Ceritasilat Novel Online

Tapak Tapak Jejak Gajahmada 8

Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Bagian 8


bernama Mandaru. "Pasti Ki Mandaru pernah mengenal nama Kera Sakti
Penjaga Nagasasra, anak muda inilah yang bersamanya
di hutan Bukit Cemara itu", berkata Gajah Pagon kepada
Ki Mandaru. "Pantas, sudah kuduga", berkata
mempercayai ucapan Gajah Pagon.
Ki Mandaru Demikianlah, Gajah Pagon dan Putu Risang sudah
berada di kediaman Ki Mandaru, saudagar yang kaya
raya yang ternyata adalah seorang petugas telik sandi,
kaki tangan Raden Wijaya sendiri. Sementara
keberadaan lumbung keempat itu benar-benar tidak
dicurigai oleh siapapun. Kebanyakan orang mengira
semua bahan pangan yang banyak itu adalah barang
dagang milik saudagar Mandaru untuk diperdagangkan
kembali. Bahkan banyak orang tidak menyangka bahwa
hampir seluruh anak buah Ki Mandaru yang berada di
rumahnya adalah para prajurit yang sengaja ditempatkan
menjaga lumbung ke empat itu. Dan Saudagar Mandaru
dapat memainkan peran penyamarannya dengan sangat
pandai, sebagai seorang saudagar yang sangat
dermawan sehingga sangat disukai di lingkungannya
sendiri di Kademangan Ngrangkah Pawon.
524 "Pasukan darat Raden Wijaya akan menggempur Kediri
dari sebelah timur, namun kita tidak tahu berapa hari
peperangan itu akan berakhir", berkata Gajah Pagon
kepada Ki Mandaru dan Putu Risang diatas pendapa
kediaman Ki Mandaru di malam itu.
"Dua tiga hari ini aku sudah memesan lebih banyak lagi
persediaan", berkata Ki Mandaru memastikan dapat
menyediakan lumbung perang dengan baik.
"Perhitunganku, besok pasukan darat Raden Wijaya
sudah mulai keluar dari Bumi Majapahit", berkata Gajah
Pagon kepada Ki Mandaru dan Putu Risang.
Mendengar perkataan Gajah Pagon membuat pikiran
Putu Risang melambung jauh kebelakang disaat dirinya
bertemu dengan Ratu Turuk Bali menyampaikan sebuah
pesan rahasia, bulan purnama kedua. Pesan itulah yang
telah disampaikan oleh Putu Risang kepada Ratu Turuk
Bali agar menyingkir jauh dari Kotaraja Kediri jauh
sebelum bulan purnama kedua itu.
"Apakah penguasa Kediri akan menyambut kedatangan
pasukan Raden Wijaya jauh dari Kotaraja, itu tidak dapat
dipastikan", berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang
dan Ki Mandaru. "Perhitunganku mereka hanya akan menunggu pasukan
Raden Wijaya di batas kotaraja, mereka pasti
meremehkan pasukan Raden Wijaya yang hanya
membawa tiga ribu prajurit. Sebuah pasukan yang kecil
dibandingkan kekuatan Kediri saat ini", berkata Ki
Mandaru menyampaikan pemikirannya.
"Perhitunganmu sangat jeli, seperti itulah Raden Wijaya
akan memancing kekuatan Kediri keluar dari sarangnya",
berkata Gajah Pagon membenarkan perhitungan Ki
Mandaru. 525 Sementara itu Putu Risang tidak berkata apapun,
didalam benaknya terbayang sebuah amuk peperangan
yang hebat antara pasukan Kediri dan pasukan Raden
Wijaya di sebuah tempat terbuka.
Sementara itu jauh dari Ngrangkah Pawon, di Bumi
Majapahit sudah sejak pagi telah berdatangan para
prajurit dari Benteng Tanah Ujung Galuh yang akan
berangkat besok menuju peperangan mereka, peperangan Raden Wijaya untuk merebut kembali tahta
keluarganya dari tangan Raja Jayakatwang yang saat itu
tengah bertahta di Kotaraja Kediri.
Hari telah jatuh malam diatas Bumi Majapahit, namun
hati dan perasaan beberapa prajurit muda telah
melambung jauh ke dalam sebuah kancah peperangan
membuat mereka susah sekali untuk memejamkan
matanya. Sementara beberapa prajurit lainnya sudah
terlihat tertidur pulas, seperti tidak akan menghadapi
apapun. Mungkin hati mereka sudah begitu keras
membatu, peperangan bagi mereka adalah sebuah tugas
kerja biasa. Sementara urusan hidup dan mati sudah
menjadi garis dari yang Maha Agung, dimanapun berada
tidak ada yang dapat lari dari ajalnya. Begitulah buah
pikiran para prajurit yang sudah terlihat pulas tertidur
diantara para prajurit muda yang belum juga dapat
tertidur, masih memikirkan hari esok, hari peperangan
mereka. Dan pagi itu adalah hari keempat menjelang purnama
kedua. "Suara Bende Ki Prabu Segara", berkata seorang prajurit
muda kepada kawannya ketika mendengar suara bende
berdengung diatas bumi Majapahit sebagai tanda agar
seluruh prajurit untuk segera mempersiapkan dirinya.
526 Maka di pagi itu sudah terlihat kesibukan beberapa
prajurit di kesatuan mereka masing-masing tengah
mempersiapkan diri untuk membawa semua perlengkapan perang mereka.
Dan tidak lama berselang, kembali terdengar suara
bende Ki Prabu Segara berdengung lebih panjang lagi
dari yang pertama terdengar sebagai pertanda semua
prajurit harus segera berkumpul di sebuah tempat yang
telah ditentukan, di sebuah tanah lapang alun-alun Bumi
Majapahit. Sementara itu di sebuah tempat diluar alun-alun terlihat
seorang gadis memandang kearah sekumpulan prajurit
yang semakin lama memenuhi tanah lapang alun-alun
itu. "Pahlawan hatiku tidak ada disana, sudah jauh di sebuah
tempat. Adakah sedikit waktunya, sedikit pikirannya
mengingat diriku?", berkata gadis itu yang ternyata
adalah Endang Trinil tengah memandang para prajurit
yang sudah hampir memenuhi tanah lapang tidak jauh
dari tempatnya berdiri. Lamunan Endang Trinil tentang pahlawan hatinya
perlahan kikis manakala didengarnya suara gemuruh
semangat para prajurit menyambut sapaan kemenangan
dari pemimpin besar mereka, Raden Wijaya yang dengan
penuh semangat menyampaikan kata pembukanya
mengantar keberangkatan para prajuritnya bersama
menuju peperangan mereka.
Bergetar hati dan perasaan Endang Trinil melihat sorak
sorai berkepanjangan dari para prajurit yang ditingkahi
dengan mengibarkan panji-panji serta umbul-umbul
bendera masing-masing kesatuan mereka. Endang Trinil
juga melihat sebuah bendera berwarna merah putih
527 dipegang bergandengan dengan setiap panji-panji
masing-masing kesatuan. Bendera merah putih itu
terlihat berkibar mewarnai tanah lapang itu seperti telah
membakar semangat dan hati para prajurit Raden Wijaya
di tanah lapang alun-alun bumi Majapahit.
"Prajurit Getih-getah", berkata Endang Trinil dalam hati
memandang penuh kekaguman.
Tersentak hati Endang Trinil manakala suara bende Ki
Prabu Segara kembali terdengar untuk ketiga kalinya.
Itulah sebuah tanda bagi tiga ribu prajurit Raden Wijaya
bergerak meninggalkan alun-alun Bumi Majapahit.
Begitulah, iring-iringan tiga ribu pasukan itu telah mulai
bergerak meninggalkan bumi Majapahit. Iring-iringan itu
seperti suara gemuruh meningkahi setiap jengkal tanah
yang mereka lalui. Langkah kaki setiap prajurit begitu
penuh semangat diantara kibar panji dan umbul-umbul
yang terlihat selalu berkibar ditiup angin segar dibawah
cahaya matahari yang baru merangkak menghangatkan
bumi pagi, menghangatkan jiwa dan hati para prajurit
yang terus berjalan. Terlihat di iring-iringan paling depan sebuah bendera
besar berkibar di pegang oleh seorang prajurit berkuda,
seorang prajurit penghubung memegang sebuah
bendera berlambang matahari besar dengan sebuah
lingkaran dalam bergambar seorang ksatria berbaju
perang. Itulah lambang surya Majapahit sebagai sebuah
tanda bahwa panglima perang mereka berdiri
disampingnya, Raden Wijaya.
Mahesa Amping, senapati muda perkasa itu terlihat
berkuda disebelah Raden Wijaya. Sorot sinar matanya
seperti sebuah telaga yang jernih tidak terlihat dasar
kedalamannya menandakan kedalaman tataran tingkat
528 ilmunya yang sudah begitu tinggi diatas puncak siapapun
pada jamannya. Sebentar-sebentar Raden Wijaya melirik kearah
sahabatnya itu, enggan untuk bertanya apa yang ada
dalam pikirannya. Namun diam-diam hati Raden Wijaya
merasa bangga memiliki seorang sahabat setia seperti
Mahesa Amping yang selama ini selalu mendampinginya
membangkitkan semangatnya untuk terus merajut
sebuah harapan perjuangan diri merebut kembali tahta
mahkota keluarganya, tahta mahkota keluarga Tumapel.
"Pasukan gula kelapa", berkata seorang tua kepada
putranya dibalik pagar halaman rumahnya manakala
melihat iring-iringan pasukan Raden Wijaya melintas di
jalan padukuhan mereka. Demikianlah, iring-iringan itu telah melintasi beberapa
padukuhan, beberapa lembah dan bukit tanpa mengenal
lelah sepanjang hari. Baru ketika saat malam menjelang
pasukan besar itu beristirahat di sebuah titik
persinggahan yang sudah ditentukan, di sebuah lumbung
pangan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum
keberangkatan mereka. Hari ke hari pasukan Raden Wijaya seperti terus
melangkah menuju peperangan mereka dalam langkah
gemuruh semangat tak pernah sepi mengiringi derap
langkah kaki membelah padang ilalang, menusuk masuk
kepekatan hutan rimba dan membekasi bukit lembah
hijau seperti garis melintang memanjang yang terus
bergerak. Hingga akhirnya gerak langkah dan sorak semangat
pasukan raden Wijaya gaungnya sudah terdengar jauh
dari tempatnya. Suara gerak pasukan Raden Wijaya hari
itu sudah terdengar mengusik telinga para pejabat besar
529 para penguasa Kediri. Gaung gerak pasukan Raden
Wijaya hari itu sudah terdengar di ruang Maguntur Raya
Istana Raja Jayakatwang di Kotaraja Kediri.
"Tuanku Baginda Raja tidak perlu mengkhawatirkan
pasukan itu, Raden Wijaya hanya mampu membawa tiga
ribu pasukannya. Bukankah kita punya kekuatan dua kali
lipat dari mereka". Ijinkan hamba menghalau mereka
diluar Kotaraja Kediri", berkata seorang yang berwajah
hitam yang tidak lain adalah Patih Kebo Mundarang,
seorang patih kepercayaan Raja Jayakatwang yang
paling setia. Bagian 3 "Kuserahkan kepadamu empat ribu prajurit untuk dapat
menghalau mereka", berkata Raja Jayakatwang kepada
Patih Mundarang. "Titah Baginda Raja akan segera hamba laksanakan",
berkata Patih Kebo Mundarang penuh rasa hormat
menyambut titah sabda Rajanya itu.
Demikianlah, sebagaimana titah sabda Raja Jayakatwang, hari itu juga Patih Kebo Mundarang telah
memerintahkan para perwiranya mengumpulkan semua
prajurit sebanyak empat ribu orang yang akan
menyongsong pasukan Raden Wijaya di luar Kotaraja
Kediri. "Mereka pasukan Raden Wijaya bergerak dari sebelah
timur Kotaraja Kediri", berkata Patih Kebo Mundarang
kepada para perwiranya memberi arahan kemana arah
pasukannya akan bergerak menyongsong kehadiran
pasukan Raden Wijaya. Bersamaan dengan persiapan pasukan di Kotaraja
530 Kediri, pasukan Raden Wijaya sudah bergerak memasuki
lembah Gunung Kelud, sebentar lagi akan tiba di
persinggahan keempat mereka di Kademangan
Ngrangkah Pawon dimana telah disiapkan sebuah
lumbung besar guna memenuhi kebutuhan pangan para
prajurit. "Sebuah Kademangan yang cukup besar", berkata
Mahesa Amping kepada Raden Wijaya ketika di ujung
senja mereka tengah memasuki gerbang gapura
Kademangan Ngrangkah Pawon.
"Mereka telah bekerja dengan rapih", berkata Raden
Wijaya kepada Mahesa Amping di sebuah pendapa
sebuah rumah yang disediakan bagi mereka.
"Semoga Tuanku Raden Wijaya dan Tuan Senapati
dapat beristirahat", berkata seorang anak muda yang


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengantar Raden Wijaya dan Mahesa Amping ke rumah
itu yang tidak lain adalah Putu Risang adanya yang
bermaksud pamit diri untuk melaksanakan tugas lainnya.
"Terima kasih, singgahlah kemari setelah tugasmu
selesai, kami membutuhkan dirimu", berkata Raden
Wijaya kepada Putu Risang yang terlihat tengah
menuruni anak tangga pendapa rumah itu.
Tidak terasa malam sudah mulai larut diatas
Kademangan Ngrangkah Pawon yang telah dipenuhi
oleh tiga ribu pasukan Raden Wijaya.
Namun keberadaan mereka tidak merubah suasana di
Kademangan itu. Pasukan Raden Wijaya sepertinya tidak
ingin mengusik ketenangan para penduduk dengan
melakukan keonaran yang dapat meresahkan sebagaimana biasa dilakukan oleh mereka yang merasa
kuat menginjak kaum yang lemah warga biasa , para
kawula yang tidak mengerti apapun selain tugas rutin
531 sebagian dari mereka, bertani dan bercocok tanam untuk
menghidupi keluarga mereka.
"Malam ini hamba telah mendapat berita bahwa sebuah
pasukan besar telah bersiap menyongsong kehadiran
kita", berkata seorang pemuda yang tidak lain adalah
Gajah Pagon kepada Raden Wijaya dan Mahesa Amping
di pendapa rumah peristirahatan mereka.
"Kademangan ini sangat baik untuk lumbung kita, tapi
terlalu terbuka untuk sebagai sebuah benteng
pertahanan, apakah kamu sudah mendapatkan tempat
pilihan yang baik?", bertanya Raden Wijaya kepada
Gajah Pagon. "Di kaki bukit Kadungan, setengah hari perjalanan dari
sini", berkata Gajah Pagon.
Malam memang sudah semakin larut dalam gelapnya
memayungi bumi Kademangan Ngrangkah Pawon yang
berselimut udara dingin menusuk kulit. Namun Raden
Wijaya dan Mahesa Amping masih terus membicarakan
beberapa hal penting dikawani seorang petugas telik
sandi kepercayaan mereka, Gajah Pagon.
"Duduklah, kami memang sedang menunggumu",
berkata Raden Wijaya kepada Putu Risang yang sudah
terlihat naik ke pendapa rumah itu.
"Maaf, hamba sudah membuat tuanku menunggu",
berkata Putu Risang sambil duduk di sebelah gajah
Pagon. "Kamu pernah membawa pesan rahasiaku kepada Ratu
Turuk Bali, kuminta untuk kedua kalinya kepadamu untuk
menemui Ratu Turuk Bali dengan pesan yang sama agar
pergi menjauhi Kotaraja Kediri sebelum kami datang
menghancurkannya", berkata Raden Wijaya memberi
532 sebuah tugas kepada Putu Risang.
"Hamba akan segera melaksanakan perintah tuanku",
berkata Putu Risang penuh rasa hormat.
"Gajah Pagon akan menuntunmu agar dapat sampai di
pintu peristirahatan Ratu Turuk Bali", berkata Raden
Wijaya meminta Gajah Pagon mengantar Putu Risang
menembus Kotaraja Kediri.
"Hamba akan mengantarnya, sekalian melihat situasi
terakhir di Kotaraja Kediri", berkata Gajah Pagon
memastikan dirinya siap menyanggupi mengantar Putu
Risang menyampaikan pesan pribadi Raden Wijaya
kepada bibinya sendiri, Ratu Turuk Bali.
Demikianlah, pagi-pagi sekali Gajah Pagon bersama
Putu Risang sudah terlihat keluar dari Kademangan
Ngrangkah Pawon. Terlihat kuda-kuda yang mereka
tunggangi seperti terbang melintasi sebuah bulakan
panjang. Tidak lebih setengah hari perjalanan berkuda mereka
sudah mencapai sebuah padukuhan kecil tidak jauh dari
batas Kotaraja Kediri. Di sana mereka telah menitipkan
kuda-kuda mereka kepada seorang petugas telik sandi di
sebuah rumah di luar penglihatan banyak orang.
"Lebih aman berjalan kaki, jauh dari kecurigaan siapa
pun di saat semua mata memandang curiga kepada
siapa pun yang mendatangi Kotaraja Kediri", berkata
Gajah Pagon memberikan alasannya kepada Putu
Risang. "Kupercayai semua kepadamu, wahai sang penuntun",
berkata Putu Risang penuh senyum kepada Gajah
Pagon. Sebagaimana yang dikatakan oleh Putu Risang, Gajah
533 Pagon telah dapat membawa Putu Risang masuk ke
Kotaraja Kediri dengan aman. Mereka masuk tanpa
dicurigai oleh prajurit di gerbang kota sebelah timur,
karena mereka datang sebagai seorang pedagang yang
memikul sendiri beberapa barang tembikar.
"Kamu terlalu tampan untuk menjadi seorang pedagang
tembikar", berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang
ketika mereka telah melalui gerbang Kotaraja Kediri
tanpa dicurigai oleh siapa pun para prajurit yang hari itu
rangkap mengamati siapa pun yang sangat mencurigakan. Bukan main terperanjatnya Putu Risang ketiga di sebuah
tempat di sebuah rumah yang tidak asing lagi baginya
dan telah diperkenalkan oleh Gajah Pagon dengan
seorang lelaki yang juga pernah dikenalnya.
"Jadi selama ini kamu sudah mengetahui jati diriku?"
berkata Putu Risang kepada seorang lelaki dihadapannya yang tidak lain adalah Mabujang, seorang
yang dulu menyediakan rumahnya untuk disewakan itu.
"Maaf, tugasku dulu hanya diminta untuk membantumu
tanpa sepengetahuanmu", berkata Mabujang sambil
tersenyum. Demikianlah, malam itu Putu Risang dan gajah Pagon
menginap di rumah Mabujang yang ternyata adalah
seorang petugas telik sandi yang telah lama ditempatkan
di Kotaraja Kediri itu. Dan keesokan harinya mereka diam-diam telah
menyaksikan pasukan besar Kediri telah keluar dari
gerbang timur Kotaraja Kediri.
"Sebuah pasukan yang besar, lebih besar sedikit
dibandingkan pasukan Raden Wijaya", berkata Putu
534 Risang sambil mengamati pasukan besar Kediri yang
telah bergerak keluar dari Kotaraja Kediri.
"Mari kita kembali ke rumah Mabujang, ada seorang yang
akan kita temui di sana yang akan mengantarmu masuk
ke dalam istana", berkata Gajah Pagon mengajak Putu
Risang kembali ke rumah Mabujang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajah Pagon, di
rumah Mabujang telah menunggu mereka yang langsung
diperkenalkan oleh Gajah Pagon kepada Putu Risang.
"Ki Pakering adalah seorang pekatik istana, dialah yang
akan membawamu ke dalam istana", berkata Gajah
Pagon kepada Putu Risang memperkenalkan dirinya
kepada seorang lelaki yang sudah cukup berumur
bernama Ki Pakering, seorang telik sandi yang
menyamar sebagai seorang pekatik istana Kediri.
Diam-diam Putu Risang mengakui kekuatan jaringan
petugas telik sandi Raden Wijaya di Kotaraja Kediri.
"Tuanku Raden Wijaya telah mengintai lama di padang
perburuannya", berkata Putu Risang dalam hati.
"Aku akan membawamu masuk ke istana, kebetulan aku
tinggal di belakang istana", berkata Ki Pakering kepada
Putu Risang. Hari masih belum begitu petang di saat Ki Pakering
datang memasuki istana bersama Putu Risang.
"Siapa yang kamu bawa Ki Pakering", berkata seorang
prajurit penjaga ketika melihat Ki Pakering datang
bersama Putu Risang. "Kemenakan dari istriku, mudah-mudahan anak ini betah
menjadi seorang pekatik di istana ini", berkata Ki
Pakering yang sudah lama bekerja di dalam istana
sebagai seorang pekatik, sudah dikenal lama sebagai
535 seorang pekatik yang baik, tidak seorang pun
mencurigainya karena Ki Pakering dapat memainkan
perannya di istana itu dengan begitu sempurna, seorang
penyamar yang hebat. Malam itu diatas langit Kotaraja Kediri, rembulan
tersenyum dalam sinar wajah kesempurnaannya. Terang
temaram cahaya di bumi dalam naungan manja dewi
purnama malam menghiasi sahdu rindu asmara suara
hati serta tawa para bocah yang bermain di pekarangan
rumahnya. Angin dingin basah masuk berhembus diantara lorong
jalan setapak di istana Kediri yang mulai menjadi sepi,
hanya sekali-kali para peronda berjalan berkeliling dari
satu bangunan ke bangunan lain hanya untuk
memastikan suasana istana dalam keadaan aman
terkendali. Namun siapapun tidak ada yang menyangka ketika ada
sesosok bayangan berkelebat dan menghilang kembali
disekitar kerimbunan tanamam bayam merah di sebuah
pojok kiri sebuah bangunan.
Hari memang belum larut malam, Ratu Turuk Bali masih
terlihat duduk di pinggir pembaringannya. Hati dan
perasaan wanita itu terlihat begitu suram, entah apa yang
ada dalam pikirannya. Namun cahaya pelita di pojok atas
kamarnya telah membiaskan sebuah gurat-gurat wajah
penuh kepedihan dan kesedihan.
Kembali terlihat sebuah bayangan bergerak begitu cepat
melintas diatas sebuah atap sebuah bangunan dan diam
tersamar keremangan malam.
Sementara itu hati dan perasaan Ratu Turuk Bali
semakin terbelenggu, pelita malam di pojok kamarnya
menyinari sebuah tetes air mata jatuh membasahi wajah
536 wanita itu. Kembali terlihat sebuah bayangan menerobos atap
sebuah bangunan, menghilang seperti air merembes
terserap atap kayu hitam.
Sementara itu hati dan perasaan Ratu Turuk Bali sudah
begitu beku. "Diriku sudah tidak muda lagi", berkata Turuk Bali kepada
dirinya sendiri. Hati dan perasaan Ratu Turuk Bali memang semakin
membeku, namun serentak pecah oleh suasana
keterperanjatan yang kuat manakala sebuah bayangan
meluncur dari atas dengan kecepatan yang kasat mata
tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapannya.
Terperanjat hati Ratu Turuk Bali, namun dibekap sendiri
mulutnya dengan kedua tangannya ketika mengetahui
siapa gerangan sosok bayangan itu.
"Maaf bila hamba datang dengan cara seperti ini",
berkata seorang pemuda sambil merangkapkan kedua
tangannya sebagai sikap hormat kepada Ratu Turuk Bali.
"Kamu datang kembali", berkata Ratu Turuk Bali ketika
hatinya mulai kembali kedalam kesadaran diri.
"Hamba pernah membawa sebuah pesan rahasia, hari ini
hamba datang kembali atas perintah tuanku Raden
Wijaya", berkata pemuda itu yang ternyata adalah Putu
Risang. "Membawa pesan yang sama, meminta aku pergi
mengungsi sebelum purnama kedua ?", berkata Ratu
Turuk Bali seperti sudah mengetahui isi pesan dari
Raden Wijaya. "Pesan itulah yang akan hamba sampaikan untuk tuanku
537 Ratu", berkata Putu Risang membenarkan perkataan
Ratu Turuk Bali tentang isi sebuah pesan yang akan
disampaikannya itu. Lama Ratu Turuk Bali terdiam duduk di ujung
pembaringannya, cahaya pelita di kamar itu terlihat
memantulkan wajah putih halus wanita yang terlihat
sudah tidak muda lagi, namun masih menyisakan jejakjejak kecantikan dirinya di masa lalu yang telah lewat.
Terlihat Ratu Turuk Bali memandang Putu Risang. mengangkat wajahnya "Katakan kepada tuanmu, meski kutahu hati dan cinta
seorang Raja sudah tidak kumiliki sepenuhnya, namun
pengabdianku masih tetap utuh selamanya. Katakan
kepada tuanmu, cintaku pada kenangan rindu kasih
keluarga tidak akan pernah hilang. Katakan kepada
tuanmu, aku masih sebagai seorang permaisuri dari para
putra dan putriku dan hari depannya. Demi mereka
semua kutindas semua rasa kepedihan hati seorang istri
yang terbagi. Demi cinta dan kasih mereka, biarlah
kuakhiri hidupku nanti sebagai Dewi Sati melebur dalam
api pembakaran jenasah sang Raja. Dan bila
kemenangan berpihak kepada bala pasukan tuanmu, aku
masih tetap seorang permaisuri di seberang jalannya",
berkata Ratu Turuk Bali dengan derai linangan air mata,
sepertinya kata-kata itu sudah lama ingin ditumpahkan.


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan malam itu telah ditumpahkannya lewat seorang
pemuda, seorang petugas pembawa pesan rahasia.
"Apakah ada lagi yang ingin tuanku Ratu akan
sampaikan kepada tuanku Raden Wijaya?", bertanya
Putu Risang yang bermaksud untuk pamit diri.
"Tidak ada lagi", berkata Ratu Turuk Bali sambil
menggerakkan kepalanya sebagai tanda merestui
538 kepergian anak muda itu. "Selamat tinggal tuanku Ratu", berkata Putu Risang
kepada Ratu Turuk Bali menyusul dengan sebuah
ayunan kaki membawanya melesat jauh keatas atap
kamar. Dan tidak ada seorang pun malam itu yang mengetahui
bahwa penjagaan istana Kediri telah ditembus dengan
mudah oleh seorang pemuda, seorang yang bernama
Putu Risang. Hanya ketika pagi telah datang, terlihat Ki Pakering
terlihat berjalan bersama seorang pemuda menuntun
seekor kuda seperti hendak mencari rumput untuk
makanan kuda. "Hari masih pagi buta, rajin sekali kalian", berkata
seorang prajurit penjaga berkata kepada Ki Pakering
ketika hendak keluar dari gerbang istana.
"Pagi seperti ini aku akan membawa banyak rumput
segar untuk kuda-kudaku", berkata Ki Pakering memberi
alasan. Demikianlah, Putu Risang memang tidak kembali lagi ke
istana Kediri, tapi langsung ke rumah Mabujang dimana
disana Gajah Pagon sedang menunggunya.
"Mari kita selekasnya keluar dari Kotaraja Kediri ini",
berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang yang sudah
bersiap-siap diri keluar dari Kotaraja Kediri.
Hari pertama setelah purnama di bulan itu. Terlihat iringiringan sebuah pasukan besar berjalan keluar dari
Kademangan Ngrangkah Pawon. Mereka adalah bala
prajurit Raden Wijaya yang akan berangkat menuju kaki
bukit Kadungan. Disanalah Raden Wijaya akan
menempatkan pasukannya sebagai sebuah benteng
539 pertahanannya. Tidak sampai setengah hari perjalanan akhirnya pasukan
itu telah sampai di kaki bukit Kadungan. Dan mereka
telah menemukan sebuah tempat yang baik, sebuah
tempat yang terlindung di sebuah hutan kecil di kak? bukit
Kadungan itu. Langsung saja pasukan itu telah berbagi tugas masingmasing, ada yang tetap berjaga-jaga, ada yang langsung
membuat barak-barak sederhana dan juga beberapa
prajurit yang sesuai dengan keahliannya telah
menyiapkan dapur umum untuk makan siang mereka
setelah setengah harian berjalan tanpa beristirahat.
"Iring-iringan pasukan lawan telah keluar dari Kotaraja
Kediri", berkata seorang petugas telik sandi melaporkan
kepada Raden Wijaya di sebuah barak khusus.
"Mereka pasti sudah mengetahui keberadaan kita di kaki
bukit Kadungan ini", berkata Raden Wijaya memperhitungkan situasi yang dapat dibaca lewat para
telik sandi mereka. "Berapa kekuatan pasukan yang telah
keluar dari Kotaraja Kediri itu", bertanya Raden Wijaya
kepada petugas telik sandi itu.
"Ada sekitar empat ribu pasukan, sepertiganya adalah
pasukan berkuda", berkata petugas telik sandi itu kepada
Raden Wijaya. "Terima kasih, kembalilah kamu di kesatuanmu", berkata
Raden Wijaya kepada petugas telik sandi itu.
"Menjelang sore mereka pasti baru akan tiba", berkata
Mahesa Amping kepada raden Wijaya ketika petugas
telik sandi itu sudah keluar dari barak khusus Raden
Wijaya. "Artinya pasukan kita punya waktu lebih lama beristirahat
540 di kaki bukit ini", berkata Raden Wijaya dengan
tersenyum kepada Mahesa Amping, sahabatnya itu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping,
menjelang senja memang iring-iringan pasukan Kediri
baru sampai di kaki bukit Kadungan, hanya berjarak
sebuah padang terbuka tidak jauh dari keberadaan
barak-barak pasukan Raden Wijaya.
Dan mereka langsung mengirim seorang utusan datang
menghadap Raden Wijaya membawa pesan berita
penawaran kepada Raden Wijaya untuk menyerah.
"Katakan kepada Panglima mu, aku Raden Wijaya besok
pagi akan turun bersama pasukan segelar sepapan di
padang Kadungan ingin mengukur sendiri kekuatan dan
keberanian para prajurit Kediri yang dulu pernah diluluh
lantakkan oleh buyutku Raja Ken Arok", berkata Raden
Wijaya kepada utusan itu."Antar orang ini sebagaimana
kamu mengantar saudaramu", berkata pula Raden
Wijaya kepada seorang prajurit agar mengantar utusan
itu tanpa gangguan apapun keluar dari lingkungan
pertahanan mereka. Hari kedua setelah purnama di bulan itu.
Lengkung langit pagi dalam semburat warna memerah
masih remang mengerudungi bumi di kaki bukit
Kadungan. Di timur padang Kadungan, di sebuah hutan dimana
pasukan Raden Wijaya bermalam, pagi itu memang
masih begitu remang senyap, tapi di sebuah barak dapur
umum kesibukan sudah lama berlangsung. Mereka
adalah para prajurit yang ditugaskan untuk menyiapkan
ransum-ransum prajurit yang akan bertempur hari ini.
Lengkung langit pagi sudah mulai terang, terlihat para
541 prajurit di timur padang Kadungan tengah menikmati
ransum mereka, makanan pagi mereka.
"Disebelah barat sana mereka pasti seperti kita, tengah
menikmati makanan pagi ransum mereka", berkata
seorang prajurit kepada kawannya.
"Mungkin hati dan perasaan mereka juga sama, samasama berharap dapat menikmati ransum pagi esok hari",
berkata kawannya menanggapi perkataan prajurit
disebelahnya sambil tersenyum.
Lengkung langit pagi sudah menjadi terang, terdengar
suara bende Ki Prabu Segara menggema memecahkan
kesunyian hutan di timur padang Kadungan. Suara
bende itu seperti memukul-mukul dada hampir semua
prajurit, memacu denyut jantung mereka lebih berdegub
lebih kencang lagi. Suara itu adalah sebuah tanda bagi
para prajurit untuk bersiap diri dan berkumpul. Maka tidak
begitu lama sudah tersusun sebuah barisan yang
panjang mengisi sisi-sisi hutan itu diantara batang-batang
pohon besar. Barisan panjang itu seperti sebuah ular
raksasa penghuni hutan yang marah terusik dari ribuan
hari masa pertapaannya. Suara bende Ki Prabu Segara untuk kedua kalinya
terdengar lagi, gemanya seperti meliuk-liuk mengitari isi
hutan berdengung membentur batang-batang pohon
besar. Suara bende itu telah memerintahkan barisan ular
raksasa itu keluar dari hutan itu merayap melewati semak
perdu dan pepohonan yang semakin jarang dan akhirnya
terlihat telah merayap ditempat terbuka di padang
Kadungan sebelah timur. Barisan ular raksasa itu telah berhenti manakala di
hadapan mereka berdiri sebuah barisan besar seperti
sebuah pagar berlapis panjang mengisi sisi disebelah
542 barat padang Kadungan. "Gelar perang Diradameta!!", berkata Raden Wijaya
dalam hati melihat barisan sekitar empat ribu prajurit
Kediri yang sudah lebih dulu menunggu kedatangan
pasukannya. "Anak Tumapel itu terlalu angkuh, merasa yakin bahwa
gelar perang supit urangnya dapat merubuhkan gelar
Diradametaku", berkata orang berwajah hitam diatas
kudanya dalam hati sambil memandang barisan prajurit
yang muncul dari sebuah kerapatan hutan telah
membentuk sebuah barisan dengan gelar perang supit
urang. Orang berwajah hitam itu tidak lain adalah Patih
Kebo Mundarang yang telah diperintahkan oleh Raja
Jayakatwang memimpin pasukan Kediri menghadang
pasukan Raden Wijaya. Sebagaimana yang dilihat oleh Kebo Mundarang, barisan
ular raksasa yang baru keluar dari hutan sebelah timur
padang Kadungan telah membentuk sebuah gelar
perang supit urang, sebuah gelar tandingan khusus
menghadapi sebuah gelar perang Diradameta, seekor
gajah besar mengamuk. "Keris Nagasasra", berkata Mahesa Amping dalam hati
ketika melihat Raden Wijaya di atas kudanya
mengangkat tinggi-tinggi keris keramat warisan Raja
Erlangga itu. "Keris Nagasasra", berkata Putu Risang dalam hati yang
berdiri di sebelah Putut Prastawa yang dipercaya menjadi
senapati pengapit sebelah kiri barisan.
Semua prajurit di barisan Raden Wijaya juga melihat
keris itu, itulah sebuah pertanda dari Raden Wijaya
kepada pasukannya untuk mempersiapkan diri dengan
segala macam senjatanya menghadapi pasukan lawan.
543 Terlihat hampir semua prajurit telah melepas pedang dari
sarungnya, Yang bersenjata tombak telah menggenggam
tombak lebih keras lagi seperti hendak segera
menghentakkannya ke dada musuh-musuhnya.
Sementara di seberang sana sudah terdengar suara abaaba yang melengking disambut suara gegap gempita
bergemuruh bersama suara langkah kaki manusia dan
kaki kuda berdentum dentum menggetarkan bumi tanah
Padang Kadungan. Namun Raden Wijaya tidak memberi aba-aba apapun,
tangannya masih mengangkat tinggi-tinggi Keris
Nagasasra. Baru ketika pasukan Patih Kebo Mundarang
telah mendekati sekitar tiga puluh langkah dari
barisannya, terlihat Keris Nagasasra di tangannya
berputar-putar. Itulah sebuah perintah bagi pasukannya
untuk segera bergerak. Terdengar suara para
penghubung dalam setiap pasukan memberi aba-aba
yang sama dengan memutar-mutar panji-panji kesatuan
mereka. Diiringi suara gemuruh pasukan Raden Wijaya
telah bergerak menghadang serangan musuh di hadapan
mereka. Sepertiga pasukan yang berada di belakang Raden
Wijaya bertahan di tempatnya menanti para musuh yang
datang mendekat. Sementara itu Mahesa Amping sebagai senapati
pengapit telah bergerak maju membawa pasukannya
melambung menusuk pertahanan lawan di sebelah
kanan. Sebagaimana Mahesa Amping, maka Putut Prastawa
yang dipercaya sebagai senapati pengapit di sebelah kiri
telah membawa pasukannya bergerak maju melambung
lebih jauh lagi melengkung menusuk pertahanan
544 lawannya. Terlihat Mahesa Amping di barisan paling depan
bersama pasukannya seperti bola api telah menusuk dan
menerobos lambung pasukan lawan. Satu persatu
prajurit Kediri yang berhadapan dengan Mahesa Amping
seperti sekumpulan semut terburai pecah tersentuh bola
api. Ujung cambuk pendek Mahesa Amping seperti
bermata selalu datang merobohkan siapapun lawan yang
mendekat. Meski Mahesa Amping tidak meluruhkan
seluruh kesaktiannya, hanya sedikit kekuatan tenaga
cadangannya, tetap saja telah membuat para musuh
menjadi pontang-panting. Keadaan itu telah membuat
pasukan di belakangnya menjadi bersemangat terus
menerobos masuk lebih dalam lagi memecah lambung
pertahanan lawan. Sementara itu di sisi kiri pasukan Raden Wijaya, seperti
tidak mau kalah dengan apa yang dilakukan oleh kawankawan mereka di barisan sebelah kanan mereka. Terlihat
Putut Prastawa dan Putu Risang bersama barisan
pasukannya yang melambung melengkung lebih jauh lagi
telah berhasil mengoyak-ngoyak pertahanan lawan.
"Dua orang bercambuk telah mengoyak pasukanku",
berkata Patih Kebo Mundarang penuh geram.
"Perkuat pertahanan lambung kalian", berteriak Patih
Kebo Mundarang sebagai perintah.
Maka para penghubungnya telah berkata dengan
perintah yang sama untuk memperkuat pertahanan
lambung tengah mereka yang sudah mulai sedikit
terkoyak. Maka seperti sekumpulan banteng yang marah, terlihat
barisan pasukan Patih Kebo Mundarang di bagian
lambung tengahnya telah bergerak condong 545 menghadang pasukan lawan yang dipimpin oleh Mahesa
Amping. Pergerakan yang cepat itu memang berhasil memperkuat
kembali sisi lambung pertahanan mereka yang terkoyak,
namun di sisi lain telah melemahkan pertahanan mereka
sendiri dimana Putut Prastawa yang didampingi Putu
Risang berhasil membawa pasukannya masuk lebih
dalam lagi merobek-robek ekor pasukan gelar perang
Diradameta itu. Cakra Putut Prastawa dan cambuk
pendek Putu Risang seperti dua senjata yang


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menakutkan. Membuat gentar setiap lawan yang
melihatnya, karena cakra dan cambuk pendek itu telah
merobohkan siapapun yang datang mendekat. Bersama
sebuah pasukan Raden Wijaya yang seperti telah
tumbuh taring kedua, mereka telah memporakporandakan pertahanan belakang musuh-musuh mereka.
"Gila!!!", berkata penuh kegeraman Patih Kebo
Mundarang melihat semua itu, melihat pasukannya
tergilas terkoyak-koyak. Sementara itu pertempuran di bagian lambung pasukan
Kediri kembali terkoyak. Ujung cambuk pendek Mahesa
Amping seperti bermata, satu persatu lawan yang datang
seperti tersapu jatuh bertumbangan. Keadaan itu telah
membuat pasukan yang bersamanya menjadi semakin
percaya diri ikut memporak-porandakan pasukan musuh.
"Gila!!", kembali Patih Kebo Mundarang mengumpat
penuh kegeraman. Kegeraman hatinya itu dilampiaskan dengan menghunjamkan keris besarnya kepada siapapun prajurit
musuhnya yang mendekat. "Aku harus menghentikannya", berkata Raden Wijaya
yang melihat kebuasan Patih Kebo Mundarang
546 membantai prajuritnya. "Sudah lama aku ingin mengenal kesombongan anak
bangsawan Tumapel", berkata Patih Kebo Mundarang
ketika Raden Wijaya sudah berada dihadapannya
langsung menerjang bersama kudanya maju menyerang.
"Sudah lama juga aku ingin membalas kecuranganmu di
peperangan Padang Kalimayit beberapa tahun lalu",
berkata Raden Wijaya sambil mengelak maju bersama
kudanya dan balas menyerang kembali.
Dan perkelahian dua panglima perang itu pun
berlangsung semakin lama semakin seru, saling serang
dan balas menyerang dan terus berlanjut masih diatas
kuda masing-masing. Namun mereka masih tetap
mengawasi seluruh medan pertempuran, masih juga
diselingi beberapa perintah kepada penghubung masingmasing.
Sementara itu pasukan mereka masih terus bertempur
dengan dahsyatnya. Denting suara senjata beradu ditingkahi suara sumpah
serapah yang terkadang diselingi suara jerit ratap sakit
dan rintihan adalah suara perang kegaduhan yang terus
terdengar membisingi suasana peperangan manusia
diatas bumi tanah Padang Kadungan itu.
Dua kelompok manusia sama warna kulit itu masih terus
saling membantai, saling membunuh satu dengan lainnya
seperti terbuang sudah perasaan iba hati, yang ada
adalah keinginan untuk membela diri, mempertahankan
diri dengan cara membunuh. Jiwa, hati nurani dan
kehalusan budi setiap manusia dalam peperangan itu
seperti tersingkirkan, seperti tidak pernah ada, seperti
bukan manusia lagi, tapi dua kelompok makhluk
terbelakang, lebih terbelakang dari seekor binatang
547 terbelakang sekalipun. Begitulah hasrat jiwa manusia
didalam sebuah kancah peperangan.
Tapi tidak Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Putu
Risang. Walaupun mereka dengan ketinggian ilmu
puncaknya dapat membuat petir, membuat kobaran api
atau meleburkan sebongkah batu besar. Semua itu tidak
mereka lakukan. Mereka hanya menggunakan sedikit
kekuatan tenaga cadangannya melumpuhkan musuhnya.
Mata senjata di tangan mereka memang tidak akan
pernah buta. Karena mata dan hati mereka telah terbuka
mampu dapat mengendalikan hati dan perasaannya
sendiri di tengah kebuasan manusia dalam suasana
peperangan yang masih terus berlangsung penuh
gemuruh bersama bercak lumuran darah di pakaian, di
ujung pedang dan diatas tanah yang mulai berwarna
darah. Sementara itu matahari diatas langit Padang Kadungan
sudah bergeser mendekati puncaknya, celah-celah
kemenangan pasukan Raden Wijaya mulai terlihat
manakala Mahesa Amping dan pasukannya telah
berhasil mengoyak lambung pasukan lawan. Sedikit demi
sedikit gempuran mereka tidak mampu lagi ditahan oleh
pasukan Kediri di lambung pasukannya hingga akhirnya
terpecahlah lambung itu terburai memisahkan kepala
pasukan. Di saat yang sama pasukan Putut Prastawa dimana Putu
Risang ada di dalamnya juga telah berhasil menggempur
ekor pertahanan lawan. Bukan hanya itu, dua pasukan pengapit itu telah berbalik
arah, menyerang sisi pertahanan bagian kepala pasukan
lawan "Gila!!!!", berkata Patih Kebo Mundarang penuh 548 kegeraman melihat pasukannya bercerai berai digasak
sedikit demi sedikit. "Menyerahlah orang berwajah hitam", berkata Raden
Wijaya dari atas kudanya sambil menyerang ke arah kaki
kuda Patih Kuda Mundarang.
"Sial!!!" berkata Patih Mundarang yang tidak dapat
menghindar lagi, Keris Nagasasra telah berhasil melukai
kaki kanan kudanya membuat limbung kedudukannya.
"Kupenggal kepalamu", berkata Patih Kebo Mundarang
sambil melompat dari atas kudanya yang terluka.
"Sudah kukatakan bahwa sudah lama aku ingin
membalas kecuranganmu di Padang Kalimayit beberapa
tahun yang lalu", berkata Raden Wijaya yang sudah ikut
turun dari kudanya mengimbangi keadaan di pihak
lawan. Terlihat Patih Kebo Mundarang tidak mengumpat lagi,
tapi sudah langsung menerjang Raden Wijaya.
Sementara itu di sebuah tepian sungai di sebelah utara
Kotaraja Kediri berjarak sehari perjalanan terlihat puluhan
perahu besar telah merapat. Mereka adalah tiga belas
ribu prajurit Mongol. Dengan bantuan seorang pemandu
dari Raden Wijaya mereka dapat mendekati Kotaraja
Kediri melalui perjalanan air.
Keberadaan dan kedatangan pasukan Mongol itu benarbenar tidak diketahui oleh para penguasa Kediri dimana
mereka pada saat itu tengah memusatkan seluruh
perhatiannya menghadang pasukan Raden Wijaya di
sebelah timur Kotaraja di Padang Kadungan.
"Saat ini dua saudara yang berseteru pasti tengah
beradu jiwa dalam pertempuran mereka di sebuah
tempat. Dan kita akan masuk mengganyang mereka
549 tanpa perlawanan yang berarti", berkata seorang
berbadan tinggi besar dengan kedua alis kerang tebal
berpakaian lengkap seorang panglima perang terlihat
begitu gagah dan berwibawa.
"Kapan kita akan datang membantai mereka?" bertanya
seorang perwiranya yang nampaknya sudah tidak sabar
lagi selekasnya masuk ke Kotaraja Kediri.
"Malam ini!!" berkata orang berpakaian panglima perang
itu penuh ketegasan. Terlihat dua orang perwira bawahannya terdiam, mereka
berdua sudah tahu perangai panglima perang mereka itu
yang tidak ingin dibantah apapun yang sudah menjadi
kehendaknya disamping juga mengetahui kecerdikannya
yang memang sangat luar biasa terutama dalam
mengatur sebuah siasat perang.
Maka pada hari itu juga tiga belas ribu prajurit Mongol itu
diistirahatkan di sebuah hutan kecil dekat sebuah tepi
sungai dimana mereka telah merapat. Kehadiran mereka
nampaknya masih belum diketahui oleh siapapun.
Pancingan Raden Wijaya yang membawa pasukan di
jalan terbuka antara Bumi Majapahit dan Kotaraja Kediri
berhasil dengan sangat baik. Mereka pasukan Raden
Wijaya adalah sebuah umpan yang berhasil memancing
harimau keluar dari sarang mereka. Sayang sekali para
penguasa Kediri tidak menyadari sebuah pasukan yang
luar biasa besarnya akan datang seperti air bah
gelombang pasang yang sangat dahsyat yang sebentar
lagi membawa malapetaka kehancuran mereka.
Sementara itu matahari di atas langit Padang Kadungan
sudah terlihat bergeser sedikit dari puncaknya. Terik
cahaya matahari begitu keras menyentuh kulit membuat
udara menjadi begitu pengap panas, sepanas suasana
550 pertempuran saat itu di bumi tanah Padang Kadungan.
Peperangan masih terus berlangsung. Mayat dan orang
terluka terlihat bergelimpangan di sana sini diantara
suara denting senjata yang beradu, diantara langkah kaki
dan umpatan sumpah serapah suara peperangan.
"Kesombonganmu ternyata hanya seperti ini", berkata
Patih Kebo Mundarang sambil terus mengganyang
dengan serangan yang bertubi-tubi ke arah Raden
Wijaya. "Aku akan melayanimu sampai habis tenagamu", berkata
Raden Wijaya sambil mengelak menghindar masih ingin
mengkaji sejauh mana tingkat tataran ilmu orang
berwajah hitam itu. Ternyata Patih Kebo Mundarang salah tanggap dengan
sikap Raden Wijaya itu, merasa tataran ilmunya jauh
diatas Raden Wijaya yang tidak balas menyerang, hanya
terus menghindar. "Lihatlah lambung pertahanan pasukanmu sudah
terbelah", berkata Raden Wijaya sambil menghindar
mencoba menggoda hati dan perasaan Patih Kebo
Mundarang untuk melihat sendiri keadaan pasukannya
itu. "Apapun yang terjadi atas pasukanku, kamu akan mati di
tanganku wahai putra Tumapel yang sombong", berkata
Patih Kebo Mundarang menutupi kegusaran hatinya
melihat lambung pasukannya sudah terpecah.
Sebagai seorang ahli peperangan Patih Kebo
Mundarang pasti sudah tahu betul apa yang akan
menimpa pasukan induknya bilamana lambung
pertahanannya sudah dapat dipecah oleh pasukan
lawan. Sebuah serangan berbalik arah dari pasukan
551 lawan akan menjepit pasukan induknya dari arah
belakang. Itulah sebabnya Patih Kebo Mundarang sudah
seperti seekor banteng terluka, menyerang Raden Wijaya
lebih keras lagi melampiaskan kegeraman hatinya.
Sebagaimana yang dilihat oleh Patih Kebo Mundarang,
lambung pertahanan pasukannya telah dipecahkan oleh
barisan pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang
senapati muda yang mempunyai ilmu setinggi langit yang
bergelar Manusia setengah dewa, siapa lagi kalau bukan
Mahesa Amping orangnya. "Arahkan pasukan menyerang induk pasukan lawan",
berkata Mahesa Amping ketika telah berhasil memecah
lambung pertahanan pasukan lawan.
Perintah itu terdengar berulang-ulang disuarakan oleh
para penghubungnya dan disambung lagi dengan suara
Bende Ki Prabu Segara yang bergema membuat
suasana perasaan hati para prajurit Kediri seperti
semakin menciut namun sebaliknya telah membakar
semangat pasukan Raden Wijaya menjadi lebih
bernyala-nyala lagi terus menguasai medan pertempurannya. Sementara itu Putut Prastawa bersama Putu Risang
telah berhasil membawa pasukannya mencerai-beraikan
ekor pertahanan lawan yang sudah terpecah. Suasana
pertempuran di belakang itu tidak kalah serunya. Mereka
seperti sebuah pertempuran yang terpisah dari induknya
masing-masing. Sebuah pertempuran yang sangat begitu
menghebohkan, namun Putut Prastawa dan Putu Risang
telah dapat menjaga barisannya dengan baik tidak lepas
dari uger-uger sikap laku peperangan berkelompok.
Maka pasukan Putut Prastawa dan Putu Risang perlahan
sudah dapat menekan pasukan Kediri yang sudah patah
arang itu, jauh terpisah dari induknya.
552 Suara gema bende Ki Prabu Segara kembali bergema
ketika ekor pasukan Kediri terburai seperti suara sorak
semangat pasukan Raden Wijaya lebih berkobar-kobar
lagi. Terlihat juga beberapa prajurit Kediri yang lari
tunggang langgang, tapi tidak sedikit yang lari bergabung
dengan pasukan induknya. "Lihatlah pasukan belakang sudah dicerai beraikan,
lihatlah bendera gula kelapa berkibar memberi pertanda
arah serangan keinduk pasukan musuh", berkata Ki
Sukasrana kepada Ki Bancak di sebuah gumuk terpisah
dari medan pertempuran bersama dengan beberapa
prajurit menjaga bende Ki Prabu Segara.
Maka kembali terdengar suara bende Ki Prabu Segara
terdengar bergema memberi tanda-tanda yang hanya
dapat dimengerti sendiri olah semua pasukan Raden
Wijaya. Sementara itu di hari yang sama jauh dari Padang
Kadungan, sebuah Jung Singasari terlihat tengah
merapat di Bandar Ujung Galuh.
Ternyata penumpang jung besar Singasari itu adalah


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejumlah pasukan Singasari yang baru saja kembali dari
tugasnya. Mereka adalah pasukan Singasari yang diutus
langsung oleh Raja Kertanegara menjalin hubungan
persahabatan dengan para penguasa dari Tanah
Melayu. Ada bersama mereka adalah Senapati Mahesa
Pukat dan Kebo Arema, dua orang kepercayaan Raja
Kertanegara. Bukan main terkejutnya Mahesa Pukat dan Kebo Arema
manakala seorang prajurit di benteng Tanah Ujung Galuh
bercerita tentang perubahan kekuasaan yang terjadi di
masa pelayaran mereka meninggalkan bumi Singasari.
Prajurit di Benteng Tanah Ujung Galuh itu juga bercerita
553 tentang perkembangan terakhir dimana saat itu Raden
Wijaya dan pasukan Mongol bersama tengah menuju
Kotaraja Kediri. "Raja Kertanegara telah wafat, Raja Jayakatwang
menjadi penguasa baru di tanah ini", berkata Kebo
Arema seperti bergumam kepada dirinya sendiri dengan
mata seperti menerawang jauh ke tempat kosong dengan
pandangan hampa. "Ada sebuah pasukan besar turun hari ini dari Jung
Besar Singasari", berkata seorang prajurit datang
menghadap Ki Sandikala di Pasanggrahannya.
"Tempatkan mereka untuk sementara di benteng Tanah
Ujung Galuh. Aku akan segera datang mengunjungi
mereka", berkata Ki Sandikala yang telah ditunjuk
berwenang penuh oleh Raden Wijaya di Bumi Majapahit.
Terlihat Ki Sandikala telah keluar dari Pasanggrahannya
hendak menuju Benteng Tanah Ujung Galuh bersama
seorang prajurit yang mengantarnya.
"Namaku Nambi, di tanah ujung Galuh ini orang
memanggilku sebagai Ki Sandikala. Aku hanya seorang
pendeta dari Lamajang yang kebetulan diberikan
wewenang penuh oleh Tuanku Raden Wijaya menjaga
Bumi Majapahit dan benteng Tanah Ujung Galuh ini",
berkata Ki Sandikala memperkenalkan dirinya kepada
Mahesa Pukat dan rombongannya.
Mahesa Pukat dan Kebo Arema langsung memperkenalkan diri mereka, juga rombongan yang
mereka bawa bersama dari Tanah Melayu.
"Perkenalkan ini Dara Jingga dan Dara petak, dua orang
putri Raja Tanah Melayu yang sengaja datang untuk
menemui suami dan anak mereka di Jawadwipa ini",
554 berkata Mahesa Pukat setelah memperkenalkan dirinya
juga memperkenalkan semua yang rombongannya yang
ikut bersamanya dari Tanah Melayu.
"Tuanku Raden Wijaya dan tuan senapati Mahesa
Amping sering bercerita tentang kalian berdua", berkata
Ki Sandikala penuh kegembiraan diperkenalkan oleh dua
orang wanita jelita dari tanah Melayu yang diketahui
adalah ibunda Jayanagara dan Adityawarman. "Kedua
putra kalian pasti gembira melihat bundanya ada di Bumi
Majapahit", berkata kembali Ki Sandikala kepada Mahesa
Pukat dan rombongannya itu dan menawarkan untuk
segera ke Bumi Majapahit.
Bukan main gembiranya Dara Jingga dan Dara Petak
mendengar berita bahwa kedua putra mereka berada di
Bumi Majapahit. Mari kita kembali ke Padang Kadungan menengok
sebuah peperangan yang masih terus berlangsung.
Terdengar suara Bende Ki Prabu Segara bergema
berputar putar terbawa angin mendengung mengisi
setiap telinga para prajurit yang tengah bertempur.
Ternyata gema irama Bende Ki Prabu Segara itu adalah
sebuah isyarat agar gerak pertempuran pasukan Raden
Wijaya berputar dalam tiga irama gerak menusuk
pasukan induk Kediri dari tiga penjuru.
Malang menimpa pasukan induk Kediri itu yang di
kepung dari tiga arah. Dihadapan mereka pasukan induk
yang dipimpin langsung oleh Raden Wijaya sudah
membuat mereka sesak terhimpit oleh tekanan-tekanan
pasukan yang sudah berpengalaman dalam peperangan
mereka, para prajurit Singasari yang sudah dikenal
sangat mahir dalam berperang secara berkelompok
disamping juga mereka sangat trampil bertempur secara
555 perorangan. Dan Pasukan induk Kediri benar-benar terasa tertekan
ketika di dua sisi mereka ditambah tekanan serangan
dua pasukan musuh, dua barisan bala prajurit yang telah
menyelesaikan tugas mereka memecah lambung
pertahanan lawan dan mencerai beraikan pertahanan
belakang mereka. "Gila!!", kembali terdengar umpatan dari mulut Patih
Kebo Mundarang yang merasakan tekanan para
prajuritnya. "Jangan banyak mengumpat", berkata Raden Wijaya
sambil melenting cepat menghindari sabetan keris Patih
Kebo Mundarang. "Kuhabisi nyawamu hari ini", berkata Patih Kebo
Mundarang langsung mengejar kearah Raden Wijaya
kembali. Wajah Patih Kebo Mundarang yang hitam itu menjadi
bertambah kelam dengan sorot mata tajam begitu
menyeramkan dipenuhi kegeraman hati bahwa sejauh ini
dirinya masih belum juga menyelesaikan pertempurannya dengan seorang yang masih muda, jauh dari usianya
yang sudah hampir menjelang setengah abad.
Dan ternyata Raden Wijaya sudah dapat mengukur
tingkat tataran ilmu Patih Kebo Mundarang, namun masih
saja terus mempermainkannya sambil mengawasi
suasana pertempuran pasukannya yang dilihatnya sudah
berada diatas angin. "Dua senapati pengapitku sudah dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik, mereka telah mengepung
pasukan induk lawan dari dua sisi arah", berkata Raden
Wijaya dalam hati sambil terus menghindari terjangan
556 keris Patih Kebo Mundarang yang diketahui penuh
dengan hawa racun yang kuat, hawa kematian.
Perlahan tapi pasti pasukan Kediri satu persatu
terjungkal ke tanah tak mampu lagi bergerak berkurang
dan semakin berkurang dikepung dan ditekan dari tiga
arah serangan. "Sekali tergores kerisku kamu akan mati binasa wahai
anak muda Tumapel", berkata Patih Kebo Mundarang
sambil mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seakan ingin
mengerahkan puncak tataran ilmunya membinasakan
anak muda Tumapel yang dikatakan sangat sombong itu,
Raden Wijaya. Benar sekali, Patih Kebo Mundarang memang telah
mengerahkan puncak tataran ilmu.
Terlihat keris ditangannya berputar-putar seperti sebuah
gasing menerjang kearah Raden Wijaya dengan lebih
cepat lagi dari sebelumnya.
Tapi Patih Kebo Mundarang tidak mengetahui bahwa
anak bangsawan Tumapel itu mempunyai tataran ilmu
jauh darinya, tidak diketahui lagi sudah berada didasar
langit mana puncak tataran ilmu sebenarnya.
Terlihat wajah Raden Wijaya tersenyum kearah Patih
Kebo Mundarang yang tengah memutar kerisnya seperti
gasing berputar kencang menerjang ke arahnya.
Keris Patih Kebo Mundarang seperti gasing berputar
begitu keras semakin mendekati Raden Wijaya yang
masih tegap berdiri tidak bergeser sedikitpun.
Dan Raden Wijaya tidak bergeming sedikit pun dari
tempatnya manakala jarak serang keris Patih Kebo
Mundarang sudah berada dalam jarak serang yang tidak
mungkin dihindari. 557 Wajah hitam Patih Kebo Mundarang seperti bersinar
penuh kegembiraan ketika dengan kecepatan ilmu
puncaknya meluncur kearah jantung Raden Wijaya.
Blesssss?".. Keris ditangan Patih Kebo Mundarang seperti menembus
sebuah kapas halus, seperti hilang masuk kedalam
sebuah benda tak berwujud tenggelam terserap
menghilang punah. Wajah hitam Patih Mundarang seketika menjadi pucat
pasi merasakan kulit tubuh Raden Wijaya tidak terluka
tertembus kerisnya. Sebaliknya merasakan kulit tubuh
dibawah pusarnya tertembus sebuah benda tajam.
Wajah hitam Patih Mundarang menjadi lebih pucat lagi,
menjadi dingin seketika karena dibawah pusarnya
tertanam sebuah benda tajam, keris Nagasasra ditangan
Raden Wijaya telah menembus tubuhnya.
Terlihat tubuh Patih Kebo Mundarang runtuh jatuh ke
bumi perlahan, nyawanya sudah terbang bersama kulit
yang tertembus hawa keris keramat yang sangat ampuh,
seampuh seribu bisa ular yang paling ampuh mematikan.
Itulah keampuhan keris Nagasasra warisan Raja
Erlangga yang berada di tangan Raden Wijaya yang
terlihat dicabut perlahan dari tubuh Patih Kebo
Mundarang. Kematian Patih Kebo Mundarang begitu menggemparkan, para prajurit Kediri seperti tidak
percaya dengan apa yang terjadi ditengah pertempuran
mereka. Semua orang di Kediri sudah mengetahui
kesaktian ilmu Patih Mundarang yang sukar sekali
mencari lawan tandingnya saat itu. Tapi hari ini
menyaksikan sendiri bahwa Patih Kebo Mundarang yang
sakti itu telah dibinasakan oleh seorang musuh mereka
558 yang masih muda, Raden Wijaya.
Bersama dengan kematian Patih Kebo Mundarang,
pertahanan induk pasukan Kediri itu memang sudah
semakin rapuh menyusut. Ditambah dengan kabar
kematian panglima perang mereka seperti menambah
susut jiwa semangat para prajurit Kediri.
Dan tekanan dari tiga arah pasukan Raden Wijaya ikut
menambah rasa putus asa prajurit Kediri itu.
Tidak dapat dibendung lagi, semangat bertempur para
prajurit Kediri seperti telah hilang, satu persatu jatuh
berguguran didalam setiap kepungan para prajurit Raden
Wijaya yang tidak pernah lepas dari uger-uger perang
berkelompok meski keadaan dan suasana peperangan
telah berpihak kepada mereka. Mereka para prajurit
Raden Wijaya sangat menjunjung arti disiplin, mereka
telah digembleng begitu lama untuk itu dan telah banyak
makan asam dalam perang-perang mereka.
Terlihat Mahesa Amping, Putut Prastawa dan Putu
Risang hanya berdiri mengawasi pertempuran yang
sudah diketahui ujungnya itu, satu persatu prajurit Kediri
sudah begitu putus asa, tidak punya hati lagi untuk
melanjutkan pertempuran. "Aku menyerah", berkata seorang prajurit Kediri yang
melempar pedangnya sebagai tanda menyerah diikuti
oleh beberapa kawannya. Dan langit diatas padang Kadungan terlihat sudah begitu
redup teduh bersama awan hitam bergerumbul terbang
menghalangi cahaya sinar matahari yang mulai gelisah
turun merayapi dinding lengkung langit sebelah barat.
Wajah padang Kadungan teduh sepi tanpa suara denting
senjata beradu, tanpa suara sumpah serapah lagi, hanya
559 sesekali terdengar suara rintihan beberapa orang terluka
di tubuhnya mengerang merasakan rasa perih yang
sangat. Juga beberapa orang telah menghembuskan
nafasnya tidak tertolong lagi akibat luka yang banyak
mengeluarkan darah. Mati diatas bumi tanah Padang
Kandungan. Dan hari telah berada di ujung senja diatas langit Padang
Kadungan ketika terlihat para prajurit Raden Wijaya dan
para tawanan masih mengurus jenasah kawan mereka
dan juga memisahkan orang-orang yang terluka untuk
dirawat, ditolong jiwanya.
"Tenaga dan semangat para prajurit harus dipulihkan,
peperangan ini bukan peperangan terakhir kita", berkata
Raden Wijaya membawa kembali pasukannya kembali
ke barak-barak sederhana di kaki bukit Kadungan
didalam perlindungan sebuah kerapatan hutan yang
melindungi mereka dari sergapan yang mendadak yang
dapat saja terjadi. Sementara itu di waktu yang sama tiga belas ribu
pasukan Mongol sudah mulai bergerak dari arah utara
Kotaraja Kediri. Sebagaimana perhitungan panglima perang pasukan
Mongol itu, bahwa mereka akan sampai di Kotaraja
disaat tengah malam. Disaat semua orang di Kotaraja
Kediri masih tertidur tidak akan menduga bahwa mimpi
buruk mereka adalah sebuah kenyataan pahit yang tidak
akan pernah sedikitpun mereka lupakan.
Dan malam itu berita tentang kekalahan prajurit Patih
Kebo Mundarang telah merembes masuk ke Kotaraja
Kediri. Sebuah berita yang sangat mencekam yang
seperti sebuah kenyataan yang ingin mereka buang jauhjauh. Hampir jauh malam setiap jiwa didalam Kotaraja
560 Kediri seperti sukar sekali untuk memejamkan matanya,
berita kekalahan prajurit Kediri di Padang Kadungan
seperti pukulan yang keras memeningkan kepala


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. "Putra kita mungkin tertawan, atau gugur binasa di
Padang Kadungan", berkata seorang lelaki tua kepada
istrinya di sebuah rumah di Kotaraja Kediri
Jilid 7 Bagian 1 BERAWAL dari berita kekalahan pasukan Patih Kebo
Mundarang yang sudah merembes masuk di Kotaraja
Kediri yang berlanjut pada rasa takut akan kedatangan
pasukan Raden Wijaya menyerang Kotaraja Kediri.
Lucu memang bila malam itu di bumi Kotaraja Kediri
keadaan seperti terbalik, ketika orang miskin menjadi
bahagia, sementara para saudagar kaya merasa tidak
beruntung hidup malam itu. Ketika para pengemis dan
para pengembara dapat tidur nyenyak dimanapun
mereka berada, sementara para pejabat istana tidak
dapat tidur nyenyak didalam rumah mewahnya sendiri
yang berjajar sepanjang jalan utama Kotaraja Kediri.
Pasukan Raden Wijaya tidak datang malam ini, begitu
yang dipikirkan oleh hampir semua orang di Kotaraja
Kediri. Pasukan Raden Wijaya akhirnya menjadi mimpi buruk
bagi mereka malam itu. Tapi malam itu mereka semua terbangun dari mimpi
buruk mereka sendiri bukan oleh pasukan Raden Wijaya,
561 tapi oleh sebuah kenyataan yang sangat buruk yang
tidak mereka sangka sama sekali.
"Pasukan Raden Wijaya!!!", hampir semua orang
berteriak yang sama mengira bahwa pasukan Raden
Wijaya malam itu telah datang menyerang Kotaraja Kediri
ketika mereka mendengar suara langkah kaki kuda
bergemuruh masuk di sepanjang jalan Kotaraja Kediri.
Tapi dugaan mereka meleset jauh, karena yang datang
masuk ke Kotaraja Kediri bukan pasukan Raden Wijaya,
tapi sebuah pasukan yang lebih besar dari yang diduga
oleh siapa pun, sebuah pasukan yang sangat liar dari
pasukan liar manapun di dunia.
Telah datang memasuki Kotaraja Kediri malam itu
sebuah pasukan yang begitu besar sebanyak tiga belas
ribu prajurit Mongol datang memecahkan suasana malam
yang sepi yang memang sudah mencekam sepanjang
malam itu. Dua ribu prajurit Kediri tidak dapat mempertahankan
istana, tiga belas ribu pasukan Mongol seperti air bah
yang tidak dapat dibendung langsung meluluh lantakkan
setiap apapun didepan mereka.
Terlihat banyak orang berlarian menyelamatkan diri
diantara banyak rumah yang sudah mulai menyala
terbakar. Jerit dan tangis terdengar hampir di segala
penjuru dan sisi bumi tanah Kotaraja Kediri.
Kotaraja Kediri sudah terbakar!!
Seperti itulah bila pasukan Mongol menaklukkan sebuah
kota, membakar semua rumah dan bangunan tanpa
tersisa, mengambil dan merampok apapun yang
berharga. Biadab!! 562 Seperti itulah kata yang dapat diucapkan untuk para
prajurit Mongol setiap menaklukkan kota di dunia. Dan
malam itu telah menghinakan hampir semua gadis dan
wanita di Kotaraja Kediri.
Api masih berkobar membara menjilati kayu rumahrumah megah di sepanjang jalan utama Kotaraja Kediri
diiringi suara langkah kaki kuda seperti bayangan setan
malam menakutkan terus mencari mangsa. Dan ratap
tangis air mata seperti tidak pernah reda di sepanjang
malam ternista itu. Sementara itu jauh di ujung malam ketika cahaya pagi
melukis lengkung langit menjadi warna kemerahan di
sebuah hutan di kak? bukit Kadungan.
Terlihat barak-barak sederhana berjajar di hutan itu
dipenuhi para prajurit yang nampaknya masih terlelap
tidur. Mereka adalah pasukan Raden Wijaya yang baru
memenangkan sebuah pertempuran mereka kemarin di
Padang Kadungan mengalahkan musuh mereka para
prajurit Kediri. Ditengah kesunyian awal pagi itu terlihat sebuah barak
dapur umum sudah mulai berasap, sebagai tanda bahwa
disitu sudah ada sebuah kehidupan, kesibukan para
prajurit khusus yang bertugas menyiapkan ransum
makanan untuk semua prajurit pasukan Raden Wijaya.
"Ternyata aku masih dapat melihat kembali ransum
makanan pagiku", berkata seorang prajurit kepada
kawannya ketika seorang petugas membawa sebuah
ransum untuknya. "Pagi kemarin, pagi hari ini atau pagi besok bagiku terasa
hambar selama masih berada jauh dari Tanah Ujung
563 Galuh", berkata kawannya itu dengan suara datar.
"Pasti yang kamu tengah pikirkan adalah si Surti
kemenakan Ki Barep yang membuka kedainya hingga
malam di Bandar Tanah Ujung Galuh", berkata prajurit itu
menebak pikiran kawannya.
"Hanya itu yang aku pikirkan, aku memang telah berjanji
untuk datang melamarnya", berkata kawannya seperti
membenarkan tebakan prajurit di sebelahnya itu.
Sementara itu di padang Kadungan terlihat seorang lelaki
tengah berjalan setengah berlari menuju kearah hutan di
kak? bukit Kadungan. Nampaknya lelaki itu begitu
tergesa-gesa untuk segera sampai di hutan di kak? bukit
Kadungan itu. "Mabujang!!", berteriak seorang anak muda
mengenali lelaki yang berjalan tergesa-gesa itu.
yang Ternyata lelaki itu memang bernama Mabujang terlihat
menoleh kearah anak muda yang memanggilnya dan
langsung mendekati. "Kulihat wajahmu seperti tengah dikejar setan", berkata
anak muda itu kepada Mabujang yang ternyata adalah
Putu Risang. "Antarkan aku ke barak Tuan Raden Wijaya, ada berita
penting dari Kotaraja", berkata Mabujang kepada Putu
Risang. Mendengar perkataan Mabujang, nampaknya Putu
Risang tidak banyak tanya lagi langsung membawa
Mabujang ke barak Raden Wijaya.
Bukan main terperanjatnya Raden Wijaya mendapat
berita tentang Kotaraja Kediri dari Mabujang.
"Aku memang pernah mendengar bahwa pasukan
564 Mongol telah menaklukkan banyak kota, tapi aku baru
hari ini mendengar kebiadaban mereka. Dan kita telah
bersekutu dengan manusia liar seperti mereka", berkata
Raden Wijaya seperti tercenung membayangkan
suasana Kotaraja Kediri seperti apa yang digambarkan
dan diceritakan oleh Mabujang kepadanya.
Matahari pagi diatas padang Kadungan sudah tinggi
bersinar menghangatkan rerumputan hijau dan tanaman
liar di sekitarnya. Juga menyinari beberapa gundukan
tanah merah yang berjajar rapih sebagai pusara tanpa
tanda apapun. Sebuah iring-iringan pasukan Raden Wijaya terlihat
sudah bergerak keluar dari hutan bukit Kadungan seperti
seekor ular raksasa keluar dari mulut hutan merayap
mendekati padang Kadungan yang datar hanya dirimbuni
semak liar dan ilalang yang luas membentang.
Semua mata seperti terpaku menoleh sebentar kearah
gundukan tanah merah itu, terlintas di kepala mereka
wajah mereka yang dikuburkan disana, mungkin seorang
saudara, kawan mereka atau wajah seorang musuh yang
terbunuh di ujung pedang mereka sendiri.
Tanah gundukan merah itu pun akhirnya terlewati
menjadi sepi berkawan ilalang dan bunga semak liar,
sementara rombongan pasukan Raden Wijaya sudah
semakin menjauh meninggalkan padang Kadungan.
Tidak seperti ketika berangkat dari Bumi Majapahit,
pasukan itu nampaknya berjalan begitu lambat karena
bersama mereka membawa begitu banyak tawanan dan
orang terluka. "Beberapa tawanan akan kita kembalikan kepada
keluarganya bila kita telah tiba di Kotaraja Kediri",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping di
565 sebelahnya berjalan perlahan menyesuaikan dengan
langkah kaki prajurit dan para tawanan di belakang
mereka. "Semoga dapat menjadi sedikit penawar duka untuk
mereka", berkata Mahesa Amping menyetujui perkataan
Raden Wijaya mengembalikan tawanan kepada
keluarganya. Rombongan pasukan Raden Wijaya masih terus
bergerak melangkah menuju Kotaraja Kediri, hanya saja
tidak selincah ketika mereka keluar dari bumi Majapahit.
Karena ada bersama mereka para tawanan perang dan
banyak juga orang yang terluka.
Dan Raden Wijaya harus menekan keinginannya untuk
secepatnya sampai ke Kotaraja Kediri manakala
dilihatnya matahari sudah berdiri tepat diatas puncak
langit biru. "Kita beristirahat disini", berkata Raden Wijaya ketika
rombongannya telah tiba di sebuah lembah dimana
terlihat sebuah sungai kecil mengalir melintasi perjalanan
mereka. Ucapan Raden Wijaya adalah sebuah perintah, maka
terdengar para penghubung memerintahkan para prajurit
untuk beristirahat di lembah itu sekedar menghilangkan
kepenatan mereka setelah dari pagi mereka memang
tidak pernah berhenti berjalan.
Terlihat wajah orang-orang yang terluka seperti
bersyukur sejenak tidak merasakan rasa sakit yang
sangat diatas tandu-tandu mereka yang terus bergerak
sepanjang perjalanan. Luka yang masih basah dan
tulang yang patah belum mereka memang sangat
menyiksa bila sedikit ada guncangan. Sementara mereka
terus terguncang selama perjalanan pagi menjelang
566 siang itu. "Kita terlambat setengah hari perjalanan", berkata Raden
Wijaya kepada sahabatnya Mahesa Amping ketika
mereka tengah bergerak kembali melangkah menuju
Kotaraja Kediri. "Batas gerbang timur kota", berkata Putu Risang kepada
Mabujang Terlihat Mabujang menarik nafas panjang, teringat apa
yang terjadi di Kotaraja Kediri malam itu dan dirinya tidak
tahu lebih jauh lagi karena sudah keluar dari Kotaraja
Kediri disaat malam masih kelam disaat para prajurit
Mongol bergentayangan mencari korban dan mangsanya. Dan rombongan pasukan Raden Wijaya sudah
mendekati batas gerbang timur kota disaat senja di
pertengahan. Tanah, batang pohon seperti sepi
menyambut kedatangan rombongan pasukan Raden
Wijaya. Dan rombongan pasukan Raden Wijaya terlihat sudah
memasuki regol gerbang timur Kotaraja seperti melewati
sebuah gapura pusara besar yang sunyi. Kotaraja Kediri
sudah menjadi kota mati. Mungkin sebagian
penghuninya sudah pergi jauh mengungsi. Tersisa
banyak asap masih mengepul diantara puing-puing kayu
tiang rumah bangunan yang hangus terbakar. Dan mulai
terlihat mayat bergelimpangan di sepanjang jalan
Kotaraja Kediri. "Apakah ini sebuah karma?", berkata Raden Wijaya
dalam hati mengingat kembali sebuah gambaran yang
sama ketika dirinya memasuki Kotaraja Singasari di awal
keruntuhannya yang dibakar hangus oleh pasukan
Jayakatwang dibawah pimpinan Patih Kebo Mundarang
567 yang akhirnya telah tewas ditangannya sendiri.
"Rumah kediaman Ki Prasojo seniman perak itu", berkata
Putu Risang kepada Mabujang di sebelahnya mengenal
betul letak sebuah rumah yang sudah musnah terbakar
sebagai tempat kediaman Ki Prasojo.
"Semoga Ki Prasojo sekeluarga saat ini sudah
mengungsi jauh menyelamatkan diri", berkata Mabujang
kepada Putu Risang berharap tidak terjadi apapun pada
diri Ki Prasojo dan keluarganya.
Akhirnya rombongan pasukan Raden Wijaya berhenti
didepan istana yang sudah rata hangus terbakar
menyisakan puing-puing sisa kayu yang gosong terbakar.
"Mereka pergi setelah merampok semua barang
berharga istana dan seluruh isi harta kekayaan Kotaraja
Kediri", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.
Sementara itu beberapa prajurit sudah menyebar masuk
ke dalam istana memeriksa mayat-mayat para prajurit
Kediri yang ditinggalkan begitu saja bergelimpangan di
berbagai tempat. Berkat ketelitian mereka akhirnya telah menemukan
seorang prajurit yang ternyata masih hidup dan dapat
diselamatkan, mungkin prajurit Mongol itu telah mengira
orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
Dari prajurit Kediri yang masih hidup itu didapat sebuah
keterangan bahwa Raja Jayakatwang bersama Ratu
Turuk Bali telah dibawa oleh Pasukan Mongol sebagai


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawanan perang. Mendengar keterangan itu terlihat ada secercah cahaya
kegembiraan di mata Raden Wijaya.
"Bibi Ratu Turuk Bali masih hidup", berkata Raden
Wijaya lirih dalam hati. 568 Akhirnya Raden Wijaya memerintahkan prajuritnya
membuat barak-barak darurat sementara di sekitar
depan istana untuk tempat beristirahat mereka karena
tidak ada satu pun bangunan yang dapat dipergunakan
lagi di Kotaraja Kediri itu.
"Aku perlu pemandu jalan pintas menuju muara Kalimas",
berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon
"Hamba mengenal seorang petugas telik sandi yang
mengenal tiap jengkal jalan di Jawadwipa ini dengan
baik", berkata Gajah Pagon pamit diri untuk datang lagi
membawa seorang pemandu. Tidak lama berselang Gajah Pagon telah kembali
bersama seseorang dan memperkenalkannya kepada
Raden Wijaya sebagai seorang pemandu yang ternyata
adalah Mabujang, seorang petugas telik sandi pembawa
berita tentang kehancuran Kotaraja Kediri tadi pagi.
"Berapa lama perjalanan menuju Muara Kalimas",
bertanya Raden Wijaya kepada Mabujang.
"Dengan berkuda perlu waktu dua hari dua malam
dengan sedikit beristirahat", berkata Mabujang kepada
Raden Wijaya. "Siapkan empat puluh orang terbaik, malam ini juga kita
berangkat mencegat pasukan Mongolia di tepian muara
Kalimas", berkata Raden Wijaya kepada Gajah Pagon.
Demikianlah, setelah memberi beberapa pesan kepada
para prajurit yang ditinggalkan di Kotaraja Kediri itu,
Raden Wijaya malam itu juga telah berangkat bersama
empat puluh orang terbaiknya menuju Muara Kalimas
dengan empat puluh ekor kuda terbaik pula yang mereka
miliki. Angin dimalam itu terasa begitu dingin, terlihat bayangan
569 hitam rombongan orang berkuda keluar dari gerbang
timur batas kota Kotaraja Kediri. Mereka membawa
kudanya seperti terbang membelah udara malam
memburaikan pakaian serta rambut mereka. Begitulah
mereka menembus setiap jalan yang dilalui sepanjang
malam itu tanpa beristirahat sedikitpun.
Ketika pagi telah datang pasukan berkuda itu masih terus
berlari, terlihat saat itu mereka tengah membelah padang
ilalang bersama angin berlari seperti terbang melayang.
Hanya sebentar mereka beristirahat sekedar memberi
kesempatan kuda-kuda mereka merumput dan minum di
sebuah sungai kecil yang mereka lewati.
Dan empat puluh orang penunggang kuda itu sudah
terlihat lagi memacu kudanya berlari menyusuri lembah
dan bukit, membelah padang ilalang dan berpacu diatas
bulakan panjang diantara dua padukuhan.
"Pasukan berkuda itu berlari seperti mengejar angin",
berkata seorang lelaki tua di pinggir sebuah pagar rumah
kepada istrinya ketika melihat pasukan berkuda itu berlari
di sebuah jalan padukuhan.
"Kita harus membelah bukit didepan sana, itulah jalan
pintas yang terdekat menuju Muara Kalimas", berkata
Mabujang memperkirakan jalan yang harus mereka
lewati. Demikianlah, sesuai arahan dari Mabujang sebagai
seorang pemandu jalan mereka terlihat tengah
membelah sebuah bukit yang terjal. Dengan susah payah
akhirnya mereka dapat membelah bukit itu dan
sampailah mereka di sebuah hutan kecil berbukit disaat
hari telah mulai menjadi gelap.
"Kamu memang seorang pemandu yang hebat", berkata
570 Raden Wijaya kepada Mabujang ketika mereka
beristirahat sejenak memberi kesempatan kuda-kuda
mereka merumput di sebuah hutan bukit kecil itu yang
ternyata adalah hutan bukit Cemara.
"Kita sudah mendahului dua hari perjalanan pasukan
Mongol", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping
yang tengah memandangi wajah bulan diatas langit
hutan bukit Cemara. Bumi Majapahit masih terlihat sepi, sementara wajah
langit pagi masih ditemani bintang kejora sang perindu.
Disaat seperti itulah Raden Wijaya dan rombongannya
memasuki bumi Majapahit. Dan mereka langsung menuju
Pasanggrahan Raden Wijaya.
Ki Sandikala yang mendengar berita kedatangan Raden
Wijaya dan rombongannya langsung menjumpai Raden
Wijaya di Pasanggrahannya bersama Mahesa Pukat dan
Kebo Arema. Pertemuan yang mengharukan manakala Raden Wijaya
dan Mahesa Amping melihat Mahesa Pukat dan Kebo
Arema datang bersama Ki Sandikala.
"Kalian memang dua anak muda yang dapat diandalkan",
berkata Mahesa Pukat penuh kebahagiaan melihat
Raden Wijaya dan Mahesa Amping telah tumbuh sebagai
pemimpin muda. Akhirnya mereka saling bercerita selama perpisahan
yang panjang itu. Bermula Mahesa Pukat bercerita
tentang perjalanan mereka ke Tanah Melayu dimana
kepulangan mereka tertunda akibat sebuah pertempuran
mereka di laut selat Bangka dengan pasukan Mongol.
"Kami terpaksa mundur kembali ke Tanah Melayu
menunggu suasana yang aman dapat menembus selat
571 Bangka", berkata Mahesa Pukat bercerita mengapa
begitu lama mereka baru kembali.
"Dan hari ini kami datang kembali bersama Dara Jingga
dan Dara", berkata Mahesa Pukat sambil menatap wajah
Mahesa Amping dan Raden Wijaya bersamaan.
"Mereka berdua datang bersama kalian?", bertanya
Raden Wijaya penuh kegembiraan.
"Saat ini mereka ada bersama para putra mereka di
Pasanggrahan Mahesa Amping", berkata Ki Sandikala
menjawab pertanyaan Raden Wijaya.
Saling bercerita pun berlanjut, kali ini diwakili oleh Raden
Wijaya sendiri. Raden Wijaya bercerita dengan singkat kemenangan
mereka menghadapi pasukan Patih Kebo Mundarang di
Padang Kadungan. Raden Wijaya juga bercerita tentang
keadaan terakhir Kotaraja Kediri yang telah hancur
runtuh diporak-porandakan pasukan Mongol.
"Syukurlah, jung Singasari tidak dapat mereka kuasai
dalam sebuah pertempuran kami dengan pasukan
Mongol itu di Selat bangka", berkata Kebo Arema setelah
mendengar cerita tentang kebiadaban pasukan Mongol
di Kotaraja Kediri. "Aku merasa bersalah, menerima pasukan itu di Tanah
Ujung Galuh, menyerahkan seorang pemandu yang
dapat membawa mereka melewati jalur sungai", berkata
Raden Wijaya seperti menyesali semua tindakannya
bersekutu dengan pasukan asing itu.
"Tugas seorang pemimpin adalah membuat sebuah
keputusan, namun tidak mudah membuat sebuah
keputusan yang dapat diterima oleh banyak orang.
Jangan menyesali sebuah keputusan, tapi bagaimana
572 kita menghadapi segala kemungkinan akibat keputusan
itu", berkata Kebo Arema merasa kasihan melihat wajah
Raden Wijaya penuh rasa sesal pada dirinya.
"Kami memang telah menyiapkan banyak persiapan
dalam banyak kemungkinan. Kami telah menyiapkan
sebuah pasukan khusus dibawah kendali Ki Sandikala",
berkata Mahesa Amping sambil bercerita tentang
rencana dan siasat mereka menghadapi pasukan asing
itu. "Sebuah siasat perang yang hebat", berkata Mahesa
Pukat setelah mendengar dengan singkat rencana dan
siasat mereka menghadapi pasukan asing itu.
"Bangsa kita dikenal sebagai pelaut ulung yang selalu
jaya di lautan, sementara mereka adalah para penguasa
darat yang sangat ditakuti di daratan terutama kemahiran
pasukan berkuda mereka yang paling ditakuti siapapun
raja di banyak dunia. Siasat perang air memang sebuah
siasat yang paling tepat menghadapi mereka", berkata
Kebo Arema menyetujui rencana siasat itu.
"Kita masih punya dua hari menghadapi mereka di muara
sungai Kalimas", berkata Raden Wijaya penuh semangat.
Pertemuan di Pasanggrahan Raden Wijaya menjadi lebih
semarak lagi manakala Dara Petak dan Dara Jingga
datang bersama putra-putra mereka Jayanagara dan
Adityawarman. "Nanti malam nampaknya akan turun hujan di Bumi
Majapahit ini", berkata Kebo Arema membuat sebuah
canda yang diketahui kemana maksud tujuannya yaitu
menggoda Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang baru
bertemu kembali dengan istri-istri mereka setelah lama
berpisah. 573 "Kami orang tua pasti tahu diri", berkata Ki Sandikala
disambut tertawa oleh semua yang hadir di pendapa
pasanggrahan Raden Wijaya.
"Ki Sandikala benar, aku dan tuan Senapati Mahesa
Pukat memang berniat mengungsi ke pasanggrahannya",
berkata Kebo Arema menyambung ucapan Ki Sandikala.
"Aku memang tidak sabar menunggu cerita petualangan
sahabatku Kebo Arema ini", berkata Ki Sandikala.
Dan tidak terasa matahari sudah berada diatas atap
Pasanggrahan Raden Wijaya, jamuan makan siang pun
mengalir mengisi mangkuk-mangkuk dihadapan mereka
diatas pendapa pasanggrahan Raden Wijaya.
Setelah menikmati jamuan makan siang, pembicaraan
pun berlanjut. Dan cerita pun berlanjut dalam banyak
kisah sejauh perpisahan diantara mereka hingga tidak
terasa matahari sudah mulai terlihat redup di lengkung
barat bumi. "Kami pamit lebih dulu, membawa dua orang tua ini ke
pasanggrahanku", berkata Ki Sandikala bermaksud pamit
diri membawa Kebo Arema dan Mahesa Pukat ke
Pasanggrahannya. "Kami juga pamit diri", berkata Mahesa Amping yang
langsung berdiri diikuti oleh Dara Jingga dan putra
mereka Adityawarman. Pendapa itu akhirnya seperti menjadi begitu sepi, hanya
ada Raden Wijaya, Dara Petak dan putra mereka
Jayanagara. Angin bertiup sepoi basah terlihat menerbangkan
setangkai daun maja kering di halaman muka
pasanggrahan Raden Wijaya.
"Sepertinya malam ini memang akan turun hujan",
574 berkata Raden Wijaya memandang wajah dara Petak
yang juga tengah memandangnya dengan pandangan
mata penuh cinta dan kerinduan.
Dan senja pun akhirnya jemu menjaga bumi pergi
menghilang sembunyi dibalik keremangan malam. Bumi
Majapahit malam itu begitu sepi berteman dengan suara
gerimis panjang yang mewarnai hari-hari di awal musim
penghujan itu. Namun gerimis panjang itu tidak merusak kehangatan
pembicaraan tiga orang lelaki diatas pendapa
pasanggrahan Ki Sandikala. Terlihat Ki Sandikala,
Mahesa Pukat dan Kebo Arema seperti terpaku diatas
duduknya, mereka ternyata tengah membahas sebuah
persiapan rencana penyerangan mereka menghadapi
pasukan asing yang diperhitungkan akan melewati aliran
sungai Kalimas. "Dua ribu pasukan Singasari akan ikut meramaikan pesta
besar itu", berkata Mahesa Pukat menawarkan pasukan
yang datang bersamanya dari Tanah Melayu.
"Aku pernah mendengar bahwa mereka sangat mahir
berperang di lautan", berkata Ki Sandikala mendengar
tambahan dua ribu prajurit Singasari dari Mahesa Pukat.
"Aku akan meramaikannya dengan sepuluh perahu
perusak", berkata Kebo Arema mengusulkan dalam
waktu singkat menyiapkan sepuluh perahu perusak.
"Nampaknya aku bercakap-cakap dengan seorang
mantan bajak laut", berkata Ki Sandikala menyetujui
usulan Kebo Arema yang punya banyak pengalaman
khusus dalam peperangan di lautan.
"Aku hanya sering berada dibelakang layar, sementara
kemampuan bertandingku masih jauh dibelakang
575 seorang pendeta dari Lamajang", berkata Kebo Arema
yang sudah mulai mengenal Ki Sandikala seorang guru
besar padukuhan Teratai putih yang tersebar antara
Jawadwipa dan Balidwipa itu.
"Sahabat Raja Kertanegara yang sakti pasti tidak bertaut
banyak dengan sahabatnya", berkata Ki Sandikala yang
merasa yakin bahwa Kebo Arema pasti seorang yang
berilmu tinggi. Sementara itu Mahesa Amping, Dara Jingga dan
Adityawarman juga sudah berada di Pasanggrahannya
malam itu. Mahesa Amping merasa gembira melihat Nariratih sudah
mengenal Dara Jingga. Kepada Dara Jingga, Mahesa
Amping bercerita tentang pertemuannya dengan
Nariratih, namun tetap merahasiakan nama asli Mahesa
Muksa yang sebenarnya bernama Gajahmada.
"Semula aku menyangsikan hubungan kalian tidak
terbatas pada hubungan seorang tuan kepada
hambanya. Tapi setelah mendengar sendiri cerita dari
Kangmas, aku percaya bahwa Kangmas tidak pernah


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdusta kepadaku", berkata Dara Jingga kepada
Mahesa Amping. Mahesa Amping yang mengetahui kehalusan seorang
wanita terlihat menarik nafas dalam-dalam. Didalam
hatinya sendiri kadang ada sebuah dusta yang tersamar
tentang perasaan hati seorang lelaki berhadapan dengan
seorang wanita seperti Nariratih.
"Gerimis seperti ini biasanya akan sangat lama dan
panjang", berkata Dara jingga mengisi suasana
kekosongan diantara mereka.
"Benar, mungkin akan berlanjut mendekati awal pagi
576 nanti", berkata Mahesa Amping menanggapi.
Dan pagi diatas bumi Majapahit nampaknya begitu cerah
setelah semalaman diguyur oleh gerimis yang panjang.
Terlihat tiga orang lelaki tengah berjalan diatas tanah
basah di halaman muka Pasanggrahan Ki Sandikala.
Ketiga lelaki itu ternyata adalah Ki Sandikala, Mahesa
Pukat dan Kebo Arema yang akan pergi ke Benteng
Tanah Ujung Galuh. Setelah sampai disana mereka meminta kepada
beberapa prajurit untuk menyiapkan secepatnya sepuluh
perahu perusak. Sebuah perahu kayu yang cukup besar
dilengkapi sebuah besi tajam bercagak di depan
anjungannya. Setelah memberi pesan yang cukup kepada para prajurit
yang akan menyiapkan sepuluh perahu perusak, terlihat
mereka berjalan kearah muara sungai Kalimas.
Terlihat mereka berjalan menyusuri tepian Kalimas
hingga jauh ke pedalaman.
"Di tikungan sungai ini kurasa tempat yang paling tepat
untuk menjamu tamu-tamu asing kita", berkata Kebo
Arema kepada Mahesa Pukat dan Ki Sandikala.
"Sebagaimana sekelompok bajak laut menunggu
mangsanya", berkata Ki Sandikala mengagumi ketelitian
Kebo Arema menyusun rencana peperangan mereka.
"Disinilah tempat yang baik untuk menempatkan
beberapa orang pengintai yang akan melemparkan
panah sanderannya begitu melihat para tamu asing itu
mendekati meja perjamuannya", berkata Kebo Arema
ketika mereka tiba di sebuah tempat yang tidak begitu
jauh dari arah tikungan sungai Kalimas di dekat
muaranya itu. 577 "Mendengar kata perjamuan, aku jadi tidak sabar untuk
mengarak Putri Gayatri dan Raden Wijaya dalam
upacara pungut mantu nanti.
Demikianlah, setelah menyusuri sungai Kalimas, terlihat
mereka kembali ke arah semula, kearah muara sungai
Kalimas. Namun pembicaraan mereka telah menyimpang
jauh, tidak lagi mengenai sebuah rencana peperangan,
tapi berkisar tentang rencana upacara pungut mantu
antara Raden Wijaya dan putri Raja Kertanegara
bernama Gayatri yang saat itu telah tinggal bersama di
Pasanggrahan Ki Sandikala ditemani oleh Endang Trinil
anak kemenakan Ki Sandikala.
"Aku banyak berharap, semoga Dara Petak dapat
berpikir jernih, pernikahan diantara mereka adalah
sebuah ikatan suci, ikatan garis penyambung keluarga
memperkuat silsilah mahkota", berkata Ki Sandikala
kepada Mahesa Pukat dan Kebo Arema.
"Dalam perjalanan kami berlayar dari Tanah Melayu, aku
sudah dapat mengenal lebih dekat dengan putri Raja
tanah Melayu itu, Dara Petak menurutku adalah seorang
wanita dewasa yang punya wawasan cukup luas, juga
keseimbangan jiwanya menilai apapun yang datang
kepadanya. Seorang Wanita yang tabah", berkata Kebo
Arema kepada Ki Sandikala dan Mahesa Pukat.
Tidak terasa mereka berjalan sudah sampai di muara
sungai Kalimas. "Mari kita kembali ke Bumi Majapahit, aku ingin kalian
berdua menilai kesiapan pasukan khusus kami", berkata
Ki Sandikala kepada Mahesa Pukat dan Kebo Arema.
Sementara itu, di sebuah aliran Sungai Brantas terlihat
iring-iringan perahu besar terlihat laju terbawa arus air
yang cukup deras di awal musim penghujan di tahun itu.
578 "Beberapa hari yang lalu aku melihat mereka melaju ke
hulu, sekarang mereka sudah akan kembali ke hilir",
berkata seorang lelaki kepada kawannya diatas sebuah
jukung ketika melihat rombongan armada pasukan
Mongol melintas di sungai Brantas.
"Sebuah jung besar yang indah, tapi tidak sebesar jung
Singasari", berkata kawannya melihat sebuah ukiran ular
naga yang indah menghiasi anjungan perahu kau itu.
"Para pembajak pasti enggan mendekati mereka",
berkata lelaki itu kembali kepada kawannya.
Kedua orang itu tidak tahu bahwa iring-iringan perahu
besar itu adalah sebuah armada perang bangsa Mongol
yang baru kembali dari Kotaraja Kediri setelah
memporak-porandakan serta merampok semua barang
berharga di istana maupun seluruh rumah milik orang
Kediri di Kotaraja. Seandainya mereka tahu dan melihat
langsung perlakuan liar pasukan Mongol itu di Kotaraja
Kediri pasti kedua orang itu tidak akan berani berada dan
terlihat oleh pasukan liar itu.
Untungnya mereka tidak tahu, juga tidak mengetahui
sedang apa sebagian dari mereka diatas perahu besar
itu. Ternyata mereka sedang berpesta pora merayakan
kemenangan mereka. Dan yang sangat memilukan hati
bahwa mereka berpesta pora diantara para tawanan
wanita yang baru saja mereka dapatkan dari Kotaraja
Kediri. Para wanita yang mereka ambil dari seorang
suami yang mereka bunuh, atau para gadis yang mereka
rampas dengan paksa dari rumah-rumah yang mereka
bakar setelah membunuh semua penghuninya,
menyisakan para kaum perempuannya.
Hari itu adalah hari ke tiga pelayaran mereka menyusuri
sungai Brantas bermaksud untuk kembali ke Bandar
579 Tanah Ujung Galuh untuk selanjutnya kembali ke tanah
leluhurnya jauh di daratan Cina.
Sementara itu, di salah satu perahu besar itu, dimana
seorang panglima perang mereka berada suasananya
tidak berbeda, mereka juga sepanjang perjalanan tengah
berpesta pora merayakan kemenangan mereka.
"Yang Dipertuan agung Kubilai Khan telah menyediakan
persiapan pangan yang cukup besar, persediaan pangan
untuk satu tahun perjalanan. Sementara kita
mendapatkan harta rampasan perang yang berlimpah,
mari kita rayakan kemenangan ini", berkata Panglima
perang itu diantara para perwiranya yang menyambutnya
dengan suasana sorak kegembiraan.
"Dan sebagai bukti bahwa kita telah menaklukkan
Kerajaan Jawadwipa, kita telah membawa Raja dan Ratu
mereka hidup-hidup", berkata kembali Panglima perang
itu dengan suara lebih keras lagi disambut oleh sorak
dan sorai lebih keras lagi dari para perwiranya.
Sementara itu matahari sudah berada di seberang barat
jauh di belakang mereka manakala iring-iringan perahu
itu telah memasuki sungai Kalimas.
Dan pesta pora diatas perahu pasukan Mongol itu masih
terus berlangsung bahkan semakin kian meriah ketika
langit malam memayungi sepanjang sungai Kalimas,
memayungi hutan di pinggir kanan kiri sepanjang aliran
sungai itu. Dan mereka terus berpesta pora sepanjang malam itu.
Terlihat iring-iringan perahu besar mereka telah
memasuki aliran sungai muara Kalimas ketika bintang
kejora terlihat bersinar terang di langit timur, hari
memang telah menjelang pagi.
580 Diatas perahu-perahu besar itu sudah tidak terdengar
lagi suara kegaduhan, tidak terdengar lagi suara
kemeriahan pesta pora. Yang tersisa adalah kendi-kendi
dan cawan arak yang bertebaran diatas geladak bersama
suara dengkur sebagian prajurit yang terlihat tergeletak
diatas geladak setelah semalaman lelah berpesta pora
minum arak sepuasnya. Hari memang masih gelap dan dingin diatas sungai
Kalimas mendekati pagi itu.
Mereka tidak menyadari sama sekali bahwa beberapa
pasang mata tengah menunggu kedatangan mereka.
Mereka tidak menyadari ketika sebuah panah sanderan
terlihat melambung tinggi membelah langit diatas sungai
Kalimas. Dan mereka tidak sama sekali menyadari ketika
sepuluh perahu perusak telah menghadang perjalanan
mereka. Barulah mereka menyadari ketika beberapa perahu
mereka terguncang ditabrak sebuah perahu perusak
didepan mereka. Namun baru saja mereka menyadari bahwa mara bahaya
tengah mengepung diri mereka, ribuan panah berapi
terlihat meluncur menghujani iring-iringan perahu prajurit
Mongol itu. Terdengar jeritan para prajurit Mongol yang tertembus
panah berapi, dan perahu mereka sudah terbakar, api
berkobar di mana-mana. Belum juga para prajurit Mongol itu menguasai keadaan,
tiba-tiba saja ratusan jukung kecil telah mendekati
perahu-perahu prajurit Mongol itu. Dan ribuan orang
terlihat berloncatan dengan tangkas dan cepatnya seperti
air bah memenuhi perahu para prajurit Mongol itu.
581 Raden Wijaya memimpin pasukannya telah melompat di
sebuah perahu langsung menyerang prajurit asing yang
masih terkejut tidak tahu harus berbuat apa. Tapi naluri
prajurit mereka sudah dapat langsung menyesuaikan diri,
tapi dengan persiapan yang terlambat digilas habis
pasukan Raden Wijaya. Sementara itu di perahu lain, terdengar suara cambuk
menggelegar seperti sebuah petir terlihat berputar-putar
melecut kesana kemari menimbulkan suara jeritan
tertahan korban di ujung cambuknya. Ternyata orang
bercambuk itu adalah Mahesa Amping yang sengaja
membuat suara petir dengan cambuknya untuk
meruntuhkan nyali pihak lawan yang mendengarnya.
Di perahu lainnya, ternyata Putu Risang telah berbuat
yang sama sebagaimana Mahesa Amping, telah melepas
cambuk pendeknya dengan gerak sendal pancing, maka
terdengar suara petir membahana di pagi yang masih
gelap itu telah menjatuhkan perasaan para prajurit asing.
Sementara cambuknya seperti kepala ular yang hidup
dan bermata, satu persatu prajurit asing itu jatuh
berguguran terkena cambuk pendeknya. Keadaan itu
telah membangkitkan semangat para prajurit pribumi
yang tergabung dalam pasukan khusus itu menghadapi
para prajurit asing. Dalam waktu yang singkat jumlah
prajurit asing didalam perahu itu langsung menyusut
surut. "Sekarang aku menjadi yakin, mengapa tuanku Raden
Wijaya begitu percaya kepada anak muda itu, ternyata
ilmunya memang sangat dapat diandalkan", berkata
Mabujang yang berada dalam satu perahu bersama Putu
Risang melihat sepak terjang Putu Risang menggerakkan
cambuk pendeknya. Di perahu lainnya lagi, seorang Kebo Arema seperti
582 seekor banteng mengamuk dengan sebuah badik
pendek senjata andalannya telah merobohkan begitu
banyak prajurit asing. Rupanya Kebo Arema ingin
membalas kekalahannya dalam pertempuran mereka di
selat Bangka. Terlihat juga Ki Sandikala, meski tidak melepas senjata
andalannya yaitu sebuah cakra, tapi tidak mengurangi
ketrenginasannya. Para prajurit asing terlihat seperti
rayap diterjang api obor yang berjalan. Siapa pun prajurit
asing yang mendekat langsung tersapu, terlempar
terkena pukulan dan tendangannya.
Senapati Mahesa Pukat, Ranggalawe, Gajah Pagon,
Putut Prastawa, Menak Koncar dan Menak Jingga adalah
para ksatria yang menjadi perhitungan, ikut menyerbu
bersama pasukan gabungan itu menguasai satu persatu
prajurit asing didalam perahu besarnya.
Luar biasa memang akibat dari serangan yang
mendadak dan begitu tiba itu, setengah prajurit Mongol
itu sudah langsung menjadi korban. Tiga ribu pasukan
khusus Raden Wijaya memang sudah disiapkan untuk
serangan mendadak itu, ditambah seribu mantan prajurit
Singasari dibawah Senapati Mahesa Pukat adalah para
petarung di lautan membuat para prajurit Mongol yang
sangat ditakuti di daratan terutama pasukan berkudanya
seperti tidak mampu melayani serangan pasukan
gabungan itu. Dalam waktu yang begitu singkat sebagian
perahu-perahu besar itu sudah langsung dapat dikuasai
oleh para prajurit gabungan itu.
Seperti air bah, bilamana mereka telah menguasai satu
perahu lawan, maka mereka beralih membantu kawan
mereka ditempat lain di perahu lawan lainnya yang belum
sepenuhnya dikuasai pasukan pribumi itu.
583 "Raden Wijaya berkhianat", berkata seorang yang
berpakaian panglima perang penuh rasa geram
bercampur kegusaran menyaksikan satu persatu perahu
besar sudah dikuasai para pasukan pribumi. Dengan
wajah merah penuh kemarahan telah membantai
siapapun prajurit yang datang mendekat.
"Kita harus keluar dari kepungan ini", terdengar orang
berpakaian panglima perang itu berteriak kencang.
Ternyata teriakan itu adalah sebuah perintah, terlihat


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perwira bawahannya berteriak yang sama. Maka
seketika itu juga terlihat layar perahu itu sudah
dikembangkan. Dan dengan suara setengah memaksa
memerintahkan para budak mereka mengayuh perahu itu
lebih cepat lagi. Terlihat sebuah perahu besar milik prajurit asing telah
dapat keluar dari kepungan itu. Kegelapan pagi telah
menyelamatkan mereka dari sergapan yang mendadak
itu. Perahu besar itu telah menghilang jauh di kegelapan
pagi sungai Kalimas meninggalkan perahu besar lain
kawan mereka yang sepertinya telah menjadi bulanbulanan para prajurit pribumi.
Demikianlah, tiga ribu pasukan Raden Wijaya yang
dibantu dua ribu pasukan Mahesa Pukat yang baru
kembali dari Tanah Melayu telah dapat menguasai
jalannya pertempuran. Satu persatu prajurit asing itu telah berjatuhan, dan satu
persatu perahu besar milik prajurit asing itu telah dapat
mereka kuasai. Terlihat sang Fajar telah bersinar di atas sungai Kalimas,
terdengar sorak sorai pasukan gabungan itu
menyuarakan kemenangan mereka ditengah asap yang
mengepul membakar perahu besar berukir naga besar di
584 anjungannya itu. Sebuah perahu besar yang indah yang
datang dan berlayar dari tempat yang jauh di seberang
lautan di pantai Cina daratan akhirnya telah tenggelam di
dasar sungai Kalimas, di sebuah sungai kecil yang belum
pernah didengar sebelumnya, untuk pertama kalinya
didatangi oleh orang asing yang tidak dapat diceritakan
oleh mereka karena nama mereka ikut tenggelam
bersama perahu berukir naga besar di anjungannya itu.
Raden Wijaya dan para ksatria bumi Majapahit masih
melihat perlahan tapi pasti dua belas perahu besar
pasukan asing itu tenggelam terseret aliran sungai
Kalimas. Perlahan tapi pasti hanya terlihat tiang-tiang
layarnya masih muncul di permukaan air sungai Kalimas
bersama mayat-mayat yang terapung terbawa aliran
sungai Kalimas yang terlihat sudah mulai naik meluap di
awal musim penghujan itu.
Dan tiang-tiang kayu layar perahu akhirnya sudah tidak
terlihat lagi di permukaan sungai Kalimas, tenggelam
bersama barang muatannya, tenggelam bersama sisasisa kenangan pahit yang datang bersama para pasukan
asing itu dengan segala kesombongannya, dengan
segala keangkuhanya dari sebuah armada besar prajurit
yang paling disegani di segala medan pertempuran.
Syukurlah para prajurit Raden Wijaya dapat menolong
dan menyelamatkan beberapa orang tawanan perang
yang sebagian besar adalah para wanita. Tidak
sebagaimana luka para prajurit yang dapat diobati.
Sementara hati dan perasaan para wanita itu memang
perlu waktu yang lama untuk dapat kembali hidup
sebagaimana semula. Luka mereka ada di dalam lubuk
hati yang paling dalam, luka tersiksa dan teraniaya dalam
cengkraman kebuasan para prajurit asing yang tidak
mengenal lagi norma-norma kehidupan. Sekelompok
585 manusia yang dipenjarakan oleh nafsu kebiadaban, lebih
rendah dan lebih kotor dari binatang yang paling hina
sekalipun. "Akhirnya kita dapat mengalahkan keangkuhan mereka",
berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya disampingnya di tepian sungai Kalimas sambil
memandangi satu persatu tiang layar perahu milik
pasukan asing itu tenggelam menghilang dari permukaan
air sungai Kalimas "Ada satu yang dapat meloloskan diri, aku berharap
paman dan bibiku masih hidup ada bersama mereka",
berkata Raden Wijaya kepada Ki Sandikala.
"Saat ini sudah ada dalam pergantian arah angin laut,
perahu besar mereka tidak akan dapat membawa
mereka kembali ke tempat asal mereka, angin Muson
akan membawa mereka ke arah timur", berkata Ki
Sandikala kepada Raden Wijaya.
Terlihat wajah Raden Wijaya berubah cerah, terlintas
didalam benaknya bahwa bibi dan pamannya Raja
Jayakatwang masih dapat diselamatkan kembali dari
tangan orang-orang asing itu.
"Mereka masih belum jauh", berkata Raden Wijaya
penuh harapan kepada Ki Sandikala.
"Ijinkan hamba memerintahkan beberapa orang untuk
mencari Ratu dan Raja Kediri itu", berkata Ki Sandikala
kepada Raden Wijaya. "Pergantian musim angin laut masih enam bulan
kedepan", berkata Raden Wijaya.
"Benar, kita dapat mencari mereka di beberapa daratan
terdekat", berkata Ki Sandikala.
Demikianlah, pada hari itu juga Ki Sandikala telah
586 memerintahkan beberapa orang mengejar perahu asing
itu dimana diperkirakan mereka telah membawa Ratu
dan Raja Kediri sebagai tawanan perang. Putut
Prastawa, Menak Jingga, Menak Koncar dan Putu
Risang masing-masing telah ditunjuk sebagai pemimpin
dalam beberapa kelompok pencarian itu.
"Kalian berpencar ke segala arah penjuru kemungkinan
dimana perahu asing itu merapat di daratan. Segeralah
meminta bantuan bila perhitungan kalian tidak mampu
menghadapi pasukan mereka", berkata Ki Sandikala
memberikan arahan kepada kelompok pasukan yang
akan memburu keberadaan perahu asing itu untuk
merebut kembali Ratu dan Raja Kediri yang masih
menjadi tawanan perang mereka.
Maka setelah mendengarkan pengarahan dari Ki
Sandikala, terlihat pasukan pencari itu telah berangkat
dari Bumi Majapahit menuju Bandar Tanah Ujung Galuh.
Mereka akan berpencar mencari di beberapa daratan
terdekat. Setiap kelompok membawa seorang prajurit
yang sangat mahir mengenal arah angin dan mengenal
dimana daratan terdekat, sebuah dari beberapa
kemungkinan perahu asing itu merapat berlindung untuk
sementara waktu menunggu pergantian arah musim
angin yang dapat membawa mereka kembali ke tempat
asalnya di daratan Cina. "Kita bergabung dalam kelompok yang sama wahai anak
muda", berkata Mabujang sambil berlari mendekati
seorang anak muda yang ternyata adalah Putu Risang
ketika mereka sama-sama menuju ke Bandar Tanah
Ujung Galuh. Bandar Tanah Ujung Galuh hari itu sudah mendekati
senja, air biru laut sudah mulai terlihat kelam menampar
bibir-bibir dermaga kayu.
587 Terlihat sebuah perahu bercadik mulai menjauhi
dermaga menuju laut lepas, mereka adalah salah satu
perahu bercadik dari kelompok pemburu yang berpencar
berangkat mencari keberadaan sisa pasukan asing yang
telah membawa Raja dan Ratu Kediri sebagai tawanan
perang. Dan Putu Risang bersama Mabujang ada dalam
salah satu perahu prajurit pemburu itu.
Sementara itu di hari yang sama jauh dari Bandar Tanah
Ujung Galuh, di sebuah laut lepas terlihat sebuah perahu
besar berukir naga besar di anjungannya terapung diatas
laut sunyi dengan layar terkembang penuh.
Ternyata perahu besar itu adalah para prajurit Mongol
yang tersisa, yang dapat meloloskan diri dari sergapan
pasukan Raden Wijaya di sungai Kalimas. Dan dengan
sangat terpaksa mereka harus mengikuti arah bertiupnya
angin yang membawa mereka berlayar tanpa arah tujuan
kearah timur, terapung di laut sunyi.
"Magucin dan Yongki, kalian lebih mengenal Raden
Wijaya dibandingkan diriku. Apa kira-kira yang ada dalam
pikirannya saat ini, terutama pikirannya tentang kita",
berkata seorang berpakaian panglima perang pasukan
itu diatas perahu besar mereka kepada dua orang
perwira bawahannya bernama Magucin dan Yongki, dua
orang yang pernah diselamatkan oleh Ki Sandikala dan
telah diantar ke Bumi Majapahit diperkenalkan kepada
Raden Wijaya. "Kita telah membuat marah Raden Wijaya dimana kita
telah menawan Raja dan Ratu Kediri, salah satu
perjanjian yang telah kita langgar kesepakatan
bersamanya", berkata Magucin mewakili kawannya
Yongki kepada sang Panglima perang mereka.
"Raja dan Ratu Kediri itu sangat berharga sebagai
588 jaminan pertanda kepada Kaisar Yang Dipertuan Agung
Kubilai Khan bahwa tugasku di Jawadwipa telah dapat
kulaksanakan dengan baik", berkata Panglima perang
mereka dengan suara keras sepertinya merasa
tersinggung dikatakan oleh Magucin telah menghianati
sebuah kesepakatan dengan Raden Wijaya. "Yang ingin
kutanyakan adalah apa yang ada dalam pikiran Raden
Wijaya terhadap kita saat ini", bertanya kembali Panglima
Perang itu. "Tuan Panglima Ike Mese ingin tahu apa yang
diperbuat Raden Wijaya saat ini?", berkata Yongki
tahu tabiat Panglima perangnya yang tidak
dipersalahkan, seorang yang mudah marah
dipanggil sebagai Panglima Ike Mese oleh Yongki.
akan yang ingin yang "Untuk itulah kalian berdua kupanggil, bukan untuk bicara
yang lain", berkata Panglima Ike Mese dengan suara
masih tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh
Magucin. "Yang pasti bahwa Raden Wijaya akan memerintahkan
prajuritnya untuk memburu kita, menjaga di setiap
Bandar Jawadwipa karena tahu kita terjebak dalam
pusaran angin yang terbalik dari arah pelayaran kita
kembali ke tanah leluhur. Raden Wijaya akan terus
memburu kita karena tahu kita telah membawa harta
rampasan perang, juga dua tawanan berharga itu",
berkata Yongki mewakili kawannya Magucin yang terlihat
terdiam, takut berkata lagi yang dapat membuat amarah
Panglima perangnya itu. "Apa menurut kalian yang dapat kita perbuat untuk dapat
keluar dari penjagaan Raden Wijaya", bertanya Panglima
Ike Mese kepada dua orang perwira bawahannya itu.
"Kita harus berlayar melambung menghindari Jawadwipa,
589 menukar perahu besar berciri naga besar karena mata
Raden Wijaya pasti sudah disebar di sepanjang pantai
timur ini", berkata Yongki masih mewakili Magucin yang
masih juga terdiam. "Aku setuju dengan buah pikiranmu itu", berkata
Panglima Ike Mese kepada Yongki tanpa melihat kepada
Magucin seperti tahu apa yang ada dalam pikiran
bawahannya yang satu itu, merasa tersinggung dengan
suara kerasnya. Namun pembicaraan mereka terhenti ketika mereka
bertiga mendengar suara teriakan dari arah anjungan.
"Daratan!!!", anjungan. terdengar suara seorang prajurit dari "Daratan!!!", terdengar lagi suara seorang prajurit dari
anjungan. Terlihat Panglima Ike Mese, Magucin, Yongki dan
beberapa orang lainnya berjalan kearah anjungan untuk
melihat apa yang terlihat di anjungan.
Ternyata mereka memang telah melihat sebuah daratan,
meski matahari senja telah hampir menutup pemandangan sekitar mereka di tengah laut sunyi itu,
tapi sebuah bayangan daratan yang tersamar kabut
senja terlihat terbujur dihadapan mereka.
"Kita berlabuh di daratan itu", berkata Panglima Ike Mese
memberi perintah. Demikianlah, di ujung senja perahu besar berukir naga
besar itu telah berlabuh di sebuah pantai daratan tak
bernama. Beberapa pasang mata terlihat mengawasi kedatangan
mereka, nampaknya para nelayan yang bermukim di
daratan kecil itu. Terlihat sebuah perkampungan nelayan
590 tidak jauh dari pantai tempat berlabuh perahu besar
berukir naga itu. "Maaf, kami telah terbawa arus angin terdampar di
daratan ini. Apakah kami dapat berjumpa dengan
pemimpin kalian di daratan ini?" bertanya Magucin yang
ditugaskan sebagai duta kepada salah seorang nelayan.
"Tuan berada di Nusa Sapudi begitulah kami
menyebutnya, mari kuantar tuan kepada pemimpin kami",
berkata seorang nelayan membawa Magucin menemui
pemimpin mereka. Ternyata Magucin adalah seorang duta yang sangat
berpengalaman, sangat mudah mengambil hati setiap


Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Begitu diperkenalkan dengan pemimpin di
perkampungan nelayan di daratan kecil yang bernama
Nusa Sapudi itu, Magucin sudah dapat mempengaruhi
pemimpin itu, orang yang dituakan di Nusa Sapudi itu.
"Kami kenal banyak orang di seberang daratan besar
Madhura yang akan memberi tuan beberapa perahu
kayu", berkata orang yang dituakan di daratan itu untuk
dapat menyediakan beberapa perahu kayu kepada
Magucin yang telah berkata manis akan memberinya
banyak hadiah. "Terima kasih, kami tidak akan melupakan kebaikan budi
tuan", berkata Magucin
"Beberapa orang kami dapat mengantar kalian sampai ke
Tanjungpura, disana kalian dapat bersembunyi dari mata
penguasa Jawadwipa menunggu datangnya angin barat",
berkata pemimpin itu kepada Magucin.
"Terima kasih, senang bekerja sama dengan tuan",
berkata Magucin kepada orang yang dituakan di
perkampungan nelayan itu.
591 Ternyata Magucin bukan hanya dapat berkata manis,
tidak lama berselang sudah datang kembali ke rumah
orang yang dituakan di daratan itu dengan membawa
banyak hadiah berupa beberapa pundi keping emas.
Bagian 2 "Ini adalah tanda persahabatan kita, kami akan
membawa hadiah lebih banyak lagi setelah tuan
membawa beberapa perahu kayu kepada kami", berkata
Magucin kepada orang yang dituakan itu.
"Sepekan ini aku akan memberi kabar kepada kalian",
berkata orang yang dituakan itu kepada Magucin penuh
kegembiraan. Demikianlah, pada keesokan harinya orang yang
dituakan di daratan kecil itu telah memerintahkan
beberapa orangnya menyeberang ke daratan besar Nusa
Madhura mencari beberapa perahu kayu. Perahu kayu
yang dipesan Magucin adalah sebuah perahu dagang
yang cukup besar "Aku akan berangkat pertama, bersama beberapa perahu
kayu yang paling awal datang", berkata Panglima Ike
Mese setelah menerima laporan dari Magucin.
Dan hari itu di sebuah perkampungan pinggiran pantai di
daratan timur Madhura matahari sudah bergeser ke
barat, hari sudah mulai mendekati senja. Para penduduk
di perkampungan itu sebagian besar adalah para
pembuat perahu kayu yang biasa menerima banyak
pesanan dari berbagai nagari di jaman itu.
"Kita harus menyamar sebagai seorang saudagar besar
yang datang ingin membeli perahu kayu", berkata Putu
592 Risang kepada Mabujang yang tengah berjalan ke
perkampungan para pembuat perahu kayu di sore itu.
Mereka berdua telah berpisah dengan kelompok mereka
yang sudah terpencar ke beberapa tempat mencari berita
tentang pasukan asing. "Aku dapat memerankan sebagai seorang saudagar",
berkata Mabujang sambil membusungkan dadanya
bergaya sebagai seorang saudagar sungguhan.
"Kulihat kamu memang pantas sebagai seorang
saudagar sungguhan", berkata Putu Risang sambil
tersenyum melihat gaya Mabujang yang bergaya sebagai
seorang saudagar sungguhan.
Demikianlah, di sore itu Putu Risang dan Mabujang telah
memasuki perkampungan itu, mendekati sebuah tempat
pembuatan perahu kayu. "Maaf, junjungan kami telah menjual perahu ini", berkata
seorang lelaki pekerja kepada Mabujang dan Putu
Risang yang menyamar sebagai seorang saudagar yang
hendak membeli sebuah perahu.
"Siapa yang sudah memesan perahu ini", bertanya Putu
Risang kepada lelaki pekerja itu.
"Orang kaya dari Nusa Sapudi, bahkan kudengar mereka
juga sudah memesan beberapa perahu kayu di semua
galangan di sepanjang pesisir ini", berkata lelaki pekerja
itu kepada Putu Risang tanpa bercuriga sama sekali.
Demikianlah, Mabujang dan Putu Risang telah kembali
ke sebuah tempat tersembunyi bersama kelompoknya
sekitar hutan tidak jauh dari pantai Songinep berjumlah
sekitar dua puluh orang. Sebagaimana Putu Risang dan
Mabujang, kawan-kawan mereka juga telah mendapatkan berita yang sama dengan berbagai cara
593 masing-masing. "Malam ini aku akan menyusup ke Nusa Sapudi", berkata
Putu Risang kepada kawan-kawannya itu.
"Aku akan mengantarmu, aku pernah datang ke daratan
kecil itu", berkata salah seorang kawannya, seorang
lelaki asli Madhura. "Terima kasih", berkata Putu Risang kepada kawannya
itu. "Mungkin aku dapat dibutuhkan disana",
Mabujang menawarkan dirinya ikut bersama.
berkata "Baiklah, kita hanya memastikan bahwa pasukan asing
itulah yang saat ini berada di Nusa Sapudi tengah
membutuhkan beberapa perahu kayu untuk mengelabui
mata kita", berkata Putu Risang.
Demikianlah, ketika malam bergelayut menutupi langit
purba terlihat sebuah perahu bercadik tengah terapung
diatas laut sunyi menuju sebuah daratan kecil di
seberang pantai Songinep.
Jarak daratan kecil Nusa Sapudi memang tidak begitu
jauh dari pantai Sunginep, terhalang gelap malam yang
tersamar, perahu bercadik Putu Risang telah merapat di
sebuah pantai Nusa Sapudi.
"Kalian pasti bukan penghuni daratan ini, kalian kami
tangkap", berkata seorang dari sekitar lima puluh orang
asing yang ternyata sudah berada disekitar mereka
bertiga. "Kami memang bukan penghuni daratan ini, setahuku
tidak ada larangan siapapun boleh merapat di pantai ini",
berkata kawan Putu Risang, seorang asli Madhura.
"Sejak saat ini tidak boleh seorang pun keluar masuk
594 daerah ini tanpa seijin kami", berkata salah satu dari
mereka. Terlihat Putu Risang menyentuh lengan kawannya itu,
memberi tanda untuk mengikuti keinginan para prajurit
asing itu. Maka tanpa perlawanan apapun, Putu Risang dan kedua
kawannya digelandang ke barak-barak darurat mereka
yang sudah dibangun di sekitar pantai Nusa Sapudi.
"Jangan coba-coba melarikan diri", berkata seorang
prajurit asing itu yang memasukkan Putu Risang
bersama kedua kawannya itu ke sebuah barak tahanan
dengan tangan dan kaki terikat.
Keadaan didalam barak itu memang begitu gelap, tidak
ada pelita apapun. Untungnya cahaya bulan diatas langit
nusa Sapudi sedikit memberi cahaya.
Setelah membiasakan mata didalam barak itu, akhirnya
Putu Risang dapat meraba dengan pandangannya
melihat keadaan dan suasana didalam barak tahanan itu.
"Anak muda, apakah malam ini kamu datang kembali
membawa pesan dari Raden Wijaya?", terdengar suara
seorang wanita dimana Putu Risang sangat mengenal
pemilik suara itu. "Tuanku Ratu Turuk Bali?", berkata Putu Risang melihat
wajah seorang wanita tersenyum ke arahnya.
Ternyata mata Putu Risang sudah dapat melihat jelas di
dalam barak tahanan itu, bukan main gembiranya hati
Putu Risang bahwa didalam barak tahanan itu dapat
bertemu kembali dengan Ratu Turuk Bali. Bukan hanya
wanita itu saja, juga seorang lelaki setengah baya berada
di sisi ratu Turuk Bali. "Apakah hamba berhadapan dengan Tuanku Raja
595 Jayakatwang?", bertanya Putu Risang kepada seorang
lelaki di sisi Ratu Turuk Bali.
"Benar, ki sanak telah
seorang lelaki biasa apapun", berkata lelaki
kepasrahan diri yang Jayakatwang. berhadapan dengannya. Hanya
yang tidak punya kekuasaan
itu dengan wajah terlihat penuh
ternyata benar adalah Raja
"Panggil kami dengan sebutan paman dan bibi wahai
anak muda", berkata Ratu Turuk Bali penuh senyum
kepada Putu Risang. Putu Risang terdiam, memandang kedua suami istri
dihadapannya, dua orang bangsawan yang punya
kekuasaan begitu tinggi di Jawadwipa kini berada
didalam barak tahanan bersamanya. Di dalam sebuah
barak kotor yang tidak beralas apapun selain pasir putih
pantai yang lembab. Kedua suami istri itu nampak begitu
mesra, seperti tidak menghiraukan keadaan mereka.
Mereka seperti pasrah diri kemanapun dibawa oleh para
prajurit asing. Mereka seperti tidak memikirkan apapun.
Putu Risang masih terdiam, matanya terlihat berkeliling
seperti tengah meraba kain tebal barak itu yang
mengurung keberadaan mereka di Nusa Sapudi.
"Kita harus keluar dari sini, tapi aku belum menemukan
sebuah cara", berkata Putu Risang kepada kedua
kawannya. "Apakah kamu akan melepaskan ikatanmu dan keluar
barak ini bertempur habis-habisan?", bertanya Mabujang
kepada Putu Risang yang sudah tahu kesaktian ilmu
anak muda itu. "Aku memang dapat bertempur menghadapi mereka, tapi
semua itu tidak cukup untuk menyelamatkan diri kita
596 keluar dari sini", berkata Putu Risang merasa kurang
yakin dapat menyelamatkan diri mereka, apalagi harus
membawa pergi Raja dan Ratu Kediri itu. Dengan
kepandaiannya mungkin Putu Risang dapat menyelamatkan diri, tapi bagaimana mungkin kedua
tangannya dapat membawa mereka sambil bertempur",
berpikir Putu Risang dalam hati.
"Seandainya saja aku dapat membuat sebuah aji sirep
yang kuat, aku akan melakukannya membuat tidur
semua prajurit asing itu dan kita dapat keluar pergi
kembali ke Jawadwipa dengan selamat tanpa susah
payah" berkata Mabujang sambil tersenyum pasrah,
pikirannya memang telah buntu saat itu tidak tahu lagi
dengan cara apa dapat meloloskan diri.
"Teruslah berandai-andai", berkata Putu Risang sambil
tersenyum melihat mata Mabujang yang terus berputarputar seperti tengah mencari-cari dengan pikirannya di
atap langit-langit barak tenda itu.
"Seandainya aku punya sebuah kesaktian yang tinggi
dapat menurunkan kabut tebal menutup pandangan para
prajurit asing itu", berkata kembali Mabujang sambil
Pasangan Naga Dan Burung Hong 9 Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Kisah Si Pedang Terbang 1

Cari Blog Ini