Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 29

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 29


ceritakan pada sang Sumoay bagaimana tentang Can Ceng
yang takut mati telah menyerah pada musuh, serta telah
mengaku semua pengikut Lu Liu-liang.
Keruan hati Si-nio seperti disayat-sayat dan air mukanya
berubah hebat oleh penuturan ini.
"Tampaknya akibat peristiwa ini pasti akan membikin penuh
penjara, Can Ceng sudah membongkar semua orang penting
yang menjadi pemimpin, kita harus lebih dulu memberi kabar
pada mereka supaya bisa menyelamatkan diri," ujar Kam
Hong-ti. Akan tetapi Si-nio hanya termangu-mangu saja, seketika ia
tak sanggup buka suara. "Biarlah urusan ini serahkan padaku saja, Pat-moay," kata
Hong-ti lagi. "Kau memikul kewajiban atas dendam negara
dan sakit hati keluarga, hendaklah kau suka kuatkan diri dan
jangan terlalu berduka."
Si-nio masih diam, ia menunduk seperti terpaku.
"Pat-moay," kata Hong-ti, '"kau adalah jantan dari kaum
wanita dan orang gagah dari kaum kita, apakah masih perlu
aku banyak omong lagi?"
"Jika aku tidak membunuh In Ceng si kaisar anjing ini
dengan tanganku sendiri, aku bersumpah tidak jadi manusia,"
mendadak Si-nio berseru sambil mendongak dan mengepal
bersemangat. "Bagus, tidak malu kau jadi cucu perempuan Lu Liu-liang,"
puji Hong-ti dengan bertepuk tangan. "Cuma saja, penjagaan
dalam istana sekarang sangat keras, pasukan Lian Keng-hiau
ada di luar kotaraja pula, mungkin tidak leluasa untuk
melakukan maksud tujuan kita, untuk membalas dendam tidak
perlu buru-buru, melihat gelagatnya, pada suatu hari pasti
akan terjadi perselisihan di antara In Ceng dan Lian Kenghiau,
kala itu baru tibalah saat terlaksananya tugas kita."
"Memang benar, Chit-ko," sahut Si-nio.
Mendengar lagu suara Si-nio sudah mulai sabar dan tenang
kembali, diam-diam Hong-ti merasa lega.
"Sungguh tidak diduga Can-lothauji bisa begini rendah!"
kata Si-nio kemudian dengan menghela napas. "Cuma, apapun
juga aku masih tidak percaya bahwa Cay-khoan sudah mati."
Karena kata-kata sang Sumoay ini, Kam Hong-ti jadi
terharu. Pikirnya, "Ai, Cay-khoan sudah terang dijual Can Ceng
dan ditangkap ke kotaraja serta sudah dihukum mati,
maklumat tentang ini sudah diumumkan di seluruh negeri,
kepalanya digantung juga di atas pintu benteng, mana bisa
soal kematiannya ini adalah palsu?"
Akan tetapi karena melihat Si-nio begitu yakin akan
pendiriannya, ia tidak tega membikin sang Sumoay lebih
berduka, maka pikirannya tidak sampai ia utarakan.
Di samping sana, demi nampak wajah Si-nio rada lain,
Teng Hiau-lan lantas menghampiri.
"Apakah Lu-cici kurang enak badan?" tanyanya.
"Tidak," sahut Si-nio. Tetapi ia lantas menyambung pula
dengan tertawa, "Dan kau sudah boleh pergi ke Soatang
untuk berkumpul dengan Nyo Tiong-eng."
Karena kata-kata ini muka Hiau-lan menjadi merah.
"'Kenapa, apa kau tak berani bertemu dengan sang mertua
lagi?" tanya Si-nio.
"Cici jangan bercanda," sahut Hiau-lan malu.
Melihat sikap pemuda ini, kemudian Si-nio berkata pada
Kam Hong-ti, "Chit-ko, aku masih ada hal lain yang ingin
dirundingkan dengan kau!"
Rupanya Hiau-lan bisa menerka apa yang bakal mereka
bicarakan, maka ia lantas menyingkir pergi.
"Katakanlah, Pat-moay," kata Hong-ti.
Maka berceritalah Lu Si-nio tentang perselisihan paham
dalam urusan perjodohan Teng Hiau-lan dengan Nyo Liu-jing.
"O, kiranya demikian," ujar Hong-ti kemudian. "Memang,
aku sendiri pun jemu melihat Nyo Liu-jing, cuma saja,
pertunangan mereka sudah berlangsung sekian tahun
lamanya, kalau dibatalkan sekarang, mungkin agak kurang
pantas?" "Jika tidak dibatalkan sekarang, maka kelak pasti akan jauh
lebih ruwet lagi," ujar Si-nio.
Sebenarnya dalam urusan perkawinan, Kam Hong-ti lebih
kukuh pada adat-istiadat kuno, ia hanya memberatkan soal
budi dan janji, ia pikir Nyo Tiong-eng ada budi pada Teng
Hiau-lan, pertunangan mereka pun sudah sekian lamanya,
kalau mendadak dibatalkan, ini sesungguhnya keterlaluan.
Akan tetapi ia pun tiada kata-kata lain yang bisa mendebat Lu
Si-nio, maka terpaksa bungkam.
"Besok aku akan kembali ke Sian-he-nia untuk menilik Caykhoan,"
kata Si-nio pula. "Hendaklah jangan kau tertawai aku,
bagaimanapun juga aku tidak percaya Cay-khoan sudah mati.
Sebenarnya aku berniat pergi ke Soatang untuk menemui Nyo
Tiong-eng sendiri untuk membereskan urusan Hiau-lan, kini
harus minta kau mewakilkan aku menyelesaikan soal ini."
Selamanya Kam Hong-ti paling menghormati sang Sumoay
ini, kini Lu si-nio sendiri yang minta, tiada jalan lain ia harus
terima dengan baik. "Tetapi aku tak pintar bicara, lebih-lebih tak dapat
membatalkan pertunangan orang, terpaksa aku harus bicara
terus terang saja bahwa Hiau-lan tiada terdapat kecocokan
tabiat dengan anaknya, dan kini sudah punya gadis lain,"
demikian kata Kam Hong-ti kemudian. "Dan kalau Nyo Tiongeng
marah-marah, aku segera tinggal pergi dari tempatnya."
"Boleh juga, katakanlah seperti itu," ujar Si-nio tertawa.
Setelah Hong-ti merenung sejenak, ia berkata lagi, "Urusan
ada yang penting dan biasa, aku masih harus berusaha
memberitahu orang-orang yang disebut dalam pengakuan Can
Ceng itu supaya' menyelamatkan diri, habis itu baru mengurus
soal Hiau-lan." "Memang seharusnya begitu," sahut Si-nio setuju.
Jika di satu pihak Si-nio berunding dengan Hong-ti, maka di
sebelah sana orang-orang lain pun sedang berunding dengan
ramai. "Hayo, Kam-toako, kau sudah hancurkan tempat suciku ini,
kau harus mengganti suatu tempat untuk tempat berteduh
aku!" tiba-tiba Ling-sian berseru.
"Apa" Kelentengmu ini memang bobrok, asalnya sudah
begini macamnya," sahut Hong-ti dengan heran karena tahutahu
orang minta ganti rugi padanya.
"Percuma saja kau mengaku kawakan Kangouw, masa soal
ini saja kau tidak paham?" sahut Ling-sian dengan tertawa.
"Kalian sudah membikin onar berulang-kali di kotaraja, tempat
inipun bukan tempat yang terpencil sekali, dengan
berkumpulnya orang begini banyak, mana bisa menghindarkan
mata-telinga dari alat pemerintah. Si keparat Yong Ceng ini
Siau-lim-si saja berani dia bakar, apalagi hanya kelentengku
yang bobrok ini?" "O, kiranya demikian maksudmu," kata Hong-ti tertawa.
"Memang betul, tempat ini tidak bisa ditinggali lagi, kita harus
mencari tempat lain yang lebih terjamin."
"Kau punya tempat mana yang siap menerima orang sekian
banyak?" tanya Ling-sian.
"Jangan kau kuatir, sudah lama aku mengatur seperlunya,"
sahut Hong-ti. "Tidak lama berselang aku menerima kabar dari
Ciu-jiko, katanya dia bersama Co-siko sudah mengasingkan
diri di Bin-san untuk menjaga makam Suhu. Daerah Bin-san
seluas beberapa ratus li, gunungnya tinggi dan rimbanya
lebat, tempatnya cukup curam dan berbahaya, tanahnya
subur pula dan baik sekali untuk bercocok tanam. Bagaimana
kalau kita pindah ke Bin-san saja?"
"Jika ada tempat begitu baik, kenapa kita tidak pergi ke
sana?" sahut Thio Thian-ti pertama. "Setengah hidupku hanya
menjadi berandal sampai susah pada hari tua. Kini ada tempat
sedemikian baiknya, biarlah aku dan para kawan boleh tirakat
di Bin-san untuk bercocok tanam dan melewatkan kehidupan
sehari-hari." "Ya, dahulu aku pun pernah menjadi raja laut, paling-paling
kini menjadi raja gunung," Hi Kak berkata juga dengan
tertawa, "kini terdapat para kawan yang begini gagah perkasa,
biar aku dan Thio-cecu mengumpulkan pula pengikut kita
yang lama, kita bisa bergerak besar-besaran di Bin-san, aku
kira pemerintah pun tak berani memandang enteng pada
kita." "Itulah urusan belakang," ujar Hong-ti. "Kini tak perlu kita
persoalkan membangun gunung dan buka dasar. Jadi
sekarang, kita tetapkan Bin-san sebagai tempat meneduh kita
yang baru!" "Baiklah," akhirnya Ling-sian berkata juga. "Biar kita semua
ikut menjaga pekuburan gurumu. Dia adalah Sin-ni dari
tingkatan lebih tua, kalau kita menjaga makamnya rasanya
masih berharga untuk dilakukan."
Begitulah maka besok paginya, seorang diri Lu Si-nio lantas
berangkat dulu ke Sian-he-nia, tetapi tengah ia mohon diri
dari para kawan, ternyata Pang Lin tidak kelihatan
bayangannya. "Moaymoay terlalu tak kenal urusan, sudah tahu Lu-cici hari
ini akan berangkat ke tempat jauh, tapi sengaja pergi, entah
kemana dia sekarang?" ujar Pang Ing.
Tetapi hati Si-nio sekonyong-konyong tergerak oleh
menghilangnya Pang Lin itu.
"Menurut pendapatku, bukan Lin-moay tidak kenal urusan,
justru dia terlalu paham urusan," katanya kemudian. "Biarlah
kalian tak usah mencari dia. Aku duga tentu diam-diam ia
pergi melakukan apa yang dia ingin lakukan."
Keruan Pang Ing terkejut. "Urusan apa yang bisa dia
lakukan" Kenapa tidak dia beritahukan padaku?" tanyanya
cepat. Tetapi Si-nio hanya tersenyum dan tidak menjawab.
"Semalam ia bertanya padaku apakah akan ikut ke Bin-san,
aku bilang betul. Ia pun bilang Bin-san sangat baik, pernah dia
lewat di bawah gunung itu," kata Li Ti sesudah berpikir.
"Tetapi waktu itu aku pun tidak tahu apa maksud
pertanyaannya itu." "Kalau begitu, kelak pasti dia akan mencari kalian di Binsan,
tak perlu menguatirkan dia," ujar Si-nio.
Pang Ing mendesak lagi apa yang diketahui Si-nio tentang
hal yang akan dilakukan Pang Lin, namun Si-nio hanya
menjawab secara samar-samar.
"Aku pun hanya menerka asal terka saja dan belum tentu
betul, baiknya kau tunggu saja, kelak kau akan mengetahui
juga," sahutnya kemudian.
Pang Ing cukup cerdik, setelah dia berpikir lagi, akhirnya
bisa menerka juga beberapa bagian, tanpa terasa ia menjadi
jengah. Setelah Si-nio berpisah dengan kawan-kawannya, buruburu
ia menuju ke Sian-he-nia, karena cara berjalannya cepat,
sebulan kemudian ia sudah lewat Soatang terus menembus
Ciatkang, Kangsoh dan akhirnya sampai di utara propinsi
Hokkian. Bukit Sian-he-nia membujur di tapal batas propinsi Hokkian
dan Ciatkang, pemandangannya sangat indah, baru masuk
daerah utara Hokkian, bukit ini sudah kelihatan dari jauh.
Meski dalam hati Lu Si-nio yakin betul Sim Cay-khoan pasti
belum mati, tetapi semakin dekat dengan tempat tujuannya,
perasaannya terguncang semakin hebat, ia kuatir kalau tekateki
yang bakal terbongkar ini justru akan terbalik
sebagaimana yang dia duga semula.
Pada suatu lohor, Si-nio mampir mengaso di suatu gardu
penjual air minum, tiba-tiba ia lihat dari jauh debu mengepul,
seorang penunggang kuda secepat terbang sedang
mendatangi, sesudah dekat, kelihatan penunggangnya adalah
laki-laki kekar dengan berewok pendek kaku, rupanya keren
dan gagah, sesampainya di gardu ini, orang itu menahan
kudanya dan memandang sekitar gardu, ia lihat pada gardu ini
hanya terdapat beberapa tamu saja.
Si-nio sendiri waktu itu sudah menyamar sebagai nona
pemetik daun teh pedusunan, mukanya dipoles dengan bahan
rias, maka sama sekali tidak menarik perhatian orang itu,
sejenak kemudian laki-laki itupun turun dari kudanya untuk
mengaso dan minum. Selang tak lama, kembali datang dua buah joli kecil,
sesampai depan gardu inipun berhenti mengaso.
Si-nio terkejut sekali ketika dari joli itu keluar satu orang
yang dia kenal betul adalah Can Ceng, sedang penumpang joli
yang di belakang ternyata seorang pelayan yang
menggendong satu anak kecil.
Lekas Si-nio, berpaling ke jurusan lain, ia pura-pura
menunduk untuk minum tehnya.
Sebenarnya dalam keadaan sekarang kalau Si-nio ingin
mencabut jiwa Can Ceng boleh dikata gampang seperti
membaliki tangannya sendiri. Tetapi pertama, mengingat Can
Ceng sudah tua, kedua ingat orang tua ini pernah juga
bersahabat dengan ayahnya, oleh karenanya, meski sangat
gusar dalam hati, tapi sedapat mungkin ia menahan
perasaannya.. Lewat tak lama, lagi-lagi datang seorang penunggang kuda
lain dan mengaso juga di gardu teh ini, penunggang kuda ini
juga seorang jago silat dengan dandanan serupa yang duluan
tadi. Can Ceng berasal dari Ouwlam, pernah dia memberi
ceramah di daerah Ouwlam, Ouwpak, Kangsay dan Hokkian,
maka namanya cukup terkenal, banyak pula yang tahu akan
dirinya. Karena itu, tak lama ia duduk lantas ada seorang
pelajar semacam Siucay menghampiri dia dan memberi
hormat. "Tuan ini bukankah Can-losianseng?" ia bertanya.
Can Ceng mengangguk-angguk perlahan.
"Boanseng (aku yang muda) dan kawan sekampung dulu
pernah ikut mendengarkan ceramah Losianseng," kata orang
itu pula. Kembali Can Ceng hanya mengangguk, tetapi dari
wajahnya kelihatan perasaannya tidak tenteram.
"Angin apakah yang mengantar Can-losianseng ke sini"
Apakah hendak mengadakan ceramah lagi di kota?" kembali
orang tadi bertanya pula.
"Tidak," sahut Can Ceng, "karena ada seorang kawan
meninggal di daerah utara, anak piatunya tiada orang
mengurus, maka aku sengaja berangkat ke utara untuk


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambilnya, kembalinya lewat di sini dan buru-buru harus
pulang, tidak sempat lagi berceramah segala."
Maka berulang-kali orang tadi memberi pujian pula, hal ini
dibalas Can Ceng dengan tersenyum.
Lu Si-nio pasang kuping mendengarkan, suatu kali dengan
tak sengaja mendadak sinar matanya kesamplok dengan
pandangan Can Ceng. Can Ceng sudah kenal baik Lu Si-nio, meski sekarang nona
ini sudah memoles mukanya sedemikian rupa, tapi lagaklagunya
lapat-lapat masih bisa dia kenali, karena itu, wajah
Can Ceng yang tadinya masih tersenyum-simpul seketika
lenyap, dengan cepat ia taruh cangkir tehnya terus buru-buru
berangkat. Sebelum Can Ceng pergi, laki-laki kekar berewok yang
datang duluan tadi sudah mencemplak kudanya berangkat
dahulu, setelah Can Ceng berangkat juga dengan jolinya,
jagoan yang datang belakangan pun ikut pergi pula. Dari awal
hingga akhir tidak pernah Can Ceng mengajak bicara kedua
orang tadi, ia pura-pura seperti tidak kenal saja. Tetapi diamdiam
Si-nio tertawa geli, ia mengerti kedua jagoan itu adalah
pengawal yang diam-diam dikirim Lian Keng-hiau untuk
melindungi Can Ceng, berbareng untuk mengawasinya.
Sementara sesudah Can Ceng berangkat, Siucay tadi masih
membual pula dengan tetamu peminum lain sambil memuji
bagaimana tinggi ilmu sastra Can Ceng dan macam-macam
lagi, diam-diam Si-nio tertawa dingin dalam hati, ia pun-tidak
ingin mendengarkan terus, lekas ia pun melanjutkan
perjalanan. Si-nio lihat arah yang ditempuh Can Ceng menuju Pohsia,
jurusannya berlawanan dengan arah ke Sian-he-nia. "Baik
juga aku tidak sejurusan dengan tua bangka ini,
sesungguhnya aku terlalu muak bila nampak mukanya,"
demikian pikir nona ini. Perjalanan Si-nio memang sangat cepat, sebelum matahari
terbenam ia sudah tiba di bawah bukit Sian-he-nia yang dia
tuju. Ia lihat di tengah gunung, awan dan kabut terapung
menggulung dengan aneka macam perubahannya. Seketika
perasaannya menjadi tegang, teringat olehnya dulu di kala
bersama Sim Cay-khoan mereka menikmati pemandangan
indah lautan mega di puncak gunung itu.
Ia coba membayangkan apakah yang sedang dilakukan
Cay-khoan sekarang ini" Apakah sedang termenung seorang
diri atau lagi memandang lautan mega yang indah dari jauh"
Begitulah sambil berpikir tanpa terasa Si-nio telah sampai di
tengah gunung, di depan tampak sebuah batu karang besar
yang berwarna merah, ini adalah satu tempat yang indah di
Sian-he-nia yang bernama 'Tan-he-ciang', dahulu waktu Si-nio
masih tinggal di sini, ia paling suka jalan-jalan di sekitar batu
merah ini. Kini lewat di sini, mau tak mau ia mendongak
memandangnya, tapi di luar dugaan ia menjadi kaget, karena
didapatkan sesuatu yang mengejutkan.
Batu karang itu sedikitnya setinggi tujuh-delapan tombak,
licin dan halus sekali, tetapi kini di dinding batu ini ada orang
bisa melukis setangkai bunga cempaka, lukisan ini sangat
sederhana, hanya terdiri beberapa goresan saja, tetapi luar
biasa hidup dan cantiknya.
Dari lukisan di batu ini kelihatan sekali pelukisnya tidak saja
memiliki Ginkang yang tinggi, memiliki seni lukis yang pandai
pula. Karenanya Si-nio terheran-heran.
Dengan melihat bunga cempaka di atas batu ini, Si-nio
menduga pasti ada tokoh silat terkemuka yang pernah
mendatangi tempat ini, hatinya menjadi semakin kuatir, tak
sempat ia periksa lebih teliti, segera ia tinggalkan tempat ini.
Di bawah 'Tan-he-ciang' ini terdapat sebuah goa batu yang
berkeraikan air terjun, selewatnya air terjun ini, kelenteng
tempat tinggal It-biau Hwesio sudah bisa kelihatan dari jauh.
Dari jauh Si-nio bersuit panjang, tetapi tidak tampak It-biau
keluar menyambut kedatangannya, keruan Si-nio lebih gelisah
lagi, ia percepat langka'.nya terus berlari masuk kelenteng.
Namun yang ia dapatkan adalah pintu kelenteng yang sudah
roboh, dinding pagar pun sudah gugur, bunga layu dan air
kering, suasana sunyi senyap.
"It-biau Taysu! It-biau Taysu!" Si-nio berseru.
Akan tetapi yang ada hanya suara sahutan yang
berkumandang kembali dari lembah pegunungan sana.
"Cay-khoan! Dimana kau Cay-khoan!" ia memanggil pula.
tetapi serupa saja, sama sekali tiada suara jawaban orang.
Menghadapi keadaan demikian ini, seketika Lu Si-nio
terpaku. Sebenarnya ia yakin Cay-khoan masih hidup, tetapi
keadaan di depannya sekarang ini sama sekali di luar
dugaannya. Dulu, waktu berpisah dengan Sim Cay-khoan, meski
pemuda ini sudah bisa berjalan, tapi bagaimanapun juga
masih belum leluasa, apalagi ia sengaja menghindar ke bukit
ini, maka apapun juga yang terjadi dia takkan turun gunung.
Tetapi, apa ... apakah ....
Berpikir sampai di sini tanpa tertahan Si-nio jadi mengkirik,
ia tak berani membayangkan lebih jauh.
Seketika hawa di sekitarnya seperti dingin luar biasa
seakan-akan membeku, seperti robot saja Lu Si-nio
menggeser langkahnya yang antap, ia memegangi dinding
kelenteng itu dan keluar dari ruangan dalam, kemudian ia
memasuki kamar yang dahulu pernah ditinggali Sim Caykhoan.
Pintu kamar ini setengah tertutup, sedikit dorong saja
sudah terpentang, maka terciumlah bau apek, saking lamanya
tidak pernah dibikin bersih, perabot kamar tampak masih baik,
hanya debu sudah tertimbun hingga tebal. Malahan ada
beberapa tikus tampak berlari terbirit-birit ketika mendengar
suara orang. Si-nio berusaha menenangkan semangatnya, ia sedot
beberapa kali hawa segar melalui jendela, ia pikir apakah
dirinya berada dalam mimpi"
Tetapi ia masih tetap yakin Cay-khoan belum mati, kembali
ia menggeser langkah yang berat seperti robot, ia mengelilingi
seluruh kelenteng itu, tetapi sesudah dicari sini dan cari sana,
tetap tiada seorang pun yang dia temukan, akhirnya terasa
olehnya keadaan yang seram, segalanya seperti kosong
belaka, segalanya sunyi. Selang tak lama kemudian Si-nio baru tersadar dari impian
yang buruk, baru terasa olehnya entah sejak kapan badannya
sudah basah kuyup oleh air mata, ia masih tetap berpikir,
"Terang sekali kepala itu tidak mirip muka Cay-khoan, janganjangan
pada hari digeropyok kawanan alap-alap dan anjing
pemerintah, dengan mati-matian ia telah meloloskan diri?"
Begitulah ia masih tetap menaruh harapan, maka kembali
ia memeriksa lebih teliti lagi sekitar kelenteng itu, akhirnya
baru ia ketahui bahwa tiada satu perkakas pun dalam
kelenteng itu yang utuh, jelas dalam kelenteng ini pernah
terjadi pertarungan sengit, waktu dia periksa lebih cermat lagi,
ia lihat di undak-undakan batu ruangan depan sana ada noda
darah yang sudah kering, tetapi masih kelihaian warna semu
merah dan mendebarkan hati.
Melihat semua ini, sungguhpun Si-nio yakin seribu kali
yakin, mau tak mau ia menjadi kuatir juga.
Sementara itu terdengarlah riuh-ramai suara burung yang
kembali ke sarangnya di hutan, sang surya sudah terbenam.
Lu Si-nio sedapat mungkin menenangkan diri, ia berusaha
menghibur diri sendiri, entah darah siapakah ini" It-biau
Hwesio tidak rendah ilmu silatnya, mungkin ini darahnya
karena terluka oleh musuh!
Pada kesempatan hari belum gelap, Si-nio berjalan keluar
dari kelenteng itu, ia turun gunung lagi melalui belakang
kelenteng dan memeriksa keadaan sepanjang jalan.
1 Setelah berjalan sebentar, tiba-tiba pada dinding tebing
di depannya ia dapatkan pula lukisan bunga teratai yang
dilukis dengan jari tangan, jika dilihat goresannya, terang
sekali lukisan dinding batu karang itu dilukis dengan tenaga
jari tangan dan dilakukan oleh satu orang yang sama, maka
pikiran Si-nio jadi tergerak.
Setelah lewat di bawah tebing itu, tidak lama kembali ia
lihat lukisan bunga teratai lagi di dinding batu. Di antara bukit
Sian-he-nia ini tidak sedikit terdapat jalan yang berliku-liku
diselingi sungai pegunungan yang kecil bersimpang-siur, kalau
bukan orang yang sudah lama tinggal di atas gunung, sering
kali bisa kesasar jalan, tampaknya bunga teratai yang
digambar dengan tenaga jari tangan ini seperti tanda yang
sengaja dilukis oleh kaum kelana Kangouw untuk digunakan
sebagai petunjuk jalan. Si-nio menjadi curiga, pikirnya, "Di atas gunung ini tidak
terdapat sesuatu barang mestika, orang yang menggambar
bunga teratai sudah jelas adalah tokoh silat yang tinggi, kalau
bukan berniat datang dengan memberi tanda supaya kelak
tidak kesasar, tidak nanti ia tinggalkan tanda ini. Justru aku
ingin tahu bunga teratai ini menunjuk ke juruan mana?"
Perjalanan Si-nio cukup cepat, maka setelah melewati tiga
tempat yang bertandakan bunga teratai itu, akhirnya ia lihat
jalanan pegunungan di depan mulai lapang dan ada tanah
yang miring, pada suatu tempat yang rada miring tertampak
dua gundukan tanah, bentuknya benjol panjang bulat, melihat
gundukan tanah ini, seketika hati Si-nio memukul keras, sebab
kelihatan kedua gundukan tanah ini adalah kuburan yang baru
saja dibikin. Waktu Si-nio mendekati dan setelah diperiksa, betul saja
dua kuburan baru, di depan tiap kuburan itu terdapat sebuah
batu nisan. Pada batu nisan yang sebelah kiri itu tampak tertulis,
"Kuburan It-biau Taysu".
Demi membaca tulisan ini, seketika Si-nio merasakan
pandangan matanya menjadi gelap, sungguh tidak pernah dia
duga bahwa dengan ilmu silat It-biauw Taysu yang tinggi
masih mengalami mala petaka juga, maka apa yang dia
sangka semula nyata kini telah meleset.
Si-nio tenangkan diri untuk membaca lagi apa yang tertulis
di batu nisan sebelah kanan, tetapi demi membaca, seketika
semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan raganya.
Kiranya nisan itu tertulis, "Kuburan sandang Sian-he-chu-su
Sim Cay-khoan". Sejak Sim Cay-khoan tetirah di atas Sian-he-nia, ia
menamakan diri 'Sian-he-chu-su' atau penghuni Sian-he-nia,
dari sini dapat diduga kuburan ini pasti dibangun oleh sahabat
karibnya, sedang kuburannya disebut 'kuburan sandang',
tentunya karena pembuat kuburan itu sudah mengetahui Caykhoan
telah dihukum mati di kotaraja, mayatnya terang tidak
mungkin bisa dipindah kembali, maka terpaksa hanya
memendam sandangnya sebagai kenang-kenangan.
Berdasarkan tulisan pada nisan yang cocok dengan diri
Cay-khoan, pula cocok dengan keadaan tewasnya, maka
dapat dibayangkan, kini Sim Cay-khoan sudah jelas telah
menjadi korban keganasan kerajaan Boan.
Sesaat itu Lu Si-nio merasa seluruh badannya kaku, ia
hendak menangis, tetapi tak keluar air mata, ia jadi terbayang
kepada semua kejadian yang lampau, sama sekali tak terduga,
Sim Cay-khoan bisa terhindar dari bahaya besar dahulu,
sebaliknya sekarang harus jadi korban di tangan kawan sendiri
dan mati di bawah senjata musuh dengan kepala terpisah dari
tubuhnya, kuburannya hanya terisi pakaiannya, lebih-lebih tak
pernah diduga bahwa sesudah hampir sepuluh tahun berlatih
diri dan baru saja bisa mengalahkan godaan penyakit serta
terhindar dari cacat, siapa tahu tewas juga secara
mengenaskan. Begitulah dengan perasaan hancur Lu Si-nio termenung
sambil mendongak, dengan pedang ia membacok-bacok
tanah, tetapi tiada jawaban dari langit dan tiada sahutan dari
bumi. Meski hari sudah mulai gelap, namun Si-nio masih
termangu-mangu duduk di depan kuburan, entah sudah
berapa lama ketika kemudian ia sadar kembali dengan
perlahan. "Semua gara-gara Can Ceng si bangsat tua ini, kalau tidak,
siapa yang mengetahui Cay-khoan berada di Sian-he-nia"
Bangsat tua inilah yang merupakan pembunuhnya, kenapa
aku harus mengampuni dia?" akhirnya Si-nio melonjak
bangun. Sebenarnya gadis ini tiada pikiran buat membunuh Can
Ceng, tetapi dalam amarahnya, kini ia jadi gegetun kenapa
siang tadi tidak menawan sendiri Can Ceng dan dibunuh untuk
membalas dendam Cay-khoan.
Ia mengerti malam ini Can Ceng pasti bermalam di Pohsia,
jarak antara Pohsia dengan Sian-he-nia kira-kira hanya
ratusan li. Karena dorongan hendak menuntut balas, segera juga Sinio
turun gunung, ia keluarkan ilmu entengi tubuh yang tinggi
terus berangkat menuju Pohsia. Pada waktu tengah malam ia
telah sampai di tempat yang dia tuju.
Pohsia hanya satu kota kecil saja, sesudah lewat tengah
malam, suasana sunyi senyap.
Mengenai Can Ceng, sebenarnya bukan maksudnya
menjadi manusia pengkhianat, soalnya dia takut mati, karena
kelemahan hatinya ini yang tak tahan uji, akhirnya ia
menyerah di bawah ancaman musuh sehingga berakibat suatu
kesalahannya yang besar. Tetapi setelah dia tenang kembali,
sesudah dipikir lagi, ia sendiri menjadi tak tenteram sekali.
Hari ini sesudah kesamplok dengan Lu Si-nio di kedai
minum, hatinya semakin ketakutan. Syukur sesudah berangkat
lagi, sepanjang jalan ia tidak nampak jejak gadis itu,
karenanya hatinya rada tenteram kembali.
Tetapi malam sewaktu sampai di Pohsia, suatu peristiwa
yang membikin dia lebih tak tenteram lagi telah terjadi. Baru
saja ia memasuki batas kota itu, segera ada dua orang
mencegat di depan joli-nya dan menanyakan apakah dia Canlosianseng"
Kedua penggotong joli itupun orang Lian Keng-hiau yang
sudah terlatih, karena itu, demi nampak ada orang menyapa
sambil mencegat joli, mereka lantas berhenti, sedang Can
Ceng menyingkap kerai jolinya, maka kedua orang tadi lantas
menyodorkan satu kartu nama.
"Can-losianseng dipersilakan bermalam ke hotel kami,
kamarnya sudah disediakan," kata kedua orang itu.
Waktu Can Ceng membaca kartu nama itu, kiranya adalah
kartu pengenal dari sebuah hotel yang disebut 'Cang-an-khektiam'


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(hotel Aman) yang sengaja mengirim orangnya buat
terima tamu. Can Ceng heran karena dirinya disambut sedemikian rupa.
"Darimana kalian mengetahui kedatanganku hari ini?"
demikian ia coba bertanya.
"Kawan Can-losianseng sudah sejak tadi memberitahukan
kami, kamarnya sudah disediakan juga," sahut pegawai hotel
itu. "Mari silakan Can-losianseng ikut kami."
"Apa, kawanku?" tanya Can Ceng dengan bingung.
"Dimana dia sekarang?"
"Kenalan Can-losianseng terdapat dimana-mana, kalau
sudah bertemu tentu akan tahu sendiri," sahut pegawai hotel
lagi dengan tersenyum. Dan selagi Can Ceng hendak menolak, sementara itu kedua
pengawal yang mengiringinya secara diam-diam kinipun sudah
masuk kota. "He, apa hotelmu masih ada kamar?" segera mereka
mendahului bertanya. "Ada, ada," demikian sahut pegawai hotel dengan cepat.
"Baiklah, kalau begitu kami pun menginap di hotelmu," kata
kedua pengawal itu. Dengan kata-kata terakhir mereka ini, terang mereka
sengaja menegaskan pada Can Ceng agar boleh menginap di
hotel itu. Tiada jalan lain, terpaksa Can Ceng ikut di belakang
pegawai hotel itu. Hotel 'Tiang-an-khek-tiam' meski hanya sebuah hotel di
suatu kota kecil, namun keadaannya ternyata cukup bersih
dan terawat baik, bahkan di kamar Can Ceng terdapat meja
tulis dan perabot lainnya.
"Sahabat Can-losianseng bilang engkau adalah pujangga
terkenal di zaman ini, maka kamar ini suruh kami menata
bagus seperti kamar baca," pegawai hotel tadi menerangkan.
Sebaliknya keterangan ini semakin membikin hati Can Ceng
tak enak. "Dan dimana tuan itu?" tanyanya. "Kenapa dia tidak
datang menyambut diriku?"
"Kami pun tak tahu," sahut pegawai hotel, "dia hanya
disuruh orang untuk memesan kamar, sehabis membayar
sewanya tenis pergi lagi."
"Bagaimana wajah orang yang memesan kamar," tanya
Can Ceng. "Seorang bermuka bopeng!"
Can Ceng menjadi tercengang oleh keterangan ini.
"Si bopeng itu hanya seorang pesuruh saja," tutur si
pegawai lebih jauh, "dia pesan kamar untukmu atas perintah
majikannya. Tetapi tanpa meninggalkan nama majikannya ia
lantas tinggal pergi. Rupanya engkau dipersilakan mengaso
dulu semalam, besok baru akan datang buat bertemu."
Karena tidak mendapatkan keterangan yang memuaskan,
Can Ceng tidak bertanya lebih lanjut.
Kedua jago pengawal Can Ceng itupun telah mengambil
dua kamar di kanan dan kiri kamar Can Ceng. Sesudah makan
malam, mereka pura-pura seperti sesama perjalanan dan
menjenguk ke kamar Can Ceng.
"Malam ini hendaklah kau hati-hati, Can-losianseng!"
demikian diam-diam mereka memperingatkan.
"Ada tanda yang mencurigakan kalian?" tanya Can Ceng
ketakutan. "Kalian harus menolong jiwaku, aku kira, tidakkah
lebih baik kita ganti hotel saja!"
Tapi kedua jago pengawal ini adalah orang kepercayaan
Lian Keng-hiau, mereka memiliki ilmu silat yang tidak bisa
dibilang rendah, maka demi mendengar kata-kata Can Ceng
ini, mereka tertawa. "Orang yang memesan kamar untukmu, tidak perlu
ditanyakan lagi tentu adalah begundal Lu Liu-liang," ujar
mereka. "Kita justru akan menunggu kedatangannya, mana
boleh kita ganti hotel?"
Can Ceng tidak berani buka suara lagi, tetapi diam-diam
hatinya sangat kuatir, pikirnya, "Entah kedua orang ini bisa
menandingi Lu Si-nio atau tidak" Kalau sampai Si-nio
membunuh mereka, terang tidak bakal baik, sebaliknya kalau
mereka yang membunuh Lu Si-nio, lebih-lebih tidak baik lagi
jadinya. Ya, bagaimanapun juga keluarga Lu adalah sahabat
karibku, mana aku tega melihat keluarganya dibabat sampai
akar-akarnya!" Dalam keadaan demikian Can Ceng menduga orang yang
memesankan kamar untuknya pasti Lu Si-nio adanya. Tak
tahunya dugaannya ternyata meleset jauh.
Malam ini sudah tentu Can Ceng tidak bisa pulas, sesudah
membaca beberapa halaman kitab 'Chun-chiu' (isi kitab ini
mengutuk pembesar pengkhianat dan kaum penjahat negara),
ia tak berani membacanya lebih lanjut.
Kala itu ia dengar sudah kentongan tengah malam, di
dalam hotel sepi tanpa suara sedikitpun. Dalam keadaan
bingung dan tak tenteram, Can Ceng membuka daun jendela
hingga angin malam yang agak dingin meniup masuk, di
bawah suasana malam remang-remang ini kelihatan Sian-henia
yang menjulang tinggi jauh di sana, tanpa terasa Can
Ceng teringat pada Sim Cay-khoan, tiba-tiba ia seperti nampak
leher Cay-khoan yang berlumuran darah sambil tangannya
menjinjing kepalanya sendiri, biji mata mendelik seperti
sedang melotot padanya. Dalam kagetnya Can Ceng menjerit, cepat ia menutup daun
jendela dan lenyaplah khayalannya tadi.
Kemudian Can Ceng menghela napas, katanya dalam hati,
"Jika tidak pernah berbuat sesuatu yang berdosa, suara
ketukan pintu di tengah malam tidak akan membikin kaget,
ujar ini memang tidak salah."
Ia mengusap keringat dingin yang membasahi jidatnya, lalu
mondar-mandir di dalam kamar tanpa tujuan, kemudian tanpa
terasa ia menyanyikan syair Go Bwe-joan di waktu ajalnya
yang penuh rasa penyesalan karena pengkhianatannya pada
nusa dan bangsa. Tetapi selesai bersenandung, ia jadi tertawa
geli dan menggumam, ia pikir kenapa aku begini tolol,
siapakah di dunia ini yang mengetahui aku Can Ceng telah
berbuat hal yang salah"
Begitulah sebentar Can Ceng sedih dan menyesal, lain saat
ia hibur diri sendiri. Sampai.kemudian tiba-tiba datang suara
ketukan pintu perlahan sekali.
Can Ceng mengira adalah pengawal yang berada di kamar
sebelah, maka ia bertanya, "Siapa?"
Tetapi sebelum orang menjawab ia sudah menarik palang
pintu hingga pintu kamar segera terbuka.
Alangkah kagetnya Can Ceng ketika ia lihat siapa pengetuk
pintu ini, begitu kaget hingga hampir semangatnya terbang, ia
berteriak, "Kau, kau manusia atau setan" Tidak, tidak, bukan
aku yang bunuh kau, kau ... kau...."
Kalau Can Ceng terkaget setengah mati demi nampak siapa
orangnya, maka di lain pihak masih ada seorang lagi yang
terlebih kaget. Orang ini adalah Lu Si-nio.
Pada waktu tengah malam Si-nio juga tiba di Pohsia, kota
kecil ini tidak banyak hotelnya, maka dengan gampang Lu Sinio
menemukan tempat menginap Can Ceng.
Dengan ilmu entengkan tabuhnya yang tinggi Si-nio
melayang ke atas hotel, begitu enteng dan gesit bagaikan
daun kering saja yang jatuh tania suara, sampai kedua
pengawal Can Ceng yang tekun menantikan datangnya musuh
pun tidak mengetahui datangnya gadis ini.
Mula-mula Si-nio mendengar Can Ceng sedang
menyanyikan syair Go Bwe-joan yang penuh penyesalan, hati
gadis ini jadi tergerak, ia pikir, kiranya tua bangka ini masih
mengerti juga bahwa dirinya telah berdosa berbuat sesuatu
yang salah. Pula melihat orang sudah lanjut usianya, maka Sinio
tak tega turun tangan. Tetapi demi melihat Can Ceng
tertawa geli sendiri dan menggumam pula, api amarahnya
berkobar lagi, selagi ia hendak turun tangan membereskan
jiwa tua bangka ini, sekonyong-konyong tertampak olehnya
pada pintu kamar hotel paling ujung sana terbuka perlahan,
lalu berjalan keluar seorang yang berdandan seperti kaum
sastrawan, mukanya berkedok kain biru, setelah berada di
depan kamar Can Ceng, orang berkedok ini lantas mengetuk
pintu perlahan, menyusul kain kedoknya lantas ditarik pula.
Orang ini meski terbakar menjadi abu juga akan dikenali oleh
Lu Si-nio, ia ternyata bukan lain adalah kekasihnya yang
disangkanya sudah mati, Sim Cay-khoan!
Tadi waktu Cay-khoan keluar dari kamarnya, Lu Si-nio
sudah sangsi, kini setelah kain kedoknya dibuang, maka lebih
nyata pula. Seketika itu Si-nio terkejut bercampur girang, sama sekali
tak terduga bahwa Sim Cay-khoan belum mati, bahkan
mukanya tertampak bersemu merah licin berminyak, suatu
tanda kesehatannya cukup baik, gerak-geriknya pun cepat dan
gesit, terang sudah jauh lebih sehat dan kuat daripada orang
biasa. Dalam girangnya, napsu membunuh Si-nio tadi kembali
lenyap, ia pikir, "Biarlah aku melihat dulu apakah si tua
bangka she Can ini masih punya muka untuk menemuinya?"
Sementara itu saking kagetnya Can Ceng bertanya dengan
suara gemetar dan terputus-putus, "Kau ... kau jangan
menagih nyawa padaku?"
Akan tetapi Sim Cay-khoan tertawa.
"Aku bukan setan!" katanya. "Hari itu yang ditangkap alapalap
pemerintah di atas Sian-he-nia ialah adik sepupuku, Cayeng."
Habis itu tiba-tiba ia menarik muka, lalu dengan suara
berat ia berkata lagi, "Sungguh kasihan, baru pertama kali ia
menyambangi aku sudah lantas mengalami bencana itu! Ai,
bahkan telah merembet It-biau Hwesio ikut menjadi korban.
Bukankah kau kenal juga pada Cay-eng?"
Mendengar lagu perkataan orang yang rupanya belum
mengetahui dirinya yang mengkhianati, maka Can Ceng
menjadi agak tenteram perasaannya, ia pura-pura menghela
napas seperti ikut berduka cita.
"Ya, bukankah Cay-eng rupanya sangat mirip kau?" katanya
kemudian. "Pemuda yang masih begitu muda-belia sudah
menjadi korban, sungguh sayang dan kasihan!"
"Yang sudah mati biarlah sudah, tetapi yang masih hidup
hendaklah berlaku hati-hati," sambung Cay-khoan dengan
wajah serius. "Can-lopek, kau sendiri berada di bawah
ancaman bahaya, lekaslah ikut aku melarikan diri."
Baru saja Can Ceng merasa lega karena kata-kata orang
ini, air mukanya berubah lagi.
"Dua jago pengawal di kamar sebelah menguntit kau
sepanjang jalan, apakah mereka tidak kenal siapakah kau ini?"
demikian Sim Cay-khoan berkata pula. "Kabarnya pemerintah
sedang menangkap secara besar-besaran golongan kita,
Giam-sioksiok telah mengalami bencana, kau adalah pemimpin
penting golongan kita, kenapa kau berani sembarang bergerak
kian-kemari?" Kiranya pada hari Lian Keng-hiau mengirim jagonya kc
Sian-he-nia untuk menangkap Sim Cay-khoan, kebetulan
pemuda ini merasa badan sudah mulai sehat kembali, maka
pagi-pagi ia berjalan-jalan keluar di sekitar pegunungan itu,
karena senangnya, makin jalan makin jauh hingga belasan li
dari kelenteng tempat tinggalnya. Meski jaraknya hanya
belasan li saja, tetapi jalanan pegunungan Sian-he-nia berlikuliku,
tanpa terasa sudah melintasi dua bukit lainnya, maka
waktu jago-jago yang dikirim Lian Keng-hiau datang,
sedikitpun Cay-khoan tidak mengetahui.
Sesudah pemuda ini puas berjalan-jalan dan kembali,
barulah dia mendapatkan mayat It-biau Hwesio sudah
menggeletak di dalam kelenteng, tanpa ayal lagi ia berlari
turun gunung untuk bersembunyi, belakangan dapat diketahui
bahwa adik sepupunya kebetulan hari itu naik ke atas gunung
untuk menyambanginya hingga ikut menjadi korban.
Sudah tentu berduka dan gusar pula pemuda ini, tetapi Sinio
tidak berada didampingnya, untuk menuntut balas seorang
diri terang tidak mampu, maka terpaksa ia mengubur It-biau
Hwesio, ia sengaja membangun sebuah kuburan sandang
pakaiannya sendiri sebagai tipu-daya untuk mengelabui mata
musuh supaya kalau ada anjing alap-alap pemerintah Jing
datang lagi menyelidiki, kiranya tidak memperhatikan dirinya
lagi. It-biau Hwesio banyak kenalan di Pohsia, di antaranya ada
pula orang-orang dari golongannya. Maka Sim Cay-khoan
lantas tinggal di rumah seorang she Yap, justru keluarga Yap
ini adalah anggota perkumpulan rahasia pula, maka ketika joli
yang memuat Can Ceng masuk ke Hokkian dari Ciatkang,
dengan sendirinya ada orang melapor padanya, tentang dua
jago pengawal yang menguntit itu telah dilaporkan juga.
Karena itulah Sim Cay-khoan menjadi kuatir kalau Can
Ceng juga kena dicelakai, maka ia sengaja memancing Can
Ceng menginap ke Tiang-an-khek-tiam.
Demikianlah maka demi mendengar Cay-khoan terusmenerus
mendesak agar dirinya lekas ikut lari, Can Ceng
menjadi serba salah dan ragu-ragu. Tetapi juga tidak enak
untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu
ia menjadi gelagapan dan tiada alasan buat menolak.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong di luar pintu
terdengar suara tertawa dingin, menyusul dua jago pengawal
di kamar sebelah menerjang masuk semua.
"Hm, bangsat yang bernyali besar, memangnya sudah lama
aku menunggu kau!" demikian lelaki berewok itu mendamprat
dengan tertawa sambil berdiri menghadang di ambang pintu.
Begitu ia mengulur tangan, segera ia hendak
mencengkeram tulang lemas di pundak Sim Cay-khoan. Jago
pengawal ini mahir ilmu silat Eng-jiau-kang, karena melihat
Sim Cay-khoan hanya seorang sekolahan yang lemah, ia
sangka sekali ulur tangan pasti akan kena sasaran.
Di luar dugaan, sesudah Sim Cay-khoan mendapatkan
ajaran Lwekang dari Lu Si-nio untuk menyembuhkan penyakit
lumpuhnya, selama hampir sepuluh tahun ini siang dan malam
telah dilatih dengan giat, dalam hal kematangan Lwekang
sudah boleh dikata cukup sempurna, oleh sebab itulah
penyakit lumpuhnya bisa sembuh. Kini meski cara berkelahi
sama sekali Cay-khoan tidak paham tapi dengan Lwekangnya
yang sempurna, ia bisa sebanding dengan jago kelas satu dari
kalangan Kangouw. Begitulah, maka begitu cengkeraman lelaki berewok itu
menyentuh pundak Cay-khoan, mendadak otot daging


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda ini secara otomatis mengkeret ke dalam hingga
tangan laki-laki berewok itu terasa memegang tempat licin
seperti mencekal belut saja dan seketika terlepas dari
tangannya. Keruan ia terkejut sekali.
"Awas, musuh cukup keras!" demikian ia berseru pada
kawannya dengan kata-kata rahasia Kangouw. Berbareng
telapak tangannya hendak menggablok lagi.
Tetapi Cay-khoan telah mengangkat telapak tangannya
memapak tangan orang hingga laki-laki berewok ini berbalik
kena tergetar mundur dua tindak.
Sementara itu kawan laki-laki berewok itu sudah melolos
golok, begitu senjata diayun, dengan tipu 'Tiat-le-keng-tian'
atau bajak besi meluku sawah, mendadak ia membabat kedua
kaki Cay-khoan. Sedang laki-laki berewok tadipun tidak tinggal
diam, kembali ia menubruk maju hendak menarik pergelangan
tangan sambil menendang pula ke pinggangnya.
Bagaimanapun juga memang Cay-khoan bukan seorang
jago silat, karena keroyokan kedua orang ini, segera ia
kerepotan. Syukur pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba terdengar
suara tertawa dingin di atas payon rumah, berbareng laki-laki
yang menyerang dengan golok tadi sudah roboh lebih dulu.
"Si-nio!" seru Sim Cay-khoan kegirangan.
Dan ketika laki-laki berewok itu menoleh, gerak tangan Sinio
yang secepat kilat, begitu pedang mengayun, tanpa
ampun lagi sebuah kepala manusia sudah terbang keluar
rumah. Saat itu anak kecil di dalam kamar berpekik tangis dengan
keras. "Lu-titli!" seru Can Ceng dengan ketakutan hingga mukanya
pucat pasi. Akan tetapi segera Si-nio menarik muka. "Siapa kau punya
Titli?" sahutnya dingin.
Sebaliknya Sim Cay-khoan menjadi bingung juga melihat
sikap Si-nio ini. "Eng-moay, kenapakah kau?" tanyanya heran.
"Hampir saja jiwamu melayang oleh karena perbuatannya,
apa kau masih tidak tahu?" sahut Si-nio. "Can Ceng, aku ingin
tanya kau, Khongcu mengajarkan apa dan Bengcu bilang apa,
kau selamanya membaca kitab ajaran Nabi, tetapi apa yang
telah kau pela-jari" Kenapa dalam keadaan bahaya kau hanya
memikir hidup sendiri, sedikitpun kau tak punya jiwa jantan?"
Oleh karena dampratan ini, muka Can Ceng menjadi merah
seluruhnya, bahkan mendadak ia benturkan kepalanya ke
dinding, namun Cay-khoan keburu menghadang terus
dirangkulnya. Maka menangislah Can Ceng dengan menjerit.
"Ya, usiaku sudah tua, aku tak tahan akan siksaan, manusia
mana yang tak pernah berbuat salah" Ai, biarkan aku mati
saja untuk menebus dosaku!" demikian ia sesambatan.
Mendengar kata-kata mereka tadi, baru sekarang Caykhoan
paham persoalannya, tetapi bila ia lihat rupa Can Ceng
yang harus dikasihani ini, ia menjadi tak tega, tiba-tiba ia
menghela napas. "Sudahlah, Eng-moay, beruntung aku tidak mati, boleh
ampuni jiwanya!" katanya kemudian.
, Sebenarnya amarah Si-nio masih belum reda, tapi
nampak Cay-khoan sendiri yang mintakan ampun, ia pun tidak ingin
berlaku keterlaluan, maka dengan menjengek ia masuk ke
kamar dalam, sekali pedangnya diayun, 'pengiring' yang
menggendong bocah itu ditusuk mampus, lalu ia bopong anak
Lian Keng-hiau dan dimakinya sebagai 'anak haram', tetapi
waktu ia tegasi, ia lihat rupa anak ini ternyata sangat mungil
sehat. "Anak siapakah ini?" Cay-khoan bertanya.
"Dia adalah putra Lian Keng-hiau," sahut Si-nio. Dari lagu
suaranya nyata ia tidak segusar tadi.
"Dosa orang tua jangan sama ratakan dengan anaknya,"
ujar Sim Cay-khoan. Karena mendengar nada suara orang sudah mengampuni
dirinya, kini Can Ceng tidak ingin bunuh diri lagi.
"Lian Keng-hiau yang paksa aku memelihara anaknya, tidak
... tidak ada sangkut-pautnya dengan aku," demikian katanya
dengan suara terputus-putus.
"Janji seorang laki-laki harus tepat, Lian Keng-hiau berdosa,
tetapi anaknya tak berdosa. Baiklah, kau boleh pelihara dia,"
kata Si-nio kemudian. Habis itu ia pun jemu melihat cecongor Can Ceng lebih
lama, maka setelah dia menulis beberapa huruf besar, "Yang
membunuh, Lu Si-nio adanya" di atas dinding dengan darah,
lalu ia tarik Cay-khoan dan diajak keluar dari hotel itu.
"Cay-khoan, sungguh tidak pernah kusangka bisa bertemu
kau lagi," kata Si-nio sesudah keluar hotel.
"Tetapi sayang tak bisa bertemu lt-biau Taysu lagi," sahut
Cay-khoan dengan muram. "Cay-khoan," kata Si-nio tiba-tiba, "marilah kita naik ke
Sian-he-nia untuk berziarah ke kuburan lt-biau Taysu, lalu kita
tinggal beberapa hari lagi di atas gunung itu. Dahulu kau tak
bisa berjalan, banyak sekali pemandangan indah di gunung itu
yang belum kau ketahui, marilah kita menikmatinya bersama,
sekali ini mumpung ada kesempatan janganlah kita lewatkan
gunung ternama dan pemandangan indah ini."
Habis berkata ia lantas tertawa riang, hatinya yang selalu
berkuatir selama beberapa bulan ini dan rasa bencinya pada
Can Ceng, pula kenangannya pada It-biau Taysu, semua
perasaan yang tidak menyenangkan ini kini telah tersapu
bersih seketika oleh tertawanya tadi.
Si-nio menginap satu malam di rumah keluarga Yap
bersama Cay-khoan, besok siangnya mereka sudah berada di
Sian-he-nia. Dengan hati lapang dan gembira ria, sepanjang jalan Si-nio
menikmati pemandangan sekitarnya sambil berbicara dengan
Cay-khoan tentang keadaan sesudah mereka berpisah, ia pun
memuji kemajuan Lwekang Cay-khoan yang sangat pesat.
"Kalau tidak ada kau, hidupku ini pasti cacat selamanya,"
ujar Cay-khoan dengan tertawa, "jika terjadi begitu, apakah
artinya lagi tentang Lwekang segala" Eng-moay, apa kau
masih ingat sanjak yang aku kumpulkan dari syair kuno itu?"
"Kenapa tidak ingat?" sahut Si-nio. Lalu ia menyanyikan
sanjak orang. Sebagaimana diketahui, sanjak itu dibuat oleh Sim Caykhoan
oleh karena merasa dirinya bakal cacat dan merasa
rendah diri, ia kuatir tidak setimpal mendapatkan jodoh Si-nio,
maka mengumpulkan sari syair kuno itu untuk menunjukkan
rasa duka hatinya. "Dan sekarang kau tentu tidak lagi merasa rendah diri
bukan?" kata Si-nio kemudian sesudah membawakan sanjak
orang. "Ya, sungguh tidak terduga, selama sepuluh tahun
bertahan, akhirnya terkabul juga cita-cita," sahut Cay-khoan
dengan tersenyum. "Eng-moay, kita orang yang sudah tak
berumah dan tak berkeluarga lagi, kita sudah piatu. Bilakah
kita dapat melaksanakan keinginan hati orang tua?"
Dengan kata-kata ini, ia bertanya tentang nikah mereka
pada Si-nio. Karena itu muka Si-nio menjadi merah.
"Biar sesudah aku membunuh Kaisar anjing Yong Ceng,
kemudian baru kita laksanakan kewajiban kita, dapatkah
sekiranya kau menunggu?" sahutnya dengan suara lembut.
Karena jawaban ini, hati Cay-khoan tergetar.
"Ya, sakit hati belum terbalas ingin berumah tangga, inilah
kesalahanku," katanya kemudian dengan sungguh-sungguh.
"Eng-moay, soal balas dendam adalah urusan utama, mana
bisa aku tak dapat menantikannya."
Begitulah sambil bercakap-cakap, tidak antara lama mereka
sudah lewat di bawah 'Tan-he-ciang'.
"Kepandaian orang ini tidak di bawahku, dapatkah kau
ketahui siapa yang meninggalkan gambar ini?" tiba-tiba Si-nio
mendongak sambil menuding pada bunga teratai yang terlukis
dengan goresan tenaga jari di atas tebing batu itu.
Melihat itu, Cay-khoan sendiri pun agak terkejut.
"Sejak peristiwa itu, aku lantas menyingkir ke Pohsia, maka
aku tidak tahu siapakah yang pernah naik ke gunung ini lagi."
Maka dengan menggandeng tangan Sim Cay-khoan, Lu Sinio
meneruskan perjalanan pula, setelah melintasi beberapa
lereng lagi, mereka mengikuti tanda yang ditunjuk bunga
teratai itu, sampailah mereka di tanah kuburan lt-biau Taysu.
Tetapi mendadak mereka mendengar ada suara penggalian
tanah dengan pacul, waktu Si-nio mengawasi, tiba-tiba ia lihat
seorang laki-laki berusia lebih tiga puluh sedang menggali
kuburan It-biau Hwesio. Si-nio menjadi gusar, dengan sekali bentakan, pedang
segera dia lolos, bagaikan burung terbang ia menubruk ke
jurusan orang itu. "Anjing alap-alap yang keji, sudah membunuh orang masih
hendak menggali kuburan buat mencuri kepalanya?" demikian
dampratnya. Si-nio mengira orang ini kalau bukan jago bayangkara dari
istana, tentu adalah jago bawahan Lian Keng-hiau,
kedatangannya ini tentu hendak mencuri kepala lt-biau Hwesio
untuk dibawa pergi sebagai tanda jasa.
Hian-li-kiam-hoat yang dikeluarkan Si-nio tadi luar biasa
lihainya, tak ia duga, serangannya ini dapat dihindari orang itu
dengan cepat, terdengar pula orang itu bersuara heran,
agaknya seperti hendak buka suara, tetapi urung berkata.
Heran sekali Lu Si-nio karena tipu serangannya tadi
mengenai tempat kosong, tanpa ayal beruntun ia kirim tiga
kali tusukan pula, semua serangan adalah tipu lihai dari Hianlikiam-hoat. Siapa tahu, orang itu tiba-tiba berputar cepat,
tiga kali tusukan Si-nio itu kembali mengenai tempat kosong.
Pada saat itu juga, secepat kilat orang itupun sudah
mencabut pedangnya, sekonyong-konyong ia balas merangsek
maju dari jurusan yang sama sekali tidak diduga oleh Lu Sinio.
Keruan tak kepalang kaget Si-nio, syukur ia masih bisa
menggunakan Ginkang yang tinggi, dengan sedikit berkelit
segera pula ia lancarkan serangan balasan.
Di luar dugaan, orang itu mendadak duduk di tanah,
secepat kilat ia berputar beberapa kali, pedangnya
menyambar hebat, hampir saja kedua kaki Si-nio kena
dibabat, dalam gugupnya lekas gadis ini melompat naik,
dengan gerak tipu 'Peng-bok-kiu-siau' (burung garuda
menjulang ke langit), sinar pedangnya seketika menyebar
lebar terus mengurung ke atas kepala orang itu, dalam
keadaan demikian, asal sinar pedangnya merapat kembali,
sekalipun jago silat paling wahid pasti juga kepalanya akan
terbang dan darah muncrat!
Akan tetapi di bawah kurungan sinar pedang, mendadak
bayangan orang itu memanjang, tahu-tahu orangnya sudah
menerobos keluar dari lingkaran sinar pedang musuh, ketika ia
membaliki senjatanya, kembali ia menyerang dari jurusan
yang sama sekali tak diduga Si-nio.
Belum pernah Lu Si-nio menyaksikan Kiam-hoat yang begini
aneh, keruan ia sangat terkejut. Lekas ia menghindarkan diri
dari serangan lawan tadi, ia mundur dua tindak, ketika Kiamhoatnya
diubah, ia keluarkan seluruh sari Hian-li-kiam-hoat,
dengan sinar pedang ia melindungi seluruh tubuhnya sambil
terus merangsek maju. Kelihaian Hian-li-kiam-hoat dengan keruwetan dari Thiansankiam-hoat tergolong Kiam-hoat yang tiada bandingannya
di kolong langit ini, tiap-tiap tipu serangannya pasti lihai luar
biasa, setiap tusukannya selalu mengarah tempat yang
berbahaya. Akan tetapi gerak langkah pihak lawan yang sempoyongan
seperti orang mabuk, kadang-kadang melompat ke atas,
tempo-tempo menubruk ke bawah, beberapa kali tampaknya
sudah hampir kebentur ujung pedang Si-nio, tetapi entah cara
bagaimana, justru di saat yang berbahaya itu, tahu-tahu
orangnya bisa menghindarkan diri.
Sedang pedangnya seperti menuding ke timur dan
menyabet ke barat, kelihatan serabutan tak teratur, tetapi
sebenarnya hebat sekali, di antara tipu serangannya masih
membawa perubahan tipu lainnya, suatu gerakan bisa
berganti gerakan lain pula, sungguh luar biasa ruwet
perubahannya. Sejak Lu Si-nio menjelajah di Kangouw belum
pernah dilihatnya musuh setangguh ini.
Kalau jago ketemukan tandingan yang sembabat biasanya
semakin bersemangat, karena itu, Lu Si-nio mainkan Hian-likiamhoatnya semakin cepat, ditambah Ginkangnya yang
tinggi, selalu ia mencari tempat luang dan mendahului
menyerang lawan. Begitulah sesudah ratusan jurus mereka saling gebrak,
dalam hal Kiam-hoat ternyata sama bagusnya dan tidak bisa
mengalahkan pihak lain. Tapi Ginkang Si-nio lebih tinggi, maka
boleh dibilang ia menyerang lebih banyak, maka ia sedikit
berada di atas angin. Namun demikian, masih belum bisa juga
ia mengalahkan lawannya. Setelah ratusan jurus berlangsung, kedua pedang mereka
masih terus menari-nari seperti ular naga, kadang-kadang
kedua senjata saling tempel dan terlibat menjadi satu, tetapi
tempo-tempo berlari kian-kemari, saking cepatnya sampai
pandangan Sim Cay-khoan jadi kabur hingga kepala pusing,
yang manakah Lu Si-nio akhirnya tak bisa dia bedakan lagi.
Karena masih tak bisa mengalahkan lawannya, pikiran Lu
Si-nio mendadak tergerak, tapi orang itu tiba-tiba melompat
keluar dari ' kalangan pertempuran.
"Sudahlah, tidak usah saling gebrak lagi, kau punya Hian-likiamhoat memang bagus sekali, bukankah kau Lu Si-nio?"
teriak orang itu. "Dan ilmu pedangmu ini tentunya adalah Tat-mo-kiamhoat,"
kata Si-nio. "Apa kau dari Bu-tong-pay" Pernah apakah
antara kau dengan Kui Tiong-beng Locianpwe?"
"Ialah ayahku sendiri," sahut orang itu.
Keruan Lu Si-nio terkejut oleh jawaban orang yang tak
tersangka ini. "Jika kau adalah keturunan pendekar ternama, kenapa kau
terima menjadi anjing alap-alap pemerintah, apa ini tidak
merosotkan nama baik keluarga Thian-san-chit-kiam?"
tegurnya kemudian. Tetapi orang itu tertawa, ia tidak gusar.
"Salah besar kata-katamu ini, kenapa kau bilang aku adalah
anjing alap-alap pemerintah?" sahutnya.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba jawab dulu, kenapa kau menggali kuburan It-biau
Taysu?" tanya Si-nio pula.
"Nyata Lu-lihiap telah salah paham," sahut orang itu. "Itbiau
Taysu adalah sahabat Ciangbun Suhengku Koh-in Taysu
dari Bu-tong-san, ketika Suheng mengetahui dia mengalami
nasib malang, ia kuatir ada orang merusak tubuh sucinya,
maka sengaja aku disuruh ke sini untuk memindahkan
jenazahnya ke Bu-tong-san."
Karena penjelasan inilah baru Si-nio mengetahui dirinya
yang salah sangka. "Kenapa tidak kau terangkan sejak tadi
hingga hampir saja terjadi salah paham," ujarnya.
"Justru karena aku melihat Kiam-hoatmu tadi, maka aku
sengaja menarik beberapa jurus pelajaran, perlunya supaya
tambah pengalaman," kata orang itu dengan tertawa.
"Ha, jika demikian kiranya kau sengaja menjajal aku," kata
Si-nio dengan tertawa juga. "Dapatkah mengetahui nama
Suheng?" "Aku she Boh bernama Jwan-seng," sahut orang itu.
Mendengar ini, seketika Si-nio menjadi bingung.
Sebagaimana diketahui, orang ini memperkenalkan dirinya
sebagai putra Kui Tiong-beng, tetapi kenapa sekarang bilang
she Boh. Akan tetapi orang itu lantas tertawa lagi.
"Aku ikut she ibuku," demikian ia menerangkan lebih lanjut.
"Ayahku seluruhnya punya tiga putra, masing-masing
mempunyai she yang berlainan."
"Sebab apakah ini?" tanya Si-nio heran.
"Ayahku sebenarnya she Ciok," tutur Boh Jwan-seng,
"tetapi ikut ayah angkatnya menjadi she Kui. Kami tiga
saudara ini, Toako kembali asal she Ciok bernama Kong-seng,
sedang aku ikut she ibu untuk menyambung abu Engkong luar
Boh Pi-kiang, adik ketiga baru ikut she ayah, namanya Kui
Hoa-seng." Setelah jelas, segera Si-nio minta maaf atas
kecerobohannya tadi. "Jenazah lt-biau Taysu dipindah ke Bu-tong juga baik,
malah tidak usah kuatir ada orang jahat mengganggu
kuburannya lagi," katanya kemudian.
"Kecuali pemindahan jenazah ini, masih ada hal lain yang
aku ingin minta pendapat Lihiap," Boh Jwan-seng berkata
pula. "Boh-heng jangan sungkan, silakan omong saja," sahut Sinio.
"Apakah kau kenal murid penutup Ie-locianpwe dari Thiansan,
seorang nona yang bernama Pang Ing?" tanya Boh Jwanseng.
"Tak hanya kenal, malahan karib sekali," sahut Si-nio
dengan tertawa. "Baik sekali kalau begitu dan tahukah kau sekarang dia
berada dimana?" tanya Boh Jwan-seng lagi.
"Kau hendak mencari dia?" berbalik Si-nio bertanya. Boh
Jwan-seng manggut-manggut.
Sudah tentu Si-nio menjadi heran, sebab selama ini belum
pernah ia dengar dari Pang Ing bahwa pernah kenal dengan
orang ini. "Untuk keperluan apa kau cari dia?" ia bertanya lebih jauh.
"Adikku hendak mencari perkara padanya, aku kuatir
adikku akan melukai dia, maka ingin lekas mencegahnya,"
sahut Boh Jwan-seng. "Aneh, sebab apa" Adikmu ada permusuhan apa dengan
dia?" demikian Si-nio terheran-heran.
Boh Jwan-seng menggeleng-geleng kepala.
"Kenal saja belum, darimana kami bersaudara bisa
bermusuhan dengan dia?" sahutnya kemudian.
Si-nio tambah heran oleh jawaban orang.
"Jika begitu, apa adikmu itu bukan sengaja cari gara-gara
belaka?" katanya dengan tertawa.
"Agaknya Lihiap kurang mengetahui," tutur Jwan-seng.
"Kami tiga saudara semuanya dibesarkan di Thian-san, waktu
itu Pang Ing masih belum datang di sana, maka kami tidak
saling kenal. Sesudah ayah meninggal, karena pesan yang
ditinggalkan ayah, kami bertiga lantas meninggalkan Thiansan
dan tersebar sendiri-sendiri untuk mengembangkan TatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mo-kiam-hoat dan menyusun kembali Bu-tong-pay kami. Aku
mendapat tugas memulihkan Bu-tong-pay cabang utara dan
selalu kian-kemari merantau di antara Siamsay dan Kamsiok
serta propinsi-propinsi sekitarnya, sedang Toako tinggal di Butongsan untuk membantu Ciangbun kami, sebaliknya adik
tinggal sendiri di Sucwan untuk menjaga kampung halaman.
Adik mempunyai hubungan persahabatan yang baik sekali
dengan keluarga Tong di Sucwan yang sangat terkenal karena
senjata rahasianya itu."
"Ya, ya. Tong-loji Tong Kim-hong, satu dari tiga tetua
keluarga Tong itu dua tahun yang lalu pernah datang ke
Soatang, katanya hendak menuntut balas sakit hati anak
menantunya," ujar Lu Si-nio.
"Memang, dan justru karena urusan inilah," kata Boh Jwanseng.
"Tetapi menantu Tong Kim-hong bukan dibunuh Pang Ing,"
Si-nio mendahului lagi, "melainkan adik perempuan Pang Ing
yang membunuhnya. Apalagi menantu Tong Kim-hong pernah
bekerja pada pemerintah sebagai opas, adalah lazim opas
membunuh maling atau malingnya yang membunuh opas, hal
semacam ini tidak bisa disamakan dengan permusuhan pribadi
umumnya. Kejadian biasa ini jarang sekali disertai dengan
menuntut balas dan saling labrak, lebih-lebih tidak nanti minta
bantuan orang luar. Apakah adikmu belum mengetahui
peraturan yang berlaku di dunia persilatan ini?"
"Sebenarnya Tong-jisianseng sendiri pun tidak terang yang
siapakah pembunuh anak menantunya, ia hanya tahu kalau
bukan Pang Ing, tentu adalah Pang Lin," ujar Boh Jwan-seng.
"Tadinya ia pun belum tahu bahwa Pang Ing mempunyai
seorang adik perempuan, hal ini belakangan baru dapat ia
selidiki. Tetapi Tong Kim-hong paling cinta pada putri satusatunya
itu, karena direcoki anaknya agar membalaskan sakit
hati menantunya hingga akhirnya ia kewalahan. Tetapi ketika
dia mengeluruk ke rumah Nyo Tiong-eng dua tahun yang lalu,
pernah ia kecundang secara mengenaskan, maka ia mengerti
dirinya sekali-kali bukan tandingan si kembar Pang Ing, oleh
sebab itulah ia lantas mendesak adikku suka membantu dan
menjadi jagonya. Dia telah melukiskan Pang Ing berdua
seakan sangat sombong karena Kiam-hoat mereka yang tinggi
dan dibumbui pula seperti penjahat yang tidak bisa diampuni.
Justru watak adikku memang suka unggul dan enteng kuping,
ketika mendengar ada penjahat wanita yang memiliki Kiamhoat
begitu tinggi, ia lantas ambil keputusan ingin belajar
kenal untuk adu ilmu pedang, ia tidak tahu bahwa Pang Ing
adalah murid kesayangan Ie-locianpwe."
"Dan kau sendiri darimana mendapat tahu?" tanya Si-nio.
"Permulaan tahun ini," tutur Jwan-seng pula, "pernah aku
berziarah ke makam ayahku di Thian-san, di sanalah aku
mendengar dari Ie-locianpwe. Bahkan dia bilang pula kelak
akan mengangkat Pang Lin sebagai ahli waris Bu-kek-pay. Jika
demikian, kakak beradik she Pang itu dan kita keturunan dari
Thian-san-chit-kiam mana boleh saling membunuh" Sesudah
aku kembali dari Thian-san, baru aku ketahui adik telah
diundang Tong Kim-hong untuk membantunya, kebetulan juga
Ciangbun dari Bu-tong-san kami menugaskan aku
memindahkan jenazah lt-biau Taysu, maka aku lantas menuju
kemari dulu." Sesudah Si-nio berpikir sejenak, dengan tertawa ia berkata
pada Cay-khoan, "Urusan kita di sini sudah beres,
pemandangan indah biar kelak kita nikmati lagi. Baiknya kini
kita pun ikut Boh-toako untuk menjadi perantara. Kita bisa
mendatangi keluarga Nyo dahulu di Soatang. Besar
kemungkinan Tong Kim-hong pasti akan mencari dulu Thi-ciosintan Nyo Tiong-eng." "Ha, bagus sekali kalau Lihiap suka ikut ke sana bersama,"
sambut Boh Jwan-seng dengan girang.
Bercerita mengenai diri Pang Lin, hari itu seorang diri ia
berangkat ke Soatang hendak menemui Nyo Tiong-eng.
Meski kini dia sudah cukup dewasa, tetapi pikirannya masih
bersifat anak-anak, oleh karena ia pernah memapas rambut
Nyo Liu-jing dan telah mendapat omelan dari sang Taci, maka
timbul semacam pikiran anak-anak olehnya, ia pikir, "Percuma
saja Cici sebagai pendekar wanita, terhadap soal perkawinan
sendiri ternyata tak berani secara terang-terangan
diselesaikan dan diputuskan sendiri. Tielakkah lebih baik aku
memalsukan dia sekalian ke rumah orang she Nyo, secara
terus-terang aku nanti katakan pada orang tua she Nyo itu,
dengan begitu tentu akan banyak menghemat tenaga dan
menghindari banyak kesukaran lagi. Jika secara kilat aku
selesaikan urusannya dan merangkap jodohnya pula, coba
nanti dia masih mengomeli aku atau tidak?"
Demikianlah dengan keputusan ini Pang Lin lantas datang
ke Tongpeng di Soatang. Tentang rumah keluarga Nyo,
karena sangat terkenal, maka tidak susah untuk dicari.
Kala itu adalah masa antara pergantian musim panas dan
rontok, cuaca rada buruk dan sering hujan, hari itu sehabis
hujan, sampailah Pang Lin di rumah Nyo Tiong-eng.
Ia lihat perkampungan keluarga Nyo yang menghadap
telaga dan membelakangi bukit ini, pemandangannya indah
permai, hanya air telaganya karena dibanjiri oleh air
pegunungan habis hujan hingga kelihatan keruh dan
mengurangi keindahan alam sekitarnya.
Rumah Nyo Tiong-eng terdiri dari beberapa buah deretan
yang dibangun menyandar bukit, Pang Lin sudah tiada hasrat
buat menikmati pemandangan lagi, ia naik ke atas tanah
tanjakan di depan terus mengetuk pintu gerbang keluarga
Nyo. Dalam hati ia lagi berpikir cara bagaimana harus bicara
apabila sudah berhadapan dengan orang tua she Nyo itu"
Tapi meski sudah lama ia mengetuk pintu, dari dalam tetap
tiada sahutan orang. Karena tak sabar, Pang Lin tidak menghiraukan lagi tentang
sopan-santun segala, segera ia melayang ke dalam melalui
pagar tembok, sesudah berada di pekarangan dalam, baru ia
lihat ada pelayan kecil yang mungkin baru mendengar suara
ketukan pintu dan sedang jalan keluar dari ruangan belakang.
Agaknya terkejut juga ketika pelayan kecil itu melihat yang
datang adalah Pang Lin, seketika ia tercengang.
"Eh, kiranya adalah kau, untuk apa kau datang ke sini
lagi?" segera ia berseru menegur.
"Dimanakah Nyo-loyacu" Tentu kakinya sudah baikan
bukan?" segera Pang Lin bertanya.
Akan tetapi pelayan itu menarik muka, seperti tak mau
menggubris padanya. "Pelayan ini tentu adalah pelayan pribadi Nyo Liu-jing, ia
tentu menyangka aku adalah Cici," demikian pikir Pang Lin.
Oleh sebab itu dengan tertawa ia lantas menyapa lagi.
"Rambut Siociamu sudah tumbuh belum" Bawalah aku
menemuinya, aku sengaja datang untuk minta maaf
padanya!" "Pergilah sendiri menemuinya! Hm, kau masih berani
datang lagi ke sini," sahut pelayan itu.
Habis berkata, dengan berlari ia lantas pergi.
Pang Lin menjadi marah, sebenarnya ia hendak menghajar
adat padanya, tetapi bila teringat apa artinya ribut-ribut
dengan seorang pelayan, maka ia urungkan maksudnya, ia
lantas masuk ke belakang untuk mencari Nyo Liu-jing.
Sudah tentu Pang Lin belum hapal jalan di rumah itu yang
gelap dan sepi, perabot rumah simpang-siur tak terurus.
"Nyo Tiong-eng percuma disebut sebagai pemimpin
kalangan Bu-lim lima propinsi utara sini, kenapa sama sekali
tak bisa mengatur rumah-tangga, jika dilihat tetamunya,
apakah tidak bakal ditertawai?" demikianlah Pang Lin berpikir.
Oleh karena masih belum menemukan orang, sesampainya
di ruangan dalam ia lantas berteriak memanggil, "Nyokongkong!
Nyo-kongkong!" Ia timkan lagak-lagu suara Encinya, ia pikir pasti Nyo
Tiong-eng akan mendengar suaranya!
Tak terduga, sayup-sayup dari dalam ia mendengar seperti
ada suara tangisan orang, waktu Pang Lin mendengarkan
lebih cermat, ia menjadi heran sekali. "Eh, bukankah ini suara
tangisan Nyo Liu-jing, perempuan ini kenapa suka aleman,
apakah dia sedang merecoki ayahnya agar membikin
perhitungan padaku" Hm, sungguh tidak tahu malu, orang
aleman toh tidak perlu pakai menangis segala!" begitulah ia
menyangka atas diri Nyo Liu-jing, dan ketika ia memanggil
beberapa kali lagi, masih tetap tiada suara sahutan Nyo Tiongeng,
yang ada hanya suara tangisan Nyo Liu-jing.
"Baiklah, biar aku menemui Nyo Liu-jing," akhirnya Pang
Lin mengambil keputusan. Karena suara tangisan itu datangnya dari sebuah kamar di
sebelah barat, maka ia lantas menyingkap kerai dan
menerobos masuk. Lalu tertampak olehnya Nyo Liu-jing
sedang duduk di dalam kamar, matanya kelihatan bendol
merah, dengan rupa lesu nona itu tidak ambil pusing ketika
Pang Lin menerobos masuk, ia hanya memandangnya sekali
dengan dingin saja. Tetapi suara tangisannya lantas berhenti juga.
Memangnya sejak dulu Pang Lin sudah menduga orang
pasti tidak senang terhadap dirinya, tetapi tak diduganya
bahwa sikapnya bisa mirip seperti orang kematian ayah,
keruan seketika Pang Lin bingung, ia tertegun sejenak untuk
kemudian baru mengamat-amati Nyo Liu-jing lagi.
Ia lihat nona ini mengenakan pakaian putih seluruhnya,
rambutnya yang dahulu kena dipapas kini sudah tumbuh
panjang lagi, hanya karena tidak rata dengan kedua belah
samping lain, maka masih jelek sekali kelihatannya.
Akhirnya Pang Lin coba menyapa dua kali, mendadak Liujing
mengangkat kepalanya, tertampak sekali wajahnya pucat
tak berdarah, kedua matanya membelalak, tetapi segera
menunduk pula. "Mana Hiau-lan?" dengan suara perlahan kemudian ia
bertanya. "Teng-sioksiok sudah tak ingin bertemu kau lagi," sahut
Pang Lin sengaja hendak membikin gusar orang, "ada yang
hendak kau katakan padanya, bolehlah kau bicarakan padaku
saja." Dengan jawaban ini, Pang Lin sudah bersiap untuk ribut
dengan orang, sebab ia menduga orang pasti akan naik darah


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berjingkrak. Tidak terduga, Nyo Liu-jing ternyata hanya menghela napas
saja. "Apa betul Hiau-lan sudah tak berbudi lagi" Percuma saja
selama ini ayahku sayang padanya," demikian katanya penuh
menyesal. Begitu memilukan suaranya hingga tanpa terasa
Pang Lin meng-kirikjuga. '"Dimanakah Nyo-kongkong, aku akan menyampaikan
salam Teng-sioksiok padanya," kemudian ia bertanya lagi.
Mendadak Nyo Liu-jing berdiri. "Baiklah, marilah sini, boleh
kau sampaikan salam padanya!" katanya dengan sengit.
Lantas ia membawa Pang Lin menyusur beberapa rumah
hingga tiba di taman belakang, di sebelah timur taman itu ada
sebuah gardu besar yang berwuwungan segi delapan, di
tengah gardu itu ternyata ditaruh sebuah peti mati dari kayu
merah, di ujung peti mati tertampak menempel sejalur kertas
putih yang bertulis, "Jenazah pendekar Soatang dan patriot
ahala Beng yang lalu, Nyo Tiong-eng".
Sungguh tak kepalang kaget Pang Lin ketika mendadak
nampak peti mati dengan tulisan itu!
Sama sekali tidak dia duga bahwa Nyo Tiong-eng sudah
mati, perubahan yang mendadak ini telah menghancurkan
seluruh rencananya semula, dengan terkesima ia memandangi
peti mati itu, lama sekali baru ia bisa buka suara bertanya,
"Cara bagaimana meninggalnya Nyo-kongkong?"
Tetapi Nyo Liu-jing tidak menjawab, sebaliknya ia lantas
bertanya juga, "Sungguhkah Hiau-lan tidak datang ke sini?"
Seketika Pang Lin tak dapat menjawab.
"Baiklah, kini ayah sudah meninggal, kalian berdua boleh
merasa senang dan puas!" kata Nyo Liu-jing lagi dengan
gusar. "Apa artinya kata-katamu ini?" sahut Pang Lin, lalu ia
membungkuk hendak menjura pada peti jenazah.
"Tidak perlu kau menjura," tiba-tiba Nyo Liu-jing
mencegah, "kau sudah membikin gusar hingga mengakibatkan
matinya ayah, apa kini kau hendak membikin aku mati gusar
lagi?" Berbareng ia mengulur tangan bermaksud menghantam
Pang Lin, tetapi sama sekali Pang Lin tidak berkelit, mendadak
tangan Nyo Liu-jing yang sudah diulur itu ditarik kembali lagi.
"Baiklah, lekas kau pergi! Selanjutnya tak perlu pula
mendatangi rumahku lagi!" katanya kemudian dengan
menghela napas. Meski dia berkata dengan suara yang masih sengit, tetapi
sudah jauh lebih tenang daripada tadi.
Keruan Pang Lin menjadi heran. "Eh, sesudah Nyo Tiongeng
mati, watak putrinya ini lantas berubah juga!" demikian
pikirnya. Pang Lin tidak tahu bahwa Nyo Tiong-eng yang sudah
lanjut usia, sesudah terkena senjata Tong Kim-hong, meski
berkat obat yang dikirim Tong Kim-hong hingga tidak sampai
jiwanya melayang, tetapi karena bekerjanya racun yang sudah
telanjur meresap ke dalam, daya hidupnya perlahan-lahan
menjadi banyak mundur dan lemah. Ditambah lagi di antara
bulan lima ketika menerima surat Teng Hiau-lan yang
mengabarkan bahwa hari ajalnya sudah dekat dan tidak bisa
tertolong lagi, kembali ia terkaget pula. Memangnya usianya
sudah tua, setelah mengalami peristiwa-peristiwa itu,
badannya menjadi semakin lemah dan loyo.
Celakanya lagi, Nyo Liu-jing yang kasar itu tidak tahu
kesehatan ayahnya kian hari kian mundur. Karena itu ketika
rambutnya kena dipapas oleh pisau Pang Lin, ia telah pulang
ke rumah dan menangis di hadapan ayahnya, ia bermaksud
menghasut ayahnya men-jagoinya, tapi sang ayah cukup
kenal tabiat buruk putrinya ini, orang tua itu menduga tentu
Liu-jing yang mencari gara-gara, dan karena ribut-ribut itu ia
menjadi semakin berduka dan sedih, hari keduanya sesudah
Nyo Liu-jing pulang ke rumah, segera Nyo Tiong-eng sakit
demam-panas dan karena sakitnya inilah ia telah mangkat.
Waktu Pang Lin datang di rumahnya, kala itu Nyo Tiong-eng
sudah meninggal hampir sebulan.
Nyo Tiong-eng termasuk seorang yang sudah
berpengalaman dan kenyang asam-garam, maka sebelum ajal
ia masih mengenangkan perbuatan selama hidupnya, ia
merasa tiada sesuatu kesalahan yang menodai namanya, yang
ada hanya terlalu memanjakan anak perempuan satu-satunya
ini hingga menjadikan gadis ini memiliki tabiat yang congkak
dan suka mengumbar watak buruk, hal inilah yang dia merasa
paling menyesal. Ketika ia pikirkan lebih dalam, ia merasa watak putrinya
memang jauh berbeda dan tidak mencocoki tabiat Hiau-lan.
Terpikir juga olehnya Pang Ing yang banyak membaca dan
kenal sopan-santun, walau umurnya masih kecil, tetapi tindaktanduknya
cukup tahu diri, pasti tidak nanti menghina
anaknya tanpa sebab-musabab. Apabila teringat pula olehnya
di kala Pang Ing tinggal di rumahnya, cara bagaimana Nyo
Liu-jing selalu mencari setori padanya bahkan menghina anak
dara itu, tanpa terasa ia menghela napas panjang.
"Jika lantaran hal itulah memaksa mereka (Teng Hiau-lan
dan Pang Ing) dari pura-pura menjadi sungguhan, maka
itupun tak bisa menyalahkan mereka!" demikian ia pikir.
Oleh karena itu juga, pada sebelum ajalnya, Nyo Tiong-eng
telah mendamprat habis-habisan dan memberi ajaran pada
sang putri. "Anak perempuan harus lembut halus," demikian pesannya.
"Tetapi watakmu keras dan suka cari gara-gara, tidak heran
kalau Hiau-lan tidak sudi padamu. Kalau kau tidak bisa
merubah tabiatmu ini, mati pun aku tidak tenteram."
Nyo Tiong-eng berkata dengan air mata bercucuran, karena
itu Nyo Liu-jing tak berani manyahut. Lebih jauh Nyo Tiongeng
mengorek semua perbuatan anaknya yang terlalu
menuruti napsu hatinya itu, maka Liu-jing menjadi malu dan
juga berduka, ia mendekam di tepi pembaringan ayahnya
untuk mendengarkan pesan orang tua itu.
Sesudah Nyo Tiong-eng mengorek perbuatan anaknya yang
lampau, dengan menghela napas panjang kemudian ia berkata
lagi. "Ya, aku menyesal juga kenapa dahulu tidak mengajar kau
dengan baik, sekali ini mungkin adalah penghabisan kalinya.
Sebagai ayah tentu mengharapkan kau menjadi baik, maka
hendaklah kau ingat betul pesanku ini. Dapatkah kau akur
kembali dengan Hiau-lan, itulah belum bisa diketahui. Cuma,
harus kau ketahui bahwa semakin kau menuruti tabiatmu
yang keras, semakin susah juga membikin dia berdekatan
dengan kau. Kau harus lapangkan dadamu, layani dia dengan
halus, dengan demikian mungkin urusan bisa berubah lain.
Tetapi kalau kalian berdua toh tidak bisa akur kembali, maka
anggaplah selesai sudah. Tapi, bagaimanapun juga watakmu
harus diubah. Jing-ji, selanjutnya tiada orang lain lagi yang
bisa mengajar kau, dapatkah kau mengubah tabiatmu?"
Begitulah karena pesan sang ayah itu, Nyo Liu-jing
menangis sedih sekali, ia ambil keputusan akan mengubah
semua tabiatnya yang buruk, maka mangkatlah Nyo Tiong-eng
di bawah suara tangisan putrinya itu.
Sesudah Nyo Tiong-eng meninggal, menurut pesannya
maka Nyo Liu-jing menaruh peti jenazahnya di taman
belakang rumah untuk menanti kedatangan Teng Hiau-lan dan
seorang lain lagi, kemudian baru akan dikebumikan.
Tidak terduga, Teng Hiau-lan yang ditunggu-tunggu belum
muncul, sebaliknya Pang Lin telah datang lebih dulu.
Demikianlah karena teringat akan ajaran ayahnya, maka
tidak berani Nyo Liu-jing sembarang mengumbar amarahnya,
tapi apapun juga tabiat buruk seketika susah berubah begitu
cepat, melihat Pang Lin, ia masih tetap merasa benci dan
hampir saja mengunjuk tabiatnya yang keras. Oleh sebab
itulah mereka berdiri di hadapan peti jenazah Nyo Tiong-eng,
berdiri terpaku, mereka merasa serba salah dan entah apa
yang harus dibicarakan. Memang meninggalnya Nyo Tiong-eng sama sekali di luar
perhitungan Pang Lin, oleh karenanya ia menjadi bingung.
"Urusan Cici cara bagaimana harus dibicarakan sekarang"
Bukankah menjadi sulit?" demikian katanya dalam hati.
Selagi ia merasa serba susah, tiba-tiba pelayan kecil tadi
berlari mendatangi dengan napas tersengal-sengal.
"Siocia, orang dari keluarga Tong kembali datang lagi!"
segera pelayan itu melapor.
Mendadak Nyo Liu-jing menjadi gusar hingga alisnya
menegak. "Meski ayahku sudah mati, tapi tidak boleh nama baik
keluarga Nyo kami ternoda," katanya kemudian. "Pang Ing,
sebaiknya lekas kau melarikan diri melalui pintu belakang. Biar
aku wakilkan kau membereskan urusan ini!"
"Apa katamu" Ada urusan apa yang perlu kau wakilkan
diriku membereskannya?" tanya Pang Lin heran.
"Hm, jangan kau pura-pura bodoh, orangnya sudah kau
bunuh, apa kau tidak mengetahui?" sahut Nyo Liu-jing.
"Jangan kira dahulu kau bisa memukul lari mereka, harus kau
ketahui bahwa orang dari keluarga Tong bukanlah orang yang
gampang dilayani" Sekali ini kalau mereka tidak yakin pasti
menang, tidak mungkin mereka berani meluruk ke sini lagi. Di
masa hidup ayahku tidak membiarkan kau diambil begitu saja
oleh mereka dari rumah kami, kini aku adalah tuan rumah di
sini, aku tidak mau ayah mendamprat aku di alam baka bahwa
aku telah merosotkan nama baik keluarga Nyo. Nah, tidak
lekas kau angkat kaki?"
Di luar dugaan, Pang Lin malah menjadi gusar demi
mendengar penuturan itu. "Berani berbuat berani bertangung-jawab, siapa ingin kau
melindungi aku?" demikian sahutnya dengan sengit. "Dan
kenapa aku harus lari?"
Segera dia menerjang keluar gardu, ketika ia memandang,
ia lihat dari luar sedang mendatangi tiga orang, yang seorang
sudah kakek-kakek, yang seorang lagi wanita muda dan
seorang lain adalah laki-laki berumur antara tiga puluhan
tahun. Ketiga orang ini kiranya adalah Tong Kim-hong, Tong Sayhoa
dan jago yang diundang Tong Kim-hong, yakni Kui Hoaseng.
Kedatangan Tong Kim-hong sebenarnya hendak minta
orang pada Nyo Tiong-eng, tak terduga baru mereka masuk
rumah sudah kepergok orang yang mereka cari, sungguh
kebetulan sekali. "Haha, kau bangsat cilik ini sungguh bernyali besar juga,
ternyata masih berani kau tinggal di sini dan belum kabur,"
demikian terdengar Tong Kim-hong menegur dengan bergelak
tertawa. "Kau bangsat tua ini kenapa mencaci-maki orang
semaunya, perlu apa aku kabur?" kontan Pang Lin balas
memaki. "Bagus, bagus kalau begitu," kata Tong Kim-hong lagi, "jika
memang kau tidak ingin membikin susah keluarga Nyo, maka
aku ada dua jalan dan boleh kau pilih sendiri!"
"Dua jalan apa katamu" Coba katakan," sahut Pang Lin.
"Pertama, segera kau ikut berangkat dengan kami," kata
Tong Kim-hong menerangkan. "Jalan lain ialah segera kau
bereskan dirimu sendiri, supaya kami tidak perlu turun tangan
lagi." Keruan bukan main gusar Pang Lin. Baru saja ia mau
mendamprat, tiba-tiba Tong Say-hoa sudah berteriak.
"Tia, perlu apa banyak omong dengan bangsat perempuan
ini" Lekas turun tangan saja!"
Begitulah karena mengandalkan jago yang diundang,
segera ia mengayun tangan, sebuah Hui-to segera
menyambar ke depan. "Ha, kau bisa main Hui-to juga!" seru Pang Lin sambil
berkelit. "Kau perempuan busuk ini, apa kau kira aku yang
membunuh lakimu hingga kau begitu tak kenal aturan?"
Sudah tentu janggal sekali dampratan Pang Lin ini, ia tidak
tahu Tong Say-hoa adalah istri Ong Go, dan Ong Go justru
memang dia yang membunuhnya.
Sementara itu Tong Kim-hong naik darah juga oleh katakata
orang tadi. "Bangsat, sudah membunuh anak menantuku,
masih berani kau mengoceh seenaknya?" balasnya memaki.
Akan tetapi pikirannya mendadak tergerak, tiba-tiba ia
bertanya, "Hai, apakah kau masih mempunyai seorang
saudara perempuan, di antara kalian siapakah sebenarnya
pembunuhnya?" Pang Lin terkejut oleh pertanyaan yang mendadak ini.
"Siapakah anak menantumu itu?" tanyanya juga.
"Kau-Iiam-cio Ong Go kau yang membunuhnya atau
bukan?" tanya Tong Kim-hong.
"Fui!" Pang Lin menjengek. "Kiraku siapa, tak tahunya
adalah Ong Go yang kau maksudkan. Menantumu itu adalah
anjing alap-alap kerajaan, sedang ajijing alap-alap yang aku
bunuh tidak hanya seorang, boleh jadi anak menantumu juga
menjadi setan di bawah pedangku!"
Tentu saja gusar sekali Tong Kim-hong, sekali kebas lengan
bajunya, segera ia hendak menubruk maju kalau tidak tibatiba
nampak Liu-jing berlari mendatangi secepat terbang,
segera ia urungkan serangannya.
"Nona Jing, suruh bapakmu keluar, bangsat perempuan ini
sudah pasti akan kami bawa sekali ini," teriaknya pada Nyo
Liu-jing. "Bagus, bagus sekali, baru saja ayahku mangkat, kalian
sudah lantas meluruk ke sini lagi untuk menghina aku?"
sambut Nyo Liu-jing dengan marah-marah.
"Apa katamu" Bapakmu sudah mati?" tanya Tong Kim-hong
dengan kaget. Meski pernah Kim-hong saling gebrak dengan Nyo Tiongeng,
tetapi kedua pihak sudah menjalin persahabatan selama
dua puluh tahun, pribadi Tong Kim-hong sebenarnya sangat
mengagumi Nyo Tiong-eng, maka demi mendengar kata-kata
Liu-jing tadi, ia menjadi kaget sekali.
"Ya, meski ayahku sudah mati, tetapi nama keluarga Nyo
masih tetap abadi, kecuali kalau kau bunuh aku, jika tidak,
jangan harap kau inginkan orang di dalam rumahku!" sahut
Nyo Liu-jing. "Tia, jangan peduli Nyo Tiong-eng mati atau tidak, lekas
kita turun tangan," dari samping segera Tong Say-hoa
berteriak. "Nyo Liu-jing, dengan sedikit kepandaianmu ini kau


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin merintangi kami" Hm, sungguh sangat menggelikan!"
Habis berkata, begitu tangan kirinya diangkat, dengan
mengeluarkan suara mengaung, dua buah anak panah
bersuara seketika dia lepaskan, ia bermaksud membikin takut
Nyo Liu-jing supaya nona ini mundur teratur.
Tak dia duga, kini Nyo Liu-jing sudah kembali pada watak
kerasnya, bukannya dia mundur, sebaliknya ia memapak
maju, ia ulur tangannya terus hendak menangkap anak panah
orang. Dalam hal menggunakan senjata rahasia, nyata Tong Sayhoa
cukup lihai, begitu keras timpukannya hingga panahnya
yang bersuara itu membawa desiran angin yang santar dan
cepat. Syukur dengan cepat Pang Lin lantas turun tangan, begitu
ia menggeraki tangannya, sebuah Hui-to segera menyambar
memotong dari samping, karena itu, kedua anak panah Tong
Say-hoa kena terpotong putus semua.
"Nyo Liu-jing, aku tidak perlu bantuan!" demikian Pang Lin
berteriak. Habis itu, kembali sebuah Hui-to melayang lagi, kontan ia
balas menyerang Tong Say-hoa.
Di samping sana demi melihat menyambarnya Hui-to yang
membawa sinar hitam mengkilap, Kui Hoa-seng menjadi
kaget, dengan cepat ia melolos pedangnya terus menyampuk
pisau itu, menyusul dengan kedua jarinya dia jepit pisau ini
dan diperiksanya pula. "Betul juga penjahat cilik yang keji!" katanya kemudian.
Namun Pang Lih yang nakal tidak membiarkan begitu saja,
dengan pedangnya segera ia menubruk maju, tetapi Kui Hoaseng
tidak menyambut serangan anak dara ini, ia hanya
berputar, ia tidak pula balas menyerang, tetapi tujuannya
hendak melihat Kiam-hoat orang dahulu.
. Sementara itu Nyo Liu-jing justru tak mau tinggal diam
meski sudah diteriaki Pang Lin tadi.
"Pang Ing (ia masih menyangka demikian)," serunya, "lekas
kau mundur, tidak nanti aku biarkan kau ditangkap orang di
rumahku, lekas mundur, biar aku yang melayani mereka
dahulu." "Bagus, dua-duanya sama berjiwa besar," tertawa Tong
Kim-hong sambil mengelus jenggotnya. "Nona Jing, kau tidak
malu sebagai putri Thi-cio-sin-tan!"
Habis itu mendadak ia mengulur tangannya memegang
pundak Nyo Liu-jing terus ditekan ke bawah.
"Apa betul ayahmu sudah mati" Coba bawa aku pergi
melihatnya!" katanya.
Karena pundaknya dipegang dan ditekan ke bawah, Nyo
Liu-jing jadi tak bisa berkutik.
"Bagus, tua menghina muda, sungguh tidak tahu malu!"
teriak Liu-jing dengan gusar.
"Bawa aku pergi melihatnya!" kata Tong Kim-hong pula
sambil setengah menarik dan setengah menyeret ia tarik Nyo
Liu-jing menuju ke gardu di taman belakang itu.
Dalam pada itu sesudah Kui Hoa-seng berputar dua kali
hingga tusukan Pang Lin mengenai tempat kosong, segera
gadis ini mengubah tipu serangannya, ia keluarkan tipu yang
paling lihai dari Bu-kek-kiam-hoat yang disebut 'Ku-kong-ihsan'
(Ku-kong memindah gunung), gaya pedangnya sangat
lambat, ia memotong begitu saja, akan tetapi tenaganya
justru terkumpul seluruhnya di ujung pedang dan setiap saat
bisa berubah arah pula. "Bagus, berharga juga bergebrak dengan kau!" seru Kui
Hoa-seng setelah kenal Kiam-hoat orang yang sangat lihai ini.
Segera ia berputar pergi dari samping Pang Lin.
Pang Lin kaget oleh kesehatan orang, segera ia pun
keluarkan kepandaian cara menubruk dan menggempur elang
kucing. "Ha, kau masih punya kepandaian ini!" kata Kui Hoa-seng.
Menyusul ia pun menubruk maju lagi terus menusuk.
Berulang-ulang Pang Lin menangkis lima kali dengan
berbagai gerak tipu Kiam-hoatnya, tetapi Tat-mo-kiam-hoat
yang dimainkan Kui Hoa-seng hebat luar biasa, tiap gerak
tipunya sama sekali di luar dugaan orang, meski Bu-kek-kiamhoat
yang dipelayari Pang Lin juga merupakan ilmu pedang
yang hebat, tetapi karena waktu melatihnya belum begitu
lama, maka sesudah menangkis lima kali, ia rasakan beratnya
tekanan lawan, berulang kali ia harus menghadapi bahaya, ia
mengerti juga dirinya bukan tandingan orang. Tetapi bila
teringat olehnya kata-kata Nyo Liu-jing tadi, ia telah ambil keputusan,
meski harus mati dalam pertempuran ini, tidak nanti
aku dihina orang di rumah keluarga Nyo sini.
Oleh karena itu, mendadak ia timpukkan tiga buah pisau
sakti, karena serangan serentak ini, terpaksa Kui Hoa-seng
harus berkelit, kesempatan ini segera digunakan Pang Lin
untuk mengeluarkan ilmu lompatan seperti elang kucing,
dengan sekali lompat ia mencelat keluar pagar tembok.
Namun ilmu entengi tubuh Kui Hoa-seng juga tinggi sekali,
dengan cepat segera ia mengudak, sampai di tengah bukit,
kembali ia dapat mencegat di depan Pang Lin.
"Hai, kau punya Bu-kek-kiam-hoat ini dapat mencuri belajar
darimana?" demikian Kui Hoa Seng membentak pula.
"Aku dapat mencuri atau tidak, peduli apa dengan kau?"
damprat Pang Lin. "Justru aku ingin peduli!" sahut Kui Hoa-seng. Habis itu ia
berjalan dengan gaya sempoyongan terus memapak maju.
Aneh sekali, meski Pang Lin sudah menggunakan berbagai
gerakan, tetapi tiap kali selalu kena dicegat olehnya di sudut
mana saja! Meski ia menggunakan cara menyerang dan
menubruk seperti elang kucing pula, tetapi hanya sempat
untuk menghindarkan diri sekejap saja, habis itu dengan cepat
sekali orang sudah mengikuti di belakangnya lagi.
Kui Hoa-seng sejak kecil sudah meninggalkan Thian-san
dan menetap di daerah Sucwan, maka ia tidak kenal asal-usul
Pang Lin, ia lihat Pang Lin sekaligus pandai dalam beberapa
macam cabang ilmu silat yang aneh, tetapi berbareng pula
mahir Bu-kek-kiam-hoat, ia menjadi rada heran. "Tampaknya
ia bukan keturunan dari cabang silat Pho Jing-cu, cabang silat
itu tidak nanti memperbolehkan anak murid keturunannya
mempelajari ilmu silat liar dari cabang lain," demikian katanya
dalam hati. Oleh karena pikiran itu, ia hanya memainkan Tat-mo-kiamhoat
yang lihai untuk mengurung Pang Lin di tengah, ia tidak
lantas memberikan serangan mematikan dan ingin
mengetahui berapa banyak ilmu silat lain yang dipahami Pang
Lin. Jalanan pegunungan sehabis disiram air hujan gerimis
keadaan menjadi sangat licin, meski Ginkang Pang Lin tidak
jelek, tetapi kalau harus menjaga serangan Kui Hoa-seng
dengan Tat-mo-kiam-hoatnya yang lihai, pula ia harus berhatihati akan kakinya supaya tidak sampai terpeleset, keruan
ia semakin merasa payah oleh serangan lawan yang gencar.
Tengah ia merasa kuatir, tiba-tiba ia dengar ada suara
seruan orang dari jauh, "Moaymoay jangan kuatir!"
Mendengar suara ini, seketika Pang Lin balas berseru
dengan girang, "Ya, lekas kemari Cici!"
Kiranya yang datang adalah Pang Ing bersama Teng Hiaulan!
Sesudah Lu Si-nio berangkat, Pang Ing lantas menduga
adik perempuannya ini pasti menuju ke rumah keluarga Nyo di
Soatang, karena kuatir adiknya yang nakal ini bisa
menerbitkan onar hingga membikin urusan semakin runyam,
maka ia pun tidak merasa kikuk lagi berunding dengan Teng
Hiau-lan. "Ya, toh akhirnya kita harus menemui Nyo-insu juga," ujar
Hiau-lan sesudah mendengar pendapat Pang Ing itu. "Kini kita
sudah tiada tugas lain, sepatutnya kita pergi menemui dia
agar orang tua itu merasa lega. Tentang perjodohanku
dengan Nyo Liu-jing adalah soal lain."
Pang Ing masih polos, terlalu putih bersih tanpa
mempunyai sesuatu pikiran jelek, dengan tertawa ia berkata
lagi, "Asal kita bisa berkumpul untuk selamanya, meski kau
harus menikah dengan Nyo Liu-jing, itupun bukan sesuatu
halangan," katanya tanpa pikir.
Hiau-lan hanya tertawa getir saja oleh kata-kata yang
bersifat kekanak-kanakan itu.
"Aku susah berjodohkan dia. Soal ini jangan kita gugat
lagi," katanya kemudian. "Cuma, kita harus ke rumah keluarga
Nyo." Setelah mereka bicarakan dengan Kam Hong-ti. Tentu saja
pendekar ini akur, justru ia paling sungkan campur tangan
dalam urusan pemuda-pemudi ini, kini melihat mereka
bersedia pergi sendiri, inilah yang ia harapkan.
Maka mereka lantas saling berjanji untuk kelak bertemu di
Bin-san, lalu Pang Ing dan Teng Hiau-lan berangkat ke
Soatang. Sepasang muda-mudi ini sudah hapal jalan ke rumah Nyo
Tiong-eng, pula mereka bisa berjalan cepat, maka meski
terlambat berangkat dua hari, setiba di tempatnya masih tepat
juga pada waktu Pang Lin terancam bahaya dan nampak anak
dara ini sedang bertarung sengit dengan orang di lereng
gunung. Melihat adiknya dalam bahaya, segera Pang Ing
melolos senjata hendak maju membantu.
"Orang ini berani turun tangan di depan rumah guruku,
inilah sangat mencurigakan," ujar Hiau-lan sebelum Pang Ing
turun tangan. "Jangan-jangan rumah tangga guruku sudah
terjadi sesuatu yang di luar dugaan" Ing-moay, hendaklah kau
pergi menemui Nyo-kongkong dahulu, biar aku yang
membantu Lin-moay." Pang Ing mengerti Lwekang dan Kiam-hoat Teng Hiau-lan
kini sudah jauh lebih maju dan boleh dikata sudah seimbang
dengan dirinya, maka ia percaya atas kemampuan pemuda ini.
"Baik juga," sahutnya. "Kau harus hati-hati, nampaknya
orang ini bukan orang biasa!"
Habis berkata ia lantas turun dari lereng gunung melalui
jalan depan menuju ke rumah keluarga Nyo.
Justeru pada waktu anak dara ini memasuki rumah
keluarga Nyo, saat itu juga kebetulan Nyo Liu-jing baru
melompat keluar dari taman belakang, maka keduanya tidak
kepergok. Tong Kim-hong yang menyeret Nyo Liu-jing ke belakang,
sesudah tiba di gardu taman, betul juga ia lihat ada sebuah
peti mati dari kayu merah, di depannya tertulis nama Nyo
Tiong-eng. "O, Nyo-toako, betulkah kau telah meninggal?" kata Tong
Kim-hong dengan air mata berlinang karena terharu.
Sementara itu Nyo Liu-jing baru terlepas dari cekalan
orang, ia merasakan pundaknya masih kaku kesemutan.
"Hm, peti matinya ada di sini, apa aku membohongi kau?"
sahut Nyo Liu-jing dengan gusar atas kata-kata orang tadi.
"Percuma saja kau bersaudara dengan ayahku, sudah kau
lukai dia, kini dia sudah mati kau masih mengeluruk kemari
untuk menghina diriku!"
Karena olok olok ini, Tong Kim-hong menjadi tak enak
sekali rasanya. "Bukankah aku sudah memberi obat penawarnya pada
ayahmu?" tanyanya dengan mata membelalak.
"Obatmu datangnya terlambat, apa gunanya?" sahut Nyo
Liu-jing mengejek. "Bertahun-tahun ia cacat dan kini sudah
mati, baru kau datang kemari seperti kucing menangisi tikus,
pura-pura kasihan segala."
"Apakah betul ayahmu mati oleh sebab luka itu?" tanya
Tong Kim-hong dengan mengerut kening.
"Hm, apa mungkin ayahku mencari mati sendiri!" sahut LiujingDemikianlah dengan tajam Nyo Liu-jing bermaksud
mencaci-maki Tong Kim-hong agar orang ini kabur sendiri, di
luar dugaan mendadak Tong Kim-hong malah tertawa
terbahak-bahak. "Ai, Nyo-toako, terimalah hormatku ini!" katanya sambil
mendorong Nyo Liu-jing keluar dari gardu itu, lalu ia berlutut
di depan peti mati itu sambil kedua telapak tangannya
menggablok ke atas peti dengan keras.
Kiranya itu adalah kejadian biasa di kalangan Kangouw
bahwa orang yang hendak menghindari musuh yang menuntut
balas padanya, seringkah pura-pura mati. Tong Kim-hong
sudah paham segala kejadian Kangouw, sesudah olok-olok
Nyo Liu-jing tadi, hatinya menjadi tergerak, diam-diam
berpikir, "Jangan-jangan Nyo Tiong-eng sudah menduga aku
bakal datang kembali mencari setori padanya, maka ia purapura
mati agar aku tidak enak hati buat bikin rusuh di sini?"
Karena rasa curiga ini, diam-diam ia kumpulkan tenaga
dalamnya terus menggablok ke atas peti mati, keruan papan
peti lantas pecah dan retak hingga tercium bau busuk mayat
yang menusuk hidung. Semula Tong Kim-hong menduga dalam peti itu terisi batu
dan sebagainya, maka ia menjadi tergetar hatinya ketika
dugaannya meleset, lekas ia geser tutup peti mati itu dengan
gugup, ternyata jenazah Nyo Tiong-eng yang sudah diobati
dan diberi wewangian, karena baru sebulan meninggalnya,
maka wajah mukanya masih seperti hidup dan belum busuk,
hanya bau busuk mayat saja yang tidak dapat ditahan.
Waktu ia tegasi lagi, ternyata di atas dada jenazah terletak
satu sampul surat yang tertulis, "Dihaturkan kepada Tong
Kim-hong Hiante". Keruan Tong Kim-hong terkejut, pikirnya, "Kiranya Nyo
Tiong-eng bukan pura-pura mati, tetapi sebelumnya ia sudah
menduga bakal terjadi seperti hari ini."
Segera ia ambil sampul surat itu, setelah tutup peti mati itu
dia rapatkan lagi, surat itu lantas dibuka dan dibaca, ternyata
di dalamnya Nyo Tiong-eng menjelaskan bahwa nona Pang
adalah gadis piatu yang sangat mengenaskan kisah hidupnya,
karena itu Ie-locianpwe dari Thian-san telah menerimanya
sebagai murid dan Nyo Tiong-eng sendiri memandangnya
seperti anak sendiri. Ditambahkan pula kata pribahasa bahwa
permusuhan lebih baik diakurkan daripada dipertajam, pula
anak menantunya belum tentu dibunuh oleh anak dara ini,
maka diharapkan Tong Kim-hong suka mengingat
persaudaraan mereka yang lalu dan jangan mengusut lebih
lanjut urusan itu. Nyo Tiong-eng tidak terlalu pandai dalam surat-menyurat,
tetapi toh cukup mengharukan juga tulisan itu, karena itu,
sesudah membaca, Tong Kim-hong menjadi ragu-ragu.
"Dengan tidak gampang baru kudapatkan bantuan dari Kui


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa-seng, mana boleh berakhir dengan demikian saja" Tetapi
kalau urusan ini tetap kuteruskan, tak enak juga terhadap
kebaikan Nyo Tiong-eng, apalagi orang yang hendak dicari
adalah murid kesayangan Ie-locianpwe, sesungguhnya aku tak
ingin menyudahi urusan ini, lantas bagaimana baiknya?"
demikian pikir Tong Kim-hong.
Bila teringat pula olehnya bahwa Nyo Tiong-eng telah dia
lukai dahulu, kematiannya kini bukan mustahil ada
hubungannya dengan itu, maka perasaan Tong Kim-hong jadi
semakin tak enak. Akhirnya ia berlutut lagi sambil menangis
sedih sekali. Ketika berhenti dari tangisnya dan mengangkat kepala, ia
dapatkan Nyo Liu-jing sudah pergi.
Kembali tentang Teng Hiau-lan tadi, setelah ia melolos Yuliongpokiam, segera ia menerjang maju membantu Pang Lin,
begitu senjatanya berkelebat, segera memancarkan sinar
berkilauan, Kui Hoa-seng menjadi kaget, ia putar tangannya
terus menusuk dari samping.
Melihat tipu serangan musuh yang aneh ini, lekas Hiau-lan
tarik pedangnya buat menangkis.
"Apa pedang yang kau gunakan ini Yu-liong-pokiam?" tibatiba
Kui Hoa-seng membentak. "Sudah kau ketahui, kenapa tidak lekas kau menyerah?"
sahut Hiau-lan. Akan tetapi Kui Hoa-seng menjadi gusar, tiba-tiba ia
melompat, senjatanya berputar terus merangsek maju pula.
Kui Hoa-seng hanya kenal Yu-liong-pokiam dahulu oleh
Leng Bwe-hong telah diberikan pada Ciu Jing, tetapi tidak
mengetahui bahwa oleh Ciu Jing dimrunkan pula kepada Teng
Hiau-lan. Ketika Ciu Jing tewas dan Ie Lan-cu pernah mencari
pedang pusaka ini ke Tionggoan, hal ini ia dengar juga, kini
demi nampak Teng Hiau-lan menggunakan pedang ini, ia
menyangka tentu orang telah merebut dari tangan Ciu Jing,
maka ia pikir hendak merebut kembali pedang pusaka Thiansan
ini untuk kemudian diserahkan kembali pada le Lan-cu.
Karena itulah maka ia membuka serangan secara hebat
Setelah saling gebrak beberapa puluh jurus, semula Hiaulan
menggunakan Tui-hong-kiam-hoat, tetapi tidak unggulan,
maka ia ganti memainkan 'Si-mi-kiam-hoat' yang paling hebat
dari Thian-san, dengan menyerang untuk menjaga diri pula,
dengan demikian baru ia sanggup menahan musuh.
Di lain pihak demi nampak Hiau-lan mengeluarkan
permainan Thian-san-kiam-hoat, Kui Hoa-seng menjadi lebihlebih
curiga. Teng Hiau-lan sendiri pernah tinggal tiga tahun di Thiansan,
tetapi karena le Lan-cu hanya mengajarkan dia ilmu
pedang dari cabang silatnya sendiri, maka ia pun hanya kenal
nama Tat-mo-kiam-hoat saja, tapi sampai dimana dan betapa
lihai ilmu pedang ini ia sama sekali tidak tahu, kini berhadapan
dengan musuh tangguh, ia hanya merangsek dengan hebat,
ditambah Pang Lin sudah terlalu gemas pada Kui Hoa-seng
yang terlalu mendesak padanya, maka gadis ini lebih ganas
memberikan serangannya. "Aneh, jika dia adalah keluaran Thian-san-pay, kenapa dia
tak kenal asal-usul aku punya Kiam-hoat?" demikian Klui Hoaseng
berpikir. "Tetapi kalau bilang dia adalah anak murid Ciu
Jing, sedang Ciu Jing hanya paham Tui-hong-kiam-hoat saja
dari Thian-san, tidak mungkin bisa punya murid seperti dia
ini." Memang Teng Hiau-lan hanya tiga tahun tinggal di Thiansan,
maka orang luar tidak banyak yang tahu. Kui Hoa-seng
seketika pun tidak menyangka orang bisa menjadi murid
akuan le Lan-cu, ditambah di antara tiga saudaranya, ia
terhitung yang paling berangasan dan suka menang, kini demi
melihat Teng Hiau-lan memainkan Thian-san-kiam-hoat, diamdiam
ia berpikir kenapa aku tidak menjajal dia sekalian,
bukankah selama ini terdengar bahwa Thian-san, Hian-li, Tatmo,
tiga macam Kiam-hoat ini terhitung sama kuat dan sama
bagusnya, meski pernah aku menyaksikan Ie-locianpwe
berlatih, tetapi selamanya tiada kesempatan buat menjajal,
maka kesempatan hari ini kenapa tidak aku gunakan untuk
mengukur Kiam-hoat masing-masing, manakah sebenarnya
yang lebih bagus" Oleh karena pikiran inilah, segera ia percepat
rangsekannya, berulang-ulang ia keluarkan serangan dengan
tipu >ang aneh. Akan tetapi Teng Hiau-lan tidak menjadi jeri,
ia mainkan Si-mi-kiam-hoat sedemikian cepatnya hingga
seluruh tubuhnya seperti dikitari oleh selapis sinar, sebaliknya
Kui Hoa-seng ternyata sanggup menerobos kian-kemari di
antara tempat luang sinar tajam itu. .
Sebenarnya kemujizatan Thian-san-kiam-hoat sekali-kali
tidak di bawah Tat-mo-kiam-hoat, cuma Kui Hoa-seng sejak
kecil sudah mendapat bimbingan dari ayahnya sendiri, dengan
sendirinya keuletannya menang setingkat daripada Teng Hiaulan.
Kiam-hoat dan gerak tubuhnya tiada satu pun yang tidak
aneh, karena gugupnya, Teng Hiau-lan rada kelabakan hingga
beberapa kali kena dibobol lawan, syukur Kui Hoa-seng masih
rada jeri terhadap ancaman Yu-liong-pokiam yang tajam,
maka ia tidak berani terlalu mendesak maju, dengan demikian
maka walaupun Hiau-lan berada di bawah angin, namun untuk
sementara belum sampai dikalahkan.
Sedang Pang Lin dengan ilmu pedang Bu-kek-kiam-hoatnya
yang meski bagus tetapi karena belum terlatih matang,
sedang Kui Hoa-seng justru mengincar dan mencecar Teng
Hiau-lan terus, maka meski Pang Lin tiada hentinya membantu
sang kawan dari samping dengan berbagai serangan, namun
juga belum bisa menusuk musuh.
Dalam pada itu setelah Nyo Liu-jing berlari sampai di luar,
ketika ia melihat Teng Hiau-lan dan Pang Lin melawan musuh
berjajar, sedang Hiau-lan dengan mati-matian bertarung untuk
melindungi Pang Lin, dalam hati rada timbul rasa cemburu.
Tetapi bila ia lihat lagi keadaan Teng Hiau-lan yang terdesak
dan terancam bahaya, tak tertahan ia pun kebat-kebit hatinya.
Di lain pihak, demi nampak Nyo Liu-jing muncul, Tong Sayhoa
kuatir kalau gadis ini ikut maju, segera ia putar senjatanya
terus memapaki orang, sudah tentu Nyo Liu-jing tidak
menyerah mentah-mentah, maka mereka pun bertempur di
lereng gunung itu dengan serunya, ilmu silat keduanya tidak
banyak berselisih, Nyo Liu-jing tak sanggup menerobos lewat,
Tong Say-hoa sebaliknya tak mampu memukul mundur orang.
Selagi mereka berdua saling labrak dengan sengit, saat itu
juga Tong Kim-hong telah keluar dari rumah keluarga Nyo,
sementara itu Tong Say-hoa bermaksud menyerang lawan
dengan senjata rahasianya, namun ia keburu dicegah sang
ayah. "Say-hoa, jangan kau lukai dia!" tiba-tiba Tong Kim-hong
meneriakinya. Karena itu Tong Say-hoa jadi tertegun, dengan demikian
secepat angin Nyo Liu-jing menerjang lewat di sampingnya.
Kala itu Teng Hiau-lan sedang kepayahan juga, tiba-tiba
terdengar Tong Kim-hong buka suara berteriak pula.
"Kui-hiante, harap berhenti dulu, Nyo-lothauji betul-betul
sudah mati!" Tidak kepalang terperanjatnya Teng Hiau-lan mendengar
kabar yang mendadak ini, hampir saja Yu-liong-pokiam di
tangannya terjatuh ke tanah.
Pada saat itu Kui Hoa-seng sudah telanjur mengulur
pedangnya hendak menusuk, lekas ia berusaha miringkan
senjatanya ke samping dan tepat dapat menyampuk senjata
Pang Lin. Dalam pada itu Nyo Liu-jing sudah berlari datang, baru saja
ia menubruk tiba, karena tahu dirinya sekali-kali bukan
tandingan lawan, ia taksir tidak nanti musuh berani melukai
dirinya, maka begitu menubruk maju segera ia menubruk ke
atas tubuh Teng Hiau-lan dengan maksud melindungi pemuda
ini dari tusukan lawan. Padahal Kui Hoa-seng telah kenali apa yang dimainkan
Hiau-lan adalah Thian-san-kiam-hoat, maksudnya hanya
melulu menjajal kepandaiannya saja dan tiada tujuan hendak
mencelakai jiwanya. Nyo Liu-jing tidak tahu akan maksud
orang, karena terlalu bernapsu hendak menolong, ketika ia
menubruk maju, ia keluarkan seluruh kekuatannya hingga
datangnya cepat luar biasa.
Justru saat itu sehabis hujan, jalan pegunungan sangat
licin, Teng Hiau-lan tidak pernah menduga akan perbuatan
Nyo Liu-jing ini, keruan ia tertumbuk hingga keduanya jatuh
tersungkur. Menurut kebiasaan, bagi orang yang berilmu silat tinggi,
bila menghadapi bahaya, otomatis berusaha membela diri.
Karena itulah ketika Teng Hiau-lan tertumbuk jatuh, segera ia
gunakan ilmu 'Jian-kin-tui', yakni ilmu kepandaian membikin
antap tubuh seperti benda yang punya bobot ribuan kati,
dengan demikian i" menahan tubuhnya supaya tidak bergerak
lebih jauh. Akan tetapi Nyo Liu-jing tak mampu menahan tubuhnya
sendiri, ia tergelincir lewat di atas tubuh Hiau-lan terus
menggelundung jatuh ke bawah jurang melalui tebing gunung
itu! "Celaka!" teriak Kui Hoa-seng kaget. Cepat ia keluarkan
Ngo-kim-ci-hoat ajaran keluarganya yang lihai terus
menjambret, tampaknya bakal kena menjambret rambut
kepala Nyo Liu-jing, siapa duga mendadak air gunung
menghambur lagi dari atas hingga Nyo Liu-jing kena digerujuk
masuk telaga kecil di bawah gunung, hanya kelihatan tubuh
gadis ini timbul tenggelam beberapa kali, habis itu lantas
hilang tertelan arus air.
Sementara itu Teng Hiau-lan yang terjatuh tadi dengan
sekali meletik seperti ikan, sudah berdiri lagi, ia dengar
teriakan kaget Pang Lin dan waktu ia menoleh, dengan mata
sendiri ia saksikan Nyo Liu-jing terhanyut hilang di dalam
telaga, seketika ia menjadi kalap, dengan sekali geraman, ia
ayun pedangnya terus menubruk maju pula. Sebenarnya Kui
Hoa-seng hendak memberi penjelasan, namun Teng Hiau-lan
sudah seperti banteng ketaton, ia seruduk sini dan terjang
sana dengan serangan yang hebat, terpaksa Kui Hoa-seng
menangkis pula semua serangan itu.
Begitulah dalam sekejap saja mereka berdua sudah
bergebrak dua-tiga puluh jurus lagi. Pang Lin pun tidak mau
tinggal diam, ia ayun pedangnya ikut menyerang dari
samping. "Tia, urusan sudah sedemikian jauh, apa kau masih tinggal
diam saja?" seru Tong Say-hoa pada ayahnya demi melihat
Kui Hoa-seng kerepotan. Dalam keadaan demikian, mau tak mau Tong Kim-hong
harus ikut maju juga, ia gulung lengan bajunya lantas maju
hendak menangkap ring Lin.
Kembali pada Pang Ing tadi, ketika ia memasuki rumah Nyo
Tiong-eng, saat itu juga Tong Kim-hong baru saja keluar dari
taman belakang. Gadis ini menjadi kaget demi nampak barang
dalam rumah kacau-balau, tetap' ia masih terus masuk ke
dalam sambil memanggil, "Nyo-kongkong, aku sudah
kembali!" Tetapi waktu ia singkap kerai kamar Nyo Tiong-eng, ia
tidak nampak bayangan seorang pun, hanya terlihat olehnya
di atas meja tulis ada sepucuk surat, pada sampulnya tertulis,
"Kepada menantuku, Teng Hiau-lan!"
Tentu saja Pang Ing ^oih terkejut lagi, dengan cepat ia
masukan surat itu ke bajunya terus berlari keluar sambil
berseru. "Nona Pang, apa kau belum sembahyang, kenapa
berteriak?" dengan sikap dingin pelayan Nyo Liu-jing menegur
padanya. "Kau bilang apa?" seru Pang Ing sambil menggenggam
kencang tangan dayang itu.
"Keruan pelayan itu menjadi kesakitan, ia kaget dan takut.
"Loya sudah lama meninggal, bukankah barusan kau ikut
Sio-cia menjenguk jenazahnya di taman belakang?" katanya
dengan meringis kesakitan.
Cepat Pang Ing lepaskan tangannya terus berlari ke taman,
di sana sekelebatan ia masih nampak bayangan Tong Kimhong
yang baru saja melompat keluar pagar tembok, tetapi ia
tak sempat memburu lagi, ia mendatangi gardu, di sini ia lihat
peti mati kayu merah berada di tengah gardu, bahkan tutup
peti merekah, waktu ia tegasi, jelas kelihatan baru saja
dipecahkan orang'dengan tenaga pukulan.
Saat itu juga Pang Ing lantas menangis tersedu-sedu,
mendadak teringat olehnya bahwa bayangan orang tadi bukan
lain adalah Tong Kim-hong yang dahulu pernah mencari garagara
ke sini, ia tidak tahu bahwa Nyo Tiong-eng mati karena
sakit, ia menyangka orang tua ini tewas di bawah pukulan
orang she Tong itu, maka segera ia mengudak keluar.
Waktu itu Pang Lin sedang menghadapi Tong Kim-hong,
sebenarnya sekali-kali ia bukan lawannya, tetapi karena Tong
Kim-hong melihat Nyo Tiong-eng ayah dan anak telah tewas
semua, dalam hati ia menjadi menyesal bercampur malu,
hingga semangat bertempurnya jauh berkurang, sebaliknya
ilmu silat Pang Lin terlalu ruwet dan beraneka macamnya,
gadis inipun sangat licin, karena itu seketika Tong Kim-hong
tak dapat menangkapnya. "Moaymoay, tinggalkan saja bangsat tua bangka ini!"
demikian teriak Pang Ing tiba-tiba.
Sebaliknya Teng Hiau-lan lantas berseru padanya.
"Ing-moay, ini saja, dialah pembunuh yang sesungguhnya.
Ia telah menewaskan bibimu, lekas kau kemari membantu
aku!" Pang Ing mlihat Pang Lin masih sanggup menahan Tong
Kim-hong, maka segera ia ayun senjatanya membantu Hiaulan,
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 17 Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Misteri Kapal Layar Pancawarna 10

Cari Blog Ini