Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 23
menjadi girang sekali. "Selamat, selamatlah kita!" demikian ia berseru girang. "Di
lautan Puthay sini tiada batu karang yang besar, kini kapal kita
berhenti di tempat dangkal, rupanya kita terdampar sampai di
salah satu pulau." Segera pula Hi Kak melompat ke dalam laut, air laut
ternyata hanya setinggi leher saja, waktu ia menegasi, benar
juga dilihatnya ada satu pulau kecil di situ.
"Kita akan terkurung di pulau ini, barang apa yang masih
ada dalam kapal, jangan kita buang," kata Hi Kak kemudian.
"Selanjutnya mungkin kita akan hidup seperti orang hutan."
Lalu bersama Kam Hong-ti dan lain-lain menyeret kapal
yang terdampar ke daratan, tatkala itu angin badai telah
berhenti, di ufuk timur remang-remang tertampak cahaya
putih, fajar telah menyingsing, ternyata mereka sudah sehari
semalam terombang-ambing di lautan.
Di pesisir pantai itu mereka mengaso sejenak, mereka
makan rangsum buat memulihkan tenaga. Di antara tiupan
angin laut itu, mereka mencium bau harum yang aneh, bau
harum yang mengandung bau amis.
Waktu mereka memandang jauh ke sana tertampaklah
rindang pepohonan yang luas, bunga mekar di atas pohonpohon
itu beraneka warnanya. "Bunga apakah ini" Aku sudah menjelajah setiap pulau,
tetapi belum pernah melihatnya, kenapa bau wanginya begini
aneh?" demikian diam-diam Hi Kak membatin.
Kemudian sesudah sang surya menyinari permukaan laut,
tenaga mereka pun sudah pulih kembali. Dengan
menggendong kantung obat, segera Hi Kak memimpin kawankawannya
ke daratan. "Lihat itu, bukankah itu pohon palem, kenapa akarnya
tumbuh begitu aneh?" kata salah satu pengiring Hi Kak tibatiba.
Pohon yang dimaksud kelihatan bengkak-bengkok
melingkar seperti ular, tiba-tiba salah seorang pengiring
mengulur tangan memegang akar pohon.
"Lekas lari," mendadak Hi Kak berseru kaget.
Akan tetapi sudah terlambat, pengiring itu mendadak
menjerit ngeri terus roboh terguling, dari atas pohon
sekonyong-konyong melayang turun seekor ular panjang,
syukur Teng Hiau-lan keburu mengayun pedang hingga ular
itu dibabat kutung menjadi dua.
Berbareng ada dua orang lagi yang berteriak, kiranya kaki
mereka kena menginjak ular besar yang melingkar di jalanan,
syukur mereka tidak sampai dipagut.
"Lekas mundur ke pesisir sana," seru Hi Kak pula.
Dalam pada itu di dalam hutan terdengar suara riuh
mendesir, tiada terhitung banyaknya ular serentak menyusur
keluar. Lekas Hi Kak menyuruh Teng Hiau-lan dan Kam Hongti
berjaga di belakang, dengan batu mereka berdua berhasil
menimpuk mati beberapa ular yang mengudak keluar, waktu
mereka mundur sampai di pesisir, beberapa kawan yang
tergigit ular kelihatan seluruh badannya matang biru, terang
tidak bisa ditolong lagi.
Keruan tidak kepalang terkejut mereka, segera Hi Kak
mengeluarkan sepotong warangan kuning, ia berikan masingmasing
sepotong kecil dan menyuruh kawan-kawan itu
menyimpan di badan. "Celakalah kita sekarang, kita berada di pulau si iblis nomor
satu di jagat ini!" katanya kemudian dengan wajah sedih.
Kata-kata ini membuat Kam Hong-ti terkejut juga. "Pulau
apakah ini" Apa mungkin di pulau ini ada iblisnya?" tanyanya.
"Agaknya Kam-tayhiap belum tahu," Hi Kak menutur, "di
luar pantai Li-sun ada sebuah pulau yang disebut Coa-to
(pulau ular), di pulau ini penuh hidup ular-ular berbisa yang
tak terhitung banyaknya, melihat gelagatnya, tentu pulau ini
Coa-to adanya. Ular berbisa di sini bisa menyembuhkan
penyakit kusta (lepra, ta-ko) di pulau ini tumbuh semacam
pohon dan disebut pohon kusta, bunga pohon ini meski ada
hujan salju juga tidak layu, maka bunga ini disebut Pi-siangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hoa (bunga penolak salju). Tadi kita mencium bau wangi
bunga pohon kusta itu, cuma seketika aku tidak ingat, jika
tidak, pasti aku tak berani gegabah menuju ke sana. Kawanan
ular suka berada di tempat lembab di dalam hutan, kecuali
keluar mencari sinar matahari, biasanya jarang kawanan ular
itu datang ke tempat kering di pesisir, maka untuk sementara
kita akan aman di sini."
Mendengar nama Coa-to disebut, tiba-tiba Teng Hiau-lan
teringat sesuatu. "Di dekat Coa-to ini bukankah ada sebuah pulau yang
disebut Niau-eng-to?" ia bertanya.
"Ya, betul, asalnya bernama Hay-niau-to (pulau kucing
laut), sebab elang yang hidup di pulau ita kalau terbang suka
bersuara setengah mirip bunyi kucing, maka orang
menamakannya Hay-niau (kucing laut), padahal sama sekali
burungnya tidak mirip kucing. Kedua pulau ini sejak dulu tiada
manusia yang berani menginjakkan kaki di sini, sebelumnya
mereka sudah ketakutan," tutur Hi Kak.
"Bukankah Siang-mo, kedua saudara she Sat itu berasal
dari Niau-eng-to?" tanya Hiau-lan lagi.
"Ya, ya, malah aku ingat, bukankah waktu bertemu di
Thian-hing-to dulu, Siang-mo ingin menerima kau sebagai
murid?" kata Hi Kak.
Berkata tentang pertemuan dulu itu, tiba-tiba Hi Kak
teringat peristiwa diri yang seakan menjadi raja di Thian-hingto.
tanpa terasa ia menjadi murung.
"Kedua pulau ini sudah sejak dulu tak dihuni manusia,
tetapi dalam beberapa puluh tahun belakangan ini ternyata
telah diduduki oleh ketiga makhluk aneh itu," cerita Hi Kak lagi
setelah berhenti sejenak. "Yang tinggal di Niau-eng-to
memang adalah iblis she Sat itu, ilmu silat mereka meski
tinggi, tapi masih belum mengagumkan orang, sebaliknya
orang yang bercokol di Coa-to ini katanya berilmu yang tidak
bisa diukur tingginya, meski tiada orang pernah menyaksikan
sendiri, tapi kalau melihat ular-ular di pulau ini dapat
dijinakkannya, melulu hal ini saja sudah cukup membikin
orang jeri dan heran."
"Menurut cerita kaum Cianpwe dunia Kangouw, orang
kosen yang tinggal di Coa-to ini bernama Tok-liong Cuncia,
apakah betul ada orangnya?" tanya Kam Hong-ti.
"Kenapa tidak betul?" sahut Hi Kak. "Malahan konon sudah
beberapa kali In Ceng mengundang dia dan selalu ditolak, aku
pun pernah minta perantaraan Siang-mo untuk berjumpa dia,
namun ia pun tidak mau. Menurut cerita Siang-mo, katanya
orang ini tadinya adalah seorang penderita penyakit kusta,
karena penyakitnya ini, terpaksa ia terasing dari pergaulan
umum, dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, ia
pikir kenapa tidak coba-coba keberuntungan ke pulau ular, di
sana dapat mencari bisa ular dan bunga pohon kusta untuk
mengobati penyakitnya. Kemudian ia lantas tinggal beberapa
tahun di Coa-to, betul juga penyakit kustanya sembuh dan
dengan ular-ular ini ia pun sudah berkawan, ia lantas ingat
tatkala masih berpenyakit kusta, betapa dingin dan ejekan
yang dilimpahkan umum pada dirinya, karenanya ia tidak ingin
keluar lagi dari pulau ini. Tabiatnya semakin lama pun semakin
berubah menjadi aneh dan benci pada sesamanya, sampai
kedua manusia iblis seperti Siang-mo, meski ada hubungan
juga dengan dia, namun tidak urung mereka juga sangat takut
padanya." Tengah bicara, kembali suara ular mendesis berbunyi lagi di
daratan pulau itu. "Tok-liong Cuncia datang!" tiba-tiba Wei Yang-wi berseru
kaget. Waktu Kam Hong-ti memandang, ia lihat seorang keluar
dari hutan dengan rambut terurai, di belakangnya mengikut
segerombol ular, pada waktu sampai di pesisir, tiba-tiba orang
itu membentak menghentikan barisan ular, habis itu ia sendiri
dengan langkah lebar maju ke depan.
Segera Hi Kak tampil ke depan menyambut kedatangan
orang. "Hi Kak dari Honghay dan Kam Hong-ti dari Kanglam
karena terserang angin badai, tanpa sengaja membikin ribut
pulau ini, mohon Cuncia suka memaafkan," dengan hormat
segera ia menyapa. Akan tetapi Tok-liong Cuncia tidak menjawab, sepasang
matanya mengerling, ia anggap sepi saja pembicaraan orang
tadi. "Aku dahulu pernah mengirim salam pada Cuncia dengan
perantaraan kedua saudara Sat, tentunya Cuncia sudah
menerimanya," kata Hi Kak pula.
Tetapi lagi-lagi Tok-liong Cuncia tidak menggubris,
sebaliknya mendadak ia bertanya, "Apa di antara kalian ada
yang berpe-nyakit kusta?"
"Tidak ada," sahut Hi Kak.
Mendengar jawaban ini, seketika terlihat Tok-liong Cuncia
tertawa terkekeh aneh. "Hm, jika tiada yang berpenyakit
kusta, untuk apa kalian datang ke pulau ini?" segera ia
membentak, "Hayo, semua enyah ke dalam laut sana!"
Keruan Hi Kak terkejut. "Tetapi kapal kami terdampar rusak
oleh angin badai tadi, setelah kami memperbaikinya, dengan
sendirinya kami akan meninggalkan pulau ini," sahutnya lekas.
Rupanya jawaban ini menggusarkan Tok-liong Cuncia,
matanya tampak mendelik. "Peduli apa dengan urusanmu," mendadak ia mendamprat
dengan suara melengking. "Pulau ini tidak boleh kalian
singgahi, kalian harus lekas enyah ke laut sana!"
Akhirnya Hi Kak mendongkol juga, ia sudah biasa berkuasa
di lautan, terhadap kaisar saja belum tentu ia mau merendah
seperti sekarang ini. "Kenapa kau begini tak berperikemanusiaan"
Tanpa kapal, cara bagaimana kami bisa
menyeberang lautan ini?" sahutnya dengan gemas.
Sekonyong-konyong Tok-liong Cuncia tertawa sambil
menengadah. "Haha, apakah arti peri-kemanusiaan?"
teriaknya. "Ular berbisa yang aku piara mungkin jauh lebih
baik daripada manusia semacam kau ini!"
Kiranya dahulu waktu Tok-liong Cuncia menderita penyakit
kusta, ia telah kenyang mendapat hinaan dan ejekan dari
umum, bahkan sanak saudaranya mengancam akan
membuangnya ke laut buat umpan ikan, kalau dia tidak
memiliki ilmu silat, tentu dia sudah tewas waktu itu.
Belakangan gurunya sendiri pun tidak menganggap dia
sebagai murid, ayah pun tak mengakui dia sebagai anak,
sanak-kadang dan sobat-handai taulan menghindari bertemu
dengan dia, juga saudara seperguruan hendak mengubur dia
hidup-hidup, siksaan batin segala macam waktu itu sudah dia
rasakan semuanya: Hendaklah diketahui, beberapa abad yang lalu, penyakit
kusta belum ada obat yang bisa menyembuhkannya, pada
umumnya menyangka kusta gampang menular (padahal kusta
tak gampang menular), kalau bertemu dengan penderita kusta
tentu ketakutan melebihi bertemu dengan setan iblis, oleh
sebab itulah pernah kejadian penderita kusta dipendam hiduphidup,
dijebloskan ke dalam laut atau dibakar hidup-hidup,
sering terjadi dan bukan kejadian aneh.
Tok-liong Cuncia telah merasakan semua siksaan batin tadi,
ia terima hinaan kejam itu terlalu hebat, hal itu selalu teringat
olehnya dan tidak pernah lenyap dari benaknya. Oleh sebab
itu juga ia sengaja datang ke pulau ular, sesudah dapat
menyembuhkan penyakitnya, ia pun memutuskan hubungan
dengan khalayak ramai dan tidak ingin pergi pula dari pulau ini
untuk selamanya. Kini mendadak ia mendengar Hi Kak menyebut tentang
perikemanusiaan, seketika pengalaman yang dialami dahulu
terbayang pula dan segera menimbulkan amarahnya.
Hi Kak dan Kam Hong-ti mana bisa memahami perasaan
Tok-liong Cuncia, mereka heran mengapa orang ini bertabiat
begini aneh hingga tidak bisa diajak bicara pakai akal sehat.
Karena itu segera Hi Kak mengedipi Kam Hong-ti, habis itu
dengan suara lantang ia buka suara, "Pulau ini bukan milikmu,
siapa saja boleh tinggal di sini, berdasarkan apa kau mengusir
kami ke laut?" "Hm, dan kenapa pula kalian hendak membuang diriku ke
laut, apa tempat begitu luas di daratan sana masih kurang
cukup" Tetapi pulau kecil inipun jangan kalian harap!" tibatiba
Tok-liong Cuncia menjawab dengan tertawa dingin.
"Apa kau gila?" sahut Hi Kak dengan terheran-heran. "Siapa
yang hendak membuang kau ke laut. Paling banyak kami
hanya menumpang tinggal buat beberapa hari saja di sini."
Ternyata ia tidak tahu bahwa dalam pandangan Tok-liong
Cuncia, semua orang luar telah dianggapnya sebagai orang
yang dahulu pernah menghina dan menyiksa dia. Karena itu,
demi melihat Hi Kak tetap mendebat dan melawan, ia menjadi
tambah gusar. "Bagus, kalau kalian tidak mau enyah dari sini, biar aku
lempar kalian ke laut satu per satu!" mendadak ia membentak.
Menyusul ia terus melompat maju, dengan tangannya yang
panjang segera ia mencengkeram kepala Hi Kak.
Di sebelah sana Kam Hong-ti sudah siap sedia, diam-diam
ia kumpulkan tenaga dalam, cepat ia menutul kakinya ke atas
buat menangkis, begitu tangan beradu, mendadak Kam Hongti
merasakan panas pedas dan sakit kesemutan seperti
didorong oleh suatu tenaga raksasa, dari udara ia tertolak
jatuh ke bawah. "Ha, kiranya kau pun mengerti ilmu silat, pantas berani
bandel," seru Tok-liong Cuncia heran oleh ketangkasan Kam
Hong-ti tadi. Menyusul ia pun tidak ganti tipu serangan lagi,
cengkeraman tangannya dengan cepat masih terus mengarah
kepala Hi Kak. Sementara itu Teng Hiau-lan dan Pang Ing juga terkejut
demi nampak serangan orang yang hebat ini, pedang pusaka
mereka dicabut segera, begitu bergerak, dua sinar tajam
lantas menyambar. Tui-hong-kiam-hoat mereka luar biasa cepatnya, segera
terdengar Tok-liong Cuncia berseru aneh, begitu ia kebut
lengan bajunya, dengan angin pukulannya ia paksa ujung
senjata orang melenceng ke samping, secara licin Tok-liong
Cuncia medapat loloskan diri di bawah ancaman kedua pedang
lawan, ia melompat pergi dengan cepat, sedang tangan kiri
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih mengulur pula hendak merebut Yu-liong-po-kiam Teng
Hiau-lan, berbareng tangan kanan ia pukulkan ke arah Pang
Ing. Lekas Pang Ing mengegos, sekalipun demikian, angin
pukulannya begitu keras hingga dada terasa seperti kena
tertindih benda berat, napas pun terasa sesak.
Di lain pihak, tenaga dalam Kam Hong-ti memang terlatih
tinggi sekali, meski ia terjatuh ke bawah, segera dengan sekali
gerakan 'Le-hi-pak-ting' atau ikan lele meletik, dengan cepat ia
sudah berdiri lagi, menyusul kedua telapak tangannya dengan
tipu 'Pi-san-toan-liu' atau membelah gunung memotong
sungai, segera ia so-dokkan ke depan dengan kuat. Serangan
ini dengan tepat saling bentur dengan pukulan yang Tok-liong
Cuncia arahkan pada Teng Hiau-lan, karena itu secara
kebetulan dapat menahannya.
Karena benturan ini, kembali Tok-liong Cuncia bersuara
heran, cepat ia berputar terus menghantam dengan tangan
kanan, lekas Kam Hong-ti menarik kembali tangannya, sedang
sepasang pedang Teng Hiau-lan dan Pang Ing segera
menyambar pula. Karena kerubutan ini, Tok-liong Cuncia menjadi gusar
hingga berteriak, ia mengegos sambil kedua tangannya
menyerang kedua lawannya lagi.
Namun Hi Kak pun tidak tinggal diam, begitu kakinya
melayang, dengan gerak serangan lihai ia menendang pantat
orang, Tok-liong Cuncia sama sekali tidak menghindarkan diri
atas tendangan ini, keruan segera terdengar suara gedebuk
yang keras, tempat dimana ujung kaki 11 i Kak menyentuh,
ternyata sekeras besi sampai kakinya membal kembali, kalau
Hi Kak tidak tergolong jago pilihan, tendangannya yang tidak
melukai musuh itu berbalik akan membuat kakinya patah.
Tentu saja Hi Kak terkejut, lekas ia mencabut golok
pusakanya untuk melindungi diri lebih jauh.
Kam Hong-ti pun terperanjat oleh ketangkasan orang,
secepat terbang ia menubruk maju lagi, dengan gerakan Kimnajiu ia coba memotong pergelangan tangan Tok-liong
Cuncia, tetapi serangan ini disambut Tok-liong Cuncia dengan
sodokan sikut, syukur meleset, tetapi pukulan Kam Hong-ti
pun mengenai tempat kosong.
Pada saat itu juga Pang Ing telah meloncat ke atas, dengan
pedang segera ia menikam ke pundak orang, sedang Teng
Hiau-lan pun merangsek dari samping, ia menusuk pundak
kanan musuh. Dalam keadaan demikian, terpaksa Tok-liong Cuncia harus
melepaskan Kam Hong-ti untuk kemudian susul-menyusul
kedua tangannya memukul pula, ia guncang melenceng
senjata orang, begitulah seorang lawan empat, mereka
bertempur dengan seru sekali.
Dengan Lwekang Kam Hong-ti yang tinggi, Thian-san-kiamhoat
yang dimainkan Teng Hiau-lan dan Pang Ing pun luar
biasa, berkat ajaran le Lan-cu, hanya Hi Kak yang sedikit lebih
rendah kepandaiannya, tetapi tidak di bawah Peh Thay-koan
juga. Mereka berempat bergabung boleh dikata jauh lebih
kuat daripada kekuatan Kanglam-chit-hiap.
Akan tetapi kepandaian Tok-liong Cuncia entah berapa
banyak lebih tinggi daripada Liau-in Hwesio, karena itu Kam
Hong-ti merasa jauh lebih payah daripada waktu menempur
Liau-in di atas Bin-san dahulu.
Sebaliknya semakin lama Tok-liong Cuncia semakin gagah
dan semakin kuat, meski sudah satu jam mereka bergebrak,
namun ia masih terus merangsek pihak lawan, dimana angin
pukulannya tiba, sukar untuk ditahan lawan.
Lwekang Kam Hong-ti sudah sampai puncak
kesempurnaan, meski rada payah, namun masih belum begitu
terasa olehnya, Pang Ing mempunyai ilmu entengi tubuh yang
tinggi, ia bisa berkelit kian-kemari secara gesit dan cepat,
maka ia pun belum apa-apa. Namun Teng Hiau-lan sudah
agak memburu napasnya, lebih-lebih Hi Kak, ia merasa
napasnya sesak, mulutnya haus, lambat-laun ia tak tahan.
"Teng-sioksiok, kau gunakan Si-mi-kiam-hoat dan aku pakai
Tui-hong-kiam-hoat, kita gempur bersama orang liar ini!" tibatiba
Pang Ing berseru. Si-mi-kiam-hoat lebih banyak bertahan daripada
menyerang, begitu dimainkan, seluruh tubuhnya dilindungi
rapat oleh sinar pedang, ditambah lagi Teng Hiau-lan punya
Yu-liong-pokiam yang tajamnya bisa memotong logam seperti
mengiris sayur, maka Tok-liong Cuncia tidak berani memasuki
jaring sinar pedangnya. Di lain pihak Pang Ing punya Tuihongkiam-hoat dimainkan secara cepat dan jitu, dengan dua
macam ilmu pedang Thian-san ini, mereka bekerja sama
dengan rapat merangsek Tok-liong Cuncia, seketika daya
tekanan mereka bertambah sekali lipat, ditambah lagi tenaga
pukulan Kam Hong-ti yang hebat dan ilmu permainan golok Hi
Kak yang cukup lihai pula, maka keadaan mulai berubah, dari
terserang kini mereka berbalik menyerang, mereka berempat
sudah tidak sepayah tadi, mereka bisa melayani Tok-liong
Cuncia dengan sama kuatnya.
Setelah pertarungan sengit berlangsung lagi, kelihatan
akhirnya daya tekanan Thian-san-kiam-hoat, lambat-laun Tokliong
Cuncia terdesak di bawah angin, namun sungguh hebat
sekali, orang kosen ini masih tetap tidak tampak letih.
Sampai pada saat lain, mendadak Tok-liong Cuncia bersuit
aneh dua kali, menyusul barisan ular yang sudah menanti di
belakangnya sekonyong-konyong menerjang maju seperti
banjir. "Lekas duduki semua sudut, jangan gugup!" lekas Hi Kak
bersuara pada kawan-kawannya.
Maka belasan orang di pesisir itu, di bawah pimpinan Wei
Yang-wi, Bing Bu-kong, Loh Bin-ciam dan Li Bing-cu berempat
yang berilmu silat lebih tinggi, segera menduduki keempat
sudut, dengan .senjata mereka sambut datangnya barisan
ular, keruan dalam sekejap saja sudah ada ratusan ular yang
mati terbunuh, barisan ular itu menjadi rada jeri, binatang ini
mengeluarkan suara mendesir dan berhenti di luar lingkaran
untuk menantikan kesempatan menyerang lagi, keadaan
masih sangat berbahaya. Meski demikian, belasan orang ini hanya melayani barisan
ular, tidak begitu berabe seperti Kam Hong-ti berempat.
Kam Hong-ti berempat harus mengerubuti Tok-liong
Cuncia, kini mereka harus berjaga pula dengan datangnya
barisan ular yang sewaktu-waktu bisa menyerang, mereka
betul-betul seperti telur di ujung tanduk, sedikit lengah saja
pasti jiwa melayang. Beruntung pula ada dua pedang pusaka, Yu-liong dan
Toan-giok-pokiam, di waktu genting begitu sinar pedang
berkelebat, segera belasan ular berbisa terkurung mampus.
Melihat pihak lawan mengerahkan seluruh tenaga
perlawanan, segera Tok-liong Cuncia memperkencang tenaga
pukulannya, ia paksa keempat lawannya terus bertahan, ia
cecar Teng Hiau-lan dan Pang Ing, tujuannya supaya kedua
muda-mudi ini tidak sempat mengayun senjata mereka buat
membunuh ular. "Hm, pakai bantuan ular berbisa, terhitung orang gagah
macam apa?" demikian tiba-tiba Kam Hong-ti menyindir.
Tok-liong Cuncia mengerut dahi, namun segera ia tertawa
dingin, "Hm, memangnya aku bukan orang gagah, siapa yang
bilang aku gagah," sahutnya kemudian. "Hm, jika kalian
memandang aku sebagai orang gagah, tidak nanti aku dipaksa
datang ke pulau sunyi ini."
Sebenarnya maksud Kam Hong-ti ingin memancing supaya
orang menjadi malu diri oleh kata-katanya tadi, siapa duga
Tok-liong Cuncia berlainan dengan tokoh-tokoh kalangan
Kangouw yang biasa, bahkan ia seperti hidup dalam dunia
yang lain, maka akal Kam Hong-ti sama sekali tidak berhasil.
Begitulah, sesudah bertahan sebentar lagi, keadaan
semakin menjadi berbahaya, ular-ular berbisa di dalam rimba
demi mendengar suara kawan-kawannya lantas membanjir
datang. Nampak begitu banyak jumlah ular berbisa ini, bila
ingat dalam sekejap saja bakal tergigit mati, tanpa tertahan
semua orang menjadi ngeri.
Dalam pada itu di angkasa lautan jauh sana sayup-sayup
terdengar suara binatang yang keras serak, mendadak barisan
ular mundur ke belakang dengan cepat, habis itu dengan
berbaris mereka melingkar menjadi satu barisan bundar.
Waktu Tok-liong Cuncia memandang, mendadak ia pun
melompat keluar dari kalangan, ia tinggalkan barisan ular itu
jauh-jauh dan mendekam di atas sepotong batu padas.
Nampak perubahan mendadak ini, semua orang menjadi
heran, ketika mereka menengadah, yang terlihat hanya udara
bersih tanpa mega, tiada nampak sesuatu tanda-tanda aneh.
Selang tak lama, suara serak tadi menjadi makin keras, di
atas kini riuh ramai dengan suara "sak-sak-sak" yang gaduh,
kini sudah terdengar jelas suara itu adalah bunyi semacam
burung. "Haya, lihat itu!" seru Pang Ing.
Ternyata di sudut langit sana sedang terbang mendatangi
dengan cepat segerombolan burung aneh laksana segumpal
awan hitam di permukaan laut.
"Celaka, itulah burung elang kucing, lekas sembunyi, lekas
sembunyi!" seru Hi Kak pada kawan-kawannya.
Akan tetapi kemana mereka harus bersembunyi" Di pesisir
itu tandus tiada sesuatu tempat yang bisa dibuat sembunyi,
terpaksa semua orang berkumpul di suatu tempat, mereka
siap-sedia dengan senjata untuk menjaga diri, hati mereka
kebat-kebit, mereka insaf apabila kawanan elang kucing itu
sampai menyerang dari atas, maka pasti akan jauh lebih susah
dilawan daripada barisan ular berbisa.
Waktu itu gerombolan ular tadi sudah melingkar menjadi
satu bundaran, leher binatang itu tegak ke atas, badan
mereka berdiri melengkung, tampak bersiap sewaktu-waktu
menghadapi musuh. Tak lama kemudian, gerombolan elang itupun sudah
sampai di atas pulau itu, setelah mengitar beberapa kali,
kemudian mendadak menubruk ke bawah, tetapi kawanan ular
tadipun segera memapaki musuh dengan melonjak, maka
terjadilah seketika pemandangan yang aneh, tidak sedikit
elang kucing yang dipagut oleh ular berbisa itu dan terjungkal
jatuh ke bawah, sebaliknya banyak pula ular berbisa itu
dipatuk elang kucing di bagian leher, terus digondol ke udara
untuk kemudian dibanting ke bawah hingga mati kelelap di
laut. Begitulah seketika terjadilah hujan ular, keruan semua
orang menjadi kuatir, mereka takut kalau ular itu dilempar ke
atas kepala mereka, tetapi syukur cara lemparan elang kucing
itu ternyata sangat jitu, tiada satu pun yang jatuh ke tanah,
semua ular dilemparkan ke laut.
Kiranya sudah sering elang kucing semacam ini bertarung
sengit dengan kawanan ular berbisa di pulau ini, apalagi
sesudah terjadi angin badai, sudah beberapa hari mengaso,
dan baru sekarang bergerak, barisan mereka menjadi lebih
besar, sekali ini boleh dikata adalah pertempuran terbesar
yang belum pernah terjadi selama belasan tahun paling
belakang ini, secara kebetulan semua orang bisa menyaksikan
pertarungan sengit itu. Rupanya elang itupun tahu bila ular itu
dilemparkan ke laut pasti akan mampus, maka bila leher ular
dipatuk, tentu digondol ke udara untuk kemudian
dicemplungkan ke laut. Pertarungan antara elang kucing lawan ular berbisa ini
setelah berjalan sekira setengah jam, akhirnya sudah nyata
pihak yang menang atau bakal kalah, meski tidak sedikit elang
kucing yang menjadi korban, tetapi mereka bisa terbang ke
udara, bagaimanapun mereka lebih untung, karena itu
sesudah barisan ular ini hampir separah dipatuk mati, ular lain
di dalam rimba sudah tak berani datang membantu lagi.
Sebaliknya elang kucing makin lama semakin banyak yang
menyusul datang. Akhirnya saat lohor, barisan ular sudah bobol, mereka
mengalami kekalahan besar-besaran, ular itu berdesiran riuh
dan beramai melarikan diri ke dalam hutan yang rimbun dan
bersembunyi ke dalam sela-sela batu.
Dengan kemenangan besar ini, gerombolan elang kucing
itu terbang mengitar beberapa kali lagi dengan rendah,
kembali mereka berbunyi "srak-srak-srak", agaknya seperti
bersorak-sorai atas kemenangan mereka, habis itu mereka
lantas terbang tinggi lagi menyeberangi lautan, sungguhpun
demikian, ada pula elang kucing yang rupanya sudah terlalu
payah oleh pertempuran tadi, sesudah terbang setengah jalan
akhirnya jatuh terjungkal juga ke laut.
Tok-liong Cuncia tampak putih pucat, ia remas beberapa
genggam batu kerikil dan disiapkan di tangan, tetapi ia tidak
berani sembarangan menyerang elang kucing itu, sebab kalau
ada orang berani menggeraki tangan, tentu gerombolan elang
kucing ini akan mengalihkan sasaran yang mereka arah dan
menyerang orangnya, bila sampai terjadi demikian maka
sekalipun orang itu memiliki ilmu silat betapa tinggi, tidak
mungkin bisa terhindar dari bencana.
Karena itu sesudah gerombolan elang kucing itu lenyap dari
pandangan, tanpa berkata lagi segera Tok-liong Cuncia
berjalan pergi masuk ke hutan.
"Benar-benar satu makhluk mengatasi makhluk lain sesuai
hukum alam, tidak nyana burung tadi malah bisa menolong
jiwa kita," ujar Kam Hong-ti tertawa sesudah musuh berlalu.
"Ya, tetapi sesudah menempur ular berbisa ini, paling
sedikit kawanan elang akan mengaso lagi setengah bulan, jika
ular berbisa itu membanjir datang lagi, kita harus berdaya
upaya buat membendungnya," kata Hi Kak.
Tetapi cara bagaimana harus membendung, inilah dia
sendiri tak mempunyai akal.
Jika Hi Kak memeras otak mencari daya-upaya buat
menyelamatkan diri, adalah waktu itu sesudah terhindar dari
bencana, kembali Pang Ing pergi bermain ke pesisir, di pesisir
itu terdapat banyak sekali keong yang indah, tentu saja gadis
ini sangat senang, ia mengambil yang bagus-bagus hingga
memenuhi pangkuan bajunya. Tetapi semakin memilih
semakin gadis ini tertarik, ada semacam keong yang warnanya
belang seperti belang harimau, Pang Ing sendiri tidak kenal
namanya, tetapi ia sangat menyukai, karena ingin mencari
keong semacam ini, akhirnya ia berjalan semakin jauh
meninggalkan rombongan kawannya.
"Kembali, A Ing, awas kau digulung arus ombak," seru
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hiau-lan. Tetapi Pang Ing hanya menoleh sambil mencibir, tapi ketika
ia memandang ke depan lagi, tiba-tiba ia berlari kembali.
"Hi-kongkong, lekas lihat itu, besar sekali kura-kura laut
itu!" lapornya pada Fi Kak dengan suara perlahan.
Mendengar ada kura-kura, Hi Kak jadi tergerak hatinya.
"Ssst, jangan bikin kaget dia," sahut Hi Kak mendesis.
Selang tak lama, perlahan-lahan kura laut raksasa itu
merembet sampai di pesisir, punggungnya besar laksana
sebuah payung. "Kura-kura laut sebesar itu paling gampang ditangkap, asal
kau bikin terbalik dia hingga telentang, pasti dia akan
tertangkap tanpa bisa berkutik," ujar Hi Kak dengan tertawa.
"Cuma saja kura-kura sebesar ini, jika orang biasa sedikitnya
perlu tenaga empat atau lima orang baru bisa membikin dia
terjungkir." Kam Hong-ti sendiri belum pernah melihat kura-kura laut
sebesar itu, mendengar cerita Hi Kak tadi, ia jadi tertarik juga,
segera ia berlari mendekati, sekali angkat segera ia bikin kurakura
itu telentang "Coba seret ke sini," seru Hi Kak.
Hong-ti menurut, ia tangkap kura-kura itu.
"Coba kau kili-kili tengkuk lehernya," kata Hi Kak pula.
"Kenapa harus menggoda dia?" ujar Kam Hong-ti.
"Tidak apa, coba kau kili-kili dia, supaya malam ini kita
tidak usah banyak mendapat gangguan," sahut Hi Kak dengan
tertawa. Kam Hong-ti tahu Hi Kak berpengalaman luas mengenai hal
di lautan, maka ia menurut pula dan mengkili-kili leher kurakura
itu, selang tak lama, mendadak Hi Kak menendang pergi
kura-kura itu, menyusul terciumlah bau pesing, kiranya kurakura
itu telah kencing hingga berwujud satu lingkaran kuning.
"Ular takut pada kencing kura-kura, air kencing kura-kura
sebesar ini akan lebih mustajab," ujar Hi Kak. "Maka malam ini
kita boleh berjubel dalam lingkaran kencing kura-kura ini dan
tidak perlu takut diganggu ular lagi!"
"Tetapi aku yang tidak sanggup." sahut Pang Ing tertawa.
"Ya, mungkin kau tak tahan bau pesing, boleh juga kau
tidak usah dalam lingkaran ini, cuma jangan tinggal lebih jauh
tiga tombak, lebih dari tiga tombak, kalau ular tidak mencium
bau pesing, tentu akan mengganggu dirimu," pesan Hi Kak.
"Dan malam ini kita bisa makan kenyang pula."
"Ya, kura-kura sebesar ini, dimakan tiga hari pun tidak akan
habis," sahut Kam Hong-ti.
Rasa daging kura-kura hampir sama dengan daging sapi,
maka mereka sangat suka dan makan dengan bemapsu.
Malam itu, betul saja tidak ada seekor ular pun yang
datang mengganggu, Tok-liong Cuncia pun tidak muncul.
Besok paginya cuaca cerah, hari terang benderang.
"1 lari ini kita lekas membikin betul kapal kita dan cepat
tinggalkan tempat ini," ujar Hi Kak pada kawan-kawannya.
Akan tetapi kerusakan yang menimpa kapal mereka
ternyata cukup berat, meski sehari suntuk mereka menambal
masih belum bisa pulih. Malamnya, Kam Hong-ti, Hi Kak, Wei Yang-wi dan lain-lain
bergiliran berjaga. Tengah malam, tiba-tiba terdengar di
pesisir ada suara gedubrakan kayu retak, lekas Kam Hong-ti
membangunkan kawannya, mereka menyalakan api dan
memburu ke pesisir dimana kapal mereka berlabuh, tetapi
sesampainya di sana mereka dapatkan Tok-liong Cuncia
dengan sebatang tongkat besinya sedang menghantam dan
mengemplang serabutan pada badan kapal mereka, begitu
tongkatnya menyentuh badan kapal, segera pecahan kayu
papan beterbangan, dan waktu semua orang memburu tiba,
kapal mereka sudah retak dan pecah tak keruan, untuk
membetulkannya sudah tidak mungkin lagi.
Keruan Kam Hong-ti menjadi gusar.
"Kau tidak mengizinkan kami tinggal di pulau ini. maka
kami akan berangkat pergi, tetapi kenapa kau merusak kapal
kami," bentaknya sengit
"Hm, biar kalian hendak pergi sekarang pun tak bisa lagi,"
sahut Tok-liong Cuncia dengan tertawa dingin. "Aku masih
belum puas bermain dengan kalian, marilah kita kendurkan
otot lagi!" Kiranya selama beberapa puluh tahun Tok-liong Cuncia
tinggal di pulau ular, sering kali ia saksikan tiga jenis binatang,
ular, elang kucing dan tikus raksasa saling bertarung, dari
gerak-gerik binatang itu ia telah banyak menciptakan berbagai
gerak tipu silat yang aneh, tetapi selama beberapa puluh
tahun itu pula ia tidak pernah menginjakkan kaki keluar pulau,
sampai dimana tingkat ilmu silatnya ia sendiri tidak tahu.
Malahan belasan tahun yang lalu ketika Siang-mo tinggal di
Niau-eng-to, kedua saudara Sat ini telah menyambangi dia,
dengan merendah mereka mengajak bersahabat. Siang-mo
mengatakan bahwa ilmu silatnya sudah tiada tandingan di
kolong langit ini, tetapi ia sendiri hanya setengah percaya dan
setengah sangsi. Kali ini secara kebetulan ia kebentur Kam Hong-ti dan
kawan-kawan yang berilmu silat tinggi, setelah setengah hari
saling labrak, ia menjadi sangat senang. Setelah ia kembali,
mendadak ia berubah pikiran, jika tadinya ia hendak
membunuh habis atau mengusir semua orang masuk ke laut,
sekarang ia berpikir, "Kenapa aku harus membinasakan
mereka, kebetulan sekali mereka paham ilmu silat, lebih baik
aku biarkan mereka ke sini untuk mencoba ilmu silatku, nanti
kalau aku sudah cukup puas, masih belum terlambat aku
lemparkan mereka ke laut satu per satu atau membiarkan
mereka mampus digigit ular."
Begitulah, maka demi mendengar kata-katanya tadi, Kam
Hong-ti menjadi murka. "Manusia siluman yang tak tahu adat,
mari kawan-kawan, kita beramai membinasakan dia!"
bentaknya segera. Namun segera pula Tok-liong Cuncia tertawa terbahakbahak.
"Haha, aku belum mau membunuh kalian, tapi kalian
berbalik hendak membunuh aku" Hah, apakah ini perikemanusiaan
yang kalian maksudkan itu?" sahutnya
kemudian. Berbareng tongkatnya menyerampang.
Kam Hong-ti tak berani sembarangan menyambut dengan
tangan kosong, segera ia cabut goloknya yang tebal, ia
membabat miring, terdengarlah suara "trang" yang keras,
kedua senjata saling bentur hingga tangan Kam Hong-ti terasa
pegal kesemutan. Sementara itu Pang Ing dan Teng Hiau-lan pun tidak
tinggal diam, kedua pedang mereka bekerja berbareng.
Mendadak Tok-liong Cuncia menutul tongkatnya pada Teng
Hiau-lan, pemuda ini kenal serangan orang yang lihai, lekas ia
mundur selangkah, ia lintangkan pedangnya buat menangkis.
Tak terduga ilmu silat Tok-liong Cuncia ternyata hebat dan
aneh sekali, begitu ia menekuk pergelangan tangan,
tongkatnya yang terbuat dari baja itu mendadak melengkung
seperti sabuk, dengan cepat tahu-tahu mengarah tubuh Pang
Ing. Sudah tentu sama sekali Pang Ing tidak menduga senjata
orang bisa melengkung, maka hampir saja ia kena tersabet,
syukur anak dara ini memiliki Ginkang yang bagus, di bawah
ancaman maut itu ia tutulkan ujung pedangnya pada tongkat
musuh, dengan tenaga pinjaman ini mendadak tubuhnya
mencelat ke belakang. Tentu saja Teng Hian-lan dan Kam Hong-ti terkejut hingga
keluar keringat dingin, lekas mereka mengeroyok dari kanankiri
untuk melepas tekanan musuh pada Pang Ing.
Sekali ini Tok-liong Cuncia bertempur memakai senjata,
keruan seperti macan tumbuh sayap, meski Kam Hong-ti,
Teng Hiau-lan, Pang Ing dan Hi Kak berempat sudah
mengeluarkan sepenuh tenaga dan seluruh kepandaian
mereka, toh tidak urung masih ber-" ada di pihak terserang.
Segera Hi Kak bersuit sekali, Wei Yang-wi dan Bing Bukong
lantas ikut masuk pula ke dalam kalangan pertarungan,
kepandaian kedua orang ini sepadan dengan Hi Kak, dengan
enam lawan satu dan bekerja sama mati-matian, dengan
demikian lambat-laun baru bisa berubah kedudukan mereka.
Pertarungan hebat ini berlangsung sampai fajar, kedua
belah pihak sudah megap-megap, tapi dalam keadaan
demikian terdengar Tok-liong Cuncia bergelak tertawa lagi,
habis itu ia lantas berlari pula masuk hutan.
Tentu saja Kam Hong-ti sangat mendongkol.
"Kurangajar, kalau kita tidak binasakan dia dan tiap hari
harus menerima gangguannya, lantas bagaimana kita bisa
kembali ke daratan dan siapa lagi yang dapat menolong
pangkalan Hi-locian-pwe?" kata Kam Hong-ti dengan sedih.
"Mengenai pangkalanku itu biarkanlah, kalian yang terpaksa
ikut bersusah-payah," sahut Hi Kak menarik napas.
"Agaknya kita harus tetap berusaha membuat kapal,
dengan begitu baru ada jalan hidup," ujarnya.
"Ya, tetapi sebelum kapalmu jadi, orang biadab itu akan
datang lagi menghancurkannya, lalu apa gunanya?" sahut Hi
Kak. "Sebenarnya dengan kekuatan kita meski tidak bisa
membinasakan dia, namun untuk mengalahkan dia juga bukan
soal lagi," ujar Kam Hong-ti. "Kita bisa membikin kapal di
siang hari dan malamnya berjaga secara bergiliran, tempat
pembuatan kapal kita bikin di sekitar sini, begitu mendengar
sesuatu suara, segera kita keroyok dia dan rintangi dia
merusak, dengan demikian akhirnya pasti akan jadi juga kapal
kita. Cuma barisan ular itu yang tak berdaya dilawan."
"Jangan kuatir, ular-ular di pulau ini setelah mengalami
kekalahan tempo hari, agaknya tak berani keluar ke pesisir
secara besar-besaran," kata Hi Kak. "Padahal ular berbisa itu
kebanyakan takut pada manusia, makin berbisa ularnya makin
kecil nyalinya. Mereka selain takut pada bau kencing kura-kura
dan warangan, juga takut pada suara keras, di kapal rusak
kita masih terdapat beberapa nampan, kita bisa ambil dan
ditabuh untuk menakuti ular, asal mereka tidak bergerombol
datangnya, kita pasti dapat membikin takut mereka hingga
ngacir." Setelah dipikir, walaupun kapal belum tentu jadi, tapi
adalah lebih baik berusaha daripada menanti datangnya ajal
saja. Oleh karena itu semua orang lantas menurut usul Kam
Hong-ti tadi, pada siang hari mereka menebang kayu buat
membikin kapal sedang malam hari berjaga secara bergilir,
dengan demikian tiga hari telah mereka lalui dengan selamat,
sedikit ular berbisa yang coba datang mengganggu segera
dibinasakan, Tok-liong Cuncia sendiri ternyata tidak nampak
batang hidungnya. Malam ini bergilir Teng Hiau-lan dan Pang Ing yang dinas
jaga, kedua orang ini sejak berjumpa kembali di gubernuran
Soatang, meski dalam perjalanan bersama, tapi selama ini
belum pernah muka berhadapan muka untuk bercakap-cakap.
Malam ini mereka dinas jaga, sementara itu sudah dekat
fajar, namun sedikit suara pun tidak ada yang mencurigakan.
"Rupanya orang hutan itu tidak bakal datang malam ini,"
dengan tertawa Pang Ing berkata, "Teng-sioksiok coba
terangkan padaku, kau pergi secara diam-diam, apa bibi tidak
akan marah?" Hiau-lan menjadi jengah oleh pertanyaan ini. "Aku tidak
pergi secara diam-diam," sahutnya kemudian.
"Dan kalau begitu, apa bibi yang mengizinkan kau pergi"
Ah, aku tidak percaya!" kata Pang Ing lagi dengan tertawa.
"Suhu yang menyuruh aku keluar buat mencari kau," Hiaulan
menerangkan. "Ehm, memang Nyo-kongkong sangat baik, sebaliknya
kenapa bibi begitu galak?" kata si nona pula.
Tentu saja Hiau-lan tambah jengah dan serba sulit, ia
alihkan pandangan matanya dan menghindari jawaban itu.
"Tempo hari aku telah menempeleng bibi, kau tidak marah
padaku bukan?" demikian Pang Ing bertanya lagi.
"Tetapi pukulan itu memang tepat," sahut Hiau-lan.
"Ya, Sioksiok, sungguh kau harus dikasihani
Pang Ing masih menerocos terus, ketika mendadak nampak
wajah Hiau-lan berubah serba salah, lekas ia urungkan katakatanya
lebih lanjut. Sebaliknya Hiau-lan menjadi terharu, tiba-tiba ia pegang
kencang tangan anak dara itu.
"A Ing, nasibku yang jelek agaknya sudah ditakdirkan,"
katanya kemudian. "Hendaklah kelak kau jangan seperti aku,
karena ingin membalas budi lantas menyerahkan diri pada
orarg lain." Sekali ini berganti Pang Ing yang merah jengah mukanya.
"Paman jangan melantur," katanya, "aku sendiri sama
sekali belum memikirkan hal itu. Ehm, sebenarnya kalau orang
lain menanam budi padamu, berarti orang itu memperhatikan
dirimu, asal bukan bertujuan membalas budi, kenapa
keduanya tidak boleh merangkap perjodohan?"
Pang Ing masih bersifat anak-anak, apa yang ingin dia
katakan segera diutarakan, karena itu hati Hiau-lan jadi
terguncang. "He,'semuda ini usiamu sudah suka bicara hal demikian!"
dengan tertawa ia menggoda.
"Sioksiok, jangan kau mungkir, kan kau sendiri yang bicara
dulu tentang urusan ini?" sahut Pang Ing.
Tengah mereka asyik bicara, tiba-tiba terdengar suara
tertawa aneh, entah darimana munculnya, tahu-tahu Tok-liong
Cuncia sudah berada di samping situ.
Keruan Hiau-lan dan Pang Ing sangat terkejut.
Saat itu tiba-tiba Tok-liong Cuncia angkat tongkat bajanya
terus mengemplang, lekas Teng Hiau-lan dan Pang Ing
meloncat ke kanan dan ke kiri, berbareng kedua pedang
mereka menangkis senjata musuh, jarak kedua belah pihak
terlalu dekat, untuk menghindarkan diri saja sulit, maka
terdengar suara "trang-trang" dua kali, kedua pedang tepat
memotong tongkat orang hingga lelatu api bercipratan, Hiaulan
dan Pang Ing berdua hampir saja jatuh tersungkur oleh
getaran itu, sebaliknya tongkat Tok-liong Cuncia terpotong
dua dekukan. "Manusia siluman datang!" teriak Hiau-lan untuk
mengundang bala bantuan. Sementara itu Tok-liong Cuncia lagi tertawa terkekeh aneh,
mendadak ia pentang telapak tangannya yang lebar terus
menjambret pergelangan tangan Teng Hiau-lan.
"Ha, pedangmu ini ternyata barang bagus, pinjam lihat
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebentar!" katanya dengan tertawa.
Di luar dugaan, Teng Hiau-lan lantas mengangkat tangan
dan membaliki pedangnya, Tok-liong Cuncia sama sekali tidak
pandang sebelah mata atas kepandaian Hiau-lan, tak terpikir
bahwa Thian-san-kiam-hoat yang hebat itu dalam keadaan
terancam bisa mendadak balas menyerang, maka ketika
sekonyong-konyong Hiau-lan menggeraki senjatanya, seketika
pula lengan Tok-liong Cuncia tergores luka.
Keruan Tok-liong Cuncia menjadi gusar, begitu kelima
jarinya menyambar, ia cengkeram kencang urat nadi
pergelangan tangan Hiau-lan hingga seketika pemuda ini lemas lunglai tak bisa
berkutik. Setelah berhasil membekuk pemuda ini, segera pula Tokliong
Cuncia membawanya dan dilarikan secepat terbang.
"Pedangmu aku tidak ingin lagi, tapi aku akan
melemparkan kau ke laut sebagai umpan ikan!" teriaknya
sengit sambil menyeret Teng Hiau-lan.
Tetapi Pang Ing juga tidak ayal, segera ia mengudak
dengan cepat. Di lain pihak, ketika mendengar suara teriakan
itu, Kam Hong-ti dan lain-lain sudah menyusul tiba.
Ilmu entengi tubuh Pang Ing paling tinggi di antara kawankawannya,
tiga kali naik turun ia sudah menyusul sampai di
belakang Tok-liong Cuncia, begitu pedangnya dia angkat,
segera menusuk. Namun dengan membaliki tongkatnya Tok-liong Cuncia
paksa nona ini meloncat mundur kembali, begitulah
seterusnya, bila Pang Ing menerjang dan menusuk dari
belakang, segera ia didesak mundur lagi oleh sambaran
tongkat orang, sekalipun demikian, Pang Ing tidak putus asa,
ia masih terus memburu dengan kencang.
"Nona Ing, jangan gegabah," seru Kam Hong-ti.
Tetapi mana Pang Ing mau menurut dan membiarkan sang
'paman' dilempar ke laut mentah-mentah oleh musuh.
Setelah mengudak sampai di tepi laut, ia lihat Tok-liong
Cuncia mengayunkan tangan dan melempar jauh tubuh Teng
Hiau-lan berikut pedangnya ke tengah laut.
"Siluman, baiklah aku mengadu jiwa dengan kau." damprat
Pang Ing sambil menangis.
Menyusul ia mainkan pedangnya secepat angin, beruntun ia
kirim tiga kali tusukan pada musuh dengan tipu serangan yang
ganas, tetapi Tok-liong Cuncia memapaki gadis ini, tongkatnya
menyabet dari samping, sungguhpun tahu datangnya
serangan ini, namun Pang Ing masih terus menerjang maju
tanpa gentar. Nampak Pang Ing tak gentar mati, diam-diam Tok-liong
Cuncia berpikir, "Anak dara ini mempunyai Kiam-hoat yang
bagus, jangan aku binasakan dia!"
Karena itu, tenaga serangan tongkatnya mendadak ia tarik
kembali sebagian, walaupun demikian. Pang Ing masih tidak
bisa menahannya, tubuhnya mencelat ke udara untuk
kemudian kecem-plung pula ke tengah laut.
"Sayang, sayang," berulang-ulang Tok-liong Cuncia berkata
dengan menggoyang kepala tanda gegetun.
Tatkala itu air pasang lagi naik hingga ombak menrJampar
dengan hebat, meski Pang Ing paham berenang, tapi belum
terlalu pintar, ketika datang satu pusaran air yang bergulunggulung,
segera anak -lara ini terhanyut sampai ke tengah laut.
Sementara itu Pang Ing lihat Hiau-lan lagi terapung
terbawa arus dan tidak jauh di depannya. Segera ia selipkan
pedang di pinggang dan sekuat tenaga ia berenang ke
dekatnya. Waktu itu ada ombak yang tinggi mendampar pula
dari samping, seketika tubuh kedua muda-mudi itu laksana
melayang di awang-awang dan terlempar ke atas setinggi
belasan ombak, waktu turun kembali bersama alun, jarak
mereka dengan pantai sudah semakin jauh.
Menyaksikan kedua kawannya terlempar ke laut. Kam
Hong-ti terkejut dan gusar pula, waktu ia memburu sampai
tepi laut, bayangan kedua kawannya sudah menghilang
ditelan ombak yang mendampar dengan hebatnya.
"Apa kau ingin masuk ke laut juga buat umpan ikan?"
segera Tok-liong Cuncia membentak Kam Hong-ti.
Keruan Kam Hong-ti menjadi murka, ia angkat goloknya
dan segera membacok, ketika kedua senjata saling bentur,
Kam Hong-ti tergetar mundur, terpaksa ia melayani musuh
dengan 'Pat-kwa-yu-sin-to-hoat', ilmu permainan golok yang
bergerak menurut gambar Pat-kwa.
Tak lama kemudian, Hi Kak dan lain-lain pun sudah
menyusul datang, dengan tenaga gabungan belasan orang,
mereka mengepung Tok-liong Cuncia di tengah, mereka
menempur orang liar ini mulai dari pagi hingga lohor, mungkin
sudah ribuan jurus berlalu, tetapi masih tetap sama kuat dan
belum ada yang mampu menangkan pihak lain.
"Hahaha, sudah waktunya aku tidur siang, selamat tinggal,
sampai bertemu besok," demikian dengan gelak tertawa Tokliong
Cuncia berseru. Habis itu ia lantas menerjang keluar dari
kepungan terus berlari pulang dengan cepat.
Kam Hong-ti dan kawan-kawan betul-betul mati kutu, tapi
apa daya, untuk mengejar tidak bisa, mereka menyaksikan
Tok-liong Cuncia berlari sampai di tepi kapal yang belum
selesai mereka bikin, di sini ia kerjakan tongkatnya lagi
dengan hebat, dalam sekejap saja badan kapal telah
dihancurkan pula. Gemas sekali Kam Hong-ti dan lain-lain, mereka hanya bisa
saling pandang saja menyaksikan Tok-liong Cuncia lari masuk
ke dalam hutan dengan sambutan hangat dari ular-ularnya.
"Cara tewasnya Hiau-lan dan Pang Ing begini
mengenaskan, bagaimana hatiku bisa tenteram atas nasib
mereka?" kata Kam Hong-ti dengan perasaan sedih.
"Sudahlah, daripada disiksa begini lebih baik kita mati
saja," ujar Hi Kak sambil mengangkat golok terus hendak
menggorok leher sendiri. Syukur dengan cepat Kam Hong-ti keburu mencegah
sembari menahan air mata.
Dalam pada itu saking letihnya, sudah ada beberapa orang
di antara kawan mereka yang menjatuhkan diri terus tidur
menggeros. Sebenarnya Hi Kak tidak sengaja hendak bunuh diri, hanya
karena mendengar kata-kata Kam Hong-ti yang mengharukan,
ia menjadi pedih sekali dan timbul pikirannya yang cupet,
tetapi kini sesudah melihat keadaan anak-buahnya, saking
terharunya ia pun mengucurkan air mata.
Sementara itu dengan terhanyutnya Teng Hiau-lan dan
Pang Ing oleh ombak, diam-diam Kam Hong-ti berpikir,
"Setelah berkurang kedua kawan, kekuatan pihak kita menjadi
lemah, selanjurnya sekali-kali jangan sampai ada korban lagi
meski hanya seorang. Kerja sama di antara belasan orang kita
ini masih belum sempurna betul, untuk melawan musuh masih
harus dicari jalan lain yang lebih tepat. Ai, sunguh sayang
seribu sayang, kematian kedua kawan itu betul-betul harus
disesalkan." Jika Kam Hong-ti dan Hi Kak menyangka Teng Hiau-lan dan
Pang Ing telah mati tenggelam ke dasar laut, padahal waktu
itu kedua orang ini sedang terombang-ambing di permukaan
laut luas. Walaupun Lwekang kedua orang ini belum terhitung
sempurna betul, tapi sedikitnya sudah cukup matang juga,
karena itu, ketika terdampar oleh ombak yang bergulunggulung,
mereka lantas tahan pernapasan, dengan demikian
mereka bisa bertahan cukup lama, akhirnya Pang Ing dapat
menyusul ke dekat Teng Hiau-lan terus menarik pemuda ini ke
permukaan air. "Kau terluka tidak, paman?" tanya Pang Ing.
"Tidak," sahat Hiau-lan cepat.
Tengah bicara, mereka dipapaki lagi oleh gelombang
ombak yang tinggi, lekas mereka menyelam ke bawah air,
mereka membiarkan dihanyutkan pusaran arus, selang tak
lama, setelah ombak itu lewat baru mereka menongol keluar
buat berganti napas. Saat itu mereka sudah berada di tengah samudera luas,
sekeliling mereka hanya air belaka dan tidak tertampak
adanya daratan, letak pulau ular yang mereka datangi tadipun
sudah tidak ketahuan lagi.
Setelah terombang-ambing setengah harian, angin dan
ombak lambat-laun tenang kembali, tetapi mereka sudah
kehabisan tenaga, terpaksa harus membiarkan diri mereka
terhanyut dengan menyelam ke bawah seperti tadi.
Karena ombak di atas air sudah tenang maka daya tekanan
tubuh mereka menjadi ringan, perasaan mereka pun tidak
tegang lagi, baru mereka mengetahui di dasar air ternyata
merupakan satu dunia lain yang aneh dengan warna air laut
yang biru muda, mereka lihat di dasar lautan penuh tumbuh
bunga karang yang beraneka macam ragamnya, ada yang
berbentuk kembang, ada pula yang berhentak tanduk
menjangan, balikan ada yang mirip pepohonan yang lebat
dengan ranting dan daun beraneka warna yang indah sekali.
Keruan Pang Ing sangat senang, segala kemungkinan
bahaya sudah dia lupakan.
"Sioksiok, aku akan memetik bunga karang," ia berkata
pada Teng Hiau-lan. Akan tetapi berbicara di bawah air terang tidak bisa
terdengar, Hiau-lan hanya nampak bibir anak dara ini bergerak
tapi apa yang dikatakan sama sekali tak terdengar, waktu
nampak gadis ini menyelam terus ke bawah, terpaksa ia
menyusul. Di dasar laut letak bunga karang tampaknya dekat, padahal
masih sangat jauh, karenanya meski Pang Ing telah menyelam
ke bawah sampai cahaya matahari tak tertampak lagi dan
sebagai gantinya hanya warna gelap butek, apapun tidak
kelihatan, jangankan bunga karang segala.
Pang Ing mengerti makin menyelam akan semakin dalam
dan sebaliknya malah tidak menarik keadaan di bawah air situ,
selagi ia hendak mumbul kembali ke atas, tiba-tiba tertampak.
olehnya ada sinar yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang.
Kiranya banyak pula makhluk di bawah laut yang badannya
bisa mengeluarkan sinar seperti cahaya kunang-kunang
hingga dari jauh kelihatan seperti banyak sekali bola lampu
yang bersinar kelap-kelip.
Sebangsa ikan bersinar ini sama sekali belum pernah dilihat
Pang Ing, tentu saja ia lantas lupa daratan lagi, lupa untuk
mengapung ke atas, dalam pada itu tiba-tiba ia merasakan
betisnya seperti kena terlilit oleh sesuatu, Pang Ing menjadi
kesakitan dan melonjak, hal ini telah dapat dilihat Hiau-lan,
kiranya kaki gadis ini dibelit oleh jari-jari seekor cumi-cumi
raksasa, lekas Hiau-lan mencabut pedangnya menabas kutung
tangan cumi-cumi yang melilit tadi terus menarik gadis ini ke
permukaan air. Setelah mengalami pelajaran ini, barulah Pang Ing merasa
kapok, ia tak berani sembarangan menyelam ke dasar laut
lagi. Sesudah terapung hampir seharian, tenaga kedua orang
sudah terlalu banyak terbuang, mereka merasa letih sekali,
untuk menahan napas saja rada payah. Keruan diam-diam
Hiau-lan mengeluh, ia pikir jika terus-menerus terapung
begini, akhirnya meski tidak ditelan ikan laut tentu pula akan
mati kelaparan dan kehausan (air laut tidak bisa diminum
untuk menahan dahaga). Tengah mereka kehabisan akal dan kuatir, tiba-tiba terlihat
di tempat tidak terlalu jauh, di permukaan air sana
menyembur keluar sebuah tiang air, seekor makhluk raksasa
sebesar bukit kecil kemudian menongol keluar di permukaan
air. Pang Ing sudah kenal makhluk aneh ini adalah ikan paus,
tibatiba ia mendapat akal. "Mari kita menunggang di atas
punggungnya," segera ia mengajak.
Teng Hiau-lan pikir akalnya ini bisa ditempuh juga sebagai
satu harapan untuk mencari hidup, dengan sepenuh tenaga
mereka lantas menyelam ke samping ikan paus itu dengan
menahan dam-paran ombak yang terjangkit karena semburan
ikan paus itu, kemudian mereka merambat naik ke punggung
binatang itu. Ikan paus ini laksana sebuah bukit kecil saja,
kalau hanya ditumpangi dua orang, sama sekali tidak berasa.
Sesudah ikan paus ini berenang kian kemari, akhirnya Teng
Hiau-lan melihat sebuah pulau kecil, lekas ia beritahukan Pang
Ing, mereka menunggu, begitu ikan paus mendekati pulau itu,
segera mereka terjun ke dalam laut lagi dan berenang ke
daratan itu. Mereka sudah berpengalaman tentang kejadian di pulau
ular, maka sekali ini mereka berlaku sangat hati-hati. Mereka
lihat di atas pulau ini pepohonan lebat menghijau, banyak
sekali burung, yang paling menggembirakan ialah tidak seekor
ular pun yang terlihat. Kiranya pulau ini berasal dari batu karang yang tertimbun
oleh tahi burung yang sudah kering, lama-kelamaan timbunan
kotoran burung itu menjadi lapuk seperti tanah, karena
suburnya tanah oleh kotoran burung ini, maka di atas pulau
tumbuh dengan lebatnya pepohonan dan bunga yang
beraneka warna. Pang Ing menjadi lega setelah mendarat di pulau ini, waktu
ia lihat bajunya sendiri yang basah kuyup, ia menjadi geli.
"Lalu bagaimana baiknya sekarang?" katanya dengan
tertawa. Mereka lantas memeriksa keadaan sekeliling pulau itu,
mereka dapatkan sebuah kolam di barat pulau ini, Pang Ing
mencoba cicipi air ini, ia merasakan air ini segar sekali.
"Ha, ini adalah air tawar," serunya girang. "Sioksiok, aku
akan mandi dulu di sini, nanti kalau pakaian sudah kering baru
keluar kembali." Karena itu Hiau-lan lantas bertindak pergi, ia menyingkir ke
tepi laut menikmati pemandangan.
Agak lama, sesudah Pang Ing memakai bajunya yang kini
sudah kering, ia lantas memanggil Hiau-lan bergilir mandi.
Malam itu, sebagai santapan mereka berhasil membidik
beberapa ekor burung laut, dengan api yang mereka buat,
mereka makan panggang burung itu dengan nikmat.
Begitulah mereka tinggal di atas pulau itu dan siang-malam
mengharap bisa bertemu sesuatu kapal yang'lewat di situ,
akan tetapi harapan mereka ternyata kosong belaka, sedang
hawa lambat-laun berubah menjadi dingin, musim rontok
sudah berganti dengan musim dingin. Untuk menahan dingin
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pang Ing menggunakan serat rami yang tumbuh liar di pulau
itu dan dirajut menjadi baju.
Mereka menjadi semakin tak sabar bila melihat iklim
berganti, siang hari pendek dan malam hari menjadi panjang
(di daerah yang mempunyai empat iklim, kalau musim dingin
malam hari lebih panjang daripada siang hari). Mereka tidak
tahu pula dimana letak Coa-to atau pulau ular, andaikan
mereka berani mengambil resiko juga tak dapat menemukan
pulau itu. Sungguhpun mereka melewatkan hari-hari itu dengan tak
sabar, tapi mereka pun tidak pernah lupa berlatih Lwekang
maupun Kiam-hoat. Sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap saja pohonpohon
di pulau itu sudah berbunga lagi, tampaknya musim
semi sudah tiba. Dengan mata kepala sendiri Pang Ing menyaksikan Teng
Hiau-lau bersedih setiap hari, dalam hati ia pikir, "Waktu
setahun gampang dilewatkan, bulan lima sudah akan tiba,
waktunya racun di tubuhnya akan mulai bekerja, walaupun
kini tidak diketahui dengan pasti, namun musim semi kiranya
sudah tiba juga." Karena pikiran itu, Pang Ing jadi sedih juga.
"Marilah kita membikin kapal buat meninggalkan tempat ini,"
pada suatu hari ia berkata kepada Teng Hiau-lan.
"Susah," sahut Hiau-lan dengan menggoyang kepala. "Kau
dan aku tidak bisa mengemudikan kapal, pula tidak terlalu
paham dalam air, cara bagaimana bisa berlayar di samudera
raya" Apa kau masih berpikir bertemu dengan seekor ikan
paus lagi yang akan membawa kau kembali ke daratan?"
Karena sahutan ini Pang Ing menjadi bungkam dan
mukanya suram. "Teng-sioksiok, kau punya Lwekang sudah maju sangat
pesat, bagaimana rasa dadamu belakangan ini bila kau lagi
mengatur pernapasan?" tiba-tiba ia bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, Hiau-lan mengerti menuju
kemana maksud orang. "Sudahlah, kau jangan kuatirkan diriku, soal mati-hidup
serahkan saja pada takdir!" sahutnya kemudian dengan
menyeringai. "Apa kita harus menanti ajal di pulau ini tanpa berdaya
atau harus berani mengpmbil resiko menyeberangi lautan ini?"
kata Pang Ing. "Biar aku terkubur di sini, tak akan kubiarkan kau
menghadapi bahaya lagi," sahut Hiau-lan tegas. "Kita dapat
menunggu lagi setahun atau dua tahun, akhirnya kita tentu
akan mendapatkan kapal yang berlalu di sini, di pulau ini tidak
kekurangan makanan, kenapa kau takut?"
Karena jawaban ini, seketika Pang Ing terharu, matanya
merah basah. "Bukannya aku takut, tetapi aku kuatirkan kau .... O, Tengsioksiok,
kenapa kau selalu berpikir untuk diriku" Akulah yang
membikin susah kau minum arak beracun dari kaisar anjing
itu, dan sekarang kau akan menemui ajal di pulau karang ini,"
demikian ia meratap, akhirnya ia malah menangis dan
merangkul leher Teng Hiau-lan.
Pemuda ini diam saja, lama dan lama sekali baru ia
lepaskan kedua tangan si nona yang merangkul padanya.
"Anak bodoh, kenapa harus menangis," ia coba menghibur.
"Seandainya aku bakal mati, bukankah kita harus bersenangsenang
dahulu, kenapa menantikan kematian dengan
menangis, sungguh tak berharga!"
Karena bujukan ini segera Pang Ing berhenti menangis,
malah terus melonjak bangun. "Ya, betul, Sioksiok, kita harus
bersenang-senang dahulu!" ujarnya. "Sioksiok, coba katakan,
adakah sesuatu yang mengecewakan hidupmu, marilah kita
berusaha memenuhinya."
Karena kata-kata anak dara ini, Hiau-lan jadi teringat pada
tragedi kehidupannya dengan urusan perjodohannya yang
rumit itu, ia menjadi sedih sekali, namun ia coba menahan
perasaan hatinya. "Tidak ada!" sahutnya kemudian dengan tersenyum paksa.
"Melihat wajahmu, aku tahu kau berdusta padaku," kata
Pang Ing. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menyambung lagi,
"Sioksiok, hatimu welas-asih dan pemurah, kau selalu
memikirkan diri orang lain, sebaliknya kenapa bibi selalu
marah-marah padamu?"
"Darimana aku tahu?" sahut Hiau-lan. "Sudahlah jangan
menyebut dia lagi, kalau menyebut dia aku lantas merasa
jemu!" Pang Ing menunduk, ia bungkam, selang tak lama tiba-tiba
dengan bertepuk tangan ia buka suara lagi dengan tertawa.
"Sioksiok, dahulu semasih kecil, bukankah kau mengajar aku
agar jangan berbohong?" tiba-tiba ia bertanya.
"Kenapa?" sahut Hiau-lan.
"Dan jika betul, seharusnya kau sendiri jangan berbohong,"
kata Pang Ing lagi. "Tadi baru saja kau bilang tiada sesuatu
yang membikin hatimu kesal, tapi sekarang kau bilang kalau
menyebut bibi lantas jemu, bukankah memang ada sesuatu
yang mengecewakan hatimu?"
Hati Hiau-lan terguncang oleh serentetan kata-kata si nona,
terbayang olehnya bayangan Lu Si-nio, katanya dalam hati,
"Selalu memikirkan orang lain, inilah Lu Si-nio yang
mengajarkan padaku. Kini aku hanya menganggap dia sebagai
guru, pikiran bodoh yang dulu-dulu sudah berlalu."
Kemudian timbul juga bayangan Nyo Liu-jing yang segera
lenyap pula, waktu ia pentang lebar matanya, yang tertampak
adalah 'keponakan' yang lincah dengan tertawa riang di
hadapannya, tapi kata-kata anak dara ini laksana sebutir pelor
yang tepat mengenai lubuk hatinya, karena itu mendadak
mukanya menjadi merah, ia tak berani berpikir lagi.
"Haha, lihatlah muka paman menjadi merah!" dengan
bertepuk tangan Pang Ing menggoda dengan tertawa. "Dan
kenapa dahulu kau mau bertunangan dengan bibi?" tiba-tiba
ia bertanya lagi. "Ya, karena ayahnya terlalu baik padaku," sahut Hiau-lan
dengan kepala menunduk. "Kalau begitu soalnya karena kau terpaksa," kata Pang Ing.
"Seandainya kau tak mati, kau tinggal untuk selamanya di
pulau karang-ini, dan dia tidak mengikuti kau, apa dalam
hatimu masih kau anggap dia sebagai istrimu dan terus
menantikan dia?" Hati Hiau-lan terguncang pula.
"Sudahlah, jangan kau sebut urusan ini lagi, kalau kau
sebut urusan ini, aku menjadi kurang senang!" sahutnya
kemudian. "Baik, aku takkan sebut lagi," kata Pang Ing tertawa.
"Sioksiok, aku tentu akan berdaya membikin kau senang."
Hendaklah diketahui, kini Pang Ing berupa gadis remaja
yang berusia tujuh-delapan belas tahun, dalam beberapa'
bulan ini siang malam ia berdampingan dengan Teng Hiau-lan,
dalam hati ia berterima kasih karena budi pertolongan pemuda
ini, karena itu tanpa terasa dan tanpa sadar ia telah jatuh
cinta padanya. Sebenarnya ia pun tidak pernah berpikir hendak menjadi
istri pemuda ini, ia hanya merasa kalau sang 'paman" menikah
dengan 'bibi' itu, sungguh tidak setimpal.
Pang Ing dibesarkan di Thian-san, wataknya polos dan
suka terus terang, ia tak mempunyai pandangan sebagaimana
anak gadis umumnya, maka terhadap 'paman' yang berlainan
she itu, pada hakikatnya ia tidak memikirkan soal panggilan
segala. Sejak hari itulah, pada diri mereka lantas tumbuh semacam
perasaan yang aneh. Hiau-lan anggap bermain dengan kawan
setingkat, soal hubungan 'paman' dan 'keponakan' antara
mereka sudah lenyap perlahan-lahan. Mereka bermain
bersama, memetik bunga, menangkap burung atau mengail
ikan di laut. Kalau pagi menikmati pemandangan matahari
terbit, jika malam melihat bintang-bintang di langit, hari-hari
itu mereka lewatkan dengan penuh gembira.
Tiap hari mereka pun berharap ada kapal yang berlalu di
situ. Tetapi kadang-kadang timbul semacam pikiran aneh juga
dalam hati Teng Hiau-lan, ia pikir jika seumpama betul-betul
ada kapal yang bisa menolong dan membawanya kembali ke
daratan, lantas bagaimana baiknya" Jika ingat akan ini, tibatiba
ia merasa bermain dengan Pang Ing di atas pulau kecil ini
akan jauh lebih berarti. Pada satu hari, seperti biasa mereka memandang jauh di
tepi laut, hari itu udara mendung dan hawa rada dingin,
mereka pikir tentu tidak akan ada kapal yang lewat. Siapa
duga, selang tak lama, tiba-tiba mereka melihat di udara ada
belasan ekor burung sedang terbang mendatangi.
"He, aneh, hari ini bukan hari yang bercuaca baik, kenapa
burung elang bisa keluar mencari makan?" ujar Pang Ing
heran. Tidak lama, di permukaan laut lapat-lapat tertampak
menongol pucuk tiang kapal, keruan mereka menjadi girang.
"Ha, siang dan malam kita berharap, akhirnya datang juga
kapal yang kita nantikan!" seru Pang Ing berjingkrak gembira.
"Jangan kau gembira dulu, lihatlah burung-burung yang
terbang di depan kapal itu, kenal tidak kau pada binatang itu?"
kata Hiau-lan. Pang Ing coba mengamat-amati, kemudian ia menjadi
heran. "Ehm, ini adalah elang kucing!" katanya.
"Ya, betul, dan kenapa elang kucing ini terbang menuju ke
sini?" kata Hiau-lan.
"Mungkin Niau-eng-to dan Coa-to jaraknya tidak jauh
dengan pulau yang kita tinggali ini," ujar Pang Ing.
"Biasanya kalau bergerak, elang kucing suka
bergerombolan," kata Hiau-lan lagi. "Sedang elang kucing ini
hanya serombongan kecil saja dan mengikuti kapal yang
datang ini, seperti sedang menunjukkan jalan bagi kapal itu,
aku justru kuatir kalau elang itu adalah binatang piaraan
orang di atas kapal itu."
"Lalu kenapa?" tanya Pang Ing.
"Kau pikir saja, ada berapa orang yang mampu piara elang
kucing ini hingga jinak?" sahut Hiau-lan. "Kecuali Siang-mo,
tentunya hanya Tok-liong Cuncia saja. Jarak antara Coa-to
dan Niau-eng-to sangat dekat, kalau dia sanggup menjinakkan
ular dengan sendirinya bisa piara elang kucing juga!
Sementara kita tahu Siang-mo berada di tempat Lian Kenghiau,
maka orang di atas kapal ini menurut dugaanku ialah
Tok-liong Cuncia, jika dia yang datang, apa kita bisa hidup
lagi?" Tetapi Pang Ing punya lain pendapat, ia teringat pada sikap
Tok-liong Cuncia tempo hari yang begitu benci terhadap
kawanan elang kucing yang banyak membinasakan ularnya,
maka dalam hati ia berpikir, "Kalau dia benci pada elang
kucing, orang di atas kapal ini seharusnya bukan dia?"
Walaupun dalam hati ia berpikir demikian, tapi ia tetap
merasa tak tenteram, ia lihat kapal itu makin dekat. Ia
menjadi kuatir bila teringat kebuasan Tok-liong Cuncia.
Sementara itu sebuah perahu layar kecil secepat anak
panah, makin lama sudah makin dekat. Kini telah dapat
tertampak dengan jelas pada ujang perahu berdiri dua kakek
bermuka kuning kurus, memakai baju dari kain kasar, mereka
ternyata Siang-mo adanya.
Keruan Pang Ing melonjak demi mengenali siapa yang
datang. "He, kenapa bisa kedua iblis ini," katanya heran, "Tengsioksiok,
pada kuku mereka ada racunnya, nanti kau harus
hati-hati." "Apa kau kenal mereka?" tanya Hiau-lan.
"Dahulu waktu berada di sekitar rumah Lian Keng-hiau
mereka pernah berkelahi dengan aku dan akhirnya aku
kewalahan, tapi sekarang kita berdua, asal kita tidak dijambret
saja, terang kita berada di pihak yang bakal menang," ujar
Pang Ing. Dalam pada itu tiba-tiba pikiran Hiau-lan tergerak, selagi ia
hendak bertanya pada Pang Ing apakah pernah mendengar
apa-apa tidak dari Siang-mo, sementara itu perahu tadi sudah
berlabuh, menyusul Siang-mo lantas melompat ke daratan.
"Ha, jangan kuatir budak Lin, aku akan menolong kau,"
segera terdengar Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji berseru sesudah
mengenali siapa yang berada di hadapannya.
"Kau ini siapa, kenapa aku perlu pertolonganmu?" sahut
Pang Ing. "He, kau juga di sini," seru Sat Thian-ji demi nampak Teng
Hiau-lan ada di situ. "Sudahlah, lautan begini luas, tidak nanti
kalian bisa menyeberang, lebih baik ikut aku kembali ke Niauengto saja dan menjadi muridku sekalian!"
Di luar dugaan mendadak Teng Hiau-lan berseru, "Pang
Ing, mereka inilah musuhmu. Thian memang bermurah hati,
pada sebelum ajalku mereka diantar ke pulau ini, lekas cegat
jalan lari mereka, A Ing, jangan sampai mereka lolos!"
Kiranya Hiau-lan menaksir hari kematian dirinya sudah
tidak lebih lama lagi dari seratusan hari, sudah lama ia
bermaksud menceritakan asal-usul Pang Ing sebelum tiba
ajalnya, kini tiba-tiba memergoki musuh lama itu, tanpa
penjelasan lebih dulu, segera ia lolos pedangnya terus maju
memapaki orang. "Nah, bagaimana Koko," terdengar Tay-lik Sin-mo Sat
Thian-toh berteriak juga, "sudah kukatakan, jangan cari budak
liar ini lagi, tapi kau tidak mau menurut, kini boleh lihat,
maksud baik kita malah dibalas dengan tuduhan jahat!"
Sementara itu Sat Thian-ji pun buka suara, "Sudahlah Teng
Hiau-lan, kejadian belasan tahun yang lalu kenapa harus
diungkit lagi" Pula yang membunuh sanak keluarganya juga
bukan kami!" Mendengar percakapan ini, seketika Pang Ing terkesima
seperti mendengar bunyi guntur di siang hari bolong.
"Teng-sioksiok, apa sanak keluargaku mati dengan sangat
mengenaskan?" serunya kemudian.
"Ya," sahut Hiau-lan cepat, "Engkong dan ayahmu dibunuh
oleh kaum Hiat-ti-cu, tapi mereka inilah yang menawan
ibumu. Kau pun pernah digondol ke sarang mereka selama
beberapa tahun!" Karena jawaban ini, tanpa ragu-ragu lagi, dengan sekali
seruan nyaring, segera Pang Ing melompat ke depan, begitu
pedangnya bergerak, ia mendahului membabat. Namun
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan cepat Sat Thian-ji mengegos ke samping.
"Budak Lin, apapun juga aku pernah memelihara kau
selama beberapa tahun," seru Sat Thian-ji. "Mengenai ibumu
walaupun benar kami yang menawan, tapi kemudian Ong Ling
yang menyebabkan kematiannya dan tiada sangkut-pautnya
dengan kami!" Apa yang dia katakan sebenarnya tidak betul, padahal ibu
Pang Ing, Khong Lian-he belum mati, sesampainya di Pakkhia
berhasil lolos dari cengkeraman Ong Ling.
Karena pangkat Ong Ling terlalu, rendah, maka ia tak bisa
tinggal bersama satu tempat dengan Siang-mo, sedangkan ia
memaksa ingin menikah dengannya.
Tak terduga, di tengah jalan Khong Lian-he tak berani
melarikan diri, sebab ia jeri terhadap Siang-mo, tapi setelah
sampai di Pakkhia, Siang-mo tidak berada bersama lagi dengan
mereka, hanya Ong Ling sendirian, sudah tentu bukan
tandingannya, maka setelah dia menghajar Ong Ling habishabisan,
kemudian ia baru melarikan diri.
Tapi Ong Ling adalah seorang Siau-jin (manusia
bermartabat rendah), demi untuk mendapat kepercayaan
atasannya agar bisa mendapat kedudukan lebih baik, tentu
saja ia tak berani menceritakan tentang dirinya dihajar
seorang wanita, sebab hal ini pasti akan menjadi buah
tertawaan saja. Karenanya meski dia babak be-lur, terpaksa
hanya, tutup mulut saja, terhadap orang luar ia mengatakan
bahwa wanita yang dibawanya sudah meninggal karena tak
cocok dengan iklim setempat.
Siang-mo sendiri tidak tahu juga tentang larinya Khong
Lian-he, mereka mengira dia betul-betul telah mati oleh
perbuatan Ong Ling. Dalam pada itu, hati Pang Ing sangat berduka, menghadapi
musuh sekarang ia tak bertanya lagi siapakah Ong Ling itu,
dengan pedangnya segera ia menusuk Sat Thian-ji.
Lekas Sat Than-ji keluarkan kepandaiannya meniru cara
menubruk elang kucing, mendadak ia meloncat setinggi tiga
tombak. Pang Ing tidak tinggal diam ia menyusul meloncat
juga, akan tetapi dengan sekali memutar, Sat Thian-ji bisa
menghindarkan diri dari serangannya.
"Budak Lin, bukankah kau bilang ingin menjadi anak
perempuanku?" seru Sat Thian-ji pula ketika Pang Ing
menusuk lagi. Kiranya Sat Thian-ji masih menyangka Pang Ing sebagai
Pang Lin, ia menegur tentang apa yang pernah Pang Lin bujuk
padanya ketika di rumah Lian Keng-hiau dahulu. Sudah tentu
Pang Ing tidak mengerti dan menjadi gusar malah.
"Siapa ingin jadi anakmu?" bentaknya mendamprat. "Aku
adalah anak murid Thian-san, mana mungkin mengaku musuh
sebagai bapak?" Keruan Sat Thian-ji kaget oleh jawaban ini. "Apa kau
bilang" Kau anak murid Thian-san?" teriaknya menegas, tidak
nanti ia mau percaya kata si nona.
Sementara itu Kiam-hoat Pang Ing yang amat cepat
beruntun sudah menyerang dua kali, ia memberondongi
musuh dengan tipu serangan yang hebat dan gencar, sudah
tentu Sat Thian-ji terkejut, pikirnya diam-diam, 'Kiam-hoat
budak liar nampaknya sudah makin lihai saja."
Di samping sana Sat Thian-toh menjadi gusar juga,
mendadak ia menggertak sekali, di antara batu padas yang
aneh ia sambar sebatang bambu muda, bambu ini ia putar
sebagai senjata, ia meloncat terus menyabet ke pinggang
orang. Tetapi dengan pedangnya Pang Ing menyampuk, bambu
orang hanya sedikit membentur ujung pedangnya, namun
Pang Ing sudah merasakan tangannya kesemutan, syukur
senjatanya tidak sampai terlepas.
"Koko, kau tak mau membunuh dia, tentu dia yang akan
membunuh kau, keadaan sudah sedemikian rupa, apa kau
masih sayang padanya?" seru Sat Thian-toh pada saudara
tuanya. Setelah Pang Ing dan Sat Thian-toh saling gebrak sekali,
segera gadis ini tahu tenaga lawannya terlalu besar dan tidak
boleh keras lawan keras, segera ia ganti siasat, begitu ilmu
pedangnya berubah, mendadak ia menubruk ke tempat luang
musuh, ketika galah bambu Sat Thian-toh menyabet, Pang Ing
sudah berganti tempat lagi, senjatanya mengarah ke tempat
lain pula. Dalam pada itu Sat Thian-toh telah membaliki tangannya
terus menggablok, kembali Pang Ing berputar ke sebelah
kanan, sinar pedangnya berkelebat, segera mengarah urat
nadi yang berbahaya di iga kanan musuh.
Walaupun Sat Thian-toh mempunyai tenaga raksasa, tapi
Gin-kangnya masih jauh di bawah Pang Ing, setelah beruntun
tiga kali diserang, ia terdesak hingga kerepotan.
Nampak saudaranya terdesak, Sat Thian-ji menghela napas
panjang, mau tak mau ia harus lapangkan hati, begitu ia
mengulur kesepuluh kuku jarinya, segera ia keluarkan
kepandaian menubruk dan menggempur cara elang kucing, ia
menyambar dari atas laksana elang berkitar di angkasa, ia
berputar kian-kemari dengan cepat, ia banjiri Pang Ing dengan
berbagai tipu serangan dengan mencakar dan menjambret,
dengan demikian ia berhasil membebaskan saudaranya dari
tekanan musuh. Sebab apa kiranya Siang-mo mendadak bisa muncul di
pulau karang ini" Kiranya sejak Liau-in tewas, Yong Ceng menjadi kehilangan
jago yang gagah perkasa, ia ingin bisa lekas mendapatkan
pula seorang kosen sebagai pengganti Liau-in.
Kali ini Yong Ceng perintahkan Lian Keng-hiau memimpin
pasukan angkatan lau.nya ke Laut Kuning menggempur
sarang Hi Kak di Thian-hing-to, tiba-tiba ia teringat pada apa
yang dikatakan Siang-mo dahulu, yakni di antara muara Laut
Kuning dan Put-hay terdapat pulau hantu (maksudnya Coato).
Di atas Coa-to bersemayam seorang yang paling aneh di
jagat ini, yaituTok-liong Cuncia.
Karena itu, Yong-ceng berpikir ilmu silat Siang-mo toh tidak
bisa dikata rendah, orang yang mereka puja tentunya bukan
orang yang sembarangan, kepandaian orang kosen itu
sedikitnya tidak akan di bawah Liau-in.
Sebenarnya pada belasan tahun yaug lalu, ketika Yong
Ceng masih 'Si-hongcu', pernah juga ia minta Siang-mo pergi
ke Coa-to mengundang Tok-liong Cuncia, tapi waktu itu Tokliong
Cuncia menolak undangan itu. Kini Yong-ceng
mengerahkan tentaranya ke pantai Laut Kuning, kembali ia
teringat pada orang kosen itu. Ia pikir, kini aku sudah naik
takhta, dengan keagungan diriku sebagai raja aku
mengundang dia, mungkin dia akan menerima dan datang
membantu aku. Karena itulah ia perintahkan lagi Siang-mo
melakukan tugas itu. Tak terduga, karena sudah lama Siang-mo mendapat
pelayanan dingin, pula mereka tidak sudi berkedudukan di
bawah orang, tiba-tiba timbul juga semacam pikiran dalam
hati mereka. Mereka tahu Tok-liong Cuncia tidak nanti mau
menerima undangan itu, tapi mereka tetap menjalankan tugas
dan berangkat, mereka ingin meninggalkan Yong-ceng untuk
kembali ke Niau-eng-to. Lebih dulu mereka mendatangi Coa-to, di sana Tok-liong
Cuncia sedang perang tanding dengan Kam Hong-ti dan
kawankawan, saking senangnya Tok-liong Cuncia oleh perang
tanding itu, tentu saja ia tidak mau keluar dari pulaunya.
Dari Siang-mo kemudian Tok-liong Cuncia mendapat tahu
bahwa orang ini adalah salah seorang dari Kanglam-chit-hiap
yang paling tersohor, namanya Kam Hong-ti.
"Ha, peduli apa dia Chit-hiap atau Pat-hiap," kata Tok-liong
Cuncia dengan tertawa, "aku sendiri sudah terasing tinggal di
pulau ini selama beberapa puluh tahun, jarang aku jumpai
orang yang pandai ilmu silat, dengan adanya mereka justru
aku ingin main-main dengan mereka untuk setahun atau dua
tahun, nanti kalau aku sudah bosan, aku lantas giring ularularku
menggigit mati mereka!"
Lebih jauh Tok-liong Cuncia menceritakan pula bahwa dia
pernah melemparkan seorang gadis jelita ke laut.
"Sayang kalian tidak melihatnya, anak dara itu sungguh
sangat menyenangkan, sebenarnya aku tidak berniat
membunuh dia, hanya sayang, dia yang tidak tahu gelagat,"
demikian Tok-liong Cuncia bercerita.
Waktu Sat Thian-ci bertanya lebih jelas rupa anak dara itu,
maka ia menduga gadis ini tentu Pang Lin adanya.
Meski Sat Thian-ji adalah iblis yang suka membunuh orang
tanpa berkedip, tapi terhadap Pang Lin rupanya dia ada jodoh,
ditambah umurnya sudah lanjut, ia tak punya putra, tak punya
putri, karena itu terhadap Pang Lin ia menjadi semakin rindu.
Maka ia terkejut demi mendengar cerita Tok-liong Cuncia
itu, segera mereka mohon diri dan berlayar pulang ke sarang
mereka di Niau-eng-to, dari sana kemudian mereka berlayar
pula mencari ke berbagai pulau karang kecil di sekitarnya
dengan harapan menemukan Pang Lin.
Siapa duga mereka kebentur Pang Ing yang disangkpnya
Pang Lin dan malah terjadi pertarungan sengit!
Sementara itu Pang Ing masih terus menyerang dengan
kencang, satu tusukan makin cepat dari serangan yang lain.
Thian-san-kiam-hoat memang luar biasa lihainya, tiap
serangan selalu mengincar tempat yang berbahaya di tubuh
Siang-mo. "Sudahlah, kalau permusuhan ini tidak bisa didamaikan,
aku tidak membunuh dia, tentu dia yang akan membunuh
aku," demikian pikir Sat Thian-ji.
Memang dia adalah iblis yang membunuh orang tanpa
berkedip, kini dirangsek oleh Pang Ing terus-terusan, keruan
lama-kelamaan timbul juga rasa gusarnya, pikiran jahatnya
segera tinibul pula, tanpa ayal lagi ia lantas melawan Pang Ing
dengan sepenuh tenaga, ia mencakar, mematuk, menutuk dan
membeset, ia bergerak dengan cepat, seketika semua jurusan
seakan-akan terdapat bayangan tubuhnyp.
Dalam keadaan demikian meski Kiam-hoat Pang Ing sangat
bagus, tidak urung ia kewalahan menghadapi keroyokan
Siang-mo. Di samping sana ketika Teng Hiau-lan mendengar cerita Sat
Thian-ji bahwa Khong Lian-he sudah mati, ia menjadi
kememek, tapi ia pun sangsi pula, sebab dari Ong Ling yang
dia bunuh itu didapat pengakuan bahwa Khong Lian-he telah
kabur dengan selamat. Ia lihat kedudukan Pang Ing
berbahaya, tanpa pikir lagi segera ia lolos pedang dan maju
membantu. Sementara ini Teng Hiau-lan berlatih dengan baik Thiansankiam-hoatnya, kepandaiannya sudah tidak bisa
dipersamakan lagi dengan masa dulu.
Dengan gabungan kedua pedang pusaka mereka, maka
terlihatlah dua sinar perak gemerlapan menari dan melingkar
di angkasa, kedua sinar ini bekerja sama dengan rapat sekali,
tempo-tempo bergabung dan kadang-karang berpisah untuk
kemudian kembali merapat pula.
Setelah pertarungan seru ini berlangsung ratusan jurus,
mendadak terdengar Sat Thian-toh mengerang, sekonyongkonyong
ia meloncat setinggi beberapa tombak, darah
muncrat membasahi bajunya, ia bersuit mengeluarkan suara
yang aneh. Suaranya begitu keras dan sangat seram.
Kiranya ia berdarah karena pundaknya terkena pedang
Pang Ing. Suara suitan yang keras dan aneh itu belum pernah
didengar Pang Ing, karena itu tanpa terasa ia mengkirik.
Dalam pada itu, mendadak di atas kepala mereka riuh
ramai dengan suara aiieh, belasan burung elang kucing
bercuitan saling sahut karena suara panggilan Sat Thian-toh
tadi, burung-burung ini menyambar dan menubruk ke bawah,
cakar elang tajam laksana kaitan, Pang Ing sendiri pernah
menyaksikan pertarungan elang lawan ular berbisa, karena itu
ia rada keder menghadapi burung buas ini. Syukur ada
pedang pusaka Pang Ing dan Teng Hiau-lan, yakni Yu-liong
dan Toan-giok-pokiam buatan Hui-bing Siansu yang
digembleng dari sari baja itu, begitu kedua pedang ini
berputar, segera terpancar sinar mengkilap berkilauan,
laksana selapis jaringan sinar di atas kepala lawan.
Elang-elang itu rupanya jeri terhadap sinar pedang mereka,
binatang ini tak berani menyambar dekat melainkan terus
berputar di udara, agaknya mereka hendak menunggu
kesempatan baik baru menubruk turun buat mencakar, tetapi
Pang Ing dan Teng Hiau-lan memutar pedang sedemikian
rupa cepatnya bagaikan kitiran yang tak tertembus angin atau
hujan, walaupun elang kucing ini sangat lihai, terpaksa tak
mampu menyenggol mereka. . Masih beruntung bagi Pang Ing dan Hiau-lan, Siang-mo
sudah belasan tahun meninggalkan Niau-eng-to, elang kucing
yang mereka latih baik, kini hanya tinggal belasan ekor saja,
kalau tidak, pasti mereka sukar melawannya.
Sesudah bertahan sejenak, perlahan-lahan Pang Ing
menjadi tenang. Sebaliknya karena elang piaraannya tak
mampu menyerang orang, Sat Thian-toh menjadi gelisah,
kembali ia bersuit aneh, agaknya ia lagi memberi komando
pada elang itu untuk menyerang lebih gencar.
Betul juga, karena tanda suara tadi, elang itu lantas
terbang semakin rendah, cakarnya yang lancip tajam hampir
terbentur dengan sinar pedang.
Sekonyong-konyong Pang Ing melompat dan sinar
pedangnya pun menyambar ke atas memanjang seperti ular
naga, secepat kilat ia berhasil menabas kutung cakar dua ekor
elang. Keruan kawanan elang kucing itu menjadi ribut, mereka
bersuara mencicil dengan ramai terus terbang ke atas lagi.
Sat Thian-toh menjadi gusar, ia mengamuk, begitu
berteriak, ia putar galah bambunya terus merangsek maju
dengan hebat bersama Sat Thian-ji, elang kucing itu meski
sudah ketakutan, demi mendengar panggilan majikannya,
kembali mereka menubruk ke bawah lagi buat membantu.
Dalam keadaan begitu, mau tak mau Pang Ing dan Teng
Hiau-lan mengeluh, untuk melayani belasan elang saja sudah
payah, apalagi ditambah dengan kedua gembong iblis ini. Tapi
setelah mereka saling memberi tanda, berbareng memainkan
'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang lihai, mereka bertahan
dengan rapat sekali, dengan sinar pedang yrng mengurung
rapat diri mereka, untuk sementara mereka tidak berpikir buat
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balas menyerang. Keadaan demikian kembali lewat sekian lama, syukur
kawanan elang itu karena kuatir salah menyerang majikan
mereka, maka pada waktu menubruk ke bawah tidak berani
mengeluarkan sepenuh tenaga, karena itu, meski Pang Ing
dan Hiau-lan terdesak di bawah angin, namun mereka masih
sanggup bertahan. Pertempuran sengit ini berlangsung hinggga beberapa ratus
jurus, Sat Thian-toh berteriak dan membentak, berulang kali ia
menubruk dan menerjang, tapi Pang Ing dan Hiau-lan tetap
menjaga diri dengan rapat sekali, meski Siang-mo dan elang
mereka mengerahkan seluruh tenaga buat menyerbu laksana
datangnya gelombang ombak, namun tetap tak mampu
membobol benteng pertahanan Si-mi-kiam-hoat pihak lawan.
Lama-kelamaan Sat Thian-toh menjadi lemas, tenaga
sudah habis, tiba-tiba pundaknya kena tertusuk sekali,
kegesitannya menjadi banyak berkurang. Teng Hiau-lan
mengincar dengan baik, ia tunggu begitu musuh mendekat,
mendadak melangkah maju terus menambahi pula sekali
tusukan, keruan terdengar Sat Thian-toh berteriak pula,
kiranya lengan kirinya ditusuk tembus oleh Yu-liong-kiam Teng
Hiau-lan, lukanya menjadi lebih parah.
Nampak gelagat tidak menguntungkan, lekas Sat Thian-ji
me-mayang adiknya mundur dengan cepat bersama
gerombolan elang kucing mereka, menyingkir ke timur pulau
itu buat merawat luka, sedang elang itu masih terus berkitaran
di atas seperti bertugas mengawal mereka.
Hiau-lan merasa lega setelah musuh mundur, tapi tiba-tiba
ia lihat mata Pang Ing basah berkaca dan sedang
memasukkan kembali pedang ke sarungnya.
"Sioksiok, tidak seharusnya kau mendustai aku," katanya
dengan nada sedih. "Ya, Ing-moay, janganlah salahkan aku, ketahuilah bahwa
aku sendiri pun cukup tersiksa selama setahun ini," sahut
Hiau-lan. Dalam beberapa bulan ini, karena siang malam berhadapan
di pulau karang ini, lebih-lebih setelah Pang Ing mengutarakan
rasa cintanya, tanpa terasa Hiau-lan telah melepaskan batasbatas
tata-krama antara 'paman dan keponakan', entah sejak
kapan ia sudah memanggilnya, "Ing-moay" atau adik Ing.
Hanya Pang Ing yang sudah telanjur dan biasa, maka ia masih
memanggil "paman" padanya.
Agak lucu juga kedengarannya panggilan mereka yang
berlainan itu, tapi di pulau karang yang sunyi itu tiada pihak
ketiga, karena itu mereka pun tidak mengurus soal ini.
Begitulah sehabis pertarungan sengit tadi, hari pun sudah
petang. "Marilah kita mencari sesuatu untuk isi perut dulu, malam
ini hendaklah kita jangan tidur," kata Hiau-lan. "Kejadian
selama belasan tahun, hanya semalam entah bisa habis
diceritakan tidak?" Pang Ing lantas pergi menangkap dua ekor ikan laut,
mereka makan panggang ikan seadanya, selesai makan hari
pun gelap, angin laut meniup silir terasa juga agak dingin.
"Ah, cuaca telah berubah lagi, melihat keadaan ini, agaknya
di lautan sedang berjangkit angin badai," kata Hiau-lan.
Mereka berdua sudah tinggal beberapa bulan di pulau ini,
maka terhadap perubahan cuaca mereka pun agak paham.
"Agaknya akan datang angin keras, cuma malam ini masih
belum tiba, kita masih belum perlu berteduh ke dalam gua,"
ujar Pang Ing setelah mendengarkan suara menderunya angin
yang menyambar lewat di permukaan laut hingga menerbitkan
ombak yang men-dampar ke pantai.
"Ai, perubahan cuaca seperti hidup manusia yang tiada
ketentuan," kata Hiau-lan dengan menghela napas. "Siapa
duga, beberapa bulan yang lalu kita masih tinggal di daratan,
tapi sekarang kita terkurang di pulau karang. Yang lebih tak
tersangka ialah kita bisa berhadapan di sini untuk
mendengarkan suara menderanya ombak samudera di malam
hari ini." Di antara kata-katanya itu seperti mengandung arti yang
dalam, entah merasa senang atau lagi berduka.
Pang Ing sendiri seperti paham dan seperti tidak, perlahanlahan
ia menggeser dirinya lebih mendekat ke Hiau-lan.
"Paman katakanlah, bukankah kau sudah kenal aku sejak
aku masih kecil?" tanyam a kemudian sambil menarik tangan
orang. "Cara bagaimanakah ayah-bundaku tewas, apa mereka
pun kenal baik dengan kau?"
"Ehm, sebelum kau berumur setahun, boleh dikatakan
hampir tiap hari aku membopong kau," sahut Hiau-lan. "Ayahbundamu
adalah Suko dan Suso .... Ai, jangan kau cemas,
jangan gemetar, tenangkanlah dirimu, dengarkanlah ceritaku!
Ya. Engkongmu dan Ayahmu semuanya tewas dengan sangat
mengenaskan, sedang ibumu, mati-hidupnya sampai saat ini
masih belum terang. Ai. anak bodoh, kenapa kau menangis"
Bukankah kau masih harus membalas sakit hatimu" Ah,
baiklah, kalau kau mau menangis boleh menangislah, sesudah
menangis kau tentu akan lebih segar. Selama beberapa tahun
ini bila teringat pada nasib sanak keluargamu dan diriku
sendiri, kadang-kadang aku sendiri pun suka menangis."
Ia bercerita, sampai akhirnya Hiau-lan sendiri pun
mengucurkan air mata. "O, paman, kau bilang ... kau bilang, ah, apa yang kau
katakan tadi aku kurang terang," kata Pang Ing dengan
sesenggukan. "Baiklah, mengasolah sebentar, janganlah kita
menangis lagi. Ceritakanlah padaku. Aku akan menurut katakatamu.
Suhu pun pernah mengajarkan padaku supaya
bersikap ksatria, lebih baik mengalirkan darah, daripada
mengalirkan air mata, dan kini aku tidak menangis lagi, nah
paman, ceritakanlah lagi!"
Di malam gelap itu, kedua mata Pang Ing yang basah
bersinar laksana batu permata yang berkelap-kelip, dengan
mendelong ia menatap orang yang dipanggilnya sebagai
'paman' ini. Demi bentrok dengan sinar mata si nona, lekas Hiau-lan
menghindarinya, dalam hati ia memuji, "Ai, sungguh seorang
nona teladan, nona yang bernasib jelek tapi keras hati pula!"
Sesudah mendengar kata-kata Pang Ing dengan suara
terputus-putus tadi, Teng Hiau-lan menggenggam tangan
anak dara ini terlebih kencang.
"Baiklah, dengarlah ceritaku," katanya kemudian dengan
perlahan. "Pada suatu malam pada tujuh belas tahun yang
lampau, malam pada tiga hari sebelum Tiongchiu. Hari itu
tepat hari setahun umur kalian kakak-beradik ...."
"Hm, jadi aku masih punya adik, apakah orang yang
rupanya sangat mirip dengan aku itu?" seru Pang Ing
memotong. "Ya, jangan kau simpangkan ceritaku, dengarkan dulu,"
sahut Hiau-lan. "Hari itu adalah ulang-tahun kalian kakakberadik,
Engkong dan ayah-bundamu tentu saja sangat
gembira, tetapi tiba-tiba rumahmu kedatangan tamu yang
aneh ...." Angin menderu, ombak mendampar, cakrawala penuh
dengan bintang yang berkelap-kelip, dengan penuh perhatian
Pang Ing mendengarkan cerita Hiau-lan.
Kadang-kadang Hiau-lan bercerita dengan suara perlahan,
tapi tempo-tempo ia bicara dengan cepat, la bercerita tentang
drama keluarga Pang, ia pun menceritakan asal-usul dirinya
sendiri. Pada bagian yang mengharukan, Hiau-lan lantas
berhenti dan tidak sanggup meneruskan, perlahan ia
mengusap air matanya, habis itu baru ia menyambung lagi
ceritanya. Ia bercerita dan bercerita terus entah sudah berapa lama
telah berlalu, akhirnya habis juga ceritanya.
"O, Engkong dan ayah-ibu yang malang! Ai, paman,
nasibmu pun jelek sekali!" demikian Pang Ing meratap sambil
bersandar di pangkuan Teng Hiau-lan. "Makanya aku selalu
merasa engkau adalah orang yang sangat dekat dengan aku,
lahirnya kita memang punya hubungan begitu erat."
Dengan perlahan Hiau-lan mengusap air mata dara ini
dengan lengan bajunya. "Aku harus mencari ibuku, aku harus mencari pula adikku,"
kembali Pang Ing berteriak.
"Ya, memang sudah waktunya kau mencari mereka," ujar
Hiau-lan. "Meski pulau ini terpencil, tapi akhirnya pasti ada
kapal yang lewat sini, kau tentu dapat kembali ke daratan
sana dan mendapatkan mereka. Ing-moay, watakmu rada
keras, kelak kalau kau berkelana di Kangouw sendirian, kau
harus menjaga diri baik-baik."
"Kau tidak kembali ke daratan sana bersama aku, paman?"
tanya Pang Ing heran. Teng Hiau-lan terawa getir.
"Mana aku bisa kembali lagi ke sana?" sahutnya kemudian.
Pang Ing jadi teringat bahwa ajal Hiau-lan sudah tidak lama
lagi, lantaran racun yang mengendap di badannya, seketika ia
menjadi sedih, tak tertahan lagi mendadak ia menangis
tersedu-sedu, ia memegang pundak Hiau-lan dan mendekap di
tubuhnya. Hiau-lan menjadi bingung, ia merasakan badan si nona
yang empuk dan bau yang harum, dengan perasaan sukaduka
bercampur-aduk ia tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya, mendorong pergi si " gadis terasa keliru, tidak
mendorongnya salah juga, karena itu mukanya menjadi merah
dan tubuh gemetar, jantungnya memukul keras.
"O, Sioksiok," kata Pang Ing lagi dengan tersenggaksengguk,
"selama belasan tahun ini kau selalu berusaha dan
kian-kemari untuk keperluanku, di antara lautan manusia yang
tidak dikenal ujung pangkalnya kau terus mencari kami kakakadik
berdua, bahkan kau tak memikirkan jiwamu buat
menolong diriku, budi ini cara bagaimanakah aku dapat
membalasnya?" "Anak bodoh, di antara kau dan aku masakah masih perlu
pakai kata-kata 'balas budi' segala?" sahut Hiau-lan sambil
perlahan-lahan mendorong pergi tubuh si nona.
Pang Ing mendongak, dengan terkesima ia memandang
Hiau-lan. "Sioksiok, kau menyukai aku tidak?" tiba-tiba ia bertanya.
Hati Hiau-lan terguncang, seketika ia tak mampu
menjawab. Ya, walaupun di antara mereka sudah ada bibit cinta, tapi
hal itu boleh dikata hanya dalam hati saja, masing-masing
hanya tahu sama tahu tanpa mengutarakannya terus terang,
lebih-lebih Teng Hiau-lan selalu menghindarkan diri agar tidak sampai
mengatakan terus terang, hal ini kecuali disebabkan ikatan
adat-istiadat umum yang mempengaruhi jiwanya, ia pun tidak
ingin menanam bayangan gelap di dalam sanubari seorang
gadis jelita pada sebelum ajal yang segera akan tiba.
"Sioksiok, apa kau tidak suka padaku?" kembali Pang Ing
menegas dengan muka mendongak.
"Ah, masakah kau sendiri tidak mengetahuinya?" sahut
Hiau-lan akhirnya dengan perlahan.
"Sioksiok, aku ingin berdampingan dengan kau untuk
selamanya," kata- Pang Ing lagi.
"Ah, cuma omongan yang kekanak-kanakan saja," sahut
Hiau-lan. "Siapa bilang omongan yang kekanak-kanakan?" kata Pang
Ing cepat. "Meski lautan dapat kering dan batu bisa
membusuk juga aku takkan mengubah kata-kataku, apalagi
perpisahan mati-hidup saja mana bisa merintangi aku?"
Kembali Hiau-lan terguncang hatinya, terharu sekali dia
oleh kata-kata anak dara yang tegas ini, tanpa terasa mereka
saling rangkul dengan kencang.
Begitulah mereka saling rangkul dengan perasaan seperti
mabuk dan lupa daratan, keadaan demikian entah sudah lewat
berapa lama, sampai akhirnya tiba-tiba terdengar di udara ada
suara "srak-srak" dan "cuat-cuit" yang ramai.
"Sungguh menjemukan, kawanan elang itu kembali datang
lagi," kata Pang Ing.
Waktu Hiau-lan mendongak, tiba-tiba ia menjadi kaget.
"Celaka, kebakaran, ada kebakaran!" serunya.
-ooo0dw0ooo- Bersambung ke jilid IV Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia/Kang Ouw Sam Lie Hiap
Karya : Liang Ie Shen Saduran : Gan KL DJVU : TAH dimhader Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Jilid 4 Saat itu sebenarnya Pang Ing sedang menunduk dengan
mata meram ia sedang tenggelam di dalam pelukan Teng Hiau
lan dan sedang jatuh cinta pertama seorang gadis remaja,
ketika mendadak ia didorong pergi, ia menjadi kaget dan
membuka mata, ia lihat di empat penjuru hutan di atas pulau
telah terbakar oleh api yang besar.
"Tentu ini perbuatan Siang-mo," ujar Hiau-lan. "Lekas kita
cegat mereka dan rebut perahunya!"
Segera mereka menerobos ke rimba di sebelah timur
dengan pedang terhunus, di sana mereka mendengar suara
gelak tertawa Sat Thian toh yang menggema di angkasa.
Kiranya setelah dilukai Pang Ing, Sat Thian-toh tidak
kepalang gusarnya, napsu membunuhnya seketika timbul,
waktu ia lihat ada angin laut yang santar, ia lantas mendapat
akal, yakni membakar hutan, mereka bersaudara pandai
berenang, maka sesudah api berkobar segera mereka
memasang layar perahu buat angkat kaki. Dengan demikian
Pang Ing dan Hiau-lan tentu akan terkubur di antara lautan
api atau kecemplung ke laut tanpa bisa berenang.
Akal keji ini sebenarnya tidak disetujui Sat Thian-ji, tapi
demi nampak permusuhan ini sudah terang tidak bisa
didamaikan, terpaksa ia menuruti kemauan saudaranya.
Begitulah, maka mereka telah mengobarkan api di empat
penjuru hutan, tapi sebelum mereka angkat kaki, tiba-tiba
Hiau-lan dan Pang Ing sudah memburu datang.
Di antara sinar api yang menjilat dengan hebat itu
kelihatanlah muka Pang Ing yang merah molek, karena itu Sat
Thian-ji menjadi lemah hati lagi.
"Budak Lin, marilah kau ikut kami pergi saja!" ia coba
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membujuk pula. Tetapi Pang Ing sudah terlalu gemas, tanpa memberi
jawaban lantas ia menikam. Lekas Sat Thian-ji mengegos,
namun Pang Ing masih terus mencecar dengan tusukan
bertubi-tubi. "Lekas berangkat, Koko!" terdengar Sat Thian-toh
meneriaki saudaranya. Akan tetapi tidak gampang bagi Sat Thian-ji untuk
melepaskan diri dari rangsekan Pang Ing, Ginkang Pang Ing
tidak di bawah Sat Thian-ji, Kiam-hoatnya dimainkan
sedemikian cepat, seketika Sat Thian-ji jadi kewalahan dan
sukar buat kabur. Di lain pihak Sat Thian-toh menjadi tak sabar, sekonyongkonyong
ia membentak sekali, ia patahkan sebatang dahan
pohon yang terbakar, dengan ini segera ia timpukkan ke arah
Pang Ing.. Namun Teng Hiau-lan tidak tinggal diam, cepat ia
melompat maju, sekali sampuk dengan pedangnya, ia bikin
dahan pohon berapi itu menjurus ke tempat lain, habis itu,
pedangnya berputar, segera ia menusuk musuh pula.
Sat Thian-toh dijuluki orang sebagai Tay-lik Sin-mo atau Si
iblis sakti bertenaga raksasa, pula ia mempunyai tulang kulit
yang kuat bagaikan tulang baja dan kulit tembaga, meski ia
sudah terluka tadi, namun ia masih perkasa sekali dan
bertempur dengan tangkas.
Teng Hiau-lan juga tangkas, dengan sedikit menggeser, ia
melangkah ke samping menghindarkan serangan orang,
berbareng senjatanya bergerak lagi, sinar pedang seketika
memanjang, beruntun ia menyerang dengan tipu 'Tiam-bunkolong' (mengetuk pintu menjangkitkan ombak), menyusul
'Pek-hong-koan-jit' (pelangi putih menembus matahari), dan
akhirnya 'Hui-to-im-san' (terbang kembali ke gunung Im).
Sat Thian-ji jeri terhadap pedang pusaka Teng Hiau-lan,
Yu-liong-pokiam, maka ia tak berani menyambut tipu
serangan orang, sedang gerak-geriknya juga tidak segesit
lawan, hanya kekuatan luar saja yang terlatih sempurna, tapi
tidak urung ia terdesak mundur terus.
Sementara itu api berkobar lebih hebat lagi, pulau kecil
yang luasnya hanya beberapa li persegi ini, karena tiupan
angin laut yang santar, dalam sekejap saja sudah berwujud
pulau berapi. Pepohonan dan tumbuhan lainnya terjilat api
hingga mengeluarkan suara petas-an yang keras, asap
bergulung-gulung menyesatkan pandangan hingga mata pun
sukar melek. Nampak gelagat jelek, segera Hiau-lan memberi tanda pada
Pang Ing, mereka berlari menuju ke tepi laut.
Namun Sat Thian-toh tidak membiarkan musuhnya kabur,
ia bersuit nyaring, menyusul terdengar suara burung yang riuh
ramai, kawanan elang kucing kembali menerjang turun lagi.
Dalam keadaan demikian, jika Teng Hiau-lan dan Pang Ing
harus menghindari serangan elang itu, terang mereka tak
sempat lagi berlari. Meski mereka bisa berenang, tapi tidak
terlalu pandai, maka kalau tidak berhasil merampas perahu
orang, tentu mereka akan mati terbakar.
Dalam pada itu terdengar Sat Thian-toh sedang tergelak
tertawa, di samping memberi komando kepada elang untuk
mengembut musuh, berbareng pula ia mendahului mencegat
jalan lari lawan. Pang Ing menjadi murka, mendadak ia membentak
nyaring, sekali melayang, orang berikut pedangnya segera
menerobos lewat di samping sebatang pohon yang sudah
terjilat api. Karena takut pada api yang berkobar itu, kawanan
elang tak berani menubruk terlalu ke bawah.
Kesempatan ini segera digunakan Pang Ing dengan baik,
begitu cepat gerakannya, sekejap saja ia sudah menyusul
sampai di belakang Sat Thian-toh, sinar pedangnya berkelebat
secepat kilat, maka terdengarlah Sat Thian-toh menjerit, tepat
punggungnya tertusuk. "Budak Lin, keji sekali kau!" teriak Sat Thian-ji demi
nampak Pang Ing yang dia sayangi melukai saudaranya. Ia
menjadi gusar akhirnya, tiba-tiba meloncat setinggi tiga
tombak lebih, ia keluarkan cara elang kucing menubruk dari
udara dengan hebat, begitu kesepuluh jarinya diulur, segera ia
mencengkeram kepala orang.
Tetapi ia lantas dipapaki Pang Ing yang juga meloncat ke
atas, gadis ini segera membabat selagi terapung di udara, tak
terduga, meski tubuh Sat Thian-ji terapung di udara tapi ia
masih sanggup bergerak sesuka hatinya, dengan sekali putar,
menyusul kesepuluh kuku jarinya lantas mencakar pula,
karena tak menyangka akan kemahiran orang, akhirnya
pundak Pang Ing kena tersentuh oleh kukunya, untung Pang
Ing memiliki ilmu entengi tubuh yang tinggi, sebisanya ia
berkelit hingga terhindar dari ancaman maut. Habis itu baru ia
tancapkan kakinya ke bawah, tetapi segera ia dirubung pula
oleh kawanan elang tadi. Di samping sana, Sat Thian-toh yang ditusuk punggungnya
oleh Pang Ing, kalau orang lain mungkin sudah mampus, akan
tetapi Sat Thian-toh mempunyai kulit yang tebal bagaikan
tembaga dan tulang kuat laksana baja, walaupun dirinya
sudah terluka oleh pedang orang, ia hanya berteriak beberapa
kali sambil berjingkrak, habis itu ia melompat bangun lagi buat
menghadapi musuh. Nampak ketangkasan orang yang luar biasa ini, mau tak
mau Hiau-lan merasa keder juga.
Sementara itu api yang berkobar makin lama semakin
besar. "Jangan berhantam teras, Thian-toh! Keluarlah ikut aku!"
tiba-tiba Thian-ji meneriaki saudaranya. Habis itu segera ia
menerjang keluar memilih jurusan yang apinya tidak begitu
besar, di bawah lindungan kawanan elang kucingnya, akhirnya
ia berhasil menerjang keluar sampai sejauh beberapa puluh
tombak dan dari jauh sudah kelihatan tepi laut.
Waktu itu angin masih meniup santar dengan suara
menderu, gelombang ombak mendampar setinggi bukit,
sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh yang keras,
perahu yang berlabuh di pantai laut itu, tali tambalannya
ternyata putus, perahu ini terdampar oleh ombak besar dan
terlempar ke daratan teras menumbuk pada batu karang
hingga seketika hancur berantakan!
Melihat perahu yang hendak mereka rebut sudah musnah,
hati Hiau-lan menjadi cemas dan putus harapan, kalau hanya
mengandalkan kepandaian berenang mereka terang tidak
mampu menyeberangi lautan luas ini tanpa sesuatu alat
bantu. "Teng-sioksiok, meski kita tak bisa hidup berdampingan,
biarlah kita mati bersama, walaupun kita harus mati, jangan
pula kita biarkan kedua bangsat tua ini tinggal hidup!" seru
Pang Ing. Habis itu, tanpa menghiraukan sambaran elang kucing yang
mengganas, ia putar pedang sedemikian rupa hingga
berwujud satu lingkaran putih perak, secepat kilat ia
menguber sampai di tepi laut terus mengadang di depan
musuh buat menggempurnya lagi.
Sementara itu Teng Hiau-lan pun sudah mengejar sampai
di belakang Siang-mo, mereka lantas menyerang dari muka
dan belakang. Sementara itu api sudah menjilat lebih hebat lagi, semua
pepohonan di pulau kecil ini sudah terjilat api, ada beberapa
pohon kecil setelah terbakar, kemudian terbawa oleh pusaran
angin hingga terangkat seluruhnya ke rdara, ditambah pula
suara deru angin dan ombak yang mendampar, petasan kayu
yang terbakar bercampur-aduk laksana nyanyian kematian
saja. Burung-burung laut yang bersarang di pulau kecil itupun
terbang bertebaran ketakutan oleh api yang terbakar hebat
ini. Dalam pada itu, kawanan elang kucing yang ganas itu,
setelah api berkobar dengan hebat, akhirnya menjadi jeri juga
dan tak berani menubruk ke bawah, mereka hanya bercuit
riuh dan terbang scrabutan, di atas pulau hanya mereka
berempat saja yang lagi saling labrak mati-matian.
Dengan kemahiran berenang mereka, sebenarnya Siangmo
masih bermaksud mencari jalan buat kabur, tetapi dengan
mati-matian Hiau-lan dan Pang Ing merintangi mereka,
senjata mereka mencecar secara ganas dan tidak membiarkan
orang kabur begitu saja. Saking gopohnya, Sat Thian-ji menjadi kalap, matanya
merah berapi, ia keluarkan seluruh kepandaiannya mencakar,
menjambret, menutuk dan menghantam dengan hebat, ia
menyerang dengan sengit, kadang-kadang ia menggempur
dari atas, tempo-tempo ia mencengkeram orang dari depan,
dalam keadaan mati atau hidup ini, masing-masing pihak
hanya berpikir cara bagaimana merobohkan lawan untuk
mencari hidup sendiri, segala suka-duka, budi dan benci sudah
tak mereka pikir lagi. Kini rasa sayang Sat Thian-ji terhadap
Pang Ing pun sudah lenyap sama sekali.
Begitulah kedua belah pihak bertarung mati-matian di
bawah sinar api yang berkobar hebat itu, daun-daun kering
yang terbakar pun berhamburan.
Sementara itu Sat Thian-toh berulang-ulang terkena tiga
luka pedang, gerak-geriknya sudah tidak setangkas tadi.
Sedang Pang Ing sendiri pun merasa pundaknya rada sakit
kesemutan, ia menduga tentu karena racun cakaran Sat
Thian-ji tadi telah mulai bekerja, daripada mati konyol, nona
ini segera menyerang lebih ganas lagi, ia mengamuk dengan
kalap. Sat Thian-toh berteriak dan membentak, tangannya
menghantam dan kakinya menendang, ia desak hembusan
asap yang tebal itu menjurus ke arah Pang Ing.
Akan tetapi dengan menahan rasa pedas pada matanya
yang terkena asap, mendadak Pang Ing melompat maju,
secepat kilat pedangnya menusuk pula, tanpa ampun lagi
kembali dada Sat Thian-toh terluka.
Nampak saudaranya terancam bahaya, secepat kilat Sat
Thian-ji melayang maju hendak menolong, tapi mendadak
Pang Ing putar balik senjata terus membentak, "Kena!"
Saat itu mata Sat Thian-ji lagi merasa pedas karena
dihembus asap, ketika mendadak nampak sinar pedang
berkelebat, lekas ia berusaha menghindarkan diri, namun
sudah terlambat, kesepuluh kuku jarinya tertabas putus.
Saking gusarnya Sat Thian-ji berteriak kalap.
Dalam pada itu mendadak terdengar suara guntur
menggelegar di angkasa. Di antara suara guntur itu, tiba-tiba sinar kilat berkelebat,
petir menyambar mendadak, seketika sebatang pohon besar
terbelah putus. Sat Thian-toh sendiri waktu itu sedang melonjak ke atas,
akan tetapi malang baginya, pohon besar yang disambar petir
itu dengan tepat menindih ke atas badannya, di antara
geraman Sat Thian-toh, ia masih sempat mengangkat kedua
tangannya untuk membuang tindihan pohon itu ke samping,
walaupun demikian tidak urung kain baju serta rambutnya
terjilat api hingga berkobar.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Teng Hiau-lan, dengan
cepat ia membabatkan senjatanya, maka terdengarlah suara
"kraak", sebelah lengan Sat Thian-toh mulai bahu tertabas
mentah-mentah. "Dalam keadaan kesakitan Sat Thian-toh menjerit terus
mengerang kalap, seluruh tubuhnya mandi darah, namun ia
masih belum roboh, dengan membawa api yang menjilat
tubuhnya mendadak ia melompat maju teras menumbuk Hiaulan
dengan kepalanya. Syukur Hiau-lan masih keburu mengegos dengan cepat,
maka terdengarlah suara gemuruh yang keras disusul dengan
berhambur-nya lelatu api dan retaknya kayu, kiranya
tumbukan Sat Thian-toh dengan tepat menerjang pada
sebatang pohon besar, pohonnya ambruk dan ora.ignya
binasa, api yang bergulung-gulung segera menjilat lagi,
sekejap saja tubuh orang sudah menjadi hangus.
'Thian-toh! Thian-toh!" seru Thian-ji.
Akan tetapi ia tidak memperoleh sahutan, ia menjadi kaget,
matanya membelalak lebar, di antara kabut asap yang tebal ia
lihat keadaan saudaranya yang mengerikan itu, dalam
keadaan sedih ia berteriak, berbareng kesepuluh jarinya
menyambar, ia menjambret dan mencakar kalang-kabut ke
arah Hiau-lan. Hendaklah diketahui bahwa Siang-mo adalah saudara
kembar, jiwa-raga mereka laksana dwi-tungggal, selama hidup
mereka jarang berpisah, kini saudara mudanya terbinasa,
tentu saja hatinya sedih sekali, tanpa menghiraukan jiwa
sendiri ia merangsek Hiau-lan.
Karena mengamuknya orang, hampir saja Hiau-lan dicakar,
terpaksa ia main mundur terus. Dalam pada itu Pang Ing
segera maju membantu. Meski pihak lawan dua orang dan ia
hanya sendirian, terang tak mampu menang, tetapi Sat Thianji
masih terus menghantam dan menggempur dengan kalap.
"Bayar kembali jiwa adikku!" demikian ia berteriak sambil
menerjang maju. Tetapi ia telah dipapaki Pang Ing dengan pedang
pendeknya, dalam sekejap saja gadis ini membalas dengan
beberapa serangan kilat. "Hm, bayar kembali jiwa adikmu?" sahut Pang Ing dengan
Pendekar Laknat 1 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Sukma Pedang 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama