
diri mereka", berkata Ki Kumbara menambahkan.
"Selama mereka menderita selama itu pula masih terus
bertambah manusia yang akan menjadi korban
kebiadaban mereka", berkata Putu Risang membayangkan kekejaman Nyi Pruti dan keempat
399 putranya itu. "Ketika aku melihatmu, aku seperti menemukan sebuah
cahaya di kegelapan. Aku begitu yakin bahwa dirimu
adalah orang baik. Kusandarkan harapanku kepadamu,
menghentikan kebiadapan Nyi Pruti dan putranya.
Putu Risang baru dapat mengerti bahwa Ki Kumbara
telah bermaksud memberikan isi kitab itu kepadanya.
"Terima kasih atas kepercayaan ini, semoga aku dapat
menjaganya diatas bahuku dan dapat menjunjungnya
sebagaimana menjunjung rambutku. Kesetiaan dan
kehormatan semoga terus kupegang harapanmu",
berkata Putu Risang sambil merangkapkan kedua
tangannya di dada sebagai sebuah penghormatan atas
kepercayaan dan harapan dari Ki Kumbara.
"Ambilkan untukku kelima rontal di sebarang sana
untukku", berkata Ki Kumbara
Terlihat Putu Risang sudah berjalan ke seberang goa
dengan cara mengelilingi setengah pinggir tepi kubangan
air. Di seberang sana memang tergeletak lima buah kulit
rontal. Dan Putu Risang telah membawanya untuk Ki Kumbara.
"Pahatlah kelima rontal dalam ingatanmu", berkata Ki
Kumbara kepada Putu Risang.
Segera Putu Risang mengamati dan mempelajari kelima
rontal itu yang ternyata hanya berupa lima buah lukisan
kasar sikap laku orang yang berbeda.
Pada lukisan rontal pertama, Putu Risang melihat lukisan
sebuah laku orang berdiri dengan kedua tangannya
menutup diatas pusarnya. Rontal ke dua, Putu Risang melihat sebuah laku orang
400 tengah menunduk tegak lurus dada dan punggungnya
membuat sebuah siku dan kedua tangannya bertumpu
diatas setiap pangkal lututnya.
Rontal ketiga nampaknya lukisan yang sama dengan
rontal pertama, hanya kedua tangannya jatuh di sisi
tubuhnya. Rontal keempat, Putu Risang melihat lukisan orang yang
tengah bersujud. Pada rontal terakhir, Putu Risang melihat lukisan orang
yang duduk bersimpuh diatas tumit kakinya. Telapak
tangan kiri rapat diatas paha kaki kirinya, sementara
tangan kanan diatas paha kanannya dengan jari telunjuk
terlihat lurus menunjuk ke depan.
Beberapa kali Putu Risang membolak balikkan halaman
demi halaman kelima rontal itu, berusaha memahatnya
diatas ingatannya. "Aku sudah memahatnya di dalam ingatanku", berkata
Putu Risang kepada Ki Kumbara setelah merasa dapat
benar-benar menyimpan kelima rontal di dalam
ingatannya. "Perlihatkan kepadaku kelima gerakan di dalam rontal
itu", berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang
memintanya melakukan gerakan sesuai yang ada di
dalam lukisan kelima rontal itu.
Maka Putu Risang secara tertip melakukan satu persatu
sesuai urutan dalam lima rontal itu, setiap gerakan
dibarengi oleh anggukan kepala oleh Ki Kumbara
sebagai tanda bahwa Putu Risang telah melakukannya
dengan benar. "kamu telah melakukannya dengan benar, saatnya aku
akan memberimu dua buah rontal awal dan akhir dari isi
401 kitab pusaka ini", berkata Ki Kumbara sambil tersenyum
gembira terutama ketika melihat bahwa Putu Risang
dapat melakukan kelima gerakan dengan baik dan benar,
diam-diam mengagumi kecemerlangan dan kecerdasan
Putu Risang. "Tidak seperti kelima lontar ini, dua buah rontal awal dan
akhir isi kitab ini berupa sebuah kalimat yang harus kita
pahami bersama", berkata Ki Kumbara kepada Putu
Risang. Maka terlihat Ki Kumbara mengucapkan kalimat demi
kalimat yang sudah dihapal dan dipahaminya terpahat
dengan jelas di dalam ingatannya isi dari kedua kulit
rontal yang pernah dilumatnya habis.
Terlihat Putu Risang menyimak kata demi kata semua
yang diucapkan oleh Ki Kumbara.
"Coba kamu ulangi isi kalimat rontal pertama", berkata Ki
Kumbara kepada Putu Risang meminta anak muda itu
mengulang kembali dihadapannya isi dari kalimat rontal
pertama. "Tidak akan menyentuh apapun dari kitab ini kecuali dia
yang bersih", berkata Putu Risang di hadapan Ki
Kumbara mengulangi kalimat yang ada di dalam rontal
pertama. "Ulangi kalimat pada rontal ke tujuh", berkata Ki Kumbara
kepada Putu Risang. "Tengoklah olehmu ke kiri dan kananmu, niscaya kamu
selamat sejahtera", berkata Putu Risang mengulangi isi
dari rontal ketujuh. "Bagus, nampaknya kamu sudah dapat menghapal
dengan sempurna seluruh isi dari kitab pusaka ini. Akan
lebih mudah bagi kita untuk dapat belajar dan
402 memahaminya isi dari ketujuh rontal ini", berkata Ki
Kumbara terlihat penuh gembira mendapatkan Putu
Risang yang dengan mudahnya menghapal semua isi
ketujuh rontal itu dengan sempurna.
Setelah berkata, terlihat Ki Kumbara memberikan
penjelasan secara rinci isi dari setiap rontal itu. Sebagai
seorang yang pernah mempelajari dan memahami
sebuah laku olah pernafasan membuat Putu Risang tidak
mengalami banyak kesulitan.
"Apakah kamu tidak lapar ?", berkata Ki Kumbara kepada
Putu Risang setelah begitu lama mereka berdua
mempelajari ketujuh rontal itu.
Mendengar ucapan Ki Kumbara membuat Putu Risang
merasakan ada yang berbunyi di dalam perutnya. Sejak
kemarin perutnya memang tidak tersentuh apapun.
"Didalam goa ini apa yang dapat kita makan", berkata
Putu Risang dengan senyum kecut.
Terlihat Ki Kumbara tersenyum mendengar ucapan Putu
Risang. "Tengoklah", berkata Ki Kumbara sambil menunjuk
dengan gerakan kepalanya ke arah kiri mereka.
Putu Risang mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Ki
Kumbara, meski dalam keadaan penuh remang-remang
namun mata Putu Risang yang sudah terbiasa melihat di
dalam kegelapan goa itu dapat melihat bahwa ada
sebuah tanaman merambat di ujung sudut kiri goa itu.
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tanaman yang sama yang hidup tumbuh sebagai obat
penawar dahaga di tempat kediaman Nyi Pruti", berkata
Ki Kumbara kepada Putu Risang.
Tanpa diperintah Putu Risang sudah berdiri melangkah
ke arah tanaman yang tumbuh di sudut goa itu. Ternyata
403 sebuah tumbuhan merambat dengan buah sebesar ibu
jari berwarna hitam. Terlihat Putu Risang memetik
beberapa buah dan membawanya ke dekat Ki Kumbara.
Terlihat Ki Kumbara telah mendekatkan kepalanya dan
mengambil buah itu langsung dengan mulutnya.
Terlihat Ki Kumbara telah mengunyah buah itu di dalam
mulutnya. Sementara Putu Risang memperhatikannya
dengan hati penuh iba. "Kenapa hanya melihat, apa kamu tidak lapar?", berkata
Ki Kumbara kepada Putu Risang
Putu Risang terlihat sudah ikut makan buah itu. Ternyata
buah itu dirasakan oleh Putu Risang sangat begitu
manis, baru tiga buah masuk ke mulutnya, Putu Risang
merasakan diperutnya sudah cukup mengganjal.
Sementara itu suasana siang dan malam di dalam goa itu
memang tidak ada bedanya, hanya naluri mereka sajalah
sebagai manusia yang dapat membedakannya.
"Beristirahatlah, besok baru kita mulai mencoba sejauh
mana dirimu memahami kitab pusaka pertapa dari
Gunung Wilis itu", berkata Ki Kumbara kepada Putu
Risang. Maka tidak lama berselang, keduanya sudah terlelap
tidur dalam mimpinya masing-masing.
Sementara itu langit malam di muka bumi jauh diatas
permukaan goa itu sudah lama berlalu. Kerlap-kerlip
jutaan bintang bertaburan di langit purba seperti terus
menjadi saksi kehidupan peradaban manusia dan semua
penghuni bumi tua ini. Dan panggung waktu pun akhirnya berlatar wajah pagi.
Jauh dibawah perut bumi, di hari kedua Putu Risang
404 terperangkap di sebuah goa.
"Tidurmu begitu pulas", berkata Ki Kumbara kepada Putu
Risang yang dilihatnya tengah menggeliat membuka
kelopak matanya. Terlihat Putu Risang telah menarik tubuhnya bersandar
di dinding goa. "Saatnya mencoba ilmu kitab sakti pertapa Gunung Wilis.
Apakah kamu sudah siap?", bertanya Ki Kumbara
kepada Putu Risang. Terlihat Putu Risang tidak langsung menjawab, di
kepalanya kembali tergambar seluruh isi kitab olah laku
itu yang nampaknya sudah melekat begitu kuat didalam
ingatannya. "Bersama doa Ki Kumbara, semoga aku dapat
melakukannya dengan baik", berkata Putu Risang sambil
berdiri perlahan mencoba dan memulai sebuah laku dari
tujuh buah rontal milik seorang pertapa suci di Gunung
Wilis. Sebagai seorang pemuda yang pernah mempelajari
sebuah laku untuk membangkitkan tenaga cadangan di
dalam dirinya, Putu Risang nampaknya tidak mengalami
banyak kesulitan. Perbedaannya hanya terletak dalam
sikap laku yang lain dimana selama ini Putu Risang
sesuai ilmu yang diturunkan lewat Mahesa Amping dan
Empu Dangka melakukanya dengan sikap satu, duduk
bersila sempurna. Sementara laku dari kitab pertapa
Gunung Wilis itu adalah sebuah laku dengan enam buah
sikap dan gerakan, jauh sangat berbeda.
Dan Putu Risang terlihat telah melakukannya.
Sementara di dekatnya Ki Kumbara menunggu dengan
hati dan jantung penuh berdebar-debar.
405 "Semoga anak muda ini dapat melewatinya dengan
sempurna, tidak mengalami apa yang dialami Nyi Pruti
dan keempat putranya", berkata Ki Kumbara dalam hati
penuh kecemasan meski sudah beberapa kali
memahami seluruh isi dari ketujuh rontal itu dengan baik,
telah meyakini bahwa kesalahan Nyi Pruti adalah pada
awal dan akhir dari isi kitab pusaka itu.
Ternyata kekhawatiran Ki Kumbara atas anak muda itu
tidak terjadi. Jauh didalam keheningan dan kepasrahan
dirinya dihadapan Gusti Yang Maha Agung, perlahan tapi
pasti Putu Risang mulai merasakan sebuah hawa murni
terkumpul di tengah pusarnya. Bukan main gembiranya
hati Putu Risang dapat menghimpun dan membangkitkan
kembali Hawa murni didalam dirinya meski telah diciderai
empat buah simpul syarafnya oleh Nyi Pruti.
Tidak hanya itu, Putu Risang dapat merasakan hawa
murni itu berputar dan bergerak ke segala penjuru urat
darahnya, ke segala sudut dan sisi anggota tubuhnya
seirama dengan gerakan yang dilakukannya, saat berdiri,
menundukkan badan, sujud dan ketika duduk bersimpuh.
Bagian 2 Namun ketika duduk bersimpuh dengan tangan kanan
menunjuk kedepan dengan telunjuknya, Putu Risang
dapat merasakan hawa murninya bergerak lebih cepat
lagi ke segala penjuru dan sisi tubuhnya, begitu liar dan
seperti tak terkendali. Bersyukurlah, Putu Risang dibawah bimbingan Ki
Kumbara telah memahami isi dan makna petunjuk rontal
ketujuh. 406 "Tengoklah olehmu ke kiri dan kananmu, niscaya kamu
selamat sejahtera" Ternyata isi dari rontal ketujuh itu adalah sebuah cara
menutup dan mengakhiri lakunya.
Dan Putu Risang memang telah menjinakkan keliaran
hawa murninya. Terlihat perlahan Putu Risang menarik
nafas panjang, Putu Risang telah mengakhiri lakunya.
"Cepat ceritakan kepadaku, apa yang kamu rasakan",
berkata Ki Kumbara bergelinding mendekati Putu Risang.
Penuh senyum kegembiraan Putu Risang mengatakan
kepada Ki Kumbara apa yang dirasa dan didapatnya
dalam olah laku itu. Juga tentang empat buah simpul
syaraf dipergelangan kaki dan tangannya yang telah
dicelakai oleh Nyi Pruti.
"Cidera di empat simpul syarafmu sudah kembali seperti
sedia kala", berkata Ki Kumbara penuh kegembiraan.
Putu Risang juga merasakan kesegaran didalam dirinya.
Dan Putu telah mencoba kembali ilmu rahasia kitab
pusaka pertapa Gunung Wilis itu, dengan sebuah
keyakinan yang lebih utuh, tentunya.
"Jangan kamu lupakan wadagmu, bagian dari dirimu
yang juga perlu perhatian", berkata Ki Kumbara
mengingatkan Putu Risang bahwa sudah setengah hari
itu belum makan apapun. "Terima kasih", berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara
menghentikan latihannya. Demikianlah, dari waktu ke waktu jauh didalam perut
bumi itu Putu Risang terus mendalami laku rahasia kitab
pusaka pertapa Gunung Wilis itu, mengukur sejauh mana
peningkatan kekuatan dirinya, kecepatannya bergerak
407 serta mengendalikan kemampuan apa saja yang tumbuh
berkembang dengan sendirinya dari dalam dirinya itu.
Hari ke tujuh, masih didalam perut bumi. Putu Risang
merasakan kekuatan didalam dirinya begitu pesat
tumbuh berlipat-lipat ganda jauh sebelum datang
bertemu dengan empat putra Nyi Pruti.
Dan Putu Risang terus berlatih mengendalikan dan
menyesuaikan kekuatan itu dengan pola gerak
kanuragan yang dimiliki, juga senjata cambuk pendek
andalannya. Dengan kekuatan tenaga cadangan yang dimiliki, Putu
Risang telah mampu lebih dahsyat lagi menyerap hawa
panas dan hawa dingin diluar tubuhnya menjadi sebuah
sumber kekuatan yang luar biasa dilontarkan keluar dari
hampir seluruh tubuhnya. Bahkan Putu Risang telah mampu mengalirkan tenaga
hawa panas lewat ujung cambuk senjata andalannya.
Degg !!! Terdengar suara lecut sendal pancing dari tangan Putu
Risang tertuju kearah kubangan mata air di goa itu.
Luar biasa!!!, seketika itu juga terlihat air di kubangan itu
telah bergejolak mendidih.
"Kekuatan dirimu sudah semakin bertambah", berkata Ki
Kumbara yang melihat dengan mata kepalanya sendiri
bagaimana Putu Risang dengan hanya sebuah hentakan
cambuknya dapat membuat air kubangan mendidih
seketika. Masih terlihat asap tebal putih mengepul naik
diatas permukaan air itu.
"Ini semua juga berkat bimbingan dari Ki Kumbara",
berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara dengan penuh
rasa hormat. 408 Demikianlah, hari-hari dilewatkan Putu Risang untuk
terus berlatih dan melipat gandakan kekuatannya.
Namun tidak lupa juga masih terus mencari jalan keluar
yang mungkin saja dapat mereka temukan, jalan keluar
dari goa tempat dimana mereka terkurung.
"Tidak ada jalan lain kecuali lubang kemana air itu
mengalir", berkata Putu Risang sambil duduk didekat Ki
Kumbara. "Sepertinya hanya jalan itu tempat keluar kembali ke
alam bebas", berkata Ki Kumbara membenarkan
pemikiran Putu Risang. "Tidak ada salahnya bila kita mencoba", berkata Putu
Risang kepada Ki Kumbara "Kita?", berkata Ki Kumbara. "Kamu saja yang keluar,
biarlah aku tetap disini", berkata kembali Ki Kumbara.
"Kita keluar bersama, kita akan terus bersama", berkata
Putu Risang penuh harap Ki Kumbara dapat ikut
bersamanya. "Diriku yang cacat ini akan menyusahkan langkahmu,
telah kutetapkan diriku selamanya disini. Inilah karmaku
tebusan atas segala perbuatan buruk ayahku selama
hidupnya", berkata Ki Kumbara.
Dan hari itu adalah hari ke dua belas, masih didalam
perut bumi di sebuah lubang goa yang tertutup.
Putu Risang telah menetapkan hati untuk mencoba
keluar dari lubang goa itu lewat celah air kubangan.
"Selamat jalan sahabat muda", berkata Ki Kumbara
kepada Putu Risang dengan penuh senyum.
"Aku akan menepati janjiku, mencari dan menghentikan
kekejaman Nyi Pruti dan keempat putranya", berkata
409 Putu Risang kepada Ki Kumbara
"Doaku bersamamu, semoga keselamatan selalu
menyertaimu", berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang
yang telah membalikkan badannya kearah kubangan
mata air. Terlihat Putu Risang telah mendekati aliran air di ujung
sebuah celah yang pernah diperiksanya cukup untuk
ukuran tubuh orang dewasa.
Bluss !!! Dan Putu Risang sudah masuk menghilang tertelan
lubang celah air itu. Ternyata air itu mengalir menurun didalam sebuah
rongga bumi, lama Putu Risang terbawa arus air itu.
Beruntunglah bahwa Putu Risang bukan manusia biasa,
bayangkan bila saja dirinya belum mendalami ilmu
rahasia kitab pusaka pertapa Gunung Wilis itu maka
sudah habislah riwayat anak muda dari Balidwipa ini.
Dirinya akan mati kehabisan udara, paru-parunya akan
pecah dengan perut membuncit karena banyak menelan
air. Beruntunglah, Putu Risang sudah memiliki kekuatan
bukan orang dewasa, dirinya masih dapat menahan
nafasnya yang masih terus terseret dibawa aliran air
didalam rongga bumi. Beruntunglah, bahwa ujung dari aliran air itu ternyata
sebuah air jeram yang tidak begitu tinggi. Tidak
terbayangkan bilamana aliran itu berujung di sebuah
tempat sempit, kekuatan sebesar apapun tidak akan
mampu bertahan, dapat dipastikan tubuh Putu Risang
akan membusuk didalamnya.
Jeburrrr"!!!!! 410 Tubuh Putu Risang terlihat terhempas jatuh di atas
sebuah telaga kecil di sebuah celah bukit yang dipenuhi
rimbunnya pepohonan hijau. Terlihat Putu Risang sudah
muncul di permukaan air telaga itu yang cukup dalam di
bagian tempat jatuhnya air terjun, sementara di bagian
pinggir telaga itu sangat dangkal dengan banyak terlihat
batu-batu besar berwarna hitam licin berlumut.
"Sebuah pemandangan yang sangat indah", berkata Putu
Risang dalam hati sambil menikmati suasana panorama
alam di sekililing dirinya sambil duduk diatas sebuah batu
datar mencoba mengeringkan pakaian yang basah masih
melekat di tubuhnya. "Aku harus kembali jalan melingkar naik keatas bukit ini",
berkata Putu Risang dalam hati mencoba mencari arah
jalan dimana dirinya pertama kali bertemu dengan empat
lelaki kembar, para putra Nyi Pruti.
Terlihat Putu Risang tengah mendaki sebuah bukit hijau,
seperti seekor burung yang merdeka terlepas dari
kurungan sangkarnya, Putu Risang begitu menikmati
alam bebas setelah terkurung di perut bumi selama
kurang lebih dua belas hari.
Akhirnya Putu Risang terlihat sudah sampai diatas
puncak bukit itu, agak sulit memang mencari kembali
arah jalan awal dimana dirinya bertemu dengan keempat
putra Nyi Pruti, awal dirinya terkurung di sebuah goa
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan Ki Kumbara.
Namun akhirnya Putu Risang dapat menemukannya, ke
arah itulah kakinya melangkah.
Sementara itu masih ditempat yang sama berlawanan
arah dari langkah Putu Risang, terlihat seorang wanita
tengah meronta menangis dipanggul diatas tubuh
seorang lelaki, bersama mereka masih ada tiga orang
411 lelaki lain yang terus berjalan beriring.
Ternyata keempat lelaki yang tengah membawa wanita
tawanannya itu adalah empat putra Nyi Pruti.
"Lepaskan aku!!", berteriak wanita itu meronta dan
menangis. Tapi tidak ada sedikitpun rasa kasihan muncul diantara
wajah empat lelaki itu, tetap saja wajah dingin tanpa
perasaan yang terlihat di wajah mereka.
"Lepaskan wanita tak berdosa itu", berkata tiba-tiba
seorang pemuda menghadang di hadapan mereka.
Ternyata pemuda yang datang menghadang itu tidak lain
adalah Putu Risang yang memang sengaja mencari
keempat putra Nyi Pruti itu.
"Tawanan kita datang kembali", berkata lelaki yang
tengah memanggul seorang wanita sambil tertawa penuh
gembira langsung melempar tubuh wanita yang tengah
dipanggulnya. Kasihan wanita itu, terlihat meringis memegang
pinggulnya yang nampaknya begitu keras terhantam
sebuah batu besar. Melihat itu telah membuat Putu Risang menjadi sangat
geram. "Manusia tidak beradab", berkata Putu Risang penuh
kebencian. Keempat lelaki berwajah dingin itu tidak berkata apapun,
langsung bergeser mengepung Putu Risang yang
dikatakan sebagai tawanan mereka yang hilang.
Langsung, keempat putra Nyi Pruti itu sudah langsung
menerkam Putu Risang secara bersamaan seperti
berlomba saling mendahului.
412 Gerak mereka begitu cepat, tapi untungnya Putu Risang
bukan orang yang dulu lagi, dirinya telah mempelajari
ilmu pusaka pertapa Gunung Wilis, jauh lebih sempurna
dibandingkan mereka. Terlihat Putu Risang sudah dapat melejit keluar dari
kepungan mereka dengan gerak yang lebih gesit.
Begitulah berulang-ulang mereka mencoba mengepung
dan menangkap anak muda itu, tapi Putu Risang dengan
mudah dapat lolos dari kepungan mereka.
Sadarlah Putu Risang bahwa keempat Putra Nyi Pruti itu
ternyata dasar kanuragan mereka masih jauh dari
sempurna, mereka nampaknya hanya mengandalkan
kecepatan dan kekuatan dirinya.
Beberapa kali dalam sebuah benturan, Putu Risang
mendapatkan kenyataan bahwa tataran kekuatan
mereka sudah jauh tertinggal olehnya. Namun Putu
Risang nampaknya belum yakin betul apakah tingkat
tataran ilmu mereka sudah sampai pada puncaknya. Dan
Putu Risang masih menjajakinya.
Hingga akhirnya ketika keyakinannya timbul bahwa
tingkat tataran ilmu mereka dibawah beberapa lapis dari
dirinya, Putu Risang mulai dengan sebuah permainannya. Terlihat Putu Risang membiarkan dirinya tertangkap,
dibiarkannya keempat orang berwajah dingin itu masingmasing telah mencengkeram kaki dan tangannya.
"Bunda tidak akan memarahi kita bila tawanan ini kita
santap, masih ada cadangan korban menjelang purnama
nanti", berkata salah satu diantara mereka.
Namun bukan main kaget dan penasarannya mereka,
tubuh Putu Risang terasa begitu alot tidak dapat dirobek
413 sebagaimana mereka biasa merobek seekor kuda yang
begitu kuat. Terlihat urat wajah keempat putra Nyi Pruti itu sudah
semakin keras sebagai tanda telah mengerahkan
segenap kekuatannya, namun tubuh Putu Risang tidak
juga bergeming sedikitpun, masih utuh dengan kedua
kaki dan tangan terentang diantara kedua tangan
mereka. Dan akhirnya Putu Risang sudah menjadi bosan dengan
permainannya, maka dengan sebuah hentakan terlihat
keempat orang lelaki itu seperti sebuah pohon tercabut
dari akarnya, keempat orang itu seperti ditarik oleh
sebuah tenaga yang begitu kuat.
Secara bersamaan keempat tubuh lelaki kembar itu
sudah tertarik ke satu tempat yang sama.
Prakk !!! Empat kepala dengan kerasnya terbentur satu dengan
yang lainnya. Sebuah benturan yang begitu sangat kuat
dan sangat keras membuat tubuh keempat orang itu
langsung lunglai seperti sebuah daun tidak bertulang,
jatuh lemas tidak bergerak lagi.
"Mati !!", berkata Putu Risang dalam sambil memeriksa
orang terakhir yang ternyata memang sudah tidak
bernyawa lagi. "Aku telah membunuh keempat orang ini", berkata Putu
Risang dalam hati penuh penyesalan bahwa dirinya tidak
mampu mengendalikan kekuatannya yang ternyata
memang sudah menjadi jauh berlipat-lipat dari
kekuatannya semula sebelum mempelajari ilmu pusaka
pertapa Gunung Wilis itu.
"Entah setan mana yang telah mengembalikan kekuatan
414 dirimu, bahkan jauh lebih kuat", berkata seseorang yang
tiba-tiba saja terdengar melengking namun belum juga
menampakkan dirinya dihadapan Putu Risang.
"Nyi Pruti", berkata Putu Risang dalam hati yang masih
mengenali pemilik suara itu, namun belum melihat
orangnya. Sebuah tanda pemilik suara itu mempunyai
tingkat tataran ilmu yang sangat begitu tinggi.
"Jangan merasa besar kepala dapat membunuh keempat
putraku", berkata Nyi Pruti yang sudah terlihat berjalan
mendekati Putu Risang. Dan Putu Risang dapat melihat bahwa tidak sedikitpun
ada wajah duka di diri Nyi Pruti melihat mayat keempat
putranya itu. Hal itu saja sudah membuat bulu kuduk
Putu Risang merinding bahwa dihadapannya ini adalah
seorang berhati sangat dingin, sudah dapat disamakan
hatinya dengan hati seekor serigala, bahkan lebih lagi.
"Dengar dengan telingamu, jantungmu akan kukeluarkan
saat ini juga tanpa menanti datang bulan purnama",
berkata Nyi Pruti dengan mata begitu tajam menusuk
dada. "Dengar juga nenek sihir, jantungku sangat pahit",
berkata Putu Risang tanpa rasa takut sedikitpun.
"Ternyata di ujung hidupmu masih juga dapat bergurau",
berkata Nyi Pruti masih dengan sikap dinginnya terlihat
sudah memutar tongkat panjang ditangannya dengan
begitu cepatnya. Melihat tongkat yang sudah berputar ditangan Nyi Pruti
membuat Putu Risang segera bersiap diri telah melepas
cambuk pendeknya penuh kesungguhan untuk
menghadapi ilmu Nyi Pruti yang diperkirakan mempunyai
tingkat tataran yang tinggi.
415 Benar sekali seperti dugaannya, tiba-tiba saja tongkat Nyi
Pruti sudah meluncur menyerang dirinya.
Tapi Putu Risang bukan pemuda yang baru kemarin sore
mengenal kanuragan, tapi Putu Risang adalah murid
kesayangan dua orang mumpuni pada jamannya, yaitu
Mahesa Amping dan Empu Dangka.
Apalagi saat itu dirinya sudah mengenal dan mendalami
ilmu pusaka pertapa gunung Wilis, maka genaplah diri
Putu Risang pemuda yang tidak punya rasa gentar
menghadapi siapapun, kali ini menghadapi Nyi Pruti yang
memulai serangan dengan sebuah tusukan yang cepat
dan deras mengancam lambungnya.
Terlihat Putu Risang telah bergeser dua langkah sambil
menggerakkan cambuknya melingkar.
Bukan main terkejut dan geramnya Nyi Pruti bahwa Putu
Risang dengan mudahnya keluar dari serangannya
bahkan telah berbalas menyerang.
Terlihat Nyi Pruti telah meloncat tinggi, begitu cepat
sambil langsung meluncur mengejar dengan ujung
tongkatnya nyaris mendekati kepala Putu Risang.
Lagi-lagi Nyi Pruti menjadi begitu gusar bahwa pemuda
itu dengan cepat bergerak menghindari ujung tongkatnya
dan balas menyerang dirinya dengan sebuah lecutan
ujung cambuk mengarah kakinya.
Demikianlah, Nyi Pruti menjadi begitu sangat murka
mendapatkan lawan yang masih muda itu tidak juga
dapat ditundukkannya, bahkan telah merepotkannya
dengan serangan baliknya yang tidak kalah cepat dan
berbahayanya. Terlihat keduanya sudah langsung meningkatkan tataran
ilmu mereka, dan pertempuran di celah lereng dua bukit
416 itu menjadi begitu seru menegangkan. dan juga begitu sangat Dan angin deru senjata mereka sudah menjadi begitu
berbahaya, telah dilambari tenaga sakti membuat
pertempuran mereka semakin berjarak.
Putaran angin tongkat Nyi Pruti dirasakan oleh Putu
Risang begitu panas menyengat kulitnya, maka Putu
Risang segera mengimbanginya dengan melontarkan
hawa pukulan yang dingin membeku.
Bukan main geramnya Nyi Pruti bahwa hawa panas
pukulannya tidak membuat anak muda itu menyusut,
bahkan terasa serangannya semakin deras menggulung
seperti ombak samudra membumbung tinggi siap
menghempas dan melemparnya.
Putu Risang memang telah meningkatkan tataran
ilmunya jauh dari yang diduganya membuat Nyi Pruti
mulai kehabisan tenaga sibuk menghindar kesana
kemari. Mereka memang punya dasar sumber ilmu tenaga sakti
yang sama, tapi ternyata Putu Risang jauh lebih
sempurna mendalami ilmu itu, dan tingkat kesempurnaan
itu akhirnya telah terlihat jelas dimana Nyi Pruti merasa
begitu sangat putus asa. "Kesurupan setan mana anak ini", begitu ucapan Nyi
Pruti dalam hati sambil melompat terhindar dari angin
serangan cambuk Putu Risang yang melambarinya
dengan kekuatan hawa panas.
Inilah kehebatan dan kesempurnaan ilmu sakti yang
dimiliki oleh Putu Risang, dimana dirinya dengan begitu
mudah dapat merubah sumber kekuatan didalam dirinya,
pada satu saat melambarinya dengan tenaga hawa
417 panas, namun tiba-tiba saja tenaga serangannya
berubah menjadi sebuah angin dingin yang begitu tajam
membekukan darah. Hal inilah yang membuat Nyi Pruti
menjadi semakin putus asa, tidak menyangka pemuda ini
yang dikira semula begitu mudah dapat dilumpuhkan
ternyata begitu alot, bahkan tragis berbalik nyaris dapat
membunuhnya. Deg !! Degg !! Terdengar dua kali hentakan cambuk pendek Putu
Risang ke arah sekitar lima langkah dari tubuh Nyi Pruti.
Dahsyat sekali hentakan cambuk itu, tidak menyangka
sama sekali bahwa angin hentakan cambuk ditangan
Putu Risang ternyata sudah masuk dalam area lawan
tepat menembus dinding jantung Nyi Pruti yang sama
sekali tidak menduganya. Dan angin hentakan cambuk itu nyaris seperti sebilah
pedang tajam menusuk dingin menembus tepat di dada
kiri nenek berhati kejam itu. Dan wajah Nyi Pruti
langsung kaku dengan mata terbelalak. Nyi Pruti
memang telah mati penasaran. Nyawanya sudah
langsung terbang meninggalkan tubuhnya yang jatuh
rebah di bumi tergeletak kaku.
Terlihat Putu Risang memandang Nyi Pruti dengan wajah
penuh keheranan, perlahan mengangkat cambuknya
tinggi-tinggi, masih dalam wajah keheranan tidak
menyangka bahwa jangkauan ujung cambuknya telah
begitu jauh dan begitu sangat mematikan.
"Pencuri wanita itu memang sudah ditakdirkan harus mati
oleh kekuatan ilmu yang dicurinya", terdengar suara
bergema dari segala penjuru tanpa diketahui dari mana
sumbernya. 418 Baru kali ini Putu Risang mendengar suara yang begitu
berat menekan isi rongga dadanya, langsung seketika itu
juga Putu Risang telah melambari kekuatan dirinya.
"Suara siapakah yang demikian bertenaga itu?", berkata
Putu Risang dalam hati penuh kekhawatiran bakal
mendapat lawan yang jauh lebih berat karena hanya
lewat suaranya saja sudah begitu mendebarkan isi
rongga dadanya. "Bagus, tataran ilmumu sudah mampu menahan ilmu
ajian gelap ngamparku", berkata kembali orang yang
tidak juga menampakkan dirinya.
"Siapakah gerangan tuan?", bertanya Putu Risang sambil
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencoba mencari arah sumber suara itu.
"Teruslah berlatih, agar ujung cambukmu tidak menjadi
liar mencabut nyawa manusia", berkata kembali orang
itu. "Siapakah gerangan tuan?", bertanya kembali Putu
Risang masih belum juga menemukan dari mana sumber
suara itu. "Aku hanya pertapa dari Gunung Wilis, kurestui hari ini
kamu menjadi pewaris tunggal ilmuku", berkata kembali
orang itu masih dengan suara bergema memantul
diantara cadas-cadas bukit menjulang tinggi di celah
lereng itu. Terlihat Putu Risang merangkapkan kedua tangannya
didepan dada sebagai sebuah penghormatan setelah
sekian lama orang yang mengaku sebagai pertapa dari
Gunung Wilis itu tidak juga menampakkan diri, mungkin
sudah pergi dan tidak ada keinginan untuk bertatap muka
dengannya. "Kasihan wanita itu", berkata Putu Risang ketika matanya
419 tertuju kepada seorang wanita yang sudah mulai dapat
duduk bersandar di sebuah batu besar, nampaknya rasa
sakit akibat benturan itu sudah mulai berkurang.
"Mari kuantar kamu kembali ke tempat tinggalmu",
berkata Putu Risang kepada wanita itu.
"Terima kasih", berkata wanita itu yang merasa tidak
takut kepada Putu Risang yang dilihatnya sebagai
seorang pemuda biasa yang sangat santun.
"Beristirahatlah sebentar, sambil menunggu aku untuk
menguburkan lima jenasah ini", berkata Putu Risang
merasa berdosa bila harus meninggalkan lima sosok
tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.
Demikianlah, dengan alat apa adanya terlihat Putu
Risang sudah membuat sebuah lubang yang cukup
dalam guna dapat mengubur kelima mayat itu dimana
mereka ketika masih hidup begitu sangat buas dan kejam
tanpa berkedip memangsa sesamanya, memangsa
manusia !! "Mari kita berangkat", berkata Putu Risang kepada wanita
itu setelah menyelesaikan tugasnya mengubur mayat Nyi
Putri dan keempat putranya.
Ternyata padukuhan tempat tinggal wanita itu memang
tidak terlalu jauh, ketika matahari terlihat sudah semakin
senja, dalam warna buram udara yang bening teduh
dengan penuh haru biru suka cita tangis air mata
terdengar tangis wanita itu dan keluarganya.
"Terima kasih anak muda", berkata seorang lelaki yang
ternyata ayah dari wanita itu
"Menginaplah di rumah kami, hari sudah akan menjadi
malam", berkata ayah wanita itu menawarkan Putu
Risang yang mengaku hanya sebagai seorang
420 pengembara. Masih di sebuah padukuhan disaat pagi telah datang.
Hari di pagi itu dalam warna cerah bertabur kehangatan
sinar matahari dan suara angin semilir di ujung juntai
kuning padi. Di ujung jalan sebuah Padukuhan terlihat seorang
pemuda tengah berjalan seorang diri, dan pemuda itu
tidak lain adalah Putu Risang yang baru saja
meninggalkan rumah seorang wanita yang telah
diselamatkannya dari tangan keluarga Nyi Pruti.
Berkat petunjuk beberapa orang tua di Padukuhan itu,
akhirnya Putu Risang mendapat sebuah petunjuk arah
yang paling cepat untuk sampai di Bumi Majapahit.
Ketika dirinya menemui sebuah Kademangan yang
cukup ramai, Putu Risang pun telah memutuskan untuk
membeli seekor kuda agar perjalanannya menjadi lebih
cepat lagi sampai di Bumi Majapahit.
Demikianlah, dengan berkuda perjalanan Putu Risang
menjadi lebih cepat lagi dan tidak begitu melelahkan.
Seperti seekor elang muda tengah mengarungi padang
perburuan baru, Putu Risang memacu kudanya
mengarungi padang dan perbukitan hijau. Sebagaimana
seorang pengembara yang berjalan di sepanjang siang
hari dan beristirahat sejenak di malam harinya yang
terkadang hanya beratap langit di alam terbuka. Namun
Putu Risang tidak pernah melewatkan waktunya untuk
berlatih mengendalikan kekuatan yang ada didalam
dirinya untuk mengukur sejauh mana lontaran yang dapat
dihentakkannya lewat cambuknya atau lewat kaki dan
tangannya sendiri. Dan pada akhirnya Putu Risang telah mendapatkan jalur
421 perjalanannya kembali. "Hutan bukit cemara", berkata Putu Risang sambil
memacu kudanya mencoba mendekati kaki bukit Cemara
itu. Ketika Putu Risang telah sampai diatas puncak bukit
cemara matahari sudah bergeser sedikit dari puncaknya
membelakangi punggung Putu Risang.
"Selamat bertemu kembali sahabat muda", berkata
seseorang kepada Putu Risang.
Bukan main terkejutnya Putu Risang bertemu kembali
ditempat yang sama dengan seorang tua renta yang
tidak lain adalah seorang yang mempunyai sebuah
julukan, Kera sakti seribu bayangan. Seorang yang
mempunyai ilmu yang cukup tinggi, dan Putu Risang
sudah pernah berhadapan dengannya, harus mengakui
kehebatan jurus tangan kosong orang tua itu.
"Selamat bertemu juga, wahai orang tua perkasa",
berkata Putu Risang dengan wajah penuh senyum.
"Entah mengapa tangan ini terasa gatal-gatal ingin
merebut cambuk pendekmu kembali", berkata orang tua
itu penuh sindiran untuk mengingatkan kembali Putu
Risang dengan pertempurannya dengan orang tua itu
dimana cambuk Putu Risang berhasil direbut oleh orang
tua yang menamakan dirinya Kera sakti bertangan
seribu. "Entah mengapa tanganku juga terasa gatal-gatal",
berkata pula Putu Risang sambil menggaruk-garukkan
telapak tangannya yang tidak gatal.
Putu Risang tahu betul bahwa orang tua itu tidak ada
maksud jahat kepadanya, hanya seorang tua yang sudah
lama tidak menggunakan jurus-jurusnya dan merasa
422 gembira menemukan kembali teman bertandingnya,
hanya itu tidak lebih dan tidak kurang.
"Pegang erat-erat cambuk ditanganmu", berkata orang
tua itu dengan sikap siap menyerang.
Terlihat Putu Risang telah memutar cambuknya siap
menerima serangan orang tua itu.
Maka dalam waktu singkat telah terjadi pertempuran
diantara mereka sebagaimana pernah mereka lakukan
bersama, orang tua itu bertangan kosong selalu
mencoba masuk menyerang dalam jarak dekat,
sementara Putu Risang dengan cambuknya selalu
mencari jarak serangnya. Dan sebagaimana sebelumnya, kedua orang itu sudah
sepertinya sangat menikmati perkelahian mereka.
Sepertinya mereka diam-diam telah sepakat untuk tidak
menggunakan kekuatan tenaga cadangan, hanya
sebatas kecepatan dan kelincahan bergerak.
Namun lama kelamaan orang tua itu tersadar bahwa
Putu Risang telah meningkat tataran ilmunya, telah
bergerak lebih cepat dari sebelumnya beberapa hari
yang telah lewat. Dan Putu Risang masih saja dapat melayani perlawanan
orang tua itu yang telah meningkatkan tataran ilmunya
selapis demi selapis. "Setan mana yang telah merubah kamu", berkata orang
tua itu merasa sangat penasaran melihat Putu Risang
masih saja dapat melayaninya meski sudah puluhan
jurus telah dikeluarkannya bahkan telah meningkatkan
tataran kecepatan geraknya.
"Aku bertemu setan tua di hutan bukit Cemara", berkata
Putu Risang sambil tertawa penuh kegembiraan
423 melayani jurus-jurus maut orang tua itu.
Hingga akhirnya ketika orang tua aneh itu telah
meningkatkan puncak kemampuannya, namun Putu
Risang masih dapat melebihi beberapa lapis tataran
ilmunya. Maka diatas puncak bukit itu seperti ada sebuah
tontonan yang sangat begitu menarik, terlihat orang tua
aneh itu seperti seekor kera yang lari kesana kemari
dikejar ujung cambuk majikannya.
"Aku menyerah", berkata orang tua aneh itu dengan
nafas terputus-putus. "Aku juga sudah jemu bermain", berkata Putu Risang
sambil melibatkan cambuknya kembali melingkar di
pinggangnya bersama sebuah senyum kegembiraan.
"Aku seperti tidak berhadapan dengan anak muda yang
pernah kurebut cambuknya", berkata orang tua itu sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan
wajah sangat aneh penuh rasa penasaran.
"Terima kasih telah meluangkan waktunya", berkata Putu
Risang sambil melompat keatas punggung kudanya.
Masih sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak
gatal, orang tua itu masih melihat langkah kuda Putu
Risang sebelum akhirnya menghilang di jalanan yang
menurun. menghilang di jalanan yang menurun.
Ketika matahari telah jatuh di penghujung senja, langkah
kaki kuda Putu Risang sudah berada di jalan Padukuhan
Maja. Dan Putu Risang merasa jaraknya ke Bumi
Majapahit sudah begitu sangat dekat, entah semakin
mendekati bumi Majapahit ada sebuah debar dirasa.
Debar perasaan rindu?"
424 Entahlah, Putu Risang masih belum menyadari perasaan
apa yang selalu timbul di hatinya membaur dengan
keinginan bertemu dengan semua kerabat dekatnya di
Bumi Majapahit dimana dirinya selama ini sangat begitu
dekat. Wajah Endang Trinil masih saja terus terbayang diantara
lintasan bayang-bayang wajah Mahesa Amping, Pendeta
Gunakara, Nyi Nariratih dan ketiga bocah nakal yang
selalu bersamanya seharian penuh di Bumi Majapahit.
Memang ada debar yang beda ketika wajah Endang
Trinil tiba-tiba saja melintas dalam pikirannya. Hingga
akhirnya Putu Risang telah memasuki Bumi Majapahit
ketika wajah malam telah tiba, dan getaran debar
jantungnya seperti begitu kencang tak terkendalikan.
Debar perasaan rindukah ?"
Dan Putu Risang sudah tidak memikirkan apapun selain
kegembiraan hati mendapatkan dirinya telah kembali di
depan pasanggrahan Mahesa Amping dan keluarganya.
Temaram warna pelita malam bergantung diatas
pendapa pasanggrahan ketika Putu Risang tengah
mengikat tali kendali kudanya.
"Putu Risang", berkata seorang lelaki yang berwajah
tampan yang tidak lain adalah Mahesa Amping berdiri
menjenguk dirinya di batas pagar pendapa Pasanggrahannya. Terlihat seorang tua mengikuti langkah Mahesa Amping
yang ternyata adalah Pendeta Gunakara.
"Senang dapat melihatmu kembali", berkata Mahesa
Amping sambil memeluk Putu Risang penuh kerinduan.
"Doa kami selalu menyertaimu, wahai anak muda",
berkata Pendeta Gunakara dengan wajah penuh
425 kegembiraan melihat kembalinya anak muda itu.
"Bawa kudamu ke belakang, setelah bersih-bersih aku
ingin mendengar cerita perjalananmu", berkata Mahesa
Amping kepada Putu Risang.
Ketika malam telah sudah larut bergelayut, suasana di
pendapa Pasanggrahan keluarga Mahesa Amping masih
saja terlihat dipenuhi suara kegembiraan. Terdengar Putu
Risang bercerita semua yang pernah dirasa dan ditemui
di perjalanan tugas pertamanya menjadi seorang utusan
rahasia Raden Wijaya. Namun mengenai kitab pusaka
pertapa Gunung Wilis telah dilewatkan oleh Putu Risang.
"Pada suatu saat, aku akan bercerita kepada Tuanku
Senapati Mahesa Amping", berkata Putu Risang dalam
hati berjanji untuk bercerita kepada gurunya sendiri
Mahesa Amping tentang sebuah ilmu rahasia yang tidak
sengaja didapat lewat Ki Kumbara didalam sebuah goa.
Dan keesokan harinya, Mahesa Amping sudah
membawa Putu Risang menghadap Raden Wijaya.
Bukan main gembiranya Raden Wijaya mendapat berita
bahwa pesannya telah sampai langsung kepada Ratu
Turuk Bali. "Apapun keputusannya, aku sudah merasa tidak berdosa
lagi sebagai seorang kemenakan", berkata Raden Wijaya
sambil menarik nafas panjang seperti tengah melihat
sendiri wajah kegundahan Ratu Turuk Bali yang dapat
dipahami memang sangat sulit berada dan berdiri di dua
buah kubu yang sama-sama dicintainya, antara suami
dan keluarganya. Antara pengabdian dan ketulusan cinta
kasih keluarga yang pernah membesarkannya.
"kami bermaksud hendak ke tanah lapang melihat
kesiapan pasukan Ki Sandikala", berkata Mahesa
Amping kepada Raden Wijaya memupus lamunannya
426 tentang Ratu Turuk Bali.
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tadinya aku akan mengajak dirimu bersama ke Benteng
Tanah Ujung Galuh membicarakan beberapa kesepakatan antara kita dan Panglima besar pasukan
Mongol", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping
yang ditangkap oleh Putu Risang bahwa ternyata armada
besar Bangsa Mongol itu sudah tiba di Bandar Tanah
Ujung Galuh. Tapi Putu Risang tidak bertanya dan berkata apapun
tentang pasukan Mongol itu, dia dan Mahesa Amping
pagi itu hanya bicara mengenai tugasnya, begitulah arah
pikiran Putu Risang. Demikianlah, Mahesa Amping bersama Putu Risang
telah berjalan menuju tanah lapang melihat Ki Sandikala
tengah menempa sebuah pasukan khusus, sebuah
pasukan cadangan. Ternyata di tanah lapang Ki Sandikala tidak sendiri
mengawasi pasukannya yang tengah berlatih penuh
semangat. Di tanah lapang itu mereka juga dapat
menemui Menak Koncar, Menak Jingga serta Putut
Prastawa ikut membantu Ki Sandikala.
Ternyata mata Putu Risang juga melihat seorang gadis
ada bersama mereka. Siapa lagi kalau bukan Endang Trinil"
Ketika Mahesa Amping tengah bercakap-cakap bersama
Ki Sandikala, terlihat Endang Trinil datang mendekati
Putu Risang yang tengah berdiri seorang diri.
"Kapan Kakang Putu Risang datang?", bertanya Endang
Trinil kepada Putu Risang ketika sudah dekat.
"Kemarin malam", berkata Putu Risang singkat dengan
jantung terasa berdebar kencang, seperti ingin lari pergi
427 menjauh. "Aku bosan berada di tanah lapang ini, apakah kakang
bersedia mengantar aku ke Bandar Tanah Ujung Galuh
?", berkata Endang Trinil kepada Putu Risang tidak
mengetahui perasaan apa yang diderita didalam jantung
anak muda itu. "Aku bersedia", berkata Putu Risang sambil menganggukkan kepalanya, sementara didalam pikirannya telah terjadi peperangan antara sebuah
kegembiraan hati dan rasa kecut jalan bersama seorang
gadis, seorang Endang Trinil.
Bukan main senangnya hati Endang Trinil mendengar
kesediaan Putu Risang itu.
Terlihat Endang Trinil tengah menghampiri Ki Sandikala
untuk meminta ijin darinya melihat-lihat suasana di
Bandar Tanah Ujung Galuh.
"Pamanku mengijinkannya", berkata Endang
kepada Putu Risang penuh kegembiraan.
Trinil Ketika mereka akan berangkat, terlihat Mahesa Amping
dan Ki Sandikala melambaikan tangan ke arah mereka
sebagai tanda merestui dan berhati-hati selama di Tanah
Ujung Galuh. Demikianlah kedua muda-mudi itu telah berjalan beriring
ke arah Bandar Tanah Ujung Galuh.
Dan kecanggungan demi kecanggungan seakan terus
terkikis di hati Putu Risang lewat canda ceria Endang
Trinil. Dan Putu Risang sudah dapat menapakkan
kakinya di bumi, tidak terasa mengapung lagi. Dan setiap
kata tidak terbata-bata lagi, tapi lancar seperti pena sang
penyair dalam pengembaraan cintanya.
Ketika mereka tiba di Padukuhan Ujung Galuh, terlihat
428 beberapa prajurit bersama para pemuda di sebuah gardu
ronda jaga. "Paman Sandikala mengatakan kepadaku bahwa prajurit
asing yang saat ini singgah di bandar Tanah Ujung Galuh
adalah orang-orang kasar, sering berbuat onar", berkata
Endang Trinil kepada Putu Risang.
"Mungkin itulah sebabnya, Tuanku Senapati Raden
Wijaya telah menempatkan beberapa prajuritnya untuk
berjaga-jaga di Padukuhan Ujung Galuh", berkata Putu
Risang menanggapi perkataan Endang Trinil.
"Tuanku Senapati Raden Wijaya mungkin tidak ingin
terjadi hal yang dapat menyengsarakan para penduduk
disini", berkata kembali Endang Trinil.
"hari ini Tuanku Senapati Raden Wijaya akan melakukan
pembicaraan resmi dengan panglima besar pasukan
asing itu", berkata Putu Risang
"Pastinya sebuah kesepakatan bersama untuk menghadapi penguasa Kotaraja Kediri", berkata Endang
Trinil menambahkan. "Sepertinya kamu tahu betul semua kejadian diatas Bumi
Majapahit ini", berkata Putu Risang kepada Endang
Trinil. "Aku sering menguping pembicaraan pamanku", berkata
Endang Trinil tersenyum sambil menutup bibirnya
dengan sebuah tangannya. "Manisnya senyum itu", berkata Putu Risang dalam hati
sambil terus berjalan diatas tanah keras jalan padukuhan
menuju Bandar Tanah Ujung Galuh.
Akhirnya mereka telah sampai di Bandar Tanah Ujung
Galuh. Dari sebuah dermaga kayu mereka berdiri telah
melihat sekitar tiga belas perahu asing yang sangat
429 besar. Di tepi pantai kearah muara Kalimas mereka juga
melihat begitu banyak barak-barak para prajurit asing.
Terlihat juga di sepanjang jalan tepi bandar Ujung Galuh,
ada beberapa prajurit asing yang tengah berjalan dan
duduk-duduk berkumpul didepan beberapa kedai.
Suasana Bandar Ujung Galuh itu menjadi begitu ramai.
"Duhai anak manis, pasti kamu orang baru disini, karena
beberapa malam aku tidak pernah melihat wajahmu.
Tunjukkan padaku induk semangmu, agar aku bisa
mampir nanti malam", berkata seorang prajurit asing
yang tiba-tiba saja berhenti didekat Endang Trinil dan
Putu Risang. Bersamanya ada tiga orang prajurit asing
lagi. Dari mulut mereka tercium aroma yang sangat
menyengat, aroma minuman keras.
Semula Putu Risang hendak menarik tangan Endang
Trinil mengajaknya pergi menjauh dari orang-orang asing
itu, tapi bukan main terperanjatnya Putu Risang melihat
sikap Endang Trinil jauh diluar perkiraannya.
Putu Risang melihat Endang Trinil tersenyum sambil
menutup sedikit bibir kecilnya.
"Mengapa harus menunggu nanti malam ", terlalu lama",
berkata Endang Trinil dengan senyum sangat genit
sekali. Keempat orang asing itu seperti mendapatkan gayung
bersambut mendengar ucapan Endang Trinil. Maka
tanpa berkata lagi seorang yang pertama menggoda itu
sudah langsung menghampiri Endang Trinil.
"Mari jalan-jalan bersamaku", berkata orang asing itu
sambil tangannya sudah mencengkeram sebelah tangan
mungil Endang Trinil. Bukan main terperanjatnya Putu Risang melihat apa
430 yang dilakukan Endang Trinil kepada orang asing itu.
Putu Risang melihat tangan mungil Endang Trinil dengan
begitu cepat berbalik mencengkeram pergelangan
tangan orang asing yang besar dan kuat itu. Dan dengan
sebuah hentakan, Endang Trinil telah menarik tangannya
membuat orang asing itu terhuyung kedepan. Tidak
hanya itu, sebuah kaki mungil Endang Trinil terlihat
mengganjal sebuah kaki orang asing yang tengah
terhuyung kedepan, maka akibatnya sangat parah sekali
!! Jeburrrrrr !!!! Putu Risang melihat orang asing itu terhuyung dan
terlempar di ujung tepi dermaga kayu, langsung tercebur
ke air laut yang asin. "Siapa lagi yang berani mengajakku jalan-jalan ?",
berkata Endang Trinil masih dengan senyum manjanya
kepada ketiga orang asing lainnya.
Ketiga orang asing itu melihat dengan begitu mudahnya
Endang Trinil menjatuhkan kawannya. Mereka adalah
para prajurit Mongol yang biasa berhadapan dengan
banyak bahaya, tapi kali ini dihadapan mereka adalah
seorang gadis manis !!. "Aku akan mengajakmu dengan paksa", berkata seorang
yang sudah menjadi sangat penasaran, menganggap
apa yang diperbuat oleh Endang Trinil adalah sebuah
kebetulan. "Aku tidak suka dipaksa", berkata Endang Trinil dengan
senyum manisnya bertolak pinggang.
Bukan main kagetnya orang itu ketika kedua tangannya
hendak menangkap tubuh Endang Trinil, maka terlihat
Endang Trinil malah maju dengan punggung merendah
431 melintang masuk ke tubuh orang asing yang berperut
tambur. Maka terlihat tubuh orang asing itu begitu ringan
terangkat oleh tubuh mungil Endang Trinil.
Mau tahu kejadian selanjutnya ?"
Dengan mudahnya pula Endang Trinil melempar tubuh
orang asing itu seperti layaknya seorang buruh panggul
melempar sekarung beras besar.
Jeburrrrrr !!! Dan orang asing itu telah jatuh masuk kedalam air laut
tidak jauh dari tepi dermaga kayu.
"Siapa lagi yang masih ada keinginan untuk mengajakku
jalan-jalan ?", berkata kembali Endang Trinil masih
dengan senyum manisnya dihadapan kedua orang asing
yang masih berdiri mematung merasa tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
Tapi belum lagi kedua orang asing itu melakukan
apapun, terlihat Putu Risang dengan kedua tangan
merangkap didepan dada berkata kepada keduanya
dengan bahasa yang santun.
"maafkan bila kawanku ini telah menyusahkan kedua
kawanmu, biarkanlah kami pergi", berkata Putu Risang
kepada kedua asing itu. Tapi ternyata kedua orang asing itu adalah para prajurit
yang sangat mengutamakan kesetiaan kawan, mereka
tidak melihat lagi bahwa Endang Trinil hanya seorang
gadis. Dan mereka ingin sekali membuat sebuah
pelajaran, ingin membuat sebuah perhitungan bahwa
prajurit Mongol bukan orang sembarangan yang dengan
begitu mudahnya dipermalukan.
432 "Minggir !!", berkata seorang diantaranya sambil
mencengkeram tangannya diatas bahu Putu Risang
"Haduh..!!, berkata Putu Risang seperti orang meringis
menahan rasa sakit. Ternyata Putu Risang hanya berpura-pura sakit,
sementara kedua tangannya telah berada diatas tangan
orang itu. Dan dengan sedikit gerakan yang dilambari
sedikit tenaga cadangan telah menarik tangan itu.
Sebuah gerakan yang sederhana, tapi dirasakan oleh
orang asing itu seperti sebuah tangan yang kuat telah
menarik seluruh tubuhnya terhuyung terlempar masuk
kedalam air laut. Jeburrrrrrr !!!! Kembali ada sebuah tubuh yang tercebur di pinggir
dermaga kayu itu. Dan orang keempat dari prajurit asing itu tidak ingin
nasibnya sama dengan ketiga kawannya, terlihat dengan
cepat sudah melepas pedang panjangnya, sebuah
pedang yang tidak hanya panjang, juga sangat besar
dibandingkan dengan pedang yang ada di Jawadwipa
saat itu. Namun belum lagi tangan itu mengayunkan pedang
besarnya mengarah ke tubuh Putu Risang, sebuah
bentakan yang keras telah membuat semua mata
memandang kearah suara itu.
"hentikan !!!", terdengar suara yang begitu keras, berat
dan berwibawa. Nampaknya Prajurit itu mengenal betul siapa pemilik
suara itu, seorang prajurit perwira dengan rambut lurus
hitam dibiarkan jatuh terurai diantara bahunya
menambah keangkeran sikapnya. Tanpa perintah
433 apapun prajurit itu sudah langsung menyarungkan
kembali pedang besarnya dan sambil membungkuk
penuh rasa takut berjalan pergi diikuti oleh ketiga
kawannya yang sudah naik ke darat, masih dengan
pakaian yang basah serta wajah kuyu berjalan
membungkuk melewati prajurit perwira itu.
"Tuan Magucin", berkata Endang Trinil penuh hormat
menyapa perwira itu yang memang sudah dikenalnya
pernah bersama seiring sejalan bersama keluarga Ki
Sandikala ketika dalam perjalanan mereka dari Lamajang
menuju bumi Majapahit.
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih untuk tidak mencelakai prajurit kami",
berkata Magucin yang juga masih ingat kepada Endang
Trinil. "Perkenalkan, ini kawanku", berkata Endang Trinil
memperkenalkan Putu Risang kepada Magucin.
"Pemandangan di Bandar Tanah Ujung Galuh ini
memang indah", berkata Magucin dengan ramah.
"Sayangnya ada empat burung gagak merusak suasana
yang indah ini", berkata Endang Trinil yang dibalas tawa
oleh Magucin yang mengerti arah perkataan Endang
Trinil. Akhirnya Endang Trinil dan Putu Risang pamit diri
kepada Magucin untuk kembali ke Bumi Majapahit,
"Sampaikan salamku kepada Ki Sandikala dan
keluarganya", berkata Magucin ketika Endang Trinil dan
Putu Risang sudah berjalan belum begitu jauh.
"Akan kusampaikan salamnya", berkata Endang Trinil
kepada Magucin. Demikianlah, Endang Trinil dan Putu Risang sudah
berjalan meninggalkan arah Bandar Tanah Ujung Galuh
434 menuju Bumi Majapahit. Dan bunga-bunga kuning ilalang
yang tengah mekar disaat menjelang sore itu seperti iri
melihat muda-mudi itu berjalan beriring dipenuhi canda
ceria, penuh kegembiraan.
"Terima kasih telah mengantar kemenakanku yang nakal
ini", berkata Ki Sandikala ketika Endang Trinil dan Putu
Risang telah kembali di tanah lapang. Mereka masih
melihat orang-orang yang masih terus berlatih meski hari
sudah berada di penghujung senja. Mereka juga sempat
melihat Menak Koncar, Menak Jingga dan Putut
Prastawa tengah memberikan beberapa petunjuk kepada
beberapa orang. "Pekan depan disaat hari pasar, aku memintanya untuk
mengantarku ke Padukuhan Maja", berkata Endang Trinil
kepada Ki Sandikala. "Pasti kamu memintanya dengan cara setengah
memaksa", berkata Ki Sandikala yang disambut wajah
manja Endang Trinil. Sementara Putu Risang nampak
sedikit tersenyum melihat keakraban paman dan
kemenakannya itu. Akhirnya Putu Risang pamit diri kepada Endang Trinil
dan Ki Sandikala untuk kembali ke Pasanggrahan
Mahesa Amping. Ketika Putu Risang sudah memasuki halaman muka
Pasanggrahan Mahesa Amping, di pendapa sudah ada
Nyi Nariratih seorang diri.
"Bukankah Kamu keluar bersama Tuan Senapati ?",
bertanya Nyi Nariratih kepada Putu Risang.
Putu Risang pun bercerita bahwa dirinya berpisah di
tanah lapang dengan Mahesa Amping. Juga bercerita
bersama Endang Trinil telah melihat-lihat keadaan
435 Bandar Tanah Ujung Galuh.
"Setahuku Tuanku Raden Wijaya tadi pagi mengajak
Tuan Senapati bersama menerima tamu dari pasukan
asing di Benteng Bandar Tanah Ujung Galuh", berkata
Putu Risang memberi Penjelasan.
"Dimana Pendeta Gunakara ?", bertanya Putu Risang
yang tidak melihat keberadaan Pendeta Gunakara.
"Sejak siang Pendeta Gunakara mengajak anak-anak,
pasti disekitar tepi hutan Maja", berkata Nyi Ratih kepada
Putu Risang. Putu Risang tidak bertanya lagi, pikirannya langsung
terbang ke sebuah tepi hutan membayangkan tiga lelaki
kecil, Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara tengah
berlatih bersama Pendeta Gunakara.
Dan tidak terasa senja pun sudah merayap di ujung
tepian bumi bermaksud untuk pergi sementara waktu
untuk datang kembali keesokan harinya.
Dan suasana pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping
telah menjadi ramai manakala tiga anak kecil,
Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara datang
bersama Pendeta Gunakara.
Sementara itu hari diatas pasanggrahan Mahesa Amping
sudah mulai menjadi gelap malam, terlihat Putu Risang
dan Pendeta Gunakara telah berada diatas pendapa itu.
Akhirnya tidak lama berselang terlihat Mahesa Amping
telah memasuki halaman muka Pasanggrahan. Setelah
bersih-bersih diri, Mahesa Amping pun langsung
bergabung di pendapa Pasanggrahannya.
"Hari ini aku bersama Raden Wijaya telah melakukan
perundingan dengan Panglima besar pasukan Mongol",
berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang dan
436 Pendeta Gunakara. "Aku yakin bahwa Tuanku Raden Wijaya adalah seorang
perunding yang hebat", berkata pendeta Gunakara.
"Tuanku Raden Wijaya telah menerima sebuah
kesepakatan bahwa penyerangan ke Kotaraja Kediri
dibagi dalam dua pasukan, pasukan pertama lewat jalan
darat dipimpin dan dikendalikan oleh Tuanku Raden
Wijaya. Sementara pasukan lainnya akan menyerang
lewat sungai dipimpin langsung oleh Panglima besar
mereka sendiri", berkata Mahesa Amping bercerita
tentang beberapa hasil perundingan mereka bersama
Panglima besar pasukan Mongol yang saat ini sudah
berada di bandar Tanah Ujung Galuh.
"Kapan penyerangan itu dilakukan ?", bertanya Pendeta
Gunakara kepada Mahesa Amping.
Bagian 3 Terlihat Mahesa Amping tidak langsung menjawab,
pandangannya terlihat kearah Putu Risang.
"Di bulan purnama ke dua", berkata Mesa Amping sambil
menarik nafasnya dalam-dalam seperti tengah membayangkan sebuah peperangan yang begitu besar
didepan matanya. Sebuah peperangan yang begitu
hebat memporak-porandakan sebuah Kotaraja Kediri.
Lain lagi yang ada di pikiran Putu Risang saat itu,
mendengar kata bulan kedua purnama, pikiran Putu
Risang langsung teringat kepada sebuah pesan yang
disampaikan olehnya kepada Ratu Turuk Bali, sebuah
pesan rahasia Raden Wijaya.
"Sengaja Tuanku Raden Wijaya menunda penyerangannya, untuk memberi kesempatan Ratu
437 Turuk Bali mengungsi", berkata Putu Risang dalam hati
mengingat kembali pesan rahasia itu.
"Apakah ada kesepakatan lainnya ?", bertanya Pendeta
Gunakara kepada Mahesa Amping.
"Tuanku Raden Wijaya meminta dengan penuh
kehormatan agar Raja Kediri tidak dibawa keluar dari
Jawadwipa sebagai tawanan perang", berkata Mahesa
Amping. "Sebuah permintaan dari seorang pemimpin muda yang
sangat mulia", berkata Pendeta Gunakara memuji
kemuliaan hati seorang Raden Wijaya.
"Aku melihatnya sebagai sebuah kecerdikan dari Tuanku
Raden Wijaya", berkata Mahesa Amping sambil
memandang kearah Pendeta Gunakara dan Putu Risang
sambil tersenyum. Dilihatnya keduanya seperti tidak
mengerti arah pembicaraannya.
"Panglima besar itu menerima permintaan Tuanku Raden
Wijaya. Namun aku yakin sekali sebagaimana keyakinan
tuanku Raden Wijaya bahwa pada saatnya Panglima
besar itu akan mengingkari persetujuannya itu", berkata
Mahesa Amping menyampaikan pemikirannya kepada
Pendeta Gunakara dan Putu Risang yang masih juga
terlihat belum mengerti kemana sebenarnya arah
pemikiran Mahesa Amping. "Keingkaran Panglima besar pasukan Mongol itu sudah
diperhitungkan oleh Tuanku raden Wijaya, itulah
sebabnya jauh-jauh hari telah menugaskan Ki Sandikala
untuk menyiapkan sebuah pasukan khusus", berkata
Mahesa Amping sambil tersenyum menatap Pendeta
Gunakara dan Putu Risang yang nampaknya sudah
dapat mengerti arah pembicaraan Mahesa Amping.
438 "Sebuah rencana Gunakara. yang hebat", berkata pendeta "Bersyukurlah bahwa bersama kita ternyata ada seorang
pemikir ulung yang hebat, semua rencana itu adalah
hasil pemikiran dari seorang Ki Sandikala", berkata
Mahesa Amping memberikan penjelasan bahwa
pemikiran rencana besar itu adalah buah pikir dari Ki
Sandikala. "Belakangan kuketahui bahwa orang tua yang sederhana
itu ternyata punya garis darah Raja Erlangga,
ditangannya sendiri berada sebuah benda Wahyu
keraton, sebuah keris pusaka milik Raja Erlangga, keris
Nagasasra yang sudah lama tidak terdengar lagi
keberadaanya. Dan dengan penuh keikhlasan telah
menyerahkan keris pusaka itu kepada Tuanku Raden
Wijaya", berkata kembali Mahesa Amping.
Suasana diatas pendapa itupun seketika menjadi hening,
nampaknya mereka telah berada didalam anganangannya masing-masing.
Apa yang ada dalam benak pikiran Putu Risang saat itu "
Ternyata pikiran Putu Risang jauh melayang terbang di
Kotaraja Kediri, sebuah tempat yang belum lama itu
disinggahi, sebuah kotaraja yang damai dipenuhi rumahrumah besar yang elok di sepanjang jalan Kotaraja. Dan
Bayangan pikiran Putu Risang pun berganti kepada
sebuah gambaran huru-hara yang besar, sebuah
peperangan besar melanda Kotaraja, tangis dan jeritan
pilu terdengar dari mereka yang berduka, dan bayangan
benak Putu Risang seperti melihat beberapa rumah di
Kotaraja itu yang terbakar api besar menyisakan abu dan
puing-puing kayu yang hangus terbakar.
"Purnama kedua sudah tidak akan lama lagi", berkata
439 Mahesa Amping membuyarkan lamunan Putu Risang.
Perkataan Mahesa Amping ternyata kembali membawa
angan-angan Putu Risang ke sebuah peperangan yang
hebat antara dua pasukan yang berseteru bersama hiruk
pikuk dan denting suara senjata beradu, juga suara
rintihan menyayat hati beberapa prajurit yang terluka.
"Aku berharap pada saat kami pergi ke medan
pertempuran, Tuan Pendeta dapat menjaga keluarga
kami di Bumi Majapahit ini", berkata Mahesa Amping
kepada Pendeta Gunakara. "Aku akan menjaganya sebagaimana menjaga
keluargaku sendiri", berkata Pendeta Gunakara.
"Terimakasih", berkata Mahesa Amping ditujukan kepada
Pendeta Gunakara. Kembali suasana diatas pendapa itu menjadi hening,
masing-masing tengah mengembara dalam angan dan
bayangan pikirannya sendiri-sendiri.
"Ternyata aku tidak bisa bergeser sedikitpun dari garis
hidupku sendiri, datang ke sebuah peperangan demi
peperangan. Namun peperanganku kali ini adalah
sebuah perjuangan bangsa, perjuangan sebuah bangsa
untuk meraih sebuah kedamaian abadi, kebanggaanku
dalam peperangan itu bahwa aku ada bersama sebuah
cita-cita membangun kemandirian bangsa, kesejahteraan
bangsa", berkata Mahesa Amping kemudian terdiam
sejenak. "tahukah kalian apa yang telah membakar diriku
sekembali dari perundingan dengan Panglima pasukan
asing itu?", berkata dan bertanya Mahesa Amping.
Terlihat Putu Risang dan Pendeta Gunakara tidak
menjawab, mereka tahu bahwa Mahesa Amping sendiri
yang akan menjawab pertanyaannya itu.
440 "Panglima besar pasukan itu meminta sebuah
kesepakatan yang sangat berat sekali untuk diterima oleh
Tuanku Raden Wijaya. Apakah permintaannya itu ", tidak
lain adalah sebuah permintaan yang harus disanggupi
oleh Tuanku raden Wijaya bahwa kelak bila kemenangan
berada dipihak mereka, Tuanku raden Wijaya sebagai
penguasa baru di Jawadwipa harus tunduk patuh kepada
kekuasaan besar Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai
Khan, setiap tahun harus menyampaikan barang upeti,
serta memberi keamanan dan perlindungan kepada para
pedagang mereka untuk masuk lebih jauh lagi ke nusa
timur matahari, hingga ke tanah Gurun tempat
tumbuhnya pala", berkata Mahesa Amping. "Itulah yang
membakar diriku, menghalalkan diriku ikut dalam
peperangan ini", berkata kembali Mahesa Amping.
Kembali suasana diatas pendapa itu menjadi hening,
masing-masing telah kembali dalam alam pikirannya
sendiri. Sekali-sekali terdengar suara katak yang
tercekik, mungkin setengah tubuhnya sudah berada di
mulut seekor ular belang di sebuah belukar semaksemak.
Keheningan suasana awal malam diatas pendapa
pasanggrahan Mahesa Amping kembali mencair ketika
Putu Risang minta diri untuk pergi ke sebuah sungai kecil
didekat persawahan Bumi Majapahit.
"Aku ingin membangun pliridan di sungai kecil, pasti
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pliridan yang lama sudah rusak tergilas hujan. Besok
paginya aku akan kembali kesana bersama Mahesa
Muksa, Jayanagara dan Adityawarman. Mereka pasti
senang melihat kubangan sudah dipenuhi banyak ikan
yang terjebak", berkata Putu Risang yang langsung
berdiri pergi kebelakang untuk mengambil cangkul.
"Semoga besok aku akan menikmati masakan pecak
441 gabus yang nikmat", berkata Pendeta Gunakara
mengiringi langkah kaki Putu Risang yang tengah
berjalan kearah pintu butulan.
Dan malam nampaknya sudah menyelimuti bumi
Majapahit di sebuah sungai kecil dimana Putu Risang
tengah membangun sebuah pliridan baru, sebuah
gundukan tanah berlubang dimana air muncul memancur
keatas. Air mancur yang segar itu akan memancing
keinginan beberapa ikan yang langsung melompat dan
terjebak di sebuah kubangan tanah liat yang licin dan
basah. "Siapa yang punya kecerdikan sebuah pliridan ini ?",
berkata Putu Risang dalam hati menatap bangunan
pliridan yang baru saja diselesaikannya dengan senyum
kepuasan berharap besok pagi akan melihat banyak ikan
yang masuk terjebak di lubang jebakan itu. "yang pasti
seorang ayah yang senang melihat anak-anaknya makan
ikan dengan lahapnya", berkata kembali Putu Risang
dalam hati membayangkan kehidupannya nanti sebagai
seorang kepala rumah tangga, yang tentu saja bayangan
seorang istri di benak Putu Risang saat itu pastilah
seorang gadis manis pemilik senyum menawan itu,
Endang Trinil, tentunya. Namun tiba-tiba saja pendengaran Putu Risang yang
cukup terlatih terutama setelah mendalami ilmu rahasia
pusaka pertapa Gunung Wilis itu telah mendengar
sebuah langkah kaki. "Semula aku tidak yakin kamu akan datang ke sungai
kecil ini", berkata seseorang pemilik langkah kaki itu
ketika sudah dekat dengan diri Putu Risang.
"kakang Menak Koncar sengaja datang ke sungai ini
untuk menemui aku ?", berkata Putu Risang kepada
442 seorang lelaki yang ternyata adalah Menak Koncar, salah
seorang putra Ki Sandikala.
"Benar, aku memang datang ke sungai kecil ini hanya
untuk menemuimu", berkata Menak Koncar dengan
suara datar. "Mengapa tidak menunggu besok, aku tidak kemanamana", berkata Putu Risang dengan sikap penuh tanda
tanya, belum dapat menduga apa kepentingan Menak
Koncar menemui dirinya. "Aku ingin pembicaraan kita tidak diketahui oleh
siapapun", berkata Menak Koncar masih dengan suara
yang sangat dingin dan datar.
