Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh Naga Langit 42

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 42


Koay Ji tidak takut dan tidak kecil hati, dia terus meladeni kemauan dan ajakan Yap Jeng Cie, termasuk adu kematangan iweekang dan mengikuti gaya serta cara yang diinginkan Yao Jeng Cie bagi mereka bertarung. Setelah mereka adu "peluru" daun, dengan tidak memperoleh kepastian siapa yang lebih unggul, Yap Jeng Cie terlihat bergerak mendekati Koay Ji. Tetapi, caranya bergerak agak unik, yaitu tidak dengan berjalan ataupun terbang, tetapi dengan kedua kaki terpentang tahu-tahu bergerak mendatangi Koay Ji. Kecepatannyapun terhitung luar biasa dan membuat Koay Ji sampai mengernyitkan kening mendapati gerak si kakek tua sekali ini rada berbeda. Tetapi, tentu saja Koay Ji tidak merasa takut, hanya sedikit heran sejenak saja dan kemudian tahu apa yang harus dia kerjakan. Apalagi jika bukan segera bergerak dan memapak serangan kakek tua itu.
Dalam waktu singkat mereka sudah tukar menukar pukulan dengan gerakan yang membuat banyak orang yang menyaksikan pertarungan mereka menjadi pening. Maklum, keduanya menggunakan ilmu langkah mujijat yang sama, meski dengan nama yang berbeda. Tentu saja kakek Yap Jeng Cie lebih dalam pemahaman dan juga penguasaannya, tetapi penguasaan Koay Ji jauh lebih bervariasi, lebih banyak dan bahkan lebih lengkap. Dan itulah sebabnya mereka tetap saja berimbang. Koay Ji sanggup menghadapi serangan-serangan Yap Jeng Cie dengan cara sederhana, tidak banyak bergerak, tetapi mengandalkan totokan, gerak mujijatnya dan ilmu-ilmu totokan Kim Kong Cie. Bahkan masih dipadukan pula dengan Tam Ci Sin Thong dan sesekali dengan Ilmu Ci Liong Ciang Hoat, dan karena paduan itu maka dia bisa memaksa kakek Yap Jeng Cie untuk tidak keluar menyerang semau-maunya. Tetapi harus juga memberi perhatian pada pertahanannya karena Koay Ji mampu keluar menyerang dan menyengatnya dengan tidak kalah tajamnya. Tidaklah berlebihan karena sesungguhnya khasannah ilmu silat dan gerak yang dikuasai Koay Ji benar-benar bermanfaat untuk menghadapi kesempurnaan penguasaan dan pengalaman lawan yang memang jauh lebih tua itu.
Tetapi, berbeda dengan Rajmid Singh yang kehabisan nafas karena terangsang terus memukul, kakek Yap Jeng Cie sudah langsung bertarung pada puncak ilmu dan kehebatannya. Sebab dia tahu, jika pertarungan seperti beberapa hari yang lalu berulang kembali, maka daya tahan fisiknya tidak akan mendukung. Karena itu, dia tidaklah meniru cara Rajmid Singh dan kawan-kawannya yang lain, langsung saja dia bergerak dan menyerang dengan ilmu-ilmu pusaka dan llmu andalannya. Dan memang benar, strategi ini berhasil membuat Koay Ji terperanjat sehingga pada pertarungan awal, lebih banyak menunggu dan lebih banyak menghindar. Tetapi, Yap Jeng Cie sadar, bahwa saat Koay Ji menemukan keseimbangan, maka saat itulah pertarungan akan berlarut. Dan bisa dipastikannya pertempuran mereka akan berlamgsung menjadi sangat panjang dan berlarut-larut, hal yang tentu saja sangat tidak diinginkannya. Dia sudah beranggapan dan berkesimpulan, jatuhnya Koay Ji sama saja dengan kemenangan berada di tangannya, karena dia merasa mampu menghadapi tokoh yang lain dan mengalahkan mereka.
Tapi, ini persoalannya, dia tidak bisa dengan cepat mengalahkan Koay Ji, karena iweekang mereka pada dasarnya berbeda tipis saja, dan keampuhan iweekang lawan muda itu sungguh mengganggunya. Tidak dapat serta merta dia menguasai lawan dengan kekuatan iweekangnya, meski dia sudah berkali-kali mencobanya sejak dua atau tiga hari silam. Pertarungan yang nyaris mencelakakannya karena terbawa strategi lawan yang mampu membuat tenaga fisiknya terkuras, dan pada saat terakhir, dia juga ikut terluka parah. Malah lebih parah dari lawannya yang lebih muda usia itu. Hal yang tentu saja sangat memalukan. Dan karena itu dia merubah strategi bertarung dengan langsung mengajak lawan bertarung pada puncak kehebatan mereka masing-masing. Untuk sesaat dia merasa senang, meski ternyata seperti dugaannya, tidaklah serta merta membawa kemenangan baginya, karena Koay Ji hanya terdesak sesaat belaka.
Yang tidak dipahami Yap Jeng Cie adalah, Koay Ji sama seperti dirinya, meski setiap saat terlihat berada di sekitar arena, tetapi terus menerus menggembeng diri sendiri. Terutama karena karena dia sadar, untuk menghadapi Yap Jeng Cie, hanya dirinya sendiri yang mampu dan sanggup melakukannya. Karena itu, Koay Ji selalu siaga dan selalu "melatih diri" setiap saat, bahkanpun ketika sedang bersama dengan suhengnya mengamati pertarungan di arena selama dua hari terakhir. Bahkan, Koay Ji sendiripun sudah mampu mencapai tingkat yang yang dia sendiri tidak menduga pada hari-hari terakhir ini. Karena itu, meski Yap Jeng Cie berlatih secara serius sehari terakhir karena tahu dia akan segera turun ke arena, serta mempersiapkan diri dan strategi untuk bertarung dengan Koay Ji, tetap saja dia tak mampu menang cepat. Karena Koay Ji sendiripun sudah menyiapkan diri memasuki pertarungan akhir yang sangat menentukan ini.
Koay Ji sendiri tidak merasa ragu menggunakan ilmu Ci Liong Ciu Hoat dan Ilmu Thian Liong Pat Pian, karena meski ilmu itu ciptaan Pat Bin Lin Long, tetapi dia sendiri sudah melakukan banyak sekali tambahan dan perubahan disana-sini. Boleh dibilang, ditangannya, Ilmu Ci Liong Ciu Hoat dan Ilmu Thian Liong Pat Pian sudah nyaris setengah bagian adalah tambahan dan ciptaannya. Itulah sebabnya, dia tidak khawatir dengan lawan yang menggunakan ilmu yang sama, dan memang ada juga beberapa perubahan, tetapi tidak sedrastis perubahan dan tambahan yang sudah dia lakukan. Maka, pertarungan mereka, pertarungan Yap Jeng Cie melawan Koay Ji sesekali terlihat menggunakan ilmu yang sama, tetapi dengan varian dan juga jurus yang banyak berbeda.
Tetapi, khusus untuk Ilmu Pukulan, Koay Ji memiliki sendiri beberapa Ilmu Pukulan milik perguruannya, seperti Sam In Ciang yang beberapa kali dia gunakan untuk menahan dan untuk menyerang Yap Jeng Cie. Di tangan Koay Ji, ilmu apapun akan bisa menjadi ilmu yang berbahaya, karena dia mulai mampu meresapi sebuah teori, gerakan sesederhana apapun jika dilakukan pada saat dan moment yang tepat akan menjadi gerakan mujijat. Karena prinsip ini, maka bukan sekali dua kali Koay Ji bertahan dan menyerang dengan dua jenis ilmu yang berbeda dan berasal dari dua perguruan yang berbeda. Setelah lebih kurang 30 jurus mereka bertarung dengan cara seperti itu, tiba-tiba terdengar si kakek Yap Jeng Cie berkata:
"Apakah engkau tidak malu menggunakan ilmu perguruanku" Hahahaha, engkau sendiri sepertinya tidak percaya dengan ilmu perguruanmu....."
Kata-kata yang tajam namun seperti tidak diindahkan oleh Koay Ji, meskipun pada dasarnya kata-kata tersebut benar menyentak kalbu Koay Ji. Dan karena kalimat itulah maka untuk selanjutnya Koay Ji tidak lagi menggunakan ilmu-ilmu ciptaan Pat Bin Lin Long, kecuali pada variasi jurus tambahan yang dia ciptakan. Karena dia tahu, Kitab Rahasia Gerakan Manusia ternyata bukan milik Pat Bin Lin Long, tapi milik orang lain. Tapi sejak kalimat Yap Jeng Cie, selanjutnya Koay Ji mulai lebih banyak menggunakan ilmu perguruannya, termasuk juga ilmu-ilmu pusaka Siauw Lim Sie yang sudah dikuasainya dengan baik.
"Hmmm, apakah engkau kira Suhu hanya kebetulan mengalahkan muridmu dahulu itu" bahkan engkaupun baru saja kulukai beberapa hari lalu. Apalagi kau orang tua bermimpi menantang Suhu..." sungguh terlampau tinggi mimpimu..."
Berkata demikian, Koay Ji kini memutuskan tidak lagi menggunakan baik Ilmunya Ci Liong Ciu Hoat, Thian Liong Pat Pian dan juga ginkang Cian Liong Seng Thian. Kecuali pada jurus-jurus tambahan yang memang merupakan jurus ciptaannya dan malah sudah setengah dari ilmu aslinya yang diciptakan oleh Pat Bin Lin Long. Tapi, kini pada dasarnya Koay Ji berhadapan dengan Yap Jeng Cie dengan semata-mata mengandalkan ilmu perguruannya. Dan karena lawan sudah bergerak, menyerang dengan iweekang tinglat tinggi, maka mau tidak mau Koay Ji kini mengerahkan kedua iweekang andalannya yang justru semakin matang beberapa hari terakhir. Tanpa dia sadari, kekuatan iweekang gabungan mulai menjalari tubuhnya dan juga setiap pukulan dan tangkisannya. Baik iweekang mujijat Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang maupun juga Toa Pan Yo Hiankang yang sudah menyatu dalam tubuhnya kini melindunginya. Bahkan juga menjadi landasan dan tenaga pendorong dalam menghadapi lawan tua yang dia tahu amat hebat itu.
Bukan hanya itu, gerakan ginkangnya, juga kini banyak menggunakan Liap In Sut dan dikombinasikannya dengan jurus-jurus ciptaannya yang dia sisipkan dalam ilmu ginkang Thian Liong Pat Pian. Bahkan selanjutnya, setelah pertarungan malam itu, Ilmu ginkang Liap In Sut justru disempurnakan dan menjadi lebih mujijat dengan jurus tambahan ciptaan Koay Ji. Satu lagi keuntungan Koay Ji akibat teguran dan juga makian Yap Jeng Cie adalah, keberanian dia untuk mulai menyandarkan gaya tempurnya dengan ilmu baru yang peruntukkannya memang menghadapi perguruan Pat Bin Lin Long yang sudah tersesat. Ilmu tersebut adalah Ilmu Poan Liong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Naga Melilit), ciptaan dan pendalaman terakhir Koay Ji dalam persiapan menghadapi Yap Jeng Cie.
Pada dasarnya, Pukulan Naga Melilit diciptakannya menurut inspirasi pertempuran Geberz melawan Panglima Arcia, dan dia dirangsang oleh Lie Hu San, tokoh mujijat asal Khong Sim Kaypang untuk mencerna "sesuatu" dari pertarungan seru itu. Tapi, ternyata, mereka berdua secara ajaib menemukan sebuah formula yang sebenarnya bagi Lie Hu San sendiri baru merupakan "teori" dan "falsafah" ilmu silat yang masih mentah. Tetapi, Lie Hu San sendiri sudah lama memahaminya tetapi masih belum sampai pada menemukan cara untuk merealisasikan dan merumuskannya sebagai satu ilmu atau prinsip dasar ilmu silat. Percakapan Lie Hu San dengan Koay Ji, tanpa dia sangka, justru membuka pikirannya atas "falsafah dasar" yang relatif baru. Dan diapun tidak tahu, jika Koay Ji yang menyangka sedang "diajar" olehnya, justru menemukan hal yang nyaris sama, tetapi mengembangkannya secara berbeda dari tokoh hebat nan mujijat itu.
Mereka berdua tidak saling tahu dan tidak mengerti, bahwa percakapan mereka yang tadinya seakan LIE HU SAN sedang memberi petunjuk, padahal sejatinya juga pada akhirnya memahami sesuatu. Koay Ji dalam waktu beberapa hari mampu kemudian merumuskan sebuah teori ilmu silat yang dia pada akhirnya memberinya nama dalam sebuah Ilmu, yaitu Ilmu Poan Liong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Naga Melilit). Karena secara kebetulan Koay Ji sedang menemukan ilmu penawar atas pertarungan "teoretis" yang sudah berlangsung sangat lama nan panjang sejak Suhunya mengalahkan Pek Kut Lojin (murid utama Yap Jeng Cie) " maka tanpa disadarinya, Ilmu Poan Liong Siang Hoat menjadi jawabannya atas usahanya itu. Tetapi, belakangan, dia sendiri menyadari bahwa, Ilmu tersebut juga bisa menjadi semacam "prinsip dasar" dalam bertarung sehingga menjadi ilmu silat yang baru, atau tepatnya cara melawan musuh lewat sistem baru.
Melalui khasanah rahasia gerak silat dan jurus silat manusia yang dibacanya dari kitab peninggalan Pat Bin Lin Long, dia kemudian menciptakan sebuah gerak mujijat yang menjadi jurus-jurus utama Pukulan Naga Melilit. Jurus-jurus itu dimaksudkan untuk "menutup" dan "menghambat" sejak sangat awal potensi serangan berbahaya musuh. Dia tidak lagi harus pusing memikirkan jurus pemunah, tetapi memunahkan serangan lawan sejak sebelum dia memasuki pertengahan jurus serangan dan sudah langsung memunahkannya. Yang mesti dilakukan Koay Ji adalah, berusaha secepatnya mengerti lawan bergerak dengan cara A dan maksud A, jika bergerak dengan gaya B maka maksudnya B, demikian seterusnya. Supaya maksud A dan B tidak tercapai, maka sebelum gerak pertengahan, masih sangat awal, Koay Ji sudah menyerang dan memunahkan serangan tersebut. Tidak lagi butuh jurus lain selain terus-menerus membuat lawan tidak sanggup mengerahkan kekuatan terhebat lewat serangannya. Karena pada dasarnya, semua jurus serangan akan memuncak pada bagian pertengahan hingga akhirnya. Prinsip dasar itu kemudian kelak menjadi ilmu silat baru dan khas dari Koay Ji.
Ilmu dan prinsip bertarung seperti ini, pada dasarnya belum pernah dicoba oleh Koay Ji, tetapi setelah didesak dan ditegur dan dipermalukan oleh Yap Jeng Cie tadi, Koay Ji justru jadi teringat dengan ilmu ini. Karena ingatan itu, Koay Ji sambil bertarung mulai berusaha memberanikan diri mencoba formula baru ini setelah dia selesai dan habis menggunakan baik Tam Ci Sin Thong dan Kim Kong Cie dalam menyerang dan bertahan terhadap lawannya itu. Dan menggunakan ilmu-ilmu pusaka Siauw Lim Sie ini membuatnya sempat mampu mendesak dan memegang kendali pertarungan, meski sebenarnya juga boleh dibilang tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi, karena memang iweekang pendukung adalah iweekang murni kaum Budha, maka serangan-serangan dan gerakan Koay Ji benar-benar mendatangkan kesulitan bagi Yap Jeng Cie.
Ada beberapa kali mereka saling lilit dengan jurus-jurus berbahaya, dengan bahaya lebih besar dialami dan dihadapi oleh Yap Jeng Cie. Tetapi, lewat kematangan dan pengalamannya, tokoh tua nan sakti itu tetap saja mampu melawan dan sekaligus membuatnya menyelamatkan diri dari situasi yang sebetulnya agak merugikannya. Dengan memanfaatkan jurus ciptaannya yang kini dia mainkan bersama ginkang Liap In Sut, Koay Ji mulai menggunakan jurus Jiang Liong Jip Hun (Ular Naga Menyusup ke Awan). Dia menghindari towelan Yap Jeng Cie yang berkekuatan besar dan memperoleh waktu sepersekian detik dengan gerak mundur selangkah dari kakek itu. Dengan cepat, mengkombinasikan ilmu pusaka dan andalan suhunya, Ilmu Pukulan Sian In Sin Ciang (Lengan Sakti Bayangan Dewa), dan juga Ilmu Kim Kong Cie, dia menyerang kakek itu yang kehilangan waktu meski tidak sampai setengah detik sekalipun.
Dia awalnya menyerang dengan jurus Tok Bi Hoa San (Membelah Gunung Hoa San), dua serangan berbahaya yang merupakan awal serangan. Seperti dugaannya, kakek itu mengibaskan lengannya karena posisinya kurang baik dengan jurus Hong Hwie Lu Coan (Bukit melingkar jalan berputar). Lengannya memang terdorong mengikuti arus iweekang kakek itu yang memang dia akui sangat kuat dan tidaklah berani dia berkata lebih kuat dari kakek itu. Tetapi, posisi itu sudah masuk dalam perhitungan dan antisipasinya, karena dengan segera dia melakukan dua gerakan berbahaya secara nyaris bersamaan dengan jurus Thian Sian Te Coan (Langit mengelilingi bumi berputar) disusul dengan jurus Tiang Hong Koan Jit (Pelangi menembus matahari). Koay Ji membiarkan tubuhnya terseret arus kekuatan yang dikerahkan lawannya, tetapi dengan cara itu justru membuatnya begerak jauh lebih cepat dengan berondongan 10 serangan lengan kosong sambil mengelilingi tubuh lawannya. Sadar Koay Ji memanfaatkan tenaganya dan membuatnya bergerak lebih cepat lagi, kakek tua itu akhirnya menangkis dengan sama bergerak cepat mau tidak mau. Tidak semua dia tangkis sebetulnya.
Memang, pada akhirnya, dia mampu menangkis 4 pukulan sehingga mereka saling berbenturan, tetapi disini Koay Ji kembali memainkan strategi bertarungnya untuk membuat kakek tua itu pusing sendiri. Karena penguasaan iweekangnya sudah sedemikian hebat dan sempurna, meski lebih matang kakek tua itu, tetapi karena iweekangnya memang lebih murni, maka bisa dia kerahkan semau hatinya. Ada setidaknya empat jenis kekuatan iweekang yang digunakannya secara berbeda, menarik, mendorong, menghisap dan kemudian mementalkan. Karena perubahan-perubahan yang sulit untuk ditebak dan sulit untuk diantisipasi ini, maka kakek Yap Jeng Cie menjadi terkejut. Tetapi tetap saja dia mampu meladeni dengan kokoh, terutama dengan menggunakan tenaga khas iweekang perguruannya yang memang memiliki keampuhan khusus, yakni punya daya memelesetkan tenaga lawan yang tidak kalah hebat dan sempurnanya.
Kembali Koay Ji mampu memperkirakannya, karena itu ada enam serangan lain yang dia lakukan namun tidak sampai dia benturkan dengan kakek tua itu. Hanya sengaja memancing gerakan kakek itu dan dan memberodongnya dari ketinggian dengan jurus yang kedua. Pada jurus kedua ini, dia memukul sebanyak lima kali dan membuatnya sedikit beroleh keuntungan karena kakek tua itu dalam posisi kurang baik, hal yang dipertahankan Koay Ji selama memainkan kedua jurus dari ilmu yang berbeda dari perguruannya. Meski tidak sampai membuat Yap Jeng Cie terdesak, tapi membuat kakek itu menjadi panas hati. Tetapi sayang, kakek tua itu, Yap Jeng Cie, mestilah terlebih dahulu memperbaiki posisi bertahannya yang sempat kalah sepersekian detik. Baru setelah itu dia mampu menerjang lagi. Hanya, saat itu dia merasa kerepotan, karena Koay Ji masih belum memberi dia ketika melakukan lagi serangan balasan, sebaliknya mencecarnya lagi dengan jurus yang lain. Maka, Yap Jeng Cie kemudian bergerak sambil merancang serangan balasannya.
Menyusul jurus yang kedua, Koay Ji yang masih menang tempo melanjutkan lagi serangannya dengan jurus In Liong Sam Sian (Naga di awan muncul tiga kali), dan disusul dengan jurus maut dari Ilmu Kim Kong Cie, yakni sebuah jurus yang bernama jurus Hud Kong Boh Ciau (Sinar Budha Memancar Luas). Masih tetap memegang inisiatif, Koay Ji yang masih menyerang dari atas dan tetap melayang, sadar dan paham, jika dia berganti jurus yang lain, maka inisiatif akan berpindah ke kakek itu. Karenanya, tanpa menjejak tanah, dengan kekuatan iweekangnya yang sudah luar biasa, tetap dengan ginkang Liap In Sut, diapun menerjang tiga kali. Ketiga totokan itu bukan totokan biasa, karena mengarah ke tiga jalan darah yang berbahaya dan bakal langsung menghentikan pertempuran jika sampai terkena, sehebat apapun kakek tua itu.
Yap Jeng Cie jelas paham dengan bahaya serangan Koay Ji, karena itu mau tidak mau diapun harus bergerak dengan beberapa jurus menghindar, bahkan pada dua jurus terkahir, dia harus memantapkan hati. Bukan apa-apa, kedua jurus yang dia gunakan terakhir, adalah jurus-jurus andalannya dalam menyerang dan bertahan, yakni jurus Tiau Thian It Cut Hiang (Menghadap Kelangit Dengan Sebatang Dupa) dan kemudian Gerakan ki Hwat Liau Thian (Mengangkat Api Menyuluh Langit). Pada bagian ini, Kakek itu harus menggunakan sampai 6 jurus dengan dua jurus terakhir yang memakan tenaga dan kecepatan baru dia mampu menetralisasi serangan Koay Ji dan beroleh kesempatannya kembali. Jurus kelima merupakan jurus andalannya dengan mengerahkan banyak tenaga iweekang yang terpusat dan kemudian memukul lengan penyerang Koay Ji. Dan setelah itu, diapun menyusul dengan mengejar Koay Ji yang menyelamatkan lengannya kembali sambil berusaha menyerang kembali dengan jurus serangan selanjutnya. Pada saat itu, keduanya memperoleh ketika yang kembali sama untuk menyerang dan bertahan tetapi adalah Yap Jeng Cie yang sudah lebih dahulu bergerak.
Apakah Koay Ji terlambat" Sebenarnya tidak. Justru pada saat dia merasa bahwa dia memiliki tabungan "sepersekian detik" mendesak Yap Jeng Cie, maka teringatlah dia dengan Ilmu Pukulan Naga Melilit, dan ingin mencoba prinsip itu sebagai bahan latihan. Toch yang dia butuhkan adalah melihat bagaimana "kecepatannya" dalam membaca gerakan lawan, dan melatih refleksnya menemukan gerakan yang tepat dalam waktu yang terbatas. Koay Ji berpikir cepat, dan karena itu diapun sengaja melepaskan tabungan berharganya, sepersekian detik inisiatif menyerang, dan dia memberi kesempatan lawan untuk menerjangnya. Hanya sesaat waktu yang dia butuhkan, selain itu, dia sendiripun memang belum "yakin" betul dengan apa yang akan dia lakukan, tetapi dia tetap ingin mencobanya.
Yap Jeng Cie datang dan mulai menyerang, sebuah serangan khas dari kakek itu datang dengan jurus Gin Ho Sia Ing (Bima Sakti meluncurkan bayangan). Koay Ji memperhatikannya dan dengan cepat dia bergerak dengan jurus sederhana dari Ilmu Pukulan Cakar Ayam Sakti, sebuah gerakan sederhana bernama jurus gerak Ih Hing Hoan Wi (Pindah Bentuk Ganti Tempat). Gerakan sederhana yang semua orang tahu dan kenal, tetapi ternyata 4 buah serangan lawan yang dipersiapkan untuk menerjangnya dapat dia gagalkan. Gerakan Koay Ji sederhana, bukannya menunggu, dia justru menggeser langkah kaki maju, dan sebelum lengan Yap Jeng Cie terulur menyerang, justru lengan berbentuk cakar ayam Koay Ji sudah datang dan membatalkan jurus serangannya. Kakek tua itu, Yap Jeng Cie segera dengan cepat mengganti jurus dengan Lo Chiu Poan Kin (Pohon Tua Melingkarkan Akar) yang menarik lengannya dan menyerang dengan gerakan melingkar.
Tetapi, sekali lagi Koay Ji bergerak dengan gerakan mudah dalam jurus Tok liong jut tong' (naga keluar dari gua), dan serangan kakek itupun patah di tengah jalan. Tetapi hebatnya, kakek itu tidak mudah patah arang, sama dengan Koay Ji yang semakin gembira dengan apa yang dia temukan. Yap Jeng Cie datang lagi dengan jurus Cik Ci Thian Lam (Lurus Menuding ke Arah Langit Selatan), gerakan melengkung yang gagal berubah menjadi gerakan menotok dan memukul dalam 3 arah. Tetapi lagi sebuah gerakan sederhana lainnya, yakni jurus Huang Hong Ing (Mengiring Angin Puyuh), dapat mematahkan jurus serangan itu sebelum kembali membahayakan. Setelah jurus ini antisipasi tersebut, Koay Ji jadi agak alpa dan terlampau senang sehingga memecah konsentrasinya, dan ini harus dia bayar dengan harga hilangnya peluang untuk mencegat dan menahan serangan musuh sejak gerakan tahap awal.
Seperti sebelumnya, Yap Jeng Cie yang mulai penasaran karena sampai 4 jurus serangannya patah sebelum berkembang menjadi penasaran dan mulai khawatir. Tetapi, perubahan suasana hati Koay Ji membuat Yap Jeng Cie yang sempat tadi agak jatuh perasaannya, kembali bersemangat. Jurus Ciam Liong Cut Hai (Naga menyelam keluar dari laut) yang dahsyat tidak seperti biasanya, tidaklah mampu atau terlambat dicegah oleh Koay Ji. Karena itu, bukannya maju mencegat, dia malah akhirnya mundur dan berbalik didesak Yap Jeng Cie yang kini memegang kendali pertarungan. Koay Ji memang mampu menetralisasi serangan lawan dengan jurus Biau Chiu Te Sing (Tangan Indah Memetik Bintang), tetapi serangan lain sudah menyusul datang dengan jurus Lat Bi Hoa San (Dengan Tenaga Penuh Menghantam Gunung Hoa San). Serangan ini lebih cepat dan lebih berbahaya dan membuat Koay Ji menyesal dengan suasana hati dan kegembiraan berlebihan yang membuatnya kembali terserang lawan.
Tapi, meskipun demikian, Koay Ji sudah mencoba prinsip temuannya, dan dia sudah cukup puas dan mencoba untuk melakukannya sekali lagi. Tetapi, untuk mencoba kembali, dia membutuhkan "tabungan" yang sama seperti dia mencobanya tadi, padahal sekarang sudah lebih sulit karena dia sedang dicecar lawan. Karena lawan memang hebat, maka Koay Ji berkeras mencoba sekali lagi, tetapi untuk itu, dia butuh menerjang lawan seperti tadi, dan dia mesti menemukan momentum yang pas dan tepat melakukannya. Tapi, untuk saat itu, meski dia senang dengan apa yang sudah dia coba, tetapi dia harus melawan dan menetraliser serangan lawan terlebih dahulu dan memulai kembali. Kembali dia harus mengandalkan Ginkang Liap In Sut dan gerakan-gerakan mujijat ciptaannya, yang sudah dia pikirkan akan menciptakan dan menyempurnakan ginkang perguruannya kelak dengan gerakan-gerakan baru yang dia dalami dan ciptakan.
Hal yang dialami oleh Yap Jeng Cie tadi, kini dialami oleh Koay Ji. Dia harus sampai menggunakan 5 jurus menawarkan dua jurus serangan lawan, tetapi Koay Ji tidak mengeluh. Bahkan, dia berniat mencoba sekali lagi apa yang sudah dia coba tadi dan berharap menemukan kemajuan yang besar dalam upayanya menyempurnakan formula yang dia percakapkan dengan Lie Hu San. Untuk menemukan kembali apa yang hilang tadi, Koay Ji kini selain memainkan Liap In Sut, juga mencoba gerakan pukulan dari Ilmu Thian Liong Cap Jit Sik (17 Gerakan Naga Langit). Sebuah ilmu kebanggaan suhunya, dan diapun sangat senang dengan ilmu itu, karena meski hebat dan kuat, tetapi memberi kesempatan lawan untuk "berpikir" agar mengalah. Sebuah prinsip aneh dalam pertarungan, tetapi Suhunya memiliki perhitungan sendiri dengan ilmu tersebut. Selain itu, diapun mempersiapkan dengan sebuah ilmu yang lain, Taylo Kim Kong Sin Ciang, versi pukulan berat dari Siauw Lim Sie, yang sama hebatnya dengan totokan Kim Kong Cie.
Sesungguhnya, hebat sekali cara Koay Ji untuk menawarkan serangan Yap Jeng Cie, hal yang menggambarkan betapa hebatnya kakek tua itu. Karena ilmu-ilmu yang dipersiapkan Koay Ji pada dasarnya adalah ilmu-ilmu hebat yang perbawa dan reputasinya sudah diketahui orang dan jarang dapat disaksikan insan persilatan Tionggoan dewasa ini. Kini, Koay Ji memainkan 3 ilmu tersebut dalam upayanya yang cukup liar, mencoba kembali formasi ilmu ciptaannya dalam dialog dengan Lie Hu San. Apakah dia akan berhasil"
Sesungguhnya Yap Jeng Cie sendiri memang sejak awal tidak main-main, malah sudah langsung menggunakan puncak kehebatan ilmu perguruannya. Ilmu sakti yang menjadi kebanggaan mereka dan dia sudah kuasai melebihi dari semua adik seperguruannya, yakni Ilmu sakti Cap Sah Sik Heng Kang Sim Coat dan juga Ilmu Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Ilmu Menghimpun Dan Menyatukan Hawa Murni ), kemudian Ilmu Cap Ci Tam Kan Ciu (Ilmu Sentilan Sepuluh Jari) sampai Ilmu Loh Ing Ciang Hoat (Pukulan Tangan Bintang Jatuh), sudah dia kerahkan. Tetapi, sebagian besar sudah diselami dan dimengerti oleh Koay Ji, oleh karena itu Koay Ji masih bisa melakukan perlawanan dan bahkan mengetahui kehebatan ilmu keluarga Pat Bin Lin Long tersebut. Bahkan, sebagian besar ilmu andalan mereka sudah kena dikuasai dan dikembangkan menjadi lebih sempurna dan lebih luas dari ilmu aslinya. Inilah sebabnya mengapa Koay Ji tidak merasa jeri menghadapi kakek tua yang adalah tokoh utama pewaris ilmu-ilmu Pat Bin Lin Long.
Dengan gerakan-gerakan terukur, tidak cepat namun tidak lambat, kakek itu kembali menyerang Koay Ji. Sekali ini dia menyerang dengan gempuran kekuatan iweekang yang sudah di 7 bagian kekuatannya dan kini beruntun menyerang dengan jurus Lie Kong sia tjio (Lie Kong memanah batu), yang langsung dilanjutkan dengan jurus Koay niauw hoa in (Burung ajaib membalik mega). Kedua jurus itu memang tepat pada saat itu, menghentak dari jauh dan meghujani pukulan dari atas, pilihan yang membuat jalan keluar Koay Ji jadi terbatas. Tetapi, menghadapi ancaman pukulan berantai itu, Koay Ji memutuskan menggunakan jurus Jong Liong Jut Chiu (Naga Hijau Menjulurkan Cakar), disusul segera dengan gerakan jurus Ko Cu Boan Sim (Burung Merpati Membalik Diri), dan jurus Hui Yan Liap Bo (Burung Walet Menobros Ombak). Mau tidak mau Koay Ji harus menggunakan berapa jurus lebih dari lawannya, karena dia harus mengelak dan memunahkan jurus serangan yang berantai ditujukan ke berapa bagian tubuhnya.
Tetapi, baik kibasan, totokan maupun upayanya mengisap dan mementalkan ilmu dan jurus pukulan lawan tidaklah sama sekali mengurangi tekanan atas dirinya. Sama seperti tadi dia menekan Yap Jeng Cie, dan kemudian secara sengaja dia memberi kesempatan kakek itu untuk menerjangnya. Tetapi sekali ini, tidaklah mungkin dia berharap diberi kesempatan kakek itu sementara kesempatan untuk menyerang tidaklah datang setiap saat. Apalagi, karena Yap Jeng Cie sadar, jika kemampuan mereka memang tidaklah jauh berbeda, karena itu dia tidak berpikir untuk menurunkan intensitas serangan dan terjangannya. Karena itu, mau tidak mau Koay Ji harus kembali menggunakan beberapa langkah mujijat yang masih belum diketahui dan dipikirkan lawannya. Dan pada saat yang tepat, dia segera kembali memainkan jurus-jurus hebat itu.
Diawali dengan sebuah jurus mujijat dari Taylo Kim Kong Ciang, yakni jurus Hud to seng thian (Buddha suci naik sorga), yang memukul empat pukulan lawan dan kemudian dia lanjutkan dengan jurus Tiang Hong Koan Jit (Pelangi menembus matahari), sebuah langkah yang masih belum disadari Yap jeng Cie. Maklum, kali ini Koay Ji memilih sebuah gerakan aneh dari daerah Tibet, gerakan berputar pada sumbu di bumi dan tiba-tiba gerakan memutar itu mencelatkan tubuh Koay Ji keatas. Saat keatas itu diapun merubah kembali gerakan menjadi jurus Ya Can Pat Hong (Bertarung malam dari delapan penjuru bertarung). Gerakan terakhir ini adalah usaha untuk mencoba kembai menguasai arena, meski dia paham tidaklah dengan secara telak mendesak musuhnya. Yap Jeng Cie mencoba mempertahankan posisi dan juga serangannya dengan memainkan dua jurus secara beruntun, yakni jurus Hiat Kong Beng Sian (Sinar Darah Mendadak Memancar) dan juga disambung langsung dengan lain tidak lama kemudian, jurus Lui Tong Ban- Bu (Halilintar menggoyangkan selaksa benda).
Terjangan balasan Yap Jeng Cie memang berhasil mengurangi tekanan Koay Ji, terlebih dia sendiri memang menyertakan pukulan penuh kekuatan iweekang. Dan karena upayanya ini, maka Koay Ji sadar, bahwa dia tidak boleh memaksakan diri untuk terus menerjang. Tetapi, tujuannya memperoleh kembali inisiatif berhasil dia gapai, dan karena itu dia tidak alpa dan langsung kembali menerjang Yap Jeng Cie dengan rangkaian serangan ilmu-ilmu Tal Lo Kim Kong Ciang dan juga Sam Im Ciang yang menjadi kebanggaan suhunya. Jangan ditanya kekuatan iweekang yang melambari pukulannya, tidak akan kalah kuat dengan serangan dan kekuatan lawan yang berusaha menawarkan pukulannya.
Begitulah, selama dua jam pertama, pertarungan keduanya langsung pada puncak pertarungan dengan Koay Ji sampai tiga kali mengulangi percobaannya memakai Pukulan Naga Melilit. Lebih tepatnya, mencoba formula Naga Melilit yang sempat dia percakapkan dengan Lie Hu San beberapa waktu sebelumnya. Dan dalam saat yang dia lalui itu, semakin dia memperoleh gambaran bahwa dia semakin bisa dan makin mendalami formula tersebut. Apalagi, karena lawannya adalah lawan terkuat yang dia temukan selama pengembaraannya. Memang, pada percobaan pertama dan kedua, dia kehilangan konsentrasi tidak lama setelah memainkan formula itu. Percobaan pertama, dia gagal akibat kegembiraan berlebihan dan mengurangi kosentrasinya sehingga bisa membuat Yap Jeng Cie terlepas dari jepitan dan juga terjangan Koay Ji yang memotong setiap jurus serangannya.
Percobaan kedua, ada hasil lebih baik, karena dia sampai jurus ke 14, baru pecah konsentrasi lagi. Tepatnya bukan konsentrasi terpecah seperti kasus pertama, tetapi lebih ke "kembalinya" Koay Ji dengan pola lama, berpikir jurus dilawan jurus, dan bukannya membiarkan dirinya "melupakan" jurus tandingan, tetapi menutup atau mencegah musuh untuk terus menerjang. Percobaan ketiga, dia bertahan lebih lama lagi, sampai jurus ke 23, dan dia mulai sadar bahwa kekurangannya berada dimana. Karena pengetahuan dan pemahaman ini, maka dia menjadi semakin percaya diri dalam bertarung, meski setelah percobaan kedua dan ketiga, dia didesak habis-habisan oleh Yap Jeng Cie. Kakek itu sebenarnya heran juga, karena beberapa kali Koay Ji seperti sengaja memberi dia kesempatan untuk bertarung lebih jauh dan mengurangi tekanan dan serangannya yang sebenarnya menyulitkan.
Bahkan, dalam percobaan yang keempat, Koay Ji sempat terkena serempet satu pukulan lawan meski tidak telak. Dan karena dia sudah mengerahkan kekuatan iweekang sampai tingkat tertinggi, maka badannyapun terlindungi oleh hawa khikang khas Ilmu Budha yang disebut Kim Kong Pu Huay Che Sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak). Selain memang dia sudah terlindung khikang itu, Koay Ji sendiri sadar bahwa pukulan yang mengenainya sebetulnya tidaklah telak mengenainya. Karena itu, Yap Jeng Cie sendiri tidak merasa bahwa kejadian itu adalah sebuah kemenangan baginya. Apalagi, dia sendiri melihat Koay Ji tidaklah terluka dan gerakannya tidak terganggu karena terserempet pukulannya itu. Karena itulah maka moment itu terlewat begitu saja, baik Yap Jeng Cie maupun Koay Ji tidak menganggap itu sebuah masalah besar.
Setelah lewat duaratus jurus, langkah kaki keduanya mulai semakin lambat, juga gerakan tangan mereka semakin melambat saja. Tanda bahwa ilmu yang mereka kerahkan sudah penuh kekuatan iweekang, dan pukulan-pukulan yang dikerahkan adalah pukulan dengan daya dorong yang sangat besar. Bahkan yang mengerikan adalah, radius 10 meter dari pertarungan sudah tidak aman bagi banyak orang dan memaksa mereka pada menjauh lebih dari radius 20 meter. Apa sebabnya" Karena benda-benda kecil, batu kecil yang keras karena dekat dengan aliran air, seperti pada beterbangan. Terbang mengikuti alur dan arus kekuatan yang mengelilingi tubuh keduanya, dan tiba-tiba terpental menjauh dengan kecepatan yang amat jelas mendebarkan. Karena jika sampai terkena oleh desingan batu-batu kecil itu, maka pastilah akan parah akibatnya. Maklum, kerikil-kerikil dan bahkan benda lain yang terserempet dan menjadi seperti "peluru" cepatnya desingan benda-benda tersebut, penuh dengan kekuatan iweekang kedua orang yang sedang berkelahi itu.
Disebutkan perlahan, sebetulnya tidak juga. Tetapi, kini memang, kecepatan gerak mereka tidak lagi seperti awal. Yap Jeng Cie sudah paham, jika dia terus menerus meladeni Koay Ji dalam pertarungan yang menguras kecepatan dan tenaga, maka dia akan mengalami kejadian yang sama dengan 3 atau hari lalu. Terkuras tenaga dan terluka. Dan ini dia tidak inginkan. Hanya dia tidak mengerti saja bahwa pada saat yang sama, Koay Ji sudah mengetahui kekurangannya dan karena itu juga sudah menyiapkan diri lebih baik. Anehnya, entah mengapa Koay Ji meladeni saja kemauan kakek itu dalam adu kekuatan dengan pengerahan kekuatan iweekang tingkat tinggi. Apa Koay Ji tidak salah" Bahkan Yap Jeng Cie juga kaget berbareng senang ketika Koay Ji terseret kemauan dan keinginannya.
Yang tidak dipahami kakek itu adalah, Koay Ji berani meladeninya karena memang semakin paham kekuatan kakek itu dan kekuatannya sendiri. Pada puncak ilmu iweekangnya, Koay Ji tidak takut berbenturan dengan kekuatan iweekang manapun karena dia memiliki dua macam iweekang yang menyatu dalam dirinya. Dia mampu mendorong dan adu kekuatan, mampu menerima iweekang lebih kuat dan kemudian melepasnya kesamping, menggiringnya atau mengembalikannya justru kepada si penyerang. Cara kedua dapat ditempuh Koay Ji dengan tidak perlu berhadapan dengan serangan iweekang yang dimaksud terus menerus, tetapi menghadapinya dan menyerap, menghisap, menggiring, dan seterusnya. Tetapi, pada awal tarung yang terlihat semakin lamban dan berakibat arena sekitar mereka menjadi demikian mengerikan, Koay Ji tidak takut adu kekuatan.
Hanya saja, Koay Ji juga paham, selain kekuatan lawan sedikit lebih matang, juga memiliki kekuatannya sendiri dalam memelesetkan serangan iweekang lawan. Dan karena keduanya menggunakan prinsip yang sebenarnya nyaris mirip, yakni dengan tidak langsung menghadapi kekuatan iweekang lawan, maka keduanya dasarnya berani masuk ke tarung ini. Dan pertarungan seperti ini, justru menguras kekuatan iweekang terlebih cepat lagi, jika pertarungan iweekang langsung berbenturan terus menerus. Yap Jeng Cie terkejut karena meski meladeninya, Koay Ji ternyata juga memiliki kekhasan tenaga iweekang yang luar biasa. Belum lagi hawa khikang yang dia kenal khas milik kaum Budha, sudah berpijar-pijar dengan kekuatan yang maha hebat di tubuh Koay Ji.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah pertarungan besar yang membuat mata semua yang menyaksikannya sampai terbelalak. Karena semakin lama semakin arena pertarungan tak dapat diikuti dengan pandang mata, tubuh kedua orang yang bertarung semakin terbungkus oleh pusaran kekuatan yang tidak nampak. Bukan hanya itu, karena nyaris semua benda ringan sekitar arena bergoyang jika bukan terbang mengikuti arus kekuatan dalam arena. Tubuh kedua orang itu samar dan sesekali hilang dari pandangan akibat kekuatan yang menyebar dari keduanya dan membuat banyak benda terbang mengelilingi mereka. Belum lagi hawa khikang yang mereka kembangkan ternyata kemudian menambah pekatnya kabut sekeliling tubuh mereka. Hal tersebuh membuat semakin samar dan malah kadang sampai tak nampak dan tidak terlihat orang yang sedang menyaksikan pertarungan keduanya. Barulah semakin jelas bagi semua orang mengapa Koay Ji demikian dipercaya oleh Tek Ui Sinkay dan mengapa Yap Jeng Cie sampai mampu mengobrak-abrik rimba persilatan melalui murid-muridnya.
Koay Ji sendiri memang sudah mempersiapkan diri dengan pertarungan jenis ini, bahkan sudah menduga akan seperti ini tindakan Yap Jeng Cie. Benar pertarungan mereka adalah adu kematangan iweekang, dan dia tidak takut karena selama ini dia berusaha menyelami semakin dalam iweekangnya. Dan dia menemukan bahwa tarung seperti yang sedang dia lakoni saat itu, tidak perlu membuatnya kepayahan karena dia tidak harus bertarung berhadap-hadapan. Adu pengerahan kekuatan iweekang mereka, bahkan meski sudah saling lilit dan belit sekalipun, tetap dapatlah dia hadapi dengan kekhasan iweekangnya. Apalagi, dengan iweekang Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang saja sebenarnya memadai, tetapi dengan kombinasi juga kekhasan Toa Pan Yo Hiankang, membuatnya semakin percaya diri. Karena mudah saja baginya menghadapi serangan iweekang, menerimanya, kemudian menggiring dan membuangnya kesamping. Karena kuatnya iweekang lawan, dia beberapa kali mencoba mengembalikannya kearah Yap Jeng Cie, tetapi karena kekhasan lawan, juga dia selalu gagal melakukannya.
Pertarungan seperti itu, pada akhirnya membuat Yap Jeng Cie sadar bahwa tetap saja dia kesulitan memperoleh kemenangan. Dia bahkan sadar bahwa kemenangan yang dia duga akan dapat dia peroleh semakin raib karena lawan yang lebih muda ini memiliki daya tahan fisik yang jauh mengunggulinya. Karena berpikir demikian, maka Yap Jeng Cie akhirnya memilih memaksakan diri, dan mulai kembali dengan menyelingi ilmu-ilmu pamungkas lainnya dalam arena yang sudah semakin sempit dan saling melilit itu. "Bagaiamanapun harus diselesaikan, karena jika tidak, maka benarlah, semua akan berakhir disini....." demikian tekad Yap Jeng Cie yang pada akhirnya memutuskan bertarung mati-matian.
Pada saat itu, seperti juga Koay Ji, Yap Jeng Cie sudah mengerahkan Ilmu Hu Deh Lo Khi (Hawa Sakti Pelindung Badan) juga dibarengi Ilmu Pi Ki Hu Hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah). Dia mengerahkan kedua ilmunya sebagai bagian dari pertarungan yang amat mengerikan dan menghebohkan yang mereka berdua jalani. Bahkan, setelah merasa adu iweekang itu lebih merugikannya, ada akhirnya diapun kembali dalam arena saling membelit itu membuka serangan baru dengan mencoba Ilmu Li Seng Toan Hun Lui (Ilmu Nada Suara Mematikan Roh), sebuah serangan berlandaskan hawa mujijat SIHIR. Tetapi, dia sadar bahwa Koay Ji tidak bakalan goyah dengan serangan tersebut, karenanya dia mempersiapkan ilmu lainnya, yakni
Ilmu Ling Khong Huan In Cam (Pukulan Tanpa Bayangan) dan bahkan Ilmu Pat Mo Hwee Ciang (Pukulan 8 Iblis Sakti).
Dugaan Yap Jeng Cie memang benar. Dalam pengerahan kekuatan iweekang yang sudah dilambari kekuatan batinnya, Koay Ji tidak goyah dan tidak sedikitpun dapat dipengaruhi kekuatan sihir atau kekuatan mujijat lainnya. Malah, melihat lawannya sudah kembali menyerang dalam lingkaran yang sudah sangat sempit akibat ilmu iweekang keduanya sudah membatasi arena pertarungan, Koay Ji akhirnya juga ikut meladeni dengan membuka Ilmu Tie Liong Ciu (Ilmu Sakti Tangan Mengekang Naga) bahkanpun juga mengembangkan Ilmu Hong In Pat Jiauw (Ilmu Delapan cengkeraman angin dan Mega) warisan Thian Hoat Tosu. Dan masih belum cukup diapun membarengi dengan perguruannya sendiri, Ilmu Pukulan Sian In Sin Ciang (Lengan Sakti Bayangan Dewa). Pada akhirnya, keduanya bertarung dengan puncak kekuatan iweekang dalam jurus-jurus serangan yang mencoba mencari kelemahan lawan dan mencecarnya untuk memastikan kemenangan.
Pertarungan terus berlangsung seru dengan ilmu dan jurus serangan yang maha hebat, sehingga tidak jarang terlihat percikap api berwarna kebiruan melonjak ke angkasa. Ataupun bunga api menyembur dari benturan keduanya ketika tidak lagi dapat terhindarkan adu kekuatan antara keduanya. Tetapi, Koay Ji yang meski masih muda tetapi sudah memiliki ketabahan luar biasa akibat didikan tenaga batin suhunya, semakin "menikmati" pertarungan tersebut. Apalagi, karena diapun dapat menemukan celah dan peluang dengan menimbangnya secara cermat, bagaimana dia mengulang kembali prinsip "NAGA MELILIT", yang sudah lima kali dia mainkan dan mendatangkan hasil yang hebat. Ketika bertarung dengan kekuatan batin dan menemukan kenyataan dia "menikmati" pertarungan yang sebenarnya sudah amat beresiko bagi keselamatan keduanya, Koay Ji malah menemukan hal lain. Dia mampu menemukan peluang dan juga celah yang semakin terbuka, semakin juga menyempurnakan pemahamannya atas prinsip NAGA MELILIT.
Kebiasaan Koay Ji bertarung sambil mengembangkan diri, membuatnya tidak sulit menemukan hal-hal baru dalam setiap pertarungan. Apalagi, karena dia sadar, jika saat itu dia sudah melindungi diri dengan kekuatan khikang mujijat, dan lawannya juga terlihat sama-sama kesulitan menerobos masuk. Perbedaan situasi dan emosi snagat menentukan dalam pertarungan tersebut. Seandainya Yap Jeng Cie dalam posisi seperti pertarungan beberapa hari lalu, kemungkinan dia sendiri akan sama dengan Koay Ji menemukan banyak "hal baru", dan penting dikembangkan dalam pertarungan keduanya. Sayang sekali, posisinya sekarang sudah sangat kepepet, dan tinggal bertarung seorang diri dan bertarung bagi ambisinya. Melihat keadaan dan realisasi ambisinya kembali terancam "gagal" atau bahkan memang sudah gagal, membuat emosinya tidak stabil. Bahkan rasa khawatir mulai muncul dan sudah mulai menggerogoti hatinya, datang dari perasaan "sendiri", dan kebetulan sedang bertarung dengan lawan yang seimbang.
Sebetulnya, setipis itu kekalahan Yap Jeng Cie. Dia tidak kalah dari Koay Ji, malah pengalaman, kematangan, strategi dan juga visi bertarung, masih melebihi Koay Ji yang jauh lebih muda. Tetapi, kondisi psikologis Koay Ji yang lebih lepas, mampu memahami lawan dan kekuatan lawan, dan selalu belajar menyesuaikan serta menemukan hal baru, adalah keunggulan Koay Ji. Akibatnya, keunggulan Yap Jeng Cie memudar perlahan-lahan, sementara Koay Ji semakin "antusias", malah seperti semakin "keranjingan" menemukan formula baru bagi pengembangan ilmunya itu. Maklum, menemukan lawan sehebat Yap Jeng Cie, mungkin hanya sekali dalam hidupnya, dan tidak setiap saat dia bertemu lawan yang mampu memancingnya guna mengerahkan segenap kemampuan. Dan memancingnya untuk mengeluarkan seluruh kreatifitas dan "kegilaannya" atas ilmu silat.
Koay Ji sudah paham, asalkan dia tidak terbawa arus pertarungan adu kekuatan, dan jikapun terpaksa maka diapun memiliki strategi menghadapinya, pada akhirnya meladeni pertarungan adu ilmu dan adu strategi itu. Yap Jeng Cie yang sempat mencoba mengurung dan memaksa Koay Ji adu kekuatan iweekang, menyadari pula bahwa dia sendiri akan kehabisan tenaga karena Koay Ji ternyata memiliki iweekang mujijat yang amat khas dan luar biasa. Koay Ji tidak takut adu iweekang dan memiliki kemampuan melawan dan menggiring kekuatan iweekangnya, dengan cara itu dia selalu lolos. Dengan cara itu, Koay Ji selalu mampu menemukan jalan yang pas dan tepat melanjutkan pertarungan. Memang, Koay Ji belum sekalipun memaksakan pertarungan hingga ke titik menentukan, tetapi dia juga tidak dapat dipaksa mengikuti kemauan Yap Jeng Cie. Pada akhirnya, mereka berdua berkutat dalam kepentingan dan keinginan masing-masing dan terus berjuang dan bertarung untuk mengejar kemenangan.
Karena sama-sama memahami kondisi itu, maka pilihan yang ada pada akhirnya kembali adu ilmu dan jurus serangan, namun dengan dorongan iweekang masing-masing yang sudah pada puncak kekuatannya. Setelah merasa bahwa memang kesempatan terakhirnya adalah pada adu kemampuan ilmu silat, maka toch pada akhirnya Yap Jeng Cie mekasakan dirinya memasuki adu ilmu tersebut. Dan dia sudah memulai dengan kembali memeras kumpulan ilmu silat andalannya, serta juga merasa masih ada kesempatan menang. Tapi dia juga merasa awas, karena pertarungan sekali ini berbeda jauh dengan awalnya, karena sengatan iweekang yang dikerahkan masing-masing sudah pada puncaknya. Maka, hasil pertarungan kelihatannya akan ditentukan dengan pertarungan terakhir ini yang merupakan ilmu dan jurus yang mesti didorong dengan kekuatan iweekang yang maha hebat. Dan Yap Jeng Cie memulainya, memasukinya dan menjadikannya jalan satu-satunya kearah kemenangan atas lawannya.
Dimata banyak orang, kecuali satu atau dua orang, serang menyerang antara Koay Ji melawan Yap Jeng Cie sudah tidak masuk diakal. Bagaikan ada pedang serta hawa pedang yang menyambar-nyambar dengan sendirinya, seperti pedang terbang tetapi jelas keduanya tidak ada yang memegang pedang. Kemudian bagaikan ada pedang yang menangkis dan menyentil pedang itu hingga kembali beterbangan dan tidak melukai siapapun. Selain itu, kedua orang yang bertarung di arena, tidak lagi dapat dikenali mana Koay Ji dan mana Yap Jeng Cie, karena warna merekapun sudah tak bisa dibedakan. Gerakan mereka meski tidak cepat, tetapi tersamarkan oleh benda-benda ringan yang beterbangan mengelilingi arena, sementara kedua orang dalamnya juga seperti bersembunyi dibalik kabut ciptaan masing-masing. Tidak heran jika arena tersebut lebih mengerikan dan lebih tidak dapat diprediksi karena memang sulit diikuti pandangan mata biasa.
Pada saat itu, adalah Koay Ji yang kembali memegang kendali, dan kini beroleh kesempatan menyerang. Tanpa pikir panjang lagi, diapun menerjang dengan ilmu pukulan ciptaannya sendiri, Ilmu Hian Bun Sam Ciang (Tiga Jurus Pukulan Maha sakti). Ilmu Sakti yang sudah dia turunkan kepada Kang Siauw Hong, Sie Lan In, Khong Yan dan juga Tio Lian Cu, selain juga teorinya kepada Bun Siok Han. Jurus yang dia mainkan tidak berbeda dengan yang dimainkan kawan-kawannya di tarung babakan sebelumnya, karena itu bisa diantisipasi dengan baik oleh Yap Jeng Cie. Tetapi, dia kaget karena ternyata perbawa ilmu dan jurus serang itu jurus perjurus sangatlah hebat, sampai dua tiga kali dari jurus sebelumnya. Diawali dengan satu serangan awal melalui jurus Hu Houw Tio Jang (Harimau Mendekam Menghadap Matahari). Dimana Koay Ji bergerak dari bawah ke atas dengan sejumlah totokan dan variasi pukulan yang langsung terasa dikulit Yap Jeng Cie.
Tetapi, dengan khikang dan juga sejumlah gerakan aneh, kakek itu mampu melawan serangan tersebut, meski belum lagi mampu membalas serangan itu. Dan memang, Koay Ji menyadari, bahwa jurus pertama hanya akan menggertak dan menjatuhkan lawan yang tanggung, lawan lebih hebat akan jatuh pada jurus kedua. Dan jurus itu sudah meluncur, bersambungan dengan jurus serangan pertama, dimana jurus yang kedua, yakni jurus Lok Yap Kui Ken (Daun jatuh kembali keakar) lain lagi. Nama jurus itu sederhana, tetapi bagaimana jika daun yang jatuh bukan hanya satu dan daun itu terlihat perlahan turun ke tanah namun dalam jumlah banyak". Itulah yang dihadapi oleh Yap Jeng Cie yang terpaksa harus berganti gerakan sampai 3 kali baru bisa menarik nafas lega. Berturut-turut dia menggunakan gerak Ih Hing Hoan Wi (Pindah Bentuk Ganti Tempat), sebuah jurus yang membuatnya berganti tempat secara cepat. Disusul dengan jurus Tok liong jut tong (naga keluar dari gua), yang membuatnya mengambil posisi di luar daya dan lingkup serangan Koay Ji, baru kemudian jurus Thian It Seng Cui (Alam Pertama Kali Mengadakan Air). Dia mampu dengan cantik membebaskan diri dari serangan jurus kedua Hian Bun Sam Ciang yang memang hebat itu.
Harus diakui memang benar Yap Jeng Cie hebat, dia masih mampu keluar dari jurus serangan kedua dengan cukup mudah, meski juga tercekat karena kekuatan dan kehebatan serang jurus kedua sudah puluhan kali lebih hebat. Dan, dia masih belum mampu membalas karena jurus yang ketiga sudah datang dengan sangat cepat dan sejak sangat awal dia sudah tahu, sama dengan jurus kedua, masih berapa kali lebih hebat dibanding jurus kedua. Dan inilah jurus ketiga, satu jurus bernama jurus Boan Thian Kai Te (Langit penuh tertutup tanah), yang juga sempat membuat Phoa Tay Teng tercengang dan terguncang meski mampu selamat. Koay Ji sudah paham, bahwa pastinya Yap Jeng Cie juga akan mampu menemukan jalan keluar dari jurus ketiga ini. Jika Phoa Tay Teng mampu, masakan Yap jeng Cie tidaklah mampu" Koay Ji paham, tetapi karena dia memang mengincar untuk maju lebih jauh dengan ilmu yang lain lagi dan sudah dia persiapkan.
Bukan main terkejutnya Yap Jeng Cie ketika melihat nyaris semua cela untuk keluar sudah tertutup, dan dia menghadapi sejumlah serangan di tempat-tempat yang amat berbahaya baginya. Mau tidak mau, dia harus bergerak dengan kekuatan iweekang penuh dan secara cermati mengikuti gerakan jurus serangan lawan sambil terus menerus bergerak. Dengan gerakan ringan dia memainkan jurus Hay Li Long Hoan (Puteri Laut Memain Gelang) langsung disusul dengan jurus Hay Li Long Hoan (Puteri Laut Memasang Gelang). Kedua kaki dan lengannya bekerja keras mengindar dan menghalau semua serangan berbahaya yang dilepaskan Koay Ji, tetapi dia masih tetap terancam. Mau tidak mau kembali dua gerakan saling susul menyusul dia lakukan, jurus Giok Tay Wi Yau (Sabuk Kumala Melibat Pinggang) dan disusul jurus Hay Lwe Cap Ciu' (Dalam Laut 10 Benua). Hebat keduanya, bukan hanya Koay Ji, tetapi juga kakek tua yang maha hebat itu, karena dibawah berondongan serangan tak henti, dia mampu mentralisasi serangan Koay Ji. Malah, pada bagian terakhir dia meloloskan diri dengan cerdik melalui gerakan tipu dalam jurus Ce Gwat Bu Kong (Rembulan dan Bintang Tiada Bercahaya).
Tapi Koay Ji memang sudah paham apa yang akan terjadi, karena itu intensitas serangannya tidak menurun karena dia sadar baru saja Yap Jeng Cie menggunakan banyak sekali tenaga dan pikirannya. "Dia pasti lelah dan terkuras konsentrasinya dengan serangan barusan...." pikir Koay Ji, dan karena itu dia merasa harus tetap menjaga intensitas serangan dan tekanannya. Pada saat itulah, seperti juga tadi Sie Lan In memainkannya, Koay Ji mulai membuka serangan-serangan dengan secara langsung masuk pada ilmu ciptaan suhunya. Ilmu dan jurus yang secara sengaja guna menaklukkan dan mengalahkan ilmu dari perguruan lawannya saat itu. Ilmu Liu Hud Jiu Toh Cu (Tangan Budha Merebut Mestika) yang sudah didalaminya, dilepaskan susul menyusul dalam 4 jurus beruntun, yaitu masing-masing awalnya jurus Liu Thian Jiu (Tangan Langit Mengalir) dari Tam Ci Sin Thong, disusul dengan gerak Can Liong Chiu (Gerak Menabas Naga) dari Tay Lo Kim Kong Ciang dan dilanjutkan dengan jurus Hud Kong Boh Ciau (Sinar Budha Memancar Luas) dari Kim Kong Cie.
Tetapi, kakek Yap Jeng Cie nampaknya sudah sangat siap menghadapi rangkaian serangan Koay Ji, karena memang diapun sudah lama memikirkan dan sekaligus merumuskan jurus penawarnya. Bahkan sambil tersenyum dia menyambut dengan Ilmu Kong hong sam si (Tiga jurus angin ribut), dalam jurus Liu seng liok tee (bintang luncur jatuh ketanah). Menyambut terjangan berbahaya lawan, Yap Jeng Cie tidak menjadi gugup dan memilih satu jurus dari ilmu Pat Bin lin Long berupa jurus tandingan totokan atas serangan dari tam ci sin thong, "tangan laut mengalir". Sentilan lengan yang berbahaya dilawannya dengan gerakan-gerakan hebat dan mujijat dengan mengandalkan sebuah ilmu khusus, yakni Ilmu Cap Ci Tam Kan Ciu (Ilmu Sentilan Sepuluh Jari) yang sudah dia gubah secara khusus. Maka, tebasan dan serangan Koay Ji dengan mudah dia gagalkan. Tetapi meskipun demikian, dia masih tetap belum mampu untuk menyerang balik karena masih harus menahan jurus hebat lainnya, yaitu sebuah gerakan hebat yang sangat dikenal dengan nama hebatnya, gerakan menabas naga.
Dan untuk menghadapinya, Yap Jeng Cie tidak alpa, melainkan dengan amat cepat diapun ikut menggetarkan kedua lengannya yang sudah dipenuhi hawa iweekang maha luar biasa hingga menerbitkan bunyi gemuruh yang teramat memekakkan telinga. Itulah jurus Thian heng peng Liu (guntur dan salju diujung langit) yang merupakan ciptaannya sendiri dengan mengambil gerak, atau inspirasi gerak dari intisari ilmu perguruan mereka, yakni Ilmu Loh Ing Ciang Hoat (Pukulan Tangan Bintang Jatuh). Hawa iweekang yang seperti berdaya saling tolak belakang itulah yang mengakibatkan bunyi-bunyian sekeras guntur dan membuat Koay Ji melengak kagum karena. Kini dia merasa yakin benar-benar, bahwa lawan memang sengaja menyiapkan tandingan yang amat setimpal atas semua jurus serangannya. Dan mau tidak mau mereka terus saling mengagumi dan saling merasa lawannya memang benar hebat. Tetapi, setelah itu Yap Jeng Cie sudah bergerak lagi menyambut jurus ketiga dengan jurus istimewa yang dia namakan jurus im gwat tian kong (awan rembulan cahaya kilat). Masih satu jurus lanjutan dengan jurus sebelumnya, tetapi mampu dan sanggup membuat gempuran Koay Ji tertahan.
Begitu tuntas dengan keberhasilannya memunahkan dalam menahan ilmu yang dahulu pernah digunakan Bu In Sinliong saat mengalahkan Pek Kut Lojin muridnya, terlihat Yap Jeng Cie tersenyum senang. Cukup jelas kiranya bahwa tokoh tua itu, Yap Jeng Cie sudah mulai menemukan kegembiraan dan antusiasmenya dalam pertarungan tersebut. Bahkan, setuntasnya mereka adu pukulan, Yap Jeng Cie tiba-tiba ambil inisiatif dengan menyerang Koay Ji dalam ilmu yang dia anggap akan mampu memenangkannya. Meski setelah dia melihat dan mengamati gerakan Sie Lan In tadi, dia sudah sepenuhnya sadar bahwa pihak lawan juga sudah sama dengan dia. Sama-sama sudah mempersiapkan diri untuk tarung mencipta ilmu yang merupakan tandingan ilmu ilmu lawan, berawal dari kedua ilmu yang barusan mereka mainkan dan saling membuat keampuhan jurus mereka sirna. Bukannya karena jurus-jurus mereka kurang ampuh, atau kurang hebat dalam mendesak lawan, tetapi terlihat memang sengaja diciptakan untuk saling meniadakan. Karena itu, mereka masing-masing belum mampu dan belum sanggup mendesak dan juga menyudutkan lawan. Masih sama kuat.
Memanfaatkan peluang yang ada, Yap Jeng Cie berbalik menerjang dengan ilmu yang memang disiapkan jauh-jauh hari untuk menjinakkan ilmu-ilmu Bu In Sinliong. Ilmu yang disiapkan itu mereka namakan Ilmu Pukulan Hoei Liong Tjiang (Tangan Naga Terbang), sebuah ilmu mujijat yang terdiri dari hanya 3 jurus perasan yang dimaksudkan sebagai jurus anti ilmu-ilmu lanjutan dari Bu In Sinliong. Yap Jeng Cie menerjang dengan cepat melalui jurus Lam-hay-po-liong(menangkap naga dilaut selatan) yang menjadi awalnya. Meski masih awal, tetapi sejak awal kehebatan ilmu ini sudah terasa dan beruntun menerjang dengan sama hebatnya dalam jurus kelanjutannya. Koay Ji langsung merasakan betapa berat hawa serangan lawan, bukannya bergelombang tetapi langsung "kuat" luar biasa dan tidak berkurang daya gedornya. Malah semakin lama semakin menyulitkannya, karena kekuatan pukulan lawan tidak berkurang, melainkan tetap hebat dan terus merangsek dan memukul dirinya agar mundur ke belakang.
Untungnya, Koay Ji sendiri sudah menciptakan ilmu yang dia maksudkan sebagai "penawar" ilmu ciptaan lawan yang menjadi "penawar" ilmu ciptaan suhunya. Atau ilmu-ilmu dengan ciri khas perguruannya yang berdasarkan ilmu-ilmu mujijat dari pintu perguruan Siauw Lim Sie. Ilmu ini adalah ciptaan Koay Ji berdasarkan analisa atas kehebatan dan ciri khas ilmu Pat Bin Lin Long, karena tidak mungkin lawannya mendasarkan ilmunya atas gerak lain. Maka, diapun menamakan ilmunya sebagai Ilmu Hud Jiu Can Liong Boh Ciau (Tangan Budha Menebas Naga Memancar Luas). Berbeda dengan ilmu pertama, maka ilmu kedua ini merupakan ilmu yang cenderung bertahan dan berusaha memunahkan serangan-serangan Yap Jeng Cie, karena Koay Ji sudah memperkirakan lawan akan menerjang selepas pertarungan mereka di ilmu sebelumnya. Logikanya memang demikian, dan Koay Ji menyadari bahwa pasti lawan akan menggebrak dan dia tidak salah.
Karena memang persis seperti itu yang kemudian terjadi. Dan karena memang dia sudah mengantisipasinya, maka diapun tanpa ragu sedikitpun memainkan ilmunya dalam jurus yang dia beri nama jurus To pit kim kong (membacok malaikat raksasa). Jurus pertahanannya ini bukanlah jurus pasif yang menunggu, tetapi dengan memanfaatkan langkah rahasia ciptaannya, Koay Ji maju mendekati lawan. Bukan hanya sekedar mendekati lawan, melainkan langsung saja menyerang balik pada pusat kekuatan lawan yang menghadirkan terjangan hebat kearahnya. Dan saat dia melakukannya, Yap Jeng Cie terkejut karena ternyata lawan kembali sudah sama seperti dia, melakukan antisipasi sesuai momentum yang tersedia. Dan, hebat Koay Ji mampu dan sanggup mengadakan perlawanan.
Menyadari pertahanan Koay Ji yang masuk dari sebaliknya menghindar, Yap Jeng Cie langsung memutuskan masuk menggunakan jurus kedua, yakni jurus Im liong san-sian (Naga berwarna muncul tiga kali). Gerakannya cepat, berputar dengan sumbu pada salah satu kakinya. Dan kemudian, dengan cepat dia sudah berbalik mengincar Koay Ji dengan tiga sabetan yang masing-masing penuh kekuatan akan kekuatan iweekang. Serangannya ketiga-tiganya berat dan berbahaya, tapi dengan target yang berbeda dan dengan warga kekuatan yang juga berbeda. Dalam gerak serangan pertama, kekuatan agak bersifat lunak tetapi tersimpan daya mendorong yang amat keras. Sementara untuk gerak kedua, lebih bersifat sangat keras dan bersifat menggedor serta mendorong lawan ke belakang. Sementara terakhir atau yang ketiga sifatnya menarik namun tersimpan kekuatan dibaliknya yang akan juga mendorongnya menjauh dengan kekuatan yang hebat. Tetapi, ketiga serangan Yap Jeng Cie ini, juga sudah dalam "angan" dan proyeksi yang disimulasikan oleh Koay Ji dalam pendalamannya atas ilmu-ilmu Pat Bin Lin Long. Karena itu, diapun sudah menyambut dengan jurus ciptaannya sendiri, yakni jurus Im liong beng wu (naga awan menyemburkan kabut).
Jurus yang kedua dari Koay Ji, sekali ini bersifat murni bertahan dan sama sekali tidak memberikan dia kesempatan untuk balik menyerang, karena tidak ada celah baginya untuk menyerang Yap Jeng Cie. Tetapi, hebatnya, ketiga serangan hebat Yap Jeng Cie dapat dia hadapi dengan kekuatan iweekang yang dikombinasikan dengan jurus yang tepat pilihannya. Karena itu, terjadi tiga kali benturan dengan keuntungan tipis di pihak Yap Jeng Cie, yang segera setelah jurus keduanya juga tidak berhasil baik membuka jurus ketiga. Keberhasilan jurus kedua hanyalah cela untuk masuk dengan serangan ketiga dalam jurus Sin liong tham jiau(naga sakti unjukkan cakar). Jurus ini murni serangan hawa iweekang karena Yap Jeng Cie beroleh celah untuk menyerang dalam kecepatan tinggi dengan segenap kekuatan iweekangnya. Sementara di pihak lain, Koay Ji yang terlambat sepersekian detik, dipaksa untuk mau tidak mau menerima adu kekuatan ini tanpa ada alternatif lain. Dan memang, Koay Ji menghadapinya sesuai dengan perkiraan Yap Jeng Cie, yakni dengan jurus ciptaan Koay Ji dan bernama jurus Giok liong hun-sim (naga kemala memecah perhatian).
Yang diluar dugaan Yap Jeng Cie adalah, jurus ketiga ini merupakan jurus sela namun berisi intisari kekuatan utama Toa Pan Yo Hiankang. Sebuah hawa iweekang yang keras seperti tidak keras, berisi seperti tidak berisi, sehingga ketika benturan terjadi, Koay Ji seperti terpental ke belakang. Tetapi, itu memang sudah dia hitung dan sudah dia persiapkan sejak semula, karena seperti pertukaran ilmu tadi, kini Koay Ji bersiap melakukan serangannya kembali. Dan rancangan serta ciptaannya, kebetulan memang sama dan sebangun dengan bagaimana tadinya Yap Jeng Cie menyiapkan ilmu kedua yang baru saja mereka lewati tadi. Koay Ji segera membuka serangan dengan Ilmu Sam Ciang Soan Hong Jiu (Tiga Jurus Pukulan Kitiran Angin), yang sama dengan Yap Jeng Cie di ilmu kedua, juga memiliki tiga unsur serangan yang dia bagi dalam tiga jurus serangan berbeda. Ketiganya sengaja dia persiapkan dalam episode seperti yang sekarang dia sedang alami, tidak berbeda jauh dengan simulasi yang dia buat sendiri.
Jurus serangan pertama adalah sebuah jurus serangan bernama jurus Im Hong Say Tee (Angin dingin menyapu bumi). Sekali ini, Koay Ji melakukan kombinasi kehebatan ilmu Pat Bin Lin Long dan juga suhunya, gerak-gerak kuat dan mantap dari Siauw Lim Sie dibaurkan dengan gerak variatif dan penuh daya serang dari gaya ilmu Pat Bin Lin Long. Karena itu, gerak dan daya pukulannya merupakan gambaran angi ribut yang menyapu lawannya, dan bahkan menyapu seluruh benda yang mungkin diterbangkan oleh hawa kekuatan yang mendorong pukulannya. Untuk itu, Koay Ji menggunakan kekuatan pendorong gabungan iweekang yang sudah terpadu dengan baik dalam dirinya. Dan menjadi menarik, karena Yap Jeng Cie juga ternyata menciptakan ilmu yang lebih kurangnya mirip, gabungan kekhasan dua perguruan yang mereka bayangkan dan juga sengaja ciptakan di benak mereka. Sesungguhnya, kejadian ini cukup mendebarkan jika dapat diperhatikan dan kelak dijelaskan guna melakukan analisis atas ilmu-ilmu yang digunakan kedua orang yang bertarung dengan cara yang luar biasa ini.
Yang hebat, keduanya melalui pendalaman atas jurus serangan atau ilmu serangan pertama dan ilmu yang kedua tadi, sehingga masing-masing menciptakan ilmu yang ketiga dalam proyeksi yang juga sama dan mirip belaka. Yap Jeng Cie menamai ilmu pukulannya ini dengan nama yang hebat, yakni Ilmu Pukulan Sie Ciang Pat Sie (4 telapak tangan berubah menjadi delapan). Sebuah ilmu pukulan maut yang sengaja menawarkan apa yang dia kira dan pikirkan bisa diciptakan oleh penerus Bu In Sinliong. Dan memang, dia benar, sebagaimana juga Koay Ji menduga benar. Maka, mereka berdua merasa seperti sudah pernah melawan atau bertarung dalam menghadapi gerakan seperti yang sedang dilakukan lawannya. Meski sebenarnya baru kali itu mereka menghadapi terjangan lawan dengan gerakan yang seakan sudah pernah mereka lawan sebelumnya.
Sekali ini, untuk menandingi terjangan Koay Ji, Yap Jeng Cie tidak lagi mundurkan dirinya, tetapi sebaliknya dalam keyakinan atas jurus ciptaannya diapun maju dalam jurus Ciu hong sau liok yap (Daun berguguran terhembus angin dingin). Ciri khas dan karakter dua jurus yang hampir sama membuat hawa dingin menyergap bahkan bisa terasa sampai 20 meteran dari arena pertarungan itu. Secara tiba-tiba, suasana di Lembah berubah jadi sangat dingin, tambah dingin dari suasana yang memang selalu dingin dan lembab sepanjang tahun. Ditambah dengan getaran kekuatan Yap Jeng Cie dan Koay Ji, maka tambah menjadi-jadi suasana dan cuaca yang terasa semakin dingin dan tambah menggigit itu. Sementara di arena tarung, Yap Jeng Cie dan Koay Ji saling intip dengan totokan, pukulan yang saling berganti dengan memperhitungkan posisi lawan dan posisi diri sendiri. Tetapi, jurus pertama yang menyita banyak tenaga dan pikiran mereka berlalu karena terlampau banyak kemiripan yang mereka munculkan.
Setelah jurus pertama, adalah Yap Jeng Cie yang beralih ke jurus kedua dengan jurus Wong hong hui si (Angin puyuh terbangkan serat). Perbawa jurus ini saat dibuka sudah membuat orang menjadi ngeri, karena arena pertarungan yang sudah dibatasi kedua pendekar yang bertarung itu, seperti sedang terjadi angin ribut yang amat mengerikan. Meskipun sudah dibatasi dengan kekuatan iweekang mereka, tapi tetap saja angin ribut akibat hembusan iweekang mereka merembes keluar dan membuat suasana sekitar menjadi mengerikan. Apalagi ketika kemudian Koay Ji juga membuka jurus kedua yang nyaris sama, tapi dengan nama jurus Hong Yu Pin Tiok (Angin dan hujan turun bersama). Jika keadaan sekeliling mulai berubah makin dingin, maka itu bukan karena "perasaan" atau bukan karena ilmu sihir, tetapi karena memang hawa dingin yang ditimbulkan kedua orang yang sudah memasuki tahapan bertarung untuk mati dan hidup. Tahapan pengerahan kekuatan iweekang dan ilmu mujijat lainnya yang menyebabkan lingkungan sekitar mereka terganggu dan ikut menggelegak seirama dengan kekuatan yang terpancar dari kedua orang yang terus bertarung dengan hebat.
Kedua petarung menghembuskan angin puyuh dengan karakter berbeda, jika Yap Jeng Cie membawa serta sejumlah totokan dan pukulan yang berbahaya bagi Koay Ji, maka Koay Ji menciptakan angin dan hujan dalam pengertian simbolis. Angin yang sama menghembus pukulan lawan, tetapi "hujan" merupakan kiasan akan tarung yang membentengi dirinya sedemikian rapat. Sama sekali tidak ada benturan antar mereka berdua, karena jarak mereka terpisah beberapa meter, tetapi serangan yang dikirimkan terasa sangat tajam dan mampu memenggal batu sekalipun. Atau memecahkan batu menjadi tepung atau menjadi debu akibat kuat dan luar biasanya tenaga iweekang pendorong totokan dan pukulan masing-masing. Dan tentu saja keduanya merasa betapa berbahayanya pukulan dan hawa pukulan yang mereka lepaskan dan saling berbenturan di udara.
Kekuatan pukulan dan jurus Koay Ji meningkat pada jurus ketiga, saat Koay Ji, pada akhirnya memutuskan menggunakan jurus ketiga, yakni jurus Peng Ho Kai Tong (Sungai Es Mulai Membeku). Efek yang belakangan membuat Koay Ji maupun Yap Jeng Cie sendiri terkejut bukan main ketika bola bola es serta gumpalan es pada berhamburan dari arena tarung. Hal yang merefleksikan tingkat pengerahan kekuatan mereka berdua yang sudah sangat hebat dan luar biasa dan sedang saling berbenturan. Terlebih lagi, karena untuk menandingi ilmu Koay Ji, Yap Jeng Cie juga mengerahkan jurus ciptaannya sendiri, yakni yang disebut jurus Hui po nu thiau (gelombang dahsyat diair terjun). Benturan kekuatan yang mereka ciptaan pada akhirnya membuat arena pertarungan mereka berdua sampai mencipratkan dan mementalkan banyak sekali bola dan gumpalan es ke udara dan berjatuhan hingga ke dekat dimana para penonton berdiri.
Dan tentu saja mereka semua yang sedang menyaksikannya sampai mengerutkan keningnya masing-masing membayangkan kekuatan kedua orang yang masih terus adu pukulan. Masih terus adu kesaktian di arena yang tidak bisa lagi mereka ikuti dengan lebih jelas lagi karena kecepatan dan karena benda-benda berterbangan yang membuat arena pertarungan sulit tertembus mata biasa. Tidak heran dan jadi wajar jika semua penonton berdecak kagum dan menjadi takjub sambil menimbang dan mengira, kira-kira sudah sampai dimana kemampuan kedua orang yang terus bertarung itu" jawaban yang sulit untuk mereka putuskan karena memang padanan kedua petarung itu sulit untuk mereka temukan.
Sampai pada jurus ketiga ini, dimana kekuatan iweekang dan kekuatan khikang, dan bahkan kekuatan batin sudah dikerahkan hingga ke puncak masing-masing, pada dasarnya kekuatan mereka sebetulnya semakin lama semakin menyusut. Tetapi, entah bagaimana, karena keduanya sangat antusias dalam adu strategi dengan menggunakan ilmu ciptaan masing-masing, membuat keterbatasan tenaga seperti mereka lupakan. Karena mereka sesungguhnya masih menyisakan lagi masing-masing ilmu yang sengaja diciptakan dalam alur yang sama dengan ilmu pertama hingga ilmu ketiga. Ilmu yang jika digunakan menyerang tokoh biasa, sudah pasti akan mendatangkan maut karena memang sangat mujijat dan sangat hebat serta didorong kekuatan yang tak terukur itu.
Gabungan dan kombinasi yang maha luar biasa, yakni baik karena gerakannya yang sangat mujijat, juga karena kandungan tenaga yang mendorongnya, sangatlah luar biasa hebat dan kuatnya. Gerakan-gerakan di ilmu tadi, hanya dapat dikeluarkan dan berefek secara optimal, jika didukung oleh pengerahan tenaga dorong yang memadai. Baru dengan demikian efek dan keampuhannya akan terasa. Jika tenaga pendorongnya kurang memadai, maka ilmu tersebut hanya akan menjadi ilmu hebat belaka, dan bukanlah sebuah ilmu maha hebat dan ilmu maha sakti. Pada saat itu, baik gerakan silat memang hebat dan luar biasa, daya dorong kekuatan iweekang juga maha kuat. Itulah sebabnya arena pertarungan dan penonton sama menjadi gelegar dan sulit digambarkan lagi.
Ketika keduanya menyadari bahwa sampai ilmu ketigapun mereka tetap tidak dapat dan tidak mampu menentukan kalah menang, keduanya sebetulnya sudah mulai merasa sama-sama gelisah. Maklum, karena masing-masing baru menciptakan tiga atau empat ilmu mujijat sesuai dengan alur berpikir pada pembentukan ilmu pertama hingga ilmu ketiga yang mereka gunakan tadi. Persoalannya dan yang menjadi beban pikiran mereka saat itu adalah: "Bagaimana jika lawan masih memiliki ilmu sampai kelima dan keenam" Bukankah keadaan akan berbalik dan mengalahkan lawannya..?". Dan bukan hanya Yap Jeng Cie sendiri yang berpikir demikian, tetapi juga Koay Ji gelisah dengan pikiran seperti itu. Bukan apa-apa, kekurangan jurus dan ilmu bakalan membuat mereka terdesak, bahkan besar kemungkinan mereka akan terpukul kalah. Ini yang membawa kekhawatiran dan kegelisahan bagi mereka berdua, namun tidak tergambarkan dari pertarungan yang tetap hebat.
Bedanya karena perasaan gelisah tadi adalah, Koay Ji dari sejak pertarungan awal, sudah mencoba prinsip ilmu ciptaannya yang keempat. Dan bahkan diapun mulai merasa, jikapun lawan memiliki ilmu kelima dan keenam, maka dia merasa akan mampu menyesuaikan dengan tatanan ilmu yang terakhir yang dia ciptakan dan prinsipnya sudah mulai dia coba tadi. Memang, dia belum mencobakannya dalam tingkat kemampuan lawan yang kuat dan hebat setingkat dengan dirinya, tetapi dia tetap memiliki perasaan optimisme bahwa dia akan mampu melakukan perlawanan. Dan karena itu, meski gelisah, Koay Ji masih tetap memiliki pegangan dan terus bertarung dengan gagah dan tidak terganggu daya tempur dan daya tarungnya. Hal yang sama dengan Yap Jeng Cie, pengalaman mengajarkannya agar pikirannya tidak mempengaruhi gerakan. Maka dia terus bertarung dengan penuh semangat meski sebenarnya ada sedikit kekhawatirannya.
Itulah sebabnya meskipun keduanya sedikit gelisah, tetapi tetap antusias dengan ilmu keempat serta berharap lawan dapat dikalahkan dengan ilmu terakhir. Dan kini, Yap Jeng Cie sudah mulai dan membuka ilmu terakhirnya diiringi rasa gelisah serta was-was apakah akan berhasil atau tidak. Dan inilah ciptaannya yang teakhir, Ilmu Pukulan Ngo Gak Tin Liong (Lima gunung menindih Naga). Mudah ditebak, ilmu ini pasti juga didorong oleh kekuatan iweekang penuh dan bahkan sangat mungkin menentukan akhir pertarungan keduanya. Ketika akan memulai ilmu terakhir ini, Yap Jeng Cie merasa sedikit heran karena sekali ini Koay Ji berdiri sedikit santai, namun sinar matanya terlihat sangat serius. Bahkan, tidak terlihat ada kuda-kuda khusus yang dipasang oleh Koay Ji melawannya, sementara kedua lengannya malah lepas seperti sedang tidak ingin atau tidak akan bertarung.
Posisi dan keadaan Koay Ji yang agak aneh ini sebetulnya sedikit menggelitik dan sedikit mencurigakan. Tetapi tidak ada waktu lagi berkhawatir karena Yap Jeng Cie percaya diri dan percaya dengan ilmu keempat yang dia ciptakan, maka dia tidak banyak terpengaruh dengan posisi Koay Ji. Dia lebih berkonsentrasi dengan dirinya dan dengan ilmu yang sudah dia persiapkan dan akan terlontar sebentar lagi. Pada dasarnya, mereka berdua merasa "gelisah" dengan fakta bahwa lawan masih saja berdiri setelah ilmu ketiga yang mereka ciptakan secara susah payah. Bagi Yap Jeng Cie selain bersusah payah, tetapi juga sudah menunggu puluhan tahun untuk dibuktikan kehebatannya. Dan, ya, saatnya tiba dan datang. Yap Jeng Cie sudah mulai bergerak dan segera mulai menerjang kearah Koay Ji dengan kecepatan dan kekuatan yang terukur. Kecepatannya biasa saja, cepat bukan cepat, lambat bukan lambat, karena yang diutamakan adalah kekuatan pemukulnya. Yap Jeng Cie tetap dengan melanjutkan dua jurus yang disatukan, transisi dari ilmu sebelumnya yang sudah dia gunakan secara hebat.
Kedua ilmu tersebut adalah jurus Keng lui peng tiam (Guntur menggeletar kilat menyambar) dan juga Ilmu Hun liong tam jiau (Naga ulur cakar dibalik mega). Kedua jurus serangan yang akan segera lepas itu, ada dalam tatapan dan tilikan Koay Ji yang kini bertarung serius dan mengamati dengan teliti dan cermat setiap gerakan tangan dan kaki lawan. Dan seiring dengan bergeraknya Yap Jeng Cie dalam kecepatan dan kekuatan yang maha hebat, Koay Ji sendiripun berada dalam konsentrasi yang luar biasa. Diapun paham, kegagalannya dalam mengantisipasi serangan lawan bakalan berakibat fatal, karena itu dia tidak mau ayal dan gelisah, tapi terus fokus agar tidak kehilangan konsentrasi. Maklum, ilmu andalannya yang terakhir memang membutuhkan konsentras tingkat tertinggi baru mampu keluar dengan keampuhan yang optimal.
Maka, ketika Yap Jeng Cie memulai gerakan menyerangnya, Koay Ji dengan ilmu atau tepatnya jurus-jurus ciptaannya melengkapi atau menambahi Ilmu Thian Liong Pat Pian yang aslinya ciptaan kakek guru Yap Jeng Cie, sudah bergerak cepat. Dan gerakannya cepat, tepat dan dengan jurus yang amat sederhana, yakni sebuah gerakan jurus Hwi hun tui tian (mega terbang mengejar kilat). Lengan Koay Ji juga kembali berbentuk totokan, tetapi tentunya dia malu menggunakan Ci Liong Ciu Hoat yang adalah milik perguruan Yap Jeng Cie. Karenanya, diapun menggunakan tebasan jemari Tam Ci Sin Thong dan tusukan totokan jari Kim Kong Cie. Akibatnya, belum sempat serangan jurus pertama menghambur dari Yap Jeng Cie secara optimal, Koay Ji justru sudah menerjang lengan dan jalan darah pengerahan hawa kekuatan selaku daya dorong iweekang serangannya. Dan akibatnya, jurus Yap Jeng Cie patah ditengah jalan.
Apa boleh buat, Yap Jeng Cie yang tidak mampu mengerahkan kekuatan utama gabungan jurus pertama, terpaksa membuka jurus kedua, yakni jurus Siang liong tam cu (dua naga merogoh mutiara). Tetapi, alangkah kagetnya Yap Jeng Cie saat dia kembali merasakan kejadian yang sama, yakni gerakannya diantisipasi sejak awal oleh Koay Ji dan jalan darah di lengan dan pundaknya menjadi sasaran serangan Koay Ji dengan cara sederhana, yaitu jurus To tiam kim teng (menyulut terbalik lampu emas). Dengan cara demikian, Yap Jeng Cie gagal menghadirkan perbawa jurus pertama dan jurus kedua, karena dia selalu dicecar oleh Koay Ji sebelum maju dan keluar menyerang. Bahkan kini, dengan langkah yang mujijat dan tidak dikenalnya, Koay Ji selalu saja berada di dekatnya. Tidak jauh meski juga tidak sangat dekat, tetapi jarak yang memadai dan cukup. Dan ketika Yap Jeng Cie kembali membuka serangan dengan jurus ketiga, jurus Lui tian ciau hoo (Guntur dan halilintar bersatu-padu), kejadian yang sama berulang.
Maka kini, pertarungan mereka terjadi kembali dalam jarak lebih pendek, atau lebih dekat dimana Koay Ji selalu menerjang Yap Jeng Cie sebelum jurus serangan maut yang dia lontarkan mencapai puncak kehebatannya. Padahal, guna membuka serangan dengan jurus pertama hingga ketiga, Yap Jeng Cie butuh konsentrasi dan kekuatan iweekang yang mujijat agar mampu memainkannya. Pengerahan kekuatan dengan cara seperti itu, sungguh menguras tenaga, tetapi tetap dapat dihadang dan digagalkan Koay Ji. Koay Ji entah mengapa dan bagaimana, justru seperti sudah memahami dan sudah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Yap Jeng Cie. Dan berdasarkan itu, maka dia kemudian memunahkannya sejak masih sangat awal. Sejak sebelum jurus maut Yap Jeng Cie dilepaskan dan akan segera menemukan kekuatan utamanya yang amat hebat dan sangatlah mematikan, sudah dicegat dan dipunahkan. Selama tiga jurus, Yap Jeng Cie diperlakukan seperti itu oleh Koay Ji, tidak mampu menerjang dan mengembangkan jurus serangan secara optimal dan akhirnya justru membuang tenaga secara percuma.
Bagaimana dengan Koay Ji sendiri" Sebenarnya, Koay Ji sendiri juga sama saja. Dia mengerahkan tenaga yang juga sebenarnya sangat besar, tetapi yang paling melelahkannya adalah kecepatan dalam menebak dan mencocokkan tenaga apa dan gerakan apa yang akan dilakukan lawan. Dan selama melakukan itu, Koay Ji harus terus bergerak, dan menjaga jarak yang cukup dekat. Untungnya memang keputusan menggunakan jurus pemunah yang dia tetapkan, dalam rangkaian Ilmu Naga Melilit, sudah dia siapkan, karena dia sudah paham jurus seperti apa yang akan disusun lawan. Itulah perbedaannya dengan Ilmu Naga Melilit sebagai "prinsip" yang dia ujikan dalam pertarungan babak-babak awal tadi dan selama 4-5 kali dia lakukan dan dia cobakan dengan hasil yang cukup baik dan menyenangkan. Terutama, karena dia menemukan satu kenyataan, betapa prinsip Ilmu Naga Melilit itu bisa berjalan dan bisa diterapkan melawan Yap Jeng Cie, dan jika terhadap kakek yang sangat hebat itu bisa jalan, maka diapun paham, terhadap orang lainpun tentunya juga bisa lebih hebat manfaatnya.
Dan ternyata, hingga jurus kelima selesai dari rangkaian Ilmu Pukulan Ngo gak tin liong (Lima gunung menindih Naga), Koay Ji sama sekali tidak terpojokkan, malah secara mudah memecahkannya. Selain itu, tenaga dalamnya reatif tidak banyak dikerahkan, berbeda dengan lawannya yang harus mengerahkan kekuatan besar untuk mengerahkan jurus itu. Menjadi lebih meletihkan, karena tenaga besar itu tertahan dan tidak bisa "dihamburkan" keluar. Tenaganya tidak bisa disaurkan keluar karena tertahan oleh totokan-totokan dan tebasan Koay Ji yang justru mengarah ke saluran jalan darah dan jalan hawa tenaga itu. Hal yang tentunya sangat merugikan Yap Jeng Cie, dan membuatnya merasa sangat penasaran. Tetapi, sayangnya, sampai jurus terakhir, dia tetap saja tidak mampu mendesak Koay Ji, dan malah membuang begitu banyak tenaga iweekang. Dan pada titik seperti inilah yang pada akhirnya menjadi titik balik pertarungan hebat ini.
Meskipun, bukan berarti Yap Jeng Cie sudah kalah. Sama sekali bukan. Yap Jeng Cie bukan tokoh kelas dua, bahkan lebih dari kelas satu dan kelas utama. Dia tokoh pilih tanding, dan punya kelas tersendiri karena bakat, kecerdasan yang sangat hebat yang dia miliki. Hanya, sayang memang, dia agak ambisius dan sering irihati dengan kehebatan lawan. Pertarungannya dengan Koay Ji boleh dibilang adalah akibat rasa irinya terhadap Bu In Sinliong, tokoh tersembunyi yang diakui secara luas sebagai si MAHA HEBAT, tetapi tidak pernah dapat dia tantang dan dia lawan seumur hidupnya. Dia menggunakan Pek Kut Lojin mencobai tokoh pertapa itu, dan menciptakan jurus-jurus pemunah dari ilmu mujijat yang dipakai Bu In Sinliong ketika mengalahkan Pek Kut Lojin muridnya. Hal itu dilakukannya karena, satu saat, Yap Jeng Cie berjanji akan mendatangi den mencobai kembali Bu In Sinliong setelah sempurna dengan ilmu-ilmu ciptaannya. Tetapi sayang, dia justru bertemu tokoh mujijat lainnya yang lebih muda, murid musuh senyapnya itu dan kini membuat dia kelimpungan, tetap saja sulit menang.
Disebut titik balik, karena sesungguhnya semua ilmu dan jurus serangan maut yang diciptakan Yap Jeng Cie, ternyata tidak mampu dan tidak mempan mengalahkan lawan mudanya. Padahal, awalnya dia sangat optimist, dan mengatakan kepada semua kawan-kawannya bahwa dia memiliki bekal yang lebih dari cukup untuk bisa dan dapat mengalahkan tokoh terhebat lawan, Koay Ji. Dan menyiapkan Rajmid Singh untuk menghadapi Thian Liong Koay Hiap (atau lawan muda lain) jika tokoh aneh itu muncul (beda dengan Pahlawan Persia yang sudah tahu rahasia ini, di pihak Bu Tek Seng Ong, belum ada yang sangat yakin tentang siapa Thian Liong Koay Hiap yang sebenarnya). Dan karena cuap-cuapnya ini, maka Bu Tek Seng Pay dan kawan-kawan merasa amat optimist. Tetapi sekarang, setelah Yap Jeng Cie tahu bahwa semua ilmu mujijat ciptaannya tidak sanggup mengalahkan Koay Ji, diapun mulai khawatir. Lebih khawatir lagi dan menurunkan semangatnya adalah karena sekarang dia seorang diri, dan tidak ada lagi kawannya yang tersisa. Karena itu, perlahan-lahan, faktor selain kemampuan dan kepandaiannya, terutama faktor lain atau faktor keadaan lingkungan ikut menentukan.
Pertarungan masih terus terjadi, tetapi Koay Ji sekarang sudah memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tebal, berbeda dengan lawannya. Memainkan Ilmu Naga Melilit dan prinsipnya, membuat Koay Ji menghemat lebih banyak tenaga, padahal lawannya semakin lama semakin terkuras tenaganya. Dan sebenarnya, inilah titik balik yang dimaksud. Meskipun Yap Jeng Cie masih menyerang dengan menggebu, tetapi daya tarung dan keyakinan atas dirinya sudah mulai runtuh, dan hal ini pada akhirnya mengakibatkan daya serangnya juga semakin lama semakin berkurang. Tetapi, Koay Ji juga tidak serta-merta menyerang kakek itu, tetapi tetap melawan dan terus memunahkan serangan Yap Jeng Cie yang semakin membuat kakek itu terkuras hebat tenaga dan kemampuan fisiknya. Apalagi, setelah bertarung dengan empat 4 ilmu mujijat yang cukup memakan waktu, juga memakan banyak sekali iweekang keduanya. Terutama Yap Jeng Cie sebenarnya sudah mulai tidak tahan akibat terkuras daya iweekang dan daya fisiknya.
Tetapi, meskipun intensitas pertarungan mereka berkurang, tidaklah orang luar tahu dan sadar apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Bahkan Tek Ui Sinkay sendiripun masih belum sepenuhnya tahu apa yang sedang terjadi. Mereka malah merasa agak aneh saat mendengar bentakan Koay Ji dengan suara yang sangat berpengaruh dan didorong oleh kekuatan yang luar biasa:
"Menyerahlah kakek tua, dosamu sudah terlampau banyak, sampai mengorbankan murid-muridmu dan juga banyak orang tidak bersalah......"
"Hohohoho, apa engkau mampu menundukkanku anak muda...?" tentu saja Yap Jeng Cie tidak mau kalah gengsi.
Orang banyak kurang paham apa yang sebenarnya terjadi. Hanya Kim Jie Sinkay, Tio Lian Cu dan Khong Yan yang sadar dan sedikit paham apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka tahu, saat itu Koay Ji memang sudah diatas angin, sangat jelas. Hanya mereka bertiga menduga bahwa itu karena pilihan strategi Koay Ji yang tepat dan cerdas, membawa pertarungan jadi panjang dan menguras kekuatan. Dan dengan demikian, maka lawan yang sudah tua atau sangat renta, pastilah tidak akan bertahan lama dan daya tahan lawan pastilah saat itu sudah turun amatlah jauh. Mereka sendiripun tidak paham sebenarnya, apa yang terjadi dengan adu 4 (empat) ilmu istimewa antara Koay Ji melawan Yap Jeng Cie. Meskipun, mereka paham bahwa pertarungan dua manusia beda generasi dan beda jauh umur itu, sangatlah luar biasa dan sangatlah mujijat. Bahkan sampai mendatangkan angin ribut, petir bersambungan, hingga melontarkan puluhan dan bahkan ratusan balok es dan butiran es sebesar kelereng.
Koay Ji sebenarnya menganjurkan agar Yap Jeng Cie menyerah, karena memang kakek itu sudah amat tua dan daya tahannya sudah turun jauh. Semakin lama mereka bergebrak, maka semakin turunlah daya tahannya, padahal Koay Ji justru masih berada dipuncak kemampuannya. Namun, pada saat itu Koay Ji sudah tidak sampai hati untuk terus menerjang karena pastilah akan melukai orang tua itu yang sudah terlihat semakin menurun. Betapapun, Koay Ji menyayangkan akan tingkat kepandaian lawan yang sebenarnya sudah amat luar biasa, bahkan dia sendiripun sebetulnya menang karena daya tahannya. Sayangnya, rasa malu dan gengsi kakek itu jelas sedang dipertaruhkan, dan Koay Ji sendiri tahu serta paham, bahwa dia pasti akan bertarung sampai titik darah terakhir. Yap Jeng Cie pasti akan rela dan siap mempertaruhkan segalanya untuk menjaga gengsi dan nama besarnya, dan hal itu amat wajar dan menjadi kebiasaan dunia persilatan.
Sayangnya, semakin lama seiring dengan semakin dikuasainya Ilmu Naga Melilit oleh Koay Ji, maka semakin kesulitan kakek itu untuk menyerang. Jangankan pada saat dia masih segarpun, sulit baginya untuk cepat menemukan formula melawan atau menghadapi Ilmu Naga Melilit. Maka, jika sudah begitu, bagaimana pula kakek itu bermimpi untuk dapat mengalahkan dan membunuh Koay Ji dalam pertarungan mereka" Apalagi, anak muda itu sudah terlihat mulai unggul kekuatan iweekangnya menyusul merosotnya kekuatan Yap Jeng Cie akibat kelelahan yang sangat. Jelas, karena memang Koay Ji unggul telak dalam daya tahan dan stamina, meskipun sesungguhnya kematangan dan pengalaman, serta bahkan kekuatan saktinya masih kalah matang dengan kakek tua itu. Tetapi, sayang sekali, ada beberapa hal yang berada di luar dugaan kakek tua itu.
Koay Ji tau kondisi itu, dan jelas, kakek Yap Jeng Cie juga tahu keadaan tersebut. Mereka berdua sama-sama paham dengan keadaan yang sedang terus berlangsung dimana Koay Ji kerepotan untuk menyajikan pukulan terakhir, sedangkan kakek Yap Jeng Cie paham sampai dimana daya tarungnya menuju. Kata-kata Koay Ji tadi sebenarnya memang bermaksud baik, tetapi jelas ditanggapi keliru oleh Yap Jeng Cie. Dan bahkan dengan tidak memperdulikan dirinya lagi, diapun serentak kembali menyerang Koay Ji secara hebat, mengerahkan semua sisa kekuatan yang masih dimilikinya saat itu. Serangan tersebut sangat hebatnya, apalagi karena memang menghamburkan begitu tenaga iweekang tersisa dari Yap Jeng Cie. Nampaknya dia seperti mengajak mati bersama, karena itu Koay Ji kaget ketika dia menyerang guna seperti biasa menekan serangan kakek itu agar tidak menghambur keluar, dia merasa sangat aneh dan mengagetkan. Ada sesuatu yang tidak biasa.....
Entah mengapa, kakek tua itu tiba-tiba seperti bugar dan segar kembali, matanya berkilat tajam dan penuh cahaya serta wibawa yang kuat, bahkan melebihi saat pibu mereka akan dimulai. Atau bahkan melebihi ketika kakek itu masih sebugar saat memulai pertarungan mereka berdua. Accch, sungguh aneh. "Sinar dan wibawa dari mata kakek itu bahkan seperti tatap mata dan ekspresi wajah suhu yang terakhir, begitu teduh tapi menyiratkan kekuatan pesona dan wibawa yang tak terlawan.." desis Koay Ji dalam hatinya. Dan dalam sedetik, Koay Ji tertegun dan teringat akan sesuatu yang membuatnya berdebar. Sebuah tulisan pada bagian terakhir kitab pusaka Pat Bin Lin Long yang selalu dia ingat karena petunjuk atas bagian pertama yang tidak pernah bisa dia baca karena memang terpisah dari kitab yang sampai ketangannya. Apa gerangan bacaan itu" bacaan itu amat rahasia, tetapi selalu terpatri di benak dan selalu dalam ingatan Koay Ji karena mengingatkannya sesuatu yang luar memang biasa.
Tulisan itu tentang formula tenaga dalam di kitab bagian pertama yang hilang, yakni bahwa kekuatan iweekang perguruan Pat Bin Lin Long akan dapat didesak hingga ketingkat yang paling sempurna. Tetapi, sesaat setelah mencapai tingkat itu, maka "kematian" akan menjemput datang. Pat Bin Lin Loing mengingatkan murid-murid yang mewarisi iweekang khasnya, bahwa pada saat memutuskan menggandakan kekuatan tenaga dalam, maka ada rumusannya memang. Namun, peringatannya sangat jelas, bahwa ujungnya adalah "kematian". Kekuatan iweekang akan kembali meningkat sampai satu setengah kali kemampuan iweekang yang dimiliki, tetapi setelah itu, ibarat balon akan segera kempes kembali dengan tidak menyisakan sedikitpun iweekang lagi. Artinya sudah jelas, dan Koay Ji terhenyak ketika ingat dengan peringatan yang disampaikan Pat Bin Lin Long itu. Bahwa Yap Jeng Cie sudah siap mati, dan karena itu menggandakan kekuatannya dan pastilah akan segera menyerangnya dengan penuh kekuatan.
Koay Ji kaget, karena dia melihat tanda-tanda seperti itu di mata dan sengatan iweekang lawan yang tiba-tiba meningkat lagi, bahkan melampaui kekuatan Yap Jeng Cie pada awal tarung mereka. Dia cepat sadar dan tahu, bahwa dia tidak boleh meladeni adu pukulan lawan dan terjebak dalam lingkaran kepungan iweekang yang pasti akan menerjangnya. Untunglah Koay Ji memahami dan tahu peringatan yang disampaikan dalam catatan khusus Pat Bin lin Long kepada murid-muridnya yang menguasai ilmu iweekangnya. Meskipun demikian, toch Koay Ji tetap saja sedikit terlambat, karena memang Yap Jeng Cie sudah bersedia melakukannya beberapa saat sebelum dia menyadari keanehan lawan. Disaat dia mampu memahami bahwa waktunya sudah dekat dengan kekalahan, maka diapun mengumpulkan kembali semangatnya dan memompa iweekangnya sesuai dengan skema tulisan kakek gurunya. Pelipatgandaan iweekang dengan resiko yang sudah dia tahu, resiko yang sudah jelas dia paham ujungnya.
Koay Ji terlambat sepersekian detik, terutama setelah dia sadar terjangannya dapat ditepiskan lawan dan sinar mata serta gerak-gerik lawan sungguh mencurigakan. Saat dia melejit ke belakang adalah saat Yap Jeng Cie menerjangnya balik, maka serangkum kekuatan maha hebat menerjang Koay Ji yang sedang berkelabat guna mengundurkan dirinya. Bukan hanya itu, tanpa sengaja, karena tidak lagi berpikir sempurna, dia memainkan jurus rahasia dari Ilmu Ginkang Cian Liong Seng Thian (Lompatan Naga naik kelangit) yang berasal dari Kitab Mujijat Pat Bin Ling Long. Dia sebenarnya sudah menguasai ilmu ini sangat baik, tetapi merasa bahwa pada bagian-bagian puncak, terasa sangat mistis dan tidak mungkin atau mustahil untuk dapat dikuasai. Mengapa" yang dia pikir tidak mungkin, entah mengapa justru pada saat yang sangat diluar sangkanya terjadi.
Ketika mencoba untuk menghalau jurus serangan yang dilepas Yap Jeng Cie, yaitu jurus serangan yang disebut dengan jurus Tian Bong Lo Ciok (Memasang jaring menangkap burung). Salah satu jurus rahasia dan jurus simpanan yang hebat atau maha hebat malah dari Ilmu Pat Mo Hwee Ciang (Pukulan 8 Iblis Sakti), Koay Ji sadar bahaya. Disaat dia ingin bergerak menjauh, dia merasa kekuatan maha besar mulai menghambur dari tubuh Yap Jeng Cie yang memainkan jurus Kie Houw Men Way (Menghalau harimau di luar pintu). Bukan kepalang kagetnya Koay Ji karena kekuatan yang menerpanya menghambur dengan cepat dan seakan mengelilingi tubuhnya tanpa dapat dia melihat adanya jalan keluar. Bahkan, bersamaan dengan itu, Yap Jeng Cie sudah bergerak lagi dengan jurus yang lain, yaitu jurus Pay San Hu Ciong (menghalau gunung menggempur karang). Jurus terakhir, membuat Koay Ji berada di tengah lingkaran kekuatan maha hebat yang dilepaskan oleh Yap Jeng Cie dengan tidak ada jalan keluarnya sama sekali. Di hitungan Yap Jeng Cie memang tidak ada lagi jalan keluar, dia berhasil mengurung Koay Ji dan memaksa akan mengadu kekuatan iweekang.
Pada saat amat kritis itulah Koay Ji teringat dengan Ilmu Ginkang Cian Liong Seng Thian (Lompatan naga naik kelangit). Benar, Koay Ji memainkan ginkang hebat ini, dan dia merasakan bahwa pada bagian atas, dia mampu menembusnya karena kekuatan disana tidak sehebat dibagian bawah. Tetapi, ini tapinya, dia memerlukan sebuah gerakan "nyaris mustahil", yakni sebuah tingkatan ginkang tertinggi yang dikenal dengan satu nama gerakan Ling Khong Sih Tou (Terbang di angkasa). Sebuah tahap atau tingkatan tertinggi ilmu ginkang yang diulas bersama dengan tingkatan dan ilmu ginkang lain yang juga disebut Ilmu Ti Yun Chung (Menembus Kelangit). Bahkan, juga masih menurut Pat Bin Lin Long, jika menguasai "iweekang" pada tingkat tertinggi, juga sanggup dan mampu mencapai tahapan hebat Ilmu Sia Khong Teng sin (Menghentikan badan ditengah udara).
Semua hal itu dirasakan terlampau mujijat dan mistis bagi Koay Ji. Maklum, itu sama saja dengan terbang. Mana bisa dilakukan" dan karenanya dia jarang atau malah tidak pernah berusaha melatihnya, meski sesungguhnya secara teori dia sudah berkali-kali mengingatnya. Saat ini, ketika dia merasakan mampu menerjang keatas, celakanya dia harus turun ke bawah kembali akibat benturan itu, tetapi saat dia akan turun ke bawah, kekuatan Yap Jeng Cie justru sedang menuju puncaknya. Dan ini sangat berbahaya, sudah tentu. Apa boleh buat, Koay Ji harus berusaha membal kembali ke atas meski dorongan dan tarikan kebawah sangatlah kuat. Tetapi dengan kemauan keras, sambil menahan nafas dan pengerahan iweekang gabungan di puncaknya, Koay Ji ternyata berhasil pada tingkatan hebat Ilmu Sia Khong Teng sin (Menghentikan badan ditengah udara). Sesungguhnya tinggal ini yang dia ingat untuk dapat dilakukan, karena jika tubuhnya sampai merosot terus ke bawah, maka celakalah dia diterjang pukulan lawan.
Posisinya yang tidak turun tetapi tetap tertahan setinggi 2 (dua) meter lebih di udara, serta terjadi dalam hitungan 5 hingga 7 detik dengan posisi lengan terlipat dalam sikap menyembah didada dan bukannya mengembang. Hal ini dengan segera jadi pemandangan yang maha hebat, menakjubkan dan nyaris tidak ada yang percaya dengan pandangan mata mereka. Semua orang pada menahan nafas dan nyaris tidak percaya melihat Koay Ji berdiri tanpa tumpuan dengan kedua lengan terlipat dan menyembah. Tetapi, justru dengan cara itu, hembusan pukulan lawan yang rada membahana lewat dibawahnya dan tidak mengusiknya. Bahkan setelah itu, Koay Ji melajkukan gerakan lain yang juga sangat tidak lazim dan belum pernah muncul di Tionggoan, yakni sebuah gerakan Ling Khong Sih Tou (Terbang di angkasa). Gerakan itu dilakukan dengan Koay Ji kembali bergeser bagaikan terbang di udara tanpa pijakan sama sekali, tetapi dalam posisi tadi, menyembah di udara setinggi lebih 2 (dua) meter langsung bergeser sejauh 2-3 meter dari tempat semula. Mana ada yang bisa percaya dengan pemandangan seperti ini"
Kecepatan gerak Koay Ji dia angkasa biasa saja, sehingga dengan mudah dapat diikuti banyak orang lewat mata telanjang, dan otomatis membuat mereka ternganga dan sebagian besar jadi tidak yakin dengan penglihatan mereka. Dan menjadi lebih tidak yakin lagi ketika Koay Ji memainkan gerak lain yang juga tidak wajar, dan yang oleh Koay Ji juga pada awalnya tidak dia percayai kemungkinannya. Yakni sebuah gerakan dengan nama Ilmu Ti Yun Chung (Menembus Kelangit), gerakan tubuh Koay Ji yang aneh dapat melenting naik ke atas tanpa pijakan hingga kini berada di ketinggian sampai sekitar 3 atau 4 meter dari permukaan tanah. Dengan posisi ini, Koay Ji mengumpulkan segenap kemampuan iweekangnya dan menyalurkannya ke semua jemarinya, karena dia memikirkan untuk menggiring tenaga maha hebat lawan untuk di giring kesamping. Dengan pemikiran demikian, Koay Ji kemudian menahan tubuhnya kembali dalam gerakan Ling Khong Sih Tou (Terbang di angkasa) untuk kemudian setelah sekitar 20 detik beterbangan di udara mendarat kembali di atas permukaan tanah. Sampai saat itu, sesungguhnya Koay Ji masih belum menyadari jika gerakan-gerakannya selama beberapa detik belakangan, adalah gerakan mustahil selama ini.
Dengan sebuah jurus sederhana namun terlihat tepat, jurus Sin Liong Cao To (Naga sakti mencakar kelinci) Koay Ji mencoba memapak kekuatan maha hebat yang berada di arena. Tetapi, apa lacur, kekuatan itu ternyata mulai memudar saat Koay Ji turun, dan karena itu, dia batal menggiring tenaga itu, tetapi hanya mencoba untuk memelesetkannya. Herannya, dan Koay Ji tidak lagi sempat berpikir jernih dan menyesal karena alpa, pada saat itulah kekuatan tersisa lawan menyambarnya dan membuatnya mau tidak mau harus melawan.
"Rasakan ......"
Koay Ji masih sempat merasakan desisan penuh hawa amarah dan murka dari lawan tuanya itu. Tetapi, untung dia mendengar desisan lawan itu, sehingga meski sudah melepas kekuatan iweekang menggiring, Koay Ji masih mampu dan memiliki khikang istimewanya dan masih juga tetap berkemampuan mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Dengan cara itu, mau tidak mau dia harus adu kekuatan, karena sepersekian detik waktu ketika dia alpa dan menduga lawan sudah habis. Ternyata, lawan menjebaknya dan menyediakan dia pukulan terakhir sebagai "oleh-oleh" yang terakhir. Tetapi, ternyata pukulan terakhir itu, masihlah tetap begitu kuat dan hebat serta masih mampu membuat Koay Ji terkesiap. Namun dengan sikap apa boleh buat, sekaligus menyesal dengan kealpaannya sendiri, Koay Ji sudah mengerahkan kekuatan semampunya untuk melawan.
"Hahahahaha habislah engkau......."
Terbahak-bahak kakek itu, tanpa dia sadar sesuatu sedang terjadi. Koay Ji memang menyadari kekeliruannya, tetapi jelas dia bukan orang yang tidak berkemampuan dan akan membiarkan dirinya binasa. Dengan kekuatan iweekang gabungan, Koay Ji memutuskan untuk menangkis dan balas mendorong karena tak mampu lagi guna menggiring kekuatan iweekang yang sudah menerpanya.
"Blaaaaaaaaar................ hoakkkkkk...."
"Hahahahahahahahahaha........."
Benturan hanya sekali terdengar dan diiringi dengan dengusan kecil Koay Ji yang terlontar ke belakang dengan muntah darah. Tetapi, meskipun demikian, Koay Ji masih sempat menata dirinya, dengan terlontar ke belakang, mengatur sikapnya dan kemudian jatuh terduduk dengan sikap samadhi. Tetapi, mulutnya penuh dengan darah dan lengannya sudah dengan cepat memasukkan sesuatu ke mulutnya, dan setelah itu diapun terdiam.
Di arena, kakek tua Yap Jeng Cie masih tertawa puas dan senang, bahkan kini dia duduk dalam posisi yang sama dengan Koay Ji dan masih terus saja tertawa. Tetapi, makin lama tawanya makin garing, semakin tanpa emosi, sampai kemudian kakek itu terdiam dalam posisi samadhi. Dibutuhkan waktu beberapa detik lamanya sampai arena tersebut kembali dapat dilihat dengan mata telanjang. Menunggu kabut, debu, dedaunan dan semua benda ringan yang tadi berkesiutan mengelilingi arena jadi tenang dan jatuh kembali ke tanah. Ada beberapa saat, mungkin beberapa menit baru kemudian orang-orang mampu melihat jelas keadaan arena yang sudah mulai senyap dan sepi. Belum ada orang yang berani memasuki arena, karena mereka belum dan tidak yakin dengan apa yang sudah terjadi. Kakek Yap Jeng Cie paling akhir masih terbahak tertawa sementara Koay Ji terlontar ke belakang namun masih mampu turun dan mendarat ke bumi dalam sikap samadhi. Tapi, jelas banyak yang menjadi saksi bahwa dari bibir Koay Ji mengalir darah, tanda bahwa dia memang terluka di bagian akhir tarung mereka.
Tubuh kedua petarung itu terpisah sampai 10 meter lebih, dan kini orang-orang sudah bisa melihat jelas bagaimana keadaan kedua orang itu. Kakek tua Yap Jeng Cie yang tadinya dikira orang banyak dapat "memenangkan" pertarungan, nampak duduk dalam sikap samadhi. Wajahnya tidak tertunduk, tetapi menatap lawannya, Koay Ji. Tetapi, tatap wajahnya sudah kosong, sudah tanpa emosi, tubuhnya sudah tidak lagi bergerak, padahal gerak sekecil apapun adalah tanda bahwa masih ada nada kehidupan. Memang benar bahwa dia terduduk, dan masih berbicara ataupun tertawa saat Koay Ji terlontar ke belakang dan tumopah darah. Dan saar itu, kakek itu tetap dalam sikap seperti orang sedang samadhi, tetapi tidak terdengar lagi nafasnya, dan sinar kehidupan sudah raib dari pandang matanya. Mata itu terbuka dan setengah melotot dan tetap terlihat ada nada penasaran disana, entah apa yang menyebabkan pandang matanya seperti itu. Satu pandang mata yang penuh rasa penasaran, penasaran akan sesuatu yang tak tergapai.
"Sudah selesai, dia sudah tidak bernafas lagi....." desis Kim Jie Sinkay yang pertama kali mendekati tubuh Yap Jeng Cie. Dia menjadi curiga, karena setelah beberapa waktu lewat, kakek Yap Jeng Cie sama sekali tidak bergerak, dan dia tidak melihat lagi tubuh tua itu menunjukkan daya kehidupan. Ketika dia akhirnya mendekati dari depan, dia kaget sekali karena mata itu masih melotot namun segera dia sadar, tidak ada lagi cahaya kehidupan disana. Pandang matanya memang penasaran, entah apa sebabnya, tetapi jelas dia tidak hidup lagi, pandang mata seperti itu ialah pandang mata orang yang sudah melepas nyawanya. Tetapi, masih belum puas dengan apa yang sudah dia peroleh atau apa yang dia baru saja lihat sebelum melepas nyawa dan kehilangan daya hidup. Seperti itulah keadaan Yap Jeng Cie yang dilihat dan diteliti oleh Kim Jie Sinkay.
"Sungguh hebat orang tua ini...." desis Kim Jie Sinkay kagum, karena awalnya dia menduga kakek ini yang memenangkan pertarungan. Sudah jelas dia tidak terluka, tetapi Koay Ji yang terlontar ke belakang dan muntah darah. Kenapa malah kakek tua itu yang tewas dalam posisi mata memandang penasaran dan dalam posisi duduk bersamadhi" Hal ini mengherankan Kim Jie Sinkay yang saling pandang mata dengan Khong Yan yang juga sama kaget dan terkejut. Keduanya adalah sedikit dari tokoh yang mampu mengikuti keseluruhan pertarungan, meski dalam beberapa episode tidak cukup jelas. Tetapi, bagian terakhir pertarungan, tetap saja tidak mampu mereka pahami seutuhnya.
Keduanya kemudian berpaling ke arah Koay Ji, dan Khong Yan sudah maklum jika Koay Ji membekal "sesuatu", dan sesuatu itu adalah barang mujijat. Sebuah guci perak pusaka, dan dia sempat melihat sangat sepintas bahwa Koay Ji sudah sempat memasukkan tetesan air itu ke mulutnya. Karena itu, dia tidak khawatir dengan Koay Ji, sama sekali tidak dengan keselamatan suhengnya yang dia kenal betul. Itulah sebabnya Khong Yan memutuskan untuk terlebih dahulu memeriksa keadaan Kakek Yap Jeng Cie. Dan tidak cukup lama waktu baginya untuk dapat mengetahui dan menyadari bahwa kakek itu sudah meninggal dunia. Beberapa indikasi dan tanda yang dia temukan bersama dengan Kim Jie Sinkay memastikannya akan simpulan itu. Maka diapun akhirnya menarik nafas panjang dan kemudian berkata dengan suara penuh kelegaan:
Dendam Empu Bharada 24 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 5

Cari Blog Ini