Ceritasilat Novel Online

Topan Di Borobudur 3

Boma Gendeng 5 Topan Di Borobudur Bagian 3


Firman berdiri di sekeliling mereka.
"Sekarang cerita Bom. Kok kamu men dadak muncul." Kata Ronny.
"Kayak diuber setan!" kata Vino.
"Bener Bom! Sebelumnya kamu bilang
nggak bisa ikut karena ada sidang pengadilan."
Ujar Gita. "Baru tadi sore, jam setengah enam dapat
kabar. Kabarnya kabur! Sidang pengadilan diundur sampai awal bulan depan. Hakim yang memimpin sidang masih berada di Medan..." Boma
menerangkan. "Syukur." Ucap Gita.
"Tu Hakim nggak balik lagi juga nggak apaapa," kata Vino. "Biar nanti gua yang mimpin sidang!" "Uhh! Sok tau!" kata
Firman sambil melintir telinga Vino.
"Teman-teman, bayangin aja! Jam setengah
enam terima kabar. Siap-siap habis setengah jam.
Jalan ke sini hampir satu jam. Mana macet lagi.
Udah gitu dipintu masuk ke peron aku ditahan
sama penjaga! Dia curiga ngeliat ogut lari-lari.
Nggak bawa karcis lagi. Aku bilang aku rombongan pelajar Nusantara III yang mau tour ke Yogya.
Tetap aja nggak dikasih masuk. Sialan! Nekat aku
nyelonong aja!"
Semua anak tertawa mendengar cerita Boma. "Kita semua senang kamu bisa ikut Bom. Tapi ada lagi yang lebih senang..." kata Ronny pula.
"Ah, lu mulai deh. Becanda..."
"Becanda tapi nyata." Kata Vino.
"Ron, lu sebut dong siapa aja yang lebih
senang." "Pokoknya ada tiga orang! Tebak aja sendiri!" jawab Ronny sambil tertawa lebar.
"Tapi kalian bisa nebak nggak," kata Andi.
"Rasanya ada satu orang yang jadi sebel dengan kemunculan teman kita ini!"
"Itu sih ude kebaca! Apa perlu gue sebut
nih!" kata Vino.
"Jangan Vin... Juaaangan!" kata Firman
sambil pencongkan mulutnya. Semua anak pada
tertawa "Terus-terang gue juga senang banget kamu bisa ikut Bom," kata Ronny Celepuk. "Soalnya sekarang gue bisa timbang terima
serahkan tugas dari Si Umar sama kamu."
"Enak aja!" jawab Boma sambil membuka
topi petnya. "Tapi, ya sudah. Kau tetap wakilnya Si Umar. Aku dan teman-teman
pasti ngebantuin. Oke 'kan?" "Ntar dulu," jawab Ronny. "Gue mau nowel hidung dulu!" Lalu dia menirukan gaya
Boma menowel hidung. Kembali gelak tawa memenuhi
gerbong kereta yang meluncur ke arah timur menuju Yogyakarta. "Bom, kamu lari segitu jauh pasti haus. Ini
ada yang ngasi minuman selamat datang buat
kamu! Rio mendekat sambil mengulurkan sebuah
botol plastik. Tapi bukan botol air minum melainkan botol berlabel pembersih closet.
"Brengsek. Lu aja minum duluan!" kata
Boma sambil memukul botol itu hingga jatuh ke
lantai. Gerbong lagi-lagi riuh oleh gelak tawa.
"Ada-ada aja lu. Dapet dari mana tu botol?"
tanya Ronny pada Rio.
"Aku nemuin di kolong kursi," jawab Rid
sambil nyengir. Ketika Rio hendak kembali ke
kursinya Ronny pegang tangan temannya ini dan
berbisik. "Kok kamu tumben-tumbenan mau duduk
dekat Trini? Mau jaga muntah ya."
"Enak aja. Gue ude duduk duluan. Dia
nyelonong duduk di samping gue. Mau pindah ke
kursi lain semua udah pada didudukin. Mendingan kan, dari pada duduk di samping Si Umar?"
Rio menyengir lagi lalu kembali ke kursinya. Kereta meluncur semakin cepat.
11 SOSOK DI BALIK STUPA
LEWAT tengah malam suasana dalam gerbong kereta yang dicarter oleh para pelajar SMU
Nusantara III mulai sepi. Tak terdengar suara
anak-anak menyanyi, tidak terdengar lagi riuhnya
suara gelak tawa. Memang ada satu dua anakanak yang masih ngobrol, namun kemudian suara merekapun lenyap. Beberapa anak lelaki yang
tadi asyik bermain kartu kini terduduk letih di
kursi masing-masing dengan mata terpejam. Kecuali Pak Sanyoto. Guru Olahraga yang menjadi pimpinan
rombongan ini melangkah sepanjang gerbong
memeriksa dan memperhatikan para pelajar. Disamping kursi Ibu Renata Pak Sanyoto berdiri agak
lama. Wajah guru Bahasa Inggris yang sedang tidur itu dilihatnya lebih cantik dari biasanya. Ini kali pertama dia melihat Ibu
Renata dalam keadaan tidur. Wajah itu begitu anggun mempesona.
Pak Sanyoto mengusap kepalanya beberapa kali,
menegakkan kerah jaket lalu kembali ke kursinya. Duduk pejamkan mata, mencoba tidur.
Boma menyikut lengan Ronny yang duduk
di sebelahnya. Lalu berbisik. "Ron, lu liat nggak?"
"Hem...Ngapain dia berdiri lama-lama di
samping Ibu Renata?"
"Mungkin mau ngajak ngomong. Tapi Ibu
Renatanya tidur," jawab Boma.
Kereta meluncur terus. Suara roda-roda
besi yang berbenturan dengan sambungan rel merupakan irama berkesinambungan yang lama kelamaan enak juga terdengarnya.
JAM 06.15 pagi kereta memasuki stasiun Yogyakarta. "Selamat datang di Kota Gudeg!" kata Ronny sambil berdiri dari kursi lalu
menggeliat. "Yogya...Yogya! We are coming!" seorang
anak berteriak. "Yogya...Yogya! I love you!" Seorang anak lainnya berseru.
"Ooiii!" Vino berteriak. "Buka mulut jangan lebar-lebar! Bau! Belon gosok gigi!"
"Lu sendiri buka mulut selebar ember!" Balas seorang anak di deretan kursi
belakang. Se- saat gerbong itu riuh oleh suara tawa. Suara tawa
pertama dan terakhir dalam gerbong pada pagi
itu. Sebuah bis besar carteran telah menunggu
dan membawa rombongan ke sebuah penginapan
di Jalan Kolonel Sugiyono. Selesai mandi dan sarapan, jam 10.00 tepat rombongan meninggalkan
penginapan, berangkat menuju Candi Borobudur.
Turun dari bis Ronny bersiul-siul kecil
sambil rapikan letak kacamata biru menyalanya.
Rio yang memegang tustel mulai sibuk jetret sana
jetret sini. "Kamu kenapa nggak ajak Sarah cewek lu,
Ron?" tanya Boma.
"Die sih pengen ikut. Tapi nyokap nya lagi sakit," jawab Ronny. Sarah adalah
murid kelas II SMU Nusantara III juga tapi tidak satu kelas dengan Ronny dan
Boma. Langit cerah, sang surya bersinar cukup
terik dan angin bertiup. Beberapa topi yang digelar di tepi jalan beterbangan. Dikejar-kejar si
mbok penjualnya. Merupakan pemandangan yang
lucu. "Aneh, kok ora biasane. Kok barate banter banged tino iki." Seorang
pedagang barang-barang cindera mata di pinggir jalan berkata sambil memegangi
gantungan baju-baju kaos yang melambai-lambai ditiup angin.
"Git, si mbok tukang dagang itu tadi ngomong apaan?" tanya Boma pada Gita Parwati
yang berjalan di sebelahnya berdampingan dengan Allan. Disamping Allan berjalan Dwita. Di sebelah depan Trini, Vino dan Sulastri serta beberapa anak berjalan dalam satu kelompok.
Gita Parwati tertawa mendengar pertanyaan Boma itu. Dia berpaling pada Dwita.
"Dwita, ini namanya orang aneh!" kata Gita. "Katanya orang Jawa, tapi nggak ngarti omongan Jawa. Gimana sih Mas?"
"Ala, yang Jawa kan bokap sama nyokap
gua," sahut Boma. "Kalau gua sih Indo Betawi!"
Dwita dan Gita tertawa geli. Di sebelah depan Trini berpaling dan ikutan tertawa.
"Indo apaan! Doyan pete ama jengkol!" Dari samping berteriak Andi.
"Nah, kena lu Bom!" kata Ronny.
"Tapi pete sama jengkol enak kan?" jawab
Boma walau selama ini dia tidak pernah makan
pete dan jengkol. "Yang bau biasanya memang rada-rada
enak!" ucap Vino.
"Sok tau lu!" nyeletuk Andi.
"Kata orang. Gua sih emang belon tau yang
bau-bau," jawab Vino, membuat teman-temannya
jadi senyum-senyum. "Git, kamu belum jawab yang tadi gua
tanya." kata Boma.
"Nih, biar Gusti Raden Ayu Diwita Tifani
yang menjawab pertanyaan sampean" kata Gita
Parwati sambil menudingkan jempol tangan kanannya pada Dwita dan seraya membungkukkan
badan seolah menghormat. Dwita tertawa lebar
mendengar ucapan dan gaya si gemuk Gita Parwati. Boma menowel hidungnya. "Iyaa, Dwita.
Apa sih yang diucapkan mbok-mbok itu tadi?"
"Katanya begini," jawab Dwita Tifani. "Aneh, kok tidak seperti biasanya. Kok
angin kencang sekali hari ini."
"Nah, Den Mas Boma, sampean udah dengar. Puas sekarang?"
Boma anggukkan kepala pada Gita, tersenyum pada Dwita. Dalam hati dia mengulangi apa
yang barusan dikatakan Dwita. "Aneh, kok tidak seperti biasanya. Kok angin
kencang sekali hari ini." Ronny menepuk punggung Boma.
"Kok habis dikasi tau kamu sekarang jalannya kayak setengah ngelamun?"
"Ron, perasaan ogut nggak enak," jawab
Boma. "Kamu kebelet beol?" tanya Ronny.
"Brengsek kamu. Aku bilang yang nggak
enak perasaan ogut, bukan perut." kata Boma la-lu menowel hidungnya. "Aku nggak
liat Si Umar, Ron." Boma mengalihkan pembicaraan.
"Gampang nyarinya. Dimana ada Ibu Renata, pasti dia ada disitu. Tu...lu nengok deh ke belakang." Boma menoleh ke belakang. Memang benar. Di kelompok rombongan paling belakang berjalan Pak Sanyoto, memegang tustel, berdampingan dengan Si Centil Sulastri. Di sebelah Sulastri
Ibu Renata dan beberapa anak lainnya. Sambil
melangkah mundur-mundur Rio memotret kelompok Pak Sanyoto ini.
Di sebuah lapangan, dengan latar belakang
Candi Borobudur di kejauhan, rombongan membuat foto bersama. Selesai berfoto, sebelum menuju candi, Pak Sanyoto selaku pimpinan tour
memberi beberapa pengarahan. Melihat begitu
banyaknya pengunjung tidak mungkin mereka
yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu bisa
selalu berada dalam satu kelompok. Jika sampai
berpencaran maka pulangnya mereka langsung
menuju bis di lapangan parkir.
Pak Sanyoto melihat ke arloji di tangan kirinya "Saat ini jam sebelas kurang lima. Rombongan akan menunggu sampai jam empat sore.
Cukup banyak waktu bagi kalian semua untuk
makan, melihat-lihat dan membeli cindera mata.
Yang, penting kalian sudah berada di bis sebelum
jam empat sore!"
Ronny tertawa bergelak. Beberapa anak
yang mendengar ucapan Boma tadi ikut tertawa.
Ronny melirik ke arah Pak Sanyoto. Guru Olahraga yang menjadi pimpinan wisata itu agaknya tidak mendengar apa yang diucapkan Boma tadi.
Begitu rombongan mulai bergerak ke arah
Candi Borobudur, Trini langsung mendekati Boma, memegang lengan anak lelaki ini dan berkata.
"Bom, aku barengan sama kamu ya? Boleh?" Boma tersenyum.
"Boleh aja."
"Memangnya kenapa?" tanya Boma.
Trini Damayanti melirik sekilas pada Dwita. "Aku baru sekali ini ke Borobudur. Tangganya tinggi, curam. Orang yang naik banyak
banget. Aku suka gamang kalau berada di ketinggian. Boleh 'kan barengan kamu?"
Boma menowel hidungnya kembali.
"Kok dari tadi nowelin hidung terus sih!
Jawab dong! Boleh nggak?"
Boma tertawa. "Boleh boleh aja."
Trini tertawa lega. Dari dalam tas yang dibawanya dia mengeluarkan sebuah kamera.
Saat itu Rio tiba-tiba muncul di depan Boma dan Trini dengan tustelnya. Trini langsung
menebar senyum di wajah dan tangan kirinya
memegang mesra lengan Boma, kepala agak dimiringkan ke bahu anak lelaki itu.
Blits tustel Auto Focus menyala.


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, lu!" celetuk Ronny pada Vino yang
kini berada di sampingnya. "Alamat Boma nggak
bisa kemana-mana. Kasihan deh Dwita..."
"Kasihan juga Ibu Renata. Gua rasa dia
pengen dekat-dekat Boma. Tapi Si Umar kagak
tau malu. Nempel terus kaya perangko." kata Gita Parwati.
"Rio, tunggu!" seru Trini. "Tolong potretin!"
Trini menyerahkan tustel miliknya pada Rio.
"Tinggal mencet."
Rio beraksi dengan kamera milik Trini.
"Tunggu, sekali lagi!" kata Rio. Kamera milik Trini itu ada perangkat zoom nya.
Rio menekan tombol zoom hingga wajah Boma dan Trini muncul besar dalam satu
frame. Klik! Rio senyum-senyum kembalikan kamera pada Trini.
Boma melangkah, kakinya terasa berat. Dia
menowel hidungnya beberapa kali. Ketika di melirik ke arah Ronny, anak ini meledek dengan memencongkan mulutnya. Dengan suara perlahan
Ronny berkata pada Vino yang kini ada di sampingnya. "Lu tanya sono sama Si Centil. Dia suka
gamang nggak kalau ditempat tinggi."
"Ooo... Si Centil sih lain. Makin di atas dia
makin seneng!" jawab Vino.
"Eee, apa-an nyebut-nyebut nama Ogut?
Siapa yang seneng di atas?!"
Tahu-tahu Si Centil alias Sulastri sudah
berada di belakang Ronny dan Vino. Anak perempuan ini lalu menerobos di antara kedua anak lelaki itu. Ronny langsung diam, Vino senyumsenyum, serba salah tapi menjawab juga.
"Nggak, si Ronny bilang anak cewek suka
gamang kalau berada di tempat tinggi. Tapi aku
bilang kamu nggak. Kamu malah senang di tempat tinggi. Seneng di atas. Iyya kan?"
"Nggak tu. Aku malah suka kepingin kencing kalau berada di tempat tinggi!" jawab Sulastri polos, entah benar entah
tidak. "Jadi nanti kamu musti pegangin aku kalau naik ke atas candi sa-na."
"Nah, atu lagi teman gua kena batunya."
kata Ronny sambil usap-usap dagunya.
Rio yang tadi entah memotret di mana begitu Vino dan Sulastri berjalan rapat berdampingan
tahu-tahu muncul kembali. Vino acungkan jempol tangan kirinya. Klik! Lampu kilat menyambar.
Rio ngacir lagi ke tempat lain.
Boma menyuruh Trini berjalan lebih dulu.
Dia berlutut pura-pura membetulkan tali sepatu
ketsnya. Ketika Ronny lewat disampingnya Boma
cepat berbisik. "Ron, lu temenin Dwita. Gua nanti nyari
akal gimana bisa lolos dari Trini."
"Rebes Bom. Tapi gua pinjem dulu seceng
buat beli rokok. Duit gue ketinggalan di kantong
celana satunya."
"Alesan aja lu," jawab Boma. Dari kantong blujinsnya dia keluarkan uang kertas
seribu perak lalu diberikan pada Ronny. "Lu jangan pamer rokok di depan Si Umar.
Salah-salah lu disuruh
lari ngelilingin lapangan enam kali lagi, baru tau
ente!" "Oo... tidak bissya Bom. Ini Yogya, bukan Jakarta. Salah-salah dia yang
minta rokok sama aku!" jawab Ronny pula.
*** KELOMPOK Boma, Trini, Firman dan Andi
berada di tingkat pertama bangunan Candi Borobudur. Di sebelah depan berjalan kelompok Vino
dan Sulastri bersama Gita dan Allan. Di belakang
menyusul kelompok Ronny, Dwita lalu Rio dan
beberapa orang pelajar kelas II-9.
Seorang pemandu laki-laki tengah memberikan penjelasan pada serombongan wisatawan.
Tiga kelompok pelajar SMU Nusantara III kelas II9 tadi berhenti dan bergabung, ikut mendengarkan cerita sang pemandu.
"Bangunan Candi Borobudur ini didirikan
sekitar tahun 800 Masehi. Terdiri dari tiga tingkat yang masing-masing punya
nama sendiri-sendiri.
Tingkat pertama yaitu dimana kita berada saat ini
disebut Kamadhatu artinya Dunia Keinginan.
Tingkat kedua bernama Rupadhatu yang
berarti Dunia Bentuk atau Dunia Ujud. Tingkat
ketiga bernama Arupadhatu berarti Dunia Tidak Berbentuk atau Dunia Tanpa
Ujud..." Sambil terus mendengarkan cerita sang
pemandu Ronny berkata pada Boma. "Si Umar,
gua rasa cocoknya tinggal di Arupadhatu."
Boma dan teman-temannya sama tertawa
mendengar kata-kata Ronny. Sang pemandu yang
rupanya sempat mendengar ucapan Ronny memandang pada anak-anak itu lalu sambil tersenyum dia berkata. "Arupadhatu adalah alam tanpa ujud. Jadi
orang yang namanya Si Umar atau Si Umir tidak
mungkin hidup di alam itu..."
"Wah Ron. Kasihan Si Umar. Terpaksa dia
balik ke alam Rupadhatu." Kata Boma pula yang
mengundang tawa semua anak dan sang pemandu termasuk juga para wisatawan lain yang ada
di tempat itu. Pemandu wisata melanjutkan keterangannya. "Candi Borobudur ini dibangun dari potongan batu berjumlah sekitar dua juta
buah. Saat ini di sini terdapat 1472 buah Stupa serta 432 Ar-ca Buddha. Di sepanjang
dinding candi terdapat ratusan relief yang menceritakan berbagai kisah.
Jika semua relief itu disambung satu dengan yang
lain maka panjangnya bisa mencapai tiga kilometer. Bayangkan..."
Di sebelah belakang Vino berbisik. "Dia tau
dari mana. Apa pernah ngitung...?"
Ucapan Vino terputus karena lengannya
disengat cubitan Sulastri. Anak perempuan ini
berbisik. "Jangan ngomong sembarangan kamu.
Kalau dia denger..."
Vino cuma bisa nyengir sambil usap-usap
lengannya yang merah bekas cubitan.
Ketika pemandu wisata mengajak rombongan wisata berpindah ke tempat lain, Trini mendekati orang ini. "Pak, mau tanya."
"Ya, boleh. Anak ini rombongan dari Jakarta pasti?" Trini mengangguk. "Mau tanya apa?"
"Itu Pak, Area yang orang-orang suka pegang, tempatnya di sebelah mana?"
"Katanya kalau bisa megang, apa yang jadi
niat bisa terkabul. Apa betul Pak?" tanya si gemuk Gita Parwati.
"Semua tergantung niat, dan tergantung
Gusti Allah serta berpulang pada kepercayaan kita masing-masing," jawab sang pemandu sambil
tersenyum. "Arcanya disebut Arca Bimo. Letaknya di tingkat ke tiga, tingkat
Arupadhatu. Sebelah timur, persis kanan tangga naik." Sang pemandu menunjuk ke arah timur.
"Terima kasih Pak..." kata Trini.
Selagi Trini dan Gita bicara dengan sang
pemandu dan selagi sang pemandu menjawab
pertanyaan kedua anak perempuan itu Boma
berdiri sambil matanya memandang ke berbagai
jurusan. Di atasnya, pada tingkatan kedua bangunan candi serombongan wisatawan asing tengah membuat foto. Beberapa diantara mereka
adalah wanita-wanita kulit putih yang berpakaian
agak seronok. Sepasang mata Boma memandang
ke atas bukan memperhatikan wisatawan asing
itu, tapi memperhatikan sosok seorang yang agak
terlindung dibalik sebuah stupa. Walau yang tersembul dari sosok orang ini hanya sebagian sisi
kanan tubuhnya kepalanya tidak kelihatan, namun Boma yakin dari balik stupa orang itu tengah memperhatikan ke arahnya.
Boma menggeser tegaknya mendekati Ronny. Suaranya bergetar.
"Ron, kamu ingat nggak orang gila yang
nyerang kita di sekolahan?"
Karena tengah asyik mendengar keterangan sang pemandu Ronny tidak begitu memperhatikan pertanyaan temannya.
"Apa Bom?"
"Ingat cerita ada orang yang mau membunuh aku?" Ronny berpaling. Menatap wajah Boma.
"Memangnya kenapa?"
"Putar kepalamu pelan-pelan. Liat luruslurus ke atas. Perhatikan stupa nomor tiga dari
ujung kanan. Orang itu ada di balik stupa. Pakaian item, rambut gondrong. Kali ini rambutnya
nggak dikuncir. Tapi dibiarkan lepas."
Ronny menatap wajah temannya sesaat lalu perlahan-lahan angkat kepalanya, memandang
lurus ke arah tingkat ke tiga candi. Mengawasi
stupa yang dimaksudkan Boma.
"Aku nggak liat apa-apa Bom..."
"Masa sih? Aku liat orang itu masih disana.
Malah sebagian wajahnya kini menyembul dari
balik stupa," Ronny buka kaca mata birunya. Tetap saja
dia tidak melihat apa-apa.
"Aku nggak ngeliat apa-apa Bom. Maksud
kamu orang aneh bernama Pangeran Matahari
itu?" Boma mengangguk. Dia ingat ucapan si
nenek. Bahwa Boma bisa melihat orang itu tapi
orang lain tidak. Boma mengusap tengkuknya. Saat itu teriknya sang surya cukup membakar. Tapi Boma
merasa tengkuknya dingin.
"Ron, kamu sama Trini, sama yang lainlain tunggu di sini..."
"Kamu mau kemana?"
"Aku nggak lama."
Saat itu tiba-tiba angin bertiup kencang
sekali. Suara derunya terdengar menggidikkan.
Beberapa orang berseru kaget karena topi yang
mereka pakai mencelat diterbangkan angin. Seorang anak kecil sampai jatuh terduduk di batu
candi. Ketika angin reda Boma tak ada lagi di
tempat itu. "Boma kemana?" Tanya Trini pada Ronny.
"Katanya dia turun sebentar. Mau kencing." Jawab Ronny berdusta karena dia juga tidak
tau pergi kemana temannya itu. Ronny kembali
memandang ke arah stupa di atas sana. Dia melihat banyak orang disekitar stupa itu. Tapi tidak
ada orang berpakaian serba hitam, berambut
gondrong, kepala diikat kain merah dan bermantel. "Gila kali kalau ada orang siang bolong begini pakai mantel!" kata Ronny dalam hati. "Jangankan orang setan juga gerah!"
*** PANGERAN Matahari beranjak dari balik
stupa. Hatinya mendadak gelisah. Barusan dia
melewati beberapa orang di sekitar tempat itu.
Semua orang memperhatikan ke arahnya dengan
pandangan agak lain dan beberapa diantara mereka berbisik-bisik "Kesaktian Batu Penyusup Batin yang diusapkan guru ke tubuhku mungkin sekali telah
habis. Orang dapat melihat ujudku dengan mata
telanjang. Keadaan bisa berbahaya. Aku harus
bertindak cepat."
Pangeran Matahari memandang ke bawah.
Ke arah rombongan anak-anak SMU Nusantara
III. Wajahnya berubah. Boma tidak ada lagi di antara para pelajar itu. Murid Si Muka Bangkai ini
berpindah ke bagian candi yang lebih tinggi. Matanya menyelidik ke seluruh penjuru. Namun
Boma tetap tidak kelihatan.
Serombongan wisatawan lewat di sampingnya, memperhatikan. Ada yang senyum-senyum.
Tapi begitu Pangeran Matahari pelototkan mata,
orang yang tertawa palingkan muka, pura-pura
memandang ke jurusan lain.
"Aku curiga..." Membatin Pangeran Matahari. "Jangan-jangan Sinto Gendeng memberikan
Batu Penyusup Batin yang dirampasnya kepada
anak itu...." Lalu dia ingat peristiwa di halaman sekolah beberapa hari lalu.
Kepala dan tubuhnya cidera. Dipukuli orang yang tidak kelihatan ujudnya. "Kalau anak itu memang memiliki Batu Penyusup Batin, aku harus mencari akal..." Pangeran Matahari menyeringai lalu
tinggalkan tempat itu. Lagi-lagi menjadi perhatian orang yang dipapasinya. *** BEBERAPA langkah meninggalkan Ronny
dan kawan-kawannya, terhalang di balik sebuah
stupa Boma mengusap bagian bahu di bawah tulang belikat sebelah kanan, dua kali berturutturut. Empat orang anak perempuan yang berada
di hadapan Boma terkejut. Cewek paling depan
hentikan langkah, berpaling pada teman di samping kanannya. "Tik, kamu liat nggak? Tadi di depan kita
ada cowok kece rambut cepak pakai jins robek


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengkulnya. Kok tau-tau lenyap?"
Motik, anak perempuan yang diajak bicara
menyahuti. "Aku kira cuma aku yang heran.."
"Aku juga ngeliat." Kata anak perempuan di sebelah belakang.
"Jangan-jangan setan..." kata Motik. "Masa'
sih. Aku nggak pernah denger cerita ada setan di
Candi Borobudur."
"Teman-teman, baiknya kita pindah aja ke
tempat lain." Motik mengajak. Lalu mendahului
melangkah meninggalkan tempat itu. Temantemannya mengikuti. *** BOMA sampai di belakang stupa besar di
mana tadi dia melihat sosok Pangeran Matahari.
Tapi disitu dia tidak menemui Pangeran Matahari.
Yang ada hanya beberapa orang pengunjung tengah berfoto. Boma mengitari stupa, lewat beberapa kali di depan orang-orang itu tanpa satupun
dari mereka melihat kehadirannya. Anak ini yakin
bahwa Batu Penyusup Batin yang ada di bahu
kanannya memiliki kesaktian luar biasa. Namun
anak ini tetap merasa kawatir.
"Aku bisa menghilang, bisa nggak keliatan.
Tapi bagaimana teman-teman? Kalau Pangeran
Matahari berbuat jahat terhadap mereka?"
Boma memeriksa bagian candi sekitar stupa besar itu sekali lagi. Tetap saja dia tidak menemukan orang yang dicarinya.
12 MUNCULNYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG
PENGUNJUNG candi ramai sekali di seputar Stupa Bimo. Yang paling banyak para pelajar dari SMU Nusantara III. Melalui
lobang-lobang berbentuk belah ketupat orang banyak memasukkan tangan ke dalam stupa, berusaha memegang Arca Bimo di dalamnya.
Di salah satu sisi stupa, Trini mengulurkan
tangannya dalam-dalam, menggapai-gapai. Tapi
jari-jarinya tidak mampu menyentuh tangan apa
lagi bagian tubuh arca. Rio mengambil foto Trini
waktu berusaha memegang arca ini.
"Wah Rin! Maksud lu nggak kesampean!"
kata Rio. "Coba ogut. Kayaknya deket aja." Kata
Ronny Celepuk. Dia memasukkan tangan kanannya dari sebelah belakang, coba memegang punggung dan kepala area. Tidak kena. Dia pindah ke
sebelah depan. Ujung tangannya menggantung di
udara, tidak mampu menyentuh tangan area.
" Ajie Gile. Gua rasa tangan gua paling panjang. Tapi kok nggak bisa nyampe?"
Ronny Cele- puk gosok-gosok tangannya satu sama lain.
Vino, Rio, Allan, Andi dan Firman juga
mencoba. Tapi tidak satupun dari mereka bisa
menyentuh Arca Bimo.
Giliran si gemuk Gita Parwati. Saking penasarannya anak ini mencoba dari empat sisi.
Depan, kiri kanan dan belakang.
"Aneh, kok nggak bisa kepegang ya?" kata
Gita sambil menarik tangannya yang terasa pegal.
"Kamu nggak mandi kali tadi pagi!" kata Vino.
"Lu juga nggak bisa megang. Berarti nggak
mandi juga!" sahut Gita cemberut.
Pak Sanyoto tidak mau ketinggalan. Dia
memasukkan tangannya pada lobang di sisi kanan arca. Sampai kecapaian sambil geleng-geleng
kepala dia keluarkan tangan dari dalam lobang.
Lalu berpaling pada Ibu Renata.
"Ibu nggak mau coba?" tanya Pak Sanyoto.
Ibu Renata mendekat ke stupa. Sesaat ia
bingung mau memasukkan tangan kanan atau kiri. Akhirnya dia masukkan tangan kanan ke celah
belah ketupat. Tiba-tiba Guru Bahasa Inggris ini
memekik. Anak-anak mengintip lewat lobang.
"Kena!" teriak Vino.
"Kepegang!" pekik Trini.
Jari-jari tangan Ibu Renata yang halus bagus memang berhasil memegang tangan Arca Bimo, bukan cuma tangan tapi juga kaki arca.
"Wah Ibu Renata hebat!" ujar Pak Sanyoto
"Niatnya apa tadi bu?" tanya Ronny.
"Nggak niat apa-apa." Jawab Ibu Renata
tersenyum lebar dan mengeluarkan tangannya
dari dalam stupa. "Bom! Lu diem aja! Nggak pengen megang?"
Vino bertanya pada Boma.
Dari samping Ronny menarik tangan kanan
Boma lalu dimasukkan ke dalam lobang. Ronny
mengintip. Lalu anak ini berteriak.
"Liat!" Beberapa anak mengintip. Tangan kanan
Boma kelihatan menggenggam tangan Arca Bimo.
Anak-anak bersorak ramai. Boma tenang saja.
Saat itu dia merasa ada hawa aneh sejuk mengalir dari tangan Arca Bimo, masuk ke dalam tangannya, terus mengalir ke seluruh tubuh. Boma
merasa tengkuknya dingin.
"Hebat temen gue!" kata Ronny sambil tepuk-tepuk punggung Boma.
"Kok yang bisa cuma Boma sama Ibu Renata?" Si Centil Sulastri membuka mulut. "Wah, artinya apa nih?"
Boma tersenyum masih berdiri di depan
stupa sambil mengelusi lengan kanannya. Mukanya tampak pucat. Sementara Ibu Renata juga
tersenyum tapi wajahnya bersemu merah.
"Eh Dwita mana? Dwita belum nyoba!"
Tiba-tiba Firman berteriak.
"Bener, Dwita belon!" kata Andi.
Semua anak memandang berkeliling, mencari-cari. Tapi Dwita memang tidak ada.
"Kok Dwita nggak ada?" ucap Gita.
"Ngilang kemana tu anak?" kata Vino pula.
"Kayaknya dari tadi, lama juga dia nggak
keliatan," kata Ronny baru menyadari.
"Dia mungkin pergi kemana. Ada yang ditinggali pesan?" Pak Sanyoto bertanya.
Tidak ada yang menjawab.
Pak Sanyoto memandang berkeliling. Lalu
berkata. "Mungkin dia ada di dekat-dekat sini.
Nanti juga muncul..."
Boma mendekati Ronny.
"Ron, semua teman-teman kita ada di sini.
Cuma Dwita yang nggak keliatan. Aku kawatir.
Gimana kalau kita sama teman-teman mencari."
"Aku rasa nggak perlu kawatir. Dwita paling mencar. Nanti juga dia bisa kembali ke bis.
Pak Sanyoto tadi udah ngasi pengarahan."
"Kalau dia mencar, kenapa cuma sendirian?" ujar Boma.
Ronny terdiam. Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali.
Anak-anak perempuan berpekikan dan jatuhkan
diri lantai candi, berlindung di balik stupa.
Lalu mendadak dari berbagai arah tampak
orang-orang berlarian ke arah selatan. Beberapa
di antara mereka menunjuk-nunjuk. Makin lama
makin banyak orang yang lari ke jurusan itu.
"Orang-orang itu, mereka takut angin..."
Vino. "Mungkin mau turun badai? Topan?" Firman. Boma memandang ke arah selatan.
Lalu berkata. "Orang-orang itu bukan takut topan Vin.
Aku...," Pak Sanyoto mencegat salah seorang yang
berlari dan bertanya. "Ada apa Pak?"
Orang yang ditanya berhenti.
"Ada kejadian aneh! Ada orang dalam stupa." Seorang lelaki yang kebetulan lewat sambil
berjalan cepat menambahkan. "Orang gila menculik gadis! Gadisnya dikurung dalam stupa!"
Ada gadis dikurung dalam stupa. Ini satu
hal yang tidak mungkin terjadi. Ronny dan Boma
saling berpandangan.
Semua anak SMU Nusantara III memandang pada Pak Sanyoto. Lalu berpaling ke arah
selatan. Boma berdiri tak bergerak, mata terpejam. "Pangeran Matahari," membatin Boma.
"Pasti dia."
"Ron! Ikut gua!" kata Boma lalu mendahului lari ke arah selatan. Di satu tempat dia menyelinap ke balik sebuah stupa, membiarkan Pak Sanyoto dan teman-temannya melewati stupa. Lalu
anak ini sap Batu Penyusup Batin.
Ronny, Pak Sanyoto dan semua anak SMU
Nusantara III termasuk Ibu Renata sama-sama lari ke arah selatan candi.
Di Candi Borobudur arah selatan terdapat
jajaran stupa yang didalamnya berisi Arca Buddha yang disebut Arca Amoghasidi. Sikap tangan kiri Arca Amoghasidi diletakkan di
pangkuan sedang tangan kanan diangkat setinggi pinggang
dengan telapak terbuka menghadap ke depan. Inilah sikap tangan yang disebut Abayamudra yang berarti mengisyaratkan ketidak
gentaran, jangan takut. Salah satu dari Arca Amoghasidi itu di keli-lingi oleh
banyak orang. Tapi orang-orang ini tidak berani terlalu dekat.
Di samping stupa sebelah kanan berdiri
seorang pemuda tinggi besar. Tampangnya tampak garang. Pandangan matanya angker. Pakaiannya serba hitam, dilengkapi sehelai mantel
di sebelah belakang. Di bagian dada bajunya ada
gambar gunung berwarna biru dan larikanlarikan sinar matahari berwarna merah. Di keningnya melintang sehelai kain berwarna merah.
Orang ini menatap dingin ke arah semua orang
yang ada di depannya, menyeringai angker.
"Aku Pangeran Matahari! Jangan berani
mendekat kalau tidak mau mati!" Tiba-tiba pemudi disamping stupa berteriak keras sambil kaki
kanannya dihentakkan. Bangunan candi terasa
bergetar. Orang banyak menjauh ketakutan.
Yang membuat semua orang tambah tercengang adalah ketika menyaksikan di dalam
stupa di samping orang yang mengaku bernama
Pangeran Matahari itu, tergeletak pingsan sesosok
tubuh, ramping anak perempuan, berkulit putih,
mengenakan jins merah, blus biru bergaris putih
kuning dan merah. Tak ada satupun dari orang
banyak yang dapat mengerti bagaimana anak perempuan itu bisa berada di dalam stupa.
Ketika Pak Sanyoto, Ibu Renata dan rombongan anak-anak SMU Nusantara III sampai di
tempat itu, Ronny, Vino dan Allan segera mengenali. Pemuda berpakaian serba hitam yang tegak
dl samping stupa adalah orang gila yang menyerang mereka di sekolah sehabis pulang latihan
basket! "Ron, dia Ron," kata Vino dengan suara bergetar
Ronny dan Allan terkesiap.
Wajah sama pucat "Bagaimana orang ini
bisa berada disini?" ucap Ronny.
Tiba-tiba terdengar suara pekik anak perempuan. Suara Trini dan Sulastri. Kedua anak
ini tadi menyeruak diantara kerumunan orang
banyak. Ketika memandang ke arah stupa, mereka melihat sosok Dwita yang tergeletak pingsan di
dalam sana. Langsung keduanya menjerit.
"Dwita! Itu Dwita!" teriak Sulastri sambil menunjuk ke dalam stupa.
Di samping stupa Pangeran Matahari dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba
suara tawanya lenyap. Dari mulutnya menggelegar bentakan. "Boma! Mana anak bernama Boma!" Pak
Sanyoto, Ibu Renata dan semua pelajar SMU Nusantara III tentu saja jadi terkejut mendengar
ucapan itu. Mengapa orang aneh di atas sana
mencari Boma? Mengapa Dwita ada di dalam stupa? Bagaimana mungkin? Apa orang yang mengaku bernama Pangeran Matahari itu yang menculiknya lalu memasukkannya ke dalam stupa?
Jika seseorang masuk atau dimasukkan ke dalam
stupa, satu-satunya cara ialah dengan mengangkat stupa. Stupa itu ratusan kilo bahkan mungkin lebih dari satu ton. Siapa manusia yang
mampu mengangkat lalu memasukkan Dwita Tifani ke dalamnya? Pak Sanyoto memandang berkeliling. Ibu Renata ikut mencari-cari. Tapi Boma
tidak kelihatan. "Tadi dia lari lebih dulu dari kita. Mestinya
sudah sampai disini duluan," kata Ronny.
"Pengecut! Anak Pengecut! Kalian akan
menyaksikan kematian seorang anak manusia di
dalam stupa hanya karena kepengecutan seorang
anak bernama Boma!"
Di atas sana Pangeran Matahari kembali
keluarkan ucapan keras.
"Boma....Boma, dimana anak itu?" Ronny
dan kawan-kawan saling pandang, lalu memandang seputar candi. "Aku akan lihat! Mungkin nyawa harus lepas lebih dulu sebelum berani unjukkan diri! Terlambat! Terlambat!"


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Matahari angkat tangan kanannya ke atas. Tangan itu bergetar pertanda ada
hawa sakti mengalir. Lalu tangan itu memancarkan warna aneh. Merah, kuning dan hitam. Pangeran Matahari siap melepas pukulan Gerhana
Matahari. Udara mendadak redup sebaliknya tiupan angin kembali kencang mengeluarkan suara
aneh menggidikkan Pangeran Matahari membungkuk, mengintai diantara lobang-lobang stupa lalu berkata.
"Anak perempuan di dalam stupa. Nasibmu
malang sekali! Orang yang katanya mengasihimu
lebih suka melihat kau jadi mayat mengenaskan
dari pada menunjukkan keberanian memperlihatkan diri! Ha...ha...ha!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak. Tibatiba tawanya lenyap. Lalu tangannya dihantamkan ke arah stupa di dalam mana tergeletak Dwita Tifani dalam keadaan pingsan. Beberapa orang
keluarkan seruan keras. Anak-anak perempuan
menjerit. Ada yang berteriak memanggil nama
Dwita dan Boma Tiba-tiba dua sosok berkelebat di dekat
stupa. Satu entah dari mana datangnya, laksana
burung besar menyambar ke arah Pangeran Matahari. Yang satu lagi menyeruak dari kerumunan
orang banyak, melompat ke dekat stupa di lantai
atas. "Pangeran Matahari! Kau mencari mati!"
"Tunggu! Aku Boma!"
Dua teriakan mengumandang di antara deru angin dan ketersiapan semua orang yang ada
di tempat itu. Lalu ada sinar putih berkiblat ke
arah tangan Pangeran Matahari yang memukul.
Satu letupan keras menggetarkan seantero
candi. Orang banyak kembali berpekikan. Sinar
kuning, hitam dan merah yang menyambar keluar
dari tangan kanan Pangeran Matahari ke arah
stupa terpental buyar ke atas oleh hantaman cahaya putih yang menghampar hawa panas.
Orang banyak berpekikan lalu berlarian
menjauhi tempat itu.
Pangeran Matahari terjajar beberapa langkah, hampir jatuh duduk kalau tidak tertahan
oleh stupa yang ada di belakangnya. Di hadapannya berdiri dua orang. Yang pertama bukan lain
adalah Boma. Anak ini yang tadi tidak kelihatan
sosoknya karena kesaktian Batu Penyusup Batin,
karena ancaman Pangeran Matahari mau tak mau
segera unjukkan dirinya kembali yaitu dengan
mengusap batu sakti untuk ke tiga kalinya.
Orang kedua seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian serba putih bertubuh kekar.
Tampangnya keren dan sebentar-sebentar
layangkan senyum sambil garuk-garuk kepala.
Boma melirik ke arah si gondrong yang barusan menolong Dwita dari hantaman pukulan
maut Gerhana Matahari. Si gondrong juga berpaling ke arahnya, tertawa lebar dan kedipkan mata
kirinya. Tiupan angin membuat baju putihnya
tersibak. Pada dadanya kelihatan tatto tiga buah
angka. 212! Boma ingat. Pemuda gondrong ini adalah
orang yang pernah datang dalam mimpinya. Menolong dirinya ketika dikeroyok oleh kawankawan perampok wanita di bajaj. Mimpi! Apakah
saat itu dia juga tengah bermimpi! Mungkin ini
yang oleh si nenek sebagai orang yang akan menolong teman-temannya.
"Abang..." sapa Boma. Si gondrong tertawa lebar. Dia kembali garuk kepalanya.
Boma membalas dengan menowel hidung.
Dua-duanya lalu sama-sama tersenyum.
"Anak keren berambut cepak! Eyang Guru biasa memanggilmu Anak Gendenk. Betul?
Ha...ha...! Bagus! Kau masih ingat diriku. Walau
kau cuma pernah melihat aku dalam mimpi.
Ha...ha.. Kita berjodoh untuk bertemu!"
"Abang, bagaimana mungkin Dwita bisa berada dalam stupa? Gila bener!"
Si gondrong menyeringai.
"Tenang saja. Ini urusan kecil. Siapkan
hawa sakti di tangan kirimu."
Berkata si gondrong. Sebenarnya saat itu
dia juga bingung bagaimana cara mengeluarkan
anak perempuan itu dari dalam stupa.
Boma angkat tangan kirinya.
"Bangsat Pendekar 212!" Tiba-tiba Pangeran Matahari membentak. "Apa hubunganmu
dengan anak ini?"
Si gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede tersenyum. "Kau
dengar sendiri. Dia memanggil aku dengan sebutan Abang. Berarti dia adalah saudaraku!"
Pak Sanyoto, Ibu Renata dan anak-anak
SMU Nusantara III yang mendengar jelas semua
percakapan itu jadi melengak kaget. Tapi karena
masing-masing diselimuti ketegangan, tak satupun yang keluarkan suara.
Pangeran Matahari memandang mendelik
pada Boma. "Anak bau kencur! Kau boleh punya tangan
mengandung hawa murni sakti! Kau boleh mengandalkan pemuda gondrong berotak sableng itu.
Tapi apa kalian mampu membebaskan anak perempuan ini tanpa menghancurkan stupa warisan
para leluhur? Apa kalian mampu membebaskan
anak perempuan tanpa melangkahi mayatku?"
"Apa salah Dwita? Kau membuat keonaran,
mencelakai temanku dan mau merusak bangunan
agung dan suci ini! Kau manusia jahat!"
"Boma, dia bukan manusia! Tapi sebangsa
dedemit yang gentayangan antara langit dan bumi?!" kata Pendekar 212 lalu tertawa bergelak.
Pangeran Matahari keluarkan suara menggembor marah. Dia melompat ke hadapan Pendekar 212. "Pangeran jelek! Jangan kesusu! Gurumu
Si Muka Bangkai sudah kena diringkus Eyang
Sinto Gendeng! Kau yang punya ilmu sedalam
comberan masih berani jual lagak! Gendeng kali!"
Pangeran Matahari terkejut mendengar
ucapan Wiro. Otaknya bekerja. Sambil menyeringai dia kemudian berkata.
"Jangan menipu. Aku Pangeran segala akal, segala cerdik, segala licik tak mungkin bisa di-tipu oleh pemuda sinting
sepertimu!" "Lu yang sinting!" teriak Boma. "Lepaskan Dwita dari dalam stupa!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak. Rahangnya menggembung. Didahului bentakan keras dia berkelebat menyerang Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Tapi cahaya
menggidikkan yang kemudian melesat dari tangan
kanannya justru menghantam ke arah Boma Tri
Sumitro. Inilah satu serangan tipuan yang tidak
terduga baik oleh pendekar 212 maupun oleh
Boma. "Boma awas!" teriak Wiro. Dia bukan saja harus menyelamatkan anak itu tapi
juga menyelamatkan bangunan candi dari pukulan Telapak
Matahari yang dilancarkan Pangeran Matahari.
TAMAT BERHASILKAN PENDEKAR 212 WIRO
SABLENG MENYELAMATKAN BOMA DAN
BANGUNAN CANDI BOROBUDUR DARI PUKULAN
MAUT PANGERAN MATAHARI? BISAKAH DWITA
DIKELUARKAN DARI DALAM SEKAPAN STUPA
YANG BERATNYA LEBIH DARI SERIBU
KILOGRAM ITU? JAWABANNYA HANYA BISA
PEMBACA IKUT! DALAM SERIAL
"Tenda Biru Candi Mendut"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tamu Dari Gurun Pasir 2 Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Si Bungkuk Pendekar Aneh 1

Cari Blog Ini