Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Bagian 13
pintu besi tersebut, lebih baik kita pancing mereka datang untuk
membukakan pintu buat kita."
Wi Lian In segera merasa cara ini sedikut pun tak salah, dia
menjadi amat girang sekali.
"Bagus" serunya "Biar aku mulai berteriak . . . Ehmm, tunggu sebentar . . ."
"Ada apa?" Mendadak wajah Wi Lien In berubah menjadi merah dadu, dia
menundukkan kepala rendah-rendah kemudian ujarnya malu: "Tidak
mengapa aku hanya ingin . . ."
"Kau ingin berbuat apa?" tanya Ti Then melengak.
Dengan gemasnya Wi Lian In mendepakkan kakinya ke atas
tanah, sahutnya dengan malu malu.
"Aku tidak ingin berbuat apa-apa, aku hanya ingin . . ingin..."
Ti Then yang melihat jawabannya terputus-putus tanpa terasa
sudah tertawa terbahak-bahak.
"Kau ingin apa cepat katakaniah, buat apa sungkan?""
"Kau . . kau.. berdirilah menghadap ke sana." sera Wi Lian In
dengan perasaan amat malu. "Jangan bergerak yaah, jangan
menoleh tahu tidak" Seketika itu juga Ti Then menjadi paham, segera dia memutar
tubuhnya membelakangi dirinya dan berdiri tidak bergerak sedikit
pun juga. "Sudahlah, sekarang silahkan"
Agaknya Wi Lian In masih merasa tidak lega hatinya ujarnya lagi.
"Kau jangan mengintip yeah, kalau tidak. . kalau tidak aku pukul
kau" "Baik, baiklah, sekarang silahkan cepat"
Wi Lian In barulah mulai melepaskan ikat pinggang dan
pakaiannya untuk berjongkok menyelesaikan urusan pribadinya,
sebentar kemudian dengan perasaan malu dia sudah bangkit berdiri
kembali. "Sudahlah sekarang bagaimana kalau aku mulai berteriak?""
tanyanya sambil tersenyum malu.
"Baik, sekarang mulai berteriak."
"Harus berteriak bagaimana?""
"Bagaimana pun boleh, asal bisa memancing mereka datang
kemari." "Bagaimana kalau aku berteriak ngeri?"
"Baiklah" sahut Ti Then sambil tertawa.
Demikianiah Wi Lian In lantas berteriak ngeri dengan amat
panjang dan kerasnya, suara itu penuh diliputi oleh perasaan yang
amat takut, kesakitan seperti baru saja digigit oleh setan.
Ti Then pun segera memungut dua buah potongan tiang besi
tadi, sambil mengangsurkan kepada kepada Wi Lian In ujarnya lagi:
"Bawa barang ini, nanti bisa kita gunakan sebagai pengganti
pedang" Wi Lian In segera menerimanya dan disisipkan ikatan
pinggangnya, kemudian bersama-sama dengan Ti Then mengangkat
tiang besi itu, siap menerjang kearah pintu-pintu besi tersebut.
Dengan pusatkan seluruh perhatian mereka bersiap sedia, tetapi
lama sekali tidak terdengar juga adanya orang yang menuruni
tangga-tangga batu itu, tanpa terasa dia menjadi ragu-ragu.
"Kenapa?" kenapa mereka belum datang juga ?""
"Sttt, jangan berbicara"
"Bagaimana kalau aku berteriak lagi?"
"Tidak perlu, mereka pasti akan datang."
Ternyata dugaan dari Ti Then sedikit pun tidak salah, baru saja
dia selesai berbicara dari depan pintu besi itu sudah terdengar suara
langkah dua orang yang berjalan dari kejauhan mulai mendekati
tempat tersebut. Kemudian disusul dengan suara dibukanya kunci
besi itu. Ti Then yang mengangkat ujung tiang yang berada di depan
segera sedikit mengangguk memberi tanda kepada Wi Lian In,
setelah itu dengan memperingan langkah masing-masing mereka
mulai berjalan menaiki tangga batu itu siap menerjang keluar.
"Kraaaak..." suara yang smat nyaring bergema, pintu besi itu
perlahan-lahan mulai membuka.
Yang muncul tidak lain adalah dua orang berkerudung hitam
yang tadi, tetapi begitu mata mereka terbentur dengan Ti Then
serta Wi Lian In yang berdiri di belakang pintu sambil mencekal
tiang besi tersebut saking terperanyatnya mereka sudah berteriak
tertahan, salah satu diantara mereka segera menyambar ujung
pintu siap untuk di tutup kembali.
Tetapi baru saja tangannya mencapai pinggiran pintu itu, Ti Then
serta Wi Lian In dengan masing-masing mengeluarkan suara
bentakan yang amat nyaring dengan mencekal tiang besi itu sudah
menerjang ke luar dari sana.
Berat tiang besi itu ada dua ratus kati di tambah dengan tenaga
dorongan mereka berdua sudah cukup sebetulnya untuk menerjang
sebuah pintu kota, apa lagi hanya pintu besi yang kecil.
Jika orang sampai kena terjang tiang ini tidak urung seketika itu
juga akan binasa ditempat, karenanya orang-orang berkerudung
hitam itu dengan amat gugupnya sudah meloncat ke samping untuk
menghindarkan diri. Demikianiah Ti Then beserta Wi Lian In dengan tanpa perduli
keadaan disekelilingnya sudah menerjang keluar dari pintu besi itu
dengan masih membawa tiang besi yang amat berat.
Diluar pintu besi itu merupakan sebuah rumah yang terbuat dari
tanah liat di dalamnya bertumpuk-tumpuk barang-barang
pertanyan, sekali pandang saja sudah tahu rumah itu merupakan
sebuah gudang pertanyan yang biasanya digunakan untuk
menyimpan gandum serta alat-alat bertani.
Ketika Ti Then serta Wi Lian In melihat keadaan ditempat itu
tanpa tarasa lagi sudah menjadi melengak, tetapi mereka tidak
berhenti sampai di sana ketika dilihatnya kedua orang berkerudung
hitam sudah meloncat keluar dari rumah itu itu mereka pun segera
menerjang terus keluar dari sana.
Saat ini cuaca menunjukkan hampir terang tanah, keadaan
disekeliling tempat itu masih gelap gulita, tetapi pada saat mereka
sudah berada diluar rumah itu sekali pandang saja mereka sudah
melihat tempat itu adalah sebuah tanah lapang yang biasanya
digunakan untuk menjemur padi.
Pada permulaan ketika mereka dikurung di dalam ruangan di
bawah tanah di dalam otak mereka masing-masing terus menerus
memikirkan di tempat manakah sekarang mereka berada, semula
mereka mengira sudah berada diruang bawah tanahnya istana
Thian Teh Kong akhirnya tahu juga kalau dugaan mereka salah,
tetapi mereka sama sekali tidak menduga kalau mereka sudah
berada dirumah seorang petani.
Bagaimana bisa di rumah seorang petani"
Jilid 19.2 : Janyi menjadi suami istri
Baru saja mereka berdua merasa terkejut dan heran mendadak
terdengarlah suara desiran angin yang amat tajam, tampak dua
batang anak panah dengan amat dahsyatnya sudah meluncur
secara diam-diam kearah mereka.
Sabatang anak panah mengancam Ti Then sedang sebatang
lainnya mengancam Wi Lian In.
Ti Then segera bungkukkan badannya ke bawah tiang hesi yang
ada ditangan kanannya dengan tepat memukul kearah anak panah
tersebut, bersamaan pula bentaknya dengan cemas.
"Lian In, hati-hati"
Dengan kecepatan yang luar biasa Wi Lian In segera mencabut
tiang besinya pula untuk memukul jatuh anak panah yang
mengancam badannya. "Cepat mundur ke dalam rumah!" serunya keras.
Baru saja dia selesai berkata tampak dua batang anak panah
dengan mengeluarkan sambaran angin yang amat tajam meluncur
kembali mengancam mereka berdua.
Sekali lagi mereka pukul jatuh anak-anak panah itu.
Terdengar Ti Then berteriak dengan amat keras.
"Mereka berada di ujung rumah di sebelah depan, cepat kita
serang ke sana!" "Jangan!" seru Wi Lian In dengan amat cepat, "Kita mundur
kembali ke dalam rumah saja, lebih baik kita cari kampak untuk
putuskan rantai-rantai ini"
Ti Then segera merasa perkataannya sedikit pun tidak salah,
akhirnya bersama-sama dengan Wi Lian In dengan tergesa-gesa
mereka mengundurkan diri ke dalam rumah itu dan menutup rapatrapat pintunya, setelah meletakkan tiang besi itu ke atas tanah
mereka mulai mencari alat untuk memutuskan rantai-rantai
tersebut. Tetapi sekali pun sudah mencari disekeliling rumah itu tetap tidak
tampak adanya kampak, tetapi ditemuinya sebuah cangkul.
Ti Then segera mengambil cangkul tersebut, ujarnya dengan
cepat kepada Wi Lian In: "Cepat berjongkok, biar aku coba"
Wi Lian In menurut omongannya dan berjongkok lantas
meletakkan rantainya ke atas tanah.
"Criiiing!" terdengar suara yang amat nyaring bergema diseluruh
ruangan disertai dengan percikan bunga-bunga api, ujung cangkul
itu sedikit bengkok tetapi rantainya tetap utuh tidak cedera sedikit
pun juga. "Tidak ada gunanya, cangkul itu tidak berguna" seru Ti Then
sambil membuang cangkul itu ke atas tanah.
"Kurang ajar" teriak Wi Lian In dengan amat gusar, "Di sini
terdapat begitu banyak alat-alat tetapi sebuah kampak pun tidak
kelihatan" "Tentu sudah disembunyikan oleh mereka, mari kita terjang lagi
keluar, bagaimana kalau kita cari di dalam rumah yang lain?"
"Mereka melancarkan serangan dari tempat kegelapan, sukar
buat kita untuk berjaga-jaga, lebih baik untuk sementara kita
menunggu di sini saja sampai terang tanah"
"Begitu pun juga boleh" sahut Ti Then kemudian sambil
mengangguk sesudah berpikir sebentar. "Agaknya mereka cuma
dua orang saja, baiklah kita tunggu sampai terang tanah baru turun
tangan bereskan mereka."
"Gelegar . . !" mendadak suara yang amat keras bergema
memenuhi seluruh ruangan , kiranya pintu kayu depan rumah itu
sudah mulai diserang dengan menggunakan batu-batu cadas yang
amat besar sehingga menggetarkan dengan amat kerasnya.
"Hmmm.." Ti Then tertawa dingin tak henti-hentinya. "Coba kau
lihat mereka malah berani menyerang kita"
"Kelihatan sekali kepandaian slat mereka tidak seberapa,
bilamana berani merusak pintu untuk menyerang kita Iebih baik kita
tutup jalan mundurnya terlebih dahulu kemudian baru kita tangkap
dari dalam." "Betul" seru Ti Then tertawa.
"Bluuuk..!" Sekali lagi suara pintu kayu yang terkena gempuran
batu besar. "Mari kita palangkan tiang besi ini di belakang pintu kayu itu"
Seru Ti Then dengan suara perlahan. " Jika kita melihat mereka menyerang
masuk segera angkat tiang besi itu biar mereka jatuh tersungkur"
Wi Lian In menjadi amat girang sekali.
"Pendapat yang amat bagus."
Mereka berdua satu di sebelah kiri yang lain di sebelah kanan
berjongkok didekat pintu kemudian palangkan itu tiang besi di
depan pintu untuk menanti dengan amat tenangnya.
Sebuah batu besar mengenai pintu rumah itu lagi membuat pintu
tersebut menjadi patah dua bagian dan terpentang ke samping.
Terdengar orang berkerudung hitam itu dengan suaranya yang
tertawa seram. "Hey bocah cilik cepat keluar dan menyerah tanpa melawan,
kalau tidak kalian akan merasakan siksaan yang sangat berat"
Ti Then tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
"Kalian punya kepandaian apa saja silahkan gunakan keluar, aku
sekalian sudah siap sedia untuk minta petunjuk."
"Jika kau bangsat cilik ingin hidup lebih lama cepat
menggelinding keluar. "
"Aku tidak ingin hidup, kalian masuklah" jawab Ti Then sambil
tertawa nyaring. "He.. . he .. he.. . kalian sungguh-sungguh sudah ambil
keputusan untuk mati didaIam rumah itu?" Tanya orang
berkerudung hitam itu sambil tertawa aneh.
"Benar." "Bagus, lohu akan memenuhi harapan kalian"
Selesai dia berbicara mendadak terlihatlah segumpal bayangan
hitam melayang menuju ke atas atap rumah tersebut.
Kiranya setumpuk rumput kering adanya.
Selesai melemparkan rumput kering itu disusul dengan desiran
anak panah berapi meluncur kearah rumput kering tersebut,
agaknya rumput itu semula sudah diberi minyak karena itu begitu
terkena api segera terbakar dengan amat besarnya.
Kiranya mereka punya maksud untuk membakar Ti Then berdua
di dalam rumah batu itu. Ti Then sama sekali tidak menyangka nereka bisa berbuat begitu,
ketika dilihatnya api berkobar dengan amat besarnya dia merasa
amat terperanyat, dengan tergesa-gesa dia meloncat keluar sedang
kakinya dengan melancarkan satu tendangan kilat menendang
rumput-rumput kering yang berapi itu.
Tendangan itu dilancarkan bagaikan kilat cepatnya karena itu
tidak sampai melukai kakinya.
Siapa tahu kedua orang berkerudung yang berada diluaran ketika
melihat dia melancarkan tendangan kilat menyingkirkan rumputrumput kering tersebut, empat telapak mereka segera melayang
melancarkan satu serangan dahsyat.
Terasalah segulung angin serangan yang amat dahsyat bagaikan
menggulungnya ombak besar ditengah samudra menggulung tak
henti-hentinya kearah rumput kering itu membuat api yang sedang
berkobar bergolak dengan dahsyatnya melayang kembali ke dalam
rumah itu. Ti Then yang badannya masih terikat oleh rantai membuat
gerakannya tidak leluasa lagi, karenanya dia tidak sanggup untuk
melancarkan serangan juga memukul balik rumput-rumput kering
itu, di dalam keadaan yang amat gugup diambilnya cangkul yang
menggeletak di atas tanah kemudian menyambut datangnya
rumput-rumput kering itu.
Sambarannya kali ini membuat rumput-rumput kering itu menjadi
tersebar keempat penjuru dan jatuh di tiang-tiang pintu yang
terbuat dari kayu, seketika itu juga rumput-rumput kering yang
berapi itu mulai membakar apa yang ditemuinya.
Wi Lian In dengan cepat mengambil sebuah karung goni dan
dipukul-pukulkan ke atas tanah dimana api mulai berkobar.
Tetapi baru saja mereka selesai memadamkan api itu tampak
segumpal rumput kering serta sebatang anak panah berapi
melayang kembali ke dalam, seketika itu juga rumah tersebut
terbakar kembali. Ti Then menjadi amat gusar sekali, makinya.
"Anak jadah cucu kura-kura, Lian In ayoh kita terjang keluar saja
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adu jiwa dengan mereka"
"Baik, kita bunuh mereka semua"
Kedua orang itu segera menerjang keluar, sambil membentak
keras mereka menerjang keluar dari rumah itu dengan ditangan kiri
dan tangan kanan mereka masing-masing membopong sebuah tiang
besi. Kedua orang berkerudung hitam ketika melihat mereka
menerjang bersamaan waktunya melancarkan satu serangan
dengan menggunakan anak panah mereka kemudian bersama-sama
menyatuhkan diri ke samping bersembunyi ditempat kegelapan.
Di dalam sekejap mata saja ada dua batang anak panah lagi
meluncur dari arah Barat serta Utara menyerang ke tubuh Ti Then
serta Wi Lian In dengan amat cepatnya.
Kiranya mereka tidak berani bertempur berhadap-hadapan
dengan Ti Then, kini mereka hendak menggunakan kelemahan dari Ti Then yang
harus membopong tiang besi untuk melancarkan serangan
mendesak dirinya. Ti Then dengan amat gusarnya membentak keras, mendadak dia
melemparkan tiang besi yang dibawanya dan melayangkan
tangannya menyambut datangnya sambaran anak panah itu,
kelihatannya dia hendak menggunakan anak panah itu sebagai
senyata rahasia untuk balas melancarkan serangan kepihak musuh.
Wi Lian In pun segera berbuat sama dengan diri Ti Then, hanya
sayang mereka berdua tidak bisa melihat dengan jelas tampat
persembunyian mereka berdua karenanya serangan balasan mereka
dengan menggunakan anak panah itu tidak sampai mencapai pada
sasarannya. Dengan kecepatan bagaikan kilat Ti Then memungut kembali
tiang besi itu kemudian bentaknya :
"Bunuh dulu binatang yang ada di sebelah Timur, ayoh jalan."
Mereka berdua dengan masing-masing menggotong tiang besi itu
dengan cepat berlari menuju kesudut sebelah Timur, tetapi ketika
sampai ditempatnya ternyata tidak tampak bayangan musuh.
Sedang pada saat yang bersamaan pula dari belakang tubuh mereka
meluncur datang dua batang anak panah membokong diri mereka.
Mereka berdua dengan cepat putar tubuhnya memukul jatuh
anak panah itu, ketika memandang ke atas tampaklah kedua orang
berkerudung hitam itu sudah berdiri di atas atap dua buah rumah.
Dengan amat gusarnya Ti Then membentak keras.
"Kalau kalian betul-betul punya nyali turunlah, kita tentukan di
atas permainan senyata"
"Ha ha ha " .jangan cemas" teriak manusia berkerudung hitam
itu sambil tertawa terbahak-bahak, "Sebelum kucing menghabiskan
tikus hasil mangsanya seharusnya dipermainkan dulu sampai puas"
Ti Then segera menaungut anak panah yang terjatuh ke atas
tanah itu dan disambit kembali kearah orang itu, bentaknya:
"Ayo gelinding turun dari sana."
Anak panah itu meluncur lebih dari pentangan busur tetapi begitu
orang berkerudung hitam itu melihat Ti Then melayangkan
tangannya tubuhnya dengan cepat menyingkir ke samping beberapa
depa jauhnya kerena itu dengan sangat mudah sekali dia berhasil
menghindarkan serangan tersebut.
Manusia berkerudung hitam lainnya segera membalas serangan
itu dengan memanahkan sebatang anak panah kearahnya,
demikianlah saat itu juga antara
pihak terjadilah suatu pertempuran panah yang amat seru sekali.
Mendadak ujar Wi Lian In dengan suara perlahan.
"Jangan disambit kembali"
Waktu itu Ti Then baru saja menangkap sebatang anak panah
dan siap disambit kembali, mendengar perkataan itu dia menjadi tertegun.
"Kenapa ?" tanyanya.
Dengan suara yang amat Iirih sehingga hampir-hampir tidak
terdengar sahut Wi Lian In:
"Anak panah yang mereka bawa sudah tidak banyak lagi, asalkan
kita terus menerima saja menanti setelah anak panah mereka habis,
mereka tidak akan mengapa-apakan kita lagi."
"Betul" seru Ti Then tertawa. "Labih baik kita maju beberapa
langkah ke depan untuk pancing mereka memanah lebih banyak
lagi." Mereka berdua lantas maju dua langkah ke depan dan berdiri
ditepi lapangan untuk penjemuran padi itu.
Kedua orang berkerudung hitam itu ketika melihat mereka
berdua bukannya mencari tempat bersembunyi bahkan malah
munculkan kini segera memanahkan anak panahnya terus menerus.
Dengan amat gesitnya Ti Then mau pun Wi Lian In meloncat
kekanan kekiri untuk menghindarkan diri dari serangan tersebut,
walau pun ditangan mereka harus mengangkat sebuah tiang besi
yang amat berat tetapi tidak sebuah pun anak-anak panah itu
mangenai badan mereka. Tidak lama kemudian anak panah dari kedua orang berkerudung
hitam itu sudah tinggal tidak seberapa banyak lagi.
"Ha ha ha ha .. . . bagaimana?" Ejek Ti Then tertawa terbahak
bahak. "Terang-terangan kalian tidak bisa mengapa-apakan kami, aku
lihat Iebih baik kalian turun saja ke sini untuk bergebrak"
Kedua orang berkerudung hitam itu tidak memberikan
jawabannya barang sekejap pun, mereka saling bertukar
pandangan kemudian secara tiba tiba bersama-sama menyatuhkan
diri ke belakang wuwungan rumah dan lenyap tanpa bekas.
Wi Lian In menjadi melengak dibuatnya.
"Hmmm.. entah mereka berdua menggunakan permainan setan
apa lagi?" "Tidak usah takuti mereka, cuma dua orang saja bahkan hari
pun hampir terang tanah apa pun yang bakal terjadi kita tidak usah
takuti lagi" "Dekat dekat sini agaknya tidak ada rumah petani yang kedua,
entah tempat manakah ini?"
Baru saja Ti Then mau memberi jawabannya mendadak terasalah
olehnya dari belakang tubuhnya ada sambaran angin tajam yang
membokong dirinya dengan cepat dia bungkukkan badannya sedang
tiang besi yang ada ditangannya di balik melancarkan tangkisan.
"Traaaaang . " suara benturan besi segera bergema disusul
dengan percikan bunga api memenuhi angkasa.
Secara diam-diam kedua orang berkerudung itu sudah
munculkan diri di belakang
badan mereka berdua, kali ini ditangan masing-masing mencekal
sebuah golok besar kelihatannya mereka punya maksud untuk
beradu tenaga dengan diri Ti Then berdua.
Ti Then sesudah berhasil menangkis pergi serangan golok pihak
musuhnya, tubuhnya dengan cepat berputar balik, tiang besi
ditangannya ditekan ke atas kemudian secara tiba-tiba menyerang
kearah orang berkerudung hitam yang sedang membokong diri Wi
Lian In itu. Serangannya ini dilancarkan bagaikan kilat cepatnya, hanya
sayang ditangan kirinya harus menggendong tiang besi yang amat
berat bahkan Wi Lian In yang ada di sampingnya tidak bisa
menyesuaikan diri dengan gerakannya karena itu serangan yang
dilancarkan ini tidak sampai pada tubuh pihak musuhnya dan
mencapai sasaran yang kosong.
Kedua orang berkerudung hitam itu sama-sama tertawa aneh,
satu dari sebelah kiri yang lain dari sebelah kanan bersama-sama mengangkat
goloknya melancarkan serangan kembali, tetapi mereka tidak berani
langsung menyerang berhadap-hadapan dengan diri Ti Then, setiap
serangan mereka pasti ditujukan pada tempat-tempat yang sukar
bagi Ti Then untuk bergerak.
Semula di dalam anggapan Ti Then asalkan pihak lawannya mau
turun tangan dengan dia maka dirinya dengan amat mudah bisa
menggunakan ilmunya yang amat sakti untuk membinasakan
mereka berdua, tetapi sekarang sesudah bergebrak beberapa jurus
banyaknya dia baru merasa kalau keadaannya tidak semudah apa
yang dipikirkan semula. Ketika dilihatnya Wi Lian In diserang dan dipaksa berada di
dalam keadaan amat bahaya, segera serunya dengan gugup:
"Lian In, lepaskan tiang besi itu dan duduklah."
Wi Lian In yang mendengar perkataan itu segera tahu kalau Ti
Then siap menggunakan sikap tenang untuk menguasai lawannya,
karena itu dia lantas meletakkan tiang besi itu ke atas tanah dan dia
sendiri tanpa ragu-ragu lagi duduk ke atas tanah.
Ti Then pun ikut duduk, merekti berdua duduk dengan
punggung menempel punggung sedang tangannya yang lain
memutarkan tiang besi itu untuk melindungi dirinya sendiri dari
serangan pihak musuh, demikianlah mereka dengan amat
mudahnya berhasil memunahkan setiap serangan musuh.
Kedua orang berkerudung hitam itu menyerang kembali
beberapa saat lamanya ketika dilihatnya mereka tidak sanggup
melukai diri Ti Then berdua, salah satu diantara orang berkerudung
hitam itu segera memberi tanda dan mereka berdua dengan tidak
banyak cakap lagi mengundurkan diri ke belakang kemudian
melenyapkan diri di balik kegelapan.
"Mungkin mereka mau melepaskan panah-panah lagi, mari kita
mundur ke bawah tembok pojokan sana untuk menghindarkan diri
dari bokongan pihak musuh."
Siapa tahu sekali pun mereka sudah menunggu setengah jam
lamanya tetap tidak mendengar sedikit gerakan apa pun.
"Heran?" Seru Wi Lian In ragu-ragu.
"Apa mereka sudah tahu sukar lantas mengundurkan diri?"
"Aku kira tidak mungkin, mereka pasti tidak akan melepaskan
kita dengan begini saja, mereka tentu sedang mempersiapkan suatu
penyerangan kembali"
Dengan dinginnya Wi Lian In mendengus.
"Aku tidak percaya mereka bisa melancarkan penyerbuan dengan
cara yang lain lagi."
"Aku hanya tahu mereka tidak lepas tangan begitu saja, untuk
menutup penyamaran mereka..... "
Perkataannya belum selesai mendadak di sekeliling rumah petani
itu bergema Suara percikan yang amat keras disusul berkobarnya lautan api
yang amat dahsyat. Lautan api itu muncul dari empat penjuru rumah pertanyan itu,
hanya di dalam sakejap mata saja gulungan api yang amat dahsyat
menggulung ketengah udara dan menge pung semua tempat.
Jelas sekali kedua orang berkerudung hitam itu secara diam-diam
sudah menyiram sekeliling tempat itu dengan minyak bakar
kemudian menyulut api sehingga membuat api itu baru mulai saja
sudah berkobar begitu dahsyatnya, hanya di dalam sekejap mata
saja kedua buah rumah itu sudah terbakar menjadi abu.
Air muka Wi Lian In segera berubah amat hebat, teriaknya
dengan amat terperanyat. "Celaka mereka mau bakar kita hidup-hidup."
Selamanya Ti Then punya nyali yang amat besar dan tidak
pernah kacau pikirannya menghadapi berbagai mara bahaya, tapi
kali ini ketika dilihatnya empat penjuru semuanya merupakan lautan
api yang berkobar-kobar dengan amat dahsyatnya, air mukanya
tanpa terasa berubah memucat juga, teriaknya dengan gemas:
"Kurang ajar, seharusnya sejak tadi aku punya pikiran kalau
mereka bisa melakukan pekerjaan ini"
"Kalau begitu kita cepat-cepat mundur ke liang ruang bawah saja
untuk bersembunyi" teriak Wi Lian In dengan amat cemasnya.
" Tidak bisa, walau pun ruang bawah tanah itu tidak sampai
terbakar tetapi kita bisa dipanggang sampai mati."
Pikiran Wi Lian In menjadi amat kacau, serunya dengan gemetar.
"Lalu bagaimana baiknya?"
"Terjang keluar."
"Tidak mungkin, empat penjuru merupakan lautan api bagaimana
kita bisa terjang keluar " Lebih baik kita bersembunyi di dalam
ruang bawah tanah itu saja?"
"Tidak bisa."potong Ti Then dengan tegas, "Kita tidak bisa
bersembunyi di dalam ruang bawah tanah itu lagi..mari ikuti diriku!"
Dia mengangkat tiang besinya kembali bersama-sama dengan Wi
Lian In mereka Iari keluar dari rumah itu menuju ketengah lapangan
penjemur padi. Di depan Iapangan penjemuran padi tidak terdapat barang apa
pun, karena api yang berkobar di sebelah sana agak lemah, jilatan
api tidak lebih hanya enam tujuh depa tingginya.
Pada jarak kurang Iebih tiga kaki dari tembok api itu Ti Then
menghentikan langkahnya. "Mari kita meloncat dari sebelah sini saja."serunya.
Wi Lian In menjadi terkejut bercampur gugup.
"Dengan menyeret tiang besi yang begitu beratnya apa mungkin
bisa meloncat keluar?" serunya.
"Bisa, gunakan saja tiang besi itu untuk meloncat keluar,
demikian saja, kita Masing-masing menggendong satu pojokan kemudian Iari ketepi
tembok lautan api itu kemudian menancapkan ujung yang lain ke
atas permukaan tanah, dengan meminyam kekuatan ini kita
layangkan badan keluar dari lingkungan tersebut"
Sambil berkata dia member contoh kepada diri Wi Lian In.
Melihat hal itu Wi Lian In menjadi amat terkejut bercampur
girang. "Cara ini sedikit pun tidak jelek, hanya saja kalau tidak berhasil
badan kita pasti akan terjatuh ke dalam lautan api"
"Betul" seru Ti Then tersenyum pahit, "Tetapi selain ini tidak ada
cara lain lagi" "Baiklah, daripada mati lebih baik kita tempuh bahaya ini saja,
tetapi?" "Tetapi kenapa?"
Wajah dari Wi Lian In mendadak berubah menjadi merah dadu,
dengan perasaan amat malu ujarnya.
"Waktu itu sewaktu masih ada di kuil Sam Cing Koan kau pernah
bilang suka padaku, entah itu sungguh-sungguh atau tidak?"
Ti Then sama sekali tidak menduga di saat-saat yang begitu kritis
dan membahayakan jiwa mereka dia sekali lagi mengungkit urusan
ini membuat di dalam hati diam-diam merasa amat geli juga.
"Sudah tentu sungguh-sungguh" serunya sambil mengangguk.
Wi Lian In dengan perlahan mengangkat kembali wajahnya yang
telah memerah itu, tanyanya lagi dengan perasaan malu bercampur
girang. "Kalau begitu, kau punya rencana untuk meminang aku tidak?"
"Sudah tentu" sekali lagi Ti Then mengangguk,
"Tetapi".sekarang aku kira bukan waktunya untuk membicarakan
soal ini.." "Tidak" potong Wi Lian In dengan serius, "Sekarang adalah
waktu yang paling tepat untuk membicarakan soal ini, jika kau mau
meminang aku maka sekarang juga aku sudah menganggap kau
sebagai suamiku, dengan demikian jikalau kita sampai mati tertelan
oleh lautan api itu kita mati juga sebagai suami istri"
"Kalau kita tidak jadi mati?" tanya Ti Then lagi.
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu dari kedudukan sebagai suami istri kita undurkan
sebagai calon suami istri, nanti setelah Tia setuju kita baru resmikan
upacara ini" Ti Then menjadi sangat girang sekali.
"Baik, kalau begitu bagus sekali"
"Perlu kita berlutut untuk upacara?"
"Sesukamu" sahut Ti Then tertawa.
"Kalau begitu kita berlutut menghadap ke langit" seru Wi LIan In
sambil tertawa malu, "Sesudah sembahyang dengan langit dan bumi
kita masing-masing saling member hormat, bagaimana?"
"Bagus sekali!"
-- 33 Mereka berdua segera berlutut menghadap ke sebelah selatan
dan menghormat kepada langit dan bumi setelah itu bangkit berdiri
dan saling memberi hormat lagi.
Saat itu Wi Lian In betul-betul merasa amat girang sehingga
tanpa bisa dicegah lagi dia sudah menubruk ke dalam pelukan Ti
Then dan mengucurkan titik air mata kegirangan.
Mereka berdua saling berpeluk dengan eratnya, masing-masing
tidak ada yang buka suara untuk memecahkan kesunyian yang
nikmat tersebut. Api yang berkobar disekeliling mereka semakin lama semakin
membesar dan akhirnya disekitar tempat itu pun mulai terbakar
dengan dahsyatnya. Lama sekali baru kelihatan Ti Then dengan perlahan mendorong
badannya ke samping. "Mari, sekarang kita lompati tembok lautan api ini"
Mereka berdua dengan tidak banyak cakap masing-masing
mencekal satu ujung tiang besi itu kemudian bersama-sama
mengangkatnya. "Ayoh jalan" bentaknya disusuI tubuhnya bergerak menerjang ke
depan. SeteIah berlari sampai ditepian tembok api itu mereka segera
meletakkan ujung yang satu dari tiang besi itu ke atas tanah
kemudian membentak Iagi :
"Naik!" Tubuh mereka bersama-sama meloncat ke atas dengan
meminyam kesempatan sewaktu tiang itu berdiri mereka bersamasama meIepaskan ujung tiang besi sehingga dengan begitu tubuh
mereka pun ikut melayang ke atas.
Tiang besi itu sebetulnya ada enam depa panjangnya ditambah
dengan panjang rantai tiga depa karenanya sekali loncat mereka
bisa mencapai setinggi sembilan depa, akhirnya mereka berhasii
juga melewati jilatan api setinggi enam tujuh depa itu dengan
selamat dan berkelebat menuju kearah luar.
Siapa tahu lebar tembok api itu ada satu kaki, karenanya ketika
mereka masing-masing mencapai di atas permukaan tanah empat
buah kaki mereka dengan serta merta terjatuh ke dalam lautan api.
Suatu perasaan yang amat sakit menyerang diseluruh kulit kaki
mereka membuat Ti Then mau pun Wi Lian in saking sakitnya sudah
berteriak keras. Tanpa terasa lagi dengan sekuat tenaga mereka berguling kearah
luar dan menyeret pergi tiang besi yang ada ditengah lautan api itu
sejauh tiga empat kaki jauhnya dan lolos dari bahaya tersebut.
Ti Then dengan tidak perdulikan perasaan amat sakit yang
menyerang kakinya dia dengan sekuat tenaga meloncat ke depan
kemudian dengan menyeret Wi Lian In serta tiang besi itu berlari
lagi sejauh beberapa kaki.
Tetapi pada saat mereka baru saja lolos dari bahaya ituiah
mendadak dari samping kiri kanan mereka berkelebat bayangan
manusia kemudian disusul dengan berkelebatnya dua batang golok
besar yang memancarkan sinar keperak-perakan, hanya di dalam
sekejap saja golok tersebut sudah membabat di pinggiran badan
mereka. Sekali lagi kedua orang berkerudung hitam itu melancarkan
serangan kearah Ti Then berdua.
Di dalam keadaan yang amat bingung dan kacau Ti Then tidak
sempat mencabut keluar tiang besi yang terselip dipinggangnya
untuk digunakan menangkis serangan golok pihak Iawannya,
terpaksa dia mengguling ke samping bersamaan pula dia
membentak keras dan melancarkan tendangan sapuan kearah kaki
musuh. Dengan tendangan sapuan ini sebetulnya dia tidak
mengharapkan bisa mengenai pihak musuhnya, siapa tahu urusan
yang berada diluar dugaannya sudah terjadi, orang berkerudang
hitam itu ternyata tidak sanggup untuk menghindarkan diri dari
serangan tersebut. "Bluuuk . . " dengan disertai suara teriakan kaget orang
berkerudung hitam itu jatuh terlentang di atas tanah.
Pada saat yang bersamaan pula Wi Lian In berhasil
menghindarkan diri dari serangan golok orang berkerudung hitam
lainnya, di dalam keadaan yang amat cemas tanpa terasa lagi
tangannya sudah mencomot segenggam pasir dan disambitnya
tepat mengarah wajah pihak musuh.
Serangan aneh dengan menggunakan secomot pasir ini kelihatan
sekali berada diluar dugaan orang berkerudung hitam itu karenanya
dengan tepat pasir tersebut menghajar wajahnya, mungkin ada
beberapa pasir yang masuk ke dalam matanya, terdengar dia
berteriak aneh kemudian sambil menutupi wajahnya mengundurkan
diri ke belakang dengan tergesa gesa.
Sebaliknya orang berkerudung hitam yang tersapu jatuh oleh
serangan Ti Then tadi tidak sempat untuk melarikan dirinya. Ti Then
yang melihat dia terjatuh segera menubruk ke atas tubuhnya
sedang sepasang tangannya dengan sekuat tenaga mencekik
lehernya dan menekan terus ke atas tanah.
Dia betul-betul merasa benci dan gemas atas keganasan pihak
lawannya oleh sebab itu sewaktu turun tangan dia sama sekali tidak
ragu-ragu. "Kraaak . Suara remuknya tulang-tulang bergema
memenuhi sekeliling tempat itu, ternyata tulang leher dari orang
berkerudung hitam itu sudah berhasil dicekik remuk olehnya.
Dikarenakan sewaktu turun tangan dia melancarkan serangannya
dengan secepat kilat maka sampai suara teriakan ngerinya pun
belum sempat diteriakkan dia sudah binasa.
Orang berkerudung hitam yang terkena percikan pasir tadi
setelah melihat kawannya binasa saking takutnya seluruh wajahnya
sudah berubah menjadi pucat pasi, berulangkali dia mundur ke
belakang agaknya dia betul-betul merasa amat takut.
Ti Then menarik kembali tangannya dan bangkit berdiri dengan
perlahan, ujarnya dengan amat dingin sambil memandang tajam
wajah orang berkerudung hitam itu.
"Kini tinggal kau seorang."
Sekali lagi orang berkerudung hitam itu mundur beberapa
langkah ke belakang, agaknya dia bermaksud melarikan diri dari
sana. "Kau tidak akan bisa lari." Seru Ti Then tertawa dingin. "Kau
harus menyerang kami lagi, menyerang sampai kami betul-betul
binasa baru boleh pergi, kalau tidak asalkan kami berhasil melarikan
diri sini dan menanyakan pada rumah-rumah petani yang ada
disekitar tempat ini siapa majikan kalian, aku tidak akan menemui
kesukaran untuk mengetahui siapakah otak dari kalian."
Sepasang mata dari orang berkerudung hitam itu segera
berkedip-kedip, mendadak ujarnya.
"Kam pung pertanyan ini adalah lumbung dari Sian Thay-ya, Cuo
It Sian, otak pimpinan kita adalah sipembesar kota Cuo It Sian
tersebut." Selesai berkata sepasang kakinya mendadak menutul permukaan
tanah dan lari ke depan, Iaksana segulung asap hitam hanya di
dalam sekejap saja dia sudah lari tanpa bekas ditelan kagelapan
yang masih mencekam sekeliling tempat itu.
Ti Then seketika itu juga menjadi tertegun.
Perkataan dari orang berkerudung hitam itu membuat hatinya
betul-betul tergetar, dia tidak paham apa maksud dari perkataan
orang itu, apakah perkataannya itu benar" Apa tujuannya untuk
mencelakakan diri si pembesar kota Cuo It Sian ?" Atau memang
punya maksud lain " Wi Lian In pun dibuat terkejut oleh perkataan tersebut, ketika
dilihatnya orang berkerudang hitam itu sudah berlari amat jauh
tanpa terasa dia sudah bergumam seorang diri:
"Apa betul perkataannya" Apa betul pemimpin mereka adalah itu
pembesar kota Cuo It Sian ?"
Tampak Ti Then menarik napas panjang-panjang.
"Sukar untuk dipastikan." serunya sambil gelengkan kepalanya
berulang kali. "Perkataannya ini boleh dipercaya juga boleh tidak
dipercaya. " "Perkam pungan tani ini apa betul milik si Cuo It Sian atau bukan
kita bisa selidiki dengan mudah."
Ti Then berpikir sejenak, kemudiana baru menyahut.
" Aku kira tidak salah, perkam pungan tani ini pasti miliknya Cuo
It Sian." "Bagaimana kau bisa tahu ?" tanya Wi Lian In terperanyat.
"Perkataan dari orang itu pastl terselip suatu rencana busuk
Iainnya.kalau memangnya suatu siasat busuk maka tempat yang
dimaksud tentu sungguh-sungguh sehingga membuat kita menjadi
percaya, makanya aku rasa ucapannya yang mengatakan perkam
pungan tani ini miliknya itu pembesar kota Cuo It Sian sedikit pun
tidak salah." "Kalau begitu orang yang perintah tangkap dan tawan kita juga
betul-betul perbuatan dari Cuo It Sian?"
"Belum tentu" Ti Then gelengkan kepalanya. "Untuk menutupi
asal usul yang sebetulnya pihak lawan tanpa ragu-ragu turun
tangan melenyapkan kawannya sendiri, kenapa sewaktu mau pergi
sudah membocorkan keadaan yang sebenarnya ?"
Tanpa terasa Wi Lian In sudah mengangguk:
"Tidak salah. Tidak salah, dia berkata begita tentu mau
menjerumuskan diri Cuo It Sian. "
Sekali lagi Ti Then gelengkan kepalanya.
"Tetapi dia harus tahu juga kalau kita tidak akan percaya
omongannya dengan begitu mudah, maka" perkataannya ini
kemungkinan juga memang betul, maksud dia berbicara terus
terang pasti mengharap dalam hati kita timbul perasaaan tidak
percaya memancing kita masuk ke dalam alam kebingungan"
"Sebetulnya kau sedang membicarakan apa?" tanya Wi Lian In
melongo. "Maksudku, majikan mereka. Adalah itu pembesar kota Cuo It
Sian juga mungkin betul lima bagian karena dia melihat dirinya tidak
berhasil mencelakai kita dan
Kita pun bisa bertanya-tanya disekitar tempat ini apalagi
sewaktu kita sudah dapat dengar dari penghuni perkam pungan tani
ini kalau tempat itu miliknya sipembesar kota Cuo It Sian sudah
tentu kita akan mencurigai diri Cuo It Sian, karena dia memberitahu
kita terlebih dahulu kalau pemimpin mereka adalah Cuo It Sian agar
di dalam pikiran kita timbul perasaan tidak percay, karena dia
merasa kita tidak akan percaya atas omongannya"
Saat itu Wi Lian In baru paham tanpa terasa dia mengangguk
lagi. "Tidak salah, jika ditinyau dari sini orang yang menjadi otak dari
penangkapan kita kemungkinan sekali perbuatan dari Cuo It Sian. "
"Yah atau bukan, sekarang kita hanya bisa pilih salah satu."
"Kita boleh pergi Tanya-tanya dulu sekeliling perkam pungan tani
ini, tetapi sebelumnya kita harus mencari akal membuka rantai yang
mengikat pada badan kita",
Ti Then tersenyum, sambil menunjuk kearah orang berkerudung
hitam yang baru saja dibunuhnya itu ujarnya.
"Jika dugaanku tidak salah, kunci untuk membuka rantai kita ada
di dalam badannya" Wi Lian In segera memperlihatkan perasaan yang amat girang.
"Ooooh, bagaimana kau bisa tahu kunci itu berada di dalam
badannya?" "Tadi sesudah aku bunuh mati orang ini, manusia berkerudung
hitam yang lainnya segera mundur ke belakang dengan perasaan
amat takut, jika ditinyau dari keadaan kita sekarang ini dengan
badan dirantai pada tiang besi yang amat
Berat untuk mengejar dirinya pun tidak mungkin bisa berhasil,
buat apa harus takut" Karena itu pikiranku segera bergerak, aku
pikir?" "Kunci itu berada dibadannya" sambung Wi Lian In dengan amat
girang. "Betul" seru Ti Then ikut tertawa girang.
Wi Lian In segera meloncat ke samping mayat dari manusia
berkerudung hitam itu san mulai memeriksa isi sakunya, mendadak
tampak dia berteriak girang kemudian meloncat bangun sambil
memperlihatkan dua buah kunci.
"Coba kau lihat" teriaknya keras, "Dugaanmu sedikit pun tidak
salah, kunci itu memang ada di dalam sakunya"
Ti Then betul-betul merasa amat girang sekali.
"Coba bawa kemari, kita coba" serunya cemas.
Wi Lian In segera menuju ke belakang badannya dan
memasukkan salah satu kunci yang ada ditangannya ke dalam
lobang kunci rantai tersebut kemudian memutarnya kekanan.
"Klik" rantai sudah terbuka.
Ti Then betul-betul merasa amat girang sekali, cepat-cepat
direbutnya kuncinya yang lain dan membukakan rantainya mereka
berdua yang bisa bebas kembali dari belenggu tak tertahan sudah
pada meloncat kegirangan.
-ooo0dw0ooo- Jilid 20.1 Api cinta Wi Lian In
Tiba-tiba Wi Lian In menjerit kesakitan. "Aduh . . kakiku sakit
benar aduh . . ." "Waah . . . tentu terkena api sewaktu meloncat tadi, mari sini
biar aku periksa sebentar."
Dia menarik celana kakinya ke atas, terlihatlah kakinya yang
semula berwarna putih laksana salju kini sudah berubah menjadi
memerah dengan penuh gelembung-gelembung air yang amat
banyak. dalam hati Ti Then merasa sedikit tak tega lalu hiburnya
dengan suata perlahan- "Wah masih untung cuma kulitnya saja yang terluka, sebentar
saja akan sembuh dengan sendirinya"
"Lalu bagaimana?" tanya Wi Lian In kemudian dengan nada
kuatir. "Omong kosong ,mari sini biar aku yang periksa"
"Tidak usah periksa lagi" Ujar Ti Then sambil tertawa, dia lantas bangkit dan berdiri kembali.
"Saat ini kau juga tidak membawa obat luka terbakar, cuma lihatlihat saja apa gunanya?" Yang penting kita sekarang harus cepatcepat meninggalkan tempat ini, nanti setelah sampai di dalam kota
kita baru beli obat buat luka- luka terbakar ini."
Waktu itu sang surya sudah memancarkan sinarnya keempat
penjuru, dari tempat kejauhan seCara samar-samar terdengar
kokokan ayam yang saling sahut menyahut.
Mendengar suara kokokan ayam itu Wi Lian In segera angkat
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya menuding kearah mana berasalnya suara kokokan ayam
tersebut serunya dengan girang.
"Di sebelah sana tentu ada rumah kaum petani, ayoo kita lihat ke
sana." Kedua orang itu segera meninggalkan rumah petani yang kini
sudah terbakar musnah itu.
Kurang lebih setelah melakukan perjalanan sejauh setengah li,
tak salah lagi mereka sudah menemukan sebuah rumah petani,
kaum petani di sana sejak pagi-pagi sudah bangun dari tidurnya dan
kini hanya terlihat seorang perempuan sedang menCuoi pakaian
didekat sumur. Dengan tanpa sungkan-sungkan lagi Wi Lian In maju
menghampiri perempuan itu untuk kasi hormat. Ujarnya: "Toa so
permisi." "Kalian . . . . " teriak perempuan desa itu mendadak dengan
pandangan penuh perasaan terperanyat, dia memandang kearah Ti
Then berdua kemudian meloncat bangun "Kalian datang dari
mana?"" "Kami kakak beradik sedang mencari seorang famili kami, siapa
tahu ketika berjalan sampai di sini sudah tersesat,Toa so tolong
tanya tempat manakah ini?"
"Ooh, kiranya di sini bernama desa Thay Peng cung," sengaja Wi Lian In memperlihatkan perasaan terperanyat. "Kami kakak beradik
sebetuinya mau pergi ke Tiong cing hu, entah kota Tiong cing hu
terletak didaerah mana" jaraknya dari sini masih seberapa jauh?"
"Waah jauh sekali. Kota Tiong cing hu terletak di sebelah barat
daya harus melakukan perjalanan selama satu hari penuh baru
sampai di sana." "Aaah, masih harus menempuh satu hari perjalanan?". kami kira
kota Tiong cing hu sudah dekat dari sini"
"Kota Tiong khing hu adalah sebuah kota besar, sewaktu hamba
masih muda pernah pergi satu kali, pergi ke sana waktu itu hamba
harus berjalan satu hari penuh baru sampai"
"Famili kami kakak beradik bernama Cuo It sian, mungkin Toa so
pernah mendengar nama dari Cuo it sian ini bukan?"
Mendengar disebutnya nama Cuo It sian ini perempuan desa itu
menjadi sangat girang sekali.
"Oooh . . . kiranya kalian mau mencari Cuo Lo-ya, kami
penduduk dari desa Thay Peng Cun semuanya merupakan lumbung
padi milik dia orang tua, sudah tentu kami tahu diri Cuo Lo-ya"
Berbicara sampai di sini sikapnya pun berubah menjadi sangat
ramah sekali, sepasang tangannya yang masih basah oleh air Cucian
dengan tergesa gesa digosok-gosokkan ke atas celananya kemudian
dengan wajah penuh dihiasi oleh senyuman ujarnya:
"Mari ... mari . silahkan kalian berdua masuk ke dalam rumah,
tentu kalian berdua belum sarapan pagi bukan . . . ."
"Tidak. tidak perlu kami sudah makan." potong Wi Lian In
dengan gugup "Terima kasih atas maksud baik dari Toa so, kita
harus segera berangkat"
Dengan terburu-buru mereka memberi hormat, kemudian putar
badannya melanjutkan perjalanannya. .
sesudah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya barulah
terdengar Wi Lian In tertawa dingin:
"Heee.. hee .. kelihatannya si pembesar kota Cuo It sian tidak
bisa luput dari kecurigaan kita."
Ti Then tidak langsung memberikan tanggapannya, dia
termenung berpikir sejenak lalu baru jawabnya.
"Sebelum kita memperoleh bukti yang betul-betul bisa di pegang
teguh, lebih baik jangan secara sembarangan menuduh kalau dialah
orang manusia berkerudung itu untuk menawan dan menyekap
kita..." "Lalu apa rencanamu dari sekarang untuk menyelidiki urusan ini
?"" "Kembali ke kuil Sam cing Koan dulu"
"Benar" seru Wi Lien In menganguk, "Kita mengupas bajingan-bajingan toosu itu terlebih dulu, jikalau mereka sudah mengaku
kalau pemimpin mereka adalah Cuo It sian, kita bisa bawa mereka
untuk bertemu dengan Cuo It Sian."
"Aku pikir peristiwa kita dibikin mabok kemungkinan sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan tosu-tosu dari kuil Sam cing Koan-"
Wi Lian In menjadi melengak
"Bagaimana tidak ada sangkut pautnya?" kita dibikin mabok
sewaktu berada di dalam kuil, apalagi yang kirim teh itu kepada kita
juga toosu-toosu dari kuil tersebut"
"Jikalau yang menjadi otak mereka adalah cuo It Sian,
seharusnya mereka tahu bisa jelas dari kuil Hwesio-hwesio sukar
untuk melarikan diri dari kuil tosu, mereka tidak mungkin berani
memerintahkan toosu-toosu kuil itu untuk memberi obat pemabok
ke dalam air teh yang bakal kita minum"
"Kalau begitu, dia sudah kirim orang lain untuk bersekongkol
dengan toosu-toosu kuil Sam cing koan ?""
"Kalau misalnya betul-betul begitu" sahut Ti Then kemudian
"Maka orang itu seharusnya mem punyai hubungan yang sangat
erat sekali dengan tosu-tosu kuil Sam cing Koan, karena itu para
toosu baru menyanggupi untuk membantu mereka, aku lihat tidak
mungkin. . tidak mungkin"
"Tetapi tidak perduli bagaimana pun juga, peristiwa dibikin
maboknya kita oleh toosu-toosu kuil sam Cing Koan adalah peristiwa
yang betul-betul sudah terjadi"
"Sekali pun begitu" bantah Ti Then lagi, " Kemungkinan sekali otak dari peristiwa ini datang sendiri lalu kirim orang untuk secara
diam-diam bercampur baur dengan toosu-tosu yang lain kemudian
secara sembunyi-sembunyi memasukkan obat pemabok itu ke
dalam air teh kita."
" Walau pun kemungkinan bisa begitu, tapi. ."
"Aku rasa pasti demikian" potong Ti Then cepat.
" Kalau memangnya demikian lalu buat apa kita pergi ke kuil Sam
Cing Koan?" "Pergi mengambil buntalan serta kuda kita"
Saat itulah Wi Lian In baru ingat kalau buntalan serta kuda
tunggangan mereka masih ketinggalan di dalam kuil sam Cing Koansegera dia tertawa. "Ha.. haa.. aku sudah lupa kalau buntalan serta kuda
tungggangan kita masih disimpan di dalam kuil sam Cing Koan-.."
Satu jam kemudian mereka berdua sudah tiba di dalam dusun
dimana terletak kuil sam Cing Koan, sesudah pergi membeli obat
terbakar di sebelah kedai obat barulah mereka menuju kekuil sam
Cing Koan- "Tidak perduli bagaimana pun kita harus memancing-mancing
pada mereka dengan pertanyaan-pertanyaan" seru Wi Lian in
kemudian sampainya di depan kuil sam Cing Koan itu,
"Kemungkinan sekali diantara tosu-tosu yang ada di dalam kuil
sekarang ini masih ada yang merupakan komplotan dari orangorang berkerudung hitam itu."
"Sudah tentu harus ditanyai dulu, tetapi aku percaya kita tidak
akan bisa berhasil memperoleh jawaban yang memuaskan hati, mari
kita masuk." Mereka berjalan menaiki tangga di depan pintu kemudian masuk
ke dalam ruangan besar yang bernama sam Cing Thlen waktu itulah
mereka sudah melihat si penerima tamu . "It Cing" tojin menerima seorang kakek tua itu dari rakyat biasa dan kini baru berbicara,
ketika dia orang melihat Ti Then serta Wi Lian In berjalan ke dalam
ruangan, air mukanya seketika itu berubah menjadi amat terkejut
bercampur gembira, cepat-cepat dia berdiri dan datang menyambut:
"Bukankah kalian berdua adalah sepasang kakak beradik yang
kemarin hari menginap di dalam kuil kami?"" teriaknya.
"Benar" jawab Ti Then sambil bungkukkan badannya memberi
hormat. "Malam itu sesudah kalian berdua bersantap. kenapa secara tibatiba sudah lenyap tanpa bekas?"
"Ha. ha . soal itu kami harus bertanya juga kepada Totiang yang
pada malam itu mengirim santapan buat kami berdua."
"Ooooh..." teriak It Cing Toojin tertegun, "Apa mungkin sian Tong sudah berlaku kurang hormat kepada kalian dan sudah
berbuat salah kepada kalian berdua?"
"Oooh totiang yang malam itu kirim santapan buat kita bersama
sian Tong?"" tanya Ti Then tersenyum.
"Benar, selama ini dia sangat sopan menghadapi orang lain, tidak
disangka kali ini sudah melakukan kesalahan terhadap kalian
berdua, waah. dia memang seharusnya dihukum" Ti Then segera
tersenyum. "sian Tong totiang bukannya melakukan kesalahan kepada kami
berdua karena sikap serta tindak tanduknya"
" Kalau tidak" teriak It Cing Toojin melengak. "Bagaimana dia sudah berbuat salah kepada kalian berdua"
Ketika Ti Then melihat dalam ruangan itu masih ada orang
sedang menyambangi kuil dia tidak mau secara terus terang
membeberkan kejadian yang sesungguhnya di depan orang lain
sehingga membuat nama baik dari kuil sam Cing Koa bernoda,
karenanya itu ujarnya kemudian.
"Dapatkah Tootiang mempersilahkah sian Tootiang untuk ikut
kami berbicara di dalam kamar belakang?""
"Baiklah" sahut It Cing Toojin kemudian sambil mengangguk
"Buntelan dari sicu berdua masih ada di dalam kamar belakang,
silahkan kalian berdua menanti sebentar di dalam kamar belakang,
biarlah pinto mencari sian Tong"
Ti Then mengangguk menyetujui, dengan diikuti oleh Wi Lian In
mereka berdua berjalan melalui pintu samping ruangan tengah itu
menuju kekamar di mana kemarin malam mereka menginap.
Ternyata kedua buah buntalan itu masih tetap terletak di atas
pambaringan dengan baiknya, agaknya mereka memang betul-betul
tak pernah menggeserkan buntalan itu.
Wi Lian In segera membuka buntalannya untuk memeriksa
sebentar isinya, setelah itu barulah ujarnya sambil tertawa:
"Kelihatannya mereka betul- betul jujur, buntalanku sama sekali
tidak dikutik-kutik oleh mereka"
"Tapi buntalanku pasti sudah diperiksa oleh mereka"
Perkataan ini baru saja di ucapkan terlihatlah It Cing Tojin serta
Sian Tong Toojin sudah berjalan masuk ke dalam kamar.
Agaknya It Cing Toojin sudah mendengar apa yang diucapkan
oleh Ti Then tadi, sambungnya kemudian.
"Benar, pinto memang pernah membuka buntalan dari sicu untuk
diperiksa isinya karena lenyapnya kalian berdua secara tiba-tiba
membuat pinto merasa tidak tenang untuk mencari tahu asal usul
kalian berdua mau tak mau terpaksa kami mesti membuka buntalan
kalian untuk diperiksa, harap sicu berdua tak sampai marah karena
hal ini" "Tidak mengapa, tidak mengapa. . memang seharusnya begitu."
It Cing Tojin lantas menuding ke arah Sian Tong Toojin yang
berada di sampingnya, ujarnya:
"Dialah sian Tong yang pada malam itu melayani sicu berdua, dia
sudah berbuat salah apa sicu sekalian boleh secara langsung
menegur padanya agar pinto pun bisa menyatuhi hukuman
kepadanya" Sepasang mata Ti Then dengan amat tajamnya memandang
seluruh tubuh dari Sian Tong Toojin, lama sekali baru terdengar dia
tertawa dingin. "To Tiang sudah mendapatkan perintah dari siapa untuk
memasukkan obat pemabok ke dalam air teh kami?"
"Sicu, kau sedang berbicara apa?"" tanya sian Tong Toojin
termangu- mangu. " Kenapa Tootiang harus berpura-pura bodoh?"
Air muka Sian Too Toojin semakin berubah hebat, dia segera
menoleh ke arah It Cing Toojin yang berdiri di sampingnya.
"Susiok" ujarnya dengan perasaan bingung "sicu ini sedang berbicara apa?"
Agaknya It Cing Tojin sudah dibuat terperanyat oleh perkataan
tersebut, keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya,
wajahnya pun berubah pucat pasi serunya lagi sambil memandang
kearah diri Ti Then- "Jadi maksud sicu air teh yang pada malam itu dikirim sian Tong
kekamar kalian sudah ditaruhi obat pemabok di dalam?"
"Sedikit pun tak salah." sahut Ti Then dengan amat dingin
"setelah kami minum air teh itu tak lama kemudian jatuh tak
sadarkan diri, sewaktu sadar kembali ternyata kami sudah dikurung
di sebuah ruangan di bawah tanah"
"Hal ini sungguh-sungguh sudah terjadi?" Teriak It Cing Toojin dengan perasaan terkejut.
"Sampai pagi hari inilah kami baru berhasil melarikan diri dari
dalam ruangan bawah tanah itu, Tootiang, kau bisa melihat sendiri
bukan dari dandanan serta pakaian kami yang kotor dan koyak ini."
"Tetapi siauwte tak pernah melakukan pekerjaan semacam ini."
Seru Sian Tong Toojin keras-keras. Ti Then tertawa dingin:
"salah satu dari ketiga orang berkerudung hitam yang menculik
dan mengurung kami itu sudah mengaku kepada kami."
"Dia bilang siauw te yang menaruh obat pemabuk itu ke dalam
air teh kalian?" Teriak sian Tong Toojin dengan amat gusar.
"Tidak salah" "Omong kosong." teriak Sian Tong Toojin sambil mencak-mencak
saking gemasnya. "Dia sedang memfitnah aku, sekarang dia ada dimana?" Ayoh
kita cari dia untuk diajak beradu muka dengan aku."
"Dia sudah aku lukai bagian lehernya kini masih berada di tempat
itu." "Kalau begitu" ujar sian Tong Toojin dengan amat gusarnya "Mari kita bersama-sama pergi cari dia, di hadapan kita semua boleh
kalian tanyakan, siauw te mau lihat dia masih berani mengoceh tak
karuan tidak" "Sebetulnya siapakah mereka itu" Kenapa mau menculik kalian
berdua"...." tanya It Cing Toojin kemudianTi Then berdiam diri tak menyawab, dia tahu sian Tong Toojin
memang benar-benar tidak tersangkut di dalam urusan ini
karenanya dia pura-pura tak mendengar.
"Demikian pun baik juga." ujarnya kemudian, "cayhe akan pergi ke sana untuk membawa dia orang datang kemari, aku mau lihat
dia yang sedang memfitnah diri Too tiang atau Too tiang yang
sedang berbohong bagaimana?"
"Bagus sekali, hal ini memang jauh lehih bagus, kebersihan hati
siauw te bagaimana bisa dirusak orang dengan seenaknya, sicu
cepat engkau tangkap dia dan bawa ke sini agar semua orang bisa
menjadi jelas. Hmm... h mm... kurang ajar... kurang ajar..."
Ti Then segera menyinying buntalannya dan diikat pada
punggungnya, setelah itu baru tanyanya.
"Kuda tunggangan kami berdua masih di sini bukan?"
"Benar, biar siauw te pergi menuntunnya kemari." selesai berkata dengan tergesa-gesa dia berjalan pergi.
Ti Then segera merangkap tangannya memberi hormat kepada
diri It Cing ujarnya. " Kemungkinan sekali orang berkerudung hitam itu memang dia
membohong untuk memfitnah diri sian Tong Tootiang. pokoknya
bagaimana keadaan yang sebetulnya biarlah cayhe sesudah
membawa dia datang ke sini baru kita periksa lagi dengan lebih
teliti" "Baiklah, pinto berani pastikan kalau sian Tong tidak mungkin
merupakan seorang yang begitu jahatnya, sicu silahkan pergi tawan
orang itu untuk dibawa ke sini"
Mereka bertiga segera berjalan keluar dari kamar, terlihatlah sian
Tong tojin sudah menuntun kedua ekor kuda itu menanti di depan
pintu. Ti Then serta Wi Lian In segera menerima kudanya masingmasing dan meloncat naik ke atas, sesudah memberi hormat
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali kepada It Cing Tojin mereka segera melarikan kudanya
meninggalkan kuil sam Cing Koan.
Mereka berdua sesudah melarikan kudanya beberapa waktu
lamanya baru terlihatlah Ti Then tertawa pahit.
"Coba kau lihat, betul tidak omonganku ?" mereka tentu tidak
tahu urusan ini". "Kenapa tadi kau bilang mau membawa orang berkerudung
hitam itu untuk dihadapkan dengan dia orang", bukankah orang
berkerudung hitam itu sudah kau cekik mati sejak tadi-tadi?"
"Jikalau tidak berbohong mana mungkin mereka akan
melepaskan kita pergi dengan begitu saja"
"Kini seharusnya kita pergi cari Cuo It sian"
"Tidak. tidak ada gunanya cari dia"
Wi Lian In menjadi melengak.
"Tidak pergi cari Cuo It sian lalu seharusnya pergi cari siapa"."
"Cari ayahmu.."
Sekali lagi Wi Lian in dibuat melengak oleh jawaban dari Ti Then
ini. "Ooooh. . benar ?""
"Sekali pun yang menjadi dalang penculikan kita adalah Cuo It
sian tetapi sekarang kita sama sekali tidak punya bukti apa pun,
kita bisa mengapa-apakan dirinya, tidak perduli siapa orang yang
menjadi dalang di dalam penculikan ini, tujuan mereka adalah
hendak menggunakan kita orang sebagai tunggangan untuk
memaksa ayahmu menyerahkan barang itu, makanya kita harus
mencari ayahmu untuk diajak berunding, asalkan kita berhasil
bertemu dengan ayahmu kemudian menanyakan lebih jelas lagi,
tidaklah sukar bagi kita untuk mengetahui siapa dalang yang
sebenarnya." "Ehmmm, memang beralasan juga" jawab Wi Lian In kemudian
sambil mengangguk "Tetapi entah sekarang Tia sudah tiba diistana
Thian Teh Kong belum?"
"Kita berangkat sekarang juga, kemungkinan sekali bisa bertemu
dengan beliau" "Aku punya satu pendapat, bagaimana kalau kits kembali kedesa
Thay peng sun untuk melihat-lihat keadaan di sana?"
"Tidak salah" seru Ti Then, segera di teringat akan sesuatu hal kembali, "Mari kita berangkat sekarang juga, kemungkinan sekali di
sana kita bisa bertemu dengan pihak lawan"
"Selain itu masih bisa mencari kembali pedang kita, kita mau
pergi keistana Thian Teh Kong seharusnya mem punyai pedang
yang menggembel dibadan kita."
"Baiklah, ayoh kita cepat berangkat"
Mereka berdua segera melarikan kuda dengan cepat, tidak selang
lama kemudian sudah berada kembali di dalam dusun Thay Peng
Cung. Pada jarak kurang lebih ratusan langkah dari depan dusun
tersebut mereka meloncat turun dari kuda dengan sangat cepat,
memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu.
Terlihatlah keadaan didusun tersebut sebagian besar sudah
terbakar musnah, kini hanya tinggal tembok-tembok serta tiang
tidak ikut terbakar berdiri serabutan, diatap asap dengan tebalnya
tetapi keadaan disekitar tempat itu tidak tampak bayangan manusia
pun- Agaknya Wi Lian In merasa keadaan diluaar dugaannya, serunya:
"Bagaimana di sini tidak tampak sesosok bayangan manusia pun?"?"
"Mari kita lihat-lihat ke sana"
Dengan jalan menyelinap mereka berdua dengan bersembunyisembunyi jalan mendekati perkam pungan tersebut, sesudah
memeriksa disekeliling dusun itu, terasalah oleh mereka kalau
disekeliling tempat itu memang betul-betul tidak tampak bayangan
musuh, karenanya dengan tenang-tenang baru berani munculkan
diri untuk berjalan maju ke depan.
orang berkerudung hitam dibunuh mati Ti Then tadi, kini
mayatnya sudah terbakar, panasnya hawa di sana saat ini seluruh
kulit badan sudah terkupas bahkan seluruh tubuhnya sudah
digenangi dengan air bercampur darah yang amis sekali baunya,
keadaan begitu seram dan memaksa orang mau muntah.
"Mayat ini belum pernah dipindah dari tempat semula,
kelihatannya mereka belum datang ke sini" ujar Ti Then kemudian"Tetapi aneh, seharusnya penduduk disekitar dusun ini tahu
kalau ditempat ini terjadi kebakaran tetapi kenapa tidak ada orang
yang datang?"" "Api mulai membakar ditengah malam buta, kemungkinan sekali
mereka memang tidak melihatnya"
"Lalu satu keluarga dari petani yang mendiami tempat ini sudah
pergi kemana?" potong Wi Lian In tiba-tiba.
Ti Then termenung berpikir sebentar kemudian baru jawabnya:
"Ada dua kemungkinan, yang pertama sudah dibunuh oleh
mereka, yang kedua sudah pindah dari tempat sini. jikalau sudah
pindah lalu.." "Lalu yang perintah mereka sudah tentu si pembesar kota Cuo It
sian" potong Wi Lian In"Benar" jawab Ti Then mengangguk. "Cuo It Sian merupakan
pemilik tanah dari perkam pungan ini, hanya dia seorang saja yang
bisa memerintahkan penduduk sini untuk pindah."
"Waaaah. .waaah... celaka, pedang kita sudah tentu rusak karena
terbakar" "Pedang itu tidak mungkin bisa terbakar rusak. ayoh kita lihatlihat di dalam sana, mungkin pedangnya masih ada."
Demikianlah mereka berdua segera masuk ke dalam rumah itu
untuk mencari kembali pedang mereka, sesampainya diruangan
yang sudah terbakar hangus di sana di temuinya oleh mereka lima
sosok mayat yang sudah terbakar hangus.
"Ooh Thian " teriak Wi Lian In dengan perasaan terperanyat, "
Kelima sosok mayat ini apakah mayat dari pemilik rumah ini?"
"Pasti benar" jawab Ti Then dengan wajah serius. "Coba kau lihat diantara kelima sosok mayat adalah mayat bocah . ."
Tak tertahan lagi Wi Lian In menarik napas dingin, dengan
gemas teriaknya. "Hmm . . . sungguh kejam hati bajingan-bajingan
itu" Ti Then pun mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Yang aneh, sewaktu kemarin malam kita melarikan diri dari
ruangan bawah tanah kenapa tidak menemukan mereka-mereka
ini?" " Kemarin malam kita sama sekali tidak masuk ke dalam ruangan
tamu ini." "Tetapi sewaktu terjadi kebakaran seharusnya orang-orang ini
berteriak minta tolong . . . ." bantah Ti Then lagi, tapi sebentar
kemudian dia sudah menjerit tertahan "HHmm, mereka berlima
tentu telah di totok jalan darah bisunya sehingga tak sanggup untuk
berteriak minta tolong, Heeey. . sungguh mengerikan"
Wi Lian In tidak berani terlalu banyak melihat lagi, serunya
kemudian- "Mari kita keluar saja."
Ti Then melakukan pencarian kembali di antara reruntuhan
tembok, tetapi tetap tidak menemukan kembali kedua belah pedang
mereka, akhirnya dia mengundurkan diri juga dari ruangan tamu itu
untuk mencari diantara reruntuhan ditempat lainnya.
Mereka berdua dengan susah payah mencari setengah harian
lamanya tetapi tetap tidak memperoleh hasil, terpaksa dengan hati
kesal Ti Then berdua berhenti mencari.
Ti Then mengambil keluar bubuk obat dan membubuhinya pada
luka Wi Lian In kemudian membubuhi juga pada kakinya sendiri,
setelah itu baru ujarnya:
"Aku lihat di dalam waktu yang sangat singkat tidak mungkin kita
memperoleh hasil, kita tak usah menunggu lagi, sekarang juga kita
berangkat ke istana Thian Teh Kong."
"Baiklah, aku mau berganti pakaian dulu tolong kau jagakan
jikalau ada orang datang cepat-cepat beritahu padaku"
"Jadi maksudmu sewaktu kau berganti pakaian aku tidak usah
menutup mataku?" goda Ti Then sambil tertawa.
"cis . . . jangan omong sembarangan aku mau berganti pakaian
di belakang runtuhan tembok itu,tapi kau jangan ngintip lho, kalau
tidak. . . awas aku pukul kau."
"Kita sekarang sudah jadi suami istri, buat apa kau begitu rikuhrikuh terhadap aku orang?""
"Bukan suami istri, tapi calon suami istri" bantah Wi Lian In
dengan serius, " Kemarin malam aku sudah berbicara sangat jelas,
jikalau kita mati maka boleh dianggap kita sudah menjadi suami
istri, tetapi kalau tidak mati kita harus undurkan sebutan kita
sebagai calon suami istri."
"Omongan apa itu?"" seru Ti Then sambil menghela napas
panjang-panjang "Aku sungguh menyesal kenapa kemarin malam
tidak terbakar mati saja?"
Wi Lian In segera tertawa cekikikan, dia melepaskan buntalannya
dan berjalan ke balik reruntuhan tembok untuk berganti pakaian"Cepat sedikit, aku juga mau berganti"
Wi Lian In yang di balik runtuhan tembok segera menyawab.
"Kenapa kau tidak berganti pakaian di sana saja?""
"Waaah tidak bisa .. .tidak bisa, jika ada orang datang aku harus
lari kemana?"" "Kau seorang lelaki takut apa lagi?" seru Wi Lian In sambil
tertawa geli. " orang lelaki tidak takut orang lelaki tapi takut dengan orang
perempuan, jikalau secara tiba-tiba datang seorang nona dan waktu
itu aku sedang telanyang .. waah kemana aku harus lari?""
"Hmmm, kamu orang sedang mimpi yaa?" teriak Wi Lian In
sambil tertawa terus. Ditengah percakapan itulah dia sudah selesai berganti pakaian
dan berjalan keluar dari balik runtuhan tembok. Ti Then segera
melepaskan buntalannya sendiri.
"Sekarang giliranku, kau jangan mengintip aku ganti pakaian lho"
serunya sambil tertawa Air muka Wi Lian in seketika itu juga berubah menjadi merah
padam. "Cis. . siapa yang mau mengintipkan ganti pakaian?""
Sambil tertawa Ti Then berjalan ke balik runtuhan tembok
kemudian melepaskan semua pakaiannya yang sudah kotor, siapa
tahu baru saja dia memakai celananya mendadak terdengar Wi Lian
in yang ada diluar sudah berteriak: "Aduh celaka ada orang datang"
Seketika itu juga Ti Then menjadi kelab akan, tanpa memakai
pakaian atasnya lagi dengan badan setengah telanyang dia berlari
keluar: "Dimana. . dimana?"" tanyanya gugup,
seketika itu juga Wi Lian In tertawa cekikikan sehingga badannya
terbungkuk- bungkuk . -ooo00000ooo- Dua hari kemudian mereka sudah tiba dekat dengan gunung Kim
Hud san- dimana terletaknya istana Thian Teh Kong, dari jauh
hanya terlihatiah pegunungan yang saling bersambungan
menembus awan. Jika dilihat dari kejauhan puncak Kim Hud san semuanya ada
empat buah, lingkar melingkar sambung menyambung laksana naga
yang sedang tertidur keadaannya amat megah sekali.
Tak terasa lagi Wi Lian In sudah memuji.
" Gunung Kim Hud San inijauh lebih bagus dari pada gunung
Kiam Teng san." "Aku dengar di atas gunung ada tempat-tempat pesiar yang
bagus-bagus dan indah sekali seperti kuil Lian Hia si, si Ci Gi, gua
sak Gouw Tong, gua Ku Hud Tong dan lain-lainnya. Katanya dahulu
sering banyak pelancong yang berpesiar ke sana. ."
"Lalu sejak si anying langit rase bumi mendirikan istana Thian
Teh Kong di sana kaum pelancong jarang yang berani ke sana?"
"Benar." sahut Ti Then mengangguk. "Bukan saja kaum
pelancong tidak berani berpesiar ke sana, sampai pada hwesio yang
berdiam di dalam kuil di atas gunung pun pada meninggalkan
gunung, mereka tidak berdiam menjadi satu dengan kaum
perampok." "Hmmm si anying langit rase bumi sungguh buas sekali."
Maki Wi Lian In dengan gusar. "Mereka tidak pergi ke tempat lain
justru datang ke sini merusak pemandangan indah.".
"Bukan begitu saja" tambah Ti Then lagi. "Aku dengar semua kuil yang ada digunung sekarang ini sudah dijadikan sarang perampok
oleh mereka." "Lalu istana Thian Teh Kong didirikan di sebelah mana?"
"Mungkin tidak jauh dari si ci Go tetapi tempat yang sejelasnya
aku sendiri juga tidak tahu"
"Jarak waktu dengan saat perjanyian masih ada dua hari
lamanya, kini kita mau langsung naik ataukah menanti Tia di bawah
gunung saja?" "Siang hari menunggu di bawah gunung"
"Kalau malam naik ke gunung melakukan penyelidikan?"
sambung Wi Lian In sambil tersenyum.
"Benar." jawab Ti Then sambil mengangguk
"Si rase bumi Bun Jin Cu kini sudah kehilangan suaminya, dengan
kepandaian serta kekuatan anak buahnya dia tidak mungkin berani
menantang ayahmu secara terang-terangan, kemungkinan sekali
mereka sudah pergi mengundang jago-jago Bu lim lainnya untuk
mereka di dalam pertempuran kali ini atau mungkin juga dia sudah
mengatur jebakan buat kita agar kita terpancing, karenanya kita
harus naik ke atas gunung untuk mengadakan penyelidikan terlebih
dahulu." Wi Lian in segera angkat kepalanya memandang keadaan
cuacanya lalu baru ujarnya.
"Sekarang masih ada waktu satu jam baru malam hari menjelang
datang, lebih baik kita cari suatu tempat yang baik untuk istirahat."
Ti Then segera pentangkan matanya memandang keadaan
sekeliling tempat itu, terlihatlah di sebelah kiri diantara rentetan
pegunungan yang melingkar terdapat sebuah hutan yang sangat
lebat sekali, serunya kemudian sambil menuding kearah sana. "Mari
kita ke sana saja." sewaktu naik gunung mereka berdua sudah menitipkan kuda
tunggangan mereka pada rumah kaum tani disekitar tempat itu,
karenanya gerak geriknya mereka sekarang jadi lebih lebih leluasa,
hanya di dalam beberapa kali loncatan saja mereka berdua sudah
berada di dalam hutan yang lebat itu.
"Kita bersembunyi di dalam hutan yang begini lebat, jikalau Tia
datang apa dia orang tua bisa melihat kita?" Ujar Wi Lian In
kemudian sesampainya di dalam hutan itu.
"Bisa, tempat ini merupakan jalan gunung untuk menuju ke atas
gunung." "Buat sementara orang lain tentu akan menggunakan jalan ini
tetapi buat ayahku belum tentu"
Ti Then segera tersenyum.
"Tidak ayahmu pasti bisa menggunakan jalan ini untuk naik
gunung." "Alasanmu." "Karena ayahmu merupakan seorang yang suka terus terang,
jikalau dia naik gunung untuk memenuhi janyi pastilah dia akan
secara terang-terangan naik gunung, tidak mungkin dia orang tua
mau naik gunung secara sembunyi-sembunyi."
Ketika Wi Lian In mendengar dia orang sedang memuji ayahnya
dalam hati lantas merasa sangat gembira sekali, tanpa terasa lagi
dia sudah melemparkan satu senyuman manis kepadanya.
"Perkataanmu sedikit pun tidak salah. Tia memang seorang lelaki
yang demikian-" Ti Then tersenyum, tambahnya kemudian
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi kemungkinan sekali kita tidak bisa bertemu dengan
ayahmu jika terus menanti di sini"
"Perkataanmu kenapa begitu plin plan?" seru Wi Lian In
melengak. "Kemungkinan sekali si otak dari penculikan diri kita itu sama
sekali tidak tahu kalau kita sudah melarikan diri
Wi Lian In segera merasa perkataannya sedikit pun tidak salah,
tak terasa lagi dia mengangguk.
"Ehmm jika memang betul-betul begitu, bilamana Tia sudah
mendengar kalau kita tertawan kemungkinan sekali sudah
membatalkan datang ke sini untuk memenuhi undangan dari pihak
istana Thian Teh Kong"
sinar matanya yang amat indah itu berkedip-kedip sebentar
kemudian dengan merasa kuatir tambahnya: "Lalu bagaimana kita
sekarang?"" "Biar aku seorang diri naik ke atas gunung untuk memenuhi
undangan" "Lalu aku?""
"Pergi cari ayahmu."
" Kau suruh aku pergi kemana mencarinya?"
"Sebelum si otak penculikan itu mau menggerakkan ayahmu, dia
tentu membiarkan ayahmu melihat diri kita terlebih dulu. Karenanya
kau harus menuju ke dusun Thay Peng cun sana."
"Tetapi" bantah Wi Lian In lagi "Dengan seorang diri kau naik ke atas gunung untuk memenuhi undangan, apakah kamu orang sudah
merasa punya pegangan untuk mengalahkan si rase bumi Bun jin
Cu beserta anak buahnya?""
"Jika mereka menyerang satu persatu aku merasa masih punya
kekuatan untuk menghalau mereka, bilamana mereka bergerak
secara bersama-sama tidak kuat jauh lari dengan kedua belah
kakiku ini." "Tidak" sekali lagi bantah Wi Lian In.
"Malam ini kita masih menyelidiki dulu keadaan istana Thian Teh
Kong kemudian baru balik ke sini menunggu Tia, bilamana lusa
masih belum datang untuk memenuhi janyi hal itu berarti Tia sudah
ikut si penculik itu pergi ke perkam pungan Thay Peng cun itu, kita
harus berusaha bertemu dengan sirase bumi Bun jin Cu untuk
mengundurkan perjanyian ini, setelah itu bersama-sama pergi
mencari Tia." "Demikian pun baik juga, tetapi malam ini biar aku seorang diri
saja yang pergi mengintip. kau lebih baik tunggu saja di sini."
" Kenapa ?"" seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
"Jika seorang diri saja yang mengintip maka keadaan kita sukar
diketatui oleh mereka, jikalau kita harus pergi bersama-sama,
bilamana sampai ketemu waahh sulit buat kita untuk menolong dari
jebakan si rase bumi Bun Jin Cu."
"Tidak aku juga mau ikut"
"Baik" seru Ti Then setengah mengancam "Bilamana kau tidak mau mendengar omonganku, sesudah kembali kebenteng Pek Kiam
Po aku segera minta berhenti dari ayahmu"
Mendengar ancaman itu Wi Lian In jadi gugup,
"Baik . .... baik" serunya cepat. "Aku mendengar omonganmu, aku mendengar omonganmu"
Ti Then segera tersenyum.
" Calon istriku yang paling cantik, sekarang silahkan mengambil
keluar rangsum kita, bagaimana kalau kita makan bersama-sama
.?"" Mereka berdua lalu mendahar rangsum tersebut setelah itu saling
berpelukan dan bermesraan, lama sekali di bawah pohon yang
rindang. Tiba-tiba terdengar Wi Lian In menghela napas panjang.
"Haay . . . malam begitu cepat datang."
"Heehh . . . kenapa ?"?" saru Ti Then melengak.
Wi Lian In segera tersenyum malu, kepalanya ditundukkan
rendah-rendah. "Kau mau berangkat kapan?" "
"Sebentar lagi, dari sini untuk mencapai istana Thian Teh Kong
masih ada setengah hari perjalanan-"
Perlahan-lahan Wi Lian In menyatuhkan dirinya kembali ke dalam
pelukannya, ujarnya sambil memejamkan sepasang matanya.
" Lebih baik kau berangkat pada kentongan pertama saja, si rase
bumi Bun Jin Cu tentu sudah mengatur banyak penjagaan di
sekeliling istananya, kalau pergi terlalu pagi malah lebih mudah di
ketahui oleh mereka"
Perlahan-lahan pada wajahnya terpancarkan suatu sinar
kebahagian, sinar tersebut tentu bisa ditemui di wajah setiap nona
yang sedang terjerumus di dalam lembah percintaan, karena hal
inilah Ti Then segera tahu kenapa dia minta dirinya berangkat
sesudah kentongan pertama, dia bukan merasa kuatir atas
keselamatan dirinya kalau sampai diketahui oleh anak buahnya si
rase bumi Bun Jin cu melainkan dia mengharapkan bisa bergumul
dan bermesra-mesraan lebih lama lagi dengin dirinya.
Jilid 20.2 Terperangkap di istana Thian Teh Kong
Setiap kali dia menghadapi "Rasa cinta yang demikian tebalnya"
ini Ti Then selalu merasa seperti meneguk secawan arak yang manis
bercampur rasa pahit, dalam hati dia merasa girang juga merasa
murung, karena dalam pikirannya segera terbayang kembali olehnya
kalau dia hanya menerima perintah dari seseorang. . dia cuma
sebuah patungnya saja. Tanpa terasa lagi tangannya mulai mengusap wajahnya yang
halus itu, sembari merasakan kenikmatan dari perasaan cintanya
yang berkobar-kobar ini dalam hatinya merasa perih juga seperti
diiris-iris oleh beribu-ribu golok.
Tetapi Wi Lian In sama sekali tidak mengetahui akan hal ini, pada
wajahnya terbayang suatu senyuman yang sangat gembira, ujarnya
sambil tertawa ringan-"Aku punya usul. ."
"Usul apa?" tanya Ti Then melengak.
"Selesai kita membereskan urusan di sini kita langsung pulang ke
dalam Benteng saja, sewaktu kau bertemu dengan si locia itu
pelayan tua kau bisa secara diam-diam kasi tanda kepadanya. ."
Untuk beberapa waktu lamanya Ti Then dibuat bingung oleh
perkataannya yang tidak ada ujung pangkalnya ini. "Beri tanda apa
kepada si Lo-cia. . ?"?"
"Hmm, kau pura-pura bodoh." seru Wi Lian In dengan
manyanya, sedang tangannya dengan perlahan mencubit kakinya Ti
Then- "Oooh. ." Ti Then segera paham apa yang sedang dimaksudkan-.
"Kau minta aku suruh si Locia mewakili aku pergi meminang
dirimu?"" "Si Locia sangat suka kalau kita orang bisa bersatu, dia tentu
mau membantu kamu orang."
"Tapi aku tidak bisa omongnya."
"Tidak usah terus terang, secara diam-diam saja kau beri tanda
kepadanya" "Bagaimana caranya?" tanya Ti Then lagi,
"Sewaktu lain kali dia mengungkat kembali hubungan diantara
kita berdua, kau bolehlah berkata kepadanya sambil tertawa. "Locia, kau cuma bicara di mukaku terus apa gunanya", sesudah dia
mendengar perkataanmu ini dia toh punya pikiran untuk menjadi
mak comblangnya, walau pun dia cuma seorang pelayan saja, tetapi
dia sudah turut dengan ayahmu selama puluhan tahun lamanya,
perkataannya Tia tidak akan menganggapnya sebagai angin lalu"
"Bilamana ayahmu tidak setuju?" tanya Ti Then sambil tertawa.
"Tidak mungkin, bilamana Tia menolak dia orang tua tidak
mungkin bisa membiarkan kita berdua melakukan perjalanan
bersama-sama pada kali ini."
"Bilamana ayahmu bermaksud untuk menjodohkan kau
kepadaku, kenapa tidak tunggu saja sampai dia bilang sendiri?"
Wi Lian in tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tak terasa lagi sambil
tertawa malu dia mencubit kembali kaki Ti Then berulang kali.
"Baiklah" serunya dengan gemas. "Sudah. . sudahlah, aku sama sekali tidak memaksa."
"Lian In" seru Ti Then kemudian sambil menghela napas
panjang. "Sekali lagi aku mau berbicara aku betul-betul suka
padamu tetapi kemungkinan sekali pada satu hari kau bisa
mengetahui kalau aku bukanlah seorang yang baik."
Wi Lian In pun ikut menghela napas panjang:
"Andaikata seperti apa yang kau katakan, di kemudian hari kau
berbuat tidak baik kepadaku, waktu itu aku mau menerimanya
dengan rela hati, bajingan itu selamanya tidak pernah mengatakan
begitu, dia selalu bilang kalau dia jadi orang sangat jujur, sangat
pendiam sangat berbudi dan bagaimana cintanya kepadaku. ."
Setelah mendengar perkataan ini Ti Then semakin merasa
menyesal, dalam hati segera dia mengambil satu keputusan
pikirnya. "Dia begitu cinta dan menaruh hatinya kepadaku, bagaimana aku
tega mempermainkan dirinya?" Heey. sudah. .sudahlah, lain kali
jikalau majikan patung emas perintahkan aku untuk melakukan
pekerjaan yang merugikan mereka ayah beranak. sekali pun harus
binasa aku juga tidak melakukannya."
Sesudah mengambil keputusan ini, hatinya pun terasa begitu
leganya, mendadak dia ulurkan tangannya mengangkat kepalanya
ke atas kemudian kirim sebuah ciuman mesra ke atas bibirnya.
Wi Lian In sama sekali tidak menduga dia bisa berbuat demikian,
seketika itu juga dia dibuat kelabakan, tetapi hal ini pun merupakan
suatu kejadian yang sangat diinginkan sejak dahulu karenanya dia
hanya memberi sedikit perlawanan kemudian berdiam diri
membiarkan Ti Then melakukan penyerbuannya.
Suasana yang manis dan mendebarkan hati itu hanya di dalam
sekejap saja sudah berlalu, kentongan pertama kini menjelang di
depan mata, terpaksa dengan hati berat Ti Then mendorong
badannya ke samping lalu bangkit berdiri "Sekarang aku harus
berangkat" ujarnya perlahan.
"Ti Toako, biarkan aku mengikuti dirimu?" Mohon Wi Lian In
segera. "Tidak. kau harus menanti di sini."
"Woow. . kamu orang. ." seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
"Aku tidak ingin kau pun menempuh bahaya, aku juga tidak mau
membiarkan si rase Bumi Bun Jin Cu menawan dirimu karenanya
terpaksa aku harus berbuat demikian-"
"Kalau begitu kapan kau baru kembali?""
"Sebelum terang tanah, bilamana sesudah terang tanah aku
belum kembali juga, hal ini berarti juga aku sudah menemui sesuatu
kejadian diluar dugaan, waktu itu kau harus cepat-cepat
meninggalkan tempat ini pergi cari ayahmu, paham tidak?""
"Tidak, jikalau kau tidak kembali aku pasti mau raik ke atas
gunung mencari kau."
"Hmm" sahut Ti Then sambil tertawa "Jikalau benar-benar begitu tentu si rase bumi segera membagi hartanya kepada anak buah
mereka." "Soal ini aku tidak mau ikut campur" Desak Wi Lian In tetap
ngotot, "Besoknya aku mesti bersama-sama kau orang"
"Baik. . baiklah" sambung Ti Then dengan cepat "Urusan tidak akan berobah menjadi demikian beratnya, kau tidak usah berbicara
lagi, aku mau pergi"
Baru saja dia selesai berbicara tubuhnya sudah berkelebat sejauh
puluhan kaki kemudian dengan cepatnya berlari dan lenyap di balik
pepohonan yang amat lebat disekitar tempat itu.
Bagaikan melayangnya seekor burung elang dengan amat
cepatnya dia berkelebat menuju ke atas puncak gunung Kim Hud
san, di dalam sekejap mata saja sudah berada di atas sebuah
puncak bukit, sambil berdiri diam diam memandang kealam di
sekelilingnya. Terlihatlah kurang lebih satu li di punggung gunung secara
samar-samar terlihatlah memancarnya beberapa titik lampu yang
sangat terang, dia tahu tempat itu pasti bukanlah istana Thian Teh
Kong melainkan sebuah kuil yang sudah direbut oleh orang-orang
istana Thian Teh Kong. Tubuhnya dengan berkelebat menuju ke
arah dimana berasalnya sinar yang terang itu.
Tetapi sesudah berlari selama beberapa waktu lamanya
mendadak dia merasakan kalau keadaan sedikit tidak beres.
Karena kini dia sudah berada kurang lebih empat lima li jauhnya
memasuki gunung tetapi selama perjalanan ini dia sama sekali tidak
bertemu dengan seorang penjaga pun.
Gerak geriknya sangat gesit dia cepat sekali, tetapi selama ini dia
tidak lupa untuk memeriksa setiap tempat yang kemungkinan sekali
ditempati sebagai pos penjagaan, tetapi setiap tempat pegunungan
yang dilalui selama ini bukan saja keadaannya amat terang bahkan
tidak tampak seorang penyahat pun yang berjaga ditempat-tempat
yang strategis. Keadaan seperti tidak perduli untuk orang yang
berjalan malam macam apa pun tentu merasakan suatu keadaan
yang tidak beres. Atau dengan perkataan lain tidak ada penjagaan
di atas gunung bukannya berarti si rase Bun Jin Cu sudah
mengendorkan penjagaan terhadap serangan orang lain, melainkan
dia sudah perintahkan orang agar termakan ke dalam jebakan yang
membingungkan ini, dia sengaja tidak memberi penjagaan pada
pos-posnya, hal ini bermaksud agar musuhnya terjerumus ke dalam
jebakannya yang sudah disiapkan terlebih dahulu.
Karenanya gerak gerik Ti Then semakin berhati-hati, dia tidak
berani bergerak maju secara serampangan, tubuhnya dibungkukkan
rendah-rendah, kemudian dengan menggunakan pohon-pohon serta
dedaunan yang tumbuh di sana sebagai penghalang pandangan,
bergerak dengan sangat hati-hati sekali, dia sama sekali tidak
membiarkan sinar rembulan
menyinari tubuhnya sehingga meninggalkan bayangan di
belakangnya, apalagi sesuatu yang membuat orang lain merasa
curiga. Sebentar dia berlari cepat, sebentar kemudian dia berhenti dan
berjongkok, gerak geriknya amat berhati-hati, sesudah membuang
waktu yang sangat banyak akhirnya dia berhasil juga mendekati
tempat dimana berasalnya sinar lampu tadi.
Dengan terburu-buru dia menerobos ke dalam sebuah semak
kemudian menongolkan kepalanya keluar, terlihatlah olehnya
sebuah pemandangan yang lain daripada yang lain, bahkan hal itu
membuat dia berdiri tertegun. Apakah sinar lampu itu mendadak
lenyap" Bukan, sinar lampu masih ada, cuma yang ia lihat sekarang
bukanlah sinar lampu melainkan sinar dari api yang sedang
berkobar. Di atas punggung gunung itu tidak tampak adanya kuil lagi,
melainkan setumpukan puing-puing berserakan memenuhi
permukaan tanah. Setumpukan puing-puing itu diantaranya masih mengepulkan api
yang lumayan besar. Tempat itu memang betul-betul merupakan sebuah kuil, cuma
sekarang kuil itu sudah terbakar hingga tinggal puing-puingnya. Iih.
. sudah terjadi peristiwa apa"
Apa mungkin Wi Ci To sudah tiba"
Tidak mungkin, dia adalah seorang yang tahu aturan dan
bukanlah manusia semacam dia sebelum waktunya yang sudah
dijanyikan pasti tidak akan mempercepat waktunya datang ke atas
gunung untuk melancarkan serangan bokongan.
Peristiwa ini tentu dilakukan oleh musuh-musuh dari si anying
langit rase bumi yang sudah mendengar akan kematian dari si
anying langit Kong Sun Yau dan kini sengaja datang hendak balas
dendam dan membumi hangus semua tempat yang ada disekitar
istana Thian Teh Kong. Sambil berpikir keras Ti Then memandang keadaan sekelilingnya
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lebih teliti lagi, baru saja dia mau majukan jalannya ke
depan untuk melihat lebih jelas lagi mendadak dari antara
pepohonan di sebelah kiri dari reruntuhan puing-puing kuil itu
berjalan mendatang dua orang lelaki berpakaian singsat, keadaan
dari mereka berdua amat mengenaskan sekali, pakaian mereka
sudah robek-robek tidak karuan bahkan kelihatan beberapa lubang
bekas terkena api apalagi badannya terluka bakar sehingga
membuat gerak-gerik mereka sangat lamban sekali.
Mereka berdua dengan saling rangkul-merangkul memaksakan
diri berjalan ke depan sedang dari mulutnya tidak henti-hentinya
mengeluarkan suara rintihan yang memilukan hati.
Sesampainya di luar hutan di dekat runtuhan puing-puing kuil itu
mereka baru menghentikan langkah kakinya, sambil memandang ke
arah puing-puing yang berserakan itu mereka bersama-sama
menghela napas panjang. Terdengar salah satu diantara mereka itu sambil menghela napas
panjang makinya dengan perasaan sangat gemas.
"Maknya..tidak kusangka ini hari aku bisa terjatuh sampai
keadaan semacam ini."
Salah seorang lelaki dengan telinga seperti kuping gajah itu
segera menyambung: "Heeeyy".cialat"cialat"begitu Thian Cun modar semuanya juga
ikut musnah." "Hanya sayang kita sudah mengikuti Thian Cun selama puluhan
tahun lamanya kini apa pun tidak mendapat."
"Itu salahnya kita sendiri, semua orang secara diam-diam
membuat rencana untuk merampok semua harta benda yang ada di
dalam istana sebaliknya kita malah dengan enak-enak tertidur pulas,
untung saja kita cepat-cepat sadar kembali, kalau
tidak"waaah"waaah..nyawa pun ikut lenyap."
"Heey..entah bagaimana keadaan di dalam istana sekarang ini?"
"Apanya yang bisa dibicarakan lagi, sudah tentu keadaannya
seperti tempat ini. Semua orang dengan andalkan nyawa sendirisendiri pada merampok barang yang ditemui kemudian lemparkan
api ke dalamnya..semuanya akan segera beres,
makanya..makanya?" "Bagaimana kalau kita ke istana sebentar untuk lihat?"
"Sudah, sudahlah tidak perlu pergi lagi, kaki kanan aku si orang
tua sudah terluka bakar kini terasa begitu sakitnya, buat apa balik
ke sana lagi..makanya, lebih baik kita turun gunung saja."
"Turun gunung sekarang juga?"
"Kenapa?" "Cuaca begini gelapnya, apalagi di badan kita masih terluka,
jikalau sampai jatuh bukankah keadaan kita semakin parah?"
"Tidak mungkin, ayoh kita perlahan-lahan jalan.."
Berbicara sampai di sini mereka berdua segera saling bombing
membimbing untuk menuruni gunung itu dengan mengikuti jalan
kambing yang ada di sana.
Ti Then sesudah melihat bayangan dari kedua orang itu lenyap
dari pandangannya dia barulah bangkit berdiri, pikirnya.
"Kiranya di dalam istana Thian The Kong sudah terjadi
kekacauan, kaum perampok sudah pada berontak dan kini
merampok semua harta kekayaan yang tersimpan di dalam istana
Thian Teh Kong." Akhirnya seperti ini dia sama sekali tidak pernah
membayangkannya, tetapi dia paham akibat ini memang seharusnya
terjadi, pada waktu yang lalu pengaruh istana Thian Teh Kong bisa
kuat hal ini dikarenakan kepandaian silat dari si Anying langin Kong
Sun Yauw sangat liehay, karenanya anak buahnya tidak berani
melawan, sebaliknya kini si Anying langit Kong Sun Yauw sudah
binasa, si Rase bumi Bun Jin Cu pun sedang merasa sedih sehingga
tidak ada kekuatan untuk mengurusi anak buahnya, sudah tentu
banyak anak buahnya akan memberontak kemudian merampok dan
melarikan diri dari atas gunung.
Akibat yang terjadi seperti ini terhadap kalangan Bu-lim memang
merupakan suatu hal yang menyedihkan.
Ti Then menarik hawa segar dalam-dalam kemudian pikirnya lagi
: "Entah sirase bumi Bun Jin Cu masih ada di atas gunung atau
tidak " Aku harus naik ke atas untuk Iihat-lihat, jikalau dia masih
ada di sana lebih baik aku selesaikan saja urusan ini secara pribadi."
Begitu pikiran ini berkelebat di dalam benaknya dia segera mulai
menggerakkan badannya melayang menuju ke puncak gunung.
Setelah diketahui olehnya kalau di dalam istana Thian Teh Kong
sendiri sudah terjadi kekacauan hal ini berarti juga tidak adanya
penjagaan di atas gunung bukanlah merupakan salah satu siasat
yang sedang diatur oleh sirase bumi Bun Jin Cu, karenanya dia tidak
perlu menyembunyikan dirinya lagl selama di dalam perjalanan ini,
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai pada kesempurnaan dia melayang terus menuju puncak
gunung. Setelah melewati gua Sak Gouw Tong serta Si Ci Go dia
melanjutkan kembali perjalanannya sejauh puluhan li dan akhirnya
sampai juga di istana Thian Teh Kong.
Istana Thian Teh Kong yang sudah menggetarkan seluruh dunia
kangouw ini sama sekali tidak sampai dibakar oleh kaum
pemberontak, tetapi depan pintu istana terlentanglah berpuIuh
puluh mayat yang menggeletak memenuhi permukaan tanah, ada
yang kepalanya putus, ada yang perutnya robek sehingga ususnya
keluar dan lain-lain, keadaan yang begitu mengerikan, darah yang
berbau amis tercecer memenuhi seIuruh
permukaan tanah. Jika dilihat dari keadaan .tersebut agaknya pertempuran sengit
baru saja berhenti tidak lama.
Ti Then takut di dalam istana kemungkinan sekaIi masih tersisa
kaum penyahat yang masih belum meninggaIkan tempat itu dan
tidak berani langsung menerjang masuk ke dalam, setelah
diperiksanya dengan amat teliti keadaan sekeliling tempat itu dan
betul-betul merasa yakin kalau tidak ada musuh yang masih sisa di
dalam istana itu, dia barulah berani meloncat naik ke atas
wuwungan dari istana Thian Teh Kong tersebut.
Keadaan di dalam istana itu sama saja seperti keadaan diluar,
mayat-mayat menggeletak diseluruh tempat agaknya karena
perebutan harta kekayaan memaksa mereka saling bunuh
membunuh. Diantara mayat-mayat itu bahkan ada dua mayat yang gayanya
sangat menggelikan sekali, mereka berdua sudah binasa
semua,yang satu terkena tembusan pedang panjang sedang yang
lain terkena bacokan pada pundak sebelah kirinya tetapi ditangan
masing masing bersama sama mencekal sebuah buntalan, agaknya
sesudah terluka parah dan rubuh ke atas tanah mereka masih ingin
memperebutkan buntalan tersebut.
Ti Then sesudah berdiam diri untuk memperhatikan keadaan
disekelilingnya beberapa saat kemudian dengan tanpa
mengeluarkan sedikit suara pun dia meloncat turun dari atas
wuwungan rumah. lalu berjalan mendekati buntalan itu, terlihatlah
di dalam buntalan itu kini cuma tersisa dua stel pakaian saja,
agaknya intan permata yang berharga sudah disikat oleh "Nelayan
Beruntung" yang menonton di samping.
Dia melemparkan kembali buntatan itu ke atas tanah. kemudian
melanjutkan langkahnya menuju ke dalam, setelah melewati
ruangan besar, ruang Teh, ruang bunga sampailah dia disebuah
serambi yang amat panjang sekali bahkan dari dalam serambi itu
secara samar-samar terdengarlah suara seorang perempuan sedang
menangis terisak-isak. Dia segera angkat kepalanya memandang ke sana terilhatlah di
hadapannya berdirilah sebuah ruangan yang amat besar dan megah
sekali, di atas ruangan itu terpancanglah sebuah papan nama
bertuliskan "Khie le Tong" tiga huruf kata dari emas.
Suara tangisan itu tidak lama berkumandang keluar dari dalam
ruangan "Khie le Tong" itulah.
Dalam hati Ti Then merasa amat terperanyat, cepat-cepat dia
menyatuhkan diri berjongkok di samping sebuah tiang besar,
pikirnya: "Untung sekali masih ada seorang yang hidup, entah siapakah
dia orang ?" Apakah sirase bumi Bun Jin Cu " Ataukah dayang dari
istana Thian Teh Kong?"
Dengan amat tenangnya dia memperhatikan keadaan di sana
selama beberapa saat lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan
untuk masuk ke dalam mengadakan memeriksa, demikianlah
tubuhnya segera bergerak menuju kearah ruangan Khie Ie Tong
tersebut. Sesampainya di samping ruangan Khie Ie Tong itu suara tangisan
terisak dari dalam ruangan itu terdengar semakin jelas lagi, di atas
tebing Sian Ciang di belakang benteng Pek Kiam Po tempo hari
pernah mendengar suara isak tangisan rase bumi Bun Jin Cu oleh
karena jtulah begitu dia mendengar suara tangisan tersebut segera
diketahui olehnya kalau suara tangisan itu bukan lain berasaI dari si
Rase bumi Bun Jin Cu. "Hmmm, ternyata dia masih ada di sini."
Setelah berpikir keras beberapa waktu lamanya mendadak
terdengar Ti Then berteriak :
"Orang yang ada di dalam apa benar si rase bumi Bun Jin Cu ?"
Dari dalam ruangan Khie le Tong suara tangisan dari si rase bumi
Bun Jin Cu segera berhenti kemudian diikuti ruangan itu menjadi
terang benderang, "Siapa ?" tanya si rase bumi Bun Jin Cu dengan suara yang amat
dingin sekali. Ti Then segera munculkan dirinya di depan pintu Khie le Tong
itu. "Cayhe Ti Then," sahutnya. tenang.
TerIihatlah pada waktu itu si rase bumi Bun Jin Cu sedang duduk
disebuah kursi kebesaran, pakaiannya tidak karuan rambutnya
kacau sedang wajahnya amat pucat, begitu dilihatnya Ti Then sudah
muncul di depan air mukanya tanpa terasa lagi sudah berubah
sangat hebat. Cepat-cepat dia meloncat bangun kemudian serunya
dengan amat benci: "Kiranya kamu orang."
"Entah di dalam istana itu sudah terjadi urusan apa?"
Si rase bumi Bun Jin Cu tidak memberi jawabannya, dengan
pandangan mata yang rnemancarkan sinar kebencian dia pelototi
diri Ti Then, kemudian sambil menggigit bibirnya dia berteriak
kembali. "Waktu perjanyan belum tiba, kau bangsat cilik buat apa datang
ke sini ?" "Aku boleh bicara terus terang padamu malam ini sebenarnya
aku cuma datang ke atas gunung untuk melakukan pengintaian,
siapa tahu di dalam istana Thian Teh Kong sudah terjadi peristiwa
yang demikian menyedihkan karena itu terpaksa aku meneruskan
perjalanan datang ke sini untuk melihat keadaan yang sebenarnya."
Sepasang alis dari Si rase bumi Bun Jin Cu segera dikerutkan
rapat-rapat, sambil menggerutuk giginya dia menjerit kembali.
"Semuanya ini hasil hadiah yang kau berikan kepada kami,
kedatanganmu malam ini sungguh bagus sekati bilamana aku tidak
bisa menghancurkan tubuhmu sekali pun binasa mataku tidak
meram." "Hee..heee..bukankah anak buahmu sudah pada meninggalkan
dirimu seorang diri?" ejek Ti Then sambil tertawa tawar.
"Tidak salah" teriak si rase bumi Bun Jin Cu sambil menghajar
sebuah meja dengan amat kerasnya, "Mereka semua memang
sudah pergi, tetapi kau bangsat cilik jangan bergembira terlebih
dahulu, cukup aku seorang sudah lebih dari cukup untuk bereskan
dirimu." "Aku menaruh perasaan simpatik terhadap kejadian yang kau
alami, tetapi harus kau ketahui pada itu hari kejadian di atas tebing
Sian Ciang jikalau aku tidak bunuh suamimu kemungkinan sekali
aku sudah terbunuh oleh dirinya. ."
"Tidak usah banyak omong lagi," sekali lagi teriak si rase bumi
Bun Jin Cu sambil menghajar meja yang ada di sampingnya. Ti Then
segera tertawa dingin. "Aku cuma mengharapkan kau menjadi paham, istana Thian The
Kong kalian bisa menjadi demikian kesemuanya dikarenakan
keserakahan dirimu, janganlah kau salahkan urusan ini kepadaku."
"Tidak usah banyak omong lagi, pokoknya ini hari aku harus
bunuh dirimu untuk melampiaskan kebencianku terhadap dirimu."
"Bagus sekali, aku tahu untuk selamanya kau tidak akan
melepaskan aku hidup, memang lebih baik kita selesaikan urusan
diri kita pada malam ini juga. Tetapi kini, seperti omonganku tadi,
aku betul-betul merasa simpatik atas kejadian yang kau alami,
walau pun kau Bun Jin Cu bukanlah seorang perempuan baik-baik,
tetapi tidak perduli bagaimana pun kejadian yang kau alami selama
satu bulan ini betul-betul membuat keadaanmu patut dikasihani."
"Telur makmu." maki si rase bumi Bun Jin Cu dengan gusarnya.
"Aku tidak membutuhkan rasa simpatik dari kau bangsat."
Mendengar makian yang kotor itu Ti hen. tanpa terasa sudah
kerutkan alisnya rapat-rapat.
"Maksud dari perkataanku tadi, malam ini aku tidak akan
membunuh dirimu, nanti bilamana terjadi pertempuran diantara kita
kau boleh serang aku dengan. menggunakan cara apa pun, waktu
itu aku akan bertahan saja tanpa melancarkan serangan balasan,
jikalau kau berhasil membunuh mati aku, yaaah.. tidak ada
perkataan lain lagi tetapi jikalau kau tidak berhasil rnembinasakan
diriku maka lain kali jikalau sampai bertemu kembali, aku, tidak
akan sungkan-sungkan lagi terhadap kau orang. "
"Hmm..kau bangsat cilik jangan bermimpi, malam ini kau tidak
akan berhasil meloloskan diri dari tanganku." Teriak si rase bumi
Bun Jin Cu sambil tertawa dingin tak henti-hentinya.
"Perkataanku kini sudah selesai, sekarang silahkan kau mulai
turun tangan" Dari balik sebuah kursi Si rase bumi Bun Jin Cu mencabut keluar
sebilah pedang panjang, teriaknya sambil menudingkan pedang itu
ke hadapan Ti Then. "Kau masuklah ke sini, kita bereskan hutang-hutang kita di dalam
ruangan Khie le Tong ini juga"
Ti Then sama sekali tidak mau percaya kalau dirinya bisa terluka
ditangannya,..tanpa ragu-ragu lagi dia berjalan masuk ke dalam
ruangan itu. Ketika Bun Jin Cu melihat dia berjalan memasuki ke dalam
ruangan mendadak berteriak kembali :
"Berhenti !" "Ada apa?"" tanya Ti Then tersenyum tapi dia menghentikan
langkahnya juga. "Aku mau bertanya suatu urusan?"
"Silahkan berbicara"
"Malam ini kalian datang berapa orang?"
"Cuma dua orang saja, aku serta nona Wi."
"Wi Ci To ?"?".
"Dia tidak datang bersama kami, mungkin lusa baru sampai
didini." Sepasang mata dari Bun Jin Cu segera berkedip-kedip tanyanya
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali: "Dimana budak itu ?"
"Dia tidak ikut naik ke atas gunung"
"Kenapa tidak sekalian ikut ke sini?""
"Sebelum waktunya perjanyian buat apa dia datang ke sini?""
"Kini dia ada dimana ?"
"Maaf tentang pertanyaan ini cayhe tidak bisa memberikan
jawabannya." seru Ti Then sambil tertawa.
Si rase bumi Bun Jin Cu segera tertawa dingin tak henti-hentinya.
"Aku sangat mengharapkan dia ikut datang, agar dia bisa melihat
dengan cara bagaimana aku menghukum rnati dirimu"
"Haaaa ..haaaaa.. tapi dia tidak punya ganyalan sakit hati apaapa dengan dirimu.."
Sepasang mata bolanya segera berputar-putar sekali lagi dia
tertawa dingin, "Tentu dia sedang menunggu di bawah gunung, hmmm.. kini aku
mau tawan dirimu terIebih dulu, jikalau lama sekali dia tidak melihat
kau kembali tentu dengan sendirinya bisa naik ke atas gunung
untuk mengadakan pencarian. hee ,... heee..saat itu aku mau
sekalian tangkap dirinya,"
"Tidak salah pada waktu itu dia memang bisa naik ke atas
gunung untuk mencari aku tetapi apa kau punya kekuatan untuk
menawan aku orang ?"
"Hee..hee.. tanpa membuang banyak tenaga aku bisa tawan kau
bangsat" Mendadak Ti Then teringat kembali kalau di dalam istana Thian
Teh Kong penuh dipasangi alat-alat rahasia, kemungkinan sekali di
dalam ruangan Khie Ie Tong ini sudah dipasang sebuah alat rahasia
yang sangat dahsyat sekali, tanpa terasa lagi dia sudah merasa
amat terperanyat, cepat-cepat dia menjejak tubuhnya meloncat
mundur ke belakang. Tetapi... dia sudah terlambat satu tindak.
Pada saat dia sedang teringat kembali untuk mengundurkan diri
dari ruangan Khie le Tong itulah mendadak permukaan tanah yang
diinyaknya sudah meresap ke dalam, kemudian diikuti dengan suara
peletekan yang amat nyaring, permukaan tanah itu sudah membalik
kearah dalam tanah. Kiranya permukaan tanah dari ruangan Khie le Tong ini
merupakan sebuah papan yang bisa berputar.
Ti Then tidak sempat untuk menghindarkan diri lagi dari kejadian
itu, padahal sekali pun dia sempat meloncat mundur juga tidak
mungkin bisa menghindarkan diri dari kejadian itu karena seluruh
badannya kini sudah meluncur turun ke bawah dengan kecepatan
yang luar biasa. Begitu tubuh Ti Then meluncur ke bawah, papan permukaan
yang ada di atasnya sudah menutup kembali seperti asalnya
semula, karenanya Ti Then yang meluncur ke bawah dengan amat
cepatnya itu sebelum tubuhnya mencapai permukaan tanah
keadaan di sekelilingnya sudah menggelap kembali.
Dia tidak tahu, bagaimana keadaan di bagian bawahnya, tetapi
dengan cepat, di dalam hatinya sudah mengambil suatu bayangan
yang paling buruk yaitu dia menduga dibagian bawahnya sudah
dipasang golok-golok yang amat banyak sekali menantikan
kejatuhan badannya, karena itu cepat-cepat dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya melancarkan satu pukulan dahsyat kearah
bawah, pada saat yang bersamaan puIa. dengan menggunakan
tenaga pantulan itu dia berjumpalitan di tengah udara untuk
kemudian melayang turun dengan amat ringannya.
Di daIam sekejap saja tubuhnya sudah mencapai permukaan
tanah, pada saat kakinya mencapai tanah itulah seperti
menggerakkan alat rahasia lainnya terdengarlah suara benturan
yang amat keras di bagian atasnya sebuah benda besi yang amat
berat sekali melayang turun menghajar kepalanya.
Ti Then menjadi amat terperanyat sepasang tangannya dengan
cepat diayunkan ke atas siap-siap menerima benda yang mau
menekan dirinya itu, siapa tahu pada jarak kurang lebih beberapa
depa di atasnya benda itu berhenti bergerak.
Dia menghembuskan napas lega, dengan perlahan kakinya mulai
bergerak ke samping sedang tangannya mulai meraba-raba,
terasalah di sekelilingnya Cuma ada terali besi yang amat kuatnya.
Sebuah"dua..tiga..empat buah..mendadak dia menjadi paham,
teriaknya dengan perasaan amat kaget:
"Celaka, kiranya aku dikurung di dalam sebuah sangkar besi."
Cepat-cepat dia mencekal besi-besi itu kemudian dengan sekuat
tenaga ditarik-tariknya beberapa kali, walau pun sudah kerahkan
seluruh tenaganya keadaan masih tetap seperti semula, bukan saja
tidak cidera bahkan gemilang sedikit pun tidak.
Besarnya terali besi itu ada sebesar kepalan bocah cilik, sedang
luasnya tempat itu hanya cukup buat dia berdiri saja,..dia tahu
ternpat ini adalah sebuah kurungan besi yang amat kuat sekali.
Bagaimana sekarang "
Si rase bumi Bun Jin Cu sebentar lagi tentu sudah sampai di sini ,
" . Mendadak ditengah kegelapan itu tertembuslah suatu sinar yang
amat terang sekali, sinar itu semakin lama semakin membesar,
dengan diikuti masuknya sinar terang terdengar juga suara cicitan
yang amat nyaring. Sebuah pintu batu yang amat besar dengan perlahan-lahan
bergeser kearah sebelah kiri.
Ketika seluruh pintu batu itu sudah bergeser ke samping, sinar
terang memancar masuk memenuhi seluruh ruangan, dia bisa
melihat keadaan disekelilingnya dengan amat jelas sekali bahkan
melihat juga si rase bumi Bun Jin Cu yang berdiri di depan pintu.
Sedikit pun tidak salah, dia memang sudah terjerumus di dalam
sebuah sangkar terbuat dari besi.
Pada tangan Bun Jin Cu menenteng sebuah lampu yang tahan
terhadap angin sedang wajahnya penuh dengan senyuman puas
sedang memandang dirinya, mendadak terlihatlah tangannya
menekan sebuah tomboI pada dinding di sampingnya kemudian
serunya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Hey bangsat cilik, ayoh kemari."
Sangkar dari besi itu dengan perlahan-lahan segera bergeser ke
depan dan terus bergerak sampai pada ujungnya yang persis ada di
hadapan dari dari si rase bumi Bun Jin Cu.
Bun Jin Cu segera meletakkan Iampu yang ada ditangannya ke
atas tanah kemudian sambil bertolak pinggang, ejeknya dengan
suara yang amat dingin. "Bagaimana " Hey bangsat, kau punya perkataan apa lagi ?"
"Tidak ada yang bisa dibicarakan lagi, sekarang aku sudah
terjatuh ke tanganmu, mau dibunuh mau disiksa sesukamu.".
"Kau sudah bunuh suamiku, mencelakakan kami orang-orang
istana Thian Teh Kong sehingga berantakan, aku tidak akan
memberikan kematian yang terlalu cepat buat kamu orang, aku mau
menggunakan bermacam-macam cara siksaan untuk menyiksa
kamu, aku mau membuat kau binasa perlahan-lahan, binasa
sepotong demi sepotong"
"Apa itu binasa secara perlahan-Iahan, binasa sepotong demi
sepotong?" tanya Ti Then sambil tertawa pahit.
"Nanti kau akan tahu dengan sendirinya."
"Besok lusa Wi Pocu sudah sampai di sini, jika kau mau
menghukum mati diriku lebih baik cepat sedikit."
"Hmmm.." dengus Bun Jin Cu dengan amat dinginnya, "Kau
masih mengharapkan ada orang yang dating menolongmu keluar
dari sini?" "Bilamana Wi Pocu tahu kalau aku sudah kau tawan sudah tentu
akan berusaha untuk menolong aku."
"Betul!" seru si rase bumi Bun Jin Cu sambil tertawa dingin,
"Tetapi selamanya dia tidak akan berhasil."
"Hee..soal ini lebih baik kita tunggu saja di kemudian hari."
Bun Jin Cu tidak berbicara lagi, pada sebuah tempat di atas
dinding dia menekan lagi sebuah tombol alat rahasia, setelah itu
dengan tenangnya dia meninggalkan tempat tersebut.
Semula Ti Then menganggap tentunya dia akan menggerakkan
alat rahasia untuk mengembalikan sangkar besinya ketempat
semula, tetapi segera dia merasa keadaan sedikit tidak beres karena
begitu dia menekan tombol tersebut sangkar besi dimana dia berada
bukannya mundur ke belakang melainkan meluncur kembali ke
bawah, Kurang lebih sesudah menurun sejauh tiga empat depa dalamnya
mendadak permukaan sangkar besi itu sudah terendam di dalam air
yang sangat dingin, kiranya di bawah permukaan tanah itu
merupakan sebuah kolam air yang sangat dingin.
Sangkar besi itu meluncur turun terus ke bawah sehingga air
yang merendam badan Ti Then setinggi lehernya, dalam hati dia
benar-benar merasa berdesir pikirnya:
"Oooh"Thian, sebetulnya dia mau berbuat apa terhadap diriku
dengan merendam badanku ke dalam kolam?" mau
menenggelamkan badanku ataukah agar badanku menjadi hancur
?" Kelihatannya dia punya maksud untuk menenggelamkan seluruh
badannya, karena ketika air sudah mencapai pada lehernya sangkar
besi itu masih terus meluncur ke bawah sehingga seketika itu juga
air kolam melampaui kepalanya.
Dengan tergesa-gesa dia merambat naik ke atas sangkar besi itu
untuk menongolkan kepalanya ke atas permukaan air, siapa tahu
sangkar besi itu tidak berhenti sampai di situ saja akhirnya sangkar
besi itu berhenti pada dasar kolam.
Kini dia terkurung di dalam sangkar, untuk keluar sudah tidak
mungkin lagi karena seluruh tubuhnya sudah terkurung di dalam air
sedang pernapasannya pun mulai terasa amat sesak.
Seperti seekor tikus yang terjatuh ke dalam air dengan gugup dia
bergerak ke sana kemari berusaha membuka penutup dari sangkar
besi itu, tetapi walau pun dia sudah berusaha dengan menggunakan
seluruh tenaga dalamnya tetap tidak memperoleh hasil yang diinginkan,
beberapa waktu kemudian dia mulai terasa napasnla habis, tanpa
bisa dicegah lagi dia mulai membuka mulutnya meneguk air kolam
itu. Satu detik kemudian dia tidak bisa bergerak lagi, tubuhnya
dengan amat tenangnya menggeletak pada dasar kolam ..jatuh
tidak sadarkan diri. XXX Waktu itu Wi Lian In sedang menunggu di bawah pohon dengan
amat tenangnya, dia rnerasakan hatinya amat kesepian tetapi
sedikit pun tidak merasa kuatir atas keselamatan dari Ti Then,
karena dia percaya dengan kepandaian silat yang dimiliki Ti Then
sekarang ini dia masih sanggup untuk menghadapi segala mara
bahaya. Sepasang tangannya dipangku di depan dadanya sedang
kepalanya didongakkan memandang rembulan yang terpancang
ditengah awan, pada benaknya terbayang kembali berbagai
pemandangan indah semasa lalu, terbayang olehnya juga keadaan
sewaktu benteng Pek Kiam Po mengadakan perayaan buat
perkawinannya dengan Ti Then, bagaimana para tamu pada
berdatangan untuk memberi selamat sehingga seluruh Benteng
penuh sesak, ayahnya dengan senyum manis menarik tangannya Ti
Then untuk dikenalkan pada tamunya satu persatu"
Mendadak segulung awan gelap menutupi cahaya rembulan
membuat cuaca menjadi sangat gelap, seketika itu juga dia menjadi
sadar kembali dari lamunannya.
Pada saat itulah mendadak dia merasakan seseorang dengan
perlahan lahan mendekati badannya, dalam hati diam-diam dia
merasa sangat girang pikirnya.
"Tentu dia sudah kembali, tentu dia sudah datang. Hmmmm,dia
mau memeluk aku dari belakang agar aku menjadi kaget."
Karena itu dia tidak bergerak lagi, dengan pura-pura tidak tahu
dia tetap berpangku tangan duduk di sana.
Perasaannya sedikit pun tidak salah, di belakang badannya
memang benar-benar ada seseorang yang mulai berjalan mendekati
badannya, cuma saja orang itu bukan Ti Then melainkan adalah
seorang yang berkerudung hitam.
Orang berkerudung hitam ini bukanlah orang yang sudah
melarikan diri sewaktu ada di perkam pungan Thay Peng Cung
melainkan orang lain. Tubuhnya tinggi bahkan kelihatan gemuk sekali, sepasang
matanya memancarkan sinar yang amat tajam, jika dilihat dari
gerak-geriknya jelas sekali kepandaian silatnya berada jauh di atas
kedua orang berkerudung hitam yang melarikan diri dari perkam
pungan Thay Peng Cung tempo hari itu.
Dengan perlahan-lahan dia menggeserkan badannya mendekati
Wi Lian In yang sedang duduk terpekur, agaknya dia punya
maksud untuk menawan diri Wi Lian In secara tiba-tiba.
Akhirnya dia sudah mencapai pada kurang lebih tiga depa dari
diri Wi Lian In. Tampak tangan kanannya dengan perlahan-lahan diangkat ke
atas sehingga terlihatlah lima jarinya yang seperti kuku garuda,
dengan perlahan dia mulai mendekat tubuh Wi Lian In dan
mengancam jalan darah Cian Cing Hiat-nya.
Pada saat yang bersamaan pula mendadak Wi Lian In putar
badannya menubruk kearah sepasang kaki dari "Ti Then" sambil
serunya genit. "Haa".haaa..mau menggoda aku yaah?"
Orang berkerudung itu sama sekali tidak menyangka dia bisa
melancarkan serangan ini dengan cepat sepasang kakinya menutul
permukaan tanah kemudian meloncat mundur sejauh tujuh delapan
kaki dari tempat semula. Ketika Wi Lian In melihat orang itu bukanlah Ti Then dalam hati
juga merasa terperanyat, dengan gugup dia meloncat bangun
kemudian teriaknya. "Siapa kau?" Walau pun di dalam keadaan terperanyat dan gugup tetapi dia
bisa melihat kalau pihak lawannya bukanlah anak buah dari si rase
bumi Bun Jin Cu (Karena anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu
tidak perlu menggunakan kain kerudung segala), juga dia tahu
orang ini bukanlah orang berkerudung hitam yang melarikan diri
tempo hari sewaktu ada di dalam perkam pungan Thay Peng Cung.
Ketika orang berkerudung hitam itu mendengar perkataannya
ditambah lagi melihat perubahan wajahnya yang amat terperanyat
bercampur gugup segera tahu kalau tadi dia sudah salah
menganggap dirinya sebagai Ti Then, tanpa terasa lagi dia tertawa
Kisah Membunuh Naga 38 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Pedang Kilat Membasmi Iblis 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama