Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 8
52 SH. Mintardja maka katanya kemudian, "Marilah Ki Sanak. Silakan naik ke
pendapa." Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemudian
keduanya pun telah naik pula ke pendapa.
Sejenak kemudian cantrik-cantrik yang memang sudah
siap telah menghidangkan minuman panas dan makanan.
Tetapi keduanya yang duduk di pendapa itu menunggu,
kenapa Kiai dan Nyai Soka tidak segera keluar menemui
mereka. Ketika keduanya tidak sabar lagi, maka mereka telah
memanggil seorang cantrik yang kebetulan lewat. Ketika
cantrik itu mendekat seorang di antara mereka bertanya,
"Dimana Kiai Soka, he?"
Cantrik itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menjawab,
"Kiai dan Nyai Soka tidak ada di padepokan."
"He," kedua orang itu terkejut. "Mereka pergi katamu?"
"Ya Ki Sanak. Keduanya telah pergi," jawab cantrik itu.
"Kemana?" bertanya salah seorang dari tamunya.
"Aku tidak tahu Ki Sanak. Kiai dan Nyai Soka hanya
mengatakan bahwa untuk sementara mereka tidak akan
berada di padepokan," jawab cantrik itu.
"Aneh," geram seorang yang lain. "Bukankah ia melihat
pertanda di pintu regol itu" Aku sudah mengabarkan,
bahwa malam ini aku akan datang. Tetapi kenapa ia justru
pergi?" "Aku kurang tahu Ki Sanak. Kiai dan Nyai sama sekali
tidak berpesan apapun. Menurut pendapat kami keduanya
akan melakukan pengembaraan seperti yang sering mereka
53 SH. Mintardja lakukan untuk barang sepuluh, lima belas hari," jawab
cantrik itu. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian
salah seorang di antara mereka bertanya, "Kau tahu, arah
mereka pergi" Mungkin mereka mempunyai kebiasaan
dalam pengembaraan mereka pergi ke satu tempat yang
mereka hormati." Cantrik itu menggeleng, katanya, "Tidak Ki Sanak. Aku
tidak pernah tahu, kemana saja Kiai dan Nyai Soka pergi
jika mereka meninggalkan padepokan. Mereka tidak pernah
mengatakannya, dan agaknya mereka tidak mengunjungi
satu tempat saja jika mereka pergi."
"Hal ini bukan satu kebiasaan Kiai dan Nyai Soka
dahulu," berkata salah seorang di antara mereka. "Aku
sudah memberi tanda akan kehadiranku malam ini. Apakah
selama ini telah terjadi satu perubahan di dalam cara hidup
mereka" Sehingga mereka tidak lagi menghormati harga
diri?" Cantrik itu sama sekali tidak menyahut. Ia duduk saja
sambil menundukkan kepalanya.
"Ki Sanak," berkata salah seorang dari kedua orang itu,
"Apakah kau benar-benar tidak tahu kemana suami istri itu
pergi, atau kau memang mendapat pesan untuk tidak
mengatakannya." "Kami, para cantrik memang tidak pernah diberi tahu,"
jawab cantrik itu. "Bagaimana seandainya aku menangkapmu dan
memaksamu untuk berbicara?" bertanya salah seorang di
antara tamu-tamu itu. 54 SH. Mintardja Wajah cantrik itu menjadi tegang. Namun kemudian ia
menjawab, "Seandainya Ki Sanak memaksa, mungkin aku
akan mengucapkan satu arah perjalanan, tetapi aku sendiri
tidak tahu apakah yang aku katakan itu benar atau tidak,
karena yang aku lakukan sekadar untuk memenuhi tekanan.
Karena itu aku tentu akan menjawab apa saja."
"Kau cerdik cantrik," jawab orang itu. "Tetapi jangan
menganggap bahwa aku menjadi yakin, bahwa kau dan
kawan-kawanmu tidak mengetahui. Tetapi kami berdua
memang merasa tidak ada perlunya untuk memaksa kalian.
Kiai dan Nyai Soka pun tahu, bahwa kami berdua tidak akan
memaksa seorang cantrik pun untuk mengatakan apa yang
sebenarnya memang mereka ketahui. Karena itu, kedua
suami istri itu tidak menyuruh kalian menyingkir pula."
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya kedua
orang ini bukan sejenis orang yang sangat garang dan
menakutkan. Namun karena itu, maka para cantrik itu pun menjadi
heran, bahwa orang-orang itu telah menaruh dendam
kepada Kiai dan Nyai Soka. Apakah persoalan yang telah
terjadi berpuluh tahun itu tiba-tiba telah terangkat kembali,
dan api dendam itu kemudian menyala di hati mereka.
Sejenak kedua orang itu saling berdiam diri. Nampak
kemudian salah seorang di antara mereka bertanya, "Kapan
kedua orang suami istri itu berangkat?"
"Dua hari yang lalu," jawab cantrik itu.
"Jadi mereka sudah melihat pertanda di pintu gerbang
itu. Karena aku menempelkan pertanda itu tiga hari yang
lalu. Karena itu agaknya mereka memang menghindari
kehadiran kami di sini," gumam yang lain.
55 SH. Mintardja Cantrik itu mengerutkan keningnya. Hampir di luar
sadarnya ia bertanya, "Apakah arti pertanda di pintu
gerbang itu" Kami juga melihat pertanda itu."
"Itu adalah bahwa kami yang sudah dikenal oleh kedua
suami istri itu akan datang pada malam ini," jawab salah
seorang dari keduanya. Cantrik itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat
sebuah pisau belati kecil yang tertancap di regol padepokan.
Pada pisau belati itu tergantung sebuah jambe yang sudah
terbelah dua. Kemudian terdapat tiga goresan pisau di atas
pisau belati yang tertancap di pintu gerbang padepokan itu.
Tetapi Kiai dan Nya Soka tidak mengatakan apa-apa.
Mereka hanya berpesan bahwa padepokan itu akan mereka
tinggalkan dan untuk beberapa hari mereka berada di Tlaga
Kuning, karena seorang akan datang dengan maksud buruk
malam ini. "Ki Sanak," tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang
itu berkata, "Jadi kalian yakin bahwa Kiai dan Nyai Soka
telah melihat pertanda itu?"
"Ya. Kami para cantrik yakin. Kiai dan Nyai Soka telah
mengamati pertanda yang berada di regol itu," jawab
cantrik itu. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, "Baiklah,
Ki Sanak, kumpulkan kawan-kawanmu aku minta semua
cantrik berada di halaman. Aku ingin berbicara dengan
kalian." Cantrik itu termangu-mangu. Namun orang itu
mendesak, "Cepat. Lakukan."
56 SH. Mintardja Cantrik itu terkejut. Ketika ia memandang wajah orang
itu, maka wajah itu seakan-akan telah berubah. Dari sorot
mata orang itu seakan-akan mulai memancarkan cahaya api
yang dapat membakar jantung.
Karena itu, maka cantrik itu tidak menjawab lagi. Ia pun
kemudian meninggalkan kedua orang itu untuk menemui
kawan-kawannya. "Kita semua harus berkumpul di halaman," berkata
cantrik itu. "Untuk apa?" bertanya yang lain.
"Aku tidak tahu. Tetapi kedua orang itu memerintahkan,
agar kita semua berkumpul di halaman padepokan."
Meskipun di dalam setiap hati timbul pertanyaan, namun
para cantrik itu pun mulai bergerak dan berkumpul di
halaman. Dalam keremangan cahaya lampu minyak di
pendapa, nampak wajah-wajah mereka yang tegang
memancarkan kegelisahan. Sejenak kemudian, maka kedua orang yang berada di
pendapa itu pun bangkit dari duduknya dan melangkah ke
tengah. Dipandanginya para cantrik yang ada di halaman
itu. Dengan suara lantang salah seorang di antara kedua
orang itu bertanya sekali lagi kepada para cantrik, "Jadi
kalian tidak tahu ke mana Kiai dan Nyai Soka pergi?"
Seorang cantrik yang tertua di antara mereka itu pun
menjawab, "Ki Sanak. Kiai dan Nyai Soka tidak pernah
mengatakan kepada kami ke mana saja mereka akan pergi."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian seorang di antara mereka maju selangkah sambil
berkata, "Baiklah. Jika demikian maka kalian tidak
mempunyai arti lagi bagi kami. Karena itu, maka seorang
57 SH. Mintardja demi seorang dari kalian akan kami bunuh. Kami akan
berhenti pada saat seorang di antara kalian bersedia
mengatakan di mana Kiai Soka dan Nyai Soka berada."
Wajah para cantrik itu menjadi tegang. Sementara itu,
cantrik yang tertua pun berkata, "Ki Sanak. Apakah langkah
yang akan Ki Sanak ambil itu telah kalian pikirkan?"
"Aku sudah memikirkannya berulang balik. Akhirnya aku
memang sampai pada satu kesimpulan, bahwa kalian
memang tidak ada gunanya lagi. Orang-orang yang sudah
tidak hanya sekadar menghabiskan makanan dan
minuman," jawab salah seorang di antara mereka.
Para cantrik menjadi bertambah tegang. Namun seorang
di antara para cantrik itu tiba-tiba saja telah melangkah
maju sambil berkata, "Ki Sanak. Jika kalian datang untuk
membalas dendam kepada Kiai dan Nyai Soka, maka kalian
tentu orang-orang yang pilih tanding. Namun demikian,
tidak ada orang yang dengan suka rela menyerahkan
lehernya untuk ditebas dengan pedang betapapun tajamnya.
Karena itu, Ki Sanak, bukan berarti kami tidak
menghormati tamu-tamu kami. Tetapi kami memang
berniat untuk mempertahankan hidup kami."
Tiba-tiba saja kedua orang itu tertawa. Seorang di
antaranya berkata, "Apakah kalian sudah gila. Kalian akan
melawan kami?" "Kami tidak akan melawan. Tetapi kami akan sekadar
mempertahankan hidup kami. Hanya itu. Meskipun kami
tahu, bahwa kemudian kami juga akan mati, tetapi
kematian kami adalah kematian seorang laki-laki yang
terhormat. Bukan kematian seekor kelinci yang
menyerahkan lehernya untuk disembelih," jawab cantrik
itu. 58 SH. Mintardja Kedua orang itu masih tertawa. Seorang di antaranya
berkata, "Baiklah. Marilah. Matilah sebagai laki-laki. Bagi
kami kematian cara apapun yang kalian pilih tidak akan
banyak bedanya. Kalian akan mati. Itu yang penting bagi
kami, agar dengan demikian orang-orang yang tidak
berguna seperti kalian akan lenyap dari muka bumi ini."
Cantrik-cantrik itu pun tiba-tiba berdiri meregang.
Bagaimana pun juga mereka adalah cantrik dari sebuah
padepokan yang dipimpin oleh dua orang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Sehingga karena itu, maka para cantrik itu
pun serba sedikit juga memiliki bekal dalam olah
kanuragan. Kedua orang itu mengamati para cantrik itu sejenak.
Namun kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke
dinding padepokan yang dibayangi oleh kegelapan.
Tetapi kedua orang itu tidak melihat sesuatu.
Dalam pada itu, para cantrik pun telah menebar semakin
luas. Bahkan mereka telah berada di seputar pendapa
padepokan kecil itu. Namun kedua orang itu sama sekali masih belum
bergerak. Bahkan seorang di antara mereka berkata, "Kalian
ternyata terlalu cepat dibakar oleh perasaan kalian tanpa
pertimbangan nalar. Karena itu, coba pikirkan, apakah
kalian ingin melawan kami berdua tanpa senjata" dengan
senjata kalian tidak akan dapat berbuat banyak. Apalagi
dengan sombong kalian bersiap melawan kami tanpa
senjata sama sekali."
Para cantrik itu saling berpandangan di antara mereka,
sementara orang itu berkata selanjutnya, "Pergilah.
Ambillah senjata kalian. Apa saja yang kalian miliki dan
kalian kuasai. Kami berdua akan mempergunakan senjata
59 SH. Mintardja yang telah kami bawa. Kami masing-masing akan
mempergunakan pedang kami."
Para cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian orang tertua di antara mereka berkata, "Baiklah
Ki Sanak. Agaknya kalian memang terlalu yakin akan
kemampuan kalian. Karena itu, maka biarlah kami
mengambil senjata kami masing-masing."
Cantrik itu tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian
melangkah ke dalam baraknya diikuti oleh para cantrik yang
lain untuk mengambil senjata masing-masing.
Sementara para cantrik itu pergi, seorang di antara kedua
orang itu pun berkata, "Aku yakin, kedua orang itu ada
disini. Jika kita memaksa para cantrik itu untuk bertempur
maka kedua orang itu tentu akan hadir."
"Jika tidak?" bertanya yang lain.
"Kita akan meninggalkan arena. Biarlah para cantrik itu
merasa diri mereka menang," jawab yang pertama.
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata
apapun lagi. Dalam pada itu, maka para cantrik pun kemudian telah
kembali dengan senjata masing-masing.
Sejenak kemudian para cantrik itu pun telah bersiap
untuk bertempur. Senjata mereka telah teracu. Mereka
benar-benar ingin bertempur, karena mereka tidak akan
membiarkan diri mereka dibantai tanpa berbuat sesuatu.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang itu pun kemudian melangkah turun dari
tangga pendapa,. sejenak mereka berdiri tegak memandang
berkeliling. Namun keduanya kemudian telah bergeser
saling menjauh. Agaknya mereka tidak akan bertempur
berpasangan. Tetapi mereka akan bertempur seorang60 SH. Mintardja seorang melawan sekelompok kecil para cantrik di
padepokan itu. Namun kedua orang itu memang nampak gelisah. Setiap
kali mereka memperhatikan dinding halaman padepokan
itu, atau sudut-sudut yang gelap disekitar halaman. Tetapi
mereka tidak melihat seseorang. Bahkan dengan ketajaman
indera mereka, sama sekali tidak menangkap isyarat bahwa
di sekitar mereka ada seseorang yang bersembunyi atau
mengamati keadaan di halaman itu.
Karena itu, maka mereka tidak dapat menunggu lebih
lama lagi, karena justru para cantrik lah yang mulai
bergerak mendekat dengan senjata yang mulai bergetar.
Kedua orang itu segera mempersiapkan diri. Mereka pun
telah mencabut pedang mereka dan mulai berputar di
tangan mereka. Selangkah keduanya bergeser semakin
menjauh dan agaknya mereka pun sudah siap untuk
bertempur. Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran antara kedua orang itu dengan para cantrik.
Ternyata kedua orang itu memang mampu bergerak dengan
kecepatan yang sangat mengagumkan. Mereka berloncatan
sambil memutar pedang mereka. Setiap sentuhan senjata
terasa, tangan para cantrik itu menjadi pedih. Agaknya
kekuatan kedua orang itu pun jauh melampaui kekuatan
orang kebanyakan. Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung.
Namun senjata mereka dari kedua belah pihak sama sekali
masih belum menyentuh kulit dan tubuh. Meskipun kedua
orang itu mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi,
namun seakan-akan mereka tidak dapat menembus
pertahanan para cantrik. 61 SH. Mintardja Dalam pada itu, selagi pertempuran di halaman itu
terjadi, dua sosok tubuh telah dengan sangat hati-hati
mendekat dinding halaman padepokan itu. Keduanya
terkejut ketika mereka mendengar dentang senjata beradu.
Menilik derap dan hentakan-hentakan senjata, maka
agaknya telah terjadi pertempuran dari sekelompok orang.
"Apa yang terjadi?" desis yang seseorang.
"Pertempuran," jawab yang lain.
Keduanya menjadi tegang. Yang pertama kemudian
berdesis, "Tentu para cantrik. Jika Kiai dan Nyai Soka tidak
ada, maka akibatnya tentu akan sangat parah bagi para
cantrik itu. Bukankah dua orang yang berniat untuk
membalas dendam terhadap Kiai dan Nyai Soka itu tentu
orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi?"
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun kemudian
yang seorang berkata, "Kita tidak dapat tinggal diam.
Apaboleh buat." Hampir serentak keduanya pun telah meloncat ke atas
dinding padepokan. Yang mereka lihat sebagaimana mereka
duga, di halaman itu telah terjadi pertempuran antara dua
orang melawan para cantrik.
Kedua orang itu pun kemudian telah meloncat turun
kehalaman. Sementara itu, dua orang yang bertempur
melawan para cantrik itu pun segera melihat kedua orang
yang meloncat masuk. Sejenak mereka berharap. Namun
kemudian keduanya menjadi kecewa, bahwa ternyata kedua
orang itu bukan Kiai dan Nyai Soka.
Dalam pada itu, kedua orang itu yang meloncat masuk itu
pun kemudian dengan cepat mendekati arena. Salah
seorang di antara mereka berkata, "Inilah yang kalian
lakukan" Menurut pendengaranku kalian ingin membuat
62 SH. Mintardja perhitungan dengan Kiai Soka. Tetapi ternyata bahwa kalian
telah melakukan sesuatu yang kurang terpuji. Apakah
kebanggaan kalian seandainya kalian dapat memenangkan
pertempuran melawan para cantrik ini?"
Semua mata telah memandang kedua orang itu. Dengan
nada yang tinggi beberapa cantrik berdesis, "Kiai Badra."
Ternyata kedua orang itu pun telah mengenal pula kedua
orang yang datang itu. Katanya, "Selamat datang Kiai Badra
dan Gandar." "Kalian telah mengenal kami?" bertanya Kiai Badra.
"Ya. Kami telah mengenal kalian berdua. Bahkan kami
pun telah mengetahui hubungan kalian dengan Kiai Soka.
Bukankah kau saudara tua Nyai Soka" Dan bukankah cucu
perempuanmu yang bernama Iswari kau titipkan disini,
karena menurut ceriteranya cucumu itu sudah mati."
Wajah Kiai Badra menjadi tegang. Namun Gandarlah
yang menyahut, "Aku tidak tahu persoalan apakah
sebenarnya yang telah terjadi antara kau dan Kiai Soka.
Mungkin benar kata seorang cantrik bahwa kau ingin
membalas dendam atas kematian ayahmu beberapa puluh
tahun yang lalu. Tetapi aku tidak peduli. Tingkah laku
kalian berdua telah menggelitik hati kami. Apalagi karena
kalian mengetahui rahasia yang selama ini kami pegang
teguh." "Marilah," berkata salah seorang di antara kedua orang
itu, "Kita berbicara tentang persoalan yang kita hadapi."
"Kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Tetapi
kami harus mencegah kalian berbuat sewenang-wenang
atas para cantrik, karena persoalan kalian tidak dengan para
cantrik, tetapi dengan Kiai Soka," jawab Gandar.
63 SH. Mintardja "Karena itu, kita dapat membicarakannya," jawab orang
itu. "Sebaiknya kalian menyerah kepada kami," geram
Gandar yang menjadi tidak sabar.
"Jangan membuat persoalan Ki Sanak," berkata salah
seorang di antara kedua orang itu. "Jika sampai saat ini
tidak ada persoalan di antara kita, sebaiknya kita tetap pada
keadaan seperti itu. Sekali lagi aku minta, kita dapat
membicarakannya", berkata
orang itu. "Tetapi bukannya tidak
ada persoalan yang sebenarnya," jawab Gandar.
"Kalian telah menyebut
nama Iswari. Jika kalian tidak berkepentingan dengan anak itu, kalian tentu tidak akan menyelidiki
sampai tempat tinggalnya yang terakhir. Menyerahlah. Kita akan berbicara kemudian," geram
Gandar. "Kau sudah mulai
dengan kesombonganmu, menakut-nakuti para cantrik. Karena itu, letakkan
senjatamu." "Kau jangan terlalu kasar Ki Sanak," sahut salah seorang
dari kedua orang itu, "Kami tidak mau kau perlakukan
seperti itu." Tetapi Gandar memang sudah mempunyai prasangka
buruk terhadap kedua orang itu. Mula-mula ia mendapat
64 SH. Mintardja keterangan bahwa orang itu mungkin akan membalas
dendam sakit hatinya karena kematian ayahnya. Kemudian
orang itu ternyata mengetahui bahwa Iswari ada di
padepokan Tlaga Kembang, sehingga endapan-endapan
yang ada di dalam dada Gandar itu pun bagaikan terungkat.
Adalah di luar sadarnya bahwa tiba-tiba saja ia telah
menghubungkan orang-orang ini dengan keluarga
Kalamerta yang sedang memburu Iswari yang bagi mereka
harus dibinasakan. Karena itu, maka pikiran Gandar tidak lagi dapat
dipergunakannya dengan jernih.
Dalam pada itu, Kiai Badra sendiri ternyata dihinggapi
oleh keragu-raguan. Sikap kedua orang itu memang bukan
sikap yang kasar yang biasa ditunjukkan oleh kelompokkelompok dunia hitam. Namun selagi orang tua itu masih membuat
pertimbangan-pertimbangan di dalam hatinya, terdengar
seorang cantrik berteriak, " Kiai, kedua orang itu berniat
membunuh kami semua. Seorang demi seorang sampai ada
di antara kami yang mengatakan dimana Kiai dan Nyai Soka
berada. "Gila," geram Gandar. "Itukah perbuatan seorang yang
mengaku tidak mempunyai persoalan dengan kami
sekarang ini" Yang kalian lakukan adalah perbuatan di luar
peradaban manusia. Karena itu, maka segera lepaskan
senjata kalian atau kami akan bertindak lebih tegas."
Wajah kedua orang itu menjadi semakin tegang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain berkata pula,
"Mereka memang datang untuk membunuh."
Gandar tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia pun
kemudian maju beberapa langkah. Namun Kiai Badra
65 SH. Mintardja menggamitnya sambil berdesis. "Kita akan berbicara
Gandar." Gandar berpaling. Tetapi ia tidak menghiraukan katakata Kiai Badra. Satu sikap yang tidak pernah dilakukannya
sebelumnya. Namun karena nalarnya sedang gelap karena
kedua orang itu dianggapnya sedang memburu Iswari
sebagai tujuan utamanya, sedangkan alasan untuk
membalas dendam itu hanyalah sekadar dicari-cari, maka ia
tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapi orang-orang
itu dengan kekerasan. Kedua orang itu menjadi tegang. Apalagi ketika beberapa
orang cantrik yang lain pun berteriak-teriak pula mengadu.
Darah Gandar menjadi semakin panas.
Ternyata kedua orang itu pun tidak mau berbicara terlalu
banyak. Mereka benar-benar telah tersinggung, sehingga
karena itu, maka keduanya pun telah mempersiapkan diri.
Namun sejenak Gandar termangu-mangu. Karena itu
sama sekali tidak bersikap untuk melakukan hal yang
semacam itu, maka Gandar memang tidak menyiapkan
senjata. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun berkata kepada seorang
cantrik, "Berikan senjatamu. Aku akan membela kalian dari
kelaliman orang-orang ini."
Seorang cantrik yang terdekat menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun ia pun kemudian menyerahkan tombak
pendek yang digenggamnya.
Dengan demikian maka Gandar pun telah bersiap dengan
tombak ditangannya. Selangkah demi selangkah ia
mendekat. Tombaknya mulai merunduk dan bergetar.
66 SH. Mintardja Memang tidak ada kemungkinan lain dari benturan
senjata. Salah seorang dari kedua orang yang membawa
pedang itu pun telah mendekat pula menghadapi Gandar.
Keduanya yang telah bersiap sepenuhnya itu akhirnya mulai
menggerakkan senjata mereka menyerang lawan.
Meskipun serangan yang bermula-mula bukanlah
serangan yang sangat berbahaya, namun sejenak kemudian,
maka mereka pun telah bergerak semakin cepat
menghadapi keadaan yang sama sekali tidak mereka duga
sebelumnya. Ternyata orang yang datang untuk membuat perhitungan
dengan Kiai Soka ini memang seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Meskipun orang itu masih belum mengerahkan
segenap kemampuannya, namun orang itu ternyata sudah
menunjukkan ketangkasannya yang membuat para cantrik
menjadi bingung. Selama orang itu bertempur melawan
mereka maka cantrik itu tidak melihat kemampuan yang
hampir di luar nalar itu.
Namun lawannya adalah Gandar. Seorang yang untuk
beberapa lamanya telah meletakkan senjatanya dan hidup
dengan damai di sebuah padepokan kecil. Tetapi peristiwa
demi peristiwa telah menggelitiknya, sehingga ia pun
terpaksa mempergunakan lagi kekerasan untuk
mempertahankan satu sikap dan pendirian.
Sejak Iswari berada di Tanah Perdikan Sembojan,
sebenarnyalah hati Gandar telah terguncang. Tapi ia masih
mampu dengan susah payah mempertahankan
keseimbangan nalar dan perasaannya. Tetapi ketika Iswari
itu kemudian hilang, maka kadang-kadang Gandar tidak
mampu lagi mengekang dirinya. Sekali-kali ia berusaha
melepaskan gejolak perasaannya dengan melakukan
sesuatu tanpa dilihat orang lain. Ia telah menghantam batu67 SH. Mintardja batu padas sehingga pecah berserakkan dengan sisi telapak
tangannya. Ia pun telah mengguncang dan merobohkan
sebatang pohon yang besar dengan kekuatan cadangannya
di tengah-tengah hutan. Bahkan ketika Gandar kehilangan
pengamatan dirinya, maka Gandar telah membunuh seekor
harimau yang tidak bersalah, meskipun harimau itu hendak
menerkamnya. Tetapi yang dilakukan oleh harimau itu
semata-mata tidak nalurinya tanpa sikap memusuhinya.
Dan kini Gandar berhadapan dengan seorang yang
dianggapnya keluarga Kalamerta yang sedang memburu
Iswari sekaligus akan membalas dendam kepada Kiai Soka
dan istrinya yang kebetulan adalah adik Kiai Badra itu
sendiri. Karena itu, maka Gandar benar-benar telah berniat
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menghancurkan lawannya tanpa ragu-ragu lagi.
Lawannya yang semula berusaha untuk sekadar
menjajagi kemampuan Gandar, ternyata terkejut sekali
dengan serangan-serangan Gandar yang langsung pada
tataran tertinggi dari ilmunya.
Untunglah bahwa orang itu masih mempunyai
kesempatan menghindar dan kemudian membangunkan
puncak kemampuannya, sehingga dengan demikian ia tidak
tergilas oleh gejolak perasaan Gandar yang tidak terkekang.
Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua
orang itu pun telah menjadi semakin sengit. Keduanya
langsung sampai pada tingkat kemampuan mereka yang
tertinggi. Dalam pada itu, maka pedang orang yang datang untuk
mencari Kiai Soka itu berputaran dengan kecepatan balingbaling. Kemudian menebas mendatar setinggi lambung.
Namun tiba-tiba telah mematuk ke arah jantung.
68 SH. Mintardja Tetapi sementara itu, tombak di tangan Gandar pun
bergerak dengan cepat pula. Sekali menyilang di depan
wajahnya namun kemudian berputar menangkis serangan
pedang lawan. Tetapi sejenak kemudian serangan Gandar
pun datang bagaikan prahara. Ujung tombaknya bagaikan
ujung lidah api di langit yang menukik menyambar
sasarannya. Lawannya yang menyadari bahwa tombak Gandar adalah
sekadar tombak kebanyakan yang dipinjamnya dari seorang
cantrik berusaha untuk membenturkan pedangnya pada
tombak itu. Karena itu, maka dengan cerdik orang itu telah
memancing Gandar untuk menikam dengan ujung
tombaknya ke arah lambung. Tetapi orang itu sempat
mengelak, karena memang serangan yang demikian yang
diharapkannya. Demikian tombak Gandar mematuk, maka
dengan sekuat tenaganya orang itu mengayunkan
pedangnya menebas leher. Seperti yang diharapkan, Gandar tidak sempat mengelak
telah menyilangkan landean tombaknya untuk melindungi
lehernya itu. Sejenak kemudian telah terjadi benturan senjata yang
dahsyat sekali. Lawan Gandar telah mengerahkan segenap
kekuatan dan kemampuan tenaga cadangannya untuk
menghantam tangkai tombak di tangan Gandar. Karena
tombak itu tombak kebanyakan, bukan sebatang tombak
pusaka, maka orang itu memastikan, bahwa kekuatan dan
kemampuannya akan mampu mematahkan landean tombak
itu. Demikianlah, benturan yang dahsyat itu terjadi. Gandar
terdorong dua langkah surut. Namun dalam pada itu,
lawannya pun telah mengalami kesulitan yang mengganggu.
Pedangnya memang membentur landean tombak lawannya.
69 SH. Mintardja Namun adalah diluar dugaannya, bahwa landean tombak
itu sama sekali tidak patah. Karena itu, maka kekuatannya
sendiri yang menghantam kekuatan bertahan Gandar telah
menolak kekuatan itu dan justru telah melemparkannya
beberapa langkah surut. Sebenarnyalah, bahwa landean tombak Gandar tidak
patah. Hal itu ternyata juga dilihat seorang yang lain yang
datang untuk mencari Kiai dan Nyai Soka itu, yang berdiri
termangu-mangu di dekat Kiai Badra.
"Luar biasa," desis orang itu.
Kiai Badra berpaling. Namun menilik sikapnya orang itu
tidak akan menyerangnya. Bahkan kemudian katanya,
"Kawanmu memang luar biasa Kiai Badra. Dengan
demikian aku mengerti, bahwa kau tentu memiliki ilmu
yang lebih tinggi dari orang itu."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. Sementara itu, orang yang berdiri di samping Kiai Badra
itu berdesis, "Bagaimana mungkin landean tombak itu tidak
patah. Tombak itu adalah tombak kebanyakan yang
diambilnya dari seorang cantrik. Sedangkan pedang
kawanku, sebagaimana pedangku adalah pedang yang
terbuat dari baja pilihan. Menurut perhitungan nalar, maka
tangkai tombak itu tentu akan patah pada benturan, karena
tenaga kawanku itu melampaui tenaga seekor kerbau
jantan." Kiai Badra masih tetap berdiam diri.
Karena Kiai Badra tidak menyahut, maka orang itu
berkata selanjutnya, "Kai. Mungkin pertempuran antara
keduanya akan berlanjut untuk waktu yang lama. Tetapi jika
70 SH. Mintardja kawanku kemudian terdesak, sudah barang tentu aku tidak
akan tinggal diam." Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jika orang
yang berdiri disampingnya itu benar-benar akan turun ke
medan, apakah ia akan tinggal diam.
Dalam pada itu, Gandar yang didasari dengan kebencian
yang mendalam, telah bertempur dengan mengerahkan
segenap ilmunya. Bukan saja landean tombaknya yang tidak
dapat dipatahkan oleh lawannya, namun kemudian
kecepatan gerak Gandar pun seakan-akan menjadi semakin
tinggi. Dengan kemampuan ilmunya, Gandar memang telah
mengalirkan tenaga yang dapat dibangunkan oleh ilmunya
itu seakan-akan menyusuri senjatanya, sehingga senjata
yang ada di tangannya itu pun menjadi senjata yang
kekuatannya melampaui kekuatan senjata kebanyakan
sebagaimana senjata itu sendiri.
Dengan mengerahkan ilmunya, maka Gandar pun
semakin lama menjadi semakin mendesak lawannya.
Meskipun lawannya juga memiliki ilmu yang tinggi, tetapi
ternyata bahwa Gandar masih memiliki kelebihan dari
lawannya itu. Kekuatan dan kecepatan geraknya, merupakan kelebihan
yang sulit untuk diimbangi oleh lawannya. Meskipun
lawannya memiliki ilmu pedang yang hampir sempurna,
namun ternyata ia tidak mampu mengatasi putaran senjata
Gandar. Dengan demikian, maka perlahan-lahan Gandar berhasil
mendesak lawannya. Semakin lama menjadi semakin jelas,
bahwa kemampuan Gandar benar-benar sulit untuk
diimbangi. 71 SH. Mintardja Karena itu, maka orang yang berdiri di samping Kiai
Badra itu menjadi cemas. Dengan suara bergetar ia berkata,
"Luar biasa. Memang luar biasa. Tetapi aku tidak dapat
membiarkan adik seperguruan itu akan benar-benar
menjadi korban dalam permainan ini."
Kiai Badra menjadi berdebar-debar. Jika orang itu
melibatkan diri dan bertempur berpasangan, maka Gandar
sulit untuk dapat bertahan. Apalagi orang yang belum
melibatkan diri itu adalah saudara tua seperguruan dengan
orang yang sedang bertempur melawan Gandar.
Karena itu, maka Kiai Badra pun berkata, "Ki Sanak.
Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Gandar hanya
menghendaki kalian menyerah. Kemudian segala
sesuatunya akan dibicarakan dengan Kiai dan Nyai Soka."
"Kau aneh Kiai. Sudah tentu kami tidak akan menyerah,"
jawab orang itu. Lalu, "Sebenarnya kami tidak berkeberatan
untuk berbicara tentang persoalan kami, tetapi Gandar
tidak mau mendengarkannya."
"Ia juga ingin bicara," jawab Kiai Badra.
"Tetapi dengan syarat yang gila. Kami harus menyerah
dahulu. Itu sangat menyinggung harga diri kami," jawab
orang itu. "Itulah permohonannya," berkata Kiai Badra. "Agaknya
Gandar melakukan hal itu bukannya tidak beralasan."
"Apapun alasannya, tetapi kami tidak dapat
mengorbankan harga diri kami. Karena itu, aku akan ikut
campur dalam pertempuran ini," berkata orang itu.
"Jangan Ki Sanak," berkata Kai Badra.
Tetapi orang itu bergeser melangkah mendekati arena.
Sementara itu pertempuran antara Gandar dan lawannya
72 SH. Mintardja itu pun menjadi semakin sengit. Dengan puncak
kemampuannya lawan Gandar itu berusaha bertahan.
Pedangnya berputar seperti prahara. Sekali-kali masih juga
ia sempat melibat Gandar dalam serangan yang dahsyat.
Tetapi Gandar memiliki kemampuan yang luar biasa.
Tombaknya bukan saja mematuk seperti seekor ular, tetapi
kadang-kadang terayun dengan cepat kemudian berputar
dan satu serangan yang mendebarkan mengarah ke kepala
lawannya tidak dengan ujungnya, tetapi dengan pangkal
landeannya. Dalam pada itu, dalam setiap benturan kekuatan,
ternyata bahwa kekuatan Gandar mampu mendesak
lawannya pula. Sekali-kali terasa tangan lawannya yang
menggenggam pedang itu menjadi pedih. Sementara itu,
landean tombak itu ternyata tidak juga mau patah.
"Ki Sanak," panggil Kiai Badra ketika yang seorang lagi
menjadi semakin mendekati arena, "Aku peringatkan,
jangan." "Aku menyadari Kiai, bahwa kau akan mencegah aku.
Itulah yang sebenarnya aku tunggu," jawab orang itu.
"Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kemampuan
Kiai untuk kemudian dapat membantu saudara
seperguruanku. Ternyata bahwa Gandar, pembantu Kiai itu
memiliki ilmu yang luar biasa. Aku sadar, bahwa dengan
demikian Kiai sendiri tentu memiliki ilmu melampaui ilmu
Gandar itu. Tetapi apaboleh buat. Kami tidak akan dapat
Kiai paksa untuk menyerah."
Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Jika orang itu
memaksa untuk memasuki arena, maka ia memang tidak
dapat berbuat lain, kecuali mencegahnya.
73 SH. Mintardja Sejenak Kiai Badra berdiri bagaikan membeku. Ketika
orang itu bergeser semakin dekat dengan arena, maka Kiai
Badra pun telah menarik nafas dalam-dalam.
"Apa boleh buat," desisnya.
Sekilas ia memandang para cantrik yang menyaksikan
pertempuran antara Gandar dengan lawannya. Mereka
berdiri membeku ditempatnya. Pertempuran itu benarbenar pertempuran yang sulit mereka mengerti.
Dalam pada itu, terngiang di telinga Kiai Badra keluh
para cantrik itu. Bahwa kedua orang itu sudah berniat untuk
membunuh para cantrik itu seorang demi seorang sampai
salah seorang di antara mereka mengatakan dimana Kiai
dan Nyai Soka berada. "Ki Sanak," berkata Kiai Badra kemudian, "Aku adalah
orang tua yang barangkali lebih tua dari Ki Sanak.
Sebenarnya sudah tidak pantas bagiku untuk bermain-main
seperti anak-anak muda. Juga Ki Sanak sebaiknya sudah
tidak lagi melakukannya."
"Tetapi apakah aku harus membiarkan adik
seperguruanku itu mengalami kesulitan?" bertanya orang
itu. "Biarlah adik seperguruan Ki Sanak itu menyerah.
Gandar tidak akan melakukan satu perbuatan yang tidak
wajar menghadapi orang yang sudah menyerah," berkata
Kiai Badra. "Kiai," jawab orang itu. "Sudah berapa kali aku
mengatakan, bahwa aku dan adikku sama sekali tidak ingin
menyerah. Apapun yang akan terjadi. Memang pertemuan
kami dengan Kiai dan Gandar adalah di luar dugaan. Juga
kemampuan Gandar dan tentu kemampuan Kiai dalam olah
kanuragan juga di luar dugaan kami. Tetapi semisal orang
74 SH. Mintardja yang menyeberangi sungai, kami sudah ada di tengah.
Kembali pun kami sudah basah sebagaimana jika kami
melanjutkannya sampai ke seberang."
"Jadi Ki Sanak sudah tidak mempunyai jalan lain?"
bertanya Kiai Badra. "Seharusnya kamilah yang bertanya demikian, bukan
Kiai," jawab orang itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Nyai
Soka adalah adikku. Jika benar kau akan membalas dendam
atau jika benar kau memiliki persoalan dengan iswari,
cucuku itu, serta jika benar kalian akan membunuh para
cantrik itu satu demi satu, maka agaknya aku yang tua ini
tidak dapat berbuat lain kecuali berusaha mencegahnya."
Orang itu kemudian bergeser sambil menghadap Kiai
Badra. Sejenak ia berpaling. Namun ia masih berharap
bahwa adik seperguruannya itu akan mampu bertahan
untuk beberapa saat. Sementara itu, ia ingin mencoba
kemampuan Kiai Badra, yang tentu lebih baik dari Gandar.
Tetapi orang itu pun merasa, bahwa ia pun memiliki ilmu
yang lebih luas dan lebih mapan dari adik seperguruannya.
Karena itu, maka dengan tatag ia tetap bersiap menghadapi
Kiai Badra. Tetapi Kiai Badra masih juga berkata, "Ki Sanak. Aku
adalah orang tua. Aku bukan saja mempunyai seorang cucu,
tetapi aku sudah mempunyai seorang cicit. Seharusnya
orang setua aku ini tidak lagi berbuat aneh-aneh seperti
anak-anak muda." "Tetapi Kiai sekarang berdiri disimpang jalan," berkata
orang itu. "Sudahlah. Jangan berpura-pura menjadi seorang
yang sudah tidak berkepentingan lagi dengan dunia ini dan
segala macam seluk-beluknya termasuk kekerasan. Aku
75 SH. Mintardja sudah siap. Dan aku memang berharap Kiai mencegah aku
karena aku akan membantu adik seperguruanku. Bukankah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai sudah mengatakan, bahwa Kiai tidak dapat berbuat lain
kecuali berusaha mencegahku. Nah, sekarang sampai
saatnya Kiai melakukannya."
Kiai Badra memang tidak dapat mengelak lagi. Orang
itulah yang kemudian mengacukan senjata ke arah orang
tua itu. "Marilah Kiai. Sebagaimana Gandar telah bersungguhsungguh, maka aku pun akan bersungguh-sungguh. Biarlah
kita menyelesaikan persoalan yang sebenarnya tidak pernah
ada di antara kita dengan cara yang telah dipilih oleh
Gandar," berkata orang itu.
Kiai Badra memandang orang itu dengan tajamnya.
Namun terasa di dalam hatinya, bahwa sebenarnyalah
mereka dapat mengambil jalan lain untuk mencari
penyelesaian. Tetapi semuanya sudah tertutup. Yang kini
dihadapi adalah ujung pedang lawannya itu.
"Kiai," berkata orang itu. "Jika kau ingin meminjam
sepucuk senjata, silakan sebagaimana dilakukan oleh
Gandar. Aku pun tahu bahwa senjata yang betapapun
jeleknya, di tangan Kiai akan menjadi senjata yang tidak ada
duanya." Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki
Sanak. Aku akan meminjam senjata. Sebenarnyalah ketika
kami berangkat dari padepokan kami, sama sekali tidak
terlintas di hati kami, bahwa akan terjadi peristiwa seperti
ini. Karena itu, kami sama sekali tidak membawa sepucuk
senjatapun. Apalagi memang sudah lama kami melepaskan
senjata kami dan menyimpannya di dalam gledeg di bilik
tidur kami. Demikian juga Gandar. Ia pun tidak
mempersiapkan diri menghadapi peristiwa ini. Dan
76 SH. Mintardja sebagaimana aku, ia pun tidak membawa senjata dari
padepokan karena kedatangan kami ke padepokan ini
adalah untuk menengok saudara dan cucu serta cicit."
"Tetapi sekarang Kiai tidak akan dapat mengelak, " jawab
orang itu. Kiai Badra tidak menjawab. Sementara itu ia mendekati
seorang cantrik yang menggenggam sebilah pedang.
"Aku meminjam pedangmu. Karena lawanku juga
bersenjata pedang, maka aku pun akan mempergunakan
senjata serupa," berkata Kiai Badra.
Cantrik itu tidak menjawab. Tetapi ia menyerahkan
pedangnya kepada Kiai Badra.
Sebilah pedang yang tidak lebih dari pedang kebanyakan
yang dibuat oleh pande besi di sudut pasar.
Orang yang siap melawan Kiai Badra itu menarik nafas
dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang pedangnya
sendiri. Pedang yang memiliki banyak kelebihan dari
pedang biasa, sebagaimana yang dipegang oleh Kiai Badra
itu. Pedang yang tidak lebih dari parang membelah kayu,
karena yang dapat disebut pedang hanyalah bentuknya.
Tetapi pedangnya sendiri adalah pedang yang terbuat
dari baja pilihan. Pedang yang tajamnya melampaui
tajamnya welat pring wulung, namun mempunyai kekuatan
melampaui batang linggis sebesar lengan.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun katanya
dalam hati, "Kiai Badra harus menyadari, bahwa aku
bukannya adik seperguruanku."
Karena itu, maka yang akan dilakukan oleh orang itu
pertama-tama adalah mengejutkan Kiai Badra. Pedang di
tangan Kiai Badra harus dipatahkannya.
77 SH. Mintardja Karena itu, ketika kemudian Kiai Badra sudah siap, maka
orang itu pun mulai menyerangnya. Dengan cepat ia
menjulurkan pedangnya mengarah ke dada.
Kiai Badra bergeser selangkah. Pedang lawannya itu
tidak dapat menggapainya. Namun lawannya itu meloncat
maju sambil mengayunkan pedangnya mendatar.
Sekali lagi Kiai Badra menghindar.
Namun orang itu sampai pada rencananya pada
permulaan pertempuran itu. Demikian Kiai Badra meloncat,
maka dengan kecepatan yang tidak tampak oleh mata
wadag orang itu telah mengayunkan pedangnya dengan
segenap kemampuan ilmunya. Tenaga cadangan yang ada di
dalam dirinya telah dikerahkannya didorong oleh kekuatan
ilmu yang sangat tinggi, tersalur pada ayunan pedang yang
terbuat dari baja pilihan itu.
Kiai Badra terkejut. Tetapi, ia cepat sadar bahwa
lawannya memang ingin berusaha untuk membuatnya
berdebr-debar dengan berusaha mematahkan pedangnya.
Karena itu, maka sebagaimana dilakukan oleh Gandar.
Kekuatan ilmu Kiai Badra yang seakan-akan dihisapnya dari
bumi lewat sentuhan kakinya, mengalir ke daun pedang
yang dalam keadaan wajarnya tidak lebih dari parang
pembelah kayu itu. Bahkan melampaui kemampuan
Gandar, Kiai Badra telah memanfaatkan kekuatan api di
dalam dirinya. "Aku tidak bermaksud menyombongkan diri Ki Sanak,"
berkata Kiai Badra di dalam hatinya. "Tetapi aku ingin
pertempuran ini cepat selesai."
Demikianlah, maka telah terjadi satu benturan yang
sangat dahsyat. Kiai Badra memang menyilangkan
pedangnya untuk menangkis serangan lawannya,
78 SH. Mintardja sebagaimana dikehendaki oleh lawannya itu. Sementara itu
lawannya memang telah mengerahkan segenap
kemampuannya serta kekuatan ilmu yang ada pada dirinya.
Namun ternyata pedang di tangan Kiai Badra itu
memang tidak patah. Ayunan pedang lawannya terasa
bagaikan membentur bukit baja yang tidak terguyahkan.
Bahkan dari benturan itu telah memercik bunga api
bagaikan menyembur keudara.
Benar-benar satu hal yang tidak terduga sama sekali oleh
lawannya. Dengan serta merta ia telah meloncat menjauh,
menghindari bunga api yang bagaikan dengan sengaja
ditaburkan ke arahnya. Ketika sepercik kecil menyentuh
kulitnya, maka terasa kulitnya menjadi hangus dan sangat
pedih. "Gila," geram orang itu.
Kiai Badra masih berdiri tegak ditempatnya. Ia sama
sekali tidak berusaha memburunya.
"Luar biasa Kiai," desis lawannya.
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sudahlah. Menyerahlah. Maksudku, kau harus
mengurungkan niatmu untuk membalas dendam terhadap
Kiai dan Nyai Soka. Kau juga harus memberikan keterangan
tentang usahamu menyelidiki Iswari sehingga kau
menemukannya sendiri."
"Sayang Kiai," jawab orang itu. "Aku tidak dapat
menyerah. Aku masih mempunyai kemungkinan untuk
menghancurkan kesombongan Kiai dengan ilmuku yang
lain." 79 SH. Mintardja Kiai Badra memandang orang itu dengan tatapan mata
yang redup. Ternyata ia sudah terpancing untuk bertempur
dalam tataran ilmu yang tinggi.
Tetapi ia memang tidak dapat mengelak.
Dalam pada itu, lawannya itu pun berdiri tegak sambil
menggenggam pedangnya yang bersilang di dadanya.
Sejenak kemudian memang terjadi satu keajaiban. Di dalam
keremangan malam, Kiai Badra melihat pedang lawannya
itu bagaikan membara. Daun pedang itu menjadi kemerahmerahan memancarkan kekuatan ilmu yang tiada taranya.
Sejenak kemudian, orang itu pun menarik nafas dalamdalam. Kemudian mulai menggerakkan pedang yang
membara itu. "Kiai sudah menunjukkan kelebihan Kiai dengan
memercikkan bunga api pada benturan senjata. Sekarang
giliranku untuk melakukannya. Pedangku akan mampu
membakar Kiai, bukan saja dengan percikan api," geram
orang itu yang agaknya mulai benar-benar menjai marah.
Kiai Badra bergeser setapak. Ia melihat orang itu
memusatkan nalar budinya. Kemudian tiba-tiba saja ia
meloncat dengan ayunan pedangnya yang membara.
Kiai Badra yang belum mengenal kekuatan ilmu
lawannya itu tidak menangkis.
Tetapi ia bergeser menghindar.
Namun ketika pedang itu terayun sejengkal di sisinya,
terasa sambaran udara panas membakar tubuhnya. Hanya
karena Kiai Badra dengan cepat mengerahkan daya tahan
tubuhnya sambil meloncat menjauh sajalah, maka ia tidak
menjadi lemas dan kehilangan tenaga.
80 SH. Mintardja Tetapi yang terjadi itu pun membuat lawannya
menggeretakkan giginya sambil menggeram, "Kau memang
orang luar biasa Kiai. Kau mampu bertahan atas panasnya
api yang dipancarkan oleh pedangku atas alas ilmuku.
Namun jika aku berhasil menyentuh tubuhmu dengan
pedangku yang membara ini Kiai, maka aku kira aku tidak
perlu mengulangi seranganku.
Kiai Badra tidak menjawab. Tetapi ia sudah dapat
menjajagi kemampuan puncak ilmu lawannya. Panas yang
dilontarkan oleh serangan pedang atas alas ilmunya itu
memang luar biasa. Tetapi Kiai Badra adalah orang yang
memiliki pengalaman yang luas, serta menyimpan ilmu
yang mapan dalam dirinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian menimang
pedangnya. Meskipun pedang itu pedang kebanyakan,
tetapi Kiai Badra akan mampu mempergunakannya
melawan pedang lawannya yang memiliki kekuatan yang
nggegirisi. Ternyata bahwa Kiai Badra juga mampu melepaskan
ilmu sebagaimana dilakukan lawannya. Bahkan agaknya
Kiai Badra memiliki daya lontar dari ilmunya lebih baik dari
lawannya. Karena itu, maka sebagaimana diinginkannya, ia
pun berusaha untuk dengan cepat menyelesaikan
pertempuran. Ketika kemudian lawannya menyerangnya bagaikan deru
badai yang menyemburkan putaran angin yang panas, maka
Kiai Badra pun telah mengimbanginya dengan caranya. Ia
sama sekali tidak perlu menjadikan pedangnya membara.
Tetapi justru berdiri tegak sambil mengacukan pedangnya
ke arah lawan. Kemudian memutarnya perlahan-lahan
sambil mengerahkan ilmunya.
81 SH. Mintardja Lawannya terkejut bukan kepalang. Dari putaran pedang
Kiai Badra yang perlahan-lahan itu telah memancarkan
panas yang melampaui panasnya bara api pada pedang
lawannya. Bahkan panas yang dilontarkan oleh ilmu Kiai
Badra itu bagaikan berembus mengejarnya kemana saja ia
meloncat. Ternyata lawannya itu benar-benar mengalami kesulitan.
Meskipun ia berusaha untuk membangunkan daya tahan di
dalam dirinya, namun udara yang panas itu bagaikan
menerkamnya tanpa dapat diuraikannya.
Bagaimana pun juga, orang itu harus mengakui, bahwa
ilmu Kiai Badra berada di atas tingkat ilmunya. Ia harus
mampu melakukannya sampai pada batas mengimbangi
kekuatan ilmu Kiai Badra.
Namun demikian, agaknya orang itu bukan orang yang
lemah hati. Meskipun tubuhnya bagaikan di rebus dalam
uap air yang mendidih namun sama sekali tidak ada niatnya
untuk menyerah. Karena itu, dengan sisa kekuatan yang ada padanya,
orang itu justru melangkah tertatih-tatih mendekat sambil
berusaha mengacukan pedangnya. Wajahnya masih
memancarkan tekadnya yang membara sebagaimana daun
pedangnya membara. "Menyerahlah," desis Kiai Badra.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia masih saja
melangkah mendekat, seolah-olah dengan sengaja
menyongsong maut. "Berhentilah," teriak Kiai Badra. "Jangan mendekat lagi."
82 SH. Mintardja Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia justru
melangkah semakin dekat dengan pedangnya yang
membara itu teracu ke arah lawannya.
Tetapi pengaruh panas pedang itu masih belum
mencapai lawannya, justru ia sendiri seakan-akan telah
terbakar oleh panas ilmu lawannya itu.
"Berhenti," sekali lagi Kiai Badra memperingatkan.
Namun peringatan itu tidak pernah dihiraukannya.
Orang itu masih melangkah terus mendekati lawannya.
Meskipun langkahnya semakin lemah dan bahkan
terhuyung-huyung dan hampir kehilangan
keseimbangannya. Kiai Badra lah yang kemudian harus melangkah.
Perlahan dilepaskannya ilmunya yang luar biasa itu,
sehingga udara panaspun semakin lama menjadi semakin
berkurang. Bahkan akhirnya lenyap sama sekali.
Lawannya merasakan kesejukan udara mengusap
tubuhnya. Karena itu ia justru menjadi heran. Tubuhnya
yang hampir terjatuh kemudian mampu untuk tegak
kembali. Ketika ia mengangkat wajahnya dan memandang kearah
Kiai Badra, maka dilihatnya orang tua itu justru telah
melemparkan pedangnya sambil berkata, "Aku tidak dapat
membunuh seseorang yang tidak mempunyai persoalan
yang jelas." "Kenapa?" bertanya orang itu.
Kiai Badra termangu-mangu. Sementara itu lawannya
pun maju selangkah demi selangkah. Namun
bagaimanapun juga lawannya masih tetap ragu-ragu untuk
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendekat. Mungkin Kiai Badra hanya sekadar
83 SH. Mintardja memancangnya dengan sikapnya itu untuk dengan serta
merta melepaskan ilmunya yang lebih dahsyat, yang
sekaligus akan dapat menghancurkan tubuhnya menjadi
debu. Tetapi Kiai Badra itu menarik nafas dalam-dalam sambil
memutar tubuhnya menghadap ke arena pertempuran
antara Gandar dan lawannya. Ternyata Gandar telah
semakin meyakinkan bahwa sebentar lagi ia pun akan dapat
menyelesaikan pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dalam keragu-raguan, orangorang yang ada di halaman telah mendengar tepuk tangan
dalam kegelapan di halaman samping.
Tepuk tangan itu telah menarik perhatian semua orang
yang mendengarnya. Ketika mereka berpaling, dilihatnya
dua orang suami istri yang telah menjelang hari-hari tuanya
berdiri sambil memandangi arena. Selangkah demi
selangkah mereka maju mendekati arena.
Gandar yang hampir sampai pada saat terakhir dari
pertempuran itu pun merasa terganggu. Namun ternyata
yang datang itu adalah Kiai dan Nyai Soka.
Karena itu, maka betapapun juga gejolak mendera
perasaannya, namun ia berusaha untuk menahan dirinya.
"Kau Soka," berkata orang yang baru saja bertempur
melawan Kiai Badra. Nafasnya masih terengah-engah.
Sementara tubuhnya masih merasa lemah dan sakit di
segala sendi-sendinya. Kiai dan Nyai Soka yang kemudian telah berdiri di tangga
pendapa kemudian menebarkan pandangannya ke seluruh
halaman. Dengan suara yang ramah, Kiai Soka kemudian
berkata, "Marilah. Aku mempersilakan semuanya naik ke
84 SH. Mintardja pendapa. Sementara itu biarlah para cantrik menyiapkan
makan malam buat kita semuanya."
Gandar melihat sikap Kiai dan Nyai Soka dengan heran.
Seakan-akan tidak ada sesuatu yang telah terjadi di
halaman padepokannya itu.
Kiai Soka agaknya melihat sikap Gandar yang ragu-ragu.
Karena itu maka kemudian katanya, "Marilah Gandar. Aku
persilakan kau naik bersama tamu-tamu kita yang lain."
Tetapi Gandar masih dicengkam oleh gejolak
perasaannya. Karena itu, maka sambil menjinjing tombak
pendeknya ia melangkah maju mendekati Kiai Soka sambil
berkata, "Kiai, apakah Kiai tidak menyadari, bahwa kedua
orang inilah yang telah mencari Kiai. Dan bukankah Kiai
dan Nyai Soka telah menyingkir untuk menghindarkan diri
dari pertumpahan darah."
"Benar Gandar. Kami memang telah berusaha untuk
menghindar. Tetapi justru di halaman ini terjadi
pertempuran juga yang hampir saja merenggut jiwa. Tetapi
sebenarnya, kita masih sempat untuk berbicara," berkata
Kiai Soka. "Aku akan berbicara jika mereka menyatakan menyerah.
Mereka adalah orang-orang yang akan membalas dendam
terhadap Kiai dan Nyai Soka, satu hal yang sudah Kiai dan
Nyai ketahui. Selebihnya keduanya tahu pasti, bahwa Iswari
ada disini. Karena itu, aku berkesimpulan, bahwa tujuan
mereka yang sebenarnya bukannya membalas dendam dari
peristiwa yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, yang
tiba-tiba saja terangkat kembali. Tetapi mereka tentu
mempunyai hubungan dengan Kalamerta. Mereka tentu
berusaha untuk menemukan Iswari yang ternyata mereka
ketahui, bahwa ia masih hidup. Karena itu, aku
85 SH. Mintardja berkesimpulan bahwa mereka adalah termasuk keluarga
Kalamerta yang sedang memburu Iswari."
Kiai dan Nyai Soka memandang kedua orang itu dengan
kerut merut di kening. Garis-garis umurnya yang mewarnai
kulitnya seolah-olah menjadi semakin dalam.
"Ki Sanak," bertanya Kiai Soka kemudian, "Jadi kalian
tahu bahwa Iswari ada disini?"
"Ya," jawab orang yang baru saja bertempur melawan
Kiai Badra. "Dan kalian memang sedang memburunya?" bertanya
Kiai Soka kemudian. "Aku sudah menawarkan kesempatan untuk berbicara.
Tetapi Gandar sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan
ia memaksa kami berdua untuk menyerah."
Wajah Kiai Soka berkerut pada dahinya. Namun
kemudian katanya, "Marilah. Kita akan berbicara.
Nampaknya persoalannya memang menjadi lebih rumit
daripada yang aku duga, sehingga aku masih sempat
melihat pertarungan ilmu yang luar biasa."
"Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi korban
kelicikan keluarga Kalamerta," berkata Gandar. "Aku harus
berhati-hati. Mereka mempergunakan segala cara untuk
mencapai maksudnya. Karena itu, maka syarat dari sebuah
pembicaraan adalah mereka harus menyerah dan
meletakkan senjata mereka. Sikap menyerah itu akan
menjadi landasan dari satu usaha untuk menghindarkan
diri dari langkah-langkah liciknya."
Tiba-tiba salah seorang di antara para cantrik itu pun
berteriak, "Kedua orang itu akan membunuh kami seorang
86 SH. Mintardja demi seorang sampai saatnya kami mengatakan dimana
Kiai dan Nyai berada."
"Tidak," berkata Kiai Soka, "Mereka tidak akan
melakukannya." "Kiai," Gandarlah yang menyahut. "Ketika aku mendekati
halaman padepokan ini, pertempuran antara keduanya dan
para cantrik sudah terjadi. Cantrik itu tidak sekadar
mengada-ada." Kiai Soka mengangguk-angguk. Namun sebelum ia
mengatakan sesuatu, maka Nyai Sokalah yang berkata,
"Memang ternyata yang harus kita bicarakan lebih banyak
dari yang kami duga. Tetapi marilah kita naik ke pendapa.
Sebaiknya Gandar tidak terlalu bercuriga terhadap kedua
orang ini. Biarlah aku yang bertanggung jawab bahwa
keduanya tidak akan berbuat licik."
Gandar menjadi semakin bingung melihat sikap kedua
orang itu. Bahkan Kiai Badra pun tidak segera mengerti
persoalan yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, maka Kiai Badra pun kemudian
berkata kepada Gandar, "Marilah Gandar. Biarlah Kiai dan
Nyai Soka mempertanggung jawabkan, apa yang mungkin
terjadi disini. Bahkan seandainya orang-orang ini menjadi
licik." "Aku tidak dapat mempercayainya sama sekali Kiai,"
jawab Gandar. Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Gandar tidak
pernah membantahnya. Tetapi saat itu, Gandar ternyata
telah menunjukkan satu sikap yang lain.
"Kiai," berkata Gandar. "Aku tidak akan dapat melupakan
sikap seorang perempuan yang dengan sangat licik berhasil
87 SH. Mintardja mendapat tempat sebagai istri anak Ki Gede Sembojan.
Kemudian dengan licik pula mereka menyingkirkan Iswari.
Dan terakhir dengan sangat licik dan pengecut mereka telah
membunuh Ki Gede. Bahkan mungkin salah seorang dari
kedua orang inilah yang telah melakukannya."
"Gila," geram orang yang bertempur melawan Kiai Badra,
"Apa sebenarnya yang kau katakan itu" Jadi menurut
dugaanmu Ki Gede Sembojan telah dibunuh oleh keluarga
Kalamerta?" "Jangan berpura-pura. Bukankah kau memang sedang
memburu Iswari yang ternyata masih hidup?" potong
Gandar. Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi dihadapannya
berdiri Kiai Badra dan bahkan telah hadir pula Kiai dan
Nyai Soka. Karena itu maka ia harus menahan diri. Namun
demikian ia berkata, "Kau jangan asal saja dapat mengucap
kata-kata. Kau dapat saja menuduh seseorang sesuka
hatimu. Tetapi sikapmu itu sangat menyakitkan hati."
"Aku tidak peduli apakah kau menjadi sakit hati atau
tidak. Aku merasa hatiku sudah disakiti oleh keluarga
Kalamerta. Bahkan telah jatuh korban Ki Gede di Sembojan
dan seandainya tidak karena satu perlindungan dari Tuhan
Yang Maha Perkasa, maka Iswari pun telah menjadi
makanan buaya kerdil. Bukan saja Iswari, tetapi dengan
anaknya yang waktu itu masih di dalam kandungan," sahut
Gandar. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 7. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
88 SH. Mintardja Jilid Ketujuh Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 89 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KIAI SOKA lah yang kemudian menengahi, "Baiklah.
Ternyata memang ada masalah yang sisip di antara kita.
Tetapi apakah kepentingan kalian berdua dengan Iswari"
Seandainya kalian merasa bukan keluarga Kalamerta."
Kedua orang itu termangu-mangu. Salah seorang
kemudian berkata kepada Kiai dan Nyai Soka, "Jadi
beginikah sikapmu sekarang terhadap seorang sahabat?"
"Sebenarnya kami memang meragukan persahabatan
kita," jawab Nyai Soka. "Kau pernah merasa bahwa ada
persoalan di antara kita. Kau pernah mengatakan bahwa
pada satu saat kita akan bertemu lagi, tanpa memberikan
kesempatan kepada kami untuk memberikan penjelasan."
"Tetapi bukankah kami tidak berbuat apa-apa selama
ini?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang datang
itu. "Selama ini memang tidak. Tetapi beberapa hari yang
lalu kau datang dengan pertanda yang kau tinggalkan.
Masih seperti dahulu, sehingga kami telah menghubungkan
kedatangan kalian dengan persoalan yang pernah ada di
antara kita," jawab Nyai Soka.
"Tetapi apakah menjadi kebiasaan Kiai dan Nyai Soka
untuk meninggalkan tempatnya jika seseorang ingin
menemuinya dengan niat apapun juga?" bertanya salah
seorang dari kedua orang itu.
"Justru disini ada Iswari. Aku ingin menyingkirkan
Iswari. Tetapi ternyata bahwa kau sudah mengetahui bahwa
Iswari ada disini. Sehingga justru karena itu, maka timbul
pertanyaan di dalam hati ini, kenapa kau tahu pasti tentang
2 SH. Mintardja tempat tinggal Iswari jika kau tidak berkepentingan
sebagaimana dipertanyakan oleh Gandar."
"Baiklah," berkata orang itu. "Jadi kita akan berbicara
dengan cara ini" Bukan cara seorang sahabat?"
"Kau akan memanfaatkan persahabatan untuk berbuat
licik," potong Gandar.
"Setan kau," geram orang itu. "Kau memang terlalu
kasar." "Ternyata bahwa aku merasa perlu untuk berbuat kasar
terhadap keluarga Kalamerta," jawab Gandar.
Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Dipandanginya
Gandar dengan tatapan mata yang tajam. Kemudian dengan
suara bergetar orang itu berkata, "Beberapa kali kau
menyebut nama Kalamerta. Apa sebenarnya maksudmu
dengan menyebut nama itu?"
"Kau akui bahwa kau adalah keluarganya?" bertanya
Gandar. "Gila. Aku memang pernah mendengar nama Kalamerta.
Tetapi aku adalah orang-orang dari perguruan yang
berbeda," orang itu hampir berteriak.
Gandar mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai
Badra sekilas. Sementara itu Kiai Badra bergeser setapak sambil
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara datar ia berkata,
"Mungkin memang ada yang sisip. Karena itu, agaknya aku
condong untuk mengekang segala prasangka buruk. Kita
memang dapat duduk sambil berbicara."
3 SH. Mintardja Kiai dan Nyai Soka pun mengangguk-angguk. Dengan
nada datar Kiai Soka pun kemudian mempersilahkan.
"Marilah. Kita akan tetap saling menghormati."
Gandar mengerutkan keningnya. Tetapi Kiai Badra telah
mendahului, "Gandar. Kau harus dapat mengendalikan
dirimu sebagaimana kau lakukan selama ini."
Gandar termangu-mangu. Namun terasa suara Kiai
Badra tekanan yang tidak dapat dielakkan oleh Gandar,
sehingga karena itu, maka ia tidak menjawab sama sekali.
Demikianlah, maka akhirnya mereka pun telah naik ke
pendapa. Mereka duduk di atas tikar pandan yang sudah
terbentang. Namun demikian masih nampak kedua belah
pihak tetap bersikap sangat hati-hati.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling berdiam diri,
sehingga suasana memang menjadi tegang. Namun
akhirnya Kiai Soka pun menyadari, bahwa ia adalah pemilik
padepokan itu, sehingga akhirnya ia adalah orang yang
pertama bertanya kepada kedua orang yang datang
mencarinya itu, "Sebenarnya apakah yang kalian maksud
dengan kedatangan kalian" Apakah ada hubungannya
dengan Iswari atau tidak?"
Orang yang lebih tua di antara kedua orang tamunya itu
memandang orang-orang yang ada di pendapa itu.
Kemudian para cantrik yang masih berada di halaman.
"Agaknya kami memang telah salah langkah. Para cantrik
itu mengira bahwa aku benar-benar akan membunuh
mereka," berkata orang itu.
"Aku tahu, bahwa kau tidak akan melakukannya,"
berkata Kiai Soka. Lalu, "Kau melakukannya sekadar untuk
memancing kehadirannya, karena kau yakin bahwa aku ada
di sekitar padepokan ini."
4 SH. Mintardja "Ya. Tetapi yang datang ternyata bukan kau," jawab
orang itu. "Tetapi Kiai Badra dan Gandar. Aku tidak dapat
meyakinkan mereka bahwa kami harus berbicara untuk
mendapatkan saling pengertian."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam, sementara
Gandar menjadi berdebar-debar. Mulai terasa di hati
Gandar satu hal yang lain pada kedua orang itu menilik
sikap Kiai Soka dan istrinya.
Dalam pada itu, Kiai Soka pun kemudian berkata, "Sikap
mu memang meragukan. Kau membuat semacam teka-teki
yang sulit untuk ditebak tentang diri kalian berdua."
"Kiai," berkata orang yang lebih tua. "Aku memang
pernah mengatakan tentang dendamku kepada kalian suami
istri. Hal ini bermula pada kematian orangtuaku yang aku
kira telah dibunuh oleh guru Kiai Soka. Tetapi kemudian
aku menyadari, bahwa dendam yang demikian itu tidak ada
gunanya, sehingga aku pun telah melepaskan dendam itu."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Ki Sanak.
Baiklah kau uraikan secara lengkap, alasanmu datang
kemari. Dan kenapa kalian berdua tahu pasti bahwa Iswari
ada di sini. Apakah hubungan kalian dengan Iswari."
"Aku memang sudah mulai dengan tebakan dari teka-teki
itu sendiri," jawab orang itu. Lalu katanya, "Dengarkanlah
baik-baik. Aku datang tidak untuk membalas dendam,
karena sudah aku katakan bahwa aku telah melupakan
peristiwa yang terjadi itu. Namun tiba-tiba pada satu hari,
seorang sahabat kami telah meninggal dunia dengan cara
yang tidak wajar. Bukan hanya seorang sahabat, tetapi kami
pernah menyadap ilmu yang sama, meskipun akhirnya kami
harus berpisah dan berguru kepada orang yang berbeda."
"Maksudmu Ki Gede Sembojan?" bertanya Kiai Badra.
5 SH. Mintardja "Ya. Ki Gede telah dibunuh dengan licik," sambung orang
itu. "Sementara itu, tidak seorang pun yang dapat menebak,
siapa yang telah melakukannya. Aku semula memang
menghubungkan kematiannya dengan keluarga Kalamerta,
karena Ki Gede sendiri baru saja membunuh Kalamerta itu.
Bukan saja karena Kalamerta adalah seorang pemimpin dari
segerombolan brandal yang ditakuti, tetapi di antara
Kalamerta dan Ki Gede memang terdapat persoalan
pribadi." Kiai Soka mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Badra
dan Gandar menjadi sangat tertarik kepada ceritera itu.
"Kematian itu telah memanggil kami berdua untuk
mencari bahan apakah sebab-sebabnya," berkata orang itu
lebih lanjut. "Karena itu, maka kami berusaha untuk
mendapat keterangan. Adalah kebetulan sekali, seorang
perempuan yang pernah kami tundukkan dan kemudian
tidak lagi menjadi seorang perampok tinggal di
Kademangan, dekat Tanah Perdikan Sembojan. Kepada
perempuan itu kami berusaha mencari keterangan. Tetapi
perempuan itu juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Tetapi ia mengetahui bahwa sebelumnya telah
terjadi sesuatu dengan keluarga Ki Gede. Mungkin kematian
Ki Gede ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi
sebelumnya." "Peristiwa yang mana yang dimaksudnya?" desak Gandar
yang tidak sabar. "Peristiwa yang tentu kau ketahui dengan jelas.
Hilangnya menantu Ki Gede," berkata orang itu.
"Perempuan itu tahu pasti, bahwa menantu Ki Gede yang
dianggap sudah mati itu masih hidup, karena ia tidak
melakukan kewajibannya dengan baik sebagaimana
seharusnya." 6 SH. Mintardja "Perempuan yang kau maksud itu bernama atau
mendapat sebutan Serigala Betina?" berkata Gandar.
"Ya," jawab orang itu. "Aku mengenalnya dengan baik. Ia
pun bersikap sangat baik terhadap kami, karena kami tidak
membunuhnya ketika kami berhasil menangkapnya.
Perempuan itulah yang berbicara tentang Iswari. Ia dapat
juga mengatakan bahwa perempuan itu berasal dari sebuah
padepokan kecil, sebagaimana diketahui oleh semua orang
Sembojan." "Tetapi bukankah perempuan itu tahu pasti, siapakah
yang telah memerintahkan untuk membunuh Iswari,"
berkata Gandar dengan nada tinggi.
"Ya. Tetapi selebihnya perempuan itu tidak dapat
mengatakan apa-apa," jawab orang itu. "Juga tentang
kematian Ki Gede, karena tidak mungkin Wiradana
melakukan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri,
meskipun ia dapat membayar orang lain, sebagaimana
dilakukan terhadap istrinya."
"Lalu, apa yang kalian lakukan kemudian?" bertanya Ki
Soka. "Aku ingin berbicara dengan Iswari. Mungkin ia dapat
membantu mengungkapkan kematian Ki Gede. Karena
itulah maka aku telah mencari Iswari sebagaimana
dikatakan oleh Serigala Betina itu," jawab orang itu. "Tetapi
kedatanganku terlambat. Iswari sudah tidak berada di
padepokannya. Dengan telaten aku mencari keterangan.
Ternyata usaha itu tidak semudah yang aku duga. Namun
akhirnya aku tahu, bahwa Iswari ada disini. Di tempat yang
sudah aku kenal sebelumnya. Karena itulah, maka aku telah
menyatakan diriku untuk datang pada malam ini."
7 SH. Mintardja Kiai dan Nyai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau telah mengambil cara yang salah untuk menghubungi
aku. Yang terpikir oleh kami adalah justru dendammu yang
ingin kau tumpahkan kepadaku, meskipun aku juga merasa
heran, bahwa hal itu baru akan kau lakukan setelah
sedemikian lamanya. Karena disini ada Iswari, maka aku
telah berusaha menyingkirkan Iswari. Bukan karena apaapa tetapi sekadar untuk menghindarkannya dari
kemungkinan-kemungkinan buruk, karena aku belum tahu
bahwa kalian ingin bertemu dengan cucuku itu."
"Aku hanya ingin mencari bahan saja," berkata orang itu.
"Dan kenapa kau tidak berterus terang tanpa membuat
jantung ini berdebar-debar?" bertanya Nyai Soka.
"Mungkin itu adalah kesalahanku. Aku ingin bermainmain dengan sedikit kasar," jawab orang itu. "Tetapi
akibatnya ternyata teramat buruk bagi kami."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kami
minta maaf. Tetapi yang kalian lakukan memang
mendebarkan. Apalagi ketika kami mendengar keluh para
cantrik, bahwa kalian ingin membunuh mereka semua."
"Kami tidak bermaksud demikian," berkata orang yang
lebih tua. "Seperti yang dikatakan oleh Kiai Soka, aku hanya
memancingnya untuk datang, karena aku yakin bahwa ia
memang tidak akan jauh dari padepokan ini."
"Syukurlah, bahwa belum terjadi sesuatu atas kita
semuanya," berkata Kiai Soka kemudian. "Agaknya kita
benar-benar telah terjebak oleh ke-salah pahaman."
Kedua orang itu tidak menyahut. Tetapi seperti yang
dikatakannya, maka mereka pun juga merasa bersalah.
Karena itu, maka orang yang lebih tua itu pun akhirnya
berkata, "Kami ternyata juga harus minta maaf. Cara kami
8 SH. Mintardja memang agak kasar. Namun ternyata kekasaran kami
hampir saja mencelakai kami berdua. Ternyata bahwa kami
telah bertemu dengan kekuatan yang luar biasa yang tidak
dapat kami atasi." "Memang luar biasa," sahut Kiai Soka sambil tersenyum.
"Kiai Badra dan Gandar yang selama ini sudah tidak pernah
menyentuh senjatanya pun masih tetap orang-orang yang
tanpa tanding. Sementara itu, kalian bersaudara juga
mengalami kemajuan yang sangat pesat."
"Ternyata yang kami miliki
tidak berarti apa-apa. Jika
Kiai Badra dan Gandar hampir saja dapat membunuh kami, dan hal itu
tidak mustahil dilakukannya
jika pertempuran ini tidak
dihentikan maka Kiai dan Nyai Soka pun tentu akan dapat melakukannya pula,"
berkata orang itu. "Tentu tidak," jawab Nyai
Soka. "Kami adalah orangorang padepokan yang hanya
tahu bertani. Kami tidak memiliki ilmu sebagaimana kau duga."
"Kenapa kalian masih harus menyembunyikan kenyataan
yang ada pada diri kita" Bukankah kita pernah bersahabat
dan bukankah kita tahu keadaan kita masing-masing"
Memang aku mendapatkan beberapa kemajuan yang sangat
kecil dibandingkan dengan perjalanan waktu yang demikian
panjang. Tetapi tidak dengan Kiai dan Nyai Soka," berkata
orang yang lebih tua itu.
9 SH. Mintardja "Sama sekali tidak," jawab Nyai Soka. "Tetapi baiklah kita
tidak mempersoalkan tentang kemajuan kita masingmasing. Jika malam ini kakang Badra tidak datang bersama
Gandar, mungkin kita memang berkesempatan menilai
kemampuan kita. Tetapi baiklah. Kita tidak perlu
melakukannya. Mungkin kita justru akan berbicara tentang
Ki Gede Sembojan yang terbunuh itu."
"Ya," jawab orang itu pula. "Agaknya aku pun
sependapat, bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh salah
seorang keluarga Kalamerta."
Gandar mengerutkan keningnya. Ia tahu lebih banyak
tentang hal itu. Ia melihat perempuan yang menjadi istri
Wiradana itu mempunyai ciri Kalamerta. Dan ia pun
semakin yakin, bahwa yang membunuh Ki Gede itu pun
tentu dari lingkungannya pula. Bahkan Gandar pun sudah
memikirkan satu kemungkinan, bahwa istri Wiradana itu
sendirilah yang telah melakukannya.
Tetapi Gandar tidak mengatakannya. Ia masih belum
yakin terhadap kedua orang itu. Apakah benar mereka
bukan orang-orang yang pada satu saat justru akan
menghalangi langkah-langkah yang akan diambilnya untuk
menempatkan anak Iswari itu ke tempat yang seharusnya.
Bukan karena kedudukan itu sendiri, tetapi anak itu tidak
boleh menjadi korban kebiadaban orang lain yang bukan
saja akan dapat menghancurkan seseorang, tetapi juga
seluruh Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, Kiai Soka pun telah menemui para
cantrik dan memberikan beberapa penjelasan kepada
mereka. Karena itulah maka para cantrik itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Salah seorang di antara mereka
berdesis," Satu permainan yang berbahaya. Untunglah
belum terjadi sesuatu."
10 SH. Mintardja "Ya," jawab Kiai Badra, "Mereka sudah menyatakan
bersalah karena permainan mereka yang kasar itu."
Para cantrik itu pun kemudian dengan hati yang lapang
meninggalkan halaman depan dan pergi ke barak masingmasing. Namun ada di antara mereka yang langsung pergi
ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu
mereka yang berada di pendapa.
Dalam pada itu, maka Kiai dan Nyai Soka pun
memutuskan di keesokan harinya untuk mengambil Iswari,
karena ternyata kedua orang tamu-nya tidak bermaksud
jahat. Mereka tidak datang membawa dendam di hati
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Kiai dan Nyai Soka kemudian memperkenalkan kedua
tamu itu sebagai dua orang kakak beradik dalam perguruan
yang dikenal dengan Sepasang Elang dari Perguruan Guntur
Geni. "Yang tua bernama Sambi Wulung dan yang muda
bernama Jati Wulung," berkata Kiai Soka kemudian kepada
Kiai Badra dan Gandar. Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Aku memang pernah
mendengar perguruan yang disebut Guntur Geni. Tetapi
agaknya baru sekarang aku dapat mengenal salah satu
bagian dari perguruan itu."
"Ah," desis orang yang disebut bernama Sambi Wulung,
"Ternyata dihadapan Kiai perguruan yang selama ini kami
banggakan itu tidak berarti apa-apa. Sepeninggal guru maka
kami berdua adalah orang-orang tertua di perguruan. Tetapi
di hadapan Kiai Badra dan Gandar, kami tidak lebih dari
anak-anak kecil yang terlalu berbangga diri dengan
kemampuan yang tidak berarti apa-apa."
11 SH. Mintardja "Bukan begitu," berkata Kiai Badra. "Pada satu saat maka
kalian akan dapat mengembangkan ilmu kalian, sehingga
perguruan Guntur Geni akan menjadi perguruan yang jadi
lebih besar dari padepokan kecil ini."
Tetapi kedua orang itu tersenyum. Yang tua berkata,
"Apapun yang aku lakukan, aku tidak dapat menyamai
tingkat kemampuan padepokan ini. Sebenarnyalah
permainan kami hampir saja menimbulkan malapetaka itu
sekadar satu keinginan untuk mengetahui tingkat
kemampuan kita yang sudah lama terpisah. Namun
ternyata bahwa kami harus mengakui, bahwa kami telah
ketinggalan jauh dari kalian."
"Ah," jawab Kiai Soka, "Yang kemudian kalian jajaki
bukan kemampuan kami, tetapi kemampuan Kiai Badra dan
Gandar. Sedangkan kami berdua bukan pula tataran
mereka." "Sudahlah," berkata Kiai Badra. "Besok aku akan ikut
mengambil Iswari. Aku sudah rindu kepada cicitku itu."
Namun dalam pada itu, Gandar pun berkata, "Tetapi aku
kira Iswari juga tidak akan dapat memberikan bahan
apapun juga tentang kematian Ki Gede. Ia sudah tidak lagi
berada di Tanah Perdikan pada saat itu. Selebihnya, ia
memang tidak tahu apa-apa. Ia tidak melihat tanda-tanda
yang akan menyangkut dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak
menduga bahwa suaminya akan sampai hati berbuat
demikian. Untunglah bahwa perempuan yang disebut
Serigala Betina itu tidak melakukan tugasnya dengan
sungguh-sungguh." Kedua orang dari perguruan Guntur Geni itu
mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa Iswari
12 SH. Mintardja memang tidak tahu apa-apa tentang kematian Ki Gede
Sembojan. Meskipun demikian kedua orang itu memang ingin
bertemu dengan Iswari. Meskipun keduanya tidak yakin
akan mendapatkan sesuatu dari perempuan itu, namun
rasa-rasanya keinginan itu tidak dapat dielakkannya lagi.
"Kami justru merasa sangat iba kepadanya," berkata
Sambi Wulung. "Ketika itu menurut Serigala Betina itu,
Iswari sedang mengandung."
"Ya. Dan anak itu sekarang sudah lahir, sehat dan
tumbuh dengan cepat," jawab Nyai Soka.
Dalam pada itu, ketika di hari berikutnya sekelompok
kecil penghuni padepokan Kiai dan Nyai Soka pergi
menjemput Iswari, maka di Tanah Perdikan Sembojan,
Wiradana benar-benar telah memegang kekuasaan mutlak
di Tanah Perdikan itu. Ia telah memerintah sebagaimana
ayahnya meskipun ia belum di wisuda. Tetapi setiap orang
tidak mempersoalkannya, karena memang satu-satunya
pewaris kekuasaan di Tanah Perdikan itu.
Tetapi sejak hari-hari pertama, Wiradana memegang
kekuasaan, sudah terasa oleh orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan, bahwa sentuhan tangannya berbeda dengan
tangan Ki Gede yang telah terbunuh dengan licik itu.
Wiradana ternyata mempunyai sikap yang kadang-kadang
dapat menyinggung perasaan orang-orang tua di Tanah
Perdikan itu. Meskipun Wiradana tidak dengan serta merta
mengadakan perubahan-perubahan di dalam
pemerintahannya atas Tanah Perdikan Sembojan, namun ia
lebih banyak berkiblat kepada dirinya, kepada akunya.
Sehingga dengan demikian terasa bahwa langkah-langkah
13 SH. Mintardja yang diambilnya kadang-kadang tidak dapat dimengerti
oleh rakyat Tanah Perdikan Sembojan sendiri.
Meskipun demikian orang-orang tua dan para bebahu
Tanah Perdikan itu berusaha untuk mengerti. Wiradana
masih muda dan mempunyai kemauan yang bergejolak di
dalam dadanya. Dengan demikian maka langkahnya yang
menghentak-hentak itu adalah pertanda dari gejolak di
dalam dadanya. "Jika kemudian ia mampu mengetrapkan di dalam tugastugas yang dipikulnya maka ia justru akan menjadi seorang
pemimpin yang baik. Tanah Perdikan ini akan mendidih
dengan kerja dan pikiran-pikiran baru yang akan mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat," berkata orang-orang
tua itu yang satu dengan yang lain.
Sementara orang-orang tua mengamati dan menilai
tingkah laku Wiradana dengan cermat, maka datanglah
keputusan Wiradana untuk segera mengawini seorang
perempuan untuk menggantikan istrinya yang hilang dan
tidak dapat diketemukan lagi.
"Kita semua sudah berusaha. Bahkan ayah telah menjadi
korban pula dari usaha pencaharian itu. Namun usaha itu
ternyata sia-sia saja," berkata Wiradana kepada orangorang tua yang dipanggilnya datang ke rumahnya.
"Sejak semula kami tidak merasa berkeberatan," jawab
salah seorang di antara mereka. "Ki Wiradana masih muda.
Apalagi dengan tugas-tugas yang berat, maka Ki Wiradana
memang memerlukan seorang pendamping yang pantas
bagi tugas-tugasnya itu. Tetapi apakah Ki Wiradana
bersedia mengatakan siapakah perempuan yang ingin kau
ambil menjadi istrimu itu?"
14 SH. Mintardja Wiradana merenung. Tetapi kemudian kata-nya, "Aku
akan menyebutnya kemudian."
Orang-orang itu tidak mendesaknya. Mereka akan
menunggu sampai saatnya Ki Wiradana mengatakan atas
kemauannya sendiri. Dalam pada itu, berita tentang hilangnya Iswari, istri
anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan kemudian
terbunuhnya Ki Gede Sembojan telah terdengar sampai ke
daerah-daerah di sekitar Tanah Perdikan itu, bahkan
sampai ke tempat yang jauh. Laporan yang resmi pun telah
disampaikan pula kepada Adipati Pajang, sehingga dengan
demikian Pajang akan dapat mempertimbangkan
kemungkinan untuk dengan segera menetapkan
penggantinya. Sudah barang tentu satu-satunya anak lakilaki Ki Gede Sembojan. Selain Pajang, para Demang dan para pemimpin
pemerintahan di daerah di sekitar Tanah Perdikan
Sembojan, maka keluarga Warsi pun telah mendengar pula
akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun merasa bahwa
tugas yang dibebankan keluarga Kalamerta kepada Warsi
telah diselesaikannya dengan baik.
"Ki Gede Sembojan sudah terbunuh," berkata ayah Warsi
kepada para pengikutnya. "Dengan demikian maka dendam
sudah terbalas. Persoalan Warsi kemudian adalah persoalan
sendiri." Para pengikutnya pun sependapat dengan sikap ayah
Warsi. Namun orang yang pernah menjadi pengendang di
saat menjadi penari keliling dan yang disebutnya sebagai
ayahnya kemudian berkata, "Tetapi bagaimana pun juga,
ada keinginanku untuk menemuinya."
15 SH. Mintardja "Kau akan dapat mengganggunya dan menimbulkan
persoalan baru bagi anak itu," berkata ayah Warsi.
Namun orang itu menggeleng. Katanya, "Ingat. Aku
adalah ayahnya di Tanah Perdikan Sembojan."
Ayah Warsi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Meskipun demikian, berhati-hatilah. Banyak
persoalan yang mungkin akan menyulitkannya."
"Aku sudah mengenal Tanah Perdikan itu dengan baik,"
jawab orang itu. Karena itulah, maka ayah Warsi pun kemudian tidak
berkeberatan memberikan kesempatan kepada orang itu
untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
Orang itu sama sekali tidak menunggu terlalu lama.
Demikian ia mendapat persetujuan, maka di keesokan
harinya ia sudah meninggalkan padukuhannya untuk pergi
ke sebuah padukuhan yang terletak di luar Tanah Perdikan
Sembojan, tetapi tidak terlalu jauh dari perbatasan.
Kedatangan orang itu memang mengejutkan Warsi.
Tetapi Warsi sama sekali tidak berkeberatan menerimanya,
justru sebagai ayahnya. Dari Warsi orang itu mendapat keterangan selengkapnya
apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
Bagaimana Wiradana mengupah seseorang untuk
membunuh istrinya yang bernama Iswari. Dan bagaimana
Ki Gede Sembojan itu telah dibunuhnya.
"Kau memang luar biasa Warsi," berkata bekas
pengendangnya itu. "Sebenarnyalah bahwa aku tidak
mengerti bagaimana kau dapat melakukannya."
"Kau memang dungu," jawab Warsi. "Kau tidak akan
dapat mengerti apapun juga. Apalagi persoalan-persoalan
16 SH. Mintardja yang rumit. Persoalan perutmu sendiri pun, kau tidak dapat
menyelesaikannya." Orang itu tertawa. Katanya, "Tidak sia-sia aku
mempunyai seorang anak perempuan seperti kau ini, dan
tidak sia-sia pula aku membesarkanmu."
"Aku tampar mulutmu," geram Warsi. "Kau kira kau
pantas menjadi ayahku."
"Bukankah menurut pengertian Wiradana kau adalah
anakku?" bertanya orang itu.
"Atau kau ingin aku mengatakan kepadanya, bahwa aku
memang bukan ayahmu?"
"Apakah kau sudah jemu hidup" Kau kira aku tidak
berani membunuhmu?" bertanya Warsi.
Wajah orang itu menegang. Tetapi ia kenal Warsi,
sehingga karena itu, maka ia pun tersenyum betapapun
masamnya. Katanya, "Kau harus mengakui, bahwa aku
sudah membantumu." "Aku tidak pernah ingkar," berkata Warsi. "Tetapi itu
bukan berarti bahwa seseorang tidak akan pernah
membunuh orang-orang yang berjasa kepadanya."
Orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia tidak
menjawab. Namun dalam pada itu Warsi lah yang kemudian
tersenyum. Sambil menepuk bahu orang itu ia berkata,
"Jangan marah ayah. Kali ini aku hanya bergurau. Sebentar
lagi aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan
sepenuhnya. Aku akan dibawa oleh Wiradana ke rumahnya
yang sudah kosong itu. Istrinya sudah mati dan ayahnya
pun telah mati pula."
17 SH. Mintardja Orang itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
ikut pula tertawa sebagaimana Warsi yang tertawa
berkepanjangan. Ternyata kedatangan orang itu yang diakuinya sebagai
ayah Warsi itu merupakan suatu hal yang menggembirakan
bagi Wiradana. Ketika ia datang ke rumah yang dihuni oleh
Warsi, dan menjumpai laki-laki itu, maka tiba-tiba ia
berkata, "Satu kebetulan bahwa ayah telah datang."
Orang yang menempatkan dirinya sebagai ayah Warsi itu
pun mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya,
"Kenapa" Rasa-rasanya aku memang sudah menjadi rindu
kepada anakku. Bukankah sepeninggalku kalian selalu
selamat dan baik?" "Ya ayah," jawab Wiradana kepada orang yang dirasanya
adalah ayah mertuanya, "Doa restu ayah telah membuat
hari-hari depan kami menjadi semakin baik."
"Syukurlah," jawab orang itu. "Sebagai orang tua, tidak
ada harapan lain dari padanya, kecuali kebahagiaan anakanaknya." "Terima kasih ayah," sahut Wiradana.
Namun dalam pada itu, Warsi mengumpat.
Dipandanginya bekas pengendangnya itu sekilas. Rasarasanya ia ingin menyumbat mulut laki-laki tua itu dengan
terompahnya. Sementara itu Wiradana berkata selanjutnya, "Ayah,
kedatangan ayah ternyata benar-benar pada satu saat yang
sangat aku perlukan."
Wajah orang tua itu menegang sejenak. Namun ia tidak
menyahut sama sekali, sementara Wiradana berkata pula.
"Segala kesulitan yang menyekat hubunganku dengan Warsi
18 SH. Mintardja sebagai suami istri telah dapat aku singkirkan. Karena itu,
maka akan segera datang saatnya, Warsi dan aku bawa
kembali ke rumahku, rumah Kepala Tanah Perdikan
Sembojan." "O," orang itu mengangguk-angguk, sementara Warsi
pun ikut mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar,
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena Wiradana memang belum pernah mengatakan
rencana itu kepadanya secara terperinci.
Wiradana pun kemudian menceriterakan segala sesuatu
tentang rencananya untuk membawa Warsi ke rumahnya.
Tetapi supaya tidak ada kesan yang dapat menuntun
pendapat seseorang bahwa ada hubungan antara kematian
Iswari dan apalagi Ki Gede dengan Warsi, maka ia akan
mengulangi upacara perkawinannya dengan Warsi, seakanakan sebelumnya memang belum pernah terjadi.
"Aku memang memerlukan kehadiran ayah," berkata
Wiradana. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Segalanya terserah kepadamu ngger. Aku, orang tua
menurut saja yang mana yang paling baik bagi kalian."
Wiradana berpaling ke arah Warsi yang duduk dengan
wajah yang tegang. Namun dengan cepat ia menguasai
perasaannya dan segera wajah itu ditundukkannya.
"Warsi," desis Wiradana. "Bagaimana pendapatmu?"
Perlahan-lahan Warsi mengangkat wajahnya. Benarbenar satu permainan yang sangat mengagumkan bagi lakilaki yang pernah menjadi pengendangnya dan yang
kemudian disambutnya sebagai ayahnya itu.
Dengan suara lirih lembut Warsi berdesis, "Segala
sesuatunya terserah kepadamu kakang."
19 SH. Mintardja "Semuanya telah aku perhitungkan masak-masak.
Mungkin kita harus berpura-pura. Tetapi segalanya kita
lakukan bagi hari depan kita," jawab Wiradana.
Laki-laki yang disebut orang tua Warsi itu menganggukangguk. Kepada Warsi ia berkata, "Tentu angger Wiradana
tidak akan salah langkah. Agaknya kau telah melakukan
sesuatu yang benar, bahwa segalanya terserah kepada
angger Wiradana." "Ya ayah," jawab Warsi sambil menunduk.
"Nah, jika demikian, maka kami tinggal menunggu segala
perintah angger dalam hal ini," berkata orang tua itu.
"Mumpung ayah ada disini, maka segala sesuatunya akan
aku lakukan dengan segera. Aku akan berbicara dengan
orang-orang tua di Tanah Perdikan ini, agar mereka
mempersiapkan hari perkawinanku. Sudah barang tentu,
sebelum hari perkawinan itu berlangsung maka Warsi akan
tinggal disalah seorang keluarga yang akan aku tunjuk
kemudian," berkata Wiradana yang sudah mulai merekareka, apa yang akan dikatakannya kepada orang-orang tua
di Tanah Perdikan Sembojan.
Namun dalam pada itu, ada juga sesuatu yang membuat
jantung Wiradana berdebar-debar. Semua orang Tanah
Perdikan Sembojan mengetahui bahwa Warsi adalah
seorang penari jalanan. Agak berbeda dengan Iswari,
seorang gadis padepokan yang ternyata memiliki kecakapan
melampaui gadis Tanah Perdikan Sembojan sendiri.
Memang rasa-rasanya Wiradana agak segan untuk
menyebut perempuan yang akan dijadikannya istrinya
menggantikan Iswari. Tetapi mau tidak mau, pada suatu
saat, semua orang akan mengetahuinya juga.
20 SH. Mintardja "Aku tidak peduli,"
berkata Wiradana di dalam
hatinya. "Tidak ada orang
yang dapat menentang aku.
Aku adalah Kepala Tanah Perdikan yang besar. Bahkan
tidak akan ada seorang pun
yang mampu melawan aku."
Dengan demikian maka Wiradana telah bertekad untuk dengan segera melaksanakan hari perkawinannya. ia akan menunjuk seseorang yang akan mewakili ayahnya dalam upacara melamar Warsi yang dianggap belum pernah
menjadi istrinya itu. Wiradana memang tidak akan berahasia lagi, meskipun
sebelumnya sudah beberapa kali ia mengelak untuk
menyebut, siapakah bakal istrinya itu.
Karena itu, maka di hari berikutnya, Wiradana benarbenar telah memanggil beberapa orang tua. Meskipun
dengan hati yang berat dan keringat yang membasahi
pakaiannya, akhirnya Wiradana berkata, "Aku akan minta
salah seorang dari kalian untuk mewakili orang tuaku
melamar gadis yang akan aku jadikan istriku."
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Tidak seorang
pun yang akan merasa berkeberatan. Meskipun kadangkadang mereka mempertanyakan sifat Wiradana yang
berbeda dengan sifat ayahnya, namun mereka merasa
berkewajiban untuk membantu anak muda itu, agar dengan
21 SH. Mintardja demikian, maka ia akan dapat menemukan ketenangan di
dalam tugas-tugasnya. "Jika Wiradana sudah kawin, mungkin ia akan berubah.
Ia akan benar-benar menjadi seorang Kepala Tanah
Perdikan. Bukan hanya sekadar seseorang yang mencari
kesenangannya sendiri saja," berkata orang-orang tua itu di
dalam hatinya. Tetapi orang-orang tua itu tidak segera bertanya kepada
Wiradana, gadis manakah yang akan diambilnya menjadi
istrinya, karena beberapa kali hal itu dipertanyakan,
Wiradana selalu mengelak.
"Biarlah ia menyebut sendiri siapakah perempuan yang
dikehendakinya itu."
Wiradana pun untuk beberapa saat berdiam diri.
Sebenarnya ia menunggu seseorang akan bertanya tentang
perempuan yang dikehendakinya. Tetapi ternyata tidak
seorang pun yang melakukannya. Bahkan orang-orang tua
itu telah menundukkan kepala, seolah-olah mereka sedang
memalingkan wajah-wajah mereka setelah mereka melihat
Warsi, penari jalanan itu.
"Orang-orang gila," geram Wiradana di dalam hatinya.
"Apakah mereka sudah mengetahui rahasiaku bersama
Warsi?" Namun sekali lagi ia mencari kekuatan atas keinginannya
itu dan bersandar kepada kekuasaannya. Karena itu, maka
sejenak kemudian ia pun bertanya, "Kenapa kalian diam
saja" Apakah kalian telah mengetahui gadis yang akan aku
jadikan istriku itu?"
Orang-orang tua itu termangu-mangu. Tetapi seorang di
antara mereka menjawab, "Sudah beberapa kali kami
menanyakan siapakah gadis yang akan kau ambil menjadi
22 SH. Mintardja istrimu itu. Tetapi kau tidak pernah memberikan
jawabannya. Kau minta kami menunggu pada suatu saat,
sehingga karena itu, maka kami tidak merasa perlu untuk
bertanya tentang hal itu kepadamu."
"Cukup," tiba-tiba Wiradana membentak oleh dorongan
kegelisahan di dalam hatinya.
Orang-orang tua itu terkejut. Mereka tidak terbiasa
dibentak seperti itu oleh Ki Gede Sembojan yang terbunuh
itu. Meskipun kemudian mereka mengenali beberapa
perbedaan sifat antara Ki Gede dan anak laki-lakinya tetapi
orang-orang tua itu mengira, bahwa Wiradana tidak akan
berbuat sekasar itu. Tetapi orang-orang tua itu tidak berbuat apa-apa. Mereka
menyadari, bahwa jika mereka salah langkah, maka
Wiradana akan menjadi semakin marah. Sedangkan mereka
tahu, bahwa Wiradana adalah seorang anak muda yang
memiliki ilmu yang tinggi.
Wiradana yang melihat orang-orang itu terdiam
mematung ternyata telah menilai sikap itu dengan sudut
pandang yang buram. Wiradana menganggap bahwa orangorang tua itu benar-benar menjadi ketakutan kepadanya,
sehingga ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Karena itulah, maka Wiradana pun menjadi lebih mantap
untuk mengatakan maksudnya, bahwa ia akan mengambil
Warsi untuk dijadikan istrinya, siapapun orang yang
bernama Warsi itu. Meskipun demikian ada juga semacam keragu-raguan
yang menahannya, sehingga keringatnya benar-benar
bagaikan terperas dari tubuhnya.
Tetapi akhirnya ia berkata juga, "Para tetua di Tanah
Perdikan ini. Aku memerlukan restu kalian selain aku akan
23 SH. Mintardja menunjuk salah seorang di antara kalian untuk mewakili
orangtuaku. Pada saat yang sudah ditentukan, aku akan
membawa gadis yang akan menjadi istriku itu kemari dan
menitipkannya kepada seseorang di padukuhan ini.
Kemudian orang yang mewakili orangtuaku akan datang
dan diterima oleh ayah gadis itu. Selanjutnya aku akan
segera melakukan perkawinan. Selambat-lambatnya dua
pekan mendatang." "Dua pekan?" hampir berbarengan beberapa orang
bertanya. "Ya, dua pekan. Kenapa?" bertanya Wiradana kepada
orang-orang yang keheranan itu.
Untuk sesaat orang-orang tua itu terdiam. Namun
kemudian seorang di antara mereka bertanya, "Hanya
dalam waktu yang sangat singkat, Ki Wiradana akan
melangsungkan perkawinan" Biasanya kami
mempersiapkan saat-saat seperti itu dengan tenggang
waktu yang cukup panjang. Mungkin setahun, mungkin
enam bulan. Tetapi tidak akan lebih dekat dari tiga bulan."
"Aku tidak peduli," jawab Wiradana. "Aku ingin dalam
waktu dua pekan, semuanya sudah dapat dilaksanakan. Aku
ingin kawin dengan upacara yang tidak kalah baiknya
dengan saat aku kawin dengan Iswari."
"Tetapi waktu untuk mempersiapkan hal itu sangat
pendek," berkata salah seorang di antara orang-orang tua
itu. "Aku tidak tahu apakah waktu untuk persiapan kurang
atau tidak. Tetapi aku ingin semuanya terlaksana dengan
baik. Apapun yang harus kalian lakukan, lakukanlah agar
keinginanku tersebut dapat terwujud," berkata Wiradana.
24 SH. Mintardja Wajah orang-orang tua itu menjadi tegang. Namun
ketegangan itu memuncak ketika Wiradana berkata, "Aku
tidak mau mendengar alasan apapun juga, sehingga hal
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Semua harus terjadi
sebagaimana diinginkan oleh Kepala Tanah Perdikan ini.
Meskipun aku belum diwisuda, tetapi aku sudah
melaksanakan tugas ini."
Namun justru dengan demikian tidak ada seorang pun
yang menjawab. Justru dalam ketegangan semua orang
telah digetarkan oleh gejolak di dalam dada masing-masing.
Orang-orang tua yang semula merasa sama sekali tidak
berkeberatan untuk ditunjuk menjadi wakil orang tua
Wiradana itu pun menjadi ragu-ragu. Bahkan beberapa
orang di antara mereka berharap bahwa bukan merekalah
yang sebaiknya datang melamar perempuan yang masih
belum mereka ketahui itu.
Karena tidak ada seorang pun yang menjawab, maka
Wiradana itu pun berkata, "Aku minta agar kalian bersiapsiap sejak sekarang. Besok aku akan membawa gadis yang
akan menjadi istriku itu kemari. Aku minta agar baginya
disediakan tempat untuk sementara menjelang hari
perkawinan." Tidak ada lagi gairah untuk membicarakan masalah itu.
Namun demikian seorang tua yang masih mampu
mengendalikan perasaannya bertanya, "Dimanakah
perempuan itu akan dititipkan Wiradana?"
Wiradana mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
berkata, "Rumah siapakah yang paling pantas untuk
menitipkan calon istriku itu" Rumah yang cukup baik tetapi
tidak jauh dari rumahku ini."
25 SH. Mintardja "Rumah sebelah," jawab orang tua itu. "Bukankah rumah
sebelah cukup besar."
Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Rumah
sebelah. Aku nanti akan datang ke rumah sebelah untuk
meminjamnya selama-lamanya dua pekan, karena dalam
dua pekan ini segala persiapan sudah selesai bagaimanapun
caranya." "Tetapi," orang tua itu pun memberanikan diri. "Apakah
kau masih belum bersedia menyebut, siapakah perempuan itu." "Besok aku akan membawa perempuan itu ke rumah sebelah. Pada malam
harinya, seorang gadis yang
akan aku tunjuk akan datang
melamarnya. Nah, dengan demikian, maka kalian akan
mengetahui, siapakah perempuan itu. "Ternyata
Wiradana masih ragu-ragu juga untuk menyebutnya. Orang tua yang memberanikan diri untuk bertanya itu terdiam. Wiradana
masih belum menyebut namanya. Tetapi dalam waktu yang
dekat, mereka akhirnya akan mengetahui juga.
Pada pertemuan itu, ternyata Wiradana telah membagi
pekerjaan di antara orang-orang tua itu. Namun kemudian
katanya, "Terserah kepada kalian untuk menunjuk anak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak muda yang akan membantu kalian di dalam tugas
kalian masing-masing."
26 SH. Mintardja Orang-orang tua itu termangu-mangu. Tetapi mereka
tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, mereka harus
berusaha, agar perkawinan Wiradana itu dapat berlangsung
sebagaimana dikehendaki. Dua pekan mendatang.
Ketika kemudian pertemuan itu berakhir, maka
Wiradana pun masih juga berpesan, "Aku tidak mau
mendengar keberatan apapun juga dalam pelaksanaan hari
perkawinan ini. Jangan mengada-ada. Sedangkan
keramaian yang akan berlangsung harus seimbang dengan
yang pernah terjadi, saat aku kawin dengan Iswari."
Beberapa orang tua yang meninggalkan rumah Wiradana
itu pun tidak habis-habisnya membicarakan sikap Wiradana
yang kurang mereka mengerti. Tetapi mereka harus
melakukan sebagaimana dikehendakinya.
"Apaboleh buat," desis seseorang. "Kita harus bekerja
keras. Jika kita mengecewakan anak muda itu, maka
akibatnya akan sangat pahit bagi Tanah Perdikan ini.
Mungkin Wiradana yang kecewa itu akan berbuat apa saja
menurut kehendaknya sendiri. Karena kita dianggapnya
tidak mau membantunya dalam saat perkawinannya, maka
ia pun akan memperlakukan Tanah Perdikan ini sedemikian
pula. Tanah Perdikan ini bukannya merupakan asuhan yang
harus dipertanggung-jawabkan, tetapi saingan yang harus
ditundukkannya." Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka
sependapat, bahwa mereka harus bekerja keras,
melaksanakan keramaian sebagaimana dikehendaki oleh Ki
Wiradana. "Tetapi aku menjadi penasaran. Besok aku akan
menunggu Ki Wiradana membawa perempuan yang akan
dititipkan di rumah Ki Padma. Siapakah sebenarnya
27 SH. Mintardja perempuan yang nampaknya dirahasiakannya itu?" desis
salah seorang di antara mereka.
"Agaknya Ki Wiradana mencemburuimu," jawab yang
lain. "Ah," sahut orang itu. "Seandainya gigiku masih tersisa,
mungkin aku juga akan melamarnya. Untunglah bahwa
gigiku telah habis, sementara rambutku telah menjadi
separuh kapas." "He, justru rambut seputih kapas akan merupakan daya
tarik tersendiri," berkata yang lain lagi.
"Mungkin. Mungkin hantu-hantu di kuburan akan sangat
tertarik melihat rambut seputih kapas," jawab orang itu.
Yang lain tertawa betapapun masamnya. Sifat dan sikap
Ki Wiradana benar-benar kurang dapat dimengerti. Tetapi
sebagian dari mereka masih menunggu, apakah sifat dan
sikap yang demikian itu suatu saat akan dapat berubah
terutama jika ia sudah beristri lagi.
"Jika istrinya memiliki kemanisan budi seperti Iswari,
maka aku kira sikap hidup Ki Wiradana akan berubah. Ia
akan dapat kembali menelusuri jalan sebagaimana dilalui
oleh Ki Gede almarhum," berkata salah seorang dari orangorang tua itu. Sementara itu, Wiradana merasa kedudukannya menjadi
semakin kuat. Ketika ia membentak orang-orang tua itu,
dan ternyata mereka menjadi semakin tunduk, Wiradana
merasa bahwa jalannya akan menjadi semakin licin.
Malam berikutnya, Wiradana telah merundingkan segala
sesuatunya dengan istrinya dan laki-laki yang disangkanya
ayah mertuanya. 28 SH. Mintardja "Besok kau akan aku bawa memasuki Tanah Perdikan
Sembojan. Kau akan aku tempatkan pada seseorang yang
mempunyai rumah yang pantas dan terletak di sisi
rumahku," berkata Ki Wiradana.
Warsi menunduk dalam-dalam. Bahkan kemudian
terdengar suaranya sendat, "Aku tidak menyangka bahwa
akhirnya hal ini akan terjadi. Tetapi kesan yang akan timbul
mungkin akan dapat menyiksaku. Seolah-olah aku berada di
rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan setelah rumah itu
ditaburi tumbal yang sangat berharga. Istri kakang yang
pertama." "Jangan terlalu mudah tersentuh perasaanmu," berkata
Ki Wiradana. "Kau tidak mempunyai sangkut paut dengan
Iswari. Kau datang dengan caramu sendiri. Aku
menghendaki demikian. Dan hal ini terjadi setelah Iswari
tidak ada lagi." "Tetapi bukankah kita mengetahui, apa yang telah terjadi
dengan istri kakang yang pertama itu" Bukankah kita
mengetahui bahwa Iswari telah hilang dan tidak dapat
diketemukan kembali?" desis Warsi.
"Akulah yang bertanggung jawab," berkata Wiradana.
"Kau tidak usah memikirkan apapun juga. Besok kau pergi
bersamaku ke rumah Ki Padma yang rumahnya
bersebelahan dengan rumahku. Kau akan tinggal disana
untuk selama-lamanya dua pekan, sementara orang-orang
tua mempersiapkan keramaian untuk merayakan hari
perkawinan kita." Warsi mengangguk kecil. Jawabnya sebagaimana yang
sering dikatakan, "Semuanya terserah kepada kakang."
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada
laki-laki yang dianggapnya ayah mertuanya. "Ayah.
29 SH. Mintardja Seseorang dengan upacara yang akan datang untuk
melamar Warsi. Ayah dapat menerimanya sebagaimana
seharusnya. Kemudian kita akan merundingkan upacara
perkawinan itu sebagaimana lazimnya pembicaraan tentang
hal seperti itu." "Baiklah ngger. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan
diri," jawab laki-laki itu.
Seperti yang dikatakan oleh Wiradana, maka di hari
berikutnya Warsi telah dibawanya ke rumah Ki Padma.
Tetapi adalah di luar dugaan, bahwa Ki Wiradana membawa
Warsi justru di malam hari, pada saat yang sama sekali
tidak diperkirakan oleh orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan. Karena itu, tidak banyak orang yang melihat
kedatangannya. Namun yang sedikit itu ternyata telah
membuat padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan
bergejolak. Dua orang anak muda yang berada di gardu yang masih
belum terisi penuh melihat Ki Wiradana bersama seorang
perempuan dan seorang laki-laki. Anak-anak muda itu tidak
bertanya, siapakah perempuan itu, karena mereka sudah
mendengar bahwa Wiradana akan membawa calon istrinya
memasuki padukuhan induk sebelum dalam waktu dua
pekan mendatang akan dilangsungkan hari Perkawinannya.
"Rasa-rasanya aku pernah melihat perempuan itu,"
berkata salah seorang di antara anak-anak muda itu.
"Ya. Rasa-rasanya aku pun pernah melihat. Tetapi
dimana dan kapan?" sahut yang lain.
Kedua anak muda itu pun segera mengingat-ingat.
Dimana saja mereka pernah melihat perempuan itu.
30 SH. Mintardja Dalam pada itu salah seorang di antara mereka tiba-tiba
berkata lantang, "Aku tahu, aku sudah dapat mengingatingatnya." Kawannya termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia
berkata, "Siapa perempuan itu?"
"He, kau pernah melihat penari keliling yang pernah
datang di Tanah Perdikan ini?" bertanya anak muda yang
pertama. "Penari jalanan itu?" sahut yang lain.
"Ya. Yang bermalam di Banjar" sambung yang pertama.
Anak muda yang lain mengerutkan keningnya. Namun
tiba-tiba saja ia pun hampir berteriak, "Ya. Aku sependapat.
Aku ingat sekarang bahwa perempuan itu memang penari
yang kau katakan. Selagi keduanya sibuk menebak, maka dua orang anak
muda yang lain telah datang pula. Dengan heran keduanya
bertanya, apa yang sedang dipercakapkan oleh kedua orang
yang terdahulu. Dengan suara yang keras kedua anak itu berebut
bercerita tentang perempuan yang datang bersama
Wiradana. Perempuan yang akan dijadikan istrinya itu.
"Bodoh kau," tiba-tiba salah seorang anak muda yang
datang itu membentak, "Tentu bukan perempuan itu yang
akan dijadikan istrinya. Jika ia membawa perempuan itu
mungkin Wiradana akan menyelenggarakan pertunjukan
tari pada hari perkawinannya. Karena itu, maka penari itu
telah dibawa kemari untuk membicarakan kemungkinan itu
serta sudah barang tentu biaya untuk penyelenggaraan itu."
Dua orang yang terdahulu ada di gardu termangumangu. Memang mungkin masuk akal bahwa penari itu
31 SH. Mintardja datang untuk membicarakan kemungkinan
diselenggarakannya pertunjukan tari dengan cara yang lebih
baik daripada menari di sudut padukuhan.
Tetapi bukan hanya kedua orang anak muda itu sajalah
yang telah menduga, bahwa Wiradana membawa bakal
istrinya yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan. Apalagi ketika Wiradana tidak
membawa perempuan itu ke rumahnya, tetapi Wiradana
langsung membawa perempuan itu ke rumah Ki Padma.
Maka sambung menyambung, anak-anak muda di Tanah
Perdikan Sembojan itu pun telah mempercakapkan
perempuan yang datang bersama Wiradana itu. Bukan
hanya dua orang yang berada di gardu itu sajalah yang
melihat. Tetapi seorang anak muda yang kebetulan lewat
jalan di dalam padukuhan induk telah berpapasan pula.
Yang lain melihat perempuan itu memasuki regol halaman
rumah Ki Padma. Dan yang melihat dengan jelas adalah
anak Ki Padma sendiri. Perempuan yang dibawa ke
rumahnya itu memang penari jalanan yang beberapa waktu
yang lampau pernah berada di Tanah Perdikan itu dan
bermalam di banjar. Anak muda anak Ki Padma itu dengan diam-diam telah
keluar dari halaman rumahnya menuju ke gardu. Meskipun
belum banyak anak muda yang ada di gardu, tetapi
pembicaraan tentang perempuan itu memang sangat
menarik. Dengan demikian maka berita itu telah menjalar
dari gardu ke gardu dan dari mulut ke mulut sehingga
tersebar ke seluruh padukuhan induk dan bahkan
padukuhan-padukuhan lain, karena ketika Wiradana lewat
di padukuhan-padukuhan lain itu, beberapa orang telah
melihatnya pula. 32 SH. Mintardja Hal itu sudah diperhitungkan oleh Wiradana. Tetapi ia
sudah bertekad untuk melakukannya meskipun ia masih
juga berusaha untuk membatasi kemungkinan itu sekecilkecilnya, sehingga karena itu maka ia datang di malam hari.
Menurut keterangannya kepada orang-orang tua di Tanah
Perdikan Sembojan, tidak ada apapun yang dapat
merintanginya. Perkawinannya harus berlangsung dalam
waktu dua pekan. Tetapi bahwa perempuan yang dibawanya itu adalah
seorang penari jalanan, maka seisi Tanah Perdikan telah
mempertanyakannya. Sebenarnyalah bahwa Wiradana sama sekali tidak
menghiraukan mereka. Ia sudah bersiap-siap menghadapi
keadaan yang demikian. Karena itu, maka Wiradana telah
memanggil pula sepuluh orang kepercayaannya.
"Aku bekali kalian dengan uang. Tetapi sumbat mulut
orang-orang yang mengejek aku," geram Wiradana.
Sepuluh orang itu termangu-mangu. Tetapi mereka pun
sudah mendengar bahwa yang dibawa oleh Wiradana
adalah perempuan yang pernah berada di Tanah Perdikan
sebagai penari. "Kenapa mengejek?" tiba-tiba salah seorang di antara
sepuluh kepercayaan Wiradana itu bertanya.
Pertanyaan itu membingungkan Wiradana. Tetapi ia pun
kemudian berkata terus terang, "Perempuan yang akan aku
jadikan istriku adalah Warsi, penari yang cantik itu. Jika
ada di antara rakyat Tanah Perdikan yang tidak setuju atau
bahkan mengejek aku, maka kau harus menyumbat
mulutnya dengan tangkai pedangmu, mengerti" Atau kau
akan segera aku lempar dan aku gantikan dengan orangorang lain yang lebih berarti bagiku."
33 SH. Mintardja "Baiklah Wiradana," jawab yang tertua di antara anakanak muda itu, "Kami akan melakukannya dengan sebaikbaiknya." Wiradana memandang orang itu dengan tatapan mata
yang tajam sekali. Seakan-akan ia ingin melihat langsung
sampai jantungnya untuk mengetahui, apakah yang
dikatakannya itu sesuai dengan apa yang akan
dilakukannya. "Pergilah," berkata Wiradana kemudian. "Kau tahu apa
tugasmu." "Ya," jawab yang tertua di antara kepercayaannya itu,
"Kami akan ke gardu-gardu dan berbincang-bincang dengan
anak-anak muda untuk mengetahui sikap mereka. Aku
yakin bahwa sebagian besar dari mereka sudah mengetahui
siapakah perempuan yang telah kau bawa masuk ke Tanah
Perdikan ini." Wiradana tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja anakanak muda yang kemudian meninggalkannya.
Sebenarnyalah bahwa anak-anak muda itu memang pergi
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke gardu terdekat di ujung jalan di padukuhan induk itu. Di
gardu di dekat pintu gerbang itu memang terdapat anakanak muda yang menjadi semakin banyak berkumpul.
Mereka memang berbicara tentang perempuan yang
bernama Warsi, penari jalanan yang pernah mengadakan
pertunjukan keliling di Tanah Perdikan Sembojan.
Anak-anak muda yang menjadi kepercayaan Wiradana
itu termangu-mangu sejenak.
Namun yang tertua di antara mereka ternyata tidak
berbuat apapun juga, sehingga kawan-kawannya yang lain
pun menjadi ragu-ragu. 34 SH. Mintardja Bahkan yang tertua di antara mereka itu berkata di
antara anak-anak muda di gardu itu, "He, apakah kalian
tahu, tugas apakah yang harus aku lakukan sekarang ini?"
Anak-anak muda di gardu itu termangu-mangu. Namun
seorang di antara mereka menjawab, "Tentu tidak tahu."
Orang tertua di antara kepercayaan Wiradana itu pun
berkata selanjutnya, "Kami mendapat tugas untuk
menyumbat setiap mulut yang berani menyebut atau
apalagi mengejek kehadiran perempuan yang akan
dijadikan istri Wiradana itu."
"O," anak-anak muda di gardu itu menjadi tegang.
Mereka pun segera menyadari, bahwa anak-anak muda
yang datang bersepuluh itu adalah kepercayaan Wiradana
yang sering melakukan tugas-tugas khusus. Menurut
pengenalan anak-anak muda yang di gardu itu, maka
sepuluh orang anak muda itu adalah orang-orang pilihan
yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya yang lain.
Tetapi di luar dugaan mereka, bahwa orang itu kemudian
justru berkata, "Memang aneh sekali. Bukanlah dengan
perintah itu Wiradana sudah merasa, bahwa perempuan itu
tidak pantas untuk dijadikan istrinya."
Anak-anak muda di gardu itu termangu-mangu. Mereka
tidak segera meyakini sikap anak muda yang tertua di
antara sepuluh orang kepercayaan Wiradana itu. Namun
anak muda itu pun kemudian berkata. "Tetapi ia telah
memaksa rakyat Tanah Perdikan itu untuk menerimanya."
Anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk. Namun
salah seorang di antara mereka telah bertanya, "Bagaimana
pendapatmu sendiri?"
Orang tertua di antara sepuluh orang itu berkata, "Jika
kau bertanya tentang pendapatku, maka sudah terang aku
35 SH. Mintardja tidak setuju. Apa artinya penari jalanan itu. Sedangkan
istrinya yang dahulu, gadis padepokan itu pun telah
menumbuhkan beberapa pertanyaan di antara kami.
Namun pada waktu itu agaknya Ki Gede Sembojan dapat
meyakinkan kepada orang-orang tua, bahwa mereka
sebaiknya menerima Iswari. Bahkan setelah perkawinan itu
terjadi ternyata Iswari dapat melakukan tugasnya sebagai
istri Wiradana dengan baik. Bahkan karena sudah tidak ada
lagi istri Kepala Tanah Perdikan, maka kita semuanya
menganggap seolah-olah Iswari adalah istri Kepala Tanah
Perdikan." "Tetapi," berkata salah seorang di antara anak-anak
muda itu. "Apakah kita pasti, bahwa Warsi tidak akan dapat
menjadi seorang perempuan yang memiliki kemampuan
seperti Iswari?" Orang tertua itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Kita memang tidak dapat menebak kemampuan
seseorang. Mungkin seorang yang dalam ujudnya tidak
meyakinkan namun memiliki banyak kelebihan dari orang
lain. Sebagaimana penari jalanan itu mungkin sesuatu yang
dapat membuat Wiradana tergila-gila kepadanya.
Mudah-mudahan sesuatu tu bermanfaat kiranya bagi
Lembah Merpati 4 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Tiga Naga Sakti 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama