Ceritasilat Novel Online

Kaki Tiga Menjangan 5

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 5


Thayhou memperhatikan dengan seksama, Dia melihat pakaian bocah itu penuh
bercak darah, hal ini membuktikan bahwa tadi Siau Kui cu sudah muntah darah cukup
banyak, tetapi gerak-geriknya tetap gesit, dia jadi heran karenanya.
Ketika berjalan keluar, Siau Po melirik ke arah Lui Cu. Dada nona itu bergerak turun
naik, tanda nafasnya masih bekerja. sedangkan mata nona itu terpejam, wajahnya
bersemu dadu seperti orang yang sedang tertidur nyenyak Hati Siau Po agak lega
melihatnya. "Lain kali aku akan membelikan buah-buahan dan kue untukmu," janjinya dalam hati.
Sekejap kemudian Siau Po sudah kembali ke kamarnya, Dia segera menutup pintu
dengan palangnya, setelah itu baru dia bisa bernafas lega. Sejak tadi hatinya merasa
tidak tenang, dia ingat selama setengah tahun lebih dia hidup bersama Hay kongkong,
hatinya selalu was-was karena takut Hay kongkong mengetahui samarannya dan akan
mencelakai dirinya. "Sekarang si kura-kura tua sudah mampus. Tidak ada lagi yang perlu kutakutkan!"
Namun baru berpikir sampai di sini, tiba-tiba dia teringat wajah thayhou dengan
senyumnya yang menggidikkan hatinya, "Ah! istana ini tetap tidak aman bagiku, Lebih
baik aku... aku...."
Hatinya ragu sejenak, dia memikirkan apa yang harus dilakukannya, kemudian dia
tersenyum lebar "Lebih baik aku bawa uangku yang empat ratus lima puluh ribu tail itu,
Aku akan pulang ke Yangciu dan hidup senang sampai di hari tua bersama ibuku!"
Berpikir sampai di situ, hati Siau Po senang sekali, dia berjingkrak-jingkrak seorang
diri, Hampir saja dia tidak bisa mengendalikan kegirang hatinya untuk berteriak
sekeraskerasnya. Tiba-tiba Siau Po teringat tendangan keras Hay kongkong. Sampai sekarang
dadanya masih terasa agak nyeri, Cepat-cepat dia menuju peti penyimpanan obatobatan.
Di dalamnya terdapat banyak botol-botol kecil dari berbagai jenis warna, Juga
ada yang bertulisan sayangnya Siau Po buta huruf, tidak tahu botol mana yang berisi
obat luka dalam. "Ah! Sudahlah, Apa artinya sedikit rasa sakit ini" Bukankah selama ini tubuhku kuat,
Jarang sakit dan ilmuku juga sudah sempurna?" katanya kepada diri sendiri.
Dia menutup kembali peti obat itu, dia merasa setelah kematian Hay kongkong sudah
pantasnya dia mewarisi barang-barangnya itu. Maka dia pun membongkar sana sini dan
ingin tahu apa saja yang bisa ditemukannya, Di dalam laci masih ada uang kontan
senilai dua ratus tahil. Siau Po tidak terlalu memperhatikan uang itu, Bukankah dia
mempunyai banyak uang simpanan di tangan Ngo-tu, saudara angkatnya"
Dia membongkar laci yang terakhir Tiba-tiba dia menemukan sebuah bungkusan
yang tidak seberapa besar dari kain berwarna hijau, Ketika di membukanya, hati Siau
Po langsung berdegup ke cang.
Isinya dua buah kitab, judulnya Si Cap Ji Ci keng!
Untuk sesaat Siau Po tertegun. Buku itu dibungkus kain hijau yang sudah kumal dan
tua sekali. "Aneh si kura-kura tua itu! Dia toh sudah memiliki buku ini, mengapa masih mencari
yang lain" Mengapa dia menyuruh aku mencuri milik ibu suri" Mengapa thayhou juga
mempunyai pikiran yang sama dengan kura-kura tua itu" Untuk apa sebenarnya buku
ini" Segala buku tua dan bau apek diperebutkan Lebih baik berjudi agar bisa
memenangkan uang banyak!"
Meskipun berpikiran demikian, Siau Po tetap memegangi buku itu, dia membalikkan
halamannya sehingga terlihatlah huruf-huruf yang padat, dia memperhatikannya
dengan seksama. "Kalian mengenal aku Wi Siau-po, sayangnya aku justru tidak mengenal kalian!"
gerutunya dalam hati, Dia membungkus kembali buku itu untuk memeriksa buku yang
satunya lagi, Dia mengenalinya sebagai kitab yang sama.
"Dasar celaka! Tuan besar tidak ingin mengenalmu!" makinya.
Dia menduga bahwa kitab itu pasti berisi ajaran Buddha, tapi dia toh membalikkan
halamannya satu per satu. Kemudian dia menemukan bahwa setiap halaman dari kitab
itu berisi gambar laki-Iaki bertubuh telanjang dan penuh dengan garis-garis kecil
berwarna merah mirip benang halus.
Tanpa terasa, perhatiannya jadi tertarik maka dia membuka lagi halaman berikutnya
dan memperhatikan dengan seksama.
Gambar orang-orang yang ada dalam kitab itu dalam posisi yang berbeda, Ada yang
duduk, ada yang berdiri, ada yang setengah berlutut, ada yang berbaring dengan posisi
miring. Bahkan ada yang bersikap kepala di bawah dengan kaki di atas.
"Ah! ini pasti gambar cara melatih ilmu silat." pikir Siau Po yang berotak cerdas,
"llmu silat kura-kura tua lihay sekali, mungkin dia mempelajarinya dari kitab ini, Hm... dia
mengajarkan ilmu silat Siaulim pai palsu kepadaku, isi kitab ini pasti asli. Kalau aku
mempelajari satu dua tiga halaman saja, mungkin dalam setengah sampai satu tahun
aku sudah berhasil menguasai semuanya dan aku pun akan lihay seperti si kura-kura
tua. pada saat itu, tidak ada lagi orang yang sanggup menandingi aku. Aku pun menjadi
si kura-kura kedua! Ai" Tidak betul! Kalau aku menjadi kura-kura kedua bukankah
artinya aku menjadi kura-kura cilik?"
"Ha... ha... ha... ha..." Saking gelinya, Siau Po jadi tertawa sendiri, dengan perasaan
gembira, segera membolak-balik halaman kitab itu. Dilihatnya gambar seorang Iaki-laki
sedang duduk bersila. Dia segera meniru gambar itu dengan duduk bersila juga.
Tapi, baru saja dia duduk sebentar, dari depan pintu terdengar suara yang nyaring.
"Kui kongkong, Kui kongkong! Selamat! Selamat! Lekas buka pintu!"
Siau Po meloncat bangun, cepat-cepat dia menyimpan kembali kedua kitab tadi dan
menutup lacinya dengan rapi, setelah itu dia juga mengenakan sehelai jubah lain untuk
menutupi tubuhnya yang telanjang, pakaiannya sudah dilepaskan dan dicuci bersih dari
noda darah. Setelah itu baru dia berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Hei, hei! Tunggu dulu! Urusan apa yang begitu menggembirakan?" tanyanya ramah.
Di depan pintunya berdiri empat orang thay-kam. Mereka langsung menjura memberi
hormat kepada Siau Po seraya berkata.
"Selamat, Kui kongkong, Selamat!"
Siau Po tersenyum. "Apa-apaan ini" Pagi-pagi kalian sudah muncul di sini dan berteriak-teriak, Ada apa
kah ?" Salah seorang thay-kam berusia setengah baya segera menyahut
"Tadi thayhou telah mengeluarkan firman kepada Lwe buhu, bunyinya menyatakan:
"Oleh karena Hay tayhu Hay kongkong telah menutup mata akibat sakit yang
berkepanjangan, maka jabatannya sebagai Hu congkoan diserahkan kepada Kui
kongkong sekarang kongkong naik lagi pangkatnya!"
Seorang thay-kam yang lain tidak mau ketinggalan Dia tersenyum kemudian berkata.
"Tanpa menunggu Lwe buhu datang kemari menyampaikan firman tersebut, kami
mendahuluinya memberi selamatl Senang sekali mengetahui bahwa Kui kongkong yang
akan memimpin Siang-sian tong mulai hari ini!"
Siau Po sendiri tidak terlalu antusias mendengar kenaikan pangkatnya, diam-diam
dia berpikir dalam hati. "Kenaikan pangkatku ini pasti karena thayhou takut aku membocorkan rahasia tadi
malam. Sebenarnya, biar tidak dinaikkan pangkat, lohu juga tidak berani sembarangan
bicara, bisa-bisa kepala ku pindah rumah dan mulutku disumpal untuk selamanya!
Mana mungkin aku begitu bodoh berani mengoceh" sekarang thayhou telah menaikka
pangkatku, aku yakin dia tidak akan membunuhku Hatiku boleh lega sekarang."
Sebelum Siau Po sempat mengatakan sesuatu thay-kam yang ketiga juga ikut
menimbrung. "Di dalam istana ini, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun Hu congkoan yang
usianya semuda Kui kongkong, jumlah keseluruhan congkoan di istana ini ada empat
belas orang, sedangkan wakil nya ada delapan orang, Di antara mereka, tidak ada satu
pun yang usianya kurang dari tiga puluh tahun, sekarang Kui kongkong menggantikan
kedudukan Hay kongkong, berarti mulai besok kedudukanmu sudah sama dengan Tio
congkoan dan Ong cong koan!"
Thay-kam yang keempat pun ikut memberika komentar.
"Kami semua tahu Kui kongkong sangat disayangi Sri Baginda. Tidak disangka kau
juga dihargai oleh thayhou, Kami yakin tidak sampai setengah tahun lagi, Kui kongkong
akan dinaikkan pula pangkatnya menjadi congkoan Kongkong, kami harap kelak
kongkong tidak lupa kepada kami dan mau menolong kami!"
Senang juga hati Siau Po mendengar nada suara keempat thay-kam yang demikian
hormat kepadanya. Bibirnya langsung menyunggingkan senyuman.
"Kita semuanya merupakan saudara. jangan bicara soal lupa atau toIong. Sudah
sepatutnya kita saling memperhatikan. Dan kenaikan pangkatku itu adalah berkat
kebaikan thayhou, Apalah jasa lohu?"
Tampaknya sudah menjadi kebiasaan bagi Siau Po untuk menyebut dirinya sendiri
lohu, meskipun orang yang dihadapinya jauh lebih tua daripadanya sendiri.
"Nah, mari kalian masuk! Di dalam kamar kita minum teh!" ajak Siau Po.
Thay-kam yang berusia setengah baya tadi segera berkata.
"Firman thayhou mungkin akan disampaikan oleh Lwe buhu setidaknya siang nanti,
Karena itu Kui kongkong, sebaiknya kita minum teh bersama merayakan kenaikan
pangkat kongkong ini, semoga tidak lama lagi pangkat kongkong akan naik pula, Kui
kongkong, kau sekarang terhitung pembesar tingkat lima. Untuk orang seusiamu,
benar-benar luar biasa!"
Thay-kam lainnya ikut memberikan pujian. Bahkan ada yang ingin mengundang
"Siau Po minum arak. Karena malu hati, akhirnya Siau Po mengganti pakaian yang
lebih pantas, kemudian mengunci pintu kamarnya dan ikut dengan keempat thay-kam
tersebut Dua dari keempat thay-kam itu adalah pelayannya thayhou. Mereka yang
menyampaikan firman thayhou kepada Lwe buhu dan juga merupakan dua orang
pertama yang mendengar kabar gembira itu.
Dua yang lainnya adalah petugas Siang-sian tong yang bertugas membeli beras dan
barang-barang makanan, ketika mendengar berita kematian Hay kongkong, pagi-pagi
sekali mereka sudah berkumpul di depan kantor Lwe buhu untuk mendengar siapa yang
akan menggantikan kedudukan thay-kam tua itu.
Dengan demikian sejak dini mereka bisa memberi selamat kepada orang yang
beruntung karena hal ini penting demi menjaga kelangsungan kedudukan mereka
sendiri. Mereka mengajak Siau Po ke dapur, di sana bocah itu dipersilahkan duduk dan
semuanya pun repot melayani. Mereka menyiapkan santapan yang paling lezat, bahkan
lebih hebat dari hidangan yang biasa disajikan untuk Sri Baginda maupun thayhou.
Siau Po tidak suka minum arak, dia hanya menemani keempat thay-kam itu
bercakap-cakap. "Sebenarnya Hay kongkong cukup baik. Hanya saja belakangan ini kesehatannya
memburuk, apalagi matanya sudah buta, Menurut kabar, dia mati karena penyakit
batuknya yang sudah parah sekaii," kata salah seorang thay-kam itu.
"Benar, penyakit batuk Hay kongkong memang sudah kronis, kalau lagi batuk,
kadang-kadang dadanya sampai sesak karena sulit bernafas," sahut SiauPo.
"Tadi pagi-pagi," kata thay-kam yang melayani thayhou, "Lie Taiie, si tabib istana
datang melaporkan bahwa penyakit yang diderita oleh Hay kongkong adalah sakit paruparu
yang sudah menyusup ke dalam tulang dan sakit beri-beri yang sudah naik ke
jantung. sedangkan penyakit lamanya kumat pula, Karena itu dia tidak dapat
disembuhkan lagi, Bahkan karena takut penyakitnya bisa menular, jenasahnya
langsung dibakar. Mendengar laporan itu, thayhou sampai menarik nafas panjang
sekali-sekali, Thayhou menyayangkan kematian Hay kongkong yang katanya baik dan
pekerjaannya bagus."
Siau Po tidak memberikan komentar. Sehabis pesta, dia kembali lagi ke kamarnya,
Ketika dia mohon diri, seorang thay-kam menjejalkan sebuah bungkusan kecil ke dalam
genggaman tangannya. Begitu sampai di kamar dia segera membuka bungkusan itu, isinya ternyata uang
kertas masing-masing senilai seribu tail. Diam-diam dia berkata dalam hati.
"Belum lagi aku menjabat kedudukan yang baru, uang sudah masuk kantong,
Lumayan juga!" Tengah hari, Siau Po dipanggil oleh Sri Baginda untuk menghadap ke kamar
tulisnya. Ketika bocah itu melangkah masuk, kaisar Kong Hi langsung menyambutnya
dengan senyuman yang meriah.
"Siau Kui cu, menurut thayhou, kemarin kau berjasa besar. Karena itu pula
pangkatmu dinaikkan!"
"Hamba telah mengetahuinya," sahut Siau Po yang pandai membawa diri. Dia segera
menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan terima kasihnya. "Sebenarnya hamba tidak
berjasa apa-apa. Semuanya karena budi kebaikan thayhou belaka!"
Kaisar Kong Hi tertawa. "Siau Kui cu, walaupun usia kita masih muda, tapi kita harus bisa melakukan usaha
besar agar para menteri tidak berani mencemooh kita atau mengejek kita sebagai
bocah cilik yang tidak ada gunanya!"
"Benar!" sahut Siau Po. "Asal Sri Baginda sudah mempunyai rencana yang matang,
apa pun akan hamba laksanakan dengan senang hati!"
"Bagus! Kau tahu Go Pay si menteri celaka itu bukan" Dia telah berani menentang
aku sebagai junjungannya, meskipun sekarang dia sedang menjalani hukuman, tetapi
antek-anteknya masih banyak, Aku khawatir mereka akan memberontak. Kalau hal itu
sampai terjadi, negara bisa dilanda kekacauan yang tidak berani kubayangkan!"
"Benar!" sahut Siau Po setuju.
"Tadi Kong cin ong datang melaporkan bahwa Go Pay dipenjarakan di istana
pangeran, tetapi setiap hari dia berteriak-teriak tidak karuan, Kata-katanya tidak enak
didengar." Kaisar Kong Hi merendahkan suaranya, "Dia mengatakan bahwa aku telah
menikam punggungnya satu kali."
"Tapi, mana mungkin" Bukankah lidahnya sudah kita kutungkan?" tanya Siau Po
dengan suara yang tidak kalah lirihnya.
"Rupanya hari itu kita kurang seksama, lidahnya tidak sampai putus. Tapi hanya
terluka saja. Setelah beberapa hari lukanya sudah sembuh dan dia bisa berkaok-kaok
lagi." "Tapi kata-katanya tidak benar! Untuk menghadapi seorang Go Pay saja, tidak
mungkin Sri Baginda harus turun tangan sendiri kan" sebetulnya hambalah yang
menikamnya, Ada baiknya hamba datang ke Kong cin ong untuk menjelaskan hal ini."
Sebetulnya memang kaisar Kong Hi yang membokong Go Pay. Tetapi apabila hal ini
sampai tersiar di luaran, tentu nama baiknya akan tercemar. Karena itu hatinya gembira
mendengar Siau Po langsung mengakui bahwa dialah yang melakukan bokongan itu.
"Memang paling bagus kalau kau yang menjelaskannya sendiri," kata kaisar Kong Hi.
Kepalanya manggut-manggut, "Kau boleh pergi ke istana pangeran itu dan lihat kira-kira
kapan jahanam itu akan menemui kematiannya."
"Baik!" sahut Siau Po.
"Tadinya aku mempunyai keyakinan bahwa dia akan langsung mati setelah terkena
tikaman itu. Siapa sangka tubuhnya begitu kuat dan bisa bertahan sampai hari ini. Aih!
Kalau tahu begini..!" Wajah kaisar Kong Hi tampak sedih dan gelisah memikirkan hal itu.
Siau Po dapat menduga apa yang menjadi pikiran kaisar Kong Hi. Dia bermaksud
membunuh Go Pay secara diam-diam.
"Menurut penglihatanku, orang itu tidak mungkin hidup lewat hari ini!" kata bocah itu
sambil mengedipkan matanya.
Kaisar Kong Hi senang sekali mendengarnya, kemudian dia berkata dengan suara
berbisik. "Dia lihay sekali. Meskipun sudah dipenjarakan, dia ibarat seekor harimau yang
ganas, itulah sebabnya kau harus berhati-hati, jangan sampai dirimu yang dilukai atau
sampai terbunuh olehnya!"
"Hamba mengerti!" sahut Siau Po dengan suara Iirih.
"Nah, sekarang kau pergilah!" kata kaisar Kong Hi yang kemudian menitahkan empat
orang pengawalnya mengantarkan Hu congkoan itu.
Siau Po pergi ke istana Kongcin ong dengan menunggang kuda yang tinggi dan
besar, Dia di kawal oleh empat orang siwi, dua di depan dan dua lagi di belakang. Di
sepanjang jalan dia selalu menoleh ke kiri dan kanan, sikapnya menunjukkan dia
bangga sekali dengan kedudukannya itu.
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata.
"Apakah benar kabar yang tersiar di luaran bahwa orang yang membekuk Go Pay
adalah seorang kongkong kecil yang berusia sepuluh tahun lebih?"
"Benar!" Terdengar sahutan seorang lainnya, "Sri Baginda masih muda, sekarang
thay-kam yang disayangnya juga hampir sebaya dengan beliau."
"Apakah kongkong yang dimaksud bukan kongkong yang sedang menunggang kuda
ini?" tanya yang satu lagi.
"Entah!" Keempat pengawal itu mendengar pembicaraan mereka, Salah satunya ingin
mengambil hati Siau Po. Dia segera berkata.
"Ketika terjadi penangkapan atas diri Go Pay, si pengkhianat, Kui kongkong inilah
yang berjasa!" Go Pay memang sangat dibenci oleh orang-orang Han sebab sikapnya yang sadis
dan sering membunuh rakyat tanpa alasan yang tepat. Ketika para penduduk Peking
mengetahui bahwa dia telah tertawan karena berani menghina Sri Baginda, seluruh
kota menjadi gempar. Mereka senang sekali, bahkan ada yang mengadakan pesta
untuk merayakan kehancurannya.
Berita itu tersebar luas, mereka pun mengetahui bahwa yang menangkap Go Pay itu
adala seorang thay-kam cilik yang menjadi kesayangan Sri Baginda, sebagaimana
biasanya gosip-gosip yang disiarkan, kasus yang satu ini pun dibumbui oleh orang yang
satu ke orang yang lainnya, cerita itu jadi semakin seru.
Malah kalau ada seorang thay-kam yang lewat di pasar atau jalan raya, dia
dihentikan orang hanya untuk ditanyakan kebenaran cerita itu karena mereka merasa


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penasaran sekali. Begitu juga kali ini, begitu si pengawal mengatakan bahwa Kui kongkong inilah yang
meringkus Go Pay, Siau Po langsung dikerumuni orang banyak. Ada yang menanyakan
ini itu seperti wartawan, ada pula yang bersorak-sorak memuji kegagahannya,
jumlahnya sampai ratusan orang.
Kalau tidak ada keempat pengawal yang menguakkan kerumunan orang banyak itu,
mungkin sampai sore Siau Po masih terkurung terus, Di lain pihak, dia senang
diperlakukan seperti orang penting oleh rakyat.
Setibanya di istana Kong cin ong, sang pangeran yang sudah mendengar berita
tentang datangnya utusan Sri Baginda, segera membuka pintu tengah dan keluar
menyambutnya sendiri, Kongcin ong bermaksud mengatur meja sembahyang dan
memasa hio untuk menerima firman Sri Baginda, Siau Po langsung mengulapkan
tangannya sambil berkata.
"Ongya, kedatangan hamba hanya menjalankan tugas Sri Baginda untuk melihat
keadaan Go Pay, Bukan untuk hal penting apa-apa."
"Baiklah kalau begitu," sahut sang pangeran yang sikapnya ramah sekali terhadap si
thay-kam gadungan, Dia tahu Siau Po selalu mendampingi raja yang sudah membuat
jasa besar dengan meringkus Go Pay.
"Kui kongkong," katanya kemudian, "Kedatangan kongkong merupakan suatu
kehormatan bagi kami. Nah, mari kita minum dulu satu dua cawan, setelah itu kita baru
lihat Go Pay." Siau Po menerima baik undangan itu, sesaat kemudian dia sudah duduk bersama
Kong cin ong. Keempat pengawal yang mengiringinya juga diajak duduk bersama.
Perjamuan itu dilakukan dalam taman bunga, Kong cin ong menanyakan apa
kesukaan kongkong kecil itu, Siau Po berpikir dalam hati.
"Kalau aku mengatakan bahwa kegemaran ku berjudi, mungkin pangeran ini akan
menemaniku bermain dan aku pun akan memenangkan uang yang banyak. Tapi cara
itu kurang baik apabila sampai didengar oleh raja..." karena itu dia segera menjawab
"Hamba tidak mempunyai kesukaan apa-apa."
Kongcin ong menguras otaknya, Dia ingin menyenangkan hati Siau Po.
"Orang yang sudah tua suka uang, orang yang usianya setengah baya biasanya suka
perempuan tapi kongkong ini justru masih kecil lagipula dia seorang thay-kam, mana
mungkin tertarik dengan wajah cantik" Lalu, apa kira-kira kesukaannya" Barang apa
yang harus kuhadiahkan kepadanya.
Dia pandai silat, tentu suka dengan golok atau pedang mustika, tetapi di dalam istana
tidak boleh sembarangan menyimpan senjata tajam. Kalau sampai terjadi apa-apa, aku
yang tertimpa bencan Ah... ya... aku tahu sekarang!" pikirnya dalam hati.
Pangeran itu pun tertawa lebar
"Kui kongkong, di dalam istalku ada beberapa ekor kuda pilihan, Karena kita sudah
menjadi sahabat karib, harap kongkong sudi memilih beberapa di antaranya sebagai
hadiah dan kenangan untukmu."
Siau Po senang mendengar Kongcin ong menawarkan hadiah itu kepadanya, tapi dia
pura-pura berkata. "Ongya, mana boleh ongya memberikan hadiah kepada hamba."
"Kita adalah orang sendiri, jangan sungkan" kata Kong Cin-ong, "Mari, kita lihat
kudakuda itu dulu, nanti kita teruskan lagi perjamuan ini!"
Kong cin ong langsung menggandeng tangan Siau Po dan mengajaknya menuju
istalnya, Pangeran itu segera menitahkan orangnya untuk mengeluarkan beberapa ekor
kuda kecil. Mendengar pangeran itu mengatakan "kuda kecil," hati Siau Po merasa kurang puas.
"Mengapa kuda kecil yang akan dihadiahkan kepadaku" Apakah karena dia
menganggap aku masih kecil sehingga tidak sanggup menunggang kuda yang besar?"
gerutunya dalam hati. Saat itu juga dia melihat seorang pegawai Kongcin ong menuntun enam ekor kuda ke
hadapan mereka, Siau Po menatapnya sekilas kemudian tertawa lebar sambil berkata.
"Ongya, tubuh hamba memang tidak tinggi, tapi hamba senang menunggang kuda
yang besar. Dengan demikian hamba tidak akan terlihat kecil"
Kong cin ong mengerti. Dia menepuk pahanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Aih! Kenapa aku sampai lupa!" katanya, kemudian dia pun memerintahkan
orangnya, "Kau bawa kemari kuda Giok Hoa-cong! Biar Kui kongkong melihatnya!"
Perawat kuda itu mengiakan, dia segera pergi dan sejenak kemudian sudah kembali
lagi dengan menuntun seekor kuda yang tinggi dan besar. Bulunya berwarna merah
dan tubuhnya bertotolan, Ketika kuda itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, sikapnya
gagah sekali. Sedangkan pakaiannya terbuat dari emas dan batu permata yang bertaburan, jangan
kata kudanya, pakaiannya saja sudah tidak ternilai harganya.
"Bagus!" puji Siau Po. sebenarnya dia tidak bisa membedakan mana kuda bagus dan
mana kuda jelek, dia hanya memuji karena tampangnya saja yang kelihatannya gagah.
Kong cin ong tertawa. "Kuda ini berasal dari wilayah barat, jenis kuda Ferghana, jangan kau lihat tubuhnya
yang tinggi besar, padahal usianya masih muda, baru dua tahun lewat beberapa bulan.
Kuda yang bagus harus di tunggangi oleh orang yang gagah. Nah, saudara Kui
bagaimana kalau kau memilih kuda ini saja?"
Dari kongkong, sebutan pangeran terhadap si bocah cilik berubah menjadi "saudara",
Hal ini membuktikan bahwa perasaan Kong Cin-ong sudah akrab sekali dengan si thaykam
cilik palsu ini. "Ta... pi, ini kan kuda ongya sendiri" Mana berani hamba menerimanya" Lagipula
hadiah ini terlalu istimewa bagi hamba.,." kata Siau Po.
"Aih, Saudara Kui. jangan menganggap aku sebagai orang luar, Kalau kau menolak,
berarti kau tidak memandang mata kepada ku. Apakah saudara memang keberatan
bersahabat denganku?"
"Ongya, di dalam istana kedudukan hamba rendah sekali, Mana pantas hamba
bersahabat dengan ongya."
"Kami bangsa Boanciu adalah orang-orang yang terbuka, Kalau kau memang
menganggap aku sebagai sahabat, terimalah kuda ini, MuIai sekarang tidak ada
perbedaan derajat lagi di antara kita. Kalau tidak, aku benar-benar marah...." Wajah
Kong Cin-ong tampak serius sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.
Siau Po merasa simpatik terhadap pangeran ini.
"Ongya, kau... begitu baik terhadap hamba... entah bagaimana hamba harus
membalasnya...." Mendengar kata-kata Siau Po, wajah Kong Cin-ong berubah berseri-seri seketika.
"Jangan bicara soal budi, kalau kau sudi menerima kuda ini, berarti kau benar-benar
menghargai aku." "Kong Cin-ong menghampiri kudanya kemudian menepuk-nepuknya dengan lembut.
"Giok Hoa, Giok Hoa," katanya kepada kuda itu, "Mulai sekarang kau ikut dengan Kui
kongkong, Harap kau melayaninya dengan baik."
Kemudian Kong cin ong menoleh kembali kepada Siau Po dan berkata.
"Saudara Kui, cobalah menunggangnya."
"Baik!" sahut Siau Po tertawa.
Siau Po langsung memegangi pelana kuda itu kemudian loncat ke atasnya, dia
menggunakan ilmu yang diajarkan oleh Hay kongkong.
"Bagus!" puji Kong cin ong. Dia melihat gerakan Siau Po yang lincah sekali.
Siau Po menunggangi kuda itu berkeliling beberapa saat, ketika dia menarik tali
kendalinya, kuda yang jinak itu langsung berhenti, Hatinya senang sekali mendapatkan
kuda yang cerdas. "Bagus! Bagus!" puji Kongcin ong sambil bertepuk tangan.
"Ongya, hamba mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas hadiah yang tidak
ternilai ini, Nah, sekarang sudah waktunya hamba melihat Go Pay. sekembalinya nanti,
hamba akan menemani Ongya lagi!"
Hal ini membuktikan bahwa Siau Po tidak melupakan tugasnya meskipun hatinya
yang kekanak-kanakan masih ingin bermain-main dengan kuda yang luar biasa itu.
"Baiklah," sahut Kongcin ong. "Tugas memang harus diutamakan, Namun saudara
Kui, apabila kau kembali ke istana nanti, tolong sampaikan pada Sri Baginda bahwa aku
akan menjaga si pengkhianat itu baik-baik, meski dia mempunyai sayap sekalipun,
jangan harap dapat meloloskan diri dari tempat ini!"
"Tentu" kata Siau Po.
"Apakah saudara ingin kutemani?" tanya Kongcin ong.
"Terima kasih, Hamba tidak ingin mencapaikan Ongya," kata Siau Po.
Sebetulnya Kongcin ong juga tidak suka bertemu dengan Go Pay. Setiap kali dia
melihatnya, orang itu selalu mencaci-makinya habis-habisan sampai dia merasa
kehilangan muka di depan para bawahannya. Karena itu, dia menugaskan delapan
orang siwi untuk mengawal Siau Po menjenguk orang yang di penjara dalam kamar
tahanan itu. Siau Po segera diantar ke sebuah rumah batu yang letaknya terpisah dari bagian
yang lain, Di depannya menjaga enam belas orang wisu. Tangan mereka masingmasing
menggenggam sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya, Dua orang di
antaranya berjalan mondar-mandir untuk menjaga-jaga terhadap kemungkinan adanya
orang yang bisa menyelinap.
Salah seorang siwi segera menemui wisu kepala, dia melaporkan bahwa Kui
kongkong sebagai utusan raja datang untuk melihat Go Pay. Semua wisu segera
menjura dalam-dalam kepada Siau Po.
Setelah itu kepala wisu mengeluarkan kunci untuk membuka pintu kamar tahanan
dan mempersilahkan kongkong kecil itu masuk ke dalam.
Kamar tahanan itu gelap gulita, Di sudut ruangan ada dapur dan seorang petugas
sedang menanak nasi. "Pintu penjara ini tidak pernah dibuka, barang makanan dapat diselusupkan lewat
celah yang ada. Petugas itulah yang biasa melayaninya," kata si kepala wisu
menerangkan. "Bagus! Ketat sekali penjagaan di sini, Asal pintu besi itu tidak dibuka, otomatis
tahanan pun tidak dapat melarikan diri!" sahut Siau Po sambil menganggukkan
kepalanya. Wisu itu ikut mengangguk.
"Ongya telah berpesan wanti-wanti, apabila tahanan ini sampai lolos, semuanya akan
mendapat hukuman mati!"
Wisu itu mengajak Siau Po masuk ke halaman dalam. Mereka sampai di sebuah
ruangan kecil, dari situ sudah terdengar suara teriakan Go Pay rupanya dia tengah
mencaci maki Sri Baginda.
"Roh nenek moyangmu akan mendapat ganjaran! Locu sudah mengalami kematian
berkali-kali, Locu telah membuat jasa yang tidak terkirakan banyaknya, semuanya demi
para leluhurmu. Demi ayahmu! Karena jasaku, dia mendapat negara yang kaya dan
luas ini. Sekarang kau, setan cilik yang bejat! Usiamu masih muda, tapi hatimu sudah busuk!
Kenapa kau mencelakai locu dengan cara membokong" Ingat! Kalau locu mati, biar jadi
setan pun, locu tidak akan mengampunimu!"
Wisu kepala yang mendengar dampratan yang tidak enak itu langsung
mengernyitkan keningnya. "Dengarlah kata-kata jahanam itu! Matanya benar-benar sudah tidak memandang
tingginya langit dan undang-undang kerajaan! Dia pantas mendapat hukuman penggal
kepala!" Siau Po tidak memberikan komentar, dia melangkah perlahan menuju kamar penjara
yang kecil. Dari jendela yang ada di dalam ruangan ada sinar suram yang menyorot
masuk, Siau Po dapat melihat keadaan Go Pay.
Tangannya dibelenggu oleh borgol yang besar, rantainya cukup panjang sehingga
dia dapat berjalan mondar-mandir di kamar itu. Suara bising terpancar dari rantai yang
diseret-seret itu terdengar jelas.
Ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat Siau Po, Go Pay langsung berteriak
seperti orang kalap. "Kau... Kau setan cilik yang harus mampus beribu kali, Masuklah kemari! Lihat
bagaimana locu akan mencekik lehermu sampai mampus!" Matanya mendelik dan
memancarkan sorot kegusaran yang tidak terlukiskan.
Dengan sengit, dia maju ke depan dan menghantam borgol tangannya ke jeruji besi
penyekat jendela tahanannya, suaranya sampai memekakkan gendang telinga.
Meskipun sudah berusaha menenangkan dirinya semaksimal mungkin, Siau Po tetap
terkejut. Kakinya sampai surut ke belakang dua langkah, matanya menatap Go Pay
dengan sorot ngeri karena orang itu memang garang sekali.
"Jangan takut!" hibur si wisu kepala, "Dia tidak dapat menerjang keluar."
"Mengapa harus takut?" sahut Siau Po sok gagah, "Sekarang harap kalian
menunggu di luar, menurut perintah yang diberikan oleh Sri Baginda, ada beberapa
pertanyaan yang harus aku ajukan kepadanya!"
Wisu itu mengiakan. Dia segera mengajak rekan-rekannya keluar dari ruangan
tersebut. Go Pay masih tetap mencaci maki dengan nada lantang, setelah berada berduaan,
Siau Po tertawa lebar. "Go siaupo!" sapanya ramah, Dia sengaja nyebut siaupo yang artinya pelindung raja,
Sedangkan jabatan Go Pay telah dicopot "Siaupo, Baginda menitahkan aku datang
menjengukmu, beliau ingin tahu apakah kau dalam keadaan baik-baik saja atau tidak.
Tapi kalau mendengar suara caci makimu yang demikian bersemangat, tampak
kesehatanmu baik sekali. Kalau Sri Baginda mengetahuinya, tentu beliau akan senang
sekali." Go Pay mengangkat kedua tangannya, rantai penyambung borgolnya dihantamkan
ke jeruji jendela. "Setan gentayangan! Anak turunan anjing, sana beritahukan kepada Raja, tidak usah
pura-pura kasihan. Kalau mau bunuh silahkan, apa kira Go Pay akan merasa takut?"
Siau Po menyurut mundur dua langkah, khawatir jeruji besi itu akan jebol terkena
hantaman Go Pay. Bibirnya kembali menyungging senyuman.
"Sri Baginda memang sangat membencimu, dia tidak ingin kau mati cepat-cepat, Sri
Baginda malah berharap kau akan berumur panjang hingga dapat menikmati kehidupan
di sini selama dua puluh atau tiga puluh tahun lamanya, apabila kau benar-benar sudah
menginsyafi kesalahanmu dan merangkak di depan Sri Baginda sambil membenturkan
kepalamu di atas tanah sampai beratus kali, dan memohon pengampunan mu.
Mengingat jasa yang telah kau dirikan, Sri Baginda akan membebaskan kau dari
penjara ini. Tapi, jabatanmu yang telah dicopot tidak dapat kau peroleh kembali."
Mendengar kata-kata Siau Po, diam-diam Go Pay berpikir dalam hati.
Tentu sengsara sekali dikurung dalam tahanan ini sampai puluhan tahun, dengan
demikian mati atau hidup hampir tidak ada bedanya, Bahkan lebih menderita daripada
mendapat hukuman penggal kepala!"
Biarpun benaknya berpikir demikian, tapi pada dasarnya Go Pay beradat keras, dia
tidak sudi menyerah pada Sri Baginda begitu saja. Dia tidak mau berlutut atau
memohon pengampunan justru kepada orang yang dibencinya dan tidak dipandang
sebelah mata olehnya. "Beritahukan kepada raja agar dia jangan bermimpi di siang bolong! Mungkin tidak
sulit baginya untuk membunuh Go Pay, tapi jangan berharap mudah menyuruh Go Pay
berlutut memohon pengampunan!"
Tawa Siau Po semakin lebar mendengar ucapan nya.
"Kita lihat saja nanti!" katanya "Tiga atau empat tahun kemudian, asal Sri Baginda
teringat kepadamu, tentu beliau akan mengutus orang kemari untuk menjengukmu Go
tayjin, jagalah kesehatanmu baik baik. Hati-hati agar jangan sampai masuk angin dan
terserang penyakit batuk."
"Kau benar-benar anak haram!" maki Go Pay "Sri Baginda sebenarnya cukup baik,
tapi dia mudah dipengaruhi kalian, orang-orang Han yang berhati busuk! Kalau sejak
semula Raja mendengarkan nasehatku, tentu istana tidak ada seorang menteri pun di
istana yang berbangsa Han, bahkan seekor anjing Han pun dilarang masuk ke dalam,
Kalau perkataanku diikuti, tentu keadaannya tidak menjadi kacau seperti sekarang ini!"
Siau Po tidak memperdulikan umpatannya, Di berjalan ke arah dapur dan membuka
tutup kuali, di dalamnya terdapat masakan daging dengan sawi putih.
"Baunya sedap sekali!" puji Siau Po.
"Beginilah makanan orang tahanan, Tidak ada yang lezat?" sahut si pengurus dapur.
"Sri Baginda memerintahkan aku memeriksa hidangan untuk orang tahanan ini. Tidak
boleh sembarangan memberikan makanan kepadanya!"
"Harap kongkong jangan khawatir, dia tidak bakal kelaparan Ongya juga berpesan
agar setiap hari dia dimasakkan sekati daging."
"Ambilkan mangkuk, aku akan mencicipi makanan ini. Kalau kau berbuat yang
bukan-bukan akan kuadukan kepada Ongya agar kau dihajarnya habis-habisan!"
Pelayan itu ketakutan setengah mati.
"Hamba tidak berani main gila!" sahutnya sambil memgambilkan sebuah mangkuk
dan menyendokkan masakan ke dalamnya, Kemudian disodor-kannya kepada Siau Po
dengan penuh hormat. Siau Po mencicipi satu sendok kuah masakan itu, dia tidak memberikan komentar
apa-apa, hanya berkata: "Apakah setiap hari kau memberinya sekati daging" Jangan-jangan kau
menyisihkannya untuk mengenyangkan perutmu sendiri!"
Pelayan itu menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Tidak, tidak! Hamba mana berani melakukan perbuatan itu" sekarang juga... hamba
akan menyuguhkan makanan kepada tahanan itu," katanya gugup.
Dia segera menyendokkan semangkuk besar masakan dan tiga mangkuk nasi, Siau
Po mengangkat sumpit yang tergeletak di samping dan memperhatikannya dengan
seksama. "Sumpit ini kotor sekali, Kau cuci dulu biar bersih!"
"Baik, baik." sahut pelayan itu yang langsung membawa sumpit itu untuk dicuci di


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pancuran air di luar. Di saat pelayan itu sudah pergi, Siau Po segera mengeluarkan sebungkus bubuk
berisi obat, dituangkannya setengah ke dalam masakan daging kemudian sisanya
disimpan kembali. Kemudian dia mengaduk-aduk masakan itu agar obatnya larut.
Siau Po tahu Sri Baginda ingin membunuh Go Pay, itu sebabnya dia membuka peti
obat milik Hay kongkong untuk mencari racun yang mematikan. Tapi dia tidak tahu yang
mana obat beracun yang diinginkannya, akhirnya dia mencampur beberapa macam
obat menjadi satu, karena dia yakin beberapa di antaranya pasti ada obat yang
mengandung racun mematikan sekarang obat itulah yang dimasukkan ke dalam
masakan yang akan dihidangkan untuk Go Pay.
Sesaat kemudian pelayan tadi sudah kembali lagi dengan sumpit yang sudah dicuci
bersih. "Ya, dagingnya memang tidak sedikit. Tapi, apa sehari-harinya selalu begini" Apa
kau tidak mencuri makanannya?"
"Tidak, tidak, kongkong!"
"Nah, pergilah kau antarkan makanan ini!"
"Baik, kongkong!" sahut pelayan itu yang segera membawa makanan yang telah
disiapkan. Siau Po puas sekali, sembari mengetuk-ngetuk mangkuk dengan sumpit, ia berpikir.
"Kalau Go Pay sudah menyantap hidangan itu, tentu darah akan mengalir dari mulut
hidung dan telinganya!" Dengan membawa pikiran itu, Siau Po segera berjalan keluar
menemui para penjaga. "Go Pay sedang makan, mari kita lihat," katanya kepada kepala wisu.
"Mari!" sahut orang itu.
Siau Po dan wisu kepala itu jalan berdampingan. Baru melangkah masuk pintu, tibatiba
terdengar suara yang gaduh, Terdengar seseorang membentak.
"Siapa" Berhenti!" Kemudian disusul dengan suara sambaran anak panah.
Wisu kepala itu terkejut sekali. "Kongkong, kau duluan, Nanti aku lihat apa yang
terjadi!" serunya sambil menghambur keluar
Siau Po juga mengikuti di belakangnya, segera terdengar suara keras seperti
bentrokan senjata tajam. Ternyata ada belasan orang berpakaian hijau yang sedang berkelahi melawan para
wisu. Melihat hal itu, hati Siau Po tercekat.
"Ah! Mungkinkah mereka konco-konconya Go Pay yang datang untuk
menolongnya?" tanyanya dalam hati.
Si wisu kepala langsung menghunus senjatanya dan memegang tampuk pimpinan.
Dia memberikan petunjuk-petunjuk kepada anak buahnya namun pada saat itu, dia
diserang oleh seorang laki-Iaki dan perempuan dari kedua sisinya.
Empat siwi yang mengawal Siau Po ada di dekatnya, mereka segera memberikan
bantuan kepada para wisu.
Dalam sekejap mata dua orang wisu sudah berhasil dirobohkan oleh rombongan
orang berpakaian hijau itu.
Siau Po segera menyusup ke dalam ruangan dan menutup pintunya rapat-rapat. Tapi
baru saja di mengangkat palang pintu itu, titta-tiba terasa ada serangkum angin tolakan
yang keras sehingga tubuh bocah itu terpental ke belakang, setelah itu tampak empat
orang berpakaian hijau meloncat ke dalam sambil berteriak:
"Go Pay! Di mana Go Pay?"
Malah seorang laki-laki yang usianya agak lanjut dan wajahnya dipenuhi janggut
langsung mencekal Siau Po sebelum bocah itu sempat melakukan apa-apa.
"Di mana Go Pay ditahan?" bentaknya garang.
"Di luar, dalam kamar ada ruangan bawah tanah," sahut Siau Po sambil menunjuk
keluar. Dua orang berpakaian hijau segera menghambur keluar, sebaliknya dari luar ada
empat orang lainnya yang menerjang masuk terus menuju belakang.
"Di sini!" Terdengar teriakan salah satu di antaranya.
Orang tua yang mencekal Siau Po marah sekali, dia langsung mengirimkan sebuah
bacokan ke arah Siau Po yang untung sudah terlepas dari cekalannya. Siau Po
menghindarkan diri dengan gesit. Namun dari sisi kirinya ada seorang berpakai hijau
lainnya yang langsung menyerangnya.
Dukk! punggungnya terhajar. Sekali lagi tubuhnya terpental ke halaman belakang,
namun kali ini dia tidak sanggup bangun lagi.
Enam orang berpakaian hijau menyerbu ke dalam penjara, tetapi pintu besinya kokoh
sekali, tidak mudah dijebol.
Sementara itu di luar terdengar suara gong yang bising. Rupanya para wisu sedang
meminta bala bantuan. "Cepat!" gertak salah seorang berpakaian hijau itu.
"Ngaco" Sahut yang tidak tahu "kita tidak boleh menunda waktu lama-Iama di sini?"
bentak si orang tua tadi.
Seorang berpakaian hijau kewalahan menggempur pintu besi yang kokoh itu. Dia
segera menuju jeruji jendela dan menghajarnya dengan senjata ruyungnya. Baru
beberapa kali hantaman, besi jeruji jendela itu sudah melengkung.
Jumlah mereka semuanya menjadi enam orang, sedangkan ruangan itu cukup
sempit sehingga mereka harus berdesak-desakan. Ketika mereka semua sedang
mengepung kamar tahanan itu, Siau Po mulai dapat merangkak.
Dia berniat menyingkir dari tempat itu, tapi belum beberapa tindak, seseorang telah
memergokinya, orang itu langsung menikam ke arahnya.
Untung saja Siau Po waspada, dia segera menggulingkan tubuhnya, namun
meskipun demikian ujung pedang itu sempat juga mengoyakkan pakaiannya dan
menyayat bagian iganya, Siau Po tidak memperdulikan nyeri yang dirasakannya, Yang
paling utama baginya hanya menyelamatkan diri. Dia terus melompat sekuat tenaga
dan menghambur. "Setan cilik!" damprat seseorang yang melompat sambil membacokkan goloknya.
Siau Po terdesak, tidak ada tempat baginya untuk meloloskan diri, akhirnya dengan
nekat dia menerobos ke dalam dua jeruji jendela yang sudah dilengkungkan oleh
kawanan berpakaian hijau itu.
Seorang berpakaian hijau berusaha menahannya dengan serangan, tetapi dia hanya
berhasil menghajar jeruji besi karena tubuh Siau Po sudah nyeplos ke dalamnya.
"Biarkan aku masuk! Biarkan aku masuk!" teriak salah seorang dari kawanan
berpakaian hijau itu. Dia bermaksud menyelusup ke dalam jeruji besi seperti halnya
Siau Po. Sayang tubuh orang itu terlalu besar, hanya bagian kepalanya saja yang bisa
masuk lewat jeruji itu. Siau Po segera mengeluarkan belatinya dan menggenggamnya erat-erat, Dengan
panik dia berteriak. "Lekas panggil bala bantuan! Lekas panggil bala bantuan!"
Dari luar terus berkumandang suara pukulan gong dan bentrokan senjata, Ketika
Siau Po sedang berteriak-teriak, tiba-tiba ada angin keras yang menyambar ke arahnya.
Belum sempat dia mengetahui apa yang telah terjadi, tahu-tahu tubuhnya sudah
terpelanting kemudian bergulingan beberapa kali.
Kemudian dia juga mendengar suara keras yang memekakkan telinga, cepat ia
menolehkan kepalanya. Dilihatnya Go Pay sedang menyerang kesana kemari dengan
tangan tetap terbelenggu kata-katanya tidak jelas lagi, hanya suaranya keras dan tidak
enak didengar. Bagian 10 Tepat pada saat itu seorang berpakaian hijau menyelusup lewat jeruji jendela.
Rupanya orang yang satu ini memiliki tubuh yang kecil dan ramping, tapi baru saja
tubuhnya meluncur masuk, rantai borgol di tangan Go Pay sudah menyambutnya
dengan keras sehingga batok kepalanya pecah tidak karuan.
Siau Po terkejut dan heran menyaksikan hal itu.
"Eh, kok dia menyerang temannya sendiri" padahal mereka berniat menolongnya
keluar dari tahanan, Ah! Aku tahu! Celaka! Obat yang kuberikan padanya tidak
membunuh mati orang itu, justru membuatnya jadi gila. Pasti aku memberikan obat
yang salah!" pikirnya dalam hati.
Siau Po menjadi bingung, di luar kamar suara gaduh semakin menjadi-jadi dan
berbaur dengan suara bising yang diterbitkan rantai borgol Go Pay yang menghajar
kesana-kemari. "Kalau dia sampai berbalik dan menghajar aku, tamatlah riwayatku!" pikir si thay-kam
gadungan ini. Tapi pada dasarnya otak Siau Po memang cerdik dan nyalinya juga besar. Dalam
keadaan bingung, dia berusaha menenangkan dirinya. Diam-diam dia menghampiri Go
Pay dari belakang dan tiba-tiba menikam punggungnya dengan belatinya yang tajam
bukan main itu. Tenaganya cukup kuat ketika melakukannya sehingga seluruh gagang
belati itu amblas ke dalam punggung Go Pay.
Sebetulnya Go Pay mempunyai tenaga yang kuat dan pendengaran yang tajam,
tetapi karena menelan cukup banyak obat yang dicampurkan Siau Po dalam
makanannya, pikirannya jadi terganggu dan perasaannya jadi kurang peka.
Dia baru tahu ada yang membopongnya ketika punggungnya terasa nyeri. Dia
mengibaskan rantai di tangannya dengan kencang tapi luput pada sasarannya.
Hebat sekali serangan Siau Po barusan, bukan hanya belatinya saja yang luar biasa
tajamnya, tetapi, begitu menghunjamkan dia langsung menariknya ke luar lalu ditekan
ke bawah sehingga tulang punggung Go Pay putus seketika.
Hanya satu kali orang itu sempat mengeluarkan jeritan histeris, kemudian roboh
bermandikan darah di atas tanah, suara borgolnya menimbulkan suara gemuruh.
Kawanan pakaian hijau yang ada di luar jendel menjadi terkejut dan heran, mereka
juga gusar karena kematian teman mereka di tangan Go Pay. Mereka menyaksikan
perbuatan Siau Po terkesima.
Mereka benar-benar tidak mengerti....
Begitu tersadar dari rasa terkejut seseorang diantaranya langsung berteriak:
"Bocah itu membunuh Go Pay! Bocah itu membunuh Go Pay!"
Terdengar suara yang berwibawa dari mulut si orang tua.
"Bongkar jendela! periksa apakah Go Pay benar-benar sudah mati?"
Tampak dua orang dari kawanan itu mendekati jeruji jendela kemudian
menghajarnya dengan ruyung besi. Dua orang lainnya berusaha membongkar kusen
jendela itu. Tepat pada saat itu dua orang wisu menerjang ke arah mereka, tapi ditahan oleh si
orang tua, dalam dua kali gebrakan, kedua wisu itu sudah roboh mati di atas tanah.
Tidak lama kemudian, jeruji jendela itu sudah berhasil dibongkar.
"Biar aku yang masuk!" kata seorang wanita bertubuh kecil, dia langsung masuk ke
dalam dan disambut oleh belati Siau Po yang mengangkat kawanan berpakaian hijau itu
adalah musuhnya. Wanita itu lincah sekali, Goloknya diangkat ke atas untuk menahan serangan Siau
Po. Namun dia sampai terkejut ketika mendapatkan goloknya terkutung menjadi dua
bagian terkena tebasan belati Siau Po.
Wanita itu sempat mengeluarkan seruan tertahan, tetapi secepat kilat dia
menyambitkan kutungan goloknya ke arah Siau Po.
Siau Po melihat datangnya serangan, dia bermaksud menghindarkan diri. Dia
menundukkan tubuhnya sedikit dan mengira golok itu akan melintas lewat di atas
kepalanya, ternyata dugaannya keliru, Golok itu bukan mengincar kepalanya tapi malah
mengarah dadanya. Begitu cepat golok itu meluncur sehingga tahu-tahu dadanya sudah
tertancap. Siau Po merasa terkejut dan juga kesakitan, belum sempat dia berbuat apa-apa,
wanita itu sudah menerjang lagi ke arahnya dan dalam sekejap mata kedua tangannya
sudah ditelikung ke belakang sehingga Siau Po tidak berdaya. Wanita itu juga langsung
mengirimkan sebuah totokan ke iganya sehingga dia merasa nyeri sekali.
Setelah jeruji jendela berhasil dibongkar, si orang tua tadi pun bisa meloncat ke
dalam, dia segera mengangkat tubuh Go Pay dan memeriksanya dengan teliti.
"Memang benar Go Pay!" kata orang tua itu sambil mengangkat tubuh itu ke atas
dengan maksud menyodorkannya kepada rekannya yang masih di luar jendela, retapi
gerakannya tertahan karena rantai masih memborgol tangan Go Pay.
Wanita yang membuat Siau Po tidak berdaya itu teringat pisau belati si bocah yang
tajam, dia segera mengambilnya dan berkata.
"Belati ini tajam sekali, Biar aku coba!" Ditebasnya rantai pengikat Go Pay dengan
belati milik Siau Po, ternyata dengan sekali tebas saja rantai itu sudah putus.
Sejenak kemudian tubuh Go Pay sudah dilemparkan lewat jeruji jendela yang
langsung disambut kawanan berpakaian hijau itu. Terdengar si orang tua berkata:
"Bawa bocah itu sekalian, sekeluarnya dari istana ini, kita berpencar jangan lupa,
nanti malam kita bertemu di tempat semula!" Dia pun mendahului yang lainnya
menyelusup keluar lewat jeruji jendela.
Kawan-kawannya juga ikut keluar dan wanita tadi langsung mengempit tubuh Siau
Po sembari mengiakan. Mereka pun meninggalkan tempat itu. Tapi belum sampai di
luar istana, mereka sudah diserang oleh anak panah. Bahkan Kong cin ong dengan
membawa sebatang golok langsung memegang tampuk pimpinan
Siau Po diserahkan kepada seorang berpakaian hijau lainnya, Wanita itu
menggunakan belati Siau Po untuk mengibaskan setiap batang anak panah yang
meluncur ke arahnya. "Mari ikut aku!" teriak salah-seorang dari kawanan itu yang memanggul mayat Go
Pay. Dia menggunakan tubuh Go Pay sebagai kitiran untuk menahan datangnya
serangan. Kong cin ong tidak tahu Go Pay sudah mati atau masih hidup, dia tidak berani
mengambil resiko. "Jangan memanah!" Di lain saat, dia juga melihat Siau Po dipanggul oleh kawanan
itu. Dia segera menambahkan "jangan memanah! Nanti melukai Kui kongkong!"
Siau Po dapat mendengar suaranya dengan jelas, diam-diam dia berterima kasih:
"Ongya, kau sungguh baik, Siau Po tidak akan melupakan budimu ini!" janjinya
dalam hati. Tukang panah istana segera menghentikan aksinya. Kesempatan itu digunakan
kawanan berpakaian hijau yang tampaknya hampir semua memiliki kepandaian cukup
tinggi. Mereka segera menyerbu keluar istana, Si orang tua mengulapkan tangannya,
Tampak empat orang di antara kawanan itu segera melancarkan serangan kepada
Kong cin ong, para siwi istana terkejut setengah mati.
Sebetulnya apa yang dilakukan orang tua itu hanya merupakan bagian dari
siasatnya, Salah seorang di antara rekannya menyambitkan sebatang pisau yang
langsung menancap di lengan Kong cin ong.
Para pengawal semakin panik. Tidak ada lagi yang mengurus kawanan berpakaian
hijau itu. Mereka segera mengerumuni Kong cin ong untuk memberikan pertolongan
sementara itu, para penyerbu sudah menerjang keluar dan dalam sekejap mata tidak
terlihat bayangannya lagi.
Kawanan berpakaian hijau itu lari masuk dalam sebuah rumah yang letaknya tidak
jauh dari istana Kongcin ong. Mereka segera mengunci pintunya rapat-rapat. Tapi
anehnya mereka tidak berdiam di dalam rumah itu malah lari lagi lewat belakang.
Rupanya mereka sudah merencanakan semuanya matang-matang sehingga jejak
mereka tidak mudah diketahui oleh musuh. Mereka menggunakan cara yang sama
sampai berkali-kali. Di rumah terakhir, mereka mengganti pakaian dengan macammacam
dandanan sehingga tampak seperti rakyat biasa.
Sebuah kereta telah disiapkan Dua orang yang mendorongnya, Di dalam kereta
terdapat dua buah drum besar, Mayat Go Pay diselusupkan ke dalam drum yang
satunya dan Siau Po juga dimasukkan ke dalam drum yang lainnya.
"Setan alas!" maki Siau Po dalam hati ketika mendengar suara kereta bergerak. Dia
merasa mendongkol sekali karena tidak bisa melakukan apa-apa. Kepalanya dipenuhi
buah tho sehingga bagian dalam drum itu tidak kelihatan sama sekali.
Untungnya, Siau Po masih bisa bernafas walaupun menemui sedikit kesulitan.
Lambat laun dia mulai bisa menenangkan hatinya dan berpikir dengan kepala dingin.
"Mereka ini tentunya antek-antek Go Pay. Mereka menawan aku setelah mengetahui
aku yang membunuh pengkhianat itu. Jangan-jangan perutku akan dibelek dan
jantungku akan dikorek untuk menyembahyangi arwah penjahat itu.
Celaka! Semoga saja di tengah jalan kereta ini bertemu dengan tentara kerajaan.
Pada saat itu, aku akan berusaha menggulingkan drum ini supaya mereka menjadi
curiga dan aku bisa tertolong!" pikirnya diam-diam.
Siau Po lupa tubuhnya dalam keadaan tertotok, dia tidak dapat bergerak sama sekali
seandainya di tengah jalan mereka bertemu dengan tentara kerajaan sekalipun, tidak
mungkin dia bisa menggulingkan drum itu.
Dia hanya mendengar suara roda kereta yang berputar dan tubuhnya yang
terguncang-guncang. Sampai sekian lama mereka meneruskan perjalanan dengan
tenang. Tidak ada tentara kerajaan yang menghadang....
Perasaan Siau Po semakin kesal, rasanya ingin dia memaki sepuas-puasnya, tapi
tidak bisa melakukan hal itu, bahkan mulutnya pun sulit dibuka untuk menggigit buah
tho yang memenuhi seluruh kepala dan wajahnya itu. Akhirnya dia hanya dapat
mencaci dalam hati. Lambat laun, saking letihnya Siau Po pun tertidur pulas, entah berapa lama waktu
telah berlalu, ketika ia tersadar kembali, kereta masih melaju, dia tetap tidak dapat
bergerak, malah merasa sekujur tubuhnya ngilu dan kesemutan.
"Aih! Kali ini mungkin aku tidak dapat lolos lagi dengan selamat. Biar nanti aku akan
mencaci maki mereka sepuas-puasnya. Biarlah aku mati, dua puluh tahun kemudian toh
aku akan menjelma lagi sebagai seorang bayi laki-laki.
Untung saja aku berhasil membunuh Go Pay. Coba kalau tidak, Setelah tertawan
oleh kawan-kawannya ini, aku pasti akan mengalami berbagai siksaan dahulu sebelum
mati dibunuh, sekarang aku dapat mati dengan puas, Go Pay toh berpangkat tinggi,
sedangkan aku hanya seorang kacung dari rumah pelesiran. selembar nyawanya
ditukar dengan nyawaku ini, rasanya masih tidak rugi!" pikirnya dalam hati.
Sungguh Siau Po seorang bocah yang hebat, dalam keadaan seperti itu dia masih
sanggup menghibur hatinya sendiri.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa saat kemudian, kembali Siau Po tertidur, malah kali ini lebih lama dari yang
pertama, Akhirnya setelah terbangun, dia merasa kereta itu melaju di jalan yang licin.
Dalam hati dia bertanya-tanya, kemana mereka akan membawanya.
Lalu, saat yang ditunggu sampai juga, kereta itu berhenti Siau Po masih terus
menunggu, namun tidak ada seorang pun yang mengeluarkannya dari dalam drum.
Dia merasa heran dan juga gundah, terus dia berdiam diri sampai sayup-sayup
didengarnya suara orang mendatangi. Dia agak terkejut ketika seseorang membuka
tutup drum itu, buah tho yang menutupinya dikeluarkan sehingga Siau Po dapat
bernafas lebih Iega. Ketika dia membuka matanya kembali, mula-mula pandangan terasa gelap, lambat
laun dia baru mulai terbiasa, kali ini ada orang yang mengangkatnya dari dalam drum
kemudian mengempitnya di bawah ketiak dan membawanya pergi Ada seorang lainnya
yang berjalan di samping dengan membawa sebuah lentera. Rupanya malam sudah
mulai menjelang. Siau Po dapat melihat bahwa orang yang membawanya adalah seorang tua yang
wajahnya berwibawa, sikapnya pendiam karena dia tidak bicara sama sekali. Ketika itu
mereka berada dalam sebuah taman, tapi orang itu masih membawanya menuju
ruangan belakang. Pembawa lentera langsung mementangkan daun jendela.
"Celaka aku!" keluh Siau Po dalam hati.
Ruangan itu penuh dengan orang, jumlahnya mungkin mencapai seratus lebih.
Pakaian mereka seragam, semuanya berwarna hijau, Kepala masing-masing dibalut
dengan sabuk putih, Bagian pinggang dililit dengan kain putih juga. Hal ini membuktikan
bahwa mereka mengenakan pakaian berkabung.
Di tengah ruangan telah diatur sebuah meja sembahyang. Di sekelilingnya menyala
delapan batang lilin. Ketika di Yangciu, Siau Po pernah menghadi upacara sembahyang seperti ini.
Karenanya di tahu dan hatinya takut sekali Tubuhnya gemetar, dia khawatir dirinya akan
menjadi korban untuk upacara itu. Mungkin dadanya akan dibelek untuk di keluarkan
jantungnya. Si orang tua menurunkan Siau Po dan membiarkannya berdiri dengan sebelah
lengannya tetap tercekal. Dia lalu menepuk dada dan punggung bocah itu agar jalan
darahnya yang tertotok dapat bebas, tapi Siau Po tetap tidak dapat berdiri tegak karena
kedua lututnya terasa lemas sehingga dia terpaksa dipapah oleh orang tua itu.
"Bagaimana aku dapat meloloskan diri dari tempat ini?" Hal inilah yang pertama-tama
timbul dalam benaknya. Sebab dia sadar, yang paling utama saat ini hanyalah lari.
Semua orang yang ada dalam ruangan ini tentu berkepandaian tinggi inilah kesulitan
yang harus dihadapinya. Tidak mungkin dia sanggup menandingi mereka. Tapi
totokannya sudah bebas, Biar bagaimana, dia tetap akan berusaha, Dia terus mencoba!
"Bagaimana aku harus bersikap agar orang tua ini tidak terus menerus memegangi
aku?" pikirnya kembali "Kalau aku lolos, pertama-tama yang kulakukan adalah
memadamkan semua lilin di atas meja itu agar ruangan ini menjadi gelap gulita,
Dengan demikian akan ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri."
Diam-diam Siau Po memperhatikan orang-orang yang ada dalam ruangan itu.
Kebanyakan terdiri dari laki-laki, ada beberapa hwesio dan tosu di antaranya. Juga
terdapat beberapa wanita yang membawa senjata di pinggangnya.
Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya muncul dari kerumunan orang
kemudian menghampiri meja sembahyang. Di samping meja itu dia berkata dengan
suara keras. "Ha... ri ini sakit hati yang da... lam telah terbalas! Toa... ko, semoga arwah mu
tenang di alam baka!"
Hanya berkata sampai di sini, dia sudah menangis menggerung-gerung, tubuhnya
mendekam di atas meja sembahyang dan berguncang-guncang karena tangisannya
yang mengharukan Semua orang yang hadir dalam ruangan itu ikut menangis dengan
sedih. "Kurang ajar orang-orang ini!" pikir Siau Po yang mendongkol sekali, "Mereka harus
didamprat!" Baru berpikir sampai di sini, tiba-tiba dia merasa apabila dia benar-benar
melakukan hal itu, berarti dia membahayakan dirinya sendiri.
"Asal aku membuka mulut, mereka tentu akan menyerbu aku Bagaimana aku dapat
meloloskan diri?" Dia melirik ke kiri kanan orang-orang itu memang sedang menangis,
tetapi dia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Takutnya asal dia
bergerak sedikit saja, tentu mereka akan mengejarnya dan akibatnya bisa lebih runyam
Iagi. "Upacara sembahyang dimulai!" Terdengar seseorang berteriak dengan lantang,
rupanya dialah pemimpin upacara itu, suaranya menunjukkan usianya tidak muda lagi.
Mendengar suara itu, keluarlah seorang laki-laki yang bertelanjang dada, kepalanya
dibalut dengan sabuk putih, tangannya terangkat tinggi ke atas sambil menggenggam
sebuah nampan. Dan di atas nampan terdapat kepala seseorang yang dialasi dengan
kain merah dan darahnya masih bercucuran. Hampir Siau Po semaput melihat kepala
orang itu. "Celaka!" gerutunya dalam hati, "Jangan-jangan mereka juga akan mengutungi
kepalaku! Tapi, kepala siapakah itu" Kong cin ong atau saudara angkatku, So Ngo-tu?"
Karena nampan itu diangkat tinggi ke atas, Siau Po tidak dapat melihat kepala siapa
yang berada di atasnya, Nampan itu lalu diletakkan di atas meja sembahyang,
Pembawanya segera menjatuhkan diri berlutut. Orang-orang lainnya yang sedang
menangis juga mengikuti perbuatannya.
"Kapan lagi aku menyingkir kalau bukan sekarang?" pikir Siau Po dalam hati, Dia
segera menggerakkan kakinya, Belum sempat bertindak lebih jauh, orang tua di
sampingnya sudah menyambar tangannya dan menariknya kuat-kuat sehingga Siau Po
terjatuh berlutut di sisinya.
Saking sengitnya, Siau Po memaki-maki dalam hati.
"Go Pay bangsat! Kura-kura! Awas kau, di neraka pun lohu tidak akan mengampuni
dirimu!" Beberapa orang bangun, namun sebagian masih berlutut, suara tangisan masih
terdengar. "Tidak tahu malu!" maki Siau Po dalam hati, "Masa laki-laki menangis seperti ini"
Memangnya siapa Go Pay, si manusia busuk itu" Apa sih kehebatannya sampai perlu
ditangisi seperti ini" Dia toh sudah mati, apanya lagi yang perlu disayangkan" Kenapa
kalian harus menangis terus untuknya?"
Sesaat kemudian, seorang tua berjalan menuju samping meja dan berkata dengan
suara lantang: "Saudara sekalian, sakit hatinya In hiocu kita sudah terbalaskan! Akhirnya si jahanam
Go Pay telah menerima bagiannya, kepalanya sudah dipenggal. Hal ini tentu saja
merupakan berita gembira bagi Ceng-bok tong dari Tian-te hwe kita!"
Tian-te hwe adalah perkumpulan langit dan bumi.
Siau Po heran mendengar bahwa kepala Go Pa telah dipenggal.
"Eh, apa artinya ini?" tanyanya dalam hati, Di merasa heran sekaligus terkejut juga
gembira. "Apakah mereka bukan antek-anteknya Go Pay" Jadi mereka ini malah
musuhnya si jahanam itu?"
Orang tua itu tetap berbicara, tetapi Siau Po sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sekian lama dia berdiam diri merenungkan apa yang sedang dihadapinya.
Terdengar orang tua itu berkata lagi:
"Hari ini kita menyerbu istana Kong cin ong, Syukur kita berhasil membekuk Go Pay
dan membawanya pulang kemari! Dengan demikian nyali bangsa Tartar pasti ciut ini
merupakan keuntungan bagi perkumpulan kita yang bercita-cita menentang dan
merobohkan kerajaan Ceng. Kita akan membangun kembali kerajaan Beng! Kalau
bagian lain dari perkumpulan kita mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ceng-bok
tong kita, tentu mereka akan merasa kagum!"
"Benar! Benar!" sahut yang lainnya serentak.
"Memang Ceng-bok tong kita telah berhasil memperlihatkan kehebatannya!" teriak
seseorang. "Pihak Ang-hoa tong yang biasa suka mengagulkan diri, tentu akan iri dengan
keberhasilan kita kali ini!" seru yang lainnya tidak mau ketinggalan.
"Peristiwa ini tentu akan menjadi bahan percakapan di mana-mana. Apalagi kalau
kita berhasil mengusir bangsa Tartar, tentu nama Ceng-bok tong akan semakin harum!"
"Memang bangsa Tartar harus diusir! Tapi lebih bagus lagi kalau kita bisa membasmi
mereka!" Suasana dalam ruangan itu jadi gaduh karena teriakan di sana sini. Ucapan mereka
penuh semangat sehingga kesedihan pun mulai terhapus karenanya.
Sekarang Siau Po sadar bahwa orang-orang itu adalah bangsa Han yang terdiri dari
patriot-patriot pecinta negara dan sedang berusaha menentang pemerintah Boan, Siau
Po masih muda dan belum banyak pengalaman, tetapi dia sering mendengar orang
menyebut nama perkumpulan Tian-te hwe perkumpulan ini mempunyai cita-cita untuk
menghancurkan kerajaan Ceng dan membangkitkan kembali kerajaan Beng.
Dia juga sering mendengar berbagai usaha yang dilakukan perkumpulan itu. Bangsa
Boan terkenal dengan kekejamannya, Ke-tika terjadi penyerbuan di kota Yangciu, entah
berapa banyak rakyat yang menjadi korban.
Dia juga pernah mendengar tentang Suko hoat yang dengan berani menentang
pemerintah Boan, bahkan sampai mengorbankan nyawanya sendiri.
Mendengar suara orang banyak itu, terbangkit juga semangat Siau Po sehingga
untuk sesaat dia lupa bahwa saat ini dia sedang menyamar sebagai si thay-kam cilik.
Setelah suara teriakan agak mereda, orang tua itu baru melanjutkan kata-katanya
kembali. "Selama dua tahun kita selalu teringat sakit hati In hiocu, kita juga sudah
mengucapkan sumpah bahwa kita akan membunuh Go Pay dan memenggal kepalanya
sebagai korban sembahyang upacara arwah In hiocu, Sampai sekarang maksud kita
baru tercapai. Hari ini melihat adanya kepala Go Pay di atas nampan, tentu arwah In
hiocu akan tertawa senang di alam baka!"
"Benar! Benar!" seru yang lainnya serentak.
Terdengar seorang lainnya berkata. "Dua tahun sudah sejak kita mengangkat
sumpah akan membalaskan sakit hati In hiocu, Saat itu pula kita berjanji, apabila kita
gagal, kita semua akan bunuh diri, Sebab, apabila kita mengalami kegagalan, kita yang
dari bagian Ceng-bok tong bukanlah manusia tapi anjing-anjing buduk, tidak ada muka
lagi bagi kita untuk hidup lebih lama, untunglah akhirnya sakit hati ini dapat terbalas
juga. Aku orang she Pwe sudah dua tahun lamanya tidak enak makan dan tidak enak tidur
karena memikirkan pembalasan dendam bagi In hiocu, tidak disangka-sangka kalau
hari gembira ini tiba juga akhirnya!"
Saking gembiranya orang she Pwe itu sampai tertawa terbahak-bahak, setelah itu
masih ada beberapa orang lagi yang memberi komentar Siau Po yang menyaksikan hal
itu diam-diam berpikir. "Aneh kalian semua, sebentar menangis, sebentar tertawa, benar-benar mirip anak
kecil!" Suara gaduh pun reda. Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dengan nada dingin:
"Apakah kita yang membunuh Go Pay"
Pertanyaan itu tajam sekali, orang-orang yang ada dalam ruangan itu membungkam
seketika. Pertanyaan itu juga tepat menikam ulu hati mereka, karena semuanya tahu bahwa
yang membunuh Go Pay adalah seorang thay-kam cilik. Beberapa pentolan bagian
Ceng-bok tong sendiri yang menjadi saksinya.
Sampai sekian lama baru ada seseorang yang mengomentari pertanyaan itu.
"Memang bukan kita sendiri yang membunuh Go Pay. Tapi hal itu terjadi tepat ketika
kami menyerbu ke istana pangeran itu. Orang yang membunuhnya justru menggunakan
kesempatan ketika kekacauan terjadi sehingga dia berhasil!"
"Oh, begitu rupanya!" tanggap orang yang pertama dengan nada yang sedingin
semula. Orang yang kedua langsung bertanya dengan suara lantang. "Ki losam, apa maksud
kata-katamu itu?" "Apa maksudku" Tidak ada! Aku hanya ingin bertanya, apabila ada orang dari Cengbok
tong yang mengaku dirinyalah yang membunuh Go Pay, aku ingin tahu siapa
orangnya?" Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, memang tajam dan menyakitkan
namun merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal.
Terdengar si orang tua yang bertubuh kurus berkata. "Sebetulnya orang yang
membunuh Go Pay adalah si thay-kam cilik dari istana Sri Baginda, tetapi dia juga
berhasil karena kebetulan dan mendapat kesempatan yang baik. Aku yakin arwah In
hiocu yang membimbing bocah itu membunuh Go Pay, Kita semua merupakan laki-laki
sejati Kita tidak boleh mengakui jasa orang lain!"
Semuanya terdiam semangat mereka menjadi kendur, kegembiraan sebelumnya
sirna entah ke-mana. Ternyata Go Pay dibunuh oleh orang lain.
"Selama dua tahun Ceng-bok tong tidak mempunyai pimpinan, Orang banyak
mengangkat aku sebagai wakil ketua untuk sementara, Aku berusaha segenap
kemampuanku karena aku terus teringat sakit hati In hiocu, sekarang Go Pay sudah
mati. Tugasku juga sudah selesai. Karena itu aku akan mengembalikan lencana Tong pai
kita kepada In hiocu, Setelah itu, silahkan saudara-saudara pilih seorang ketua yang
pandai dan bijak." Selesai berkata dia mengeluarkan lencana perkumpulan mereka kemudian
meletakkannya di atas meja sembahyang. Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah tiga kali. "Lie toako!" Terdengar seseorang berkata, "Selama dua tahun ini, kau telah
membimbing kami dengan baik. Karena itu, selain engkau, tidak ada orang lagi yang
lebih cocok menduduki jabatan ini, Harap toako jangan sungkan lagi, ambillah kembali
lencana itu!" Untuk beberapa saat semuanya terdiam, sampai terdengar seseorang berkata.
"Kedudukan hiocu tidak dapat ditentukan oleh kita sendiri, tidak bisa sembarangan
memilih satu orang kemudian menyiarkannya menjadi ketua Ceng-bok tong.
Kedudukan itu harus ditentukan oleh Ketua pusat!"
"Memang benar!" kata orang yang pertama, "Tapi, jangan lupa, biasanya setelah
calon itu terpilih dan diajukan kepada pusat, tidak pernah ada tentangan, jadi
penetapan dari pusat hanya formalitas saja."
"Menurut apa yang aku ketahui," kata seorang lainnya, "Setiap hiocu yang baru
dipilih oleh hiocu yang lama."
"ltu terjadi apabila hiocu yang lama sudah tua atau sakit dan tidak dapat menjalankan
tugas lagi, Tapi, itu juga atas dasar kesepakatan semua orang, bukan satu orang saja,"
sahut yang lainnya. Terdengar orang yang pertama berkata kembali. "Sungguh sayang hiocu yang
dahulu yakni In hiocu telah dibunuh oleh Go Pay, Dengan demikian tidak ada pesan
terakhir dari beliau. Ki lao-liok, hal ini kau bukannya tidak tahu, mengapa sekarang
kau berlagak bodoh" Aku tahu maksudmu! Kau menentang Lie toako sebagai hiocu, karena
kau mempunyai niat buruk, kau sudah merencanakan sesuatu!"
Orang yang dipanggil Ki lao-liok menjadi marah mendengar ucapan tadi.
"Apa niat burukku" Apa yang kurencanakan" Cui toucu bicaralah yang jelas, jangan
sembarangan memfitnah!"
Orang yang dipanggil Cui toucu juga jadi gusar. "Hm!" Terdengar dia mendengus
dingin, "MariIah kita bicara blak-blakan, Di dalam Ceng-bok tong kita, siapa yang tidak
tahu bahwa kau ingin menunjang kau punya cihu (kakak-ipar), Bi-jiam kong Kwan hucu
sebagai hiocu" Apabila Kwan hucu menjadi hiocu, otomatis kau sendiri akan menjadi
Kok-kiu loya (Tuan besar ipar ketua). Dengan demikian kau akan mendapat kedudukan
tinggi dan kau bisa berbuat suka hatimu, ingin angin, angin pun datang, ingin hujan,
hujan pun turun?" "Kwan hucu itu kebetulan kakak iparku atau bukan, adalah masalah Iain!" bentak Ki
lao-liok. "Tapi kalian harus ingat, dalam penyerbuan ke istana Kong cin ong, yang
memimpin adalah Kwan hucu. Dia berhasil pulang dengan membawa kemenangan.
Menilik kepandaiannya, bukankah dia pantas menjabat sebagai hiocu" Li toako
memang berhak, dia juga memenuhi syarat, orangnya baik, aku tidak menentangnya
secara pribadi. Akan tetapi kalau bicara tentang kepandaian Kwan hucu masih berada
di atasnya!" Mendengar kata-kata itu, Cui toucu langsung tertawa terbahak-bahak, nada suaranya
mengandung ejekan. Hal ini membuktikan bahwa dia tidak memandang sebelah mata
pun. "Apa yang kau tertawakan?" bentak Ki lao-liok yang menjadi semakin marah, "Apa
ada kata-kataku yang salah?"
Cui toucu kembali tertawa. "Kau tidak salah, Ucapan Ki lao-liok mana mungkin
salah" Aku hanya merasa kepandaian Kwan hucu memang luar biasa, sebab kota
besar mana pun sudah dia lalui, tetapi tidak ada satu pun panglima besar musuh yang
sanggup dibinasakannya. Bahkan akhirnya seorang Go Pay yang sudah dipenjarakan
juga mati di tangan seorang bocah cilik!"
Tiba-tiba seseorang keluar dari kerumunan Siau Po mengenalinya sebagai orang tua
berjenggot yang memimpin penyerbuan ke istana Kongcin ong dia memang tampak
gagah. Tapi dikala hatinya sedang marah seperti sekarang ini, wajahnya kelihatan
berwibawa sekali. Sebenarnya dia bernama Kwan An-ki, tetapi karena kumis dan jenggotnya yang
panjang, orang menjulukinya Kwan kong. Kebetulan she-nya juga sama. itulah
sebabnya orang-orang menyebutnya Kwan hucu (Nabi Kwan).
Tampak Kwan hucu mendelikkan matanya lebar dan berkata dengan suara lantang.
"Saudara Cui, kau boleh berdebat dengan lao-Iiok, kau juga bebas menyebutkan apa
pun yang kau sukai. Tapi aku tidak bersalah apa-apa padamu, jangan kau seret aku


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam perselisihan ini, Bukankah kita semua telah bersumpah dan mengangkat
saudara di hadapan para dewa untuk hidup dan mati bersama" Mengapa sekarang kau
bersikap demikian terhadapku apa maksudmu sebenarnya?"
Si orang she Cui itu ngeri juga melihat kemarahan Kwan hucu, kakinya sampai
menyurut mundur satu langkah.
"A... aku tidak bermaksud... mencela engkau.... Tapi, Kwan toako, apabila kau setuju
Li toako yang menjadi ketua Ceng-bok tong, aku akan berlutut di hadapanmu dan minta
maaf atas kata-kataku tadi!"
Kwan An-ki menatapnya dengan sorot mata garang.
"Aku juga tidak berani menerima penghormatan yang demikian besar darimu, Tapi
kau harus mengerti, siapa pun yang akan menjadi hiocu, aku tidak berhak mengatakan
apa-apa, Dan kau, saudara Cui, kau juga belum menjadi ketua pusat, jadi... siapa pun
yang menjadi ketua Ceng-bok tong ini, belum giliranmu untuk menentukannya!"
Cui tou cu menyurut mundur lagi satu langkah.
"Kwan jiko, apakah kata-katamu juga tidak menyinggung perasaan orang" Aku Cui
toucu, mempunyai kesadaran sendiri Meskipun aku menjelma delapan belas kali lagi,
tetap saja tidak pantas menjadi ketua Tian-te hwe. Aku hanya mengatakan bahwa singan
Kim Ci (Mata Malaikat bersayap emas) Lie toako adalah seorang tokoh yang
dihormati kalangan kita, Usianya sudah tua, tindakannya bijaksana, Apabila beliau yang
terpilih menjadi ketua Ceng-bok tong, aku yakin sembilan bagian orang-orang kita akan
menyetujuinya!" Di antara para hadirin terdengar seseorang menukas.
"Cui toucu, kau bukan mereka, kau tidak bisa menyusup ke dalam jiwa delapan
sembilan bagian dari orang-orang Ceng-bok tong, bagaimana kau bisa mengatakan
mereka semua akan menyetujui nya" Lie toako memang orangnya baik, kita bisa
mengajaknya minum arak bersama-sama, dapat pula mengajaknya bercerita atau
bersenda gurau tetapi untuk mengangkatnya sebagai hiocu, mungkin delapan bagian
atau sembilan bagian dari kita tidak menyetujuinya!"
"Kalau menurut aku, kata-kata saudara Ti memang tepat sekali!" tukas seorang
lainnya. "Kita tidak bisa memandang tinggi satu orang yang menjadi pujaan kita, Kita
ingin menghancurkan kerajaan Ceng dan membangun kembali kerajaan Beng kita, Kita
juga bukan guru besar kita Kong Hu Zu yang bisa bicara soal filsafah maupun etiket,
Bangsa Tartar tidak dapat diusir dengan nama besar saja. Orang yang kau katakan tadi
banyak bisa dijumpai di mana-mana!"
Para hadirin tertawa mendengar kata-katanya yang kocak. Lalu seseorang bertanya:
"Kalau begitu, Saudara, menurutmu siapakah yang pantas dipilih menjadi ketua kita"
Apakah kita akan memilih orang yang gagah dan pandai melaksanakan kewajibannya?"
"Menurut pinto.,." tukas seorang pendeta agama To. "Orang yang gagah dan pandai
itu memang hanya Lie toako seorang!"
"Kami memilih Kwan hucu!" seru berpuluh-puluh orang lainnya, "Kepandaian Lie
toako tidak dapat menandingi Kwan hucu!"
"Kwan hucu selalu serius dalam menangani persoalan apa pun. Semua orang
mengetahui hal ini dan semua juga mengaguminya!" kata seorang tosu.
"Benar! Benar!" Berpuluh orang tadi segera memberikan sambutan yang meriah,
"Nah, apalagi yang akan kalian katakan?"
"Sabar! Sabar!" teriak si tosu yang pertama, "Dengar dulu kata-kataku ini, Satu hal
yang harus kalian ingat adalah watak Kwan hucu, Dia terlalu berangasan. Asal kurang
senang, seenaknya dia mencaci orang, Di matanya, kalian hanya bawahannya,
sedangkan terhadap dia, kalian merasa segan. Karena itu, apabila dia menjadi hiocu,
dikhawatirkan semuanya menjadi tidak tenang!"
"Tapi belakangan ini watak Kwan Hucu sudah jauh lebih baik, Aku yakin bila dia
sudah memangku jabatan sebagai hiocu, sifatnya akan berubah semakin baik!"
seseorang ikut memberikan tanggapan.
Tosu itu menggelengkan kepalanya.
"Negara mudah dirubah, tidak demikian halnya dengan watak seseorang, Tabiat
Kwan hucu adalah bawaan sejak lahir. Mungkin sekali-sekali dia bisa mengendalikan
dirinya, tetapi apakah dia juga bisa mengendalikan dirinya setiap saat" Belum tentu!
sedangkan kedudukan hiocu bukan untuk sehari dua, namun untuk selamanya!
Karena itu kita harus menjaga, jangan karena watak buruk seseorang, terjadi
perpecahan di antara kita, Sekali saja terjadi keributan di antara kita, maka usaha
yang telah dipupuk sekian lama, usaha yang mempunyai cita-cita luhur akan menjadi
berantakan!" Ki lao-liok ikut membuka suara.
"Kou Yao totiang, menurut pandanganku sifatmu sendiri belum sempurna!"
Mendengar sindiran itu, Kau Yap tojin, si tosu tadi tertawa lebar.
"Benar apa yang dikatakan orang bahwa urusan pribadi masing-masing, diri
sendirilah yang paling paham. perangai pinto memang tidak baik, Sering pinto berbuat
kesalahan itulah sebabnya pinto berusaha untuk mengurangi pembicaraan tetapi dalam
hal pengangkatan hiocu ini, pinto tidak bisa berdiam diri, Karena hal ini menyangkut
kepentingan Ceng-bok tong kita, Terpaksa pinto mengungkapkan isi hati. Tabiat pinto
tidak baik, pinto juga tidak tertarik menjadi hiocu. Kalau ada saudara yang tidak puas
dan tidak memilih pinto, maka suatu hal yang kebetulan Menjauhkan diri dari pinto
memang merupakan hal yang terbaik, Tetapi apabila pinto yang menjadi hiocu, tentu
pinto tidak mau tidak dihiraukan sebawahannya atau pun tidak dipandang sebelah
mata!" Ki lao-liok menjadi tidak puas mendengar ucapannya.
"Toh tidak ada orang yang mengajukan dirimu sebagai hiocu, Mengapa sekarang kau
banyak bacot ?" Tiba-tiba tosu itu menjadi marah. "Ki lao-liok!" teriaknya, "Sahabat-sahabatnya dari
dunia kangouw, apabila bertemu dengan pinto, mereka menyebut pinto dengan
panggilan totiang, Bahkan Cong tocu sendiri, ketua pusat kita juga masih sungkan
terhadapku Mana ada orang yang begitu tidak tahu aturan seperti engkau" Biar pinto
katakan terus-terang kepadamu, apabila Kwan hucu diajukan sebagai hiocu Ceng-bok
tong, pintolah orang yang pertama yang menyatakan tidak setuju, Kalau dia
memaksakan diri juga, dia harus memenuhi sebuah syarat!"
Ki lao-liok mendongkol sekali mendengar ucapan tosu itu, tapi dia berusaha untuk
mengendalikan emosinya. "Apa yang kau maksudkan" Bicaralah yang jelas agar kita semua bisa
mempertimbangkannya!"
Kou Yap tojin menatap Ki lao-liok dengan tajam, kemudian baru dia berkata:
"Syarat yang harus dipenuhi oleh Kwan hucu ialah harus bercerai dengan Sip Ciok
Cin-kim Ki Kim-to!" Mendengar jawaban rahib itu, orang-orang yang ada di dalam ruangan itu tertawa
terpingkal-pingkal karena merasa lucu sekali.
Hat ini disebabkan Sip Ciok Cin-kim (Seratus persen emas murni) Ki Kim-to adalah
istrinya Kwan hucu, Dia adalah kakak perempuannya Ki lao-liok, julukannya itu didapat
karena dia menggunakan senjata yang merupakan sepasang golok emas.
Sekarang Kou Yap tojin justru mengajukan syarat yang aneh itu. Tentu saja orangorang
yang mendengarnya jadi geli.
Sebetulnya Ki Kim-to adalah seorang wanita yang baik. wataknya jujur, Ki lao-liok
juga cukup baik, sayangnya dia terlalu menyanjung cihunya sendiri.
Padahal watak Kwan hucu justru mudah marah dan berangasan, Karena itu banyak
orang yang membicarakan perangainya yang buruk.
Kwan hucu yang mendengar ucapan Kou Yap tojin terus berdiam diri, ia tidak ingin
berdebat dengan siapa pun. Tosu itu juga tidak mau memperpanjang urusan, Dia
tertawa lebar. "Kwan hucu, kita adalah saudara angkat, berbagai bahaya telah kita lalui bersama.
Oleh karena itu, jangan karena perdebatan sesaat, persaudaraan kita menjadi hancur
karenanya, Barusan pinto hanya bergurau, harap kau maafkan aku. Nanti kala kau
kembali ke rumah, harap jangan sampaikan apa yang kukatakan kepada enso, Kalau
tidak, mungkin dia akan datang kemari dan menarik kumis dan jenggotku ini sampai
putus!" Kembali orang-orang yang ada dalam ruangan tertawa terbahak-bahak, Imam itu
memang jenaka sekali, Kwan An-ki juga segan terhadap tosu itu. Dia tidak berkata-kata
hanya bibirnya saja yang tersenyum.
Pemilihan hiocu masih menjadi bahan pembicaraan, ada yang memuji Lie toako yang
sudah tua dan bijaksana, ada yang memilih Kwan hucu yang gagah, Sampai cukup
lama masalah ini masih belum bisa dipecahkan.
Selagi orang ramai masih membicarakan persoalan itu, tiba-tiba terdengar seseorang
menangis meraung-raung sambil berkata.
"ln hiocu, oh, In hiocu! Semasa hidupmu, kami dari Ceng-bok tong selalu rukun satu
sama lainnya, Semua saudara tua dan muda tidak ada perbedaannya. Kita selalu
bersatu dalam menghadapi apa pun. Kita bercita-cita merobohkan kerajaan Ceng dan
membangun kembali kerajaan Beng kita! Siapa nyana kau justru mati di tangan Go Pay
si jahanam! Sampai sekarang tidak ada orang yang hebat seperti toako! Oh, In hiocu, kecuali kau
hidup kembali, kami pasti tidak bisa rukun seperti dulu, Kami akan seperti pasir yang
buyar terhempas ombak, Kita tidak bisa kompak lagi seperti semasa hidupmu!"
Mendengar kata-kata itu, orang-orang lainnya pun teringat kepada In-hiocu. Mereka
sedih sekali, Bahkan sebagian di antaranya ikut menangis dengan pilu.
Tepat pada saat itu, terdengar seseorang lainnya berkata.
"Lie toako mempunyai kebaikan tersendiri demikian pula dengan Kwan hucu. Keduaduanya
merupakan saudara kita, Karena itu, jangan karena urusan mereka berdua,
masalah pemilihan hiocu ini jadi kacau, Dengan demikian tali persaudaraan kita bisa
kendor dan kita pun tidak dapat hidup rukun lagi sebagaimana biasanya. Menurutku,
lebih baik kita serahkan urusan ini kepada In hiocu. Kita undang arwahnya, Kita tulis
nama Lie toako dan Kwan hucu, kemudian kita memasang hio bersembahyang kepada
In hiocu dan memohon keputusannya. Bukankah cara ini yang paling bagus?"
Beberapa orang segera menyatakan persetujuannya.
"Cara itu tidak bagus!" bantah Ki lao-liok.
"Kenapa tidak?" tanya seseorang."
"Siapa yang akan mengundi nama-nama itu?"
"Bersama-sama kita pilih seseorang untuk menjadi pengundinya."
"Bagaimana kalau orang itu tidak jujur?"
"Benar! Bagaimana kalau ada yang berani main gila?"
"Tidak mungkin!" teriak Cui tou cu. "Di depan arwahnya In hiocu, siapa yang berani
main gila?" "Hati manusia sulit diterka, biar bagaimana kita harus berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan!" kata Lao-liok yang kukuh pada pendiriannya.
"Kau benar-benar edan! Siapa yang berani main gila kecuali kau?" bentak Cui tocu.
Lao-liok menjadi gusar mendengar kata-katanya. "Siapa yang kau maki?"
"Aku memaki kau, bocah cilik!" sahut Cui toucu terus-terang, "Mau apa kau?"
"Sebenarnya aku sudah berusaha untuk sabar, tetapi kali ini habisIah kesabaranku!"
bentak Ki lao-liok. Ki lao-liok langsung menghunus goloknya dan berkata.
"Cui toucu, mari kita pergi ke halaman luar untuk mengadu kepandaian!" tantangnya.
Dengan tenang Cui toucu juga menghunus senjatanya.
"Kau yang menantang aku, terpaksa aku melayani!" Dia menolehkan kepalanya
kemudian berkata, "Kwan hucu, kau lihat sendiri!"
"Kita semua merupakan saudara, jangan karena urusan ini timbul perselisihan Cui
toucu, tanpa sebab musabab kau memaki iparku, Kesalahan ada padamu!"
"Aku sudah menduga bahwa kau akan membela iparmu itu dan menyalahkan aku,
Kwan hucu, belum jadi hiocu saja pertimbanganmu sudah berat sebelah, Apalagi kalau
kau benar-benar terpilih menjadi hiocu?"
Kwan An-ki marah sekali. "Apa orang yang sembarangan memaki itu kelakuannya benar" Apalagi kau
mengucapkan kata-kata yang kasar, lalu maumu, aku harus bagaimana?"
Ucapan Kwan hucu dianggap lucu, sehingga orang-orang yang mendengarkan jadi
tertawa. Lao-liok yang mendapat pembelaan dari cihu-nya semakin besar kepala, Dia segera
beranjak dari tempatnya dan menantang.
"Cui toucu, silahkan!"
Ada seseorang yang segera memegangi tangannya dan mencegah.
"Lao-liok, kau ingin cihumu menjadi hiocu, pemikiran ini memang tidak salah, Tapi
kau jangan melakukan kesalahan terhadap orang lain, Apalagi di hadapan orang
banyak, seharusnya dalam segala hal kau bisa mengalah!"
Perlahan-lahan Cui toucu memasukkan goloknya ke dalam sarung.
"Bukannya aku takut kepadamu," katanya kepada Ki lao-liok. "Aku hanya
memandang saudara-saudara kita yang lainnya. Tapi aku tegaskan sekali lagi, apabila
Kwan hucu ingin menjadi hiocu, biar bagaimana aku orang she Cui tidak setujui
wataknya Kwan hucu masih lumayan, tapi lain halnya dengan Ki lao-Iiok. Lebih baik
bertemu dengan Giam lo-ong daripada algojonya!"
Siau Po berdiri di samping, Dia dapat mendengar semuanya dengan jelas, Tanpa
terasa dia menjadi tertarik. Rasa takutnya sudah hilang karena tahu dirinyalah yang
salah sangka, Tadinya dia mengira orang-orang itu adalah antek-anteknya Go Pay,
ternyata bukan, malah sebaliknya merekalah musuh bangsa Boan.
Tapi masih juga terselip kekhawatiran di hatinya, yakni orang-orang itu merupakan
patriot pecinta negeri sedangkan saat ini dia sendiri menyaru sebagai thay-kam cilik
dari istana kerajaan musuh. "Mana mungkin mereka percaya kalau aku bukan seorang thay-kam?" pikirnya dalam
hati, "Sebentar lagi, apabila mereka sudah mengambil keputusan, mungkin aku akan
dibunuhnya, Apalagi aku sudah mendengar rahasia mereka. Pasti mereka akan
membungkam mulutku untuk selamanya, Taruh kata aku tidak dibunuh, mereka pasti
akan mengurung aku untuk selamanya, Satu-satunya jalan yang paling baik adalah
menyingkirkan diri selagi masih ada waktu!"
Perlahan-lahan Siau Po bergerak mundur untuk mencapai pintu, Dia berharap akan
terjadi kekacauan di antara mereka sendiri sehingga dia dapat melarikan diri dari
tempat itu. "Mengundi hanya permainan anak-anak!" Terdengar seseorang memberikan
komentar "Menurut aku, paling baik kita gunakan cara yang singkat dan tegas, yakni
membiarkan Lie toako dan Kwan hucu mengadu kepandaian, boleh dengan tangan
kosong maupun senjata tajam, tapi sebatas saling menotol saja. Dengan demikian tidak
ada pihak yang sampai terluka, Kita semua menonton dari samping, siapa yang
menang atau kalah, kita putuskan bersama, Bagaimana?"
Ki lao-liok setuju, Dialah yang pertama-tama menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Begitu saja keputusannya, Kita gunakan cara mengadu kepandaian. Kalau
Lie toako yang menang, aku akan menghormatinya sebagaimana layaknya seorang
hiocu!" Mendengar ucapannya, Siau Po berpikir dalam hati.
"Belum tentu apa yang kau katakan jujur, Siapa tahu kau memang sudah yakin
cihumu yang bakal meraih kemenangan" Kalau begitu, buat apa mereka mengadu
kepandaian?" Kalau Siau Po saja bisa mempunyai pikiran seperti itu, tidak heran yang lainnya juga
berpikiran sama, Buktinya banyak orang yang memprotes usul itu, Bahkan ada yang
mengatakan. "Untuk menjadi seorang hiocu, harus ada dukungan dari kita semua, Bukankah kita
semua terdiri dari saudara" persaudaraan tidak ada hubungannya dengan kepandaian.
Tidak perduli siapa yang kepandaiannya lebih tinggi atau lebih rendah!"
"Kalau kita mengambil keputusan berdasarkan pibu, taruh kata Kwan hucu berhasil
menang, lalu ada orang lagi yang menentangnya dan orang itu menang, Dengan
demikian bukankah orang itu yang pantas menjadi hiocu" Sampai kapan urusan ini baru
bisa diselesaikan?" "ltu bukan cara untuk memilih hiocu tapi pertandingan di atas panggung, Kalau
demikian, lebih baik Kwan hucu membangun panggung saja dan menentang setiap
orang untuk mengadu kepandaian !" kata yang lain.
"Andaikata Go Pay belum mati, mungkin Kwan hucu sendiri tidak sanggup
mengalahkannya. Lalu apabila hal ini sampai terjadi, seandainya Go Pay tidak mati,
apakah kita harus memilihnya sebagai hiocu kita?" tukas orang yang lain.
Mendengar pertanyaan itu, orang banyak langsung tertawa geli, justru di saat itu
terdengar pula ratapan seseorang.
"Oh, In hiocu! Setelah engkau menutup mata, orang tidak menghormatimu Iagi! In
hiocu dengar sendiri, apa yang mereka ucapkan di depan meja sembahyangmu!
Sumpah yang pernah mereka ucapkan sekarang hanya angin busuk belaka!"
Siau Po mengenali suara orang itu sebagai Ki losam yang paling pandai menyindir
dengan ucapannya yang tajam.
Begitu suara itu terdengar suara bising pun sirap seketika, Ruangan itu menjadi sunyi
seketika, Semua orang dapat merasakan tajamnya kata-kata itu.
"Eh, Ki losam apa maksud ucapanmu itu?" tanya beberapa orang.
"Hm!" Ki losam mendengus dingin, "Dulu ketika In hiocu meninggalkan, aku juga ikut
berlutut menyembah di depan peti matinya, Aku juga menusuk jari tanganku dan
dengan darah sendiri-sendiri kita bersumpah akan membalas sakit hati bagi In hiocu,
Aku ingat apa yang pernah kita ucapkan waktu itu, siapa pun yang berhasil membunuh
Go Pay, kita akan mengangkatnya sebagai hiocu, Aku masih mengingat dengan baik
sumpah itu dan aku tidak mau mengingkarinya, Apa yang telah kuucapkan bukan
sekedar angin busuk!"
Semua orang terdiam mendengar kata-katanya. Sumpah itu memang bukan hanya
diucapkan oleh Ki losam, tetapi mereka semua juga mengucapkannya, dan sebetulnya
mereka tidak mungkin melupakannya.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kemudian baru terdengar Ki lao-liok berkata.
"Ki samko, apa yang kau katakan memang tidak salah, bukan hanya engkau yang
mengucapkan sumpah itu, aku juga, bahkan kita semua juga mengucapkannya. Tapi
kau tahu, aku juga tahu, kita semua tahu bahwa yang membunuh Go Pay adala bocah
itu...." Dia menoleh, tepat pada saat Siau Po sampai di ambang pintu, Ki lao-liok terkejut
sekali dengan gugup dia berseru, "Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!"
Siau Po juga terkejut Dia ingin lari tetapi jalannya langsung dihadang beberapa
orang. Dengan demikian gagallah niatnya itu, Siau Po kena dicekal dengan mudah dan
ditenteng kembali ke dalam ruangan.
"Hai kura-kura sekalian!" teriak Siau Po dengan berani, "Kura-kura! Mau apa kalian
menyeret-nyeret lohu?"
Siau Po menganggap dirinya tidak mungkin dibiarkan hidup, karena itu sebelum mati
dia ingin berteriak sepuas-puasnya, Dia ingin memaki mereka habis-habisan.
"Eh, eh. Saudara kecil, jangan sembarangan memaki orang! Tunda dulu cacianmu
itu!" kata seorang laki-laki berdahdanan siu cai.
Siau Po menolehkan kepalanya, dia mengenali orang yang berbicara.
"Kau toh Ki losam?" tanyanya.
Ki losam yang bernama Ki Pu-ceng menatapnya dengan heran. "Eh, kau kenal aku?"
"Kau tanya aku kenal denganmu?" kata Siau Po. "Tidak. Aku kenal dengan ibumu!"
Losam tambah bingung, Tampangnya seperti orang pandir.
"Bagaimana kau bisa kenal dengan ibuku?"
"Tentu saja aku kenal dengan ibumu, Malah kami bersahabat karib!" kata Siau Po
seenaknya, Orang-orang yang mendengarkan ucapannya jadi tertawa geli.
"Aih! Lidah bocah ini sungguh tajam!" Terdengar komentar beberapa orang.
Wajah Ki Piu-ceng merah padam seketika, .
"Aih! Saudara kecil ini memang suka bergurau!" Tampangnya menjadi serius,"
Saudara kecil, bolehkah aku tahu mengapa kau membunuh Go Pay?"
Siau Po segera mendapat akal yang bagus, pada dasarnya dia memang cerdik sekali
dan pandai mengikuti perkembangan di sekitarnya.
"Go Pay si jahanam!" katanya dengan sepasang tinju dikepalkan. "Dia manusia
terkutuk yang telah banyak melakukan kejahatan Terutama dia telah membunuh banyak
patriot pecinta negara" Dialah musuh besarku! Aku Wi Siau-po telah bersumpah tidak
sudi hidup dalam satu jaman dengannya, Aku, seorang rakyat jelata, tapi dia membekuk
aku dan membawaku ke istana, Di sana aku dipaksanya menjadi thay-kam. Sungguh
menyesal aku tak sempat mencincang tubuhnya atau melemparkan tubuhnya menjadi
mangsa buaya di sungai!"
Sengaja Siau Po mengucapkan kata-katanya dengan keras dan penuh semangat
agar semua orang mendengarnya.
Ternyata semua orang yang hadir dalam ruang an itu jadi tertarik perhatiannya,
mereka bahka saling pandang dengan terkesima.
"Sudah lamakah kau menjadi thay-kam?" tanya Ki Piu-ceng.
"Lama" setengah tahun pun belum! Aku berasal dari Yangciu, dibekuk oleh Go Pay
kemudian dibawanya ke istana dengan paksa, Si jahat, Go Pay! Kalau dia mati,
mayatnya harus dibawa ke gunung golok, arwahnya akan menerima siksaan dalam
kuali panas! Batok kepalanya dipantek dengan tusuk konde!" Selama berbicara, Siau
Po sengaja mengeluarkan logat Yangciu,
"Benar Dia memang orang Yangciu!" kata seorang wanita yang berasal dari daerah
yang sama. "Bibi, kita sama-sama orang Yangciu," kata Siau Po yang akalnya banyak dan
rasanya tidak pernah kekurangan itu. "Dulu sungguh mengenaskan nasib kita orang
Yangciu! Kita telah disembelih oleh orang-orang Mancu tanpa belas kasihan sedikit
pun! Sampai sepuluh hari berturut-turut anjing-anjing Manchu melakukan pembunuhan!
Kakek kita, nenek kita habis dibunuh! Tidak ada satu pun yang dibiarkan hidup!
Iblisiblis itu menyerbu dari pintu timur menuju pintu barat Dari pintu selatan menerjang ke
pintu utara! Semua itu atas perintah Go Pay! Karena itulah aku membencinya dan
menganggap nya sebagai musuh besar. Tak sudi aku hidup bersama-sama
dengannya!" Hebat sekali ucapan bocah cilik ini. orang-orang yang berkumpul dalam ruangan itu
langsung menganggukkan kepalanya berulang kali, Hati mereka tergerak dan ikut
tegang membayangkan kembali peristiwa yang dikatakan bocah itu barusan.
"Tidak heran! Tidak heran!" seru Kwan An-ki saking kagumnya.
"Bukan hanya kakek dan nenekku yang menjadi korban, Bahkan ayahku juga mati
karena Go Pay!" kata Siau Po kembali
"Kasihan... kasihan..." kata Ki losam, "Saudara kecil, berapa usiamu tahun ini" tanya
Cui toucu, "Empat belas tahun..." sahut Siau Po.
"Eh! peristiwa yang terjadi di Yangciu suda berselang dua puluh tahun dari sekarang,
Bagaimana ayahmu bisa dibinasakan oleh Go Pay?" tanya Cui toucu kembali.
Siau Po terkejut sekali ketika merasa kebohongannya mulai dirasakan oleh Cui
toucu, Tapi dasar bocah cerdik, dia sengaja berlagak pilon.
"Memang! Mana aku tahu" Saat itu aku pun belum lahir, ibulah yang
menceritakannya kepadaku!"
"Andai pun ketika itu kau masih dalam kandungan, waktunya tetap saja kurang
tepat!" "Saudara Cui kata-katamu sendiri yang kurang tepat, Saudara kecil ini hanya
mengatakan bahwa ayahnya telah dibunuh oleh Go Pay. Dia tidak mengatakan
kematiannya tepat pada peristiwa Yangciu itu. Bukankah selama jabatan Go Pay, tidak
ada sehari pun dia tidak melakukan kejahatan?" kata Ki losam.
"Oh ya... ya!" Cui toucu pun menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Eh, sahabat kecil, tadi kau mengatakan bahwa Go Pay telah banyak membunuh
patriot pecinta negara. Apa hubungannya denganmu?" tanya Ki losam.
"Tentu saja ada hubungannya," sahut Siau Po. "Aku mempunyai seorang sahabat
yang ditangkap oleh Go Pay dan dibawa ke istana kerajaan Ceng kemudian dianiaya
sampai mati. sebenarnya aku ditangkap sama-sama dengan sahabatku itu!"
Para hadirin menjadi heran, mereka menatap bocah itu dengan penuh perhatian.
"Siapakah sahabatmu yang ditangkap dan dicelakai oleh Go Pay itu?" tanya
seseorang. "Sahabatku itu seorang tokoh yang sudah mempunyai nama di dunia kangouw, Dia
bernama Mau Sip-pat!" sahut Siau Po dengan perasaan bangga.
Para hadirin terbelalak mendengar kata-kata bocah itu. Bahkan ada beberapa di
antaranya yang bertanya. "Mau Sip-pat itu sahabatmu?"
"Tapi, dia kan belum mati?" kata ki Lao-liok bingung.
Sekarang gantian Siau Po yang membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Apa" Dia belum mati" Benarkah dia belum mati" Oh, aku ingin bertemu
dengannya!" Kali ini apa yang dikatakan Siau Po memang keluar dari hatinya yang
paling tulus. "Bagus!" seru Kwan An-ki. "Dengan demikian kita bisa membuktikan apakah saudara
kecil ini sebenarnya kawan atau lawan" Nah, Lao-liok. Ce-pat kau ajak beberapa
saudara kita untuk mengundang saudara Mau Sip-pat ke sini, Coba kita lihat apakah dia
kenal dengan bocah ini!"
Ki Lao-liok segera mengiakan dan berlalu dari tempat tersebut sementara itu, Ki Piuceng
menarik sebuah kursi. "Saudara kecil, silahkan duduk," katanya mempersilahkan.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Siau Po langsung duduk di kursi yang telah
disediakan, setelah itu ada orang yang datang mengantarkan semangkuk bakmi dan
secawan teh dan meletakkannya di depan Siau Po.
Bocah itu memang sudah lapar, tanpa malu-malu lagi dia melahap habis makanan
yang disajikan. Setelah itu, Kwan An-ki menemaninya duduk sambil berbincangbincang,
Masih ada beberapa orang yang ikut bergabung. Di antaranya ada Piu-ceng
dan orang yang dipanggil Lie toako, nama sebenarnya Lie Lek-si. Mereka bicara
dengan sungkan, padahal diam-diam atau dengan cara halus mereka sedang mengorek
keterangan dari Siau Po untuk menyelidiki asal-usul bocah itu yang sebenarnya.
Bagian 11 Siau Po menceritakan dengan terus-terang, sekali-sekali dia menyelipkan caci maki
kepada Go Pay yang dibencinya itu, dia menceritakan bagaimana dia membantu kaisar
Kong Hi membekuk pengkhianat yang terkenal sebagai jago nomor satu bagi bangsa
Boan itu. Yang ditutupinya hanyalah urusan Hay kongkong yang mengajarnya ilmu silat dan
kaisar Kong Hi yang ikut membokong Go Pay. Kwan An-ki dan yang lainnya percaya
penuh dengan cerita dari Siau Po, sebelumnya mereka memang sudah mendengar
tentang seorang thay-kam cilik yang dengan berani ikut membekuk Go Pay. Saking
kagumnya, dia sampai menarik nafas panjang dan berkata:
"Go pay terkenal sebagai orang gagah nomor satu bangsa Boan. Kau bukan hanya
berhasil membunuhnya, bahkan sebelumnya kau membekuknya terlebih dahuIu, ini
yang dinamakan takdir! Nasib telah menentukan jalan hidupnya harus berakhir seperti
itu!" Tepat pada saat itu, pintu ruangan terbuka, tampak masuk dua orang anggota
perkumpulan itu dengan menggotong sebuah usungan Di belakangnya mengiringi Ki
Lao-Iiok. Dia segera berkata:
"Cihu, saudara Mau Sip-pat telah diundang datang...."
Siau Po langsung bangun dari tempat duduknya, dia melihat Mau Sip-pat yang
terbaring di atas sebuah usungan, pipinya cekung dan matanya celong, wajahnya
suram. "Saudara, a... pakah kau sakit?" tanya Siau Po. perasaannya sedih dan heran
melihat keadaan sahabatnya.
Mau Sip-pat diundang oleh Ki Lao-liok, dia menduga ada urusan penting yang terjadi
di Ceng-bok tong dan dia akan diajak berunding. Tidak disangka-sangka dia melihat
Siau Po dan langsung mengenalinya, hatinya gembira sekali.
"Hai, Siau Po!" serunya, "Kau... kau juga berhasil lolos! Oh, betapa aku
memikirkanmu! Tadinya aku bermaksud menunggu sampai sembuh kemudian
menyelinap ke dalam istana untuk menolongmu !"
Hanya beberapa patah kata yang diucapkan oleh Mau Sip-pat, hilanglah kecurigaan
orang-orang dalam ruangan itu. Mereka percaya sekarang bahwa bocah itu bukan
orang kerajaan Ceng. Sebetulnya Mau Sip-pat bukan anggota Tian-te hwe, tetapi namanya sudah terkenal
di dunia kangouw sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur. Mau Sip-pat juga
seorang buronan kerajaan Ceng dengan demikian berarti mereka berada di pihak yang
sama. "Mau toako, apakah kau terluka?" tanya Siau Po khawatir.
Sip-pat menarik nafas dalam-dalam agar dadanya terasa lega.
"Malam itu, ketika aku berniat melarikan diri dari istana, begitu sampai di halaman
depan, aku kepergok para siwi, sendirian aku dikeroyok lima siwi tersebut. Dua di
antaranya berhasil kubunuh, tapi aku sendiri juga kena terbacok sebanyak dua kali, aku
kabur dengan dikejar para siwi itu. sebenarnya aku hampir tidak punya kesempatan lagi
untuk menyelamatkan diri, untung saja datang saudara-saudara dari Tian-te hwe ini
yang memberikan bantuan. Apakah kau juga ditolong oleh saudara-saudara dari Tian te
hwe ini?" Pertanyaan itu membuat Kwan An-ki dan yang lainnya menjadi malu hati, mereka
jengah sebab bukan mereka menolong Siau Po melarikan diri dari istana, tetapi mereka
justru membekuk dan menculiknya dari sana....
Namun, tidak disangka-sangka Siau Po tidak mempermalukan mereka.
"Benar! Di istana, si thay-kam tua memaksa aku menjadi thay-kam cilik seperti dia
sendiri. Baru hari ini aku mendapat kesempatan meloloskan diri, untunglah aku bertemu
dengan bapak-bapak dari Tian-te hwe ini!"
Semua anggota Tian-te hwe menghembuskan nafas lega mendengar ucapan Siau
Po. Muka mereka benar-benar dibuat terang, mereka menjadi bersyukur karena
kehebatan bocah ini. "Mari kita istirahat di dalam," ajak Ki Lao-liok kemudian. Mereka berbicara di ruang
sembahyang bersama yang lainnya.
Lukanya Mau Sip-pat parah sekali, meskipun selama setengah tahun ini dia sudah
berobat dengan berganti-ganti tabib, tapi masih belum sembuh secara keseluruhan.
Ketika dia digotong keluar barusan, usungannya berguncang-guncang sehingga
lukanya terasa nyeri kembali.
Saking menahan rasa nyeri itu, Mau Sip-pat sampai tidak sanggup berbicara,
padahal banyak yang ingin dibicarakannya dengan Siau Po. Mereka telah terpisah
begitu lama dan selama ini mereka saling memikirkan sehingga perasaan mereka tidak
pernah tentram. Hati Siau Po justru yang paling lega, "Biar bagaimana, tidak mungkin mereka
membunuhku.,." pikirnya dalam hati, Tadinya dia cemas orang-orang perkumpulan
Tian-te hwe itu tidak percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang thaykam
bangsa Boan. Ketika Sip Pat beristirahat dengan menahan rasa nyerinya, Siau Po sudah tertidur
pulas di atas kursi, Tubuhnya meringkuk.
Tengah malam, Siau Po merasa tubuhnya dibopong kemudian dipindahkan ke atas
pembaringan lalu ditutupi sehelai selimut. Ketika dia terjaga dari tidurnya yang
nyenyak, segera muncul seseorang yang membawakan sebaskom air untuk membasuh muka,
Kemudian dia juga dibawakan semangkuk bakmi dan secawan teh.
"Semakin lama semakin baik perlakuan mereka terhadapku," pikir Siau Po. "Senang
sekali diperlakukan seperti orang dewasa." Namun ketika dia membuka pintu kamar,
hatinya langsung tercekat Di luar kamar ada orang yang berdiri tegak, demikian pula di
luar jendela, Apakah orang-orang itu sedang mengawasinya secara diam-diam karena
khawatir dia akan melarikan diri" Tapi Siau Po memang cerdik, dia pura-pura tidak
melihat mereka. "Kalau mereka benar-benar menganggap aku sebagai tamu, mengapa aku harus
diawasi?" pikirnya lagi, Tapi Siau Po tidak takut Dia berkata dalam hati, "Hm! Kalian
ingin menjaga aku, Wi Siau-po" Aku mau keluar, ingin kulihat bagaimana caranya
kalian empat manusia tolol bisa mencegahku?"
Diam-diam Siau Po mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu, dia segera
mendapatkan akal yang bagus. Tiba-tiba dia membentangkan jendela sebelah timur
keras-keras sehingga menimbulkan suara yang gaduh.
Ke empat penjaga itu terkejut setengah mati. Serempak mereka menoleh ke arah
sumber suara. Tepat pada saat itu Siau Po menghentak pintu kamarnya lalu
membantingnya dengan keras dan secepat kilat dia menyusup ke kolong tempat tidur.
Kembali keempat orang itu terkejut. Apalagi setelah melihat bahwa jendela dan pintu
kamar sudah terbuka lebar, hati mereka tercekat Mereka ditugaskan untuk mengawasi
bocah itu, tetapi sekarang mereka yakin Siau Po sudah kabur.
"Ayo!" teriak mereka serentak, dengan gugup mereka lari ke dalam kamar.
Mau Sip-pat masih tertidur dengan nyenyak namun bocah itu sudah tidak kelihatan.
"Bocah itu pasti belum jauh! Lekas kalian berpencar mengejarnya!" kata penjaga
yang satu. "Aku akan memberikan laporan!"
"Baik!" sahut ketiga kawannya, kemudian mereka pun berpencaran yang satu menuju
luar dan dua lagi naik ke atas genteng, sedangkan yang satu lagi segera masuk ke
dalam. Begitu orang-orang itu meninggalkan kamarnya, Siau Po segera keluar dari kolong
tempat tidur. Sengaja dia mengeluarkan suara batuk-batuk kemudian dengan tenang
melangkah ke arah aula. Dia membuka pintu dan tampaklah Kwan An-ki sedang duduk bersama Ki Lek-si,
sedangkan penjaga tadi sedang memberikan laporan. Tampaknya orang itu panik sekali
sampai-sampai bicaranya pun tersendat dan tiba-tiba ucapannya terhenti ketika dia
melihat si bocah muncul di depan pintu.
Mulutnya mengeluarkan seruan tertahan da matanya menatap dengan membelalak.
Sikap Siau Po tenang sekali, dia menganggukkan kepalanya pada kedua tokoh
Ceng-bok tong itu. "Lie toako! Kwan hucu! selamat pagi! Apa kabar?" seenaknya saja Siau Po
memanggil Lie toako dan Kwan hucu seperti anggota Tian-te hwe lainnya.
Kwan An-ki dan Lie Lek-si saling pandang sejenak.
"Sudah pergi!" bentak Kwan An-ki pada si penjaga. "Dasar manusia tidak berguna!"
Penjaga itu menganggukkan kepalanya berkali-kali dan cepat-cepat keluar dari
ruangan aula, Kwan An-hi menoleh kepada Siau Po dan berusaha bersikap sewajar
mungkin. "Silahkan duduk! Apakah tidurmu nyenyak tadi malam?"
"Terima kasih, Kwan hucu," sahut Siau Po sambil tersenyum, "Tidurku nyenyak!"
Tepat pada saat itu jendela aula tersebut tiba-tiba terpentang lebar, dua orang
melompat ke dalam sambil berseru.
"Kwan hucu, bocah itu kabur entah kemana!"
Kata-katanya mendadak berhenti sebab dia melihat Siau Po sudah duduk di dalam
ruangan bersama para pemimpinnya.
"Dia... dia!" Satu di antaranya menunjuk ke arah Siau Po dengan sikap gugup dan
bingung. Siau Po tidak dapat menahan kegelian hatinya, Dia tertawa terpingkal-pingkal.
Menurutnya, kejadian itu lucu sekali.
"Kalian empat orang dewasa benar-benar tidak ada gunanya! Seorang bocah cilik
pun tidak sanggup diawasi. Kalau aku memang berniat melarikan diri, sejak tadi aku
sudah menghilang!" Ta... pi, tapi bagaimana caranya kau bisa keluar dari kamar itu" Apakah mata kami
yang sudah kabur?" kata salah seorang penjaga itu keheranan "Kami tidak melihat
bayangan siapa-siapa dan tahu-tahu kau sudah lenyap. Aneh sekali!" Siau Po tertawa.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku menguasai ilmu melenyapkan diri tanpa terlihat oleh siapa pun, sayangnya ilmu
itu tidak bisa aku ajarkan kepada kalian!"
Kwan An-hi mengernyitkan keningnya mendengar pembicaraan mereka, Kemudian
dia mengibaskan tangannya.
"Kalian boleh mundur sekarang!" katanya, "Tidak heran! pantas!" seru kedua orang
itu dengan pandangan kagum, Mereka percaya dengan penuh ocehan bocah itu.
Setelah itu mereka memberi hormat kepada Kwan An-ki dan Lie Lek-si, lalu
mengundurkan diri. Lie Lek-si tertawa lebar. "Saudara kecil, usiamu masih muda sekali, tapi otakmu
sungguh cerdik. Kami benar-benar kagum kepadamu!"
Belum sempat Siau Po memberikan komentar tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara
derap kuda, Dapat diduga bahwa ada serombongan orang berkuda yang sedang
mendatangi ke arah tempat tersebut.
Kwan An-ki dan Lie Lek-si langsung melompat bangun dari tempat duduknya.
"Mungkinkah pasukan Boan yang datang?" tanya Lie lek-sie dengan suara Iirih.
Kwan An-ki menganggukkan kepalanya, dia segera menyelipkan kedua jari telunjuk
dan jempolnya disela-sela bibir kemudian bersuit tiga kali. Lima anggota Tian-te hwe
segera menghambur ke dalam.
"Semua bersiap!" kata Kwan An-hi "Lie Iao-liok, kau lindungi saudara Mau Sip-pat.
Kalau pasukan itu jumlahnya besar, jangan lawan mereka dengan kekerasan. Kita
mundur teratur seperti rencana semula."
Kelima orang itu segera mengiakan lalu mundur, semua anggota Ceng-bok tong
segera bersiap sedia. "Saudara kecil, mari ikut denganku!" kata Kwan An-ki.
Tepat pada saat itulah, seorang penunggang kuda menghambur datang dengan
cepat sambil berseru: "Cong tocu tiba!"
"Apa?" Kwan An-ki dan Lie Lek-si terhenyak seketika, Yang di maksud dengan Cong
tocu adalah ketua dari markas pusat.
"Cong tocu datang bersama kelima tongcu lainnya," kata pembawa berita itu
menerangkan "Mereka datang dengan menunggang kuda!"
Dari terkejut, Kwan An-ki dan Lie Lek-si menjadi senang sekali.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku bertemu dengan Cong tocu di tengah jalan, dan aku diperintahkan untuk
berjalan duluan agar dapat memberi kabar kepada kalian," sahut orang baru datang itu.
Tampaknya dia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa sehingga nafasnya
masih tersengal sengal. "Kau istirahatlah!" perintah Kwan An-ki yang kemudian memanggil orang-orangnya
dan lalu menjelaskan "Yang datang bukan pasukan Boan, tetapi Cong tocu dengan
kelima tongcu lainnya, Sekarang kalian bersiap-siap untuk mengadakan penyambutan!"
Perintah itu segera disiarkan Para anggota perkumpulan itu pun sibuk mengadakan
penyambutan, sementara itu, Kwan An-ki menarik tangan Siau Po.
"Saudara kecil, Cong tocu kami datang. Mari kita menyambutnya!"
Bocah itu hanya mengangguk lalu mengikutinya, Lie Lek-si dan yang lainnya pun ikut
keluar. Dalam sekejap mata, orang-orang dari bagian Ce bok tong perkumpulan Tian-te
hwe yang jumlahnya tiga ratus orang lebih sudah berbaris rapi, semuanya tampak
bersemangat. Mau Sip-pat ikut menyambut, dia digotong oleh dua orang.
"Saudara Mau, kau adalah tamu kami, seharusnya tidak perlu sungkan seperti ini,"
kata Lie Lek-si. "Tapi, aku sudah lama mendengar nama besar Cong tocu yang ibarat petir
menyambar di angkasa, Sudah selayaknya kalau hari ini aku menemuinya, Aku sudah
merasa puas dapat bertemu dengannya walaupun setelahnya aku akan mati!" sahut
Pendekar Sakti Im Yang 2 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Sepasang Garuda Putih 5

Cari Blog Ini