Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 4
hendak ditujunya itu. Hal mana, sudah barang tentu, telah membikin orang
216 banyak jadi heran dan coba menasehatkan, agar supaya
pemuda kita jangan pergi mengunjungi tempat yang
berbahaya itu. Tetapi Poan Thian yang mendengar begitu, tinggal
mengganda mesem dan berbicara dengan secara
memain, bahwa ia akan pergi menangkap iblis yang telah
sekian lamanya menerbitkan ribut-ribut di antara
kalangan khalayak ramai di kota itu.
Kemudian ia menuju ke gunung Houw-kiu-san itu
dengan tindakan cepat. Dan tatkala berjalan kira-kira
satu jam lamanya, maka tibalah ia di muka kelenteng
yang dituju itu, yang selain keadaannya sangat busuk
karena sudah lama tidak dirawat, juga di sana-sini amat
gelap dan seram sekali kelihatannya dalam pandangan
mata. Maka buat menghindarkan sesuatu kemungkinan
yang tidak diinginkan, Poan Thian lalu mendekati
kelenteng itu dengan golok terhunus di tangannya.
Mula-mula ia menuju ke ruangan besar dari pintu
depan, tetapi ternyata makhluk berpakaian putih yang
dikatakan Cu Ceng dan Chio Piauw-su itu tidak tampak
bayang-bayangannya, hingga ini telah mulai membikin ia
percaya, bahwa kabar-kabar yang menggemparkan itu
adalah isapan jempol belaka.
Lalu ia berjalan mondar-mandir di ruangan
pertengahan kelenteng yang kosong melompong itu.
Tidak ada kursi meja atau perabotan apapun juga.
Tengah ia memandang ke sana-sini hendak
melanjutkan penyelidikannya, mendadak dari sebelah
belakang terasa bersiurnya angin aneh yang telah
membikin Poan Thian buru-buru tundukkan kepalanya.
217 Dan berbareng dengan itu, ia mendengar suara barang
pecah di sebelah atasan kepalanya, suatu tanda bahwa
sebuah genteng yang disambitkan orang ke jurusannya
telah luput dari sasarannya dan membentur dinding
tembok di hadapannya. "Kurang ajar!" pikirnya, sambil hendak berjalan terus.
Tetapi sebuah genteng lain telah menyamber pula ke
jurusannya. Buru-buru Poan Thian berkelit dengan jalan
bersembunyi di belakang sebuah tiang batu yang
terdekat, hingga sambitan itupun kembali telah mengenai
tempat kosong. Selanjutnya, oleh sebab sambitan-sambitan itu masih
saja dilakukannya dengan gencar sekali, maka pemuda
kita terpaksa melanjutkan penyelidikannya dengan jalan
merayap di bawah kaki tembok. Karena jikalau sedikit
saja ia berlaku lalai, ia bisa mengalami kejadian-kejadian
tidak enak seperti apa yang pernah dialami oleh Siauw
Cu Ceng dan Chio Hoat Coan pada beberapa waktu
yang lampau itu. Lama-lama dengan mengandal pada sinar rembulan
yang agak guram dan mulai mengintip ke dalam rumah
berhala itu dengan melalui cim-che, Poan Thian melihat
ada suatu benda putih yang berkelebat dan bersembunyi
di belakang sebuah tiang batu lain yang terpisah kira
seratus beberapa puluh tindak lebih jauhnya dari tempat
mana ia berdiri. Maka Lie Poan Thian yang sekarang
telah ketemui iblis yang sedang dicari itu, tentu saja
lantas mengejar dengan golok terhunus di tangannya.
"Soal ini tentulah tidak banyak bedanya dengan
lelakon kera putih tetiron yang pernah kualami duluan
itu," pikir pemuda kita di dalam hatinya.
218 Tetapi ketika baru saja ia berjalan beberapa puluh
tindak jauhnya, mendadak di sebelah depan tertampak
sebuah sinar berkilau-kilauan yang menyambar ke
jurusannya. Poan Thian jadi terperanjat.
Oleh karena merasa bahwa dia tak mendapat jalan
untuk menghindarkan diri, apa boleh buat ia lantas
angkat goloknya dan menyampok benda yang berkilaukilauan itu, yang telah terlempar ke arah cim-che dengan
mengeluarkan suara berkontrangan. Karena sinar itupun
ketika kemudian diperhatikannya, bukan lain daripada
sebatang tombak pendek yang berujung sangat runcing
dan tajam, hingga ini dapat mengeluarkan sinar yang
berkilau-kilauan apabila dilontarkan di tempat gelap yang
disinari oleh penerangan bintang-bintang atau rembulan
yang tergantung di angkasa!
"Kurang ajar!" mengejar terus. membentak pemuda itu sambil Sekarang Poan Thian telah ketahui cukup jelas,
bahwa apa yang dinamakan "iblis dari Leng-coan-sie" itu,
ternyata bukan lain daripada samaran manusia belaka.
Karena sebegitu jauh yang pernah ia dengar dari ceritacerita yang pernah dituturkan oleh orang-orang tua,
adalah bahwa iblis-iblis atau setan-setan itu tidak pernah,
bahkan tidak mampu, mempergunakan barang-barang
tajam atau tombak untuk mencelakai manusia.
Karena itu, Poan Thian jadi berani menetapkan
dugaannya, bahwa "iblis-iblis itu adalah samaran
manusia belaka, hingga dengan tidak ragu-ragu pula ia
lantas membentak: "Hei, sahabat! Janganlah engkau
salah sangka atas kedatanganku ini! Aku tidak
bermaksud jahat, juga tidak mau banyak "usil" dalam
219 urusan orang lain. Dan jikalau sekarang aku datang juga
ke sini, itulah karena aku hendak mencari tempat
perlindungan untuk sementara melewati malam dan
hawa dingin serta hujan gerimis yang baru saja berhenti
itu. Nanti pada hari esoknya pagi-pagi sekali aku sudah
mesti berlalu lagi dari sini. Harap supaya engkau jangan
mencurigai apa-apa terhadap pada diriku!"
Tetapi belum lagi bentakan itu selesai diucapkan,
ketika dengan secara mendadak benda putih itu telah
keluar dari tempat sembunyinya dan terus menerjang
kepada Lie Poan Thian dengan golok yang terhunus di
tangannya. Melihat dirinya diserang dengan secara tiba-tiba dan
tidak diketahui sebab musababnya, sudah barang tentu
Poan Thian tidak membiarkan dirinya hendak dilukai
orang dengan begitu saja.
Sambil mengayunkan goloknya untuk dipakai
menangkis bacokan yang menyamber ke arah dirinya itu,
Poan Thian coba mengamat-amati macamnya iblis itu,
yang akhirnya ia baru ketahui dengan jelas dan cocok
dengan dugaannya, ialah seorang manusia yang
menyamar sebagai iblis. Tetapi apa yang tak pernah
diimpikannya sama sekali, adalah bahwa orang itu bukan
orang laki-laki seperti kera tetiron itu, hanyalah seorang
perempuan muda yang berpakaian serba putih!
Dan karena warna pakaiannya yang dikenakannya
itu, maka dari kejauhan ia terlihat sebagai bayangan
putih, yang dalam waktu yang amat singkat telah
menggemparkan seluruh kota Hang-ciu dengan beritaberita tentang adanya "Makhluk Putih" di rumah berhala
Leng-coan-sie yang kuno itu.
Maka setelah sekarang ia bisa menyaksikan dengan
220 mata kepala sendiri apa adanya dan bagaimana macam
"makhluk gaib" yang sangat menggemparkan itu, barulah
Poan Thian mengerti dan berbareng merasa heran,
karena pakaian putih itu adalah tidak umum dipakai oleh
penjahat-penjahat yang biasa keliaran di kalangan Kangouw. Dan jikalau ada juga penjahat-penjahat yang berani
berpakaian begitu, maka dengan lantas mereka dicap
"dogol" oleh rekan-rekan mereka. Karena selain pakaian
begitu mudah ternoda, juga sangat menyolok mata
apabila dipakai dalam "melakukan pekerjaan" di waktu
malam. Oleh sebab itu, Poan Thian jadi merasa curiga akan
asal usul perempuan muda yang sikapnya agak
mengherankan itu. Pemuda kita sebenarnya tidak bermaksud akan
meladeni ia bertempur, tetapi karena ia diserang dengan
berturut-turut, maka apa boleh buat ia telah meladeninya
juga sampai beberapa jurus lamanya biarpun di dalam
hati ia mendapat firasat, kalau-kalau ilmu kepandaian
orang perempuan itu masih terlalu jauh akan
dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya sendiri.
Sebaliknya orang perempuan itupun yang perlahan
dengan perlahan telah mulai keteter, segera mengerti
bahwa dia bukan lawan Lie Poan Thian yang setimpal.
Maka sebegitu lekas ia melihat ada kesempatan untuk
meloloskan diri, buru-buru ia tendangkan kakinya ke atas
jubin dan terus melayang ke atas wuwungan kelenteng
dengan menggunakan siasat Hui-yan-ciong-thian, atau
burung kepinis menerobos ke angkasa.
Poan Thian yang melihat begitu, pun tidak mau
ketinggalan akan mengejar terus pada si nona itu.
"Hei, jangan lari!" teriaknya dengan suara bengis.
221 Tetapi orang perempuan itu setelah berlompat
beberapa kali melalui wuwungan kelenteng, segera turun
ke bawah dan terus melarikan, diri ke dalam rimba.
Poan Thian membuntuti dengan tidak mengalami
terlalu banyak kesukaran. Karena biarpun keadaan
dalam rimba itu sangat gelap, tetapi ia mudah dapat
melihatnya kemana saja si nona yang berpakaian putih
itu menuju, karena warna putih itu justeru terlalu
menyolok sekali akan dilihat orang, meski umpama di
tempat gelap sekalipun. Begitulah hutan yang lebat dan gelap itu mereka
telah lalui, kemudian mereka tiba di sebuah tegalan yang
luas dan datar. Ketika orang yang dikejar itu hampir kecandak,
mendadak Poan Thian melihat orang perempuan itu
merandek, memutarkan badannya dan membentak
dengan suara keras: ,,Hei, bangsat! Apakah maksudmu
engkau mengejar aku terus menerus?"
Sambil membentak begitu, si nona lalu mengayunkan
goloknya yang terus dibacokkan ke jurusan batok kepala
Lie Poan Thian dengan menggunakan siasat Tok-pekhoa-san.
Serangan itu memang cukup hebat, tetapi Lie Poan
Thian tidak gentar dengan ilmu pukulan yang telah
diunjuk oleh pihak lawannya itu.
Buru-buru ia melompat ke samping buat menghindarkan diri dari serangan itu, hingga bacokan itu
telah mengenai tempat kosong.
Sementara si nona yang melihat serangannya telah
luput, sudah tentu saja jadi semakin mendongkol dan lalu
menabas pula pinggangnya Lie Poan Thian dengan
222 sekuat-kuat tenaganya. Tetapi Poan Thian yang telah ulung dalam
pertempuran, untuk keberapa kalinya telah berkelit
dengan secara sebat dan bagus sekali.
Hal mana, tidaklah heran, jikalau ini telah membikin si
nona jadi sangat jengkel dan menyerang sang lawan
terus menerus dengan secara nekat sekali.
Lama-lama Poan Thian tak dapat berkelit begitu rupa
terus menerus, maka akhir-akhirnya ia terpaksa mesti
mempergunakan juga genggamannya buat menangkis
setiap serangan yang ditujukan kepada dirinya itu.
Pertempuran ini belum lagi berlangsung terlalu lama,
ketika dengan sekonyong-konyong si pemuda terdengar
mengeluarkan satu suara teriakan, dan berbareng
dengan itu, iapun kelihatan jatuh roboh ke atas tanah.
Sementara nona itu yang menampak lawannya
mendadak jatuh roboh, sudah tentu saja tak mau menyianyiakan ketika yang baik itu. Lalu ia maju memburu,
mengayunkan goloknya dan terus dibacokkan pada Poan
Thian yang seolah-olah telah dirobohkan sehingga tak
dapat ia berdaya pula. Tetapi, cepat bagaikan kilat, Poan Thian telah
menggulingkan dirinya ke sebelah belakang si nona. Di
satu pihak ia berkelit dari serangan sang lawan itu,
sedangkan di lain pihak ia mengangkat sebelah kakinya
dengan menggunakan siasat Oey-kauw-sia-niauw.
Pada sangka perempuan yang berpakaian putih itu,
lawannya tadi benar-benar telah jatuh karena menderita
Iuka yang disebabkan oleh serangannya, tidak tahunya
itulah ada dia sendiri yang justeru sedang diakali oleh
pemuda kita. 223 Oleh karena siasat Lie Poan Thian itu sukar diduga,
karuan saja si nona tak keburu berkelit buat
menghindarkan sabetan kaki pemuda kita, hingga ketika
bagian belakang tekukan lututnya kena tersabet, tidak
ampun lagi ia jatuh mengusruk.
Sementara Poan Thian yang dengan secara sebat
telah dapat berlompat bangun dari atas tanah, bukan
saja tidak menunjukkan sikap yang hendak melanjutkan
pertempuran itu, malah sebaliknya ia mengucapkan maaf
atas perbuatan kasar yang telah diunjuknya itu.
Tetapi orang perempuan itu yang juga telah
berlompat bangun, dengan sorot mata menyala-nyala
tinggal mengawasi pada lawannya dengan napas
memburu karena kegusaran yang bukan alang kepalang
besarnya. Dan ketika ia hendak menerjang pula, Poan Thian
lalu melemparkan goloknya sendiri ke tanah sambil
menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nona,
haraplah kau suka bersabar dengarkanlah sebabmusabab mengapa aku datang ke sini."
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oleh karena melihat sikap pemuda kita yang suka
damai itu, maka si nona itupun tampaknya jadi lebih
sabar dan tenang, biarpun suara bicaranya masih tetap
kaku ketika ia berkata: "Baik! Bicaralah!"
Poan Thian lalu mulai penuturannya, dengan
mengatakan bahwa di antara si nona dan dirinya bukan
saja tidak pernah terbit permusuhan apa-apa, malah
bertemu muka pun baru saja pada kali itu. Ia tidak
bermaksud jahat, hal mana ia bisa unjuk, bahwa jikalau
ia memang mengandung maksud tidak baik, buat
mengambil jiwanya si nona itu bolehlah dikatakan sama
mudahnya dengan orang yang mengambil barang dari
224 dalam kantong. Karena di waktu si nona jatuh tadi,
apakah itu bukan ketika yang terbaik untuk ia turunkan
tangan kalau saja ia mau"
Tetapi tak mau ia mengambil kesempatan itu, karena
ia sendiri pun memang bukan bermaksud untuk mencari
setori dengan segala orang.
"Aku bukan berasal dari tempat ini," Poan Thian
melanjutkan penuturannya. "Tetapi karena tertarik oleh
cerita orang tentang adanya iblis yang sering mencelakai
orang di kelenteng Leng-coan-sie ini, maka malammalam aku telah datang berkunjung ke sini, untuk
membuktikan benar atau tidaknya perkabaran itu. Jikalau
iblis itu benar-benar bisa mencelakai orang, akupun
merasa turut berkewajiban untuk bantu membasmi dia
dengan sekuat-kuat tenagaku. Tetapi syukur juga bahwa
iblis itu bukan iblis sesungguhnya," begitulah pemuda kita
tertawa ketika berbicara sampai di sini, hingga ini tidak
perlu lagi untuk dibicarakan lebih jauh.
Oleh karena mendengar omongan itu, maka si nona
itupun jadi menghela napas sambil mengunjukkan roman
yang menandakan lesu. Ia kelihatan hendak berbicara
apa-apa, tetapi lantas membatalkan niatannya ketika
mendengar Poan Thian berkata pula: "Maka setelah
sekarang kau ketahui maksud yang benar dari
kunjunganku ini, sudikah kiranya kau memberitahukan
kepadaku kau siapa, orang dari mana, dan karena apa
kau berada di sini dengan menyamar sebagai iblis dalam
kelenteng Leng-coan-sie ini?"
Orang perempuan itu mula-mula kelihatan ragu-ragu
akan memberikan segala keterangan yang bersangkutpaut dengan dirinya sendiri, tetapi ketika ia menyaksikan
sikap Lie Poan Thian yang lemah-lembut dan sopansantun, barulah ia jadi menghela napas dan berkata:
225 "Tuan, nyatalah bahwa aku telah keliru menyangka
engkau sebagai seorang jahat!"
Kemudian ia menerangkan, bahwa ia berasal dari
kabupaten Ham-yang dalam propinsi Siam-say, she Bu
bernama Liu Sian. Ayahnya yang bernama Ciang Tong adalah seorang
murid jempolan dari perguruan ilmu silat cabang Cengleng-sie di pegunungan Ngo-tay-san.
Bu Ciang Tong ini semasa mudanya memangku
jabatan kepala polisi dalam kabupaten Ham-yang yang
menjadi tanah tumpah darahnya. Oleh karena ilmu
silatnya yang tinggi dan ditambah dengan kecakapannya
dalam tugas yang di jalankannya, maka tidak sedikit
penjahat-penjahat dari Rimba Hijau yang telah dibekuk
dan dihadapkan olehnya kepada pembesar yang
berwajib, hingga untuk jasa-jasa besar yang telah
diperolehnya itu, bukan saja ia mendapat hadiah dan
pujian dari pihak seatasannya, tetapi berbareng juga ia
jadi semakin dibenci oleh musuh-musuhnya yang selalu
berdaya-upaya buat menyingkirkan jiwanya yang
merupakan sebagai duri besar di mata kawanan penjahat
pihak lawannya tersebut. Tetapi sampai sebegitu jauh
Ciang Tong tinggal tetap tak dapat dicelakai ataupun
dibikin terguling dari kedudukannya, berhubung di
kalangan cabang-cabang atas dalam komplotan Rimba
Hijau belum ada orang yang sanggup merobohkan atau
melebihi ilmu kepandaiannya.
Demikianlah kejadian pada suatu hari sekawanan
perampok yang di kepalai oleh Cap-ek-sin-kauw atau
kera malaikat yang bersayap Ngay Houw Cun telah
masuk ke sebuah dusun dalam kabupaten Ham-yang itu
untuk melakukan "pekerjaannya". Tetapi, apa celaka,
pada sebelum pekerjaan itu dimulai, mendadak telah
226 diketahui oleh Bu Ciang Tong, yang tidak membuang
tempo lagi segera membawa sepasukan orang-orang
polisi dan menyergap kawanan perampok yang sial itu.
Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun sendiri biarpun
bukan tandingan Bu Ciang Tong, tetapi masih boleh
dikatakan mujur juga telah dapat meloloskan diri dari
dalam pengepungan hamba-hamba negeri itu. Sedangkan kawan-kawannya yang terbanyak, jikalau
tidak terbunuh atau tertangkap, tentulah dapat juga
melarikan diri dengan susah payah dan menderita lukaluka yang dapat dibuat peringatan daripada pekerjaan
mereka yang telah gagal itu.
Oleh sebab pekerjaannya telah digagalkan, sudah
tentu saja Ngay Houw Cun jadi amat sakit hati dan
selanjutnya telah berdaya upaya sedapat mungkin buat
membalas dendam kepada kepala polisi she Bu itu.
Begitulah setelah ia "mencari kawan" sekian lamanya
di kalangan Kang-ouw, akhirnya Houw Cun telah
ketemukan seorang gagah yang sanggup untuk
merobohkan Bu Ciang Tong dengan suatu perjanjian,
bahwa jikalau ia mati dalam pertempuran dengan kepala
polisi itu, Houw Cun harus tanggung seumur hidup
ongkos penghidupan anak-isterinya. Dan jikalau ia
memperoleh kemenangan, Houw Cun harus berikan
separuh dari harta-bendanya yang berjumlah ratusan ribu
tail banyaknya itu. Perjanjian mana, sebenarnya kurang disetujui oleh
kepala kampak itu. Tetapi karena mengingat yang ia
boleh mungkir buat mengongkosi rumah-tangga si hohan itu jikalau dia mati dalam pertempuran, maka Houw
Cun lalu menyangggupi sambil menambahkan, "bahwa
semua itu adalah perkara remeh saja," hingga si ho-han
boleh tak usah merasa ragu-ragu lagi.
227 Maka sesudah perjanjian itu "ditutup" dengan
diadakan suatu perjamuan makan minum sebagai tanda
pemberian selamat jalan dan "berharap akan berhasil"
dalam pekerjaannya itu. Si ho-han lalu berangkat ke
Ham-yang buat menjajal sampai dimana kepandaian Bu
Ciang Tong yang disohorkan sebagai seorang murid
cabang Ceng-leng-sie yang jempolan itu.
Pada suatu hari sesudah menanyakan kepada orangorang yang kebetulan dijumpainya berjalan mundarmandir di jalan raya, si ho-han itu telah berhasil dapat
ketemukan rumah kepala polisi she Bu itu, yang ketika itu
kebetulan berada di rumahnya.
Tetapi karena Ciang Tong selalu bercuriga kepada
orang-orang asing yang minta bertemu dengannya, maka
ia telah memesan pada bujang-bujangnya, agar supaya
kalau ada orang yang datang menanyakan kepadanya,
katakan saja bahwa ia tak ada di rumah. Dan jikalau
orang itu juga menanyakan kemana ia pergi, bujangbujang itu boleh menjawab: "Tidak tahu."
Terkecuali kalau orang itu mengatakan mau bicara
pada siapa saja yang ada di rumah itu, bolehlah bujangbujang itu menjawab: "Di rumah hanya ada Ji-ya saja,"
(dimaksukkan: adiknya Ciang Tong yang sebenarnya
sudah lama telah meninggal dunia) atau apa saja
sekenanya, menurut suka mereka.
Tetapi tidak kira ketika si ho-han sampai di
rumahnya, Ciang Tong dari sebelah dalam justeru mau
berjalan keluar, sehingga kedua orang itu jadi
berpapasan dan saling mengawasi satu sama lain
dengan tidak dapat dicegah lagi.
"Tuan ini tentunya kepala rumah tangga ini bukan?"
kata si ho-han itu sambil memberi hormat.
228 Bu Ciang Tong yang selalu bisa berlaku hati-hati
dalam waktu yang kesusu, sambil membalas memberi
hormat ia bersenyum dan berkata: "Ah, sangat menyesal
perkunjungan tuan ini sedikit terlambat. Toa-ya baru saja
keluar pada setengah jam yang lalu itu. Sudikah tuan
duduk-duduk dahulu untuk minum satu-dua cawan air
teh?" Si ho-han itu tidak lantas menjawab tawaran itu,
hanyalah tinggal mengamat-amati pada Bu Ciang Tong
sesaat lamanya, kemudian ia menghela napas dan
berkata: "Sayang, sayang. Tetapi belum tahu kapan
tuanmu kembali?" "Itu aku kurang tahu. Menyesal," kata kepala polisi
she Bu itu dengan hati semakin bercuriga.
Dalam pada itu, si ho-han yang ingin menunjukkan
berapa tinggi ilmu kepandaiannya, lalu sengaja
membanting-bantingkan kakinya ke atas jubin, maka
jubin-jubin itu jadi berlubang sebesar bekas sepatu si hohan itu!
Maka Ciang Tong yang sekarang telah ketahui
maksud yang benar dari tetamu yang tidak diundang itu,
sudah tentu saja lantas bersedia untuk menghadapi
segala kemungkinan, dan sebegitu lekas ia melihat si hohan itu selesai menunjukkan "kelihayannya", buru-buru
iapun membungkukkan badannya selaku orang memberi
hormat dan merasa kagum atas kepandaian itu.
"Tuan," katanya, "nyatalah kau ini ada seorang ahli
silat yang mempunyai ilmu kepandaian jauh lebih tinggi
daripada ilmu kepandaian yang dipunyai majikanku
sendiri! Aku merasa sangat kagum melihat kepandaianmu itu. Oleh karena itu, terimalah ini
pemberian hormatku!"
229 Sambil berkata begitu, Ciang Tong pun lalu
membungkukkan pula badannya sambil menyoja ke arah
si ho-han itu. Di mata seorang yang sama sekali tak mengerti ilmu
silat yang tergolong pada bagian ilmu lweekang,
perbuatan itu boleh dianggap lumrah dan tidak ada apaapanya yang kelihatan aneh. Tetapi bagi si ho-han yang
telah melihat tegas gerak gerik Ciang Tong yang
semulanya dianggap orang pelayan belaka, sudah tentu
saja jadi amat kaget dan buru-buru balas memberi
hormat sambil mengumpulkan khi-kangnya ke bagian
dada. Karena sebegitu lekas ia melihat Ciang Tong
menggerakkan tangannya, dengan sekonyong-konyong
ia merasakan dadanya seperti didesak oleh suatu tenaga
amat berat yang telah memaksa ia mundur ke belakang
dengan napasnya dirasakan sesak! Maka biarpun
sampai beberapa kali ia mencoba akan menolak tenaga
yang tidak kelihatan itu, tetapi ternyata maksudnya siasia saja, dan tatkala paling belakang ia mengerti yang ia
bukan lawan Ciang Tong yang setimpal.
Buru-buru ia berlompat ke samping sambil berkata:
"Tuan, ilmu kepandaianmu itu sesungguhnya amat tinggi
dan aku harus akui, bahwa aku ini lebih tepat akan
menjadi "kacungmu," daripada lawanmu yang telah
sengaja berkunjung ke sini untuk merobohkan
kepadamu!" "Ya, tetapi aku ini adalah bujangnya Bu Too-ya," kata
Ciang Tong yang masih saja hendak berpura-pura.
Tetapi si ho-han lalu menggelengkan kepalanya
sambil berkata: "Tidak perlu kau menjustai aku. Aku tahu,
bahwa kau inilah memang Bu Ciang Tong sendiri yang
aku niat cari. Selamat tinggal, dan lagi beberapa hari
akan kuberkunjung pula ke sini!"
230 Begitulah si ho-han telah akhiri bicaranya sambil
berlalu dari situ dengan tindakan amat cepat.
Sementara Bu Ciang Tong yang mengerti bahwa
urusan tidak habis sampai di situ saja, sudah barang
tentu jadi semakin hati-hati dalam hal menjaga
keselamatan dirinya. Karena ia sendiripun yakin, bahwa
kalau musuh-musuhnya tak berani membikin pembalasan dengan secara berterang, tentulah mereka
akan mencelakai padanya dengan jalan lain yang lebih
halus. Maka semenjak terjadinya peristiwa yang telah
dialaminya itu, Ciang Tong selalu mengenakan kaca
tembaga di bagian ulu-hati dan punggungnya, dengan
ditutupi oleh pakaian yang dikenakannya di bagian luar,
agar supaya dengan berbuat demikian ia dapat
meringankan kecelakaan bagi dirinya, kalau nanti pihak
musuh membokong kepadanya dengan secara
sekonyong-konyong. Diceriterakan ketika berselang hampir satu minggu
lamanya, betul saja si ho-han itu telah kembali pula ke
rumah kepala polisi she Bu itu dengan mengajak dua
orang kawannya yang masing-masing bertubuh tinggibesar dan beroman agak "menyeramkan" di
pemandangan mata. Kedatangan ketiga orang itu telah disambut oleh
bujang-bujangnya Bu Ciang Tong, yang memang telah
dipesan mesti berbuat bagaimana apabila si ho-han itu
benar-benar balik kembali ke tempat kediamannya di
situ. "Hari ini tuanku justeru belum kembali dari kantor,"
kata salah seorang bujang itu, sambil persilahkan mereka
masuk dan duduk di kamar tetamu. "Tetapi rupanya ia
231 telah ketahui, bahwa tuan-tuan akan datang hari ini,
karena sedari pagi ia telah memberitahukan pada kami
sekalian, agar supaya kami jangan pergi ke mana-mana.
Dan jikalau nanti tuan-tuan datang ke sini. katanya, kami
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
boleh menyampaikan kabar pada tuan-tuan sekalian,
bahwa ia akan kembali ke sini selekas mungkin."
Si ho-han dan kedua kawannya itu jadi saling lihatlihatan satu sama lain dengan rupa yang menyatakan
heran. "Cara bagaimanakah dia bisa tahu bahwa kita akan
datang ke sini pada hari ini?" ketiga orang itu seolah-olah
hendak saling menanyakan pendapat masing-masing.
Tetapi sampai beberapa kali, tidak juga mereka dapat
pikir bagaimana Ciang Tong telah dapat ketahui, bahwa
mereka akan datang ke situ pada hari itu.
Padahal mereka tak pernah pikir sama sekali, bahwa
siasat itu memang telah diaturnya dari di muka untuk
membingungkan pikiran mereka bertiga.
"Kalau begitu, tidaklah mengherankan, apabila segala
gerak-gerik saudara-saudara kita di kalangan Liok-lim
bisa diketahui oleh kepala polisi bajingan ini," berbisik si
ho-han pada dua orang kawannya, sebegitu lekas
melihat para pelayan tadi berlalu dari hadapan mereka.
"Dia itu rupanya pandai meramal!" kata si ho-han.
"Ya, ya, itu boleh jadi," menyetujui kedua orang
kawannya. Selagi mereka "kasak-kusuk" membicarakan halnya
kepala polisi she Bu itu, adalah salah seorang bujang
Ciang Tong yang boleh dipercaya telah pergi
menyampaikan kabar tentang kedatangan ketiga orang
yang rupanya tidak mengandung maksud baik itu kepada
232 induk semangnya. Ciang Tong sekarang mengerti,
bahwa saat yang tegang dan sedang ditunggu-tunggu itu
akhirnya telah tiba. Maka sebegitu lekas ia diberitahukan tentang
kedatangan si ho-han dan kedua orang kawannya itu,
buru-buru ia kembali ke rumahnya dengan membekal
lima buah Tiok-yap-piauw yang disembunyikn di sisi
sepatunya, pada bagian yang bersambung di bawah
lipatan kaki celananya. Tetapi alangkah mengejutkannya hati si kepala polisi
itu, tatkala sampai di muka pintu pekarangan rumahnya,
ia menampak dua buah singa-singaan batu yang tadinya
ditaruh di kiri-kanan rumah, mendadak berpindah ke
tengah pintu pekarangan tersebut. Maka dengan
mengandangnya kedua singa-singaan ini di tengah jalan
masuk, sudah barang tentu tak dapat ia masuk ke dalam
rumahnya, jikalau singa-singaan tersebut tidak terlebih
dahulu disingkirkan ke tempat lain!
3.15. Jebakan Untuk Kepala Polisi
Jujur Perbuatan ini memang merupakan suatu
rintangan atau kesukaran bagi orang-orang yang
bertenaga kecil, tetapi bagi Ciang Tong yang memang
bertenaga amat kuat, semua ini bukanlah suatu hal yang
perlu diributi sama sekali.
Dari itu, segera juga ia singsingkan lengan bajunya,
pasang bee-sie (kuda-kuda) dan lalu angkat singasingaan batu itu, yang olehnya lalu dikembalikan pada
tempat asalnya masing-masing dengan tidak banyak
bicara pula! Sesudah menunjukkan sedikit kelihayan itu,
dengan laku yang tenang si kepala polisi lalu
menghampiri pada mereka bertiga, memberi hormat dan
233 menunjukkan roman yang berseri-seri sambil berkata:
"Tuan-tuan, haraplah kamu sekalian sudi memaafkan
atas kelambatanku ini." (Seolah-olah apa yang telah
terjadi tadi tidak pernah dialaminya sama sekali).
"Setelah sekarang kita saling berhadapan," ia
melanjutkan omongannya, "belum tahu ada pengajaran
apa pula yang tuan-tuan sekalian hendak sampaikan
kepadaku?" Kedua orang yang baru datang itu tinggal bungkam
dan hanya mengamat-amati pada kepala polisi itu
dengan mata tidak berkesip, hingga si ho-han yang
melihat "kebungkeman" itu, lalu tampil ke muka dengan
sikap yang sombong dan mata yang menyala-nyala.
"Sebagaimana telah kukatakan pada beberapa hari
yang lampau itu," demikianlah memulai si ho-han itu,
"aku telah berjanji akan datang pula ke sini. Maka setelah
sekarang kami berada di sini, mengapakah engkau
berbalik berpura-pura meminta pengajaran dari kami?"
Bu Ciang Tong yang mendengar begitu jadi
tersenyum dan berkata: "Oh, kalau begitu, cobalah
engkau beritahukan syarat-syarat apa yang harus
dikemukakan dalam pertempuran ini, agar supaya
sesuatu orang yang kalah bisa merasa rela dan
selanjutnya urusan ini jangan sampai "menjadi
kepanjangan"." "Ya, ya, itu aku mufakat," kata si ho-han. "Tentang
syarat-syarat yang engkau katakan tadi, itulah boleh
dikatakan perlu, juga boleh dikata tidak perlu. Tetapi
pokoknya harus dititik-beratkan kepada kejujuran dan
kepercayaan. Apabila orang berkelahi dengan jujur dan akhirnya
masih juga kena dikalahkan, maka yang menderita
234 kekalahan pun akan rela mengaku kalah, tetapi jikalau ia
merasa yang ia telah dikalahkan dengn secara curang,
cara bagaimanakah orang bisa terima itu dan urusan itu
lalu disudahi sampai di situ saja?"
"Itu benar, itu benar," sahut Bu Ciang Tong. "Di
belakang rumahku ini ada sebidang pekarangan yang
agak luas dan baik sekali untuk "berlatih". Marilah tuantuan boleh ikut padaku, supaya pertandingan
persahabatan ini bisa kita lakukan di sana."
Ketiga orang itu lalu menjawab: "Baik," tetapi dalam
prakteknya ternyata berlainan daripada apa yang telah
mereka katakan itu. Karena sebegitu lekas Ciang Tong membalikkan
badannya akan mengajak mereka pergi ke pekarangan
tempat berlatih di belakang rumahnya, mendadak ho-han
itu melirik pada kedua orang kawannya sambil memberi
isyarat-syarat dengan kedipan mata. Kedua orang itu
yang lantas mengerti apa maunya isyarat itu, dengan
sebat lalu mencabut badi masing-masing yang
disembunyikan di bawah lipatan kaki celana mereka,
dengan mana mereka lalu menyerang pada kepala polisi
itu dengan tidak banyak bicara pula.
Tetapi Ciang Tong yang memang sudah mendapat
firasat akan "kejadian", begitu, segera menjatuhkan diri
ke depan sambil berguling di atas jubin sampai beberapa
kali, hingga setelah terluput dari penyerangan yang
curang itu, sambil tertawa menyindir dan melirik pada si
ho-han itu ia lantas berkata: "Oh, oh, apakah ini ada cara
bertempur dengan jujur seperti katamu tadi?"
Si ho-han yang ternyata ada seorang kasar yang
tidak tahu malu, bukan saja tidak mau terima kebaikan
jengekan itu, malah sebaliknya menjadi amat gusar dan
235 membentak: "Bu Ciang Tong! Jangan engkau mengira
bahwa orang gagah di kalangan Kang-ouw hanyalah
engkau seorang saja! Engkau telah tidak memandang
mata pada kawan-kawan kami dan menganggap bahwa
jiwa mereka itu adalah jiwa- jiwa semut! Engkau tangkapi
dan bunuhi mereka itu dengan secara kejam, walaupun
tahu bahwa di antara engkau dan mereka tak pernah
terbit permusuhan apa-apa!"
"Engkau jangan melantur!" membentak Ciang Tong
dengan hati mendongkol. "Kamu juga tentu telah ketahui,
bahwa tugasku sebagai seorang polisi adalah untuk
menjaga keamanan dan membasmi kejahatan yang
bersifat mengacau kepada ketertiban umum dan
kesejahteraan di dalam negeri. Kamu sekalian tidak
mengindahkan ini semua dan mengacau kian-kemari
dengan jalan melakukan perampokan-perampokan atau
pembunuhan-pembunuhan yang ganas terhadap pada
anak-anak negeri yang telah mencoba untuk
mempertahankan harta-benda mereka yang kamu
hendak kangkangi, dengan kamu sekalian sama sekali
tidak pernah memikirkan betapa sukar dan payahnya
mereka telah mengumpulkan itu sedikit demi sedikit,
sehingga akhirnya menjadi suatu jumlah yang besar dan
cukup untuk membiayai penghidupan mereka di hari tua.
"Tetapi kamu sekalian orang-orang malas dan tidak
berbudi, hanya memikirkan keuntungan diri sendiri saja,
sehingga dengan begitu, kamu tidak memikirkan sama
sekali tentang akibat-akibat dan kerugian- kerugian yang
bakal dialami oleh orang lain. Oleh sebab itu, ada apakah
salahnya apabila aku sebagai alat negara mengambil
tindakan-tindakan yang tegas untuk menunaikan
kewajiban yang negara telah percayakan kepadaku?"
236 Si ho-han yang mendengar omongan itu, bukan main
marahnya dan lalu menerjang pada Ciang Tong dengan
dibantu oleh kedua orang kawannya yang masingmasing bersenjatakan badi-badi tadi.
Sementara Ciang Tong yang memang bukan seorang
yang biasa mundur dalam hal bertempur dengan musuh,
dengan gagah lalu menyambut serangan itu dengan
menggunakan siasat Khong-siu-jip-pek-jim, serupa ilmu
pukulan tangan kosong, yang biasa dipergunakan untuk
bertempur dengan musuh-musuh yang bersenjatakan
golok atau barang-barang tajam lain.
Ilmu pukulan tersebut oleh karena gerakangerakannya amat cepat, sudah barang tentu telah
membikin ketiga penjahat itu jadi bingung sendiri, hingga
semakin lama mereka jadi semakin kewalahan, dan
akhirnya salah seorang di antaranya telah kena
ditendang dan jatuh terpental ke suatu tempat yang
terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya.
Orang yang kedua telah dibikin tidak berdaya karena
badi-badi yang dicekalnya telah ditendang begitu rupa,
sehingga menancap pada papan loteng yang tingginya
tidak kurang dari duapuluh kaki! Maka kedua orang itu
yang mengerti, bahwa mereka bukanlah orang-orang
yang setimpal akan menjadi lawan kepala polisi itu, buruburu keluarkan "ilmu langkah seribu" dan terus melarikan
diri dari dalam ruangan rumah itu, dengan meninggalkan
si ho-han sendirian bertempur dengan Bu Ciang Tong,
yang sudah terang bukan lawannya yang seimbang
dalam pertempuran yang maha dahsyat itu.
Dan ketika pertempuran itu baru saja berlangsung
beberapa jurus lamanya, ho-han itu ternyata cuma bisa
menangkis, tetapi tak mampu membalas untuk
menyerang kepada musuhnya.
237 Ia mengeluh di dalam hati dan sesambat untuk
meminta bantuan yang tidak kelihatan dari para
sedereknya yang telah tewas jiwanya di tangan kepala
polisi yang ilmu kepandaiannya sangat lihay itu, tetapi
kenyataan telah membuktikan. bahwa semua itu adalah
sia-sia belaka. Ia tak dapat mempertinggi ilmu kepandaiannya yang
memangnya sangat terbatas dan kalah jauh dengan
pihak lawannya! Akhir-akhirnya karena telah merasa tak
sanggup akan meladeni bertempur pada Bu Ciang Tong
terlebih lama pula, maka ho-han itu lalu mencari
"lowongan" untuk meloloskan diri dengan jalan
mempergunakan segala ilmu pukulan yang ia ketahui
dan cukup berbahaya, tetapi ternyata bagi Ciang Tong
semua itu hanya merupakan sebagai pukulan-pukulan
yang hampir tak ada artinya sama sekali.
Hal mana, keruan saja, telah membikin si ho-han jadi
semakin bingung, semakin kalut pikirannya untuk
mencari jalan akan meloloskan diri dengan jalan yang
tercepat tetapi selamat, walaupun ia telah mencoba
segala cara dengan sedapat mungkin dan dengan
sekuat-kuat tenaganya. Sementara Ciang Tong yang melihat tegas kesibukan
pihak musuhnya, bukan saja tidak membiarkan dia
dengan begitu saja, malah sebaliknya ia merangsak
terus-terusan dengan mempergunakan ilmu-ilmu pukulan
yang gerakan-gerakannya amat cepat dan sukar diduga.
Maka selagi si ho-han itu telah hampir tidak berdaya
pula, kepala polisi itu lekas maju menendang sambil
membentak: "Pergilah engkau dari hadapanku!"
Si ho-han buru-buru mencoba akan berkelit, tetapi
usaha ita bukan saja telah gagal, malah sebaliknya ia
sendiri telah terpental dan kena menubruk dinding
238 tembok yang segera jadi gugur dan berlubang, dan
berbareng dengan terdengarnya satu suara jeritan ngeri,
si ho-han itupun telah jatuh ke jalan raya dengan melalui
lobang tembok yang telah ditomploknya sehingga
berlubang itu! Ketika Ciang Tong memburu dan menoleh
keluar lubang tembok itu, ternyata si musuh telah
menghilang entah kemana perginya!
Sekarang kita ajak para pembaca menilik pada Capek-sin-kauw Ngay Houw Cun, yang usahanya selalu
gagal untuk mencelakai jiwa kepala polisi she Bu itu.
Setelah beberapa kalipun tak berhasil ia melakukan
penyerangan gelap untuk membinasakan jiwa musuh
besarnya itu, akhirnya ia insyaf, bahwa untuk berurusan
pada Ciang Tong dengan memakai kekerasan, biar
bagaimana juga ia tentu tak akan berhasil. Dari itu, ia
lantas "putar kemudi" untuk mencelakai Ciang Tong
dengan jalan halus, terutama mempergunakan tenaga
orang-orang dalam yang bekerja di kantor kebupaten
Ham-yang sendiri. Pada suatu waktu bupati lama dari Ham-yang telah
dinaikkan pangkat dan dipindahkan untuk diperbantukan
dalam pekerjaan di ibukota.
Bupati ini karena mempunyai perhubungan yang erat
dengan Ciang Tong, maka ia telah coba menganjurkan
agar supaya kepala polisi itu mengikuti dan
membantunya dalam pekerjaannya yang baru itu, tetapi
Ciang Tong yang merasa berat untuk meninggalkan
tanah tumpah darahnya, sudah lantas menyatakan
menyesal tak dapat mengabulkan permintaan sepnya itu,
buat mana sang bupati pun merasa amat menyesal dan
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpaksa berangkat ke ibukota sambil tidak lupa
berpesan kepada si kepala polisi, agar supaya sewaktu239
waktu kalau kebetulan dalam perlop pergi berkunjung ke
tempat kediamannya di ibukota.
Ciang Tong berjanji akan berbuat begitu. Maka
dengan saling mengucurkan air mata, sep dan pegawai
yang telah bekerja sama hampir duapuluh tahun lamanya
itu telah saling berpisahan dari satu dengan yang
lainnya, setelah di gedung kabupaten diadakan
perjamuan makan minum sebagai tanda perpisahan
antara si bupati dan sekalian pegawai- pegawainya
dalam kabupaten Ham-yang itu.
Sekarang kita berkenalan dengan bupati baru yang
bernama An Hun Ie. Bupati ini adalah seorang hartawan yang telah
mendapatkan pangkatnya dengan jalan menyogok pada
pembesar-besar tinggi yang berpengaruh besar di
Kotaraja. Ia ini bukan orang terpelajar, juga bukan seorang
yang pandai timbang-menimbang segala perkara dengan
secara bijaksana. Jikalau sewaktu-waktu dapat juga ia mengurus
pekerjaannya dengan baik, itulah bukan karena baiknya
rencana yang keluar dari otaknya sendiri, hanyalah
berkat kecerdikan pegawainya yang ia sengaja telah
sewa tenaganya buat mengurus segala pekerjaan di
kantor kabupaten. Maka biarpun ia sendiri disebut
seorang bupati, tetapi sebenarnya ia tak bekerja sama
sekali, juga tak mengerti bagaimana seluk-beluknya
pekerjaan serta tugas seorang bupati, dari itu, lebih tepat
dia dinamakan "bupati tetiron", daripada bupati yang
memang karena kepandaiannya telah diangkat dengan
secara resmi oleh pemerintah negeri.
240 Maka pada waktu kabar tentang penggantian bupati
itu sampai ke telinga Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun,
buru-buru ia kirim beberapa orang mata- matanya buat
mencari tahu bagaimana sikap dan sepak-terjang bupati
baru itu. Tidak berapa lama kawanan mata-mata itu telah
kembali dan melaporkan pada Houw Cun, bahwa "bupati
An itu adalah seorang yang temaha pada harta benda
dan mudah "ditempel dengan menggunakan pengaruh
uang", hingga si kepala kampak yang mendengar
laporan begitu, dengan hati amat girang ia lantas
menggebrak meja sambil berkata: "Nah, inilah ada ketika
yang terbaik untuk memfitnah pada jahanam she Bu itu!"
Lalu ia menyamar sebagai seorang hartawan besar,
dan dengan membawa bingkisan berharga ia berkunjung
ke gedung bupati, dengan alasan untuk berkenalan serta
memberi selamat atas keangkatan Hun Ie sebagai bupati
baru di kota Ham-yang itu.
An Hun Ie yang lebih perhatikan bingkisan orang
daripada mencari tahu siapa dan dengan maksud apa
orang telah memberikan bingkisan itu kepadanya, tentu
saja lantas menyambut kepala kampak itu dengan
berpura-pura, mengatakan. "sudah lama mendengar
nama Houw Cun yang dermawan di daerah Ham-yang,"
biarpun sebenarnya ia tidak pernah dengar ataupun
kenal nama samaran "Thio Sin" yang telah dipergunakan
Houw Cun itu! Maka dengan menggunakan pengaruh uang dan
hadiah-hadiah yang mahal harganya kepada bupati
bangpak dan orang sebawahannya yang ternyata juga
ada dari satu kaliber, dengan cepat Houw Cun telah bikin
dirinya populer di kantor kabupaten itu, hingga
241 selanjutnya ia bisa keluar masuk di kantor tersebut
bagaikan di rumahnya sendiri.
Pada suatu hari seorang siu-cay she Gouw dari
kecamatan Nouw-tam-lie telah datang ke kantor
kabupaten buat mengadu, bahwa pada malam kemarin
sebuah mustikanya yang bernama Ya-beng- cu telah
dicuri orang. Mustika itu walaupun hanya sebesar telur burung
merpati saja, tetapi khasiatnya amat besar dan dapat
menerangi segala sesuatu yang ditaruh dalam sebuah
kamar yang gelap gelita, oleh karena itu, tidak heran
jikalau ia amat sayang dan bingung sekali tatkala
mengetahui bahwa mustika kesayangan hatinya itu telah
hilang. "Berapa besar harganya mustika itu," begitulah ia
mengadu di hadapan bupati An Hui Ie, "itulah
sesungguhnya belum ada seorang pun yang mampu
menaksirnya. Karena menurut cerita orang, mustika
hamba itu adalah sebuah mustika masyhur yang pernah
dipergunakan oleh kaisar Korya (Korea) sebagai
pembayaran upeti, ketika kaisar Tong Thay Cong Lie Sie
Bin menyerbu ke semenanjung Korea."
Maka An Hun Ie yang mengingat bahwa peristiwa itu
telah terjadi di daerah lingkungannya juga, tentu saja ia
lantas panggil Bu Ciang Tong buat diajak berembuk, cara
bagaimana baiknya untuk mengurus perkara pencurian
ihi. Tetapi karena pencurian itu telah dilakukan dengan
amat sempurna, maka Ciang Tong jadi bingung dan lalu
minta permisi buat pergi tengok sendiri ke rumah Gouw
Siu-cay. Karena selain ia bisa lihat di bagian mana
letaknya rumah itu, iapun bisa sekalian menyelidiki juga
242 bekas-bekasnya, cara bagaimana si pencuri telah
melakukan pekerjaannya. Bupati mengabulkan dengan suatu perjanjian, bahwa
biar bagaimana juga, Ciang Tong harus bisa bekuk
pencurinya. Karena, sebagai seorang pembesar baru
yang datang menjabat pangkatnya di kabupaten itu, ia
merasa akan kecewa, apabila perkara yang begitu kecil
tidak dapat dibikin terang.
Bu Ciang Tong berjanji akan bekerja dengan sekuatkuatnya tenaga, guna membikin terang muka orang yang
menjadi seatasannya. Kemudian ia kerahkan seluruh
tenaga kepolisian yang berada di bawah penilikannya,
agar supaya perkara pencurian itu bisa lekas dibikin
terang, dengan pencurinya sendiri dibekuk buat diberikan
hukuman yang set impal dengan perbuatannya.
Tetapi karena belakangan baru ternyata bahwa si
pencuri tidak meninggalkan bekas, sebagaimana
kebiasaan peristiwa-peristiwa yang bersangkut-paut
dengan pencurian, maka diam-diam Ciang Tong jadi
bercuriga, kalau-kalau pengaduan Gouw Siu-cay itu
suatu pengaduan yang palsu belaka. Tetapi ia tak
menyangka sama sekali, bahwa Gouw Siu-cay itu adalah
seorang samaran dari salah seorang gundal Cap-ek-sinkauw Ngay Houw Cun, yang memang telah sengaja
berbuat begitu untuk mempersukar dan kemudian
membuka jalan ke arah kecelakaan bagi diri kepala polisi
she Bu itu! Maka setelah penyelidikan itu telah dilakukan
dengan susah-payah sehingga setengah bulan lamanya
dengan tidak mengasih hasil yang diinginkan, Bu Ciang
Tong jadi amat jengkel dan tak tahu lagi apa yang harus
diperbuatnya selanjutnya.
Sementara Cap-ek-sin-kauw yang telah diberi kabar
oleh kaki tangannya tentang kejadian ini, segera dengan
243 secara diam-diam ia pergi menjumpai bupati she An itu,
kepada siapa ia memberikan kisikan bahwa pencuri
mustika Ya-beng-cu itu makanya sukar ditangkap adalah
karena pencurinya bukan lain daripada Bu Ciang Tong
sendiri! Maka An Hun Ie yang lebih percaya omongan
Ngay Houw Cun daripada keterangan-keterangan yang
didapat dari Bu Ciang Tong sendiri, sudah tentu saja
lantas mau percaya kebenarannya omongan si kepala
kampak itu. Apalagi jikalau menilik laporan-laporan yang
sudah-sudah tentang pekerjaan kepala polisi ini yang
begitu aktif dan belum pernah gagal, orang segera bisa
kemukakan kesimpulan-kesimpulan, walaupun kenyataan mengunjuk dengan tegas, bahwa Ciang Tong
bukan seorang yang boleh direndengkan namanya
dengan segala kawanan pencuri atau penjahat yang
hina-dina. Tetapi Hun Ie yang telah dibutakan matanya dengan
harta dan emas, bukanlah seorang dengan siapa kita
boleh bicara tentang liang-sim ataupun ceng-lie, karena
segala keputusan-keputusan yang menurut kata hati
orang benar dan bijaksana, itu semua seolah-olah telah
dihapuskan seluruhnya dari dalam kamus yang
tersimpan di batinnya manusia busuk ini.
Oleh karena berpendapat bahwa dia mempunyai
pengaruh besar di seluruh kabupaten Ham-yang itu,
maka tak segan-segan ia memutar balikkan perkara, dari
yang hitam sehingga berubah menjadi putih dan
begitupun sebaliknya. Demikian juga dalam hal memberikan pertimbangan
terakhir atas Bu Ciang Tong yang telah bekerja sampai
puluhan tahun lamanya sebagai kepala polisi, hingga
dengan tidak memikirkan pada jasa-jasa besar yang
telah diperolehnya selama itu, Hun Ie segera perintah
244 orang buat tangkap padanya sebagai seorang pencuri,
biarpun ia ketahui, bahwa tidak semua omongannya
Houw Cun itu boleh dipercaya.
Berita tentang ditangkapnya Ciang Tong yang
disangka sebagai pencuri, sudah tentu telah menerbitkan
kegemparan besar di seluruh kabupaten Ham-yang.
Bagi pihak musuh-musuhnya kepala polisi itu, berita
ini telah disambut dengan bertampik sorak saking
kegirangan, tetapi bagi pihak kawan-kawan dan orangorang yang bersimpati kepadanya, berita itu telah
disambut dengan kemarahan yang sukar dilukiskan
dengan perkataan. Bukan saja mereka menyomel dan mengutuk pada
bupati jahanam itu, tetapi juga mereka segera menuju ke
kantor kabupaten untuk memprotes dan minta supaya
Ciang Tong yang tidak berdosa itu segera dibebaskan
dari dalam tahanan, hingga Hun Ie yang memang berhati
penakut dan kuatir akan rombongan orang-orang yang
datang memprotes itu menerbitkan keributan, sudah
tentu saja segera kirim beberapa orang yang pandai
bicara buat membujuk pada mereka dan coba
menerangkan duduknya perkara.
Ciang Tong yang telah ditahan, kata utusan-utusan
dari kabupaten itu, bukanlah dianggap atau diperlakukan
sebagai seorang tahanan biasa. Karena sebagai seorang
kepala polisi yang sudah kawakan dan memperoleh
banyak jasa dalam pekerjaannya, nyatanya hanya
namanya saja ia ditahan, padahal di kabupaten ia tetap
dihormati dan dirawat sebagai seorang tetamu agung.
Malah bupati sendiri tidak percaya, melanjutkan
mereka, bahwa Ciang Tong ada turut campur dalam
pencurian mustika Ya-beng-cu miliknya Gouw Siu-cay
245 itu. Maka jikalau karena tuduhan itu Ciang Tong telah
ditahan juga, itulah ada maksud lain yang dikandung oleh
bupati, guna melancarkan jalannya penyelidikan dan
guna kebaikannya kepada polisi itu sendiri.
"Sayang kami tak dapat menerangkan semua
maksud bupati dengan secara terang-terangan," kata
mereka pula, "hingga hanya sekian saja yang kami dapat
sampaikan kepada tuan-tuan sekalian. Sedangkan apa
yang terjadi selanjutnya kami persilahkan supaya tuantuan suka menunggu dengan sabar, dengan mana kami
percaya tuan-tuan pasti akan merasa puas dengan cara
pemeriksaan yang akan dilakukan oleh bupati kita
dengan sebijaksana-bijaksananya."
Oleh karena mendengar keterangan begitu, maka
orang banyakpun kelihatan mau percaya dan segera
pada bubaran dengan tidak menerbitkan keributan
ataupun mengunjuk sikap yang penasaran sebagaimana
pada waktu tadi mereka datang ke situ.
Sekarang kita ajak para pembaca untuk membalik
tabir yang menyelimuti peristiwa yang bersangkut- paut
dengan penangkapan dan penahanan diri Bu Ciang Tong
yang bernasib malang itu.
Sebagaimana di bagian atas telah kita tuturkan
dengan panjang lebar, kepala polisi she Bu itu adalah
seorang murid jempolan dari cabang Ceng-leng-sie di
Ngo-tay-san, yang ilmu kepandaiannya sudah lama
dikenal di kalangan jago silat di daerah barat-laut
Tiongkok. Oleh sebab itu, para pembaca tentu hendak
bertanya, cara bagaimanakah seorang yang ilmu silatnya
begitu tinggi bisa ditangkap dan ditahan tanpa melawan
serta dalam cara yang begitu gampang sekali"
246 Hal ini memang perlu diterangkan sedikit untuk tidak
membingungkan kepada para pembaca.
Semenjak An Hun Ie mendapat anjuran akan
menangkap pada Bu Ciang Tong yang dituduh mencuri
mustika Ya-beng-cu milik Gouw Siu-cay oleh Cap-ek-sinkauw Ngay Houw Cun, bupati jahanam ini selalu putar
otak cara bagaimana buat melakukan pekerjaan itu
dengan suatu risiko yang sekecil- kecilnya, tetapi akan
dapat menarik keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan tak usah mengalamkan kerusuhan apa-apa.
Tetapi setelah berapa orang kepercayaannya
ditanyakan pikirannya dan tidak juga dapat memecahkan
persoalan ini, lalu ia undang Houw Cun buat coba
mengunjukkan ia suatu jalan yang didasarkan atas
anjuran yang telah keluar dari otak si kepala kampak itu.
Houw Cun yang merasa telah diberikan ketika
seluas- luasnya untuk membikin pembalasan kepada
musuhnya itu, tentu saja jadi sangat girang dan lalu
mengatur suatu muslihat keji.
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mula-mula ia mengatakan, bahwa Bu Ciang Tong itu
bukan hanya pada kali itu saja melakukan kejahatan,
tetapi sudah banyak kali, tetapi karena orang takut
kepadanya, maka rahasia itu orang tak berani
sembarangan siarkan di luaran, berhubung kuatir dengan
pembalasan-pembalasan hebat yang juga mungkin akan
dilakukan oleh kepala polisi itu dan komplotannya yang
berjumlah bukan sedikit. Sebagai salah satu bukti yang paling nyata, Houw
Cun telah mengalihkan pandangannya kepada kekayaan
Bu Ciang Tong yang tidak sedikit jumlahnya, yang
sebenarnya telah diperolehnya sebagai warisan dari
ayahnya almarhum, tetapi oleh si kepala kampak itu
247 dikatakan telah dapat dikumpulkan dari perampokan,
pencurian, dan sumber-sumber lain yang tidak halal.
Lebih jauh Houw Cun menambahkan, bahwa karena
bupati itu ada seorang baru, maka tidak heran jikalau ia
belum ketahui tentang adanya peristiwa-peristiwa tidak
baik yang pernah dilakukan oleh kepala polisi itu pada
masa yang lampau. Tetapi lain halnya bagi dirinya
sendiri, yang memang sudah sedari lama menjadi salah
seorang penduduk kabupaten Ham- yang, juga telah
ketahui jelas rahasia-rahasia ini dari sumber-sumber
yang sangat boleh dipercaya.
Maka jikalau Ciang Tong ditangkap dan dijatuhi
hukuman berat, bukan saja si bupati bisa dianggap
berjasa terhadap negeri dan kesejahteraan kabupaten
Ham-yang, tetapi berbareng ia bisa sita harta benda Bu
Ciang Tong yang jumlahnya bukan sedikit itu.
"Semua orang suka uang dan harta-benda," Houw
Cun berbisik di telinga bupati jahanam itu. "Maka setelah
Tay-jin sita harta bendanya Bu Ciang Tong, ada apakah
salahnya kalau harta benda itu Tay-jin ambil semua atau
sebagian untuk keperluan sendiri"
Dalam pensitaan Tay-jin boleh menggunakan "atas
nama negeri", tetapi dalam "praktek" toh orang akan
ambil pusing atau hendak mencari tahu lebih jauh
"kemana perginya" harta sitaan itu, bukan?"
An Hun Ie yang kemaruk harta benda jadi sangat
girang ketika mendengar anjuran sahabatnya itu.
"Engkau ini sesungguhnya ada seorang yang pandai
dan cerdik sekali!" katanya. "Aku sama sekali tak pernah
pikir, bahwa hal ini bisa dengan secara langsung
menguntungkan kepada diriku sendiri. Maka apabila
pekerjaan ini sesungguhnya telah berhasil menurut
248 ikhtiarmu tadi, aku tentu tak akan melupakan atas jasajasamu yang bukan kecil itu."
Tetapi Houw Cun selalu merendahkan diri dan
mengatakan, bahwa semua itu bukanlah menjadi
tujuannya akan ia "mengikut untung" dalam pensitaan
hartanya Bu Ciang Tong itu. Karena ia sendiripun,
katanya, "tidak membutuhkan harta, berhubung
kekayaannya sendiri tidak akan habis dimakan,
walaupun, diibaratkan, ia bisa hidup sehingga seratus
tahun lamanya." "Tetapi belum tahu cara bagaimana kita harus
menangkap Bu Ciang Tong itu?" bertanya si bupati
jahanam kepada kepala kampak itu.
"Bu Ciang Tong ini adalah seorang yang keras kepala
dan tidak gampang ditaklukkan," kata Ngay Houw Cun.
"Maka cara yang terbaik untuk menangkap kepadanya,
adalah Tay-jin di sini pura-pura mengadakan suatu
perjamuan makan minum, dimana Tay-jin boleh undang
padanya serta berikan ia minuman arak yang berisikan
Bong-han-yo, agar supaya dengan begitu, ia bisa dibikin
tidak berdaya dan terus diringkus serta dijebloskan ke
kamar tahanan. Itulah ada tindakan pertama yang Tay-jin
perlu ambil. 3.16. Penjahat Merangkap Kepala Polisi Rahasia
"Apabila kemudian ia sudah dapat ditangkap, Tay-jin
boleh perintahkan orang lobangi bagian tulang yang
menghubungkan antara bagian bahu dan badan. Pada
bagian lobang itu boleh dipasangi rantai yang
membelenggu sekujur badannya, sehingga dengan
begitu, walaupun ia punya sayap buat terbang, niscaya ia
tak akan mampu lagi buat meloloskan dirinya. Ia boleh
249 bicara besar sebelum ia mengalami kejadian itu, tetapi
Tay-jin boleh saksikan bagaimana lagaknya kalau ia
nanti sudah mengalami "pengajaran" itu."
Begitulah Houw Cun akhiri pembicaraannya sambil
tertawa bergelak-gelak. Hal manapun diturut juga oleh si
bupati jahanam itu. Begitulah dengan menuruti muslihat busuk yang ia
telah dapat dari ajaran kepala kampak itu, An Hun Ie lalu
mengadakan perjamuan makan minum di antara kaum
seterunya, dengan Bu Ciang Tong yang terhitung
sebagai "orang luar" adalah orang satu- satunya yang
diundang dalam perjamuan tersebut.
Mula-mula Ciang Tong tidak tahu bakal dijebak oleh
sepnya sendiri. Tahu-tahu ketika ia minum tiga cangkir arak dan
mendadak merasakan langit dan bumi seolah-olah
berputar, barulah ia separuh curiga bahwa diadakannya
perjamuan itu tentulah ada mengandung maksud apaapa yang tersembunyi. Tetapi ia sama sekali tidak
menyangka, kalau-kalau hal itu ada sangkut-pautnya
dengan hal-hal lain yang akan membawa dirinya ke arah
kecelakaan dan kemusnaan diri dan rumah tangganya.
Hal mana, baru ia ketahui jelas ketika ia mendusin dari
mabuknya dan merasakan sakit yang amat hebat ketika
tulang kipasnya dilubangi dan dipasangi rantai-rantai
yang kuat! Maka dari itu, jangankan mau berontak untuk
meloloskan dirinya, sedangkan untuk bergerak saja ia
sudah tidak bebas daripada perasaan sakit.
Sementara An Hun Ie yang sekarang telah
menyaksikan Ciang Tong telah diborgol dan tidak
berdaya lagi untuk membikin perlawanan, tidak tempo
lagi segera membuka persidangan buat memeriksa
250 perkara Bu Ciang Tong yang dikatakan telah mencuri
mustika Ya-beng-cu milik Gouw Siu-cay dari kecamatan
Nouw-tam-lie. Tetapi karena merasa tak pernah melakukan
kejahatan itu, sudah tentu saja Ciang Tong menyangkal
keras atas semua tuduhan itu.
Maka si bupati jahanam yang tidak berhasil buat
membikin Ciang Tong mengakui "kedosaannya", dengan
gusar lalu mempergunakan segala macam alat
pengompres yang paling hebat untuk memaksa
memperoleh berbagai keterangan yang diinginkannya.
Dan setelah kewalahan buat memaksa kepala polisi
itu akan mengaku sebagai pencuri, Hun Ie perintah opas
kabupaten buat menjebloskan Ciang Tong ke dalam
tahanan. Dan ketika berselang beberapa hari lamanya,
kembali pemeriksaan dilanjutkan. Tetapi karena
mengingat bahwa tuduhan busuk itu ada sangkutpautnya dengan nama baiknya, sudah barang tentu
Ciang Tong tidak sudi mengaku dengan begitu saja,
walaupun ia merasakan dirinya sudah hampir tidak tahan
karena saban-saban mesti mengalami pengompresanpengompresan yang amat hebat.
Lama-lama, karena tidak mendapat perawatan baik
selama berada dalam tahanan, maka Ciang Tong telah
jatuh sakit dan akhirnya menutup mata dengan
meninggalkan seorang isteri dan seorang gadis remaja
yang bernama Liu Sian. Dan tatkala harta bendanya
disita "atas nama negeri" dan dikatakan telah dapat
dikumpul dengan jalan yang tidak halal, kemudian telah
dikangkangi oleh si bupati jahanam, hingga isteri dan
puteri Ciang Tong yang bernasib malang dan terusir
251 keluar dari rumah tangganya, terpaksa hidup terluntalunta di luaran dengan hanya mendapat tunjangan yang
tidak seberapa dari kawan-kawan dan handai taulan
yang mempunyai perhubungan baik semasa hidupnya
kepala polisi itu. Maka sesudah ibunyapun telah meninggal juga
karena mereras, Liu Sian jadi hidup sebatang kara dan
terpaksa menyingkir ke tempat sunyi untuk berikhtiar
akan menuntut balas pada si bupati jahanam yang telah
menjadi gara-gara dari kematian ayah-bunda dan
keruntuhan rumah tangganya itu Liu Sian ini sejak masih
anak-anak memang pernah meyakinkan ilmu silat di
bawah pimpinan ayahnya sendiri, tetapi karena
mengingat bahwa Liu Sian hanya ada seorang
perempuan saja, maka Ciang Tong tidak terlalu
mengutamakan untuk mendidik sang puteri buat menjadi
seorang ahli silat besar sebagai dirinya sendiri.
Di tempat sunyi yang dikunjunginya itu, Liu Sian
beruntung bisa menumpang tinggal di dalam sebuah
rumah berhala kecil yang ditinggali oleh beberapa orang
paderi perempuan. Oleh karena kepada mereka Liu Sian
telah menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud tujuannya yang hendak melakukan pembalasan
sakit hati kepada musuh-musuhnya, maka para nikouw
yang merasa simpathi kepadanya telah menganjurkan
supaya si nona suka berlatih ilmu silat dengan rajin untuk
dapat melaksanakan maksud yang dikandung di dalam
hatinya itu. Di situ Liu Sian menumpang tinggal baru saja kirakira sebulan lamanya, ketika ia mendengar An Hun Ie
telah dinaikan pangkat menjadi residen dan diunjuk kota
Hang-ciu sebagai tempat kedudukannya.
252 Si nona yang mendengar kabar begitu, tentu saja jadi
heran tercampur menyesal di dalam hatinya.
Yang pertama-tama ia tidak mengerti cara
bagaimana bupati jahanam itu bisa begitu lekas naik
pangkat, berhubung ia sebagai seorang perempuan yang
tidak tahu tentang kebusukan-kebusukan di kalangan
pemerintah di jaman penjajahan itu, tidak mengetahui
sama sekali bahwa pangkat itu bisa dibeli, sedangkan
rasa menyesalnya adalah karena kedudukan sang
musuh telah menjadi semakin jauh dan di sebuah kota
yang lebih besar daripada Ham- yang, maka sudah
barang tentu maksudnya akan membikin pembalasan
akan menjadi semakin sukar.
Tetapi para nikouw yang kemudian mengetahui
tentang rahasia hati si nona pada menghibur dengan
mengatakan, bahwa Thian Yang Maha Kuasa pasti akan
melindungi dan bantu melaksanakan pekerjaan seorang
anak berbakti yang hendak menuntut balas untuk orang
tuanya yang difitnah orang dengan secara keji dan tanpa
melakukan sesuatu kedosaan.
Hal mana, ternyata dapat juga menolong untuk
meringankan rasa penyesalan Liu Sian yang bernasib
malang itu. Tatkala ia menumpang tinggal di rumah berhala itu
kira-kira beberapa bulan lamanya, pada suatu hari si
nona telah menyatakan pikirannya pada nikouw tua yang
menjadi pengurus rumah berhala itu, bahwa di hari esok
ia akan berangkat ke kota Hang-ciu guna membikin
pembalasan pada An Hun Ie yang menjadi musuh
besarnya. Tetapi maksud itu lantas dicegah oleh si nikouw
dengan mengatakan: "Nona, aku bukan hendak
253 merintangi niatanmu, juga bukan karena tidak percaya
dengan kepandaianmu yang kita pernah saksikan di
waktu engkau berlatih sehari-hari aku hanya kuatir
karena engkau ada seorang perempuan dan hanya
seorang diri saja, tentunya engkau tak mempunyai
kekuatan cukup akan melakukan pekerjaan yang
sesungguhnya bukan gampang itu.
Lain halnya jikalau maksudmu itu mendapat
tunjangan dari beberapa orang pandai yang bersatu hati,
memanglah banyak kemungkinan engkau akan berhasil.
Kalau tidak, rasanya paling betul supaya kau bersabar
dahulu sehingga beberapa bulan lagi, agar dengan
begitu, aku bisa membantu engkau berikhtiar lebih jauh
cara bagaimana pekerjaan ini harus diaturnya."
Tetapi Liu Sian yang sudah merasa tidak sabar lagi
buat menunggu-nunggu, lalu mengatakan yang ia sangat
menyesal tidak bisa turuti omongan nikouw yang baik
hati itu. Karena selain ia telah mengambil keputusan,
untuk melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya itu,
iapun telah bersumpah akan tidak mau hidup bersamasama dengan orang yang menjadi musuh besarnya itu.
Jika umpama percobaannya itu gagal, ia tidak melihat
ada jalan lain baginya daripada kematian, walaupun ia
belum bisa meramalkan dengan pasti, apa ia akan mati
di tangan orang lain atau mati karena membunuh dirinya
sendiri. Maka nikouw tua tadi yang mendengar omongan si
nona, dengan mata mengembeng air karena terharu lalu
berkata: "Nona, engkau ini sesungguhnyalah ada
seorang gadis yang berhati keras bagaikan baja! Aku di
sini hanya bisa bantu berdoa agar supaya Tuhan Yang
Maha Kuasa melindungi dirimu dalam tugasmu yang suci
itu." 254 Hal mana, dengan tak dapat. ditahan lagi, Liu Sian
jadi menangis tersedu-sedu.
"Y" Ketika cuaca baru saja terang tanah, si nona telah
bangun dan berdandan sebagai seorang gadis desa
yang hendak masuk kota untuk mencari nafkah atau
berburuh. Maka setelah meminta diri pada nikouw tua dan
berlalu dari rumah berhala itu dengan menggendong
pauw-hok yang di dalamnya disembunyikannja sebilah
golok, Liu Sian lalu menuju ke kota Hang-ciu dengan
mengambil jalan di tempat sunyi yang jarang dilalui
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia. Karena jikalau sampai dikenali oleh orangorang yang menjadi kaki tangan pihak musuhnya, bukan
saja maksudnya akan jadi gagal, malah dirinya
sendiripun tidak mustahil akan ditangkap dan mengalami
nasib yang bersamaan dengan ayahnya yang telah
marhum itu. Begitulah pada suatu hari Liu Sian telah sampai
dengan selamat di luar kota Hang-ciu.
Disini karena ia mendapat pikiran bahwa berpakaian
cara lelaki adalah lebih leluasa daripada dengan secara
terang-terangan berpakaian sebagaimana apa yang
dikenakannya sekarang ini, maka ia lantas membeli
seperangkap pakaian pria yang kiranya cocok untuk
dikenakan olehnya. Setelah pakaian ini dikenakannya di
suatu tempat yang sunyi, barulah ia menuju ke dalam
kota dan mencari rumah penginapan untuk dijadikan
"pokok operasinya", dari mana dengan secara diam-diam
ia hendak menuju ke gedung residen untuk melakukan
pembalasan terhadap pada pembesar jahanam itu, yang
255 telah menerbitkan kemusnahan dan keruntuhan bagi
rumah tangganya, yang dahulu dirasakannya amat
beruntung dan tenteram di dalam dunia ini.
Maka persoalan itu semakin dipikirkan di dalam
hatinya, Liu Sian jadi semakin jengkel dan sedih,
sehingga ketika ia berdiam beberapa hari lamanya di
kota Hang-ciu dan mengetahui dimana letaknya kantor
residen yang hendak disatroninya itu, pada suatu malam
ia telah keluar dari rumah penginapan dengan diam-diam
dan terus menuju ke kantor tersebut dengan berpakaian
ringkas dan membekal golok yang ia selalu bawa dalam
perjalanannya. Tetapi karena ia bukan seorang yang biasa
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang meminta ketabahan hati sampai begitu jauh, sudah tentu saja ia
jadi keder juga akan segera mulai bertindak menurut
rencana yang telah dipikirkannya sekian lama itu,
terutama ketika melihat penjagaan yang diatur begitu
rapih dan sempurna di sekitar gedung residen tersebut
yang akan dijadikan sasarannya itu.
Maka jikalau mula-mula ia telah membayangkan akan
membalas kepada musuhnya dengan cara ini atau itu
yang agak muluk-muluk buat melampiaskan sakit
hatinya, adalah sekarang ia jadi mundur maju dan buat
beberapa saat lamanya tampak ragu-ragu, karena tak
tahu bagaimana yang harus diperbuatnya selanjutnya.
Begitulah selagi memutar otak dengan perasaan
sedih dan penasaran di suatu pelosok yang gelap di luar
pagar tembok gedung keresidenan, mendadak si nona
mendengar dua orang penjaga malam beromong- omong
sambil duduk mengisap hun-cwee di sebelah pagar
tembok dimana ia bersembunyi.
256 Salah seorang antara penjaga malam itu dengan
suara pelahan-lahan berkata kepada kawannya sebagai
berikut: "Menurut kabar yang aku dapat dengar dari
beberapa teman-teman di kalangan Kang-ouw, Tam-tong
atau kepala polisi rahasia yang baru ini sebenarnya
bukan bernama Thio Sin, tetapi Ngay Houw Cun yang
terkenal dengan gelaran Cap-ek-sin-kauw, hanya belum
tahu sebab apa dia bisa bergaul begitu rapat dengan
residen." "Nama dan gelaran yang kau katakan tadi," kata
penjaga malam yang lainnya, "aku rasanya sudah lama
dapat dengar di kalangan Kang-ouw. Apakah dia itu
bukan seorang kepala kampak yang menjadi musuh
besar dari bekas kepala polisi Bu Ciang Tong di Hamyang, yang kabarnya telah mati di dalam penjara karena
difitnah oleh residen yang sekarang dan menjadi sahabat
karib dari si kepala kampak itu?"
"Hal itu aku kurang tahu," kata si penjaga malam
yang pertama. "Tetapi dari kabar angin yang orang telah
sampaikan kepadaku, aku telah dikasih tahu, bahwa
pangkat yang dipangkunya itupun bukanlah berdasarkan
dari keangkatan resmi karena berhubung dengan jasajasa yang telah diperolehnya, hanyalah....."
Kedua-duanya penjaga malam itu jadi pada tertawa
cekikikan. "Aku tahu, aku tahu. Itulah tentu ada suatu "perkara
e-hem" di dalamnya, bukan?"
"Ya, ya, itulah memang bukan urusan langka bagi
orang-orang hartawan yang kepingin mencari untung
dengan mengandalkan kepada pengaruh kepangkatannya. Semakin mereka kaya, semakin mudah
pula akan mereka "membeli" pangkat yang tinggi", dan
257 berbareng semakin rakus mereka "menerima" sogokansogokan dan tak segan melakukan pemerasan ke kirikanan. Dengan begitu, semakin bertimbun pula harta
benda mereka yang tidak halal. Tinggal kita kaum kecil
yang separuh mati separuh hidup, perut kelaparan,
badan kedinginan....."
"Hus, jangan kau melantur!" kata si penjaga malam
yang kedua. "Kalau hal ini dapat didengar oleh si Ah
Kauw, dia pasti akan mengadu pada sepnya yang baru,
hingga selain kita bisa dihukum rangket, kitapun tidak
mustahil akan dipecat dari pekerjaan kita."
"Apakah si Ah Kauw akan dipekerjakan di bawah
perintah Tam-tong baru itu?"
"Ya, itu sudah pasti," sahut sang kawan yang ditanya
itu. "Syukurlah," kata penjaga malam itu dengan suara
menyindir. "Tukang cun-go bekerja di bawah perintah
kepala kampak, hingga dalam sedikit waktu saja aku
percaya dia bisa ketularan juga menjadi "kepala kampak
kecil!" Dengan mendengari pembicaraan kedua orang
penjaga malam itu, Bu Liu Sian jadi mengetahui semakin
jelas tentang jalannya permusuhan antara An Hun Ie dan
ayahnya almarhum, dengan Cap-ek- sin-kauw yang
campur tangan di antaranya, adalah merupakan sebagai
biang keladi yang menjadi gara- gara dari semua
kecelakaan yang dialami mereka serumah tangga itu.
Maka dengan bertambahnya seorang musuh yang
tak pernah ia impikan sama sekali, sudah tentu saja Liu
Sian jadi menghadapi percobaan yang semakin berat
dan sulit. Karena selain bertambahnya seorang musuh
yang ia belum kenal bagaimana romannya, juga ia telah
258 yakin dengan melihat pada gelarannya yang disebut
Cap-ek-sin-kauw itu bahwa ilmu silat musuhnya itupun
tentunya tidak bisa dikata lemah.
Dari itu, semakin memikirkan urusan dan kesulitankesulitan yang bakal datang itu, Liu Sian jadi semakin
putus asa dan merasa bosan untuk hidup terlebih lama
pula dalam dunia yang penuh dengan kepalsuan dan
kekejian ini. Maka dengan timbulnya kenekatan yang sekonyongkonyong itu, lalu timbullah juga keberanian yang luar
biasa dari si nona, untuk menerjang masuk ke sarang
harimau dan membikin pembalasan pada An Hun Ie yang
menjadi musuh besarnya itu.
Syukur juga Liu Sian pernah meyakinkan ilmu tiamhwe-kin, serupa ilmu kepandaian untuk membikin orang
tidak berdaya dengan jalan ditotok jalan darahnya, dalam
ilmu mana biarpun belum dapat dikatakan ia sangat
pandai, tetapi kepandaian itu pernah juga dicobanya
dengan hasil yang lumayan.
Begitulah setelah berhasil dapat melompati pagar
tembok yang tidak berapa tinggi itu, si nona lalu
menghampiri kepada dua penjaga malam tadi bagaikan
lakunya seekor kucing yang hendak menerkam tikus
yang menjadi mangsanya. Mula-mula ia mendekati mereka dengan jalan
bersembunyi di belakang pohon-pohon yang banyak
terdapat di halaman kantor residen tersebut. Dan tatkala
ia berada cukup dekat di belakang kedua orang itu, Liu
Sian dengan sekonyong-konyong lalu membentak:
"Jangan bergerak atau berteriak, apabila kamu sayang
jiwamu sendiri!" 259 Sambil membentak begitu, si nona segera kelebatkan
goloknya di hadapan muka kedua orang itu.
Hal mana, sudah barang tentu telah membikin
mereka jadi kemekmek saking kagetnya.
Dalam pada itu, Liu Sian yang telah mendapat suatu
akal akan masuk ke gedung residen, lalu menyatakan
pada kedua orang penjaga malam itu supaya mereka
bawa ia menghadap pada residen di saat itu juga.
"Ho-han ini siapa" Asal dari mana, dan ada
keperluan apa malam-malam berkunjung ke sini akan
berjumpa pada paduka residen?" tanya salah seorang
antaranya dengan badan gemetaran dan menyangka
bahwa si nona itu adalah seorang laki-laki.
"Hal itu tidak perlu kamu tahu!" membentak si nona
pula. "Kamu hanya perlu bawa aku menghadap pada
residen, lain daripada itu, tidak perlu kamu menanyakan
apa-apa pula kepadaku! Ayoh, lekas kamu berjalan!"
Kedua orang itu menurut. "Tetapi apabila ada kawan-kawanmu yang menanyakan aku ini siapa," memesan Bu Liu Sian,
"katakanlah bahwa aku ini seorang mata-mata yang baru
kembali dari luar kota! Jangan salah, apabila kamu
sayang jiwamu sendiri!"
"Ya, ya, baiklah," kata mereka dengan hati kebatkebit.
Tatkala mereka berjalan melalui muka gedung
keresidenan, di situ mereka telah diberhentikan oleh dua
orang penjaga malam yang bertugas menjaga di tempat
tersebut. "Kamu siapa?" tanya mereka.
260 "Thio Pin dan Lie Kie," sahut kedua orang yang
mengiringkan si nona yang menyamar itu.
"Itu siapa yang seorang lagi?"
"Mata-mata dari gedung keresidenan yang baru
kembali dari luar kota."
"Ya, kamu boleh lewat!" kata
antaranya dengan suara memerintah.
salah seorang Lie Kie dan Thio Pin melanjutkan perjalanannya
dengan diikuti oleh Bu Liu Sian, yang sekarang telah
masukkan goloknya ke dalam serangkanya yang
digendong di punggungnya.
Beberapa pengawal telah dijumpai dan diberikan
jawaban yang bersamaan ketika mereka menanyakan
siapa adanya si nona itu.
Tidak antara lama mereka telah sampai di gedung
residen, dimana An Hun Ie dan Houw Cun kebetulan
sedang duduk makan minum dengan dilayani oleh
beberapa orang perempuan tukang menari.
Sebagaimana di muka ini telah diterangkan dengan
melalui penuturan yang dilakukan oleh kedua orang
penjaga malam Thio Pin dan Lie Kie tadi, Cap-ek-sinkauw Ngay Houw Cun ini sekarang telah menyabat
pangkat Tam-tong yang diperbantukan di kantor residen
sambil berbareng juga merangkap jabatan penasehat
dari pembesar durjana itu.
Ia ini dengan mengandal pada pengaruh An Hun Ie
yang telah "kasih persen" ia pangkat dengan perdeo,
mulai dari beberapa minggu yang lalu telah datang ke
gedung residen untuk "menjalankan tugas yang Hun Ie
telah percayakan" kepadanya.
261 Kedua manusia busuk ini karena memperoleh harta
rampasan dari Bu Ciang Tong yang dalam teori
dikatakan "disita atas nama negeri", tetapi dalam
prakteknya masuk kantong mereka, bukan saja merasa
sangat girang oleh karena mendapat harta "terkejut" itu,
tetapi juga merasa bersyukur di dalam hati, berhubung
yang dimaksudkan bahaya yang sangat ditakuti itu atau
kepala polisi yang bernasib malang itu " sekarang telah
dapat "diatasi" dengan memberikan kesudahankesudahan yang sangat memuaskan. Oleh sebab itu,
tidaklah heran jikalau hampir setiap hari mereka berpesta
pora dan saling memberi selamat atas keberuntungan
yang mereka telah peroleh bersama-sama itu.
Tetapi tidak kira selagi mereka bermakan minum
dengan gembira, tiba-tiba ada seorang pengawal yang
masuk untuk melaporkan, bahwa di luar ada seorang
mata-mata yang baru kembali dari luar kota dan ada
urusan penting yang perlu disampaikan kepada paduka
residen seketika itu juga.
Sementara An Hun Ie yang memang biasa melepas
mata-mata di luaran buat mencari tahu tentang gerakgerik dan sikap penduduk negeri yang berada di bawah
perintahnya, dengan lantas ia mengasih perintah supaya
"si mata-mata" itu segera datang menghadap.
Diceritakan ketika pengawal tadi masuk melaporkan
tentang kedatangannya kepada residen jahanam itu, Bu
Liu Sian dengan sebat lalu menotol jalan darah Thio Pin
dan Lie Kie, yang segera menjadi kaku dan tak dapat
berbicara, hingga biarpun mereka bisa melihat, tetapi
sama sekali tak dapat bergerak dan tinggal berdiri tegak
di luar gedung residen bagaikan dua buah patung.
Demikian juga waktu si pengawal itu keluar, ia inipun
lantas di tiam oleh si nona dan menjadi bisu seperti juga
262 kedua orang penjaga malam yang telah "dikerjakannya"
tadi itu! Kemudian, sebegitu lekas ia berhadapan dengan
An Hun Ie dan Ngay Houw Cun yang sedang berduduk
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan minum, bukan saja ia tidak memberi hormat atau
mengunjuk sikap yang manis, tetapi sebaliknya dengan
berseru: "Jahanam! Oleh karena perbuatan kamu
berdua, maka ayah-bundaku berikut rumah tanggaku
telah binasa dan termusnah dalam keadaan yang sangat
menyedihkan!" Mendengar bentakan yang sangat mendadak itu,
sudah tentu saja Hun Ie jadi terperanjat bukan main,
kemudian ia jadi gemetaran karena ketakutan, sebab
disamping sikap si nona yang begitu gagah dan berani,
iapun merasa cemas melihat Bu Liu Sian menghunus
golok yang sinarnya berkilau-kilauan di bawah api lilin
yang terang benderang. Kecuali Ngay Houw Cun, yang selain berhati tabah,
juga paham ilmu silat, hingga dengan lantas ia dapat
menetapkan kembali hatinya dan setelah mengalami
sedikit kekagetan, memandang pada si nona dengan
mata tidak berkesip. "Setelah sekarang aku berhasil bisa mencari tempat
kediamanmu dan bertemu denganmu berdua di sini,"
melanjutkan si nona, "aku tak minta lain daripada jiwamu
berdua sebagai penggantian jiwa ayahku yang telah
kamu fitnah sehingga binasa itu! Ni! Kamu boleh rasakan
golokku yang tidak bermata!"
Sambil berkata begitu, Liu Sian segera membacok
pada An Hun Ie, hingga si residen jahanam ini yang
memang tidak mengerti ilmu silat, bukan saja tak dapat
berkelit untuk menghindarkan diri daripada bacokan itu,
tetapi sebaliknya lantas mengeluarkan suara teriakan
ngeri: "Ho-han! Ampun!"
263 Kemudian terdengar suara bergedubrakan
pembesar jahanam itu telah jatuh ke atas jubin.
dan Liu Sian jadi kaget dan lekas tarik pulang goloknya
yang telah dipakai membacok dengan terlalu terburu
napsu itu. Karena apabila ia tidak lekas tarik pulang golok
itu, Houw Cun yang ia tahu paham ilmu silat dapat
merampasnya selagi tenaganya dicurahkan ke ujung
senjata tersebut. Apakah sebabnya Liu Sian yang membacok, tetapi
jadi berbalik kaget oleh karena perbuatannya itu"
Hal ini kiranya perlu juga untuk diterangkan sedikit.
Tatkala si nona membacok pada An Hun Ie,
sebenarnya ia tidak kira yang bacokan itu bisa kejadian
gagal. Karena waktu si nona membacok dengan hati
yang sangat bernapsu, ia sama sekali tidak menduga,
kalau Houw Cun yang duduk berhadapan dengan
residen bangpak itu, telah tendang kursi Hun Ie sehingga
terbalik. Maka berbareng dengan terbaliknya kursi itu,
lalu terjungkellah orang yang duduk di atasnya. Dan
itulah ada saat yang sangat berbahaya, ketika goloknya
Liu Sian menyamber ke arah musuhnya, hingga dengan
begitu, Hun Ie telah diselamatkan jiwanya oleh Houw
Cun yang selalu berlaku waspada di setiap waktu
berhadapan dengan musuh. Sementara si nona yang melihat maksudnya telah
digagalkan oleh si kepala kampak, dengan gusar lantas
menerjang pada Ngay Houw Cun sambil berseru:
"Manusia terkutuk! Aku bersumpah tak akan mau hidup
bersama-sama engkau di kolong langit ini!"
Sementara Houw Cun yang di tangannya tidak
bersenjata sama sekali, buru-buru sembat sebuah kursi
264 di dekatnya, dengan mana ia telah menangkis golok si
nona yang dibacokkan secepat kilat ke arah dirinya.
Dan dalam pada itu Hun Ie yang telah keburu bangun
dan lari terbirit-birit dari dalam ruangan itu, lalu teriakan
pengawal-pengawal yang bersenjata buat datang
membantui mengepung si nona yang sedang bertempur
dengan Houw Cun yang bersenjatakan diri dengan
sebuah kursi itu. Maka dengan teriakan pembesar itu yang disorakkan
dengan sekeras-kerasnya, dalam tempo sekejapan saja
ruangan itu telah penuh dengan pengawal- pengawal
bersenjata yang maju mengepung pada Bu Liu Sian
sambil bersorak-sorak untuk bantu menambahkan
keangkeran. Tetapi sebaliknya si nona yang melihat
semakin lama orang yang datang mengepung padanya
jadi semakin banyak jumlahnya, sudah tentu saja jadi
kuatir dan buru-buru berlompat keluar ruangan akan
mencari jalan buat meloloskan diri.
"Tangkap, tangkap! Jangan kasih lolos pembunuh
itu!" teriak Hun Ie dari kejauhan. "Barang siapa yang
berhasil dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan
diberi hadiah seribu tail perak!"
"Tangkap, tangkap! Jangan kasih lolos pembunuh
itu!" supaya semua orang tambah semangat dalam
pengepungan terhadap pada si nona yang merupakan
sebagai suatu bahaya yang bukan kecil bagi dirinya.
Tetapi Liu Sian biarpun pernah belajar silat di bawah
pimpinan seorang ahli sebagai ayahnya sendiri, ilmu
kepandaian itu bukanlah khusus untuk mendidik ia akan
menjadi seorang ahli di dalam kalangan ilmu silat, maka
sesudah bertempur dengan Houw Cun beberapa belas
jurus saja lamanya, ia sudah lantas ketahui, bahwa ia
265 bukan tandingan yang setimpal dari kepala kampak itu,
hingga biarpun hatinya masih sangat penasaran, apa
boleh buat ia mesti tahan sabar dahulu akan mengalah
pada kali ini dan kembali pula dilain waktu dengan
mengambil cara yang lebih taktis dan tidak terburu napsu
seperti sekarang ini. Begitulah setelah melihat ada sedikit lowongan untuk
meloloskan diri, Bu Liu Sian lekas ayunkan tangannya
sambil berseru: "Jahanam! Kau rasakan ini pop-wee ku!"
Houw Cun buru-buru berlompat sambil berjongkok
dan menundukkan kepalanya, karena kuatir dilukai oleh
senjata rahasia musuh itu. Padahal semua itu adalah
suatu gertakan belaka, iang semata-mata dilakukan si
nona untuk membikin terkesiap hati si kepala kampak itu!
Maka dengan mengambil ketika selagi Houw Cun berkelit
dan berlaku sedikit ajal dalam perlawanannya, Liu Sian
segera meloloskan diri dengan jalan melompati pagar
tembok dan terus menghilang di antara lorong-lorong
yang gelap dan memang telah diperhatikan beberapa
hari lamanya untuk dipergunakan sebagai jalan untuk
merat. Dari itu, biarpun Houw Cun telah mengerahkan
semua tenaga yang ada di bawah perintahnya untuk
melakukan pengejaran, tidak urung Liu Sian telah dapat
juga meloloskan diri, tak dapat dicekal ataupun diketahui
ke arah mana larinya. Hal mana, sudah barang tentu,
telah membikin Houw Cun jadi sangat jengkel dan
terpaksa menghentikan usaha pengejarannya itu.
3.17. Penyerangan Terhadap Residen Jahat
Sekembalinya ke gedung residen, si kepala kampak
ini buru-buru pergi menjumpakan An Hun Ie, yang
266 ternyata tidak mendapat luka apa-apa selain mengalami
sedikit kekagetan. Dan sesudah menyatakan kegirangannya melihat sep bebodor itu tidak kurang
suatu apapun, Houw Cun lalu menganjurkan agar
supaya Hun Ie segera mengeluarkan maklumat untuk
menangkap pembunuh yang telah gagal itu. Hun Ie
membenarkan dan menurut usul gundalnya itu.
Kemudian dengan tidak menunggu lagi sampai di hari
esoknya, pada malam itu juga residen keji ini telah
perintah pengawal-pengawalnya buat menulis maklumat
itu, yang antara lain berbunyi sebagai berikut: "Barang
siapa yang dapat menangkap si pembunuh itu, mati atau
hidup, akan diberi hadiah seribu tail perak, tetapi barang
siapa yang berani melanggar perintah serta berani
menyembunyikan si pembunuh, bukan saja harta
bendanya akan disita oleh negeri, malah orangnya pun
akan dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan si
pembunuh itu sendiri!" Maka semenjak dikeluarkannya
maklumat-maklumat itu, para penduduk dan pemilikpemilik rumah penginapan jadi keder buat menerima
sembarang orang yang agak mencurigakan akan
menumpang tinggal. Dan jikalau ada juga beberapa
orang diterima untuk menumpang menginap, mereka tak
suka mengizinkan si tetamu itu berdiam lebih lama
daripada tiga hari. Oleh sebab itu juga, tidaklah heran kalau Bu Liu Sian
yang perlu berdiam agak lama buat mencapai
maksudnya untuk membikin pembalasan pada An Hun Ie
dan Ngay Houw Cun, jadi ketakutan karena diadakannya
larangan tersebut. Untuk dapat menghindarkan diri daripada intaian
mata-mata dan orang-orangnya Ngay Houw Cun yang
selalu berkeliaran ke sana-sini dan sewaktu- waktu
mengadakan penggeledahan dengan sekonyong267
konyong, Liu Sian terpaksa bersembunyi di kelenteng
Leng-coan-sie, dengan ia sendiri sama sekali tak pernah
menyangka, bahwa berdiamnya ia di situ telah
menerbitkan "lelakon burung" tentang adanya "hantu
putih" yang bersarang di kelenteng kuno tersebut.
Lebih jauh karena Liu Sian yang sudah putus asa
kerap uring-uringan dan merasa jemu dengan
pengunjung-pengunjung yang datang ke situ, maka tidak
jarang ia menyambut mereka itu dengan sambitansambitan batu bata atau genteng, agar supaya mereka
kapok akan selanjutnya berkunjung pula ke situ. Tidak
tahunya perbuatan itu telah menarik juga perhatiannya
Lie Poan Thian, sehingga karena usahanya ini, akhirnya
dapatlah dibongkar suatu perkara penasaran seperti apa
yang telah dituturkan oleh si nona tadi.
Pemuda kita mendengari semua penuturan itu
dengan penuh perhatian. Disamping menyatakan
simpathi dan menghibur supaya si nona jangan terlalu
bersusah hati, iapun menyatakan kesediaannya untuk
bantu berikhtiar akan membasmi residen jahanam berikut
gundalnya yang amat keji itu.
Begitulah setelah minta supaya Liu Sian suka
bersabar dahulu sedikit waktu lamanya, Poan Thian lalu
berpamitan akan kembali ke tempat penginapannya.
"Sebentar malam dengan mengajak seorang kawanku,"
ia menambahkan, "aku akan kembali pula ke sini buat
bantu merembukkan lebih jauh urusanmu ini. Karena
setelah selesai penggerebekan kedua yang akan
dilakukan terhadap sarang kawanan manusia busuk itu,
tidak perduli apakah maksud itu bisa berhasil atau tidak,
kita sekalian perlu angkat kaki selekas-lekasnya dari sini,
kalau tidak, kita akan dicekal oleh alat-alat negara
268 sebagai kawanan pengacau yang kesejahteraan dan tata-tertib di dalam negeri."
merusak Oleh karena itu, maka si nona pun berjanji akan turuti
sesuatu pengajarannya pemuda kita. Kemudian Poan
Thian kembali ke tempat penginapannya, dimana ia
dapatkan Kong Houw sedang duduk termenung di atas
pembaringannya. Dan tatkala melihat Poan Thian kembali dengan
mengambil jalan dari jendela kamar, ia jadi berbangkit
dan hendak buka mulut buat menanyakan apa-apa,
tetapi Poan Thian lekas memberi isyarat supaya ia
jangan bikin ribut. Setelah itu ia mendekati pada Kong
Houw dan bicara dengan perlahan-lahan, katanya: "Kali
ini aku telah ketemukan suatu perkara Wan-ong, suatu
persoalan yang membuat kita turut merasa penasaran,
hingga tak boleh tidak akan kita turut campur tangan
dalam urusan ini." "Cobalah kau tuturkan persoalan itu kepadaku," kata
Kong Houw yang sudah barang tentu belum mengerti
jelas bagaimana duduknya perkara yang benar. Poan
Thian lalu tuturkan pengalamannya tadi. Dengan ini,
benar saja Cin Kong Houw jadi kelihatan mendongkol
ketika mendengar penuturan itu.
"Kurang ajar benar perbuatannya manusia-manusia
terkutuk itu!" katanya dengan suara agak keras.
Beruntung juga Poan Thian lekas tekap mulut sang
kawan yang bertabeat pemarah itu, hingga suara itu tidak
sampai menarik perhatian pelancong -pelancong lain
yang turut bermalam di rumah penginapan itu.
"Habis bagaimana rencanamu, yang akan menolong
nona itu untuk melaksanakan maksudnya akan menuntut
269 balas kepada musuh-musuhnya?" Cin Kong Houw
meminta keterangan sekali lagi kepada sahabatnya itu.
"Kukira tidak ada jalan lain daripada kita membantui
dia akan melakukan penyerbuan pula untuk kedua
kalinya," sahut Poan Thian. "Berhasil atau tidak, itulah
tinggal tergantung pada nasib masing-masing. Oleh
karena itu, sekarang aku hendak minta bantuanmu sekali
ini untuk menunaikan janjiku pada nona Bu Liu Sian,
dengan suatu perjanjian yang kau tidak akan menyesal di
dalam hati, jikalau dalam usaha yang berbahaya ini kau
sampai mengalami kejadian apa- apa yang tidak
diinginkan. Karena dalam pekerjaan kita pada kali ini, kita
semua membantu pada nona Bu bukan dengan arti suka
rela saja, bahkan ada kemungkinan mempertaruhkan
juga jiwa kita sendiri, kau mengerti?"
"Jiwaku yang sekarang ini, adalah jiwa punyamu
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga," sahut Kong Houw, "karena jikalau bukan kau yang
menolong aku dari tangan komplotan Poo Tin Peng,
bukan saja tak mampu aku membikin pembalasan
kepada musuh-musuhku itu, malah jiwaku sendiripun
bisa melayang di dalam tangan manusia busuk itu. Maka
sebagaimana apa kataku dahulu di hadapanmu,
bukanlah semata-mata bermaksud untuk "mengumpak"
saja. Benar aku ini ada seorang kasar, tetapi sebegitu
jauh yang aku pernah ingat, tidak pernah aku menjilat
pula ludah yang sudah dibuangkan di tanah! Percayalah
padaku, Lie Lauw-hia."
Poan Thian tersenyum dan kelihatan mau percaya
omongan Kong Houw yang bertabiat keras tapi jujur itu.
Maka setelah membayar ongkos makan dan
penginapan, pada hari esoknya Poan Thian kembali
dengan diam-diam ke kelenteng Leng-coan-sie dengan
mengajak sahabat karibnya itu. Begitulah dengan
270 menunggang kuda-kuda yang dapat berlari cepat, kedua
orang itu lalu menuju ke pegunungan Houw-kiu-san
dengan membekal sedikit makanan kering, untuk mereka
dan si nona yang bersembunyi di sana, yang tentunya
membutuhkannya selama berada dalam persembunyiannya itu. Kira-kira pada waktu magrib, barulah Poan Thian dan
Kong Houw berani datang ke kelenteng kuno itu, dimana
mereka telah disambut oleh Liu Sian yang telah ajak
mereka masuk ke dalam kelenteng.
"Inilah ada sahabatku Cin Kong Houw," Poan Thian
memperkenalkan sahabatnya pada si nona. Liu Sian
lekas memberi hormat, yang lalu disambuti oleh Kong
Houw sebagaimana mestinya.
"Nona Bu ini adalah puteri almarhum Bu Ciang Tong
Lo-cianpwee yang namanya sangat terkenal di kalangan
Kang-ouw," kata Lie Poan Thian. "Bu Lo- enghiong telah
difitnah orang sehingga nona Bu
mengalami kesengsaraan besar dan terlunta-lunta di luar kota
tumpah darahnya. Kita semua belum berhasil dapat
menjumpai Bu Lo-enghiong di waktu masih hidupnya,
hingga ini sesungguhnya amat tidak beruntung bagi kita
ahli silat angkatan muda. Tetapi karena mengingat
bahwa akan menjumpai nona Bu adalah sama saja
seperti kita menjumpai Bu Lo- enghiong sendiri, maka
tidak lebih dari pantas akan kita membantu pada nona
Bu yang menjadi puterinya. Karena dengan jalan berbuat
begitu, bukan saja berarti kita bantu meringankan
kesukaran nona Bu sendiri, tetapi berbareng juga bantu
Bu Lo- enghiong membalas sakit hati kepada musuhmusuhnya yang sangat busuk dan keji itu.
"Bahkan disamping itu, kita jadi berbareng juga bantu
meringankan kesengsaraan anak negeri yang diperas
271 dan dipermainkan dengan secara sewenang-wenang
oleh An Hun Ie dan Ngay Houw Cun yang menjadi biang
keladi dari semua kebencanaan ini. Tetapi belum tahu
pikiran Cin Lauw-hia bagaimana?"
"Aku ini biarpun seorang kasar yang tidak mengerti
aturan," kata Cin Kong Houw, "tetapi bisa juga aku
membedakan antara mana yang benar dan tidak benar.
Terhadap pada perkara yang benar, sudah tentu tidak
perlu aku pusingi hati apa-apa, tetapi terhadap urusan
nona Bu ini yang merupakan suatu perkara wan-ong
yang bukan kecil dan justeru memang sangat perlu buat
dibantu, aku bersedia buat mengorbankan jiwaku, jikalau
itu ternyata perlu!"
"Tetapi itulah bukan bagianmu yang mesti berbuat
begitu," memotong si nona sambil menghapus airmata
yang mengucur di pipinya. "Itulah ada kewajibanku
sendiri yang menjadi puterinya, tidak perduli apa juga
yang akan terjadi atas diriku."
"Hal ini tidak perlu lagi kita saling merendahkan diri,"
Lie Poan Thian menyelak di antara pembicaraan mereka
berdua. "Paling betul kita sekarang dahar dahulu
seadanya, karena sebentar kita mesti melakukan
penyerbuan yang terakhir dan memastikan berhasil atau
gagal, itulah akan kita lihat apa yang akan terjadi pada
petang ini. Pauwhok- pauwhok kita boleh tunda dahulu di
sini. Juga kuda- kuda kita boleh tunda dan jangan
dilepaskan selanya, agar supaya binatang-binatang itu
bisa segera dipergunakan dimana dirasa perlu.
"Barang siapa yang sudah berhasil bisa menerobos
masuk ke gedung residen, janganlah sembarangan
membunuh orang-orang yang tidak ada sangkut- pautnya
dengan kita. Tugas kita yang utama, adalah akan
membunuh An Hun Ie dan Ngay Houw Cun berdua.
272 Setelah itu, kita boleh kembali ke sini, agar supaya kita
bisa selekas mungkin melarikan diri ke tempat lain yang
lebih aman dan sentosa."
Kong Houw dan Liu Sian menyatakan mufakat
dengan omongan itu. Begitulah setelah selesai dahar
dan minum air dari pancuran di belakang kelenteng itu,
Poan Thian lalu minta mereka segera bersiap-siap,
berpakaian buat berjalan di waktu malam, membekal
golok dan senjata-senjata lain yang perlu dipakai dalam
pertempuran dengan musuh.
Kemudian mereka menuju ke gedung residen untuk
membikin penyerbuan mati atau hidup buat membalas
sakit hati Bu Ciang Tong yang telah difitnah oleh residen
jahanam dan gundalnya yang amat keji itu.
Dalam perjalanan, si pemarah Kong Houw yang
kasar mendadak telah mendapatkan suatu akal yang
baik sekali. "Kukira ada juga baiknya," katanya kepada Lie Poan
Thian, "apabila kita yang berjumlah sedikit masuk ke
gedung residen dengan menggunakan suatu akal halus."
"Ya, itu sudah tentu saja baik sekali," sahut pemuda
kita. "Tetapi akal apakah yang dapat kau pikir akan
segera dapat di jalankan di saat ini?" "Begini," kata Kong
Houw pula. "Sebagaimana telah disebutkan dalam
maklumat yang dikeluarkan dari keresidenan, para
penduduk dan pemilik-pemilik rumah penginapan
diperingatkan supaya jangan menerima tetamu-tetamu
yang agak mencurigakan. Maka barang siapa yang
berani melanggar perintah itu, sehingga kemudian
menerbitkan keributan, bukan saja harta benda yang
tersangkut bisa disita, malah dirinya orang itupun akan
273 dihukum dengan sama beratnya seperti orang yang
dianggap berdosa itu."
"Ya, ya," kata Lie Poan Thian. "Setelah itu, kau
hendak berbuat bagaimana untuk menipu residen
jahanam berikut gundal-gundalnya itu?"
"Untuk itu aku boleh, menyamar sebagai seorang
tawanan," sahut Kong Houw, "sedangkan lauw-hia boleh
berlaku sebagai orang yang mengajukan aku kepada si
residen. Badanku dan tanganku kau boleh ikat begitu
rupa, sehingga dengan begitu aku tampak sebagai
seorang tawanan sungguhan, tetapi tali itu harus dibikin
mudah terbuka, supaya aku mudah pula akan bergerak
dan segera melakukan penyerbuan dimana tiba saatnya
akan kita berbuat begitu.
Aku sendiri tidak tahu pengaduan apa yang
selanjutnya harus disampaikan pada residen bebodor itu,
hingga tentang ini aku serahkan supaya lauw-hia sendiri
mencari alasan-alasan yang masuk di akal, karena aku
sendiri yang memang kurang pandai menyusun kalimatkalimat yang agak boleh dipercaya orang, tak tahu
bagaimana harus melaksanakannya."
"Tentang itu baik diatur begini saja," kata Lie Poan
Thian. "Aku menyamar sebagai anak seorang pemilik
rumah penginapan yang justeru sedang berlatih ilmu
silat, ketika kau " sebagai seorang tetamu " datang
membikin ribut dalam rumah penginapanku, berhubung
kau ditolak oleh ayahku untuk menumpang menginap di
rumah penginapanku, karena ayahku bercuriga melihat
roman dan dandananmu. Oleh sebab itu, kau jadi marah
dan akhirnya jadi bertempur serta kena ditawan olehku.
Nanti di hadapan si residen aku memberitahukan, bahwa
kau ini mungkin juga ada komplotannya si pembunuh
yang tersebut dalam maklumat itu, maka dari itu, aku
274 bawa kau menghadap pada residen buat dilakukan
pemeriksaan dan pengompesan lebih jauh. Sementara
buat membikin orang-orang yang menyaksikan kita tidak
menaruh curiga apa-apa, aku minta supaya kau memakimaki dan seolah-olah hendak melawan kepadaku, waktu
aku giring kau menghadap ke kantor residen.
Dalam pada itu nona Bu yang memang sudah
dikenali oleh si residen jahanam dan gundal-gundalnya di
sana, baiklah jangan turut "menyelenggarakan"
permainan komidi ini."
"Kalau begitu," kata Liu Sian, "belum tahu Lie Congsu akan memberikan aku tugas bagaimana?"
Cong-su artinya orang gagah. Suatu bahasa sebagai
tanda penghormatan. "Bagi kau," kata pemuda kita,
"paling betul bersembunyi dahulu di tempat gelap buat
menunggu ketika yang baik akan turun tangan. Apabila
kau mendengar di kantor residen ada kejadian ribut-ribut,
bolehlah kau segera keluar juga membikin ribut di bagian
lain dari gedung ini. Maka biarpun kita datang hanya
bertigaan saja, tetapi ramai dan orang tak mungkin
percaya, bahwa pihak kita yang menyerbu ke sana hanya
terdiri dari tiga orang saja jumlahnya." "Ya, ya, siasat itu
memang baik sekali," menyetujui Kong Houw dan si
nona. Kemudian Poan Thian lalu atur tipu daya itu selekas
mungkin, agar supaya nanti dapat segera "di jalankan",
jikalau sampai ke kantor residen. Sekarang kita menilik
pada An Hun Ie dan Cap-ek-sin- kauw Ngay Houw Cun,
yang telah mengatur penjagaan semakin keras di kantor
residen, semenjak Liu Sian melakukan percobaan
membunuh atas residen keji itu. Petang hari itu selagi
sep dan gundalnya berembuk, cara bagaimana akan
melakukan penyelidikan dimana tempat sembunyinya si
275 pembunuh yang mereka telah ketahui ada puterinya Bu
Ciang Tong, mendadak ada seorang pengawal yang
melaporkan, bahwa di luar ada seorang puteranya
pemilik rumah penginapan yang membawa menghadap
seorang tetamu yang dicurigai sebagai komplotannya si
pembunuh yang telah menyatroni gedung residen pada
beberapa hari yang telah lalu itu.
Tetapi karena kuatir bahwa semua itu adalah akal
bulus dari musuh-musuh mereka, maka Hun Ie tidak
lantas panggil orang-orang itu akan datang menghadap,
hanyalah ia menanyakan dahulu pikirannya Houw Cun,
apakah orang-orang itu boleh disuruh menghadap atau
dibiarkan saja pengaduannya diurus oleh orang-orang
sebawahannya" ,,Ini semua adalah akalan belaka," kata si kepala
kampak sambil bersenyum getir. "Jikalau kita biarkan
mereka berada di luar, mereka tentu mudah melarikan
diri. Maka buat membikin mereka tidak berdaya, baiklah
Tay-jin perintah supaya mereka datang menghadap. Aku
di sini ada suatu akal untuk menjebak mereka itu."
Kemudian, sambil menoleh pada si pengawal, Houw
Cun lalu bertanya: "Belum tahu mereka itu semua ada
berapa orang?" ,,Hanya berduaan saja, anak pemilik rumah
penginapan dan orang tawanannya itu," sahut si
pengawal. Mendengar jawaban demikian, Cap-ek-sin-kauw
Ngay Houw Cun jadi mengkerutkan dagunya sesaat
lamanya. Mula-mula ia kelihatan mengangguk- angguk,
kemudian perintah pengawal itu buat memanggil kepala
opas si Ah Kauw. 276 "Kepada anak pemilik rumah penginapan itu, kau
boleh minta supaya dia suka menunggu dahulu," kata
Ngay Houw Cun, "karena Tay-jin di sini justeru sedang
sibuk mengurus suatu perkara penting."
Si pengawal itu mengatakan: "Mengerti." Kemudian ia
berjalan keluar buat minta anak pemilik rumah
penginapan itu menunggu dahulu. Poan Thian
menjawab: "Baik," meskipun hatinya sendiri mendadak
jadi bercekat, melihat gerak-gerik si pengawal itu.
"Aku harap supaya tuan suka menunggu panggilan di
sini," kata si pengawal itu, "karena aku ada urusan lain
yang perlu diurus." "Ya," sahut Poan Thian dengan sembarangan.
Tatkala si pengawal telah berlalu jauh, pemuda kita lalu
melirik pada Kong Houw yang menjadi orang tawanan
tetiron sambil berbisik: "Celaka! Mungkin juga mereka
telah mengendus, bahwa kita di sini hendak mengakali
mereka." "Tidak usah kau banyak bacot! Kau telah menipu
aku!" Kong Houw mendadak memaki kalang kabut
bagaikan lakunya seorang edan. "Setelah kau terima
uang pembayaran kamarku, kau lantas katakan aku
bersekongkol dengan pembunuh yang disiarkan dalam
maklumat itu!" "Tutup bacotmu!" akhirnya Poan Thian pun ikut "main
sandiwara". "Kau memaksa buat minta menginap di
rumah penginapan kami, hingga seolah-olah kau hendak
fitnah kami serumah tangga. Kau membikin ribut dan
merusakkan segala perabotan di rumah penginapan
kami, apakah itu bukan berarti bahwa kau ini seorang
pengacau yang mengganggu kesejahteraan dan tatatertib di dalam daerah kota Hang-ciu ini?"
277
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, kamu jangan bikin ribut di sini!" membentak
pengawal tadi, yang telah kembali dengan mengajak
kepala opas Ah Kauw. "Jikalau kamu ada urusan wanong yang perlu meminta keadilan, katakanlah itu nanti di
hadapan Tay-jin, tetapi bukan mestinya kamu tarik urat di
sini. Kamu mengerti?" Poan Thian dan Kong Houw apa
boleh buat tutup mulut sebagai tanda mengindahkan atas
perintah si pengawal itu.
Dan ketika balik kembali habis mengantarkan Ah
Kauw menghadap pada residen jahanam itu, barulah si
pengawal memberi tanda supaya Poan Thian dan Kong
Houw boleh masuk menghadap. Poan Thian menurut
sambil mengiringi orang tangkapannya. Tetapi tidak kira
ketika baru saja ia berjalan beberapa tindak, mendadak
Ah Kauw maju menerjang buat menyergap Lie Poan
Thian sambil berseru: "Bangsat! Apakah kamu kira kita
semua anak-anak yang masih menyusu, sehingga begitu
gampang diselomoti oleh segala muslihatmu yang busuk
itu" Jangan lari! Aku Bu Ah Kauw belum mau sudah,
apabila belum dapat membekuk dan membuka rahasia
kamu berdua!" Sementara Poan Thian yang sekarang telah
mengetahui, bahwa mereka tak dapat pula melanjutkan
permainan "sandiwara" mereka itu, dengan lantas
miringkan badannya buat kasih lewat tangannya Ah
Kauw yang hendak menyekal kepadanya, sedang
sebelah kakinya lalu digerakkan buat menyapu kaki si
kepala opas itu. Ah Kauw lekas berkelit, tetapi karena
berlaku kurang cepat, tidak urung kena juga ia
"diserampang" kakinya sehingga jatuh terjungkel
bagaikan sebuah kundur yang gugur dari tangkainya,
maka selain maksudnya yang akan menyergap telah
gagal, malah dirinya sendiri berbalik mendapat hadiah
tendangan dari pemuda kita.
278 Para pengawal residen yang lainnya ketika
mendengar suara ribut-ribut, sudah tentu saja segera
memburu ke gedung residen, buat membantu
menangkap orang-orang yang dengan sekonyongkonyong telah membikin ribut dengan tidak mengetahui
apa sebabnya. Tetapi Ngay Houw Cun yang lebih siang telah
singkirkan An Hun Ie ke tempat lain yang lebih aman,
dengan membekal golok segera keluar dan maju
menerjang pada Lie Poan Thian sambil membentak:
"Bangsat! Jangan lari! Aku Thio Sin hendak menjajal
golokku yang sudah lama haus darah dan hampir karatan
ini!" Poan Thian tertawa menyindir sambil berkata: "Apa"
Thio Sin" Aku rasanya belum pernah dengar nama itu!
Apakah itu bukan Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun?"
Mendengar omongan itu, si kepala kampak jadi
berjengit bagaikan orang dipagut ular, sehingga buat
beberapa saat lamanya ia merandek dan memandang
pada pemuda kita dengan mata yang tidak berkesip.
Tetapi sudah barang tentu bukan perkara mudah, akan
memikirkan cara bagaimana Poan Thian telah dapat
mengenali kepadanya. Sementara Cin Kong Houw yang sekarang merasa
tak berguna lagi akan "bermain komidi", buru-buru
melepaskan tali-tali ikatan hidup dari badannya, hunus
goloknya dari atas bebokongnya dan terus meladeni
Ngay Houw Cun sambil berkata: "Hei, kepala kampak!
Janganlah kau bertingkah di hadapan kakek moyangmu!
Aku inilah orang she Cin yang hendak meminjam
kepalamu untuk dijadikan sam-seng!"
279 Ngay Houw Cun jadi amat gusar dan lalu mainkan
goloknya dengan cepat buat mengindarkan diri daripada
serangan musuh itu. Sebaliknya Poan Thian yang melihat Houw Cun telah
berbalik diserang oleh Kong Houw, dengan tidak
membuang tempo lagi segera tendang si Ah Kauw
sehingga terpental dan jatuh pingsan, kemudian sambil
berlari ke sana-sini buat mencari tempat persembunyian
An Hun Ie, pemuda itu telah menggunakan kaki dan
tangannya buat memukul dan menendang para
pengawal yang dalam tempo sekejapan saja telah
berkerumun bagaikan kawanan semut yang datang
mengerumuni gula-gula kegemaran mereka.
Demikianlah selagi pertempuran-pertempuran itu
berlangsung dengan amat hebatnya, sekonyongkonyong terdengar beberapa orang yang berseru: "Ada
api! Ada api! Ayolah, sebagian dari kamu yang ada di
sini, lekas pergi bantu memadamkan api yang berkobarkobar di halaman belakang kamar An Tay- jin!"
Kemudian disusul pula oleh para pengawal kelompok
lain yang berseru: "Saudara-saudara, di sana pun
ternyata ada kawanan pengacau yang menerjang masuk!
Lekaslah kepung padanya agar dapat lekas dibekuk!"
Dengan mendengar seruan-seruan yang diucapkan
oleh kedua kelompok para pengawal tadi, maka Poan
Thian dan Kong Houw pun lantas mengerti, bahwa pada
saat itu Liu Sian di bahagian sana sedang beraksi buat
membikin keadaan jadi semakin kacau. Tetapi karena
kuatir si nona tak dapat bergerak dengan leluasa, maka
Poan Thian lalu keluar dari kalangan pertempuran
dengan menggunakan siasat yan-cu-cwan-liam, untuk
pergi membantu si nona yang sedang dikepung para
pengawal dalam gedung keresidenan di situ. Karena
280 selama pertempuran- pertempuran itu berlangsung, ia
telah perhatikan dengan cukup jelas, bahwa disamping
meladeni bertempur Ngay Houw Cun, Kong Houw pun
masih sanggup menangkis serangan-serangan yang
datang dari kiri-kanan. Maka karena percaya bahwa
sahabat ini akan tahan meladeni musuh-musuhnya
sampai beberapa waktu lamanya, ia segera menerjang
masuk ke bagian dalam ruangan kantor residen, yang
ternyata bersambung dengan sebuah ruangan besar
yang dijaga oleh beberapa orang penjaga pilihan muridmuridnya si kepala kampak she Ngay itu. Dengan
bersenjatakan golok, Poan Thian telah tempur mereka itu
dan berhasil bisa melanjutkan penyerbuannya ke tempat
kediaman residen, setelah terlebih dahulu dapat melukai
beberapa orang penjaga-penjaga yang bertugas di situ.
Dan tatkala An Hun Ie mendengar suara ribut-ribut
dan diberitahukan bahwa kawanan pengacau telah
menyerbu dari segala jurusan, sudah tentu saja sangat
ketakutan dan kebingungan. Lebih-lebih ketika ia
mendengar Bu Liu Sian berseru: "Aku hanya hendak
minta kepalanya An Hun Ie!" residen itu seolah-olah
merasakan dirinya dihinggapi penyakit demam dengan
secara tiba-tiba. Ia lari kian-kemari bagaikan seorang edan. Justeru itu
Liu Sian yang telah sampai di pintu depan dari kamar di
mana Hun Ie bersembunyi, sekonyong- konyong telah
berpapasan dengan sekawanan penjaga yang sebagian
besar telah dilukai oleh Poan Thian tadi. Sedang maksud
penjaga-penjaga ini datang ke situ, adalah buat
memberitahukan, agar supaya si residen bangpak itu
segera mencari tempat berlindung lain yang lebih aman.
Karena jikalau ia tak lekas berlalu dari situ, dikuatirkan
pihak pengacau yang ternyata tidak bisa dikata lemah,
281 akhirnya akan sampai juga ke situ dan ketemukan si
induk semang di tempat persembunyiannya.
Tetapi sungguh tidak dinyana, ketika baru saja
sampai di halaman lorong yang menembus ke ruangan
tersebut, mendadak mereka telah berpapasan dengan si
nona, hingga dengan satu teriakan nyaring Liu Sian
segera terjang mereka dan terbit pertempuran hebat,
yang telah membikin Hun Ie yang berada di dalam kamar
dan mendengar dengan tegas peristiwa itu, dengan tidak
terasa lagi jadi jatuh duduk dan mengeluh: "Celaka!
Celaka! Sekarang si pembunuh itu berada di luar kamar!
Kemanakah aku mesti lari" Kemanakah aku mesti
bersembunyi untuk menyelamatkan diriku?"
"Lari! Lari!" Kemudian terdengar suara teriakan yang
riuh sekali dari beberapa orang penjaga yang merasa
tidak sanggup bertahan lebih jauh buat meladeni pada si
nona itu. "Saudara-saudara! Lekaslah beritahukan
supaya Tay-jin segera berlalu dari sini!" Sementara suara
jeritan penjaga-penjaga yang kena terbacok oleh si nona,
telah membikin hati residen jahanam itu jadi semakin
ketakutan, hingga ia berlari- lari di dalam kamar dengan
tidak ketentuan kemana maksud tujuannya. Ia mengeluh,
ia sesambat, dan akhirnya..... Ia tertawa terbahak-bahak!
Ia telah jadi gila karena sangat ketakutan! Paling
belakang ia berlari ke atas loteng dan menghampiri pada
jendela yang terpisah kira-kira duapuluh kaki lebih
tingginya dari tanah yang berada di bawahnya. Di situ,
setelah menghela napas beberapa kali, ia lantas
berteriak: "Bu Ciang Tong! Tengoklah, sekarang aku
telah tumbuh sayap dan hendak terbang ke langit.
Marilah kau boleh susul aku buat menagih jiwamu di
sana!" 282 3.18. Nikouw Tua Pendekar Sakti
Dan berbareng dengan habisnya ucapan itu, An Hun
Ie lalu terjun ke bawah loteng, sehingga badannya
hancur remuk dan binasa di seketika itu juga! Maka
setelah Kong Houw kemudian muncul dengan menjinjing
kepalanya Ngay Houw Cun yang telah dibunuhnya dalam
pertempuran tadi, si nona pun telah kutungi kepada
residen jahanam itu. Sedang Poan Thian yang memang
bukan memusuhi para pengawal yang mengepung
mereka bertiga, lalu hentikan penyerangannya sambil
menerangkan di hadapan orang banyak, bahwa
kedatangan mereka ke situ bukanlah bermaksud hendak
mengacau, tetapi semata-mata untuk menuntut balas
atas kekejian si residen jahanam dan gundalnya, yang
telah memfitnah dan membuat berantakan keluarga Bu
serumah tangga pada masa yang lampau itu.
Lebih jauh Poan Thian menerangkan di hadapan
mereka, bahwa Tam-tong yang mereka kenal bernama
Thio Sin ini, sebetulnya bukan lain daripada Cap-ek-sinkauw Ngay Houw Cun yang sudah sekian lama dicari
pihak yang berwajib untuk dijatuhi hukuman berhubung
ia telah melakukan banyak perampokan di sana-sini dan
tak dapat ditangkap karena pihak lawannya yang terkuat
yaitu Bu Ciang Tong telah difitnah olehnya dengan jalan
bersekongkol dengan residen jahanam yang telah mati
menjatuhkan diri dari atas loteng itu.
"Maka pada sesudah maksud kami untuk menuntut
balas telah tercapai," kata pemuda kita pula, "tugas
kamipun telah berakhir sampai di sini. Dengan begitu,
selanjutnya kami mengharap agar supaya tuan-tuan
sekalian mendapat induk semang yang jauh lebih
bijaksana daripada komplotan manusia busuk ini, yang
sebenarnya sama sekali tak berharga untuk dicokolkan di
283 sini sebagai pemimpin anak negeri seluruh kota Hangciu."
Setelah selesai berpidato di hadapan para pengawal
dan penjaga dari kantor residen tersebut, Poan Thian lalu
mengajak si nona dan Kong Houw berlalu dengan
membawa dua buah kepala musuh si nona, yang
kemudian hendak dipergunakan untuk menyembahyangi
rohnya Bu Ciang Tong di kelenteng Leng-coan-sie.
Tetapi karena kuatir akan dikepung oleh pihak yang
berwajib sebagai pengacau-pengacau yang telah berani
melakukan penyerbuan ke kantor pemerintah, maka
ketiga orang itu tidak berani berdiam terlalu lama di
kelenteng tersebut. Oleh sebab itu, mereka segera
melarikan diri ke tempat lain dengan menunggang dua
ekor kuda miliknya Poan Thian dan Kong Houw, dengan
yang seekor dinaikkan oleh Bu Liu Sian, sedang kan
yang seekor pula dinaikkan oleh Poan Thian dan Kong
Houw berduaan, yang ternyata telah menderita luka yang
agak berat dalam pertempuran dengan Cap-ek- sin-kauw
Ngay Houw Cun, yang akhirnya toh telah berhasil dapat
membunuhnya dengan susah payah. Tatkala mereka
telah berjalan beberapa lamanya, mendadak Kong Houw
jatuh pingsan dan buru-buru dipondong oleh Poan Thian
akan diturunkan dari kuda. Liu Sian jadi sibuk
memberikan pertolongan dan lalu tanggalkan baju
luarnya yang lantas dibentangkan di atas rumput.
"Marilah baringkan padanya di situ buat beberapa
saat lamanya," kata si nona.
Lie Poan Thian turuti permintaannya dengan hanya
mengucapkan satu perkataan: "Ya," kemudian ia
membuka pauw-hoknya yang dibebankan di atas
kudanya, buat mengambil obat untuk mengobati lukaluka kawannya itu.
284 Dalam kegelapan, si pemuda yang memegang bahu
Kong Houw dan merasakan bahu tersebut agak basah
dan lekat, dari itu, Poan Thian lantas ketahui, bahwa
darah telah keluar dari luka-luka yang terdapat pada
bagian itu. "Cobalah kau pergi mencari air buat membersihkan
darah-darah yang masih mengucur dari luka-luka yang
diderita Cin Lauw-hia ini," si pemuda meminta bantuan
Liu Sian. Si nona menurut.
Setelah membuka pauw-hoknya dan mengambil
sebuah gelas, lalu ia menyenduk air dari sebuah solokan
kecil yang airnya mengalir turun dari mata air yang
terdapat di atas bukit. Kemudian ia balik kembali dan
kasihkan itu pada Lie Poan Thian, yang segera
pergunakan itu untuk mencuci luka-lukanya Cin Kong
Houw. Dan tatkala luka-luka itu telah dibersihkan, barulah
Poan Thian pakaikan obat luka yang dapat memunahkan
bisa, meringankan rasa sakit dan menahan mengucurnya
darah. Untuk membalut luka-lukanya itu, tidak bisa dicari
kekainan yang cukup lebar. Tetapi Liu Sian yang terlebih
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siang telah mengetahui ini, lalu cabut goloknya dan
potong sehelai bajunya sendiri untuk maksud itu.
Maka setelah Kong Houw tersadar dari pingsannya,
ia rasakan luka-lukanya telah menjadi kurangan sakitnya
dan telah dibalut dengan rapih.
Tetapi karena ia masih kelihatan agak lemah dan
perlu dirawat, maka Poan Thian lalu coba memandang
ke sekeliling tempat itu, untuk mencari penduduk yang
kiranya boleh dimintakan pertolongannya akan
memberikan mereka kamar buat mengaso.
285 "Itu di sana tampak api yang berkelak-kelik," Bu Liu
Sian menunjuk ke suatu jurusan, "apakah itu bukannya
sebuah rumah penduduk, dimana kita boleh coba
kunjungi buat menumpang mengaso untuk beberapa
saat lamanya?" "Ya, benar," sahut Poan Thian, "akupun baru saja
melihat sinar api itu dan berpikiran begitu." Kemudian
sesudah menyimpan kembali segala keperluan tadi yang
dipakai untuk merawat luka- lukanya Kong Houw, Poan
Thian lalu pondong sahabatnya itu dinaikkan ke atas
punggung kudanya, sedangkan si nona lalu menyelimuti
Kong Houw dengan bajunya yang dipakai hamparan tadi.
Setelah itu Poan Thian sendiripun lalu naik juga ke atas
punggung kuda itu, sambil memegangi Kong Houw yang
kelihatannya masih lemah sekali karena mengeluarkan
terlalu banyak darah dari luka-lukanya. Hal mana, pun
diturut juga oleh Liu Sian yang menunggangi kuda lain
dan segera dilarikan menuju ke arah sinar api yang
dilihatnya tadi. Sesampainya ke tempat yang dituju, barulah mereka
ketahui, bahwa itulah bukan sebuah rumah penduduk,
tetapi sebuah kelenteng yang didiami oleh paderi,
perempuan. Karena dengan melihat nama "Giok-hun-am"
yang tercantum di muka pintu kelenteng tersebut, orang
segera ketahui jelas, paderi-paderi dari jenis kelamin
mana yang mendiami rumah suci itu. Lalu Poan Thian
minta Liu Sian turun dari kuda buat coba mengetok pintu.
Durjana Dan Ksatria 12 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Lencana Pembunuh Naga 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama