Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 16

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


"Suheng, kau berpegang baik baik pada kendali kuda!" katanya dan ia segera menepuk punggung belakang kuda itu. Sambil meringkik, kuda itu melompat maju dan berlari cepat sekali.
"Eh, sumoi. kau akan tertinggal jauh!" Pun Hui berseru sambil menoleh ke belakang Akan tetapi, segera ia menjadi terheran heran dan kagum sekali karena terlihat olehnya tubuh dara itu bagaikan bayangan saja meluncur cepat sekali dan tahu tahu telah berada di depan kuda, berlari mendahului kuda.
"Siapa yang ketinggalan?" tanya Siauw Yang sambil tertawa tawa dan Pun Hui segera membedal kudanya, kini dialah yang berusaha mengejar gadis luar biasa itu.
Kini perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi. Namun masih kurang cepat bagi Siauw Yang, oleh karena setiap kali Pun Hui memaksa gadis itu untuk beristirahat. Dia sendiri tidak lelah, akan tetapi pemuda ini khawatir kalau kalau gadis itu terlalu lelah. Biarpun berkali kali Siauw Yang menyatakan bahwa dia tidak lelah, namun Pun Hui tetap saja memaksa agar supaya mereka beristirahat dulu.
Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kwan cin di dekat perbatasan Tiongkok utara. Kota ini kecil saja, namun di situ banyak terdapat pedagang pedagang dari selatan, juga banyak orang menjual kuda kuda Mongol. Kembali Pun Hui memaksa kepada Siauw Yang untuk memilih seekor kuda yang terbaik dan untuk membelinya. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika gadis itu menyatakan bahwa di antara semua kuda itu tidak ada yang mencocoki hatinya.
"Masa kuda ratusan ini tidak ada seekorpun yang baik?" tanya Pun Hui kecewa.
Siauw Yang tersenyum. "Suheng, kalau kau melihat kuda ayah di rumah yang bernama Pek hong ma, kau akan kagum sekali. Kuda itu dapat melakukan perjalanan ratusan li setiap hari tanpa merasa lelah dan tenaganya kuat sekali. Aku tidak rewel dan tentu saja tidak ingin mencari kuda seperti Pek hong ma, asal baik dan kuat saja sudah cukup bagiku. Kiranya di dunia ini tidak akan ada kuda sebaik Pek hong ma kepunyaan ayahku...."
Tiba tiba gadis itu menoleh ke arah barat dan memegang tangan Pun Hui tanpa disadarinya.
"Tunggu dulu.... ! Lihat kuda itu.... mari kita mengejarnya, suheng!" Sambil berkata demikian, gadis ini lalu berjalan cepat sekali sehingga Pun Hui terpaksa membalapkan kudanya untuk mengejar.
Ketika Pun Hui tiba di tempat gadis itu, ia melihat Siauw Yang tengah bercakap cakap dengan seorang laki laki pendek kurus yang menuntun seekor kuda. Kuda ini berbulu kemerah merahan dengan keempat kaki putih di bagian bawah. Bukan main tingginya kuda ini sehingga penuntunnya hanya sampai di dadanya, akan tetapi kuda ini buruk sekali dan kurus bukan main sehingga seperti kerangka kuda terbungkus kulit saja. Juga baunya apek dan tidak enak sekali, agaknya sudah berbulan bulan tidak pernah tersentuh sikat dan air. Pun Hui melompat turun dari kudanya dan dengan kendali kuda di tangan ia menghampiri gadis itu. Kuda tunggangan Pun Hui ketika dekat kuda bulu merah itu, nampak pendek sekali akan tetapi lebih gemuk, dan juga dalam pandangan pemuda itu, kudanya jauh lebih baik dan bersih. Apakah benar benar gadis itu hendak membeli kuda ini" Pun Hui benar benar tidak mengerti.
"Tak bisa kurang setahilpun lagi, nona!" Pun Hui mendengar pedagang kuda itu berkata. Pedagang kuda inipun menarik perhatian. Orangnya kurus kecil dan pendek, akan tetapi sepasang matanya bersinar sinar dan pakaiannya bukan seperti pedagang kuda, lebih pantas sebagai seorang guru silat. Bahkan gagang goloknya kelihatan dari balik punggungnya.
"Aku tidak membawa demikian banyak uang tunai," kata Siauw Yang dengan suara menyatakan penyesalannya, seperti suara orang yang ingin sekali membeli barang namun terlampau mahal untuknya.
"Berapa sih dia mau menjual kuda buruk ini?" Pun Hui bertanya dan mendengar orang menyebut kudanya buruk, orang itu menyandang kepada Pun Hui dengan mata marah.
"Limaratus tail," jawab Siauw Yang, "dan uangku bekal hanya ada tigaratus tail saja."
Pun Hui membuka lebar matanya dan mulutnya celangap.
"Limaratus tail perak?" Gila sekali, sumoi, apakah kau sudah mabok" Kuda yang kutunggangi ini jauh lebih baik, lebih bersih dan lebih gemuk daripada tengkorak ini dan dibelinya hanya untuk limapuluh tail perak! Gila betul, hati hati sumoi, orang ini mau menipumu!"
Orang kecil pendek itu marah sekali. "Kongcu, kaulah yang harus berhati hati dengan ucapanmu, karena dengan ucapan ucapan seperti itu kau takkan dapat mencapai perjalanan jauh! Ketahuilah, kuda ini yang disebut Ang in ma ( Kuda Awan Merah), termasuk paling baik di antara kuda kuda pilihan di dunia ini. Di selatan dengan mudah aku akan menerima seribu tail untuk kuda ini, akan tetapi karena aku tidak ingin pergi ke Selatan, maka hendak ku jual untuk limaratus tail tidak boleh kurang setailpun."
"Gila betul...." Pun Hui hendak ribut ribut lagi, akan tetapi sambil tersenyum Siauw Yang berkat.
"Suheng, mengapa harus ribut ribut" Dalam hal jual beli, hanya berani atau tidak yang menjadi soal. Pemilik barang berhak menawarkan milik nya untuk berapa saja, dan si pembeli hanya tinggal berani atau tidak."
"Akan tetapi harganya gila gilaan...."
"Namun aku berari membeli limaratus tail perak." Siauw Yan memotong kata katanya. "Sayangnya uangku tidak cukup." Ia lalu berpaling kepada tukang kuda itu dan berkata.
"Sahabat, bagaimana kalau kubayar tigaratus lail dan kutambah dengan perhiasan ini?" Sambil berkata demikian ia mengeluarkan sebuah tusuk konde emas yang dihias dengan mata batu batu kumala indah sekali. Tusuk konde ini dahulu kubeli dengan harga tiga ratu limapuluh tail."
Setelah menerima dan melihat tusuk konde itu, penjual kuda berkata sambil mengangguk angguk.
"Tusuk konde tiada artinya bagiku, akan tetapi biarlah. Aku lebih menghargai pandangan nona yang tajam sehingga dapat mengenal kuda baik!" Siauw Yang lalu menyerahkan kantong uangnya yang segera dibuka dan dihitung baik baik penjual kuda itu, kemudian ia lalu menyerahkan, kendali kuda kepada Siauw Yang.
"Jual beli sudah jadi," katanya sederhana.
"Ya, sudah jadi, kuda ini milikku dan uang serta tusuk konde itu menjadi milikmu," jawab Siauw Yang sambil mengelus elus kepala kuda.
Tanpa menghaturkan terima kasih, akan tetapi setelah satu kali melirik ke arah Pun Hui dengan pandang mata membenci, penjual kuda itu lalu pergi dan situ dengan tindakan kaki cepat.
"Gila betul! Dia telah menipumu, sumoi. Bagiku, ditukar saja dengan kuda yang kutunggangi ini, aku tidak sudi! Untuk apa kuda tinggal kulit dan kerangka itu" Ditunggangi belum sepuluh li saja, dia akan roboh dan mampus!"
Melihat Pun Hui marah marah itu, Siauw Yang hanya mentertawakannya.
"Suheng, kau tidah tahu. Kuda ini malahan lebih bagas daripada kuda Pek hong ma milik ayah! Ah, kalau ayah melihat kuda ini, tentu ia akan girang sekali. Agaknya kalau ayah tahu, membeli duaribu tail pun ia akan berani."
Pun Hui tertegun. Ia makin tidak mengerti kepada gadis ini dan mengira bahwa Siauw Yang berkelakar. Akan tetapi, kuda itu kini diperiksa baik baik oleh Siauw Yang. Dibuka mulutnya seakan akan gadis itu hendak menghitung giginya diraba raba tulang tulang yang menonjol itu, dan diperiksa telapak kakinya satu demi satu. Yang aneh, kalau kuda lain seringkah mengangguk angguk kepala dan menjulurkan kepalanya ke bawah, adalah kuda buruk itu selalu mengangkat kepala tinggi tinggi dengan tegaknya.
"Kaulihat, suheng, ia memenuhi semua syarat bagi seekor kuda yang sempurna. Giginya masih kuat, belum ada yang rusak. Ujung hidungnya tajam dan tipis, kepalanya panjang dan agak membentuk segi tiga. Matanya penuh perasaan dan tidak berair. Lehernya panjang dan kuat lurus tidak bengkok. Dadanya menggembung, tanda napasnya kuat sekali. Perutnya kecil dan tubuh belakangnya tinggi dengan ekor yang kuat dan bulu ekornya tak mudah dicabut. Pahanya penuh otot dan kakinya mengecil ke bawah, tidak dibebani daging dan lemak, akan tetapi tulang tulangnya besar dan sambungan sambungan tulangnya sempurna. Tulang tulangnya berisi, tidak keropos. Inilah tanda tanda kuda sempurna."
Pun Hui menggeleng gelengkan kepala. "Aku tidak mengerti. Yang kulihat hanyalah kuda ini buruk sekali bulunya kotor dan baunya tidak enak. Terlalu kurus seperti kurang makan."
"Memang harus diakui bahwa dia tidak terurus baik, Suheng, Akan tetapi, kaulihat saja sebentar lagi." Setelah berkata demikian. Siauw Yang lalu menuntun kudanya itu, diikuti oleh Pun Hui. Nona itu memasuki sebuah hutau kecil di mana terdapat air sungai kecil, di situ Siauw Yang menggulung lengan bajunya dan mencari batu karang yang tajam untuk memandikan kudanya. Digosoknya semua tubuh kuda itu dan pekerjaan ini memakan waktu lama sehingga Pun Hui yang tidak sabar dan tidak mengerti mengapa nona cantik itu mau melakukan pekerjaan seperti itu hanya untuk seekor kuda buruk, lalu duduk di bawah pohon dan mengantuk.
Tak lama kemudian, ia dikejutkan oleh suara Siauw Yang yang terdengar bangga dan girang.
"Suheng, jangan tidur, lihat kudaku ini!"
Pun Hui membuka matanya dan menengok. Hampir ia tidak percaya bahwa kuda yang dituntun oleh Siauw Yang adalah kuda buruk tadi, kini tubuh kuda itu telah bersih. Kulit dan bulunya mengkilat, berwarna merah bertotol totol kuning, amat indahnya. Nampak urat urat menggembung pada pangkal paha dan leher, nampaknya kuat sekali.
"Sekarang kaulihat larinya, suheng!"
Dengan gerakan yang amat cekatan sehingga membuat Pun Hui melongo keheranan, gadis itu tahu tahu telah berada di atas kuda dan sekali ia menggeprak kuda itu, binatang ini meringkik nyaring sehingga mengagetkan kuda tunggangan Pun Hui yang diikat pada sebatang pohon, kemudian kuda merah itu melompat jauh ke depan dan berlari bagaikan angin saja cepatnya! Sebentar saja kuda itu hanya kelihatan sebagai titik merah yang jauh dan tak lama kemudian lenyap dari pemandangan mata. Selagi Pun Hui masih bengong, tiba tiba nampak pula titik merah yang makin lama makin membesar. Ternyata itu adalah kuda merah tadi yang ditunggangi oleh Siauw Yang dan yang kini membalap datang. Setelah dekat nampaklah keindahan kuda ini. Keempat kakinya seperti tak menginjak tanah, dan bulu tengkuknya yang panjang itu beriapan ke atas tertiup angin. Juga ekornya menjulang ke atas seperti tiang dengan bendera merahnya.
"Hebat!" kata Pun Hui dengan amat kagum."Dia seperti nyala api merah yang terbang cepat sekali!"
"Api merah" Bagus, suheng, kau telah memberi nama yang bagus dan tepat sekali untuk kuda ini. Dia mulai sekarang bernama Kuda Api Merah (Ang ho ma)."
Kemudian kedua orang muda ini melanjutkan perjalanan dan sehari itu mereka mencapai jarak yang jauh. Kini barulah Pun Hui percaya penuh, karena kalau kudanya sudah berpeluh dan jalannya tak dapat cepat lagi setelah menempuh jarak beberapa puluh li, adalah Ang ho ma nampaknya masih ayem saja dan tidak lelah sama sekali. Juga kalau ia membedal kudanya cepat cepat, Ang ho ma dengan gerakan lambat saja sudah dapat menyusulnya. Benar benar kuda pilihan! Makin kagumlah pemuda ini terhadap Siauw Yang.
Setelah hari mulai gelap, sampailah mereka di sebuah dusun dan kebetulan sekali di situ terdapat sebuah penginapan yang cukup bersih. Di daerah utara ini, karena banyaknya pedagang pedagang keliling dari selatan, restoran restoran dan hotel hotel hidup subur dan selalu tidak kekurangan langganan, maka biarpun di dusun yang tidak berapa besar, selalu ada sebuah dua buah hotel dan restoran.
Mereka menyewa dua buah kamar dan menyerahkan kuda mereka kepada pelayan untuk diurus. Akan tetapi Siauw Yang sengaja memilihkan makanan yang cocok untuk kudanya, dan sampai lama ia memberi petunjuk kepada pelayan bagaimana harus memelihara kudanya. Gadis ini bahkan memberikan sehelai mantelnya kepada pelayan untuk dipergunakan sebagai selimut kudanya. Melihat ini. Pun Hui menggeleng geleng kepala! Mana ada orang memberikan mantelnya yang terbuat dari bulu yang indah itu untuk dipakai menyelimuti tubuh kuda di waktu malam" Akan tetapi kini pemuda itu tidak berapa heran, karena ia sendiri sudah menyaksikan bahwa Ang ho ma memang benar benar seekor kuda yang luar biasa sekali.
Dalam perjalanan yang baru beberapa hari ini, perhubungan antara dua orang muda ini sudah erat sekali. Pun Hui mengajar gadis itu tentang membuat sajak sajak yang indah, dan juga mengajarnya bermain catur. Sebaliknya, Siauw Yang mulai membentangkan dan membuka rahasia dasar dasar ilmu silat yang diperhatikan dan dipelajari baik baik oleh Pun Hui.
Malam itu, sehabis makan, mereka duduk menghadapi meja di ruang tengah dan bermain catur. Tentu saja dalam permainan ini, kalau Pun Hui menghendaki, dalam waktu singkat ia akan dapat menghabiskan biji catur Siauw Yang dan dengan mudah akan dapat mengalahkan lawannya. Akan tetapi, hatinya yang baik tidak mengijinkan hal ini. Ia sengaja bermain lambat dan banyak melewati kesempatan untuk memperoleh kemenangan. Bahkan ia sengaja memberi "makanan" kepada biji biji catur Siauw Yang. Dengan demikian, gadis itu tidak menjadi jemu dan dapat bermain dengan gembira, sungguhpun gadis yang cerdik ini bukan tidak tahu bahwa pemuda itu telah banyak mengalah. Makin lama, Siauw Yang makin tertarik dan suka kepada pemuda ini, karena dalam pandangannya, pemuda ini benar benar seorang yang dapat menguasai keadaan dan dapat menyesuaikan diri sehingga menjadi kawan yang menyenangkan hati.
"Sayang, ia tidak pandai silat," diam diam Siauw Yang berkata kepada hatinya sendiri, "akan tetapi kalau ia sudah menjadi murid Yap supek, tentu kelak ia akan maju. Kalau sudah berhasil mendapatkan Sam liong to untuk memuaskan hatiku, aku akan segera mencari Yap supek agar dia cepat menerima latihan latihan. Atau dapat juga... aku melatih dia...." Demikianlah, dalam bermain catur, Siauw Yang banyak melamun sehingga beberapa kali Pun Hui harus memberi peringatan karena ia menjalankan biji catur secara ngawur!
"Eh, sumoi, masa kuda jalannya begitu" Ini kuda biji catur, bukan Ang ho ma! Bagaimana sih?" Setelah mendapat teguran barulah Siauw Yang sadar dan dengan muka merah ia membetulkan gerakan biji caturnya sambil tersenyum senyum dan mengerling. Pun Hui merasa bahwa tentu di dalam hati gadis ini "ada apa apa" karena sikapnya berbeda dari biasanya dan pendiam pula, akan tetapi ia tidak tahu apakah yang menjadi isi hati Siauw Yang di saat itu.
Pada malam hari itu, di ruang tengah dari rumah penginapan. Pun Hui dan Siauw Yang asyik bermain catur. Siauw Yang yang baru saja bisa bermain catur, amat tertarik dan ia mencurahkan seluruh perhatiannya pada papan dan biji biji catur, lupa akan waktu dan segala di sekitarnya. Adapun Pun Hui, perhatiannya sebagian besar terbang ke arah wajah Siauw Yang. Tiada bosannya ia memandang kepada wajah itu, yang hanya beberapa dim jauhnya dari dia sehingga ia dapat melihat nyata rambut yang menghias jidat yang halus putih itu. Melihat dengan nyata bulu bulu alis mata yang hitam kecil dan melengkung rata. Kulit halus di antara mata itu berkerut, tanda bahwa dara itu tengah memeras otak menjalankan pikiran untuk mencari gerakan yang baik dan menguntungkan bagi biji biji caturnya. Sepasang mata yang bentuknya indah itu jarang berkedip, memandang ke arah papan catur. Kedua tangannya terletak di atas meja dan Pun Hui tiada habisnya mengagumi sepasang tangan dengan jari jari tangan yang berkulit halus dan putih kemerahan ini, yang nampaknya lemah sekali, mengandung tenaga hebat dan dapat mainkan pedang secara lihai sekali"
Sinar mata Pun Hui melayang layang dan meraba raba jidat yang halus, hidung yang mancung, bulu mata yang lentik dan mulut yang luar biasa manis itu. Tak puas matanya menjelajah, menikmati kecantikan Siauw Yang dan di dalam hatinya ia jatuh bertekuk lutut!
Kedua orang muda itu tidak bergerak seperti patung. Keduanya mengerahkan seluruh perhatian, sungguhpun berbeda sasaran. Tiba tiba terdengar sesuatu yang memecah kesunyian malam dan yang menyadarkan keduanya dan dunia lamunan dan pengerahan tenaga otak. Suara itu keras sekali, terdengar seperti suara iblis malam sendiri keluar dari neraka. Begitu menyeramkan sehingga Pun Hui menjadi pucat.
Akan tetapi, Siauw Yang segera melompat bangun dari bangkunya.
"Celaka, itu suara Ang ho ma.... !" Setelah berkata demikian, Siauw Yang lalu melompat keluar dan ia lupa bahwa tangan kirinya masih memegang tiga buah biji catur, yakni biji catur hitam yang tadi "dimakan" oleh biji caturnya.
"Suara Ang ho ma.... ?" Pun Hui berkata heran karena menurut dia, suara tadi bukanlah suara kuda. Akan tetapi karena Siauw Yang sudah berlari keluar melalui pintu belakang rumah penginapan itu, iapun lalu mengejar ke belakang.
Ketika Pun Hui tiba di belakang, ia mendengar derap kaki kuda menjauh dan disusul oleh suara Siauw Yang.
"Maling kuda, lepaskan kudaku!" Tubuh gadis ini berkelebat cepat mengejar, namun keempat kaki Ang ho ma memang betul betul cepat sekali sehingga Siauw Yang yang telah memiliki ilmu lari cepat itupun tertinggal jauh. Dengan gemas sekali dara ini lalu mengayun tangan kirinya yang tadi memegang tiga buah biji catur.
Terdengar jerit kesakitan di sebelah depan akan tetapi suara kuda makin menjauh lalu lenyap.
"Kurang ajar! Kalau aku dapat memegangmu, akan kupatahkan batang lehermu!" terdengar Siauw Yang menyumpah nyumpah.
Sementara itu, Pun Hui melihat tubuh seorang laki laki menggeletak di depan kandang kuda. Ia mengenal tubuh orang ini bukan lain adalah pelayan yang sore tadi berkewajiban mengurus kuda dan melihat ia menggeletak miring tak bergerak ia segera berseru,
"Sumoi, lihat ada orang mati!"
Siauw Yang melompat menghampiri dan ia pun melihat bahwa orang itu adalah pelayan yang mengurus kuda.
"Dia tidak mati, hanya berada dalam pengaruh totokan yang lihai," katanya setelah memeriksa orang itu. Kemudian dengan dua kali menotok punggung dan pundak orang itu, pelayan tadi mengeluh dan dapat bergerak lagi.
"Aduh, siauw ong ya (raja muda) benar benar keterlaluan...." ia mengeluh, akan tetapi begitu melihat Pun Hui dan Siauw Yang, ia menjadi pucat dan berlutut.
"Kongcu". nona.... celaka kuda itu dicuri orang," katanya gagap.
"Aku sudah tahu." jawab Siauw Yang. "Hayo lekas ceriterakan bagaimana terjadinya pencurian itu!"
"Saya sendiri tidak tahu dengan jelas. nona. Ketika saya sedang menutup pintu kandang hendak beristirahat, tiba tiba dari atas genteng melayang turun bayangan orang yang langsung menyerang saya. Saya mencoba melawan, akan tetapi entah bagaimana, tahu tahu saya merasa pundak saya sakit lagi dan selanjutnya saya rebah tak dapat bergerak dan tidak dapat berteriak. Hanya dapat saya melihat penyerang itu melepaskan ikatan kuda merah dan membawanya pergi."
"Bohong!" Pun Hui membentak."Kau sudah mengenal pencuri itu. Hayo katakan siapa dia!"
"Tidak, kongcu... saja tidak mengenalnya...."
Siauw Yang yang sependapat dengan Pun Hui bahwa pelayan ini tentu sudah mengenal pencuri kuda, segera mengetuk pundak orang itu. Penjaga itu mengeluh kesakitan dan merasa betapa seluruh tubuhnya sakit sakit.
"Hayo lekas mengaku saja. Siapa pencuri itu dan siapa pula orangnya yang tadi kau sebut siauw ong ya!" kata Siauw Yang.
"Sungguh mati, nona. Saja tidak tahu siapa pencuri itu. Di dalam gelap mana saja dapat mengenalnya" Adapun yang saya sebut siauw ong ya.... dia.... dia itu adalah pangeran muda yang mempunyai banyak sekali kuda bagus bagus seperti kuda nona yang hilang itu dan.... dan...."
"Hayo ceritakan yang benar, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!" bentak Siauw Yang yang sudah tak sabar lagi.
"Biasanya di daerah ini, setiap kali terjadi keributan tentang kuda, dapat dipastikan bahwa tentu siauw ong ya campur tangan. Maka ketika terjadi pencurian malam ini, tanpa saya sadari saya teringat kepada siauw ong ya dan menyebut namanya....."
"Di mana tempat tinggal pangeran itu?" tanya Siauw Yang. Ia percaya akan keterangan ini, karena maklum bahwa pada waktu itu, pengaruh para bangsawan amat besar dan bukan tidak mungkin apabila kudanya dicuri oleh kaki tangan pangeran itu.
"Dia tinggal di kota Ceng te, tak jauh dari sini, nona."
Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa mengejek. Siauw Yang marah sekali, mencabut pedang dan hendak melompat mengejar ke arah suara itu. Akan tetapi tiba tiba sesosok bayangan hitam melayang turun dan menyambarnya. Siauw Yang menggerakkan pedangnya ke arah bayangan itu dan "breet!!" pedangnya telah menembus sehelai kain yang terobek. Ketika ia merenggut kain itu ternyata bahwa bayangan tadi adalah mantelnya sendiri yang tadinya dipergunakan untuk menyelimuti kuda Ang ho ma. Rupanya orang yang memiliki tenaga lweekang cukup besar telah melontarkan mantel itu kepadanya.
Dengan marah Siauw Yang membentak. "Maling jahanam, jangan lari!" Tubuhnya melesat ke atas genteng, akan tetapi setelah ia tiba di atas genteng, keadaan di situ sunyi saja dan gelap pula. Sukar mengejar atau mencari orang yang melarikan diri di dalam gelap, pikirnya dengan jengkel sekali maka ia lalu melayang turun lagi.
"Lihat, sumoi! Mantelmu ditulisi orang!"
Siauw Yang segera menghampiri Pun Hu yang memeriksa mantel itu di bawah sinar lampu di depan kandang kuda. Benar saja, di atas mantelnya yang berwarna merah jambu itu, kini terdapat coretan coretan hitam yang merupakan pesanan atau lebih tepat tantangan.
"Kalau hendak mencari kuda
Besok pagi ditunggu di pintu utara
Ahli catur boleh perlihatkan kepandaian
Kuda merah menjadi taruhan."
"Kurang ajar! Sekarang juga aku akan menyusulmu ke sana, bangsat jahanan!" teriak Siauw Yang gemas sekali.
"Nanti dulu, sumoi. Kurang sempurna kalau kau berlaku secara sembrono" Pun Hui mencegah, kemudian pemuda ini bertanya kepada pelayan yang masih meringis ringis.
"Sekarang kauceriakan sejelasnya, siapakah sebetulnya siauw ong ya itu" Ceritakan yang jelas dan kalau memang kau tidak bersalah, kami tidak akan mengganggumu lebih lama lagi."
Mendengar ini, dengan suara gemetar dan kadang kadang memandang ke kanan kiri seakan akan ia khawatir kalau kalau ada orang yang mendengar penuturannya, pelayan itu bercerita.
Di kota Ceng te, termasuk dalam Propinsi Hopei, di sebelah utara, di lembah sebuah sungai yang lebar, tinggal seorang pangeran dari Kerajaan Goan Tiauw. Pangeran ini amat berkuasa dan biarpun pada waktu itu ia tidak menduduki sesuatu pangkat, namun pengaruhnya besar sekali, tidak saja ia disegani oleh karena kaya raya namun terutama sekali karena pangeran ini memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dikabarkan orang bahwa pangeran ini pernah mendapat latihan ilmu silat tinggi dari Pat Jiu Giam ong Liem Po Coan sendiri, yakni seorang tokoh besar yang bergelar Pat jiu Giam ong atau Iblis Maut Tangan Delapan yang masih menjadi sute dan Lam hai Lo mo, Seng Jin Siansu sendiri.
Di samping kekayaannya yang luar biasa dan kepandaiannya yang amat tinggi, pangeran ini pun mempunyai banyak kaki tangan yang rata rata memiliki kepandaian silat tinggi. Semua orang yang dianggap jagoan di daerah utara, sebagian besar menjadi kaki tangannya atau setidaknya amat tunduk kepadanya, karena pangeran ini amat royal membagi bagi hadiah kepada mereka yang mau membantunya.
Pangeran ini bernama Ciong Pak Sui, usianya sudah kurang lebih empatpuluh tahun, namun tubuhnya masih nampak kuat sekali dan karena selain berpakaian indah dan kesehatannya terawat, maka ia nampaknya masih muda. Ia tidak mempunyai isteri akan tetapi di dalam gedungnya terdapat banyak selir yang muda lagi cantik, yakni gadis yang didatangkan dari beberapa daerah, terutama dari selatan, karena wanita Tiongkok di daerah selatan terkenal lebih cantik daripada wanita daerah utara.
Kegemaran khusus dari Ciong Pak Sui atau lebih terkenal dengan sebutan Ciong siauw ong (Raja Muda Ciong) adalah binatang peliharaan kuda yang bagus bagus. Entah sudah berapa banyak ia mengeluarkan uang untuk membeli ratusan ekor kuda kuda yang baik di daerah ini. Seringkali Pangeran Ciong mengadakan perlombaan kuda dan selalu kuda kudanya memperoleh kemenangan.
Namun, dasar ia memiliki watak yang tidak mau kalah dan selalu keinginan hatinya harus dipenuhi, tiap kali ia menghendaki seekor kuda siapaun juga yang mempunyainya, ia harus mendapatkan kuda itu. Baik dengan jalan membelinya dengan harga amat tinggi ataupun dengan jalan kekerasan! Siapakah orangnya yang berani melawan kehendaknya" Kalau kiranya tidak takut akan pengaruhnya yang besar, tentu segan pula menghadapi kekerasan kaki tangannya yang amat banyak jumlahnya. Dan kalaupun orang tidak takut menghadapi kaki tangannya, tentu takut menghadapi kelihaian pangeran ini yang memiliki kepandaian tinggi. Sebegitu jauh belum pernah ada orang yang berani melawannya tanpa menderita kekalahan hebat. Sekali ada orang melawannya, tentu orang itu akan kehilangan kuda dan masih untung kalau ia tidak kehilangan nyawanya.
"Demikianlah, kongcu. Siapa lagi orangnya di daerah ini yang begitu berani mencuri kuda seorang tamu di penginapan" Biarpun hanya dugaan saja, namun kiranya kalau bukan kaki tangannya, tidak akan ada orang yang begitu berani mati mencuri kuda, karena kejahatan yang terbesar di daerah ini ialah mencuri kuda. Orang berani mencuri harta kekayaan orang lain, akan tetapi mencuri kuda" Akan dianggap kejahatan yang paling hebat dan orang itu takkan diampuni oleh orang banyak. Akan tetapi kalau pencurian itu dilakukan atas perintah Ciong siauw ong ya.... yah siapa berani menghalanginya?"
Mendengar keterangan ini, merah muka Siauw Yang dan gadis ini marah bukan main.
"Raja muda bangsat! Kiranya dia berani main gila kepadaku" Lihat saja, sekarang juga akan kudatangi dia dan kalau dia tidak mengembalikan kudaku dan minta maaf sambil berlutut, pasti kepalanya akan kubikin bakso!!"
Mendengar ini, pelayan itu menjadi pucat dan berkata dengan ketakutan.
"Nona.... lihiap.... harap jangan bicara seperti itu apalagi.... di depanku.... !"
"Pergi kau, pengecut!" bentak Pun Hui dan pelayan itu seperti mendapat ampun saja, dengan muka girang ia lalu berlari pergi, terus pulang ke rumahnya dan bersembunyi di dalam kamarnya. Agaknya sampai tiga empat hari orang ini takkan berani keluar dari kamarnya!
"Sumoi, kau bersabarlah. Jangan bertindak malam ini. Bukankah orang itu telah menantangmu untuk bertemu besok pagi di pintu gerbang sebelah utara" Kalau orang sudah menantang, kitapun harus menghadapinya dengan aturan, apa pula, andaikata kau nekat mendalangi gedung pangeran itu, bagaimana kalau ternyata kemudian bahwa pencurian ini dilakukan bukan atas perintahnya" Juga misalnya dia yang mencuri, tentu tempatnya terjaga amat kuat dan mendatangi tempatnya di malam hari merupakan tindakan yang amat sembrono dan berbahaya."
Mendengar ucapan in Siauw Yang tak dapat membantah. Memang, biarpun dia tidak takut akan penjagaan yang kuat, akan tetapi, bagaimanakah andaikata benar benar bukan pangeran itu yang menyuruh mencuri kudanya" Bukankah berarti bahwa ia telah berlaku lancang dan mengganggu orang yang tidak berdosa" Bukankah itu hanya akan menimbulkan permusuhan dan kekacauan dengan dia berada di fihak salah" Ayahnya tentu akan marah kalau mendengar betapa dia mengacaukan rumah seorang pangeran hanya dengan tuduhan mencuri kuda!
"Baiklah, suheng. Aku akan menahan sabar dan mari kita lihat orang macam apa yang akan kita temui besok pagi," akhirnya ia berkata.
Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali Siauw Yang dan Pun Hui berjalan menuju ke pintu gerbang bagian utara. Kuda tunggangan Pun Hui dititipkan kepada pelayan rumah untuk diurus. Sepasang orang muda ini berjalan dengan tenang dan Siauw Yang menyembunyikan pedangnya di bawah baju luarnya. Wajah gadis ini berseri dan mulutnya tetap tersenyum gembira, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi api, karena sesungguhnya ia marah sekali dan semenjak malam tadi ia menahan nahan gelora batinnya hendak cepat cepat bertemu dengan pencuri kudanya.
Pintu gerbang sebelah utara merupakan jalan besar yang menuju ke kota lain di sebelah utara, bahkan beberapa puluh li di sebelah utaranya terdapat tapal batas antara Tiongkok dengan daerah Mongol. Pada saat kedua orang muda itu tiba di pintu gerbang, di situ masih sunyi dan tidak kelihatan orangpun. Pintu gerbang sudah dibuka dan para penjaga pintu gerbang sedang meronda, agak jauh dari situ.
Pun Hui dan Siauw Yang melewati pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak melihat ada orang lain, Siauw Yang sudah mulai merasa mendongkol, mengira bahwa pemuda penulis surat di atas mantelnya itu sengaja mempermainkannya. Selagi ia hendak membuka mulut menyatakan k mendongkolannya, tiba tiba dari jurusan utara terdengar bunyi derap kaki kuda dan debu mengebul.
"Ada penunggang kuda datang," kata Pun Hui dan biarpun pemuda ini tabah sekali, namun ia masih berdebar menghadapi orang yang begitu berani, telah mencuri kuda masih menantang pula. Namun Siauw Yang berdiri dengan tegak, kedua kakinya berdiri terpentang, kedua tangan bertolak pinggang dan kepalanya dikedikkan ke belakang. Sepasang matanya memandang tajam ke depan dan seluruh urat urat di tubuhnya siap sedia menghadapi pertempuran besar.
Setelah rombongan itu datang dekat, ternyata bahwa yang datang adalah dua orang, seorang wanita dan seorang laki laki. Mereka ini sudah setengah tua agaknya empatputuh lahun lebih usianya. Masing masing menunggang kuda sambil menuntun seekor kuda lain di belakang dan mereka membalapkan kuda dengan cepat sekali. Ketika mereka tiba di depan Pun Hui dan Siauw Yang, kedua orang itu menahan kendali kuda dan kuda kuda yang mereka tunggangi itu tiba tiba berhenti seperti tertahan oleh tenaga yang kuat.
"Bagus, penunggang penunggang kuda yang pandai dan kuda kuda yang baik," kata Siauw Yang memuji. Memang, tidak mudah untuk menghentikan kuda secara begitu tiba tiba setelah kuda itu tadinya berlari cepat sekali. Juga kuda kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu, demikian pula yang dituntun, adalah kuda kuda yang tinggi besar dan baik, nampaknya kuat dan liar. Terutama sekali dua ekor kuda yang mereka tuntun, jelas sekali bahwa dua ekor kuda ini masih amat liar, karena mereka selalu meronta ronta dan meringkik ringkik, namun ketika berlari tadi, mereka dapat lari amat cepatnya.
"Bukankah ji wi ini ahli ahli catur yang hendak memenuhi undangan?" tanya pendatang yang wanita sambil memandang tajam kepada Siauw Yang.
"Kami datang untuk bertemu dengan pencuri kuda dan mengambil kuda kami kembali!" jawab Siauw Yang yang sengaja bicara keras, sikapnya galak dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut.
"Jangan sembarang bicara tentang pencuri!" tiba tiba orang laki laki itu berkata. "Kami diutus untuk datang mengundang ahli ahli catur."
Mendengar ini, Siauw Yang marah sekali dan kedua tangannya sudah gatal gatal hendak menyerang dua orang ini. Akan tetapi Pun Hui mencegahnya dengan kata kata yang ditujukan kepada laki laki itu.
"Sahabat yang baik, kau tadi bilang diutus untuk mengundang kami bermain catur. Memang, biarpun bukan ahli, kami suka bermain catur. Akan tetapi, siapakah dia yang mengutusmu?"
"Kami diutus oleh Ciong Siauw ong ya untuk menjemput ji wi di sini dan kami sudah membawakan dua ekor kuda yang baik untuk ji wi," jawab laki laki itu.
"Baik, kami akan pergi," kata Pun Hui, akan tetapi Siauw Yang masih penasaran dan bertanya,
"Apakah tuanmu itu mengundang untuk bermain catur dengan taruhan Ang ho ma?"
"Begitulah kiranya kalau tidak salah," jawab pesuruh wanita sambil tersenyum mengejek. "Tugas kami hanya menjemput dan tentang hal hal lain lebih baik kalian tanyakan sendiri kepada siauw ong ya nanti."
"Baiklah kalau begitu, lepaskan kuda itu," kata Siauw Yang sambil menghampiri kuda yang dituntun dan yang kelihatan liar sekali.
"Kuda ini mungkin terlampau jinak untuk kalian, akan tetapi terus terang saja, bagi kami amat sukar diurusnya, maka kami tidak berani melepaskannya, takut kalau kalau mereka akan lari minggat," kata pesuruh wanita itu sambil memegangi tali kendali kuda itu erat erat di tangannya.
Siauw Yang mengerti bahwa mereka sengaja membawa kuda liar untuk menguji kepandaiannya. Dia sendiri tidak takut menghadapi kuda yang bagaimana liarpun, akan tetapi bagaimana dengan Pun Hui" Dapatkah pemuda lemah itu bertahan di atas punggung kuda yang liar" Ia mendapat sebuah pikiran baik lalu cepat sekali ia melompat dan tahu tahu sudah berada di atas punggung kuda yang dituntun oleh wanita setengah tua tadi. Melihat gerakan ini, kedua orang pesuruh itu terbelalak lebar matanya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Kuda yang ditunggangi oleh Siauw Yang itu memang kuda liar. Begitu merasa punggungnya diduduki orang, ia lalu meringkik keras dan melompat ke atas, berdiri pada dua kaki belakangnya dan menggoyang goyangkan tubuh, bahkan berusaha untuk menggigit orang di punggungnya itu dengan buas sekali.
"Celaka," pikir Pun Hui sambil memandang dengan penuh kekhawatiran.
"Celaka," pikir Siauw Yang, "kalau kuda yang satunya lagi seliar ini, tentu Pun Hui akan dilemparkan jatuh dalam waktu pendek."
Setelah berpikir demikian, gadis ini menggunakan ilmu dan tenaganya, menepuk nepuk punggung kuda yang ditungganginya itu, akan tetapi diam diam ia menggunakan jarinya untuk menotok urat punggung kuda. Siauw Yang yang semenjak kecil suka sekali menunggang kuda telah diberi pelajaran khusus oleh ayahnya bagaimana caranya menjinakkan kuda yang amat liar, yakni dengan jalan menggunakan ilmu tiam hwat yang istimewa.
Seketika itu juga kuda yang ditungganginya itu menjadi jinak. Tidak meringkik ringkik lagi, dan tidak berloncat loncatan lagi. Hal ini sebetulnya tidak aneh, karena dengan urat punggung setengah lumpuh, bagaimana kuda itu bisa menjadi liar"
Siauw Yang melompat turun lagi dan sambil tersenyum manis sekali ia berkata kepada Pun Hui,"Suheng, kuda ini terlalu liar dan buas untukku, harap suheng suka naik kuda ini saja, biar aku memilih yang satunya itu, tentu tidak seliar ini."
Pun Hui memang seorang pemuda berwatak tabah dan berhati besar. Biarpun ia tidak mengerti akan maksud Siauw Yang dan juga biarpun ia tadi merasa ngeri melihat kebuasan dan keliaran kuda yang ditunggangi Siauw Yang itu namun kini melihat Siauw Yaug melompat turun dan memilih kuda yang satunya lagi, ia mengangguk.
"Baiklah, sumoi. Kau berhati hatilah naik kuda ke dua itu, karena kulihat dia juga seperti kuda setan hitam."
Memang kuda yang ke dua itu adalah seekor kuda hitam yang kelihatannya bahkan lebih baik daripada kuda pertama yang tadi dinaiki oleh Siauw Yang dan yang bulunya berwarna kelabu.
"Kau naiklah dulu, suheng!" kata Siauw Yang dengan nada suara seakan akan menghormat kepada seorang saudara seperguruan yang lebih tua. Padahal maksud dara ini hanya untuk menjaga dan melihat Pun Hui menunggangi kuda liar itu dengan selamat.
Dengan tabah dan hati hati. Pun Hui lalu naik ke atas kuda yang telah dibikin tidak berdaya oleh Siauw Yang, diikuti oleh pandang mata dua orang pesuruh itu. Mereka ini ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda ini naik kuda. Tadi mereka telah melihat betapa lincah gerakan Siauw Yang ketika melompat ke atas kuda dan betapa kuat gadis itu mempertahankan diri ketika kuda liar itu mengamuk dan mereka menjadi amat kagum. Sekarang pemuda yang dipanggil "suheng" oleh gadis itu, sudah dapat diduga tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, kedua orang pesuruh itu menjadi amat heran dan juga geli hati, karena pemuda yang tampan dan halus itu menaiki kuda dengan cara seperti seorang yang tidak memiliki kepandaian apa apa. Bukan dengan gerakan meloncat seperti yang dilakukan oleh gadis tadi atau oleh semua ahli ahli silat tinggi, melainkan dengan jalan menaruh kaki kiri pada injakan kaki kemudian naik dengan gerakan biasa saja. Sungguh mengherankan, pikir mereka. Mengapa suhengnya bahkan kelihatan begini lemah" Apakah orang selemah ini akan mampu mempertahankan diri di atas punggung kuda yang liar itu"
Namun begitu Pan Hui sudah duduk di atas punggung kuda, dua orang pesuruh itu menjadi bengong terlongong saking heran dan takjubnya. Kalau kuda kelabu ini tadi mengamuk hebat begitu merasa punggungnya dinaiki oleh Siauw Yang, kini sampai Pun Hui menduduki punggungnya, kuda ini tidak bergerak sedikitpun juga, bahkan meringkik pun tidak, hanya menggerak gerakkan kaki depannya seperti kuda yang sudah terlatih baik dan jinak sekali, sabar dan tidak ingin segera berlari. Hal ini sebetulnya adalah karena pengaruh totokan dan tepukan tangan Siauw Yang tadi, akan tetapi kedua orang itu tidak mengerti dan sambil memandang terheran heran mereka mengira bahwa pemuda sasterawan itu tentu memiliki kepandaian yang tak terukur tingginya sehingga dengan "kepandaiannya" itu ia dapat membuat kuda liar menjadi jinak dan tak mampu memberontak!
Sebaliknya, dasar hatinya tabah, semenjak tadipun Pun Hui nampak tenang tenang saja. Apalagi setelah sekarang ia melihat kuda yang tadi nampak liar itu begini jinak, maka ia menjadi amat lega dan berkata kepada Siauw Yang, "Sumoi, kuda ini begini jinak dan penurut, mengapa kau bilang liar?"
Siauw Yang tersenyum, lebih manis dari tadi karena hatinya juga lega sekali.
"Suheng, bagiku dia liar akan tetapi terhadapmu, bagaimana ia bisa berdaya?"" Kata kata ini dikeluarkan dengan sengaja oleh Siauw Yang untuk "membanggakan" kepandaian suhengnya kepada dua orang pesuruh itu. Entah mengapa, dara ini ingin sekali melihat Pun Hui dikagumi orang dan ia ikut bangga!
Memang tak salah dugaannya, kata katanya ini membuat dua orang pesuruh itu menjadi makin kagum dan terheran heran sampai sampai pesuruh yang wanita berkata,
"Hebat sekali, belum pernah aku menyaksikan orang dapat menundukkan kuda liar ini sedemikian rupa. Benar benar membuat aku merasa takluk!"
Siauw Yang lalu melompat naik ke atas punggung kuda hitam dan seperti tadi, kuda inipun meringkik ringkik dan meronta ronta, namun begitu Siauw Yang menepuk nepuk pundaknya, kuda inipun lalu diam dan menjadi tenang seperti kuda jinak.
"Mari kita berangkat," kata Siauw Yang kepada dua orang utusan itu, "akan tetapi, pemandangan di daerah ini bagus sekali dan kami mau menikmatinya. Maka tak perlu tergesa gesa."
"Baiklah, nona," kata utusan yang laki laki, sama sekali tidak menduga bahwa gadis ini sengaja menjaga agar supaya perjalanan tidak dilakukan cepat sekali karena ia teringat akan keadaan Pun Hui yang boleh dibilang belum begitu mahir untuk berpacu kuda. Dua orang petugas yang menjemput mereka ini setelah menyaksikan kelihain Siauw Yang dan terutama sekali Pun Hui yang pendiam dan bagi mereka seperti seorang pemuda yang "berpura pura" bodoh itu, menjadi tunduk dan mati kutunya, tidak bersikap keras dan sombong seperti tadi.
Tak lama kemudian, sampailah mereka di kota Ceng te dan dua orang utusan itu langsung membawa mereka pada sebuah bangunan yang amat besar dan mewah. Pada pintu gerbang kelompok bangunan yang terdiri dan beberapa buah rumah besar ini, kedua orang utusan itu melompat turun dan minta kepada dua orang muda itu untuk turun pula.
Siauw Yang dan Pun Hui juga melompat turun dan empat ekor kuda yang tadi mereka tunggangi, diurus oleh para penjaga pintu. Siauw Yang melihat betapa para penjaga itu berlaku amat hormat kepada dua orang utusan itu, dan tahulah ia bahwa dua orang utusan itu mempunyai kedudukan yang paling penting juga agaknya di antara para kaki tangan Pangeran Ciong Pak Sui.
Di depan pintu gerbang di ruang depan, juga kelihatan serombongan penjaga berdiri dengan golok telanjang di tangan, nampaknya angker sekali seperti para penjaga di depan benteng saja.
"Siauw ong ya menanti di lian bu thia (ruang main silat), harap langsung datang ke sana," kata seorang di antara para penjaga kepada utusan itu.
Utusan wanita tadi mengangguk, lalu berkata kepada Siauw Yang
"Siauw ong ya telah menaati di lian bu thia, mari kita langsung menghadap ke sana."
Siauw Yang merasa mendongkol melihat segala aturan ini, maka ia berkata lantang,
"Siapa mau menghadap dia" Aku datang untuk mengambil kembali kudaku Ang ho ma, hayo bawa kami ke kandang kuda agar aku dapat mengambil kuda itu!"
Dua orang utusan itu terkejut, akan tetapi Pun Hui segera berkata,
"Sumoi, harap kau bersabar. Biarlah kita bertemu dengan pangeran itu dan mendengar apa yang ia kehendaki. Kurasa dia tidak begitu kukuh mempertahankan kuda orang lain, kalau betul kuda itu berada di sini."
Siauw Yang dengan penasaran dan tidak puas memandang kepada Pun Hui, akan tetapi melihat sinar mata pemuda itu begitu halus dan tulus kepadanya, disertai senyum yang sabar dan tenang tiba tiba ia merasa kalah dan insyaf bahwa sikapnya tadi tidak benar. Kalau masih ada jalan lunak jangan sekali kali mempergunakan kekerasan, pesan ayahnya dahulu berkali kali. Dan sifat pemuda ini cocok sekali dengan semua nasehat ayahnya. Entah mengapa menghadapi pemuda ini, Siauw Yang yang tahu bahwa dia memiliki kepandaian silat yang kalau dibandingkan dengan pemuda lemah ini sudah amat tinggi, namun selalu kekerasan hatinya mencair dan ia sama sekali tidak bisa menganggap bahwa pemuda ini kalah berkuasa atau kalah kuat olehnya. Bahkan ia mendapatkan sesuatu yang amat kuat dan berpengaruh dalam sikap yang luaak dan tenang dari Pun Hui.
"Baiklah, baiklah," katanya."Asal saja orang tidak berlaku curang kepada kita."
Maka pergilah kedua orang muda ini, mengikuti dua orang utusan yang membawanya melalui beberapa ruang yang besar dan indah sekali. Siauw Yang dan Pun Hui sampai kelihatan seperti seorang gunung baru masuki kota besar. Tiada hentinya mereka mengagumi semua perabot perabot yang berada di setiap ruangan, dan mereka memandang ke kanan kiri dengan bengong. Rumah tempat tinggal Siauw Yang juga bukan kecil dan ayahnya juga mempunyai banyak perabot perabot rumah yang cukup baik, akan tetapi kalau dibandingkan dengan keadaan di gedung ini, rumah ayahnya itu kelihatan seperti rumah miskin keadaannya. Akan tetapi, segera perhatian mereka tertarik oleh suara orang orang bercakap cakap diselingi gelak tertawa yang terdengar dari balik sebuah pintu gerbang yang tertulis dengan huruf huruf emas. LIAN BU THIA. Dua orang utusan itu berhenti di depan pintu ini dan berkata,
"Harap ji wi (tuan berdua) suka menunggu sebentar, kami hendak melaporkan kedatangan ji wi lebih dulu." Mendengar kata kata ini, kembali sepasang alis yang kecil panjang di wajah Siauw Yang berkerut, ia makin gemas melihat segala aturan ini, seakan akan orang menghadap kaisar saja. Akan tetapi kembali Pun Hui berkata,
"Baiklah, kami akan menanti di sini."
Pintu dibuka dan dua orang itu masuk. Dalam sekejap ketika daun pintu terbuka tadi, Siauw Yang dapat melihat sedikitnya tujuh orang duduk di dalam ruang main silat yang amat lebar di balik pintu itu. Akan tetapi daun pintu segera ditutup kembali dan terpaksa menanti di luar bersama Pun Hui. Gadis ini memadi amat tidak sabar dan ia kelihatan murung.
Pun Hui yang lebih tenang, sekelebatan saja tahu akan isi hati gadis perkasa ini, maka ia berusaha untuk menghiburnya.
"Sumoi, kaulihat, bukankah lukisan ini indah sekali?" katanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebuah di antara banyak lukisan yang tergantung di dinding tempat menunggu itu.
Siauw Yang menengok dan ia melihat sebuah lukisan yang memang indah sekali. Dalam Lukisan itu nampak seorang kakek yang sedang duduk seorang diri sambil minum arak dan cawan arak di tangan kanannya, ia memandang ke arah bulan yang bercahaya teduh di antara awan. Tumbuh tumbuhan di sekitarnya yang dilukis dengan tipis dan hampir tidak kelihatan. Namun bayangan hitam dari kakek itu kelihatan nyata sekali berada di belakangnya. Inti daripada lukisan itu, yang amat ditonjolkan, hanyalah si kakek itu sendiri, cawan arak, bulan dan bayangan kakek.
Siauw Yang mengerti tentang keindahan lukisan dan ia dapat membaca arti sebuah lukisan, karena ayah ibunya juga penggemar lukisan lukisan. Di rumahnya banyak tergantung lukisan lukisan kenamaan dan sering kali ia diberi petunjuk oleh ayah bundanya tentang arti sebuah lukisan. Maka Siauw Yang dapat menduga perasaan seorang pelukis dalam lukisannya. Karena biasanya, perasaan dari pada pelukis dicurahkan ke dalam hasil karyanya.
Akan tetapi, menghadapi lukisan ini, Siauw Yang kurang mengerti. Ia tahu bahwa pelukisnya sengaja menonjolkan tri tunggal, yakni bulan, kakek dan bayangan. Akan tetapi apakah maksud pelukis dengan penonjolan ini"
"Suheng, lukisan ini memang indah, akan tetapi apakah maksudnya" Mengapa penonjolan bulan, kakek dan bayangan seakan akan berlomba, memperkuat keadaan masing masing, dan akhirnya toh cawan arak itu yang paling menonjol, sungguhpun seakan akan hendak dikesampingkan oleh yang tiga ini?"
Pun Hui menoleh dan memindang kepada nona itu. Pandang matanya penuh kekaguman dan kasih sayang. Dua pasang mata bertemu dan melihat sinar kagum dalam mata pemuda itu, tiba tiba Siauw Yang merasa wajahnya panas dan tanpa ia ketahui, mukanya telah menjadi merah.
"Eh, kau tidak menjawab pertanyaanku malah memandang seakan akan aku ini setan saja," Siauw Yang berkelakar melenyapkan perasaan jengah pada hatinya. "Apakah kau tidak mengerti artinya pula?"
Pun Hui sadar dan juga mukanya terjalar warna merah.
"Sumoi, kau benar benar hebat. Tidak saja ilmu silatmu lihai, tetapi juga kau pandai sekali membaca lukisan ini. Dan kau akan mengerti artinya. Ketahuilah, bahwa pelukisnya melukiskan isi daripada sajak yang ditulis oleh pujangga Li Po."
"Bagaimana bunyi sajak itu, suheng?" tanya Siauw Yang gembira tidak saja karena ia ingin mendengar bunyi sajak yang dilukis oleh pelukis secara indah ini, akan tetapi terutama sekali gembira karena kagum bahwa pemuda ini agaknya mengerti akan segala hal.
"Sajak itu kalau tidak salah demikian bunyinya," kata Pan Hui sambil meramkara kedua matanya dan mengingat ingat akan bunyi sajak kuno tulisan pujangga Li Po itu.
Di antara bunga minum arak tanpak kawan
Ku angkat cawan arak menghadap bulan
"Bulan ciptakantah bayangan
Agar kita menjadi tiga sekawan!"
Sayang, bulan tak dapat minum arak
Dan bayangan hanya kosong bergerak gerak
Namun, aku mempunyai kedua kawan ini
Untuk menemaniku menikmati musim semi.
Aku benyanyi, bulan berlenggang di antara mega
Aku menari bayangan berlenggang jenaka.
Kemudian aku mabok dan kamipun berpisah!
Ah, dapatkah kemauan baik bertahan selalu"
Aku memandang seribu bintang yang tetap
membisu. "Bagus sekali!" Siauw Yang memuji kagum. "Suheng, setelah mendengar sajak itu, lukisan ini nampak makin indah. Sekarang kelihatan olehku mengapa cawan arak itu akhirnya mengusai keadaan, mengapa persatuan bulan-kakek-bayangan itu kalah olehnya. Sekarang tampak olehku. Lihat, bukankah titik yang merupakan bintang di angkasa itu seakan akan tersenyum dan mentertawakan ketololan si pemabok yang ditimbulkan oleh kesunyiannya?"
Jilid XXII "MEMANG sumoi. Dan yang paling membikin aku kagum sekali adalah ketajaman perasaanmu, yang dapat mengupas lukisan itu demikian jelasnya. Kau berbakat seni, sumoi."
Siauw Yang tertawa, "Ayahku pernah berkata, bahwa hidup ialah seni abadi. Perwujudan manusia inilah seni yang paling agung. Bentuk bentuk bunga, daun, batu, mega dan lain lain itulah seni terindah yang tiada taranya. Seni buatan manusia hanyalah, jiplakan belaka!"
Pun Hui memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak.
"Sumoi, kau merendahkan kaum seniman!"
Siauw Yang tersenyum geli. "Eh, eh, suheng jangan lantas ngamuk! Aku hanya mengulangi ucapan ayah saja."
"Kalau demikian anggapan ayahmu, tentu kau telah mendengar pula mengapa ayahmu berpendapat seperti itu."
"Memang, akupun sudah bertanya penjelasannya dan ia telah pula menjelaskannya."
"Bagaimana penjelasannya?"
"Nanti dulu, kau harus berjanji jangan marah marah seperti itu, karena aku hanya seorang bodoh dan yang akan kusampaikan ini hanya pandangan ayah. Pula, kau tidak boleh marah kepada ayahku, karena di dunia ini tidak ada orang yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih pandai melebihi ayahku, yakni menurut pendapaku."
Pun Hui tersenyum kembali dan mengangguk angguk. "Memang seharusnya demikianlah pikiran seorang anak yang berbakti. Baiklah, sumoi. aku akan mendengarkan penjelasanmu dengan tenang. Nah, katakan mengapa ayahmu menganggap bahwa seni buatan manusia itu hanya jiplakan belaka?"
"Misalnya lukisan ini. Memang indah sekali lukisan ini, bukan" Dan tanpa ragu ragu aku sendiri berani menyatakan bahwa lukisan ini adalah hasil seni manusia yang amat indah dan baik. Akan tetapi, lukisan ini takkan jadi apabila pujangga Li Po tidak menciptakan sajaknya MINUM ARAK BERSAMA BULAN DAN BAYANGAN yang kau bacakan tadi. Si pelukis ini bukan menciptakan lukisan atas hasil ciptanya sendiri, melainkan ia menjiplak dan isi sajak pujangga Li Po, Bukankah ini termasuk jiplakan?"
"Hm, aku mengerti maksudmu. Akan tetapi, bukankah ciptaan Li Po yang merupakan sajak indah itu tidak menjiplak dari siapapun juga?" bantah Pun Hui.
"Bukan demikian anggapan ayah. Betapapun indahnya sajak itu, tetap saja ia jiplakan. Keindahannya hanya sebagai cukilan tak berarti daripada keindahan keadaan yang sudah ada, daripada keindahan bulan, kakek, dan bayangan yang sudah ada dan sudah memiliki keindahan sepenuhnya! Coba kaukatakan, kalau tidak ada bulan, tidak ada bayangan dan tidak ada kakek itu mungkinkah Li Po menciptakan sajak tadi" Bukankah ia hanya meminjam saja daripada keindahan alam dan isinya yang sudah ada" Nah, itulah maka ayah berani mengatakan bahwa segala hasil seni manusia hanya jiplakan belaka daripada seni alam yang diciptakan tanpa contoh dan tanpa meniru oleh Thian Yang Kuasa!"
Pun Hui tertegun. Di dalam semua kitab yang pernah dibacanya, ia belum pernah mendengar tentang filsafat seperti ini. Sampai lama ia termenung lalu menghela napas dan berkata,
"Sumoi, ayahmu itu orang luar biasa. Aku ingin sekali bertemu dengan dia!"
Siauw Yang tertawa girang, akan tetapi ketika ia menoleh ke kiri dan membaca tulisan sajak yang tergantung di itu, ditulis dengan tulisan yang bergaya indah tiba tiba wajahnya menjadi muram.
Pun Hui menjadi heran dan cepat membaca sajak itu dengan suara lantang.
Disaksikan barisan gunung biru di utara kota,
Dan di timur nampak memutih air samudera.
Di sini kau harus tinggalkan aku dan
mengalir pergi Seperti tangkai bunga hanyut di air sungai.
Akan kukenang kau seperti awan
berarak di angkasa Yang harus berpisah dengan matahari
di barat sana. Tangan melambai selamat berpisah".
Kudaku meringkik ringkik, merintih sudah"..
Sehabis membaca ini, tiba tiba Pun Hui meraja seakan akan kerongkongannya tersumbat. Teringatlah ia bahwasanya iapun akan mengalami perpisahan menyedihkan ini. Akan tiba saatnya bahwa iapun harus melepas Siauw Yang pergi meninggalkannya! Dengan perlahan ia menengok dan alangkah terharunya ketika ia melihat betapa sepasang mata gadis itu menjadi merah, kemudian tiba tiba gadis itu membalikkan tubuh membelakanginya, ia dapat menduga bahwa Siauw Yang melakukan hal ini untuk menyembunyikan dua butir air mata yang melompat keluar dari pelupuk matanya.
"Pujangga Li Po memang seorang perengek!" tiba tiba Pun Hui berkata keras dengan maksud menghibur hati siauw Yang. "Di dalam sajak sajaknya selalu terbayang kelemahan hatinya, selalu ia merengek dan mengeluh. Apa gunanya semua keluh kesah itu" Tidak ada persatuan yang tak pernah berakhir, seperti juga tidak ada perceraian yang kekal. Ah, jemu aku kepada si perengek itu!"
Pada saat itu, keadaan yang amat berkesan di dalam hati mereda itu lenyap oleh terbukanya pintu. Baru mereka ingat bahwa semenjak tadi mereka sedang menunggu di luar pintu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang pesuruh tadi telah masuk lama sekali. Tentu saja Siauw Yang tidak tahu bahwa dua orang pesuruh tadi mence ritakan keadaan mereka, juga kelihaian gadis itu dan terutama sekali kelihaian pemuda yang dianggap luar biasa, kepada Siauw ong ya Ciong Pak Sui.
"Selamat datang di rumahku yang buruk. Sungguh menggembirakan sekali bahwa ji wi suka datang memenuhi undanganku untuk bermain catur. Aku mendengar bahwa ji wi asyik sekali bermain di rumah penginapan, maka aku sengaja mengundang kepada ji wi untuk datang main main di sini dan bermain catur yang juga menjadi kegembiraanku," kata seorang laki laki yang membuka pintu dan yang menjura kepada mereka.
Siauw Yang dan Pun Hui memandang tajam. Orang laki laki ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berwajah gagah dengan cambang melintang dan bertubuh kekar. Pakaiannya amat mewah, dengan baju sulam benang emas. Mulutnya selalu tersenyum mengejek dan yang membuat senyum itu lebih kuat adalah lekuk di tengah tengah dagunya. Ia melayangkan pandang matanya kepada Siauw Yang, dengan kagum sekali.
Siauw Yang meniru Pun Hui yang membalas penghormatan tadi, kemudian gadis ini mendahului Pun Hui dengan ucapan yang terdengar halus penuh sindiran.
"Memang, kami berdua sedang bermain catur dengan asyik dan sepanjang pengetahuan kami, permainan catur kami tidak mengusik seorangpun. Akan tetapi sayang, permainan itu terganggu oleh datangnya pencuri jahanam yang membawa lari kudaku Ang ho ma, bahkan ia telah membawa lari pula tiga biji catur sehingga kami tidak dapat melanjutkan permainan catur kami."
Mendengar ucapan ini, pangeran muda itu tertawa gembira dan berkata,
"Ha, ha, ha, kau jenaka sekali, nona. Mari, mari, silahkan masuk di ruang ini dan kita dapat bicara dengan enak." Ia membuka pintu itu lebar lebar dan mempersilakan dua orang muda itu masuk.
Dengan tenang dan tabah, Pun Hui dan Siauw Yang memasuki ruang lian bu thia itu. Enam orang laki laki lain yang rata rata memiliki sifat gagah, berdiri dari tempat duduk mereka dan memberi hormat yang dibalas dengan sederhana oleh Siauw Yang dan dengan hormat oleh Pun Hui. Kemudian dua orang muda ini menduduki bangku yang disediakan oleh tuan rumah, duduk mereka menghadapi tujuh orang itu.
Di atas meja yang berada di depan dua orang muda ini, benar saja sudah tersedia papan catur yang lebar dan indah, terbuat daripada kain sutera putih yang diberi gambar kotak kotak untuk bermain catur. Di dekat papan catur ini terdapat sebuah peti kecil terbuat daripada emas, sudah terbuka tutupnya dan nampak biji biji catur yang mengkilat dan indah sekali, terbuat daripada gading! Inilah seperangkat alat catur yang amat indah dan luar biasa harganya. Sebagai seorang ahli catur, tentu saja Pun Hui merasa suka sekali dan tak terasa pula tangannya menyentuh papan dan biji biji catur sambil memuji,
"Benar benar indah sekali!"
Pangeran muda Ciong Pak Sui tertawa, lain ia cepat cepat berkata,
"Hanya seorang ahli catur yang pandai saja yang dapat menghargai barang barang ini. Saudara muda, mari kita bertanding catur. Memang aku mengundang kalian ini untuk diajak bertanding catur!"
"Apa taruhannya?" Siauw Yang bertanya dengan suara tegas "Apakah kudaku sendiri yang tercuri akan dipertaruhkan oleh orang lain?"
"Sabar, nona," Ciong siauw ong berkata sambi menggerakkan tangannya, "Kudamu terpelihara baik baik dan kami hanya ingin membuktikan apakah benar benar kuda itu tak terkalahkan. Tak tahunya, hanya kuda biasa saja, siapa yang mau mencurinya" Baiklah sekarang kita bertaruh. Kalau aku kalah bermain catur dengan suhengmu ini, aku hendak memberikan seperangkat alat catur ini, sebaliknya kalau dia kalah, kau harus tinggalkan kuda merah mu di sini."
Siauw Yang berdiri dengan marah. Ia menggebrak meja dan terdengar suara keras. Biarpun papan meja yang amat tebal itu tidak tergetar sama sekali, namun ketika ia mengangkat kedua tangannya dari atas meja, nampak dua lubang bekas tangannya tadi. Ternyata bahwa meja itu di bagian yang terpukul telapak tangannya, telah berlubang!
"Enak saja orang bicara! Mana ada orang orang gagah bertaruh dalam bermain catur" Memalukan! Pertaruhan boleh tetap menggunakan alat catur dan kudaku, karena suhengku agaknya suka melihat alat catur ini. Akan tetapi bukan dengan bermain catur, melainkan dengan mengukur kepandaian silat!"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Siauw Yang, enam orang kawan pangeran itu bangkit berdiri dan seorang di antaranya berseru,
"Bagus! Nona muda hendak mengagulkan kepandaian disini!"Akan terapi, pangeran itu tertawa dan dengan isarat tangannya, ia menyuruh enam orang kaki tangannya itu duduk kembali. Lalu ia tertawa tawa mengadapi Siauw Yang sambil berkata,
"Bun (setera) dan bu (ilmu silat) tak boleh dipisah pisahkan, suhengmu ini memberi contoh yang baik sekali nona. Lihat saja, sungguhpun ia lihai, pakaiannya seperti sasterawan dan ia suka bermain catur. Sungguh cocok dengan aku sendiri! Tentu saja, dalam penemuan yang menggembirakan ini, harus tedengar suara pedang beradu dan bunga api berpijar. Marilah kita atur seadil adilnya. Suhengmu ini suka bermain catur dan kau agaknya lebih suka bermain silat. Maka biarlah pertandingan dilakukan dua babak, sebabak permainan catur dan sebabak lagi pertandingan silat. Untuk permainan catur suheng itu yang maju dan untuk pertandingan silat, kau yang maju. Dalam pertandingan catur, kau tidak boleh membantu suhengmu, sebaliknya dalam pertandingan silat, suhengmu tak boleh membantu. Bagaimana, apakah kau setuju, nona?"
Siauw Yang tersenyum, ia dapat melihat isi hati tuan rumah ini yang hendak berlaku cerdik, ia tahu bahwa mungkin sekali tuan rumah ini menganggap bahwa kepandaian silat Pun Hui tentu lebih lihai dari padanya. Hal ini memang sudah semestinya, karena tentu saja kepandaian seorang suheng tentu lebih lihai daripada kepandaian seorang sumoi. Oleh karena itu, pangeran muda itu hendak berlaku cerdik, yakni mengajak Pun Hui bermain catur dan mengajak dia bertanding silat.
"Baiklah," kata Siauw Yang cepat cepat ketika melihat wajah Pun Hui nampak khawatir ketika mendengar ia ditantang silat. "Akan tetapi, bagaimana kalau terjadi seri" Kepandaian catur suhengku amat tinggi, aku tidak khawatir dia akan kalah, akan tetapi ilmu silatku masih rendah sekali. Bagaimana kalau dalam pertandingan catur suheng menang dan dalam pertandingan silat aku kalah?"
Ciong Pak Sui tertawa lagi. "Ha, ha, ha, nona, kau benar benar berpandangan luas dan jauh. Memang betul sekali apa yang kaukatakan tadi. Ada kemungkinan kita berhasil seri dalam dua pertandingan. Oleh karena itu, baik diatur begini saja. Kalau ternyata berhasil seri yakni satu kali kalah satu kali menang, maka diadakan pertandingan ke tiga untuk menentukan hasilnya, yakni adu balap."
"Berpacu kuda maksudmu?" tanya Siauw Yang.
"Benar, berpacu kuda. Kau menaiki kuda merahmu dan aku akan menaiki kudaku sendiri, bagaimana?"
"Baik, jadilah. Akan tetapi, oleh karena pertandingan silat merupakan pertandingan yang paling menentukan, kuminta supaya penandingan catur didahulukan, kemudian pertandingan pacu kuda. Setelah terjadi seri, barulah pertandingan silat yang akan menentukan menang kalahnya.
Ucapan ini diterima salah oleh pangeran muda she Ciong itu. Ia mengira bahwa gadis ini agak jerih kepadanya, maka ia tertawa gembira dan menyatakan persetujuannya. Padahal ucapan Siauw Yang tadi dilakukan dengan pemikiran yang amat masak. Gadis ini memang cerdik sekali, ia pikir bahwa permainan catur suhengnya itu memang benar benar sudah amat lihai dan ketika memberi pelajaran catur kepadanya, pemuda ini dapat menjelaskan seluruh gaya permainan berikut tehnik dan taktiknya secara terperinci. Pengetahuannya dalam permainan ini amat mendalam dan luas. Oleh karena itu, banyak harapan pertandingan akan dimenangkan oleh Pun Hui. Adapun tentang pertandingan kedua, yakni berpacu kuda, ia percaya penuh akan kecepatan Ang ho ma. Menurut ayah nya, kuda putih milik ayahnya sudah merupakan seekor kuda yang jarang tandingannya, akan tetapi setelah ia mendapatkan Ang ho ma ia mendapat kenyataan bahwa kecepatan Ang ho ma agaknya masih melebihi Pek hong ma, milik ayahnya. Maka kalau dia yang menunggang Ang ho ma, agaknya ia takkan mungkin dikalahkan oleh pangeran itu. Hal ini bukan karena ia meragukan kemenangannya dalam pertandingan pibu (adu kepandaian silat). Akan tetapi ia hanya seorang diri, Pun Hui tak dapat diandalkan sama sekali dalam pertandingan silat. Kalau dalam pertandingan ke dua itu ia menang, setidaknya lawan sudah dapat mengukur sampai di mana batas kepandaiannya dan tentu akan mengatur siasat yang curang. Sebaliknya, kalau pertandingan pibu dilakukan terakhir, ia akan mengerahkan seluruh kepandaian dan akan menawan pangeran itu, sehingga ia dapat memaksanya menyerahkan kuda dan memberi jalan keluar untuk dia dan suhengnya.
Pertandingan pertama sudah disiapkan. Meja untuk bermain catur dipasang di tengah ruangan itu, dan meja ini spesial untuk bermain catur, yakni agak rendah ukurannya. Dua buah bangku yang memakai kasur rumput di atasnya, dipasang berhadapan di belakang meja itu. Papan catur sudah dipasang di atas meja dan peti terisi biji biji catur pun sudah disediakan.
"Silahkan, saudara muda, mari kita mulai pertandingan catur!" kata pangeran itu sambil memberi tanda kepada Pun Hui untuk menduduki bangku sebelah selatan. Sebelum penandingan dimulai, sudah selayaknya kalau aku mengetahui lebih dulu nama lawanku!"
"Siauwte bernama Liem Pun Hui, dan nama siauw ong ya sudah siauwte ketahui, yakni Ciong Pak Sui siauw ong. Betul atau tidaknya, masih mengharapkan penjelasan." jawab Pun Hui dengan sikapnya yang hormat sebagai seorang sasterawan terpelajar.
Ciong Pak Sui tertawa. "Benar benar hebat seekor harimau berkulit domba. Siapa tahu kalau di balik sikap dan tutur sapamu yang ramah dan sopan santun itu bersembunyi kelihaian silat yang luar biasa" Ha, ha, Liem siucai, dugaan mu itu benar. Aku adalah Pangeran Ciong Pak Sui."
Sebelum pertandingan dimulai, pangeran ini menerima sebatang huncwe panjang dari seorang wanita, lalu ia mengisi tembakau pada huncwe itu dan menyalakannya. Asap hitam mengebul keluar dari huncwe itu dan baunya bukan main kerasnya. Melihat betapa pangeran itu tidak mengisap asap itu ke dalam dada, hanya dari mulut, Siauw Yang menjadi terkejut sekali. Ia adalah puteri seorang tokoh kang ouw dan telah banyak mendengar dari ayahnya betapa lihai dan jahat serta curangnya orang orang di dunia kang ouw, maka melihat hal ini ia sudah mendapat dugaan bahwa dengan asap tembakau yang keras itu, pangeran itu hendak membikin Pun Hui terpengaruh oleh asap itu dua menjadi pening kerena baunya. Dan dengan demikian, tentu pemuda itu akan menjadi kacau pikirannya, dan tak dapat bermain dengan baik.
Setelah berpikir sebentar, Siauw Yang lalu mengeluarkan saputangannya yang disimpan di balik baju di bagian dada, yaitu sehelai saputangan hijau dari sutera. Dengan cepat ia mencabut saputangan itu dan menyerahkannya kepada Pon Hui sambil berkata, "Suheng, pakailah saputangan ini untuk menghapus peluh nanti."
Merah sekali wajah Pun Hui ketika ia menerima saputangan itu. Ia melihat sendiri betapa saputangan itu dikeluarkan dari balik pakaian di bagian dada, dan kini diberikan kepadanya di depan banyak orang.
Pada saat itu, Ciong Pak Sui mengebulkan asap tembakaunya ke depan dan tentu saja ada sebagian asap yang mengenai hidung Pun Hui. Hampir saja pemuda ini terbangkis bangkis ketika ia mencium bau tembakau yang amat keras itu. Tanpa disadarinya ia lalu membekap hidangnya dengan tangan yang memegang saputangan hijau dan alangkah harumnya saputangan itu. Selain harum, juga mengandung keharuman yang menghilangkan bau tidak enak dan tembakau tadi. Pikirannya yang cerdik bekerja cepat dan". ia memandang kepada Siauw Yang dengan mata penuh terima kasih dan pengertian, namun hatinya agak kecewa! Ia berterima kasih karena sekarang ia tahu akan maksud dara itu memberi saputangan itu kepadanya, yakni untuk menolak hawa busuk dari tembakau itu. Dan ia kecewa karena ternyatalah sekarang olehnya bahwa pemberian saputangan itu bukan sekali kali sebagai pernyataan suara hati seperti yang tadi disangkanya, melainkan untuk menolongnya itulah! Jadi bukan sekali kali untuk menghapus peluh, melainkan untuk ditutupkan di depan hidung sehingga asap tembakau yang keras itu takkan mengganggunya dalam permainan catur yang akan dilangsungkan ini.
Pertandingan segera dimulai. Ciong Pak Sui yana memandang rendah lawannya, mempersilakan Pun Hui memilih biji putih dan menyuruhnya bermain lebih dulu. Pun Hui mulai bermain dengan amat hati hati dan sekejap kemudian perhatiannya dicurahkan seluruhnya pada biji biji catur dan kotak kotak catur. Ia tahu bahwa pertandingan ini amat penting, untuk mendapatkan kendali kuda Ang ho ma yang amat disayang oleh Siauw Yang, sekali kali ia tidak ingat lagi akan biji biji catur gading yang indah ini. Ia tidak bermain untuk mencari kemenangan dan merebut seperangkat alat catur, melainkan untuk mempertahankan kuda Siauw Yang.
Ketika melihat cara Pun Hui mengajukan bji bij caturnya, Ciong Pak Sui mulai terkejut sekali. Gerakan gerakan itu bukanlah sembarangmu gerakan, melainkan gerakan seorang ahli benar benar. Setiap langkah diperhitungkannya baik baik, berisi tenaga serangan dahsyat namun di situ bersembunyi pula daya tahan yang amat kokoh kuat! Pangeran ini lalu melakukan serangan besar besaran dalam bentuk serangan cara Mongol. Dan sayap kanan kiri dan juga dari tengah, barisan caturnya menyerang dengan bergelombang, mengancam pertahanan Pun Hui dan selalu mengincar raja catur dari pemuda itu. Sekali saja Pun Hui salah mengajukan biji catur, tentu benteng pertahanannya akan bobol dan ia akan kalah! Sementara itu, huncwe bertembakau hitam itu tiada hentinya mengebulkan asap hitam dan makin banyak pula sekarang asap hitam itu menyambar ke arah muka Pun Hui, seakan akan asap hitam ini ikut pula bertanding dalam gelanggang pertempuran di papan catur! Memang inilah siasat eurang daripada pemain catur yang sudah kawakan.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Siauw Yang selalu memandang penuh perhatian dan dengan cemas. Setelah ia melihat betapa saputangannya kini selalu dipergunakan untuk menutupi hidung pemuda itu dan ternyata bahwa minyak wangi sari kembang culan dan obat pemberian ayahnya penolak racun yang sudah dipergunakan untuk merendam saputangan itu ternyata dapat menolak serangan asap hitam, hatinya menjadi lega dan ia terenyum senyum pula. Biarpun belum lama ia belajar permainan catur, namun kini iapun asik menonton.
Adapun Pun Hui selelah menghadapi serangan lawannya yang ganas dan galak, segera dapat menyelami taktik permainan lawan. Diam diam ia merasa girang karena di dalam permainan catur, orang yang mainkan serangan terlampau bernafsu, biasanya pertahanannya sendiri menjadi lemah. Oleh karena ini, sambil mempertahankan diri dan membuat benteng yang amat kokoh, diam diam Pun Hui mengincar dan mencari cari lowongan yang memungkinkan ia menyerobot dan menyerbu lawan dengan gerakan mematikan.
Mulailah ia memancing mancing dan sedikit demi sedikit mengurangi pertahanannya, membiarkan biji biji catur lawan memasuki daerahnya dan meninggalkan daerah sendiri sehingga sang kaisar catur tidak terlindung kuat.
Melihat betapa keadaan pemuda itu amat terdesak. Siauw Yang mulai menjadi cemas sekali. Sebaliknya, sambil tersenyum senyum Pangeran Ciong Pak Sui mendesak makin bernafsu, ingin segera mengalahkan lawan dan membuat kaisar catur putih tak berdaya.
Untuk menjaga rajanya, Pun Hui sengaja memasang perdana menterinya di belakang kuda, sehingga merupakan penahanan yang biarpun kuat namun kedudukannya buruk sekali. Akan tetapi, sebetulnya ini merupakan pancingan yang lihai. Ketika dengan amat bernafsu pangeran itu menyerang raja dan tertawa tawa karena tidak lama lagi lawannya pasti kalah, tiba tiba Pun Hui menggerakkan kudanya ke belakang melindungi raja dan karenanya perdana menterinya terbuka dan langsung merupakan ancaman pada raja hitam yang terbuka kedudukannya.
Terkejutlah pangeran itu. Ia cepat menggerakkan biji catur lainnya mundur untuk melindungi raja. Namun kini giliran Pun Hui untuk menyerang. Pemuda ini menggerakkan biji biji caturnya dengan tepat sekali dan setiap gerakan merupakan ancaman maut bagi kaisar hitam.
Lima kali gerakan pula dan matilah raja hitam, tiada jalan untuk lari lagi.
"Kau menang, Suheng," kata Siauw Yang dengan gembira sekali dan dara ini lalu berlompat lompat seperti anak kecil dan memegang tangan Pun Hui, ditariknya keluar dari bangkunya.
Bagi orang lain, juga bagi Pun Hui, sikap gadis ini amat mengherankan. Akan tetapi sesungguhnya amat tepat karena tanpa diketahui oleh Pun Hui namun sudah diduga oleh Siauw Yang, ketika melihat kekalahannya, dengan muka merah pangeran itu lalu mengirim tendangan dan bawah meja, mengarah anggauta tubuh berbahaya dari pemuda itu. Kalau saja pun Hui tidak ditarik oleh Siauw Yang, tentu ia akan menjadi mayat terkena tendangan itu. Andaikata ia memiliki kepandaian tinggi pun belum tentu ia akan dapat mengelak dari serangan menggelap yang tiba tiba ini, apalagi memang ia belum belajar ilmu silat sama sekali.
Karena dara itu keburu membetot lengan Pun Hui, maka Pangeran Ciong Pak Sui menarik kembali tendangannya dan ia bangkit dengan muka merah.
"Hebat sekali kepandaianmu bermain catur," katanya sambil menjura kepada Pun Hui. "Aku terima kalah, Liem siucai."
"Hal itu hanya mungkin terjadi karena kau memang sengaja berlaku murah hati dan mengalah. Siauw ong ya," kata Pun Hui merendah, akan tetapi ia merasa bangga sekali kepada Siauw Yang, karena bukankah kemenangannya ini berarti memungkinkan gadis itu menerima kembali kudanya"
"Sekarang giliranku untuk mencoba kepandaianmu naik kuda," kata Siauw Yang kepada pangeran itu dengan sinar mata mengejek.
"Baik, baik, nona. Jangan kau girang girang dulu, masih ada satu pertandingan lagi. Akan tetapi aku sudah mengetahui nama suhengmu, akan tetapi kau sendiri, siapakah namamu, nona?"
"Namaku Siauw Yang. Sudahlah, soal nama tak perlu diributkan benar. Lebih baik lekas kau keluarkan Ang ho ma dan mari kita segera mulai pertandingan ini."
Pangeran itu tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha, jangan khawatir, nona. Kudamu telah dipersiapkan di tegal sebelah barat kota. Marilah kita ke sana dan segera kita mulai berlumba."
Mendengar ini, hati Siauw Yang girang sekali. Tadinya ia masih merasa khawatir karena kalau sampai terjadi pertempuran yang ia duga pasti akan terjadi di dalam bangunan ini, ia merasa kurang leluasa. Pangeran itu tentu mempunyai banyak anak buah dan kalau sampai terjadi pengeroyokan, di tempat tertutup itu ia akan merasa rugi, apalagi kalau harus melindungi Pun Hui. Akan tetapi di luar, di udara terbuka, ia akan merasa lebih leluasa. Karena ini ia merasa lega, dan mengambil keputusan apabila ia sampai kalah dalam pacuan kuda, ia akan mendesak pangeran itu untuk melanjutkan pibu di tempat pacuan kuda itu saja.
Ketika mereka tiba di lapangan rumput di sebelah barat kota, tempat yang amat sunyi, benar saja di situ sudah berkumpul sedikitnya duapuluh orung anak buah pangeran itu dan dua ekor kuda sudah berada di tempat itu pula. Enam orang kaki tangan pangeran itu memang semenjak tadi mengikuti rombongan ini, seakan akan mereka ini tidak mau terpisah dan Pangeran Ciong Pak Sui. Sebetulnya enam orang ini adalah pengawal pribadi dari pangeran itu.
Melihat bahwa seekor di antara dua kuda itu adalah Ang ho ma, Siauw Yang menjadi girang sekali dan ia berlari cepat menghampiri kudanya, terus memeluk leher dan menepuk nepuk punggung kuda itu. Memang benar kata kata pangeran tadi, Ang ho ma kelihatan terawat baik bulunya bersih mengkilap dan agaknya ia sudah kenyang. Hanya sedikit yang menarik perhatian Siauw Yang, yakni kudanya ini kelihatan pendiam dan amat jinak, bahkan matanya yang biasanya bersinar penuh perasaan, kini nampak seperti mata yang muram.
Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk menyelidiki keadaan kudanya lebih lama, karena Pangeran Ciong Pak Sui telah melompat ke atas punggung kudanya, yakni seekor kuda berwarna coklat yang tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Kuda ini tingginya melebihi Ang ho ma dan sekali pandang saja tahulah Siauw Yang bahwa kuda itupun seekor kuda yang amat baik dan kuat. Namun ia tidak gentar dan bahkan di dalam hatinya ia merasa yakin bahwa kuda merahnya pasti akan menang dalam pacuan ini.
"Mari kita mulai!" kata pangeran itu, "Kau lihat lapangan rumput ini, nona" Nah, kita berpacu mengelilingi lapangan rumput ini sejauh lima kali putaran. Kita mulai dari sini dan berakhir di sini pula."
Siauw Yang dengan tenang lalu melompat ke atas punggung Ang ho ma. Gerakannya yang lincah dan riagan sekali membuat kugum semua orang.
"Pangeran, bagaimana kita hendak berpacu" Dengan cara bebas ataukah dengan syarat syarat tertentu?" tanya Siauw Yang dengan suara tenang pula.
Mendengar ini Pangeran Ciong tertegun. Tak pernah disangkanya, bahwa dara ini agaknya seorang ahli berpacu kuda yang mengerti tentang peraturan berpacu pula. Akan tetapi ia masih ragu ragu dan hendak mengukur sampai di mana pengertian gadis itu, maka ia bertanya, pura pura tidak mengerti.
"Nona, apakah yang kau maksudkan dengan acara bebas?"
Siauw Yang tersenyun sindir. "Pangeran Ciong, benar benarkah kau yang terkenal sebagai ahli kuda tidak mengerti ini" Yang disebut berpacu dengan acara bebas, orang yang berpacu boleh mempergunakan segala cara dan daya untuk mencapai kemenangan, ia boleh menghadang perjalanan kuda lawan, boleh memukul kuda, merampas kendali bahkan boleh memukul lawan yang duduk di atas kudanya. Apakah kau menghendaki acara ini" Ataukah kau hendak memakai lain acara?"
Pangeran Gong merasa heran di dalam hatinya. Ah, tidak tahunya gadis ini benar benar seorang ahli dalam pacuan kuda. Akan tetapi di luarnya, ia tertawa.
"Ha, ha, ha, nona Siauw Yang, kaukira aku ini seorang kasar yang biadab" Tidak, aku ingin berpacu mengadu kecepatan kuda dan kesigapan penunggangnya. Tidak boleh menyerang lawan, juga tidak boleh menggunakan akal busuk lain."
"Jadilah!" kata Siauw Yang. "Hayo beri tanda mulai!"
Seorang anak buah pangeran itu telah memegangi sehelai bendera merah dan ia memang sudah siap semenjak tadi. Setelah mendapat isyarat dari pangeran itu, ia mengebutkan bendera merah itu dan pacuanpun dimulailah. Siauw Yang memeluk leher kudanya dan menggentak dengan kakinya. Ang ho ma melompat ke depan bagaikan terdorong oleh tenaga yang besar sekali dan mulailah dua ekor kuda itu berlari cepat sekali. Namun baru seputaran saja sudah dapat dilihat bahwa Ang ho ma benar benar dapat berlari lebih cepat daripada lawannya. Apalagi kalau Siauw Yang yang menungangnya, gadis itu seakan akan tidak menginjak tanah.
"Bagus!" teriak Pun Hui girang melihat nona itu telah menang beberapa tombak jauhnya, baru dalam satu kali putaran saja. "Ang ho ma, terbanglah! Terbanglah cepat!" ia berteriak teriak seperti laku seorang pecandu pacuan kuda yang menjagoi kudanya dalam taruhan uang besar.
Biarpun ia sudah mencambuki kudanya dan berusaha sedapat mungkin untuk mengejar, namun Pangeran Ciong harus mengakui keunggulan kuda merah itu, ia masih saja kelihatan tertawa tawa, seakan akan tidak khawatir kalah sama sekali.
Tiga putaran sudah dilalui dan selalu kuda Ang ho ma mendahului lawannya, kini sampai setengah putaran jauhnya. Dan kuda coklat masih terus mengejar cepat. Pada putaran ke empat, tiba tiba Ang ho ma terhuyung huyung dan kalau Siauw Yang tidak cepat melompat turun dan memegangi kendali kuda itu, tentu Ang ho ma akan terjungkal ke depan. Kuda itu terengah engah, meringkik ringkik, tubuhnya gemetar peluhnya membasahi seluruh tubuh dan ia tak kuat lari lagi.
Anak buah Pangeran Ciong bersorak sorak melihat betapa kuda pangeran itu dapat menyusul dan bahkan terus berlari cepat satu kali lingkaran lagi, berarti sudah lima putaran dan kuda nona itu masih saja berdiri muntah muntah.
Pun Hui mengerti gelagat dan untuk mencegah jangan sampai nona itu mendapat malu serta hendak menghiburnya, ia lalu berlari menghampiri Siauw Yang. Ternyata gadis itu wajahnya pucat sekali dan melihat Pun Hui, ia berkata marah, "Akan kuhancurkan kepala pangeran jahanam itu," katanya perlahan. "Ia telah meracun Ang ho ma."
Mendengar ini Pun Hui menjadi pucat. Ia melihat Siauw Yang menggerakkan tangan hendak mencabut pedangnya, maka ia cepat memegang lengan tangan gadis itu.
"Sumoi, jangan berlaku bodoh."
"Suheng, aku bukan pengecut. Kejahatan harus dibalas dengan kekerasan yang adil!"
"Nanti dulu, sumoi. Salah sekali pikiranmu itu. Kalau kau menyerang mereka, kau akan rugi besar. Pertama tama kau akan menimbulkan keributan dan permusuhan sehingga Ang ho ma yang terkena racun takkan mendapat obat. Ke dua, kau berarti akan melanggar peraturan sehingga kau berada di fihak salah. Ke tiga, kalau kau menyerang dengan kekerasan, tentu kau akan dikeroyok. Ke empat, penyeranganmu itu akan berarti bahwa kita sudah kalah dalam pertandingan dan pertaruhan ini dan kalau kita memaksa mereka menyerahkan kuda, namamu akan rusak di dunia kang ouw sebagai seorang gagah yang tidak memegang janjinya."
Siauw Yang tertegun. Tak pernah ia berpikir sejauh itu. Bukan main luasnya pandangan pemuda ini. Ia mengangguk angguk dan bertanya, "Habis, bagaimana baiknya, suheng" Mereka telah meracun kudaku, apakah aku harus diam saja"
"Tentu saja tidak," kata Pun Hui berbisik, "kau pura pura tidak tahu tentang kuda ini dan mengaku kalah. Kemudian kau tentu akan menghadapi dalam pertandingan terakhir, yakni pertandingan silat. Nah, di dalam pertandingan ini, aku mengharap saja sepenuh hatiku agar kau dapat mengatasinya, kau mengalahkan dia, akan tetapi jangan sekali kali membunuhnya, hanya kalau bisa membikin dia tidak berdaya dan mengancam agar supaya ia mau mengobati dan mengembalikan kuda serta berjanji takkan mengganggu kita. Bukankah ini lebih halus dan lebih baik lagi daripada menghadapi keroyokan mereka" Bukankah lebih baik menghadapi seorang lawan daripada kulihat sedikitnya ada duapuluh tujuh orang lawan?"
Mau rasanya Siauw Yang memeluk pemuda itu saking girang dan kagumnya, juga karena ia berterima kasih sekali. Memang siasat ini jauh lebih sempurna daripada kalau ia menurutkan nafsu amarah dan mengamuk seperti seorang pengacau yang tidak tahu aturan.
Ia lalu menuntun kudanya, menghampiri Pangeran Ciong yang sudah turun dan kuda dan dengan bangga menanti kedatangan Siauw Yang dan Pun Hui.
"Nah, kali ini aku lebih beruntung dan menang!" katanya. "Kita masih seri, dan menurut perjanjian"." Sampai di sini ia memandang tajam kepada Pun Hui, "menurut perjanjian, yang akan maju sebagai wakil kalian untuk menghadap pibu, adalah nona ini, bukan kau, Liem siucai."
Pun Hui tersenyum geli, mentertawakan dalam hati atas ketololan pangeran ini yang mengira ia lebih lihai daripada Siauw Yang.
"Kami tahu," katanya, "dan orang gagah takkan menarik kembali omongannya."
"Memang tadi aku kalah karena sedang sial," kata Siauw Yang, menahan amarah sedapat mungkin dan senyumnya masih manis dan makin lebar saja, akan tetapi matanya makin bercahaya tajam, "kudaku tiba tiba saja menderita sakit. Biarlah, untuk penghabisan kali aku mengharapkan petunjuk dari Pangeran Ciong. Dalam pertandingan terakhir ini aku minta agar supaya dilakukan di sini saja, tempatnya lebih luas. Bagaimana yang kau kehendaki, pangeran" Dengan senjata atau bertangan kosong?"
"Dengan senjata," kata Pangeran Ciong Pak Sui cepat, karena ia tidak melihat nona ini membawa senjata maka segera mencari keuntungan oleh kenyataan ini, "akan tetapi jangan di sini lebih baik di lian bu thia di rumahku. Di sana banyak tersedia segala macam senjata dan kau boleh memilih sebuah di antaranya."
Siauw Yang menggeleng kepalanya. "Aku menerima permintaanmu untuk menggunakan senjata dalam pibu ini, akan tetapi tidak di sana harus di tempat ini juga. Tentang senjata, terima kasih, aku tidak perlu pinjam senjatamu."
"Akan tetapi kau tidak bersenjata."
"Biarlah, aku akan mencari di sini saja."
"Akan tetapi, tidak boleh kau meninggalkan tempat ini lebih dulu untuk mencari senjata," pangeran itu berkata dengan licin sekali.
"Tak perlu pergi dari sini, pangeran. Kalau kau sudah siap, lekaslah kau keluarkan senjatamu. Aku akan menghadapimu sekarang juga!" Senyum gadis ini makin lebar saja.
"Bagus!" Pangeran itu berkata girang sambil menoleh kepada para pengawalnya. "Kalian menjadi saksi. Nona ini hendak menghadapiku di sini tanpa pergi mencari senjata."
Sambil berkata demikian, Ciong Pak Sui menerima senjatanya yang diberikan kepadanya dari seorang pengawal yakni senjata tombak dengan ronce ronce merah. Tombak ini panjang dan besar, kelihatannya berat sekali, namun di tangan pangeran itu, kelihatan amat ringan.
"Aku siap, nona. Apakah kau hendak menghadapiku dengan tangan kosong saja?"
"Sabar dulu. Pangeran Ciong, jangan kira bahwa aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Lihat pedangku!" Begitu tangan gadis ini menyambar ke bslik bajunya, berkelebat sinar kuning mas dan tahu tahu Kim kong kiam telah berada di tangan kanannya.
Ciong Pak Sui terkejut sekali melihat pedang yang bercahaya itu. Ia maklum bahwa lawannya ini mempergunakan sebatang po kiam (pedang mustika). Akan tetapi ia tidak merasa gentar dan segera membentak keras,
"Nona, awas senjata!" Sambil berkata demikian, tombaknya menyerang dengan ilmu tombak yang disebut Sauw jeng kun Jio hoat (Ilmu Tombak Untuk Menyerampang Ribuan Tentara). Gerakan tombaknya cepat dan kuat sekali, sehingga ketika tombak itu bergerak gerak, terdengar bunyi mengaung dan ujung tombak berpecah pecah, seakan akan menjadi beberapa batang banyaknya.
Siauw Yang cepat menangkis dan mengerahkan Kim kong kiam untuk merusak tombak itu. Akan tetapi ketika pedangnya beradu dengan tombak, hanya suara keras terdengar namun tombak itu tidak rusak sama sekali, tanda bahwa tombak itupun terbuat daripada bahan logam yang keras dan baik. Dan hebatnya, setiap kali tombaknya ditangkis, tombak itu berbalik dan melanjutkan serangannya dengan gagang yang tidak kurang berbahayanya, karena gagang logam itu dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Baru belasan jurus saja, tahulah keduanya bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang tangguh. Diam diam pangeran itu merasa menyesal sekali mengapa ia tidak bisa melihat orang dan berani mencari gara gara kepada nona ini yang ternyata memiliki kepandaian luar biasa sekali. Pedang nona ini lenyap berobah menjadi segulung sinar kuning emas dan kemana saja tombaknya menyambar, selalu dihalau pergi oleh gulungan sinar itu. Baru nona ini saja sudah begitu lihai apalagi suhengnya itu kalau turun tangan!
Sementara itu, Siauw Yang juga mendapat kenyataan bahwa lawannya ini memang benar benar lihai sekali ilmu silatnya, ia pernah menghadapi Bu beng Sin kai dan Sam thouw liok ciang kai dua orang pembantu dari Sin tung Lo kai si raja pengemis, akan tetapi kalau dibandingkan dengan mereka berdua ini, kepandaian Pangeran Ciong masih jauh lebih lihai. Bahkan, harus ia akui bahwa kepandaian pangeran ini masih lebih tinggi daripada kepandaian Thio Leng Li, puteri raja pengemis itu! Oleh karena ini, Siauw Yang berlaku hati hati sekali dan setiap gerakannya ia lakukan dengan pengerahan tenaga serta kelincahan yang sudah terlatih hebat, ia kalah tenaga namun menang lincah serta dalam hal ilmu silat, ilmu pedangnya tak perlu menyerah kalah terhadap ilmu tombak dari pangeran itu.
Sama sekali Siauw Yang tidak tahu bahwa ilmu tombak yang dimainkan oleh pangeran itu adalah ilmu tombak yang dipelajarinya dari Pat jiu Giam ong Liem Po Cuan yang pernah ia dengar namanya dari ayah bundanya. Sebaliknya, Pangeran Ciong Pak Sui juga tidak menduga bahwa ia berhadapan dengan puteri dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan pendekar besar ini dan tidak mengenal pedang Kim kong kiam yang dimainkan oleh Siauw Yang, namun nama besar Thian te Kiam ong sudah lama ia dengar.
Setelah ia bertempur tigapuluh jurus lebih dan keadaan mereka masih berimbang, Siauw Yang menjadi penasaran sekali. Tadinya ia hanya mainkan Kim kong Kiam sut saja, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya terlalu tangguh, ia lalu membentak keras dan tiba tiba Pangeran Ciong Pak Sui menjadi terkejut dan matanya silau. Pedang di tangan gadis itu kini menyambar nyambar dengan gerakan yang luar biasa sekali, bukan lagi merupakan segulung sinar pedang yang masih dapat ia hadapi dengan tombaknya, melainkan tiba tiba terpecah menjadi enam gulung sinar pedang yang kecil kecil dari yang mengurung serta menyerangnya dan enam jurusan, kanan kiri, depan belakang, bawah dan atas! Inilah Tee coan Liok kiam sut, raja dari sekalian ilmu pedang!
Pangeran Ciong Pak Sui mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, lalu memberi tanda dengan suitan mulutnya agar kawan kawannya maju mengeroyok lawan! Akan tetapi, Siauw Yang begitu melihat hal ini, mengkhawatirkan keadaan Pun Hui, maka ia mendapat akal dan berkata,
"Suheng, kalau tikus tikus itu bergerak maju, kauwakililah aku menghancurkan kepala pangeran busuk ini dan biarkan aku yang memberi hajaran kepada para tikus itu!"
Gertakan ini berhasil. Menghadapi gadis ini saja Pangeran Ciong sudah sibuk sekali, apalagi kalau harus menghadapi suhengnya! Ia lalu membentak kepada orang orangnya supaya mundur kembali dan pada saat itu, terdengar suara keras dibarengi dengan terpentalnya tombaknya yang ternyata terbabat putus di bagian leher gagang tombak itn memang terbuat daripada logam yang berbeda dengan kepala tombak, mana dapat menahan sabetan Kim kong kiam"
Ciong Pak Sui biarpun merasa kaget dan gentar, namun tidak mau menyerah kalah begitu saja. Ia masih dapat mempergunakan gagang tombaknya sebagai toya dan masih mengamuk hebat. Namun, dengan enaknya, berturut turut pedang di tangan Siauw Yang membabat putus gagang tombak itu sehingga akhirnya tinggal pendek saja.
Pangeran Ciong mandi keringat. Permainan silatnya sudah kacau dan ngawur sehingga sebuah tendangan kilat melayang ke dadanya tanpa dapat ia elakkan pula. Tubuhnya terlempar ke atas lalu terbanting jauh. Siauw Yang tidak mau berhenti sampai di situ saja, karena ia teringat akan nasehat Pun Hui. Maka cepat ia melompat dan sedetik kemudian, ujung pedangnya telah ditodongkan ke arah tenggorokan pangeran itu dan ia berkata dengan suara dingin.
"Pangeran yang curang! Kalau suhengku tidak mempunyai hati yang penuh welas asih dan sabar, tentu pedangku ini sekarang sudah kulanjutkan menusuk lehermu agar kau mampus!"
"Eh, eh, nona. Bagaimanakah ini" Aku sudah kalah, ini aku terima dan kau boleh mengambil taruhannya. Bawalah kudamu dan alat catur itu, akan tetapi mengapa kau masih menghinaku" Apakah ini laku seorang gagah?" kata pangeran itu dengan wajah pucat.
Siauw Yang tertawa menyindir. "Bangsat rendah! Kau masih berpura pura bersikap seakan akan kau seorang tokoh kang ouw yang terhormat dan gagah. Akan tetapi apa kaukira aku tidak tahu bahwa kudaku Ang ho ma itu telah kau beri makanan beracun" Dan apakah kaukira aku tidak tahu bahwa kau memang selain bermaksud merampas kuda, juga mau menjatuhkan kami berdua dengan jalan curang?"
"Apa" apa kehendakmu sekarang, nona?"
Pangeran itu memotong bicara Siauw Yang karena merasa malu, bingung, dan juga takut.
"Kau harus dapat menyembuhkan kudaku, memberikan alat catur itu kepada kami dan berjanji takkan mengganggu kami lagi! Kalau kau tidak lekas melakukan semua permintaan ini, tentu lehermu akan tertembus pedang dan semua orangmu akan dihancurkan oleh suhengku."
Pangeran Crong Pak Sui pernah diberi tahu oleh mendiang suhunya, yakni Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, bahwa ilmu tombak yang telah dipelajarinya itu sudah amat tinggi. Kecuali murid murid tokoh besar dunia persilatan, yakni empat yang lain seperti Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, Lan hai Lo mo dan Bu tek Kiam ong, agaknya sukar untuk mengalahkannya. Akan tetapi sekarang ia jatuh oleh pedang seorang gadis yang baru belasan tahun usianya!
"Nona Siauw Yang, kau benar benar berani sekali menghina aku, seorang pangeran!" bentaknya marah.
"Dunia orang gagah tidak membedakan pangkat atau harta! Yang ada hanya dua golongan, yakni yang baik dan yang jahat harus dibasmi," kata Siauw Yang dengan suara lantang.
"Akan tetapi, aku adalah murid dari Pat jin Giam ong! Apa setelah mendengar nama ini kau tidak memandang muka mendiang orang tua itu?"
"Kebetulan sekali, gurumu itu memang musuh besar ayahku, Thian te Kiam ong!" Mendengar nama ini, pucatlah wajah Pangeran Ciong.
"Celaka! Orang orangku bermata buta! Hayo kalian penuhi semua permintaan lie taihiap (nona pendekar besar) ini!" serunya kepada semua orangnya.
Kuda Ang ho ma lalu diberi minum obat penawar racun, kemudian seperangkat alat catur diberikan kepada Pun Hui. Bahkan setelah dilepaskan oleh Siauw Yang, pangeran itu memberi hormat dengan sopan dan memberi persembahan sekantong uang emas sebanyak limapuluh tail lebih.
Siauw Yang tidak sudi menerima persembahan ini, akan tetapi Ciong Pak Sui berkata,
"Harap lie taihiap sudi menerimanya, biarlah ini sebagai tanda penghargaan dan pernyataan maaf dariku yang telah berlaku sembrono."
Akhirnya diterima jugalah pemberian ini oleh Siauw Yang dan kedua orang muda itu lalu berpamit pergi. Mereka menuju ke rumah penginapan, mengambil kuda tunggangan Pun Hui dan buntalan pakaian mereka, lalu mereka melanjutkan perjalanan pada hari itu juga.
"Sumoi, kau benar benar amat mengagumkan. Kalau tidak karena kepandaian mu yang luar biasa itu tentu kita telah mengalami bencana hebat di tangan pangeran itu," kata Pun Hui di tengah perjalanan.
"Suheng, semua berjalan dengan baik berkat adanya kau."
"Eh, jangan kau menyindir, sumoi. Aku sudah merasa malu sekali karena disangka orang memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripadamu."
"Siapa menyindir, suheng. Memang aku bicara terus terang, kalau tadi kukatakan bahwa memang kaulah yang telah menolong kita terbebas daripada bahaya. Kalau saja aku menurutkan nafsu marah, tidak mentaati nasehatmu, mungkin akan terjadi sebaliknya. Di samping itu persangkaan mereka bahwa kau memiliki kepandaian tinggi bukanlah hal yang memalukan, bahkan hal itu patut dibuat bangga, karena hal itulah yang membuat mereka itu takut untuk mengangkat tangan."
"Akan tetapi, kalau kelak mereka bertemu lagi dengan aku dan melihat bahwa sebetulnya aku tidak bisa apa apa, bukankah aku yang akan malu sekali?"
"Mengapa kau mengkhawatirkan hal itu" Bukankah kau adalah murid dari Yap supek dan akan menjadi seorang gagah kelak?"
Mendengar ini, Pun Hui tersenyum dan berkata, "Aku mengharapkan pertolonganmu untuk kelak memintakan ampun kepada suhu dan untuk sedikit mengisi kekosongan dalam diriku sehingga tidak terlalu memalukan kelak kalau bertemu lagi dengan mereka."
Siauw Yang mengangguk angguk.
Pengalaman yang dialami oleh dua orang muda itu membuat hubungan mereka menjadi makin erat saja dan biarpun keduanya maklum bahwa kepandaian Pun Hui masih jauh sekali untuk patut menjadi suheng, namun Siauw Yang merasa bahwa pemuda itu memang suhengnya sendiri dan iapun selalu taat akan semua nasihat. Sebaliknya, Pun Hui menganggap Siauw Yang seperti sumoinya sendiri dan ia tidak ragu ragu untuk mengemukakan pandangannya tentang hidup yang tentu lebih masak karena pemuda ini telah banyak mempelajari filsafat dari kitab kuno.
Perjalanan dilakukan dengan cepat sekali karena kini kuda Ang ho ma sudah sembuh sama sekali, dan kuda yang ditunggangi oleh Pun Hui juga bukan kuda lemah.
Siauw Yaug memang sengaja mengambil jalan dari utara karena gadis ini bermaksud hendak mengunjungi kota raja lebih dulu sebelum menuju ke Pulau Sam liong to. Ia mendengar dari penuturan Tek Hong bahwa pulau itu termasuk dalam Kepulauan Couwsan di sebelah selatan pelabuhan Sianghai. Keterangan ini cocok dengan petunjuk yang ia dapat dari Pun Hui, maka kini mereka bermufakat untuk menuju ke timur dan setelah tiba di pantai laut, hendak menggunakan perahu berlayar di sepanjang pantai timur daratan Tiongkok, terus ke selatan menuju ke Sianghai, sengaja gadis ini mengambil jalan memutar, bukan tanpa maksud. Telah lama sekali ia ingin mengembara dan selalu dihalangi dan tidak diperbolehkan oleh orang tuanya. Sekarang ia mempunyai keinginan hendak mencari pembuat peta yang dianggapnya sengaja memancing datang ayahnya, dan dalam kesempatan ini ia hendak menjelajah semua propinsi lebih dahulu. Iapun berpikir bahwa banyak kemungkinan ayah bundanya atau kakaknya akan menyusulnya. Kalau ia langumg menuju ke Kepulauan Couwsao, tentu ia akan tersusul dan maksudnya untuk merantau akan gagal.
Demikianlah setelah tiba di pantai, Siauw Yang lalu dibawa oleh Pun Hui mengunjungi seorang sahabatnya di Tang Sin yang berada di pantai Laut Po Hai. Sahabatnya ini seorang she Tan dan pernah menjadi kawan sekolahnya ketika Pun Hui menempuh ujian di kota raja dahulu. Tan siucai seorang laki laki setengah tua yang mewarisi sebuah rumah gedung dan beberapa bidang sawah. Orangnya peramah sekali dan terpelajar, dan kedatangan Pun Hui bersama Siauw Yang diterima dengan gembira. Kepada Tan siucai inilah kuda Ang ho ma dan kudanya sendiri dititipkan dengan pesan agar di rawat baik baik dan kelak akan diambil kembali.
Setelah menghaturkan terima kasih. Siauw Yang dan Pun Hui lalu mencari nelayan yang banyak tinggal di tepi pantai, Dengan beberapa tail emas pemberian dari Pangeran Muda Ciong, Siauw Yang membeli sebuah perahu yang kecil namun yang diperlengkapi dengan dua buuh dayung yang kuat dan seperangkat layar yang msaih baru. Maka berangkatlah dua orang muda ini berlayar di sepanjang pantai, terus menuju ke selatan.
Perjalanan hanya ditunda kalau keduanya ingin makan dan beristirahat. Di waktu matahari amat teriknya, keduanya lalu mendayung perahu dan mendarat, mencari tempat yang teduh. Diam diam kesempatan seperti inilah Pun Hui tidak menyia nyiakan waktunya dan mulai mempelajari ilmu silat dari Siauw Yang. Sebaliknya gadis itu banyak mendengar sajak sajak indah dan mempelajari atau memperdalam pengetahuannya tentang kesusasteraan dan filsafat.
Sepasang orang muda ini diam diam makin terikat erat satu kepada yang lain. Sikap keduanya saling sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda saling mengasihi, namun hubungan mereka benar benar seperti seorang suheng terhadap sumoinya. Makin sukalah hati Siouw Yang ketika mendapat kenyataan bahwa memang pemuda sasterawan itu sopan sekali, tidak pernah berlaku atau bicara secara kurang ajar. Sebaliknya Pun Hui makin kagum kepada Siauw Yang yang merupakan seorang gadis pilihan, seorang gadis yang cerdik sekali, periang dan memiliki ilmu silat yang tinggi.
Perjalanan melalui air lebih cepat dan tidak melelahkan. Kalau angin baik mereka tidak usah keluar tenaga, dan mengandalkan lancarnya perantauan itu kepada layar dan angin. Adapun di waktu angin diam, Siauw Yang merupakan seorang pendayung yang kuat dan agaknya tak kenal lelah.
Hubungan antara dua orang muda ini makin akrab, dan biarpun dari mulut mereka tak pernah terdengar kata kata yang menyatakan isi hati mereka, namun pandang mata yang mesra kadang kadang menyatakan seribu satu ucapan yang membawa suara hati masing masing.
Setelah keluar dan Laut Po Hai dan memasuki Laut Kuning, perahu bergerak maju cepat sekali. Berpekan pekan mereka tiba di Laut Tiongkok Timur. Kepulauan Couwsan sudah nampak berkelompok dan jauh.
"Sumoi, itulah pulau pulau yang menjadi tujuan kita," kata Pun Hui sambil menunjuk ke arah pulau pulau kecil di sebelah timur. Mereka mendarat dan berteduh di bawah pohon pohon yang tumbuh di tepi pantai, karena hawa amat panasnya.
Siauw Yang memandang dengan hati tertarik.
"Yang manakah Pulau Sam liong to, suheng?"
"Kita akan selidiki, tentu takkan jauh dari pulau kosong yang dijadikan sarang bajak bajak laut. Akan tetapi, sumoi, bajak bajak laut itu ganas dan kejam sekali, bagaimana kalau kita nanti bertemu dengan mereka?"
Siauw Yang meraba pedangnya sambil tersenyum.
"Apa kau takut?"
Pun Hui menggeleng kepala. "Takut sih tidak hanya aku merasa khawatir apakah kau akan dapat bertahan menghadapi keroyokan manusia buas itu."
Siauw Yang menjadi merah mukanya. "Suheng, kau memang aneh sekali. Kalau andaikata aku tidak dapat bertahan, apa kau kira kau juga takkan tertimpa bencana" Kau hanya mengkhawatirkan aku, akan tetapi lupa kepada dirimu sendiri."
Pun Hui menghela napas. "Mengapa aku harus memusingkan soal diriku, sumoi" Bagiku sendiri, aku tidak khawatir. Nasibku sudah cukup buruk, dan terserahlah apa yang akan menimpa diriku selanjutnya. Hanya bagimu".. akan sakit hatiku kalau melihat kau menderita."
Makin merah muka Siauw Yang. "Sudahlah, kau memang terlalu baik. Mari kita berangkat, sudah cukup kita beristirahat."
Mereka lalu menaikkan guci air yang mereka isi penuh dan darat, masuk ke dalam perahu dan segera perahu kecil itu bergerak menuju ke Kepulauan Couwsan. Karena Pun Hui memberi tahu bahwa laut antara pulau pulau itu terdapat banyak ikan buas, Siauw Yang tidak lupa untuk membawa batu batu kecil sebesar ibu jari kaki, yakni batu batu karang yang putih dan keras.
Baiknya angin tenang tenang saja sehingga perahu mereka meluncur cepat tanpa gangguan. Setelah perahu mendekati kelompok pulau, tiba tiba Siauw Yang menunjuk ke depan dan berkata tenang,
"Agaknya itulah ikan ikan hiu yang kaukatakan tadi, suheng,"
Pun Hui memandang dan biarpun ia seorang tabah, namun apa yang dilihatnya membuat ia merasa ngeri juga. Dari depan nampak barisan ikan yang membuat air laut bergelombang dan barisan ikan ini nampak kehitaman, kadang kadang timbul di permukaan air dan kelihatan mulut ikan yang mengerikan. Pernah ia melihat barisan ikan seperti ini, akan tetapi ia melihat dari sebuah kapal besar yang aman, tidak dari perahu kecil seperti yang mereka naiki sekarang ini, perahu yang besarnya mungkin kalah oleh seekor di antara ikan ikan itu!
"Tenang, suheng!" kata Siauw Yang dan gadis ini menggerakkan tangan kinnya berulang ulang ke arah barisan ikan itu. Terdengar air bergelombang dan di antara barisan ikan itu menjadi kacau. Ternyata bahwa beberapa butir batu yang disambalkan oleh Siauw Yang mengenai sasaran. Tiap butir yang mengenai kepala ikan, merupakan peluru peluru yang menembus tulang kepala dsn cukup membuat ikan itu bergulingan. Darah yang keluar dari luka menjadi sasaran ikan ikan lain dan ikan ikan yang luka segera dikeroyok, dijadikan mangsa.
"Sumoi, celaka, dari kanan itu " kata Pun Hui.
Siauw Yang menengok, dan betul saja, dari sebelah kanan datang pula serombongan ikan dengan cepatnya.
"Biar kuberi bagian kepada mereka!" kata Siauw Yang dan dara perkasa ini segera membagi bagikan batu batunya dengan kedua tangan. Terjadilah hal yang sama seperti kelompok ikan di depan tadi. Beberapa ekor ikan yang terluka oleh "peluru" batu yang disambitkan oleh Siauw Yang, menjadi korban keroyokan kawan sendiri dan dijadikan mangsa.
Akan tetapi, tiba tiba Pun Hui berkata.
"Lihat, sumoi, beberapa ekor ikan menuju ke sini!"
"Siauw Yang memandang dan benar saja. Beberapa ekor ikan hiu berenang cepat dan kanan kiri menyerang perahu, ia berpikir cepat. Kalau ia menyerang dengan batunya dan membuat ikan ikan itu terluka di dekat perahu, akan berbahayalah keadaan mereka. Tentu ikan ikan lain akan datang mengeroyok ikan ikan yang terluka dan kalau hal ini terjadi di dekat perehu, maka perahu mereka dapat terguling dan sekali mereka terlempar keluar perahu, tak dapat diragukan lagi tentu mereka akan menjadi mangsa ikan ikan liar ini.
"Suheng, kesinikan dayungmu dan kau berpeganglah kuat kuat pada pinggiran perahu!" seru Siauw Yang. Lalu dengan kedua dayung di tangan kanan kiri, gadis ini melompat ke atas dan tahu tahu ia telah menggunakan kedua kakinya untuk menunggang badan perahu seperti orang menunggang kuda, kemudian setelah ikan ikan itu datang dekat, ia menggunakan dua batang dayungnya menekan kepala ikan di kanan kiri.
Pun Hui hampir berseru kaget ketika tiba tiba perahu yang mereka tunggangi itu dapat terbang ke atas. Memang perahu itu telah terbang. Ketika Siauw Yang menekan kepala kepala ikan dengan sepasang dayungnya, gadis ini mengerahkan tenaga lweekang. Sambil meminjam kepala ikan ikan itu, gadis ini menekan tiba tiba dan tubuhnya dienjot ke atas. Perahu berikut Pun Hui terbawa oleh kempitan betisnya dan perahu ini meluncur ke atas permukaan air melewati kepala kepala ikan itu dan turun lagi di depan. Siauw Yang cepat mendayung perahunya dan melihat beberapa ekor ikan mengejarnya, ia lalu menyambit, membunuh empat ekor ikan yang segera menjadi mangsa yang lain. Namun dengan adanya halangan ini, perahu mereka dapat meluncur cepat ke arah kiri tanpa ada gangguan yang menghadangnya.
Seruling Perak Sepasang Walet 9 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Hong Lui Bun 14

Cari Blog Ini