Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lengan Buntung 3

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Bagian 3


pada mukanya dan tengah menyusuti mukanya yang berlepotan
adonan semen itu dan kemudian mereka berdua itu sudah
mencabut pedang dan berjalan menghampiri Bwe Hwa dengan
sikap mengancam, pedang di tangan, napsu membunuh nampak
pada wajah mereka yang berlepotan lumpur-lumpur semen itu.
"Setan betina, berani kau main gila dengan para Ngo-houw dari
Nguyen-loya" Bersiaplah untuk mampus!" teriak si kumis tikus
sambil menerjang lebih dulu dengan bacokan pedangnya.
Melihat gerakan mereka, Bwe Hwa memandang rendah. Mereka
itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga besar
saja, sama sekali tidak seberapa ilmu silatnya. Oleh karena itu ia
tak perlu untuk mencabut pedang menghadangi tukang-tukang
pukul murahan ini, hanya dengan tangan kosong ia menghadapi
bacokan si kumis tikus. Dengan sebat ia miringkan tubuhnya ke kiri dan tangan kanannya
menyambar. Pada saat itu tangan Bwe Hwa yang sudah terlatih
dan tenaga Pek-in-kang. Tangan kanan halus yang mengeluarkan
uap itu bergerak dan tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan
terpelanting roboh, pedangnya terlempar jauh dan dengan
mengeluarkan suara "krek" patahlah tulang-tulang pinggang orang
itu dan kelak orang ini akan menjadi orang yang tiada berguna
karena untuk selanjutnya orang itu tidak dapat lagi menggunakan
167 tenaganya. Bwe Hwa memang sengaja mematahkan tulang
pinggang orang itu, melenyapkan tenaga, apabila orang itu hidup
ia akan menjadi orang yang tak lagi bertenaga!
Tentu saja melihat kejadian ini, tukang-tukang pukul yang lain
menjadi marah dan terkejut sekali akan kelihaian gadis ini. Maka
dengan beramai-ramai dan serentak mereka berlima maju dan
menerjang dengan marah. Bwe Hwa yang sudah dibuat panas
hatinya oleh cerita-cerita empek yang dipaksa bekerja oleh
Nguyen-loya ini, kali ini tak memberi ampun.
Begitu suara pedang tercabut dan tampak sinar perak begulunggulung laksana awan putih mengamuk, terdengar jerit saling
menyusul dan dalam segebrakan saja, ke lima orang tukang pukul
itu sudah tergores pundaknya sehingga mengeluarkan darah dan
begitu tangan Bwe Hwa bergerak terdengar tulang-tulang pundak
patah-patah. Saking kuatnya pukulan tangan kiri yang menggunakan hawa Pekin-kang membuat ke lima tukang pukul tak dapat bersambat lagi
dan terus menggeletak pingsan! Hebat sekali tindakan gadis itu,
dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menghajar habishabisan tukang-tukang pukul sewaan Nguyen-loya.
Dengan tenang gadis itu menghadapi orang-orang pekerja yang
masih berlutut dan semua pucat wajahnya melihat tukang-tukang
pukul itu sudah menggeletak tak berdaya. Di dalam hati mereka
puas akan tindakan sang dewi yang telah membalaskan sakit hari
mereka terhadap tukang-tukang pukul yang kejam tiada
prikemanusiaan itu. Tetapi mereka juga amat takut kalau nanti
168 setelah sang dewi pergi ke kahyangan alangkah akan marahnya
Nguyen-loya. "Para paman dan bibi, jangan kalian takut, sekarang mari antarkan
aku ke rumah manusia Nguyen itu....... di manakah rumahnya?"
Mula-mula para pekerja paksa itu ketakutan. Akan tetapi setelah
menyaksikan akan kesaktian sang dewi, bintang penolong ini,
apalagi yang meski ditakuti"
Seorang laki-laki tua bongkok bangkit berdiri dan berkata gagah
penuh bersemangat. "Mari Posat, mari saya antarkan...... Biar saya
nanti mati dipukuli oleh anjing-anjing penjaga rumah Nguyen-loya,
asalkan Posat dapat membebaskan kami dari kesengsaraan ini
dan memberi hajaran kepada manusia jahat itu!"
Melihat semangat empek tua bongkok ini, maka beramai-ramai
orang-orang pekerja paksa yang miskin itu berjalan mendahului
Bwe Hwa. Wajah-wajah mereka membayangkan perasaan geram
dan nekad, belasan orang laki-laki yang sebagian penuh dengan
tambalan dan bertelanjang kaki mengantarkan "Sang Posat"
masuk ke dalam kota Siauw-ling.
Tentu saja rombongan pekerja paksa ini menarik perhatian banyak
orang. Apalagi setelah mendengar akan perbuatan gadis yang
menjadi bintang penolongnya itu yang telah menghajar tukangtukang pukul di luar tembok kota, gempar sekali keadaan kota
Siauw-ling. Dan diam-diam rombongan itu semakin besar
jumlahnya, merupakan sebuah barisan tentara yang hendak maju
di medan perang! 169 Sang dewi, yang mereka anggap sebagai bintang penolong
mereka berjalan gagah dan agung di tengah-tengah para pekerja
paksa. Seluruh perhatian orang-orang kota tertarik akan
kecantikan gadis yang mereka anggap sebagai penjelmaan Kwanim Posat!
Gedung yang ditinggali oleh Nguyen-loya si orang tua she Nguyen
adalah sebuah gedung yang amat besar dan mega ditengahtengah kota Siauw-ling menjurus di depannya sungai Yang-cekiang mengalir merupakan ular panjang yang berkelok-kelok.
Gedung itu amat besar sekali. Di depan gedung yang berdiri
megah itu terhampar sebuah taman bunga yang penuh dengan
aneka macam bunga-bunga dan ditumbuhi oleh rumput-rumput
menghijau. Sebuah kolam terdapat di tengah taman itu.
Taman yang dilingkari oleh jeruji besi yang amat kuat dan kokoh
bercat hijau. Inilah tempat tinggal Nguyen-loya. Seorang laki-laki
berusia limapuluh tahun lebih menjadi orang kepercayaan dari
gubernur di Kotaraja. Dan pada kesempatan ini, Nguyen-loya diberi kepercayaan oleh
gubernur untuk memperindah kota Siauw-ling, mendirikan
restoran-restoran dan rumah-rumah penginapan dan tembok besar
di luar kota. Tentu saja kesempatan yang besar itu tidak disia-siakan oleh
Nguyen-loya, dan sebentar saja ia sudah menjadi kaya raya berkat
korupsi besar-besaran dari hasil bangunan dan pendirian tembok
besar. Karena korupsi besar-besaran dan pengisapan akan tenaga
orang-orang dusun yang dibayarnya dengan amat murah sekali
170 dan dengan paksaan, maka sebentar saja manusia she Nguyen ini
menjadi raja kecil Siauw-ling.
Pengaruhnya cepat sekali meluas. Dengan uang yang berlimpahlimpah itu ia menundukkan hati banyak orang-orang yang
berkepandaian silat dan disewanya menjadi alat keamanan dan
kaki tangannya! Betapapun juga harus diakui bahwa Nguyen-loya yang sebenarnya
bernama Nguyen Khan tidaklah seganas dan sekeji orangorangnya. Karena orang tua she Nguyen sebenarnya jarang sekali
meninjau proyek-proyek yang sedang jalan.
Semuanya itu dipercayakan kepada orang kaki tangannya yang
menjadi tukang-tukang pukulnya. Mereka-mereka inilah yang
mengatur, yang memutuskan dan mengambil tindakan. Sudah
tentu kekuasaan yang diberikan oleh Nguyen-loya ini
dselewengkan menjadi hak kuasa pribadinya. Berbuat semaunya
sendiri, memeras tenaga orang, menyiksa, menganiaya, mencap
sebagai pemberontak kepada orang tanpa bukti dan
menghukumnya bukanlah hal yang aneh bagi orang-orang yang
berkuasa! Nguyen-loya yang cuma uncang-uncang kaki itu tak
memperdulikan keadaan yang kurang adil itu, persetan dengan
segala urusan tetek bengek di proyek, pokoknya ia mendapat
keuntungan besar dan proyek itu berdiri. Habis! Entah berapa
banyak manusia yang mampus karena berdirinya proyek itu tak
mau tahu ia! 171 Nguyen Khan ini mempunyai dua orang putera. Puteranya yang
pertama sudah dewasa. Sudah menjadi seorang pemuda yang
cakap dan terpandang pula. Orang muda itu bernama Nguyen Cie
Kiat. Seorang pemuda yang berusia sekitar duapuluhan, tampan,
gagah dan pandai bun-bu-cwan-jay (ahli surat dan pandai bermain
pedang). Akan tetapi sayang sekali sifat ayahnya yang tak baik
menurun kepada pemuda! Seperti pohon itu dapat dilihat dari buahnya, demikian pula dengan
Nguyen Cie Kiat ini. Kalau dulu ayahnya menjadi oom senang yang
doyan akan rumput-rumput segar dan muda, doyan berpesta pora
dan doyan berbini, maka sifat-sifat itu menurun kepada anak muda
ini. Pemuda inilah yang membuat keadaan penduduk semakin
kacau dan berat. Nguyen Cie Kiat merupakan seorang pemuda yang selalu
mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tukang mempermainkan
wanita, menjadi playboy bajingan di kota Siauw-ling. Entah berapa
banyak gadis-gadis yang terjerembab jatuh di dalam rayuan
mautnya dan entah berapa banyak kali kehamilan" Itu terjadi tanpa
adanya perkawinan yang sah!
Nguyen Ci Kiat bukan saja ditakuti karena pengaruh dari ayahnya
yang disebut Nguyen-loya itu, akan tetapi juga Nguyen Ci Kiat ini
merupakan seorang pemuda yang pandai bermain silat. Ia pernah
belajar silat dari seorang hwesio Siauw-lim perantau, dan karena
anak muda ini lihay sekali bermain ilmu pedang dari cabang Siauwlim-sie maka seluruh tukang-tukang pukulnya menjadi takluk
kepadanya! Dan karenanya setelah pemuda ini benar-benar
172 menjadi dewasa, maka seluruh kota Siauw-ling ini mengenal
putera Nguyen-loya sebagai jay-hoa-cat yang paling ditakuti!
"O ya, saya lupa mengatakan bahwa Nguyen Ci Kiat ini mempunyai
adik kecil yang masih berusia setahun lebih. Bayi ini bernama
Nguyen Hoat. Bayi yang masih belum tahu apa-apa. Bayi yang
baru saja bisa mengatakan: pap" pa! ma ma! Mamm"., nenen!
dan sebagainya. Waktu cerita ini terjadi, bayi yang bernama Nguyen Hoat itu baru
bisa betitah-titah, setindak dua tindak, untuk berjalan bertatih-tatih!
Kasihan bayi ini, belum tiga bulan ia lahir, ibunya yang disebut
Nguyen Hujin (Nyonya Nguyen) meninggal dunia!
<> Kita kembali kepada Bwe Hwa dan rombongannya yang sedang
menuju ke gedung Nguyen ini. Dari luar nampak sepi-sepi saja,
seakan-akan tiada pernah akan terjadi sesuatu. Bukan begitu
sebetulnya, bukan keluarga Nguyen tidak tahu akan kejadian
seorang dewi yang mengamuk di luar tembok kota.
Sejak sedari tadipun Nguyen Cie Kiat telah mendapat laporan dari
anak buahnya bahwa seorang gadis telah mengacau dan
membunuh seorang pengawas, dan kini gadis itu sedang menuju
ke gedung ini. Tentu saja Nguyen Cie Kiat yang tertarik hatinya
akan seorang gadis yang mengamuk menjadi ingin tahu sekali, dan
ingin melihat gadis yang dikatakan dewi Kwan-im itu!
Kemarahan Nguyen Cie Kiat memuncak, akan ia basmi semua
pengiring-pengiring gadis yang mengaku bernama Kwan-im Posat
173 itu. Tidak seorangpun yang akan kuberi ampun karena hal ini perlu
untuk menakuti hati orang-orang kerja paksa, dan untuk pengaruh
pengawas-pengawas tukang-tukang pukulnya!
Pedangnya sudah siap dicabut dari sarungnya yang indah itu.
Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke luar gedung dengan
diiringi pembantu-pembantunya menyongsong sang dewi!
"Hm, inikah yang disebut Nguyen-loya?" tanya gadis itu ketika
melihat seorang pemuda tampan mendatangi dengan pedang
telanjang. Seorang tua mendekati sang dewi dan berbisik, "Dia itu
anaknya...... lebih ganas dari si tua!"
"Bangsat besar...... berani bermain gila di depan?"" Nguyen Cie
Kiat tidak meneruskan kata-katanya begitu dilihatnya bahwa
wanita yang dikatakan sebagai penjelmaan Kwan-im Posat
demikian cantik dan jelitanya. Dadanya berdebar keras. Matanya
terbelalak memandang Bwe Hwa.
Ia melongo tak dapat mengeluarkan suara, memandang wajah
Bwe Hwa bagaikan terpesona dan kehilangan semangat. Sungguh
mati ia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah
mengacau dan membuat ke enam tukang pukul tak berdaya itu
adalah dara secantik bidadari. Pantas saja kuli di luar tembok kota
itu menganggapnya sebagai Dewi Kwan-im!
Belum pernah selama hidupnya ia melihat dara secantik ini kecuali
dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka ia rasanya untuk
174 maju berlutut dan menyatakan cinta kasihnya dari pada harus
menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya!
Dibunuh! Ah sayang sekali dara yang begini cantik jelitanya kalau
dibunuh lebih baik ditangkapnya?" atau dibujuknya untuk
menjadi kawan-kawan baik yang saling mencintai. Hmm, alangkah
senangnya kalau ia dapat berjodoh dengan gadis yang begini jelita,
begini gagah perkasa! "Nona?" eh, kau siapakah dan".. eh kudengar kau bertengkar
dengan orang-orang kami" Kalau mereka berbuat salah terhadap
nona, jangan kuatir, aku yang menegur dan menghukum mereka?"
Bwe Hwa melihat pemuda tampan itu tersenyum lebar sambil
memasukan pedang yang tadinya sudah terhunus. Ia melihat pula
betapa pemuda itu maju menghadapinyaa dengan sinar mata yang
tak habis-habisnya menatapi sekujur tubuhnya. Sinar mata yang
penuh gairah dan rasa kagum itu menjijikkan hati Bwe Hwa. "Hem
ternyata inikah tampang laki-laki, putera Nguyen-loya ceriwis"!"
pikirnya. "Kaukah putera Nguyen-loya?"
Datang-datang ditanya begitu, Nguyen Ci Kiat bersambat dalam
hatinya mendengar suara yang merdu itu. Bertanya dengan nada
marah saja sudah begitu merdu, apalagi kalau suara itu
dipergunakan untuk merayunya. Mati aku!
"Hayo jawab!" Bwe Hwa tak sabar dan membentak memandang
pemuda itu dengan mata mendelik. Sinar mata si gadis berbinarbinar merenggut wajah yang tampan itu. Akan tetapi pandangan
175 Nguyen Ci Kiat yang sudah digelapkan rasa kagum dan cinta
menganggapnya si gadis yang tengah marah itu bertambah cantik
saja, bertambah manis! Nguyen Ci Kiat tersentak oleh bentakan Bwe Hwa tadi. Dengan
senyum yang dibuat-buat, ia berkata kepada gadis jelita di
depannya, "Betul nona, akulah putera Nguyen Khan yang terkenal
di Siauw-ling ini! Senang sekali hatiku mendapat kehormatan
kunjunganmu. Silakan masuk........"
"Hem, omonganmu begini manis seperti madu, akan tetapi pahit
seperti empedu. Kau berbicara plintat plintut sopan-sopanan di
depan seorang gadis. Tidak tahu rayuanmu beracun. Keparat kau
seorang yang amat jahat, jay-hwa cacingan! Mengandalkan
kedudukan orang tua, mengandalkan harta benda dan kekuasaan
untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Orang macam
kau tak patut diberi hidup lama!"
Gadis itu yang mendengarkan keterangan-keterangan dari para
pekerja paksa tentang kejahatan putera Nguyen-loya ini, semakin
panas hatinya melihat sikap pemuda ini yang sombong, matanya
yang berminyak itu memandangnya dengan lahap, kemarahannya
memuncak. "Nona, soal-soal kecil yang terjadi antara para kuli-kuli dengan
anak buahku harap kau jangan ambil di hati. Sudahlah kesalahpahaman ini kubereskan sampai di sini saja. Toh di antara kita tidak
ada permusuhan. Marilah, silakan masuk ku anggap kau sebagai
tamuku yang terhormat!"
176 "Manusia jay-hwa-cat, perusak wanita. Tak usah plintat-plintut
omong kabaikan di depanku. Aku sudah mengetahui semua ular


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belangmu. Keparat, mulutmu penuh bisa."
Nguyen Ci Kiat adalah seorang pemuda yang selalu dihormati dan
disegani orang. Baru kali ini ia dimaki-maki dan dihina. Biarpun ia
tergila-gila melihat kecantikan gadis itu, namun kehormatannya
tersinggung dimaki habis-habisan oleh dara itu, mukanya menjadi
merah seperti udang direbus. Apalagi telah disaksikan di halaman
rumahnya penuh para pekerja paksa yang berdiri dengan teriakanteriakan menantang. Panas hatinya, ia mendelik ke arah kuli-kuli
dan melemparkan pandangannya keluar.
"Sialan, kiranya cacing-cacing pada mau mampus itu yang
mengaco belo kepada gadis ini. Keparat kumampusin kau satusatu!" teriak Nguyen Ci Kiat menghampiri para orang tua di luar.
Akan tetapi sekali berkelebat Bwe Hwa sudah menghadangnya
dan tersenyum mengejek: "Nanti dulu".. ada aku di sini yang hendak menghukum engkau.
Manusia she Nguyen bersiap-siaplah untuk piknik ke neraka!"
"Gadis sundel, kau benar-benar lancang mulut tidak bisa menerima
penghormatan orang. Pantasnya bacotmu yang cerewet itu
dibeset, biar tahu rasa, kepingin aku lihat setelah itu, apakah kau
masih kelihatan cantik?" Nguyen Ci Kiat menerjang maju dengan
pedangnya. Dengan senyum mengejek Bwe Hwa berkelebat, menghindarkan
serangan pedang dan balas menyerang. Ia mendapat kenyataan
bahwa kepandaian pemuda ini, tidak seberapa dan masih mentah
177 gerakan-gerakan pedangnya. Maka sengaja Bwe Hwa tidak
mencabut pedangnya. Menghadapi manusia kotor ini apa perlunya mengotori pedang,
pikirnya dan ia mainkan ilmu silat tangan kosong dan mengerahkan
hawa Pek-in-kang di ke dua tangannya. Akibatnya setiap kali
pedang Nguyen Ci Kiat terbentur dengan itu, pedangnya terpental
seakan-akan memukul bal karet saja kerasnya.
Pada saat itu terdengar suara berisik. Dan para tukang pukul
berdatangan ke tempat itu membawa pedang dan golok di tangan.
Tukang-tukang pukul Nguyen semuanya ada limabelas orang.
Terdiri dari jagoan silat pasaran saja. Oleh karena itu begitu
mereka ini serentak menyerbu.
Terdengar suara desingan senjata melayang dan jatuh ke lantai.
Lima-enam orang menggeletak roboh tak dapat bangun lagi
terhantam pukulan Pek-in-kang di tangan kanan dan kiri Bwe Hwa
yang bergerak memutar merupakan sebuah kinciran yang
mengeluarkan angin badai menderu, dan setiap kali tukang pukul
itu terserempet angin pukulan dari ke dua tangan si gadis terdengar
suara bergedebuk dengan melayang tubuh tukang-tukang pukul
terlempar keluar laksana daun kering tertiup angin.
Menggeletak di luar halaman dan diserbu oleh para pekerja paksa
yang menanti di situ. Terdengar suara bergedebak-gedebuk begitu
senjata-senjata pacul, palu martil di tangan para pekerja itu
menghantami tubuh-tubuh tukang pukul yang tak berdaya dan
menguik-nguik terlolong dan menjerit-jerit minta ampun!
178 Tentu saja para pekerja-pekerja yang seringkali disakiti dan disiksa
oleh tukang-tukang pukul ini, mana mau memberi ampun. Semakin
banyak tubuh-tubuh tukang pukul yang terlempar, semakin sengit
orang-orang dusun itu menyerbu dan menggebuki si tukang pukul
sampai babak belur badan dan mukanya.
Malah di antara suasana yang kacau itu ada pula seorang pekerja
yang merasa jengkel kepada gedung yang megah ini yang berdiri
atas hasil cucuran keringat mereka. Maka diam-diam ia melempari
api dan menyiram dengan minyak tanah. Sebentar itu pula nampak
gedung itu mulai terbakar oleh api yang semakin mengganas.
Kaget bukan main Nguyen Ci Kiat, melihat api yang telah menjalar
dengan ganas sekali. Bwe Hwa yang amat membenci pemuda ini
tak memberi kesempatan lagi. Dan sekali pedangnya tertarik
dalam segebrakan itu pula, terdengar jeritan Nguyen Ci Kiat
bersambat panjang mengantarkan jiwanya yang melayang dan
berkelonjotan tubuh itu dan diam. Mati.
Kepalanya putus disambar pedang Bwe Hwa yang tak memberi
ampun. Ganas sekali tindakan gadis itu kali ini, hawa membunuh
yang didorong oleh kebencian yang amat sangat mengingat ribuan
orang-orang dusun yang disiksa oleh keluarga Nguyen ini
membuat Bwe Hwa matanya mencari-cari.
Gedung itu sudah terbakar separuh. Hawa udara menjadi panas
sekali. Sepanas hati gadis itu yang kala itu sudah menerjang ke
dalam, dan melihat seorang tua berusia limapuluh tahun, berusaha
untuk keluar dengan menggendong seorang anak kecil berusia
sekitar satu tahun. 179 Tersentak kaget melihat gadis yang sudah berdiri di depannya.
Wajahnya menjadi pucat seperti kertas. Semangat melayang.
Tubuhnya menggigil menjatuhkan diri berlutut di kaki gadis ini.
Bwe Hwa menatap orang tua itu. Orang yang berpakaian seperti
orang berpangkat. Hemm, apakah dia ini yang disebut Nguyenloya"
"Orang tua, siapakah kau?"
"Lihiap..... ampunkan saya..... saya..... saya?" Nguyen-loya
berkata gagap. Orang tua ini sudah mendengar dari orang-orang bahwa gadis
yang menyerang ini demikian sakti dan lihay. Tentu saja
berhadapan dengan gadis yang tadi dilihatnya demikian ganas
membunuh tukang pukulnya menjadi hilang semangatnya.
Kepalanya mengangguk-angguk seperti ayam tengah mematuk
gabah. Dan tubuhnya yang pendek gendut itu menggigil
mengeluarkan keringat dingin.
Melihat sikap orang tua ini demikian pengecut dan takut mati,
bertambah panas hati Bwe Hwa. Sekali kakinya bergerak
mencongkel tubuh si gendut Nguyen-loya terguling sejauh lima
meter. Anak kacil yang tadi digendongnya terlempar pula. Bocah itu
anaknya. Anak yang baru berusia setahun lebih bernama Nguyen
Hoat. Anak itu menangis keras merangkak menghampiri ayahnya.
180 "Orang tua jahanam, engkaukah Nguyen Khan yang disebut
Nguyen-loya oleh orang-orang di sekitar ini?" suara Bwe Hwa
sengaja dikeraskan mengejutkan hati si orang tua.
"Hayo jawab!" "Ampun lihiap, ampunkan saya, kasihani saya, ugh" uuugh"..."
menangislah orang tua itu saking takutnya. Dari selangkangannya
menetes keluar air. Muak Bwe Hwa melihat pemandangan ini.
Orang tua sudah terkencing-kencing ini pantas dimampusin,
pikirnya. "Siiiing!!!" "Ampun lihiap". Am". Ammmm"..."
"Ampun" Tidak ada ampun lagi. Manusia Nguyen, kau jahat dan
keji. Kau membiarkan orang-orang dusun pada mampus dalam
rencanamu yang gila membuat proyek-proyek bangunan,
memeras tenaga orang-orang dusun yang bodoh, menganiaya,
membiarkan mereka pada mampus disiksa oleh anjing-anjing
peliharaanmu. Keparat!! Dosamu sudah bertumpuk-tumpuk. Kau
bilang ampun?""
Kepala tua itu semakin terbenam mencium lantai, berciuman pula
dengan air kencingnya yang di lantai. Kepalanya semakin keras
mengangguk-angguk. "Lihiap?" nyawaku cuma satu, kasihanilah aku".. akhh".."
181 "Sreeet!!" Begitu pedang di tangan si gadis berkelebat, tubuh tua
itu kelojotan kehilangan kepalanya. Darah merah muncrat
memancar dari leher yang tak berkepala. Membanjiri lantai,
bersatu dengan air kencing si tua.
"Pap..... pa" papaaa" anak kecil yang tadi digendongnya itu
menjerit-jerit menangis. Bwe Hwa mengangkat pedangnya
meluncur cepat menusuk dada anak kecil itu.
"Trang!" pedang itu melengos dan bergetar.
Bwe Hwa menoleh ke belakang.
Kiranya yang menyambitkan buah Ci membentur pedangnya tadi
adalah seorang tua berusia sekitar empatpuluh tahun. Berpakaian
seperti seorang pertapa berjubah putih, kepalanya botak di tengah
dan hanya ada rambut tipis yang mengelilingi di samping kiri kanan
kepala yang bundar itu. Tatapannya tajam menusuk. Merupakan sebuah teguran yang tak
terucapkan. Merasakan timpukan orang tua tadi yang dapat
menggetarkan pedangnya, tahulah Bwe Hwa bahwa orang tua
yang baru datang ini bukan orang sembarangan. Timpukan
dengan buah Ci tadi itu membuktikan betapa kuatnya lwekang
orang tua ini. Melihat kedatangan orang tua ini Bwe Hwa seperti seekor harimau
betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira
bahwa yang baru datang itu adalah antek-antek keluarga Nguyen,
ia menantang. 182 "Hayo, kalau masih ada binatang-binatang keji penindas orang
miskin, majulah dan lawan aku. Aku Kwan-im Sianli akan
membasminya sampai ke akar-akarnya!"
Orang tua itu tersenyum. Tak berkata apa-apa ia menghampiri
anak kecil yang hampir saja tadi disate oleh pedang Bwe Hwa.
Sekali jubahnya menyambar, anak kecil itu melayang ke dalam
pangkuan orang tua yang berpakaian pendeta itu.
"Nona".., anak kecil ini belum tahu apa-apa tentang kepalsuan
dunia, mengapa kau hendak menurunkan tangan maut
kepadanya?" "Orang tua, siapakah kau" Mengapa usil tangan mencampuri
urusanku?" "Pinceng (aku) Bu-beng Sianjin dari Thang-la. bukan apa-apanya
keluarga Nguyen ini. Akan tetapi melihat kau hendak menjatuhkan
tangan maut kepada bocah ini, tentu saja pinceng mencegahnya.
Sudahlah! Karena anak ini sudah kehilangan keluarganya, biar
pinceng bawa....... selamat tinggal nona!" dan sekali Bu-beng
Sianjin menggerakkan tubuhnya tahu-tahu Bwe Hwa sudah
kehilangan orang tua pertapa itu.
Diam-diam ia kagum dan terkejut begitu mendengar nama Bubeng Sianjin. Tentu saja semasa ia di puncak Tiang-pek-san
seringkali mendiang suhunya menceritakan tentang orang tua sakti
dari Thang-la itu. Untung saja ia tadi tidak sembrono turun tangan.
Kalau tidak. Apa artinya kepandaian silatnya kalau dibandingkan
dengan orang tua sakti dari Thang-la itu"
183 Bwe Hwa tak banyak berpikir lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa
gedung Nguyen ini sedang mengalami kebakaran yang hebat.
Hampir saja api itu menjalar ke ruang dalam. Hawa panas dan
asap bergulung-gulung menyerbu membuat Bwe Hwa menjadi
pengap dan sukar bernapas.
Dengan sekali menggerakkan gin-kangnya tubuh Bwe Hwa
melayang lewat jendela bulat dan di luar itu ia melihat banyak
orang-orang yang tengah sibuk untuk memadamkan api. Tak ada
orang yang memperhatikan dia lagi, karena kesibukan
memadamkan api yang semakin mengganas!
Para pekerja paksa yang terdiri dari orang-orang dusun yang
miskin itu tadinya membiarkan gedung Nguyen-loya itu termakan
oleh api, dan menonton dengan jantung berdebar, kini tidak berani
lagi mencari sang dewi yang memasuki gedung yang telah mulai
diganas api itu. Para pekerja paksa orang-orang dusun itu adalah
korban-korban kekejaman dan seringkali mereka itu disiksa, dan
sekarang menyaksikan peristiwa berdarah yang mengerikan ini
membuat mereka menggigil ketakutan.
Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan
penyiksa-penyiksa itu terbalas dan terhukum. Namun apa yang
dilakukan oleh sang dewi ini benar-benar amat menyeramkan dan
sadis. Limabelas orang tukang-tukang pukul tak berdaya dan sekarat
hampir mati di taman ini. Dan di dalam gedung yang mulai terbakar
itu, mereka melihat tubuh Nguyen-kongcu yang bernama Nguyen
184 Ci Kiat itu menggeletak tanpa kepala dan sebentar pula tubuh itu
akan musnah dipanggang api yang sedang mengganas.
Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda dan datanglah
serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang
bahwa mereka adalah perajurit-perajurit dari Kotaraja, berjumlah
duapuluh empat orang, dikepalai oleh seorang setengah tua
berusia tigapuluh tahun lebih.
Orang ini berpakaian bukan sebagai pakaian perajurit melainkan
dilihat dari cara ia berpakaian nampak seperti seorang ahli silat
kelas tinggi. Tubuhnya yang besar dan berotot itu menandakan
bahwa orang ini ahli tenaga gwakang, sebuah pecut kelihatan di
pinggangnya terguling. Nampak kelihatan gagah sekali orang yang
menjadi pemimpin rombongan ini.
"Minggir! Goan-enghiong (pendekar Goan) datang?".!" teriak
orang-orang yang tadinya menonton kebakaran yang sedang
berlangsung itu. Sebagian orang sedang sibuk untuk
memadamkan api! Orang setengah tua bercambuk hitam itu mengangkat tangan
kanannya memberi tanda untuk menyuruh barisannya berhenti.
Dia sendiri melompat turun dari atas kudanya dan bertanya kepada
salah seorang yang menonton kebakaran gedung Nguyen.
"Eh, apa yang terjadi?"
Dalam hati orang yang ditanya itu menyumpahi, sialan mentangmentang kepala pengawal dari kotaraja, memanggil orang tidak
ada bahasanya sekali, ha he ha he, sombong betul sialan lu,
185 mentang-mentang! Hu, kalau gua punya kepandaian silat, gua
sikat luh, pikirnya. Akan tetapi meskipun hatinya mendongkol ditanya begitu, tentu
saja ia tidak mengutarakan kemendongkolannya ini. Ia tahu siapa
yang barusan turun dari kuda itu. Makanya dengan muka ditekuk
orang itu menyahut: "Gedung Nguyen-loya dibakar, Nguyen-loya dan Nguyen-kongcu
dibunuh, semua Ngo-hauw disikat habis!
"He, apa kau bilang Nguyen-loya, Nguyen Ci Kiat dibunuh"!"
Orang yang ditanya itu mengangguk. Pandangannya melempar ke
arah seunggukan api yang masih menjilat-jilat di atas gedung
Nguyen. Orang bercambuk itu maju dan memandang pula gedung
yang tengah terbakar. Melihat pemandangan ini alisnya berkerut, matanya yang sipit itu
terbelalak lebar dan heran menyaksikan gedung yang megah
sedang diamuk oleh si jago merah. Melihat pula para ngo-hauw
(tukang pukul) menggeletak merintih berusaha untuk merangkak
bangun. Tubuh mereka babak belur basah oleh keringat saking
panasnya udara hawa di depan gedung yang terbakar.
"Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini?" si cambuk hitam
bertanya kepada orang sebelahnya. Akan tetapi karena ia bertanya
tanpa menoleh, tentu saja orang yang di sebelahnya pun diam
saja. Dikira bukan dia yang ditanya.
186 "Ha, budek! Apa kau tidak dengar pertanyaanku?" orang
bercambuk itu menoleh dan mendelik menatap orang di
sebelahnya.

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat betapa jagoan kotaraja ini mendelik-delik keruan saja hati
orang menjadi dag dig dug jantungnya berloncat sewaktu sekali
lagi orang bercambuk itu membentaknya,
"Hei tuli! Yang melakukan ini siapa"... siapa orangnya?"
"E, anu".. itu si?". no".."
"Kunyuk bicara yang betul!"
"O ya, anu sang dewi."
"Sang dewi?" "Ya, ya Kwan-im Posat turun ke bumi menghukum orang-orang
durhaka!" "Plak! Dess!" Belum lagi orang itu habis bicara tahu-tahu pipinya
terasa pedas dan tubuhnya melayang jauh bergedebuk di tanah,
yang becek bekas air-air untuk memadamkan kebakaran. Sekali
orang setengah tua yang bercambuk itu meloncat ia sudah
mencengkeram tubuh yang penuh tanah becek itu.
"Hayo katakan yang benar, siapa yang membunuh Nguyen-loya
dan membakar gedung ini kucabut nyawanya!"
187 "Goan-enghiong, aku bicara benar-benar, saya tidak bohong, dewi
Kwan-im ngamuk dan membunuh-bunuhi orang-orang, anak buah
dan Nguyen-loya?" benar Goan-enghiong biar jangan disambar
geledek..... sungguh yang datang itu Kwan-im Posat. Saya lihat
sang dewi?"" Keruan saja orang yang dipanggil Goan-enghiong itu jadi
membelalakan matanya! Apa iya, Kwan-im Posat turun ke bumi"
Apakah orang yang mengatakan ini sudah sinting. Masa Kwan-im
datang ke sini" Tak masuk diakal!
"Lopek (paman tua) apa benar Kwan-im Posat datang?" tanyanya
kepada orang tua yang berdiri tidak jauh di situ.
Orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya.
"Goan-enghiong, si A Miauw ini bicara tidak bohong. Semua
penduduk kota Siauw-ling ini tahu, benarlah Posat mengirimkan
utusannya berupa seorang gadis remaja cantik yang sakti........"
Mendengar perkataan ini tahulah orang yang dipanggil Goanenghiong itu. Ia seorang pengawal Kotaraja. Murid seorang sakti
Bu-beng Siangjin dari pegunungan Thang-la di bukit Harimau. Ia
dijuluki si Cambuk Sakti Oey Goan.
Ia yang telah malang melintang di dunia kang-ouw dan banyak
sudah mengenal tokoh-tokoh dunia persilatan. Baru pertama kali
ia mendengar sang Kwan-im muncul di Sauw-ling membunuh
Nguyen-loya dan Nguyen-kongcu dan kaki tangannya, siapa lagi
kalau yang dimaksud itu seorang gadis kang-ouw yang tentu tidak
188 senang kepada tindakan orang she Nguyen itu. Dan menghajarnya
habis-habisan. "Lopek, kau bilang seorang gadis cantik?" apa ia pandai ilmu
silat?" "Tentu Goan-enghiong, bakan saja pandai silat akan tetapi sakti
dan bisa menghilang?"." si kakek menyahut.
"Di mana sekarang gadis itu?"
"Entahlah, orang bilang ada yang melihat sang dewi masuk ke
dalam gedung yang tengah terbakar dan nggak muncul-muncul
dan barusan ada lagi orang yang bercerita katanya sang dewi itu
terbang memasuki hutan sebelah sana itu?".."
"Cukup! Terima kasih untuk keteranganmu," berkata demikian si
Cambuk Sakti Oey Goan melompat ke atas kudanya dan sekali
mengeprakan tali kendali kuda itu mencelat ke arah selatan diikuti
oleh anak buahnya. Tujuan Oey Goan adalah mengejar gadis yang
dikatakan sang dewi yang terbang memasuki hutan di sebelah
selatan kota. Oey Goan membedal kudanya dengan amat cepat sekali dan
sebentar saja rombongan berkuda itu telah memasuki hutan.
Benar saja dari kejauhan di depan itu nampak seorang gadis
berjalan perlahan-lahan. Girang sekali hati Oey Goan. Itulah dia
gadis yang disebut dewi! Dengan berseru keras ia memberi abaaba kepada anak buahnya untuk mengejar bayangan di depannya.
189 Memang gadis yang di depan itu adalah Bwe Hwa. Setelah ia
memusnahkan manusia Nguyen dan antek-anteknya, sengaja ia
tidak menampakkan diri lagi dan di dalam kesimpang siuran orang,
yang berusaha hendak memadamkan api tadi, ia berlari cepat
menuju ke selatan menggunakan gin-kangnya.
Akan tetapi baru saja ia berjalan lambat-lambat sambil menikmati
pemandangan alam di hutan lebat itu, tiba-tiba telinganya yang
sudah terlatih mendengar derap kaki kuda di belakangnya. Bwe
Hwa berhenti dan membalikkan tubuhnya menanti rombongan
orang berkuda itu. Si Cambuk Sakti Oey Goan yang sampai lebih dahulu terpaku
melihat dara remaja yang cantik ini. Inikah gadis yang telah
membunuh Nguyen-loya dan antek-anteknya. Rasanya tak masuk
di akal. Gadis yang kelihatannya begini lemah sungguhkah ia dapat
mengalahkan Nguyen-kongcu yang setahunya mempunyai
kepandaian silat lumayan. Inikah dia yang dikatakan sang dewi itu"
"Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan mengapa mengejar-ngejar
saja?" Bwe Hwa bertanya seraya manyapu rombongan berkuda
yang mendatangi. Hem, orang-orang dari kotaraja, apakah sangkut
pautnya dengan Nguyen-loya"
"Kaukah yang dikabarkan orang telah membunuh Nguyen-loya dan
anaknya dan barusan membakar gedungnya?" Oey Goan bertanya
sambil memandang tajam penuh selidik.
Ditatap seperti itu Bwe Hwa tersenyum lebar. Tak salah lagi tentu
orang ini kaki tangannya. Bagus, kalau memang benar, sekalian
190 saja dibasmi! Membasmi yang jahat harus sampai keakar-akarnya,
pikirnya. "Kau ini tentu dari Kotaraja, antek-antek Nguyen Khan si keparat
itu?" "Nona mulutmu tajam, jangan sembarang bicara, tidak tahu kau
berhadapan dengan siapa?" Oey Goan melangkahkan kakinya
menghampiri si gadis. Kudanya dibiarkan di situ berteman dengan
rumput-rumput hijau! "Siapa yang tidak tahu, kalau kalian ini pengawal-pengawal dari
Kotaraja! Iya kan?" "Benar nona, aku Oey Goan Si Cambuk Sakti pemimpin dari
barisan Kotaraja. Benarkah kata penduduk Siauw-ling bahwa
engkau yang membunuh Nguyen-loya dan anaknya?"
"Kalau benar?" "Maaf, kami harus menangkapmu untuk dibawa ke Kotaraja
menanti keputusan hakim yang akan mengadilimu! Hukum
pemerintahan berlaku bagi siapa saja yang telah mengacau dan
terlebih lagi membunuh orang kepercayaan Gubernur Ie Yen. Kau
tahu Nguyen Khan itu adalah orang kepercayaan Gubernur untuk
pembangunan-pembangunan di Siauw Ling."
"Tak perduli dia itu kepercayaan setan Neraka sekalipun. Kalau ia
jahat dan memeras tenaga rakyat, tetap saja pedangku ini
menghakiminya! Pedangku ini yang berbicara......!"
191 "Hemm, nona terlalu tekebur. Akan tetapi perbuatanmu itu
sungguh bodoh dan semberono. Usil tangan mencampuri urusan
orang, tidak tahu akibatnya!"
"Apa aku semberono, usil" Apakah perbuatanku itu tidak pantas
menghajar manusia pemeras rakyat, siapapun orangnya jika ia
berlaku sewenang-wenang dan membawa keinginan pribadinya
sendiri mengandalkan kedudukan dan harta, merugikan banyak
orang, membuat sengsara! Tentu aku tak berpeluk tangan."
"Akan tetapi, apakah kau tidak tahu bahwa Nguyen Khan itu adalah
orang kepercayaan Gubernur Ie Yen" Hm tindakanmu ini
menghancurkan rencana proyek di Siauw-ling! Nona sebaiknya,
marilah kau ikut dengan kami untuk mempertanggung jawabkan
perbuatanmu. Menyerahlah nona! Agar supaya kami tidak
menggunakan kekerasan kepadamu yang masih begini muda!"
Merah muka Bwe Hwa mendengar ucapan yang tidak memandang
sebelah mata ini. Ia disuruh menyerah" Apa salahnya" Apa
tindakan membunuh manusia Nguyen itu bersalah"
Menurut pertimbangannya memang ia patut membasmi manusiamanusia macam Nguyen yang selalu membawa kesengsaraan
rakyat jelata. Menurut pendapatnya semua manusia jahat harus
dibasmi dari muka bumi ini. Itu tugas seorang kesatria. Tugas
seorang pendekar yang membela keadilan dan menentang
kejahatan. Sekarang seorang utusan dari kotaraja itu malah menyalahkan
perbuatannya" Terlalu. Beribu-ribu orang berlutut di depannya
memuliakan dirinya menganggap utusan Kwan-im Posat, eh
192 sekarang si cambuk sakti ini menghinanya menyuruh berlutut.
Setan! "Aku berdiri di atas pendirianku sendiri! Siapapun tak bisa
menggoyahkan pendapatku. Persetan dengan hukum-hukum
negara yang berlaku. Pokoknya aku telah berbuat kebajikan
dengan melenyapkan manusia Nguyen. Tok! Habis perkara. Tak
perduli kau ini barisan dari kotaraja atau dari Setan Neraka
sekalipun, tak sudi aku berlutut dan menyerah. Aku tak bersalah,
mengapa aku mesti ditangkap seperti orang nyolong ayam?"
Berkata demikian Bwe Hwa meraba gagang pedangnya. Sedetik
terdengar berdesing pedang tercabut. Melintang di depan dada,
tahulah Oey Goan tak mungkin ia membujuk gadis ini dengan
halus. Cara satu-satunya, menentukan di atas senjata pula.
Oey Goan melolos cambuk hitamnya. Geraknya itu dibarengi
meloncat keduapuluh tiga anak buahnya dari atas punggung kuda.
Pedang dan golok berkelebat ketika lepas dari sarungnya. Dan
sebentar itu pula Bwe Hwa sudah dikurung dengan ketat.
"Kalau begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan kepadamu!
Harap kau tidak menganggap kami keterlaluan nona, tugas akan
kami selesaikan dengan jalan apapun!!"
"Setan! Mau tangkap aku tangkaplah kalau bisa, mengapa cerewet
betul kaya mulut orang perempuan?"
"Goan-enghiong, kita tawan saja gadis ini dan kita serahkan pada
Gubernur Ie Yen, habis perkara!" berkata salah seorang perajurit
sambil memegang goloknya.
193 "Betul, kita tawan dia. Tangkap hidup-hidup!!" si Kumis Melintang
menyambung dan mengeluarkan ruyung bajanya.
Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar salah
seorang berseru: "Bong-goanswee datang!"
"Hee....... hee ada apakah kalian ribut-ribut di sini dan nona ini
siapakah?"" Datang-datang orang yang berpakaian seperti
seorang jenderal bertanya dengan pandangan mata menyelidik ke
arah Bwe Hwa. Bersamaan munculnya orang tua yang berpakaian jenderal itu, di
belakangnya mendatangi pula seorang pendeta, dan seorang
hweesio tua yang berusia sedikitnya tujuhpuluhan tahun, bermuka
hitam dan cacad bekas korban penyakit cacar. Biarpun mukanya
bopeng dan buruk namun mata hwesio itu membayang budi dan
kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya. Hwesio
itu membawa sebatang tongkat kuning, ia berdiri tegak di samping
seorang tua yang dipanggil Bong-goanswe (jenderal Bong).
"Bong-goanswe, gadis inilah yang mengacau Siauw-ling dan
membunuh Nguyen Khan dan keluarganya. Malah gedung
besarnya Nguyen Khan dibakarnya pula. Kami hendak menangkap
gadis itu dan menyerahkan kepada Gubernur Ie Yen. Harap
goanswe menjadi tahu adanya"...!"
Orang setengah tua iang berjuluk si Cambuk Sakti itu melapor
kepada atasannya dengan sikap menghormat sekali. Tentu saja
semua perajurit, tahu siapa Bong-goanswe ini. Dia adalah bekas
194 seorang pertapa. Sute dari Bu-beng Sianjin yang mempunyai
kepandaian lihay dan luar biasa.
Lain dengan Bu-beng Sianjin yang itu. Kalau Bu-beng Sianjin ini
selalu mengasingkan diri dan memperdalam ilmu kebathinan di
puncak Thang-la, adalah Bong Bong Sianjin ini haus akan harta
dan kemuliaan, dan karena kepandaiannya yang tinggi itu Bong
Bong Sianjin berhasil mengalahkan pahlawan-pahlawan nomor
satu di istana dan oleh kaisar diangkat menjadi Jenderal sebagai
kepala pengawal Kaisar yang berkedudukan amat tinggi dan
dikenal sebagai Bong-goanswe.
Dan hwesio yang bermuka buruk bopeng, yang kelihatannya
seperti hwesio alim dan suci itu adalah Hok Losu, seorang tokoh
tingkat tiga dari Siauw-lim-pay, berkepandaian amat tinggi dan
lihay. Adapun orang yang berjalan di belakang dan sekarang telah
berdiri pula di samping Hok Losu, bukan orang sembarangan pula
melainkan tokoh dari Kong-thong-pay yang bernama Lek Ek Cu.
Dua orang ini adalah kawan baik orang tua Hok Losu dan karena
tertarik akan kedudukan tinggi, maka ke dua tokoh dari Siauw-limpay dan Kong-thong-pay ini dapat dibujuk oleh Hok Losu untuk
tinggal di istana sebagai pembantu Kaisar, Pengawal kelas tinggi.
Tiga orang tua itu memandang ke arah Bwe Hwa dengan
pandangan menyelidik. Sekali lihat saja tahulah Bong-goanswe
bahwa kepandaian gadis ini tidak di bawah dari si Cambuk Sakti
Oey Goan tingkat kepandaiannya. Oleh karena itulah ia berkata
kepada Oey Goan, 195 "Seret dia dan bawalah ke Kotaraja. Biar Gubernur Ie Yen yang
akan mengadilinya," berkata begitu Bong-gwanswe minggir dan
berkata kepada dua orang temannya, "Cuma gadis cilik saja yang
mengacau tak perlu kita turun tangan!"
"Goanswe, kulihat gadis ini bukan gadis sembarangan, jangan
dipandang enteng. Entah apakah Oey Goan dapat
menandinginya?" nyeletuk hwesio Siauw-lim-pay yang bernama
Hok losu itu sambil mengetuk tongkatnya di tanah. Seperti juga
Bong-goanswe, ia juga duduk di atas batu yang menonjol di situ,
diikuti oleh Leng Ek Cu tokoh Kong-tong-pay.
Sementara itu, Oey Goan panas perutnya disindir oleh hwesio
muka hitam. Ia melirik kepada Lo-suhu itu dan kemudian
menghampiri Bwe Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan.
"Nona, sekali lagi menyerahlah sebelum kami menggunakan
kekerasan. Aku yang tua sebetulnya segan melayani gadis muda
seperti engkau ini!"
Si Cambuk Sakti Oey Goan mengeluarkan cambuknya yang tadi
melingkar di pinggang. Ia tahu bahwa gadis ini tidak boleh dibuat
gegabah maka ia berlaku hati-hati dan tidak ingin memandang
ringan lawannya. Sebentar itu pula terdengar cambuk hitam di
tangannya melecut tiga kali.
"Menentang kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung
kebenaran. Lagi pula, aku tidak merasa bersalah, untuk apa
hendak menyerah" Majulah kalian. Hemm, apakah hendak main
keroyokan?" tantang Bwe Hwa dengan suara ketus sambil melirik
ke kanan dan ke kiri melemparkan pandang ke arah, duapuluh tiga
196 orang perajurit-perajurit pilihan yang sudah bersiap-siap dengan
senjata di tangan. Tinggal menanti komando saja.
Oey Goan tersinggung mendengar perkataan gadis muda ini.
Tangannya bergerak memberi aba-aba untuk mundur kepada anak
buahnya. Dan ia sendiri maju sambil membentak: "Bocah tak tahu


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri, aku bukan pengecut yang beraninya main keroyokan. Jangan
kuatir anak buahku hanya menonton dan akulah yang
menanganimu?"."
"Begitu baru gagah Cambuk Sakti, nah majulah! Bukankah kalian
hendak menangkapku. Majulah, keroyoklah aku, itu si tua-tua
mengapa tidak maju sekalian" Hm, baru sekarang aku tahu
seorang hwesio yang seharusnya tekun dengan kitab suci, kini
berpaling menjadi lintah-lintah darat pemeras rakyat. Majulah.
Hayo tangkaplah hidup-hidup. Ini aku murid Swie It Tianglo dari
Tiang-pek-san. Demi keadilan dan kebenaran takkan mundur
setapakpun. "Tar tar tar!" cambuk di tangan Oey Goan melecut di udara: "Bocah
sombong. Lancang mulut..... berani kau membuka mulut besar di
depan Losuhu dari Siauw-lim. Apakah kau tidak kenal dengan
Losuhu Hok Losu yang sakti" Keparat, mesti dihajar kau!"
"Tak perduli si tua Hok Losu atau Hok Setan kalau menyeleweng,
pedangku ini yang akan mengadilinya!"
"Mulut lantang, mampuslah!" pecut baja di tangan Oey Goan
meluncur menotok ke tiga bagian jalan darah di tubuh si gadis.
197 Terkejut juga Bwe Hwa melihat serangan cambuk yang tadinya
lemas kini menjadi kaku seperti batang tongkat kecil meluncur
menghantam iga dan bagian dadanya. Tahulah ia bahwa lawannya
ini mempunyai tenaga lwekang yang tidak boleh dipandang ringan.
Dengan gerakan cepat ia miringkan kepala dan menyampok
dengan pedangnya, "Tar tar tar", tahu cambuk yang tadinya keras
itu membalik menjadi lemas hendak membelit pedangnya. Tentu
saja Bwe Hwa tak ingin pedangnya menjadi sasaran lilitan pedang.
Maka dengin gerakan jurus Membabat Rumput Melempar Batu,
pedangnya ditarik dan menyabet ujung pecut yang hendak melilit
itu. Dan kaget bukan main Bwe Hwa merasa pedangnya terlempar
begitu bertemu dengan cambuk lawan. Kalau saja ia tidak kuatkuat menggenggam pedangnya tentu senjatanya itu, akan terlepas
dari genggamannya. Tahulah ia bahwa lawannya ini mempunyai
tenaga lwekang yang cukup tinggi.
"Bagus!" tak terasa lagi Bwe Hwa berseru mengagumi gerakangerakan cambuk yang bergulung-gulung seperti awan hitam yang
hendak menyelubungi dirinya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa
lawannya ini adalah murid seorang sakti pertapa Bu-beng Sianjin
yang telah menurunkan ilmu bermain cambuk yang disebut Liongkut-pian yang kadang-kadang bisa menjadi lemas dan kadangkadang menjadi keras seperti tongkat.
Untuk berbuat itu saja orang yang memainkan harus mempunyai
tenaga lweekang yang cukup tinggi. Kalau tidak mana mampu
198 membuat cambuk yang demikian lemas itu menjadi keras seperti
batang tongkat. Memang Oey Goan ini sejak ia pernah dikalahkan oleh Swie It
Tianglo empat tahun yang lalu, ia semakin tekun melatih diri
dengan ilmu cambuk Liong-kut-pian di bukit Harimau atas
petunjuk-petunjuk Bu-beng Siangjin. Tentu saja si Cambuk Sakti
empat tahun yang lalu jauh berbeda dengan si Cambuk Sakti
sekarang. Lingkaran-lingkaran cambuknya semakin kuat dan
mantap merupakan segulungan awan hitam yang kokoh dan sulit
ditembusi oleh pedang Bwe Hwa yang merasa kewalahan
menghadapi orang yang tidak disangkanya mempunyai
kepandaian demikian hebat.
Akan tetapi tentu saja Bwe Hwa tidak gampang-gampang harus
menyerah. Percuma ia hampir empat tahun itu digembleng oleh
mendiang suhunya di Tiang-pek-san kalau melayani Oey Goan
saja ia harus gampang-gampang kalah. Ia sudah mewarisi ilmu
pedang Tiang-pek-kiam-sut dari Tiang-pek-pay dan ilmu Pek-inkang di tangan kiri.
Oleh karenanya, bagi Oey Goan juga sulit untuk mengalahkan
gadis ini. Pukulan-pukulan tangan kiri Bwe Hwa menggetarkan
cambuknya. Tentu saja bagi Bwe Hwa juga sulit memukul lawan
dengan jarak jauh begini, sebab lawannya ini berdiri sejauh satu
tombak sambil memainkan cambuknya. Hebat sekali pertempuran
dua orang ini. Pukulan Bwe Hwa dengan tangan kiri yang menggunakan hawa
Pek-in-kang, tak berani Oey Goan menerimanya secara langsung.
199 Ia dapat melihat betapa tangan gadis itu menjadi putih
mengeluarkan uap, tanda bahwa pukulan itu mengandung hawa
im-kang yang amat hebat sekali.
Beberapa kali cambuknya terbentur membalik ke belakang apabila
kesentuh tangan kiri yang lihay dari gadis yang masih begitu muda.
Ia merasa sangat penasaran sekali, masakah ia yang telah
mendapat julukan si Cambuk Sakti, kini menghadapi gadis muda
saja harus mengaku kalah" Rasa penasaran ini membuat ia
mainkan cambuknya lebih sungguh-sungguh lagi.
Kalau tadi ia menganggap ringan terhadap gadis muda itu, namun
sekarang tahulah ia bahwa kalau tidak menyerang sungguhsungguh terhadap lawannya, tentu dalam waktu yang singkat, ia
akan dikalahkan. Dan itu membuat malu di depan anak buahnya.
Dan tentunya namanya akan jatuh merosot sebagai kepala
barisan. Cepat laksana kilat Oey Goan memutar cambuknya,
digetarkan hingga ujungnya berubah menjadi belasan batang,
kesemuanya menyerang dengan totokan maut ke arah bagian
tubuh yang berbahaya. Melihat penyerangan yang luar biasa ini, Bwe Hwa mengeluarkan
suara melengking tinggi dari kerongkongannya merupakan jeritan
maut yang merampas semangat lawan. Inilah pengerahan sinkang yang istimewa, sebuah ilmu kesaktian yang ia terima dari
mendiang Swie It Tianglo, gurunya!
Sebuah ilmu jeritan yang dikerahkan oleh tenaga sin-kang
sepenuhnya yang dapat menggetarkan jantung lawan. Kalau saja
200 gurunya mengeluarkan jeritan ini, agaknya tak tahan kiranya si
Cambuk Sakti menerimanya. Inilah jeritan maut.
Namun Oey Goan juga bukan orang bodoh yang baru pertama kali
menghadapi pertempuran tingkat tinggi. Ia tahu betul bahwa itulah
penyerangan suara yang dikirim melalui jeritan perampas
semangat. Segera ia memusatkan hawa murni dan mengerahkan
sin-kang di perut, menjerit pula seperti gadis itu.
Sambil melengking Bwe Hwa menggerakkan pedangnya yang
menerobos masuk di antara putaran-putaran cambuk lawannya itu.
Terdengar suara keras ketika pedang di tangan Bwe Hwa menjadi
patah-patah terhantam pukulan sabetan cambuk yang terbuat dari
baja dan dikerahkan oleh tenaga sin-kang yang tinggi.
Pedang Bwe Hwa patah-patah menjadi tiga potong akan tetapi
dibarengi jeritan tertahan dari si Cambuk Sakti ketika merasa
tubuhnya tahu-tahu terlempar jauh terhantam pukulan tangan kiri
Bwe Hwa yang menggunakan hawa Pek-in-kang. Hebat sekali
pukulan ini, tadi selagi si Cambuk Sakti Oey Goan kegirangan
melihat pedang lawan terhantam cambuknya dan patah-patah dan
dalam kelemahan inilah sebuah pukulan tangan kiri Bwe Hwa
menerobos masuk menggunakan hawa Pek-in-kang.
Terkejut bukan main Oey Goan, cepat ia membanting diri ke
belakang dan miringkan tubuh menghindari pukulan dahsyat itu.
Akan tetapi tetap saja pundaknya terhantam hawa pukulan Bwe
Hwa hingga tak ampun lagi bagaikan daun kering yang tertiup
angin besar, tubuh Oey Goan melayang terlempar jauh. Pundak
kirinya patah terhantam hawa pukulan yang dahsyat itu, Oey Goan
201 meringis menahan nyeri di pundak. Cambuknya terlepas dari
pegangan tangannya entah kemana.
"Omitohud, sungguh ganas dan lihay, entah murid siapa gadis ini,"
suara yang halus terdengar dari belakang Bwe Hwa dengan diiringi
angin lembut menyambar dari belakang. Terkejut bukan main dia,
cepat ia membuang diri ke samping dan sebuah pohon di depan
hancur berantakan terhantam pukulan yang kelihatan lembut itu.
Terdengar suara "Brak, brakkkk" robohlah pohon sebesar pelukan
manusia itu. Bergidik Bwe Hwa. Begitu ia membalikkan diri
dilihatnya Hok Losu yang sudah berdiri di belakangnya dengan
tubuh doyong-doyong seperti hendak jatuh!
"Lo-suhu tahan!" Bong-goanswe atau yang mulanya kita kenal
sebagai Bong Bong Sianjin berdiri dan menghampiri Bwe Hwa.
Melihat orang tua yang berpakaian seperti seorang jenderal ini
menghampiri dirinya, Bwe Hwa memandang tajam dan bertanya:
"Orang tua, siapakah engkau?""
Bong Bong Sianjin tertawa lebar:
"Nona, tadi kau bilang apa?" Kau murid Swie It Tianglo"..?"
"Orang tua, memang benar aku muridnya Swie It Tianglo, kau ini
orang tua berpangkat jenderal, apa-apaan berkeliaran di hutan
dengan membawa-bawa hwesio tua renta. Hm! pantas, rupanya
kau orangnya pemerintah, yaa" Tukang peras rakyat, yaa" Bagus,
coba kau lihat, jagoanmu si Cambuk Sakti sudah keok di tanganku.
Apa kau orang tua, masih merasa penasaran?"
202 "Gadis binal bermulut lancang. Tidak tahukah engkau sedang
berhadapan dengan siapa?" ujar Bong Bong Sianjin sambil
melangkah setindak. Bwe Hwa menatap orang tua berpakaian jenderal ini, terkejut ia
melihat tatapan mata si jenderal yang begitu tajam menusuk.
Tahulah ia lawannya kali ini adalah seorang ahli lweekeh. Aku
harus berlaku waspada, demikian pikirnya.
"Jenderal tai !! Siapa yang tidak tahu kau seorang jenderal yang
pintar menakut-nakuti rakyat jelata!!"
"Bocah tidak kenal tingginya gunung Thay-san dan dalamnya laut
Po-hay. Gadis binal, bukalah lebar-lebar telingamu. Aku adalah
Bong-gwanswe atau sebelumnya dikenal dengan sebutan Bong
Bong Sianjin!" "Apa?" Bwe Hwa membelalak memandang orang tua yang berpakaian
jenderal itu. Memandang dari bawah sampai ke atas. Memandang
sepatu jenderal yang mengkilap dan ke atas baju jenderal yang
keren dan angkuh, melihat pula topi kebesaran di atas kepala itu.
Tanda pangkat bintang jasa di pundak itu. Inikah dia Bong Bong
Sianjin yang dicari-cari"
Pedang di tangan Bwe Hwa menggigil. Terangkat naik menghunus
jenderal Bong yang dikenalnya sebagai Bong Bong Sianjin, musuh
besarnya. "Hemm. jadi engkau inikah manusianya yang telah
membunuh suhu Swie It Tianglo?"
203 "Ha ha ha!" Bong Bong Siangjin tertawa. "Engkau nona, akulah
Bong Bong yang telah menuntut balas kematian muridku di tangan
gurumu. Kukira macam apa manusia Swie It Tianglo itu, kiranya
cuma cacing tanah saja yang sekali injak sudah mampus!"
"Kepada kau pembunuh guruku. Musuh besarku. Jahanam! Makan
pedang!" Sambil membentak Bwe Hwa maju menyerang, kali ini ia
memperlihatkan gin-kangnya. Sekali ke dua kakinya menjejak
tanah, tubuhnya melayang terbang ke arah Bong Bong Sianjin atau
Bong-goanswe itu, pedangnya diputar-putar di depannya, berubah
menjadi segulung sinar perak, yang diiringi dengan serangan
bentakannya yang nyaring memaki lawannya kalang kabut.
Bong Bong Sianjin maklum akan kelihayan gadis murid mendiang
Swie It Tianglo ini, tentu saja ia tidak takut kepada gadis yang
dianggapnya masih hijau itu, boleh jadi Oey Goan kalah di tangan
gadis liar itu, tetapi sekarang menghadapi Bong Bong Sianjin, Bwe
Hwa seakan-akan bertemu dengan kakek gurunya. Semakin sengit
ia memainkan jurus-jurus Tiang-pek-kiam-sut semakin cepat pula
bayangan-bayangan Bong Bong Sianjin berkelebat menghindarkan serangan pedang.
Seakan-akan pedangnya menghadapi bayangan sendiri, dan
sukar untuk ditembusi. Panas sekali hati gadis itu melihat kelihayan
musuh besarnya itu yang belum membalas menyerang hanya
mengelak saja. Masa ia diganda mengelak oleh Bong Bong Sianjin
keparat! bentak gadis itu dalam hati.
"He he he, nona, kau menyerahlah dan berlutut tujuh kali di depan
kakiku, baru aku memberi ampun kepadamu!" Bong Bong Sianjin
204 mengejek sambil menghindarkan sabetan pedang si gadis, suara
berdesing di dekat telinganya.
"Iblis dedemit, setan! Jenderal keparat, mampuslah kau!" bentak
gadis itu mengirim ilmu pukulan Pek-in-kang di tangan kiri, Bong
Bong Sianjin tertawa mengangkat tangannya menangkis pukulan
tangan kiri lawan. Melihat bahwa orang tua ini menangkis tangan
kirinya segera Bwe Hwa mengerahkan hawa Pek-ie-jiu dan Pek-inkang di tangan kiri itu dan menekan tangan Bong Bong Sianjin
yang menangkis. "Minggatlah kau, jenderal taik!"
"Dess!" Bukan tubuh Bong Bong Sianjin yang terlempar oleh
pukulan dahsyat Bwe Hwa, melainkan dia sendiri yang terlempar
tinggi melayang di udara. Akan tetapi pada saat tubuh itu
melayang-layang, berkelebat sesosok tubuh lain dengan gesitnya
menyambar tubuh Bwe Hwa yang telah pingsan. Terdengar suara
itu memanggil nama si gadis dengan panggilan mesra.
"Bwe Hwa moay-moay......" Amat cepat sekali gerakan orang yang
baru datang itu dan tahu-tahu tubuh Bwe Hwa sudah berada dalam
pelukannya. Ternyata yang menolong Bwe Hwa adalah seorang
pemuda berpakaian putih sederhana berusia sekitar duapuluh
tahun, wajahnya nampak agak pucat, akan tetapi sepasang mata
itu memancarkan cahaya berapi-api penuh kemarahan kepada
Bong Bong Sianjin. "Siapa kau?" Bong Bong Sianjin bertanya sambil menatap tajam ke
arah pemuda berpakaian putih sederhana, yang memandangnya
dengan sepasang mata penuh kemarahan.
205 "Bagus! Dicari ke mana-mana tidak bertemu, kebetulan sekali
Bong Bong Sianjin. Engkaulah yang telah membunuh suhu Swie It
Tianglo di puncak Tiang-pek-san tempo hari?" Pemuda sederhana
itu menghampiri maju dua langkah, sementara Bwe Hwa yang
masih pingsan disenderkannya di batang pohon. Ia tidak kuatir
akan keselamatan gadis itu, karena ia tahu kalau gadis itu hanya
pingsan saja tidak terluka.
"Siapa kau dan apa hubunganmu dengan Swie It Tianglo yang
sudah mampus itu?" "Bong Bong Sianjin, manusia keparat! Buka telingamu lebar-lebar,
dengar! Aku dan gadis tadi adalah murid-murid mendiang suhu
Swie It Tianglo. Atau akan mewakili guruku memberi hukuman
kepadamu, bersiaplah engkau untuk terima binasa!"
<> Pemuda itu bukan lain adalah Liok Kong In, murid pertama dari
Swie It Tianglo yang telah meninggal di tangan Bong Bong Sianjin
itu. Seperti kita ketahui di bagian depan pada jilid pertama cerita
ini, Liok Kong In yang sesungguhnya Bwe Hwa tidak sampai hati
membiarkan gadis itu turun gunung setelah terjadi tragedi di tengah
pematang sawah itu. Maka melihat gadis itu berkelebat pergi, tak lama kemudian Kong
In pun menyusul jejak gadis itu. Namun karena Bwe Hwa berlari
dengan amat cepatnya dan lagi mengambil jalan gunung yang
amat sukar, maka sampai berpekan-pekan, Kong In kehilangan


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jejak Bwe Hwa. Namun ia masih terus membuntuti gadis itu dan
bertanya-tanya kepada penduduk dusun yang kebetulan ditemui.
206 Dalam pertarungannya mengikuti Bwe Hwa itu, dalam hati Kong In
selalu bertanya-tanya dan heran mengapa Bwe Hwa sampai
membuntungi lengan sam-suhengnya yang bernama Sung Tiang
Le. Rasanya tak masuk diakal. Mana mungkin Tiang Le dapat
dikalahkan oleh Bwe Hwa atau apakah Tiang Le sudah menjadi
demikian sinting membiarkan lengannya buntung disambar
pedang Bwe Hwa, atau apakah Tiang Le tidak melawan"
Pusing Kong In memikirkan kejadian ini. Ia tak mengerti apa
gerangan yang telah terjadi antara Bwe Hwa dan Tiang Le, sayang
ia datang terlambat ke tempat itu. Sehingga kejadian itu sudah
lewat terjadi. Dan ia tidak melihat lagi Tiang Le yang sudah buntung lengannya.
Hanya ia merasa yakin bahwa tentu Tiang Le terluka hebat, ia
melihat darah menggenang di air yang membanjir sampai ke
kakinya itu. Akan tetapi Tiang Le tidak kelihatan entah kemana.
Oleh karena itulah sepanjang perjalanannya mengejar Bwe Hwa ia
juga bertanya kalau-kalau ada pemuda yang buntung lengannya.
Namun orang ditanya selalu tidak dapat memberi jawaban yang
memastikan. Pada suatu hari sampailah Kong In di Kota Siauw-ling. Dan
alangkah herannya ia melihat sebuah gedung yang besar di dalam
kota itu sudah habis terbakar. Tadinya ia tidak mengambil perduli
tentang gedung yang terbakar itu, tidak heran memang di musim
kemarau yang panjang ini sering sekali terjadi kebakarankebakaran. Akan tetapi yang menarik hatinya, adalah tentang
pembakaran gedung itu. 207 Ia mendengar orang-orang berbicara bahwa gedung yang megah
milik Nguyen-loya itu habis dibakar oleh dewi Kwan-im yang datang
memberi hukuman kepada Nguyen-loya, semua penghuni gedung
itu didapati telah mati, Nguyen-loya dan Nguyen-kongcu didapati
sudah mati dengan kepala terpisah dari badannya. Semua para
ngo-hauw (tukang pukul) pada terluka hebat dan malah ada yang
mau di tempat itu juga. Seorang setengah tua yang memang dolan sekali bercerita
mengatakan bahwa sang dewi dilihatnya menghilang terbang ke
hutan sebelah selatan kota. Tentu saja Kong In yang tidak percaya
akan berita tentang sang dewi mengejarnya ke dalam hutan yang
dikatakan orang tua itu. Ia memang tidak percaya, masakah Kwan-im Posat demikian
ganas membakar dan membunuh" Setahunya sang Kwan-im itu
adalah seorang dewi welas asih yang pantang berbuat sekejam itu.
Ia tidak percaya. Oleh sebab itulah dia mengejar terus. Dan justru
karena kedatangannya itulah yang menolong Bwe Hwa dari
cengkraman Bong Bong Sianjin.
Ia tak pernah menduga bahwa gadis itu adalah Bwe Hwa yang
selama ini tengah dicari. Dan orang yang berpakaian seperti
jenderal itu, Bong Bong Sianjin! Pembunuh gurunya! Ia harus
membalas kematian suhunya!
Dengan geram ia maju. Sedikitpun ia tidak gentar kepada sang
jenderal ini. Ia percaya akan kepandaiannya!
Sementara itu Bong Bong Sianjin yang tadinya terkejutnya kini
tertawa mengejek, "Bagus! Kalau begitu aku tidak boleh bekerja
208 kepalang tanggung. Membasmi pohon harus keakar-akarnya, ha
ha ha! Eh, orang muda murid Swie It, engkau hendak membalas
kematian gurumu, dengan cara apakah?"
"Dengan cara ini!"
"Singg!" Suara pedang berdesing dicabut Kong In. Pedang itu
melintang di depan dada. "Ho ho ha ha, bocah masih ingusan berani berlaku kurang ajar di
depanku...... he he he. Untuk hukuman ini saja kau harus berlutut
tujuhpuluh tujuh kali tujuh di depanku, baru aku mau ampunkan
engkau! Masih muda tak baik kalau dilenyapkan..... kalau kau mau
berlutut, aku akan mengampunimu dan gadis sumoaymu itu
serahkan kepadaku untuk menjadi..... isteriku, ha ha ha!"
"Keparat bermulut cabul, mampuslah kau!" sambil berseru keras
Liok Kong In sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan
sinar perak pedang berkelebat menyambar leher Bong Bong
Sianjin dan tangan kirinya bergerak berbareng dengan
mengerahkan Pek-lek-jiu yang mengeluarkan uap putih itu
bergulung menyambar dada lawan di depannya.
Bong Bong Sianjin mendengus mengejek melihat serangan
pedang dan pukulan orang muda ini. Pukulan ini pernah ia rasai
kelihayannya waktu ia menanding mendiang Swie It Tianglo
setahun yang lalu, dan pedang itu berkelebat melingkar adalah
jurus-jurus dari Tiang-pek-kiam-sut.
Ia kenal sekali kelihayan pedang ini. Akan tetapi menghadapi
pedang di tangan pemuda ini, mana ia memandang sebelah mata"
209 Jangankan orang muda ini biarpun Swie It Tianglo yang menerjang
maju, ia masih ganda tertawa!
Kong In terkejut dan girang melihat lawannya tidak menangkis
tangan kirinya. Dengan mengerahkan hawa Pek-in-kang, ia
menekan dan mendorong dada musuhnya dengan sekuat hawa
saktinya, sedangkan pedangnya menusuk yang pertama itu
merupakan pancingan dan telah ditarik kembali. Seluruh
perhatiannya dicurahkan ke arah tangan kiri yang mendorong.
"Ha ha ha, orang muda. Kalau sekarang gurumu masih hidup, ingin
aku mencobanya dengan ilmuku yang baru! Akan tetapi sayang
sekali dia sekali injak sudah mampus dan belum sempat
kukeluarkan jurusku ini. Dan sekarang kaulah gantinya. Ha ha ha,
ingin sekali kulihat hasiInya. Kau terimalah!"
Tubuh yang miring itu, tiba-tiba bergerak dan tangannya yang
panjang mengirimkan pukulan berputar dan akhirnya bertemu
dengan telapak tangan kiri Kong In yang menyerang dengan jari
terbuka pula. Hebat bukan main pukulan ini. Angin pukulan
berdesir menimbulkan suara berciutan. Memang kali ini Bong Bong
Sianjin mengerahkan tenaganya untuk pameran saja, juga dalam
kegemasannya untuk melemparkan bocah murid Swie It Tianglo.
Melihat betapa hebatnya sambaran pukulan dengan tubuh
setengah miring ini, Kong In tidak berani memandang ringan. Ia
maklum betapa pukulan lawannya ini amat dahsyat sekali dan
terasa hawa panas menyambar dengan amat kuatnya.
Akan tetapi tanpa menahan pukulan dengan tangkisan, ia juga
tidak akan dapat mengukur sampai dimana kehebatan tenaga
210 lawan. Dan lagi memang ia sudah bersiap menyerang dengan
pukulan Pek-lek-jiu di tangan kiri dan membarengi dengan sabetan
pedang menyambar pukulan tangan lawan yang berhawa panas
itu. "Desss, krakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan tahu-tahu,
seperti Bwe Hwa tadi tubuh Kong In terlempar keras membentur
batu tangga mengeluarkan suara keras berdebuk.
Kong In kaget setengah mati. Pukulan apa ini" Tiba-tiba
dirasakannya kepala pening berdenyut-denyut dan tulang
belakangnya sakit dan nyeri. Tahulah ia bahwa tulang belakangnya
patah terhantam batu yang selagi ia terlempar tadi.
Untung saja tadi ia mengerahkan sin-kang di dada waktu dirasakan
segumpal hawa panas menyerang dadanya. Kalau tidak cepatcepat ia mengerahkan hawa di perut dan terus disalurkan ke
bagian dadanya, celaka, tentu dadanya sudah remuk-remuk
terhantam pukulan dari Bong Bong Sianjin.
Kong In menahan rasa nyeri di tulang belakang. Wajahnya pucat
seperti kertas. Ia memandang terbelalak kepada Bong Bong
Sianjin yang tertawa mengejek. Begitu melirik, ternyata
pedangnyapun telah patah menjadi tiga potong dan masih
terpegang olehnya tinggal gagangnya saja.
"He he he, mana kau mampu menahan pukulanku, bocah" Itu baru
sepersepuluh bagian saja........ ha ha ha!" Bong Bong Sianjin
mengejek. Selangkah ia maju manghampiri Kong In yang masih
menggeletak bergerak hendak bangun.
211 Pada saat itu terdengar suara nyaring: "It-suheng, bagus kau
sudah datang, hayo kita mampusin jenderal keparat yang telah
membunuh suhu!" Serangkum hawa dingin menyambar belakang Bong Bong Sianjin.
Orang tua berpakaian jenderal itu mengebutkan jubahnya sambil
membentak, "Gadis binal tak tahu diri, minggat!"
Dan tahu-tahu bagaikan diangkat oleh tenaga yang amat luar
biasa, tubuh Bwe Hwa terlempar ke samping dan jatuh di dekat
Kong In. Ternyata tadi Bwe Hwa yang sudah siuman, melancarkan
pukulan Pek-lek-jiu kepada musuhnya yang tengah membelakanginya ini, akan tetapi siapa sangka Bong Bong Sianjin
dengan sekali mengebutkan ujung jubahnya tahu-tahu tubuhnya
telah terlempar ke samping.
Kong In maklum bahwa musuh besar suhunya ini demikian lihay
dan pantas saja suhunya tidak dapat menandinginya. Tidak
tahunya, lawannya ini demikian sakti. Akan tetapi ia sudah
bertekad akan menempur musuh suhunya sampai titik darah yang
terakhir, mati pun tidak mengapa.
Kong In dengan susah payah merangkak bangun, terhuyunghuyung ia berdiri. Bwe Hwa juga berdiri di samping suhengnya dan
mengepalkan ke dua tinjunya. Selangkah Kong In maju, gemetar
kakinya karena menahan rasa sakitnya yang hebat di punggung.
"Bong Bong Sianjin, demi arwah suhu Swie It Tianglo, aku
mengadu jiwa denganmu!"
212 "Benar suheng, akupun mempertaruhkan nyawaku untuk
membalas rasa penasaran suhu. Demi langit dan bumi kita
ganyang si tua jenderal keparat itu!"
"Bocah sombong! melawan cacing seperti engkau apa susahnya,
akan tetapi..... he he he, yang betina ini cantik dan menarik, sayang
untuk dibunuh! Biar yang jantan saja mampus!"
Sepasang lengan jenderal Bong Bong Siangjin itu bergerak dan
dari kanan kiri menyambar angin pukulan dahsyat dari dua jurusan.
Kong In yang sudah marah menerjang maju. Dua telapak tangan
terbuka mencengkeram Bong Bong Siangjin bersamaan dengan
berkelebatnya pula tubuh Bwe Hwa mengirim pukulan-pukulan
Pek-in-kang ke arah lawannya yang berputar-putar itu.
Kong In terkejut sekali ketika tiba-tiba diserang oleh angin pukulan
dari dua jurusan, akan tetapi melihat betapa ke dua lengan Bong
Bong Sianjin bergerak begitu lambat dan memberi kesempatan
pukulannya bersarang di dada, dengan gemas ia mengerahkan
lwekang sepenuhnya di ke dua jari tangannya dan bergerak
mencengkeram. Tentu saja perbuatan ini diikuti olen Bwe Hwa yang juga dapat
melihat lowongan yang terbuka di bawah ketiak lawannya yang
terangkat itu. Dengan bernapsu Bwe Hwa menerjang dengan
kedua tangan memukul ketiak dan kedua kakinya mengirim
tendangan beruntun. Hebat sekali serangan-serangan dari dua orang muda ini. Pakaian
kebesaran Bong Bong Sianjin nampak berkibar-kibar ketika dia
213 mencelat menghindarkan tendangan Bwe Hwa, akan tetapi ujung
jubahnya memapaki pukulan-pukulan ke dua orang muda itu.
"Bong-sicu tahan?"!" seruan itu keluar dari mulut Hok Losu yang
terkejut melihat pukulan kedua orang muda itu tertangkap oleh
ujung jubah Bong Bong Sianjin dan sekali tangan itu bergerak
melempar, bagaikan dua helai daun yang tertiup angin terbang
dengan amat cepatnya. Tak dapat dielakkan lagi, sebuah jurang yang menganga
disampingnya menerima tubuh ke dua orang muda yang seketika
itu pula sudah tidak sadarkan diri. Terkesiap hwesio tua dari Siauwlim ini, tadinya ia hendak bergerak menolong tubuh yang meluncur
musuk ke dalam jurang yang amat dalam itu, namun terlambat,
kedua tubuh itu sudah terlempar dengan cepatnya.
"Mereka mencari penyakit sendiri!" gerutu Bong Bong Sianjin
sambil mengebas-ngebaskan jubahnya. Sebetulnya tidak enak ia
berbuat demikian, tidak disangkanya apabila pukulannya yang
bernama Hui-thian-jip-te (melempar ke langit masuk kebumi) itu
demikian dahsyat. Ia tidak menduganya!!
"Hebat pukulan apa itu Bong-sicu?" Leng Ek Cu tokoh Kong-thongpay bertanya.
Bong Bong Sianjin tersenyum pahit. Meloncat ke atas kudanya dan
berkatalah ia kepada Oey Goan yang sejak tadi menonton saja:
"Sudah beres, tunggu apa lagi! Dua orang muda itu sudah mampus
di tanganku. Katakan saja sama Gubernur Ih Yen, Bong-goanswe
sudah memberi hukuman!"
214 "Baik Goan-swe!" Oey Goan menggeprakan kudanya dan diikuti
oleh anak buahnya. Di hutan itu tinggal Bong Bong Sianjin dan Hok
Losu dan Leng Ek Cu yang masih berjalan perlahan-lahan.
Pada saat itu berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan
Bong Bong Sianjin mencelat ke samping sambil mengibaskan
jubahnya: "Bret!" putuslah jubah itu terhantam sabetan pedang
yang ampuh dan tajam di tangan seorang gadis berpakaian serba
merah dan mukanya tertutup kerudung sampai dibatas hidung.
Kerudung sutera yang menutupi muka itu berwarna hitam dan
sepasang mata gadis dari balik kerudung itu menatapnya dengan
sinar mata mengancam. "Bong Bong Sianjin, bagus kiranya kau berada di sini dan berlaku
keji terhadap dua orang muda tadi. Cobalah pedangku!" Gadis baju
merah berkerudung sutera itu menerjang lagi, lebih ganas dan
lebih kuat dari serangan barusan.
Kembali Bong Bong Sianjin yang masih terheran-heran akan
kedatangan gadis kerudung hitam ini menangkisnya dari samping.
Ia yang telah dibikin marah oleh serangan gadis tadi yang telah
merobek jubahnya kini dengan gerakan amat cepat telah menarik
pedangnya dan menangkis serangan pedang gadis kerudung
hitam sambil menggerakkan tenaga.
"Tranggg!" bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi
cuaca yang sudah remang terang itu. Gadis kerudung hitam itu
terkejut sekali melihat kehebatan tenaga lawan. Ia mundur
setindak ke belakang, membetulkan letak kuda-kudanya yang tadi
tergempur oleh tangkisan pedang lawan dan terasa nyeri nyelekit
215 di telapak tangan kanannya yang memegang pedang. Tahulah ia
bahwa lawannya ini tidak boleh dibuat main-main.
"Bagus! Terimalah ini!" Gadis itu membentak dan mengirim
serangan lagi dengan gesit. Ujung pedangnya bergetar-getar
saking kuatnya lwekang yang disalurkan ke arah lengannya yang
memegang pedang itu. Ingin ia tahu apakah lawannya ini mau
menangkis pedangnya seperti tadi. Akan tetapi, betapa tak akan
terkejutnya ia melihat betul-betul Bong Bong Sianjin mengelak
sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan
Sedangkan tangan kirinya bergerak cepat mendorong ke depan.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tranggg, bukkk!" pedang di tangan si gadis muka kerudung patah
menjadi tiga potong dan ia sendiri terlempar jauh.
Bong Bong Sianjin tertawa lebar.
"Nona, bukankah kau ini dari Sian-li-pay, mengapa datang-datang
menyerangku. Hemm, seingatku"... Bu-tek Sianli denganku tidak
ada permusuhan apa-apa. Malah aku kenal baik dengan Pay-cu
Sian-li-pay, mengapa kau memusuhiku nona?" bertanya Bong
Bong Sianjin menatap tajam ke arah gadis muka kerudung ini.
Tentu saja sebagai tokoh persilatan tingkat tinggi ia sudah
mendengar akan berdirinya partai Sian-li-pay yang dipimpin oleh
Bu-tek Sianli yang lihay. Malah lima tahun yang lalu pada
peresmian berdirinya partai itu, ia turut hadir di pulau Bidadari dan
dapat melihat gadis-gadis cantik anak buah Sian-li-pay yang
tertutup mukanya dengan kerudung hitam. Entah apakah gadis
yang datang-datang menyerangnya inipun adalah anak buah Bu216
tek Sianli, si nenek sakti yang terkenal dengan Kepalan Tanpa
Tandingan" Akan tetapi gadis yang berkerudung hitam itu rupanya sudah
panas hatinya, tak dapat dibuat sabar. Dengan suara lantang
penuh kemarahan ia berkata,
"Bong Bong Sianjin, Sayang sekali, meskipun kau berkepandaian
tinggi, namun kau buta tuli tidak dapat melihat dan mendengar.
Mau tahu siapa aku" Aku adalah murid kelima dari suhu Swie It
Tianglo yang telah binasa di tanganmu.
"Hari ini aku Lim Sian Hwa akan menuntut balas dan mencabut
nyawamu Bong Bong Sianjin! Hari ini kalau bukan kau yang
mampus di ujung pedangku tentu akulah yang menjadi mayat.
Hayo majulah! Ini murid kelima mendiang Swie It Tianglo!"
Sian Hwa yang tak tahan mengendalikan hawa marahnya, ia
menerjang maju dengan pedang pendek yang tadi terpotong
menjadi tiga bagian. Ia nekad menyerang dengan potongan
pedang yang tersisa beberapa senti dari gagangnya.
Adapun Bong Bong Sianjin menjadi marah sekali. Kalau tadi ia
masih berlaku segan kepada gadis muka kerudung ini, yang
disangkanya murid dari Sian-li-pay yang terkenal itu. Tetapi
sekarang setelah mendengar bahwa gadis berkerudung hitam ini
bukan anggota Sian-li-pay, malahan dia salah seorang murid dari
mendiang Swie It Tianglo.
Setelah mengetahui hal ini hatinya menjadi marah. Ia sudah dibuat
mengkal akan kemunculan dua orang muda tadi yang juga
217 merupakan murid dari Swie It Tianglo, sekarang datang lagi setan
betina, betul-betul sialan hari ini harus melayani bocah-bocah dari
Tiang-pek-san. Ia mendengus dan menangkis pedangnya gadis berkerudung
hitam itu, ingin sekali ia melemparkan gadis ini seperti dua orang
muda tadi ke jurang yang menganga disampingnya, akan tetapi
terdengar Hok Losu memperingatinya,
"Bong-sicu, jangan kau binasakan gadis itu, tawan dan kita
serahkan ke Sian-li-pay. Inilah suatu kesempatan untuk kita
bersekutu dengan Bu-tek Sianli!!"
Mendengar peringatan ini, tak jadi Bong Bong Sianjin
mempengunakan ilmu pukulan Hui-thian-jip-te yang telah
disaksikan tadi kehebatannya, oleh sebab itu ia merubah
gerakannya dan menyimpan pedangnya, kemudian bergerak
mengelak dari tusukan pedang pendek yang dilancarkan oleh
gadis berkerudung hitam, kemudian dengan gerakan yang aneh
dia menggerak-gerakkan tangan kanannya seperti orang menulis.
Tahu-tahu terdengar suara jeritan tertahan dari Sian Hwa ketika
tanpa dapat dicegah lagi kedua buah kakinya menjadi lumpuh dan
semangatnya hilang. Tadi ia seakan-akan melihat Bong Bong Sianjin ini menjadi tiga
bayangan yang menakutkan. Satu bayangan aslinya, dan satu lagi
bayangan seorang makhluk yang menyeramkan berkepala tiga
bertangan enam dengan rambut panjang terurai dan muka seperti
manusia tengkorak hidup. Makhluk inilah yang melumpuhkan
semangatnya tanpa terasa pedang pendeknya, terlepas pada saat
218 itulah totokan lawannya terasa mengetuk pundaknya sehingga ia
tak berdaya lagi. Terasa bergidik seluruh bulu roma Sian Hwa. Ilmu sihir apakah itu"
Selama ini baru kali ini ia melihat pemandangan yang menakutkan
hatinya. Itulah sebenarnya ilmu Hek-in-hoat-sut dari Bong Bong
Sianjin yang pernah diterimanya dari seorang sakti dari India.
Sebuah ilmu perampas semangat yang dikerahkan dengan ilmu
tenaga batin yang tinggi.
Melihat gadis itu menggeletak jatuh, cepat tokoh dari Kong-thongpay mencelat ke dekat si gadis dan mengikatnya ke dua tangan
dan kaki dan ditaruhnya di punggung kuda.
Ia tersenyum kepada Bong Bong Sianjin, katanya: "Kesempatan
baik untuk kita bertemu dengan Bu-tek Sianli, Bong sicu, kita
antarkan sekarang juga gadis kerudung hitam ini ke Sian-li-pay,
okey?" Bong Bong Sianjin tertawa lebar.
"Bagus, bagus sekali, bukankah dengan cara ini kita bisa
berhubungan dengan si Nenek Kepalan Sakti Tanpa Tandingan!
Eeemm, akan tetapi aku harus menyelidiki dulu bagaimana
tampangnya murid Swie It Tianglo yang tersembunyi dibalik sutera
hitam itu," sambil berkata demikian Bong Bong Sianjin bergerak
membuka selubung sutera hitam itu yang menutupi muka Sian
Hwa. Terdengar jeritan tertahan Bong Bong Sianjin mencelat ke
belakang. Hok Losu dan Leng Ek Cu juga memandang kaget ke
219 arah muka gadis itu. Muka yang tadinya disangka berkulit halus
dan cantik, kiranya bukan demikian adanya, yang dilihatnya
barusan adalah muka hitam berkisut-kisut seperti muka neneknenek yang sudah berusia delapanpuluh tahun, bagian-bagian pipi
dan hidung demikian rusak penuh dengan totol-totol hitam dan
berkerisut-kerisut. Hanya sepasang mata itu yang demikian indah
memandang ke tiganya dengan tatapan berapi-api!
Kalau gadis itu dapat membuka suara dan tidak tertotok seperti itu,
tentu ia akan memaki mengeluarkan sumpah yang bergetar-getar
penuh kemarahan dahsyat laksana kawah gunung berapi yang
hendak meletus. "Bong Bong, Sianjin dan kalian bertiga! Awaslah
suatu ketika kelak matamu yang kurang ajar menatap wajahku dan
yang telah berlancang membuka kerudung hitam ini, matamu itu
ke dua-duanya akan kukorek, kukeluarkan dan hatimu dan
jantungmu akan kucabut!"
"Awas kau, Bong Bong Sianjin!"
"Y" 7 Apa yang dikuatirkan oleh Kwa-sinshe (ahli pengobatan she Kwa)
terbukti bahwa seluruh muka gadis yang bernama Sian Hwa ini
tidak dapat kembali seperti asal semula. Racun hijau yang menjalar
di wajahnya itu tidak dapat ditolak oleh obat-obatan biasa saja.
Dan lagi karena racun-racun itu sudah semalam menjalar ke
wajahnya, sulit bagi Kwa-sinshe untuk melenyapkan bekas-bekas
hitam dan totol-totol pada wajah itu. Hanya ia dapat memberikan
220 pencegahan agar racun hijau yang ganas itu tidak menjalar ke
leher saja. Kalau kiranya racun hijau itu sampai menjalar ke leher
dan ke urat besar, berbahaya keselamatan gadis ini!
Betapa sedih Sian Hwa mendengar bahwa lukanya tak dapat
disembuhkan seperti sediakala. Ia menjerit kaget waktu bercermin
sungai yang jernih airnya! Hampir ia tak mengenal akan wajahnya
sendiri, wajah yang kelihatan dalam bayang-bayang air itu nampak
hitam dan berkerisut-kerisut seperti pantat kuali, lagi pula terdapat
totol-totol putih dan hitam pada ke dua pipi dan hidungnya.
Habislah apa yang dibanggakan bagi seorang wanita cantik.
Kecantikannya yang sangat dibanggakan itu sekarang telah lenyap
dirusak oleh racun hijau akibat pukulan si kakek gila yang
menggunakan pukulan Jin-tok-ciang! Awaslah kakek dan nenek
gila, awaslah kau Jin-tok-siang-moli, suatu ketika hendak kubalas
sakit hatiku pikirnya sambil menangis di tepi sungai yang airnya
jernih itu. Ia melirik ke arah lengan kanannya, sama seperti mukanya lengan
itu juga kehitaman penuh bintik-bintik putih. Tadinya memang
dirasakan amat gatal sekali, akan tetapi setelah Kwa-sinshe
memberikan pengobatan luka yang mengandung hawa racun hijau
itu sembuh kembali, meskipun wajahnya tak dapat disembuhkan
karena hangus dan gosong!
Sin Thong yang selama ini menemani Sian Hwa dan menjadi
kawan baiknya, merasa terharu sekali melihat kejadian ini. Namun
laki-laki cebol ini selalu menghibur Sian Hwa. Kalau tidak ada Sin
Thong yang banyak memberikan nasehat tentu sejak kemarin221
kemarin ini ia sudah kembali ke dalam hutan untuk menerjang Iblis
gila yang telah membuat cacad wajahnya!
"Sian Hwa mengapa kau berbuat bodoh. Kau tahu kan"
Kepandaian iblis Jin-tok-siang-lomo itu demikian hebat dan luar
biasa. Mereka bukan tandingan kita. Kalau kau nekad menerjang
dan membalas sakit hati ini, bodoh betul kau hendak
mengantarkan nyawa saja. Suhu bilang kau bersabarlah, bukan
lukamu itu tidak dapat disembuhkan, hanya saja obat yang mujarab
itu tidak ada di daratan Tiongkok ini. Pernah suhu katakan hanya
ada semacam jin-som yang bernama Pek-in-jin-som (akar obat
awan putih), akan tetapi hanya tumbuh lima tahun sekali di puncak
Anapura, pada pegunungan Himalaya. Kau sabarlah Sian Hwa,
siapa tahu?"" Dengan pandangan mata basah Sian Hwa memandang lelaki
cebol di depannya. "Sin Thong, itu hanya sebuah khayalan saja
bukan" Mana bisa aku mencari buah Pek-in-jin-som sampai di
puncak Anapura, apalagi pegunungan Himalaya....... ah, tidak
gampang untuk ke sana"... Sin Thong, setelah wajahku
begini?". aku malu sekali bertemu dengan orang?""
Go Sin Thong, biarpun nampaknya masih kanak-anak karena
tubuhnya yang kecil dan pendek, namun ia adalah seorang
pemuda dewasa. Dewasa dalam berpikir dan berperasaan. Ia
dapat memaklumi perasaan teman gadisnya ini.
Tentu saja, gadis manakah yang tiada merasa rendah diri setelah
tahu wajahnya ini tak sedap dipandang, begitu buruk dan
222 menjijikan seperti wajah nenek! Kasihan sekali kau Sian Hwa,
pikirnya. Akan tetapi mulutnya berkata menghibur,
"Sian Hwa, orang yang budiman dan yang mempunyai pribadi
tinggi, tidak melihat dan menilai orang dengan kecantikan wajah
dan pakaian. Cantik itu hanya bersifat sementara saja, sementara
ia masih mengeluarkan kembang yang harum dan segar. Kelak
jikalau ia sudah rontok dan layu, apakah ia dapat dikatakan cantik"
"Setelah wajahmu rusak oleh racun hijau mengapa kau merasa
rendah diri dan malu bertemu dengan manusia" Terimalah
keadaan itu sebagaimana adanya. Hilangkan rasa sifat rendah diri
dan pertebal akan kepercayaan terhadap dirimu sendiri. Karena
dengan jalan itu merupakan senjata ampuh untuk maju.
"Bukankah kau katakan masih banyak tugas-tugasmu dalam dunia
ini" Membalas kematian gurumu, mencari saudara-saudaramu
yang tak tahu kemana perginya. Jangan patah semangat Sian
Hwa!" "Memang banyak sekali tugasku. Kalau tidak".. hemm, sejak dari
kemaren itupun aku sudah mengadu nyawa dengan Jin-tok-sianglomo, si nenek dan si kakek gila itu. Akan tetapi Sin Thong, dengan
wajahku seperti ini, ah...... akan menjadi bahan perhatian orang
saja." Sian Hwa menarik napas panjang. Tak berani lagi ia bercermin di
tepi sungai itu. Teriris-iris rasa hatinya melihat bayangan sebuah
wajah yang muncul di air jernih itu!
223 Mata hari sore dan angin dari seberang sungai mengusap-usap
badannya yang sedang duduk di atas sebuah batu menghadap ke
depan sungai. Sin Thong berdiri didekatnya dengan kaki terangkat
ke atas batu, sambil matanya memandang air sungai yang meriak
mengalir tenang jernih. Sunyi sekali suasana di tepi sungai itu.
Matahari senja bersinar lemah di punggung bukit.
"Sian Hwa"..."
Sian Hwa menoleh memandang lelaki pendek di sampingnya. Ia
tadi tengah termenung. Sehingga teguran Sin Thong barusan
sangat mengejutkan hatinya. Ia melihat lelaki cebol temannya ini
memandang jauh ke seberang sungai dengan pandangan sayu.
"Kau hendak mengatakan apa Sin Thong?"
"Sian Hwa, besok aku pagi-pagi hendak mengunjungi kota Wie An.
Suhu menyuruhku pergi ke sana mengunjungi kawan baiknya yang
akan berulang tahun. Apakah kau hendak turut denganku?"
"Ah, mengunjungi orang berulang tahun saja pakai aku turut-turut
segala. Ngak mau ah, kamu saja kan bisa Sin Thong. Kalau
denganku! Merepotkanmu saja........" Di mulut Sian Hwa berkata
demikian akan tetapi hatinya berkata. "Ah, betapa malunya aku.....
dengan mukaku seperti setan ini, siapakah yang mau menerima
kedatanganku, akan memalukan saja!"
Sin Thong memandang tajam. Kakinya yang terangkat naik di atas
batu diturunkan. Ia menghampir Sian Hwa sambil berkata: "Kenapa
merepotkanmu" Tidak Sian Hwa dengan kehadiranmu bersamasama denganku justru itu yang menggirangkan hatiku. Kau tahu,
224 teman suhu bukan saja hendak merayakan ulang tahun, kabarnya
puterinya yang cantik jelita hendak memilih jodoh dan akan
diadakan sayembara panggung terbuka bagi ahli-ahli silat untuk
mencoba-coba kepandaian puteri Yok-ong Lo Ban Theng. Siapa
tahu......." "Berjodoh dengan puterinya?"?" Sian Hwa menyambung.
Sin Thong tertawa lebar, akan tetapi cuma sebentar kemudian
wajahnya muram, tak tahu Sian Hwa hati tengah teriris-iris waktu
berkata: "Sian Hwa, gadis manakah yang suka denganku dalam
keadaan seperti ini, tubuhku pendek kecil, seperti......."
"Sin Thong, tadi kau yang bilang. Orang yang berbudi tidak melihat
dan menilai akan rupa dan wajah, akan tetapi kenapa sekarang kau
begitu pesimis" Kau bilang padaku jangan rendah diri, malah
pertebal kepercayaan pada diri sendiri, karena dengan jalan itu
merupakan senjata ampuh untuk mencapai cita-cita! Kau ini
bagaimana sih, pintar ngajarin orang, akan tetapi kau tidak dapat
mengamalkan perkataanmu itu!"
Sian Hwa menyindir dan berkata sambil mengulangi kata-kata
yang barusan pernah dikatakan oleh laki-laki cebol ini. Sengaja ia
merubah sebagian perkataan Sin Thong untuk menyerangnya, ia
tahu dan menyadari karena tubuhnya yang pendek dan kecil sudah
pasti teman laki-lakinya ini merasa rendah diri.
Mendengar perkataan Sian Hwa, pemuda cebol yang bernama Go
Sin Thong itu merasa terpukul juga oleh kata-kata yang pernah dia
keluarkan untuk menasehati gadis kawannya tadi. Kini kata-kata
itu dipakai untuk menyerang dirinya!!
225 Sambil tersenyum pahit dia berkata: "Rendah diri memang tidak
boleh Sian Hwa, akan tetapi dalam mengambil tindakan kita harus
berlaku hati-hati dan tidak semberono, sebaiknya menyelidiki
dahulu keadaannya.

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menyelidiki apanya?" Kalau kau menang dalam sayembara itu,
bukankah kau mendapat hadiah dan memboyong puterinya Lo Ban
Theng" Eh!! kalau berhasil jangan lupa kartu merahnya lhoo......."
"Aii, kau sudah ngaco sampai ke situ. Kartu merah sih gampang,
bagaimana kalau puterinya Yok-ong tidak demen padaku, kan
berabe!" "Pasti demen deh, pasti cinta!!"
"Ngomong sih gampang, sudahlah Sian Hwa, lihat matahari sudah
tenggelam, sebentar lagi akan gelap, hayo kita pulang
kembali"...!!" "Sin Thong, apakah kau pernah melihat puterinya Yok-ong itu?""
tanya Sian Hwa sambil melompat turun, kemudian berjalan
mengikuti Sin Thong berlari-lari di sepanjang sungai itu.
"Tentu aku kenal Sian Hwa, kalau tidak masakan aku mau
mengikuti sayembara itu...... Aku sering disuruh suhu ke sana
untuk mengambil akar obat-obatan. Tentu saja, sebagai seorang
ahli pengobatan seperti suhu, ia kenal baik dengan Yok-ong Lo
Ban Theng, malah sering pula aku bertemu dengan puterinya yang
bernama Lo Siauw Yang. Kepandaian silatnya hebat, mungkin aku
sendiri tidak dapat menandinginya!!"
226 "Tentunya cantik jelita, Lo Siauw Yang bukan?""
"Cantik atau tidak itu nomor dua bagiku Sian Hwa, yang terpenting,
disamping kecantikan itu apakah ada rasa kasih sayangnya
terhadapku. Itu nomor satu. Cinta, tanpa cinta aku tak dapat
memilikinya!" Mendengar itu Sian Hwa termenung, terkenang pula dia akan
Tiang Le, mereka saling menyinta. Akan tetapi kenapa dia tidak
dapat memiliki Tiang Le yang sangat dia cintai itu?" Malahan
bagaimana keadaannya Tiang Le tak tahu dia.
Ingin sekali dia bertemu dengan pemuda itu, sudah lama ia
merindukannya, biar buntung ia masih mencintainya. Tapi apakah
Tiang Le masih hidup, Sian Hwa menjadi kuatir, jangan-jangan
Tiang Le sudah diseret air sungai dan tenggelam, mati?" Ahh,
kalau bagitu mana dapat lagi ia bertemu dengannya!! Tidak,
seandainya Tiang Le masih hidup dan melihat wajahnya seperti ini,
apakah dia masih mencintainya"
"Aku harus tahu diri," demikianlah Sian Hwa berpikir. Ia tidak
banyak berbicara lagi, dia hanya berlari" Di sebelahnya Sin Thong!
Pikirannya menerawang jauh, dan tenggelam dalam lamunannya
mengenang Tiang Le! Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Thong
dan Sian Hwa meninggalkan dusun. Kwa-sinshe memberi sebuah
hadiah yang dititipkan pada muridnya untuk ulang tahun
sahabatnya yang bernama Yok-ong Lo Ban Theng. Ia sendiri tidak
dapat pergi karena ia harus memeriksa seorang pasien yang
katanya kecelakaan di sungai.
227 Oleh sebab itu karena iapun sangat repot sekali, maka muridnyalah
yang diutusnya untuk menghadiri perayaan ulang tahun
sahabatnya di kota Wei An, seratus lie kira-kira jauhnya dari dusun
Sian-lian-bun ini. Ia cuma memesan kepada muridnya:
"Sin Thong, wakililah gurumu ke sana memberi selamat kepada
Yok-ong locianpwe yang dikenal itu dan sekedar hadiah dariku, kau
berikanlah ini. Ingat, muridku! Kau harus menjaga nama baik
gurumu di sana. Jangan berlaku semberono dan kabarnya
disamping perayaan se-jid (ulang tahun) itu kabarnya Yok-ong
akan mengadakan sayembara permainan silat untuk memilih jodoh
puterinya. Kalau memang tidak perlu, tak usah kau mengikuti
sayembara itu! Mengerti kau muridku?"
"Teecu (murid) akan melaksanakan pesan suhu. Akan tetapi
sebetulnya teecu tertarik akan sayembara permainan silat itu.
Apakah suhu mengijinkan untuk teecu turut serta?"
Kwa-sinshe menarik napas panjang. Ia menatap tajam ke arah
muridnya ini. Mata yang tua itu sebentar saja sudah dapat
menangkap apa yang terkandung di hati muridnya. Ia mengerti
keadaan muridnya. Biarpun tak pernah muridnya mengutarakan isi
hati kepadanya, namun orang tua yang berpengalaman ini sudah
dapat menerka isi hati si murid.
Sejak dulupun ia sudah tahu bahwa muridnya ini tertarik dengan
puteri sahabatnya. Beberapa kali apabila Sin Thong disuruhnya ke
Wei An selalu ia bercerita tentang puteri itu.
Sekarang, puteri itu hendak dicarikan jodoh dengan seorang
pemuda yang dapat menandingi ilmu silat keturunan Lo Ban
228 Theng. "Gila, benar!" pikir Kwa-sinshe, "masa memilih jodoh saja
harus melalui sayembara pertandingan ilmu silat. Keterlaluan!"
Akan tetapi ia mengutus juga Sin Thong!
Ada setengah hari mereka berkuda melakukan perjalanan dengan
amat cepatnya, pada siang hari itu sampailah mereka di kota Wei
An, sebuah kota kecil di sebelah timur Cin-an, di lembah sungai
Huang-ho. Tidak berapa jauh, kira-kira duaratus lie di sebelah utara
terdapat sebuah kota yang menjadi pusat wilayah pemerintahan
yang bernama Kotaraja, menjurus ke sebelah timur terdapat lautan
Po-hay. Tidak jauh pula dari tempat ini di sebelah selatan terdapat kota
dagang An Hui. Oleh karena kota Wei An ini begitu strategis
letaknya maka tidak heran kalau kota ini ramai sekali. Karena
tempat ini merupakan pelabuhan bagi perahu-perahu yang
mengangkat barang hasil bumi yang hendak dilayarkan ke laut
timur. Sin Thong dan Sian Hwa memasuki kota Wei An. Hari telah siang
ketika mereka memasuki kota itu.
Sin Thong yang pendek kecil berpakaian keren sekali. Pedang
pemberian suhunya diselipkan dibalik jubahnya yang lebar. Ia
berpakaian seperti seorang siucay (pelajar), meskipun pemuda ini
pendek dan kecil akan tetapi mempunyai wajah yang cukup
tampan. Alisnya tebal berbentuk golok, wajahnya putih halus.
Dan disebelahnya berjalan Sian Hwa menuntun kuda putih,
mukanya tertutup kerudung sutera hitam, sehingga tidak
229 menampakkan wajahnya yang buruk menakutkan itu. Untuk
selamanya, ia selalu memakai kerudung hitam ini. Dengan
demikian orang tak tahu akan cacad wajahnya! Nampak cantik
sekali gadis remaja langsing itu dengan pedang terhias di
punggung. Pakaiannya ketat mencetak tubuh yang langsing.
Sin Thong yang sering kali mengunjungi kota ini tak begitu sukar
mencari rumah Yok-ong Lo Ban Theng. Rumah besar yang kini
sudah terhias dengan hiasan-hiasan kertas dan lampu-lampu yang
mentereng dan indah sekali.
Begitu mereka sampai di depan gedung Yok-ong, banyak sekali
tamu-tamu yang berdatangan. Suara musik terdengar sampai ke
luar sini. Di depan gedung itu terdapat sebuah panggung lui-tay
(panggung khusus untuk bermain silat), akan tetapi masih sepi di
bagian sana. Tanpa sungkan lagi Sin Thong mengajak Sian Hwa memasuki
halaman rumah keluarga Lo yang sudah terhias indah itu. Nampak
seorang tinggi besar yang berpakaian seperti seorang pembesar
berdiri menyambut tamu-tamunya. Pada saat Sin Thong
berhadapan dengannya, dia menjura memberi hormat dan berkata:
"Lo Yok-ong, siauwte Go Sin Thong menghaturkan hormat dan
selamat ulang tahun kepada Lo Yok-ong, semoga diberkahi umur
panjang dan hidup sejahtera!!"
"Haa....... haa, Sin Thong, kenapa datang sendiri" Mana Kwa Sicu
gurumu?" orang tua itu tertawa senang melihat kedatangan anak
muda yang dikenalnya ini.
230 "Maaf Lo Yok-ong, suhu berhalangan datang dan mengirim salam
selamat untuk Lo Yok-ong," kata Sin Thong sambil memberikan
hadiah dari gurunya kepada sang raja pengobatan ini.
"Haayaaa pakai antar-antaran segala!! Terima kasih....... terima
kasih, sampaikan salam hormatku untuk gurumu Sin Thong. Eeh,
siapa nona ini?""
"Dia kawan siauwte!" sahut Sin Thong.
"Kawanmu, silahkan duduk....... silahkan duduk siocia!" Lalu
seorang penyambut tamu mengantarkan Sian Hwa ke ruangan
tamu yang disediakan khusus untuk tamu-tamu wanita.
Sedangkan Sin Thong duduk di dekatnya Yok-ong Lo Ban Theng.
Waktu pandangannya terbentur dengan seorang gadis cantik,
berpakaian kembang-kembang merah bergaris-garis biru, hatinya
Sin Thong jadi berdebar-debar.
Itulah dia puteri dari Yok-ong yang bernama Lo Siauw Yang. Cantik
sekali gadis yang berpakaian kembang-kembang merah itu.
Banyak sekali tamu-tamu yang berdatangan, di antaranya juga
hadir pembesar setempat dan tokoh-tokoh kang-ouw.
Mereka ini sengaja datang dari berbagai tempat untuk ikut memberi
hormat dan merayakan hari ulang tahun yang kelimapuluhnya Yokong Lo Ban Theng, Tamu-tamu itu terdiri dari berbagai orang,
misalnya seperti orang perautauan, pertapa, pelajar, guru silat dan
banyak pula yang lagaknya seperti pendekar silat dan ada pula
beberapa wanita, tetapi mereka itu adalah ahli-ahli silat terkenal.
231 Itu semua tidak heran, karena tokoh-tokoh kang-ouw manakah
yang tidak mengenal Yok-ong Lo Ban Theng yang namanya sudah
tersohor sejak puluhan tahun yang lalu. Orangtua she Lo ini, di
samping terkenal sebagai ahli pengobatan sehingga mendapat
gelar Yok-ong (raja obat), dia juga terkenal pula sebagai seorang
pendekar tua yang terkenal kepandaian ilmu silatnya.
Pada waktu orang tua she Lo itu masih muda, entah berapa banyak
kali ia sudah malang melintang di dunia Bulim, membasmi kaum
pemberontak, menghancurkan sarang bajak laut di lautan Po-hay,
dan karena sifat kependekaran yang berjiwa satria inilah sehingga
keturunan obat she Lo dikenal di daratan Tiongkok, sampai ke
dunia Barat. Tentu saja di samping handai tolan, sanak famili, pembesarpembesar undangan, di antara mereka kebanyakan adalah orang
kang-ouw biasa, terdapat juga Hok-kian Sin-hauw Bi Goan,
harimau sakti dari Hok-kian, Hak-san tayhiap Ong Kwi si pendekar
dari Hak-san dan Kong Jin Kek yang berjuluk orang si Dewa Arak
atau Ciu-sian. Mereka bertiga ini telah mendapat nama pula di
dunia kang-ouw. Terkenal sebagai pendekar-pendekar sejati yang
membela kebenaran. Juga disamping itu hadir juga Wakil-wakil dari cabang-cabang
Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay, dan Hoa-san-pay. Mereka ini, para
locianpwe kaum tua gagah yang telah berusia sekitar setengah
abad itu duduk di tempat kehormatan yang disediakan oleh tuan
rumah. 232 Akan tetapi yang menarik perhatian para tamu dan tuan rumah
adalah kedatangan Sin Thong dan Sian Hwa yang berkerudung
hitam. Sebagai orang-orang tua yang banyak malang melintang di
dunia kang-ouw, mereka juga mendengar akan perkumpulan hitam
yang bernama Sian-li-pay (perkumpulan bidadari) yang
kesemuanya terdiri dari kaum wanita muda berkerudung hitam.
Entah apakah gadis yang bersama-sama laki cebol itu adalah
salah seorang anggota Sian-li-pay, mau apa dia" Demikian banyak
tamu yang menaruh curiga!
Akan tetapi, karena Sian Hwa sendiri tidak mengetahui hati mereka
yang diam-diam menaruh curiga, maka iapun tidak ambil perduli
dan acuh tak acuh. Meskipun dari pandangan matanya ia dapat
melihat sikap orang-orang yang tertuju kepadanya, namun karena
tidak mengerti ia tenang-tenang saja.
Duduk di bagian kaum wanita muda ia mengawasi tamu-tamu yang
berdatangan itu. Banyak juga memang tamu-tamu yang
berdatangan, sehingga taman bunga gedung keluarga raja obat Lo
penuh dengan tamu-tamu yang duduk mengelilingi meja, kurang
lebih ada duaratus orang tamu yang telah berkumpul di situ!
Pada saat itu terdengar sapaan-sapaan hormat dari para
penyambut tamu di depan ketika tiga orang tua memasuki halaman
taman. Yok-ong Lo Ban Theng melirik dan terkejut ia melihat
kedatangan tiga orang itu.
Satu seorang tua, akan tetapi tampak gagah dan keren berpakaian
seorang jenderal dengan tanda pangkat mentereng di pundak,
tahulah Yok-ong bahwa yang datang itu adalah Bong-goanswe,
233 dan Hok Losu, orang tua dari Siauw-lim-pay dan yang satunya lagi,
sebaya dengan Bong-goanswe adalah Leng Ek Cu, tokoh Kongthong-pay yang telah dikenalnya.
"Ha ha ha, Lo-kiam enghiong (situa jago pedang she Lo), kenapa
tidak menyambut kedatangan kami" Mana Yok-ong Lo-kiamenghiong.......! Ha ha, selamat ulang tahun..... kiong-hie...kionghie!" Bong-goanswe mengangkat ke dua tangannya menjura
dengan hormat ke arah tuan rumah yang datang menyambut"
"Ayaaa?" dikirain siapa, tak tahunya Goanswe dari Kotaraja dan
Hok Losu dari Siauw-lim dan sahabat Leng Ek Cu dari Kong-thong
pay....... mari".. mari silakan masuk....... silakan duduk!" Yok-ong
Lo Ban Theng menyambutnya dengan hormat. Ia tahu siapa orangorang ini. Orang kepercayaan kaisar dari Kotaraja!
"Eh, Lo-kiam-enghiong....... kabarnya kau hendak mengadakan
sayembara untuk perjodohan puterimu, betulkah itu?" Leng Ek Cu
bertanya, sambil mengambil tempat duduk.
"Hanya sebagai selingan saja sahabat, tidak menjadi acara
istimewa!" Yok-ong Lo Ban Theng menyahut perlahan.
"Hehehe, bagus, acara yang menarik juga. Biarlah pinceng
berkenan untuk menonton acara pemilihan jodoh.......
hahahehehe," Hok Losu dari Siauw-lim-pay tertawa.
Suara yang bebas dan besar ini menarik perhatian para tamutamunya. Aneh kedengarannya, masa seorang hwesio suci
berbicara sekeras itu" Akan tetapi tentunya mereka tidak berani
234 menegur, karena mengenal Hok Losu, hwesio dari Siauw-lim yang
luar biasa kepandaiannya!
Sian Hwa melihat pula kedatangan jenderal Bong itu. Diam-diam
ia mengagumi akan wibawa si raja obat she Lo ini, sampai-sampai
jenderal dari Kotaraja turut datang. Hebat!
Setelah semua tamu lengkap jumlahnya kecuali beberapa orang
yang tidak dapat datang Yok-ong Lo Ban Theng berdiri di tengahtengah ruangan itu sambil mengangkat tangan memberi hormat ke
sekeliling kemudian membuat sambutan singkat:
"Para locianpwe (orang tua gagah), para enghiong yang terhormat
dan sekalian saudara-saudara yang terhormat. Saya
menghaturkan banyak terima kasih atas kesediaan saudarasaudara yang telah meringankan kaki datang ke tempat ini guna
menghadiri dari perayaan se-jid (ulang tahun) saya yang
kelimapuluh. "Semoga budi baik saudara-saudara mendapat berkah yang
berkelimpahan dari Thian (Tuhan). Dan maafkanlah kiranya
perjamuan ini kurang lengkap dan amat sederhana sekali dan
maafkan pula jika penyambutan-penyambutan kami kurang
memuaskan cuwi (saudara-saudara sekalian)."
Kemudian pesta dimulai dengan ramai dan gembira. Hidanganhidangan lezat dan minuman-minuman dikeluarkan oleh para
pelayan. Hingar bingar sekali suasana di tempat ini.
Tiba-tiba, di tengah-tengah pesta seorang yang duduk di bagian
kaum muda berdiri mengajukan usul: "Lo-enghioag, siaute yang
235 muda dan bodoh ini mendengar desas desus kabarnya pada hari
se-jid Lo-enghiong akan diadakan sayembara permainan silat dan
pemilihan jodoh sang puteri, apakah ini benar?"
Semua para hadirin melirik dan memandang kagum melihat


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pemuda yang demikian tampan dan mantap dalam
berkata-kata tadi. Orang muda itu masih sangat muda, berusia
sekitar sembilanbelas tahun. Kulit mukanya putih kemerahan
seperti wanita. Berpakaian warna biru, gerak-geriknya halus.
Pemuda tadi berkata-kata sambil memegang kipas hitam di
tangannya mengebas-ngebaskan tubuhnya yang seperti orang
kepanasan. Tertarik sekali tuan rumah melihat tamu muda yang
tampan dan berani mengeluarkan pendapat tadi. Entah siapakah
orang muda itu" Yok-ong Lo Ban Theng berdiri. Ke empat penjuru ia memberi
hormat agak membungkukkan badannya dan berkata: "Cuwi (tuantuan sekalian), benarlah seperti kata-kata orang muda baju biru
tadi. Memang di samping hari baikku ini, saja yang tua berkenan
untuk mengadakan sayembara pertunjukan silat, sekalian untuk
mencari jodoh bagi puteriku yang tunggal ini, bernama Lo Siauw
Yang!" Orang tua itu menunjuk ke arah puterinya. Siauw Yang berdiri
memberi hormat. Mengangguk perlahan. Melihat gadis ini, banyak
kaum muda tertarik akan kecantikan puteri Lo Ban Theng ini, diamdiam mereka hendak mengikuti sayembara ini. Siapa tahu!
"Puteriku yang bodoh itu bernama Lo Siauw Yang,"
Memperkenalkan orang tua itu. "Syarat-syarat untuk mengikuti
236 sayembara adalah sebagai berikut: Seorang pemuda, tidak lebih
dari tigapuluh tahun usianya, belum mempunyai istri dan
mempunyai kepandaian silat. Bagi siapa yang berminat mengikuti
sayembara ini, harap mempertunjukkan permainan silatnya untuk
saya nilai!!" Kemudian sambungnya:
"Sekiranya orang muda itu memenuhi syarat tadi, maka orang
muda itu akan diuji melawan tiga orang pelayanku yang bernama
Sam-hauw-swat-cu-eng (tiga harimau mustika salju). Apabila
dapat mengalahkan ke tiga pembantuku itu, maka puteriku yang
bodoh berkenan mengujinya!! Nah itulah syarat-syaratnya!"
Si dewa arak Kong Sin Khek tertawa: "Ha" haa... haa". Yok-ong
pinter sekali memilih mantu, menarik sekali acara ini, sayangnya
aku sudah tua dan tentunya tidak diperkenankan menggikuti
sayembara ini bukan?""
Lo Ban Theng tertawa lebar: "Hayaaa, sudah barang tentu tidak
boleh bagi kita yang sudah tua ini. Tetapi saja persilahkan para
locianpwee di sini untuk menjadi saksi dan sebagai jurinya!!"
"Akuur. Kami para tua bangka yang sudah pada mau mampus ini
biarlah yang menjadi juri dan saksinya, he... he!" sahut Hak-san
tayhiap Ong Kwie sambil melirik ke arah kaum muda yang sudah
gatal tangan hendak memamerkan kepandaiannya.
Yok-ong Lo Ban Theng mengangkat alis dan pundak, katanya,
"Yang diperkenankan maju hanyalah orang muda yang tidak lebih
tigapuluh tahun usianya!" Lalu dengan suara keras ia memberitahu
kepada semua tamu bahwa pertunjukan akan segera dimulai.
Semua mata para tamu tertuju ke arah panggung terbuka yang
237 memang sejak tadi sudah disiapkan di tengah-tengah taman bunga
yang berbentuk segi empat luasnya.
Sebagai acara pembukaan, putri Yok-ong Lo Ban Theng yang
bernama Lo Siauw Yang meloncat ke atas panggung dengan
gerakan ringan dan indah. Tepuk tangan para hadirin menyambut
berkelebat bayangan merah berkembang. Ternyata Siauw Yang
sudah berada di atas panggung dan dengan mengangguk tiga kali
sebagai penghormatan untuk para tamu, kemudian dengan
gerakan yang cepat dan mantap ia sudah memainkan jurus-jurus
ilmu pedang dari keturunan Yok-ong Lo Ban Theng.
Cepat sekali gerakan-gerakan gadis ini sehingga bagi para tamu
yang berkepandaian yang tidak tinggi hanya melihat sebuah
bayangan merah berkelebat-kelebat di antara gulungan sinar
perak. Cuma sebentar Siauw Yang memainkan ilmu pedangnya,
hanya jurus-jurus kembangnya saja.
Kemudian ia menghentikan permainannya dan setelah memberi
hormat dengan membungkukan badan tiga kali ia mencelat ke
bawah dengan gerakan ikan lele meloncat di air, maka untuk yang
terakhir nampak tiga kali bayangan merah meletik dari atas
panggung berpok-say dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berdiri di
samping ayahnya, Yok-ong Lo Ban Theng.
Terdengar lagi suara tamu-tamu memuji.
Hening untuk seketika. Pandangan mata tertuju ke arah panggung
mengharapkan seorang yang meloncat ke arena memamerkan
kepandaiannya. Tentu saja setelah gadis Siauw Yang
memamerkan ilmu pedangnya, banyak hati orang muda yang
238 tadinya hendak mencoba-coba kini menjadi ciut nyalinya. Diam
menanti reaksi dari yang lain.
Ada sekitar lima menit. Tiba-tiba dari ruangan tengah mendatangi
seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar duapuluh lima tahun
dan dengan langkah lebar ia menghampiri lui-tay dan meloncat ke
atas. Terdengar sambutan dari para tamu.
"Siauwte she Khu bernama Ho Siang. Sedikit hendak
memperlihatkan kebodohan sendiri, harap para cuwi (tuan-tuan
sekalian) tidak mentertawakan kebodohanku ini," sehabis berkata
demikian pemuda tinggi kurus yang memperkenalkan diri dengan
nama Ho Siang mengeluarkan sebuah suling berwarna hitam.
Suling ini panjangnya ada sekitar dua kaki.
Orang-orang yang melihat pemuda itu mengeluarkan suling hitam,
ada yang tertawa-tawa, malah ada yang mengejek. Untuk apa
pemuda tinggi kurus itu mengeluarkan suling, hendak bermain
musik" Akan tetapi pandangan mereka tetap tertuju ke atas lui-tay
dan memperhatikan pemuda tinggi kurus itu.
"Saja dari desa Ngingkelak di India. Karena sejak kecil saya doyan
sekali main suling dan ini merupakan hobby saya, maka saja
hendak mempertunjukkan kepada cuwi permainan suling hitam
saja," pemuda tinggi kurus Ho Siang, menempelkan tubuh
sulingnya ke dekat bibir. Akan tetapi baru saja ia hendak meniup,
terdengar suara tertawa keras.
Pemuda itu menurunkan lagi sulingnya dan menengok. Ia
mengerutkan kening begitu dilihatnya yang mentertawakannya tadi
239 adalah seorang pemuda tampan berbaju biru dan memegang kipas
hitam, mengibas-ngibaskan kipasnya, seperti orang kegerahan.
"Kenapa saudara tertawakan saya?" tanya Ho Siang menurunkan
suling hitamnya. Pemuda baju biru tertawa. Bibirnya yang kecil itu menarik sekali
waktu tertawa seperti itu. Diam-diam para tamu yang melihat
pemuda tampan baju biru itu tertarik kagum. Siauw Yang berdebardebar hatinya. Entah mengapa ia merasa kagum dan simpati
kepada pemuda tampan baju biru itu.
Si pemuda tampan baju biru berdiri. Senyumnya yang mengejek
itu mengeluarkan perkataan ketus. "Lui-tay (panggung tempat
bermain silat) bukannya tempat memamerkan kepandaian meniup
suling, mengapa kau begitu sinting untuk mempertunjukkan suling
bututmu yang jelek itu?"
"Apa" Kau ini siapa, hemm pemuda mulut lancang. Tuan rumah
sendiri tidak melarang. mengapa kau begitu melarangku?"
"Siapa yang tidak melarang" Lihat semua para hadirin sudah
mengutuk kesintinganmu. Masa bukan mempertunjukan ilmu silat
eh, kau bermain suling di situ. Kalau tidak punya kepandaian silat,
hayo turun saja!" "Kau menantangku?" si pemuda tinggi kurus yang bernama Ho
Siang itu mendelik hendak menelan pemuda tampan ini. Diamdiam ia merasa heran mana ada pemuda demikian tampan,
alisnya, matanya, bibirnya yang kecil bagus. Hemm, sangat
tampan memang! 240 "Siapa yang takut sama suling bututmu" Dengan kipas hitamku
saja kau pasti terguling!"
"Sombong! Kalau ada nyali naik kau!" Ho Siang menjadi panas
hatinya. Heran sekali dia mengapa melihat pemuda tampan ini hatinya
begitu gemas! Hemm, melihat wajah tampan itu. Tak rela ia,
Biasanya pemuda yang seperti ini, tentu ceriwis dan suka godain
perempuan. Merayu perempuan!
Melihat dua orang muda ini sudah saling bertengkar mulut, Yokong Lo Ban Theng segera melerai, katanya: "Orang muda yang
memegang suling! Benar kata tuan muda baju biru itu bahwa luithay disediakan untuk mereka yang mengerti ilmu silat. Dan bukan
tempatnya untuk bermain suling!"
"'O, ah". Maaf".. maaf!" sambil menjura begitu pemuda kurus Ho
Siang. berjalan menuruni panggung. Orang-orang muda
mentertawakan kesintingan pemuda kurus itu.
Malah pemuda baju biru berkata perlahan waktu ia lewat di
depannya: "Apa kataku, kalau mau ngamen (mempertunjukkan)
permainan suling bututmu, di pasar saja, banyak saja yang tonton
dan nasib mujur ada yang melempar uang kepadamu. Di sini,
bukan tempatnya!" Ho Siang menoleh. Gemas sekali ia sama mulut pemuda tampan
ini, kepingin sekali ia mencubit bibir yang menggemaskan itu.
Sayang di muka umum. Awas kau nanti, kucubit bibirmu yang
lemes itu! Akan tetapi ia diam saja dan duduk di tempat semula.
241 Sian Hwa yang duduk tidak jauh dari Sin Thong memandang dan
melemparkan pandangannya ke panggung memberi isyarat untuk
pemuda itu maju ke muka. Akan tetapi Go Sin Thong memberi
Pendekar Pengejar Nyawa 1 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Hong Lui Bun 5

Cari Blog Ini