Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 1

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan Bagian 1


SATU Dari ujung jalan berbatu-batu di lereng bukit itu tampak debu mengepul ke udara. Tak lama
muncul serombongan orang berkuda dengan diiringi suara derap kaki-kaki kuda. Hingar bingar!
Karena bercampur dengan suara ringkik
kuda dan teriakan para penunggangnya membaur
dengan jeritan-jeritan suara wanita.
Ternyata mereka terdiri dari delapan penunggang kuda. Tiga penunggang kuda diantaranya membawa tiga orang wanita. Dua dari ketiga
wanita itu menjerit-jerit berada dalam pelukan para penunggang kuda ini. Sedangkan wanita yang
seorang lagi dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dua penunggang kuda yang berada di tengah rombongan, masing-masing membawa kain
buntalan. Dan empat penunggang kuda lainnya
cuma mengiringi di belakang.
Sepintas kita sudah dapat menduga, bahwa
mereka adalah sekelompok orang-orang jahat.
Memang benarlah! Mereka tidak lain dari sekelompok penyamun, yang baru saja berhasil membawa
sejumlah korban selain harta benda juga tiga
orang wanita. Jauh di bawah bukit dimana terdapat sebuah perkampungan kecil yang sudah tak berpenghuni, tampak serombongan pasukan kerajaan
melintasi desa mati itu.
Penunggang kuda paling depan adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih setengah abad.
Berpakaian serta hitam dengan sulaman benang
emas. Rambutnya tergelung kecil di belakang
mahkota yang merupakan lambang seorang Tumenggung. Dialah Tumenggung Gagak Pamungkas
dengan empat belas prajurit berkuda kadipaten
yang mengawal di belakangnya.
Melewati desa mati itu Tumenggung Gagak
Pamungkas memperlambat kudanya. Dua prajurit
segera menyusul mengapit di sebelah kiri kanan
sang Tumenggung. Salah seorang berkata seraya
menunjuk ke depan.
"Di sebelah depan ada persimpangan jalan.
Kita menuju kearah yang sebelah kiri, gusti Tumenggung!"
"Hm! itu memang jalan satu-satunya yang
menuju ke kota Kendal! Berapa jauhnya dari persimpangan jalan itu?" tanya laki-laki tinggi besar berkumis tebal dan kaku ini.
Alisnya yang berbulu
lebat terjungkit turun hampir menyatu.
"Tak berapa jauh lagi gusti, kira-kira dua
puluh tombak dari persimpangan jalan itu. Di
tempat itulah terjadinya pembegalan..." menyahut laki-laki prajurit ini.
Ternyata dua orang prajurit ini yang memberi laporan dan sebagai penunjuk
jalan. Tumenggung Gagak Pamungkas tak menjawab, tapi segera membedal kuda mendahului si
prajurit. Tampaknya dia sudah tak sabar untuk
segera tiba di tempat kejadian.
Keempat belas pengawal itupun segera
mempercepat lari kuda-kuda mereka membuntuti
di belakang sang Tumenggung.
Keberanian Tumenggung Gagak Pamungkas
serta ilmu kepandaian yang dimiliki memang sangat menunjang kedudukannya. Itulah sebabnya
dalam usia lebih dari lima puluh tahun, tenaganya
masih bisa terpakai. Bahkan dia ditugaskan Adipati Kencono Alam untuk menjaga perbatasan selatan ini yang terkenal rawan. Belum mencapai sebulan bertugas di wilayah itu, ternyata sudah ada
kejadian yang harus ditangani. Wilayah yang tidak
aman itu memang sedang dalam pengawasannya.
Tentu saja mendengar laporan dua orang prajurit
tentang terjadinya pembegalan oleh sekelompok
penyamun terhadap serombongan iring-iringan
yang mengawal kereta tandu, telah membuat dia
berang. Dan menyiapkan dua belas prajurit Kadipaten yang terlatih untuk menuju sasaran.
Akan tetapi kedatangan mereka ternyata telah terlambat beberapa menit, karena ketika rombongan yang dipimpin Tumenggung ini hanya
menjumpai mayat-mayat bergelimpangan.
Sepasang mata Tumenggung Gagak Pamungkas membelalak lebar melihat keadaan yang
mengenaskan di depan matanya.
Belasan orang menggeletak tumpang-tindih
dalam keadaan tak bernyawa.
Sebuah kereta tandu porak-poranda tergelimpang disisi jalan. Dua ekor kuda penarik kereta itu mati.
"Keparat! kita terlambat...! Mereka telah
menjadi korban keganasan para penyamun itu!"
teriak Tumenggung ini seraya melompat dari
punggung kuda. Keempat belas prajurit itu cepat
melompat dari punggung kuda masing-masing untuk memeriksa mayat-mayat itu.
Kecuali dua prajurit penunjuk jalan yang
masih tetap berdiri dengan terperangah. Sungguh
mereka tak mengira, kalau kejadian akan berlangsung demikian cepat. Tampak keduanya saling
pandang, dan sama-sama menggelengkan kepala.
Salah seorang dari kedua belas prajurit itu
tiba-tiba berteriak.
"Seorang korban yang terluka parah masih
hidup, gusti!"
"Bagus! kita bisa mendapat keterangan dari
dia!" tersentak girang sang Tumenggung. Detik itu juga Tumenggung Gagak
Pamungkas telah berkelebat memburu.
Laki-laki korban keganasan para penyamun
itu tampaknya sudah tak ada harapan untuk hidup. Sekujur tubuhnya penuh dengan bekas luka
bacokan, dan darah membasahi pakaiannya.
Nafasnya tinggal satu-satu. Tumenggung
Gagak Pamungkas tak membuang waktu untuk
lakukan pertanyaan.
"Cepat katakan! siapa adanya kalian" dan
apakah kau mengetahui siapa komplotan para penyamun itu?"
Laki-laki ini membuka matanya. Suaranya
tersendat-sendat ketika membuka suara.
"Kami... orang-orang perguruan Harimau
Tunggal, yang... ditugaskan mengawal sepasang
pengantin baru. Mereka adalah anak dan menantu
Den Bei Hong Taliwongso..."
"Hm! lalu apakah kau mengenal siapa para
penyamun itu?"
Akan tetapi laki-laki itu tak dapat menjawab
lagi. Karena kepalanya telah terkulai. Jiwanya telah melayang...
Tumenggung Gagak Pamungkas bangkit
berdiri dengan wajah keruh. Namun keterangan
itu tampaknya sudah cukup baginya. "Apa yang
akan kita lakukan, gusti" Apakah kita kejar ke sarang mereka" Kukira mereka belum terlalu
jauh...!" tanya seorang pengawal.
"Hm...! Belum saatnya! Mari kita kembali
untuk melaporkan hal ini pada gusti Adipati!" sahut Tumenggung ini.
"Bagaimana dengan mayat-mayat itu?"
Laki-laki kekar ini palingkan kepala memandang kearah mayat-mayat yang bergeletakan
di tengah jalan. Wajahnya tampak sinis.
"Biarkan saja! bukan urusan kita. Tujuan
kita adalah menumpas para penyamun terkutuk
itu!" sahutnya. Selesai berkata dia melompat ke punggung kuda.
Keempat belas prajurit termasuk dua prajurit yang membawa laporan itu segera bergegas melompat ke punggung kuda masing-masing.
Tak lama rombongan pasukan laskar itupun bergerak meninggalkan tempat itu... DUA
Dua orang prajurit ini menjalankan kudanya di bagian belakang. Ketika melewati sebuah
belokan, mendadak kedua prajurit ini menyelinap
keluar dari barisan, lalu membedal kuda dengan
cepat memasuki hutan kecil...
Tiba di suatu tempat mereka berhenti. Kemudian masing-masing melompat turun dari
punggung kuda. Salah seorang berkelebat kearah
semak belukar. Tak lama muncul lagi dengan
membawa setumpuk pakaian.
"Cepat ganti pakaianmu, Tolaga! Kita harus
melaporkan secepatnya pada bangsawan tua itu
mengenai kejadian pembegalan itu!" berkata prajurit yang agak sedikit kekar
berkulit kasar ini pada kawannya. Dia bernama Samiri.
"Haha... beres! akupun sudah tak sabar
menerima kepingan uang emas dari si kambing
tua, Den Bei Hong Taliwongso! hahaha..." Tolaga tertawa gelak-gelak seraya
membuka pakaian prajurit yang dikenakan, lalau melemparkannya ke
dalam semak. Tak lama kedua orang itu telah selesai
mengganti pakaian. Ternyata mereka bukanlah
prajurit sebenarnya. Siapapun tak menyangka kalau mereka adalah Samiri dan Tolaga. Dua orang
penjahat picisan yang kerjanya hanya memburu
keping uang emas belaka.
Mencari kesempatan dalam kesempitan. Dibalik keganasan para penyamun itu, dia memanfaatkan kesempatan untuk mencari untung.
Cara menggunting dalam lipatan ini memang telah lama mereka lakukan. Bukan saja mereka mengetahui siapa adanya para penyamun itu,
tapi dia juga mengenal siapa pemimpin gerombolan penjahat itu.
Karena Samiri dan Tolaga adalah bekas
anggota para pembegal itu.
Cara kerja mereka yang cepat, serta kelicikan dan tipu daya untuk menghasilkan keuntungan memang telah dimiliki mereka.
Tentu saja dalam hal ini mereka punya bekal ilmu kepandaian.
Walaupun tak seberapa tinggi namun mereka dapat menyelinap dan menghilang seperti ular.
Dengan cara kerja yang menghasilkan keuntungan
cukup lumayan itu, mereka tak perlu khawatir
terhadap ancaman kaum pendekar maupun para
penegak hukum. Samiri dan Tolaga memang telah mendengar
berita kalau bangsawan tua Den Bei Hong Taliwongso baru saja mengadakan pesta pernikahan
anak gadisnya. Rencanapun diatur sedemikian rupa. Bagi manusia yang penuh dengan tipu daya licik, demi menghasilkan keuntungan tidaklah sukar untuk mencari jalan.
Samiri menulis surat rahasia bahwa ada seseorang yang mengancam akan membunuh putri
bangsawan tua itu karena dendam. Samiri mengatakan bahwa dia sanggup menyingkirkan orang
itu, tapi dia memerlukan imbalan. Dia memberi jalan dengan dua cara. Kesatu adalah menitipkan
uang imbalan pada seorang pegawainya, yaitu
yang telah memberikan surat rahasia itu. Lalu
menyuruh pegawainya mengantarkan uang tersebut ke suatu tempat. Cara kedua adalah mereka
bertemu empat mata. Dengan pesan, bahwa bangsawan tua itu tak diperkenankan melaporkan hal
ini pada siapapun. Samiri menulis dirinya dengan
julukan si Dewa Penolong.
Sementara itu Samiri membagi tugas. Dia
menunggu di suatu tempat, agak jauh dari tempat
yang telah ditentukan untuk pembicaraan empat
mata. Sedangkan Tolaga menunggu di tempat yang
ditentukan, dimana si pegawai bangsawan tua itu
akan mengantarkan uang yang diinginkan.
Ternyata apa yang diharapkan tak membawa hasil. Dua cara itu tak dipenuhi si bangsawan
tua. Karena sebelumnya bangsawan tua itu telah
mempergunakan tenaga orang-orang perguruan
Macan Tunggal. Orang-orang perguruan Macan Tunggal
memang telah sejak lama disewa dan dipergunakan tenaganya untuk menjaga keselamatan keluarga bangsawan tua itu. Bahkan ketika merayakan pesta pernikahan anak gadisnya, Den Bei
Hong Tolowongso mempercayakan keamanan pesta pada orang-orang perguruan itu.
Kegagalan mereka bukan berarti mereka
harus menyerah tanpa syarat. Mereka menyingkir
pergi ketika orang-orang perguruan Harimau
Tunggal mengadakan pelacakan terhadap diri mereka. Namun keduanya masih terus mengawasi
keadaan dalam gedung bangsawan tua itu. Hingga
salah seorang dari mereka mendengar berita sepasang mempelai itu akan mengadakan perjalanan
keluar kota dalam rangka berbulan madu.
Kesempatan ini tak disia-siakan. Mereka
menguntit iring-iringan pembawa kereta tandu
yang dikawal belasan orang-orang perguruan Harimau Tunggal. Inilah kesempatan baik bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan. Ketika rombongan akan melewati perbatasan, dua orang prajurit berkuda menahan rombongan itu.
Mereka adalah dua orang prajurit penjaga


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbatasan. Sebagai petugas alat kerajaan keduanya berhak menanyakan siapa rombongan itu, dan
kemana tujuannya. Ketua pengawal perguruan
Harimau Tunggal tampil ke depan. Lalu mengadakan pembicaraan pada dua penjaga itu. Mungkin
menerangkan siapa adanya rombongan itu dan
maksud tujuannya.
Tampaknya tak juga dari pihak-pihak rakyat jelata, dua orang bertugas itupun tak menyianyiakan kesempatan baik untuk mendapat tambahan uang saku. Apa lagi rombongan yang akan lewat itu adalah rombongan keluarga bangsawan.
Pemuda gagah bermata sipit yang menunggang kuda di sebelah kiri kereta tandu segera
menghampiri. Agaknya dia telah hapal dengan
maksud penahanan itu. Bahkan dia tampak tak
sabar menunggu pembicaraan pemimpin rombongan pengawal dengan dua prajurit tersebut.
Ternyata pemuda ini adalah sang menantu
si bangsawan tua. Dia bernama Han Soma. Segera
dia menghampiri mereka.
Tanpa berkata apa-apa lalu merogoh ke balik saku. Dua keeping emas dilemparkan kearah
dua prajurit itu. Salah seorang dengan tersenyum
cepat menangkapnya. Lalu bungkukkan tubuh
menjura, seraya mengucapkan terima kasih. Kiranya inilah yang diinginkan dua penjaga itu. Nyatanya dengan mudah mereka dapat meneruskan
perjalanan tanpa halangan apa-apa.
*** Tolaga dan Samiri saling pandang. Ketika
rombongan berlalu meninggalkan perbatasan itu,
keduanya menyelinap dari tempat persembunyian.
Apa yang dilakukan dua manusia ini" Ternyata
beberapa saat antaranya mereka telah berada di
belakang si dua prajurit penjaga.
Kedua prajurit ini tampak tengah tertawatawa sambil menimang-nimang keping emas di
masing-masing tangan mereka.
Tolaga dan Samiri bertindak cepat. Mereka
berkelebat melompat, lalu menotok dua pengawal
sial itu. Dan sebuah pukulan keras pada belakang
leher membuat mereka pingsan tak sadarkan diri,
tanpa mengetahui siapa pembokongnya.
Kedua keping emas itu kini berpindah ke
tangan mereka mereka.
Sejenak Tolaga dan Samiri saling pandang
dengan tersenyum menyeringai. Samiri cepat selipkan keping emas ke balik baju. Kemudian memberi isyarat untuk membukai pakaian korban mereka. Selesai itu mereka segera menyeret tubuh
dua prajurit itu ke dalam semak belukar.
Sekali bertindak mendapat untung tak kepalang. Disamping mendapat dua keping emas,
mereka juga mendapat dua ekor kuda.
Prajurit sial itu mereka seret ke dalam semak belukar. Kemudian dengan cepat mereka
mengganti pakaian dengan pakaian-pakaian prajurit itu. Lalu bergerak menyusul rombongan pengawal kereta tandu.
Samiri berotak cerdik
Dia menyuruh Tolaga menghentikan kuda.
Kemudian menyembunyikan pakaian mereka disemak belukar dengan tanda-tanda yang mudah diingat, yaitu dekat sebuah batu besar di tepi jalan itu. Setelah berunding,
tampak keduanya mem-belokkan kuda dari jalan berbatu-batu itu. Apa
yang dilakukan Samiri dan Tolaga adalah membuntuti mereka dengan jarak terlalu dekat. Karena
mereka tahu jalan yang dilewati rombongan itu
adalah jalan rawan yang merupakan kekuasaan
komplotan pembegal Elang Darah, yang mereka
adalah bekas anggotanya.
Benar saja! Dari tempat ketinggian itu mereka dapat melihat munculnya para penyamunpenyamun Elang Darah. Suara ringkik kuda dan
jeritan ketakutan tiga wanita yang berada dalam
kereta tandu membaur dengan teriakan-teriakan
para penyerbu. Dalam waktu sekejap saja pertarungan antara para pengawal kereta tandu dan para pembegal segera terjadi
Sejenak Tolaga dan Samiri terpaku di tempatnya. Namun hal itu memang sudah diduga mereka, dan telah direncanakan Samiri.
Laki-laki ini segera memberi tanda untuk
segera membedal kuda meninggalkan tempat itu.
Ternyata kemudian seperti yang telah di ceritakan
di bagian depan, kedua orang prajurit samaran itu
melaporkan kejadian itu pada Tumenggung Gagak
Pamungkas. Kedua orang ini ternyata punya penglihatan
dan pendengaran yang jeli. Semua itu berkat kegesitan mereka dalam memasang indera untuk mengetahui apa yang terjadi dalam wilayah itu, hingga dikirimnya Tumenggung Gagak
Pamungkas ke wilayah itu sejak sebulan yang lalu telah dapat diketahui....
TIGA Pemuda gondrong ini mengenakan baju penuh tambalan yang berwarna-warni. Adalah aneh
kalau bajunya penuh dengan tambalan, tapi dia
membiarkan celananya sobek disana-sini. Bahkan
salah satu ujung celana pangsi warna hitam yang
sudah lusuh itu sobek hingga membelah sampai
ke lutut. Selain berpakaian aneh, sikapnya pun tampak aneh. Wajahnya selalu menampilkan senyum.
Sepintas orang akan mengatakan dia orang yang
tidak waras. Akan tetapi setiap gadis pasti akan
tertarik untuk melirikkan mata, karena tampangnya yang gagah. Perawakannya pun sangat memenuhi syarat sebagai seorang pemuda bertubuh
sempurna. Tinggi tidak pendekpun bukan.
Selain itu otot-otot tubuhnya tampak terlihat kekar. Tatapan matanya bisa menjatuhkan gadis untuk bertekuk lutut dihadapannya.
Seorang pemuda sempurna dalam perawakan, tapi aneh dalam berpakaian.
Belahan baju pada dadanya tanpa berjahit.
Tampaknya seperti di konyokkan begitu saja. Dan
dari sobekan belahan baju itu tersembul bulu-bulu
dada yang lebat.
Seuntai kalung terbuat dari potongpotongan bambu kecil tampak menghiasi lehernya,
melengkapi keanehan pakaian pemuda ini.
Termasuk ikat pinggang lebar terbuat dari
kulit yang penuh dengan hiasan paku-paku. Serta
sehelai kain hitam lusuh yang digunakan sebagai
ikat kepala. Pemuda ini berdiri memandang kearah perkampungan penduduk dari atas bukit itu. Entah
apa yang membersit dalam pikirannya, karena
tampak senyumnya semakin melebar.
Ternyata di bawah sana di jalan setapak
tampak tersembul sesosok tubuh yang berjalan
dengan langkah tergesa-gesa. Walaupun jarak dari
atas bukit cukup jauh, tapi pemuda aneh ini telah
dapat menerka kalau orang yang tengah berjalan
tergesa-gesa itu adalah seorang wanita.
Dugaan pemuda aneh itu memang benar!
Seorang gadis berbaju kembang dengan kain kasar
sederhana yang dikenakan tak begitu rapi berjalan
agak tergesa-gesa. Wajahnya nampak menampilkan kecemasan, dengan rambut yang agak kusut.
Langkahnya setengah berlari ketika melewati jalan
setapak di kaki bukit itu.
Sepintas saja dapat diketahui dia seorang
gadis biasa. Gadis ini berwajah cukup cantik. Seandainya berdandan tentu akan lebih kentara kecantikan parasnya. Entah kemana tujuan si gadis ini,
dan apa yang menjadi kecemasan hatinya hingga
dia melakukan perjalanan dengan agak tergesagesa. Apa yang dicemaskan gadis ini ternyata
sangat beralasan. Karena agak jauh di belakang
tampak tiga orang laki-laki berperawakan kekar
dan kasar berjalan cepat seperti membuntuti gadis
itu. Paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk. Perutnya yang membuncit agak mengganggu langkahnya ketika berjalan.
Dialah yang bernama Jologento. Seorang
yang cukup berpengaruh di desa wilayah kaki bukit itu. Dua orang di belakangnya adalah boleh dibilang dua pengawal pribadi yang kemanapun dia
pergi selalu mengintil di belakangnya.
"Kita tak boleh bertindak secara kasar dan
terang-terangan terhadap anak gadis itu. Aku
hanya ingin tahu kemana tujuannya?" bisik Jologento pada salah seorang
pengawalnya yang bernama Godil ini.
"Kalau cuma pingin mengetahui, kukira
kami berdua saja yang menguntit, den Jologento.
Raden tak usah bersusah payah seperti ini...!" berkata pelahan laki-laki
pengawal si Gendut ini.
"Benar katamu...! tapi... tapi aku rasanya
tak tahan untuk melihat wajahnya. Hatiku benarbenar telah kepincut melihat kecantikan gadis
itu..." kata Jologento seraya berhenti melangkah.
Lalu jatuhkan pantatnya ke tanah. Nafasnya tampak memburu tersenggal-sengal.
"Haha... kalau sejak tadi raden menuruti
usulku, tentu sudah sejak melewati hutan kecil itu kami sudah dapat mencegat
perjalanannya!" kata Godil yang ditimpali oleh kawannya.
"Benar, raden! Rencana kami sudah matang. Aku akan berpura-pura mengalami kecelakaan di tengah jalan yang akan dilalui gadis itu
dengan mendahuluinya melalui jalan bercagak tadi. Langkahnya pasti terhambat. Dan raden bisa
menyusul. Bukankah dengan begitu raden akan puas
bisa bertemu muka. Bahkan bisa langsung mengutarakan perasaan cinta raden terhadap dirinya..."
kata laki-laki bernama Rembong ini.
Tampaknya termakan juga hati si gendut
ini. Dia amat mempercayai pada dua pengawal
pribadinya itu.
"Kalau begitu lakukanlah sekarang, apakah
masih bisa kalian kerjakan?" tanya laki-laki gendut ini. "Beres! Tapi...
hehehe... biasa, den!" sahut Godil seraya mengangsongkan kedua lengannya
dengan telapak tangan terbuka.
"Hm! tak bosan-bosannya kalian dengan
upah! kerjakan dulu! jangan-jangan kalian telah
terlambat!" kata si gendut dengan wajah kesal.
"Jangan khawatir, den! jalan setapak di lereng bukit ini cukup jauh dan panjaaang...! Masih
cukup waktu untuk mencegatnya." kata Rembong
dengan tertawa menyeringai.
Jologento cepat merogoh sakunya mengeluarkan beberapa keping uang receh. "Nih! kalian bagi dua. Tapi awas kalau kalian
gagal melakukan
tugas!" katanya dengan memberungut.
"Hehe... beres, den! beres...!!"
Dengan sigap Godil menerima uang tip itu
kemudian membagi dua dengan Rembong.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua
kali, keduanya segera berlompatan dengan cepat
untuk mengejar gadis itu.
Ternyata Godil dan Rembong tak menggunakan cara yang seperti di katakan tadi. Tapi langsung memburu gadis itu dengan
gerakan sebat. Dua orang ini memang tak percuma menjadi pengawal Jologento tuan tanah yang sampai setua ini
masih juga membujang.
Sebagai tuan tanah yang memiliki kebun
kelapa cukup luas di wilayah itu, dia cukup menjadi orang yang terpandang.
Akan tetapi sikapnya yang lugu dan agak
bodoh itu membuat dia sering diakali oleh dua
centeng yang sekaligus merangkap pengawalpengawal pribadinya.
Kelemahannya adalah terhadap wanita cantik. Tak jarang kedua pengawal pribadinya membawa dia ke tempat-tempat daerah hitam dimana
terdapat perempuan-perempuan nakal.
Tentu saja untuk jasa itu, mereka mendapat
imbalan, sekaligus dapat menikmati kegemaran
mereka minum tuak dan tak melewatkan kesempatan untuk turut melakukan hal yang sama seperti sang majikan.
EMPAT Nyai Sekar Arum, gadis desa yang diincar
oleh Jologento adalah anak seorang bekas kepala
desa. Keadaan sang ayah yang sudah tua dan sering sakit-sakitan membuat dia sering mondarmandir ke rumah sanak famili sang ayah, untuk
mencari tambahan biaya membeli obat, disamping
untuk kebutuhan sehari-hari.
Ternyata sering munculnya gadis itu telah
menjadi perhatian si gendut, yang mendapat laporan dari kedua centengnya. Seperti kejadian pada
hari, Jologento tak tahan untuk mencegat gadis


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ternyata Nyai Sekar Arum telah mendapat firasat buruk. Dia tak melewati jalan seperti biasanya. Tapi sengaja membelok memasuki jalan
setapak dihutan kecil. Jalan ini cukup jauh, karena harus memutari desa itu.
Adanya dua orang yang selalu memperhatikan di ujung jalan yang biasa dilalui, membuat dia merasa curiga. Siang itu
sepulang dari rumah pa-mannya, hatinya berdebar-debar. Entah mengapa
perasaannya kurang tenteram. Firasat buruk seperti membayang dikelopak matanya. Dia khawatir
kedua orang tadi mengganggunya. Itulah sebabnya
dia membelok, dan mengambil jalan dengan melewati jalan setapak dihutan kecil di kaki bukit itu...
Hatinya agak tenteram karena telah melihat
dikejauhan ada asap mengepul, pertanda sudah
hampir tiba diperkampungan. Memang desa yang
ditujunya sudah tak terlalu jauh lagi.
Akan tetapi tiba-tiba terperanjat gadis ini
ketika tahu-tahu dua sosok tubuh telah mencegatnya. Alangkah terkejut gadis ini ketika mengetahui orang yang mencegat itu
adalah kedua orang
yang memang sengaja dihindari.
"Hehe...haha... tahan dulu langkahmu, adik
manis! mengapa harus terburu-buru?" berkata
Godil dengan tertawa menyeringai.
"Haha... benar, adik manis. Boleh akang
bertanya, kemana tujuan nyai" dan hehe... boleh
akang tahu siapa nama nyai...?"
Rembong ikut-ikutan menyapa dengan gaya
gagah, sambil membetulkan pakaiannya. Gadis ini
bukannya menyahut malah melangkah mundur.
Wajahnya tampak pucat.
"Siapa kalian" jangan ganggu aku?" bentak gadis ini.
"Hehe... akang bukan mau mengganggu,
nyai. Tapi nyailah yang mengganggu akang, karena
wajah nyai yang cantik membuat akang jadi kurang tidur kurang makan, dan ..."
"Dan kurang ajar!"
Tahu-tahu suara dingin sedingin es meneruskan kata-katanya. Tentu saja Rembong jadi
terkejut. Ketika membalikkan tubuh matanya seketika membelalak melihat disitu telah berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian
aneh yang penuh dengan tambalan berwarnawarni. "Siapa kau!" membentak Godil seraya mencabut goloknya di pinggang.
Rembong tahu gelagat
tidak baik, segera menghunus klewangnya seraya
melangkah mundur.
Pemuda aneh ini tak menjawab, tapi menengadah ke atas. Tentu saja Godil dan Rembong
ikut-ikutan melihat ke atas.
Tampak seekor burung elang terbang berputar-putar di atas kepala mereka.
Detik itulah, tiba-tiba dua centeng ini perdengarkan jeritan mengerikan. Dan dua tubuh itu
roboh dengan nyawa melayang...
Ketika Gentolo si gendut ini tiba di tempat
itu, bukan saja terbelalak matanya melihat kedua
orang centeng kepercayaannya telah menjadi dua
sosok mayat. Akan tetapi juga terperangah karena
tak menjumpai adanya gadis yang diincarnya di
tempat itu. Seketika wajahnya berubah pucat. Lututnya
gemetar dengan tubuh menggigil dan keringat dingin membasahi tengkuknya.
"Siapa yang mem...bunuhnya?" sentak hati Gentolo.
"Hah!" jangan-jangan gadis itu... dedemit!
bukan manusia! Jangan-jangan dialah yang telah
membunuhnya..."
Detik itu juga si gendut balikkan tubuh,
dan jatuh bangun berlari meninggalkan tempat itu
seperti dikejar setan.
LIMA Jauh di atas bukit tampak dua sosok tubuh
di atas sela batu-batu besar seperti dua arca yang diam tak bergerak. Ternyata
satu wanita dan satu
laki-laki. Siapa adanya laki-laki itu tiada lain dari
pemuda gondrong berpakaian aneh. Dan dihadapannya adalah gadis yang jadi incaran raden Gentolo itu. Sepasang mata si pemuda tak berkedip menatap gadis dihadapannya. Senyumnya tampak
semakin lama semakin melebar. Sementara gadis
yang ditatapnya bagaikan kena pesona menatap
pemuda aneh itu dengan terpaku membisu.
"Siapa namamu?"
Pertanyaan pemuda itu membuat gadis itu
tersadar dari terpakunya. "Namaku Sekar Arum...."
menyahut si gadis dengan lidah terasa kaku. Jantungnya mendadak berdetak keras. Lepas dari mulut macan tapi jatuh pula ke mulut buaya. Dari tatapan mata pemuda itu yang menjalari sekujur tubuhnya, dia sudah pasrah dengan apa yang bakal
terjadi. Kejadian mengerikan yang baru saja terpampang di depan mata itu demikian menakutkan. Kedua laki-laki yang mencegat perjalanannya telah tewas secara mendadak. Entah dengan cara bagaimana pemuda berpakaian aneh itu
membunuhnya. Karena gerakan tubuh pemuda
aneh ini tak terlihat. Tahu-tahu lenyap, dan dua
laki-laki yang mau mengganggunya menjerit roboh, dan tewas seketika.
Dia melangkah mundur dengan wajah pucat pias, dan sekujur tubuh gemetar. Tahu-tahu
terasa ada sepasang lengan yang menangkap pinggang dan membekap mulutnya.
Sebelum dia sadar apa yang terjadi, tahutahu angin bertiup terasa menampar tubuhnya.
Tubuhnya terasa melayang-layang hingga dia cuma memejamkan mata. Ketika dia membuka mata,
tahu-tahu dia telah berada di atas bukit. Seketika dia terpaku memandang lakilaki gagah berbaju
aneh itu berdiri dihadapannya dengan tersenyum
menatapnya. Mau tak mau dia mengagumi ketampanan
si pemuda gondrong.
Tapi sinar matanya yang menjalari sekujur
tubuhnya membuat dia menyurut mundur. Namun hanya setindak. Kakinya serasa terpaku di
tanah. Hingga dia cuma bengong terlongong menatap pemuda itu tanpa mampu mengucapkan katakata. Sementara jantungnya berdetak keras. Sinar
mata pemuda itu mengandung firasat buruk. Rasa
takut membuat tubuhnya gemetar membayangkan
apa yang bakal terjadi pada dirinya.
Jawaban disitu membuat senyum si pemuda gondrong berubah jadi tawa tergelak-gelak.
Namun matanya tak lepas menatap Sekar Arum.
"Hahaha... nama yang bagus! Sungguh tak
kukira kalau di desa di bawah kaki bukit ini ada
makhluk secantik kau...."
Jantung Sekar Arum semakin berguncang,
dan kali ini dia mampu melangkah mundur. Wajahnya semakin pucat.
"Apa yang mau kau lakukan?" sentak si gadis dengan suara bergetar.
"Haha... takut usah takut, gadis manis! aku
tak akan menyakitimu. Bahkan aku akan membuat kau senang..." sahut si pemuda gondrong
dengan tertawa.
Sekar Arum terperangah kaget, karena tahu-tahu dia telah berada dalam pelukan pemuda
itu. Saat itu juga dia berusaha meronta. Tapi aneh, gadis ini rasakan sekujur
tubuhnya tak mampu
digerakkan. Sekar Arum tak dapat berbuat apa-apa selain membelalakkan mata ketika lengan pemuda
itu menggerayangi tubuhnya. Pan satu persatu
melepaskan seluruhnya pakaian ditubuhnya.
"Ah... kau sungguh cantik Sekar Arum. Potongan tubuhmu pun sangat indah. Kulitmu putih... dan rambutmu... lebat dan indah" berkata pemuda aneh itu seraya
menelusuri setiap lekuk
liku tubuh sang gadis. Kemudian lengannya bergerak menguraikan rambut dara itu yang tergelung
di atas kepala.
Sekar Arum benar-benar tak berdaya. Tak
ubahnya dia bagaikan sebuah boneka yang tak
dapat berbuat apa-apa.
"Ya, Tuhan...! kalau apa yang bakal terjadi
adalah sudah suratan nasibku. Kuserahkan semua ini pada MU..." berkata gadis ini dalam hati dengan memejamkan mata.
Tapi, lama... lama... dia menanti apa yang
akan terjadi selanjutnya. Namun yang dinanti tak
kunjung tiba. Perlahan dia membuka mata. Makin
lebar... makin lebar! Tersentak Sekar Arum karena
tak melihat pemuda gondrong itu berada dihadapannya. "Oh, kemanakah perginya pemuda itu?"
sentak Sekar Arum. Matanya bergerak menjalari
sekitar bukit-bukit berbatu-batu itu. Tapi tak terlihat dimana adanya pemuda
gondrong itu. "Aneh..." mengapa dia pergi" mengapa dia
tak jadi melakukan hal itu...?" bertanya-tanya dalam hati Sekar Arum. Yang lebih
aneh adalah kini
dia dapat menggerakkan lagi anggota tubuhnya.
Tentu saja girangnya tak alang-kepalang.
Tak ayal dia segera menjumput pakaiannya,
lalu mengenakannya dengan bergegas.
Tak lama selesailah dia menutupi kembali
sekujur tubuhnya. Kembali dia memperhatikan
sekitarnya. Namun tetap tak terlihat adanya sosok
tubuh si pemuda gondrong berpakaian aneh itu
berada di sekitar tempat itu.
"Benar-benar pemuda aneh..." bisiknya dalam hati. "Tapi juga seorang pemuda
tampan dan gagah yang belum pernah kujumpai laki-laki se-tampan dia..."
Sekar Arum bergegas melangkah menuruni
bukit itu. Sementara dalam hati tak habis-habisnya
memuji ketinggian ilmu si pemuda aneh. Untuk
menuruni bukit itu tidaklah mudah karena jalan
yang curam dan berbatu-batu. Tapi pemuda aneh
itu dalam waktu hampir dapat dikatakan cuma berapa kejap saja telah dapat membawa dia ke atas
bukit. Jalan menanjak adalah lebih sukar ketimbang menurun. "Pemuda aneh...... siapakah dia" Apakah
semacam itukah kehebatan ilmu orang yang disebut kaum Rimba Hijau?" berkata hatinya.
Namun diam-diam hatinya menjadi ngeri
melihat ketelengasan si pemuda aneh yang dalam
sekejap saja telah melenyapkan nyawa orang.
ENAM Delapan pembegal itu melompat turun dari
punggung kuda masing-masing ketika mereka
tiba di sebuah tempat tersembunyi. Markas para
penyamun ini ternyata terletak di belakang sebuah
bukit di dalam hutan. Jalan menuju markas dijaga
oleh dua orang yang segera menutup kembali pintu rahasia. Sebuah pintu rahasia terdiri dari pepohonan hidup yang tumbuh di pintu goa berlumut.
Sedangkan dikiri kanan adalah semak belukar
rimbun. Hingga sukar diketahui kalau di tempat
itu adalah pintu markas para pembegal yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi penduduk wilayah selatan maupun para pendatang yang
melewati sekitar wilayah itu.
Di dalam ruangan goa ini ternyata terdapat
sebuah halaman lebar hampir seluas lebih dari tiga puluh tombak persegi.
Sebuah tempat yang strategis. Karena ruangan ini berada dalam udara terbuka. Tampak sekeliling ruang yang boleh disebut sebagai sebuah taman itu, berpagar tebing batu setinggi hampir sepuluh kaki. Dalam taman ini ada banyak terdapat lubang-lubang yang merupakan pintu-pintu goa.
Benar-benar sebuah taman rahasia yang berada
dalam sebuah relung bukit. Tak seorangpun akan
menyangka kalau di tempat ini berdiam komplotan
para pembegal yang menamakan diri mereka dengan sebutan komplotan penyamun Elang Darah.
Diantara empat pintu goa, terdapat sebuah
pintu goa yang paling lebar. Di depan mulut goa ini terdapat sebuah kolam berair
jernih dengan tana-man kembang beraneka warna diseke-lilingnya.
Kearah mulut pintu goa inilah kedelapan
laki-laki bertopeng kain merah itu menatapkan
mukanya Sementara itu tiga orang wanita yang berhasil diculik dalam keadaan terkulai pingsan dalam pondongan tiga laki-laki bertopeng kain merah
itu. Sesosok tubuh berjubah merah tersembul
di pintu goa. Rambutnya hitam terurai ke belakang. Wajahnya mengenakan cadar tipis berwarna
hitam. Dari bayangan tubuhnya samar-samar terlihat dari sebab tipisnya jubah sutera yang dikenakannya, dapat diketahui orang ini adalah wanita. Melihat munculnya sosok tubuh itu, kede

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapan laki-laki ini cepat menjura. Wanita bercadar
ini perdengarkan suaranya.
"Bagus...! siapakah korban kalian ini?"
Laki-laki paling depan segera menyahut.
"Tiga orang gadis! salah seorang tampaknya
masih pengantin baru. Kedua gadis lainnya mungkin dua orang pelayannya."
Wanita bercadar ini mengangguk, seraya
berkata. "Masukkan mereka dalam ruang tahanan
terpisah! Dan barang rampasan masukkan ke dalam gudang! Selanjutnya kalian boleh beristirahat!"
Kedelapan laki-laki ini mengangguk. Tiga orang segera bergegas membawa tiga korban itu memasuki
pintu kedua untuk memasukkan tiga wanita itu
dalam tahanan. Dua orang yang membawa buntalan kain
memasuki pintu goa ketiga. Sedang yang lainnya
setelah mengikat kuda-kuda mereka segera berkelebatan memasuki pintu goa keempat.
Wanita ketua komplotan penyamun Elang
Darah ini berjalan mondar-mandir dalam ruang
kamarnya. Tampaknya dia agak gelisah.
"Hm, berita angin yang kudengar munculnya seseorang yang menamakan dirinya si Pendekar Tanpa Bayangan, membuat aku harus mulai
waspada. Untuk sementara operasi pembegalan
harus dihentikan! Apakah julukan itu ada hubungannya dengan bekas guruku, Paderi wanita Biksu
Rondo Jati?" berkata si wanita ketua dalam hati.
Wanita ketua ini lama berdiri terpaku menatap ke mulut goa.
Sementara otaknya terus berpikir.
"Kalau dihubungkan dengan bertugasnya
Jalak Pamungkas si Tumenggung tua itu memang
bisa masuk akal. Karena laki-laki itu pernah menjadi kekasih bekas guruku dimasa muda. Mungkin
pula diam-diam mereka-mereka telah menyambung kembali hubungan asmara, semenjak aku
diusir keluar dari pesanggrahan! Huh! benar-benar
munafik! Perempuan tua itu menganggap aku telah melakukan perbuatan hina, tapi dia sendiri
menjalin hubungan dengan laki-laki" mendesis
wanita ini, seraya melepaskan cadar hitam tipis
penutup wajah. Ternyata dia seorang wanita yang berusia
sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya cukup cantik,
dengan tulang pipi yang agak menonjol.
Kulit mukanya putih, karena tebalnya bedak yang digunakan memoles wajahnya. Akan tetapi bekas luka memanjang dari pelipis sampai kepipi yang menggores wajahnya. Tetap tampak
membayang. Walaupun dipoles sedemikian tebal
oleh bedak untuk menghilangkan tanda itu.
Dari sepasang matanya yang bersinar dingin, dapat diterka bahwa wanita ini menyimpan
dendam sedalam lautan. Dan dari garis-garis mukanya dapat diketahui bahwa dia seorang wanita
telengas dan kejam. Dan dari pandangan matanya
yang aneh, wanita ini seperti seorang yang mempunyai kelainan jiwa.
Di sebelah pembaringan terdapat, sebuah
kaca rias. Kearah sinilah sepasang kakinya melangkah. Lama dia terpaku memandangi wajahnya
sendiri, tanpa senyum. Dan jikapun tersenyumsenyum, itu begitu dingin.
Mendadak dia gerakan lengannya meraba
wajah. Meraba goresan luka memanjang yang
membekas diwajahnya.
"Heh! aku tak akan melupakan dendam ini,
seperti juga tak akan pernah hilangnya bekas luka
ini!" mendesis si wanita. Kemudian balikkan tubuh dan mengenakan lagi cadar
penutup wajahnya.
Dugaan wanita inipun semakin keras kalau
munculnya seseorang yang menamakan dirinya si
Pendekar Tanpa Bayangan itu ada hubungannya
dengan Biksu Rondo Jati, bekas gurunya.
"Kalau orang itu bukan murid perempuan
tua itu, habis siapa lagi" Karena hanya bekas guruku itulah orang yang mampu melenyapkan
bayangan tubuhnya! Atau memang bekas guruku
itu yang muncul dan melakukan penyamaran dengan julukan si Pendekar Tanpa Bayangan?"
Ternyata hal inilah yang membuat hati wanita itu agak resah.
"Malam nanti aku harus keluar untuk menyelidiki..." desahnya mengambil keputusan. "Aku akan melihat dulu ketiga
tawanan itu. Bagaimanakah rupa perempuan yang masih pengantin baru
itu?" katanya dalam hati seraya melangkah masuk ke ruang belakang goa.
TUJUH Tolaga dan Samiri membedal kuda dengan
cepat menuju ke sasaran, yaitu rumah gedung
tempat tinggal bangsawan tua Hong Taliwongso.
Mereka sengaja tak menempuh jalan yang tadi dilalui, tapi memotong jalan, dengan tujuan menghindari kepergoknya mereka dengan pengawal
penjaga tapal batas yang akan menggantikan dua
penjaga yang telah diperdayakan dan diseret ke
dalam semak dengan keadaan pingsan dan tertotok. Akan tetapi ketika melintasi sebuah belokan
dihutan kecil, mendadak dilihatnya seorang pemuda tengah berjalan seenaknya di tengah jalan
itu. Tampaknya orang muda itu tak mengetahui
kalau ada dua ekor kuda berlari kencang dihadapannya. "Hai! minggir! kau mau mampus!?" teriak
Samiri. Matanya melotot lebar. Jangankan untuk
menahan lari kuda, memberi peringatan pun sudah terlambat. Karena kuda-kuda mereka sudah
tinggal beberapa depa lagi.
Tampaknya tak mungkin orang muda itu
dapat menghindari diri, tiba-tiba kedua kuda itu
meringkik keras seraya menahan larinya dengan
mengangkat kaki depan.
Akibatnya, Samiri dan Tolaga terlempar dari
punggung kuda dan jatuh terjungkal. Kedua kuda
itu langsung kabur tak tentu arah dengan memperdengarkan suara ringkikan ketakutan.
"Keparat! siapa kau?" bentak Samiri seraya melompat berdiri diikuti Tolaga.
Wajah dua laki-laki ini merah padam. Sekujur tubuh dan pakaiannya penuh debu.
Orang yang dibentak demikian rupa ternyata malah bertanya dengan heran.
"Eh!" ada apa yang terjadi" Kalian jatuh
sendiri dari kuda, mengapa membentak aku secara
kasar?" tanya pemuda gondrong bertampang dungu ini dengan belalakkan mata.
"Bocah gendeng! apa kau tak tahu kalau
kau hampir saja diterjang kuda" Gara-gara kau
yang tak mau minggir, hingga kami menjadi korban jatuh dari atas kuda. Bahkan kami harus kehilangan dua ekor kuda yang kabur ketakutan!"
bentak Tolaga dengan geram.
"Gara-gara aku...?" tanya pemuda ini dengan menggaruk-garuk tengkuknya. Mendadak
dia tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha... haha... aku yang tak tahu apaapa mengapa harus disalahkan" Justru seharusnya akulah yang marah, karena kalian hampir
mencelakakan aku. Naik kuda kalau menemukan
jalan yang membelok harus mengurangi kecepatan. Apa kau anggap jalan ini milik nenek moyang
kalian?" kata pemuda ini acuh tak acuh.
Tentu saja Samiri dan Tolaga gusar bukan
main, merasa dirinya dianggap remeh. Samiri
memberi tanda pada kawannya. Tolaga mengangguk mengerti. "Heh! jangan membuat kami gusar, anak
muda! lebih baik kau ganti kedua kuda kami, maka kami akan menghabiskan urusan sampai disini!" kata Samiri. Sementara matanya tertuju pada buntalan kain yang dibawa
pemuda itu, yang dis-ampirkan di atas pundaknya.
Pemuda ini tiada lain adalah Nanjar, si Dewa Linglung. Dia tertawa kecil, dengan tanpa mengacuhkan kedua orang yang telah mengurungnya. Bahkan ujung kakinya memainkan batu kecil di atas
tanah. "Kalau kau mau selamat, serahkan saja pa-da kami sepuluh keping emas
untuk pengganti kedua kuda kami yang kabur itu, agar kami bisa
membeli kuda lagi!" sambung Tolaga.
"Haha... kuda-kuda kalianpun hasil merampas. Kalau aku harus menyerahkan sepuluh
keping emas berarti kalian mempunyai keuntungan dua belas keping emas! Wah! wah! dalam sekejap kalian bisa jadi orang kaya..." menjawab Nanjar.
Tentu saja kata-kata si Dewa Linglung
membuat dua orang ini membelalakkan mata terkejut. "Keparat! bocah ini mengetahui perbuatan kita..." bisik Tolaga
menghampiri Samiri dengan wajah pucat.
"Hm, habisin saja..." berkata Samiri dengan wajah berubah. Serentak keduanya
mencabut senjata masing-masing.
"Anak muda! ternyata kau banyak tahu tentang kami. Maka jangan menyesal kalau kami terpaksa harus menutup mulutmu!" membentak Samiri dengan suara dingin.
"Hahaha... bukannya banyak lagi, tapi banyuak! Bukankah kalian yang telah memberi surat
rahasia pada si bangsawan tua Hong Taliwongso"
Dalam isi surat itu kalian memberitahukan adanya
seseorang yang mengancam jiwa anak perempuan
bangsawan tua itu. Kalian menjanjikan akan berhasil membereskan si pengancam, dengan syarat
orang tua itu mau memberikan uang imbalan. Dan
bukankah kalian ini yang menamakan diri si Dewa
Penolong?"
Hampir melejit biji mata Samiri dan Tolaga
mendengar Nanjar membeberkan semua tipu
dayanya. Seketika wajah mereka berubah merah
padam. "Bagus! kalau begitu segeralah kau berangkat ke Akhirat!" bentak Samiri menggeledek. Sepasang kapak tipisnya menyambar ke
arah Nanjar. Akan tetapi detik itu jempol kaki Nanjar yang sejak tadi mempermainkan sebutir
batu kecil, mendadak
menjentik... Menjeritlah laki-laki ini ketika batu kecil itu
meluncur deras kearah kaki Samiri, dan tepat
mengenai tulang keringnya.
Tentu saja ketika Samiri berjingkrakan dengan wajah menyeringai kesakitan. Melihat itu Nanjar jadi tertawa terpingkal-pingkal karena melihat adegan lucu laki-laki itu.
"Bocah keparat, mampuslah kau!" membentak keras Tolaga, seraya tebaskan sepasang badik
kearah Nanjar dengan didahului gerakan melompat. Nanjar terhuyung ke depan seperti mau jatuh.
Tapi hal itu justru membuat lolosnya tebasan yang
bisa memutuskan pinggangnya. Nyaris ujung badik itu menggores kulit perut si Dewa Linglung, kalau pemuda itu tak
mengempeskan perutnya.
Namun tak urung bajunya terkoyak oleh
senjata lawan. Nanjar unjukkan wajah pucat seperti ketakutan, ketika melihat bajunya yang sobek. "Hah! kalian benar-benar mau membunuhku...?" Nanjar pura-pura tersentak
"Hahaha... siapa bilang aku main-main" Sebelum membunuhmu aku akan menguliti kulitmu
terlebih dahulu!" menggertak Tolaga merasa mendapat angin. Dia tak mengira kalau
pemuda itu ternyata seorang dogol. Tadi tertawa tergelakgelak, tapi sekarang ketakutan mengetahui dirinya
akan dibunuh. Gerakan terhuyung itu memang membuat
Tolaga merasa aneh, karena serangannya bisa luput. Tapi dia segera menduga hal itu cuma secara
kebetulan saja. Si dogol ini mana mengerti ilmu silat" pikirnya.
Sementara itu Samiri telah melompat ke
hadapannya. Sepasang kapaknya mendesing
membelah kepala Nanjar dan menyambar ke leher
Nanjar membuang tubuhnya dengan berguling ke
samping. Ujung kakinya menyambar ke perut lakilaki itu. Buk! Serangan tak terduga itu membuat Samiri
mengaduh kesakitan memegangi perutnya yang
kena tendangan kaki Nanjar. Mendelik mata Tolaga. Kali ini dia tak percaya kalau anak muda itu
tak memiliki ilmu silat. Dengan menggerung keras
dia melompat menerjang Nanjar.
Akan tetapi tiba-tiba dia perdengarkan jeritan keras. Tubuhnya roboh terjungkal. Ternyata
sebuah ranting kayu telah menembus punggungnya hingga sampai ke perut. Tolaga menggeliat meregang nyawa. Tak lama kepalanya terkulai. Nyawanya melayang.
Seketika wajah Samiri berubah pucat bagai
kertas, ketika tahu-tahu sebuah lengan mencengkeram tengkuknya. Dan satu suara dingin
terdengar di telinganya. Itulah suara seorang wani-ta.


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau lihatlah siapa aku..."
Membelalak lebar mata Samiri, ketika sebuah wajah yang bertanda goresan luka memanjang pada wajah orang dihadapannya.
"Hah!" ket... ketua...?" sentaknya terperangah. Namun suaranya segera lenyap
berganti dengan erangan, ketika jari-jari lengan wanita itu menghunjam ke jantungnya.
"Sudah terlalu lama aku membiarkan kau
mengekor di belakang ku, bangsat! manusia licik
semacammu selayaknya mampus!" desis si Elang
Darah. Dan, ketika dia menyentakkan lengannya,
darah segera memuncrat. Segumpal jantung telah
berada dalam cengkeraman wanita itu.
Samiri menggeliat dan menggelepar sesaat.
Kemudian jiwanya melayang seketika.
"Eh! bukankah kau Biksu Rara Tantri?"
sentak Nanjar terkejut setindak. Matanya tajam
mengawasi sosok tubuh dihadapannya.
Wanita ini tersenyum menatap si Dewa Linglung. Lalu membanting hancur benda isi dada
Samiri itu ke tanah. Kemudian gunakan kain cadarnya untuk menyeka lengannya yang penuh berlepotan darah. "Dewa Linglung...! aku berhutang budi padamu! Hihi... kukira kau sudah tak mengenal diriku. Ternyata matamu masih tajam. Tentu kau masih ingat peristiwa tiga tahun yang lalu...?"
"Tentu saja aku masih mengingatnya!" sahut Nanjar dengan menatap tajam wanita ini. Teringat Nanjar ketika wanita itu bertarung menghadapi dua tokoh yang menamakan diri mereka si
Sepasang Iblis Sembilan Racun. Dua tokoh yang
membuat heboh dengan segala tindakan kekejamannya. Secara kebetulan Nanjar bahu-membahu menumpas kedua manusia itu. Walaupun
kedua manusia itu tak menemui kematian, dan
berhasil melarikan diri. Namun kedua iblis itu dalam keadaan terluka parah.
"Hihi... sukurlah, kalau kau masih mengingatnya. Budimu itu takkan pernah kulupakan. Entah bagaimana cara aku membalasnya..." kata wanita ini.
*** Nanjar tertawa tawar. Tapi dalam hati diamdiam dia terkejut karena wanita itu berwatak telengas. "Haha... sudahlah! soal lama itu lupakan saja..." kata Nanjar.
"Bagaimanakah keadaanmu kini, sahabat
Biksu Rara Tantri?" tanya Nanjar, menutup keterkejutannya karena melihat ketelengasan paderi
wanita yang dikenalkan tiga tahun yang lalu itu.
"Ah, aku baik-baik saja. Selama ini aku menutup diri untuk memperdalam ilmu kepandaianku." sahut wanita ini. "Oh, ya... kuharap kau tak memanggilku dengan sebutan
Biksu lagi, cukup
dengan namaku saja" sambung wanita ini.
"Eh, mengapakah" apakah kau telah meninggalkan ke Biksuanmu?" tanya Nanjar. Wanita itu terdiam sesaat.
"Ya...! aku merasa masih belum mampu
membersihkan diri. Entahlah mungkin suatu saat
aku akan kembali menjadi Biksu!" sahut Rara Tantri dengan suara datar. "Oh, ya!
aku belum mengatakan siapa adanya dua manusia ini. Mereka adalah dua bangsat kelas rendah yang licik. Selain
pekerjaannya memeras orang, juga gemar memperkosa gadis-gadis. Manusia semacam ini sudah
sepantasnya dibunuh mampus!" lanjut wanita ini, seraya gerakkan kaki menendang
tubuh Samari yang sudah lepas nyawanya. Mayat laki-laki itu
terlempar ke dalam semak.
"Mari kita pergi dari tempat ini, sobat Dewa, Linglung. Banyak yang akan
kukatakan padamu
mengenai hal yang mungkin belum kau ketahui..."
cepat-cepat Rara Tantri berkata, lalu menarik lengan Nanjar untuk diajak berlalu. Nanjar terpaksa
menuruti keinginan wanita bekas biksu itu.
Pedang Hati Suci 5 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Kelana Buana 14

Cari Blog Ini