Ceritasilat Novel Online

Tapak Tapak Jejak Gajahmada 7

Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Bagian 7


sungai kecil itu. "Ternyata kamu telah datang mendahuluiku", berkata
seseorang yang terlihat baru saja datang mendekati Putu
Risang. "Sejak senja berakhir aku sudah datang", berkata Putu
Risang kepada orang itu yang ternyata adalah Menak
Koncar. "Mari kita mencoba mencari batu yang sama besarnya",
berkata Menak Koncar dengan wajah penuh percaya diri
mengajak Putu Risang mencari Batu Besar yang sama di
sepanjang sungai kecil itu.
Dan akhirnya mereka mendapatkan dua buah batu yang
sama besarnya, berdekatan sebesar setengah tubuh
449 seekor kerbau. Terlihat dua orang pemuda tengah menatap dua buah
batu yang sama diatas sebuah sungai kecil di malam hari
disaat bulan purnama menerangi alam sekitarnya.
Namun ternyata mereka tidak hanya berdua, di sebuah
semak-semak belukar yang terhalang kegelapan, terlihat
dua orang lelaki tengah memandang kearah Putu Risang
dan Menak Koncar. Siapakah dua orang lelaki itu "
Ternyata kedua orang itu adalah Mahesa Amping dan Ki
Sandikala. Ternyata Ni Nariratih tidak mampu untuk tidak bercerita
tentang persoalan yang tengah dihadapi oleh Putu
Risang. Dipihak lain, Endang Trinil juga dengan sangat
berat hati bercerita tentang apa yang akan dilakukan oleh
Menak Koncar dan Putu Risang diatas persaingan
cintanya. "Siapa yang akan memulainya", berkata Menak Koncar
dengan suara penuh keyakinan.
"Kupersilahkan kakang Menak Koncar untuk memulainya", berkata Putu Risang kepada Menak
Koncar tanpa merasa bahwa dihadapannya adalah
seorang pesaingnya. Putu Risang sudah dapat
menyesuaikan perasaannya, siap menerima apapun
yang terjadi. Bahkan berharap bahwa persoalan itu akan
cepat berlalu begitu saja.
Terlihat Menak Koncar sudah memegang
andalannya, sebuah senjata cakra.
senjata Tanpa berkedip Putu Risang mengamati Menak Koncar
berjalan perlahan mendekati batu besar.
450 Tanpa berkedip sedikitpun Putu Risang melihat Menak
Koncar telah mengangkat cakranya tinggi-tinggi.
Duarrrr !!!! Terdengar suara ledakan yang keras begitu memekakkan gendang telinga siapapun yang mendengarnya berasal dari benturan yang sangat kuat
dari sebuah cakra di tangan Menak Koncar yang
menghantam batu besar dihadapannya.
Dan tanpa berkedip Putu Risang melihat dengan mata
kepalanya sendiri bahwa batu dihadapan Menak Koncar
telah berubah menjadi lima bongkahan yang terbelah.
"Sekarang giliranmu menunjukkan kekuatan cambukmu",
berkata Menak Koncar kepada Putu Risang penuh
kebanggaan atas apa yang baru saja dilakukannya dan
merasa begitu yakin bahwa cambuk Putu Risang tidak
akan dapat melakukan yang sama.
Maka terlihat Putu Risang berjalan perlahan mendekati
sebuah batu besar yang lain diatas sungai kecil berbatu
itu. Terlihat Putu Risang telah melepas cambuk
pendeknya yang melilit di pinggangnya dan membiarkan
ujung cambuk pendek itu jatuh mendekati air yang
mengalir dibawah kaki Putu Risang.
Namun tidak sebagaimana Menak Koncar yang
mendekatkan jarak jangkau cakranya agar dapat tepat
menyentuh batu besar dihadapannya. Putu Risang
ternyata berbuat hal lain yang beda !!!
Terlihat Menak Koncar mengerutkan keningnya melihat
jarak jangkau Putu Risang yang menurut perhitungan
sangat begitu jauh dibandingkan panjang cambuk
pendek milik Putu Risang. Namun Menak Koncar tidak
berkata apapun, diam dan tertawa dalam hati
451 menganggap bahwa Putu Risang telah melakukan
sebuah kebodohan. Tapi tidak di mata Mahesa Amping yang tengah
mengamati mereka bersama Ki Sandikala di sebuah
tempat tersembunyi. Terlihat Mahesa Amping menarik nafas dalam-dalam
dengan mata tidak sedikitpun berkedip kearah berdirinya
Putu Risang. Sebagai seorang yang sudah sangat
mumpuni, Mahesa Amping tahu persis dan dapat
mengukur tingkat tataran ilmu cambuk seseorang hanya
dengan melihat seberapa jauh seseorang menempatkan
dirinya dari jarak jangkau sasarannya.
"Apakah Putu Risang sudah mencapai tataran setinggi itu
?"", bertanya Mahesa Amping dalam hati sendiri dan
dengan hati berdebar penuh tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. "bagaimana anak itu berlatih hingga
mampu sampai ditingkat itu dengan begitu pesatnya?",
berkata kembali Mahesa Amping dalam hati masih tanpa
mata berkedip ingin melihat apa yang akan terjadi.
Dan Mahesa Amping telah melihat Putu Risang dengan
tegap berdiri jauh menghadap batu besar. Mahesa
Amping dengan hati berdebar melihat anak muda itu
telah menarik nafasnya dalam-dalam seakan ingin
menghabiskan seluruh udara di bumi dan mengisinya
masuk ke rongga dadanya. Masih dengan hati berdebar, Mahesa Amping melihat
Putu Risang mengangkat cambuk pendeknya perlahan
keatas sehingga jurai ujung cambuknya jatuh dibelakang
kepalanya. Mahesa Amping juga masih melihat Putu Risang tengah
menghentakkan cambuk pendeknya dengan cara sendal
pancing. 452 Degg !!!! Telinga Mahesa Amping yang tajam meski dari kejauhan
masih dapat mendengar suara hentakan berasal dari
cambuk Putu Risang, begitu berat berisi.
"Luar biasa", berkata Mahesa Amping dalam hati seperti
tidak menyangka bahwa tataran ilmu Putu Risang
ternyata sudah setinggi itu.
Sementara itu, Ki Sandikala didekat Mahesa Amping
terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda
mengagumi apa yang dilihatnya.
Sebagaimana yang dilihat oleh Mahesa Amping dan Ki
Sandikala, ternyata Menak Koncar terlihat berdiri
mematung seperti tidak menyangka dengan apa yang
dilihatnya. Ternyata Putu Risang telah memperlihatkan tataran
ilmunya sendiri, hanya dengan sebuah hentakan sendal
pancing dan dengan jarak jangkau ujung cambuk sekitar
tiga langkah dari sasaran dan tanpa menyentuhnya telah
membuat sebongkah batu sebesar setengah tubuh
kerbau terlihat runtuh menjadi abu yang bertebaran jatuh
hanyut terbawa derasnya air.
Terlihat Putu Risang masih berdiri menarik nafas panjang
sejenak dan mengikat kembali cambuk pendeknya di
lingkaran pinggangnya. Dan dengan penuh senyum
memandang kearah Menak Koncar yang dilihatnya masih
mematung terkesima dengan apa yang dilihatnya.
"Bagaimana Kakang Menak Koncar, apakah pertandingan ini sudah selesai ?", berkata Putu Risang
kepada Menak Koncar. "Maafkan aku yang buta ini. Tidak melihat gunung tinggi
didepan kelopak mata", berkata Menak Koncar mengakui
453 kemampuan ilmunya jauh dibawah Putu Risang."Dan
terima kasih telah memilih pertandingan dengan cara
seperti ini, apa jadinya seandainya sasaran cambukmu
diriku sendiri", berkata kembali Menak Koncar masih
berdiri ditempatnya. "Akulah yang seharusnya minta maaf, telah merebut hati
Endang Trinil", berkata Putu Risang mendekati Menak
Koncar. "Tidak perlu minta maaf kepadaku, hari ini aku bangga
bahwa ternyata Endang Trinil tidak salah pilih. Kamu
memang orang yang tepat baginya", berkata Menak
Koncar sambil memegang bahu Putu Risang dengan hati
dan jiwa penuh keikhlasan sebagaimana layaknya
seorang kesatria memegang janjinya.
"Aku berharap semua yang telah kita perbuat dimalam ini
akan berlalu, kita lupakan seperti tidak pernah terjadi
apapun", berkata Putu Risang ikut memegang bahu
Menak Koncar. Dan tanpa dorongan apapun kedua pemuda itu terlihat
sudah saling berpelukan, mereka seperti saling
mengikhlaskan diri, sudah saling memaafkan satu
dengan lainnya dan tidak ada lagi ganjalan apapun
diantara mereka. Dan bulan diatas langit malam begitu damai temaram
cahayanya meneduhkan hati.
Hari itu, masih tersisa duapuluh sembilan hari lagi
menjelang purnama kedua. Dan di pagi itu Bumi Majapahit sudah begitu ramai
dipenuhi banyak orang yang berlalu lalang. Ada sebagian
orang pergi ke sawah untuk memeriksa sawah-sawah
mereka yang sudah mulai bunting padi hanya tinggal
454 menunggu hari untuk di panen. Sementara beberapa
orang sudah berkumpul di tanah lapang seperti hari
sebelumnya untuk berlatih sebagai sebuah pasukan
khusus. Begitulah pembagian tugas di bumi Majapahit
yang mulai tumbuh, mereka tidak pernah melupakan
pentingnya persediaan pangan yang cukup, tanpa itu
sekuat apapun sebuah pasukan akan menjadi lemah bila
persediaan pangan mereka tidak dipenuhi.
Masih di Bumi Majapahit, tepatnya di sebuah tepian
sungai kecil berbatu, tiga anak kecil terlihat tengah
bermain berlompat dari satu batu ke batu lainnya. Begitu
gembiranya ketiganya melakukan itu. Sementara itu di
tempat yang sama terlihat seorang tua duduk bersila
diatas sebuah batu besar mengamati tingkah polah
keriangan ketiga anak itu.
Ketiga anak laki-laki itu tidak lain adalah Gajahmada,
Jayanagara dan Adityawarman. Sementara orang tua
yang tengah duduk bersila diatas batu besar di sungai
kecil itu ternyata adalah pendeta Gunakara.
"Anak itu tumbuh melampaui anak seusianya", berkata
Pendeta Gunakara mengamati Gajahmada yang tengah
berlari bersama Adityawarman dan Jayanagara.
Ternyata pengamatan Pendeta Gunakara terhadap
perkembangan tubuh Gajahmada tidak beralasan, meski
usianya terpaut beberapa tahun dari Adityawarman dan
Jayanagara, tubuh Gajahmada telah menyamai mereka,
bahkan dalam perkembangan selanjutnya, Pendeta
Gunakara merasa yakin bahwa Gajahmada akan
melampaui mereka, lebih tinggi dan lebih besar dari
ukuran lumrah orang kebanyakan.
"Nyi Nariratih datang untuk menjemput mereka?", berkata
Pendeta Gunakara tanpa menoleh sedikitpun menyapa
455 seseorang yang tengah datang dibelakang dirinya
mendekat, sementara matanya masih asyik mengamati
ketiga anak lelaki yang penuh keriangan tanpa lelah
sedikitpun berlompat dari satu batu ke batu lainnya tanpa
terjatuh. "Terimakasih telah membimbing anak-anak berlatih
ketahanan diri dan keseimbangan", berkata seorang
wanita yang sudah berada didekat Pendeta Gunakara
yang ternyata memang Nyi Nariratih adanya.
"Ketahanan dan keseimbangan mereka sudah sangat
baik, saatnya untuk mengenal olah gerak kanuragan
selagi tubuh mereka masih lentur", berkata Pendeta
Gunakara masih tanpa menoleh, masih terus mengamati
ketiga anak-anak itu. "Kita harus meminta pertimbangan tuanku Senapati
Mahesa Amping, garis perguruan mana yang akan
diperkenalkan pertama kepada mereka bertiga", berkata
Pendeta Gunakara kepada Nyi Nariratih.
"Benar, nanti malam kita bicarakan hal ini kepada Tuanku
Senapati", berkata Nyi Nariratih kepada Pendeta
Gunakara Dan tidak terasa matahari pagi sudah mulai naik
merayapi lengkung langit bumi.
"Ketika berada di Tanah Wangi-wangi, sedikit banyak


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sudah diperkenalkan dasar olah kanuragan oleh
Ratu Anggabhaya sendiri yang mempunyai garis
perguruan dan akar yang sama denganku. Berdasar hal
itu, akan lebih mudah bagi mereka lewat jalur
perguruanku", berkata Mahesa Amping di sebuah malam
diatas pendapa Pasanggrahannya bersama Ni Nariratih
dan Pendeta Gunakara. 456 "Siapakah yang akan membimbing mereka?", bertanya
Nyi Nariratih kepada Mahesa Amping karena menurut
pikiran dirinya bahwa tidak akan mungkin saat itu
Mahesa Amping yang turun membimbing anak-anak itu,
terutama dilihat dari kesibukan Mahesa Amping akhirakhir ini.
"Putu Risang adalah pembimbing yang baik buat
mereka", berkata Mahesa Amping kepada Nyi Nariratih
dan pendeta Gunakara. Mendengar keputusan Mahesa Amping yang sangat
dihormatinya itu, terlihat Nyi Nariratih menerimanya
dengan sangat senang hati, menurutnya olah kanuragan
dari garis perguruan mereka yang telah disempurnakan
oleh Mahesa Amping sendiri adalah sebuah olah
Kanuragan yang sangat hebat. Dan dirinya merasa
terhormat bila Gajahmada putranya itu telah diwariskan
olah kanuragan dari garis perguruan Mahesa Amping.
"Nanti aku sendiri yang meminta kepada Putu Risang
untuk membimbing mereka setiap hari", berkata Mahesa
Amping kepada Nyi Nariratih dan pendeta Gunakara.
"Kita tunggu Putu Risang pulang, saat ini mungkin masih
merapikan pliridan di sungai kecil", berkata Nyi Nariratih
kepada Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping menarik nafas perlahan, Nyi
Nariratih dan Pendeta Gunakara tidak tahu apa yang ada
dalam pikiran Mahesa Amping yang teringat kejadian
kemarin malam melihat langsung tataran ilmu Putu
Risang. Mahesa Amping merasa yakin bahwa malam ini
pasti Putu Risang tidak sekedar memperbaiki pliridan,
tapi juga terus berlatih menempa dirinya.
Sebagaimana yang diperkirakan oleh Mahesa Amping,
ternyata Putu Risang benar-benar bukan sekedar
457 memperbaiki pliridan, tapi dirinya terlihat tengah berlatih
menempa kekuatan dan kecepatannya bergerak,
mencoba mengukur dan mengendalikan perkembangan
kekuatan dirinya agar dapat lebih mengenal kekuatannya
sekaligus daya lontar yang mungkin dapat dihentakkan
lewat ujung cambuknya, tentunya.
Akhirnya disaat hari sudah menjadi sepertiga malam,
barulah terlihat Putu Risang menyelesaikan latihannya.
Ketika Putu Risang tiba di halaman pendapa
Pasanggrahan, dilihatnya Mahesa Amping dan Pendeta
Gunakara masih ada di atas pendapa.
Ternyata mereka memang tengah menunggu dirinya.
"Duduklah", berkata Mahesa Amping kepada Putu
Risang. Akhirnya Mahesa Amping langsung berkata kepada Putu
Risang tentang rencana mereka meminta kesediaan Putu
Risang membimbing langsung Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara dalam olah Kanuragan.
Pagi sepertinya datang begitu lambat, atau malam
memang menjadi panjang. Pagi itu memang masih buta, masih gelap ketika Putu
Risang masuk ke pakiwan untuk bersih-bersih diri,
sengaja pagi itu tidak membangunkan Gajahmada dan
dua kawannya Adityawarman dan Jayaraga.
"Biarlah mereka tidur lebih lama", berkata Putu Risang
memutuskan untuk tidak membangunkan mereka bertiga,
juga tidak mengajaknya seperti biasa ke sungai kecil
untuk mengambil ikan yang terjebak di pliridan mereka.
Demikianlah, seperti hari sebelumnya, Putu Risang
dipagi buta itu sudah pergi melangkahkan kakinya ke
sungai kecil di ujung tepi hutan Maja.
458 "Hari ini banyak ikan yang terjebak", berkata Putu Risang
penuh kegembiraan melihat banyak ikan yang masuk
kedalam lubang perangkapnya. "Cukup untuk makan dua
kali", berkata Putu Risang sambil mengambil beberapa
ikan dan langsung dimasukkan kedalam korang yang
dibawa dari rumah. "Ikan petik besar", berkata pula Putu
Risang sambil mengambil ikan petik besar itu. Terbayang
dimatanya wajah Gajahmada yang akan menikmati ikan
petik itu dibumbui palapa. "Mahesa Muksa pasti senang
sekali", berkata kembali Putu Risang penuh kegembiraan
membayangkan Gajahmada yang disebutnya Mahesa
Muksa itu tengah menikmati ikan petik dibumbui palapa.
"Pagi ini hasil tangkapanmu lumayan banyak", berkata
Pendeta Gunakara kepada Putu Risang yang baru saja
melangkah naik tangga pendapa.
"Penjaga sungai itu mungkin hari ini banyak berbelas
kasih kepadaku", berkata Putu Risang yang disambut
tawa oleh Pendeta Gunakara.
"Aku tidak melihat Tuanku Senapati", berkata Putu
Risang bertanya kepada Pendeta Gunakara tentang
keberadaan Mahesa Amping yang dilihatnya tidak
berada di pendapa pagi itu seperti biasanya.
"Seorang prajurit baru saja datang, meminta Tuanku
Senapati untuk datang ke Pasanggrahan Raden Wijaya",
berkata Pendeta Gunakara memberi penjelasan
keberadaan Mahesa Amping.
"Tangkapanmu banyak sekali", berkata Nyi Nariratih
kepada Putu Risang di dapur belakang tengah
menunggu perapian melihat ikan yang dibawa oleh Putu
Risang. Demikianlah, setelah bersih-bersih diri di pakiwan, terlihat
Putu Risang bergabung menemani Pendeta Gunakara
459 yang sendirian di atas pendapa.
"Pagi ini kamu akan membawa anak-anak ke tepi
hutan?", berkata Pendeta Gunakara kepada Putu
Risang. "Benar, aku akan membawa mereka kesana di tempat
yang sama sebagaimana tuan Pendeta membawa dan
melatih mereka selama ini", berkata Putu Risang kepada
Pendeta gunakara. "Sanggar terbuka membuat mereka tidak mudah lelah",
berkata Pendeta Gunakara kepada putu Risang
menyetujui pilihan Putu Risang menjadikan tepi hutan
sebagai sanggar terbuka. Demikianlah, pagi itu Putu Risang telah membawa
Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara ke tepi hutan
Maja. "Aku akan datang menyusul", berkata Pendeta Gunakara
melepas kepergian mereka.
"Aku akan menyiapkan masakan yang enak untuk
kalian", berkata Nyi Nariratih diujung pagar pendapa
melambaikan tangannya kepada mereka yang terlihat
sudah melangkah di halaman muka.
"Ikan Petik bumbu palapa, Bunda", berkata Gajahmada
penuh kemanjaan kepada ibundanya Nyi Nariratih.
Terlihat Nyi Nariratih dan Pendeta Gunakara masih
mengikuti langkah kaki mereka yang sudah melewati
gerbang Gapura Pasanggrahan dan menghilang
disebuah tikungan jalan setapak.
"Anak itu telah melampaui anak seusianya dalam
perkembangan tubuhnya", berkata Pendeta Gunakara
kepada Nyi Nariratih menanggapi perkembangan tubuh
Gajahmada yang memang terlihat lebih besar dari anak460
anak seusianya. "Sudah menyamai tubuh Adityawarman dan Jayanagara
yang terpaut beberapa tahun darinya", berkata Nyi
Nariratih menggapi perkataan Pendeta Gunakara.
"Sebentar lagi aku akan menyusul mereka ke tepi hutan
Maja", berkata Pendeta Gunakara menyampaikan
niatnya untuk melihat hari pertama mereka berlatih
dibawah bimbingan Putu Risang yang dipercaya oleh
Mahesa Amping dapat melakukannya dengan baik
sebagaimana dirinya pernah membimbingnya bersama
Empu Dangka di Balidwipa di Padepokan Pamecutan.
"Aku akan ke belakang, menyiapkan makan siang kita",
berkata Nyi Nariratih kepada Pendeta Gunakara yang
sudah duduk kembali di atas pendapa.
Ketika Nyi Nariratih sudah tidak kelihatan lagi menghilang
di balik pintu butulan, terlihat Pendeta Gunakara duduk
bersimpuh diatas kau pendapa, matanya terlihat
menerawang jauh menembus gerbang gapura Pasanggrahan. "Titisan Jamyang Dawa lama telah mulai tumbuh,
dapatkah kiranya aku membawanya ke Wihara sebagai
seorang Guru Besar kami kembali?", berkata Pendeta
Gunakara merasa ragu dapat membawa Gajahmada
kembali ke Wiharanya sesuai tugas yang diembankan
kepadanya oleh paman-paman gurunya disebuah wihara
di Tibet yang sangat jauh dari jawadwipa.
"Masih banyak waktu untukku bersamanya menunggu
saatnya tiba, aku akan selalu menjaganya sebagaimana
aku menjaga Jamyang Dawa lama hingga diujung
usianya", berkata kembali Pendeta Gunakara membayangkan saat-saat akhir menjelang kematian guru
besarnya itu yang mengatakan bahwa dirinya akan
461 menitis kembali disebuah tempat yang jauh, disebuah
nusa nirwana yang ternyata adalah nusa Dewata,
Balidwipa. Dan Pendeta Gunakara telah menemukan
titisan Guru besarnya itu terlahir dari seorang wanita
bernama Nyi Nariratih, istri seorang pendeta muda
bernama Darmayasa. "Tuanku Mahesa Amping pasti dengan ketinggian
ilmunya telah menghilangkan tanda hitam di pundak
anak itu, tapi tidak dimataku", berkata kembali Pendeta
Gunakara dalam hati mengingat awal pertama
menemukan Gajahmada di Padepokan Pamecutan.
Sementara itu masih dibumi Majapahit di Pasanggrahan
Raden Wijaya, terlihat Mahesa Amping sedang
berbincang-bincang dengan pemimpin muda Bumi
Majapahit itu, Raden Wijaya.
"Dari beberapa Padepokan yang mendukung pergerakan
kita hari ini sudah berdatangan bergabung di Bumi
Majapahit ini. Tahukah kamu diantara meraka ada
beberapa orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dengan
senyum penuh kegembiraan.
Bukan main gembiranya Mahesa Amping mendapat
berita bahwa ada beberapa cantrik dari Padepokan Bajra
Seta ikut bergabung bersama mereka.
Sebagaimana diketahui bahwa Padepokan Bajra Seta
punya kenangan khusus buat mereka, karena
Padepokan itulah yang telah membesarkan dirinya,
Raden Wijaya dan Ranggalawe. Di Padepokan itulah
mereka mengenal untuk pertama kali olah kanuragan. Di
Padepokan itu pula mereka mulai belajar tentang nilainilai luhur kehidupan yang sebenarnya.
Maka Raden Wijaya menyampaikan kepada Mahesa
462 Amping bahwa beberapa orang dari Padepokan Bajra
Seta saat itu telah berada di beberapa rumah tinggal
yang khusus untuk kehadiran mereka.
Dengan penuh kegembiraan hati, Mahesa Amping
meminta ijin kepada Raden Wijaya untuk menemui
mereka. "Aku tak sabar begitu rindu untuk segera melihat wajah
mereka", berkata Mahesa Amping mengungkapkan
perasaan hatinya kepada Raden Wijaya.
Terlihat Mahesa Amping sudah keluar dari Pasanggrahan Raden Wijaya diantar oleh seorang
prajurit untuk menemui para cantrik Padepokan Bajra
Seta di sebuah tempat. Bukan main gembiranya hati Mahesa Amping ketika
bertemu dengan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Ternyata dari Padepokan Bajra Seta itu telah mengirim
seratus cantrik terbaiknya. Dan diantara mereka ada dua
orang yang masih begitu sangat dikenalnya yang
ternyata adalah Mahesa semu dan Muntilan.
"Kakang Mahesa Semu", berkata Mahesa Amping
memeluk kakak seperguruannya itu penuh haru.
"Gusti yang Maha Agung telah mempertemukan kita
kembali", berkata seorang lelaki setengah tua
memandang kepadanya. "Paman Muntilan", setengah berteriak Mahesa Amping
memanggil dan memeluk orang itu.
"Coba tebak, apakah kamu masih mengenalnya?",
berkata Mahesa Semu kepada Mahesa Amping
memperkenalkan seorang pemuda tanggung dihadapannya.

Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu pasti Mahesa Darma", berkata Mahesa Amping
463 memeluk anak muda dihadapannya yang ternyata adalah
Mahesa Darma, putra tunggal Mahesa Murti.
"Kalian bertiga ikutlah tinggal bersamaku", berkata
Mahesa Amping menawarkan ketiganya untuk tinggal
bersama di Pasanggrahannya.
"Ternyata kemenakan kecilku ini sudah punya sarang
yang tetap", berkata Muntilan yang ditanggapi dengan
tawa dan senyum oleh Mahesa Amping.
Demikianlah, Mahesa Amping segera membawa Mahesa
Semu, Muntilan dan Mahesa Darma ke Pasanggrahannya. Memperkenalkan ketiganya dengan Nyi
Nariratih dan Pendeta Gunakara.
Sementara itu di tepi hutan maja terlihat tiga anak lelaki
tengah berlatih penuh semangat dibawah pengawasan
seorang pemuda. Putu Risang, pemuda yang diminta
oleh Mahesa Amping untuk membimbing Gajahmada,
Adityawarman dan Jayanagara terlihat penuh senyum
kebanggaan mengawasi gerak ketiga anak itu yang
begitu luwes dan gesit. Putu Risang mengagumi gerakan mereka sudah begitu
sempurna, ternyata selama di pulau Tanah Wangi-wangi
ketiga anak itu telah dilatih langsung oleh seorang guru
yang hebat yang tidak lain adalah Ratu Anggabhaya
sendiri. "Aku hanya sedikit memberikan beberapa perubahan",
berkata Putu Risang dalam hati sambil melihat gerakan
ketiga anak itu yang mempunyai satu garis perguruan
yang sama dengannya, tapi terakhir bersama Mahesa
Amping dan Empu Dangka telah lebih menyempurnakannya.
"Mereka adalah anak-anak yang cerdas serta sangat
464 tangkas, pada suatu saat aku yakin pasti mereka akan
menjadi tiga orang yang hebat, tiga orang yang akan
dapat mengukir sejarah yang panjang di bumi ini",
berkata Putu Risang merasa yakin ketiga anak
bimbingannya itu pasti punya masa depan yang
cemerlang dilihat dari sinar garis wajah mereka seperti
memancarkan sinar, cahaya bathin yang hanya dimiliki
oleh mereka yang punya bakat sebagai seorang
pemimpin sejati. Terlihat Putu Risang tersenyum sendiri seperti melihat
dirinya dimasa yang akan datang.
"Setiap hari aku harus pergi ke sawah, makan siang
bersama di saung bersama seorang istri dan anak-anak
tercinta, hidup dan tinggal di sebuah rumah sederhana",
berkata Putu Risang dalam hati membayangkan
kehidupannya kelak nanti.
Tapi tiba-tiba saja bayangan Putu Risang terasa
terbanting manakala terbayang sebuah peperangan
dihadapan matanya. "Mungkinkah suatu saat nanti akan datang sebuah bumi
yang damai tanpa sebuah peperangan apapun?",
bertanya Putu Risang kepada dirinya sendiri.
"Setiap manusia yang merasa mampu akan mencari dan
berlomba merebut tahta singgasananya, selama itu pula
tidak akan surut sebuah peperangan", berkata kembali
Putu Risang merenungi sebuah kehidupan.
Hati dan pikiran Putu Risang akhirnya telah kembali di
hari itu, ditepi hutan Maja.
"Hari sudah menjadi begitu terik", berkata Putu Risang
dalam hati sambil melihat matahari yang sudah mulai
merayap diatas puncaknya.
465 "Kita sudahi dulu latihan ini, apakah kalian tidak lapar?",
berkata Putu Risang kepada ketiga anak itu yang
langsung dijawab dengan anggukan kepala bersamaan.
"Ikan petik bumbu palapa olahan bunda seperti sudah
tercium", berkata Gajahmada sambil memegang
perutnya yang memang terasa sangat lapar sambil
berjalan dimuka. Sementara itu, di tempat yang jauh dari Bumi Majapahit,
di sebuah rumah besar salah seorang pejabat penguasa
Kediri di Kotaraja Kediri terlihat telah berkumpul
beberapa perwira prajurit. Nampaknya mereka tengah
merayakan sebuah keberhasilan dari sebuah tugas
besar. "Para pemimpin padepokan ternyata adalah orang-orang
bodoh, sekaligus para memimpi besar", berkata seorang
yang berkumis tebal yang nampaknya terlalu banyak
minum arak. "Mereka begitu mudah ditipu bahwa hampir
semua pemimpin padepokan di Jawadwipa pada bulan
kedua akan datang beramai-ramai ke Bumi Majapahit
untuk sebuah sayembara besar memperebutkan sebuah
keris wahyu keraton, Keris Nagasasra", berkata perwira
berkumis tebal itu penuh kegembiraan.
"Dan mereka begitu mudahnya percaya", berkata
seorang perwira bergelang bahar besar sambil tertawa
panjang disambut dengan gelak tawa beberapa orang
yang hadir. "Dan Raden Wijaya menjadi manusia paling bingung di
dunia, dituntut untuk menyerahkan keris Nagasasra
sebagai benda sayembara", berkata Perwira berkumis
tebal yang disambut gelak tawa semua yang hadir di
tempat itu menjadikan suasana menjadi begitu riuh
penuh diwarnai gelak tawa kegembiraan.
466 Tapi mereka semua tidak tahu bahwa dirumah itu ada
seorang pelayan tua yang telah mencoba mencuri
dengar pembicaraan meraka.
Ternyata pelayan tua itu adalah seorang petugas telik
sandi kepercayaan Raden Wijaya yang sengaja ditanam
di rumah itu. Maka ditengah-tengah tugasnya sebagai seorang
pelayan, petugas sandi itu telah menyelinap keluar
rumah besar itu untuk menemui pimpinannya disebuah
rumah yang menjadi tempat pertemuan para petugas
sandi di Kotaraja Kediri.
Kepada pemimpinnya itu, petugas telik sandi yang
menyamar sebagai pelayan itu menceritakan semua
yang didengarnya. "Tuanku Raden Wijaya harus segera mengetahui berita
ini agar dapat membuat sebuah tindakan yang tepat",
berkata pemimpin itu kepada petugas telik sandi yang
langsung pamit diri untuk kembali kerumah pejabat
kerajaan itu melaksanakan tugasnya kembali sebagai
seorang pelayan. Demikianlah, ketika matahari terlihat masih bergeser
sedikit dari puncaknya terlihat seorang penunggang kuda
telah meninggalkan Kotaraja Kediri.
Penunggang kuda itu ternyata adalah petugas telik sandi
dari Bumi Majapahit, terlihat ketika sudah jauh keluar dari
gerbang kota telah menghentakkan kakinya di perut
kudanya agar berlari lebih kencang lagi.
Jilid 6 Bagian 1 467 KITA tinggalkan dulu penunggang kuda petugas sandi
yang tengah berlari dengan kudanya menuju Bumi
Majapahit. Mari kita kembali ke Bumi Majapahit yang
tengah mempersiapkan sebuah gerakan besar pada
bulan purnama kedua saat itu. Mereka tidak mengetahui
sama sekali bahwa jauh diluar Bumi Majapahit sudah
santer tersebar sebuah berita gelap yang sangat
menyesatkan, sebuah sayembara untuk memperebutkan
keris wahyu keraton, Keris Nagasasra yang saat itu
berada di tangan Raden Wijaya.
Siapa pemicu berita menyesatkan itu kalau bukan seteru
abadinya, Raja Jayakatwang.
Hari ke enam menjelang bulan purnama ke dua.
Putu Risang sudah mempunyai sahabat baru, Mahesa
Darma. Sejak perkenalan mereka, terlihat mereka selalu
bersama. Ketika setiap pagi ke tepi hutan ikut melihat
Putu Risang membimbing Gajahmada, Adityawarman
dan Jayanagara. Bahkan disaat selesai memperbaiki
pliridan di sungai kecil Mahesa Darma menjadi kawan
berlatih yang hebat. "Aku tidak dapat mengimbangi kecepatanmu bergerak",
berkata Mahesa Darma sambil melompat menjauh
merasa terlalu jauh untuk dapat merobohkan Putu
Risang yang dianggapnya terlalu cepat gerakannya.
Putu Risang memang sengaja tidak menunjukkan tataran
ilmunya yang sebenarnya, tapi tetap saja membuat
Mahesa Darma kewalahan tidak ada kesempatan sama
sekali untuk balas menyerang.
"Kamu juga sangat tangguh, otakmu seperti belut, selalu
keluar dari setiap sergapan", berkata Putu Risang sambil
tersenyum mengakui Mahesa Darma memang mempunyai banyak akal tidak mudah dirobohkan oleh
468 sembarang orang. Demikianlah, Putu Risang selalu menemani Mahesa
Darma selama di Bumi Majapahit. Sementara Mahesa
Darma disiang hari masih dapat bergabung dengan para
cantrik Padepokan Bajra Seta dalam satuan kelompokkelompok yang sudah ditentukan. Dan saat itu mereka
tidak berlatih di tanah lapang lagi, melainkan berlatih di
sekitar sungai kalimas, mendekati suasana medan yang
akan mereka hadapi, medan sebenarnya dari pasukan
khusus yang tengah disiapkan oleh Ki Sandikala.
Diam-diam Putu Risang dan Endang Trinil selalu ada
alasan untuk dapat bertemu, kali ini di siang hari itu
mereka bertemu di tepi sungai Kalimas, dengan alasan
yang sama tentunya, melihat dan menyaksikan pasukan
khusus berlatih diatas air.
Mereka melihat bagaimana pasukan khusus itu
berlompat dari satu jukung ke jukung lain dengan
keseimbangan yang begitu luar biasa. Dan yang sangat
mendebarkan hati adalah pada saat mereka berlatih
untuk dapat menyelam didalam air dengan waktu yang
sangat lama. "Mereka pasukan air yang hebat", berkata Putu Risang
kepada Endang Trinil memuji para pasukan khusus
begitu sergap dan tangkasnya mengendalikan sebuah
jukung diatas air. "Nengapa kakang tidak ikut bergabung dengan
mereka?", berkata Endang Trinil bertanya kepada Putu
Risang, sebuah pertanyaan yang sangat sering
dipertanyakan kembali oleh Endang Trinil kepada Putu
Risang. "Aku serahkan diriku kepada perintah Tuanku Mahesa
Amping, tugas apapun aku siap melaksanakannya. Dan
469 beliau tidak pernah memerintahkan kepadaku untuk
bergabung di pasukan khusus ini", berkata Putu Risang
kepada Endang Trinil memberikan alasannya mengapa
dirinya tidak ikut bergabun bersama pasukan khusus itu.
"Hari sudah begitu petang, aku harus menyiapkan makan
malam untuk mereka", berkata Endang Trinil kepada
Putu Risang dengan wajah sangat memelas menyesali
waktu yang sepertinya bergerak begitu cepat.
Dan mereka pun terlihat berjalan beriring hingga sampai
di sebuah persimpangan jalan, berpisah lagi.
Dan wajah bulan diatas bumi Majapahit malam itu seperti
sepotong alis terbalik putih pucat yang kadang
menghilang bersembunyi dibalik awan hitam yang datang
muncul dan pergi dibawa angin terburai lenyap
dibelantara pengembaraan langit purba.
Angin malam terasa menusuk tulang, tapi tidak
mengurangi kehangatan senda gurau diatas pendapa
Pasanggrahan Mahesa Amping.
Dan Mahesa Amping tidak pernah jemu mendengar
cerita Mahesa Semu dan Paman Muntilan berkisah
tentang suasana Padepokan Bajra Seta. Sebaliknya
Mahesa Amping juga banyak bercerita tentang
perjalanan hidupnya, semua petualangannya.
Sementara itu Pendeta Gunakara yang melihat
keakraban pertemuan saudara perguruan para cantrik
Padepokan Bajra Seta itu menjadi begitu rindu dengan
suasana wiharanya yang begitu jauh di seberang lautan,
di sebuah dataran Tibet. Terbayang satu persatu wajah
saudara seperguruannya, para paman gurunya. Namun
seketika itu juga Pendeta Gunakara teringat wajah guru
besarnya, Jamang Dalai Lama.
470 "Aku lebih beruntung dari semua saudara seperguruanku, karena aku setiap saat dapat bertemu
muka dengan titisan yang Mulia, Jamyang Dalai Lama
kecilku, Mahesa Muksa", berkata Pendeta Gunakara
dalam hati ditengah suasana senda gurau dan
kegembiraan hati Mahesa Amping dan saudara
seperguruannya diatas pendapa Pasanggrahan Mahesa
Amping. Namun semua yang ada diatas pendapa Pasanggrahan
Mahesa Amping itu menjadi terdiam manakala terdengar
suara langkah kaki seorang prajurit menapaki tangga
pendapa. "Hamba diperintahkan untuk mengantar Tuan Senapati
malam ini untuk menemui Tuanku Raden Wijaya",
berkata prajurit itu menyampaikan maksud dan tujuan
kedatangannya. "Jangan beratkan keberadaan kami, pasti ada hal


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting untuk kalian bicarakan malam ini", berkata
Mahesa Semu melihat keberatan Mahesa Amping untuk
meninggalkan mereka sebagai tamunya.
"Terima kasih, aku akan selekasnya kembali mendengar
cerita kalian", berkata Mahesa Amping sambil berdiri.
"Disini masih ada tuan pendeta yang akan menemani
kami menghabiskan wedang sare dan ketela rebus",
berkata Paman Muntilan ketika melihat Mahesa Semu
tengah menuruni anak tangga pendapa diiringi seorang
prajurit pengantarnya. Dan hawa dingin malam seperti menyergap setiap
langkah kaki diatas jalan setapak menuju Pasanggrahan
Raden Wijaya. Terdengar gemerutuk suara gigi beradu dari seorang
471 prajurit yang mengantar Mahesa Amping membuat
Mahesa Amping merasa kasihan bahwa malam yang
dingin ini prajurit itu masih harus bertugas. Tapi pikiran
Mahesa Amping berlari pergi menyusul dengan pikiran
lain, sebuah pertanyaan yang berputar-putar, pasti ada
sebuah hal yang sangat begitu mendesak, begitu
pentingnya sehingga Raden Wijaya memintanya bertemu
malam itu juga. Dan pikiran Mahesa Amping semakin berputar-putar
penuh pertanyaan manakala sudah memasuki halaman
muka Pasanggrahan Raden Wijaya. Panggraitanya yang
tajam terasa bergetar manakala melihat Ki Sandikala
sudah ada bersama Raden Wijaya di atas pendapa itu.
"Nampaknya sebuah peristiwa besar yang akan
kudengar dari mereka", berkata Mahesa Amping dalam
hati. Terlihat Mahesa Amping sudah menaiki anak tangga
pendapa. Raden Wijaya dan Ki Sandikala menyambut
kedatangannya dengan kata-kata keselamatan.
"Ada berita besar yang ingin aku bicarakan bersama
kalian", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping
dan Ki Sandikala. Terlihat Mahesa Amping dan Ki
Sandikala sama-sama mengerutkan keningnya, ingin
selekasnya mengetahui berita apa yang akan didengar
oleh mereka. "Baru saja aku kedatangan seorang telik sandiku di
Kotaraja Kediri, mereka menyampaikan bahwa telah
disebar sebuah berita gelap, berita palsu yang
menyatakan bahwa akan ada sebuah sayembara besar
di Bumi Majapahit memperebutkan keris wahyu keraton,
keris Nagasasra pada bulan purnama kedua", berkata
kembali Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki
Sandikala dan berhenti sebentar untuk melihat
472 tanggapan wajah-wajah mereka. "Raja Jayakatwang
telah memulai perangnya, telah melepas berita palsu
mengacaukan rencana rintisan kita semula", berkata
Raden Wijaya melanjutkannya kembali.
"Pada bulan kedua, para pemimpin padepokan yang
bermimpi untuk mendapatkan wahyu keraton akan
datang bersama membawa kekuatan masing-masing ke
bumi Majapahit ini, disaat kita baru akan memulai sebuah
gerakan, Raja Jayakatwang memang telah mencoba
mendahului serangannya tidak dengan tangannya
sendiri", berkata Ki Sandikala mencoba menguraikan
pengertiannya sendiri. "Itulah yang akan terjadi di Bumi Majapahit ini", berkata
Raden Wijaya membenarkan ucapan Ki Sandikala.
"Mereka hanya ingin mengalihkan perhatian kita,
menyerang dengan cara gelap. Harus ada sebuah cara
yang dapat membelokkan serangan itu sebelum hari
purnama kedua", berkata Mahesa Amping mencoba
memberi sebuah cara. "Aku setuju dengan cara tuan Senapati, membelokkan
serangan gelap itu", berkata Ki Sandikala membenarkan
pendapat Mahesa Amping. "Dengan apa kita membelokkan serangan mereka?",
berkata Raden Wijaya seperti melempar kembali
persoalan untuk ditanggapi oleh dua orang kepercayaannya itu. "Membelokkannya sebagaimana mereka menyerang,
dengan berita palsu", berkata Mahesa Amping mencoba
mengeluarkan pemikirannya.
"Kita sebarkan berita palsu bahwa keris Nagasasra
sudah dicuri orang", berkata kembali Mahesa Amping
473 melanjutkan pemikirannya.
"Sebuah cara yang hebat", berkata Ki Sandikala memuji
jalan pikiran Mahesa Amping.
"Dan kita harus dapat melakukannya sebelum datang
purnama ini", berkata Raden Wijaya menyetujui dan
menambahkan pemikiran Mahesa Amping dengan
batasan waktu sebelum bulan purnama kedua.
"Yang ada dalam pikiranku ini adalah siapa yang akan
menjadi badal, siapa yang kita korbankan menjadi
kambing hitam sebagai seorang pencuri palsu ini",
berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya dan Ki
Sandikala. Pertanyaan Mahesa Amping telah membuat Ki Sandikala
dan Raden Wijaya ikut berpikir, siapa gerangan yang
dapat dijadikan sebagai badal melakoni dirinya sebagai
seorang pencuri?" Suasana diatas pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya
menjadi hening seketika, setiap kepala mencoba mencari
sosok diri yang dapat dengan sukarela melakoni dirinya
menjadi seorang pencuri. Seseorang yang dengan sadar
dan berani dikambing hitamkan.
Lama, keheningan suasana diatas pendapa pasanggrahan Raden Wijaya seperti menghentikan
waktu, begitu hening seperti daun kering yang terlempar
jatuh mengambang diudara malam yang dingin. Semua
kepala diatas pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya
seperti tengah berpikir keras mencari sebuah nama.
Tiba-tiba suara Mahesa Amping seperti memecahkan
suasana keheningan itu. "Aku mendapatkan sebuah nama, aku mengenalnya
dengan baik dan kuyakini pasti bersedia menjalankan
474 tugas yang kita berikan", berkata Mahesa Amping
kepada raden Wijaya dan Ki Sandikala.
"Siapakah menurutmu yang pantas melaksanakan tugas
itu?", bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Amping
seperti sudah tidak sabaran lagi untuk selekasnya
mendengar dari Mahesa Amping menyebut sebuah
nama. "Putu Risang, aku yakin anak muda itu dapat
melaksanakan-nya", berkata Mahesa Amping kepada
Raden Wijaya dan Ki Sandikala.
"Apakah perlu malam ini kita panggil Putu Risang?",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping tidak langsung menjawab,
menarik nafas panjang dan mengeluarkanya perlahan
seakan ingin melepas keraguannya.
"Biarlah aku sendiri yang akan memberikan penjelasan
langsung kepadanya agar tidak seorang pun mengetahui
rahasia ini kecuali kita bertiga", berkata Mahesa Amping
kepada Raden Wijaya dan Ki Sandikala.
Sementara itu malam terus berjalan semakin larut, lampu
pelita malam kadang bergoyang tertiup angin yang
datang semilir menusuk kulit diatas pendapa
Pasanggrahan Raden Wijaya.
Terlihat Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Raden Wijaya
masih terus membicarakan beberapa kemungkinan bagi
kesempurnaan sebuah lakon yang akan diperankan oleh
Putu Risang. "Mereka para pemimpi yang haus tahta itu akan beralih
perhatiannya kepada seorang Putu Risang, pada saat
yang sama kita dapat menumpas mereka. Sekarang atau
nanti tetap saja mereka adalah para perusuh seperti
475 sekumpulan burung pemakan bangkai yang menanti dua
harimau bertarung, mereka selalu diuntungkan tanpa
banyak berbuat apapun", berkata Raden Wijaya kepada
Mahesa Amping dan Ki Sandikala sambil memberikan
masukan bagi kesempurnaan pagelaran drama
pencurian yang akan dilakoni oleh Putu Risang, besok
pagi!!!. Dan malam itu juga Mahesa Amping setelah kembali
kepasanggrahannya langsung menemui Putu Risang di
biliknya sendiri tanpa seorangpun yang melihatnya.
Dengan perlahan Mahesa Amping memberikan
penjelasan tentang sebuah lakon yang harus diperankan
oleh anak muda itu. "Semoga hamba tidak mengecewakan tuanku Senapati",
berkata Putu Risang kepada Mahesa Amping.
"Pagi ini kamu harus sudah menghilang dari Bumi
Majapahit", berkata Mahesa Amping kepada Putu
Risang. Dan ketika malam semakin berjalan mendekati ujung
pagi, terlihat sebuah bayangan menyelinap keluar dari
Pasanggrahan Mahesa Amping. Suasana malam yang
dingin membantunya tidak diketahui seorang pun
manakala telah keluar menyelinap masuk di kegelapan
hutan Maja di malam itu. Dan bayangan itu telah hilang
seperti tertelan bumi, tak terlihat meski bayangannya
sekalipun. Dan pagi di Bumi Majapahit telah dihebohkan tentang
hilangnya sebuah keris pusaka, keris Nagasasra. Bumi
Majapahit seperti terbangun, gempar. Hampir semua
orang membicarakan tentang hilangnya keris Nagasasra
itu. Dan berita itu seperti bibit ilalang yang dibawa lewat
476 paruh seekor burung, dalam waktu yang singkat dari
mulut ke mulut telah tersebar keluar dari bumi Majapahit.
Dan berkat kepandaian orang-orang Raden Wijaya
sendiri, berita itu telah terdengar oleh para ketua
Padepokan, para pemimpi yang telah merencanakan
datang di bulan kedua di Bumi majapahit.
Dan berita itu akhirnya menjadi santapan dari hari kehari,
di pasar, di tempat ronda atau di sawah ladang telah
menjadi santapan pembicaraan yang begitu hangat.
Dan namanya berita, diujungnya selalu ditambahi
berbagai bumbu penyedap. Antara lain dikatakan bahwa
pencurinya adalah seorang yang sakti yang sempat
bertempur dengan Raden Wijaya.
Dan berita tidak habis sampai disitu, akhirnya dari pihak
penguasa Bumi Majapahit telah menentukan siapa
gerangan pencuri yang sakti itu, dikatakan dari mulut
kemulut bahwa pencuri sakti itu tidak lain adalah Putu
Risang, murid tunggal dari Kera sakti tanpa bayangan
yang sering terlihat di sekitar hutan bukit cemara.
Dimanakah gerangan Putu Risang saat itu"
Sebagaimana yang kita ketehui dimuka, bahwa sebuah
bayangan telah menyelinap keluar dari Pasanggrahan
Mahesa Amping, ternyata bayangan itu adalah Putu
Risang yang harus segera keluar selekasnya sebelum
datangnya pagi. Dimanakah gerangan Putu Risang saat itu"
Ternyata anak muda itu sudah berada di sekitar hutan
bukit cemara. Di pagi yang masih buta, anak muda itu
sudah sampai di hutan bukit cemara, nampaknya tengah
mencari seseorang. Siapakah yang dicari oleh anak muda itu "
477 Ternyata anak muda itu mencari seseorang yang pernah
ditemuinya di hutan bukit cemara, orang tua yang
menamakan dirinya sebagai Kera Sakti tanpa baangan.
Dapatkah Putu Risang menemui orang tua aneh
penghuni hutan bukit cemara itu?"
Dan Putu Risang tidak terlalu lama mencari keberadaan
orang tua aneh itu yang bergelar Kera Sakti Tanpa
Bayangan. Ternyata orang tua itu tengah duduk
bersandar di sebuah pohon besar. Ketika langkah kaki
Putu Risang datang mendekati, ternyata orang tua itu
mempunyai pendengaran yang tajam telah mendengar
langkahnya dan langsung menoleh kearah datangnya
suara. "Entah mengapa aku punya firasat bahwa kita pasti akan
bertemu lagi", berkata orang tua itu ketika melihat Putu
Risang yang datang mendekat.
"Aku memang sengaja datang mencarimu, orang tua",
berkata Putu Risang. "Mencariku", membutuhkanku?", berkata orang itu masih
duduk malas bersandar di sebuah batang pohon besar.
"Aku perlu minta ijin untuk sementara ini tinggal di sini",
berkata Putu Risang. Terlihat orang tua itu tidak langsung menjawab, tapi
terlihat tertawa terpingkal-pingkal. "Tempat ini begitu
luas, dan aku bukan pemilik tempat ini, kenapa anak
muda meminta ijin kepadaku?" bertanya orang tua itu
setelah berhenti tertawa.
Putu Risang terlihat tersenyum mendengar pertanyaan
orang tua itu, membenarkan perkataan orang tua itu.
Maka terlihat Putu Risang duduk di dekat orang tua itu,
perlahan bercerita tentang apa yang dialaminya dan


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

478 yang akan dihadapinya. Terlihat orang tua itu tertawa panjang mendengar cerita
Putu Risang. "Jarang sekali ada manusia yang mau melakoni diri
sendiri sebagai pencuri gadungan, dan kamu telah
menerimanya", berkata orang tua itu diantara tawanya
yang sepertinya mendengar sebuah cerita lucu dari Putu
Risang. "Aku telah berjanji untuk melaksanakannya dengan baik",
berkata Putu Risang kepada orang tua itu.
Terlihat orang tua itu sudah menghentikan tawanya.
"Aku akan bersamamu anak muda, budi Empu Dangka
begitu besar. Dan hari ini kuanggap telah sedikit
mengurangi rasa terima kasihku, aku siap bersamamu
menghadapi setiap bahaya yang datang", berkata orang
tua itu kepada Putu Risang dengan wajah pasti tanpa
tawa sedikit pun. "Terima kasih", berkata Putu Risang menjadi terharu ada
orang tua yang mau membantunya, meski belum begitu
lama dikenalnya. "Simpan dulu ucapan terima kasihmu, yang kubutuhkan
pagi ini adalah pengganjal perutku yang sudah berbunyi",
berkata orang tua itu sambil tersenyum.
Mendengar ucapan orang tua itu membuat perut Putu
Risang ikut terasa lapar.
"Aku akan segera mencari alat pengganjal itu", berkata
Putu Risang langsung berdiri dan melangkah masuk
kedalam kelebatan hutan Bukit Cemara lebih dalam lagi.
"Sepasang ayam hutan", berkata Putu Risang telah
melihat sepasang ayam hutan tidak begitu jauh darinya
479 sedang bercinta. Dua buah kerikil kecil terlihat terlepas dari genggaman
anak muda itu dan meluncur begitu cepatnya.
Tep"teppp !! Terdengar dua buah suara kerikil telah langsung
mengenai tubuh kedua ekor ayam itu.
"Keok"kok",
Hanya itu suara yang terdengar, dan tidak ada suara
apapun setelah itu, yang terlihat adalah langkah kaki
Putu Risang yang datang mendekati sepasang ayam
yang tergeletak pingsan. Dan Putu Risang telah kembali ketempat orang tua itu
sambil membawa hasil buruannya, sepasang ayam
hutan. Terlihat Putu Risang sudah membuat sebuah perapian,
menguliti bulu kedua ayam itu dan siap untuk
memanggangnya. "Ayam panggang asmara", berkata Putu Risang ketika
harum daging yang sudah matang tercium olehnya.
"Nama masakan yang indah, pasti dapat merubuhkan
cacing-cacing didalam perut", berkata orang tua itu
sambil menerima seekor ayam panggang yang siap
untuk disantap. Terlihat Putu Risang dan orang tua sudah asyik
menyantap ayam panggang itu, yang mereka sepakati
bersama sebagai "ayam panggang asmara".
"Kulihat pikiranmu tidak tertuju kearah daging panggang",
berkata orang itu kepada Putu Risang sambil menarik
daging bagian paha lepas dari tubuhnya.
480 Ternyata tebakan orang tua itu sangat tepat sekali,
pikiran dan hati Putu Risang memang tengah terbang
jauh kembali ke Bumi Majapahit, ke hati seorang gadis
manis disana. "Kasihan gadis itu bila mengetahui aku adalah seorang
pencuri yang tengah dicari", berkata Putu Risang
mengkhawatirkan perasaan Endang Trinil manakala
gadis itu telah mendengar kabar berita tentang pencurian
keris Nagasasra di Pasanggrahan Raden Wijaya.
Benarkah bayangan dan pikiran Putu Risang terhadap
gadis manis itu ?" Ternyata dua sejoli bila sedang saling mencinta seperti
punya satu hati dan perasaan yang sama, merasakan
apa yang dirasakan kekasih hatinya meski terbatas
waktu dan jarak. Sebagaimana yang ada dalam pikiran Putu Risang,
ternyata gadis manis itu memang seperti terguncang
perasaan hatinya manakala mendengar berita tentang
sebuah pencurian di Pasanggrahan Raden Wijaya.
Seperti ingin menolak apa yang telah didengarnya bahwa
pelaku pencurian itu adalah Putu Risang, kekasih pujaan
hatinya itu. Sejak mendengar berita itu, gadis manis itu telah
mengunci dirinya didalam gandoknya.
"Kasihan anak itu", berkata Ki Sandikala dalam hati
diatas pendapanya mengetahui apa yang dirasakan dan
dipikirkan oleh anak kemenakannya itu, Endang Trinil.
Tapi Ki Sandikala tidak berbuat apapun, tidak
memberitahukan dan menyimpan rahasia Putu Risang
rapat-rapat. "Rahasia Putu Risang belum saatnya dibuka, biarlah
481 akan menjadi sebuah cerita sungguhan, penyedap cerita
yang indah untuk mereka dikemudian hari, kelak",
berkata Ki Sandikala sambil tersenyum sendiri
mengetahui kisah cinta diantara Endang Trinil dan Putu
Risang. Akhirnya ketika bermaksud untuk keluar dari
Pasanggrahannya, Ki Sandikala menemui seorang
pelayan agar menjaga Endang Trinil yang masih
mengunci dirinya di dalam gandoknya sendiri.
"Aku titip anak gadisku", berkata Ki Sandikala kepada
pelayan itu ketika akan melangkah keluar untuk melihat
latihan para pasukan khususnya yang tengah berlatih
saat itu. Sementara itu di Pasanggrahan Mahesa Amping, terlihat
Mahesa Amping tengah duduk bersama dengan tamunya
dari Padepokan Bajra Seta, Mahesa Semu, Muntilan dan
Mahesa Darma. Hadir juga bersama mereka Pendeta
Gunakara. Tidak sebagaimana Ki Sandikala yang berusaha
menutup rapat tentang rahasia Putu Risang, sementara
Mahesa Amping dengan terbuka menyampaikan rahasia
pencurian itu kepada tamunya dari padepokan Bajra
Seta, juga kepada Pendeta Gunakara.
"Aku perlu bantuan kalian, kita harus berada dibelakang
Putu Risang, membayangi anak muda itu dari
kemungkinan yang membahayakan dirinya", berkata
Mahesa Amping diatas pendapanya setelah membuka
rahasia dibalik pencurian itu.
"Kami akan siap setiap saat", berkata Mahesa Semu
mewakili semua saudaranya dari Padepokan Bajra Seta
"Mudah-mudahan aku dapat ikut meramaikannya", 482 berkata pendeta Gunakara sambil tersenyum.
Namun tiba-tiba saja semua mata menoleh kearah pintu
butulan yang terbuka, dari sana muncul tiga anak kecil
diikuti oleh seorang wanita.
"Aku merasa yakin bahwa Kakang Putu Risang tidak
seperti apa yang dikatakan orang", berkata salah
seorang dari ketiga anak kecil itu yang tidak lain adalah
Adityawarman langsung duduk di dekat ayahnya,
Mahesa Amping. "Kamu benar anakku, Kakang Putu Risang mu memang
tidak seperti apa yang dituduhkan kepadanya", berkata
Mahesa Amping sambil mengusap kepala anak itu.
"Aku akan menghajar mulut siapapun yang mengatakan
Kakang Putu Risang adalah seorang pencuri", berkata
seorang anak kecil lainnya yang ternyata adalah
Gajahmada sambil mengepalkan tinjunya tinggi-tinggi.
"Siapapun tidak akan berani mengatakan itu di
hadapanmu", berkata Mahesa Amping sambil tersenyum
kepada Gajahmada. "Aku akan mencari Kakang Putu Risang dan tidak akan
kembali sebelum menemuinya. Akan kubawa kembali
kakang Putu Risang di Bumi Majapahit ini", berkata
seorang anak kecil ketiga yang ternyata adalah
Jayanagara. Semua orang diatas pendapa Pasanggrahan Mahesa
Amping seperti terpana mendengar perkataan Jayanagara yang begitu berani membela Putu Risang.
"Biarlah kami orang dewasa yang akan mencari Kakang
Putu Risang mu, tetaplah kalian di rumah, ibunda Nyi
Nariratih akan menjadi pembimbing kalian berlatih untuk
sementara ini", berkata Mahesa Amping kepada ketiga
483 anak itu. Demikianlah, ketika hari terasa sudah semakin terang
tanah terlihat Mahesa Amping diiringi empat orang
dibelakangnya tengah keluar dari gerbang gapura
pasanggrahannya. "Anak muda itu sudah mengatakan dimana dirinya saat
ini kepadaku", berkata Mahesa Amping kepada keempat
kawan seperjalanannya itu tentang keberadaan Putu
Risang saat itu. Terlihat mereka berlima sudah memasuki hutan Maja.
Sementara itu di hutan Bukit Cemara, terlihat Putu
Risang dan sahabat barunya, orang tua aneh yang
bergelar Kera Sakti Tanpa bayangan itu tengah
mempersiapkan diri, tengah membuat sebuah panggungan sederhana. Hanya sebuah panggungan sederhana dari beberapa
dahan dan ranting yang mereka dapati dengan mudah di
hutan Bukit Cemara itu. Sementara atapnya mereka
tutupi dengan beberapa pelepah daun.
"Dengan panggungan ini kita dapat melihat siapapun
yang datang dari segala arah", berkata orang tua itu
setelah merasa panggungan yang mereka bangun itu
sudah mendekati kesempurnaannya.
"Terima kasih, paman", berkata Putu Risang kepada
orang tua itu. "namaku Ragil, kamu dapat memanggilku dengan
sebutan Paman Ragil", berkata orang tua aneh itu
menyebut nama aslinya kepada Putu Risang.
"Terima kasih Paman Ragil", berkata Putu Risang
kepada orang tua itu yang dipanggil sebagai paman
Ragil 484 "Hem", hanya itu tanggapan orang tua itu mendengar
perkataan Putu Risang sambil melompat keatas
panggungan yang sudah selesai mereka bangun berdua.
Terlihat Putu Risang mengikuti langkah Paman Ragil,
melompat keatas panggungan.
"Indahnya pemandangan", berkata Putu Risang setelah
duduk melihat alam sekitarnya dari arah atas
panggungan yang mereka bangun.
Mereka memang telah membangun panggungan itu tepat
diatas puncak bukit yang terbuka, dari situ mereka dapat
melihat ke segala arah penjuru, dapat melihat siapapun
yang akan datang mendekati mereka.
Sementara itu Mahesa Amping dan rombongannya telah
tiba di Padukuhan Maja, sebuah Padukuhan yang paling
dekat dengan Bumi Majapahit, dan hanya berjalan
setengah hari untuk mencapai Hutan Bukit Cemara.
Terlihat mereka telah singgah di sebuah kedai di dekat
sebuah pasar Padukuhan yang cukup ramai, kebetulan
hari jatuh di hari pasaran.
Ketika Mahesa Amping memesan sebuah makanan
untuk mereka, pendengarannya yang tajam mendengar
seseorang bertanya tentang arah untuk mencapai hutan
Bukit Cemara. "Pasti mereka yang tengah memburu keris Nagasasra",
berkata Mahesa Amping dalam hati namun tetap tidak
menampakkan perubahan wajahnya.
Diam-diam mata dan pendengaran Mahesa Amping terus
berjaga mengamati orang yang dicurigai itu, ternyata
mereka datang bersama sekitar sepuluh orang.
"Mereka pasti datang dari tempat terdekat, dua atau tiga
hari lagi pasti akan berduyun-duyun para pemburu keris
485 pusaka itu dari tempat yang lebih jauh", berkata Mahesa
Amping dengan cara berbisik kepada empat orang
kawannya sambil menikmati hidangan di kedai itu.
"Kasihan anak muda itu seandainya kita tidak datang
membantu", berkata Pendeta Gunakara sambil
membayangkan dua tiga hari lagi pasti akan lebih banyak
lagi para pemburu keris keramat itu berdatangan ke
hutan Bukit Cemara. Tapi lain lagi yang ada di pikiran Mahesa Amping yang
pernah melihat dengan mata dan kepalanya bersama Ki
Sandikala meski dengan cara bersembunyi melihat
cambuk Putu Risang dari jarak yang cukup jauh telah
mampu meluluh lantakkan batu besar hancur berdebu.
"Tataran ilmu Putu Risang sudah begitu tinggi, pasti
dapat menghadapi ratusan orang biasa. Tapi aku tak
tahu seandainya yang datang mencarinya sekumpulan


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berilmu tinggi", berkata Mahesa dalam hati masih
ada sedikit kekhawatiran pada anak muda perkasa itu.
"Nampaknya mereka akan segera berangkat", berkata
Mahesa Semu sambil memberi tanda bahwa sekitar
sepuluh orang itu akan berangkat keluar dari kedai.
"Kita bayangi mereka dari jauh", berkata Mahesa Amping
sambil matanya terus membayangi kesepuluh orang itu
yang terlihat sudah bersiap meninggalkan kedai.
Terlihat kesepuluh orang itu sudah keluar dari kedai
berjalan ke arah hutan Bukit Cemara yang hanya
berjarak sekitar setengah hari perjalanan.
"Jarak ke arah hutan Bukit Cemara sudah tidak terlalu
jauh, tuanku", berkata salah seorang dari kesepuluh
orang itu kepada seorang yang nampaknya sangat
begitu dihormati diantara mereka, berpakaian layaknya
486 seorang juragan besar. "Mimpiku untuk menjadi seorang Raja nampaknya sudah
hampir dekat lagi", berkata orang yang bepakaian
perlente itu sambil berjalan penuh semangat
membayangkan dirinya sudah menjadi raja besar
dikelilingi para punggawanya yang duduk bersimpuh
penuh hormat bersama para dayang dan sejumlah
selirnya yang cantik jelita penuh pesona berasal dari
berbagai nagari. Ternyata yang datang sebagai para pemburu keris
Wahyu Keraton itu bukan hanya kesepuluh orang itu
saja, dibelakang mereka masih ada banyak lagi dari
berbagai tempat yang lebih jauh lagi.
Ketika keris itu masih di tangan Raden Wijaya, mereka
masih enggan untuk merebutnya, namun dengan
kepandaian orang-orang dari Kediri, mereka telah
bersepakat untuk datang secara bersama-sama ke Bumi
Majapahit. Namun ketika mereka mendengar tentang pencurian
keris pusaka itu, hilang sudah rasa enggan mereka. Dan
muncul rasa percaya diri tumbuh seperti kecambah yang
tumbuh dalam waktu begitu singkat. Yang ada dalam
pikiran mereka bahwa seorang pemuda seperti Putu
Risang dapat melakukannya, mengapa mereka tidak
mampu " Itulah sebabnya para pemburu itu begitu bernafsu untuk
segera merampas keris pusaka dari tangan Putu Risang
yang memang belum dikenal pada saat itu.
"Pasti dengan kelicikan anak muda itu dapat mencuri
keris pusaka itu, bukan dengan tingkat ilmu yang cukup
tinggi untuk dapat mengalahkan Raden Wijaya", berpikir
seperti itulah para pemburu keris pusaka itu yang
487 meremehkan tingkat tataran ilmu Putu Risang.
Demikianlah pikiran hampir semua para pemburu keris
keramat itu dari berbagai tempat, dari berbagai kalangan,
mulai dari para pemimpin Padepokan yang berilmu
sangat tinggi dengan ratusan para cantriknya sampai
kepada orang kalangan berharta yang telah berani
mengeluarkan pundi-pundi mereka menyewa para jawara
ditempatnya yang mereka akui memang berilmu cukup
tinggi. Tidak sedikit juga mereka orang pribadi yang merasa
sudah berilmu cukup tinggi datang ke hutan Bukit
Cemara berburu keris keramat itu, berharap dan
bermimpi bahwa lantaran keris itu akan dapat membawa
dirinya ke tahta singgasana yang tinggi, setinggi mimpi
mereka sendiri !! Ternyata kedatangan mereka yang serempak dari
berbagai arah penjuru mata angin telah berdampak
besar bagi daerah tempat dimana mereka melewatinya,
di sekitar kaki bukit hutan Cemara ada diantara mereka
sendiri yang bertemu muka sudah saling berbantai
merasa dirinyalah yang paling berhak untuk datang ke
puncak hutan Bukit Cemara itu.
Berita tentang pertikaian beberapa orang di kaki bukit itu
pun telah sampai juga ke telinga Raden Wijaya di Bumi
Majapahit. "Kita harus mempersiapkan beberapa pasukan untuk
menyergap para pemburu keris itu yang pasti dalam
waktu dekat ini telah sampai diatas puncak bukit hutan
Bukit Cemara", berkata Raden Wijaya kepada Ki
Sandikala. "Hamba akan segera menyiapkan pasukan khusus itu",
berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya.
488 "Hitung-hitung sebagai pemanasan pasukan yang Ki
Sandikala siapkan selama ini", berkata Raden Wijaya
yang percaya penuh pasukan Ki Sandikala adalah
sebuah pasukan khusus yang hebat, dapat bergerak di
segala medan, darat dan air.
Maka hari itu juga Ki Sandikala telah meminta kepada
Menak Koncar, Menak Jingga dan Putut Prastawa untuk
membawa sekitar seratus orang dari pasukan khusus
mereka yang terbaik yang mereka latih selama ini untuk
berangkat menuju ke hutan Bukit Cemara.
Sementara itu di puncak hutan bukit cemara, Putu
Risang dan Paman Ragil yang bergelar Kera Sakti tanpa
bayangan belum juga melihat satupun orang yang
datang. "Belum ada seorang pun yang datang", berkata Putu
Risang kepada Paman Ragil sambil memandang lembah
di seberang bukit sana yang telah dibayangi oleh cahaya
matahari yang sudah semakin pudar.
Hari memang telah mendekati saat petang saat itu di
puncak hutan Bukit Cemara. Putu Risang dan Paman
Ragil masih tetap duduk-duduk sambil mengamati siapa
yang datang mendekati mereka.
"Hari sudah mendekati saat senja", berkata Putu Risang
kepada Paman Ragil. "Mungkin mereka merasa enggan mendengar nama Kera
Sakti Tanpa Bayangan ada bersamamu", berkata Paman
Ragil kepada Putu Risang sambil tersenyum.
"Begitu besarnyakah nama Kera Sakti Tanpa Bayangan
di dunia kanuragan?", berkata Putu Risang yang merasa
baru mengenal nama julukan Paman Ragil, setelah
mereka bertemu 489 "Sangat besar, sebesar perasaanku saja", berkata
Paman Ragil yang ditanggapi tawa yang berkepanjangan
dari Putu Risang setelah mendengarnya, merasa geli
sendiri dengan apa yang diucapkan oleh orang tua itu.
"Bagaimana bisa tersohor, mengalahkan orang muda
sepertimu saja aku tidak mampu", berkata Paman Ragil
ikut tertawa memecahkan kejenuhan mereka menunggu
para pemburu keris Nagasasra yang belum juga
menampakkan batang hidungnya.
Demikianlah, ketika hari sudah menjelang di ujung senja,
puncak hutan bukit Cemara itu masih juga sepi, hanya
mereka berdua saja duduk diatas panggungan
sederhana itu. "Hari sudah hampir gelap, kita harus semakin waspada",
berkata paman Ragil meminta Putu Risang tidak
mengurangi kewaspadaannya berjaga-jaga siapa tahu
mereka sudah datang dan bersembunyi didalam semaksemak gelap menunggu kelengahan mereka berdua.
"Bisa saja mereka melakukan serangan gelap, serangan
dari jarak jauh", berkata kembali Paman Ragil
menambahkan kekhawatirannya bahwa musuh dapat
melakukan berbagai cara, cara gelap dan terbuka.
"Terima kasih Paman, aku akan terus berjaga", berkata
Putu Risang kepada orang tua itu yang terus
mengingatkannya atas serangan yang bisa saja datang
dengan segala cara. Namun ketika hari sudah menjadi malam, tidak juga
mereka dapati seorang pun tamu-tamu itu para pemburu
keris Nagasasra. "Beristirahatlah dahulu paman, biarlah aku akan tetap
berjaga setengah malam ini", berkata Putu Risang
490 kepada orang tua itu. "Baiklah, nanti bangunkan aku bila tiba saat giliran
jagaku tiba", berkata Paman Ragil sambil merebahkan
tubuhnya diatas panggungan itu.
Demikianlah, ketika malam semakin menyelimuti hutan
bukit Cemara itu terlihat Putu Risang masih tetap
berjaga. Sementara paman Ragil sudah tertidur begitu
lelapnya di atas panggungan sederhana itu. Mungkin
tengah bermimpi, nama Kera Sakti Tanpa Bayangan
telah melambung tinggi, tersohor !!
Langit malam diatas hutan bukit Cemara terlihat sudah
mulai pudar menjadi warna-warna tipis kemerahan, di
ujung timur bumi telah terlihat titik cahaya sang fajar
mengintip malas perlahan.
Dan sepanjang malam itu tidak terjadi apapun diatas
puncak hutan Bukit Cemara itu, namun Putu Risang
masih tetap berjaga-jaga tidak mengurangi sedikitpun
kewaspadaannya. "Mengapa kamu tidak membangunkanku?", berkata
Paman Ragil kepada Putu Risang ketika baru saja
terbangun dari tidurnya melihat warna langit sudah
menjadi tipis kemerahan. "Aku kasihan melihat tidur paman yang sangat pulas
sekali", berkata Putu Risang memberikan alasan
mengapa tidak membangunkannya untuk bergilir jaga di
malam itu. "Hari masih gelap, masih ada waktu untukmu
beristirahat", berkata Paman Ragil kepada Putu Risang
untuk segera tidur beristirahat.
Demikianlah, pagi itu hari memang masih gelap diatas
puncak hutan Bukit Cemara itu ketika Putu Risang
491 merebahkan dirinya sekedar meluruskan badannya
setelah sepanjang malam duduk berjaga.
Dan tidak begitu lama anak muda itu sudah terlihat
tertidur pulas ditandai dengan suara napasnya yang
terdengar lembut perlahan keluar masuk lewat hidung
dan dadanya. "Anak muda yang tabah", berkata Paman Ragil sambil
melirik Putu Risang yang sudah tertidur di dekatnya.
"Semuda itu sudah berani memikul tugas yang berat,
melakoni diri sendiri sebagai seorang pencuri besar,
pencuri keris yang begitu diminati oleh banyak orang,
para pemimpi besar dari berbagai tempat, dari berbagai
kalangan", berkata kembali Paman Ragil kepada dirinya
sendiri. "Mengapa aku tidak punya mimpi apapun?",
berkata kembali Paman Ragil kepada dirinya sendiri
mengapa dirinya tidak pernah punya impian apapun
untuk menjadi apapun. "Manusia di kolong langit ini
menjadi paling kaya bila tidak punya keinginan dan mimpi
apapun. Sementara manusia lainnya selalu diliputi rasa
kekurangan dari begitu banyaknya yang mereka
dambakan dalam hidupnya. Mereka terus berlomba
mencari apa yang belum mereka dapatkan, padahal
perut kita hanya tidak lebih dari genggaman tangan ini,
masih saja mereka mencari lebih banyak lagi, dan lebih
banyak lagi", berkata Paman Ragil kepada dirinya sendiri
memikirkan orang kebanyakan yang selalu mencari
sesuatu, merasa diri masih selalu tidak berkecukupan.
Masih mendambakan sesuatu yang belum didapat,
masih terus bermimpi dan bermimpi.
Hingga akhirnya sang mentari sudah muncul di pagi itu
menyirami alam sekitarnya dengan butir-butir cahayanya.
Pagi itu matahari terlihat begitu hangat menyinari bumi
hutan Bukit Cemara. 492 Terlihat sekumpulan burung terbang diantara batang
pohon ke batang pohon lainnya mencari makanannya.
Kadang terlihat juga melintas diatas panggungan
sederhana itu ditangkap oleh mata Putu Risang yang
sudah terjaga. "Pagi yang indah", berkata Putu Risang sambil
memandang warna hijau hutan didepan matanya dari
atas panggungan. Puncak hutan Bukit Cemara memang sangat indah,
sebuah padang rumput hijau di puncaknya dengan
ditumbuhi begitu banyak pohon cemara seperti beberapa
pasak panjang tumbuh dan berdiri diatas bumi yang
hijau. Dibawahnya terbentang sebuah hutan hijau yang
cukup lebat mengitari puncak bukitnya.
"Lihatlah", berkata Paman Ragil sambil menyentuh
bagian paha kaki Putu Risang di sebelahnya.
"Tamu pertama kita", berkata Putu Risang yang juga
melihat ada sekitar sepuluh orang tengah mendaki hutan
Bukit Cemara mendekati ke arah panggungan mereka.
"Serahkan keris Nagasasra itu kepadaku sebelum aku
bertindak sangat kejam kepadamu", berkata seorang
yang terlihat berpakaian perlente ketika sudah berada
dibawah panggungan diiringi oleh orang-orang yang
berwajah kasar bersamanya.
Terlihat Putu Risang tidak bergerak sedikit pun, masih
duduk memandang orang yang baru saja datang dan
langsung memberi ancaman.
"Aku yakin pasti kamu kesambet setan hutan ini, karena
hanya setan hutan ini saja yang datang tidak memberi
salam apapun, langsung berkaok-kaok tanpa jelas
mengancam orang", berkata Paman ragil keras didengar
493 oleh semua yang ada dibawah panggungan itu.
"Tidak perlu basa-basi ucapan salam apapun untuk dua
orang pencuri", berkata kembali orang perlente itu.
"Kalau kami adalah pencuri, lalu apa julukan kalian yang
ingin merebut barang curian kami, apakah seorang
perampok besar?", berkata Paman ragil sambil tertawa
tidak merasa sedikit pun rasa takut dirinya menghadapi


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang dibawah panggungan itu yang datang dengan
sebuah ancaman. "Habisi mereka berdua", berkata orang perlente ditujukan
kepada pengikutnya yang terlihat sebagai kawanan
penjahat di tempat asalnya.
Terlihat para kawanan pengikut orang perlente itu sudah
langsung melangkah mendekati panggungan yang tidak
begitu tinggi itu, hanya sebatas tinggi orang dewasa.
Namun langkah kawanan pengikut orang perlente itu
tidak jadi bergerak ketika tiba-tiba saja ada suara yang
membentak begitu kerasnya, begitu keras menyurutkan
langkah siapapun yang mendengarnya.
"Jangan bergerak!!!!", begitu terdengar suara bentakan
yang sangat keris dan berat penuh wibawa.
Tiba-tiba saja berkelebat tiga sosok bayangan entah
muncul dari mana sudah berdiri tidak jauh dari mereka.
"Akulah yang paling berhak untuk memiliki keris pusaka
Nagasasra, semoga kamu dapat menyerahkannya
dengan baik-baik wahai anak muda", berkata salah
seorang diantara ketiga orang itu yang telah datang
dengan cara yang aneh, seperti terbang tanpa menginjak
rumput, begitu cepatnya, sebuah pertunjukan ilmu lari
yang hebat telah mereka perlihatkan membuat sepuluh
orang yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu
494 ternganga tentunya. melihatnya, juga bercampur rasa jerih, Tapi Putu Risang tidak sedikit pun menunjukkan jerih
melihat cara mereka muncul.
"Mengapa kamu berkata paling berhak memiliki keris
pusaka Nagasasra?", berkata Putu Risang tanpa rasa
takut sedikit pun kepada ketiga orang yang baru tiba itu.
"Dengarlah wahai anak muda, kamu pasti dengan suka
rela menyerahkan barang curianmu manakala mendengar langsung siapa aku ini. Dengarlah baik-baik
bahwa semua orang di tempatku sangat menghormatiku
tidak pernah ada yang berani menyebut nama asliku
selain dengan menyambung julukan dibelakang namaku,
dengarlah olehmu bahwa namaku adalah Mandralalo Si
Tangan Sakti Berdarah Biru", berkata orang itu menyebut
nama dan gelarnya dengan bangganya berharap
siapapun yang mendengarnya pasti akan merasa jerih,
merasa nama dan gelarnya sudah sangat dikenal di
kolong langit ini. Tapi Putu Risang memang baru pertama kali mendengar
nama itu, pertama kali didengar dari orang yang
bersangkutan. Dan Putu Risang tidak jerih sedikit pun
terlihat dari wajahnya tidak berubah, masih dengan garis
wajah bibir sedikit tersenyum.
"Apakah kamu berdarah biru sebagaimana julukanmu ?",
berkata Putu Risang kepada orang itu.
"Ayah dari ayah mertuaku adalah seorang bangsawan
asli", berkata orang itu kepada Putu Risang yang
langsung terpingkal-pingkal mendengarnya.
Paman Ragil terdengar tertawa lebih keras lagi.
"Pagi ini aku sarapan banyolan yang membuat perutku
495 begitu kenyang hingga malam nanti", berkata Paman
Ragil sambil memegang perutnya.
"Mengapa kalian semua tertawa?", berkata begitu orang
berjuluk si tangan sakti berdarah biru sambil memandang
kesepuluh orang yang telah lama datang sebelumnya,
melihat mereka semua juga tertawa sebagaimana Putu
Risang dan Paman Ragil dari atas panggungan.
"Bagaimana kami tidak tertawa mendengar pengakuan
dirimu yang berdarah biru hanya dari garis ayahnya ayah
mertuamu", begitu si orang perlente mewakili kawankawannya berkata kepada orang itu yang bergelar si
Tangan Sakti Berdarah Biru.
"Sesali dirimu telah menertawakan diriku", berkata orang
itu yang langsung berkelebat. Dan tiba-tiba saja dengan
begitu cepatnya sudah berdiri dihadapan orang perlente
itu sambil mencengkeram leher bajunya. Bukan main
terperanjatnya orang perlente itu merasakan sebuah
tangan yang kuat telah merenggut kerah baju lehernya
membuat dirinya seperti begitu sesak.
Terlihat orang perlente itu berdiri sambil gemetaran
seluruh tubuhnya membayangkan dirinya diperlakukan
lebih kejam lagi, atau langsung membunuhnya.
Sementara itu para pengikutnya seperti terpana, tidak
dapat berbuat apapun untuk melindungi majikannya,
orang yang telah menyewanya selama ini.
Tapi orang perlente itu akhirnya dapat bernafas lega
manakala tarikan baju kerah lehernya terasa sedikit
mengendur, bahkan dilepaskan sama sekali manakala
mendengar suara yang bergema terdengar dari segala
penjuru, sebuah tanda pemilik suara itu telah memiliki
sebuah kekuatan tenaga cadangan yang sangat tinggi.
Karena suara itu terasa begitu sangat menyesakkan
496 dada hampir semua orang yang ada di puncak hutan
Bukit Cemara itu. "Dasar orang-orang bodoh yang tidak tahu diri, aku ketua
Padepokan Pancawangi adalah yang berhak memiliki
keris pusaka itu", begitulah suara itu terdengar bergema
dari berbagai arah penjuru mata angin.
Terlihat kesepuluh orang di bawah panggungan itu
tengah menutup telinganya berusaha mengurangi rasa
sesak di dada mereka. Sementara itu ketiga orang yang
baru tiba itu terlihat memegangi dadanya merasa ada
yang menjepit menekan rongga dadanya.
"Aji Gelap Ngampar Ki Gendon, ketua Padepokan
Pancawangi", berkata Paman Ragil yang sudah pernah
mengenal nama ketua Padepokan Pancawangi, juga
kehebatan ilmunya yang kata orang dapat terbang
mengendarai angin "Paman Ragil mengenalnya?" bertanya Putu Risang
kepada Paman Ragil. "Aku hanya pernah mendengarnya dari mulut orang lain,
baru saja kita menyaksikan ilmu melepas suaranya yang
hebat", berkata Paman Ragil kepada Putu Risang penuh
kekhawatiran mampukah mereka berdua menghadapi
semua orang yang sudah datang dibawah panggungan,
terlebih lagi pemilik suara aji gelap Ngampar, Ki Gendon
ketua Padepokan Pancawangi.
Dan kekhawatiran Paman Ragil ternyata semakin
menjadi-jadi manakala dilihatnya seorang tua diatas
sebuah tandu dipikul oleh empat orang pemuda yang
bertubuh kekar berotot dan dibelakangnya mengikuti
sekitar seratus orang. Mereka muncul dari arah
berlawanan dari munculnya kesepuluh orang yang
datang. Iring-iringan manusia itu muncul dari arah barat
497 puncak hutan Bukit Cemara.
Terlihat keempat pemuda yang mengangkat sebuah
tandu itu telah merendahkan tandunya. Belum lagi tandu
itu jatuh ke tanah, seorang tua renta berambut beriap
putih seluruhnya sudah melompat dari atas tandu dan
berdiri sambil bertolak pinggang begitu jumawanya.
"Ki Gendon yang terhormat, aku menawarkan sebuah
kesepakatan damai bersamamu. Aku akan membayar
berapapun yang kamu minta hanya dengan syarat
memberikan keris pusaka Nagasasra kepadaku, terserah
dengan apa yang kamu lakukan kepada kedua orang
pencuri diatas panggungan itu", berkata orang perlente
itu kepada Ki Gendon yang baru saja datang bersama
sekitar seratus orang pengiringnya.
Terlihat Ki Gendon berjalan mendekati orang perlente itu
dengan senyum yang begitu dingin, sebuah senyum
yang sangat menakutkan. Belum sempat berbuat apapun Ki Gendon sudah
bergerak begitu cepatnya, tiba-tiba saja sudah
mencengkeram dengan kedua tangannya menjepit
begitu keras leher orang perlente itu.
Terlihat orang perlente itu begitu pucat tidak mampu
bersuara sedikit pun, yang dirasakannya adalah sebuah
hawa dingin masuk ke seluruh tubuhnya membuat dirinya
merasakan kebekuan yang sangat.
Dan orang perlente itu terlihat sudah ambruk lemas jatuh
ke bumi dengan wajah putih pucat, mungkin darahnya
seketika sudah membeku diserang dari jarak dekat oleh
Ki Gendon dengan kekuatan hawa dingin yang hebat.
498 Bagian 2 "Sangat kejam", berkata Putu Risang melihat sendiri apa
yang dilakukan Ki Gendon kepada orang perlente itu.
"Aku akan bertindak lebih kejam lagi kepada siapapun
yang tidak tunduk patuh kepadaku, sekali lagi kukatakan
bahwa akulah yang paling berhak memiliki keris pusaka
itu", berkata Ki Gendon menatap tajam kearah Putu
Risang penuh dengan sebuah ancaman.
"Sayang sekali keris itu kudapatkan dengan begitu susah
payah, maka dengan sayang sekali bahwa aku tidak
mematuhi keinginanmu", berkata Putu Risang datar
tanpa sedikit pun merasa jerih menghadapi Ki Gendon
yang telah begitu mudah dan kejamnya membunuh
orang dengan mata terbuka.
Terlihat Ki Gendon jawaban Putu Risang. termangu-mangu mendengar Dan tiba-tiba saja terdengar suara tertawa Ki Gendon
yang begitu keras memekakkan telinga serta terasa
menekan rongga dada menjadi begitu sesaknya
siapapun yang mendengarnya.
Tetapi tidak untuk Putu Risang dan Paman Ragil yang
dapat meredam getar suara itu dengan melambari dirinya
dengan kekuatan tenaga cadangan mereka menulikan
panca indera pendengarannya tidak termakan getar
apapun yang akan mengganggu mereka.
Tetapi jiwa kehalusan Putu Risang tidak tega hati melihat
semua orang terlihat begitu menderita menahan suara
tawa Ki Gendon, bahkan termasuk seratus anak
muridnya sendiri termakan oleh Aji Gelap Ngampar Ki
Gendon yang dahsyat itu. 499 "Sangat kejam", berkata Putu Risang dalam hati melihat
keganasan ilmu Ki Gendon Tiba-tiba saja Putu Risang ikut tertawa tidak kalah
kerasnya dengan suara tawa Ki Gendon, seakan suara
tawa Putu Risang mengisi seluruh isi bumi di sekitarnya,
suara tawa Ki Gendon seakan langsung tertekan
kehilangan keampuhannya, lenyap ditelan bumi.
"Hebat, semuda usiamu dapat meredam Aji Gelap
Ngampar ku", berkata Ki Gendon yang telah
menghentikan tawanya. "Tetapi jangan berbangga dulu,
kamu masih harus melihat ilmuku yang lainnya."
Berhenti berkata seperti itu, tiba-tiba saja terlihat mata Ki
Gendon seperti telah hilang warna hitamnya dan telah
terlihat semua biji matanya telah menjadi putih
seluruhnya, begitu sangat menakutkan.
Terlihat Putu Risang telah semakin berhati-hati, pasti
orang itu akan menerapkan sejenis ilmu lainnya yang
dimiliki. Ternyata dugaan Putu Risang tidak meleset jauh.
Tiba-tiba saja setiap orang merasakan bumi di sekitarnya
telah tergoncang begitu hebatnya, semua orang terlihat
rebah memegang apapun yang dapat dipegangnya. Juga
untuk Paman Ragil yang merasakan panggungan telah
ikut tergoncang begitu hebatnya seperti tidak akan
berhenti membuat siapapun telah menganggap bumi
akan berakhir, dunia akan segera kiamat.
Tapi tidak untuk seorang Putu Risang yang sudah
mempunyai kekuatan sejatinya lewat sebuah laku yang
selalu hampir setiap malam dilakoninya, sebuah laku ilmu
sakti dari kitab pusaka pertapa gunung Wilis.
Ternyata apa yang terjadi di sekitar panggungan
500 sederhana itu tidak lepas dari pengamatan Mahesa
Amping dan rombongannya. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan Putu Risang dengan melihat
penerapan ilmu orang yang terakhir datang telah
membuat sihir yang begitu dahsyatnya telah
mengecohkan semua orang yang ada di sekitarnya
merasakan bumi seakan telah bergoncang.
"Aji Pelemah Sukma", berkata Mahesa Amping
menyadari didepan matanya melihat orang terakhir itu
telah mengeluarkan ajian yang dapat melumpuhkan dan
mengendalikan pikiran banyak orang. Hanya orang yang
sudah begitu mumpuni saja yang dapat menguasai ilmu
itu. "Kita harus segera turun ke medan", berkata Mahesa
Amping kepada rombongannya untuk segera turun
menjaga segala kemungkinan yang bisa mencelakai Putu
Risang. "Tahan dulu!!", berkata Mahesa Amping menahan
perintahnya sendiri membuat Mahesa Semu, Mahesa
Darma, Muntilan dan Pendeta Gunakara menahan


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah kakinya yang sudah mulai bergerak.
Terlihat Mahesa Amping menarik nafas dalam-dalam dan
mengeluarkannya seperti seorang yang terlepas dari
sebuah marabahaya yang nyaris menimpa dirinya. Dan
kekhawatiran Mahesa Amping atas diri Putu Risang telah
terlewati. "Ilmu anak itu ternyata sudah dapat mengatasinya",
berkata Mahesa Amping sambil masih memberi tanda
dengan tangannya agar kawan-kawannya tidak perlu
turun membantu Putu Risang.
Apa yang dilihat oleh Mahesa Amping sehingga tidak
mengkhawatirkan keselamatan Putu Risang?"
501 Ternyata Mahesa Amping melihat dengan ketajaman
matanya meski dari tempat yang cukup jauh masih dapat
melihat bahwa Putu Risang telah mampu dengan
ilmunya meredam ilmu sihir itu. Mahesa Amping melihat
kedua mata anak muda itu tiba-tiba saja terang bersinar
dimana sinar itu telah meluncur langsung menembus
lewat sorot mata putih milik orang itu yang tengah
menerapkan Ajian Pelemah Sukma. Dan Mahesa
Amping melihat sendiri bahwa sihir yang tersebar itu
telah menjadi redup pudar keampuhannya.
Dari tempat yang tersembunyi Mahesa Amping melihat
wajah kegusaran Ki Gendon, terlihat seperti merah
penuh kemarahan. "Habisi mereka", berkata Ki Gendon penuh amarah
memerintahkan pengikutnya menyerang Putu Risang dan
Paman Ragil yang masih berada diatas panggungan.
Terlihat seratus pengikut Ki Gendon telah mengepung
panggungan dengan rapatnya, tidak memberi sedikit pun
celah bagi Putu Risang dan Paman Ragil untuk dapat
keluar dari kepungan itu.
Sementara itu Mahesa Amping masih melihat sepuluh
orang sewaan orang perlente diam-diam telah menyingkir
menjauh. "Tangkap mereka", berkata Mahesa Amping kepada
Mahesa Semu, Muntilan dan Mahesa Darma untuk
mencegat sepuluh orang sewaan itu yang bermaksud
melarikan diri takut terbawa-bawa oleh kemarahan Ki
Gendon yang sudah sangat dikenal oleh hampir semua
orang para perampok maupun para bangsawan di
Jawadwipa ini. Seorang yang sangat kejam, dapat
membunuh musuhnya dengan mata terbuka, tanpa
penyesalan sedikit pun. 502 "Kalian tidak boleh pergi kemanapun", berkata Mahesa
Semu bersama Muntilan dan Mahesa Darma datang
menghadang sepuluh orang pengikut orang perlente
yang sudah tewas itu yang bermaksud kabur pergi
menjauh. "Sial!!", berkata salah seorang dari sepuluh orang itu
sambil melepas golok panjangnya.
Terlihat kawan-kawannya mengikuti telah melepas juga
senjatanya siap menghadapi ketiga orang yang telah
datang menghadang mereka.
Maka tanpa aba-aba dan perintah apapun telah terjadi
sebuah pertempuran yang terpisah jauh diluar batas
tanah lapang tempat panggungan berdiri.
"Sayang aku hanya ditugaskan untuk menangkapmu,
bukan membunuhmu", berkata Mahesa Darma sambil
tangannya telah berhasil meninju perut seorang
lawannya yang langsung jatuh dengan perut terasa
dihantam sebuah batu besar dengan sangat begitu keras
telah membuat dirinya terhuyung jatuh ke tanah pingsan.
"Satu", berkata Mahesa Darma kepada Mahesa Semu
dan Muntilan membuat keduanya merasa geli melihat
tingkah anak muda itu menganggap pertempurannya
sebuah permainan. Mahesa Amping diam-diam memuji tingkat kepercayaan
diri anak muda itu. "Kakang Mahesa Murti telah membentuk jiwa anak itu
tidak mengenal rasa takut sama sekali", berkata Mahesa
Amping dalam hati melihat tingkah Mahesa Darma
menghadapi lawan-lawannya.
"Dua!!", berteriak Muntilan ditujukan kepada Mahesa
Darma hanya sekedar ingin membakar semangat anak
503 muda itu untuk secepatnya melumpuhkan lawan mereka.
Benar apa yang diteriakkan oleh Muntilan, dua orang
sudah terlempar oleh sebuah gerakan kaki dan
tangannya. "Sifat paman Muntilan masih belum berubah", berkata
Mahesa Amping dalam hati melihat sifat Paman Muntilan
yang juga suka bercanda meski menghadapi sebuah
marabahaya sekalipun. "Kuserahkan ketiga orang itu menjadi milik tuan
pendeta", berkata Mahesa Amping kepada Pendeta
Gunakara ketika melihat seorang yang mengaku
bernama Mandralola Si Tangan Sakti Berdarah Biru
bersama dua orang pengiringnya diam-diam telah
menyingkir dari sekitar panggungan yang sudah dipenuhi
oleh seratus orang pengikut Ki Gendon yang tengah
mengepung panggungan itu.
"Semoga aku dapat menangkapnya hidup-hidup",
berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping
sambil melompat terbang melesat mendekati ketiga
orang yang dikatakan oleh Mahesa sebagai "miliknya" itu.
"Menyingkir dari kami atau tubuhmu remuk lunak tak
bertulang", berkata Mandralola Si Tangan Sakti Berdarah
Biru kepada Pendeta Gunakara yang tiba-tiba saja
datang menghadang. "Sayang aku bukan ikan bandeng, sayang juga bahwa
kalian sudah menjadi milikku untuk kutangkap dan
kulucuti seluruh tubuh kalian dan meletakkan kalian di
lubang dengan banyak semut didalamnya", berkata
Pendeta Gunakara dengan memasang wajah sangat
menyeramkan dihadapan ketiga orang itu yang
bermaksud hendak melarikan diri.
504 "Wajahmu sungguh memuakkan", berkata Mandralola Si
Tangan Sakti Berdarah Biru kepada pendeta Gunakara
sambil mengeluarkan sebuah senjata trisula yang terselip
di sebelah kiri pinggangnya.
"Aku juga muak mendengar suaranya", berkata
kawannya yang satu lagi yang langsung mengikuti
melepas trisula dari pinggangnya.
"Aku selalu sial bila bertemu dengan wajah seorang
pendeta, semoga kematiannya tidak menimbulkan
kesialan bagiku di hari ini", berkata juga orang terakhir
ketiga mengikuti kedua kawannya melepas trisula dari
ikatan tali pinggangnya. Terlihat tiga buah senjata trisula ditangan ketiga orang itu
telah bersama-sama disorongkan kearah Pendeta
Gunakara. "Sudah kukatakan, kalian bertiga adalah milikku", berkata
Pendeta Gunakara sambil tersenyum berdiri siap
menghadapi serangan mereka bertiga.
"Serangan yang hebat", berkata Pendeta Gunakara
sambil melompat tinggi menghindari ketiga trisula yang
dengan cepat secara bersamaan mengincar tubuhnya.
"Sial!!", berkata salah seorang diantara mereka yang
melihat sasaran trisulanya menembus tempat kosong.
Maka ketiganya sudah langsung mengejar ke arah
Pendeta Gunakara kembali.
Demikianlah Pendeta Gunakara sudah terlibat dalam
sebuah pertempuran sendiri dikeroyok oleh tiga orang
bersenjata trisula yang nampaknya berasal dari sebuah
perguruan yang sama. "Pendeta Gunakara sudah asyik menemukan permainannya", berkata Mahesa Amping dalam hati
505 melihat Pendeta Gunakara yang dianggapnya dapat
menguasai ketiga orang lawannya, dan tidak perlu
mengkhawatirkannya. Mata Mahesa Amping sudah beralih pandang kearah
panggungan dimana Putu Risang dan Paman Ragil
diatas panggungan sudah dikepung rapat oleh seratus
orang pengikut Ki Gendon, ketua Padepokan
Pancawarna itu. Mahesa Amping melihat beberapa orang telah
merubuhkan panggungan itu, Mahesa Amping juga telah
melihat bagaimana Putu Risang dan Paman Ragil
melompat dari atas panggungan sebelum bangunan itu
roboh. "Pasti orang tua itu yang bergelar Kera Sakti Tanpa
Bayangan", berkata Mahesa Amping sambil mengikuti
dengan matanya bagaimana Putu Risang dan orang tua
itu turun dari panggungan yang sudah roboh itu di
tengah-tengah musuhnya yang berjumlah sekitar seratus
orang itu. Mahesa Amping masih mengamati Putu Risang bersama
kawannya yang dengan mudahnya turun ke tengah
kerumunan orang sambil melempar siapapun yang
terdekat dari mereka. Sebagaimana yang dilihat oleh Mahesa Amping, ternyata
Putu Risang dan Paman Ragil tidak merasa kewalahan
menghadapi keroyokan itu. Tidak satu pun senjata lawan
dapat menyentuh diri mereka, sebaliknya setiap kali
tangan dan kaki mereka bergerak terlihat beberapa orang
terjungkal jatuh ke bumi. Mereka seperti dua bola api
panas yang merubuhkan ratusan rayap dengan begitu
mudahnya. "Ketua Padepokan Pancawarna itu ternyata sangat licik,
506 ingin menguras tenaga Putu Risang lewat tangan para
pengikutnya", berkata Mahesa Amping dalam hati sambil
melihat Ki Gendon hanya berdiri tidak ikut menyerang
Putu Risang maupun orang tua yang bersamanya itu.
Namun, kekhawatiran Mahesa Amping melihat keculasan
ketua Padepokan Pancawarna itu mereda manakala dari
sebuah tempat keluar sekitar seratus orang datang
menyerbu para pengikut Ki Gendon. Dan Mahesa
Amping dapat mengenali pasukan yang baru datang itu
juga seorang pemimpin diantara mereka.
Ternyata pasukan yang baru tiba membantu
penyerangan itu adalah seratus orang pilihan terbaik dari
pasukan khusus yang dipimpin langsung oleh Ki
Sandikala. Dan Mahesa Amping seperti melihat sebuah air bah yang
tumpah memenuhi sisi sebuah kubangan besar.
Pertempuran para pengikut Ki Gendon dan pasukan
khusus gemblengan Ki Sandikala sudah melebur menjadi
sebuah gejolak air yang meletup-letup diatas sebuah
belanga tempat air. "Selamat datang wahai saudaraku", berkata Putu Risang
yang sudah mengenali siapa yang datang membantunya
menghadapi para pengikut Ki Gendon.
"Sial!!", berkata Ki Gendon yang melihat pasukan yang
baru datang membantu Putu Risang dan orang tua itu.
"Jangan mengumpat sendiri, bisa-bisa kesialan akan
datang kepada dirimu sendiri", berkata Ki Sandikala
kepada Ki Gendon yang entah dari mana sudah berada
dihadapan ketua Padepokan Pancawarna itu yang
merasa mimpinya telah buyar melihat ada pasukan yang
sama banyaknya dengan para pengikutnya yang sengaja
dibawanya untuk merebut keris Nagasasra dari tangan
507 Putu Risang. "Tidak sembarang orang datang menjadi lawan
tandingku", berkata Ki Gendon menatap tajam kearah Ki
Sandikala yang dipikirnya hanya orang kebanyakan
sebagaimana pasukan yang baru saja datang
menggempur para pengikutnya.
"Aku hanya seorang guru dari sebuah padepokan biasa
di Lamajang", berkata Ki Sandikala dengan suara yang
datar, penuh ketenangan dan kepercayaan diri yang
tinggi. "Bagus, hari ini kamu harus menyesal telah bertemu
muka denganku", berkata Ki Gendon sambil mengangkat
tinggi-tinggi tongkat panjangnya.
Tapi terlihat tongkat panjang itu turun perlahan ketika
seseorang berdiri di dekat Ki Sandikala.
"Tuan Senapati Mahesa Amping pasti sudah datang lebih
lama dariku", berkata Ki Sandikala kepada orang yang
baru datang itu. "Ternyata kamu orang yang bergelar Manusia Setengah
Dewa itu, senang sekali bila ada kesempatan mengenal
satu dua jurusmu yang kata orang sudah setinggi langit",
berkata Ki Gendon seperti jerih berhadapan dengan
Mahesa Amping yang sudah sering disebut oleh hampir
semua orang berilmu sangat tinggi, dan hari itu Ki
Gendon melihat langsung orang itu berada dihadapannya. "Tetapi tidak hari ini", berkata kembali Ki
Gendon sambil pergi melesat terbang dan menghilang
seperti tenggelam ditelan bumi.
"Bila waktunya tiba aku akan datang menemuimu, wahai
Manusia Setengah Dewa", terdengar suara yang
bergema dari segala penjuru mata angin yang ternyata
508 adalah suara yang dilepas oleh Ki Gendon dari tempat


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jauh. "Orang itu sangat kejam, tidak memikirkan keselamatan
para pengikutnya, hanya memikirkan keselamatannya
sendiri", berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala
"Dan ternyata nama besar tuan Senapati begitu sangat
menakutkan dirinya", berkata Ki Sandikala kepada
Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping tidak berkata apapun, hanya
sedikit tersenyum mendengar pujian dari Ki Sandikala
tentang nama besarnya itu yang sempat menghebohkan
Tanah Melayu beberapa tahun yang telah lewat.
"Milikku sudah tidak dapat berbuat apapun", berkata
Pendeta Gunakara yang datang mendekati Mahesa
Amping dan Ki Sandikala. Ternyata Pendeta Gunakara sudah dapat melumpuhkan
ketiga orang lawannya itu.
Dan tidak lama berselang terlihat Mahesa Darma,
Mahesa Semu dan Muntilan sudah datang mendekati
Mahesa Amping. Nampaknya mereka juga telah
melumpuhkan kesepuluh orang sewaan itu.
"Apakah kami perlu turun ke pertempuran itu?", berkata
Muntilan kepada Mahesa Amping.
"Tidak perlu, pasukan khusus Ki Sandikala sebentar lagi
sudah dapat menyelesaikan pertempurannya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping,
ternyata pengamatan Mahesa Amping tidak meleset
sedikitpun terhadap keunggulan pasukan khusus
gemblengan Ki Sandikala ini. Satu persatu para pengikut
Ki Gendon terlihat jatuh berguguran, ada yang langsung
tewas, ada juga yang terluka parah terkena tajamnya
509 pedang. "Putu Risang sudah begitu menguasai cambuknya,
sudah dapat mengendalikan kekuatan ujung cambuk
pendeknya sendiri", berkata Mahesa Amping yang
melihat bagaimana ujung cambuk Putu Risang mengenai
tubuh lawannya, hampir seluruhnya tidak langsung
tewas, hanya pingsan terluka.
Dan para pengikut Ki Gendon sudah menjadi semakin
surut. Hingga akhirnya menjadi semakin tersisa sedikit
menjadi bulan-bulanan anggota pasukan khusus itu.
"Menyerahlah", berkata seorang
khusus kepada seorang lawannya.
anggota pasukan Seorang pengikut Ki Gendon itu melotot memandang
kepada beberapa orang anggota pasukan khusus yang
tengah mengepungnya. "Cis, aku lebih memilih mati daripada menjadi budak
kalian sepanjang hidupku", berkata orang itu seperti tahu
betul kehinaan diri menjadi seorang budak belian.
Trang"!!!! Terdengar suara gemerincing dua senjata beradu.
Ternyata suara itu berasal dari benturan senjata pedang
dengan sebuah cakra. "Jangan kamu membunuh orang hanya karena
kebencianmu", berkata seorang pemuda pemilik cakra itu
yang tidak lain adalah Menak Jingga, putra Ki Sandikala.
"Orang ini telah meludahiku", berkata seorang anggota
pasukan khusus pemilik pedang yang ditahan dengan
cakra milik Menak Jingga itu merasa belum tuntas
amarahnya ingin membunuh seorang pengikut Ki
Gendon yang meludahinya. Dan amarah itu telah
berpindah kepada pemilik cakra yang telah menghalangi
510 dirinya menghabisi selembar nyawa orang yang telah
meludahi wajahnya. "Ayahku selalu berkata kepada kalian setiap pagi diawal
setiap latihan agar selalu mengisi hatimu dengan tali
cinta kasih kepada musuhmu sekalipun. Kulihat dirimu
begitu penuh disarati kemarahan yang besar hari ini
wahai saudaraku", berkata Menak Jingga menasehati
seorang anggota pasukan khusus yang terlihat masih
kalap dengan amarahnya itu.
Luar biasa, orang itu terlihat redup. Nasehat Menak
Jingga nampaknya telah menyentuh dirinya seperti
guyuran air dingin memadamkan api amarah yang
tengah bergejolak. "Terima kasih telah mengingatkan aku", berkata anggota
pasukan khusus itu dengan wajahnya yang terlihat sudah
menjadi dingin menyadari kekhilafan dirinya sendiri yang
telah dipenuhi oleh nafsu amarah kebencian.
"Terima kasih telah menyelamatkan selembar jiwaku",
berkata seorang pengikut Ki Gendon kepada Menak
Jingga yang telah menyelamatkan dirinya dari sebuah
pedang tajam yang nyaris menewaskan dirinya itu.
Ternyata orang itu adalah orang terakhir dari para
pengikut Ki Gendon yang menyerah.
Dan matahari diatas puncak hutan bukit Cemara sudah
terlihat turun di lengkung langit, cahayanya jatuh begitu
teduh meredupkan setiap jiwa yang gersang terbakar.
Seperti itulah jiwa cinta tali kasih merasuki setiap jiwa
para pasukan khusus itu yang dengan penuh ketelatenan
merawat orang yang terluka parah para musuhnya
sendiri. "Sampai ketemu lagi wahai sahabat mudaku", berkata
511 Paman Ragil kepada Putu Risang yang akan kembali ke
Bumi Majapahit meninggalkan dirinya sendiri sebagai
seorang penghuni abadi di hutan Bukit Cemara itu.
Dan nama paman Ragil nampaknya sudah tidak pernah
terdengar lagi tenggelam bersama munculnya sebuah
nama yang tiba-tiba saja membumbung setinggi langit
dibicarakan oleh banyak orang, nama itu adalah sebuah
gelar dari banyak orang, SANG KERA SAKTI PENJAGA
NAGASASRA. Sementara itu di sebuah hari ketika wajah sang surya
mengintip redup di antara cabang dan ranting pohon
randu kering di tepian sungai Kalimas, terlihat seorang
gadis manis tengah merajuk.
"Pamanku orang jahat sedunia karena telah menutupi
sebuah rahasia kepadaku, sementara kamu lebih jahat
lagi, karena telah berhasil membawa pergi, mencuri
sepotong hatiku", berkata gadis manis itu yang ternyata
adalah Endang Trinil kepada seorang pemuda pilihan
hatinya, Putu Risang. Hari ke dua puluh satu, sembilan hari menjelang
purnama ke dua. Malam itu di Bumi Majapahit masih
basah hujan gerimis di ujung senja yang baru saja reda.
Keremangan malam terlihat menyelimuti daun dan dahan
pohon Maja di sisi kiri sebuah gardu ronda seperti tubuh
raksasa tengah berdiri menakutkan dalam keremangan
malam. Dan angin malam itu seperti berhenti, tidak ada
semilirnya, tidak ada rasa dinginnya. Angin mungkin
sedang bosan mencumbui tangkai daun bunga kenanga
yang begitu lebat sering jatuh hanya dengan sedikit
usapan angin sepoi. Malam baru saja berjalan tidak jauh dari saat wajah senja
terakhir. Dan Mahesa Amping baru saja pulang dari
512 kediaman Raden Wijaya. "Ada tugas khusus untuk kalian berempat", berkata
Mahesa Amping kepada Putu Risang, Mahesa Semu,
Muntilan dan Mahesa Darma yang sejak senja sudah
berada di atas pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping.
"Terima kasih, artinya kehadiran kami disini tidak hanya
sebagai pengangguran yang menjemukan", berkata
Mahesa Semu mewakili saudaranya dari padepokan
Bajra Seta. "Kami telah melakukan kesepakatan bersama panglima
besar pasukan Mongolia mengenai sebuah rencana
penyerangan", berkata Mahesa Amping perlahan
berhenti sebentar memberi kesempatan semua yang ada
diatas pendapa itu dapat mengerti kemana arah
pembicaraannya. "Ada dua jalur tempur yang telah kami sepakati bersama,
yaitu pertempuran lewat darat dan air. Untuk jalur tempur
lewat darat diserahkan sepenuhnya kepada kita,
sementara pasukan Mongolia akan datang menyerang
Kediri lewat jalur air", berkata kembali Mahesa Amping.
Terlihat semua mata memandang ke arah Mahesa
Amping seperti takut kehilangan satu kata saja yang
mungkin akan keluar dari bibir Sang Senapati itu.
"Agar gerak pasukan darat dapat bergerak cepat tanpa
beban dan hambatan selama di perjalanan, kita perlu
sarana pangan yang baik, dan kita perlu beberapa titik
yang tidak bergerak sebagai puser kekuatan pasukan
darat, sebuah lumbung tempat persediaan pangan
pasukan yang selalu terjaga dan tersedia setiap saat
dibutuhkan", berkata Mahesa Amping.
Semua mata diatas Pendapa itu masih tetap memandang
513 kearah Mahesa Amping, nampaknya mereka mulai
membaca kemana sebenarnya arah dari pembicaraan
Mahesa Amping. "Apakah aku boleh menebak, tugas kita berempat adalah
mempersiapkan kesediaan lumbung-lumbung itu untuk
pasukan darat yang terus bergerak menuju medan
pertempurannya", berkata Muntilan mencoba menebak
kemana arah pembicaraan Mahesa Amping.
"Tebakan paman Muntilan benar-benar jitu, tugas itulah
yang ingin kuminta dari kalian berempat", berkata
Mahesa Amping membenarkan perkataan Muntilan.
"Sebuah tugas yang tidak mudah, tapi aku yakin bahwa
kalian dapat melakukannya dengan baik", berkata
kembali Mahesa Amping. "Kapan pasukan darat Raden Wijaya bergerak dari Bumi
Majapahit ini", bertanya Mahesa Semu kepada Mahesa
Amping. "Dihari keempat menjelang saat purnama kedua tiba",
berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu.
"Kita berempat hanya punya waktu lima hari kerja?",
bertanya kembali Mahesa Semu.
Terlihat Mahesa Amping tersenyum memandang wajah
Mahesa Semu, mengerti apa yang dikhawatirkan oleh
Mahesa Semu, sebuah waktu yang sangat singkat.
"Kakang Mahesa Semu tidak perlu khawatir, sebulan
yang lalu kami sudah menurunkan para petugas telik
sandi untuk menyiapkan lumbung-lumbung itu. Jadi tugas
kalian berempat hanya sebatas menjaga lumbunglumbung itu sampai saatnya tiba", berkata Mahesa
Amping kepada Mahesa Semu.
"Jalur mana yang akan digunakan oleh pasukan darat
514 Raden Wijaya menuju Kotaraja Kediri", bertanya Muntilan
kepada Mahesa Amping. "Pasukan darat Raden Wijaya disiapkan sebagai
pasukan pembuka, hanya sebagai pasukan pemancing
pihak lawan tergoda untuk datang menyambut umpan.
Disaat yang tepat akan datang gelombang badai yang
akan meluluh lantakkan mereka lewat gelombang pasang
tiga belas ribu pasukan Mongolia yang akan membanjiri
medan pertempuran sebenarnya. Karena pasukan darat
Raden Wijaya hanya sebagai pasukan pemancing, maka
jalur perjalanan yang akan kita pergunakan adalah jalur
para pedagang, jalur perjalanan yang biasa dilalui oleh
orang banyak agar pihak lawan mudah melihat umpan
yang sengaja diletakkan ditempat terbuka", berkata
Mahesa Amping menjelaskan sebuah siasat perang yang
telah mereka sepakati bersama dengan panglima besar
pasukan Mongolia. "Sebuah siasat perang yang hebat", berkata Mahesa
Darma tanpa sadar mengagumi siasat perang yang
dijabarkan dengan singkat oleh Mahesa Amping.
Sementara yang lainnya terlihat mengangguk-anguk
tanda ikut memuji siasat perang itu.
"Ada banyak kemungkinan yang pasti akan terjadi, aku
yakin bahwa tuanku Raden Wijaya telah mempersiapkan
semua kemungkinan itu", berkata Pendeta Gunakara
yang sedari tadi diam sebagai pendengar ikut tampil
bicara diatas pendapa tu.
"Benar tuan Pendeta, Raden Wijaya sudah mempersiapkan begitu banyak kemungkinan, salah
satunya adalah kesiapan para pasukan khusus yang
dibentuk lewat tangan Ki Sandikala sebagai sebuah
pasukan tersembunyi yang dapat bergerak kapan
515 dimanapun dibutuhkan", berkata Mahesa
menanggapi perkataan Pendeta Gunakara.
Amping "Berapa kekuatan pasukan darat Raden Wijaya yang
bergerak keluar dari Bumi Majapahit ini menuju kotaraja
Kediri", bertanya Mahesa Semi kepada Mahesa Amping.
"Tiga ribu prajurit akan bergerak bersama menuju
Kotaraja Kediri, dua ribu prajurit akan bergerak menyusul
sebagai pasukan cadangan. Dan ada sekitar tiga ribu
pasukan khusus dibawah pimpinan Ki Sandikala yang
berasal dari berbagai Padepokan sebagai kekuatan
tersembunyi disiapkan menjaga segala kemungkinan
yang mungkin akan terjadi", berkata Mahesa Amping
yang didengarkan penuh kekaguman oleh semua yang
ada diatas pendapa itu. Memang sebuah pembagian
kekuatan yang sangat matang dan begitu penuh dengan
perhitungan dari seorang pemimpin muda, Raden
Wijaya. Dan pagi itu matahari terlihat begitu cerah menyinari


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumput-rumput hijau diatas tanah halaman muka
Pasanggrahan Mahesa Amping.
"Orang itulah yang akan menjadi penghubung yang akan
membawa kalian ke titik-titik lumbung pangan pasukan
darat Raden Wijaya", berkata Mahesa Amping sambil
menunjuk kepada seorang yang terlihat tengah berjalan
menuju pendapa rumah. Ketika orang itu telah menaiki tangga pendapa, ternyata
orang yang dikatakan sebagai penghubung itu adalah
Gajah Pagon, seorang pemuda yang sudah banyak
berjasa bagi pergerakan Raden Wijaya. Sesuai dengan
keahliannya, Gajah Pagon ditugaskan sebagai seorang
petugas telik sandi yang sangat dipercaya oleh Raden
Wijaya. 516 Setelah memperkenalkan diri Gajah Pagon, kepada
saudara seperguruannya para cantrik dari Padepokan
Bajra Seta, terlihat Mahesa Amping melepas kepergian
mereka untuk sebuah tugas yang tidak kalah pentingnya
di medan pertempuran, menjaga titik-titik lumbung
pangan bagi pasukan darat Raden Wijaya sampai
waktunya tiba. Demikianlah, Putu Risang, Mahesa Darma, Mahesa
Semu, Muntilan dan Gajah Pagon terlihat tengah keluar
dari gerbang gapura Pasanggrahan Mahesa Amping
dalam tatapan dan doa keselamatan dari dua orang yang
berdiri di pagar batas pendapa mengiringi perjalanan
mereka, pendeta Gunakara dan Senapati muda, Mahesa
Amping. "Mereka dapat diandalkan", berkata Mahesa Amping
kepada Pendeta Gunakara ketika melihat Putu Risang
dan rombongannya terakhir menghilang terhalang
dinding halaman muka Pasanggrahan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping,
mereka memang dapat diandalkan, terlihat mereka
sudah berjalan cukup jauh meninggalkan Bumi
Majapahit. Sepanjang perjalanan mereka berusaha tidak
meninggalkan kesan apapun dimanapun mereka berada.
Kadang mereka berjalan sebagai seorang pedagang
keliling dan terkadang sebagai para pengembara biasa
yang pada saat itu banyak terlihat di hampir setiap
tempat, banyak orang yang menganggap para
pengembara adalah mereka yang lari dari masa
depannya sendiri, tidak berani bertanggung jawab atas
tuntutan kehidupan yang harusnya mereka lakukan. Para
pemalas, seperti itu juga pandangan banyak orang
terhadap para pengembara. Tapi apapun kata orang,
kelima orang ksatria itu terus berjalan tanpa rintangan
517 sedikit pun. Dan setelah sehari penuh berjalan, akhirnya mereka
telah tiba di lumbung pertama, sebuah tempat
tersembunyi di dalam sebuah hutan yang tidak jauh dari
jalan utama yang biasa dilalui oleh para pedagang.
Untungnya mereka diantar oleh Gajah Pagon, karena
penjagaan di sekitar lumbung itu begitu ketatnya, sampai
berlapis empat. Namun ternyata Gajah Pagon sudah
sangat dikenal oleh para prajurit penjaga lumbung itu
hingga mereka dapat diterima dengan baik.
"Apakah kalian tidak mendapat kendala apapun selama
bertugas disini?", bertanya Gajah Pagon kepada salah
seorang prajurit penjaga.
"Tidak ada kendala apapun, namun dua hari ini kami
dicekam oleh kehadiran seekor harimau", berkata prajurit
penjaga itu dengan wajah penuh takut yang sangat.
Terlihat Gajah Pagon menatap keempat kawan
seperjalanannya itu yang diketahui telah diberikan
mandat menjaga keamanan suasana lumbung pangan
pasukan darat Raden Wijaya.
"Nanti malam kita tunggu harimau itu", berkata Mahesa
Darma penuh semangat. "Kuserahkan semuanya kepada kalian", berkata Gajah
Pagon percaya penuh dengan sikap anak muda itu yang
sudah pasti bukan anak muda biasa, sudah mendapat
kepercayaan penuh dari seorang Mahesa Amping,
senapati yang sangat dihormatinya yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Demikianlah, ketika malam telah tiba hampir semua
prajurit penjaga lumbung itu merasakan suasana yang
mencekam. Mereka merasa bahwa malam itu harimau itu
518 akan datang kembali mencari mangsanya. Mungkin
daerah tempat lumbung itu sendiri merupakan daerah
kekuasaan si Raja hutan itu.
Dan malam yang mencekam itu akhirnya tiba, ditandai
dengan keriuhan suara gerombolan monyet-monyet kecil
melompat dari satu dahan ke dahan lain diantara
pepohonan di kegelapan malam. Nampaknya naluri
mereka terusik dan terganggu oleh sesuatu yang dapat
membahayakan diri mereka.
Ternyata naluri monyet-monyet kecil itu sangat peka,
mereka telah melihat lebih dulu sebuah bayangan di
kegelapan malam, bayangan yang sangat ditakuti di
hutan itu oleh hampir seluruh penghuni hutan, bayangan
itu adalah sosok seekor harimau jantan.
"Suara geraman harimau", berkata Putu Risang yang
mempunyai kepekaan pendengaran yang cukup tajam
telah mendengar sebuah geraman seekor harimau tidak
begitu jauh dari mereka. "Kita dekati arah suaranya", berkata Mahesa Darma
tanpa rasa takut sedikit pun mengajak Putu Risang untuk
mendekati dimana suara itu mereka dengar.
Terlihat Muntilan dan Mahesa Semu memberi tanda dan
menyetujui Mahesa Darma bersama Putu Risang
mendekati arah suara harimau itu.
Demikianlah, dua anak muda itu telah terlihat sudah
mengendap-endap berjalan menuju sumber suara itu,
suara harimau menggeram. Akhirnya mereka memang
telah mendekati sumber suara itu, seekor harimau yang
memang tengah berjalan berlawanan arah dengan
mereka. "Seekor kucing hutan yang cukup besar", berkata
519 Mahesa Darma kepada Putu Risang ketika mereka
memang telah melihat seekor harimau yang cukup besar
tengah berjalan perlahan mencari mangsanya di malam
itu, di daerah perburuannya sendiri.
Terlihat Mahesa Darma dan Putu Risang diam berdiri
ditempatnya, nafas mereka seperti tertahan mencoba
agar kehadiran mereka tidak tercium oleh penciuman
harimau itu yang memang punya indera penciuman yang
begitu sangat tajam. Sial memang bahwa seekor harimau jantan itu telah
bertemu dengan dua anak muda itu, dua anak muda
yang tidak mengenal rasa takut, dua anak muda yang
seperti punya nyawa rangkap tidak mengenal mara
bahaya di depan mereka. Bahaya seekor harimau lapar
mencari mangsanya. Terlihat Mahesa Darma menyentuh pundak Putu Risang
sebagai tanda urusan harimau itu biarlah dia yang
menyelesaikannya. Begitu selesai menyentuh pundak Putu Risang, terlihat
Mahesa Darma dengan beraninya melompat kearah
harimau yang tengah berjalan.
Biasanya harimau selalu mengejutkan mangsanya, tapi
malam itu nampaknya justru harimau itulah yang
dikejutkan oleh Mahesa Darma.
Rupanya rasa terkejut kucing besar itu telah
membangkitkan amarahnya yang ditandai dengan suara
geram auman yang memecahkan kesunyian malam itu.
Suara geraman harimau besar itu tidak membuat sedikit
pun rasa keder anak muda itu, telah siap sedia
menghadapi amarah sang raja hutan.
Haummm"!! 520 Terdengar suara sang raja hutan sambil melompat
menerkam mangsanya begitu cepat dan tangkas
sebagaimana biasa tidak ada satupun kijang yang amat
cekatan terlepas dari terkamannya itu.
Tapi kali ini Harimau itu bukan menghadapi seekor kijang
yang lincah gesit tiada tara, bukan juga menghadapi
seekor badak yang kuat perkasa, tapi malam itu
menghadapi seorang Mahesa Darma yang dapat
bergerak gesit melebihi seekor kijang dan kekuatan
empat ekor badak besar. Harimau itu telah bergerak menerkam dengan tangkas
dan kuat, tapi gerakan itu di depan mata Mahesa Darma
masih seperti seekor kura-kura, terlihat Mahesa Darma
bergerak lebih cepat lagi menghindar sedikit kesamping.
Bukan cuma itu, Mahesa Darma dengan cepat pula
menendang ke arah samping perut harimau besar itu
yang langsung terguling diatas tanah.
Kemarahan harimau besar itu sudah begitu memuncak,
terlihat telah mengibas-ngibaskan seluruh kulit badannya
sambil mendekati Mahesa Darma lebih dekat dari jarak
terkamnya. Haummmm"!! Terdengar kembali geraman
menerkam Anak muda itu. harimau itu sambil Tapi Mahesa Darma kali ini tidak berusaha menghindar,
namun begitu cakar depan nyaris menggapainya, anak
muda itu menjatuhkan dirinya dan sebuah tendangan
tepat mengenai perut dalam sang harimau.
Dampaknya sangat hebat sekali, harimau itu seperti
dilempar melambung dan terhempas di sebuah batang
pohon besar. 521 Tendangan yang kuat dan hempasan yang keras telah
membuat harimau itu langsung menjadi pingsan.
"Masih hidup", berteriak Mahesa Darma dengan penuh
gembira setelah beberapa saat ragu dan khawatir bahwa
harimau itu akan mati. "Mengapa tidak langsung dibunuh saja harimau itu",
berkata seorang prajurit kepada Mahesa Darma.
"Harimau ini adalah seekor jantan, mungkin anak dan
induk betinanya masih menunggu di sebuah tempat. Bila
tugas kita selesai di hutan ini , aku bermaksud untuk
melepaskannya kembali", berkata Mahesa Darma sambil
terus mengikat keempat kaki harimau yang masih
pingsan itu "Budi anak itu begitu halus penuh perasaan", berkata
Putu Risang dalam hati sambil melihat Mahesa Darma
mengikat harimau itu. Demikianlah hingga keesokan harinya, Gajah Pagon
mengajak rombongannya untuk melanjutkan perjalanan
mereka ke beberapa titik lumbung yang harus mereka
singgahi. Dan mereka telah sepakat agar Mahesa Darma
tetap di hutan itu. "Biarlah Mahesa Darma menunggui pasangan harimau
itu datang kemari", berkata Mahesa Semu sambil
tersenyum sepakat meninggalkan Mahesa Darma
bertugas menjaga dan mengawasi lumbung pertama di
hutan itu. Dan ketika matahari sudah mulai merangkak mendekati
puncaknya, mereka sudah cukup jauh meninggalkan
lumbung pertama. Akhirnya ketika senja mulai berakhir, mereka telah
memasuki sebuah hutan yang tidak begitu jauh dengan
522 sebuah Kademangan. Ternyata disitulah para prajurit
yang bertugas menyiapkan lumbung pangan untuk
pasukan darat Raden Wijaya.
"Sampai hari ini kami belum menemukan kendala
apapun", berkata seorang prajurit ketika ditanya oleh
Gajah Pagon mengenai keamanan disekitar lumbung itu.
Karena hari sudah gelap, Gajah Pagon, Mahesa Semu,
Muntilan dan Putu Risang telah sepakat untuk bermalam
di hutan itu. Sebagaimana pada lumbung pertama, penjagaan di
sekitar lumbung kedua itu juga berlapis. Sepanjang hari
para prajurit berjaga silih berganti memastikan bahwa
suasana di sekitar lumbung padi itu memang aman
terkendali. Hingga ketika hari telah berganti pagi, tidak ada kejadian
apapun di hutan itu, dan telah disepakati bahwa Muntilan
yang harus tetap tinggal bergabung dengan para prajurit
yang ada di lumbung kedua itu.
Demikianlah, mereka pun melanjutkan perjalanan
kembali menuju ke lumbung ketiga dan keempat. Singkat
cerita mereka setelah menempuh perjalanan yang cukup
jauh mereka telah singgah di lumbung ketiga dan
keempat. Di lumbung ketiga telah disepakati bahwa
Mahesa Semu yang akan bertanggung jawab menjaga
keamanan lumbung ketiga itu. Sementara pada lumbung
keempat, Putu Risang merupakan orang terakhir yang
harus tetap tinggal bertanggung jawab menjaga
keamanan lumbung itu. Ternyata lumbung keempat itu bukan di tengah hutan,
tapi di sebuah kademangan yang cukup besar dan ramai,
Kademangan Ngrangkah Pawon. Tepatnya di dalam
sebuah gudang di rumah seorang Saudagar yang sangat
523 kaya dan sekitarnya. sangat dihormati oleh

Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang di "Perkenalkan kawanku ini bernama Putu Risang",
berkata Gajah Pagon memperkenalkan diri Putu Risang
kepada saudagar kaya raya itu yang ternyata seorang
petugas telik sandi yang selama ini menyamar sebagai
seorang saudagar di Kademangan Ngrangkah Pawon itu.
"Tuanku Raden Wijaya tidak akan salah memilih orang",
berkata saudagar itu yang memperkenalkan dirinya
Memburu Manusia Harimau 2 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Badai Awan Angin 6

Cari Blog Ini