Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 1
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
RAHASIA SI BADJU PERAK Diceritakan oleh : G. K. H
Scan Djvu : Mukhdan, editor : Hendra
Final Edit & Ebook oleh : Mukhdan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://kang-zusi.info/
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Srek srek ...... srek srek......"
Dalam suasana yang hening lelap ditengah malam pada suatu alam pegunungan terdengarlah
suara keresekan yang halus lembut itu.
Saat mana sang putri malam tengah memancarkan sinar lembut nan cemerlang diseluruh jagat
raya. Sayup-sayup suara keresekan yang halus lembut itu terdengar semakin nyata dan
mendekat. Samar-samar terlihatlah bayangan seorang manusia, jadi suara keresekan itu adalah suara
derap kaki manusia yang menginjak diatas daun-daun kering, namun sungguh mengherankan
suara langkah itu sedemikian ringan dan hampir tak terdengar. Bagi orang yang tidak paham
ilmu silat tentu disangkanya suara daun jatuh atau langkah binatang buas.
Bayangan itu muncul diujung jalanan sebelah sana, ia bertubuh tinggi kurus, tubuhnya
mengenakan pakaian serba hitam yang sepan ketat, gerak geriknya lincah gesit dan waspada.
Gerak langkahnya enteng bagai tak menyentuh tanah sekali melesat tiga tombak jauhnya.
Tiba-tiba langkahnya menjadi lambat dan hati-hati ia mendekati sebuah bangunan gedung
kuno yang tak terurus lagi. Matanya memandang tajam dengan cermat dan waspada, sikapnya
takut-takut. Kelihatannya rumah gedung ini sangat angker, dalamnya kosong melompong tiada
penghuninya, sedemikian besar dan luas bangunan ini, namun keadaannya sudah bobrok dan
terlihat bekas-bekas terbakar hangus. Tertimpah sinar sang putri malam kelihatannya menjadi
seperti bayang-bayang jin raksasa yang seram menakutkan.
Akhirnya orang muda itu menghentikan langkahnya dibawah sebuah jendela, gerak-geriknya
sangat gesit dan prihatin, sikapnya takut-takut dan sangsi. Waktu orang ini membalikkan muka
maka tampak ia berwajah putih berdagu panjang beralis tebal, usianya kurang lebih 20-an.
Tampak dia menggeremet mendekati daun jendela lalu dengan hati-hati mengintip kedalam.
Mendadak entah mengapa tubuhnya kelihatan menggigil seperti melihat sesuatu yang seram
menakutkan. Kiranya dari penerangan sang putri malam yang menyorot masuk dari jendela, samar-samar
kelihatan didalam ruangan yang sedemikian luas itu ternyata hanya terdapat empat buah peti
mati yang tersebar diempat penjuru. Dari warnanya yang sudah luntur dan tutupnya yang
sudah banyak berlobang dimakan rayap dapatlah diduga bahwa peti mati itu tentu sudah tua
sehingga lapuk, mungkin pula didalam keempat peti mati itu berbaring mayat-mayat manusia
yang tinggal tulang belulangnya saja.
Sekonyong-konyong terasa oleh sipemuda suatu keanehan, maka dengan penuh perhatian ia
pasang kuping serta mementang mata lebar-lebar. Tampak sesosok bayangan manusia
melesat masuk keruangan besar itu dengan ringan dan gesit sekali.
Thio Thian-ki, demikianlah nama orang yang baru tiba ini, dia bukan lain adalah guru sipemuda
yang tengah mengintip diluar itu. Seluruh tubuh Thio Thian-ki ternjata terbungkus jubah
panjang yang berwarna perak berkilau, begitu pula kepalanya juga mengenakan kedok yang
serupa warnanya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tingkah Thio Thian-ki lebih bebas dan wajar, ini menandakan bahwa nyalinya lebih besar dari
muridnya yang bertindak takut-takut dan cermat. Sekilas dia melirik keempat peti
disekelilingnya, lalu pelan-pelan dan tenang menurunkan buntalan besar yang dipanggul
diatas punggungnya, sedikit membuka ujung buntalan besar itu dengan terpesona dia pandang isi dalamnya. "Brak", mendadak tutup peti mati disekelilingnya terpental terbang ketengah udara dan
bersamaan itu meluncurlah berbagai senjata rahasia yang tak terhitung banyaknya, sekaligus
meluruk kearah sibaju perak.
Sedemikian mendadak peristiwa ini terjadi pula jaraknyapun begitu dekat seketika Thio
Thian-ki sudah terkepung oleh senjata-senjata rahasia yang berkilauan ditimpa sinar rembulan. Tetapi kepandaian silat Thio Thian-ki agaknya tidak lemah, terdengar gelak tawanya
melengking tinggi, gesit sekali ia sambar buntalannya terus menjejakkan kedua kakinya
sehingga tubuhnya melejit tinggi ketengah udara. Maka dilain saat terdengarlah suara "trang,
tring" dari beradunya senjata-senjata rahasia itu, semuanya terjatuh diatas tanah tanpa dapat
melukai sasarannya. Sekali jumpalitan ditengah udara dengan gaya yang indah menakjubkan, Thio Thian-ki
meluncur turun diluar gelanggang. "Sreng" tiba-tiba ia lolos sebilah pedang panjang sambil
menghardik keras: "Bangsat kurcaci, keluarlah terima kematian!"
Begitu mendengar Thio Thian ki menantang musuh-musuhnya, sipemuda dibawah jendela itu
berlaku cerdik, menginsafi apa yang bakal terjadi, tanpa ayal dia siapkan beberapa batang
senjata rahasianya sambil menanti dengan bersitegang leher apa yang bakal terjadi.
Maka dilain saat melompatlah empat bayangan hitam dari ke empat peti mati yang telah
terbuka itu. Keempat bayangan ini berseragam hitam dan mengenakan kedok yang serupa
pula, masing-masing membekal senjata tajam, dengan langkah tenang pelan tapi mengancam
setindak demi setindak mereka mendesak maju kearah Thio Thian-ki.
Sungguh harus dipuji ketenangan Thio Thian-ki dalam menghadapi situasi yang gawat ini,
sambil pentang kedua kakinya dan bercekak pinggang dia awasi keempat musuh-musuhnya.
Naga-naganya keempat orang seragam hitam ini juga tidak berani ceroboh dan sembarangan
bergerak, mereka berdiri tegak dengan sikap angker mengepung Thian-ki. Sorot mata mereka
bercahaya terang berkilat mengandung kebencian dan keganasan.
Tiba-tiba salah seorang yang berdiri dihadapan Thio Thian-ki bersuara dengan nada berat:
"Berlututlah kau terima kematian. Malam ini jangan harap kau dapat lolos lagi."
Terdengar Thio Thian-ki terloroh-loroh panjang, suaranya mengalun bergelombang bagai
keluhan naga di angkasa. Sigap sekali secara mendadak dia angkat pedangnya menjojoh ke depan lambung musuhnya.
Keruan musuh dihadapannya berjingkat kaget sambil melompat mundur, nyata gerak
tubuhnya juga tidak kalah sebat dan tangkasnya.
Keempat musuh ini masing-masing bersenjatakan tombak pendek yang ujungnya bercabang,
warnanya hitam gelap. Pelan-pelan keempat orang itu berbareng angkat senjata
masing-masing, mereka membentuk suatu kurungan yang aneh. Dengan posisi dua di muka
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dan dua di belakang mereka mulai bergerak menyerang. Dua yang dimuka bergerak lebih
cepat menyerampang tiba dari kiri-kanan. Lincah sekali Thio Thian-ki lintangkan pedangnya
menangkis. Tak duga begitu senjata mereka menyentuh ujung pedang Thio Thian-ki serentak
mereka malah melompat mundur. Dalam keheranannya hampir saja Thio Thian-ki menjadi
korban serangan tombak musuh yang berada di belakangnya. Belum sempat Thio Thian-ki
memperbaiki posisinya untuk menghadapi serangan dari belakang ini, musuh yang berada di
depannya sudah merangsak datang lagi, begitulah sekaligus mereka bekerja sama dengan rapi
menggencet dari muka dan belakang.
Sekejap saja Thio Thian-ki alias sibaju perak sudah dihujani berbagai serangan yang ganas dari
keempat musuhnya. Sungguh hebat kepandaian sibaju perak, tenang dan tangkas sekali dia
melayani setiap serangan musuh yang mematikan itu. Setiap kali sinar pedangnya berkelebat
laksana kilat pasti musuh-musuhnya terdesak mundur kerepotan. Sedemikian lincah dia
bergerak, membacok, memapas, menusuk atau menyampok dengan aneka ragam tipu-tipu
dan jurus ilmu pedang yang banyak perobahannya.
Bahwa dengan kekuatan gabungan mereka dengan kurungannya yang aneh itu masih belum
kuat menghadapi sibaju perak, keruan keempat seragam hitam itu menjadi gelisah sehingga
kerjasama yang ketat tadi menjadi kacau balau, semakin kacau malah menguntungkan si baju
perak yang menggerakkan pedangnya secara membadai sampai menimbulkan deru angin
yang melengking memekakkan telinga. Jelas menurut keadaan seperti itu, mereka semakin
terdesak dibawah angin dan tinggal menunggu ajal saja.
Sekonyong-konyong dari dalam ruangan sebelah dalam sana meloncat keluar seorang
berseragam hitam pula. Begitu orang ini ikut memasuki gelanggang situasi pertempuran
seketika banyak berubah. Segera keempat orang seragam itu kembali menduduki posisi
masing-masing yaitu berpencar diempat penjuru, sedang orang yang baru tiba ini secara
langsung berhadapan dengan si baju perak.
Terdengar orang ditengah memberi aba-aba dan mereka mulai bergerak lagi menurut ilmu
barisan yang aneh itu, dikatakan aneh karena keempat orang yang mengepung di luar itu
hanya bergerak dan bergaya seperti orang berlatih lazimnya, lain halnya orang yang
berhadapan langsung dengan sibaju perak, kalau empat kawannya itu hanya menggerakkan
senjata menyerang dari jarak jauh, jadi hakikatnya senjata mereka tak mungkin dapat
menyentuh tubuh musuhnya, tapi sebaliknya yang berada di tengah merangsak sedemikian
hebat seperti banteng ketaton, sehingga si baju perak sementara dibuat kerepotan juga.
Sedemikian ketat perpaduan kerjasama kelima orang ini saban-saban mendengar komando
orang yang berada ditengah itu, jadi gerak posisi dan formasi mereka ini seperti seekor
kelelawar besar. Empat orang yang mengurung di empat penjuru menjadi dua sayap di kanan
kiri, mereka bergerak maju mundur kadang-kadang menyerang setiap ada kesempatan,
perbuatan mereka ini tak lain hanya untuk mengaburkan perhatian atau konsentrasi dari
pertahanan si baju perak terhadap kawan yang memberi komando itu, jadi yang terpenting
memegang inisiatif adalah orang yang ditengah itu, serangan senjatanya merupakan inti atau
sentral pertahanan barisan yang kokoh rapi dan serasi itu.
Bermula si baju perak masih berlaku tenang dan gesit luar biasa, namun sesudah berulangkali
menemui kegagalan dalam usahanya mematahkan serangan musuh serta hendak membobol
keluar kurungan tidak berhasil dan gagal, lama kelamaan pertahanannya berbalik menjadi
kacau, gerak pedangnya tidak sehebat tadi akhirnya menjadi patah semangat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pada saat itulah mendadak terdengar satu suara serak seorang tua berseru memberi perintah
dari ruangan sebelah dalam sana: "Ringkus dia !"
Serentak kelima senjata musuh berkelebat dan tahu-tahu Pedang si baju perak telah tergencet
dan terpantek di tengah udara dari lima jurusan, karena pedang terangkat naik inilah maka
bawah tubuh Thio Thian-ki alias si baju perak terbuka lebar.
"Serrr," tiba-tiba sebuah senjata rahasia berbentuk runcing panjang seperti tombak meluncur
pesat dari ruangan dalam sana. Kelihatannya daya luncuran senjata rahasia ini sangat lamban,
namun mengeluarkan suara mendenging yang keras. Dari sini dapatlah dibayangkan betapa
tinggi Lwe-kang pelepas senjata rahasia ini. Perlahan-lahan tapi pasti senjata rahasia itu
mengarah lambung Thio Thian-ki. Semut saja masih ingin hidup apalagi manusia, demikian
juga keadaan si baju perak, insaf bahwa dirinya menghadapi elmaut sekuat tenaga dia coba
meronta. Namun agaknya usahanya sia-sia, karena senjatanya tergencet sedemikian kencang
dan tak mampu berkutik sedikitpun jua.
Sementara itu, begitu melihat Suhunya menghadapi bahaya, tanpa sangsi lagi segera pemuda
yang sembunyi dibawah jendela itu menyambitkan senjata rahasianya sekuat tenaga.
Maka terdengarlah suara berdenting, tepat sekali senjata si pemuda membentur senjata
rahasia berbentuk tombak pendek itu. Tapi bukan saja senjata rahasia berbentuk tombak
pendek itu tidak terbentur jatuh malah daya luncurnya semakin cepat, sedang senjata rahasia
si pemuda terpental balik entah kemana.
Dalam pada itu, Thio Thian-ki masih berkutat sekuat tenaga berusaha membebaskan diri, serta
melihat bentuk senjata rahasia yang meluncur tiba itu, seketika ia terkesima, wajahnya
mengunjuk rasa takut dan menyesal. "Bles", tanpa ampun lagi dengan telak senjata rahasia itu
menancap amblas sampai seluruhnya ke dalam perut Thio Thian-ki. Thio Thian-ki melolong
panjang kesakitan, suaranya menggetarkan gedung dan alam pegunungan.
Pemuda yang mengintip dibawah jendela menggigil dan sempoyongan mundur, hampir saja
dia jatuh kelengar melihat penderitaan Suhunya yang meregang jiwa sebelum ajal.
Lantas terdengar pula suara serak si orang tua berkata: "Angkat masuk !"
Beramai-ramai kelima orang seragam hitam itu mengusung tubuh Thio Thian-ki kedalam sana.
Tersipu-sipu si pemuda melayang masuk kedalam ruang besar, dimana buntalan besar Thio
Thian-ki tadi masih menggeletak diatas tanah. Mulut kantongan besar itu masih terbuka lebar,
dibawah penerangan sang putri malam terlihat jelas apa isi kantongan besar itu. Hanya sekilas
pandang saja kontan tergetar tubuh si pemuda seperti terkena aliran listrik. Sekian lama dia
termangu dan terkesima di pinggir buntalan besar itu, rona wajahnya bergantian memucat.
Sekonyong-konyong ia berteriak keras histeris seperti orang kehilangan ingatan terus
menerjang masuk ke dalam kemana kelima orang tadi menghilang.
Tampak oleh sipemuda tubuh Thio Thian-ki terbujur di atas lantai, jubah pakaian dan kedok
peraknya sudah ditanggalkan jadi tubuhnya telanjang bulat, seluruh tubuhnya berlumuran
darah. Begitu melihat kematian sang Suhu yang seram dan mengerikan ini, rasa seram, benci
dan putus asa berkecamuk dan merangsang dalam benaknya, saking tak tahan kepala terasa
berkunang-kunang tubuhnya menjadi lemas dan meloso jatuh pingsan di sisi mayat Suhunya.
Tak lama kemudian dari samping serambi sana berjalan keluar enam orang seragam hitam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menghampiri ke arah dua sosok manusia yang terbaring di lantai itu, salah seorang diantara
mereka meletakkan secarik kertas diatas jenazah Thio Thian-ki lalu bergegas meninggalkan
gedung bobrok yang seram menakutkan ini. Tak lupa mereka jinjing dan membawa pergi
buntalan besar yang dibawa oleh Thio Thian-ki.
"Srek srek...............srek srek.................." suara keresekan daun kering terinjak tapak kaki
terdengar pula, hanya kali ini lebih ramai dan semakin menjauh, sinar sang putri malam
semakin doyong ke barat, angin malam sepoi-sepoi sejuk, alam pegunungan kembali menjadi
sunyi senyap. Satu minggu setelah peristiwa kematian Thio Thian-ki. Terlihat suatu kesibukan di
perkampungan Thio-keh-cheng yang terletak dua puluh li sebelah timur keresidenan Sam-ho
dalam wilayah Ho-pak. Tampak lalu lintas hilir mudik di luar perkampungan, ada kereta, ada
pedati, ada kuda tunggangan, dan manusia berjalan kaki berlalu lalang dengan sibuknya.
Thio-keh-cheng yang biasanya sepi kini menjadi sedemikian ramai dengan kunjungan
tamu-tamu yang menunggang kuda berdatangan tak putus-putus. Si petugas penyambut
tamu bekerja keras dan repot luar biasa, pakaian mereka sampai basah kuyup oleh keringat.
Semua warga Thio-keh-cheng mengenakan pakaian putih belaco tanda berkabung karena
meninggalnya sang majikan.
Tiba-tiba terdengar kelintingan diiring derap kaki kuda yang ramai tengah mendatangi. Dua
ekor kuda membedal cepat mendatangi sampai diluar perkampungan, kedua orang penunggang kuda adalah dua laki-laki gagah bertubuh tegap dan garang, berusia 40-an,
sikapnya bersemangat kedua mata mereka berkilat terang. Begitu turun dari atas kuda tanpa
hiraukan lagi tunggangannya terus terburu-buru melangkah lebar setengah berlari masuk
kedalam perkampungan. Siang-siang sudah ada seorang centeng lari masuk memberi laporan
di dalam rumah : "Kiau-toaya dan Ji-toaya dari Ki Wan Piau-kiok telah tiba!"
Kiranya dua orang gagah ini adalah kakak beradik sepupu. Yang tua bernama Kiau Keng
berjuluk Hek-hong-piau, sang adik bernama Kiau Sim, berjuluk Tok-bok-siu. Mereka adalah
benggolan silat yang kenamaan di daerah utara. Di ibu kota mereka mendirikan perusahaan
pengangkutan yang bernama Ki Wan Piaukiok. Mengandal nama Kiau-si Hengte yang tenar
dan jaya serta belum pernah terkalahkan sehingga perusahaan ini semakin maju pesat dan
besar. Thio Thian-ki, chengcu atau majikan dari perkampungan Thio-keh-cheng semasa masih hidup,
sebetulnya adalah sahabat kental Kiau-si Hengte ini, sedemikian akrab hubungan mereka
seumpama saudara sekandung sendiri.
Usia Thio Thian-ki atau majikan dari Thio-keh-ceng baru menanjak 50-an, semasa hidup beliau
kenamaan dengan sebilah pedang emasnya. Karena pergaulan yang luas serta perbuatan dan
wataknya yang jujur dan welas asih, maka para kawan-kawannya memberikan julukan
Seng-po-sat atau Budha hidup kepadanya.
Memang Seng-po-sat Thio Thian-ki atau si Budha hidup sangat tenar karena jiwanya yang
luhur dan bajik, sifatnya polos dan paling menjunjung keadilan dan kebenaran. Entah apa
sebabnya pada usia 30-an tiba-tiba dia mengundurkan diri dari kalangan Kangouw dan
mengasingkan diri di Thio-keh-cheng ini. Meskipun sudah putus hubungan dengan dunia luar,
namun dia masih berbuat dermawan menolong si miskin. Karena itulah di sekitar daerah
Sam-ho namanya paling disegani dan dipuja-puja.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Pada suatu hari dalam musim semi itu, diam-diam ia meninggalkan rumah kediamannya
sampai beberapa bulan tidak pulang. Entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu keluarganya
mendapat kabar duka akan kematiannya yang mengenaskan itu. Secara kebetulan jenazahnya
diketemukan oleh seorang sahabatnya dan terus dikirim pulang. Karena kematian sahabat
kentalnya inilah maka tanpa mengenal lelah bergegas Kiau-si Hengte telah memburu tiba dari
kotaraja. Baru saja Kiau-si Hengte melangkah masuk musik kedukaan segera bergema, terdengar isak
tangis yang memilukan dari sebelah dalam sana. Gambar lukisan Thio Thian-ki terpancang
depan peti mati, wajahnya kelihatan welas-asih dengan jenggotnya yang memanjang terurai di
depan dada. Melihat gambar orang seketika Kiau-si Hengte merasa pilu dan terharu, segera
mereka berlutut dan menyembah memberi penghormatan terakhir di depan layon Thio
Thian-ki. Setelah bangkit sambil mengembeng air mata bergegas Kiau-si Hengte mendekati layon
sambil mengulur tangan kearah peti mati. Keruan tindak tanduk mereka yang diluar sangka ini
menimbulkan curiga Ji-chengcu (majikan kedua adik Thio Thian-ki) yang tengah membalas
memberi hormat, tersipu-sipu dia maju coba merintangi.
"Thian-ih, kami ingin melihat wajah Toako untuk penghabisan kali, mengapa tak boleh?"
demikian semprot Kiau Keng sengit.
Thian-ih atau lengkapnya Thio Thian-ih adalah seorang pemuda ganteng yang berusia 20-an,
terdengar dia menjawab dengan suara serak-serak basah: "Keng-heng dan Sim-heng,
betapapun hal itu tak mungkin terjadi. Silakan kalian istirahat dulu diruang tamu sambil
bercakap-cakap dengan sekalian handai taulan dan para sahabat!" terus dia ulapkan tangan
memanggil dua orang centeng. Kedua centeng ini juga berlaku cerdik, segera mereka maju
menyapa dan mempersilahkan: "Keng-toaya dan Sim-toaya silahkan istirahat di ruang
belakang." Tanpa menanti reaksi mereka terus memimpin jalan meninggalkan ruang layon itu.
Dengan hati penuh kecurigaan terpaksa Kiau-si Hengte ikut keruang belakang. Waktu tiba
diruang dalam dimana perjamuan sederhana ternyata sudah tersedia lengkap, tiga empat
puluh meja perjamuan yang teratur rapi telah penuh diduduki para kawan-kawan dari
kalangan Kangouw. Melihat kedatangan Kiau-si Hengte ini beramai-ramai mereka bangkit
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambut sambil unjuk hormat dan sekedar basa-basi !
Ternyata para tamu yang hadir ini kebanyakan adalah tokoh-tokoh silat kenamaan,
diantaranya ada Cin-tiong-sam-hiap, Hek-san-siang-si, Sip Yan-hun dan Sip Yan-hong dua
saudara dari Ciong-lam-pay. Tidak ketinggalan pula Kun-suseng Liok Pek-ing Pangcu
Ho-bwe-pang di Kanglam. Co Lan-pui dari puncak Thian-gwa di Pa-san, Tujuh Tongcu dari
Kam-liang dan masih banyak lagi yang lain telah memenuhi ruangan ini.
Diam-diam Kiau-si Hengte menyesal, pikirnya: "Para kawan dari selatan yang lebih jauh malah
mendahului kita, sungguh memalukan sekali."
Setelah saling memberi hormat dan sapa sanjung sekadarnya lantas terdengar Kun-suseng
Liok Pek-ing buka suara lantang: "Kiau-lotoa, Kiau-loji, apakah kalian sudah ketemu Thian-ih?"
"Ya sudah ketemu. Dia melarang kami melihat wajah engkohnya," sahut Kiau-sim
uring-uringan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Kalian sudah berusia tua tapi masih bersifat berangasan seperti masih muda," demikian Liok
Pek-ing angkat bicara lagi, "Ketahuilah Thio-loji mempunyai kesukarannya sendiri dan sudah
tentu dia melarang kalian membuka peti mati untuk melihat wajah engkohnya."
"Dia ada kesukaran apa?" tanya Kiau Keng tak mengerti.
Liok Pek-ing menggeleng tanpa membuka suara lagi. Baru saja Kiau Sim hendak bertanya lagi,
terdengar Co Lan-pui dari puncak Thian-gwa telah menimbrung: "Kabarnya Thio-lotoa
terbunuh dengan seluruh tubuh tercacah lebur, waktu jenazahnya dikirim pulang sudah tidak
bisa dikenal lagi karena penuh berlumuran darah."
Bukan kepalang kejut Kiau-si Hengte mendengar keterangan Co Lan-pui ini, tanya Kian Keng
ragu-ragu: "Kalau sudah susah dikenal, lalu bagaimana bisa diketahui bahwa jenazah itu
adalah Thio-toako adanya?"
"Ha, meski tubuhnya tercacah hancur namun kepala dan mukanya masih utuh," demikian Co
Lan-pui memberi penjelasan. "Mungkin saking benci dan dendam maka pembunuh itu telah
bekerja tanpa kepalang tanggung. Kukira dalam peristiwa ini pasti ada latar belakangnya
apa-apa!" Kiau-si Hengte menggerung murka sambil mengeprak meja, "Siapakah pembunuh yang turun
tangan secara keji itu?" demikian Kiau Keng berteriak keras.
"Tiada seorang jua yang mengetahui," sela Liok Pek-ing. "Sedikit banyak orang yang
mengantar jenazah Thio-toako kembali itu pasti mengetahui seluk beluknya."
"Siapa dia" Siapa yang membawa pulang jenazah Thio-toako?" Kiau Sim bertanya gugup.
"Ban-keh-seng-hud Ciu Hou," sahut Liok Pek-ing kalem. "Kita beramai tengah menanti
kedatangannya untuk minta sedikit keterangan."
Maka terdengar suara bisak-bisik disana-sini, suasana menjadi ribut, semua orang merasa
heran dan tak mengerti. Sang waktu berjalan dengan cepat, tahu-tahu sang magrib telah menjelang datang, makanan
dan minuman mulai dihidangkan lagi, tapi semua hadirin tiada selera untuk makan minum,
mereka tengah menanti dan mengharap betul kedatangan Ban-keh-seng-hud Ciu Hou,
satu-satunya orang yang paling jelas dan mengetahui duduknya perkara sampai terbunuhnya
tuan rumah. Begitulah dari pagi sampai lohor hingga hari sudah mulai petang mereka menanti tinggal
menanti dengan tidak sabar lagi. Waktu penerangan mulai dipasang baru terlihat Thio Thian-ih
muncul diambang pintu didampingi oleh Ciu Hou, orang yang sangat diharapkan
kedatangannya. Tampak Ciu Hou ini mengenakan jubah panjang warna abu-abu, sikapnya
tenang dan sabar, tapi sinar matanya itu menunjukkan bahwa hatinya kurang tentram.
Begitu melihat kehadiran Thio Thian-ih dan Ciu Hou suasana dalam ruang tamu itu menjadi
hening lelap, segera Thian-ih silakan para tamu duduk, lantas bersama Ciu Hou dia juga
mencari tempat duduknya. Sejenak ia batuk-batuk lantas terdengarlah suaranya yang lantang:
"Malapetaka telah menimpa keluarga kami karena kematian Toako itu. Biarlah dengan
secawan arak ini atas nama keluarga kuucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kesudian para kawan dan handai tolan yang telah sudi meringankan langkah untuk datang
melawat." Habis berkata dia mendahului menenggak habis secawan arak. Tanpa bersuara
semua hadirin juga mengiringi mengeringkan cawan masing-masing.
Hening sejenak baru saja Thian-ih hendak membuka kata lagi, tiba-tiba salah seorang tamu
telah mendahului berkata: "Ciu-tayhu (tabib Ciu), lekaslah kau bercerita cara bagaimana
sebetulnya Thio-toako telah menemui ajalnya!"
Seketika sorot mata para hadirin segera tertuju ke arah Ciu Hou. Sebelum Thian-ih keburu
menyanggah Ciu Hou sudah bangkit berdiri, suasana dalam ruang makan itu menjadi
sedemikian sunyi senyap, semua orang mengharap dengan sangat mendengar ceritanya.
Perlahan-lahan Ciu Hou angkat kepala dan menyapu pandang keempat penjuru, tandas dan
lantang terdengar suaranya berkata: "Para hadirin sekalian agaknya ingin benar mengetahui
seluk beluk akan kematian Thio-toako. Bicara terus terang sebenarnya aku sendiri juga tidak
mengetahui apa-apa. Lalu apa yang harus diceritakan disini?"
Keruan para hadirin bersungut dan menjadi gusar, yang berdarah panas malah menggebrak
meja dan memaki kalang kabut. Demikian juga Thian-ih menjadi tak senang dan heran,
sungguh tak tersangka olehnya bahwa Ciu Hou bakal berkata begitu, maka cepat-cepat ia
berdiri dan bertanya: "Ciu-heng, jenazah Toako adalah kau yang membawa pulang,
bagaimana kau mengatakan tidak tahu seluk beluk kematiannya, bukankah sangat ganjil?"
Sahut Ciu Hou: "Secara kebetulan aku menemukan jenazah saudaramu, sedang siapakah yang
membunuh mana aku dapat tahu?"
"Ciu-heng," segera Liok Pek-ing ikut menimbrung, "Dimanakah kau ketemukan jenazah
Thio-toako?" "Dipegunungan Ci-bong dalam wilayah Shoatang, diatas bukit itu terdapat sebuah gedung
bobrok bekas markas besar So-keh-pang di Ci-bong itu. Konon kabarnya setelah Pangcu tua
mereka meninggal dunia, lalu keturunannya membakar gedung bangunan yang tak terpakai
lagi, tempat itu sekarang sudah menjadi tumpukan puing-puing," demikian tutur Ciu Hou.
"Kalau begitu bukan mustahil Toako menemui ajalnya dibawah tangan So-keh-pang didaerah
Ci-bong itu." Tampak Ciu Hou menggeleng kepala serta sahutnya: "Bukan! Bukan orang dari keluarga So
yang melakukan perbuatan kejam. Harap Ji-chengcu jangan serampangan menerka.''
"Ciu Hou,'' bentakan Kiau Keng terdengar menggeledek, "Darimana kau bisa mengetahui
bahwa itu bukan perbuatan jahat dari keluarga So itu?"
"Sebab waktu aku menemukan jenazah Thio-toako dalam gedung bobrok itu, disampingnya
ada rebah seseorang. Dan yang terpenting masih ada....masih ada lagi secarik........" sampai
disini dia menjadi ragu-ragu dan merandek, tampak alisnya berkerut dalam, rupanya ia
menyesal telah bicara terlalu banyak.
"Siapakah orang yang pingsan itu"'' desak Kiau Keng tak sabaran.
"Orang itu adalah Chit-chiu-na-jia (Lo-jia bertangan tujuh) Hi Si-ing,'' sahut Ciu Hou tenang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
meski dirinya diperlakukan kasar dan dibentak-bentak. "Mungkin karena terlalu kaget dan
sedih melihat cara kematian Suhunya yang mengenaskan sehingga dia jatuh pingsan. Jadi
menurut tafsiranku hanya Hi Si-ing seoranglah yang paling jelas mengetahui seluk beluk
kematian Thio-toako."
Lekas-lekas Thio Thian-ih bertanya: "Ciu-heng, dimana Hi Si-ing sekarang?"
Ciu Hou goyang kepala, sahutnya: "Aku sendiri juga heran, dia menghilang secara misterius!"
Lagi-lagi para hadirin menjadi ribut dan berisik, mereka merasa bahwa keterangan Ciu Hou
terlalu berbelit-belit dan menyulitkan saja.
Namun Ciu Hou tidak pedulikan keributan itu, terdengar ia berkata lebih jauh: "Waktu pagi itu
aku menemukan mereka, Hi-hiantit masih pingsan, maka kutolong dia terlebih dulu, lalu
pelan-pelan kutanyakan apakah yang telah terjadi. Mungkin karena ketakutan atau saking
duka, perkataannya tidak menentu juntrungnya, mulutnya mengigau dan ngomong seperti
orang gila. Terpaksa aku harus turun gunung mencari orang untuk membantu mengurus
jenazah Thio-toako. Waktu aku kembali bersama orang-orang dari So-keh-pang, ternyata
Hi-hian-tit telah menghilang entah kemana."
"Ciu-heng, tadi kau berkata bahwa sipembunuh tidak mungkin orang dari So-keh-pang.
Apakah kau dapat membuktikan omonganmu?" terdengar Liok Peng-ing mendebat keterangan
Ciu Hou. Sekarang baru Ciu Hou sadar tadi telah terlalu banyak mulut, menyesal juga sudah kasep,
terpaksa ia menyahut tergagap: "Tentang ini............itu............" Sebetulnya ia ragu-ragu dan
segan memberi keterangan sekadarnya, namun dibawah sorotan sekian banyak mata mau tak
mau ia harus membuka kata: "Hal itu kudapat keterangan dari Hi-hiantit sendiri. Karena
menurut katanya pembunuh Suhunya adalah enam orang berseragam hitam, yang
mengenakan kedok." Enam orang seragam hitam yang berkedok, siapakah keenam orang ini" Seketika para hadirin
tenggelam dalam pemikiran masing-masing mencari jejak sipembunuh dalam ingatan mereka.
Sesudah sekian lama tebak sana tuduh sini tiada satupun yang cocok. Akhirnya mereka
kembali minta penjelasan kepada Ciu Hou.
"Keparat!" terdengar Kiau Keng yang beradat berangasan memaki gusar, "Ciu-heng, bukankah
tadi kau mengatakan bahwa Hi-hiantit sudah tidak waras lagi" Lalu dapatkah keteranganmu ini
dipercaya" Hm, kukira justru kau sendiri yang bikin heboh dan ngelantur."
Sebenarnya Ciu Hou tak ingin main debat. Tapi banyak hadirin yang sependapat dengan
komentar Kiau Keng ini. Beramai-ramai mereka berteriak : "Ciu Hou coba kau terangkan !"
"Tidak jelas kubunuh kau." dan lain-lain perkataan kotor yang tak enak didengar kuping.
Thio Thian-ih menjadi repot dan gugup berusaha menenangkan suasana yang gaduh lagi
kacau balau ini. Begitulah pada saat semua orang sedang ribut mulut, mendadak seorang
centeng berlari masuk dengan napas sengal-sengal sambil melapor: "Celaka Ji-chengcu,
kebakaran, kamar belakang telah terbakar!"
Saat mana hari memang sudah petang, dalam kegelapan yang remang-remang itu terlihat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sinar api yang menjulang tinggi dan berkobar besar.
Bergegas Kiau Keng meloncat bangun serta berteriak: "Para sahabat mari cepat bantu
padamkan api. Kalau ada mata-mata musuh jangan dilepaskan!"
Serentak para hadirin beramai-ramai menghunus senjata terus berbondong-bondong
memburu keluar. Memang bangunan loteng sebelah dalam sana telah terjilat api yang
berkobar besar, angin malam menghembus agak kencang lagi sehingga sang jago merah
susah dikendalikan dalam waktu singkat. Semua orang menceburkan diri dalam usaha untuk
memadamkan kebakaran ini.
Sebaliknya, Thio Thian-Ih berlaku cerdik, dalam keadaan yang kacau dan gawat ini masih
berlaku tenang dan curiga, pikirnya: "Kebakaran ini terjadi secara mendadak dan janggal, ini
sangat mencurigakan, aku harus waspada dan hati-hati, seumpama loteng itu terbakar habis
juga tidak menjadi soal, yang terpenting ruang layon didepan itu jangan sampai ikut kena
cedera." karena pikirannya ini cepat-cepat ia berlari keruang depan.
Ruang depan masih dalam keadaan gelap karena penerangan disini tidak disulut, waktu
Thian-ih tiba dibawah penerangan dua batang lilin didepan layon itu terlihat olehnya sesosok
bayangan putih berkelebat. Celaka, diam-diam Thian-ih mengeluh dalam hati, secara hati-hati
ia menggeremet maju dan mendadak menyingkap kain gordiyn. Tampak seorang yang
mengenakan jubah putih warna perak tengah mengulur tangan menanggalkan pedang yang
tergantung diatas dinding, baru perlahan-lahan ia memutar tubuh.
Begitu wajah dan bentuk tubuh bayangan ini terlihat jelas, hampir Thio Thian ih jatuh kelengar
saking kejut dan kesima. Karena bayangan putih dihadapannya ini bukan lain adalah
Seng-po-sat Thio Thian-ki saudara tuanya sendiri. Sesaat waktu Thian-ih termangu-mangu,
bayangan putih itu telah menyorengkan pedang dipinggangnya.
Bahwa orang yang terang sudah mati ternyata muncul lagi didepan matanya, hal ini betul-betul
membuat Thio Thian-ih mengkirik dan terkejut, heran dan takut pula. Sesaat ia takut dan ragu
akhirnya memberanikan diri membuka suara: "Toako !"
Memang tidak perlu disangkal lagi bahwa orang yang dihadapannya ini laksana pinang dibelah
dua, persis benar dengan Thio Thian-ki semasa hidup.
Mendengar panggilan Thian-ih, sijubah perak itu maju selangkah sambil unjuk seringai seram
terus menghunus pedang Loh-kim-kian (pedang emas murni) ditangannya, seketika sinar
kuning kemilau menerangi seluruh ruang layon yang remang-remang itu, ringan sekali
tubuhnya melejit melompati peti mati terus menghampiri kearah Thian-ih.
Seketika terbayang kematian saudaranya yang mengenaskan itu, hati Thian-ih terguncang
hebat dan merasa ngeri seram, tanpa merasa ia menyurut mundur beberapa tindak. Sijubah
perak itu juga terus mendesak maju. Sekonyong-konyong sijubah perak menggerakkan
pedang dengan jurus Ho-hay-ceng-kau sinar kuning berkelebat membabat miring, maka
terdengarlah "Bret?".."Byurrr?" kain gordiyn yang mengalingi ruang layon itu seketika robek
berjatuhan sehingga Thian-ih gelagapan dan mencak-mencak. Maka dengan enaknya bagai
segumpal asap sijubah perak berkelebat menghilang ditengah kegelapan malam.
Waktu Thian-ih bergegas mengejar keluar, bayangan sijubah perak sudah tak kelihatan lagi,
hanya terlihat bayangan pohon yang tergoyang-gontai ditiup angin malam.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Terpaksa dengan hati lesu Thian-ih kembali keruang layon, peti mati masih utuh menggeletak
ditengah ruangan. Tapi setelah terjadi kejadian yang menggiriskan ini, suasana terasa seram
menakutkan dan mendirikan bulu roma.
Diam-diam Thian-ih bersangsi bahwa dia tengah bermimpi atau mungkin pandangannya yang
kabur, tapi kenyataan bahwa Loh-kim-kiam milik engkohnya yang tergantung didinding itu
sudah hilang, kain gordiyn juga bertumpuk diatas tanah, ini membuktikan kalau kejadian yang
baru dialami memang kenyataan dan benar-benar terjadi.
Apakah Toakonya belum mati" Lalu siapakah yang berbaring dalam peti mati itu" Atau
mungkin engkohnya hanya terluka parah dan kini peti itu telah kosong" demikianlah berbagai
pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Sesaat setelah hatinya tenteram, dengan hati-hati ia
membuka tutup peti mati dan melongok kedalam.
Tampak tubuh engkohnya masih terbaring dalam peti mati, wajahnya tetap utuh seperti
semula, sebuah tahi lalat di pinggir telinga membuktikan bahwa dia benar-benar Thio Thian-ki
tulen adanya. Diulurkannya tangan mengelus-elus tahi lalat itu, terang tahi lalat ini juga bukan
palsu. Karena jenazah engkohnja sudah dimandikan tak tega rasanya ia memeriksa lebih lanjut.
Hanya terbayang olehnya tanda-tanda bundar menyerupai sekuntum bunga Bwe besar di atas
tubuh engkohnya itu. Karena justru tanda cap bundar inilah yang menyebabkan seluruh tubuh
engkohnya hancur lebur secara mengenaskan.
Sementara itu, api sudah dapat diatasi, namun tak urung sebagian besar bangunan loteng
sudah menjadi tumpukan puing, tak lama kemudian para tamu sudah berdatangan kembali
dan berkumpul pula di ruang tamu besar itu. Cepat-cepat Thio Thian-ih menutup pula peti
mati. Sebelum kakinya melangkah keluar, tampak olehnya bayangan seseorang telah
mendahului melangkah masuk kedalam ruang layon ini, dia tak lain tak bukan adalah Ciu Hou
adanya. Agaknya Ciu Hou juga tidak menduga akan kehadiran Thian-ih disini, sejenak ia
tertegun lalu ujarnya sambil menghela napas lega: "Ji-chengcu! Ah, membuat aku kaget!
Kukira siapa?" Melihat lagak orang yang kurang wajar ini Thian-ih menaruh sedikit curiga,
lantas tanyanya: "Ciu-heng, ku ingat tadi kau mengatakan melihat secarik benda disamping
tubuh Hi Si-ing dan jenazah engkohku bukan?"
"Secarik barang apakah?" balas tanya Ciu Hou pura-pura heran, "Masa aku pernah berkata
demikian, yang kumaksud adalah sebilah pedang yaitu Loh-kim-kiam milik engkohmu itu.
Bukankah pedang emas itu sudah disimpan dan digantung di dinding sana?" sambil berkata ia
melengos memandang kearah dinding, serta dilihatnya pedang sudah tiada lagi di tempatnya,
ia berseru kejut: "Eh, dimanakah Loh-kim-kiam itu?"
Tindak tanduk yang dibuat-buat ini semakin mempertebal kecurigaan Thian-ih, terpaksa ia
menyahut: "Ah, Ciu-heng pedang itu sudah kuambil dan kusimpan didalam supaya tidak
menambah duka setiap kali melihatnya."
Samar-samar Ciu Hou mengiakan, lalu tanyanya pula: "Ji-chengcu, engkohmu telah meninggal
untuk selanjutnya bagaimana kau akan pernahkan dirimu?"
Sahut Thian-ih: "Pertama-tama aku harus mencari jejak Hi Si-ing yang menghilang tak karuan
paran itu, tindakan kedua aku harus menuntut balas atas kematian engkohku ini."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ciu Hou goyang-goyang kepala dan berkata: "Ji-chengcu, niatmu ini kurasa kurang bijaksana
dan aku kurang menyetujui !"
Thian-ih melenggong, tanyanya keras: "Ciu-heng, lantas bagaimana menurut hematmu. Apa
aku harus berpeluk tangan saja akan kematian engkohku ini?"
Ciu Hou ulapkan tangan, sahutnya: "Bukan begitu maksudku, tapi terserah kau mau percaya
atau tidak bahwa kau tak mungkin dapat mencari jejak keenam orang berkedok itu. Palagi Hi
Si-ing menghilang secara misterius, seumpama kau dapat menemukan dia juga percuma saja,
dia takkan dapat memberi keterangan jelas karena pikirannya tidak waras!"
"Ciu-heng," ujar Thian-ih coba membantah, "Betapa pun memang ucapanmu benar, tapi
dendam kesumat ini bagaimana juga harus kubalas, meski aku harus menjelajahi seluruh
dunia sampai ke ujung langit juga tetap akan kucari sampai dapat jejak pembunuh itu !"
Mendengar tekad Thian-ih yang besar ini pucatlah wajah Ciu Hou, sejenak ia termangu lalu
katanya hampir menggumam: "Ji-chengcu, dalam hal ini tak dapat menyalahkan kau,
hubungan saudara sepupu memang sangat dalam, demi kehormatan keluarga sudah
sepantasnya kau berjuang untuk mencuci hinaan ini, hanya untuk selanjutnya mungkin........"
suara Ciu hou semakin lemah dan akhirnya tak terdengar lagi.
"Ciu-heng, apa yang kau katakan?" Thian-ih heran, kecurigaannya semakin besar.
"Ah, tidak apa-apa, Ji-chengcu, marilah kita lekas keluar, kebakaran di belakang itu mungkin
sudah dapat dipadamkan."
Benar juga sebelum mereka keluar seorang centeng sudah memburu masuk memberi lapor
bahwa kobaran api sudah dapat diatasi, kerugian tidak terlalu besar, sebab-sebab kebakaran
masih dalam taraf penyelidikan. Para tamu sudah berkumpul dan tengah menanti di ruang
tamu. Maka cepat-cepat Thian-ih ajak Ciu Hou keluar. Tak lupa Thian-ih nyatakan terima
kasihnya kepada para tamu yang telah ikut menyusahkan diri dalam mengatasi kebakaran ini.
Berturut-turut Kiau-si Hengte dan Liok Pek-ing melangkah masuk, merekalah yang menyelidiki
sebab musabab kebakaran ini. Menurut penyelidikan memang ada seseorang berpakaian
serba putih yang sengaja melepas api, gerak geriknya sebat luar biasa begitu kepergok lantas
berkelebat hilang dari pandangan mata.
Semua kejadian ini memang sudah dalam perhitungan Thian-ih, maka dengan tenang saja ia
dengarkan laporan hasil penyelidikan itu. Di lain saat ia perintahkan untuk menambah
hidangan lagi. "Tak usah banyak repot," terdengar Siu Tat-in orang kedua dari Hek-san-siang-ing berseru tak
sabaran. "Memang perut kita sudah keroncongan, agak dingin juga tidak menjadi soal."
Begitulah tanpa sungkan-sungkan lagi segera dia mendahului menenggak habis secawan arak.
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka beramai-ramai para hadirin juga angkat cawan hendak menenggak arak. Mendadak Ciu
Hou berseru kejut: "Hai, nanti dulu ! Dalam arak ada racun !" tersipu-sipu dia bangkit sambil
menuding ke arah Siu Tat-in.
Keruan semua hadirin terperanjat. waktu mereka berpaling benar juga tampak Siu Tat-in
sudah kejang dan terduduk kaku diatas kursinya, nyata bisa racun bekerja teramat cepat.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Menghadapi kejadian yang tak terduga ini, Siu Kheng-in tertua dari Hek-san-siang-ing menjadi
gugup, gusar dan kalap. Ia berteriak-teriak seperti orang kesetanan: "Ciu Hou, lekas tolong
nyawa adikku!'' Para hadirin banyak yang merubung maju hendak menolong, tidak ketinggalan Ciu Hou juga
maju memeriksa dengan cermat, tak lama kemudian dia bangkit sambil menghela napas,
katanya: "Sudah terlambat, racun ini teramat jahat tiada obat penyembuhnya !''
Keruan Siu Kheng-in semakin gopoh dan gugup setengah mati, saking kehilangan akal
tiba-tiba ia samber dan jambret lengan baju Ciu Hou sambil mengumpat caci: "Bedebah kau
Ciu Hou. Benar-benar kau tidak sudi menolong adikku?"
Sekali mengebas Ciu Hou bebaskan diri dari cengkraman orang lalu melangkah mundur,
katanya dingin: "Siu-lotoa, adikmu menelan racun jahat, obat pemunahnya harus minta
kepada penyebar racun itu. Kalau darah mengalir balik dan merusak urat nadi, setengah jam
kemudian tak tertolong lagi. Dengan alasan apa kau memaki dan menyalahkan aku?"
Waktu Siu Kheng-in dan Thio Thian-ih memeriksa keadaan Siu Tat-in, memang pernapasannya
semakin lembek, tujuh lobang panca-inderanya mengalirkan darah hitam. Dengan kencang Siu
Kheng-in peluk tubuh adiknya sambil berteriak sesambatan. Suaranya sedih memilukan. Tapi
keadaan adiknya sudah kejang dan tak mungkin mendengar suaranya lagi.
Karena duka dan gusarnya mendadak Siu Kheng-in melompat bangun dengan khilap, matanya
mendelik jalang seperti binatang kesetanan, suaranya sember dan bengis menakutkan: "Ciu
Hou, dari mana kau sendiri tahu racun itu tak dapat diobati. Hahaha...... bukan mustahil kau
sendirilah yang menyebar racun itu! Hahaha, orang she Ciu ! Bagus benar perbuatanmu ya!"
suara tawanya diselingi isak tangis yang mengenaskan seperti suara kokok-beluk.
Sebagai tuan rumah rasanya tidak enak berpeluk tangan saja, maka cepat-cepat Thian-ih maju
sama tengah, bujuknya: "Siu-toako, harap jangan banyak curiga. Lupakah kau akan nama
julukan Ciu-heng, orang memanggilnya Ban-keh-seng-hud (Budha hidup berlaksa keluarga),
sebagai tabib yang kenamaan sudah tentu dia mengenal banyak racun. Kejadian kali ini mana
bisa menyalahkan dia?"
"Ya, betul, bukankah jiwa kita beramai juga Ciu-heng yang menolong. Bila kita sempat
menelan arak bukankah semua sudah mati konyol?" demikian Sip Yan-hun dari Ciong-lam-pay
ikut menimbrung. Memang omongan Sip-yan-hun sangat beralasan, maka beramai-ramai semua orang angkat
tangan menyatakan beribu-ribu terima kasih kepada Ciu Hou.
"Aku tidak percaya," tiba-tiba Kiau Keng berteriak menggeledek. "Sejak tadi ucapan orang she
Ciu ini sudah ngelantur dan sangat disangsikan kebenarannya. Dia tidak mau menerangkan
asal mula kematian Thio-toako. Menurut hematku, siapa tahu justru dia sendirilah yang
menjadi musuh dalam selimut, atau mungkin juga dialah justru algojonya!"
"Benar, waktu menolong kebakaran tadi diapun tidak muncul," tiba-tiba Kiau Sim ikut
menyanggah. "Keparat ini banyak akal muslihatnya, marilah kita ganyang dia dan
menelanjangi perbuatannya!"
Hek-san-siang-ing memang benggolan silat yang terkenal keras dan berangasan sifatnya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
didaerah utara, setelah kematian adiknya pikiran Siu Kheng-in semakin kalut dan tidak waras
lagi. Mendengar tembang sebul (hasutan) Kiau-sim Hengte ini semakin cupatlah pikirannya
serta berkobarlah hawa amarahnya. "Sret'', tiba-tiba dia lolos ruyung lemasnya terus
melompat ketengah ruangan serta tantangnya dengan pandangan mengancam: "Orang she
Ciu, kembalikan jiwa adikku!''
"Siu-lotoa, jangan sembrono menyalahkan orang baik," terdengar Thian-ih coba mencegah
pertempuran dan menguasai suasana.
"Hm, orang baik apa?" jengek Kiau Keng dan Siau Sim berbareng. "Perutnya itu penuh dengan
segala akal muslihat. Hai, orang she Ciu, jangan berlagak sebagai orang baik dihadapan orang,
kalau kau seorang jangan majulah kegelanggang dan unjukan kepandaianmu.''
Habis berkata tiba-tiba Kiau Sim mendorong Ciu Hou ketengah ruangan. Memang Ciu Hou
sendiri tak kuat menahan sabar mendengar ejekan dan hinaan yang menista semena-mena ini
dihadapan sekian banyak orang, bergegas ia melompat dengan tangkas ketengah gelanggang.
Suasana, dalam ruangan besar itu seketika menjadi buncah, para tamu terpecah dalam dua
golongan, sepihak menyetujui pertempuran segera dimulai, jelas pihak ini berdiri dibelakang
Kiau Keng. Sedang pihak yang lain merasa simpatik kepada Ciu Hou. Maka terjadilah
perdebatan seru dlantara para tamu sendiri. Keadaan menjadi semakin ribut dan gaduh kacau
balau, agaknya suatu pertempuran besar-besaran yang dahsyat susah terhindar lagi.
Adalah Thian-ih sendiri yang menjadi getol dan gegetun, saking jengkel ia berteriak-teriak
berusaha mencegah dan menghentikan perdebatan massa ini, namun suaranya sendiri kelelap
dalam suasana yang hiruk-pikuk ini, nyata sia-sialah jerih payahnya.
Dalam pada itu, sambil mengayun ruyung lemasnya dengan jurus Koay-bong-jam-sim (ular
sanca membelit tubuh) Siu Kheng-in menyerampang pinggang Ciu Hou sambil memaki
kalang-kabut: "Orang she Ciu serahkan jiwamu!"
Sebat sekali Ciu Hou lompat menyingkir tanpa balas menyerang. Namun permainan ruyung Siu
Kheng-in ternyata cukup hebat dan mahir sekali, begitu jurus pertama gagal, jurus selanjutnya
sudah merangsang pula dengan tipu Hong-lui-kun-te (petir menggelegar menggulung tanah),
ruyung dan tubuhnya seakan menjadi satu, sigap sekali tubuhnya mengejar tiba, kali ini
senjatanya menyerampang kedua kaki musuh.
Ciu Hou masih berlaku tenang dan mengalah tanpa balas menyerang, sedapat mungkin dia
menahan sabar. Waktu ruyung musuh menyerampang tiba-tiba, tubuhnya melejit tinggi terus
meluncur kesamping dengan lincah sekali. Keruan Siu Kheng-in menubruk tempat kosong,
malah saking bernafsu dan besar tenaganya, tubuhnya terus menyelonong ke depan tanpa
terkendali. Para penonton berseru kejut dan menahan napas.
Dasar berangasan begitu memutar tubuh Siu Kheng-in menubruk maju lagi dengan nekad dan
kalap seperti banteng ketaton. Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya, demikianlah Ciu Hou,
sambil menghindar kesamping terdengar suaranya melengking tinggi: "Siu-lotoa, sudah dua
jurus aku memberi kelonggaran kepadamu, apa kau benar-benar ingin mengadu jiwa,
bagaimana maksudmu sebenarnya ?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Keparat, orang she Ciu, setelah kau mencelakakan jiwa adikku, biar hari ini aku mengadu jiwa
dengan kau." sambil memaki serangan Siu Kheng-in semakin gencar, ruyung lemasnya
bergerak lincah laksana seekor naga, saban-saban menukik dari atas dan mematuk dari
samping seperti hidup mengancam jiwa lawannya.
Menghadapi serangan berantai ini akhirnya Ciu Hou terdesak dan geramlah hatinya, darah
bergolak dirongga dadanya. Saking tak tahan lagi akhirnya ia memaki: "Siu-lotoa, kurcaci
benar kau ini! Kau sudah gila dan buta tak dapat membedakan jahat dan jujur. Kalau aku selalu
mengalah bukankah menjadi buah tertawaan para sahabat dikolong langit ini. Baiklah,
terpaksa aku harus belajar kenal dengan kepandaian Hek-san-siang-ing yang hebat!" Sambil
berkata tubuhnya jumpalitan dengan gaya yang indah, tahu-tahu tangannya sudah
menggenggam sebatang kipas, inilah senjatanya.
Ruyung Siu Kheng-in agak panjang dan menguntungkan, setiap kali senjata lawan merangsak
tiba terpaksa Ciu Hou harus lompat menghindar. Tapi segesit itu pula tubuhnya mendadak
sudah melejit datang lagi sambil menggerakkan kipas ditangannya menutuk jalan darah
Hian-ki-hiat ditubuh Siu Kheng-in.
Sekali turun tangan tidak kepalang tanggung Ciu Hou unjukkan pelajaran silat yang ampuh dan
lihay sekali, gerak geriknya selincah seekor kera seenteng burung, langkahnya juga teratur
rapi, sampai puluhan jurus kemudian Siu Kheng-in terbalik menjadi terdesak dan kerepotan,
keadaannya semakin berbahaya, satu kali pada saat dirinya terancam tutukan kipas musuh
dan dirinya tak mampu berkelit lagi mendadak ia berlaku nekad, membarengi dengan tibanya
tutukan kipas musuh, mendadak ia kerahkan seluruh tenaganya di kedua tangan terus
mendorong ke depan, sungguh sangat kebetulan sekali perbuatan nekadnya ini ternyata
berhasil menggempur miring tutukan musuh, selamatlah jiwanya dari lobang jarum.
Pertempuran berjalan semakin seru. Kalau kipas Ciu Hou menari-nari bagaikan seekor
kupu-kupu, sebaliknya ruyung Siu Kheng-in bergerak lincah selulup timbul laksana seekor ular
hidup berputar menderu-deru. Saking sengit bertempur untuk mempertahankan jiwa
hidupnya, maka bayangan kedua orang ini menjadi kabur dan susah dibedakan satu sama lain.
Dalam sekejap mata sepuluh jurus telah berlalu lagi, Ciu Hou bersilat semakin bersemangat
karena senjata kipasnya pendek dan serba guna, bukan saja dapat digunakan sebagai pedang
pendek untuk membacok seperti golokpun boleh dan yang terutama senjata ini peranti untuk
menutuk jalan darah musuh, ditambah ilmu Ginkang Ciu Hou memang setingkat lebih tinggi
dari Siu Kheng-in, dicecar sedemikian rupa keruan Siu Kheng-in mengeluh dalam hati.
Satu ketika waktu Ciu Hou berlaku sedikit lambat mendadak Siu Kheng-in menggerung keras,
lowongan sedikit ini cukup untuknya balas menyerang, tahu-tahu ruyung bajanya telah
menyusup masuk bagai kepala seekor ular mengancam dan hendak mematuk dada Ciu Hou.
Karena sedikit alpa ini hampir saja Ciu Hou harus membayar mahal, keruan kagetnya bukan
kepalang, untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, satu-satunya jalan ia tekan ujung ruyung
musuh dengan kipasnya berbareng mengerahkan sekuat tenaga terus gunakan tipu
Su-nio-poat-jian-kin (empat tahil menolak ribuan kati), untuk punahkan daya kekuatan
serangan musuh ini. Dilain pihak Siu Kheng-in sendiri juga tidak tinggal diam, sekuat tenaga ia pertahankan
ruyungnya supaya tidak sampai tertekan turun, maka ruyungnya yang lemas tadi kini menjadi
keras kaku bagai sebatang tongkat. Maka terjadilah adu tenaga dalam yang jarang terjadi ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
yang beralaskan senjata masing-masing. Kedua pihak adalah gembong-gembong silat
kenamaan di kalangan Kangouw, demi jiwa dan gengsi, mereka harus peras keringat dan
berkutat sekuat tenaga kalau tidak mau menderita kalah dan malu, saking hebat adu kekuatan
ini ruyung baja Siu Kheng-in sampai bersuara mendesis.
Para hadirin terkesima dan kagum tak terhingga menonton pertunjukan sengit yang
mendebarkan dan menggoncangkan sukma ini.
Siu Kheng-in insaf bahwa tenaga dalamnya ada sedikit dibawah musuh, untuk memperoleh
kemenangan memerlukan jangka panjang dan itu terlalu banyak mengudal tenaga, kalau
keadaan ini berlangsung terus pasti dirinya yang bakal celaka. Karena pertimbangan ini besar
hasratnya untuk mengambil kemenangan dalam waktu singkat, dan ini memerlukan
ketabahan luar biasa karena harus menyerempet bahaya, bukan mustahil dirinya bakal terluka
parah atau meninggal seketika karena gempuran tenaga dalam musuh yang hebat itu.
Diluar tahunya ternyata Ciu Hou juga tidak kalah cerdiknya, melihat sinar mata lawan yang
kurang tentram, diam-diam ia sudah menebak jitu isi hatinya. Begitulah waktu musuh tarik
balik ruyung bajanya, secepat kilat ia barengi dengan lancarkan sebuah tutukan yang
mengarah jalan besar di dada Siu Kheng-in. Jurus ini dinamakan It-sia-jian-li (Sekali meluncur
seribu li) serasi benar cara menyerang ini dengan nama jurusnya.
Dasar Siu Kheng-in sudah berpikiran gelap dan nekad untuk gugur bersama, tanpa hiraukan
tutukan musuh iapun mengayun ruyung bajanya menggunakan jurus Giok-tay-wi-yao (sabuk
kemala membelit pinggang) menyabet perut Ciu Hou.
Dalam saat kedua belah pihak terancam bahaya inilah mendadak secara diluar dugaan
meluncurlah sebuah benda yang berbentuk aneh, laksana seekor ular terbang tahu-tahu
ruyung baja Siu Kheng-in kena digubat terus disentakkan kesamping. Karena tidak menyangka
hingga kedudukan Siu Kheng-in tergempur goyah, tanpa ampun tubuhnya ikut terbawa
nyelonong kesamping, bukan saja serangan ruyungnya gagal malah dia sendiri juga selamat
dari tutukan maut kipas Ciu Hou. Sungguh harus dipuji sikap Ciu Hou yang tenang dan sabar
sportif, sedikitpun ia tidak ambil mumat perobahan yang terjadi mendadak ini, cepat-cepat ia
tarik kipasnya terus mundur berapa tindak.
Setelah pertempuran berhenti baru semua hadirin melihat tegas, kiranya saat itu Thio Thian-ih
telah berdiri ditengah kalangan, secara tepat ia turun tangan melerai pertempuran adu jiwa.
Serta melihat senjata yang digunakan untuk melerai pertempuran tadi tanpa merasa semua
orang tersenyum dan tertawa geli. Ternyata benda atau senjata yang digunakan untuk
memisah tadi adalah seutas tali rumput yang semula menggubat dipinggangnya. Disamping
memuji merekapun merasa kagum tak terhingga, coba bayangkan hanya seutas tali rumput
saja ternyata kuat untuk menahan ruyung dan kipas yang terbuat dari baja, ini masih belum
yang lebih hebat adalah bahwa orang yang menggunakan senjata tali ini pasti Lwekangnya
sudah mencapai puncak tertinggi sehingga secara tepat ia dapat memisah sama tengah.
Sambil tersenyum lebar terdengar Thian-ih bicara: "Kesalahan paham kalian adalah karena
urusan Siaute, hal ini sungguh harus disesalkan. Harap sukalah kalian memaafkan dan
menyudahi pertempuran ini."
Tindakan Thian-ih ini boleh dikata sangat tepat dan jujur, bukan saja sikapnya ini
menempatkan dirinya sama tengah merendahkan diri pula. Sudah tentu Ciu Hou dan Siu
Kheng-in menjadi serba salah dan tak enak diri untuk meneruskan pertempuran tanpa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
juntrungan. Segera Ciu Hou membalas hormat serta katanya: "Ji-chengcu aku masih ada urusan penting,
maaf kalau aku harus segera berangkat. Tentang kematian engkohmu, silakan kau berangkat
ke Ci-hong-san untuk menyelidiki dan melihat dari dekat. Hanya ada yang perlu saya tekankan
bahwa peristiwa kali ini tiada sangkut-paut apa-apa dengan So-keh-pang! Untuk hal ini
kumohon kebijaksanaan Ji-chengcu dikemudian hari."
Cepat-cepat Thian-ih membalas hormat serta nyatakan terima kasih akan bantuan orang yang
tidak kecil artinya, lalu katanya menambahi: "Dendam kesumat ini bagaimana juga harus
kubalas, seperti nasehat Ciu-heng tadi, pasti aku harus bertindak hati-hati dan waspada
melihat kenyataan. Berkat bantuan Ciu-heng sehingga jenazah Toako dapat diantar pulang,
budi serta bantuan besar nasehat-nasehat berharga tadi pasti akan kuingat sepanjang masa."
Tanpa banyak kata lagi Ciu Hou segera ambil berpisah dengan semua hadirin, banyak juga
yang membalas salam perpisahan ini. Sementara orang-orang yang berpihak pada Kiau-si
Hengte dan Siu Kheng-in masih penasaran, mereka mengantar keberangkatan Ciu Hou dengan
pandangan dongkol dan penasaran.
Setelah Ciu Hou berlalu hidangan diganti yang baru, uap masih panas, beramai-ramai para
tamu mulai gegares hidangan-hidangan sederhana dengan lahapnya. Hanya Siu Kheng-in
seorang yang tepekur sedih ditempat duduknya, hatinya duka dan nestapa akan kematian
adiknya itu. Tengah makan minum itu, mendadak Kiau Keng angkat bicara lagi: "Ji-chengcu, kapan kau
berangkat ke Shoa-tang?"
"Setelah semua urusan disini beres. Kira-kira besok lusa aku berangkat."
"Kepergian Ji-chengcu ke Shoatang adalah untuk menuntut balas, sebagai seorang kawan
yang setia dari engkoh-mu tidak bisa tidak kami harus turut membantu. Biarlah secara sukarela
Kiau-si Hengte mengorbankan segalanya untuk mengiringi keberangkatanmu. Entah masih
ada lain sahabat mana yang ingin ikut serta?"
Sungguh diluar dugaan reaksi para hadirin ternyata dingin-dingin saja. Ternyata hanya Siu
Kheng-in seorang yang ingin ikut.
Segera Thio Thian-ih berseru lantang: "Aku yang rendah tidak berani membikin repot para
sahabat, biarlah urusan keluarga ini Siaute hadapi sendiri seumpama pihak musuh terlalu
tangguh barulah aku minta bantuan sekadarnya dari para sahabat saja."
Segera Kun-suseng Liok Pek-ing Pangcu dari Ho-bwe-pang dari Kanglam membuka suara:
"Arus gelombang sungai Tiangkang dari depan mendorong kedepan. Orang muda
menggantikan orang tua. Ji-chengcu adalah angkatan muda yang gagah perkasa seumpama
naga. Berpendirian teguh dan cermat dalam segala bidang. Seperti apa yang dikatakan tadi,
kita ini memang golongan kasar yang selalu repot dengan segala urusan tetek-bengek.
Menurut hematku biarlah kita berpencar menurut arah masing-masing untuk ikut menyelidiki
peristiwa ini. Seumpama kelak Ji-chengcu dapat menemukan musuh besarnya dengan secarik
kertas saja kiranya cukup untuk mengundang kita beramai untuk datang membantu.
Betapapun lihay ilmu silat musuh, dibawah tekanan persatuan kita beramai apa lagi yang harus
kita takuti !" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dalam makan minum ini, suasana menjadi ramai lagi dengan berbagai percakapan panjang
lebar. Memang semua hadirin boleh dikata adalah sahabat karib Thio Thian-ki semasa masih
hidup. Terhadap pribadi Thio Thian-ih mereka hanya kenal kulitnya saja. Maka banyak yang
ingin tahu akan asal-usul kepandaian silat Ji-chengcu yang lihay itu.
Thian-gwa-hong Co Lan-pui adalah seorang kelana yang banyak pengalaman dunia Kangouw
maka tidaklah heran dia yang menjadi sasaran pertanyaan ini. Tatkala itu Thian-ih sedang
mengundurkan diri untuk mengurus jenazah Siu Tat-in. Kesempatan inilah digunakan untuk
menutur dan memperkenalkan segala sesuatu mengenai pribadi Thio Thian-ih.
Kiranya usia kakak beradik keluarga Thio ini terpaut sangat banyak. Ternyata Thio Thian-ki
lebih tua 20 tahun lebih dari adiknya. Menurut ceritanya waktu melahirkan adik kecilnya ini,
yaitu Thian-ih, usia orang tua mereka sudah agak lanjut dan tak lama kemudian beruntun
meninggal dunia. Maka tugas momong dan membimbing adiknya ini jatuh pada bahu
engkohnya yang sudah dewasa.
Semasa masih muda Thio Thian-ki pernah mendirikan sebuah perusahaan pengangkutan.
Pedang Loh-kim-po-kiam adalah tinggalan leluhurnya yang telah ikut menjunjung tinggi nama
perusahaannya yang semakin besar dan berkembang. Bertahun-tahun dia malang melintang
hingga lama kelamaan namanya tenar dan sangat disegani di kalangan Kangouw.
Waktu Thian-ih menanjak usia 10 tahun, Thian-ki pulang ke Title dalam keresidenan Sam-ho
ini dan mendirikan perkampungan Thio-keh-cheng. Maka sejak saat itu Thio Thian-ki lantas
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dan memperdalam ilmu silatnya dalam
pengasingan ini. Setiap tahun hanya sekali dua saja dia pergi meninggalkan perkampungan
mengurus keperluan, maka banyak waktu yang terluang untuk mengajar silat kepada adik
kecilnya yaitu Thian-ih. Waktu Thian-ih berusia 15, Thian-ki membawanya ke Kiam-hun-san It
Ho Kisu untuk dijadikan murid orang berilmu ini.
Kiam-bun-it-ho demikian nama julukan guru Thian-ih itu adalah seorang angkatan tua yang
berilmu sangat tinggi, tiada seorangpun yang mengenal riwayat hidupnya. Konon kabarnya
pernah pada 30 tahun yang lalu waktu It Ho Kisu melancong ke Kanglam. Suatu ketika ia tiba
di Hangciu menunggang seekor bangau terbang lewat diatas Se-Ouw (telaga barat) kejadian
ini menimbulkan rasa tak puas pada Chit-lo atau tujuh orang tertua daerah selatan yang
kenamaan dengan sebutan Leng-hun-chit-lo. Dalam suatu pertengkaran akhirnya dijanjikan
untuk mengadu kepandaian diatas puncak Leng-hun. Ternyata dalam pertempuran yang tidak
diketahui kalayak ramai sebelumnya ini, dengan gampang Chit-lo telah dikalahkan satu
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
persatu. Maka sejak saat itu nama Kiam-bun-it-ho yang masih muda remaja semakin
menanjak tinggi dan menggemparkan Bulim.
Begitulah semakin besar dan tenar namanya semakin membuat banyak orang sirik terutama
para lawan atau saingannya sehingga melibatkan banyak kesukaran. Maka berbondong-bondong kaum persilatan yang mencari jejaknya untuk diajak adu kepandaian.
Tapi karena jejaknya tidak menentu dan susah dicari maka banyak yang kecele. Memang sejak
dapat mengalahkan Chit-lo, jago muda ini terus melenyapkan diri dan tak terdengar pula kabar
ceritanya. Beberapa tahun kemudian baru diketahui bahwa beliau ternyata telah
mengasingkan diri di puncak Kiam-bun-san.
Pernah terjadi pula sebanyak lima belas tokoh-tokoh silat dari berbagai aliran di utara meluruk
datang ke Kiam-bun-san ini untuk menantang berkelahi. Bagaimana kesudahan adu
kepandaian itu tiada seorangpun yang tahu. Yang terang sejak adu kepandaian itu, kelima
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
belas tokoh-tokoh silat itu lantas menutup pintu mengasingkan diri.
Sejak mana maka nama Kiam-bun-it-ho semakin menanjak tinggi dan menggetarkan dunia
persilatan. Banyak para angkatan muda yang mencari jejaknya pula namun mereka hanya
ingin diambil sebagai murid atau hendak berguru kepada beliau. Tapi mereka semua kembali
dengan kecewa karena setelah menjelajah lembah curam dan hutan lebat mengalami berbagai
rintangan dan bahaya, bukan saja jejak Kiam-bun-it-ho tidak diketemukan malah banyak yang
jiwanya melayang secara sia-sia karena mengalami berbagai kecelakaan.
Demikian juga Thio Thian-ki bukan sedemikian gampang dapat menemukan jejak orang kosen
itu. Sebanyak lima kali ia memanjat Kiam-bun-san, baru yang terakhir dapat menemukan
tempat pengasingan orang kosen ini. Beruntung Thian-ih diterima menjadi muridnya. Maka
sejak berusia lima belas Thian-ih belajar ilmu silat kepada guru besar yang kenamaan ini,
selama beberapa tahun ia digembleng luar dalam diatas gunung menjadi orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Selama bertahun-tahun diatas gunung hanya setiap tahun baru saja ia
turun gunung kembali ke rumah untuk berkumpul dengan keluarganya.
Thio Thian-ki mengundurkan diri dimasa jaya-jayanya sudah tentu hal ini menimbulkan rasa
heran dan banyak pertanyaan diantara para sahabatnya. Hidupnya sangat bersahaja, sifatnya
agung dan suka membela yang lemah dan terbuka tangan lagi untuk menolong yang sengsara.
Maka khalayak ramai memberi julukan Seng-po-sat atau si Budha hidup kepada si dermawan
ini. Kalau diluaran Sang Budha hidup terkenal sangat budiman, namun sebetulnya hidup
kekeluargaan Thio Thian-ki ternyata mengalami banyak penderitaan batin. Karena selama
beberapa tahun dia menikah namun belum dikaruniai anak, maka Thian-ih dipandang sebagai
anak didiknya yang paling disayang. Setiap tahun adiknya pulang sekali kerumah untuk
merayakan tahun baru beberapa hari terus kembali ketempat perguruannya, memang setiap
Thian-ih berada di rumah baru kelihatan kegembiraan Thio Thian-ki, tapi sekembali adiknya
keatas gunung wajahnya selalu muram dan bersungut tak gembira. Mungkin karena tidak
betah tinggal dirumahnya pada suatu hari ia berangkat pergi entah merantau kemana, setelah
beberapa bulan berlalu mendadak didapat kabar jelek tentang terbunuhnya Thio Thian-ki
secara misterius. Sedemikian besar rasa kasih sayang Thio Thian-ki terhadap adiknya kecil ini. Maka tidak heran
kalau sedemikian besar pula tekad Thio Thian-ih hendak menuntut balas bagi kematian
engkohnya. Dalam pada itu setelah mengetahui bahwa Thio Thian-ih ternyata adalah murid
Kiam-bun-it-ho, serta merta para tamu merasa kagum dan menaruh hormat kepadanya.
Keesokan harinya setelah upacara penguburan jenazah Thio Thian-ki selesai, beruntun para
tamu minta diri untuk pulang. Tinggal Kiau-si Hengte dan Siu Kheng-in bertiga yang masih
tinggal, menurut rencana merekalah yang hendak ikut berangkat menuju ke pegunungan
Ci-bong di Shoa-tang. 0000 Disebuah jalan raya diperbatasan antara Hopak dan Shoatang, tampak empat ekor kuda
dilarikan kencang di-bawah terik matahari. Debu mengepul tinggi dibelakang mereka. Satu
diantara keempat penunggang kuda yang ditengah-tengah berpakaian putih mulus berwajah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
ganteng cakap, alisnya lentik dan matanya bersinar terang. Keadaan ini sangat berbeda
menyolok mata dibanding ketiga penunggang kuda yang lain, mereka berwajah kasar tapi
bertubuh kekar dan gagah, sekali pandang orang akan menyangka dia hanya seorang pelajar
yang beriring jalan dengan tiga pengawalnya.
Keempat orang ini tidak lain tak bukan adalah Thio Thian-ih, Kiau-si Hengte dan Siu Kheng-in.
Thio Thian-ih dan Siu Kheng-in selalu berkerut alis, wajah mereka menunjuk kekesalan dan
murung. Hari itu mereka sudah melampaui kota Tek-ciu, hari sudah hampir magrib, maka pada kota
selanjutnya mereka mencari rumah makan untuk tangsel perut, rumah makan ini sepi-sepi saja
hanya ada beberapa tamu. Tengah mereka makan minum, terasa ada seorang tengah
mengamat-amati gerak gerik mereka dari meja sebelah sana.
Memang sepanjang perjalanan Thio Thian-ih selalu awas, sedikit gerak yang mencurigakan
saja sudah menarik perhatiannya, maka secepat itu dia sudah merasa bahwa dirinya tengah
diintai oleh orang lain. Dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa, Thian-ih bangkit lalu
menghampiri jendela pura-pura melihat pemandangan diluar sana, namun hakikatnya diapun
perhatikan tindak tanduk orang ini secara diam-diam.
Terlihat olehnya dimeja sebelah kanan sana tengah duduk seorang setengah baya berusia
50-an berpakaian seorang sastrawan, wajahnya pucat kekuning-kuningan, dibawah dagunya
tumbuh dua jalur jenggot pendek. Orang ini tengah termenung sambil minum arak,
saban-saban matanya melirik kearah mereka.
Karena curiga diam-diam Thian-ih perhatikan orang ini dengan cermat. Agaknya orang itu
menjadi sadar bahwa dirinya telah dicurigai, pelan-pelan sinar matanya beralih dan dengan
tepat saling beradu pandang dengan Thian-ih. Sekilas orang itu tersenyum sambil sedikit
manggut, sikapnya wajar dan seperti tidak bermaksud jahat.
Tergerak hati Thian-ih tengah ia melongo heran orang itu sudah bangkit dan jalan
menghampiri kearah dirinya. Sambil membungkuk terus dia memperkenalkan diri: "Cayhe To
Yung, kulihat wajah Kongcu ada mirip dengan seorang sahabat kentalku, maka maafkan
perbuatan yang kurang hormat tadi. Kuharap Kongcu tidak salah paham."
Melihat orang bersikap sopan merendah dan jujur terpaksa Thian-ih menyahut: "Ah, mana
berani.'' Rasanya orang yang mengaku bernama To Yung ini semakin mendapat hati, tanyanya lebih
lanjut: "Harap tanya siapakah she dan nama Kongcu ini?"
"Cayhe Thio Thian-ih.........."
"Oh," To Yung berseru kejut. "Ternyata Ji-chengcu benar-benar telah datang, tentang
kematian engkohmu......" berkata sampai disini mendadak ia merandek dan ragu-ragu untuk
bicara terus. "Apakah To-heng juga mengetahui seluk beluk kematian engkohku itu?"
"Ya, memang begitulah," sahut To Yung perlahan. "Tempat ini kurang leluasa untuk bicara,
biar nanti tengah malam aku datang berkunjung pula." Sekilas ia melirik ke arah Kiau-si Hengte
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dan Siu Kheng-in, lalu cepat-cepat minta diri dan turun loteng.
Malam telah tiba, Thio Thian-ih tidur sekamar dengan Siu Kheng-in, agaknya perjalanan yang
jauh ini sangat meletihkan, maka begitu rebah Siu Kheng-in terus mengeros pulas tenggelam
dalam alam mimpinya. Sebaliknya Thian-ih malah tidak bisa tidur, ia duduk termenung
menghadapi pelita, begitulah ia habiskan sang waktu sambil menanti kedatangan To Yung.
Tempo hari Ciu Hou mengatakan hanya Hi Si-ing seoranglah yang mengetahui duduk peristiwa
tentang terbunuhnya engkohnya. Siapa tahu hari ini To Yung juga mengatakan bahwa diapun
tahu seluk beluk peristiwa yang mengenaskan itu. Entah siapa dan bagaimana martabat orang
ini sebenarnya" Demikianlah tengah ia termenung-menung, tiba-tiba terdengar ketokan pintu yang sangat
lirih, kiranya To Yung telah datang menepati janjinya. Setelah Thian-ih menyambutnya masuk
dan menyilahkan duduk mulailah To Yung bercerita dibawah sinar pelita yang guram.
Menurut apa yang dikatakannya bahwa diapun seorang dari kalangan persilatan, para kawan
kaum persilatan memberi julukan Kang-ouw San-jin (orang kelana di kangouw). Dia
mempunyai hubungan sangat kental dengan pihak So-keh-pang di pegunungan Ci-bong itu.
Kejadian pada suatu hari waktu dirinya tengah mertamu disana secara kebetulan ia
mempergoki peristiwa pembunuhan itu.
Menurut ceritanya pula bahwa sejak lama antara Thio Thian-ki dengan pihak So-keh-pang
telah tertanam permusuhan yang mendalam. Beberapa tahun yang lalu waktu Pangcu tua dari
So-keh-pang yaitu So Gun-u belum wafat, markas besar mereka memang terletak di puncak
pegunungan dalam gedung bobrok itu, sebelum ajal ia meninggalkan pesan pada ahliwarisnya
minta dirinya dikubur di puncak itu juga dan ditekankan pula kepada putra-putrinya untuk
membunuh Thio Thian-ki supaya sakit hatinya bisa terbalas.
Setahun sebelum dia meninggal dunia pernah diciptakan semacam senjata perkakas kompres
yang ganas dan jahat, senjata ini terbuat dari baja murni yang berbentuk seperti kuntum
bunga bwe, bukan saja tajam luar biasa malah dilumuri racun lagi. Agaknya sedemikian besar
rasa dendamnya terhadap Thio Thian-ki maka dalam pesannya itu dia meminta supaya
memancing Thio Thian-ki datang ke Ci-bong lalu menjebaknya dan membunuhnya dengan
senjata kompres yang ganas itu.
Hwe-bu-siong (kelabang terbang) So Tiong mewarisi kedudukan ayahnya menjabat pangcu
dari So-keh-pang, sebagai seorang anak yang menjunjung tinggi pesan leluhur, dia berusaha
keras untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada dirinya. Maka dengan berbagai cara
dia berdaya upaya untuk mengundang Thio Thian-ki datang. Secara kebetulan musim semi
beberapa bulan yang lalu Thio Thian-ki keluar mengembara lagi, maka ia menyebar kaki
tangannya memancingnya datang ke atas puncak Ci-bong itu, usahanya ternyata berhasil.
Sebetulnya Thio Thian-ki sudah lama melupakan ganjelan hati dengan pihak So-keh-pang,
malam itu secara kebetulan ia lewat di pegunungan Ci-bong itu, diluar tahunya dirinya sudah
masuk jebakan yang diatur musuh. Dibawah pimpinan Hwe-bu-siong beserta lima tokoh
terlihay dari So-keh-pang akhirnya Thian-ki bertekuk lutut dan menyerah kalah menerima ajal
dengan konyol di gedung bobrok itu. Tubuhnya dicacah hancur lebur.
Waktu cerita To Yung berakhir, Thian-ih sudah tak kuat menahan kepiluan hatinya, airmata
meleleh deras membasahi pipinya. Segera ia bangkit memberi hormat serta katanya:
"To-heng, sebelum ini kita tidak kenal satu sama lain. Karena keteranganmu ini baru Siaute
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sadar bagai menyingkap awan melihat matahari. Budi yang besar ini selama hidup akan
kuingat dan kuucapkan beribu terima kasih, kini harap sukalah terima hormat Siaute." Habis
berkata ia bersiap hendak berlutut.
Lekas-lekas To Yung mencegah, kedua tangan menyanggah kedua pundak Thian-ih. Maka
seketika Thian-ih merasa suatu tolakan tenaga besar orang yang luar biasa ini.
Terdengar To Yung berkata lagi: "Ji-chengcu sebetulnya aku tak perlu turut campur dalam
urusan ini. Tapi sebagai orang yang berperikemanusiaan aku merasa jijik dan tak puas akan
kekejaman orang-orang So-keh-pang itu. Demi kebenaran dan keadilan terpaksa aku harus
membeber rahasia mereka ini dihadapanmu supaya kau tidak terjebak pula kedalam tipu daya
mereka. Aku tahu pada suatu hari pasti kau akan datang menuntut balas dan lewat disini,
maka sudah lama aku menunggu kedatanganmu ini."
Mendadak tergerak hati Thian-ih, lantas tanyanya: "To-heng, jenazah engkohku adalah Ciu
Hou yang membawa pulang, apakah dia utusan orang dari So-keh-pang?"
"Kurasa bukan begitu," sahut To Yung. "Ciu Hou adalah seorang yang baik hati dan bijaksana.
Memang secara kebetulan dia menemukan jenazah engkohmu dalam gedung bobrok itu.
Untuk membawa pulang terpaksa Ciu Hou minta orang-orang So-keh-nang untuk
membantunya. So Tiong itu ternyata manusia cerdik pandai dan licik, ia pura-pura tidak tahu
menahu tentang peristiwa yang menyedihkan itu, untuk menghapus kecurigaan orang ia
mengutus anak buahnya membantu Ciu Hou mengirim pulang jenazah engkohmu."
Lalu To Yung menambahi: "Engkohmu mempunyai seorang murid, waktu melihat keadaan
kematian gurunya yang mengenaskan itu dia jatuh pingsan. Ternyata Orang-orang
So-keh-pang bekerja tidak kepalang tanggung, murid keponakanmu itu dicekoki arak beracun
sehingga pikirannya kurang waras dan menjadi gila !"
"To-heng dimanakah dia sekarang?"
"Mungkin masih dipenjarakan di So-keh-pang!''
Hati Thian-ih kurang tenteram dan risau, jejak musuh besarnya telah diketahui, sakit hati ini
pasti dapat terbalas, hatinya menjadi girang dan kuatir. Girang karena musuh besar telah
berada didepan mata, kuatir karena teringat olehnya bahwa gurunya yaitu Kiam-bun-it-ho
selamanya paling benci urusan balas membalas. Sepak terjangnya hari ini belum mendapat
persetujuan atau restunya, bagaimana kelak kalau dirinya mendapat marah dan dihukum
karena kesalahan ini. Melihat orang termenung, To Yung ikut menghela napas, katanya: "Ji-chengcu, engkohmu
adalah seorang dermawan yang bijaksana maka diberi julukan si Budha Hidup, namanya sudah
sangat tenar dan disegani. Agaknya pihak So-keh-pang juga rada menyesal telah berbuat
sekeji itu, maka mereka merahasiakan perbuatannya. Secara sangat kebetulan aku saksikan
pembunuhan keji itu, maka kuharap nanti Ji-chengcu tidak menyebut-nyebut namaku
dihadapan orang-orang So-keh-pang supaya tidak membawa kesukaran bagi pribadiku dikelak
kemudian hari." Thian-ih tertawa gelak-gelak, katanya : "To-heng, kau terlalu berkecil hati, meski rendah
kepandaianku tapi aku pantang mundur menghadapi ke-enam durjana itu, selama hayat masih
dikandung badan tidak akan kubiarkan mereka tetap bernapas didunia ini. Hahaha, kecuali aku
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sudah gugur terpaksa aku tak dapat merintangi mereka mencari perkara kepada kau..."
"Ji-chengcu mengapa kau berkata begitu," cepat-cepat To Yung menyela. "Sebagai murid
Kiam-bun-it-ho yang kenamaan, tentu bangsa kurcaci seperti So Tiong dan begundalnya
bukan tandinganmu, namun kupinta bagaimana juga kau jangan menyebut-nyebut namaku
yang rendah ini dihadapan mereka."
Thian-ih agak sangsi dan terkejut melihat orang sedemikian mendesak untuk merahasiakan
namanya, batinnya: "Darimana orang ini tahu kalau aku murid Kiam-bun-It-ho?" demikian
dalam hati ia bertanya-tanya, tapi dimulut terpaksa dia menyahut: "To-heng, legakan hatimu
tidak nanti aku membawa-bawa namamu dalam urusan ini.''
Melihat Thian-ih meluluskan To Yung merasa lega dan girang, ujarnya : "Ji-chengcu, kulihat
kau masih muda dan berambek besar, wajahmu tampan dan ganteng, apakah telah mengikat
tali perjodohan?" suaranya halus, wajahnya berseri simpatik.
Thio Thian-ih menggeleng kepala!
"So Gun-gu punya seorang putera dan seorang puteri," To Yung bercerita lagi. "Sifat kakak
beradik ini sangat berlawanan, kalau So Tiong telengas kejam dan licik menyerupai ayahnya,
adalah adiknya itu sangat alim cendekia dan tahu menjunjung tata-krama. Selalu dia
menentang sepak terjang ayah dan engkohnya...." berkata sampai disini diam-diam To Yung
perhatikan mimik wajah Thian-ih, melihat sikap orang tetap merengut tanpa ambil perhatian
akan ceritanya, terpaksa ia alihkan pembicaraan: "Ji-chengcu, tentang pertentanganmu
dengan pihak So-keh-pang ini aku yang rendah ada sedikit nasehat, apakah kau suka dengar?"
Cepat-cepat Thian-ih menanyakan soal apakah itu"
Kata To Yung: "Ketahuilah sebelum pembunuhan itu terjadi So Hoan siang-siang telah
memprotes rencana engkohnya, maka dia tidak turut campur dalam urusan ini. Maka nanti
kalau Ji-chengcu turun tangan carilah saja algojonya, jangan kau melukai atau membunuh
mereka yang tidak berdosa.''
Sambil membusungkan dada Thian-ih menyahut: "Soal ini harap To-heng jangan kuatir. Sejak
kecil Thian-ih dididik oleh Toako dan Suhu, bajik dan jahat dapat kubedakan, tentu aku tidak
akan berbuat sesuatu yang melanggar perikemanusiaan. Terhadap So Hoan aku akan berlaku
baik." To Yung unjuk rasa girang dan puas, katanya: "So Hoan seorang putri yang ayu jelita berusia
sembilan belas, pandai sastra dan ilmu silat, sifatnya lemah lembut. Dalam ilmu silat terutama
Ginkangnya sudah mencapai kesempurnaannya maka orang memberi julukan Giok-ou-tiap
(kupu-kupu kemala)." lalu dia pura-pura termenung sekian lama lantas gumamnya: "Kalau
Ji-chengcu dapat mengikat jodoh dengan So Hoan melenyapkan dendam dan sakit hati,
bukankah hal ini sangat menggembirakan?"
Dalam hati Thian-ih tertawa geli. "Orang ini menunjuk jalan mencarikan jejak musuh supaya
sakit hatinya terbalas, namun membujuk juga secara halus supaya aku mempersuntingkan
adik kandung musuh besarku. Haha, dalam kolong langit ini rasanya belum pernah terjadi
urusan yang janggal dan aneh ini. Bukankah sangat goblok dan menggelikan." Namun
bagaimana juga hakikatnya orang bermaksud baik, terpaksa ia harus melayani dengan sopan:
"Terima kasih akan maksud dan perhatian To-heng, sebelum dendam ini terbalas maaf aku tak
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dapat memenuhi harapanmu."
To Yung menjadi kurang senang, katanya uring-uringan, "Baiklah soal ini jangan dibicarakan
lagi. Ji-chengcu sudah larut malam engkau perlu istirahat. Maaf aku tidak dapat mengiringi kau
ke Ci-bong, biar kita berpisah saja disini, kalau ada jodoh pasti kelak kita bertemu lagi.
Kupujikan Ji-chengcu berhasil menuntut balas." lalu dia memutar tubuh hendak berlalu.
Cepat-cepat Thian-ih menahannya: "To-heng, tunggu sebentar. Numpang tanya dimanakah
tempat tinggalmu" Aku Thio Thian-ih kalau beruntung masih hidup, budi To-heng yang besar
ini tentu kubalas." To Yung tersenyum ewa, ujarnya: "Ah, itukan urusan kecil. Bagi kalangan Hiap-gi (pendekar)
sudah sepantasnya saling bantu. Kuharap urusan ini tidak menjanggal dihati Ji-chengcu,
tentang membalas budi apa segala aku tidak berani terima. Empat lautan adalah rumahku,
jejakku tak menentu, jikalau ada jodoh pasti kelak bertemu lagi, tak perlu kau capekan diri
mencari aku." lantas dengan langkah lebar ia bertindak keluar. Kebetulan angin malam
menghembus agak kencang sehingga jubah panjangnya sedikit tersingkap, sekilas terlihat
oleh Thian-ih pedang panjang orang tersoreng dipinggangnya. Tergerak hati Thian-ih sesaat ia
melongo waktu ditegasi lagi bayangan To Yung sudah menghilang tanpa bekas. Tersipu-sipu
Thian-ih memburu keluar, diluar gelap gulita bintang bertaburan diatas langit laksana jamrut,
angin menghembus sepoi-sepoi hawa rada dingin. Ilmu ringan tubuh To Yung ini sungguh
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus dipuji, dalam sekejap mata tahu-tahu bayangannya sudah menghilang entah kemana.
Esok harinya waktu bersantap pagi, Thian-ih ceritakan apa yang didengarnya kepada Siu
Kheng-in bertiga. Mendengar jejak musuh besar telah diketahui sungguh girang Siu Kheng-in
bertiga bukan buatan, maka bergegas mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat yang
menyala-nyala. Lima hari kemudian mereka sampai disebuah kota yang bernama Bong-im, kota kecil ini sudah
masuk dalam wilayah pegunungan Ci-bong. Semakin dekat tempat tujuan, mereka berlaku
semakin hati-hati dan waspada.
Hari itu mereka beranjak ditengah jalan pegunungan, terik matahari panas luar biasa. Siu
Kheng-in dan Kiau-si Hengte tidak kuat lagi menahan dahaga. Beberapa li kemudian jauh-jauh
terlihat dipinggir jalan didepan sana terdapat sebuah gardu, mereka menduga tentu dalam
gardu itu tersedia air untuk minum, maka cepat-cepat Siu Keng-in bertiga mengeprak kuda
membedal maju. Memang didalam gardu ini tersedia segentong air, namun tidak kelihatan bayangan seorang
jua, ini sangat mengherankan dan membuat Thian-ih yang cermat menaruh curiga. Karena
tertinggal agak jauh maka ia berteriak: "Siu-toako dan Kiau-toako, jangan kau minum dulu air
itu !" Dasar Siu Kheng-in memang seorang ceroboh dan berangasan, karena tidak kuat lagi
menahan dahaga serta dilihatnya gentong berisi penuh air jernih, kian menambah seleranya,
tanpa peduli seruan Thian-ih langsung ia menciduk segayung air terus diminumnya.
Saat mana Kiau-si Hengte juga sudah ambil cawan menunggu giliran mengambil air, serta
mendengar peringatan Thian-ih mereka melengak dan merasakan adanya firasat jelek.
Belum lagi mereka bergerak mendadak terdengar cawan jatuh hancur berantakan, waktu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
mereka menoleh tampak kedua mata Siu Kheng-in melotot besar, keringat bertetes-tetes,
mulutnya dipentang megap-megap tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, kedua tangan
mencekik leher sendiri maka dilain saat tubuh besar yang kekar itu roboh terkapar tanpa
berkutik lagi. Waktu Thian-ih memburu tiba keadaan Siu Kheng-in sudah sangat payah, wajahnya sudah
hitam legam, tujuh lobang indranya mengalirkan darah hitam, keadaan ini mirip benar dengan
kematian adiknya tempo hari. Keruan bukan kepalang kejut dan duka hati Thian-ih.
Lucu adalah keadaan Kiau-si Hengte, mereka berdiri termangu ditempatnya sambil menyekal
cawan airnya, ciut dan mendelu hati mereka.
Lama kelamaan tubuh Siu Kheng-in semakin kaku dan semakin dingin, tak lama kemudian
lantas menghembuskan napas untuk selama-lamanya.
Kedatangan Hek-san-siang-ing adalah untuk menyatakan turut belasungkawa atas kematian
Thio Thian-ki, kini hendak membantu pula mencari musuh besarnya. Siapa kira akhirnya
mereka juga berkorban menyusul arwah engkohnya karena mati keracunan. Sungguh perih
dan pedih rasa hati Thian-ih, airmata meleleh deras.
"Ji-chengcu ! Lihatlah apakah ini?" mendadak Hek-hong-piau Kiau Keng berteriak kaget sambil
mencabut sebatang anak panah yang tertancap diatas tiang gardu. Dibuntut anak panah ini
terikat sebuah bambu kecil.
Kuatir anak panah ini juga beracun, Thian-ih kenakan sarung tangan yang terbuat dari kulit
kijang, lalu dengan cermat ia periksa anak panah itu. Anak panah ini dibuat sedemikian halus
dan indah, diatas batang anak panah ini terukir seekor kelabang terbang berwarna merah
darah. "Hm, jadi Kelabang terbang So Tiong yang telah berbuat sekeji ini," Kiau Keng menggeram
gusar. Dengan hati-hati Thian-ih cabut bambu kecil itu lalu dari dalamnya ia lolos keluar secarik kertas
yang penuh berisi tulisan, beramai mereka membaca: "Disekitar pegunungan Ci-bong,
Keluarga So menjagoi. Kelabang sakti bersayap, Bagai naga dilangit, air racun meluluh tulang,
Dipersembahkan untuk tamu-tamu terhormat."
Seketika berubah air muka mereka. Memang air dalam gentong itu berwarna semu hijau dan
berbau wangi. Disini juga terdapat tiga cawan saja, air yang tercecer itu membuat lantai
berwarna hitam hangus. Setelah berunding akhirnya mereka ambil putusan untuk mengubur jenazah Siu Kheng-in
ditempat itu juga, sebatang pohon sebagai tanda pengenal.
Kiau-si Hengte semakin getol dan tak kuat menahan sabar, ingin rasanya dapat segera terbang
sampai di So-keh-pang untuk membuat perhitungan dengan So Tiong.
Ditengah perjalanan Thian-ih berpikir keras diatas kuda. Bukti sudah menunjukkan bahwa
memang So Tionglah yang mengatur semua tipu daya ini untuk menjebak mereka. Tapi masih
ada sedikit kesangsian yang membingungkan yaitu bahwa mereka berempat mengapa disana
hanya tersedia tiga cawan" Karena maklum akan sifat-sifat Kiau-si Hengte yang berangasan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dan berotak bebal susah diajak berunding, maka ia telan saja rasa curiga ini dalam hati.
Setelah melewati sebuah celah gunung secepatnya mereka sudah akan tiba dipesanggrahan
So-keh-pang. Justru waktu melalui celah-celah gunung itulah terjadi pula kejadian yang diluar
sangka. Jalanan dalam celah gunung ini berbatu dan sangat sukar dilalui, banyak batu-batu
runcing yang membahayakan. Perlahan-lahan Thian-ih kendorkan lari kudanya. Tidak
demikian halnya Kiau-si Hengte, mereka terburu nafsu ingin segera tiba ditempat tujuan,
tanpa hiraukan jeleknya jalan pegunungan mereka terus membedal kuda tunggangan dengan
kencang. Belum jauh mereka berlalu mendadak terdengar suara ringkik kuda yang agak ganjil. Thian-ih
terkejut dan segera memburu maju. Masih sempat terlihat olehnya Kiau Keng terjungkal dari
atas kudanya terkena sebatang anak panah. Dilain kejap Kiau Sim memutar kencang
senjatanya melesat keatas batu gunung mencari jejak musuh yang telah membokong dengan
anak panah tadi. Lekas-lekas Thian-ih memburu tiba didekat Kiau Keng yang terkapar ditanah, sebatang anak
panah menancap dalam diatas pundaknya, darah yang mengalir keluar berwarna hitam,
terang panah itu beracun. Keruan Thian-ih kelabakan, cepat ia keluarkan obat berusaha
menolong, anak panah itu menancap sangat dalam, setelah susah payah baru dapat dicabut
keluar. Namun Kiau Keng sudah tak ingat diri, napasnya kempas kempis badan mulai kaku.
Tak lama kemudian Kiau Sim kembali tanpa hasil, gusar dan duka mengaduk hatinya. Saat
mana cuaca sudah mulai petang, kuatir musuh datang membokong lagi, mereka menjaga
bergantian. Sementara itu Kiau Sim tengah bekerja keras mengorek dan memotong daging
disekitar luka dipundak Kiau Keng untuk mencegah hawa racun menjalar. Tapi agaknya
usahanya sia-sia belaka, karena racun sudah meresap kedalam tulang dan mengalir mengikuti
aliran darah terus menerjang jantung. Badan Kiau Keng semakin hitam, keadaan ini seperti
kematian Hek-san-siang-ing yang telah mendahului menghadap Giam-lo-ong.
Selang tak berapa lama napas Kiau Keng mulai sesak, tubuhnya kejang dan dingin. Thian-ih
berdua hanya mendelong saja tanpa dapat berbuat banyak. Tatkala itu sang malam telah
mendatang, keadaan dalam lembah pegunungan sangat gelap menakutkan, angin malam
menghembus keras menderu-deru. Thian-ih berdua tak berani gegabah, sampai tengah
malam mereka masih bersitegang leher, akhirnya Kiau Keng menghembuskan napas juga.
Kiau Sim jatuh pingsan mengantar keberangkatan arwah engkohnya.
Anak panah yang menancap dipundak Kiau Keng mirip benar dengan panah yang menancap
ditiang gardu tempo hari, diatas batang panah itu terukir seekor kelabang terbang pertanda
julukan So Tiong. Tak lama kemudian selesai mereka mengubur Kiau Keng, haripun terang tanah, Thian-ih
berdua melanjutkan perjalanan. Waktu berangkat mereka berempat, kini tinggal berdua saja,
didepan masih banyak rintangan yang diatur So Tiong untuk menjebak dan mencelakai jiwa
mereka. Setiap tindak mereka maju semakin tertekan perasaan hatinya, was-was dan takut.
Pada tengah hari itu baru mereka sampai di ambang pintu besar markas besar So-keh-pang
yang tertutup rapat, sedemikian indah dan megahnya bangunan So-keh-pang ini dikelilingi
pagar tembok yang tinggi, diluar tembok dilingkari pula sungai yang lebar dan dalam,
jembatan gantung terkerek tinggi, naga-naganya mereka sudah bersiap menanti kedatangan
mereka. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kalau menurut adat Kiau Sim yang berangasan ingin segera ia menyerbu masuk. Tapi Thian-ih
mencegah katanya: "Kita belum tahu seluk beluk mereka, lebih baik kita bertindak secara
hormat bertandang." Tiba di ujung jembatan gantung Thian-ih dan Kiau Sim hentikan kudanya, segera Kiau Sim
berteriak memperkenalkan diri dan minta bertemu dengan pihak tuan rumah.
Tidak berapa lama pintu besar perlahan-lahan dibuka, jembatan gantung juga diturunkan.
Disusul pasukan berkuda yang dipimpin dua muda mudi berjalan keluar. Pakaian mereka
mewah menyolok, dari gerak gerik mereka dapat diketahui bahwa mereka tidak membekal
senjata. Begitu angkat senjata Kiau Sim hendak menerjang maju, untung Thian-ih keburu mencegah
serta bujuknya: "Sim-heng, jangan berlaku sembrono dan kurang adat. Kita sudah berhadapan
masa kuatir mereka bisa terbang kelangit" Berlaku hati-hati dan bertindak melihat gelagat,
sebelum terang duduk perkaranya janganlah turun tangan."
Sementara itu, So Tiong dan So Hoan sudah mendatangi. Waktu ditegasi ternyata So Tiong
adalah seorang pemuda yang gagah berusia 20-an, setelah dekat segera ia angkat tangan
memberi salam dan katanya berseri: "Ji-chengcu dan Kiau-toako datang dari jauh, kita berdua
tidak keburu menyambut lebih pagi harap dimaafkan.'' tingkah lakunya sangat hormat dan
kenal sopan santun, nada perkataannya juga lemah lembut. Entah tersembunyi muslihat
apalagi dibelakang mulutnya yang manis merdu itu.
Thian-ih masih dapat menahan perasaan, lain halnya dengan Kiau Sim yang kasar, karena
geram air mukanya merah padam, napasnya tersengal-sengal menahan gusar.
So Tiong heran melihat sikap tamunya yang ganjil ini, namun lahirnya ia berlaku tenang,
katanya: "Tuan-tuan tentu capek melakukan perjalanan jauh, silakan beristirahat di-dalam
sambil bercakap-cakap !" lalu ia pimpin Thian-ih berdua memasuki markas besar So-keh-pang.
Diam-diam Thian-ih waspada dan bersiaga. Kiau Sim juga tidak kalah tegang, senjatanya
dicekal kencang. Beramai-ramai mereka memasuki sebuah ruangan besar, dimana biasanya
partai keluarga So sering mengadakan sidang atau rapat ditempat ini.
Begitu melangkah kedalam ruangan besar ini Kiau Sim semakin bersitegang leher, matanya
mendelik jalang, sikapnya kasar dan garang.
Sekilas So Tiong melirik kearah So Hoan sambil mengerutkan alis, berbagai pertanyaan
mengaduk dalam benaknya. Segera ia perintahkan bawahannya untuk menyediakan meja
perjamuan, dengan sikap manis dan sabar So Tiong terus layani tamu-tamu aneh yang tak
diundang ini. Kiau Sim sudah berulang kali hendak mengumbar wataknya, tapi Thian-ih
berlagak pikun dan menggeleng kepala tanda tak setuju.
Selesai mereka mandi dan ganti pakaian, sementara itu meja perjamuan juga sudah siap sedia.
Dengan hormat So Tiong dan adiknya menyilakan para tamunya duduk. Lantas So Tiong
angkat sebuah cawan arak seraya berkata: "Atas kunjungan Ji-chengcu dan Kiau-toako ini bila
kami menyambut kurang sempurna harap kalian suka memberi maaf. Dengan secawan arak ini
kami berdua sampaikan salam hangat dan kami ucapkan selamat datang !"
"So Tiong!" tiba-tiba Kiau Sim membentak keras sambil menggebrak meja. "Ditengah jalan kau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sudah meracuni engkohku sampai mati, apa sekarang kau hendak mencelakai jiwaku pula."
So Tiong berjingkrak kaget, serunya: "Kiau Toako, apa-apaan omonganmu ini, mana aku ada
maksud mencelakai kalian?"
Kiau Sim semakin beringas, teriaknya: "Arak beracun dalam cawan ini apa kau berani minum?"
"Sungguh lucu dan menggelikan," seru So Tiong agak dongkol karena dituduh semena-mena,
"Mengapa aku harus takut?" dengan langkah lebar ia memutar menghampiri tempat Kiau Sim
lalu sekali tenggak ia kosongkan cawan arak orang.
Setelah sekian lama dinati-nantikan tiada tampak reaksi apa-apa keruan Kiau Sim tercengang
dan malu. Sebaliknya So Tiong tertawa gelak, ujarnya: "Aku So Tiong selama hidup menghadapi sobat secara jujur. Kiau-toako agaknya terlalu banyak curiga, biarlah semua hidangan
disini kita coba dulu, apakah ada tercampur racun atau tidak."
Seorang pelayan segera maju menuang arak dalam dua cawan besar. Tanpa sungkan-sungkan
So Tiong dan So Hoan mendahului meneguk arak dalam cawan itu, lalu So Tiong angsurkan
cawannya kepada Kiau Sim. Sedang So Hoan dengan wajar tanpa rikuh-rikuh membawa
cawannya kehadapan Thian-ih, dengan laku sangat manis ia haturkan secawan arak itu sambil
berkata: "Ji-chengcu silakan kau juga minum."
Keruan kejadian ini membuat Thian-ih berdua merasa canggung dan tak enak hati, akhirnya
terpaksa Thian-ih buka suara coba memancing: "Pertama-tama sukalah kalian memaafkan
kedatangan kita yang lancang dan merepotkan ini. Soalnya engkohku Thio Thian-ki kedapatan
meninggal dalam wilayah ini, berkat bantuan kalian baru jenazahnya dapat dihantar pulang.
Maka dengan kesempatan ini aku Thio Thian-ih menghaturkan beribu-ribu terima kasih!"
"Kalau dikata memang sangat disesalkan," demikian sahut So Tiong, "Engkohmu memang
teraniaya dan meninggal secara mengenaskan didalam gedung bobrok bekas markas kita dulu,
tapi hakikatnya kita tidak tahu menahu tentang kejadian itu sebelumnya, ini harus dibuat malu,
jejak musuh pula belum kita ketemukan, ini merupakan noda hitam bagi kaum kita." waktu
berkata wajahnya mengunjuk rasa cemas dan menyesal tak terhingga.
Sebaliknya Thian-ih membatin: "Bangsat ini pintar pura-pura dan main sandiwara untuk
mengingkari dosanya." Ia mendengus lalu desaknya lagi: "Kudengar bahwa Sutitku Hi Si-ing
berada disini, harap sukalah dibawa keluar untuk menemui aku."
So Tiong terkejut, tanyanya: "Siapa bilang Hi Si-ing berada disini. Jangan toh melihat kenalpun
tidak pada Hi Si-ing apa segala. Memang dari Ciu-toako kita dengar bahwa Hi Si-ing itu jatuh
pingsan disamping jenazah Suhunya waktu ditemukan oleh Ciu Hou. Tapi waktu Ciu Hou membawa kita kembali kesana ternyata Hi Si-ing itu telah lenyap entah kemana perginya?"
Sudah tentu Thian-ih tidak akan mau percaya pada keterangan ini, karena menurut hematnya
kenyataan sudah membuktikan bahwa So Tiong inilah biang keladi pembunuhan itu, tapi masih
berani mungkir, agaknya perlu ditelanjangi dengan bukti-bukti muslihatnya baru nanti
membuat perhitungan, maka sambil menahan gusar segera ia hendak membuka mulut, tapi
keburu didahului oleh Kiau Sim, terdengar ia bicara dengan suara sember: "So Tiong, dengan
alasan apa kau meracuni Hek-san-siang-ing, ditengah jalan telah membokong engkoh pula
sehingga tewas. Kau...... kau masih berani mungkir?" habis berkata segera ia memburu maju
sambil mengulur tangan mencengkeram dada So Tiong.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sigap sekali So Tiong lompat menyingkir sambil serunya kejut: "Kiau-toako, tahan! Ada
omongan baiklah dirundingkan mengapa main kekerasan! Kau menuduh aku meracuni
Hek-san-siang-ing dan engkohmu, apakah artinya ini?"
"Apa artinya?" hardik Kiau Sim beringas, "Hatimu lebih tahu. Hari ini kau harus menebus jiwa
mereka bertiga." Kala ini ia menggerakkan senjata hendak menyerang pula.
Tapi dari samping So Hoan menyela: "Kiau Tayhiap, mengapa kau bolehnya menuduh
engkohku. Sebetulnya apa alasan kita untuk membunuh orang yang tidak bermusuhan dengan
kita. Apakah tuduhanmu ini tidak semena-mena, kau berani menuduh pasti mempunyai
bukti-bukti, jangan sok mau menangnya sendiri!"
Tanpa banyak bicara lagi Kiau Sim merogoh keluar bungkusan kulit kijangnya terus dibeber
diatas meja. Serta melihat isi dalam buntalan itu tanpa merasa So Tiong berdua tercengang
dan saling pandang. Tegur Kiau Sim: "Panah beracun ini kucabut dari pundak engkohku, apa kau berani mungkir
lagi?" Seketika wajah So Tiong pucat pasi. Melihat perobahan sikap orang tanpa ragu-ragu lagi Kiau
Sim menggerung keras hendak melabrak musuhnya.
"Nanti dulu!" suara So Hoan terdengar kereng berwibawa. Dengan sepasang Sumpit So Hoan
mengangkat anak panah itu dan memeriksa dengan teliti. Mendadak ia timpukan anak panah
itu keatas meja sehingga menancap berdiri. Lalu katanya: "Ji-chengcu, Kiau-toako, agaknya
kalian telah salah paham! Ketahuilah bahwa panah ini bukan milik engkohku."
Sebetulnya Thian-ih dan Kiau Sim sudah bersiap untuk turun tangan, serta mendengar ucapan
So Hoan ini serta merta mereka merandek dan terkejut.
Sementara itu, So Tiong juga tengah memeriksa anak panah itu, lalu katanya: "Tidak salah
lagi, panah berbulu ini memang bukan milikku. Satu hal harus kutekankan dulu bahwa
panahku tidak dipolesi racun, apalagi ukiran kelabang di batang panah ini juga tidak bersayap.
Memang bentuknya saja panah ini mirip dengan kepunyaanku. Sungguh keji pembuat panah
ini, jiwa orang lain dijadikan korban untuk melaksanakan niat jahatnya."
"Aku tidak percaya," bentak Kiau Sim dengan garang.
"Kalau Kiau-heng tidak percaya, biarlah adikku mengambil panahku untuk dibanding dengan
panah ini. Panahku semua berjumlah 13 batang, sudah lama tidak kugunakan, nanti bisa kita
periksa dan bandingkan bersama."
Tanpa diminta lagi segera So Hoan berlari masuk, sebelum pergi sekilas ia melirik kearah So
Tiong, agaknya ia kuatir akan keselamatan engkohnya.
Semua ini tidak lepas dari perhatian Thian-ih, segera terbayang olehnya ucapan To Yung yang
mengatakan bahwa kakak beradik ini katanya selalu berselisih. Tapi dari apa yang sekarang
disaksikan sendiri, naga-naganya keterangan To Yung itu perlu disangsikan kebenarannya.
Begitu So Hoan berlalu, So Tiong menuang arak untuk Thian-ih dan Kiau Sim, katanya:
"Agaknya ini hanya salah paham saja, silakan kalian menanti sebentar, duduk perkara
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sebenarnya pasti dapat kita bikin terang bersama."
Ketika ia maju kedepan Kiau Sim hendak menuang arak, sekonyong-konyong berkelebat
secarik sinar perak, disusul Kiau Sim menggerung kesakitan berbareng melancarkan pukulan
menyampok poci dan cawan arak. Pukulan ini menggunakan sisa tenaganya, keruan So Tiong
seketika merasa kedua tangannya linu pegal badan juga sempoyongan mundur.
Sigap sekali Thian-ih memburu maju, namun Kiau Sim sudah meringkuk lemas di lantai,
senjatanya masih erat dipegangnya, mulutnya megap-megap tanpa bersuara. Keadaan ini
seperti juga kematian Kiau Keng tempo hari, terang bahwa diapun terserang senjata rahasia
yang beracun jahat itu. Dengan bukti nyata didepan mata ini, tak dapat Thian-ih berlaku sungkan lagi, bentaknya
mendelik: "So Tiong, keluarkan obat penawarnya!"
Sepasang tangan So Tiong terluka dan membengkak besar, tapi ia berusaha mengelakkan diri:
"Ji-chengcu, jangan terburu nafsu, bukan aku yang membokong Kiau-toako!"
"Sret," saking sengit Thian-ih melolos pedang, semprotnya: "Bukti sudah didepan mata kau
masih berani menyangkal. Kalau bukan kau lalu siapa yang berbuat. Memangnya kalian orang
So-keh-pang adalah bangsat kurcaci yang pandai menggunakan akal licik membokong orang.
Biar hari ini aku belajar kenal dengan kalian sampai titik darah penghabisan."
Keruan So Tiong semakin gugup dan mencak-mencak, kedua tangannya sudah tak dapat
bergerak, tapi ia berusaha memberi penjelasan: "Ji-chengcu, sabarlah dulu, kejadian ini
memang agak ganjil, pasti bukan aku........."
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"So Tiong tutup mulutmu," Thian-ih menghardik bengis. "Keluarkan senjatamu mari kita
selesaikan urusan ini dengan senjata, tak mungkin kau lari dari tanggung jawab ini."
Habis berkata ia melangkah ketengah ruangan lalu bercekak pinggang dengan gagahnya.
Waktu ia melirik ke arah Kiau Sim, tampak kepalanya sudah terkulai, mungkin racun bekerja
terlalu cepat hingga jiwanya susah ditolong lagi.
Sementara itu karena ribut-ribut ini, beberapa tokoh-tokoh lihay atau tertua dari So-keh-pang
telah memburu tiba, melihat Pangcu mereka terluka banyak yang maju melindungi dan ada
pula yang berpencar mengurung Thian-ih.
"So Tiong, kau pengecut! Hayo maju lawanlah secara jantan." demikian tantang Thian-ih
dengan marahnya. "Seorang laki-laki harus berani bertanggung jawab akan perbuatannya.
Mana itu keenam algojo berkedok hitam suruh mereka keluar terima kematian !"
Wajah So Tiong pucat membesi, belum sempat ia membuka mulut, mendadak Thian-ih sudah
Mutiara Hitam 7 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Tanah Semenanjung 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama