Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 28

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 28


baju Kun-tian Siangjin yang panjang telah kena terpapas
sebagian. Tidak kepalang gusar Kun-tian Siangjin, dengan merangkap
kedua tangannya, sekuat tenaga dia mendorong ke depan.
Namun Kam Hong-ti tidak gampang kecundang, ia sudah
banyak berpengalaman menghadapi musuh tangguh, sesudah
saling gebrak tadi, segera ia bisa mengukur kepandaian diri
sendiri dan lawan, ia mengerti kalau harus bertanding
Lwekang, ia sendiri masih bukan tandingan musuh, maka
begitu ia hantamkan kedua tangannya tadi, ia sudah
memperhitungkan kemungkinan serangan musuh ini, baru
saja Kun-tian Siangjin ganti pukulannya, lebih dulu Kam Hongti
sudah menggeser langkah terus berputar ke samping,
dengan sendirinya tenaga pukulan Kun-tian Siangjin mengenai
tempat kosong, saking keras angin pukulannya sampai debu
dan daun kering beterbangan, tenaga pukulannya ternyata
keras dan lihai luar biasa, cuma sayang tidak mengenai
sasaran. Dalam pada itu sebelum angin pukulan mereda, tiba-tiba
bayangan pedang berkelebat dari samping, kiranya Teng Hiaulan
telah menggunakan kesempatan pada waktu musuh belum
sempat ganti serangan, sekonyong-konyong ia mendahului
menyabet, sedang Kam Hong-ti pun memberi serangan
balasan dengan cepat. Namun di sinilah tertampak betapa tinggi ilmu silat Kun-tian
Siangjin, meski dikeroyok dua jago kelas satu, tiba-tiba
tubuhnya berputar pergi dengan cepat, dia keluarkan 'Micongcio-hoat', ilmu pukulan yang berlari kian-kemari seperti
main kucing-kucingan, dengan gesit ia menerobos pergi di
bawah ancaman senjata dan kepalan kedua lawan.
Setelah Kun-tian Siangjin berputar beberapa kali,
mendadak terdengar dia menggertak keras, kedua telapak
tangannya membagi ke kanan dan ke kiri, sekaligus ia
menghantam kedua lawannya.
Begitu besar tenaga pukulannya hingga ketika Kam Hong-ti
mengangkat tangannya buat menangkis, ia merasa tak tahan
dan lekas melompat mundur, sedang Teng Hiau-lan harus
menyambut pukulan menggeledek itu, hampir saja ia jatuh
oleh goncangan angin pukulan musuh, syukur ia bisa berlaku
cepat pula, begitu tubuhnya bergoyang, segera ia menggeser
ke samping. Melihat tipu pukulannya membawa hasil, Kun-tian Siangjin
tidak mau berhenti begitu saja, segera ia lakukan rangsekan
yang berbahaya. Diam-diam Kam Hong-ti mengakui ketangkasan musuh.
"Kepandaian orang ini betul-betul tidak di bawah Tok-liong
Cuncia," demikian ia berpikir. Tapi sesudah memberi tanda
pada Teng Hiau-lan, segera mereka menggempur musuh lagi
dengan kerja sama yang lebih rapat. Kini Kam Hong-ti sendiri
yang menahan tenaga pukulan orang dan membiarkan Teng
Hiau-lan balas menyerang dengan Kiam-hoatnya yang cepat
dan lihai. Dengan perubahan ini, Kun-tian Siangjin tak bisa
menggunakan seluruh tenaganya lagi untuk mendesak Kam
Hong-ti, pula tak mampu merebut pedang Teng Hiau-lan,
pertempuran berlangsung sampai ratusan jurus, tetapi
keadaan masih sama kuat. Apapun juga Lwekang Kun-tian Siangjin memang lebih
tinggi setingkat, meski pertarungan sengit ini sudah ratusan
jurus, namun ia masih' tetap tenang. Sebaliknya tak demikian
dengan Teng Hiau-lan, pemuda ini sudah letih dan mandi
keringat. Syukur selama setahun ini ia telah berlatih dengan
giat Lwekang golongan Thian-san-pay dan telah jauh
mendapat kemajuan, kalau dibanding setahun yang lalu ketika
ia bertempur melawan Tok-liong Cuncia, terang sekarang jauh
lebih tinggi, kalau tidak, tentu sejak tadi ia tak tahan.
Begitulah maka sesudah beberapa puluh jurus, tiba-tiba
Kun-tian Siangjin bersuit aneh beberapa kali, telapak tangan
kirinya bergerak berulang-ulang, karena angin pukulannya ini,
pedang Teng Hiau-lan terguncang pergi dan tak mampu
mendekati musuh, berbareng itu Kun-tian Siangjin mengulur
tangan kanan dan menutul dengan jarinya, ia mengincar ke36 jalan darah di tubuh Kam Hong-ti dengan ilmu Tiam-hiat
yang mematikan. Ilmu menutuk jalan darah umumnya mengerahkan tenaga
pada ujung jari dan menyerang" secara mendadak. Tetapi
kekuatan jari tangan terbatas juga, kalau bertemu jago lihai
seperti Kam Hong-ti yang sanggup menolak tutukan, mesti
tepat kena ditutuk juga tidak akan terluka. Pula Kam Hong-ti
bertenaga pukulan sangat keras, kalau sampai jari tangan si
penutuk kena dipotong oleh telapak tangannya, sedikitnya
akan patah jari atau pecah telapak tangannya, oleh karena itu,
di saat berhadapan dengan musuh, selamanya Kam Hong-ti
tidak gentar pada Tiam-hiat.
Tak terduga ilmu menutuk Kun-tian Siangjin ternyata lain
dari yang lain, kalau orang lain 'Tiam-hiat', maka dia "BokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hiat', bukan menutuk, tapi 'bok' atau menabok. Ia sanggup
mengarah Hiat-to dengan guncangan tenaga pukulannya,
menghadapi ilmu musuh yang aneh ini, Kam Hong-ti menjadi
bingung juga, ia tidak tahu cara bagaimana harus menghalau
serangan musuh. Dalam pertarungan seru ini, suatu kali Kun-tian Siangjin
mendadak mengulur tangan hendak mencengkeram paha Kam
Hong-ti, namun secepat kilat Hong-ti memotong dari samping
dengan kedua telapak tangannya dan sebelah kaki berbareng
melayang untuk menendang pinggang orang.
Kedua gerak serangan ini adalah tipu serangan yang lihai
dari Kam Hong-ti yang disebut 'Pi-san-sau-loh' atau memotong
gunung membuka jalan. Tak diduga, mendadak Kun-tian Siangjin mendaki tubuhnya
dan tangan menarik ke bawah, dengan demikian kedua
telapak tangan Kam Hong-ti menyerempet sikunya, tetapi
karena tenaga tarikan tadi, daya pukulan yang kuat lantas
dipatahkan juga, sedang kaki kanan Hong-ti yang menendang
tadi dengan tepat kena disanggah ke atas oleh gerak tangan
Kun-tian Siangjin tadi, berbareng malah tenaga dalamnya
menggetarkan tunggak kaki Hong-ti di 'Yong-coan-hiat*
hingga seketika ia merasakan sebelah kakinya kaku
kesemutan, ketika Kun-tian Siangjin mengayun tangannya
pula, maka Hong-ti tertolak pergi hingga jatuh beberapa
tombak jauhnya. Teng Hiau-lan tidak tinggal diam, segera ia cecar musuh
dengan beberapa kali tusukan hingga Kun-tian Siangjin
dipaksa harus mundur bila tidak mau merasakan ujung senjata
pemuda ini. Selagi Hiau-lan hendak meninggalkan musuh untuk
menolong Kam Hong-ti yang jatuh itu, tiba-tiba ia lihat Thianyap
Sanjin dan Haptoh berdua telah melayang ke sana, begitu
cepat gerak tubuh Thian-yap Sanjin, tampaknya dengan
segera akan sampai di depan Kam Hong-ti, tapi mendadak ia
hentikan langkahnya sendiri sambil bergelak tertawa.
"Aha, Lin-kuijin, kiranya kau datang ke sini juga!" demikian
terdengar ia menyapa seseorang.
Ketika Hiau-lan melirik ke sana, ia lihat secepat terbang
Pang Ing sedang mendatangi. Kiranya Pang Ing oleh Thianyap
Sanjin telah disangka sebagai Pang Lin. Begitu cepat
datangnya anak dara ini, pada waktu Thian-yap Sanjin masih
tertawa, tahu-tahu ia sudah berada di hadapannya.
"Ing-moay, Lu-cici berada di dalam sana!" cepat Teng Hiaulan
berseru. Dalam pada itu, Kun-tian Siangjin mendorong ke depan
pula, saking kuat tenaga dorongan ini hingga Teng Hiau-lan
tak sanggup berdiri tegak dan jatuh terduduk.
Nampak lawannya terdorong jatuh dengan lucu, Kun-tian
Siangjin tertawa terbahak-bahak, berbareng ia bermaksud
mencengkeram pemuda ini. Tapi pada saat itu juga tiba-tiba tertampak berkelebatnya
sinar pedang, tahu-tahu pemuda lain telah menerjang maju,
namun Kun-tian Siangjin masih terus mencengkeram ke
depan, hanya dengan sebelah tangan lain ia papaki datangnya
orang buat memuntir tangan musuh.
Pemuda yang datang belakangan ini adalah Li Ti, Kiamhoat
dia adalah ciptaan Pek-hoat Mo-li yang aneh luar biasa
dan tiada bandingannya di kolong langit, ketika ujung senjata
sedikit bergerak, mendadak memotong ke tangan kanan Kuntian
Siangjin yang lagi hendak mencengkeram tubuh Teng
Hiau-lan. Keruan Kun-tian Siangjin terperanjat, lekas ia mengerutkan
tangan, karena merandek inilah memberi kesempatan pada
Teng Hiau-lan untuk melompat bangun, kemudian bersama Li
Ti mereka merangsek musuh bersama.
Dalam pada itu, di sebelah sana sesudah Thian-yap Sanjin
menangkis beberapa kali serangan Pang Ing, diam-diam ia
terkejut dan terheran-heran, ia pikir, "Sungguh tidak nyana
Kiam-hoat budak liar ini bisa maju sedemikian pesatnya!"
Ia menyangka anak dara ini adalah Pang Lin yang
dikehendaki Hongsiang, maka ia tidak berani mengeluarkan
tipu serangan yang mematikan, sebaliknya ia sendiri yang
dicecar terus oleh Pang Ing hingga ia terpaksa harus mundur.
Lekas Haptoh melompat maju hendak membantu, ia pikir
hendak tangkap hidup-hidup 'Pang Lin'. Di luar dugaan pada
saat itulah mendadak dari luar rimba sana menerobos masuk
seorang gadis lain, Haptoh jadi melongo heran, betapa tidak
karena kedua anak dara yang berada di hadapannya ini
ternyata sama rupa seperti pinang dibelah dua. Kalau ia
ternganga, maka demikian pula dengan Thian-yap Sanjin
setelah dia mengetahui juga ada dua gadis yang sedemikian
mirip, saking bingungnya sampai mereka berdua hanya saling
pandang saja, mereka tidak mengetahui yang manakah Linkuijin
yang hendak mereka tawan.
Kiranya pada waktu Pang Ing dan Pang Lin si kembar
bersama Li Ti melihat tanda panah Kam Hong-ti yang
bersuara, mereka segera memburu datang, Pang Ing memiliki
Ginkang yang hebat, maka tiba paling dulu, dan telah
bergebrak dengan Thian-yap Sanjin. Menyusul lantas datang
Li Ti yang tepat juga-pada waktunya dan berhasil melepaskan
Teng Hiau-lan dari ancaman bahaya. Sedang Pang Lin berada
paling belakang, tetapi ia sangat cerdik dan licin, begitu
sampai ia lantas lihat Kam Hong-ti menggeletak di tanah.
"Kau bertahan sebentar, Cici, segera bersama Kam-tayhiap
kami datang membantu kau!" demikian segera ia berseru
sambil mendekati Kam Hong-ti.
Pang Lin paham ilmu Bok-hiat dari Lamma agama Merah di
Tibet, maka hanya dua kali ia tepuk tubuh Kam Hong-ti,
seketika jalan darah Kam Hong-ti lancar kembali, segera
pendekar ini melompat bangun, dengan sekali menggeram ia
lantas menubruk maju terus menghantam Kun-tian Siangjin.
Waktu itu memang Li Ti dan Teng Hiau-lan sedang
kewalahan, dengan masuknya Kam Hong-ti, dengan tiga
lawan satu, kedudukan mereka lantas berubah berada di atas
angin. "Haha, kiranya kaulah Lin-kuijin!" Haptoh bergelak tertawa
sesudah mengenali Pang Lin yang bisa menepuk jalan darah
Kam Hong-ti, maka yang dia tuju dengan sendirinya anak dara
ini. Thian-yap Sanjin kinipun sudah mengetahui mana Pang Lin
dan mana yang bukan, karena kesangsiannya hilang, seketika
ia melakukan rangsekan balasan, ia menempur Pang Ing
dengan sengit. Ilmu silat Haptoh sendiri dahulu disebut 'dua jago' dengan
Liau-in, dengan sendirinya Pang Lin sekali-kali bukan
tandingannya, ketika Haptoh memutar gembolannya
sedemikian hebat, terpaksa Pang Lin terdesak lari kian-kemari.
Sementara itu di dalam hutan terdengar suara suitan Lu Sinio
menggema pula, kiranya ia telah mendengar juga suara
pertarungan yang terjadi dengan serunya di luar rimba ini,
cuma ia tidak tahu siapakah yang datang ini.
Cepat Kam Hong-ti balas bersuit.
"Kenapa aku tidak masuk ke dalam hutan dulu bergabung
dengan Lu-cici?" demikian Pang Lin berpikir ketika mendengar
suara suitan Lu Si-nio. Segera ia keluarkan kepandaian cara menggempur dan
mencakar seperti elang kucing, hanya tiga kali naik turun ia
sudah berhasil lari masuk ke dalam hutan.
Kiranya pada waktu Kun-tian Siangjin menempur Kam
Hong-ti dan Teng Hiau-lan secara sengit. Thian-yap Sanjin dan
Haptoh telah keluar buat menonton, sedang Lu Si-nio yang
terkurung di atas pohon masih terus duduk bersemedi, diamdiam
ia kumpulkan tenaga dalamnya dan sesudah pulih
seluruh rasa letihnya, kala mana di bawah pohon hanya
tinggal Emopu dan Han Tiong-san berdua yang menjaga,
ketika Si-nio mendengar suara suitan Kam Hong-ti, mendadak
ia melompat turun, begitu pedangnya berputar, segera ia
menikam Han Tiong-san dari atas.
Dalam kagetnya Han Tiong-san masih sempat angkat
senjata garuknya buat menangkis sambil menyerampang.
Meski tubuhnya terapung di udara, namun Lu Si-nio dengan
cepat sudah ganti tipu serangan, mendadak ujung senjatanya
miring ke samping terus menusuk pergelangan tangan musuh.
Untuk tidak terkutung tangannya, lekas Han Tiong-san
menarik kembali senjatanya, tetapi sekonyong-konyong ia
rasakan pundaknya kesakitan, kiranya pundaknya dengan
tepat kena didepak oleh Lu Si-nio dan dengan meminjam
kekuatan depakan ini, Lu Si-nio sendiri lantas mencelat pergi
beberapa tombak jauhnya. "Di luar telah datang musuh baru, kau keluar saja
melihatnya, biar aku yang melayani penjahat wanita ini!" seru
Emopu pada kawannya, berbareng pula kebutnya beruntun
menyerang tiga kali, sama sekali ia tidak memberi kesempatan
pada Si-nio untuk lari. Ilmu silat Emopu memang hanya sedikit di bawah
Suhengnya, yaitu Kun-tian Siangjin, dan kalau dibanding Lu Sinio
boleh dikata seimbang, karena itu, di bawah rintangan
Lamma ini. sekejap itu Si-nio tak mampu menerjang keluar.
Kembali Pang Lin tadi, ketika ia berlari masuk ke dalam
hutan, mendadak ia memergoki Han Tiong-san yang lagi
berlari keluar, dalam terkejutnya ia melompat ke samping
untuk menghindari. Akan tetapi dari belakang Haptoh sudah


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengudak tiba pula. "Hayo, budak liar, apa kau masih ingin kabur!" demikian
Haptoh membentak. Dalam pada itu Han Tiong-san tidak tinggal diam. sekaligus
ia timpukkan tiga anak panahnya, dengan senjata ini ia paksa
Pang Lin mundur ke tempat yang luang di dalam hutan itu.
dengan jalan ini ia menghindarkan kelicinan Pang Lin yang
mungkin mengajak main kucing-kucingan di dalam hutan yang
lebat itu. Dari belakang Haptoh sudah memburu maju, namun ia
telah dipapaki Pang Lin dengan tiga buah pisau berbisa.
"Hahaha, sedikit permainanmu ini saja berani kau
penunjuk- , kan di depanku?" Haptoh bergelak tertawa melihat
serangan orang. Habis itu dengan tangan kiri ia meraup, bermaksud
menangkap ketiga pisau itu. Siapa duga selama setahun lebih
ini Pang Lin sudah giat melatih Lwekang yang lihai dari Bukekpay dan sudah tidak dapat dipersamakan dengan Pang Lin
dulu lagi, meski Lwe-kangnya masih berselisih dibanding
Haptoh dan Han Tiong-san, tapi " selisihnya sudah tidak jauh
lagi. Begitulah maka waktu Haptoh mengangkat tangan hendak
meraup, tiba-tiba melihat datangnya Hui-to membawa desiran
angin yang keras, datangnya ternyata cepat dan kuat, mau
tak mau ia jadi terkejut, lekas ia tarik tangannya sambil
berkelit, maka lewatlah ketiga Hui-to itu, yang sebuah
menyambar lewat di atas kepalanya dan yang dua menerobos
di samping kedua telinganya dengan membawa angin tajam.
Melihat lawannya kelabakan menghadapi pisau terbangnya,
Pang Lin tertawa ngikik, habis itu tanpa berpaling lagi kembali
ia berlari pula. Haptoh menjadi murka, secepat kilat gembolannya yang
bertali dia timpukkan, senjata ini menyambar mendahului di
depan Pang Lin hingga tepat mengenai sebuah batu besar
hingga batu ini pecah berantakan.
Maksud Haptoh menghantam remuk batu itu tidak lebih
adalah supaya Pang Lin ketakutan dan tak berani berlari ke
depan lagi, dengan demikian tiada jalan lain kecuali harus
balik untuk menyerahkan diri dan ditawan.
Di luar dugaannya, hantaman gembolannya memang tepat
dan batu itu berantakan, tetapi sesuatu yang di luar
perhitungannya telah terjadi juga.
Di belakang batu besar itu ternyata ada sebuah gua yang
dalam sekali, sesudah batu pecah remuk, segera mulut gua
yang gelap-gulita kelihatan, bahkan terdengar pula ada suara
rintihan orang di dalam gua.
Pang Lin sendiri sudah kepepet dikejar Haptoh, ia tidak
ingin mundur kembali dan ditawan, maka pada waktu
remukan batu kerikil berhamburan, ia keluarkan gerak tipu
'Pat-hong-hong-uh" (hujan angin dari delapan penjuru), satu
gerakan dari Bu-kek-kiam yang hebat, begitu pedangnya
diputar, di bawah menghamburnya batu kerikil yang
kesampuk oleh pedangnya, tubuhnya terus melompat ke
depan masuk ke dalam gua tadi.
Hawa di dalam gua ternyata sangat seram, saking
gelapnya, sampai jari tangan sendiri tidak kelihatan, tak
tertahan Pang Lin mengkirik. Daiam pada itu ia mendengar
Haptoh lagi keheranan di luar gua.
"Ha, meski kau lari masuk sarang macan atau gua ular,
pasti juga akan kurogoh kau keluar," lalu ia dengar Haptoh
membentak lagi di luar sesudah lewat sejenak.
Selamanya Pang Lin paling jeri pada ular, kini demi
mendengar Haptoh menyebut "gua ular", ia menjadi
ketakutan. Akan tetapi waktu itu Haptoh sudah menggeremet
masuk ke dalam, terpaksa ia tak bisa berpikir banyak lagi, ia
harus menyelamatkan diri paling perlu dan terus mundur ke
belakang, makin masuk makin dalam.
Gua itu ternyata sangat dalam sekali, sesudah Pang Lin
berjalan agak lama, dengan jelas kembali ia mendengar lagi
dua kali suara rintihan orang yang menderita, disusul oleh
suara aneh yang mendesis. Pang Lin mengkirik hingga bulu
roma tengkuknya berdiri. "Jangan-jangan gua ini memang
benar-benar gua ular, suara rintihan tadi adalah suara
merintihnya orang yang sedang ditelan ular?" demikian Pang
Lin membatin. Kemudian ketika ia mengangkat kepala memandang ke
dalam, tiba-tiba di dalam kegelapan ada dua titik sinar yang
berkelap-kelip menghijau, sedang suara mendesis tadi bukan
lain justru datang dari sinar hijau ini. Apalagi" Sudah terang ini
adalah mata ular berbisa!
Dalam kagetnya, Pang Lin menjerit sekali, berbareng
pedangnya membabat ke depan, akan tetapi sebelum
senjatanya mengenai sasaran, mendadak ia merasakan
pergelangan tangannya kesakitan, pedangnya pun jatuh ke
tanah hingga menerbitkan suara nyaring.
"Kenapa kau hendak membunuh ularku yang lagi menolong
orang?" tiba-tiba Pang Lin mendengar suara bentakan orang.
Pang Lin berusaha melepaskan diri, tetapi ia tak berdaya
karena seluruh badan dirasakan lemas, sedikitpun tak bisa
mengeluarkan tenaga, pada saat itu pula tiba-tiba ia
merasakan ada sesuatu yang merayap di atas tubuhnya
dengan kelogat-keloget, barang ini lunak lagi licin, keruan
tidak kepalang kaget Pang Lin, saking takutnya sampai
semangatnya hampir terbang dari raganya!
Syukur dalam kegelapan itu sekonyong-konyong Pang Lin
mendengar lagi orang itu bersuara heran.
"Eh. kukira siapa, tak tahunya tuan penolongku yang telah
datang," demikian terdengar orang itu berkata. "In-jin (tuan
berbudi) tak usah kuatir. ularku ini sekali-kali tidak digunakan
untuk mencelakai orang lagi. Kim-ji, hayo, kembali!"
Dengan suara bentakan yang perlahan ini, maka ular kecil
yang tadinya merayap di tubuh Pang Lin, lantas merambat
turun. "Nona Pang, darimanakah kau mengetahui aku di sini?"
terdengar orang tadi bertanya pula.
Pang Lin masuk ke dalam gua yang gelap itu dari tempat
yang bercahaya terang, dengan sendirinya ia masih belum
bisa melihat jelas keadaan dalam gua itu, lebih-lebih ia tidak
kenal siapa orang yang menyapa padanya ini, karena rasa
kagetnya belum hilang, maka ia tidak menjawab pertanyaan
orang. "Eh, kembali ada seorang lagi yang masuk. Apa dia
kawanmu, nona Pang?" terdengar orang itu menyambung lagi.
Pang Lin coba menenangkan diri dari kagetnya tadi, ia pikir,
"Kalau dia sudah memanggil aku sebagai In-jin, pula ia
memiliki kepandaian begini tinggi, bukankah sangat baik kalau
aku minta dia memberi pertolongan?"
Sementara itu suara tindakan Haptoh dari luar semakin
mendekat. Bahkan gembong Hiat-ti-cu ini masih bersuara
mengancam dan menakut-nakuti pula, "Hayo, budak liar, tidak
lekas kau keluar" Sebentar lagi segera aku hantam pecah
kepalamu dengan gembol-anku!"
Mendengar gertakan ini, orang itu menjadi heran. "Eh,
kiranya dia adalah musuhmu!"
"Ya, ya, dia memang musuhku, dia jahat sekali!" demikian
Pang Lin membenarkan. "In-jin jangan kuatir, justru aku ini tukang pukul orang
jahat!" terdengar orang itu menyahut dengan tertawa dingin.
Di lain pihak sesudah Haptoh memasuki gua yang seram
ini, bahkan mendengar pula suara mendesisnya ular, mau tak
mau ia rada keder juga, tetapi mengandalkan ilmu silatnya
yang tinggi, nyalinya bertambah besar juga, ia putar 'Liu-sengtui'
untuk melindungi tubuhnya sambil berpikir, "Biarpun ada
ular yang mendadak menubruk maju pasti akan mati oleh
angin senjata gembolanku!"
Karena itu sambil mengayun senjatanya ia terus
menggeremct masuk, sampai akhirnya tanpa terasa ia sudah
masuk jauh ke dalam gua itu, di sini tiba-tiba ia dengar Pang
Lin lagi berbicara dengan orang, tentu saja ia terheran-heran.
"Hai, siluman macam apakah yang bersembunyi di sini
untuk menakut-nakuti orang?" segera ia membentak sambil
memutar senjata. Tetapi dari dalam gua yang gelap-gelita itu ia dengar ada
suara tertawa dingin orang sambil menjawab, "Hm, aku jauh
lebih baik daripada kalian yang melakukan macam-macam
kejahatan di tempat terbuka dan terang-terangan!"
"Siapa kau?" bentak Haptoh sambil mengayun
gembolannya ke depan. "O, pantas kau berani menghina tuan penolongku, kiranya
kau memang memiliki sedikit kemampuan, tetapi sayang kau
punya 'Hwe-hwe-tui-hoat' (ilmu permainan gembolan) masih
belum matang terlatih!" demikian terdengar orang itu berkata.
Haptoh terkejut, batinnya, "Kurangajar, hanya sekali lihat
saja di tempat gelap ia sudah tahu aku punya ilmu
kepandaian, tampaknya bukan lawan yang enteng!"
Karena itu dengan mengumpul tenaga dalamnya,
mendadak gembolannya diayun ke depan.
"Kau berani membikin celaka pasienku?" sekonyongkonyong
orang itu membentak dengan sengit. Pada saat itu
juga tahu-tahu Haptoh merasakan ujung gembolannya
menjadi macet, tiba-tiba seperti dicekal orang, sedikitpun tak
bisa bergerak lagi. Harus diketahui, dengan kepandaian Haptoh yang sudah
sedemikian tinggi, dengan sabetan senjatanya tadi,
kekuatannya tidak hanya terbatas ribuan kati saja, tetapi kini
mendadak bisa dipegang orang tanpa bisa ditarik kembali,
keruan terkejutnya bukan buatan, tanpa pikir lagi, segera ia
lepaskan senjatanya terus hendak lari.
Tetapi untuk lari ternyata tidak gampang, tahu-tahu orang
di dalam gua itu tertawa dingin, berbareng orangnya sudah
memburu tiba, dengan sekali pegang, tengkuk Haptoh kena
dicekal terus dibuang keluar sambil membentak, "Pergi!"
Sungguh hebat sekali, dengan ilmu silat Haptoh yang sudah
begitu tinggi, tetapi sedikitpun tidak berdaya dan telah
dilempar orang keluar gua sedemikian rupa, sudah tentu yang
paling girang adalah Pang Lin.
'"Siapakah kau?" demikian ia lantas bertanya dengan girang
bercampur heran. "Apa kau belum melihat jelas?" sahut orang itu. "Masa kau
tidak mengenali aku, meski tidak jelas melihat mukaku,
mendengar suaraku saja kau harus kenal juga. Kau tentu tidak
menduga aku bisa berada di sini, bukan?"
Sudah tentu Pang Lin menjadi bingung.
"Dan dimanakah kau punya Lu-cici?" sementara terdengar
orang itu bertanya pula. "O, ya, dia ada di luar dan sedang dikerubut orang jahat,"
lekas Pang Lin menerangkan. "Baiknya lekas kau menolong
dia!" "Ah, pantas aku seperti mendengar suara suitannya sejak
tadi," ujar orang itu. "Siapakah yang memiliki kepandaian
begitu tinggi hingga bisa mengurung dia, aku harus pergi
melihatnya!" Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara rintihan dua kali,
orang itu mengulur tangan meraba, habis itu lantas terdengar
;a buka suara lagi, "Kalian Sudah sembuh semua, rebah lagi
setengah hari dan lantas akan kuantar kalian pulang ke
rumah!" Kiranya orang aneh ini ialah Tok-liong Cuncia. Sebagaimana
pernah dia bersumpah di hadapan Lu Si-nio bahwa dia pasti
akan melakukan amal untuk menyembuhkan penderita
penyakit kusta, oleh karena itu ia telah melawat kian-kemari
untuk menunaikan janjinya itu dan pada sepuluh hari yang
lalu, kebetulan ia sampai di tempat ini.
Oleh sebab ia kuatir perbuatannya itu akan membikin kaget
orang dan menggegerkan penduduk saja, maka sengaja ia
culik penderita kusta untuk disembunyikan di dalam gua ini,
lalu dengan batu besar ia menyumbat mulut gua supaya tidak
ketahuan orang, dan di dalam gua inilah dia melakukan
pengobatannya pada para penderita kusta yang dia culik itu.
Seluruhnya ia telah menculik empat orang, dua penderita
yang ringan sudah disembuhkan dan telah diantar pulang,
tinggal dua penderita lagi yang agak parah.
Kedua orang ini ternyata lemah juga tubuhnya, ketika Tokliong
Cuncia mengobatinya dengan darah ular dan obatobatan
lainnya, penyakit kustanya sudah mulai baik, tetapi
sebaliknya karena tak tahan akan hawa dingin dalam gua itu,
kedua orang ini malah sakit demam hingga beberapa kali
jatuh pingsan. Tok-liong Cuncia sendiri hanya paham menyembuhkan
kusta, terhadap penyakit lain sedikitpun tak becus, pula tidak
gampang untuk memperoleh obatnya. Sebab itu terpaksa ia
harus menggunakan hawa murni sendiri yang kuat dan
disemburkan ke mulut si sakit untuk memperkuat daya
lahannya, dasar ini sama seperti tambah darah zaman
sekarang. Karena selama sehari semalam ini Tok-liong Cuncia terus
mengobati pasiennya dengan penuh perhatian, maka terhadap
suara suitan Lu Si-nio tidak didengarnya, dan waktu Pang Lin
datang, kedua pasiennya sudah mulai bisa merintih dan sudah
terhindar dari bahaya, karena tak ada sesuatu yang dia
kuatirkan lagi, segera ia keluar gua bersama Pang Lin.
Kembali tadi, waktu Haptoh dilempar keluar gua, kala itu
Han Tiong-san lagi menunggu di mulut gua, maka persis
kedua tangannya bisa menyambut tubuh Haptoh seperti kiper
menangkap bola. "Siapakah yang bersembunyi dalam gua?" segera Han
Tiong-san bertanya dengan heran ketika melihat tengkuk
kawannya babak-belur bekas jari tangan, mukanya pucat
seperti kertas, bahkan senjatanya 'Liu-seng-tui' tak tampak
pula. Pertanyaan orang ternyata tidak dijawab oleh Haptoh, ia
hanya meraba-raba kuduknya dengan napas terengah-engah.
"Siluman, siluman! Lekas panggil Kun-tian Siangjin!"
demikian akhirnya ia berkata.
Mengertilah Han Tiong-san, tentu kawannya telah dikibuli
orang, keruan tidak kepalang terkejutnya, karena ia cukup
kenal kepandaian Haptoh, tanpa ayal lagi segera ia bersuit
memanggil bala-bantuannya, Kun-tian Siangjin.
Dalam pada itu, dari dalam mendadak melompat keluar
seorang berambut kusut terurai, rupanya aneh luar biasa.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Tiong-san memang sudah berjaga-jaga kalau musuh
bakal keluar gua, maka demi nampak munculnya orang, tanpa
buka suara lagi segera garuknya mengepruk, sekaligus ia arah
kepala orang yang mematikan.
"Hm, tak malu, membokong!" Tok-liong Cuncia
mendamprat, berbareng lengan bajunya dari kain kasar dia
kebutkan. Pacul garuk Han Tiong-san sampai hampir terlepas dari
tangannya karena kebutan lengan baju orang, tentu saja
bukan main kagetnya, pikirnya, "Pantas Haptoh kecundang
olehnya, kepandaiannya ternyata jauh di atas tingkatan kita."
Di lain pihak Tok-liong Cuncia rada heran juga karena
kebutan lengan bajunya tadi tidak mampu membikin terpental
senjata garuk 'Pi-hun-tuh' orang. "Darimanakah Lu Si-nio
memperoleh musuh tangguh begitu banyak" Pantas kalau dia
sendiri terkurung!" demikian pikirnya.
Sebenarnya kepandaian Haptoh dan Han Tiong-san adalah
setingkat, tetapi kenapa sekali gebrak Haptoh kena dicekal
terus dilempar keluar gua, sebaliknya meski Han Tiong-san
juga kecundang tapi tidak sampai terjungkal"
Soalnya karena tadi Haptoh masuk ke dalam gua yang
gelap-gulita, ini berarti Tok-liong Cuncia berada di tempat
yang terang sebaliknya ia sendiri di tempat yang gelap, pula
Haptoh sama sekali belum kenal ilmu kepandaian Tok-liong
Cuncia, penjagaannya dengan sendirinya tidak cukup kuat,
sedang ilmu silat Tok-liong Cuncia memang jauh lebih tinggi
dari Haptoh, oleh karena itu, dalam keadaan tak tersangka,
hanya dengan sekali mencekal Haptoh kena dilempar pergi.
Sebaliknya Han Tiong-san sudah menunggu di mulut gua
untuk melakukan pembokongan, ini berarti dia yang terang
dan Tok-liong Cuncia yang gelap, pula Han Tiong-san sudah
menyaksikan Haptoh yang digusur keluar gua dengan sangat
mengenaskan, maka ia sudah mengetahui musuh luar biasa
tinggi kepandaiannya, maka begitu garuknya mengepruk tadi,
berbareng ia melangkah mundur, dengan demikiar maka ia
tidak sampai kecundang seperti Haptoh.
Tapi sesudah saling gebrak sekali, siapa yang lebih kuat
dan siapa yang lemah sudah lantas kentara, Han Tiong-san
tak berani melawan lebih jauh, dengan menyeret pacul
garuknya, ia lantas mundur teratur.
Tok-liong Cuncia bergelak tertawa karena kaburnya orang.
"Lu-lihiap! Dimana kau, Lu-lihiap!" segera ia berseru
memanggil Lu Si-nio. Waktu itu Lu Si-nio sedang menempur Emopu di dalam
hutan, mereka ternyata sama kuat dan seketika sukar
dipisahkan. Tetapi demi mendengar suitan Tok-liong Cuncia tadi,
seketika semangat Lu Si-nio terbangun, beruntun ia menusuk
beberapa kali ke tempat yang berbahaya di tubuh Emopu,
Lamma ini terpaksa harus berkelit, maka kesempatan ini
segera digunakan Si-nio untuk menerjang keluar secepat
terbang. Sudah tentu Emopu tidak melepaskan orang begitu saja,
segera ia mengudak, tapi sesampainya di luar, ia lihat
Suhengnya, Kun-tian Siangjin, sudah berhadapan dengan Tokliong
Cuncia, kedua orang sedang bersiap untuk bergebrak.
Kiranya Kun-tian Siangjin dikeroyok Kam Hong-ti, Teng
Hiau-lan dan Li Ti bertiga sudah berlangsung sekian lama dan
masih belum berakhir, waktu itu Haptoh dan Han Tiong-san
berdua berlari datang mewakili dia menghadapi ketiga lawan
ini, sedang dia diminta pergi menghalau musuh yang lebih
kuat. Segera juga Kun-tian Siangjin melepaskan diri dari
kalangan pertempuran untuk mencegat musuh yang
dimaksudkan, sementara ia nampak Tok-liong Cuncia dengan
rambut yang terurai kusut, rupanya lebih mirip orang hutan,
Kun-tian Siangjin rada heran, batinnya, "Darimanakah
munculnya orang hutan ini hingga membikin Haptoh serta Han
Tiong-san ketakutan sedemikian rupa?"
Di lain pihak, ketika melihat datangnya Lu. Si-nio, Tok-liong
Cuncia menyambut gadis ini dengan seruan girang. Sebaliknya
di sebelah sana, Kam Hong-ti dan Lu Si-nio pun bersorak
gembira. "Tok-liong Cuncia!" demikian mereka menyapa girang.
Mendengar nama orang, baru Pang Lin mengerti
persoalannya, ia sudah pernah mendengar cerita dari sang
Enci tentang kejadian di sekitar Coa-to atau pulau ular,
tentunya Tok-liong Cuncia telah menyangka dia adalah Pang
Ing, oleh karena itulah ia turun tangan buat menolongnya.
Di pihak lain, demi mendengar nama Tok-liong Cuncia,
Emopu yang sudah memburu datang menjadi kaget. Ia datang
di istana lebih dulu daripada Suhengnya, maka dalam
percakapan ia pernah mendengar Kaisar Yong Ceng pernah,
mengutus Siang-mo untuk mengundang Tok-liong Cuncia,
tetapi yang diundang tidak pernah datang, karena itu segera
ia membentak, "Hm, Hongsiang mengundang kau, tapi kau
berlagak dan tidak mau datang, kini kau berbalik datang
membantu para buronan ini?"
Masih mendingan kalau Emopu tidak menegurnya, tapi
karena dampratan ini telah membikin Tok-liong Cuncia
menjadi murka, selama setahun ia menginjak daratan,
dimana-mana ia mendengar cerita tentang keganasan Kaisar
Yong Ceng, oleh karena itu ia cukup mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah.
"Aha, kiranya kalian ini adalah anjing dan alap-alap kerajaan!"
demikian segera ia membentak dengan gusar.
Ia mengulur tangan memetik sekenanya, satu tangkai kayu
kecil tiba-tiba dia selentikan menuju Emopu.
Tetapi Kun-tian Siangjin sudah melompat dari samping,
begitu tangannya meraup, ia tangkap tangkai kayu itu.
"Eh, kiranya kau inilah yang bernama Tok-liong Cuncia,
geiak tanganmu barusan ini ternyata tidak jelek, marilah maju
sini, boleh kita coba siapa yang lebih kuat!" segera ia
menantang dengan berge-lak tertawa.
Habis berkata, tiba-tiba ia merangkap kedua telapak
tangan, dengan gaya 'Thay-san-ap-teng' atau gunung besar
menindih kepala, segera ia mendorong ke depan dengan
sepenuh tenaga. Lekas Tok-liong Cuncia memapak dengan kedua tangan,
maka terasalah satu kekuatan maha besar mendesak ke pihak
masing-masing, seketika ia pun tak berani menarik tangan dan
ganti serangan, keempat tangan masih saling tempel dan
terpaku di tengah kalangan, mata mereka saling pandang
dengan melotot, seperti dua ekor ayam jago lagi bertarung,
kedua belah pihak sama kuat.
Pada waktu itu Kam Hong-ti dan kawan-kawan sudah
berhenti bertempur dan sedang menyaksikan pertarungan
hebat antara Tok-liong Cuncia melawan Kun-tian Siangjin.
Teng Hiau-lan sendiri diam-diam mendekati Lu Si-nio dan
dengan suara perlahan ia menghaturkan terima kasihnya.
Dengan sendirinya Lu Si-nio sangat girang melihat pemuda
ini sehat-walafiat. "Kau sudah sembuh, maka legalah hatiku,"
demikian ia berkata. Pang Ing pun tak mau ketinggalan, ia mendatangi Teng
Hiau-lan sambil mengucapkan terima kasih juga pada Si-nio.
Melihat sepasang muda-mudi yang begini kasih-sayang, tibatiba
Lu Si-nio teringat pada Sim Cay-khoan yang belum
diketahui mati-hidupnya, karena itu ia menjadi pilu.
"Persahabatan kita atas dasar suci-murni, kenapa perlu
pakai terima kasih segala?" katanya kemudian. "Marilah kita
menyaksikan pertarungan Tok-liong Cuncia dengan orang itu."
Tatkala itu para bayangkara yang menjaga di luar rimba
bera-mai sudah merubung datang, mereka berdiri di belakang
Kun-tian Siangjin. Sementara di tengah kalangan Tok-liong Cuncia dan Kuntian
Siangjin masih terus adu tenaga, keringat mereka sudah
seperti hujan, tetapi orangnya sedikitpun tidak bergerak.
Para jago silat yang menyaksikan ini tiada yang tak
berdebar, mereka mengerti, mengadu tenaga dalam secara
mati-matian ini adalah luar biasa, siapa sedikit lengah bisa
segera binasa atau sedikitnya luka parah, jauh lebih sengit
daripada pertarungan memakai senjata, saking tegangnya
sampai mereka menahan napas sambil memandang ke tengah
kalangan dengan penuh perhatian.
Sesudah kedua orang bertahan lagi kira-kira setengah jam,
lambat-laun Kun-tian Siangjin merasakan tenaga lawan
semakin bertambah, tekanan semakin kuat, ia sadar kalau
terus beradu tenaga tentu tidak menguntungkan baginya.
Oleh sebab itulah ia harus mencari jalan lain, Kun-tian
Siangjin memang lebih banyak berpengalaman dalam
pertarungan besar, pikirannya pun lebih cerdik, ia mengerti
tidak mungkin mendadak menarik tangan dan segera ganti
serangan, maka ia mendapat satu akal, secara mendadak ia
meludah, air liur yang kental ini tiba-tiba diarahkan ke mata
Tok-liong Cuncia secepat kilat.
Tipu licik ini sama sekali di luar dugaan Tok-liong Cuncia,
maka tanpa terasa ia berkelit sambil menunduk.
Dengan sendirinya kesempatan ini digunakan Kun-tian
Siangjin dengan baik, mendadak kedua telapak tangannya
mendorong ke depan, segera terdengarlah suara "plak" yang
keras, pundak Tok-liong Cuncia digebuk sekali.
Tidak kepalang gusar Tok-liong Cuncia atas kelicikan orang,
tenaga pukulan sendiri menjadi mengenai tempat kosong
namun ia sempat membaliki sebelah tangannya terus
menggenjot perut Kun-tian Siangjin.
Maka terdengarlah jeritan kedua orang berbareng, masingmasing
melompat mundur setombak lebih, di antara suara
teriakan dan jeritan itu, berbareng tertampak rebahnya
sebatang pohon besar hingga kawanan bayangkara yang
berdiri di sekitar pohon itu lari serabutan menyelamatkan diri.
Kiranya robohnya pohon itu disebabkan Kun-tian Siangjin
menghindarkan diri secara licik dari pukulan Tok-liong Cuncia,
maka tenaga pukulan yang sudah telanjur dihantamkan itu
telah mematahkan pohon besar di depannya.
Begitulah maka kedua orang tadi telah merasakan sekali
hantaman masing-masing, tetapi keduanya sudah terlatih
hingga boleh dikata otot kawat tulang besi, meski terasa rada
kesakitan namun tidak mengganggu bagian dalam tubuh
mereka. Tok-liong Cuncia menjadi murka, dengan sekali melompat
maju, segera ia hendak memegang kepala lawan.
Namun Kun-tian Siangjin sekarang sudah kenal lihainya
sang lawan, ia tak mau adu kekuatan lagi, ia mengegos pergi,
habis itu mendadak ia lari berputar mengitari Tok-liong
Cuncia. Hanya dalam sekejap saja, seluruh kalangan
pertempuran hanya tertampak bayangan Kun-tian Siangjin
belaka. Tok-liong Cuncia belum pernah melihat siasat pertempuran
semacam musunnya ini, karena itu ia menjadi bingung hingga
akhirnya pandangannya menjadi kabur dan kepala pusing
karena orang terus berputar.
Dengan ilmu semacam ini sebenarnya kalau ketemu orang
yang memiliki Ginkang yang tinggi seperti Lu Si-nio, tentu
Kun-tian Siangjin akan mati-kutu, tetapi justru musuhnya kini
adalah Tok-liong Cuncia yang tidak memiliki kepandaian
khusus dalam hal Ginkang, ditambah lagi ia telah lama tinggal
terasing di Coa-to, pengalaman dalam pertarungan besar
kurang banyak, maka terpaksa ia hanya mengandalkan
keuletannya untuk bertahan.
Karena inilah ia lantas masuk perangkap Kun-tian Siangjin,
akhirnya Tok-liong Cuncia kena dipancing ikut berputar
beberapa kali hingga ia merasa kepala pusing dan mata
berkunang-kunang, ia kena digablok dua kali lagi oleh telapak
tangan Kun-tian Siangjin, maski gablokan ini tidak sampai
melukainya, namun tidak urung ia merasa kesakitan hingga ia
berjingkrak dan berteriak.
Melihat musuh digebuk sampai berteriak kesakitan, Emopu
dan lain-lain tertawa sambil bersorak-sorai untuk menambah
semangat kawannya. Sebaliknya Lu Si-nio mengerut dahi
melihat Tok-liong Cuncia kena digebuk mentah-mentah oleh
musuh. "Dengan tenang patahkan gerakan lawan," ia berseru
sesudah menyaksikan lagi.
Waktu itu sebenarnya Tok-liong Cuncia sedang pusing
kepala karena gebukan Kun-tian Siangjin tadi, ketika tiba-tiba
mendengar seruan Lu Si-nio, ia menjadi sadar. "Ya, memang
betul, kenapa aku begitu goblok terus berputar mengikuti
kemauannya?" demikian ia membatin.
Ia lantas mengubah cara bertempur, ia menjaga diri rapat
dan tidak bergerak pula, ia tunggu asal Kun-tian Siangjin
berani mendekat, kontan ia persen orang dengan sekali
genjotan tenaga dalam yang kuat.
Ilmu silat Tok-liong Cuncia memang sudah berada di
puncak yang tiada taranya, betapapun cara Kun-tian Siangjin
memutar ke sana sini, namun Tok-liong Cuncia sanggup
mengincar setiap gerakan musuh, tiap ada kesempatan ia
lantas mengirim serangan.
Tenaga dalam Kun-tian Siangjin memang tidak bisa
memadai Tok-liong Cuncia, kini setelah ilmu pukulan 'Mi-congciohoat' tidak membawa hasil, ia sendiri kerepotan dan
payah, sebaliknya makin lama pukulan Tok-liong Cuncia
semakin cepat, tiap pukulannya membawa daya tekanan yang
sangat kuat. Kun-tian Siangjin sendiri sudah tak mampu
merangsek maju, kini berbalik terdesak tenaga pukulan orang,
lambat-laun napasnya menjadi sesak, diam-diam ia mengeluh,
ia mengerti kalau keadaan demikian berlangsung terus, maka
musuh belum kecundang, dirinya sudah pasti akan kalah lebih
dulu. Orang kalau kepepet, dengan sendirinya memeras otak,
maka begitu Kun-tian Siangjin berkerut kening, kembali ia
mendapat akal pula, segera ilmu pukulannya berubah lagi, kini
dengan tangan kiri ia memakai Kim-na-jiu-hoat, sedang
tangan kanan tetap ilmu memukul jalan darah, tubuhnya
masih terus berputar mengincar cepat, tetapi memutarnya ini
ia menanti kesempatan luang.
Kun-tian Siangjin adalah jago nomor satu di antara Lamma
agama Merah di Tibet, ia memang memiliki beberapa ilmu
kepandaian, meski Lwekang dan Gwakang Tok-liong Cuncia
sudah di puncak kesempurnaan, tetapi untuk memakai tipu
licik dan berpikir secara cepat buat mengalahkan musuh,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hal ini ia tidak bisa memadai Kun-tian Siangjin.
Teng Hiau-lan mengikuti pertarungan sengit ini dan
berkuatir juga. Ia telah mempersoalkan kekuatan kedua belah
pihak dengan Lu Si-nio. "Kepandaian Tok-liong Cuncia sebenarnya bisa
mengalahkan padri ini, tetapi kini ia berbalik kena dirangsek,
sungguh membikin orang merasa bingung," demikian ujarnya.
"Tetapi padri siluman itu juga lihai sekali dengan ilmu
menepuk jalan darah," tiba-tiba Pang Lin menimbrung. "Sudah
bagus kalau Tok-liong Cuncia bisa menandinginya sama kuat,
bila diingat sama sekali ia tidak mengetahui cara bagaimana
harus melayani kepandaian lawan."
Namun Teng Hiau-lan agaknya tidak sependapat, ia
menggeleng kepala. "Tidakkah kau lihat tenaga pukulannya sudah mulai
lemah?" katanya kemudian. "Kalau lebih lama lagi, mungkin ia
bisa celaka!" "Itupun belum tentu," Lu Si-nio ikut bicara. "Soalnya karena
Tok-liong Cuncia harus membagi perhatian untuk melayani
musuh hingga tenaga pukulannya menjadi lemah; tetapi padri
siluman itupun harus mengeluarkan tiga macam kepandaian,
dia punya Mi-cong-cio-hoat juga tidak secepat tadi. Kedua
belah pihak sudah berkurang kekuatannya, belum tentu
Cuncia bisa kalah." Walau suara percakapan Lu- Si-nio tidak keras, tetapi Tokliong
Cuncia dapat mendengar cukup jelas. Segera ia ubah lagi
ilmu pukulannya, ia melangkah menurut perhitungan Pat-kwa
dan mendadak membuka serangan total.
Kun-tian Siangjin sebenarnya telah menggunakan tiga
macam kepandaiannya, yakni 'Kim-na-jiu', 'Bok-hiat-hoat'
ditambah dengan 'Mi-cong-cio-hoat' yang berlari pergi-datang
secara cepat, dengan tiga macam ilmu kepandaiannya
sekaligus ia menggempur Tok-liong Cuncia.
Akan tetapi keuletan dan Lwekang Tok-liong Cuncia
memang lebih tinggi, 'Bok-hiat-hoat' atau ilmu menepuk jalan
darah hanya bisa sekedar buat mengancam musuh saja, tetapi
tidak sanggup menghantam musuhnya hingga binasa, sedang
'Kim-na-jiu' melulu buat melayani Tok-liong Cuncia punya ilmu
pukulan 'Hui-liong-cio-hoat', maka juga tak bisa menentukan
kemenangannya, kini 'Mi-cong-cio-hoat' kena dipecahkan pula
oleh Tok-liong Cuncia, keruan ia berbalik mulai kewalahan.
Tok-liong Cuncia kini sudah tidak perlu menjaga rapat
dirinya lagi, pula tidak menyerang serabutan, tapi ia
melangkah setindak menurut aturan Pat-kwa, gerak tangan
dan pikirannya sama sekali tidak bingung lagi.
Suatu kali telapak tangannya memukul ke samping hingga
Kun-tian Siangjin sempoyongan karena pukulan itu, lekas KunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tian setengah memutar, berbareng tangannya membalik terus
menepuk jalan darah Tok-liong Cuncia di 'Ki-bun-hiat'.
Lekas Tok-liong Cuncia tukar tempat lagi dengan sekali
lompatan, habis itu dengan merangkap kedua tangan, dari
kanan dan kiri, kontan ia memukul pula sambil menggertak,
"Kena!" Tipu serangan ini adalah tipu paling lihai dan mematikan
dari Tok-liong Cuncia yang disebut 'Siang-liong-jip-hay' atau
sepasang naga masuk ke laut.
Maka tanpa ampun lagi, di antara menyambarnya angin
pukulan dan berkelebatnya tangan, terdengarlah suara jeritan
Kun-tian Siangjin. Teng Hiau-lan sangat girang karena pihaknya bakal
menang, maka ia lantas hendak bersorak memuji. Di luar
dugaan, pada detik itu juga menyusul terdengar suara "plak"
yang keras, lalu kelihatan Tok-liong Cuncia memegang perut
sambil berjongkok dan sempoyongan hendak roboh.
"Celaka!" seru Lu Si-nio demi nampak gelagat jelek.
"Ular, ular! ada ular!" demikian Pang Lin berteriak kaget.
Mendadak terdengar jeritan Kun-tian Siangjin lagi dan
secepat kilat Tok-liong Cuncia menubruk maju, ia mengirim
sekali pukulan lagi hingga lawan dibikin jatuh tersungkur.
Kiranya tadi waktu diserang, Kun-tian Siangjin insaf dirinya
tidak bisa menghindarkan genjotan kedua telapak tangan
orang, namun ia tidak mau dihantam mentah-mentah,
akhirnya ia menjadi nekat, biar dirinya dipukul asal hanya
terluka dan tidak mati, maka ia memutar tubuh dan
menyambut pukulan Tok-liong Cuncia dengan pundak
belakangnya, sebaliknya ia pun mengayun tangan dan dengan
tepat mengenai 'Tang-bun-hiat' di dada Tong-liong Cuncia.
'Tang-bun-hiat' di dada juga merupakan salah satu urat
nadi yang mematikan di tubuh orang, maka Kun-tian Siangjin
menaksir lawannya kalau tidak mati, sedikitnya akan terluka
parah juga. Di luar perhitungannya di baju Tok-liong Cuncia ternyata
menggembol satu bumbung besi, di dalam bumbung ini
terpelihara dua ular berbisa yang sangat jahat, yakni ular yang
Tok-liong Cuncia gunakan untuk mengobati penderita kusta.
Ketika Kun-tian Siangjin dengan tepai menghantam dada
orang, bumbung besi itupun dihantam pecah hingga seketika
kedua ular tadi mencelat keluar dan secara kebetulan mampir
di muka Kun-tian Siangjin terus memagut ujung alisnya,
seketika Kun-tian Siangjin meremas dengan tangannya hingga
kedua ular berbisa itu mati semua, namun sesudah ia kena
digenjot dan terluka dalam oleh pukulan Tok-liong Cuncia, kini
dipagut ular berbisa lagi, dalam keadaan luka bertambah luka
ini, sekalipun tubuh Kun-tian Siangjin tergembleng dari baja
juga susah menahannya, maka terasa olehnya seketika mata
berkunang-kunang hingga tak bisa membedakan jurusan lagi.
Sebaliknya Tok-liong Cuncia meski kena dihantam dadanya,
tetapi lebih dulu ia sempat mengumpul tenaga untuk
melindungi diri, ditambah pula dialing-alingi bumbung besi di
depan dadanya, maka ia tidak sampai terluka parah.
Nampak Kun-tian Siangjin kena dipagut ularnya, sekuat
tenaga ia melompat maju terus menambahi pula dengan sekali
pukulan, maka tidak ampun lagi Kun-tian Siangjin kena
dibinasakan seketika dengan batok kepala remuk.
Begitu Tok-liong Cuncia mengetahui kedua ularnya mati, ia
jadi semakin kalap, mendadak ia cabut sebatang pohon terus
menyabet, ia amuk Han Tiong-san dan kawanan bayangkara
habis-habisan. Sebaliknya begitu nampak Kun-tian Siangjin kena
dibinasakan orang, bukan main takutnya Han Tiong-san dan
kawan-kawan, dengan suara jeritan lekas mereka lari
tunggang-langgang menyelamatkan diri. Yang kasihan ialah
kawanan bayangkara yang berkepandaian rendah, karena tak
keburu lari, mereka kena diserampang oleh batang pohon
Tok-liong Cuncia hingga bergelimpangan terjerumus masuk ke
jurang, jerit tangis mereka sampai menggetarkan lembah
pegunungan. "Boleh ampuni mereka, Cuncia!" Lu Si-nio mencegah.
Selama hidup Tok-liong Cuncia paling hormat pada Lu Sinio,
maka segera ia berhentikan 'sapu jagatnya', ia buang
batang pohon itu dan kemudian memberi hormat pada Si-nio.
Dalam terharunya bisa bertemu lagi dengan orang-orang
yang paling dia hormati, Tok-liong Cuncia mengucurkan air
mata. "Teringat dahulu aku seorang diri terasing di Coa-to dan
membenci semua manusia, kalau bukan kau dan Kam-tayhiap
yang menyadarkan aku, entah akan berapa banyak lagi dosa
yang aku perbuat hingga sekarang," demikian katanya
kemudian. "Yang menghidupkan aku, ayah-bundaku, yang
memahami diriku, sahabatkulah yang paling baik. Terhadap
budi kalian entah cara bagaimana aku membalasnya."
"Tadi kau sudah membinasakan padri siluman itu, inipun
kami tidak habis berterima kasih padamu," dengan tertawa
Pang Ing ikut bicara. Mendengar suara anak dara ini, baru kini Tok-liong Cuncia
dapati kakak-beradik kembar ini berdiri sejajar, keruan Tokliong
Cuncia terheran-heran dan menjadi bingung karena tak
bisa membedakan yang mana Pang Ing dan yang mana lagi
Pang Lin. "Dia adalah adikku!" dengan tertawa Pang Ing
menerangkan. ' "Cuncia, kedua ularmu begitu lihai, kenapa
tidak sejak tadi kau lepaskan mereka, dengan begitu
bukankah banyak menghemat tenagamu?" saking herannya
Pang Lin ikut buka suara.
Air muka Tok-liong Cuncia berubah ketika mendengar
orang menyebut binatang piaraannya itu. Tiba-tiba ia
menghela napas. "Sesudah aku mendapatkan petunjuk Lu-lihiap, aku sudah
bersumpah tidak menggunakan ular yang aku piara untuk
membikin celaka orang, sebaliknya aku berjanji menggunakan
binatang ini untuk melakukan amal pada manusia, siapa tahu
padri keparat itu telah menghantam pecah bumbung besinya
hingga mereka mengamuk, dia yang cari mampus sendiri,"
katanya pula. "Mampusnya padri keparat itu tidak perlu dibuat
gegetun, tetapi sayang kedua pembantuku yang paling baik ini
ternyata harus mati juga, sungguh sayang!"
"Bagaimana, ular itu bisa merupakan pembantumu yang
paling baik?" demikian Pang Lin bertanya lagi.
"Ya, semenjak aku mendapatkan pengajaran Lu-lihiap,
selama setahun ini tidak sedikit penderita kusta yang telah
kutolong," sambung Tok-liong Cuncia. "Semula aku pikir akan
membawa para penderita kusta itu kembali ke Coa-to,
belakangan aku pikir pula cara ini terlalu membuang tempo
dan tenaga, oleh karena itu aku selalu membawa kedua
pembantuku ini, tiap aku mengobati si sakit, aku lantas sedot
darah mereka untuk dipakai, habis itu aku lantas lolohi mereka
dengan obat-obatan hingga dalam beberapa hari saja mereka
sudah bisa pulih kembali."
Mendengar cerita orang, dalam hati Pang Ing tanpa terasa
timbul perasaan terharu. Teringat olehnya dahulu waktu
kesasar di Coa-to, di pulau ular itu Lu Si-nio telah
menggunakan 'Chian-lian-ci-chau', rumput mujizat yang
berumur ribuan tahun untuk menolong jiwa Tok-liong Cuncia,
padahal rumput mujizat itu sedianya hendak digunakan untuk
menolong jiwa Teng Hiau-lan waktu ia mengetahui maksud Lu
Si-nio, dalam hati pernah juga merasa kurang senang. Tetapi
tampaknya kini perbuatan Lu Si-nio dahulu itu sangat tepat,
dengan menolong seorang Tok-liong Cuncia, ini berarti telah
menolong penderita kusta yang tak terhitung banyaknya.
Sejak inilah maka terhadap arti dan nilai 'Hiap-gi' (suka
menolong sesama) gadis ini jadi bertambah banyak
pengertiannya. "Sungguhpun penderita kusta di jagat ini tidak sedikit,
tetapi juga tidak terlalu banyak," Tok-liong Cuncia berkata
lagi. "Kira-kira tiap kabupaten tidak lebih delapan atau sepuluh
orang saja. Dengan membawa kedua pembantuku tadi,
sebenarnya sudah cukup untuk menunaikan tugasku, cuma
sayang kini mereka harus mati penasaran gara-gara padri
keparat tadi." "Apa ular berbisa biasa tidak bisa dipakai" Kecuali darah
ular, masih harus menggunakan.bahan obat apalagi dan cara
bagaimana makannya?" akhirnya Li Ti ikut bertanya karena
tertarik oleh ilmu pengobatan kusta ini.
"Ular biasa juga dapat digunakan, tetapi hasilnya tidak
secepat kedua ularku yang berbisa jahat itu, pula aku tidak
telaten mencari ular berbisa," sahut Tok-liong Cuncia.
Habis itu ia lantas menjelaskan pula bahan-bahan obat lain
yang dipakai dan caranya makan, satu demi satu oleh Li Ti
diingat baik-baik dalam hati.
"Pembantuku sudah mati, terpaksa aku harus kembali dulu
ke Coa-to, aku akan membawa pembantu dan bahan obat
yang lebih banyak lagi," kata Tok-liong Cuncia pula.
"Perbuatan Cuncia yang luhur ini betul-betul tidak kecil
manfaatnya bagi manusia," ujar Si-nio.
"Semua itu berkat petunjukmu," sahut Tok-liong Cuncia.
Dan waktu teringat olehnya masih harus mengantar kedua
penderita yang ketinggalan dalam gua, segera ia minta diri
pada Lu Si-nio, "Aku tidak pandai bicara, aku hanya bisa
membalas budi kalian dengan menyembuhkan penderita kusta
sebanyak mungkin." "Bisa begitu, tentu paling baik," sahut Si-nio mengangguk.
Begitulah semua orang terharu ketika mereka menyaksikan
Tok-liong Cuncia menggendong dua pasiennya turun gunung.
Kemudian Kam Hong-ti bertanya pada Lu Si-nio kenapa
sampai dikepung oleh musuh.
"Justru ada sesuatu urusan perlu mohon Chit-ko mengambil
keputusan untuk aku," ujar Si-nio.
"Pat-moay sendiri sangat pintar, entah urusan apakah yang
membikin Pat-moay merasa ragu-ragu untuk mengambil
keputusan?" Kam Hong-ti bertanya lagi.
Maka berceritalah Lu Si-nio pengalamannya beberapa hari
ini. "Aku hanya tak tahu pasti apakah buah kepala Cay-khoan
itu tulen atau palsu" Menurut pendapatmu, apakah perlu
segera aku menilik kembali ke Sian-he-nia?" tanyanya lebih
lanjut. Dalam persoalan yang bersangkutan dengan kekasihnya ini,
meski Lu Si-nio dikenal sebagai gadis yang paling tenang dan
bisa berpikir panjang, tidak urung ia bingung oleh urusan ini.
"Jika Pat-moay sendiri tak bisa mengambil kepastian,
apalagi diriku ini?" sahut Hong-ti sesudah berpikir sejenak.
"Selama beberapa hari ini kita hanya ribut hendak menolong
jiwa Hiau-lan saja. maka tidak menduga bahwa di kotaraja
bisa terjadi peristiwa sebesar ini. Tetapi urusan ini sudah
menggemparkan, tidakkah lebih baik kita kembali di Se-san
baru kita selidiki lagi. Kini meski kau pulang ke Sian-he-nia
juga tak berguna." Si-nio pikir memang betul juga kata Suhengnya ini, meski ia
pulang ke Sian-he-nia, tetapi kalau Cay-khoan memang betul
sudah tewas, lantas apa manfaatnya" Bukankah malah
menambah kedukaan belaka" Dan kalau masih selamat,
seumpama terlambat beberapa hari pulangnya, tidak akan
menjadi soal juga, karena itu ia lantas terima baik aj'akan
Suhengnya. "Setelah pertempuran ini, Pat-tat-nia tentu di bawah
pengawasan pemerintah, mungkin kita bisa dicurigai
berkumpul di sini, ibu dan engkongmu yang masih tinggal di
atas bukit sana, lebih baik diboyong sekalian ke Se-san,"
demikian kata Kam Hong-ti pada si kembar Pang Ing dan Pang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lin. Teng Hiau-lan sendiri sudah sangat kangen pada Su-so
atau ipar seperguruannya, yakni ibu si kembar, Khong Lian-he,
maka ia minta berangkat bersama kakak-beradik ini.
"Ya, kita masih bisa mampir ke Lamkau untuk mengambil
buku catatan tinggalan Boat-wan Lojin," kata Pang Ing pula.
"Kini sesudah kita ketahui Lin-moay adalah ahli waris tunggal
Pho Jing-cu, maka kitab itu tiada yang berhak lagi kecuali dia."
"Nah, engkoh bodoh, sekarang kau tak perlu merasa tak
tenteram karena membaca kitab tinggalan Pho Jing-cu, Phosuco
itu?" kata Pang Lin sambil peleroki Li Ti. "Biarlah sekalian
buku catatan Boat-wan Lojin itu kuberikan padamu, tetapi
dengan apa kau akan balas berterima kasih padaku?"
"Haha, kalau begitu kitab itu akan bertambah lagi dengan
catatan resep menyembuhkan penyakit kusta," dengan
tertawa Li Ti menyahut. "Aku pasti akan melakukan seperti
Tok-liong Cuncia, yakni menyembuhkan penderita kusta yang
lebih banyak sebagai tanda terima kasihku padamu."
Tetapi sehabis ucapannya ini, dia menjadi kaget karena
mendadak nampak perubahan air muka Kam Hong-ti.
Si-nio juga mendengarkan dengan penuh perhatian,
kemudian mendadak ia melompat ke tempat yang tinggi untuk
mengintai. Semua orang ikut terkejut.
"Di tempat jauh ada pasukan besar, apakah mungkin
keparat Yong Ceng telah mengerahkan tentaranya?" demikian
Kam Hong-ti ragu-ragu. Mereka naik ke atas bukit dan memandang jauh ke sana,
mereka lihat jalan besar di bawah gunung, pasukan berkuda
terbagi menjadi dua baris, begitu panjang pasukan tentara ini
hingga tak kelihatan buntatnya. Panji tentara berkibar,
tampaknya sangat teratur.
"Ini adalah pasukan besar, agaknya bukan ditujukan pada
kita," ujar Kam Hong-ti.
"Mari kita mengambil jalan kecil saja supaya tidak kepergok
pasukan besar ini," ajak Si-nio. Lalu ia memberi pesan pula
pada Pang Ing supaya hati-hati.
"Tampaknya pasukan besar ini berjumlah ratusan ribu
banyaknya, dimana mereka lewat, pembesar setempat tentu
akan dibikin kaget dan repot," ujar Hong-ti lagi. "Tetapi
dengan demikian, pembesar yang bersangkutan pasti akan
pergi menyambut pasukan tentara ini, dengan mengambil
jalan kecil di pegunungan, kalian tentu tidak bakal
diperhatikan orang."
Begitulah sesudah Si-nio bersama Hong-ti berpisah dengan
Teng Hiau-lan dan si kembar, mereka lantas buru-buru
kembali ke Se-san. Waktu mereka sampai di kelenteng
kediaman Ling-sian, tertampak Kau Sam-pian dan Hi Kak
sedang menantikan mereka dengan tegang dan kuatir.
"Apakah kalian kepergok pasukan besar Lian Keng-hiau?"
demikian Kau Sam-pian segera bertanya begitu berhadapan
dengan Kam Hong-ti. "Dan dimanakah si kembar Pang Ing dan Pang Lin" Apakah
mereka tertawan oleh Lian Keng-hiau?" Hi Kak bertanya juga
dengan cepat. Kiranya Hi Kak sangat sayang pada Pang Ing, maka ia
menjadi kuatir karena tidak nampak Pang Ing ikut kembali.
"Tidak, mereka hanya pergi menyambut ibunda mereka,"
Si-nio menerangkan Di lain pihak demi mengetahui pasukan itu adalah tentara
Lian Keng-hiau, Hong-ti menjadi heran.
"Kenapa bisa dia" Untuk apakah dia kembali ke sini dengan
membawa tentara begitu besar?" demikian katanya tak
mengerti. Hanya Kau Sam-pian yang merupakan bayangkara tua dari
kaisar yang dulu, maka ia bisa mendapatkan berita yang dapat
dipercaya, dialah yang lantas menjelaskan.
"Lian Keng-hiau si anak keparat ini betul-betul bintangnya
sedang terang, hanya setahun saja ternyata kerusuhan di
Jinghai telah dia amankan. Karena jasanya itu, Hongte (kaisar)
telah menganugerahi dia gelar Tt-teng-kong' (kira-kira
setingkat menteri negara), kecuali keturunan lurus kerajaan,
keluarga luar tiada yang bisa mendapatkan gelar 'Ong' (raja
muda), maka buat bangsa Han, gelar Tt-teng-kong' ini boleh
dikata paling agung dan terhormat. Malah Hongte telah
menghadiahkan dia sebuah gedung pula dan menyuruh dia
kembali ke kotaraja untuk menerima pengangkatan itu.
Kabarnya semula Lian Keng-hiau tidak begitu suka kembali,
sebaliknya ia hanya minta diangkat menjadi Siam-kam
Congtok (gubernur Siamsay dan Kamsiok) saja. Sudah tentu
pangkat Siam-kam Congtok tidak bisa menandingi
keagungannya gelar Tt-teng-kong', tapi entah Lian Keng-hiau
ada muslihat apa sehingga menolak pengangkatan itu?"
"Justru itu adalah kepintaran Lian Keng-hiau!" ujar Kam
Hong-ti sambil mengangguk-angguk. "Jelas karena dia tidak
ingin melepaskan kekuasaan militernya!"
"Tetapi toh tidak pernah terdengar Hongsiang hendak
memapas kekuasaannya?" ujar Kau Sam-pian.
Mendengar ucapan ini, diam-diam Kam Hong-ti menertawai
bekas bayangkara ini, katanya dalam hati, "Percuma saja kau
jadi bayangkara selama berpuluh tahun, tetapi kekejian kaisar
saja masih belum paham, kini Lian Keng-hiau memegang
kekuasaan penuh, mana bisa secara mendadak kekuasaan
militernya dirampas begitu saja?"
Meski ia berpikir demikian, namun Kau Sam-pian adalah
orang tua, maka ia tak enak mendebatnya.
"Kabarnya Hongsiang malah meluluskan permintaannya
dan diangkat merangkap menjadi Siam-kam Congtok," tutur
Kau Sam-pian lebih lanjut, "pula ayah Keng-hiau, Lian Toanling
diberi gelar Tt-teng-kong' juga di samping tambahan gelar
'Thay-hu'. Malta Lian Keng-hiau diperintahkan pulang ke
kotaraja dahulu dengan pasukannya untuk kemudian baru
pergi memangku jabatan gubernur Siamsay dan Kamsiok.
Sedang si tua bangka Lian Toan-ling tanpa keluar keringat
diangkat jadi 'Thay-hu' (guru besar), sudah tentu tidak
kepalang senangnya, tanpa diperintah kedua kalinya ia lantas
boyongan dan tinggal di gedung baru. Oleh sebab itu juga,
terpaksa Lian Keng-hiau harus pulang dulu dengan pasukan
tentaranya." Lu Si-nio sendiri menguatirkan keselamatan Sim Cay-khoan,
maka terhadap Lian Keng-hiau ia sangat benci.
"Lian Keng-hiau si manusia berhati srigala ini terlalu banyak
melakukan kejahatan, akhirnya dia pasti akan mampus juga,
biarlah sementara kita tak perlu mengurus dia," demikian
katanya. "Kau-locianpwe apakah mengetahui soal dibunuhnya
Giam Hong-kui dan Sim Cay-khoan?"
"Itupun ada hubungannya dengan Lian Keng-hiau," sahut
Kau Sam-pian. Tentu saja Si-nio merasa heran.
"Aneh," katanya, "Lian Keng-hiau jauh memimpin
tentaranya di daerah perbatasan, bagaimana bisa ada
sangkut-paut dengan dia?"
"Tentunya Lihiap tidak mengetahui bahwa urusan ini
disebabkan oleh Can Ceng," kata Kau Sam-pian lagi.
"Can Ceng?" sahut Si-nio dengan heran. "Apakah orang tua
itupun ikut terbunuh?"
Memang selama hidup Can Ceng paling kagum pada Lu Liuliang,
meski pada masa hidupnya pujangga itu belum sempat
dia jumpai, tetapi sesudah Lu Liu-liang meninggal, ia masih
datang ke rumah keluarga Lu untuk mencari kitab peninggalan
pujangga itu dan anggap dirinya sebagai murid Lu Liu-liang
hingga namanya cukup terkenal juga, ia pun cukup kenal
dengan Giam Hong-kui serta Sim Cay-khoan.
"Can-losianseng sudah tertangkap, tetapi belum dibunuh,
sekarang ia justru ada di antara pasukan Lian Keng-hiau,"
demikian sahut Kau Sam-pian kemudian.
"He, kenapa bisa demikian?" tanya Si-nio pula dengan
heran. "Ya, sebab tiba-tiba Can-losianseng timbul suatu pikiran
yang lucu," Kau Sam-pian menerangkan, "dia telah mengirim
muridnya yang bernama Thio Hi pergi menghasut pembantu
utama Lian Keng-hiau, yakni Gak Ciong-ki, bahkan dia sengaja
membumbui, katanya Gak Ciong-ki betul-betul adalah
keturunan Gak Hui." Mendengar cerita ini, Kam Hong-ti tertawa terbahak.
"Oleh sebab itulah Can Ceng telah menulis surat pribadi
dan dibawa Thio Hi untuk diserahkan pada Gak Ciong-ki,
dikatakannya bahwa keluarga Gak adalah musuh lama bangsa
Kim, maka anak cucu keluarga Gak seharusnya jangan
menjadi panglima bangsa asing, dengan berani dan terangterangan
orang tua itu menasehati Gak Ciong-ki yang suka
berhubungan secara rahasia dengan dia untuk gerakan
pembangunan negara. Di luar dugaan, Gak Ciong-ki hanya
pura-pura menerima ajakannya, Can Ceng dipancing datang
menghadap padanya, tetapi ia ditawan dan didesak supaya
mengaku orang-orang sekomplotannya!"
"Lalu dia mengaku tidak?" tanya Si-nio.
"Kabar itupun aku dengar dari orang lain, tentang dia
mengaku atau tidak, aku tidak tahu," sahut Kau Sam-pian.
"Aku hanya tahu sesudah Gak Ciong-ki menangkap Can Ceng,
segera ia laporkan ke kotaraja dengan kilat, oleh sebab itu
lantas terjadilah gelombang hebat, semua pengikut ajaran Lulosianseng
telah ditangkap dimana saja berada, bahkan
sebelum Can Ceng digiring ke kotaraja, lebih dulu Giam Hongkui
dan Sim Cay-khoan yang dianggap sebagai orang penting
komplotannya telah dihukum mati lebih dulu di kotaraja."
Karena penuturan terakhir ini, hati Lu Si-nio jadi
terguncang. "Kalau begini, jadi Cay-khoan benar-benar telah tewas?"
tanyanya menegas. "Kenapa tidak benar, bukankah maklumat raja sudah
disebarkan dan kepala mereka pun digantung di atas pintu
benteng?" sahut Kau Sam-pian.
Karena jawaban ini, Si-nio jadi sedikit lega, sebab apa yang
diketahui Kau Sam-pian ternyata serupa saja dengan dirinya,
padahal kepala yang digantung itu betul-betul kepala Sim Caykhoan
atau bukan, hal ini masih belum diketahui dengan pasti.
"Maklumat raja itupun aku sudah melihatnya, tetapi di
dalamnya Can Ceng tidak disebut-sebut," katanya kemudian.
"Mungkin karena harus menunggu Lian Keng-hiau yang
menggusurnya ke kotaraja baru kemudian akan diambil
keputusan," kata Kau Sam-pian.
"Biar aku menyelidik ke pasukan Lian Keng-hiau," tiba-tiba
Kam Hong-ti menyela. "Chit-ko tidak perlu mengambil resiko ini," ujar Lu Si-nio.
"Tetapi apa kau tega melihat anak murid Engkongmu
dibunuh seluruhnya?" kata Kam Hong-ti.
"Can-losianseng sudah dikenal seluruh negeri, aku kira dia
tidak sampai bertekuk lutut dan mengaku sebagaimana
disiarkan itu," ujar Si-nio.
"Walaupun demikian, tidak boleh tidak kita harus berjagajaga,"
sahut Hong-ti, "justru aku tidak bisa mempercayai Can
Ceng, maka aku ingin pergi menyelidiki apakah betul dia telah
mengaku seluruhnya dan daftar nama itu apakah telah dfa
serahkan pada In Ceng" Dahulu waktu aku bertemu dengan
dia, memang betul dia berpendirian agar menggunakan tipu
menghasut panglima bangsa Han di dalam tentara Boan agar
memberontak. Orang yang berpendirian demikian inilah,
menurut aku sebagian besar tidak punya jiwa yang teguh."
Mendengar kata-kata "sang Suheng ini, sesaat Lu Si-nio
tergetar hatinya, ia pikir dirinya dibesarkan dalam keluarga
terpelajar, terhadap orang sekolah mungkin menilainya terlalu
tinggi, sebaliknya melupakan titik kelemahan mereka. Dalam
hal ini nyata Suhengnya ini lebih kuat pengertiannya daripada
dirinya. Akan tetapi ia masih tetap tidak percaya orang
semacam Can Ceng ini bisa bertekuk-lutut di bawah gertakan
musuh yang sewenang-wenang itu.
"Jika begitu, boleh juga Suheng pergi, melihatnya,"
demikian sahutnya kemudian. "Cuma saja disiplin pasukan
Lian Keng-hiau sangat keras dan penjagaan biasanya rapat,
cara bagaimana Suheng dapat masuk ke sana?"
"Tentu aku punya akal," ujar Kam Hong-ti dengan tertawa.
"Hanya saja aku perlu pembantu, biarlah malam ini kalau Teng
Hiau-lan sudah kembali boleh kita bicarakan lagi."
Habis berkata ia lantas pergi untuk mengatur keperluannya.
Si-nio mengerti sang Suheng mempunyai kenalan dimanamana,
sekaii dia bilang bisa, tentulah tak usah disangsikan
lagi. Pada malamnya, betul juga Teng Hiau-lan bersama si
kembar Pang Ing dan Pang Lin sudah kembali dengan Khong
Lian-he dan lain-lain. Sesudah Ling-sian mengatur tempat untuk mereka, Si-nio
menyuruh Teng Hiau-lan pergi berunding dengan Kam Hongti.
"Pasukan tentara yang kita lihat di Pat-tat-nia siang tadi
ternyata adalah pasukan Lian Keng-hiau," demikian kata Kam
Hong-ti. "Kini sudah dapat kita ketahui dengan jelas bahwa
pasukan tentara yang ikut kembali bersama Lian Keng-hiau ini
ternyata berjumlah dua ratusan ribu! Perjalanan pasukan yang
demikian besarnya biasanya agak lambat, setiap hari paling
banyak menempuh 60 li. Maka menurut perhitungan kita,
untuk sampai di kotaraja mereka masih perlu empat hari lagi.
Hiau-lan, beranikah kau ikut aku pergi menyelidik ke dalam
pasukan musuh?" "Kenapa tidak berani," sahut Hiau-lan pasti. "Aku sudah
pernah hidup di dalam pasukan In Te, terhadap keadaan
pasukan tentara cukup kenal juga."
"Justru itulah maka aku minta kau ikut pergi," kata Hong-ti
pula. "Sudah kuperhitungkan dengan baik, besok tentu
mereka akan sampai ke Pangsan, di sim pembesar setempat
tentu akan menyambut mereka dengan daharan, tentu
dengan memotong kerbau dan menyembelih kambing, maka
kita dapat menyamar sebagai pekerja, kalau bisa menyelusup
ke dalam pasukannya, pasti aku punya kesempatan baik."
Sudah tentu Teng Hiau-lan menurut saja, ia minta obat
menyamar pada Kam Hong-ti, mereka menyamar sebagai kuli
pocokan, besoknya mereka sudah menyelusup ke dalam
pasukan musuh, dan betul saja Kam Hong-ti mendapatkan
salah seorang pemimpin kecil suatu perkumpulan rahasia di
daerah Kanglam dahulu, namanya Tan Chit, kini Tan Chit
memegang jabatan sebagai kepala bagian dapur, di bawahnya


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak kurang belasan tukang masak lainnya. Dalam pasukan
sebesar itu memang terdapat ratusan kepala bagian dapur
untuk mengatur rangsum. Dan justru Tan Chit termasuk
tukang masak yang melayani prajurit pengawal Lian Kenghiau,
tempat tinggalnya kebetulan berada di markas Lian
Keng-hiau. Setelah Kam Hong-ti mengemukakan maksud tujuannya,
meski sangat berbahaya, tetapi karena permintaan Kam Hongti
yang dianggap sebagai pemimpin perkumpulan pergerakan
bawah tanah daerah selatan, maka Tan Chit mau melakukan
juga. Oleh karenanya ia lantas menyuruh Hong-ti dan Hiau-lan
menyamar sebagai tukang masak, lalu mereka diselundupkan
ke dalam markas. Cara Lian Keng-hiau mengatur tentaranya memang
berdisiplin sangat keras, meski Hong-ti berdua sudah berada
dalam markas, tetapi untuk menyelusup ke "kemah macan'
yang didiami Lian Keng-hiau ternyata tidak gampang.
Malam itu selewatnya tengah malam, keadaan perkemahan
pasukan tentara yang begitu besar dan luas sunyi-senyap
tanpa suara sedikitpun. "Sebenarnya Lian Keng-hiau terhitung jenderal yang jenius
dan jempolan, cuma sayang dia sudi diperalat oleh In Ceng,"
ujar Kam Hong-ti pada kawannya dengan menghela napas.
"Apakah kalian tahu siapakah orang yang jaga malam di
luar kemah Lian Keng-hiau?" tiba-tiba Tan Chit bertanya.
"Mungkinkah penjaga malam dan tukang rondanya terdiri
dari jagoan tinggi?" ujar Kam Hong-ti.
"Meski orangnya tidak lihai ilmu silatnya, tetapi dia adalah
seorang pembesar," ujar Tan Chit.
"Pembesar apakah dia?" tanya Hiau-lan.
"Dia bukan lain adalah Tetok Hu San," sahut Tan Chit.
"Sekali ini Lian Keng-Hiau pulang dengan membawa bini,
sepanjang jalan dia sengaja berlagak dan pamer
kekuasaannya, seakan agar dilihat bininya. Umpamanya saja
tukang ronda dan penjaga malamnya semula dipakai perwira
rendahan, belakangan dipakai perwira te-ngahan, tetapi
malam ini sesudah dekat dengan kotaraja, yang dinas jaga
ternyata pembesar tingkat Tetok (kira-kira setingkat kolonel)."
Cerita ini membikin Teng Hiau-lan melelet lidah.
"Pangkat Tetok setingkat dengan Sunbu (kepala daerah
tingkat propinsi), kaisar sendiri pun tidak pernah
menugaskannya berjaga malam, tetapi Lian Keng-hiau
ternyata berani menggunakan kekuasaan secara sewenangwenang,
apa dia tidak takut ditegur kaisar?" tanya Hiau-lan.
"Kini Lian-tayswe jasanya mengguncangkan seluruh negeri,
siapa yang berani mengadu biru pada raja?" sahut Tan Chit
dengan tertawa. "Mungkin kau tidak percaya bahwa Tetok
tukang ronda ini bahkan seorang Boan!"
"Sejak kapankah Lian Keng-hiau punya bini?" tanya Hiaulan
pula. "Pada waktu dia menggempur daerah Sehling," sahut Tan
Chit. "Sebab Lian Keng-hiau punya suatu kesukaan yang
buruk, tiap kali sampai di suatu tempat, bukan saja pembesar
negeri setempat harus keluar menyambut, bahkan sanak
keluarga pembesarnya, baik istri, saudara laki perempuan dan
anak gadisnya harus keluar menyambut semua. Justru di
daerah Sehling sana ada seorang raja Mongol bernama
Khangkuh Khisin, raja Mongol ini punya putri bernama Ciatkeke
yang secantik bunga, ketika raja Mongol ini membawa
putrinya menyambut, karena suka, Lian Keng-hiau lantas
menahan sang putri buat menemaninya. Dalam keadaan tak
berdaya, terpaksa raja Mongol itu sekalian menghadiahkan
putrinya itu buat jadi bini orang. Menurut peraturan kerajaan,
sebenarnya tiada seorang panglima perang yang
diperbolehkan membawa anak istri, tetapi dalam hal ini
ternyata Lian Keng-hiau tidak peduli. Malahan dua bulan yang
lalu di dalam pasukannya, dia telah mendapatkan seorang
anak." Meski orang mengobrol terus, tapi Kam Hong-ti tidak sabar
mendengarkan, setelah bicara sebentar, lantas bersama Teng
Hiau-lan mereka berangkat menyelidiki perkemahan Lian
Keng-hiau dengan menyamar sebagai peronda malam.
"Hendaklah Kam-tayhiap suka berhati-hati," pesan Tari
Chit. "Pasti tidak bakal merembet kalian," sahut Hong-ti dengan
tertawa. Kiranya perkemahan dimana Liari Keng-hiau tinggal
bersusun tiga lapis, tiap lapis dijaga dengan kuat, Kam Hong-ti
bersama Teng Hiau-lan mendekati perkemahan lapisan paling
luar itu dengan pura-pura meronda kian-kemari.
Menurut kebiasaan, disiplin tentara Lian Keng-hiau keras
sekali, orang-orang bawahannya jarang yang berani
sembarang bergerak, karena itu penjaga malam di luar
perkemahan pertama itu ketika mendadak nampak bertambah
dua orang baru, meski mereka sangat curiga dan heran, tetapi
mengingat daripada banyak urusan, lebih baik tidak ikut
campur, maka mereka tak berani bersuara, ditambah Teng
Hiau-lan sudah hapal peraturan kehidupan dalam tentara, ia
sengaja berbohong bahwa Tiongkun (staf) yang mengirim
mereka untuk memperkuat penjagaan karena sudah dekat
dengan kotaraja. Dengan alasan itu, betul juga para penjaga menjadi
mengkeret, sebab biasanya macam apakah staf Lian Kenghiau
tidak pernah mereka jumpai, apalagi mereka mengetahui
tabiat Lian Keng-hiau luar biasa aneh, sampai Tetok saja
disuruh dinas jaga malam, mungkin pula dua orang baru
inipun perwiranya, maka mereka tak berani bertanya.
Setelah berputar dua kali, pada suatu kesempatan, segera
Kam Hong-ti berpesan pada Hiau-lan.
"Kau pasang mata di sini, biar aku pergi melihat
perkemahan Lian Keng-hiau." Habis itu, sekali lompat ia
melayang ke atas layar perkemahan.
Meski ilmu entengi tubuh Kam Hong-ti tidak setinggi Lu Sinio,
tetapi tergolong kelas tinggi juga, dengan sekali melayang
itu, seperti daun saja entengnya, dengan perlahan ia berdiri di
atas kemah tanpa membikin layar perkemahan bergerak
sedikitpun. Dengan merangkak, tidak antara lama Kam Hongti
telah sampai di kemah yang ditinggali Lian Keng-hiau.
Di dalam kemah itu ternyata sepi, selagi Kam Hong-ti
berpikir cara untuk bisa menyelidiki Can Ceng, pernah dia pikir
hendak melompat turun ke bawah untuk menawan Lian Kenghiau,
tetapi bila teringat olehnya bahwa ilmu silat Lian Kenghiau
juga tidak lemah, kalau usahanya gagal, tentu tugasnya
menjadi runyam malah. Begitulah tengah ia berpikir, tiba-tiba terdengar di bawah
kemah ada suara bisik-bisik, lalu terdengar suara kaum wanita
yang halus lagi bertanya, "Jam berapa sekarang?" demikian
tanya suara itu. "Jam dua!" terang ini suara jawaban Lian Keng-hiau.
Dalam pada itu, di luar perkemahan kebetulan terdengar
suara tiupan "tut-tut".
"Malam ini siapakah yang meronda?" terdengar suara halus
tadi bertanya lagi. "Kekasihku, kalau aku terangkan nanti, tentu kau akan
terkejut," sahut Lian Keng-hiau. "Malam ini yang dinas jaga
malam adalah Hu San Tetok! Coba katakanlah, bahagia tidak,
untuk menjaga kau saja pakai perwira tinggi Tetok!"
Agaknya Ciat-keke ragu-ragu oleh keterangan sang suami.
"Aku yang memberi perintah, mana bisa dia tak menurut?"
sahut Keng-hiau dengan tertawa.
"Justru aku tak percaya, betul kau begitu berani?" '
"Baik, kau tak percaya, sekarang juga aku panggil dia
menghadap ke sini!" Lalu dalam kemah kelihatan lampu dinyalakan, lekas Kam
Hong-ti mengkeret di pojok layar kemah yang melingkar naik
untuk mengaling-alingi dirinya.
Selang tak lama, terdengar prajurit tadi membawa masuk
seorang, tiba-tiba putri Ciat tertawa ngikik.
Karena itu, segera terdengar Lian Keng-hiau membentak,
"Siapa kau?" Kam Hong-ti jadi terkejut, ia menduga orang yang dibawa
masuk ini pasti bukan Hu San Tetok.
Betul saja, lantas terdengar orang tadi menjawab dengan
suara gemetar, "Hamba adalah Lauw Camciang (pangkat
camciang kirakira setingkat letnan) di bawah Hu San Tetok!"
"Dan kemana Hu San pergi?" bentak Keng-hiau pula.
Melihat gelagat jelek, lekas orang itu berlutut sambil
menjura. "Karena Hu Tetok ada keperluan harus kembali ke
perkemahannya-, maka hamba untuk sementara disuruh
mewakilinya," lapornya.
Apa yang dikatakan ini sebenarnya tidak benar, yang betul
ialah Hu San menganggap dirinya berpangkat Tetok, kalau
harus ronda dan dinas jaga malam, jika dilihat bawahannya
tentu dia akan kehilangan pamor, oleh karenanya ia telah
perintahkan seorang Camciang mewakili dirinya, ia mengira
Lian Keng-hiau pasti tidak bakal menginspeksi sendiri.
Di luar perhitungan, justru malam ini Lian Keng-hiau
memeriksa penjaga malam, keruan ia menjadi murka demi
mendengar laporan perwira tadi.
"Hm, besar sekali nyali Hu San, berani dia membangkang
disiplin," demikian ia menjengek. "Hayo, keduanya, semua
diseret pergi dan penggal kepalanya!"
Baru saja perintah dikeluarkan, maka masuklah algojo yang
sudah bersiap dan menyeret pergi Camciang ini, selang tak
lama dua buah kepala manusia yang masih berlumuran darah
segar telah diantar masuk, yang satu terang adalah Camciang
tadi dan yang lain ternyata kepala Hu San.
"Keke, kau sudah lihat jelas tidak, ini Hu San Tetok atau
bukan?" demikian dengan tertawa kemudian Keng-hiau
berkata pada istrinya. Tetapi sang Keke lantas menutupi mukanya dengan kedua
tangan karena merasa ngeri. "Ai, menakutkan orang saja, aku
tidak mau melihat, lekas bawa pergi!"
Karena itu, Lian Keng-hiau lantas memberi tanda, kedua
kepala manusia itu segera dibawa pergi untuk digantung
sebagai peringatan. Melihat kekejaman Lian Keng-hiau, gusar sekali Kam Hongti.
Dalam pada itu di luar kemah ada yang melapor, "Liokciangkun mohon menghadap!"
"Suruh masuk!" sahut Keng-hiau.
Kiranya orang yang datang menghadap itu bernama Liok
Hou-sin, salah seorang panglima kepercayaan Lian Keng-hiau
sendiri, pangkatnya pun Tetok seperti Hu San.
"Dimanakah Hu Tetok?" demikian Liok Hou-sin bertanya
sesudah menjalankan penghormatannya.
"Sudah kubunuh!" sahut Keng-hiau dingin saja.
Keruan Liok Hou-sin sangat terkejut.
"Lapor Tayswe," tiba-tiba ia berlutut ke hadapan atasannya
ini, "dalam peperangan, yang harus kita andalkan adalah
semangat prajurit kita, jika semangat runtuh, tentu sangat
berbahaya, kini Tayswe telah membunuh Hu Tetok yang tak
berdosa dan Lauw Camciang, apakah ini tidak membikin
dingin hati para prajurit. Apalagi kalau diketahui Hongsiang,
rasanya akan kurang enak juga."
Dengan kata-katanya ini sebenarnya Liok Hou-sin
bermaksud baik mengingatkan, siapa tahu justru malah
membikin Lian Keng-hiau lebih murka.
"Aku telah mengamankan seluruh negeri bagi Hongsiang,
sekalipun Hongsiang sendiri juga akan mengalah padaku, kau
manusia macam apa, berani kau menghasut bawahan untuk
melawan aku" Mana algojo, gusur sekalian dan penggal
kepalanya!" Tidak kepalang terkejut Liok Hou-sin demi mendengar
kepu-tusan ini, ia berteriak minta ampun.
Dan agaknya memang dia belum ditakdirkan mati, ketika
Gak Ciong-ki mendengar Hu Tetok dibunuh, ia pun memburu
datang dan kebetulan memergoki Liok Hou-sin lagi digusur
keluar hendak dihukum mati, tetapi sesudah dia bertanya
sebab-musababnya, segera ia menahan algojo dan masuk ke
dalam kemah untuk memintakan ampun pada Lian Keng-hiau.
Kam Hong-ti sendiri mendekam di atas kemah, ia hanya
mendengar mereka berbicara bisik-bisik, apa yang dibicarakan
tak jelas. Selang tak lama, tiba-tiba terdengar Lian Keng-hiau
memberi perintah lagi. "Melihat muka Gak-ciangkun boleh ampuni kematiannya,
tetapi hukum mati bebas, hukum hidup tidak bisa diampuni,
perintarikan dirangket lima puluh kali dan hukum dia pula
menggantikan Hu San berjaga malam selama tiga malam!"
Begitu perintah diberikan, menyusul terdengarlah suara
"plak-plok" rangketan dilakukan, saking kesakitan hingga Liok
Hou-sin berteriak, tetapi kemudian ia masih harus
mengucapkan terima kasih atas pengampunan kematiannya.
Setelah terjadi ribut-ribut ini, sementara sudah dekat fajar.
"Apa Can Ceng masih tinggal di perkemahanmu?" tiba-tiba
Keng-hiau bertanya pada Gak Ciong-ki ketika mengantar
keluar. "Ya, masih, Tayswe," sahut Gak Ciong-ki.
"Ehm, sekali ini bagus sekali kerjamu, tentu Hongsiang
akan banyak ingat padamu," ujar Keng-hiau dengan tertawa.
Mendengar kata-kata yang lain daripada yang lain ini, tanpa
terasa Gak Ciong-ki mengkirik sendiri.
"Semua itu berkat bantuan Tayswe," lekas ia menyahut.
"Besok boleh kau antar dia ke tempatku ini," terdengar
Keng-hiau berpesan lagi. "Ya, Tayswe," sahut Ciong-ki.
Sesudah Gak Ciong-ki pergi, Keng-hiau masuk perkemahan
untuk meneruskan tidurnya. Kam Hong-ti melihat fajar sudah
hampir menyingsing, ia pun lekas meninggalkan tempat
berbahaya ini. Semalam ini, meski tiada sesuatu hasil yang diperoleh Kam
Hong-ti, tetapi ia telah mengetahui dimana beradanya Can
Ceng. Siang harinya karena penjagaan dalam pasukan tentara
sangat keras, maka tiada yang bisa diselidiki Hong-ti.
Setelah pasukan besar ini melanjutkan perjalanan lagi,
petangnya telah sampai di Lukaukhiau (suatu jembatan
terkenal dalam sejarah pecahnya perang Tiongkok-Jepang) di
luar kota Pakkhia (Peking), besok paginya tentu sudah bisa
masuk kotaraja. Sampai di sini pasukan besar itupun
berkemah lagi.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malamnya, masih tetap Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan
menyamar sebagai peronda, malam, diam-diam ia melayang
ke atas perkemahan Lian Keng-hiau pula.
Keadaan malam ini ternyata berlainan dengan malam
kemarin, malam ini hanya kedapatan Liok Hou-sin yang jaga
malam, di luar perkemahan seorang pun tidak terdapat. Hanya
di antara perkemahan luar yang bersambungan dengan
kemah tengah dimana Keng-hiau tinggal, masih terdapat
pengawal yang lagi meronda.
Dalam kemah kelihatan terang benderang, dengan
mendekam di atas kemah luar, Kam Hong-ti bisa melihat
bayangan Lian Keng-hiau yang lagi mondar-mandir dalam
kemahnya, dalam perkemahan rupanya hanya dia sendirian,
istrinya tidak kelihatan di dalam.
Tak lama seorang prajurit pengawal pribadi Keng-hiau
datang dengan membawa satu orang yang bukan lain dari Can
Ceng. "Perintahkan, siapa pun dilarang masuk kemari," terdengar
Keng-hiau memberi perintah.
Prajurit itu mengiakan sekali, lalu dengan cepat
mengundurkan diri. Setelah Keng-hiau mengambil tempat duduk di atas kursi
kebesarannya yang berlapis kulit macan, terdengar ia tertawa
dingin. "Hm, Can-lothauji, apakah kau sudah tahu Giam Hong-kui
dan Sim Cay-khoan telah dihukum penggal kepala dan sanak
keluarganya dihukum mati pula?"
Mendengar berita itu, rupanya Cap Ceng tercengang hingga
tak sanggup bersuara. Diam-diam Kam Hong-ti menggerutu, "Sungguh tak
berguna, jauh sekali kalau dibandingkan Sim Cay-khoan, kalau
Lu Liu-liang mengetahui di alam baka, pasti akan mencacimaki
dia yang berani mengaku sebagai muridnya!"
"Menurut peraturan, kau seharusnya dihukum mati berikut
semua sanak keluargamu!" gertaknya dengan tertawa dingin.
Dalam pada itu, dengan sinar mata yang tajam Lian Kenghiau
memandang Can Ceng. "Mengharap diampuni Tayswe," terdengar Can Ceng
berkata tergagap. "Itu semua tergantung kau sendiri!" kata Keng-hiau.
"Mohon Tayswe suka memberi petunjuk," sahut Can Ceng.
Tiba-tiba Lian Keng-hiau menarik muka. "Hongsiang ingin kau
berbuat jasa untuk menebus dosamu!" katanya kemudian.
"Bukankah telah kulakukan, aku sudah mengaku tentang
Giam Hong-kui dan Sim Cay-khoan?" sahut Can Ceng.
"Dua orang ini adalah ahli waris Lu Liu-liang yang terkenal
di seluruh negeri, apa perlu kau mengatakan lagi?"
"Tetapi tentang Sim Cay-khoan bersembunyi di bukit Sianhenia justru tiada orang lain yang mengetahui," Can Ceng
coba membela diri. Mendengar pengakuan ini, seketika Kam Hong-ti terkejut
bercampur gusar, dalam hati ia mencaci-maki orang, ia
terkejut karena dengan demikian kepala Sim Cay-khoan terang
bukan palsu lagi, ia pun gusar karena manusia she Can ini
ternyata percuma saja mempunyai nama baik, tak tahunya
ternyata berjiwa pengkhianat.
"Ya, itupun boleh terhitung jasamu, tetapi hanya sedikit
jasa ini masih belum cukup untuk menebus dosamu," ujar
Keng-hiau tertawa. "Hongsiang menghendaki kau mengaku
terus terang siapa lagi orang-orang lainnya."
"Penganut ajaran Lu Liu-liang terlalu banyak, aku pun tidak
seluruhnya mengetahui," sahut Can Ceng.
"Asal kau sebutkan pemimpin terpenting di masing-masing
tempat sudah cukup," kata Lian Keng-hiau.
"Antara lain seperti Ki Teng-hong di Hangciu, Sun Kek-yong
di Unciu, Ciu Keng-hin di Chingciu dan Ui Po-am di Yangsia,
semua punya peranan penting," akhirnya Can Ceng mengaku.
"Dan siapa lagi?" desak Keng-hiau.
Lalu Can Ceng menyebut beberapa nama lagi. Pengakuan
ini diingat baik-baik dalam hati Lian Keng-hiau, ia memiliki
otak cerdas luar biasa, tanpa dicatat ia pun bisa hapal di luar
kepala. Kemudian Lian Keng-hiau bergelak tertawa sehabis Can
Ceng mengaku terus terang.
"Bagus sekali, Can-lothauji, sekarang katakanlah, pangkat
apa yang kau inginkan?" tiba-tiba Keng-hiau bertanya lagi.
Karena pertanyaan ini, seketika muka Can Ceng kelihatan
pucat pasi. Berulang-ulang ia menjura.
"Mohon kemurahan Tayswe, sekali-kali jangan memaksa
aku menjadi pembesar negeri!" pintanya.
"Sebab apa?" tanya Keng-hiau heran.
"Ya, kalau aku menjabat sesuatu pangkat, dengan
sendirinya semua orang di seluruh negeri mengetahui aku
telah menjual kawan untuk kedudukan sendiri," tutur Can
Ceng. "Maka mohon Tayswe suka kasihani nama baik yang
sudah aku pupuk selama puluhan tahun ini, supaya jangan
sampai terhanyut begitu saja."
Mendengar jiwa orang yang rendah ini. kembali Kam Hongti
sangat gusar dan menggerutu pula.
"Baik, aku pasti menyampaikan maksud hatimu pada
Hongsiang," ujar Lian Keng-hiau. "Kau tak mau pangkat, itu
lebih baik!" Mendengar kata-kata ini, Can Ceng coba melirik wajah
Keng-hiau. Tetapi tiba-tiba ia dengar Keng-hiau tertawa
terbahak-bahak. "Memang Can-losianseng bukan orang biasa, silakan terima
penghormatanku ini!" katanya mendadak sambil melakukan
penghormatan. Keruan berbalik Can Ceng terkejut.
"Mana aku berani terima penghormatan Tayswe!" demikian
ia merendah dan hendak menyingkir ke samping.
Akan tetapi Lian Keng-hiau sudah keburu mendudukkan dia
di atas kursi secara paksa terus menjura tiga kali.
"Can-losianseng," kata Keng-hiau pula, "penghormatanku
ini kulakukan untuk anakku sebagai hormat pengangkatan
guru padamu. Hongsiang pasti akan mengampuni kau, maka
kau boleh melewatkan hari tua dengan tenteram, cuma aku
minta kau pun membawa pergi sekalian putraku."
Karena keterangan ini, rupanya Can Ceng hendak buka
suara lagi, tetapi Lian Keng-hiau telah menyela dahulu.
"Sebagai laki-laki sejati, sekali omong tidak bakal ingkar
janji, aku bisa memutuskan atas nama Hongsiang, besok
segera aku kirim orang membawa putraku ikut pergi bersama
kau," demikian katanya lagi. "Tetapi ingat, sekali-kali tidak
boleh kau katakan pada orang lain anak ini adalah putraku,
jika sebaliknya, awas pasti ada orang akan mengambil
kapalamu!" Atas gertakan ini Can Ceng jadi ketakutan hingga mandi
keringat dingin. "Atas kemuruhan Tayswe, mana berani aku membocorkan,"
sahutnya kemudian. Kiranya Keng-hiau bisa berpikir panjang dan berpandangan
jauh, ia cukup kenal betapa keji Kaisar Yong Ceng, meski ia
tahu dalam keadaan sekarang dimana kekuasaan militer
tergenggam seluruhnya dalam tangannya, tidak mungkin
maharajanya berani coba mencelakai dirinya, tetapi tidak
boleh tidak ia harus berjaga-jaga segala kemungkinan. Karena
itu, sejak anak laki-lakinya lahir, ia berdaya-upaya dengan
segala macam jalan mengatur hari kemudian bagi putranya
itu, akan tetapi selama itu juga ia masih belum mendapatkan
pilihan orang yang tepat untuk dipasrahi anak-bininya.
Sampai malam ini, melihat kelakuan Can Ceng, diam-diam
ia menjadi suka. Ia pikir, "Jika anakku diserahkan padanya,
inilah pilihan yang paling tepat. Tentu Hongsiang tidak akan
curiga anakku diserahkan padanya, sebaliknya para tokoh
kalangan Kangouw yang bermusuhan dengan aku tentu
menyangka Can Ceng adalah segolongan dengan mereka,
sudah tentu lebih-lebih tak menyangka aku bisa menitipkan
putraku padanya. Dan lagi orang she Can ini takut mati, kalau
aku mengirim orang kepercayaanku menguntit di
belakangnya, pasti ia tak berani berbuat sesuatu yang tidak
menguntungkan putraku. Sungguh ini adalah pilihan orang
yang tepat." Di lain pihak Kam Hong-ti lagi berpikir juga, tetapi ia tidak
bisa menyelami maksud tujuan Lian Keng-hiau, maka ia
merasa sangat heran. Ketika ia heran, tiba-tiba dilihatnya bayangan orang
berkelebat di perkemahan lapisan luar, waktu Hong-ti tegasi,
ia kenali orang yang datang adalah Tang Ki-joan.
Kiranya Tang Ki-joan mendapat perintah mengikuti pasukan
Lian Keng-hiau ke barat, ia pun mendapat perintah : ahasia
mengawasi gerak-gerik Lian Keng-hiau. Maka sewaktu
mendengar malam ini Keng-hiau memeriksa Can Ceng di
dalam kemahnya, ia menjadi curiga, tetapi ia tak berani
seperti Kam Hong-ti yang menyelidiki dengan mendekam di
atas kemah Lian Keng-hiau, ia hanya longak-longok dari jauh
di luar perkemahan sana. Di luar dugaan, selagi ia mengincar ke sana dan ke sini, di
bawah cahaya rembulan yang remang-remang, tertampak
olehnya di atas perkemahan mendekam satu orang.
Melihat keadaan demikian, Tang Ki-joan yang licin dan
banyak tipu-akalnya, dalam hati telah mengambil keputusan,
"Tidak peduli dia musuh atau bukan, biar aku mendekati
dengan alasan menangkap pembunuh gelap, dengan demikian
aku bisa sekalian mengetahui keadaan di dalam perkemahan."
Begitulah, maka segera ia keluarkan ilmu entengi tubuh,
diam-diam melayang datang dengan enteng.
Di luar perhitungannya, Kam Hong-ti ternyata lebih cerdik
darinya, ia justru sengaja mendekam terus di pojok kemah itu,
bergerak sedikitpun tidak, ia pura-pura tidak tahu kedatangan
orang. Tetapi di saat Tang Ki-joan sudah dekat dan lagi melayang
naik ke atas, mendadak Kam Hong-ti menyingkap ujung layar
kemah itu sambil berteriak, "Ada pembunuh gelap!"
Berbareng itu, sekonyong-konyong ia memukul dengan
kedua telapak tangannya. Karena tidak menyangka dan mendadak, Tang Ki-joan jadi
terkejut, ditambah lagi layar kemah menggulung dengan tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba, keruan ia tidak mampu menancapkan kakinya, angin
pukulan Kam Hong-ti telah mendesak dia jatuh ke bawah.
Sementara itu para pengawal Lian Keng-hiau beramai telah
memburu datang demi mendengar ada ribut-ribut, Lian Kenghiau
pun berjalan keluar, sedang Kam Hong-ti sudah
melayang pergi melewati dua lapis perkemahan lainnya,
bersama Teng Hiau-lan diam-diam mereka kembali ke pondok.
Ketika Lian Keng-hiau mengetahui orang yang jatuh
mendadak dari atas kemahnya bukan lain adalah Tang Kijoan,
seketika juga muka Keng-hiau berubah hebat.
"Hamba bermaksud menangkap pembunuh," tutur Tang Kijoan
berusaha menghilangkan kecurigaan orang.
"Dan, dimana pembunuhnya?" tanya Keng-hiau
"Sudah kabur!" sahut Tang Ki-joan.
"Kenapa kau tidak berseru memanggil?" tanya Keng-hiau
lagi. "Penjahatnya berteriak lebih dahulu!" tutur Tang Ki-joan
pula. "Hm, di dalam pasukan ini seluruhnya orang
kepercayaanku, darimana datangnya pembunuh?" kata Lian
Keng-hiau lagi dengan tertawa dingin. "Di jagat inipun tiada
pembunuh yang bernyali begitu besar, tidak berhasil
membunuh orang malah berani berteriak dulu. Terang ini
disebabkan pengawalku yang memergoki kau, karena rasa
setia mereka padaku, maka ada yang berteriak."
Karena kata-kata terakhir ini, ada beberapa pengawal yang
suka berebut jasa lantas menimbrung, "Ya, ya, memang kami
sama sekali tidak menduga akan Tang-toaya," kata mereka
beramai-ramai. Muka Tang Ki-joan jadi pucat menghijau, ia hendak
membela diri lagi. Akan tetapi Lian Keng-hiau sudah
menjengek. "Hm, aku tidak menyuruh kau meronda, kenapa tengah
malam kau keluar meronda," katanya dengan tertawa dingin.
"Kalau melihat pakaianmu yang berdandan rapi, sekali-kali
bukan mengetahui ada penjahat, baru mendadak melompat
bangun dari tempat tidur, apakah memang sebelumnya kau
telah menduga bakal ada pembunuh?"
Karena terburu-buru tadi, Tang Ki-joan ingin menggunakan
alasan meronda, sama sekali tidak terduga berbalik akan
ditanya demikian, keruan ia menjadi gelagapan dan tidak
mampu menjawab, berulang-ulang ia hanya berseru tidak
berdosa. "Ya, seumpama kau bukan pembunuhnya, tetapi datang ke
perkemahan tanpa perintah, ini sudah menandakan kau
bermaksud jahat," dengan tertawa dingin Lian Keng-hiau
berkata lagi. "Algojo, seret dia dan penggal kepalanya
sekalian!" Demikianlah, karena tak bisa mendebat dan tak mampu
melawan, meski Tang Ki-joan biasanya terkenal paling licin,
tidak urung ia harus mati juga di bawah golok Lian Keng-hiau.
Ketika mengetahui Tang Ki-joan mampus, Kam Hong-ti
tertawa senang bersama Teng Hiau-lan.
"Ya, dahulu Tang Ki-joan secara keji telah membikin cacat
Sim Cay-khoan, kini ia harus menebus dosa dengan jiwanya,
kalau Lu-cici tahu, pasti ia akan bersorak dan bersyukur," ujar
Hiau-lan. Begitulah karena adanya ribut-ribut itu, maka lewatlah satu
malam lagi. Karena tiada jalan buat keluar, terpaksa Kam
Hong-ti dan Teng Hiau-lan ikut pasukan besar itu masuk
kotaraja. Tetapi baru sampai luar kota, mendadak terdengar
tiga kali suara dentuman meriam yang menggelegar.
"Hongsiang sendiri telah keluar!" demikian ada orang
melapor pada Lian Keng-hiau.
Kala itu baru lohor, sang surya memancarkan sinar yang
panas terik, tetapi Kaisar Yong Ceng sendiri telah naik kereta
kebesarannya menyambut sendiri keluar kota, sudah tentu di
dalam keretanya ia pun basah-kuyup oleh keringat.
Sekeluarnya dari pintu benteng, kemudian kaisar berganti
kereta dengan menunggang kuda. karena itu rasa panas terik
semakin menjadi makin hebat.
Akan tetapi Kaisar Yong Ceng adalah seorang jago silat,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya kuat dan sehat, meski di bawah sorotan sinar
matahari yang begitu terik, namun tidak begitu terasa
olehnya, sebaliknya para Thaykam yang ikut serta hampir
jatuh semaput semua di bawah sinar matahari yang
sedemikian panasnya. Masih mendingan di luar kota Pakkhia terdapat hutan yang
cukup luas, ketika Yong Ceng berpaling dan melihat para
hamba punggawanya kepayahan, ia bergelak tertawa.
"Di bawah sinar matahari yang begini terik, kalian tentu
sangat menderita, baiklah boleh pasang kemah di sini untuk
menantikan datangnya Lian-tayciangkun," katanya kemudian.
"Semangat Hongsiang yang menyala-nyala di atas kuda,
sungguh tidak mungkin diikuti oleh hamba sekalian," kata
menteri Thio Ting-giok. "Ya, Hongsiang tanpa kenal panas teriknya matahari, tetapi
jauh-jauh datang menghibur pasukannya, ini boleh dikata
sepanjang zaman belum pernah terjadi, pantas jika para
perwira dan prajurit bertempur mati-matian untuk Hongsiang
dengan segala keikhlasan," segera Kok-kiu (kakak permaisuri)
Longetoh menyambung. Yong Ceng tertawa oleh sanjung-puji kedua pembesarnya
ini, dengan kedatangannya sendiri untuk menghibur tentara
memang tujuannya ialah untuk menarik simpati pasukannya,
kesempatan ini telah digunakan oleh Longetoh untuk menjilat,
sudah tentu cocok benar dengan maksud hatinya.
Tidak antara lama, di dalam hutan itu sudah dipasang
kemah darurat dari sutera kuning, di tengah kemah tersedia
tempat duduk sang Kaisar, maka turunlah Yong Ceng dari
kudanya menuju tempat duduk yang telah disediakan ini,
segera pula para Thaykam melayani di sekitarnya, ada yang
mengipas, ada yang menyodorkan handuk basah, ada lagi
yang mengantar minuman segar.
Sesudah ribut-ribut sejenak, kemudian dari jauh terdengar
suara tiupan terompet disusul dengan suara gemuruhnya
meriam yang menggelegar tiga kali.
"Lian-tayciangkun telah tiba dengan pasukannya!" demikian
segera dilaporkan pembesar yang menyambut di depan.
Sesudah Yong Ceng membetulkan pakaiannya, ia lantas
keluar perkemahan, ia lihat di depan sana bendera pertanda
berkibar rapat, dengan pasukan besar yang berjumlah dua
ratus ribu prajurit bersenjata lengkap, saking panjang pasukan
besar ini hingga tak kelihatan buntutnya.
Setelah barisan perintis tiba di depan Yong Ceng dan
sehabis menjalankan penghormatan secara militer, kemudian
barisan membagi ke kanan dan kiri, habis itu terdengar tiga
kali suara meriam, di tengah muncul sebuah bendera besar
yang bertuliskan sebuah huruf raksasa "Lian", maka tertampak
Lian Keng-hiau yang memakai topi perang lengkap dengan
pakaiannya, dengan menunggang kuda putih mulus berdiri di
bawah bendera pertandanya, sedang Gak Ciong-ki menahan
kudanya berdiri di samping kanan Lian Keng-hiau, kedua
orang ini sama gagah dan semangat menyala-nyala,
sedikitpun tidak kelihatan letih dalam perjalanan jauh.
Begitu nampak Yong Ceng, segera Lian Keng-hiau
melompat turun dari kudanya.
"Kau sudah letih dalam perjalanan jauh, tak perlu
menjalankan penghormatan, biasa saja!" Yong Ceng
mencegah dengan mengangkat tangannya ketika orang akan
menjalankan penghormatan.
Memang dengan melompat turun dari kudanya, seharusnya
Lian Keng-hiau menyembah di hadapan sang maharaja, tetapi
demi mendengar kata-kata Yong Ceng, betul saja ia hanya
tersenyum dan sedikit membungkuk, tidak menjalankan paykui,
melainkan berkata, "Atas sambutan Sri Baginda ke tempat
jauh ini, sungguh membikin hamba tidak mengerti cara
bagaimana harus membalas budi!"
Gak Ciong-ki juga disuruh Yong Ceng tak usah pay-kui,
tetapi ia masih berlutut dan menjalankan penghormatan
sebagaimana mestinya. Sebenarnya meski di mulut Yong Ceng bilang tak usah,
padahal hanya kata-kata saja, tak terduga Lian Keng-hiau
anggap dirinya sudah berjasa besar, betul juga ia tidak
menjalankan penghormatan. Sudah tentu Yong Ceng menjadi
kurang senang dalam hati, tapi di luar sedikitpun tidak
mengunjuk perasaannya ini, ia malahan sengaja mengomeli
Gak Ciong-ki yang tidak mau turut perintahnya tadi sambil
tertawa terbahak. Maka berulang kali Gak Ciong-ki memohon ampun, tapi
dalam hati ia sangat bergirang. Katanya dalam hati, "Hm,
sekali ini tidak takut lagi pada kau, Lian Keng-hiau, akhirnya
aku pasti mengalahkan kepintaranmu dengan kebodohanku!"
Begitulah maka sesudah Lian Keng-hiau dan Gak Ciong-ki
selesai menjalankan penghormatan, menyusul dengan
sendirinya semua perwira dari yang tinggi sampai rendah.
Yong Ceng lantas memberi perintah menghadiahi
pahlawannya ini dengan perjamuan, Lian Keng-hiau ikut Yong
Ceng masuk ke dalam 'istana daruratnya', dan duduk dalam
perjamuan dengan didampingi para pembesar kerajaan yang
bertingkat menteri. Sedang Gak Ciong-ki dan perwiranya
dikawani oleh menteri peperangan dan Kiu-bun Tetok (kiraTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kira seperti komando militer kota sekarang) serta pembesar
militer lain di meja yang disediakan di luar kemah.
Di tengah perjamuan, Yong Ceng bertanya keadaan
ekspedisi ke barat ini, tentu saja Lian Keng-hiau menerocos
memuji hasilnya yang gilang-gemilang ini setinggi langit. Di
luar dugaan, karena penuturan ini, semakin membikin Yong
Ceng kurang senang. "Tetok Hu San tidak patuh disiplin dan bayangkara Tang Kijoan
kurang sopan terhadap hamba, kedua orang ini sudah
dihukum mati," demikian Lian Keng-hiau melapor.
Keruan Yong Ceng terkejut oleh laporan ini, tetapi pada
wajarinya sedikitpun tidak mengunjuk tanda apa-apa,
sebaliknya ia malah mengunjuk senyuman.
"Dalam tentara soal disiplin harus dipatuhi, sebagai
panglima, sudah tentu kau boleh menggunakan kekuasaanmu,
soal kecil ini tidaklah perlu kau laporkan," katanya seperti
anggap soal kecil saja. Lekas Lian Keng-hiau menyatakan terima kasihnya.
"Jika demikian, lima orang yang dikirim ikut padamu seperti
Liau-in, Sat Thian-ji dan Thian-toh, Tang Ki-joan dan Kam
Thian-liong, kini seluruhnya sudah mati?" kata Yong Ceng
lebih lanjut. "Ya," sahut Keng-hiau.
"Begitupun baik," ujar Yong Ceng. "Mereka itu berwatak
liar, mampus semua lebih baik."
Tiba-tiba Lian Keng-hiau teringat pada waktu berangkat,
pernah Yong Ceng memberi pesan seperti kata-kata tadi,
khusus mengenai Tang Ki-joan dikatakan lebih kenal adat,
maka menyuruh dia melayani secara lain.
Kini Yong Ceng bertanya urusan itu lagi, Keng-hiau merasa
kikuk, tetapi waktu ia lirik wajah sang maharaja, tidak
terdapat sedikitpun tanda aneh.
"Tang Ki-joan kau kirim sebagai mata-mata untuk
mengawasi gerak-gerikku, apa kau kira aku tidak tahu" Asal
kekuasaan militer selalu berada di tanganku, pasti tak berani
kau membunuh diriku," demikian diam-diam Lian Keng-hiau
berpikir pula. Cara penyambutan dan perjamuan yang diadakan di luar
kota ini berlainan dengan perayaan dalam istana, maka
sehabis minum tiga keliling, kemudian perjamuan lantas
ditutup. Dengan diikuti Lian Keng-hiau, Yong Ceng berjalan
keluar untuk memeriksa pasukan yang baru kembali dari
medan perang ini. Waktu itu hari tepat lohor, panas sinar matahari semakin
hebat, di luar hutan sana dua ratus ribu prajurit masih
berbaris dengan rajin sekali dan berdiri tegak di bawah terik
matahari dengan persenjataan lengkap, sedikitpun mereka tak
berani sembarang bergerak.
"Hari begini panas, boleh Tayciangkun memerintahkan para
prajurit meletakkan senjata dan menanggalkan pakaian
perang!" demikian Yong Ceng memerintahkan Lian Keng-hiau.
Dengan sekali sahutan perlahan Keng-hiau berjalan ke
depan, setelah berada berhadapan dengan barisan tentaranya,
dari bajunya ia mengeluarkan sebuah bendera merah kecil.
Lalu dengan enteng ia mengibas, maka terdengarlah suara
ramai, dimulai dari barisan paling belakang, prajurit sebanyak
dua ratus ribu itu pada saat yang sama serentak meletakkan
senjata dan menanggalkan pakaian perang.
Nampak kejadian ini, hati Yong Ceng jadi terguncang.
"Luar biasa?" demikian pikirnya. "Dalam keadaan demikian
jika Lian Keng-hiau berubah pikiran, apakah nyawaku tidak
tergenggam dalam tangannya?"
Sebaliknya Lian Keng-hiau melihat tentaranya begitu keras
disiplinnya, ia sangat senang, dengan muka berseri ia kembali.
"Liah-tayciangkun bisa memimpin pasukan begini besar
dengan disiplin begini keras, sungguh adalah panglima nomor
satu sejak dahulu kala, berkat kemurahan Thian telah
memberikan pembantu padaku untuk melindungi tanah air
kita, sungguh aku yang lagi mujur!" kata Yong Ceng kemudian
dengan bergelak tertawa. Di antara suara tertawanya lapat-lapat membawa pikiran
yang jahat, pembesar yang ikut hadir tidak mengetahui
maksud sesungguhnya dari Hongsiang mereka, beramai
mereka malah menghaturkan selamat pada Yong Ceng dan
Lian Keng-hiau, bahkan Kok-kiu Longetoh menarik tangan Lian
Keng-hiau dan banyak memberikan pujian yang sifatnya lebih
mirip menjilat, sudah tentu hal ini dapat dilihat semua oleh
Yong Ceng sendiri, tetapi ia diam saja.
Setelah ribut-ribut sejenak, kemudian Yong Ceng menyuruh
Lian Keng-hiau memerintahkrn agar tiap prajurit diberi hadiah
sepuluh tahil perak, sedang para perwira yang berjasa
dinaikkan setingkat pangkatnya, seluruh pasukan diberi cuti
lagi sepuluh hari. Dan setelah Lian Keng-hiau memimpin
pasukannya bersorak-sorai menyatakan terima kasih dan
kegembiraan mereka, maka berakhirlah upacara pemeriksaan
pasukan ini. Sudah tentu peristiwa tadi dapat dilihat Kam Hong-ti dan
Teng Hiau-lan dengan jelas, karena semua prajurit diberi cuti,
maka mereka pun mengambil kesempatan itu lari keluar
markas. Mereka sudah tiga hari berpisah dengan para kawan,
karena kuatir Lu Si-nio menantikannya, maka lekas mereka
kembali ke Se-san. Dalam tiga hari ini kelenteng di Se-san ternyata sudah
banyak bertambah orang. Pang Ing dan Pang Lin telah
membawa datang ibu mereka, Khong Lian-he, Engkong
luarnya, Khong Liang dan Thio Thian-ti serta kawan-kawan,
setelah dirawat sekian lamanya, Khong Liang dan Thio Thian-ti
sudah sembuh dari luka mereka dan sudah bisa bergerak
dengan leluasa. Begitulah maka dalam kelenteng itu menjadi sangat ramai,
mereka menantikan kabar kembalinya Kam Hong-ti dan Teng
Hiau-lan. Keruan begitu kedua orang ini kembali, segera
diberondong dengan bermacam pertanyaan. Karena itu lantas
Kam Hong-ti menceritakan sekedar apa yang telah dilihatnya
dalam pasukan Keng-hiau, lalu ia tuturkan pula tentang
bagaimana Yong Ceng telah datang sendiri menyambut dan
menghibur tentaranya. "Si bangsat Lian Keng-hiau ini sungguh besar sekali
nyalinya!" ujar Hi Kak setelah mendengar cerita Hong-ti.
"Bukankah ini lebih baik?" sela Si Nio. "Dua musuh besar
yang harus kita hadapi ialah Yong Ceng dan Lian Keng-hiau,
tetapi selanjutnya kita cukup menghadapi Yong Ceng saja
dengan sepenuh perhatian kita. Lian Keng-hiau si keparat ini
dengan sendirinya ada orang lain yang bakal membunuh dia."
"Dia punya pasukan begini besar, siapa yang mampu
membunuh dia?" tanya Hi Kak.
"Jasanya terlalu besar sehingga menguatirkan raja,
akhirnya dia tentu akan celaka sendiri." ujar Pek Thay-koan
dengan tertawa. "Ingat saja Han Sin di zaman Han, dia
membantu Lauw Pang mendirikan negara, jasanya jauh lebih
besar daripada Lian Keng-hiau, toh akhirnya tidak urung mati
dibunuh junjungannya sendiri, apalagi sekarang hanya
seorang Lian Keng-hiau?"
"Ya, ya, bagaimanapun juga memang Hiansay (menantuku)
adalah seorang bersekolah dan banyak berpengetahuan,"
sahut Hi Kak. "Untung aku bisa mendapat bantuan para
saudara dan belum sampai ditipu oleh Yong Ceng si keparat
ini." Begitulah semua orang beramai mempercakapkan peristiwa
ini, Kam Hong-ti sendiri menarik Lu Si-nio ke samping, ia
Pendekar Kembar 2 Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Sebilah Pedang Mustika 1

Cari Blog Ini