Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Bagian 19
tetamu kita semua sungguh kurang ajar..sungguh kurang ajar
sekali" "Cepat, tarik dia keluar" teriak Ti Then pula sambil mengulapkan
tangannya, "Kalau tidak jangan salahkan aku segera akan pukul
anying itu dengan menggunakan tongkat"
Wi Lian In menganggukkan kepalanya berulangkali lantas dengan
sekuat tenaga menarik anying Cian Li Yen-nya untuk mengundurkan
diri dari situ. "Ayoh jalan"ayoh jalan," bentaknya dengan keras, "Kau anying
goblok, anying konyol tunggu saja pembalasanku sekembalinya dari
sini" Pada saat itulah dari pintu kamar Cu Khei Kui yang ada di
samping kamar Ti Then terbuka dengan perlahan disusul bergema
datangnya suara seorang kakek tua."
"Ada urusan apa yang begitu ramai dan ributnya?"
"Aduh, habislah.." batin Ti Then diam-diam dia merasa hatinya
berdebar dengan amat keras.
Dia berpendapat bahwa ketika Cuo It Sian berjalan keluar dari
kamarnya dan melihat Wi Lian In seorang diri ada di sana, dia tentu
akan menawan diri Wi Lian In, pada saat itu dirinya harus turun
tangan memberi bantuan dengan begitu bukankah "penyamaran"nya akan jadi berantakan"
Atau dengan perkataan lain, seluruh usahanya yang susah payah
ini hancur berantakan sampai di sini.
Tetapi sewaktu dia orang sedang menghela napas panjang
dikarenakan kejadian inilah mendadak dia dibuat tertegun sesudah
melihat wajah dari Cu Khei Kui itu.
Kiranya Cu Khei Kui yang baru saja keluar dari kamar itu
bukanlah si pembesar kota Cuo It Sian melainkan adalah seorang
kakek tua yang berperawakan kurus sekali.
Dengan mata terbelalak mulut melongo Ti Then memperhatikan
kakek tua itu tajam-tajam untuk beberapa saat lamanya dia tidak
dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ia selalu menganggap Cu
Khei Kui itu adalah adalah diri Cuo It Sian, siapa tahu dugaannya
ternyata adalah salah besar, kesalahannya kali ini benar-benar amat
lihay sekali. Kalau memangnya Cu Khei Kui ini bukanlah Cuo It Sian, lalu Cuo
It Sian yang sebsnarnya tinggal di kamar sebelah mana"
Begitu pikiran tersebut berkelebat di dalam benaknya, ketika
dilihatnya Wi Lian In sudah hendak meninggalkan halaman rumah
penginapan tersebut dia segera berteriak dengan keras:
"Nona, tunggu sebentar!"
Sembari berteriak dia mengejar ke depan dengan langkah yang
cepat. "Ada urusan apa?" tanya Wi Lian In setelah mendengar
perkataan tersebut, dia berhenti dan putar badannya.
"Cayhe sekarang sudah jadi paham kembali bukankah nona
sedang menggunakan penciuman anying ini sedang mencari
seseorang?" Sskali pun perkataanmu itu sedikit pun tidak salah lalu kau
orang mau apa?" Seru Wi Lian In ketus.
"Anying nona itu sudah mencari sampai di sepan kamar cayhe
kemungkinan sekali tidak salah orang yang sedang nona cari ada
kemungkinan pernah tinggal di dalam kamarku itu."
"Ehmmm". kemungkinan sekali memang demikian" Seru Wi Lian
In. Mendadak Ti Then memperendah suaranya, ujarnya dengan
cepat: "Aku adalah Ti Then, kau pergilah dulu sebentar kemudian aku
akan menyusul datang."
Berbicara sampai di sini dia segera memperkeras suaranya.
"Kenapa nona tidak pergi ke tempat pemilik rumah penginapan
ini untuk memeriksa daftar nama tetamu" Kemungkinan sekali dari
sana bisa ditemukan kembali."
Wi Lian In agak melengak dibuatnya, tetapi sebentar kemudian
dia sudah mengangguk berulang kali.
"Tidak salah"tidak salah" serunya dengan cepat, "Biarlah aku
periksa sebentar" Selesai berkata dengan terburu-buru dia menarik anying Cian Li
Yen-nya untuk berlalu dari sana.
Setelah melihat bayangan dari Wi Lian In lenyap dari pandangan
Ti Then baru tertawa, putar badan dan ujarnya sambil gelengkan
kepalanya berulang kali. "Nona ini sungguh amat lucu sekali?"
Si pelayan itu segera menjura berulang di depan Ti Then serta Cu
Khei Kui. "Maaf..maaf, sudah mengganggu kalian, maaf.." serunya sambil
tertawa paksa. Cu Khei Kui tidak menyawab, dia putar badan berjalan masuk
kembali ke dalam kamarnya dan menutup pintu kembali.
Sedangkan Ti Then segera menarik tangan si pelayan itu ke
samping. "Aku mau bertanya kepadamu," ujarnya dengan suara yang amat
lirih sekali, "Pagi ini orang yang memasuki rumah penginapanmu
kecuali aku beserta si kakek tua she Cu itu masih ada siapa lagi?"
"Sudah tidak ada lagi," sahut pelayan itu sambil gelengkan
kepalanya. "Sungguh?" tanya Ti Then keheranan.
"Sungguh," sahutnya mengangguk.
"Tetapi kurang lebih dua jam sebelum aku memasuki rumah
penginapanmu ini agaknya aku pernah melihat seorang kakek tua
berjubah hijau memasuki rumah penginapan ini, kakek tua berjubah
hijau itu mem punyai perawakan tinggi besar."
"Betul, betul.." sambung pelayan itu dengan cepat, "Memang
pernah ada seorang kakek tua berjalan memasuki rumah
penginapan kita ini, tetapi dia tidak menginap di sini."
"Kenapa?" "Siapa yang tahu?" sahut pelayan itu sambil merentangkan
tangannya ke samping. "Semula dia punya rencana untuk tinggal di sini selama
beberapa hari lamanya tetapi setelah bersantap pagi mendadak dia
bilang ada urusan penting yang harus diselesaikan, dengan terburuburu dia membayar rekening lantas meninggalkan tempat ini."
"Kalau begitu dia pernah masuk ke dalam kamar?"
"Benar, kamarnya ada tepat di hadapan kamarmu."
Sambil berkata dia menuding kearah sebaris kamar, lantas
tanyanya lagi secara tiba-tiba.
"Khek-koan, kau kenal dengan Lo-sianseng itu?"
"Tidak kenal, Cuma saja aku tahu siapakah dia orang
adanya".dia adalah..ehmmm..dia adalah seorang yang sangat luar
biasa sekali." Si pelayan itu jadi ingin tahu lebih lanjut, desaknya kemudian.
"Bagaimana hebatnya?"
"Dia adalah seorang penulis yang paling terkenal pada saat ini.
Setiap tulisannya bisa laku sepuluh tahil perak."
"Aaaah.." teriak pelayan itu sambil menjulurkan lidahnya. "Setiap
tulisannya bisa laku sepuluh tahil perak" Oohh Thian.."
"kamar yang baru saja ditinggali apa sudah kau beresi?"
"Belum" "Kalau begitu mari kita pergi ke kamarnya untuk memeriksa
jikalau bisa menemukan tulisan-tulisannya yang dibuang
kemungkinan sekali kita bisa untung besar"
"Belum" sahut si pelayan itu dengan cepat. "Agaknya dia tidak
pernah membuang semacam barang pun."
"Kalau begitu, mari kita pergi mencari" sahut Ti Then menarik
ujung bajunya. Selesai berkata dia segera berjalan menuju kekamar tetamu yang
amat panjang. Si pelayan yang melihat dia begitu bernapsunya terpaksa ikut
dari belakangnya dan membukakan pintu kamar dimana Cuo It Sian
pernah ditinggali. "Hamba berani bertaruh dengan Khek koan" ujarnya tertawa,
"Lo-sianseng itu sama sekali tidak membuang tulisan apa pun juga"
Ti Then tidak mengambil bicara, dia segera berjalan masuk ke
dalam ruangan dan memeriksa keadaan di sekeliling tempat itu,
akhirnya di bawah sebuah pembaringan dia menemukan sepasang
sepatu yang berbau amat busuk dan sudah berlubang, dalam hati
dia merasa sangat girang sekali sambil memungut sepatu tersebut
ujarnya. "Sepasang sepatu bobrok ini apakah peninggalan dari Losianseng itu?" "Benar, apakah barang itu pun sangat berharga?" tanya si
pelayan itu sambil tertawa.
Dari dalam sakunya Ti Then mengambil secarik kain lalu
membungkus sepatu itu dengan sangat berhati-hati dan dimasukkan
kembali ke dalam sakunya.
Setelah itu dia mengambil pula sebuah hancuran uang perak
yang disusupkan ke dalam tangan pelayan itu.
"Boleh bukan aku membawa pergi sepasang sepatu bobrok ini ?"
Si pelayan itu jadi kebingungan, dia memandang ke atas
hancuran keping perak yang ada di tangannya lantas memandang
pula ke arah Ti Then dengan pandangan keheranan.
"Khek-koan." ujarnya. "Dengan uang sebanyak ini paling sedikit
kau masih bisa membeli dua pasang sepatu baru"
"Tetapi aku labih suka sepasang sepatu bobrok ini" sahut Ti Then
tertawa. "Karena barang yang pernah dipakai oleh seorang penulis
terkenal sangat berharga sekali."
"Hamba tidak paham" ujar pelayan itu sambil gelengkan
kepalanya berulang kali. "Sudahlah.." ujar Ti Then sambil menepuk-nepuk pundaknya.
"Karena diganggu nona tadi setan tidurku pun sudah diusir keluar
dari dalam badanku, aku segera mau meninggalkan rumah
penginapan ini, coba kau pergi menghitung rekeningku."
"Kau mau pergi ?" tanya pelayan itu melengak.
Ti Then segera berjalan dari kamar itu untuk masuk ke dalam
kamarnya sendiri. "Benar." jawabnya. "Tetapi kau boleh berlega hati, aku sanggup
untuk membayar uang sewa kamar selama satu hari penuh."
Sskembalinya di dalam kamarnya send:ri dia lantas memeriksa
apakah barangnya ada yang ketinggalan setelah itu baru berjalan
keluar untuk membayar rekening, akhirnya meninggalkan rumah
penginapan tersebut. Sekeluarnya dari pintu rumah penginapan itu dia sudah
menemukan Wi Lian In serta si anying Cian Li Yen-nya sedang
menanti di ujung jalan, dengan cepat dia berjalan menuju
kearahnya dan lewat dari samping badannya.
"Tunggulah aku dipintu sebelah timur" ujarnya denan suara yang
amat lirih. "Sudah terjadi urusan apa ?" tanya Wi Lian In dengan cemas.
Ti Then tidak menyawab, tapi melanjutkan kembali
perjalanannya kearah depan.
-ooo0dw0ooo- JILID 29.1 : Menggunakan anying Cian Li Yen
DALAM HATI Wi Lian In merasa amat heran bercampur terkejut,
tetapi dia tahu Ti Then berpesan demikian tentu ada sebabsebabnya kareoanya tanpa bertsnya lebih lanjut dia segera mensrik
anying Cian Li Yen-nya untuk berlari menuju kearah pintu kota
sebelah Timur. Ti Tben segara berjalan melewati sebuah jalan kecil lantas berdiri
di pojokan lorong, secara diam-diam dia memperhatikan semua
orang yang berjalan mengikuti dari belakang Wi Lian In, setelah
dilihatnya bayangan dari Wi Lian In telah lenyap di ujung jalan dan
betul-betul yakin kalau tidak ada orang yang membututinya dari
belakang dia baru berani melanjutkan kembali langkahnya untuk
mengejar diri Wi Lian In.
"Mari ikut aku," serunya,
"Ada orang yang membuntuti kita?" Tanya Wi Lian In dengan
cepat. "Tidak ada." "Lalu kenapa kau begitu berhati-hati dan gerak-gerikmu begitu
rahasianya." "Aku mau tidak mau harus mengadakan persiapan, karena ada
seseorang yang kemungkinan sekali sudah mengetahui jejakmu."
"Siapa?" "Nanti saja aku beritahukan kepadamu" sahut Ti Then dengan
cepat, Selesai berkata dengan langkah yang lebar dia berjalan menuju
ke tempat dimana pada pagi hsrinya dia menyembunyikan pakaian
serta pedang panjangnya. Matanya dengan perlahan memeriksa sebentar keadaan
disekeliling tempat itu setelah dirasakannya tidak ada orang dia baru
duduk di atas tanah rumput.
"Kau duduklah" ujarnya kemudian.
Wi Lian In segera duduk saling berhadapan dengan dirinya.
"Eei . . . kenapa kau menyamar dengan wajah yang begitu
jeleknya?" tanyanya sambil teriawa.
Lama sekali Ti Then memperhatikan dirinya, kemudian balik
tanyanya: "Lalu kenapa kau ikut keluar dari Benteng?"
"Aku harus tahu apa alasanmu meninggalkan Benteng tanpa
psmit," sahut Wi Lian In sambil mengerutkan alisnya.
"Bilamana aku adalah ayahmu maka aku harus keras-keras
mengbajar pantatmu."
"Apa alasanmu meninggalkan Benteng tanpa pamit aku harus
mengetahuinya dengan jelas" teriak Wi Lian In dengan gusar.
"Apa Shia Pek Tha tidak menjelaskan kepadamu?"
"Aku tanya kepadanya, dia bilang tidak tahu maka secara diamdiam dengan membawa anying Cian Li Yen aku meninggalkan
Benteng. karena cuma anying Cian Li Yen saja yang bisa mengejar
dirimu, kau jangan harap bisa melepaskan dtri dari diriku."
"Kali ini aku meninggalkan Benteng sebetulnya sedang pergi
membereskan satu persoalan yang diperintahkan oleh ayahmu, aku
sama sekali tidak bermaksud meninggalkan benteng Pek Kiam Po
untuk selama-lamanya" ujar Ti Then memberikan penjelasannya.
Lalu kenapa kau tidak memperbolehkan aku mengetahui ?" tanya
Wi Lian In kurang senang.
"Karena aku takut kau akan ikut keluar maka itu aku tidak
membiarkan kau mengetahuinya. "
"Seharusnya kau mengetahui sifatku, bilamana kau memberitahu
secara terus terang kepadaku kemungkinan sekali aku masih mau
berdiam di dalam Benteng."
"Mungkinkah ?" tanya Ti Then sambil tertawa pahit,
"Sudah . . , sudahlah," seru Wi Lian In sambil tertawa meringis.
"Sekarang aku sudah ikut keluar Benteng, lebih baik kau ceritakan
dulu apa tugas yang sudah diberikan ayahku untuk kau laksanakap"
Ti Then melirik sekejap memandang kearah anying Cian Li Yen
yang sedang berbaring di sampingnya, kemudian baru bertanya
"Kau menggunakan anying Cian Li Yen ini membuntuti diriku
apakah pernah melewati gunung Bu Leng san ?"
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar," sahut Wi Lian In mengangguk.
"Di atas gunung ada sebuah rumah gubuk, kau menemukan
sesuatu di sana?" tanya Ti Then lebih lanjut.
"Benar, agaknya kau pernah menginap satu malam di dalam
gubuk tersebut bukan begitu?"
Sekali lagi Ti Then mengangguk, "Lalu sewaktu kau memasuki
rumah gubuk itu apakah sudah menemukan seseorang di sana ?"
tanyanya. "Tidak, majikan rumah itu adalah seorang penebang kayu,
kemungkinan sekali dia sedang naik ke atas gunung untuk mencari
kayu" Ti Then yang mendengar perkataan tersebnt dia segera
mengetahui kalau Wi Lian In sama sekali tidak bertemu dengan si
pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan. Kwek Kwan San serta si
manusia berkerudung berbaju biru yang dikirim
majikan patung emas untuk mengawasi geraK geriknya itu
karenanya dia lantas berkata:
"Tidak salah, aku sudah menginap satu malam di rumah pencari
kayu itu untuk kemudian pada keesokan harinya meninggalkan
tempat itu." "Bilamana aku datang setengah hari lebih pagi kemungkinan
sekali masih bisa bertemu dengan dirimu, kemudian agaknya kau
melanjutkan perjalanan menuju kearah sebelah Timur dan menuju
ke gunung Cun san bukan demikian ?" ujar Wi Lian In.
"Betul, kalau memangnya kau pernah datang ke gunung Cun san
sudah seharusnya kau paham apa tugasku kali ini bukan?".
"Aku mengejar terus sampai di depan mulut gua di atas gunung
Cun san, tetapi agaknya kau tidak memasuki gua tersebut
sebaliknya bersembunyi di belakang sebuah batu cadas yang besar,
apakah kau sedang menyelidiki seorang yang berada di dalam gua
tersebut?" "Ehmmm.." sahut Ti Then mengangguk, "Tahukah kau siapa
yang bertempat tinggal di dalam gua tersebut?"
"Tidak tahu." "Gua tersebut bernama gua naga, tempat itu adalah tempat
tinggal dari si Cu Kiam Lojin Kan It Hong"
"Aaah , . kiranya Cu Kiam Lojin tinggal di dalam gua itu, buat apa
kau pergi mencari dirinya?" tanya Wi Liau In dengan sangat
terperanyat. "Aku bukan pergi mencari dia, sebaliknya sedang menanti
kedatangan seseorang"
"Aah... sekarang aku sudah paham"
"Ehm.." "Bukankah kau sedang menanti kedatangan Cuo It Sian?"
"Benar," sahut Ti Then mengangguk. "Ayahmu mengira ada
kemungkinan dia bisa pergi mencari Cu Kiam Lojin untuk
membetulkan pedangnya, karena itu sengaja memerintahkan diriku
untuk pergi ke gunung Cun san menanti dan curi kembali pedang
itu" "Lalu apakah dia sudah datang ke sana?"
"Sudah." "Lalu kau berhasil mencuri potongan pedang itu?"
"Tidak." "Kenapa tidak mau merampas dengan terang-terangan"
"Ayahmu memerintahkan diriku untuk mencuri potongan pedang
itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan dirinya, dia orang tua
melarang aku merampas dengan terang-terangan."
"Maksudnya?" "Ayahmu tidak memberi keterangan"
"Apa Cu Kiam Lojin sudah berhasil menyambung kembali
potongan pedang tersebut?"
"Sudah." "Kau boleh mengadakan hubungan dengan Cu Kiam Lojin untuk
mencuri kembali potongan pedang tersebut"
"Sebetulnya aku pun mem punyai maksud untuk bertindak
demikian, cuma saja kedatanganku rada sedikit terlambat. Sewaktu
aku tiba digua naga di atas gunung Cun san, Cu Kiam Lojin sudah
berhasil menyambungkan potongan pedang dari Cuo It Sian itu
sedang bersama-sama keluar dari gua aku takut jejakku sampai
diketahui oleh Cuo It Sian maka sengaja aku bersembunyi di
belakang batu besar."
"Akhirnya kau membuntuti Cuo It Sian terus sampai ke kota Hoa
Yong Sian?" timbrung Wi Lian In.
"Benar," jawab TiThen membenarkan. "Tetapi aku hendak
menceritakan satu peristiwa yang menyedihkan terlebih dulu ?"
sesaat sebelum Cuo It Sian meninggalkan gunung Cun san
mendadak dia sudah turun tangan jahat terhadap diri Cu Kiam
Lojin." "Iih"kenapa dia turun tangan jahat terhadap Cu Kiam Lojin ?"
tanya Wi Lian In terperanyat.
"Dia membinasakan diri Cu Kiam Lojin ada kemungkinan
dikarenakan dia tidak ingin membiarkan orang lain tahu kalau
pedang pendek tersebut sudah pernah patah menjadi dua untuk
kemudian disambung kembali."
"Perkataan apa itu?"
"Aku tidak tahu, tetapi aku percaya putusnya pedang pendek itu
kemungkinan, sekali sudah menyimpan satu rahasia yang tidak
memperkenankan orang lain untuk mengetahuinya,"
"Tia tentu tahu rahasia terputusnya pedang itu."
"Benar." "Kau melihat dengan mata kepalamu sendiri dia membunuh Cu
Kiam Lojin?" "Benar," jawab Ti Then mengangguk, "Sewaktu aku headak
masuk ke dalam gua naga uutuk mencari Cu Kiam Lojin mendadak
dari dalam gua berkumandang keluar suara orang yang sedang
berbicara." Segera dia menceritakan kisah dimana Cuo It Sian
membinasakan diri Cu Kiam Lojin kemudian bagaimana ditengah
jalan membinasakaa pula anak murid dari si si kakek pedang baja
Nyio Sam Pek yaitu si elang sakti Cau Ci Beng."
Ketika Wi Lian In mendeugar kalau pedang pendek Biat Hun milik
Cuo It Sian itu sebenarnya adalah hadiah dari si kakek pedang baja
Nyio Sam Pek dia semakin merasa terkejut bercampur heran.
"Jika demikian adanya rahasia yang menyelimuti pedang pendek
milik Cuo It Sian ini mem punyai hubungan dan sangkut paut yang
sangat erat sekali dengan si kakek pedang baja Nyio Sam Pek?"
"Aku rasa tidak ada."
"Tidak ada?" seru Wi Lian In keheranan.
"Betul, jika didengar dari perkataan si elang sakti Cau Ci Beng,
pada beberapa tahun yang lalu Cuo It Sian pernah membantu Nyio
Sam Pak membebaskan diri dari suatu bencana yang amat
membahayakan nyawanya, untuk membalas budi kebaikan ini Nyio
Sam Pal lantas menghadiahkan sepotong pedang pendek Biat Hun
itu kepada Cuo It Sian setelah itu Nyio Sam Pak sama sekali belum
pernah bertemu kembali dengan dirinya maka terputusnya pedang
pendek Biat Hun ini agaknya sama sekali tidak ada hubungannya
dengan diri Nyio Sam Pak."
Dengan perlahan Wi Lian In menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu" ujarnya kemudian, "Dia dapat turun tangan
membinasakan diri Cau Ci Beng kesemuanya dikarenakan takut Cau
Ci Beng menemukan jenasah dari Cu Kiam Lojin di dalam gua naga
kemudian menaruh curiga kalau dialah yang sudah turun tangan
membunuh orang tua itu. "Tidak salah" sahut Ti Then membenarkan, "Tempat dimana dia
bertemu dengan Cau Ci Beng cuma ada lima puluh lie jauhnya dari gunung Cun san,
dia takut Cau Ci Beng menemukan mayat dari Cu Kiam Lo jin lantas
menaruh curiga terhadap dirinya"
oooOooo Halaman 13-14 robek "Setelah mengetahui dia merasa ada yang mengikuti, aku
mengambil keputusan untuk menyamar dan ikut menginap di dalam
rumah penginapan tersebut bersamaan pula dengan ini mencari
kesempatan yang baik untuk mencuri kembali potongan pedang itu,
siapa tahu akhirnya aku sudah salah menganggap orang lain"
Ketika Wi Lian In mendengar dia sudah salah menganggap Cu
Khei Kui sebagai Cuo It Sian tidak kuasa lagi sudah tertawa geli.
"Masih untung saja Cu Khei Kui itu bukanlah diri Cuo It Sian"
ujarya. "Apa artinya?" Tanya Ti Then melengak.
Wi Lian In tersenyum. "Bilamana Cu Khei Kui itu adalah diri Cuo It Sian maka dengan
perbuatanku tadi berarti juga sudah membocorkan pekerjaanmu,
kau tentu akan membenci diriku setengah mati," sahutnya.
"Betul,"sahut Ti Then sambil tertawa, "Tetapi untung saja dengan
perbuatanmu itu dengan cepat aku bias mengetahui kesalahan
anggapanku, jikalau kau tidak dating ke sini kemungkinan sekali aku
harus menunggunya sampai nanti malam baru tahu kalau aku sudah
salah menganggap orang lain sebagai diri Cuo It Sian, waktu itu
kemungkinan sekali dia orang sudah melarikan diri jauh-jauh"
"Kalau sekarang kita melakukan pengejaran masih bisa kecandak
tidak?" tanya Wi Lian In kemudian.
"Kemungkinan sekali"
"Untuk sementara tidak mungkin pulang ke rumah."
"Tidak perduli dia hendak lari kemana pun aku masih ada satu
cara untuk mendapatkannya" ujar Ti Then tertawa.
"Kau hendak mencari dengan cara apa?"
Ti Then segera menuding kearah anying Cian Li Yen itu, dia
tertawa. "Menggunakan Cian Li Yen untuk mencari jejaknya."
"Bilamana kita hendak menggunakan Cian Li Yen seharusnya ada
semacam bararg dari Cuo It Sian baru bisa dilaksanakan,"
Dari dalam sakunya Ti Then segera mengambil keluar sepasang
sepatu bobrok yang ditemukannya di dalam kamar Cuo It Sian itu.
"Barangnya ada di sini." serunya.
Melibat hal itu Wi Lian In jadi amat girang sekali.
"Barang ini adalah barang peninggalannya?" tanyanya cepat.
"Benar,"jawab Ti Then mengangguk.
"Bagus . . bagus sekali" teriaknya, "Mari kita segera melakukan
pengejaran." "Ayahmu tidak menghendaki kau ikut keluar dikarenakan dia
takut kau terjatuh kembali ke tangannya."
"Kau jangan berpikir hendak mengusir aku pulang" sela Wi Lian
In cepat. "Kalau begitu kau harus mengubah dulu wajahmu, dengan
demikian sewaktu mendekati dirinya tidak sampai bisa ditemui oleh
dirinya" "Baiklah, nanti setelah sampai di dalam kota aku akan mencari
seperangkat baju -lagi dan barang-barang untuk mengubah wajah,
eei, kuda Ang Shan Khek-mu ada dimana?" ujar Wi Lian In
kemudian. "Aku titipkan di rumah penginapan Im Hok di dalam kota.
"Karena kali ini aku keluar dari benteng secara diam-diam maka
tidak sampai menunggang kuda, entah di dalam kota bisa tidak
nembeli seekor kuda?"
"Kita pergi lihat-lihat saja."
Sehabis berkata dia mengambil keluar pakaian serta pedangnya
dari balik semak dan bangkit berdiri.
Mereka berdua segera berjalan kembali ke dalam kota. Ti Then
kembali terlebih dahulu kemmah penginapan Im Hok untuk
mengambil kembali kuda Ang Shan Kheknya, lantas membeli bahanbahan untuk mengubah wajah buat Wi Lian In dan akbirnya di pasar
kuda membeli seekor kuda untuk kemudian melanjutkan perjalanan
keluar dari kota. Sekeluar dari pintu kota sebelah Utara mereka berdua mencari
sebuah hutan untuk membiarkan Wi Lian In mengubah wajahnya
sendiri. Ketika berjalan keluar kembali dari dalam hutan itu dari seorang
nona yang cantik Wi Lian In kini sudah berubah menjadi seorang
perempuan berusia pertengahan yang banyak berkeriput.
Kepalanya diikat dengan secarik kain berwarna bijau pakaiannya
memakai seperangkat baju amat besar sekali dengan sebuah tahi
lalat menghiasi di bawah bibirnya, kelihatan dia jauh lebih jelek
beberapa bagian. "Selama di dalam perjalanan kali ini kita mau saling memanggil
sebagai suami istri atau saudara saja?" tanya Ti Then kemudian
sambil tertawa. "Sesukamu," sahut Wi Lian In sambil tertawa pula.
"Lebih baik kita jelaskan terlebih dulu sehingga jangan sampai di
depan orang lain memanggil aku Niocu kepadamu sedang kau
memanggil koko kepadaku"
"Bilamana harus jadi suami isteri kemungkinan sekali kau tidak
ma uterus terang, lebih baik kakak beradik saja" ujar Wi Lian In
sambil tertawa malu. Ti Then tidak banyak berbicara, dari dalam sakunya dia
mengambil keluar kembali sepatu dari Cuo It Sian itu lantas
diberikan kepadanya. "Sekarang kau berikanlah barang ini biar dicium Cian Li Yen"
Wi Lian In segera menyambut barang tersebut dan diciumkan
kepada anyingnya Cian Li Yen. "Hey Cian Li Yen," serunya, "Kita mau pergi mencari dia orang,
kan bawalah kami Ke sana"
Cian Li Yen lantas mascium sepatu itu beberapa saat lamanya
dan kemudian berlari di tempat itu, agaknya dia tidak menemukan
hawa dari Cuo It Sian disekitar tempat ini terbukti dengan cepatnya
ia sudah menuju ke jalan raya."
Ti Then serta Wi Lian In dengan cepat melarikan kudanya
mengikuti dari belakangnya, setelah berlari sampai di atas jalan raya
tampaklah Cian Li Yen berlarian bolak balik lari di atas jalan raya
tersebut, agaknya dia masih belum menemui juga bau dari Cuo It
Sian, akhirnya dia berdiri tidak bergerak di depan kuda Wi Lian In.
Kemungkisan sekali Cuo It Sian tidak melalui tempat ini, lebih
baik kita bawa Cian Li Yen kembali ke kota terlebih dulu, biar dia
mencari mulai dari rumah penginapan Ban Seng itu saja" ujar Ti
Then kemudian. "Baiklah," sahut Wi Lian In.
Dia segera menarik tali les kudanya dan melanjutkan
perjalanannya kembali ke kota Hoa Yang Sian.
Dengan disertai suara gonggongan yang keras Cian Li Yen
dengan cepat berlari terlebih dulu ke depan.
Tetapi sewaktu berada dua puluh kaki dari pintu kota mendadak
di sebuah perempatan jalan si Cian Li Yen, anying itu berhenti
berlari dan mulai menciumi tanah di sekeliling tempat itu, kemudian
angkat kepalanya dengan disertai suara gonggongan yang keras ia
berlari kembali menuju kea rah Barat laut.
Dengan cepat Wi Lian In melarikan kudanya mengikuti dari arah
belakang. "Dia sudah mendapatkan bau badan dari Cuo It Sian," teriaknya
cepat.
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu perintah dia untuk melanjutkan kejarannya kearah
depan" "Cian Li Yen, apa jalan ini?" Tanya Wi Lian In kepada anyingnya
sambil menuding kearah satu jalan.
Sekali lagi si anying Cian Li Yen menggonggong kemudian berlari
melalui jalan raya tersebut.
Ti Then serta Wi Lian In segera melarikan kudanya di dalam kota
kecil itu, dia segera memerintahkan Wi Lian In untuk memanggil
kembali si anying Cian Li Yen.
"Aku mau melihat-lihat dulu ke dalam kota" ujarnya kemudian,
"Bilamana tidak menemui dirinya di dalam kota, kita baru
melanjutkan kembali pengejaran kita"
"Lebih baik kau masuk ke kota dengan berjalan kaki saja" seru
Wi Lian In dengan cepat. "Kemungkinan sekali dia kenal dengan
kuda Ang Shan Khek-mu itu"
Ti Tben segera merasakan perkataan tersebut sedikit pun tidak
salah, dia lantas turun dari kudanya dan menyerahkan tali les kuda
tersebut kepadanya untuk kemudian melanjutkan perjalanannya
masuk dalam kota dengan berjalan kaki.
Kota kecil ini cuma punya satu jalanan saja dengan tujuh,
delapan puluh rumah penduduk, di pinggir jalan ada rumah
penginapan ada pula rumah makan.
Ti Then dengan mengikuti jalan raya itu memeriksa keadaan
disekeliling tempat itu dengan sangat teliti, tetapi walau pun sudah
sampai di ujung jalan tidak menemukan juga jejak dari Cuo It Sian,
terpaksa dia berjalan keluar menyambut dirinya.
"Khek koan?" serunya. "Tidak masuk ke dalam untuk beristirahat
sebentar?" "Terima kasih" sahut Ti Then sambil menghentikan langkah
kakinya. "Cayhe sedang mencari seorang tua, apakah Loheng pagi
ini pernah melihat seorang kakek tua berbaju hijau yang lewat di
sini?" "Ada . . ada .. bukankah kakek itu mem punyai perawakan tinggi
besar dengan rambutnya yang sudah pada memutih?" ujar pelayan
itu cepat. "Benar ,. Benar" sahut Ti Then dengan amat girang.
Pelajan itu segera menuding kearah ujung jalan tersebut.
"Kurang lebih satu jam yang lalu dia berlalu dengan melewati
tempat ini dan melanjutkan perjalanannya ke sana."
Ti Then benar-benar merasa sangat girang sekali, dia segera
rangkap tangan menjura "Terima kasih atas petunjukmu" ujarnya tergesa-gesa, "Lain kali
jika lewat di sini lagi aku tentu akan mampir di rumah makanmu"
Selesai berkata dengan langkah yang tergesa-gesa dia berjalan
balik keluar kota itu kemudian memberi tanda untuk berrangkat
kepada diri Wi Lian In. Sambil meloncat naik ke atas kudanya dia berkata:
"Dia sudah tidak ada di dalam kota ini lagi, mari cepat kita
berangkat." "Kau sudah mengadakan pencarian dengan teliti?" tanya Wi Lian
In lagi. "Aku sudah bertanya dengan seorang pelayan dari rumah makan,
dia bilang pada satu jam yang lalu Cuo It Sian baru saja lewat dari
kota ini." "Kalau begitu," seru Wi Lian In dengan amat girang sekali.
"Sebelum matahari terbenam nanti kita pasti bisa mengejar dirinya"
"Kita cuma bisa mencuri tidak boleh merampas, maka itu lebih
baik menanti setelah dia menginap di rumah penginapan kita baru
mencari kesempatan untuk turun tangan." ujar Ti Then sambil
melarikan kudanya melanjutkan perjalanannya menuju kearah
depan. "Entah jalan raya ini berhubungan dengan kota mana.."
"Aku sendiri juga tidak tahu, pokoknya ada Cian Li Yen yang
membawa jalan dan tujuan kita yaitu cuma mendapatkan Cuo It
Sian kembali, kita tidak usah takut sampai tersesat jalan"
Sambil berbicara mereka berdua melarikan kudanya melewati
kota kecil itu dengan dipimpin oleh si anying Cian Li Yen yang berlari
dipaling depan, kurang lebih mengejar lagi dua puluh li jauhnya
sampailah mereka d sebuah dusun kecil.
Waktu ini hari sudah mendekati siang, Ti Then seperti juga
semula menghentikan kudanya diluar dusun lantas dia sendiri
masuk mencari di sekeliling dusun setelah tidak melihat adanya
bayangan dari Cuo It Sian dia baru berjalan keluar dari dusun
tersebut. Dengan membawa Wi Lian In akhirnya dia berjalan masuk
kembali ke dalam dusun dan bersantap di sebuab rumah makan
kecil, dari mulut sang pelayan mereka baru tahu kalau dusun ini
bernama Khao Kia Ciang. Akbirnya dengan mengikuti jalan raya itu mereka berjalan
kembali sejauh tujuh puluh lie dan sampailah di sebuah kota besar
yang bernama Kong An. Demikianlah setelah selesai bersantap mereka melanjutkan
perjalanannya kembali menuju kearah Barat laut dengan dipimpin
oleh si anying Cian Li Yen, karena di dalam pikiran mereka berdua
menduga tentunya Cuo It Sian menginap satu malam dikota Kong
An sian. Karena itu mereka melarikan kudanya cepat menuju ke
sana. Sewaktu mendekati magrib akhirnya mereka berdua sampai juga
dikota Kong An sian, Ti Then segera menambat kuda
tunggangannya diluar kota.
"Lebih baik kita titipkan kuda kita dirumah penduduk diluar kota
saja, bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Baik, di sebelah sana ada rumah penduduk."
Dia segera melarikan kudanya menuju ke rumah penduduk yang
ditemuinya itu. Sesampainya di depan pintu rumah penduduk itu terlihatlah
seorang katek tua sedang bermain dengan seorang bocah cilik yang
sedang belajar berjalan di sebuah lapangan penjemuran beras.
Ti Then segera turun dari kudanya dan merangkap tangannya
menjura. "Lo-tiang. permisi."
"Oooo . - silahkan, silahkan, Lo-te ada keperluan apa?" sahut
kakek tua itu sambil balas memberi hormat.
"Kedua ekor kuda dari cayhe kakak beradik.."
Baru saja dia berbicara sampai pada kata-kata yang terakhir
mendadak dia merasakan hatinya tergetar dengan amat kerasnya.
Karena kembali ada seorang kakek tua berbaju hijau yang secara
tiba-tiba saja berjalan keluar dari dalam ruangan rumah petani itu.
Sedang kskek tua berbaju hijau itu bukan lain adalah Cuo It Sian
itu si pembesar kota, Hal ini benar-benar berada diluar dugaan mereka, mereka sama
sekati tidak menyangka kalau Cuo lt Sian bisa munculkan dirinya
dari rumah petani tersebut.
Di dalam sekejap itulah Ti Then cuma merasakan saking
kagetnya hampir-hampir sukmanya ikut melayang tetapi bagaimana
pun juga dia mem punyai satu sikap yang tidak gugup di waktu
menghadapi masalah ini, dengan cepat dia pura-pura tidak kenal,
memperhatikan pihak lawannya dan melanjutkan kata-katanya:
"Kuda ini adalah keturunan mongol yang amat bagus sekali,
karena kami membutuhkan uang pesangon maka salah satu
diantaranya akan kami jual"
Dia menuding ke arah kuda Ang Shan Khek yang ada di
sampingnya. "Kuda ini amat bagus sekali, cuma tidak tahu Lo-tiang
membutuhkan tidak seekor kuda" ujarnya. "Bilamana membutuhkan
cayhe sanggup menjualnya dengan harga yang sedikit lebih murah,"
Wi Lian In yang melihat secara tiba-tiba Cuo It Sian munculkan
dirinya dari dalam ruangan rumah petani itu dia pun merasa sangat
terkejut sekali, ketika mendengar pada soal yang amat kritis itulah
Ti Tuen bisa berpura-pura mau menjual kuda tidak terasa lagi diamdiam dia merasa kagum atas kecerdikan dari Ti Then ini.
"Benar, kuda kami ini membelinya dengan harga enam puluh
tahil perak," sambungnya dengan cepat, "Bilamana Lo-tiang
bermaksud mau membelinya kita bisa kurangi dengan beberapa
tahil lagi." Ketika kakek tua itu mendengar perkataan tersebut dia segera
gelengkan kepalanya. JILID 29.2 : Penguntitan yang terpergok
"Biar pun lo-te kurangi separuh pun lo-han tidak membelinya,"
ujarnya tersenyum. Ti Then segera memperlihatkan rasa kecewa.
"Kalau begitu terpaksa kami harus menjualnya di pasar penjual
kuda" ujarnya kemudian.
Dia takut Cuo It Sian mengetahui wajah aslinya maka itu sembari
berkata dia segera menarik kuda Ang Shan Khek-nya untuk berlalu
dengan cepatnya dari sana.
Mendadak Cuo It Sian maju mendekati kearah diri Ti Then
sembari berteriak dengan keras:
"Lote, tunggu dulu."
Dalam hati Ti Then merasa hatinya semakin menegang, terpaksa
dengan keraskan kepalanya dia putar badannya kembali.
"Lo-tiang ini, apakah kau bermaksud hendak membeli kuda ini?"
ujarnya sambil tertawa paksa.
Sambil tersenyum Cuo It Sian berjalan mendekati kuda Ang Shan
Khek itu dan ulur tangannya untuk membelai.
"Ternyata memang benar-benar seekor kuda yang amat
jempolan sekali..." serunya memuji.
"Pandangan mata lo-tiang ini sungguh luar biasa sekali,"
sambung Ti Then dengan cepat sambil memperlihatkan
senyumannya yang kepaksa.
"Kuda ini memang betul-betul seekor kuda jempolan yang sukar
ditemui walau pun cayhe tidak berani mengatakan di dalam sehari
kuda ini bisa menempuh seribu li tetapi untuk melakukan perjalanan
tiga, lima ratus li di dalam satu hari agaknya sama sekali tidak ada
persoalan lagi." Agaknya Cuo It Sian pun sudah mengenal akan kuda Ang Shan
Khek itu, pada air mukanya segera memperlihatkan senyuman yang
amat licik sekali. "Lote, kau mendapatkan kuda ini dari mana?" tanyanya.
"Be... beli... beli dari daerah Mongol."
"Kiranya tidak begitu bukan?" seru Cuo It Sian sembari
memandang dirinya dengaa sinar mata yang amat tajam sekali.
Ti Then sengaja m?nperlihatkan wajah yang sedikit ketakutan
tetapi dipaksa untuk menenangkan hatinya, dia segera
memperlihatkan satu senyuman yang kurang enak dipandang.
"Bagaimana kau bisa bijara begitu?" serunya.
"Karena Lobu pernah melihat kuda ini."
"Eeeei... kau... kau orang tua pernah melihat kuda ini?" tanya Ti
Then pura-pura terkejut. "Benar," jawab Cuo It Sian sambil tertawa. "Bahkan tahu juga
nama dari kuda itu, dia bernama Ang Shan Khek bukan begitu?"
"Tidak... tidak... tidak..." teriak Ti Then sengaja ketakutan lalu
dengan gugupnya mundur beberapa langkah ke belakang.
Dengan amat cepatnya Cuo It Sian segera bergerak maju ke
depan telapak kirinya dengan dahsyatnya mencengkeram dada dari
Ti Then. "Cepat bicara," bentaknya dengan keras. "Kau mendapatkan
kuda Ang Shan Khek ini dari mana?"
Saking takutnya seluruh tubuh Ti Then gemetar dengan amat
kerasnya. "Ada omongan kita bicarakan baik-baik... ada omongan kita bisa
bicarakan baik-baik " serunya dengan gugup.
"Aduh..." teriak Wi Lian In pula yang ada di samping. "Lotiang ini
kenapa kau mencengkeram koko-ku?"
Cuo It Sian itu sipembesar kota sama sekali tidak memperdulikan
dirinya, dengan sekuat tenaga dia menggoyang-goyangkan badan Ti
Then. "Kau mau bicara tidak?" serunya dengan suara yang amat berat
dan dingin sekali. Jikalau tidak mau bicara lohu sekali pukul
hancurkan badanmu. "Baik... baik, aku bicara..." seru Ti Then cepat.
"Heei... sebetulnya begini, kuda ini... kuda hamba... hamba dapat
mencuri dari seorang pemuda."
"Pemuda itu kurang lebih berusia dua puluh tahunan, wajahnya
tampan dengan memakai baju berwarna hitam betul tidak?" seru
Cuo It Sian sambil tertawa dingin.
Pada air muka Ti Then segera memperlihatkan rasa
terperanyatnya yang bukan alang kepalang.
"Benar, benar," jawabnya. "Bagaimana kau orang tua bisa tahu?"
Cuo It Sian tidak menyawab, sekali lagi dia tertawa dingin.
"Dia bukankah bernama Ti Then?" tanyanya.
"Hamba tidak tahu siapakah dirinya." Ti Then menyawab sambil
gelengkan kepalanya berulang kali.
"Pada beberapa hari yang lalu waktu hamba berjalan melewati
kota Lok san Sian mendadak hamba dapat melihat pemuda itu
dengan menunggang kuda menginap disebuah rumah penginapan,
ketika hamba melihat kuda itu adalah seekor kuda jempolan rasa
serakah segera meliputi hatiku, maka pada malam hari itu juga
hamba segera mencuri kuda tersebut."
"Nyali kalian sungguh tidak kecil." bentak Cuo It Sian dengan
keras. "Hamba harus mati... hamba harus mati..." teriak Ti Then dengan
seluruh tubuhnya gemetar amat keras, "Harap... harap kau orang
tua suka lepaskan hamba satu kali ini."
"Apa kau benar tidak tahu siapakah pemuda tersebut?" tanya
Cuo It Sian kembali dengan suara yang amat berat.
"Hamba benar-benar tidak tahu, dia... dia ada hubungan apa
dengan kau orang tua?"
"Dia adalah Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Po. Orang-orang
Bu-lim menyebut sebagai si pendekar baju hitam Ti Then."
"Oooh... Thian," teriak Ti Then dengan amat kerasnya.
"Kiranya dia adalah Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Po,
sipendekar baju hitam Ti Then adanya... lalu kau... kau orang tua
adalah... adalah Pocu dari Benteng Pek Kiam Po... sipendekar
pedang naga emas Wi Toa Pocu?"
"Benar," sahut Cuo It Sian sambil mengangguk sedang dan
mulutnya tiada hentinya memperdengarkan suara tertawa yang
amat dingin sekali. "Heeei tidak kusangka ini hari aku bisa bagitu sialnya," seru Ti
Then dengan wajah minta dikasihani, "Tidak kusangka sama sekali
hamba sudah mencuri kuda dari Kiauw tauw Benteng Pek Kiam Po
dan kini hendak menjualnya kepada Wi Toa Pocu."
Wi Lian In- pun dengan cepat berjalan maju memohonkan am
pun. "Kau orang tua kalau memangnya adalah Wi Toa Pocu yang
namanya sudah menggetarkan seluruh dunia kangouw seharusnya
tidak memikirkan dosa dari kami manusia rendah, mohon Wi Toa
Pocu suka mengam puni diri kokoku satu kali."
Cuo It Sian melirik sekejap kearahnya, lantas kepada Ti Then
tanyanya dengan suara keren
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah namamu?"
"Hamba bernama Bun Ih dengan julukan si tikus pembuat lubang
sedangkan adikku bernama Bun Giok Kiauw dangan julukan kucing
malam." Cuo It Sian segera mendengus dengaa amat dinginnya.
"Cukup didengar dari julukan kalian kakak beradik Lohu sudah
tahu kalau kalian adalah manusia-manusia rendah yang sering
melakukan kejahatan. Seharusnya lohu turun tangan memberi
hukuman mati kepada kalian, tetapi mengingat kalian baru untuk
pertama kalinya terjatuh ketangan lohu maka kali ini aku kasih
kesempatan buat kalian untuk mengubah sifatmu yang jelek itu,
cepat menggelinding pergi."
Berbicara sampai di sini dia segera mendorong badan Ti Then
dengan keras membuat dirinya jatuh berguling-guling di atas tanah
dengan amat kerasnya. Dengan terburu-buru Ti Then merangkak bangun, lantas berkalikali menjura. "Terima kasih Wi Pocu mau memberi am pun kepada kami,
hamba kakak beradik sejak ini hari tentu akan mengubah kelakuan
kami untuk membalas budi kebaikan dari Pocu."
Berbicara sampai di sini dia segera putar tubuh dan kirim satu
kerdipan mata kepada Wi Lian in untuk kemudian bersama-sama
melarikan diri dari sana.
Wi Lian In- pun dengan cepat meloncat naik ke atas kuda
tunggangannya siap melarikan kuda tersebut dari sana.
Pada saat itulah terdengar Cuo It Sian yang ada di belakang
sudah membentak dengan suara yang amat dingin sekali.
"Kuda itu pun sekalian tinggal di sini."
Dia agak melengak dibuatnya tetapi tidak berani membangkang
terpaksa cepat-cepat meloncat turun dari kudanya lantas sambil
mengikuti diri Ti Then melarikan diri dengan cepat dari sana.
Dua orang manusia seekor anying bersama-sama melarikan diri
ketempat yang amat sunyi sekali, kurang lebih setelah berlari satu,
dua li dan dilihatnya Cuo It Sian tidak mengadakan pengejaran Ti
Then baru mengajak Wi Lian In untuk menyusup masuk ke dalam
sebuah hutan. Mereka berdua mencari sebuah hutan untuk duduk beristirahat.
Lama sekali mereka saling berpandangan kemudian tidak tertahan
lagi sudah tertawa terbahak-bahak.
"Aku sudah hidup dua puluh satu tahun lamanya tetapi
selamanya belum pernah menemukan urusan yang demikian
menggelikan" ujar Ti Then kemudian sambil tertawa.
"Kenapa tidak" sambung Wi Lian In segera. "Urusan ternyata
begitu tepatnya. sama sekali aku tidak menduga bisa bertemu
dengan dirinya di tempat tersebut."
Ti Then segera menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
"Yang aneh, bagaimana dia bisa menginap dirumah petani
tersebut?" ujarnya. "Kemungkinan sekali petani itu pun merupakan anak buahnya,"
seru Wi Lian In memberikan usulnya.
"Tidak mungkin," sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya,
"jarak dari tempat ini kekota Tiong Cing Hu ada seribu li lebih, tidak
mungkin dia bisa mem punyai anak buah ditempat ini."
"Kalau tidak kenapa dia tidak menginap di dalam kota saja?"
Dengan perlahan-lahan Ti Then angkat kepalanya, dan
memandang dirinya dengan pandangan mata yang amat tajam
sekali. "Kemungkinan sekali dia takut di dalam kota sudah bertemu
dengan orang yang pernah dia kenal karena itu sengaja dia pinyam
rumah petani itu untuk menginap satu malam," ujarnya kemudian.
"Jarak tempat ini dengan gunung Cun san sudah amat jauh sekali
kenapa dia masih takut dengan orang lain?" ujar Wi Lian ln dengan
cepat. "Aku kira tentunya begini kemungkinan sekali di dalam kota
Tiong Cing Hu sama juga ada seorang Pembesar Kota Cuo It Sian
lagi." "Kau bilang apa?" Wi Lian In melengak.
"Dengan perkataan lain saja, tentunya dia sudah mengatur
seorang penggantinya di dalam rumahnya itu sehingga membuat
penduduk disekeliling tempat itu menganggap dia orang belum
pernah meninggalkan kota Tiong Cing Hu barang selangkah pun.
Dikarenakan hal itu sudah tentu dia tidak dapat bertemu dengan
orang-orang yang pernah dikenalnya di tengah jalan."
"Kau berdasarkan akan hal apa bisa mengambil kesimpulan
demikian?" tanya Wi Lian In kebingungan.
"Pada beberapa hari yang lalu karena kita menaruh curiga dialah
orang yang sudah mengadakan jual beli dengan Hu Pocu serta
diam-diam membinasakan Hong Mong Ling pernah pergi kekota
Tiong Cing Hu untuk mencari dirinya sewaktu kita bertemu muka
tentunya kau masih ingat apa yang diucapkan untuk pertama
kalinya bukan?" "Dia bilang apa?" tanya Wi Lian In.
"Sewaktu dia melihat kita sedang menaruh rasa curiga terhadap
dirinya, dia pernah bilang selama setengah tahun lamanya ini dia
sama sekali belum pernah meninggalkan kota Tiong Cing Hu barang
selangkah pun, bahkan berkata juga kalau penduduk disekitar
tempat itu setiap hari bisa melihat dirinya, bukan begitu?"
"Benar... benar..." sahut Wi Lian In sambil menganggukkan
kepalanya berulang kali. "Dia memang pernah mengucapkan katakata tersebut." "Tetapi, ternyata dia bisa membinasakan Hong Mong Ling di atas
gunung Kim Teng san. Sedangkan orang-orang di kota Tiong Cing
Hu setiap hari bisa melihat dirinya" maka itu aku percaya tentu dia
mem punyai seorang pengganti. Dia hendak menggunakan tubuh
seorang penggantinya menutupi seluruh gerak geriknya yang
sebetulnya sedang direncanakan."
"Kalau memangnya demikian maka bila mana dia berbuat
sesuatu pekerjaan yang jahat ditempat luaran siapa pun tidak akan
bisa menduga kalau pekerjaan itu adalah hasil perbuatannya," seru
Wi Lian In dengan terperanyat.
"Benar," sahut Ti Then membenarkan. "Maka itu dia harus
menghindarkan diri dari pertemuan dengan orang-orang yang
pernah dikenal olehnya."
"Dia berbuat demikian tentunya tujuan yang sedang dicari adalah
hendak mencuri potongan pedang dari ayahku."
"Benar" sahut Ti Then mengangguk.
Wi Lian In segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Aku benar-benar tidak paham sebetulnya potongan pedang itu
mem punyai rahasia apa?" ujarnya.
"Aku percaya ada suatu hari kita bisa mengetahui keadaan yang
sesungguhnya." "Sekararg kita harus berbuat bagaimana?" ujar Wi Lian In
kemudian sambil menghela napas panjang.
"Lanjutkan kuntitan kita, ada kesempatan segera turun tangan
mencuri pedang tersebut."
"Menurut pandanganmu, dia benar-benar tidak mengenal kita
atau cuma berpura-pura saja?"
"Kemungkinan sekali tidak, jikalau dia sudah kenal dengan kita
air mukanya tidak akan setenang itu."
"Tetapi kedua ekor kuda itu kita harus mencari akal untuk
mencurinya kembali," seru Wi Lian In.
"Kemungkinan sekali dia menginap dirumah petani itu, besok
pagi sesudah menanti dia pergi kita baru menuntunnya kembali."
"Lalu malam ini kita mau menginap di mana?"
"Masuk ke dalam kota saja."
"Kalau begitu mari kita segera berangkat" ujarnya Wi Lian In
kemudian sambil bangkit berdiri.
Mereka berdua segera berjalan keluar dari hutan itu untuk
melanjutkan perjalanannya masuk ke dalam kota dan mencari
sebuah rumah penginapan untuk masing-masing masuk ke dalam
kamarnya sendiri-sendiri beristirahat.
Keesokan harinya setelah bersantap pagi mereka berdua lantas
membajar rekening dan meninggalkan rumah penginapan tersebut.
Wi Lian In yang melihat hari masih amat pagi sekali, segera dia
menghentikan langkahnya. "Lebih baik kita terlambat sedikit tiba di sana, kalau pergi terlalu
pagi kemungkinan sekali dia masih belum meninggalkan tempat
tersebut" ujarnya. "Sejak semula dia sudah meninggalkan tempat itu." Jawab Ti
Then sambil tertawa. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Wi Lian In melengak,
Ti Then tersenyum. "Kemarin malam pada kentongan ketiga aku sudah keluar kota
satu kali" ujarnya. "Bagus sekali yaaa, ternyata kau melakukan gerak gerikmu
dengan amat rahasia, kenapa tidak beritahukan kepadaku terlebih
dulu?" seru Wi Lian In sambil melototkan matanya lebar-lebar.
"Jangan marah dulu" ujar Ti Then tertawa. "Aku rasa jika pergi
seorang diri jauh lebih leluasa sehingga tidak sampai ditemui
olehnya." Air muka Wi Lian In segera berubah sangat hebat, dia merasa
benar-benar tidak senang.
"Aku tahu, tentunya kau benci karena aku mengikuti dirimu
terus, bukankah begitu?" serunya sambil mencibirkan bibirnya.
"Kalau memangnya begitu kemarin malam aku bisa langsung
membuntuti dirinya."
Wi Lian In segera kirim satu kerlingan mata kepadanya.
"Sewaktu kau tiba dirumah petani itu, apa dia sedang siap-siap
mau berangkat dari sana?" tanyanya.
"Benar," jawab Ti Then mengangguk.
"Kenapa kau tidak segera kembali kerumah penginapan untuk
membangunkan aku lantas bersama-sama menguntit dirinya?" omel
Wi Lian In lebih lanjut. "Dia orang yang mengambil keputusan untuk berangkat ditengah
malam berarti juga kalau dia sudah menaruh rasa curiga terhadap
diri kita berdua bilamana pada waktu itu kita membuntuti dirinya
maka pastilah jejak kita segera akan di temukan olehnya."
"Tetapi sekarang kemungkinan sekali dia sudah berada ditempat
yang amat jauh sekali" seru Wi Lian In.
Ti Then segera menuding kearah si anying Cian Li Yen yang ada
disisi badannya. "Kita ada Cian Li Yen sebagai penunjuk jalan tidak takut dia akan
terbang ke atas langit," ujarnya.
Pada waktu bercakap-cakap itulah tanpa terasa mereka berdua
sudah keluar dari pintu kota.
Tidak lama kemudian mereka sudah tiba di depan rumah petani
itu. Pada waktu itu sikakek tua yang kemarin sedang dengan bocah
cilik pada saat ini sedang menyapu diluar halaman, ketika dilihatnya
Ti Then serta Wi Lian In berjalan kearahnya tanpa terasa air
mukanya sudah berubah sangat hebat.
"Buat apa kalian datang kemari lagi?" tanyanya kurang tenang.
Ti Then sambil tersenyum segera merangkap tangannya memberi
hormat, "Cayhe kakak beradik sengaja datang untuk meminta kuda kami.
Silahkan Lotiang suka menuntun keluar kedua ekor kuda itu dan
kembalikan kepada kami."
"Kedua ekor kuda itu kalian dapatkan dengan jalan mencuri,
kalian begitu berani datang kemari lagi?" seru kakek tua itu.
"Bilamana tidak berani kami tidak akan kemari."
"Pergi, pergi." Teriak kakek tua itu sambil mengulap tangannya
berulang kali. "Kedua ekor kuda itu sudah tidak ada dirumah Lohan
lagi." "Sudah dibawa pergi orang itu?" tanya Ti Then kemudian.
"Benar, dia sudah berangkat pada tengah malam kemarin."
"Haaa... haaa... aku tahu kalau Lo Tiang sedang berbohong,
hiii... bukan begitu?" Seru Ti Then sambil tertawa.
Sepasang mata kakek tua itu segera melotot keluar lebar-lebar.
"Kalau bicara lebih baik kalian sedikit tahu sopan," serunya
dengan amat marah. "Lohan sudah hidup sampai sekarang,
selamanya belum pernah berbohong."
"Cuma sayang kali ini kau sudah berbohong," sambung Ti Then
dengan cepat. "Jikalau kalian tidak mau pergi lagi Lohan segera akan lapor
kepada pengadilan biar mereka tangkap kalian," ancam kakek tua
itu kemudian. Air muka Ti Then segera berubah sangat hebat sekali.
"Boleh, boleh... silahkan Lotiang pergi melapor, cuma saja...
Heee... jikalau kau tidak cepat-cepat bawa kedua ekor kuda itu
keluar cayhe segera akan turun tangan membakar habis rumah
serta gudangmu itu."
Mendengar ancaman tersebut sikakek tua itu benar-benar
merasa sangat terperanyat sekali.
"Cis... kalian pembegal kuda, nyali kalian sungguh besar,"
teriaknya dengan keras. "Ditengah siang hari bolong kalian juga berani memperlihatkan
keganasan kalian?" Wi Lian In agaknya merasa sikap dari Ti Then ini terlalu kasar
dan buas. Dengan diam-diam dia menyawil ujung bajunya.
"Koko," ujarnya dengan suara yang amat lirih kemudian. "Sama
sekali perkataan dari lo tiang ini benar, kedua ekor kuda itu pastilah
sudah dibawa pergi oleh orang itu."
"Tidak," sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.
Wi Lian In jadi melengak.
"Kau melihat sendiri dia pergi dengan tangan kosong?" tanyanya.
"Benar," sekali lagi Ti Then mengangguk.
Si kakek tua itu jadi mencak-mencak saking gusarnya.
"Jikalau kalian tidak percaya boleh pergi mencari disekeliling
tempat ini," teriaknya dengan keras.
"Bagaimana kalau aku menirukan apa yang sudah kalian
bicarakan?" ujarnya Ti Then kemudian sambil tertawa dingin.
"Kau mau bicara apa?" tanyanya melengak
"Kemarin malam sewaktu orang itu mau pergi dia pernah berkata
demikian: Loheng kedua ekor kuda ini lohu tidak mau, baiknya aku
hadiahkan kepada kalian saja. Hnm waktu itu ternyata kau berlaku
sungkan sungkan dan cepat menyawab:
Tidak... tidak.. Lohan tidak berani menerimanya, lebih baik kau
Lo sianseng bawa pergi saja. Orang itu lantas tertawa dan berkata
lagi. Kau tidak usah sungkan-sungkan lagi, di dalam Benteng Lohu
masih ada beratus-ratus ekor kuda jempolan, lohu sama sekali tidak
akan memandang tinggi kedua ekor kuda ini.
Mendengar perkataan tersebut air mukamu segera
memperlihatkan rasa kegirangan. Cuma saja kemudian kau
menyawab dengan agak murung. Cuma saja jikalau kedua orang
pembegal kuda itu datang lagi Lo han harus berbuat bagaimana
untuk menghadapinya"
Dijawab oleh orang itu. Mereka tidak akan berani datang kemari
lagi, bilamana Lo heng takut, tidak urung untuk sementara waktu
bawalah kedua ekor kuda itu untuk dititipkan pada tetangga,
bilamana mereka datang lagi untuk meminta kudanya Lo heng boleh
bilang saja kuda tersebut sudah Lo hu bawa... beberapa patah kata
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu tentunya ceyhe tidak salah berbicara bukan?"
Mendengar perkataan tersebut air muka sikakek tua itu segera
berubah jadi pucat kehijau-hijauan.
"Kau... kau sudah mendengar semua pembicaraan kami?"
tanyanya. "Tidak salah" sahut Ti Then Sambil mengangguk. "Bahkan aku
masih melihat putramu menuntun kedua ekor kuda tersebut
meninggalkan tempat ini."
Kakek tua itu jadi amat sedih sekali, dengan cepat dia berteriak
keras. "Hok Lay..... Hok Lay....."
Dari dalam ruangan itu segera meloncat keluar seorang petani
berusia pertengahan yang pada tangannya mencekal sebuah
tongkat pikulan yang berat, dengan amat gusarnya dia berteriakberteriak terhadap diri Ti Then.
"Bajingan. sungguh besar nyalimu, kaliau mau pergi tidak" kalau
tidak pergi juga lohu segera akan menghajar putus sepasang kaki
anying kalian." Ti Then segera tertawa, dari dalam sakunya dia mengambil
sekerat perak. "Begini saja," ujarnya kemudian sambil menimang-nimang uang
perak itu. "Cayhe beri uang perak ini kalian sebagai uang ganti rugi,
bagaimana?" Petani berusia pertengahan itu segera memperlihatkan sikapnya
untuk berkelahi, dia melintangkan tongkat pikulan itu ke depan.
"Tidak." Teriaknya keras. "Kedua ekor kuda itu bukan milik
kalian, kalian tidak berhak untuk memintanya kembali."
"Bukan milik kami apa mungkin milik kalian?" seru Ti Then sambil
tertawa dingin. "Tidak salah," jawab petani berusia pertengahan itu dengan amat
ketusnya. "Lo sianseng itu berkata sendiri kalau kedua ekor kuda itu
dihadiahkan kepada kami. Sudah tentu kedua ekor kuda itu adalah
milik kami." Sepasang mata dari Ti Then dengan perlahan menyapu sekejap
kesekeliling tempat itu, ketika dilihatnya sebuah batu putih
menggeletak ditengah lapangan dia segera berjalan menuju ke sana
dan meraba sebentar batu itu.
"Batu ini sungguh besar sekali," serunya sambil tertawa. "Tentu
ada tiga ratus kati beratnya bukan?"
"Kau hendak berbuat apa?" teriak petani berusia pertengahan itu
dengan gusarnya sambil maju dua langkah ke depan.
Dengan menggunakan sepasang tangannya Ti Then mengangkat
batu besar itu kemudian dipindahkan ketangan kanannya dan
diangkat dengan menggunakan satu tangan.
"Coba kau lihat, kau percaya bisa menangkan aku tidak?" ujarnya
sambil tertawa. Sembari berkata dia berjalan mengelilingi lapangan tersebut.
Batu putih itu paling sedikit ada dua ratus kati beratnya, tetapi di
dalam tangannya kelihatan sangat enteng sekali seperti sedang
mengangkat kapas saja. Kali ini petani berusia pertengahan itu benar-benar dibuat
terperanyat sampai termangu-mangu, sepasang matanya terbelalak
lebar-lebar untuk beberapa saat lamanya dia tidak sanggup untuk
mengucapkan sepatah kata pun.
Kakek tua itu semakin dibuat terperanyat lagi, dengan gugup
serunya, "Sudah.... sudahlah Hok Lay, kau tidak usah banyak beribut
dengan dirinya lagi, cepat tuntun kedua ekor kuda itu bawa kemari
dan kembalikan kepada mereka."
Agaknya petani berusia pertengahan itu masih tidak mau kalah,
dengan uring-urungan teriaknya,
"Kau jangan mengira tenagamu besar lalu kami takut dengah
dirimu, cukup aku berteriak maling aku mau lihat kalian akan
melarikan diri kearah mana,"
Tangan kanan dari Ti Then segera ditekuk kemudian didorong
kearah atas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melemparkan batu putih tersebut beberapa kaki jauhnya ketengah
udara lantas tertawa terbahak-bahak.
"Haaaa... haaa... haaa... asal kau berteriak maling aku segera
lemparkan batu ini ke atas atap rumah kalian," ancamnya.
Melihat kejadian itu sipetani berusia pertengahan itu tidak berani
banyak bercakap lagi saat inilah dia baru tidak berani mengumbar
nafsunya lagi. Sambil melempar tongkat itu ke atas tanah dengan
uring-uringan dia pergi dari sana.
JILID 29.3 : Pencuri tiga tangan insaf
Tidak lama kemudian kedua ekor kuda itu sudah dituntun
kembali. Ti Then segera menyusupkan uang perak itu ketangan sikakek
tua tersebut kemudian menerima tali les kudanya dan bersama
sama dengan Wi Lian In melarikan kudanya meninggalkan tempat
itu. Mereka berdua dengan cepatnya berlari menuju kejalan raya,
saat itulah terdengar Wi Lian In berkata sambil tertawa,
"Untung sekali kemarin malam kau sudah datang, kalau tidak kita
benar-benar bakal tertipu oleh mereka ayah beranak."
"Hal ini tidak bisa menyalahkan mereka ayah beranak dua orang,
mereka sama sekali tidak tahu kalau kedua ekor kuda itu
sebenarnya adalah milik kita berdua, dia mengira kalau memangnya
Cuo It Sian sudah menjetujui untuk menghadiahkan kedua ekor
kuda itu kepada mereka, hal ini berarti juga sudah menjadi
miliknya." "Kemarin malam Cuo It Sian berangkat menuju kearah mana?"
tanya Wi Lian In kemudian.
Ti Then segera menuding kearah sebelah Barat.
"Dia melanjutkan perjalanannya melalui tempat itu, kelihatannya
dia bermaksud untuk kembali kekota Ciong Cing Hu."
Mendadak Wi Lian In menarik tali les kudanya untuk
menghentikan perjalanannya.
"Coba kau ambil keluar sepatu milik Cuo It Sian itu dan berikan
kepada si anying Cian Li Yen agar dia membauinya kembali"
ujarnya. "Baik," sahut Ti Then dan dia segera mengeluarkan sepatu itu
dan membiarkan si anying Cian Li Yen untuk menciuminya beberapa
kali. Setelah itu tampaklah si Cian Li Yen, segera berputar beberapa
kali di atas jalan raya untuk mencari jejaknya, setelah itu diiringi
suara gonggongannya yang amat keras ia lantas berlari menuju ke
arah sebelah Barat. Mereka berdua dengan cepat mengikutinya dari belakang.
Hari kedua, orang berserta anying itu sudah tiba disebuah kota
untuk bersantap sesudah beristirahat sebentar lantas melanjutkan
kembali perjalanannya. Menanti mendekati magrib mereka sudah melakukan perjalanan
seratus lie dan sampailah disebuah kota yang bernama Ngo Hong
Sian. Wi Lian In segera memerintahkan anyingnya Cian Li Yen untuk
berhenti, setelah itu kepada Ti Then ujarnya.
"Apa mungkin dia ada di dalam kota ini?"
"Dia berangkat kemarin malam jika ditinyau dari kekuatan
kakinya saat ini kemungkinan sekali sudah meninggalkan kota
kurang lebih lima puluh lie jauhnya maka itu dia tidak mungkin
masih ada di dalam kota ini."
"Dia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki tidak mungkin
bisa menandingi kita yang menunggang kuda, kemungkinan sekali
dia sedang beristirahat di dalam kota," ujar Wi Lian In memberikan
pendapatnya. "Kemarin dia sudah menginap satu malam dirumah petani itu
sedangkan jarak antara kota Kong An Sian dengan tempat ini tidak
lebih cuma beberapa ratus li saja, sudah tentu dia tidak akan mau
masuk kekota, aku rasa ini hari tidak mungkin dia berani nginap di
dalam kota." "Coba kau lihat," ujar Wi Lian In kemudian sambil menuding
kearah sianying Cian Li Yen. "Cian Li Yen terus mau lari masuk ke
dalam kota, jelas sekali dia pernah masuk ke dalam kota, lebih baik
kita sedikit berhati-hati."
"Dia memang pernah masuk ke dalam kota." Ujar Ti Then sambil
tersenyum. "Tetapi aku berani bertaruh saat ini dia pasti sudah tidak
ada di dalam kota lagi."
"Baik, mari kita masuk ke dalam kota untuk memeriksa."
Selesai berkata dia segera sentak kudanya untuk berjalan
memasuki pintu kota. Cian Li Yen masih tetap berlari memimpin jalan di depan, setelah
berlari melewati beberapa buah jalan akhirnya dia berhenti sebentar
di depan sebuah rumah makan dan menciumi beberapa kali tempat
disekeliling tempat itu setelah itu baru melanjutkan kembali larinya
kearah sebelah depan. Ti Then segera tersenyum.
"Kelihatannya dia pernah berhenti sebentar di dalam rumah
makan ini" ujarnya sambil menyengir.
"Tadi kau bilang dia tidak berani masuk ke dalam kota, kenapa
sekarang terbukti dia berani berhenti di dalam kota?"
"Kemungkinan sekali dia yang melakukan perjalanan jauh merasa
lelah dan lapar maka itu sengaja memberanikan dirinya untuk
masuk kota bersantap."
Baru saja mereka bercakap cakap sampai di situ mendadak
tampak anying Cian Li Yen berbelok memasuki sebuah lorong kecil.
Mereka berdua cepat-cepat melarikan kudanya melanjutkan
kuntitannya. "Aduh aku sudah lapar," ujar Wi Lian In secara tiba-tiba, "Mari
kita makan dulu di sini kemudian baru melanjutkan kejaran kita."
"Tidak," potong Ti Then cepat, "Kita cuma bisa membeli sedikit
barang saja untuk kemudian dimakan diluar kota."
Ketika itulah mereka bisa melihat ujung jalan terdapat sebuah
rumah makan segera kudanya dilarikan menuju ke sana dan Ti Then
meloncat turun dari kudanya untuk membeli sedikit ransum untuk
kemudian melanjutkan kembali perjalanannya kearah depan.
Selama di dalam perjalanan ini Cian Li Yen berbelok-belok lagi
beberapa lorong dan tikungan, akhirnya sampailah disebuah jalanan
yang amat sunyi sekali. Lama kelamaan akhirnya Wi Lian In merasakan juga akan
sesuatu, dia tertawa, "Dugaanmu sedikit pun tidak salah dia tentu takut ditemui oleh
orang-orang yang pernah dia kenal karena itu sengaja mencari jalan
yang jarang sekali dilalui orang,"
"Jika dilihat dari keadaan sekarang ada kemungkinan dia sudah
berjalan keluar melalui pintu kota sebeelah selatan."
"Dugaannya sedikit pun tidak salah"
Tidak lama kemudian si anying Cian Li Yen sudah memimpin
mereka berlari menuju ke kota sebelah selatan dan berlari terus
menuju keluar kota. Kurang lebih setelah meninggalkan kota sejauh satu li sianying
Cian Li Yen berhenti berlari dan membaui sesuatu di pinggir jalan
lalu bergonggong tiada hentinya
"Eeei..... sudah terjadi urusan apa?" tanya Wi Lian In keheranan.
"Biar aku turun ke sana untuk lihat-lihat?"
Dengan cepat dia meloncat turun dari atas kuda dan berjalan
menuju ke samping jalan untuk memeriksa.
Terlihatlah di atas tanah rumput sudah dibasahi hampir separuh
bagian bahkan tercium bau yang amat menusuk hidung, dalam hati
seketika itu juga tahu apa yang sudah terjadi.
Dengan cepat dia menepuk-nepuk badan si anying Cian Li Yen.
"Cian Li Yen jangan menggonggong lagi jarak kita dengan pihak
musuh sudah amat dekat sekali kau janganlah sembarangan
menyalak, nanti malah jejak kita konangan."
"Ada barang apa tuh di atas tanah rumput itu?" tanya Wi Lian In.
"Dia sudah kencing di sana." Sahut Ti Then sambil naik ke atas
kuda tunggangannya. "Sehingga membuat tanah rumput itu jadi
basah kemungkinan sekali setengah jam yang lalu dia kencing di
sini." "Kalau jarak kita dengan dirinya mungkin sekali tidak sampai
sepuluh li saja," ujarnya Wi Lian In.
"Benar, karenanya sejak sekarang gerak gerik kita harus jauh
lebih berhati-hati lagi."
Dia segera mengangsurkan makanan yang dibelinya tadi
kepadanya. "Mari, kita sembari makan sembari melanjutkan perjalanan
ujarnya lagi." Wi Lian In segera mengambil satu biji bakpau buat sianying Cian
Li Yen-nya kemudian baru mengambil satu biji lagi buat dirinya
sendiri, ujarnya kemudian sembari bersantap,
"Kalau kita membuntuti dirinya terus menerus seperti ini aku rasa
bukanlah satu cara yang bagus, kita harus mencari satu akal untuk
turun tangan mencuri pedang itu..."
"Benar," sahut Ti Then sembari makan bakpaunya. "Tetapi aku
masih belum mendapatkan cara untuk mencuri pedang tersebut..."
"Bilamana dia mau menginap dirumah penginapan ada
kemungkinan kita mem punyai kesempatan untuk turun tangan
mencuri. Tetapi jikalau dia tidak mau menginap dirumah penginapan
lalu kita mau berbuat apa?"
"Jarak dari sini ke kota Tiong Ting Hu masih ada beberapa hari
lamanya baiknya secara perlahan-lahan saja kita mencari
kesempatan untuk turun tangan."
Padahal bukannya dia tidak punya siasat untuk mencuri pedang
tersebut sebaliknya dia tidak ingin memperoleh pedang tersebut
dengan cepat. Karena dia tahu begitu dia berhasil mendapatkan pedang pendek
itu dan diserahkan kepada Wi Ci To maka ada kemungkinan sekali
dirinya segera akan dikawinkan dengan Wi Lian In, dia tetap tidak
ingin menikah dengan Wi Lian In di bawah perintah dari majikan
patung emas, karena itu dia hendak sengaja mengulur waktu lebih
lama lagi. Tetapi dia pun tahu si manusia berkerudung berbaju biru,
pemuda yang dikirim majikan patung emas untuk mengawasi gerak
geriknya sedang mengawasi dirinya terus menerus, maka itu dia
harus mau tidak mau memperlihatkan juga sikap sedang berpikir
dan mencari siasat untuk mencuri pedang itu.
Sudah tentu Wi Lian In sama sekali tidak mengetahui akan hal
ini. Terdengar dia berkata lagi,
"Tidak perduli bagaimana pun, kita harus berhasil mencuri
pedang pendek itu sebelum dia tiba dirumahnya di kota Tiong Cin
Hu. Bilamana membiarkan dia pulang ada kemungkinan kita akan
menemui kesukaran sewaktu turun tangan mencuri pedang itu."
"Aku rasa hal ini belum tentu," bantah Ti Then segera,
"Kemungkinan sekali setelah dia tiba dirumah, kita malah lebih
mudah untuk turun tangan."
"Bagaimana bisa jadi?"
"Setelah sampai dirumah sudah tentu dia tidak akan membawa
pedang pendek itu di badannya terus menerus, asalkan... Iiih"
Mendadak dia memperdengarkan satu jeritan kaget bersamaan
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula menghentikan kudanya.
"Ada urusan apa?" tanya Wi Lian In dengan sangat terperanyat
sekali. "Baru saja aku menemukan di atas jalan raya berkelebat sesosok
bajangan manusia hitam."
Air muka Wi Lian In segera berubah sangat hebat.
"Apa mungkin bajangan hitam itu adalah dirinya?" dengan suara
yang amat lirih. "Ada kemungkinan," sahut Ti Then sambil mengangguk.
Wi Lian In jadi merasa sangat tegang.
"Dia pastilah sudah menemukan diri kita bagaimana kita
sekarang?" tanyanya gugup.
"Biar aku cari satu siasat..." seru Ti Then termenung berpikir
sebentar. "Bagaimana kalau mengundurkan diri?" ujar Wi Lian In
memberikan usulnya. "Tidak," jawab Ti Then dengan cepat. "Kita tidak boleh
mengundurkan diri diri. harus pura-pura tidak mengetahui akan hal
ini dan tetap melanjutkan perjalanan menuju ke depan."
"Bilamana dia munculkan dirinya untuk menghalangi perjalanan
kita?" tanya Wi Lian In lebih lanjut.
"Kalau begitu kita pura-pura merasa sangat terkejut kemudian
melarikan kudanya untuk lari berpencar, jangan sekali-kali turun
tangan melawan dirinya."
"Melarikan diri secara berpencar?" seru Wi Lian In sambil
mengerutkan alisnya. "Benar, jikalau dia mengejar aku maka kau melarikan diri dulu
kekota Ngo Hong sian dan tunggu aku di sana, aku pasti bisa
meloloskan diri dari kejarannya. "Ayoh jalan, sikap kita harus seperti
tidak menemukan apa-apa."
Setelah berbicara sampai di sini dia segera melarikan kudanya
untuk melanjutkan perjalanan kearah depan. Wi Lian In segera
mengikuti dari sampingnya.
Mereka berdua sembari makan bakpaunya bersama-sama
melanjutkan perjalanannya ke depan. Sikap mereka tenang-tenang
saja tanpa terdapat perubahan apa pun.
"Koko..." tiba-tiba Wi Lian In membuka mulutnya berbicara.
"Kuda Ang Shan Khek yang kita dapatkan dari Ti Kiauw tauw dari
benteng Pek Kiam Po itu agaknya tidak mudah untuk
melepaskannya, untuk keselamatan kita lebih baik lepaskan saja."
Ti Then paham apa maksud dari perkataannya ini, segera dia
menyambung. "Tidak, jikalau aku takut banyak urusan aku tidak akan begitu
berani merampas kembali kuda itu dari tangan sipetani tua
tersebut." "Tetapi," ujar Wi Lian In lagi, "Bilamana sampai bertemu kembali
orang she Wi itu kemungkinan sekali kita bakal menemui kesulitan."
"Jangan kuatir, kita tidak mungkin bisa ketemu lagi dengan
dirinya" ujar TI Then tertawa.
Baru saja perkataan tersebut selesai diucapkan mendadak
terdengar suara bentakan yang amat keras sekali berkumandang
keluar dari dalam hutan di samping jalan diikuti munculnya seorang
lelaki kasar. Lelaki ini berusia kurang lebih tiga puluh tahunan, wajahnya
kurus kering perawakannya juga tidak terlalu tinggi dengan
memakai baju berwarna hitam dan pada tangannya mencekal
sebilah golok yang memancarkan sinar yang berkilauan.
Jika dilihat dari potongan wajahnya yang amat buas dan kejam
sekali, jelas sekali dia adalah seorang pembegal dan bukannya Cuo
It Sian sipembesar kota itu.
Baik Ti Then mau pun Wi Lian In, yang melihat akan hal ini diamdiam pada menghembuskan napas lega. Mereka cuma takut
bertemu muka dengan Cuo It Sian, jikalau terhadap orang lain
mereka masih tidak memandang sebelah mata pun.
Ketika lelaki berbaju hitam itu meloncat turun ketengah jalan
segera dia mengangkat goloknya dan dengan buasnya membentak.
"Jikalau kalian maui nyawa cepat serahkan buntalan serta kuda
itu." Ternyata sedikit pun tidak salah, dia orang bukan lain adalah
seorang pembegal jalan. Wi Lian In segera tertawa cekikikan dan menghentikan kudanya.
"Aduh.... celaka.... aku sudah bertemu dengan sipembegal jalan."
Sipembegal jalan itu sewaktu melihat pada wajah mereka sama
sekali tidak memperlihatkan rasa ketakutan barang sedikit pun juga,
dia sendiri malah merasa kurang aman dengan cepat tubuhnya
maju kembali satu langkah ke depan kemudian mengangkat
goloknya siap dibacok ke depan.
"Ayoh cepat turun dari kuda," bentaknya dengan kasar. "Kalau
tidak Toaya-mu segera akan bacok-bacok kepala kalian jadi dua
bagian." "Jikalau kau mengingini buntalan serta kuda kami lebih baik
tanya dulu dengan Cian Li Yen-ku itu," ujar Wi Lian In sambil
tertawa. Si pembegal jalan itu jadi melengak.
"Siapa itu Cian Li Yen?" tanyanya.
Wi Lian In segera menunjuk si anying Cian Li Yen yang ada di
depan kudanya. "Itulah dia," jawabnya.
Sipembegal jalan itu melirik sekejap kearah sianying Cian Li Yen
itu lantas memperdengarkan suara tertawa dinginnya yang amat
menyeramkan. "Macan- pun Toaya-mu bisa bunuh apalagi cuma seekor anying.
Hee..... hee..... sungguh lucu sekali...."
"Kalau kau berani ayoh kau maju........ kau boleh coba-coba
rasanya digigit oleh Cian Li Yen....."
Ti Then yang melihat Wi Lian In hendak memerintahkan
anyingnya untuk melancarkan serangannya kearah sipembegal jalan
itu dengan gugup dia mencegah.
"Tidak..... jangan, kau jangan memerintahkan sianying Cian Li
Yen untuk menggigitnya dulu."
Dengan perlahan Wi Lian In putar kepalanya dan kirim satu
senyuman manis kepadanya.
"Kau tidak usah kuatir terhadap diri Cian Li Yen, dia sudah
memperoleh latihan yang amat keras sekali.... dengan kekuatannya
sudah cukup untuk memberi perlawanan terhadap seorang jagoan
berkepandaian tinggi dari dalam Bu-lim."
"Aku tahu," ujar Ti Then sambil tertawa, "Yang aku kuatirkan
kalau Jin-heng ini sampai digigit Cian Li Yen dan menemui ajalnya."
Berbicara sampai di sini dia segera menoleh kearah sipembegal
jalan itu lalu ujarnya sambil tertawa
"Aku lihat wajahmu rada sedikit kukenal agaknya aku pernah
bertemu dengan dirimu disuatu tempat.... siapa namamu?""
"Tidak usah banyak omong," bentak sipembegal itu sambil
melototkan matanya lebar-lebar, aku mau tanya kalian ingini harta
atau jiwa" ayoh cepat jawab."
Lama sekali Ti Then memperhatikan dirinya dengan amat teliti
tanpa memberikan jawaban, akhirnya secara tiba-tiba saja dia
tertawa terbahak-bahak. "Haa... haa sekarang aku sudah teringat kembali," sahutnya.
"Bukankah kau adalah si Sam Su Tou Ji atau sipencuri tiga tangan
Kauw Ban Li?" Mendengar disebutnya nama itu airmuka sipencuri tiga tangan
segera berubah sangat hebat sekali, terburu-buru dia mundur satu
langkah ke belakang, sepasang matanya yang seperti tikus dengan
tajamnya berkedip-kedip beberapa kali.
"Kawan kau berasal dari golongan mana" kenapa kenal dengan
diriku?" tanyanya dengan terperanyat.
"Jika dibicarakan sebenarnya kita adalah termasuk kawan lama,"
ujar Ti Then sambil tertawa.
Seketika itu juga sipencuri tiga tangan dibuat melengak lagi.
"Kawan yang aku sipencuri tiga tangan Kauw Ban Li pernah
temui tidak akan terlupakan kembali," ujarnya.
"Sudah tentu, sudah tentu," sahut Ti Then sambil mengangguk.
"Dahulu kau tidak pernah bertemu dengan wajahku semacam ini
maka sudah tentu kau tidak kenal lagi?"
"Lalu apakah kawan sedang menyamar?" tanya sipencuri tiga
tangan dengan terperanyat.
"Benar." Walau pun sipencuri tiga tangan masih tidak tahu siapakah
sebenarnya sipedagang berusia pertengahan yang ada di
hadapannya saat ini, tetapi dia tahu sudah bertemu dengan seorang
jagoan dari Bulim, tidak terasa lagi dia sudah mundur satu langkah
ke belakang. "Kawan siapakah sebetulnya kau?" tanyanya.
"Kurang lebih dua tahun yang lalu kita pernah bertemu muka
dikota Tiang Ang hari itu aku hendak naik ke atas sebuah loteng
rumah makan sedang kau mau turun dari atas loteng, lagakmu
seperti orang sedang kemabokan dan sewaktu turun sudah
menabrak diriku... sudah ingat bukan?"
"Tidak salah," sahut Si pencuri tiga tangan dengan wajah yang
sudah berubah memerah dia angkat bahunya ke atas. "Cayhe
memang pernah berkeluntungan selama dua tahun lamanya di
dalam kota Tiang An, di dalam dua tahun ini memang setiap hari
cayhe berada di dalam keadaan mabok terus. Entah siapakah
sebetulnya kau orang."
"Seharusnya kau masih ingat dengan diriku" ujar Ti Then sambil
tertawa, "Karena setelah kejadian itu kau pernah berkata dengan
aku, kau bilang baru untuk pertama kalinya kau tertangkap sewaktu
menyalankan operasimu."
Air muka sipencuri tiga tangan segera berubah semakin riku
sekali. "Sesungguhnya aku semuanya sudah mengalami tiga kali gagal
dalam pekerjaanku, pertama kali tertangkap ditangan sipendekar
baju hitam Ti Then, sedangkan kedua serta ketiga kalinya air sungai
menenggelamkan kuil raja naga aku sudah mencopet kawan berasal
dari satu jalan." "Dan akulah orang yang untuk pertama kalinya menangkap
dirimu itu" sambung Ti Then sambil memperendah suaranya.
"Kau adalah...." teriak sipencuri tiga tangan dengan sangat
terperanyat. "Stt.... jangan menyebut nama serta julukanku, kalau tidak aku
segera akan suruh kau merasakan bagaimana rasanya kalau otot
serta urat nadi di-pisah-pisahkan."
Mendengar perkataan tersebut si pencuri tiga tangan jadi
semakin terkejut dengan cepat dia mengucek-ucek matanya lalu
dengan seluruh kekuatannya melototi diri Ti Then.
"Apa betul dirimu ?"
Ti Then segera mengangguk dan tersenyum.
"Hari itu kau berpura-pura mabok dan menumbuk aku sewaktu
naik ke atas loteng, mengambil kesempatan itu kau sudah mencuri
uang perakku, tetapi segera bisa aku ketahui, aku lantas kirim satu
totokan merubuhkan dirimu, tubuhmu lantas terjatuh ke bawah
loteng sehingga membuat seluruh wajah dan badanmu bengkakbengkak menghijau setelah itu."
Sipencuri tiga tangan yang mendengar perkataan itu sampai di
sana dengan cepat dia membuang golok yang ada ditangannya dan
jatuhkan diri berlutut untuk kemudian menganggukan kepalanya.
"Hamba ada mata tak berbiji, ternyata kali ini sudah berani
mengganggu kau Ti.. Ti.. "
"Jangan sebut namaku," seru Ti Then dengan cepat.
Seluruh tubuh si pencuti tiga tangan segera tergetar dengan
amat kerasnya. "Baik... baik... sahutnya dengan gugup. Hamba harus mati,
silahkan kau orang suka memaafkan aku sekali ini lagi, lain kali
hamba bersumpah tidak akan berbuat jahat lagi dan tidak akan
melakukan perbuatan yang memalukan ini lagi."
"Sekarang kau berdirilah, jangan terus menerus berlutut," ujar Ti
Then sambil tertawa. "Kalau kau suka memaafkan diriku dan mengam puni lagi diriku
maka hamba baru berani berdiri," ujarnya sipencuri tiga tangan
sambil tetap melanjutkan anggukan kepalanya.
"Semuanya kau sudah membunuh berapa orang?" tanya Ti Then
kemudian. "Seorang pun aku tidak membunuh," sahut sipencuri tiga tangan
sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Omong kosong."
"Sungguh," seru sipencuri tiga tangan merengek. "Golok dari
hamba ini selamanya cuma digunakan untuk menakut-nakuti orang
yang lewat di sini saja, setetes darah pun belum pernah terciprat
dari golok tersebut."
-ooo0dw0ooo- Jilid 30 "HMM.. nyalimu semakin lama semakin berani yaaa, pertamatama kau ahli mencopet harta benda orang lain, sekarang semakin
berani lagi perbuatanmu, berani benar menggunakan golok untuk
membunuh orang dan merampok harta kekayaan yang dibawa,"
bentak Ti Then dengan keras.
"Hamba benar-benar tidak membunuh seorang pun" teriak si
pencuri tiga tangan dengan keras. "Kali ini hamba jadi si pembegal
sesungguhnya dikarenakan desakan biaya hidup, hamba terpaksa
mau tidak mau harus melakukan pekerjaan ini."
"Telur nenekmu, apakah ketiga buab tanganmu sudah dipotong
orang lain?" bentak Ti Then lebih lanjut,
Si pencuri tiga tangan segera tertawa pahit.
"Boleh dibilang memaag sudah dipotong orang lain" sahutnya
perlahan, "Siapa yang punya keahlian yang begitu dahsyatnya sehingga
melarang kau untuk melakukan pekerjaan mencopet lagi?"
Liong Touw Lotoa kami sendiri,
"Miauw So Suseng?" seru Ti Then sambil memandang tajam
wajahnya. "Benar, memang dia orang," sahut si pencuri tiga tanga
mengangguk. "Dia melarang, kau mencopet baraag milik orang lain?"
"Benar," sekali lagi si pencuri tiga tangan mengangguk.
"Kenapa?" "Ada satu kali di kota Tiang An juga hamba melihat ada seorang
kakek tua yang memakai baju yang amat perlente, dari badan kakek
berbaju perlente itu hamba berhasil meacuri sebuah intan permata
yang mahal harganya. sewaktu aku merasa kegirangan itulah
mendadak aku menghadap. saat itu terlihatlah banyak kawankawan lain dari satu golongan sudah pada berkumpul di sana. Liong
Touw LoToa tanya di antara kita siapa yang sudah mencuri sebuah
intan permata dari badan seorang kakek tua yang memakai baju
perlente siauw jin segera mengaku akulah yang si pencuri, dengan
langkah lebar Liong Touw Lo toa segera menghampiri siauw jin dsn
lantas hadiahi beberapa tamparan membuat mukaku jadi beegkak"
"Kenapa?" tanya Ti Then tertawa. Dengaa wajah yang meringis
kera dia menyawab
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siauw jin punya mata tidak melihat gunung Thay san, kiranya
kakek tua berjubah perlente itu bukan lain adalah ayah dari Liong
Touw Lotoa kami" "Haaa , haaaa .,. haaa , , bagus sekali bagus sekali" seru Ti Then
sambil tertawa terbahak-baha. Kau manusia rendah juga berani
mengganggu kepala Thay Swi memang harus mati , . memang
harus mati," "Heeeei . . ." Si pencuri tiga tangan menghela napas panyanpanjang dengan sedihnya. "Selama beberapa tahun ini nasib siauwjin memang kurang mujur- selalu mendapatkan mangsa yang salah
saja," "Liong Touw Lo-toa kalian memang tidak seharusnya memberi
hukuman kepadaku dia boleh mencopet harta kekayaan milik orang
lain kenapa orang lain tidak diperkenankan mencopet harta
kekayaan milik ayahnya?"
"Dia bilang siauw-jin sudah memyeset kulit mukanya karena itu
menghukum hamba untuk Menutup tangan selama tiga tahun
lamanya. coba kau bayangkan jikalau mengharuskan hamba
menutup pintu selama tiga tahun lamanya dia selama tiga tahun ini
tidak dapat pekerjaan bagaimana siauw ji bisa mendapat uang
untuk membeli makanan" di dalam keadaan yang terpaksa siauw jin
mau tidak mau harus ganti pekerjaan sebagai pembegal jalan. tetapi
siauw jin benar-benar tidak pernah melukai barang seorang pun,
yang hamba minta cumalah harta kekayaan orang yang lewat di sini
karena hamba tahu melukai orang cuma mendatangkan kerepotan
saja karena itu siauw-jin tidak berani melakukan pekerjaan itu."
"Eeeei apa kau sering sekali membegal harta kekayaan dari
orang yang lewat di jalan ini?" tiba-tiba Wi Lian In nyeletuk.
"Tidak," jawab si pencuri tiga tangan sambil gelengkan
kepalanya. "Setiap tempat siauw-jin cuma melakukaa pekerjaan
selama tiga lima hari saja, siauw-jin tidak berani berdiam terlalu
lama." "Dijalan ini kau sudah melakukan berapa hari?" tanya Wi Lian In.
"Ini hari adalah hari kedua, tetapi cuma mendapatkan tiga kali
hasil saja, mendapat uang tidak seberapa banyak."
"Kurang lebih setengah jam yang lalu apakah kau melihat ada
seorang kakek tua berbaju hijau lewat di sini."
"Oouw . . . nona maksudkan si pembesar kota Cuo It Sian?"
tanya si pencuri tiga tangan.
"Tidak salah" sahut Wi Lian In dengan amat girang, "Kau melihat
dirinya?" "Benar," sahut si pencuri tiga tangan mengangguk. "Untung
sekali siauw-jin segera mengenal kembali kalau dia adalah si
pembesar kota sehingga tidak berani muuculkan diri untuk
menghalangi perjalanannya, jikalau siauw-jin tadi tidak sampai
melibat lebih jelas mungki nyawa anyingku pun sudah lenyap."
"Dia melihat dirimu tidak?"
Sekail lagi sipencuri tiga tangan menggelengkan kepalanya
.Begitu siauw-jin melihat dirinya berjalan mendatang, siauw-jin
lantas bersembunyi di balik pepobonan dan tidak berani bergerak
sampai napas pun tidak berani terlalu keras"
"Bagus ,, bagus sekali," seru Wi Lian In dengan amat girang
sekali, "Sekarang aku mau Tanya lagi" ilmu mencopetmu lihay atau
tidak ?" Si pencuri tiga tangan tidak mengetahui apa meksud dari
perkataan ini, dia jadi ragu-ragu sebentar.
"Tidak berani dikatakan terlalu lihay. yaa , , . . boleh di kata
cukup untuk memperoleh sesuap nasi saja." sahutnya kemudian.
"Sebetulnya bagaimana ?" tanya Wi Lian In kemudian sambil
menoleh kaarah Ti Then. Ti Then tersenyum.
"Diantara kawan-kawan segolongannya bolwh dikata dia
merupakan salah seorang jagoannya yang berkepandaian paling
tinggi" "Kalau begitu bagaimana kalau kita mintai bantuannya ?"
"Baik sih baik. cuma .. - .."
"Kenapa ?" "Kauw Ban Li," seru Ti Then sambil menoleh kearah diri si
pencuri tiga tangan "Beranikah kau pergi msncuri barang yang ada
dibadan Cuo It Sian?"
Mendengar perkataan tersebut si pencuri tiga tangan jadi amat
terperanyat sekali dengan gugupnya dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak . . . tidak , . . siauw-jin tidak berani.. siauw-jin tidak
berani" tolaknya dengan cepat, "Si pembesar kota Cuo It Sian
merupakan salah satu jagoan yang berkepandaian paling tinggi
pada saat ini di dalam Bu-lim bilamana tidak untung siauw-jin kena
tertawan bukankah nyawaku akan melayang ?"
"Cuo It Sian bukanlah seorang iblis tukang penjagal manusia,
buat apa kau takuti dirinya?" sambung Wi Lian In lebih lanjut.
"Tidak , . . tidak," ber-turut sipencuri tiga tangan menggelengkan
kepalanya lagi berulang kali, "Sekali pun nyali siauw jin lebih besar
pun tidak akan berani mengganggu diri si pembesar kota itu."
Kami ingin sekali mendapatkan semacam barang milik Cuo It
Sian. bilamana kau mau membantu usaha kita ini dan mencurikan
benda tersebut buat kami maka jasa mu itu bisa digunakan untuk
menebus dosamu kali ini. kami bisa lepaskan satu jalan hidup buat
dirimu, kalau tidak bmm. . , hm m. . ."
Mendengar perintahnya itu sepasang mata dari si pencuri tiga
tangan terbelalak lebar-lebar, dengan amat terkejut sekali serunya:
"Kalian berdua ingin mendapatkan barang apa dari sipembesar
kota Cuo It Sian itu?"
"Kau menyanggupi dulu untuk mencurikan buat kami sesudah itu
aku baru beritahu urusan ini kepadamu."
Sinar mata dari si pencuri tiga tangan segera beralih ke atas
wajah dari Ti Then jelas air mukanya memperlihatkan keraguraguan serta rasa terperanyatnya.
"Kau dengan si pembesar kota adalah sama-sama seorang
pendekar yang mem punyai nama sangat terkenal sekali di dalam
Bu-lim" serunya, "kenapa . . kenapa . "
"Alasannya aku tidak bisa memberitahukan kepadamu," jawab Ti
Then samnbil tertawa, "tetapi aku boleh beritahu kepadamu akan
sesuatu. jikalau ksu bantu mendapatkan barang itu berarti juga
sudah membantu kami untuk melakukan satu pekerjaan mulia."
Agaknya rasa hormat dari si pencuri tiga tangan terhadap diri
sipembesar kota Cuo It Sian jauh melebihi rasa hormatnya terhadap
diri Ti Then mendengar perkataan tersebut dia tetap
memperlihatkan rasa keragu-raguannya.
"Sungguh ?" tanyanya.
"Kau tahu siapakah dia orang?" tanya Ti Then kemudian sambil
menuding kearah diri Wi Lian In.
"Siauw jin tidak tahu," jawab si pencuri tiga tangan sambil
gelengkan kepalanya, "Dia adalah putri kesayangan dari Wi Pocu dari Benteng Pek Kiam
Po. Wi Liao In adanya,"
"Aaaah kiranya nona Wi," teriak si pencuri tiga tangan Kauw Ban
Li dengan amat terperanyat.
Dengan nada serta kedudukan dari nona Wi serta aku orang
tidak perduli kami hendak melakukan pekerjaan apa pun kau boleh
merasa berlega hati."
"Aku masih bisa menanggung akan sesuatu, apa yang kami minta
bukanlah harta kekayaan melainkan semacam barang yang semula
adalah milik ayahku sendiri,"
Sipencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali.
"Aaaaa ... Cuo It Sian sudah mencuri barang milik ayahmu?"
"Kita tidak bisa mengatakan dia sudah mancuri barang milik
ayahku" sahut Wi Lian In lebih lanjut. "Pokoknya dikarenakan
semacam alasan yang tidak bisa dijelaskan. .- coba kau jawablah
dulu mau bekerja untuk kami atau tidak?"
"Yang Siauw jin takuti kalau sampai aku ketangkap olehnya
kemungkinan , kemungkinan" seru Si pencuri tiga tangan tetap ragu
ragu. "Sekali pun begitu belum tentu harus menemui ajal" potong Wi
Lian In dengan cepat. "Asalkan kau tidak bilang kami yang
memerintahkan dirimu untuk melakukan pekerjaan tersebut maka
dia cuma menganggap kau sebagai searang pembegal jalan biasa
saja, paling banyak yaaa bakal merasakan sedikit penderitaan saja"
Si pencuri tiga tangan termenung berpikir sebentar, lalu tanyanya
lagi "Jikalau Siauwjin tidak untung kena tangkap, bilamana dia
hendak turun tangan membinasakan hamba maukah kalian berdua
turun tangan menolong Siauw jin?"
"Tidak" jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya.
Diam-diam Si pencuri tiga tangan menarik napas panjangpanjang dia tertawa pahit.
"Kalau begitu siauw jin tidak punya nyali untuk melakukan
pekerjaan ini" ujarnya.
"Asalkan kau jangan bilang kami yang memerintahkan dirimu
untuk melakukan perbuatan tersebut, aku rasa tidak akan
berbahaya" "Tidak bisa jadi . tidak bisa jadi" teriak si pencuri tiga tangan
Kauw Ban Li sambil goyangkan tangannya berulang kali.
"Kalau begitu yaa sudah,"
Dia tahu dengan kepandaian dari si pencuri tiga tangan bilamana
dia sudah menyanggupi untuk mencurikan pedang pendek yang ada
di tangan Cuo It Sian maka kemungkinan sekali pekerjaan tersebut
dapat mencapai hasil yang diharapkan, tetapi dia pun tidak
mengharapkan bisa berhasil tnencuri pedang pendek itu secepatnya,
karena itu dia orang tidak mau terlalu memaksa si pencuri tiga
tangan untuk melakukannya.
Tetapi Wi Lian In tidak mau melepaskan begitu ssya kesempatan
yang baik ini dia tertawa dingin.
"Tidak, kau harus menerima pekerjaan ini" tandasnya
Si pencuri tiga tangan jadi amat gugup sekali.
"Nona Wi, kau baik-baiklah melepaskan diriku, Siauw jin benarbenar tidak punya nyali untuk mencopet barang milik si pembesar
kota" ujarnya setengah merengek.
"Walau pun kepandaian silatnya amat tinggi tetapi terhadap
perbuatan mencopet sama sekali dia tidak bisa berjaga-jaga buat
apa kau takuti dirinys ?"
"Tetapi ,. " "Kalau kau tidak-setuju juga boleh saja" ujar Wi Lian In
kemudian sambil meloncat turun dari kudanya, "Sekarang ambil
kembali golokmu itu,"
"Nona Wi, kau bermaksud untuk berbuat apa?" tanya Si pencuri
tiga tangan dengan ketakutan lantas mundur beberapa langkah ke
belakang. "Aku tidak dapat melepaskan seorang pembegal yang
mendatangkan celaka buat orang orang yang melakukan perjalanan
melewati tempat ini, tetapi aku sanggup untuk memberi satu
kesempatan buatmu untuk beradu jiwa, bilamana kau ingin tetap
hidup maka kau harus mengalahkan diriku"
Saking takutnya seluruh air muka Si pencuri tiga tangan sudah
berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.
"Tidak, tidak" serunya sambil goyangkan tangannya berulang
kali. "Siauw jin tahu kalau kepandaian hamba bukanlah tandingan
dari nona Wi. Nona Wi kau am punilah aku orang ini,"
"pungut senyatamu dan berdiri!" perintah Wi Lian In dengan
suara yang amat dingin. Si pencuri tiga tangan segera menoleh kearah Ti Tben dan
memohon kepadanya. "Ti . . slauwhiap, kita sudah punya jodoh untuk bertemu muka
satu kali. tolonglah diriku dan lepaskan siauw jin kali ini"
"Sayang aku tidak berkuasa" seru Ti Then sambil gelengkan
kepalanya. Mendadak Wi Lian In berkelebat dan maju mencengkeram baju
di dadanya lantas mengangkat badannya yang sedang berlutut di
atas tanah itu. "Aku kasi muka padamu kau tidak mau menerima, ini hari
janganlah kau menyalahkan kalau nonamu tidak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu."
Selesai berkata telapak tangannya segera diangkat dan siap-siap
turun tangan melancarkan serangan.
Si pencuri tiga tangan jadi amat terperanyat sekali, teriaknya
kemudian. "Baik, baiklah, siauw jin menerima permintaan kalian itu."
Tangan kanan dari Wi Lian In segera di tekuk, kedua jari tengah
serta telunjuknya dengan bagaikan kilat cepatnya berkelebat
menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat pada iga kanannya lalu
baru lemparkan badannya ke atas tanah.
"Totokan ini aku menggunakan ilmu totokan tunggal dari
Benteng Pek Kiam Po kami di dalam kolong langit saat ini tiada
seorang pun yang bisa membebaskannya kecuali aku serta ayahku,
sekarang aku totok dulu jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat di
badanmu, enam bulan kemudian jikalau tidak diobati maka kau akan
muntah darah dan binasa."
Mendengar perkataan dari Wi Lian In ini si pencuri tiga tangan
benar-benar merasa ketakutan.
"Nona Wi" teriaknya ngeri. "Siauw jin sudah menyanggupi nona
untuk melakukan pekerjaan tersebut, kenapa sekarang nona masih
turun tangan juga mencelakai diri siauw jin?"
"Jangan takut, di dalam sepuluh hari ini kau tidak akan marasa
badannya berubah" ujar Wi Lian In tenang saja. "Menanti sesudah
kau berhasil memperoleh barang tersebut aku segera akan turun
tangan membebaskan jalan darahmu itu dan mengobatinya."
"Bilamana siauw jin tidak sanggup untuk mencopet barang itu?"
tanya Si pencuri tiga tangan dengan kaget.
"Untuk menolong nyawamu sendiri kau harus berhasil
mendapatkan benda tersebut"
"Tapi kalau siauw-jin tidak untung tertawan olehnya, lalu . . ."
"Menanti setelah dia membebaskan dirimu aku baru turun tangan
menolong dirimu." "Baiklah," ujar Si pencuri tiga tangan kemudian dengan sedih
lantas bangkit berdiri. "Sekarang beritahu kepada siauw jin kalian
menghendaki benda apa dari badannya."
"Sebilah pedang yang bernama Biat Hun Kiam."
"Pedang pendek itu apa selalu ada di badannya?" tanya Sipencuri
tiga tangan lebih lanjut.
"Tidak salah" sahut Wi Lian In mengangguk. "Kau harus bzrusaha
mencurinya dapat pedang pendek itu sebelum dia tiba dirumahnya
dikota Tiong Cing Hu."
"Dia lewat ditempat ini setengah jam yang lalu, ada kemungkinan
saat ini sudah berada beberapa puluh li jauhnya, bolehkah siauw-jin
berangkat sekarang juga?"
"Dia tidak tahu ada orang yang hendak mengejar dirinya, kau
lebih baik mengejarnya dengan sekuat tenaga, kemungkinan sekali
masih bisa menyandak dirinya."
"Setelah aku berhasil memperoleh barang itu siauw jin harus
mencari kalian kemana?" tanya sipencuri tiga tangan kemudian.
"Asalkan kau lari balik kemari sudah tentu bisa bertemu dengan
kita." "Baiklah," ujar si pencuri tiga tangan sambil garuki kepalanya,
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siauw jin segera akan mengejar dirinya, semoga saja di dalam dua
tiga hari ini bisa memperoleh hasil,"
Selesai berkata dia merangkap tangannya memberi hormat lalu
putar badannya beelalu dari sana.
"Tunggu dulu," tiba-tiba Ti Then berteriak.
"Ti siauwhiap ada perintah apa lagi?" tanya sipencuri-tiga tangan
sambil putar badan. "Tidak perduli kau berhasil mendapatkan barang itu atau tidak
lebih baik kau jangan membocorkan urusan ini ketempat luaran,
kalau tsdak sebelum kau berhasil mulai di dalam pekerjaanmu kau
bakal menemui kematian."
"Baik, baik, baik . ." seru sipencuri tiga tangan berulang kali.
"Tentang hal ini siauw jin paham, sekali pun siauwjin sudah makan
nyali macan juga tidak akan berani membocorkan urusan ini
ketempat luaran" "Kalau begitu baiklah, sekarang kau boleh pergi," seru Ti Then
kemudian sambil mengulapkan tangannya.
Si pencuri tiga tangan cepat-cepat putar badannya dan berlari
meninggalkan tempat itu hanya di dalam sekejap saja dia sudah
lenyap di balik kegelapan.
Wi Lian In segera membungkukkan badannya memungut kembali
golok yang menggeletak di atas tanah itu lantas dibuangnya ke
tengah hutan setelah itu baru naik kembali ke atas kuda
tunggangannya dan tersenyum.
"Kau mengira dia bisa memperoleh hasil tidak ?"
"Ilmu mencopetnya sangat libsy sekali, ada kemungkinan dia bisa
memperoleh hasil," "Bilamana dia bisa memperoleh hasil kemungkinan sekali Cuo It
Sian tidak menduga kalau pekerjaan itu kita yang perbuat bukan ?"
tanya Wi Lian In kemudian.
"Bagaimana bisa jadi ?"
"Dulu sewaktu dia meocopet uang perakmu bukankah dia
berpura-pura seperti seorang mabok dan menumbuk dirimu ?"
"Tidak salah," sahut Ti Then mengangguk.
"Bilamana waktu itu kau tidak merasa dan kemudian kau
menemukan uangmu sudah lenyap, tentu di dalam anggapanmu
sudah menduga dialah yang berbuat, bukan begitu ?"
"Benar" "Kalau begitu jikalau dia mencopet dengan menggunakan cara
yang sama maka Cuo It Sian di kemudian hari bisa menduga kalau
pedang pendeknya itu ada kemungkinan dicopet orang lain,
sedangkan orang-orang Benteng Pek Kiam Po kita tidak ada seorang
pun yang memahami ilmu mencopet maka itu dia tidak akan
menduga kalsu pekerjaan itu kita yang perbuat."
"Perkataanmu ini kedengarannya memang sangat beralasan"
seru Ti Then tersenyum. "Apa mungkin salah?" tanya Wi Lian In heran.
"Menurut penglihatanmu: tidak perduli Si pencuri tiga tangan
hendak mencuri pedang pendek itu dengan cara apa pun sewaktu
Cuo It Sian menemukan pedang pendeknya kena tercuri maka dia
akan menduga itulah perbuatan dari kita."
"Tetapi dia tidak mem punyai bukti."
"Buat apa dia membutuhkan bukti?"
"Kalau begitu sewaktu dia menemukan pedang pendeknya tercuri
dan memastikan kalau perbuatan itu adalah hasil pekerjaan dari
Benteng Pek Kiam Po kita, coba kau pikir dia akan melakukan
gerakan apa lagi" tanya Wi Lian In.
"Sudah tentu dia akan berusaha untuk merebut kembali dari
tangan kita" "Hmmm," dengus Wi Lian Ia dengan dingin. "Kali ini dia jangan
harap bisa merebutnya kembali dari tangan kita,"
"Tetapi sekarang kita belum memperoleh hasil,"
"Aku percaya Si pencuri tiga tangan pasti akan berhasil" sahut Wi
Lian In sambil tertawa kikuk"Tadi kau menggunakan cara apa menotok jalan darah Hiat Bun
Sang ci Hiat-nya?" tanya Ti Then kemudian.
"Coba kau terka," seru Wi Lian Im sambil tertawa ringan.
Ti Then segera angkat bahunya.
"Selamanya aku belum pernah mendengar kalau di dalam
Banteng Pek Kiam Po mem punyai semacam ilmu menotok jalan
darah yang menunggal, bukankah kau sedang beromong kosong?"
"Benar," sahut Wi Lian In tertawa.
"Ehmmm?" "Sungguh omong kosong"
"Kalau begitu kau menggunakan cara menotok yang mana
menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiatnya tanpa melukai
dirinya?" "Kau masih tidak paham?"
"Benar." "Terus terang saja aku beritahu kepadamu aku sama sekali tidak
menotok jalan darah Hiat Bun Sang Ci Hiat-nya, aku sedang menipu
dirinya." "Aaaah , . . aaah ..."
"Bagus tidak?" "Bagus sekali, haaa .haa "
000odwo000 Malam semakin kelam, mereka dengan menunggang kuda
melakukan perjalanan dengan sangat lambat sekali, setelah berjalan
selama satu kentongan akhirnya terlihatlah di samping jalan
terdapat sebuah kuil bobrok, mereka lantas masuk ke dalamnya
untuk beristirahat. Keesokan harinya kembali mereka menunggang kuda
melanjutkan perjalanannya mengejar ke depan.
Hari itu mereka berdua sudah melakukan perjalanan sejauh
ratusan li dan sampailah di sebuah kota kecil yang bernama Ngo Li
Pang- Tiba-tiba tampaklah dari tempat kejauhan sipencuri tiga tangan
dengan amat cepatnya sedang berlari mendatang.
Baik Ti Then mau pun Wi Lian In yang melihat hal tersebut dalam
hati merasa sangat girang sekali, dengan cepat mereka melarikan
kudanya menyambut kedatangannya.
"Sudah berhasil?" tanya mereka hamper berbareng dan sama
sama meloncat turun dari atas kuda.
"Untung tidak menemui kegagalan, sudah aku dapatkan" seru si
pencuri tiga tangan sambil tertawa kegirangan.
Sembari berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar
sebuah pedang pendek beserta sarungnya !alu dengan
menggunakan sepasang tangannya diangsurkan kearah Ti Then.
Wi Lien In dengan cepat merebut pedang itu kemudian
dicabutnya pedang pendek tersebut untuk dilihat.
"Pedang ini tidak salah bukan?" tanyanya dengan rasa
kegirangan. "Di dalam badannya tidak terdapat pedang yang kedua cuma ada
sebilah pedang itu saja," ujar si pencuri tiga tangan sambil menyeka
keringat yang mengucur keluar membasahi dahinya.
Ti Then segera meminta kembali pedang itu dan dilihatnya
beberrpa saat lamanya, lantas dia memuji.
"Pekerjaan dari Cu Kiam Lojin memang sangat hebat sekali, dua
potong pedang yang sudah patah ternyata bisa disambung kembali
seperti sedia kala."
"Kauw Ban Li, ilmu mencopetmu ternyata amat dahsyat sekali,
dia tidak merasa bukan?" tanya Wi Lian Ia tertawa.
"Waktu itu dia tidak merasa, tetapi sekarang ada kemungkinan
sudah merasa," "Kau turun tangan dimana?" taaja Wi Lian In lagi.
"Di dalam kota Hok Hong Sian tidak jauh dari tempat ini, dia
masuk ke dalam sebuah rumah makan."
"Kapan?" tiba-tiba Ti Then menimbrung.
Si pencuri tiga tangan berdiam diri sebentar untuk tukar napas,
lantas baru jawabnya. "Siang ini juga kurang lebih satu jam yang lalu"
"Kalau begitu kemungkinan sekali dia bisa balik kemari untuk
mencari, kita tidak boleh berbicara di tengah jalan, ayoh cepat
mencari satu tempat untuk menghindar," seru Ti Then dsagan
cemas. "Di atas bukit sana ada sebuah hutan, kita pergi ke dalam hutan
itu saja," seru Wi Lian In kemudian sambil menuding kearah sebelah
kiri, Selesai berkata dia segera meloncat turun dari kudanya dan
berjalan menuju ke atas bukit kecil itu.
Setelah mereka bertiga tiba di dalam hutan di atas bukit kecil itu
lantas bersama-sama duduk di atas rumput.
"Sudahlah," terdengar Ti Then berkata. "Sekarang kita boleh
bcrcakap-cakap dengan hati lega, coba kau ceritakanlah kisahmu
sewaktu mencopet pedang pendek itu."
Kemarin malam setelah siauw-jin meninggalkan kalian berdua
lantas melanjutkan perjalanan ke depan dengan mengikuti jalan
raya ini pagi ini aku sudah mengejarnya sampai di kota Hok Hong,
aku pikir dia tentu beristirahat di dalam kota itu makanya dengan
cepat siauw-jin melakukan penyelidikan. Setelah cari setengah
harian lamanya ternyata masih belum ketemu juga. Akhirnya
sewaktu siauw-jin hendak keluar dari kota mendadak tampak dia
berjalan masuk ke dalam kota."
Dia barhenti sebentar untuk menukar napas. Lantas sambungnya
kembali. "Siauw-jin melihat dia masuk ke dalam kota segera
membuntutinya dari tempat kejauhan, ketika melihat dia berjalan
masuk ke dalam sebuah rumah makan maka siauw-jin cepat-cepat
mengikutinya dari belakang, kita berpisah cuma dua kaki saja dan
saling berhadapan. Dia minta macam-macam sayur untuk makan sedang siauw-jin
cuma minta semangkok mie saja maka itu sewaktu dia mulai makan
siauw-jin sudah selesai bersantap, sesudah membayar rekening
siauw-jin lantas berjalan lewat di samping badannya waktu itu kaki
kanannya direntangkan ditengah jalan maka siauw-jin pura-pura
tersangkut kakinya dan terjatuh ke depan.
Siauw-jin dengan mengambil kesempatan ini lantas mencekal
badannya untuk menahan badan sedangkan tangan yang lain
merogoh ke dalam sakunya mencuri pedang tersebut yang
kemudian hamba sembunyikan di dalam saku.
Setelah kejadian itu hamba pura-pura marah dan memakinya
beberapa kejap kemudian terburu-terburu aku meninggalkan rumah
makan itu dan lari kemari... demikianlah akhirnya aku menemukan
kalian di sini." "Bagus, perbuatanmu amat bagus sekali" seru Ti Then tertawa.
"Tetapi," seru si pencuri tiga tangan itu lagi sambil tertawa pahit.
Sewaktu dia menemukan pedang pendeknya tercuri maka dia akan
tahu kalau perbuatan itu siauw-jin yang melakukannya dia tentu
masih teringat wayah dari siauw jin..."
"Soal ini tidak mengapa, dunia adalah amat luas sekali sedang
dia pun tidak tahu siapakah dirimu, untuk menemukan kau lagi
adalah amat sukar sekali."
"Semoga saja demikian," ujar sipencuri tiga tangan sambil
menghela napas panjang. "Bilamana kau takut sampai ditemukan kembali olehnya maka
kau boleh jauh meninggalkan Siok Oauw dua daerah ini bersamaan
pula boleh sedikit merubah wayahmu, dengan demikian bukankah
tidak usah takut lagi dengan dirinya?"
Air muka sipencuri tiga tangan segera kelihatan sedikit murung.
"Siauw jin punya rencana untuk kembali bergulung didaerah
kota Tiang An saja tetapi..."
"Ada kesukaran apa?"
"Ti siauw-hiap dengan Liong Touw Lo toa kami apakah mem
punyai hubungan yang baik?" balik tanya sipencuri tiga tangan itu
sambil memandang tajam wayahnya.
"Tidak." sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.
"Kalau begitu sudahlah."
"Kau minta aku mewakili kau untuk mintakan keringanan dari
Liong Touw Lo toa kalian agar larangan tersebut bisa dicabut
kembali?" "Benar," sahut sipencuri tiga tangan sambil mengangguk, "Tetapi
kalau memangnya Ti Siauw hiap sama sekali tidak mem punyai
hubungan dengan Liong Toauw Lo toa kami hal itu tidak mungkin
bisa terjadi." "Sekali pun aku bisa memintakan keringanan dari Liong Touw Lo
toa kalian tetapi aku juga tidak bisa membantu pekerjaanmu ini,"
sahut Ti Then dengan wayah serius. "Bagaimana aku bisa
membantu seorang pencopet untuk minta keringanan kemudian
memberi kesempatan buat dirinya untuk mencopet harta kekayaan
orang lain?" Air muka sipencuri tiga tangan itu segera berubah jadi memerah.
"Sekali pun siauw jin adalah seorang copet tetapi di dalam
kalangan penyahat pun ada caranya, siauwjin selamanya tidak
pernah turun tangan terhadap kaum miskin" serunya.
"Orang miskin tidak beruang sudah tentu kalian tidak bakal mau
turun tangan terhadap mereka."
Sekali lagi sipencuri tiga tangan garuk garuk kepalanya, kepada
Wi Lian In kemudian ujarnya.
"Nona Wi sekarang kau boleh membantu siauw jin untuk
mengobati luka yang terluka dari tertotoknya jalan darah Hiat Bun
Sang Ci Hiat bukan?"
"Boleh." "Kalau begitu silahkan kau turun tangan sekarang juga."
"Kau baru tertotok satu hari satu malam saja, luka dalam pun
belum terjadi. Sekarang cukup sedikit dipijit maka lukamu itu bakal
sembuh dengan sendirinya."
"Baik... baik..." seru sipencuri tiga tangan dengan amat girang.
"Sebelum aku mengobati dirimu, aku memperingatkan satu
urusan lagi kepadamu, aku melarang kau untuk membocorkan
rahasia dimana kau pernah membantu kami mencurikan sebilah
pedang pendek dari diri Cuo It Sian, kalau tidak, jangan dikata kami
tidak akan mtngam puni dirimu. Cuo It Sian tahu akan hal ini dia
pun tidak bakal mau melepaskan dirimu."
"Sudah tentu, sudah tentu," sahut sipencuri tiga tangan berulang
kali. "Siauw-jin sendiri juga tidak ingin mati, sudah tentu aku tidak
bakal membocorkan urusan ini ketempat luaran."
"Ti Kiauw-tauw." ujar Wi Lian In kemudian kepada diri Ti Then.
"Kau bantu aku pijitkan dirinya sebentar."
Ti Then segera mengangguk.
"Baiklah, sekarang kau boleh berbaring di atas tanah."
Sipencuri tiga tangan menurut dan merebahkan diri ke atas
tanah, Ti Then segera menepuk sebentar jalan darah Hiat Bun Sang
Ci Hiat di atas tubuhnya kemudian mengurutkan juga urat nadi yang
lain, setelah itu baru ujarnya,
"Sudah cukup, sekarang kau merasa nyaman tidak?""
"Sedikit pun tidak salah," Sipencuri tiga tangan segera merasakan
badannya amat nyaman sekali, dengan cepat dia meloncat bangun.
"Nyaman..... nyaman sekali, serunya. Ti siauw hiap boleh dikata
mirip dengan Hoa Tou yang hidup kembali. Sungguh hebat sekali
Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepandaianmu." "Ingat." ujar Ti Then lagi sambil ketawa. "Di dalam enam bulan
ini kau dilarang mendekati lawan sejenis dan bermain perempuan.
Kalau tidak maka luka dalammu akan kambuh kembali."
Sipencuri tiga tangan jadi melengak.
"Iiih... sungguh... sungguh?""
"Sudah tentu sungguh."
Agaknya terhadap enam bulan dilarang bermain perempuan ini
sipencuri tiga tangan merasa sangat sedih dan tersiksa sekali dia
mengerutkan alisnya rapat-rapat lantas menghela napas panjang.
"Sungguh minta am pun, sungguh minta am pun..." serunya
sedih. Mendengar perkataan tersebut air muka Wi Lian In segera
berubah memerah. "Apanya yang am pun am pun" cepat menggelinding pergi dari
sini," bentaknya dengan keras.
"Ooh..." sipencuri tiga tangan segera sadar kembali, dengan
cepat dia merangkap tangannya menjura lantas putar badan
melarikan diri terbirit-terbirit dari sana.
Setelah Wi Lian In melihat dia telah pergi jauh, dia baru tertawa.
"Kau sungguh pintar omong kosong," serunya.
"Orang semacam dia ini jikalau tidak dikasih sedikit pelajaran lain
kali masa bisa berubah jadi baik"
Dia mendengar selama setengah tahun tidak boleh main
perempuan ternyata wayahnya sudah berubah jadi amat murung
sekali, sungguh menggelikan.
Orang-Orang itu pinternya cuma makan, minum, judi, main
perempuan dan berbuat jahat, kini dia mendengar selama setengah
tahan lamanya harus mengekang napsu birahinya sudah tentu dia
merasa sedih hati." Wi Lian In segera menyawil ujung bajunya dengan tertawa malumalu ujarnya tiba-tiba. "Eeeei..... aku mau tanya padamu, kau pernah bermain
perempuan tidak?" "Tidak pernah..... tidak pernah." seru Ti Then dengan gugap
sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Sampai hari ini
juga aku masih seorang jejaka. kau jangan sembarangan
menuduh." "Hmmmm, aku tidak percaya." Seru Wi Lian In sambil
mencibirkan bibirnya. "Sungguh. Omong sesungguhnya sampai sekarang aku masih
tidak tahu bagaimana caranya bermain perempuan dan bagaimana
rasanya." "Kalau begitu begaimana kau bisa mengerti kata-kata main
perempuan dua kata itu?"
"Sekali pun belum pernah makan daging babi tetapi pernah juga
melihat babi lewat," seru Ti Then sambil angkat bahunya. "Sekali
pun kita belum tahu bagaimana caranya main perempuan tapi tahu
juga kata-kata tersebut, bilamana sampai kata main perempuan saja
tidak tahu bukankah kau anggap aku sebagai seorang goblok?"
Wi Lian In tidak mengucapkan kata-kata lagi dia cuma tersenyum
saja. "Kau tertawa apa?"
"Tidak mengapa, ayoh kita melanjutkan perjalanan lagi" seru Wi
Lian In kemudian sambil meloncat bangun.
Demikianlah mereka berdua segera naik kuda menuruni bukit
tersebut dan melanjutkan perjalanan kembali.
Karena takut ditengah perjalanan bertemu dengan Cuo It Sian,
maka mereka tidak berani menuju ke kota Hok Hong Sian melainkan
putar ke sebelah Selatan dan jauh-jauh menghindari kota tersebut
untuk kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke
sebelah Barat. "Ayahku pada saat ini ada kemungkinan masih menunggu di kota
Tiong Cing Hu, bagaimana kalau kita langsung pergi mencari dirinya
lantas bersama-sama pulang ke dalam Benteng?" ujar Wi Lian In di
tengah jalan. Ti Then yang secara diam-diam sedang berpikir kalau
pekerjaannya kali ini mencuri kembali pedang Biat Hun Kiam tidak
lebih cuma membutuhkan dua puluh harian saja sudah tentu tidak
mau menyetujui usulnya ini, karena dia tahu bilamana dia
diharuskan mencari Wi Ci To dan mengajaknya pulang bersamasama maka ada kemungkinan dia segera akan menjodohkan
putrinya kepadanya, hal ini sudah tentu sangat menguntungkan
sekali terhadap usaha dari majikan patung emas karenanya dengan
cepat dia gelengkan kepalanya.
"Tidak, kita tidak perlu mencari ayahmu," serunya.
"Kenapa?" "Bilamana kita pergi kekota Tiong Cing Hu ada kemungkinan bisa
diketahui Cuo It Sian atau anak buahnya, sekarang kita sudah
memperoleh kembali pedang Bian Hun Kiam ini, lebih baik tidak
usah pergi mencari kerepotan lagi."
"Jikalau kita mengubah kembali wayah kita siapa yang bakal
Tusuk Kondai Pusaka 5 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Terlarang 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama