Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 19

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 19


hidup-hidup, tapi hati-hati sedikit!"
Setelah Yap Hing-po melirik sekali pada Pang Lin, habis itu
baru ia melolos pedangnya buat membantu suaminya,
bayangkara lainnya pun ikut mengeroyok Hwesio tua tadi,
tinggal lelaki yang pakai tombak itu yang terus menempur
Pang Lin. Dalam pertarungan sengit itu terdengar suara jeritan ngeri
tiga kali, agaknya beberapa bayangkara telah digulingkan si
Hwesio tua. Lelaki yang menggunakan tombak-arit ini kepandaiannya
cukup kuat, terpaksa Pang Lin harus melawannya dengan
sepenuh tenaga, tidak berani ia memandang ke jurusan lain,
tapi diam-diam ia coba menghitung suara jeritan ngeri yang
berlainan itu, dalam sekejap saja rupanya sudah ada delapan
orang yang telah roboh Kiranya Hwesio tua ini adalah padri utama ruangan Ciangkengtong di Siau-lim-si dan kini telah menjadi Kam-si atau
pengawas gereja Siau-lim-si, Hong-hoat Taysu adanya.
Hong-hoat Taysu adalah orang nomor satu sesudah SiauIim-sam-lo atau tiga tertua dari Siau-lim-si. Sejak Kam-si yang
dahulu, Pun-bu Sian-su tewas oleh tipu keji Lian Keng-hiau,
lalu Hong-hoat naik pangkat menjadi Kam-si.
Setelah Kaisar Yong-ceng (sebutan In Ceng) naik Hkhta,
Cu-ji atau pejabat ketua Siau-lim-si, Bu-cu Siansu, telah
menduga biara mereka bakal tertimpa nasib malang dan
mengalami bencana, sudah sejak dua tahun yang lalu ia telah
perintahkan padri-padri Siau-lim-si menyingkir dengan
membawa kitab suci dan benda Buddha lainnya, secara diamdiam
telah dipencarkan, satu cabang menuju ke Poh-tian di
propinsi Hokkian dan cabang yang lain berada di Lamhay,
propinsi Kwitang. Maka malam sebelum Siau-lim-si dibakar,
para padri sudah sembilan bagian berpencar pergi.
Hari itu, ketika dapat kabar bahwa pasukan Lian Keng-hiau
berkemah di luar kota Cu-sian-tin, suasana lantas menjadi
genting. Hong-hoat dan padri tema ruang Tat-mo-ih lantas
minta agar Cu-ji suka menghindarkan diri, tidak terduga usul
ini hanya dijawab dengan tersenyum saja oleh Bu-cu Siansu.
"Kalian saja lekas berangkat, tinggalkan aku sendiri di sini!"
katanya. Sudah tentu Hong-hoat dan lain-lain tidak mau menuruti
kehendak ini. Akan tetapi segera Bu-cu Siansu berkata lagi,
"Jika In Ceng dan Lian Keng-hiau sampai di Ko-san, lalu tidak
nampak diriku, tidak nanti mereka mau terima! Sekalipun aku
bisa hidup untuk sementara, tapi pasti akan menyusahkan
padri Siau-lim-si lain yang akan dikejar dan diudak
pemerintah. Kata Buddha, 'Kalau aku tidak masuk neraka,
siapa lagi yang masuk'. Meski aku tidak dapat disamakan
dengan Buddha, tapi dengan rela aku suka menghadapi segala
kemungkinan." Namun Hong-hoat dan lain-lain tetap tak mau menurut,
akhirnya dengan kereng Bu-cu bersabda dan memerintahkan,
"Baiklah, kini dalam kedudukanku sebagai Cu-ji Siau-lim-si,
aku mengharuskan kalian lekas berangkat dari sini!"
Siau-lim-si memang mempunyai tata-tertib dan hukum
agama yang keras, maka dengan perintah itu, mau tak mau
Hong-hoat dan lain-lain dalam rombongan yang terakhir
terpaksa meninggalkan gunung. Keesokan harinya, pasukan
besar Lian Keng-hiau mengepung Ko-san dengan begitu rapat
hingga tak tertembus air ibaratnya.
Yong-ceng dan Lian Keng-hiau semuanya bekas jebolan
Siau-lim-si, maka mereka cukup kenal keadaan biara tersohor
ini dengan padri-padrinya yang lihai, untuk melawannya
mereka telah menyiapkan alat pembakar yang paling hebat,
yakni tiga ratus prajurit I lam-lim-kun, pasukan pengawal
dengan senjata yang dilengkapi bumbung semprotan api
belerang, dengan alat pembakar ini mereka lelah menyapu
sekeliling Siau-lim-si, dalam bumbung semprotan api itu
tersembunyi bahan-bahan bakar sebangsa belerang dan
bahan lain yang gampang terbakar, begitu bahan bakar itu
disemprotkan, seketika pula membawa semburan, keruan
begitu atap biara itu terjilat api, segera pula lantas menjalar
dengan hebat dan cepat. Alat senjata semacam ini pada
beberapa abad yang lalu sudah tergolong senjata yang susah
ditahan. Bukan itu saja, In Ceng masih kualir kurang cukup, maka di
belakang barisan penyemprot api itu dibantu beberapa puluh
jago pilihan dari istana, habis itu pada garis luar disiapkan lagi
ribuan prajurit pemanah untuk berjaga bila padri-padri Siaulimsi berani menerjang keluar kepungan.
Siapa tahu sesudah api menganga dan berkobar dengan
hebat, pintu gerbang Siau-lim-si itu masih tertutup rapat,
seorang pun tiada yang mencoba lari keluar.
Keruan In Ceng terheran-heran dan merasa tidak mengerti.
"Apakah mungkin padri-padr dalam biara ini rela terbakar
hangus?" katanya pada Lian Keng-hiau.
Sementara itu dalam sekejap saja Siau-lim-si sudah
menjadi lautan api. Suara tiang dan saka yang putus dan
runtuh bercampur dengan ambruknya dinding tembok yang
gemuruh, setelah api berkobar setengah harian, hanya pagoda
batu yang berada di tengah biara saja yang belum ambruk.
Dalam pada itu tiba-tiba tertampak di pucuk atas pagoda
batu itu berduduk sila seorang.
"He, Cu-ji Siau-lim-si itu barangkali tidak tahan oleh
membaranya api, maka lari ke atas pagoda?" seru Lian Kenghiau
heran. "Awas, juru pemanah siap!"
Tetapi belum habis ia memberi komando, terlihat Bu-cu
Siansu telah berdiri, sambil mengucapkan sabda Buddha,
mendadak padri agung ini melompat turun dari atas pagoda
dan terjun ke dalam lautan api.
Selang tak lama, pagoda batu itu sekonyong-konyong
runtuh dengan gemuruh, tiga puluh deret istana Siau-lim-si
berikut pagoda suci Hoa-giam-po-tah semuanya termusnah
dan menjadi puing. Menyaksikan ruutuhnya Siau-lim-si, barulah Lian Keng-hiau
menarik napas lega, katanya, "Cu-ji Siau-lim-si sendiri sudah
terkubur dalam lautan api, maka padri lainnya tentu juga
sudah menjadi abu dalam tumpukan puing!"
In Ceng pun sedang berpikir, "Bu-cu Siansu adalah
pemimpin lima ratusan Hwesio, dia sendiri tidak sempat lolos,
tentu pula padri lain-lainnya tak nanti melarikan diri
mendahului ketua mereka. Cuma ada satu soal yang sukar
dimengerti, adalah mengenai pagoda batu itu, pagoda itu
tingginya belasan tombak, walaupun dijilat api sedikitnya bisa
tahan untuk beberapa waktu lamanya, mengapa begitu
gamparg lantas ambruk?"
In Ceng tidak tahu bahwa ambruknya pagoda Hoa-giampotah itu sebagian karena terjilat api, setengahnya karena
dirusak sendiri oleh Bu-cu Siansu,
Ketika setindak demi setindak dan setingkat demi setingkat
padri agung ini naik ke atas pagoda itu, pada tiap alas dasar
tingkatan pagoda yang dilalui, ia telah menggunakan tenaga
telapak tangannya memukul dan membikin kendur batu
dindingnya, kemudian barulah ia unjuk diri di puncak pagoda,
ia membiarkan Kaisar Yong-ceng menyaksikan sendiri ia terjun
ke dalam lautan api, dengan demikian hati Yong-ceng bisa
tenteram hingga banyak padri Siau-lim-si lain diselamatkan
jiwanya. Sebab setelah Yong-ceng menyaksikan sendiri
'pentolan' padri terbasmi, sungguhpun ia masih sangsi ada
padri lain yang kabur, namun dengan sendirinya cara
mengusutnya tidak begitu keras lagi.
Setelah Yong-ceng dan Lian Keng-hiu membakar habis
Siau-lim-si, mereka tinggalkan serombongan orang berjaga di
atas gunung, lalu mengirim pula pasukan lain untuk
menyelidiki dan menggeledah sekeliling gunung Ko-san dalam
lingkungan seluas tiga ratus li.
Sebabnya Yong-ceng mengatur begini adalah karena Siaulimsi merupakan pemimpin dunia persilatan, ia menjaga bila
ada tokoh golongan lain yang mencari kabar ke Ko-san, maka
ia sengaja memasang jaring di sekitar Ko-san untuk
menjebaknya. Setelah lewat setengah bulan sejak Siau-lim-si dibakar, cara
mengawasi pun mulai kendor, dengan membawa Haptoh dan
lain-lain. In Ceng pun lantas pergi untuk mengurus pekerjaan
besar lainnya. Hanya Han Tiong;san suami-istri ditugaskan
mengawasi pekerjaan di daerah Holam, sedang di Ko-san
ditinggalkan Hay-hun Hwesio dan Thongling dari pasukan
pengawal, Cin Tiong-wat, untuk menjaganya.
Setelah Hong-hoat Taysu mengetahui penjagaan rada
kendur, ia sangat kuatir keselamatan Bu-cu Siansu, maka
diam-diam ia kembali ke Holam.
Tetapi segera ia mengetahui bahwa sang ketua sudah
berkorban dengan gagah perwira, maka malam-malam ia
lantas naik gunung, di tempat bekas berdirinya Hoa-giam-potah
ia mengambil se-comot tanah sebagai benda suci dari
Siau-lim-si, ia bermaksud membawa kembali tanah itu ke Pohtian,
agar bisa ditinggalkan pada murid-murid angkatan yang
akan datang sebagai contoh.
Ilmu silat Hong-hoat Taysu sudah tinggi sekali, diam-diam
ia balik ke Ko-san, Hay-hun Hwesio dan kawan-kawan yang
menjaga gunung ternyata tiada yang tahu.
Tetapi sayang, satu rintangan dilalui, rintangan yang lain
harus dihadapi pula, ia tidak menduga bahwa dalam
penginapan di kota kecil ini mendadak bisa kepergok Han
Tiong-sun suami-istri yang sedang memeriksa, sehingga
terjadilah pertarungan sengit.
Orang yang melawan Pang Lin bernama Ong Go, termasuk
jagoan kelas satu di gubernuran Ho-lam. Oleh gubernur Holam,
Ong Go dikirim untuk membantu Han Tiong-san
melakukan penggeledahan. Kepandaian Ong Go meski, belum setingkat suami-istri Han
Tiong-san, tapi kalau dibanding Pang Lin masih lebih kuat,
apalagi ia adalah ahli menggunakan Am-gi, ia sendiri memiliki
senjata rahasia khas yang dilatihnya dengan keji sekali.
Begitulah, setelah Pang Lin melawan Ong Go dengan
sengit, ia unjukkan ilmu silat dari berbagai cabang yang ia
pelajari, tetapi masih tetap belum bisa meloloskan diri. Tibatiba
ia teringat apa yang dikatakan Han Tiong-san tadi bahwa
dirinya akan ditangkap hidup-hidup, ia pikir, "Orang ini tentu
tak berani mencelakai jiwaku, untuk apa aku takut padanya?"
Karena itu segera ia perkencang Kiam-hoatnya, ia ubah
silatnya dan selalu menyerang.
Memang kepandaiannya selisih tidak banyak dibanding Ong
Go, kini ia tidak menghiraukan jiwa sendiri, maka ia
menyerang dan menghantam secara hebat, mau tak mau Ong
Go didesak hingga main mundur terus, akhirnya Pang Lin
dapat lolos keluar pintu.
Ong Go menjadi murka, ia mendahului mengadang di
ambang pintu, habis itu tombak-aritnya menangkis pergi
pedang Pang Lin yang sementara itu sudah menyerang pula,
menyusul tangan kirinya bergerak, tanpa bersinar dan tak
bersuara, tahu-tahu Pang Lin merasakan lengannya seperti
digigit nyamuk, ia merasa sedikit linu pegal, namun ia tidak
ambil perhatian pada kejadian ini, dengan satu tipu serangan
ia dapat mengesampingkan serangan tombak orang, lalu
disusul pula dua kali tusukan dengan cepat terus menerjang
maju dan melompat keluar pintu penginapan.
"Haha, budak liar, kau sudah kena senjata rahasiaku,
mengapa kau tidak lekas menurut dan letakkan senjata serta
menyerah saja* buat mohon pertolonganku?" tiba-tiba Pang
Lin mendengar Ong Go berseru dengan bergelak tertawa.
Pang Lin tertegun sejenak oleh kata-kata itu.
Sementara itu Ong Go sudah menyusul sampai di
belakangnya, di luar dugaan, mendadak Pang Lin membalik
dan ayunkan tangannya, dua bilah pisau menyambar
berbareng dari kanan dan kiri, lekas Ong Go menangkis
dengan tombaknya, dengan mengeluarkan suara nyaring
sebilah pisau dipukul jatuh, tetapi yang lain menyerempet
lewat pundaknya, karena sedikit terlambat menggeser tubuh,
Ong Go merasa pundaknya kesakitan, ternyata ia pun terluka
oleh senjata rahasia orang.
Keruan Ong Go menjadi kalap, bentaknya, "Budak liar, apa
kau cari mampus?" Menyusul tombaknya bekerja secepat angin dan laksana
badai mengurung pedang Pang Lin hingga tak bisa berkutik.
Justru pada saat itu, mendadak terdengar suara gemuruh,
papan pintu gerbang penginapan ternyata remuk menjadi
beberapa keping dan terpental beterbangan, menyusul
beberapa bayangan orang menerjang keluar dengan cepat.
Yang menerjang keluar bukan lain adalah suami-istri Han
Tiong-san. Tadinya mereka berdua bersama empat opas dan empat
jagoan bayangkara mengerubuti Hong-hoat Taysu, tetapi ilmu
silat empat opas itu terlalu rendah, hanya sekejap saja mereka
sudah dihantam roboh dengan luka parah, empat jago
bayangkara lainnya tidak terlalu lama susul-menyusul pun
terguling. Keruan suami-istri Han Tiong-san menjadi jeri,
namun sekuat tenaga mereka masih terus melawan.
Ilmu silat Hong-hoat Taysu hanya di bawah Siau-lim-samlo,
meski suami-istri Han Tiong-san tergolong jago kelas
wahid, namun sedikitpun mereka tidak bisa memperoleh
keuntungan, bahkan terus terdesak di bawah angin.
Sebaliknya Hong-hoat sendiri yang dikeru-but mereka,
seketikapun tak mampu melepaskan diri.
Setelah lama pertempuran berlangsung, akhirnya Honghoat
Taysu menjadi tak sabar lagi, ia kuatir pihak musuh
masih ada bala-bantuan, maka diam-diam ia kumpulkan
tenaga dalamnya, ia ayun telapak tangannya kemudian
mendadak disodokkan. Ilmu pukulan Siau-lim-si selamanya tiada tandingannya,
maka begitu Han Tiong-san melintangkan tangan hendak
menangkis, namun susah menahan pukulan hebat itu,
terdengarlah suara gabrukan yang keras, dimana telapak
tangan Hong-hiat sampai, iga kiri Han Tiong-san disodok
hingga tubuhnya yang besar didorong terpental keluar pintu
penginapan. Nampak suaminya kecundang, Yap Hing-po segera purapura
menyerang, habis itu ia pun membalik tubuh terus kabur.
Ketika 1 long-hoat Taysu mengejar keluar, tiba-tiba ia
dengar ada suara mengaung yang riuh, sebuah benda hitam


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba menyambar padanya, dengan kepandaian 'Tinghongpian-gi' (mendengarkan angin mengenali senjata),
Hong-hoat Taysu cepat berkelit ke samping.
Di luar dugaan, senjata rahasia ini ternyata aneh sekali,
mendadak bisa berputar balik. Hong-hoat menjadi gusar, ia
angkat telapak tangannya terus memotong, dengan angin
pukulan ini senjata itu terguncang pergi menumbuk pojok
dinding. Habis itu segera Hong-hoat Taysu mengudak musuh pula.
Tidak tersangka senjata rahasia yang menumbuk pojok
dinding itu sekonyong-konyong mumbul naik lagi, karena tidak
berjaga akan kejadian ini, tungkak kaki Hong-hiat terasa sakit
sekali, ternyata ujung senjata rahasia yang berkait itu telah
menancap masuk ke dalam daging.
Dengan cepat Hong-hoat mencabut senjata rahasia itu
dengan jarinya, ketika ia mengejar keluar, suami-istri Han
Tiong-san sudah keburu merat tanpa bekas lagi.
Senjata rahasia yang mengenai Hong-hoat itu adalah 'Hwegoankau' yang dilatih Han Tiong-san dengan sempurna,
senjata rahasia ini berbentuk melengkung dan kedua ujungnya
tajam, bahkan di sekitarnya dipasang pula kaitan melingkar
dan bisa berputar pulang pergi dan naik turun sesukanya.
Dulu ketika untuk pertama kalinya Ie Lan-cu mengenal
'Hwe-goan-kau', ia pun hampir diselomoti, beruntung
latihannya sudah dalam sekali, dengan tenaga jari sakti ia
menjepit senjata kaitan itu.
Walaupun ilmu silat Hong-hoat hebat sekali, tapi kalau
dibanding Ie Lan-cu, ia masih lebih rendah setingkat, lagi pula
ia tidak paham bekerjanya 'Hwe-goan-kau', oleh karenanya ia
telah diselomoti. Bercerita lagi tentang Ong Go yang sedang menempur
Pang Lin dengan seru, ketika mendadak melihat suami-istri
Han Tiong-san berteriak dan lari terbirit-birit dan dikejar oleh
Hong-hoat Taysu, keruan ia menjadi kaget dan ketakutan,
segera ia pun membalik tubuh terus ikut angkat langkah
seribu. Segera Pang Lin bermaksud menguber musuh, tetapi
sayup-sayup ia mendengar ada suara orang memanggil,
"Nona cilik tak perlu kau kejar lagi! Marilah kuperiksa, kau
terkena senjata rahasia macam apa"!"
Pang Lin jadi tertegun oleh suara itu, sementara itu ia lihat
si Hwesio tua tadi sudah berdiri di depannya.
"Hwesio tua ini betul-betul lihai, hanya melihat sekejap saja
ia sudah tahu bahwa aku ini perempuan yang menyamar
sebagai lelaki," demikian pikir Pang Lin. "Senjata rahasia
apakah yang mengenai aku" Apakah tadi rasa seperti digigit
nyamuk itu adalah senjata rahasia musuh?"
Sementara itu Hong-hoat telah menarik tangan Pang Lin
dan diraba dengan perlahan, mendadak air mukanya berubah.
"Ha, ini adalah senjata rahasia 'Chit-sui-pek-bi-ciam'
keluarga Tong di Suewan!" katanya kemudian.
Dengan sendirinya Pang Lin tidak mengerti 'Pek-bi-ciam'
(jarum alis putih) segala, ia pun tidak kenal keluarga Tong di
Suewan. Karena itu dengan tertawa ia lantas bertanya,
"Hwesio tua, kau betul-betul hebat sekali, sanggup
menghantam lari suami-istri Han Tiong-san. Kau tentu merasa
sakit terkena Hwe-goan-kau. Aku sedikitpun tidak merasa
sakit, maka sebaiknya kau obati dirimu sendiri dulu."
Mendengar anak dara ini bukan saja mengetahui nama Han
Tiong-san, bahkan kenal senjata rahasia apa yang digunakan
tadi, tak tertahan Hong-hoat menjadi terheran-heran, ia pun
ragu-ragu dan penuh pertanyaan.
"Siapakah gurumu, nona cilik" Kau bernama siapa?" cepat
ia bertanya lagi. Sejenak Pang Lin jadi bingung oleh pertanyaan orang,
sebenarnya ia tidak ingin menerangkan, tapi demi nampak
wajah si padri tua yang alim dan welas-asih ini, tanpa terasa
ia membuka mulut. "Guruku banyak sekali," katanya. "Han Tiong-san, suamiistri
yang kau usir pergi itupun termasuk guruku, tapi kau pun
tak usah kaget, nanti kuajarkan kau cara bagaimana
mengobati lukamu." Penuturan ini sama sekali di luar dugaan Hong-hoat, maka
seketika jadi melongo. "Kaitan Han Tiong-san itu tidak berbisa, kaitannya yang
melengkung itu menancap ke dalam daging, kau bisa
menyedotnya keluar dengan batu sembrani," dengan
tersenyum manis Pang Lin menyambung lagi. "Coba,
bukankah sederhana sekali. Memang senjata rahasianya itu
dipakai melulu untuk menawan musuh, tetapi kau punya
kepandaian lebih tinggi dari dia hingga tidak kena mereka
tawan, maka tidak usah takut senjata rahasia ini."
Rupanya Pang Lin telah membatin, "Aku tidak lebih hanya
kesakitan seperti digigit nyamuk, tapi Hwesio tua ini sudah
begini kuatir, tampaknya meski ilmu silatnya cukup tinggi,
namun dalam hal senjata rahasia agaknya masih belum
paham." Tetapi karena Pang Lin tertarik oleh sikap welas-asih si
Hwesio tadi, ia pikir kesempatan ini dapat memamerkan
kepandaiannya dalam hal pengetahuan ilmu senjata rahasia,
maka ia menerocos panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa dirinya
sebenarnya seperti orang desa yang sedang mengajar guru.
Di pii^ak lain Hong-hoat Taysu pun menjadi geli. Pikirnya
dalam hati, "Anak dara ini betul-betul menarik dan
menyenangkan, cuma sayang terlalu suka unjuk pintar sendiri
dan tidak tahu betapa tebalnya bumi dan tingginya langit."
Kiranya apa yang mengenai Pang Lin sebenarnya adalah
semacam senjata rahasia yang amat keji, yakni 'Chit-sui-pekbiciam', semacam jarum berbisa yang lembut sekali buatan
keluarga Tong di Sucwan, saking halus jarum ini seperti bulu
saja, maka disebut Pek-bi-ciam, artinya jarum seperti bulu alis,
saking halusnya bila jarum ini menancap masuk ke dalam
tubuh orang, jarum ini akan menyelusup mengikuti jalan
darah dan sampai di hulu hati, bila demikian, maka dewa
sekalipun tidak bisa menolong lagi.
Dimana pergelangan tangan Pang Lin yang terkena jarum
itu, mungkin perlu tujuh hari kemudian baru jarum itu akan
sampai di hulu hati, dalam tiga hari pertama bila jarum berbisa
itu sampai naik ke atas, maka meski kelak dapat tertolong
oleh obat pemunah racun, sedikitnya ia akan menjadi cacat
juga. Sedang obat pemunah itu hanya dimiliki keluarga Tong di
Sucwan, Ong Go adalah anak mantu keluarga itu, ia melukai
Pang Lin dengan jarum itu sebenarnya tidak bermaksud
mencelakai jiwanya, tujuannya hanya untuk menggertaknya
agar menyerahkan diri. Di luar dugaan, Ong Go sendiri tergesa-gesa
menyelamatkan nyawanya sendiri, ia entah sudah merat
sampai kemana, maka lebih-lebih tiada jalan untuk mencari
obat pemunah racun jarum ini.
Begitulah sesudah Hong-hoat tertawa geli tadi, ia merasa
ge-getun dan sedih pula. la lihat gadis yang luar biasa ini, jika sampai tahu bahwa
dalam tujuh hari ini ia bakal binasa, entah akan betapa
dukanya. Sungguhpun obat mustajab Siau-lim-si tidak kurang
banyaknya, tapi justru yang kurang adalah obat pemunah
racun jarum berbisa ini. Maka diam-diam Hong-hoat Taysu
hanya menghela napas menyesal.
Melihat Hwesio tua ini lama sekali masih bungkam,
akhirnya dengan tertawa Pang Lin bertanya, "Dapatkah
berjalan" Jika tak dapat, biar aku carikan batu sembrani saja
untuk menolong kau."
"Nona, hatimu welas-asih seperti Buddha, aku merasa
banyak berterima kasih," sahut Hong-hoat dengan tenangnya.
"Aku tidak perlu batu sembrani, tidak usah kau kuatir atas
diriku. Sebaliknya lukamu Ternyata Hong-hoat tidak tega
bercerita terus terang, maka perkataannya agak samar-samar.
"Kenapa?" tanya Pang Lin dengan heran.
Hong-hoat lantas keluarkan tiga butir obat pil dari bajunya,
ia sodorkan pada Pang Lin sambil berpesan. "Ini tiga pil boleh
kau makan, setiap hari sebutir. Lalu kau boleh menuju ke
Siau-lim-si Poh-tian, Hokkian, katakan saja di tengah jalan kau
telah bertemu seorang Hwesio tua semacam aku ini dan
menyuruh kau ke sana, dengan begitu mereka tentu akan
menerima kau dengan baik."
Obat pil yang Hong-hoat berikan ini adalah 'Siau-hoan-tan'
bikinan Siau-lim-si yang mujarab, meski bukan obat pemunah
yang jitu buat racun jarum berbisa itu, tetapi dalam tiga atau
lima hari ini masih dapat menahan menjalarnya racun dalam
badan, sehingga dalam sebulan orangnya masih belum sampai
mati. Kiranya Hong-hoat mempunyai perhitungan dalam satu-dua
hari ini ia hendak mengunjungi gubernuran di Holam buat
menawan Ong Go, dari bayangkara ini hendak ia paksa ambil
obat pemunahnya, cuma ia belum yakin akan berhasil atau
tidak, oleh karenanya ia tidak ingin mengatakan lebih dulu.
Hong-hoat sendiri adalah buronan yang diincar kerajaan maka
tak berani ia membawa Pang Lin bersama dia, pula bila Pang
Lin dibawa, dirinya malah tidak akan leluasa bergerak, oleh
sebab itulah ia menyuruh anak dara itu berangkat dulu ke
Poh-tian di Hokkian. Karena pemberian obat pil tadi, Pang Lin pun terima
dengan baik. "Pil ini pahit tidak?" dengan tertawa ia malah
bertanya. "Tidak, tidak pahit, lekas kau telan saja!" sahut 1 long-hoat
cepat. "Itu ada orang datang, aku harus pergi!"
Habis berkata, segera ia melompat ke atap rumah terus
kabur. Pang Lin dapat melihat dengan jelas meski lungkak kaki
kirinya rada pincang, tetapi gerak tubuh si Hwesio tua
ternyata masih sangat gesit dan cepat.
Waktu itu sang dewi malam sudah menghias di tengah
angkasa, di bawah sinar bulan Pang Lin melihat ada dua
bayangan orang sedang mendatangi secepat terbang, seorang
di antaranya dapat ia kenali adalah Teng Hiau-lan yang dulu
pernah minta dia ikut merat pada waktu dirinya masih tinggal
dalam istana pangeran. Keruan Pang Lin terkejut, ia kuatir kalau Teng Hiau-lan
segolongan dengan Lu Si-nio dan datang hendak menangkap
dirinya. Maka segera pula ia melarikan diri.
Tengah melarikan diri, tiba-tiba ia mendengar suara seman
si Hwesio tua tadi, "Hiau-lan, apa bersama Tan-toako?"
Diam-diam Pang Lin membatin, "O, kiranya mereka adalah
kenalan lama." Karena itu larinya jadi semakin cepat, tetapi Hwesio tua
tadi bersama Teng Hiau-lan ternyata tidak mengejarnya,
mungkin karena Teng Hiau-lan tidak melihat dirinya, sedang
Hwesio tua tadi pun tengah repot bercakap-cakap dengan
mereka. Setelah agak lama Pang Lin kabur, dan sudah keluar dari
kota kecil itu, ia pikir buat apa jauh-jauh pergi ke Poh-tian di
Hokkian, Ko-san justru berada di dekat sini, mengapa yang
dekat tidak mau sebaliknya menuju ke tempat yang jauh"
Apalagi Siau-lim-si di Kosan ini jauh lebih terkenal daripada
Siau-lim-si di Poh-tian. Begitulah maka sesudah dua-tiga puluh li ia berlari, waktu
itu hari masih belum terang, saking letihnya, akhirnya Pang
Lin berhenti mengaso dan merebahkan diri di suatu tanah
bukit, ia tanggalkan baju luarnya dan tertidur.
Entah sudah berapa lama ia pulas ketika samar-samar
dalam keadaan kantuknya tiba-tiba ia mendengar ada suara
tindakan orang, waktu Pang Lin membaliki tubuh, sekonyongkonyong
ia dengar ada suara orang berkata, "He, ada anak
perempuan tertidur di sini!"
Mendengar suara itu seketika Pang Lin melompat bangun,
waktu ia memandang, rasa kantuknya seketika buyar semua,
ternyata orang-orang yang datang ini ada dua, seorang lelaki
dan yang lain wanita, mereka bukan lain daripada Ong Go dan
Yap Hing-po. Kiranya sesudah Han Tiong-san bersama istrinya, Yap Hingpo,
berhasil menyelamatkan diri, tidak lama kemudian mereka
telah 'bergabung kembali dengan Ong Go.
Han Tiong-san terkena sekali hantaman Hong-hoal Taysu,
meski tidak berbahaya, tetapi ia perlu merawat lukanya untuk
beberapa hari lamanya. Ong Go yang terkena pisau berbisa,
sementara itu racun dalam tubuhnya pun mulai bekerja.
"Si gundul Hong-hoat itu telah terkena Hwe-goan-kau, ilmu
entengi tubuhnya tentu banyak terpengaruh," demikian Han
Tiong-san berkata. "Perempuan busuk, coba kau pergi
menguntit dia, biar nanti aku suruh Thian-yap Sute menyusul
untuk membantu kau."
Lalu ia berkata pula pada Ong Go, "Kau telah terkena pisau
berbisa budak liar itu, kau harus menangkap dia untuk
memaksa memberi obat pemunahnya."
Sebenarnya kata-katanya hanya untuk menakuti Ong Go
saja, ia sendiri sebetulnya punya obat pemunahnya, tetapi ia
kuatir Ong Go tidak mau mengeluarkan tenaga sepenuhnya,
maka ia sengaja tidak mau memberikan obat padanya, ia
hanya memberi dua pil biasa untuk mencegah rasa sakit dan
menahan menjalarnya racun, habis itu ia lantas mendesak
Ong Go menguber musuh lagi.
Begitulah demi nampak datangnya kedua orang ini, segera
Pang Lin melompat bangun terus kabur. Namun dengan
pedangnya tahu-tahu Yap Hing-po sudah mengadang di
hadapannya. Dengan gerak tipu 'Ngo-eng-king-ih' (elang lapar menyisik
bulu), cepat Pang Lin menusuk lawannya.
Tetapi serangan ini disambut dengan tertawa oleh Yap
Hing-po, "Haha, betapa tinggi kepandaianmu hingga berani
kau bertanding pedang dengan ibu gurumu?" Berbareng ia
menangkis menyusul pedang dipentang keluar, gerak tipu ini
mempunyai gaya menyerang dan menjaga diri, tetapi Yap
Hing-po kuatir melukai Pang Lin, maka ia tak berani
menggunakan sepenuh tenaga, ia hanya menangkis
sekenanya saja, dengan demikian ia mengira senjata Pang Lin
pasti akan dia bentur terbang.
Di luar dugaan, Pang Lin kini sudah bukan lagi Pang Lin
yang dulu, begitu kedua pedang saling beradu, bukannya
pedang Pang Lin yang mencelat, sebaliknya senjata Yap Hinpo
sendiri kena terguncang pergi, keruan perempuan tua ini


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi terkejut. "Eh, budak liar ini ternyata sudah banyak maju, tapi
mengapa begitu pesat?" demikian ia membatin. Ia tak berani
memandang enteng lagi, segera ia ayun pedangnya dengan
gencar, ia tekan kembali serangan Pang Lin.
Jika Yap Hing-po mau bertempur sungguh-sungguh, sudah
tentu Pang Lin bukan tandingannya, tapi kini Pang Lin sudah
memperoleh kitab warisan Pho Jing-cu, ia telah mempelajari
Lwekang dari aliran silat yang baik, ditambah pula dia mahir
berbagai cabang silat lain, setelah tiga sampai lima puluh
jurus, ternyata belum ada tanda-tanda bakal kalah.
Karena itu, dengan menjinjing tombaknya Ong Go
bennaksud ikut maju. Akan tetapi segera ia dibentak Yap
Hing-po, "Tidak perlu kau membantu, aku tidak percaya tidak
bisa menangkapnya!" segera ia perkencang pedangnya,
seketika angin menyambar keras, Pang Lin segera terkurung
dalam gulungan sinar senjatanya, cuma karena Yap Hing-po
ada pantangan, ingin menawan hidup-hidup, maka tak berani
ia mengeluarkan tipu serangan yang mematikan, karena ini
juga, meski berulang kali Pang Lin harus menghadapi tekanan
musuh yang berbahaya, ia masih bisa bertahan mati-matian.
Setelah lewat beberapa puluh jurus lagi, lama-kelamaan
Yap Hing-po merasa kehilangan muka karena masih belum
bisa mengalahkan orang, ia menjadi kalap walaupun harus
melukai orang, maka tanpa kuatir lagi segera ia menyerang
dengan pedang dan pun kulan sebelah tangannya, pedangnya
menusuk dan tangannya hen-l dak merebut senjata lawan.
Karena perubahan ini, Pang Lin merasakan berat sekali
perlawanannya, tampaknya dengan segera bisa tertangkap
hidup-hidup. Pada saat genting itulah tiba-tiba ia mendengar ada suara
seman orang, "Adik, kaukah yang di sini?"
Pang Lin kenal suara itu, tapi ia tidak berani menoleh,
hanya sekuat tenaga ia menangkis sekali serangan musuh,
habis itu dengan suara keras ia menyahut. "Ya, Li Ti Toako,
lekas bantu aku." Sementara itu Yap Hing-po menekan pedangnya ke bawah,
pedang Pang Lin tertindih hingga tak kuat diangkat kembali,
sedang jari tangan kiri Yap Hing-po sudah menjulur lagi,
laksana belati saja jarinya menutuk ke 'Moa-hiat', tempat yang
membikin kaku. Tetapi pada saat itu juga, pemuda yang berseru tadi sudah
mendatangi secepat terbang, begitu pedangnya menangkis, ia
sam-puk pergi tombak Ong Go, sedang telapak tangan yang
lain didorong ke depan, sekaligus ia patahkan serangan
menutuk Yap Hing-po tadi.
Waktu Yap Hing-po tegasi, kiranya bukan lain daripada
pemuda yang pernah dia temukan di Sam-tam-in-gwat di Seouw
dahulu itu, kemudian baru diketahuinya bahwa pemuda
ini adalah buyut Li Cu-seng, pahlawan pelopor pemberontak
kaum tani yang tersohor. "Ha, kembali seorang buronan kerajaan lagi!" ujar Yap
Hing-po tertawa dingin sambil menyambut kedatangan Li Ti
dengan serangan kilat. Tetapi Li Ti telah mengacungkan pedangnya, seperti
menuju ke kanan, tetapi mendadak balik ke kiri, dengan cepat
ia menusuk ke iga kiri musuh.
Dengan gerak tipu 'Hong-hou-ciu-in' atau naik pangkat
merebut stempel, segera Yap Hing-po bermaksud mengunci
pedang Li Ti agar tak mampu bergerak, di luar dugaan, baru
saja ia bergerak, tahu-tahu senjata musuh sudah sampai di
sebelah kanannya lagi. Beberapa tipu serangan aneh itu membuat Yap Hing-po kelabakan
dan bingung, sedang Pang Lin berbareng pun
menyerang bila ada kesempatan. Keruan berulang kali Yap
Hing-po harus menghadapi bahaya.
"Ong Go, coba kau tandingi budak liar ini!" teriaknya
kemudian, rupanya ia mulai kewalahan.
Ong Go mendengus akan seruan itu, dengan memutar
tombak-aritnya ia maju membantu. Tetapi diam-diam ia
menertawai kawannya, "Hm, dua bocah cilik saja kau tak
mampu menandingi, masih hendak berlagak kaum Cianpwe
segala?" Dengan terjunnya Ong Go ke kalangan pertempuran, sekali
keempat orang bergebrak lantas menjauh lagi dan terpencar,
dengan pedangnya Li Ti menekan terus Yap Hing-po, mereka
mengeluarkan serangan mematikan, begitu hebat dan ramai
hingga dari atas, mereka menurun sampai di bawah bukit.
Li Ti adalah ahli-waris lurus aliran Pek Hoat Mo-li, Kiamhoatnya
aneh tetapi ganasnya tiada bandingan di kolong langit
ini, meski Yap Hing-po cukup ulet, namun seketika ia pun
terdesak di bawah angin. Di pihak lain, dengan datangnya Li Ti, semangat Pang Lin
jadi bertambah dan terbangkit, ia sudah punya pengalaman
tadi malam, maka setelah menempur Ong Go lagi, ia berganti
siasat, tidak ter-gesa merangsek maju, ia hanya memainkan
ilmu pedang Bu-kek-kiam-hoat dengan cepat, ia berjaga rapat
tanpa lubang sedikitpun. Sebaliknya setelah Ong Go membuka
serangan sampai dua-tiga puluh jurus, perlahan-lahan ia
merasakan badannya panas, ia mengerti racun pada lukanya
telah bekerja, mau tak mau gaya serangannya terpengaruh
dan lambat. "Ha, kau keparat anjing ini, kepandaianmu tidak lebih
hanya begini saja! Hayo, tidak lekas kau taruh senjatamu dan
menyerah!" dengan tertawa Pang.Lin mengejek.
Sebenarnya kepandaian Ong Go memang di atas Pang Lin,
tetapi karena bekerjanya racun di tubuhnya menjalar dengan
cepat, maka ia merasa tak tahan. Kini dibentak dan diejek lagi
oleh Pang Lin, ia menjadi gemas dan gusar.
"Hm, budak liar, kau telah kena jarum berbisa, dalam tujuh
hari kau pasti akan mampus, masih berani kau berlagak lagi?"
dengan tertawa dingin ia balas menyindir.
Akan tetapi gertakannya ternyata diganda tertawa oleh
Pang Lin. "Haha, kau ngaco-belo saja!"
Habis itu mendadak dari menjaga diri ia mulai menyerang,
ia keluarkan ilmu pukulan lihai 'Tat-mo-kun-hoat' dari Siau-limpay
yang dahulu dipelajari dari In Ceng, ia selalu mendahului
menyerang, dari tipu gerakan Tt-wi-to-kang' atau dengan satu
galah menyeberangi sungai, sampai tipu serangan 'Hoat-lunsamcoan' atau roda suci berputar tiga kali, tidak lebih belasan
jurus saja ia sudah membikin Ong Go kelabakan dan
kerepotan. "Apa kau tidak percaya pada omonganku?" Ong Go berseru
setelah kewalahan. "Coba kau rasakan, bukankah kini di
tempat Kiok-ti-hiat sudah terasa linu pegal?"
Kiok-ti-hiat berada di tengah sendi tulang siku, menurut
perhitungan Ong Go, jika jarumnya jalan naik menurut aliran
darah, kini seharusnya sudah sampai di dekat Kiok-ti-hiat, oleh
karenanya ia memberi peringatan pada Pang Lin. Tidak
terduga sesudah nona ini minum 'Siau-hoan-tan' pemberian
Hong-hoat Taysu, jarum 'Pek-bi-ciam' sudah terlekat oleh
darah yang membeku di dalam dan sementara tidak bisa
berjalan, karena itu juga sedikitpun tidak terasa sakit.
Nampak lawannya sudah kewalahan hingga mandi keringat,
tetapi masih coba menggertak padanya, Pang Lin tertawa
dingin. "Hm, baiklah, boleh kita coba siapa yang bakal
mampus?" ejeknya lagi.
Menyusul ia percepat pedangnya dengan tipu serangan
lihai, maka dalam sekejap saja Ong Go terkena dua tusukan.
Ketika Ong Go melirik kawannya, ia lihat Yap Hing-po sedang
menempur pemuda itu dengan sengit, keduanya sama kuat
dan setanding, seketika susah dibedakan mana yang bakal
menang, ia mengerti Yap Hing-po tidak sempat melepaskan
diri untuk membantunya, maka ia jadi kuatir dan gelisah.
"Kalau aku mati, kau pun tidak akan hidup, lebih baik kita
saling tukar obat pemunah saja, lalu kita tidak bermusuhan
lagi, bagaimana?" katanya kemudian, lagu suaranya sudah
bersifat memohon. "Jika kau meminta secara baik-baik, mungkin aku mau
mengampuni kau, tetapi kau sengaja main gertak, maka tidak
sudi aku ampuni kau!" sahut Pang Lin dengan gelak tertawa.
Habis berkata pedangnya bekerja semakin kencang,
dengan sekali memutar dan memuntir, tombak Ong Go yang
saling beradu ternyata tidak sanggup tergenggam lagi,
senjatanya terpental dari cekalan terus jatuh ke dalam sungai
gunung dan terhanyut oleh air terjun yang menggerujuk keras
dari atas gunung. Karena sudah tak berdaya, Ong Go hanya berdiri tegak
saja, tetapi matanya melototi Pang Lin sambil berseru pula,
"Usia muda dan rupa cantik, tetapi, sayang, sayang!"
"Sayang apa?" bentak Pang Lin dengan gusar, tanpa
ampun lagi, begitu ia menggeraki pedangnya, kontan Ong Go
ditusuk tembus dari dada ke punggung dan tak bernyawa lagi.
Di sebelah sana Li Ti pun sedang saling tempur dengan Yap
Hing-po, mereka telah mengeluarkan seluruh kepandaian, Li Ti
lebih unggul dalam hal ilmu pedang yang aneh dan hebat,
sebaliknya Yap Hing-po menang dalam soal keuletan,
latihannya lebih matang, maka setelah saling gebrak ratusan
jurus, lambat laun dahi Li Ti mulai berkeringat, napasnya pun
mulai memburu. Dalam keadaan yang menguntungkan Yap Hing-po ini,
mendadak ia mendengar jeritan Ong Go, tanpa terasa wanita
tua ini menjadi jeri. Pikirnya, "Jika mereka berdua mengeroyok
aku, terang aku bukan tandingan mereka."
Karena itu, dengan sekali serangan pancingan segera ia
kabur, sedang Li Ti memang sudah tersengal-sengal
napasnya, ia lantas menyapa Pang Lin dan tidak mengejar
musuh lagi. Teringat pada kejadian dahulu, dimana Pang Lin
meninggalkan Li Ti yang menderita luka di dalam hutan, nona
ini jadi rada malu diri, sikapnya pun serba salah dan kikuk.
"Ing-moay, sudah lama aku mencari kau," terdengar Li Ti
berkata dengan tertawa gembira. "He, bukankah kau sangat
baik dengan perempuan keparat tadi" Aku masih ingat waktu
di Sam-tam-in-goat tahun lalu, bukankah kau berada bersama
dia, tetapi mengapa sekarang kau berhantam dengan dia?"
Pang Lin tertawa genit oleh pertanyaan orang. "Aku senang
pada siapa, lantas aku baik padanya, apa yang perlu
diherankan?" sahutnya. "Perempuan tua ini telah menghina
aku, maka aku benci padanya."
Diam-diam Li Ti merasa girang oleh penuturan itu, pikirnya
dalam hati, "Bagaimanapun juga memang ia masih punya
perasaan dan masih bisa membedakan orang baik dan orang
jahat. Umurnya masih terlalu muda, aku harus menjaganya
baik-baik." Sementara itu tertampak olehnya Pang Lin sedang
mengerut kening, ia menjadi heran.
"Ing-moay, kenapa kau" Apa kau terluka?" segera ia
bertanya. "Tidak, hanya di dekat tempat Kiok-ti-hiat ini rasanya pegal
dan linu, entah mengapa?" sahut Pang Lin.
Habis berkata mendadak ia teringat pada apa yang
dikatakan Ong Go tadi, tanpa tertahan ia sangat terkejut.
Kiranya sesudah Pang Lin minum Siau-hoan-tan pemberian
Hong-hoat Taysu, sebenarnya Pekrbi-ciam sudah terlekat oleh
darah yang membeku, tetapi setelah mengalami pertempuran
sengit tadi, darahnya mengalir cepat lagi hingga perlahanlahan
jarum dalam badannya itu berjalan lagi.
Karena Bu Sing-hua (paman Li Ti) pandai dalam ilmu
ketabiban, maka sedikit banyak Li Ti pun paham, ketika ia lihat
wajah Pang Lin, segera ia meraba tangan si nona yang halus
itu. Karena perbuatan ini, muka Pang Lin menjadi merah
jengah. Sejak kecil Li Ti sudah berkumpul dan bermain bersama
Pang Ing, maka ia anggap perbuatannya tadi biasa saja,
sedikitpun ia tidak merasa canggung.
Begitulah maka sesudah ia meraba sekali, tiba-tiba ia
berseru terperanjat. "He, kau telah terkena senjata rahasia
berbisa. Ah, susah untuk diraba, senjata rahasia ini lembut
sekali, agaknya sebangsa Bwe-hoa-ciam bukan?"
"Bukan Bwe-hoa-ciam, katanya Chit-sui-pek-bi-ciam!"
jawab Pang Lin. Kaget sekali Li Ti mendengar.keterangan ini, seketika
keringatnya berbutir-butir sebesar kedele menetes dari
jidatnya. Nampak orang begini tegang dan aneh, Pang Lin menjadi
terkejut dan curiga juga.
"Apa betul Pek-bi-ciam itu sangat lihai?" segera ia bertanya.
"Tetapi sewaktu terkena, aku hanya merasakan seperti digigit
nyamuk saja, sedikitpun tidak berasa sakit."
"Siapa yang memberitahu kau bahwa senjata rahasia yang
mengenai kau itu bernama Chit-sui-pek-bi-ciam?" Li Ti
bertanya pula. Pang Lin menunjukkan mayat Ong Go yang menggeletak di
tanah. "Justru dia yang memberitahu padaku, Pek-bi-ciam itupun
dia yang melepasnya," sahutnya. "Malah dia mengatakan lagi
bahwa umurku tidak akan lebih dari tujuh hari lagi dan pasti
akan binasa!" Habis bicara, lalu Pang Lin berpikir sejenak, menyusul
dengan tertawa ia berkfta pula, "Ha, aku justru tidak percaya.
Tadi ia minta saling tukar obat pemunah dengan aku, tetapi
aku tidak gubris padanya. Ia anggap aku seperti anak kecil
saja, mana aku bisa ditipunya."
Tetapi saking kuatirnya hingga muka Li Ti menjadi pucat,
sebelum Pang Lin habis berkata, dengan cepat ia mendekati
mayat Ong Go dan menggeledah.
"Hiii, matinya dengan rupa yang menakutkan sekali,
seretlah ke sebelah sana, aku tidak ingin melihatnya," dengan
menutup muka Pang Lin berkata.
Apapun juga Pang Lin adalah anak perempuan, meski cara
turun tangannya ganas dan keji, tetapi demi nampak mayat
dan mencium bau amisnya darah, ia jadi keder dan merasa
tidak enak. Tetapi Li Ti tidak pedulikan teriakannya itu, ia tetap
menggeledah tubuh Ong Go, dari baju mayat itu ia dapatkan
sebuah bumbung berisi senjata rahasia, ketika ia buka tutup
bumbung ini, di dalamnya ternyata penuh berisi jarum kecil
lembut seperti bulu kerbau, lebih halus daripada Bwe-hoaciam.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Ti masih kuatir, ia menggeledah lagi, tetapi setelah
sekujur badan mayat itu dia raba tetap tidak didapatkan obat
pemunah yang dia cari. "Kau tidak menurut perkataanku, biar aku pergi saja!"
terdengar Pang Lin buka suara pula karena kata-katanya tadi
tidak diturut oleh Li Ti.
Habis berkata, betul juga ia lantas berlari pergi, tetapi ia
tidak kabur jauh, sampai di samping gunung, ia menarik napas
panjang dengan muka menghadap sungai pegunungan di
bawahnya. "Baik aku menurut kata-katamu, jangan kau lari pergi!"
lekas Li Ti menyahut. Berbareng ia lantas menendang mayat
Ong Go ke samping dan menutupnya dengan daun-daun
kering. Melihat kelakuannya, Pang Lin tertawa geli. "Tidak, aku
hanya menakut-nakuti kau saja, tapi kau mau percaya, kini
aku tidak kabur lagi," katanya. "He, apakah Pek-bi-ciam itu
betul-betul sangat lihai?"
Nampak si nona yang sedang menghadapi elmaut tetapi
masih tidak tahu, bahkan masih berguyon seperti anak kecil
saja, Li Ti menjadi semakin kuatir dan berduka.
"Eh, dimanakah senjata orang ini?" tanya Li Ti.
"Sudah aku pukul dan terlempar ke dalam sungai," sahut
Pang Lin. Arus air sungai mengalir dengan derasnya, sudah terang Li
Ti tak berdaya mencari senjata Ong Go. Padahal obat
pemunah itu justru disimpan dalam gagang tombak Ong Go,
seumpama Li Ti bisa mendapatkan gamannya itu, belum tentu
ia tahu alat rahasia dalam senjata itu, apalagi hakikatnya tidak
bisa diketemukan. Bu Ging-yao paham senjata rahasia dari berbagai golongan
silat, Li Ti telah belajar pada ibunya sejak kecil, maka ia pun
cukup mengetahui asal-usul Chit-sui-pek-bi-ciam. Dalam hati
ia memperhitungkan, "Dari sini ke Sucwan paling sedikit
memakan waktu sebulan, seandainya keluarga Tong sudi
memberi obat pemunahnya, tapi waktunya tentu sudah
terlambat dan tak berguna lagi." Begitulah saking kuatirnya,
tanpa terasa ia mengucurkan air mata.
Namun segera ia berpikir pula, "Hal ini jangan sampai
diketahui Ing-moay, jika ia tahu pasti akan sangat kuatir,
seumpama memang tidak dapat tertolong lagi, boleh biarkan
dia bersenang-senang sepuasnya sebelum tiba ajalnya."
Karenanya secara sembunyi-sembunyi ia berpaling ke
jurusan lain untuk menyeka air matanya. Akan tetapi
perbuatannya ini sudah keburu dilihat Pang Lin, mau tak mau
hati si nona tergerak juga.
"Dulu waktu ia terluka, diam-diam aku telah meninggalkan
dia, tetapi sedikitpun ia tidak marah padaku, kini aku yang
terkena senjata rahasia musuh, sebaliknya dia begini
memperhatikan diriku, beratus kali lipat lebih kuatir daripada
diriku sendiri. Ai, meski orang ini tidak terhitung pintar, tetapi
pribadinya betul-betul susah dicari yang lain," demikian ia
berpikir. Pang Lin sejak kecil dibesarkan dalam istana, walaupun ia
dimanja dan disayang orang banyak, tetapi dengan sendirinya
punya juga perasaan murni yang timbul dari hati nuraninya,
perasaan demikian inilah boleh dikatakan untuk pertama
kalinya timbul selama hidupnya.
Sementara itu Li Ti sudah berpaling kembali, dengan
tertawa dibuat-buat ia berusaha membikin senang Pang Lin.
"Ing-moay, apa saja yang kau suka, katakan saja!"
"Coba, begini kau merasa kuatir, sampai suara tertawamu
pun gemetar!" sahut Pang Lin. "Kalau tidak tertawa
hendaknya jangan memaksa tertawa, tertawa yang
dipaksakan tentu saja tidak sedap dipandang. Aku tidak
percaya Pek-bi-ciam ini bisa mencabut nyawaku!"
Li Ti hanya diam saja, tapi dalam hati tetap mencemaskan
keadaan si nona. "Sudahlah, aku sendiri tidak kuatir, apa yang kau
kuaurkan?" kata Pang Lin lagi. "Tadi malam sesudah aku
minum sebutir pil pemberian si Hwesio tua, segala penderitaan
sakit sudah tidak terasa, la malah menyuruh aku mencarinya
ke Siau-lim-si di Poh-tian, Hokkian. Coba kau pikir, jika aku
tidak bisa hidup lebih dari tujuh hari, mana bisa ia suruh aku
mencarinya ke sana" Bukankah sebelum sampai di sana aku
sudah mampus di tengah jalan?"
Mendengar penuturan ini, Li Ti menjadi girang, ia seperti
memperoleh sesuatu sinar harapan. "Apa. Hwesio tua" Masih
adakah obat pil itu?" tanyanya cepat.
Tetapi Pang Lin lantas menelan lagi sebutir pil yang
dikatakan itu. lalu menjawab, "Ya. seorang Hwesio yang ilmu
silatnya jempolan!" "Orang tentu punya nama bukan?" kata Li Ti dengan
tertawa. "Tetapi kalau dia tidak memberitahukan padaku,
darimana aku bisa tahu?" sahut Pang Lin.
Mendengar si nona berkata tentang Hwesio tua, Li Ti
berpikir, "Apa mungkin ia adalah padri Siau-lim-si" Jangan-jangan
adalah Cu-ji dari Siau-lim-si di Pek-tiam. Kalau begitu dari sini
ke Ko-san bukankah lebih dekat" He, goblok sekali aku ini!
Mengapa aku tidak ingat pada Siau-lim-si! Banyak sekali
macam obat mustajab di kuil agung itu, boleh jadi tidak usah
obat pemunah dari keluarga Tong akan bisa menolong adik
Ing." Nyata Li Ti masih belum tahu bahwa Siau-lim-si sudah
terbakar musnah, ia pun tidak menduga bahwa Hwesio yang
Pang Lin temukan itu adalah Kam-si, pengawas gereja dari Kosan
Siau-lim-si, bahkan Kam-si dari Siau-lim sendiri tidak
mampu mengobati si nona. Siau-hoan-tan, pil yang diberikan
pada Pang Lin itu hanya bisa bertahan untuk beberapa hari
saja, supaya jarum berbisa itu tidak berjalan mengikuti darah,
bagi orang yang mempunyai dasar latihan ilmu silat, paling
banyak pun hanya bisa bertahan sampai dua puluh hari atau
sebulan lamanya, untuk tidak sampai mati, dan lagi badan
tidak boleh terlalu letih, lebih-lebih pantang bertempur.
"He, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Pang Lin demi
nampak Li Ti termenung-menung.
"Aku lagi berpikir jika kita datang ke Ko-san, besok pun
rasanya kita bisa sampai di sana. Dengan begini bukanlah jauh
lebih dekat daripada pergi ke Poh-tian di Hokkian?"
"Ha, apa yang kau pikir cocok sekali dengan aku, memang
aku sedang berpikir hendak pergi ke Ko-san," sambut Pang Lin
dengan tertawa riang. "Eh, kalau nanti kita dapatkan obat
pemunah, lalu kita ajak sekalian padri Siau-lim-si untuk
bertanding." "Hus, jangan kau sembrono, Siau-lim-si adalah pucuk
pimpinan dunia persilatan, kau boleh berkunjung ke sana,
tetapi jangan kau bikin onar," sahut Li Ti, lalu ia menyambung
lagi, "Suhumu dengan Cu-ji Siau-lim-si yang dulu Pun-khong
Taysu, adalah kenalan lama, dengan Pun-bu Taysu, Kam-si
yang dulu, juga sobat baik, tentu padri-padri Siau-lim-si di
sana akan menyambut kau dengan hormat."
"Betulkah begitu" Mengapa belum pernah aku mendengar
dari Suhu?" ujar Pang Lin.
"Mungkin le-pekbo menganggap kau masih bocah cilik,
maka segala apa tidak diceritakan padamu bukan?" sahut Li
Ti. "Ya, ia bilang aku terlalu banyak omong, maka segala apa
tidak diberitahukan padaku!"
Li Ti menjadi heran oleh kata-kata ini. "Tapi dahulu kau
pendiam sekali, apakah sesudah besar sekarang baru kau
suka bicara" Apa adat semasa kecilmu sudah kau lupakan?"
tanyanya. Pang Lin menjadi kaget oleh teguran ini, pikirnya, "Celaka,
aku salah wesel lagi!"
Tetapi dasarnya memang punya pikiran yang tajam dan
pintar, ia bersikap seperti biasa saja, sedikitpun tidak kentara
perasaannya tadi, sebaliknya dengan tersenyum ia lantas
menjawab. "Kalau berhadapan dengan orang yang rapat
hubungannya dengan aku, memang banyak omong."
Li Ti pikir keterangan si nona memang betul juga, ia tahu
Pang Ing dengan Ie Lan-cu seperti ibu dan anak saja, jika si
nona suka ceriwis dan manja di hadapan le-pekbo, hal inipun
lumrah. Nampak Li Ti bersenyum, barulah Pang Lin merasa lega,
maka ia tak berani buka suara lebih banyak lagi, dengan hatihati
ia coba memancing pula. "Dimanakah kau punya Kiukiu
(paman, adik ibu)?" tanyanya.
"O, karena ada keperluan, ia sudah kembali ke Thian-san,"
sahut Li Ti. Pang Lin tambah lega, ia tahu Li Ti berwatak tulus, kalau
sekarang dirinya berdusta dan memalsu sebagai murid le Lancu
tentu tidak bakal ketahuan.
Begitulah maka Pang Lin lantas mengenakan baju lelaki lagi
dan menempuh perjalanan bersama Li Ti, sepanjang jalan
Pang Lin terus memancing agar Li Ti menceritakan keadaan di
Thian-san, sedang ia sendiri secara licin selalu menghindarkan
pertanyaan yang ia sendiri tidak mengerti. Keruan tidak
sampai setengah hari saja terhadap kejadian dan cerita
tentang Thian-san-chit-kiam serta hubungan di antara mereka,
dan macam-macam lagi, semuanya diingat baik-baik oleh
Pang Lin. Gunung Ko-san sebenarnya adalah sebutan keseluruhan
dari Thay-sit-san dan Siau-sit-san.
Keesokan harinya mereka berdua sudah sampai di kaki
gunung Siau-sit-san, waktu itu sudah lewat sebulan sejak
Siau-lim-si dibakar, maka hampir setiap pemimpin persilatan
mengetahui kejadian ini, mereka melarang anak murid agar
tidak menginjakkan kaki dalam lingkungan seluas tiga ratus li
disekitar Ko-san, sebab itulah maka begitu Hong-hoat datang
kembali, seketika kepalanya yang gundul lantas menjadi
incaran orang, sehingga ketahuan oleh Han Tiong-san dan
kawan-kawan Sebaliknya karena Li Ti belum terkenal, Han Tiong-san
menaksir orang-orang dari cabang silat lain tiada yang berani
datang mencari penyakit, oleh sebab itu penjagaan di sekitar
Ko-san pun jadi agak kendur, hingga Li Ti berdua secara diamdiam
berhasil menyelundup ke sana.
Tatkala Li Ti dan Pang Lin melihat seluruh gunung sudah
gundul tandus dan bersih, mereka heran dan terperanjat pula,
namun mereka tetap mendaki ke atas.
Jika di bawah gunung pemandangan masih menghijau, di
tengah gunung pun pohon-pohon masih lebat, tetapi begitu
mereka sampai di bawah puncak Ngo-hay-hong di sebelah
utara Siau-sit-san, yang mereka lihat hanya tumpukan puing
belaka dan sisa-sisa arang yang hangus.
"He, kenapa bisa begini, tentu kau telah salah jalan," ujar
Pang Lin. "Di sini satu rumah saja tidak ada, kemana bisa
mencari Siau-lim-si?"
"Siau-lim-si terletak di bawah puncak Ngo-hay-hong di
sebelah utara gunung Siau-sit-san, di kolong langit ini siapa
pun mengetahuinya, mana bisa aku salah jalan," sahut Li Ti.
Kemudian ia menunjuk pada tumpukan puing dan
menyambung lagi, "Itu, tidakkah kau lihat tumpukan puing
yang terbakar hangus itu" Tentunya di atas gunung ini terjadi
kebakaran besar, hingga Siau-lim-si ikut tertelan api."
Karena itulah mereka sangat kecewa, lebih-lebih Li Ti, ia
merasa sedih sekali. Pikirnya, "Untuk menolong Ing-moay,
tadinya aku menaruh harapan pada Siau-lim-si, tetapi kini kuil
inipun ternyata sudah terbakar musnah, lalu kemana aku
harus mencari obatnya?"
"Ah, kau telah berkuatir lagi bukan?" terdengar Pang Lin
bertanya dengan tertawa. "Sudahlah, sekalipun tiada obat
pemunahnya, belum tentu aku akan mati."
Sementara itu Pang Lin sudah menelan lagi sebutir Siauhoantan yang terakhir, ia merasakan pergelangan tangannya
rada linu dan pegal, selain ini ia tidak merasa apa-apa lagi.
Tatkala Li Ti melompat ke atas sebuah batu cadas dan
memandang jauh ke sana, tiba-tiba ia berseru, "Ha, di sana
seperti ada sebuah rumah, ya, betul sebuah rumah. He,
terdapat pula seorang!"
Lalu ia melompat turun terus berlari ke depan sana. "Orang
ini adalah Hwesio!" serunya lagi dengan girang.
"Tentunya padri Siau-lim-si, lekas kita panggil dia!" ujar
Pang Lin. Habis berkata ia lantas mendekap bibir terus bersuit hingga
suara suitannya berkumandang jauh di antara puncak
pegunungan, sedang orang yang mereka lihat itupun berlari
mendatangi secepal terbang, setelah dekat, betul juga
memang seorang Hwesio. "Mohon tanya siapakah gelar suci Taysu?" segera Li Ti
memapak dan menyapa dengan hormat.
Tetapi padri ini ternyata tidak menjawab, sebaliknya ia
malah bertanya, "Kalian mencari siapa?"
Waktu Pang Lin mengamat-amati Hwesio ini, ia lihat orang
memakai kopiah berujung lancip seperti tanduk kambing,
tubuhnya mengenakan jubah hitam, matanya bersinar bengis,
sedang tangan menghunus pedang yang bersinar mengkilap.
Dari dandanannya ini kelihatan padri ini bukan Hwesio dari
Siau-lim-si, maka diam-diam Pang Lin menyiapkan senjata
rahasia pisau di tangan. "Kami tidak mencari siapa-siapa!" demikian ia mendahului
menjawab. Sebaliknya Li Ti pun lantas buka suara, "Mohon tanya sejak
kapankah Siau-lim-si terbakar" Apakah Bu-cu Siansu masih
ada di sini?" Mendengar pertanyaan ini, terlihat Hwesio itu tertawa
dingin. "Apa kalian hendak mencari ketua Siau-lim-si" Ha,
kebetulan sekali kedatanganmu! Justru aku sedang mencari
kalian pula." Li Ti tercengang oleh kata-kata orang yang aneh ini.
"Apakah artinya kata-kata Taysu tadi?" tanyanya.
"Apa artinya" Maksudku kalian boleh pergi menemui Bu-cu
Siansu saja!" sahut Hwesio itu dengan ketus.
Habis berkata, pedangnya lantas bergerak, secepat kilat ia
pun membabat. Hwesio ini bukan lain adalah Hay-hun Hwesio yang
ditugaskan menjaga di Ko-san. Sudah hampir sebulan ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjaga Ko-san, baru hari ini untuk pertama kalinya ia
bertemu orang luar, keruan dalam hati menjadi girang dan
membatin, "Ha, akhirnya ada dua penjahat cilik yang masuk
jaring sendiri!" Sebenarnya Hay-hun Hwesio adalah jago pedang
kenamaan dan disegani di daerah selatan, cuma sayang
nasibnya jelek, sesudah ia mengabdi pada In Ceng, bara
keluar pintu ia sudah kebentur Lu Si-nio hingga ditabas kutung
pedangnya di pulau Thian-hing-to dahulu, sejak itulah ia tidak
mendapat kepercayaan hingga kedudukannya tidak bisa
sejajar dengan Liau-in dan Thian-yap Sanjin, ia hanya diberi
tugas di luar istana untuk menjabat sebagai Kau-thau atau
pelatih jago-jago pengawal, dan karena ini juga maka ia tidak
pernah mengenal Pang Lin.
Kembali tadi, waktu mendadak diserang, hampir saja Li Ti
tertusuk, tetapi berkat ilmu entengi tubuhnya yang gesit dan
cepat, mendadak ia melompat ke atas dan menghindarkan
serangan orang. Ketika Hay-hun Hwesio mengayun pedangnya menusuk
lagi-, segera ia dipapaki Pang Lin dengan timpukan tiga buah
Hui-to. Lekas Hay-hun memutar pedangnya dengan cepat hingga
merupakan saru lingkaran, dengan dua kali memutar, akhirnya
tiga pisau itu kena tersampuk ke angkasa dan jatah ke dalam
jurang. "Ing-moay, jangan kau ikut turun tangan, jika kau ikut
campur, nanti aku bisa marah!" Li Ti berseru.
Habis berkata pemuda ini segera melolos pedang, ia
unjukkan Kiam-hoat yang hebat ajaran dari aliran Pek-hoal
Mo-li yang lihai. Semula Hay-hun Hwesio tidak pandang sebelah mata pada
Li Ti, tidak terduga setelah beberapa jurus, segera ia
merasakan tekanan musuh yang berat dan susah dilawan.
Keruan ia terkejut, maka tak berani ayal lagi, segera ia putar
pedang dengan cepat hingga membawa suara angin menderu,
sinar senjata pun melindungi seluruh tubuhnya, meski KiamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hoat Li Ti aneh dan bagus, tapi seketika tak mampu
menembus penjagaannya. Maka dalam sekejap saja mereka berdua sudah saling
gebrak hampir lima puluh jurus, semula Hay-hun hwesio
hanya bertahan saja, tetapi kemudian ia ganti keras lawan
keras, ia balas merangsek juga, dengan uemikian kedua belah
pihak menjadi seimbang dan sama kuat, begitu hebat hingga
susah dibedakan pihak mana yang bakal kecundang.
Pang Lin sebenarnya ingin ikut serta dalam pertempuran,
tetapi ia kuatir Li Ti betul-betul marah padanya, maka tak
berani ia menerjang maju.
Sebenarnya dengan watak gadis ini, jarang sekali ia mau
menurut perkataan orang, cuma saja karena Li Ti sangat
sayang padanya, maka tanpa terasa sifatnya berubah juga
dan merasa tidak enak untuk membantah apa yang dikatakan
Li Ti. Sementara itu sesudah Hay-hun berebut menyerang
beberapa puluh jurus, namun sedikitpun ia tidak lebih unggul,
bahkan ia merasa ilmu pedang lawan aneh luar biasa dan
susah diraba. Semula ia berpikir akan menangkap lawannya
satu per satu, tapi kini ia menjadi kuatir kalau-kalau Pang Lin
pun ikut mengeroyoknya. Di lain pihak, diam-diam Li Ti pun rada terkejut, tidak ia
sangka Kiam-hoat musuh ternyata cepat sekali seperti
sambaran kilat, bahkan tiap gerakan senjatanya seperti
membawa kekuatan ribuan kati beratnya, bila pertempuran
berlangsung lama, ia kuatir dirinya bakal kecundang.
Tiba-tiba terdengar lawan bersuit panjang beberapa kali,
agaknya sedang mengundang begundalnya, keruan Li Ti
semakin kuatir dan tak sabar lagi, mendadak ia beri satu
tusukan dengan cepat. Ketika nampak ujung senjata lawan berkelebat, seperti
menusuk ke bagian atas tetapi seperti juga hendak menusuk
ke lutut, maka Hay-hun menjadi ragu-ragu, ia mundur
setindak, habis itu telapak tangan kirinya disampukkan ke
samping, sedang pedangnya melintang di dada untuk menjaga
kanan-kiri dan atas-bawahnya, dengan demikian
bagaimanapun pihak musuh mengubah tipu serangan, pasti ia
bisa melayaninya. Di luar perhitungannya, mendadak Li Ti menggetarkan
pedangnya, ujung senjatanya dengan cepat menusuk ke
bagian tengah, tempat 'Jiau-yao-hiat' di pinggang, tempat
yang membikin orang tertawa terus-menerus.
Karena tidak menyangka akan serangan ini, meski Hay-hun
masih sempat berkelit namun tidak urung tempat yang diarah
itu sudah ditutul sekali oleh ujung senjata orang, seketika ia
merasa pegal dan juga geli, segera ia tertawa terbahak-bahak
seperti orang gila. Li Ti girang sekali karena serangannya berhasil, tetapi ia
lantas menarik Pang Lin dan diajak melarikan diri ke bawah
gunung. Namun baru sampai di tengah gunung mereka sudah
keburu disusul oleh Cin Tiong-wat, pembantu Hay-hun,
dengan senjatanya, 'Boan-koan-pit', segera ia menyerang ke
kanan dan kiri, ia merintangi jalan kabur orang.
Sebenarnya jago-jago bayangkara yang menjaga Ko-san
sangat banyak, tetapi belakangan karena tiada terjadi sesuatu,
lagi pula In Ceng sendiri sedang mengalihkan perhatiannya ke
urusan lainr lambat-laun penjaganya dikurangi hingga paling
akhir hanya tinggal Hay-hun Hwesio dan Cin Tiong-wat saja
berdua. Ilmu silat Cin Tiong-wat meski di bawah Hay-hun Hwesio,
namun senjatanya yang aneh ditambah tipu serangannya
mengutamakan menutuk jalan darah, jika Li Ti hendak
mengalahkan dia dalam waktu singkat rasanya susah terjadi.
Setelah mereka bergebrak dua-tiga puluh jurus, mendadak
terdengar suara bentakan dan gerungannya Hay-hun Hwesio
yang murka, menyusul tertampak Hwesio itu menerjang maju.
Keruan Li Ti rada tercengang, sebab 'Jiau-yao-hiat' adalah
salah satu urat nadi yang lemah, bila kena tertutuk, seketika
orang akan tertawa terus-menerus hingga akhirnya lemah
lunglai dan tak bertenaga.
Siapa tahu Hay-hun Hwesio ternyata hanya sebentar saja
tertawa geli, habis itu ia bisa berlari lagi secepat terbang,
maka dapat dibayangkan betapa tinggi kekuatannya.
Sementara itu demi nampak datangnya musuh, segera
Pang Lin mencabut senjatanya juga, sedang tangan lain
menyiapkan pisau terbangnya.
"Kau berdiri di samping sana saja, jika aku tak mampu
menandingi mereka, kau boleh melarikan diri lebih dulu,"
demikian Li Ti berpesan. Tengah ia bicara, waktu itu juga Hay-hun Hwesio sudah
datang mendekat. Kini Li Ti harus menghadapi dua musuh, maka keadaan
segera banyak berubah, setelah beberapa puluh jurus berlalu,
perlahan-lahan pemuda ini terdesak di bawah angin.
Dalam pada itu Hay-hun Hwesio telah memutar pedangnya,
dengan sekali putar dan sekali puntir, ia mengunci senjata Li
Ti hingga tipu serangan Kiam-hoatnya yang lihai dan keji tidak
sempat dilontarkan. Di sebelah sana Cin Tiong-wat
menggunakan kesempatan ini untuk mengayun kedua senjata
potlotnya dari kanan dan kiri, dengan tipu 'Siang-hong-koanni'
atau dua arus angin menyambar kuping, dengan potlot kiri
ia pura-pura menjojoh ke muka orang, sedang potlot kanan
terus menikam ke dada Li Ti di tempat 'Hian-ki-hiat', tipu
serangan yang lihai ini bagaimanapun susah dielakkan oleh Li
Ti. Pada saat yang berbahaya itu, Pang Lin tak bisa menurut
lagi pesan Li Ti, begitu tangannya bergerak, Hui-to yang
sudah siap di tangannya tadi segera menyambar.
Cin Tiong-wat coba mengegos ke, samping, oleh karena itu
serangannya tadi menjadi luput, ketika ia mengulangi lagi
menutul, kembali potlot bajanya dihantam melenceng oleh
pisau Pang Lin yang lain, Cing Tiong-wat terpaksa melompat
pergi untuk menghindarkan serangan yang lain.
Setelah terlepas dari tekanan yang lain, Li Ti segera
memutar pedangnya hingga terhindar juga dari serangan Hayhun
Hwesio. "Ing-moay, kau jangan maju, lekas minggir!" teriaknya
pada Pang Lin. ' "Aku tak mau menurut kata-katamu lagi, kau jangan
marah," sahut Pang Lin dengan tertawa, "kalau sekarang kau
marah, kau tak akan bisa menandingi keledai gundul ini, nanti
saja kalau kau mau marah."
Sambil berkata, ia pun tidak pernah kendur memainkan
senjatanya, segera ia saling gebrak juga dengan Cin Tiongwat.
Ilmu silat Pang Lin memangnya beraneka ragam, maka
dalam sekejap ia sudah bertukar lima-enam macam tipu
serangan, sedang ilmu silat Cin Tiong-wat meski tinggi, namun
ia masih terhitung kelas dua saja, karena itu, begitu dirangsek
oleh tipu serangan Pang Lin yang tiada habis perubahannya, ia
menjadi kelabakan hingga pandangannya kabur dan kepala
pusing, setelah beberapa jurus berlalu akhirnya ia hanya
sanggup menangkis saja dan tak mampu balas menyerang.
Di sebelah sana, Li Ti masih berteriak terus supaya Pang
Lin menyingkir, tetapi gadis ini tidak menggubris padanya, ia
tetap tekun melontarkan serangan pada musuh.
Sampai pada suatu saat, karena berusaha memperoleh
kemenangan di antara kekalahannya, Cin Tiong-wat
melakukan gerak tipu yang berbahaya, dengan cepat
mendadak ia meloncat ke atas terus memutar ke belakang
lawan, lalu dengan kedua potlotnya segera menutul Hiat-to
lawan yang mematikan di punggung.
Di luar tahunya ilmu entengi tubuh Pang Lin ternyata jauh
lebih pandai dari dia, ditambah mahir pula dalam ilmu 'Thinghongpian-gi' atau mendengarkan suara angin untuk
membedakan senjata, baru saja Cin Tiong-wat melompat,
segera pula Pang Lin siap sedia, begitu senjata 'Boan-koan-pit'
menikam dekat punggungnya, sekali menutul dengan ujung
kakinya, mendadak Pang Lin memutar balik, dengan cara
meminjam tenaga untuk memukul orang, terdengarlah suara
"trang" yang nyaring dua kali, kedua senjata potlot Cin Tiongwat
ternyata sudah dibentur terus dipuntir terlepas dari
cekalan. "Kalian mengeroyok kakak Li Ti, aku tidak bisa
mengampuni kau!" bentak Pang Lin pula.
Berbareng itu pedangnya lantas membalik, seketika lima
jari Cin Tiong-wat tertabas putus, tanpa ampun lagi dengan
menjerit ngeri, Cin Tiong-wat tergelincir ke bawah gunung.
Di sebelah sana, Hay-hun Hwesio dan Li Ti masih asyik
bertanding, masing-masing mempunyai kepandaian sendiri,
sebenarnya siapa pun tidak akan menangkan yang lain.
Cuma Hay-hun tadi sudah kena tertutuk 'Jiau-yao-hiat* dan
telah banyak berkurang kekuatannya, hanya keuletannya saja
ia bisa bertahan sampai sekarang, tetapi kini demi nampak Cin
Tiong-wat melayang jiwanya dan terjerumus ke dalam jurang,
ia menjadi jeri dan berpikir hendak angkat langkah seribu saja.
Pada suam kesempatan, ia memakai tipu 'Li Kong-sia-ciok'
atau Li Kong memanah batu, tampaknya seperti menyerang,
tetapi sebenarnya hanya pancingan belaka untuk meloloskan
diri. "Hai, Hwesio gendut, apa kini kau masih bisa tertawa?"
terdengar Pang Lin berseru menyindir.
Dan begitu tangannya diayun, kembali tiga pisau
terbangnya lantas menyambar.
Waktu itu Hay-hun Hwesio sudah keburu melepaskan
serangannya dan tak sempat menarik kembali senjatanya
untuk menjaga diri, terpaksa dengan tangan kirinya ia
memukul, dengan angin pukulannya ia bikin pisau-pisau itu
terguncang pergi. Tetapi karena itu juga, pedang yang dia tusukan tadi
menjadi berkurang separoh kekuatannya,, kesempatan ini
tidak disia-siakan Li Ti, dengan kecepatan luar biasa ia
menikam. Walaupun tidak tepat mengenai sasaran, namun tidak
urung otot miang pada lutut Hay-hun Hwesio putus juga
tercungkil. Namun Hay-hun terhitung tangkas juga, dengan sekali
berguling, ia terus menggelinding ke bawah gunung tanpa
menghiraukan bahaya. Pang Lin menjadi geli. "Haha, macam apakah ini" Seperti
anjing menubruk tahi!" dengan tertawa ia mengejek.
Tetapi belum lenyap suara tertawanya, sekonyong-konyong
ia sendiri pun jatuh terguling.
Kiranya setelah mengalami pertempuran dahsyat tadi, Pekbiciam yang menyusup dalam tubuhnya perlahan-lahan telah
berjalan lagi dan racunnya bekerja keras, meski ada Siauhoantan pun tidak bisa menahannya.
Bukan main terkejutnya Li Ti, dengan cepat ia berjongkok
untuk memeriksa keadaan si nona, tertampak olehnya muka
Pang Lin pucat laksana kertas, ia coba memanggilnya
beberapa kali. tetapi tiada sahutan sama sekali.
Li Ti dan Pang Ing adalah teman bermain sejak kecil, dalam
keadaan demikian ia tidak menghiraukan soal lelaki dan
perempuan lagi, dengan cepat ia coba meraba ke dada orang,
ia merasakan dada masih hangat dan lunak, terang si nona
belum putus napasnya, hanya karena terlalu banyak
mengeluarkan tenaga, maka seketika jatuh pingsan.
Li Ti ingat pada cara pertolongan pertama ajaran
pamannya, cepat ia pentang mulut Pang Lin yang kecil itu, lalu
dengan mulut ke mulut ia menghembuskan hawa untuk si
nona. Lewat agak lama, perlahan-lahan terlihatlah Pang Lin mulai
sadar kembali, kini baru Li Ti merasakan kecantikan si nona
yang menggiurkan, tanpa tertahan pikirannya terguncang,
lekas ia alihkan mulutnya.
"Bagaimana kau?" ia bertanya dengan suara perlahan.
"Rasanya haus sekali," sahut Pang Lin.
Li Ti mengerti tentu ini akibat bekerjanya racun yang jahat,
ia coba menghibur, "Marilah kita mencari satu tempat untuk
mengaso dulu." Lalu ia memondong anak dara ini, ia mendapatkan sebuah
gua di belakang batu cadas besar yang menonjoLaari lamping


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung, segera Li Ti memondong Pang Lin ke dalam gua itu,
ia bentangkan baju luarnya dan dengan perlahan ia rebahkan
Pang Lin, dari sela batu gua ia lihat ada butiran air yang
menetes keluar, dengan tangan Li Ti coba mengumpulkan
tetesan air itu untuk dicekokkan pada Pang Lin.
Setelah kemasukan air, Pang Lin rada jernih kembali
pikirannya. "Sudahlah, kau boleh berangkat saja dan tidak
usah mengurus aku," katanya kemudian.
"Jangan kuatir, Ing-moay!" sahut Li Ti. "Kau pasti sembuh,
aku tetap menjaga kau di sini!"
"Tidak, aku tidak baik, aku telah meninggalkanmu. Kau
orang baik, kau terus menjaga aku," dengan suara lirih lemah
Pang Lin berkata pula. Li Ti tahu tentu si nona teringat waktu dahulu ketika ia
menderita luka4an ditinggal pergi dalam hutan itu.
"Sudahlah, jangan kau berpikir yang tidak-tidak, biar aku
carikan buah-buahan untuk kau makan," Li Ti coba
menghiburnya. Akan tetapi secara samar-samar kembali terdengar Pang
Lin berkata lagi. "Aku telah mendustai kau, ada yang hendak
aku katakan...." Tetapi belum habis ia berkata, kembali ia jatuh pingsan.
Seketika Li Ti menjadi kelabakan dan tak berdaya, dengan
perlahan-lahan ia coba menepuk-nepuk bahu si nona, selang
tak lama kemudian barulah Pang Lin siuman kembali.
Begitu sadar Pang Lin lantas membuka mulut dan setengah
mengangkat kepala seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Sudahlah, Ing-moay, jangan kau bicara lagi, pelihara dulu
semangatmu," Li Ti menghiburnya.
Lalu ia mengambil buntalan Pang Lin yang terletak di
sampingnya untuk dibuat bantal si nona, dengan demikian
bisa lebih enakan tidurnya.
Tetapi waktu ia memegang buntalan itu, tiba-tiba
tangannya seperti menyetuh sesuatu, ternyata dalam buntalan
itu ada benda yang tergulung tebal. Tatkala Li Ti
mengambilnya keluar dan dilihat, kiranya adalah sebuah kitab,
di atas kitab ini jelas tertulis 'Kim-ciam-toh-se' empat huruf.
Demi nampak kitab ini, Li Ti menjadi girang bercampur
terkejut. Pernah ia mendengar cerita dari ibunya bahwa kitab 'Kimciamtoh-se' (dengan jarum emas menolong jagat), adalah
buah karya hasil jerih-payah selama hidup Pho Jing-cu.
Kitab itu sebenarnya terbagi dalam dua jilid, jilid pertama
berisikan rahasia ilmu pukulan dan intisari pelajaran ilmu
pedang, ini masih belum seberapa, jilid kedua justru adalah
mestika yang susah dicari di kolong langit ini, yakni kitab ilmu
ketabiban. Tetapi ia menjadi heran dan tidak mengerti cara
bagaimana kitab ini bisa berada pada 'Pang Ing'"
Tetapi bila ia berpikir lagi, ia pun ingat le Lan-cu pernah
bercerita tentang kematian Ciong Ban-tong yang menyedihkan
pada ibunya, katanya kitab ini berada di tangan Ciong Bantong,
sayang waktu itu ia lupa mencarinya.
Tetapi Li Ti lantas berpikir pula, "Mungkinkah Ie-pekbo
sengaja menyuruh Pang Ing pergi mencari kitab ini?"
Kemudian ia berpikir lagi, "Sebenarnya aku tidak boleh
mencuri baca kitab ini, tetapi dalam kitab ini terdapat resep
pengobatan luka terkena Pek-bi-ciam, kini keadaan memaksa,
tiada jalan lain terpaksa aku barus membacanya, siapa tahu
berkat Thian bisa menyembuhkan Ing-moay, biarlah bila perlu
kelak aku akan minta maaf saja padanya."
Begitulah maka sehalaman demi sehalaman Li Ti lantas
membaca dan membalik-balik kitab ilmu ketabiban itu, setelah
belasan halaman dibaca, tiba-tiba ia melihat ada satu halaman
yang bertulis-kan 'catatan pengobatan penyakit Li-hun-cin'.
"Aneh sekali nama penyakit ini!" batin Li Ti.
Tetapi karena ingin lekas mendapatkan resep yang
diperlukan, halaman ini segera ia lompati, ia balik beberapa
lembar lagi, tiba-tiba pada satu halaman ia membaca lagi
tulisan, 'khusus untuk menyembuhkan racun-racun jarum dan
lain sebagainya'. Li Ti jadi tertarik oleh kalimat tulisan ini, dengan cepat ia
menggeser ke tempat yang lebih terang di mulut gua,
kemudian secara teliti membaca dan mempelajarinya. /
"Apa yang kau lakukan?" tiba-tiba Pang Lin membalik tubuh
dan bertanya. "Aku membaca bukumu ini," sahut Li Ti.
"Li-hun-cin, Li-hun-cin, mengertikah kau maksudnya?"
kembali Pang Lin bertanya pula.
Tergerak hati Li Ti mendengar orang berulang kali
menyebut "Li-hun-cin" atau penyakit hilang ingatan. Tapi
waktu ia memandang si nona, ternyata Pang Lin sudah
memejamkan mata dan terpulas.
"Eh, kenapa ia mengingat nama Li-hun-cin saja, ya,
tabiatnya memang jauh berbeda dengan waktu masih di
Thian-san dahulu, banyak pula kejadian lama yang tidak ia
ingat lagi, jangan-jangan ia pun terkena penyakit Li-hun-cin?"
demikian Li Ti bertanya dalam hati.
Tetapi ia tidak mengurus soal ini lebih jauh, kembali ia
membaca dan mempelajari halaman yang khusus untuk
menyembuhkan keracunan itu.
Karena pamannya, Bu Sing-hua, adalah ahli ilmu obatobatan
dan pertabiban, maka Li Ti pun mempunyai
pengetahuan dasar dalam hal ini, tentu saja ia jauh lebih
gampang memahaminya daripada Pang Lin. Maka sesudah
membaca sekali, ia menjadi sangat girang.
Kiranya cara penyembuhan racun Pek-bi-ciam tiada
bedanya dengan terkena racun jarum berbisa jenis lain, tidak
perlu obat khusus, cukup dengan cara penyembuhan tusuk
jarum yang diciptakan oleh Pho Jing-cu, yakni lebih dulu
memakai jarum perak untuk menusuk Hiat-to yang
bersangkutan, dengan begitu daya tahan di tubuh orang bisa
terpengaruh olehnya dan menjadi kuat, dengan demikian
kekuatan racun perlahan-lahan pun menjadi lemah, sesudah
itu penderita dibikin sakit perut supaya sisa racun keluar
bersama kotoran! Sedang jarum yang masuk dalam tubuh
karena terlalu lembut, sekalipun tetap tinggal dalam tubuh,
sudah tidak berbahaya lagi.
Halaman kitab ini oleh Li Ti berulang kali dibaca dan dihapalkan
baik-baik. '"Kiranya begitu sederhana, sungguh tidak
nyana," demikian pikirnya.
Dengan gembira Li Ti lalu menyimpan kembali kitab pusaka
itu, tetapi mendadak ia teringat bahwa mereka kini berada di
tempat pegunungan yang tandus, sudah tentu tiada jarum
perak untuk penyembuhan secara tusuk jarum, tidak terdapat
pula obat urus-urus, lantas bagaimana baiknya"
Setelah berpikir lagi, kemudian ia melongok keluar gua, ia
dapatkan di atas pegunungan ini masih banyak tumbuh
bambu petung (bambu berbatang besar). Ia jadi tergerak,pikirnya, "Ha, aku bisa memakai lidi bambu sabagai jarum,
mungkin aku akan berhasil. Sedang mengenai obat urus-urus,
meski tidak bisa dibeli, kiranya dengan obat lain asal bisa
membikin penderita sakit perut dan buang air tentunya boleh
juga." la jadi teringat ada semacam buah pegunungan, jika dipetik
waktu masih mentah dan dimakan akan bisa membikin perut
sakit dan mulas, tentunya buah ini dapat digunakan, mengapa
tidak aku coba saja. Begitulah dalam keadaan putus asa, kini terdapat sedikit
harapan, betapapun akan dicoba juga oleh Li Ti.
Sementara itu ia lihat Pang Lin masih tidur nyenyak, ia
lepaskan bajunya untuk diselimutkan ke tubuh si nona, lalu ia
keluar dari gua itu untuk mencari buah yang dimaksud.
Begitu keluar dari gua, ketika ia melongok lembah di
bawah, tiba-tiba tertampak olehnya sesosok bayangan orang
sedang berjalan dengan perlahan dan pincang, dua kali
melangkah, sekali berhenti, malahan terus-menerus
mengeluarkan suara rintihan, rupanya sangat kesakitan.
Waktu Li Ti menegasi, eh, kiranya bukan lain daripada si
Hwesio yang tertusuk luka olehnya, dan menggelundungkan
diri ke bawah bukit tadi.
"Eh, kiranya keparat gundul ini masih belum mampus,"
demikian pikirnya. Tetapi ia pun tidak punya tempo untuk mengurus, ia
melanjutkan usahanya mencari buah yang diperlukan.
Setelah dicari setengah harian, akhirnya Li Ti mendapatkan
juga buah yang dicari, ia pilih lima-enam buah yang setengah
mentah dan matang, kemudian ia tebang bambu pula untuk
dibuat jarum lidi, habis itu ia lantas kembali ke gua. '
Sementara itu Pang Lin sudah mendusin, waktu tidak
nampak Li Ti berada di sampingnya, ia pikir, "Ah, tentu ia
telah meninggalkan aku, inipun pantas. Dulu aku pun
meninggalkan dia tatkala terluka juga."
Akan tetapi di luar dugaan, tengah ia berpikir, tahu-tahu Li
Ti sudah muncul kembali. "Eh. kau tidak pergi?" tanyanya heran. "Kini aku merasakan
tubuhku lemas tak bertenaga, rasanya mual hendak muntah,
kepala sakit dan mulut haus, di pegunungan sepi seperti ini,
terang tiada harapan tertolong lagi. Baiknya, kau pulang ke
Thian-san saja, kembali saja ke sana untuk mencari kau punya
Ing-moay!" Perkataan ini ternyata tidak membikin Li Ti heran, sebab ia
menganggap pikiran si nona masih belum jernih, sedang
mengigau semaunya. "Bukankah Ing-moay sudah berada di sini?" sahutnya
dengan tertawa. "Sudahlah, kau jangan kuatir, biar aku obati
kau, tanggung sembuh!"
Dengan perlahan ia lantas mengangkat bangun Pang Lin.
"Maafkan aku Ing-moay," ujarnya, karena terpaksa harus
menyentuh tubuh anak dara ini.
"Apa katamu?" sahut Pang Lin tidak mengerti.
"Coba buka bajumu, biar aku tusuk jalan darahmu yang
bersangkutan," kata Li Ti.
"Sudahlah, tidak usah kau repot!" sahut Pang Lin tak acuh.
Tetapi samar-samar ia lihat wajah Li Ti mengunjuk rasa
kuatir, tiba-tiba ia tertawa.
"Baiklah, kuserahkan kau untuk mengobatinya, sejak tadi
kau omong tentang maaf dan apalagi, aku sendiri belum
mengetahui apa yang telah kau lakukan?"
Setelah Pang Lin bisa tidur pulas tadi, semangatnya
memang sudah rada pulih dan pikiran jernih kembali, maka
kata-katanya ki-nipun sudah jelas dan terang, tentu saja Li Ti
sangat girang. Batinnya, "Tadi ia masih mengigau, tetapi
sekarang ia sudah begini sadar."
Kemudian dengan menggunakan jarum lidi yang dia bikin
tajam, ia mulai menusuk Hiat-to yang berhubungan dengan
pengobatan ini, lalu ia biarkan si nona tidur lagi, sampai waktu
magrib, begitu Pang Lin terjaga dari tidurnya, seketika ia
membuka mulut dan berteriak lapar.
Keruan tak kepalang rasa girang Li Ti. "Banyak terima kasih
pada Thian dan Te (langit dan bumi), kini ia sudah sembuh!
Eh, apa kau mau buah-buahan. Di sini ada buah
pegunungan," katanya sambil menyodorkan buah yang telah
disiapkan itu. "Terima kasih," sahut Pang Lin tersenyum. Segera ia
menggerogoti buah yang diberikan itu, akan tetapi segera ia
mengerut kening sambil berkata, "Ehm, kau berdusta, buah ini
sangat kecut." "Lebih kecut lebih baik, turutilah kataku, lekas kau habiskan
buah itu," kata Li Ti.
Pang Lin memang sudah sangat haus dan perutnya
keroncongan, maka hanya beberapa kali saja ia sudah
menggerogoti buah itu hampir separahnya.
"Baiklah aku menurut kata-katamu," katanya dengan
tertawa sambil mengunyah buah itu.
Selang tidak lama, mendadak perutnya berbunyi
keruyukan, muka Pang Lin menjadi merah jengah. "Keluarlah
kau dahulu," katanya pada Li Ti.
"Kau agak baikan tidak?" Li Ti coba bertanya. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar ada suara memberebet dibarengi dengan
bau busuk tidak kepalang.
"Lekas kau keluar, aku hendak berak," seru Pang Lin sambil
membanting kaki saking tak tahannya. ,
Tidak kepalang rasa giring Li Ti, sama sekali tidak ia duga
babwa bekerjanya buah pegunungan itu bisa begitu cepat,
bahkan melebihi obat urus-urus yang paling mujarab, saking
girangnya, bau busuk yang menusuk hidung itu tidak ia
rasakan lagi, segera ia membalik tubuh dan berjalan pergi,
tetapi sampai di mulut gua ia berpaling lagi sambil berkata,
"Baik, sudah baik! Bersihkanlah racun itu dari perutmu, selang
beberapa hari lagi tentu dap^t turun gunung bersama aku.
Bisakah kau bergerak" Tukarlah plakaianmu, nanti aku yang
mencucinya." "Ai, banyak sekali omonganmu, aku sudah tahu," sahut
Pang Lin sambil memencet hidung sendiri.
Meski berkata demikian, namun dalam hati ia sangat
berterima kasih pada Li Ti. Pikirnya, "Aku sendiri saja
merasakan bau sebusuk ini, tetapi ia malah tidak
menghiraukan sama sekali."
Lalu ia berpikir pula, "Jika ia mengetahui bahwa aku bukan
Tng-moay' seperti apa yang dia sangka, entah dia tetap begini
memperhatikan diriku tidak" Segala tindakannya keluar dari
hati nuraninya yang bersih, hal ini sekali-kali tidak bisa
berpura-pura. Dahulu waktu ia terluka dan aku kabur
meninggalkan dia, tapi kini ia tetap melayani aku sedemikian
baiknya. Seumpama perawatan ini dilakukan berhubung aku
dianggapnya sebagai 'Ing-moay'-nya, namun sukar juga
kiranya untuk mencari orang baik seperti dia ini."
Begitulah ia termangu-mangu dengan rasa terharu, tanpa
terasa ia meneteskan air mata.
Kemudian sesudah Pang Lin tukar pakaian yang bersih, lalu
Li Ti membtrsihkan kotoran yang berada di tanah dan
menggulung pakaiannya yang kotor itu.
"Meski buah itu kecut, tetapi sangat berfaedah bagimu,
makanlah dua buah lagi," dengan tertawa pemuda itu berkata.
Habis itu ia lantas keluar gua dengan membawa pakaian
kotor itu, tetapi bara saja ia sampai di luar, tiba-tiba ia lihat di
samping gua di semak-semak yang lebat sana ada berkelebat
bayangan orang. "Siapa?" bentak Li Ti, berbareng ia jemput sepotong batu
kecil terus disambitkan ke tempat persembunyian orang tadi.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu orang tadi sudah memberosot turun ke
bawah dengan menggandul pada akar pohon yang panjang,
dengan berayun beberapa kali orang itu sudah sampai di
tengah gunung terus menyelusup masuk lagi ke dalam semaksemak.
Li Ti dapat melihat jelas orang tu ternyata bukan lain
daripada Hay-hun Hwesio yang dia lukai itu, dalam hati ia
menjadi rada kuatir, ia tak berani mengejar musuh itu dengan
meninggalkan Pang Lin sendiri, maka ia hanya mencari kali
pegunungan di sekitar gua itu untuk mencuci pakaian kotor,
habis itu ia periksa sekitarnya lagi, ternyata bayangan Hayhun
Hwesio sudah menghilang. Pakaian basah itu ia gantung di dahan pohon untuk
dikeringkan dengan tiupan angin, kemudian ia kembali ke
dalam gua, kiranya Pang Lin sudah buang air pula sekali dan
telah bertukar pakaian yang lain.
"Kau bicara dengan siapa tadi?" segera Pang Lin bertanya
begitu Li Ti masuk. "Hwesio jahat itu ternyata belum mampus," sahut Li Ti.
"Tetapi kau pun tidak perlu kuatir, aku hanya mencuci pakaian
di sekitar sini saja, kalau kau mendengar sesuatu suara,
segera kau teriaki aku."
"Ya, mengertilah aku," ujar Pang Lin. "Bukankah Hwesio
jahat itu terkena tusukan pedangmu" Ia pun tidak tahu bahwa
aku sedang sakit, sekalipun lukanya sudah sembuh, tidak
nanti ia berani datang kemari."
"Tetapi ada baiknya kita berlaku waspada," kata Li Ti.
Habis itu ia menggulung pakaian kotor dan pergi
mencucinya pula. Selama sehari semalam Pang Lin berturut-turut telah buang
air enam kali, namun sedikitpun Li Ti tidak kenal lelah dan
takut kotor, semalaman ia tidak tidur, dengan penuh
kesabaran ia merawat Pang Lin.
Keesokan harinya, Pang Lin sudah sembuh mulasnya, ia
sudah bisa berjalan dengan berpegangan dinding, hanya
perutnya yang dirasakan lapar sekali.
"Aku ingin makan sate kambing," dengan tertawa ia
berkata pada Li Ti. Mendengar gadis ini menyebut makanan, baru kini Li Ti ikut
merasakan lapar sekali, waktu ia buka kantongannya yang
berisi rangsum kering, akan tetapi hanya tertinggalan sedikit
saja isinya. "Di sini tidak kurang kambing liar, untuk makan sate
memangnya tidak sulit, hanya padri kejam itu masih mengintai
di sekitar sini, cara bagaimana aku bisa meninggalkan dia
untuk pergi berburu?" demikian Li Ti membatin. \
Maka dengan tertawa ia lantas berkata pada Pang Lin,
THarap kau bersabar sedikit, makan saja dahulu sedikit
rangsum kering ini. Ehm, ini masih ada beberapa iris dendeng,
untuk lauk, gorengan ini masih boleh juga."
Habis itu ia lantas menyodorkan rangsum itu pada Pang
Lin, sedang ia sendiri lantas keluar untuk mencari buahbuahan
buat tangsal perut, ia pun mengambil air untuk Pang
Lin. Namun tidak lama kemudian ia sendiri lantas kelaparan
lagi hingga perutnya ke-ruyukan.
Buah-buahan di sekitar gua ini tidak banyak, pula tidak bisa
menahan lama rasa lapar, waktu ia memberi air pada Pang Lin
sambil memandangi cara gadis ini makan dengan bernapsu,
keruan rasa laparnya semakin menjadi-jadi.
"Kau tidak makan sedikit?" tanya Pang Lin.
"Tidak, aku tadi sudah makan, kini masih cukup kenyang,"
sahut Li Ti sembari menelan ludah, la berusaha menahan rasa
lapar sendiri sebisa mungkin.
Setelah Pang Lin menghabiskan beberapa iris dendeng tadi
dan separoh rangsum kering, kemudian ia kecap-kecap
mulutnya sambil menjilat-jilat dengan lidahnya. "Aneh,
biasanya aku paling jemu memakan rangsum kering semacam
ini, di luar dugaan rangsum kering ini ternyata begini enak,
malah jauh lebih enak daripada segala masakan yang paling
mahal!" katanya dengan tertawa.
"Tentu saja, kalau perut lapar, makanan yang kasar juga
akan terasa enak," demikian Li Ti membatin dalam hati.
Waktu Pang Lin nampak wajah pemuda ini pucat, ia tidak
tahu bahwa hal ini adalah akibat dari kelaparan, maka ia
hanya merasa rikuh saja. "Dalam dua hari ini kau pun sangat letih, kau boleh tidurlah
sejenak," demikian ia lantas berkata.
Li Ti mengangguk-angguk, lalu ia pun minum seceguk air
dari wadah yang ia bikin dari kayu, lantas ia berduduk, dengan
menenangkan pikiran ia kumpulkan tenaga dalamnya untuk
berlatih, lama kelamaan, mungkin laparnya sudah kelewat
waktu, kini malah tidak terasa terlalu lapar seperti tadi. Ia
hanya merasakan kaki tangannya saja yang masih lemas tak
bertenaga. Sementara itu ia dengar Pang Lin membuka suara pula.
"Eh, cepat sekali terasa lapar, rangsum kering itu rasanya
tidak enak lagi," demikian si nona mengoceh. "Sesudah aku
sembuh, marilah kita pergi ke Pakkhia untuk makan
sekenyangnya, kita bisa mencicipi 'Liu-ci-fu' (ayam masak
saus) dari Khi-say-yan (nama restoran), bebek panggang dari
Khing-khen-kuan, Dao-si-hu dari Wu-fang-ci dan Ma-lien-ru
dari Tu-yi-su, kemudian kita bisa merasakan pula Khianghuangkua dari Liuk-pi-khi ... semua ini adalah restoran
terkenal di Pakkhia, semua masakannya sudah tersohor!"
Pang Lin sendiri dibesarkan dalam istana, sering ia
mengelu-yur keluar untuk jajan segala makanan itu, oleh
karenanya semua makanan dan masakan yang tersohor di
Pakkhia boleh dikata dia sudah sangat apal.
Memangnya Li Ti sedang kelaparan, nama-nama masakan
yang disebutnya tadi keruan semakin menimbulkan selera
makannya hingga semakin susah menahan rasa laparnya.
"Adik yang baik, sudahlah, jangan kau teruskan lagi,"
akhirnya ia memohon. Pang Lin jadi tercengang oleh kata-kata itu. "Eh,
tampaknya kau sendiri kelaparan juga!" katanya tertawa.
"Tetapi di sini segalanya tidak ada, sedang kau pun tidak mau
pergi berburu kambing."
"He, coba katakan, mengapa kau kenal begitu banyak
nama masakan dan restorannya?" tiba-tiba Li Ti bertanya.
"Ya, sesudah aku turun gunung, lebih setengah tahun aku
pesiar di Pakkhia," sahut Pang Lin.
"Bagaimana kau bisa iseng?" tanya Li Ti kurang percaya.
Lantaran sudah telanjur buka mulut segera Pang Lin pamer
lagi. "Tahukah kau, berapa macam cara memakan daging
kambing" Biarlah kuberitahu kau, melulu Kau-ru-wan (nama
restoran) satu tempat saja, cara makan daging kambing ada
delapan belas macam."
Nampak si nona menerocos terus, Li Ti tahu sesudah
rangsum kering dirasakan tidak enak tentunya anak dara ini
tidak 4apar lagi. Racun di dalam perutnya sudah bersih
dikuras keluar, jika makan sedikit penganan lain pasti
tenaganya akan pulih, tentuxjantas bisa turun gunung. \
Dalam pada itu tiba-tiba di luar terdengar ada suara
kambing mengembik. "Kakak yang baik, dengarkah kau?" seru Pang Lin tertarik
oleh suara kambing itu. "Hai, burulah seekor, jika kambing
tidak didapat, kelinci pun bolehlah."
"Baik, coba pinjamkan aku beberapa buah pisau!" kata Li
Ti. Pang Lin sangat girang, cepat ia serahkan beberapa Hui-to
yang tak berbisa padanya.
"Coba kau meloncat-loncat," kata Li Ti pula.
Pang Lin menurut, ia meloncat beberapa kali
"Baiklah, sudah hampir pulih tenagamu," ujar Li Ti.
"Siapkan Hui-to berbisa di tanganmu. Ingat, jika terjadi
sesuatu, berteriaklah memanggil aku."
"Tahulah, jangan kau kuatir!" sahut Pang Lin.
Akan tetapi Li Ti masih belum yakin, ia atur pula dua panah
jebakan di mulut gua dengan alat penjeplak yang ditindih
dengan dua potong batu, dengan demikian kalau orang asing
mendadak masuk dan mengijak batu, seketika anak panah
lantas menyambar. Setelah diatur baik, Li Ti minum segayung air pula,
kemudian baru ia keluar gua. Tidak lama kemudian, betul saja
ia memergoki seekor kambing pegunungan, cuma kambing liar
itu terlalu cepat larinya, sedang Li Ti sendiri masih lemas dan
kelaparan, mana bisa menyandak binatang itu"
la mengaso dulu sambil makan beberapa buah-buahan.
Pikirnya, "Lebih baik aku bersembunyi di suatu tempat yang
sepi, di belakang batu gunung, begitu ada kambing lewat,
segera aku tim-pukkan belati untuk membunuhnya."
Begitulah Li Ti menggunakan akalnya itu, akan tetapi
dengan cara perburuan ini seperti menanti datangnya rezeki
saja, meski sudah hampir setengah hari ia menunggu, namun
belum ada seekor kambing pun yang lewat, keruan Li Ti
semakin kelaparan dan tak sabar. Akhirnya ia mendengar juga
suara mengembiknya kambing.
Tanpa ayal lagi segera Li Ti sambitkan sebilah pisaunya,
kambing itu ternyata kambing kecil, mungkin karena kesasar
dan ketinggalan induk, maka binatang ini dengan gampang
terkena sambitan pisau, tetapi kambing kecil ini masih bisa
melompat lewat kali pegunungan dan lalu menggeletak
dengan suara embikan yang mengharukan. Li Ti menjadi tidak
tega. "Ai, kambing cilik ini sebatang-kara, agaknya ia sedang
mencari induknya, jika kini aku bunuh dia, malam nanti
induknya tidak mendapatkan bayinya kembali, bukankah
sangat berduka!" demikian Li Ti berpikir, lalu pikirnya lagi,
"Ing-moay pun mirip kambing kecil ini, sampai asal-usul
dirinya sendiri tidak tahu, mungkin pula ibunya sedang
mengharapkan kembali! Aku harus melindungi dia, tidak boleh
ia dicelakai orang jahat."
Tadi karena Li Ti masih lemas, maka tenaga timpukannya
pun lemah, rupanya pisau itu hanya mengenai kaki kambing
itu dan masih menancap dalam daging, waktu Li Ti mendekati,
tiba-tiba kambing kecil itu mengembik pula.
Li Ti menjadi lemah hati, ia menghela napas dan
berjongkok ia cabut pisau yang menancap, kemudian dari
kantong senjatanya ia keluarkan obat luka dan dibubuhkan
pada kaki binatang itu, kemudian didorongnya supaya pergi.
"Mendengar suaranya tidak tega makan dagingnya,
peribahasa ini memang tepat," demikian Li Ti membatin.
"Biarpun harus mati kelaparan tidak nanti aku makan daging
kambing kecil ini." Kemudian ia lantas bersembunyi pula di belakang batu
gunung, ia hendak tunggu lewatnya binatang lain, sementara
itu suara kambing tadi semakin menjauh. Dalam pada itu tibatiba
ia mendengar pula suara teriakan yang tajam
berkumandang terbawa angin dari jauh.
"He, ini sekali-kali bukan suara kambing tadi," pikir Li Ti.
Tatkala ia mendekam di tanah untuk mendengarkan lebih
terang, ia dengar suara itu timbul-putus beberapa kali, terang
suara itu adalah suara teriakan Pang Lin!
"Celaka, agaknya Ing-moay telah kepergok Hwesio jahat
itu," pikir Li Ti kuatir.
Habis itu tanpa menghiraukan badan sendiri masih lemas,
dengan cepat ia keluarkan ilmu entengi tubuh warisan
keluarga sendiri, segera ia berlari kembali ke gua tadi. \
Karena hendak berburu kambing, maka sudah agak jauh ia
meninggalkan gua, kini setelah berlari sejenak, napasnya jadi
tersengal dan jantungnya memukul keras, kedua kak'nya
seperti terbelenggu, terasa berat sekali untuk diangkat.
Waktu itu suara teriakan Pang Lin sudah sangat jelas,
terang anak dara itu sedang memanggil namanya, segera Li Ti
kumpulkan tenaga dan membangun semangat terus berlari ke
depan. Dalam gugupnya tiba-tiba ia kesandung batu hingga
jatuh terjerembab, ketika merangkak bangun, ingin sekali ia
melangkah, namun badan sudah lemas dan tiada tenaga lagi.
Keruan tidak kepalang kuatir Li Ti. Pikirnya, "Apa ini bukan
ditakdirkan bahwa kami berdua harus mampus di sini?" Lalu ia
berpikir pula, "Kini sedikitpun aku tidak bertenaga, seandainya
bisa memburu sampai di gua sana lalu apa yang bisa
kulakukan nanti?" Habis itu ia lantas mendeprok terduduk di tanah, karena
itu, sekenanya ia lantas memetik dua buah-buahan dari dahan
pohon yang melambai ke bawah di sampingnya, ia gerogoti
buah itu sembari mem:kirkan daya-upaya menghalau musuh.
Selang tak lama, suara pertarungan semakin mendekat.
Kiranya dimana Li Ti jatuh terduduk ini, jaraknya sudah
tidak jauh dari gua, sementara itu Pang Lin yang bertempur
dengan musuh, lama-kelamaan sudah menggeser hingga tidak
jauh dari tempat Li Ti berada.
Waktu Li Ti melongok dari belakang sebuah batu besar, ia
lihat yang sedang bertempur dengan Pang Lin bukan lain
daripada si Hwesio jahat itu, tertampak Hwesio itu rada
pincang kaki sebelah kirinya dan gerak-geriknya kurang
leluasa, rupanya karena terluka juga.
Kiranya sesudah Hay-hun Hwesio merawat lukanya
beberapa hari di lembah gunung itu, perlahan-lahan ia mulai
sembuh, sejak ia dipergoki Li Ti, kemudian melihat air kali
pegunungan yang mengalir turun itu warnanya bersemu
kuning dengan bau busuk yang menyengat hidung.
Hay-hun adalah jago pedang dari daerah Lam-kiang,
daerah selatan, sudah beberapa puluh tahun ia bertapa di
Ngo-ci-san di pulau Hay-lam, ia banyak mempelajari segala
jenis barang berbisa, maka ketika melihat warna air tadi.
segera ia tahu air itu bercampur kotoran yang disebabkan
keracunan yang jahat. Sudah tentu Hay-hun menjadi girang, pikirnya, "Kedua
bocah itu telah kena racun jahat, ini adalah kesempatanku
yang paling baik." Nyata ia tidak tahu bahwa apa yang mengenai Pang Lin
adalah racun Pek-bi-ciam.
Begitulah maka diam-diam Hay-hun Hwesio memanjat ke
atas dari lembah persembunyiannya, ia mengintip dulu di
depan gua dan kemudian melongok ke dalam, tetapi karena
kurang waspada, ia kena menginjak jebakan Li Ti hingga
pinggangnya terkena dua anak panah yang dipasang pemuda
itu, keruan ia kesakitan hingga berteriak, ia menjadi kalap, ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyumbat mulut gua dengan rumput alang-alang kering
terus hendak dibakar. Akan tetapi sebelum ia berbuat lebih jauh, Pang Lin sudah
keburu menerjang keluar dan saling gempur dengan Hay-hun
di depan gua. Apa yang terjadi ini sama sekali di luar dugaan Hay-hun
Hwesio! Sebab pada waktu mendaki gunung, Pang Lin masih
menyamar sebagai lelaki, tetapi kini ia berganti pakaian wanita
lagi, sudah tentu hal ini mengejutkan Hay-hun; yang lebih
membikin kaget Hay-hun Hwesio adalah semula ia mengira
mereka berdua terkena racun jahat, siapa duga sesudah Pang
Lin buang air dan cukup tidur, makan kenyang, semangat dan
tenaganya kini sudah pulih, kecuali rupanya yang tertampak
agak kurusan, ternyata sudah tidak kentara seperti orang
habis sakit. Karena itu diam-diam Hay-hun mengeluh, diam-diam ia
membatin, "Celaka, apa bukan mereka sengaja membikin
jebakan dan memancing aku masuk jala mereka?"
Karena rasa jerinya ini, segera ia pura-pura menusuk sekali,
seketika pula ia membalik tubuh terus lari terbirit-birit.
Setelah Pang Lin tersekap beberapa hari dalam gua,
memangnya ia sedang merasa sebal, kini nampak sinar
matahari 4agi, semangatnya seketika terbangun, waktu ia
melihat Hay-hun Hwesio melarikan diri dengan menderita luka,
ia pikir, "Keledai gundul ini hanya akan membahayakan saja
selama ia tinggal di gunung ini, tidaklah lebih baik aku
bereskan jiwanya pada waktu lukanya masih belum sembuh
seperti sekarang ini!"
Karena itu, segera ia mengudak.
Ilmu entengi tubuh Pang Lin memang sangat tinggi, apalagi
Hay-hun kini belum sembuh lukanya, ditambah oleh luka anak
panah tadi, keruan lebih-lebih tidak bisa menandingi
kecepatan Pang Lin, hanya dalam dua-tiga puluh tindak saja ia sudah
tersusul. Merasa dirinya tidak bisa lolos, Hay-hun berpikir,
"Kepandaian gadis ini masih di bawahku, sedang kawannya
tidak kelihatan di sini, justru aku bisa menggunakan
kesempatan ini untuk menangkapnya sebagai sandera, agar
aku tidak perlu kebat-kebit siang malam kuatir pemuda itu
mencari padaku." Ilmu kepandaian Hay-hun Hwesio sebenarnya sudah
terlatih matang, meski terluka, namun kemahirannya tidak
nanti di bawah Pang Lin, maka sesudah ia memancing orang
sampai suatu tempat yang berbahaya, mendadak ia membalik
tubuh terus balas merang-sek, ia mendahului menduduki
tempat untuk lari, ia cegat Pang Lin di tengah tumpukan baru
pegunungan yang berserakan, di depannya tebing dan jurang
yang curam yang tidak mungkin digunakan melarikan diri, di
sinilah mereka berdua lantas saling gebrak lagi dengan sengit.
Sementara itu Li Ti sedang memandang dari aling-aling
batu gunung, ia lihat gaya permainan pedang Pang Lin begitu
cepat dan bagus, baik menangkis, menyerang atau menghalau
gempuran lawan, sedikitpun tiada tanda-tanda lemah, diamdiam
pemuda ini menjadi girang. Katanya dalam hati, "He,
ilmu penyembuhan dengan tusuk jarum ajaran Pho Jing-cu itu
betul-betul luar biasa mujarabnya, tampaknya ia sudah pulih
seluruhnya." Dalam pada itu karena Lwekang Hay-hun Hwesio yang
tinggi dan keuletannya pula, tipu permainan pedangnya pun
lihai, meski gerak tubuhnya tidak secepat dan segesit Pang
Lin, tetapi begitu ia berada di atas angin, Pang Lin terpaksa
hanya mampu menangkis dan tak sanggup balas menyerang.
Li Ti melihat dalam sekejap saja Pang Lin sudah berganti
lima enam macam permainan pedang, tiap kali pada saat yang
berbahaya, mendadak nona ini berganti ilmu permainan
pedang untuk menghindarkan diri dari ancaman maut, mulai
dari Tat-mo-kiam-hoat yang mengutamakan serangan sampai
akhirnya berubah menjadi Bu-kek-kiam-hoat yang bagus
untuk bertahan, dengan demikian ternyata sudah lebih
ratusan jurus melawan Hay-hun Hwesio.
Apapun juga Pang Lin baru sembuh dari sakit, sudah tentu
tenaganya masih agak lemah, setelah lebih seratus jurus,
lambat-laun Kiam-hoatnya mulai kendur.
Nampak lawannya mulai kewalahan, Hay-hun bergelak
tertawa girang, tangan kanannya yang memainkan pedang
semakin kencang, sedang tangan kiri juga bergerak di antara
sinar pedang yang bergulung-gulung mengurung Pang Lin itu,
ia bermaksud merebut senjata si nona.
Karena sudah kepepet, akhirnya Pang Lin berteriak, "Likoko,
lekas datang!" "Panggil ibumu pun percuma," ejek Hay-hun dengan
tertawa lebar. "Kau sudah berkaok setengah harian, tetapi
tiada sesuatu jawaban, apa kau perlu kuberitahu dimana ia
berada?" Pang Lin menjadi gemas oleh ejekan orang, sekuat tenaga
ia menangkis dua kali serangan lawan, tapi berbalik ia hampir
dijambret. Sambil menyerang, Hay-hun masih terus mengejek dan
menertawai, "Haha, kau punya Li-koko sedang menantikan
kau di jalan ke akhirat sana, akulah yang akan mengantarkan
kau ke sana!" Mendengar ejekan dan hinaan Hay-hun itu, akhirnya Li Ti
naik darah juga, ia coba sedot napasnya panjang-panjang,
habis itu sekuat tenaga ia melompat keluar sambil
membentak. "Keparat gundul, sudah lama aku menunggu kau di sini!
Haha, sekarang betul-betul kau yang masuk jaring sendiri!"
Keruan tidak kepalang kejut Hay-hun dengan munculnya Li
Ti yang mendadak. Padahal sebelum ia terluka masih bukan
tandingan pemuda ini apalagi kini ia terluka parah, munculnya
Li Ti yangjiba-tiba ini dirasakan dirinya betul-betul telah masuk
jebakan musuh. Maka setelah ia menyerang lagi dua kali sebisanya, ia
memaksa Pang Lin berkelit ke samping, tanpa pikir lagi ia
membalik tubuh terus lari sebelum Li Ti menubruk maju,
kemudian sambil menutupi kepalanya, ia menggelundungkan
diri di antara semak-semak yang lebat itu dan masuk ke dalam
sungai. "Haha, Li-koko, lekas kau pukul anjing yang kecemplung
kali itu!" dengan bertepuk tangan Pang Lin berseru geli.
Akan tetapi sekonyong-konyong ia melihat muka Li Ti pucat
lesi dan terhuyung-huyung hendak roboh, namun pemuda ini
masih memberi tanda dengan jarinya agar Pang Lin lak
bertanya padanya. Keruan Pang Lin terkejut, tapi tiba-tiba pula ia bergelak
tertawa dengan suara nyaring.
Memang Pang Lin sangat cerdik, begitu nampak keadaan Li
Ti, segera ia tahu apa artinya dan pura-pura tertawa, serunya
lagi", "Ha, kau telah dapat seekor macan, makanya kau malas
buat mengudak anjing yang kecemplung kali. Baiklah, biar kila
makan daging macan dahulu!"
Semula Li Ti tercengang juga oleh kata-kata Pang Lin,
namun dengan cepat ia pun paham maksud orang, dengan
mengumpulkan semangat ia pun tertawa dan menyahut
dengan suara keras, "Baiklah, lekas kau beset kulit macan itu
dan aku akan mencari air. Sudah bosan kita makan panggang
kambing, kini bisa tukar makanan yang lain."
Habis berkata pemuda ini sudah tidak kuat lagi, ia jatuh
men-deprok di atas tanah, syukur dengan cepat Pang Lin
memburu maju terus memayangnya.
"Tahanlah sebentar lagi, biar keledai gundul itu pergi jauh,
aku nanti gendong kau kembali ke gua," dengan berbisik Pang
Lin berkata pada Li Ti. Sementara itu Hay-hun yang menggelundungkan diri ke
bawah lembah, ketika mendengar suara mereka berkata
dengan tertawa, sungguh tidak kepalang kagetnya. Dalam hati
ia pikir, "Ha, memang betul aku telah terjebak oleh mereka,
sungguh berbahaya sekali, sungguh berbahaya! Bila kini aku
kepergok harimau, aku pun sudah tiada tenaga lagi untuk
melawannya." Maka sambil merangkak dan memberosot dengan
berpegangan akar pohon, Hay-hun mengeluyur ke bawah dan
bersembunyi pada sebuah gua rahasia di bawah lembah.
Sementara itu Pang Lin sedang mengamat-amati dari atas
gunung, setelah bayangan Hay-hun Hwesio lenyap dari
pandangannya, akhirnya ia merasa lega sembari melelerkan
lidah. "Sungguh berbahaya, kiranya kau sengaja main gertak
saja," katanya dengan tertawa. Habis itu ia coba meraba dahi
Li Ti. "Kau tentu sangat letih, bagaimanakah keadaanmu"
Jangan sampai kau jatuh sakit juga!"
Nampak kegelisahan si nona atas dirinya, diam-diam Li Ti
merasa bersyukur bahwa anak dara ini sudah mulai tahu
memperhatikan orang lain.
"Masih mendingan kau tidak demam. He, mengapa kau
tidak bicara?" "Aku hanya kelaparan saja dan bukan jatuh sakit," sahut Li
Ti kemudian dengan kikuk.
"Ai, kau ini sungguh bodoh, perut lapar mengapa tidak
katakan sejak tadi, sebaliknya rangsum kering kau berikan
padaku," kata Pang Lin sembari mencolek muka orang dengan
jarinya. "Sehabis sakit, badanmu tentu lemah, tanpa makan
sesuatu cara bagaimana kau bisa keluarkan tenaga?" ujar Li
Ti. Maka dengan tersenyum Pang Lin lantas menggendong
pemuda itu. Karena hatinya senang dan merasa nikmat,
seketika tenaga pun banyak bertambah.
"Masih ada sedikit sisa rangsum kering, kau boleh makan
saja dengan air, biar aku yang pergi berburu!" ujar Pang Lin
setelah kembali ke gua. "Lukamu baru sembuh ditambah baru saja bertarung seru,
kau harus mengaso dulu," kata Li Ti.
"Tetapi aneh, sesudah mengalami pertempuran tadi dan
banyak mengeluarkan keringat, kini rasanya lebih segar dan
semangat bertambah," sahut Pang Lin "Kau boleh berbaring
dahulu, biar aku memburu kambing gunung untuk dibikin
sate." \ Mendengar orang menyebut kambing, Li Ti jadi teringat
pada kambing kecil yang dilukainya itu.
"Ada seekor kambing cilik, kakinya terkena pistu yang aku
sambitkan, jalannya jadi pincang, kalau kau lihat binatang ini,
jangan kau bunuh," tiba-tiba ia memberi pesan.
"He, kiranya kau telah mendapatkan kambing, mengapa
tidak kau seret ke sini?" tanya Pang Lin dengan tertawa.
"Ya, karena jeritannya yang mengharukan, maka aku tidak
tega menyembelihnya," sahut Li Ti.
"Kau ini betul-betul terlalu, hatimu jauh lebih lemah dari
kaum wanita seperti aku ini," kata Pang Lin dengan tertawa.
Habis itu ia lantas pergi keluar gua.
Setelah makan sedikit rangsum yang masih ada itu,
kemudian Li Ti merebahkan diri sambil termenung
memandang ke mulut gua. "Aneh, sewaktu Ing-moay masih ada di Thian-san
perangainya halus dan budinya luhur, mengapa baru lebih
setahun ia turun gunung sudah berubah menjadi begini buruk
tabiatnya. Syukur aku temukan dia lagi, dalam beberapa hari
ini sesudah mengalami sakit payah itu, agaknya jiwanya sudah
mulai pulih kembali pada asal mulanya," demikian ia berpikir,
habis itu tiba-tiba ia teringat lagi pada sesuatu, katanya dalam
hati, "Thian-san-kiam-hoat Ie-pekbo sedemikian hebatnya,
mengapa waktu melabrak Hwesio jahat tadi, Ing-moay
beruntun memainkan lima-enam macam ilmu pedang, tapi
tidak pernah mengeluarkan Kiam-hoat dari perguruan
sendiri?" Begitulah pikirannya penuh tanda tanya, tanpa terasa ia
mengingat kembali semua kejadian dan pertemuannya dengan
Pang Lin sesudah dirinya turun gunung, ia merasa gadis ini
agak berlainan dengan Pang Ing, baik dalam gerak-gerik
maupun dalam percakapan, karenanya ia menjadi termangumangu.
"Mungkinkah dia bukan Ing-moay?" demikian ia berpikir
lagi. "Ah, tidak bisa, mana mungkin di dunia ini terdapat dua
orang yang sedemikian miripnya?"
Begitulah sambil termenung tanpa terasa hari sudah
magrib, mulut gua sudah mulai gelap, tetapi masih belum
nampak Pang Lin kembali. Sudah tentu Li Ti merasa kuatir. "Jangan-jangan ia
meninggalkan aku lagi seperti dahulu?" demikian pikirnya.
Tetapi lantas terpikir pula, "Sejak berangkat ke Ko-san sini,
dari tindak-tanduk dan kata-katanya, agaknya ia sudah
berlainan seperti ketika berjumpa untuk pertama kali, sekali ini
kiranya tidak akan dia tinggalkan diriku lagi."
Selagi Li Ti ragu-ragu, tiba-tiba tertampak bayangan orang
berkelebat di mulut gua, menyusul dengan memegang
sepotong paha kambing panggang, Pang Lin masuk ke dalam
gua. Diam-diam Li Ti merasa lega, ia sesalkan diri sendiri yang
berpikir tidak keruan dan terlalu menilai busuk pada orang
lain, bagaimanapun nona ini usianya masih muda dan
pengalamannya ce-tek, setelah salah bergaul dengan orang
jahat, sedikit banyak tentu terpengaruh, seterusnya jika ia
selalu berada di sampingku tentu ia akan berubah baik dengan
cepat. Sesudah berada di depan Li Ti, segera Pang Lin sodorkan
paha kambing panggang itu ke dekat hidung pemuda itu.
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 9 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Lembah Nirmala 1

Cari Blog Ini