Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 30
begitu menyerang, ia keluarkan tipu yang paling lihai dari
Thian-san-kiam-hoat, ia arah tempat mematikan di pinggang
Kui Hoa-seng. Lekas Kui Hoa-seng melompat ke atas, berbareng
pedangnya balas menikam, namun Pang Ing tidak kurang
gesitnya, dengan enteng ia berkelit sambil menyerang pula,
kembali dari samping ia menusuk lagi. Meski tipu silat Kui
Hoa-seng sangat aneh, tetapi ia berbalik didahului beberapa
kali serangan oleh Pang Ing, cuma nona ini pun tak bisa
menusuk padanya. Sekejap saja mereka telah saling rangsek beberapa jurus,
Pang Ing menyerang cepat dan lebih ganas daripada serangan
Teng Hiau-lan. Sebenarnya kalau satu lawan satu, Kui Hoa-seng masih
menang setingkat dibanding Teng Hiau-lan atau Pang Ing,
tetapi sekarang Pang Ing dan Hiau-lan bergabung dan
menyerang bersama, pula senjata yang mereka pakai adalah
Pokiam (pedang pusaka) yang luar biasa tajamnya. Terpaksa
Kui Hoa-seng harus mengeluarkan seluruh kemahiran silatnya,
toh tidak urung ia terdesak terus hingga hampir tak sempat
berganti napas. Sesudah ratusan jurus mereka saling gebrak, lambat-laun
Kui Hoa-seng hanya bisa menangkis saja dan tak mampu
balas menyerang. Di lain pihak, semakin menyerang Pang Ing
semakin bersemangat. "Tidak perlu membunuh dia dengan pedang, kita desak
saja dan biar dia pun mampus jatuh ke jurang!" kata Hiau-lan
pada Pang Ing. Segera ia putar pedangnya, dari sebelah kiri ia menikam
Hun-tay-hiat orang dan memutar ke kanan menikam Ciangbunhiat pula. Karena tusukan ini, Kui Hoa-seng dipaksa
mundur dua tindak. Teng Hiau-lan tidak tinggal diam, ia pun menusuk
tenggorok-an orang, menyusul menyabet kaki musuh pula,
dengan ini kembali Kui Hoa-seng didesak mundur dua tindak
lagi. Sementara itu air bah gunung yang santar dengan
membawa guguran batu dan pasir bersuara gemuruh
memekak telinga, hanya tinggal beberapa tindak lagi
tampaknya Kui Hoa-seng bakal dipaksa terjun ke jurang,
keruan tidak kepalang takutnya!
Waktu itu Teng Hiau-lan telah melangkah maju, Yu-liongpokiam
telah dia tikamkan pula, sambil mengertak gigi Kui
Hoa-seng berusaha menangkis, akan tetapi dari samping Pang
Ing juga mengirim serangan.
"Pergi!" seru gadis ini, dengan dua senjata mereka
kumpulkan tenaga bersama terus mendorong, maka terasa
oleh Kui Hoa-seng satu kekuatan yang maha besar mendesak
datang, tanpa kuasa ia mundur dua tindak, pada saat jiwanya
tinggal seujung rambut ini, sekonyong-konyong tertampak
segulungan bayangan putih secepat angin melayang naik ke
atas dari kaki gunung, sesudah dekat tiba-tiba terdengar suara
seruan yang nyaring. "Berhenti, Hiau-lan!" seru suara itu. Begitu cepat datangnya
orang ini hingga hampir bersama dengan lenyapnya suaranya.
Dalam bingungnya karena seruan ini, Pang Ing dan Hiaulan
menoleh ke belakang, tetapi kedua senjata mereka masih
terus mendesak maju, justru pada detik yang berbahaya
itulah, tiba-tiba bayangan putih tadi sudah berada di tengah,
terdengar suara "trang" yang nyaring, tiga senjata yang
bersilang saling sanggah itu sekaligus kena disampuk pergi
oleh orang yang datang ini.
Terkejut dan girang juga Kui Hoa-seng, ketika ia tegasi, ia
lihat di depannya sudah berdiri seorang nona dan dengan
senyum simpul menarik pergi kedua lawannya tadi. Menyusul
ia lihat satu bayangan orang mendatangi secepat terbang.
"Sahte, tidak lekas kau haturkan terima kasih pada Lulihiap!"
seru pendatang belakangan ini.
Tanpa pikir lagi segera Kui Hoa-seng memberi hormat.
"Apakah yang datang ini adalah Lu Si-nio dari Kanglam-chithiap?"
tanyanya. "Kalau bukan dia, siapa lagi?" sahut yang datang
belakangan ini yang bukan lain adalah Boh Jwan-seng.
"Sudah lama mendengar nama besar Lihiap, memang
sungguh hebat!" ujar Kui Hoa-seng lagi.
"Kalian adalah orang sendiri, sudah saling labrak sekian
lama apa masih belum mengerti?" dengan tertawa kemudian
Si-nio buka suara. Akan tetapi dengan air mata berlinang Teng Hiau-lan lantas
menutur. "Maafkan sekali ini, aku ... aku tak bisa menuruti
perkataanmu, Lu-cici," katanya dengan suara keras. "Jingmoay
telah dibunuh mereka!"
Lu Si-nio kaget juga oleh kabar ini.
"Apa, Nyo Liu-jing mengalami kecelakaan?" ia bertanya.
"Bukan aku yang membunuhnya," lekas Kui Hoa-seng
berusaha membela diri. "Ia terpeleset sendiri ke bawah dan
hanyut oleh arus ke tengah telaga, aku hendak menolongnya
saja sudah terlambat!"
"Kau lihat jelas tidak, Hiau-lan?" tanya Si-nio. "Cara
bagaimanakah tewasnya Nyo Liu-jing?"
Memang waktu Hiau-lan berdiri kembali dari jatuhnya tadi,
Nyo Liu-jing sudah tergelincir ke bawah jurang, ia hanya
nampak Kui Hoa-seng melompat kembali dari tebing gunung,
maka ia menyangka dialah yang menyebabkan kematian Nyo
Liu-jing, tetapi kini demi mendengar Kui Hoa-seng membela
diri dengan suara terputus, tampaknya bukan berdusta, maka
ia tak berani memastikan dakwaannya.
"Lin-moay, kejadian tadi kau tentu melihatnya dengan
jelas?" ia coba tanya Pang Lin.
"Meski bibi bukan dibunuh mereka, tetapi karena dia
hendak menolong Teng-sioksiok hingga terjerumus ke bawah
jurang, kalau diusut pokok pangkalnya, bilang mereka yang
membunuhnya bukanlah tidak beralasan," kata Pang Lin yang
terharu oleh perbuatan Nyo Liu-jing yang ingin menolong
Teng Hiau-lan tadi. "Dia dan tua bangka inilah orang yang
menyebabkan matinya bibi!" demikian ia tambahkan pula.
"Bagus, kalian hendak mengusut pembunuh Nyo Liu-jing,
lalu kepada siapa aku harus mengusut pembunuh anak
menantuku?" sahut Tong Kim-hong yang menjadi gusar juga.
"Baiklah, mentang-mentang kalian berjumlah lebih banyak,
hari ini aku Tong-loji tidak berpikir untuk kembali Sucwan lagi
dengan hidup, tetapi pasti ada pula keluargaku yang bakal
membalaskan sakit hati ini!"
Mendengar perdebatan mereka ini, dengan memandangi
arus air telaga yang bergulung-gulung itu, Lu Si-nio menghela
napas dan berduka juga. '"Sudahlah, yang sudah mati biarlah sudah, tetapi yang
masih hidup boleh selesaikan percekcokan ini saja!" katanya
kemudian. "Sekarang masing-masing pihak sudah tewas satu
orang, masing-masing boleh tidak usah bertanya lagi siapa
yaag salah dan mana yang benar! Hiau-lan, mungkin kau
belum kenal asal-usul saudara ini."
Habis berkata ia lantas memperkenalkan asal-usul kedua
belah pihak. Mengingat Nyo Liu-jing memang bukan dibunuh Kui Hoaseng,
maka Teng Hiau-lan hanya bisa menghela napas terharu
saja. "O, memang nasib In-su (guru berbudi, maksudnya Nyo
Tiong-eng) yang jelek! O, Jing-moay yang harus dikasihani!"
demikian ratapnya. Dengan penuh menyesal kemudian Kui Hoa-seng meminta
maaf pula. "Sudahlah tidak sengaja, lupakan saja kejadian ini!" ujar
Teng Hiau-lan. Nampak pihak lain sudah terima akur penyelesaian itu, mau
tak mau Tong Kim-hong menghibur juga anak perempuannya.
"Sudahlah, kita terima nasib juga!" katanya. Habis itu
dengan menarik Tong Say-hoa mereka lantas turun gunung.
Sesudah Boh Jwan-seng menyatakan penyesalannya,
kemudian ia membawa saudara mudanya, dengan rasa tak
enak mereka pun lekas minta diri.
Setelah Tong Kim-hong pergi, dengan terkesima dan mata
basah Teng Hiau-lan masih memandang air telaga yang
bergulung-gulung itu, sampai lama sekali ia tak sanggup buka
suara. Ya, meski ia tidak mencintai Nyo l.iu-jing, tetapi
kematian gadis itu disebabkan hendak menolongnya, inilah
yang membikin dia merasa sangat berduka.
"Nyo-locianpwe sudah wafat, sudah tiada sanak
keluarganya lagi, urusan selanjutnya tiada lain harus kau yang
mengurusnya dan jenazah Nyo Liu-jing kau pula yang harus
mencarinya kembali," kata Si-nio kemudian pada Hiau-lan.
Dengan air mata bercucuran Teng Hiau-lan memanggut.
"Nyo-kongkong masih meninggalkan sepucuk surat
untukmu," tiba-tiba Pang Ing buka suara ketika ingat surat di
bajunya. Setelah Hiau-lan menerima surat itu dan dibaca, ternyata
Nyo Tiong-eng memberi pesan bahwa mengingat hubungan
mereka selama belasan tahun seperti ayah dan anak ini,
sesudah dia meninggal, Nyo Liu-jing yang sejak kecil juga
sudah ditinggal mangkat ibunya, maka Hiau-lan diminta kalau
bisa sudilah menerima, tetapi kalau tidak bisa terima bolehlah
pilih gadis lain yang lebih bijaksana dan anggaplah Liu-jing
sebagai adik sendiri, dengan demikian di alam baka ia pun
bisa merasa tenteram. Dengan surat ini, tujuan Nyo Tiong-eng masih
mengharapkan perubahan pikiran Teng Hiau-lan, keruan
sehabis membaca, Hiau-lan menjadi lebih berduka. Maka
sesudah berpikir sejenak, ia lantas menarik tangan Pang Ing
dan diajak ke tepi jurang untuk memandangi arus air yang
mendampar itu. Tng-moay, sesudah mengalami pukulan ini, selama hidupku
tiada minat buat bicara soal pernikahan lagi, dapatkah kau
memahami aku?" dengan suara lirih ia berkata.
Karena itu, perasaan Pang Ing yang tadinya terangbenderang
seperti sinar matahari tiba-tiba bagaikan tertutup
oleh selapis awan mendung tebal, meski selama ini belum
terpikirkan olehnya tentang pernikahan, tetapi ia terharu juga
oleh kata-kata Hiau-lan ini.
"Hubungan kita selalu kekal dalam hati, memangnya kita
tidak perlu berpandangan seperti orang biasa tentang nikah
segala," sahutnya dengan sungguh-sungguh dengan menahan
air mata. "Bibi mati meninggalkan kau, selama hidupmu tidak
menikah, ini sudah seharusnya, mana bisa aku menyalahkan
kau. Bukan saja kau, selama hidupku inipun tidak akan
menikah juga." Melihat mata anak dara itu basah mengembeng air, Hiaulan
berpikir hendak menghibur, tetapi ia tidak tahu apa yang
harus dikatakan, karena itu ia hanya menghela napas panjang
saja. Kemudian sesudah Hiau-lan kembali ke rumah keluarga
Nyo bersama Lu Si-nio dan lain-lain, jenazah Nyo Tiong-eng
lantas mereka kebumikan, sehabis mengubur, air hujan
pegunungan itupun sudah reda, maka Teng Hiau-lan lantas
pergi mencari jenazah Nyo
Liu-jing di tengah telaga kecil itu, namun sudah setengah
hari dicari dan diselami, tetap tidak ditemukan, ketika seorang
penduduk yang pandai menyelam memeriksa ke dasar air,
akhirnya diketahui bahwa pada telaga kecil itu ada sebuah gua
yang menembus ke sungai di luar, menurut dugaan, besar
kemungkinan mayat Nyo Liu-jing sudah terhanyut keluar
sungai melalui gua itu. Keruan Hiau-lan semakin berduka
karena mayat Nyo Liu-jing saja tidak bisa diketemukan.
Setelah semuanya selesai diatur, kemudian Hiau-lan ikut Lu
Si-nio dan lain-lain ke Bin-san, meski selalu di samping Pang
Ing, namun pemuda ini masih tetap kurang gembira dan
selalu masgul. Ketika itu kedudukan takhta Kaisar Yong Ceng sudah
kukuh, dengan kekejamannya ia memerintah negerinya, para
patriot di kalangan rakyat di bawah tekanan berat itu memang
tidak gampang bergerak, karena itu terpaksa bersembunyi dan
tanpa bersuara, suasana seperti ketenangan sebelum tibanya
angin badai saja. Sementara itu beberapa orang yang ada sangkut-pautnya
dengan peristiwa Lu Liu-liang, berkat kabar Kam Hong-ti yang
disampaikan dengan cepat, sebagian masih sempat
menyelamatkan diri, hanya beberapa orang saja yang
tertawan dan beberapa lagi yang menyimpan kitab pelajaran
pujangga itu ikut tersangkut dan dihukum mati, peristiwa ini
menerbitkan kegegeran di kalangan rakyat hingga setengah
tahun kemudian bani tenang kembali.
Lu Si-nio sangat gusar karena kekejaman Yong Ceng itu,
suatu hari ia berunding dengan Kam Hong-ti, ia berniat
berangkat ke kotaraja untuk membunuh Yong Ceng.
"Pat-moay adalah pahlawan dari kaum wanita, tentu bisa
berpikir secara mendalam, kini Yong Ceng sedang mendapat
angin, kita harus bersabar sedikit waktu lagi untuk menunggu
kesempatan baik," ujar Hong-ti.
"Aku pun mengerti hal ini, cuma melihat kekejaman keparat
Yong Ceng itulah aku merasa tak tahan." sahut Si-nio.
"Mengenai tingkah-polah Yong Ceng, tidak sedikit kejadian
yang menertawakan dan menarik," tutur Kam Hong-ti lagi.
"Menurut berita yang aku terima, kini Yong Ceng telah
memperluas alat utamanya, Hiat-ti-cu, untuk menjadi matatelinganya
dengan penjagaan yang rapat sekali, kalau kita
hendak masuk kotaraja, mungkin tidak semudah dahulu lagi."
"Menarik ceritamu ini, rasanya kabar baik juga," kata Si-nio
tertawa. "Aneh, Yong Ceng bikin penjagaan keras, kenapa bilang
kabar baik?" tanya Hong-ti tak mengerti.
"Coba, untuk memperkuat kedudukannya, ia tidak percaya
pada pembesarnya sendiri hingga perlu diperkuat penjagaan
Hiat-ti-cu, satu kaisar yang sudah terpencil seperti dia ini,
apalagi yang harus ditakuti?" ujar Si-nio.
"Ya, tidak hanya kaisarnya kejam, pembesarnya pun kotor
dan korup hingga tidak sedikit pejabat secara diam-diam telah
dibunuh rakyat sendiri," kata Hong-ti.
"Memang pembesar kotor tidak terhitung banyaknya,
hendak membunuhnya juga tak akan habis," ujar Lu Si-nio
"Kecuali kalau mencabut sampai akar-akar kerajaan bangsa
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boan!" "Sulit, sulit!" sahut Hong-ti. "Kekuatan bangsa Boan sedang
kuat-kuatnya, mungkin selama hidup kita ini tidak sempat
melihat runtuhnya." "Ya, untuk membangun kembali negeri kita, mungkin tidak
bisa kita saksikan sendiri, tetapi kalau membunuh Yong Ceng
saja, belum tentu tidak bisa." "
"Perkataan Pat-moay tidak salah juga, tugas kita memang
harus dijalankan sepenuh tenaga," kata Hong-ti lagi sesudah
berpikir sejenak. "Menurut pandanganku, hendak mengusir
bangsa Boan dan membangun Han kembali, tugas ini tidak
bisa dicapai oleh seorang dua orang saja. Beberapa hari yang
lalu Li Ti bilang akan kembali ke Sucwan, oleh karena di
daerah sana masih terdapat sisa bekas pengikut ayahnya, dia
telah berunding dengan aku, waktu itu aku masih belum
setuju, oleh karena Sucwan adalah daerah kekuasaan Lian
Keng-hiau, sedang bekas pengikut Li Jiak-sim yang masih ada
jumlahnya terlalu sedikit. Maka kalau'Li Ti kembali ke daerah
sana dan membikin pergerakan lagi, mungkin akan sangat
berbahaya sekali. Tetapi tampaknya kini boleh juga dia pergi
ke sana, meski hanya latihan tetapi bisa juga membakar
padang ilalang, dengan menghadapi sedikit bahaya masih ada
harganya juga. Dalam beberapa hari ini aku pun bermaksud
mengunjungi Kanglam untuk menyambangi para pemimpin
perkumpulan rahasia di sana, meski belum berani kukatakan
menghimpun tenaga kembali untuk bergerak lagi, tapi
sedikitnya bisa juga memisahkan mereka dari kerja sama
dengan pihak pembesar negeri yang kotor dan korup."
Begitulah, sesudah para pahlawan di Bin-san ini mengambil
keputusan, selang beberapa hari kemudian, Li Ti dan Pang Lin
lantas berangkat ke Sucwan, Kam Hong-ti sendiri
mengunjungi daerah Kanglam, sedang Hi Kak beserta anak
dan menantunya kembali keluar lautan lagi untuk
menyambangi bajak-bajak laut yang masih bercokol di pulau
sekitar pantai timur. Teng Hiau-lan masih belum hilang rasa dukanya, ia
bersama Pang Ing ingin kembali ke Thian-san, Si-nio pikir baik
juga kemau-an mereka ini, maka ia pun tidak merintangi
mereka. Sesudah ditinggal pergi kawan-kawannya, hanya tertinggal
Lu Si-nio yang masih menjaga kuburan gurunya di atas Binsan.
Musim semi berganti musim rontok pula, tanpa terasa dua
kali musim dingin sudah berlalu, dalam dua tahun ini, siang
dan malam Si-nio terus memperdalam ilmu pedangnya tidak
kenal lelah, tidak saja Hian-li-kiam-hoat sudah dia latih sampai
tingkatan yang tiada taranya, bahkan dia gabungkan pula ilmu
pedang Thian-san-kiam-hoat dan Tat-mo-kiam-hoat, dia
buang yang lemah dan menambah yang baik, dengan
demikian, dibandingkan mendiang gurunya, kini ia boleh
dikata sudah lebih lihai lagi.
Dua tahun lewat dengan cepat seperti sekejap mata saja,
tetapi kejadian di luaran sudah banyak mengalami perubahan.
Pada suatu hari, Kam Hong-ti kembali dengan berseri-seri
dan melapor pada Lu Si-nio.
"Apa yang kau duga dahulu kini sudah berbukti, kini kita
cukup menghadapi Yong Ceng saja," demikian kata sang
Suheng. "Apa Lian Keng-hiau sudah dibasmi oleh Yong Ceng?" tanya
Si-nio. "Belum sampai dibunuh, tetapi keadaannya sudah sangat
menyedihkan," tutur Kam Hong-ti. "Pangkatnya dari It-tengkong
merangkap sebagai Congtok dua propinsi, kini sudah
merosot dan merosot terus sampai harus menjadi tukang jaga
pintu benteng Hangciu saja."
Lu Si-nio rada kaget oleh kabar ini. Meski dia sudah
menduga pasti Yong Ceng akan membasmi Lian Keng-hiau,
tapi sama sekali tidak terbayang olehnya bisa dilakukan secara
begitu cepat, apalagi Lian Keng-hiau dipecat hingga menjadi
tukang jaga pintu benteng, inilah lebih-lebih suatu kejadian
aneh yang tak pernah dia pikirkan.
"Bagi Lian Keng-hiau, dengan dipecat dan menjadi tukang
jaga pintu benteng Hangciu sudah jauh lebih menderita
daripada dia dihukum mati," ujar Kam Hong-ti dengan
tertawa. "Akan tetapi apa yang dia bisa perbuat kini,
kekuasaan militernya sudah dipreteli hingga habis sama
sekali." Habis itu Kam Hong-ti lantas menceritakan tentang
kejadian pemecatan Lian Keng-hiau.
Kiranya sejak Lian Keng-hiau kembali dari ekspedisinya ke
Jinghay, ia dianugerahi gelar It-teng-kong dan tetap
merangkap sebagai gubernur propinsi Sucwan dan Siamsay,
keagungan namanya waktu itu boleh dikata tiada duanya.
Lian Keng-hiau. memang cukup pintar, ia insaf bahwa
kekuasaan militernya sekali-kali tidak boleh dilepaskan, karena
itu ia tak ingin tinggal di kotaraja, melainkan sejak
penyambutan Yong Ceng pada pasukannya itu, tidak lama
kemudian ia lantas membawa pasukannya kembali ke
pangkalannya. Di luar perhitungannya, Yong Ceng ternyata lebih pintar
daripadanya, secara diam-diam maharaja ini telah memupuk
pembantu utamanya sendiri, yakni Gak Ciong-ki.
Diam-diam Gak Ciong-ki diperintahkan menarik simpatik
bawahannya, tidak lama kemudian dengan alasan ada
pemberontakan di propinsi Sekhong, kaisar lantas mengutus
Gak Ciong-ki membawa pasukannya mengamankan huru-hara
itu, tapi kuatir Lian Keng-hiau kurang senang karena yang
diutus adalah bawahannya, maka diberi penjelasan pula
bahwa tidak perlu membikin susah panglimanya, kalau
wakilnya sudah cukup menumpas huru-hara kecil.
Oleh karena selamanya Gak Ciong-ki sangat tunduk
padanya, maka sekali-kali Lian Keng-hiau tidak menyangka
pembantu ini bisa berkhianat padanya. Ditambah pula ia
sudah membangun istana di Se-an didampingi istri yang cantik
molek, kini titah kaisar hanya memerintahkan Gak Ciong-ki,
maka ia pun boleh merasakan kebahagiaan saja di istana
barunya. Sementara itu Gak Ciong-ki membawa sebagian kekuatan
pasukannya ke Sekhong, berulang kali ternyata mengalami
kekalahan, surat permintaan bantuan datang berturut-turut,
maka Yong Ceng lantas mengirim pula sisa pasukan Lian
Keng-hiau yang masih ada. Sudah tentu Lian Keng-hiau tiada
alasan buat menolak dan membantah titah kaisar, apalagi
yang harus ditolong adalah bawahannya sendiri.
Begitulah bala-bantuan dikirim berulang-ulang, akhirnya
kekuatan militer Lian Keng-hiau hilang hampir sembilan
bagian, keruan Lian Keng-hiau kelabakan, ia mencaci-maki
Gak Ciong-ki tak berguna, bahkan hampir ia ajukan
permohonan agar dirinya sendiri yang akan maju ke medan
perang. Ia tidak tahu bahwa justru itu adalah siasat Yong Ceng
dengan Gak Ciong-ki untuk menggunduli pasukan dan
memreteli kekuasaannya, tentang kekalahan perang,
semuanya hanya sandiwara belaka.
Ketika kekuatan militer Keng-hiau sudah hilang sembilan
bagian, tiba-tiba dari kalah lantas berubah menjadi menang
besar, sedang Gak Ciong-ki dengan penetapan Sri Baginda,
telah diperintahkan agar tetap berkedudukan di Sekhong dan
tidak perlu kembali lagi.
Yang menggelikan adalah pembesar tinggi yang berada di
kotaraja, ketika kabar tentang kekalahan itu dilaporkan,
banyak pula di antaranya yang mengajukan usul agar Gak
Ciong-ki dipecat, katanya panglima ini kurang becus, agar
dikirim saja Lian Keng-hiau. Yong Ceng sendiri pun berulangulang
mengirim firman mendamprat Gak Ciong-ki, dengan
demikian sengaja dipertontonkan pada Lian Keng-hiau.
Ternyata tiada seorang pembesar pun yang tahu bahwa Kenghiau
sudah kehilangan pengaruhnya secara diam-diam.
Tatkala itu ada seorang pembesar yang bernama Jan Bunkia
yang kebetulan diangkat menjadi gubernur Hopak dan
Soatang. Jan Bun-kia dan pembesar kesayangan Yong Ceng yang
lain seperti Ortai, Li Bin-tat, adalah sahabat karib, maka pada
waktu Jan Bun-kia hendak berangkat ke posnya, Li Bin-tat
telah mengangkat seorang juru tulis untuk membantu
mengurus semua surat-menyurat dinasnya. Juru tulis ini, Ohsuya,
karena perantaraan Li Bin-tat, maka Jan Bun-kia sangat
menghargainya. Aneh juga, semua surat dinas kepada Sri Baginda yang
ditulis olel. Oh-suya, belum pernah ada yang ditolak
Hongsiang, tetapi kalau surat dinas itu bukan ditulis Oh-suya,
lantas ditolak. Oleh karena itulah Jan Bun-kia menjadi sangat
percaya sekali pada Oh-suya.
Pada suatu hari, tiba-tiba Oh-suya bertanya pada
majikannya ini, "Apakah Tuanku ingin menjadi pembesar yang
tersohor!" tanyanya.
Tentu saja pertanyaan ini membikin Jan Bun-kia sangat
heran. "Sudah tentu, siapa yang tidak ingin menjadi pembesar
tersohor!" "Jika demikian, maka hamba pun ingin menjadi juru tulis
tersohor," kata Oh-suya pula.
"Cara bagaimana kau akan menjadi juru tulis tersohor?"
tanya Jan Bun-kia. "Hamba mohon Tuanku membiarkan kulakukan sesuatu
pekerjaan, tetapi sekali-kali Tuanku jangan tanya urusannya,"
sahut Oh-suya. "Apa yang hendak kau kerjakan?" tanya Jan Bun-kia.
"Aku ingin menulis sepucuk surat dinas yang mengusulkan
sesuatu pada Sri Baginda, tetapi apa yang tertulis dalam surat
dinas ini, satu huruf pun Tuanku tidak boleh tahu," tutur Ohsuya.
"Begitu surat dinas ini sampai di hadapan Hongsiang,
maka segera Tuanku akan menjadi pembesar yang tersohor!"
Melihat cara Oh-suya berkata penuh keyakinan, pula
mengingat semua surat dinas yang ditulis Oh-suya belum
pernah gagal dan dikembalikan Hongsiang, maka Jan Bun-kia
lantas menyetujuinya. Malam itu semalam suntuk lampu di kamar Oh-suya tidak
pernah padam, sedang Jan Bun-kia sendiri pun tidak bisa
tidur. Besoknya pagi-pagi sekali Oh-suya sudah memasukkan
surat dinas yang ditulisnya ke dalam sampul dan ditutup rapat
dengan lak terus minta ditambahi pula dengan cap kebesaran
gubernur pada Jan Bun-kia.
"Surat dinas ini aku tidak usah membaca satu huruf pun,
tetapi urusan apakah yang diusulkan, dapatlah kiranya
Sianseng memberitahukan sekedarnya?" demikian Jan Bun-kia
coba berkata pada Oh-suya.
Di luar dugaan, muka Oh-suya segera berubah, katanya,
"Jika Tuanku tidak percaya penuh padaku, biarlah sekarang
juga hamba mohon diri!"
Tentu saja lekas Jan Bun-kia menahan.
"Sianseng, tak perlu curiga, jika memang tak bisa
diterangkan, biarlah aku memberi capnya," demikian katanya.
Begitulah, sesudah surat dinas itu selesai diatur, segera
ditugaskan juru antar mengirimkannya secara kilat ke kotaraja
Sesudah surat dinas ini dikirim, Jan Bun-kia sendiri menjadi
kebat-kebit hatinya, merasa tak tenteram sekali dan agak
menyesal pula telah bertaruh dengan kedudukannya yang
sekarang, akan tetapi barang sudah telanjur dikirim, hendak
menyusulnya kembali sudah tidak mungkin lagi.
Maka jalan lain tidak ada kecuali secara diam-diam ia
perintahkan pasukan pengawalnya mengawasi gerak-gerik Ohsuya
untuk menjaga orang tidak kabur begitu saja. Namun
Oh-suya ternyata tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu yang
mencurigakan. Selang tujuh hari kemudian, ketika 'berita negara' tiba dari
kotaraja dengan pengiriman kilat, sesudah Jan Bun-kia
membuka dan dibacanya, seketika tidak kepalang terkejutnya,
sehabis dibaca, ia menjadi girang pula, malahan ia ragu-ragu
apakah dirinya bukan sedang mimpi"
Apakah kiranya isi surat dinas yang perrah ditulis Oh-suya
kepada kaisar itu" Ternyata surat itu sekaligus telah mengadukan dua
pembesar tinggi yang paling berpengaruh pada waktu itu.
Pertama yang diadukan adalah Lian Keng-hiau yang dikatakan
bertujuan tidak baik, nyawa orang dianggap soal kecil, korupsi
dan menghukum mati pembesar Tetok secara semena-mena
dan lain-lain tuduhan. Orang kedua yang diadukan ialah Kokkiu
Longetoh yang dituduh bersekongkol dengan Lian Kenghiau
dan macam-macam dakwaan pula dan dimintakan
hukuman sama seperti Lian Keng-hiau.
Surat dinas semacam ini jika sebelumnya dibaca Jan Bunkia,
sekalipun pembesar ini bernyali setinggi langit, tak berani
juga ia mengajukan ke hadapan Sri Bagindanya!
Siapa tahu justru pengaduan ini cocok dengan hati kaisar,
begitu datang surat aduan ini, seketika perintah diberikan
untuk mencabut kembali gelar It-teng-kong yang telah
diberikan pada Lian Keng-hiau dan dipecat pula kedudukannya
sebagai Panglima besar merangkap Congtok propinsi Sucwan
dan Siamsay, untuk yang belakangan ini Gak Ciong-ki
diperintahkan menggantikannya.
Walaupun begitu, kaisar kuatir juga kalau Lian Keng-hiau
masih mempunyai sisa kekuatan militer di Siamsay, maka tak
berani sekaligus menghukum mati dia, perintah itu berkata
pula mengingat jasanya yang sudah lalu, sedang
kecakapannya masih bisa digunakan pula, maka dia
dipindahkan ke Hangciu sebagai pelatih tentara. Sedang
Longetoh segera ditangkap dan diperintahkan memeriksa
dosanya, semua gelar kebesarannya dicabut terus
dipenjarakan. Jan Bun-kia sebagai pendakwanya, kaisar telah memberi
pujian setinggi langit, katanya dia tidak gentar terhadap
pembesar yang lebih berpengaruh, suatu tanda setia pada
negara, maka pangkatnya dinaikkan menjadi Congtok propinsi
Kwitang dan Kwisay. Begitulah apa yang tertulis dalam 'berita negara' yang
dikirimkan kepada Jan Bun-kia itu.
Saking girangnya Jan Bun-kia sampai seperti orang
senewen, sesudah itulah baru Oh-suya datang padanya
dengan tertawa. "Selamat dan bahagialah, sekarang Cukong (tuanku) sudah
naik pangkat, sudah waktunya pula hamba mohon diri,"
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian kata Oh-suya. Sudah tentu lekas Jan Bun-kia menahan. Tetapi dengan
tersenyum Oh-suya lantas berkata, "Syukur sesudah
Hongsiang membaca surat aduan ini lantas setuju dan
memberi pujian pula, jika tidak, mungkin aku tak akan bisa
keluar juga dari kediamanmu sini!"
Karena kata-kata yang sifatnya menyindir ini, Jan Bun-kia
menjadi kaget, ia mengerti apa yang dia lakukan dengan
mengatur penjagaan akhir-akhir ini telah diketahui oleh Ohsuya.
Tetapi tak enak juga ia hendak minta maaf, maka ia
menjadi malu dan serba salah. Oleh karena itu, ia lantas
meluluskan kepergian orang sesudah diberikan hadiah besar.
Setelah Lian Keng-hiau dipecat, segera juga Gak Ciong-ki
kembali dari Sekhong menuju ke Se-an untuk timbang-terima
semua tugas yang ditinggalkan Lian Keng-hiau. Gak Ciong-ki
masih pura-pura mengunjuk rasa solider pada Keng-hiau, di
samping menghiburnya ia bilang akan mengusulkan pada
kaisar aga'r keputusan itu bisa dibatalkan, tetapi ia pun
memberi seratus prajurit sebagai pasukan pengawal Lian
Keng-hiau untuk kembali ke daerah selatan, yakni Hangciu.
Sudah tentu Lian Keng-hiau cukup mengerti akan
kepalsuan orang, dengan menahan amarah ia berkata dengan
bergelak tertawa. "Laute, hendaklah kau jaga dirimu saja baik-baik, dan
sekali-kali jangan meniru kejadian yang menimpa aku
sekarang ini! Selama hidupku ini sudah bertempur kian-kemari
di medan perang, kalau kini aku masih bisa hidup selamat, ini
sudah boleh dikata beruntung! Kepergianku sekarang ini jika
ada sesuatu bahaya, tidak nanti kau dapat melindunginya,
kebaikanmu tadi aku terima dalam hati saja!"
Demikian katanya dengan sinar mata menyorot tajam,
kewibawaannya ternyata belum lenyap sama sekali, karena itu
Gak Ciong-ki tak berani banyak bicara lagi, ia lantas
mengundurkan diri. Lian Keng-hiau sudah sekian lama memimpin tentara,
dengan sendirinya ada pula beberapa perwira kepercayaannya
yang merasa sehidup-semati dengan bekas pimpinannya ini,
mereka masih menaruh harapan kelak Lian Keng-hiau bisa
bangun kemba'i, maka mereka pun minta meletakkan jabatan,
dan ikut pergi dengan Lian Keng-hiau.
Oleh karena itulah, keberangkatan Lian Kenghiau ke
Hangciu masih membawa belasan bekas perwira dan dua-tiga
ratus prajurit. Tetapi di tengah jalan sebelum sampai di posnya yang
baru, Lian Keng-hiau masih berusaha mengajukan
permohonan pada kaisar agar diperbolehkan pensiun saja dan
dibebaskan dari kewajiban melatih tentara di Hang-ciu, sambil
menunggu keputusan ini ia menunggu di kota Giwi daerah
Kangsoh, di luar dugaan, Yong Ceng berbalik menjadi murka
dan menuduhnya sengaja membangkang perintah, karena itu,
pembesar yang ingin cari muka beramai lantas memperkuat
dakwaan itu, dengan alasan ini pula maka Yong Ceng
memecat Lian Keng-hiau dari segala pangkatnya dan disuruh
pergi ke Hangciu sebagai tukang jaga pintu gerbang benteng
kota. Begitu'ah, sesudah Lu Si-nio mendengar cerita Kam Hong-ti
mengenai lelakon Lian Keng-hiau ini, ia termangu-mangu.
"Lian Keng-hiau si keparat ini sudah sepantasnya mendapat
ganjaran seperti hari ini dan tidak usah kita mengurusnya,"
demikian katanya kemudian. "Chit-ko, sudah dua tahun ini aku
giat melatih ilmu pedangku, kini tentunya kau tak akan
mencegah aku lagi ke kotaraja!"
Kam Hong-ti mengerti maksud Lu Si-.nio yang ingin
mencari Yong Ceng untuk menuntut balas, maka dengan
tertawa ia berkata, "Ya, sudah dua tahun kau disekap di atas
gunung ini, sepatutnya kau turun gunung. Cuma mengenai
masuk kotaraja, mungkin harus menunggu sedikit waktu lagi."
Esoknya turunlah Kam Hong-ti bersama Lu Si-nio dan Sim
Cay-khoan. Kini Lwekang Sim Cay-khoan sudah cukup lihai,
pula ia telah belajar sedikit ilmu silat dari Lu Si-nio, maka
kepandaiannya sudah tak bisa dibandingkan dengan dulu lagi.
Kembali mengenai Lian Keng-hiau, sesudah dia dipecat dan
dijadikan tukang jaga pintu benteng di Hangciu, kebetulan
juga, yang menjadi panglima tentara di Hangciu bukan lain
adalah Liok Hou-sin, Tetok bekas bawahan Lian Keng-hiau
yang pernah dihukum menjadi tukang jaga malam berhubung
dengan peristiwa H u San Tetok yang dihukum mati oleh Lian
Keng-hiau dahulu itu. Kini dengan sengaja Yong Ceng
menjadikan Lian Keng-hiau sebagai tukang jaga pintu benteng
Hangciu, sebenarnya tujuannya sengaja membiarkan Liok
Hou-sin membalas dendam pada Keng-hiau.
Tahu juga Lian Keng-hiau bahwa yang menjadi panglima
tentara di Hangciu adalah Liok Hou-sin, tapi ia pun tidak ambil
peduli. Pada hari ketiga, sewaktu Lian Keng-hiau sedang duduk di
bawah pintu gerbang benteng dan lagi enak-enaknya
berjemur sinar matahari, di luar dan di dalam pintu benteng
yang dijaganya ini ternyata sepi tiada satu manusia pun yang
masuk-keluar. Kiranya penduduk Hangciu masih takut pada
perbawa Lian Keng-hiau dan tiada yang berani masuk-keluar
melalui pintu gerbang utara yang dijaganya.
Kala itu prajurit bekas pengikutnya sudah bubar semua,
yang masih mendampinginya hanya tinggal seorang serdadu
tua saja. "Meski Ciangkun telah dihina seperti sekarang ini, syukur
kewibawaan lama masih bertahan hingga pembesar dan
penduduk di sini tak berani ikut menghina Ciangkun,"
demikian kata serdadu tua itu pada Lian Keng-hiau.
"Jika demikian, Yong Ceng lebih-lebih tidak mau
melepaskan aku," sahut Keng-hiau dengan menghela napas.
Ketika mereka pasang omong, tiba-tiba terdengar suara
gem-breng yang ditabuh keras.
"Nah, inilah orang yang bakal menghina diriku telah
datang!" ujar Lian Keng-hiau, ia pun menyuruh serdadu tua ini
menyingkir pergi. Dalam pada itu tertampaklah Liok Hou-sin dengan kuda
tunggangannya yang besar gagah mendatangi dengan
didampingi prajurit pengawalnya.
Keng-hiau masih tetap duduk di atas bangkunya tanpa
menghiraukan kedatangan orang.
Sudah tentu Liok Hou-sin menjadi gusar melihat sikap
Keng-hiau yang dianggapnya kurangajar ini, justru ia berniat
menghina dan membikin malu bekas atasannya ini di hadapan
umum, maka sesudah berada di depan orang, dengan tertawa
dingin segera ia menyindir.
"Hm, Lian Keng-hiau, masih kenalkah kau padaku?"
demikian tegurnya. "O, kiranya kau," sahut Keng-hiau dengan sedikit melirik.
"Menjadi panglima di Hangciu tentunya jauh lebih enak
daripada menjadi tukang rondaku bukan" Pantas kau begini
senang!" Mendengar orang berani mengungkit kejadian dahulu,
keruan Liok Hou-sin semakin murka.
"Lian Keng-hiau, kalau kau sudah kenal aku, kenapa kau
tidak berdiri menyambut kedatanganku," dampratnya segera.
Keng-hiau hanya tersenyum saja.
"Liok Hou-sin," sahutnya kemudian. "Kau ingin aku berdiri
itulah tidak susah, tetapi kalau berdiri, nanti kau harus
berlutut!" "Hahaha, seorang panglima seperti aku apa harus berlutut
pada kau seorang penjaga pintu ini!" kata Liok Hou-sin
dengan gelak tertawa mengejek.
"Entah sudah berapa puluh kali kau pernah berlutut
padaku," kata Keng-hiau lagi, "meski sekarang aku tidak bisa
menyuruh kau berlutut padaku, tetapi kalau kau melihat
Hongsiang atau barang sesuatu sebagai simbol Hongsiang,
tidakkah kau harus berlutut?"
"Sudah tentu," sahut Liok Hou-sin dengan menjcngck pula.
"Tetapi kau toh bukan utusan kaisar segala, darimana kau
mempunyai sesuatu yang mewakili Hongsiang?"
Akan tetapi dengan tenang saja Lian Keng-hiau lantas
berdiri, tiba-tiba ia membuka kancing bajunya, maka
tertampaknya baju di dadanya, bagian dalam terdapat kaos
yang bersulam dua ekor naga emas, karena ini, Liok Hou-sin
menjadi tercengang, sementara itu ia lihat Keng-hiau telah
mengeluarkan pula dari sakunya sebuah medali emas yang
terukir naga emas bercakar lima yang disebut 'Ban-swe-pay',
dengan memegang medali kebesaran ini Keng-hiau duduk di
atas bangkunya. "Liok Hou-sin, berlutut!" bentaknya dengan keras.
Seketika muka Liok Hou-sin menjadi pucat menghijau, betul
saja ia lantas berlutut dan menjalankan penghormatan kepada
'Ban-swe-pay' itu. Kiranya baju dalam yang bersulam naga dan medali 'Banswepay' ini diperoleh Lian Keng-hiau dahulu ketika ia berjasa
dalam ekspedisinya ke barat, barang-barang ini merupakan
hadiah teragung yang diberikan Yong Ceng.
Tentang baju dalam yang bersulam naga emas itu, hanya
pembesar berjasa saja yang bisa memakainya, sedang 'Banswepay' justru tanda mewakili Hongsiang, siapa yang melihat
medali emas ini berarti seperti bertemu dengan Hongsiang
sendiri. Ketika Keng-hiau dipecat, semua barang yang Yong
Ceng pernah berikan padanya ternyata belum diminta kembali,
karenanya kini berbalik dia pergunakan untuk menghina Liok
Hou-sin yang tadinya justru hendak membalas dendam.
Begitulah, maka dengan perasaan gemas Liok Hou-sin
kemudian kembali ke kediamannya, malam itu juga segera ia
menulis laporan tentang kejahatan yang dilakukan Keng-hiau
pada Hongsiang. Sewaktu Liok Hou-sin mengunjungi pintu gerbang utara ini,
penduduk di dalam benteng memang sudah menduga bakal
ada pertunjukan yang bisa ditonton, maka dari jauh beramai
mereka menyaksikan kejadian itu, dan sesudah Liok Hou-siu
kembali dengan mengalami hinaan dari Lian Keng-hiau,
beramai-ramai para penduduk itupun bubar.
Lian Keng-hiau sendiri tidak ambil pusing oleh kerumunan
rakyat banyak itu, ia hanya tersenyum saja sembari melirik,
tetapi di luar dugaan sinar matanya tiba-tiba menatap
bayangan seorang gadis yang dengan cepat menghilang di
antara orang banyak itu, dari belakang mirip sekali dengan
Pang Lin, karenanya Keng-hiau menjadi tertegun.
Sebagaimana diketahui, sebenarnya Lian Keng-hiau
menaruh hati pada Pang Lin, akan tetapi apa yang dia
harapkan hanya kosong belaka. Kini demi nampak bayangan
nona itu, tanpa terasa ia jadi terkenang pada masa lalu di
waktu masih anak-anak. Ia menghela napas dan agak
menyesal. Namun segera teringat olehnya seorang 'laki-laki sejati
kalau tidak bisa meninggalkan nama harum sepanjang zaman,
lebih baik meninggalkan bau busuk sepanjang masa'. Sedang
kini meski dia harus merasakan akibat perbuatannya sendiri,
namun namanya bakal tercantum dalam sejarah. Karena
pikiran ini, ia jadi terhibur, maka dengan tersenyum kecil
kembali ia duduk di bangkunya.
Akan tetapi maksudnya ingin tenang, justru hatinya tidak
mau tenang. Ia teringat pada anak istrinya. Istrinya masih
tidak mengapa, tapi Keng-hiau ingat akan anaknya yang
dititipkan pada Can Ceng, ia menjadi kuatir pula. Ia kuatir bila
ia meninggal, Can Ceng belum tentu bisa dipercaya, sedang di
antara bekas bawahannya mungkin susah juga untuk mencari
seorang yang bisa diserahi untuk menjaga anaknya, teringat
akan inilah, betapapun Keng-hiau berbesar hati, tidak urung ia
berduka juga. Pikir punya pikir, tanpa terasa sang surya sudah terbenam
ke barat, sebentar kemudian malam sudah tiba.
Pintu gerbang utara benteng Hangciu ini jauh di depannya
adalah sungai Ci-tong, di malam yang sunyi ini, Lian Keng-hiau
duduk termenung seorang diri di atas loteng pintu benteng
itu, ia dengar di luar benteng sana suara mendamparnya
gelombang air sungai menderu-deru, diselingi pula sayupsayup
suara kaum padri yang lagi membaca kitab suci,
mendadak ia jadi teringat bahwa dua hari lagi sudah jatuh hari
Tiongchiu, karenanya perasaannya menjadi lebih sunyi dan
kosong. "Ciangkun bolehlah mengaso, biar hamba wakilkan kau
menjaga," demikian tiba-tiba prajurit tua yang
mendampinginya datang. Serdadu tua ini asalnya adalah centing di rumahnya, dalam
keadaan seorang diri Lian Keng-hiau ditinggal pergi semua
bawahan dan pengikutnya, hanya ketinggalan serdadu tua ini
saja yang masih belum meninggalkan dia.
" "Sudahlah, tak usah, tidak sedikit juga orang yang
mendapat kebaikan dari aku, tidak nyana hari ini hanya kita
berdua saja yang berkawan di sini," sahut Lian Keng-hiau.
Akan .tetapi baru habis perkataannya, tiba-tiba ada orang
menyela dengan tertawa, dingin.
"Tak perlu kau menyesal, Lian Keng-hiau, masih ada aku
yang datang menjenguk kau," kata orang itu.
Waktu Keng-hiau menegasi, ia lihat satu bayangan orang
tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya, ia kenali orang ini
bukan lain adalah Pui Kin-beng, salah seorang di antara dua
jago pengawal pribadi In Te, bersama Ki Pi-sia.
"Hm, Lian Keng-hiau, tidak nyana kau terima ganjaranmu
juga seperti hari ini," demikian terdengar Pui Kin-beng buka
suara dengan menyindir. "Ingatkah kau dahulu secara
kurangajar kau bersekongkol dengan In Ceng dalam usaha
merebut takhta dan telah membunuh Capsi-pwelek, aku
sangka sejak itu kau pasti akan menanjak ke atas dengan
penuh kejayaan, maka susah buat aku mencari balas padamu,
siapa duga hari ini In Ceng telah memperlakukan kau seperti
apa yang kau pernah perbuat pada orang lain, ini namanya
senjata makan tuan, haha ... hahaha ... hahaha!"
Kiranya Pui Kin-beng sangat setia pada In Te, hari ini ia
sengaja hendak menghina dan membikin malu Lian Keng-hiau,
habis ia tertawa mengejek, lalu menyambung pula dengan
caci-maki, ia bongkar semua perbuatan Lian Keng-hiau yang
dahulu dengan segala kejahatannya.
