Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 9
pertapa Pat Hong. "Engkohku ini mengatakan," kata Ah Liong neraya
menunjuk Huru Hara, "engkau seorang budak kerajaan
Ceng!" "Bagus, Ah Liong," seru nenek Gok memuji, "jangan
sudi ikut dia. Apalagi sebentar lagi dia juga sudah
mampus!" "Tetapi aku juga tak mau tinggal disini lebih lama,
nenek," seru Ah Liong.
"Lho, mengapa?" nenek Gok terkejut.
"Karena engkau telah menganiaya mamaku dan aku."
"Tetapi bukankah aku telah merawatmu sampai besar?"
"Ya, benar," kata Ah Liong, "karena itu akupun tak mau
menuntut balas kepadamu kecuali hanya pergi dari sini."
"Bocah edan engkau!" bentak nenek Gok, "engkau bukan
anak Tong Yan Cu, engkau . . . . "
"Jangan percaya Ah Mo," teriak pertapa Pak Hong,
"engkau memang putera Tong Yan Cu. Karena aku
menerima permintaan tolong dari eng-kongmu Tong Kui
Tik, aku akan mengantarkan engkau kepadanya."
"Apa engkau tuli?" teriak Ah Liong, "tak tak sudi ikut
pada orang yang menjadi budak kerajaan asing!"
"Suka tak suka engkau harus ikut aku!" teriak Pat Hong
cinjin seraya menyambar Ah Liori tetapi anak itu cepat
loncat mundur. Bahkan pada saat itu nenek Gokpun
menampar kearah Pak Hong.
Peristiwa yang diderita Coan-ti-jin tadi, cukup
diperhatikan Pat Hong cinjin. Ia tahu bahwa nenek itu
memiliki ilmu pukulan Bu-heng-sin kang atau pukulan
tanpa wujud. Maka diam2 ia pun kerahkan tenaga untuk
menyongsong. Desss .... terdengar letupan pelahan macam api disiram
air. Tubuh Pat Hong tergetar dan kaki mengisar setengah
langkah ke belakang. Pat Hong cinjin atau pertapa Delapanpenjuru
itu karena hanya menggunakan enam bagian
tenaga-sakti Pat-hong-sin-kang, harus menderita sedikit.
Diam2 ia terkejut akan kesaktian tenaga Bu-heng sin-kang
nenek Gok. Coan-ti-jin si Manusia-serba-tahu menghampiri ke
samping Ko Cay Seng dan membisiki beberapa patah kata.
Tampak sasterawan ahli tutuk jalandarah itu mengangguk.
"Cinjin, silakan membawa anak itu dan aku bersama Koheng
yang akan membereskan nenek iblis ini," seru Coan-tijin
kepada pertapa Pat Hong. "Baik," kata pertapa Pat Hong seraya maju hendak
menangkap Ah Liong. Huru Hara maju menghadang dan
mendorong pertapa itu. Pertapa Pat Hong terpental sampai
dua langkah. Dia terkejut sekali, "Siapa engkau!"
bentaknya. "Aku adalah engkoh anak ini," sahut Huru Hara.
"Engkohnya?" pertapa Pat Hong kerutkan dahi, "ngaco
engkau! Putera Tong Yan Cu hanya satu, mana dia
mempunyai engkoh lagi?"
"Memang aku bukan purera Tong Yan Cu, tetapi aku
sekarang menjadi engkoh anak ini. Siapa yang melarang!"
Pit Hong cinjin terkesiap. "Engkoh, biarin aku saja yang
menghadapinya," tiba2 Ah Liong berkata.
"Tetapi ?".."
"Kalau aku kalah, barulah engkoh boleh turun tangan.
Aku ingin latihan," kata Ah Liong.
Huru Hara mengangguk dan menyisih ke samping. Ah
Liong melangkah maju, "Pertapa, aku mau ikut engkau
apabila engkau dapat mengalankan aku dan engkohku ini."
"Baik, asal engkau tidak ingkar janji saja," sahut Pat
Hong cinjin. Pikirnya, masakan anak kecil yang kepalanya
gundul dan hanya bagian atas dahi saja yang tumbuh
rambutnya seperti kuncung, dapat lolos dari tangannya.
"Silakan mulai," seru Ah Liong.
Pat Hong cinjin maju dan bergerak dengan, jurus
Harimau-menerkam-kambing. Tetapi tiba2 Ah Liong
menyelinap ke belakang dan menarik jubah pertapa itu.
"Jangan kurang ajar!" bentak Pat Hong seraya berputar
ke belakang dan menampar, brat, terdengar suara kain
robek. Ternyata karena Ah Liong menerkam ujung jubah
pertapa itu kencang2 dan pertapa itu berputar tubuh maka
robeklah jubahnya bagian belakang.
"Bagus, adik," seru Huru Hara geli melihat pertapa itu
menyeringai, "nanti bagian muka aku yang merobeknya,
biar dia bercelana saja tanpa jubah!"
"Bagaimana kalau tali celananya kutarik putus, engkoh?"
seru Ah Liong, "Ah, jangan adik," seru Huru Hara, "nanti semua orang
akan lari. . . . " "Tetapi biarlah di dunia ini terdapat banyak orang yang tali celananya putus, jangan hanya aku sendiri, engkoh!" Sudah tentu Pat Hong cinjin malu sekali. Dia juga seorang tokoh persilatan kelas satu, seangkatan dengan Tong Kui Tik. Jubahnya ditarik sampai robek dan dibuat bulan2 olok-olok oleh kedua anak
itu, dia marah. Sebenarnya dia belum tahu siapa Ah Liong. Mengira
kalau anak yang berambut kuncung itu tentu mudah
ditangkap maka Pat Hong cinjin pun tidak menggunakan
jurus dan tenaga yang hebat, Akibatnya dia harus menderita
robek jubah belakangnya. "Bagus, anak kecil, engkau berani kurangi ajar kepadaku.
Nanti akan kulaporkan kepada engkongmu," kata Pat Hong
cinjin seraya mulai melancarkan serangan. Dia tak mau
menggunakan! pukulan karena kuatir akan melukai Ah
Liong. Dia hanya menggunakan Eng-jiau-kang atau Ceng
kereman-garuda, dikombinasi dengan Siau-kin-na-jiu atau
ilmu Menyambar senjata atau tangan kawan.
Tetapi Ah Liong tidak semudah yang diperkirakan. Anak
kuncung itu bagaikan seekor kelinci yang gesit. Huru Hara
melihat di tepi gelanggang dengan penuh perhatian.
Sewaktu Ah Liong terancam bahaya, dia tentu akan
memberi pertolongan. Sementara itu Coan-ti-jin si Manusia serba-tahu dan
sasterawan Ko Cay Seng pun sudah mulai bergerak
menyerang nenek Gok. Rupanya Coan-ti-jin sudah memberi kisikan kepada Ko
Cay Seng sehingga keduanya tidak menggunakan senjata
melainkan dengan tangan kosong. Ko Cay Seng mengganti
sepasang senjata pit dengan dua buah jari tangannya untuk
memain kan ilmu tutuk Lian-hoan-tiam-kiu-hiat atau
Menutuk-sembilan-jalandarah. Walaupun dia hanya dapat
mencapai tataran dapat menutuk enam jalandarah saja dan
walaupun hanya menggunakan dua buah jari tangan, tetapi
lihaynya bukan kepalang. Jika Ko Cay Seng menyerang dari muka maka Coan-tijin
si Manusia-serba-tahu, menyerang dari belakang. Kedua
tokoh itu tak menghiraukan soal tata-susila persilatan.
Mereka mengerubuti nenek itu. Dan nenek Gok itu
memang membuktikan diri bahwa dia layak dikeroyok dua
orang. Dengan tongkat Ci-thiat-ciang, dia dapat menghalau
serangan dari muka dan belakang lawannya.
Walaupun Ko Cay Seng berusaha untuk me lobos dan
menuluk tubuh lawan, begitu pula Jun-ti-jin dengan
pukulan Mo-thian-ciang atau Pukulan Mencakar-langit
yang kesaktiannya setaraf dengan pukulan Biat-gong-ciang
atau pukulan membelah-udara, namum keduanya tak
mampu untuk menerobos dinding bayangan tongkat yang
seolah menyelimuti tubuh nenek itu.
Huru Hara sempat pula untuk menyedapkan mata
memandang kearah pertempuran ketiga orang itu. Dia
terkejut menyaksikan kepandaian nenek itu. Tiba2 ia
mendengar suara Ah Liong berteriak, "Hayo, pertapa,
kejarlah aku kalau mampu."
Ketika Huru Hara berpaling ternyata Ah Liong memang
sudah lari dan dikejar. Pat Hong cinjin, "Hm, setan cilik,
mau lari kemana engkau!" seru pertapa itu.
Huru Hara terkejut. Entah apakah memang si kuncung
hendak main siasat atau memang benar2 tak tahan
menghadapi pertapa Pat Hong sehingga terpaksa lari tetapi
pokoknya anak itu terancam bahaya maka Hura Harapun
segera mengejar. Memang betapapun lihaynya, Ah Lioug baru berumur 89 tahun. Dalam latihan dasar, dia memang sudah mencapai
tingkat tinggi. Dia bertenaga kuat dan dapat menggunakan
supit untuk menangkap nyamuk dan lalat, dapat
menangkap ikan dengan tangan dan dapat juga memainkan
beberapa jurus ilmusilat. Tetapi berhadapan dengan seorang
tokoh semacam Pat Hong cinjin, sudah tentu dia harus
kalah. Tetapi dengan dapat memberi perlawanan sampai
berpuluh jurus, Ah Liong cukup mengejutkan hati pertapa
itu. Lari Ah Liong pesat sekali. Ternyata dia menuju ke
hutan pohon siong. Tampaknya si kuncung itu dengan
santai loncat kian kemari, biluk kanan kiri tetapi Pat Hong
cinjin tertegun memandang keadaan susunan pohon siong
yang berada dalam hutan itu.
"Hm, pohon siong dalam hutan ini tampaknya bukan
tumbuh secara wajar tetapi memang ditanam secara
teratur," sejenak Pat Hong cinjia menimang- nimang.
"Hai, pertapa, mengapa berhenti" Hayo, kejarlah aku !"
teriak Ah Liong mengejek.
"Kalau tak salah, hutan pohon siong ini merupakan
barisan Kiu-kiong-pat-kwa-tin," setelah merenungkan
beberapa jenak, Pat Hong cinjin menilai.
Kiu-kiong artinya sembilan istana. Pat-kwa artinya sikudelapan
dan Tin artinya barisan. Barisan Sambilan-istanadelapansiku, demikian arti Kiu-kiong-pat-kwa-tin itu.
Pat Hong cinjin juga tahu tentang ilmu barisan. Namun
terhadap Kiu-kiong-pat-kwa-tin, dia memang agak tak
begitu faham. "Baik, setan cilik, tunggulah kuringkus engkau!" katanya
seraya terus melangkah maju. Dengan hati - hati sekali dia
melintasi setiap kiong (istana) yang mempunyai bentuk segi
delapan. Siat Pat Hong cinjin memasuki barisan pohon siong.
Huru Hara pun tiba. Dia tahu pohon siong, Huru Harapun
tiba. Dia tahu apa sebenarnya hutan pohon siong itu.
Melihat Pat Hong masuk kedalam hutan untuk mengejar
Ah Liong, Huru Harapun terus mengejar,
Beberapa saat kemudian, dia menjerit kaget, Hai
mengapa aku masih tetap berada disini ?"
Ternyata walaupun dia lari tetapi akhirnya masih tetap
berada di gunduk pohon siong bentuk segi-delapan. Sedang
Pat Hong cinjin makin lama makin jauh.
Dia berusaha lari lagi, ah ... . kembali dia tiba di tempat
semula lagi. Berulang kali ia mencoba namun jalanan yang
mengitari gerumbul pohon siong itu tetap kembali ketempat
semula. "Aneh, mengapa pertapa itu dapat menyusup makin
kedalam sedang aku tetap berada ditempat ini saja ?" ia
bergumam seorang diri. Diperiksanya jalan itu tetapi tak
ada yang aneh. Akhirnya ia mendapat akal. Segera ia manjat keatas
sebatang pohon siong. Dari puncak pohon itu ia
memandang ke sekeliling penjuru.
"Celaka, kemanakah anak itu " Dan pertapa itu juga tak
kelihatan," katanya seorang diri. Dia benar2 heran. Dan
serentak timbullah dugaan lain, "Hai, jangan2 anak itu
sudah tertangkap si pertapa, celaka . . . !"
Dia segera meluncur turun, "Hm, karena engkau maka
aku sampai kehilangan jejak Ah Liong!'' ia menuding dan
memaki gerumbul pohon siong di hadapannya, "hm,
engkau memang perlu dihajar"
Dia terus menyingsingkan lengan baju dan kepalkan
tinju. Pada saat hendak menghantam, tiba2 ia teringat akan
pedang pandak yang didapatnya di dasar telaga Kaca, "Uh,
celaka, pedang itu masih ketinggalan di kamar !"
Karena marah, rupanya penyakit linglung Huru Hara
angot. Dia lupa tujuannya untuk menyusul Ah Liong. Saat
itu pikirannya hanya tertumpah untuk membabat gerumbul
pohong siong saja. Segera dia lari keluar dari lingkungan
gerumbul pohon siong dan terus menuju ke pondok
penginapannya. "Celaka !" selekas melangkah masuk ia menjerit kaget
karena melihat cektay (tempat lilin) sudah dekat di tepi
meja. Pada hal lilinnya masih menyala terang. Kalau
bergeser sedikit lagi, tentulah cektay itu akan jatuh
menumpah ke tempat tidurnya. Kasur tentu akan dimakan
api dan kasur itupun tentu akan timbul kebakaran.
"Hm semberono sekali si kuncung Ah Liong. Masakan
menaruh tempat lilin di tepi meja," buru2 ia memindah
cektay yang terbuat dari besi itu ke tengah meja lagi.
"Haya kembali dia berteriak, kaget ketika memandang ke
dinding. Pedang itu ia gantung pada sebuah paku di dinding
papan. Tetapi sekarang pedang itu tidak bergelantung lagi
melainkan melekat pada paku itu.
"Eh, mengapa berat ?" waktu hendak mengambil, pedang
itu terasa melekat sekali pada paku, "uh.....," akhirnya ia
dapat juga menarik pedang itu tetapi berikut dengan
pakupun terlepas dari dinding papan. Dan setelah ditarik
barulah paku itu mau lepas.
Huru Hara heran. Dibawanya pedang itu kemeja. Ia
hendak memeriksa. Tetapi waktu didekatkan pada cektay
lilin, tiba2 cektay itu bergerak meluncur dan melekat pada
pedang. "Ah, apakah pedang ini mempunyai daya tarik yang kuat
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?" pikir Huru Hara. Ia coba mendekatkan pada cektay lilin
dan ih, cektay itu pun meluncur datang, "wah, celaka, kalau
pedang ini tak diberi tutup, tentu akan "'menyerdot barang2"
nanti" Sekali lagi ia mendekatkan pedang itu pada dinding
papan ternyata tidak melekat. Pada meja juga tidak mau
lekat, "O, kalau begitu, "pikirnya," pelang ini tidak
menyedot bangsa kayu melainkan hanya logam besi saja."
Kemudian timbul pikirannya lagi "Mengapa pedang ini
telanjang " Ah, kemungkinan tentu ada tutupnya. Apa
tutupnya tidak ketinggalan di dasar telaga.?"
Cepat sekali Haru Hara mengambil keputusan. Ia segera
tinggalkan pondok dan menuju ke telaga Kia-ti atau Telaga
Kaca. Telaga itu sudah tampak dari kejauhan. Malam iiu
walaupun rembulan pudar tetapi langit bertabur bintang.
Tiba2 ia dikejutkan oleh suara berisik mirip orang berkelahi.
Setelah melintas gerumbul pohon, iapun dapat
memandang bebas kearah telaga, Tetapi seketika itu ia
terkejut ketika melihat Ah Liong sedang diserang pertapa'
Pat Hong. Dan sebelum ia sempat berteriak memanggil Ah
Liong, tiba2 pertapa itu membentak sekeras-kerasnya,
"Jangan kurang ajar, setan cilik . . ."
"Ihhhhh," Ah L;ong menjerit dan tubuhnya melayang
jatuh kedalam telaga. Melihat itu Huru Hara gugup Sekali dua kali ia
mengayun tubuh, Huru Hara melayang menerkam Pat
Hong cinjin "Pertapa keparat, engkau berani mencelakai
adikku !" Pertapa itu terkejut. Cepat ia songsongkan sebelah
tangannya untuk menghalau. Tetapi dia menjerit kaget
ketika dilanda oleh arus tenaga-tolak yang hebat. Dia
terlempar sampai setombak jatuhnya. Untung dia masih
dapat berjumpalitan dan berdiri tegak.
"Pertapa jahanam, mampuslah engkau !" teriak Huru
Hara seraya menghantam pula.
Pat Hong cinjin terkejut. Dia berusaha untuk menangkis
dengan mengerahkan segenap sisa tenaganya, uhhhhh....
kembali dia terlempar satu setengah tombak dan huak,
mulutnya muntah darah. Serentak dia terus lari kedalam
hutan, sambil mendekap perutnya.
Huru Hara hendak mengejar tetapi tiba2 dia mendengar
suara keras macam kerbau menguak. Ketika berpaling ia
terkejut. Dilihatnya seekor kerbau bule (putih) tengah
berlari menuju ke telaga dan terus terjun kedalam telaga itu.
Huru Hara-pun serentak teringat bahwa Ah Liong masih
berada dalam telaga. Dia batalkan maksudnya hendak
mengejar Pat Hong cinjin dan terus loncat kedalam telaga
juga. Karena air telaga bening seperti kaca, ia melihat Ah
Liong sedang bergeliatan di dasar telaga. Cepat ia
menyelam dan menarik tubuh anakj itu ke permukaan air,
lalu dia berenang menyeret tubuh anak itu. Tepat pada saat
itu kerbau bule pun tiba. Rupanya Huru Hara mengerti
akan maksud binatang itu. Kerbau bule itu tentulah kerbau
kesayangan Ah Liong. Binatang itu hendak menolong
tuannya. Maka dinaikkannya tubuh Ah Liong ke punggung
kerbau bule itu dan mereka segera berenang ketepi. Setelah
naik ke daratan, Huru Hara membopong tubuh Ah Liong
dan diletakkan di bawah pohon.
Ah Liong pingsan. Karena termakan pukulan Pat Hong
cinjin, napas anak itu sesak dan ketika tercebur kedalam air,
dia tak dapat berbuat apa2 kecuali bergeliatan. Tetapi
karena terminum banyak air, akhirnya hilanglah tenaganya
dan Ah Liongpun tenggelam di dasar telaga. Sebenarnya
dia dapat berenang tetapi karena menderita luka-dalam
pada pernapasannya, tenaganyapun lunglai.
Kerbau itu menguak lagi lalu menggigit leher baju Ah
Liong, diangkat dan dijungkirkan ke bawah. Huakkkk . . .
huak .... berulang kali dari mulut Ah Liong yang kepalanya
terjungkir ke bawah itu, memuntahkan air.
"Huh, aku kalah pintar dengan kerbau," gerutu Huru
Hara dalam hati. Kerbau bule itu meletakkan tubuh Ah Liong ke tanah
lagi lalu menjilat-jilat muka anak itu. Tak berapa lama Ah
Liong merintih dan bergeliatan. lalu membuka mata, "O,
engkau Bule, engkau menolong aku ?"
"Ah Liong !" teriak Huru Hara.
"O, engkau engkoh Hok," Ah Liong berusa untuk duduk
tetapi dia tampak meringis kesakitan.
"Apakah engkau terluka ?" tanya Huru Hara.
"Mungkin," sahut Ah Liong, "dadaku terasa nyeri kalau
bernapas." "Jangan kuatir, aku punya pil yang manjur,' seru Huru
Hara seraya merogoh kedalam baju dari mengeluarkan
sebuah botol putih. Ia menuang dua butir pil warna merah
dan suruh Ah Liong minuml
Ah Liong percaya penuh pada Huru Hara Tanpa banyak
tanya lagi dia terus meminumnya! Beberapa saat kemudian
ia rasakan dadanya longgar dan napasnyapun lancar lagi.
"Terima kasil engkoh Hok. Apakah engkau yang menolong
aku tadi ?" "Bukan hanya aku saja, juga kerbau bule ini Apakah ini
kerbau kule yang engkau ceritakan itu ?"
Ah Liong mengiakan. "Ah Liong, mengapa engkau berada di tepi telaga ?"
tanya Huru Hara. Ah Liong bercerita. Ia memang hendak mancing Pat
Hong cinjin supaya masuk kedalam barisan Kiu-kiong-patkwatin pohon siong, "ternyata pertapa itu mampu melintasi
barisan pohon dan tetap mengejar aku. Aku bingung dan
melarikan diri ke telaga. Pikirnya, kalau memang terpaksa
aku akan terjun kedalam telaga saja untuk menghindari
kejaran pertapa itu."
"O," desuh Huru Hara.
"Tetapi sebelum aku sempat loncat kedalam telaga,
pertapa itu sudah tiba dan terus menerkam. Aku nekad,
engkoh Hok ..." "Nekad bagaimana?"
"Aku menyelinap ke belakangnya dan menarik tali
celananya biar putus!"
"Huh?" Huru Hara terbelalak, "perlu apa engkau hendak
menarik tali celananya?"
"Biar putus dan celananya melorot ..."
"O, lalu?" "Dia tentu malu dan lari . . . . "
"Ha, ha, ha," Huru Hara tertawa mengakak, "menjaga
engkau masih teringat peristiwa itu saja, Ah Liong."
"Biarlah," kata Ah Liong, "aku benar2 tak puas kalau
hanya aku sendiri yang celananya melorot. Aku
menghendaki lain2 orang juga. Makin banyak makin baik
supaya aku dapat teman."
"Lalu bagaimana pertapa itu waktu hendak engkau tarik
tali celananya?" "Dia berputar tubuh dan menghantam aku terlempar
jatuh kedalam telaga!"
Huru Hara teringat. Waktu ia datang dan menghantam,
pertapa itu hanya menangkis dengan sebelah tangan. Dan
ketika melarikan diri pertapa Itu juga mendekap perutnya,
"Uh, ha, ha, ha, tentulah karena talinya putus ditarik Ah
Liong, pertapa itu kuatir celananya melorot maka dia
mendekap kencang2," Huru Hara tertawa.
"Ah Liong, mari kita tengok nenek Gok yang sedang
bertempur dengan kedua orang tiu," kata Huru Hara pula.
Tiba di halaman pondok kediaman si nenek ternyata
keadaannya sunyi senyap. Nenek Gok dan kedua lawannya
itu sudah tak kelihatan lagi.
"Hai, kemanakah mereka ?" seru Huru Hara. Tiba-tiba si
Bule menguak dan lari menghampiri ke sebuah gerumbul.
Dia menyusup kedalam gerumbul itu dan keluar lagi
dengan menggigit leher baju seorang wanita tua.
"Hai, nenek !" teriak Ah Liong seraya menghampiri.
Memang benar tubuh wanita tua yang diletakkan di tanah
oleh si Bule itu, tak lain adalah nenek Gok. Tetapi nenek itu
sudah tak bernyawa lagi. Muka dan tubuhnya berobah
hitam warnanya. "Ah nenek ini tentu kena racun," kata Huru Hara,
"tentulah kedua kaki tangan Ceng itu menggunakan senjata
beracun untuk membunuhnya.
Memang dugaan Huru Hara tepat. Karena tak dapat
mengalah nenek Gok, Coan-ti-jin si Manusia-serba-tahu
menabur nenek itu dengan bubuk putih. Bubuk itu memang
tak mampu menembus lingkaran sinar tongkat nenek Gok.
Tetapi ketika terhantam tongkat, bubuk itu meletus dan
menghamburkan asap tebal Menghadapi asap, tongkat si
nenek tak berdaya menghalau. Pada hal asap itu
mengandung racun ganas. Sesaat nenek Gok menyedot
asap itu, kepalanya segera terasa pusing, gerakan
tongkatnyapun mengendor. Pada saat itulah tenaga-sakti
Mo-thian-ciang dari Coan-ti-jin berhadap menghantam
punggung si nenek sehingga nenek itu terhuyung-huyung
kehilangan keseimbangan diri. Ko Cay Seng
menyelesaikannya dengan sebuah tutukan pada uluhati.
Seketika putuslah nyawa nenek itu. Namun sebelum ia
menghembuskan napas yang terakhir, secara tak terdugaduga
oleh Coan-ti-jin yang maju menghampiri, nenek Gok
berhasil menaburkan jarum beracun kearah Coan-ti-jin.
Coan-ti-jin terkejut dan berusaha menghindar. Memang
dadanya selamat sehingga dia tak sampai mati tetapi lengan
kirinya tersambar jarum beracun itu juga.
Coan-ti-jin merasa betapa cepat racun jarum itu bekerja.
Maka tanpa ayal lagi, dia terus dicacabut pedang dan
mengutungi lengan kirinya sendiri. Kemudian melumuri
obat kim jong-san minta tolong Ko Cay Seng untuk
membalut. Setelah merampas tongkat si nenek, kedua orang itupun
segera pergi. "Mana tongkat ?" tiba2 Ah Liong berteiak lalu lari untuk
mencari kedalam gerumbul tetapi tak berhasil.
"Percuma," seru Huru Hara, "tentu sudah dibawa kedua
penjahat itu. Sekarang kita kubur dulu nenek ini. Setelah itu
baru kita nanti pikir lagi bagaimana cara untuk merebut
kembali tongkat itu."
Demikian mengingat nenek itu sudah merawatnya
beberapa tahun, Ah Liong segera membuat liang dan
mengubur mayat nenek itu.
Saat itu haripun sudah fajar. Huru Hara mengajak Ah
Liong masuk kedalam pondok untuk beristirahat.
"Ah Liong, bagaimana kehendakmu" Apakal engkau
tetap tinggal disini?" tanya Huru Hara.
"Tidak engkoh, aku hendak mencari empekku yang
bernama Tong Kui Tik itu," kata Ah Liong.
"Bagaimana dengan pondok ini?"
"Biarkan sajalah."
"Lalu si Bule?"
Ah Liong menghela napas, "Ah, sejak kecil kerbau itu
sudah kupelihara. Walaupun kerbau tapi si Putih itu lebih
cerdas dari kerbau umumnya. Dia seperti mengerti apabila
kuajak bicara." "Lalu, bagaimana maksudmu?"
"Akan kubawa juga."
"Tetapi kemana engkau hendak mencari engkongmu
itu?" "Entahlah. kemana saja asal bisa ketemu."
Huru Hara temenung-menung. Entah bagaimana ia
rnerasa kasihan pada anak itu. Namun ia masih
mempunyai banyak tugas yang belum selesai. Tiba2 ia
.teringat -akan sumoaynya yang masih berada di gunung,
"Ah, kalau sumoay tahu anak ini, dia tentu senang kalau
mendapat adik. Aku sebatang-kara, Liok sumoay juga
sebatang kara dan si kuncung Ah Liong ini juga sebatang
kara....." "Engkoh Hok, mengapa engkau termenung-menung ?"
tiba2 Ah Liong menegur. "Engkau belum pernah keluar kemana-mana, bagaimana
engkau hendak mencari engkongmu ?" Huru Hara
menghela napas, "aku sungguh tak tegah melepas engkau,
Ah Long." "Engkoh Hok mau kemana sih ?"
"Aku hendak mencari pamanku."
"Dimana ?" "Kemungkinan besar dia ditawan oleh lasykar rakyat
yang menyerang kota Sam-kwan. Akan ku mintanya
kembali dari tangan mereka."
"Aku ikut, engkoh. "Ikut " Ah, berbahaya sekali, Lasykar rakyat tentu
mengira aku seorang penghianat. Kemungkinan besar
mereka malah akan menangkapku juga."
"Lho, aneh. Apakah engkau seorang penghianat ?"
Huru Hara gelengkan kepala. Dengan ringkas ia
menceritakan peristiwa yang dialaminya ketika berada di
gedung tihu kota Sam-kwi. Lasykar Rakyat tentu
menganggap aku seorang penghianat karena menolong
panglima Totay itu "Tetapi engkoh kan tidak senang kepada Totay ?"
"Sebagai manusia, aku tak boleh membeli manusia.
Sebagai seorang ksatrya, aku harus menghormati seorang
ksatrya. Tetapi sebagai rakyat Beng aku harus
membunuhnya." "Bagus, bagus, engkoh Hok. Aku ikut engkau !"
"Hus, ikut apa ?"
"Ikut engkau mencari paman itu. "Kalau Iasykar Rakyat
itu hendak menangkap engkau akan memberi keterangan
kepada mereka." Huru Hara geleng2 kepala namun dalam hati ia geli,
pikirnya," Dulu orang2 mengatakan aku ini seoran blo'on.
Tetapi mengapa sekarang aku merasa anak ini blo'on "
Apakah karena anak ini blo'on maka aku lalu sembuh dari
blo'on. apakah karena dia lebih blo'on maka blo"onku
berkurang dan merasa tidak blo'on . . . .?"
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkoh Hok," tiba2 Ah Liong berlutut di hadapan Huru
Hara, "izinkanlah aku ikut engkau. Aku suka kepadamu,
engkoh Hok. Aku akan menurut apa yang engkau
perintahkan ..." Tersentuh juga hati Huru Hara melihat anak kuncung
itu. Dia memang tak tegah melepas anak itu pergi mencari
engkongnya sendiri. "Baiklah," katanya, "nanti setelah bertemu dengan
pamanku, akan kuantarkan engkau pulang ke rumahku
dulu." "Dimana rumah engkoh"
"Dipuncak Giok-li-nia."
"Tetapi apakah papa mama engkoh tak marah kepadaku
?" Huru Hara gelengkan kepala, "Aku sudah tak punya
orangtua lagi." "Lalu engkoh tinggal dengan siapa " Apakah dengan
paman itu ?" "Tidak," sahut Huru Hara, "paman itu juga harus
kuperoleh dalam perjalanan. Yang tinggal di gunung adalah
sumoayku. Engkau tahu arti sumoay " Adik seperguruan."
"Perguruan apa ?"
"Perguruan silat."
"Wah, kalau begitu engkoh Hok tentu pandai main silat,
ya ?" Huru Hara gelengkan kepala, "Tidak, aku tak suka
belajar silat." "Tidak suka belajar silat tetapi punya adik seperguruan,
aneh , . ," Ah Liong garuk2 rambut kuncunguya.
Huru Hara tertawa. "Lalu siapa yang jadi gurunya ?" tanya Ah-Liong.
"Almarhum ayahku."
"O, ayah engkoh Hok ini seorang guru silat yang pandai
?" "Begitulah kata orang."
"Tetapi mengapa engkoh tak mau belaja silat ?"
"Entah, aku sendiri tak tahu dan akupun tak berani
memaksa." "Memaksa siapa ?"
"Memaksa diriku sendiri."
"Siapa nama sumoay engkoh itu " Berapa umurnya " Dia
laki atau perempuan " Besar mana dengan aku dan
orangnya baik . . . ."
"Sudah, sudah Ah Liong, jangan nerocos seperti hujan,"
Huru Hara menyetopnya, "Namanya Liok Sian Li,
umurnya 17-an tahun. Besar dia dengan engkau. Dia
seorang gadis . . ,."
"Matiiik aku," teriak Ah Liong," orang perempuan itu
tentu galak, contohnya seperti nenek itu, salah sedikit saja
terus main gebuk." Huru Hara tertawa, "Jangan kuatir, Ah Liong. Dia tidak
galak. Dia tentu gembira sekali mendapat adik seperti
engkau." "Sungguh" Wah, aku juga senang kalau punya taci yang
baik hati," teriak Ah Liong.
"Baiklah, sekarang engkau boleh mengemasi apa yang
hendak engkau bawa. Eh, mengapa sekarang engkau pakai
baju monyetan begitu?"
"Siiiiip, deh."
"Apanya yang sip?"
"Dengan pakai baju-monyetan begitu, aku tak kuatir
akan mengalami tali celana putus lagi."
Huru Hara tertawa, "Lagi2 soal itu."
"Tentu," sahut Ah Liong, "itu kan kehormatan kita,
mana boleh ditontonkan orang."
"Sudahlah, cepat ambil barangmu," kata Huru Hara,"
dan mari kita segera berangkat.
Tak berapa lama Ah Liong keluar dengan membawa
sebuah buntelan berisi pakaian. Disamping itu dia juga
membawa sebatang tanduk kerbau."
"Lho, apa itu?" tegur Huru Hara.
"Tanduk si Bule," kata Ah Liong, "dulu pernah tempat
ini kedatangan seekor harimau. Aku lari ketakutan tetapi
untung muncullah si Bule. Dengan gagah berani Bule
menyerang harimau itu. Harimau itu dapat melukai
punggung si Bule. Si Bule ngamuk. Dia menerjang harimau
itu dan menanduk sekuat-kuatnya. Celaka . . . harimau itu
dapat menghindar terus melarikan diri sedang tanduk si
Bule kena pada batu besar. Sedemikian kuat si Bule
menanduk sehingga batu besar itu bergerak lalu
bergelundungan kedalam jurang. Sedang tanduk si Bule
juga putus satu." "Buat apa engkau simpan tanduk itu?"
"Buat peringatan saja."
"Wah, celaka!" tiba2 Huru Hara meloncat bangun.
"Kenapa?" "Tunggu sebentar," Huru Hara terus lari menuju ke
telaga, "Ah, untung masih disini," ia memungut sebatang
pedang pandak yang menggeletak di tepi telaga. Ternyata
waktu mencebur ke dalam telaga untuk menolong Ah Liong
tadi, ia meletakkan pedang pandak itu di tanah. Dan waktu
pulang ke pondok, dia lupa mengambilnya.
"Ini lho, aku lupa mengambil pedang yang ketinggalan di
tepi telaga," kata Huru Hara.
"O, pedang yang engkoh dapatkan di dasar telaga itu?"
"Ya," sahut Huru Hara, "pedang ini ternyata
mengandung daya-sedot yang luar biasa kuatnya. Nih, coba
lihat," ia meletakkan pedang itu di meja dan cektay lilin
segera bergerak menghampiri dan terus melekat pada
pedang. "Ah, sama dengan tongkat nenek!" seru Al Liong.
"O, apakah tongkat itu juga mengandung daya-sedot?"
Huru Hara terkejut. "Tidak semuanya, hanya bagian ujungnya saja, lebih
kurang sejengkal jari panjangnya."
"Ah tiba2 Huru Hara teringat mengapa ketika ditangkap
si nenek, dia sama sekali tak berdaya seperti orang
kehilangan tenaga. Kemungkinan karena daya dari tongkat
itu. "Mengapa engkoh Hok?" Huru Hara menceritakan
pengalamannya ketika ditangkap si nenek.
"Benar, memang selain tongkat, juga kuku jari nenek itu
telah dipasangi dengan besi yang dapat menyedot tenagadalam
orang," Ah Liong membenarkan.
Kini Huru Hara makin jelas apa sebab dia tak dapat
melawan si nenek. "Begini, Ah Liong," katanya, "jika engkau tak keberatan,
kasihkan itu kepadaku."
"Untuk apa?" "Akan kubuat kerangka pedang ini, biar tak menyedot.
Kurasa kalau diberi kerangka tanduk atau kayu, daya-sedot
pedang ini tentu berkurang."
Ah Liong menyerahkan tanduk itu. Dan mulailah Huru
Hara melubangi tanduk itu untuk dijadikan kerangka
pedang pandak. Sejam kemudian, jadilah kerangka itu. Kini pedang
pandak sudah mempunyai kerangka. Pedang itu memang
terbuat dari besi sembrani atau magnit. Tidak berapa tajam
tetapi memiliki daya sedot yang ampuh sekali. Senjatarahasia
yang dilontarkan musuh ataupun senjata lainnya,
tentu akan tersedot melekat pada pedang itu.
"Bagus, engkoh Hok," seru Ah Liong, "lalu engkau
namakan apa pedang itu?"
"Iya, ya," kata Huru Hara, "pedang ini juga perlu nama.
Bagaimana kalau kusebut Pik-kak kiam atau pedang
Tanduk-putih" Bukankah tanduk si Bule ini juga putih
warnanya?" "Bagus, engkoh Hok. Aku setuju!" seru Liong.
Setelah selesai semua, keduanya segera tinggalkan
pondok itu. Ditengah jalan Huru Hara mengatakan
bagaimana waktu hendak mengejar pertapa Pat Hong yang
memburu Ah Liong, dia tersesat dalam hutan pohon siong,
"Aku berlari tetapi tetap kembali ketempat semula saja."
"Memang begitu," kata Ah Liong, "hutan pohon siong
itu sebenarnya dibentuk menurut sunan barisan Kiu-kiongpatkwa-tin. Kalau orang tak mengerti ilmu barisan, tentu
tak dapat keluar dari hutan pohon siong itu."
"O," seru Huru Hara, "makanya aku terus selalu
berputar-putar saja. Apakah engkau tahu tentang ilmu
barisan?" Ah Liong gelengkan kepala, "Tidak. Aku hanya diam2
memperhatikan apabila nenek masuk keluar dari hutan
pohon siong itu. "Ya, ampuuuuun!" tiba2 Ah Liong memekik ketika
keluar dari sebuah tikung lereng.
"Kenapa?" "Itu si Bule sudah menunggu di mulut jalan," seru Ah
Liong seraya menunjuk ke muka. Memang di mulut jalan
tampak seekor kerbau putih sedang mendekam.
"Bule, apa engkau mau ikut?" seru Ah Liong ketika tiba
di muka kerbau itu. "Ngggooook!" kerbau putih itu menguak seraya
berbangkit dan mendekati Ah Liong.
"Engkoh Hok, apakah Bule boleh ikut?" tanya Ati L ong.
Sebenarnya Huru Hara tak suka tetapi menilik betapa
dekat, hubungan batin antara si Bule dengan Ah Liong,
serentak teringatlah Huru Hara akan lelakonnya dulu ketika
ia masih mempunyai piaraan anjing, monyet dan burung.
Binatang piaraannya itu sudah tercerai-berai entah kemana
ketika ia mengalami beberapa peristiwa yang berbahaya.
Sebagai orang yang tahu akan rasa sayang terhadap
binatang piaraan, akhirnya Huru Hara meluluskan juga.
"Bule, lekas haturkan terima kasih kepada engkoh Hok,"
seru Ah Liong. Seperti mengerti bahasa manusia, kerbau putih itu terus
menghampiri Huru Hara dan menguak seraya
menghembus-hembus kaki Huru Hara.
"Baik, Bule, asal engkau menurut perintah saja," kata
Huru Hara. Begitulah mereka segera melanjutkan perjalanan menuju
ke kota Sam-kwan. Tiba di pintu kota mereka dihentikan
oleh beberapa prajurit. "Aku hendak masuk kota," kata Huru Hara.
"Masuk kota" Ha, ha, ha," beberapa prajurit itu tertawa
mengakak. Meeeta geli melihat ketiga mahluk yang datang
itu. Seorang pemuda dengan dandanan nyentrik macam
seorang pendekar kesiangan, seorang bocah laki berpakaian
monyetan dan memelihara kuncung dan seekor kerbau
bule. "Mengapa tertawa?" tanya Huru Hara.
"Kalian ini mahluk dari mana saja" Apakah kalian
mimpi?" seru salah seorang prajurit yang masih muda.
"Aku hendak masuk kota, apa tidak boleh?" seru Huru
Hara. 'Tidak boleh!" "Mengapa?" "Kota ini dinyatakan sebagai tertutup."
Huru Hara terkejut. Bukankah dua tiga hari yang lalu
kota itu sudah direbut Lasykar Rakyat"
"Kalian ini prajurit mana?" tegurnya.
"O, engkau ini betul2 mahluk dari luar jagad!" seru
prajurit itu, "aku prajurit kerajaan Ceng."
"O, apakah kota ini sudah diduduki pasukan Ceng lagi?"
"Ya." "Siapa panglima yang memimpin pasukan Ceng dikota
ini?" "Li ciangkun." "Li ciangkun" Bukankah dia seorang Han?"
"Ya," sahut prajurit itu, "eh, mengapa engkau hendak
masuk kedalam kota ini?"
"Aku hendak menemui pimpinan Lasykar Rakyat yang
merebut kota ini tiga hari yang lalu."
"O, engkau anggauta Lasykar Rakyat?"
"Bukan." "Lalu mengapa engkau hendak menemui pimpinan
mereka?" "Aku hendak minta pamanku yang ditawan mereka."
"Silakan cari mereka tetapi kota ini sudah diduduki
pasukan Ceng." Huru Haia mengajak Ah Liong tinggalkan tempat itu.
Tetapi tiba2 salah seorang prajurit Ceng berseru, "Tunggu!"
"Kenapa?" tanya Huru Hara. "Kalian boleh pergi tetapi
tinggalkan kerbaumu itu," seru si prajurit.
"Apa katamu?" tegur Ah L;ong.
"Tinggalkan kerbaumu itu. Sudah lama kami tak makan
daging kerbau. Seluruh ayam dalam kota sudah habis kami
tangkap. Tapi selama itu tak pernah kami mendapat
kerbau." "Kerbau ini hendak engkau sembelih?" seru Ah Liong
"Ya." "Lebih baik engkau sembelih aku saja daripada kerbauku
ini." "Uh, siapa sudi makan dagingmu, kuncung!"
"Hm, prajuiit rakus, enak saja engkau hendak mengambil
barangku." "Akan kubayar dengan uang," seru prajurit.
"Ho, apa engkau mampu membayar?"
"Berapa engkau minta?"
"Seribu tail emas murni, tidak boleh lebih juga jangan
kurang!" "Engkau edan, kuncung !"' teriak prajurit "masakan
seekor kerbau seharga begitu tinggi" Jika kubayar dengan
uang saja engkau sudah harus bersyukur. Kalau mau, aku
dapat merampasnya, mengerti?""
"Tidak mengerti!"' sahut Ah-Liong.
"Apa yang tidak mengerti?"
"Omonganmu," sahut Ah Liong, "mana ada orang
mengambil kerbau seperti mengambil miliknya sendiri.
Milik kakekmu apa bagaimana?"
"Ini jaman perang. Prajurit yang menang perang berhak
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk mengambil apa saja yang disukainya, tahu!''
"Tadak tahu!" bantah Ah Liong, "pokoknya, jangan
coba2 mengambil kerbauku ini, kecuali engkau berani
membayar harga yang kuminta tadi, tahu!"
"Setan cilik, engkau berani kepada prajurit?" bentak
prajurit itu. "Apakah prajurit itu raja?"
"Aku yang berkuasa disini?"
"Silakan saja menguasai siapa yang mau engkau kuasai
tetapi aku tidak mau. Kerbau ini milikku, kalau engkau
mau mengambil, harus bayar menurut harga yang kuminta.
Kalau mau mengambil dengan percuma, hm . . . . "
Rupanya panas hati prajurit itu mendengar sikap dan
ucap Ah Liong yang petentang-petenteng. "Engkau mau
melawan aku?" serunya.
"Kalau engkau memang hendak merampas kerbauku,
apa boleh buat," sahut Ah Liong.
"Bagus, kuncung, kalau engkau dapat mengalahkan aku,
akan kubebaskan engkau pergi mebawa kerbaumu."
"Apakah omonganmu itu boleh dipercaya?"
"Tentu," jawab prajurit itu, "semua orang yang berada
disini menjadi saksinya. "Ala, sudahlah Lo Sun, tak perlu pakai janji segala.
Kalau mau ambil kerbau itu, ambil saja masakan dia
mampu berbuat apa!" kata kawan prajurit.
"Tidak," sahut prajurit yang dipanggil dengan nama Lo
Sun itu, "aku harus menundukkan! si anak kuncung yang
kemaki itu. Biar nanti dia menangis . . . . "
"Lekas, kita mulai," seru Ah Liong seraya pasang kudakuda.
"Nih, makanlah." seru prajurit Lo Sun seraya menabok
gundul Ah Liong. Tetapi cepat sekali pergelangan tangan
prajurit itu disambar Ah Liong lalu dipelintir, aduuhhhhh
.... prajurit itu menjerit kaget dan kesakitan sehingga
terpaksa dia harus berputar tubuh dan tangannya masih
dilekatkan ke belakang punggungnya oleh Ah Liong.
"Hayo, coba engkau bergerak!" teriak bocah itu.
"Aduhhhhh," prajurit itu menjerit kesakitan manakala
dia coba meronta. Ternyata tenaga Ah Liong amat kuat
sekali. "Mengaku kalah atau belum?" seru Ah Liong. Merah
padam muka prajurit itu. Tiba2 ia ayunkan tangan kiri
menghantam ke belakang. Tetapi dengan tangkas, Ah
Liong menyambar pergelangan tangan prajurit itu lagi lalu
ditelikung dengan tangan yang satu tadi. Kini kedua tangan
prajurit itu ditelikung semua oleh Ah Liong, "Hayo, mau
bergerak lagi?" Makin merahlah muka prajurit itu. Dia meringis, untuk
menahan kesakitan. Melihat itu kawannya segera
menghampiri dan menabok kepala Ah Liong, "Kuncung,
lepaskan .... plakkkk, aduhhhh?".."
Ternyata Ah Liong memang cerdik. Begitu hendak
dipukul cepat dia menarik tubuh prajurit yang dikuasai itu,
disongsongkan sebagai perisai. Akibatnya prajurit itu harus
menjerit kesakitan karena mukanya ditampar oleh
kawannya sendiri. Plakk, aduhhh .... karena kesakitan, dengan geram
prajurit itu menendang kawannya. Akibatnya, prajurit yang
hendak menolong tadi malah harus terbungkuk-bungkuk
karena perutnya termakan kaki si Lo Sun.
Dua orang prajurit yang lain, marah melihat tingkah laku
Ah Liong. Keduanya serempak menghampiri. Tetapi
sebelum mereka bergerak, Ah-Liong sudah mendorong Lo
Sun kearah mereka bluk, bluk, bluk .... ketiga prajurit itu
jatuh timpah tindih. Dari enam prajurit yang bertugas menjaga pintu kota,
sudah empat yang kesakitan. Yang lain marah. Mereka
mencabut pedang dan hendak membacok Ah Liong. Tetapi
tiba2 si Bule menerjang mereka, uh . . . uh . . . kedua
prajurit terkejut ketika tangannya ditanduk si Bule. Pedang
mereka jatuh dan merekapun lari tunggang-langgang karena
hendak ditanduk si Bule. "Ah Liong, cukup! Mari kita pergi,"' seru Huru Hara
seraya melangkah pergi. ' Kemana engkoh Hok?" tanya Ah Liong di tengah
perjalanan. "Mencari tempat Lasykar Rakyat yang menavvan
pamanku itu," sahut Huru Hara.
"Ke mana?" "Ya, di kota ini."
"Lho, di kota ini" Kenapa kita pergi?"
"Kita cari tempat untuk beristirahat dulu Sukur bisa
ketemu kedai minum."
"Mengapa tidak sekarang saja kita menemui Lasykar
Rakyat itu?" "Belum datang," sahut Huru Hara, "malam nanti mereka
baru muncul."' Ah Liong garuk2 kuncungnya, "Dari mana mereka dan
mengapa malam hari baru muncul?"
"Mereka tentu akan menyerang kota ini. Tetapi
penyerangan itu biasanya dilakukan pada malam hari. Kita
tunggu saja apabila mereka menyerang baru kita ikuti jejak
mereka. Sukur bisa bertemu dengan pimpinan mereka.
Beberapa saat kemudian mereka melihat sebuah kedai
minum. Merekapun masuk. Mereka heran karena kedai itu hampir tak ada
pengunjungnya. Hanya seorang dua saja.
"Hai, bung, mengapa kedai ini begini sepi?" tegur Huru
Hara pada pemilik kedai yang mengantar minuman teh.
"Sejak kota Sam-kwan diduduki pasukan Ceng kota itu
ditutup. Orang tak boleh masuk ke luar lagi," menerangkan
pemilik kedai. "Mengapa ?" "Rupanya pimpinan pasukan Ceng kuatir akan terulang
lagi peristiwa yang lalu. Itu waktu pasukan Ceng sudah
menduduki kota. Tiba2 pada malam hari lasykar rakyat
menyerang mereka sehingga mereka menderita kerugian
besar. Lalu datang lagi pasukan Ceng yang lebih besar
untuk menduduki kota itu. Dan kota itu dinyatakan sebagai
kota tertutup." "Bagaimana penduduknya "'"
"Hampir semua penduduk kota sudah mengungsi. Ada
yang lari ke gunung ada yang ikut dalam lasykar rakyat."
"Mengapa engkau masih tetap membuka kedai minum
ini " Apakah engkau tak takut kepada pasukan Ceng ?"
"Aku sih tak punya apa2" kata pemilik kedai yang sudah
tua, "apanya yang akan diambil dari diriku. Dan lagi
kecuali kedai ini, mungkin tak ada lagi yang berani buka
kedai minum. Dengan begitu kasihan orang2 yang kecele
tak dapat masuk kota. Aku harus menolong mereka. Eh,
tuan, bukankah engkau juga habis dari kota ?"
Huru Hara mengiakan. "Tak boleh masuk, bukan?"
"Ya." "Nah, itulah. Mereka takut kalau kemasukan mata-mata
lasykar rakyat," kata pemilik kedai. Sambil memandang
dandanan Huru Hara, dia bertanya, "menilik dandanan
tuan, tuan tentu seorang pendekar silat."
"Bukan aku seorang rakyat biasa,"
"Ah, jangan merendah diri. tuan," kata pemilik kedai,
"suasana negara sedang genting, dimana-mana timbul
peperangan dan kekacauan. Bagaimana mungkin tuan
berani melakukan perjalanan apabila tuan tidak memiliki
kepandaian silat yang tinggi."
Huru Hara gelengkan kepala. Tiba2 ia mendengar
gemuruh dari serombongan pasukan berkuda yang tengah
mendatangi. Dan beberapa saat kemudian empatpuluh
prajurit berkuda berhenti di depan kedai, Prajurit itu segera
berhamburan loncat turun, melangkah masuk.
"Itulah pak, manusia2 jelek yang menganiaya kami tadi,"
seru seorang prajurit kepada seorang prajurit yang bertubuh
tegap kuat. "Itu ?" prajurit tegap yang dipanggil pak, terkesiap. Dia
adalah komandan kelompok barisan kuda. namanya Tuka,
seorang perwira suku Boan.
Waktu mendengar laporan tentang kota Sam kwan yang
diserang dan dibumi-hanguskan oleh pasukan rakyat,
panglima besar Torgun marah. Dia mengirim sebuah
pasukan yang besar. Kali ini Totay tidak disuruh
memimpin, melainkan diserahkan kepada Li Hong, seorang
jenderal pasukan Beng yang sudah takluk kepada Ceng.
Tetapi seperti telah manjadi kebiasaan, walaupun sudah
menakluk dan banyak berbuat jasa dalam peperangan
namun kerajaan Ceng tetap tak dapat memberi kepercayaan
seratus persen kepada jenderal pasukan Beng. Oleh karena
itu setiap pasukan selalu didampingi oleh perwira suku
Boan. Tuka, perwira suku Boan, khusus ditugaskan untuk
mendampingi jenderal Li Hong. Karena kota Sam-kwan
ditinggalkan oleh lasykar rakyat maka dengan mudah kota
itu diduduki lagi oleh pasukan Ceng.
Waktu menerima laporan tentang prajurit penjaga pintu
kota yang diamuk oleh dua orang tak terkenal, Tuka segera
mempersiapkan barisan berkuda untuk mencari jejak orang
itu. Dia duga kedua orang itu tentulah anggauta barisan
rakyat yang menyerang pasukan Ceng. Maka betapalah
kejutnya ketika melihat orang yang mampu mengobrakabrik
prajurit2 penjaga pintu kota itu tak lebih hanya dua
gelintir manusia yang nyentrik. Tuka melongo.
"Pak komandan, memang itulah orangnya," kata prajurit
pula ketika melihat komandan pasukan berkuda terlongonglongong.
"O, apakah itu bukan tukang sulap yang sering ngamen
d' pinggir jalan ?" tanya Tuka.
"Bukan, pak komandan. Anak yang rambutnya kuncung
itulah yang menelikung tanganku," kata prajurit itu pula.
"Itu " Itu kan bayi kemarin sore ?" teriak Tuka.
"Tidak pak. Dia bukan bayi, dia setan cilik! yang ganas,"
untuk meyakinkan kepercayaan komandan barisan berkuda,
prajurit itu terus maju ke depan meja Huru Hara dan Ah
Liong, lalu menuding, "hai, setan cilik, serahkan durimu
kuikat 1" "Mengapa ?" seru Ah Liong.
"Ho, masih berlagak pilon ya " Bukankah engkau telah
melukai aku dan kawan-kawanku?"
"Ah, masa " Aku kan seorang bayi kemarin sore, mana
mampu berkelahi dengan prajurit2 kekar seperti kalian."
"Hm, berani menyangkal kamu ?"
"Tidak," sahut Ah Liong, "coba engkau tanya pada pak
jagal, itu, benar tidak aku ini seorang bayi kemarin sore!" "
dia menunjuk pada Tuka. Karena orang Boan itu bertubuh
tinggi besar dan brewok maka Ah Liong mengatakan dia
seorang jagal atau tukang potong kerbau.
"Bangsat, siapa yang engkau sebut jagal itu?"
"Itu sih," kata Ah Liong sembari menuding Tuka.
"Aduh mati aku," keluh prajurit dalam hati, kemudian
memaki, "bangsat cilik, dia bukan jagal, dia adalah
komandanku!" "Itu urusanmu sendiri," sahut Ah Liong, 'tetapi bagiku
dia memang pantas menjadi seorang jagal."
"Mampus engkau, bangsat!" prajurit itu terus maju
menghantam tetapi Ah Liong cepat menyelinap ke belakang
dan terus mencekik tengkuk orang.
Tuka terkejut. Ia tak menyangka kalau anak sekecil itu
mampu meringkus seorang prajurit sampai tak dapat
berkutik. Sebagaimana watak orang Boan, Tuka juga suka
pada orang yang bertenaga kuat dan berilmu tinggi.
"Hai, budak kecil, apakah engkau mampu lemparkan
tubuh prajurit itu?" serunya. Sudah itu sekalian prajurit
berkuda terkejut. Lebih-lebih prajurit itu sendiri. Mengapa
bukannya menolong malah suruh anak itu melemparkan
prajurit itu. Prajurit2 itu tak tahu bahwa Tuka memang
hendak menjajal tenaga Ah Liong. Dia tak percaya anak
sekecil itu mampu mengangkat dan melemparkan tubuh si
prajurit. Itulah sebabnya dia berani menyuruhnya.
Tetapi Tuka memang tak tahu bahwa Ah Liong memiliki
tenaga kuat. Diapun tentu tak pernah menduga bahwa sejak
kecil, Ah Liong sudah disuruh menggendong anak kerbau
sampai ke telaga. Bertahun-tahun hal itu dilakukan Ah
Liong, sejak kerbau bule itu masih kecil sampai sudah
sebesar anak gajah. Karena tiap pagi mengangkat si Bule,
tanpa terasa Ah Liong tetap kuat mengangkatnya walaupun
kerbau itu sudah besar. Sebesar-besar manusia tentu lebih berat seekor kerbau.
Apalagi prajurit itu bertubuh kurusi Dengan mudah Ah
Liong mengangkat tubuh prajurit itu lalu dilemparkan
kearah prajurit2 berkuda.
Uhhhhh ... , . gemparlah prajurit2 itu ketika menyambuti
tubuh kawannya. Dua tiga prajurit beramai-ramai
menyanggapi sehingga prajurit itu tak sampai menderita
luka. Tuka terperangah. Benar2 dia tak pernah menyangka
bahwa seorang bocah kecil yang berambut kuncung mampu
melemparkan tubuh seorang prajurit. Namun apa yang itu
memang suatu kenyataan. "Eh, engkau ini anak manusia atau anak setan ?"
akhirnya ia menegur. "Anak setan," sahut Ah Liong
"Jangan kurang ajar," bentak Tuka.
"Aku tidak kurang ajar. Nenekku cukup mengajar aku."
"Mana ada anak setan," gumam Tuka.
"Kalau tahu tidak ada setan mengapa engkau bertanya
apakah aku ini anak setan ?" batas Ah Liong.
"Karena kalau anak manusia, tak mungkin bocah sekecil
engkau mampu mengangkat dan melemparkan seorang
prajurit." "Jangankan hanya prajurit, kudapun aku dapat
melemparkan. Tak percaya " Coba saja berikan kudamu itu
kepadaku, nanti tentu akan kulermparkan !"
Tiba2 Tuka mendapat akal. Dia hendak memberi sedikit
hajaran kepada Ah Long, "Biar bocah kuncung ini tidak
terlalu kemlinti," pikirnya.
Ia tahu bahwa kudanya itu seekor binatang yang kuat
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mempunyai naluri tajam. Begitu dipegang lain orang
tentu akan melonjak dan menyepak.
"Baik," kata Tuka, "kalau mampu melemparkan kudaku,
engkau benar2 seorang anak ajaib."
"Tidak!" seru Ah Liong, "tidak mau!"
"Lho, kenapa?" "Percuma saja aku mengangkatnya kalau hanya
mendapat hadiah pujian sebagai anak ajaibi Pujian itu tak
berguna. Dipuji atau tidak, aku tetap begini. Apa manfaat
pujian itu kepada diriku?"
"Lalu bagaimana maksudmu?" tanya Tuka. Entah
bagaimana karena melihat seorang boca kuncung yang
kemaki dan pandai bicara, tanpa disadari Tuka, pemimpin
barisan berkuda dari pasukan Ceng, tertarik dan terhanyut
dalam pembicaraan yang panjang.
"Engkau harus berikan kuda itu kepadaku," kata Ah
Liong. "Kalau engkau gagal?"
"Engkau boleh menghajar aku sampai 50 kali rangketan,
setuju?" Malu hati Tuka karena ditantang oleh seorang anak
kecil, "Baik, aku setuju," akhirnya ia menerima tantangan
itu. Tuka turun dari kuda dan membiarkan kuda itu berdiri di
tengah gelanggang. Ah Liong segera menghampiri.
"Ah Liong, jangan diangkat, kuda itu akan menyepakmu
nanti," Huru Hara cepat mencegah.
"Habis bagaimana caraku mengangkatnya"!
"Engkau tak diharuskan mengangkat melainkan cukup
engkau lemparkan saja," Huru Hara memberi kicupan
mata. Ah Long memang cerdas. Ia tahu apa yang diisyaratkan
Huru Hara. Maka diapun maju menghampiri kuda. Dia tak
langsurg mengangkat kuda yang jauh lebih tinggi dari
kepalanya. Melainkan berputar-putar mengelilingi binatang
itu seperti orang yang tengah meneliti.
Kuda itu seekor kuda tegar berbulu hitam mengkilap.
Berasal dari daerah Sia-kiang yang terkenal mengeluarkan
kuda pilihan. Benar2 seekor kuda perang yang gagah
perkasa. Tampaknya kuda itu terlatih baik sekali. Dia diam
saja dan hanya melirik pada si kuncung Ah Liong.
"Eh, mengapa kiyer2" Mau main mata sama gua, ya?"
tiba2 Ah Liong berhenti di samping kuda, tepat di sisi
kepala kuda itu. Memang entah karena kena angin, atau mungkin
tertimpa sinar matahari, atau mungkin memang hendak
mengejek, kuda hitam itu memicing-micingkan matanya
kepada Ah Liong. "Eh, tertawa nyengir!" teriak Ah Liong pula ketika kuda
itu menyeringai menampakkan giginya, "lu gila, ya" Lu kira
gua ini pacar lu rnalu hendak ajak main mata dan main
senyum!" "Ha, ha, ha. haaaa.....," terdengar gelak tawa riuh dari
kawanan prajurit Ceng ketika menyaksikan adegan lucu
antara seorang anak berambut kuncung dengan kuda hitam
milik pemimpin mereka. "Jangan2 anak itu gila," seru salah seorang prajurit.
"Atau dia memang bukan anak manusia !"
"Benar, kemungkinan dia anak setan."
Demikian riuh rendah prajurit2 itu memberi komentar
kepada Ah Liong. Tetapi ada juga yang berkata. "Anak
kambing tak takut harimau.! Pepatah itu tepat sekali. Lihat,
bocah itu seorangl bocah gunung yang belum pernah terjun
ke masyarakat ramai. Masakan dia berani menantang pada
komandan kita . . . . "
'"Eh, lu setan hitam," seru Ah Liong pula tanpa
mengacuhkan segala omongan kawanan prajurit,
"mentang2 lu bertubuh tegap dan perkasa, ya. Apa lu kira
gua tak mampu melempar tubuh lu " Hm, jangankan
melempar, mencabut alis mata lu pun aku sanggup. Tak
percaya " Boleh, boleh, buktikan sendiri ... ."
Tiba2 Ah Liong mengeluarkan sepasang sumpit.
Sebelum kuda itu sempat bergerak tiba2 Ahi Liong sudah
menusukkan supit ke mata kuda hitam lalu ditarik kembali,
"Nah, inilah bulu mata lu.,."
Kuda itu meringkik dan mengangkat sebelah kaki
depannya untuk menggaruk-garuk matanya. Perih lhooo ....
kalau bulumata dicabut dengan supit. Sekalipun kuda juga
punya perasaan sakit. "Cukup, aku, kasihan padamu, hitam. Ah, perlu apa
engkau ikut pada majikan yang begitu kejam ?" Ah Liong
mengoceh lagi. Kali ini dia hendak memaki-maki Tuka,
perwira Boan itu, "kan lebih enak engkau bebas di
pegunungan, bisa cari rumput yang subur dan minum air di
telaga yang bening. Perlu apa engkau ikut pada majikanmu
" Engkau dijadikan tunggangan, diajak perang. Kalau
menang, siapa yang dapat pangkat " Apa engkau " Huh,
tentu majikanmu....."
"Tetapi kalau engkau mati. jangankan jasamu
diperingati, bahkan bangkaimupun ditinggal begitu saja,
tidak dikubur. Apa engkau anggap majikan begitu itu
majikan yang baik ?" Ah Liong nerocos terus.
'"Hai, kuncung, siapa yang engkau maki2 itu?" tiba2
Tuka berteriak karena merasa dirinya disemprot habishabisan.
"Aku sedang bicara dengan kuda hitam ini. Aku tidak
memaki siapa2," sahut Ah Liong. Kemudian dia
melanjutkan berkata pula kepada kuda bulu hitam, "ikut
aku saja, ya " Aku tidak mau memperbudak engkau. Akan
kulepaskan kau di padang rumput. Sungguh! Aku kan
punya kaki sendri, per'u apa harus menaiki engkau" Dan
jangan kuatir, hitam. Nanti akan kubelikan baju dan celana
untukmu. Memang majikanmu itu manusia cabul Dia
sendiri pakai baju dan celana yang indah tetapi engkau"
Sudah dibuat tunggangan, diajak maju perang, celana saja
tidak diberi. Macam manusia apa itu!"
Terdengar gelak tawa yang makin riuh dari kawanan
prajurit yang mulas perutnya karena geli mendengar ocehan
Ah Liong. "Hai, kuncung, jangan mengoceh tak keruan seperti
orang kemasukan setan! Masakan kuda engkau ajak bicara,"
teriak Tuka, "hayo lekas angkat dan lemparkan kudaku
itu!" '"Jangan kuatir, pak jagal, aku tentu dapat melemparkan
kudamu," teriak Ah Liong. Dia mendekati kuda hitam itu
dan berbisik-bisik, "Hitam, jangan kuatir, aku takkan
menyakiti engkau. Harap engkau diam dan nurut saja, ya
.... " -oodwoo- Jilid 14 Dibawah curahan berpuluh mata yang mengikuti gerakgeriknya,
si kuncung Ah Liong berjalan mengisar ke
belakang kuda itu. Sebenarnya ia hendak menarik ekor
kuda itu sekuat-kuatnya. Dengan memasang tubuhnya
sebagai tonggak penahan badan kuda, apabila dia menarik
ekor, tentulah kuda itu dapat dilemparkan ke belakang.
"Tetapi ah, dia tentu kesakitan," Ah Liong merasa
kasihan, "namun kalau kuangkat tubuhnya, kemungkinan
kuda itu tentu akan meronta dan menyepak aku. Hm, lalu
bagaimana, ya?" Masih bocah kuncung itu mondar-mandir mengelilingi
kuda. Huru Hara tahu kesulitan- anak itu. Ingin ia
membantunya tetapi ia tak tahu bagaimana caranya.
Tiba2 ia teringat akan si Bule. Kerbau itu besar dan berat
sekali namun ia masih dapat mengangkatnya. Dan cara
mengangkatnya karena kedua tangannya tak sampai untuk
merangkul tubuh, kerbau itu maka dia pakai akal. Dia
menyelundup kebawah perut si Bule lalu gunakan kepala
dan kedua tangan untak mengangkat binatang itu.1
"Benar, mengapa tak kugunakan cara itu juga untuk
mengangkat kuda ini?" pikirnya. Tetapi pada lain kilat ia
membantah sendiri, "itu si Bule. Dia menurut saja. Tetapi
kalau kuda hitam! itu" Dia tentu melonjak-lonjak!"
Ah Liong menarik-narik rambut kuncung seraya
bergumam, "Hayo, jangan tidur saja. Keluarkanlah akalmu
. . . . " Sekalian prajurit terlongong-longong melihat tingkah
laku Ah Liong yang serba aneh. Dengan siapa dia bicara
itu" "Barangkali anak itu memang gila!" seru salah seorang
prajurit. "Anak setan sih!"
"Tetapi rupanya dia menarik-narik kuncungnya itu
supaya dapat mengeluarkan pikiran."
''O, maksudmu dia hendak menarik supaya otaknya
bekerja?" "Mungkin." "Ha, ha, benar, benar, rambutnya itu tentu ada hubungan
dengan otaknya." "Atau memang otaknya tumbuh rambut, *
"Ha, ha, haaaa . , .."'
Demikian oceh dan gelak kawanan prajurit ketika
melihat Ah Liong menarik-narik kuncungnya.
"Hm, agaknya Ah Liong ini hendak menyaingi
keblo'onanku. Hm, tunggu saja besok kalau aku sudah tidak
menjadi pendekar Huru Hara," diam2 Huru Hara
menggerutu dalam hati. Tiba2 Ah Liong berhenti menarik rambutnya dan lalu
bersuit nyaring. Kawanan prajurit terkejut ketika melihat
dari arah belakang muncul seekor kerbau bule yang terus
menerjang masuk. Terpaksa prajurit2 itu menyiak ke
samping memberi jalan. Demi melihat seekor kerbau putih lari mendatangi, kuda
hitam itu meringkik keras dan mengangkat kedua kakidepannya
keatas. Kesempatan itu tak disia-siakan Ah
Liong. Serentak dia meyusup ke bawah perut kuda lalu
mendorong kuda itu sekuat-kuatnya.....
"Hai.... !" terdengar pekik yang gegap dari mulut para
prajurit berkuda ketika menyaksikan kuda hitam itu
terlempar sampai satu tombak ke belakang,
"Hai, Bule, menaapa engkau kemari " Hayo Iekas
minggir lagi,' Ah Liong membentak si Bule. seperti mengerti
bahasa manusia, kerbau bule itupun lari keluar gelanggang
lagi. "Bagaimana, bukankah aku mampu rnelemparkan
kudamu?" seru Ah Liong kepada Tuka.
Sebelum Tuka menjawab tiba2 tetdengar derap kuda.
Seoiang prajurit berkuda sedang melarikan kudanya menuju
ke arah Kedai. Dan cepat sekali prajurit berkuda itu tiba,
loncat dari kudanya dan berlari-lari menghampiri Tuka.
'"Komandan, kami diutus Li ciangkun untuk
menyerahkan surat kepada komaidan," kata prajurit itu,
seraya menghaturkan sepucuk surat.
Waktu menyambuti dan melihat sampulnya Tuka
terkejut dan buru2 membukanya. Komandan itu kerutkan
dahi sehabis membaca. Anuak-buahnya terkejut tetapi tak
ada yang berani bertanya.
"Ah, tidak apa2,"' kata Tuka yang rupanya tahu pandang
tanya dari anakbuahnya, '"hanya ada pemberitahuan dari
kolonel Totay." Tuka memandang Huru Hara dengan tajam Sejenak
kemudian ia mengangguk, "Bukankah da beberapa hari
yang lalu pernah mengunjungi kolonel Totay di kota Samkwan
?" tanyanya saat kemudian.
"Ya," sahut Huru Hara.
"Jika demikian, silakan anda ikut kami." Huru Hara
terkejut, "Mengapa ?" "Kami akan menjamu anda."
"Menjamu aku " "Kenapa?"
"Kolonel Totay merasa berhutang budi kepada anda dan
hendak membalas kebaikan anda."
''Oh, tetapi aku sudah bilang kepadanya. Karena dia
menghargai aku maka akupun balas menghargai dia. Tetapi
setelah peristiwa itu selesai kita akan berhadapan sebagai
musuh." "Itu kata anda," kata Tuka. "tetapi kami orang Boan
harus tahu membalas budi. Anda harus ikut kami kedalam
markas, agar kami dapat melaksanakan perintah kolonel
Totay untuk menjamu anda."
"Tidak, aku masih ada urusan lain."
"Benar, engkoh Hok. Jangan mau ikut dengan tukang
jagal itu, Dia seorang manusia yang tak pegang janji.
"Eh, buduk kecil, siapa bilang aku tak pegang janji "
Kalau engkau menghendaki, ambillah kuda hitam itu."
"Benar ?" ''Sudah tentu sungguh," jawab Tuka, "selain itu nanti
engkau boleh minta apa lagi. Yang jelas engkau dan
engkohmu akan kami undang masuk ke kota untuk kami
jamu!" "Tidak, tidak!" teriak Ah Liong, mana ada orang makan
gratis" Aku tak punya uang untuk membayar hidanganmu."
Tuka geleng2 kepala dan tertawa, "Jangan kuatir, anak
kecil, kami takkan minta bayaran ikan ayam, babi, sapi,
semua ada." Sekalian piamrit berkuda terlongong-longong melihat
perobahan sikap yang mendadak dari pemimpin mereka
terhadap kedua orang itu, Lebih2 ketika Tuka dengan sikap
hormat dan ramah hendak mengundang kedua orang itu
masuk kota dan dijamu. Siapakah kedua manusia nyentrik
itu. Mengapa Tuka begitu mengindahkan sekali kepada
mereka " Pikir kawanan prajurit berkuda itu.
Mendengar hidangan berbagai ikan itu. Ah Liong ngiler
atau menitikkan air liur. Ia memandang pada Huru Hara.
Saat itu Huru Hara sedang menimang-nimang. Jika ia
menerima undangan mereka, kemungkinat besar tentu akan
terjadi peristiwa seperti beberapa hari yang lalu apabila
lasykar rakyat nanti malam akan melakukan penyerangan.
Dengan demikian segala alasan dan keterangan tak
mungkin akan diterima oleh lasykar rakyat apabila ia
mengatakan bahwa dia bukan seorang penghianat yang
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhamba pada kerajaan Ceng.
Namun ketika ia melirik kepada Ah Liong dilihatnya
mata anak itu seperti meminta dia mau menerima
undangan, "Ah, si kuncung tentu sudah lapar. Pada hal
kedai ini tidak menyediakar makanan. Aku sebaga seorang
engkoh harus memikirkan kesehatan adik, pikirnya."
"Tetapi," katanya dalam hati sesaat kemudian, "soal
makan sih gampang, kalau perlu tidak makan, cukup
minum air saja. Biar dia dilatih tahan lapar."
Selelah mendapat keputusan itu, ia deliki mata kepada
Ah Liong sehingga Ah Liong ketakutan dan menunduk.
Rupanya permainan mata antara Huru Hara dengan Ah
Liong itu dapat diketahui Tuka. Dia tertawa, "Bagaimana,
engkoh kecil, bukankah engkau belum makan?"
"Tetapi . . . , " Ah Liong tak melanjutkan kata-katanya
dan hanya melontar lirikan mata sebentar kearah Huru
Hara. "Ah, engkohmu tentu setuju saja. Ini adalah perintah
atasanku. Kalian setuju atau tidak, terpaksa aku harus
melaksanakan." "Maksudmu engkau hendak memaksa?" tanya Ah Liong.
"Terpaksa begitu. Daripada harus berkelahi melawan
berpuluh-puluh prajurit berkuda yang bersenjata lengkap,
bukankah lebih enak kalau kalian menerima undanganku"
Percayalah, aku tak bermaksud buruk melainkan hanya
ingin menjamu. Habis itu, terserah kalian hendak pergi
kemana saja, kami takkan mengganggu."'
Huru Hara terkejut. Ia menyadari apa yang dihadapinya
saat itu. Jelas Tuka kukuh hendak melakukan perintah
atasannya. Kalau ia menolak, tentu akan dipaksa dengan
kekerasan. "Ya, benar," akhirnya ia menimbang, "kasihan si
kuncung. Sejak pagi tadi dia belum makan. Toh setelah
habis makan, nanti aku dapat berangkat lagi. Tak perlu
menginap agar jangan sampai terhalang oleh serangan
lasykar rakyat." "Jika memang begitu, agar engkau tidak mendapat
kesalahan dari atasanmu, aku bersedia memenuhi
undanganmu," katanya kepada Tuka.
Begitulah Huru Hara dan Ah Liong segera dibawa
masuk kedalam kota. Sebelumnya juga terjadi peristiwa
kecil. Tuka memerintahkan anakbuahnya untuk
menyerahkan kuda kepada Huru Hara supaya dipakai.
Tetapi Ah Liong yang menolak, "Tidak, aku sudah berjanji
pada kuda hitam tadi kalau tak mau menaiki kuda."
"Lalu kalian naik apa?" tanya Tuka.
"Aku punya tunggangan sendiri," kata Ah Liong lalu
bersuit. Kerbau bule berlari-lari mendatangi. Ah Liong
mengajak Huru Hara naik kerbau bule itu.
Prajurit2 berkuda termasuk Tuka, diam2 geli melihat
tingkah laku kedua manusia aneh itu.
Memang apa yang dijanjikan Tuka, ternyata sungguh.
Malam itu Huru Hara dan Ah Liong dijamu besar-besaran.
Bocah kuncung itu makan dengan lahap sekali, bahkan
diapun berani minum anggur. Dikata anggur tetapi juga
mengandung alkohol ( arak ) . Memang bermula rasanya
manis dan lezat tetapi kalau terlalu banyak dapat membuat
kepala pusing juga. Melihat bahwa Tuka juga ikut makan dan minum maka
Huru Harapun tidak curiga dan membiarkan Ah Liong
minum. Biarlah anak itu mencicipi rasanya anggur,
pikirnya. Pada hal dia sendiri juga tak tahu tentang jenis
anggur yang dapat memabokkan.
"Terima kasih, komandan," kata Huru Hara, "kiranya
sudah cukup anda memberi sambutan yang baik kepada
kami. Maaf, kami hendak melanjutkan perjalanan lagi."
"Kemana?" tanya Tuka.
"Mencari markas lasykar rakyat yang beberapa hari yang
lalu menyerang kota ini."
"O, tuan hendak mengobrak-abrik mereka?" tanya Tuka
yang mengira bahwa setelah disambut dengan penuh
kehormatan, tentulah Huru Hara akan berfihak kepada
pasukan Ceng. "Bukan," sahut Huru Hara, "mereka berjuang membela
negara. Aku takkan memusuhi mereka."
"Lalu apa maksud anda mencari mereka?"
"Aku hendak minta pamanku yang ditawan mereka."
"O, apakah anda perlu bantuan" Aku akan menyediakan
pasukan untuk menyertai anda kesana."
"Tak perlu," jawab Huru Hara, "kukira aku sendiri dapat
mengatasi hal itu." "Tetapi saat ini sudah malam. Apakah tidak lebih baik
besok pagi saja anda berangkat. Malam ini anda boleh
bermalam di markas kami."
"Terima kasih, tetapi kurasa kalau malam ini, tentu
dapat bertemu dengan mereka."
"Maksud anda, karena mereka biasa keluar menyerang
musuh pada malam hari?"
Huru Hara mengiakan. "Tetapi kali ini kurasa tidak," kata Tuka dengan nada
yakin, "karena lima li keliling kota ini, telah kami jaga
dengan pasukan yang kuat,. Kalau mereka berani
menyerang, tentu sebelum masuk kota sudah dihancurkan."
"Hm, tetapi aku tetap hendak berangkat ".." eh, Ah
Liong, mengapa engkau .... " tiba2 Huru Hara hentikan
kata-katanya karena melihat Ah Liong meletakkan
kepalanya ke meja. Cepat dia menggo!ek-golekkan tubuh
anak itu, "Ah Liong kenapa engkau" . . . Ah Liong,
bangunlah ............. " Tetapi Ah Liong tak menyahut
bahkan malah mendengkur. Dia tertidur pulas sekali.
Serentak Huru Hara kerutkan dahi, "Mengapa anak ini ?"
serunya seraya menikamkan pandang mata tajam2 kepada
Tuka. "O, mungidn dia pening kepalanya," sahut Tuka,
"memang kalau tak biasa minum arak, minum anggur yang
tak sekeras arak, juga dapat mabuk. Bukankah kita juga
tidak mabuk "'* Huru Hara mengangguk, pikirnya, "Wah, anak ini
memang merepotkan....." tetapi ketika pandang matanya
tertumbuk pada. wajah Ah Liong yang polos kekanakkanakan,
ibalah hati Huru Hara. Dia teringat bahwa dulu
diapun pernah jadi anak kecil. Dia merasa lebih baik
nasibnya dari Ah Liong. Dia masih mempunyai seorang
ayah tetapi Ah Liong tidak. Ah Liong hidup bersama
seorang nenek yang bukan neneknya sendiri. Dan lagi
nenek itu amat bengis. Salah sedikit saja, kepala Ah Liong
tentu digebuk. "Kurasa anda tentu tak keberatan memenuhi
permintaanku supaya bermalam saja disini. Akulah yang
menjamin keselamatan anda berdua," Tuka menyusuli katakatanya.
Kasihan akan Ah Liong, Huru hara terpaksa menerima
permintaan Tuka. Demikian Huru Hara dengan
membopong Ah L ong segera diantar ke sebuah bangunan
yang menyerupai sebuah paviliun, terletak di belakang
markas tentara Ceng yang semula merupakan gedung tihu
atau residen kota Sam-kwan.
Ah Liong masih tidur pulas di pembaringan tetapi Huru
Hara tetap duduk bersemedhi. Betapapun dia tetap tak sreg
tidur di markas tentara Ceng.
"Bagaimana kalau nanti lasykar rakyat benar2
menyerang kota?" pikirnya. Satelah menimang-nimang
beberapa waktu, ia memutuskan. Apabila lasykar rakyat
menyerang kota, dia akan membawa Ah Liong lari
tinggalkan kota itu agar jangan sampai kesampokan dengan
mereka. Setelah soal itu dapat dipecahkan, pikirannya masih
melayang pada sikap Tuka. Ia heran mengapa Li Hang,
panglima yang memimpin pasukan Ceng tak tampak di
gedung itu. Mengapa yang berkuasa seoiah-olah hanya
Tuka saja ?" Malam itu sunyi sekali. Tak berapa lama ia mendengar
suara terompet berbunyi. Ah, mungkin pertandaan waktu
bagi anak tentara di markas ini, pikirnya.
Pada saat dia akan mencapai keheningan cipta, tiba2 ia
mendengar suara debur langkah orang berjalan. Makin
lama makin terdengar jelas. Langkahnya ringan dan menuju
ke kamar Huru Hara. Tiba di muka pintu, langkah itu
berhenti dan sebagai gantinya terdengar suara pintu diketuk
pelahan. "Siapa !" tegur Huru Hara.
"Hamba, pelayan."
Huru Hara agak berkurang tegangnya, Suatra itu jelas
diri seorang perempuan. Dia segera turun dari pembaringan
dan membuka pintu. Seorang pelayan yang masih remaja dan cantik tampak
tegak di muka pintu dengan membawa penampan, "Maaf,
hohan, hamba diperintahkan komandan untuk
mengantarkan minuman teh dan buah."
"O," "Apakah hohan mengidinkan hamba masuk menaruh
penampan ini di meja ?" tanya pelayan cantik itu.
"O, boleh." kata Blo'on seraya menyisih ke lamping.
Tiba2 ia mendapat pikiran untuk mencari keterangan dari
mulut pelayan muda itu. "Engkau orang Han, bukan ?" tanyanya,
"Ya." "Siapa namamu ?"
"Panggil saja Ah Kiok."
"Sudah lama engkau bekerja disini ?"
Ah Kiok menunduk dan berkata dengan suara sember,
"Waktu kota ini diserang pasukan Ceng penduduk kalang
kabut melarikan diri. Himba terpisah dari orangtua hamba
dan ditangkap oleh prajurit Ceng. Mereka kasar dan buas,
untung datlang pak komandan yang kasihan kepada hamba
dan suruh hamba bekerja di markas ini sebagai pelayan."
Huru Hara mengangguk-angguk. "Karena perang maka
seorang dara yang jelita terpisah dari orangtua dan menjadi
pelayan di markas musuh. Karena perang, rakyat
kehilangan jiwa dan harta benda. Mengapa harus perang "
Hm, orang Boanlah yang menjadi biangkeladi kesengsaraan
rakyat ini. Karena mereka menyerang kerajaan Beng maka
negara kacau, rakyat menderita," pikir Huru Hara.
"Salah siapa ?" ia bertanya sendiri, "mengapa negara
kacau dan rakyat sengsara " Mengapa! Ah Kiok sampai
kehilangan orangtuanya " Ya, memang benar, itulah gara2
bangsa Boan yang hendak menguasai negara kita. Tetapi
mengapa mereka mampu menduduki kerajaan ini " . ....
Tuha, salah kita sendiri, orang kerajaan Beng. Karena raja
selalu bermanja diri dalam kesenangan dan hanya
mendengarkan omongan mentri2 dorna, maka
pemerintahan tak diurus lagi. Mentri2 rakus dan korup
sibuk memperkaya diri. Jenderal2 berebut pengaruh dan
kekuasaan. Suap, sogok dan tindakan sewenang-wenang
menyimpang dari hukum, sudah merajalela. Akibatnya
negara !emah dan mudah dikalahkan orang Boan . . ,."
"Orang Boan memang salah tetapi yang paling salah
adalah kerajaan Beng sendirl yang tak becus mengurus
negara. Jadi jelas, yang menyebabkan rakyat sengsara ini
adalah kerajaan Ceng dan kerajaan Beng sendiri. Hm, jika
demikian, aku harus memberantas keduanya !
"Hohan, apakah hohan tidak suka minum " Teh wangi
ini dapat menyegarkan semangat. Idinkanlah hamba
menuangkan untuk hohan," kata Ah Kiok seraya membuka
kain penutup penampan. Sebuah porong atau teko yang
bersalut emas dan dua buah cawan, Disamping terdapat
buah semangka dan kwaci. Huru Hara menerima cawan yang dipersembahkan
pelayan cantik Ah Kiok dan meneguknya. Teh itu memang
harum sekali. Kemudian dengan sikap menghormat. Ah
Kiok menghaturkan seiris buah semangka. Terpaksa Huru
Hara memakannya. "Ah Kiok', siapakah panglima pasukan Ceng di markas
ini?" tanya Huru Hara sembari memakan semangka.
"Li Hong ciangkun."
"Mengapa dia tak kelihatan ?"
"Dia sedang di ruang peribadinya."
"O, apakah dia tak suka keiuar ?"
"Jarang." ' Apakah dia sibuk sekali ?"
"Tidak." "Lalu apa kerjanya ?"
"Minum arak dan dikerumuni.gadis2 cantik."
"O. begitulah kerjanya ?"
"Tiap malam." "Ah," Huru Hara mendesuh, "mengapa jenderal
semacam itu dipakai orang Boan ?"
"Justeru orang2 semacam itulah yang disenangi orang
Boan." "Ih, engkau aneh. Apa maksudmu ?"
"Begini hohan," Ah Kiok melontarkan sebuah senyum
yang menikam hati kepada Huru Hara, "kerajaan Ceng
hendak menggunakan tenaga jenderal Beng yang mau
berhamba kepada Ceng. Tetapi kerajaan Ceng tak dapat
mempercayai seratus persen kepada jenderal2 yang
berhamba kepada mereka. Oleh karena itu mereka
menyediakan hiburan, arak dan wanita, untuk meninabobokkan
jenderal2 Beng itu. Sepintas, tindakan itu seperti
suatu penghargaan kerajaan Ceng kepada mereka tetapi
sesungguhnya kerajaan Ceng memang sengaja hendak
membius semangat dan menghancurkan jiwa jenderal2 itu."
'"O, wanita2 cantik yang mengerumuni panglima Li
Hong itu memang khusus fihak Ceng yang menyediakan ?"
tanya Huru Hara. "Ya." Huru Hara mengangguk. Kini dia baru mengerti
mengapa Li Hong tak pernah kelihatan dan kekuasaan
pasukan seolah di tangan Tuka, semua.
"Tetapi dari mana saja orang Ceng dapatkan gadis2
cantik itu ?" "Mereka menghubungi Hong-hian-hoa."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa itu Hong-hian-hoa ?"
"Hong-hian-hoa artinya Bunga Persembahan, Sebuah
badan yang menghimpun gadis2 dan wanita yang sedia
menjadi bunga persembahan."
"Apa maksud 'bunga persembahan' itu ?" tanya Huru
Hara pula. "Sudah umum terjadi dalam peperangan. Fihak yang
menang tentu akan menikmati kemenangannya. Merampas
harta- benda rakyat, menindas kaum lelaki dan merusak
kaum wanitanya, Demikian yang terjadi dalam peperangan
sekarang. Setiap menduduk kota, prajurit2 Ceng tentu
berpesta pora memuaskan nafsu kesenangannya."
"Entah kapan dan dimana, muncullah sebuah
perkumpulan yang menamakan diri sebagai Hong-hian-hoa.
Hong-hian-hoa selalu menawarkan bantuan kepada tentara
pendudukan, untuk menyediakan gadis2 cantik sebagai
hiburan." "Hm, terkutuklah Hong-hian-hoa!" seru Huru Hara.
"Mengapa ?" "Karena mereka telah mengorbankan gadis-gadis yang
tak berdosa" "Tidak," bantah Ah Kiok," Hong-hian hoa tidak pernah
memaksa tetapi gadis2 itu sendiri yang dengan suka rela
menyerahkan diri." "Engkau gila !" bentak Huru Hara, "tak mungkin gadis
yang baik mau berbuat begitu!"
Ah Kiok tertawa, "Apa ukuran baik yang menjadi
pegangan tuan " Kesucian dan kehormatan diri ?"
"Tentu." "Kesucian atau kehormatan diri itu hanya untuk
kepentingan peribadi. Agar dapat memperoleh jodoh yang
baik, terhormat dan berpangkat. Tetapi tiada kepentinganya
dengan rakyat banyak."
Huru Hara tertegun. "Negara diserang musuh, peperangan berkecamuk
dimana-mana, rakyat menderita kesengsaraan dan
kelaparan, nasib bangsa diujung tanduk .... adakah orang
masih mementingkan tentang kesucian dan kehormasan diri
sendiri " Setiap saat, setiap detik, akan jatuh korban gadis-2
terhormat, puteri orang berpangkat, siocia orang hartawan,
bahkan wanita2 yang menjadi isteri orang2 yang terhormat
dan berkuasa dalam kerajaan Beng, Prajurit2 musuh tak
membedakan antara gadis miskin dengan yang kaya, gadis
orang kecil dengan isteri orang berpangkat. Dimata mereka,
orang berpangkat, hartawan dan rakyat kecil, orang miskin,
sama saja. Sama2 orang taklukan yang boleh dijadikan apa
saja. Yang berbeda hanya soal wajah. Kalau wanita itu
cantik, tak peduli dia gadis orang miskin atau orang kaya,
rakyat kecil atau orang berpangkat, tentu akan diambilnya
..." Huru Hara masih termangu mendengarkan.
"Menyadari akan hal itu maka timbullah per kumpulan
Hong-hian-hoa yang siap menyediakan wanita2 untuk
prajurit2 musuh. Wanita2 cantik itu tahu dan menyadari
apa yang akan terjadi pada diri mereka, namun mereka
tetap rela. Jika kaum lelaki dapat mengabdikan diri menjadi
pra jurit dan berperang melawan musuh, mengapa kaum
wanita tidak" Tetapi karena mereka kaum lemah, mereka
tidak dapat mengikuti jejak kaum lelaki tetapi memilih jalan
tersendiri." Ah Kiok berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Biar
masyarakat menganggap perbuatan itu hina, biar dunia
menuduh perbuatan itu melacur, biar kaum lelaki yang
pura-pura menjunjung kehormatan tetapi sesungguhnya
menginjak-injak kehormatan wanita, biar kaum wanita
yang menganggap dirinya suci akan tetapi hanya suci untuk
kepentingan diri peribadi, biar! Namun Hong-hian-hoa
tetap menempuh jalan dengan caranya tersendiri. Rela
mengorbankan diri dan kehormatannya, demi untuk
menyelamatkan sesama kaum wanita, agar jangan seluruh
wanita negara kita menjadi korban keganasan nafsu
prajurit2 Ceng yang sedang dimabuk kemenangan itu. Agar
rakyat dari kota dan daerah yang telah diduduki musuh itu
terhindar dari kekejaman mereka."
"Lho, bagaimana sampai begitu jauh tujuan yang hendak
dicapai Hong-hian-hoa itu?" Huru Hara heran.
"Ya," sahut Ah Kiok, "mereka pandai merayu pembesar2
tentara Ceng sehingga tidak jadi mengeluarkan peraturan
yang membuat rakyat sengsara. Bahkan mereka kan telah
banyak menolong pendekar2 yang tertangkap karena
memusuhi kerajaan Ceng sehingga tak sampai dihukum
mati. Apakah kesemuanya itu tidak bermanfaat bagi
kepentingan rakyat" Apakah hal itu bukan suatu
perjuangan" Apakah tindakan itu bukan suatu pengabdian
dan pengorbanan yang besar?"
Huru Hara mengangguk, "Ya, kalau memang begitu,
mereka juga harus dianggap sebagai pejuang. Memang
pejuang bukan hanya mereka yang berjuang di medan
perang. Pahlawanpun bukan hanya mereka yang berjasa
dalam peperangan, tapi pahlawan itu dapat terjadi dimanamana.
Pahlawan peri-kemanusiaan, pahlawan kebenaran,
pahlawan keadilan, pahlawan menyelamatkan rakyat
seperti yang dilakukan wanita2 Hong-hian-hoa itu."
"Terima kasih, hohan," kata Ah Kiok.
"Lho, mengapa engkau yang berterima kasih kepadaku?"
"Aku seorang wanita, idinkanlah aku mewakili kaum.
wanita Hong-hian-hoa itu untuk mengucapkan terima kasih
atas pujian tuan. Tetapi, ah....." Ah Kiok menghela napas.
"Mengapa?" "Jarang terdapat orang yang mengerti seperti tuan. Pada
umumnya kaum lelaki tentu menghina tindakan Hong-hianhoa.
Lebih2 kaum wanita, tentu merasa jijik. Tetapi biarlah.
Memang Hong-hian-hoa sengaja bertindak begitu untuk
menghina kaum lelaki yang tiada berguna!"
"Lho, kenapa?" "Coba hohan pikirkan," kata Ah Kiok, "siapa yang
bertanggung jawab akan keadaan ini sehingga wanita2
Hong-hian-hoa sampai nekad bertindak begitu?"
"Siapa?" balas Huru Hara.
"Siapa lagi kalau bukan kaum lelaki. Raja, mentri2
jenderal", pembesar", bukankah mereka kaum lelaki semua"
Tidakkah karena mereka tidak becus mengurus negara,
karena mementingkan diri untuk menumpuk harta dan
mencari kesenangan, sehingga negara lemah dan dapat
diserang musuh" Kalau wanita2 Hong-hian-hoa berbuat
begitu, tak lain dan tak bukan hanyalah merupakan
tindakan untuk menampar muka kaum lelaki itu. Mereka
memprotes dengan cara mereka tersendiri."
Huru Hara tertegun. Ia tak mengira bahwa dari mulut
seorang pelayan cantik akan muncul cerita tentang suatu
perkumpulan wanita yang menamakan diri Hong-hian-hoa
yang mempunyai tujuan sedemikian luas.
"Eh, mengapa engkau tahu begitu jelas seperti engkau ini
juga seorang anggauta dari Hong-hian-hoa?" tanya Huru
Hara. "Aku mendapat keterangan dari beberapa wanita yang
berada di markas ini."
"Apakah mereka anggauta Hong-hian-hoa?"
"Ya." "O. engkau maksudkan mereka yang tengah merayu Li
Hong itu?" "Hohan tentu dapat menarik kesimpulan sendiri. Oleh
karena itu mereka sangat membenci manusia2 yang rela
merendahkan diri menjadi hamba kerajaan Ceng!" kata Ah
Kiok seraya memberi lirikan mata yang tajam kepada Huru
Hara. Huru Hara ge!agapan. Ah Kiok segera menuangkan teh
lagi untuk Huru Hara. Beberapa saat kemudian Ah
Kiokpun mengundurkan diri. I
Seorang diri Huru Hara masih merenungkan keterangan
pelayan cantik itu. Masih terngiang-ngiang kata2 Ah Kiong
tadi kaum lelakilah yang menjadikan kesengsaraan?"..
"Celaka, dia memaki habis-habisan pada orang laki, aku
tentu termasuk yang di-maki2 itu," Huru Hara bergeliatan
seperti cacing kepanasan.
"Raja, mentri, jenderal, pembesar2 yang serakah dan
goblok itulah yang menyebabkan aku dimaki-maki wanita2
Hong-hian-hoa. Ahhh, memang benar, wanita2 itu tidak
salah. Aku tak boleh marah kepada mereka. Yang salah
adalah kaumku sendiri. Manusia2 laki yang merusak negara
dan menyengsarakan rakyat itu harus dibasmi. Ya, tentu
akan kubasmi....." Waktu mencapai perenungan itu. Huru Hara merasa
capek sekali. Capek otak, capek badan. Rasa capek itu
makin mencengkam dan akhirnya muncullah gejala baru,
ngantuk. Ya, ia merasa ngantuk sekali dan ingin tidur.
"Aneh, biasanya aku tidak begini," setitik pikiran sadar
yang masih tersisa dalam benaknya menimang-nimang,
"mengapa malam ini aku merasa lemas dan ngantuk sekali .
. . bluk . . . . " ada saat mengucapkan kata2 terakhir,
jatuhlah Huru Hara ke pembaringan. Dia tertidur lelap,
menyusul Ah Liong ke alam impian.
Malam makin sunyi. Entah berselang berapa la:na, tiba'2
terdengar langkah kaki orang menuju ke kamar Huru Hara.
Pintu yang tak sempat dikunci Huru Hara, pun segera
terbuka dan masuklah seorang gadis. Ah, ternyata Ah Kiok
si pelayan cantik tadi. Dengan hati2, Ah Kiok menutup pintu lalu pelahanlahan
menghampiri ke tempat Huru Hara. Ia tegak berdiri
memandang Huru Hara yang terkulai pulas.
"Hm, sayang," gumam Ah Kiok, "seorang pemuda yang
tampan, mau berhamba pada orang Boan. Sebenarnya aku
tak sampai hati membunuhmu tetapi aku telah mengucap
sumpah dihadapan ketua bahwa aku tak boleh merasa
kasihan atau jatuh hati kepada pemuda yang menjadi budak
kerajaan Ceng . . . . "
Ah Kiok diam merenung. Rupanya terjadi pertentangan
dalam batinnya. Wajahnya tampak mengerut tegang. Tetapi beberapa saat kemudian dia tampak tenang
dan yakin. "Tidak! Aku tak boleh
menuruti suara hati. Aku tak
boleh menghianati perjuangan
saudara2 dari Hong-hian-hoa
yang telah rela mengorbankan
jiwa dan kehormatannya. Aku
hanyalah sebutir pasir dari
bahan campuran yang akan menjadi tembok pelindung kaumku. Hohan. jangan engkau salahkan aku dan sukalah engkau beristirahat
dengan tenang di alam baka . .
. . " Tiba2 Ah Kiok mencabut belati dan terus diayunkan ke dada Huru Hara.
"Hai, main mata ya" Apa lu kira gua ini pacar lu . . . , "
tiba" terdengar suara melengking.
Ah Kiok terkejut dari menyurut mundur Ketika
berpaling dilihatnya Ah Liong sudah berdiri dan
menudingnya. Seketika gemetarlah Ah Kiok karena merasa
perbuatannya hendak membunuh Huru Hara telah
dipergoki anak laki yang diduganya tentu adik Huru Hara.
'"Lho, ngajak senyum" Uhh, engkau genit ya?" anak
kuncung itu maju menghampiri ke muka Ah K ong dan
menuding. "Tidak, siauya ( tuan kecil ) , hamba tidak berbuat suatu
apa terhadap engkoh siauya ?". kata Ah Kiok seraya
berlutut. "Mentang2 lu bertubuh gagah perkasa, Apa lu kira gua
tak mampu mengangkat tubuh lu?" Ah Liong masih
mengoceh. "Tidak, siauya, hamba tidak membanggakah tubuh
hamba ini perkasa. Jangan siauya mengankat tubuh hamba
. . . . " "Lho, masih main mata lagi?" teriak Ah Liong
"Tidak, siauya, tidak," kata Ah Kiok.
"Lu kira gua tak mampu mencabut bulu mata lu itu?"
tiba2 Ah Liong mencabut sepasang sumpit yang terselip di
pinggangnya dan sebelum Ah Kiok tahu apa yang akan
terjadi secepat kilat supit melayang dan aduhhhh.....Ah
Kiok menjerit kesakitan karena dua lembar bulu matanya
telah dicabut dengan supit oleh anak kuncung itu.
"Mengapa engkau sudi berhamba pada majikanmu. Dia
seorang majikan kejam. Engkau diajak perang, kalau
menang dia yang mendapat pangkat. Kalau kalah, dia tak
mau mengubur bangkaimu .. . Tuh, lihat, betapa kejam
majikanmu itu. Dia berpakaian tetapi engkau tak diberi
celana dan baju....."
"Ikut aku saja, ya " Akan kulepas engkau ke alam bebas.
Akan kubelikan celana baru . . "habis berkata Ah Liong
bersuit lalu tiba tiba berputar tubuh dan naik ke.....ranjang
lagi dan tidur mendengkur.
Sudah tentu Ah kiok kaget setengah mati, ia
memberanikan diri menghampiri ke dekat ranjang dan
memang anak itu benar2 tidur mendengkur.
"Ah, anak itu hanya bermimpi dan mengingau," barulah
saat itu Ah Kiok tersandar. Ia teringat memang dulu punya
seorang bujang yang cering bermimpi begitu, yaitu bangun
dan berjalan-ja!an keluar lalu balik masuk ke kamar tidur
lagi. "Setan cilik ini ada saja, sampai aku ketakutan setengah
mati tadi," gumamnya.
Setelah menenangkan hati, mulailah ia menghampiri
ranjang tempat Huru Hara terkulai tidur.
"Kali ini aku harus berhasil," setelah meneguhkan tekad,
dia terus ayunkan belati kearah dada Huru Hara."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brakkkk....."Tunggu !" tiba2 pintu terbuka dan
terdengarlah sebuah bentakan yang bengis.
Kalau saat itu halilintar mele'us, mungkin Ah Kiok
tidaklah sekejut waktu dia berpaling ke belakang,
"Komandan......, " serunya lunglai.
Memang yang masuk dan mencegah Ah Kiok itu adalah
Tuka sendiri. Tidak kecewa panglima besar pasukan Ceng
menaruh kepercayaan kepada Tuka karena ternyata Tuka
seorang perwira yang penuh tanggung jawab akan tugasnya.
Dikala jenderal Li Hong sedang bersenang-senang
dengan wanita cantik dan prajurit2 dalam markas sudah
mendenkur, Tuka masih keluar meronda ke sekeliling
penjuru markas. Demikian yang dilakukan tiap malam
seperti pada malam itu juga.
Dia terkejut ketika melihat sesosok bayangan hitam
menyelinap hilang dibalik serambi belakang yang gelap. Dia
segera mengejar tetapi kehilangan jejak. Namun dia tak
putus asa, "Tak mungkin apa yang kulihat tadi hanya
bayangan saja. Dia tentu seorang manusia," pikirnya.
Setelah beberapa waktu menghampiri petak2 bangunan
yang terletak di bagian belakang gedung, tiba2 ia terkejut
karena mendengar suara suitan. Jelas suitan itu berasal dari
paviliun tempat Huru Hara menginap. Serentak ia lari
menuju ke tempat itu. Dan sesaat mendorong pintu, ia
terkejut karena melihat seorang gadis sedang mengangkat
tangan hendak menikam seorang lelaki yang tidur telentang
di ranjang. Kuatir tak keburu mencegah, lebih dulu dia
berteriak. Ternyata teriakannya itu berhasil menghentikan
wanita itu. "Engkau Ah Kiok !" kejut Tuka bukan kepalang ketika
menghampiri dan melihat siaoa gadis yang hendak
membunuh itu. "Be ... nar, komandan," sahut Ah Kiok gemetar.
"Engkau hendak membunuh tetamuku ini?"
Ah Kiok menunduk tak menjawab.
"Jawab, Ah Kiok ! Mengapa engkau hendak membunuh
dia ?" setelah tahu bahwa yang tidur diatas pembaringan itu
Huru Hara, Tuka pun mulai mengajukan pertanyaan yang
bengis kepada Ah Kiok. "Dia telah menghina hamba."
"Menghina bagaimana ?"
"Dia .... dia telah memaksa hamba untuk melayani nafsu
binatangnya." Tuka berpaling memandang Huru Hara, Tetapi dia tidur
pulas. "Mengapa engkau mengatakan dia telah
mencemarkan engkau?"
"Benar, komandan," sahut Ah Kiong, "karena malu,
hamba nekad meracuninya. Dan agar dia benar2 mati maka
hamba hendak menikamnya ..."
"Oh," Tuka terus membungkuk memeriksa pernapasan
Huru Hara. Tengah dia melekatkan telinga ke dada Huru
Hara, sekonyong-konyong sebuah benda tajam yang dingin
telah menusuk ke punggungnya, cretttt.....
"Aduhhhh," Tuka menjerit terus menggelepar rubuh ke
lantai, "engkau, budak hina..,." Dia berteriak tetapi Ah
Kiok sudah melarikan diri.
Tika menahan kesakian. Dia tak dapat mencabut belati
yang menyusup di punggungnya.
"Ah kalau aku sampai kehabisan darah, tentu mati,"
pikirnya. Dengan menahan derita kesakitan yang hebat, dia
mengerahkan segenap sisa tenaganya dan bersuit sekuatkuatnya.
Habis bersuit dia terus pingsan tak sadarkan diri.
Tetapi usaha Tuka itu tak berhasil. Memang dalam
malam yang sunyi itu, suitannya cukup terdengar jelas
tetapi para prajurit sudah pada mendengkur. Sebenarnya
suitan itu terdengar juga oleh dua orang prajurit yang
bertugas meronda tetapi mereka tak bertindak mencarinya.
"Apakah Itu?" tanya salah seorang dari kedua prajurit
peronda itu kepada kawannya. Tetapi kawannya hanya
menjawab, "Ah, apa lagi kalau bukan dari kamar Li
ciangkun yang tengah bersenang-senang itu! Bukankah tiap
malam mereka tertawa-tawa sampai larut malam?"
Dan kedua peronda itupun tak menghiraukan suitan itu.
Mereka melanjutkan tugasnya meronda berkeliling gedung
markas. Adalah karena kelengahan itu maka baru pada keesokan
harinya peristiwa dalam paviliun itu diketahui oleh
beberapa bujang. Seketika markas-pun gempar. Tuka telah
tewas dengan punggung masih berhias sebatang belati.
Huru Hara dan Ah Liong ditangkap dan dihadapkan
pada panglima Li Hong. "Hai, siapa engkau!" tegur jenderal Li Hong dengan
bengis. "Aku Loan Thian Te," sahut Huru Hara.
"Mengapa engkau berada di markas ini?"
"Aku diundang oleh komandan Tuka."
"Hm, mengapa Tuka mengundang orang semacam
engkau" Apa buktinya?"
"Pimpinan pasukan berkuda dari pasukan Ceng
mengetahui hal itu," kata Huru Hara.
Li Hong menitahkan supaya kepala pasukan berkuda
dipanggil. "Memang benar, ciangkun. Komandan Tuka telah
mengundang kedua orang itu kedalam markas."
"Aneh," seru Li Hong. "perlu apa orang semacam itu
diundang kemari?" "Dijamu." "Hai! Dijamu" Komandan Tuka menjamu kedua orang
ini?" "Benar, ciangkun. Semalam telah diadakan perjamuan
besar untuk menghormat kedatangan kedua orang ini."
"Eh, mengapa aku tak tahu dan tak diberitahu sama
sekali?"' seru Li Hong.
Huru Hara tertawa, "Sudah tentu engkau tak tahu. Dan
andaikata diberitahu pun belum tentu engkau mau
meninggalkan kesenanganmu dengan wanita2 cantik itu."
"Setan, engkau berani menghina aku?"
"Menghina" Tidak," sahut Huru Hara, "kalau hal itu
tidak benar, memang aku dapat dianggap menghina. Tetapi
bukankah yang kukatakan itu nyata semua?"
"Li ciangkun," kata kepala pasukan berkuda. Karena
melihat gelagat tak baik, buru2 dia menyelutuk, "hamba
tahu bahwa komandan Tuka menerima sepucuk surat dari
kolonel Tokay dan kemudian mengundang mereka berdua
masuk ke dalam kota ini."
"Kolonel Totay?"
"Ya." "Apa hubungannya?"
"Kabarnya kolonel Totay pernah ditolong orang itu
ketika kota Sam-kwan diserbu lasykar rakyat."'
"Hm," Li Hong mempersilakan kepala pasukan berkuda
itu mundur. Kemudian dia mulai melakukan pemeriksaan
kepada Huru Hara lagi, "Mengapa engkau membunuh
komandan Tuka?" Sebenarnya Huru Hara marah sekali karena waktu dia
bangun ternyata tangannya sudah diborgol dengan rantai
besi dan dibawa menghadap jenderal Li Hong. Dia baru
tahu kalau Tuka telah dibunuh orang.
"Apa engkau tahu kalau aku membunuhnya?" balas
Huru Hara dengan geram. "Jangan kurang ajar!" bentak Li Hong, "engkau
berhadapan dengan seorang jenderal yang berkuasa disini!"
"Apa hubungan kekuasaanmu dengan aku?" seru Huru
Hara tak gentar. "Engkau harus menjawab," kata Li Hong, mengapa
engkau berani membunuh komandan pasukan berkuda dari
kerajaan Ceng!" "Bukankah aku sudah menjawab, apakah engkau tahu
kalau aku yang membunuh?" sahut Huru Hara.
"Komandan Tuka menggeletak berlumuran darah di
kamarmu. Punggungnya tertancap sebuah belati. Siapa lagi
yang membunuh kalau bukan engkau?"
"Siapa yang tahu kalau aku membunuh komandan itu
supaya maju memberi kesaksian!" seru Huru Hara.
Li Hong menitahkan seorang pelayan lelaki maju, "Ho
Siri, bukankah engkau bujang kepala dari gedung ini?"
'Benar, ciangkun," sahut lelaki setengah tua itu.
"Ceritakan apa yang engkau lihat dalam kamarnya," seru
Li Hong. "Waktu hamba hendak membersihkan kamar, pintu
tidak terkunci. Dan ternyata komandan Tuka menggeletak
berlumuran darah di lantai. Waktu hamba angkat, dia
sudah tak bernyawa. Hamba lalu memanggil prajurit
penjaga." Li Hong memanggil prajurit penjaga. Prajurit itu
menerangkan, "Setelah mendapat laporan dari Ho Sin,
hamba bergegas menuju ke tempat itu. Memang benar
komandan Tuka sudah tak bernyawa. Siapa lagi yang
membunuhnya kalau bukan pemuda itu. Maka hambapun
segera memborgol tangannya dan membawa menghadap
kemari." "Waktu engkau borgol, apakah dia melawan"!
"Tidak, ciangkun, dia masih tidur pulas," sahut prajurit
penjaga. "Jadi engkau tak melihat sendiri dia membunuh
komandan Tuka?" "Tidak, ciangkun," sahut prajuris penjaga, "tetapi siapa
lagi pembunuhnya kalau bukan dia"
"Hm, sekarang apa katamu ?" tegur jenderal Li Hong
kepada Huru Hara. "Apa yang harus kukatakan?" balas Huru Hara.
"Bukankah engkau telah membunuh komandan Tuka ?"
"Siapa yang mengatakan begitu ?"
"Prajurit penjaga itu menjadi saksi mata!"
"Apakah dia melihat aku membunuhnya?"
"Yang ada dalam kamar itu adalah engkau dan adikmu,
kalau bukan engkau habis siapa yang membunuh
komandan itu ?" "Jika engkau sebagai seorang jenderal tak tahu,
bagaimana aku seorang tetamu yang sedang tidur, bisa tahu
hal itu !" "Hm, engkau terlalu berani mati! Komandan Tuka mati
di kamarmu, kecuali engkau dapat menunjuk seseorang
lain, barulah engkau bebas dari tuduhan sebagai
pembunuhnya !" "Aku tahu pembunuhnya", tiba2 Ah Liong melengking.
Jenderal Li Hong terkejut dan cepat bertanya, ''Siapa ?"
"Siorang berpakaian hitam seperti setan!" kata An Liong.
"Bagaimana wajahnya ?"
"Tak kelihatan !"
"Lho, mengapa tak kelihatan ?"
"Ditutupi dengan kain hitam, mana aku bisa melihatnya
?" "Coba ceritakan bagaimana peristiwa itu," kata jenderal
Li Hong. "Itu waktu aku terkejut dan bangun karena mendengar
pintu terbuka. Dan seorang berpakaian hitam telah
menyeret sesosok tubuh. Orang yang diseretnya itu sudah
mati. Dia marah ketika melihat aku terjaga. Lalu d.a
mengancam, "Awas, kalau engkau berani berteriak,
lehermu tentu kupotong !"
"Lalu " Sehabis meninggalkan mayat itu, dia terus lari keluar.
"Mengapa engkau tak membangunkan engkohmu ?"
"Lho, apa engkau tuli " Bukankah kukatakan kalau aku
berani berteriak, leherku akan dipotong. Siapa mau
kehilangan leher ?" "Waktu prajurit penjaga datang, mengapa engkau tak
mau menceritakan hal itu "'
"Perlu apa ?" sahut Ah Liong," apakah dia mampu
menangkap pembunuh itu " Jangankan dia sedang engkau
seorang jederal saja, setelah kulapori hal ini, apakah engkau
mampu menangkap orang itu ?"
Li Hong terbeliak. "Dan lagi," kata Ah Liong pula, "engkau sendiri juga
diancamnya." "Dia berani mengancam aku?" jenderal Li Hong terkejut.
"Waktu mau pergi, dia berkata kepadaku, "Hai. bocah
kecil, katakan kepada jenderal yang berada disini.
Kepalanya akan kuambil."
"Hai !" teriak jenderal Li Hong, "jahanam, berani benar
bangsat itu!" Seorang lelaki bertubuh kekar, maju kehadapan jenderal
Li Hong dan memberi hormat, "Izinkan hamba Pui Kong,
menghaturkan pendapat hamba yang picik," katanya.
Pui Kong adalah seorang kausu atau guru silat yang
menjadi pengawal peribadi dari jenderal Li Hong, Li
Hongpun mempersilakannya.
"Harap ciangkun jangan percaya ocehan bocah cilik itu.
Dia ngawur sekali. Dia sengaja merangkai cerita bohong
untuk menolong engkohnya."
"Bagaimana engkau berpendapat begitu ?" tanya Li
Hong. "SejaK ciangkun menduduki kota ini, kami telah
melaksanakan penjagaan yang kuat. Hamba pun tahu
betapa komandan Tuka mengatur penjagaan yang ketat
sampai berapa li di luar kota. Rasanya tak mungkin orang
luar mampu masuk kedalam gedung markas ini."
Semua waktu mendengar keterangan Ah Liong jenderal
Li Hong memang hampir mempercayai. Tetapi setelah
mendapat keterangan dari Pui Kong, dia bimbang, "Benar,
tak mungkin musuh dapat masuk kedalam markas ini. Hm,
anak itu tentu bohong supaya engkohnya dibebaskan dari
tuduhan," pikirnya. "Hm, setan cilik, engkau berani membohongi aku ?"
serunya kepada Ah Liong, "tidak, tidak mungkin ada
manusia yang dapat masuk kedalam markas ini. Yang
membunuh komandan Tuka tak lain adalah kamu berdua !"
"Jenderal goblok !" teriak Ah Liong.
"Bangsat, engkau berani memaki aku," Li Hong marah,"
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hajar anak itu ! "ia memberi perintah kepada Pui Kong."
"Setan cilik, engkau terlalu liar," Pui Kong , terus
menghampiri dan memutar kepala Ah Liong. I
"Jangan mengganggu adikku !" teriak Huru Hara seraya
maju menghadang, Yang diborgol hanya kedua tangannya,
sedang kedua kakinya masih bebas. Maka diapun dapat
berjalan. "Hm, pembunuh, engkau mau cari perkara lagi ?" bentak
Pui Kong. "Jika engkau berani mengganggu adikku! engkau tentu
kubunuh !" Huru Hara balas menghardik.
"Adikmu terlalu kurang ajar, berani menghina
ciangkun." "Siapa yang menghina" Dia hanya mengatakan yang
sebenarnya" Apa engkau anggap jenderalmu itu pintar"
Coba jawab, kalau aku yang membunuh komandan Tuka,
mengapa aku tak melarikan diri" Mengapa aku enak2 masih
tidur di kamar itu?"
Pui Kong tertegun tetapi pada lain saat dia membantah,
"Karena engkau merasa tak mampu keluar dari markas ini."
"Kentut!" semprot Huru Hara, "kalau aku keluar
siapakah yang akan mencurigai" Bukankah semua pasukan
berkuda tahu bahwa komandan Tuka yang mengundang
aku kedalam markas?"
Tampak kepala pasukan berkuda mendekati jenderal Li
Hong dan membisiki beberapa patah kata. Jenderal itu
segera berseru memanggil Pui Kong, "Pui tayhiap, silakan
kembali." "Hm, apakah engkau tetap tak mau mengaku membunuh
komandan Tuka?" tanya jenderal itu kepada Huru Hara
pula. "Kalau aku membunuhnya, mengapa aku tak berani
mengakui" Tetapi sayang aku tak membunuhnya dan
terpaksa aku harus mengatakan tak membunuh," sahut
Huru Hara. Setelah berunding dengan kepala pasukan berkuda,
akhirnya jenderal Li Hong memerintahkan supaya Huru
Hara dan Ah Liong d'jebluskan dalam kamar tahanan,
menunggu keputusan. Setelah Huru Hara dibawa pergi, jenderal Li Hong
melanjutkan perundingan dengan kepala pasukan berkuda.
Dia orang dari propinsi Hek-liong kiang, bernama Ca Ing.
"Menilik kolonel Totay sampai memerlukan kirim surat
kepada komandan Tuka, jelas orang itu tentu mempuyai
hubungan erat sekali dengan kolonel Totay. Kabarnya dia
pernah menolong jiwa kolonel Totay sehingga kolonel
Totay sedemikian besar menaruh perhatian kepadanya.
Kalau ciangkun menjatuhkan hukuman mati, dikuatirkan
kolonel Totay tak senang," kata Ca Ing.
"Tetapi bagaimana pertanggungan jawabku atas
kematian komandan Tuka itu?" kata jenderal Li Hong.
"Tetapi apa yang dikatakan pemuda itu memang
beralasan," sahut Ca Ing, "kalau dia yang membunuh,
mengapa dia tak mau melarikan diri dan masih tidur pulas
di kamarnya." Rupanya Li Hong terpengaruh juga akan pembelaan itu,
"Lalu bagaimana aku harus bertindak?"
"Ada sebuah jalan," kata Ca Ing, "yalah ciangkun
mengirim orang itu kepada kolonel Totay, biar kolonel
Totay sendiri yang memeriksa dan memutuskan
hukumannya. Pokok, ciangkun sudah dapat menangkap
dan menyerahkan orang yang diduga keras sebagai
pembunuh komandan Tuka."
Li Hong anggap usul itu tepat. Dengan begitu dia sudah
memberi pertanggungan jawab tentu peristiwa kematian
Tuka. "Baiklah, tetapi bagaimana cara mengantar dia ke tempat
kolonel Totay?" tanyanya.
"Saat ini kolonel Totay berada di kota Khay-hong-hu,
suatu perjalanan yang cukup jauh. Mengingat bahaya yang
setiap saat mungkin terjadi di perjalanan, lebih baik
masukkan kedua orang itu kedalam kerangkeng pesakitan
dan suruh sekelompok prajurit mengawalnya."
Li Hong menyetujui. Segera ia menitahkan supaya kedua
tertuduh itu dimasukkan kedalam sebuah kereta kerangkeng
dan dikirim ke Khay-hong-hu.
Tetapi untuk memasukkan Huru Hara dan Ah Liong ke
dalam kerangkeng, bukanlah hal yang mudah. Setelah
terjadi ribut2, akhirnya Huru Hara dan Ah Liong berhasil
dijebak kedalam perangkap lalu dimasukkan kedalam
kerangkeng. Sepuluh prajurit dititahkan untuk mengawal
kereta itu menuju ke Khay-hong-hu.
Begitu keluar dari kota Sam-koan, rombongan kereta
pesakitan itu telah dihadang oleh seekor kerbau bule.
Beberapa orang prajurit berusaha untuk menghalau tetapi
kerbau bufe itu malah mengamuk. Prajurit2 itu ketakutan.
"Hai, prajurit, kalau kalian minta tidak diamuk kerbauku
itu, hendaknya suruh dia yang menarik kereta ini Kalau
tidak, dia tentu mengamuk karena melibat aku berada
dalam kereta!" seru Ah Liong.
Prajurit2 itu menurut dan kereta yang semula di tarik
oleh dua ekor kuda sekarang diganti oleh kerbau bule.
Didalam kereta, Huru Hara termenung-menung. Dia
merasa tak membunuh Tuka tetapi mengapa Tuka mati
terbunuh dalam kamarnya. Tiba2 kecurigaannya jatuh pada
Ah Kiok si gadis pelayau cantik itu. Mungkinkah gadis itu
yang telah membunuh Tuka" Tetapi mengapa gadis itu tak
kelihatan batang hidungnya" Apakah dia sudah ditangkap"
Ah, tentu tidak. Orang tentu tidak menduga bahwa
pembunuhan itu dilakukan oleh, seorang gadis pelayan.
"Hm. dia dapat menceritakan dengan jelas tentang
perkumpulan Hoan-hiau-hoa itu, apakah dia . . . bukan
anggauta perkumpulan itu sendiri pikir Huru Hara, "ya,
mengapa aku tertidur begitu pulas. Aneh. Selama ini aku
tak pernah jatuh pulas begitu rupa sampai tak terasa kalau
kedua. tanganku diborgol orang . . . ".."
"Hm, mungkin benar, memang gadis itu yang
membunuh. Tetapi biarlah, aku takan memberi tahu kepada
orang Ceng" setelah menimang-nimang, iapun mengambil
keputusan untuk melindungi Ah Kiok.
"Engkoh Hok, bagaimana kita ini ?" Ah Liong mulai
mengeluh," berulang kali aku hendak melawan tetapi
mengapa engkoh selalu mencegah " Akhirnya sekarang kita
dijadikan seperti binatang buas yang dikerangkeng .. . ."
"Ah Liong." kata Huru Hara, "untuk 'menjadi seorang
manusia yang sempurna, orang harus kaya akan
pengalaman. Pengalaman itu tidak tentu harus yang enak2
tetapi juga harus yang tidak enak bahkan yang paling tidak
enak di dunia. Kelak engkau boleh membanggakan diri
kepada anak cucumu bahwa engkau pernah menjadi
binatang yang di kerangkeng. Apa itu tidak menarik ?"
"O, ya, ya, benar, benar," seru Ah Liong, "memang
jarang orang hidup yang pernah mengalami menjadi
binatang buas dalam kerangkeng itu, engkoh Hok."
"Terimalah segala pengalaman dan penderitaan itu
dengan hati yang lapang, Ah Liong." Huru Hara
menghibur," pernahkah engkau makan cap-jay ?"
"Cap-jay, uhhh tiba2 Ah Liong menitikkan air liur," ya,
tentu saja pernah. Memang itu kegemaranku."
"Enak, kan?" "Cin cia ho" seru Ah Liong seraya melumat-lumatkan
lidahnya. Cin-cia-ho artinya enak sekali.
"Engkau tahu apa sesungguhnya cap-jay itu?"
"Cap-jay merupakan masakan dari bahan macam2 sayur.
Nenek pernah masak juga tetapi dia bilang namanya gadogado.
"Ya, memang benar," kata Huru Hara," Cap jay yang
engkau gemari itu tak lain adalah masakan dari bermacammacam
sayur. Ceritanya, dulu karena sayang membuang
sisa sayur mayur dan bumbu yang masih, maka juru masak
lalu memasukkan sisa2 sayur dan ikan itu, setelah dimasak
dan diberi bumbu lalu disebut cap-jay atau masak campur
bawur. Dan eh, ternyata rasanya enak sekati. Belakangan
orang malah gemar akan masakan cap-jay itu."
"O, jadi dulu cap-jay itu asalnya dari sisa-sayur yang
akan dibuang tetapi tak jadi lalu dimasak lagi ?"
"Begitulah cerita orang," kata Huru Hara "yang penting
kan enaknya. Nah, dari masakan cap -jay itu dapatlah kita
menarik suatu pelajaran yang baik, bahwa segala
penderitaan dan pengalaman itu akan menjadikan hidup
kita itu senikmat capjay. Karena kita pemah mengalami
segala hal yang enak maupun yang tak enak. Yang celaka
maupun yang menyenangkan."
"Jadi kita dikerangkeng seperti binatang ini juga harus
kita rasakan ?" tanya Ah Liong.
"Ya," kata Huru Hara, "kita sering mengurung burung
dalam sangkar, memasukkan harimau dalam kerangkeng.
Coba kalau kita masuk kerangkeng, baru kita dapat
merasakan betapa perasaan binatang2 yang menderita ulah
tingkah manusia." "Ya, ya," Ah Liong garuk2 kuncungnya, "sekali memang
perlu juga kita jadi binatang yang dikerangkeng."
"Nah, kalau engkau sudah dapat merasakan begitu,
engkau tentu tak sedih. Begitulah kalau engkau sedang
mengalami kesusahan ataupun kesulitan. Anggaplah hal itu
sebagai pengalaman, sebagai bumbu orang hidup. Nah,
engkau tentu tak merasa susah lagi. Dan ingat, Ah Liong,
bahwa hanya manusia besar yang mampu menderita segala
kesukaran hidup itu."
"Baik, engkoh," kata Ah Liong. "akan kuingat segala
nasehat engkoh itu."
"Engkau kan tidak merasa sedih lagi sekarang toh ?"
"Tidak," kata Ah Liong," karena aku gemar cap-jay maka
akupun harus makan cap-jaynya orang hidup ini."
"Ah Liong," tiba2 Huru Hara berkata," apa engkau bisa
nyanyi?" "Nyanyi?" tanya Ah Liong., "bisa saja. Tetapi nyanyi apa
?" "Nyanyian seorang raja."
"Raja " Tetapi aku belum pernah jadi raja.
"Begini," Huru Hara lalu membisiki anak itu bagamana
bunyi kata2 lagu itu. Setelah itu dia suruh Ah Liong
menyanyikan sekeras-kerasnya. Ah Liongpun menyanyi :
Yang paling enak, menjadi raja
Kerjanya hanya duduk di singgasana
Tiap hari dihadap hamba sahaya
Makan pakai serba istimewa
Akulah, sekarang sang raja
Bertamasya naik kereta kencana
Diiring prajurit2 bersenjata
Ah, nikmatnya Hai, prajurit2 gombal butut
Kemarilah, rajamu mau berkentut
Lekas engkau duduk berlutut
Dan pentanglah Iebar2 mulut
Ha, ha, ho, ho, hi, hi ...
Raja bertamasya naik kereta
Ha, ha, ho, ho, hi, hi ..
Hai, prajurit2 celaka Upahmu nanti potong kepala,
Karena- Ah Liong menyanyi dengan keras, sudah tentu
kelompok prajurit yang terdiri selusin orang itu mendengar
juga. Telinga mereka seperti dikili rasanya ketika
mendengar nyanyian itu. "Kurang ajar, dia menghina kita habis2an."
"Ya, dia menganggap sebagai raja dan kita
pengiringnya." "Bukan hanya itu saja. Pun dia hendak ber-kentut, kita
suruh buka mulut menerimanya . . . "
Demikian beberapa prajurit itu mengomel panjang
pendek sehingga kepala kelompok, segera maju
menghampiri ke kerangkeng dan membentak, "Hai, setan
cilik, nyanyi apa engkau itu?"
"Lagu Nikmatnya jadi raja."
"Jangan nyanyi begitu!"
"Lho, kenapa?" seru Ah Liong.
"Engkau menghina rombonganku."
"Lho, siapa yang menghina" Aku kan nyanyi sendiri.
Apa tak boleh?" "Boleh tetapi jangan nyanyi lagu itu!"
"Justeru lagu itu yang paling kusenangi. Ke-tahuilah,
bahwa lagu itu dicipta oleh engkohku ini khusus untuk
kunyanyikan. Merdukan suaraku?"
"Dengar, jangan nyanyi lagu itu!"
Tetapi bukan menurut kebalikannya Ah Liong malah
menyanyi lagi lebih bersemangat dan lebih keras.
Sudah tentu kepala rombongan prajurit itu naik pitam.
Dia mengeluarkan cambuk dan mencambuk kerangkeng Ah
Liong. "Hai, prajurit, engkau berani kepada raja?" teriak Ah
Liong. "Budak setan, engkau bukan raja, engkau pesakitan, tahu
l'" 'Tidak!" teriak Ah Liong, "aku bukan pesakitan. Aku tak
membunuh komandanmu. Apa namanya orang yang naik
kereta diiring prajurit bersenjata, kalau bukan seorang raja"
Bukankah engkau menjaga keselamatanku?"
Kepala prajurit itu benar2 mau muntah karena marah
tetapi tak dapat menumpahkan kata2.
"Mau marah ya" Siapa suruh engkau marah?" seru Ah
Liong. "Tutup bacotmu, setan cilik!" teriak kepala prajurit itu
dengan keras. "Ini kan mulutku sendiri. Mau kubuka kek, mau
kupentang kek, itu hakku sendiri. Mengapa engkau
mengurusi mulutku" Kalau mau menutup, tutuplah
mulutmu yang besar seperti mulut kambing itu. Uh,
memang prajurit2 semacam engkau kerjanya hanya makan
saja maka mulutmu sampai lebar . . . . "
"Anjing kecil, engkau!" kembali prajurit itu ayunkan
cambuknya, tar, tar, tar.....
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha, ha, ha," Ah Liong tertawa mengejek, "macam
begitulah prajurit seperti engkau ini. Beraninya menyerang
orang yang berada dalam kerangkeng. Coba kalau aku
bebas diluar, masakan engkau berani berbuat begitu."
"Apa katamu, setan cilik!" prajurit itu membelalakkan
mata. "Engkau prajurit besar dan aku anak kecil, tetapi aku
dapat mencabut kumismu yang lebat seperti belukar itu.
Kalau aku tak mamou, engkau boleh menghajar aku 100
kali cambukan!" "Engkau berani menantang aku?" teriak kepala prajurit
itu. "Tetapi tak perlulah," seru Ah Liong, "lebih baik jangan
engkau terima tantanganku agar kumismu tidak rontok."
"Pak, keluarkan anak itu dan idinkan aku
menghajarnya," seorang prajurit maju menghampiri kepala
prajurit berkumis. "Ya, pak, kalau tidak dihajar, sepanjang perjalanan anak
Duri Bunga Ju 9 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Rajawali Lembah Huai 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama