Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lengan Buntung 2

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Bagian 2


didekatkan ke bibir Tiang Le.
84 Tiang Le memandang gadis itu.
"Minumlah kongcu"!"
"Siocia, kau siapa" Mengapa aku berada di sini" Dimana aku ini?"
"Tenanglah kongcu. Dan minum obat ini!" mangkuk itu didekatkan
lagi oleh gadis itu di dekat bibir Tiang Le. Tak enak hati Tiang Le
bertanya-tanya terus dan menolak kebaikan gadis ini maka Tiang
Le meneguk habis obat dalam mangkuk itu.
Gadis itu meletakkan mangkuk kosong di meja. Dan langkahnya
yang gemulai ia hendak meninggalkan kamar, akan tetapi Tiang Le
memanggilnya. "Siocia?" "Ya?" Gadis itu membalikkan tubuhnya. Memandang Tiang Le.
Tiang Le sudah duduk di pembaringan. Terasa sekali betapa lemas
tubuhnya. Ia berpegangan pada tepi meja itu.
"Siocia......aku....."
"Eh, hendak kemana kongcu, jangan".. jangan turun,
berbaringlah di situ. Aku hendak masakan kau bubur, ya?"
"Terima kasih siocia, jangan, jangan merepotkanmu...... ah dimana
aku ini?" "Ini kamarku kongcu," sahut gadis itu
85 "Hem!?" "Ya, kamarku. Tak apa kau istirahatlah sementara aku hendak
memasak bubur!" berkata begitu gadis itu sudah meninggalkan
Tiang Le di dalam kamar itu.
Tinggal Tiang Le di dalam kamar itu terlongong heran.
Tidak lama kemudian gadis itu telah mendatangi lagi dengan
membawa sebuah mangkok bubur di tangannya, ia tersenyum
kepada Tiang Le. "Kongcu kau makanlah bubur ini," berkata gadis ini.
Akan tetapi Tiang Le menggelengkan kepala.
"Terima kasih siocia. Harap kau menceritakan mengapa aku
berada di sini dan kau"... kau ini siapa?"
"Kongcu"... tiga hari yang lalu aku dapati engkau di sebuah
sungai. Untung aku waktu itu. Aku sedang berperahu melihatmu
dan keburu menolongmu. Kalau tidak mungkin kau akan terhanyut
dalam air yang sedang meluap sehabis hujan kemarin dulu. Dan
kau terluka hebat pada lengan kanan dan telah pingsan pula.
Kubawa engkau ke mari, kongcu. Tiga hari tiga malam kau tak
sadarkan diri!" "O. Tiga hari tiga malam aku pingsan?"
"Ya......" 86 "Dan selama itu engkau yang merawatku?"
"Benar Kongcu. Aku disini sendirian, dan untungnya aku
memanggil Kwa-sinshe, dan orang she Kwa itu yang memberikan
obat!" "Siapa Kwa-sinshe itu?" tanya Tiang Le.
"Dia ahli pengobatan she Kwa, agak jauh juga rumahnya dari
sini?"" Tiang Le terdiam. Gadis itupun diam. Dari cela-cela bulu matanya yang melirik ke
arah pemuda yang buntung lengannya. Dan hatinya berdesir
apabila pandangan Tiang Le merenggut mata itu.
"Kau siapa siocia".." Dan tinggal sendirian di sini?"
Gadis itu mengangguk. "Aku she Cia, dan namaku Pei Pei. memang aku sendirian. Aku
sudah sebatang kara kongcu."
"O ya!" "Makanlah bubur itu kongcu. Kalau bisa tahu siapakah namamu?"
"Aku Sung Tiang Le. "O, ya. Aku akan memanggilmu Tiang Le twako, bolehkan?"
87 Tiang Le mengangguk. "Dan kau jangan panggil aku siocia lagi. Panggil saja namaku".."
"Terima kasih siocia, oh, Pei Pei!"
Gadis itupun tersenyum. Tiang Le kagum sekali akan senyum gadis itu.
Senyum yang membawa kesan di dalam hatinya, terharu apabila
ia ingat bahwa gadis itu telah sebatang kara.
Akan tetapi bagaikan disentak oleh pagutan ular pada kakinya,
Tiang Le berdiri dan berkata.
"Pei Pei moay".., terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu,
dan sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku"..
terimakasih!" Keruan saja Cia Pei Pei menjadi terkejut.
"Mengapa begitu twako, mengapa lekas-lekas pergi. Tinggallah di
sini sampai lukamu sembuh benar. Sebentar Kwa-sinshe akan
datang dan memeriksa lukamu lagi.
"Tidak Pei Pei moay (adik Pei Pei) setelah aku sadar, tak boleh lagi
aku tinggal bersama-samamu. Kau seorang gadis terhormat dan
aku seorang pemuda. Tak baik ini kalau diketahui para tetangga.
Apa kata mereka terhadap aku dan dirimu?"
88 Merah wajah Pei Pei mendengar ini.
Hati perempuannya tersentuh oleh perkataan Tiang Le.
"Tidak Tiang Le twako, tempatku ini terpencil....... mereka tidak
tahu engkau berada di sini, selain Kwa-sinshe itu."
"Kendatipun demikian, tak boleh lagi aku ada di tempat ini, Pei Pei
moay, biarlah aku pergi!"
"Twako?"!"
Tiang Le memandang gadis itu.
Di mata Cia Pei Pei ada air membasahi menggenang. Berkacakaca mata itu memandang Tiang Le, sebuah air bening meloncat
di ke dua pipinya yang putih halus.
Tiang Le heran melihat gadis itu.
"Pei Pei moay, kau baik sekali. Aku tidak akan melupakan segala
kebaikanmu ini. Kelak Thian saja yang akan membalas budi
baikmu. Pei Pei"... selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih
atas pertolonganmu kepadaku itu!"
Dari kelopak mata Cia Pei Pei mengalir turun bertetes-tetes air
mata di ke dua pipinya. Matanya semakin basah.
"Tiang Le twako, kenapa selekas itu kau pergi".. Luka di
lenganmu belum sembuh twako. Sebentar lagi Kwa-sinshe akan
89 datang ke mari. Tidak maukah engkau menanti sebentar saja
sampai Kwa-sinshe memeriksa lukamu sekali lagi?""
Tiang Le memandang mata yang basah itu. Tidak tega ia untuk
menolak permintaan gadis yang telah menjadi penolongnya itu,
apalagi melihat sinar mata gadis itu yang penuh harap dan
permohonan, mata yang basah. Ah, tidak mau ia membuat gadis
itu mengeluarkan air mata. Tak tega hati itu.
Tiang Le memegang tangan gadis itu.
"Baiklah Pei Pei, aku akan menantikan kedatangan Kwa-sinshe.
Bilakah ia akan datang?"" tanya Tiang Le.
Mata yang basah itu bersinar cerah.
Cia Pei Pei tersenyum menghapus air mata yang tadi berderai. Ia
membalas genggaman tangan Tiang Le.
"Sebentar Kwa-sinshe akan datang. Twako, kau makanlah bubur
itu. Aii, kau ngajakku berbicara terus sampai aku lupa menawari
makanan, sampai dingin bubur di mangkuk itu, makanlah twako"!"
berkata pula Pei Pei memberikan mangkuk bubur kepada Tiang
Le. Diterima oleh Tiang Le dengan tangan kiri.
Cia Pei Pai melirik ke arah lengan yang di balut itu.
Menarik napas dalam. 90 "Aii... sampai sekarangpun aku masih heran twako, siapa yang
telah membuntungi lengan kananmu. Atau kau bertempur, ya,
sampai tanganmu itu terluka?"
Untuk seketika awan-awan hitam menyuram di wajah Tiang Le.
Akan tetapi melihat sinar mata si gadis. Ia jadi tersenyum pedih.
"Lengan kananku buntung bukan karena pertempuran Pei Pei
moay, akan tetapi sumoay ku itulah yang membuntungi lenganku!"
sahut Tiang Le perlahan. Cia Pei Pei terkejut. "Sumoaymu?" sumoaymu yang melakukan ini?"
Tiang Le mengangguk. "Aii, betapa kejinya dia".. mengapa bisa begitu Twako?"
Tiang Le menggelengkan kepala.
Tersenyum pahit. "Tidak apa-apa".. Pei-moay, sudahlah tak perlu kuceritakan itu.
Oh, ya kudengar ada suara orang mendatangi," berkata Tiang Le.
Tentu saja dengan pendengaran telinganya yang sudah terlatih itu,
ia sudah dapat mendengar langkah-langkah kaki orang
mendatangi. Cia Pei Pei melongok dari jendela yang terbuka.
91 "Itu Kwa-sinshe," katanya sambil meninggalkan Tiang Le keluar
dari kamar. Sementara di dalam kamar sendirian itu, Tiang Le menghabiskan
bubur yang tadi disodorkan Cia Pei Pei.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, masuklah Cia Pei Pei
dengan diikuti seorang tua. Orang tua itu sudah tua, umurnya
sekitar limapuluhan. Berjenggot putih pula, panjang berjuntai di
bawah dagunya, rambutnya sudah putih pula ditumbuhi uban.
Matanya bersinar-sinar apabila melihat Tiang Le sudah dapat
bangkit dan duduk di pembaringan. Sekilas matanya melirik ke
arah lengan yang terbalut itu.
"Hee" hee sudah segar sekarang ya, apa masih terasa sakit?"
datang-datang sinshe Kwa bertanya kepada Tiang Le.
Tiang Le menjura hormat dan berkata:
"Terima kasih atas pertolongan Kwa-sinshe yang telah merawat
luka-lukaku. Aku yang muda Sung Tiang Le, memberi hormat,"
kata Tiang Le sopan. "Tidak apa. Sama-sama Sung sicu, aku hanya seorang ahli
pengobatan biasa. Kalau engkau mau berterima kasih, kepada
nona Pei Pei inilah yang telah menolongmu dari sungai itu dan
merawatmu dengan penuh perhatian. Aku orang she Kwa hanya
turut membantu saja."
Kemudian bertanyalah Kwa-sinshe kepada Pei Pei:
92 "Nona, apakah dia sudah kau beri minum obat?""
Cia Pei Pei mengangguk. Orang she Kwa tersenyum puas.
"Bagus, minumlah terus akar obat itu. Godok sampai tiga kali juga
boleh. Kurasa dalam tiga hari lagi lukanya itu akan sembuh benar.
O ya, biar kuperiksa lukanya sekali lagi"..!" Berkata begitu Kwasinshe mendekati diri Tiang Le dan membuka balutan pada lengan
kanan itu. Diberinya obat bubuk berwarna kuning dan balutannya
diganti dengan yang baru.
Amat cekatan sekali orang she Kwa itu bekerja. Tidak berkata apaapa dia di dalam memeriksa luka-luka itu. Baru setelah selesai ia
mengganti balutan di lengan kanan Tiang Le, bibir yang tua itu
tersenyum cerah. "Sudah baik. Sudah baik, hayaa, baru saja tadi pagi aku memeriksa
luka seorang gadis temannya Sin Thong, mukanya hitam kayak
pantat kuali. Hangus. Kalau tidak keburu pertolonganku, sayang
sekali wajah itu akan hitam dan rusak. Ganas memang pukulan
Jing-tok-ciang dari sepasang Iblis Racun hijau.
"Ah, kau memang hebat Kwa-sinshe. Patut dipuji," sahut Tiang Le
memuji. "Biasa saja Sung sicu. Hebat dan tidaknya ahli pengobatan she
Kwa sepertiku ini, nyawa manusia masih di tangan Thian. Aku
belum dapat menyembuhkan orang mati, hehe! Apa yang dapat
dibilang hebat?" Kwa-sinshe berkelakar.
Tiang Le tersenyum. 93 Pei Pei juga tersenyum lebar.
Kwa-sinshe menoleh kepada Pei Pei.
"Nona Pei Pei aku permisi, sebentar lagi aku hendak memeriksa
nona muka hitam dari racun Jing-tok, mudah-mudahan racun hijau
itu dapat kuusir di wajahnya. Kalau tidak, kasihan. Akan cacadlah
gadis teman Sin Thong muridku, hehehe, permisi nona Pei permisi
Sung sicu." "Kwa-sinshe terima kasih," sahut Pei Pei.
"Terima kasih," Tiang Le juga berkata.
Apabila Kwa-sinshe itu sudah pergi. Di dalam kamar itu tinggallah
Tiang Le dan Pei Pei. Ke dua-duanya saling memandang
sekarang. Dua pasang mata itu saling bertemu. Saling merenggut.
Dan Tiang Le berdebar sekali hatinya melihat pandang mata yang
penuh kelembutan itu. Tak kuasa ia menentang lebih lama lagi. Ia
tertunduk dan berkata. "Pei Pei?". sekarang tibalah saatnya kita berpisah, aku".... aku
hendak pergi, hendak melanjutkan perjalananku.
"Ke mana tujuanmu, twako?"
"Entahlah adik Pei, ke mana saja kakiku ini membawanya, aku tak
mempunyai tujuan sebetulnya."
94 "Kalau begitu, mengapa kau begitu kesusu. Tinggallah di sini lebih
lama twako!" Tiang Le tersenyum lebar.
"Tak mungkin adik Pei, tak mungkin seorang pemuda dan seorang
gadis tinggal serumah berdua-duaan saja. Kau maafkan aku."
Merah wajah Pei Pei. "Benar twako, tak mungkin kita selalu bersama-sama. Di mana ada
pertemuan, di situ ada perpisahan?", ah, alangkah beratnya
hatiku berpisah dengan twako......" suara Pei Pei terdengar
bergetar penuh perasaan hati.
Tiang Le terkejut sekali dan menoleh. Menatap Pei Pei.
"Mengapa begitu adik Pei.....?" tanyanya.
Pei Pei tersenyum menggelengkan kepala.
"Maafkan aku twako..... sebetulnya..... tidak apa-apa! O ya, apakah
sekarang juga kau hendak berangkat?"
Tiang Le mengangguk. "Sekarang saja Pei moay," sahutnya.
"Kalau begitu kau bawalah akar obat yang masih tersisa itu.
Godoglah dan airnya diminum agar lukamu lekas sembuh. O ya,
sin-she bilang tiga hari lagi lukamu akan sembuh, nah kau bawalah
95 akar obat ini twako," Pei Pei memberikan bungkusan akar obat dari
Kwa-sinshe. Diterima oleh Tiang Le.
"Terimakasih Pei moay".. kau baik sekali. Budi baikmu akan
selalu kuingat, Pei moay. Sekarang aku hendak berangkat," sahut
Tiang Le seraya tangannya menjinjing akar obat yang dibungkus
dengan kain kuning. Pei Pei menatap pemuda buntung itu, lama-lama pandangan
matanya berkaca-kaca sayu. Setitik air mata meleleh lewat pipi
kirinya, Pei Pei membalikkan tubuhnya dan berjalan ke luar kamar.
Tiang Le mengikuti gadis itu dari belakang.
Apabila sampai di luar halaman itu.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ke dua-duanya saling berpandangan.
Tiang Le mengangkat tangan kirinya dan memegang bahu Pei Pei.
"Selamat tinggal Pei Pei," katanya.
"Selamat jalan Tiang Le twako. Kapan-kapan kalau kau kebetulan
singgah di dusun ini, kau mampirlah ke sini dan ingatlah kepadaku
twako." "Aku akan selalu mengingatmu Pei Pei, selamat tinggal"..!" Tiang
Le melambaikan tangan kirinya.
Basah ke dua mata gadis itu.
96 Terharu sekali hati Tiang Le. Akan tetapi ia menekan perasaan dan
berjalan lanmbat-lambat. Apabila ia menoleh ke belakang, nampak
Pei Pei masih memandangi kepergiannya itu dengan air mata
membanjir turun lewat ke dua pipinya.
Cia Pei Pei, betapa indahnya nama gadis penolongnya. Dan nama
itu hendak diingatnya selalu. Disisipkan ke dalam isi hatinya.
Sementara berjalan lambat itu, ia tersenyum dan terharu melihat
kebaikan Pei Pei yang manis.
Sebuah bayangan lain menyelinap dalam benaknya.
Bayangan itu, bayangan Sian Hwa!!
Tiang Le menengadah ke atas. Tampak dari kejauhan puncak
Tiang-pek-san diselimuti oleh salju menebal. Kenang-kenangan di
puncak Tiang-pek-san membayang di ruang matanya.
Tiang Le tersenyum. Lambat-lambat ia berjalan.
Semenjak Tiang Le menuntut ilmu di pegunungan Tiang-pek-san
baru kali ini ia kembali ke dunia ramai. Hampir empat tahun
lamanya ia di puncak Tiang-pek-san itu. Selama empat tahun itu,
hari demi hari dilewatkannya dengan berlatih silat bersama-sama
ke empat orang saudara seperguruannya. Kadang, ia
mendengarkan wejangan-wejangan dari suhunya Swie It Tianglo
dengan duduk berkeliling di ruang belakang Tiang-pek-pay, dan
kadang-kadang pula ia memburu rusa atau kelinci di hutan
pegunungan Tiang-pek-san bersama-sama saudara-saudara
97 seperguruan. Atau kadang-kadang lagi ia mendengarkan cerita
dongeng dari orang-orang tua di Tiang-pek-pay.
Banyak lagi. Selama empat tahun itu ia hanya berkumpul dengan Sian Hwa,
Bwe Hwa, Liok Kong In dan Song Cie Lay, di samping itu sekalisekali suhunya datang memberi petunjuk dalam berlatih. Kadangkadang pula pernah Kong In bertengkar dengan Cie Lay, atau Bwe
Hwa bertengkar dengan Sian Hwa.
O, kenang-kenangan di puncak itu membayang sekarang di lubuk
matanya. Teringatlah Tiang Le betapa empat tahun yang lalu,
suhunya inilah yang menolong dia dari wabah penyakit kelaparan
yang menyerang keluarganya.
Empat tahun yang lalu Tiang Le tinggal di sebuah dusun Ting-lingbun. Dusun yang jauh sekali ke kota. Tempatnya terasing. Dusun
ini berkepala keluarga ada sekitar limapuluh kepala keluarga.
Dusun yang sederhana dan sangat miskin.
Keluarga Tiang Le adalah keluarga miskin. Ayahnya Sung Tek Han
meninggal dunia akibat serangan penyakit jantung. Ia anak tunggal
dari keluarga Sung. Dan sebagai anak keluarga yang miskin, Tiang
Le sejak kecil mulai membantu ibunya menangkap ikan. Senang
sekali ia bermain di sungai yang banyak ikannya itu. Sungai yang
memberi mata pencaharian kepada limapuluh kepala keluarga.
Dan ikan yang didapatnya diasinkan dikirim ke kota. Begitu
kehidupan orang-orang di dusun Ting-li-bun ini.
98 Tentu saja untuk melancarkan hubungan dagang dari Ting-lingbun ke kota Tiang An yang cukup jauh itu, banyak orang-orang
dusun yang tidak sanggup berjalan sejauh itu, maka datanglah
tengkulak-tengkulak ikan, membeli ikan asin di dusun ini dengan
harga murah dan dijualnya ke kota dengan keuntungan berlipat
ganda. Tahu bahwa di dusun ini merupakan sumber penghasilan ikan
yang cukup banyak maka muncullah tengkulak yang bernama Sie
Tek Pek. Orang tua she Sie itu lantas mendirikan rumah di dusun
itu dan berkat anak buahnya yang pandai ilmu silat sebagai tukang
pukul, maka orang tua she Sie memonopoli daerah itu. Setiap
nelayan tak boleh menjual ikannya ke daerah lain atau tengkulak
lain, seluruh hasil pengasinan itu harus dijual kepada tengkulak she
Sie itu. Maka sejak itu terjadilah penekanan-penekanan terhadap orangorang dusun, pembelian pengasinan ikan tidak memadai untuk
kehidupan orang-orang di dusun, karenanya diam-diam banyak
orang-orang dusun itu menaruh hati tak senang kepada keluarga
she Sie itu, tetapi apa daya"
Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Tukang-tukang pukul yang disewa oleh orang she Sie itu
merajalela. Membeli ikan semaunya, dan tidak sebanding dengan
harga ikan-ikan itu. Pada suatu hari, datanglah musim kemarau yang panjang. Sungai
Sin-kiang menjadi kering. Dan air sungai itu membawa bibit
penyakit kolera, tipus dan disentri. Banyak orang dusun yang telah
99 meninggal dunia terserang penyakit yang semakin mengganas ini.
Termasuk juga ibu Tiang Le yang sudah tua itu. Tak tertahan lagi
ibu itu, sehari cuma dan keesokan harinya tak kuat lagi ibu Tiang
Le menanggung sakit pada perutnya dan meninggallah orang tua
itu. Betapa sedihnya hati Tiang Le.
Tak ada lagi kesedihan yang paling memilukan apabila seorang
anak ditinggalkan ibunya. Ditinggalkan untuk selama-lamanya. Tak
tahan Tiang Le akan musibah yang menimpa keluarganya. Orang
satu-satunya yang kini masih merupakan tumpuhan kasih
sayangnya juga harus menyerahkan kepada maut yang
menjemput. Tiang Le pingsan di samping ibunya yang membujur
kaku. Sementara para orang-orang dusun mulai berdatangan. Dan ikut
berduka cita atas kematian ibu Tiang Le. Hari itu, semua orangorang dusun tidak menangkap ikan. Bukan saja sungai menjadi
kering dan ikan-ikan pada mati di sana, melainkan juga mereka ini
bersama-sama secara gotong royong pergi mengurus pemakaman
ibu Tiang Le. Tengah hari itu, udara cerah sekali.
Orang-orang dusun mengantarkan pemakaman ibu Tiang Le ke
pekuburan. Tiang Le dengan menangis sedih mengiringi peti mati
ibunya yang diusung oleh para tetangga. Berkaca-kaca mata anak
muda itu melihat orang-orang yang mengantar. Hatinya penuh
syukur dan terima kasih atas kerukunan orang-orang dusun itu.
100 Meskipun mereka semua itu orang-orang bodoh tetapi di hati
mereka itu tersembunyi rasa kasih di antara sama sendiri.
"Ibu...... mengapa kau secepat itu pergi"...." Mengapa kau
tinggalkan aku! O, Ibu belum lagi aku membalas budi baikmu yang
telah merawatku sampai besar....... kau sudah"... Ibu, Ibu!" Tiang
Le mengeluh. Sementara matanya berkaca-kaca, jalannya
tertunduk. "Sudahlah Tiang Le..... jangan memberatkan kepergian ibumu
dengan air mata".. yang sudah ya sudah....... ibumu sudah pergi
ke tempat yang tenang dan tiada kesusahan. Ia sudah senang
sekarang"... tinggal kita yang masih hidup, nggak tahu
bagaimana nasib kita".. Tiang Le, makanya kalau seorang anak
mau berbakti kepada orang tua, sebaiknya engkau berbaktilah
selama waktu orang tuamu itu masih hidup. Senangkanlah
hatimu".. hiburkanlah".. sekarang kalau sudah tiada lagi
kesempatan untuk berbakti!"
Bertambah deras air mata Tiang Le mengucur.
"Betul lopek sekarang ini sudah terlambat".. aku belum sempat
berbakti untuk ibu".. ibu sudah pergi.......ugh, ugh."
"Hus mengapa kau bilang terlambat" Soal berbakti bukan saja
kepada orang tua, selama manusia hidup, banyak kesempatan
untuk berbakti. Berbakti kepada orang tua berbakti kepada
negara....... berbakti kepada sesama hidup?" kepada saudarasaudara?" Tiang Le kalau kau mau berbakti, banyak sekali
kesempatan itu, tentu kalau kau menjadi anak baik, menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat dan bangsa, ibumu di surga akan
101 senang sekali melihatmu. Tak kecewa ia membesarkan
engkau......." Si kakek yang berjalan di sebelah Tiang Le
menghisap pipanya dalam-dalam, asap rokok bergulung-gulung
memutih di udara. Dengan amat sederhana sekali. Selesailah sudah pemakaman ibu
Tiang Le. Akan tetapi baru saja semua orang itu menyoja
memberikan penghormatan terahir kepada mendiang ibu itu, Tibatiba terdengar suara tertawa keras.
"Ha ha ha, orang dusun dasar pemalas. Tidak pergi ke sungai
menangkap ikan, malah ke tempat ini bersenang-senang dengan
mayat. Apa kalian mencari mampus?"
Pucatlah orang-orang dusun ini mendengar suara itu. Belum lagi
hilang herannya, tahu-tahu dari atas pohon itu meluncur sesosok
tubuh dan berdiri di atas batu nisan sambil bertolak pinggang.
Itulah dia, tukang pukul Sie Tek Peng yang berjuluk si Cambuk
Maut Oey Goan. "Hayo kalian kembali ke sungai..... pantesan penghasilan kalian
banyak berkurang enggak tahunya kalian bermalas-malasan, hu,
patut dihajar." Si Cambuk Maut Oey Goan melecutkan cambuk
hitamnya dan suara menggeletar memecut-memecut di udara.
"Harap Oey Goan sicu tidak menaruh marah kepada kami, baru
saja kami memakamkan tetangga kami yang meninggal akibat
terserang penyakit........ maafkanlah kami?""
"Tar tar tar!" Tiga kali pecut itu meluncur terjungkallah orang tua
yang tadi berkata sambil memohon-mohon.
102 Pucat wajah Tiang Le melihat kepala kampungnya sudah putus
nyawanya disambar tamparan pecut di tangan tukang pukul itu.
Dengan sekali enjot tubuhnya Tiang Le meloncat maju dan
menyerang Si Cambuk Sakti Oey Goan sambil membentak keras.
"Keparat! Anjing Sie Tek Peng?" rasakanlah pembalasanku!"
dengan berani Tiang Le menjotoskan tangan kanannya ke arah
perut tukang pukul itu. Melihat betapa yang menyerangnya adalah seorang pemuda kurus
dan berwajah pucat seperti orang berpenyakitan, dengan tertawa
mengejek si cambuk sakti Oey Goan memutarkan cambuknya dan
karuan saja ke dua tangan Tiang Le telah dapat dililit oleh cambuk
itu. Bertambah panas hati Tiang Le. Ia melompat maju dan
menendang. "Duuk!" Perut si cambuk sakti Oey Goan kena tendangan kaki
kanan Tiang Le. Namun bukan si cambuk sakti yang berteriak
kesakitan malahan Tiang Le sendiri yang meringis merasakan kaki
kanannya menjadi sakit sekali.
"Hee....... hee anak nggak tahu diri, sudah ditinggal mati ibumu
masih berlagak, hayo, kau berlutut di depanku!!" Perintah si
cambuk sakti Oey Goan sambil bertolak pinggang.
Tentu saja mana Tiang Le sudi berlutut di depan orang ini. Bukan
dia berlutut malah sebaliknya, matanya melotot memandang Oey
Goan dan makinya: "Anjing penjilat pantat Sie Tek Peng aku berlutut di depanmu, lebih
baik aku mengadu jiwa denganmu."
103 Tiang Le meronta-ronta dan mengobat-abitkan cambuk yang
masih membelit ke dua tangannya. Akan tetapi begitu cambuk
ditarik oleh Oey Goan, tubuh Tiang Le terhuyung-huyung dan
melayang jatuh. Jidatnya berdarah terhantam batu. Ke dua
dengkulnya lecet bekas terseret cambuk yang ditarik Oey Goan.
Dua orang dusun itu maju ke dekat Si Cambuk sakti Oey Goan dan
berlutut, "Oey Goan sicu?", ampunilah anak ini,
mencelakakan Tiang Le. ampunkan dia sicu!"
jangan kau Oey Goan menoleh, "He he he, anak ini kurang ajar kepadaku, kalau dia mau berlutut
tujuh kali kepadaku, niscaya cambukku ini akan mencabut
nyawanya," kata Oey Goan angkuh.
Sekali sentak tubuh Tiang Le melayang lagi dan kali ini tubuhnya
menghantam batu nisan. Darah merah mengucur dari ke dua
lobang hidung Tiang Le. "Hayo kau berlutut anak setan!" bentak si Cambuk Sakti Oey Goan.
Tiang Le mendelik menatap Oey Goan.
"Tak sudi aku berlutut kepadamu! Tak sudi!"
"Setan! Kalau begitu mampuslah kau!" Cambuk di tangan Oey
Goan terangkat naik membawa tubuh Tiang Le. Berputar-putar di
udara, mengombang ambingkan tubuh Tiang Le yang berputar
104 seperti kitiran. Hebat si Cambuk Sakti Oey Goan ini. Dengan
memutar-mutar cambuk di tangannya tubuh Tiang Le berputaran
di udara dan sekali si Cambuk Sakti menghentakan ujung
cambuknya, tubuh Tiang Le melayang tinggi.
Terdengar jeritan dari orang-orang dusun melihat pemandangan
yang mengerikan ini. Terbelalak ngeri mata mereka melihat tubuh
Tiang Le yang masih melayang tinggi itu. Tepat di bawahnya
sebuah batu nisan pekuburan siap menyambut tubuh anak muda
itu. Akan hancurlah tubuh itu!
"He he, mampuslah bocah setan!"
"Tar tar tar!" Cambuk itu melayang lagi. Melempar lagi tubuh Tiang
Le tinggi ke udara. Demikianlah tubuhnya dipermainkan oleh si
Cambuk Sakti Oey Goan sambil tertawa-tawa seperti kanak-kanak
yang kegirangan bermain layang-layang.
Pusing kepala Tiang Le dipermainkan seperti ini.
Akan tetapi ia masih dapat memaki.
"Anjing buduk?" turunkan aku, pengecut!"
"Hee?" hee, turunlah sendiri?". Turunlah kalau bisa!!" tertawa
si Cambuk Sakti Oey Goan mempercepat putaran cambuknya.
"Setan! Anjing buduk! Anjing penjilat pantat Sie Tek Peng?"
pengecut besar, kalau kau gagah, turunkan aku, rasakan
pembalasanku!" 105 Tiang Le berteriak-teriak, sementara kepalanya semakin pusing.
Tiba-tiba dirasakannya cambuk Oey Goan terlepas dan tubuhnya
meluncur ke bawah. Saking ngerinya Tiang Le memejamkan
matanya. Matilah aku!!! Aiiiiii Tiang Le!! Orang-orang dusun memburu.
Sesosok tubuh dengan gesit sekali berkelebat dan mencelat tinggi,
tahu-tahu tubuhnya Tiang Le telah ditangkap oleh sebuah tangan
yang amat kuat. "Siancay?". siancay, keji benar kau Oey Goan!" terdengar suara
halus dan menusuk hati dan tahu-tahu di depan si cambuk sakti
Oey Goan telah berdiri seorang kakek yang memegang tongkat di
tangan. Sedangkan tubuhnya Tiang Le sudah dilepaskan oleh
tangan kanan kakek yang telah menolongnya itu.
"Orang tua, siapakah engkau?" Oey Goan yang melihat gerakan
orang tua itu demikian ringan dan telah dapat menyambar tubuh
pemuda itu menjadi hati-hati sekali. Dan ia terkejut apabila
pandangan matanya terbentur oleh tatapan sinar mata si kakek
yang tajam menusuk.

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oey Goan, kalau gurumu tahu engkau berkelakuan seperti tadi,
tentu siang-siang engkau telah dijiwir oleh karena watakmu yang
jahat itu. Sembarangan saja kau mencabut nyawa manusia apakah
kau dapat menghidup kehidupan ini?"
"Orang tua?" kau berbicara seenaknya saja. Lekaslah minggat
sebelum aku naik darah!" bentak si Cambuk Sakti Oey Goan
mempermainkan ujung cambuknya melecut-lecut di udara.
106 "Oey Goan...... Bu Beng Siangjin itu adalah teman baikku. Hem,
kalau kulaporkan kelakuanmu yang buruk ini, niscaya kau akan
dapat jiwiran di telingamu!" berkata kakek itu tenang.
Terkejut juga hati si Cambuk Sakti Oey Goan,
"Kakek....... kau siapa?"
"Aku Swie It Tianglo dari Tiang-pek-san," sahut kakek itu
"Kau...... kau Swie It Tianglo yang telah membunuh suteku, Lie Cu
Seng murid Bong Bong susiok?"
"Awas juga matamu Oey Goan?", tapi sayang watakmu juga
sama jahatnya dengan Lie Cu Seng, murid Bong Bong Sianjin!"
"Keparat....... kalau begitu kau harus mampus!" teriak Si Cambuk
Sakti Oey Goan menerjang maju dengan sabetan cambuk yang
seperti ular hitam hcndak membelit tubuh Swie It Tianglo.
"Wessss!" samberan cambuk itu lewat di samping si kakek Swie It
Tianglo ketika orang itu dapat terkelit ke kiri dengan amat
mudahnya. Panas sekali hati Oey Goan melihat samberan
pecutnya luput dan dengan memekik-mekik ia menerjang lagi.
Hebat sekali terjangan cambuk itu. Akan tetapi anehnya, tiada
pernah cambuk itu menyentuh tubuh Swie It Tianglo seakan-akan
cambuk hitam itu menghantam bayangan-bayangan saja.
"Ha ha ha".. Oey Goan mengapa ragu-ragu" Pukulan cambukmu
itu, pukulan yang keras, biar tubuh tuaku ini menerima satu atau
dua gebukan darimu?" memang pinggangku ini sedang rematik
107 kepingin digebukin?" rasanya.... enak sekali kalau cambukmu itu
memijit-mijit tubuh tuaku, hahaha".. pukullah yang kuat!" Swie It
Tianglo mengejek sambil berloncatan lincah menghindarkan
sambaran cambuk itu. "Kakek gila kalau mau digebuk oleh cambukku jangan mengelak,"
seru Oey Goan penasaran merasa melawan bayangan sendiri
saja. Malu ia, masakan cambuknya yang terkenal dengan sebutan
cambuk sakti itu sekarang tidak dapat menyentuh tubuh si kakek.
Benar-benar memalukan. "Ha ha ha! Benar juga Oey Goan aku sedang sakit pinggang, nah,
pukullah kuat-kuat pinggangku."
"Tar tar tar!" Tiga sambaran cambuk mengguntur menyambar
pinggang si kakek. Melilit kuat. Dan seakan-akan melekat di
pinggang si kakek, cambuk itu tak dapat dilepaskan lagi. Oey Goan
membetot dengan kuat. "Ayaa..... nggak enak dipijitnya, eh Oey Goan?". jangan tariktarik begitu nanti cambukmu putus tolol!" si kakek memaki.
"Keparat!" Oey Goan memaki.
Dengan kedua tangannya ia membetot kuat-kuat.
"Tesss!" cambuk itu putus ditengah-tengah saking kuatnya ditarik
oleh si Cambuk Sakti. Dan akibatnya tubuh Oey Goan terpental
lima meter bergulingan. Saking kerasnya ia terjengkang ke
belakang, kepalanya membentur batu nisan sehingga di kepala itu
tumbuh sebuah benjol sebesar telur bebek.
108 Oey Goan terhuyung-huyung. Meraba kepalanya yang benjol itu.
"Kubilang juga apa".. jangan tarik kuat-kuat?" rasain kau, apa
masih kurang?" "Kakek gila?". kucabut nyawamu!"
"He he he?", kau bukan Giam-lo-ong, mana berhak kau
mencabut nyawaku. Hati-hati Oey Goan jangan-jangan Giam-loong mendengar perkataanmu dan engkau sendiri yang akan
dicabut nyawamu?"!"
"Orang tua sombong! Mampuslah kau!" Sebuah pukulan jarak jauh
dari Oey Goan menyambar tubuh Swie It Tianglo. Nampak jubah
orang tua itu berderai-derai dan begitu si kakek mengangkat
tangannya ke depan, tak ampun lagi untuk yang kedua kalinya
tubuh Si Cambuk Sakti terjengkang. Kali ini amat keras tubuh itu
tertumbuk batu nisan sehingga terdengar suara bergedebuk dan
batu nisan itu semplak tertimpa tubuh Oey Goan yang meringisringis karena tulang belakangnya patah.
"Melihat muka Bu Beng, aku tidak menjatuhkan tangan maut
kepadamu. Tapi awas sekali lagi aku bertemu denganmu, jangan
berkata aku berlaku kejam. Nah minggatlah kau!" tongkat butut
Swie It Tianglo mencukil ke depan dan tahu-tahu tubuh Oey Goan
terlempar jauh. Akan tetapi si Cambuk Sakti telah berdiri. Memegangi tulang
pinggangnya yang remuk. 109 "Kakek sialan. Tunggulah pembalasanku nanti!" sekali berkelebat
Oey Goan telah lenyap dari tempat itu.
Tiang Le menghampiri kakek sakti itu dan menjatuhkan diri
berlutut. "Locianpwe yang baik, terima kasih atas pertolonganmu kepada
saya yang tiada berharga ini?"."
"Hm, ia sudah mabur, sekarang orang muda pulanglah kau ke
rumahmu!" kata Swie It Tianglo.
Orang-orang dusun yang tadi melihat kelihayan si kakek sakti,
berlutut pula. Dan seorang di antaranya berkata:
"Lopek".., tolonglah kami".. kami sebetulnya dalam tindasan
sewenang-wenang dari tengkulak Sie Tek Peng. Kalau lopek tak
keberatan tolonglah kau damaikan kami dengan orang she Sie
supaya ia dapat memaklumi kami. Sungai-sungai pada kering dan
ikan-ikan banyak yang mati, penghasilan kami sangat terbatas
sekali kalau orang tua she Sie itu mau berdamai dengan kami ?"
senang kami bekerja."
"Sudahlah?" bangunlah kalian. Sebelumnya aku sudah memberi
hajaran kepada manusia she Sie itu. Kalian pulanglah kembali ke
tempatmu masing-masing, eh?", orang muda kau kembalilah."
"Locianpee yang baik, saya?", saya sudah tidak mempunyai
sanak famili. Ibu saya baru saja meninggal dunia. Locianpwe?",
kalau".. kalau tidak keberatan biarlah saya turut denganmu
merantau," sahut Tiang Le.
110 "Ikut denganku mudah saja orang muda. Sekarang kau pulanglah
ke rumahmu. Tak baik kau ikut denganku sekarang. Bukankah kau
masih berkabung kematian ibumu" Nah, kau kembalilah pulang ke
rumah. Besok kalau kebetulan aku singgah ke sini aku akan
membawamu serta, eh siapa namamu orang muda?" tanya Swie It
Tianglo. Diam-diam matanya melirik, dan alangkah girangnya
ketika matanya itu dapat melihat tulang yang baik dan berbakat dari
anak muda itu untuk belajar silat.
"Siapa namamu?" tanyanya lagi.
"Nama saja Sung Tiang Le, cianpwee."
"Sung Tiang Le?"" Swie It Tianglo mengulangi nama itu dan
sekali menggerakkan tubuhnya tahu-tahu Tiang Le dan orangorang dusun kehilangan kakek yang tadi masih berdiri.
"Hebat, kakek itu bisa menghilang!"
"Dia memang sakti!"
"Eh, Tiang Le kalau engkau dapat ikut dengan kakek itu wah, kau
pasti bisa menghilang seperti dia."
Ramailah orang dusun membicarakan tentang kakek sakti yang
telah menolong Tiang Le dari permainan maut Oey Goan dan
mengusirnya. Benar saja sejak kemunculan kakek sakti itu tidak ada lagi tukangtukang pukul dari Sie Tek Peng yang berkeliaran di dusun-dusun.
Tak ada tengkulak-tengkulak yang memaksa penduduk untuk
111 menyerahkan hasil penangkapan ikan penduduk. Tidak ada
bentakan-bentakan dari tukang pukul.
Akan tetapi mara bahaya tetap saja mengancam penduduk dusun
Ting-ling-bun itu. Bahaya kelaparan merajalela di sana sini. Ikanikan sungai pada mati akibat air sungai yang mengandung racun
dan kering akibat musim kemarau yang begitu panjang tahun ini.
Sumur-sumur dan telaga kering. Dan akibatnya sawah-sawah
menjadi tandus dan gersang. Bahan gandum sedikit sekali dan itu
siang-siang telah didrop oleh orang-orang berduit.
Penduduk dusun mengharapkan hujan.
Dan hujan tak kunjung datang
Dan kemarau semakin panjang......
Akibatnya bahaya kelaparan terjadi di dusun ini!
"Lapar! Lapar!" Teriakan-teriakan anak-anak kecil sungguh
menyayat-nyayat hati, mengiris-iris jantung si ibu yang tak dapat
lagi memberikan makan kepada anaknya.
Di mana-mana terancam bahaya kelaparan. Bersamaan dengan
itu berbagai penyakit bermunculan menyerang penduduk. Satu
persatu nyawa-nyawa manusia meninggalkan tubuhnya. Di manamana terdengar ratap tangis dari orang-orang yang ditinggal mati.
Si mati membujur tenang. 112 Si hidup menangis ditinggal si mati. Mengeluh panjang pendek
akan kehidupan yang menyengsarakan badan. Badan yang
semakin hari tinggal kulit berbalut tulang. Badan yang sudah mulai
kurus kering. Seorang pemuda berjalan lunglai. Perutnya terasa perih bukan
main. Matanya berkaca-kaca basah melihat pemandangan yang
mengenaskan hatinya. Mendengar ratapan si kecil yang ditinggal
mati ibu, ratapan-ratapan yang menangisi perut yang minta diisi.
Tang Le termenung sendirian.
Jauh terbentang di depannya sawah-sawah yang tandus dan
kering tak mengeluarkan gandum. Sungai Sin-kiang tak
mengeluarkan air lagi. Pepohonan tak lagi mengeluarkan kuncup,
dedaunan itu sudah patas diambil orang untuk dimakan. Tidak ada
lagi yang menghijau di sana. Segalanya serba tandus dan gersang.
Tiang Le berjalan perlahan.
Seorang anak kecil menghampiri sebuah rumah gedung di depan
sebelah sana. Suara anjing menggonggong panjang menyalaknyalak menyambut si anak kecil itu di halaman rumah.
Si anak kecil yang kurus kering itu menangis. Ketakutan digigit
anjing Sementara, mulutnya meratap.
"Ibu?" lapar".. ibu?" lapar, aduh"..!"
Menangislah anak itu. 113 Tiang Le menghampiri anak itu.
"Adik kecil, kenapa kau menangis di dalam rumah orang?"
"Ugh".. ugh lapar, ngko"... kasih aku nasi dong, aku lapar"..
aduh perutku sakit!"
Tiang Le terhenyak mendengar ratapan anak kecil itu. Ia juga
tengah kelaparan saat itu, bagaimana ia dapat menolong anak
ini?"" "Adik kecil?""
"Ngko aku lapar, aduh?" nggak tahan perutku!!"
Tiang Le kebingungan. Tiba-tiba pintu rumah gedung itu terbuka, seorang gadis remaja
mendatangi, "Kau?"" "Cici minta nasi, aku lapar!" kata anak kecil itu sambil menghampiri
gadis itu. "Waah kau lagi?" barusan tadi pagi aku berikan kau nasi," sahut
si gadis. "Cici, nasi yang tadi pagi sudah habis. Sekarang lapar lagi?"."
"Kau lapar?""
114 Anak kecil itu mengangguk.
Tiang Le menghampiri gadis itu.
"Nona, kalau kau mempunyai persediaan berikanlah pada anak ini,
kasihan".." Gadis itu menoleh dan tanyanya:
"Kau siapa?"?"
"Aku penduduk dusun sebelah sana itu. Di sana banyak orang mati
kelaparan." "Aku tahu"... memang sekarang jamannya orang mati kelaparan."
"Nona, anak itu kelaparan, apakah kau dapat menolongnya?"
Gadis itu tersenyum. "Sebentar?" aku akan ambilkan sedikit gandum," berkata
demikian gadis itu berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Tiang Le menarik napas lega menghampiri anak kecil itu.
"Kau tunggulah di sini, ya dik. Nci itu sedang ambilkan gandum
untukmu," kata Tiang Le sambil cepat-cepat meninggalkan tempat
itu. Bayangan-bayangan wajah gadis yang manis tadi melekat di
pelupuk matanya. Wajah seorang dara remaja yang dia kenal
115 benar, gadis tadi tentulah puterinya Sie Tek Peng, kalau tidak salah
gadis itu bernama Sie Biauw Eng.
Terhuyung-huyung sekarang Tiang Le berjalan".. hampir tidak
kuat rasanya kakinya melangkah saking lemasnya menahan lapar.
Kepalanya terasa pening, berdenyut-denyut.
Tak terasa 1agi tubuhnya terguling dan ia roboh di pinggir jalan itu.
Pingsan. Dan apabila ia sudah pingsan seperti itu tak ingat lagi ia
akan perutnya yang melilit-lilit minta diisi. Tak ingat lagi akan
kesengsaraan hidup ini. Tak tahu apa-apa lagi. Dan pada saat yang tepat itulah datang Swie It Tianglo yang
menolong Tiang Le dari bahaya kelaparan yang mengancam
jiwanya. Dan dibawanya ia ke puncak Tiang-pek-san.
Dan di sanalah Tiang Le bertemu dengan Sian Hwa, Bwe Hwa,
Liok Kong In, Song Cie Lay dan orang-orang tua murid-murid
Tiang-pek-pay. Dan di sana itu pulalah ia kehilangan lengan
kanannya! Kini ia menjadi seorang pemuda lengan buntung!
Pemuda yang tidak mempunyai daya!
"Y" 5 116 Setelah Tiang Le berjiarah ke kuburan ibunya di dusun Tiang-linbun dan membersihkan kuburan itu dari rumput dan lalang-lalang
yang liar karena tidak terurus! Maka ia pun mengembara
meluaskan pengalaman. Ia tidak mempunyai tujuan hendak pergi ke mana, karena iapun
sudah tak mempunyai handai tolan dan tak sanak famili dan tak
berkawan. Kembali ia ingat akan gadis yang bernama Cia Pei Pei
yang baru saja ditinggalkan tadi pagi, ia menarik napas panjang.
Kasihan gadis manis itu, hidup sendiri pula di dusun yang terpencil
itu. Tiada lagi sanak familinya. Lupa ia untuk menanyakan riwayat
gadis itu! Gadis itu adalah penolongnya.
Cia Pei Pei. Tiang Le menghela napas dan berlari cepat. Pikirannya penuh
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beruntun sejak ia turun
gunung Tiang-pek-san beberapa hari yang lalu. Cinta segi tiga di
antara suheng dan sumoaynya, sehingga membuat lengan
kanannya buntung sebatas pundak. Ia tidak marah pada
sumoaynya yang pertama yang bernama Bwe Hwa itu. Ia tahu
betul, perbuatannya bersama Sian Hwa di dalam pondok ketika
hujan-hujan itu tentu saja membuat Bwe Hwa membenci dirinya
setengah mati.

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayangnya perbuatan sumoaynya itu melumpuhkan segala
kepandaiannya bermain pedang. Tak bisa dia memainkan pedang
dengan tangan kiri. Dan latihan-latihannya hampir empat tahun di
puncak Tiang-pek-san itu ternyata sia-sia belaka.
117 Setelah lengan kanannya buntung mana bisa Tiang Le dapat
menarik pedang lagi" Namun demikian semangatnya untuk
mencari musuh-musuh besar itu tidak lumpuh. Ia bersedia untuk ini
mempertaruhkan nyawanya. Matipun tidak mengapa, asalkan
dendam yang membawa penasaran itu dapat dibalas. Asalkan
Tiang-pek-pay berdiri kembali. Akan tetapi di hati kecilnya, apakah
ia dapat mengalahkan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Tethian Lomo itu, apalagi sekarang setelah lengannya buntung,
apalagi kebisaannya"
Setelah bertemu dengan musuhnya itu, barangkali ia akan
mengantarkan nyawa dengan sia-sia saja! Meskipun demikian ia
tidak berkecil hati. Hasratnya untuk mencari pembunuh-pembunuh
guru-gurunya masih menyala-nyala di hatinya. Tiga nama itu, Bong
Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo selalu diingatnya
dan mulailah di dalam perantauannya itu ia mulai bertanya-tanya
tentang tiga orang ini. Berhari-hari ia mengembara tak tentu arah tujuan. Kalau berhenti
di sebuah kota yang dianggapnya indah, ia tinggal di sana
beberapa hari sambil bertanya-tanya tentang tiga orang pembunuh
gurunya, lalu melanjutkan pula perjalanannya.
Uangnya masih ada, karena waktu di puncak Tiang-pek-san itu
suhunya sering memberikan ia uang dan ini dikumpulkannya
sehingga cukup banyak sudah. Tapi soal uang ia tidak kuatir
karena kalau sampai kehabisan ia dapat pinjam dari simpanan
seorang hartawan. 118 Ini pernah juga dikatakan oleh suhunya Swie It Tianglo: "Muridku,
kelak setelah kalian turun dari puncak ini amalkanlah pelajaranpelajaran yang kuajarkan kepadamu untuk kebenaran dan
keadilan. Setelah kalian tamat belajar, merantaulah kalian untuk
mencari pengalaman dan memperluas pergaulan dengan orangorang gagah di dunia kang-ouw ini. Dan di dalam perantauan itu
jikalau engkau sudah terpaksa sekali kehabisan uang boleh kalian
ambil secukupnya dari seorang hartawan. Tapi awas jangan
mengorbankan jiwa orang pula, sebelumnya harus diselidiki dahulu
keadaan hartawan orang itu. Kalau ia orang baik dan dermawan,
jangan diganggu, muridku, ingat ini untuk menjaga nama gurumu
dan nama kita. Pada suatu hari sampailah Tiang Le di kota Tiang An.
Kota itu cukup besar dan rumah-rumah penginapan dan rumah
makan banyak sekali terdapat di situ. Orang-orang yang
berdagang di kaki lima hingar bingar dengan segala kesibukan
orang-orang yang hilir mudik berbelanja. Teriakan orang-orang
yang menjajahkan makan dan barang dagangannya terdengar
membisingkan telinga dan hiruk pikuk keadaan di dalam kota Tiang
An yang ramai ini. Tiang Le berjalan sambil memandangi etalase-etalase toko yang
penuh dengan hiasan barang dagangan yang mewah dan indah
sekali. Tertarik sekali hatinya melihat barang-barang yang mewah
itu. Memang keadaan di kota ini jauh sekali dengan di dusun dan
di pegunungan. 119 Di dusun-dusun mana terdapat sutera halus dari Tibet dan hiasanhiasan dinding yang terukir bagus dan halus itu. Tentu saja
suasana di dusun jauh sekali berbeda dengan di kota. Sekecilkecilnya sebuah kota masih lebih maju kebudayaan dan segalanya
dari di dusun atau pegunungan.
Tiang Le berjalan amat perlahan. Lengan yang kanan sering kali
merupakan pusat perhatian orang-orang yang secara kebetulan
memandangnya. Ada yang menarik napas kasihan melihat
seorang pemuda yang buntung lengannya itu, ada pula yang
tertawa sinis atau senyum mengejek kepada orang muda yang
dianggapnya seorang pengemis muda. Akan tetapi melihat
kesinisan dari orang-orang kota ini, Tiang Le tidak ambil peduli. Ia
tidak menjadi marah atau rendah diri.
Ia tetap berjalan tenang-tenang di jalan yang itu. Tiba-tiba
telinganya yang sudah terlatih itu mendengar suara derap kaki
kuda di belakangnya dengan amat cepat sekali. Bersamaan
dengan itu terdengar jeritan-jeritan teriakan dari orang-orang yang
berusaha memberi jalan kepada penunggang kuda yang
membalapkan kudanya dengan amat cepat.
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita tua memburu anak kecil
di tengah jalan itu. "A Yin"! A Yin...!"
Suara kaki kuda berderap meageluarkan debu yang mengepul ke
atas. Semakin dekat dengan anak kecil di tengah jalan itu, Tiang
Le terkejut bukan main dan sekali mengenjotkan tubuhnya tahutahu ia sudah melayang dan menyambar anak kecil itu dan
120 berkelebat lenyap. Bersamaan dengan gerakan Tiang Le itu,
seekor kuda berlari dengan amat kencangnya. Kalau Tiang Le
tidak cepat bertindak tentu anak itu akan hancur diinjak kuda yang
tengah membalap itu. Orang-orang yang melihat pemandangan yang menegangkan itu
menarik napas lega setelah mengetahui anak kecil tadi sudah
selamat ditolong oleh tangan orang muda yang berpakaian amat
sederhana dan berlengan buntung.
Seorang ibu menghampiri anak kecil itu.
"Ibu, paman buntung ini hebat. Barusan A Yin dibawa terbang oleh
paman buntung ini"..!" kata anak kecil itu.
Ibu anak itu menoleh ke arah Tiang Le dan menjatuhkan dirinya
berlutut. Karuan saja Tiang Le menyambar membangunkan ibu itu.
"Kouw-nio.......jangan begitu".!"
Orang muda yang gagah, aku yang tua mengucapkan banyak
terima kasih kepadamu. Untung saja ada engkau, kalau tidak entah
bagaimana nasib anakku?"!" sahut ibu itu sambil menjura
kepada Tiang Le. Tiang Le tersenyum dan dengan tangan kirinya dia sudah
menggendong anak perempuan yang berusia tiga tahun itu,
kemudian diserahkannya A Yin kepada ibunya.
"Kouw-nio, anakmu tidak apa-apa....... lain kali jangan membiarkan
anak kecil bermain di tengah jalan!" kata Tiang Le.
121 "Terima kasih tayhiap?" terima kasih," demikian kata ibu itu
sambil menggendong A Yin.
"Ibu, paman ini sudah menolongku?" ibu undang paman ini untuk
bermain-main ke rumah kita," si kecil A Yin berkata kepada ibunya
sambil matanya yang jeli itu memandang pemuda buntung yang
telah menolongnya. Ibu itu tertawa "Betul juga kata anakku, tayhiap karena kau sudah menolong
anakku"... marilah singgah sebentar di rumahku yang tidak jauh
dari sini," ibu itu mengundang Tiang Le.
Akan tetapi Tiang Le menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak usah kouwnio, tak usah merepotkan!"
"Tidak merepotkan tayhiap, hanya sekedar rasa terima kasih kami."
"Paman buntung sombong ya, masak enggak mau kerumah A Yin,
paman hayo dong ke rumah."
A Yin merosot dari gendongan ibunya. Dan menarik-narik tangan
kiri Tiang Le sambil katanya lemas: "Paman buntung hebat ya, bisa
terbang kaya burung walet. Paman mau ya ke rumah, nanti A Lin
kenalin sama papa dan ngkong, ngkong A Yin juga bisa terbang
seperti paman." Tiang Le tersenyum dan mengelusi kepala anak perempuan itu.
122 "A Yin lain kali jangan main di tengah jalan, ya, nanti ditubruk kuda.
O ya, paman ada coklat. A Yin mau?" Tiang Le mengeluarkan
sepotong coklat yang tadi dibelinya. Girang sekali A Yin menerima
gula-gula coklat itu. Lupa ia untuk mengajak paman buntung ke
rumahnya. "Kouwnio?". aku permisi!"
"Eh..... tayhiap...... tidak mampir ke rumahku dulu?"
"Tak usah, lain kali saja aku banyak urusan!"
Sekilas Tiang Le melirik ke arah anak perempuan yang tengah
asyik menggigit coklat yang barusan diberinya. Dan sekali ia
menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu ibu itu dan orang yang
berkerumun di situ telah kehilangan pemuda buntung yang bisa
menghilang dan terbang secara tiba-tiba.
Dan tahu-tahu Tiang Le telah berada jauh dengan tempat kejadian
tadi. Ia sekarang memasuki rumah makan penginapan. Hotel Jinpin yang terkenal itu memang paling terkenal dengan kebersihan
dan pelayanannya yang memuaskan. Ke situlah Tiang Le
bermalam. Akan tetapi begitu Tiang Le memasuki ruangan tengah, ia melihat
di dalam ruangan tengah itu duduk belasan orang mengelilingi
sebuah meja yang cukup besar. Waktu melihat pemuda buntung
itu lewat, mereka diam tak bersuara. Dan justru itulah ia yang
menarik perhatian Tiang Le.
123 Hemmm, urusan tentu penting yang tengah dibicarakannya itu,
pikir Tiang Le. Dan ia menjadi tertarik sekali. Pelan-pelan ia
mengikuti seorang pelayan yang menghantarkan ke kamar. Dia
kebetulan sekali kamarnya itu berhadapan dengan ruangan
tengah. "Inilah tempat untuk kongcu," berkata si pelayan.
Tiang Le memperhatikan sejenak kamar itu. Sebuah pembaringan
yang bertilam seprey, sebuah meja kecil, dan ruangan segi empat
yang bersih dan teratur. Berlantai jubin yang berkilat dan bersih.
Senang sekali hati Tiang Le. Ia merogo dua tail perak dan
memberikan kepada pelayan itu sebagai uang tip. Si pelayan
dengan girang sekali menerimanya.
"Terima kasih kongcu (tuan muda)."
Tiang Le mengangguk. "Yang duduk di ruang tengah itu"... apakah tamu-tamu hotel di
sini?" tanya Tiang Le perlahan.
Si pelayan menoleh ke arah ruang tengah!
"Betul kongcu, mereka itu adalah serombongan dari orang-orang
Kim-coa-pay, mungkin tengah mengadakan rapat penting," sahut
si pelayan setengah berbisik.
"Kim-coa-pay, perkumpulan apakah itu?"
124 "Mereka-mereka itu adalah pengawal-pengawal dari rombongan
piauw-kiok (pengantar barang) yang hendak mengadakan
perjalanan ke Wu-nian."
"Ooo," Tiang Le mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kongcu....... kalau hendak memesan sesuatu, harap kau panggil
saja pelayan di sini?" mereka itu akan melayanimu sebaikbaiknya"..," sahut si pelayan.
"Baiklah kalau nanti aku ada perlu, akan kupanggil kau," sahut
Tiang Le. "Baik kongcu"..." berkata demikian pelayan itu meninggalkan
tamunya. Tiang Le meletakkan bungkusan pakaiannya yang
dijadikan satu dengan akar-akar obat dari Cia Pei Pei. Akar obat
itu masih ada padanya. meskipun luka di lengan kanannya telah
sembuh. Akar-akar obat itu mengingatkan ia akan kebaikan gadis
manis Cia Pei Pei. Dari dalam kamarnya itu Tiang Le memperhatikan orang-orang
yang mengelilingi meja di ruang tengah itu. Ada limabelas orangorang yang mengelilingi meja itu. Nampaknya ke limabelas orang
itu tengah mengadakan rapat, ini dapat dilihat dari gerak-gerik
mereka dalam pembicaraan. Rupanya yang memimpin rapat itu
adalah orang yang bermuka buruk. Terdengar ia berkali-kali
mengeluarkan pendapat. Suaranya serak akan tetapi tegas dan
jelas didengar. "Pengawalan kita kali ini tidak ringan saudara-saudara. Karena
yang hendak kita kirim adalah sejumlah uang hasil upeti dari kaisar
125 untuk disumbangkan ke Wu-nian untuk para korban wabah
kelaparan dan penyakit yang merajalela di sana. Limaribu tail emas
itu akan ditukarkan di Wu-nian dengan bahan makanan dan obatobatan dan kemudian akan diteruskan kepada para penderita
korban bencana kelaparan dan penyakit yang berbahaya sekali di
sepanjang sungai Sin-kiang dan beberapa daerah yang sudah
terancam"..." "Betul pangcu?" tugas kita adalah tugas mulia untuk
perikemanusiaan. Oleh sebab itu pengawalan kita ini berbahaya
sekali. Bukan saja kita membawa sejumlah uang yang banyak itu,
akan tetapi, kabarnya di lereng gunung Fu-niu-san sering terjadi
perampokan perampok yang berkepandaian tinggi!" sahut orang
yang berpakaian sebagai piauwsu.
Kumisnya melintang menuruni bibirnya. Matanya sipit. Dia itulah si
Golok Maut Jie Kong. Anggota kelima dari Kim-coa-pay. Melihat
urat-urat tangannya melingkar-lingkar itu sudah diduga bahwa si
Golok Maut itu ahli tenaga gwakang dan kepandaian bermain golok
luar biasa. Semua orang memandang kepada lelaki berpakaian piauwsu itu,
dan beralih ke arah orang tua muka bopeng, ketua Kim-coa-pay.
Orang tua berusia empatpuluhan tahun dan wajahnya belangbelang, kulitnya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar.
sedangkan hidungnya menjungat ke atas, sehingga ia kelihatan
selalu mukanya mendongak ke atas.
Semua orang menanti reaksi dari ketua Kim-coa-pay ini, memang
benar seperti kata si Golok Maut, Jie Kong barusan, mereka sering
126 mendengar akan terjadinya perampokan, yang terjadi di sekitar
kaki gunung Fu-niu-san. Karena itulah pergiriman barang-barang
kali ini, apalagi yang berupa uang tunai seharga limaribu tail emas.
Hm, sudah tentu amat berbahaya sekali.
"Kita tak perlu kuatir, Jie Kong!" berkata pangcu Kim-coa-pay yang
bernama Pat-jiu-koay-hiap Sin Tok. "Seandainya betul-betul di
lereng Fu-niu-san itu ada parampok yang berani mati main gila
denganku, hmm, kepalanku yang akan meremukkan kepalanya!"
"Betul kata pangcu, kita tak perlu kuatir. Dengan limabelas orang
gagah di sini apa yang mesti kita takuti?" Orang yang berwajah
pucat itu mencela. Matanya melirik Jie Kong dan tersenyum,
Jie Kong, si Golok Maut itu mengangguk-angguk.
"Kita harus berhati-hati"...!" sahutnya.
"Besok, pagi sebelum matahari terbit, kerahkan para piauwsu
pengantar barang itu untuk berangkat dan kita menyusul
kemudian!" kata pangcu Kim-coa-pay.
Semua orang berdiri. Tiang Le yang mendengarkan percakapan orang-orang itu. Segera
menutup pintu. Hatinya tertarik mendengar percakapan tadi.
Berbahaya sekali kalau memang benar di kaki gunung Fu-niu-san
itu ada perampok yang berkepandaian tinggi.
Kalau orang-orang Kim-coa-pay ini tidak dapat menandingi
perampok-perampok itu, hilanglah limaribu tail emas untuk
127 sumbangan korban kelaparan! Dan ini tak boleh ia biarkan,
pikirnya. Dan diam-diam Tiang Le mengambil keputusan untuk
membuntuti dan jka perlu nanti ia akan membantu orang-orang
Kim-coa-pay Demikianlah, pada pagi-pagi Tiang Le mengambil keputusan untuk
berangkat. Suara gerobak barang dari para piauwsu terdengar
lewat di depan Hotel. Tiang Le keluar dari kamarnya dan
menghampiri rombongan itu.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang anggota Kim-coa-pay melihat pemuda buntung
menghampiri rombongannya, menatap agak curiga dan bertanya,
"Eh, hendak ke mana kau?"
Tiang Le membungkukkan badannya dan menjura hormat.
"Piauw-heng, aku hendak ke Wu-nian, dan berhubung ekspedisi
inipun hendak menuju ke sana, maka alangkah baiknya kalau aku,
juga turut dengan kalian........"
"Ke Wu-nian" Hendak menemui siapa kau di sana"..?"
"Saja hendak menjenguk seorang famili yang sedang menderita
sakit. Eh, piauw-heng benarkah di sekitar dusun-dusun di
sepanjang sungai Sin-kiang terserang wabah penyakit dan
kelaparan?" Tiang Le berpura-pura tanya.
"Begitulah agaknya orang muda. Memang kamipun ke sana untuk
sekedar memberi bantuan kepada orang-orang yang tengah
terancam penyakit dan kelaparan....... Kau mau ikut" Boleh tapi
128 selama dalam perjalanan dengan kami, kau harus tunduk kepada
peraturan-peraturan ekspedisi, mengerti"!"
Tiang Le mengangguk, 'Terima kasih Piauw-heng," sahutnya dan kemudian dia
menghampiri orang-orang yang juga akan turut bersama ke Wunian.
Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek mendatangi dengan menunggang kuda.
Kemudian memberi aba-aba kepada rombongan yang di depan.
Maka hingar bingarlah suasana di dalam kota itu pada waktu
rombongan piauw-kiok itu berlalu, suara kaki kuda dan suara
gerobak bergemuruh dikeheningan pagi. Orang-orang di dalam
kota masih tenggelam dalam tidurnya, sementara rombongan
piauw-kiok mulai bergerak maju meninggalkan kota Tiang An.
Tiang Le berjalan dengan orang-orang yang hendak pergi ke Wunian. Udara pagi-pagi buta amat sejuk dan dingin, matahari belum
terbit dan kokok ayam jantan bersahut-sahutan, nyambut
datangnya pagi hari. Orang-orang yang berjalan kaki mengobrol untuk menghilangkan
rasa sepi, ada yang ngobrolin dagang, ada yang mengobrol
tentang urusan rumah tangga mereka, malah ada yang mengobrol
tentang perampok. Dan banyak sekali yang mereka bicarakan.
Dan Tiang Le mendengarkan semuanya itu. Ia kadang-kadang
tertawa melihat orang di sebelahnya tertawa menceritakan ceritacerita yang dianggapnya lucu. Atau kalau tidak ia cuma tersenyum
lebar kepada temannya di sebelah yang paling doyan sekali
129 melucu. Sehingga tanpa terasa
meninggalkan kota Tiang An.
lagi mereka telah jauh Pada tengah hari itu, mereka sampai di sebuah padang rumput
yang amat luas sekali. Nun jauh di sebelah sana nampak gunung
Fu-niu menjulang tinggi tak terlihat puncaknya tertutup oleh awan
putih yang bergerak di atas langit biru. Udara di tengah hari sangat
panas sekali membakar serombongan manusia yang tengah
melintasi padang rumput. Tak ada lagi pohon-pohon yang tumbuh
di sana. Matahari tersenyum-senyum di atas kepala, memandangi
manusia-manusia yang tengah kelelahan sehabis jalan sepanjang
duaratus lie jauhnya. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek berjalan dengan menunggang kuda di
depan rombongan. Di kirinya si Golok Maut Jie Kong nampak
gagah sekali mendampingi pangcu Kim-coa-pay, wajahnya sudah
berpeluh menjalankan kudanya lambat-lambat.
Dan di sebelah kanan nampak pula seorang laki-laki berpakaian
pelajar. Laki-laki itu berusia sekitar tigapuluh. Wajahnya yang
cakap itu berseri-seri memandang ke depan. Dia itulah Lim-siucay
(pelajar Lim) yang tak boleh dibuat gegabah akan ilmu pedangnya.
Biarpun orang tua ini nampak lemah dan seperti orang tidak
mengerti akan ilmu silat, akan tetapi siapa kira bahwa dia inilah
tangan kanan pangcu Kim-coa-pay yang berkepandaian sangat
boleh diandalkan. Begitu mereka memasuki lereng gunung Fu-niu, Jie Kong
merapatkan jalan kudanya dan berbisik kepada pangcunya di
sebelah, "Waspadalah pangcu. Disini inilah yang sering kejadian!"
130 Orang tua muka bopeng itu melirik tajam.
Mengangguk-angguk. "Jie Kong?" beritahukanlah saudara-saudara yang di belakang
bahwa kita sudah memasuki lereng Fu-niu-san," bisik Pat-jiu-koayhiap Sin Tek, pangcu muka hitam itu.
Jie Kong membalikkan kudanya. Berjalan ke belakang.
Dan suaranya yang serak itu menggema di lereng Fu-niu!
"Saudara-saudara sekalian".. cepat sedikit".. kita sudah
memasuki gunung Fu-niu!"
Maka ramailah suara kaki kuda dan derik gerobak dorong yang
melaju cepat. Orang-orang yang berjalan di belakang tak
berlambat-lambat lagi. Setengah berlari mereka itu.
Tiang Le juga berlarian mengikuti orang yang tengah panik, ada
yang mendekati para anggota Kim-coa-pay minta perlindungan
kalau terjadi apa-apa. Tentu saja bagi Tiang Le tak perlu ia berlari
ngas-nges-ngos seperti yang lainnya. Sedikit ia menggerakkan
tubuhnya berlari di atas rumput, tubuhnya melesat ke arah dekat
pengiriman barang-barang itu dan ia mengimbangi larinya gerobak
barang dengan cepat! Kini barisan piauw-kiok sudah memasuki daerah berbatu. Banyak
terdapat batu-batu kecil, dan di antaranya terdapat sebuah bukit
batu karang, tetapi anehnya di antara batu-batu karang yang besar
itu tumbuh banyak pohon-pohon liar dan menyeramkan.
131 Tiang Le yang berjalan cepat di samping gerobak barang itu
mengawasi ke kiri ke kanan. Nalurinya yang tajam dan terlatih itu
membuat ia menjadi curiga. Ia berlaku waspada. Apapun yang
akan terjadi ia tetap mempertahankan barang kiriman, walau
dengan taruhan nyawa sekalipun.
Berhubung jalan-jalan penuh dengan batu-batu karang, sehingga
berkali-kali roda dari gerobak itu slip dengan batu-batu, makanya
terpaksa Tiang Le membantu para piauwsu mendorong gerobak.
Tentu saja dengan bantuannya itu, dengan amat muda sekali roda
gerobak itu tercabut dari jepitan-jepitan batu yang berserakan.
Sebab dengan tangan kirinya itu, ia mengerahkan tenaga lwekang
dan dengan ringan sekali gerobak itu melaju lagi.
Tiba-tiba terdengar dari atas batu karang suara anak panah
berdesing. Sepuluh batang anak panah menyambar orang-orang
yang mendorong gerobak. Tiang Le terkejut sekali. Dengan hanya
mengebutkan ujung lengan bajunya ke sepuluh anak panah itu
terpukul jatuh dan tentu saja kejadian ini mengejutkan hati piauwsu
melihat anak-anak panah yang tertancap di gerobak.
Paniklah orang-orang di sekitar gerobak barang.
"Perampok?"!"
Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek menoleh dan menghampiri.
"Ada apa?" "Itu....... pangcu".. seorang menuju ke arah anak panah yang
menancap di gerobak. 132 Melihat ini pangcu Kim-coa-pay menoleh ke atas batu karang yang
besar dan membentak: "Manusia mana yang berani mampus
berlaku kurang ajar dengan Kim-coa-pay?"
Sebagai jawaban orang tua muka buruk itu, terdengar suara
ketawa nyaring dengan dibarengi berkelebat empat sesok
bayangan dengan gesit dan ringan.
"Hi hi hi! Siapa yang tidak mengenal Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek,
Tayhiap dari Kim-coa-pay?"
Tahu-tahu di depan pangcu Kim-coa-pay berdiri empat orang
wanita dengan muka tertutup sapu tangan hitam. Hanya mata yang
bening itu yang menatap tajam ke arah orang-orang Kim-coa-pay.
Melihat bahwa yang datang itu hanya empat orang wanita muda
berkerudung hitam, legalah hati orang-orang Kim-coa-pay.
"Sie-wie siocia. Siapakah kalian ini dan mengapa engkau
menghadang perjalanan kami?" tanya Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek
memajukan kudanya ke depan.
"Pangcu Kim-coa-pay, lekas kau serahkan limaribu tail emas itu!"
Seorang di antara ke empat wanita berkerudung hitam itu berkata.
Matanya tajam menantang pandangan laki-laki muka hitam. Sin
Tek berubah air mukanya ketika gadis itu menyebut-nyebut
tentang limaribu tail emas.
"Nona".., jangan membuat lelucon di sini"... sudahlah aku
banyak urusan," pangcu Kim-coa-pay menghentak kudanya maju
ke depan, akan tetapi begitu ke empat gadis itu mencelat, tahu133
tahu ke empatnya sudah menghadang Sin Tek dengan bertolak
pinggang. "Muka hitam, jangan berlagak pilon?".. Siapa yang tidak tahu
bahwa kalian membawa hadiah upeti kaisar untuk korban
kelaparan di Wu-nian."
"Hemm," Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek mendengus. "Sudah tahu
bahwa limaribu tail emas itu untuk korban bencana kelaparan,
mengapa kau tanyakan itu?"
"Orang tua muka hitam jangan bersilat lidah, pokoknya kau mau
atau tidak serahkan uang itu kepada kami?"
"Hemm, jadi kalian inikah yang digembar gemborkan para piauwsu
sebagai perampok-perampok hina dina?"
"Keparat kami bukan perampok!"
"Siiiing!" Seorang gadis yang tertua menarik
Menghampiri pangcu Kim-coa-pay!"
pedangnya. "Serahkan peti itu!"
"Sratt!" Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek juga menarik pedangnya. Pedang
merah itu melintang di depan dada dengan gagah.
"Limaribu tail uang emas itu boleh kalian ambil, sekiranya dapat
melayani pedangku!" 134 "Sombong! Lihat pedang".." gadis kerudung hitam yang tertua itu
membentak sengit dan pedangnya melakukan gerakan menyilang
dari kanan dan kiri, hendak menggunting kepala orang tua muka
bopeng yang dibencinya itu.
Akan tetapi hanya dengan merendahkan tubuh sedikit saja. Patjiu-koay-hiap Sin Tek sudah dapat membebaskan diri dari
ancaman sepasang pedang yang melayang melalui atas
kepalanya. Lim-siucay dan si Golok Maut Jie Kong, dua orang pembantu
pangcu Kim-coa-pay itu dengan marah maju menyerang dengan
golok besar Jie Kong dan sebuah kipas dan pit di tangan Limsiucay. Golok di tangan Jie Kong menyambar menyilaukan mata
ketika berkelebat menyerang nona muka kerudung itu.
"Mampuslah kalian!" bentak gadis muka kerudung hitam itu dan
tahu-tahu ketika golok dan pit di tangan Lim-siucay menyambar
dan sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, ia melompat ke
belakang dan sebelum dua orang pembantu pangcu Kim-coa-pay
dapat menarik kembali golok dan pit mereka, dua kali berturutturut, gadis muka kerudung hitam itu menotok dengan telunjuk
tangan kirinya dan aneh sekali, Jie Kong dan Lim-siucay roboh dan
terus bergulingan mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak
lagi, roboh dengan tubuh lemas dan tak berdaya di dekat batu
karang yang menonjol. Tiang Le terkejut sekali melihat sepak terjang yang demikian lihay
ilmu silatnya ini. Apakah gadis itu perampok yang semalam disebut
oleh Jie Kong" 135 Heran dia, mana ada seorang perampok gadis begini muda" Tiang
Le bengong memandang gadis berkerudung hitam ini.
Rupanya gadis muka kerudung hitam ini tidak mau membuang
banyak waktu, begitu melihat Pat-jiu-koay-hiap yang terkesiap
melihat kehebatan ilmu silat gadis kerudung hitam itu tak dapat
berpikir lama ia karena gadis itu telah menggerakkan kakinya,
melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan pangcu Kimcoa-pay. Terdengar suara keras ketika pedang pangcu itu terlepas
dari pegangannya dan terlempar jauh ke atas batu karang
mengeluarkan suara nyaring.
Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek masih mencoba untuk mengelak ketika
tangan si gadis berkerudung hitam itu menyambar, namun
terlambat, pundaknya kena serempet pedang di tangan kanan si
gadis dan terasa pundak kirinya ada yang menepok dan keruan
saja Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek ini jatuh terlentang dan tubuhnya
lemas, setengah tubuhnya sebelah kiri terasa lumpuh dan dari
pundak kanan yang tadi terserempet pedang mengeluarkan darah
merah. Sapasang pedang gadis muka kerudung hitam menodong Pat-jiukoay-hiap Sin Tek. Terdengar gadis itu mendengus: "Hem pangcu
Kim-coa-pay hanya sebegini saja, sudah dipercayakan untuk
membawa hadiah upeti kaisar. Hayo, muka hitam serahkan uang
itu, biar kami yang akan teruskan ke Wu-nian.
"Perampok hina, aku sudah tak berdaya, kalau mau bunuh,
bunuhlah akan tetapi jangan harap kau dapat menjamah uang
derma dari kaisar itu!" Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek memaki.
136 "Manusia bopeng! Kalau aku bunuh engkau, apakah arwahmu bisa
menghalang-halangi aku untuk menjamah uang derma itu?"
"Suci, mengapa kau banyak ngobrol, sikat saja si muka bopeng itu,
buat apa banyak cingcong!" gadis muka kerudung hitam yang ke
dua maju mendekati sucinya.
Pada saat itu, angin pukulan menyambar dari belakang dan karuan
saja pedang yang tengah menodong dada pangcu Kim-coa-pay itu
berkelebat ke belakang, amat cepat gerakannya itu sehingga
terdengar suara, "Breet!" dan putuslah lengan baju yang terjuntai
di tangan kanan Tiang Le. Gadis berkerudung hitam itu terbelalak
matanya melihat penyerangnya tadi adalah seorang pemuda yang
lengannya buntung. "Eh buntung, mau apa kau?" tanya si gadis.
"Nona, kau tidak boleh membunuh Pat-jiu-koay-hiap, pangcu Kimcoa-pay!" kata Tiang Le dengan tenang.
"Hmm, dia ini apamukah?""
Tiang Le menggelengkan kepalanya.
"Bukan apa-apa nona, hanya kau tidak boleh menjatuhkan tangan
maut kepada seorang lawan yang sudah tidak berdaya," sahut
Tiang Le pula. Gadis berkerudung hitam itu melirik ke arah lengan yang buntung
itu. Sepasang pedang berkelebat dan terdengar desing suara
pedang itu ketika memasuki sarungnya.
137 "Bocah buntung, kemampuanmu?" berani kau menguliahiku. Apakah "Aku tak bisa apa-apa nona, kuharap engkau membiarkan kami
meneruskan perjalanan ke Wu-nian. Perjalanan kami masih jauh."
"Boleh saja, siapa yang menghalangi perjalanan kalian" Aku tidak
menyuruh kalian berhenti. Aku hanya minta kepada si muka
bopeng ini untuk menyerahkan uang derma dari kaisar untuk para
korban....... Siapa kira si bopeng itu demikian pelit dan patut
kuhajar"...!"

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, suci kenapa meladeni si buntung ini, hayo cepat kita seret
gerobak yang memuat limaribu tail emas itu!" gadis ketiga muka
kerudung berkata ketus, matanya mendelik menatap Tiang Le.
"Sumoay kau bereskanlah kucing-kucing penjaga peti uang itu, biar
aku menjaga anjing buntung yang menyalak-nyalak, minta digebuk
pantatnya," kata gadis yang dipanggil suci oleh gadis ketiga.
Kemudian ia bertolak pinggang menantang.
"Anjing buntung, setelah lenganmu buntung apakah kepingin nona
besarku membuntungi pantatmu?"
"Nona, mulutmu tajam sekali tak pantas seorang gadis secantik
kau berkata sekasar itu. Lenganku buntung ini tidak ada sangkut
pautnya denganmu. Mengapa kau mengataiku anjing buntung
segala?" "Eh, kau marah kuejek anjing buntung!"
138 "Tentu aku bukan seekor anjing dan tak mau aku disamakan
dengan anjing buntung yang kau sebut-sebut!" Tiang Le panas
hatinya. "Hm tidak senang juga ya dikatai anjing buntung?" gadis itu berkata
sambil menghampiri Tiang Le.
Tiang Le panas perutnya. Masa ia disebut anjing buntung. Terlalu
sekali mulut gadis yang tertutup oleh kerudung hitam. Ingin sekali
ia merenggut kerudung hitam itu dan melihat mulut gadis yang
telah lancang menyebutnya anjing buntung segala. Ia disebutsebut anjing buntung, menghina benar gadis ini!
"Lenganku buntung tidak ada sangkut pautnya denganmu. Harap
kau dapat menjaga mulutmu yang lancang itu!" Tiang Le marah.
"Hem, kau yang lancang mencampuri urusanku dengan orangorang Kim-coa-pay. Sudah, aku tidak ada urusan denganmu.
Minggir!" sambil membentak itu tangan si gadis kerudung hitam
mendorong ke arah Tiang Le. Serangkum angin pukulan
menyambar ke arah pundak pemuda buntung dan Tiang Le nenjadi
terkejut sekali merasa ada tenaga yang amat kuat mendorongnya.
Untung ia berlaku waspada, dan begitu melihat tangan itu bergerak
mendorong, dengan serta merta ia mengangkat tangan kirinya
membalas dengan dorongan pula.
"Dess!" Dua tenaga yang tidak kelihatan itu bertemu menggetarkan
tangan ke duanya. Si gadis muka kerudung hitam kaget bukan
main, melihat pemuda buntung ini dapat mempertahankan
pukulannya. Malah bukan saja ia dapat mempertahankan pukulan
139 jarak jauh akan tetapi juga membuat kuda-kudanya tergempur
hebat. Di lain pihak Tiang Le juga kagum terhadap gadis yang mempunyai
tenaga yang sebesar gajah ini. Tangan kirinya terasa linu ketika
bertemu dengan telapak tangan si gadis.
"Ayaaa...... pantesin kau berani bertingkah di depanku, tidak
tahunya ada simpanannya, juga ya" Eh, buntung berani kau
menghadapi sepasang pedangku?" tanya gadis itu dan dengan
gerakan seorang ahli tahu-tahu kedua pedang pendek itu telah
berada di tangannya, melintang di depan dada.
"Nona........ aku tidak ingin berkelahi!"
"Setan! tak usah berpura-pura, kau mau atau tidak, kau harus
melayani beberapa jurus. Bersiaplah! Awas pedang!" serta merta
gadis centil itu telah menerjang dan mengirim tusukan cepat,
secepat kilat menyambar. "Wah, wah".. kalap!" Tiang Le mengeluh dalam hatinya. Ia cepat
membuang diri mengelak, maklum akan kedahsyatan pedang yang
bersinar perak itu. Tetapi gadis muka kerudung itu sudah
menyerang lagi bertubi-tubi! Malah ia mulai menggerakkan
sepasang pedangnya dengan jurus-jurus yang amat cepat sekali,
bagai kilat menyambar-nyambar dari langit.
Tiang Le mengeluh dalam hati. Celaka gadis ini bukan saja lihay
dalam ilmu pedangnya, tetapi juga kelihatannya bernapsu untuk
mengalahkannya. Tiang Le menghadapi serbuan sepasang
pedang yang cepat ini tak berdaya. Ia sibuk sekali, meloncat ke
140 kanan ke kiri menghindari sambaran-sambaran sepasang pedang
yang hebat itu. Hebat! Gadis ternyata mempunyai ilmu yang dahsyat dan ganas.
Kalau Tiang Le belum menguasai ilmu meringankan tubuh niscaya
sejak tadipun sudah tersate tubuhnya oleh tusukan-tusukan
pedang dari kanan kiri. Tiang Le repot menghadapi gadis yang ganas ini. Hancurlah citacita hendak menolong para piauwsu pengantar barang ini. Terkejut
bukan main ia waktu melihat di sekitar gerobak menggeletak anak
buah Kim-coa-pay telah terluka pada pundak dan pahanya.
Ternyata tadi begitu ketiga wanita berkerudung itu menghampiri
gerobak limabelas anggota Kim-coa-pay menyerang wanita
berkerudung hitam itu dan sebentar itu pula tiga wanita kerudung
hitam itu sudah dikeroyok oleh belasan orang anggota Kim-coapay.
Tentu saja menghadapi orang-orang Kim-coa-pay tidak begitu
tinggi ilmu silatnya, sebentar saja tiga wanita itu sudah dapat
membereskan pengawal barang dan seorang di antaranya, gadis
kerudung hitam yang tinggi langsing, dengan rambut digelung ke
atas itu sudah berdiri di tengah-tengah gerobak barang sambil
melintangkan pedang di depan dada dan tersenyum mengejek.
"Jangan melawan! Sekali pedangku ini bergerak, aku tak akan
memberi ampun...... Kalian boleh melanjutkan perjalanan, akan
tetapi tiga gerobak barang ini tidak boleh di bawa. Ingat siapa yang
menentang, pedangku ini akan memenggal kepala!"
141 Tentu saja melihat para pengawal barang sudah tak berdaya dan
pangcu Kim- coa-pay itupun sudah menggeletak lemas hampir
pingsan, maka tanpa berani menoleh ke belakang lagi orang-orang
yang mengikut dalam rombongan piauw-kiok (ekspedisi) itu cepatcepat meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan
mereka dengan tubuh menggigil. Masih untung jiwa mereka
selamat! Oleh karena itu masing-masing tak berani buka suara
atau bertindak. Masing-masing saling dulu meninggalkan tempat
itu! Tak mau perduli lagi mereka akan limaribu tail emas di dalam tiga
peti gerobak itu.! Tiga gadis muka kerudung itu menghampiri gerobak-gerobak
barang dan mendorongnya menjadi satu berjejer. Kemudian
ketiganya menoleh ke arah saudara seperguruannya yang masih
mendesak pemuda buntung. Tak berdaya Tiang Le menghadapi gadis yang lihay ilmu
pedangnya ini. Ia cuma bisa mengandalkan kelincahan tubuhnya
saja, berkelebat menghindarkan sambaran sepasang pedang yang
bergerak amat cepat dan ganas. Repot ia. Lama kelamaan ia
menjadi lelah juga. Tiga kali sudah pedang di tangan kiri gadis itu
menyerempet pundak kirinya hingga mengeluarkan darah.
Di lain pihak gadis muka kerudung hitam ini merasa penasaran dan
marah membuat ia bergerak makin ganas dan dahsyat. Masa aku
tidak dapat mengalahkan pemuda buntung yang kelihatannya ini
sudah terdesak hebat, memalukan benar, pikirnya. Ia memainkan
pedang pendeknya semakin cepat.
142 Tiang Le diam-diam mengeluh. Celaka! Setelah lengan kanannya
buatung, ia benar-benar tidak bisa lagi memainkan pedang dengan
kanan kiri. Oleh sebab itulah, tak mampu ia membalas seranganserangan gadis kerudung hitam itu. Ia merasa penasaran sekali.
Kalau menghadapi gadis ini saja ia tidak mampu, apalagi
menghadapi musuh besar gurunya Bong Bong Sianjin, Te-thian
Lomo dan Sianli Ku-koay"
"Nona"... aku tak ada permusuhan apa-apa denganmu, mengapa
kau harus bersikap keras membunuhku"!?"
"Setan! Kau sudah membantu Kim-coa-pay, berani lancang
menghadapi sepasang pedangku. Nah rasakanlah!"
"Kau ini gadis aneh sekali. Ganas dan telengas, kepingin sekali aku
melihat wajahmu. Hemm, tentu wajah yang tertutup itu cantik jelita,
alangkah senangnya hatiku kalau boleh melihat sekejap saja, biar
matipun tidak mendelik!" seru Tiang Le ketika ia terpaksa
berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah tusukan pedang di
tangan kiri si gadis. Suara pedang berdesing saking kuatnya dan Tiang Le tak berani
berlaku lambat lagi, berbahaya sekali, lambat sedikit saja tentu
tubuhnya itu akan disate oleh pedang pendek di tangan kiri si
gadis. Sambil berjungkir balik ia menendang ke arah lengan kiri si
gadis. Tiba-tiba terdengar suara cambuk meluncur tiga kali,
"Tar! Tar! tar!"
"Ayaaa," Tiang Le kaget bukan main. Apalagi ketika melibat
cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang
143 membingungkan. Seketika itu juga keadaan Tiang Le benar-benar
sangat terdesak. Beberapa kali pundaknya hampir tersambar
sepasang pedang di tangan gadis muka kerudung hitam.
Belum lagi hilang kagetnya tahu-tahu cambuk yang tadi
menyambarnya dari belakang bergulung-gulung lagi dan tak
sempat ia meloncat, tahu-tahu pinggangnya telah terlibat cambuk
itu dengan amat kuatnya menyentak dan "Werrrr" tubuh Tiang Le
melayang ke atas. Ketika itulah sepasang pedang pendek di
tangan gadis pertama menyerbu ganas.
"Suci".. tahan!!"
Ternyata yang berteriak itu adalah gadis muka kerudung hitam
yang kedua. Dengan sekali berkelebat gadis itu telah berdiri di
depan sucinya "Jangan kau membunuh dia suci!"
Gadis yang dipanggil suci itu menoleh.
"Eh, mengapa begitu?" tanyanya.
Dari balik kerudung hitam itu, gadis itu tersenyum.
"Tak boleh kita membunuh orang yang sudah tak berdaya suci.
Pemuda buntung itu tidak bersalah, tak perlu kita menjatuhkan
tangan maut......." suara gadis yang berbicara ini amat merdu dan
tidak ketus seperti sucinya. Tiang Le yang tadi terguling dan telah
bangun melirik kepada dua orang gadis aneh ini.
144 "Hu, siapa bilang dia tidak bersalah" Dia berani menghadapi
sepasang pedangku. Tak puas aku kalau belum menundukkan si
buntung ini!" "Suci sudahlah"... dia sudah kalah olehmu. Ingat tugas kita hanya
merampas limaribu tail emas itu. Hayo kita kembali ke pulau dan
biar pemuda buntung itu kita serahkan kepada Sianli!"
Wanita kerudung yang memegang tongkat kecil meaghampiri dan
berkata: "Betul suci.......kita harus segera kembali ke pulau dan
tidak usah memusingkan kepala mengurusi si buntung ini.
Tinggalkan ia disini, habis perkara!
"Sam-sumoay, apa-apaan kau ini" Mau mengatur".. tidak! Sekali
kubilang, itu kau harus turut dan pemuda buntung ini harus dibawa
ke pulau, harus kataku!"
"Terserahmulah suci".." gadis muka kerudung hitam yang
memegang tongkat kecil itu mengedikkan kepalanya.
"Kau rangket anjing buntung itu. Giring dia ke pulau. Awas jangan
dia lari!" pesan si suci.
Tiga orang gadis yang termuda menubruk Tiang Le, dan
mengikatnya dengan sebuah tali yang amat kuat sekali. Tentu saja
Tiang Le yang sudah tertotok waktu terlibat cambuk tadi tak
berdaya. Sekarang diguncang-guncang oleh tiga orang dara
remaja yang mengikat ke dua kaki dan tangannya.
Setelah kedua kaki dan tangannya itu diikat, Tiang Le dilempari
oleh gadis pertama yang galak itu ke dalam gerobak barang.
145 Gerobak yang di atasnya penuh dengan tumpukan karung, yang
berisi ikan asin dan terasi. Begitu masuk ke dalam gerobak yang
penuh dengan karung-karung ikan asin dan terasi itu hampir saja
Tiang Le muntah, karena tak tahan lagi akan bau yang amat tidak
sedap menyengat hidung ini!
"Hihihi, enak yaa di situ".. sedappp!" berkata si gadis muka
kerudung hitam yang memegang sepasang pedang, pedang
pendek itu, kemudian ia memerintahkan kepada ke dua orang
sumoaynya untuk mendorong gerobak itu.
Tiang Le menutup hidungnya dengan tangan, begitu bau yang
tidak enak menyengat hidungnya. Heranlah dia, mengapa gerobak
berisi karung-karung ikan asin ini saja diperebutkan" Akan tetapi
tak lama kemudian otaknya yang cerdik itu sebentar saja sudah
dapat menerka akan isi di dalam peti paling bawah dalam tindihan
karung terasi dan ikan asin.
Gerobak yang ditumpanginya didorong oleh gadis ke dua yang
mempunyai suara bidadari itu. Dan gerobak kedua dan ketiga
didorong oleh dua gadis yang memegang tongkat dan pedang.
Tiang Le dari dalam gerobak itu memperhatikan gerak gerik ke
empat gadis aneh berkerudung hitam itu. Diam-diam di dalam
hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan empat gadis yang
berkepandaian tinggi ini dan dari partai persilatan manakah" Dan
anehnya. mengapa ke empat gadis itu mukanya ditutup oleh sutera
hitam, apakah karena tindakannya ini takut diketahui oleh orang"
Aneh, benar-benar aneh! Ya, siapakah ke empat gadis berkerudung hitam ini"
146 <> Untuk mengenal mereka, marilah kita sejenak berkenalan dengan
Pulau Bidadari. Sebuah pulau yang terdapat di antara segugusan
pulau di sekitar laut Po-hay. Pulau itu terletak di muara laut Po-hay
dan merupakan sebuah pulau yang terpencil dan jarang didatangi
manusia. Bukan saja pulau itu penuh dengan hutan-hutan lebat
dan tiada berpenghuni, akan tetapi juga sering kali terjadi gempa
dan berbahaya sekali didiami.
Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa di pulau ini banyak
sekali pemandangan alam yang sejuk dan subur tanahnya. Dan
sepuluh tahun yang lalu, barulah pulau ini dikenal sebagai pulau
Bidadari sejak Bu-tek Sianli, si nenek kepalan dewa tanpa
tandingan itu mendirikan sebuah partai persilatan yang bernama
Sian-li-pay (partai bidadari) Penghuni dari partai Bidadari itu semua
terdiri dari wanita-wanita muda dan cantik.
Bu-tek Sianli, si Nenek sakti, Kepalan Dewa Tanpa Tandingan itu
mempunyai empat orang murid utama yang disebut Sianli-sie-cimoay (empat kakak beradik bidadari). Mereka ini diberi pelajaranpelajaran silat khusus sesuai dengan bakat dan kemampuan
muridnya. Sengaja memang untuk itu, Bu-tek Sianli menciptakan empat
macam ilmu silat. Kepada muridnya yang pertama, Bu-tek Sianli
mengajarkan Bu-beng-siang-sin-kiam-hoat (Sepasang Pedang
Sakti Tak Bernama), sehingga gadis pertama itu dijuluki Bu-beng
Sianli (Nona Tak Bernama) sedangkan kepada murid kedua yang
dijuluki Sianli-eng-cu (Si Bayangan Bidadari) diturunkan ilmu
147 bermain cambuk dan senjata rahasia yang disebut Sianli-tok-ciam
(Jarum Beracun Bidadari), dan gadis ketiga yang dijuluki Sianli-sintung-hoat (Si Bidadari Tongkat Sakti) diberikan ilmu bermain
tongkat yang amat hebat dan luar biasa lihaynya. Tak kalah
dengan keganasannya bermain dengan pedang, dan murid yang
terakhir adalah Sianli-toat-bun-kiam, kepada gadis keempat inilah
Bu-tek Sianli memberikan ilmu pedang yang bernama Toat-bengkiam-sut (Ilmu Pedang Pencabut Nyawa).
Dan kepada murid-murid pelayan lainnya. Juga murid-murid yang
masih muda dan cantik-cantik ini, Bu-tek Sianli menurunkan ilmu
silat tangan kosong yang disebut Sin-kun-bu-tek.
Dan siapakah Nenek sakti yang menamakan dirinya Bu-tek Sianli


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini?" Tidak banyak kita mengenal akan riwayatnya dan tidak tahu pula
kita entah dari partai persilatan manakah Nenek sakti ini. Akan
tetapi puluhan tahun yang lalu, tokoh-tokoh di dunia kang-ouw
pernah mengenalnya sebagai seorang gadis yang amat tinggi ilmu
silatnya. Gadis itu pernah menjadi kekasihnya seorang pendekar
sakti yang bernama Lim Heng San yang terkenal dangan julukan
Sin-kun-bu-tek (Kepalan dewa tanpa tandingan).
Kabarnya, setelah gadis yang menjadi pacar Lim Heng San ini
menguras habis ilmu pukulannya Sin-kun-bu-tek, maka pada suatu
hari terjadilah pertandingan yang amat seru antara Heng San dan
gadis yang menjadi pacar Heng San itu. Sudah barang tentu Heng
San selalu mengalah kepada gadis ini, dan suatu kali dengan amat
kejamnya, gadis itu melumpuhkan kedua buah kakinya Heng San
148 dan ditinggalkannya di puncak pegunungan Go-bie yang bernama
puncak Ban-tauw-san. Sejak itulah tokoh-tokoh kang-ouw tidak pernah mendengar lagi
nama Lim Heng San, akan tetapi sebagai gantinya muncul seorang
wanita berkepandaian dan ganas seperti setan dan bernama Butek Sianli.
Sejak kemunculan Bu-tek Sianli, nama pendekar Sin-kun Bu-tek
tak pernah terdengar lagi. Banyak orang mengira pendekar sakti
itu sudah mati atau mengasingkan diri menjadi pertapa dan tak
mau lagi muncul di dunia ramai.
Demikianlah sekedar perkenalan kita dengan Pay-cu (ketua) Sianli-pay yang bernama Bu-tek Sianli. Nenek tua berumur limapuluhan
tahun itu, masih bersemangat dalam mengurus kegiatan Sian-lipay. Dan karena percaya akan kelihaian ke empat murid utamanya
yang disebut Sianli-sie-ci-moay (empat Bidadari Kakak Beradik)!
para anak buah Sian-li-pay mengangkat ke empat murid utama itu
sebagai tangan kanan Bu-tek Sianli dalam pergerakan Sian-li-pay.
Bu-tek Sianli sengaja mengumpulkan orang-orang dari golongan
hitam, dipilih yang berkepandaian tinggi, malah Nenek itu lalu
melatih mereka, dan menurunkan ilmu pukulan Sin-kun-bu-tek
kepada muridnya. Setelah masa peralihan kekuasaan,
menggunakan keadaan kacau, perkumpulan Sian-li-pay ini
merajalela. Merampok, membajak dan keadaan mereka menjadi
kuat, setelah perampok-perampok ternama dan tokoh-tokoh datuk
hitam menggabungkan diri ke dalamnya.
149 Meskipun Bu-tek Sianli tidak memperbolehkan kaum laki-laki
menginjak kakinya di pulau bidadari itu, tetapi hubungan persatuan
tetap ada dan kepada murid-murid perempuannya itulah yang
menjadi penghubung. Setiap kali anak murid Bu-tek Sianli itu
bergerak, selalu mereka diharuskan dengan muka berkerudung
hitam. Tak boleh menampakkan diri di luar pulau Bidadari.
Oleh sebab itu tak heran, kalau kita bertemu dengan Sianli-sie-cimoay yang berkerudung ini. Kerudung hitam itu tak pernah dibuka
di luar pulau Bidadadari! Itulah salah satu peraturan yang diadakan
oleh nenek sakti tanpa tandingan yang menjadi pay-cu (ketua)
Sian-li-pay! "Y" 6 Kita tinggalkan dulu Sung Tiang Le, pemuda lengan buntung yang
tertawan di tangan empat orang dara remaja dari pulau Bidadari.
Dan sekarang kembali kita mengikuti pengalaman Bwe Hwa, gadis
keras hati yang telah membuntungi lengan suhengnya yang
bernama Tiang Le dan setelah itu berlari dengan membawa
penyesalan hati yang amat sangat.
Tidak perduli akan hujan dan angin, tidak perduli akan tubuhnya
yang separuh beku akibat kedinginan yang amat sangat. Dia berlari
terus bagai orang yang hilang ingatan. Sebentar dia tertawa,
sebentar kemudian dia menangis mengucurkan air mata yang
mengalir menjadi satu dengan deraian hujan yang sangat deras
turun. 150 Seperti telah dituturkan di bagian depan, Bwe Hwa melihat adegan
yang amat romantis antara sumoaynya Sian Hwa dengan Samsuhengnya Tiang Le. Adegan yang membuat ia lupa diri dan
mengamuk menyerang Tiang Le. Akan tetapi, apa jadinya
suhengnya ternyata lebih tinggi ilmu silatnya sehingga ia tak
mampu mengalahkan. Dalam gejolak api cemburu yang sedang membara itu karena
mendengar pengakuan Sian Hwa yang berterus terang mencintai
Tiang Le. Tak kuasa ia mengendalikan perasaan hati itu waktu ia
berpelukan minta maaf kepada Sam-suhengnya Tiang Le. Di
dalam berpelukan itulah timbul pikiran setan yang menyelinap
dalam benaknya. Dan sekali ia mengelebatkan pedangnya putuslah tangan kanan
Tiang Le sebatas pundak. Bagaikan orang yang baru sadar dari
mimpi ia terbelalak memandang sebuah tangan manusia yang
menggeletak di bawah kaki suhengnya yang telah buntung itu.
Akan tetapi, sebuah perasaan puas timbul di dalam hatinya. Cinta
yang tak terbalas membuat ia mendendam kepada Tiang Le.
Senanglah hatinya setelah Tiang Le kehilangan tangan kanannya!
Puaskah hatinya setetah Sam-suheng kehilangan lengan dan tak
mampu lagi menarik pedang.
Bermacam-macam perasaan mengaduk di dalam hati gadis itu.
Setelah ia ketahui Tiang Le tidak mencintainya, malah membalas
cinta sumoaynya Sian Hwa, ah"... entah perasaan apa yang kini
berkecamuk di dalam hatinya. Ia merasa menyesal dan kecewa.
151 Menyesal ia telah membuntungi lengan suhengnya. Terlalu Tiang
Le, mengapa ia tidak mau mengangkat pedang melawanku"
Mengapa ia membiarkan pedangnya menebas lengan itu"!
Menyesal bukan main Bwe Hwa. Andaikan Tiang Le menangkis
sabetan pedang di pundak itu, tak nanti Tiang Le kehilangan
lengan kanannya. Akan tetapi Tiang Le tidak menangkis
pedangnya, membiarkan pedang menebas lengan kanannya itu.
Ah, Tiang-suheng"... aku malu bertemu denganmu?". aku
malu!! Mengingat ini Bwe Hwa menyesal dan kecewa!
Kecewa karena cinta yang tiada terbalas! Tak disangkanya Tiang
Le membalas cinta kasih Sian Hwa. Hemm, kalau lain gadis yang
berani mencintai Tiang Le, tak tahulah Bwe Hwa. Barangkali ia
akan mengadu nyawa dengan gadis itu, akan mengamuk sampai
tetesan darah terakhir. Akan tetapi yang mencintai Tiangsuhengnya itu bukan gadis lain, bukan siapa-siapa, akan tetapi
sumoaynya sendiri. Ya, Sian Hwa!
Sian Hwa! Mengingat ini, menangislah Bwe Hwa di sepanjang jalan. Ia amat
menyintai Tiang Le dan sekarang yang dicintainya telah buntung
lengan kanannya. Telah hilang pula terbawa air sungai yang
meluap. Entah hidup, entah mati, tak tahulah ia akan nasib
suhengnya yang bernama Tiang Le!
Tak tahu dia! 152 "Bwe Hwa kau kejam, kau keji"...! Mengapa kau sampai hati
membuntungi lengan Tiang-suheng," demikian suara hatinya
menyalahkan dirinya. Akan tetapi suara lain mengatakan: "Bwe
Hwa, sekarang Tiang-suhengmu yang sombong itu sudah buntung
lengan kanannya, ia tidak dapat menarik pedang, ia menjadi tuna
netra, puaskanlah hatimu...... dan tunggulah setelah Tiang Le
menjadi manusia tunanetra apakah Sin Hwa dapat mencintai
pemuda buntung itu?"
"Memang aku kejam. aku telah membuntungi lengan suhengnya
Tiang Le, ah....... sepantasnya aku ini mampus dan habis perkara,"
bisik Bwe Hwa sambil berlarian di antara hujan badai yang
menggila. Tak tahu dia kalau pada saat itu Liok Kong In tengah mengejarnya
dan kehilangan arah. Ia tak mau tahu. Tak perduli dengan Liok
Kong In! Seandainyapun ia tahu Liok Kong In mengejarnya, ia terus
lari. Akan terus lari. Lari dan aneh sekali memang gadis yang
bernama Bwe Hwa itu jadi takut kepada Suhengnya Liok Kong In.
Ia tahu tak mungkin dia membalas cinta kasih pemuda itu!
Betapapun juga, Bwe Hwa dapat menguasai perasaannya dan
melakukan perjalanan dengan tabah. Tak ada arah tujuan kemana
ia pergi meskipun ada itu barangkali tertuju untuk membalas
dendam kepada Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian
Lomo. Ia akan menantang tiga orang itu sebagai murid keempat dari Swie
It Tianglo dan ia berusaha sedapatnya untuk mengirim ke tiganya
itu ke neraka menemui suhunya. Biarpun ia tahu belum tentu ia
153 dapat menandingi kepandaian ke tiga orang sakti itu, tetapi ia
sudah bertekad untuk menggempurnya, kalau perlu ia mengadu
nyawa dengan musuh-musuh besarnya itu.
Memang di antara ke empat murid ini, Bwe Hwa lah yang paling
dimanja oleh suhunya, semasa orang tua itu belum meninggal. Tak
heran kalau dirinya merasa kuat dan tidak gentar menghadapi
lawan yang bagaimanapun juga.
Ingat hal itu Bwe Hwa menjadi semangat dan di bawah pohon
besar ia berhenti lalu berlatih dengan ilmu silat Tiang-pek-kiam-sut
yang telah ia terima dari mendiang suhunya. Memang hebat ilmu
pedang ini, sebatang pedang biasa berubah menjadi gulungan
sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar di antara
gumpalan awan hitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan
Pek-in-kang! Ketika ia berhenti berlatih sejam kemudian, di bawah pohon telah
penuh daun-daun yang terbabat putus tangkainya oleh sinar
pedang dan daun-daun rontok kena hawa pukulan tangan kiri yang
menggunakan pukulan Pek-in-kang. Bwe Hwa berdiri tegak,
kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas.
Bong Bong, Te-thian, Sianli Ku-koay, kepala kalian akan hancur
rontok seperti daun-daun ini pikirnya.
Sebagai seorang gadis yang baru berusia delapanbelas tahun
lebih. Bwe Hwa melakukan perjalanan yang jauh dan sulit. Tiangpek-san merupakan pegunungan yang luas dan menuruni
pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan pendakiannya.
154 Namun dengan kepandaiannya yang cukup tinggi itu, Bwe Hwa
tidak banyak mendapatkan kesukaran. Kadang-kadang ia harus
melompati jurang. Dengan gin-kangnya yang tinggi, ia melompati
bagaikan terbang saja dilihat dari jauh bagaikan dewi kahyangan
yang turun dari sorga. Pakaiannya yang halus terbuat dari sutera
berwarna merah jingga, biru dan kuning itu berkibar-kibar kena
angin ketika ia meloncat atau berlari cepat.
Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah
kecantikan dan kegagahannya!
Berpekan-pekan Bwe Hwa keluar masuk hutan, naik gunung turun
gunung melalui banyak dusun di kaki gunung dan melalui beberapa
kota di pegunungan. Setiap kali ia bertemu orang tentu ia menjadi
pusat perhatian. Apalagi kaum pria melihat gadis remaja demikian
cantik jelitanya, memandang dengan mata melongo penuh kagum.
Namun tiada orang yang berani mengganggu, karena tidak hanya
pedang di punggung Bwe Hwa yang membuktikan bahwa gadis
remaja yang jelita ini seorang ahli silat, akan tetapi juga Bwe Hwa
tidak menyembunyikan gerak geriknya yang lincah dan ringan
sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar
wanita muda yang tidak boleh dibuat main-main!
Setelah berbulan Bwe Hwa melakukan perjalanan seorang diri dan
bebas seperti seekor burung yang lepas dari dalam sangkarnya
terhibur juga hati gadis remaja ini melihat pemandanganpemandangan yang indah di sepanjang jalan. Perlahan-lahan
lenyaplah kesedihan hatinya, hilanglah rasa kecewa dan
155 penyesalannya. Tak mau lagi ia dipusingi oleh urusan-urusan di
Tiang-pek-san. Ia hendak melupakan itu!
Pada suatu hari sampai ia di kota Siauw-ling di tepi sungai Yangce-kiang setelah melakukan perjalanan berminggu-minggu ke
selatan. Sebetulnya Siauw-ling tidak layak disebut sebuah kota,
melainkan sebuah dusun yang cukup luas. Dan karena dusun ini
mempunyai tanah yang amat subur sekali untuk ditanami dan
merupakan sebuah dusun yang menghubungkan sungai Yang-cekiang dengan kota Tai-goan yang terkenal sebagai kota yang
terbesar di selatan. Maka banyak sekali kaum pelancong dan para
pedagang melewati kota Siauw-ling.
Melihat betapa kota kecil ini merupakan jalan hidup untuk ke Taigoan, maka seorang pembesar di kotaraja memberikan kontrak
kepada seorang hartawan untuk membangun kota Siauw-ling ini
menjadi kota yang besar dan mega. Di mana-mana nampak
bangunan-bangunan menjulang tinggi. Di sekeliling kota ini
didirikan tembok besar, tembok yang membatasi sungai Yang-ce
dengan kota Siauw-ling. Tidak heran kalau kita datang ke kota ini. Banyak sekali orangorang dusun yang bekerja sebagai kuli, siang malam tenaga
mereka diperas untuk membangun tembok kota. Kerja paksa yang
ini membuat hati penduduk kota Siauw-ling merasa tak senang
kepada tindakan Nguyen Wan-gwe yang sewenang-wenang saja
memaksa tenaga penduduk! Tak perduli akan orang-orang tua dan
sakit, dipaksanya mereka itu untuk bekerja.
156 Tentu saja orang dusun yang bodoh dan kebanyakan buta huruf ini
tak bisa berbuat apa-apa, karena intruksi kerja paksa itu langsung
dari pusat. Dari kotaraja. Dan siapakah orangnya yang berani
menantang. Sedikit saja para pekerja ini membuka mulut mereka
itu akan dicap sebagai pemberontak dan digiring ke kotaraja tak
kembali lagi! Ketika Bwe Hwa lewat di tepi sungai Yang-ce-kiang, ia melihat
banyak orang mengangkut batu-batu sungai dan pasir ke atas
gerobak-gerobak besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah
muram, tubuh mereka kurus-kurus dan berpakaian penuh dengan
tambalan. Beberapa orang yang memegang cambuk dan
berpakaian sebagai kepala kuli, membentak-bentak dan ada
kalanya mengayun cambuk ke punggung seorang pengangkut
batu sungai yang kurang cepat bekerja.
Ada lima-enam orang yang menjadi pengawas orang-orang
bekerja itu, dan begitu melihat Bwe Hwa lewat, mereka pada
tertawa dan memandang dengan mata kurang ajar dan mulut
ceriwis mengeluarkan kata-kata tak sopan. Ada yang bersuit dan
menuding-nuding kepada Bwe Hwa, malah ada yang berani gila
hendak memegang lengannya!
Panas hati Bwe Hwa. Akan tetapi ia menahan sabar, karena ia
tidak mau mencari ribut dengan orang-orang di tempat ini. Ia
mempercepat langkahnya dan sebentar itu pula ia sudah tiba di
luar kota Siauw-ling dan di pintu yang tengah dibangun itu.
Akan tetapi di sini ini. Di kanan kiri di mana orang sedang sibuknya
bekerja mengaduk semen, menyusun bata, memecah batu, dan di
157 antara kesibukan orang-orang yang tengah bekerja ini, ia disuguhi
pemandangan yang menyolok mata. Puluhan orang laki-laki yang
keadaannya miskin dan kurus seperti para kuli angkat batu sungai
yang tadi dilihatnya di sepanjang sungai Yang-ce-kiang tadi, malah
di antara puluhan orang lelaki miskin itu ada juga belasan orang
wanita yang turut bekerja, nampaknya mereka bekerja dengan
penuh semangat, namun jelas bukan semangat yang mengandung
kegembiraan, melainkan semangat karena takut pengawaspengawas itu, yang disembarang waktu siap melecutkan
cambuknya, memukul punggung atau melempar.
Beberapa orang pengawas pekerja-pekerja ini kelihatan menjaga
mereka dengan cambuk di tangan, Di sana sini terdengar cambuk
berbunyi ketika melecut punggung, diiringi pekik kesakitan!


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe Hwa berdiri terpaku melihat pemandangan yang tak senonoh
ini, hatinya mulai panas. Akan tetapi ia kira tidak sembarangan mau
mencampuri urusan orang lain kalau saja tidak melihat kejadian
yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking
marahnya. Ia melihat betapa seorang wanita setengah tua yang
tampaknya sakit, roboh terpelanting setelah menerima cambukan
pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan Bwe Hwa menjerit
dan menubruk ibunya itu, menangisi ibunya yang sudah pingsan.
Dua orang pengawas cepat menghampiri mereka, yang seorang
sekali sambar telah menarik tubuh si gadis dan menciumi sambil
tertawa terkekeh dan berkata,
158 "Ha ha ha, sayang kau cantik". cantik dan manis, sebaiknya kau
tidak mencapekan diri, bekerja. Biar kuminta kau kepada Nguyen
Wan-gwe (Hartawan she Nguyen) untuk membebaskanmu dan
menjadi bini mudaku, ha ha ha!"
Adapun pengawas kedua dengan marahnya menghajar ibu tua itu
dengan cambuknya dan memaki-maki sambil mendupak:
"Anjing tua, siapa suruh kau pura-pura pingsan di sini, hayo berdiri
dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!"
Melihat pemandangan yang mengenaskan hatinya ini, Bwe Hwa
tak dapat menahan kesabaran hatinya. Matanya membelalak
mengeluarkan sinar berapi-api memandang ke dua pengawas
yang berlaku sewenang-wenang itu.
"Keparat, jahanam! Lepaskan mereka?" bagaikan seekor burung
walet cepat dan ringannya tubuh Bwe Hwa sudah melayang dekat
orang yang menciumi gadis ibu itu.
Sekali kakinya bergerak terdengar suara "bluk, desss!" dan
pengawal yang tengah ditunggangi nafsu dan kecabulannya itu
terlempar sampai sejauh lima meter. Dan jatuh terbanting ke dalam
adukan semen yang berlumpur. Hanya beberapa detik selisihnya
tahu-tahu terdengar pula suara "hekk" ketika pengawas itu sedang
mencambuki ibu tua itu terlempar pula oleh tendangan Bwe Hwa,
hampir menimpa kawan yang sedang berusaha ke luar dari adukan
semen yang kental berlumpur itu.
Pekerja paksa melibat kejadian itu jadi berhenti terpaku, muka
mereka pucat dan mereka hampir saja tidak percaya dengan
159 penglihatan mereka sendiri. Malah di antara mereka itu ada yang
mencubit lengannya sendiri, dan aduh! memang bukan impian
belaka. Sebuah kenyataan! Seorang gadis jelita, seorang gadis
remaja telah berani melawan pengawas yang terkenal akan
kekejamannya. "Kwan-im Sianli (Dewi Kwan-im) menolong kita?"." bisik laki-laki
tua dan serentak ia menjatuhkan diri berlutut di depan Bwe Hwa.
Pada jaman itu di Tiongkok memang orang-orang kota dan dusun
percaya sebuah aliran Agama yang jadi bintang penolong sesama
hidup bernama Kwan-im Posat. Diceritakan pada cerita-cerita kuno
betapa Dewi Kwan-im ini adalah seorang yang Welas Asih yang
menjelma ke dunia berwujud seorang gadis yang sangat cantik dan
agung. Terkenal kesaktiannya Dewi Welas Asih yang sering kali
menjelma dirinya menolong kesusahan, dewi lambang kasih
sayang gadis yang terkenal akan kelembutan dan cinta kasih dari
pancaran mata itu! Pada masa itu orang-orang dusun Siauw-ling masih tebal
kepercayaan mereka terhadap Kwan-im Posat. Tak heran kalau
Bwe Hwa dianggapnya sebagai penjelmaan Kwan-im yang diutus
menolong mereka! Tentu saja kalau semua para pekerja itu berlutut dan mengira
bahwa yang datang itu adalah penjelmaan Posat. Akan tetapi tidak
dengan pengawas-pengawas yang lain! Pengawas-pengawas itu
merasa rendah diri untuk berlutut di dekat kaki seorang gadis,
gadis remaja. 160 Meskipun tak dapat disangkal ada sedikit kepercayaan dalam
hatinya, jangan-jangan gadis itu adalah penjelmaan Posat! Namun
mereka ini, pengawas-pengawas itu adalah orang-orang kang-ouw
yang kasar, yang mengerti akan wanita-wanita pandai ilmu silat
seperti Bwe Hwa ini. Mana mereka mau berlutut bersama kuli-kuli
hina ini. Sementara itu pengawas yang terjerembab mencium adukan
semen, dengan berbangkis-bangkis karena hidung dan mulut
kemasukan adonan semen, menyumpah-nyumpah sambil
merangkak bangun dan memerintahkan kepada pengawaspengawas yang lain.
"Tangkap gadis setan itu dan berikan padaku!"
Mendengar ini ke lima orang pengawas yang lain menghampiri
Bwe Hwa. Seorang di antara mereka yang berkumis kucing dan
bertubuh gemuk pendek membentak: "Anak setan siapa kau.......
mengapa kau membikin kacau para pekerja di sini?"
"Gendut gembrot, apa kau tidak tahu aku Kwan-im Sianli datang
hendak menghukum kalian, membawa kalian orang-orang jahat ini
ke neraka!" suara Bwe Hwa terdengar merdu.
Tetapi ia diam-diam mengerahkan khi-kang mengirim suaranya
menyerang ke lima pengawas itu. Sehingga bagi mereka suara
gadis itu terdengar melengking tinggi memekakkan anak telinga.
Akan tetapi terdengar merdu dan sejuk di hati kuli-kuli pekerja
paksa itu sehingga mereka makin percaya bahwa dara itu adalah
Kwan-im Posat. 161 "He, gendut! Kalian ini adalah manusia-manusia jahat. Patut
dihajar, masih bagus dua orang kawanmu itu mencium adonan
semen saja, dan kalian berlima, yang sudah bertumpuk dengan
kejahatan, takkan kuberi ampun lagi! Hayo berlutut dan minta
ampun!" Dapat dibayangkan betapa marahnya ke lima orang itu. Mereka
adalah tukang pukul dari Nguyen-loya (Tuan tua she Nguyen) yang
terkenal sebagai Nguyen Wan-gwe (hartawan Ngu-yen) yang juga
kaya raya itu. Semua pembangunan di kota Siauw-ling ini
mendapat kepercayaan dari kotaraja untuk dikontrakkan kepada
orang tua she Nguyen ini.
Semua penginapan-penginapan adalah milik Nguyen-loya, juga
rumah-rumah makan besar, gedung-gedung yang megah dan
besar itu juga milik Nguyen-loya. Dan siapa orangnya yang berani
menantang Nguyen-loya yang mempunyai pengaruh besar pula
sampai di Kotaraja" Para jenderal-jenderal dan pembesarpembesar di Kotaraja itu adalah sahabat baiknya, para buayabuaya darat adalah tukang pukulnya, dan pengawas-pengawas
pekerja paksa itu adalah kaki tangannya untuk kelancaran
pembangunan-pembangunan dan tembok besar di luar kota
Siauw-ling! Kini gadis muda belia, gadis remaja yang kelihatannya lemah itu
berani memandang rendah mereka"
"Bocah bau kencur, masih mau berlagak menjadi utusan Kwan-im
Posat. Hemm, biarpun kau datang dari utusan Neraka sekali pun
aku tak sudi berlutut seperti kuli hina itu. Hey bocah gendeng, kau
162 harus diseret ke depan Nguyen-loya dan ditelanjangi kemudian
dihajar babak belur, biar tahu rasa?" Hem setelah itu apakah kau
akan tetap kelihatan cantik?" bentak seorang di antara mereka,
yang berbicara si kurus jangkung, berkopyah lebar seperti petani
akan tetapi baru saja ia menutup mulut, tahu-tahu tubuhnya sudah
terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi. Untuk seketika juga,
napasnya sudah putus mengiringi nyawa yang pergi entah ke
mana! Gerakan Bwe Hwa tadi adalah cepat bukan main. Hanya dengan
dorongan tangan kiri saja membuat tubuh pengawas lancang mulut
itu terlempar dan putus nyawanya. Semua orang terkejut sekali.
Para pekerja paksa semakin berlutut mencium tanah, mendoa
moga-moga dewi Kwan-im tidak menaruh marah kepadanya dan
menjatuhkan tangan maut, seperti pengawas lancang mulut tadi.
"Lihat! Siapa saja yang berlaku kurang ajar di depan Kwan-im
Sianli nyawanya pasti kucabut seperti orang itu," kata gadis itu
menunjuk tubuh pengawas yang lancang mulut itu dan yang telah
mati sedetik sehabis berbicara tadi Bwe Hwa berdiri di depan
orang-orang miskin, yang belum berani menggerakkan kepalanya.
Gadis itu berdiri angkuh laksana dewi yang baru turun dari
kahyangan. Memang gadis itu cantik jelita, berdiri seperti itu
nampak agung seperi dewi Kwan-im.
Tiga pengawas lainnya menerjang maju, mereka tidak
menggunakan cara berkelahi lagi, saling menubruk maju dan
hendak menerkam gadis itu. Tentu saja melihat kecantikan gadis
itu, tukang-tukang pukul lantas segan-segan mengeluarkan
senjata sayang kalau tubuh gadis cantik itu terkena oleh
163 senjatanya. Oleh sebab itu sudah mufakat lantas ketiganya
menubruk maju hendak menangkap gadis itu hidup-hidup" Dan
saling ingin dulu memeluknya.
"Dukk!" tiga orang tukang pukul itu sama mengaduh karena mereka
saling tubruk dan saling beradu kepala.
Dalam kegemasan tadi mereka menubruk berbareng bagai tiga
ekor kucing menangkap tikus, tetapi sang tikus begitu lincahnya
dan kucing yang bernapsu buat memeluk mangsanya yang
menggemaskan dan yang menggairahkan itu, tak berhati-hati lagi.
Akibatnya karena amat cepat gerakan si tikus tiga buah kepala
kucing itu saling tubruk dan masing-masing terpelanting ke
belakang dengan kepala benjut beradu dengan kepala temannya.
Dengan gerakan ringan tiga kali tangan kiri Bwe Hwa bergerak, tiga
tukang pukul itu sudah tak dapat bangun lagi karena tulang
belakang mereka telah patah dan menjadi orang yang tak berguna
lagi. Kelak jika orang itu sadar, ia akan kehilangan segala
kepandaiannya memukul. Sengaja memang gadis ini meremukkan
tulang belakang si tukang pukul agar di lain hari orang itu tidak lagi
mempunyai tenaga untuk memukul.
"Lopek siapakah orang-orang ini yang bertindak semau-maunya
saja, dan kalian ini sedang membuat tembok apakah?" Bwe Hwa
bertanya kepada seorang pekerja yang berpakaian compang
camping dan kotor! "Posat (dewi) yang mulia kami adalah penduduk dusun yang
sengsara dan miskin, tolonglah kami, kami dipaksa bekerja keras
untuk pembangunan-pembangunan di kota Siauw-ling ini dan
164 diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang Nguyen-loya,
mereka itu adalah mandor-mandor dari Nguyen-loya."
"Betul Posat, tenaga kami diperas siang malam padahal upah yang
kami terima tidak memadai ongkos....... hidup kami dipaksa kalau
tidak mau, kami dipukul?" malah banyak pula teman-temanku
yang mati di tangan para mandor itu......." sahut pekerja yang lain.
Bwe Hwa menahan senyum di hatinya. Ia disebut Posat, alangkah
indahnya sebutan itu! Alangkah berkesannya sebutan Kwan-im
disanubarinya, ia dianggap dewi Kwan-im! Kwan-im Posat adalah
lambang seorang dewi cantik yang sakti dan mempunyai kasih
sayang yang tulus dan sering menolong manusia sengsara.
Pernah suhunya mendongeng kalau Kwan-im pernah turun ke
dunia menyamar sebagai perempuan agung dan cantik, juga sakti,
malah saking terkenalnya sebagai dewi Welas Asih sehingga
banyak tokoh-tokoh kang-ouw memakai julukan dengan nama
Kwan-im Posat. Alangkah indahnya nama itu! Hm, orang lain dapat
memakai julukan itu, mengapa aku tidak"
Gadis itu tersenyum kepada pekerja-pekerja miskin ini. Sebuah
senyuman yang memberikan harapan di dada yang gersang itu.
Sebuah senyuman yang menyejukkan jiwa yang lelah. Baru kali ini
orang dusun para pekerja paksa itu dapat melihat jelas-jelas gadis
yang dianggapnya titisan Kwan-im. Alangkah cantiknya.
Gadis itu berjalan menghampiri seorang tua yang patut dikasihani
itu. Orang itu amat miskin dan tua sekali. tujuhpuluhan umurnya,
tubuhnya yang kurus kering itu terbongkok-bongkok. Wajah yang
165 diliputi awan hitam itu penuh dengan kabut-kabut kerisut yang
menampakkan kesusahan hatinya.
"Lopek, apa kau juga yang setua ini masih kerja paksa?" berkata
demikian dengan amat cepat sekali tangan Bwe Hwa bergerak dan
kelak empek tua itu akan mengetahui bahwa entah darimana
datangnya tahu-tahu di kantongnya yang butut itu kedapatan
sekeping uang emas. Saking gugupnya empek tua itu ditanya oleh Kwan-im pujaannya
sehingga untuk beberapa ia hanya memandang saja. Menatap
kosong ke arah bintang penolongnya!
"Posat yang mulia?" bukan saja empek ini yang dipaksa bekerja,
malah orang-orang tua yang sudah lumpuh dan berpenyakit
sekalipun di paksa untuk bekerja. Kalau tidak orang tua disiksa
sampai mati?"" sahut orang yang di sebelah empek itu.
"Keparat! Kalau bagitu?". mereka harus dimusnahkan di muka
bumi ini, eh lopek..... apakah semua mandor anjing-anjing orang
she Nguyen itu jahat?"
"Jahat?" empek tua itu mengulang kata-kata dengan yang hampir
tak terdengar. Mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan
yang memuncak: "Anjing-anjing itu lebih jahat dari majikannya
sendiri. Anjing-anjing itulah yang selalu menggonggong dan
menyalak-nyalak maka sering menggigit?" lebih kejam dari
serigala kelaparan. Entah berapa banyak di antara kami yang
menjadi korban anjing-anjing keparat itu..... Kami disiksa, dianiaya
menjadi manusia-manusia cacat dan selanjutnya sebagai manusia
jembel!" 166 Makin panas hati Bwe Hwa. Orang-orang yang suka berbuat jahat
dan bertindak sewenang-wenangnya saja, apalagi sampai
menganiaya dan membunuh orang, patut dihajar, pikirnya. Ketika
ia melirik ke arah dua orang tadi yang mencium adonan semen,
yang ternyata mereka sudah bangkit dari benaman adonan semen
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 11 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Sepasang Garuda Putih 7

Cari Blog Ini