Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bloon 28

Pendekar Bloon Karya S D Liong Bagian 28


tempat Bu Bin lojin. Bu Bin gemas sekali terhadap Blo'on yang
mengalahkannya. Maka kali ini mendapat kesempatan yang
bagus, dia terus menghantam, duk.....
Tubuh Blo'on melayang pula ke tempat Bu Jiu. Bu Jiu
menyambutnya dengan tendangan lagi. Demikian tubuh Blo'on
seperti dibuat bal-balan kian kemari. Dari Bu Jin ditendang ke
tempat Bu Kak. Bu Kak menampar dengan kaki tongkat besi
ke tempat Bu Bin dan Bu Bin menghantamnya ke tempat Bu
Jiu lagi. Hoa Sin dan sekalian rombongannya terkejut sekali melihat
keadaan Blo"on. Bahkan Sian Li menjerit dan terus hendak
menerjang tetapi kakek Lo Kun mencegahnya.
"Jangan," kata kakek ini, " biarlah sukomu digembleng
kulitnya. Biar tulangnya keras. Kalau, tidak dia tentu tetap
blo'on saja." Sian Li terlongong memandang kakek itu. Ia heran
mengapa mendadak kakek Lo Kun berkata begitu. Pada hal
biasanya kakek itu paling marah lebih dulu apabila melihat
Blo`on manderita dicelakai orang.
Memandang kepada Hoa tampak ketua Kay Pang itupun
tenang2 saja, maka terpaksa Sian Li pun bersabar menunggu
perkembangan selanjutnya.
Memang benar. Walanpun dijadikan bola oleh ketiga tokoh
cacat tetapi Blo"on tak merintih kesakitan ataupun merontaronta.
Dia tetap tenang2 saja. Setelah tiga kali berputaran, tampak ketiga tokoh cacat itu
makin lemah gerakannya. Satelah meningkat berputaran yang ketujuh tiba2 Bu Jiu
terpelanting seperti dibanting ke tanah. Dia menggeliat
bangun lalu duduk pejamkan mata. Rupanya dia tengah
menyalurkan pernapasan. Kemudian tokoh yang ketiga atau Bu Kak lojinpun
terpelanting jatuh dari kaki tongkat besinya yang setinggi dua
meter. Dia pun duduk berdiam diri seperti menyalurkan
tenaga-dalam. Sementara Bo Bin atau si manusia tanpa wajah mencelat
sampai setombak jauhnya. Dia tertahan oleh sebatang pohon
sehingga terduduk bersandar batang pohon itu.
Blo"on masih berlari berputar-putar seperti orang main
udak. Satelah tiga kali berputar-putar barulah dia dapat berdiri
tegak. "Gila," serunya seraya masih terhuyung-huyung kian
kemari. Melihat itu kakek Lo Kun cepat loncat menyambar
tubuhnya: "Blo'on, mengapa engkau" "
"Aku terseret angin yang dahsyat sekali," kata Blo"on.
Ternyata ketika ketiga tokoh cacat itu membuat bal-balan
tubuh Blo'on, diam2 mareka terkejut ketika tubuh pemuda
gundul itu dapat memancarkan tenaga-tolak yang hebat.
Tenaga, baik tendangan maupun pukulan dan gerakan kaki
besi, tertolak balik kepada pengirim masing2. Bermula mereka
penasaran sekali. Tetapi makin menambah tenaga dalam,
mereka makin menderita. Barapa besar tenaga-dalam yang
mereka gunakan, sebesar itu pula yang mereka terima.
Akhirnya mereka tak kuat lagi menahan lebih lama.
Ketiga tokoh cacad itu memiliki tenaga-dalam yang hebat
sekali. Itulah sebabnya walaupun berkat memiliki keadaan
tubuh yang luar biasa. Blo"on mampu memancarkan tenagatolak
tetapi dia pun terbawa juga oleh kisaran tenaga-dalam
yang dipancarkan ketiga tokoh cacad itu. Akibatnya dia seperti
gangsingan yang berputar-putar kencang.
"Jangan kakek!" teriak Blo'on serta melihat Lo Kun hendak
menghampiri Bu Jiu. Rupanya kakek itu hendak
menghajarnya. Lo Kun paling taat kepada Blo'on. Blo'on melarang, lapun
menurut. "Mengapa engkau melarang aku menghajar mereka" " seru
kakek itu. "Biar mereka mengisi tenaga dalamnya dulu, baru kita
tantang berkelahi lagi," kata Blo'on.
Beberapa saat kemudian, Bu Jiupun sudah membuka mata,
disusul Bu Kak lalu Bu Bin. Mereka memandang Blo'on dengan
heran2 kejut. "Gila rupanya anak gundul itu." pikir mereka "mengapa
tubuhnya dapat memancarkan tenaga-tolak yang begitu
hebat" " Mereka benar2 merasa aneh mengapa seorang pemuda
gundul yang blo'on, memiliki tenaga-tolak yang begitu sakti.
Pada hal tenaga-tolak semacam itu, hanya dapat dipancarkan
oleh orang yang sudah sempurna tenaga-dalamnya.
Namun kenyataan itu, tertindih oleh rasa heran. Dan rasa
heranpun menimbulkan rasa penasaran. Mereka tak percaya
bahwa pemuda semacam Blo'on memiliki tenaga-dalam
tataran tinggi. Bu-Jiu bangun, memandang Blo'on.
"Eh, apakah engkau masih mau melanjutkan pertempuran
lagi" " tegur Blo'on.
"Ya. " sahut Bu Jiu.
"Baik, " kata Blo'on, "tetapi aku hendak bertanya
kepadamu. Sebenarnya antara kita, tiada dendam permusuhan
apa2. Mengapa engkau ngotot hendak memusuhi kami"
"Karena daerah ini adalah milik kami, " sahut Bu Jiu, "tiada
seorangpun dibenarkan melalui tempat ini. Jika kalian mau
mengundurkan diri, kamipun takkan menarik panjang urusan
ini." "Aneh," gumam Blo'on, "mengapa engkau membuat
peraturan begitu" Bukankah gunung ini milik negara dan
rakyat" " "Benar," jawab Bu Jiu, "tetapi kami telah mendapat perintah
dari suhu supaya melarang setiap orang yang lalu di tempat
ini." " Siapa suhumu" Di mana dia sekarang" " teriak Blo'on.
"Suhuku adalah To bi jin, saat ini sedang bertapa di puncak
Tay-keng San ini. " "Apa itu To bi jin" "
"Manusia-kulit-perut."
"Apa Manusia kulit-perut itu" " Blo'on meminta penjelasan
lagi. "Tentulah manusia yang hanya terdiri dari perut saja! "
tiba2 kakek Lo Kun menyelutuk.
"Bagaimana kakek tahu" " Blo'on berpaling.
"Bukankah ketiga muridnya itu juga manusia2 cacad
semua" Kalau gurunya tidak lebih cacad muridnya tentu tak
mau, " kata kakek Lo Kun.
Ternyata dalam kelimbungannya, kakek itu telah menebak
dengan tepat. Bu Jiu hanya mendengus saja.
"Mengapa gurumu bertapa" " tanya Blo'on.
"Suhu sedang meyakinkan ilmu Ceng gi-sin-kang yang
dapat membuatnya melayang-layang di udara."
"Aku ingin melihatnya! " teriak kakek Lo Kun serentak,
"akupun ingin juga menjadi manusia terbang."
"Mudah saja," kata Bu Jiu, "asal engkau mau menerima
syaratnya." "Bagaimana syaratnya" " seru kakek Lo Kun.
"Kedua kaki dan tanganmu harus dikuturg semua, hanya
tinggal gembung badan saja!"
"Gila! " teriak kakek Lo Kun.
"Tanpa menerima syarat itu tak mungkin terima sebagai
murid suhu." "Lalu setelah dapat terbang, mau kemana suhumu itu" "
tegur Blo'on. "Suhu akan mendirikan Jan-hwi-pang atau partai orang
cacad. Hendak menguasai dunia persilatan dan menjadikan
semua orang persilatan manusia-manusia cacad! "
"Gila! " teriak Blo'on.
Tiba2 Hoa Sin maju selangkah menghampiri dan berkata :
"Tetapi mampukah suhu lojin melawan kekuatan Seng-lian
kau di gunung Hongsan itu" "
"Jangankan hanya Seng-lian-kau, seluruh partai persilatan
akan dikuasainya," sahut Bu Jiu lojin.
"Memang tujuan lain dengan kenyataan," kata Hoa Sin,
"rasanya Jan-hwi-pang tak mungkin mengalahkan Seng-lian
kau." "Tutup mulutmu! " bentak Bu Jiu marah, "apa itu Seng liankau
gunung Hongsan" Jangan lagi hanya suhu, sedang aku
dan kedua saudaraku itu saja, sudah cukup untuk
menumpasnya." "Sombong!" teriak kakek Lo Kun, "hayo, coba saja engkau
ke Hongsan, tentu nyawamu amblas! "
Bu Jiu makin marah tetapi sebelum ia membuka suara,
Blo"on sudah mendahului : "Kita bertaruh, beranikah engkau"
" Bu Jiu mengerut dahi : "Bertaruh" "
"Ya, bertaruh begini," kata Blo"on, "kita sama-sama menuju
ke Hongsan. Nanti siapa yang dapat mengalahkan Seng-liankau,
dialah yang menang."
Bu Jiu termenung. Saat itu Bu Bin dan Bu Kak pun
menghampiri. Bu Jiu marundingkan hal itu kepada mereka
berdua. Rupanya mereka mencapai persepakatan.
"Baiklah," kata Bu Bin, "tetapi apa taruhannya" "
"Kalau rombonganku yang kalah, kami ikut menjadi
anggauta Jan hwi-pang. Tetapi kalau kalian bertiga yang
kalah, kalian harus ikut pada fihakku," tiba2 kakek Lo Kun
menyelutuk. "Ah, mana mereka berani, lopeh," seru Hoa-Sin tertawa
sinis. Mendengar itu serentak ketiga manusia cacat itupun
menjawab : "Baik, kami menerima pertaruhan itu."
"Jika demikian, harap suka memberi jalan kepada kami,"
kata Hoa Sin pula. "Tidak bisa! " teriak Bu Jiu, "pertaruhan tetap pertaruhan
tetapi peraturanpun tetap peraturan. Kalau mau ke Hongsan,
ambillah jalan lain jangan meliwati gunung itu."
"Apa yang engkau minta supaya kami dapat lewat di sini,"
teriak Lo Kun. "Kalau salah seorang yang memimpin rombonganmu itu
mampu menerima tiga jurus tendanganku, tiga jurus tusukan
kaki besi suteku dan tiga jurus pukulan dari suhengku, kalian
boleh liwat, takkan kami ganggu lagi."
"Blo'on, apa engkau tak sanggup menerima tantangannya
itu. Dia kurang ajar sekali, hayo tunjukkanlah bahwa dirimu
benar2 cucu dari Lo Kun yang tersohor itu," seru kakek Lo
Kun. "Hamba menurut titah paduka, baginda," sahut Blo'on.
"Eh, engkau hendak ingkar janji" " teriak kakek Lo Kun
dengan deliki mata. Sudah tentu Blo' on pun terbeliak : "Ingkar janji apa" "
"Engkau mengatakan hendak meletakkan jabatanmu
sebagai menantu raja dan hendak mengembalikan puteri.
Engkaupun sudah setuju kalau aku yang mewakili
kedudukanmu. Mengapa sekarang engkau berlatih tata bahasa
keraton" Bukankah engkau bermaksud hendak mengingkari
janjimu" " Rupanya Bu Jiu tak sabar lagi mendengar ocehan kakek Lo
Kun yang tak dimengerti artinya. Apa itu berhenti sebagai
menantu raja dan mengembalikan puteri"
"Sudahlah, hai, engkau orang tua," teriaknya, "kalian
sanggup menerima syaratku atau tidak" Kalau tidak berani,
lekaslah kalian enyah dari sini! "
"Baik, mulailah, " kata Blo"on seraya memberi isyarat agar
Lo Kun menyingkir ke samping.
Bu Binpun tak mau banyak bicara lagi. Serentak ia lepaskan
tendangan dalam jurus pertama dari Sip-pat-lian-hoan-ihui.
Plak, plak"... sedemikian cepat tokoh tangan buntung itu
menggerakkan kedua kakinya sehingga Blo'on tak sempat
berbuat apa2. Tubuhnya terlempar ke udara sampai dua
tombak tingginya. Digetar oleh rasa kejut yang besar dan tendangan yang
mengenai pantat, mereganglah tubuh Blo'on. Seketika
darahnya bergolak keras dan tenaga-dalam Ji-ih sin-kangpun
berkembang memancar. Ia ingin berjumpalitan seperti roda dan menukik turun. Dan
keinginan itupun segera menggerakkan tenaga-dalam sakti Jiihsin-kang. Dia benar2 dapat berjumpalitan seperti roda.
Bu Bin segera menyongsong dengan ilmu tendangan
berantai pula. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang.
Plak, plak..... Seketika sekalian orang berseru tertahan ketika
menyaksikan apa yang terjadi pada saat itu. Tubuh Blo'on
memang melambung lagi keatas tetapi ia dapat menangkap
kaki Bu Bin lalu ditariknya ikut serta ke udara. Kemudian
ketika ia berjumpalitan seperti roda meluncur turun, Bu Binpun
ikut dibawa berjumpalitan.
Memang sama sekali tak terduga oleh Bu Bin bahwa
tendangan Lian-hoan thui yang tiada tandingannya selama
berpuluh tahun ia malang melintang dalam dunia persilatan,
ternyata saat itu dapat disambar Blo'on. Alangkah kejutnya
ketika kakinya ditarik keatas. Ia hendak meronta tetapi karena
kedua kakinya ditangkap tangan Blo'on dan diseret ke udara,
ia tak mampu berbuat apa2. Lebih celaka lagi ketika dalam
usahanya untuk menyalurkan tenaga dalam kearah kaki,
ternyata makin meronta keras, kakinya makin tertarik keras.
Bu Bin, tokoh tak bertangan yang termasyhur sebagai salah
seorang Bu-lim Sam-coat, harus menyerah ketika tubuhnya
dibawa berjumpalitan dan berputar-putar seperti roda.
Pada saat hampir tiba di tanah, timbullah rasa kasihan
dalam hati Blo'on. Betapapun, dia seorang pemuda dan Bu Jiu
seorang manusia cacat yang sudah tua. Ia malu kalau dikata
menghina seorang tua cacat. Maka ia meluncur dan tiba Iebih
dulu ditanah, kemudian melemparkan tubuh Bu Jiu ke udara.
Setelah bebas dari cekalan tangan Blo'on, Bu Jiupun dapat
mengerahkan tenaga-dalam untuk berjumpalitan dan
meluncur turus ke tanah. Ia hanya mengalami terhuyung
selangkah dan setelah itu dapat berdiri tegak.
Bu Jiu termenung diam. Rupanya ia tengah menyalurkan
bernapasan dan tenaga dalam.
"Bagaimana, apa masih hendak melanjutkan" " tegur
Blo'on. Bu Jiu mendengus dan gelengkan kepala.


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat itu Blo"on pun segera memberi isyarat kepada
rombongannya untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Tetapi secepat itu Bu Kakpun menghadang "Eh, mau apa
engkau" " tegur Blo'on.
"Engkaupun harus memenuhi syaratku," sahut tokoh tanpa
kaki itu. "Syarat apa" "
"Seperti Bu Jiu suheng tadi. "
"Eh, bukankah suhengmu sudah memberi ijin kepada
rombonganku untuk melanjutkan perjalanan. Mengapa engkau
masih hendak mengganggu lagi."
"Yang memberi ijin adalah suhengku. Silahkan kalian jalan
tetapi akupun berhak untuk menghadang karena aku belum
memberi ijin! " "Kurang ajar! " teriak Lo Kun, " engkau hendak
mempermainkan rombonganku! "
Kakek itu terus hendak maju tetapi dicegah Blo'on : "Biar
aku yang melayanimu."'
"Baik, aku akan memenuhi syaratmu!" kata Blo"on.
Wut, tiba2 tokoh tanpa kaki itu mencelat udara sampai dua
tombak, kemudian menukik turun seraya menggerakkan
sepasang kaki besinya ke arah Blo'on.
Gerakan sepasang kaki besi dari tokoh itu berubah seperti
serangan sepasang tongkat besi yang gencar. Masih dia
menambah lagi dengan menghantamkan kedua tangannya.
Bio'on cepat loncat menghindar. Selekas lawan tiba di
tanah, dia berbalik loncat ke udara dan berjumpalitan.
Letak kesaktian dari Bu Kak adalah pada sepasang kaki
yang terbuat dari tongkat besi setinggi dua meter. Kini karena
Blo'on melambung ke udara, Bu Kakpun mati langkah. Dia tak
dapat menggerakkan kaki besinya.
Terpaksa dia loncat ke samping, setelah itu hendak
melambung ke udara. Tetapi alangkah kejutnya ketika Blo'on
sudah bergeliatan melayang ke arahnya. Tanpa turun ke
tanah, Blo'on dapat bergeliat sehingga tubuhnya seperti
mencelat di atas kepala lawan. Dengan demikian tak
mampulah Bu Kak untuk melonjak ke udara lagi.
Wut..... Karena marah Bu Kak tak mau menghindar melainkan
dorong sepasang tangannya ke atas. Tetapi alangkah kejutnya
ketika ia tertolak oleh tenaga yang amat kuat sekali sehingga
ia terdorong ke belakang hampir rubuh. Sementara Blo'onpun
mencelat lagi ke udara. Ternyata dorongan kedua tangan Bu Kok itu tertolak oleh
tenaga-dalam sakti Ji-ih sin-kang, sehingga Blo"on terlempar
makin tinggi tetapi dia sendiripun dilanda oleh badai yang
dahsyat sehingga terjungkir balik.
Blo'on meluncur ke tanah dan berdiri tegak Ia menunggu
setelah Bu Kak berdiri jejak, baru menegur: "Bagaimana" Apa
masih dilanjutkan" "
Ternyata Bu Kak lebih lunak dan lebih kenal gelagat
daripada Bu Jiu. Ia tahu bahwa selama Blo'on menguasainya
dari udara tadi andaikan anakmuda itu mau menghantam,
tentu dia sudah celaka. Hal itu dapat dibuktikan dengan
tenaga-dalam yang luar biasa dari anak itu.
"Hm, baiklah," kata Bu Kak, "mengingat kita masih ada janji
pertaruhan, maka untuk sementara ini engkau boleh lanjutkan
perjalanan ke Hong san."
"'Hm, baiklah," kata Blo'on.
"Tetapi ingat, kalau engkau kalah bertaruh di Hongsan,
engkau harus membayar apa yang engkau lakukan hari ini,"
untuk menutupi gengsinya Bu Kak menyusuli kata2 pula.
"Huh, jangan mengancam dulu, bung," seru Lo Kun, "siapa
yang akan menang dan kalah dalam pertaruhan itu belum
ketahuan. Masih terlalu pagi engkau berkokok!"
Pada saat Blo'on bertempur dengan Bu Kak, Bu Bin masih
tampak ikut menyaksikan. Tetapi setelah pertempuran selesai,
ternyata Bu Bin sudah tak berada di situ lagi. Rupanya tokoh
pertama dari Bu-Iim-sam-coat itu sudah ngacir pergi. Dia tak
mau kehilangan muka lagi dengan Blo'on.
Demikian Blo'on dan para ketua partai persilatan dan
rombongan paderi Siau-lim segera melanjutkan perjalanan ke
Hongsan. Memasuki wilayah Hopak, mereka bertemu pula dengan
rombongan murid Bu-tong-pay yang dipimpin oleb Ang Hwat
tojin, sute dari Ang Bin tojing ketua Bu-tong pay.
Menurut keterangan Ang Hwat tojin, Bu-tong-sanpun
diobrak-abrik oleh pasukan Beng yang dikepalai seorang jago
muda yang menyebut dirinya sebagai Bu-lim Thay-swe
(Pangeran Dunia persilatan), dibantu oleh beberapa paderi
baju kuning dari Tibet. Ilmu kepandaian dari Bu-lim Thay-swe itu hebat sekali
sehingga pertahanan Bu tong-san berantakan dan
dihancurkan. Demi mengingat keselamatan sisa anakmund Butongpay maka Ang Hwat tojin segera memimpin mereka
untuk melarikan diri. Merekapun hendak menuju ke Hongsan
guna menemui ketua mereka, Ang bin tojin.
"Bu-lim Thay-swe" " kata Hoa Sin seorang diri kemudian
berpaling dan bertanya kepada Hong Hong tojin ketua Go bi
pay dan Ceng Siau suthay ketua Kun-lun pay.
"Hong Hong totiang dan Ceng Sian suthay adakah pernah
mendengar tentang tokoh Bu-lim Thay-swe itu" "
Kedua ketua partai persilatan itu gelengkan kepala : "
Rasanya tokoh itu baru saja muncul dewasa ini. Kecuali kita
berhadapan muka barulah kita dapat menentukan ciri2 orang
dan perguruannya. " "Ya, benar ", kata Hoa Sin, "rupanya pemerintah Beng
mulai giat lagi melakukan pemberantasan terhadap orang
persilatan. " "Hal itu aneh rasanya " kata Ceng Sian Suthay, "sebenarnya
kaisar Beng yang sekarang sudah hampir tak mengurus soal
pemerintahan. Selama aku berada di kotaraja untuk mencari
jejak Kim kongcu tempo hari, dapatlah kukumpulkan berita2
tentang keadaan keraton. Yang berkuasa dalam keraton boleh
dikata adalah Gui thaykam. Dia mempunyai pengaruh besar
sekali ....... ". " O, orang kebiri itu" " tiba2 Blo'on menyelutuk, "pernah
kuhajar dia ketika di keraton."
"Ya, ya, thaykam itu mempunyai hubungan rapat dengan
Cian bin-long-kun di kotaraja. Kabarnya harta pusaka yang
ditanam Ciau-bin-long kun di pulau kosong itu, berasal dan
keraton. Gui thaykam mencuri dari gudang simpanan harta
benda istana, lalu bersekongkol dengan Ciau-bin long kun
untuk menyingkirkan harta karun ke suatu tempat yang
aman." "Ya, memang aneh," kata Hoa Sin, "sepanjang yang
kuketahui kaisar Ing Lok sudah lemah dan kabarnya menderita
sakit. Kekuasaan boleh dikata berada dalam tangan Gui
thaykam yang bersekutu dengan seorang dayang pengasuh
dari putra mahkota yang masih kecil. Rasanya tokoh yang
menyebut dirinya sebagai Bu lim Thay-swe itu tak mungkin
bekerja dengan pasukan Beng."
"Hoa pangcu benar," kota Hong Hong totiang, "memang
sebelum terlibat dalam peristiwa meninggalnya Kim Thian
Cong tayhiap, kudengar di daerah Sanse telah muncul seorang
gagah bernama Li Hong Cang. Dia mengumpulkan banyak
pemuda2 dan membentuk suatu gerombolan besar. Kabarnya
dia tak puas melihat kekacauan dalam pemerintah Beng yang
jelas dikuasai orang2 kasim ( kebiri ) . Mungkinkah tokoh Bulim
Thay-swe itu kawan dari Li Hong Ciang" "
"Hm, mungkin juga," kata Hoa Sin, "tetapi mengapa Bu-lim
Thay-swe itu mengobrak-abrik vihara Siau-lim, markas Butongpay dan beberapa markas partai-persilatan" "
Hong Hong totiang tak dapat menjawab. Memang aneh.
"SoaI itu tentu sukar kita ketahui sebelum kita berhadapan
dengan Bu-lim Triay-swe dan gerombolannya," kata Ceng Sian
suthay, "tetapi merurut dugaan, kemungkinan merekapun
hendak berberbuat seperti gerombolan gunung Thay san dan
gunung Hongsan, yang memalsukan diri Kim tayhiap,
mendirikan perkumpulan agama baru, menekan pada partai
dan tokoh2 persilatan supaya mau masuk menjadi anggauta.
Barang siapa menolak akan dihancurkan. "
Hoa Sin mengangguk. "Ya, kemungkinan itu memang besar," katanya, "di mana
keadaan negara kacau maka di sana sini timbul pemberontak2
yang hendak memancing di air keruh."
"Tetapi mereka mempunyai dalih kuat juga," sambung
Hong Hong totiang ketua Kong tong-pay "mereka tak puas
dengan kaum kebiri yang menguasai istana dan menjalankan
pemerintahan. Mereka hendak menyelamatkan rakyat dari
tindasan yang dilakukan oleh pemerintah orang kebiri itu.
Dengan begitu mereka dapat memperoleh banyak pengikut.
"Memang kenyataan juga begitu," kata Ceng Sian suthay,
"juga di kalangan pangeran2 istana tampaknya sudah mulai
bersiap-siap menyusun kekuatan menghadapi saat2 kaisar Ing
Lok sakit. Apabila kaisar mangkat, tentu akan terjadi
perebutan kedudukan."
"Tetapi bukankah kaisar sudah menetapkan puteranya yang
diangkat sebagai putera mahkota" tanya Hoa Sin.
"Benar," kata Ceng Sian suthay, "tetapi kaisar mempunyai
banyak putera2. Tentu tak terhindar dari peristiwa berebut
tahta." Demikian setelah menempuh perjalanan beberapa hari
akhirnya mereka tiba di kaki gunung Hongsan.
Apa yang mereka bayangkan bahwa di gunung yang
dijadikan pusat markas partai Seng-lia-kau itu tentu tampak
kesibukan2 yang ketat, ternyata tak benar.
Ketika tiba di kaki gunung, mereka melihat suasana gunung
itu sepi2 saja. Di kaki gunung situ terdapat sebuah rumah
penginapan. Kebiasaan pada waktu Itu, rumah makan sering
pula menjadi rumah penginapan.
Rombongan Blo'on segera singgah di rumah makan itu.
Rombongan paderi Siau lim dan anak murid Bu-tong pay tak
ikut masuk. Saat itu menjelang sore. Beberapa tetamu tampak sedang
makan di situ. Makin malam makin ramai dengan pengunjung2
yang ingin mengisi perut.
Karena rombongannya berjumlah besar, Hoa Sin memecah
rombongannya dalam dua meja. Hoa Sin, Ceng Sian suthay,
Lo Kun, Blo'on dan Sian Li satu meja. Sedang pada lain meja
duduk Pui Kian, tianglo Hoa-san-pay, Hong Ing dan beberapa
murid Hoa-san-pay. Mereka pesan hidangan dan minuman dan suruh pelayan
segera menyediakan. Blo'on dan kakek Lo Kun lapar sekali.
"Lekas, jangan lama2, kalau perutku kempes susah
mengembalikan. Jangan lupa pesananku tadi! " teriak Lo Kun.
Jongos terkesiap. "Hidangan apakah yang loya pesan" " tanyanya "Tolol! "
bentak Lo Kun, "mengapa engkau masih bertanya lagi" "
bentak Lo Kun. Jongos itu makin melongo.
"Tetapi loya, aku benar2 lupa. Kalau tak salah loya tadi
belum pesan apa2." "Kurang ajar! " teriak Lo Kun, "bukankah aku sudah
memesan masakan yang paling enak sendiri di rumah makan
ini" " "Oh, " jongos itu mendesuh, "tetapi rumah makan kami
mempunyai persediaan banyak sekali hidangan yang enak.
Harap loya katakan namanya agar tidak keliru."
"O, apakah aku tadi belum mengatakan nama hidangan
yang kupesan" " Lo Kun kerutkan dahi.
"Belum. " "Tolol! " bentak Lo Kun, " mengapa engkau tak mengatakan
itu sedari tadi" Masa perut sudah merintih-rintih, engkau tak
menanyakan apa hidangan yang kupesan! "
"Jangan lupa, buatkan juga Liong-gan theng tiba2 empat
orang tetamu yang duduk tak jauh dari tempat Lo Kun,
memberi pesanan pada jongos lain.
" Hai, jongos! " tiba2 Lo Kun memanggil jongos yang
menerima pesanan tetamu itu, "apa itu Liong gan-theng" Apa
bukan buah Mata-naga" "
Rupanya jongos yang melayani meja kakek Lo Kun tak puas
mengapa kakek itu bertanya pada lain jongos yang melayani
lain meja. Segera ia menyahut: "Benar, Liong gan memang
mata naga. Rumah makan kami menyediakan beberapa
masakan mata. Mata sapi, mata naga, mata babi, mata ayam.
"Bagus!" teriak Blo'on tiba2, "kalau dapat menyediakan
mata naga berarti di sini mempunyai persediaan naga. Hayo,
buatkan aku otak naga! "
Sebenarnya jongos tadi hendak menumpahkan
kemengkalan hatinya karena tak ditanya oleh kakek Lo Kun
maka dia hendak unjuk kebolehannya. Tak disangkanya,
pemuda gundul itu telah memintanya pesanan otak naga.
"Celaka, " jongos itu menggerutu, "mengapa dia tak tahu
apa yang disebut liong-gan" "
"Lekas!" bentak kakek Lo Kun karena jongos itu terlongonglongong,
"sediakan pesanan cucuku itu. Catatlah, otak-naga! "
Entah bagaimana karena melihat kakek itu juga tak
mengerti apa yang disebut liong gan, jongos itu tertawa.
"Setan! " bentak kakek Lo Kun, "mengapa tertawa" Apa
engkau anggap aku ini orang gila" "
Jongos terkejut dan berhenti tertawa, serunya: "Bukan loya.
Kami tidak menganggap loya gila. Bukankah loya memang
tidak gila" " "Keparat," tiba2 Lo Kun menampar mulut jongos itu
sehingga jongos mengaduh kesakitan! Mulutnya mengucurkan
darah. Agak ribut suasana pada saat itu. Saorang lelaki setengah
tua segera menghampiri dan menanyakan urusannya. Dia
adalah pemilik rumah makan itu "
"Jongos itu menertawakan aku sebagai orang gila." Lo Kun
bersungut-sungut. "Tidak. ciangkui." kata jongos itu kepada majikannya, "aku
tertawa karena tuan yang gundul kepalanya itu memesan
hidangan otak-naga."
"O," pumilik rumah makan itu terkesiap dan memandang
kearah Blo'on. "Dia mengatakan punya persediaan liong-gat maka akupun
minta otak naga. Bukankah liong-gan itu berarti mata naga" "
kata Blo'on.

Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar," seru Lo Kun pula, "jongos ini tadi mengatakan
kalau punya beberapa persediaan hidangan mata sapi, mata
naga, mata babi dan mata ayam. Apa salah kami kalau pesan
otak naga" " Pemilik rumah makan itu tahu duduk persoalannya. Ia
memberi penjelasan : "Lo tiangke, yang disebut liong-gan
thong itu bukan kuah matanaga, tetapi kuah buah kelengkeng.
Liong-gan adalah kelengkeng."
"Tidak bisa!" bantah Lo Kun, "siapa yang kasih nama lionggan
itu untuk buah kelengkeng" "
"Ha, ha, ha." tiba2 ketiga tamu di meja lain tertawa gelak2.
"Ha, ha, ha," tiba2 kakek Lo Kun tertawa juga sehingga
ketiga tetamu itu berhenti tertawa.
"Hai, kakek tua, mengapa engkau tertawa" " seru salah
seorang yang bermuka brewok, dada penuh bulu. Dia
bertubuh perkasa sekali, sekujur badannya penuh ditumbuhi
bulu lebat. "Mengapa engkau juga tertawa" " balas kakek Lo Kun.
'Karena mendengar orang setua tak tahu apa yang disebut
liong gan itu. Mata-naga, ha, ha, itu hanya bentuk dan
besarnya buah kelengkeng itu menyerupai mata naga."
"Sekarang akupun hendak menjawab pertanyaanmu tadi,
mengapa aku tertawa," kata kakek Lo Kun, "aku tertawa
karena melihat seekor kera bisa tertawa. ha, ha....."
Kedua kawan lelaki brewok itu terbeliak dan pucat
wajahnya. Tetapi diluar dugaan lelaki brewok itu malah
tertawa. "Jangan heran, kakek," serunya, "memang manusia itu
menyerupai kera. Coba engkau lihat wajahmu di cermin, tentu
juga seperti monyet, ha, ha?"
"Tidak!" bantah kakek Lo Kun. "monyet binatang yang
berbulu. Aku tak berbulu, beda dengan engkau, ha, ha....."
"Kalau begitu engkau monyet gundul ha, ha, ha ..." lelaki
brewok itu tertawa keras.
"Hai, bung, kasih tahu kepadaku, di mana tempat naga itu"
" tiba2 B!o'on berseru.
"Naga" " lelaki brewok itu terbeliak, "siapa bilang aku tahu
tempat naga" " "Eh, bukankah engkau tadi dapat mengatakan bahwa
kelengkeng itu bentuk dan besarnya seperti mata naga. Kalau
engkau dapat mengatakan begitu, tentu engkau sudah pernah
melihat naga," kata Blo'on.
Orang bermuka brewok itu terkesiap.
"Hai, mengapa terlongong seperti monyet berak" " seru
Blo'on. "Monyet berak" Ha, ha, ha. benar, benar, cucuku, dia
memang seperti monyet ..... eh, apakah engkau sudah pernah
melihat monyet berak" " tiba2 kakek Lo Kun bertanya.
"Sudah, aku kan punya monyet peliharaan yang beranak si
Hitam itu" " "O, benar, benar. Kalau begitu dia memang seperti monyet
berak, ha .... " "Tunggu! " tiba2 Blo'on berteriak sehingga mulut Lo Kun
yang tengah tertawa itu, menganga, "aku sekarang ingat
kepada si Hitam, di manakah monyet dan burung Rajawali kita
itu" " Tiba2 serombongan tetamu yang terdiri dari empat orang
masuk ke dalam rumah makan itu. Yang satu, setengah tua,
memelihara jenggot kambing. Yang satu berhidung bengkok
seperti paruh burung kakaktua. Yang seorang bertubuh
pendek kecil mirip kera. Dan yang satu, tubuhnya kurus
mukanya putih seperti memakai bedak, lagak lagunya seperti
seorang banci. "Ho, dunia penuh aneka warna. Setan, katak kucing,
monyet, tikus berkumpul jadi satu," seru si Hidung-kakaktua.
Matanya yang juling celingukan memandang kian kemari
mencari meja yang kosong.
Pemilik rumah makanpun segera menyambut mereka dan
tinggalkan Lo Kun. Ia mempersilahkan rombongan baru itu
duduk di meja yang kosong, letaknya di belakang dari lelaki
yang bermuka brewok tadi.
Lo Kun terlongong-Iongong memandang keempat tetamu
itu. Sesaat kemudian ia garuk2 kepalanya yang gundul: "Aneh,
aneh ....... " Melihat itu Blo'onpun bertanya: "Apa yang aneh, kakek Lo"
" "Walaupun hidungnya bengkok tetapi dia tepat sekali
bicaranya. " "Siapa" " "Tetamu yang masuk tadi, " kata Lo Kun, "dia mengatakan
dunia ini penuh aneka warna. Memang tepat. "
"Hai, mana pelayan" " tiba2 si hidung bengkok tadi
berteriak. "Lekas bawakan dulu arak panas! " teriaknya, "eh, dengan
sepiring daging ayam gepuk tulang, daging babi gepuk gajih,
en, apa sedia daging anak anjing" "
Jongos tertegun : "Mungkin masih. Kemarin kami mendapat
empat ekor anak anjing. Mudah-mudahan belum laku semua."
"Bagus," seru si hidung bengkok, "kalau masih, kasih seekor
anak anjing gepuk tulang."
Dalam pada itu jongos telah membawakan hidangan ke
meja kakek Lo Kun. "Bagus, jongos," seru kakek Lo Kun berseri, "kalau
hidanganmu enak, tentu akan kuberi persen juga."
Jongos itu menghaturkan terima kasih.
"Rupanya rumah makan ini lengkap sekali, ya" " kata Lo
Kun. "Benar, loya, " kata jongos itu dengan tertawa, "memang
rumah makan kami penuh dengan dikunjungi tetamu. Ada
sebuah masakan yang menjadi keistimewaan rumah makan
kami. Mungkin di seluruh kota manapun juga, tak ada
hidangan semacam itu. "Kurang ajar, mengapa engkau tak bilang" " kata Lo Kun,
"apakah namanya" "
"Sian-jim-som-ya. "
"O, apakah istimewa sekali" "
"Tanggung jawab, loya," seru jongos itu. "sekali mencicipi
masakan itu tentu takkan lupa rasanya seumur hidup."
"Bawa kemari! " teriak Lo Kun.
Sesaat jongos berlalu, masuklah seorang tetamu. Seorang
lelaki berwajah putih bersih dan berdandan seperti seorang
sasterawan. Melangkah masuk sambil mencekal kipas.
Ketika dia lewat di sisi kakek Lo Kun dan Blo"on, dia
berkipas-kipas seperti orang yang kepanasan. Entah
bagaimana saat itu Lo Kun sedang melahap sebutir bakso,
tiba2 ia berbangkis sekeras-kerasnya, ajngngng'.... ajingng ....
Blo'on-pun demikian. Disusul Sian Li.
Sian Li untung sedang mengantar supitnya yang berisi
sekerat daging ayam ke mulut, sebelum mencapai mulut dia
sudah berbangkis. Hanya air hidung yang menyembur ke arah
kakek Lo Kun yang duduk berhadapan.
Tetapi Blo'on dan Lo Kun lebih tidak beruntung Ia sedang
menyuap nasi, karena berbangkis, nasipun muncrat ke muka,
tepat menghambur ke arah tetamu muka brewok dan kedua
kawannya. Demikian pula kakek Lo Kun. Dia sedang menyosor sebutir
bakso ke mulut. Karena berbangkis, bakso itu meluncur ke
arah kawan si brewok, yakni si lelaki yang bermata satu.
"Aduh .... bangsat! " si brewok tertabur hamburan nasi dari
mulut Blo' on. Ia masih sempat miringkan kepala hingga
sebagian dari hujan nasi itu terus meluncur ke belakang.
Meja di belakang yalah rombongan keempat orang. Mereka
adalah lelaki berjenggot kambing, lelaki berhidung bengkok,
lelaki berwajah seperti kera dan lelaki yang betingkah seperti
banci. Karena si muka brewok menjerit kesakitan dan cepat2
miringkan kepala, maka hujan nasi itupun melanda tetamu
berwajah kera. "Aduh, bangsat brewok engkau! " karena mukanya tertabur
nasi, si muka kera itu memaki.
Sedangkan bakso yang meluncur dari mulut Lo Kun,
melayang menyambar mata lelaki bermata satu. Untung orang
itu dapat menghindar tetapi tak urung daun telinganya
terlanggar juga. Karena bakso masih panas, ia menjerit
kesakitan. "Bangsat mata satu", tiba2 dari arah belakang terdengar
orang memaki dan mengaduh. Ternyata bakso itu terus
melaju dan menghantam si hidung bengkok. Dia sebenarnya
duduk membelakangi rombongan tetamu brewok. Tetapi
karena mendengar tetamu mata-satu menjerit, ia berpaling ke
belakang dan jadilah hidungnya yang bengko itu sasaran
bakso. Suasana gaduh seketika. "Bangsat kunyuk! " tetamu brewok cepat bangkit dan balas
mendamprat tetamu berwajah kunyuk, "mengapa engkau
memaki aku" " "Bajingan hidung bengkok! " teriak tetamu mata-satu
seraya melenting dari kursi, " mengapa engkau memaki aku! "
" Orang-utan, mengapa engkau menghamburkan nasi ke
mukaku" " balas si wajah kunyuk. 'Siapa orang-utan" "
"Muka dan badanmu penuh bulu, apa bukan orang-utan" "
seru lelaki berwajah kunyuk.
"Engkau sendiri seperti kunyuk, masih berani mengatai
orang. "Eh, mata-satu, engkau, berani memaki aku" ' hidung
bengkokpun menuding kearah lelaki bermata-satu.
"Hidung bengkok, kalau engkau tak memaki dulu, tentu aku
tak mau memakimu!" sahut Mata satu.
"Kalau engkau mengatakan orang bermata-satu seperti
engkau itu, enak saja hidupnya maka akupun akan
mengatakan bahwa kalau hidungku tertimpa bakso panas itu
juga tak apa2!" "Tetapi bukan aku yang melakukan! Mengapa engkau tak
mencari pada orang yang melontarkan bakso itu melainkan
memaki aku" Aku sendiripun jadi korban!"
Hidung bengkok segera mengalihkan pandang kearah Lo
Kun, serunya : "Hai, kakek gila, mengapa engkau muntahkan bakso dari
mulutmu yang seperti pantat kucing itu sehingga mengenai
orang" ", teriaknya.
"Engkau tolol hidung bengkok!" kakek Lo Kun balas
mendamprat lagi. "Jangan ngoceh seperti orang gila!" teriak hidung bengkok
makin marah," mengapa aku tolol" "
"Orang tolol yang tak mengerti ketololannya dia adalah
bapaknya tolol!" teriak kakek Lo Kun. "Coba engkau pikir,
kalau si Mata-satu itu tidak menghindar, tentu bakso tertahan
padanya, tak sampai mengenai hidungmu!"
"Setan tua!" bentak Hidung-bengkok, "engkaulah yang
menimpuknya." "Benar, eh, salah!" teriak kakek Lo Kun, "engkau memang
tolol. Aku tidak menimpuk bakso itu. Mengapa harus
menimpuk" Bukankah lebih enak kumakan" Tetapi karena
hidungku gatal seperti dikili-kili maka aku berbangkis dan
bakso itu mencelat."
Hidung bengkok diam merenung. Memang kalau
berbangkis, bukan sengaja menyemburkan bakso.
"Aku tak sengaja," kata kakek Lo Kun, "dan kedua kali
bokso itu hanya melayang kearah mata-satu, Dialah yang
berhak marah kepadaku. Mengapa engkau ikut-ikutan marah
kepadaku" " Hidung bengkok tertegun. "Jadi karena perbuatan si mata-satu yang menyingkirkan
mukanya ke samping, maka bakso melayang ke hidungmu.
Engkau harus mencari nyelesaian kepadanya, bukan
kepadaku!" Selama memperhatikan kakek Lo Kun bicara, lelaki bermata
satu itu mendapat kesan bahwa kakek itu kurang waras
pikirannya. Diam2 timbul rencananya untuk mengocok kedua
orang itu. "Hai, kakek kepala kucing," teriak si Mata-satu, "engkau
maksudkan, engkau berhutang kemarahan kepadaku dan aku
berhutang kemarahan kepada orang itu, bukan" "--ia
menunjuk si Hidung bengkok.
"Tepat!" teriak Lo Kun.
"Engkau pandai berhitung" "
"Aku sudah tua, mengapa tak pandai" "
"Mana lebih sedikit, dua dengan tiga" "
"Tentu saja dua! Jangan engkau mengolok aku seperci anak
kecil, mata satu!" "Jika begitu, urusan ini baik diperkecil saja Hutangmu
kepadaku, akan kubayarkan hutangku kepada orang itu.
Lunas. Jadi berikanlah kemarahan yang engkau pinjam
.kepadaku itu, kepadanya. Dia berhak menagih hutang
kemarahan itu kepadamu!"
Lo Kun tertegun seperti berpikir. Sesaat kemudian berseru :
"Bagus, engkau memang cerdik. Kalau begitu aku harus
membayar hutang kepada hidung bengkok ini. Nah. hidung
bengkok, sekarang engkau boleh menagih kepadaku. Apa
yang engkau kehendaki" "
Hidung bengkok merenung sejenak lalu berka ta :
"Alasanmu bahwa engkau tiba2 berbangkis sehingga tanpa
sengaja bakso itu meluncur dari mulutmu, memang dapat
diterima. Tetapi cobalah engkau ulangi lagi bagaimana
peristiwa itu sampai terjadi, agar aku dapat memutuskan,
engkau memang sengaja berbangkis atau tidak!"
"Setuju!" teriak kakek Lo Kun lalu menyumpit sebutir bakso
yang masih panas. Ketika hendak dimasukkan kedalam mulut,
tiba2 ia bertanya, "apakah aku harus menirukan berbangkis
lagi" " "Tentu," sahut Hidung bengkok.
"Tidak mau!" teriak Lo Kun, "kalau memangnya tidak
berbangkis, bagaimana aku harus disuruh berbangkis."
"O, ya, baiklah," kata Hidung bengkok, "cukup engkau
ngangakan mulut dan seringaikan hidung seperti gaya orang
berbangkis sajalah."
"Ya," kata Lo Kun lalu memasukkan bakso itu kedalam
mulutnya. Kemudian ia mulai menyeringaikan hidung dan
membuka mulut. Haup.....uk, uk, uk.....

Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat Lo Kun ngangakan mulut, Hidung bengkok
menghambur napas dan tahu2 bakso itu meluncur ke
kerongkongan Lo Kun. Karena bakso masih panas dan tak
dapat menggelinding kedalam perut, Lo Kun menjerit dan
menguak-nguak kesakitan. Kerongkongannya seperti
tersumbat benda panas. Tiba2 pemuda cakap berdandan seperti sasterawan tadi
berbangkit seraya berkipas-kipas agak keras : "Hai, jongos,
kemarilah, aku hendak pesan".."
Ah".ah".aaah.....rupanya Lo Kun hendak berbangkis.
Hidungnya seperti dikili-kili. Melihat itu Hidung bengkokpun
menghembuskan hidungnya. Kini keadaan kakek Lo Kun benar2 seperti monyet
ketulangan. Hidung mengajak berbangkis tapi bakso tertahan
di kerongkongan. "Ha, ha, ha ..... monyet makan tulang!" si Mata-satu
tertawa gelak2. Sekalian orangpun ikut tertawa geli.
Sekonyong-konyong masuk pula seorang tua yang
berpakaian kumal penuh tambalan. Macam seorang pengemis.
Punggung orangtua itu menyanggul sebuah buli2 arak. Sambil
berjalan sempoyongan seperti orang mabuk, dia masuk. Tiba2
ia terhuyung dan membentur tubuh kakek Lo Kun.
"Auh....." hidung bengkok menjerit ketika hidungnya
tersambar bakso yang berada dalam mulut kakek Lo Kun.
Tanpa minta ijin kepada yang punya mulut, orang aneh
pemabuk itu terus mengambil buli2 araknya dan mencekik
tengkuk Lo Kun lalu memiringkan mulut buli2 kemulut Lo Kun.
"Aaaahhhh ...' fingng!" seketika kakek Lo Kun berbangkis
dan arak yang diminumnya itupun muncrat kearah pemuda
berkipas. Pemuda sasterawan itu terkejut dan cepat menghindar ke
samping. "Jahanam!" Lo Kun marah setelah tahu dirinya dicekoki arak
oleh pemabuk itu. Ia menyambar leher baju orang dan hendak
di cekiknya. Tetapi sekonyong-konyong ia dicekik dari belakang oleh si
Hidung Bengkok. Dengan demikian, terjadilah cekik mencekik
antara ketiga orang itu. Kakek Lo Kun mencekik leher si
pemabuk, tengkuk leher Lo Kun pun dicekik dari belakang oleh
si Hidung Bengkok. Tetapi anehnya si pemabuk itu tenang2 dan tersenyum
mengekeh. Bahkan ia mengambil buli2 araknya, minum
seteguk lalu diulurkan buli2 itu ke mulut Lo Kun hendak
diminumkan. Lo Kun mendelik. Ia tak kenal siapa kakek pemabuk itu. Ia
marah karena tadi mulutnya dijejali buli2 arak. Sekarang mau
diulang lagi. Sudah tentu dia marah. Tetapi heran. Ia hendak
menarik tangannya yang mencekik itu, tak bisa. Mau
miringkan atau tundukkan kepala untuk menghindari mulut
buli2, juga tidak bisa. Tubuhnya serasa kaku tak dapat
digerakkan. Akhirnya arak dalam buli2 itupun masuk juga
kedalam mulutnya. Jika tadi ia hendak menghindar tetapi kini setelah
menikmati arak yang wangi dan lezat, dia malah terus hendak
menyedotnya. "Eh, bung, dikasih sedikit masakan terus mau dihabiskan,"
kakek pemabuk itu menarik pulang buli2 araknya.
"Kakek Lo Kun, lepaskanlah cekikanmu," seru Sian Li seraya
maju menghampiri dan hendak menarik tangan Lo Kun. Tetapi
alangkah kejut Sian Li ketika saat itu tangannya seperti
tersedot oleh tenaga yang kuat sekali. la hendak kerahkan
tenaga-dalam tetapi terlambat. Tangannya melekat kencang
pada tangan Lo Kun. Juga lelaki berwajah kunyuk karena melihat kawannya, si
hidung bengkok, tetap mencekik tengkuk Lo Kun, padahal Lo
Kun tak kurang suatu, iapun segera berbangkit hendak
melerai. Tetapi alangkah kejutnya begitu tangannya
menempel tangan si hidung bengkok, ia seperti tersedot dan
melekat kencang. la hendak kerahkan tenaga-dalam untuk
melepaskan tangannya, tetapi terlambat.
Melihat Sian Li tak melepaskan cekalannya pada lengan Lo
Kun, Blo'on heran. Demikian Hoa Sin, Ceng Sian dan Hong
Hong. Hanya apabila Blo'on terus berbangkit dan menghampiri
Sian li, ketiga ketua partai persilatan itu terbatas pada
menduga dalam hati. Ketiga ketua itu terkejut menyaksikan
peristiwa seaneh itu. Mereka menarik kesimpulan bahwa kakek
pemabuk itu tentu seorang tokoh sakti. Rupanya dia hendak
mempermainkan Lo Kun dan si hidung bengkok dengan
memberi saluran tenaga-dalam sakti.
Ketiga ketua itu legah karena melihat Blo"on maju. Mereka
ingin menyaksikan dan membuktikan tenaga-aneh yang
tersimpan dalam tubuh anak itu.
"Sian Li, engkau kenapa" " seru Blo'on seraya menarik
tangan sumoaynya. Tetapi seketika itu diapun tertegun seolah
terkena aliran tenaga penyedot yang keras. Ia tak dapat
melepaskan tangannya dan tangan Sian Li.
Blo'on ikut berdiri tegak seperti patung. Melihat itu, Hong
Hoa totiang mengeluh: "Ah, rupanya Kim kongcu juga terkena
tenaga-dalam yang dipancarkan pemabuk itu."
Hoa Sin tersenyum : "Kita nantikan saja. Kalau memang
begitu, terpaksa kita harus turun tangan menyerang kakek
pemabuk itu." Kakek pemabuk itu tampak tenang2 dan tersenyum
walaupun leher bajunya dicengkeram kedua tangan Lo Kun.
Tetapi beberapa saat kemudian setelan Blo'on ikut maju dan
terlekat, tiba2 wajah kakek pemabuk itu tampak terkejut dan
muka mengerut tegang. Bahkan pada lain saat setelah
wajahnya merah padam, kakek pemabuk itu terpental ke
belakang dan terhuyung-huyung jatuh terduduk di kursi.
Matanya memandang tak berkedip kearah Blo"on. Wajahnya
mengerut keheranan dan kekagetan.
Sebelum ia sampat berbuat sesuatu, tiba2 masuk pula
seorang gadis bersama seorang nenek. Gadis itu cantik berseri
laksana bunga mekar di pagi hari. Tetapi nenek itu penuh
dengan keriput pada dahinya. Membawa sebatang tongkat
bambu warna kuning. Mata sekalian tetamu mencurah ruah pada gadis cantik itu.
Namun gadis itu tak menghiraukan. Bersama si nenek
bertongkat bambu kuning dia mencari sebuah meja di ujung.
"Kakek Lo, jangan memandang begitu rupa. Malu, ah." kata
Blo'on seraya menarik lengan baju Lo Kun diajak duduk.
Rupanya kemunculan nona cantik itu telah menyirap
suasana ketegangan. Hidung bengkokpun tak menghiraukan
lagi pada Lo Kun, dia duduk di mejanya. Tetapi ia sengaja
mengambil duduk di kursi yang mengarah ke tempat nona
cantik itu. Belum puas mata sekalian tetamu memandang nona cantik
itu, tiba2 masuk pula seorang wanita cantik bersama dua
orang gadis yang mengiring di belakangnya. Mereka bertiga
mengenakan pakaian serba putih.
" Hurah! " tiba2 kakek Lo Kun memekik gembira, "hari ini
aku akan makan dan minum sampai puas," kemudian ia
berkata kepada Blo"on, "jangan buru2 tinggalkan rumah
makan ini. Kalau engkau tetap memaksa hendak pergi, aku
akan tinggal sendiri di sini."
"Mengapa" " tanya Blo"on.
"Sialan," gerutu Lo Kun, "bukankah engkau tahu, di sini
banyak wanita2 cantiknya" Kan sayang kalau kita buru2
pergi" " Tampak wanita cantik beserta dua orang gadis itu
memandang ke arah meja Blo'on. Mereka bicara bisik2.
Tiba2 salah seorang dari gadis baju putih yang cantik itu
berbangkit dan menghampri ke meja Lo Kun.
" Rasanya aku pernah kenal dengan kakek ..."
Belum gadis itu selesai bicara, Lo Kun sudah berbangkit dan
menyahut : "Tentu, tentu. Aku kenal banyak sekali nona
cantik, termasuk nona. Silahkan, duduk, silahkan duduk." Lo
Kun terus memberikan kursinya.
"Ah, di sini penuh, lebih baik kakek pindah ke tempat kami
saja," kata nona itu dengan tersenyum manis.
"Boleh ..... , " Lo Kun melangkah tetapi berhenti lagi, "eh,
tetapi harap nona jangan sebut aku kakek" "
"Lalu" " nona itu kerutkan alis.
"Panggil saja paman atau.....engkoh," kata Lo Kun.
"Ih gadis itu mendesis lalu ayunkan langkah. Kakek Lo Kun
mengikutinya. Tiba2 Sian Li menggamit tangan sukonya: "Suko, apakah
nona itu bukan anakmurid Partai Melati" "
Blo'on kerutkan dahi lalu menggeleng: "Entahlah, mana aku
bisa ingat lagi" "
"Ya, kalau tak salah dia adalah murid dari Hu-yong pang
yang pernah kita obrak-abrik dan bakar markasnya tempo
hari." "Kakek Lo Kun memang gila paras cantik. Kalau melihat
nona cantik, dia kelabakan setengah mati," ujar Blo'on.
"Tetapi yang ini lain, suko," kata Sian Li, mereka tentu akan
mencari balas kepada kita."
Tiba2 pandang mata Sian Li yang mengikuti langkah kakek
Lo Kun, terbeliak : " Suko, lihatlah ....... "
Blo'on berpaling memandang ke belakang. Ternyata ketika
Lo Kun berjalan lewat di meja tempat kakek pemabuk tadi.
tiba2 kakek pemabuk itu menyambar tangan Lo Kun dan
diajak duduk. "Mau ke mana engkau" Tua duduk sama tua. Muda sama
muda," kakek pemabuk itu mengeluarkan buli2 arak, "nih,
engkau boleh minum sepuasmu."
Lo Kun sebenarnya hendak membentak karena diganggu itu
tetapi ketika melihat buli2 arak, ia diam saja. Bahkan terus
menyambarnya dan meneguk.
Nona baju putih itu terkejut ketika mendapatkan kakek Lo
Kun singgah di tempat seorang kakek berpakaian kumal.
Ia terus melangkah menghampiri ke tempat kedua kakek
itu. Tiba2 sastrawan muda tadi pun berbangkit dan
menghampiri ke tempat kedua kakek.
Sambil berkipas-kipas, ia memberi hormat pada nona baju
putih itu : "Maaf, nona, apabila nona tak keberatan, biarlah
aku saja ......." Aaaajingngng ..... Tiba2 kakek Lo Kun berbangkis. Karena mulutnya penuh
arak, arak itupun menyembur ke arah si nona baju putih dan
tepat mengenai mukanya yang cantik.
Belum sempat nona itu berbuat apa2, kembali ia sudah
disembur pula oleh mulut Lo Kun yang berbangkis untuk
kedua kalinya. Sekalian tetamu terbeliak kaget.
Aaahhjingng .......! Jilid 43. BLO'ON memang banyak mengalaman gangguan dalam
kehidupannya. Gangguan dari luar mau pun dari dalam. Dari
luar, berupa peristiwa2 yang harus dihadapinya dengan
bermacam macam manusia dan tokoh2 persilatan. Yang aneh,
yang sakti mau pun yang cabul.
Gangguan dari dalam, pikirannya yang bloon akibat
kehilangan daya ingatan. Masih ditambah pula dengan
rombongannya yang aneh. Liok-ci-sin-kay atau Pengemis-sakti jari-enam Hoa Sin
sebenarnya juga seorang tokoh yang aneh. Walau pun dia
seorang ketua Kay-pang tetapi sikap dan tingkah lakunya suka
melucu. Dan yang paling gila adalah kakek Lo Kun. Umurnya sudah
tua renta, hampir seratus tahun. Tubuhnya masih kuat dan
selama ini tak pernah beristri tinggal dalam gua Hek-hou san.
Dia seorang kakek yang tak normal pikirannya dan nyentrik
sekali. Berulang kali selalu kakek itu membuat gara2. Di vihara
Siau lim si ia dapat membubarkan barisan lo-han-kun yang
termasyhur di dunia persilatan hanya karena perutnya sakit
dan meletus kotoran yang busuk baunya.
Di markas Hu-yong-pang, dia dapat mengobrak-abrik
kawanan gadis cantik. Di gunung thay-san, dia pun berjasa
dalam meruntuhkan Thian-tong-kau. Ya, dimana-mana kakek
pekok itu selalu membuat gara2.
Saat itu di rumah makan, ia pun berbantah dengan jongos
lalu dengan seorang tetamu yang hidungnya bengkok seperti
burung kakaktua. Tiba2 ia didatangi seorang nona cantik yang
mengajaknya duduk bersama di meja mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba. Dia memang paling getol dengan
nona cantik sekarang tiba2 datang seorang nona cantik yang
mengajaknya duduk bersama.
Bukan main gembiranya. Tetapi ketika ia hendak
berbangkit, datanglah si sasterawan muda yang membawa
kipas. Tahu2 kakek Lo Kun seperti dikili-kili hidungnya. Ia
berbangkis sampai dua kali. Dan ingus (umbel) dari hidungnya
itu muncrat ke wajah si nona cantik.
Seketika gemparlah suasana dalam rumah makan itu. Ada
yang tertawa gelak2, ada yang terkejut.
Merah padam muka nona itu. Rupanya ia marah dan tak
dapat mengendalikan diri lagi, plak ..., segera ia ayunkan
tangannya menampar muka Lo Kun. Karena tak menduga,
kakek Lo Kun tertampar mukanya sampai terhuyung-huyung
ke belakang menuju ke arah sasterawan berkipas.
"Ih, mengapa lopeh ini, " ia tamparkan kipas seperti orang
yang terkejut. Tahu2 tubuh kakek Lo Kun mencelat ke muka
dan berbangkis di hadapan nona cantik itu lagi, ajingngng.....
Nona itu terkejut dan tak sempat menghindar sehingga
mukanya basah lagi dengan air dari hidung kakek Lo Kun.
Plak .... ia menendang dan kakek Lo Kun pun mencelat ke
arah sasterawan itu. "Ih ... lopeh, berdirilah." seru sasterawan itu seraya
menyanggah dengan kipasnya. Lo Kun pun tegak juga. Dan
ketika sasterawan itu berkipas-kipas, tiba2 nona cantik itu
berbangkis. aahjingngng...
Muka Lo Kun terbalas semprotan air hidung si cantik. Tetapi
sehabis mengepak-ngepakkan kepala, kakek itu berteriak
gembira : " Aduh, wanginya. Hayo, nona cantik, berbangkislah
sekali lagi, aaahjingngug....."
Baru ia berkata begitu tiba2 hidung kakek itu berbangkis
dua kali bukan hanya semprotan air hidung, pun juga
segumpal riak dari mulut kakek itu pun meluncur ke luar.
Plok ....... si nona waspada dan menghindar, ludah kakek Lo


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun melayang-layang ke arah nona cantik baju ungu yang
diantar oleh nenek bertongkat bambu kuning.
"Kurang ajar, " gumam nenek itu seraya tamparkan tongkat
bambu kuningnya. GumpaIan ludah itu pun melayang kembali
ke arah kakek Lo Kun. "Haahemmm....." tiba2 pemabuk tua tadi menguap sekeraskerasnya.
Aneh bin ajaib sekali. Gumpalan riak ludah dari Lo Kun
meluncur laju sekali. Melihat itu Sian-Li tak dapat berdiam diri.
Ia cepat menarik baju kakek Lo Kun ke belakang, plot.....
Karena tak menyangka-nyangka dan karena luncur ludah itu
seperti anak panah cepatnya, tahu2 ludah itu ngendon di pipi
sasterawan berkipas. Merah padam seketika sasterawan itu
karena mendengar gelak terbahak-bahak dari sekalian tetamu.
Ia malu dan gusar. Tetapi kepada siapa ia harus me
numpahkan kemarahannya. Tiba2 ia menyambar tangan kakek
Lo Kun dan membentaknya. "Kakek sinting, hayo, bersihkan ludahmu di mukaku ini! "
"Tidak sudi! Aku jijik! " kakek Lo Kun meronta hendak
melepaskan pergelangan tangannya yang dikuasai sastrawan
itu. Tetapi ia segera menyeringai kesakitan. Rupanya
sasterawan itu memperkeras cengkeramannya.
Melihat itu Sian Li marah dan serentak berbangkit lalu
membentak sasterawan itu :
"Lepaskan! " ia terus menampar tangan sasterawan itu.
"Aduh!" teriak sebuah suara keras. Tetapi yang mengaduh
itu bukan si sasterawan berkipas melainkan kakek Lo Kun.
Astaga, kiranya dengan tangkas, sasterawan berkipas itu telah
menarik tangan Lo Kun yang sudah dikuasai itu sebagai
sasaran jari Sian Li. Sekalian orang terkejut atas kelihayan sasterawan itu.
Terutama rombongan Blo'on. Ketiga ketua partai persilatan,
Hoa Sin, Ceng Sian dan Hong Hong totiang, tahu akan
kelihayan kakek Lo Kun. Bahwa seorang kakek yang memiliki
kepandaian seperti itu masih dapat dikuasai, menandakan
bahwa sasterawan berkipas itu tentu hebat sekali ilmu
kepandaiannya. Tiba2 nona cantik baju putih yang mukanya tersemprot air
hidung Lo Kun, melampiaskan lagi kemarahannya. Segera ia
menghantam kakek itu. "Haahhhhhem, " kembali kakek pemabuk tadi terdengar
menguap, "hai, mengapa hari masih begini sore mataku sudah
begini berat" "
"Ih ..... , " sasterawan berkipas itu terkejut ketika tubuh Lo
Kun melengkung ke samping sehingga pukulan nona baju
putih itu nyelonong kepadanya, "ah, ". mengapa nona
memukul aku" " seru sasterawan itu sambil goyangkan
kipasnya. Seketika pukulan nona baju putih itu tertolak ke belakang
sehingga orangnya pun ikut terdoyong mundur setengah
langkah. Nona baju putih itu terkejut. Kiranya sasterawan yang
tampak lemah itu memiliki tenaga-dalam yang luar biasa
hebatnya. Tetapi ia tak marah karena sasterawan itu jelas
hendak melindungi diri karena akan dipukulnya. Yang disasar
adalah kakek sinting itu tetapi mendadak kakek itu dapat
menggeliatkan tubuh ke samping.
"Sianseng, maaf, sukalah engkau lepaskan tangan lopeh
itu," tiba2 Hoa Sin berbangkit dari kursi dan menghampiri.
Sasterawan berkipas itu hentikan kipasnya dan melirik : "O,
kiranya seorang pengemis juga hendak ikut campur dalam
urusan ini" Apakah hakmu hendak meminta kubebaskan
kakek ini. Dia telah menyemprot ludahnya ke muka, nih-katanya sambil menunjukkan pipinya yang masih berlumur
ludah kental sekarang kuminta dia supaya membersihkannya.
Bukankah permintaanku itu cukup pantas" "
Hoa Sin tertawa. "Memang cukup dan pantas sekali," serunya, "baiklah. Aku
yang akan mewakili lopeh ini untuk menghapusnya."
Hanya menunggu persetujuan orang, Hoa Sin harus ulurkan
tangan, maksudnya hendak membersih kan ludah itu dari pipi
si sasterawan berkipas. Plak..... Sekonyong-konyong tangan Hoa Sin menampar pipi si
sasterawan sekeras-kerasnya. Sasterawan itu terkejut, hendak
menghindar tetapi terlambat.
"Huh.....! " Hoa Sin mendesuh kejut dan menyurut ke
belakang. Sedang sasterawan itu pun mendesus kaget karena
sakit. " Ha, .ha, ha "... ," sebaliknya kakek Lo Kun malah tertawa
gelak2 "bagus, bagus, Hoa pangcu. Jika tadi ludah itu hanya
nempelok di pipinya, sekarang malah merata semua. Kayak si
banci berbedak ?" "Haup ..." tiba2 mulut Lo Kun yang tertawa menganga itu
mengatup dan serentak ia menjerit lalu menyembur, " wufff
....... " Sasterawan itu masih tertegun karena mukanya ditampar
Hoa Sin. Tiba2 sebutir bakso panas menyembur dari mulut Lo
Kun dan melayang ke hidungnya.
Dalam kejut sasterawan itu masih sempat meniup dengan
mulutnya, wuff .... bakso panas melayang laju ke arah nenek
bertongkat bambu kuning. Nenek bertongkat bambu kuning menggeram marah.
Serentak ia menampar dengan tongkat bambunya, wut...
bakso itu mental balik melayang ke arah meja yang diduduki
rombongan si Jenggot kambing berempat. Mereka yalah si
Jenggot-kambing, si Hidung bengkok, si Muka kera dan si
Banci. Saat itu si Banci sedang duduk membelakangi. Tahu2
tengkuknya terhantam pelor daging cacah alias bakso, plak.....
"Uh" ia mengeluh kesakitan. Bakso itu masih panas. Bakso
seharusnya empuk karena terbuat dari daging cacah. Tetapi
entah bagaimana ketika ditampar dengan tongkat bambu
kuning si nenek, bakso itu berobah menjadi keras seperti batu.
Sudah tentu si Banci menjerit kesakitan.
"Kurang ajar, siapa yang berani menimpuk leherku dengan
pelor besi" " serentak si Banci berbangkit dan keliarkan
pandang. Dan matanya segera tertumbuk akan si nenek bertongkat
bambu kuning yang wajahnya tampak memberingas merah.
"Hai, lo thaypoh, engkaukah yang melemparkan pelor itu"
" seru si Banci. "Hus, Lo Kui, jangan memalukan kita. Bukan pelor besi,
lihatlah benda itu, " tiba2 si Jenggot kambing berseru pelahan.
Banci pun segera memandang benda bundar yang dikira
pelor besi. Ternyata benda yang saat itu menggeletak di lantai
hanyalah sebutir bakso. Dan lebih ngeri pula wajahnya ketika
tahu bahwa bakso itu adalah bakso yang berasal dari
mangkoknya sendiri. Nenek bertongkat bambu kuning tak menjawab melainkan
curahkan pandang matanya yang memberingas ke arah
sasterawan berkipas baja.
"Hai, sasterawan brengsek, mengapa engkau berani
menampar bakso itu ke arahku" " serunya dengan marah
walau pun nadanya parau. Sasterawan itu mengulum senyum.
"Maaf, Io-thay-poh," seru sasterawan berkipas itu, "aku tak
sengaja hendak melemparkan bakso itu kepada lo-thay-poh.
Adalah karena kakek botak tadi hendak menyemburkan bakso
itu kepadaku, terpaksa kutampar dengan kipasku."
Kemudian tanpa menghiraukan nenek bertongkat bambu
kuning itu lagi, ia terus alihkan perhatian kepada kakek Lo Kun
dan Hoa Sin. "Hai, pengemis tua dan kakek gundul, bagaimana
pertanggunggan jawabmu kepadaku" " tegurnya.
"Apa engkau buta" " tiba2 kakek Lo Kun malah
memakinya, "bukankah aku tak membekal bakso. Mengapa
tahu2 ada bakso melayang ke dalam mulutku" Hayo, katakan,
apa sebabnya" Kalau engkau tak dapat mengatakan
sebabnya, aku tentu marah!"
Sasterawan itu melongo. Tetapi pada lain saat ia menyadari
bahwa kakek itu tampaknya memang agak sinting. Dan
memang pertanyaan kakek itu juga beralasan. Diam2 ia
mencuri pandang, melirik siapa diantara tetamu yang sengaja
mengolok kakek itu. "Soal mencari siapa yang melontarkan bakso ke dalam
mulutmu, silahkan engkau cari sendiri. Barang siapa yang
makan bakso, tentu dialah ....... "
"Benar! " teriak kakek Lo Kun terus lari menghampiri ke
tempat meja yang diduduki si Jenggot Kambing berempat. Dia
melihat di meja itu terdapat hidangan bakso yang masih sisa
beberapa butir. "Hai, Jenggot kambing, hai Hidung bengkok, hai Mukakunyuk
dan engkau hai, Banci teriak kakek Lo Kun seraya
menuding mereka satu demi satu, "mengaku sajalah siapa
yang melempar bakso ke mulutku tadi" Kalau mengaku
hukuman enteng, kalau tidak, hukumannya berat. "
Keempat orang itu tercengang, bertukar pandang lalu
tertawa gelak2. "Bagaimana engkau menuduh kami berempat yang
melemparkan bakso ke mulutmu" " seru Hidung bengkok.
"Mudah saja, "sahut kakek Lo Kun, "karena di hadapan
kalian masih terdapat sisa bakso. Tentu salah seorang dari
kalian yang melemparkan."
"Goblok!" teriak Hidung bengkok, "bakso makanan yang
enak dan mahal. Sedangkan kami sendiri masih kurang,
mengapa harus dilemparkan ke dalam mulutmu" Kan lebih
enak kami makan sendiri."
Lo Kun tercengang, garuk2 kepala: "Ya, ya, benar. Tetapi
mengapa bakso itu melayang kedalam mulutku" Apakah
bakso dapat terbang sendiri kalau tidak dilemparkan tangan
orang" "Kakek tua," seru si Banci, "apakah bukan bakso ini" "--ia
menunjuk pada butir bakso yang jatuh di tanah. "
"Benar, ya, memang itu!" teriak Lo Kun.
"Aku sendiri juga menderita, tengkukku dihantam bakso
itu," kata si Banci.
"Siapa yang melakukan" " seru Lo Kun.
"Siapa lagi kalau bukan nenek bertongkat bambu kuning
itu," kata si Banci.
"O, itu," seru Lo Kun. "jangan kuatir Banci, akan kuhajar
nenek itu." Banci terbelalak ketika dirinya disebut Banci tetapi Lo Kun
sudah menghampiri nenek bertongkat bambu kuning.
"Hai, nenek, benarkah engkau yang menghantam bakso itu
kepada si Banci" " tegur Lo Kun.
Dua kali dirinya dimaki banci, lelaki Banci itu melongo.
Tetapi ia tak dapat berbuat apa2.
Nenek tongkat bambu kuning itu rupanya seorang nenek
yang galak. Ia muak melihat muka kakek Lo Kun yang mengilingili
hati itu. "Kalau ya, engkau mau apa" " sahutnya dengan geram.
"Engkau jempol, nenek, " tiba2 Lo Kun acungkan jempol
tangannya ke atas, "walau pun mukamu jelek tetapi nyalimu
besar, hatimu jujur."
Habis berkata Lo Kun terus menghampiri ke tempat si Banci
lagi : "Banci, nenek jelek itu mengaku dengan jujur, memang
dia yang melemparkan bakso kepadamu. Dia jujur dan berani.
Kalau melempar ya mengaku melempar, tidak plintat-plintut."
Perut si Banci hampir muntah karena merasa dikili-kili
melihat gerak-gerik Lo Kun. Dan karena terang-terangan
dirinya disebut Banci oleh kakek itu, Banci itu pun muntah.....
" Ha, ha, ha ?"." Lo Kun malah tertawa gelak2, "Banci,
engkau memang temaha makan, tuh lihat, baksonya ke luar
semua....." "Kakek bangsat! " karena tak tahan lagi, Banci terus
menghantam Lo Kun. Untung kakek itu dapat menghindar.
Rupanya Banci tak mau memberi ampun lagi. Ia terus
menyerang. Tiba2 bahunya dicengkeram orang dan ditarik ke belakang:
"Jangan kurang ajar kepada kakekku."
Seketika Banci rasakan bahunya kesemutan dan lengannya
tak bertenaga. Ia coba mengeruhkan seluruh tenaga-dalam,
tetapi tekanan yang dideritanya pun makin besar. la
terhuyung-huyung ke belakang ketika disentakkan ke
belakang. "O, engkau setan gundul, " teriak Banci ketika melihat siapa
yang menyentak dirinya itu.
"Ya." sahut setan gundul atau Blo'on. Rupanya pemuda itu
tak dapat tinggal diam karena melihat Lo Kun diserang tanpa
salah. "Engkau mau membela kakek sinting itu" " tegur Banci.
"Karena engkau licik," seru Blo'on, "sebenarnya engkau
yang pertama menjentikkan bakso dalam supitmu ke arah
kakekku. Dan karena bakso itu tepat masuk ke dalam
mulutnya, kakek terus menyemburkannya ke arah sasterawan
itu. Sasterawan menampar dengan kipas, melayang ke tempat
nenek bertongkat bambu kuning. Nenek itu marah dan
menghantamnya. Bakso melayang tepat menghantam
tengkukmu. Nah, itu namanya senjata makan tuan. Mengapa
engkau marah" "
Si banci merah mukanya disamping ia terkejut karena
ternyata pemuda gundul yang blo'on itu dapat mengetahui
perbuatannya. "Hai pemuda gundul," akhirnya ia berseru juga, "siapa
engkau!" "Jangan bertanya namaku!"
"Hm, rupanya engkau hendak berlagak sok, ya" " Banci
terus maju menyerang Blo'on. Serangannya bergaya aneh.
Jari2 tangan Banci itu kurus dan kukunya pun dipelihara
panjang sehingga menyerupai cakar garuda.
Blo'on terkejut ketika merasa tangan orang banci
menghamburkan tenaga-angin yang tajam, Rasanya seperti
tusukan jarum. "Gila!" teriah Blo'on seraya menghantam. Dia terkejut dan
ketakutan sehingga tenaga-dalam Ji-ih-sin-kang pun
terpancar. Seketika tubuh orang banci itu terdampar beberapa langkah
ke belakang, brakkk ...,.
"Hii!" Jenggot kambing, Hidung bengkok: dan Wajah
kunyuk, melonjak dan menjerit karena meja mereka terlanda


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh Banci. Meja terbalik dan hidangan pun berhamburan
tumpah. Seperti telah dikatakan tadi, karena melihat kakek Lo Kun
dicekal tangannya oleh sasterawan berkipas, Pengemis sakti
Hoa Sin segera maju hendak melolong. Karena kakek Lo Kun
tiba2 menyembur bakso sehingga sasterawan itu harus
menyingkir ke samping. Dengan begitu cekalannya pun lepas.
Maksud Hoa Sin hendak membersihkan ludah Lo Kun yang
menempel di pipi sasterawan itu. Tetapi ketika ia mengulurkan
tangan tiba2 terasa suatu aliran tenaga-angin yang kuat telah
mendorong tangan pengemis itu hingga maksudnya hendak
menghapus, kebalikannya malah melumurkan ludah itu hingga
merata pada muka sasterawan itu.
Dapat dibayangkan betapa marah sasterawan itu. Ia terus
menampar Hoa Sin dengan kipasnya. Hoa Sin terkejut. Kini
baru ia tahu bahwa kipas sasterawan itu bukan sembarang
kipas. Tamparan itu menaburkan tenaga-dalam yang kuat
sekali. Hoa Sin masih sungkan karena menganggap bahwa
sarterawan itu memang layak kalau marah. Karena siapakah
yang takkan marah apabila mukanya disembur ludah kental"
Pengemis-sakti Hoa Sin menghindar ke samping.
Tetapi tindakan ketua Kay pang itu diartikan lain oleh
sasterawan itu. Ia menganggap Hoa sin takut. Maka
diserangnya pula ketua Kay pang itu.
"Sicu, janganlah keliwat mendesak orang. Kita tak
bermusuhan mengapa engkau menyerang begitu dahsyat,"
seru Hoa Sin sambil masih menghindar.
Diam2 sebenarnya sasterawan itu terkejut. Ia dapat melihat
bahwa orang yang diserang itu ternyata memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Serangan yang dilancarkan dengan kipas Itu makin
ditingkatkan dengan jurus2 yang berbahaya. Tetapi sampai
sebegitu lama, tetap ia tak mampu merubuhkan pengemis itu.
"Kerhenti! " tiba2 Hoa Sin membentak sekeras-kerasnya.
Dan serempak dengan itu, si Banci yang dihantam Blo'on tadi
pun terdampar membentur meja. Sasterawan itu pun tertegun
dan berhenti menyerang, Kemudian Hoa Sin menggunakan
ilmu Menyusup-suara membisiki kakek Lo Kun.
"Lo peh-hu, " kata pengemis sakti itu, "harap engkau minta
maaf kepada sasterawan itu dan panggil jongos, minta
sebaskom air, cucilah ludah yang terlumur pada muka
sasterawan itu ... "
Lo Kun terkejut, memandang Hoa Sin dan gelengkan
kepala. Dia tak mau. "Lo-tiang, " seru Hoa Sin dengan ilmu Menyusup-suara
pula, "harap engkau mau lakukan hal itu. Dan pada waktu
mencuci mukanya, beset saja kulit mukanya itu. Dia
mengenakan kedok kulit yang tipis.
Lo Kun terbelalak. "Lo tiang, jangan ragu2. Kutahu jelas dia memang memakai
kedok kulit manusia. Wajahnya sendiri bukan begitu, " desak
Hoa Sin dengan ilmu Menyusup-suara lagi.
Lo Kun baru percaya dan terus menghampiri sasterawan
itu. Di tempat yang lain, karena meja terbalik dan makanan
tumpah ruah, marahlah ketiga orang itu. Yang paling marah
adalah si Banci karena pakaian dan mukanya tersiram kuah
bakso dan capcai. "Bangsat gundul," si Banci melenting bangun terus loncat
menerkam Blo'on. Tetapi dengan cepat Blo'on pun loncat
menghindar ke samping. Terkaman si Banci itu memang cepat dan dahsyat sekali
tetapi sekali loncat, Blo'on telah mengejutkan sekalian tetamu.
Dia melayang ke tempat kakek pemabuk tadi.
Dan karena terkamannya luput, Banci pun menubruk ke
tempat meja Ceng Sian suthay dan Hong Hong tojin.
"Suthay, kuangkat meja kita", kata Hong Hong totiang
seraya loncat membawa meja itu ke samping.
Dengan begitu, si Banci tetap melaju ke arah meja yang
diduduki si nona cantik bersama nenek bertongkat bambu
kuning. Prakk.... Nenek bertongkat bambu kuning itu marah. Ia menyabat
dengan tongkatnya. Ternyata si Banci lihay juga. Walau pun
tubuhnya terjorok ke muka dan dihantam tongkat bambu
kuning, tetapi ia masih dapat mengendapkan tubuh,
menghindari tongkat. Memang kepala dari si Banci selamat tak sampai pecah.
Tetapi ternyata nona cantik baju biru itu melengking: "Ai
jangan pegang kakiku!"
Ternyata si Banci memang kurang ajar. Begitu mengendap
ke bawah meja lalu menyambar kaki si nona cantik. Sudah
tentu nona cantik itu menjerit kaget.
Sebenarnya saat itu Lo Kun hendak melakukan perintah
Hoa Sin. Ia sudah berdiri dimuka si sasterawan berkipas Tetapi
baru ia hendak membuka mulut, tiba2 ia mendengar jeritan si
nona cantik tadi. Serentak ia loncat ke tempat si Banci. Ia
hendak menarik kaki banci itu. Tetapi baru ia ulurkan tangan,
tiba2 tubuh si Banci mencelat kabelakang; heuk.....
Tangan kakek Lo Kun amat keras dan luncur tubuh Banci
itu pun dahsyat sekali. Begitu terbentur, si Banci seperti
terkena tutukan jari. Apalagi kebetulan jari kakek Lo Kun itu
tepat mengenai jalan-darah di punggung orang. Seketika
Banci itu tak dapat berkutik ....
"Hai, Banci, mengapa diam saja" " teriak Lo-Kun seraya
mencekik tengkuk orang itu.
Jika Lo Kun mau memperhatikan, ia tentu tahu bahwa saat
itu, sebutir benda hitam sebesar kedelai telah melayang dan
membentur leher si Banci. Tetapi sudah tentu Lo Kun tak
mengetahui hal itu. Bahkan, tetamu2 lain pun tak mengetahui
peristiwa itu. Yang mereka ketahui hanyalah, tiba2 si Banci itu
tertawa gelak2 seperti orang gila.
Lo Kun heran, serunya: "Hai, Banci, mengapa engkau
tertawa" * Tetapi benci itu tak menyahut melainkan tertawa terus
seperti orang geli, Lo-Kun lepaskan cekikannya dan
membentak: "Diam! Jangan tertawa seperti orang gila! Apa
yang engkau tertawakan" Mengapa engkau tertawa begitu
geli" * Namun si Banci seolah tak menggubris. Dia tertawa geli
sekali. "Eh, engkau ini benar2 gila!" Lo Kun terus ngeloyor pergi.
"Lo pekhu, mengapa engkau lupa pada sasterawan itu"
Lekas minta maaf dan cucilah mukanya!," tiba2 Lo Kun
terkejut ketika telinganya terngiang oleh suara orang.
Serentak ia teringat akan perintah Hoa Sin tadi.
"Tuan sasterawan, aku minta maaf karena menyemprot
ludah ke mukamu," kata Lo Kun dihadapan sasterawan
berkipas itu, "aku bersedia untuk mencuci muka tuan."
Diluar dugaan sasterawan itu menolak: "Tidak, aku dapat
membersihkan sendiri. Tetapi karena ludah itu berasal dan
mulutmu, maka akan kukembalikan kepadamu. Benar atau
tidak" " "Benar..... " Lo Kun berkata sepatah, tiba2 telinganya
terngiang suara Hoa Sin, "Lo pekhu jangan mau. Desaklah
supaya dia setuju engkau cuci mukanya. Lekas minta air
kepada jongos!" "Ah, tidak benar," serentak kakek Lo Kun menyusuli kata2,
"aku yang meludahi, aku yang harus membersihkan. Benar
atau tidak" " Sasterawan ita terkejut. Mengapa mendadak sontak kakek
Itu berobah haluan" Dia tadi memang sudah curiga mengapa
kakek itu bersedia untuk membersihkan mukanya. Pada hal
sebelumnya kakek Itu menolak keras. Kemudian ia
memperhatikan gerak gerik Hoa Sin. Untuk yang kedua kali,
kakek Lo Kun pun membenarkan pertanyaannya. Tetapi ketika
dilihatnya mulut Pengemis sakti itu berkerenyutan, tahu2
kakek Lo Kun terus menyangkal dan hendak membersihkan
ludah pada mukanya. Kini sasterawan itu tahu bahwa pengemis tua itu tentu
menggunakan ilmu Menyusup-suara kepada kakek Lo Kun.
Diam2 timbul suatu rencana dalam benaknya. Segera ia pun
melancarkan ilmu Menyusup-suara ke telinga Lo Kun.
"Lojin, dia sudah menyatakan membersihkan mukanya
sendiri. Tak perlu engkau paksa. Dan pernyataannya hendak
mengembalikan ludahmu ke dalam mulutmu itu juga adil ...."
demikian kata2 yang mengiang dalam telinga kakek Lo Kun.
Seketika kakek itu pun berseru : "Ya, engkau memang
betul. Aku takkan memaksa mencuci mukamu lagi. Dan
silahkan engkau mengembalikan ludahku!"
"Celaka!" diam2 Hoa Sin terkejut mendengar ucapan Lo Kun
itu, "kakek itu memang sinting."
Cepat ketua Kay-pang itu menggunakan ilmu Menyujup
suara lagi: "Lo pekhu, mengapa engkau berkata begitu" Kalau
engkau dapat mencuci mukanya, engkau dapat membuka
kedok mukanya dan tahu siapa sesungguhnya orang itu"
Lekaslah engkau minta untuk membersihkan mukanya. Jangan
lupa!" "Ah,, tapi itu tak pantas. Aku yang meludahi, seharusnya
aku yang membersihkan. Jangan engkau menolak," terus
kakek Lo Kun berteriak minta baskom berisi air kepada jongos.
Kini makin jelas bagi sasterawan itu bahwa, kakek Lo Kun
memang mendapat kisikan dari pengemis tua itu. Cepat ia
menggunakan ilmu Menyusup-suara lagi ke telinga Lo Kun.
"Lopeh, tak perlu. Tanganmu kotor nanti. Biar dia sendiri
yang membersihkan mukanya. Dan terima saja ludahmu itu
kembali," serentak telinga Lo Kun pun terngiang kata2 itu.
"Ya, tetapi Kalau engkau memang mau membersihkan
mukamu sendiri, bukan salahku. Terserah," kontan Lo Kun itu
berseru. Sebenarnya kalau dia bukan seorang kakek sinting, tentu
dia dapat membedakan nada suara yang mengiang di
telinganya. Dan juga ada perbedaannya. Kalau Hoa Sin
menggunakan sebutan "Lo pekhu" tetapi kalau sasterawan itu
menggunakan panggilan 'lojin dan lopeh'. Tetapi apa mau
dikata, dasar kakek sinting, Dia mengira kedua suara itu satu
orangnya yalah Hoa Sin. Pada saat kakek Lo Kun dijadikan bulan2an oleh Hoa Sin
dan sasterawan itu, di meja lain pun berlangsung beberapa
adegan. Pertama, di fihak ketiga tetamu Jenggot-kambing, Hidungbengkok
dan Muka kunyuk. Melihat kawan mereka, si Banci,
tertawa terus menerus seperti tak wajar, Jenggot-kambing
terkejut. Cepat dia menghampiri dan menepuk punggung si
Banci. "Imyang heng, jangan tertawa terus menerus!" bentaknya.
Dan ternyata si Banci terus berhenti tertawa. Tetapi ia tidak
lantas bangun, melainkan duduk pejamkan mata, menyalurkan
tenaga-dalam. "Hai, ko-jiu siapakah yang telah jahil menutuk jalan-darah
tertawa dari kawanku ini" " seru Jenggot-kambing sambil
keliarkan mata memandang kepada semua tetamu.
Tetapi tiada orang menyahut.
"Seorang ksatrya harus berani mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Jika tak mau tampil mengaku, itu manusia
kerdil namanya! " seru Jenggot-kambing pula.
Tetapi tiada seorang yang menggubris pertanyaannya itu.
"Hm, jika demikian jelas saudara ini memang hendak
mempermainkan kami. Baiklah, kalau kuketemukan siapa yang
berbuat jahil tadi, terpaksa akan kuberi hajaran yang sesuai! "
seru Jenggot-kambing pula.
Dalam pada itu ketika Blo'on tiba di depan meja kakek
pemabuk tadi, tiba2 Blo'on seperti ditarik duduk di kursi, tepat
di hadapan kakek pemabuk itu.
"Ho, anakmuda, engkau juga mau minta arakku" kakek
pemabuk itu tertawa lalu mengangsurkan buli2 kepada Blo'on,
"minumlah." Blo'on tidak bisa minum arak, tetapi bau arak itu harum
sekali sehingga menitikkan air liur Blo"on. Entah bagaimana
Blo'on terangsang untuk minum. Tanpa bertanya siapakah
kakek itu, ia terus menyambuti buli2 dan meneguknya,
aufff...... Arak memang lezat dan harum. Blo'on pun menyerahkan
kembali buli2 kepada kakek itu. Tetapi tiba2 perutnya seperti
dikili-kili dan pembuluh napasnya pun gatal sekali. Seketika ia
batuk sekeras-kerasnya. "Aduh ".." tiba2 Jenggot-kambing yang sedang mencari
siapa yang menutuk jalan-darah tertawa dan si Banci tadi,
menjerit dan mendekap mukanya.
Ternyata arak yang menyembur dari mulut Blo'on itu tepat
menghujani muka si Jenggot-kambing rasakan mukanya
seperti ditabur bubukan kaca yang tajam. Untung ia keburu
menutup matanya, sehingga biji matanya tak sanpai terluka.
Ketika membuka tangan ternyata wajahnya berobah merah.
Beberapa tetamu terkejut tetapi sesaat kemudian mereka
tersenyum karena geli. Ternyata semburan arak dari mulut Blo'on tadi, tanpa
disadarinya, telah menggunakan tenaga-dalam Ji ih-sin-kang.
Arak pun berobah seperti bubuk kaca sehingga muka si
Jenggot-kambing berdarah. Karena tangannya mengusap,
maka darah itu merata. Jenggot-kambing seperti berbedak
gincu merah. "Suma-heng, mukamu kenapa merah" " lelaki berwajah
kunyuk terkejut dan menghampiri, "oh, engkau berlumuran
darah." "Hm, bangsat gundul itu harus kubunuh," Jenggot-kambing
menggeram lalu melangkah ke tempat Blo'on. Tanpa bicara ba
atau bu, ia terus menerkam leher baju Blo'on "bangsat,
rasakan kapalanku ini."
Duk .... auh .... Terdengar dua macam bunyi. Bunyi tinju menghantam dada
Blo'on dan bunyi mengaduh dari mulut Jenggot-kambing
beserta tubuhnya yang mencelat ke belakang.
Karena masih kesima, Blo'on dapat dicengkeram Jenggotkambing
itu. Blo'on gelagapan dan kaget sekali ketika
Jenggot-kambing itu melayangkan tubuhnya. Tetapi karena
leher biju dicengkeram keras2 Blo'on tak dapat menghindar Ia
ketakutan dan meronta. Karena meronta maka tenaga sakti Jiihsin-kang pun memancar. Pukulan Jenggot-kambing


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disambut tenaga-tolak dari Ji-ih-sin-kang sehingga
terlemparlah Jenggot-kambing.
Kebetulan tubuhnya melayang ke arah kakek Lo Kun dan
sasterawan berkipas. Jongos yang disuruh kakek Lo Kun untuk
mengambil air tadi pun datang. Dia membawa sebaskom air
panas. Karena kakek Lo Kun dan sasterawan itu terkejut lalu
menyurut mundur, maka tubuh Jenggot-kambing menghampiri
si jongos, brak .... "Aduh ....," untuk yang kedua kalinya Jenggot-kambing.
menjerit lagi. Kali ini mukanya tersiram air panas yang tumpah
dari baskom. Dapat dibayangkan betapa sakit yang diderita si Jenggotkambing
itu. Mukanya yang berbintik darah sekarang diguyur
dengan air panas. Karena marah dan kesakitan ia
menghantam jongos itu sekuat-kuatnya. Jongos menjerit dan
terpelanting ke arah pemilik rumah makan. Kedua terjatuh
tumpang tindih. Keadaan dalam rumah makan itu benar2 kacau dan gaduh
sekali. "Hai, apa-apaan ini!" tiba2 tetamu bermuka brewok yang
duduk bersama kedua kawannya, lelaki tinggi kurus dan lelaki
bermata satu, serentak berdiri dan menggembor keras
"mengapa kalian membuat gaduh di sini! "
Entah karena nada suaranya mengandung daya pengaruh
yang kuat, entah karena orang2 itu tak menggubrisnya. Yang
nyata tiada seorang pun yang menjawab. Bahkan lelaki
bermuka seperti kunyuk tadi, karena melihat kawannya si
Jenggot-kambing menderita kesakitan, terus maju
menghampiri Blo'on. Ia hendak menghajar pemuda gundul itu.
"Berhenti! " tiba2 telaki bermuka brewok itu berteriak,
"kalau engkau tak mau mendengar kata-kataku, aku pun
terpaksa bertindak keras."
Si Muka-kunyuk tertegun dan berpaling.
"Siapa yang engkau suruh berhenti" " serunya:
"Engkau! " sahut lelaki brewok itu, "jangan mengacau lagi.
Di sini rumah makan. Kita datang untuk makan bukan untuk
melihat orang ugal-ugalan! *
"Eh, apakah engkau rugi" " sahut si Muka-kunyuk.
"Ya, aku terganggu. Mungkin mejaku pun akan terjungkir
balik karena perbuatan kalian itu!"
"Hm, siapakah engkau" Mengapa engkau hendak
mencampuri urusanku" " teriak si Muka-kunyuk.
"Kunyuk, tak perlu bertanya siapa namaku. Pokoknya,
engkau jangan membuat gaduh lagi. Ini rumah makan,
banyak tamu yang memerlukan makan dengan tenang. "
Belum si Muka-kunyuk menjawab, Jenggot-kambing sudah
berlari hendak menyerang Blo'on.
Tapi ketika dia hendak mengangkat tangan memukul
Blo'on, tiba2 tangannya tetap terhenti di atas kepala. Dan
orangnya tak berkutik seperti patung dalam gaya memukul.
Melihat itu kejut sekalian tetamu bukan kepalang. Ternyata
mereka adalah tokoh2 silat yang berilmu tinggi.
Jenggot kambing itu sendiri adalah salah seorang dari Tay
pa san Su in atau empat pendekar terpendam dari gunung
Tay-pasan. Dia bernama Suma Ing bergelar Saim-kak-si atau
Jenggot-segi-tiga. Sedang hidung bengkok itu bernama Mo
Tiang bergelar Kui-sin cing atau burung elang hantu. Orang
kedua dan Tay pa-san su in. Si Muka-kunyuk bernama Gui
Kong bergelar Kim-si-kau atau Kera-bulu emas. Sementara si
banci bernama Kiu Hong Wi bergelar Liu yang-siu atau si
Banci. Duapuluh tahun yang lalu, nama keempat pertapa dari
gunung Tay-pa-san itu pernah menggemparkan dunia
persilatan. Banyak jago2 silat yang rubuh di tangan mereka.
Tetapi kemudian tiba2 mereka menghilang.
Bahwa toako atau saudara kesatu dari Tay-pa-san Su-in
tegak tak bergerak. benar2 membuat lain2 saudaranya
terkejut. Kui-sin-eng si Elang-sakti segera apungkan tubuh
menghampiri. Segera jago itu tahu bahwa toako mereka telah tertutuk
jalan-darahnya. Cepat ia berusaha untuk membebaskan tetapi
sampai berulang kali, tetap ia tak mampu menolongnya.
"Aneh," diam2 ia bergumam sendiri, "Ilmu tutuk apakah
yang dilakukan orang itu" "
Muka kunyuk atau Kim ki kau Gui Kang pun menghampiri.
Ia tak mau memperdulikan pada lelaki brewok tadi.
Juga Kim-sikau Gui Kong tak berhasil membuka jalan-darah
Suma lng yang tertutuk itu. Mukanya berobah tegang.
Si Banci Kiu Hong Wi bergegas menolong. Tetapi pun sama
saja. Ketiga pertapa dari gunung Tay pa-san itu saling
berpandang dan terlongong-longong. Selama ini belum pernah
mereka mengalami ilmu tutuk jalan-darah yang begitu aneh.
"Ho, siapakah yang telah mencelakai suheng kami ini" "
teriak Kui-sin eng Mu Tiang, "kalau memang jantan hayo
tampillah dan adu kepandaian dengan kami!"
Tiba2 Kim-si wi atau si muka-kunyuk Gui Kong loncat
menerkam Blo'on sehingga karena tak mengira, anakmuda itu
pun bahunya kena dicengkeram.
"Jahanam! Engkau jangan main gila dengan suhengku!"
bentaknya dengan mata melotot, "kalau engkau tak mau
membuka jalan-darahnya, saat ini juga kuhabisi nyawamu!"
Si Muka-kunyuk terus menyeret Blo'on ke depan Suma lng :
"Lekas, buka jalan-darahnya yang tertutuk."
"Gila engkau! * Blo'on memekik, "aku tak mengerti ilmu
tutuk jalan-darah. Totok bakmi aku bisa tetapi totok jalandarah
aku tak mampu! " "Ha, ha, ha," tiba2 kakek pemabuk tertawa gelak2, " itu
namanya kera mencuri durian. Setengah mati ingin makan
tetapi hidungnya tercocok durinya ...."
"Eh, engkau benar2 tak mau" " Kui sin eng si hidung
bengkok menghardiknya. Tiba2 telinga Blo'on terngiang suara macam nyamuk
melengking tetapi jelas : "Lakukan saja. Asal engkau cabut
jenggot-kambingnya tentu dia akan dapat bergerak."
Blo'on terkejut. Tak tahu siapakah yang membisikinya itu.
Ia berpaling, dilihat kakek pemabuk itu mulutnya komat kamit
memainkan lidahnya untuk membersihkan arak yang
memercik di luar bibirnya.
"Lekas! ", Kui-sin-eng si hidung bengkok segera mendorong
tubuh Blo"on ke muka. Dan Blo'on pun tak sempat berpikir
apa2 lagi. la terus melakukan menurut perintah suara di
telinganya tadi. Dicabutnya segenggam jenggot yang
berbentuk segi tiga dari Suma Ing.
"Aduh....., " tiba2 Suma Ing menjerit karena jenggotnya
jebol. Tetapi ternyata Suma Ing terus dapat bergerak lagi.
Plakkk..... Sesaat sudah sadar. Jenggot-kambing terus menendang
Blo'on. Sudah tentu Blo"on terkejut sekali. Ia cepat meronta
berkisar ke samping. Karena Kui-sin seng si hidung bengkok
masih mencengkeram bahunya, dia juga terkejut karena
terseret oleh Blo"on. Ia hendak lepaskan cekalan dan lompat
menghindar tetapi terlambat. Perutnya termakan ujung kaki
Janggot-kambing. Seketika itu ia terseok-seok ke belakang
sambil mendekap perutnya.
Sekalian tetamu benar2 dikocok perasaannya menyaksikan
adegan di ruang rumah-makan itu. Belum hilang kejut mereka
melihat si Jenggot-kambing tadi tiba2 kaku seperti patung,
mereka harus terbeliak ketika melihat Blo'on dengan mencabut
jenggot-kambing dari Suma Ing, Suma Ing terus dapat
bergerak seperti biasa lagi. Tak seorang pun yang dapat
memperhatikan bahwa sebetulnya, pada saat Blo'on mencabut
jenggot, sebutir benda hitam sebesar kedelai telah meluncur
menghantam dada Suma Ing. Seketika Suma Ing pun dapat
bergerak. Dan kini tetamu2 itu harus membelalakkan mata lebar2
karena melihat adegan yang terjadi. Suma ing menendang,
Blo'on meronta dan si Muka kunyuk mengaduh dan
terbungkuk-bungkuk menyurut mundur.
Kakek Lo Kun kesima menyaksikan peristiwa itu. Juga
sasterawan berkipas terkejut. Siapakah gerangan tokoh sakti
yang dapat menutuk jalan-darah Suma lng dari jarak jauh
tanpa diketahui orang. Jelas diantara tetamu yang makan di
situ terdapat seorang tokoh yang luar biasa saktinya.
Baru sasterawan itu keliarkan pandang untuk meneliti
tetamu2 tiba2 Jenggot kambing Suma Ing sudah menyerang
Blo'on lagi. Tanggu!" teriak sasterawan itu seraya kebutkan kipasnya.
Suma lng seperti terdampar tenaga-dalam yang kuat
sehingga ia harus menarik pukulannya.
"Siapa saudara ini, aku belum kenal. Tetapi kupercaya
saudara tentu seorang orang gagah yang berilmu tinggi," kata
santerawan itu, "kita saudara tentu sependapat dengan aku,
bahwa tiada gunanya untuk saling berbaku hantam di rumah
makan ini." "Hm," Jenggot-kambing mendengus.
"Kiranya saudara tak perlu meladeni perbuatan ugal-ugalan
yang tak bertanggung jawab dari orang yang
menyembunyikan diri itu." kata sasterawan itu pula," kita
harus dapat menjaga gengsi.
Rupanya walaupun marah sekali tetapi Jenggot-kambing itu
menyadari apa yang dikatakan sasterawan itu memang benar.
Dalam ruang rumah makan itu terdapat seorang aneh yang
berilmu tinggi sekali. Jika ia nekad bertindak, tentu akan
mendapat malu lebih banyak.
"Sejak semula aku memang menghendaki begitu. Rasanya
bukan di sini tempat untuk adu kepandaian. Masih ada waktu
dan tempat yang sesuai untuk melampiaskan kemarahan,"
seru lelaki brewok yang menghendaki supaya orang2
menghentikan tingkah lakunya berbaku hantam.
"Aku sendiri telah disembur ludah oleh kakek tadi. Tetapi
aku bersedia untuk menghabiskan persoalan itu," kata
sasterawan itu pula. "Setuju!" teriak kakek Lo Kun. "apalagi di tempat ini
terdapat beberapa nona dan wanita cantik. Apakah kita tak
malu kalau dianggap sebagai lelaki liar semua" "
Sekalian tetamu tertawa mendengar dan melihat tingkah
laku kakek itu. "Sekarang aku mau memberi contoh dulu," ia terus
melangkah ke tempat nona baju putih tadi.
"Nona, bukankah tawaran nona mengajak aku duduk
bersama di meja nona itu, sekaramg masih berlaku" "
tanyanya. ' Sejenak nona baju putih itu memandang ke arah wanita
baju putih yang duduk bersama seorang gadis lain, juga
berbaju putih. Wanita itu menganggukkan kepala.
"Ya, mari kakek, kita duduk di meja sana," kata nona baju
putih itu, terus melangkah.
"Tunggu dulu." seru Lo Kun, "kuminta nona jangan panggil
aku kakek." "Habis" " Lo Kun merenung sebenar, lalu berkata : "Bagaimana kalau
panggil 'paman' saja."
Si nona tak menghiraukan, ia terus ayunkan langkah
menuju ke meja, di situ telah duduk seorang wanita setengah
umur dan seorang nona yang lebih muda dari nona yang
mengajak kakek Lo Kun itu. Ketiga wanita itu sama
mengenakan baju putih. Demikian pada rambut mereka pun
berhias dengan rangkaian bunga melati.
"Suhu, inilah dia," kata nona tadi kepada wanita yang
duduk. "Ya," wanita itu segera mempersilahkan: "Paman,
duduklah." Ternyata begitu tiba di depan meja mereka, kakek Lo Kun
tegak terlongong-longong memandang wanita baju putih itu.
Walau pun wanita itu sudah berumur empatpuluhan tahun
tetapi masih tetap cantik berseri-seri bagai bunga mekar di
pagi hari. "O. ya, ya," kakek Lo Kun gelagapan seperti orang kaget.
Tergesa-gesa ia terus jatuhkan diri pada sebuah kursi.
"Auh .! .." tiba2 ia menjerit dan melonjak berdiri lagi seraya
memegang pantatnya. Matanya mendelik.
Sudah tentu ketiga wanita baju putih itu terbeliak kaget.
"Mengapa" " tegur nona yang mengundangnya tadi,
"Engkau memang hendak mempermainkan aku!" teriak kakek
Lo Kun seraya mencabut sesuatu dari pantatnya, kemudian
dilemparkan ke meja mereka, "tuh, lihatnya! Masakan kursi
engkau beri paku supaya pantatku tertusuk! Percuma..."
Habis berkata ia terus ngeloyor pergi.
"Hai, paman, jangan pergi dulu," teriak nona itu seraya
loncat menghadang, "kami tak merasa menaburkan paku pada
kursi itu. Mari kita periksa dulu."
Lo Kun menurut. Memang kursi itu permukaan tempat
duduknya halus dan rata, tetadi mengapa terdapat paku di
situ" Setelah memeriksa sejenak, nona itu berkata: "Sekarang
dadudklah, paman. Kujamin tentu tak ada pakunya. Mari
kuhidangkan secawan arak yang wangi."
Nona itu terus mengambil cawan dan menuang arak lalu
disodorkan ke hadapan Lo Kun. Sudah tentu Lo Kun girang
setengah mati. Ia terus duduk mengambil cawan arak dan
meneguknya. Braaaak, .... Tiba2 kursi itu patah kakinya sehingga kakek Lo Kun
terjerembab jatuh ke lantai, kepalanya tersiram arak.
Seketika pecahlah gelak tawa dalam ruang rumah makan
itu. "Tua bangka tak tahu diri, ingin daun muda tapi tenaga
sudah loyo. Duduk terjatuh, arak wangi terbuang sia-sia ......"
Kakek Lo Kun melenting bangun dan memekik : "Hai, siapa
bilang tenagaku sudah loyo" Siapa bilang aku ingin makan
daun muda" " Sekalian tetamu terperangah. Jelas mereka tak mendengar
orang bicara kepada kakek itu, mengapa mendadak sontak
kakek itu marah2 keluar tanduknya"
Nona baju putih tadi pun segera menegur. "Paman,
siapakah yang bilang begitu kepadamu" "
"Jelas telingaku mendengar orang mengatakan begitu,
masakan aku gila!" sahut Lo Kun.
"Ho, ho," tiba2 terdengar pula suara tertawa dalam
pendengaran kakek Lo Kun, "engkau memang kakek yang


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudan loyo, tuli dan linglung. Siapa lagi yang bilang tadi kalau
bukan wanita setengah tua yaug duduk di hadapanmu itu!"
Seketika melototlah mata Lo Kun ke arah wanita baju putih
itu : "Hm, kiranya engkaulah yang menghina aku!"
"Siapa!" nona baju putih tadi terkejut karena Lo Kun
menuduh gurunya. "Siapa lagi kalau bukan dia!" Lo Kun menuding wanita baju
putih itu. "Tidak!" bantah nona itu, "suhuku tak berkata apa2
kepadamu." "Kakek Lo, sudahlah, jangan membuat gaduh. Mari kembali
ke tempat kita sendiri." tiba2 Sian Li menghampiri dan menarik
tangan Lo Kun, Tiba2 nona baju putih itu loncat menghadang,
serunya: "Jangan menghina orang"
Sian Li terbeliak : "Siapa yang menghina" "
"Telah kuundang dengan hormat kakek itu untuk minum
arak bersama kami. Mengapa engkau terus hendak
menariknya pergi" "
"Ini adalah kakekku, aku kuatir dia menimbulkan onar maka
lebih baik kuajak kembali duduk di tempatnya sendiri," kata
Sian Li. "Jongos!" tiba2 nenek bertongkat bambu kuning tadi
berseru. Jongos pun bergegas menghampiri.
"Mana majikanmu" * seru nenek Bambu Kuning itu.
Seorang lelaki setengah tua segera tampil menghampiri dan
memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah-makan di situ.
"Ini rumah makan atau bukan" Kalau rumah makan
mengapa begini gaduh" Masakan hendak makan dengan
tenang saja tidak bisa" Engkau bisa suruh orang2 itu tenang
atau tidak" " nenek Bumbu Kuning itu nerocos menegur
pemilik rumah makan. Tiba2 masuk tiga tetamu lagi. Sekalian tetamu terkejut
heran. Ketiga tetamu yang datang itu, sukar dibedakan satu
dengan yang lain. Baik tingginya, rambut, muka dan
pakaiannya, sama semua. "Eh, mengapa dalam rumah makan ini banyak sekali
tetamu2 yang aneh" " kata kakek Lo Kun searaya garuk2
kepalanya. "Nona, kuminta engkau lepaskan kakekmu agar dapat
kuajak dia minum di mejaku," kata nona baju putih tadi pula.
Sian Li meragu. Memang kurang pantas kalau menyeret Lo
Kun dari tempat mereka. Mereka tentu tersinggung.
"Baik," kata Sian Li, "tetapi kuminta jangan menimbulkan
kegaduhan. Kita berada dalam rumah makan harus
menghormati tetamu2 yang lain."
Tiba2 muncul pula seorang lelaki bertubuh gemuk, wajah
putih berseri, diiring oleh dua orang bujang.
"O, Kho tikoan," teriak pemilik rumah makan ketika melihat
lelaki bertubuh gemuk itu, "benar2 rumah makan kami
mendapat penghormatan untuk menerima kunjungan tikoan
tayjin." Tikoan artinya lurah desa atau kota kecil. Yang disebut Kho
tikoan itu tersenyum simpul, memandang ke ruang yang
penuh dengan tetamu2. "Ha, saudara Ki, sungguh ramai benar rumah-makanmu
hari mi. Apakah engkau sedia arak yang nomor satu" "
"Ada, ada, tayjin." pemilik rumah-makan itu gopoh
menyahut, "bahkan baru2 ini kami terima arak yang istimewa
sekali. Mungkin jarang rumah makan yang mempunyai
persediaan arak semacam itu."
"Apakah itu" " tanya Kho tikoan.
"Peng-swat-ciu, arak yang direndam berpuluh tahun di
bawah salju"... "
"Jongos!" tiba2 pengemis tua tadi berseru memanggil
jongos yang berada di dekat situ. "apakah rumah-makan ini
punya arak Hwat-san-ciu" "
Jongos terbeliak. Cepat ia mencegah: "Sst, tikoan tayjin
sedang bicara, jangan menyela."
"Jongos, engkau dengar tidak!" teriak pengemis tua itu
pula, "aku hendak pesan hwat-san-ciu, apa disini sedia" "
Jongos itu pucat. Ia takut kalau menggubris si pengemis
tua, majikannya akan marah.
"Jongos," tiba2 Kho tikoan berseru, "mengapa engkau tak
menyahut permintaan tetamu mu" "
Jongos makin pucat. Tetapi pemilik rumah makan tertawa
dan menyuruhnya melayani apa yang diminta pengemis tua
itu. "Apakah hwat san-ciu itu" " karena sudah mendapat ijin
dan majikannya, jongos itu segera bertanya.
"Celaka," gerutu pengemis tua itu, "masakan hwat-san ciu
saja tak tahu. Rumah-makan macam apa ini" "
" Maaf, Io-jinke, " pemilik rumah-makan buru2 berseru,
"memang selama ini tak pernah kami mendengar arak hwatsanciu. Tolong lo-jin-ke sebutkan macam apakah arak itu" "
" Hwat san-ciu adalah arak gunung berapi. Arak yang
direndam dalam lahar gunung berapi," kata pengemis tua itu.
Pemilik rumah-makan tercengang "Hai, pemilik rumahmakan,
" tiba2 kakek Lo Kun juga berteriak, "apakah di sini
sedia Hay-te-ciu" "
Kembali pemilik rumah-makan terlongorg.
" Hay-te-ciu itu arak dari dasar laut, " seru kakek Lo Kun.
Mendengar itu berobahlah wajah pemilik rumah-makan. la
merasa telah dipermainkan oleh pengemis tua dan kakek Lo
Kun. "Kakek, jangan berolok-olok. Aku tak mempunyai waktu
untuk melayani omonganmu," kata pemilik rumah makan.
" Apa" Engkau tak percaya tentang Hay-te-ciu" " teriak
kakek Lo Kun, "coba engkau tanya pada cucuku itu!"-Ia
menunjuk pada Blo'on. " Blo'on cucuku, apakah aku berolok-olok kalau meminta
Hay-te-ciu" Apakah Hay-te-ciu itu tidak ada" " serunya.
"Ya, memang ada, " jawab Blo'on.
"Tuh, dengar tidak lu, " teriak kakek Lo Kun kepada pemilik
rumah-makan, "Di dunia ini memang ada arak yang disebut
Hay te ciu, tempatnya di dasar laut."
Kho tikoan, tersenyum. "Ciang-kui," katanya kepada pemilik rumah makan, "apakah
engkau mempunyai persediaan Hwat-san-ciu dan Hay-te-ciu
itu" " "Tidak punya, tayjin"
"Lalu apa persediaanmu" "
"Peng-swat-ciu."
"O, baik. baik." kata Kho tikoan, "saudara2 yang berada
dalam ruang ini. Jika saudara2 ingin mencicipi apa yang
disebut Peng-swat-ciu biarlah ciangkui rumah-makan ini
menyediakan kepada saudara2. Semua rekening aku yang
membayar." Habis berkata ia terus melangkah hendak tinggalkan
rumah-makan itu, di pintu ia berhenti dan berseru kepada
sekalian tetamu: "Saudara2 boleh minum sampai puas. Hari ini hari ulangtahunku,
aku sengaja menjamu saudara2 sekalian!" Ia terus
melangkah ke luar. "Aduh..... aduh....." tiba2 pengemis tua tadi mengaduh
kesakitan sehingga jongos menghampiri.
"Kenapa" " tanya si jongos.
"Perutku, aduh....... mulas sekali," kata pengenis tua itu,
"aku hendak ke kamar belakang. Hayo tunjukkan tempatnya."
Walau pun mengkal tetapi jongos terpaksa
mengantarkannya ke kamar belakang. Rupanya pengemis itu
hendak buang hajat karena perutnya sakit.
Tak berapa lama jongos pun berturut-turut ke luar
membawa hidangan arak Peng swat-ciu. Semua meja
mendapat hidangan arak itu.
Rupanya para tetamu ingin juga mencicipi bagaimana
rasanya arak peng-swat-ciu itu. Hanya tetamu wanita yang
tidak terangsang minum. Tetamu2 lelaki serentak menyambut
hidangan itu dengan gembira sekali. Mereka lalu minum
sepuas-puasnya. "Ha ha, ba," tiba2 terdengar suara orang tertawa gelak2.
Ketika sekalian tetamu berpaling ternyata yang tertawa itu
adalah ketiga orang yang wajahnya kembar satu sama lain
tadi. "Ciangkui," seru salah seorang dari ketiga muka kembar itu,
"beginikah rasanya arak Peng-swat-ciu" "
"Ya," sahut pemilik rumah-makan atau yang dipanggil
dengan sebutan 'ciang-kui' itu.
"Jika begini, lebih baik ambil kembali saja," kata salah
seorang kembar muka itu. "Mengapa" " pemilik rumah-makan terkejut.
"Rasanya seperti air biasa."
Mendengar kata2 itu serempak semua tetamu seperti
diingatkan. Mereka pun berseru: "Benar, memang rasanya
seperti air biasa." "Sialan!" teriak kakek Lo Kun, "aku telah minum sampai
lima gelas. Hai ciangkui, engkau penipu!"
Lo Kun terus menghampiri pemilik rumah makan dan
menyambar tangannya . "Hayo, engkau minum sendiri!'
Ciangkui terpaksa meminumnya. Ia mendelik ketika
mengetahui rasanya arak itu.
"Celaka!" teriaknya, "bukan ini. Peng swat-ciu bukan begini
rasanya. Hai, Jongos, dari mana engkau mengambil arak ini" "
Salah seorang jongos mengatakan bahwa arak itu
diambilnya dari gudang penyimpanan arak, pada peti yang
bertuliskan Peng swat-ciu.
"Aneh," gumam ciangkui itu. "mengapa mendadak arak itu
bisa berobah rasanya."
"Wah, longgar, longgar," tiba2 pengemis tua tadi muncul
pula dengan muka berseri-seri. Selekas duduk ia terus
berseru: "Hai, ciangkui, mana Pang-swat ciu-nya" "
Merah padam muka ciangkui.
Tiba2 sasterawan berkipas tadi menghampiri ke hadapan
pengemis tua. "Lo-tiangkuk." katanya sambil menjurah dengan tangan
masih memegang kipas, "maaf ....."
Brakkkkk..... Pengemis tua itu terjerembab jatuh beserta kursinya dan
berterik teriak : "Aduh, aduh ....."
Sekalian tetamu terkejut melihat peristiwa itu. Blo'on
berbangkit dan segera menghampiri. Rupanya ia kasihan
kepada pengemis tua itu. Segera ditolongnya pengemis itu
bangun. "Mengapa lojin" " tanya Blo'on.
"Dia mendorong aku!' kata pengemis tua itu seraya
menunjuk pada sasterawan beskipas.
"Mengapa engkau mendorong seorang tua" " tegur Blo'on
kepada sasterawan berkipas itu.
Sasterawan itu terkejut dan berobah cahaya mukanya.
Memang waktu membungkuk tubuh seperti memberi hormat
kepada pengemis tua itu, tiba2 ia tamparkan kipasnya. Ia
mencurigai pengemis itu sebagai seorang sakti yang
menyembunyikan diri, Maka ia hendak mengujinya. Siapa tahu
ternyata hanya dengan menggunakan tenaga-dalam tiga
bagian saja, pengemis tua itu telah terjungkal dari kursinya.
"Eh, bung, mengapa engkau diam saja!" Blo"on mengulangi
pertanyaannya. "Aku tidak mendorongnya, aku hanya memberi hormat
kepadanya," sasterawan itu membantah.
"Jangan percaya omongannya," tiba2 telinga Blo'on
terngiang suara bisik2 macam nyamuk mengiang.
"Tidak mungkin," kata Blo'on, "engkau tentu menggunakan
siasat buruk untuk mencelakainya."
"Sekalian orang tahu bahwa aku tak mendorong bahkan tak
menjamahnya," bantah sasterawan itu dengan tenang.
"Pinjamlah kipasnya," kembali suara seperti nyamuk
mengiang itu, terdengar menyusup di telinga Blo'on.
"Benar," tanpa disadari mulut Blo'on mengiakan, "engkau
tentu menggunakan siasat dengan kipasmu itu. Mana,
pinjamlah kipasmu itu. Hendak kuperiksa."
Seketika berobahlah wajah sasterawan muda itu, serunya :
"Hai, bung, aku telah mengatakan yang sebenarnya. Kuminta
janganlah engkau mencari perkara yang tak perlu."
"Eh, mengapa kipas saja engkau begitu keberatan untuk
memberi pinjam" "
"Sudahlah," sahut sasterawan itu, "jangan engkau
menguiusi diriku. Aku hendak bertanya kepada orang'tua itu."
"Tolonglah, dia hendak menganiaya aku," kembali suara
macam nyamuk itu mengiang di telinga Blo'on. Dasar Blo'on
seorang pemuda yang welas asih, ia kasihan kalau pengemis
itu akan menderita lagi. "Tidak bisa," katanya, "kalau aku tak boleh mengurusi
engkau, engkau pun jangan mengurusi orangtua ini lagi."
"Hm, pergilah," sasterawan ilu tamparkan kipasnya ke muka
Blo'on sehingga Blo'on terpental ke belakang.
Diperlakukan begitu, Blo'on marah. Ia maju hendak
merebut kipas orang. Sasterawan itu jengkel, ia tamparkan lagi kipasnya. Kali ini
lebih keras agar Blo'on terjungkal. Tetapi betapa kejutnya
ketika ia sendiri terdorong mundur sampai selangkah. la
kerutkan dahi. Ia heran mengapa tenaga-dalam yang
dipancarkan dari kipasnya itu, berbalik malah menampar
dirinya sendiri. "Hm, rupanya pengemis tua itu memang orang sakti yang
menyembunyikan diri," pikirnya. Ia menaruh curiga kepada
pengemis itu maka tadi ia pun hendak mengujinya. Tetapi ia
kecele karena pengemis itu terpelanting jatuh. Namun setelah
teijadi bentrokan dergaa Blo'on, kecurigaannya timbul kembali
terhadap pengemis tua itu.
Ia ulangi lagi menampar dengan kipasnya. Kali ini
diserempaki pula dengan gerakan tangan kiri untuk
mencengkeram pergelangan tangan Blo'on.
"Uh?" Blo'on terkejut dan meronta untuk mengipatkan
tangan sasterawan itu. Dan akibatnya sungguh mengejutkan.
Sasterawan itu mencelat sampai lima langkah, hampir saja
membentur jongos. Kali ini ia benar2 terkejut sekali. Ternyata
pemuda yang tampaknya Blo'on itu, memiliki tenaga yang luar
biasa hebatnya. Sekalian tetamu pun ikut melongo. Mereka tak mengerti
bagaimana cara Blo'on melemparkan sasterawan itu.


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sasterawan itu benar2 terkejut. Tak pernah disangkanya
bahwa pemuda gundul yang blo'on ternyata memiliki tenagadalam
yang begitu aneh. Namun dia sudah terlanjur basah,
lebih baik dia mandi sekali. Karena sudah terlanjur berkelahi,
ia harus menyelesaikan pemuda gundul itu.
"Hm, rupanya engkau berisi juga," serunya terus taburkan
kipas besi dan mulai menyerang dengan jurus Swan honghudliu atau Angin-puyuh-meniup-pohon-liu.
Bagaikan sepasang burung camar yang menyambarnyambar
permukaan laut, demikian kipas sasterawan itu
segera berhamburan menabur tubuh Blo'on. Setiap tamparan
tentu menimbulkan deru angin yang tajam.
Blo'on terkejut sehingga terdesak mundur. Tetapi karena
ruangan penuh dengan meja dan tetamu, gerakannya pun tak
leluasa. Melihat itu kakek Lo Kun berteriak menerjang:
"Jangan menyerang cucuku!"
Wuttt....... Sasterawan mengalihkan kipasnya untuk menampar kakek
Lo Kun. Lo Kun terdampar ke belakang membentur meja
tempat orang kembar tiga. Meja berhamburan menumpah dan
ketiga orang kembar itu pun melonjak dari kursinya.
"Lo-it," mari kita hajar sasterawan itu. Kata salah seorang
dari manusia kembar tiga itu. Ketiganya segera maju
menghampiri ketempat sasterawan berkipas.
"Engkoh gundul, pergilah. Biar kami yang melayaninya,"
kata mereka dan terus serempak menerjang.
Sasterawan berkipas terkejut. Lepaskan Blo'on ia segera
melayani ketiga orang kembar itu.
Ketiga orang kembar itu mengepung sasterawan berkipas
dari tiga jurusan. Mereka berputar mengelilingi lawannya,
Makin lama makin cepat. Sasterawan berkipas terkejut lagi. Berulang kali ia lancarkan
serangan yang berbahaya tetapi ketiga orang kembar itu luar
biasa tangkasnya. Begitu yang seorang diserang, yang dua
terus saja menyerang. Sasterawan itu merasa dirinya seperti dikepung oleh
berpuluh-puluh orang. Kanan kiri, samping, muka, belakang,
semua sama wajahnya. Juga sekalian tetamu heran melihat pertempuran itu.
Mereka tak dapat membedakan lagi ketiga orang kembar itu.
Tiga jumlahnya tetapi satu wujutnya.
Tiba2 sasterawan itu menggembor keras dan tubuhnya
melambung ke atas lalu tamparkan kipasnya ke bawah.
Saketika terdengar ketiga orang kembar itu menjerit dan
berguling-guling ke lantai.
"Ganas!" terak Blo"on ketika melihat ketiga orang kembar
itu meregang dan merentang kemudian tak bergerak. Wajah
mereka berubah hitam. Blo'on terus menerjang. Ia tak menghiraukan apakah ia
membawa senjata atau hanya bertangan kosong, sedang
musuh jelas mempunyai sebuah kipas yang mengandung
pekakas rahasia, dapat memuntahkan jarum beracun.
Beberapa tetamu yang lain pun terkejut. Mereka pun marah
melihat keganasan sasterawan itu.
Lelaki bertubuh tinggi kurus dan lelaki bermata satu,
serempak bangkis, mencabut senjata dan menyerang
sasterawan itu. Wuittt..... Kembali sasterawan itu memijat alat rahasia dari kipasnya
dan serangkum jarum segera berhamburan ke arah ketiga
orang itu. Tetapi ketiga orang itu sudah bersiap. Mereka
memutar golok masang2 untuk melindungi diri.
Ternyata sambil melepas jarum rahasia, sasterawan itu pun
sudah melesat ke arah pintu.
Wutttt ... nenek bertongkat Bambu Kuning ayunkan
tongkatnya menghajar ... Sambil mengendapkan kepala,
sasterawan itu maju menyusup untuk menusukkan kipas
bajanya ke rusuk si nenek.
"Keparat!" nenek Bambu Kuning terpaksa menarik
tongkatnya untuk manyapu. Pada saat ia berhasil menyapu
jarum, ternyata sasterawan itu sudah loncat ke luar. Sesaat
kemudian terdengar jeritan ngeri yang riuh rendah.
Blo'on dan beberapa ketua partai persilatan segera
berhamburan memburu ke luar. Mereka terkejut, geram dan
sedih. Berpuluh-puluh paderi Siau lim dan imam2 Bu-tong pay
telah menggeletak mati di tanah. Ketika diperiksa ternyata
mereka terkena jarum beracun dari kipas sasterawan tadi.
Beberapa tokoh dan tetamu segera lanjutkan pengejaran
tetapi sampai satu li jauhnya, mereka tak berhasil menemukan
jejak sasterawan itu. Belum mereka sempat kembali, seorang tetamu berlari-lari
mendatangi: "Celaka, saudara2 dan cianpwe sekalian, dalam
rumah-makan telah terjadi pembunuhan yang ngeri.
Jago2 silat itu berhamburan kembali masuki ke dalam
rumah-makan. Mereka terkejut bukan kepalang ketika melihat
beberapa tetamu sedang memeriksa keempat tetamu yakni
Sum Ing si jenggot kambing, Hek kui sin eng atau si Hidung
bengkok, Kim si wan Gui Kiam dan si Banci Kiu Hong Wi telah
menggeletak di lantai. "Siapakah yang membunuh mereka" " seru Blo'on kepada
tetamu2 yang masih berada di ruang itu.
Tetapi tiada seorang yang dapat memberi keterangan asal
mula dan siapa pembunuh keempat orang itu.
Sementara rombongan tetamu wanita, yakni gadis cantik
dengan nenek bertongkat bambu kuning, wanita cantik
dengan dua orang nona cantik, tak tampak lagi. Si pengemis
tua yang aneh gerak geriknya tadi pun lenyap.
"Hai, mengapa kalian diam saja" " bentak Blo'on, "apakah
kalian bisu" " Yang memeriksa mayat keempat orang itu adalah
rombongan lelaki muka brewok, lelaki tinggi kurus dan lelaki
bermata satu. Sudah tentu mereka tak senang karena
dibentak-bentak Blo'on. "Jangan kurang ajar, engkau!" balas si muka brewok, "jika
kami tahu siapa pembunuhnya tentu sudah kami tangkap."
"Ya, begitu kan sudah menjawab!" seru Blo'on, "lalu
mengapa kamu tak tahu sama sekali" Apakah tiada seorang
yang masuk kemari dan membunuh mereka" "
Ketiga orang itu gelengkan kepala: "Sama sekali tidak!"
"Kemana pergi beberapa tetamu wanita" " tanya pula
Blo'on. "Pada waktu terjadi keributan tadi, mereka pun segera
tinggalkan rumah makan ini. Rupanya mereka takut." jawab si
muka brewok. "Kemanakan mereka!" tiba2 kakek Lo Kun bertanya.
"Aku bukan mereka. Tanya sendiri kepada mereka." sahut si
muka brewok yang tak senang karena dirinya dianggap
sebagai anak kecil. " Eh, brewok, engkau hendak menyembunyikan wanita2 itu,
bukan" Mentang2 mereka cantik terus hendak engkau culik,"
Lo Kun marah2. "Eh, kakek sinting, rupanya engkau memang hendak cari
gara2. Ayo, kita ke luar dan menyelesaikan urusan ini," karena
tak tahan lagi maka brewok itu terus menantang.
"Siapakah saudara bertiga ini" " karena melihat gelagatnya
hendak ribut2 lagi, buru2 pengemis-sakti Hoa Sin
menghampiri. "Urusan ini cukup gawat. Harap sam-wi jangan salah
faham," Hoa Sin menyusuli pula kata-katanya, "janganlah kita
sampai salah faham dan saling bentrok di antara sesama
kawan yang bertujuan sama."
Mendengar kata2 Hoa Sin yang beralasan dan bersahabat,
si muka brewok pun sungkan.
"Kami bertiga dari gunung Tay-swat-san. Namaku Bo Kian
dan kawanku ini Liong Kim Tong dan yang ini Pa Kim."
"O, kiranya Tay-swat-san-hiong," seru Hoa Sin, "sudah lama
kami mendengar nama Tay-swat-sam-hiong yang termasyur
tetapi baru pertama kali ini dapat bertemu muka. Sungguh
beruntung selkali." Atas pertanyaan Bo Kian, Hoa Sin pun lalu memperkenalkan
nama rombongannya. "Hoa pangcu," kata kakek Lo Kun ketika gilirannya
diperkenalkan, "aku tak kenal siapa ketiga orang ini."
"Tay-swat-sam-hiong, memang jarang turun gunung," kata
Hoa Sin, "tetapi dunia persilatan pernah gempar ketika pada
sepuluh tahun yang satu mereka berkelana di dunia persilatan
dan merubuhkan banyak tokoh2 persilatan. Tokoh pertama
bernama Bo Kim bergelar Swat-kim-kong atau Malaikat-salju.
Yang kedua bernama Liong Kim Tong bergelar Swat-leng-coa
atau Ular-salju. Dan yang ketiga adalah Liong Kim Tong
bergelar Swat-gan-liong si Naga mata-salju. "
"Oh," teriak Lo Kun, "semua pakai gelar salju, apakah
mereka manusia salju" ."
"Tay swat san gunung salju yang termasyhur di Tiong-goan,
karena mereka berdiam di daerah gunung itulah maka orang
Pendekar Sadis 20 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Pendekar Wanita Buta 2

Cari Blog Ini