Ceritasilat Novel Online

Tapak Tapak Jejak Gajahmada 9

Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Bagian 9


matanya masih berputar-putar.
Itulah kata-kata terakhir yang terdengar didalam barak
tahanan itu, setelah itu keadaan menjadi begitu hening.
Semua kepala di dalam barak tahanan itu mungkin
tengah ada dalam alam bayangan dan pikiran mereka
masing-masing. Cukup lama keheningan itu berlangsung hingga akhirnya
terpecahkan oleh sebuah kata-kata yang keluar dari
lelaki kawan mereka yang ikut mengantar mereka ke
Nusa Sapudi, orang asli Madhura.
"Aku memang tidak punya kesaktian untuk membuat
597 kabut, tapi aku pernah membuat sebuah gendam yang
kuat menidurkan orang sekampungku", berkata lelaki itu
perlahan dan datar. "Kamu punya ajian sirep perasuk sukma?", berkata
Mabujang tidak percaya kepada kawannya itu dengan
bola mata seperti keluar memandang kawannya itu.
"Aku mewarisi ilmu itu secara turun temurun", berkata
lelaki itu kepada Mabujang sambil mengangguk perlahan.
"Tapi kamu dapat menjadi korban ditinggal sendiri di
barak tahanan ini", berkata Mabujang tidak sampai hati
meninggalkan kawannya itu.
"Aku rela jadi bebanten demi dapat membawa Raja dan
Ratu Kediri kembali ke Jawadwipa", berkata lelaki itu
dengan wajah pasrah dan kesungguhan hati.
"Ki sanak semua, aku merasa terharu bahwa ternyata
kalian punya kepedulian yang begitu tinggi atas diri kami
disaat selembar diri kami sudah tidak punya arti apapun",
berkata Raja Jayakatwang merasa terharu melihat sikap
Putu Risang dan kedua kawannya itu.
Kembali suasana di dalam barak tahanan menjadi begitu
sunyi, masing-masing telah berada di alam pikirannya
sendiri-sendiri. Tiba-tiba saja keheningan seperti terpecahkan ketika
sebuah kata keluar dari mulut Putu Risang, perlahan,
datar tapi begitu meyakinkan.
"Tidak ada yang menjadi banten disini, mudah-mudahan
aku dapat membuat sebuah kabut menutupi semua
penglihatan para prajurit asing disini", berkata Putu
Risang sambil merinci bagaimana mereka dapat pergi
meloloskan diri. "Tidak kusangka, khayalanku menjadi kesampaian meski
598 dua kesaktian itu bukan berasal dariku", berkata
Mabujang penuh kegembiraan setelah mendengar tutur
Putu Risang merinci bagaimana mereka dapat lolos
keluar dari barak tahanan itu.
"Tubuh kita semua dalam keadaan terikat, aku tidak
dapat melepas gendamku dalam keadaan seperti ini",
berkata lelaki dari Madhura itu.
"Aku dapat melepas ikatan ini", berkata Putu Risang
sambil menghentakkan tenaga saktinya.
Bukan main terkejutnya Mabujang melihat kekuatan
tenaga sakti Putu Risang. Mabujang dengan mata kepala
sendiri menyaksikan tali ikatan ditangan Putu Risang
terputus. Mata Mabujang masih terbelalak ketika dengan cepat
pula Putu Risang membuka ikatan kakinya dan langsung
membuka ikatan tali yang mengikat di kedua tangan dan
kaki Mabujang. "Bantu aku melepas ikatannya, aku akan membuka
ikatan tali Raja dan Ratu.", berkata Putu Risang kepada
Mabujang setelah membuka ikatan kaki dan tangannya.
Maka dalam waktu cepat mereka semua sudah terlepas
dari ikatan di dalam barak tahanan itu.
Sementara itu langit malam diatas Nusa Sapudi terlihat
mendung, wajah rembulan robek terpotong awan hitam.
Beberapa prajurit asing terlihat masih berjaga-jaga di
hampir setiap pintu barak mereka. Ada beberapa orang
terlihat kadang berkeliling meronda dan memastikan
keadaan disekitar barak-barak mereka.
Namun perlahan suasana malam yang dingin di sekitar
barak-barak prajurit asing itu menjadi terasa semakin
dingin dan senyap. Angin yang berhembus perlahan
599 bersama suara ombak di pantai seperti irama alam yang
begitu damai membisiki hati dan sukma untuk diam
sejenak memejamkan mata dan pikiran, mengosongkan
segala perasaan demi mendengar suara hati yang lirih
berbisik untuk segera tidur.
Ternyata suasana yang begitu senyap itu bukan sebuah
kebetulan. Lelaki orang Madhura kawan Putu Risang dan
Mabujang itu telah melepas ajian sirep perasuk
sukmanya. Dampak gendam ilmu ajian sirep pelepas sukma itu
ternyata begitu kuat. Terlihat dua orang prajurit di depan barak tahanan sudah
mulai duduk tidak kuat menahan rasa kantuk mereka.
Dan tidak lama kemudian tidak disadari sama sekali,
mereka sudah tertidur dalam keadaan terduduk
bersandar lutut mereka sembari menelungkup.
Sementara itu, di beberapa tempat para peronda juga
terlihat tertidur di sekitar perapian mereka. Ternyata
hawa kantuk yang kuat telah menyerang mereka. Juga
menyerang semua orang di dalam barak-barak prajurit
asing itu yang memang sudah sejak awal malam sudah
beristirahat, dan hawa gendam sudah membuat mereka
lebih pulas lagi, tertidur nyenyak dibuai hawa senyap sepi
dan dingin sejuk angin yang berhembus lebih terasa
menyejukkan karena diiringi ajian ilmu pelepas sukma
yang kuat, sebuah gendam yang memang sangat kuat
yang telah dilepas oleh orang Madhura kawan Putu
Risang dan Mabujang dari barak tahanan..
Langit malam diatas Nusa Sapudi begitu
memayungi pantai pasir. Angin dan suara debur
seperti suara irama malam di pantai Nusa
mengiringi kesenyapan suasana malam yang
kelam ombak Sapudi begitu 600 menyekap. Dan terlihat tiga bayangan berendap-endap
perlahan meninggalkan barak-barak prajurit asing itu
menuju ke sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari
mereka di sekitar pantai Nusa Sapudi.
Ternyata ketiga bayangan itu adalah Mabujang bersama
Ratu dan Raja Kediri yang sudah keluar dari barak
tahanan menuju ke perahu bercadik yang masih ada
ditempatnya sebagaimana ditinggalkan oleh mereka
"Kabut mulai turun menutupi pandangan", berkata
Mabujang dalam hati dengan mata terbelalak melihat
kabut putih halus menutupi Nusa Sapudi yang semakin
lama menjadi semakin tebal menutupi jarak pandang."Anak muda itu telah melepas kesaktian
ilmunya", berkata kembali dalam hati merasa bangga
bahwa Putu Risang memang dapat diandalkan, punya
kekuatan ilmu sakti yang dapat membuat kabut putih
menutupi pandangan mata. "Mereka pasti tengah keluar dari barak tahanan", berkata
Mabujang kepada Raja dan Ratu Kediri agar mereka
bersiap diri naik keatas perahu pergi jauh meninggalkan
pantai nusa Sapudi secepatnya.
Sebagaimana yang ada dalam pikiran Mabujang, terlihat
keluar dari kabut putih yang tebal dua bayangan
menghampiri mereka. Ternyata mereka adalah Putu
Risang dan kawannya. "Mari kita cepat berangkat sebelum kabut menghilang",
berkata Putu Risang sambil mendorong perahu bercadik
bersama Mabujang dimana Raja dan Ratu Kediri sudah
ada bersama kawan mereka diatas perahu bercadik itu.
Maka dalam waktu yang begitu singkat perahu bercadik
itu sudah berada di dasar pantai lebih dalam, dan telah
melaju semakin menjauhi bibir pantai yang masih
601 berkabut tipis di malam yang sepi itu.
Angin darat terlihat begitu perkasa berhembus
menggelembungkan kain layar perahu bercadik yang
meluncur laju diatas permukaan laut sunyi di malam itu.
"Bintang paku itu adalah arah kemudi layar kita", berkata
kawan Madhura itu sambil tangannya menunjuk ke arah
sebuah jajaran bintang yang berkedip diatas langit diatas
lautan yang luas gelap sepanjang mata memandang.
"Pantai Sunginep", kegembiraan. berkata Mabujang penuh Sebagaimana yang dikatakan oleh Mabujang, sebuah
gundukan hitam membujur rebah seperti seorang
raksasa hitam tengah berbaring terlihat muncul
dihadapan mereka, itulah daratan besar Nusa Madhura.
Perlahan tapi pasti perahu bercadik mereka terlihat
sudah mendekati bibir pantai Sunginep.
"Kalian pergi begitu lama", berkata seorang kawan
mereka di pinggir pantai menyongsong kedatangan
mereka. Namun kawan mereka itu bibirnya seperti terkancing
ketika melihat diatas perahu bercadik dua orang lelaki
dan wanita yang tidak dikenalnya.
Barulah orang itu menyadari bahwa seorang lelaki dan
wanita itu ternyata Raja dan Ratu Kediri yang tengah
mereka cari selama itu setelah mendengar ucapan Putu
Risang. "Raja dan Ratu ada bersama kita, mari kita segera pergi
ke persembunyian kita", berkata Putu Risang.
Bibir orang itu memang seperti terkunci, selama ini hanya
sering mendengar nama Raja dan ratu Kediri, baru
602 malam itu mata kepalanya sendiri melihat sosok wajah
dua orang yang sangat dihormati di Bumi Jawadwipa.
Dan malam itu telah bersamanya pula membuat sebuah
kebanggaan dirinya seperti melambung tinggi, kakinya
terasa berjalan mengambang terapung diatas tanah pasir
pantai. Demikianlah, dibawah malam mereka telah berjalan
kearah sebuah hutan kecil di dekat pantai Sunginep itu
ke sebuah gubuk persembunyian mereka.
Bukan main gembiranya semua kawan-kawan Putu
Risang yang berada di sebuah gubuk di hutan itu melihat
kehadiran Putu Risang yang datang bersama Raja dan
Ratu Kediri. Dan malam itu di sekitar gubuk itu beberapa orang
prajurit kelompok pemburu terlihat berjaga bergiliran di
ujung malam yang memang sebentar lagi akan berakhir.
Ternyata malam memang sudah akan segera berakhir,
terlihat di ujung timur langit menggelantung bintang
Kejora sang perindu yang bersinar begitu terang
benderang seperti cahaya pemandu sang surya
melepaskan warna kemerahan si langit purba.
Membangunkan suara kokok ayam jantan membuyarkan
mimpi-mimpi malam. Dan sang surya akhirnya telah terbangun mengintip bumi
di ujung timur lengkung langit dalam lingkaran tabur sinar
kuning keemasan. "Pagi ini aku seperti baru mendengar suara kokok ayam
begitu merdu mendayu membangunkan hati dan jiwaku
dalam sebuah kehidupan baru. Ternyata jiwa ketika tidak
memiliki apapun begitu kaya raya. Semua yang kita lihat,
semua yang kita dengar seperti begitu indah. Dan kita
seperti pengembara di Taman Nirwana penuh bunga",
603 berkata Raja Jayakatwang penuh kebahagiaan menatap
wajah dan senyum Ratu Turuk Bali yang menatapnya
penuh warna keceriaan hati. Sebuah warna kebahagiaan
di mata wanita itu yang sudah lama tidak pernah
dilihatnya. "Kakanda telah memiliki mahkota singgasana sejati,
mahkota singgasana Dewa Siwa yang bertahta diatas
permadani jiwa yang tenang, jiwa tanpa keakuan
duniawi", berkata Ratu Turuk Bali.
"Aku akan menulis suara keindahan jiwa ini diatas
lembaran rontal, mengabadikannya untuk semua jiwajiwa yang haus dahaga agar selalu berada di dalam
kucuran jeram kesejukan hati, memadamkan segala
amarah, membeningkan kekeruhan hawa sang angkara",
berkata Raja Jayakatwang penuh kebahagiaan.
"Aku akan terus membaca tanpa jemu semua untaian
suara hati kakanda diatas lembaran rontal jiwa Kakanda",
berkata kembali Ratu Turuk Bali juga dengan wajah
penuh kegembiraan dan kebahagiaan hati.
"Aku akan menembangkan dengung keindahan suara
hati ini untuk jiwa-jiwa yang sepi agar terbebas dari
ayunan kegelisahan dan kegersangan hati. Membawa
jiwa-jiwa yang kering terpanggang keangkuhan diri. Aku
akan mengabdikan seluruh tembang suci suara hatiku
sepanjang hidupku dalam gending irama jiwa di
kesunyian malam dan siangku", berkata kembali Raja
Jayakatwang seperti kepada dirinya sendiri.
"Aku akan terus mendengarkan gending suara irama suci
tembang cipta karya kakanda sepanjang malam dan
siangku tanpa kejemuan", berkata kembali Ratu Turk Bali
dengan wajah penuh kebahagiaan bahwa kekasih hati


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercinta telah kembali menemukan jati dirinya.
604 Demikianlah, Gusti Yang Maha Agung begitu kasih
memanggil jiwa yang ingin mendekat dengan jalan
kepahitan, dengan jalan kegetiran, dengan jalan yang
begitu berliku penuh derita dan kesengsaraan. Dan Raja
Jayakatwang terpanggil jiwanya manakala tidak memiliki
apapun, harta, tahta singgasananya telah runtuh musnah
hilang punah, dan Gusti Yang Penuh Kasih telah
memberi penggantinya, istana kebesaran jiwa.
Dan diluar gubuk sederhana itu matahari pagi sudah
menerangi tanah lewat celah daun dan dahan
pepohonan di hutan kecil itu. Beberapa orang prajurit
terlihat telah menyiapkan makanan pagi untuk mereka,
untuk Raja dan Ratu Kediri yang berada dalam tanggung
jawab mereka hingga sampai tiba waktunya dapat
kembali ke Bumi Majapahit.
"Mudah-mudahan tidak ada orang yang memborong
puluhan kuda, sebagaimana orang kaya nusa Sapudi
memborong perahu kayu", berkata Mabujang kepada
Putu Risang ketika tengah keluar dari hutan kecil dekat
pantai Sunginep bermaksud mendatangi beberapa pasar
hewan untuk membeli beberapa ekor kuda untuk mereka
yang memang tidak dapat mengarungi laut lepas karena
musim angin timur laut masih lama berlalu.
Beruntunglah mereka, seorang telah membawa mereka
ke Tanah Perdikan Sunginep dimana ada seorang
peternak kuda yang dapat menyediakan beberapa kuda
untuk mereka. "Harga peternak itu lebih murah dari harga di pasar
hewan", begitu orang itu memberikan kepastian
mengenai harga seekor kuda.
Dan sebagaimana yang dikatakan orang itu, mereka
mendapatkan harga kuda yang lebih murah 605 dibandingkan dengan harga di pasar hewan.
Demikianlah, sembilan penunggang kuda terlihat sudah
keluar dari hutan kecil didekat pantai Sunginep langsung
menuju arah pesisir pantai selatan daratan besar
Madhura. Abu kering pasir pantai terlihat mengepul
dibelakang kuda-kuda mereka yang rancak berlari dan
berpacu waktu. Hari itu tanggal empat belas bulan Kartika tahun 1215
Saka, sehari sebelum pelaksanaan upacara Abhiseka
Raden Wijaya menjadi Raja pertama Majapahit.
Terlihat di pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya tengah
ditemani Turuk Bali dan suaminya, Jayakatwang.
"Pamanda dan Bibi, besok adalah hari upacara
pemercikan air suci sebagai pemberkatanku sebagai
Raja yang berkedudukan di Majapahit, ananda mohon
doa restu dan persaksian Pamanda dan bibi berdua",
berkata Raden Wijaya kepada Paman dan bibinya
mantan penguasa Kerajaan Kediri.
"Kami berdua akan menjadi saksi dan merestui
penobatan ananda, merestui jalan lurus yang akan
ananda lewati membawa tahta singgasana Majapahit
mengarungi samudra kejayaannya", berkata Jayakatwang kepada Raden Wijaya dengan wajah tulus
penuh kebijaksanaan. "Terima kasih atas restu dari Pamanda dan Bibi berdua,
semoga ananda dapat membawa darma ini sebagai
warisan pusaka leluhur yang dapat ananda jaga
sepanjang hayat ananda", berkata Raden Wijaya penuh
rasa terima kasih kepada paman dan bibinya, dua orang
yang sangat dihormatinya itu yang dianggapnya sebagai
sesepuh yang dapat membimbingnya sebagai seorang
Raja Majapahit. 606 "Semoga kamu dapat mengambil banyak hikmah atas
segala pahit dan getir, kebaikan dan keburukan di masa
lalu kekuasaanku", berkata Jayakatwang kepada Raden
Wijaya. "Aku bersama bibimu saat ini sudah merasa
terlepas dari himpitan dan keserakahan duniawi.
Ijinkanlah aku untuk dapat membangun sebuah pura di
Tanah Ujung Galuh, dimana aku dapat dengan mataku
melihat luasnya lautan, namun hatiku selalu tertambat di
tanah para petani", berkata kembali Jayakatwang kepada
Raden Wijaya. "Permintaan Pamanda dan bibi akan segera ananda
perkenankan", berkata Raden Wijaya kepada Jayakatwang. "Ada sebuah tanah yang bergumuk di
sekitar Tanah Ujung Galuh, dari situ kita dapat melihat
lautan luas, bila pamanda dan bibi berkenan ananda
akan perintahkan orang untuk dibangunkan sebuah pura
disana", berkata kembali Raden Wijaya.
Mendengar perkataan kemenakannya itu, terlihat
Jayakatwang dan Turuk Bali merasa sangat gembira.
Mereka seperti mendapat sebuah tempat untuk hari-hari
tua mereka, Di sebuah tempat dimana mata dapat
memandang lautan luas, namun masih melihat hijaunya
tanah ladang dan kesibukan para kaum tani. Dan tempat
yang elok itu berada di Tanah Ujung Galuh.
Angin semilir berhembus menerbangkan rumput kering di
halaman muka pasanggrahan Raden Wijaya di awal pagi
yang cerah dibawah pandangan tiga pasang mata diatas
pendapa itu. Tiga pasang mata yang teduh dinaungi
kedamaian hati sebuah persaudaraan yang sudah sekian
lama terpecah. Kini mereka seperti tiga jiwa yang telah
dipersatukan kembali dengan tali kasih sedarah, sehati
dan sejiwa. Sementara itu di tanah alun-alun bumi Majapahit saat itu
607 terlihat sebuah kesibukan besar, beberapa orang terlihat
sudah hampir selesai mendirikan beberapa tajuk,
sementara beberapa orang lagi tengah merangkai janur
kelapa sebagai penghias dan pertanda akan
dilaksanakan sebuah upacara besar, upacara Abhiseka
Raden Wijaya menjadi seorang Raja Agung dimana bumi
Majapahit telah menjadi pusat prajanya, tempat tahta
singgasananya. Semua kesibukan itu adalah untuk menghadapi hari esok
dimana di alun-alun itu akan digelar sebuah upacara
agung, sebuah upacara Abhiseka, upacara pemercikan
air suci kepada Raden Wijaya yang akan dinobatkan
sebagai seorang Raja Majapahit.
Dan saat itu pula hampir di setiap banjar-banjar di bumi
Majapahit sudah berhias dengan aneka umbul-umbul
dan panji-panji dan janur kelapa. Terlihat bendera
Dwiwarna gula kelapa berdiri ditengah-tengah setiap
umbul-umbul dan panji-panji.
Kesibukan di bumi Majapahit menjelang hari penobatan
Raden Wijaya memang menjadi sebuah pemandangan
umum hari itu hampir di setiap tempat sebagai pertanda
semua orang yang berada di bumi Majapahit ikut
merayakannya, ikut merasakan kegembiraan dan
kebahagiaan itu. Masih ditengah kesibukan menghadapi upacara agung
itu, Mahesa Amping dan Ki Sandikala di Pasanggrahannya masing-masing terlihat telah menerima kedatangan para utusan dari berbagai
kalangan dan dari berbagai daerah yang jauh yang
memang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara
penobatan Raden Wijaya. Mereka yang datang sebagai
tamu undangan itu adalah para raja-raja bawahan
kerabat dan keluarga besar Wangsa Rajasa Singosari
608 yang mendukung sepenuhnya berada dalam satu pusat
pemerintahan dibawah panji praja Majapahit Raya.
Mereka para tamu undangan itu juga para utusan dari
berbagai Padepokan di Jawadwipa. Juga para pendeta
dan para brahmana dari berbagai pelosok daerah di
Jawadwipa yang berharap pemerintahan baru praja
Majapahit dapat mengayomi dan melanggengkan agama
dan ajaran mereka tetap tumbuh dibawah naungan
kekuasaan raja baru, Raden Wijaya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penghuni
bumi Majapahit sebagian besar adalah mereka yang
dikirim oleh Adipati Aria Wiraraja dari Madhura dan para
cantrik Padepokan Teratai Putih dari berbagai tempat di
Jawadwipa dan Balidwipa dibawa oleh guru besar
mereka Ki Sandikala. Dan hampir dapat dikatakan bahwa
para penghuni bumi Majapahit itu adalah para lelaki yang
hanya tahu memegang berbagai senjata dan bercocok
tanam. Ternyata Gusti Agung Maha Pengasih dan Pemurah,
dalam sebuah serangan mendadak atas para prajurit
asing di sungai Kalimas beberapa hari yang lewat
dimana kemenangan gilang gemilang berada di pihak
Raden Wijaya, mereka juga telah berhasil menyelamatkan para tawanan perang yang dibawa dari
Kotaraja Kediri. Dan sebagian besar diantara mereka itu
adalah kaum Wanita. Hanya beberapa orang saja dari para tawanan wanita itu
yang berniat kembali ke kampung halaman mereka,
kembali ke keluarganya disana. Namun sebagian besar
lagi telah berniat untuk tidak kembali selama-lamanya.
Mereka telah menjatuhkan sebuah niat suci, mengabdi di
Bumi Majapahit. Bukan sebuah kebetulan, tapi sudah menjadi guratan
609 tangan dari Gusti yang Maha Agung bahwa di bumi
Majapahit ada dua srikandi, yaitu Nyi Nariratih dan
Endang Trinil. Merekalah dua srikandi bumi Majapahit
yang telah ditugaskan untuk menghimpun para wanita
itu, membina dan melatihnya menjadi sebuah kekuatan
lain melengkapi kekuatan yang sudah ada di Bumi
Majapahit. Dan hari itu menjelang upacara agung penobatan Raden
Wijaya menjadi Raja Agung, para wanita itu telah kembali
ke kodratnya berada di kesibukan yang lain, berada
dalam kesibukan di dapur umum di sebuah tempat
memenuhi dan menyiapkan kebutuhan makan dan
minum pagi, siang dan malam para tamu undangan yang
telah berdatangan memenuhi bumi Majapahit.
Sementara itu ditengah kesibukan Bumi Majapahit
menghadapi hari upacara besar itu, terlihat tiga anak
lelaki di pinggir hutan Maja tengah berlatih mematangkan
jurus-jurus mereka. Pasti kita sudah dapat menebaknya
siapa lagi ketiga anak lelaki di bumi Majapahit kalau
bukan Gajahmada bersama Jayanagara dan Adtyawarman. Meski guru penuntun mereka Putu Risang sudah
beberapa hari itu tidak mengawasi dan membimbing
mereka karena tugas-tugas khususnya, ketiga anak itu
masih terus berlatih setiap hari di sanggar terbuka
mereka di pinggir hutan Maja.
Tapi hari itu mereka tidak tahu bahwa beberapa pasang
mata tengah mengawasi mereka. Beberapa pasang mata
nampaknya tengah bermaksud buruk kepada mereka.
Mereka bertiga memang tidak menyadari ada beberapa
pasang mata telah bermaksud untuk menculik mereka.
"Kita belum tahu siapa diantara ketiga anak itu putra
610 Raden Wijaya", berkata salah seorang dari mereka yang
mengintip di sebuah semak belukar.
"Kita bawa saja disebelahnya. mereka bertiga", berkata orang "Kamu benar, kita bawa mereka semua untuk kita
serahkan kepada guru kita", berkata lagi orang ketiga
dari kedua orang sebelumnya.
Ternyata yang tengah mengintai di pinggir hutan itu
adalah tiga orang lelaki bertelanjang dada. Sementara
bagian pusar sampai pertengahan paha hanya ditutupi
oleh selembar kain yang dipakai dengan cara dilibatkan,
sebuah ciri bahwa mereka adalah dari sebuah sekte
agama tertentu di jaman itu.


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga orang lelaki itu setelah mengamati cukup lama
berkeyakinan bahwa tidak ada orang dewasa bersama
ketiga anak itu. "Nampaknya mereka tidak dijaga oleh siapapun", berkata
seseorang yang paling tua diantara kedua temannya
seperti sebuah ajakan untuk keluar dan membawa pergi
ketiga anak itu. Demikianlah, ketiga orang lelaki itu sudah keluar dari
persembunyian mereka. "Hebat, teruslah berlatih, kami bertiga akan terus
menunggu sampai selesai", berkata salah seorang dari
mereka bertiga sambil mendekati tempat berlatih
Gajahmada bersama kedua kawannya itu.
Mendengar dan melihat ada tiga orang yang mendekati
mereka, serentak Gajahmada, Jayanagara dan
Adityawarman menghentikan latihannya.
"Mengapa kalian berhenti?", berkata salah seorang
diantara mereka yang paling tua,
611 "Kami tidak ingin ada orang asing melihat latihan kami",
berkata Gajahmada dengan dada membusung.
"Kalau begitu berlatihlah dengan pamanmu ini", berkata
orang tertua itu seperti seorang yang mengejek membuat
sebuah kuda-kuda sambil menggerakkan kedua
tangannya membuat berbagai jurus.
"Jangan salahkan aku bila tanganku melukai paman",
berkata Gajahmada sambil maju selangkah.
"Tua sekali pikiranmu", berkata orang itu mendelik
mendengar ucapan Gajahmada yang biasa diucapkan
oleh orang dewasa yang sudah mapan ilmunya.
"Aku sudah siap menerima serangan paman", berkata
lagi Gajahmada penuh percaya diri dengan sedikit
merenggangkan kedua kakinya dan dada masih
dibusungkan. Melihat sikap Gajahmada itu, terlihat ketiga orang lelaki
itu tertawa terbahak-bahak melihat sikap Gajahmada
yang berani itu, terutama dengan ucapannya yang
seperti seorang dewasa jago kanuragan.
"Pamanmu akan melatih mulutmu agar tidak sembarang
mengucap", berkata orang itu sambil tertawa dan
melepaskan pukulan perlahan, masih bermain-main.
Bukan main terkejutnya orang itu, dengan sigap terlihat
Gajahmada sudah mengelak kesamping dan langsung
melangkah kedepan dengan sebuah kepalan tangan
masuk membentur perutnya.
Beggg !!! Terdengar suara kepalan tangan Gajahmada cukup
keras membentur perut orang itu.
"Gila!!!", berkata orang itu sambil mundur selangkah
612 memegangi Gajahmada. perutnya terhantam keras pukulan "Yang gila paman, kenapa memberi peluang kepadaku",
berkata Gajahmada berdiri tidak mengejar orang itu yang
masih meringis merasakan sakit diperutnya.
Terlihat orang itu menarik nafasnya dalam-dalam,
merasa malu ketika sekilas melihat kedua kawannya
tertawa terpingkal-pingkal menertawakan dirinya yang
dalam satu gebrakan sudah dapat dipukul oleh seorang
anak kecil. Terlihat mata orang itu mendelik tajam kearah
Gajahmada seperti ingin memperlihatkan kepada kedua
kawannya itu bahwa dirinya tidak sebodoh yang
dipikirkan oleh kedua kawannya itu.
"Anak kecil tua, kubungkam mulutmu", berkata orang itu
berjalan cepat maju melayangkan tangannya menyambar
kepala Gajahmada benar-benar tidak mau main-main lagi
seperti pada serangan pertamanya.
Terkejut orang itu melihat dengan tangkasnya
Gajahmada mengelak dan mengangkat sebuah kakinya
kearah pangkal paha orang itu.
"Jurus kedua Rajawali meluncur", berkata Gajahmada
sambil terbang dengan sebuah kaki mengincar paha
orang itu. Tapi lawan Gajahmada itu adalah seorang lelaki yang
sudah mapan mengenal kanuragan dan tidak
menganggap Gajahmada anak kecil lagi.
Terdengar orang itu mendengus meremehkan serangan
Gajahmada telah melompat kesamping dan balas
menyerang dengan kakinya. Tetapi Gajahmada dengan
lincah telah melompat kesamping dan menyusul balas
613 menyerang. Demikianlah, serang dan balas menyerang pun telah silih
berganti meski pemandangan sangat aneh dimana
seorang anak kecil bersama orang dewasa bertempur
sangat seru saling serang dan balas menyerang.
"Rajawali menerkam", berkata Gajahmada melompat
balas menyerang sambil mengucapkan nama jurus yang
sedang dilakukan. Sementara itu kedua orang kawannya sudah tidak
tertawa lagi, dalam hati memuji anak kecil dihadapannya
itu dapat melayani serangan kawannya dengan sangat
baik. Sebagaimana kedua kawan orang itu, Jayanagara dan
Adityawarman terlihat berdebar-debar takut Gajahmada
lengah terkena serangan lawannya. Maka setiap kali
orang itu menyerang Gajahmada, terlihat kedua anak itu
menahan nafasnya, baru ketika Gajahmada dapat
menghindar dan balas menyerang terlihat kedua anak itu
melepaskan nafasnya lega.
Gajahmada adalah anak yang cerdas, sudah dapat
menghapal semua jurus yang diajarkan Putu Risang
kepadanya, termasuk kembangannya. Meski kali ini
harus menguras otaknya yang encer karena lawan
tandingnya bukan Jayanagara atau Adityawarman, tapi
orang asing dengan jurus asing yang baru dilihatnya itu.
Tapi Gajahmada dengan kecerdasannya masih mampu
melayani orang itu dengan beberapa serangan balik
yang cukup keras menjadikan lawannya tidak main-main
lagi ditambah rasa malu kepada kedua temannya telah
berusaha menunjukkan bahwa dirinya akan segera
merobohkan anak kecil itu.
614 Tapi Gajahmada ternyata tidak semudah perkiraan orang
dewasa lawannya itu, Gajahmada selalu dapat mengelak
bahkan dapat balas menyerang.
Namun lawan Gajahmada bukan orang yang baru
mengenal satu dua jurus kanuragan, orang itu sudah
matang mengenal jurus-jurus perguruannya juga sudah
mengenal beberapa jurus tipuan menghadapi seorang
lawan. Ternyata tataran ilmu Gajahmada memang belum
matang dan disiapkan untuk menghadapi segala tipu
muslihat dari berbagai jurus perguruan lain diluar apa
yang sudah diajarkan kepadanya.
Hingga pada sebuah gerakan tipu daya lawannya,
dimana terlihat orang itu tengah berancang-ancang
mengunakan kakinya, Mata Gajahmada dapat tertipu
tidak dapat membaca muslihat tipu daya itu dan kaget
bukan kepalang dimana tiba-tiba saja orang itu telah
berputar tidak jadi menendang menggantikannya dengan
sebuah kepalan tangan meluncur tiba-tiba menghantam
atas bahu kanan meleset terus masuk mengenai bagian
samping kepalanya. Benggg !!!! Gajahmada merasakan kepalanya pening seketika dan
terhuyung jatuh. Tetapi, memang dasar Gajahmada adalah anak yang
keras kepala, telah membungkam mulutnya agar tidak
terdengar suara kesakitannya.
Terlihat lawan Gajahmada bertolak dihadapannya sambil tertawa bergelak-gelak.
pinggang Dan anak kecil berbadan tambur itu tidak mengenal jera,
apalagi mendengar tertawa lawannya yang bergelak615
gelak telah membuat dadanya bergemuruh melupakan
rasa sakitnya. Maka dengan sekuat tenaga terlihat
Gajahmada sudah bangkit berdiri siap menghadapi
kembali lawannya yang masih tertawa dan bertolak
pinggang. "Tendangan Rajawali", berteriak Gajahmada sambil
meluncur menerjang lawan dengan sebuah tendangan
"Tendangan Rajawali Pitik", berkata lawan Gajahmada
sambil bergeser sedikit tubuhnya dan balas menyerang
dengan sebuah pukulan kearah ke pinggang.
Bukan main marahnya Gajahmada mendengar olok-olok
itu, baginya menghina jurusnya berarti telah menghina
perguruannya. Itulah sebabnya Gajahmada terlihat lebih
tanggas lagi dalam setiap serangannya.
Namun kembali tatarannya yang masih sangat dangkal
tidak dapat menduga sebuah jurus tipuan telah
memperdayakannya. Ngekkk"!!! Sebuah tendangan telah bersarang di perut Gajahmada.
Terlihat Gajahmada terdorong dan terlempar jatuh
terguling di tanah kotor. Pakaian dan wajah anak tambur
itu sudah tercampur debu tanah, memang sebuah
tontonan yang menggelikan.
Tapi anak itu memang benar-benar keras kepala telah
membungkam mulutnya rapat-rapat agar tidak terdengar
suara kesakitannya. Dan lawan Gajahmada terlihat kembali bertolak pinggang
sambil tertawa bergelak-gelak seakan telah memberi
hiburan kepada kedua kawannya itu yang juga ikut
tertawa. 616 Mendengar suara tertawa dari lawan dan kedua
kawannya itu telah membakar kemarahan Gajahmada.
Terdengar anak kecil itu menggeram seperti harimau
marah berusaha untuk bangkit kembali.
Namun ketika Gajahmada bermaksud hendak bangkit,
ditelinganya seperti mendengar suara bisikan yang lirih,
tapi sangat jelas terdengar.
?".anak hebat, dua kali tertipu adalah sebuah
kebodohan. Aku akan membantumu, pejamkan matamu
dan dengarkanlah suara pikiranmu. Lakukan apa yang
ada dalam pikiranmu".", demikian Gajahmada
mendengar suara bisikan itu terdengar jelas tapi tidak
ada suara apapun seperti langsung terdengar dari
pikirannya sendiri. Tanpa berpikir apapun lagi, Gajahmada terlihat bangkit
berdiri dengan kedua mata terpejam.
Sebenarnya ketika Gajahmada terjatuh untuk yang
kedua kalinya, Jayanagara dan Adityawarman ingin
segera meloncat menggantikan dirinya maju menghadapi
lawan Gajahmada. Tapi langkah kedua sahabatnya itu tertahan sekaligus
terheran-heran melihat Gajahmada telah berdiri dengan
kedua mata terpejam. Sebagaimana Jayanagara dan Adityawarman, lawan
Gajahmada sudah berhenti tertawa berganti dengan
mata terheran-heran melihat Gajahmada berdiri dengan
kedua mata terpejam. Kedua kawan lawan Gajahmada juga melihat keanehan
itu, seketika mereka tidak tertawa lagi hanya menunggu
apa yang selanjutnya terjadi dengan mata dan wajah
penuh keheranan. 617 ?"".bagus anak hebat, pejamkan matamu dan lakukan
apa yang ada dalam pikiranmu", berkata kembali sebuah
bisikan yang ada dalam pikiran Gajahmada.
Terkejut bukan kepalang lawan Gajahmada ketika
dengan cepat sebuah tendangan meluncur ke arahnya,
untung saja lawan Gajahmada sudah dapat menguasai
diri meski masih terkejut melihat serangan Gajahmada
yang masih memejamkan kedua matanya.
Ternyata serangan Gajahmada lewat sebuah tendangan
kaki yang meluncur adalah sebuah jurus tipuan. Karena
Tiba-tiba saja seperti seorang yang sudah dapat
membaca gerakan yang dilakukan lawannya itu, terlihat
Gajahmada merunduk sedikit sambil melayangkan
tangannya ke samping tentunya dengan tenaga yang
kuat. Bukk"!!!! Lawan Gajahmada tidak sempat lagi mengelak sebuah
pukulan keras mengenai pangkal pahanya.
Tapi serangan Gajahmada tidak hanya sampai disitu,
tiba-tiba saja menjatuhkan diri menjadikan sebuah
tangannya menjadi sebuah poros sumbu untuk
mengayunkan badan dan kakinya seperti gasing.
Blengggg"!!! Sisi belakang betis lawan Gajahmada telah terpukul dan
terdorong oleh tendangan gasing Gajahmada.
Maka terlihat orang dewasa itu terjengkal ke belakang
dengan kepala belakang lebih dulu merasakan kerasnya
tanah. Jayanagara dan Adityawarman seperti tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya, lawan orang dewasa itu
jatuh dalam sebuah gebrakan pertama Gajahmada yang
618 masih memejamkan kedua matanya.
?"..bagus anak hebat, tetaplah memejamkan matamu,


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikutilah apa kata pikiranmu".", berkata kembali bisikan
lewat pikiran Gajahmada. Terlihat lawan Gajahmada telah berdiri perlahan masih
merasakan rasa sakit di belakang kepalanya yang
terbentur dengan tanah keras.
Terlihat juga pakaiannya sudah bercampur debu tanah
kotor. "Anak setan, pasti ada dedemit yang merasuki anak itu",
berkata orang itu yang sudah berdiri sambil memandang
kearah Gajahmada yang masih juga memejamkan kedua
matanya. "Jurus aneh, kakang Putu Risang tidak pernah
mengajarkan jurus itu", berkata Jayanagara sambil
menyentuh lengan Adityawarman merasa aneh melihat
Gajahmada menjatuhkan lawannya dengan sebuah jurus
aneh yang baru saja diperlihatkan oleh Gajahmada.
"Jangan-jangan Mahesa Muksa telah disambat dedemit
hutan ini", berkata Adityawarman yang terus
memperhatikan Gajahmada yang masih memejamkan
matanya siap menghadapi lawannya yang sudah berdiri.
"Aku tidak takut dengan dedemit apapun!!", berteriak
orang itu sambil langsung menyerang ke arah
Gajahmada dimana dalam pandangannya telah
kesambat dedemit hutan itu.
Tetapi, masih sambil memejamkan matanya, terlihat
Gajahmada seperti dapat melihat serangan itu yang
sudah bergeser sedikit langsung membuat serangan
balasan. "Gila!!", berkata lawan Gajahmada yang harus melompat
619 ke samping menghindari serangan Gajahmada.
Dan perkelahian antara Gajahmada dengan orang
dewasa itu pun kembali menjadi begitu seru bahkan
bertambah seru karena Gajahmada hampir selalu lolos
dalam setiap serangan dari lawannya yang sudah
seringkali mencoba mengerahkan segenap kemampuannya menyerang dengan berbagai jenis
tipuan yang sangat halus. Tapi Gajahmada dengan
masih memejamkan matanya telah dapat keluar dari
sergapan penuh tipuan bahkan balas menyerang dengan
tidak kalah berbahayanya.
Hingga dalam sebuah kesempatan, kembali Gajahmada
sudah dapat menjatuhkan lawannya, sebuah pukulannya
hinggap diantara pangkal pertemuan dua paha orang itu.
Terlihat orang itu mendelik merasakan sakit yang sangat
dan nafasnya seperti terputus seketika.
Seketika juga orang itu seperti baju lusuh rebah terjatuh
di tanah tidak bergerak lagi, pingsan.
Kedua kawan orang itu melotot dengan wajah merah
takut bercampur rasa heran yang sangat melihat
Gajahmada masih memejamkan matanya menghadap
kearah kawannya yang berbaring tidak bergerak.
"Dedemit hutan ini mungkin marah kepada kita", berkata
dari salah satu orang itu yang dengan wajah pucat
melihat Gajahmada yang masih berdiri dengan kedua
mata tertutup rapat-rapat.
Kedua orang itu seperti bimbang apa yang harus
diperbuat, antara rasa takut dan percaya tidak percaya
bahwa anak kecil yang sudah dapat mengalahkan
kawannya itu sudah dibantu oleh makhluk halus
penunggu hutan Maja itu. 620 Namun ditengah kebimbangannya, muncullah seseorang
entah dari mana sudah datang sambil mengumpatumpat.
"Anak murid bodoh, kenapa harus takut dengan segala
macam dedemit", berkata orang itu kepada kedua orang
yang terkejut melihat kedatangan orang baru itu.
"Ampun guru, dedemit hutan ini telah merasuk anak itu",
berkata salah seorang diantara kedua orang itu
menyebut guru kepada orang yang baru datang.
"Dedemit setan belang apapun aku tidak akan pernah
takut!!", berteriak orang yang dipanggil guru itu langsung
menghadapkan dirinya ke arah Gajahmada yang tengah
tersenyum dengan mata yang sudah tidak dipejamkan
lagi. "Apakah orang tua akan turun tangan melayani anak
kecil seperti aku ini?", berkata Gajahmada sudah bersiap
diri dengan merenggangkan kedua kakinya siap
menghadapi orang tua di depannya itu dengan wajah
penuh percaya diri. "Aku tidak akan melakukan apapun, hanya ingin
membungkam mulutmu yang tua sebelum waktunya",
berkata orang tua itu sambil melangkah mendekati
Gajahmada. Dan sebuah tangan orang tua itu sudah terangkat tinggitinggi mungkin hendak menghajar Gajahmada dengan
tangannya itu. Tapi tangan itu masih tetap ditempatnya, seperti tidak
mampu digerakkan. Terlihat mata orang itu seperti keluar melotot penuh rasa
takut merasakan dirinya tiba-tiba saja tidak mampu
menggerakkan tangannya, juga semua anggota
621 badannya terasa terkunci.
Namun rasa terkunci itu perlahan luluh bersamaan
dengan kemunculan seorang tua renta yang berdiri
didekatnya dengan wajah penuh senyum, wajah dan
senyum penuh keramahan. Begitu bening wajah dan
senyum itu seperti sebuah telaga di pagi hari telah
menggetarkan hati dan perasaan orang yang dipanggil
guru itu. "Memalukan, orang tua memukul seorang anak kecil di
saksikan oleh banyak orang", berkata orang tua renta itu
kepada orang yang dipanggil guru itu masih dengan
senyum sarehnya. "Maaf, dengan siapakah aku berhadapan?" berkata
orang yang dipanggil guru itu dengan hati sedikit
sungkan menduga orang tua renta itu pasti bukan orang
sembarangan. "Aku hanya pengembara biasa, orang di dekatku biasa
memanggilku dengan sebutan Embah Galunggung",
berkata orang tua itu masih dengan senyum sarehnya.
"Ampunkan hamba yang tidak dapat berlaku hormat
berhadapan dengan tuanku Prabu Guru Darmasiksa",
berkata orang yang dipanggil guru itu sambil bersimpuh
di tanah bersujud dihadapan orang tua renta itu.
Melihat gurunya bersujud di depan orang tua renta itu,
kedua orang itu ikut sebagaimana dilakukan oleh
gurunya. "Bangkitlah, hendaklah kamu bersujud hanya kepada
Gusti Nu Luhur, aku jenggah melihatnya", berkata orang
tua renta itu meminta ketiga orang yang bersujud
kepadanya berdiri. Maka ketiga orang itu dengan wajah penuh rasa takut
622 yang sangat telah berdiri, namun tidak berani menatap
langsung kepada orang tua renta itu.
"Dari mana kamu tahu nama asliku, sudah lama orang di
sekelilingku tidak memanggilku dengan sebutan itu, aku
pun telah melupakan nama itu", berkata orang tua renta
itu yang memperkenalkan diri bernama Embah
Galunggung. "Kecapi dari kayu kenanga dan tali petik dari emas yang
tuan bawa", berkata orang yang dipanggil guru itu masih
dengan menundukkan kepalanya.
Terlihat orang tua renta itu tersenyum memandang
sebuah kecapi ditangan kirinya.
"Sekarang pergilah menjauh, buang segala niat burukmu
untuk mencelakai salah satu dari ketiga anak ini, karena
salah satu dari mereka adalah cucu buyutku", berkata
orang tua renta yang mengakui dirinya adalah Prabu
Guru Darmasiksa seorang maharaja dari kerajaan
Pasundan yang sudah melengserkan dirinya berdiam di
Gunung Galunggung mengajar tuntunan keselamatan
kepada siapapun yang berkeinginan belajar kepadanya,
menuntut ilmu kesucian bathin.
Bagian 3 Ucapan dan perkataan Prabu Guru Darmasiksa dianggap
sebuah perintah oleh ketiga orang itu yang sudah pernah
mendengar kesaktian orang tua renta itu dapat
meruntuhkan sebuah gunung batu hanya dengan
suaranya. Terlihat kedua orang murid itu telah memapah kawannya
yang masih pingsan itu. Bersama gurunya mereka
623 bertiga dengan tergopoh-gopoh penuh rasa sungkan dan
hormat meninggalkan pinggir hutan Maja itu.
Setelah ketiga orang itu menghilang jauh di kerapatan
Hutan Maja, terlihat orang yang menamakan dirinya
bernama Embah Galunggung itu yang sebenarnya
adalah Prabu Guru Darmasiksa menoleh menatap ketiga
anak kecil dihadapannya itu.
"Siapa diantara kalian putra Sanggrama Wijaya?",
berkata Prabu Guru Darmasiksa penuh senyum ramah
kepada ketiga anak itu. "Aku Jayanagara, putra Wijaya", berkata Jayanagara
tanpa rasa takut kepada orang tua renta dihadapannya
itu, merasa yakin bahwa orang itu adalah orang baik
yang telah membuat ketiga orang asing yang datang
mengganggu mereka seperti sungkan pergi ketakutan.
"Aku sudah menduga, mata dan alismu sama dengan
yang dimiliki oleh putra dan menantuku, Sanggrama
Wijaya dan Pangeran Lembu Tal", berkata Embah
Galunggung sambil memegang kedua pundak Jayanagara yang membiarkan kedua pundaknya
diguncang-guncangkan oleh orang tua itu dengan wajah
seperti begitu gembira seperti menemukan kembali
sebuah barang berharga yang lama menghilang
didepannya. "Ayahku pernah bercerita bahwa kakek buyutku berasal
dari tanah Pasundan", berkata Jayanagara kepada orang
tua itu. "Aku dari Tanah Pasundan, akulah kakek dari ayahmu.
Panggil aku sebagai Eyang Buyutmu", berkata Prabu
Guru Darmasiksa masih dengan kedua tangannya
memegang kedua bahu Jayanagara.
624 "Senang bertemu Eyang Buyut, ayah banyak bercerita
tentang Eyang Buyut kepadaku", berkata Jayanagara
penuh kegembiraan dapat melihat seorang yang selama
ini banyak diceritakan oleh ayahnya sendiri.
Namun percakapan diantara kedua cicit dan buyutnya itu
terhenti ketika muncul seseorang didekat mereka.
"Terima kasih telah menolong tiga anak momonganku
ini", berkata orang itu sambil merangkapkan kedua
tangannya di dada sebagai sebuah ungkapan hormat
dan terima kasih. "Ternyata semut merah di gundukan semak-semak telah
mengusik keberadaan tuan pendeta", berkata Prabu
Guru Darmasiksa tersenyum kepada orang yang baru
datang itu. Ternyata orang yang dipanggil tuan pendeta itu adalah
Pendeta Gunakara yang sudah lama bersembunyi, tapi
Prabu Guru Darmasiksa sudah lama juga mengetahui
keberadaannya, "Ajian ilmu Pameling dan ajian ilmu pengancingan sudah
sangat langka, dan ternyata hari ini aku dapat melihat
langsung dengan mata kepalaku sendiri", berkata
Pendeta Gunakara kepada Prabu Guru Gunakara.
"Hanya sebuah permainan untuk anak-anak", berkata
Prabu Guru Darmasiksa tersenyum kepada Pendeta
Gunakara yang dianggapnya pasti bukan orang
sembarangan karena tahu kedua ilmu ajian itu.
"Tuan Prabu Guru Darmasiksa ternyata adalah orang
yang selalu merendahkan dirinya", berkata Pendeta
Gunakara setelah mereka saling memperkenalkan
dirinya. "Siapakah kamu wahai anak hebat", berkata Prabu Guru
625 Darmasiksa kepada Gajahmada.
Gajahmada seperti mengenal kalimat sapaan itu, dan
diam-diam berpikir pasti orang ini yang membisikkannya
sehingga dirinya dapat menjatuhkan orang asing itu.
"Namaku Mahesa Muksa",
memperkenalkan dirinya. berkata Gajahmada "Dan siapa namamu?", berkata Prabu Guru Darmasiksa
kepada Adityawarman. "Namaku Adtyawarman", berkata Adityawarman kepada
Prabu Guru Darmasiksa. "Kalian bertiga kelak akan menjadi orang-orang hebat,
kulihat kalian sudah matang mengenali jurus-jurus kalian.
Hanya perlu banyak pengalaman bertanding, terutama
mengenal ragam tata cara muslihat dari yang kasar
sampai yang halus", berkata Prabu Guru Darmasiksa
sambil mengedipkan sebelah matanya ketika beradu
pandang dengan tatapan mata Gajahmada.
?".hanya orang bodoh yang dapat tertipu sampai dua
kali?", terngiang kembali bisikan itu di dalam hati
Gajahmada. "Ternyata jurus-jurus itu dan kembangannya dapat kita
atur sesuai keinginan kita, tidak harus runut. Dan aku
dapat membuat kecohan dalam dua, tiga bahkan sepuluh


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah kedepan mengelabui langkahku yang sebenarnya", berkata Gajahmada dalam hati mendapatkan pelajaran yang mahal untuk mengerti lebih
jauh lagi kedalaman ilmu kanuragan.
Dan Gajahmada merasa ada kesempatan untuk
mengetrapkan pengalaman barunya itu manakala Prabu
Gunakara meminta mereka berlatih tanding.
"Hari masih belum terik, aku ingin melihat kalian berlatih
626 tanding", berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada ketiga
anak itu. Tanpa diminta Gajahmada sudah maju menunggu siapa
yang akan maju berlatih tanding dengannya.
Terlihat Jayanagara yang maju berhadapan dengan
Gajahmada. Maka kedua anak itu pun telah mulai berlatih tanding,
masing-masing telah menunjukkan kebolehannya.
Tapi di mata Pendeta Gunakara dan Prabu Guru
Gunakara, ternyata Gajahmada terlihat sudah dapat
menguasai perkelahian itu. Langkah-langkahnya sukar
sekali ditebak kemana arah tujuannya.
Ternyata Gajahmada yang baru mendapatkan pencerahan itu sudah dapat menyerang dan mengelabui
langkah Jayanagara, sudah tiga kali Jayanagara terjatuh
terkena beberapa pukulannya.
"Aku tidak akan mudah tertipu lagi", berkata Jayanagara
yang juga mendapat pencerahan baru dari gaya
Gajahmada yang telah menjatuhkan dirinya hingga
sampai tiga kali. Maka akhirnya latihan bertanding itu
menjadi kian seru, masing-masing telah dapat
mengembangkan sendiri jurus-jurus mereka penuh
ragam tipuan. Sementara itu Adityawarman yang memperhatikan
mereka berlatih ikut mendapatkan pencerahan juga,
mulai mengerti bagaimana mengembangkan sebuah
jurus-jurus baku yang dapat digunakan sesuai dengan
keadaan yang ada. Terlihat tangan dan kaki Adityawarman seperti tidak
sabaran untuk turun berlatih, segera menerapkan apa
yang ada di pikirannya saat itu, sebuah pencerahan baru.
627 "Kalian berhenti dulu, kasihan kawanmu yang satu itu
ingin juga menunjukkan kebolehannya", berkata Prabu
Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Jayanagara
yang semakin asyik berlatih.
Mendengar suara Prabu Guru Darmasiksa, terlihat
Jayanagara dan Gajahmada berhenti bertanding.
"Hati-hatilah menghadapi Jayanagara, jangan sampai
dirimu tertipu", berkata Gajahmada berbisik kepada
Adityawarman yang turun menggantikannya menghadapi
lawan latih tanding Jayanagara.
Maka Adityawarman dan Jayanagara sudah terlihat
berlatih tanding, ternyata mereka adalah anak-anak yang
cerdas yang sudah dapat mengembangkan jurus-jurus
mereka menerapkannya dalam gerak langkah yang tak
terduga meski masih dalam ageman yang tidak merubah
tata gerak dan pola perguruan mereka.
"Mereka adalah anak-anak yang cerdas", berkata Prabu
Guru Darmasiksa kepada Pendeta Gunakara.
"Kejadian pagi tadi telah membuka pencerahan dan
pengenalan mereka terhadap tata gerak seharusnya",
berkata Pendeta Gunakara yang sudah lama mengawasi
perkembangan lahir bathin ketiga anak itu.
"Tuan Prabu Guru Darmasiksa adalah tamu kami, hari
sudah sangat terik. Mari kuantar ke Bumi Majapahit agar
raden Wijaya menjadi gembira dan bahagia telah
kedatangan seorang datuknya dari Kerajaan Pasundan",
berkata Pendeta Gunakara kepada Prabu Guru
Darmasiksa. "Baiklah, aku membayangkan semangkuk rujak kelapa
muda dihadapanku", berkata Prabu Guru Darmasiksa
sambil tersenyum. 628 Demikianlah, matahari memang sudah terlihat tergelincir
dari pucuk ujung lengkung langit dan hari sudah begitu
terik dan pengap sebagai tanda bahwa sebentar lagi
akan turun hujan. Terlihat iring-iringan tiga anak kecil bersama dua orang
tua di belakang mereka telah meninggalkan pinggir
Hutan Maja menuju ke arah sebuah pemukiman Bumi
Majapahit. Dan seperti dua sumber mata air jernih yang bertemu
bersatu dalam sebuah aliran sungai di sebuah
pegunungan yang sejuk hijau dipenuhi hiasan tanaman
bunga warna-warni menjelang hari senja yang tenang
dan bening, terlihat Jayakatwang yang baru terbuka
kesucian mata bathinnya seperti menemukan seorang
sahabat baru, seorang kawan bicara memuaskan dahaga
pengembaraan sucinya menjangkau dan masuk lebih
dalam lagi ke samudera rahasia keindahan alam rohani
yang ternyata lebih luas dari alam fana itu sendiri, begitu
luas sehingga terasa tidak pernah cukup untuk terus
menerus meneguk dahaganya.
Sahabat baru Jayakatwang itu adalah Prabu Guru
Darmasiksa. Meski mereka baru pertama kali berjumpa di
Pasanggrahan Raden Wijaya, tapi mereka seperti
seorang sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.
Sepanjang malam mereka begitu asyik berbincang
seperti merasa malam tidak akan membuat kantuk
mereka. Begitulah bila dua hati suci bertemu, mereka adalah para
pengembara yang dijumpakan dan dipertemukan oleh
satu bahasa yang sama, sebuah bahasa lisan yang
hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah
629 mengenal pencerahan hati. Mereka berdua Jayakatwang
dan Prabu Guru Darmasiksa.
"Mari kita mengabadikan perjumpaan kita ini dengan
menciptakan sebuah tembang kesunyian hati di malam
ini, aku akan mengiringi kecapi Paman Prabu dengan
suara serulingku", berkata Jayakatwang kepada Prabu
Guru Darmasiksa. Maka di malam yang sunyi itu terdengar suara kecapi
dan seruling yang begitu merdu kadang mengalun halus
seperti suasana hati seorang pengembara sendiri di
belantara malam, kadang suara kecapi dan seruling itu
mengalun naik turun seperti seorang pengembara yang
merindu jauh dari sang kekasih, namun terkadang juga
suara kecapi dan seruling mereka terdengar seperti
suara para laskar yang sedang bertarung di medan laga,
dan akhirnya suara kecapi dan seruling mereka pelan
terputus putus seperti seorang pengembara tua yang
berada di persimpangan jalan, seorang pengembara
yang ragu jalan simpang mana yang dipilih.
"Aku akan selalu memainkannya dengan serulingku ini
setiap malam manakala ingat kepada perjumpaan kita",
berkata Jayakatwang dengan wajah penuh kegembiraan
telah menyelesaikan sebuah irama bersama Prabu Guru
Darmasiksa, sebuah irama tembang yang tercipta tanpa
mereka sadari. "Tembang baru ini harus diberi nama, apa menurutmu
nama dari tembang baru ini?", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Jayakatwang.
"Tembang kenangan Hina Kelana", berkata Jayakatwang
dengan wajah penuh kegembiraan hati.
"Nama tembang yang indah", berkata Prabu Guru
Darmasiksa menyetujuinya.
630 Tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka telah
menciptakan sebuah tembang yang akan menghebohkan
dunia, sebuah tembang baru yang kelak akan membuat
sebuah peperangan besar dimana begitu banyak darah
bersimbah di tanah kering bersama suara denting senjata
saling beradu, juga suara derita perih pilu menatap saat
banyak kematian didepan mata, sahabat, saudara dan
kekasih tercinta. Pagi itu tanggal lima belas bulan Kartika tahun 1215
Saka di bumi Majapahit terlihat sajen aneka bunga dan
bancakan telah diletakkan di hampir tiap sudut
perempatan jalan, sebagai pertanda bahwa di bumi
Majapahit akan ada sebuah hajatan besar.
Matahari pagi bersinar begitu cerah menerangi alun-alun
Bumi Majapahit yang terlihat begitu cantik meriah
dipenuhi umbul-umbul, hiasan bunga dan janur.
Terlihat enam ribu prajurit Majapahit telah memenuhi
alun-alun dengan warna warni panji kesatuan mereka
masing-masing. Namun hampir semua prajurit telah
mengikat kepalanya dengan kain dwi warna merah putih.
Sebuah warna kebanggaan mereka yang merupakan
sebuah lambang kesatuan mereka, sebuah lambang
warna yang mengikat hati mereka kepada sebuah
kemenangan besar mengusir orang asing bangsa
Mongol. Prajurit Gula kelapa, begitulah panggilan
kebanggaan mereka saat itu.
Sementara itu tajuk-tajuk yang dibantu di alun-alun
terlihat sudah dipenuhi para undangan dari berbagai
kalangan, para ningrat dari berbagai pelosok nagari, para
kaum brahmana, para ketua Padepokan yang
mendukung kedaulatan Majapahit pengganti Kerajaan
Kediri yang telah runtuh.
631 Terlihat Mahesa Amping berdiri di jajaran terdepan di
salah sebuah tajuk, matanya terlihat berkaca-kaca
memandang Watu Gegilang yang sudah berada di
tengah alun-alun, sebuah batu datar tempat duduk
seorang calon raja yang akan dinobatkan, yang akan
melaksanakan upacara Abhiseka.
Kebahagiaan dan keharuan mengisi seluruh rongga hati
Mahesa Amping. "Perjuangan dan cita-cita Raden Wijaya akhirnya telah
sampai juga", berkata Mahesa Amping dalam hati sambil
memandang watu gegilang itu yang seperti penuh rindu
sunyi menunggu seseorang untuk segera duduk
diatasnya. Pikiran Mahesa Amping seperti hanyut dibawah arus air
yang kuat, melemparkannya ke sebuah Padepokan
tempat awal pertama bertemu dengan Raden Wijaya,
sebuah Padepokan Bajra Seta. Sebuah Padepokan yang
begitu tenang, begitu banyak membawa kenangan di
hatinya. Di padepokan itulah mereka berdua tumbuh dan
berkembang hingga dewasa, menjadi dua orang yang
tangguh, tanggon dan disegani oleh lawan dan kawan.
Pikiran Mahesa Amping seperti terbang, melayang ke
sebuah Kerajaan Tanah Melayu, dimana Dirinya dan
Raden Wijaya bersama Ranggalawe berpetualang
melaksanakan sebagai seorang petugas telik sandi
Kerajaan Singasari yang masih dibawah kendali dan
kekuasaan Raja Kertanegara. Di Tanah Melayu itulah
mereka berdua sama-sama jatuh cinta dengan dua orang
putri Raja Tanah Melayu. "Garis hidup memang tidak bisa ditawar-tawar", berkata
Mahesa Amping dalam hati menyadari bahwa dirinya
telah berdiri di bawah sebuah tajuk kehormatan, sebuah
632 tajuk kehormatan hanya untuk para tamu undangan
orang-orang terhormat, para ningrat, bangsawan dan
para pemuka agama. Dan pikiran Mahesa Amping seperti kembali mengarungi
masa-masa kecil penuh kesengsaraan, tanpa orang tua
hidup terkatung-katung. Berkat kebaikan budi Mahesa
Murti dan Mahesa Pukat dirinya diasuh dengan cinta
kasih seluruh cantrik Padepokan Bajra Seta.
"Pada suatu masa mungkin aku akan melepas semua
ini", berkata Mahesa Amping dalam hati.
Mata dan pikiran Mahesa Amping sudah jauh ke sebuah
tempat, ke sebuah petak-petak hamparan sawah ladang
yang hijau. "Berlumpuran baju dengan lumpur di sawah, menjaga
padi hingga tumbuh bersama anak dan isteri", berkata
kembali Mahesa Amping dalam hati membayangkan
dirinya sebagai seorang petani merasa lelah dengan
segala peperangan yang pernah dihadapi selama itu.
"Bau darah dan suara jeritan dalam sebuah peperangan,
entah, mungkinkah akan berakhir atau akan terus
berlanjut diatas sebuah kekuasaan seorang Raja yang
harus mempertahankannya?" berkata kembali Mahesa
Amping. Dan lamunan Mahesa Amping seketika terbang putus
manakala terdengar suara bende Ki Prabu Segara
berdengung tiga kali. Sebuah tanda bahwa upacara suci
akan segala dimulai. Mata Mahesa Amping yang tajam melihat sebuah iringiringan memasuki alun-alun. Mahesa Amping melihat
Raden Wijaya dikawal oleh dua orang prajurit dimana
salah satu dari prajurit itu membawa sebuah payung
633 pusaka, payung Kiai Pananggungan, Sebuah payung
yang konon dapat menahan hujan.


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Raden Wijaya tengah menuju ke altar penobatannya,
menuju altar cita-cita dan perjuangannya", berkata
Mahesa Amping dalam hati mengikuti pandangannya ke
arah Raden Wijaya yang tengah berjalan menuju Watu
Gegilang. Dan Raden Wijaya terlihat sudah duduk diatas watu
Gegilang, seorang pendeta juga terlihat datang
membawa sebuah kendi tanah berisi air suci.
Terlihat pendeta suci itu menghadap para tamu
undangan, dengan diiringi doa dan mantra pendeta suci
itu telah memulai melaksanakan upacara suci itu,
upacara Abhiseka Raden Wijaya.
"Semoga dewa langit dan dewi bumi merestui upacara
ini", berkata Pendeta suci itu mengawali pembukaan
upacara Abhiseka itu. Pada hari ini telah terlahir Prabu
Nararya Dyah Sanggramawijaya dengan nama Abhiseka
sebagai Kertarajasa Jayawardana", berkata kembali
pendeta suci itu. Semua yang hadir tampak begitu hening, seperti tersirep
suasana dan wajah welas asih sang pendeta suci itu.
"Nama yang terlahir ini dari empat kata k"rta, r"jasa,
jay", dan wardhan". Unsur k"rta berarti Baginda Prabu
memperbaiki Jawadwipa dari kekacauan, yang
ditimbulkan oleh para penjahat dan menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat Majapahit. Oleh karena itu
bagi rakyat Wilwatikta Baginda laksana Surya yang
menerangi bumi. Unsur r"jasa mengandung arti bahwa
Baginda berjaya mengubah suasana kegelapan menjadi
terang-benderang akibat kemenangan beliau terhadap
lawan-lawannya. Dengan kata lain Baginda adalah
634 penggempur musuh. Unsur jay"mengandung arti bahwa
Sri Prabu memiliki lambang kemenangan berupa tombak
berujung tiga Trisulamuka sebagai senjata Dewa Syiwa,
karena senjata inilah maka seluruh musuh-musuhnya
hancur. Unsur wardhan", mengandung arti bahwa
Baginda Prabu mengayomi segala agama, memberikan
kebebasan kepada seluruh rakyat Majapahit untuk
menjalankan ajaran agamanya dengan leluasa; di sisi
lain Baginda Prabu menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat Majapahit", berkata pendeta
suci menjelaskan makna nama Abhiseka bagi Raden
Wijaya. Hening suasana di alun-alun itu, semua mata dan
pendengaran tertuju kepada sang pendeta suci.
"Semoga sang terlahir akan dapat melindungi para
kawula, menjaga perjalanan para saudagar, memadamkan setiap peperangan dan kerusuhan
bersama para kesatria, semoga sejuk dan kedamaian
selalu bersamanya", berkata kembali pendeta suci itu.
Dan semua mata tertuju kepada sang pendeta suci
manakala terlihat pendeta suci itu berjalan mendekati
watu Gegilang dimana Raden Wijaya tengah duduk
diatasnya. "Semoga air suci ini memberkatinya", berkata Pendeta
suci itu sambil mengguyurkan air suci dan kendi di
tangannya. Terdengar suara sorak sorai bergemuruh seluruh orang
diatas alun-alun itu. Pemandian air suci itu adalah
perlambang bahwa telah syah sempurna Raden Wijaya
sebagai Raja Majapahit, sebagai seorang yang berkuasa
dan berdaulat memegang kendali kerajaannya, sebuah
kerajaan yang pernah ada sebelumnya, Kerajaan
635 Singasari jaya. Terlihat semua orang maju ke depan memberikan
ucapan selamat kepada putra baru yang terlahir kembali
dengan nama Abhiseka Kertarajasa Jayawardana.
Demikianlah, upacara Abhiseka itu diakhiri dengan
sebuah perjamuan besar, semua orang yang hadir diatas
alun-alun itu terlihat penuh kegembiraan dan
kebahagiaan. "Terima kasih untuk semua kesetiaanmu", berkata Raden
Wijaya sambil memeluk erat sahabatnya Mahesa
Amping. "Terima kasih untuk keberadaanmu bersamaku selama
ini", berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe yang
datang memberi ucapan selamat kepadanya.
"Ananda perlu banyak nasehat pamanda, terima kasih
untuk doa dan restunya", berkata pula Raden Wijaya
kepada Jayakatwang yang datang mengucapkan
selamat dan restu kepadanya.
Sementara itu matahari diatas alun-alun bumi Majapahit
terlihat mulai mendekati puncaknya. Terlihat sang surya
seperti iri melihat sebuah keramaian diatas alun-alun
tidak juga berakhir dibawah teriknya yang menyengat.
Suasana kebahagiaan diatas alu-alun seperti tidak
menghiraukan terik sengat matahari, semua merasa
bahwa telah terlahir sebuah matahari baru, sang Surya
yang menerangi hari-hari depan mereka, di pagi, siang
dan malam mereka, dialah Raden Wijaya sang surya
Majapahit. "Janganlah hendaknya kamu menggangu, menyerang
dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan
kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun
636 negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa,
aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan
keperkasaan mu kelak sebagai raja besar. Ini adalah
anugrah dari Yang Maha Agung dan menjadi suratanNya. Sudah selayaknya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan
Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling
mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah
beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing.
Bila demikian akan menjadi keselamatan dan
kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda
mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya
sungguh-sungguh memberikan bantuan ; demikian pula
halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit", berkata
Prabu Guru Darmasiksa di tengah perjamuan upacara
Abhiseka memberi nasehat kepada Raden Wijaya.
"Nasehat Eyang Prabu akan cucunda pusakai", berkata
Raden Wijaya dengan hati terharu.
Dan malam telah menyelimuti wajah bumi diatas
Pasanggrahan Raden Wijaya. Terlihat beberapa ksatria
Majapahit telah dipanggil oleh Raja baru mereka yang
bergelar Abhiseka sebagai Raja Kertarajasa Jayawardana. "Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan
bagi berdirinya kerajaan Majapahit ini, sebuah
perjuangan panjang telah kita lewati merebut dan
mengembalikan pilar-pilar singgasana Singosari diatas
bumi Majapahit ini", berkata Raden Wijaya yang telah
berganti nama sebagai Raja Kertarajasa Jayawardana
kepada semua yang hadir diatas pendapanya.
"Aku masih memerlukan tenaga dan pikiran kalian guna
mengendalikan jalannya roda pemerintahan yang luas
ini", berkata Raden Wijaya sambil menatap satu persatu
sahabat seperjuangannya itu yang sudah dianggapnya
637 sebagai saudaranya sendiri.
Hening suasana diatas pendapa Pasanggrahan Raden
Wijaya, semua orang diatas pendapa itu seperti
menunggu kata-demi kata dari Raden Wijaya, menunggu
tugas yang diamanatkan kepada mereka, sebuah tugas
baru yang mungkin lebih berat dibandingkan mengangkat
senjata di peperangan. "Aku hanya melanjutkan pendahuluku Sri Baginda
Maharaja Kertanegara membangun singgasana diatas air
yang telah terbangun lewat pembuatan armada besar
jung Borobudur yang telah berlayar di barat dan timur
laut Tanah Jawa. Aku ingin bumi Majapahit sebagai
sebuah surya baru yang menerangi daratan dan
lautannya, menjaga dan melindungi daratan dan
lautannya. Sebuah surya yang besar, sang surya
Majapahit Raya", berkata Raden Wijaya didengar penuh
perhatian semua yang hadir diatas pendapa itu.
Kembali suasana diatas pendapa itu menjadi hening,
semua mata seperti menunggu kata-kata dari Raden
Wijaya, sebuah penantian yang menegangkan yang ingin
mereka dengar langsung dari seorang penguasa baru di
Tanah Jawa yang luas itu yang juga telah mengikat tali
perdagangan jauh di timur dan barat laut luas. Dari
Tanah Melayu sampai ke timur Tanah Gurun.
"Aku perlu seorang Mahapatih di Kerajaan Majapahit ini,
yang akan membangun bumi Majapahit ini lebih besar
dari Kotaraja Singosari, membangun istana Majapahit
lebih megah dan lebih indah dari istana Singosari.
Menjadi tangan dan kakiku, juga menjadi kepalaku
menemani membangun sebuah Nagari besar di atas
Kerajaan Majapahit Raya. Aku meminta Ki Sandikala
bersedia mengabdi kepadaku sebagai seorang
Mahapatih di Kerajaan Majapahit ini", berkata Raden
638 Wijaya sambil memandang kearah Ki Sandikala berharap
penuh agar orang tua itu bersedia membantunya,
menjadi Mahapatih nya. "Sabda Paduka Sri Baginda Raja Kertarajasa
Jayawardana adalah sebuah titah, semoga hamba tidak
mengecewakan Paduka", berkata Ki Sandikala sambil
merangkapkan kedua tangannya diatas dada sebagai
tanda kesediaannya. "Aku perlu dua orang pejabat perdagangan di barat dan
timur pelayaran perdagangan Majapahit, kupercayakan
kepada Argalanang dan paman Kebo Arema "
"Semoga hamba dapat menjalani titah Paduka", berkata
Argalanang dan Kebo Arema bersamaan.
Kembali suasana di pendapa itu menjadi hening.
Beberapa orang terlihat menahan nafasnya, tegang.
"Aku perlu seorang duta perdagangan di Balidwipa dan
sekitarnya sampai ke Sumbawa, kutunjuk Ranggalawe
untuk melaksanakan tugas itu", berkata Raden Wijaya
kepada Ranggalawe. "Semoga hamba dapat melaksanakan titah paduka",
berkata Ranggalawe penuh penghormatan.
"Kutunjuk Paman Putut Prastawa untuk mengatur urusan
dalam rumah tangga istana", berkata raden Wijaya
kepada Putut Prastawa. "Hamba hanya seorang putut yang biasa mengurus
sebuah padepokan kecil, semoga hamba dapat
melaksakan titah paduka", berkata Putut Prastawa sambil
merangkapkan kedua tangannya di dada sebagai tanda
menerima tugas dan tanggung jawab itu.
"Aku perlu seorang panglima angkatan darat dan laut
yang kuat, kupercayakan pucuk pimpinannya kepada
639 senapati Mahesa Pukat untuk menjadi seorang
Tumenggung yang mengendalikan kekuatan di darat dan
lautan Majapahit", berkata Raden Wijaya kepada
Senapati Mahesa Pukat, seorang yang sangat setia pada
masa kekuasaan Raja Kertanegara yang diharapkan
juga dapat setia dibawah kerajaan Majapahit Raya.
"Keberhasilan perjuangan kita tidak lepas dari para
petugas telik sandi selama ini. Untuk itu kupercayakan
pucuk pimpinan para petugas sandi itu kepada Gajah
Pagon yang selama ini telah dapat menguasai jaringan
para telik sandi itu dengan baik", berkata raden Wijaya
memandang kearah Gajah Pagon.
Terlihat semua mata di atas pendapa itu telah beralih
kearah Gajah Pagon yang tidak berkata-kata apapun,
mereka semua melihat dengan penuh ketegangan,
melihat Gajah Pagon menarik nafas dalam-dalam seperti
tengah menahan sebuah beban yang begitu berat.
Semua mata masih nampak penuh ketegangan ketika
Gajah Pagon mengangkat kepalanya sambil melepaskan
nafasnya dalam-dalam. "Ampun tuanku Paduka, bukan maksud hamba menolak
budi jasa anugerah jabatan yang tuanku Paduka
percayakan kepada hamba. Sudah banyak peperangan
yang hamba jalani sebagai prajurit Singosari dan sebagai
prajurit di bawah tuanku Paduka. Ijinkanlah hamba untuk
kembali ke Tanah Pandakan, hamba hanya ingin
mengabdi disana menggantikan kedudukan ayahanda
kami yang sudah tua sebagai seorang ketua Padepokan
Pandakan, sekaligus menjadi seorang petani disana",
berkata Gajah Pagon sambil merangkapkan kedua
tangannya. "Aku tidak akan memaksa kehendakku, juga kebulatan
tekadmu untuk kembali ke tanah Pandakan wahai
640 saudaraku. Demi kesetiaanmu kepada perjuangan
dimasa-masa penuh kepahitan, aku akan memberikanmu
Tanah Pandakan sebagai sebuah Tanah Perdikan",
berkata Raden Wijaya tidak merasa tersinggung atas
tolakan Gajah Pagon, bahkan dengan penuh ketulusan
hati memberikannya sebuah tanah perdikan.
"Budi Paduka tidak akan dapat kulupakan", berkata
Gajah Pagon penuh rasa terima kasih.
Diam-diam Mahesa Amping mengakui jiwa besar
kepemimpinan Raden Wijaya yang begitu cepat dan
tanggap memberikan sebuah keputusan. Pemberian
Tanah Perdikan kepada Gajah Pagon adalah perluasan
kekuasaan dan kedaulatan Majapahit khususnya di


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanah Perdikan Pandakan. "Raden Wijaya telah menjadi
seorang pemimpin yang sebenarnya", berkata Mahesa
Amping dalam hati. Sementara itu Mahesa Amping merasa iri melihat
kebulatan tekad Gajah Pagon, terbayang sebuah
keinginan yang selama ini selalu menjadi mimpimimpinya, hanya sebuah mimpi menjadi seorang petani,
jauh dari segala hiruk pikuk peperangan dan
kekuasaan."Apakah aku dapat berkata sesuai dengan
keinginanku sebagaimana Gajah Pagon ?", berkata
Mahesa Amping dalam hati.
Suasana di pendapa itu seketika menjadi hening, semua
orang diatas pendapa itu sepertinya menunggu titah dari
Raden Wijaya. "Aku yakin bahwa meskipun Pamandaku Jayakatwang
telah merestui keberadaan Kerajaan Majapahit, masih
banyak orang di Kotaraja Kediri yang masih bermimpi
membangun kembali kekuasaan Kediri. Untuk itulah aku
memerlukan seseorang yang dapat dipercaya 641 mendinginkan suasana disana, merekatkan kembali hati
mereka yang telah retak untuk bersatu membangun
puing-puing kehancuran di Kotaraja Kediri. Untuk tugas
seperti itu kupercayakan sepenuhnya kepada saudaraku
Senapati Mahesa Amping, aku akan mengangkatnya
sebagai patih di Kerajaan Kediri", berkata Raden Wijaya
sambil memandang kearah Senapati Mahesa Amping.
Terlihat Senapati Mahesa Amping tidak langsung
menjawab, begitu berat hatinya untuk berkata apa yang
ada dalam pikirannya selama ini.
Dan Senapati Mahesa Amping memang tidak sekuat
Gajah Pagon, sudah terganjal didalam hatinya oleh
sebuah janji untuk mengabdi sepanjang hidupnya
kepada Raden Wijaya sebagaimana telah diucapkan
ikrar itu ketika dirinya mendapatkan kembang Wijaya
Kusuma yang dipersembahkan kepada Raden Wijaya,
sahabatnya yang telah mengikat diri sebagai seorang
saudara. Dan semua mata diatas pendapa itu masih tertuju
kepada senapati muda itu, seorang senapati muda yang
telah mempunyai kesaktian begitu tinggi, seorang
pemuda kepercayaan Raden Wijaya yang selama ini
diakui kesetiannya. "Begitu besar kepercayaan paduka kepada hamba,
sehingga hamba tidak kuasa menolaknya. Semoga
hamba dapat melaksanakan amanat kepercayaan itu
dengan sebaik-baiknya", hanya itu yang keluar dari mulut
Senapati Mahesa Amping, tidak perkataan lain yang juga
sudah ada didalam pikirannya, sebuah kehendak lain
yang selama ini menjadi mimpi-mimpinya, mimpi untuk
menjadi seorang petani biasa, jauh dari lingkaran
kekuasaan di sebuah tempat yang tenang, di sebuah
tempat yang damai menghabisi masa tuanya.
642 "Terima kasih atas kesediaan kalian, terima kasih atas
segala kesetiaan kalian berjuang di sampingku
merasakan segala pahit dan kegetiran hidup dalam
segala peperangan kita. Pekan depan aku akan siapkan
kekancingan atas pengukuhan kalian ", berkata Raden
Wijaya penuh rasa terima kasih bahwa semua yang ada
diatas pendapa itu menerima semua titahnya.
Demikianlah, sebagaimana yang dikatakan oleh Raden
Wijaya, masih di bulan Kartika di tahun itu telah
dilaksanakan sebuah upacara besar diatas alun-alun,
sebuah pengukuhan para pejabat istana dan juga
pemberian hadiah kepada para sahabatnya atas
kesetiaan mereka membantu perjuangannya mendirikan
Kerajaan Majapahit. Sekaligus dalam upacara kebesaran itu dilangsungkan
juga sebuah perayaan yang cukup meriah karena Raden
Wijaya telah menyunting Putri Gayatri sebagai seorang
permaisuri Raja. Sebagaimana di hari upacara Abhiseka Raja Majapahit,
kemeriahan di atas alun-alun dalam upacara
pengukuhan pejabat istana serta upacara perayaan
pernikahan Raden Wijaya itu juga sama meriahnya
karena dihadiri juga oleh para undangan dari berbagai
kalangan, para utusan kerajaan yang mengakui
kedaulatan Majapahit, para bangsawan, para brahmana,
pemuka agama dan para ketua padepokan dari berbagai
daerah. Dan semua yang ada di bumi Majapahit seperti kembali
merayakan kemenangan mereka, menyambut kemeriahan di alun-alun dengan suasana penuh suka
cita kebahagiaan. Namun ketika semua orang merayakan upacara di alun643
alun dengan penuh suka cita. Ada seorang wanita yang
merasa kecewa, terutama dengan pengangkatan Putri
Gayatri sebagai seorang permaisuri Raja.
"Ayu Dara Petak adalah istri pertama dari Paduka Raja
Kertarajasa, seharusnya Ayu Dara Petak tidak menerima
keputusan itu", berkata Dara Jingga kepada kakak
kandungnya Dara Petak. "Bila ditanya siapakah manusia yang paling sakit
menerima keputusan itu ", itulah aku. Ketika ditanya
adakah wanita yang rela cintanya dibagi ", pasti aku
wanita pertama itu yang menolaknya. Tapi semua itu
perasaan itu kukubur rapat-rapat, semua perasaan sakit
itu telah kulupakan", berkata Dara Petak dengan derai air
mata penuh kesedihan. "lalu apa yang membuat Ayu Dara Petak bertahan ?",
bertanya Dara Jingga kepada Dara Jingga
"Semua demi Jayanagara, putraku", berkata Dara Petak
perlahan. "Paduka Raja Kertarajasa telah berjanji untuk
mengangkat Jayanagara sebagai putra Mahkota",
berkata kembali Dara Petak.
Mendengar perkataan Dara Petak, terlihat Dara Jingga
tidak bertanya lagi. Nampaknya dapat menerima
pandangan kakaknya Dara Petak yang dengan ikhlas
menerima dirinya hanya sebagai seorang istri biasa,
bukan sebagai seorang permaisuri raja.
"Tapi bagaimana dengan sikap Putri Gayatri sendiri,
apakah dirinya akan menerima seorang putra mahkota
yang bukan dari rahimnya sendiri ?", bertanya Dara
Jingga "janji Raja Kertarajasa adalah sebuah janji yang 644 kupercaya. Dan aku yakin Baginda adalah seorang
pemegang janji", berkata Dara Petak menjawab
pertanyaan dan keraguan Dara Jingga.
"Semoga Baginda Raja Kertarajasa dapat memenuhi
janjinya", berkata Dara Jingga kepada Dara Petak.
"Kapan adik Dara Jingga berangkat ke Kotaraja Kediri ",
bertanya Dara Petak sepertinya ingin mengalihkan
pembicaraan yang lain, seperti ingin melepas perasaan
hatinya sendiri sebagaimana seorang wanita pada
umumnya yang tidak rela dibagi cintanya.
"Dalam waktu dekat ini kami akan berangkat", berkata
Dara Jingga menatap dara Jingga seperti mengetahui
apa yang ada dalam hati dan perasaan kakaknya itu.
"Aku akan merindukan kalian", berkata Dara Petak
dengan sebuah senyum yang dipaksakan.
"Aku juga akan merindukan Ayu Dara Petak ", berkata
Dara Jingga sambil memeluk kakaknya merasa seakanakan mereka akan berpisah jauh hari itu juga.
Dan bumi pun terus berputar meniti jembatan waktu, hari
dan bulan. Dan tidak terasa bahwa lima tahun sudah
berlalu. Sudah lima kali dilaksanakan hari Raya
Galungan di Kotaraja Majapahit.
Dan suasana diatas bumi Majapahit sudah tidak seperti
lima tahun yang lalu, semua telah berubah seiring waktu
berjalan. Bumi Majapahit bukan lagi sebuah tempat
tertutup persembunyian sebuah kekuatan para ksatria di
hutan Maja, bumi Majapahit sekarang telah terbuka
menjadi sebuah Kotaraja yang sangat ramai dikunjungi
para saudagar dari segala penjuru dunia. Mahapatih
Sandikala telah merubah istana Majapahit menjadi lebih
indah dan lebih megah dari istana yang pernah ada di
645 jamannya. Sepanjang jalan utama Kotaraja Majapahit setiap hari
begitu ramai dipenuhi pedati para saudagar membawa
barang dagangannya, juga kereta kencana milik para
bangsawan dan para pembesar Majapahit hilir mudik
melewati deretan gedung-gedung rumah berpilar tinggi
dari kayu unggulan berukir begitu elok menambah
kecantikan dan keasrian wajah Kotaraja Majapahit
seperti wajah gadis-gadis belasan yang tersenyum
manja. Begitu elok suasana kehidupan dan keramaian
Kotaraja Majapahit pada saat itu.
Dan pagi itu adalah hari manis Galungan, satu hari
setelah hari Raya Galungan dimana para warga Kotaraja
tengah melaksanakan darma santi dengan melaksanakan anjangsana saling mengunjungi sesama
keluarga, saudara dan kerabat terdekat.
Dan malam itu diatas Tanah Ujung Galuh, terdengar
suara seruling yang merdu terdengar sayup mendayu
dayu. Ternyata suara seruling itu berasal dari sebuah puri yang
indah diatas sebuah tanah gumuk di Tanah ujung Galuh,
puri tempat kediaman Jayakatwang dan istrinya Turuk
Bali. Apakah Jayakatwang yang meniup suara seruling itu ",
ternyata bukan Jayakatwang, tapi seorang pemuda yang
sangat rupawan diatas pendapa disaksikan oleh dua
orang lelaki dan seorang wanita Puri Jayakatwang.
Wajah pemuda itu memang tidak seperti wajah para
pemuda pribumi kebanyakan, terlihat dari bola matanya
yang lebih lebar menyempit di ujungnya. Juga kulit
pemuda itu lebih bersih dan lebih kuning dari seorang
putri bangsawan pribumi sekalipun.
646 Ternyata pemuda itu adalah Gajahmada.
Setelah penobatan senapati Mahesa Amping menjadi
patih di Kediri, maka patih Mahesa Amping telah
memboyong keluarganya, Dara Jingga dan Adityawarman ke Kotaraja Kediri.
Sepeninggal Patih Mahesa Amping ditempat tugas
barunya di Kotaraja Kediri, suasana di Pasanggrahan
Mahesa Amping menjadi lebih sepi lagi karena Nyi
Nariratih harus banyak diluar rumah karena tugas
kemanusiaannya membangun dan membina sebuah
pasukan khusus para wanita di bumi Majapahit, sebuah
pasukan srikandi Majapahit yang sangat kuat dan sangat
disegani karena kekuatan mereka dapat diandalkan
sebagaimana para prajurit lelaki di kesatuannya.
Sementara itu Putu Risang telah diangkat sebagai guru
pribadi Pangeran Jayanagara dan tinggal di Istana
Majapahit bersama istrinya Endang Trinil, seorang gadis
cantik jelita putri kemenakan Mahapatih Sandikala.
Dan selama lima tahun itu Pangeran Jayanagara dan
Gajahmada telah terjalin menjadi dua orang sahabat
yang sangat sukar dipisahkan. Mereka berlatih bersama
dibawah pengawasan dan pembinaan Putu Risang yang
telah diangkat secara resmi menjadi Guru di Istana.
Berkat gemblengan Putu Risang, kedua pemuda itu telah
memiliki kemampuan kanuragan yang sangat hebat
dibandingkan dengan pemuda seusianya.
Dan kedekatan Pendeta Gunakara dengan Jayakatwang
telah membawa Gajahmada untuk bersama-sama tinggal
di Puri Tanah Ujung Galuh itu.
Hari-hari dijalani Gajahmada hidup bersama di kediaman
Puri Jayakatwang. Dan sepasang suami istri mantan
penguasa Tanah Jawa itu merasa gembira dengan
647 kehadiran Pendeta Gunakara dan Gajahmada di puri
mereka di tanah Ujung Galuh.
"kamu sudah dapat membawakan suara seruling
tembang hina kelana dengan baik, sebuah tembang
gubahan aku dan Prabu Guru Darmasiksa", berkata
Jayakatwang kepada Gajahmada yang sudah mengakhiri
suara serulingnya. "Terima kasih, kepandaian pamanda jauh melebihi suara
seruling ananda", berkata Gajahmada dengan penuh
penghormatan. "Sayang tidak ada seorang pun disini yang dapat
memainkan sebuah kecapi dengan penuh perasaan hati
selain Prabu Guru Darmasiksa", berkata Jayakatwang
mengingat kembali perjumpaan mereka dengan Prabu
Guru Darmasiksa beberapa tahun yang telah lewat yang
telah mengikat mereka menjadi dua orang sahabat dan
bersama mencipta sebuah tembang yang mereka beri


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama sebagai tembang kenangan hina kelana
sebagaimana telah disuarakan lewat sebuah seruling
oleh Gajahmada. "Bukankah tuan Jayakatwang telah berjanji untuk datang
mengunjungi Prabu Guru Darmasiksa di Tanah
Pasundan ?", berkata Pendeta Gunakara kepada
Jayakatwang. "Benar, kami telah berjanji untuk saling mengunjungi",
berkata Jayakatwang kepada Pendeta Gunakara.
"Pangeran Jayanagara pernah juga
kepadaku untuk suatu waktu datang
leluhurnya, Tanah Pasundan", berkata
kepada Jayakatwang mengenai keinginan
sahabatnya, Pangeran Jayanagara.
mengatakan ke Tanah Gajahmada yang sama 648 "Kita dapat mengajak Pangeran Jayanagara datang ke
Tanah Pasundan", berkata Turuk Bali ikut berbicara
diatas pendapa Puri Jayakatwang.
"Besok aku akan menghadap kepada Baginda Raja
Kertarajasa meminta ijin darinya untuk datang
berkunjung ke Tanah Pasundan", berkata Jayakatwang
penuh rasa kegembiraan. "Semoga Paduka Raja berkenan juga melepas Pangeran
Jayanagara ikut bersama kita", berkata Gajahmada
menyambung perkataan Jayakatwang.
"Semoga Nyi Nariratih dapat juga mengijinkan dirimu
pergi jauh ke Tanah Pasundan", berkata Pendeta
Gunakara mengingatkan Gajahmada untuk meminta ijin
kepada ibundanya, Nyi Nariratih.
Pagi itu matahari telah bersinar begitu cerah, terlihat
empat orang telah memasuki gerbang timur Kotaraja
Majapahit. Mereka adalah Jayakatwang, Turuk Bali, Gajahmada dan
Pendeta Gunakara yang akan berkunjung ke Istana
Majapahit, disamping sebuah kebiasaan sebagai sebuah
keluarga setelah hari raya Galungan untuk saling datang
berkunjung, mereka juga berniat untuk minta ijin kepada
Raja Kertarajasa untuk berangkat ke Tanah Pasundan.
"Mahapatih Sandikala telah merancang Kotaraja
Majapahit dengan baik", berkata Jayakatwang ketika
mereka telah memasuki jalan utama Kotaraja Majapahit
melihat beberapa bangunan rumah yang berjajar begitu
rapih mengikuti garis sepadan jalan.
"Lihatlah, hampir setiap rumah meletakkan gentong air di
depan regol pintu mereka", berkata Pendeta Gunakara.
"Aku seperti iri melihat jiwa kerukunan orang-orang di
649 Kotaraja Majapahit ini. Gentong air itu sebagai pertanda
keterbukaan mereka kepada siapapun yang datang dan
lewat didepan rumah mereka.
Sebuah pemandangan baru yang tidak ada di Kotaraja
Kediri ketika aku masih berkuasa", berkata Jayakatwang
memuji suasana kerukunan hidup di Kotaraja Majapahit.
Semakin mereka masuk ke pusat Kotaraja Majapahit,
keadaan semakin ramai oleh hiruk pikuk beberapa pedati
para pedagang dan para pejalan kaki, mungkin hendak
ke pasar atau berkunjung seperti mereka kepada kerabat
atau saudaranya di hari manis Galungan itu.
"Aku akan mengantar Mahesa Muksa bertemu dengan
ibundanya Nyi Nariratih, apakah tuan Jayakatwang ingin
singgah juga?", berkata Pendeta Gunakara ketika
mereka telah berada di muka sebuah barak prajurit.
"Kami berdua akan singgah di barak ini, tapi setelah
kunjungan kami ke istana", berkata Jayakatwang kepada
Pendeta Gunakara meminta untuk menunggu mereka
berdua di barak prajurit itu.
Demikianlah, mereka berempat berpisah di muka barak
prajurit itu, Jayakatwang dan istrinya akan ke istana
menemui Raja Kertarajasa. Dan Pendeta Gunakara
bersama Gajahmada telah memasuki gerbang regol
barak prajurit. Sebuah barak prajurit khusus pasukan
Srikandi, sebuah nama pasukan prajurit wanita yang
hanya ada di Kerajaan Majapahit pada jaman itu.
"Aku akan memanggil Nyi Rangga Nariratih", berkata
seorang prajurit wanita yang sudah mengenal
Gajahmada putra dari pimpinan mereka Nyi Rangga
Nariratih. "Terima kasih", berkata Pendeta Gunakara kepada
650 prajurit wanita itu di sebuah ruangan yang khusus untuk
menerima para tamu di barak prajurit Srikandi itu.
Prajurit wanita itu pun sudah menghilang di balik pintu
ruang khusus tamu itu. Maka tidak lama berselang, terlihat Nyi Rangga Nariratih
telah datang menemui mereka berdua.
"Baru saja aku akan ke Tanah Ujung Galuh untuk
mengunjungi kalian", berkata Nyi Rangga Nariratih
kepada Gajahmada dan Pendeta Gunakara.
"Waktu kami lebih senggang daripada Nyi Rangga
Nariratih", berkata Pendeta Gunakara kepada Nyi
Rangga Nariratih yang sejak tinggal di Puri Tanah Ujung
Galuh jarang sekali bertemu muka. Sementara
Gajahmada hampir setiap hari menyempatkan waktunya
mengunjungi ibundanya di barak itu setelah berlatih di
sanggar istana bersama Pangeran Jayanagara.
Akhirnya setelah menanyakan keadaan dan keselamatan
masing-masing, pendeta Gunakara menyampaikan
rencana mereka berkunjung ke Tanah Pasundan.
"Perjalanan ke Tanah Pasundan sangat jauh, aku akan
merindukan kalian", berkata Nyi Rangga Nariratih.
"Sebuah perjalanan baru dari Mahesa Muksa mengenal
dunia yang lebih luas", berkata Pendeta Gunakara.
"Kutitipkan putraku ini yang nakal", berkata Nyi Nariratih
sambil tersenyum kepada Pendeta Gunakara yang
diketahui begitu sayangnya pendeta itu kepada
Gajahmada sebagaimana dirinya. Itulah sebabnya tidak
ada kekhawatiran apapun melepas Gajahmada pergi ke
Tanah Pasundan agar dapat menambah wawasan dan
pengalaman diri bagi masa depannya sendiri.
Diam-diam Nyi Nariratih merasa bersyukur bahwa
651 putranya berada dilingkungan orang-orang hebat.
Mendapat bimbingan olah kanuragan dari seorang guru
yang hebat, Putu Risang bersama Pangeran
Jayanagara. Mendapat bimbingan olah kejiwaan dari
seorang pendeta Gunakara. Juga selama tinggal di
Tanah Ujung Galuh telah banyak mengenal pengetahuan
tentang ketata negaraan lewat seorang Jayakatwang,
seorang Maharaja Besar yang pernah berkuasa di Tanah
Jawa itu. "Bawalah bersamamu senjata cakra ini, semoga hati
ibundamu selalu ada dalam ingatanmu", berkata Nyi
Rangga Nariratih kepada Gajahmada sambil menyerahkan sebuah cakra kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada menerima senjata cakra dari tangan
ibundanya, sebuah senjata lingkaran bergerigi dengan
sebuah tangkai untuk memegangnya. Bukan main
gembiranya hati Gajahmada, ketika berlatih di sanggar
istana telah banyak mengenal berbagai jenis senjata.
Dan senjata cakra inilah yang dianggapnya sangat
sempurna, seperti penggabungan dari berbagai jenis
senjata. Namun senjata cakra milik Nyi Rangga Nariratih
tidak terlalu besar, jadi dapat disembunyikan di balik
pakaiannya. "Terima kasih ibunda", berkata Gajahmada penuh rasa
terimakasih. Sebagaimana seorang ibu kepada anaknya yang akan
pergi jauh, banyak pesan dan nasehat diberikan Nyi
Rangga Nariratih kepada putranya Gajahmada.
Dan suasana ruang tamu di barak pasukan Srikandi
terasa menjadi lebih ramai lagi manakala Jayakatwang
dan istrinya Turuk Bali telah datang.
"Baginda Raja Kertarajasa telah berkenan mengijinkan
652 keberangkatan kita ke Tanah Pasundan, bahkan telah
mengusulkan putranya Pangeran Jayanagara dan Putu
Risang untuk ikut bersama", berkata Jayakatwang
memberi kabar tentang pertemuan mereka di istana
dengan Raja Kertarajasa. Dan pagi itu awan putih telah memenuhi cakrawala langit
biru seperti kapas di hamparan permadani biru yang luas
berarak ditiup angin timur. Terlihat tiga ekor elang laut
melintas terbang menuju laut lepas di atas tiang-tiang
layar perahu dagang yang tengah merapat di Dermaga
Bandar Tanah Ujung Galuh.
Tidak begitu jauh dari Bandar Tanah Ujung terlihat
sebuah puri yang berdiri begitu indah seperti sebuah
menara api bila dilihat dari arah laut lepas. Itulah puri
Jayakatwang yang menjadi tempat kediamannya
bersama istri tercintanya Turuk Bali. Di puri indah itu pula
Jayakatwang mengisi hari tuanya sebagai seorang
begawan yang melahirkan banyak tembang jiwa, menulis
banyak karya sastra jiwa yang indah bersama istri
tercintanya yang setia menemani dan mendampinginya.
Dan pagi itu terlihat dua orang lelaki telah memasuki
halaman muka puri itu, ternyata adalah Pangeran
Jayanagara bersama gurunya, Putu Risang.
"Keindahan pagi ini menjadi sempurna dengan
kedatangan kalian berdua", berkata Jayakatwang
menyambut kedatangan Pangeran Jayanagara dan Putu
Risang ketika mereka tengah naik diatas tangga
pendapa puri itu. "Semoga darma kita langgeng sampai datang Hari
Galungan tahun depan", berkata Putu Risang mewakili
Pangeran Jayanagara ketika telah berada diatas
pendapa puri Jayakatwang.
653 Gajahmada dan Pendeta Gunakara yang berada diatas
pendapa itu juga menyambut kedatangan Pangeran
Jayanagara dan Putu Risang.
"Baginda Raja Kertarajasa telah meminta Rakyan
Argalanang mendampingi pelayaran kita sampai ke
bandar Muara Jati", berkata Putu Risang mengawali
pembicaraan mereka yang akan berangkat besok menuju
Tanah Pasundan. "Begitu besar perhatian Baginda Raja, sampai mengutus
seorang pejabat istana", berkata Jayakatwang penuh
kegembiraan mendengar perhatian Raja Kertarajasa
begitu besar menyiapkan keberangkatan mereka ke
Tanah Pasundan. "Keberangkatan kita adalah kunjungan kekeluargaan
antara keluarga Majapahit dan keluarga Pasundan. Itulah
sebabnya Baginda Raja Kertarajasa telah menyiapkan
segalanya, memastikan kita akan sampai di tujuan
dengan selamat", berkata Putu Risang
"Benar, keluarga Majapahit dan Keluarga Pasundan
adalah dua suadara penguasa di Tanah Jawa ini. Tali
persaudaraan itu harus terus terjalin, saling menjaga,
saling asah, asih dan asuh, itulah pesan Eyang buyut
Prabu Guru Darmasiksa kepada kita", berkata Pangeran
Jayanagara. "Gusti Yang Maha Agung telah mengaruniakan
keturunan Prabu Guru Darmasiksa seperti sang surya
yang bersinar dari timur dan barat. Mengikat seperti tali
sutra yang halus lewat pernikahan putra putrinya,
berbesan dengan Raja tanah Melayu dan Raja
Singasari", berkata Jayakatwang
"Mengikat tali perdamaian, itulah cita-cita luhur Prabu
Guru Darmasiksa untuk semua keturunannya", berkata
654 pendeta Gunakara setelah lama berdiam diri."Sebuah
cita-cita yang begitu mulia yang harus kita jaga dan
lestarikan bersama", berkata kembali pendeta Gunakara.
"Damai di hati, damai di bumi", berkata Jayakatwang
perlahan. (TAMAT) bersambung ke KISAH DUA NAGA DI PASUNDAN
655 Kisah Bangsa Petualang 1 Petualangan Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Bentrok Rimba Persilatan 1

Cari Blog Ini