Di luar dugaan, meski dihina, disindir dan dicaci-maki
sedemikian rupa, sedikitpun Lian Keng-hiau tidak naik darah,
ia hanya diam, bahkan mendengarkan, sesudah orang habis
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bicara, kemudian baru ia balas dengan bergelak tertawa.
"Haha, kau si totol ini, apa kau kira Capsi-pwelek sendiri
sama sekali tidak keji dan kejam?" ia balas menyindir.
"Dengan sedikit kemurahan hatinya Capsi-pwelek memelet
kau, lantas kau membela dia hingga mati pun kau tak lupa
atas budinya" Haha, sungguh tolol, haha!"
Kemudian ia pun membongkar semua kekejian In Te
dahulu dengan segala tabir rahasianya tentang perebutan
takhta di antara sesama saudaranya yang saling bunuh itu,
semuanya ini memang tak pernah diketahui Pui Kin-beng,
keruan cerita ini berbalik membuatnya terkesima.
"Ya, tetapi apapun juga dengan majikanku itu, masih jauh
lebih baik daripada kau keparat ini!" demikian ia memaki lagi.
Namun Lian Keng-hiau kembali bergelak tertawa, kemudian
ia menghela napas. "Ya, apa yang kau katakan ada betulnya juga," sahutnya.
"In Te masih mempunyai seorang pahlawan seperti kau ini
yang tetap setia padanya, sedang aku hanya didampingi
seorang serdadu tua saja, cukup dalam hal ini saja dia sudah
lebih hebat daripadaku. Nah, baiklah, boleh kau serahkan
golokmu itu padaku?"
"Apa?" Pui Kin-beng kaget oleh permintaan orang,
berbareng ia malah mundur setindak.
"Kedatanganmu ini bukankah hendak membunuh aku?"
tanya Keng-hiau. "Tetapi aku orang she Lian sejelek-jeleknya
pernah juga menjadi panglima tertinggi dari satu pasukan
yang berjumlah jutaan manusia, mana boleh kepalaku
dipenggal oleh seorang manusia seperti kau, tetapi mengingat
jiwa setiamu pada ln Te, biarlah aku memenuhi keinginanmu
dan akan kuberikan kepalaku ini padamu!"
Tetapi Pui Kin-beng mendadak tertawa dingin terus
menubruk maju, dengan telapak tangannya segera ia hendak
menampar pipi Lian Keng-hiau.
Meski serangan ini amat cepat ke muka Keng-hiau namun
bagaimanapun juga ia adalah anak murid guru silat terkemuka
dan jago keluaran Siau-lim-si, dengan sedikit menggeser ia
hindari tamparan itu, selagi ia hendak balas menyerang, tibatiba
tertampak muncul satu bayangan orang di atas tembok
benteng. "Pui Kin-beng," seru orang itu tiba-tiba, "apa kau sudah
lupa akan janji kita dahulu" Kau berani mencelakai pembesar
kerajaan, jangan kau salahkan senjataku ini tak kenal
sahabat!" Orang yang datang ini ternyata adalah Ki Pi-sia. Seperti
diketahui, Pui Kin-beng dan Ki Pi-sia berdua adalah dua
sekawan jago pengawal In Te, hubungan mereka berdua
cukup baik, belakangan sesudah ln Te ditawan Lian Keng-hiau,
Pui Kin-beng masih tetap setia pada bekas junjungannya itu,
sedang Ki Pi-sia lantas tukar majikan dan menyerah pada
kaisar baru. Pernah Pui Kin-beng berkata pada Ki Pi-sia, "Asal
kau tidak datang menangkap aku, selamanya aku tak akan
bergebrak dengan kau." Maka sesudah pertarungan dahulu di
Swat-hun-kok, Pui Kin-beng tertolong oleh Kwantang-sihiap
hingga ia bisa menyelamatkan diri.
Kejadian itu sudah berselang beberapa tahun, malam ini
kembali bersua lagi dan Ki Pi-sia menyinggung lagi tentang
kata-kata mereka yang dulu, tentu saja Pui Kin-beng menjadi
gusar. "Hm, kau masih punya muka buat bicara dengan aku,"
segera Pui Kin-beng menjawab dengan tertawa dingin.
"Hubungan kita yang dulu sudah putus, jika kau berani
merintangi aku lagi, jangan kau sesalkan aku tak kenal
kasihan!" Tanpa berkata lagi Ki Pi-sia lantas melolos pedangnya terus
menghadang di depan Lian Keng-hiau.
Pui Kin-beng tidak tinggal diam, mendadak ia melompat
maju dengan tipu 'Siang-hong-koan-ni' (dua jurusan angin
menembus telinga) kedua kepalannya memukul dari kedua
samping. "Kau cari mampus!1'' bentak Ki Pi-sia. Habis itu, pedangnya
berputar terus memotong kedua tangan orang.
Tetapi dengan menarik tangan dan memiringkan tubuhnya,
Pui Kin-beng mendak ke bawah lantas dengan gerak serangan
'Gwak-hau-ting-san" atau menunggang macan menanjak
gunung, kaki kanannya tiba-tiba menendang pergelangan
tangan musuh yang mencekal senjata, sedang tangan kiri
berbareng menjotos ke dada orang pula.
Namun Ki Pi-sia cukup sebat, dengan cepat ia gunakan tipu
'Koai-bong-hoan-sin' atau ular aneh membalik tubuh, lebih
dulu ia hindarkan serangan orang, habis itu pedangnya
berputar, dari samping kembali ia menikam lagi.
Kedua orang ini yang satu adalah ahli Kunthau, ahli
pukulan, dan yang lain adalah jago pedang, kekuatan mereka
boleh dibilang sama kuat, maka sesudah dua-tiga puluh jurus
lewat, keadaan masih ramai saja tiada yang kalah dan
menang. Dalam pada itu dengan tersenyum Lian Keng-hiau berpeluk
tangan menonton di samping, sama sekali ia tidak maju
membantu. Mendadak Pui Kin-beng teringat maksud tujuan
kedatangannya ini. "Pi-sia, kau dengarkan lagi perkataanku!" teriaknya sehabis
pura-pura menghantam sekali.
Ki Pi-sia menurut, ia tarik pedangnya dan disiapkan untuk
saban waktu menusuk lagi, dengan demikian ia mendengarkan
apa yang hendak dikatakan bekas kawannya ini.
"Kau inginkan jasa, sedang aku membela bekas majikan,
kita masing-masing mempunyai cita-citanya sendiri, aku pun
tidak ingin memaksa kau menuruti cita-citaku. Cuma keadaan
sudah seperti hari ini, Lian Keng-hiau sudah runtuh seperti
lentera yang kehabisan minyak, untuk apalagi kau melindungi
dia?" demikian Pui Kin-beng berkata.
Akan tetapi Ki Pi-sia membalas dengan tertawa dingin,
dengan lagak congkak ia menjawab, "Mana mungkin kau tahu
akan cita-citaku!" Karena itu Pui King-beng menjadi murka lagi, ketika ia
hendak buka serangan pula, tiba-tiba ia dengar Lian Keng-hiau
tertawa terbahak-bahak. "Haha, Pui Kin-beng," kata Keng-hiau, "kau setia pada I n
Te dan dia setia padaku, sungguh sangat kebetulan sekali.
Kau tanya dia kenapa melindungi aku, tetapi jika dia berbalik
tanya kau, lantas apa jawabmu?"
Pui Kin-beng tertegun sejenak, lalu dengan cepat putar
tubuh terus pergi. Nampak lawannya pergi sendiri, dengan
senyum ejek Ki Pi-sia memasukkan kembali pedang ke
sarungnya. Kemudian dengan tersenyum Lian Keng-hiau mendekati
dan menepuk pundak Ki Pi-sia.
"Di waktu sulit baru bisa tahu akan hati orang baik, nyata
apapun juga kau masih punya perasaan!" katanya.
Di luar dugaan, mendadak Ki Pi-sia menyentakkan
pundaknya, karena tak tersangka-sangka, Keng-hiau kena
ditumbuk pergi. "Hm, kau orang berdosa ini, siapa menaruh perasaan
padamu?" dengan tertawa dingin Ki Pi-sia menyindir pula. "I
Ini, kau kira kedatanganku ini adalah untuk menolong kau"
Haha, terus terang, Hongsiang bilang kau terlalu kurangajar,
maka ingin menyiksa kau dengan perlahan-lahan, maka kau
telah dipecat menjadi tukang jaga pintu di sini, aku
diperintahkan kemari untuk menyaksikan nasib 'panglima
besar' yang menyedihkan ini. Memang Hongsiang cukup
cerdik, ia sudah menduga tidak sedikit musuhmu, mungkin
mereka akan datang ke sini untuk membunuh kau, dan hal ini
berarti enak bagimu, maka aku dipesan agar diam-diam
menjaga pula, supaya bila tiba saat yang genting lantas turunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tangan mengusir orang-orang itu. Kata Hongsiang, tiada
sesuatu lagi di dunia ini yang paling menyenangkan daripada
menyaksikan orang yang dibenci itu tiba pada saat yang paling
naas, di waktu itu ia minta hidup tak dapat, mohon mati tak
bisa, meronta-ronta tiada harapan, berteriak tolong tiada
guna, penderitaan demikian inilah tentu akan lucu
kelihatannya. Nah, tahulah kau sekarang, Hongsiang tak
segera menghukum mati kau, apa kau kira disebabkan beliau
ada sedikit rasa sayang padamu" Dan kau kira aku orang she
Ki hari ini masih mau menjadi budakmu" Hahaha, kau ini
sungguh tidak tahu diri!"
Keruan olok-olok ini tidak kepalang membikin gusar Lian
Keng-hiau. Akan tetapi Ki Pi-sia masih terus menyindir dan
mencaci bekas atasannya ini dengan sepuasnya.
"Pi-sia," kata Keng-hiau kemudian dengan menahan
amarah, "tidak jelek aku menghadapi kau dahulu, tidak
sampai tiga tahun kau berada di bawahku sudah lantas naik
pangkat hingga pengawal kelas empat, apa sedikitpun kau tak
punya rasa persahabatan?"
Namun Ki Pi-sia lantas menjengek dan mengunjuk sikap
yang menghina. "Hm, aku mendapat pangkat dan jadi pembesar Hongsiang,
toh bukan menjadi pembesar untukmu, apa kau ingin aku
bertekuk lutut menghaturkan terima kasih atas budi
kebaikanmu?" ejeknya lagi. "Kini aku sudah naik menjadi
pengawal kelas tiga, sudah tentu jauh lebih tinggi daripada
kau si tukang jaga pintu ini, kini aku tidak mengharuskan kau
berlutut memberi hormat sudah berarti masih punya perasaan
terhadapmu, apa kau masih berpikir muluk-muluk?"
Karena sindiran ini, sekonyong-konyong Lian Keng-hiau
bergelak tertawa. "Betul, betul!" serunya. "Manusia harus menanjak ke atas
dan air selalu mengalir ke bawah, sebagai jantan sejati harus
berani mengambil langkah yang tegas dan berbuat apa yang
berani diperbuat, kalau hendak menjadi orang besar, harus
demikian ini. Pi-sia, sungguh tidak percuma bebeberapa tahun
kau berada di bawahku, nyata segala teoriku sudah kau warisi
semuanya!" Semula Ki Pi-sia tercengang, segera ia hendak balas
mendamprat lagi. tiba-tiba terdengar ada orang datang, maka
cepat ia melompat pergi, ia bersembunyi di pojok tembok
benteng yang gelap. "Kawan siapa lagi yang datang itu?" dengan senyum dingin
Lian Keng-hiau menyambut kedatangan orang. "Aku Lian
Keng-hian hanya punya satu badan, kalau mau balas dendam
lekaslah turun tangan saja!"
Belum habis ia berkata, mendadak di atas tembok benteng
itu sudah muncul lima orang, yang mendahului adalah In-hong
Hwesio dari Siau-lim-si dan di belakangnya menyusul
Kwantang Si-hiap. Nampak yang datang adalah. In-hong Hwesio, seketika air
muka Keng-hiau berubah hebat.
"Hm, Lian Keng-hiau, akhirnya tiba juga hari seperti
sekarang ini?" demikian segera In-hong mendamprat Kenghiau
dengan jari menuding. "Ingatlah, Siau-lim-si begitu
berbudi padamu, tetapi kau berbalik mempedayai guruku
hingga menewaskannya, bahkan kau pimpin tentaramu
mengepung dan membakar Siau-lim-si yang sudah bersejarah
ribuan tahun itu, sungguh aku ingin tanya kau, hatimu itu
terbuat dari apa?" "Kalau hendak bunuh lekas bunuh, tidak perlu banyak
bicara!" sahut Keng-hiau.
"Hm, bunuh" Terlalu enak bagimu," damprat In-hong pula.
"Sebenarnya kalau mengingat guruku Pun-bu Taysu yang
pernah mengajarkan ilmu silat padamu, tapi berbalik kau tega
membunuhnya, bahkan aku pun hampir menjadi korbanmu,
jika sekarang juga aku mencincang kau masih belum bisa
melampiaskan benciku padamu! Akan tetapi justru aku tidak
ingin kau lekas mampus, darahmu pun tidak berharga
menodai senjataku, aku ingin melihat kaisar anjing yang selalu
kau junjung dan setia itu yang akan menghukum mati
padamu, dengan demikian biar rakyat seluruh negeri ikut
bergembira." "Jika begitu, untuk apa kedatanganmu ini?" tanya Kenghiau.
"Kedatanganku, pertama ingin melihat 'keangkeran' kau
Tay-ciangkun ini, kedua, aku ingin tanya kau, dahulu surat
pusaka yang dibuat dasar membangkangnya In Ceng itu,
palsu bukan?" tanya In-hong Hwesio.
"Ya, memang palsu, ada apa?" sahut Keng-hiau terus
terang. "Itupun perbuatanku yang menirukan tulisan tangan
Pun-khong Taysu, dengan begitu supaya Siau-lim-si
selamanya terdapat satu murid murtad yang tak mungkin bisa
dicuci bersih pula agar dibuat buah tertawaan di kalangan
Bulim." "Bagus, baru sekarang kau mengaku," teriak In-hong
gemas. Akan tetapi Lian Keng-hiau telah mengunjuk senyum
iblisnya. "Biar Siau-lim-si kalian sudah tahu, bisa berbuat apalagi"
Apa Siau-lim-si berani berbuat sesuatu terhadap Hongsiang
yang sekarang?" sindirnya kemudian.
Sebab apakah baru sekarang Lian Keng-hiau mau mengaku
terus terang, kiranya saat ini ia sudah terlalu dendam pada
Yong Ceng, maka ia sengaja hendak mengadu domba agar
padri-padri Siau-lim-si pergi membunuh Yong Ceng.
"Baik, hari ini aku tidak membunuh kau, tapi sedikitnya
harus meninggalkan sesuatu tanda mata di atas tubuhmu,"
kata In-hong. Habis itu segera ia melompat maju, begitu dua jarinya
diulur, ia hendak menutul kedua mata Lian Keng-hiau.
Namun Keng-hiau tidak mandah diam, dengan cepat ia
angkat sebelah telapak tangannya terus dipalangkan ke atas
memapaki datangnya dua jari orang, dengan demikian ia
patahkan serangan tadi. "Bagus, kau masih berani menggunakan tipu Siau-lim-si
untuk melawan aku!" teriak In-hong semakin gemas.
Sementara itu Tan Goan-pa yang paling berangasan di
antara Kwantang-si-hiap sudah tidak sabar lagi.
"In-hong Suheng," demikian teriaknya, "menurut
pendapatku, bunuh saja dia agar beres, jika kau anggap
keenakan buat dia, biar aku gunakan Hun-kin-co-kut-jiu saja
untuk membereskan dia!"
Habis itu tanpa pikir lagi ia lantas menerjang maju, sekali
tangannya diangkat, segera ia mencengkeram pi-pe-kut,
tulang lemas di atas pundak Lian Keng-hiau.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awas!" tiba-tiba Hian-hong Totiang memperingatkan
saudara angkatnya itu. Maka terdengarlah suara "bang" yang keras, mendadak
sebuah panah berapi menyambar datang dengan cepat dan
tepat meledak di atas kepala Tan Goan-pa.
Lekas Tan Goan-pa menjatuhkan tubuhnya terus berguling
pergi, hampir saja ia tergelincir jatuh ke bawah benteng.
"Haha, Hongsiang memang bisa menduga panjang, betul
juga ada kawanan Siau-lim-si dan sisa komplatannya yang
datang mengacau," terdengar suara orang bergelak tertawa.
"Baiklah, kalian menuntut balas pada Lian Keng-hiau, itu
berarti kalian masuk jala sendiri!"
Yang bicara ternyata adalah Han Tiong-san, sementara itu
Thian-yap Sanjin tahu-tahu sudah muncul pula di belakang
Hian-hong Totiang. Sudah tentu Hian-hong menjadi gusar, dengan sekali
geraman pedangnya berputar, tongkat besi di tangan yang
lain segera menyerampang, dua macam senjata sekaligus
menyerang berbareng. Namun Thian-yap Sanjin telah berputar pergi dengan
cepat, menyusul kedua tangannya memukul pula, begitu keras
pukulannya hingga angin pukulannya menggoncangkan tubuh
Hian-hong. Pada waktu itu Long-goat Siansu sudah menyedot araknya
dari buli-buli dan dengan keras disemburkan memapak angin
pukulan orang, namun saking keras angin pukulan itu hingga
arus araknya tergoncang terbang seperti hujan arak saja.
Han Tiong-san tidak tinggal diam, waktu ia ayun
tangannya, dua macam senjata rahasia dia timpukkan juga,
dengan Hwe-goan-kau ia mengarah Liu Sian-gai dan dengan
Thi-lian-ci (pelor besi) ia hantam jalan darah Tan Goan-pa.
Liu Sian-gai berjuluk 'Ban-li-tui-hong' atau pengejar angin
jarak ribuan li, suatu tanda betapa hebat ilmu entengi
tubuhnya, dengan sendirinya tidak nanti ia bisa diserang
dengan senjata rahasia itu, ia melompat kian-kemari berkelit,
sudah berulang-kali ia menghindarkan diri, tetapi senjata Hwegoankau yang menyambar pulang-pergi itu tak mampu juga
dihancurkan olehnya. Tan Goan-pa rada kurang dalam hal Ginkang, ia kena
dihantam oleh Thi-lian-ci, untung ia memiliki kulit seperti
tembaga dan tulang besi, meski tempat yang terkena itu rada
kesakitan, namun tidak berhalangan baginya.
Han Tiong-san berdua terang lebih kuat daripada
Kwantang-si-hiap, di antara Si-hiap ini hanya Hian-hong saja
yang masih mampu menyambut sekali dua kali serangan
mereka, sedang tiga kawannya tak dapat mendekati musuh
lagi. "Apa yang kita hendak tanya sudah ditanya, buat apa
terlibat lebih lama lagi di sini, lebih baik angkat kaki saja!"
seru In-hong. Karena itu Hian-hong Totiang lantas menyerang beberapa
kali dengan cepat, ia melindungi kawan-kawannya dari
belakang agar bisa mundur teratur, yang pertama-tama
melompat turun ke bawah tembok benteng adalah Tan Goanpa,
Long-goat Siansu setelah menyemburkan arus araknya,
segera pula melompat turun mengikuti In-hong, sementara itu
Hian-hong telah mengangkat pedangnya, dengan tipu 'Ki-hweliauthian' (mengangkat obor menerangi langit), dibarengi pula
tongkatnya menangkis senjata garuk Han Tiong-san, habis itu
segera pula ia melompat turun.
Thian-yap Sanjin menjadi gusar, tiba-tiba ia melayang
turun, dengan gerakan 'Ngo-eng-bok-tho' ia mengulur tangan
terus hendak mencengkeram, tetapi mendadak terdengar
suara sambaran angin di atas kepalanya, lekas Thian-yap
Sanjin berjumpalitan, ia tarik tubuhnya yang sementara itu
sudah mendoyong ke depan, berbareng ia menghantam ke
atas, namun segera terdengar suara tertawa, tahu-tahu Liu
Sian-gai sudah melayang lewat di atas kepalanya dan turun ke
bawah benteng. Walaupun Kwantang-si-hiap belum terhitung tokoh silat
kelas wahid, tetapi mereka masing-masing memiliki ilmu silat
yang berlainan, seketika itu Han Tiong-san dan Thian-yap
Sanjin ternyata tak mampu mencegat lari mereka.
"Kejar!" mendadak Thian-yap Sanjin mengajak.
Bersama Han Tiong-san mereka lantas melompat turun,
sekejap saja mereka pun sudah menghilang.
" Kemudian Ki Pi-sia lantas muncul dari tempat
persembunyiannya. "Hongsiang paling benci pada sisa kawanan Siau-lim,
kenapa kau tidak mengambil kesempatan ini untuk mendirikan
jasa?" kata Keng-hiau padanya.
"Aku masih harus menjaga kau!" sahut Ki Pi-sia dengan
tertawa dingin. "Terima kasih kalau begitu!" ujar Keng-hiau. Tiba-tiba ia
mengunjuk sikap seperti sedang berpikir, selang sejenak
kemudian baru ia buka suara pula dengan perlahan.
"Pi-sia, aku ingin berunding sesuatu urusan dengan kau!"
"Kau ingin aku membebaskan kau?" sahut Ki Pi-sia. "Tetapi
sayang, jagat yang begini luas sudah tiada tempat untukmu
lagi. Baiknya tidak perlu kau banyak omong."
"Mana bisa aku memaksa kau," ujar Keng-hiau. "Terus
terang, aku ingin memberitahukan kau, aku masih punya
simpanan mestika yang jarang ditemukan dan ingin
kuhadiahkan padamu."
"Hm, kau bisa begitu baik hati?" sambut Ki Pi-sia dengan
tertawa dingin pula. "Budi apa yang aku berikan padamu
hingga kau mau menghadiahkan barang mestika padaku?"
"Sudah tentu aku tidak memberikan kau dengan cumacuma,"
sahut Keng-hiau. "Sebenarnya memang sebelumnya
aku sudah menduga bakal terjadi peristiwa ini atas diriku,
maka siang-siang aku sudah menitipkan anakku pada seorang
sahabat, lambat atau cepat aku pasti akan mati dan harta
kekayaanku pasti akan disita, kelak bila putraku sudah besar,
apa yang harus dibuat ongkos penghidupan" Oleh sebab itulah
aku ingin memberikan barang mestika ini padamu, boleh
terserah atas hati nuranimu sendiri, kau boleh menjualnya dan
serahkan kembali separahnya pada sahabatku itu, agar kelak
dapat dibuat ongkos hidup putraku agar tidak kekurangan."
Bujukan ini rupanya membikin tergerak hati Ki Pi-sia, ia
pikir, "Ya, pada waktu aku berangkat dari kotaraja, Hongsiang
sudah menangkap semua sanak keluarga Lian Keng-hiau,
melulu tidak tertampak putra satu-satunya itu, Hongsiang
bilang babat rumput harus dongkel sampai akarnya, maka ia
menyuruh kami mencarinya lagi secara diam-diam. Apa yang
dikatakan Lian Keng-hiau tadi ada betulnya juga. Tidakkah
lebih baik aku pura-pura menerima tawarannya ini, sekaligus
untuk mencari tahu dimana anaknya bersembunyi, bukankah
ini akan merupakan satu jasa besar, pula bisa mendapatkan
barang mestikanya." Begitulah sesudah mengambil keputusan ini lantas ia terima
baik tawaran Keng-hiau tadi.
"Baiklah, kalau hanya urusan sekecil ini, aku orang she Ki
masih bisa memutuskannya sendiri," katanya kemudian.
"Apa betul?" Keng-hiau pura-pura bertanya.
"Sudah tentu," sahut Ki Pi-sia, "tiada ruginya bagi diriku
sendiri dan berfaedah untuk orang lain, kenapa aku tidak
melakukan" Nah, boleh kau terangkan dimana tempat tinggal
sahabatmu itu." "Jika begitu, percayalah aku padamu," kata Keng-hiau lagi.
"Cuma di balik dinding mungkin ada telinga lain, barang
mestika inipun tidak leluasa dipamerkan sembarangan, marilah
sini kau maju yang dekat!"
Betul juga Ki Pi-sia menurut, ia mendekati Lian Keng-hiau,
ia palingkan telinganya hendak mendengar apa yang akan
dikatakan orang. Di luar dugaannya, mendadak Lian Keng-hiau membaliki
tangannya, ia gunakan Kim-na-jiu-hoat yang lihai dari Bu-kekpay,
sekali cekal ia pegang kencang urat nadi tangan orang,
keruan seketika Ki Pi-sia menjadi lumpuh hingga tak mampu
berkutik. "Bangsat piaraan biang anjing, berani juga kau datang
menghina aku!" demikian Keng-hiau mencaci-maki. "Hm, apa
bisa aku terima hinaanmu! Aku sudah dituduh berbagai
kesalahan, ditambah lagi dosa inipun masih bukan apa-apa."
Habis berkata, ia angkat jarinya terus menutuk iga Ki Pi-sia,
tepat di jalan darah yang mematikan, tanpa ampun lagi Ki Pisia
menjerit ngeri sekali, seketika ia terbinasa.
Melihat orang sudah mampus, Lian Keng-hiau hanya
tertawa dingin saja, sementara itu ia dengar kentongan sudah
ditabuh pukul dua, sekitarnya sunyi sepi hingga sangat
menyeramkan. "Malam ini beruntun kedatangan-beberapa rombongan
musuh, prajurit tua itu apa sudah mati ketakutan?" demikian
pikir Keng-hiau. "He, kenapa tidak terdengar suaranya" Ah,
sungguh sial juga aku ini, hanya didampingi seorang prajurit
tua yang sudah tak berguna."
Selagi ia hendak berseru memanggil, tiba-tiba ia lihat
mayat Ki Pi-sia yang menggeletak itu matanya masih terbuka
lebar seperti sedang mendelik. Ia menjadi naik darah, kakinya
melayang, segera ia tendang mayat itu ke bawah benteng.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar olehnya
suara ucapan, "O-mi-to-hud" yang menusuk telinga, waktu
Keng-hiau menegasi, seketika bukan buatan rasa takutnya,
yang datang ternyata adalah bekas Kam-si Siau-lim-si dan
sekarang menjadi ketua pengurusnya, Hong-hoat Taysu
adanya! Tingkatan Hong-hoat Taysu sama dengan Siau-lim Sam-lo,
wataknya keras pula, bencinya pada kejahatan seperti pada
musuh saja, wataknya serupa mendiang Pun-bu Taysu.
"Berturut-mrut Siau-lim Sam-lo sudah meninggal, kini
Hong-hoat yang mengetuai, dia tentu akan menggunakan
tata-tertib rumah tangga Siau-lim untuk menghukum aku,"
demikian kata Keng-hiau dalam hati.
Bila teringat olehnya cara Hun-kin-cho-kut dari Siau-lim-si,
dan cara lain untuk menghukum murid yang berani berkhianat
yang jauh lebih menderita daripada ditusuk senjata, mau tak
mau ia jadi mengkirik! Sementara itu dengan sinar matanya yang tajam seperti
pisau, Hong-hoat Taysu sedang melototi Lian Keng-hiau.
"Ha, Lian-tayciangkun, apakah masih kenal padaku?" tegur
Hong-hoat. "Ya, Tecu sudah insaf akan dosa sendiri!" sahut Keng-hiau.
"Hm, siapa adalah gurumu" Kau kira muridnya siapa?"
sahut Hong-hoat dengan bengis. "Siau-lim-si tidak boleh
dinodai kau, Bu-kek-pay juga tidak mengaku mempunyai
murid khianat seperti kau ini."
"Kalau begitu, mohon belas kasihan Taysu, berilah padaku
satu mayat yang utah!" pinta Keng-hiau dengan kepala
menunduk. "Kau tentu akan dihukum sendiri oleh peraturan
pemerintah, perlu apa aku turun tangan?" kata Hong-hoat
Taysu dengan suara berat, dengan wajah yang kereng.
"Kedatanganku ini disebabkan dua hal, kau boleh dengarkan.
Pertama, Siau-lim Sam-lo pernah mengajarkan ilmu silat
padamu, hal mana berarti membantu kejahatan secara tidak
langsung, ini adalah kesalahan Siau-lim-si, aku terpaksa harus
menebus dosa mendiang Cu-ji (ketua) yang lalu dan menarik
kembali ilmu silat yang pernah kau pelajari im."
Berkata sampai di sini, mendadak padri tua ini mengulur
sebelah tangannya terus menabok ke atas kepala Lian Kenghiau.
Dalam keadaan demikian, betapapun tinggi ilmu silat
Kenghiau sukar untuk menghindarkan diri, maka tidak ampun
lagi ia kena ditabok dengan tepat, terasa olehnya matanya
berkunang-kunang, bumi seperti berputar dan langit terbalik,
selang agak lama baru ia bisa jernih kembali pikirannya, akan
tetapi kaki tangannya kini sudah lemas tanpa tenaga lagi.
"Baru sekarang menarik kembali ilmu silatmu, sebenarnya
sudah terlambat, tetapi terselesaikan juga suatu tugas umum
dan memenuhi peraturan Sfau-lim yang sudah turun-temurun
sekian lamanya," kata Hong-hoat dengan menghela napas.
Setelah berhenti sejenak, lalu Hong-hoat Taysu berkata
pula, "Kecuali aku harus menarik kembali ilmu silatmu, aku
masih harus mewakili Bu-kek-pay membikin pembersihan
rumah tangga. Urusan ini sebenarnya harus dilakukan Ielocianpwe
dari Thian-san, tetapi karena dia tiada tempo buat
datang ke Tionggoan lagi, ia suruhan orang memberitahukan
padaku agar mewakilkan melakukan tugasnya, tentu pula ini
akan buang tenaga lagi," berkata sampai di sini mendadak
kedua alisnya menegak, dengan suara bengis ia membentak,
"Lian Keng-hiau, Ciong Ban-tong dengan bersusah-payah
memupuk bakatmu, kenapa kau tidak membalas budinya,
sebaliknya kau bersekongkol dengan Siang-mo dan
membunuhnya" Perbuatan ini apa bisa dibiarkan begitu saja
oleh kawan Bu-lim?" Tetapi Keng-hiau tidak menjawab, ia mengerti Hong-hoat
tidak mau turun tangan membunuhnya, maka ia lantas tutup
mulut dan tidak menghiraukan kata-kata orang.
"Kalau diingat betapa susahnya dahulu Pho Jing-cu
mendirikan Bu-kek-pay, sungguh tidak nyana bisa
mengeluarkan murid durhaka seperti kau ini, sampai hampir
saja Bu-kek-pay dihancurleburkan olehmu, syukur Bu-kek-pay
masih ada seorang ahli waris, kalau tidak, Pho Jing-cu dan
Ciong Ban-tong pasti tak akan tenteram di alam baka."
"Bu-kek-pay masih punya ahli waris siapa?" mendadak
Keng-hiau bertanya, rupanya hal ini menarik baginya.
"Tidak perlu kau urus," sahut Hong-hoat ketus. "Aku hanya
diminta oleh le Lan-cu, Ie-locianpwe untuk memberitahukan
kau bahwa aku sudah mempermaklumkan kepada kawan
kalangan Bulim bahwa kami telah mewakili Bu-kek-pay
membersihkan pintu perguruannya dan telah memecat kau
dari Bu-kek-pay!" "Jiwaku saja tidak terjamin, untuk apa aku merecoki urusan
itu?" sahut Keng-hiau dengan tawar.
Hong-hoat Taysu menjadi gusar oleh kata-kata ini, tapi ia
hanya geleng-geleng kepala.
"Binatang, sudah dekat ajal masih belum insaf!" katanya
pula. Habis im mendadak ia mencabut golok sucinya.
Keruan Keng-hiau terkejut, segera ia merasakan sinar
tajam seperti mengiris mukanya, ia dengar Hong-hoat Taysu
berkata di samping telinganya, "Sama sekali tak malu,
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percuma sebagai lelaki, perlu diberi sedikit hukuman, untuk
peringatan pengkhianat lain."
Ketika angin tajam berhenti, waktu Keng-hiau pentang
matanya, Hong-hoat Taysu sudah tak kelihatan lagi.
Waktu Keng-hiau meraba muka sendiri, tiba-tiba ia
merasakan mukanya licin halus, bukan saja jenggot mukanya
yang tebal sudah dicukur bersih kelimis, bahkan bulu mata
dan bulu alis juga dikerok hingga bersih.
Selama hidup Lian Keng-hiau mana pernah menerima
hinaan sedemikian hebat, tanpa terasa ia menjadi gusar dan
mengacungkan kepalan. "Bangsat gundul Hong-hoat, terlalu kau menghina aku!" ia
mencaci-maki, akan tetapi segera ia merasa napasnya sesak
dan tak bertenaga, tanpa terasa ia menarik napas panjang,
dengan lemas ia mendeprok duduk di atas tanah.
Dalam pada im malam sudah larut, sudah dekat fajar,
angin meniup silir hingga sedikit terasa dingin.
"Ong-losam! Ong-losam!" seru Keng-hiau dengan terbatukbatuk.
Ong-losam adalah nama prajurit tua im, tetapi sudah dua
kali ia memanggil, aneh, masih belum ada sahutan.
Selagi ia merasa heran, tiba-tiba ia lihat prajurit tua im
dengan langkah linglung keluar dari loteng benteng im, di
bawah sorotan sinar pelita yang remang-remang tertampak
mukanya pucat sekali. "Ong-losam, kenapakah kau?" tanya Keng-hiau.
Prajurit tua ini tidak lantas menjawab, lebih dulu ia menjura
ke hadapan Keng-hiau, habis itu dengan suara penuh
penyesalan baru ia buka suara.
"Maaf, aku tidak bisa melayani kau lebih lama lagi!"
katanya. Lian Keng-hiau mengerti tentu percakapannya dengan Pui
Kin-beng tadi telah didengar semua olehnya, maka lekas ia
menahan orang. "Lo-sam, janganlah kau berpikir yang tidak-tidak ...V'
"Sudahlah, tak usah dikatakan lagi," tiba-tiba Ong-losam
memotong, "malam ini barulah aku mengetahui seluruhnya!
Percumalah aku telah menyaksikan kau sejak kecil hingga
dewasa, tetapi selamanya aku tidak mengetahui bahwa kau
berjiwa sedemikian rendah, satu manusia yang tak
berperasaan dan tiada setia! Majikan tua hidup belum pernah
melakukan sesuatu kejahatan, entah kenapa bisa
mendapatkan pembalasan jelek ini hingga melahirkan anak
durhaka seperti kau ini" Ai, sungguh aku ikut penasaran bagi
kakek moyangmu!" Cara bicara prajurit tua ini begitu bersemangat hingga
bukan main marahnya Lian Keng-hiau sampai mukanya dari
merah berubah menjadi pucat, ia ingin sekali jotos membikin
mampus padanya, tetapi bila teringat olehnya setidak-tidaknya
prajurit ini bisa sekali dua jurus silat juga, sedang ilmu silatnya
sendiri sudah punah seluruhnya, maka meski bogemnya sudah
diacungkan, akhirnya dia tarik kembali.
Dalam pada itu setelah menghela napas lagi, prajurit tua itu
tiba-tiba mengucurkan air mata.
"Sudah sekian lamanya aku melayani bapakmu, pula sekian
tahun aku melayani kau, malah ikut serta melakukan
perjalanan jauh dan ikut berjuang mati-matian," demikian
katanya lagi, "namun selama ini tidak pernah naik pangkat,
juga tidak menjadi kaya, ini kiranya sudah cukuplah balas
jasaku pada keluarga Lian. Dan sekarang aku mohon diri."
Habis berkata ia menjura sekali lagi pada Lian Keng-hiau,
lalu setindak demi setindak ia berjalan turun undak-undakan
gerbang benteng itu, tetapi tidak berapa tindak ia melangkah,
tiba-tiba ia berpaling dan berkata lagi.
"Pakaianmu yang kau salin kemarin sudah kucuci bersih,
boleh kau bebenah sendiri, sarapan untuk pagi pun sudah aku
siapkan, dan selanjutnya kau belajar kerjalah sendiri."
Seperginya prajurit tua itu, Lian Keng-hiau masih termangu
seperti patung di tempatnya, jidatnya basah keringat, sekali
inilah betul-betul ia merasakan pukulan batin yang berat, ia
merasakan orang yang ditinggal pergi sanak dan kawannya, ia
merasa jagat selebar ini betul-betul sudah tiada tempat untuk
berteduh baginya, lautan manusia yang padat ini sudah tiada
seorang pun yang mendekatinya, teringat pula olehnya
selanjurnya cuci pakaian dan menanak nasi harus dilakukan
sendiri, ia lebih-lebih merasakan inilah nasib hari akhir seorang
'Pahlawan' yang sungguh harus dikasihani.
Waktu Keng-hiau masuk ke loteng benteng itu, betul juga
ia lihat satu kuali nasi yang masih mengepul hangat, melihat
daharan ini barulah ia rasakan perutnya sudah lapar, tanpa
ayal lagi segera ia lahap bersih nasi im, ia coba menggerakkan
kaki-tangannya, baru ia ketahui meski ilmu silatnya sudah
lenyap, tetapi ia masih memiliki tenaga sebagaimana dimiliki
orang biasa, apabila ia lihat pula dapurnya yang tersusun dari
batu bata, ia menjadi tertawa getir.
"Masih mending, jika sampai tenaga untuk menanak nasi
saja sudah hilang, itulah lebih celaka!" demikian ia
menggumam sendiri, tetapi dari beras cara bagaimana
dijadikan nasi, inilah sama sekali belum pernah dipelajari
Keng-hiau, maka ia menjadi sedih juga.
Sementara itu hari sudah terang, sudah tiba pula jam
dinasnya, Keng-hiau harus menjaga pintu.
Ia keluar dari pondoknya dan turun dari tembok benteng,
biasanya ia masih diikuti seorang prajurit tua, tetapi pagi ini ia
hanya seorang diri hingga terasa olehnya keadaan yang sunyi,
semua perbuatannya selama ini sesaat itu terbayang di
pikirannya, tanpa terasa semacam rasa menyesal telah timbul,
akan tetapi sekejap saja sudah diganti pula oleh rasa gusar,
lalu rasa benci, ia gemas dan menyesal kenapa dunia ini tidak
kiamat saja. Sesudah Keng-hiau membuka pintu gerbang benteng, di
antara silirnya angin pagi yang meniup masuk karena
terpentangnya pintu, terbawa pula suara tertawaan yang
nyaring dan merdu, terlihat olehnya seorang gadis jelita
dengan senyumnya yang manis sudah berdiri di luar pintu
gerbang. "Selamat pagi, Lian-tayciangkun!" demikian gadis itu
menyapa begitu Lian Keng-hiau membuka pintu gerbang.
Keruan Keng-hiau terkejut, sesaat itu ia menyangsikan
penglihatannya sendiri, ia ragu-ragu apa bukan dalam mimpi,
ketika ia kucek-kucek matanya dan menegasi lagi, nyata
memang betul ialah Pang Lin.
Nampak anak dara ini, sekilas Keng-hiau mengunjuk
senyuman juga, tetapi tiba-tiba ia menjadi sengit dan
menegur, "Pang Lin, apa kau juga datang buat menghina
aku?" Dalam dua tahun ini Pang Lin dan Li Ti sudah banyak
mengalami bahaya dan rintangan, tetapi berhasil juga
menghimpun sedikit kekuatan di daerah Sucwan, ketika
mendengar Lian Keng-hiau sudah dipecat dari jabatannya,
segera mereka berdua kembali ke selatan hendak mencari Lu
Si-nio, sampai di tengah jalan mereka mendapat kabar lagi
bahwa sekaligus Lian Keng-hiau sudah dipe-lorotkan
pangkatnya hingga dijadikan tukang jaga pintu benteng
Hangciu, hal ini jadi menarik perhatian Pang Lin.
Anak dara ini kini sudah berupa nona yang berusia dua
puluh tahun, tetapi sifat kekanak-kanakannya masih belum
hilang, teringat olehnya di waktu kecil pernah bermain
bersama Lian Keng-hiau, ia ingat pula Keng-hiau pernah
mendustai dia dan membujuknya pula dengan maksud akan
menyerahkannya pada kaisar Yong Ceng.
Oleh karena ingin melihat macam apa Lian Keng-hiau
sesudah dipecat, ingin tahu apakah betul bekas Tayciangkun
ini sedang jaga pintu. Li Ti tak bisa merintangi maksudnya,
pemuda ini lantas menjadi pengintai di luar benteng dan
membiarkan Pang Lin sendirian menemui Lian Keng-hiau.
"Bukanlah aku hendak menghina atau menertawai kau, tapi
kau yang menertawai diri sendiri," demikian sahut Pang Lin
dengan tertawa ngikik. "Orang berbuat salah harus menyesal,
kau harus terima bagianmu karena perbuatanmu sendiri, apa
kini kau sama sekali tidak merasa menyesal?"
Tetapi Keng-hiau hanya bungkam dan tidak menjawab.
Karena im muka Pang Lin lantas berubah, dengan sungguhsungguh
ia berkata lagi, "Sebenarnya jika kau bisa patuh pada
ajaran Ciong-insu, tidak nanti kau seperti hari ini!"
Keng-hiau kaget oleh kata-kata Pang Lin ini.
"Kejadian di masa silam kini aku sudah tahu semua,
keluargamu pernah memelihara diriku, hal ini aku harus
berterima kasih," Pang Lin menyambung lagi dengan
perlahan-lahan. "Kau sudah ingat semua?" tanya Keng-hiau cepat.
"Ya, sudah ingat semua," sahut Pang Lin. "Di waktu
kecilmu kau sangat nakal, tapi terhadap diriku masih terhitung
boleh juga." "Memangnya, aku selalu menganggap kau seperti adikku
sendiri, tidak pernah aku begitu baik kepada orang lain seperti
terhadap kau, jika kau bisa tahu sendiri, itulah baik," sahut
Keng-hiau dengan girang. "Terima kasih kedatanganmu ini
untuk menyambangi aku, jika kelak aku Lian Keng-hiau harus
dihukum mati dan dicincang, tapi masih punya sahabat yang
paham atas kebaikanku, sudah bolehlah, aku tidak akan
menyesal." Tetapi mendadak Pang Lin tertawa dingin dan berkata,
"Namun semakin besar kau lantas semakin busuk hingga tidak
bisa diperbaiki lagi. Hm, kau masih ingat tidak, kau hendak
menyerahkan aku pada Hongsiang untuk mempertahankan
gelar kebesaranmu" Tetapi aku tidak menurut, lantas diamdiam
kau hendak mempeda-yai dan mencelakai jiwaku, kalau
bukan Li Ti-koko yang menolong aku, nyawaku ini sudah lama
melayang di tanganmu. Dan sekarang, hm, masih berani kau
bilang adik sendiri segala" Apa kau tidak kuatir aku menjadi
muak?" Karena dampratan ini, muka Lian Keng-hiau kelihatan
berubah, semula merah malu, lalu pucat menghijau.
"Ya, ya, aku sudah tahu akan dosaku," katanya kemudian
dengan menunduk. "Kau bennaksud jahat terhadap diriku masih tak seberapa,
paling celaka ialah jerih-payah Ciong-insu yang telah
membesarkan kau, sudah memupuk bakatmu, tapi berbalik
kau telah memasukkan srigala ke dalam rumah untuk
membunuhnya!" damprat Pang Lin lagi. "Hm, kalau bukan
kau, hari ini aku tentu akan memberi hukuman yang setimpal
pada murid pengkhianat perguruan sendiri!"
Karena kata-kata terakhir ini, rupanya Lian Keng-hiau jadi
tertarik, ia angkat kepalanya.
"O, kiranya ahli waris Bu-kek-pay yang disebut Hong-hoat
Taysu itu adalah kau si budak kecil ini?" katanya.
Pang Lin menjadi marah. "Apa, tidak sesuaikah aku?" dampratnya dengan alis
menegak. "Jangan kuatir," ujar Keng-hiau. "Keagungan dan
kedudukanku kini aku sudah tak punya, apa mungkin aku
akan berebut dengan kau mengenai kedudukan Ciangbun ini?"
"Sungguh belum pernah aku temukan manusia seperti kau
ini, sudah hampir mampus masih belum sadar, masih saja
buka mulut keagungan, tutup mulut bilang kedudukan. Hm,
kau bilang tidak memikirkan, tetapi sebenarnya kau justru
ingin sekali. Lu-cici pernah juga bicara padaku mengenai
dirimu, dia bilang sebenarnya kau terhitung seorang yang
berbakat tinggi, tapi kau telah menjadi korban pikiran 'gila
hormat'. Dahulu aku masih tidak mengerti, tampaknya kini
memang tidak salah katanya itu."
Karena percakapan ini, sementara hari sudah terang
benderang, suara nyanyian pelancong di danau Se-ouw sayupsayup
terdengar berkumandang, pada saat itu juga dari jauh
terdengar suara suitan Li Ti.
"Ehm, harus pergilah aku sekarang!" kata Pang Lin.
Mendengar suara suitan itu, tiba-tiba Keng-hiau menjadi iri.
"Siapa yang datang mencari kau?" tanyanya sambil pasang
kuping. "Peduli apa dengan kau?" damprat Pang Lin.
"Apa bukan bocah yang bernama Li Ti itu?" tanya Kenghiau
lagi. "Hm, dia jauh lebih baik daripada kau!" sahut Pang Lin.
Habis itu lantas ia berseru, "Baiklah, Li Ti-koko, segera aku
datang!" Keng-hiau menghela napas, ia berlagak seperti hendak
mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi diucapkan.
"Ada apalagi yang hendak kau katakan boleh lekas katakan,
aku segera akan pergi," kata Pang Lin.
"Aku hanya mengharap bisa tinggal bersama lagi dengan
kau," kata Keng-hiau kemudian. "Jika diingat, aku mempelajari
kitab ilmu militer sejak kecil, banyak sedikit aku paham juga
mengatur pasukan, kelak jika kalian membikin pergerakan dan
perlu mengerahkan tentara, aku bersedia melamarnya tanpa
diminta." Karena kata-kata ini, hati Pang Lin tergerak, pikirnya,
"Memang Lian Keng-hiau berbakat panglima, jika dia sungguhsungguh
dan timbul dari hati yang murni, boleh juga
dipertimbangkan usulnya ini. Biarlah aku berunding dulu
dengan Li Ti-koko?" Selagi Pang Lin menunduk termenung, terdengar Keng-hiau
berkata lagi, "Apa kau tidak mempercayai aku?"
Pang Lin mengangkat kepalanya, sinar matanya bentrok
dengan sinar mata Lian Keng-hiau, tiba-tiba Pang Lin
mengkirik, ia merasa di antara sinar mata Lian Keng-hiau
seperti mengandung semacam sifat kepalsuan yang tidak
terbatas, sedikitpun susah dipercayai.
"Ai, kau betul-betul sudah tidak percaya padaku lagi?" ia
dengar Keng-hiau bertanya pula dengan menghela napas.
"Jika kau bisa insaf, itulah paling baik, tetapi urusan ini aku
tak bisa memutuskan sendiri, biar aku bertemu Lu-cici dahulu,
nanti aku rundingkan hal ini," sahut Pang Lin.
"Jika begitu, tak perlulah kau katakan padanya," ujar Kenghiau
lagi. Pang Lin lantas hendak melangkah pergi, tiba-tiba Kenghiau
memanggilnya pula, "Nona Lin, masih ada suatu urusan
kecil!" "Urusan apa" Lekas katakan!" desak Pang Lin.
"Bukankah kau sudah menjadi Ciangbun Bu-kek-pay?" kata
Lian Keng-hiau. "Maka ambillah pedang yang seharusnya
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diserahkan padamu, pedang ini adalah barang mendiang Phocosu,
jika aku dipecat dari pintu perguruan, pedang ini
sepatutnya tidak boleh kumiliki lagi."
Cara Lian Keng-hiau mengatakan begitu sungguh-sungguh
dan penuh mengandung maksud baik, maka Pang Lin
membatin, "Ya, memang aku harus merampas kembali semua
barang tinggalan perguruan, kenapa aku menjadi lupa
malah?" - Karena itu, ia mendekati Lian Keng-hiau dan mengulur
tangan hendak menerima penyerahan kembali pedang pusaka
itu. Tak ia duga, pada waktu ia mengulurkan kedua tangannya,
ketika itu dadanya menjadi luang tanpa penjagaan, maka
mendadak Lian Keng-hiau mengangkat jarinya terus menjojoh,
dengan tepat sekali ia kena menutuk 'Soan-ki-hiat' di dada
Pang Lin. 'Soan-ki-hiat' adalah satu di antara urat nadi yang
mematikan di tubuh orang, kalau sampai kena ditutuk,
seketika pasti akan terbinasa.
Rupanya Lian Keng-hiau sudah menduga dirinya pasti akan
mati, segalanya sudah tiada harapan lagi, maka ia sudah tak
punya pikiran sehat lagi, ia sudah seperti orang gila, ia gemas
kalau bisa agar dunia ini kiamat bersama dia, lebih-lebih
sesudah ia mendengar Pang Lin dua kali menyebut "Li Tikoko",
hal ini semakin menambah rasa iri dan bencinya. Ia
pikir, "Nona secantik bidadari ini kalau sudah tidak bisa aku
miliki, aku pun tidak akan membiarkan dia dimiliki orang lain.
Meski ilmu silatku sudah hilang semua, tetapi cara Tiam-hiat
aku masih ingat, kenapa aku tidak membunuhnya lebih dulu,
habis itu baru aku bunuh diri."
Karena pikiran jahat inilah, maka sekonyong-konyong ia
memberi serangan kilat pada Pang Lin.
Di luar dugaannya, meski Hiat-to Pang Lin tepat kena dia
tutuk, tapi gadis ini hanya sedikit tergetar saja dan tidak roboh
binasa seperti apa yang diharapkan Keng-hiau.
Kiranya ilmu Tiam-hiat, yakni kepandaian menutuk jalan
darah di badan orang, harus sekaligus dilakukan dengan
tenaga jari yang kuat, jika tenaganya menembus sampai di
ujung jari, barulah bisa membikin musuh mendadak terhenti
aliran darahnya dan terbinasa.
Tetapi sekarang ilmu silat Lian Keng-hiau sudah terhapus
semua, kini ia hanya memiliki tenaga sebagai manusia biasa
saja, sebaliknya dalam hal Lwekang, Pang Lin sudah
mempunyai dasar yang kuat, tatukan Keng-hiau tidak lebih
hanya tenaga orang biasa yang secara kebetulan kena
menjojoh Hiat-to atau jalan darahnya, meski terasa juga
olehnya agak kesakitan, tetapi tidak sampai mengakibatkan
luka padanya. Dalam pada im Pang Lin rada terkesima kena dijojoh oleh
Keng-hiau tadi, namun segera ia tahu apa yang terjadi,
dengan gusar kontan ia angkat tangannya terus memberi
persen Keng-hiau dengan dua kali tempelengan hingga Kenghiau
jatuh tersungkur. Meski telah merasakan tamparan orang, namun Keng-hiau
masih mengunjuk sinar mata bengis, waktu ia muntahkan
darah, tahu-tahu dua gigi depannya rompal hingga kini ia
menjadi ompong. Pang Lin gusar sekali oleh perbuatan rendah yang hendak
mempedayai dirinya tadi, saking gusarnya hingga ia tak
sanggup bicara untuk sekian lamanya.
"Hm, kau ... kau sungguh manusia paling keji di jagat ini!"
akhirnya baru bisa mencetuskan kata-kata ini dari mulutnya.
Sebenarnya Pang Lin sudah melolos pedang yang
diterimanya dari Keng-hiau, tapi baru dicabut setengahnya
tiba-tiba didengarnya suara suitan Li Ti lagi mendesaknya
lekas berangkat. "Tidak perlu aku bunuh kau, agaknya kau tidak bakal hidup
lebih lama lagi!" kata Pang Lin kemudian dengan gemas.
Habis berkata ia lantas kembali ke tempat Li Ti menunggu,
terus berangkat pergi bersama.
Sesudah Pang Lin berlalu, kemudian Keng-hiau baru
meronta bangun dengan memegangi pipinya yang merah
bengkak kena tamparan Pang Lin tadi. Kini perasaannya sudah
kosong, urat syarafnya terasa seperti sudah kaku.
Angin pagi yang silir waktu im telah meniup hingga Kenghiau
merasa menggigil, tiba-tiba dengan kedua tangannya ia
pegang kencang kepalanya sendiri dan digoyang beberapa
kali. "Mungkinkah aku memang salah?" demikian ia
menggumam sendiri. Habis im sambil meraba-raba kepala
sendiri ia menengadah tertawa terbahak, ia berteriak pula,
"Ha, kepala sebagus ini kalau sampai dipenggal orang kan
sayang! Cho Pa Ong bunuh diri di tepi sungai Oh dan disebut
orang sebagai Enghiong! Apa aku tidak bisa menandingi dia"
Hari ini terang Thian telah menghancurkan aku, buat apa
hidup lebih lama lagi untuk dihina orang?"
Lalu dengan kedua tangan masih memegangi kepala,
mendadak ia benturkan kepalanya ke tembok benteng.
Namun sebelum membentur, tiba-tiba ia ditarik orang
hingga sedikitpun tak bisa berkutik. Waktu Keng-hiau pentang
matanya, ia lihat Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin telah
berdiri di hadapannya. Tetapi muka kedua orang inipun sudah
berganti rupa, muka mereka sudah babak-belur dan bibir
bengkak, agaknya mereka juga habis dihajar orang.
Kiranya ketika mereka mengudak In-hong Hwesio dan
Kwantang-si-hiap, di tengah jalan berbalik mereka kesamplok
Hong-hoat Taysu, padri tua ini telah menghajar mereka
hingga lari terbirit-birit.
Ketika Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin melihat muka
Lian Keng-hiau jauh lebih celaka daripada mereka, tentu saja
mereka sangat heran. "He, kenapa kau menjadi klimis" Siapakah yang mencukur
jenggot dan alismu?" segera Han Tiong-san bertanya.
"Sesudah kami pergi tadi, siapakah yang datang kemari?"
"Siapa yang membunuhnya" Kau atau musuh?" Thian-yap
Sanjin ikut bertanya demi nampak mayat Ki Pi-sia
menggeletak di samping. Di luar dugaan, tiba-tiba Lian Keng-hiau bergelak tertawa.
"Hahaha, biarlah mampus semuanya lebih baik!" teriaknya.
"Hm, namun Hongsiang tak ingin kau lekas mati!" sahut
Han Tiong-san dengan tertawa dingin.
"Apa kalian tidak-memperkenankan aku menjadi Cho Pa
Ong" O, jadi Cho Pa Ong saja aku tak bisa?" Keng-hiau
berteriak-teriak. Kata-katanya tak keman, kaki-tangannya
bergerak-gerak pula. "Lian Keng-hiau telah gila!" ujar Thian-yap Sanjin.
Dan waktu Han Tiong-san mendorongnya dengan perlahan,
sedikitpun Lian Keng-hiau ternyata tak ada tenaga perlawanan
dan terhuyung-huyung hendak jatah.
"Ha, ilmu silatnya telah lenyap juga!" kata Han Tiong-san
terkejut. "Kalau dia sudah berubah begini, lekas kita giring dia ke
kotaraja saja," ujar Thian-yap Sanjin.
Han Tiong-san mengangguk setuju, maka hari itu juga
telah didahului dengan mengirim berita kilat ke kotaraja dan
hari keduanya Lian Keng-hiau lantas digiring berangkat,
dengan dikawal dua jago silat ini meski Lian Keng-hiau ingin
bunuh diri pun tidak dapat lagi. Hanya sepanjang jalan ia
masih bicara dengan tak keruan jun-trungannya, kadang ia
berteriak memanggil anaknya, tempo-tempo berseru
memanggil Pang Lin pula. Pada waktu Lian Keng-hiau menjadi gila, kala itu Pang Lin
sudah meninggalkan Hangciu sejauh lima-enam puluh li. Gadis
ini tidak menyangka Keng-hiau akan menjadi gila, ia hanya
merasa muak bila teringat pada manusia rendah im.
Sedikitpun Li Ti ternyata tidak bertanya tentang Pang Lin
bertemu dengan Lian Keng-hiau, sepanjang jalan ia berusaha
membikin tertawa kekasihnya ini, maka lambat-laun Pang Lin
jadi gembira. Perjalanan Li Ti dan Pang Lin ini tujuannya ialah kembali ke
Bin-san, karena cepatnya mereka berjalan, sebelum sang
surya terbenam, mereka sudah sampai di kaki Thian-bok-san,
ketika mereka memasuki lereng gunung, tiba-tiba terdengar di
lembah sana ada suara suitan aneh bercampur suara
mengaungnya senjata rahasia.
"Hiat-ti-cu!" seru Pang Lin.
Ketika Li Ti memandang jauh di suatu tempat yang tinggi,
tertampak olehnya siapa yang sedang bertempur.
"Kiranya Kwantang-si-hiap terkurung oleh musuh!" katanya.
"He, masih ada pula Pui Kin-beng dan Tan Tek-thay," kata
Pang Lin. "Hayo cepat, lekas kita bantu mereka."
Segera mereka berlari turun ke bawah dengan senjata siap
di tangan. Kiranya sehabis Hong-hoat Taysu memberi hukuman pada
Lian Keng-hiau, pada waktu kembali ia telah melabrak Han
Tiong-san dan Thian-yap Sanjin. In-hong Hwesio memang
datang bersama Kwantang-si-hiap, tetapi kini urusan sudah
beres, ia lantas kembali ke Siau-lim-si di Hokkian bersama
ketuanya. Sedang Kwantang-si-hiap meneruskan perjalanan
ke Bin-san untuk mencari Kam Hong-ti dan Lu Si-nio.
Mengenai Pui Kin-beng dan Tan Tek-thay berdua hanya
secara kebetulan saja bertemu di tengah jalan, sejak
pertarungan sengit di Swat-hun-kok dahulu, Pui Kin-beng
bersahabat kental dengan Tan Tek-thay, karena Pui Kin-beng
ingin melampiaskan dendamnya untuk bekas majikannya pada
Lian Keng-hiau, Tan Tek-thay tak bisa merintangi, terpaksa ia
menyusul hendak membantunya bila perlu. Dan ketika Pui Kinbeng
kena diusir oleh Ki Pi-sia, dengan rasa masgul dan lesu
malam itu juga ia meninggalkan Hangciu dan dipapak Tan
Tek-thay. "Bagaimana, apa sudah bertemu dengan Lian Keng-hiau?"
tanya Tek-thay padanya. "Ketemu sih sudah, cuma dendamku ini aku tidak ingin
membalasnya lagi," sahut Pui Kin-beng dengan menghela
napas. Tan Tek-thay menyangka tentu kawannya telah mengalami
kekalahan, selagi ia hendak menghibur orang, Pui Kin-beng
telah buka suara lagi. "Memang tidak salah apa yang dikatakan Keng-hiau, Capsipwelek
tiada harganya dibela mati-matian," kata Pui Kin-beng.
"Apa yang telah dikatakan Lian Keng-hiau" Kau percaya
pada dia?" tanya Tek-thay heran.
"Lainnya aku tidak percaya, tetapi apa yang dia katakan
semalam tak dapat tidak aku harus percaya," sahut Kin-beng.
Habis itu lantas ia tuturkan apa yang dikatakan Lian Kenghiau
yang membeberkan sekitar kekejian Capsi-hongcu atau
pangeran ke-14 dahulu. "Nah, apa!" kata Tek-thay dengan tertawa, "Dahulu pernah
aku nasihatkan kau, tetapi kau tak mau percaya. Tak dinyana
sekarang Lian Keng-hiau malah bisa menjadi gurumu."
Pui Kin-beng menjadi bungkam, ia merasa lemas. Memang
tak bisa menyalahkan dia, karena setia pada 'majikan' selama
belasan tahun ini ternyata adalah manusia yang tidak pantas
disetiai, pantas dia menjadi sangat berduka.
Dan karena itulah ketika di tengah jalan mereka bertemu
dengan Kwantang-si-hiap dan berbicara tentang pergi ke Binsan,
Pui Kin-beng menjadi tertarik.
"Baik, aku pun ikut ke sana!" demikian katanya tanpa pikir.
"Untuk apakah kau ke sana?" tania Tek-thay dengan
tertawa. "Untuk menuntut balas bersama kalian," sahut Kinbeng.
"Tetapi tadi kau bilang dendam ini tidak akan kau balas
lagi?" tanya Tek-thay.
"Sekali ini aku bukan menuntut balas untuk Capsi-hongcu,
tetapi menuntut balas sakit hati bangsa Han kita!" sahut Kinbeng
tegas. "Dahulu aku benci pada si keparat Yong Ceng,
kinipun aku benci padanya, hanya benci yang dulu dan yang
sekarang sudah berlainan!"
"Ya, ini aku mengerti, tak perlu kau katakan lagi," ujar Tekthay
dengan mengangguk-angguk.
Dengan begitu maka Pui Kin-beng lantas ikut bersama
Kwantang-si-hiap menuju ke Bin-san.
Tak terduga sama sekali bahwa Yong Ceng ternyata sangat
licin cara mengatur penjagaannya, kecuali ia mengirim Han
Tiong-san dan Thian-yap Sanjin serta Ki Pi-sia pergi
mengawasi gerak-gerik Lian Keng-hiau, ia telah mengirim juga
Haptoh dengan membawa sekawanan Hiat-ti-cu meronda
sepanjang jalan penting yang menuju ke Hangciu, karena im
kedua belah pihak lantas kepergok dan sebab kalah banyak
orangnya, Kwan-tang-si-hiap dan kawan-kawan akhirnya kena
didesak mundur sampai di lembah pegunungan ini, syukur
mereka bisa mengambil kedudukan yang menguntungkan
untuk bertahan dengan sengit.
Haptoh adalah jago kelas satu di dalam istana, tentu saja ia
sangat lihai, ditambah lagi belasan orang Hiat-ti-cu yang
tergolong pilihan pula, senjata rahasia yang mereka gunakan
im, yakni Hiat-ti-cu, juga sangat lihai, maka meski ilmu silat
Hian-hong Totiang dan kawan-kawan cukup tinggi, tidak
urung mereka terkurung di lembah gunung im dan tak mampu
lolos dari keroyokan. Selagi genting, tiba-tiba terdengar suara seman dari atas
gunung, mendadak kedua senjata Li Ti dan Pang Lin
menyambar tiba berbareng.
"He, kau, Lin-kuijin!" teriak Haptoh girang bercampur
kaget. Habis im ia jeplak alat Hiat-ti-cu dan dilemparkan untuk
menyerang Hian-hong, sedang ia sendiri lantas melompat
maju, memapaki Pang Lin dengan senjata gembolannya.
"Hm, kini masih berani kau menghina aku?" kata Pang Lin
dengan tertawa. Sekali tangannya diayun, sebuah Hui-to segera mengarah
ke udara secepat kilat, maka terbenturlah Hui-to itu dengan
Hiat-ti-cu yang dilepaskan Haptoh tadi hingga keduanya jatuh
ke tanah semua. Nyata lebih dulu Pang Lin melepaskan Hianhong
dari ancaman bahaya, habis itu baru ia sambut serangan
Haptoh. Pang Lin sudah mendapatkan ajaran asli dari Bu-kek-pay,
ilmu silatnya sudah lain daripada dahulu, maka tanpa gugup
dan gentar ia putar pedangnya, dengan gerak tipu 'Lik-hoahongkau' (sekuat tenaga menggali sungai), hanya setengah
berputar saja ia sudah membikin gembolan Haptoh
terguncang ke samping. Keruan Haptoh terkejut.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa budak liar ini berani menyambut tenaga
raksasaku?" demikian Haptoh membatin.
Kembali senjatanya menyabet pinggang orang, namun
kembali Pang Lin bisa mematahkan serangan ini pula, keruan
lebih-lebih Haptoh merasa heran, ia tak berani gegabah lagi,
segera dengan sebelah senjatanya ia lindungi tubuhnya, dan
dengan senjata lain ia serang musuh.
Waktu itu Li Ti sudah menerjang ke kalangan pertempuran,
Kiam-hoatnya adalah ajaran dari aliran Pek-hoat Mo-li yang
tiada bandingannya di kolong langit, maka hanya beberapa
gebrakan saja dua Hiat-ti-cu sudah dia lukai, dengan
sendirinya hasil ini membikin Hian-hong dan kawan-kawan,
bertambah semangat, begitu berseru, beramai mereka lantas
melancarkan serangan balasan serentak.
Di lain pihak Haptoh sedang terlibat pertarungan dengan
Pang Lin, kawanan Hiat-ti-cu menjadi kehilangan kemudi,
maka tak sanggup lagi mereka membendung serangan lawan.
Kesempatan ini dipergunakan Hian-hong dengan baik, pedang
dan tongkatnya bekerja cepat, ia menusuk dan menyabet
dengan hebat, satu kali pedangnya berhasil menabas batok
kepala seorang Hiat-ti-cu, menyusul tongkatnya berhasil pula
mematahkan tulang kaki Hiat-ti-cu lainnya, sedang Long-goat
Taysu mengamuk juga, dengan arus araknya ia semprot buta
mata seorang Hiat-ti-cu. Karena kekalahan ini, seketika kawanan Hiat-ti-cu jadi
kalang-kabut, mereka berteriak-teriak terus berebut lari buat
kabur. Melihat gelagat jelek, lekas Haptoh meninggalkan Pang Lin
dan berseru pada kawanan Hiat-ti-cu, "Lepas senjata rahasia!"
Sekejap saja tertampaklah bola-bola baja memenuhi udara
dengan mengeluarkan suara mengaung aneh dan seram.
"Bagus!" sambut Pang Lin tak gentar, sekaligus ia pun
menimpukkan enam buah Hui-to hingga senjata Hiat-ti-cu
kena dibentur jatuh semua, ada beberapa buah lagi kena
disampuk jatuh oleh Li Ti dan Hian-hong.
Oleh karena rintangan ini, kesempatan ini digunakan
Haptoh dan kawanan Hiat-ti-cu untuk melarikan diri.
"Bagus sekali ilmu timpukan Hui-tomu!" Hian-hong Totiang
memuji. "Sekedar menebus dosaku dahulu," sahut Pang Lin dengan
tersenyum. Sebagaimana diketahui dahulu pernah Tan Goan-pa dilukai
pisau terbang Pang Lin, maka kini anak dara ini mengatakan
menebus dosanya itu. Begimlah beramai kemudian mereka menuju ke Bin-san
bersama. "Dimanakah Encimu?" Hian-hong bertanya lagi.
"Dua tahun yang lalu bersama Teng Hiau-lan telah kembali
ke Thian-san," sahut Pang Lin.
"Rupa kalian berdua mirip sekali," ujar Long-goat Siansu.
"Tadi kalau bukan kau buka suara dahulu, mungkin kami tak
tahu kau ini Pang Ing atau Pang Lin. Melihat kau kini, kami
lantas terkenang juga pada Encimu, sayang kini ia jauh berada
di Thian-san." Mendengar nama Encinya disebut, Pang Lin menjadi
muram. "Ya, aku pun sangat kangen padanya," ia berkata. "Sayang
perjalanan begini jauh, untuk mengirim surat pun tidak
gampang. Jika ia mendapat tahu bahwa Lian Keng-hiau kini
sudah kehilangan kekuasaan dan tinggal menunggu kematian
saja, entah betapa dia akan girang!"
Sama sekali tidak Pang Lin duga bahwa pada waktu itu
juga Pang Ing dan Teng Hiau-lan juga sedang dalam
perjalanan menuju ke Bin-san, bedanya hanya yang satu pihak
datang dari barat dan yang lain dari arah timur.
Mengenai diri Hiau-lan, sesudah tewasnya Nyo Liu-jing,
hatinya selalu dirasakan masgul, meski sudah kembali ke
Thian-san, namun di sana ia pun lebih banyak berdiam dan
tak suka bicara, hanya dalam hal berlatih ilmu pedang ia
sangat giat. Melihat kelakuan pemuda ini, le Lan-cu rada heran, diamdiam
ia pun bertanya pada Pang Ing, anak dara inipun tidak
berdusta, ia ceritakan semua kepada le Lan-cu.
Mendengar penuturan Pang Ing ini, le Lan-cu menghela
napas juga- "Di antara Chit-kiam kami, dahulu pun ada beberapa di
antaranya yang terlibat dalam urusan asmara, bahkan
pendekar besar Leng Bwe-hong, Leng-sioksiok pun tidak
terkecuali," demikian katanya kemudian. "Cuma kuharap saja
kelak kalian pun bisa seperti Leng-sioksiok dan Lauw Yu-hong,
sesudah mengalami banyak pukulan dan kesulitan, akhirnya
bisa menembus segala aral rintangan. Namun urusan
demikian tidak dapat dipaksakan, kalau selalu dipikirkan, tentu
diri sendiri yang tersiksa."
Ie Lan-cu sudah kenyang dengan asam garam, maka ia
pun tidak perlu menghibur Teng Hiau-lan, ia hanya
mencurahkan seluruh perhatiannya mengajar ilmu silat pada
pemuda ini. Lebih setahun Hiau-lan tinggal di Thian-san dan
belajar ilmu silat cabangnya ini, apa yang dahulu belum dia
pelajari, kini seluruhnya sudah dia yakinkan.
Pada suatu hari, Ic Lan-cu memanggil Hiau-lan menghadap
padanya. "Ilmu silat Thian-san kita telah kau kuasai seluruhnya, kini
aku secara resmi menerima kau sebagai murid dan bukan
murid akuan saja," demikian kata le Lan-cu.
Keruan Hiau-lan sangat girang, ia menjura dan
menghaturkan terima kasih.
"Cabang Thian-san kita selalu mengeluarkan anak murid
yang gagah, kau masih muda dan kuat, belum cocok untuk
tirakat mengasingkan diri," kata Ie Lan-cu pula. "Besok kau
boleh turun gunung dengan Pang Ing, pergilah membantu Lu
Si-nio dan Kam Hong-ti."
Meski rasanya berat juga untuk berpisah, tetapi karena apa
yang dikatakan sang guru memang tepat, maka hari kedua
bersama Pang Ing mereka lantas mohon diri dan turun Thiansan
lagi. Setelah menempuh perjalanan lebih tiga bulan, sesudah
melintasi gurun pasir yang luas dan menyeberangi sungai
serta gunung, kemudiar sampailah mereka di daerah Holam.
Di tengah jalan mereka mendengar kabar tentang Lian
Keng-hiau yang sudah kehilangan kekuasaannya, mereka tidak
tahu apa kabar ini betul atau tidak, karena im perasaan
mereka menjadi tak sabar, mereka ingin sekali bisa lekas
berjumpa dengan Lu Si-nio.
Hari im, mereka harus melalui Ko-san, puncak bukit Ko-san
yang sudah gundul hangus terbakar, hanya tumbuhan baru
yang mulai bersemi lagi tampak menghijau, nampak keadaan
gunung ini, Teng Hiau-lan menjadi terharu sekali.
"Hari sudah petang, lebih baik kita menginap saja di Ko-san
sini, sesungguhnya aku ingin bisa melihat lagi bekas kuil
bersejarah yang telah musnah terbakar im." ajak Pang Ing
tiba-tiba. Hiau-lan terima baik ajakan itu, mereka lantas mendaki
gunung itu, sepanjang jalan yang tertampak oleh mereka
hanya tumpukan puing yang hampir rata dengan tanah karena
angin dan hujan. Mereka maju terus menuju ke tempat bekas berdirinya
Siau-lim-si, di atas gunung im mereka dapatkan sebuah
kelenteng bobrok yang terbakar separoh.
"Marilah kita bermalam di sini saja," ujar Hiau-lan. "Jarak
Ko-san dan Bin-san hanya tiga ratusan li, dua hari lagi tentu
kita bisa sampai di sana."
Lalu mereka melompat masuk ke dalam kelenteng bobrok
im dari pagar belakang yang sudah roboh sebagian, selagi
mereka masuk ke ruangan besar kelenteng itu, mendadak
mereka dikagetkan oleh suara orang.
"Siapa kalian?" demikian tanya suara itu tiba-tiba.
Suara ini rada gemetar dan terputus-putus, terang sekali
tenaga dalam orang yang bersuara ini tidak cukup, cuma lagu
suaranya membawa wibawa yang berpengaruh.
Ketika Hiau-lan mendorong pintu dan masuk ke dalam, ia
lihat di lantai ada segunduk api unggun, di samping sana
merebah satu orang, dari wajahnya tertampak sekali orang ini
menderita sakit, tetapi kedua matanya terpentang lebar
dengan sinar menyorot tajam.
"Kami adalah orang yang kebetulan berlalu di sini, siapakah
tuan?" sahut Hiau-lan.
Sebenarnya orang itu sudah setengah bangun tadi, tetapi
sesudah memandang sekejap pada Hiau-lan berdua, segera ia
tiduran lagi, terhadap pertanyaan Hiau-lan ternyata ia tidak
ambil peduli. "Apa tuan sakit?" tanya Pang Ing dengan maksud baik.
"Rasa kantukku belum hilang, hendaklah kalian jangan bikin
ribut," demikian sahut orang itu sambil sedikit membuka
matanya. "Jika sakit kami ada membawa sedikit obat, mungkin cocok
dipakai," ujar Pang Ing lagi.
"Aku bilang kalian jangan bikin ribut, kenapa suka urus
perkara orang lain?" jawab orang itu ketus. "Jangan kata aku
tidak sakit, meski sakit juga tak perlu kau mengobati."
Habis berkata, ia tarik selimutnya menutupi sampai
kepalanya, terus tidur lagi.
Nampak orang kurang sopan, Pang Ing tidak banyak
omong lagi. Berlainan dengan Hiau-lan, ia perhatikan atas kepala orang
itu sedang mengepulkan uap, ia jadi kaget. "Lwekang orang
ini sangat tinggi, mungkin ia terkena luka dalam dan kini
sedang menyembuhkan sendiri dengan ilmu Lwekangnya,
seharusnya jangan kita merecoki dia," demikian ia membatin.
Karenanya ia menarik Pang Ing mengaso ke pojok ruangan
sebelah sana. Selang tak lama, suara menggeros orang itu berjangkit,
tiba-tiba dari luar terdengar suara orang sedang berbicara,
ketika Hiau-lan memandang, ia lihat ada dua orang telah
melompat masuk pula, waktu mengenali siapa kedua orang
yang datang ini, tanpa terasa ia bersuara kaget dan berdiri
bersama Pang Ing. Kiranya yang datang ini adalah ayah beranak, Tong Kimhong
dan putrinya, Tong Say-hoa.
Dua tahun yang lalu sesudah Tong Kim-hong dilerai oleh Lu
Si-nio, ia membawa putrinya pesiar kemana-mana untuk
menghilangkan rasa dukanya, paling akhir ini dia telah
menggali miang jenazah anak menantunya di Cu-sian-tin
dengan maksud dipindah ke Sucwan, kebetulan hari ini
mereka berlalu di bawah Ko-san dan karena tidak
mendapatkan tempat bermalam, mereka pun mencari ke
kelenteng bobrok ini sebagai tempat berteduh.
Hiau-lan menjadi serba salah ketika berhadapan dengan
Tong Kim-hong dan Tong Say-hoa.
"Baik-baikkah kau, Tong-locianpwe?" dengan hormat ia
menyapa. Tetapi Tong Kim-hong hanya menjawab dengan suara
jengek-an saja, sebaliknya Tong Say-hoa malah melototi
mereka, bahkan tangan nona ini sudah siap merogoh senjata
rahasianya. "Kita sudah berjanji, mereka pun tidak bermaksud jahat,
tak boleh kau cari onar lagi," dengan suara perlahan Tong
Kim-hong mencegah putrinya.
Meski di mulut ia berkata demikian, namun Tong Kim-hong
sendiri tidak urung menarik muka juga terhadap Hiau-lan dan
Pang Ing, ia tidak gubris mereka, seperti tidak sudi berbicara
dengan mereka. "Tia, di sini masih ada satu orang lagi," kata Tong Say-hoa
ketika melihat orang yang tidur bertutupan selimut itu.
"Tuan ini menderita sakit, ia sedang tidur, jangan membikin
bangun dia," kata Pang Ing.
"Siapa ajak bicara kau?" tiba-tiba Tong Say-hoa menjengek
sambil memalingkan muka ke jurusan lain.
Karena itu Pang Ing menjadi dongkol, ia pun tidak buka
suara lagi. "Budak im ada benarnya juga, di sini berlainan dengan di
hotel, kalau membikin bangun orang, rasanya tak enak,"
dengan suara tertahan Tong Kim-hong berkata pada anaknya.
Waktu matanya menatap 'orang sakit' itu, seketika ia
mengunjuk rasa heran, bahkan makin lama makin terkejut.
"Tia, adakah yang kau ketahui?" dengan perlahan Tong
Say-hoa bertanya sang ayah.
"Orang ini berilmu tinggi, sekali-kali bukan manusia sembarangan,"
sahut Tong Kim-hong. Saat ia hendak mencari jalan untuk berkenalan dengan
orang itu, tiba-tiba terdengar lagi suara tindakan orang di luar
kuil. "Aku tak mau tinggal di kelenteng bobrok ini," demikian
terdengar suara anak kecil
Menyusul segera terdengar suara "plok" sekali, agaknya
ada orang menggablok bokong anak itu.
- "Hm, di sini kau masih berani berlagak tuan muda?"
demikian terdengar orang itu mencaci-maki. "Tinggal di
kelenteng bobrok sudah baik bagimu, apa kau masih ingin
tinggal di istana?" "Tinggal di istana tidak susah, cuma di sini mungkin tak
bisa lama kau tinggal," kata seorang lagi.
Habis itu dengan sekali depak, orang itu membikin jebol
pintu kelenteng yang memangnya sudah rusak itu, dan waktu
mendadak mengetahui di dalam ada orang, pembicaraan
mereka seketika berhenti.
Waktu Hiau-lan, Pang Ing dan Tong Kim-hong dan lain-lain
memandang keluar, mereka lihat yang masuk adalah dua
orang laki-laki dengan pakaian biru seragam, golok menyelip
di pinggang mereka dan berdandan sebagai jago silat, di
samping mereka membawa seorang anak kecil yang berumur
antara empat lima tahun dengan pakaian perlente, wajah
bocah ini putih bersih dan cakap, rupanya sangat menarik.
Hanya mulutnya terkancing rapat, seperti orang yang
mengalami hal-hal yang penasaran.
"Siapa kalian?" datang-datang kedua lelaki baju biru ini
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Harpa Iblis Jari Sakti 18 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Hati Budha Tangan Berbisa 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama