Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 31

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 31


lantas membentak. "Tamu yang lewat di perjalanan sini," sahut Teng Hiau-lan.
Akan tetapi Tong Kim-hong tidak sama dengan Hiau-lan, ia
menjawab dengan dingin, "Kelenteng bobrok di pegunungan
sunyi, siapa saja boleh mempergunakannya buat tempat
tinggal, kau boleh tinggal dan kami juga boleh tinggal, kau
peduli apa padaku"!"
Ketika kedua Bu-su atau jago silat ini melototi dia, Tong
Kim-hong membalas dengan tertawa dingin yang angkuh dan
balas mendelik matanya. Melihat Tong Kim-hong meski sudah tua, tapi mukanya
masih merah dan semangatnya kuat, kedua matanya pun
bersinar tajam, terang sekali Lwekangnya terlatih dalam
sekali, karena im, kedua Bu-su ini hanya saling pandang
sekejap, habis itu mereka mengomel perlahan, tetapi tak
berani menerbitkan onar. Karena ribui-ribut ini, 'orang sakit' tadi telah menguap
sambil mengangkat setengah tubuhnya, ia tongolkan kepala
memandang sekejap kedua Bu-su yang baru datang ini, lalu
rebah kembali. "Beri tempat sedikit, Loya (tuan besar) hendak duduk dekat
api juga!" kata Bu-su baju biru yang di depan itu, ia mendesak
agar 'orang sakit' im minggir ke sana.
"Ini adalah api yang dia nyalakan!" kata Hiau-lan, ia
mendongkol melihat lagak orang.
"Peduli apa kau ikut campur!" sahut Bu-su tadi.
Lalu ia mengulur tangannya bermaksud mendorong 'orang
sakit' im, akan tetapi sebelum menyenggol tubuh orang,
sekonyong-konyong ia jatuh terjungkal, bahkan hampir jatuh
ke atas gundukan api. "Kurangajar, barang apakah yang telah menyandung
kakiku?" dengan gusar Bu-su itu mencaci-maki.
Melihat orang jatuh dengan lucu, Tong Say-hoa tertawa
ngikik geli. "Kalau suka sewenang-wenang pasti dapat hukuman yang
setimpal, ini namanya pembalasan, Tuhan Allah memang adil,"
demikian Tong Kim-hong menyindir.
Bu-su itu menjadi gusar, segera ia pegang goloknya.
"Hm, aku omong sendiri, toh bukan bilang kau, apa kau
ingin main kekerasan" Hayo, meski tua masih sanggup juga
aku melayani kau!" kembali Tong Kim-hong mengejek.
Di lain pihak Teng Hiau-lan dan Pang Ing ikut berdiri juga.
Melihat Tong Kim-hong dan putrinya membawa kantong
senjata semua, pinggang Teng Hiau-lan juga ada pedang,
mau tak mau kedua Bu-su itu rada mengkeret, "Keempat
orang ini adalah ahli semua, tampaknya tidak gampang
dihina." "Ya, sesama orang dalam perjalanan harus berlaku murah
hati, buat apa marah karena urusan kecil?" kata salah seorang
Bu-su itu. Lalu mereka menggelar selembar selimut di dekat
gundukan api unggun itu, mereka tiduran bersama anak kecil
tadi. Ketika menyaksikan Tong Kim-hong dan putrinya dengan
berani menyindir dan adu mulut dengan kedua Bu-su, rupanya
bocah itu sangat senang, sesudah merebah sebentar,
mendadak ia melompat bangun, seperti kera saja ia melompat
ke dekat Tong Say-hoa dan mengajak bicara padanya.
"Kau juga bisa pakai gendewa, bibi?" ia bertanya dengan
menunjuk gendewa yang dipegang Tong Say-hoa. "Dua bulan
yang lalu baru saja mereka mengajarkan padaku, tetapi
belakangan mereka tidak mau mengajarkan lagi. Maukah kau
ajarkan padaku Bibi?"
"Tidak boleh cerewet, lekas kembali sini dan tidur!"
mendadak kedua Bu-su membentak berbareng.
. Ternyata Tong Say-hoa sangat suka pada anak ini, ia
lantas membelanya, "Lumrahnya anak kecil suka bicara, toh
tidak merugikan sesuatu padamu, kenapa begitu bengis?"
dampratnya pada mereka. "Aku urus anak ini, peduli apa dengan kau?" sahut Bu-su
itu. "Hm, hayo, tidak lekas kau kembali?" bentaknya lagi pada
bocah tadi. "Eh, anak baik, coba beritahu pada Kongkong, pernah
apakah kedua orang itu dengan kau?" tiba-tiba Tong Kimhong
bertanya pada anak kecil itu.
Dalam pada itu kedua Bu-su itu mendeliki mata mereka
pada anak itu dengan bengis, karena itu, baru saja si bocah
buka mulut mengatakan, "Mereka ... mereka lantas tak berani
meneruskan lagi. "Baiklah, kau kembali ke sana saja!" ujar Tong Kim-hong
kemudian dengan menghela napas.
Tetapi Tong Say-hoa masih memegang tangan anak itu, ia
merasa sayang untuk melepaskannya.
"Sudahlah, biarkan dia kembali ke sana, jangan* sampai
dia nanti didamprat orang," ujar Tong Kim-hong pada
putrinya. Tadinya anak itu masih lincah, tetapi kini menjadi lesu dan
tak bersemangat, dengan kepala menunduk ia kembali ke
samping kedua Bu-su. Nampak sikap anak dan kedua orang itu, diam-diam Tong
Kim-hong merasa heran, pikirnya dalam hati, "Terang sekali
kedua Bu-su ini bukan orang tua anak ini. Kalau melihat
dandanan anak ini yang perlente, malah lebih mirip keturunan
keluarga bangsawan, jangan-jangan kedua Bu-su ini adalah
jago pengawal atau penjaga rumahnya dan mereka hendak
mengantar anak ini kepada ayahnya" Namun demikian,
kenapa anak ini seperti sangat takut terhadap mereka, juga
kedua orang ini tidak seharusnya begitu bengis terhadap anak
ini." Sungguhpun Tong Kim-hong sudah berpengalaman, namun
ia tidak habis mengerti hubungan apa di antara mereka itu.
Pantas juga Tong Kim-hong tak dapat menerka siapa
mereka itu, sebab anak ini adalah putra Lian Keng-hiau,
namanya Lian Siu, Siu berarti umur panjang, karena Keng-hiau
kuatir anaknya tak bisa hidup lama, maka sengaja memberi
nama istimewa sebagai kiasan.
Ketika Keng-hiau memasrahkan putranya pada Can Ceng,
ia telah mengirim dua jago kepercayaannya untuk mengawasi
dan melindunginya, tujuannya ialah menjaga bila suatu ketika
kedudukannya terancam, mungkin orang Kangouw akan
mencelakai anaknya, tak terduga yang hendak mencelakai
anaknya bukan orang kalangan Kangouw, sebaliknya justru
kedua jago kepercayaannya sendiri.
Lian Siu memang telah dipelihara oleh Can Ceng, tetapi
sesudah Can Ceng didamprat habis-habisan oleh Lu Si-nio,
hati nuraninya merasa berdosa, karena siksaan .batin ini,
setiba di rumah ia lantas jatuh sakit. Kemudian setelah
mendengar kabar dipecatnya Lian Keng-hiau, kedua jago
pengawal im timbul hati jahatnya, mereka pikir kenapa tidak
membawa anak ini ke kotaraja untuk minta hadiah, tapi kuatir
Can Ceng tidak menurut, mereka lantas main gertak dan
menakut-nakuti, Can Ceng memang bernyali kecil, ditambah
pula sakit-sakitan, setelah digertak, akhirnya ia mati
ketakutan. Demikianlah kedua Bu-su itu lantas membawa anak Lian
Keng-hiau menuju ke kotaraja.
Akan tetapi mereka keder terhadap para gembong
kalangan Lok-lim, lebih takut pula mereka pada jago
bayangkara istana yang mungkin bisa mencegat mereka di
tengah jalan untuk merebut anak Keng-hiau, jika terjadi
demikian mungkin mereka malah akan dihukum sebagai
komplotan Lian Keng-hiau. Oleh sebab itulah dengan hati-hati
mereka selalu memilih jalan kecil, mereka mengharap sesudah
tiba di kotaraja, lalu secara rahasia melaporkan hasil ini.
Tidak terduga waktu bermalam di kelenteng tua ini telah
bertemu Tong Kim-hong dan putrinya.
Tong Say-hoa masih muda sudah ditinggal sang suami
tanpa memperoleh seorang anak pun, maka demi nampak
Lian Siu ini rupanya ada jodoh, ia sangat suka padanya.
Karena itu, sehabis anak itu dibentak kembali ke dekat Bu-su
tadi, segera ia kisiki ayahnya, ia mengadu agar ayahnya
merebut bocah itu. Alasan yang dipakai gampang saja, dia
bilang anak ini jelas bukan sanak-kadang kedua Bu-su itu,
maka jangan sampai bocah ini disiksa mereka.
Akhirnya Tong Kim-hong tergerak juga oleh hasutan
putrinya, segera ia mencari jalan untuk bikin geger dengan
kedua Bu-su itu. Dalam pada itu, tidak lama Lian Siu tidur, tiba-tiba ia
terjaga dan menangis dalam mimpinya.
"Jangan pukul aku, jangan pukul aku!" demikian ia
berteriak. Bu-su yang tidur sejajar dengan Lian Siu kontan memberi
sekali gablokan ke bokongnya.
"Monyet, tidur saja tak genah, siapa yang memukul kau!"
bentaknya sambil mencaci-maki.
Melihat ada kesempatan baik, segera Tong Kim-hong
melompat bangun. "Hm, manusia tak punya muka, beraninya
sama anak kecil," demikian segera ia mendamprat orang. "Kau
masih tanya siapa yang memukul dia, bukankah kau sendiri
yang memukulnya?" Karena tantangan yang dicari-cari ini, Bu-su itu menjadi
gusar juga. "Bagus, karena kau lebih tua, maka selalu aku
mengalah padamu, kini berbalik kau ikut campur urusan Locu
(bapakmu) ini?" segera ia balas memaki.
"Hm, memang aku paling suka ikut campur urusan orang
lain, kau mau apa?" sahut Tong Kim-hong dengan tertawa
dingin. "Sini, nak, Kongkong sayang padamu!" Ia memanggil
Lian Siu. Keruan Bu-su tadi menjadi murka, tiba-tiba ia mengulur
sebelah tangannya terus menyodok, tetapi sejak awal Tong
Kim-hong sudah bersiap, begitu tangan orang bergerak,
segera ia mendahului mengibas lengan bajunya hingga kena
menyabet muka Bu-su itu. Saking sakit pedas mukanya, Bu-su itu sampai berjingkrak.
"Tua bangka, berani mati kau" Rasakan golokku ini!"
teriaknya sengit. Berbareng goloknya dia cabut terus
membacok ke atas kepala lawan.
Namun susul-menyusul kedua telapak tangan Tong Kimhong
sudah dipukulkan, ia paksa kedua Bu-su itu mundur
menyingkir. Dan selagi ia hendak merangsek maju buat
merampas anak itu, mendadak di luar kelenteng terdengar
suara anak panah berseliweran riuh-ramai, menyusul di udara
berkelebat beberapa sinar api biru.
Karena kejadian ini, Tong Kim-hong dan kedua Bu-su lantas
berhenti bergebrak. Sesudah bunyi anak panah tadi, lantas
terdengar suara orang yang gaduh.
"Celaka, kita telah terkepung oleh kawanan berandal!"
teriak Bu-su tadi, rupanya ia menjadi jeri.
"Betul inilah tempatnya!" tiba-tiba terdengar suara teriakan
orang di luar. Lalu terdengar pula suara gedubrakan yang
keras, seketika pintu kelenteng im didobrak terpentang, maka
tertampaklah di luar sudah penuh berdiri manusia.
Teng Hiau-lan dan Pang Ing menjadi kaget, sebab mereka
kenal orang yang memimpin gerombolan di luar im bukan lain
adalah jago nomor satu dalam istana dan jago nomor dua dari
Lamma agama Merah dari Tibet, Emopu.
Sebaliknya ketika kedua Bu-su mengetahui rombongan
orang di luar itu adalah petugas kerajaan, mereka menjadi
girang. "Hai, kita orang sendiri!" demikian mereka lantas berteriak.
"Apa, orang sendiri" Laporkan namamu!" bentak Emopu.
Sementara im di antara bawahan Emopu rupanya ada yang
kenal kedua Bk\-su itu adalah pengikut Lian Keng-hiau, maka
mereka lantas berbisik pada Emopu.
Karena itu tampak mata Emopu mendelik memandang
keadaan ruangan kelenteng itu, tiba-tiba ia tertawa dingin
pula. "Bagus, apa kalian hendak berontak, kalian telah
bersekongkol dengan kawanan buronan ini, apa kalian ingin
membalas dendam bekas majikanmu?" demikian ia bertanya.
Didakwa hendak berontak, kedua Bu-su itu menjadi gugup.
"Tidak, tidak!" jawab mereka terputus-putus. "Kami
membawa anak Lian belum sempat ia menyambung dengan
kata-kata "Keng-hiau", mendadak mereka sudah dicengkeram
oleh Emopu seperti anak ayam saja terus dilemparkan kepada
begundalnya untuk diringkus.
Bocah tadi menjadi takut dan menangis, segera Tong Kimhong
menariknya ke samping dan dirangkulnya.
Sementara itu dengan sekali lompat Emopu sudah
menerobos masuk ke dalam kelenteng. "Kau tua bangka ini
siapa?" ia membentak.
Tong Kim-hong tidak menjawab melainkan lebih dulu ia
baliki kantong senjata yang bergambar sulaman singa sebagai
tanda keluarga Tong mereka.
"Nampaknya tidak biasa juga kepandaianmu, apa tanda
penge-nalku ini saja tak kau ketahui?" sahutnya kemudian.
Kiranya Tong Kim-hong anggap menantunya dahulu adalah
petugas pemerintah, ia sendiri mempunyai kedudukan tinggi di
kalangan pembesar negeri. Tak ia duga Emopu ini datang dari
Tibet, nama keluarga Tong saja tidak dia kenal.
Oleh sebab itulah, demi mendengar kata-kata Tong Kimhong
yang congkak tadi, Emopu menjengek sekali, berbareng
sebelah tangannya lantas menjambret, ia serang Tong Kimhong
dengan tipu yang lihai. Waktu itu tangan kiri Tong Kim-hong menggendong anak
kecil itu, maka dengan tangan kanan ia menangkis,
terdengarlah suara beradunya tangan, Tong Kim-hong
terhuyung-huyung hendak jatuh, dalam pada itu sedikit
memutar tangan, dengan tipu 'Wan-kiong-sia-tiau' (menarik
busur memanah burung), tangan kiri Emopu mengarah
tenggorokan orang lagi, sedang tangan kanan terus mengetok
batok kepala Tong Kim-hong pula.
Kedua gerak tipu serangan yang mematikan ini adalah tipu
paling lihai dari Lamma Merah, kepandaian Tong Kim-hong
memang lebih rendah dari Emopu, ditambah pula sebelah
tangannya menggendong anak kecil, ia mundur setindak buat
menghindarkan ancaman serangan musuh yang hendak
meremas tenggorokannya, tetapi sebaliknya batok kepalanya


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi terbuka bagi musuh, tampaknya segera kepalanya
akan bolong oleh jari Emopu!
Nampak ayahnya terancam bahaya, dengan sekali teriak
Tong Say-hoa lantas menubruk maju, akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara mendesirnya angin keras, dua bayangan
orang sudah menyerobot lewat di samping lebih dulu, belum
sampai ia melihat jelas sudah terdengar suara "ngek" Emopu
yang tertahan, sedang Tong Kim-hong sempoyongan terus
jatuh telentang. Kiranya bintang penolong yang datang tiba-tiba ini adalah
Teng Hiau-lan dan Pang Ing.
Ketika mereka melihat kelima jari musuh sudah tinggal
menusuk masuk ke batok kepala Tong Kim-hong tadi, mereka
menjadi kaget, tanpa pikir lagi senjata mereka dilolos dan
berbareng pula melayang maju, gerak tubuh mereka berdua
memang cepat luar biasa, meski bergerak belakangan, mereka
bisa mendahului di depan Tong Say-hoa untuk menolong ayah
orang, mereka menyerang dari kanan-kiri, Teng Hiau-lan
menusuk 'Ki-bun-hiat' sebelah kiri dan Pang Ing menusuk
'Cing-ciok-hiat' di iga sebelah kanan.
Kedua tempat yang diserang berbareng ini adalah tempat
paling berbahaya di tubuh manusia, karena itu juga Emopu
dipaksa harus memutar tubuhnya, ia batalkan serangan
kepada Tong Kim-hong untuk menjaga diri, ia menyerang
beruntun pula dua kali buat menghindarkan tusukan Hiau-lan
dan Pang Ing tadi. Dalam sekejap im Tong Kim-hong berhasil meloloskan diri
dari ancaman maut, akan tetapi saking keras goncangan
tenaga pukulan orang, tidak urung ia terjatuh duduk lagi.
Dalam pada itu Tong Say-hoa baru saja sampai di dekat sang
ayah. "Tia, apa kau terluka?" ia bertanya dengan kuatir.
"Tidak apa-apa," sahut Tong Kim-hong gugup, ia duduk
lebih baik dan menyerahkan anak kecil itu pada Say-hoa.
"Lekas kau bopong anak ini, dekat saja dengan aku di sini,
sekali-kali jangan sembarang bergerak."
Habis itu ia duduk dengan mata memandang tajam
mengincar pihak musuh. Sementara Emopu kena didesak mundur oleh Teng Hiaulan
dan Pang Ing, diam-diam ia terkejut.
"Kiam-hoat kedua orang ini sudah jauh lebih maju!"
demikian ia membatin. Maka ia tak berani menghadapi dua musuh dengan tangan
kosong lagi, lekas ia keluarkan senjata kebutnya, begitu ia
mengayun kebut seketika kedua pedang lawan kena dililit
hingga tak mampu maju. Emopu menjadi girang, ia tertawa terbahak-bahak, di luar
dugaan, belum lenyap suara tertawanya, mendadak ia dengar
suara peletak yang keras, ekor kebutnya ternyata putus
sebagian, seketika pula sinar mengkilap menyambar, dua
senjata tajam yang berkilauan berbareng menyelonong sampai
di mukanya. Kebut Emopu itu sebenarnya juga benda mestika yang
jarang ditemukan, senjata ini terbuat dari bulu ekor sejenis
kerbau Tibet (Bison) dipuntir dengan benang emas putih,
maka keras dan uletnya luar biasa, kalau hanya senjata biasa
saja sekali-kali tak bisa menahasnya, ditambah Lwekang
Emopu sangat tinggi, ia bisa mengerahkan tenaga ke ujung
kebut itu, biasanya ia gunakan senjata ini untuk merampas
senjata musuh dan selalu berhasil.
Tetapi pedang yang digunakan Hiau-lan dan Pang Ing,
yakni Yu-liong dan Toan-giok-pokiam juga pedang pusaka
yang tajamnya bisa merajang besi seperti memotong sayur,
walaupun seketika kena dibelit dan tertahan oleh tenaga
dalam Emopu hingga tak bisa bergerak, tapi mereka lantas
gunakan kelemasan Thian-san-kiam-hoat, sedikit ujung
senjata mereka digetarkan, ujung kebut musuh dibikin kendur
terus ditabas putus. Emopu juga tahu senjata yang digunakan lawan adalah
pedang pusaka, tetapi sama sekali tak ia duga bisa begitu
tajam, karena itu dalam kagetnya kedua pedang lawan sudah
menyambar sampai di depan mukanya, untung ilmu silatnya
sudah sampai puncak kesempurnaan, sedikit ia mengegos,
tangan kiri menghantam pula, Hiau-lan dan Pang Ing dipaksa
berkelit hingga serangan mereka melenceng ke samping dan
menyambar lewat di atas pundaknya.
Sementara itu kawanan bayangkara begundal Emopu telah
berteriak, beramai mereka lantas merubung maju.
Ketika Emopu melirik senjata kebutnya dan tidak seberapa
bulu ekornya yarg terpapas, ia tertawa dingin.
"Dua bocah ini tidak nanti bisa kabur," demikian ia
membentak. "Kalian kepung kelenteng ini dan tangkap semua
orang yang berada di sini, geledah yang teliti, seorang pun tak
boleh lolos!" Kawanan bayangkara itu tahu Emopu tidak memerlukan
bantuan, maka mereka lantas maju buat menangkap Tong
Kim-hong dan putrinya. Namun Tong Kim-hong masih tetap duduk saja di
tempatnya dengan bersila, ia anggap seperti tidak terjadi apaapa
atas majunya kawanan bayangkara itu, sedang Tong Sayhoa
sambil menggendong anak Lian Keng-hiau berduduk di
belakang ayahnya, ia berperawakan kecil dan lebih pendek,
maka tubuhnya persis bisa dialingi tubuh sang ayah, ia pun
tidak sembarang bergerak, malahan ia me-nina-bobokan anak
itu supaya tidak takut. Nampak kelakuan mereka ini, para bayangkara im berbalik
tak berani maju. "Kau tua bangka ini main gila apa?" yang menjadi
pemimpin bayangkara im mendamprat.
Tetapi Tong Kim-hong tidak menjawab, hanya alisnya
bergerak dan sinar matanya mengerling tajam, ia tertawa
dingin. Dalam pada itu Emopu sudah bergebrak beberapa jurus
lagi dengan Teng Hiau-lan dan Pang Ing, ketika ia melirik
sebelah sini dan melihat begundalnya ragu-ragu tak berani
maju, ia jadi gusar. "Tolol, tak berguna, apa kalian perlu menunggu aku sendiri
yang turun tangan?" dampratnya.
Karena desakan ini, bayangkara yang menjadi pemimpin itu
mengayun golok dan menubruk maju, tetapi ketika berjarak
antara satu tombak jauhnya dari Tong Kim-hong, sekonyongkonyong
ia menjerit terus jatuh terguling.
"Celaka, ini adalah Song-bun-ting (paku kematian) yang
berbisa dari keluarga Tong!" segera ada yang berseru demi
mengenal senjata rahasia Tong Kim-hong.
Dan belum lenyap seruannya, beberapa kawannya sudah
roboh pula. "Hm, padri anjing ini tak kenal aku, apa kalian juga tidak
tahu asal-usulku?" dengan tertawa dingin Tong Kim-hong
membentak.. Di antara bayangkara yang dibawa Emopu ada separoh
terdiri dari bangsa Han dan di antaranya banyak yang kenal
asal-usul keluarga Tong di Sucwan, segera ada yang bertanya,
"Apa kau Tong-jisianseng?"
"Hm, jika kau sudah kenal aku, kenapa tidak segera enyah
dari sini!" sahut Tong Kim-hong dengan angkuh.
Di antara bayangkara ini terdapat dua orang murid Emopu,
dengan sendirinya mereka tak kenal kelihaian Tong Kim-hong.
"Aku tak takut pada senjata rahasiamu!" teriak mereka.
Habis itu dengan memutar senjata lantas menubruk maju.
Kepandaian dua orang ini ternyata tidak lemah, betul juga
mereka berhasil menyampuk jatuh tiga buah Song-bun-ting
yang ditimpukkan Tong Kim-hong, karena itu mereka menjadi
senang. Tetapi sebelum mereka bergirang lebih lama, mendadak
terasa di tengah alis mata mereka kesakitan, mereka menjerit
berbareng, ternyata empat mata mereka sudah buta terkena
senjata rahasia, ada dua bayangkara bangsa Boan-ciu yang
ikut merangsek maju, perge-langan tangan mereka terasa
sakit juga seperti kena disengat kelabang, sudah sakit, terasa
linu pula, karena itu senjata mereka terjatuh ke lantai.
"Lekas mundur, ini adalah Pek-bi-ciam!" terdengar suara
teriakan kaget bayangkara bangsa Han yang mengenali
senjata yang dipakai Tong Kim-hong.
Senjata rahasia keluarga Tong di Sucwan memang tiada
bandingan, di antaranya Song-bun-ting dan Pek-bi-ciam, yaitu
paku tadi dan jarum alis putih. Song-bun-ting khusus untuk
menimpuk Hiatto, orang yang terkena terasa sakit tidak
kepalang, hanya paku ini tidak beracun, asal dicabut pakunya,
orangnya masih bisa tertolong.
Sebaliknya Pek-bi-ciam terlalu kecil dan lembut seperti bulu
kerbau, kalau kena, orangnya tidak merasa kesakitan tetapi
Am-gi ini mengandung racun jahat, tiga hari atau selambatnya
tujuh hari, Pek-bi-ciam ini akan merembes masuk ke hulu hati
mengikuti aliran darah, maka tak bisa tertolong lagi orangnya.
Begitulah maka demi melihat Kim-hong menyebar dua
macam senjata rahasianya ini, bayangkara bangsa Han
menjadi jeri, tanpa berjanji dahulu mereka lantas melompat
mundur ke belakang. Sementara itu sesudah mengalami terbinasa dan terluka,
bayangkara bangsa Boan beruntun ikut mundur juga.
Mengetahui begundalnya mundur, Emopu jadi gusar,
segera ia membentak pula, "Ia menggunakan Am-gi, apa
kalian tidak bisa pakai Am-gi" Aduh, auuh!"
Kiranya dalam pertarungan melawan Hiau-lan dan Pang Ing
dengan sengit, karena sedikit meleng, pedang Pang Ing telah
menyerempet lewat pundaknya hingga kulit dagingnya
terkupas sepotong. Karena Pek-bi-ciam yang enteng tak bisa mencapai jarak
jauh, maka kawanan bayangkara mundur, beramai mereka
segera menghujani Kim-hong dengan Am-gi.
"Hahaha, main kampak di hadapan tukang kayu," ejek
Tong Kim-hong dengan tertawa. "Baiklah, saksikan aku
punya!" Ia tidak menggunakan Pek-bi-ciam lagi, ia ganti dengan
senjata rahasia sebangsa Song-bun-ting dan Tok-cit-le yang
mempunyai bobot berat, kembali ia paksa kawanan
bayangkara itu mundur lagi ke belakang.
Sebab itu, senjata rahasia yang dihamburkan bayangkara
im, setiba di depan sasarannya sudah tak berkekuatan lagi
karena jaraknya makin jauh, ada yang dikelit Kim-hong dan
ada pula yang dia tangkap, kalau dia tangkap segera ia
timpukkan kembali, maka sekejap saja di lantai sudah penuh
berserak senjata rahasia beraneka macam.
Meski di antara kawanan bayangkara ada beberapa yang
terluka, tetapi mereka masih bertahan melawan Kim-hong,
sehingga seketika seperti hujan senjata rahasia saja.
Dengan demikian, meski bayangkara itu lebih banyak yang
terluka, tetapi Tong Kim-hong sendiri terancam bahaya juga
kedudukannya, sungguhpun dalam ilmu Am-gi ia terhitung
nomor satu di kolong langit ini, tetapi musuh terlalu banyak
jumlahnya, senjata rahasia datangnya seperti belalang
menyambar-nyambar, apabila dia sedikit meleng saja, maka
dapat dibayangkan entah bagaimana akan terjadi!
Di sebelah sana Emopu yang bertempur melawan Teng
Hiau-lan dan Pang Ing dengan sengit, kala itu sudah dalam
keadaan tegang juga. Kini Emopu tak berani menggunakan kebutnya untuk
membelit pedang orang yang tajam, ia ganti membelit gagang
pedang dan pergelangan tangan lawan. Akan tetapi Pang Ing
dan Hiau-lan bisa menjaga diri dengan rapat sekali, mereka
bisa bergiliran, yang satu menjaga yang lain menyerang dan
begitu seterusnya, dengan demikian tak mampu Emopu
mengalahkan mereka, sebaliknya mereka pun tak berani
terlalu mendekati Emopu. Setelah pertarungan ini berlangsung ratusan jurus, akhirnya
di pihak Pang Ing dan Hiau-lan mulai sedikit di atas angin,
namun masih tetap belum bisa mengalahkan musuh.
Tengah pertarungan sengit berlangsung, dengan ilmu
'Thing-hong-pian-gi' (mendengarkan suara angin
membedakan senjata), Pang Ing mengetahui keadaan Tong
Kim-hong sangat berbahaya, karena itu segera ia menyerang
dua kali, habis itu ia menarik diri ke belakang.
"Hiau-lan bertahanlah kau sementara dengan Si-mi-kiamhoat,
aku pergi membantu Tong-kongkong dahulu," serunya.
"Baiklah, kau boleh pergi!" sahut Teng Hiau-lan.
Habis itu segera Kiam-hoatnya berubah, ia putar Yu-liongkiam
sedemikian rupa sehingga sinar putih gemerlap
menyambar-nyambar di udara seperti selapis sinar mengurung
seluruh tubuhnya, meski Emopu merangsek beberapa kali,
namun seperti terbentur tembok baja dan pagar besi, ia tak
berdaya menembus penjagaan orang.
Emopu menjadi gusar, ia kumpulkan seluruh tenaga
dalamnya dan susul-menyusul menghantam beberapa kali,
meski tidak kena dipukul, tetapi di dalam lapisan sinar
pedangnya tidak urung Hiau-lan tergoncang juga.
Setelah Pang Ing menarik diri, begitu ia menutul kakinya,
dengan gerakan 'Ci-yan-thing-khong' (burung sriti melayang di
angkasa), dengan membawa sambaran .angin, sekonyongkonyong
ia melompat lewat di atas kepala para bayangkara
itu, Pang Ing memakai kaos mestika hadiah Ciong Ban-tong,
maka senjata rahasia yang mengenai badannya lantas jatuh
ke lantai tanpa melukainya, pada saat lain ia sudah sampai di
samping Tong Kim-hong. Tentu saja kawanan bayangkara itu tidak kepalang
terkejutnya demi nampak Am-gi mereka tak mempan atas
tubuh gadis ini, sebaliknya Tong Kim-hong telah menganggukangguk
atas kedatangan anak dara ini sebagai tanda
berterima kasih. Sama sekali Pang Ing tak gentar atas segala macam
senjata rahasia yang dihamburkan musuh im, ia putar
pedangnya hingga rapat sekali seperti lingkaran sinar, ia
menghadang di depan Tong Kim-hong dan menghantam jatuh
semua Am-gi yang mengarah padanya.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Tong Kim-hong, ia serang
musuh juga dengan paku untuk mengarah jalan darah,
dengan demikian para bayangkara im didesak mundur pula ke
belakang, namun kedua belah pihak masih saling bertahan.
Di lain pihak Teng Hiau-lan yang sendirian melawan Emopu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai kewalahan, ia menerobos lewat di bawah hujan senjata
rahasia, sedang Am-gi yang berhamburan ini tergoncang j
atuh semua. Pang Ing terkejut, pedangnya segera menusuk, Kim-hong
berubah juga air mukanya melihat ketangkasan orang yang
luar biasa ini, ia timpukkan senjata Tok-cit-le, semacam
senjata berwujud seperti duri tumbuhan yang punya bobot
berat, akan tetapi tahu-tahu Emopu mengegos terus
menyerobot lewat di samping mereka, berpaling saja tidak,
Emopu langsung menyergap 'si orang sakit' yang masih tidur
di bawah patung Buddha itu.
Kiranya tujuan Emopu bukan menangkap Tong Kim-hong
berdua atau Teng Hiau-lan dan Pang Ing, melainkan hanya
menerobos lewat dari samping mereka untuk menangkap
'orang sakit'. Pada waktu itu api unggun sudah sirap, hanya asapnya
yang tebal membikin mata menjadi pedas.
"Tuanku Pwelek, untuk apa kau menderita di sini, lebih baik
ikut hamba kembali saja ke istana!" demikian terdengar
Emopu menegur dengan tertawa dingin.
Berbareng ia mengulur tangan menarik selimut yang
menutupi seluruh tubuh 'orang sakit' itu, tetapi sebelum
jarinya menyentuh selimut, tiba-tiba terdengar suara "plak"
yang keras, kiranya muka Emopu tepat kena digenjot sekali,
pukulan ini begitu keras, sungguhpun Emopu melatih ilmu
'Kim-cong-co' dan 'Tiat-poh-san', tidak urung mukanya
dirasakan sakit pedas juga.
Namun Emopu memang jagoan, begitu tangannya
membalik, ia dapat mencekal tangan orang itu dan dibetot
dengan kuat, karenanya mau tak mau orang itu lantas
melompat bangun. "Bagus, bagus!'" demikian terdengar orang itu berseru,
"memang aku sudah tahu In Ceng tidak bakal melepaskan
diriku, apa kedatanganmu ini melulu karena aku?"
"Hongsiang sengaja mengundang Pwelek pulang ke
kotaraja," sahut Emopu.
"Jika begitu, kau boleh lepaskan ayah dan anak berdua ini!"
sahut orang itu sambil menunjuk Tong Kim-hong dan Say-hoa.
Kejadian yang sama sekali di luar dugaan ini membikin
perang senjata rahasia tadi seketika berhenti.
Ketika Hiau-lan mengamat-amati, ia lihat muka 'orang sakit'
tadi pucat dan kurus, tetapi padanya ada semacam perbawa
yang ke-reng dan menimbulkan hormat, mendadak ia sadar, ia
kenali orang ini bukan lain adalah Kiu-hongcu In Tong, si
Pangeran kesembilan yang dahulu pernah dia jumpai juga di
dalam istana. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara "kletak" yang
keras, secara kejam ternyata Emopu telah menekuk patah
tulang tangan Kiu-hongcu In Tong, kedua tangan Pangeran ini
lantas diikat dan di-borgol pula.
"Asal mereka tak bermusuhan dengan hamba, tentu saja
hamba menurut perintah," dengan lagak menghormat Emopu
menjawab. Kiranya sesudah In Ceng naik takhta dan sudah kuat
kedudukannya, langkah pertamanya lantas menggunduli kakitangan
para pangeran yang menjadi saingannya, langkah
kedua dengan alasan yang dicari-cari ia bunuh saudaranya
yang berani berebut takhta dengan dia, di antaranya Kiuhongcu
In Tong dan Cap-hongcu In Go yang pandai ilmu silat,
sebelum tertangkap mereka sudah dapat mencium niatnya ini,
maka berhasil meloloskan diri.
Sekali ini yang diuber oleh Emopu bukan lain ialah In Tong,
sedang Teng Hiau-lan dan lain-lain hanya secara kebetulan
saja bertemu di kelenteng bobrok ini. Maka Emopu berpikir,
"Kiam-hoat Hiau-lan dan budak cilik im sangat lihai, Am-gi tua
bangka itupun berbahaya, jika terus terlibat pertempuran
dengan mereka, mungkin malah bisa terjadi hal yang di luar
dugaan." Oleh karena itulah ketika In Tong minta Emopu
melepas pergi mereka, ia pun menurut dengan suka hati.
Dalam pada itu sesudah menyaksikan kejadian ini, tidak
kepalang terkejutnya Tong Kim-hong, diam-diam ia berkata
dalam hati, "Kiranya Hongsiang sekarang ini begini kejam dan
tak berbudi, saudara sendiri saja dibunuh, apalagi orang luar,
menantuku dahulu bertugas di pemerintahan, seumpama tidak
mati dibunuh orang pasti tak akan berakhir dengan baik juga."
Kemudian waktu ia memandang, ia lihat keringat In Tong
telah mengucur di jidatnya sebesar kacang saking menderita
sakit, akan tetapi bekas pangeran ini cukup keras kepala juga,
ia hanya mengertak gigi, sedikitpun tidak merintih.
"Marilah, sekarang silakan Pwelek berangkat!"
Mendadak ln Tong bergelak tertawa seram.
"Nah, kalian sudah saksikan sendiri bukan" Harap saja
turun-temurun selanjutnya kalian jangan sekali-kali terlahir di
keluarga kerajaan!" dengan suara keras ia berkata di hadapan
orang banyak. Karena kata-kata ini, yang paling tertusuk adalah Teng
Hiau-lan, ia kena betul kata-kata yang diucapkan In Tong.
Karena itu ia pegang pedangnya terus hendak menerjang
maju kalau tidak keburu ditahan oleh Pang Ing.
"Sudah lama kau bukan anggota keluarga kerajaan lagi,
kami tiada seorang pun yang menganggap kau sebagai putra
pangeran, kedukaan asal-usul dirimu seharusnya kau buang
jauh-jauh," demikian anak dara itu menghiburnya. "Dahulu
orang ini telah berebut takhta dengan In Ceng, tentunya
bukan manusia baik-baik juga, buat apa kau harus berkorban
untuk dia?" Teng Hiau-lan menghela napas.
"Aku bukan ingin menolong dia, tetapi aku ... aku ...."ia tak
sanggup menerangkan lebih jauh, pikirannya sudah kusut,
maka perkataannya terhenti sampai separah saja.
Sementara itu dengan menyeret In Tong, Emopu lantas
melangkah pergi perlahan-lahan. Namun baru beberapa
tindak, tiba-tiba seorang bayangkara menunjuk Lian Siu yang
digendong Tong Kim-hong dan melapor padanya.
"Lapor Tayjin, ini adalah anak Lian Keng-hiau, dua orang
tadi adalah bekas orang kepercayaan Lian Keng-hiau."
Bukan main kejut Tong Kim-hong demi tahu anak siapa
bocah yang berada di pangkuannya ini, ia pandang anak ini,
maka terlihat olehnya muka anak ini pucat menghijau saking
ketakutan. "Tolong, Kongkong, aku tak mau ikut pergi dengan mereka,
aku tak mau!" demikian bocah ini memohon.
Di lain pihak karena laporan tadi, Emopu tertawa terbahak.
"Haha, betul-betul ada jodoh!" katanya. Lalu ia pandang
Tong Kim-hong sekejap terus membentak lagi, "Hai, kau tua
bangka ini pernah apa dengan Lian Keng-hiau?"
"Tidak pernah apa-apa," sahut Kim-hong ketus.
"Kalau begitu, serahkan anak itu padaku dan jiwamu
kuampuni!" bentak Emopu pula.
Dalam pada itu Lian Siu sudah menangis keras.
"Jangan serahkan pada mereka, Tia," demikian Tong Sayhoa
ikut membela. Keruan Emopu naik darah, selagi ia hendak melabrak
orang, tiba-tiba terdengar di luar kelenteng ada suara
kelenengan berkumandang, menyusul terdengar pula suara
jeritan beberapa kali. "Ha, Bu-locianpwe datang!" seru Pang Ing girang.
Sebaliknya Emopu menjadi gusar, ia melompat keluar pintu
kelenteng, di bawah sinar rembulan yang remang-remang ia
lihat ada seorang Kangouw-long-tiong (tabib kelilingan
Kangouw), dengan tangan kanan memegang galah pikulan
dan tangan kiri menggoyang kelenengan sedang berjalan
menuju ke arahnya, beberapa bayangkara yang bertugas jaga
di luar sudah sejak tadi kena dipukul roboh.
"Siapa kau, berhenti!" dengan mata mendelik Emopu
membentak. Yang datang ini memang Bu Sing-hua, adik lelaki Bu Gingyao.
Ia menghadapi gertakan Emopu dengan tersenyum dingin.
"Besar sekali lagakmu," demikian ia menjawab. "Kau ingin
tahu siapakah aku" Aku adalah duta yang dikirim Giam-lo-ong
(raja akhirat) untuk merampas arwahmu!"
Habis berkata ia angkat gentanya terus ditabuh hingga
bunyi "krang-kring" riuh sekali.
Tentu saja Emopu menjadi murka, cepat telapak tangannya
menghantam ke depan, akan tetapi sedikitpun Bu Sing-hua
tak tergoncang oleh karena angin pukulannya, bahkan ia
bergelak tertawa sambil mengangkat galahnya terus memukul
ke atas kepala orang. Ketika Emopu mengayun kebutnya ke atas, ekor kebut
dapat melilit galah orang, tapi tidak urung ia sendiri tergetar
mundur dua tindak, keruan tidak kepalang terkejutnya, lekas
ia kumpulkan tenaga dalamnya dan menarik ke samping. Bu
Sing-hua terperanjat juga, meski galahnya tidak sampai
terlepas dari tangan. Begitulah kedua orang mengumpulkan tenaga dalam dan
saling adu Lwekang, mereka insaf telah menemukan lawan
keras, maka seketika itu siapa pun tak berdaya mengalahkan
lawan. "Bu-locianpwe, kebetulan sekali kedatanganmu!" sementara
im Pang Ing sudah berlari keluar dan menyapa orang.
"Apa keparat ini telah menghina kau dengan mengandalkan
orangnya yang lebih banyak?" tanya Bu Sing-hua.
"Itu dia masih belum mampu," sahut Pang Ing dengan
tertawa. Lalu ia berpaling dan berkata pada Emopu,
"Bagaimana, masih kau ingin bergebrak lagi?"
Karenanya Emopu segera menarik kembali kebutnya,
dengan cepat melompat pergi beberapa tindak.
"Baik, berhenti, tetapi bila terbentur lagi kelak, aku tak bisa
mengampuni kau lagi," katanya.
"Itu boleh kau coba kelak," sahut Pang Ing mengejek.
Sementara itu Bu Sing-hua memandang Emopu sekejap.
"Ilmu silatnya begitu tinggi, sayang sungguh sayang!"
katanya tiba-tiba. Emopu menjadi gusar merasa dirinya dihina. "Sayang apa
katamu?" dampratnya.
"Bagaimana jadinya dengan Liau-in, apa kau tidak tahu?"
kata Bu Sing-hua lagi. Sebenarnya Emopu diundang Yong Ceng untuk
menggantikan lowongan Liau-in Hwesio, karena kata-kata
tadi, maka ia mengkirik juga, lekas ia angkat kebutnya.
"Apa kau masih ingin bergebrak dengan lebih puas?" tanya
Bu Sing-hua lagi. Tetapi tanpa menjawab Emopu lantas memberi tanda, ia
bawa orang-orangnya turun gunung dengan cepat.
In Tong sudah dipuntir patah tulang tangannya, ia sudah
tak tahan dan jatuh semaput, maka ia dibawa pergi dengan
digendong seorang bayangkara.
"Aku dengar kalian kembali turun dari Thian-san," demikian
Bu Sing-hua berkata pada Pang Ing. "Aku menduga kalian
tentu akan mencari Lu Si-nio, tapi tidak terduga bisa bertemu
di sini. Apa gurumu baik-baik saja?"
"Baik," sahut Pang Ing. "Marilah jangan kita bicara yang
lain-lain dulu, periksalah keadaan Tong Kim-hong."
"Siapa dia Tong Kim-hong?" tanya Bu Sing-hua.
"Seorang Bu-lim-cianpwe (tokoh dunia persilatan tingkat
tua) yang kepandaian Am-ginya tiada bandingan di kolong
langit," sahut Pang Ing.
"O, orang dari keluarga Tong di Sucwan," ujar Bu Sing-hua.
"Cara bagaimana kau bisa kenal dia?"
Sembari bicara mereka pun masuk ke dalam kelenteng,
maka terlihat Tong Kim-hong masih tetap duduk di atas lantai,
mukanya pucat pasi. Di sebelahnya tertampak Tong Say-hoa
berwajah muram sambil membopong Lian Siu.
"Bagaimana keadaanmu, Tia?" ia bertanya pada sang ayah
dengan suara perlahan. "Beruntung jiwa anak ini bisa diselamatkan," Kim-hong
menyahut dengan tersenyum. "Aku sudah tak tertolong lagi.
Boleh bawa pulang anak ini dan akui sebagai cucu luarku."
Tong Say-hoa menjadi sedih, air matanya bercucuran. "Tia,
apa kau terluka parah" Dalam kantong obat kita banyak
terdapat obat," katanya.
"Segala obat tak akan berguna," sahut Kim-hong dengan
tersenyum getir. "Aku terkena goncangan pukulan keparat tadi
ditambah sekian lama bertempur mati-matian, aku sudah letih
dan kehabisan tenaga, seperti lentera kehabisan minyak, tidak
mungkin ditolong dengan obat lagi."
"Justru aku ada obat yang bisa menolong kau," tiba-tiba
Pang Ing menyambung perkataannya.
Tong Say-hoa menjadi girang, ia tidak pikirkan dendam dan
benci yang dulu lagi, segera ia minta pertolongan orang.
Tapi Kim-hong masih kurang percaya. "Kau punya obat
apa?" ia bertanya. Pang Ing tidak menyahut, ia keluarkan sebuah botol perak
kecil, ia mang keluar tiga butir obat pil berwarna hijau muda
yang berbau wangi, siapa yang mencium bau wangi ini
seketika terasa semangat menjadi segar.
"Ini adalah Pik-ling-tan yang dibikin dari Swat-lian (bunga
teratai salju) yang tambuh di Thian-san," demikian tutur Pang
Ing sambil memberikan obat im. "Pil ini manjur sekali untuk
menambah tenaga dan menjalankan darah, bisa memunahkan
racun dan menyembuhkan luka, sehabis menelan pil ini, bukan
saja tidak kuatir keselamatan jiwa, bahkan ilmu silat pun tidak
menjadi berkurang sedikitpun."
Kim-hong menurut, ia telan sekaligus tiga pil Pik-ling-tan
im, ia merasa ada hawa segar yang mengalir masuk ke
perutnya. "Sungguh hebat sekali Thian-san-swat-lian ini, memang
betul obat yang paling mujarab," dengan tertawa kemudian ia
memuji. Di samping lain, dengan matanya yang bundar Lian Siu
sedang memandangi Tong Kim-hong.
"Jiwamu yang kecil ini telah dapat direbut kembali, nak,
tahukah kau cara bagaimana kau harus berterima kasih?" kata
Pang Ing pada bocah itu. Lian Siu ternyata sangat cerdik, tanpa disuruh untuk kedua
kalinya ia sudah lantas berlutut menjura pada Tong Say-hoa
sambil memanggil "ibu", habis itu ia menjura pula pada Tong
Kim-hong dan memanggil "Engkong", tentu saja Say-hoa
sangat girang dan Kim-hong merangkul bocah itu.
"Anak ini mirip bapaknya, sangat pintar," ujar Teng Hiaulan.
"Harap saja jangan seluruhnya mirip sang ayah," ujar Pang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ing. Kemudian Bu Sing-hua bercakap-cakap dengan Tong Kimhong
yang sudah saling dengar nama masing-masing
sebelumnya. Sementara sudah dekat fajar, lalu Bu Seng-hoa
mohon diri buat berangkat lebih dulu, ia menyuruh Tong Kimhong
mengaso lagi untuk memulihkan tenaganya.
Di sebelah sana Tong Say-hoa berulang-ulang
mengucapkan terima kasih pada Pang Ing yang telah sudi
memberi obat yang mujarab, karena kejadian ini, permusuhan
di antara keluarga Tong dan anak dara kembar she Pang ini
menjadi terhapus sama sekali.
Di waktu fajar mulai menyingsing, maka berangkatlah Bu
Sing-hua bersama Teng Hiau-lan dan Pang Ing, meninggalkan
Kosan. "Apa kalian hendak pergi ke Bin-san?" tanya Bu Sing-hua.
"Betul," sahut Pang Ing. "Ibuku berada di Bin-san juga, apa
engkau belum tahu?" "Haha, ibumu sudah tidak berada di Bin-san lagi, apa kau
mau menemui dia?" demikian jawab Bu Sing-hua dengan
tertawa. "Apa, dia tidak di Bin-san" Apa telah terjadi sesuatu?" tanya
Pang Ing kaget. "Sebenarnya memang terjadi sesuatu, tapi kini sudah tak
apaapa," tutur Bu Sing-hua. "Si keparat Yong Ceng memang
sangat keji, sesudah memapas bersih kekuasaan militer Lian
Keng-hiau, ia mempergiat penindasan pula terhadap para
pahlawan di berbagai tempat, ia mendapat kabar bahwa di
Bin-san berkumpul tidak sedikit tokoh Kangouw, segera ia
mengirim pasukan besar mengepung gunung itu, syukur
sebelumnya Lu Si-nio telah mendapat berita dan menyuruh
aku mengantar ibu bersama Engkongmu dan Thio Thian-ti
serta kawan-kawan ke Thian-san."
'TJaik sekali cara mengaturnya im, memangnya mereka
sudah terlalu banyak menderita, seharusnya mereka lewatkan
hari tua dengan tenteram," ujar Hiau-lan. "Bu-lociaupwe, apa
engkau telah bertemu dengan Lu Si-nio?"
"Ya, di sekitar kotaraja," sahut Bu Sing-hua. "Si-nio
bermaksud masuk istana buat membunuh Yong Ceng, tapi
penjagaan dalam kota terlalu kuat, maka belum ada
kesempatan buat dia turun tangan. Sebenarnya aku sedang
mencari Li Ti, setelah bertemu dengan Lu Si-nio baru aku tahu
mereka telah berangkat ke Sucwan."
"Kalau begitu, dimanakah ibuku sekarang?" tanya Pang
Ing. "Rombongan kami terbagi menjadi beberapa kelompok, aku
jadi pembuka jalan, semalam ketika melalui Ko-san, mereka
bermalam di rumah penduduk di bawah gunung sana," kata
Bu Sing-hua. Pang Ing menjadi girang, bersama Teng Hiau-lan lantas
pergi menemui ibunya, sudah tentu pertemuan i m sangat
menggirangkan mereka. Kembali tentang Pang Lin dan Li Ti, sesudah sebulan
mereka melakukan perjalanan bersama Kwantang-si-hiap,
akhirnya sampai di Bin-san, tetapi mereka dapatkan gunung
im sudah penuh dengan reruntuhan puing, bukan saja
bangunan sudah terbakar, bahkan kelenteng yang dahulu
ditinggali Tok-pi Sin-ni juga runtuh menjadi tanah, keruan
mereka kaget dan melongo, mereka sangka tentu drama
pembakaran Siau-lim-si di Ko-san terulang kembali di Bin-san.
Selagi mereka merasa bingung dan kuatir, tiba-tiba
terdengar suara angin menderu, ketika mereka mendongak,
tiba-tiba tertampak dua burung elang raksasa, seekor putih
dan yang lain hitam sedang pentang sayap, mengitar di atas
kepala mereka. "Ini adalah kedua burung piaraan mendiang Tok-pi Si-ni,
tidak nyana masih tetap berada di sini," seru Hian-hong
Totiang. Sementara itu sesudah mengitar beberapa kali, burung itu
lantas terbang menuju ke lereng gunung.
"Burung-burung ini sangat cerdik seperti manusia, terhadap
orang yang dikenal, mereka tidak sembarang menyerang,
sesudah mengitar di atas terus terbang pergi, tentunya
hendak menyampaikan kabar pada majikannya, apa di atas
Bin-san ini masih terdapat orang?" demikian kata Liu Sian-gai.
Setelah mengikuti jurusan kemana kedua ekor burung tadi
terbang, sampailah mereka di suatu tanah lapang dengan
pemandangan indah dan air terjun berkilauan oleh sorot sinar
matahari. "Setelah lewat di sini akan sampai di tanah pekuburan Tokpi
Sin-ni," kata Hian-hong. "Mungkin mereka lihat tempat ini
sangat curam, pula tiada sebuah rumah pun, maka pasukan
pemerintah itu tidak membakar ke sini."
Tengah ia bicara, tiba-tiba terdengar suara tertawa
panjang, menyusul Lui Si-nio dan Pang Ing muncul di depan
mereka. "Aku kira siapa, ternyata kalian yang datang," kata Si-nio
dengan tertawa. Dalam pada itu Teng Hiau-lan telah memperlihatkan diri
juga, tentu saja pertemuan ini sangat menggirangkan mereka.
"Bin-san telah dibakar musuh bulan lalu," Si-nio
menerangkan kemudian, "karena mengira tiada penghuninya,
sesudah membakar, pasukan tentara musuh lantas pergi.
Masih untung kuburan guruku bisa selamat. Aku sudah
menduga Pang Lin dan lain-lain tentu akan ke sini, maka aku
kembali kemari dulu untuk menyambangi kuburan Suhu sambil
menunggu datangnya tamu, tak terduga lebih dulu telah
datang Hiau-lan dan Pang Ing dan kemudian baru kalian."
Sesudah masing-masing saling mengisahkan
pengalamannya selama ini, kemudian Hian-hong bertanya
pada Si-nio. "Li-hiap baru saja kembali dari kotaraja, apa membawa
sesuatu kabar baik?"
"Kabar baik memang ada, cuma kabar ini kukira sudah
dalam dugaan kalian," sahut Si-nio tertawa.
"Apa tentang Lian Keng-hiau yang telah dihukum mati?"
tanya Hian-hong. "Ya, betul," kata Si-nio. "Sesudah Keng-hiau digiring ke
kotaraja, segera ia dihujani dengan berbagai pengaduan dari
pembesar sejawat, Liok Hou-sin dari Hangciu pun melaporkan
apa yang pernah dia alami, memang kalau pagar akan roboh
tentu banyak orang yang mendorongnya sekalian, maka
sekaligus Lian Keng-hiau telah dituduh sebanyak 92 perkara!"
"Aba, banyak sekali!" ujar Pang Lin dengan melelet lidah.
"Ya, maka tanpa ampun lagi ia lantas dihukum mati," kata
Si-nio pula. "Sehabis im, karena kuatir ada golongan yang
tidak puas, Yong Ceng telah memperkuat penjagaan dengan
sangat rapat, pernah dua kali aku menyelidiki" ke dalam
istana, tetapi karena begitu banyak deretan gedung,
hakikatnya tak aku ketahui kaisar anjing im bersembunyi
dimana, waktu kedua kalinya aku masuk istana, bahkan telah
ketahuan musuh dan dikerubut jago pengawal hingga hampir
saja tak bisa meloloskan diri."
"Untuk membunuh seorang kaisar yang begitu banyak
penjaganya rasanya tidak gampang," ujar Hian-hong.
"Menurut pendapat-ku, paling sedikit harus didampingi dua
kawan lagi yang memiliki Ginkang yang tinggi baru bisa ada
harapan." "Ya, justru itulah maka aku menunggu kalian di sini," sahut
Si-nio tertawa. "Belakangan ini kepandaian Pang Ing dan Pang
Lin sudah maju pesat, lebih-lebih Ginkangnya, maka biarlah
kami bertiga saja yang pergi."
"Bagus, kita tinggal lihat saja lakon Sam-li-hiap mengobrakabrik
istana," kata Hian-hong sambil bertepuk tangan. "Eh,
dimana kedua dara nakal im?"
Betul juga, ketika semua orang berpaling, si kembar Pang
Ing dan Pang Lin sudah tidak kelihatan lagi.
"Mereka tentu lagi asyik bicara tentang urusan mereka
yang menarik," ujar Si-nio dengan tertawa. Lalu ia berseru
memanggil, "A Ing! A Lin!"
"Ya, segera datang!" demikian terdengar suara sahutan
Pang Ing dari jauh, Memang dugaan Lu Si-nio tidak salah, betul mereka sedang
asyik bicara urusan mereka yang menarik. Kiranya Pang Lin
telah menarik Encinya ke tempat yang rindang, di sana ia
bertanya Enci ini bagaimana urusannya dengan Teng Hiau-lan.
Sudah tentu Pang Ing hanya bungkam saja, ia tak sanggup
menjawab karena pedih hatinya, ketika sang adik mendesak
terus, akhirnya matanya basah ingin menangis.
"Aku anggap dia tetap seperti paman saja!" kemudian ia
menjawab. "Tampaknya tidak, tadi aku dengar kau panggil dia dengan
nama dan bukan panggil paman," kata Pang Lin tertawa.
"Kenapa kalau memanggil dia dengan nama?" sahut Pang
Ing dengan menarik muka. "Memangnya selama hidupku ini
tidak akan menikah, justru aku tidak percaya bahwa hidup
seorang gadis harus punya suami."
Pang Lin tertawa geli oleh jawaban ini, kemudian dengan
lagak sungguh-sungguh ia berkata lagi sambil menarik sang
Enci. "Kau berkata demikian, tetapi mana ibu mau percaya,"
ujarnya. "Ibu ikut mereka ke Thian-san, hal ini kau sendiri
sudah tahu. Beberapa hari yang lalu waktu aku bertemu
beliau, ia masih menanyakan urusan kalian berdua. Dia bilang
anak perempuan akhirnya harus menikah, dia bilang Teng
Hiau-lan sangat baik, hanya ia kuatir kau kurang suka karena
orangnya lebih tua belasan tahun dari kau, maka aku disuruh
membujuk kau. Nah, bagaimana, kau mau turut kata-kata ibu
tidak?" Begitulah Pang Lin berkata dengan lagak seperti orang tua,
Pang Ing sampai tertawa geli. Tetapi bila ingat memang
ibunya pernah menasihati dirinya seperti yang dikatakan sang
adik tadi, namun urusan dirinya dan Hiau-lan, ibunya belum
diberitahu, tanpa tertahan ia menjadi sedih Lagi.
Tengah Pang Ing merasa serba sulit karena pertanyaan
adiknya tadi, syukur Lu Si-nio keburu memanggilnya.
Kemudian mereka diberitahu oleh Si-nio bahwa mereka
akan diajak ke kotaraja untuk membunuh Yong Ceng, seketika
semangat mereka menyala-nyala.
Setengah bulan kemudian, sesudah Lu Si-nio berhubungan
dengan Kam Hong-ti, berkat pergaulan Hong-ti yang sangat
luas dan kenal dengan berbagai kalangan, berturut-turut tiga
dara ini lantas menyelusup masuk ke Pakkhia.
Tetapi karena penjagaan di dalam kotaraja sangat keras,
pula istana raja terlalu luas, susah juga untuk mengetahui di
gedung mana Yong Ceng tinggal, karena kuatir sekali pukul
tidak kena, sebaliknya akan membikin urusan menjadi
runyam, maka meski sudah menunggu selama setengah tahun
di kotaraja, masih belum juga diperoleh kesempatan yang
baik. Mengenai diri Yong Ceng, sesudah maharaja ini dapat
merampas kekuasaan dan membunuh Lian Keng-hiau, ia pun
selalu kebat-kebit kalau didatangi pembunuh gelap dari pihak
lawan, maka tidak saja di dalam istananya penuh tersebar
jago pengawal, bahkan segala tata-tertib istana yang lama
seperti membikin pertunjukan sandiwara atau pesta-pora di
hari raya, semua kebiasaan ini dia larang pula, malahan kaisar
ini sendiri tiap malam bertukar tempat menginap, hatinya
selalu ketakutan dan merasa tidak aman.
Meski agung sebagai kaisar, tetapi kalau hidupnya selalu
dalam keadaan takut, sama saja seperti menyiksa diri dan
tidak enak sekali. Keadaan demikian sudah lewat setengah tahun, karena
keadaan tampak aman dan tenteram, larangan semula
lambat-laun mulai kendur juga.
Hari lewat dengan cepat, setelah hari Sincia (tahun baru),
sekejap saja sudah tiba hari raya Goan-siau atau lebih terkenal
dengan Capgomeh. Ibu kandung Yong Ceng sebenarnya selir kaisar Khong-hi,
tetapi sesudah sang putra naik takhta, dengan sendirinya sang
ibu ikut menjadi ibusuri, tak usah diterangkan pula betapa
senang hidupnya. Karena sudah sekian lama merasa sebal oleh kehidupan
sunyi berhubung larangan Yong Ceng, maka ibusuri sangat
merindukan keramaian lagi, pada kesempatan hari Capgomeh
hampir tiba, ia lantas minta agar Yong Ceng menghapus
larangannya supaya bisa merayakan hari raya im secara
besar-besaran, yakni kecuali menanggap opera dan berbagai
pertunjukan lainnya, diperbolehkan pula para sanak keluarga
kerajaan dan para pangeran ikut meramaikan perayaan ini
dengan caranya masing-masing.
Yong Ceng pikir selama ini saudara-saudar yang menjadi
saingannya sebagian besar sudah dia hancurkan, pangeran
yang masih ada terang tiada yang berani melawan lagi, maka
ia lantas menuruti maksud ibunya dan menghapuskan
larangannya. Kabar tentang perayaan Capgomeh ini semula masih
sangat dirahasiakan, baru sehari sebelumnya berita ini
disampaikan pada para pangeran. Kabar ini membikin satu
orang menjadi kegirangan.
Orang ini adalah pangeran In Ing, putra ke-16 Kaisar
Khong-hi, pangeran In Ing ini adalah saudara kandung Yong
Ceng, usianya terhitung paling muda di antara para pangeran
lainnya, oleh sebab itu waktu Khong-hi masih hidup, pangeran
cilik ini tidak ikut serta dalam perebutan takhta, karena itulah
ia masih bisa hidup selamat.
Karena masih muda, maka In Ing suka macam-macam
permainan, ia pun gemar berlatih silat, kira-kira sebulan yang
lalu orang telah memujikan seorang guru silat padanya, guru
silat ini berperawakan sedang, rupanya pun tiada berbeda
dengan orang biasa, maka In Ing tidak percaya orang
demikian bisa memiliki ilmu silat tinggi, maka ia minta
bertanding dulu, tetapi baru saja kaki tangannya menyerang
tubuh guru silat itu, mendadak entah mengapa ia sendiri yang
terbanting jatuh. Guru silat itu mengaku bernama Teng Liong, bukan saja
mahir ilmu silat, bahkan pandai berakrobat pula, In Ing suka
sekali pada orang ini, maka Teng Liong lantas ditahan tinggal
dalam istananya. Sekali ini karena akan merayakan hari Capgomeh, In Ing
lantas bertanya pada Teng Liong apa punya pertunjukan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akrobat yang bagus dan menarik, berulang Teng Liong
menjawab ada dan banyak, segera pula ia unjukkan berbagai
kemahirannya seperti memutar mangkok berisi air, menyunggi
gentong di atas kepala, tarian sutera merah dan lain-lain,
semua ini jauh lebih bagus dan menarik daripada pertunjukan
akrobat biasa. Keruan In Ing sangat girang karena ia bisa memamerkan
juga rombongannya di hadapan ibusuri. Waktu Teng Liong
mohon diperbolehkan membawa beberapa pembantu,
permintaan ini diluluskan juga oleh In Ing.
Pada malam Capgomeh di tengah Ci-kim-sia, yakni benteng
atau kota terlarang yang menjadi kediaman kaisar, telah
dipajang dengan lampu teng-long yang beraneka warna,
keadaan pun terbenam dalam suasana pesta-pora yang
meriah. Di tengah taman raja sudah didirikan panggung, di
sekitar panggung berduduk para kaum ningrat dan sanak
keluarga kaisar, dan di samping panggung itu dipasang pula
satu balkon, di sinilah Yong Ceng beserta para selirnya
mendampingi ibusuri menyaksikan pertunjukan di atas
pangung itu. Terhadap segala pertunjukan yang beraneka macam dan
akrobatik im Ibusuri sangat tertarik dan senang sekali, sampai
pada puncak kegirangannya, ia lantas memerintahkan orang
memberi persen. Ketika tiba giliran rombongan yang dibawa
In Ing naik panggung, Ibusuri tampaknya merasa girang luar
biasa. "Lihatlah saudaramu yang biasanya suka macam-macam
permainan, coba sekali ini apa yang dia pertunjukkan?"
demikian kata Ibusuri dengan tertawa pada Yong Ceng.
Sementara im tampak naik ke atas panggung lima orang
yang mengenakan dandanan sebagai pemain sandiwara
(opera) dengan muka dicorang-coreng.
"Main sandiwara apakah ini, kenapa semuanya sebangsa
badut dan berjenggot?" tanya Ibusuri.
"Bukan main sandiwara, tapi main akrobat," cepat In Ing
menerangkan. Yong Ceng tergerak hatinya oleh keterangan saudara
mudanya ini, dalam pada itu ia lihat dua di antara lima orang
yang naik panggung im, sudah tangan bergandeng tangan
dan seorang lantas melompat ke atas, orang ini menginjak
pundak kedua orang yang du-luan, menyusul seorang lagi
meloncat lebih tinggi dan menumpang pula di atas pundak
yang duluan. "Bagus sekali kepandaian beberapa orang ini, apakah
mereka main akrobat susun?" tanya Yong Ceng.
Tapi belum habis ia berkata, mendadak tertampak lelaki
yang berperawakan sedang telah meloncat ke atas, kepalanya
menyunggi sebuah mangkok berisi air, kedua tangannya
masing-masing memegang mangkok pula, waktu ia sengaja
sedikit memiringkan mang-koknya, dari ketiga mangkok itu
menciprat keluar beberapa tetes air, ia membuktikan bahwa di
dalam mangkoknya penuh terisi air.
Kemudian ia mengangkat kedua tangannya, dua mangkok
dilemparkan ke udara, menyusul dengan cepat ia lemparkan
ke atas pula dua lonjor kain sutera berwarna dan dengan
tepat dapat melilit kedua mangkok tadi di udara, bukan saja
air dalam mangkok tidak menciprat setetes pun, namun masih
menurun ke bawah dengan anteng, bahkan mangkok yang
ada di atas kepalanya juga tidak goyang dan memuncratkan
air. Maka terdengarlah suara orang bersorak memuji. Di bawah
suara sorak-sorai itu, tiba-tiba orang itu memutar cepat kain
suteranya hingga kedua mangkok yang penuh terisi air itu
berputar, makin berputar makin cepat.
Berulang kali Ibusuri bersorak memuji, ia berkata pada
Yong Ceng bahwa jauh lebih bagus pertunjukan ini daripada
permainan akrobatik yang biasa dilihatnya.
Yong Ceng menyaksikan permainan akrobat tadi dengan
seluruh perhatiannya, ia tidak ikut bersorak.
"Apakah beberapa orang ini dari istanamu?" tiba-tiba ia
bertanya pada In Ing. In Ing lagi terkesima oleh pertunjukan di atas panggung,
maka tidak sempat menjawab karena makin lama makin
bagus tarian kain sutera itu.
"Sungguh hebat, kasih persen!" seru Ibusuri pula dengan
girangnya. Segera dua tenggok uang perak disebarkan ke atas
panggung pertunjukan oleh dua Thaykam.
Di luar dugaan semua orang, mendadak Yong Ceng
membentak, "Tangkap dan periksa beberapa orang ini!"
Di atas panggung, uang perak berhamburan seperti hujan
dibarengi dengan sorak pujian penonton, keadaan sedang
ramai, sudah tentu bentakan Yong Ceng sama sekali tak
disangka sebelumnya, maka seketika keadaan menjadi sunyi
dan tenang kembali. Tetapi pada saat itu juga, dengan kecepatan luar biasa
tampak lelaki kekar kecil telah mengayun kain suteranya, dua
sinar putih secepat kilat telah melayang mengarah muka Yong
Ceng. Sungguh tidak diduga, kain sutera itu ternyata
membungkus dua bilah belati kecil yang sangat tajam.
Yong Ceng sejak mula memang sudah sangsi, maka
sebelumnya ia sudah berjaga-jaga, begitu ia membentak,
segera pula tubuhnya menyelinap di antara selir-selirnya.
Keruan tidak ampun lagi, dua suara "erat-cret" terdengar,
kedua belati tadi menembus tulang pundak dua selir Yong
Ceng, seketika itu pula keadaan menjadi kacau-balau
dibarengi suara jeritan perempuan yang ketakutan. Ibusuri
jatuh semaput di balkon, para selir dan dayang lari tungganglanggang
pula. Dalam sekejap lelaki tadi secepat burung terbang
menubruk ke atas balkon penonton, air ketiga mangkoknya
disiramkan ke tubuh Yong Ceng, karena ini mata Yong Ceng
menjadi basah dan megap-megap, ia tak bisa membuka
matanya, sementara terasa sambaran angin tajam sudah
mendekat, sebilah pedang pendek hampir menyentuh
punggungnya. Namun Yong Ceng cukup licik dan lekas mendapatkan akal,
pada detik yang berbahaya itu ia pentang kedua tangannya
terus menarik dua selirnya ke belakangnya, dengan demikian
ia gunakan orang sebagai tameng.
Karena tak keburu menarik kembali serangannya, maka
menghamburlah darah segar dari dua wanita lemah yang tak
berdaya itu. Keruan lelaki itu terkejut dan gusar pula, dengan
sekali gertak, ia angkat senjatanya menubruk maju lagi,
namun Yong Ceng sudah mendahului meloncat pergi naik ke
atas sebuah loteng. Lelaki ini mana bisa disamakan pengamen pengembara
biasa, ia bukan lain daripada Kanglam-tayhiap Kam Hong-ti.
Sesudah berhasil menyelundupkan diri ke dalam istana
pangeran In Ing, dengan susah-payah ia mendapatkan
kesempatan baik malam ini, dengan sendirinya dia tidak mau
melepas orang begitu saja, meski ia insaf sangat berbahaya
bagi dirinya, namun ia masih terus mengudak, ia ikut
melompat naik ke atas loteng menyusul Yong Ceng.
Keempat lelaki yang ikut bersama Kam Hong-ti itupun
bukan pembantu biasa dari pemain akrobat, mereka adalah
Teng Hiau-lan, Li Ti, Pek Thay-koan dan Hi Kak.
Karena beberapa langkah terlambat, mereka keburu
dicegat dan dikeroyok oleh kawanan bayangkara yang berjaga
di bawah panggung, dalam pada itu Haptoh telah menerjang
maju dengan gembolannya, Han Tiong-san mengeluarkan
senjata garuknya ditambah pengawal lain yang merintangi
mereka, maka sesaat itu tak bisa menerjang keluar kepungan.
Hiau-lan menjadi kuatir, secepat kilat ia putar pedangnya,
ia serang dengan hebat, maka terdengarlah suara "trang"
yang nyaring dibarengi dengan muncratnya lelatu api,
ternyata garuk Han Tiong-san telah terpapas kutung sebagian.
"Ha, kiranya kau, besar sekali nyalimu berani masuk ke
sini!" demikian Han Tiong-san berteriak.
Habis itu, ia percepat senjata garuknya terus menghantam.
Karena masih kalah setingkat dalam soal keuletan, meski
pedangnya tajam, Teng Hiau-lan kena didesak mundur dua
tindak, dalam pada itu di belakangnya seorang pengawal yang
memakai senjata 'Gun-goan-thi-pay' yakni semacam perisai,
mendadak memukul ke atas kepalanya.
Untung Li Ti secepat kilat menubruk dari samping,
pedangnya berhasil melukai tangan pengawal itu hingga
tamengnya mencelat terlepas dari cekalan, tidak berhasil ia
menyerang Hiau-lan, sebaliknya senjatanya melukai seorang
kawan sendiri. Kiam-hoat Li Ti paling aneh dan hebat, cara turun
tangannya pun tidak kenal ampun, dimana sinar pedangnya
menyambar, kembali dua jago pengawal kena dirobohkan.
Nampak ketangkasan pemuda ini, lekas Haptoh mengayun
gembolannya memapak dari jauh, karena senjatanya panjang
bertali, sebaliknya pedang Li Ti terlalu pendek, maka tak
mampu ia me-rangsek maju buat membantu kawannya lagi.
Dalam pada itu Pek Thay-koan melihat sesudah Kam Hongti
mengejar Yong Ceng ke atas loteng, hasilnya ternyata sepi
seperti batu tenggelam di lautan, tidak terdengar suara
pertempuran di sana, tidak tertampak pula orangnya keluar
kembali, keruan ia jadi kuatir. Sempat juga ia menghamburkan
segenggam jarum 'Bwe-hoa-ciam', meski beberapa orang
dapat dia lukai, tetapi kembali ia diudak oleh Thian-yap Sanjin,
lekas ia angkat tangannya memukul, ia desak mundur musuh
ini dengan tenaga hantamannya.
Tengah keadaan sangat berbahaya, mendadak terdengar
suara teriakan keras, tahu-tahu loteng dimana Hong-ti
mengudak tadi telah ambrol sebagian di pojok sana, menyusul
satu orang seperti meluncurnya bintang cepatnya telah
menyelonong keluar dan terjun ke dalam sungai di taman raja.
"Celaka, Chit-te mengalami bencana!" teriak Pek Thay-koan
kaget. Dalam pada itu terdengar pula di atas loteng sana suara
tertawa Yong Ceng, lalu orangnya pun muncul lagi.
"Kam Hong-ti sudah terbinasa, sekarang boleh diberi
kelonggaran, bila tahu gelagat lekas para begundalnya
meletakkan senjata dan menyerahkan diri, dengan demikian
masih bisa diampuni," dengan suara keras Yong Ceng
membentak pula. Tetapi Hi Kak menjadi gusar, "Siapa mau percaya ocehanmu!"
dampratnya. Habis itu ia mengayun goloknya lagi, sekali bacok ia bikin
seorang pengawal terbelah menjadi dua, waktu untuk kedua
kalinya ia hendak menyerang pula, Han Tiong-san sudah
keburu datang menahannya.
"Emopu keluar, tangkap kawanan pemberontak ini dan
bunuh, tidak pandang bulu!" segera Yong Ceng berteriak lagi
sambil bergelak tertawa. Emopu terima perintah itu, dengan sekali bentak ia
melayang keluar dari loteng im sambil mengayun senjata
kebutnya terus menyabet, segera golok besar yang dipegang
Hi Kak kena dibelit dan ditarik terbang ke angkasa.
Keruan Teng Hiau-lan kaget, lekas ia putar Yu-liongpokiamnya, ia keluarkan tipu 'Tay-bo-liu-soa' atau pasir
bertebaran di gurun luas, satu tipu serangan sangat lihai dari
Thian-san-kiam-hoat, senjatanya menyambar hingga bersinar
gemerlapan naik-turun, ia menyerang secepat kilat susulmenyusul.
Emopu sudah kenal betapa lihai Kiam-hoat orang, maka
kebutnya tak berani ia adu dengan Pokiam, begitu bergebrak
segera ia menggeser pergi dengan cepat dan tahu-tahu sudah
memutar sampai belakang Pek Thay-koan, terus menyerang
dengan tipu mematikan. Namun Thay-koan cukup sebat, ia melangkah pergi lalu
putar balik dan mengayun tangannya. "Kena!" ia barengi
dengan bentakan. Maka menyambarlah segenggam Bwe-hoaciam
mengarah muka Emopu. Dahulu karena harus bersiap melawan Liau-in Hwesio,
maka Pek Thay-koan telah melatih Bwe-hoa-ciam dengan giat
sekali, jarum ini bobotnya enteng dan susah dilempar, tetapi
ia sanggup menimpuk sampai sejauh lima tombak, bahkan ia
bisa mengincar anggota badan musuh dengan jitu, kini
jaraknya dengan Emopu sangat dekat, ia duga pasti berhasil
mengenai lawan. Di luar dugaan, di antara sinar perak
jarumnya ini, Emopu menarik kebutnya terus diputar, maka
terdengarlah suara mencicit nyaring, jarum lembut yang
begitu banyak ternyata kena dikebut jatuh hingga lebur oleh
tenaga dalam Emopu yang maha kuat.
Melihat gelagat jelek, lekas Li Ti bekerja cepat, pedangnya
menusuk kedua mata Emopu, dengan sendirinya Emopu
mengangkat kebutnya menangkis, tak terduga serangan Li Ti
ini tampaknya mengarah sebelah kiri tapi sebenarnya yang
diincar sebelah kanan, begitu pedangnya berputar, segera
senjata ini memotong daun kupingnya, untung Emopu masih
keburu membungkuk dan bisa menghindarkan diri.
Waktu Li Ti hendak menikam, mendadak dari samping
Thian-yap Sanjin sudah menerjang, secepat kilat ia memukul.
Karena itu Li Ti terpaksa harus mundur selangkah, dengan
demikian Emopu sempat berdiri tegak lagi, ketika kebutnya
mengayun pula, kembali ia menyabet.
Selagi keadaan genting, tiba-tiba terdengar suara suitan
panjang yang nyaring menggema lama di angkasa.
'"Awas, kawan! Kembali budak hina itu datang!" Thian-yap
Sanjin memperingatkan kawannya. Ia mengenali suara suitan
itu. Belum lenyap suaranya, mendadak sudah terdengar suara
jeritan dan teriakan ketakutan di seluruh taman, tahu-tahu
dari puncak pohon lebat di tengah taman raja itu seperti
burung saja telah melayang turun beberapa orang, setelah
dilihat jelas, kiranya yang datang adalah tiga dara laksana
bidadari turun dari kahyangan.
Tiga dara ini adalah Lu Si-nio, si kembar Pang Ing dan Pang
Lin. Sebenarnya meski Ginkang mereka sangat tinggi, tetapi
hendak menerobos kian-kemari di antara gedung yang penuh
jago pengawal im bukan suatu hal yang gampang, untungnya
hari im adalah Capgomeh, di tengah taman lagi diadakan
perayaan, oleh karena im jago pengawal telah ditarik semua
ke taman untuk menjaga di sini hingga tiga dara ini bisa


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk istana secara leluasa.
"Celaka!" Emopu tahu gelagat jelek, ia yang pertama-tama
mencegat datangnya tiga dara pendekar ini.
"Kaisar anjing im ada di atas loteng!" Hiau-lan berseru pada
Si-nio. Karena itu, baru saja Si-nio menancapkan kaki di tanah,
kembali ia enjot tubuhnya, sekejap saja ia sudah melompat ke
atas loteng. Namun setelah ia menerjang masuk, keadaan sepi
tanpa satu bayangan orang. Si-nio cukup cerdik, baru ia
melangkah masuk, senjatanya berbareng diputar, tetapi
segera ia melompat mundur setelah tidak ada seorang pun,
dengan demikian anak panah rahasia yang menyambar keluar
seperti belalang terbang kena disampuk jatuh semua oleh
pedangnya. Dalam pada itu Pang Ing dan Pang Lin yang selangkah
lebih lambat, dengan tepat kesamplok Emopu yang memburu
maju hendak mencegat, tanpa ayal lagi Pang Ing geraki
pedangnya dan secepat kilat menusuk, sekali gerakan dua
macam serangan, ia tutul muka orang dan tikam dada musuh
pula. Lekas Emopu berkelit dan berputar pergi, kebutnya
membalik terus menyabet. Syukur dua tahun paling akhir ini
Pang Ing telah berlatih dengan giat di Thian-san, tidak sedikit
kemajuan yang telah dia peroleh, maka ia tidak menjadi
gugup menghadapi lawan kuat ini, ia layani musuh dengan
tenang, ketika ia mengegos, mendadak pedangnya
menyambar lagi menerobos di bawah kebut orang, terus
menusuk 'Ki-bun-hiat' di bawah pinggang.
Sama sekali Emopu tak menduga Kiam-hoat Pang Ing bisa
maju begitu pesat, meski ia bisa cepat menarik kembali
kebutnya dibarengi sebelah tangannya memukul, namun tidak
urung bulu kebutnya terpapas sebagian, sebaliknya Pang Ing
terhuyung-huyung juga oleh karena getaran angin pukulan
musuh. Sementara itu setelah berputar kembali, segera
Emopu menyerang lagi. Saat itu tiba-tiba tertampak Pang Lin menyerang dari
samping, gaya serangannya sangat aneh, seperti ke kiri tetapi
tahu-tahu ke kanan, arahnya selalu mengincar urat nadi yang
menjadi kelemahan lawan. Sebagaimana diketahui Emopu melatih diri sedemikian rupa
sehingga tubuhnya seakan kebal dan hanya urat nadi 'Him-holisui', yakni tempat di selangkangnya yang menjadi ciri
kematiannya, keruan ia sangat kaget oleh serangan Pang Lin
tadi, lekas ia kumpulkan tenaga dalamnya, kebut ia angkat
terus menyabet hendak menghancurkan tulang tangan Pang
Lin. Di luar perhitungannya, sesudah Pang Ing tenangkan diri,
senjatanya kembali menyambar, Lwekang Pang Ing masih
jauh lebih kuat dari adiknya, pula senjata yang dia pakai
adalah Pokiam, maka Emopu tak berani menangkis, ia
kumpulkan tenaga pukulannya buat memukul mundur Pang
Ing, dalam hal tenaga dalam Emopu lebih tinggi dari Pang Ing,
maka gadis ini tak berani keras lawan keras, lekas ia
melompat ke samping. Dan selagi Emopu hendak merangsek maju, tiba-tiba
serangan Pang Lin mengarah lagi tempat cirinya itu.
Emopu menjadi gemas dan berjingkrak saking marahnya,
tetapi apa daya, seorang diri ia harus menghadapi dua dara
yang bisa bekerja sama dengan baik, terpaksa ia tarik kembali
kebutnya yang hendak disabetkan pada Pang Ing tadi.
Sebagaimana diketahui pada waktu kecil, Pang Lin
bertempat tinggal di istana pangeran, ia mahir ilmu silat dari
berbagai golongan, ia tahu pula ilmu mengebut Hiat-to dari
Lamma Merah Tibet, ditambah paling akhir ini ia telah
mendapatkan ajaran asli Bu-kekpay, kepandaiannya sudah
jauh lebih maju, oleh sebab im menjadi sangat lihai hingga
mau tak mau Emopu rada jeri juga pada anak dara ini, lebihlebih
dara ini tahu rahasia tempat kelemahannya.
Mengenai Lu Si-nio, sesudah ia melompat keluar dari loteng
'Cong-im-kok' tadi, waktu melirik, ia lihat Emopu lagi
menempur kedua dara kembar dengan sama kuat, maka ia
tidak ambil peduli sementara padanya. Sebaliknya ia memutar
pedangnya dengan cepat terus menerjang ke arah kawanan
bayangkara. "Lekas terjang keluar, Yong Ceng kaisar anjing itu sudah
kabur!" demikian ia meneriaki para kawannya.
"Kam-tayhiap di ... di sahut Hiau-lan dengan kuatir atas
keselamatan Kam Hong-ti. "Chit-ko sudah tak kelihatan lagi, biarlah hitung-hitung kita.
telah terjungkal hari ini," kata Si-nio lagi.
Dalam pada itu Hi Kak menjadi murka juga, kini ia sudah
berhasil merebut sebatang tombak, ia mendahului menerjang
maju. "Baiklah, kita bunuh saja kawanan anjing ini, ada satu
bunuh satu, ada dua bereskan dua, kita balaskan sakit hati
Kam-tayhiap," teriaknya.
"Ilmu silat Chit-ko cukup tinggi, orangnya sangat cerdik
pula, belum tentu ia mengalami malapetaka, kita jangan
bertahan lebih lama di sini, paling perlu terjang keluar dulu,"
ajak Si-nio. Waktu ia bicara, tangannya tidak pernah kendur, dimana
senjatanya sampai, di situ pengawal istana segera terputus
kaki tangan-' nya atau kepala pecah dan darah muncrat.
Han Tiong-san menjadi gusar, ia melompat maju, senjata
garuknya dengan tipu 'Thay-san-ap-teng' (gunung Thay
menindih ke atas kepala), sekonyong-konyong membacok
kepala Lu Si-nio. Tetapi Si-nio menyambut serangan ini dengan tertawa
dingin, waktu pedangnya menangkis, tahu-tahu garuk Han
Tiong-san ditekan ke samping, Si-nio tidak ganti serangan lain,
hanya sedikit memutar, pedangnya segera mengancam musuh
lagi. "Celaka!" teriak Haptoh ketika melihat betapa lihainya Lu
Si-nio. Lekas ia ayun gembolannya menimpuk dari jauh.
Tak terduga gerak tubuh Lu Si-nio luar biasa cepatnya,
kelihatannya sepasang gembolan Haptoh sudah menyambar
sampai di atas kepala nona ini, namun entah mengapa tahutahu
dia Sudah berkelit pergi, bahkan balikkan pedangnya
membabat pula, tiba-tiba terdengar suara "krak", dua jari
tangan Han Tiong-san putus ter-papas, bahkan garukannya
ikut mencelat dari cekalannya dan secara kebetulan menimpuk
seorang jago pengawal hingga pengawal sial ini terbabat
putus menjadi dua tepat di pinggangnya.
Kaget sekali Haptoh, ia putar tubuh terus mundur paling
dulu, susul-menyusul Thian-yap Sanjin menghantam dengan
dua tangan, ia tangkis dua kali serangan orang, lalu dengan
cepat melindungi sang Suheng buat kabur juga.
Sebenarnya kepandaian Han Tiong-san sudah tergolong
kelas wahid, tetapi ia tidak tahu bahwa selama beberapa
tahun ini Si-nio telah menggembleng diri dengan giat di atas
Bin-san, bukan Kiam-hoat saja yang maju, soal Lwekang juga
sudah di atas puncak kesempurnaan pula, dibandingkan Han
Tiong-san kini tidak hanya lebih tinggi setingkat saja.
Sebaliknya Han Tiong-san mengira lawannya masih seperti
dahulu, karena salah perhitungan inilah ia menjadi lengah,
sebenarnya ia masih sanggup bertahan beberapa puluh jurus,
kini sebaliknya hanya tiga gebrakan saja sudah kena dilukai Lu
Si-nio. Haptoh, Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin sudah lari,
kawanan bayangkara itupun tidak berani mengejar musuh,
maka dengan leluasa Pang Ing dan Pang Lin bisa menerjang
keluar bersama kawan-kawannya, tinggal Emopu sendirian, ia
pun tak berani sembarang mengudak, ia memberi tanda agar
bawahannya menolong kawan yang terluka atau terbinasa,
sedang ia sendiri cepat masuk istana untuk menghadap kaisar.
Waktu itu, Yong Ceng sudah bersembunyi di kamar rahasia
dalam istananya. Kiranya Yong Ceng telah mengadakan penjagaan yang
rapat sekali, sudah lama ia atur pesawat rahasia di loteng
'Cong-im-kok', bahkan ia menggali lorong bawah tanah yang
bisa menembus sampai di luar istana, sebelumnya Emopu juga
sudah diperintahkan bersembunyi di dalam. Ketika Kam Hongti
tanpa pikir mengudak masuk, segera ia terpedaya, Yong
Ceng sendiri sudah kabur melalui jalan bawah tanah.
Begitulah sesudah Emopu menghadap Yong Ceng di kamar
rahasianya, ia berlutut minta ampun.
"Kau berjasa telah menolong Baginda, mana kau -ada dosa,
yang harus disesalkan ialah In Ing si binatang ini, berani
mempe-dayai aku," demikian kata Yong Ceng.
"Pangeran kecil mungkin tidak sengaja," ujar Emopu.
"Peduli dia sengaja atau tidak, dia harus dihukum yang
setimpal," kata Yong Ceng. "Dan kau sekarang lekas
perintahkan orang yang pandai renang agar menyelam ke
dasar sungai di taman, coba periksa Kam Hong-ti mampus
tidak di dalam sungai."
"Dia terluka oleh panah dan merasakan pukulan hamba
pula, lalu terjungkir ke dalam sungai, hawa begini dingin dan
air seakan membeku seperti es, sekalipun tidak mati, susah
juga hendak menggunakan Lwekang buat menahan rasa
dingin, mungkin dia akan mati beku," sahut Emopu.
"Meskipun begitu, kalau belum melihat mayatnya, rasanya
belum lega," ujar Yong Ceng kurang mantap.
"Baiklah. Apa Hongsiang ada perintah lain?" tanya Emopu.
Yong Ceng berpikir sejenak, habis im ia berkata, "Tidak
peduli diketemukan atau tidak, kau boleh menyebarkan berita
sensasi ke seluruh kota, bilang saja Kam Hong-ti sudah kita
tangkap. Rahasia ini jangan sampai bocor, jagalah baik-baik!"
Emopu menjadi bingung, ia tidak mengerti apa maksud
perintah ini, namun tak berani bertanya, ia terima titah itu dan
keluar dari istana. Sesudah geger itu, besoknya Yong Ceng perintahkan
seluruh kota terlarang digeledah, berbareng ia atur penjagaan
lebih ketat di istana, setelah ribut-ribut sehari, tiada seorang
pun yang tertangkap, kecuali beberapa rakyat jelata yang
dituduh mencurigakan, sedang mayat Kam Hong-ti tidak
berhasil ditemukan. Yong Ceng merasa heran. Petangnya tiba-tiba seorang
dayang kepercayaannya melapor bahwa Kau Sam-pian mohon
menghadap Hongsiang. Kau Sam-pian adalah bekas pengawal tua yang sudah
berontak keluar istana, kini dilaporkan hendak bertemu
Hongsiang, Emopu yang mendampingi junjungannya menjadi
kaget. "Bawa dia masuk," kata Yong Ceng.
"Mungkin di balik ini ada tipu muslihat," ujar Emopu.
"Justru aku ingin mempedayai dia sekalian, aku tidak takut
pada muslihatnya," sahut Yong Ceng tertawa. Lalu ia bertanya
pada dayangnya, "Cara bagaimana ia datang ke sini?"
"Kedua tangannya teringkus, ia telah menemui Congkoan
dan bilang ada urusan penting maha rahasia yang harus
dikatakan sendiri pada Hongsiang," tutur si dayang. "Dia
masih membawa pula seorang berkedok, ia bilang urusan
rahasia itu berada pada orang itu. Karena Congkoan tak berani
memutuskan, maka minta keputusan Hongsiang."
"Ha, bagus, bawa masuk semua!" seru Yong Ceng dengan
tertawa. Tidak lama kemudian Kau Sam-pian dan kawannya yang
memakai kedok telah dibawa masuk.
"Kau Sam-pian, masih berani kau datang menghadap
padaku?" demikian segera Yong Ceng membentak dengan
bengis. "Ya, hamba sudah insaf akan dosa hamba, maka sengaja
datang menghaturkan jasa sebagai penebusan dosaku," jawab
Kau Sam-pian sambil menjura.
"Bagus, bagus sekali!" kata Yong Ceng tertawa. "Memang
kalau kau sudah menyesal, tentu aku berikan jalan padamu
untuk memperbaiki dirimu, nah, apa urusannya, katakanlah
sekarang!" "Harap Hongsiang singkirkan para penjaga dulu," kata Kau
Sam-pian. "Haha, Kau Sam-pian, apa kau kira aku anak kecil?" sahut
Yong Ceng dengan tertawa.
"Jika Hongsiang masih curiga, silakanlah Pi-pe-kut hamba
dibikin patah," kata Sam-pian pula.
"Hm, kau cukup gampang juga, tetapi aku tak perlu
merusak tulang pundakmu, supaya kau tidak menjadi cacat,"
sahut Yong Ceng. "Emopu, kau musnahkan saja ilmu silat
kedua orang ini!" Dengan sekali menyahut, Emopu keluarkan sebuah jarum
panjang putih mengkilap, tanpa bicara lagi mendadak ia tusuk
tubuh Kau Sam-pian dan orang berkedok itu masing-masing
tiga kali, menyusul dengan kedua tangan ia remas pula
pinggang kedua orang ini, karena tindakan ini, saking sakitnya
Kau Sam-pian terhuyung-huyung hampir jatuh, sedang orang
berkedok itupun sempoyongan, dari jidat mereka berdua
lantas mengeluarkan butiran keringat yang besar, suatu tanda
penderitaan yang mereka rasakan.
"Nah, meski untuk sementara kalian merasa menderita,
tetapi dapat terhindar juga dari cacat, selanjutnya kalian akan
seperti orang biasa dan boleh hidup dengan aman, coba
katakan, bukankah cukup aku bermurah hati," dengan
tersenyum Yong Ceng berkata lagi.
"Hamba menghaturkan terima kasih," sahut Kau Sam-pian
menjura pula. "Baiklah, sekarang kau boleh keluar, Emopu," lalu Yong
Ceng memberi tanda pada pengawalnya ini.
Begitulah Emopu lantas mengundurkan diri keluar kamar.
Seperti diketahui Emopu memiliki kepandaian khas, yakni
bisa menggunakan jarum perak menusuk urat nadi orang
mesti teraling oleh baju, jika kena tusuk, tenaga Lwekang
yang terlatih seketika buyar, dengan demikian betapapun
tinggi ilmu silat sang korban, seketika akan termusnah
seluruhnya. Tetapi karena Emopu sudah berpengalaman
dipedaya oleh Pang Ing dahulu yang memakai lapisan kaos
kutang yang tebal, maka sesudah dia tusuk Kau Sam-pian dan
kawannya, ia tambahi sekali remas di pinggang mereka,
dengan cara ini jika orang masih memiliki ilmu silat, otomatis
akan memberi reaksi, tetapi setelah dia coba, ternyata
sedikitpun tiada tenaga lagi, maka dengan lega baru ia berani
meninggalkan junjungannya.
"Nah, katakan sekarang, urusan rahasia apa yang hendak


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau laporkan?" segera Yong Ceng bertanya sesudah Emopu
keluar. ."Rahasia im berada pada orang ini," sahut Kau Sampian.
Berbareng ini ia tarik dan singkap kedok yang dipakai
orang im. "Apa Hongsiang masih kenal padanya?" Sam-pian bertanya.
"Haha, aku kira siapa, tak tahunya kau, Teng Hiau-lan,
haha, kita adalah sahabat lama!" kata Yong Ceng dengan
tertawa demi mengenali siapa orang berkedok ini.
"Apa Hongsiang mengetahui asal-usul Teng Hiau-lan?" tibatiba
Sam-pian bertanya lagi. Karena pertanyaan ini, kembali Yong Ceng tersenyum.
"Kenapa tidak tahu?" sahutnya kemudian. "Hiau-lan,
memang kita tidak terbatas sebagai sahabat lama saja,
bahkan masih saudara sedarah sedaging, jika kau sudah tahu
asal-usul diri sendiri, hendaklah kau tinggal dalam istana saja
dan jangan bergaul lagi dengan segala orang di luar."
Mendengar orang sudah tahu asal-usulnya, seketika Hiaulan
dan Kau Sam-pian berbalik kaget, seketika mereka tak bisa
bicara. Kiranya sesudah Khong-hi wafat, dari penggeledahan yang
dilakukan Yong Ceng, ia dapatkan buku catatan sang ayah
waktu sakit, dia telah mencatat kejadian pertemuannya
dengan Teng Hiau-lan serta menyatakan rada terkenang pada
putranya yang tak resmi ini, ia anggap di antara belasan
putranya, boleh dikata putra yang tak resmi inilah yang
memiliki bakat dan kepribadian yang paling baik.
Karena itulah Yong Ceng dengki pada Teng Hiau-lan, kini ia
pikir akan memancing pengakuan pemuda ini dengan
bujukannya. Dalam pada itu dengan mengertak gigi Teng Hiau-lan
lantas mencaci-maki Kau Sam-pian! "Bangsat tua she Kau, kau
menipu aku ke dalam istana, sungguh aku penasaran tidak
bisa makan daging dan mengertak tulangmu!"
"Apakah betul kau condong keluar?" dengan tersenyum
Yong Ceng bertanya. "Paling betul katakanlah bangsa Han
yang membikin geger itu bersembunyi dimana, begitu kau
mengaku, segera aku akui kau sebagai adik dan memberi
gelar pangeran padamu."
Tetapi Hiau-lan hanya bungkam saja tanpa menjawab.
"Di jagat sekarang ini, siapa yang berani membantah
perintahku, apa kau ingin mengetahui nasib In Tong dan In
Go serta kawan-kawan" Meski mereka bisa kabur dari istana,
tetapi sesudah ditangkap kembali, kini mereka sudah hancurlebur
menjadi abu," kata Yong Ceng setengah menggertak. "Dalam istana selalu siap
dengan segala alat penyiksa, apa kau pun ingin merasakan
seperti mereka?" segera ia berseru memanggil, "Emopu,
siapkan perkakasnya!"
Sesudah ini, segera pula ia lembutkan lagu suaranya,
dengan tersenyum, ia menyambung lagi, "Nah, kau boleh
ambil keputusan, gelar pangeran atau disiksa oleh garangan
api, boleh kau pilih!"
Karena im kelihatan Teng Hiau-lan menunduk seperti lagi
berpikir, setelah lama dan lama sekali baru kemudian ia
mendongak. "Baiklah, aku mengaku saja," katanya kemudian, "di sini
ada selembar daftar nama, biarlah aku serahkan padamu."
Yong Ceng menjadi girang melihat orang menyerah oleh
gertakannya, ia melangkah maju hendak menerima daftar
nama yang dimaksud. "Mana!" katanya sambil mengulur tangan. "Serahkan sini!"
Di luar dugaan, secepat kilat Teng Hiau-lan membaliki
tangannya yang diulurkan pada orang, sekali cekal ia dapat
memegang pergelangan tangan Yong Ceng.
Yong Ceng tidak malu sebagai bekas anak murid Siau-limsi,
segera sebelah kakinya menyapu, ia keluarkan tendangan
Siau-lim-si yang lihai mengarah selangkangan orang, jika
terkena tendangannya ini kalau tidak tewas, sedikitnya Hiaulan
akan luka parah. Tetapi pada saat im juga Kau Sam-pian menubruk maju
juga, karena itu tendangan tadi bukannya mengenai Teng
Hiau-lan, sebaliknya kena kepala Kau Sam-pian hingga
seketika pecah dan remuk, bekas jago bayangkara tua ini
binasa di bawah tendangan Yong Ceng.
Sebaliknya karena rintangan ini, dengan cepat luar biasa
Teng Hiau-lan keburu mengulur jari menutuk, baru saja Yong
Ceng mengangkat sebelah kakinya hendak menendang lagi,
kakinya sudah terasa lemas tanpa tenaga.
Kiranya apa yang dijalankan Kau Sam-pian bersama Teng
Hiau-lan ini adalah tipu muslihat menyiksa diri untuk
memperoleh kepercayaan Yong Ceng. Sebab berita yang
sengaja disiarkan Yong Ceng tentang Kam Hong-ti im, Kau
Sam-pian mengira pendekar besar im benar-benar tertawan.
Sesudah berunding, karena tiada jalan lagi buat menolong,
akhirnya Kau Sam-pian mengusulkan tipu muslihatnya tadi, ia
masuk istana dengan segala resikonya, tetapi berusaha
mempedayai Kaisar Yong Ceng.
Teng Hiau-lan sendiri sudah mengenakan kaos kutang
benang emas yang dia pinjam dari Pang Ing, meski dia
terkena tusukan jarum Emopu, tetapi segera ia gunakan
Lwekang yang tinggi ajaran le Lan-cu untuk melindungi diri, ia
sengaja menggunakan tenaga dalam pula untuk memaksa
keringatnya menetes keluar. Betul juga, Emopu dan Yong
Ceng yang biasanya sangat cerdik kena dikelabui. Sedang Kau
Sam-pian sendiri betul-betul telah kehilangan ilmu silatnya
karena tusukan jarum Emopu itu, dengan mati-matian ia
menubruk maju dan berkorban demi Teng Hiau-lan.
Saling gebrak tadi terjadi begitu cepat dan dalam waktu
singkat, maka ketika Emopu menerjang masuk kembali, ia
lihat Yong Ceng sudah ditawan Hiau-lan dan tak bisa berkutik.
Keruan bukan kepalang kaget Emopu, ia lihat Pokiam Teng
Hiau-lan sudah ditumpangkan di atas leher Yong Ceng, dalam
keadaan terpaksa, mau tak mau ia menjadi kuatir dan keder.
Sebaliknya meski jiwanya terancam, Yong Ceng malah bisa
berlaku tenang, ia tidak menjadi ketakutan, malah bergelak
tertawa. "Haha, Teng Hiau-lan, kau harus dipuji!" demikian katanya.
"Memang aku sudah menduga kalian menggunakan tipu
muslihat, tapi sama sekali tidak menduga kau akan memakai
benda mestika untuk melindungi tubuhmu. Sudahlah, aku
mengaku kalah, katakan saja sekarang, apa yang kau
kehendaki?" "Serahkan Kam-tayhiap!" seru Hiau-lan dengan nyaring.
"Bagus, dengan jiwaku untuk menukar jiwa Kam Hong-ti,
transaksi ini cukup berharga," sahut Yong Ceng. "Nah, Emopu,
lepaskan Kam Hong-ti dan_serahkan dia padanya di sini." i
Emopu menyahut sekali, betul saja tidak antara lama, ia
telah membawa satu orang yang kepalanya diikat rapat
dengan ubel-ubel kain biru, hanya setengah mukanya yang
masih kelihatan. "Kam Hong-ti menderita luka parah kena panah, pula
banyak meneguk air sungai, sebenarnya ia harus beristirahat
dengan baik," ujar Emopu. "Tetapi kau ingin membawanya
pergi, terserahlah, kalau ada apa-apa, jangan kau salahkan
aku tidak memberitahukan padamu sebelumnya."
Waktu Hiau-lan menegasi di bawah sorot pelita yang
remang-remang, ia lihat perawakan orang itu sedikit pendek,
meski terluka, tetapi kedua matanya bersinar tajam, memang
betul Kam Hong-ti adanya.
"Kam-toako!" ia coba memanggil.
"Ehm, Teng-hiante," terdengar orang itu menyahut, cuma
suaranya kedengaran rada serak dan lemah.
Pikir Hiau-lan tentu Kam Hong-ti menderita luka, pula
banyak minum air dingin, pantas ia begitu tersiksa hingga
suaranya lemah. Sebenarnya ia ingin maju buat memeriksa luka Kam Hongti,
tetapi ia kuatir kesempatan im akan membikin Yong Ceng
kabur, maka sesudah ia berpikir sejenak, lalu ia berkata,
"Sekarang kau harus mengantar kami keluar istana, harus
keluar melalui pintu gerbang Sin-bu-mui yang menghadap
bukit Keng-san. Begitu kami keluar, segera pula aku bebaskan
kau." "Apa yang kau katakan ini apa akan ditaati mereka?" sahut
Yong Ceng. "Di luar Sin-bu-mui tentu orangmu sedang
menunggu dan mereka tentu akan mendapatkan diriku, apa
kau bisa mengambil keputusan buat mereka?"
Kata-kata ini membikin Hiau-lan menjadi gusar.
"Hm, tidak nanti kami berlaku rendah seperti kau yang
selamanya suka menipu dan pandai berdusta, sebagai jantan
sejati, tidak nanti aku ingkar janji!"
"Bagus kata-katamu," sambung Yong Ceng dengan
tertawa. "Aku pun pernah berkelana di Kangouw, baiklah kita
selesaikan menurut peraturan Kangouw."
"Suruh seorang dayangmu memayang Kam-tayhiap
berjalan di depan, Emopu tidak boleh berada di sekitarnya,"
kata Hiau-lan. lagi. "Kau ini sungguh banyak curiga," sahut Yong Ceng tertawa.
Lalu ia kedipi matanya pada jago pengawalnya dan berkata,
"Emopu sementara kau menyingkir dulu."
"Hm, jangan sekali-kali kau coba bermain sandiwara, jika
kau perintahkan Emopu menggerebek keluar pintu gerbang
Sin-bu-mui dan mencelakai kawanku, jangan kau menyesal
kalau pedangku tidak kenal ampun," ancam Hiau-lan.
"Aku sudah berada di bawah ancamanmu, sebenarnya kau
pun tidak perlu banyak curiga lagi," dengan dingin Yong Ceng
menjawab, ia tetap berlaku tenang tanpa gentar.
Kemudian 'Kam Hong-ti' dipayang seorang dayang dan
berjalan di depan, sedang Teng Hiau-lan masih terus
menumpangkan pedang di atas leher Yong Ceng, sedikitpun
dia tidak kendurkan tawanannya ini, sepanjang jalan memang
tiada rintangan apa-apa, maka tidak lama sampailah mereka
di pintu gerbang Sin-bu-mui.
Di tengah jalan pernah juga 'Kam Hong-ti' menoleh
memandang Teng Hiau-lan, dari sinar matanya tertampak
penuh mengandung rasa terima kasih pada pemuda ini, tetapi
ia tidak buka suara, melainkan hanya mengangguk-angguk
saja. "Kam-toako, apa kau masih sanggup jalan?" tanya Hiau-lan
setelah sampai di Sin-bu-mui.
Namun 'Kam Hong-ti" tidak menjawab, melainkan
mengibaskan tangannya hingga dayang yang memegang
lengannya itu kena disengkelit pergi hingga terjungkal.
"Sungguh hebat, meski Kam-toako terluka, tetapi tenagamu
tidak menjadi berkurang," demikian "Hiau-lan kegirangan
melihai gerak tangan 'Kam Hong-ti' tadi. "Marilah Toako, kau
berpegangan pundakku, di sana Lu-cici sedang menunggu,
setelah keluar pintu gerbang ini, tentu dia akan datang
menyambut kita." "Apa masih perlu kuantar tidak?" tanya Yong Ceng.
"Ya, sampai di luar pintu," sahut Hiau-lan.
Sementara itu "Kam Hong-ti' sudah memutar tubuh dan
dengan perlahan mendekati Teng Hiau-lan, dengan kedua
tangan ia hendak berpegangan di pundak pemuda ini.
Hiau-lan terharu oleh keadaan kawan ini, ia memapakinya
dan selagi ia hendak buka suara menghibur, sekonyongkonyong
terasa olehnya pundaknya kesakitan, pergelangan
tangan yang memegang pedang kena ditarik oleh "Kam Hongti".
"He, Kam-toako, apa yang kau lakukan?" seru Hiau-lan
terkejut. "Siapa kau punya Toako?" bagai guntur orang itu
membentak. Berbareng sebelah tangannya mencengkeram
pundak orang dan sebelah tangan lain menekuk tangannya.
Di antara suara tertawanya, Yong Ceng sudah berhasil
melepaskan diri juga, kiranya pada waktu orang itu mendekati
Hiau-lan dan menyenggol Yong Ceng, dengan sikunya ia
tumbuk Hiat-to Yong Ceng dan segera bisa bergerak lagi.
Mana bisa orang ini adalah Kam Hong-ti, ia bukan lain
daripada jago pengawal istana saja, cuma perawakannya
hampir mirip Kam Hong-ti, maka Yong Ceng menggunakan dia
untuk menyamar, hal ini adalah tipu yang sudah disiapkan
sebelumnya, karena tidak sempat meneliti, maka Teng Hiaulan
kena dikibuli. Beruntung pengawal ini bukan jago kelas satu, maka
walaupun Teng Hiau-lan kena dicengkeram pundak dan
tangannya tanpa terduga, masih dapat juga ia meronta
melepaskan diri. "Lekas tutup pintu gerbang!" segera terdengar Yong Ceng
berteriak setelah dirinya lolos.
Dalam pada itu Emopu, Han Tiong-san dan Haptoh lantas
melompat keluar dari tempat persembunyian mereka, kiranya
sudah lama mereka menunggu di sini.
Di lain pihak Teng Hiau-lan telah merangkul orang tadi
terus menggelundung ke tanah, dengan tipu gerakan yang
lihai akhirnya ia berhasil melepaskan diri dari gumulan orang,
begitu ia mengayun Pokiamnya, segera Kam Hong-ti palsu itu
kena ditabas kutung menjadi dua.
Saat lain ia lihat Haptoh telah menubruk datang dengan
senjata gembolannya yang diputar, sedang Sin-bu-mui pelanpelan
telah menutup pula, pintu gerbang ini terbuat dari besi,
temboknya tinggi pula, pundak Teng Hiau-lan sudah terluka
oleh cengkeraman orang tadi, maka susah hendak
menggunakan Ginkang seperti biasanya, karena im beberapa
kali ia melompat ke atas, tapi selalu gagal.
Karena tiada harapan lagi, tampaknya Teng Hiau-lan
menjadi kalap, ia tidak menghiraukan jiwanya lagi, ia berputar
kembali terus memapaki musuh.
Namun segera terdengar suara jeritan, rupanya orang yang
sedang menutup pintu gerbang tadi telah terkena senjata
rahasia dan jatuh terguling, karena itu, lekas Emopu dan Han
Tiong-san melompat ke atas tembok benteng.
Pada saat itu juga terdengar suara suitan nyaring, Lu Si-nio
beserta si kembar Pang Ing dan Pang Lin telah melompat ke
atas tembok benteng dari luar, sebaliknya Kwantang-si-hiap
menerjang masuk melalui pintu benteng.
"Lekas turunkan pintu air," seru Emopu dan kebutnya
menangkis pedang Lu Si-nio yang telah menyerang.
Dengan tangan kiri memegang senjata garuk buat
melindungi diri, dengan sebelah tangan yang lain Han Tiongsan
menekan pintu air gerbang itu ke bawah. Namun


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ICwantang-si-hiap sudah keburu menerobos masuk ke dalam,
begitu pula Pang Ing dan Pang Lin sudah melayang sampai di
samping Teng Hiau-lan. Tetapi seketika juga di atas tembok benteng itu
memuntahkan panah seperti hujan, pengawal yang
bersembunyi di sekitar situ berduyun-duyun membanjir
datang, yang paling lihai adalah bumbung yang
menyemburkan'api, begitu tutup bumbung dibuka, dari
dalamnya lantas menyemprot keluar api terus membakar apa
saja yang terjilat. Di bawah hujan panah dan serangan api ini, semua orang
menjadi kerepotan dan berbahaya.
"Bisakah kau melompat keluar?" Pang Ing bertanya pada
Hiau-lan. Tetapi pemuda ini menggeleng kepala.
Dalam pada itu pintu air yang ditekan Han Tiong-san dari
atas lambat-laun sudah hampir menutup rapat ke bawah, di
atas tembok benteng berdiri tukang panah pula, di antara
Kwantang-si-hiap kecuali Hian-hong Totiang dan Liu Sian-gai,
dua lainnya lebih rendah ilmu entengi tubuhnya, dapat diduga
tidak akan sanggup meloloskan diri dengan melintasi tembok
benteng. Waktu Lu Si-nio mempercepat pedangnya, ia desak Emopu
sedemikian rupa hingga hanya sanggup menangkis saja,
sedang Pang Lin mengayun tangannya, sekaligus tiga pisau
terbang mengarah Han Tiong-san.
Han Tiong-san terhitung ahli Am-gi, ia lihat tiga pisau
terbang itu sangat lihai, terpaksa ia tarik tangannya buat
menangkap pisau orang. Kesempatan ini segera digunakan Tan Goan-pa untuk
melompat ke bawah pintu air gerbang, ia angkat pintu besi ini
dengan sepenuh tenaga, maka perlahan-lahan pintu bergerak
ke atas, Tan Goan-pa bergelar 'Tan-ciang-khay-pi' atau satu
tangan membelah pilar, suatu tanda betapa kuat tenaganya,
maka meski pintu air itu beratnya ribuan Kati, akhirnya kena
disanggah naik dengan perlahan.
Kesempatan ini tidak disia-siakan kawannya, Hian-hong Totiang
dan Pang Ing, Long-goat Siansu serta yang lain, setelah
mendesak mundur lawannya, lalu beramai kabur keluar. Pang
Lin sendiri tidak pernah menghentikan tangannya hingga Han
Tiong-san dibikin sibuk tidak sempat menekan pintu air ke
bawah. Namun Hui-to yang dibawa Pang Lin terbatas 24 bilah saja,
ketika Hiau-lan dan Pang Ing yang jalan paling belakang
sampai di pinggir pintu gerbang, Hui-to yang dibawa Pang Lin
sudah habis digunakan. Melihat musuh sudah kehabisan senjata, Han Tiong-san
tertawa ngikik aneh, lalu ia ayun tangan, sekali ini gilirannya
melepas senjata, dua buah 'Hwe-goan-kau' yang membawa
suara mengaung berbareng menyambar. Pada saat lain,
sepenuh tenaga Han Tiong-san kembali menekan pintu air ke
bawah. "Lekas mundur keluar!" seru Tan Goan-pa dengan otot biru
menonjol di keningnya, suatu tanda betapa ia memaksa
keluarkan tenaga buat bertahan.
Segera Pang Ing dan Hiau-lan memutar pedang mereka
berbareng, dua 'Hwe-goan-kau' Han Tiong-san kena digunting
oleh kedua pedang ini menjadi empat keping. Menyusul kedua
muda-mudi ini lantas melayang lewat di samping Tan Goanpa.
Sedetik kemudian terdengar jeritan ngeri, ketika Hiau-lan
menoleh, ia lihat Lu Si-nio sudah berlari sampai di
belakangnya dengan sebelah tangan mencangking sebuah
kepala orang. "Lekas pergi, lekas pergi!" seru Lu Si-nio berulang-ulang.
Begitulah maka dengan cepat mereka melintasi bukit
Kengsan dan keluar kotaraja, di bawah cahaya bintang
remang-remang mereka sampai di tanah tinggi di Se-san, di
sini mereka berhenti mengaso, kemudian baru mereka tahu
kepala orang yang dibawa Lu Si-nio tadi adalah kepala Han
Tiong-san. Di samping lain Hian-hong sedang ketok-ketok batu dengan
tongkatnya, air matanya berlinang, Lu Si-nio sendiri pun
kelihatan muram. "Kasihan Si-te (adik keempat), meski keparat she Han ini
terbunuh, namun rasanya aku belum rela," kata Liu Sian-gai
dengan menangis. "Ya, salahku karena aku datang terlambat," ujar Lu Si-nio.
"Kalau aku tidak terluka, tidak nanti Tan-toako
memaksakan diri menyanggah pintu seberat ribuan kati itu,"
Hiau-lan berkata dengan penuh penyesalan.
"Kematian Si-te tidak sia-sia, namanya sebagai pendekar
yang perkasa," ujar Long-goat Siansu. "Kita berjuang melawan
pemerintah Boan-jing, soal korban jiwa itu tak dapat dihindari,
paling penting sekarang kita harus mencari jalan buat
membalaskan sakit hatinya."
Kiranya meski Tan Goan-pa dilahirkan memiliki tenaga
raksasa, tetapi dengan ditekan Han Tiong-san dari atas,
akhirnya ia tidak tahan, maka pada saat Hiau-lan dan Pang
Ing melayang keluar, ia kena dipotong menjadi dua oleh pintu
air yang anjlok ke bawah. Meski dengan mati-matian Lu Si-nio
mendesak mundur Emopu dan memburu datang buat
menolong, tetapi sudah terlambat, ia hanya berhasil menabas
kepala Han Tiong-san. "Bangsat Yong Ceng ini sungguh keji dan licik, Tan-toako
menjadi.korban di bawah tipunya, Kam-tayhiap tidak diketahui
pula mati-hidupnya, sakit hati ini entah kapan baru bisa
dibalas," kata Teng Hiau-lan.
Sementara itu Lu Si-nio sudah mengusap air matanya,
mendadak ia bersuit panjang ke angkasa, lalu dari kejauhan di
bukit sana terdengar suara sahutan anak panah tiga kali,
sekali panjang dan dua kali pendek.
Hiau-lan mengetahui itu adalah tanda rahasia untuk
berhubungan di antara saudara seperguruan Lu Si-nio. Maka
ia lantas bertanya, "Apa Pek Thay-koan ada di sekitar sini?"
"Mereka semua berada di sini," sahut Si-nio. "Petang
kemarin Chit-ko sudah kembali dengan selamat, meski tidak
enteng lukanya, tetapi tidak berbahaya baginya."
"Apa betul?" Hiau-lan melonjak kegirangan dari dukanya
tadi. Ia tidak habis mengerti cara bagaimana Kam Hong-ti bisa
menyelamatkan uiri, padahal dengan mata kepala sendiri ia
saksikan Kam Hong-ti tercebur sungai setelah dipedaya dan
dipukul Emopu dari tempat persembunyiannya.
"Lihatlah sendiri," kata Si-nio kemudian sambil menunduk.
Maka tertampaklah di antara rumput alang-alang yang
tinggi lebat sana, ada beberapa orang yang bersembunyi di
dalamnya, siapa lagi mereka kalau bukan Kam Hong-ti, Pek
Thay-koan dan lain-lain. Kemudian setelah berkumpul dan mendengarkan
percakapan mereka, barulah Teng Hiau-lan mengetahui
kejadiannya. Kiranya Kam Hong-ti banyak pengalaman, ia sangat cerdik
dan berlaku hati-hati sekali, hari im begitu melompat ke atas
loteng, segera ia memukul ambrol pojok tembok loteng im,
meski demikian tidak urung ia kena dilukai beberapa anak
panah yang telah dipasang, ditambah pula ia dihantam sekali
dari belakang oleh Emopu yang bersembunyi di sim.
"Pukulan Emopu sungguh tidak enteng," demikian tutur
Kam Hong-ti. "Setelah aku merasakan pukulannya, aku
merasa pandanganku menjadi gelap, hampir aku jatuh
semaput, setelah aku kecebur masuk sungai, karena air sungai
yang dingin, berbalik pikiranku menjadi jernih. Syukur tiada
orang yang mengejar. Aku hidup di daerah Kanglam yang
banyak terdapat sungai, sebenarnya aku pandai berenang,
tetapi miang punggungku seperti hendak retak oleh hantaman
Emopu, tiada tenaga untuk berenang, rupanya jiwaku
memang belum tiba ajalnya, aku membawa sepotong Jinsom
pemberian Ling-sian dahulu dan kebetulan bisa dipakai,
setelah mengunyah sepotong Jingsom, sekalian aku
bersembunyi di semak yang cetek airnya, aku jalankan
pernafasan dan mengumpulkan tenaga untuk merawat luka.
Lewat satu jam, meski tenaga belum pulih seluruhnya, sudah
cukup kuat untuk berenang."
"Apa sungai itu ada saluran air yang menembus keluar?"
tanya Hiau-lan. "Berkat pertolongan seorang dayang," tutur Hong-ti.
"Sebenarnya aku bermaksud menyelam keluar, tetapi sampai
di bagian luar aku melihat di dasar sungai penuh terpasang
berlapis-lapis jaring kawat, aku tahu tentu di dalamnya
dipasang alat rahasia, maka aku tak berani menyentuhnya.
Dan selagi aku kuatir, tiba-tiba aku lihat satu mayat sedang
terapung mendatangi. Aku lihat mayat seorang Kiongli yang
usianya sudah tua, aku menyangka dia terpeleset dan
terhanyut, maka aku lantas mengangkatnya ke atas, aku
memijat dan membantu pernapasannya, akhirnya dia bisa
sadar, semula ia menyangka aku adalah bayangkara dalam
istana, ia ketakutan, ia malah minta ampun padaku, tetapi aku
lantas menerangkan diriku padanya dan suruh dia jangan
takut. Waktu aku tanya dia sebab apa jatuh ke sungai, kiranya
sudah lebih dua puluh tahun berada di istana, sekali saja dia
belum pernah bertemu dengan kaisar."
"Kiongli ini sudah lebih empat puluh umurnya," sambung
Hong-ti lagi, menurut peraturan istana, sudah lama
seharusnya dia dibebaskan pulang ke rumah dan dia bisa
memilih jodoh sendiri, tetapi ia tak punya uang untuk
menyogok Thaykam atasannya, karena itu tiada orang yang
menggubris padanya, ia tetap tersekap dalam istana, karena
tidak tahan oleh siksaan di dalam istana, maka ia
menceburkan diri ke sungai. Ketika aku tanya dia apa tiada
jalan lain buat keluar, tiba-tiba ia ingat pada dua puluhan
tahun yang lalu di kala dia masih muda jelita, pernah ia
bersahabat baik dengan seorang Thaykam cilik. Karena
Thaykam cilik ini bertugas membikin bersih saluran sungai
dalam kota terlarang, maka Thaykam itu pernah memberitahu
padanya bahwa pada sungai istana itu terdapat sebuah lubang
peranti memasukkan air jernih dari luar, di bawah lubang ini
tidak dipasang jala kawat, hanya ada pintu air yang bisa
dibuka dan ditutup, karena tiap hari pintu air mesti dibuka
sekali, maka diam-diam mereka pernah mengeluyur pesiar
keluar istana, cuma ia tak tahu apa lubang im masih tetap
begitu atau tidak. Aku lantas coba'memeriksa pintu air yang
dikatakannya itu, betul juga pintu air im dibuka dan ditutup
saban hari menurut waktu yang ditentukan, maka sesudah
kami bersembunyi dan menunggu waktu pintu air dibuka,
kami lantas lari keluar pada pagi hari, setelah aku memberikan
sedikit uang pada Kiongli itu supaya mencari hidup sendiri.
Kejadian selanjutnya Pat-moay sudah tahu semuanya."
"Ha, jika terdapat sebuah pintu air seperti yang dikatakan
im, kenapa kita tidak menyelundup masuk dari situ?" tiba-tiba
Pang Lin menyela, rupanya ia sangat tertarik oleh cerita tadi.
"Betapa lihainya Yong Ceng, mana bisa dia tinggal diam,"
ujar Lu Si-nio. "Setelah dia tahu Chit-ko lenyap di sungai
istana itu, aneh kalau dia tidak mengaduk-aduk sungai im
untuk memeriksanya, tentu lubang im sudah dia sumbat rapat.
Pula seandainya bisa sampai di dalam, kita tak tahu juga Yong
Ceng bersembunyi dimana. Kita tak dapat tinggal lama di
istana untuk menunggu kesempatan, kalau hanya masuk
keluar secara begitu saja, apa gunanya?"
"Tidak bisa tinggal lama dalam istana?" tiba-tiba Pang Lin
mengguman sendiri, lalu kelihatan ia berpikir.
"Kau setan cerdik ini apa punya akal setan lagi?" ujar Sinio.
"Ya, ini adalah rahasia besar, dari Kiongli itulah aku
mendapatkan tipu bagus, coba dengarkan!" sahut Pang Lin.
Habis itu ia lantas bisik-bisik di telinga Lu Si-nio.
Semula Lu Si-nio mengomeli nona itu, tapi ia menganggukangguk
pula. "Hm, kau setan ini memang cerdik, tidak jelek
akalmu ini," katanya dengan muka berseri, tentu saja orang
lain merasa bingung oleh percakapan mereka.
Bercerita tentang Yong Ceng, sesudah terjadi kekacauan
im, ia menjadi ketakutan dan nyalinya pecah, ia merasa lega
setelah mengetahui Lu Si-nio dan lain-lain sudah menerjang
keluar banteng, tetapi di dalam istana ia masih membikin
penjagaan yang kuajt. Sang tempo lewat dengan cepat, sekejap setengah tahuiji
sudah lampau, suasana selama setengah tahun ini aman
tenteram saja. Lambat-laun rasa jeri Yong Ceng mulai hilang, ia piku|
mungkin musuhnya sudah kapok dan tak berani datang lagi.
Ia jnenjadi gemas ketika ingat sebagai kaisar yang maha
agung ternyata tak bebas mencari kesenangan hanya oleh
karena takut ada pembunuh masuk, bahkan bergerak secara
bebas di istananya sendiri saja tak berani, sungguh tiada
artinya menjadi kaisar yang selalu tertekan perasaannya.
Setelah tidak pernah terjadi sesuatu lagi, perlahan Yong
Ceng mulai bergerak secara bebas lagi, ia mulai mendatangi
tempat selirnya yang tidak terhitung banyaknya.
Menurut tata-teitib istana kerajaan Jing, tiap tiga tahun
sekali Kiong-li atau dayang perempuan di istana harus diganti,
yang lama dibebaskan keluar dan memasukkan yang baru
terpilih, inilah sebabnya tiga tahun sekali pasti diadakan
pemilihan wanita-wanita cantik.
Wanita cantik yang terpilih masuk istana, dibagi untuk
melayani para selir disebut Kionggo atau Kiongli, jika
kebetulan dilihat kaisar dan dipenujui baru bisa dihadiahi
sebutan Kuijin, jika dari Kuijin bisa pula mendapatkan kaisar,
kemudian baru naik pangkat dengan sebutan Kuihui (selir
kesayangan). Akan tetapi di dalam istana terdapat Kionggo yang tidak
terhitung banyaknya, dengan sendirinya tidak mungkin
semuanya dapat dilihat oleh kaisar.
Pada suatu petang, karena iseng, Yong Ceng jadi teringat
tiga bulan yang lalu dari berbagai tempat telah dimasukkan
serombongan dayang baiu, entah di antaranya terdapat yang
cantik tidak. Maka ia lantas perintahkan Thaykam mengambil daftar
nama dan gambar para gadis cantik itu supaya dia bisa
memilih. Ketika ia balik-balik lukisan gadis itu, tiba-tiba ia lihat
di antaranya ada satu yang rupanya rada mirip Pang Lin,
waktu dia teliti, ia lihat lukisan itu tertulis nama lengkap
beserta asal-usulnya, ternyata gadis ini bernama Lim Ci, asal


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak seorang penduduk biasa dari Lamciang.
Jejak Di Balik Kabut 37 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Medali Wasiat 11

Cari Blog Ini