"Adakah sesuatu yang begitu penting harus dibicarakan
kepadaku dimalam ini ?", bertanya Putu Risang masih
dalam penuh ketidak tahuan.
"Pembicaraan kita berhubungan dengan Endang Trinil",
berkata Menak Koncar sambil menatap wajah Putu
Risang dengan tatapan mata yang sangat tajam.
"Ada apa dengan Endang Trinil ?", bertanya Putu Risang
dengan hati penuh rasa tanda tanya.
"Aku ingin kamu menjawab pertanyaanku, bukan
bertanya", berkata Menak Koncar masih dengan suara
yang datar dan dingin. "Aku akan mencoba menjawab pertanyaanmu", berkata
Putu Risang yang mulai tersinggung dengan sikap
Menak Koncar yang dingin itu, apalagi ternyata
pembicaraan itu berhubungan dengan Endang Trinil.
Terlihat Putu Risang telah membawa dirinya ke sosok
sejatinya, seorang pemuda yang tidak pernah mengenal
rasa takut. "Bagus, pertanyaan pertamaku adalah apakah kamu
443 mencintai Endang Trinil", bertanya Menak Koncar kepada
Putu Risang, diam-diam mengakui sikap Putu Risang
sangat jantan didepannya.
Terlihat Putu Risang tidak langsung menjawab, merasa
aneh bahwa dimalam sesepi ini Menak Koncar datang
menemui dirinya hanya untuk menanyakan perasaan
hatinya kepada Endang Trinil. Tapi dirinya tidak ingin
membuat Menak Koncar terlalu lama mendapatkan
jawaban darinya. "Aku memang mencintainya", berkata Putu Risang
singkat, ingin selekasnya mendengar apa tanggapan dari
Menak Koncar tentang jawabannya itu.
"Bagus, ternyata kamu cukup jantan menjawab
pertanyaanku itu", berkata Menak Koncar dengan
senyum kecut. "Hanya sebuah pertanyaan ini sehingga Kakang Menak
Koncar menemui diriku", bertanya Putu Risang dengan
sikap penuh kehati-hatian menduga-duga kemana arah
tujuan Menak Koncar menemui dirinya dan bertanya
mengenai perasaan hatinya.
"Bukan hanya pertanyaan ini, aku sengaja datang
menemuimu untuk mengatakan bahwa aku juga telah
lama mencintainya", berkata Menak Koncar kepada Putu
Risang masih dengan tatapan mata yang tajam seperti
menusuk langsung rongga dadanya.
Terlihat Putu Risang terhentak perasaan hatinya, tidak
menduga bahwa Menak Koncar ternyata punya perasaan
yang sama dengannya, sama-sama mencintai seorang
Endang Trinil. Tapi Putu Risang tidak ingin Menak
Koncar mengetahui perasannya yang terguncang.
Terlihat Putu Risang menarik nafas dalam-dalam.
444 "Semua keputusan berada di tangan Endang Trinil",
berkata Putu Risang mencoba mengendalikan perasaan
dirinya. "Endang Trinil sudah memutuskan, bahwa dirinya hanya
mencintaimu", berkata Menak Koncar langsung
menyambung perkataan Putu Risang seperti sudah tahu
apa yang dikatakan oleh Putu Risang.
Terlihat Putu Risang agak terkejut, tidak menyangka
bahwa Menak Koncar langsung berkata menyambut
perkataannya, juga isi dari perkataan Menak Koncar ikut
mempengaruhi perasaan hatinya. "Endang Trinil
mencintaiku, memilih aku", berkata Putu Risang dalam
hati. "Keputusan ada di tanganmu, menjauhi Endang Trinil
atau menerima tantanganku", berkata Menak Koncar.
"Aku menerima tantanganmu", berkata Putu Risang
dengan sikap lebih dingin dari sikap Menak Koncar
merasa tidak takut dan gentar menerima tantangan dari
Menak Koncar. "Ternyata aku berhadapan dengan seorang lelaki, kita
bertanding sampai ada yang kalah menyerah. Siapapun
yang kalah harus menerima keputusan, menjauhi
Endang Trinil", berkata Menak Koncar merasa begitu
yakin dengan ilmu yang dimiliki.
"Senjata kadang tidak bermata, apakah ada cara lain ?",
berkata Putu Risang meminta Menak Koncar mencari
cara lain bukan dengan cara bertempur adu senjata.
Tapi ucapan Putu Risang diterima lain, Menak Jingga
menyangka Putu Risang meremehkannya menjadi takut
terluka oleh senjata cambuknya.
"Apakah kamu kira aku takut terluka oleh cambukmu",
445 berkata Menak diremehkan. Koncar dengan amarah merasa "Maksudku bukan itu", berkata Putu Risang tidak
menyangka perkataannya diterima lain oleh Menak
Koncar. "Maksudku kita bertanding tanpa bertempur, tapi
mengadu kekuatan lewat sebuah batu. Siapa yang dapat
memecahkan lebih keras dengan senjatanya, dialah
pemenangnya. Menak Koncar dapat mengerti adu kekuatan seperti apa
yang dimaksud oleh Putu Risang, sebuah adu kekuatan
memecahkan sebuah batu besar.
Menak Koncar tidak langsung menjawab sebagaimana
biasanya, tapi sekejab melirik kearah cambuk yang melilit
di pinggang Putu Risang. "Aku pernah mendengar cerita bahwa cambuk Mahesa
Amping mampu meleburkan sebuah batu menjadi abu.
Tapi muridnya ini pasti belum sampai ke tataran gurunya,
jangan-jangan belum dapat menghentakkan kekuatan
tenaga cadangan, masih menggunakan kekuatan
wadagnya", berkata Menak Koncar dalam hati mencoba
mengukur kekuatan lawannya, nanti.
Berpikir seperti itu terlihat Menak Koncar
tersenyum menatap kearah Putu Risang.
sedikit "Baiklah, kita bertanding adu kekuatan memecahkan
sebuah batu", berkata Menak Koncar penuh percaya diri.
"Kapan dimana kita melakukannya", berkata Putu Risang
dengan suara dan sikap tidak merasa gentar sedikitpun.
"Besok malam adalah purnama penuh, kita bertemu
disini dan mencari batu yang sama kuat dan sama
besar", berkata Menak Koncar masih dengan perasaan
penuh percaya diri berkeyakinan dapat mengalahkan
446 Putu Risang dengan senjata andalannya, sebuah cakra.
Setelah berkata, terlihat Menak Koncar tanpa pamit lagi
telah membalikkan badannya pergi meninggalkan Putu
Risang diatas sungai kecil itu.
Terlihat Putu Risang menarik nafas panjang sambil
mengamati punggung dan langkah Menak Koncar yang
akhirnya menghilang di sebuah tikungan jalan.
Sementara itu wajah sang malam sudah semakin
menghitam. Terlihat Putu Risang telah meninggalkan pliridannya,
sudah menjauhi sungai kecil berjalan menapaki sebuah
pematang sawah. Tatapannya menyapu tangkai-tangkai
ujung padi yang sudah bunting tapi belum menguning.
Dan hari masih dibawah sepertiga malam ketika Putu
Risang sampai di halaman pendapa Pasanggrahan
Mahesa Amping. "Semua sudah tertidur", berkata Putu Risang dalam hati
sambil terus melangkah ke biliknya yang berada
dibelakang bangunan utama Pasanggrahan.
Lama Putu Risang tidak dapat memejamkan matanya
diatas bale-bale tempat tidurnya. Hati dan pikiran anak
muda itu masih saja membayangkan suasana saat adu
kekuatan besok malam di sungai kecil bersama Menak
Koncar. Tapi rasa lelah yang sangat akhirnya perlahan telah
meredupkan pikiran Putu Risang, terlihat anak muda itu
sudah tertidur pulas, entah apa yang dimimpikan oleh
anak muda itu didalam alam tidurnya.
Hingga pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Putu
Risang sudah membangunkan Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara. Anak muda itu sepertinya telah
447 melupakan pertemuannya dengan Menak Koncar,
terlarut dalam suasana kegembiraan tiga anak lelaki kecil
mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di lubang pliridan.
Pagi itu mereka membawa begitu banyak ikan.
Hingga mereka selesai sarapan pagi bersama di atas
pendapa Pasanggrahan, Putu Risang tidak berkata
apapun tentang pertemuannya dengan Menak Koncar,
baik kepada Mahesa Amping maupun kepada Pendeta
Gunakara. Barulah, ketika Mahesa Amping keluar Pasanggrahannya
untuk bertemu dengan Raden Wijaya. Disaat berselang
sedikit pendeta Gunakara telah mengajak ketiga anakanak bermain dan berlatih.
Dan di Pasanggrahan hanya tertinggal Nyi Nariratih dan
Putu Risang. Disaat itulah hati dan perasaan Putu Risang terasa tidak
dapat lagi menyimpan sebuah masalah yang
dihadapinya. Akhirnya dengan berat hati Putu Risang
menyampaikan persoalan yang mengisi dan bergelayut
di dalam pikirannya. "Ternyata Menak Koncar juga mencintai Endang Trinil",
berkata Nyi Nariratih setelah mendengar penuturan Putu
Risang tentang persoalan yang tengah dihadapinya.
"Aku takut persoalan ini menjadi berkembang, aku takut
bahwa persoalanku ini berkembang menjadi suatu yang
dapat menimbulkan keretakan hubungan Tuanku
Senapati Mahesa Amping dengan Ki Sandikala", berkata
Putu Risang menyampaikan kekhawatirannya.
"Batasi persoalanmu sendiri agar tidak melebar dan
berkembang. Kamu harus berani mempertahankan apa
yang kamu ingin miliki, itulah jiwa seorang lelaki. Aku
448 yakin kamu akan dapat menerima apapun yang terjadi,
kalah atau menang", berkata Nyi Nariratih mencoba
menenangkan suasana hati Putu Risang.
Dan hari itu sudah berada di penghujung akhir senja,
terlihat wajah purnama pucat sudah bergelinding berdiri
di ujung langit malam seperti tak sabar untuk segera
meloncat diatas pucuk kerinduannya menyebarkan
warna kegembiraan. Terang bulan purnama di hari kelima belas, seperti itulah
diucapkan oleh hampir semua orang ketika wajah bulan
purnama bulat penuh bergantung di lengkung langit
malam. Dan sesosok bayangan telah berdiri diatas
sebuah batu besar di sebuah sungai kecil yang deras
mengalir. Cahaya sinar bulan purnama menyapu wajah sosok
Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bayangan itu, ternyata adalah wajah Putu Risang yang
tengah berdiri dengan sabar menunggu kedatangan
seseorang yang telah berjanji untuk bertemu di atas
Kasih Diantara Remaja 8 Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Pendekar Setia 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama