Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 27
orang. Kafena itu seketika Pang Ing berhenti menangis, orang
lain pun terheran-heran, sudah jelas si penderita telah putus
napasnya,' tapi kenapa dibilang masih bisa tertolong" Lagi
pula dalam keadaan demikian, darimana bisa didapatkan obat
penyembuh" Dalam pada itu kelihatan Li Ti telah menarik Pang Ing
menyingkir ke samping, dengan suara perlahan ia memberi
petunjuk yang perlu. "Dengan jarimu kau tusuk 'Jin-tiong' (tempatnya tepat di
atas bibir dan di bawah hidung), lalu kau berteriak di tepi
telinganya bahwa aku telah memberikan obat mujizat
baginya!" Sudah tentu Pang Ing merasa bingung dan ragu-ragu.
"Darimana datangnya obat mujizat?" tanyanya tidak
mengerti. "Pendeknya, urusan hari ini semuanya harus turut
perkataanku, ditanggung akan berhasil," sahut Li Ti dengan
pasti. Pang Ing masih setengah percaya setengah tidak, tetapi ia
turuti juga perintah Li Ti, sementara itu ia lihat pemuda ini
telah menuang secangkir air masak dan sekenanya ia
mencomot sedikit abu dupa dari hiolo yang terdapat di situ
dan dicemplungkan ke dalam cangkir.
"Nah, minumkan ini!" katanya sambil menyodorkan cangkir.
Muka Pang Ing berubah hebat demi nampak perbuatan Li
Ti yang mencampurkan air dengan abu dupa tapi dikatakan
sebagai 'obat mujizat' tadi, selagi ia hendak mendamprat,
"Kenapa kau menipu aku!" Tetapi ia urung membuka suara
karena sinar mata Li Ti yang memandang tajam.
"Lekas kau minumkan, inilah obat mujizatnya!" katanya
dengan muka kereng, cara mengatakannya sungguh-sungguh.
Karenanya Pang Ing lantas menerima cangkir itu.
"Lekas cekoki dia dan bilang pula padanya bahwa inilah
obat mujizat sudah datang!" desak Li Ti lagi.
Pang Ing menurut, ia bisiki telinga Teng Hiau-lan, "Inilah
obat mujizatnya!" Mendengar bisikan ini, kelihatan tubuh Teng Hiau-lan
kembali bergerak sedikit.
"Segera kau akan sembuh dengan obat ini!" dengan cepat
Li Ti menyambung bisikan Pang Ing tadi.
Lalu dengan air masak yang dicampur dengan secomot abu
dupa tadi Pang Ing mencekoki Teng Hiau-lan pula.
Aneh bin ajaib, selang tak lama, napas Teng Hiau-lan
kelihatan mulai kuat, mukanya pun mulai bersemu merah.
"He, apa aku habis mimpi?" tanya Hiau-lan setelah
membuka matanya dengan perlahan. "Dengan jelas sekali aku
melihat dua setan pencabut nyawa telah menyeret aku pergi,
kenapa sekarang aku kembali di sini?"
Sudah tentu semua orang terheran-heran melihat kejadian
ini. "Teng-toako, apa kau masih ingat padaku?" dengan
tersenyum Li Ti lantas menyapa.
"Ah, Li-hiante, kau berada di sini juga!" seru Hiau-lan
dengan girang setelah mengamat-amati orang sejenak. Hanya
suaranya masih agak lemah.
"Nah, sekarang para hadirin disilakan mendengarkan
ceritaku," tiba-tiba Li Ti berkata lagi.
Dengan sendirinya semua orang tambah heran, dalam
girangnya Pang Ing pun tidak habis mengerti mengapa
kawannya ini masih begitu iseng hendak mendongeng segala.
"Di zaman dahulu ada seorang jenderal," demikian Li Ti
mulai bercerita, "sudah banyak sekali jenderal ini berjasa bagi
negaranya, pemerintah menganggapnya sebagai miang
punggung negara dan raja sendiri memandangnya sebagai
saudara sendiri. Aku tak ingat ini terjadi pada dinasti yang
mana dan juga tidak ingat lagi nama jenderal itu dan rajanya,
pendeknya cerita ini betul-betul terjadi, bahkan tercatat jelas
pada salah satu kitab kuno. Kepandaian jenderal itu tinggi
sekali dan tenaganya besar, tapi dia punya satu kelemahan,
yaitu takut bini!" Loh Bin-ciam dan Pek Thay-koan menjadi tertawa geli
mendengar Li Ti bercerita tentang orang takut bini segala.
Diam-diam Pang Ing pun membatin, "Selamanya Li Ti
bersikap sungguh-sungguh dan jarang berkelakar, tapi kenapa
hari ini tiba-tiba mengobrol tentang orang takut bini" Apakah
memang dia sengaja hendak menyindir Teng-sioksiok takut
pada Nyo Liu-jing" Akan tetapi hal inipun tidak mungkin, dia
adalah seorang yang baik hati, tidak nanti ia menertawai
orang dengan cara demikian,"
Sementara itu ia dengar Li Ti sedang melanjutkan
ceritanya. "Usia jenderal tadi sudah mendekati setengah abad, namun
seorang putra saja belum punya, raja menasehati dia
mengambil gundik, tetapi jenderal ini takut bini, sudah tentu
pikiran semacam ini tidak berani dikemukakannya."
"Takut bini atau tidak, punya keturunan atau tidak, pendek
kata tak seharusnya lelaki punya gundik," tiba-tiba Hi Yang
menyela. "Dia hanya mendongeng saja, jangan kau mengganggu,
sebab cerita ini banyak hubungannya dengan Teng-heng,"
ujar Pek Thay-koan tertawa.
Pek Thay-koan sendiri banyak membaca kitab kuno, maka
ia pun tahu cerita ini. "Pada suatu hari," demikian Li Ti menyambung lagi, "raja
telah memanggil istri jenderal itu menghadap ke dalam istana,
di depan wanita itu diletakkan secangkir arak dan raja berkata
padanya, 'Ini adalah secangkir arak beracun, jika diminum,
dalam dua belas jam, tujuh lubang orang (tujuh lubang
dimasudkan mata, kuping, hidung dan mulut) akan
mengalirkan darah terus mati dan tiada obat penolongnya lagi.
Jik? kau bersedia mengizinkan suami mengambil gundik, aku
akan segera menghadiahkan seorang Kiongli (dayang)
padanya dan kau sendirilah yang membawanya pulang, tetapi
kalau kau tidak mengizinkan suamimu mengambil gundik,
maka sekarang juga kuhadiahkan arak beracun ini padamu
agar bunuh diri!' "Mendengar ucapan raja ini, bukannya istri jenderal itu
ketakutan atau menurut, sebaliknya ia malah bergelak tertawa
dan berkata dengan tegas, 'Sekalipun harus mati tidak nanti
aku mau dima-du!' "Habis berkata ia mengangkat cangkir arak terus dihirup
habis. Sungguhpun demikian, tidak urung ia kuatir juga, waktu
minum arak beracun itu lantaran terdorong oleh marahnya,
setelah pulang di rumah dan teringat dirinya akan mati begitu
saja secara penasaran, ia menjadi sangat sedih.
"Karena itu sembari merebah di ranjang menantikan
ajalnya, ia mengharuskan suaminya berkabung untuknya dan
memanggil padri untuk membaca kitab baginya.
"Siapa duga setelah dua belas jam berlalu sedikitpun tiada
tanda apa-apa pada wanita itu, bukan saja tidak mati, bahkan
kesehatannya sama sekali tidak terganggu. Besok paginya
ketika jenderal itu menghadiri sidang pagi di istana, dengan
tertawa raja berkata padanya, 'Istrimu begitu teguh hatinya,
aku pun tidak berdaya, urusan gundik terpaksa jangan disebut
lagi.' Walaupun demikian, jenderal itu masih merasa tak
tenteram, ia bertanya, 'Bukankah Hongsiang telah
menghadiahkan kematian pada istri hamba"' Pertanyaan ini
membikin raja tertawa terbahak-bahak, katanya kemudian,
'Bagaimanapun aku berbuat sewenang-wenang, mana
mungkin tanpa alasan aku membunuh istri jenderal yang
paling berjasa" Apa yang diminumnya kemarin tidak lebih
hanya cuka belaka!'."
Setelah Li Ti mengakhiri ceritanya, semua orang ikut
bergelak tertawa. Pada saat itu juga mendadak Teng Hiau-lan bangun
berduduk. "Jangan-jangan apa yang aku minum dari Yong Ceng itu
juga bukan arak beracun segala?" tanyanya cepat.
"Memang tadinya aku belum berani memastikan, tapi kini
setelah dicoba, aku berani mengatakan apa yang kau minum
sekali-kali bukanlah arak beracun!" sahut Li Ti. "Dan apa yang
aku minumkan padamu tadipun bukannya obat mujarab
segala!" "Cara bagaimana kau bisa memastikannya?" Pang Ing
bertanya dengan heran. "Memang Yong Ceng si kaisar anjing ini adalah seorang
Siau-jin (manusia rendah) yang paling keji," sahut Li Ti.
"Dahulu ia kuatir kalian berdua akan membocorkan rahasianya
cara merebut takhta dengan segala tipu muslihatnya, maka ia
telah menggunakan akal licik ini untuk mempedayai kalian.
Coba pikir saja, sungguhpun di dalam istana terdapat obat
aneh semacam ini, apa mungkin selalu dibawa olehnya?"
"Tetapi kenapa beberapa hari paling akhir ini aku betulbetul
merasakan begitu berat sakitku?" tanya Hiau-lan.
"Tentu saja." sahut Li Ti. "Coba kau pikir, istri jenderal tadi
yang kena gertak tidak lebih hanya sehari saja, setelah dia
pulang di rumah toh ketakutan dan pecah nyalinya untuk
menantikan ajalnya, apalagi kau yang dalam satu tahun ini
setiap saat setiap detik tersiksa, cara bagaimana jiwamu tidak
tertekan" Dalam hati terang kau tidak menyangsikan apa yang
kau minum bukanlah arak beracun, dengan sendirinya kau
percaya penuh gertakannya. Walaupun kau tidak gentar mati,
tapi dalam hati sudah timbul pikiran putus asa, oleh sebab
itulah setelah tiba batas waktunya, perasaanmu lantas
terpengaruh, daya hidupmu pun mogok seketika, dalam
keadaan demikian, mana bisa kau tidak merasakan seperti
sakit payah" Masih untung kau bukannya orang biasa, kalau
tidak, mungkin sebelum tiba batas waktunya, sudah lama kau
mati ketakutan!" "Sungguh memalukan saja!" diam-diam Hiau-lan berkata
dalam hati. Ia mendongkol pula telah kena dipermainkan oleh
Yong Ceng yang keji itu. "Sebenarnya mengharapkan hidup dan takut mati adalah
sifat manusia yang jamak," terdengar Kam Hong-ti membuka
suara setelah mengikuti perkataan Li Ti tadi, ia sudah sejak
tadi masuk kamar. "Buat kaum kita, sebabnya tak gentar mati
adalah karena merasa kewajiban besar yang kita pikul, oleh
karenanya senantiasa bersedia mengorbankan diri dan dalam
hati tentunya kita sudah mempunyai suatu pokok tujuan.
Tentang istri jenderal yang tak takut mati karena cemburu itu
tak bisa dibandingkan dengan kaum kita."
Dalam pada itu terdengar Li Ti menutur lagi.
"Semula aku tak tahu cara bagaimana harus berbuat,
setelah aku mempelajari bahan obat yang dipakai oleh Boatwan
Lojin yang terdiri dari obat-obat penenang pikiran saja
dan bukannya obat pemunah racun, karena itu aku lantas
sangsi dan kemudian menyelaminya secara teliti. Oleh karena
Boat-wan Lojin sendiri tidak memeriksa nadi si penderita
sendiri, maka ia tak berani menentukan penyakit apa yang
dideritanya, sebaliknya aku menaksir penyakit Teng-heng dari
teori seperti apa yang dikatakan orang kuno bahwa penyakit
pikiran harus diobati juga dengan pikiran. Sedang Pang Ing
adalah orang yang paling dekat dengan kau, kalau dia
mengatakan air abu itu adalah obat mujarab, dengan
sendirinya kau percaya penuh akan perkataannya."
"Haha, pantas adakalanya banyak dukun menggunakan air
abu untuk menipu orang," terdengar Pek Thay-koan berkata
dengan ber-gelak tertawa sehabis Li Ti bercerita. "Tentunya
ada orang yang menderita sakit enteng, sebenarnya tanpa
obat juga bisa sembuh, tapi kebetulan maka^ air abunya,
karena percaya akan bisa menyembuhkan penyakit, dengan
sendirinya sakitnya menjadi lebih cepat sembuhnya. Dan
karena itu pula lantas banyak pujian pada sang dukun. Cuma
kasihan bagi yang menderita sakit berat, sehabis minum air
abu, bukannya menjadi baik, sebaliknya malah terus mampus,
dan untuk itu orang lantas menganggap sudah ditakdirkan
harus mati dan tidak menyalahkan si dukun lagi."
Jika semua orang bergelak tertawa karena cerita Pek Thaykoan,
adalah Teng Hiau-lan sedang tekun berpikir di antara
suara tertawaan orang. "Yong Ceng si kaisar anjing ini memang sangat keji,"
katanya tiba-tiba sesudah suara tertawa mereda, kini aku pun
dapat menerka apa tujuannya. Dia telah memberi batas waktu
setahun padaku, setelah tiba saat aku diharuskan datang ke
istana untuk mohon obat padanya, sedang dalam waktu
setahun ini dia bisa mengatur rencananya mempreteli
begundal pengeran lainnya yang menjadi saingannya yang
kuat. Jika kedudukannya sudah kukuh, ia tidak perlu takut lagi
aku akan membongkar rahasianya, maka dengan leluasa aku
akan dibunuhnya. Tetapi kalau singgasananya masih belum
kuat, ia lantas sembarang memberi 'obat pemunah* padaku,
berbareng ia menggunakan macam-macam tipu-muslihat lagi
untuk mempe-dayai aku dan mungkin menunda 'hari ajalku'
selama setahun lagi, dengan demikian aku akan selamanya
tergenggam dalam tangannya. Pula dengan alasan ini ia bisa
menipu Ing-moay masuk istana pula, sungguh suatu tipu keji.
Sekali tembak kena dua burung!"
Pang Ing jadi teringat dirinya tempo hari pernah masuk
istana dan bersedia mengorbankan diri untuk menolong Teng
Hiau-lan, kini kalau dipikir kembali sungguh tindakan itu terlalu
bodoh sekali, ia bersyukur dirinya tidak sampai terjebak.
Meski keadaan Teng Hiau-lan sudah selamat, tapi selama
tujuh hari paling akhir ini ia selalu dalam keadaan tersiksa,
pikiran kusut, tidur tak nyenyak, makan pun tak enak, dengan
sendirinya badannya masih sangat lemah.
Karena itu Li Ti lantas gunakan obat menurut resep dari
Boat-wan Lojin itu, ia suruh orang membelinya ke kota kecil di
sekitarnya dan diseduhnya untuk diminum Teng Hiau-lan.
Sesudah yakin betul bahwa Teng Hiau-lan selamat tanpa
kurang sesuatu, baru kini Pang Ing merasakan kepala pusing
dan mata berkunang-kunang, badannya letih seperti orang
hendak mati. Sedang ia berpikir hendak pergi tidur, tiba-tiba
teringat sesuatu olehnya, waktu ia memandang sekitarnya, ia
lihat ada seseorang yang tak hadir.
Kiranya Pang Ing teringat pada diri Lu Si-nio. Seperti
diketahui, empat hari yang lalu dia pernah saling berjanji, baik
berhasil mendapatkan tabib ataupun tidak, mereka akan
kembali berkumpul pula di Se-san. Ginkang Lu Si-nio jauh
lebih tinggi daripada dirinya, sepantasnya sudah lama kembali,
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi sekarang masih belum kelihatan berada di antara kawanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kawannya ini, keruan Pang Ing menjadi kuatir, jangan-jangan
terjadi apa-apa lagi di luar dugaan"
"Dimanakah Lu-cici?" akhirnya ia bertanya.
"Aneh, justru aku ingin tanya padamu!" sahut Kam Hong-ti.
"Betul dia masih belum kembali?" Pang Ing menegas.
"Justru aku sedang heran kenapa perginya kau bersama Sinio,
sebaliknya pulang membawa Toako ini," kata Kam Hong-ti
pula. Mendengar dirinya disinggung, baru kini Li Ti .berkenalan
dengan semua orang, sudah tentu begitu ia memperkenalkan
namanya, ternyata sudah lama sama mendengar. Kemudian
Pang Ing menceritakan juga bagaimana dia berpisah dengan
Lu Si-nio yang membagi dua jurusan untuk mencari tabib.
Kam Hong-ti merasa heran sekali oleh penuturan itu, ia
pikir, "Dengan hubungan antara Pat-moay dengan Hiau-lan,
sekalipun di tengah jalan dia terganggu oleh sesuatu, tentu
pula ia akan melepaskan diri dan buru-buru kembali, tetapi
sekarang tidak terlampak ia pulang, apakah dia sendiri
menemukan hal-hal yang jauh lebih penting" Atau karena
kepergok musuh yang terlalu tangguh hingga tidak mampu
melepaskan diri" Tetapi Pat-moay punya Ginkang sudah tiada
taranya, ilmu pedangnya juga tiada bandingannya,
sepantasnya tidak nanti ia mendapatkan kesukaran."
Demikianlah Kam Hong-ti terus berpikir.
"Selama ini Lu-cici selalu kian-kemari untuk kepentingan
diriku, selama ini pula belum pernah aku menghaturkan terima
kasih padanya," kata Hiau-lan. "Jika hari ini ia masih belum
kembali, besok juga aku pergi mencarinya bersama kau!"
Begitulah, sesudah mengaso semalam, besoknya baru Pang
Ing menceritakan pada Hiau-lan tentang pertemuannya
dengan ibu dan adiknya di Pat-tat-nia secara kebetulan, tentu
saja Hiau-lan ikut bergirang dan bersyukur keluarga yang
tadinya berantakan akhirnya bisa berkumpul kembali.
"Sungguh aneh, dicari-cari tidak ketemu, tapi akhirnya
diperoleh tanpa buang tenaga sedikitpun, hari ini rasa hatiku
yang tertekan selama belasan tahun ini benar-benar terbebas
seluruhnya," ujarnya kemudian dengan muka berseri-seri. Dan
bila ingat pada Su-so atau ipar seperguruannya, ia menjadi
kangen sekali ingin bisa lekas berjumpa.
"Ibu pun sangat terkenang pada dirimu, ia sangat suka
padamu!" kata Pang Ing sambil tersenyum malu-malu.
"Tempat yang dituju Lu Si-nio itu apakah berjarak jauh dari
Pat-tat-nia?" kemudian Teng Hiau-lan bertanya.
"Tempat yang dia cari adalah kampung kediaman pelukis
she Tan, kawan Boat-wan Lojin, yang terletak di sebelah timur
Pat-tat-nia," Pang Ing menerangkan. "Sedang kelenteng
dimana ibu tinggal terletak di bukit utara Pat-tat-nia. Lam-kau
yang aku tuju itu sebaliknya terletak di barat Pat-tat-nia,
jaraknya tidak jauh antara satu dan yang lain."
"Kalau begitu setelah aku dan Kam-tayhiap menemukan Sinio,
barulah pergi menyambangi kalian," kata Hiau-lan
akhirnya. Tetapi bila pemuda ini ingat di masa kecilnya sang
Su-so raemanggilnya sebagai adik cilik, tanpa terasa mukanya
menjadi merah jengah. Agaknya Pang Ing dapat meraba
perasaan orang, maka ia pun tersenyum.
"Baiklah, aku dan Li-koko kembali dulu ke kelenteng itu
untuk memberitahukan pada ibu, agar beliau bersiap
menyambut kedatanganmu," katag;adis ini akhirnya.
Kembali pada Pang Lin yang tinggal di kelenteng bersama
ibunya. Setelah anak dara ini pulih ingatannya, perasaannya
yang selama ini diliputi awan gelap seketika menjadi terang, ia
menjadi lebih lincah dan lebih segar daripada dulunya.
Terhadap ilmu tabib Li Ti, ia dan ibunya cukup yakin dan
menaruh kepercayaan penuh pada kepandaian pemuda itu,
maka ia pun tidak begitu menguatirkan penyakit Teng Hiaulan
seperti Pang Ing. Sebaliknya yang merasa masgul dan diliputi kekuatiran
adalah Khong Liang dan Thio Thian-ti, belasan orang mereka
berjubel tinggal di dalam kelenteng itu, di antaranya lebih
separah belum sembuh dari lukanya, maka mereka sangat
kuatir kalau kena digerebek pasukan pemerintah. Karena itu
Pang Lin sering disuruh meronda ke sekitar bukit.
Setelah dua hari berlalu dengan selamat, pada hari ketiga
ketika mereka sedang sarapan pagi, Thio Thian-ti yang tulang
pundaknya mulai pulih dari lukanya dan sudah bisa bergerak,
sekonyong-konyong membuang sumpit dan mangkoknya terus
mendekam ke atas tanah. "He, apa yang kau lakukan?" cepat Pang Lin bertanya
dengan heran. Dalam hati anak dara ini menjadi geli, diamdiam
ia menertawai kelakuan Thio Thian-ti yang waktu itu
seperti kura-kura yang sedang tengkurap di atas tanah.
Tetapi Thian-ti tidak menjawab pertanyaan tadi, ia terus
mendekam dengan menempelkan telinga ke tanah, setelah
agak lama baru kelihatan ia berbangkit.
"Ada beberapa kelompok orang yang melarikan kuda
mereka dengan cepat lewat di sebelah timur bukit, syukur
mereka tidak menuju ke atas gunung, tapi kita harus berjagajaga,"
katanya kemudian. "Nona Lin, terpaksa harus membikin
repot kau lagi, coba kau periksa kaki gunung sebelah timur
untuk melihat apa ada terjadi sesuatu dan siapa pula
kelompok orang itu."
Thio Thian-ti adalah begal besar kalangan Kangouw,
kepandaian cara mendengarkan suara dengan mendekam di
atas tanah biasanya sangat jitu. Karena itu, ketika Pang Lin
mnengintai ke sebelah timur bukit, betul juga ia lihat di kaki
gunung sana beberapa kelompok orang yang terdiri dari tiga
sampai lima orang sedang melarikan kuda mereka dengan
cepat, tampaknya orang-orang itu seperti petugas atau kaum
opas. Tak lama kemudian, rupanya kawanan opas itu sudah lewat
seluruhnya dan selagi Pang Lin hendak kembali, tiba-tiba ia
lihat ada beberapa penunggang kuda sedang mendatangi pula
secepat terbang, waktu ia tegasi, penunggang kuda yang
paling depan ternyata seorang wanita, kudanya putih tetapi
pakaiannya merah, hingga kelihatannya sangat menyolok.
Di belakang wanita itu menyusul tiga opas sedang
mengejar dengan kencang, kepandaian menunggang kuda si
wanita ternyata sangat tinggi, tapi ketiga pengejarnya juga tak
lemah, setelah meng-udak sampai di bawah gunung,
mendadak si wanita baju merah me-ngeprak kudanya terus
melompat ke lembah gunung, tapi binatang tunggangannya
mendadak meringkik ngeri, empat kakinya bertekuk lutut
hingga si wanita terjerembab ke depan. Syukur ia tidak
sampai jatuh terguling, melainkan terus berjumpalitan, habis
itu segera ia pasang gendewa terus membidikkan pelurunya
bagaikan hujan, ketiga opas tadipun melompat turun dari
kuda mereka, dengan senjata mereka menyampuk datangnya
peluru yang diarahkan padanya, dalam sekejap saja, si wanita
tadi sudah terkepung rapat oleh kawanan prajurit yang sudah
menyusul tiba. Pang Lin tertawa geli ketika ia mengenali siapa adanya
wanita itu. "Kiranya perempuan ini lagi, dahulu aku memergoki dia lagi
berkelahi dengan opas di penginapan, kini kembali mereka
berhantam di sini," demikian ia membatin. "Ha, memangnya
aku sedang hendak mencari dia, tahu-tahu kini. muncul
sendiri, sungguh sangat kebetulan! Eh, kepandaiannya
tampaknya sudah jauh lebih maju daripada dahulu. Tetapi
ketiga opas lawannya agaknya bukan sembarang opas dan
tidak boleh dipandang enteng!"
Lambat-laun wanita yang seorang diri melawan tiga orang
itu kelihatan mulai kewalahan dan kececar.
"Hai, sungguh besar sekali nyali kalian," demikian terdengar
wanita itu membentak. "Apa kalian belum pernah mendengar
nama Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng" Aku inilah putrinya!"
Kiranya wanita ini bukan lain daripada Nyo Liu-jing.
Ayahnya, Nyo Tiong-eng, adalah pemimpin kalangan
persilatan lima propinsi utara, baik kalangan atas maupun
lapisan bawah, semuanya segan pada namanya, namanya
disegani di daerah utara seperti nama Kam Hong-ti yang
disegani di daerah selatan.
Tak terduga, demi mendengar orang menggertak dengan
nama Nyo Tiong-eng, ketiga orang itu berbalik tertawa
terbahak-bahak. "Haha, apa kau maksudkan si tua bangka she Nyo itu,"
demikian seorang di antaranya menyahut, "kebetulan sekali,
kami justru sedang ingin berbesanan dengan dia. He, nyonya
muda, sepanjang jalan kau kelihatan menangis, tentu kau
kematian lakimu dan belum mendapatkan gantinya. Nah,
sekarang kau boleh pilih sendiri, kami bertiga ini boleh kau
ambil satu yang kau suka!"
Sungguh tidak kepalang gusar Nyo Liu-jing oleh godaan itu,
begitu ia ayun pedangnya, secepat angin ia menyerang
dengan hebat, tapi ketiga lawannya hanya melayani dia
dengan cengar-cengir sambil menggoda pula dengan
perkataan yang rendah, keruan semakin menjadikan kalapnya
Nyo Liu-jing, ia merangsek lebih kencang, hingga pertarungan
berlangsung seru sekali. Kiranya belasan hari yang lalu, karena permintaan Teng
Hiau-lan, oleh Kam Hong-ti telah dikirim surat kepada Nyo
Tiong-eng untuk memberitahukan tentang keadaan Hiau-lan.
Dalam surat pemuda itu telah diterangkan bahwa dirinya
merasa berhutang budi pada orang tua itu, tapi tak bisa
membalas, sebaliknya kini harus mengalami nasib malang dan
jelas pasti akan mati, maka dalam suratnya ia meminta maaf
pada Nyo Tiong-eng ayah dan anak serta mohon
membatalkan ikatan perjodohannya, dengan demikian agar
masa remaja Nyo Liu-jing tidak ikut menjadi korban.
Tentu saja tidak kepalang terkejut Nyo Tiong-eng demi
menerima surat pesan Teng Hiau-lan itu." Tetapi ia sendiri
sudah cacat dan tidak bisa bergerak, terpaksa ia mengirim
putrinya secepat kilat berangkat ke kotaraja untuk mencari
kabar lebih lanjut, pada putrinya ini Nyo Tiong-eng berpesan
pula agar mencari tabib terpandai di kotaraja apabila Hiau-lan
masih belum tewas. Tetapi kalau keburu meninggal, harus
membawa kembali miang abunya ke rumah.
Nyo Tiong-eng memberi sangu putrinya beberapa biji emas
untuk persediaan ongkos tabib, bahkan ia menulis pula
beberapa pucuk surat untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh
Bu-lim di kotaraja. Kuda keluaran Soatang pada umumnya memang bagus,
dengan sendirinya binatang tunggangan Nyo Liu-jing adalah
kuda pilihan pula, maka tidak sukar untuk menempuh dua-tiga
ratus li dalam sehari. Begitulah maka tanpa kenal lelah Nyo Liu-jing melarikan
kudanya seperti terbang menuju kotaraja, tetapi karena surat
Hiau-lan datangnya terlambat, maka ketika sampai di daerah
Hoay-yu, waktunya sudah lewat tiga hari dari batas tempo
hidup Teng Hiau-lan, bila teringat oleh Nyo Liu-jing kalau
dirinya nanti sampai di tempatnya, mungkin waktu itu pula
Hiau-lan sudah dimasukkan peti mati dan selamanya tak akan
bisa berjumpa lagi, ia menjadi sangat berduka, ia keprak
kudanya secepat terbang sambil mengucurkan air mata pula.
Wanita muda seorang diri seperti Nyo Liu-jing melarikan
kudanya secepat terbang, dengan sendirinya sangat menarik
perhatian orang, apalagi ia menangis pula di atas kudanya,
kelakuannya yang luar biasa ini sudah tentu menimbulkan
macam-macam dugaan. Pada hari itu, kebetulan ada sekawanan Hiat-ti-cu bersama
beberapa bintara Kim-wi-kun (pengawal istana) sedang
melakukan tugas di sekitar Lam-kau, yang hendak mereka
tangkap adalah seorang buronan yang sangat penting,
sebenarnya tidak sempat untuk mengurus orang lain. Akan
tetapi ada tiga orang di antara mereka berasal dari kaum
penjahat, biasanya suka merusak kaum wanita, ketika mereka
nampak muka Nyo Liu-jing cukup cantik dan menggiurkan,
benda yang termuat di atas kuda pun dapat dikenali adalah
barang berharga sebangsa emas-perak, dengan sendirinya
timbul pikiran jahat mereka untuk merampas harta dan
memperkosa kehormatan si gadis.
Oleh karena itulah, ketiga orang ini telah meninggalkan
induk pasukan mereka, dengan kencang mereka menguntit
jejak Nyo Liu-jing, setelah tersusul lebih dulu mereka
robohkan kuda si nona dengan senjata rahasia dan menyusul
beramai mereka mengembut.
Saat itu Nyo Liu-jing lagi merasa payah karena keroyokan
itu, ketika mendadak terdengar suara tertawa orang, bagaikan
burung tahu-tahu Pang Lin sudah melayang turun dari atas
bukit secepat terbang, begitu tangan gadis ini bergerak,
segera tiga Hui-to 'Toat-beng-sin-to', pisau sakti penjabut
nyawa, telah menyambar ke arah ketiga orang tadi.
Ketiga anggota Hiat-ti-cu itu meski bukan lawan lemah,
mana bisa mereka menahan sambaran pisau beracun yang
mendadak ini, begitu kuat dan cepat datangnya Hui-to itu,
seorang di antara tiga orang yang kepandaiannya paling
rendah seketika lehernya tembus oleh pisau terbang itu dan
melayang jiwanya. Seorang lagi berniat memukul jatuh Hui-to dengan
goloknya, tetapi tidak urung pisau terbang Pang Lin
menyerempet lewat ke samping melukai lengannya, tanpa
ampun ia pun menggeletak roboh juga.
Tinggal seorang lagi ternyata ilmu silatnya lebih tinggi,
begitu ia sampuk pisau terbang dengan goloknya, berbareng
ia jatuhkan diri ke samping dengan gerakan berjumpalitan,
lalu ia menggelinding beberapa kali di tanah, dengan demikian
baru sempat menghindarkan diri dari Hui-to, namun ini sudah
cukup membikin ia ketakutan, tanpa pikir lagi segera ia lari
terbirit-birit. Tentu saja kejadian ini membikin Nyo Liu-jing heran sekali,
waktu ia mendongak, ia lihat Pang Lin sudah berdiri di
depannya dengan tertawa, dari kerlingan mata dan gerak alis
anak dara ini, tampak sekali sikap yang memandang rendah
padanya. Dapat diduga bahwa Pang Lin tentu disangka sebagai Pang
Ing oleh Nyo Liu-jing. Sebagaimana telah diketahui, setahun
yang lalu ia pernah ditempeleng sekali oleh Pang Ing di
rumahnya sendiri, sakit hati ini sampai sekarang masih belum
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lenyap, kini meski orang telah menolong jiwanya, namun
nampak sikap si anak dara yang menghina padanya ini, sudah
marah ia menjadi tambah gemas, akan tetapi tak enak juga ia
hendak mengumbar amarahnya.
"Kenapa kau tergesa-gesa dalam perjalanan, Bibi?"
demikian Pang Lin bertanya setelah melirik Nyo Liu-jing lagi.
"Apa keadaan Kongkong (maksudnya Nyo Tiong-eng) sudah
baikan" Wah, kepan-daianmu dalam ilmu membidik peluru
sudah jauh lebih maju, Bibi!"
Pang Lin sengaja memuji, tapi sebenarnya mengolok-olok
dan menusuk perasaan orang. Dua hari yang lalu, dari
Tacinya, Pang Ing, ia sudah mengetahui hubungan antara Nyo
Liu-jing dengan Pang Ing dan Teng Hiau-lan, maka sebelum
Nyo Liu-jing membuka suara, ia sengaja mengajak bicara pada
orang dengan berlagak sebagai Tacinya.
Keruan saja kata-kata yang bersifat olok-olok tadi membikin
Nyo Liu-jing semakin naik darah.
"Hm", demikian ia menjengek, "Sudah mengerti, pura-pura
tidak tahu" Bukankah selama setahun ini kau selalu
berdampingan dengan Encekmu?"
"Ya, ya, memang siang dan malam kami selalu berada
berdampingan, wah, betul-betul menyenangkan sekali!" sahut
Pang Lin dengan sengaja berlaku genit.
Dapat dibayangkan jawaban ini semakin membikin Nyo Liujing
berjingkrak, rasa cemburunya jadi memuncak, tanpa
tertahan ia membalas dengan beberapa kali tertawa sindiran.
Tetapi ketika Pang Lin melotot padanya, ia rada mengkeret
dan tak berani garang lagi, karena ia pun ingin sekali
mendapat kabar Teng Hiau-lan, maka dengan menahan rasa
gusar ia lantas bertanya lagi.
"Dan bagaimana keadaan Hiau-lan" Katanya kau begitu
baik dengan dia, tapi pada saat ia sakit payah mendekati ajal,
kau berba-lik sempat keluyuran ke sini?"
Mendengar teguran ini, tidak kepalang rasa geli Pang- Lin,
ia sengaja tertawa cekikikan.
"Darimana kau mendengar kabar itu" Hakikatnya Tengsioksiok
sama sekali tidak menderita sakit apa-apa," sahutnya
kemudian. Dalam hati Pang Lin memang sudah menyiapkan
serentetan kata-kata untuk mempermainkan sang bibi ini, tak
tahunya apa yang ia katakan ini berbalik kena benar benar di
hatinya. Memang betul pada hakikatnya Teng Hiau-lan sama
sekali tidak menderita sakit apapun.
Tetapi karena jawaban ini, bukan main kaget dan heran
Nyo Liu-jing, "Apa kau bilang?" ia menegas. "Hakikatnya Hiaulan
tidak sakit?" "Ya, memang!" sahut Pang Lin.
"Tetapi kenapa ia menulis surat pada ayahku dan bilang
kemarin dulu adalah hari ajalnya, malahan aku mengira ia
telah meninggal?" ujar Liu-jing.
Mendengar penuturan ini, Pang Lin pura-pura mengunjuk
rasa terkejut. "Ha, begitukah dia memberi kabar?" demikian katanya
dengan lagak heran. "Padahal kemarin malam dia masih
makan manisan Tho yang aku bikinkan untuknya, mana
mungkin dia bisa mati. Eh, memang aneh, sebab apakah dia
menulis surat itu padamu?"
Habis berkata lalu ia pura-pura berlagak berpikir, selang tak
lama baru ia bertepuk tangan dan berkata pula dengan
tertawa. "Ah, mengertilah aku, sungguh busuk Hiau-lan ini, kenapa
aku sama sekali tidak diberitahu olehnya!"
Mendengar cara berkata anak dara ini begitu wajar dan
begitu mesra, panggilan Encek atau paman yang tadinya
masih dipakai kini bahkan sudah berubah langsung memanggil
nama Hiau-lan, pula lagu suaranya begitu wajar, seperti
segala sesuatu selalu Teng Hiau-lan berunding dulu dengan
anak dara ini, keruan air muka Nyo Liu-jing berubah hebat,
hatinya tidak kepalang panasnya, rasa cemburu membakar. *
Akan tetapi karena ingin mengetahui sebab apa Teng Hiaulan
menulis surat itu kepadanya, maka terpaksa ia mengertak
gigi dan bersabar. "Kau bilang mengerti, apa yang kau ketahui?" akhirnya ia
bertanya lagi sesudah menenangkan diri.
"Bukankah dalam suratnya ia mengemukakan hendak
membatalkan pertunangannya dengan kau?" demikian tibatiba
Pang Lin bertanya. "Memang sudah lama ia mengatakan
padaku, ia minta aku bantu mencarikan akal supaya ada
sesuatu alasan untuk menghindari pernikahan dengan kau!"
Belum selesai Pang Lin mengucapkan kata-katanya, saking
gusarnya Nyo Liu-jing sudah berteriak dan berjingkrak.
"Kurangajar, betul-betul binatang yang tidak kenal kebaikan
dan melupakan budi orang!" tanpa pikir lagi ia lantas mencacimaki.
"He, jangan kau sembarang memaki Encekku, jika kau
berani memaki lagi, jangan kau salahkan aku ambil tindakan
tegas!" sahut Pang Lin melihat akalnya sudah mulai jalan.
Waktu itu saking kalapnya Nyo Liu-jing sudah lupa daratan,
ia tidak memikirkan kepandaiannya yang jauh di bawah orang
(ia menyangka Pang Lin sebagai Pang Ing yang dulu pernah
menghajar dia), tanpa berkata lagi segera ia memukul ke
muka Pang Lin. Tetapi dengan sekali lompat Pang Lin hindarkan
tempelengan itu. "Kau terhitung Encimku, aku mengalah kau sekali pukulan
tadi!" demikian sambutnya kemudian. Kelakuannya ini mirip
sekali seperti sikap Pang Ing dahulu waktu mengalah juga
pada Liu-jing. Pang Lin memang sengaja menirukan, sampai sikap dan
watak Tacinya ia tiru secara mirip sekali. Tentu saja Nyo Liujing
semakin murka. "Baiklah aku mengadu jiwa dengan kau, kalau berani, lebih
baik kau bunuh aku saja!" demikian teriak Liu-jing. Berbareng
sekuat tenaga ia menyeruduk ke depan dengan kepalanya.
Namun dengan sekali lompat Pang Lin dapat menghindarkan
diri. "Aku tak pernah bermusuhan dengan kau, kenapa aku
harus membunuh kau!" seru Pang Lin.
Dalam pada itu, karena serudukannya mengenai tempat
kosong, saking bernapsunya sampai Nyo Liu-jing menyelonong
ke depan, hampir ia jatuh terjerembab. Setelah berdiri tegak
lagi, segera ia ambil busur dan pelurunya terus membidik.
"Sundel cilik yang tak tahu malu, tidak kurang orang lelaki
di jagat ini, kenapa kau hanya penujui Encekmu?" demikian
Nyo Liujing mencaci-maki lagi. Berbareng peluru dibidikkan
seperti hujan. "Hm, dengan permainan pelurumu ini kau hendak menakuti
orang?" dengan tertawa Pang Lin mengejek. "Dua kali di
waktu dahulu belum pernah kau membidik kena diriku,
sekarang kau masih berani coba lagi!"
Sambil berkata ia berkelit, tangan pun bekerja, ia meraup
sini dan menyambut sana, dengan kepandaian menangkap
senjata rahasia ajaran Han Tiong-san, dengan gampang saja
Pang Lin menangkap semua peluru Nyo Liu-jing dan satu per
satu dia lemparkan pula ke tanah hingga berserakan, selang
tak lama, akhirnya peluru Nyo Liu-jing pun habis dan tetap
tidak kena membidik orang.
Akhirnya Pang Lin gusar juga, segera ia memaki.
"Menurut pendapatku, kau sendiri perempuan hina-dina
yang tak punya muka, tidak kurang lelaki di jagat ini, tapi kau
justru pe-nujui Hiau-lan, dia tak suka padamu, sebaliknya kau
masih terus menginginkan dia, kau yang betul-betul tak punya
muka!" Saking gemasnya, muka Nyo Liu-jing menjadi pucat, dalam
kalapnya ia tarik pedangnya terus menusuk serabutan tak
teratur. "Baiklah, hari ini kalau bukan kau yang mati biar aku yang
binasa!" teriaknya. Tetapi dalam hati ia yakin 'Pang Ing' pasti tak berani
membunuh dirinya, maka sengaja ia berlagak garang.
Sebaliknya kelakuannya ini disambut dengan ganda tertawa
oleh Pang Lin, anak dara ini mendadak meloncat ke atas, ia
keluarkan kepandaian menubruk dari atas cara elang kucing
dari jurusan yang sama sekali tak disangka orang, tahu-tahu
ia dapat merebut pedang dari tangan Nyo Liu-jing, lalu dengan
tenaga dalam yang kuat ia patahkan senjata itu jadi dua terus
dilemparkan ke jurang. "Hai, dengarkan yang jelas," dengan suara lantang ia
memperingatkan, "hanya dengan kepandaianmu ini kau
hendak membunuh aku, hm, jangan kau mimpi di siang
bolong aku pun tidak ingin membunuh kau, kalau kau masih
berlaku garang, jangan kau salahkan kalau kulit mukamu
teriris oleh pisauku, kau akan menjadi wanita muka siluman.
Berani berkata tentu aku berani berbuat, kalau kau tak
percaya, ini biar aku berikan contoh. Awas! Pisau pertama ini
akan menabas putus tali gendewamu!"
Betul saja ketika tangannya mengayun, seketika tali
gendewa Nyo Liu-jing terputus.
"Dan pisau yang kedua ini, aku akan memapas rambutmu!"
terdengar Pang Lin berseru pula.
Berbareng itu sinar mengkilap menyambar, lekas Nyo Liujing
berkelit dalam gugupnya, namun angin tajam telah
menyambar tiba secepat kilat, tahu-tahu dirasakan kepalanya
menjadi dingin, ketika ia meraba, ternyata sebagian rambut
sudah terpapas bersih hingga kulit kepalanya kelihatan, di
pinggir kepala jarang-jarang, sebaliknya botak di tengah
kepala, tentu saja sangat lucu kelihatannya.
"Kau mau angkat kaki tidak, kalau tidak, pisauku yang
ketiga ini segera membikin cacat mukamu!" gertak Pang Lin.
Dalam keadaan sengit tadi, meski Nyo Liu-jing seketika tak
takut mati, tapi ia menjadi takut kalau betul Pang Lin merusak
kulit mukanya, karena itu, tanpa berpaling lagi segera ia lari
sipal-kuping. Sesudah Pang Lin berhasil menggoda dan menggertak lari
Nyo Liu-jing, saking gembiranya anak dara ini bergelak
tertawa, ia menuju ke pinggir kali pegunungan itu dan
bercermin pada air sungai.
"Kami Taci dan Adik dilahirkan dengan rupa begini mirip,
meski banyak mengalami kesukaran, tapi banyak pula
faedahnya!" demikian ia menggumam sendiri.
Watak Pang Lin suka bersih, setelah perkelahian tadi,
mukanya kotor kena tanah debu, rambutnya pun sedikit kusut,
karena itu ia lantas mencuci muka dengan air kali yang jernih
dan membetulkan rambutnya yang kusut, tiba-tiba ia teringat
pada Nyo Liu-jing yang lari sipat-kuping dengan kepala botak
tadi, tanpa tertahan ia tertawa geli lagi.
Selagi tertawa cekikikan, tiba-tiba ia dengar ada orang
sedang menegur di belakangnya.
"Ha, aku kira siapa, tak tahunya kau! Apakah yang sedang
kau tertawakan, manis benar tampangmu. Hayo pulang ke
istana dan tertawalah di sana untuk Hongsiang!" demikian
kata orang itu. Tentu saja Pang Lin terperanjat, ia angkat kepalanya
memandang, maka tertampaklah seorang Lamma baju merah
dengan muka cengar-cengir sedang berdiri di sampingnya.
Hendaklah diketahui bahwa ilmu silat Pang Lin sekarang
sudah terlatih cukup matang, sebaliknya secara diam-diam
tanpa menerbitkan suara, Lamma jubah merah ini bisa berada
di sampingnya secara mendadak, maka dapat dibayangkan
orang ini pasti memiliki kepandaian sangat tinggi.
Tetapi dasar Pang Lin memang setan cerdik, ia insaf telah
menemukan lawan kuat, maka sengaja ia berlaku tenang.
"Eh, apakah kau ini Tay-hoat-su (imam besar) dari istana?"
dengan tertawa ia balas bertanya.
"Hm, betul-betul Kuijin yang pelupa," demikian sahut
Lamma itu dengan mata mendelik yang aneh.
"Untung aku masih memiliki sedikit kemampuan, kalau
tidak, bukankah aku sudah mampus oleh pukulan Thian-sancianghoat?" Mendengar jawaban ini, sejenak Pang Lin menjadi bingung,
tetapi segera ia mengerti kalau orang telah keliru sangka.
"Sudah sering aku membikin gara-gara untuk Cici, tetapi sekali
ini Cici yang telah membikin gara-gara untuk aku!" demikian
pikir anak dara ini. Dalam pada itu, Lamma jubah merah tadi segera mengulur
tangannya hendak mencekal tangan Pang Lin, tapi dengan
cepat Pang Lin melompat pergi, "Kurangajar," ia lantas
mendamprat. "Aku memang sedang ingin pulang istana untuk
bertemu dengan Hongsiang, tidak perlu kau ikut mengurus
diriku, kau berani pegang aku" Baik, nanti aku laporkan
Hongsiang bahwa kau telah menggoda diriku."
Sebenarnya Lamma tadi sudah mengulur tangan hendak
menjambret lagi, tapi karena dampratan ini menjadi urung, ia
tarik kembali tangannya. "Bagus, Lin-kuijin, kau belum disayang, tapi sudah hendak
memfitnah aku?" katanya kemudian. "Tetapi sekali ini
betapapun kau berlaku licin, jangan harap bisa lolos dari
genggamanku. Jika kau memang mau bertemu Hongsiang,
nah, sekarang juga marilah berangkat!"
"Kenapa terburu-buru, tidakkah kau lihat rambutku masih
kusut?" sahut Pang Lin. Habis itu ia berjongkok pula ke tepi
sungai, dengan air ia mencuci rambutnya.
Karena kebandelan orang, Lamma itu menjadi serba salah,
ia berdiri di belakang anak dara ini dan menjadi ragu-ragu
apakah perlu menggunakan kekerasan untuk menawan orang
atau tidak" Sementara itu Pang Lin sudah selesai mencuci rambutnya,
lalu ia bikin rapi pakaiannya pula.
"Baiklah, mari sekarang kita berangkat!" katanya kemudian.
Akan ictapi tiba-tiba ia geraki tangannya, secepat kilat tiga
buah pisau sakti pencabut nyawa yang lihai menyambar ke
depan, karena jaraknya dekat, ditambah pula serangan ini
sama sekali di luar dugaan, betapapun tinggi kepandaian
Lamma jubah mer.ah itu, paling banyak ia hanya bisa
menghindarkan sebuah pisau berbisa itu, tetapi dua pisau
lainnya dengan tepat mengenai dadanya di tempat yang
berbahaya. "Roboh, hayo, roboh!" senang sekali Pang Lin melihat
serangannya berhasil, maka ia tertawa sambil bertepuk
tangan.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar dugaan, begitu kedua pisau membentur tubuh
orang, sekonyong-konyong terdengar suara keras laksana
menumbuk pada batu atau baja saja, kemudian pisau itupun
jatuh ke tanah. Tidak kepalang kejut Pang Lin, tanpa ayal lagi kedua
tangannya mengayun berbareng, -sekaligus ia timpukkan pula
enam buah Hui-to, tetapi Lamma jubah merah itu ternyata
tidak menjadi gugup, ia lindungi kedua matanya dengan
menangkap dua belati yang mengarah ke mukanya, tetapi
membiarkan tubuhnya dihantam oleh belati lainnya, begitu
menyentuh badannya, tahu-tahu keempat Hui-to itu jatuh
sendiri ke tanah. "Haha, tubuh kakek sudah kebal, mana bisa takut pada kau
punya besi tua ini!" demikian dengan bergelak tertawa Lamma
itu mengejek. Habis itu segera ia melompat maju, bagaikan elang
menyambar kelinci, dengan telapak tangannya yang lebar, dari
atas ia hendak mencengkeram kepala Pang Lin.
Lamma jubah merah ini bukan lain ialah Emopu, ia pun
ditugaskan menangkap buronan yang penting itu, di tengah
jalan ia temukan Hiat-ti-cu yang berhasil lolos dari Hui-to Pang
Lin dan melaporkan bahwa di lembah pegunungan telah
dijumpai seorang nona cilik berkepandaian sangat lihai, karena
itu dengan cepat Emopu lantas menyusul ke sini.
Ia pikir bila berhasil menangkap Lin-kuijin, tentu akan
membikin Hongsiang jauh lebih senang daripada menangkap
buronan yang penting. Karenanya ia menyusul datang dengan
cepat dan betul saja ia dapatkan Pang Lin masih berada di
tempatnya. Begitulah, atas cengkeramannya tadi berulang-kali Pang Lin
menghindarkan diri dengan gerakan cara elang kucing, ketika
untuk ketiga kalinya Emopu hendak menjambret, mendadak
Pang Lin membal ke atas, dari atas ia tekuk tubuhnya, terus
memutar pedang dan menusuk dengan cepat mengarah kedua
mata lawan. Karena serangan ini, lekas Emopu menundukkan kepala
sambil kedua telapak tangan diulur ke samping untuk
membetot tangan si gadis.
"Pergi!" tiba-tiba Pang Lin membentak, pedangnya
membalik ke samping. Selama setahun terakhir ini secara giat
Pang Lin telah memperdalam Lwekang dari Bu-kek-pay, tipu
serangannya bertenaga sangat besar pula. Dalam keadaan
demikian, sungguhpun Emopu memiliki ilmu 'Kim-ciong-cu'
dan 'Tiat-poh-san', yakni ilmu kekebalan rubuh yang tak
mempan senjata, juga tak berani membiarkan urat nadinya
kena ditusuk pedang, maka lekas ia tarik tangannya yang
menyerang tadi dan melangkah ke samping, dari sini tiba-tiba
ia baliki sebelah tangan terus menyampuk dengan keras.
"Lepas senjata?" bentaknya.
Pukulan ini ternyata membawa angin yang keras hingga
Pang Lin merasa tangannya sakit kesemutan, hampir saja
pedangnya jatuh ke tanah, cepat ia melompat ke samping dan
melarikan diri. Melihat pukulannya yang keras ini tetap tak mampu
membikin senjata si anak dara mencelat dari tangannya, mau
tak mau Emopu terheran-heran juga.
"Hm, budak liar betul-betul ada sedikit kemampuan, tapi
hendak lolos dari tanganku, itulah lebih susah bagimu
daripada hendak terbang ke langit!" demikian ia mendengus.
Habis itu, tiba-tiba ia melayang maju terus memburu,
begitu kedua telapak tangannya didorong ke depan, sekali ini
tenaganya jauh lebih besar dari tadi, angin pukulannya pun
lebih keras, sesaat Pang Lin merasa dirinya seperti kena
ditumbuk suatu kekuatan yang maha besar, lekas ia
mendoyong ke depan mengikuti angin pukulan orang, dengan
demikian ia terbawa pergi sejauh beberapa tombak terus jatuh
terguling. "Hahaha, luka tidak, manisku" Ke sinilah biar aku obati
kau!" dengan bergelak tertawa Emopu mendekati si nona.
Akan tetapi dengan cepat Pang Lin meloncat bangun,
begitu ia mengayun tangan, lagi-lagi dua buah pisau
menyambar ke arah mata orang.
Emopu menjadi gusar, sekali gablok ia hantam jatuh kedua
pisau itu ke tanah, selagi ia hendak memukul pula, tiba-tiba
terdengar ada suara teriakan orang dari jauh.
"He, siapa berani kurangajar pada adikku?"
Waktu Emopu berpaling, ia lihat dari lereng bukit sana
segu-lung bayangan putih sedang melayang datang secepat
terbang, hanya sekejap saja, bayangan ini sudah berubah
menjadi seorang gadis jelita.
Gadis yang datang tepat pada waktunya ini ternyata adalah
Pang Ing. Ketika nampak rupa kedua anak dara yang mirip seperti
pinang dibelah dua ini, seketika Emopu menjadi ternganga
terpesona. Datangnya Pang Ing ternyata sedemikian cepat, suaranya
baru terdengar, orangnya menyusul sudah tiba di tempat,
tanpa bertanya lagi, secepat kilat pedangnya menusuk ke
tenggorokan Emopu. Emopu sempat mengegos, ia baliki tangannya terus hendak
mencekal pergelangan tangan Pang Ing. Tetapi Kiam-hoat
anak dara ini terlalu hebat, sedikit putar, ujung pedangnya
sudah berganti arah menusuk ke 'Sam-goan-hiat' di paha
musuh. Gusar sekali Emopu, ia mengandalkan tubuhnya yang
kebal, ia tidak menghindari tusukan Pang Ing ini, sebaliknya ia
malah me-rangsek maju, begitu tangannya mengulur segera ia
mencengkeram ke pundak Pang Ing.
Tubuh Emopu memang tidak gentar terhadap senjata
biasa, tetapi ia tidak tahu bahwa pedang 'Toan-giok-kiam*
yang dipakai Pang Ing adalah pedang pusaka yang
digembleng oleh Hui-bing Siansu, cikal-bakal Thian-san-pay
yang lihai, ketajaman senjata ini bisa memotong besi seperti
merajang sayur, sama sekali berlainan dengan senjata biasa,
maka begitu kena tusuk, segera masuk beberapa senti ke
dalam daging. Tentu saja Emopu kesakitan, lekas ia kumpulkan Lwekang
untuk membikin dagingnya ambles ke dalam, ia paksa ujung
senjata orang keluar dari dalam daging pahanya. Tetapi
karena ia mengumpul tenaga untuk kakinya, tenaga pukulan
tangannya dengan sendirinya jadi berkurang, karena itu Pang
Ing sempat melepaskan diri dari cengkeraman orang, tetapi
pundaknya sudah panas pedas.
Masih beruntung baginya karena Emopu menjadi ragu siapa
di antara kedua anak dara di hadapannya ini yang diinginkan
Hongsiang, oleh karenanya tenaga yang dia keluarkan tidak
sepenuhnya, kalau tidak, dapat dipastikan 'Pi-pe-kut' di
pundak Pang Ing akan remuk diremas.
Sebaliknya 'Sam-goan-hiat' yang diarah Pang Ing adalah
satu urat nadi yang mematikan di tubuh orang, meski tempat
ini tepat kena ditusuk, namun Lamma jubah merah ini
ternyata masih bisa bergerak leluasa dan melompat gesit, mau
tak mau hal ini sangat mengejutkan Pang Ing.
Setelah mengumpul tenaga dalam untuk menutup jalan
darahnya, tapi toh sakitnya tidak menjadi hilang, akhirnya
Emopu menjadi kalap. "Kurangajar, sekarang biar kau Kuijin atau bukan, pasti
akan kukirim kau ke surga!" demikian ia berteriak murka
sambil kedua telapak tangannya menolak ke depan dengan
membawa angin yang keras.
"Awas Cici!" seru Pang Lin.
"Bagus!" bentak Pang Ing juga. Berbareng ia melambung
ke udara setinggi lebih tiga tombak, angin pukulan yang keras
tadi menyambar lewat di bawah kakinya, sedikitpun tidak
melukainya. Setelah terapung di udara, Pang Ing masih sempat
mengeluarkan tipu serangan lihai Thian-san-kiam-hoat yang
disebut 'Peng-ho-to-koa' atau sungai es balik terapung, sinar
pedang gemerlapan menyambar ke bawah.
Nampak ketangkasan anak dara ini, Emopu terkejut, kini ia
tak berani melawan orang dengan tangan kosong lagi, lekas ia
keluarkan semacam kebutan yang biasa digunakan kaum
padri, segera ia menangkis ke atas.
Tipu serangan Pang Ing tadi sebenarnya sangat lihai, tak
terduga mendadak pedangnya bisa kena dibelit oleh kebutan
orang hingga sama sekali ia tak mampu mengeluarkan
tenaganya lagi, tentu saja ia kaget, sementara itu ia lihat
Emopu sedang bergelak tertawa pula, berbareng dengan jari
sebelah tangannya terus hendak menutuk 'Koh-cing-hiat'.
Melihat sang Taci terancam bahaya, tanpa diminta Pang Lin
menubruk maju, begitu pedangnya bergerak, kontan ia tusuk
punggung Emopu. Meski kedua anak dara kakak-beradik ini bisa bekerja sama
dengan rapat, tetapi bila Emopu menyerang maju secara
berani, mereka selalu terancam bahaya. Syukur tak lama
kemudian, ketika tubuh kedua anak dara ini berputar cepat
dan bertukar tempat, Emopu menjadi bingung, ia tak dapat
membedakan yang mana Pang Ing dan yang mana Pang Lin,
dengan sendirinya pula ia tak bisa mengenal pedang siapa
yang pedang pusaka, karena sangsi, akhirnya ia pun tak
berani sembarangan merangsek maju. Ia hanya menggunakan
senjata kebutnya untuk mendesak senjata orang sambil
menantikan kesempatan baik untuk memberi pukulan
mematikan. Setelah pertempuran berlangsung lagi, tiba-tiba dari atas
gunung datang pula seorang, yang datang ini bukan lain
adalah Li Ti. Semula pemuda ini mengira, ikut turun tangannya Pang Ing
betapa tangguhnya musuh pasti akan kewalahan juga, siapa
tahu setelah menonton sekian lama, ia lihat Emopu tetap
memainkan kebutnya dengan lihai sekali, dengan Thian-sankiamhoat dari Pang Ing dan Bu-kek-kiam-hoat yang bagus
dari Pang Lin, kedua gadis ini berbalik kewalahan dan hanya
bisa menangkis saja. Maka tanpa ayal lagi ia lantas ikut
menerjang turun. Kedatangan pemuda ini ternyata dapat diketahui oleh
Emopu yang memiliki panca-indera yang tajam.
"Hayo, kalian boleh maju beberapa orang lagi, tidak nanti
aku gentar padamu!" demikian serunya dengan jumawa.
Habis itu, dengan sekali sabet, ia paksa pedang kedua anak
dara ditarik pergi, sedang gagang kebutnya diarahkan pada Li
Ti yang baru saja sampai, tiba-tiba 'Soan-ki-hiat' di dadanya
disodok. Tak terduga Kiam-hoat Li Ti luar biasa anehnya, itulah
Kiam-hoat ciptaan Pek-hoat Mo-li yang boleh dikata tiada
bandingannya, jelas kelihatan gaya pedangnya menuju ke kiri
bagian tengah kelihatan luang, tak tersangka mendadak ujung
senjatanya telah menikam ke sebelah kanan, gaya pedang
berubah, cara melangkah pemuda itupun berganti, dari gaya
pancingan berbalik menjadi sungguhan dan yang tadinya
kelihatan menyerang sungguh-sungguh, berubah menjadi
pancingan. Bukan saja Emopu tak mampu menutuk urat nadi
orang, sebaliknya ia sendiri yang hampir kena tusukan. .
Beruntung ilmu silat Emopu sudah sangat tinggi, begitu
serangannya mengenai tempat kosong, segera pula ia
bergeser ke samping, dengan demikian ia bisa menghindarkan
serangan maut Li Ti. Dengan datangnya Li Ti, kedudukan masing-masing pihak
lantas berubah lagi. Di satu pihak Li Ti bersama si kembar
Pang Ing dan Pang Lin, tiga orang, tiga macam Kiam-hoat,
semuanya adalah Kiam-hoat paling terkemuka di zaman ini,
mau tak mau Emopu kerepotan, kalau melayani sini, yang
sebelah sana menyerang, karena itu ia tidak segarang tadi,
kedua belah pihak kini bisa menyerang dan bertahan, dengan
demikian pertarungan seru ini kembali berlangsung lebih
seratusan jurus. Tapi dengan ikut sertanya Li Ti ke dalam kalangan
pertempuran, meski dibilang ada untungnya, namun ada
lemahnya juga. Untungnya karena dengan gabungan Kiamhoat
tiga serangkai, tidak antara lama mereka sudah berada di
atas angin. Kelemahannya karena pertarungan sudah
berlangsung lama, akhirnya Emopu dapat mengetahui senjata
yang Li Ti gunakan bukan pedang pusaka, maka secara berani
ia gunakan 'Kim-kong-ci-lik' (tenaga jari sakti), secara paksa ia
hendak merebut senjata Li Ti.
Begitulah dengan senjata kebut di tangan kanannya,
Emopu melayani kedua pedang tajam si kembar, sebaliknya
dengan tangan kosong sebelah kiri ia merangsek Li Ti.
Dengan demikian sungguhpun Kiam-hoat Li Ti sangat aneh,
tidak urung ia berada di bawah cecaran lawan, kalau bukan si
kembar segera melakukan serangan balasan secara kilat,
hampir Li Ti mengalami celaka.
Karena pertarungan sengit ini, masing-masing pihak sering
menghadapi saat bahaya. Akhirnya Pang Ing jadi tak sabar,
tiba-tiba ia teringat pada In Gi yang diketemukan dalam
penjara istana tempo hari. Pernah In Gi mengatakan padanya
bahwa tempat lemah yang menjadi ciri'Emopu adalah 'Him-holisui-ci-hiat', yaitu nama dua tempat Hiat-to. Akan tetapi ia
tidak mengetahui dimanakah letak 'Him-ho-li-sui-ci-hiat' itu di
tubuh orang. . Selagi ia berpikir, tiba-tiba teringat pula olehnya bahwa
adik yang berada di sampingnya ini banyak mempelajari
macam-macam ilmu silat, ia lantas bertanya mendadak,
"Moaymoay, tahukah kau dimana letak Him-ho-li-sui-ci-hiat?"
"O, Him-ho-ci-hiat berada tiga senti di bawah Liong-bwekut,
sedang Li-sui-ci-hiat, ah, yaitu tempat yang menjadi
pangkal jiwanya!" sahut Pang Lin.
Kiranya apa yang disebut Li-sui-ci-hiat itu terletak di bawah
kantong kemaluan lelaki, dengan sendirinya tidak leluasa bagi
Pang Lin untuk menerangkannya.
Di lain pihak demi mendengar percakapan mereka ini,
Emopu menjadi terkejut, ia heran cara bagaimana kedua anak
dara ini bisa tahu istilah Hiat-to yang biasa dipakai oleh kaum
Lamma agama Merah, lebih-lebih ia tak mengerti kenapa
mereka bisa tahu tempat lemah yang berbahaya bagi jiwanya"
Waktu itu sebenarnya Pang Ing masih belum mengetahui
dimana letak tempat yang diterangkan Pang Lin tadi, tapi ia
sengaja berlagak seperti sudah paham, maka ia lantas
berteriak. "Nah, bagus, marilah beramai kita incar tempat yang
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi pangkal nyawanya itu!"
Keruan Emopu menjadi ketakutan. Sebenarnya kalau hanya
satu lawan satu, biarpun lawan adalah jago nomor wahid dari
Bu-iim dan mengetahui tempat yang menjadi cirinya, toh
sedikitnya ia masih sanggup menjaga diri dengan rapat dan
tidak perlu merasa takut.
Tetapi keadaan sekarang berlainan, kini ia harus satu lawan
tiga, sedang Kiam-hoat ketiga lawan luar biasa lihainya, ia
kuatir, pada suatu saat bila meleng tentu dirinya akan
kecundang dan mungkin jiwanya bisa melayang.
Dalam pada itu Pang Ing telah memutar pedangnya begitu
rupa terus menusuk secepat kilat, sekuat tenaga Emopu balas
merangsek dua kali, ia pura-pura seperti hendak menubruk
maju, tetapi tahu-tahu berlari ke jurusan lain.
Memang Pang Ing juga sengaja membiarkan orang lari, lalu
ia melompat ke samping, dengan demikian secara leluasa
Emopu bisa angkat kaki, kemudian Pang Ing menghela napas
lega, sambil menghunus pedangnya ia tidak mengejar.
"Cici, kenapa kau pun kenal ilmu silat dari golongan mereka
itu?" tanya Pang Lin dengan tertawa setelah musuh lari.
Maka dengan terus-terang Pang Ing menceritakan
pengalamannya dan apa yang ia dengar dari In Gi.
"Ya, memang sewaktu In Ceng masih menjadi Pangeran, ia
suka bergaul dengan Lamma agama Merah dari Tibet," tutur
Pang Lin kemudian. "Karena itulah sekarang ia telah
merombak istana yang dia tinggali dulu dan dijadikan Yonghokiong untuk markas besar Lamma agama Merah. Tentang
pengetahuanku atas istilah Hiat-to dari Lamma agama Merah
terjadinya pada waktu aku masih tinggal di istana pangeran
juga. Ilmu Tiam-hiat mereka sangat berlainan dengan ilmu
Tiam-hiat kita, cara mereka sangat keji dan tak kenal kasihan,
kelak kalau kita berhadapan dengan mereka perlu berlaku
hati-hati. Tetapi Emopu sendiri masih belum terhitung jago
Tiam-hiat dari agama mereka, aku pun pernah mendengar
namanya saja, katanya Lwekang dan Gwakangnya di kalangan
agama Merah terhitung jago nomor dua."
"Dan kalau begitu, siapakah yang menjadi jago utama
mereka?" tanya Li Ti.
"Ialah Ciangkau (pemimpin agama) mereka, Kun-tian Sianjin!"
sahut Pang Lin. Habis itu ia berbisik pada Pang Ing untuk menerangkan dimana
letak Him-ho-li-sui-ci-hiat.
Kemudian mereka bertiga lantas duduk di lembah
pegunungan ini untuk mengaso.
"Bagaimanakah keadaan Teng-sioksiok?" tiba-tiba Pang Lin
bertanya pada Encinya. "Ia sudah sembuh berkat pertolongan Li-koko," sahut Pang
Ing tertawa. "Ha, Cici. kau pintar adu mulut juga," goda Pang Lin
dengan tertawa. Teringat pada Nyo Liu-jing yang telah dia permainkan itu,
tanpa tertahan Pang Lin tertawa cekikikan geli.
"He, kenapa kau jadi suka tertawa," tegur Pang Ing.
"Cici," sahut Pang Lin, "di tengah jalan kalian temukan
seorang wanita gundul tidak" Ia bukan Nikoh, melainkan
botak tengah kepalanya."
Sudah tentu Pang Ing tidak mengerti apa yang dimaksud
adiknya ini, ia menjadi bingung.
"Tidak, tadi lebih dulu aku dan Li Ti naik ke atas gunung
untuk menemui ibu, kami dengar kau lagi mengintai di sini,
maka kami lantas mencari kemari. Darimana aku bisa temukan
wanita yang kau maksudkan itu?"
"Ah, kiranya kalian sudah menjumpai ibu, tentu kalian naik
dari jurusan sana, pantas tidak menemukan wanita aneh itu,"
ujar Pang Lin. "Sebenarnya apa yang kau maksudkan, selalu kau sebut
wanita aneh, siapakah dia?" tanya Pang Ing.
"Cici," kata Pang Lin dengan tertawa, "aku telah bantu
menyelesaikan satu urusanmu, cara bagaimana kau akan
berterima kasih padaku?"
"Coba terangkan dahulu, urusan apa telah kau bantu aku,"
sahut Pang Ing. Maka berceritalah Pang Lin cara bagaimana ia
mempermainkan dan menggertak lari Nyo Liu-jing, sembari
bercerita sambil tertawa pula. Tetapi mendadak ia lihat air
muka sang Taci berubah hebat karena penuturannya itu, Pang
Lin menjadi kaget, maka ia tak berani tertawa lagi.
"Apakah aku telah melakukan sesuatu perbuatan yang
keliru?" tanyanya kemudian.
Pang Ing menghela napas sebelum menjawab pertanyaan
adiknya. "Moaymoay," sahutnya kemudian, "sesungguhnya kau kelewat
nakal, dengan perbuatanmu ini, maka urusan menjadi
makin runyam!" Tentu saja Pang Lin bingung oleh jawaban Pang Ing, sama
sekali ia tidak mengerti apa yang menyebabkan kesalahannya.
"A Lin," akhirnya Li Ti ikut berbicara, "perbuatanmu itu
hanya terdorong oleh karena ingin kepuasan seketika saja,
tetapi kau lupa bahwa ayah Nyo Liu-jing itu pernah menjadi
guru Teng-toako. Kau telah memapas rambut orang, peristiwa
ini apakah tidak semakin menjadi sulit untuk diselesaikan?"
"Apanya yang sulit" Aku yang menerbitkan onar, biar aku
nanti yang menyelesaikannya!" kata Pang Lin dengan sengit.
"Sudahlah Moaymoay, asal jangan kau bikin gara-gara
lagi," lekas Pang Ing menengahi.
Karena itu Pang Lin tidak buka suara lagi, tetapi dalam hati
ia telah memikirkan suatu akal pula.
"Marilah kita pulang dahulu," ajak Pang Ing akhirnya sambil
menghela napas. Namun sebelum mereka melangkah pergi, tiba-tiba
tertampak di udara sebelah barat-laut sana menjulang tinggi
sebuah kembang api, menyusul ada pula beberapa buah.
"He, ini adalah senjata rahasia 'Coa-yam-ci' (panah berapi)
milik Han Tiong-san, gerangan siapakah yang sedang
bertarung dengan dia?" kata Pang Lin dengan heran.
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar pula beberapa
kali suara mengaungnya anak panah yang sayup-sayup
berkumandang terbawa angin, suara anak panah itu yang satu
panjang dan yang dua pendek, susul-menyusul berbunyi dua
kali. "Celaka, ini adalah tanda bahaya Kam-tayhiap yang sedang
minta bantuan, panah bersuara ini pernah kudengar di
Hangciu dahulu," kata Li Ti sesudah dengan penuh perhatian
mendengarkan suara anak panah tadi.
"Ya, kelihatannya di puncak bukit sebelah sana, rupanya
tidak jauh dari sini," ujar Pang Lin.
Akan tetapi Li Ti berpandangan lain, pemuda ini dibesarkan
di pegunungan Thian-san, terhadap jalan dan keadaan
pegunungan tentu ia lebih paham.
"Tampaknya saja dekat, tetapi kalau ditempuh sedikitnya
perlu setengah hari," katanya kemudian dengan tertawa.
"Tetapi kalau itu adalah tanda bahaya Kam-tayhiap yang
minta bantuan, sepatutnya kita lekas menuju ke sana," ajak
Pang Ing. Sekarang mari kita tengok Lu Si-nio, sesudah berpisah
dengan Pang Ing, ia tiba di kampung Kongceng sebelah timur
Pat-tat-nia, di sini ia mohon berjumpa dengan pelukis she Tan
yang menjadi sahabat karib Boat-wan Lojin. Tentang pelukis
ini hidupnya ternyata lain daripada yang lain, rumahnya
sederhana, pintu rumahnya dari bambu setengah tertutup dan
setengah terpentang, ia sendiri lagi melukis di bawah pohon
bambu sambil minum arak. Dengan sopan Lu Si-nio mengetuk pintu, akan tetapi
sampai lama sekali orang tidak berpaling, pelukis ini masih
terus melukis sambil sekali dua kali menenggak araknya,
rupanya ia sedang memusatkan seluruh pikirannya pada
lukisan yang lagi dia selesaikan dan sama sekali tidak
mengetahui ada tamu sedang mengetuk pintu.
Karena tak sabar lagi, dengan perlahan Lu Si-nio masuk
sendiri ke dalam halaman, sesudah rada dekat, ketika Si-nio
memandang, tanpa terasa ia sendiri menjadi terpaku.
Ternyata obyek yang sedang dilukis oleh pelukis Tan ini
bukan lain adalah potret Engkong Lu Si-nio, Lu Liu-liang, pada
gambar yang dilukis ini Lu Liu-liang sedang berduduk sambil
memegang kitab 'Chun-chiu', kedua matanya terlukis hidup
sekali hingga sangat bersemangat, di sampingnya berdiri dua
orang, yang seorang adalah Giam Hong-kui dan lainnya Sim
Cay-khoan. Hanya Sim Cay-khoan masih belum selesai dilukis seluruhnya, cuma
dari goresan penanya sudah dapat kelihatan nyata siapa
adanya. Melihat orang masih tidak sadar ada kedatangan tamu, Sinio
sengaja berdehem sekali, akan tetapi pelukis ini masih
tetap membuta dan bertali, masih tetap memusatkan seluruh
perhatiannya untuk menyelesaikan lukisannya.
Keruan Si-nio sangat mendongkol. Tiba-tiba ia
mendapatkan satu akal. "Hai, apa yang kau lukis ini tidak mirip dengan orangnya!"
demikian ia berseru. Karena suara Si-nio inilah pelukis Tan ini seperti mendadak
kena dijotos sekali, dengan cepat ia melonjak bangun.
"Kau ini siapa" Pada tempat mana lukisan ini tidak mirip?"
demikian ia menegur dengan mata terbelalak lebar.
Si-nio tersenyum oleh pertanyaan orang. "Harap engkau
suka memberitahukan dahulu, dimana kini Boat-wan Lojin
berada" Habis itu baru aku akan memberitahu tempat mana
yang tidak mirip lukis-anmu ini!" sahut Si-nio.
Sebagai seorang nona terpelajar dan cerdik, Si-nio sudah
dapat meraba watak aneh dari kaum seniman, maka ia pun
tidak perlu mengajak orang bicara dengan cara yang terlalu
ramah-tamah. Melihat orang sengaja jual mahal, pelukis itu melototi Si-nio
sekali lagi. "Aku sendiri pun lagi hendak mencari Boat-wan
Lojin, untuk keperluan apa kau mencari dia?" tanyanya
kemudian. "Apalagi" Sudah tentu minta dia mengobati penyakit
orang!" sahut Si-nio dengan tertawa.
"Untuk mengobati orang sakit saja apa begitu penting" Pula
ia tidak sembarangan mau mengobati orang," kata pelukis itu.
"Tetapi dia adalah tabib yang termashur di zaman ini, kalau
menemukan sesuatu penyakit yang aneh, sama saja seperti
kau menemukan pemandangan alam yang indah, mana
mungkin ia tinggal berpeluk tangan tanpa unjuk kepandaian?"
ujar Si-nio. Karena debatan ini, pelukis itu bergelak tertawa.
"Ya, ya, apa yang kau katakan memang benar," katanya
kemudian. "Kalau menemukan sesuatu penyakit yang aneh
dan jarang terdapat, memang betul, memang betul, meski
tidak diundang, pasti Boat-wan Lojin akan pergi sendiri juga.
Dan penyakit apakah yang kau maksudkan" Apa penyakit
Tayko (kusta)?" Pertanyaan yang mendadak ini membikin Si-nio rada
tercengang. "Apa" Tayko?" berbalik ia bertanya.
"Ya, sebab sudah lama dan lama sekali Boat-wan Lojin
memikirkan sesuatu resep pengobatan penyakit Tayko, sering
ia berkata bahwa manusia selalu bilang Tayko tidak bisa
disembuhkan, tetapi aku justru hendak mendapatkan satu
resep penyembuhan yang ces-pleng untuk penyakit itu."
"Dan telah didapatkan belum?" tanya Si-nio lagi dengan
tertawa. "Belum!" sahut pelukis itu. "Oleh karena itu juga maka
kemarin aku telah mengirim orang mengundang dia ke sini."
Kata-kata orang yang terakhir ini sangat menarik bagi Lu
Si-nio, karenanya ia jadi ingin mengetahui lebih lanjut.
"Apakah kau yang telah mendapatkan resepnya?" cepat ia
bertanya. "Tidak, tidak," sahut pelukis itu sambil geleng-geleng
kepala, "terhadap ilmu ketabiban sedikitpun aku tidak becus,
cuma sekarang aku sudah mengetahui bahwa penyakit Tayko
bukanlah penyakit yang sama sekali tak dapat disembuhkan."
Rupanya urusan ini sangat menyenangkan bagi pelukis ini,
maka ia meletakkan penanya dan meneruskan pula ceritanya.
"Beberapa hari yang lalu di tempat kami sini telah
kedatangan seorang aneh, ia telah menculik beberapa orang
penderita kusta di kampung kami, orang sekampung ada yang
mengejar, siapa tahu orang aneh itu ternyata bertenaga luar
biasa besarnya, dengan tangannya ia sanggup menghantam
roboh beberapa batang pohon, keruan pengejarnya menjadi
ketakutan dan mundur teratur."
Hati Lu *Si-nio tergerak oleh penuturan ini. "Orang ini
tentunya Tok-liong Cuncia," demikian pikirnya.
"Coba kau terka untuk keperluan apakah orang aneh itu
menculik para penderita kusta itu?" terdengar pelukis itu
menyambung lagi. "Aku yakin kau pasti tak bisa menerkanya."
"Kenapa tak bisa terka" Tentu dia hendak menyembuhkan
penderita kusta yang dia culik itu!" sahut Si-nio dengan
tertawa. "He, jitu sekali terkaanmu, sebaliknya waktu itu aku sendiri
tidak bisa menerkanya," kata si pelukis lagi. "Dengan aman
beberapa penderita kusta itu telah dia taruh di dalam sebuah
gua batu pegunungan, yaitu gua besar pada bukit di sebelah
barat-laut Pat-tat-nia itu, pernahkah kau ke sana?"
Si-nio menggoyang kepala sebagai jawaban pada orang.
Dalam hati ia berpikir pula, "Beradanya Tok-liong Cuncia di
sini, tak boleh tidak aku harus pergi menjumpainya."
"Ah, ceritaku jadi menyimpang ke jurusan lain," sementara
pelukis itu telah menyambung lagi, "coba dengarkan, orang
aneh itu bermuka sangat bengis, siapa tahu hatinya ternyata
sangat baik dan bajik. Hanya dalam dua hari ia telah bisa
menyembuhkan tiga orang penderita kusta yang agak ringan
dan mengirim mereka pulang ke rumah, penderita ini kini
kulitnya sudah licin dan dagingnya bersih, sama sekali sudah
pulih kembali seperti orang biasa. Kini hanya tinggal seorang
penderita yang agak berat yang masih dia tahan dalam gua
batu itu." Setelah berhenti sejenak, lalu ia berkata lagi.
"Yap-lothauji (si kakek Yap, maksudnya Boat-wan Lojin)
sebenarnya hendak tinggal di sini, tetapi ia telah diundang
oleh muridnya she Nyo untuk tinggal di Lamkau. Kalau dia
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak lekas datang kemari, tentu ia akan kehilangan
kesempatan baik ini," demikian ia mengakhiri ceritanya.
Sudah tentu tidak diduga olehnya bahwa pada saat ia
sedang bercakap-cakap dengan Lu Si-nio, saat itu pula adalah
saat terakhir hidup Boat-wan Lojin.
Setelah selesai dengan ceritanya, ketika melihat Si-nio
mengunjuk muka tersenyum, tiba-tiba ia membuka suara lagi
sambil menepuk paha. "Ah, aku terus omong tentang penyakit
Tayko sampai lupa bertanya, penyakit apakah yang ingin
disembuhkannya." "Sekarang tidak perlu lagi, harap maaf telah membikin ribut
padamu, kini aku mohon diri saja!" tiba-tiba Si-nio menyahut
dengan tertawa. Dalam hati nona ini berpikir, "Kalau Boat-wan Lojin sudah
terang berada di Lamkau pada keluarga Nyo, maka Pang Ing
pasti sudah dapat menemukan dia. Orang yang dikirim pelukis
ini baru berangkat kemarin, sekali-kali tidak mungkin bisa tiba
lebih cepat daripada Pang Ing."
Begitulah saking senangnya Si-nio lantas mengeluarkan
kata-kata mohon diri, tak terduga dengan cepat pelukis itu
lantas memegang tangannya dengan kencang.
"Hai, apa kau bicara asal buka mulut saja" Sekarang kau
harus katakan, dimana lukisanku ini yang tidak mirip?"
tanyanya tiba-tiba dengan penasaran.
"Baiklah akan kuterangkan padamu, lukisanmu ini terdapat
sesuatu kesalahan besar," sahut Si-nio kemudian sambil
mengambil pena lukis orang. "Giam Hong-kui adalah murid
kesayangan Lu Liu-liang Sianseng, kau lukiskan dia berdiri di
samping gurunya, itu memang boleh. Tetapi Sim Cay-khoan
adalah murid Lu Po-tiong, sedang Lu Po-tiong adalah putra Lu
Liu-liang, bagi Sim Gay-koan, muka Lu Liu-liang saja belum
pernah dia lihat, cara bagaimana dia bisa berdiri di samping
orang?" Mendengar ini tiba-tiba pelukis itu tertawa terbahak-bahak.
"Haha, kau ini mengerti apa! Betul-betul pandangan cupat
kaum wanita dan anak-anak saja!" ujarnya.
Selama hidup Lu Si-nio paling benci kalau ada orang
memandang enteng kaum wanita, oleh karenanya kontan ia
balas dengan menjengek. "Bukan saja lukisanmu terdapat kesalahan tadi, bahkan apa
yang kau lukis pun tidak mirip!" katanya lagi. Tidak kepalang marah si pelukis demi mendengar
lukisannya tidak mirip dengan sasaran yang dia gambar, justru
nama pelukis she Tan ini terkenal di seluruh negeri, mana ia
mau diolok-olok. "Hm, berapakah umurmu?" demikian ia balas dengan
tertawa menyindir. "Sedang kau sendiri juga belum pernah
melihat Wan-jun (nama alias Lu Liu-liang) Cianpwe, darimana
kau bisa tahu lukisanku ini tidak mirip dengan orangnya?"
"Lu-losianseng yang kau lukiskan ini, rupanya boleh dikata
sudah mirip sekali, hanya sikapnya yang tidak mirip kau
lukiskan," sahut Si-nio dengan tertawa. "Kau melukiskan dia
dengan wajah yang kereng, air mukanya penuh mengandung
napsu membunuh, tetapi sebenarnya ia pemurah dan
gampang didekati, wajahnya senantiasa mengunjuk
senyuman. Aku tahu, tentu kau ingin melukiskan dia dengan
jiwa yang luhur, tetapi sebaliknya sikap dan wajah
senyumannya kau tidak bisa melukiskannya."
Pada waktu mudanya, pelukis she Tan ini pernah
mendengarkan kuliah Lu Liu-liang bersama orang tuanya, ia
sendiri sudah pernah melihat muka pujangga itu, maka demi
mendengar uraian Lu Si-nio, ia menjadi kaget, sebab memang
betul begitulah lukisannya.
"Lu-losianseng yang kau lukiskan rupanya mirip dan
sikapnya lain, sebaliknya Sim Cay-khoan dan orang yang
berdiri di sampingnya, keduanya sama sekali tidak mirip kau
gambarkan," tiba-tiba Si-nio menyambung lagi.
"Mana mungkin mukanya tak mirip?" teriak pelukis itu
marah. "Ya, raut muka Sim Cay-khoan tidak demikian, apa yang
kau lukiskan paling hanya dua-tiga bagian saja yang mirip. Ini,
jika kau ingin kenal orangnya yang benar, biar kulukiskan
bagimu," kata Si-nio.
Habis berkata ia angkat pena gambar orang, hanya
beberapa goresan saja ia sudah menyelesaikan lukisannya.
Setelah melihat lukisan Si-nio, sekonyong-konyong si
pelukis bergelak tertawa. "Haha, siapakah itu yang kau
lukiskan?" tanyanya kemudian.
"Siapa lagi" Sudah tentu Sim Cay-khoan!" sahut Si-nio.
"Dan kau sendiri siapa?" tanya si pelukis pula.
"Lu Liu-liang dalam lukisanmu itu adalah Engkongku,
sedang Sim Cay-khoan dibesarkan di rumahku," sahut Si-nio
lagi "Hm, kau dustai siapa" Yang kau lukis hakikatnya bukan
Sim Cay-khoan," kata pelukis itu.
Si-nio tertawa oleh kata-kata orang. "Ha, kalau lukisanku ini
tidak mirip, maka di bumi ini tidak nanti ada orang kedua lagi
yang bisa melukiskannya dengan lebih mirip!" ujarnya
kemudian. Namun si pelukis she Tan itu tiba-tiba menjengek. "Hm,
kalau kau betul-betul adalah cucu perempuan Lu Liu-liang dan
sahabat baik Sim Cay-khoan, hari ini tidak nanti begitu iseng
kau berdebat tentang seni lukis dengan aku!" katanya.
Habis itu tiba-tiba ia keluarkan sebuah gulungan kertas, di
atasnya ternyata penuh tertulis huruf yang kecil-kecil.
"Lihat, apakah ini?" tanya pelukis itu dengan menarik muka
sambil menyodorkan gulungan kertas tadi.
Waktu Si-nio menyambut gulungan kertas itu dan diperiksa,
ternyata adalah sebuah turunan surat perintah Baginda Raja
dengan judul, "Maklumat berhubung dengan perkara Lu Liuliang".
Si-nio menjadi kaget demi membaca judul surat perintah
itu. Ia coba membaca isinya, sambil membaca tubuhnya
gemetar. Kiranya maklumat itu lebih dulu menguraikan tentang
kebijaksanaan pemerintah kerajaan, lalu menguraikan tentang
kitab karangan Lu Liu-liang yang didakwa menghasut rakyat
dan mengacau ketertiban umum, kemudian dengan panjang
lebar menyanggah teori ajaran Lu Liu-liang. Namun Si-nio
sudah tidak bisa membacanya dengan teliti, ia lihat bagian
akhir maklumat itu tertulis, "... Sidang memutuskan Lu Liuliang
dan Lu Po-tiong harus dicincang mayatnya dan
dipertontonkan di depan umum. Giam Hong-kui dan Sim Caykhoan
semuanya dihukum mati, begitu pula sanak keluarga
terhukum, sedang tingkatan cucu diasingkan ke Ling-ko-tah
sebagai budak..." Lu Si-nio seperti disambar geledek di siang hari bolong
setelah selesai membaca tulisan itu.
"Apa Sim Cay-koan telah terbunuh?" akhirnya ia bertanya
dengan suara gemetar. "Ya, kemarin dulu waktu Giam dan Sim berdua patriot
dihukum mati, justru aku berada di kota dan berada di antara
penonton lain di lapangan hukuman, beruntung aku sempat
melihat wajahnya yang asli. Hm, tet&pi kau masih tega berani
mengatakan aku tidak mirip menggambarnya!"
Muka Si-nio menjadi pucat lesi, ia sempoyongan hendak
roboh. Tetapi pelukis itu sudah melanjutkan lagi.
"Masakah aku tidak tahu bahwa Sim Cay-khoan adalah
murid Lu Po-tiong dan bukan ajaran Wan-jun Cianpwe sendiri"
Tetapi dia ikut berkorban karena peristiwa ini, pula yang
paling luas menyebarkan teori ajaran Wan-jun, karena ini,
kalau aku melukiskan dia berdiri di samping Wan-jun
Sianseng, alasan apakah yang melarangnya?"
Selesai pelukis ini menerocos, mendadak Lu Si-nio menarik
tangannya sambil bertanya. "Apa kau betul-betul melihatnya
dengan jelas" Rupa Sim Cay-khoan adalah sebagaimana yang
kau lukiskan itu?" "Dalam hal lain aku mungkin tak berani buka mulut besar,
tetapi soal goresan pena lukisan ini, tak mungkin lukisanku
tidak sama?" demikian jawab si pelukis. "Malahan kepala dari
kedua patriot Giam dan Sim sampai sekarang masih
tergantung di atas pintu gerbang benteng, kalau kau tak
percaya, boleh kau pergi melihatnya sendiri!"
Belum selesai ia berkata sekonyong-konyong Si-nio
mendorong pelukis itu terus melompat keluar pintu rumah.
"Terlalu, sungguh terlalu!" seru pelukis itu berulang-ulang
dengan penasaran setelah merangkak bangun oleh dorongan
Si-nio tadi. "Sudah memalsu sebagai cucu perempuan Wanjun
Sianseng. Masih berani sembarangan mengkritik lukisanku,
betul-betul terlalu dan asal buka mulut saja!"
Sebenarnya tabiat Lu Si-nio lemah-lembut, menghadapi
perkara betapa besarpun selalu ia berlaku tenang dan tak
pernah gugup. Tetapi sekali ini ketika mendadak mendapat
kabar buruk, dalam keadaan pikiran kusut ia menjadi gugup,
hal ini boleh dikata baru untuk pertama kali terjadi selama
hidupnya. Oleh karena itu setelah berlari sampai di luar pintu,
mendadak ia sadar kembali, ia merasa menyesal.
"Bagaimanapun memang kepandaianku belum terlatih
sempurna, maka belum bisa mengendalikan tabiat sendiri,"
demikian ia berpikir. Tetapi ia pun kuatir terhadap tabiat aneh seniman itu, kalau
dirintangi terus mungkin tak bisa melepaskan diri. maka ia
tidak kembali lagi untuk meminta maaf.
Selang tidak lama, lambat-laun Si-nio dapat mengatasi
perasaannya yang bergolak tadi, waktu ia berpikir secara
tenang, ia menjadi ragu-ragu atas keterangan si pelukis tadi.
Sim Cay-khoan sudah tinggal di Sian-he-nia selama tujuh
delapan tahun dan belum pernah menginjakkan kaki sampai di
bawah gunung, darimana orang luar bisa mengetahui jejak
kekasihnya ini" Tetapi bila teringat lukisan si pelukis tadi yang rada mirip,
ia pun tidak habis mengerti dan sangsi lagi. Katanya dalam
hati, "Lebih baik kalau sekarang juga aku pergi ke kotaraja
mencari tahu! Sementara ini Pang Ing tentu sudah dapat
mengundang Boat-wan Lojin, tentang diri Teng Hiau-lan untuk
sementara bolehlah tak perlu aku ikut kuatir."
Karena itulah segera ia mempercepat langkah menuju
kotaraja. Kepandaian Lu Si-nio berjalan cepat sudah tinggi
sekali, maka pada waktu magrib ia sudah sampai di luar
benteng kota. Kota Pakkhia terdapat sembilan pintu gerbang, bila ada
orang hukuman besar yang dihukum mati dan dipenggal
kepalanya, tiap hari secara bergiliran kepala akan digantung
pada pintu gerbang benteng kota itu.
Setelah Si-nio mengitar dan memeriksa beberapa pintu
gerbang, akhirnya betul saja ia lihat di atas pintu gerbang SeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hoa-bun di sebelah barat tegak berdiri dua tiang kayu, pada
tiap tiang ini tergantung sebuah kepala manusia.
Dalam keadaan cuaca remang-remang karena sudah
petang, Si-nio tak dapat melihat jelas rupa kepala manusia itu,
hanya jantungnya memukul keras, rasanya tak tenteram.
Setelah ia pandang sejenak, ia lihat di atas pintu gerbang
hanya dijaga empat prajurit biasa, hal ini sudah tentu lebihlebih
menimbulkan rasa curiga Si-nio.
Beberapa prajurit penjaga ini dengan sendirinya tidak
dipandang sebelah mata oleh Lu Si-nio, maka sesudah
memandang sebentar, ia tunggu kesempatan baik, tiba-tiba ia
enjot kakinya terus menahan ke tembok benteng dengan
sebelah tangannya, secepat burung terbang mendadak ia
melayang ke atas. Ketika tiba-tiba nampak ada orang, keempat prajurit
penjaga tadi berteriak, namun sebelum mereka bisa melihat
jelas, tahu-tahu mereka sudah kena ditutuk satu per satu oleh
Lu Si-nio. Sejenak kemudian Si-nio sudah merambat sampai di atas
tiang kayu sebelah kanan sana, waktu ia ambil buah kepala
manusia yang tergantung itu dan diperiksa, ia lihat meski
kepala manusia ini sudah ditabas beberapa hari berselang,
namun masih cukup jelas dikenali adalah Giam Hong-kui.
Sesaat itu Lu Si-nio merasa seperti disambar petir, hatinya
hancur, hampir saja ia terjungkal jatuh ke bawah. Syukur ia
bisa tenangkan diri, dengan Ginkangnya yang tinggi, begitu ia
ayun tubuh dari tiang sebelah kanan, dengan enteng sekali ia
melayang ke tiang sebelah kiri pula, begitu di atas tiang,
segera ia ulur tangan mengambil kepala yang tergantung.
Tak terduga, justru pada saat ia memegang kepala yang
tergantung, sekonyong-konyong tiang kayu ini patah menjadi
dua, keruan Lu Si-nio terjungkal ke bawah.
Ternyata tiang kayu itu tengahnya kosong, di dalamnya
malah tersembunyi alat rahasia yang bisa menjeplak
mendadak, begitu tiangnya patah, segera pula dari bagian
tengah yang patah itu menyemburkan anak panah yang tak
terhitung banyaknya. Waktu itu dengan kedua tangannya Lu Si-nio sedang
memegangi kedua buah kepala manusia itu, sebenarnya susah
baginya untuk menghindarkan diri dari hujan anak panah,
namun pada saat tiang kayu tadi patah dan panah
menghambur, mendadak ujung kakinya menutul ke bawah,
dengan enteng dan tepat ia menginjak pada ujung tiang yang
patah dan sedang jatuh ke bawah, dengan menggunakan
tenaga tutulan kakinya inilah, tubuhnya tiba-tiba melayang ke
samping seperti burung, habis itu mendadak pula ia mencelat
ke udara pula. Pada saat itu terdengar suara mengaung keras, sebuah
senjata rahasia yang bentuknya aneh mengitar di bawahnya
terus menyambar ke atas. Lu Si-nio mengerti itu adalah senjata rahasia 'Hwe-goankau'
milik Han Tiong-san, cepat ia memutar tubuh selagi
masih terapung di udara, dua buah kepala itu ia pegang
dengan satu tangan, sedang tangan yang lain segera melolos
Siang-hoa-kiam, ia menerjang ke bawah memapak datangnya
'Hwe-goan-kau'. Senjata 'Hwe-goan-kau' jalannya menikung seperti huruf
'S', ketika Si-nio menerjang ke bawah dan dengan ujung
pedang mencongkel perlahan, Hwe-goan-kau itu kena
disampuk pergi, namun di luar dugaan tiba-tiba senjata
rahasia itu bisa menikung terus menyambar kembali dari
jurusan lain.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Syukur Si-nio terjun ke bawah dengan cepat, begitu ia
menginjakkan kaki di atas tembok benteng, senjata rahasia
tadi masih berputar di angkasa dan tidak keburu
menyusulnya. Dalam segala kerepotannya Si-nio masih
sempat melirik pada kepala manusia satunya yang terpegang
di tangannya, betul juga ia lihat rupa kepala ini rada mirip Sim
Cay-khoan, tetapi karena sudah beberapa hari yang lalu
kepala ini ditabas, buah kepala manusia ini mulai kering dan
kusut kulit dagingnya, corak mukanya sudah banyak berubah,
dalam sekejap masih belum bisa terlihat dengan terang.
Ketika Si-nio hendak menegasi lagi, tiba-tiba ia dengar
suara gelak tertawa orang di bawah, mendadak dari tempat
cekung pada tembok benteng sebelah selatan sana muncul
tiga orang dan segera mengambil kedudukan di jurusan timur,
barat dan utara. Ketiga orang ini bukan lain daripada Thian-yap Sanjin, Han
Tiong-san dan Haptoh. Sebenarnya dengan tingkat kepandaian Lu Si-nio sekarang
ini, ia sudah lebih tinggi sedikit daripada ketiga orang itu,
tetapi apapun juga masih belum sanggup sendirian melawan
tiga orang itu. Namun aneh, setelah muncul, ketiga orang itu hanya
mengambil posisi dan tidak lantas mengepung maju serta
mengeroyok. Hal ini tidak sempat dipikirkan Si-nio, segera ia bermaksud
kabur melalui jurusan selatan yang tidak terjaga, begitu ia
enjot tubuh, segera ia melompat turun ke bawah.
Di luar dugaan, baru saja tubuh Si-nio terapung di udara,
mendadak ia dipapaki dengan satu kekuatan maha besar yang
mendorong dari depan. Lekas Si-nio menghindarkan diri
dengan sekali jumpalitan di udara, sementara itu dari
belakang telah menyambar pula Hwe-goan-kau yang
membawa suara mengaung aneh mengarah punggungnya.
Berbareng itu ia lihat ada segulungan bayangan merah
secepat kilat mengurung dari atas kepalanya.
Dalam keadaan demikian inilah kelihatan kemahiran Lu Sinio,
ia berputar dengan cepat, lebih dulu ia hindarkan diri dari
serangan orang, kemudian baru ia layani senjata rahasia
musuh. Tetapi mendadak pula ia merasa ada angin pukulan
keras menyerempet lewat di depan dadanya, seketika pula
cekalan tangannya menjadi kendur, tahu-tahu kedua kepala
manusia yang dipegangnya tadi jatuh ke bawah tembok
benteng oleh sambaran angin pukulan itu. Pada saat itu juga
suara mengarang Hwe-goan-kau yang aneh pun berhenti
mendadak. Tatkala Si-nio menancapkan kaki di atas tanah, dengan
cepat ia berpaling ke belakang, dan saat itu juga ia
mendengar ada orang membuka suara.
"Ha, anak dara ini sungguh cantik, sayang jika sampai
terluka, biar aku menawannya hidup-hidup untuk diserahkan
Hongsiang!" Keruan Si-nio jadi gusar. Tertampak olehnya seorang
Lamma berjubah merah sedang tertawa padanya. Lamma ini
ternyata mirip Emopu yang sudah Si-nio kenal.
"Serahkan kembali kepala tadi!" teriak Si-nio. Berbareng
pedangnya menusuk dengan cepat menuju dada orang. Tetapi
Lamma itu mengulur kedua telapak tangannya, dengan
gerakan menarik ke samping. Tusukan Si-nio tadi sebenarnya
secepat kilat, tetapi karena daya tarikan orang, meski tidak
sampai menempel senjatanya, namun Si-nio merasakan
pedangnya seperti terisap oleh semacam kekuatan dan tertarik
ke samping hingga tusukannya melenceng.
Tidak kepalang kejut Si-nio, tenaga dalam Lamma ini
ternyata jauh di atas Emopu dan dirinya.
"Aku tidak ada tempo buat berdoa untuk manusia yang
telah mati itu, kepala penjahat itu sudah hancur oleh pukulan
tadi, dengan mendapatkan tangan suciku, boleh dibilang
mereka telah mendapat berkah, kenapa kau tidak
menghaturkan terima kasih padaku?" demikian terdengar
Lamma itu berkata dengan tertawa.
Namun Si-nio semakin menjadi sengit hingga alisnya
menegak, dengan mengumpulkan tenaga dalam tanpa bicara
lagi segera ia menusuk lagi.
Karena serangan ini, kembali Lamma itu hendak menarik ke
samping lagi, dengan demikian Si-nio merasa ujung
senjatanya tak mampu menembus tenaga tolakan orang. Akan
tetapi sekali ini Si-nio sudah waspada, pedangnya tidak
sampai tertarik lagi oleh tenaga dalam orang, kini kedudukan
menjadi saling bertahan. Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar Lamma itu tertawa
aneh, habis itu kedua telapak tangannya sekonyong-konyong
dikendurkan, keruan imbangan badan Lu Si-nio menjadi
pincang, ia menyelonong hendak terjerembao ke depan,
secepat kilat Lamma itu mengangkat sebelah tangannya terus
menggablok ke punggung Si-nio di 'Ci-tong-hiat' yang
mematikan. Ilmu 'Tan-ciang-an-hiat' Lamma ini sebenarnya luar biasa
lihainya, ditambah pula waktu itu tubuh Lu Si-nio lagi
mendoyong ke depan, ia menduga bagaimanapun juga
gablokan itu pasti akan kena sasaran.
Tak tahunya Ginkang Lu Si-nio sudah tinggi sekali, di
kalangan Kangouw, kecuali le Lan-cu seorang, boleh dikata
tiada tandingan lagi. Karenanya tadi waktu tenaga Lamma itu mendadak ditarik,
Si-nio telah menggunakan kesempatan itu menubruk ke depan
dan dengan cepat berganti tempat kedudukan, berbareng
tangannya terus membalik, dengan cepat pedangnya menusuk
ke dada musuh di 'Soan-ki-hiat' yang tidak kalah pentingnya.
Tentu saja Lamma itu terkejut, lekas ia mendorong ke
samping pedang orang dengan tenaga pukulannya tadi, tapi
sudah terlambat, terpaksa buru-buru ia menyedot perut dan
mendekukkan dada, kakinya tidak menggeser, tapi tubuh
mendoyong sedikit ke belakang.
Di lain pihak karena tusukannya luput, segera pula Si-nio
melompat pergi. "Ah, kembali dia lolos lagi!" terdengar Haptoh berseru.
Namun segera terdengar suara tertawa Lamma itu. "Haha,
biarkan dia lari akan lebih baik!" demikian katanya.
"Hm, memangnya kau mampu merintangi aku, tidak nanti
kau bisa menyusul aku!" demikian Si-nio menjengek dalam
hati. Tak terduga tiba-tiba angin menyambar dari belakang,
kiranya Lamma tadipun sudah melompat turun ke bawah benteng,
belum ia menancapkan kaki di atas tanah, tenaga pukulannya
sudah menyambar mengarah Lu Si-nio.
Tatkala itu Lu Si-nio baru saja menginjak tanah, lekas ia
meminjam kekuatan angin yang menyambar itu untuk
melayang ke depan, hampir saja ia jatuh tersungkur oleh
karena menyambarnya angin pukulan tadi.
Pada saat lain susul-menyusul Thian Yap Sanjin, Haptoh
dan Han Tiong-san bertiga pun sudah melompat turun.
Keruan Si-nio terperanjat. "Darimanakah mendadak datang
seorang musuh yang begini tangguh?"
Ia tidak tahu bahwa Lamma ini justru adalah jago nomor
satu Lamma agama Merah, ialah Suheng Emopu yang
bernama Kun-tian Siangjin.
Lwekang dan Gwakang Kun-tian Siangjin sudah terlatih
hingga puncak kesempurnaan, sebenarnya ia menjabat
Ciangkau (ketua agama Lamma Merah) dan bercokol di istana
Yong-ho-kiong. Tetapi sesudah istana Kaisar Yong Ceng
diobrak-abrik oleh Lu Si-nio dan Pang Ing tempo hari, kaisar
ini menjadi sangat jeri terhadap Lu Si-nio, maka sengaja Kuntian
Siangjin diundang keluar untuk menjaga, kepala Giam
Hong-kui dan Sim Cay-khoan lantas dipakai sebagai umpan
untuk memancing kedatangan Lu Si-nio. Kalau bukan Kun-tian
Siangjin terlalu tinggi hati dan tidak ingin bantuan Haptoh dan
lain-lain buat mengeroyok seorang gadis, tentu sejak tadi Lu
Si-nio sudah ditawan mereka.
Begitulah, maka Kun-tian Siangjin segera memimpin
Haptoh bertiga mengudak dengan cepat. Karena itu, Si-nio
menjadi heran, pikirannya tergerak.
"Aneh, kepandaian Lamma ini terang di atasku, kalau tadi
ia menyerang aku dengan tenaga pukulannya, sekali-kali tidak
nanti aku bisa kabur," demikian ia berpikir. "Tadi-ia bilang
kebetulan kalau aku melarikan diri, jangan-jangan memang
dia sengaja mengalah dan membiarkan aku kabur" Tetapi
kenapa sekarang ia mengudak pula dengan kawankawannya?"
Seketika Lu Si-nio tidak dapat memahami apa maksud
tujuan orang membiarkan dirinya kabur. Kiranya tadi Kun-tian
Siangjin sendiri tidak mengetahui Lu Si-nio memiliki Ginkang
yang tinggi, ketika dengan tenaga pukulannya tidak berhasil
merampas senjata orang, ia lantas menggunakan ilmu
kepandaian menepuk jalan darah yang khas, ia menyangka
sekaligus pasti dapat menawan orang hidup-hidup, siapa tahu
Lu Si-nio masih bisa lolos, segera ia mendapatkan tipu
muslihat lagi, ialah hendak menggunakan kesempatan ini
untuk menguntit jejak Lu Si-nio sampai di 'sarangnya', dengan
demikian sekaligus ia bisa membasmi Kam Hong-ti dan kawankawan.
Sungguhpun ilmu silat Kun-tian Siangjin tinggi luar biasa,
namun dalam hal Ginkang, ia hartya setingkat dengan Thianyap
San-jin dan Han Tiong-san saja. Karena itu, meski mereka
sudah mengu-dak sekian lama. mereka selalu berjarak sekian
jauhnya dengan Lu Si-nio, keruan Kun-tian Siangjin
terperanjat, sama sekali ia tidak menduga Ginkang Lu Si-nio
bisa begitu tinggi. "Lihat aku punya ini!" tiba-tiba Han Tiong-san berseru
dengan bergelak tertawa. Begitu tangannya bergerak, segera
tertampak se-gulung api berwarna biru menjulang ke angkasa
dan menyambar lewat di atas kepala Si-nio. Sudah tentu gadis
ini sangat heran, kenapa senjata rahasia Han Tiong-san sekali
ini meleset begitu jauh dari sasarannya"
Di luar dugaan, sekonyong-konyong api biru tadi memutar
balik terus mengarah ke mukanya, setelah dekat, mendadak
terdengar suara letusan dibarengi dengan pasir besi yang tak
terhitung banyaknya berhamburan laksana hujan.
Lekas Si-nio menghindarkan diri dengan melompat ke
samping sejauh beberapa tombak, tetapi dalam sekejap saja
tiba-tiba Kun-tian Siangjin sudah mengejar sampai di
belakangnya lagi. Kiranya sejak Han Tiong-san kecundang di bawah tangan
Lu Si-nio, dengan giat ia lantas melatih diri, teristimewa
menciptakan sendiata gelap yang lihai, ia menggunakan teori
dasar pemakaian Hwe-guan-kau yang dilepaskan dan bisa
berputar kembali, ia bungkus pasir baja yang tak terhitung
banyaknya dalam senjata rahasia 'Coa-yam-ci', anak panah
berapi, bila anak panah ini dilepaskan dan setelah berputar
balik, segera alat peledaknya meletus dan pasir baja pun
berhamburan menyerang musuh.
Karena itulah meski Ginkang Lu Si-nio sangat tinggi, tapi
karena harus menghindari Coa-yam-ci yang meledak dan
menyerang dari depan, maka Kun-tian Siangjin dan lain-lain
sempat menyusul tiba. Begitulah berulang kali, bila mereka kewalahan tak bisa
me-nyandak Si-nio, mereka lantas menggunakan senjata
rahasia untuk memaksa Lu Si-nio merandek dan berbelok ke
samping, dengan demikian Si-nio selalu berada di bawah
ancaman mereka dan tak bisa melepaskan diri.
Sementara itu anak panah 'Coa-yam-ci' yang membawa
sinar api biru dan asap yang panjang itu bisa bertahan lama di
udara, ini justru bisa dipakai pula sebagai tanda untuk
memberi petunjuk kepada para jago pengawal istana kemana
mereka harus mengejar. Namun Lu Si-nio bukannya bodoh, tak lama setelah berlari,
ia pun mengetahui akal bulus musuh. Ia pikir, "Kalau aku
berlari kembali ke Se-san, mereka tentu akan menyusul ke
sana juga, keempat pengejar ini bukan lawan enteng, lebihlebih
Lamma jubah merah ini tiada yang sanggup
menandinginya, apalagi di belakang mereka masih terdapat
bala bantuan pula, meski di Se-san ada Kam Hong-ti dan lainlain
yang berkepandaian tinggi, tetapi agaknya susah buat
melawan musuh. Lalu bagaimanakah baiknya?"
Demikianlah ketika ia gelisah, sekonyong-konyong teringat
olehnya tentang 'orang aneh' yang pernah disinggung oleh si
pelukis she Tan itu. Si-nio jadi teringat pada Tok-liong Cuncia,
tiba-tiba ia mendapat akal, ia ambil keputusan memancing
para pengejarnya ini menuju ke tempat persembunyian Tokliong
Cuncia, Si-nio yakin dengan ilmu silat Tok-liong Cuncia,
cukup kuat untuk menandingi si Lamma berjubah merah itu.
Begitulah maka Si-nio berlari terus dengan dikejar Kun-tian
Siangjin berempat dari belakang, udak-udakan ini makin lama
makin cepat hingga pada waktu sebelum fajar tiba, mereka
sudah berlari sejauh dua ratusan li dan sampai di bukit Cikcioksan di barat Pat-tat-nia.
Kala itu Han Tiong-san sudah kehabisan anak panah
berapi-nya, sebaliknya Si-nio sendiri telah mandi keringat.
"Ha, kiranya sarang begundal mereka berada di sini!" seru
Kun-tian Siangjin ketika nampak Lu Si-nio menerobos masuk
ke dalam hutan di atas bukit itu.
Segera bersama Haptoh dan lain-lain. mereka menyerbu
masuk ke dalam hutan, tiba-tiba mereka lihat Lu Si-nio
mengenjot tubuh melayang ke atas, secepat kera nona ini
memanjat ke atas sebatang pohon besai yang tingginya
belasan tombak, lalu duduk seenaknya di pucuk pohon terus
makan rangsum kering. Dengan sendirinya Kun-tian Siangjin dan lain-lain tak berani
sembarangan naik ke atas pohon. Han Tiong-san coba
membidikkan beberapa buah senjata rahasia 'Kim-ci-piau',
senjata rahasia berupa mata uang, namun semuanya kena
diselentik jatuh oleh Lu Si-nio.
Akhirnya Kun-tian Siangjin menjadi gusar, ia pun
mengeluarkan Ginkang dan memanjat ke atas pohon.
"Awas, Siangjin!" Haptoh memperingatkan kawannya.
Nampak orang berani memanjat pohon, Si-nio menekuk
dua tangkai pohon, dengan senjata ini secepat kilat dia timpuk
kedua mata Kun-tian Siangjin.
Sungguhpun Kun-tian Siangjin memiliki kepandaian 'Kimcongco' dan 'Tiat-poh-san', yakni ilmu kebal tak mempan
senjata, tetapi kedua mata adalah tempat lemah yang harus
dia jaga baik-baik, maka lekas ia pejamkan mata dan
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menundukkan kepala. Karena itu, menyambarlah kedua tangkai kayu itu, namun
tak urung kedua daun kuping Kun-tian Siangjin terserempet
dan terluka lecet. Karena sakit, Kun-tian Siangjin berteriak
sekali, tangan pun kendur dan melompat turun ke bawah lagi.
Ketika ia mendongak memandang Lu Si-nio, ia lihat nona
ini masih seenaknya saja duduk di atas pucuk pohon sambil
mengge-ragoti rangsumnya.
Dalam keadaan begini, meski ilmu silat Kun-tian Siangjin
sangat tinggi, tetapi Lu Si-nio berada di bagian atas. dengan
sendirinya kedudukannya lebih menguntungkan untuk
menyerang ke bawah. Pula ilmu entengi tubuh Kun-tian
Siangjin masih kalah setingkat, sesudah mengalami kejadian
tadi, ia menjadi kapok dan tak berani memanjat ke atas pula.
Pada saat lain, sesudah Lu Si-nio kenyang mengisi perut,
tiba-tiba ia bersuit panjang. Meski suaranya tak begitu keras,
namun cukup nyaring dan tajam sekali.
"Hm, aku justru ingin tahu bagaimana macamnya
begundalmu! Hayo, coba panggil lagi yang lebih keras!"
demikian Kun-tian Siangjin menjengek dan mengolok-olok.
Habis itu ia pun duduk di bawah pohon untuk makan
rangsumnya, ia pun mengisi perut dulu dan bersiap
menghadapi musuh lagi. Sementara itu, meski Lu Si-nio sudah bersuit beberapa kali,
sampai agak lama, namun di rimba sunyi itu masih tetap sepi,
se-dikitpun tidak terdengar suara jawaban orang.
"Tok-liong Cuncia! Tok-liong Cun-cia!" akhirnya Lu Si-nio
berteriak. Kun-tian Siangjin menjadi geli mendengar teriakan orang,
ia tertawa menyindir. "Apa, Cuncia" Tok-liong" Haha!
Seumpama betul-betul muncul seekor Tok-liong (naga
berbisa), Siangjin juga punya kepandaian untuk To-liong
(menjagal naga)," demikian ia berolok-olok.
Dalam pada itu meski Si-nio sudah berteriak memanggil
beberapa kali, namun tetap tiada suara sahutan.
Mau tak mau ia menjadi gugup juga, pikirnya, "Janganjangan
si pelukis itu yang salah atau Tok-liong Cuncia sudah
meninggalkan tempat ini?"
Di lain pihak sesudah Kun-tian Siangjin dan lain-lain
kenyang makan rangsumnya, setelah menunggu agak lama
dan masih belum kelihatan bala bantuan Lu Si-nio muncul,
mereka lantas tertawa. "Haha, kiranya kau memakai tipu gertakan bekka,"
demikian Kun-tian Siangjin berolok-olok lagi.
Tetapi Si-nio tidak menggubris, ia masih tetap duduk di
atas pohon sambil memejamkan mata untuk mengumpulkan
tenaga. "Hm, apa kau kira dengan begini lantas tuanmu tak mampu
menjungkalkan kau?" akhirnya Kun-tian Siangjin naik darah.
Habis berkata, tiba-tiba ia copot jubahnya, ia kumpulkan
tenaga pada kedua tangannya, sekonyong-konyong ia
membentak sekali, kedua telapak tangannya dipukulkan pada
batang pohon, seketika pohon besar ini seperti dikemplang
dengan keras dan seperti dikampak orang beramai hingga
tergoncang-goncang. Keruan Lu Si-io yang duduk di atas lantas seperti sebuah
perahu yang terombang-ambing di tengah samudera oleh
serangan gelombang .ombak dan angin topan, lekas ia pegang
dahan pohon di dekatnya. Sementaia itu, beruntun Kun-tian Siangjin menggenjot
batang pohon itu beberapa kali hingga akar pohon menjadi
kendur di dalam tanah, habis itu tiba-tiba ia menghentak
sekali dengan keras, kedua tangannya mendorong sepenuh
tenaga pada batang itu. "Roboh!" bentaknya pula.
Maka terdengarlah suara gemuruh, pohon besar itu
bagaikan ditebang oleh kampak raksasa saja dan roboh
seketika. Pada saat itu debu tanah berhamburan dan daun pohon
bertebaran, tiba-tiba sesosok bayangan orang secepat terbang
melayang di udara menuju pohon yang lebih tinggi di
sebelahnya. "Hahaha, keledai goblok! Betapa besar tenagamu, apa kau
bisa menebang antero pohon besar yang memenuhi gunung
ini?" terdengar gelak tertawa nyaring dibarengi dengan kata
olok-olok Lu Si-nio. Dengan menghantam roboh pohon besar itu, sebenarnya
tujuan Kun-tian Siangjin hanya untuk melampiaskan hawa
amarahnya, siapa tahu rasa gusarnya belum terlampiaskan,
sudah diolok-olok dan disindir, keruan ia semakin menjadi
gusar, tetapi apa daya"
Sementara itu cuaca sudah terang benderang, susulmenyusul
jagoan istana sudah tiba, beberapa puluh orang
secara beramai melepaskan anak panah ke atas pohon, tetapi
pohon besar itu tingginya belasan tombak, bagi orang yang
tenaganya agak lemah hakikatnya tidak mampu mencapai
sasaran, seandainya bisa sampai pun kena disampuk jatuh
oleh Lu Si-nio. Tentu saja bukan main gusar Kun-tian Siangjin.
"Baik, biar kau terus bercokol di pucuk pohon, aku ingin
tahu berapa lama kau mampu bertahan?" katanya dengan
sengit. Selang tak lama, Emopu menyusul datang juga, dengan
kekuatan lima jago kelas satu dan beberapa puluh jagoan
pengawal istana, ternyata tetap tak mampu berbuat apa-apa
pada Lu Si-nio, mereka hanya bisa garuk-garuk kepala saja
sambil mendongak memandang si nona di pucuk pohon,
dalam keadaan demikian, kecuali adu sabar atau saling
bertahan, daya-upaya lain sudah tidak ada lagi.
Segera Kun-tian Siangjin perintahkan para pengawal
mengepung rapat sekitar rimba itu untuk menjaga kalau ada
musuh lain menyerbu dari luar. Sedang ia sendiri tetap
menjaga di bawah pohon, malahan ia sengaja membikin
kelinci panggang dan makan di bawah hidung Lu Si-nio.
Tatkala itu rangsum kering yang dibekal Lu Si-nio sudah
habis termakan, ia sudah mulai lapar juga, kini melihat Kuntian
Siangjin sedang makan kelinci panggang dengan
nikmatnya, seleranya menjadi timbul dan mengiler.
Di lain saat ia ingat lagi pada Tok-liong Cuncia, maka
kembali ia bersuit panjang beberapa kali.
Setelah saling bertahan agak lama, lambat-laun sang surya
sudah menggeser ke barat, hari sudah lewat lohor.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan
menggeledek di luar rimba, menyusul berbunyi pula dua kali
anak panah bersuara, lalu kelihatan ada dua orang menyerbu
ke dalam hutan, orang yang di depan berperawakan sedang
tetapi kekar, tenaganya sangat mengejutkan, hanya sekali
jambret, seperti melempar orang-orangan saja, dua jagoan
pengawal telah dia banting hingga mampus.
"Yang datang ialah Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan, kedua
orang ini adalah buronan kerajaan semua!" segera Han Tiongsan
memperingatkan kawan-kawannya.
"Kalian jangan bergerak, biar aku lihat kepandaian apa
yang dimiliki kedua orang ini!" ujar Kun-tian Siangjin.
Sebagaimana masih ingat, Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan
berangkat buat mencari Lu Si-nio, lebih dulu mereka datang
ke Kongceng di timur Pat-tat-nia untuk mencari si pelukis she
Tan itu. Pelukis itu pernah juga mendengar nama 'Kanglam-tayhiap'
yang maha tersohor, maka dengan marah-marah ia ceritakan
pada Kam Hong-ti tentang kelakuan Lu Si-nio tempo hari yang
kurang sopan. Sebaliknya Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan jadi
terkejut oleh penuturan si pelukis, barulah mereka tahu
sebab-musababnya kenapa Lu Si-nio tidak kembali ke Se-san.
Lekas mereka mohon diri pada pelukis itu, sebenarnya
mereka hendak masuk kotaraja lagi untuk mencari kabar,
tetapi di tengah jalan mereka melihat jago pengawal istana
berbondong menuju ke jurusan barat, Kain Hong-ti cukup
cerdik, segera ia menduga tentu ada sebabnya kaum
bayangkara itu muncul secara besar-besaran, bersama Teng
Hiau-lan diam-diam mereka lantas menguntit, betul juga di
atas bukit Cik-ciok-san di barat Pat-tat-nia, mereka mendengar
suara suitan Lu Si-nio. Karena itu segera ia sambut suitan itu
dengan panah bersuara dan terus menyerbu masuk ke dalam
hutan. Demikianlah maka dua pengawal yang menjaga di luar
hutan itu segera kena dia banting mampus.
Dalam pada itu tiba-tiba ia lihat seorang Lamma yang
berperawakan tinggi besar telah menerjang keluar. Dengan
sekali bentak kembali Kam Hong-ti gunakan cara membanting
kedua pengawal tadi, yakni gerak tipu 'Tay-lik-kim-kong-jiu'
(tangan emas bertenaga raksasa), dengan tangan kanan ia
hendak mendekap leher orang.
Tak terduga tangannya ternyata menangkap tempat
kosong, sebaliknya tiba-tiba satu tenaga maha besar berbalik
mendorong padanya. Keruan Hong-ti kaget, lekas ia ganti
gerak tipunya dan angkat tangan buat menolak tenaga
dorongan tadi, maka terdengarlah suara "plak" yang keras,
Hong-ti tergetar mundur beberapa tindak, telapak tangan pun
kesakitan. Kun-tian Siangjin tergetar juga oleh tenaga pukulan Kam
Hong-ti hingga sempoyongan.
"Kau mampu menyambut sekali pukulanku, tidak malu kau
bergelar Kanglam-tayhiap!" segera terdengar Kun-tian Siangjin
berseru. Berbareng ia melompat maju, tangannya bergerak, segera
ia menyerang pula dari samping.
Tetapi pada saat itu juga tertampak berkelebatnya sinar
putih, tahu-tahu ujung senjata telah menusuk dari jurusan lain
dengan cepat luar biasa. "Awas, Suheng, ini adalah Yu-liong-pokiam!" Emopu
berseru untuk memperingatkan Kun-tian Siangjin.
Nama Yu-liong-pokiam dari Thian-san boleh dibilang
terkenal di seluruh jagat, tadinya Kun-tian Siangjin berniat
merebut pedang Teng Hiau-lan, tetapi demi mendengar
seman Emopu, perasaannya tiba-tiba tergoncang, maka cepat
ia berkelit. Tui-hong-kiam-hoat yang dimainkan Hiau-lan cepat tiada
bandingannya di kolong langit ini, makanya dinamakan 'Tuihongkiam-hoat' yang berarti ilmu pedang pemburu angin.
Begitu ujung senjatanya berputar, sinar senjata sekonyongkonyong
seperti bertambah panjang beberapa senti,
mendadak membabat pula ke arah Kun-tian Siangjin, ia
melompat mundur menghindar, di antara sinar pedang yang
melingkar-lingkar, terasa oleh Kun-tian Siangjin di atas
kepalanya seperti menjadi dingin, ternyata kopiah padrinya
yang berhentak lancip seperti tanduk kambing telah kena
ditabas menjadi dua oleh pedang Teng Hiau-lan.
Di samping sana Kam Hong-ti tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, ia melompat maju, kedua telapak tangannya
lantas meng-gablok dengan keras.
Kun-tian Siangjin menjadi murka, sekali kebut, ia gunakan
lengan bajunya buat membelit pedang Teng Hiau-lan, sedang
tangan kiri menangkis hingga Kam Hong-ti dipaksa mundur
kembali. Sungguhpun Kiam-hoat Hiau-lan sangat bagus, namun
dalam keuletan, bagaimanapun juga ia masih selisih jauh
dibanding Kun-tian Siangjin, karena pedangnya terbelit oleh
lengan baju orang, ia menjadi kelabakan.
Kun-tian Siangjin mendengus demi nampak lav an tak
dapat berkutik, lengan bajunya dia tarik lebih kencang dan
lebih dekat, habis itu, mendadak sebelah tangan yang lain
menyerang dengan kedua jari, dengan tipu 'Yu-liong-tam-jiau'
atau naga nyasar mengulur cakar, ia menjepit pergelangan
tangan Teng Hiau-lan dengan maksud hendak merebut
pedang pusakanya, Yu-liong-pokiam.
Melihat kawannya terancam bahaya, Kam Hong-ti terkejut,
tanpa ayal lagi sekuat tenaga ia menghantam musuh dengan
kedua tangan berbareng, karena serangan ini terpaksa Kuntian
Siangjin harus menarik kembali tangannya yang
memegang Teng Hiau-lan buat menghalau hantaman Kam
Hong-ti, namun tenaga Kam Hong-ti luar biasa kuatnya,
hantaman kedua tangannya ini membawa tenaga tidak kurang
dari ribuan kati, meski Kun-tian Siangjin sangat lihai, tapi dia
hanya satu tangan menahan serangan dua orang, betapapun
ia tak tahan, karenanya begitu tangan kedua belah pihak
beradu, Kun-iian Siangjin sempoyongan dan tergetar mundur.
Di pihak lain, tiba-tiba Teng Hiau-lan merasakan daya
tekanan musuh tadi tahu-tahu telah kendur, ia tidak
membuang kesempatan baik ini, dengan sedikit menggeraki
pedangnya, terdengarlah suara robeknya kain, ternyata lengan
Kelelawar Hijau 3 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Anak Berandalan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama